Pencarian

Pedang Golok Yang Menggetarkan 19

Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen Bagian 19


"Celaka betul " pendeta itu berseru. mendongkol. "Benar benar mereka mencoba menggempur tembok."
"Kalau begitu terang sudah mereka menghendaki jiwa kita" kata Giok Yauw gusar.
"Jikalau kita tidak mati semua, mana bisa It Tie tetap menjadi ketua" " kata Ban Liang.
"Maka itu, karena kita mengadu jiwa, jangan kita main segan- segan lagi" kata pula si nona. "Sungguh tak adil selagi kita bermurah hati musuh sebaliknya berlaku telengas. Kita berkasihan, mereka menggunakan tangan kejam "
Kembali terdengar tiga kali suara hebat, pertanda bahwa penggempuran tembok dilanjutkan, hingga debu mengepul pula. Bahkan kali ini ditembok kiri telihat satu lubang kecil, Itulah pertanda, bahwa tembok mulai bobol.
Lubang ditembok itu besar tiga kaki, maka terbukalah lowongan
buat masuk obor berapi. Sebuah obor segera ditimpukkan masuk.
Han in sudah bersedia, ia menyampok obor itu Maka lagi ruang menjadi sebentar terang sekejap lagi gelap kembali. Bahkan obor itu, karena belum jatuh kelantai, karena disampoknya tepat, telah tersampok kembali dipihak sana.
Giok Yauw menggunakan kesempatan ketika obor kembali pada masuk. dia membarengi menimpukkan segumpal jarumnya Dia menimpuk sambil membentak Ban Liang hendak mencegah tetapi tak keburu. Dari sebelah sana segera terdengar jeritan. "Aduh" dua kali Itulah bukti bahwa dua orang musuh telah menjadi korban jarumnya itu.
Menyusul jeritan itu, terdengar juga suara berisik lainnya, lalu "Mereka menggunakan jarum beracun. Semua waspada"
Giok Yauw mendengar itu, ia tersenyum Kembali ia menyiapkan jarumnya.
Diam-diam Ban Liang menoleh kearah Nona Hoan. Mereka itu tetap duduk tenang, bagaikan mereka tak tahu bahwa disini, atau di depannya, keadaan sudah kacau dan mengancam sekali.
Heran jago tua itu. Katanya didalam hatinya.
"Hebat Hoan Toako. Dia telah mewariskan kepandaiannya kepada dua orang nona yang luar biasa ini Hanya sayang saat ini saat sangat berbahaya..."
Tengah Ban Liang berpikir, dari luar terdengar mengaungnya dua batang anak panah yang dilesatkan ke udara.
Mendengar itu, Han in Tysu segera memberikan peringatan- "Waspada!!! Musuh menggunakan anak panah "
Menyusul suara pendeta ini, dua anak panah menyambar ketembok dan nancap. Kalau anak-anak panah itu mengenai tubuh manusia... Tapi Oey menyampok yang satu dan Ban Liang menyambuti yang lainnya.
"inilah berbahaya" Ban Liang berpikir "Kalau mereka menyerang dari empat penjuru kemana kita bisa melindungi diri" "
Giok Yauw menghela napas, katanya "Kapanya sudah pasti kawanan pendeta itu hendak membunuh kita. Jikalau ktia tidak memberi rasa sukar buat kita menghadapi mereka secara begini
saja." Maka ia menimpuk pula dengan jarumnya, yang terdiri dari belasan batang.
Diantara para pendeta terdengar jeritan jeritan kesakitan dan
kaget. Itulah bukti bahwa jarum jarum itu telah minta korban pula.
"Hebat jarummu, nona" Kho Kong memuji, "Tak ada yang gagal" Kembali si nona menghela napas.
"Kalau kita toh mesti mati disini maka pendeta pendeta itu mati berlipat lipat lebih banyak dari pada jumlah kita," katanya.
Han in Taysu menghela napas. Katanya "Kalau lebih banyak pendeta yang mati, peristiwa akan jadi sangat hebat. Walaupun kesalahan berada pada pihak mereka, pasti sekali mereka itu tak akan mau mengerti dan akan mencoba menumpas kita."
Kata kata dari ketua NgoBie Pay ini terputus oleh sambaran lain dari beberapa anak panah. Syukur semua tidak meminta kurban, karena nona Thlo telah memutar pedangnya dan meruntuhkannya, sedangkan Han in sendiri menyambuti sebatang.
Ban Liang membungkuk memunguti anak panah itu yang
berjumlah delapan batang, sambil bekerja itu ia berkata perlahan-
"Rupanya benar-benar tak mudah pertempuran ini akan berakhir..."
Habis penyerangan anak panah itu, suasana menjadi sunyi. Justru itu terdengarlah suara tenang tetapi berpengaruh. "Punco mau berlaku murah hati, kamu diberi kesempatan akan memikir masak masak. Didalam waktu sepertanak nasi, kamu bebas merdeka dan akan selamat buat meninggalkan pendopo ini"
"Itulah suara It Tie Taysu" berkata Giok Yauw.
Han in Taysu menoleh pada Ban Liang untuk berkata, "Beritahukan kepadanya bahwa kita sudah bersiap Sedia menangkis penyerangannya. Tak dapat kita menunjukkan kelemahan terhadap mereka itu."
Ban Liang tertawa nyaring. Itulah karena kemurkaannya. "Benar" katanya ketus. "Hari ini dapat kita bertempuran hingga mati disini
tetap tak dapat kita menunjukkan kelemahan" Terus sijago tua bertindak ke lubang tembok bekas tergempur itu. "Loocianpwee, hati hati" berseru Oey Eng khawatir.
"Tidak apa" berkata sijago tua, yang bertindak terus. Di mulut lubang ia mengeluarkan kepalanya.
Ruang luar diterangi beberapa puluh obor yang menyala, yang membuat ruang itu terang bagaikan siang. Disana tampak banyak sekali pendeta dengan alat senjata nyamasing masing. Semua mereka itu mengatur diri dengan rapi.
"It Tie Taysu" berkata Ban Liang sambil melongok itu. ia batuk batuk.
Ketua Siauw Lim Pay muncul setelah barisannya memecah diri kekiri dan kekanan-Tubuh pendeta itu ditutup dengan jubah kuning. Dia bertindak maju dengan perlahan-Segera juga memperdengarkan suaranya, sabar^ "Tuan diantara sahabat sahabatmu ada yang terluka punco bersedia mengobatinya dengan obat mustajab Siauw Lim Sie" Ban Liang tertawa lebar menyambut tawaran itu.
"Taysu baik hati sekali, suka aku menerimanya" sahutnya. "Hanya sayang, diantara kami tidak ada yang terluka"
Berkata itu, diam diam jago tua mengawasi tajam, ia mendapatkan It Tie didampingi oleh ses bie atau kacung pendeta, yang masing masing membawa cecer kuningan dan golok tua.
It Tie bertindak sampai sejarak kira kira lima kaki dari lubang dimana Ban Liang berada, disitu ia menghentikan tindakannya sambil berkata nyaring: "Siapa yang pandai melihat gelagat dialah seorang gagah"
"Maksudmu, taysu" " Ban Liang menegaskan-
"Maksud punco ialah memberi nasihat kepada tuan tuan sekalian supaya mulai sekarang ini tuan tuan menghentikan pertentangan, lalu terus kamu jangan suka tahu menahu lagi segala urusan dunia Kang ouw" berkata ie Tie dengan keterangannya. "Setelah tuan
tuan memberikan janji maka punco akan membantu kalian" Ban Liang tertawa berkakak.
"Dengan cara bagaimana taysu hendak membantu kami" " tanyanya. Lagi lagi ia menegasi.
"Punco bersedia menghadiahkan kepada kamu dengan seratus butir mutiara serta uang tunai selaksa tail..." sahut It Tie.
Ban Liang tertawa pula. Hanya kali ini nadanya tawar.
"Taysu, kaupandang aku Ban Liang orang macam apakah" " tanyanya.
It Tie nampak tidak senang.
"sebenarnya tuan menghendaki apakah" " tanyanya. "sebutkanlah"
Ban Liang berkata dingin "Aku siorang tua bukannya orang sujud kaum Budha tetapi hendak aku memberi nasehat kepada taysu dengan dua kata kata agama itu: Meletakkan golok jagal Segera menjadi Budha. Taysu, kenapakah karena kesalahanmu satu saat, lalu kau tenggelam terus kedalam tempat darimana kau tak bakal kembali" "
It Tie gusar sekali hingga ia membentak.
"Kematian kamu sudah didepan mata tapi kamu masih berani berlagak begini?" demikian suaranya yang bengis dengan apa dia mengumbar amarahnya. Diapun mengulur sebelah tangannya, mengambil selembar cecer dari tangan kacungnya.
Ban Liang tahu liehaynya senjata istimewa itu, segera ngelepot kembali kedalam ruang.
Menyusul itu terdengar pula suara bengis dari It Tie: "Kamu tersesat, kamu tak sudi sadar, jangan kamu sesalkan punco jikalau punco mengeluarkan tangan tak mengenal kasihan lagi"
Ancaman itu diakhiri dengan suara angin dari menyambarnya suatu alat senjata.
"Waspada" Ban Liang menyerukan kawan-kawannya. ia mengenali suara itu. "Pendeta itu sudah menggunakan cecer terbangnya "
Han In Taysu juga berkata keras, "Itulah salah satu senjata rahasia istimewa dari Siauw Lim Sie Senjata itu cuma dapat dielakkan, jangan ditangkis"
Berkata begitu, pendeta ini menggerakkan keretanya menyingkir kepojok.
Giok Yauw penasaran, akan tetapi melihat guru itu menyingkir, terpaksa ia turut bergerak kepojok juga . Hanya sambil menyingkir itu, ia membuka matanya lebar lebar.
Didalam pendopo yang luas tadi gelap itu tampak sebuah sinar kuning emas berputaran, suara anginnya terdengar halus.
Oey Eng dan Kho Kong segera menjatuhkan diri, bertengkurap dilantai.
Cepat sekali terdengarlah satu suara berisik, dari menghajarnya cecer itu kepada tembok. hingga tembok pecah meluruk mengepulkan debu. Setelah itu, cecer itu tidak jatuh kelantai, hanya mental untuk berputar dengan keras, menyambar lewat diatas kepala Soat Kun, untuk menyambar terus ketengah ruang. Ban Liang mengeluarkan peluh dingin.
"Hebat" kata sijago tua ini didalam hatinya. "Pantas senjata ini mendapat nama istimewa."
Baru saja sijago tua berkata demikian, tiba tiba sebatang obor telah dilemparkan masuk kedalam pendopo itu. Karena semua orang tengah bersembunyi, tak sempat memadamkan api itu. Karena mana, teranglah seluruh ruang hingga para pendeta dari luar ruang dapat melihatnya terang tegas.
Selagi ruang terang benderang itu, satu seruan terdengar, disusul dengan munculnya orang yang berseru itu, seorang pendeta dengan sebatang golok kaytoo ditangannya.
Segera setelah di dalam pendopo, tubuhnya berguling, dan dia berlompat bangun berdiri, goloknya dipernahkan di depan dadanya, dalam sikap melindungi diri. Giok Yauw segera mengayunkan tangannya sambil membentak: "Prgilah kau menggelinding" Itulah
ayunan tangan yang menggenggam jarum rahasia. Pendeta itu
liehay, dengan goloknya dia menyampok jatuh jarum itu.
Menyaksikan hal demikian, Ban Liang meluncurkan tangan kanannya, menyerang dengan ilmu silatnya yang bernama Ngo Kwei Souw Hun Ciang, hingga angin, atau hawa dingin, menyambar kearah pendeta itu.
Pendeta itu bisa menghadang jarum rahasia tapi tak sanggup dia bertahan dari tangan liehay Seng Su Poan, dia roboh seketika dengan didahului terlepasnya goloknya. Dia mengeluarkan suara "Aduh" dan goloknya kena terampas.
Kawanan pendeta dari Siauw Lim Sie itu berani semuanya. Setelah robohnya satu kawan itu segera lompat menyusul dua yang lainnya.
Han In Taysu menyambut lawan dengan satu luncuran tangan kanannya.
Kedua pendeta itu masing masing mencekal tongkat sianthung, dan golok kaytoo, mereka tahu bahwa mereka dipakai serangan, mereka berkelit. Pendeta yang kiri menyambut dengan bahu kirinya sambil berseru: "Sutee, lekas maju Tangkis dengan senjatamu" Karena dia membahasakan "sutee" adik seperguruan, maka dialah sang suheng kakak.
Sementara itu cecer terbang masih bekerja. Justru itu cecer menyambar kearah Giok Yauw. Si nona berkelit sambil mendekam Pendeta sebelah kanan, memegang tongkat, turut pula berkelit, karena dia berada digaris si nona.
Karena dia menghindarkan diri, celakalah kawannya, sipendeta yang bersenjata golok itu. Pendeta ini tak cukup tangguh menghadapi serangan Han In Taysu, tanpa ampun, bahunya patah hingga dia merasakan sangat nyeri. Tapi dia bandel, dia berdiri
tegak. untuk mengerahkan tenaga dalamnya, guna bertahan dari luka parah itu, hingga dia tak sampai roboh terguling.
Justru itu, tibalah hui poat, cecer ketuanya yang liehay itu. Tak sempat dia menangkis atau berkelit, maka juga kepalanya kena terpapas pecah dan putus oleh senjata bundar gepeng yang tajam itu.
Tak sempat dia menjerit, robohlah dia dengan berlumuran darah. Barulah kali ini, habis tenaga berputar dari cecer itu, yang terus jatuh didekat kurbannya. Senjata liehay ini tak berputar pula karena dia tak mengenai sasaran keras dan kuat yang dapt membuatnya mental balik...
Tentu saja It Tie melengak. Dia menggunakan huipoat guna membantu murid muridnya tak disangka, dia justru meminta jiwa muridnya itu. Giok Yauw tak berdiam saja setelah ia bebas dari ancaman huipoat, ia lompat menerjang pendeta yang bersenjata tongkat itu, dan bahkan terus menerus ia menikam sampai tiga kali tatkala sipendeta cobameng elakan tubuhnya. Dia mundur hingga berulang kali.
Tepat pada waktu itu, kembali dua orang kepala gundul berlompat masuk Oey Eng maju, untuk menghadang kearah lubang guna mencegah lain lain pendeta berlompat masuk. sambil berbuat begitu, ia berkata perlahan kepada Ban Liang: "Tak dapat kita membiarkan lain orang masuk pula kemari"
Ban Liang meng ia kan-Ia segera menjemput sebatang golok kaytoo, dengan apa ia mendekati lubang, guna menghadang dimuka itu. Ruang menjadi gelap pula. Giok Yauw berhasil memadamkan api obor.
Tiba tiba satu seruan keras sekali terdengar. Itulah suara yang mengikuti menerjangnya sebatang tongkat, untuk masuk kedalam toatian.
Ban Liang memegat dengan golok pinjamannya, hingga kedua senjata beradu keras sekali.
Kesudahannya itu membuat sijago tua tertangkis mental seluruhnya. Tongkat cuma tertotok sedikit. Maka ia terkejut atas tenaga besar sipendeta.
Tengah jago tua ini berpikir, tongkat sudah menikam kepinggangnya. Lekas ia menangkis pula.
Pertempuran mereka berdua menjadi pertempuran yang luar biasa, sebab yang satu di luar, yang lain didalam pendopo. Hingga
satu dengan lain, tak dapat saling melihat. Yang terang ialah,
karena senjatanya lebih panjang sipendeta adalah pihak penyerang.
Sambil selalu menangkis itu, Ban Liang berkata di dalam hatinya^ "Entah siapa pendeta ini, dia sangat tangguh. Tidak bisa lain, kali ini kita mesti membinasakan atau sedikitinya melukai
musuh, biarpun peristiwa bakal jadi hebat dan berekor panjang..."
Tanpa bertempur mati hidup, memang sulit pihak Kim Too Bun ini.
"Kau masih tidak henak melepaskan senjatamu" " tiba2 terdengar bentakan Giok Yauw Menyusul itu terdengar jeritan tertahan diikuti suara tubuh jatuh terbanting keras.
Han In Taysu menjadi kehabisan sabar. Ia insyaf bahwa pihaknya
terancam bahaya kalau musuh tidak dihajar keras. Maka segera ia
mengayun tangan kanannya yang semua jerijinya dibuka lempang.
Selama didalam kurungan dengan kaki bercacat itu, ketua Ngo Bie Pay ini tak menyia nyiakan waktu, sambil menanti lewatnya sang waktu, ia melatih tangannya itu.
Pendeta yang bertempur dengan Oey Eng mendadak terasa pinggangnya kaku, sehingga tak leluasa ia menggerakkan tubuhnya. Justru itu, pedang Oey Eng menabas pinggangnya, hingga dia roboh seketika, jiwa melayang. Habis menyerang pendeta itu, Han Inpun menyerang yang lain-Kali ini lawannya Kho Kong yang menjadi sasaran.
Dengan tiba tiba murid Siauw Lim Sie itu terkekang gerakannya segera poan koan pit sipemuda she Kho menikam iga kirinya yang membuatnya roboh Dengan begitu, usailah pertempuran dipendopo
itu. Ruang dalam menjadi sunyi kembali bahkan gelap. Tinggallah Ban Liang yang melayani musuh disebelah luar itu. Hanya mereka ini cuma bentrokan bentrokan senjatanya saja yang terdengar tak hentinya.
Tapi pertempuran itu tak berhenti seluruhnya. Diam diam dua orang pendeta menyelundup masuk. terus mereka berlindung dibelakang patung. Han in Taysu tahu aksi kedua lawan itu.
Hanya sebentar, terdengarlah suara cecer saling beradu. Setelah itu, redalah pertempuran. Semua pendeta mundur sendirinya. Rupanya, suara cecer itu adalah isyarat untuk mundur teratur sekarang barulah toatian menjadi sunyi benar benar.
Ban Liang heran akan sikap lawan, ia bertanya kepada Han in,
Taysu, tak tahu akal apa yang hendak dipergunakan oleh musuh.
Ketua Ngo Bie Pay itu juga tidak mengerti, ia cuma menggelengkan kepala.
Sementara itu dimuka pintu toatian, pertempuran telah berlangsung pula diantara Siauw Pek dan para pendeta. Penyerang berjalan seru karena It Tie yang memimpin sendiri. Tongkat dan golok bagaikan menghujani si anak muda, yang bertahan dengan tenang.
Han in Taysu memperhatikan pertempuran dimuka pintu itu. ia khawatir si anak muda gagal mempertahankan diri. Itulah berbahaya Tapi ia melihat Siauw Pek bertempur dengan baik sekali. ia heran-"Biar bagaimana, perlu aku membantunya," pikir ketua Ngo Bie Pay itu.
Justru itu, tampak golok Ban iang terlepas dari pegangannya. Tiba tiba ada tongkat yang menyerang masuk, ketika sijago tua menangkis, serangan itu hebat sekali, goloknya terlepas.
Giok Yauw siap sedia, melihat kawannya dibokong, ia menimpuk dengan jarumnya. Dengan demikian, musuh tak dapat menerjang masuk, Lekas lekas Ban Liang menjemput goloknya. Han in Taysu menolak keretanya mendekati Nona Thio "Baik baiklah kau menjaga
disini." pesannya. "Aku mau pergi ke pintu, untuk membantu si anak muda."
Giok Yauw menangguk. maka majulah gurunya itu.
Oey Eng dan Kho Kong segera bekerja, memindahkan kurban kurban musuh.
"Nona," Ban Liang berpesan kepada Giok Yauw. "Jarummu berharga sekali, jangan kau sembarang gunakan-.."
Si nona merogoh sakunya. ia mendapatkan jarumnya tinggal sedikit. "Baik, loocianpwee," ia menjawab sijago tua.
Selagi mereka bicara itu, tiba-tiba sang gelap gulita tiba. Ban Liang dan kawan2 heran-Kiranya mulut lubang telah tertutup musuh Ban Liang membacok. tangannya kesemutan sendirinya. Goloknya menyerang barang keras berupa besi, hingga terdengar suara bentrokan yang nyaring. Karena itu dua orang pendeta menyusul masuk,
Sekarang tahulah Ban Liang bendaapa yang tadi ia bacok itu. Kiranya itulah sebuah lonceng kuningan yang besar, yang dipegang oleh pendeta yang berlompat masuk terlebih dahulu. Pendeta itu menyerang pula dengan loncengnya itu.
Tak mau Ban Liang berlaku sembrono, ia berkelit.
Oey Eng sebaliknya. ia penasaran-"Lihat pedangku" serunya seraya dia berlompat menusuk.
Pendeta itu bertubuh tinggi dan besar, loncengnya berat mestinya dia lamban, lambat bergeraknya, siapa tahu, dia justru gesit. Ketika tikaman tiba, dia berkelit, dilain pihak. loncengnya
dipakai membalas menyerang. Oey Eng terkejut. Pedangnya telah
kena dibikin terpental Ban Liang maju pula, untuk menyerang.
Saking lincah, pendeta itu bisa menangkis, bahkan beruntun hingga tiga kali ketika sijago tua menikamnya berulang ulang. Maka tiga kali terdengar suara nyaring berisik, Tiga-tiga kalinya golok tak mendapat hasil.
"Entah apa kedudukannya pendeta ini" ..." Ban Liang berpikir. heran dan kaget, tangannya terasa kesemutan. Dia kuat sekali, sulit
buat mengusirnya. "Celaka kalau dia merintangi kita hingga kawan-
kawannya bisa menggunakan kesempatan untuk meluruk masuk..."
Pendeta yang kedua, yang memegang golok kaytoo, sudah maju terus, tapi segera dirintangi Kho Kong, hingga keduanya jadi bertarung.
Melihat lawan Ban Liang liehay, Giok Yauw maju untuk membantu. Sambil menikam, ia berkata kepada jago tua itu "Loocianpwee, serahkan orang ini kepadaku Loocianpwee bersama saudara Kho jaga saja mulut lubang itu"
Ban Liang mengangguk. terus ia melirik ke arah lubang. Justru ia melihat kepala seorang pendeta lagi menongol, untuk mengintai, tidak ayal lagi, sambil berseru, ia menimpuk dengan goloknya. Celaka pendeta itu. Dia bagaikan terbokong. Maka pecahlah kepalanya terhajar golok kay too kaumnya sendiri.
Tepat waktu itu terdengar suara gempuran lain-Ban Liang lekas berpaling. "Kau jaga disini" katanya kepada Oey Eng. "Aku akan melihat kesana."
Belum habis suara sijago tua, dilubang yang baru itu sudah muncul kepala seorang pendeta.
Disaat itu, lupa Ban Liang kepada soal membinasakan musuh atau tidak. ia berlompat sambil menyerang dengan ilmu Silat Ngo Kwie Souw Hun Ciang Pendeta itu belum melihat tegas ketika dia disambut serangan itu, tahu-tahu dia sudah terhajar, hingga berhentilah napasnya, tubuhnya roboh disebelah luar.
Dari luar itu lalu terdengar suara yang bengis: "Sudah belasan murid-murid Siauw Lim Sie yang terbinasa, jikalau kita tidak dapat menyerbu masuk kedalam toa-tian maka rusaklah nama besar Siauw Lim Pay kita"
Mend engar kata-kata itu Ban Liang berduka walaupun ia sudah tahu permusuhan sudah tertanam hebat. Sementara itu suara
bengis tadi tidak mendapat jawaban mengiyakan, ada juga jawaban beberapa serbuan diperhebat. obor telah dilemparkan kedalam pendopo, hingga pendopo besar itu terang kembali.
Ban Liang kewalahan memadamkan obor obor itu, yang dilemparkan masuk berbatang2
Giok Yauw dan Kho Kong tidak dapat membantu. Mereka itu sedang melayani dua orang pendeta. Oey Eng pun sedang merintangi seorang pendeta yang gemuk tubuhnya. Dia inilah sipendeta tukang melemparkan api masuk kedalam pendopo, disusul dengan percobaan masuknya sendiri, tapi dia dipegat Oey Eng hingga dia bertahan dimulut lubang Dia bersenjatakan golok. agaknya dia liehay.
Ban Liang bekerja sebat. Empat buah obor dapat dipijak padam. Ketika ia mau bekerja terus, seorang pendeta melompat masuk dimulut lubang. Tanpa bersangsi lagi, ia lompat, menerjang masuk merintangi pendeta itu. Maka itu iapun bagaikan terikat.
Han in Taysu telah mendekati Siauw Pek, tapi segera ia merasakan kesulitan. Keras niatnya membantu, tetapi terbukti niat itu tidak dapat diwujudkan Sinar pedang sianak muda tak memberinya kesempatan turun tangan-Serombongan pendeta mengurung sianak muda, walaupun mereka sudah merangsek hebat, tak berdaya mereka itu memecahkan kurungan sinar pedang lawannya itu.
Saking kagum, Han In Taysu jadi menonton. Katanya didalam hati: "Ilmu pedang apa ilmu kepandaian anak ini" Kenapa dia dapat mencapai kemahiran semacam itu" " Dilain pihak. didalam toatian, lagi-lagi seorang pendeta menerobos masuk.
Ban Liang melihat itu, ia menjadi bingung. Ia sendiri tidak dapat meninggalkan lawannya. Maka ia berseru: "Nona Thio lekas hajar musuh yang baru itu"
"Ya" menjawab Giok Yauw.
Cuma suara sinona yang terdengar, perbuatannya tak tampak. Inilah sebab dia tengah direpotkan pendeta gemuk yang bersenjatakan lonceng itu. Pendeta itu liehay sekali.
Han in Taysu mendengar seruan Seng Su Poan, dia lalu menoleh. Dia terperanjat melihat musuh yang baru itu sedangkan Ban Liang semua lagi repot melayani masing-masing musuhnya. Tidak ayal lagi dia menggerakkan rodanya, buat menghampiri lawan, bahkan tanpa menanti sampai datang cukup dekat, ia sudah menyerang dengan pukulan anginnya.
"Aduh" menjerit sipendeta, yang tanpa berdaya lagi terhajar, hingga setelah jeritannya itu, dia roboh terkulai. Menyaksikan pukulannya sendiri itu Han In Taysu heran dan girang hingga ia menjublak sedetik. Sebenarnya tak tahu tepat ia sampai dimana kemajuan latihan tangannya selama dikurung. la hanya tahu bahwa ia memperoleh kemajuan tapi belum pernah mencobanya, sampai kali ini.
Hampir serentak dengan serangan hebat pendeta tua dari Ngo BieP ay ini, beberapa musuh juga berlompatan masuk. Mereka menyaksikan kebinasaan kawan itu, mereka jadi tercengang. Mereka heran akan kelihayan musuh yang naik kereta beroda itu
JILID 37 Han in melihat munculnya musuh-musuh itu segera ia menyerang.
Seorang pendeta yang berada paling depan menjerit, terus tubuhnya roboh. Dia menjerit sambil mulutnya memuntahkan darah hidup. Melihat nasib kawannya, yang menyedihkan itu, beberapa pendeta lainnya lekas-lekas mundur pula.
Mereka jeri. Sebaliknya pendeta gemuk yang bersenjata lonceng itu, yang lagi mendesak Giok Yauw. Dia melihat dua orang kawannya roboh secara hebat itu dan yang lain lainnya mundur sendiri, segera ia meninggalkan Nona Thio untuk meng hampiri si pendeta bercacad. Tanpa menanti sampai sudah datang dekat, dia menyerang sambil menimpukkan loncengnya itu. Han In melihat datangnya serangan hebat ia segera menggunakan kedua tangannya menolak dengan keras. Sehabisnya menolak, senjata istimewa dari musuh itu. Han in Taysu menyerukan Giok Yauw supaya si nona merintangi pendeta-pendeta lainnya. "Serahkan dia ini kepadaku" menambahkan si pendeta tua.
Giok Yauw menurut, ia melompat ke mulut lubang dimana sejumlah pendeta nampak hendak menerobos masuk. Tanpa ragu- ragu pula, ia menimpukkan jarumnya.
Beberapa teriakan kesakitan terdengar diantara pendeta pendeta
itu. Karena itu, mereka tak dapat melanjutkan penyerbuannya.
Pendeta yang bersenjatakan lonceng terkejut melihat lonceng kembali kepadanya, lekas lekas dia membuka kedua tangannya untuk menyambuti. Sementara itu dia heran mendapat kenyataan musuh bercacat itu demikian liehay. Diapun menjadi penasaran- Maka dia mengulangi timpukannya.
Kembali Han in menolak dengan tangannya maka kembali lonceng mental kepada musuh.
Dalam penasaran si pendeta mengulangi serangannya beberapa kali, tapi saban-saban dia tidak peroleh hasli, selalu loncengnya dimentahkan kembali kepadanya. Pendopo terang benderang. Tidak semua obor dapat dipadamkanBan Liang tadi.
Ketika itu dari luar pendopo terdengar suara "Masih ada dua orang bocah wanita yang belum turun tangan. cobalah menggempur tembok pula, buat membuat satu lubang lain, untuk menyerbu masuk dari situ, guna menyerang kedua bocah itu. Asal mereka sudah turut berkelahi, lalu merdekalah kita masuk dari lubang yang mana juga .
Han In Taysu mendengar jelas kata kata itu ia kuatir. Ia tahu dengan "dua orang bocah wanita" itu tentulah dimaksudkan dua Nona Hoan. Itulah berbahaya. Nyata musuh liehay dan kejam Mana dapat si nona menangkis serbuan"
Tengah ketua Ngo Bie Pay berpikir, lonceng sudah datang pula. Kali ini ia menolak dengan tangan kirinya, dengan tangan kanannya dia membarengi menotok.
Pendeta gemuk itu sedang mengagumi pendeta lawannya ketika ia melihat kembaliknya loncengnya, dia lalu menggunakan kedua tangannya untuk menyambut senjata istimewanya itu supaya dia bisa menimpuk pula dengan kedua tangan, dengan terlebih hebat. Tapi kali ini dia terkejut. Mendadak ia merasai sebelah tangannya nyeri. Tadi dia tidak menduga apa apa, baru sekarang dia kaget. Dia tahu bahwa orang telah menotoknya. Rasa nyeri itu membuat tenaganya habis, tak sanggup dia memegang loncengnya lebih lama, lonceng mana terus meluncur kebelakangnya. Syukur dia sempat berkelit.
celaka tembok dibelakang itu, yang gempur peCah membarengi suara terhajarnya seCara hebat. Tapi bukan Cuma tembok itu yang menjadi korban-Disebelah luar itu terdapat pendeta pendeta lainnya, yang bersiap sedia membantu kawan kawan mereka, tak mereka sangka akan gempurnya tembok. akan meluncurnya lonceng, maka tanpa berdaya, terhajarlah mereka. Maka juga diantara riuhnya jeritan ketakutan dan kesakitan dari mereka, robohlah mereka semua Berhasil dengan serangan itu, Han in Taysu lalu bergerak Cepat dan meluncurkan kedua tangannya berulang ulang, untuk memadamkan sisa obor.
Ketika itu Giok Yauw dan Oey Eng masih menempur musuhnya masing masing kedua pihak agaknya sangat tangguh. Lima belas kali Giok Yauw menyerang, tapi selalu ia kena ditangkis.
Kedua pendeta dapat bertahan, tapi itu juga berarti bahwa mereka menahan penyerbuan kewan kawan mereka sendiri.
sementara itu lubang tembok yang baru, yang disebabkan terhajarnya lonceng yang mental balik akibat penolakan Han in Taysu, telah menambah jalan masuk bagi kawanan pendeta. Kesempatan itu tak mereka sia-siakan. Begitulah dua orang kepala gundul tampak berlompat masuk dari lubang itu.
Penuturan kita ini agak lamban sedangkan kejadian sebenarnya berlaku cepat sekali. Selagi kedua pendeta itu berlompat masuk Han in berkata kepada Ban Liang: "Kalau jumlah musuh yang masuk bertambah, keadaan akan menjadi hebat sekali..."
"Memang," berkata sijago tua, mengangguk "Sekarang kita sudah repot, apa pula kalau jumlah musuh meningkat... It Tie rupanya berniat keras membinasakan kita, tak nanti dia suka menyerah kalah "
"Mungkin mereka menunda penyerbuan untuk sementara saja dan akan dilanjutkan dengan yang terlebih hebat."
"Taysu benar. Apakah Taysu menerka It Tie akan merubah siasat."
"Entahlah, yang terang dia bersedia mengorbankan pendopo besarnya ini."
"Nampaknya demikian-"
"Mungkin mereka hendak menggunakan api" berkata Siauw Pek, yang bertindak menghampiri. Karena mundurnya musuh tadi, ia sempat kedalam dan sempat pula mendengar pembicaraan kedua jago tua itu.
"Sulit kalau mereka benar-benar menggunakan api," kata Ban Liang.
"Kalau sampai terjadi demikian, terpaksa kita harus meninggalkan pendopo ini," kata Han In Taysu. "Kita terpaksa mesti berkelahi mati-matian."
"sekarang baiklah menanyakan pendapat Nona Hoan," kata Siauw Pek.
"Sejak pertempuran dimulai, Nona Hoan terus duduk berdiam saja," kata Ban Liang perlahan.
Siauw Pek heran, alisnya dikerutkan.
"Kenapa begitu" " tanyanya sepertipada dirisendiri.
"Nona itu telah terialu menggunakan otaknya, dia harus beristirahat," berkata Han In Taysu. "Tadi siecu melayani kawa nan pendeta itu, ilmu pedang siecu luar biasa sekali, belum pernah aku menyaksikan sebelumnya. Aku kagum sekali"
"Taysu memuji saja," kata si anak muda merendah. "Serbuan musuh hebat sekali, apakah siecu tak merasa terdesak"
" "Kalau pertempuran berlarut beberapa lama lagi, mungkin aku yang muda tak akan dapat bertahan..."
Pembicaraan mereka terhenti sampai disitu karena dari luar terdengar suara keras dan mengancam^ "Diluar pendopo besar ini telah ditumpuk banyak bahan bakar kering, asal kayu disulut maka habislah ruangan ini, maka itu kau, tak peduli tubuhmu tubuh besi, kamu akan hancur lebur juga. Tapi punco masih menaruh belas kasihan, sekarang punco suka beri kesempatan kepada kamu. Akan punco bunyikan lonceng hingga sepuluh kali, selewatnya itu, kalau kamu masih tak mau keluar dari pendopo, nah, jangan kamu nanti sesalkan punco kejam dan telengas"
Begitu suara pendeta itu berhenti, begitu terdengar suara lonceng ditabuh satu kali. Ban Liang mementang matanya lebar lebar, dia mengawasi Han in Taysu.
"Kelihatannya kita terpaksa mesti keluar dari sini," katanya.
Ketua Ngo Bie Pay balik mengawasi jago tua itu, sebelum dia memberikan jawabannya. tiba tiba mereka mendengar suara yang nyaring merdu ini: "Tak usah kita bela lagi pendopo besar ini. Mari kita pergi keluar"
Itulah suara Soat Kun, yang tampak mendatangi dengan tenang, sebelah tangannya tetap pada bahu adiknya.
"Nona sudah tersadar" " tanya Han in Taysu. Nona itu mengangguk.
"Tak kusangka It Tie berani membakar pendoponya," berkata si nona. "Jikalau mereka membakar dari empa tpenjuru, tak dapat kita lolos lagi. Maka itu, sebelum mereka membakar kita harus mendahuluinya meninggalkan pendopo ini."
"Tetapi, nona," berkata Han in Taysu, "barisan rahasia Lo Han Tin liehay sekali, apabila kita keluar dari sini, pasti ditengah jalan kita bakal kena terkurung tin itu..." Nona Hoan tetap bersikap tenang.
"It Tie Taysu berlaku begini kejam, terpaksa kitapun jangan berbelas kasihan lagi terhadapnya," sahutnya.
Ban Liang heran akan ketenangan si nona yang sejak tadi terus berlaku sabar sekali. Ia tidak dapat menerka apa yang dipikirkan si nona selama nona itu duduk diam saja. sekarang mendadak nona itu mengajak mereka keluar.
"Nona, apakah nona telah mendapat jalan untuk keluar dari sini"
" tanyanya. "Mulanya aku menyangsikan It Tie bersedia membakar pendoponya ini," sahutsi nona. "Nyata terkaanku itu keliru. Sekarang jalan kita cuma jalan keluar. Seperti baru saja kukatakan, kitapun jangan main kasihan lagi."
"Jikalau kita sampai terkurung didalam Lo Han Tin, sangat sedikit kesempatan buat kita lolos..." kata Han In Taysu.
"Jikalau mereka dapat menggunakan tin, kenapa kita tidak melawannya" " tanya si nona.
"Bagaimana caranya itu, nona" " Han In Taysu tanya. "Bukankah dibelakang pendopo besar itu terdapat sebuah rimba"
" Han In danBan Liang saling mengawasi heran. Begitupun yang lainnya. Tak pernah mereka perhatikan rimba yang disebutkan si nona. Sedangkan si nona tak dapat melihat Soat Kun berkata pula: "Jikalau ingatanku tidak keliru, dibelakang pendopo besar ini mesti
ada sebuah rimba, maka itu selekasnya kita meninggalkan pendopo,
mesti kita langsung menuju kerimba itu untuk masuk kedalamnya." "Kemudian" " Han In Taysu bertanya.
"Rimba itu pasti jauh lebih luas daripada pendopo ini, dengan demikian, kalau kita melawan musuh, kita akan dapat bergerak lebih leluasa. Kita dapat maju atau mundur sekehendak kita. Dilain pihak, kita juga dapat melihat tegas kepada musuh, kepada gerak- geriknya, hal mana memudahkan pertahanan kita."
"Ada satu hal yang loolap tak dapat tak menjelaskannya..." "Apakah itu, taysu" "
"Musuh banyak, kita sedikit, tak lazimnya kita melawan musuh ditempat luas terbuka seperti itu..."
"Dengan berdiam di dalam pendopo yang terkurung rapat, kalau It Tie membakar kita bagaimana kita dapat meloloskan diri" " Han In Taysu berdiam. Lainnya pun sama.
Nona Hoan berkata pula, perlahan^ "Sekarang ini tidak ada lain jalan. Kita meninggalkan tempat kematian buat mencari jalan hidup" Ia berhenti sedetik, segera ia menambahkan^ "Sekarang ini sudah tak ada tempo berbicara lagi dan berpikir lagi, maka itu kalau taysu sekalian percaya kepadaku, marilah"
Siauw Pek tiba tiba teringat akan barisan bambu rahasia dari si nona. Maka ia segera menjawab: "Nona, perintahkanlah"
Hoan Soat Kun kemudian berkata pula, terang, jelas: "Pada saat menghadapi ancaman bahaya besar, jikalau kita ingin terhindar dari ancaman, kita harus memusatkan pikiran kita, kita harus bersatu padu. Maka itu, mulai dari bengcu sampai kepada para anggota dan tamu semua mesti bulat tekadnya, jangan ada yang sangsi atau bercuriga. Bagaimana pikiran taysu semua" Setujukah" Hanya
dengan cara ini barulah kita mempunyai harapan untuk dapat lolos kejalan hidup"
Siauw Pek segera memperdengarkan suaranya pula. "Aku orang she coh bersedia sebagai orang pertama yang akan mentaati perintahmu, nona"
Melihat sikap ketuanya itu, Oey Eng, Ban Liang dan Kho Kong segera turut memberikan suara mereka. Kata mereka: "Kami juga
akan mentaati titah nona Kami tak akan menyesal andaikata kami
harus menghadapi kematian. Kita memang harus saling membantu"
Han in Taysu batuk batuk. kemudian ia berkata: "Loolap bukan orang Kim Too Bun Tapi Loolap telah ditolongi oleh kau, hal itu membuat loolap amat berterima kasih. Sekarang kita menghadapi bahaya bersama sama, orang luar atau bukan, bagiku sama saja. Maka itu... nona, loolap bersedia akan mendengar kata katamu. Loolap berCaCad kaki, tak dapat bergerak dengan leluasa, walaupun demikian loolap masih dapat menggunakan kedua tanganku ini. Nona, loolap sedla bertempur mati atau hidup"
"Taysu, tak usah taysu bicara begini" berkata Ban Liang, yang
telah menyaksikan bagaimana kehebatan silat tangan sipendeta tua.
Han in Taysu tidak menyambut suara Seng Su Pan, sebaliknya dia berkata nyaring:
"Nona sekalian, jikalau benar kamu tidak menganggap diriku sebagai bandulan bagimu, nah marilah loolap akan maju membuka jalan." Pendeta ini berkata dan berbuat. Dengan kedua tangannya, dia menarik dan menolak roda roda keretanya, untuk maju kepintu pendopo Siauw Pek meluncurkan tangan kanannya mencegah pendeta itu.
"Jangan sembrono, taysu" katanya. "Taysu kurang leluasa bergerak. biarlah, aku yang muda jalan di muka" Dan ia mendahului maju. Han In tidak memaksa, maka ia lalu mengikuti dalam rombongan-Tiba diluar pendopo, kawan Kim Too Bun ini melihat tumpukan kayu disekitar toatian-Siauw Pek mengernyitkan alisnya.
"Sungguh aku tak mengerti," pikirnya. "Kenapa seorang ketua Siauw Lim Sie dapat bertindak begini rupa" "
Sementara berpikir begitu, ia berjalan terus diikuti rombongannya.
Soat Kun tahu suasana diluar itu. Soat Gie tetap memberitahukannya segala sesuatu.
"Nona Hoan," menyapa Ban Liang perlahan-"Memutar kebelakang pendopo" Soat Kun mendahului sijago tua. "Dengan kecepatan luar biasa menuju langsung kedalam rimba Setelah tiga tombak didalam rimba kemudian berhenti."
"Sungguh hebat" pikir Seng Su Poan-"Sungguh cepat dan manis kakak beradik ini berhubungan satu dengan lainnya "
Siauw Pek mendahului jalan mutar kebelakang pendopo.
pada saat itu, tiba-tiba Kho Kong ingat ciu ceng yang masih dibiarkan didalam pendopo.
"Nona Hoan," katanya pada Soat Kun, perlahan, "apakah ciu Tayhiap hendak diajak bersama" "
"Tak usah..." sahut sinona.
Belum habis nona itu menjawab, dari dalam toatian terdengar
suara nyaring. "Mereka memutar kebelakang pendopo "
Mendengar suara itu, suara dari musuh sebagai isyarat untuk kawan-kawannya Soat Kun mengayun tangannya kebelakang, melemparkan sesuatu atas mana segera terdengar suara letusan yang dibarengi menyalanya sesuatu seperti kembang api, memencar bundar empat atau lima kaki lebar, sedangkan diantara sinar api itu tampak dua orang pendeta kelabakan sebab jubah mereka terbakar letusan benda itu
Siauw Pek dan kawan-kawan melongo, tak terkecuali Ban Liang dan Han in Taysu yang sangat banyak pengalamannya. Belum pernah mereka menyaksikan senjata rahasia berapi semacam itu, bahkan yang menggunakannya seorang nona tuna netra. Kedua
pendeta repot mencoba memadamkan api pada jubah mereka itu, tetapi mereka menepuk nepuk dengan sia sia belaka, sang api tak mudah dipadamkan, bahkan setiap kali ditepuk. apinya bertambah berkobar. Maka itu habis daya, mereka menjatuhkan diri untuk bergulingan ditanah. Kemudian si nona berkata pula, sungguh sungguh: "Asal kita bisa keluar dari pendopo besar ini, It Tie tidak bakal membakarnya, hingga keselamatan ciu ceng tak usah dikhawatirkan lagi. Sekarang lekas menuju kedalam rimba "
Siauw Pek bertindak cepat. Dibelakang pendopo, ia melihat kayu kayu bakar bertumpuk tinggi setombak lebih. Ia membulang balingkan pedangnya, membabat bolak balik tumpukan kayu itu untuk membuka jalan, guna dilintasinya. Dengan begitu terbukalah sebuah jalan lima kaki lebar, yang terus dilaluinya.
"Sungguh malu" berkata sianak muda didalam hati. "Nona Hoan buta kedua matanya tetapi dia toh tahu dibelakang pendopo ini ada rimbanya"
Pemuda ini berpikir demikian karena selewatnya rintangan tumpukan kayu, matanya segera melihat sebuah rimba bagaikan menghadang perjalanan maju mereka. Tanpa ayal lagi ia lari kearah rimba itu.
Kembali terdengar suara sinona, sekarang nyaring: "Jarak pendopo besar dengan rimba, ada belasan tombak. ditengah-tengah rimba itu mungkin musuh mengatur jebakan, karena itu berhati hatilah"
Kembali Siauw Pek kagum. Jarak yang disebutkan sinona memang tepat, yaitu belasan tombak dari toatian kerimba itu. Tapi tak mau ia memikirkan itu, segera ia berkata^ "Aku akan membuka jalan. Ban Loocianpwee, tolonglah menjaga sebelah kiri Nona Thio, kau menjaga disebelah kanan Saudara-saudara Oey dan Kho, kalian berdua memotong dibelakang Han In Taysu bersama nona berdua mengambil tempat ditengah-tengah"
Ban Liang dan Thio Giok Yauw menyahuti, segera keduanya memecah diri kekiri dan kanan-Oey Eng dan Kho Kong merendak sebentar, untuk memernahkan diri dibelakang.
Segera setelah mengatur itu, Siauw Pek bergerak kearah rimba.
Baru melalui kira kira setengah perjalanan Siauw Pek dan kawan kawan melihat munculnya cahaya api diempat penjuru api dari belasan batang obor. Dan diantara sinar api itu, tampak bermunculan dari empat penjuru sejumlah pendeta yang terus mengambil sikap mengurung Han In Taysu berjalan dengan kereta tak dapat dia berjalan cepat. Ini pula sebabnya kenapa Siauw Pek dan lainnya tidak bisa berlari lari. Karenanya terpaksa sianak muda menghentikan tindakannya.
Diwaktu gelap seperti itu, para pendeta tak tampak jelas, apa pula jubah mereka berwarna abu abu gelap. Tadi itu, mereka bersembunyi sambil mendekam ditanah, lalu mereka bangkit.
Melihat jumlah kawan puluhan jiwa, Han in Taysu berkata cepat,
"Sebelum mereka membangun Lo Han Tin, lekas kita menyerbunya" "Jangan bingung," berseru Soat Kun. Jangan sibuk"
"Lo Han Tin sangat liehay, nona," Han in memperingatkan,
"Semenjak dahulu, belum pernah ada orang lolos dari dalam tin itu"
"Aku tahu" sahut sinona. "Andaikata mereka sempat mereka membangun Lo Han Tin, tak nanti mereka sanggup mengurung kita sedikitnya mereka harus sudah insyaf."
Han in bungkam tetapi didalam hati ia berkata^ "Tak mungkin nona." Segera juga tujuh pendeta telah menghadang.
Siauw Pek memandang tajam, hatinya berpikir keras^ "Tak dapat tidak, terpaksa aku harus memperlihatkan contoh kepada mereka ini. Atau didalam pertempuran, kedua belah pihak bakal mengalami kerusakan. Bagi kita, kerusakan itu berarti kerugian besar dan celaka..." Maka lekas lekas ia menyimpan pedangnya ke dalam sarung, kemudian tangan kanannya terus meraba goloknya. Ia segera berkata kepada pendeta itu: "Para Taysu, kamu waspadalah"
Suaranya itu sangat dingin, tak sadar untuk telinga lawan- Ketujuh pendeta itu heran-Memang selama pertempuran dimuka pendopo, mereka sudah menyaksikan ketangguhan anak muda ini. Sekarang mereka heran melihat sianak muda menukar pedang dengan golok mereka mengawasi mendelong. Para pendeta lainnya turut mengawasi juga dengan tajam.


Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siauw Pek tidak mau memberi kesempatan kepada sekalian pendeta itu. Dengan sama dinginnya, bahkan berpengaruh sekali, ia
berkata keras: "sekarang perhatikan oleh kamu bertujuh orang. Aku
hendak membinasakan salah satu dari kamu orang yang ditengah "
Tak seharusnya menyerang orang, orang menyebut dahulu jelas- jelas siapa yang hendak diserang itu. cara itu berarti memberi kesempatan lawan bersiaga, untuk melawan atau lari. Tapi sianak muda telah melakukan itu. Itulah perbuatan yang sangat langka. Para pendeta itu heran, hingga mereka melengak.
Tak terkecuali juga Han In Taysu. Ketua Ngo Bie Pay ini tercengang saking herannya, hingga dia mendelong mengawasi sianak muda.
Sedetik itu sunyilah keadaan dimedan pertempuran itu. Walaupun demikian, semua pendeta diempat penjuru sama waspada.
Selagi keadaan sunyi itu, Siauw Pek memperdengarkan suaranya yang keren: "Apakah kamu semua sudah siap sedia" "
Para pendeta telah bersiap, terutama yang ditengah itu, yang ditunjuk si anak muda. Dia memasang mata, dia menyiapkan goloknya didepan dada. "Pinceng sudah sedia." akhirnya dia berkata perlahan-Enam orang pendeta lainnya bersiap untuk melindungi atau membantu kawannya itu.
Siauw Pek memperlihatkan wajah dingin yang menyeramkan. Sekali lagi ia memperdengarkan suaranya yang keren: "Nah, waspadalah "
Menyusul peringatannya itu, Siauw Pek menghunus goloknya dan membacok. Ia tidak menghiraukan jarak yang memisahkan ia dari sipendeta.
Secepat sinar putih dari golok berkelebat, terdengar sipendeta menjerit menyayatkan hati, tubuhnya terus roboh bermandikan darah. Tubuh itu tertabas kutung menjadi dua potong. Sia-sia belaka keenam pendeta lainnya bersiap sedia, tak sempat mereka melindungi kawannya itu. Mereka terlalu lambat untuk berkelebatnya Toan Hun It Too golok ampuh dari Siang Go. Ketika kemudian semua mata pendeta mengawasi si anak muda, dia terlihat berdiri diam dengan tenang ditempat asalnya saja. Maka kembali semua orang tercengang. Hingga sangat sunyilah suasana disekitar mereka.
Siauw Pek menanti sebentar, lalu terdengar pula suaranya yang dingin: "Sekarang aku hendak menyerang satu diantara kamu berenam, aku maksudkan yang berdiri paling kanan sana. Maka berhati hatilah kamu"
Segera setelah suaranya itu, bengcu dari Kim Too Bun mengangkat tangannya dan menyerang. Keenam pendeta itu telah siap sedia, sekarang mereka dapat menggerakkan senjata masing- masing guna menangkis Hoan Uh It Too Golok Tunggal Jagat. Karena itu, berisiklah suara bentrokan pelbagai alat senjata mereka menentang golok istimewa itu.
Tapi cuma sekejap saja suara berisik itu, lalu diakhiri dengan jeritan yang menyayatkan hati seperti semula tadi. Sebab pendeta yang paling kanan itu roboh dengan tubuh menjadi dua potong seperti rekannya tadi, menggeletak ditanah dengan berlumuran darah Dan Siauw Pek. si anak muda, berdiri tegak tetap ditempatnya. Semua pendeta melengak. mata mereka berkedap- kedip.
Sampai disitu, Siauw Pek lalu berseru nyaring: "Matilah dia siapa berani menentang aku" Dan ia bertindak maju untuk membuka jalan.
Rombongan Kim Too Bun segera bergerak, menuju kearah rimba. Mereka berjalan tanpa rintangan, bagaikan didepan mereka tak ada
satu orang musuh jua Barulah sesudah orang masuk kedalam rimba
terdengar suara para pendeta itu: "Lekas Lekas pegat mereka"
Tentu saja tindakan mereka itu sudah kasip. meski benar ada enam atau tujuh pendeta yang sadar segera dan terus lari mengejar Thio Giok Yauw menoleh kebelakang, tangannya diayun. Ia menggunakan jarumnya.
Pendeta-pendeta itu kaget melihat benda halus berkeredepan,
mereka memencari diri guna menolong jiwa mereka masing masing.
Siauw Pek yang jalan dimuka mendadak memutar tubuh, untuk lari kebelakang. "Nona, lekas memasuki rimba" ia berseru kepada Nona Thio.
Giok Yauw meng insaft keliehayan sianak muda, ia mendengar kata. Tapi dasar sibocah nakal, sambil berjalan pergi, ia tertawa dan berkata: "Kawan kepala gundul sangat takut kepadamu, pergi kau gertak mereka"
Siauw Pek tidak menggubris nona itu, sebaliknya ia bertindak
keluar rimba. "Siapa tidak takut mampus" " bentaknya. "Mari maju"
Habis menyingkir dari jarum Giok Yauw, para pendeta sudah berkumpul pula, niatnya untuk melanjutkan pengejaran mereka kedalam rimba, siapa tahu sekarang mereka dihadang sianak muda
yang ditakuti itu. Dengan serempak mereka menghentikan tindakan
kaki mereka, semua mengangkat kepala, mengawasi anak muda itu.
Siauw Pek berdiri tegak dengan tangan kanan pada gagang goloknya, matanya mengawasi musuh, sedangkan semua musuh melongo mengawasinya. Ban Liang mengawasi suasana tegang dan sunyi itu, ia menghela napas. "Aku rasa tak ada jago Bu Lim lainnya seperti pemuda ini..." katanya perlahan.
"Memang" kata Han In Taysu. "sudah ilmu silatnya demikian liehay, goloknya begini ampuh. Mungkin dialah yang bakal menghindar kaum Rimba Persilatan dari bencana besar. Ketika baru
saja loolap melihat cara ia menghunus golok, loolap menjadi ingat satu orang..."
"Siapakah orang itu" " Ban Liang tanya.
"Pa To Siang Go, yang kaum Rimba Persilatan menyebutnya Hoan Uh It Too."
Mendengar jawaban itu, Ban Liang tersenyum "Setelah sekarang ini, baiklah aku tak usah mendustai kau lebih lama lagi, taysu," katanya.
Han In Taysu heran, hingga dia memandang melongo. "Apakah katamu siecu" " dia menegaskan.
"Kecuali Thian Kiam Kie Tong dan Pa Too Siang Go," menyahut jago tua itu, "siapa lagi dikolong langit ini yang sanggup bertahan dari kawanan pendeta Siauw Lim Sie ini, yang cara menyerbunya bergelombang" Siapakah lagi yang didalam pertempuran dapat membinasakan lawan dengan menunjuk bakal korbannya sekali" " Han In Taysu melengak pula, dia mengawasi tajam.
"Jadi menurut kau, siecu, pemuda ini seorang diri memiliki kepandaian merangkap yang istimewa itu" " dia tanya, matanya mengimplang. Ban Liang mengangguk.
"Tidak salah Dialah ahli waris Thian Kiam dan Pa Too"
"Melihat kepandaiannya, tak mau loolap menyangka," berkata ketua Ngo Bie Pay itu, masih ragu ragu. "Tapi, menurut apa yang loolap tahu, sudah lama Thian Kiam dan Pa Too tidak pernah memperlihatkan diri lagi, bahkan semenjak mereka menyembunyikan diri diseberang Seng Su Klo, orang tak tahu lagi mereka masih hidup atau sudah mati. Mungkinkah pemuda ini berhasil melintasi jembatan maut itu hingga ia memperoleh kepandaian ini dan kemudian berhasil pula menyeberang kembali melalui jembatan itu" "
Kembali Ban Liang mengangguk.
"Taysu, tahukah kau siapa pemuda kita ini" " tanyanya selang sesaat. Pendeta tua ini menggelengkan kepalanya. "Loolap tidak tahu."
"Ketika dahulu empat ketua dari empat partai besar berkumpul di Pek Ma San dimana mereka menemui ajalnya secara hebat dan menyedihkan, setelah itu ada seorang lain yang menjadi sasaran
pembalawan karena kebinasaan mereka itu. Bukankah sasaran itu
ialah pihak Pek Ho Bun sekeluarga atau seluruh anggota partai" "
"Memang telah loolap pikir," berkata Han In Taysu, "bahwa setelah peristiwa itu, bakal muncul ekor yang hebat, yang mendatangkan rasa penasaran sekali..."
"Benar. Dan ratusan jiwa orang Pek Ho Bun telah jadi kambing- kambing kurban itu..."
"Ban Hu hoat" tiba-tiba terdengar suara Nona Hoan.
"Loohu disini, nona" sahut sijago tua, sang hu hoat, pelindung hukum.
"Mungkin hu hoat mengetahui hal rimba ini," berkata si nona. "Rimba ini tidak terlalu lebat, tapi juga didalam sini tidak ada tempat terbuka yang lebih daripada lima kaki luasnya, maka itu, walaupun Lo Han Tin Siauw Lim Sie lihay, aku percaya tak nanti It Tie mampu membangun tinnya itu disini..."
"Itulah benar, siecu" Han In Taysu mendahului sijago tua menjawab. "cuma, selagi Siauw Lim Sie tidak mampu membangun tinnya disini, kita juga tidak dapat mengatur tin sendiri Maka itu, bukankah kita sama tak berdayanya" "
"Tapi tinku lain, taysu," berkata soat Kun "Tinku justru dapat menggunakan rimba lebat ini. Selain tidak membahayakan, justru kehebatannya ini menambah kegaiban tinku." Han In Taysu melengak. Dia heran sekali.
"Ah, tin apakah ini" " ia tanya diri sendiri.
"Diantara kalian, tuan tuan, mungkin ada yang kurang percaya akan kata kataku," berkata pula si nona kemudian-"Akan tetapi, asal saja kalian suka menuruti segala petunjukku, aku tanggung pastilah tidak akan salah"
Han In Taysu berpikir. "Mungkinkah nona ini cerdik luar biasa" Baiklah aku dengar kata katanya."
Tengah ketua Ngo Bie Pay berpikir itu, telinganya mendengar bentakan dari kemurkaan: "Sambutlah golokku ini" Dan menyusul itu, menjeritlah seorang pendeta, yang tubuhnya roboh ditanah. Itulah suara keren dari Siauw Pek, yang menggunakan goloknya saking terpaksa sebab seorang pendeta merangsak kepadanya, membuatnya gusar sekali.
Lalu terdengar suara Nona Hoan: "Sekarang ini, tuan tuan, tak sempat aku menjelaskan banyak banyak. waktu sudah tidak ada. Marilah mengatur diri, untuk mendengar kata kataku."
Kembali Han In kata dalam hatinya "Inilah yang belum pernah aku alami..."
Tepat waktu itu diluar rimba terdengar puji suci yang tinggi nadanya, lalu belasan pendeta merangsak kepada Siauw Pek, agaknya mereka itu tidak kenal mati.
Sianak muda heran. Tak mengerti ia akan puji itu. Ia hanya menerka, mungkin itu tanda "berani mati" guna membangunkan semangat, buat bertempur mati atau hidup, Bukankah beberapa orang pendeta sudah mati konyol" Tak mungkinkah kawan- kawannya hendak memba secara membabi buta"
Tapi dia didesak lagi. Bagi Siauw Pek tak ada pilihan lain-"Kamu terlalu, baiklah" serunya. Maka ia menyambut pendeta yang pertama.
"Aduh" teriak pendeta itu, yang terus roboh tanpa nyawa. Golok ampuh telah menabas kutung tubuhnya Menyaksikan itu, para pendeta lainnya merendak. Kembali mereka melihat hebatnya golok itu, yang tak dapat dilawan, yang tak pernah memberi keringanan-
Sementara itu Siauw Pek menyimpan goloknya, buat berganti menghunus pedang.
"Para suhu" ia berseru, "tak ingin aku melukai atau membunuh orang, tetapi aku terpaksa dibuatnya. Sekarang aku beritahukan kepadamu kapan kamu masih tetap mendesak padaku, pembunuhan pembunuhan lagi"
Para pendeta itu gusar beserta takut. Bukankah telah beberapa saudaranya terbinasakan" Tapi mendengar suara sianak muda, mereka dapat berpikir Memang benar pihak merekalah yang mendesak terus terusan, yang membuat orang nekad.
"Kalau dia mogok, kemana perannya jikalau dia tak pernah membunuh" " demikian mereka menimbang.
Karena ini, berhentilah puji mereka itu Siauw Pek sementara itu mengawasi musuh sambil ia berpikir.
"Didalam pendopo, walaupun kita terkurung, ada juga rintangannya, yaitu pintu dan tembok." demikian pikirny a. "Disini ditempat terbuka, kalau mereka datang dari segala arah, sulit untuk menolong mereka itu. Untuk membela diri mau tak mau, aku toh mesti mengandalkan golok."
Tepat waktu itu terdengarlah suara Soat Kun: "Jangan membunuh lebih banyak orang lagi Lekas mundur"
Mendengar itu Siauw Pek menurut. la memang mengerti keadaan dan mengenalnya juga dirinya sendiri. Semenjak tadi sudah terlalu lama ia bertempur, maka juga , perlu ia beristirahat, guna memelhara dirinya.
Selekasnya sianak muda mundur, musuh merangsak. hanya didalam rimba yang lebat itu, mereka tak dapat berombongan, mereka mesti berpencar.
Setelah mundur enam tombak. Siauw oek dapat berkumpul bersama kedua Nona Hoan-Ia melihat Ban Liang, Oey Eng, Kho Kong dan Giok Yauw bersembunyi dibelakang sebuah pohon besar, sedangkan Han In Taysu bersama keretanya menempatkan diri
dibelakang sebuah pohon lainnya. Kedudukan mereka itu merupakan separuhnya sebuah bundaran-Kedua Nona Hoan berdiam ditengah tengah sekali.
Biar bagaimana, Siauw Pek tidak melihat bahwa itulah sebuah tin- Ia heran-"Bengcu," terdengar suara Nona Hoan, perlahan, "silakan bersama kami berdua saudara mengambil tempat kedudukan tengah ini guna menyambut yang lainnya."
cuaca waktu itu suram. Awan tebalpun menutupi sang putri malam, yang telah mulai muncul. Tanpa terasa sang malam telah tiba.
"Bagaimana dengan kepandaian bengcu menggunakan senjata rahasia" " Soat Kun kemudian bertanya. Selalu ia bicara bagalkan berbisik.
"Buruk" sipemuda mengakui.
"Kalau begitu, coba cengcu menggeser kekiri tiga tindak." minta sinona. "Disitu ada setumpuk batu, ambillah sedikit, buat disimpan di dalam saku baju, guna dipakai merintangi musuh Mereka harus dicegah datang mendekati sambil membawa obor dengan begitu malam ini tak akan mereka menyerbu pula."
"Mereka cuma mengurung kita, mungkin mereka sedang
menantikan sang siang untuk melanjutkan pengepungannya . "
"Benar. Akupun membutuhkan waktu ketenangan lagi satu atau dua jam saja."
siauw pek percaya sinona, ia tak mau bicara lagi. Ia bertindak kekiri dimana benar terdapat banyak batu kecil. Ia menjadi sangat kagum.
"Nona ini tidak dapat melihat tetapi ketelitiannya luar biasa. Dia
memikir apa yang orang ia tak ingat." Demikian pikirnya.
Kemudian terdengar Soat Kun berkata pula^ "Asal Hong Thian membantu kita, asal awan tetap mendung lagi satu jam, itulah sudah cukup,"
Kembali siauw Pek kagum. Sinonapun tahu cuaca gelap itu dan
telah mengharapi bantuan Hong Thian Tuhan Yang Maha Kuasa.
Baru saja berhenti suara sinona, tiba tiba sinar api berkelebat. Itulah dua batang obor yang ditimpukkan masuk.
siauw Pek waspada dan sebat sekali. Segera ia menimpuk dengan kedua belah tangannya, memadamkan api obor itu. Ia bukan ahli senjata rahasia tetapi timpukannya tepat. Api padam seketika^
Segera terdengar suara sinona^ "Pada saat ini didetik ini, biar
bagaimanapun, tak boleh musuh diizinkan menyerbu masuk"
"jangan khawatir, nona" Siauw Pek memberikan perkataannya. Nona Hoan tidak mengatakan sesuatu lagi.
siauw Pek tahu, nona itu sedang mengasah otaknya dan bekerja.
Dengan dibantu adiknya si nona lalu jalan berputaran disitu.
cuaca makin gelap. angin malampun menggoyang-goyangkan cabang-cabang pohon hingga menerbitkan suara berisik halus. Sukar untuk melihat jelas keliling.
Didalam gelap dan sunyi itu, kecuali suara sang angin, mendadak terdengar dua kali suara tertahan. Itulah suara bentroknya dua buah tangan, yang mengakibatkan salah satu pihak terlukakan. Menyusul itu dari tempat terpisah beberapa tombak terdengar perintah: "Lekas nyalakan api "
siauw Pek terperanjat. Ia mengenali suara It Tie Taysu, ketua siauw Lim Sie. Maka ia lalu berpikir: "Untuk mencegah penyerangan musuh, kelihatannya perlu aku melakukan atau merobohkan pendeta ini. Tanpa dia, para pendeta pasti tak akan berlaku mati matian-.."
Selagi ketua Kim Too Bun ini berpikir itu, cahaya api telah tampak. Itulah apinya empat buah obor, yang terpencar diempat penjuru, jaraknya satu dengan lain kira2 setombak lebih Dengan adanya sinar api itu maka tampaklah Soat Kun, sambil memegangi pundak adiknya tengah berjalan berputaran sejauh dua tombak.
Dengan sebat Siauw Pek menggerakkan pula kedua tangannya, melontarkan batu-batu yang digenggamnya, kearah dua buah obor Kali ini ia gagal memadamkan api itu. sebabnya ialah, dua batang golok telah dipakai menghajar, merintangi batu itu.
Terangnya api membangunkan semangat para pendeta yang berpencar diempat penjuru. Terangnya api membuat mereka dapat melihat pihak lawan, dalam hal ini, nona nona she Hoan itu. Dengan selalu berlindung diantara pepohonan, mereka itu mencoba maju, guna mendekati kedua nona.
soat Kun masih tetap jalan memutari tempat lingkungannya itu, cepat jalannya. Para pendeta heran-Biar begitu, mereka itu terus maju.
Pihaknya siauw Pek juga tak dapat menerka maksud Nona Hoan, tapi mereka juga tidak berani bertanya apa apa, mereka cuma waspada.
Han In Taysu sementara itu memperhatikan keempat buah obor, yang cahaya terangnya merugikan pihaknya dan sangat menguntungkan musuh. Ia menginsafi ancaman petaka sebab pihak Siauw Lim Sie tak dapat dipandang ringan, baik jumlah maupun kepandaiannya. Musuh makin mendekati. Itulah berbahaya. Maka pada akhirnya, ia tak dapat tahan sabar lagi.
"Api obor itu mesti dipadamkan" katanya kemudian-"Siapa yang sudi maju bersama aku untuk menerjang musuh" " sambungnya lagi.
Walaupun ia berkata demikian, Tapi mata sipendeta diarahkan kepada coh siauw Pek.
Anak muda itu juga menginsafi ancaman bencana itu. Dari pada
menanti sampai kena dikurung lebih baik musuh dihadang dahulu.
"Suka ku mengikuti loocianpwee" ia menjawab Han in Taysu. "Tetapi lebih dahulu Nona Hoan harus diberitahukan"
"Ya, memang kita harus menanyakan nona itu dahulu," Han Inpun bilang.
siauw Pek segera mendekati Soat Kun, dengan perlahan ia berkata: "Nona, musuh telah merangsak mendekati kita, niatnya mau mengurung, karena itu aku memikir bersama Han In Taysu untuk menyambut mereka, guna merintanginya. Bagaimana pikiran nona" "
Tidak ada jawaban dari si nona. Entah ia tidak mendengar atau sengaja ia membungkam. Ia tetap berdiam walaupun si anak muda telah mengulangi kata katanya.
Sementara itu dilain pihak, Thio Giok Yauw sudah bentrok dengan musuh. Tak dapat ia mengendalikan diri menyaksikan musuh mendesak maju, walaupun hanya setindak demi setindak. Begitulah sambil membentak. ia menimpuk dengan jarumnya, Dua orang pendeta kena terhajar senjata rahasia yang halus itu, walaupun sebenarnya mereka telah mendengar suara si nona. Inilah
sebab mereka kalah sebat. Karena itu, mereka lalu mundur. Tapi,
dua orang mundur, empat yang lain telah pula menggantikannya.
Han In Taysu menyakslkan kejadian itu, mendadak dengan tangan kanannya ia menepuk sebuah pohon sambil berkata keras: "Kita tak dapat menanti lagi" lalu, dengan satu gerakan keras, ia menggelindingkan keretanya maju. Luar biasa ketua Ngo Bie Pay ini. Dengan kecekatannya, ia berhasil membuat keretanya berjalan diantara pohon pohon kayu itu. Kalau perlu, dengan menyambar pohon, ia bisa membikin keretanya berhenti dengan tiba-tiba. Secara begini ia telah mendekati musuh hingga sejarak satu tombak.
Ketika ia menghentikan keretanya, tangan kirinya memegang sebuah pohon-Seorang pendeta, yang bertubuh tinggi besar, heran mengawasi pendeta yang bercacat itu. Ia tidak merasa jeri karena ia mendapat kenyataan bahwa sipendeta tua bercacat kedua kakinya, bahkan ia segera berlompat maju, untuk menyerang dengan tongkatnya. Itulah hajaran kematian, yang dari atas turun kebawah Han In Taysu berkelit dengan tangan kirinya menolak pohon yang tadi ia pegangi, di lain pihak. dengan tangan kanan, ia menyambar pohon lain disisinya, guna menahan meluncurnya keretanya Lalu,
dengan sangat sebat, dengan tangan kiri, ia membalas menyerang dalam rupa bacokan tangan Hebat serangan sipendeta Siauw Lim Sie, lengannya turun mengikuti ujung tongkatnya.
Justru selagi lengannya turun tak sempat diangkat naik, tibalah bacokan tangan lawannya. Tidak ampun lagi... lengan kanan itu terhajar patah.
Tidak cukup dengan bacokan tangan itu, selagi musuh kaget dan kesakitan, Han In meluncurkan tangan kanannya, untuk menyambar dada orang. Ia meninju tepat. Musuh itu menjerit keras, tubuhnya tertolak mundur, roboh terjengkang kebelakang, terbanting di tanah, tongkatnya terlepas jatuh.
Gerakan Han In Taysu itu dilakukan dengan tubuhnya terangkat dari keretanya, maka juga , habis menyerang itu, tubuhnya terpisah dari kereta itu. Maka waktu tubuhnya turun, ia turun terus ketanah dimana ia terus duduk numprah.
Ketika itu muncul empat orang pendeta lainnya. Mereka itu melihat kawannya roboh, tanpa ayal lagi, mereka segera menyerang ketua Ngo Bie Pay itu. Mereka maju dari kiri dan kanan-Melihat datangnya musuh, dengan cepat Han In Taysu memungut tongkat lawannya tadi,
selekasnya serangan tiba, ia menggunakan tongkat itu untuk menangkis berputar, dari kiri terus kekanan.
Keempat lawan itu berlompat mundur.
Melihat musuh mundur, Han In menimpuk dengan tongkat di tangannya itu. Ia mengarah lawan yang kedua dari kiri. lawan ini tidak menyangka bakal diserang secara demikian rupa, tak sempat dia menangkis atau berkelit, tahu tahu perutnya telah ditembus ujung tongkat, hingga dua cuma bisa menjerit satu kali, terus dia roboh dan binasa.
Habis menimpuk itu, dengan kedua tangan Han In menekan tanah, sambil menekan iapun menggerakkan tubuhnya, untuk dilambungi kearah kedua musuh yang di kanan, untuk melewatinya.
Ketiga pendeta itu kaget bercampur gusar, maka mereka mengepung si cacad ini. Tetapi waktu itu, Siauw Pek keburu tiba. Dan sianak muda segera menikam musuh yang kedua dikiri. Pendeta itu berani, dia menangkis dengan goloknya.
Siauw Pek menarik kembali pedangnya itu, untuk terus diluncurkan kepada musuh lainnya. Ia bergerak sebat dan lincah seperti biasa.
Ketiga musuh itu menjadi jeri. Mereka mengenali anak muda yang liehay ini.
Ketika itu tiba tiba terdengar suatu suara yang bengis. "Kamu jangan mundur. Kau lihat pemuda itu, jangan kasih dia kesempatan untuk menolong kawan kawannya. Jangan mundur walaupun kamu bakal mati"
Suara itu bengis dan dingin, bernada kejam. Tidak mungkin itu dikeluarkan oleh seorang pendeta. Tapi itulah suara It Tie Taysu, ketua Siauw Lim Sie. Mendengar perintah itu, ketiga pendeta batal mengundurkan diri, sebaliknya dengan nekad mereka merangsak Siauw Pek.
Siauw Pek melayani ketiga musuh itu, sambil berkelahi, ia melirik kearah Han In Taysu Pendeta itu sudah bertempur pula, bahkan dia dikepung oleh empat orang musuh. Karena ia tak duduk diatas keretanya, dia tetap numprak di tanah. Untuk menghalangi musuh datang dekat, saban saban dia menggunakan pukulan angin menyerang kepada musuh musuhnya itu.
"Walaupun dia liehay, tak dapat dia dikepung terus terusan," pikir ketua Kim Too Bun itu. "Lama lama dia bisa kehabisan tenaga. Dialah seorang penting bagiku, tak dapat dia dibiarkan bercelaka, aku harus membantunya"
Begitu berpikir, begitu Siauw Pek mengambil keputusan. Segera dia itu mengurung ketiga lawannya dengan sinar pedangnya, sehingga lekas sekali mata mereka itu berkunang kunang tapi mereka ini mau mentaati perintah ketua mereka, masih mereka mencoba bertahan-.. Ada kalanya mereka memejamkan mata, buat
terima binasa, sebab ujung pedang mengancam hebat dan mereka tidak berdaya menghindari diri. Tetapi nyatanya mereka tidak terlukakan mereka heran-Tentu saja mereka tidak tahu bahwa memang demikianlah sifatnya Pedang Maha kasih, yang tak biasa merampas jiwa.
Selagi tetap dikepung itu, hati Siauw Pek menjadi tegang sendiri. Disamping ia menyaksikan Han In Taysu terus dikurung, sejumlah pendeta lainnya tengah menghampiri kedua Nona Hoan-itulah berbahaya Bagaimana ia harus memecah diri untuk memberikan bantuannya"
Habis juga kesabarannya pemuda ini, wajahnya berubah menjadi merah padam. Segera ia meraba gagang goloknya. Tadi ia maju bersama Han in Taysu guna memadamkan obor, siapa tahu, mereka jadi kena dikurung oleh lawan lawan yang bandel itu.
Sesudah mengurung musuh musuhnya, yang tak mau mundur, Siauw Pek mundur sendirinya tetap sambil mundur, ia berkata bengis:
"Ketiga suhu, kamu terlalu. Kenapa kamu mendesakku begini rupa" Baiklah, kamu membuat aku habis daya"
Kata kata itu ditutup dibarengi menyerang dengan hunusan golok ampuh. Maka menjeritlah pendeta yang di tengah. Kepalanya terpisah dari tubuhnya Tubuhnya dan kepalanya itu jatuh terbanting keras. Sisa kedua musuh lainnya jadi tercengang. Tidak mereka lihat bagaimana bergeraknya golok musuh. Ketika mereka menatap si anak muda, dia itu tengah berdiam, pedangnya di tangan kiri, tangan kanannya digagang golok. Mereka heran, tak tahu mereka musuh menggunakan pedang atau goloknya itu...
"Mundur" kemudian Siauw Pek berseru bengis. "celakalah siapa menentang ku" Lalu dia bertindak maju.
Tanpa merasa kedua pendeta itu membuka jalan kekiri dan kekanan, baru setelah sianak muda lewat, mereka bagaikan tersadar, segera mereka lari menyusul Rupanya mereka ingat pesan ketua guna melibat anak muda itu...
Siauw Pek tahu orang menyusulnya, ia tidak ambil pusing. Ia maju terus kearah Han in taysu yang masih dikurung keempat pendeta itu, timbullah hawa amarahnya.
"Kamu terlalu..." teriaknya. "Kamu sangat menghina orang bercacad. Bagaimana hina akan mengepung cara begini kepada seorang yang tak berdaya" Nah kamu lihatlah golokku." Kali ini anak muda membuktikan kata katanya itu, tanpa memberikan ancaman pula, Ia segera menghunus goloknya. Maka robohlah Salah seorang pendeta, dengan tubuhnya terkutung dua. Ketiga pendeta lainnya kaget. Justru itu dua diantaranya memperdengarkan jeritan tertahan. Selagi mereka berdiam itu, pukulan anginnya Han In Taysu telah tiba kepada tubuh mereka hingga selain nyeri, mereka itu terpukul mundur dengan limbung.
Pendeta yang ketiga itu masih berdiri menjublak. inilah disebabkan kesangsiannya untuk mundur teratur. Ia takut kepada ancaman ketuanya, yang menugaskan mereka mengurung dan membekuk lawan-Justru ia berdiam saja, Han in Taysu sudah menyerang pula kepadanya. Tanpa ampun, ia menjerit tertahan, tubuhnya terpelanting, roboh terguling seperti kedua kawannya
terdahulu Tapi dia masih sadar terus dia rebah saja. Dia tahu, maju
salah, mundurpun salah, maka paling benar, jalan rebah diam saja.
Han In heran orang roboh dengan tak bergerak bangun pula. Ia tahu, serangannya barusan bukan serangan kematian. Tapi ialah seorang cerdas, segera ia menduga kepada sebabnya itu. Rupanya ketiga pendeta sengaja tidak bangkit pula, supaya mereka tak usah dimata ketua mereka.
"Mungkin mereka ini sudah mulai mencurigai ketua mereka" " ketua Ngo Bie Pay itu berpikir lebih jauh. "Kalau benar, ancaman bahaya untuk kita pastilah akan berkurang..."
Berpikir demikian, pendeta ini tersenyum, Terus ia bergerak pula. Dengan kedua tangannya dia menekan tanah, untuk melompat mengapungkan diri guna menghampiri sebuah bara api menyala yaitu obor. Hanya dengan satu kali sampok. padamlah nyala api itu.
Siauw Pek dapat melihat gerak gerik pendeta tua, ia menjadi kagum. "Dasar jago asli" katanya didalam hati. "Dia cacad begini tetapi tetap liehay dan semangatnya berkobar terus. Karena itu aku coh Siauw Pek, yang mengandung dendam kesumat hebat, apakah aku harus takut mati" "
oleh karena berpikir demikian, anak muda ini segera maju kedepan. Justru itu ia mendengar suara Han In Taysu. "Pendeta- pendeta Siauw Lim sie itu sudah bosan berkelahi, jangan siecu terlalu banyak membinasakannya, nanti membangkitkan kenekadan mereka hingga mereka tak segan mengadu jiwa."
Siauw Pek melengak. Kembali ia berpikir^ "Memang kalau mereka semua nekad, sulit untuk melayaninya..."
Tak sempat pemuda ini berpikir lama. Dari kiri dan kanan tiba serangan berbareng. la menangkis yang dikiri sambil berkelit dari
yang dikanan, serentak dengan itu ia lompat melewati mereka.
Hanya sampai disitu, kedua pendeta itu tidak menyusul lebih jauh.
Maju sedikit lebih jauh, Siauw Pek mendekati obor. Dan segera ia menyampok dengan tangannya. Tapi dalam hal tenaga dalam, ia kalah dengan Han in Taysu. obor itu tidak padam, cuma bergoyan goyang, lalu tetap menggenciang. Hanya dilain saat, api padam akibat hembusan angin-Kiranya itulah serangannya pendeta Ngo Bie Pay.
"Lekas mundur" terdengar suara sipendeta "Musuh sudah mulai bentrok dengan Ban Tayhiap sekalian."
"Masih ada sisa api," kata anak muda. Tapi mendadak obor lainnya padam juga .
"Heran," pikir si anak muda. "Bukankah Han in Taysu sudah mundur" Siapakah yang membantu kita" "
Ketika itu terdengarlah bentrokan senjata yang nyaring berisik, datangnya dari arah timur selatan-Itulah pertanda bentrokan yang keras. Mendengar itu, si anak muda percaya pasti ada orang yang membantunya.
Hanya ketika itu, dengan padamnya obor, gelaplah diantara mereka. Tanpa bersangsi pula, anak muda ini mundur perlahan- lahan cuma telinganya terus mendengar suara bentrokan alat alat senjata.
Dan memang juga pihak Siauw Lim Sie sudah menghampiri Ban Liang dan kawannya.
Selesai Siauw Pek mendekati, ia melihat Giok Yauw bersama Kho Kong lagi melayani empat orang pendeta yang mengepung mereka itu. Tampak Kho Kong sudah mulai terdesak. Nona Thio masih dapat bertahan-
Diantara ke empat pendeta, yang bersenjatakan tongkat, kelihatan lihay sekali, dialah yang mencoba mendesak. Dengan cepat si anak muda mengambil putusan buat membantu saudaranya itu. Akan tetapi baru ia mau maju, mendadak sipendeta yang lihay itu telah memperdengarkan seruan tertahan, terus tongkatnya terlepas, disusul dengan roboh tubuhnya.
Menyusul itu, satu tubuh tampak berlompat bagaikan burung melayang, menghampiri tiga pendeta lainnya, dua diantaranya roboh sambil berseru tertahan juga . Karena orang yang datang
secara tiba-tiba itu sudah menyerang kekiri dan kekanan dengan
kesebatan luar biasa Habis itu, dia berlompat pula kesebelah timur.
Sekelebatan itu, Siauw Pek telah mendapat melihat siapa orang gagah itu, maka kekagumannya menjadi berlimpah-limpah. Sebab orang itu tidak lain dari pada Han In Taysu. "Jikalau tidak ada dia, sungguh berbahaya keadaan kita," pikir si anak muda. Justru itu terdengar suara Giok Yauw. "Nona Hoan terluka..."
Siauw Pek kaget, dia melompat maju, sambil melewati pendeta yang keempat, dengan ujung pedangnya ia menepuk bahu pendeta itu.
Pendeta Siauw Lim Sie itu tengah berdiri menjublak. ia telah menyaksikan bagaimana tiga kawannya, yang menjadi kakak seperguruannya telah dirobohkan dengan saling susul. Atas tepukan
pedang sianak muda itu, dia merasa nyeri, dia mundur dua tindak. terus dia memutar tubuh untuk berlalu.
Didalam rimba terdengar pula bentrokan senjata berisik sekali, maka juga Han in Taysu segera pergi kesana.
Siauw Pek berlari, sampai ia tiba ditempat Soat Kun-Nona itu memegangi bahu Soat Gie, Lengan kanannya casah dengan darah, bajunya telah robek. Ketika ia melihat sianak muda, ia segera berkata: "Tidak apa, lukaku ringan Pergi lekas lihat yang lain-lain. Jumlah kita sangat sedikit, tak boleh ada orang kita yang terluka lagi
" Berkata begitu, sinona tak berhenti berjalan. ia bersama adiknya
yang membantunya, terus mengatur tin, barisan rahasianya itu.
Siauw Pek tidak dapat bicara banyak. ia mengagumi sinona yang nyalinya besar dan tabah. Hanya sebentar ia berkata: "Nona, jagalah diri baik baik" Habis itu ia lari kepada Ban Liang.
Seng Su Poan lagi bertempur melawan tiga orang pendeta, yang semuanya gagah, lebih-lebih yang satunya, yang senjatanya tongkat. Dengan tongkatnya pendeta itu merabu pulang pergi, selalu mengincar bagian anggota tubuh yang berbahaya.
Pendeta yang dikanan, yang bergolok kaytoo saban-saban menikam dan membacok. dia juga terus mengancam bagian tubuh yang lemah.
Adalah pendeta yang ditengah, yang membawa golok. sebagai gantinya senjata tajam dia mengandalkan kedua tangannya, setiap pukulannya mendatangkan hembusan angin. Nyatalah bahwa dia pandai ilmu pukulan tangan kosong, atau yang disebut "Pek Khong ciang" pukulan "Tangan Udara", sebagaimana tadi Han in Taysu menghajar ketiga pendeta lainnya.
Walaupun ia didesak dan terancam, Ban Liang tidak mau mundur. la bertahan terus. Tak kecewa ia menjadi jago tua. Sayang karena terdesak tak sempat ia menggunakan pukulan Ngo Kwie Souw Hun ciang yang lihay itu.
Segera setelah ia tiba, Siauw Pek menangkis golok kaytoo dari pendeta yang disebelah kanannya Ban Liang. Rupanya sipendeta mengenali sianak muda. begitu goloknya ditangkis, begitu dia mengangkat kaki pergi meninggalkannya.
Habis itu, Siauw Pek menyampok tongkat pendeta yang kedua, setelah mana ia terus membalas menyerang. Dengan cepat ia sudah menguasai lawan-Ketika pendeta itu melihat sianak muda, seperti kawannya tadi, dia segera lompat mundur, untuk berlalu pergi Sekarang tinggal seorang pendeta lagi. Dialah yang berkelahi dengan tangan kosong.
Siauw Pek menyerang, mendesak dengan tiga tikaman saling susul. Dengan begitu ia membuat lawan terpaksa mundur. Lawan itu merasa aneh. Dia didesak tapi tidak dilukai. Tak tahu dia akan maksud anak muda ini, dari merasa aneh, dia menjadi merasa likat,
malu sendirinya. Diapun melihat kawan kawannya sudah pada pergi.
Maka tak ayal lagi, dia melompat mundur dan mengangkat kaki.
Dengan empat batang obor telah pada mati semuanya, rimba
menjadi gelap. sukar untuk melihat walaupun sejarak lima kaki.
Gelap gulita itu menguntungkan rombongan sianak muda.
Seberlalunya ketiga musuh yang terakhir itu, mendadak Ban Liang jatuh numprah ditanah.
Siauw Pek terkejut, segera ia menghampiri, untuk membangunkannya. "Apakah loocianpwee terluka" " tanyanya prihatin.
Sijago tua tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala, terus dia memejamkan mata untuk beristirahat. Sebenarnya dia telah kehabisan tenaga, saking kuat hatinya, dia masih bertahan tadi Siauw Pek berduka, nona Hoan terluka, Ban Liang kehabisan tenaga, maka itu tenaganya jadi makin berkurang. Entah dengan Oey Eng bertiga. Ingin ia melihat ketiga kawan itu tetapi ia berat meninggalkan Soat Kun bertiga. cuma ia merasa hatinya lega juga sebab disekitarnya sunyi, tak ada suara beradunya alat senjata.
JILID 38 Heran kenapa It Tie menghentikan serbuannya, pikirnya lebih jauh.
Didalam kesunyian itu, tiba-tiba terdengar suara Giok Yauw yang bertanya "Eh, apakah kau cian Peng" "
Tertawa yang nyaring adalah jawaban atas pertanyaan itu, kemudian tawa itu disusul kata-kata ini: "Eh, budak. kenapa kau menyebut namaku terang-terang" Apa itu bukan berarti kau membuka rahasia" Aku sinelayan tua tak berani berterang terang
menentang pendeta pendeta dari Siauw Lim Sie, aku membantu
secara diam diam saja, didalam gelap. Kenapa kau banyak mulut" "
Terdengar pula suara sinona, yang tertawa mengejek. "Sebenarnya kau telah pergi kemana" " tegurnya.
"Aku sinelayan tua tahu kamu mau pergi ke Siauw Lim Sie, karena itu mana berani aku seorang diri mengikuti kamu untuk mengantarkan jiwa" " Giok Yauw tertawa jenaka.
"Oh, kiranya kau pergi mencari pembantu" Terima kasih Terima kasih" cian Peng tertawa dingin-
"Siapa mencari pembantu untuk kau" Aku mengundang pembantu membantu diriku sendiri "
Segera terdengar suara tawar: "Eh, nelayan bangkotan. Siapakah yang sudi membantumu. Ingat, jangan kau menempel emas pada mukamu" Lalu terdengar pula suara cian Peng itu: "Jikalau kau datang kemari bukan untuk membantu aku, habis buat apakah kedatanganmu ini" "
Suara tawar itu terdengar pula: "Nelayan bangkotan, apakah kau kira aku tak berani datang sendiri kemari" "
"Hei, nelayan bangkotan" Giok Yauw menegur. "Kenapa kau
membuat seorang sahabat menjadi tidak senang hati" "
Kemudian terdengar suara cian Peng, suara yang bernada gusar: "Eh, bocah Cilik, kenapa kau berani sembarangan membelai orang" Tahukah kau siapa dia" Kenapa kau lancang" Mana bisa kau sembarang mengikat persahabatan" "
"Diempat penjuru lautan, semua orang bersaudara" berkata si nona. "Apakah salahnya untuk mengikat persahabatan" "
"Bukan begitu, itulah tak dapat" berkata Cian Peng pula : " orang itu buruk hatinya, beribu la berlaksa kali, janganlah kau bergaul dengannya "
Hanya selagi bicara itu, suara Cian Peng terdengar makin jauh dan makin jauh. Giok Yauw sibuk sendirinya.
"Hei, nelayan bangkotan, lekas kembali" teriaknya. "Lekas kembali. Aku hendak bicara denganmu" panggilan itu mengalun dimalam yang gelap dan sunyi itu tetapi tidak ada jawabannya. Terang bahwa Cian Peng sudah pergi jauh...
Siauw Pek mendengarkan saja, baru kemudian ia berkata didalam hatinya: "Oh, kiranya ada orang yang membantu kita... Pantas kawanan pendeta menghentikan penyerangannya"
Ketika itu terdengar helahan napas dari Ban Liang. "Apakah musuh sudah mundur" " dia bertanya.
"Mereka sudah mundur" jawab siauw Pek. "Baiklah loocianpwee beristirahat terus." Ban Liang menghela napas pula.
"Sudah tua, tak berguna..." katanya, menyesal. "Pertempuran ini membuatku letih hebat semacam ini... Eh, apakah kedua Nona Hoan baik-baik saja" "
"Nona Hoan terluka sedikit tetapi tidak apa. Ia sudah memakai obat."
"Bagaimana dengan Han In Taysu" "
"Dasar orang tua, dia memperhatikan segalanya..." terus ia menjawab. "Mereka itu tidak kurang suatu apa." Jago tua itu bangkit perlahan lahan.
"Ah..." ia memperdengarkan keluhannya. "Dahulu semasa muda, pernah aku bertempur satu hari satu malam, kami seri. Sekarang... sekarang aku sudah tua..."
"Baiklah beristirahat terus, cianpwee," berkata Siauw Pek, menghibur. "Pihak Siauw Lim Sie sangat tersohor, sudah begitu loocianpwee seorang diri mesti melawan banyak musuh, pasti kau letih karenanya."
Jago tua itu menghela napas pular "Tak apa," katanya. "Aku telah beristirahat. tenagaku sudah mulai pulih." Justru itu, Thio Giok Yauw muncul. Dia menatap sijago tua.
"Kau terluka" " tanyanya.
"Tidak Aku cuma letih. Bukankah Cian Tayhiap telah datang" "
"Benar Dia datang bersama dua orang undangannya, untuk membantu kita."
"Cian Tayhiap itu memang liehay," berkata Ban Liang pula. "Joran dan jalanya menjadi senjata senjatanya yang istimewa, pantaslah pihak siauw Lim Sie mendadak mundur sendirinya"
"Hm" Giok Yauw memperdengarkan suara mengejek. "Si nelayan bangkotan takut bentrok dengan pihak siauw Lim Sie, dia tak berani membantu kita secara terang terangan, karena aku membuka rahasianya, dia mendongkol dan pergi. Sebenarnya apa gunanya kepergiannya" Ya Kaburnya Pihak Siauw Lim Sie sudah tahu namanya. Jikalau pihak Siauw Lim Sie mau membalas sakit hati, bukankah mudah mencarinya" Kabur atau tidak toh sama "
Ban Liang heran sekali. Pikirnya "Hi Sian Cian Peng menjadi orang Rimba Persilatan yang berkenamaan, kenapa bocah perempuan ini berani berlaku begini kurang ajar terhadapnya" Kenapa dia selalu menyebut nelayan bangkotan, nelayan bangkotan" " Saking herannya itu, tanpa terasa ia berkata. "Cian
Tayhiap bertabiat luar biasa, orang-orang Rimba Persilatan umumnya mengalah kepadanya, maka itu di waktu berbicara dengannya baiklah nona sedikit sungkan." Tetapi nona Thio tersenyum.
"Bagaimana, eh" Apakah kau takut bersalah terhadapnya" " tanyanya.
"Benar, Cian Tayhiap aneh, tak ada orang yang tak tabiatnya itu maka kalau kita berbuat salah terhadapnya, apakah itu bukan berarti kita menambah musuh" "
"Tak apa, jangan kuatir" berkata si nona. "Kalau aku berbuat salah terhadapnya, mustahil dia sudi mengajak orang datang kemari untuk membantu kita" "
Ban Liang berdiam, tetapi hatinya berkata, "Benar juga nona ini. Mungkinkah si nona telah memegang suatu kelemahan dari Cian
Peng maka dia menjadi suka mengalah" Dan siapakah itu dua orang
kawannya" Semoga aku tidak membuat keliru terhadap mereka "
Selagi sijago tua berpikir demikian, tiba-tiba ia mendengar hembusan angin, hembusan ujung baju, yang mengarah kearah mereka. Di dalam gelap petang, tak dapat mereka melihat siapa orang yang mendatangi itu.
Giok Yauw berbuat getap. dengan sebat ia menghunus pedangnya, menikam kearah orang itu, tetapi mendadak. selagi pedangnya kena disampok nyamping, telinganya mendengar suara ini. "Loolap Han In" Cepat sekali, Nona Thio berlompat minggir "Maaf, suhu "
Setelah Han In memegang tanah dengan kedua tangannya, segera dia duduk menumprah.
"Kau tidak bersalah anak" katanya sabar. Kemudian ia menoleh pada Siauw Pek dan Ban Liang, untuk berkata. "Semua pendeta Siauw Lim Sie sudah mundur dari rimba ini. Sebegitu jauh loolap menyangka, rupanya mereka telah mendapat kerugian banyak
orangnya yang terluka atau terbinasa, maka juga malam ini tak nanti mereka mengulangi mengepung kita."
"Hanya sebentar, setibanya sang fajar, mungkin mereka akan menyerang secara terlebih hebat" berkata Seng Su Poan si Hakim Penuntut Hidup Mati.
"Benar, demikian juga terkaanku." berkata Han In. "Sebelum
hujan turun pula, perlu kita bersedia payung, harus kita siap sedia."
"Entah Nona Hoan, ia mempunyai daya apa untuk menangkis musuh." kataBan Liang,
"mari kita berunding dengannya."
"Baiklah," kata Giok Yauw. "Nanti aku undang mereka."
Nona ini segera berlalu. Hanya sebentar ia sudah kembali bersama Soat Kun dan Soat Siauw Pek dan Han In tidak mau
menanyakan si nona mengapa selama didalam toa-tian tadi, mereka
duduk diam saja, tak memperhatikan pertempuran yang hebat itu.
Adalah Ban Liang yang menanyakan lain hal. "Apakah baru saja nona terluka" " demikian tanyanya.
"Tak apa, lukanya sangat ringan," jawab ^ona Hoan. "Ada senjata nyasar..."
"Sekarang musuh telah mundur seluruhnya," berkata Ban Liang pula, "tetapi kami menerka semunculnya fajar mereka bakal datang pula, mungkin penyerangannya akan jauh lebih hebat, karena itu, nona, bagaimana pemandangan nona" "


Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pandanganku sama," sahut Soat Kun. "Apakah nona telah memikir daya untuk menangkisnya" "
"Ya." "Apakah daya itu, nona" " tanya Siauw Pek. "Baiklah nona mengatur siang-siang. sekarang ini kita masih berada ditempat berbahaya, orang kita tinggal sangat sedikit, kita juga letih semuanya. Syukur rimba ini menghalangi musuh mengatur Lo Han
Tin-Sebentar pagi, di dalam keadaan terang benderang, mungkin mereka akan memperhebat serangan mereka." Soat Kun mengangguk.
"Aku tahu itu. Maka juga sekarang tak dapat kalian beristirahat, bahkan kalian perlu segera berlatih, mempelajari Ngo Heng Lian Hoan Tin-"
"Apakah artinya tin itu, nona" " tanya Ban Liang.
"Itu hanya cara menentang musuh dengan kita bersatu padu tangan, dan hanya ditambah lima macam perubahan..."
"Dipihak Bu Tong Pay ada ilmu pedang yang dinamakan Ngo Heng Kiam, apakah nona tahu itu" " tanya Han In Taysu.
"Aku tahu, dan pernah aku mendengarnya dari mendiang guruku,
hanya perubahan barisan pedang itu beda dengan barisanku ini."
"Dahulu hari pernah loolap perhatikan gerakan yang disebut Ngo Heng itu," berkata pula ketua Ngo Bie Pay, "gerakan itu rumit sekali perubahannya, maka juga , mungkin sulit memahaminya didalam waktu sesingkat ini."
"Ngo Heng" itu ialah serba lima, dan "Lian Hoan" yaitu berantai, maka itu, tin si nona banyak perubahannya, yang tali menali, bersangkut satu dengan lain-
"Demikianlah kelihatannya, taysu," berkata si nona. "Tapi, kalau nanti sudah melatihnya, sebenarnya itu taklah sulit..." Ia berhenti sejenak. terus ia menambahkan. "Lawan menghentikan penyerangannya, itu berarti bahwa mereka memberi kesempatan hidup untuk kita."
"Waktu kita sedikit, nona, nah, mulailah" " Ban Liang minta. "Bagaimanakah penglihatan mata kalian" " tanya si nona. "Diwaktu malam segelap ini" " Ban Liang tegaskan.
"Ya, didetik ini. Berapa jauh kalian dapat melihat kedepan" "
"Dalam hal ini, perlu kami tahu dahulu apa yang kami harus lihat," berkata Ban Liang pula.
"Aku hendak membuat garis garis Ngo Heng," kata si nona, "cobalah, kalian bisa melihatnya atau tidak..."
"Asal nona menjelaskannya, mungkin kami sanggup," berkata pula sijago tua.
"Ngo Heng Lian Hoan Tin memerlukan lima orang sebagai bahagian yang utama," menerangkan Soat Kun "Mereka menguasai satu tempat masing2. Yang lain2nya melainkan sebagai pembantu, guna membantu dimana yang perlu."
"Silakan nona mengatur, kami nanti mengatur diri. Senoga kami tak kacau sendirinya."
"Jikalau benar siauw Lim Pay akan menerjang pula sebentar fajar, mereka tentu bakal mulai arah timur dan selatan." berkata Nona Hoan-"maka itu pada dua arah itu, perlu orang yang ilmu silatnya mahir sekali."
"Yang paling mahir ialah bengcu. Baik bengcu mengambil tempat yang paling penting itu." Ban Liang mengusulkan.
"Ban Hu hoat baik menjaga di timur," berkata pula si nona. "Arah timur itu termasuk garis kah-it-bok."
Berkata begitu, dengan menggunakan cabang pohon, Nona Hoan membuat goresan ditanah.
Ban Liang berniat menolak tugas itu mengingat dia sudah tua dan baru saja bagaikan kehabisan tenaga, tetapi Soat Kun sudah melanjutkan kata-katanya. "Ban Hu hoat, tolong perhatikan, beginilah perubah kedudukan gu goat."
Goresan si nona itu dari timur menyambung keselatan dan utara.
oleh karena keadaan sudah demikian mendesak. mau atau tidak, terpaksa Ban Liang batal menolak, terpaksa dia memehami gerak yang dilukiskan si nona.
"Bengcu silakan menjaga di selatan," berkata pula si nona kepada ketuanya. "Arah selatan itu termasuk garis Phia-teng hwee."
Dan lalu ia meng gores tanah. Siauw Pek memperhatikan goresan itu.
"Thio Huhoat, pergi kau menjaga ke utara. Arah itu termasuk
Jim-kwie swie," sambil berkata begitu iapun menggores pula.
Suasana sangat sunyi. Semua mendengarkan dan mengawasi tangan si nona.
"Oey Huhoat menjaga di barat."
Mendengar itu Siauw Pek bertiga heran.
Oey Eng dan Kho Kong tidak ada diantara mereka "Nanti aku cari mereka," berkata si anak muda.
"Biarkan aku yang pergi," kata Giok Yauw "Mereka lagi memasang mata diatas pohon." Siauw Pek mengawasi kedua saudara itu, jalan mereka rada ayal.
"Saudara Oey Saudara Kho " ia menyapa. "Ya, bengcu Ada perintah apakah" "
"Kalian baik-baik saja, bukan" "
Dua saudara itu tidak segera menjawab, agaknya mereka
berpiklr. "Kami baik-baik saja," sahutnya sejenak kemudian.
Didalam gelap. wajah kedua pemuda itu tak tampak. tapi sUaranya tetap tak mirip orang yang terluka. Karena itu, heran si ketua. Tak dapat dia menduga duga.
"Jangan kau menyembunyikan lagi, saudara saudara," Giok Yauw berkata. "Nona Hoan tengah mengatur Ngo Heng Lian Tin, Oey
huhoat ditetapkan menjaga diarah barat, jikalau kalian tidak bicara
sebenar-benarnya, bukankah usaha kita bisa jadi gagal" "
"sebenarnya telah terjadi apakah" " Siauw Pek bertanya.
"Mereka telah terluka, karena kuatir bengcu bersusah hati, mereka tak mau menjelaskannya" nona Thio menerangkan-Siauw Pek terkejut.
"Apakah luka mereka parah" " tanyanya. Oey Eng menggelengkan kepala.
"Tak parah, bengcu," sahutnya, "kalau luka kita berat, mustahil bengcu tidak melihatnya."
"Dia benar juga ," pikir si anak muda.
"Oey huhoat," berkata Nona Hoan-"Kau luka parah atau tidak, kau mesti jelaskan. Ingat disini tergantung keselamatan kita bersama tak dapat kita menyembunyikan sesuatu."
Oey Eng melengak, lalu dia berkata: "Aku terkena satu pukulan tangan kosong, sebenarnya lukaku tidak ringan, akan tetapi, setelah aku meluruskan tenaga dalamku, sekarang sudah terasa mendingan."
"Mari, kasih loolap lihat," berkata Han In Taysu. Oey Eng menghampiri, untuk berdiri disisi pendeta itu.
Han In meraba lengan sianak muda, nadinya. Hanya sejenak. ia
berkata: "Luka ini bukannya ringan, perlu rawatan yang cukup."
"Itulah berarti sudah tak dapat dia menjaga tempat itu," kata Soat Kun.
"Memang. Dia harus beristirahat."
"Coba aku periksa nadinya," berkata Nona Hoan.
Oey Eng menghampiri, ia mengulur tangan kirinya.
soat Kun meletakkan jari tangannya yang halus diatas nadi sianak muda, akan menekannya sedikit, sesudah mana dia berdiam untuk merasai denyutan nadi anak muda itu. Kira-kira sehirupan teh ia mengangkat tangannya terus merogoh sakunya buat mengeluarkan dua butir obat pulung.
"Makan ini lebih dahulu" katanya perlahan-Oey Eng percaya nona ini, ia menyambut pel itu dan terus menelannya.
"Kho Huhoat, apakah kaupun terluka" " kemudian sinona bertanya kepada Kho Kong.
"Aku terluka bacokan pada pahaku," menyahut hu hoat itu. "Aku telah membalutnya. Luka dikulit tidak ada artinya." Soat Kun menarik napas perlahan-"Sekarang aku terpaksa merepotkan taysu," katanya kepada Han in Taysu. "Sebenarnya aku hendak minta bantuan taysu buat lain tugas tetapi kedua hu hoat terluka, aku mohon taysu sudi menggantikannya."
"Loolap bersedia, nona" menjawab sibhiksu tua.
soat Kun menggores gores pula ditanah sambil menjelaskannya secara sederhana, setelah itu ia berkata pula: "Taysu semua gagah tetapi semuanya telah payah, karena itu tak seharusnya kalian berkelahi mati-matian, maka juga pertempuran terpaksa, jangan kita menggunakan seluruh tenaga kita. Kita akan menahan musuh mengandalkan tin saja."
Mendengar kata kata nona itu, Ban Liang berkata didalam hatinya: "Sayang kau bercacat pada matamu, nona. Coba kau bisa melihat sekitarmu, mungkin kau tak akan berkata begini. Segera setelah langit terang, pastilah pihak Siauw Lim Sie akan mengulangi penyerbuannya secara besar besaran, dengan seluruh kekuatan. Dapatkah tin ini menentang penyerbuan mereka itu" "
Walaupun dia berpikir demikian, tetapi jago tua itu tidak mengatakan apa apa.
Nona Hoan tidak mendengar suara orang yang mengiakan atau memohon penjelasan, ia melanjutkan kata katanya. "Seseorang, tak peduli dia lihay luar biasa, kalau dia tak minum setetes air, selewatnya satu hari dan satu malam kekuatan tubuhnya bakal berkurang sendirinya. Mungkin disaat ini kalian belum merasakan sesuatu, hanya besok tengah hari, akan kalian rasakan perbedaannya."
"Siecu benar," berkata Han in Taysu. "Pernah loolap mengalaminya. Siapa tidak makan dalam satu hari dan juga tak dapat beristirahat, tenaganya akan lenyap sebagian."
jikalau demikian adanya, sekarang ini perlu kita beristirahat," berkata Ban Liang. "Kesempatan ini harus kita pergunakan sebaik baiknya."
"Telah belasan tahun loolap disekap ditempat gelap. perihal menahan dahaga dan lapar, telah ada pengalaman loolap." berkata Han in kemudian, karena itu silahkan kalian beristirahat, loolap yang akan mewakili kalian melakukan penjagaan."
"Lebih baik taysu turut beristirahat," Siauw Pek menganjurkan.
"Biarkan loolap. bengcu. dalam hal penderitaan begini, loolap lebih hebat daripada bengcu sekalian."
"Apakah demikian pendapat taysu, baiklah" Ban Liang berkata akhirnya. Didalam hati, ia sebenarnya percaya Siauw Pek lebih ulet daripada pendeta ini.
"Nah, silahkan kalian beristirahat" Han in kata akhirnya. Lalu, dengan kedua tangannya, dia menekan tanah, membuat tubuhnya mencelat tinggi, naik keatas pohon didepannya Ban Liang semua segera duduk bersila, untuk bersemedhi. Mereka memang telah merasakan sangat letih, maka kesempatan ini dipakai sebaik baiknya. Didalam waktu yang singkat sekali, semua sudah hening bagaikan mereka lupa akan diri sendiri...
Sang waktu berjalan dengan tenang tetapi rasanya cepat sekali. Entah telah lewat berapa lama, tiba tiba terdengar suara ketua dari Ngo Bie Pay. "Saudara, saudara, bangunlah "
Semua orang terbangun, semua segera membuka mata mereka.
Sang fajar telah tiba. Cuaca yang cerah memperlihatkan sesuatu.
Kembali terdengar suara pendeta tua itu: "Loolap melihat pendeta-pendeta dari Siauw Lim Sie tengah mendatangi dengan teratur. mungkin pertempuran bakal segera dimulai, silahkan bengcu sekalian mengambil tempat masing masing."
Oey Eng dan Kho Kong telah mendapat kesempatan untuk beristirahat, merekapun telah makan obat Soat Kun, mereka merasa tubuh mereka segar, maka itu keduanya segera menyatakan pada
nona Hoan, karena kesehatan mereka beralih baik, mereka mohon diberi tugas.
"Sekarang ini tenaga kalian belum dibutuhkan," berkata Soat Kun-"Coba kalian lihatlah sekitar tin ini, ditempat luas beberapa tombak. kalian boleh memilih satu tempat dimana kalian dapat beristirahat. Disini masih ada cukup luang untuk kalian-"
Mendengar kata kata si nona, Oey Eng dan Kho Kong segera memandang kesekitarnya. Tadi, perhatian mereka belum tertarik Sekarang lain-Mereka memperhatikan dengan seksama. Lalu mereka menjadi heran. Memang, disitu ada pepohonan dimana mereka dapat berlindung.
"Terima kasih" berkata Oey Eng.
"Beristirahatlah kalian baik-baik," pesan Nona Hoan. "Kalau nanti pihak Siauw Lim Sie menerjang tak hentinya, baru kami membutuhkan bantuan kalian-"
Suara si nona itu bagalkan diputuskan suara keras dari Ban Liang. Terdengar suara nyaring sijago tua, "para taysu, kamu keterlaluan. Kenapa kamu begini desak kami" Ingatlah, jangan kamu mengatakan aku si tua menurunkan tangan jahat"
Mendengar suara jago tua itu, Soat Kun segera berseru: "Menggeser tempat memohon bantuan, dengan perubahan
menentang musuh Oey Eng heran mendengar suara sinona itu.
Katanya. "Apakah arti kata kata itu" " Tetapi ia menaruh perhatian-
Maka ia segera melihat bergerak geraknya sinar pedang dan golok, bagaimana Siauw Pek sudah menukar kedudukan Phia teng hwee di selatan dengan kedudukan Kah it Bok ditimur, sedangkan Ban Liang memutar keutara dan Giok Yauw kebarat, sedangkan Han In Taysu pindah keselatan. Dengan cara demikian, Ngo Heng Tin nampak menjadi terlebih ringkas, akan tetapi gerakannya lebih lincah.
orang orang Siauw Lim Sie sudah mengurung Ngo Heng Tin tetapi disebabkan malang melintangnya pepohonan, telah dapat
mereka segera menyerbu masuk. untuk turun tangan-Han in Taysu telah segera bekerja. Dengan tangan kanan terbuka, ia menyamp^ok dua kali kearah timur. Anginnya itu menghembus keras.
diarah timur itu ada seorang pendeta yang lagi menempur Siauw Pek. tiba tiba dia merasakan angin menyambar dari sampingnya, belum sempat dia tahu apa apa, iga kirinya sudah kena terhajar, hingga dia mengeluarkan jeritan tertahan, terus dia mundur.
siauw Pek mengambil kesempatannya, untuk menikam dengan pedangnya, atas mana lawan itu melompat mundur pula dua tindak. Dia tidak disusul, karena penyerangnya menggunakan kesempatan itu untuk memutar diri guna menyerang lawan yang lagi bertempur dengan Ban Liang Pendeta lawan sijago tua terkejut, dalam gugup ia menangkis.
Justru ketika dia repot ituBan Liang meninju dengan pukulan Ngo Kwei Souw Hun Ciang. Dia sebenarnya seorang anggota dari Ruang Tatmo ih. ilmu silatnya amatlah sempurna sekali, dalam hal ini akan tetapi karena repotnya, tidak dapat dia melindungi diri, dia kena terhajar roboh kebelakang.
Seterusnya, pertempuran berjalan secara demikian rupa. Serbuan pihak Siauw Lim sie terintang dan terhambat pepohonan, pihak Kim Too Bun menang kedudukan dan kerja samanya sempurna. Demikian, selang beberapa lama, pihak penyerang sudah merugi
belasan orangnya yang roboh sebaliknya serbuannya tidak ada
hasilnya. Walaupun demikian, pihak Siauw Pek juga merasa letih...
Tengah pertempuran tak seimbang itu berlangsung terus, tiba tiba orang mendengar bunyi genta yang nyaring mendesak. menyusul mana semua pendeta lalu menghentikan penyerangan mereka, dan cepat mengundurkan diri Hingga didalam sekejap itu medanpun sunyi.
Ban Liang menghela napas lega.
"Jika mereka menyerang terus lagi, mungkin tenagaku si orang tua akan habis" katanya Siauw Pek yang diajak bicara, cuma tersenyum.
Han in Taysu menengadah kelangit akan melihat cuaca.
"Sebegitu jauh yang loolap tahu," katanya "Belum pernah sebelum ini ada pihak yang mengacau Siauw Lim Sie begini lama hingga pihak itu kewalahan dan mundur sendirinya."
Siauw Pek tidak berkata apa-apa. Iapun lelah. Ketika ia memandang Nona Thio, paras Giok Yauw pucat. Cuma pendeta dari Ngo Bie itu tak nampak lesu.
"Jikalau aku mempunyai jarum satu kantung, tak usah aku menghabiskan tenagaku terhadap pendeta-pendeta Siauw Lim Sie itu" terdengar nona Thio pun berkata, dia menarik napas untuk melegakan hatinya.
Kata-kata sinona bagaikan menyadarkan Siauw Pek. Pemuda ini
lalu memikir perlunya daya upaya yang sempurna guna mengatasi
keadaan kalau tidak, sungguh mereka bakal terancam bahaya.
"Taysu," kemudian ia bertanya kepada ketua Ngo Bie Pay, "apakah Taysu merasa letih" " Iapun menatap kawan itu.
"Buat bertempur lagi satu jam atau lebih, mungkin loolap masih dapat bertahan," sahut pendeta yang ditanya itu.
Si anak muda menunjukkan sikap sungguh sungguh. "Jikalau begini gelagatnya, mungkin kita tak dapat menanti sampai para tiangloo memunculkan diri." katanya. Han In mengangguk. Ingin ia membuka mulut tapi batal
Siauw Pek balik mengawasi Nona Hoan. Katanya menyambung: "Dapatkah kita mewujudkan pepatah Menangkap penjahat membekuk kepalanya, dipihak Siauw Lim sie, biangnya ialah It Tie Taysu, apabila kita dapat meringkusnya, tentulah pendeta-pendeta lainnya bakal kehilangan semangatnya, hingga mereka tak akan berani melanjutkan mengurung dan mengepung kita."
"Apakah bengcu memikir untuk menawan It Tie" " tanya Soat Kun-"Pikiranku ialah daripada kita menanti untuk diserbu, lebih baik kita mendahului menerjangnya" sahut si anak muda. Jikalau kita beruntung dengan percobaan kita itu, ialah It Tie dapat dibekuk. pasti kita akan lolos dari ancaman petaka ini." Soat Kun menghela napas.
"Memang," katanya, "memang berbahaya kalau kita bertempur
terus selagi kita letih dan persiapan makan dan minum kurang."
"Rasa lapar masih dapat ditahan, tidak demikian dengan dahaga," berkata sang ketua. "Pihak kita tidak mengatakan apa-apa tetapi kita dapat merasainya sendiri. Kita dapat bertahan hanya untuk sementara. Maka itu aku pikir, aku hendak bersama Han In Taysu menerjang keluar."
"Bagaimana andaikata kalian terkurung di dalam Lo Han Tin" " sinona memperingatkan.
"Tapi inilah jalan satu satunya untuk kita menyingkir dari kematian," berkata sianak muda. Ia menghela napas, lalu menambahkan : "Saudara semua tak akan tiba disini jikalau bukan karena urusanku si orang she Coh, maka itu, setelah kita terkurung ini, apabila aku tidak berusaha, mana hatiku lega" "
"Rencana adalah aku yang atur, sekarang kita terkurung, itulah salahku," berkata nona Hoan. "Karena itu, untuk membekuk It Tie, mesti aku juga lah yang bekerja"
xxxxxx Siauw Pek melengak. Bukankah ilmu silat si nona sangat sederhana" Semangat si nona dapat dipuji dan dikagumi, tetapi
mana pantas dia menjadi lawan It Tie, si orang lihay dari Siauw Lim
Sie" Pula It Tie dikelilingi demikian banyak murid-muridnya.
"Sekalipun aku menerjang bersama Han In Taysu, masih belum tahu bagaimana kesudahannya," pikirnya lebih jauh. "Aku memikir sepintas lalu saja, karena kita sudah kehabisan jalan-Jikalau Nona
Hoan berdua yang pergi, apa itu bukan berarti mereka mengantarkan jiwa mereka sendiri" "
Walaupun dia memikir demikian, tak berani Siauw Pek mengutarakannya. Maka itu, setelah berdiam sekian lama, baru ia berkata: "Nona silahkan nona berdiam disini, untuk tetap
memegang tampuk pimpinan-Dengan aku bekerja sama dengan
Han In Taysu, aku percaya bahwa sebagian besar kita berhasil "
soat Kun berdiam tetap otaknya bekerja. Katanya didalam hati:
"It Tie tangguh, dia dikitari berlapis-lapis pelindungnya, tak mungkin
dia mudah ditawan. Kita harus mendapatkan akal yang sempurna."
Maka, setelah berdiam pula sedetik, ia lalu berkata, "Maksudku semula ialah untuk tidak melukai atau membinasakan banyak jiwa, pikiranku untuk menasehati dan menaklukkan pihak siauw Lim Sie dengan kejujuran dan kebijaksanaan, tak sangka maksudku itu tak tercapai, bahkan perkara menjadi besar dan hebat begini. Untuk hidup kita memang terpaksa kita harus turun tangan "
"Kau aneh nona," pikir Siauw Pek. "Sampai pada detik ini, kau masih sabar saja." Ia lalu mengawasi nona itu, akhirnya dia bertanya: "Jadi sudah pasti nona yang pergi sendiri" "
"Ya," begitu jawaban pasti dari si nona.
"Nona berdua saja" " si anak muda menegasi.
"Aku mau minta bengcu menemani kami," sahut si nona. "Baik Nah, mari kita pergi "
"Tanggung jawab disini aku serahkan kepada taysu," berkata si nona kepada ketua Ngo Bie Pay.
"Loolap akan mencoba," sahut Han in. "Baiklah nona lekas pergi
lekas kembali." Soat Kun mengangguk. Ia merogoh sakunya dan
mengeluarkan sebutir obat pil. "Bengcu, tolong telan ini" katanya^
Siauw Pek tidak tahu si nona bermaksud apa akan tetapi, karena ia menaruh kepercayaan besar terhadap nona itu, ia menyambut obat itu dan menelannya tanpa ragu-ragu.
"Nah, sekarang silahkan bengcu membuka jalan" kata Soat Kun akhirnya.
Siauw Pek menghunus pedangnya, terus ia bertindak dimuka.
Sambil memegangi bahu adiknya, Soat Kun berjalan mengikuti.
Pihak Siauw Lim Sie heran menyakskan tiga orang musuh keluar dari dalam rimba, walau demikian, mereka mengawasi dan membiarkan saja. Mereka berada didalam kesangsian. Penyerbuan mereka berakibat buruk bagi mereka sendiri, sebab banyak orang- orangnya yang luka dan gUgur, sedangkan rimba tak berhasil diserbu didudUki. Setelah menghentikan penyerangan, mereka mengUndUrkan diri, buat menjaga diluar rimba saja.
Baru setelah ketiga orang itu berada diluar rimba, seorang pendeta maju menghadang. Dia berjubah abu-abu.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 41 Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Pendekar Sakti Suling Pualam 7
^