Pencarian

Pedang Golok Yang Menggetarkan 20

Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen Bagian 20


Siauw Pek mengangkat kepalanya, mengawasi tajam. Ia mendapatkan pendeta itu berada bersama kawan kawannya, jumlah mereka dua puluh orang lebih. Tiba-tiba ia ingat keterangan Han In Taysu mengenai Lo Han Tin, yang dapat dibangun baik dengan jumlah orang yang banyak atau sedikit, misalnya dengan seratus orang lebih atau hanya belasan saja. Siapa tahu mereka ini adalah anggota-anggota tin dari Siauw Lim Pay itu"
"Baiknya sebelum tin mereka teratur, aku mendahului" kemudian si anak muda berpikir dengan cepat. Tak ingin ia memikul risiko. Ia terus menyimpan pedangnya, untuk sebaliknya meraba gagang goloknya.
"Para taysu, siapakah pemimpin kamu" " tanyanya sambil memasang mata.
"Itulah pinceng," menjawab seorang pendeta usia pertengahan.
Siauw Pek masih menatap tajam, juga kepada rombongan orang, habis itu, baru ia berkata keren: "Golok ditanganku ini, asal dihunus, pasti dia membinasakan orang, maka itu taysu..."
"Itulah pinceng sudah ketahui" menyela si pendeta setengah tua. Lalu mendadak dia mengibaskan sebelah tangannya, atas mana
semua kawannya segera bergerak. lari serabutan, guna memencar mengatur diri Siauw Pek tertawa dingin, dia mencekal erat gagang goloknya.
"Sabar" mencegah Soat Kun-"Mari kita belajar kenal dahulu dengan Lo Han Tin dari siauw Lim Sie"
Ketua itu heran hingga dia tercengang.
Sementara itu, rapihlah sudah kawanan pendeta mengatur diri, atau lebih benar, mengurung ketiga lawannya itu.
Selama siauw Pek bertiga mulai muncul, pihak siauw Lim Sie
telah mengirim laporan kepada ketuanya, dari itu, lekas juga tiba
para pemimpin mereka yang termasuk rombongan Tatmo ih.
Pendeta pimpinan rombongan itu girang melihat rampungnya tin mereka, ia lalu tertawa dingin dan berkata dengan sombong: "Seingatku, selama seratus tahun lebih belum pernah ada orang yang sanggup lolos dari tin kami ini, maka itu sungguh kau gagah, siecu, yang kamu berani menentangnya"
"Belum tentu Lo Han Tin dapat mengepung kami" Siauw Pek pun berkata sama dinginnya. la segera memasang mata, akan mencari bahagian terlemah dari barisan rahasia musuh itu.
Selagi ketuanya memasang mata itu, Soat Kun berkata perlahan kepadanya. "Cuma menghadapi Lo Han Tin dari Siauw Lim Sie ini tak usah bengcu turun tangan sendiri..."
Habis itu, ia memandang musuh dan bertanya nyaring: "Apakah kamu sudah selesai dengan pembangunan tin kamu" "
"Sudah" menjawab pihak pendeta. "Karena kami yang berjumlah besar mengurung kamu bertiga, silahkan kamu yang turun tangan terlebih dahulu" Kawanan pendeta itu sangat mempercayai tin mereka itu, hingga mereka tidak khawatir sedikit pun juga .
siauw Pek berpikir. "Tin musuh ini tersohor Sangat liehay, entah dengan cara apa Nona Hoan hendak memukulnya..." "
Segera juga terdengar suara si nona tunanetra. "Untuk kebaikan kamu pihak Siauw Lim sie sendiri, supaya kamu tidak terjerumus dalam dunia siksaan hingga kamu tak dapat kembali lagi, terpaksa aku hendak menunjukkan sesuatu kepada kamu supaya kamu dapat saksikan."
Kata-kata si nona ini diakhiri dengan sentilan jeriji tangannya yang lentik hingga beberapa kali.
siauw Pek heran menyaksikan gerak gerik si nona. "Dapatkah tin dipecahkan dengan hanya beberapa sentilan" " tanyanya didalam hati. "Bukankah Lo Han Tin menjadi tin yang sangat tersohor dikolong langit ini" "
Sementara itu pendeta pemimpin rombongan Siauw Lim Pay itu heran melihat baik Siauw Pek maupun nona-nona itu masih belum juga mau turun tangan untuk menyerbu tin mereka. Lekas sekali, dia menjadi habis sabar. Maka ia lalu berkata nyaring: "Kalau kamu tidak mau turun tangan, baiklah, pinceng yang akan mendahului" kemudian ia mengulapkan tongkat di tangannya, atas mana rombongannya segera bergerak. Maka itu, bergerak juga lah Lo Han Tin.
Tapi si nona, bukan mengajak siauw Pek menentang, dia justru menyerukan para pendeta itu. "Lekas letakkan senjata kalian. Kalian sudah tak dapat menggerakkan tangan kalian-" Si pendeta setengah tua tertawa terbahak.
"Apa katamu, siecu" " tanyanya, mengejek. "Kata katamu membuat pinceng tak mengerti"
"Kataku, kalian sudah tidak dapat menggerakkan tangan kalian" si nona menegaskan. Pendeta itu heran-
" Kenapa kah" " tanyanya.
Sahut si nona, "Jikalau kalian tidak percaya, cobalah jalankan pernapasan kalian"
Semua pendeta heran sekali, tanpa merasa, mereka mendengar kata. Rata rata mereka lalu bernapas. Dan selekasnya menarik dan
mengeluarkan napas, semua lalu berdiri tertegun, paras mereka berubah menjadi pucat. Tak ada seorang jua yang maju terus atau menggerakkan tubuhnya. Itu disebabkan ketika mereka bernapas, mereka merasa nyeri di dalam perut mereka, bagaikan telah terkena racun.
soat Kun mengawasi mereka itu, iapun berkata pula. "Asal kamu menggerakkan pernapasan kamu, racun didalam tubuhmu akan
segera bekerja. Bukannya aku menakut nakuti, tapi bagaimana biar
liehay tenaga dalam kalian tak akan sanggup melawan racunku ini"
siauw Pek heran menyaksikan semua pendeta berdiri mematung itu, mengertilah sekarang ia bahwa Nona Hoan tidak bicara dusta. ia tidak menanya si nona, tetapi ia berkata didalam hatinya. "Kiranya nona ini pandai menggunakan racun."
Sekali lagi si nona berkata kepada semua pendeta. "Nah, telah
aku peringatkan kepada kalian," lalu seperti berbisik, ia mengajak
ketuanya. "Mari kita pergi." Siauw Pek mengerti, dia menurut.
"Minggir" dia berseru terhadap musuh, sedangkan pedangnya dipakai mengancam.
Pendeta yang ditegur itu seharusnya dapat menggerakkan tongkatnya untuk menghalau pedang itu akan tetapi dia tidak dapat berbuat begitu seluruhnya. Dia mengangkat tongkatnya, baru setengah jalan, senjatanya sudah diturunkan lagi, lalu sambil menekap perutnya, dia jalan minggir siauw Pek tidak menikam, hanya pedangnya dipakai menepuk bahu kiri pendeta itu, yang telah tak berdaya, maka juga segera dia kena terhajar, dia roboh terguling. Semua pendeta lainnya kaget dan heran, mereka mengawasi mendelong...
siauw Pek bergerak pula, pedangnya diputar untuk mengancam semua lawan-Mereka itu kaget, otomatis mereka menggerakkan masing masing senjatanya, tapi mendadak semua merasakan perutnya nyeri sekali, hingga diluar kehendaknya, semua lalu pada berjongkok sambil memegang perutnya.
siauw Pek menggunakan tangan kirinya, menotok beberapa
pendeta yang ada dekat dengannya, terus bertindak maju.
Beberapa orang pendeta, yang berada di garis belakang, menjadi heran sekali mendapatkan kawan kawan mereka yang berada disebelah depan itu pada jongkok. Hati merekapun gentar. Pikir mereka benar benar musuh liehay. Didalam waktu begini singkat mereka bisa melumpuhkan Lo Han Tin..." Ketika mereka melihat Siauw Pek bertiga mendekati, mereka tidak merintangi, mereka cuma mengawasi sambil bersiap siap.
siauw Pek maju sampai dimuka pendopo besar toatian-Disitu ada dua orang pendeta yang menjaga pintu "Kami numpang tanya," katanya kepada kedua pendeta itu, "dimana adanya ketua kamu, It Tie Taysu" "
Kedua pendeta sudah siap menyerang ketika mereka mendapat kenyataan musuh bicara sabar dan tidak niatnya menyerang, mereka lalu saling memandang, setelah mana yang disebelah kiri membuka mulutnya: "Tuan, ada perlu apakah tuan mencari ketua kami" " Rupanya dua orang ini cuma bertugas menjaga.
"Kami hendak menemuinya," sahut Siauw Pek. "Kamu lihat sendiri kita sudah bertempur siang dan malam dan telah roboh banyak korban. Kamupun harus ketahui, tidak ada niat kami memusuhi pihak kamu "
Kedua pendeta berpikir sejenak. lalu yang tadi menjawab, "Jalan terus ketimur sepuluh tombak. lalu belok ke utara " Siauw Pek memberi hormat.
"Terima kasih " katanya, yang terus berjalan kearah yang ditunjuk itu.
soat Kun yang mengikuti bersama adiknya, memesan-"Kita memasuki jauh kurungan musuh, kau harus tabah hati dan berhati hati "
"Aku mengerti, nona," sahut sianak muda "Pasti It Tie sudah mendapat tahu apa yang adi disini."
Lekas juga mereka sudah melalui sepuluh tombak lebih. Ketika mereka menoleh mereka melihat, dihadapan mereka, ditanah berumput ada seorang pendeta tengah berdiri diam. Jubah dia itu berwarna kuning. Karena dia berdiri membelakangi, tak tampak mukanya. Siauw Pek menghentikan tindakannya.
"Pastilah ini suatu jebakan," pikirnya. "Mungkinkah kita menyerbunya" "
soat Kun tahu ketuanya ini ragu ragu, ia berkata. "Lekas maju.. Kita menggunakan kesempatan tipu dia ini untuk menemukan it Tie. Berulang kali dia kalah, pasti dia jeri dan waspada, mana dia mau memberi kesempatan kita dengan mudah saja mencarinya" "
siauw Pek suka mendengar kata-kata si nona akan tetapi karena ia tetap ragu-ragu, tak tenanglah hatinya.
"Janganiah berjalan terlalu cepat" Nona Hoan memperingatkan-
"Lebih baik kalau sebentar bengcu mendatangi dia lebih dekat "
siauw Pek berjalan sambil berpikir. "Terang si pendeta lagi memancing, kita justru mau menelan pancingnya itu. Bukankah ini berarti menyerahkan diri masuk dalam perangkap" Kamu berdua tak lihay ilmu silatmu, lalu aku mesti sekalian melindungi kamu. Bagaimana" "
Selagi berpikir itu, lekas juga tibalah sianak muda dekat sipendeta, sejarak setombak lebih.
Tiba tiba saja pendeta itu menoleh dan bertanya dingin, apa ketiga tamunya ini ingin mengharap ketuanya.
Ketua Kim Too Bun mendongkol sekali. Pendeta itu, usia lebih kurang tiga puluh tahun, bukanlah It Tie. "Ya" sahutnya keras. "Dimana dia" "
Pendeta ini berkata pula, dingin- "Jikalau memang kamu hendak menemui ketua kami itu, lebih dulu kamu harus meletakkan senjata kamu " Siauw Pek gusar.
"Aku hendak minta kau mengikuti kami" bentaknya, lalu tangannya digerakkan-
"Tahan" Soat Kun berseru.
Nona ini tidak dapat melihat akan tetapi Soat Gie memberitahukannya, maka itu, ia lalu mencegah. Siauw Pek batal menikam, bahkan ia mundur dua tindak. "Kenapa" "
"Kita sudah masuk didalam kurungan, percuma kau bunuh dia."
Siauw Pek melihat keempat penjuru. Tidak ada seorang pendeta juga yang tampak. Didua arah, barat dan utara terdapat rimba, jauhnya lima tombak lebih, misalkan disana ada bersembunyi musuh, masih ada kesempatan buat mundur. Maka itu ia heran- Walaupun ia tidak bisa melihat, Soat Kun tahu baik gerak gerik atau sikap sianak muda Sebab Soat Gie cerdas dan bermata tajam dan dia selalu mengisikinya segala apa kepada kakaknya itu."
"Turuti permintaannya, letakkan senjata." terdengar kata sinona
pula. Siauw Pek makin heran, tetapi ia menurut. Ia melemparkan
pedangnya. "Masih ada golokmu itu" berkata si pendeta, dingin
Kembali siauw Pek menurut. Ia mencabut goloknya dan
melemparkan pula ketanah. Pendeta itu menghela nafas perlahan.
"Tuan tuan, silahkan turut aku," katanya sungguh sungguh. Dia berpaling untuk jalan-Siauw Pek mengawasi pedang dan goloknya itu, katanya didalam hati: "Itulah warisan kedua guruku, terutama golok mustika itu, bagaimana aku dapat membiarkannya" Kenapa nona Hoan bersandiwara begini rupa" Bagaimana kalau kita menghadapi musuh tangguh" Tidak bisa lain, mesti aku mengandalkan kedua tanganku saja..."
Pendeta itu membawa ketiga tamunya kesebuah ruang dimana terdapat banyak pendeta, disana tampak It Tie Taysu duduk
bercokol di atas sebuah kursi, wajahnya muram. Ketika dia melihat
sipendeta pengantar, dia bertanya tawar: "Apa kau kau tidak mati" "
Pendeta itu menjawab: "Teecu menghendaki dia meletakkan dahulu senjatanya, baru teecu menghendaki dia menghadap
hongthio. Nyatanya dia menuruti semua kata kataku, hingga teecu jadi tidak mempunyai kesempatan untuk turun tangan terhadapnya."
Mendengar jawaban pendeta itu, siauw Pek berpikir: "Ditempat terbuka seperti tadi itu, andai kata kau hendak bunuh aku, tanpa ada yang bantu, tak mungkin tercapat maksudmu"
Wajah It Tie tetap suram. Dia mengulapkan tangannya. "Baiklah Sekarang kau boleh beristirahat" demikian perintahnya.
Pendeta itu menurut. Dia memutar tubuh dan berlalu. Sekarang ketua Siauw Lim Sie itu menatap tajam ketiga tamunya.
"Kamu hendak bicara apa" " sapanya kaku. "Bicaralah "
soat Kun menyahut tenang. "Anggota anggota kuilmu yang lihay sangat besar jumlahnya, sebaliknya jumlah kami sedikit sekali, maka itu kami hendak minta taysu."
It Tie memotong dingin, "Mungkin karena kamu tahu bahwa kamu tidak bakal lolos maka kamu hendak memohon damai dengan punco" "
Siauw Pek sementara itu menghitung jumlah para pendeta, kira- kira dua puluh orang, yang semua lengkap bersenjata serta matanya mengawasi tajam kearah pihaknya. Ia memikir-mikir bagaimana harus melayani mereka itu andai kata pertempuran mesti terjadi. Soat Kun tidak menghiraukan sikap orang yang tawar itu. "Apakah Taysu dapat menerima baik" " ia bertanya.
"Jikalau kamu menghendaki jiwa kamu, jalannya cuma satu " menjawab pendeta kepala itu, suaranya itu tetap dingin.
Dengan sabar Nona Hoan mengangkat tangannya. "Seseorang,
asal dia ingin hidup apa juga dapat diperbuatnya." sahutnya pula.
"Siapa tahu selatan, dialah si orang gagah, demikianlah ajaran orang jaman purba kala" berkata It Tie, nyaring. "Karena kamu tahu bahwa kamu tidak dapat membangkang lagi, tak usah kamu banyak pikir pula." Mendadak saja si nona memperdengarkan suaranya.
"Taysu" katanya, "andaikata tempat kita bertukar^ bagaimanakah sikapmu nanti" "
It Tie menjawab lantang. "Letakkan senjata manda ditelikung, menyerah atas segala keputusan kami."
"Bagus" berseru sinona, yang nada suaranya berubah: "Sekarang kamu boleh melemparkan senjatamu dan menyerahkan diri kamu untuk ditelikung" It Tie heran hingga ia tertawa keras. "Eh, siecu, apakah kau sudah menjadi edan" " tanyanya. Soat Kun tetap berlaku tenang.
"Di detik ini kamu sudah tidak mempunyai kesanggupan berkelahi lagi" berkata si nona. "Jikalau kamu tidak mau melemparkan senjatamu, apakah kau hendak menantikan kematianmu?"
Bukan main gusarnya si pendeta. "Eh, kau ngaco belo apa" " teriaknya.
"Jikalau kamu tidak percaya, taysu, silahkan kau coba menyalurkan napas mu," berkata sinona, tenang. "Selama kita berbicara tadi, aku telah menggunakan kesempatanku untuk menyentilkan bubuk racunku yang tak berwarna dan tak berbau untuk kau sedot"
"Jika kata katamu benar, kamu bertiga juga terkena racunmu itu"
"Kami datang dengan bersiap siaga, kami sudah lebih dahulu memakai obat pencegahnya."
"Oh, perempuran busuk. Seharusnya dari siang siang aku berjaga jaga terhadapmu"
"Ini dia yang dibilang, satu salah, semuanya Taysu sudah kalau, sudah seharusnyalah kau mengakuinya."
It Tie tidak menghiraukan kata kata orang yang menusuk rasa keagungannya, diam diam ia bernafas. Begitu ia menarik nafas, begitu ia merasakan nyeri dalam perutnya. Tentu saja, kagetnya tidak kepalang.
Selagi si ketua berdiam, para pendeta lainnya turut berdiam juga
. Seperti si ketua diam diam mereka itu sudah bernafas dan benar saja masing masing merasai perutnya nyeri.
Selama itu Siauw Pek memasang mata secara diam diam, bersiap untuk sesuatu kemungkinan ia bisa melihat para pendeta berdiam, tak ada yang bersikap hendak maju menyerang.
"Apakah benar benar mereka semua telah terkena racun," pikirnya.
"Para taysu, apakah sekarang kamu sudah percaya kata kataku"
" kemudian terdengar suara si nona.
Semua pendeta berdiam, cuma mata mereka itu diarahkan pada ketua mereka. Rupanya mereka menanti jawaban atau isyarat ketuanya. Dengan perlahan, It Tie memberikan jawabannya.
"Tidak salah, kami semua telah terkena racun" katanya.
"Itu artinya," berkata si nona, "di dalam mengadu kecerdasan ini, kau kalah"
"Sekarang apakah perintahmu, nona" " tanya It Tie. Tak mau dia langsung mengutarakan, atau mengakui, kekalahannya itu.
"Kami mengharap." menjawab sinona, "supaya taysu meng eluarkan perintahmu menarik kembali semua orangmu yang mengurung kami, untuk menanti sampai waktunya para tianglo memunculkan diri" It Tie mengangguk.
"Baik! punco berikan titahku" sahutnya. "Nah mana obat pemunah racunnya" "
"Jangan kesusu taysu," berkata si nona. "Racun yang aku gunakan itu bersifat keras tapi pun luar biasa. Asal kamu tidak menggerak gerakkan nafasmu dan tidak berkelahi menggunakan tenaga, racun itu tak akan bekerja"
"Apakah siecu mau artikan supaya aku mengeluarkan saja perintahku membubarkan pengurungan tetapi obat pemunahnya tak mau siecu berikan" " it Tie tegaskan-
"Aku ingin pihakku berjalan sama sama kamu, taysu. Kami mau menanti sampai para tiang loo sudah keluar, baru aku hendak memberikan obat pemunahku."
"Siecu, kau pandang punco orang macam apakah" " It Tie mendongkol.
"Aku tak peduli taysu orang macam apa. Bukankah jiwa taysu cuma satu" Kalau taysu tidak takut mati, tak usahlah taysu menerima baik syaratku ini "
Tenang sikap sinona tapi kata-katanya bernada kepastian-Hanya sedetik, ia segera berkata keren-"Coba kasih mereka lihat " Kata- kata itu ditujukan kepada Siauw Pek.
"Ya, nona" sahut sianak muda, yang segera meluncurkan sebelah tangannya.
Itulah serangan terhadap seorang pendeta. Dia ini wajar saja mengangkat sebelah tangannya untuk menangkis.
Maka beradulah tangan mereka dan suaranya terdengar cukup keras. Akan tetapi lebih keras adalah jeritan kesakitan dari sipendeta, yang segera berjongkok sambil memegangi perutnya.
It Tie Taysu terperanjat. Dia mengawasi orang itu. wajah sipendeta meringis ringis menahan nyeri, mukanya bermandikan peluh dingin, yang turun menetes. Nyata sekali dia lagi menderita siksaan sang nyeri.
Soat Kun tidak dapat melihat kesudahan perintahnya itu tetapi ia tahu segala sesuatu, Soat Gie terus mengisikinya.
Semua pendeta lainnya kaget juga . Korban itu adalah suheng
atau kakak seperguruan mereka. Didalam hati, mereka pada
mengatakan^ "Teranglah sinona bukan hanya menggertak."
"Bagaimana taysu, apakah taysu telah melihat" " kemudian Nona Hoan tanya ketua Siauw Lim Sie itu.
"Ya" sahut sipendeta.
"Demikianlah, taysu Siapa untuk membela diri sendiri saja tak mampu, mana dia sanggup menolong lain orang" demikian berkata sinona.
It Tie bungkam, cuma matanya mengawasi dua orang pendeta dikiri dan kanannya.
Soat Kun menanti jawaban dengan sia sia, maka ia berkata^ "Kelihatannya taysu masih kurang percaya. Pastilah taysu ingin mencoba coba, bukan" " Mendengar perkataan sinona, Siauw Pek maju dua tindak menghampiri It Tie. Kedua pelindung ketua itu maju, untuk menghadang sianak muda.
Melihat aksi orang, Siauw Pek menggerakkan kedua tangannya untuk menepuk kedua orang itu. Sesudah melihat contoh, sebenarnya kedua pendeta itu takut untuk menangkis, akan tetapi
mereka terpaksa. Mereka tidak dapat berdiam saja. Begitulah
mereka menggunakan tangan mereka, guna melindungi diri.
Segeralah tangan kedua belah pihak beradu satu dengan lain, suaranya keras. Menyusul itu kedua pendeta terpukul mundur, terus mereka berjongkok sambil memegangi perut mereka. Bahkan mereka ini menderita terlebih hebat daripada kawannya yang satu itu. Selain mandi peluh, mereka juga merintih-rintih "Itulah bukti bahwa racun sudah mulai bekerja" berkata Nona Hoan-"Asal kamu mengerahkan tenaga dalam kamu, racun akan bekerja lebih hebat, hingga ususmu akan melilit melingkar-lingkar, nyeri bukan kepalang tak akan kamu sanggup bertahan walaupun tubuhmu tubuh emas atau baja. Para suhu, siapakah yang tak mau percaya aku" Silakan coba"
Belum berapa lama suara nona berhenti, mendadak seorang pendeta kesakitan, terus dia berjongkok sambil memegangi perutnya.
Pendeta itu tidak diserang oleh Siauw Pek dan juga dia tidak membokong Soat Kun, dia menjerit dan kesakitan sendiri, hingga semua kawan menjadi heran-Nona Hoan lalu berkata: "Taysu sekalian rupanya masih tidak percaya aku. Nah, inilah buktinya
Sekarang siapa ingin mencoba, cobalah mengerahkan napas atau tenaga dalamnya" Pendeta yang kesakitan seorang diri itu berdiam, dia menderita terus.
Semua pendeta berdiam, mata mereka mendelong. Tidak ada seorang juga yang berani mencoba mengerahkan tenaga dalamnya. Mata mereka semua diarahkan kepada It Tie seorang.
oleh karena ketua Siauw Lim Sie itu tetap membungkam, Soat Kun berkata pula^ "Ada pepatah mengatakan, 'Menangkap penjahat menangkap rajanya Menghajar ular menghajar kepalanya' Mungkin pepatah itu cocok untuk kita sekarang. Kuil kamu terjaga kokoh kuat dunia telah mengetahuinya, tapi kamu lihat sendiri, sekarang kami dapat memasukinya secara merdeka. Kamu sendiri aneh, para taysu, Sudah jelas ketua kamu yang sekarang tidak terang asal usulnya tetapi karena kamu jeri terhadap aturan kuil kamu yang keras, kamu tidak berani mengutarakan rasa hatimu sejujur- jujurnya... Buktinya, walaupun kamu sudah terkena racun, tanpa perintah ketua kamu, masih kamu tidak sudi melepaskan senjata kamu masing-masing, tak mau kamu manda ditelikung. Sekarang ini cara yang paling baik ialah menyuruh ketua kamu merasakannya sendiri, merasai penderitaan seperti ketiga kawanmu itu, barangkali barulah dia insyaf."
Berkata begitu, Nona Hoan berpaling kepada ketuanya. "coba serang It Tie barang dua jurus" demikian perintahnya.
Dengan mukanya tertutup Caia, tak ada seorang pendeta juga yang bisa melihat wajah nona ini, hingga juga tak ada yang ketahui bahwa ia sebenarnya tidak bisa melihat apa "Baiklah" Siauw Pek menjawab sinona, terus dia bertindak kearah ketua Siauw Lim Sie itu.
Melihat sianak muda maju, semua pendeta turut pula mendekati
ketua mereka. Mereka tahu bahwa mereka sudah tidak dapat
berkelahi, tapi toh mereka masih hendak melindungi juga .
Menampak demikian, Siauw Pek mangagumi aturan dari Siauw Lim Sie yang sangat ditaati itu. Walaupun begitu ia tidak menjadi
jeri, bahkan ia berkata kepada mereka semua: "Para suhu, walaupun kamu semua turun tangan, tak akan kamu dapat berbuat suatu apa. Tak nanti kamu dapat bertahan dari satu saja tanganku" Kata-kata itu ditutup dengan gerakan tangan kanan terhadap It Tie.
JILID 39 Seorang pendeta setengah tua melompat maju, untuk menghadang dengan tubuhnya didepan ketuanya. Dia tahu dia tak dapat menangkis, dengan berani dia pasang tubuhnya sebagai ganti sasaran Tepat dan telah serangan sianak muda mengenai dada
pendeta itu, maka tak ampun lagi, dia mengeluarkan jeritan
tertahan, terus dia jongkok dengan kedUa tangannya diperutnya
"oh, para suhu, kamU semUa memikir keliru" berkata Soat Kun. Ia buta tapi ia seperti dapat melihat. "Asal kamU bergerak tanpa menyalurkan napas, masih ada harapan racun didalam tubuhmu tak
berdaya. Demikian tentu anggapan kamu itu, Itulah keliru
Sebenarnya, asal tubuh kamu digerakkan, tentu kamu menderita"
"Para suhu" Siauw Pek berkata nyaring. Ia tidak menghiraukan suara Nona Hoan-"Para suhu, jikalau kamu tetap tidak mau menyingkir terpaksa aku hendak menurunkan tangan kejam. Jangan kalian menyesal atau mengatakan aku telengas"
It Tie melihat suasana buruk itu, yang tak dapat dihindarkan lagi. "Kamu semua minggir" akhirnya ia memerintahkan. Semua pendeta itu menyahuti, semua mundur dengan serentak.
"Kini bagaimana" " kemudian It Tie bertanya kepada Siauw Pek.
"Nona Hoan menghendaki taysu ikut pada kami pergi kedalam rimba," sahut sianak muda
"Jikalau punco tidak turut pergi" "
"Tak bisa lain, taysu harus merasai sedapnya racun" It Tie berbangkit ayal ayalan.
"Lekas minta pulang senjatamu" Soat Kun berkata kepada Siauw Pek.
Siauw Pek ingat pedang dan goloknya itu. Didalam keadaan seperti sekarang, senjata tak dibutuhkan, tetapi lain waktu. ia pula tak bisa kehilangan kedua senjatanya itu. Maka ia terus berkata kepada sipendeta
"It Tie, kau perintahkah orang mengembalikan pedang dan golokku"
"Itulah bukan urusanku" kata It Tie ketus.
"Biar bukan urusanmu, kau toh harus mengurusnya juga. Lekas perintah orang antarkan kemari, atau akan aku totok jalan darahmu yang disebut Ngo-im ciat hiat, supaya kau rasakan bagaimana sedapnya darah berjalan berputar arah serta juga bekerjanya racun." gertaknya.
Paras It Tie tetap tenang akan tetapi hatinya guncang hebat sebab takutnya. Maka ia menoleh kepada orang orangnya dan mengatakan sesuatu kepada satu diantaranya para pendeta.
Hanya sebentar muncullah seorang kacung pendeta yang membawa pedang Thian Kiam dan golok Pa Too, dilihat dari tindakannya yang gesit terang kacung itu tidak terkena racun.
"It Tie licin, perlu aku bersiaga," pikir si anak muda. Segera si kacung tiba didepan Siauw Pek.
"Apakah ini pedang dan golok siecu" " tanyanya sambil dia mengangsurkan kedua senjata itu, sikapnya hormat.
"Benar," jawab Siauw Pek mengangguk.
"silakan siecu periksa, supaya jangan salah." Siauw Pek menghunus goloknya.
"Golok ini tak salah," katanya sambil goloknya itu dimasukkannya
kedalam sarungnya. "Apakah pedangnyapun perlu diperiksa" "
"Tak usahlah," jawab Siauw Pek percaya. Kacung itu menjura terus dia mundur.
Dengan pedang dan goloknya telah kembali, legalah hati sianak muda.
"Apakah kita membawa dia pergi" " Siauw Pek bertanya kepada Soat KUn.
"Ya. Dia seorang saja sudah cukup," sahut si nona.
Siauw Pek menoleh pada It Tie "Taysu mari berangkat. Apakah
mesti kami mendesak" " It Tie menoleh kepada semua orangnya:
"Apakah nona menghendaki pinceng turut kamu" " dia bertanya. "Kemanakah" "
"Kedalam rimba," sahut Soat Kun. "Kami tak ingin melukai banyak orang, dari itu kami membutuhkan taysu, supaya kami tak usah sampai diserbu para pendeta." It Tie memandang Nona Hoan itu.
"Nona, pinceng kagum atas kepandaianmu menggunakan racun," katanya, "cuma..."
"cuma apakah, taysu" " tanyanya.
"Sejak memasuki kuil kami selalu nona mengenakan Cala, apakah maksudnya itu" "
"Apakah itu mengganggumu, taysu" "
"Siang hari terang benderang toh ada bintang muncul..." katanya seorang diri.
Siauw Pek heran, hingga ia mengangkat kepalanya. Hanya langit biru, bintang tidak ada sama sekali.
"Ah, apakah pendeta ini sudah edan" " pikirnya.
"Apakah taysu ingin melihat bintang disiang hari begini" " Soat Kun bertanya.
"Heran " pikir Siauw Pek. "Mengapa Nona Hoanpun bicara begini rupa" "
"Apakah kata nona" " It Tie tanya, alisnya berkerenyit. "Apakah taysu tidak mengerti" " sinona membaliki.
"Ya, benar punco tidak mengerti," jawab pendeta itu.
"Matahari dan rembulan berputaran tak hentinya," berkata sinona. "Begitu juga pemandangan alam bisa berubah-ubah. Sekalipun urusan didalam dunia, urusan apakah yang bakal tak berubah juga" "
"Maksud siecu, apakah..."
"Aku maksudkan soal-soal manusia, yang biasa muncul yang barunya, lalu semuanya berubah mengikuti sang waktu..."
It Tie menoleh kepada Siauw Pek. "Bagaimana siecu" " tanyanya.
Soat Kun menyela "Sang hari masih banyak taysu, jangan terburu-buru" Siauw Pek makin tidak mengerti.
"Apakah yang mereka bicarakan" " ia tanya dirinya sendiri. "Yang satu bicara soal bintang yang lain tentang manusia. Itu sama artinya dengan bertanya kepada kerbau dengan mulut kuda..."
Saking bingung, ingin sianak muda menanyakan kepada soat Kun. Tapi ia mendengar si nona sudah berkata pula: "Mari lekas kita memasuki rimba. Jangan membiarkan mereka menanti terlalu lama
" Dan sinona mempercepat langkahnya, mendahului yang lainnya.
It Tie turut bertindak cepat juga , untuk menyusul sinona, dia berjalan dibelakang nona itu.
Hanya sebentar, tiba sudah mereka didalam rimba dimanaBan Liang dan yang lainnya justru hendak keluar untuk menyusul
mereka. Mereka ini berlega hati berbareng heran, sebab tampak It Tie diantara nona-nona dan ketuanya itu.
Segera setelah mendekati Siauw Pek, separuh berbisik, sijago tua bertanya kepada anak muda itu: "Ketua Siauw Lim Sie mestinya dilindungi berlapis lapis pembelanya, kenapa dia sekarang dapat dibawa kemari secara mudah begini" "
"Nona Hoan telah menggunakan kepandaiannya," sahut Siauw Pek. "Semua pendeta lainnya dapat dipengaruhi maka juga pendeta ini dapat dipaksa datang kesini."
soat Kun berdua mengajak It Tie sampai di bawah sebuah pohon besar, disitu si pendeta lalu duduk bersila. Kedua belah pihak lalu berbicara perlahan suaranya. Karena terpisahnya jauh, Siauw Pek tidak dapat mendengarnya. Hanya selang sesaat, sinona tampak bertindak ke arahnya.
Ketika itu Giok Yauw dan Oey Eng tetap melakukan penjagaan
dibatas tin, mereka memasang mata keempat penjuru sambil
bersiap sedia untuk memberi laporan atau isyarat apa ada perlunya.
Selama tadi itu, karena pihak Siauw Lim Sie terus berdiam, Ban
Liang sekalian dapat kesempatan berjaga jaga sambil beristirahat.
Nona Hoan menghampiri Ban Liang. Katanya^ "Kita telah mempunyai orang tanggungan tak usah kita khawatir pihak Siauw Lim Sie nanti menyerbu kita. Baiklah minta semua kawan agar beristirahat."
Ban Liang menerima baik anjuran itu dan menyampaikannya pada Giok Yauw semua.
Siauw Pek diam diam memperhatikan It Tie Taysu. Sipendeta duduk diam seorang diri saja. Mau atau tidak^ ia heran dan khawatir.
"Tak mudah sipendeta dibawa kemari," pikirnya. "Mana dapat dia dibiarkan terus berdiam seorang diri saja" Jika dia merat, bukankah itu akan mendatangkan kepusingan" Bagaimana andaikata dia datang menyerang bersama semua muridnya" Bukankah itu
berbahaya?" Tak dapat pemuda ini menguasai dirinya, maka ia menghampiri Soat Kun dan bertanya, "Nona membiarkan sipendeta berdiam seorang diri, apakah kau tidak takut kabur" "
"Jangan khawatir, tak apa apa," sahut nona. "Dia tengah memikirkan sesuatu, sebelum dia dapatkan pemecahannya, tak nanti dia kabur"
"Masih ada satu soal lagi, nona"
"Apakah itu, bengcu" silahkan perintah"
"Tadi... di tengah jalan, apakah yang nona bicarakan dengan it Tie Taysu" "
"oh, kau dengar itu" Kau merasa anehkan" "
"Tak cuma heran, bahkan bingung"
"Itulah suatu rentetan kata kata rahasia, yang aku sendiri masih belum mengerti..."
"sebenarnya, apakah yang nona bicarakan dengannya" "
"Aku ingin memancing dia memecahkan kata kata rahasianya itu serta hubungannya..."
"Kalau nona sendiri tak mengerti, mungkinkah dia" " Siauw Pek bertanya pula.
soat Kun tak menjawab. Dia memakai cala, tidak tampak airmukanya. Hanyalah Soat Gie yang tertawa, Malam dan siang, setiap detik, adik ini selalu mendampingi kakaknya, dia mirip bayangan si nona cerdik pandai itu. Apa segala yang ia lihat dan dengar, semuanya itu diberitahukannya kepada kakaknya. Dilain pihak, ia bersikap seperti juga ia tak memperhatikan segala sesuatu Sebab tak peduli ada kejadian apa menggembirakan ataU berbahaya, air mukanya tidak berubah. Dia selalu tenang tenang saja. Hingga kemudian, seperti melupakannya. Tapi kali ini, diluar kebiasaannya, dia tertawa. maka juga dia menarik perhatian Siauw Pek semua.
Siauw Pek berpaling. Melihat wajah orang, ia menjadi kesengsam. Kecuali tawanya itu merdu, kecantikan Soat Gie sangat menakjubkan "Jikalau dia dapat bicara, sungguh dialah nona paling istimewa..." pikir ketua ini...
Perhatian si anak muda terhadap soat Gie berhenti sampai disitu, sebab ia telah mendengar suaranya soat Kun. Kata nona penasehat itu "sebegitu jauh aku berbicara dengannya, aku masih belum melihat pemecahannya..."
"Agaknya dia mulai bercuriga," Siauw Pek menyatakan "Dia hanya merasa aneh, maka juga dia menggunakan otaknya untuk memikirkannya."
"Sekarang kita sudah menawan ketua Siauw Lim Sie dan
mengekangnya, bagaimana tindakan kita selanjutnya" " "Bagaimana pikiran bengcu sendiri" "
"Menuruti suara hatiku, ingin aku segera membalaskan dendam kesumatku," sahut si anak muda, ragu ragu, "akan tetapi sekarang, aku mendapat serupa perasaan lain..."
"Apakah itu, bengcu" Apakah kelainan itu" "
"Sekarang aku merasa bahwa dendam keluargaku seperti telah menjadi satu dengan suasana dunia Sungai Telaga seluruhnya, maka juga sekarang aku tak kesusu dengan niatan pembalasanku itu..."
"Bagus, bengcu Bagus kau telah memperoleh pengertian itu"
"Maka itu, nona, bagaimana sekarang kita harus bertindak" "
"Yang paling utama ialah kita berbicara dengan para tiang loo Siauw Lim Sie itu."
Waktu mereka berdua bicara sampai disitu, tampak Ban Liang datang bersama Giok Yauw dan yang lainnya.
"Banyak capai, Nona Thio" Soat Kun mendahului menyapa. Ia tidak melihat tetapi kisikan tangan Soat Gie memberitahukan ia siapa siapa yang menghampirinya.
"Terima kasih, Nona Hoan" Giok Yauw membalas.
Soat Kun segera berkata kepada Ban Liang. "Ban Huhoat, aku mohon bertanya sesuatu."
"Oh, nona" berkata sijago tua. "Nona titahkan saja"
"Peperangan tak mengenal kelicikan atau kepalsuan, bukan" " berkata si nona, "Dengan satu pada lain menjadi musuh, bukankah kita dapat menggunakan segala macam siasat atau akal" "
"Benar Didalam dunia Sungai Telaga, keadaanpun mirip seperti itu. Terhadap musuh tidak soal jujur atau adil lagi"
"Kalau begitu, baiklah" berkata nona Hoan "Sebentar aku hendak mohon Ban Huhoat bekerja"
"Kerjaan apakah itu, nona" "
"Untuk menotok jalan darah It Tie Taysu"
"Apakah nona maksudkan aku menotok secara membokong" " Ban Liang tegaskan-


Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar Kita telah menculik ketua Siauw Lim Sie, walaupun para tiangloo tidak puas pada ketuanya itu, biar bagaimana, mungkin mereka itu akan berdaya menolongi ketuanya..."
Nona Hoan berhenti sejenak. untuk menarik napas lega.
"Selama ini kita memang telah bertempur dengan jago-jago Siauw Lim Sie, akan tetapi, mereka itu baru termasuk jago jago kelas dua atau tiga," Nona Hoan melanjutkan "Tidak demikian para tiangloo itu. Karena ada kemungkinan kita nanti bentrok dengan mereka itu, sekarang haruslah kita beristirahat."
Kata-kata si nona benar, maka Ban Liang semua menurut. Lalu semua beristirahat.
Siauw Pek tidak dapat beristirahat sepenuhnya. Ia tetap bercuriga dan khawatir It Tie kabur, maka itu, senantiasa ia melirik kepada pendeta itu.
Di luar kecurigaan si anak muda, It Tie bersikap sangat tenang. Dia seperti tak menghiraukan bahwa orang mengawasinya. Dia duduk tenang sekali, bahkan dia seperti sedang berdiam didalam rimba ini Selewatnya beberapa waktu, didalam rimba itu tampak muncul dua orang pendeta. Mereka itu bergerak kearah ketua Siauw Lim Sie. Teranglah mereka itu datang dengan niat menolong ketua mereka.
Siauw Pek memasang mata, ia meliaht datangnya kedua pendeta itu. Segera ia melompat bangun dan menghunus pedangnya. Ia hendak mencegah
Tiba-tiba terdengar suara perlahan dari Soat Kun disisinya:
"Lekas duduk kembali. Tenang tenang saja mengawasinya."
"Mereka itu mau menolong It Tie..." kata si anak muda.
"Jikalau It Tie mau kabur, sekarang sudah terlambat, tak akan keburu kau mencegahnya." kata pula sinona.
Sianak muda melengak. "Nona Hoan benar..." pikirnya.
Maka itu lalu duduk pula, matanya mengawasi si pendeta itu serta kedua pendeta yang datang hendak menolongnya.
It Tie mengawasi kedua pendeta itu, bibirnya bergerak gerak. Kemudian kedua pendeta lalu menjura, setelah mana, keduanya terus mengundukan diri, berlalu dari tempat itu. Teranglah ketua Siauw Lim Sie itu menampik pertolongan orang orangnya.
Diam diam Siauw Pek berpikir "Luar biasa Bukankah It Tie mempunyai kesempatan untuk meloloskan diri" Disekitar kita ada banyak pendeta lainnya, asal dia kabur, pasti mereka itu akan menghalang halangi pihakku yang akan mengejarnya Kenapa dia tak mau pergi" "
Dengan perlahan pemuda ini berpaling kepada soat Kun, sambil mengawasi sinona, ia berkata didalam hati^ "Tak tahu dengan cara apa nona ini dapat membuat It Tie suka tunduk terhadapnya. Sungguh aneh..."
Tiba-tiba sianak muda mendengar pertanyaan nona itu. "Apakah kau merasa aneh" "
"Benar," jawab sianak muda terus terang. "Makin lama aku makin bingung."
"Semasa hidupnya guruku," sinona memberi keterangan, "ia sering mengajari aku perihal sifat manusia, tentang pelbagai perasaannya, terutama mengenai kelemahannya. sifat itu terbagi tiga macam. Gutuku berkata, makin seorang jahat dan kejam, makin dia takut mati..."
Sinona menghela napas, setelah itu ia melanjutkan^ "it Tie adalah tergolong lemah hatinya Dia cerdas dan licik, dia kejam sekali, tetapi diapUn. takut mati. Maka itu, asal kelemahannya itu dapat dikuasai, dia dapat dipengaruhi"
"Oh begitu, nona" " kata sianak muda, heran dan kagum. "Jadi dia takut mati disebabkan dia khawatir racun didalam tubuhnya nanti bekerja membetot nyawanya" Dia takut nanti tak tertolong maka juga tak berani dia buron"
"Terkaan kau benar sebagian saja, bengcu," berkata Soat Kun. "Siauw Lim Sie mempunyai macam obat juga obat pemunah racun, kalau It Tie dapat pulang, dia bisa menolong diri dengan memakai obatnya itu. Itulah berarti sebagian harapan hidupnya. Kenapa dia tak mau mencobanya" "
"Inipun benar," Siauw Pek mengakui didalam hati. Tapi toh ia bertanya: "Habis, kenapa It Tie tetap tidak mau lari" "
soat Kun menjawab, perlahan^ "Dia bersangsi, dia mencurigai aku adalah konconya. Dia menyangka aku sedang menjalankan tugas di dalam kuil Siauw Lim Sie, kedudukan it Tie sangat tinggi dan mulia, akan tetapi dimana Seng Kiong Sin Kun, dia tak lebih tak
kurang daripada seorang prajurit pesuruh. Maka itu dia sangat menghormati orang orang dari Seng Kiong."
"Apakah sebabnya itu, nona" "
Sianak muda tetap belum mengerti jelas.
"Sebabnya ialah, Sebelumnya It Tie menjadi ketua partainya dia sangat menginginkan dan mengharap harap kedudukan ketua partai itu. Lalu datang orang orang Seng Kiong, yang membantu dia memperolehnya. Dengan begitu mungkinkah orang seng Kiong memperkenankan dia melakukan apa yang dia suka" Pastilah kemerdekaannya dikekang dengan pelbagai cara"
"Siauw Lim Sie besar dan kuat, tak dapatkah Siauw Lim Sie memberontak dan melawan Seng Kiong" "
"Nah, disini kita kembali kepada sifat manusia, kepada kelemahannya, ia cacatnya" berkata sinona. "Sebenarnya, didalam hatinya, tak nanti It Tie tunduk dengan sesungguh sungguh hatinya, tetapi suasana, atau keadaan, memaksanya tunduk. Yang paling diakui olah It Tie bukanlah soal Seng Kiong nanti mengirim orangnya yang liehay untuk datang ke Siauw Lim Sie merampas jiwanya. Sebagai ketua Siauw Lim Sie, dia dapat mengatur penjagaan kuat guna melindungi keselamatannya. Seng Kiong boleh mempunyai banyak orang kosen tetapi tak usah It Tie khawatir. Yang dia takuti yaitu takut nanti Seng Kiong membeber rahasia kejahatannya. Kalau rahasianya dibeber, dia bukan saja bakal tak menjadi ketua Siauw Lim Sie lagi, bahkan sebaliknya, dia akan menjadi simurid murtad, murid pendurhaka secara demikian didalam waktu sekejap saja dia bukan ketua Siauw Lim Sie yang diagungkan dan dimalui"
"Habis nona, bagaimana nona dapat membuatnya menuruti segala kehendakmu, buat duduk berdiam saja tanpa bergerak bergeming" "
"Itulah sebabnya pertama-tama dia takut racun nanti bekerja, dan kedua dia mencurigai akulah orang Seng Kiong, karena itu, tak berani dia menantang aku."
"Jikalau demikian adanya, habis kenapa nona tak
menginginkanBan Huhoat menotok jalan darah pendeta itu" "
"Tepat pertanyaan ini, bengcu Tidak saja bengcu gagah perkasa tapi juga kau cerdas sekali, kau telah maju pesat sekali. Bilang terus terang, kecerdasan orang tampak dari kecerdikannya, dari cara pemikirannya yang lengkap sempurna, yang nyalinya besar dan teliti. Di dalam ilmusilat itu berarti pandai mencari bagian bagian tubuh yang lemah dan berbahaya untuk dijadikan sasaran penyerangan-.."
Nona Hoan berhenti sejenak, baru ia menambahkan^ "Sekarang ini It Tie tengah mencurigai aku sebagai utusan Seng Kiong, tetapi nanti kalau kita berbicara dengan para tiangloo, pasti kecurigaannya itu bakal segera lenyap sendirinya, lalu dia telah merasa merdeka seluruhnya..."
Selagi mereka bicara itu, tiba tiba tampak satu bayangan orang melesat datang. Kiranya itulah Han In Taysu, yang datang untuk menyampaikan laporan. Sambil berdiam dekat muda mudi itu, pendeta itu berkata, "Nona Hoan suasana rupanya."
"Apakah itu" " tanya si nona.
"Baru saja loolap turun dari atas pohon," menjawab sang pendeta tua. "Selagi memasang mata keempat penjuru, loolap melihat muncul tak kurang dari pada lima ratus jiwa pendeta Siauw Lim Sie yang tengah mendatangi kearah sini... Mungkin mereka hendak mengurung kita..."
"Apakah sekarang sudah tiba waktunya para tiangloo muncul" " tanya si nona. Han in menengadah kelangit.
"Mungkin belum waktunya..."
"Kalau begitu, perintahkanlah semua orang bersiap ditempatnya,
tetapi dengan sedikit perketat diri" Nona Hoan menitahkan.
"Nona," berkata Han in heran, "kalangan Ngo Heng Tin sudah tak luas, kalau itu diperkecil pula. bukankah kita jadi berada ditempat kecil" "
"Inilah terpaksa, taysu," berkata Soat Kun.
Ketika itu Ban Liang bersama Oey Eng, Kho Kong dan Giok Yauw telah datang berkumpul. Bertambah kuat kepercayaan dia itu terhadap Nona Hoan sejak si nona menawan it Tie taysu.
Segera nona itu memesan: "Kecuali sangat terpaksa, jangan huhoat sekalian turun tangan Ban huhoat tolong perhatikan, begitu lekas para tiangloo muncul, segera kau totok It Tie beberapa kali, jangan terlalu keras dan juga jangan terlalu ringan, cukup asal dia tak dapat bicara dan bergerak. Ingat, jaga jangan sampai dia roboh
" "Baik, nona," Ban Liang memberikan janji.
Nona itu menghela nafas. Ia berkata pula. "Inilah saat penting terakhir, harap kalian waspada, tak dapat kita membuat para tiangloo gusar, atau misaikan kita bisa taklukkan it Tie, itu tak ada gunanya. Yang penting ialah membuat semua pendeta Siauw Lim Sie tunduk dengan hati ikhlas"
"Apakah nona telah memperoleh kepastian" " tanya Ban Liang.
"Aku masih ragu ragu tapi aku mengharap sangat bisa menaklukkan pihak Siauw Lim Sie."
"Bagaimana cara nona hendak berbicara dengan para tiangloo itu" " tanya pula Ban Liang. Dia berduka hingga dia menarik nafas. Dia ragu-ragu.
"Aku akan menunjukkan kenyataan kepada mereka. Yang kukuatirkan ialah mereka memberati muka mereka hingga mereka tak sudi menggubris hal yang sebenarnya. Apabila itu terjadi, pertumpahan arah tak dapat dihindarkan lagi."
"Apakah rencana nona andaikata kita mesti bertempur" " Ban Liang masih menanya.
"Tak dapat kita mengandaikan tenaga kekuatan saja" "Bicara buruknya, nona, bagaimanakah sikapmu" "
"Jikalau terpaksa, mesti kita tumpas Siauw Lim Sie hingga dia tak akan dapat bangkit pula "
"Sungguh hebat," pikir sijago tua. "Sudah berabad-abad Siauw Lim Sie berkenamaan, sungguh sayang kalau dia runtuh ditangan seorang wanita..." Karena berpikir begitu, ia segera berkata perlahan: "Kalau bisa, nona, janganlah kita menanami permusuhan hebat dengan pihak Siauw Lim sie..."
"Itu juga maksudku, Ban Huhoat. Harap kau melegakan hati, Kecuali sangat terpaksa, tak nanti aku mengambil jalan terakhir. Kita cuma ingin lolos dan selamat, bukan" "
Mendengar pembicaraan itu, Giok Yauw dan lainnya berpikir masing masing. siauw Pek percaya penuh kepada kemampuan si nona. Buktinya It Tie dapat ditawan secara mudah sekali.
Giok Yauw baragu ragu. Oey Eng dan Kho Khong kurang percaya, sebab setahu mereka, Siauw Lim sie sesungguhnya sangat kuat.
Han In Taysupun bersangsi, ia separuh percaya separuh tidak.
Karena pikiran mereka itu berbeda, semua menjadi berdiam saja.
soat Kun dapat menerka hati sekalian kawan itu, maka ia segera
menambahkan. "Memang sulit kita mengandal kepada kekuatan
tenaga saja, walaupun demikian, mesti ada jalan pemecahannya. "
Pembicaran mereka terputus oleh kata kata Han In Taysu "Ada orang lagi mendatangi. Mungkin ditawannya It Tie ada yang melaporkan, maka juga para tiangloo muncul siang siang."
Siauw Pek segera berpaling. Iamelihat datangnya seorang pendeta tua dengan jubah putih, yang jalannya perlahan, pertanda
dari kesabaran dan ketenangan-Dia datang seorang diri tanpa
membekal senjata. Mestinya dia datang bukan untuk bertempur.
Selekasnya dia datang dekat, pendeta itu menghentikan tindakannya. Dia tidak menanti sampai ditegur atau disapa. Segera dia mengangkat tangannya memberi hormat seraya berkata:
"Loolap ialah su Kay. Diantara Siecu sekalian, siapakah yang memegang tampuk pimpinan" "
"Ada pengajaran apakah, taysu" " tanya Soat Kun.
"Para tiangloo kami mendengar halnya diantara siecu sekalian dengan pihak Siauw Lim Sie telah terjadi salah paham benarkah itu"
" "Itulah benar. Apakah pendapat taysu" "
Mata Su Kay menatap It Tie "Loolap diutus datang kemari untuk mengundang satu atau dua siecu datang ke kuil kami untuk menemui para tianglo. Entah siecu dapat menerima undangan ini atau tidak" "
"Baik, taysu, kami bersedia," sahut Soat Kun "Tetapi, kami minta
supaya ketua kamu ditinggal disini sebagai orang tanggungan."
Berkata begitu, si nona segera mengangkat naik tangannya merapikan rambutnya, yang turun dikedua pipinya. Dia membawa sikap yang wajar sekali, sedang Soat Gie tersenyum.
Ban Liang telah dipesan si nona, melihat gerak-gerik si nona itu, mengertilah ia akan tugasnya. Ia segera bertindak kepada It Tie untuk menotok pendeta itu.
It Tie tidak berdaya, mudah saja ia kena ditotok. Ia tidak memperlihatkan reaksi. Tetapi Su Kay Taysu yang liehay melihat perbuatan Ban Liang, ia dapat menerka maksudnya itu, ia menjadi kurang puas.
"Siecu sikapmu ini kurang tepat " katanya.
"Apakah itu, taysu" " si nona berpura2 pilon.
"Semenjak berdirinya, pihak siauw Lim Sie belum pernah dipaksa orang" jawab Su Kay. "Nona telah menculik ketua kami, itulah satu soal, tetapi sekarang, tengah kita berbicara, kenapa ketua kami itu ditotok jalan darahnya" "
"Selama kami menawan ketua kalian, taysu, tak pernah kami menotok dia." berkata Nona Hoan, menerangkan "tetapi sekarang karena taysu datang mengundang kami untuk menemui para tiangloo, terpaksa kami membuat penjagaan."
"Kalau ketua kami tak ditotok," berkata pula Su Kay dingin, "kenapa sejak tadi-tadi walaupun dia melihat loolap, dia bersikap tak tahu menahu. Tak peduli" "
"Dia tengah berpikir banyak hal, dari itu dia tak melihat taysu."
Su Kay sangat sabar, bisa ia menguasai diri "Diantara siecu, siapa kah yang akan pergi" "
"Itulah bengcu serta kami berdua saudara, bertiga orang. Jumlah ini terlalu banyak atau tidak" "
"Yang mana bengcu siecu itu" Dapatkah loolap menemuinya" " tanya Su Kay itu. Siauw Pek maju dua tindak.
"Itulah aku yang rendah," sahutnya. Ia memperkenalkan diri tanpa menanti isyarat dari Soat Kun lagi.
Su Kay menatap tajam anak muda itu, sinar matanya dingin. "Sungguh siecu sangat muda," katanya sabar.
"Taysu cuma memuji" berkata sianak muda.
Masih Su Kay mengawasi ketika ia berkata "Menurut aktanya murid murid Siauw Lim sie, siecu mahir sekali menggunakan golok dan pedang, apabila ada kesempatannya, pastilah loolap sudi menerima pengajaran dari kau, siecu..."
"Jikalau taysu sudi memberi pengajaran kepadaku, rela aku menemaninya." sahut Siauw Pek.
Mendengar suara orang yang polos dan merendah itu, Su Kay Taysu tertawa bergelak. "Sungguh seorang muda yang gagah" pujinya.
"Para tianglo pastilah tengah menantikan kita," Soat Kun menyela, "karena itu, taysu, mengingat usiamu yang tinggi, aku
percaya, tidakkah karena kata kata taysu ini, taysu akan menghambat urusan besar kita..." Su Kay merasai teguran halus itu. Ia mengangguk.
"Benar," katanya. "Baiklah, nanti saja habis pertemuan dengan para tiangloo, baru loolap belajar kenal dengan kepandaian bengcu. Masih belum terlambat, bukan" Nah, dapatkah kita berangkat sekarang" "
"Sembarang waktu, taysu"
"Mari loolap yang mengantarkan" berkata pula si pendeta, yang terus memutar tubuh dan membuka langkahnya. Soat Kun berpaling kepada Han In Taysu. "Segala apa disini aku serahkan kepada taysu," pesannya.
Pendeta tua itu mengangguk. "Akan loolap coba," sahutnya.
sekarang si nona menoleh kepada Siauw Pek. "Mari kita berangkat" katanya. Ia merapihkan calanya. Demikian mereka berangkat dengan Su Kay Taysu berjalan dimuka.
Nona Hoan dapat berjalan dengan leluasa, walaupun sebelah tangannya terus berada pada bahu Soat Gie. Siapa yang tidak tahu pasti tak akan menyangka bahwa ia bercacat kedua matanya.
Siauw Pek berjalan didepan kakak beradik itu, sejarak dua tindak.
Sesudah melintasi beberapa halaman, tibalah rombongan ini disebuah halaman dimana tertanam segundukan pohon bambu hijau. Disitu terdapat banyak sekali pendeta, yang semua mempersenjatai diri, yang mengawasi para tetamunya dengan sinar mata tajam akan tetapi tak seorang punjua yang mengganggu.
Tiba dimuka pintu, Su Kay Taysu menghentikan tindakannya. "sudah sampai" katanya, memeritahu "Silahkan masuk "
Pendeta ini masih saja panas hatinya tetapi ia tetap menguasai diri, untuk terus berlaku tenang dan hormat.
Siauw Pek mengangkat kepalanya, untuk melihat papan dimuka pintu itu. Ia membaca tigahuruf "Tay Pie Ih" Jadi itulah halaman maha kasih, yang tertuliskan huruf huruf air emas.
"Silahkan, taysu" berkata Soat Kun, yang telah memperoleh kisikan Soat Gie,
"Maaf," berkata Su Kay, yang kemudian memimpin masuk.
Dengan sabar Siauw Pek bertiga mengikuti pendeta itu, masuk kedalam halaman. Didalam sini banyak pohon bunga, yang mengitari sebUah pavilyUn, yang seluruhnya diberi berwarna kuning. Undakan tangannya berjumlah tujuh tingkat.
Su Kay Taysu bertindak naik pada tangga itu, untuk masuk kedalam pavilyun.
Siauw Pek mengikuti bertindak masuk. Karena ia tahu ia berada ditempat berbahaya,
kedua tangannya meraba gagang golok dan pedangnya. Ia bersikap tenang tapi waspada.
Didalam pavilyun, asal wangi mengepul bergulung gulung, menyerang hidung mendatangkan rasa nyaman-Diantara kepulan asap itu tampak sembilan orang pendeta tua tengah duduk bersila. Jubah mereka berwarna abu abu. Diantara mereka itu terdapat juga su Lut, sedangkan Su Kay bersila dipaling ujung.
Sembilan pendeta duduk sambil meluruskan tangan
kehadapannya, tangan kanan berada atas tangan kirinya.
Menyaksikan sikap para pendeta itu, rasa hormat Siauw Pek datang sendirinya.
"Para taysu, terimalah hormatnya coh siauw Pek yang bertingkat lebih muda," katanya sambil memberi hormat.
Pendeta yang duduk paling tengah, yang usianya paling tua membuka matanya. Dia mengawasi si anak mdua. "Silahkan duduk. siecu," katanya, perlahan-Suara pendeta itupenuh dengan kewibawaan.
siauw Pek mengambil tempat duduknya. soat Gie mengajak
kakaknya duduk disamping ketuanya itu. untuk mereka telah
tersedia pou toan, tempat duduk istimewa untuk kaum pendeta.
Pendeta yang ditengah itu mengangguk kepada Soat Kun berdua, dengan hormat ia menanyakan she dan nona nona itu.
Soat Kun yang menjawab, menyebut namanya sendiri serta nama adiknya itu. Pendeta tua itu berkata pula, perlahan lahan: "Kalian bertiga datang ke siauw Lim Sie ini dan telah melakukan kekerasan hingga bagaikan langit terbalik dan bumi ambruk. juga kalian telah menurunkan tangan jahat membinasakan dan melukai banyak murid Siauw Lim Sie kami, apakah maksud kalian" "
Nona Hoan yang mananggapi pertanyaan pendeta itu. Ia berkata: "Partai taysu dipandang umum sebagai gunung Tay San atau bintang Pak Tauw dari kaum Rimba Persilatan, semua orang Rimba Persilatan menghormatinya. Partai taysu kecuali ilmu silatnya sangat tersohor juga jumlah anggotanya banyak sekali, tenaganya besar bukan main. Masih ada lagi, yaitu partai taysu sejak beberapa ratus tahun biasa mengutamakan kebenaran dan keadilan, setiap terdapat bencana dunia Sungai Telaga, orang orang partai taysu tak mau berpeluk tangan saja, selalu suka membantu menghindarkannya. Maka juga dimata kami, penghormatan kaum Rimba Persilatan terhadap partai taysu adalah karena kebenaran dan keadilan yang dijunjung itu."
"Siecu cuma memuji" berkata sipendeta. "Tapi loolap ingin lekas lekas mengetahui duduk kejadian yang sebenarnya, maka itu tolong siecu terangkan apa maksudnya maka siecu sekalian telah menyerbu masuk ke dalam kuil ini hingga terjadinya peristiwa itu yang menyedihkan. . . "
"Maksud kedatangan kami sebenarnya untuk mencari kebenaran, untuk menyelesaikannya," sahut Soat Kun, "akan tetapi diluar dugaan kami ketua kalian sudah mengandalkan kekuatan untuk menindas si lemah, dia telah memerintahkan para muridnya mengurung dan menyerang kami. Demikianlah, karena terpaksa, kami sudah melakukan usaha membela diri kami"
"oleh karena itu lalu siecu menggunakan tangan jahat siecu itu membunuh dan melukai beberapa murid kami" " tanya sipendeta itu.
"Pada saat membela diri mati matian, itulah sesuatu yang
terpaksa," kata Nona Hoan-"Dalam hal ini kami mohon maaf!!"
Pendeta itu berdiri sejenak. baru dia berkata pula^ "Tak peduli apa maksud kedatangan siecu sekalian, akan tetapi kalian telah melukai banyak murid siauw Lim Sie, hal itu sungguh tidka tepat Loolap menjadi ketua dari Tiang Loo Hwee, mana dapat loolap bertopang dagu tak mengurusnya..."
"Tiang Loo Hwee" ialah musawarah para tiangloo, pendeta pendeta tua dan Agung.
Berkata begitu pendeta tua mengangkat mukanya. Ia menghela napas.
"Sudah beberapa ratus tahun Siauw Lim Sie berkenamaan, dapatkah itu dibiarkan saja" "
"Dengan demikian, taysu," berkata soat Kun "karena cuma membela nama besar dari Siauw Lim Sie lalu kebenaran dan keadilan hendak diambaikan."
Pendeta itu menoleh kepada delapan pendeta lainnya, "Nah, sutee sekalian," katanya "Kalian telah dengar kata kata siecu ini, bukan" " Dengan serempak. kedelapan pendeta itu menjawab mengiakan.
"Sekarang sutee sekalian," kata sipendeta tua pula, "bagaimanakah pandangan kalian" Silakan utarakan itu dengan terus terang." Su Kay Taysu yang mulai bicara.
"siauwtee mempunyai satu pemandangan yang cupat," katanya.
"Siauwtee" ialah "adik kecil" untuk membahasakan dirinya sendiri sebagai adik. "Pandanganku benar atau keliru tolong suheng dan sute sekalian menimbangnya."
"Bicaralah, sutee."
"Mereka demikian bernyali besar telah mendatangi dan menyerbu kuil kita ini, itu tentu ada maksudnya, karena itu, siauwtee minta suheng dan sutee sekalian mencari tahu sebab yang sebenarnya itu." kata Su Kay.
Seorang pendeta, yang duduk dikiri ketua itu, lalu berkata.
"Siauwtee tak berani menyetujui pikiran Su Kay sutee." Dialah Su Ie.
Sipendeta tua mengernyitkan alisnya. "Apakah pendapatmu, sutee" " tanyanya.
"Walaupun perkataan Su Kay sutee mempunyai alasan tetapi urusan dalam kita tak dapat dibeberkan dihadapan orang luar" kata pendeta itu
"Habis, begaimana pendapat suheng" " langsung Su Kay tanya kakak seperguruan itu.
"Menurut pikiranku," Su Ie menyatakan terus terang. "paling dahulu kita tangkap hidup semua orang Kim Too Bun yang menyerbu kuil kita ini, terus kita hukum mati sesudah itu baru kita urus urusan dalam kita sendiri."
su kay Taysu menghela napas perlahan-"Sungguh kukagum buat kesetiaan Su Ie suheng yang hendak membela nama baik kita, kaum Siauw Lim Pay" berkata ia bersabar "akan tetapi dengan
terlebih dahulu menawan orang lalu hendak dihukum mati
semuanya, itulah satu soal pertanyaan-" Su Ie tertawa lebar. "Apakah itu yang menjadi soal pertanyaan" "
"Pihak Kim Too Bun mendatangi siauw Lim Sie tentu karena ada sebab atau maksud," kata Su Kay pula. "Kalau mereka ditangkap terus dibunuh, bukankah perkara jadi sukar diterangkan" Inilah yang menjadi soal atau pertanyaan yang kumaksudkan itu. Inilah pertanyaan yang pertama..."
"Bagus" Su Ie berseru. Lalu "Dan yang kedua" "
"Yang kedua sangat sederhana" sahut Su Kay. "Apakah orang orang Kim Too Bun dapat mudah ditawan" Jikalau mereka melawan,
pegangan apa kita punyai yang kita pasti dapat membekuk mereka"
" Su ie tersenyum. "Sutee menangkan lain orang, sebaliknya merendahkan diri sendiri, apakah maksudmu?" dia tanya. Nada suara itu mengejek, berirama menghasut.
"Siauwtee bicara dengan sejujurnya."
Su Ie berkata pula. sombong "Jikalau ada perkenan dari ketua kita, hendak ku menawan ketiga orang dihadapan kita ini untuk membuka matamu, sutee " Su Kay menyesal sekali.
"Selagi kita bicara dari urusan benar, kau menyimpang, suheng," pikirnya. "Kenapa kau turuti saja suara hatimu" Tapi, kalau kau tidak diberi ajaran, kau tentu tak puas..."
Maka ia lekas menjawab: "Baiklah, suheng, kau boleh coba, aku hendak menyaksikannya "
"Baik" berseru Su Ie gusar. "Sekarang juga loolap akan bekuk yang dua, saksikanlah" Su Ie tua dan beribadat, dia menyebut demikian rupa, terang bahwa gusarnya bukan buatan.
Pendeta yang ditengah itu berkata sabar: "Sudah, sutee, jangan kalian berselisih paham"
Su Ie tidak mau mengerti. Katanya: "Telah siauwtee mengucapkan kata-kata, harap suheng menepati kata-kata ku itu" Pendeta tua itu tertawa hambar.
"Kesulitan didalam dunia Rimba Persilatan umumnya disebabkan keruwetan perselisihan, karena benar dan salah," kata dia, sabar. "Kenapa sutee mendongkol didalam urusan ini" "
"Buatku ialah kata-kataku telah dikeluarkan" Su Ie masih membela. "Bahkan kata-kata ku itu telah didengar sendiri oleh musuh. Diluar dari duduk persoalannya, kata kataku telah menjadi soal tersendiri. Maka itu, suheng, beri perkenanlah kepadaku" pada akhirnya pendeta tua itu terdesak.
"Jikalau demikian pandanganmu, baik, suheng dapat memberi perkenan kepada kau," katanya. "Tapi benar apa yang dikatakan Su Kay sutee, sebelum kita tahu pasti duduk peristiwanya, tak dapat kita melukai atau membinasakan orang, maka itu, sutee, kau dapat turun tangan tapi jangan kau sembarang melukai orang"
"Siauwtee berjanji," berkata Su Ie, yang terus bangkit perlahan- lahan.
siauw Pek, yang mendengari saja perselisihan mulut itu, berkata didalam hatinya: "Didalam Siauw Lim Sie ada pendeta yang tak sudi membedakan benar atau salah, yang main mengeloni, itu artinya tak mungkin ada murid yang tak manja... Dia memaksakan kehendaknya, baiklah, dia harus diberi sedikit ajaran..."
Su Ie sementara itu sudah menghampiri soat Kun bertiga, dia berhenti sejarak tigakaki, segera dia menantang. "Kalian menjadi pemimpin pemimpin Kim Too Bun pastilah ilmu silat kalian mahir sekali"
Siauw Pek melirik kedua Nona Hoan, lalu ia bangkit. untuk berdiri tegak.
"Begitulah taysu boleh anggap" katanya singkat, bernada sombong. "Nah, ada apakah pengajaran taysu" " Su Ie memandang tajam.
"orangnya masih muda sekali, kenapa bicaranya begini kurang ajar" " katanya dingin.
Siauw Pek menyahut tenang. "Taysu tidak menaruh hormat
kepada kami, dari itu, kami pun tak usahlah menghormati taysu"
Su Ie gusar, katanya keras. "Kalau begitu, tak salahlah ciangbun sutit kami"
Degnan "ciangbun su tit" diartikan Su Ie ketuanya yang baru, yaitu It Tie Taysu. It Tie menjadi ketua (ciangbunjin) tapi dia menurut tingkat derajat menjadi "sutit" yaitu "keponakan murid".
Siauw Pek tidak mendengar kata apa apa dari soat Kun, ia tahu si nona menyetujui sikapnya ini. Terang Nona Hoanpun tidak puas terhadap pendeta yang keras kepala dan takabur itu. Maka itu, ia berkata: "Taysu tua dan agung tetapi dalam urusan ini taysu mengabaikan kebenaran. taysu bersikap terlalu keras dan melindungi yang sesat, maka itu," lalu dia berkata sabar, " orang ini sangat sombong, suheng telah melihat dan mendengarnya sendiri. jikalau siauwtee tidak mengajar adat padanya, dimana nama baik Siauw Lim Sie hendak ditaruh" "
Sembilan pendeta itu termasuk tiang lo yang dihormati, kecuali Su ie seorang yang lainnya tetap tenang, bahkan airmuka tak berubah sedikit juga . Pendeta yang ditengah itu memandang Siauw Pek sebentar, dia berdiam terus.
Su Ie tidak mendengar suara pendeta itu, dia menyangka ketua tiangloo itu menjemputnya, maka juga dia memandang Siauw Pek untuk menanya dengan suara sombongnya "Bagaimana sekarang" Kamu menghendaki lohu turun tangan atau kamu ingin mengikat diri kamu sendiri" "
Siauw Pek tetap berlaku tenang.
"Kami datang kemari tanpa niat sedikit jua untuk menempur taysu" sahutnya sabar.
"Walaupun kau tidak mengandung maksud bertempur tetapi kau sangat sombong, dalam hal ini saja sudah selayaknya kamu mendapat hukuman "
Siauw Pek merasa bahwa pertempuran tak dapat dihindarkan lagi, maka ia juga lalu berkata sungguh sungguh: "Jikalau taysu hendak mencoba coba kepandaianku, tak bisa lain, terpaksa aku yang rendah bersedia untuk melayani "
"Sungguh mulut besar" berseru Su Ie "Awas"
Mendadak saja sipendeta keras kepala meluncurkan tangan menyambar tangan kirisi anak muda.
Siauw Pek menarik tangannya itu sambil mundur dua tindak Ia tidak mau menangkis atau membalas menyerang. Ia cuma memasang mata tajam. "Kenapa kau tidak melawan" " Su Ie menegur.
"Taysu berusia tinggi dan bijaksana, aku yang muda harus mengalah," sahut Siauw Pek merendah.
Nampak Su Ie sangat mendongkol. Tapi dia tertawa dingin dan berkata: "Jikalau lolap salah tangan dan melukai kau, itulah salahmu sendiri "
Kata kata itu ditutup dengan serangan kedua sebelah tangan saling susul. Hebat serangan itu sebagaimana anginnya saja sudah menghembus keras.
Ketua Kim Too Bun berlaku sabar, tetapi lincah. Ia mengelit diri dari dua serangan itu. Walaupun demikian, ia terperanjat juga . Anginnya itu membuatnya risi.
"Amat gesit" Su Ie memuji sambil dia tertawa dingin, serentak dengan mana, dia mengulangi serangannya. Kali ini tangan kanannya melayang kearah dada. Panas juga hati sianak muda. Tawa itu tak sedap bagi telinganya.
"Jikalau aku tidak membalas dan memberi rasa kepadanya, dia tentu menyangka aku ini takut" pikirnya. Ia melihat serangan kali ini sukar ditangkis, maka ia menghunus pedangnya sambil berseru: "Awas..." lalu dengan pedangnya, hendak ia menyambut tinju lawan. Melihat orang menggunakan pedang, cepat cepat Su Ie menarik serangannya kembali.
Dilain pihak Siauw Pek, setelah orang batal menyerang, meneruskan menikam kedadanya lawan-Su Ie mendongkol serangannya dirintang pedang, dia merasa malu sebab dia dihadang di depan sekalian saudara seperguruannya, dilain pihak, dia masih ingat sipendeta ditengah, yang melarangnya bersikap terlalu keras. Selagi pedang meluncur, dia berkata dalam hatinya. "Jikalau didalam tiga atau lima jurus tak dapat aku kekang dia, sungguh malu". Maka tak ayal pula, dia mengebut dengan tangan kanannya
untuk menyingkirkan ujung pedang, sedangkan tangan kirinya ia membarengi menyampok.
Siauw Pek menyingkir kekiri, tak sudi ia memberikan tubuhnya sebagai sasaran.
"Sebat kau berkelit" kata Su Ie tertawa dingin. Kembali dia menyerang. Kali ini dengan tangan yang lainnya.
"Setiap serangannya berbahaya, tak bisa aku main berkelit saja." Siauw Pek berpikir. "Rupanya pendeta itu, dalam gusarnya berniat keras merobohkanku. Benarkah pertempuran ini mesti berakhir dengan satu menang dan satu kalah" Kalau benar begitu kenapa aku tak mau siang siang memutuskannya" "
Tengah anak muda ini berpikir, kembali serangan sipendeta datang Kali ini, karena ia sedang berpikir Siauw Pek berlaku lambat. Maka itu lengan kirinya kena tersentuh sedikit. namun itu juga sudah hebat. Tanpa merasa ia mesti tertolak mundur lima tindak. Lengannya itu terasa bagaikan beku. Melihat hasil serangan itu, Su Ie berkata seorang diri. "orang ini cuma begini saja kepandaiannya, kenapa kah banyak murid ku yang tak sanggup melayaninya" bukankah itu disebabkan kebanyakan muridku tidak cukup bersungguh sungguh mengejar kemajuan ilmu silatnya" " Kata kata itu diucapkannya seperti disengaja supaya murid-muridnya mendengarnya.
Sementara itu diam-diam Siauw Pek telah mengerahkan tenaga dalamnya, untuk memulihkan lengan kirinya itu, sesudah itu ia menyerang dengan satu tebasan.
Su Ie tertawa dinin. Dia mengebut dengan tangan bajunya. Sebelum pedang dapat dihalau pendeta ini dapat terkejut. Pedang lawan tidak meluncur terus, hanya berputar, pada lain kesempatan berbalik dipakai menikam.
Melihat demikian, sipendeta dengan sebat mundur dua tindak. Dia menaruh kaki untuk bersiap membalas menyerang. Tapi kembali ia menjadi kaget, sebab kembali serangan sudah tiba Siauw Pek mulai mendesak.
Su Ie sekali lagi mundur dua tindak. Dan sampai disitu, si anak mdua sudah menyerang dengan tipu-tipu dari Tay Pie Kiam hoat dengan cepat ia mengurung lawan dengan sinar pedangnya. Pedang itu mengeluarkan cahaya berkilauan, Pendeta itu terkurung hingga sulit untuk membalas menyerang. Kedelapan pendeta menonton dengan penuh perhatian. Ketika tadi Siauw Pek terdesak mereka acuh tak acuh. Sekarang lain Mereka memperhatikan dengan mata mereka terbuka lebar. Inilah sebab Su Ie yang dibikin terkekang. Hanya sebentar, belasan jurus telah berlalu. Masih Su Ie tak dapat meloloskan diri, walaupun dia telah mencoba dengan segala jalan, siauw Pek terus mengurung, kendati dia menyerang, tidak pernah ia melukai lawannya itu.
Lagi delapan jurus dilewatkan, tapi mendadak pendeta tua yang duduk ditengah itu, ketua Tiang Loo Hwee, yang sebenarnya adalah Su Khong Taysu terdengar berseru. "Berhenti." Didalam telinga Siauw Pek. suara sipendeta bagaikan guntur logam emas bentrok dengan logam besi, ia menjadi kagum sekali.
"Hebat tenaga dalam pendeta ini." pikirnya Dan ia lalu berhenti mengurung.
Su Ie telah mengeluarkan banyak tenaga, napasnya memburu. Dia terkejut berbareng mendongkol. Justru si anak muda berhenti menyerang, justru dia menyerang hebat sekali.
Itulah serangan diluar dugaan Siauw Pek. sukur ia dapat melihat dan bisa berlaku sebat. Ia berkelit hingga cuma ujung bajunya yang kena tertembus angin serangan maut itu.
"Sutee, berhenti" Su Khong berkata tawar. "Ilmu pedang siecu ini mirip dengan Tay Pie Kiam hoat dari Kie Tong, biar bagaimana kau tak akan sanggup melawannya."
Su Ie melengak. "ong Too Kiu Kiam" " tanyanya.
"Tidak salah" sahut Su Khong, yang terus menatap sianak muda sambil dia terus menanya^ "Siecu she apa" "
"Aku yang muda she coh," sahut Siauw Pek hormat.
"coh apakah" " Su Khong tanya pula. "coh Siauw Pek."
Pendeta tua itu nampak terkejut.
"Pernah apakah kau dengan coh Kam Pek dari Pek Ho Bun" " tanyanya pula.
"Dialah mendiang ayahku, yang dikepung orang dan dibinasakan dipuncak Yan In Hong." sahut Siauw Pek pula.
"oh, jadi kaulah turunan coh Kam Pek. Apakah kau datang kemari untuk menuntut balas sakit hati ayahmu itu" "
"Maksudku datang kemari bukan untuk menuntut balas."
"Bukan buat menuntut balas" Habis, buat apakah" " Menanya demikian pendeta tua itu mengerutakan alisnya. Lalu ia bertanya pula: "Apakah kau menghendaki Siauw Lim Pay muncul untuk mencampuri urusan dunia Sungai Telaga" "
"Demikianlah kira-kria."
su Khong menghela napas. "Memang pada saat ini kaum Rimba Persilatan sudah menghadapi ancaman petaka besar," katanya: "Kau masih sangat muda, tetapi cita-citamu luhur, kau harus dipuji."
Ia merandek sebentar, untuk kemudian bertanya: "Apakah ilmu silatmu warisan Thian Kiam Kie Tong" "
"Tidak berani boanpwee mendusta," sahut Siauw Pek. "Memang itulah Tay Pie Kiam Hoat."
Pendeta tua itu mengangguk perlahan-"Kalau demikian taklah heran banyak orang siauw Lim Sie yang terbinasa dan terluka," katanya pula.
Su Ie Taysu menyela: "Telah lama siauwtee mendengar nama besar dari Kie Tong, sebegitu jauh belum ada kesempatan buat
menemukannya, sekarang tiba ahli warisnya, ingin sekali siauwtee..."
Su Khong mengulap tangan memotong perkataan adik seperguruan itu. Ia berpaling pada sianak muda untuk bertanya pula: "sebegitu jauh yang loohu ketahui, kecuali pendeta Kie Tong tidak menggunakan lain senjata pula. maka itu kenapa, selainnya pedang, kaupun membawa golok."
Ditanya begitu, Siauw Pek berpikir dengan cepat, "Dapatkah aku bicara terus terang" Bukankah aku belum tahu hati pendeta ini" " dengan segera juga ia menjuawab: "Selain pedang, boanpwee mempelajari juga ilmu golok."
Su Khong dapat menerka orang tidak mau bicara sejujurnya, ia tidak memaksa. Ia memandang semua saudara seperguruan dan murid muridnya yang hadir bersama, baru ia berkata pula pada tetamunya bicaranya sabar: "Siecu telah mengacau didalam kuil kami ini serta banyak mencelakai murid kami, pasti kedatangan siecu bukan tak ada sebabnya, bukankah" "
"Demikianlah sebenarnya," sahut Siauw Pek, "Sebelum kami datang kemari, kami sudah menuruti peraturan Siauw Lim Sie yaitu lebih dahulu mengirim utusan menghaturkan kartu nama serta juga menempuh ujian yang diwajibkan, walaupun demikian, kami masih didesak dengan pelbagai cara hingga terpaksa kami, untuk membela diri, menggunakan kaki tangan kami melakukan perlawanan- Didalam satu pertempuran sulitlah untuk mencegah terjadinya kecelakaan"
"Tetapi yang terbinasa dan terluka itu semuanya murid siauw Lim Sie kami..." berkata Su Khong Taysu.
"Diantara beberapa orang kami juga ada yang terluka, taysu, cuma saja taysu belum tahu," sahut sianak muda.
"Tapi," mendadak suara sipendeta menjadi keras, "kamu memasuki kuil kami dengan sembarangan melukai orang bahkan dengan tangan yang kejam, kamu menggunakan senjata rahasia
dan juga racun Bahkan itu berarti tak memandang mata kepada siauw Lim Pay" "
siauw Pek hendak menjawab pendeta itu Soat Kun mendahuluinya. Kata nona itu tenang tetapi tetap suaranya "Jumlah murid Siauw Lim Sie hitung ratusan, mereka itu mengeroyok kami yang jumlahnya cuma beberapa gelintir, maka itu kalau sekarang
kami beruntung menghadap dan bertemu dengan taysu, itulah
semua disebabkan rejeki kami besar dan usia kami panjang"
Mendengar suara si nona, Su Khong tertawa dingin. "Siecu she apakah" " tanyanya.
"Boanpwee Hoan Soat Kun," sahut si nona. "Dan disisiku ini adikku, Soat Gie,"
Su Khong tidak kenal nona nona itu, dia mengernyitkan alisnya. Dia berkata: "Selama hampir seratus tahun ini, telah banyak orang ternama yang loohu kenal, akan tetapi mengenai kalian berdua belum pernah loohu mendengarnya. Mungkin itu disebabkan usia siecu berdua yang masih terlalu muda" "
Ia diam sejenak. baru ia menanya pula : "Dapatkah siecu memberitahukan nama guru atau orang tua siecu" Mungkin loohu kenal..."
Mendengar suara orang itu, Siauw oek berkesan tak manis terhadap pendeta tua ini, yang sebegitu jauh ia menerka jujur dan adil.
"Nampaknya disini disini cuma Su Kaylah seorang yang dapat disebut pendeta baik," pikirnya.
soat Kun menjawab tawar. "Almarhum guruku jarang sekali muncul didalam dunia Kang ouw, kalau aku menyebutkannya, taysu pun mungkin tidak mengenalnya"
"Lihat saja, siecu. coba kau sebutkan "
"Almarhum guruku adalah Hoan Tiong Beng" sahut si nona.
Su Khong terkejut hingga parasnya berubah. "Dimana adanya sekarang gurumu itu" "


Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah lama guruku pergi kelain dunia."
Dari terkejut, roman Su Khong menunjukkan kegembiraan.
"Bagaimana eh, saudara Tiong Beng telah menutup mata" " tanya Su Khong kemudian.
"Ya semenjak beberapa tahun yang lampau"
Pendeta itu mengangkat kepalanya, ia menarik napas panjang.
"Loolap kenal gurumu itu," katanya kemudian-"Pernah kami berdua duduk berhadapan berbicara selama satu hari dan satu malam tetapi pembicaraan belum berakhir juga . Loolap kagum sekali akan kepandaian dan kecerdasan guru siecu itu."
Ia berhenti pula sebentar baru ia melanjutkan. "Itulah kejadian sudah dua puluh tahun yang lalu, ketika itu siecu berdua mungkin belum lahir."
JILID 40 "Kiranya Taysu adalah sahabat guru kami, oh maaf, kami kurang hormat."
"Sebenarnya loolap beruntung sekali dapat berunding dengan guru slecu itu," kata pula sipendeta. "Siecu, pastilah kau telah mewarisi kepandaian gurumu itu."
"Kami berbakat tolol, walaupun kami mempunyai guru yang
pandai, kebisaan kami sangat terbatas," si nona memberitahukan.
Su Khong menggumam sebentar. "Sejauh ingatanku," katanya "guru siecu itu selain pandai juga memuja pri-kebenaran, karena itu
tak mungkin dia menghendaki siecu menentang kami dari Siauw Lim Sie."
Sedetik itu, kembali berubah nada suara sipendeta. Kembali dia menunjukkan tak senang hatinya.
Soat Kun berlaku tenang seperti semula. Ia berkata. "Kami datang kemari sama sekali tak dengan niat menentang, bahkan kami berniat mengangkat Siauw Lim Pay dari tempat di mana dia terbenam, supaya Siauw Lim Sie bangun pula seperti sediakala." demikian katanya.
Kata-kata itu mendatangkan rasa tak puas kepada semua pendeta itu, tetapi karena Su Khong berdiam saja, tak ada pendeta yang berani bertindak atau bicara yang keras-keras.
Su Khong tersenyum. "Siecu, besar bicaramu " katanya. "Sebenarnya bagaimanakah terbenemnya kami maka juga siecu sampai datang hendak menolong mengangkatnya" " tanyanya.
Soat Kun merapikan rambut sisi telinganya "Taysu, apakah taysu masih ingat peristiwa menyedihkan sepuluh tahun lebih yang lalu itu" " ia tanya, sabar. "Ketika itu ketua kalian dan ketua ketua Bu Tong Pay, Ngo Bie Pay dan Khong Tong Pay telah dibinasakan orang"
"Itulah peristiwa yang memalukan Siauw Lim Sie Dikolong langit ini tidak ada orang yang tidak tahu, karena itu mana dapat kami tak mengingatnya" "
"Taysu, apakah taysu melihat sendiri mayat Su Hong Taysu itu" "
"Ketua keempat partai mati teraniaya, peristiwa itu sangat menggemparkan, mana dapat loolap tak pergi sendiri ke Pek Ma San, tempat kejadian itu" "
"Kalau begitu, tentulah taysu melihat sendiri mayat Su Hong Taysu itu" "
Paras muka sembilan tiangloo itu berubah sendirinya, sikap mereka jadi sangat bersungguh sungguh. Semua mata mereka
dengan tajam diarahkan kepada sinona. Tapi nona itu tertutup cala, tak ada mata yang dapat menembusnya, untuk melihatnya dengan tegas.
"Pernah loolap memeriksanya dengan teliti," sahut Su Khong.
"Dari pakaian dan juga barang barangnya, dia benarlah ketua kami."
"Hanya dari pakaian dan barang barang, dapatkah itu diandalkan" "
Su Ie menyelak keren: "Peristiwa sudah lewat sepuluh tahun lebih, sipembunuh juga telah dibinasakan, sekarang siecu menimbulkannya pula, apakah maksud siecu" "
Nona Hoan tetap dengan sikap tenangnya.
"jikalau aku mengatakan sekarang ini Su Hong masih hidup, apakah taysu sekalian suka percaya atau tidak" " Su Khong Taysu melengak.
"Kecuali siecu dapat membuat loolap bertemu muka dengan ketua kami itu, tak nanti loolap dapat mempercayaimu"
"Taysu, hanya karena muka terang dari Siauw Lim Sie, walaupun taysu bercuriga, taysu tak sudi mengakuinya. Benar kataku ini, bukan" "
"Amidha Buddha" demikian puji yang keras nadanya, yang keluar dari mulut seorang tiangloo. "Suheng, wanita ini mengoceh tidak keruan, dia hendak mengacaukan pikiran orang. dia tak dapat dibiarkan saja. Harap suheng..."
"Menurut apa yang boanpwee tahu" Soat Kun mendesak, "bukan saja ketua kamu itu mungkin masih hidup didalam dunia ini, juga musuh kamu yang kuat sudah menempatkan mata matanya didalam Siauw Lim Sie, untuk dia atau mereka dapat memegang kekuasaan disini" Su Khong nampak heran.
"Siecu, apakah siecu merasa pasti" " dia bertanya. "Kira kiralah"
"Boanpwee bicara dari apa yang benar" Nona Hoan memastikan. "Ada satu hal yang membuat boanpwee heran Sudah terang
didalam Siauw Lim Sie ada orang orang yang percaya akan kata kataku ini akan tetapi mereka itu mengambil sikap menentang hatinya sendiri, mereka memaksa mengatakan aku mengoceh tidak karuan dan mengacaukan pikiran orang. Mereka itu mesti ada maksudnya maka mereka tak mau mempercayainya. Entahlah apa sebabnya itu"
"Apakah kata kata kosong saja dapat membuat orang percaya" " Su Khong tanya.
Soat Kun berdiam Su Khong memang benar. Kata kata saja tanpa
tak ada gunanya. Maka ia memikir, bagaimana harus memberi bukti.
Dipihak para tiangloo, kemurkaan sudah mulai mereda. Bicara si nona beralasan, tinggal buktinya saja.
"Taysu," tanya si nona kemudian, "apakah taysu kenal ketua Ngo Bie Pay" "
"Kau maksudkan ketua yang mana" Ketua yang dulu atau yang sekarang" "
"Aku maksudkan ketua yang sama sama ketua kamu telah terangnya itu."
"Kau maksudkan Han In Taysu" " "Tidak salah Benar Han In Taysu"
"Beberapa kali loolap pernah bertemu dengan Han In Taysu itu. Kesanku dalam, pasti loolap mengenalnya."
"Apakah taysu masih ingat wajah Han In Taysu itu" "
"Asal loolap melihat mukanya, tentu loolap akan mengenalinya. Mungkinkah ada sesuatu yang tak sempurna" "
"Bagaimana kalau taysu cuma mendengar suaranya saja" " su Khong nampak tidak puas.
"Siecu, kau terlalu banyak pernik" tegurnya. "Kau tanya cuma mendengar suaranya saja. Apakah artinya itu" " Soat Kun berlaku tenang seperti biasa.
"Maksudku, taysu," sahutnya, sabar, "kalau taysu tak usah melihat orangnya, yaitu taysu cuma dengar suaranya, apakah taysu mengenali dia benar ketua Ngo Bie Pay atau bukan" "
Su Khong berdiam untuk berpikir. "Didalam hal itu, loolap masih belum pasti..."
Soat Kun agak kecele. "Kenapakah, taysu" " tanyanya. "Apakah taysu tidak bersahabat kekal dengan Han In Taysu itu" "
"Dialah ketua suatu partai, loolap memang tak bergaul erat dengannya." Su Khong mengakui. "Siecu, kau hendak bicara apakah" Aku minta kau bicara dengan terus terang. jikalau pembicaraan kita ini tidak ada hasilnya, aku kuatir siecu sukar meninggalkan kuil kami ini"
Soat Kun tidak menjawab permintaan atau ancaman itu, sebaliknya, ia kata dengan berani^ "Telah lama boanpwee dengar halnya para tiangloo dari siauw Lim Sie adalah orang orang beribadat yang jujur dan bijaksana, yang agung martabatnya akan tetapi siapa sangka sekarang ternyata merekalah orang orang yang tak dapat dipercaya"
"Siecu, apakah siecu maksudkan karena loolap tak berdaya mengenali Han In Taysu itu," Su Khong tanya.
Soat Kun tidak mengiakan, hanya ia berkata pula: "Boanpwee kuatir kalau nanti ketua kamu yang terdahulu itu bertemu dengan taysu sendiri, mungkin taysupun tidak mengenalinya "
"Dialah sutee dari loolap dengan siapa loolap telah tinggal- bersama-sama puluhan tahun, mustahil loolap tidak mengenalinya"
" "Sutee" yaitu adik seperguruan. Kembali Su Khong tak puas.
Soat Kun berkata dingini "pengalaman sedih dari ketua itu hebat tak ada bandingannya. Pengalamannya itu sama dengan pengalaman Han In Taysu dari Ngo Bie Pay, Dia telah dirusak muka
dan anggota-anggota tubuhnya. Mana dapat taysu mengenalinya" ..."
Ia berhenti sebentar, baru ia menambahkan^ "buat melindunginya nama besar Siauw Lim Pay, andaikata taysu dapat mengenalinya juga taysu tak akan sudi mengenalinya" Mau atau tidak, Su Khong Taysu menjadi gusar sekali.
"Dimana-mana kau menghina adik seperguruan kami, siecu" katanya keras. "Apakah maksud siecu" sungguh kau sukar diterka" Habis berkata, pendeta itu mengulapkan sebelah tangannya.
Melihat demikian dua pendeta, yang duduk bersila, berlompat bangun, untuk berlompat lebih jauh kemulut pintu, guna menutup jalan keluar. Menyaksikan lagak orang, Siauw Pek mengerutkan alisnya.
"Tidak kusangka bahwa para tiangloo dari Siauw Lim Sie juga begini cupat pemikirannya..." pikirnya. "Kenapa mereka sudi melindungi yang tidak benar" Nampaknya hari ini mesti terjadi pertumpahan darah juga, sebelum itu, urusan tak akan dapat diselesaikan"
Melihat sikap para pendeta itu, Soat Kun mengangkat tangannya, untuk merapihkan sanggulnya yang tinggi. Beberapa kali ia menyentil nyentilkan jeriji tangannya, baru setelah itu dengan sabar ia bertanya: "Para taysu yang pandai dan bijaksana adakah niat taysu sekalian untuk mengurung kami bertiga orang muda di dalam ruang suci kalian ini" "
Su Khong berkata dengan suaranya yang keren: "Jikalau kalian tidak dapat memberi bukti maka terpaksa loolap mesti membiarkan kalian berdiam disini sampai nanti loolap selesai membuat penyelidikan dari hal yang benar, itu waktu loolap akan mengambil keputusan kami. Andaikata apa yang kalian bilang benar adanya, maka loolap semua akan mengantarkan kalian keluar dari sini dengan cara yang hormat. Jikalau tidak, maka siapa membunuh orang, dia pasti mengganti jiwa Beberapa puluh murid Siauw Lim Sie tak dapat mati dan terluka konyol"
Habis berkata begitu, mendadak Su Khong meluncurkan tangannya kearah Soat Kun sambil mebentak. "Siecu, apakah kau hendak nyebar racun" "
Gerakan tangan pendeta itu mendatangkan hembusan angin yang keras.
Itulah serangan pukulan angin-Melihat itu, Siauw Pek segera meluncurkan tangannya, guna menangkis, sambil berbuat begitu, ia menegur: "Taysu menjadi pendeta tua dan beribadat, kenapa begini saja sikap taysu menghadapi seorang wanita yang lemah?"
Su Khong terkejut. Hebat tangkisan sianak muda. Maka ia
meluncurkan pula tangannya itu, kali ini kearah sianak muda.
Siauw Pek pun menangkis lagi, tetapi ia terkejut, darahnya terus bergolak. Hebat serangan pendeta itu, hingga ia berkata da lam hatinya^ "Pendeta ini sangat liehay. Dia menyerang seenaknya saja, aku menangkis dengan setakar tenagaku, tetapi aku masih kalau tangguh..."
Su Khong pun bertambah heran-Sebenarnya ia menggunakan lima bagian tenaganya.
"Bocah ini benar tak ada celanya" pikirnya kagum. Iapun lalu teringat bahwa orang masih sangat muda, maka tanpa terasa, timbullah rasa sukanya terhadap pemuda itu, ia menyayangi kepandaian sianak muda...
Siauw Pek masih memikir pula^ "Kalau dia pula, terpaksa, aku mesti menggunakan pedangku" Karena memikirkan ini, lekas-lekas ia berkata. "Aku yang muda tidak pernah memikir untuk mengadu kepandaian dengan taysu sekalian-.."
Mendengar itu, Su Ie berkata dingin "Jikalau benar tidak ada
niatmu, lekas kau letakkan senjatamu dan manda dibelenggu"
Siauw Pek tidak melayani pendeta itu, melihatpun tidak. Ia hanya memandang Su Khong Taysu, dan bertanya "Taysu, taysu hendak bersikap bagaimana terhadap kami" "
"Untuk sementara, loolap minta kalian berdiam didalam ruang Kay sie Ih," menyahut Su Khong. "Loolap hendak membuat penyelidikan, sesudah itu baru kami akan merdekakan kamu bertiga..."
Siauw Pek menggeleng kepala.
"Walaupun kami tidak mengandung niat menempur taysu sekalian," katanya, "kami juga tidak sudi berdiam dan terkurung disini. Kecuali jalan ini, masih ada jalan lain tidak" "
"Masih ada cara lain"
"Apakah itu, taysu?"
"Jikalau kamu dapat menyerbu keluar dari ruang ini, kami tak akan mengganggu kamu"
Dengan cepat Siauw Pek melihat kesekelilingnya. Ternyata semua jalan keluar pintu dan jendela jendela sudah terjaga rapat. Ia pikir: "Tidak bisa lain, kali ini kita menempur mereka. Hanya, bagaimana dengan kedua nona Hoan ini" Sukar mereka melawan para pendeta liehay ini... Kelihatannya aku mesti melibat semua pendeta ini supaya semua mereka melayani aku seorang..."
Begitu berpikir demikian, begitu anak muda ini mendapat pikiran- Lalu ia berkata sabar "Para taysu yang beribadat, pastilah kalian tak sudi menempur dengan kaum wanita bukan" "
Su Khong mengerutkan alinya Katanya: "Kalau kau memikir buat kami membebaskan dahulu kedua nona, itu artinya pikiran sia-sia belaka" berkata pendeta kepala amat angkuh.
"Bukan begitu maksudku," sahut si anak muda, "maksudku ialah
supaya aku sendiri yang mencoba menerobos keluar dari ruangan
ini, aku berhasil atau gagal, itu masih hitungan buat kami bertiga"
"Apakah siecu percaya sungguh sungguh kemampuan siecu" " kata sipendeta kepala.
"Karena terpaksa, bisa atau tidak. aku mesti paksakan juga "
Su Khong tertawa dingin. "Apakah siecu sangat mengandalkan
Thian Kiam dari Kie Tong maka juga siecu menjadi begini sombong" "Tidak sama sekali, taysu."
Mendengar jawaban itu, Su Khong menjadi tenang pula. Katanya sabar: "Thian Kiam Kie Tong memang sangat tersohor, tetapi dia belum pernah bertempur dengan loolap atau saudara-saudara seperguruanku ini. Karena itu, kalau sampai terjadi pertempuran, sukar dipastikan sang menjangan bakal terbinasa ditangan siapa. Kie Tong cuma mengandalkan ilmu pedangnya itu. lain dari itu, tak pernah loolap mendengar dia berhasil dengan lain macam kepandaian-"
"Pendapat taysu itu tak aku setujui," berkata Siauw Pek. Dia ingat, orang Siauw Lim Sie sangat jarang menggunakan pedang, bahkan orang pusat Siauw Lim Sie digunung Siong San sama sekali tak memakai senjata semacam itu. Dan sebenarnya ia hendak bicara lebih jauh, tapi ia melihat Su Kay Taysu mengedipkan mata padanya, melarang ia bicara lebih jauh.
Melihat orang berdiam, Su Khong bertanya "Kalau kau tidak setuju, habis bagaimana pikiranmu" "
Heran si anak muda. Apa sebenarnya maksud Su Kay" Ia telah dicegah untuk bicara. sekarang ia ditanya pula oleh Su Khong. Ia mau menerka bahwa tadi Su Kay ingin ia mengalihkan pembicaraan kelain arah, untuk meredakan suasana. Maka ia menjawab. "Pelajaran ilmu pedang membutuhkan pengendalian hati, ilmu harus
disatu padukan dengan semangat, setelah itu barulah orang akan
memperoleh hasil kemajuan hingga mahirlah kepandaiannya." "cuma sebegitu saja" "
"Pengetahuanku sangat terbatas, taysu."
"Bagaimana kalau ilmu pedangmu dibandingkan dengan ilmu siauw Lim Sie" "
"Tak dapat aku mengatakannya."
"Tahukah kamu bahwa kami mempunyai tujuh puluh dua macam ilmu silat" "
"Telah aku mendengarnya."
"Bagus Semua saudaraku disini pernah mempelajari beberapa dari puluhan macam ilmu itu ada peyakinannya sudah beberapa puluh tahun bahkan ada yang memperoleh pelajaran merangkap beberapa macam diantaranya..."
Bicara sampai disitu, Su Khong berhenti sejenak. habis itu, baru ia melanjutkan. Katanya.
"Siauw Lim Sie belum pernah membiarkan orang memandang rendah kepada kami, sedangkan kalian, siecu, kalian justru menyerang nama baiknya ketua kami..."
Tiba tiba saja Soat Kun menyela^ "Apakah ketua kami dapat berbuat semaunya saja" "
"Aturan Siauw Lim Sie sangat keras, dunia Rimba Persilatan mengetahuinya. Umpama kata benar ketua kami berbuat salah, tidak nanti kami melindungi dan membelanya cuma, dalamhal itu, kami harus menyelidikinya dahulu serta memperoleh bukti buktinya..."
Pendeta tua itu menghela panas. Dia menambahkan^ "Loolap menghendaki kamu berdiam disini, supaya kami memperoleh kesempatan melakukan pemeriksaan, sesudah itu, baru kami akan mengambil keputusan. ini toh bagus, bukan" Kamu menolak Cara kami ini, bukankah itu berarti kamu mempunyai maksudmu sendiri"
" "Apakah maksud kami," sinona bertanya. "Umpama kami membinasakan It Tie, kami toh tidak dapat mewarisi kedudukannya sebagai ketua Siauw Lim Sie" "
Su Khong melengak Bicara sinona sederhana tetapi tajam. Memang dengan dibunuhnya It Tie, mereka ini tidak bakal menjadi ketua Siauw Lim Sie.
Lalu pendeta tua itu berkata sabar: "Siecu, emas tulen tak takut api Kalau kamu tidak mengandung sesuatu, kenapa kamu takut kami membuat penyelidikan" "
"Kami bukan takuti penyelidikan kamu, kami hanya tak sudi
ditahan disini " Itulah suara Siauw Pek, suara yang tetap dan keras.
"Loolap telah keluarkan kata kataku, tak dapat itu ditarik kembali. Jikalau kau tak sudi ditahan disini, nah kau gunakanlah kepandaianmu untuk menerobos keluar dari sini"
Siauw Pek melihat kelilingan, ketika ia memandang Su Kay, pendeta itu mengangguk perlahan-Itulah isyarat yang menganjurkan ia menerima baik tantangan Su Khong itu. Maka juga, segera ia mengangkat dadanya dan berkata^ "Baiklah, taysu, untuk berlaku hormat, boanpwee menerima perintahmu ini " Kedua mata Su Khong bersinar.
"Bagus" serunya. "Kau masih begini muda tapi kau gagah sekali Sukar dicari orang semacam kau"
Siauw Pek segera memegang pedangnya, tangan kirinya diatas pedangnya itu. "Taysu terlalu memuji" dia berkata, merendah.
Su Khong Taysu tertawa. Katanya: "Kalau hari ini kau dapat lolos, namamu bakal jadi sangat terkenal"
"sekarang, taysu," kata si anak muda, "aku mohon keterangan." "Keterangan apakah itu" "
"Apakah ada aturan atau syaratnya buat aku menerobos ruang ini" " Pendeta tua itu menggeleng kepala.
"Kau merdeka untuk menyerbu dari arah yang manapun. Setelah kau berhasil, kau juga merdeka buat segera berlalu atau berdiam lebih lama disini"
"Jikalau aku berhasil lolos, apakah masih ada lain lain pendeta yang akan mengganggu kami" "
"Akan loolap mengajak semua saudaraku mengantarkan siecu berlalu dari sini"
"Masih ada satu permintaanku, taysu. Mungkin ini kurang pantas."
"Bicaralah. Asal itu pantas, akan loolap terima baik"
"Dalam pertempuran ini, kalah atau menang siapa mati, dia jangan menyesal, dia jangan mencari balas. Dapatkah" "
"Jika kau gagal, kau bakal berdiam disini"
"Itulah sudah selayaknya. Kalau aku berhasil, aku akan berlalu bersama semua orang dengan siapa aku telah bersama datang kemari"
"ya, selama kita bertempur, sebelum ada kepastian siapa menang siapa kalah, taysu semua tak dibenarkan mengganggu kedua nona itu "
"Hei orang begini muda, kenapa sih begini rewel" bentak Su Ie. "Dalam hal itu, loolap telah memberi janjiku " berkata Su Khong.
Siauw Pek mengangguk. "Apakah sekarang juga kita milai" "
"Ya, kau boleh mulai" berkata Su Khong, yang terus memandang kesekitarnya.
"cuma ada satu hal, yang loolap ingin jelaskan dahulu "
"Perintah apakah itu, taysu" Sebutkanlah, aku siap mendengarnya."
"Aku menghendaki, kecuali sangat terpaksa, jangan kau merusak ruang suci kami ini" Su Khong minta. "Ruang ini adalah satu ruang yang sangat penting, sedangkan diantara kita tidak ada permusuhan-^."
"Apakah taysu keberatan aku lolos dari jendela" " "Tidak."
Siauw Pek melihat pula berkeliling.
Kecuali tiga buah jendela, jalan keluar cuma pintu. Semua jalan itu telah dijaga delapan pendeta. Dua orang menjaga setiap pintu. Pendeta yang kesembilan berdiam ditengah, untuk membantu kesegala arah. Itulah pengurungan ketat, maka juga, melihat itu, anak muda itu berdiam untuk berpikir.
Melihat sikap orang, Su Ie tertawa dingin dan berkata mengejek: "Kalau kau mesti juga merusak ruang ini, kau dapat lolos dari sini. Terserah"
"Baiklah" sahut Siauw Pek. Tapi kata kata itu ditujukan kepada su Khong.
Su Khong Taysu mengulapkan tangannya. Atas isyarat itu, delapan orang pendeta segera siap ditempatnya masing masing. Ia sendiri tetap berdiam ditengah tengah, bahkan ia memejamkan kedua belah matanya Siauw Pek telah menduga cara pengurungan itu, sekarang dugaannya cocok. Dipintu yang menjaga adalah Su Kay bersama Su Ie. lalu menerka Su Kay pasti akan berlaku lunak, sedang Su Ie bakal bersikap keras.
"Baiklah aku coba pintu dahulu," pikirnya. Maka ia mengerahkan tenaga dalamnya, terus ia bertindak kearah pintu.
Su Ie Taysu mengawasi tajam, kedua matanya sampai mengeluarkan sinar. Dia tersenyum ewah. Bedadengan Su Kay, yang tenang sikapnya. Kira kira lima kaki dari kedua pendeta itu, Siauw Pek menghentikan tindakannya. Ia terus memutar pedangnya, hingga cahayanya berkeredepan.
"Taysu berdua, awas" ia berseru sambil menyerang Su ie.
Pendeta itu mengebutkan tangan bajunya, guna menyampok pedang, menyusul mana tangan kirinya menyerang. Hebat sampokannya itu.
Siauw Pek tahu orang liehay, ia mendahului menarik kembali pedangnya, bukan untuk disimpan, hanya diteruskan kepada Su Kay Taysu. Iapun berbareng berkelit dari serangan sipendeta galak.
Su Kay menyambut pedang dengan dua buah jari tangannya.
"Kau terlalu memandang ringan" pikir Siauw Pek, yang meneruskan menabas.
Su Kay menarik tangannya, serentak dengan itu, ia menyerang dengan tangan kiri.
Siauw Pek berkelit sambil memutar tubuh untuk terus menikam Su Ie pula. Bahkan kali ini ia menikam tiga kali beruntun.
Paras Su Ie padam. Ia mengebut keras dengan tangan kirinya, tangan kanannya menyerang. Hebat kedua gerakannya itu, anginnya menghembus keras, ujung baju sianak muda sampai berkibar.
Su Khong memejamkan mata, ia merasai angin itu, ia menjadi heran.
"Baru tig ajurus, kenapa Su Ie sudah menggunakan tipu silat Kim kong Siang ciang" " katanya didalam hati.
"Kim kong Sian ciang" berarti pukulan "Tangan Arhat".
Saking heran, si tiangloo membuka matanya menonton. Masih sempat ia menyaksikan gerakan sangat sebat dari Siauw Pek mengelakkan diri dari ancaman bahaya, setelah mana anak muda itu membalas menabas.
Mau atau tidak, dua-dua Su Ie dan Su Kay berlompat berkelit.
Siauw Pek segera berpikir dan mengambil putusan-Dua-dua musuhnya liehay, tenaga dalam mereka mahir sekali, tidak boleh ia berlaku lemah, kalau ia keburu lelah, itulah berbahaya. Segera ia berseru, terus ia menyerang pula pada Su Ie.
Su Ie repot juga menghadapi serangan saling susul dari lawan yang dia pandang enteng itu, mau atau tidak, dia terpaksa mundur mendekati pintu.
"Tinggal lagi satu tindak" pikir Siauw Pek hatinya terbuka. Maka hendak ia mendesak terus.
Tiba tiba terdengar seruan Su Kay: "Ilmu pedang yang bagus. Lihat tanganku" Dan pendeta itu menyerang keras sekali.
Sianak muda terperanjat. Ia menabas sambil mundur satu tindak.
Su Ie menjadi sangat gusar. Serangan Su Kay membuat ia mendapat kesempatan memperbaiki kedudukannya, maka juga, setelah itu, iapun membalas menyerang. ia berlaku lebih bengis dari semula tadi.
Demikianlah bertiga mereka menjadi bertempur seru sekali, semua berlaku cepat dan keras. Satu pihak ingin mengundurkan, lain pihak ingin merobohkan. Su Kay Taysu, yang berkesan baik terhadap sianak muda, turut bersikap keras juga. Setelah melewatkan banyak jurus, Siauw Pek merasa sulit juga buat merebut kemenangan-Maka ia jadi berlambat.
Selagi lawannya itu berpikir, Su Ie tertawa dingin, kemudian dia melakukan serangan yang habat sekali. Rupanya diapun memikirkan sesuatu.
Siauw Pek heran-Beda dari yang sudah-sudah, serangan Su ie kali ini tanpa memperdengarkan suara anginnya. Su Ie pula menyerang tiga kali terus menerus. Tapi tak sempat ia berpikir. Serangan itu segera terasa. Desakan angin yang mulanya halus, mendadak menjadi embusan keras. Dalam kagetnya, ia berlompat jauh satu tombak. Tak sempat ia berdaya lainnya.
Habis menyerang itu, Su Ie tidak mendesak bahkan ia berdiri dimuka pintu. Su Kay mendampinginya. Pendeta yang sombong itu memperlihatkan roman takaburnya, untuk men lawannya itu. "Terlukakah kau" "
Itulah pertanyaan halus merdu dari Soat Kun. Siauw Pek cepat- cepat menyalurkan pernapasannya.
"Tidak" sahutnya. "Aku tak kurang suatu apa."
Ketika itu terdengar suara menyindir dari Su Ie Taysu, yang berkata sambil tersenyum dingin. "Tuan, ilmu pedangmu memang
mahir sekali, tapi dengan mengandalkan pedang saja keluar dari ruang ini, itulah pikiran tolol"
Siauw Pek mendongkol sekali, hampir ia membuka mulutnya untuk membalas menyindir, tapi tiba-tiba ia ingat bahwa semua pendeta didalam ruang itu liehay masing-masing ilmu silatnya, kalau ia dikepung, itulah berbahaya. Karena ini, ia kembali meraba goloknya.
Su Kay melihat gerak-gerik si anak muda, lekas-lekas ia bicara dengan saluran suara Toan Im Jip-bit: "Siecu, sabar.. Biar bagaimana, tak dapat kau mengucurkan darah disini..."
Mendengar kisikan itu, si anak muda menjadi ragu-ragu. Suara itu sabar dan nadanya memohon.
Tengah orang berdiam, Soat Kun berkata pada ketuanya: "Bengcu, kalau kau melawan satu sama satu, dapatkah kau mengalahkan beberapa taysu ini" "
Siauw Pek melengak, lekas-lekas ia menjawab. "Kalau satu sama satu, sekalipun tidak menang, aku tidak bakal kalah..."
"Kalau satu lawan dua" "
"Sulit untuk memastikannya."
Su Khong Taysu mendengar pembicaraan itu, ia tertawa tawar.
"Siecu, tak usah kau memancing kemarahan orang" tegurnya. "Kami cuma ingin menahan kalian disini buat sementara waktu saja, supaya kami memperoleh kesempatan memeriksa keadaan dalam kami, untuk lekas memberi keputusan, jadi kami tidak bermaksud buat berebut kemenangan-Soal kita ini ada sangkut paut yang hebat sekali dengan Siauw Lim Sie kami, karena itu, tidak dapat disamakan dengan perselisihan yang umum dalam dunia Sungai Telaga..."
Soat Kun menghela napas. "Itulah sulitnya" katanya. Kata kata itu dapat ditujukan kepada
Siauw Pek dan juga terhadap ketua tiangloo itu. Terus si nona
menambahkan: "Kalau begitu, bengcu, baik mengaku kalah saja..." Alis Siauw Pek berkerut, kedua bahunya dinaikkan.
"Aku lebih suka mati berperang daripada tunduk dan manda dibunuh orang" katanya keras. "Tak sudi aku mati konyol"
Soat Kun mengangguk. lalu ia berkata pula. "Hari ini keadaan sudah jelas sekali. Su Khong Taysu telah menjelaskan tentang tak dipakainya lagi aturan kaum Kang ouw Sesudah dua orang dihadapkan kepada bengcu, maka tiga orang dapat juga. Jikalau terjadi bengcu melukai seorang taysu, bahkan kalau bengcu membinasakan satu diantaranya, bukankah itu berarti bahwa permusuhan besar telah ditanam. Apabila itu sampai terjadi, pasti hebatlah kesudahannya."
Kembali terdengar suara Nona Hoan: "Sudah sejak lama Siauw Lim Sie menjadi seperti pemimpin para partai, sedangkan sembilan taysu ini menjadi pendeta2 beribadat berusia tinggi dan kedudukannya dihormati orang, karena itu, walaupun bengcu gagah perkasa, hanya mengandalkan diri sendiri dan sebilah pedang, bagaimana mungkin bengcu menangkan sembilan orang yang bergabung menjadi satu" Maka itu, menurut pikiranku, baik bengcu mengaku kalah saja..."
"Kata kata nona memang tidak salah," berkata Siauw Pek. "akan tetapi aku, semenjak aku dilahirkan, tahuku cuma bekerja terus menghabiskan tenagaku, aku tak kenal takut dan mundur karenanya..."
Tanpa menanti orang habis bicara, Soat Kun memotong. Katanya: "Jikalau sudah pasti bengcu mau bertempur hingga habis tenagamu, karena jelas sudah tidak ada harapan akan berhasil merebut kemenangan, daripada hanya satu lawan dua, kenapa bengcu tidak menantang satu lawan sembilan" Dengan begini, andaikata bengcu terbinasa ditempat suci ini, dibelakang hari pasti bengcu akan meninggalkan nama harum"
Kata kata itu berarti anjuran semangat, maka Siauw Pek melengak dan tertawa nyaring.
"Benar" serunya. "Dahulu ayahku terbinasa karena dikepung oleh jago-jago dunia yang tak terhitung banyaknya, walaupun demikian, ayah masih hidup merantau hingga delapan tahun lamanya. Tempo delapan tahun bukan main lamanya, tetapi lucu adalah sijago-jago dunia, didalam waktu delapan tahun itu, mereka tak mampu membinasakan ayahku Maka sekarang aku melayani sembilan taysu dari Siauw Lim Sie, kalau aku mengubur tulang belulangku di dalam ruang ini, aku pasti mati tak menyesal"
Mendengar suara sianak muda, yang demikian gagah, para pendeta malu sendirinya. Lalu terdengar elahan napas dari Su Khong Taysu.
Kemudian pendeta tua itu berkata, sabar, "Walaupun kami yang banyak menghina yang sedikit, tetapi inilah saking terpaksa, kami tak berdaya berbuat lainnya. Bahwa kami mengurung kalian, siecu, semoga kau memakluminya."
Berkata begitu, sipendeta merasa hatinya tidak tenang, air mukanyapun berubah.
Siauw Pek tidak menjawab pendeta itu, dia pun tidak mengatakan apa-apa lagi, mendadak ia melompat menerjang dua orang pendeta yang menjaga jendela timur.
Sekarang, setelah tekad bulatnya melawan sembilan pendeta itu, putra almarhum coh Kam Pek menjadi tenang sekali. Pedangnya itu memperlihatkan sinarnya yang menyilaukan mata.
Kedua pendeta dijendela timur itu ialah Su Lut dan Su Seng. Atas tibanya serangan, mereka berkelit bersama, sesudah mana, bersama juga mereka membalas menyerang dengan masing masing satu tinjunya. Dengan begitu sipenyerang jadi terhajar dari kiri dan kanan.
Siauw Pek berseru, tubuhnya berkelit. Dengan begitu, ia lolos dari serangannya Su Lut. Juga dengan sendirinya iapun bebas dari
serangan Su Seng. Sambil berkelit itu, ia menebas ke arah Su LU
Taysu Su Lut memperdengarkan suara "Hm" Iamenarik tangan
kanannya itu, yang diarah lawan itu. Iapun mundur dua tindak.
Siauw Pek tidak menyia nyiakan waktu, gagal menyerang Su Lut, ia terus menerjang Su Seng Taysu. Itulah tipu silat "Bu Liong Pa Bwee", atau "Naga didalam kabut menggoyang ekor". Su Seng tidak menyangka akan serangan itu, ia terlambat meski juga ia sudah bergerak dengan cepat sekali Syukur untuknya, ujung pedang cuma menggores ujung jubahnya.
Merah muka pendeta itu, hingga dia berdiri tertegun. Buat seorang tiangloo dari Siauw Lim Sie, meskipun hanya ujung bajunya saja kena digores senjata lawan, itu sudah memalukan Sementara itu Siauw Pek telah tidak melanjutkan serangannya. Kalau ia lakukan itu, pasti Su Seng terbinasa, atau sedikitnya terluka. Sebaliknya, anak muda ini melompat menerjang dua orang lawan yang menjaga jendela selatan. Perlawanan hebat dari si anak muda terhadap Su Ie dan Su Kay, Su Lut dan Su Seng, membuat terbuka matanya para tiangloo itu, maka sekarang tiada lagi yang berani memandang ringan, sebaliknya, semua bersikap sungguh-sungguh. Demikian ketika si anak muda menerjang keselatan, dua orang pendeta disitu, ialah Su Wie dan Su cu, sudah mendahului menyambutnya. Baru Siauw Pek menaruh kakinya, pukulan udara kosong dari Su cu sudah meluncur kearahnya. Hebat serangan itu, anginnya menghembus keras.
Siauw Pek tenang dan waspada, matanyapun awas. Ia melihat adanya penyambutan dengan kegesitan luar biasa, ia berkelit kesamping. Tapi toh ia terlambat sedikit serangan itu mengenai
lengan kirinya, hingga ia terpelanting sampai lima tindak. Dan
sementara itu su Wie sudah menyambar dengan tangan kanannya.
Siauw Pek menggertak gigi, kedua kakinya menetapkan tubuhnya dengan pedangnya, ia menabas tangan kanan penyerang itu. Walaupun terpelanting, ia bisa dengan lekas memperbaiki kedudukan tubuhnya.
Su Wie menarik kembali tangannya, bahkan ia mundur dua tindak. Karena ini si anak muda sempat meneruskan menyerang pada Su cu.
Raden Banyak Sumba 4 Persekutuan Pedang Sakti Lanjutan Pedang Karat Pena Beraksara Karya Qin Hong Cinta Bernoda Darah 1
^