Pedang Golok Yang Menggetarkan 25
Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen Bagian 25
The Eng menyeringai. Kembali dia mengawasi Siauw Pek. "Dan sahabat itu?" tanyanya.
Kho Kong mendongkol, dia menyela. "inilah bengcu Coh Siauw Pek dari Kim Too Bun. Siapa kah sahabatmu?"
KEtua Hui Eng Pangpun murka, tetapi dia mencoba mengendalikan diri dengna rerus menengadah kelangit.
"Kecuali pihak Siauw Lim Pay dan Kim Too Bun," katanya tawar,
"apakah masih ada lainnya lagi" Siapa kah orang gagah itu?"
Dengan tawar, Bun Koan menjawab. "Aku Coh Bun Koan dari Pek Ho Bun. Aku datang bersama ketujuh kiamcu kami, guna menagih hutang darah"
The Eng tertawa dingin. "Bagus" serunya. "Nah, Su Khong Taysu dari Siauw Lim Sie, Coh Bengcu dari Kim Too Bun, Nona Coh dari Pek Ho Bun... Mari kalian turuti aku si orang she The menghadap Sin Kun. Semua sahabat lainnya tunggulah disini"
Ban Liang mengangkat kepalanya, dongak kelangit. Ia tertawa nyaring. Tiba tiba Su Kay Taysu maju satu tindak kepada sibrewok kuning itu.
"The Siecu" tanyanya, "benarkah kau pangcu dari Hui Eng Pang yang kesohor dalam dunia Kang ouw"
"Tak salah" sahut The Eng itu, singkat dan dingin.
"Seorang pangcu yang besar dan agung, bagaimana dia dapat berada disini menjadi hamba didalam Seng Kiong?" Su Kay tanya pula. The Eng tertawa besar.
"Taysu keliru" ujarnya nyaring. "Didalam Seng Kiong ada harimau harimau tidur dan naga naga mengeram. Jangan kata baru pangcu dari Hui Eng Pang yang kecil mungil, Bahkan ketua ketua dari Siauw lim pay dan Bu Tong Pay pun berada didalam Seng Kiong bekerja selaku hamba hamba sebaya"
Tajam kata kata itu, sampai Su Khong semua berdiam sejenak.
Itulah bukti dari benarnya perihal ketua ketua partai besar menjadi orang orang Seng Kiong sin Kun
"Saudara" seru Ban Liang kemudian, "Buat apa kita mengadu lidah dengan segala manusia rendah" Sekarang ini keputusan ialah hasilnya pertempuran"
Benar benar jago tua ini habis sabar, habis berkata ia melompat maju, untuk segera menyampok ketua Hui Eng Pang itu.
The Eng gusar, dia menangkis sambil membentak. "Bagaimana
kau berani banyak lagak didalam Seng Kiong" Rupanya benar benar
sudah bosan hidup" Dan habis menangkis, dia balas menyerang. Hebat serangan itu, karena anginnya sampai mendering
Diam diam Ban Liang terkejut, ia berkelit. Tak mau ia melawan dengan keras, sambil berkelit itu. la membarengi menotok
The eng lihay, dapat dia menghindarkan diri kembali dia menyerang. Maka keduanya menjadi bertempur seru.
Sebagai seorang tongcu, The Eng pastilah bukan sembarang orang. ia pula jadi pangcu, ketua dari Hui Eng Pang, partai elang terbang yang tersohor, sudah tentu dia mesti berkepandaian tinggi. Maka juga, walaupun sijago tua lihay, tak mudah ia dapat merobohkan lawannya didalam tempo yang pendek. Bahkan ketika itu, tak sanggup dia berbuat banyak.
Su Kay Taysu menonton dengan prihatin.
"Suasana mengancam sekali, bengcu" katanya kepada Siauw Pek kepada siapa dia menoleh. "Apakah pendapat bengcu?"
"Menurut aku, kita harus menggunai tenaga berbareng dengan kecerdikan" sahut si anak muda "Tak dapat urusan diselesaikan
secara damai....." "Jikalau demikian" Bun Koan turut bicara dingin, "kenapa kita tidak meluruk saja. Kita harus segera memberikan hajaran kepada mereka itu"
Nona Coh juga telah menjadi habis sabar, sebab dia selalu dipengaruhi dendam kesumat.
Su Kay setujui sinona. Memang, iapun tengah dipengaruhi lenyapnya kitab kitab pusakanya yang ia sangat menginginkan lekas didapat kembali.
"Nona benar" ujarnya, "Pertempuran kali ini tak dapat disamakan dengan pelbagai pertempuran dunia persilatan yang sudah sudah. Kalau main satu lawan satu, sampai kapankah akan berakhirnya" Sampai kapankah kita dapat bertemu dengan pemimpin mereka itu?"
Mendengar suara sipendeta, Siauw Pek berpikir cepat.
"Nona Hoan cerdas luar biasa, sekarang dia tidak campur bicara, rupanya dia menyetujui pertempuran cepat" demikian pikirnya. Maka ia jawab pendeta itu "Baik taysu, bersedia aku mengiringi taysu"
Su Khong pun akur dengan saudara seperguruannya itu.
"Para murid Siauw Lim Sie" ia segera berseru. "Mari kalian turut padaku"
Tiangloo ini terus mengibaskan tangannya, terus dia maju kemuka
Sambil berseru seru, para pendeta Siauw Lim Sie terus maju, untuk menerjang musuh.
Siauw Pek bersama Bun Koan tanpa ayal tapi turut maju juga.
Pasti mereka tak sudi ketinggalan. Lebih lebih Nona Coh itu.
Bagaikan air bah, meluruklah rombongan Siauw Lim Pay, Pek Ho Bun dan Kim Too Bun itu. The Eng yang lagi melayani Ban Liang dapat melihat gerak gerik musuh itu, dia gusar bukan main, akan tetapi karena dia lagi bertempur seru, dia tak dapat berbuat apa apa. Justru begitu, Su Khong Taysu telah tiba didekatnya, sambil berseru pendeta itu menyerang padanya. Mau tak mau, dia toh kaget, syukur dia masih dapat berkelit.
"Gundul Seng Kiong" berseru Su Khong, "Tak dapat loolap memberi ampun kepadamu"
Kata kata itu diantar dengan satu serangan susulan.
"oh keledai tua" mencaci The Eng dalam gusarnya "Kenapa kau tidak memakai aturan Kang ouw" Kalau begini, jangan kau sesalkan orang Seng Kiong"
"Maut menghadapimu, buat apa kau banyak bicara" kata Su Khong dingin. Kembali ia menyerang pula.
The Eng gelagapan, syukur dia masih dapat menangkis dan berkelit. Tapi ia kaget tak terkirakan-
Didalam sedetik itu, tanah datar itu sudah bermandikan darah. Banyak orang Seng Kiong yang roboh binasa dan terluka. ereka itu segera kacau, tak lagi merupakan pasukan yang rapih. Hebat serangannya rombongan Siauw Lim Pay itu. Tiba tiba Dari dalam Seng Kiong terdengar gemuruh lonceng.
The Eng bagaikan mendapat air penawar ketika ia mendengar suara lonceng itu.
"Mundur" ia segera berseru seraya terus ia lompat mundur, berniat meninggalkan Su Khong, lawannya yang tangguh yang membuatnya repot sekali. Lonceng itu pertanda untuk mundur.
Su Khong tengah sengit sengitnya, melihat orang berlompat pergi, iapun berlompat, hanya ia untuk menyusul dan menghajar musuh itu.
Ketua Hui Eng Pang berlaku sebat, tetapi ia masih kalah gesit, bahkan tak sempat ia menangkis, ujung sianthung sudah mengenai punggungnya, hingga sambil berseru tertahan memuntahkan darah, tubuhnya turut roboh ngusruk
Semua orang Seng Kiong yang tinggal separuh, kabur terus kearah istananya atau lebih benar, sarangnya. Merekapun lalu meninggalkan pemimpin mereka yang segera saja putus nyawa, karena memang selagi roboh itu, dia terus benar terinjak injak kawanan musuh yang mengejar sisa pasukannya itu.
Belum berhenti suaranya lonceng, pihak Siauw Lim Pay sudah mulai memasuki istana.
Seng Kiong dibangun menyender kepada samping gunung, karena bangunan itu makin kebelakang makin mendaki. Ketika para pengejar baru memasuki toatian yaitu pendopo depan dan besar, mendadak mereka dikejutkan suara dahsyat bagaikan guntur, segera jalan maju mereka terintang
Itulah sebab suara mengguntur itu adalah suara jatuh turunnya pintu besi yang lebar dan berat beberapa ribu kati. Karena guruh berbunyi tiga kali, maka juga tiga tiga jalan masuk tertutup
semuanya. Hanya sekejap. toatian menjadi gelap gulita. Su Kay Taysu yang mengepalai pasukannya menjadi terkejut.
"Tenang" serunya segera "Nyalakan obor"
Su Khong Taysujuga turut memperdengarkan suaranya yang berwibawa.
Orang orang Siauw Lim Pay, yang telah terlatih, demikian juga pengikut pengikutnya
Bun Koan, lantas berdiam, tanpa bergerak. tanpa bersuara, sedangkan mereka, yang bertugas membawa obor, sudah lantas menyulut nyalakan api, hingga seluruh ruang tampak pula dengan tegas dan terang.
Jumlah rombongan kira kira tiga ratus jiwa tetapi mereka tak memenuhi ruang yang luas itu, mereka dapat bergerak dengan leluasa. Dengan nyalanya api obor, para tiangloo Siauw Lim Sie, Siauw Pek, Bun Koan dan lainnya berkumpul ditengah toa tian.
Soat Kun yang sampai sebegitu jauh berdiam saja, sekarang membuka suaranya paling dulu. Katanya:
"Semua menjaga diri baik baik, supaya tak terserang racun jahat. Semua lekas memeriksa pintu, supaya kita dapat lekas keluar dari sini."
Nona ini ketahui halnya mereka sudah terkurung didalam toatian, maju tak bisa, mundur tak dapat. Semua jalan didepan dan belakang dan sisi sudah tertutup,
Dengar suara sinona, semua orang lantas insaf bahwa mereka memang lagi menghadapi ancaman petaka. Kalau mereka diserang
dengan air, api atau racun, celakalah mereka semua. Ruang luas
tetapi itu bukan berarti bahwa mereka dapat menyingkir jauh.
Hanya sedetik para pemimpin itu saling melirik, terus mereka mulai menyelidiki pintu, untuk mencari jalan keluar.
Toatian semuanya mempunyai empat buah pintu. Pintu masuk sudah tertutup terlebih dahulu. Tiga pintu lainnya, belakang dan
kedua sisi baru saja ditutup, Su Khong Taysy mengernyitkan dahinya.
"Biar loolap menghajar dulu pintu belakang" katanya nyaring. Ia tidak melihat lain jalan- la pun segera lari sambil membawa tongkat panjangnya itu.
Selagi yang lain lain mendatangi kepadanya Su Khong Taysu sudah menghajar daun pintu, hingga terdengarlah satu suara sangat nyaring dan berisik.
"Segala pintu begini hendak mengurung kita?" kata Su Ie dengan tawanya yang dingin-Sementara itu daun pintu tak segera tergempurkan-
"Mungkin musuh membuat pintu ini sengaja untuk menjebak kita" berkata Siauw Pek yang berpikir jauh. "Mungkin musuh lagi menggunai tipu dayanya" sambung anak muda itu.
"Biarnya dia menggunai akal busuk, kitapun harus mengujinya" kata pula Su Ie sambil ia mengajukan diri. Dia penasaran hingga dia mengernyitkan dahinya. Hatinyapun mendongkol.
Su Khong mundur untuk adik seperguruan itu.
Su Ie telah menggerakkan tangannya ketika ia menggunakan tongkatnya menghajar pintu. Berbareng dengan suara nyaring, berisik, tembok pintu pecah berantakan- Menampak demikian, pendeta itu mengulangi serangannya. Maka kembali tembok gempur. Hati orang mulai menjadi lega. Kiranya pintu itu tak sedemikian kuat.
Kembali Su Ie mengulangi hajarannya, Setelah beberapa kali,
gempuran makin besar. Agaknya pintu bakal lekas dapat didobrak.
"Suheng, beristirahatlah dahulu" berkata Su Kay seraya ia bertindak maju, untuk menggantikan kakak seperguruan itu.
Su Ie mundur. Bagaimana juga, ia merasa tangannya risi juga.
Su Kay segera menyerang dengan tongkatnya. Tembok gempur, sebuah terowongan segera tampak.
Orang menyangka, setelah pintu batu itu, dibelakang pintu batu ini ada sebuah pintu lainnya, yaitu pintu besi yang dipalang turun dari atas. Rupanya itulah sebuah pintu gantung
Mau atau tidak, orang terkejut. Ada diantaranya yang merasa
kecele. Su Khong Taysu juga merapatkan sepasang alisnya.
"Sutee, coba kau gempur tembok disampingnya" katanya pada Su Kay.
"Baik suheng" sahut Su Kay Taysu. Dan ia segera bekerja. Kembali terdengar suara keras dan berisik.
Hanya kali ini suara berisik itu disusul suara riuh rendah, yang Bun Koan dengan datangnya dari arah belakang mereka dari antara orang orangnya. Maka ia segera memutar tubuhnya.
"Ada apa?"" ia tanya keras.
Tidak ada jawaban, ada juga penyahutan suara berisik seperti tadi, hanya kali ini ditambah suara tubuh tubuh terkulai. Dan segera terlihat para kiamsu roboh tak sadarkan diri, dari mulutnya keluar ludah putih atau busa.
Bun Koan kaget sekali. Ia menggerakkan tubuh, untuk lari menghampiri, guna memeriksa.
Tiba tiba Siauw Pek ingat pesannya Soat Kun. Bagaikan kilat ia sambar tangan kakaknya itu, buat ditarik, sedangkan mulutnya segera berteriak. "Lekas memecah diri. Jangan berkumpul disatu tempat. Tahan napas!!! Awas hawa beracun"
Ketika itu diantara murid murid Siauw Lim Sie juga ada yang roboh dengan mulut berbusa itu, keadaannya sama dengan para kiamsu, tetapi seruan Siauw Pek segera ditaati. orang segera pada memencar diri dan menahan napas. Biar bagaimana, mereka itu heran dan kuatir.
Segera orang merasa pasti dari bekerjanya racun, hanya tak dapat diketahui racun apa itu yang demikian liehay dan bagaimana caranya untuk menolong sekalian korban itu.
Dalam suasana genting itu terdengar suara Soat Kun. "Para tiangloo harap lekas menggempur tembok, buat mencari jalan keluar, buat memberikan pertolongan, boleh nanti"
Soara nona Hoan didengar dan dituruti oleh para tiangloo, maka semua orang lalu lari menuju ketembok lagi.
Ketika itu masih ada beberapa orang yang berjatuhan- Melihat itu, Su Khong taysu menjadi bingung dan sangat berkuatir, maka tempo ia sudah mendekati tembok, segera ia menyerang dengan tongkatnya.
Bertepatan dengan itu maka tembok disebelah kiri memperdengarkan suara bergemuruh hebat sekali, disusul dengan berhamburan beterbangannya debu pasir kapur. Sebab itu adalah gemuruh dari bobolnya tembok itu.
Su Kay Taysu lompat ketembok yang gempur itu, buat melakukan penyerangan, maka gempur pula lagi bagian tembok itu, bahkan kali ini gempuran itu segera mengasi lihat sebuah lobang .Jadinya tembok telah pecah dan lowong
Jsutru itu maka disebelah sana tembok itu terlihat seorang usia setengah tua, yang mukanya bersih, yang bajunya hijau muda. Terlihat tegas orang itu tengah menarik pulang tangannya suatu tanda dialah yang menghajar tembok dari sebelah yang lain itu. Teranglah orang itu telah menggempur berbareng dengan Su Kay Taysu.
Sementara itu kira kira sembilan tombak jauhnya dari orang setengah tua itu tampak serombongan orang orang Seng Kiong Sin Kun tengah mengepung lagi melakukan perlawanan seru.
Dengan terbukanya lowongan pada tembok itu, segera rombongan Siauw Pek menyerbu masuk kedalam tembok itu. Atau lebih benar, mereka semua menyerbu keluar.
Tiba tiba saja Thio Giok Yauw berseru. "AYah" dan terus dia lari kepada si orang tua berbaju hijau itu, untuk menubruk hingga dilain saat ia sudah ada didalam rangkulan orang.
Siauw Pek bersama dua saudara Hoan menyusul keluar, mereka menghampiri orang berbaju hijau itu.
Giok Yauw melepaskan diri dari rangkulannya si orang tua ia menghadapi ketuanya dan berkata gembira. "Bengcu, inilah ayahku, Thio Hong Hong"
Siauw Pek segera memberi hormat.
"Aku yang rendah Coh Siauw Pek" ia memperkenalkan diri. "Loocianpwee, kami mengucapkan banyak banyak terima kasih yang loocianpwee telah meloloskan kami dari kurungan ini"
orang tua itu membalas hormat.
"Jangan mengucap terima kasih" katanya. "Sudah selayaknya saja aku memberikan tenagaku".
ia diam sebentar lalu ia menambahkan- "Saat sangat penting, silahkan Coh Siauwhiap menyerbu kebelakang istana itu. Mereka yang pingsan disini serahkan padaku siorang tua"
"Terima kasih" berkata Siauw Pek yang terus mengajak kawan kawannya.
Rombongan dari Siauw Lim Sie sudah menerjang musuh. Pihak lawan kewalahan, mereka terdesak. banyak kawannya yang roboh mati dan terluka, terpaksa sisanya pada melarikan diri. Mereka mundur.
Siauw Pek danSu Kay taysuu dengan pedang dan tongkatnya masing masing, menghajar siapa yang menghadangnya. Mereka bersikap keras. Kegagalan mereka membuat musuh jeri dan menyingkir.
Segera juga pemimpin Kim Too Bun dan pendeta dari Siauw Lim Sie itu bertemu dengan Hie sian cianpeng si dewa lkan.
"Mari" cian Peng berseru. la mendahului lari dijalan batu. "Dari sini"
Semua orang lari mengikuti. Merkea melewati beberapa ruang atau undakan rumah sampai mereka melihat sebuah pendopo besar toa tian didepan mana tampak sudah menanti serombongan orang, pria dan wanita, jumlahnya tiga ratus jiwa lebih, semuanya tampak keren.
Siauw Pek dan Su Kay taysu menerka, inilah tentu pemusatan tenaga musuh. Mereka segera maju kedepan pendopo. Ada yang
aneh, dimuka pintu besar tampak semacam kabut, yang membuat
orang tak dapat melihat tegas bagian dalam dari pendopo itu.
Setelah mengawasi rombongan musuh, Su Kay mendongkol sekali. ia melihat ada banyak murid Siauw Lim Sie didalam rombongan itu. Merekalah simurid murid murtad yang kena dipengaruhi It Tie.
Orang tak usah menanti lama akan mendengar suara yang keluar dari dalam pendopo, yang keras: "Punco ada disini Eh, hweslo, ada apakah petunjukmu?"
"Ah, orang yang membuat orang tertawa" sahut Su Kay Taysu. "Semua orang gagah sudah masuk kedalam sarangmu ini, masih kau tidak keluar buat menyambut kami, masih kau main sembunyi sembunyi. Apakah kau tak malu"
Suara keras terdengar pula: "Punco toh berada disini, bersedia menyambut serbuan kamu. Kamu mengawasi kami, tetapi kamu tidak dapat melihat tegas, jangan kamu sesalkan diri sendiri karena mata kamu tidak awas. Kenapa kau mengatakan punco main sembunyi sembunyi" Sungguh lucu"
Su Kay tidak menghiraukan ejekan itu. "Mana It Tie?" tanya keras.
Dari belakang kabut itu terdengar tawa dingin- Lalu datang jawaban ini: "Kau hendak cari It Tie sipendeta" Dia berada disini dibawah perintah punco"
"Mana kitab kitab pusaka Siauw Lim Sie?" Su Kay bertanya pula.
"Kitab pusaka Siauw Lim Sie berada ditanganku" demikian jawaban dari dalam kabut. Jawaban Seng Kiong Sin Kun.
Su Kay menahan desakan hawa amarahanya, ia berpaling kepada Siauw Pek.
"Suasana sekarang telah berubah" katanya. "Karena itu pihak Siauw Lim Sie ingin maju dimuka. Tentang urusan pihakmu, Coh tayhiap suka apalah kau bersabar dahulu"
Coh Bun Koan menjawab mendahului Siauw Pek: "Sama sama menghadapi musuh siapa lebih dahulu siapa lebih belakang sama saja" Suara Nona Coh ini dingin sekali.
Su Khong Taysu merangkap kedua tangannya memberi hormat.
"Terima kasih" katanya. Lalu dia mengawasi pada musuh. "It Tie terkutuk. dimana kau" Masih kau tidak mau muncul untuk menerima kematianmu" Kau hendak menanti apa lagi?"
Didalam kabut itu terdengar pula suara Seng Kiong Sin Kun. "it Tie, kau keluarlah. Pergi kau menemui tiangloo Siauw Lim Pay kamu"
Sunyi sedetik itu, walaupun pada kedua belah pihak ada orang berjumlah lima ratus jiwa lebih. Suasana tapinya sangat tegang. Lalu dari kabut itu muncul It Tie, pendeta ketua Siauw Lim Sie yang murtad dan kabur itu. ia bertindak perlahan, dia beralis gomplok dan bermata besar, tubuhnya tinggi dan kekar. Dibatok kepalanya ada sejumlah titik pitak. tanda dialah seorang pendeta agung. Dipandang seluruhnya, dia bengis dan menyeramkan. Selama itu, dia tak membuka mulutnya. Kalau dia bukan tengah berjalan, dia mirip dengan sebuah patung.
JILID 49 - TAMAT Segera terdengar suara nona Hoan: "orang itu sudah hilang kecerdasannya, dia telah tak berkuasa lagi atas dirinya."
Kedua mata Su Khong Taysu terbuka lebar dan tajam mengawasi ketuanya itu, ia melihat mata orang tak bersinar dan wajahnya diam saja, ia percaya sebenarnya perkataan sinona. Tapi ia menoleh
kesisi kiri dan kanannya, untuk bertanya: "Sute, siapa yang mau
keluar untuk menawan dahulu pemberontak dan penghianat itu?"
"Su Ie yang akan mencoba," demikian satu jawab dari Su Ie taysu.
"Dialah simanusia murtad yang menerbitkan bencana juga,"
berkata Su Khong. "Kalau dia tak dapat ditawan hidup hidup,
hajarlah dia mampus dengan tongkat" su Ie Taysu mengangguk.
"Aku Su Ie mentaati perintah suheng" katanya, seraya ia terus bertindak maju sambil membawa tongkatnya.
IT Tie melihat Su Ie mendatangi, ia mengawasi, akan tetapi sikapnya atau gerak geriknya menyatakan dia tidak kenal paman guru itu. Maka juga melihat demikian bukan main mendongkolnya Su Ie.
"orang terkutuk, mari terima kebinasaanmu" bentaknya. Dan segera dia menyerang.
Walaupun dia nampak seperti kurang ingatan, It Tie tahu bahwa dia dibentak dan diserang, begitu serangan tiba, dia berkelit untuk segera membawa menyerang. Dia bertangan kosong tetapi dia tak takut.
Su Ie berkelit. Lagi sekali ia menyerang. Itulah serangan tongkat "Naga hijau masuk kelaut"
It Tie berkelit pula. Lagi lagi dia membalas menyerang, dia awas dan gesit.
Maka dua orang itu segera bertarung dengan seru sekali. Karena dua dua mereka sama liehaynya.
Nona Soat Kun menyaksikan pertempuran itu, bukan dengan matanya hanya dengan telinganya. Ia memasang telinga sambil memandang kekalangan pertempuran- Disisinya Soat Gie yang
menonton benar benar, ia selalu mengerak geraki tanganya, guna
memberikan keterangan tentang jalannya pertempuran itu.
"Dibanding dengan masanya dia masih berada di Siauw Lim Sie, kepandaiannya It Tie telah maju jauh" berkata sinona selang sekian
lama. "Belum tentu Su Ie taysu dapat mengalahkan dia...."
Itulah salah satu pukulan dari tujuh puluh dua jurus simpanan dari Siauw Lim Pay, namanya ialah "tangan Arhat suci" karena itu Su Ie kontan terdesak mundur kesamping
Hebat It Tie, walaupun dia nampaknya telah kehilangan kecerdasannya, diwaktu berkelahi, dia tetap masih mengingat baik ilmu silatnya. Dia segera mendesak lawannya. Saling susul dia menyerang hingga empat kali, pertama kali saja, Su Ie repot, apapula setelah ia terdesak itu. Maka satu kali dadanya disentuh tangannya IT Tie, hingga ia mengasih dengar suara tertahan, menyusul mana tubuhnya terlenggak.
Diantara saudara saudara setingkatnya, Su Ie adalah yang tabiatnya paling keras, maka itu serangan it Tie membuat ia sangat gusar. Ia tidak segera roboh. cepat luar biasa, ia dapat memperbaiki diri, setelah mana, ia tak menantikan satu detikpun, seCara luar biasa ia membalas menyerang
It Tie tidak menyangka bahwa orang masih bisa membalas menyerang padanya, bahkan ia tidak sempat menangkis atau berkelit ketika tangan Su ie tiba. Ketika itu, tongkat Su Ie ini telah terlepas, serangannya itu tepat mengenai iga.
Sangat hebat kesudahannya saling serang itu, setelah serangannya itu mengenai sasarannya tubuh Su Ie segera roboh terkulai, bahkan jiwanya terus melayang. Karena hajaran it Tie adalah hajaran kematian- Tapi It Tie pun tidak lolos dari petaka. Hajaran Su Ie membuat dua batang tulang rusuknya patah,
tubuhnya terus terhuyung, sedangkan mulutnya menyemburkan darah hidup
Su Khong memang senantiasa siap sedia, melihat It Tie luka, ia melompat kepada keponakan murid atau ketua yang murtad untuk menyambar mencekal lengan kanannya.Justru ia maju menangkap It Tie itu, justru dari pihak lawan dua orang berlompat maju kearahnya. Teranglah kedua orang musuh itu berniat menolongi ketua murtad dari Siauw Lim Sie itu.
Sementara itu, disaatSu Ie melakukan serangan pembalasannya itu, Soat Kun telah memutar tubuh kearah Coh Siauw Pek. Nona ini terus menerus memperhatikan jalannya pertempuran serta suasana disekitarnya. Atau lebih benar Soat Gie adalah yang melakukan pengawasan dengan tajam dan senantiasa dengan pencetan tangannya kepada tangan kakaknya memberitahukan segalanya kepada sang kakak.
"Bengcu" berkata si nona, suaranya agak kesusu "musuh ayah bengcu berada didalam toa tian itu, lekas bengcu bertindak^ jangan tunggu waktu lagi. Inilah saatnya Pa Too bekerja"
Sekalipun nona Hoan bicara dengan cepat, jalannya pertempuran bagaikan melombainya, demikianlah selagi ia mengakhiri kata katanya kepada ketuanya, sang bengcu Siauw Pek. Pertempuran berlanjut dengan sangat cepatnya, ialah ketika itu Su Khong sudah menangkap tangan It Tie dan dua orang lain dari Seng Kiong Sin Kun sudah berlompat kepada tiangloo dari Siauw Lim Sie itu
Siauw Pek pun selalu waspada, Maka juga selekasnya mendengar anjuran si nona dan ia melihat dua orang musuh muncul untuk mengganggu Su Khong Taysu, ia segera mencelat maju sambil berseru, sementara golok pembasmi sudah berada didalam genggamannya.
Hanya dengan satu kelebatan bagaikan kilat, muncratlah darah berhamburan berbareng dengan dua kali jeritan yang hebat, yang disusul dengan jatuh terbantungnya empat buah tubuh Karena golok pembasmi sudah menguntungkan tubuh dua orang musuh itu
menjadi masing masing dua potong, kutung sebatas pinggang mereka Pihak musuh kaget bukan main menyaksikan kejadian hebat itu.
Bahkan Su Khong juga kagum tak kepalang hingga ia berkata didalam hatinya. "Bukan main hebatnya Pa Too. Dia tak kalah dengan jurus ilmu silat yang manapun dari Siauw Lim"
Habis membinasakan kedua jago dari Seng Kiong Sin Kun, Siauw Pek menoleh ke nona Hoan yang tuna netra.
"Nona" tanyanya. "Bagaimana sekarang" Apakah perlu kita basmi
musuh yang diluar dahulu atau segera menyerbu kesarang lawan?"
"Bukankah jumlah musuh diluar Seng Kiong berjumlah hanya kira kira dua ratus jiwa?" balik bertanya si nona.
"Tak salah" sahut Siauw Pek cepat. Hanya sekelebatan ia menyapu dengan sinar matanya kepada musuh. "Tapi kita tak perlu bertempur bergumulan dengan mereka itu cukup bersama beberapa orang tiangloo dari Siauw Lim Sie. Dengan menyerbu kepada mereka itu, dapat kira melabraknya hingga mereka nanti buyar sendirinya." Nona Hoan menghela napas.
"Itulah benar" bilangnya "Tapi itu bukanlah Cara yang sempurna. Kebinasaan seratus orang lebih didalam satu saat aku rasa terlalu kejam. Pasti tindakan kita semacam itu sudah berada didalam perhitungannya Seng Kiong sin Kun yang Cerdik itu. Itu bukan cara yang memutuskan"
Dan suaranya si nona berubah menjadi tinggi hingga terdengar oleh pihak musuh. Demikianlah dari balik kabut terdengar satu timpalan yang keras.
"Benar" begitu suara timpalan "itu bukan cara yang memutuskan. Merekalah orang orang yang berbaja, jumlah banyak dari mereka tidak berarti apa apa" katanya lagi lantang.
Nada suara itu, yang nyaring beda daripada suara yang semula tadi. Suara ini mestinya suara dari Seng Kiong sin Kun sendiri.
Dengan memegangi bahu adiknya, Soat Kun bertindak perlahan kedepan toatian. Disitu ia segera memperdengarkan suaranya yang tinggi halus "oleh karena pemandangan kedua belah pihak sama satu dengan lain, sekarang pastilah kita sudah dapat berbicara langsung, bukan?"
Dari dalam kabut segera terdengar jawaban seorang yang suara serak.
"Aku mohon bertanya, kedudukan nona sebagai apa?" demikian suara itu menanya.
Tanpa bersangsi nona Hoan menjawab "AKulah orang Kim Too Bun" katanya tegas.
Siauw Pek segera menambahkan. "Dan aku yang rendah adalah bengcu dari Kim Too Bun. Nona ini mempunyai kekuasaan penuh untuk mewakili partai Kim Too Bun kami"
Juga Su Khong mengasi dengar suaranya, "Kami dari Siauw Lim Sie, kami juga dapat diwakilkan oleh nona ini" demikian ketua Siauw
Lim Pay itu, yang sekarang sudah menaruh kepercayaan penuh
kepada murid yang cacat mata dari almarhum Hoan Tiong Beng.
Beda dari barusan, didalam toatian terdengar tawa ejekan yang disusul dengan suara dingin ini. "Tidak kusangka bahwa seorang nona muda sekali sebagai kau tetapi telah mendapat kepercayaan dan kekuasaan begini besar." Soat Kun tertawa hambar.
"Bagus Sin Kun, kau telah menginsafi suasana " demikian katanya sabar "Kau telah melihat keadaan yang sebenarnya, kau telah mengerti bahwa pertempuran tak dapat diputuskan dengan pertarungan pergumulan yang kacau balau. Pertempuran semacam itu cuma akan menambah banyaknya roh roh yang berpenasaran dan tak ada perlunya. Buat pihakmu cukup sudah asal kau dapat membinasakan beberapa orang kami yang termasuk pemimpin, itu sudah berarti kemenangan pihakmu. Jikalau kita toh mesti perang bergumulan itu, pihak kami berada jauh lebih kuat, didalam tempo tak satu jam, dapat kami membuat muka istana ini penuh dengan bergeletaknya dua ratus mayat."
Teranglah Seng Kiong Sin Kun menginsafi baik sekali kata kata
sinona, maka tak terdengar pula suaranya yang keras atau
ejekannya ia sudah segera merubah sikapnya menjadi tenang.
"Nona, dapatkah kau memberitahukan she dan namamu serta riwayat hidupmu?" demikian pertanyaannya .
Soat Kun bersikap halus seperti biasanya.
"Aku adalah Hoan Soat Kun" sahutnya sabar. "Aku adalah murid satu satunya dari almarhum Hoan Tiong Beng serta sekalian juga menjadi anak angkatnya."
"Jadi kau telah mewarisi banyak kepandaian Hoan Tiong Beng?" tanya satu suara dalam - suara dari seorang lainnya.
"Semua kepandaiannya almarhum ayah angkatku itu telah diwariskan kepada kami dua saudara" sahut si nona tetap sabar, bahkan ia berlaku jujur, "akan tetapi karena kecerdasan kami berdua ada batasnya, ada beberapa bagian yang kami tak dapat menyamai almarhum ayah angkat kami itu"
"Ha, kiranya kamu berdualah yang mangacau rencana kami" tiba tiba terdengar suara keras dari dalam kabut.
Tanpa menanti berhentinya suara orang itu dengan tertawa hambar, Soat Kun menyela "Kata kata yang hebat" Hanya berhenti sejenak ia terus menambahkan "Semua orang Bu Lim sudah sama insaf bahwa cuma dengan berkelahi mati matian barulah jiwa mereka dapat dilindungi. Maka andaikata tidak ada kami berdua saudara tekad mereka sudah bulat, dengan bekerja sama pastilah mereka bakal menyerbu kesini"
Suara dalam didalam kabut itu berkata:
"Kalau saja kamu datang lebih siang tiga bulan yang lalu...."
"Dan jikalau kami datang terlambat tiga bulan kemudian?" tanya Soat Kun.
"Maka seluruh dunia Bu Lim akan berada dalam genggamanku" jawab suara didalam kabut itu.
"Nah, sekarang terbukti bukan bahwa Thian telah tidak membantu kamu?" tanya nona Hoan.
"Akan tetapi sekarang pun masih belum dapat dipastikan sang menjangan bakal terbinasa ditangan siapa" kata pula suara didalam kabut itu, suara yang menyatakan dia menentang Thian, Tuhan Yang Maha Esa. Soat Kun tetap sabar.
"sin Kun" katanya, "kalau kau telah mempunyai kepercayaan yang kuat itu, sekarang sudah tiba saatnya buat kamu muncul memperlihatkan dirimu, guna kita melakukan satu pertempuran yang memutuskan. Kedua belah pihak akan mengajukan pemimpin pemimpinnya yang utama untuk bertanding untuk menang atau kalah, tak usah kita mengorbankan lebih banyak lagi tenaga tenaga yang tak berguna"
Tertawa dingin didalam kabut terdengar pula, disusul dengan pertanyaan yang sama dinginnya ini. "Bagaimana jika punco tak mau bergerak dari toatianku ini?"
Su Khong mendahului sinona menjawab. "Pendeta pendeta dari Siauw Lim Sie akan segera menyerbu kedalam toatian kamu"
"oh sungguh seorang pendeta tekebur" begitu terdengar ejekan
dari dalam kabut, suara dingin diiringi dengan tawa dingin pula.
Nona Hoan tidak melayani orang mengadu bicara, sebaliknya dia bertanya tenang. "Apakah kamu mengandalkan kabutmu yang tebal ini untuk melukai orang?"
Suara didalam kabut itu tidak menjawab, ia hanya bertanya. "Kaulah akhirnya Hoan Tiong Beng. Dialah seorang pintar yang tak ada yang dia tak tahu. Maka itu sebagai murid Hoan Tiong Beng, kau tahukah kabut ini benda apa?"
Nona Hoan menjawab pasti "itulah kabut alam yang ditambah bubuk beracun yang dibuat halus bagaikan debu"
Suara didalam kabut itu berkata pula. "Ya mungkin benar tepat dugaan kau ini, akan tetapi tahukah kau bagaimana harus memecahkannya?"
Dengan sabar sekali, Soat Kun memberikan jawabannya "jikalau kau menganggap kabut beracunmu didalam pendopo ini dapat merintangi kaum BuLim dikolong langit ini, itulah pertanda bahwa si manusia tolol tengah mimpi."
Orang didalam pendopo itu tertawa tawar.
"Jikalau kau dapat menerangkan caranya untuk memecahkan kabut kami ini, mungkin punco akan memikir buat mengangkat kaki dari pendopo ini" demikian suara yang menentang. Soat Kun tidak menjawab, hanya ia mengernyitkan alisnya. Terang ia sedang berpikir.
Ketika itu Su Khong sudah menotok beberapa jalan darah It Tie, yang terus diserahkan pada murid muridnya untuk dikekang, ketika ia melihat si nona berdiam, ia berbisik pada Coh Siauw Pek, "Coh bengcu... walaupun si nona sangat cerdas, mungkin ia tak akan dapat jalan buat segera memecahkan kabut itu."
Siauw Pek tahu pendeta luhur itu tidak bicara tanpa berpikir dahulu, maka:
"Habis bagaimana pendapat taysu?" ia tanya.
Tiang loo dari Siauw Lim Sie itu menjawab dengan sangat perlahan, hingga cuma ketua Kim Too Bun itu sendiri yang dapat mendengar. "Setelah tadi It Tie terlukakan dan tertawan, masih ada dua orang lain dari Seng Kiong sin kun yang menyerbu keluar hingga dia terbinasa diujung golok bengcu. Kenapakah mereka itu tak takut terhadap kabut beracun."
Siauw Pek cerdas, dapat ia menerka hati si pendeta.
"Apakah taysu maksudkan mereka itu membawa atau memakai obat yang dapat memunahkan kabut beracun itu?" tanyanya. Su Khong mengangguk.
"Tak perduli itu obat atau benda apapun lainnya" katanya "yang terang ialah mereka itu tidak takut akan racun itu. Inilah soalnya" Siauw Pek mengangguk.
"Benar" katanya "Baik, nanti aku bicara dengan nona Hoan"
Lalu ketua ini bertindak dengan sangat perlahan kearah Soat Kun, ia berhenti didampinginya nona itu, dan berkata bagaikan
berbisik, "nona, aku ingin bicara. Aku mau minta penjelasanmu...." "Apakah itu bengcu?" si nona tanya.
"Nona lihat kabut musuh, bukan " Kenapa kabut itu tidak mencelakai orangnya sendiri"
"Itulah sebab mereka terlebih dahulu sudah makan obat pemunahnya."
"Kalau begitu disaat ini, sukar buat kita mendayakan obat semacam itu, maka itu menurut aku, jalan satu satunya ialah
berdaya mendapatkannya dari tubuh mereka sendiri...."
"Memang, itulah satu satunya jalan...."
"Kalau begitu, ingin aku mencoba menyelundup kedalam
musuh...." "Daya ini baik, akan tetapi tak dapat kau menyerbu ancaman malapetaka"
Kata si anak muda pasti. "Kalau aku sendiri tidak memasuki sarang harimau, siapakah lagi?"
Soat Kun memperingati perlahan- "orang kita berjumlah cukup besar tetapi buat merebut kemenangan, itu bergantung cuma dengan kau dan Su Khong serta satu dua orang lainnya. Aku berdua cuma dapat berpikir, tidak dapat aku membantu. andaikata pihak
sana nekad menyerbu kita. Seandainya kau sampai terkena
racunnya, aku kuatir keadaan kita akan segera berubah buruk" "Habis, bagaimana pendapat nona?"
"Karena keadaan sangat mendesak ini" sahut si nona itu, "Tak dapat tidak terpaksa aku mesti mengambil jalan terakhir."
Siauw Pek menggeleng. "Bagaimanakah itu nona?"
"Aku menghendaki Ban Liang dan Oey Eng menyerbu ancaman marabahaya itu"
Kembali bengcu dari Kim Too Bun melengak. "Ini.... ini...." katanya gugup "Ini... mana bisa...?"
Soat Kun tidak menghiraukan keberatan ketua itu.
"Bengcu" katanya, "tolong minta mereka itu datang kemari, aku hendak bicara sendiri dengan mereka."
Tak tega hatinya Siauw Pek. tetapi keadaan sangat terpaksa, mau atau tidak ia toh memanggil Ban Liang dan Oey Eng. Soat Kun bangkit dengan perlahan sekali.
"Su Khong Siansu" panggilnya.
Pendeta dari Siauw Lim Sie itu menghampiri.
"Ada perintah apa, nona?" tanyanya.
"Aku minta sekarang juga siansu mengatur Lo han tin" sinona minta. "Inilah perlu buat menjaga kalau kalau musuh menerjang kita"
Su Khong taysu cerdas, tahu ia akan tugasnya, tanpa banyak
Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bicara lagi, ia lantas memerintahkan pihaknya bersikap untuk
membangun Lo Han Tin, benteng arhat, barisan dari Siauw Lim pay.
"Menurut apa yang aku dengar, Lo Han Tin menjadi pusaka aneh nomor satu dikolong langit ini" kata Soat Kun kemudian, "pasukan itu dapat maju dan mundur dan dapat membela diri dan menyerang dengan sewajarnya, benarkah itu?"
"Sebenarnya barisan kami ini terutama untuk membela diri" Su Khong menjelaskan. "Perihal penyerangan, tak selihay sebagaimana yang tersiar diluaran."
"Kalau begitu, tolonglah atur Lo Han Tin dimuka Toatian ini" si nona minta "Aku hendak mencoba memecahkan kabut racun dipendopo itu"
"Kita sekarang menghadapi pemimpin musuh. Inilah saat berhasil atau gagalnya usaha kita" berkata Su Khong "karena itu, sudah selayaknya kita bersiap sedia"
"Siansu benar" si nona mengangguk "tetapi masih ada satu permintaan lagi..."
"Apakah itu nona" Bilanglah" kata Tiangloo itu. "Asal yang kami sanggup, pasti kami slap sedia"
"Kabut beracun itu menjadi tameng liehay dari musuh" berkata sinona. "Untuk menyingkirkan itu, kita mesti menerjang bencana, harus ada orang yang berani menyerbunya" su Khong dapat menerka hati sinona.
"Aku akan sediakan empat orang ku untuk mona perintah" bilangnya.
"Mereka itu selain halus lihay ilmu silatnya" nona Hoan jelaskan, "juga merka mesti berpengalaman dan cerdas serta harus pandai merubah siasat seketika. Aku maksudkan orang sebangsa Su Kay Taysu. Bagaimana pendapat siansu?"
Belum lagi tiangloo itu menjawab. Su Kay sudah mendahuluinya.
"Buat guna kehormatan dan kehinaan Siauw Lim Pay" kata pendeta itu "untuk hidup dan musnahnya partai kita, loolap bersedia sekalipun untuk menyerbu api membara, berlaksa kali mati juga loolap tak perduli"
"Bagus" nona Hoan memuji. "Dengan keberanian berkorban dari taysu ini, hari ini pasti kita mempunyai harapan besar untuk menang"
Su Kay maju mendekati, ia memberi hormat.
"Loolap disini" katanya. Itu artinya ia telah menyiapkan diri buat menerima perintah apapun juga." ia memang sudah sangat mengagumi sinona.
Soat Kun mundur sejauh satu tombak.
"Kabut racun itu adalah racun yang bekerja sangat dahsyat" berkata ia "tanpa obat pemunahnya, biar dia orang gagah dan kuat luar biasa, tidak dapat dia bertahan andaikata dia menyerbu kedalam pendopo. oleh karena itu kita mesti berdaya dahulu mendapatkan obat pemunah itu."
Su Kay Taysu dan Ban Liang mengangguk berbareng tanda telah mengerti^
"Aku telah mengerti maksud nona" berkata mereka berbareng
juga. "Ada perintah apa lagi dari nona" Silahkan menitahkan"
"Seng Kiong Sin Kun dan orang orangnya berjumlah besar" berkata nona Hoan "Kenapa mereka tidak takut kabut beracun itu" Apakah sebabnya?"
"Rupanya sebab mereka mempunyai obat penakluk racunnya itu" Ban Liang mengutarakan terkaannya itu.
"Itu benar" si nona mengangguk. "Jangan kata memangnya aku tidak mampu memecahkan racun itu, taruh kata aku ketahui caranya disaat seperti ini dimana kita dapat cari bahan bahan obat serta membuatnya?"
"Maka itu perlu kita mengambil obat itu dari tangan musuh" Su Kay bilang.
"Pendopo dirintangi kabut racun, cara bagaimana kalian dapat memasuki pendopo itu?" si nona bertanya pula.
"Tak ada jalan lain daripada kita menyelundup bercampur baur
dengan orang orang mereka...." sahut Ban Liang.
"caranya merampas obat pemunah itu, tak dapat aku segera memberitahukannya" Nona Hoan berkata pula "cara itu harus dilakukan dengan melihat gelagat. Sementara itu ada kemungkinan kalian kena dipergoki Seng Kiong Sin Kun, akan terkena racun dan akan mati karenanya. Ataupun ada kemungkinan kalian kena tertawan dan dijatuhkan hukuman mati. Maka itu, kalian benar benar berani menempuh jalan ini atau tidak, terserah kepada kalian masing masing. Aku sendiri, tak mau aku memaksanya."
Dengan gagah Su Kay segera memberikan jawabnya "Loolap akan mati tanpa penasaran"
Ban Liang pun lantas berkata "Aku sudah tua, aku sudah
mendekati liang kubur, kalau aku mati buat guna kaum kita, buat
kepentingan orang banyak, aku puas" Soat Kun menghela napas.
"Umpama kata kalian dapat memasuki toa tian, tak nanti seketika juga kalian berhasil mendapatkan obat pemunah itu" berkata ia "kalian dapat memasuki pendopo itu dengan mengerahkan tenaga dalam, dengan menahan napas, tetapi ini tidak dapat meminta banyak tempo, sebaliknya tak mudah buat mencari tempat
penyimpanan obat itu...."
"Dalam hal ini nona, loolap mohon petunjukmu" berkata Su Kay. Ban Liang dan Oey Eng berdiam.
Soat Kun mengawasi ketiga orang itu. Katanya "Diumpamakan kalian bertiga berhasil mencari tempat penyimpanan obat itu, tetapi didepan Sin Kun ada banyak orangnya yang liehay, cara bagaimana kalian dapat mengambilnya didepan mereka itu?"
Su Kay Taysu berpikir keras. Lewat sesaat ia tersenyum. "Agaknya nona bukan bersungguh sungguh menghendaki kami
mengambil obat pemunah racun itu...." katanya sabar.
"Tak salah" si nona menjawab "Pikiran semacam itu khayalan belaka. AKu tidak pandai meramalkan, mana aku tahu obat disimpan dimana?"
"coba nona jelaskan" berkata Oey Eng, yang berdiam saja sejak tadi.
Tiba tiba wajah si nona muram.
"Tak kuat hatiku buat menyebutnya..." sahutnya.
"Nona" sianak muda mendesak "sekalipun nona menunjuk kami untuk mati, kami tak akan penasaran. Maka, tolong bilanglah"
"Ini bukannya soal mati saja" si nona tandaskan "inilah kematian yang sudah merupakan tubuh hancur dan tulang lebur. Tak dapat
aku menyebutnya...."
"Sebetulnya itu kematian macam apakah?" Su Kay turut bicara. "Sulit buat menjelaskannya" jawab sinona "Yang dapat dikatakan
ialah kematian itu bakal sangat hebat dan mengenaskan.... Dianatara kalian bertiga, yang satu pasti akan mati dan yang dua lainnya mungkin masih dapat hidup."
"Loolap hidup dengan mengandalkan kepada Sang Buddha, bagiku mati atau hidup sama saja" berkata orang beribadat itu.
"Tanah suci diBarat itu adalah tanah yang menjadi kenang
kenangan, karena itu kalau mesti mati biarlah loolap yang mati"
"Taysu maha suci dan ilmu silat taysu juga mahir luar biasa" berkata Ban Liang "masih sangat banyak diperlukan dari taysu, karena itu mana dapat taysu sembarang bicara dari hal mati" Adalah aku yang kedua tanganku berbau darah, karena telah
banyak orang yang aku binasakan, kalau mesti mati, biarlah aku si
tua yang menyambutnya" Oey Eng mengawasi kedua jago tua itu.
"Taysu berdua jauh lebih tua daripada aku, kalau ada sesuatu, akulah yang harus mewakilkan mengerjakannya" kata ia " Baiklah aku saja yang menerima tugas itu"
"Taysu bertiga sangat mengagumi aku" sinona berkata "Dalam
hal matipun taysu bertiga saling berlomba Sungguh sifat luar biasa"
"Loolap yang paling dulu membuka mulut, orang yang mesti mati itu mesti loolap adanya" berkata pula Su Kay Taysu "Sudahlah jangan kita saling berebutan. Disaat ini, sang waktu berharga sebagai emas. Nona, lekas nona keluarkan perintah mu"
"Telah aku bilang, orang yang mesti mati itu akulah situa" Ban Liang bilang.
"Aku juga tak mau ketinggalan" Oey Eng memastikan. "Sudah, taysu bertiga jangan berselisih" berkata Soat Kun.
"Aku ada daya" Ban Liang akhirnya mengusulkan "Kita mengundi, bagaimana?"
"Itulah tak dapat" Su Kay menentang, "Kalau tiga tiganya, bagaimana?"
"Jikalau kalian percaya, bagaimana kalau aku yang menunjuk?" tanya sinona.
"Bagus" berseru Ban Liang. "Kalau nona yang menunjuknya, pasti nona sudah memikirkannya masak masak"
Oey Eng berkata didalam hatinya: "Jangan jangan aku bukanlah
yang akan ditunjuk itu...."
Su Kay Taysu dan Ban Liangpun menerka nerka.
Segeralah terdengar suara merdu si nona Hoan: "Su Kay Taysu berdua Ban Huhoat sama sama mempunyai pengalaman yang banyak sekali, sudah sering menghadapi pertempuran, pula pandai melihat selata, taysu tak dapat disamakan dengan kebanyakan
orang, karenanya taysu berdua tak dapat menerima tugas ini.
Menurut aku, paling tepat kalau Oey huhoat yang menerima tugas"
Su Kay dan Ban Liang heran sekali. Kenapa si nona memilih seorang muda" Tadi si nona menunjuk calon yang pandai silat dan berpengalaman- Oey Eng pasti kalah dari mereka berdua. Maka keduanya segera menoleh mengawasi pemuda itu.
Oey Engpun heran, hingga ia melengak. sedangkan barusan ia menerka ia bukanlah orang yang bakal dipilih. Tapi cepat cepat ia berkata "Memang tepat pilihan ini"
"Amitaba budha" Su Kay kemudian memuji. "Nona, pilihanmu ini sangat loolap tak setuju"
Tapi sinona tersenyum. "Sejak ribuan tahun, siapapun tak luput dari kematian,. kata ia. "Oey Eng hu hoat masih muda sekali, sebenarnya aku tak tega akan kematiannya..."
"Benar Tapi kenapakah nona tidak memilih aku slorang tua?" tanya Ban Liang.
"Aku mengambil keputusan dengan melihat keadaan," nona Hoan memberi keterangan. "Tugas ini paling tepat bagi Oey huhoan. Tapi akupun tidak dapat membiarkan Oey huhoat mati dengan begitu
saja...." "Bagaimana itu nona?"
"Bagi seorang perempuan, apakah yang paling pahit getir?" sinona balik tanya.
"Itulah kalau masih muda dia kehilangan suaminya dan sesudah tua dia kehilangan anaknya..." sahut Ban Liang.
"Benar" kata sinona "sekarang aku serahkan diriku kepada Oey huhoat. Kalau nanti dia mati, aku akan menjadi jandanya. Harga dan hadiah ini cukup bukan?"
Oey Eng menjadi gugup, "Tidak. tidak dapat" serunya.
Ban Liang dan lainnyapun heran sekali.
Hoan Soat Kun tersenyum. "Apakah kau mencela aku bercacat" ia tanya.
"Jangan salah mengerti nona" kata Oey Eng bingung. "Mulai dari bengcu, siapakah yang tidak memandang dan menganggap nona sebagai malaikat?"
"Jikalau aku bukannya malaikat hanya manusia biasa, kau toh dapat menerima, bukan?" si nona tanya pula.
"Jikalau aku dikehendaki menyerbu api, tak akan aku tampik" sahut Oey Eng
"Nah, nona perintah kan saja" Soat Kun menghela napas.
"inilah pilihanku karena terpaksa" katanya perlahan "telah aku menimbang berulang kali, telah aku melihat kesana kemari, lambat
laun pikiranku mulai menjadi terang, dapat aku membayangkan Seng Kiong Sin Kun itu orang macam apa. Aku perhatikan segala kepandaiannya, lalu sepak terjangnya.."
Ban Liang dan Su Kay taysu menjadi sangat tertarik, "Bagaimana sebenarnya nona?" tanya mereka.
"Seng Kiong Sin Kun adalah seseorang" sahut si nona "Nama itu nama buatannya, guna menakuti hati orang"
"Menurut nona, nama itu jadinya nama kosong belaka?" Ban Liang menegasi.
"Ya demikianlah" jawab Soat Kun. "Didalam dunia ini tidak ada Seng Kiong sin Kun, yang ada hanya seorang edan otaknya yang telah lenyap kesadaran dirinya"
"Siapakah dia nona?" tanya Ban Liang.
"Ini barulah pendapat. Kalau aku menyebutnya, mungkin Ban Huhoat beramai tak akan percaya" menyahut si nona "Baiknya tunggu sampai sebentar, sesudah Ban huhoat bertiga memasuki toatian musuh. Disana akan dapat diketahui siapa dia itu..."
Ban Liang heran- "Nona," ia tanya pula, "sudikah nona menjelaskan sekarang siapakah dia?"
Nona itu agak terdesak. "Boleh" sahutnya akhirnya. "Silahkan sebutkan nona?"
Nona Hoan segera menyebutkan dengan sangat perlahan "Dialah ceng Gi Loojin."
Ban Liang bertiga melengak, hingga sekian lama mereka bungkam saja. Sungguh diluar dugaan
Soat Kun menambahkan "Aku bicara yang sebenarnya. Kalau sebentar kalian sudah berada didalam pendopo musuh, kalian akan
mendapatkan kebenarannya kata kataku ini" Su Kay merangkap kedua belah tangannya didepan dadanya.
"Amitabha budha" ia memuji. "Loolap percaya kau nona, loolap sangat mengagumimu, akan tetapi didalam hal ini, inlah terlalu tak dapat dipikir Sungguh sulit membuat orang mempercayainya. Bukankah ceng Gie Loojin telah terbinasa?"
"Memang sangat sulit buat dipercaya. Karena itu juga tidak berani aku membeberkan dimuka orang banyak. Tapi satu hal dapat aku terangkan, bukankah Seng Kiong Sin Kun selalu membuat manusia manusia palsu, baik mereka yang sudah mati maupun yang masih hidup" Kenapa ia tak dapat memalsukan dirinya sendiri?"
Si nona kemudian lantas merogoh sakunya, ia mengeluarkan tiga butir pil.
"inilah obat peranti melawan racun peninggalan guruku" ia menerangkan "silahkan Ban Huhoat bertiga mengemunya didalam mulut. Didalam istana sebentar, apabila musuh besar benar ceng Gi Loojin, harap kalian menggunai ini."
Nona Hoan merogoh pula sakunya. Kali ini dia mengeluarkan dua buah barang sebesar telur ayam, yang ia seragkan masing masing kepada Ban Liang dan Su Kay Taysu. Ia menambahkan "kalau barang ini ditimpukkan kelantai, api akan menyala dan asapnya mengepul. Adalah asapnya itu yang akan membuat orang tak sadarkan diri. orang orang sin Kun pandai menggunai racun tetapi mereka tak akan dapat bertahan dari racunku ini. orang akan roboh pingsan dalam sejenak. Kalian mengemut obat, kalian sendiri akan bebas dari bahaya tak sadarkan diri itu"
Ban Liang dan Su Kay menyambut benda itu.
Oey Eng mengawasi kedua orang itu diberikan pesan dan barang tetapi ia tidak. "Habis aku, apakah tugasku?" ia tanya.
Soat Kun mengawasi anak muda itu. Atau lebih benar ia cuma berpaling kearahnya.
"Tugasmu ialah yang terberat" sahutnya. Si anak muda menatap.
"Jikalau demikian, aku akan mati tanpa menyesal" bilangnya "coba nona menjelaskan apa yang aku harus kerjakan"
Soat Kun tidak segera menjawab. ia hanya berkata "Masih kau belum memberikan jawabanmu kepadaku"
"Apakah itu?" si anak muda tegaskan-
"Soal jodoh kita, Kau belum menyatakan menerima tawaranku" Oey Eng nampak sulit.
"Ada satu hal yang membuatku tidak mengerti" katanya. "Hal apakah itu?"
"Jikalau aku toh mesti mati, apa gunanya merecoki jodoh kita" Jikalau seandainya aku tidak mati, bagaimana saja nona nanti mengaturnya" Aku tahu tindakanmu ini cuma karena kau sangat kasihan terhadap diriku."
"Kau keliru menerka. Suatu pertempuran yang hebat, bagiannya ialah sembilan mati dan satu hidup, tetapi untuk kau bagian yang satu saja, yaitu bagian hidup, telah tidak ada. Kau mati untuk kebaikan orang banyak. Tanpa ada ikatan suami istri diantara kita, mana dapat aku menitahkan kau?"
Si anak muda menggelengkan kepala.
"Aku tidak mau kau mengasihani aku" katanya. "Itulah pengorbanan"
"Itu bukan pengorbanan belaka. Itu karena rasa hormatku. Rasa
hormatlah yang mendatangkan cinta kasih" Oey Eng tersenyum.
"Jikalau aku dapat keluar dari istana dengan masih hidup?"
"Pasti aku akan serahkan diriku kepadamu, buat merawatmu. Tak nanti aku telan kata kataku ini"
Wajah si anak muda suram. Ia menarik napas.
"Baik" sahutnya, akhirnya "Aku menerima baik padamu" Soat Kun segera berlutut.
"Taysu dan Ban huhoat, aku minta kalian menjadi saksi" kata ia. Terus ia berkata pada Oey Eng. "Mari kita mengasi hormat kepada Thian Yang Maha Esa, supaya dengan begini kita menjadi suami istri."
Melihat si nona demikian sungguh sungguh, Oey Eng turut menekuk lututnya. Maka bersama sama mereka menghormati Thian, lalu saling menghormat diri.
Su Kay dan Ban Liang heran, tetapi merekapun terharu. Mereka menerka, dengan Soat Kun berbuat demikian, mungkin si anak muda tidak bakal mempunyai harapan hidup lagi.
Selesai upacara yang sangat sederhana itu, Soat Kun bangkit, buat berkata dengan sungguh sungguh. "Taysu bersama Ban huhoat telah menjadi saksi: mulai hari ini aku Hoan Soat Kun, telah menjadi istrinya Oey Eng" Ban Liang berdua mengangguk.
Nona Hoan menghadapi Oey Eng, untuk berkata sangat perlahan- "Oey long, jikalau terjadi kau sampai mengorbankan dirimu, buat seumur hidupku aku akan menjaga kesucian diriku. Jikalau aku makan kata kataku, inilah sumpahku"
Setelah itu Soat Gie merogoh pinggangnya, untuk meloloskan sebuah ikat pinggang warna hitam yang lebar empat jari dan setiap satu dim ada bagiannya yang menonjol setinggi dua jari. Ia serahkan itu kepada kakaknya.
Soat Kun menyambuti ikat pinggang itu yang sebaliknya ia
angsurkan pada Oey Eng. "Kau libat ini dipinggangmu" pintanya.
Oey Eng menurut walaupun ia belum tahu apa maksudnya ikat pinggang itu.
"Nona ada pesan apa lagi?" ia tanya.
"Panggil aku hian cee" kata sinona.
"Baiklah Hiancee, ada apa lagi pesanmu?" tanya Oey Eng. ia menurut seketika tetapi la mengerutkan alis.
Baru sekarang sang "istri" memberikan keterangannya:
"ikat pinggang ini adalah menjadi barang peninggalan guruku almarhum. Didalam itu terbungkus obat peledak yang dahsyat sekali, yang kata guruku dapat menggempur gunung. Digunakan juga cuma satu kali"
"Suami" itu mengangguk.
"Aku mengerti" katanya "sekarang coba terangkan cara penggunaannya" Soat Kun memberikan keterangan-
"Baiklah aku ingat" kata Oey Eng.
"Sekarang Oey long, kau ikutlah siansu dan Ban huhoat" pesan istri itu. "Kalau didalam istana kau bertemu dengan ceng Gie Loojin dan hendak bertempur dengannya, kau kendorkan dahulu ikat pinggang itu, baru kau melawannya. Dia mesti dibikin hancur lebur seluruh tubuhnya" Oey Eng mengangguk.
Lantas Su Kay Taysu bertanya "Apakah perlu kita masuk dengan paksa?"
"Tak usah" sahut sinona "Aku akan membuat Seng Kiong Sin Kun gusar hingga dia nanti membiarkan taysu sekalian masuk dengan bebas, tanpa rintangan apapun juga"
Berkata begitu nona itu dan saudaranya bertindak ke toa tian, Ban Liang bertiga mengiringi. Untuk itu mereka melintasi Lo Han Tin, Siauw Pek dan lainnya terpisah cukup jauh dari empat orang itu, sebagaimana tadipun mereka berbicara berempat saja.
"Sin Kun, dengar" berkata si nona, nyaring setibanya mereka didepan toatian sekali menghadapi musuh "AKu telah mendapatkan cara untuk memunahkan kabut asapmu, tetapi untuk itu, kau harus izinkan tiga orang ku ini masuk kedalam pendopo guna mencoba coba dulu."
Dari dalam kabut terdengar suara yang dingin. "Benarkah itu, Punco tidak percaya"
"Jikalau kau tidak percaya, kau cobalah" Soat Kun bilang "Kau perintahkan orang orangmu membuka jalan, supaya ketiga orangku ini dapat masuk kedalam pendopo kamu"
"Baiklah, punco mau lihat" kata suara dingin tadi. "Hendak punco lihat, murid Hoan Tiong Beng mempunyai kepandaian apa. Nah, kamu masuklah"
Soat Kun tidak melayani bicara.
"Taysu silahkan masuk" ia kata kepada Su Kay Taysu bertiga.
Su Kay Taysu lantas membuka langkah lebar. Ia berjalan dimuka. Oey Eng ditengah, Ban Liang berjalan dibelakang bagaikan pahlawannya si orang she Oey. Benar benar mereka memasuki toa tian tanpa rintangan-
Siauw Pek dan rombongannya memasang mata tajam, terutama mereka mengawasi ketiga kawan mereka itu yang hendak mengadu jiwa, sampai mereka lenyap didalam kabut beracun.
"Sungguh nona lihay" Siauw Pek puji "Nona Hoan, didalam tempo yang pendek. nona telah berhasil mencari pemecahannya kabut jahat itu"
"Telah aku ajari siansu bertiga bagaimana harus menyerang kabut itu" kata nona Hoan-"Sekarang mari kita mundur sejauh sepuluh tindak. Selekasnya kabut buyar dan punah, baru kita menyerbu masuk untuk menyapu mereka"
Semua orang menurut, semua lantas mundur. Su Khong semua sangat mengagumi nona ini. Tidak ada orang yang menanya ini dan itu walaupun sebenarnya mereka heran dan ingin mengetahui
sesuatu.... "Nona" kemudian kata Su Khong, yang mendekati nona Hoan, "mereka cuma bertiga, bagaimana mereka nanti melayani Seng Kiong sin Kun serta orang orangnya yang berjumlah sangat besar itu" Bagaimana kalau loolap memilih dua puluh orang ku untuk turut memasuki toatian" Pasti mereka dapat memberikan tenaga bantuan mereka."
Soat Kun menggoyangkan kepala.
"Tak usah siansu" sahutnya. "Telah aku mengatur cukup, Mereka bertiga dapat melayani musuh."
Siauw Pek semua turut mendekati sinona hingga dia bagaikan dirumung. Semua mata mengawasi tajam. Semua kagum, tapi juga semua heran seperti Su Khong Taysu. cumalah bercuriga atau tidak. mereka bungkam, tidak ada yang berani menanya apa apa. Sebaliknya sinonalah yang membuka suara
"Aku mempunyai satu kabar girang untuk disampaikan kepada kalian semua" demikian katanya.
Kembali orang merasa heran sekali. Disaat genting seperti itu, sinona bicara kabar girang. Maka semua orang mendelong mengawasinya.
"Kabar girang apakah itu?" Siauw Pek tanya.
Soat Kun tidak menjawab, hanya dia bertanya "Mana Han in Taysu?"
Ketua dari Go Bie Pay itu menekan tanah dengan kedua tangannya, maka melesatlah tubuhnya kedepan sinona. "Loolap disini" sahutnya.
"Mana Nona Thio Giok Yauw?" sinona tanya pula.
"Ada apa nona Hoan?" tanya Giok Yauw cepat. "Aku disini"
Memang nona she Thio itu berada disisi nona yang menanyakannya itu.
Soat Kun tersenyum. "Inilah kabar girangku" bilangnya "ini mengenai diriku. Dengan disaksikanBan Loocianpwee dan Su Kay siansu, tadi jodohku telah dirangkap dengan jodoh Oey Eng"
Singkat dan getas warta girang itu.
"Benarkah itu?" tanya Giok Yauw heran- Nona inipun menghela napas perlahan.
"Thian yang menjadi saksi, aku tidak main main" sahut nona Hoan.
Siauw Pek tercengang, darahnya bergolak. Pemuda ini heran dan terkejut. Sebenarnya ia telah menaruh hati kepada nona yang cacat matanya itu. Ia sangat tertarik, kepintaran dan kecantikan sinona hingga ia tak memikirkan soal matanya yang tak bisa melihat itu. sekarang mendadak saja ia mendengar warta itu. Maka hebat baginya buat menenangkan diri.
"Terimalah hormatku, nona" ia segera memberi selamat. Soat Kun tersenyum.
"Nona Thio, hendak aku menjadi tukang merecoki jodohmu" kata ia kepada Giok Yauw, "sudikah kau memberi muka padaku?"
Hati nona Thio berdenyut. Inipun mengherankan dan mengejutkan padanya. Tidak keruan orang menimbulkan soal jodohnya. Bukankah merka tengah berada dimedan laga dan lagi menghadapi lawan yang sangat tangguh" Tapi ia harus memberikan jawabannya.
"Ayahku berada disini, encie bicara saja dengan ayahku itu" demikian jawabnya perlahan-
Soat Kun lalu menoleh kepada Thio Hong Hong.
"Loocianpwe, bagaimana pikiran loocianpwee?" ia tanya.
"Inilah urusan putriku" menjawab jago tua itu "Biasanya aku si tua taksuka usil. Buatku cukup asal anakku setujU."
"Seorang ayah yang baik" Nona Hoan memuji jago tua itu. "Nah nona Thio, bagaimana pikiranmu?"
Lihat atau tidak, Giok Yauw menjawab "Biasanya aku mengagumi kau encie, apapun yang encie rasa baik, aku..."
"Bagus kausuka mendengar aku" tukas nona Hoan- "Coh bengcu menjadi yatim piatu semenjak masih kecil sekali, dia harus dapat dilayani dan dihiburi oleh seorang nona pintar, gagah dan manis budi seperti kau, baru dia tak akan kesepian"
Siauw Pek mengerutkan alis. Hendak dia menyatakan sesuatu, tapi Soat Kun sudah mendahuluinya .
"Kalian telah menerima baik, bagus" demikian kata sinona "Sekarang hendak aku memberitahukan kalian siapa itu Seng Kiong Sin Kun"
Kata kata sinona bagaikan guntur yang mengagetkan orang. Memang siapapun ingin mendapat tahu tentang itu. Maka berdiamlah semua hadirin.
"Baik nona Silahkan nona menyebutkannya" kata Siauw Pek si ketua.
"Bukankah bengcu telah menerima baik tangannya nona Thio?" tanya nona Hoan.
Sementara itu Giok Yauw girangnya bukan kepalang. Sudah sekian lama ia jatuh hati pada pemuda yang tampan dan gagah itu. cuma ia tak berani mengutarakan sesuatu, sekarang ia girang hingga hatinya berdetak keras...
Siauw Pek mengangguk. Tak ada lain jalan baginya.
"Nah.... bagaimana pihak Thio?" Soat Kun tegaskan- ^
Thio Hong Hong memandang puterinya, terus ia menjawab
"Baiklah, sekarang aku mewakilkan anakku mengambil keputusan,
aku menerima baik jodoh ini. Nona kau bicaralah sekarang"
"Siapakah diantara kita yang pernah bertemu dengan ceng Gie Loojin?" tanya sinona kemudian-
"Aku" sahut cian Peng si dewa ikan.
"Ingatkah loocianpwee kalau pada wajahnya ada sesuatu yang beda dari pada orang lain?" tanya si nona sungguh sungguh. cian Peng berpikir.
"Dia mempunyai alis yang bagus dan mata yang jeli, tapi sinar matanya itu, jikalau diawasi sangat tajam dan agak bersikap kejam. sinar mata itu bagaikan dapat menembus hati"
"Han in Taysu" tanya sinona kepada ketua Ngo Bie Pay "kau berkesan sangat mendalam terhadap sinat matanya orang atau
orang orang yang kau katakan Seng Kiong Sin Kun itu, benarkah
sinar matanya seperti apa yang dilukiskan cian Loocianpwee ini?"
"Tak salah" Han in Taysu menjawab cepat "kedua matanya
sangat tajam dan berkilau, ada yang sangat sukar melupakan itu."
"Tapi ini masih belum cukup untuk membuktikan dialah ceng Gie Loojin" berkata Thio Hong Hong.
"Masih ada keteranganku lebih jauh" berkata sinona sambil ia menyingkap rambut didahinya. "Sebenarnya ceng Gie Loojin dan guruku almarhum adalah asal satu rumah perguruan- Guruku itu mempelajari ilmu alam, ilmu kebatinan , ilmu bintang dan ilmu tenung. Sedangkan ceng Gie Loojin mengutamakan ilmu obat obatan dan sebangsana. Entah apa ceng Gie Loojin secara diam diam telah meraCuni guruku dengan semacam racun istimewa hingga guruku tak bisa mempelajari ilmu silat sampai sempurna. oleh karena guruku tidak pandai silat, orang mengatakan ia dibataskan oleh bakatnya. Mengenai itu guruku menutup mulut. Tidak mau suhu membeber kejahatan saudara seperguruannya itu. Suhu berdiam tapi gurunya, ialah kakek guruku, mendapat tahu juga hal itu. ceng Gie Loojin lantas diusir. Lalu dia pergi merantau, dengan mengandali ilmu obat obatanya itu, dia berbuat amal. Itulah waktunya dia menyebut dirinya sebagai ceng Gie Loojin, siorang tua yang maha adil. Dengan berbuat baik, dia ingin gurunya berubah pikiran dan akan menerimanya kembali. Tapi kakek guru tidak memperdulikannya. Dia masih penasaran, dia baiki kacung tukang masak obat, yang dia suruh meracuni kakek guruku. Dia berbuat itu guna mencegah kakek guru mewariskan semua kepandaian kepada
suhu. Tempo kakek guru ketahui ia diracuni, ia segera menghajar mati kacungnya itu, tetapi iapun sudah terlambat, tak dapat ia mengobati dirinya sendiri. Inilah keterangan yang aku dapat dari suhu. suhu telah memesan kecuali sangat terpaksa, jangan aku buka rahasia ini"
Baru sinona bicara sampai disitu, telinga semua orang lantas diganggu suara gemuruh beberapa kali, bagaikan bumi ambruk. Suara itu disusul dengan berjatuhan banyak kepingan kepingan anggota tubuh manusia dan darahpun bermuncratan, semua ini datangnya dari arah toatian, pendopo besarnya Seng Kiong.
Semua orang terkejut. Siauw Pek sudah lantas menghunus Pa Too dengan menggenggam senjata mana ia berlompat lari ketoatian. begitu gesit dan pesat ia bergerak. cuma nampak sinar goloknya, ia sudah lantas tiba didepan pendopo. Semua orang kagum menyaksikan kelincahannya itu.
Su Khong Taysu bersama Thio Hong Hong, Bun Koan, Hie Sian cian Peng dan lainnya segera lompat menyusul bengcu dari Kim Too Bun- Mereka dapat menerka artinya gemuruh serta segala akibatnya itu.
Tiba didalam toatian, Siauw Pek menyaksikan satu pemandangan yang sangat menyayat hati berbareng membangunkan bulu roma. Mayat mayat bergelitukan atau bertumpukan, kaki dimana tangan dimana, muka mereka itu tak beraturan lagi. Darah mengalir diseluruh ruangan yang luas seklai, ia sampai berdiri menjublak saja.
"Adik, kau lagi bikin apa?" tiba tiba terdengar suara Bun Koan sang kakak.
Bengcu itu menoleh agak terkejut. Suara sikakak membuatnya sadar. Selain kakaknya itu, segera ia melihat Su khong taysu, yang lari keluar sambil memondong tubuh Su Kay Taysu yang mandi darah. Su Kay Taysu lantas ditolong, terutama mencegah darahnya mengalir terus serta membantu tenaga dalamnya.
Juga Hie Sian cian Peng muncul bersama Ban Liang, diapun bermandikan darah seluruh tubuhnya. Hingga Seng Su Poan juga perlu segera ditolongi.
Dilain bagian, Siauw Pek melihat Soat Kun dan Soat Gie tengah menghadapi Oey Eng. Pemuda itu rebah dilantai dengan bermandikan darah juga seperti Su Kay Taysu dan Ban Liang. Kedua
nona tampak sangat berduka, air mata mereka meleleh. Oey Eng
mengulur tangannya, untuk menggenggam tangan Soat Kun.
"Hiancee" katanya perlahan sekali "terkaanmu benar semuanya. Aku telah bertemu dengan ceng Gie Loojin yang lihay itu"
Baru ia mengucap demikian- Oey Eng sudah melepaskan genggamannya, matanya terus dipejamkan-
Soat Kun lantas mengeluarkan sebuah peles obat, katanya "inilah obat Hu Sim Sin tan buatan guruku, karena obatnya tinggal tiga maka juga aku cuma minta tiga orang yang menyerbu kabut asap Seng Kiong Sin Kun, adikku, lekas kau bagikan seorang satu"
Soat Gie adalah yang dipanggil adik itu, dan sang adik yang bisu itu segera bekerja. Ia menghampiri Oey Eng, buat memaksa membuka mulutnya buat memasukkan sebutir obat. Dua butir yang lainnya ia berikan kepada Su Khong Taysu dan cian Peng, buat dipakai menolongi Su Kay Taysu dan Ban Liang.
Tak lama setelah menelan obat, Oey Eng tersadar, bahkan dia tak selesu semula tadi. Ia membuka matanya mengawasi istrinya dan yang lain lain- ia belum bisa mengatakan sesuatu.
Demiklan juga keadaan Su Kay Taysu dan Ban Liang. Setelah lama berdiam saja, Soat Kun menghela napas panjang.
"Seng Kiong sudah termusnah. Seng Kiong sin Kun telah terbinasa, maka aman sejahteralah dunia sungai telaga atau kaum rimba persilatan" katanya perlahan "Sekarang telah selesai tugasku disini maka hendak aku pergi bersama suamiku ini guna menolong dia sebisa bisanya. Selamat tinggal"
Habis berkata, nona ini membungkuk untuk mengangkat dan memondong tubuhnya Oey Eng, lalu dengan berpegangan pada
Soat Gie, ia bertindak pergi....
Justru disaat itu mulailah toatian didengungkan doa para pendeta dari Siauw Lim Sie yang mengapal kitab Kim Kong Keng atau Diamond sutra. Disitu banyak sekali kurban manusia, juga pendeta
pendeta dari Siauw Lim Sie sendiri.....
Siauw Pek berpaling kepada Bun Koan.
"Benar encie, manusia itu harus melakukan banyak kebaikan" katanya.
"Ya" sahut kakak itu mengangguk "Nona Hoan telah berbuat baik terhadap kita."
"Encie mari" kata adik laki laki itu yang terus bertindak keluar toatian- Dan ketua ini lantas diikuti semua kawannya.
Disekitar situ, habis ledakan tadi, sunyi semuanya hanya kali ini burung burung gagak ramai dengan suaranya, sebab baru saja mereka pulang kesarangnya masing masing. Karena ketika itu, sang waktu mulai magrib
Kim Too Bun dibawah kepemimpinan Coh Siauw Pek terus menjaga ketenangan rimba persilatan- Coh Siauw Pek dengan pedang dan goloknya menjadi legenda dalam dunia persilatan selama ratusan tahun sebagai seorang pendekar pembela kebenaran yang tak terkalahkan.
Sampai disini cerita pedang dan golok yang menggetarkan.
TAMAT Tiga Naga Sakti 15 Sembilan Pusaka Wasiat Dewa Pengelana Tangan Sakti Karya Lovely Dear Sukma Pedang 1
The Eng menyeringai. Kembali dia mengawasi Siauw Pek. "Dan sahabat itu?" tanyanya.
Kho Kong mendongkol, dia menyela. "inilah bengcu Coh Siauw Pek dari Kim Too Bun. Siapa kah sahabatmu?"
KEtua Hui Eng Pangpun murka, tetapi dia mencoba mengendalikan diri dengna rerus menengadah kelangit.
"Kecuali pihak Siauw Lim Pay dan Kim Too Bun," katanya tawar,
"apakah masih ada lainnya lagi" Siapa kah orang gagah itu?"
Dengan tawar, Bun Koan menjawab. "Aku Coh Bun Koan dari Pek Ho Bun. Aku datang bersama ketujuh kiamcu kami, guna menagih hutang darah"
The Eng tertawa dingin. "Bagus" serunya. "Nah, Su Khong Taysu dari Siauw Lim Sie, Coh Bengcu dari Kim Too Bun, Nona Coh dari Pek Ho Bun... Mari kalian turuti aku si orang she The menghadap Sin Kun. Semua sahabat lainnya tunggulah disini"
Ban Liang mengangkat kepalanya, dongak kelangit. Ia tertawa nyaring. Tiba tiba Su Kay Taysu maju satu tindak kepada sibrewok kuning itu.
"The Siecu" tanyanya, "benarkah kau pangcu dari Hui Eng Pang yang kesohor dalam dunia Kang ouw"
"Tak salah" sahut The Eng itu, singkat dan dingin.
"Seorang pangcu yang besar dan agung, bagaimana dia dapat berada disini menjadi hamba didalam Seng Kiong?" Su Kay tanya pula. The Eng tertawa besar.
"Taysu keliru" ujarnya nyaring. "Didalam Seng Kiong ada harimau harimau tidur dan naga naga mengeram. Jangan kata baru pangcu dari Hui Eng Pang yang kecil mungil, Bahkan ketua ketua dari Siauw lim pay dan Bu Tong Pay pun berada didalam Seng Kiong bekerja selaku hamba hamba sebaya"
Tajam kata kata itu, sampai Su Khong semua berdiam sejenak.
Itulah bukti dari benarnya perihal ketua ketua partai besar menjadi orang orang Seng Kiong sin Kun
"Saudara" seru Ban Liang kemudian, "Buat apa kita mengadu lidah dengan segala manusia rendah" Sekarang ini keputusan ialah hasilnya pertempuran"
Benar benar jago tua ini habis sabar, habis berkata ia melompat maju, untuk segera menyampok ketua Hui Eng Pang itu.
The Eng gusar, dia menangkis sambil membentak. "Bagaimana
kau berani banyak lagak didalam Seng Kiong" Rupanya benar benar
sudah bosan hidup" Dan habis menangkis, dia balas menyerang. Hebat serangan itu, karena anginnya sampai mendering
Diam diam Ban Liang terkejut, ia berkelit. Tak mau ia melawan dengan keras, sambil berkelit itu. la membarengi menotok
The eng lihay, dapat dia menghindarkan diri kembali dia menyerang. Maka keduanya menjadi bertempur seru.
Sebagai seorang tongcu, The Eng pastilah bukan sembarang orang. ia pula jadi pangcu, ketua dari Hui Eng Pang, partai elang terbang yang tersohor, sudah tentu dia mesti berkepandaian tinggi. Maka juga, walaupun sijago tua lihay, tak mudah ia dapat merobohkan lawannya didalam tempo yang pendek. Bahkan ketika itu, tak sanggup dia berbuat banyak.
Su Kay Taysu menonton dengan prihatin.
"Suasana mengancam sekali, bengcu" katanya kepada Siauw Pek kepada siapa dia menoleh. "Apakah pendapat bengcu?"
"Menurut aku, kita harus menggunai tenaga berbareng dengan kecerdikan" sahut si anak muda "Tak dapat urusan diselesaikan
secara damai....." "Jikalau demikian" Bun Koan turut bicara dingin, "kenapa kita tidak meluruk saja. Kita harus segera memberikan hajaran kepada mereka itu"
Nona Coh juga telah menjadi habis sabar, sebab dia selalu dipengaruhi dendam kesumat.
Su Kay setujui sinona. Memang, iapun tengah dipengaruhi lenyapnya kitab kitab pusakanya yang ia sangat menginginkan lekas didapat kembali.
"Nona benar" ujarnya, "Pertempuran kali ini tak dapat disamakan dengan pelbagai pertempuran dunia persilatan yang sudah sudah. Kalau main satu lawan satu, sampai kapankah akan berakhirnya" Sampai kapankah kita dapat bertemu dengan pemimpin mereka itu?"
Mendengar suara sipendeta, Siauw Pek berpikir cepat.
"Nona Hoan cerdas luar biasa, sekarang dia tidak campur bicara, rupanya dia menyetujui pertempuran cepat" demikian pikirnya. Maka ia jawab pendeta itu "Baik taysu, bersedia aku mengiringi taysu"
Su Khong pun akur dengan saudara seperguruannya itu.
"Para murid Siauw Lim Sie" ia segera berseru. "Mari kalian turut padaku"
Tiangloo ini terus mengibaskan tangannya, terus dia maju kemuka
Sambil berseru seru, para pendeta Siauw Lim Sie terus maju, untuk menerjang musuh.
Siauw Pek bersama Bun Koan tanpa ayal tapi turut maju juga.
Pasti mereka tak sudi ketinggalan. Lebih lebih Nona Coh itu.
Bagaikan air bah, meluruklah rombongan Siauw Lim Pay, Pek Ho Bun dan Kim Too Bun itu. The Eng yang lagi melayani Ban Liang dapat melihat gerak gerik musuh itu, dia gusar bukan main, akan tetapi karena dia lagi bertempur seru, dia tak dapat berbuat apa apa. Justru begitu, Su Khong Taysu telah tiba didekatnya, sambil berseru pendeta itu menyerang padanya. Mau tak mau, dia toh kaget, syukur dia masih dapat berkelit.
"Gundul Seng Kiong" berseru Su Khong, "Tak dapat loolap memberi ampun kepadamu"
Kata kata itu diantar dengan satu serangan susulan.
"oh keledai tua" mencaci The Eng dalam gusarnya "Kenapa kau tidak memakai aturan Kang ouw" Kalau begini, jangan kau sesalkan orang Seng Kiong"
"Maut menghadapimu, buat apa kau banyak bicara" kata Su Khong dingin. Kembali ia menyerang pula.
The Eng gelagapan, syukur dia masih dapat menangkis dan berkelit. Tapi ia kaget tak terkirakan-
Didalam sedetik itu, tanah datar itu sudah bermandikan darah. Banyak orang Seng Kiong yang roboh binasa dan terluka. ereka itu segera kacau, tak lagi merupakan pasukan yang rapih. Hebat serangannya rombongan Siauw Lim Pay itu. Tiba tiba Dari dalam Seng Kiong terdengar gemuruh lonceng.
The Eng bagaikan mendapat air penawar ketika ia mendengar suara lonceng itu.
"Mundur" ia segera berseru seraya terus ia lompat mundur, berniat meninggalkan Su Khong, lawannya yang tangguh yang membuatnya repot sekali. Lonceng itu pertanda untuk mundur.
Su Khong tengah sengit sengitnya, melihat orang berlompat pergi, iapun berlompat, hanya ia untuk menyusul dan menghajar musuh itu.
Ketua Hui Eng Pang berlaku sebat, tetapi ia masih kalah gesit, bahkan tak sempat ia menangkis, ujung sianthung sudah mengenai punggungnya, hingga sambil berseru tertahan memuntahkan darah, tubuhnya turut roboh ngusruk
Semua orang Seng Kiong yang tinggal separuh, kabur terus kearah istananya atau lebih benar, sarangnya. Merekapun lalu meninggalkan pemimpin mereka yang segera saja putus nyawa, karena memang selagi roboh itu, dia terus benar terinjak injak kawanan musuh yang mengejar sisa pasukannya itu.
Belum berhenti suaranya lonceng, pihak Siauw Lim Pay sudah mulai memasuki istana.
Seng Kiong dibangun menyender kepada samping gunung, karena bangunan itu makin kebelakang makin mendaki. Ketika para pengejar baru memasuki toatian yaitu pendopo depan dan besar, mendadak mereka dikejutkan suara dahsyat bagaikan guntur, segera jalan maju mereka terintang
Itulah sebab suara mengguntur itu adalah suara jatuh turunnya pintu besi yang lebar dan berat beberapa ribu kati. Karena guruh berbunyi tiga kali, maka juga tiga tiga jalan masuk tertutup
semuanya. Hanya sekejap. toatian menjadi gelap gulita. Su Kay Taysu yang mengepalai pasukannya menjadi terkejut.
"Tenang" serunya segera "Nyalakan obor"
Su Khong Taysujuga turut memperdengarkan suaranya yang berwibawa.
Orang orang Siauw Lim Pay, yang telah terlatih, demikian juga pengikut pengikutnya
Bun Koan, lantas berdiam, tanpa bergerak. tanpa bersuara, sedangkan mereka, yang bertugas membawa obor, sudah lantas menyulut nyalakan api, hingga seluruh ruang tampak pula dengan tegas dan terang.
Jumlah rombongan kira kira tiga ratus jiwa tetapi mereka tak memenuhi ruang yang luas itu, mereka dapat bergerak dengan leluasa. Dengan nyalanya api obor, para tiangloo Siauw Lim Sie, Siauw Pek, Bun Koan dan lainnya berkumpul ditengah toa tian.
Soat Kun yang sampai sebegitu jauh berdiam saja, sekarang membuka suaranya paling dulu. Katanya:
"Semua menjaga diri baik baik, supaya tak terserang racun jahat. Semua lekas memeriksa pintu, supaya kita dapat lekas keluar dari sini."
Nona ini ketahui halnya mereka sudah terkurung didalam toatian, maju tak bisa, mundur tak dapat. Semua jalan didepan dan belakang dan sisi sudah tertutup,
Dengar suara sinona, semua orang lantas insaf bahwa mereka memang lagi menghadapi ancaman petaka. Kalau mereka diserang
dengan air, api atau racun, celakalah mereka semua. Ruang luas
tetapi itu bukan berarti bahwa mereka dapat menyingkir jauh.
Hanya sedetik para pemimpin itu saling melirik, terus mereka mulai menyelidiki pintu, untuk mencari jalan keluar.
Toatian semuanya mempunyai empat buah pintu. Pintu masuk sudah tertutup terlebih dahulu. Tiga pintu lainnya, belakang dan
kedua sisi baru saja ditutup, Su Khong Taysy mengernyitkan dahinya.
"Biar loolap menghajar dulu pintu belakang" katanya nyaring. Ia tidak melihat lain jalan- la pun segera lari sambil membawa tongkat panjangnya itu.
Selagi yang lain lain mendatangi kepadanya Su Khong Taysu sudah menghajar daun pintu, hingga terdengarlah satu suara sangat nyaring dan berisik.
"Segala pintu begini hendak mengurung kita?" kata Su Ie dengan tawanya yang dingin-Sementara itu daun pintu tak segera tergempurkan-
"Mungkin musuh membuat pintu ini sengaja untuk menjebak kita" berkata Siauw Pek yang berpikir jauh. "Mungkin musuh lagi menggunai tipu dayanya" sambung anak muda itu.
"Biarnya dia menggunai akal busuk, kitapun harus mengujinya" kata pula Su Ie sambil ia mengajukan diri. Dia penasaran hingga dia mengernyitkan dahinya. Hatinyapun mendongkol.
Su Khong mundur untuk adik seperguruan itu.
Su Ie telah menggerakkan tangannya ketika ia menggunakan tongkatnya menghajar pintu. Berbareng dengan suara nyaring, berisik, tembok pintu pecah berantakan- Menampak demikian, pendeta itu mengulangi serangannya. Maka kembali tembok gempur. Hati orang mulai menjadi lega. Kiranya pintu itu tak sedemikian kuat.
Kembali Su Ie mengulangi hajarannya, Setelah beberapa kali,
gempuran makin besar. Agaknya pintu bakal lekas dapat didobrak.
"Suheng, beristirahatlah dahulu" berkata Su Kay seraya ia bertindak maju, untuk menggantikan kakak seperguruan itu.
Su Ie mundur. Bagaimana juga, ia merasa tangannya risi juga.
Su Kay segera menyerang dengan tongkatnya. Tembok gempur, sebuah terowongan segera tampak.
Orang menyangka, setelah pintu batu itu, dibelakang pintu batu ini ada sebuah pintu lainnya, yaitu pintu besi yang dipalang turun dari atas. Rupanya itulah sebuah pintu gantung
Mau atau tidak, orang terkejut. Ada diantaranya yang merasa
kecele. Su Khong Taysu juga merapatkan sepasang alisnya.
"Sutee, coba kau gempur tembok disampingnya" katanya pada Su Kay.
"Baik suheng" sahut Su Kay Taysu. Dan ia segera bekerja. Kembali terdengar suara keras dan berisik.
Hanya kali ini suara berisik itu disusul suara riuh rendah, yang Bun Koan dengan datangnya dari arah belakang mereka dari antara orang orangnya. Maka ia segera memutar tubuhnya.
"Ada apa?"" ia tanya keras.
Tidak ada jawaban, ada juga penyahutan suara berisik seperti tadi, hanya kali ini ditambah suara tubuh tubuh terkulai. Dan segera terlihat para kiamsu roboh tak sadarkan diri, dari mulutnya keluar ludah putih atau busa.
Bun Koan kaget sekali. Ia menggerakkan tubuh, untuk lari menghampiri, guna memeriksa.
Tiba tiba Siauw Pek ingat pesannya Soat Kun. Bagaikan kilat ia sambar tangan kakaknya itu, buat ditarik, sedangkan mulutnya segera berteriak. "Lekas memecah diri. Jangan berkumpul disatu tempat. Tahan napas!!! Awas hawa beracun"
Ketika itu diantara murid murid Siauw Lim Sie juga ada yang roboh dengan mulut berbusa itu, keadaannya sama dengan para kiamsu, tetapi seruan Siauw Pek segera ditaati. orang segera pada memencar diri dan menahan napas. Biar bagaimana, mereka itu heran dan kuatir.
Segera orang merasa pasti dari bekerjanya racun, hanya tak dapat diketahui racun apa itu yang demikian liehay dan bagaimana caranya untuk menolong sekalian korban itu.
Dalam suasana genting itu terdengar suara Soat Kun. "Para tiangloo harap lekas menggempur tembok, buat mencari jalan keluar, buat memberikan pertolongan, boleh nanti"
Soara nona Hoan didengar dan dituruti oleh para tiangloo, maka semua orang lalu lari menuju ketembok lagi.
Ketika itu masih ada beberapa orang yang berjatuhan- Melihat itu, Su Khong taysu menjadi bingung dan sangat berkuatir, maka tempo ia sudah mendekati tembok, segera ia menyerang dengan tongkatnya.
Bertepatan dengan itu maka tembok disebelah kiri memperdengarkan suara bergemuruh hebat sekali, disusul dengan berhamburan beterbangannya debu pasir kapur. Sebab itu adalah gemuruh dari bobolnya tembok itu.
Su Kay Taysu lompat ketembok yang gempur itu, buat melakukan penyerangan, maka gempur pula lagi bagian tembok itu, bahkan kali ini gempuran itu segera mengasi lihat sebuah lobang .Jadinya tembok telah pecah dan lowong
Jsutru itu maka disebelah sana tembok itu terlihat seorang usia setengah tua, yang mukanya bersih, yang bajunya hijau muda. Terlihat tegas orang itu tengah menarik pulang tangannya suatu tanda dialah yang menghajar tembok dari sebelah yang lain itu. Teranglah orang itu telah menggempur berbareng dengan Su Kay Taysu.
Sementara itu kira kira sembilan tombak jauhnya dari orang setengah tua itu tampak serombongan orang orang Seng Kiong Sin Kun tengah mengepung lagi melakukan perlawanan seru.
Dengan terbukanya lowongan pada tembok itu, segera rombongan Siauw Pek menyerbu masuk kedalam tembok itu. Atau lebih benar, mereka semua menyerbu keluar.
Tiba tiba saja Thio Giok Yauw berseru. "AYah" dan terus dia lari kepada si orang tua berbaju hijau itu, untuk menubruk hingga dilain saat ia sudah ada didalam rangkulan orang.
Siauw Pek bersama dua saudara Hoan menyusul keluar, mereka menghampiri orang berbaju hijau itu.
Giok Yauw melepaskan diri dari rangkulannya si orang tua ia menghadapi ketuanya dan berkata gembira. "Bengcu, inilah ayahku, Thio Hong Hong"
Siauw Pek segera memberi hormat.
"Aku yang rendah Coh Siauw Pek" ia memperkenalkan diri. "Loocianpwee, kami mengucapkan banyak banyak terima kasih yang loocianpwee telah meloloskan kami dari kurungan ini"
orang tua itu membalas hormat.
"Jangan mengucap terima kasih" katanya. "Sudah selayaknya saja aku memberikan tenagaku".
ia diam sebentar lalu ia menambahkan- "Saat sangat penting, silahkan Coh Siauwhiap menyerbu kebelakang istana itu. Mereka yang pingsan disini serahkan padaku siorang tua"
"Terima kasih" berkata Siauw Pek yang terus mengajak kawan kawannya.
Rombongan dari Siauw Lim Sie sudah menerjang musuh. Pihak lawan kewalahan, mereka terdesak. banyak kawannya yang roboh mati dan terluka, terpaksa sisanya pada melarikan diri. Mereka mundur.
Siauw Pek danSu Kay taysuu dengan pedang dan tongkatnya masing masing, menghajar siapa yang menghadangnya. Mereka bersikap keras. Kegagalan mereka membuat musuh jeri dan menyingkir.
Segera juga pemimpin Kim Too Bun dan pendeta dari Siauw Lim Sie itu bertemu dengan Hie sian cianpeng si dewa lkan.
"Mari" cian Peng berseru. la mendahului lari dijalan batu. "Dari sini"
Semua orang lari mengikuti. Merkea melewati beberapa ruang atau undakan rumah sampai mereka melihat sebuah pendopo besar toa tian didepan mana tampak sudah menanti serombongan orang, pria dan wanita, jumlahnya tiga ratus jiwa lebih, semuanya tampak keren.
Siauw Pek dan Su Kay taysu menerka, inilah tentu pemusatan tenaga musuh. Mereka segera maju kedepan pendopo. Ada yang
aneh, dimuka pintu besar tampak semacam kabut, yang membuat
orang tak dapat melihat tegas bagian dalam dari pendopo itu.
Setelah mengawasi rombongan musuh, Su Kay mendongkol sekali. ia melihat ada banyak murid Siauw Lim Sie didalam rombongan itu. Merekalah simurid murid murtad yang kena dipengaruhi It Tie.
Orang tak usah menanti lama akan mendengar suara yang keluar dari dalam pendopo, yang keras: "Punco ada disini Eh, hweslo, ada apakah petunjukmu?"
"Ah, orang yang membuat orang tertawa" sahut Su Kay Taysu. "Semua orang gagah sudah masuk kedalam sarangmu ini, masih kau tidak keluar buat menyambut kami, masih kau main sembunyi sembunyi. Apakah kau tak malu"
Suara keras terdengar pula: "Punco toh berada disini, bersedia menyambut serbuan kamu. Kamu mengawasi kami, tetapi kamu tidak dapat melihat tegas, jangan kamu sesalkan diri sendiri karena mata kamu tidak awas. Kenapa kau mengatakan punco main sembunyi sembunyi" Sungguh lucu"
Su Kay tidak menghiraukan ejekan itu. "Mana It Tie?" tanya keras.
Dari belakang kabut itu terdengar tawa dingin- Lalu datang jawaban ini: "Kau hendak cari It Tie sipendeta" Dia berada disini dibawah perintah punco"
"Mana kitab kitab pusaka Siauw Lim Sie?" Su Kay bertanya pula.
"Kitab pusaka Siauw Lim Sie berada ditanganku" demikian jawaban dari dalam kabut. Jawaban Seng Kiong Sin Kun.
Su Kay menahan desakan hawa amarahanya, ia berpaling kepada Siauw Pek.
"Suasana sekarang telah berubah" katanya. "Karena itu pihak Siauw Lim Sie ingin maju dimuka. Tentang urusan pihakmu, Coh tayhiap suka apalah kau bersabar dahulu"
Coh Bun Koan menjawab mendahului Siauw Pek: "Sama sama menghadapi musuh siapa lebih dahulu siapa lebih belakang sama saja" Suara Nona Coh ini dingin sekali.
Su Khong Taysu merangkap kedua tangannya memberi hormat.
"Terima kasih" katanya. Lalu dia mengawasi pada musuh. "It Tie terkutuk. dimana kau" Masih kau tidak mau muncul untuk menerima kematianmu" Kau hendak menanti apa lagi?"
Didalam kabut itu terdengar pula suara Seng Kiong Sin Kun. "it Tie, kau keluarlah. Pergi kau menemui tiangloo Siauw Lim Pay kamu"
Sunyi sedetik itu, walaupun pada kedua belah pihak ada orang berjumlah lima ratus jiwa lebih. Suasana tapinya sangat tegang. Lalu dari kabut itu muncul It Tie, pendeta ketua Siauw Lim Sie yang murtad dan kabur itu. ia bertindak perlahan, dia beralis gomplok dan bermata besar, tubuhnya tinggi dan kekar. Dibatok kepalanya ada sejumlah titik pitak. tanda dialah seorang pendeta agung. Dipandang seluruhnya, dia bengis dan menyeramkan. Selama itu, dia tak membuka mulutnya. Kalau dia bukan tengah berjalan, dia mirip dengan sebuah patung.
JILID 49 - TAMAT Segera terdengar suara nona Hoan: "orang itu sudah hilang kecerdasannya, dia telah tak berkuasa lagi atas dirinya."
Kedua mata Su Khong Taysu terbuka lebar dan tajam mengawasi ketuanya itu, ia melihat mata orang tak bersinar dan wajahnya diam saja, ia percaya sebenarnya perkataan sinona. Tapi ia menoleh
kesisi kiri dan kanannya, untuk bertanya: "Sute, siapa yang mau
keluar untuk menawan dahulu pemberontak dan penghianat itu?"
"Su Ie yang akan mencoba," demikian satu jawab dari Su Ie taysu.
"Dialah simanusia murtad yang menerbitkan bencana juga,"
berkata Su Khong. "Kalau dia tak dapat ditawan hidup hidup,
hajarlah dia mampus dengan tongkat" su Ie Taysu mengangguk.
"Aku Su Ie mentaati perintah suheng" katanya, seraya ia terus bertindak maju sambil membawa tongkatnya.
IT Tie melihat Su Ie mendatangi, ia mengawasi, akan tetapi sikapnya atau gerak geriknya menyatakan dia tidak kenal paman guru itu. Maka juga melihat demikian bukan main mendongkolnya Su Ie.
"orang terkutuk, mari terima kebinasaanmu" bentaknya. Dan segera dia menyerang.
Walaupun dia nampak seperti kurang ingatan, It Tie tahu bahwa dia dibentak dan diserang, begitu serangan tiba, dia berkelit untuk segera membawa menyerang. Dia bertangan kosong tetapi dia tak takut.
Su Ie berkelit. Lagi sekali ia menyerang. Itulah serangan tongkat "Naga hijau masuk kelaut"
It Tie berkelit pula. Lagi lagi dia membalas menyerang, dia awas dan gesit.
Maka dua orang itu segera bertarung dengan seru sekali. Karena dua dua mereka sama liehaynya.
Nona Soat Kun menyaksikan pertempuran itu, bukan dengan matanya hanya dengan telinganya. Ia memasang telinga sambil memandang kekalangan pertempuran- Disisinya Soat Gie yang
menonton benar benar, ia selalu mengerak geraki tanganya, guna
memberikan keterangan tentang jalannya pertempuran itu.
"Dibanding dengan masanya dia masih berada di Siauw Lim Sie, kepandaiannya It Tie telah maju jauh" berkata sinona selang sekian
lama. "Belum tentu Su Ie taysu dapat mengalahkan dia...."
Itulah salah satu pukulan dari tujuh puluh dua jurus simpanan dari Siauw Lim Pay, namanya ialah "tangan Arhat suci" karena itu Su Ie kontan terdesak mundur kesamping
Hebat It Tie, walaupun dia nampaknya telah kehilangan kecerdasannya, diwaktu berkelahi, dia tetap masih mengingat baik ilmu silatnya. Dia segera mendesak lawannya. Saling susul dia menyerang hingga empat kali, pertama kali saja, Su Ie repot, apapula setelah ia terdesak itu. Maka satu kali dadanya disentuh tangannya IT Tie, hingga ia mengasih dengar suara tertahan, menyusul mana tubuhnya terlenggak.
Diantara saudara saudara setingkatnya, Su Ie adalah yang tabiatnya paling keras, maka itu serangan it Tie membuat ia sangat gusar. Ia tidak segera roboh. cepat luar biasa, ia dapat memperbaiki diri, setelah mana, ia tak menantikan satu detikpun, seCara luar biasa ia membalas menyerang
It Tie tidak menyangka bahwa orang masih bisa membalas menyerang padanya, bahkan ia tidak sempat menangkis atau berkelit ketika tangan Su ie tiba. Ketika itu, tongkat Su Ie ini telah terlepas, serangannya itu tepat mengenai iga.
Sangat hebat kesudahannya saling serang itu, setelah serangannya itu mengenai sasarannya tubuh Su Ie segera roboh terkulai, bahkan jiwanya terus melayang. Karena hajaran it Tie adalah hajaran kematian- Tapi It Tie pun tidak lolos dari petaka. Hajaran Su Ie membuat dua batang tulang rusuknya patah,
tubuhnya terus terhuyung, sedangkan mulutnya menyemburkan darah hidup
Su Khong memang senantiasa siap sedia, melihat It Tie luka, ia melompat kepada keponakan murid atau ketua yang murtad untuk menyambar mencekal lengan kanannya.Justru ia maju menangkap It Tie itu, justru dari pihak lawan dua orang berlompat maju kearahnya. Teranglah kedua orang musuh itu berniat menolongi ketua murtad dari Siauw Lim Sie itu.
Sementara itu, disaatSu Ie melakukan serangan pembalasannya itu, Soat Kun telah memutar tubuh kearah Coh Siauw Pek. Nona ini terus menerus memperhatikan jalannya pertempuran serta suasana disekitarnya. Atau lebih benar Soat Gie adalah yang melakukan pengawasan dengan tajam dan senantiasa dengan pencetan tangannya kepada tangan kakaknya memberitahukan segalanya kepada sang kakak.
"Bengcu" berkata si nona, suaranya agak kesusu "musuh ayah bengcu berada didalam toa tian itu, lekas bengcu bertindak^ jangan tunggu waktu lagi. Inilah saatnya Pa Too bekerja"
Sekalipun nona Hoan bicara dengan cepat, jalannya pertempuran bagaikan melombainya, demikianlah selagi ia mengakhiri kata katanya kepada ketuanya, sang bengcu Siauw Pek. Pertempuran berlanjut dengan sangat cepatnya, ialah ketika itu Su Khong sudah menangkap tangan It Tie dan dua orang lain dari Seng Kiong Sin Kun sudah berlompat kepada tiangloo dari Siauw Lim Sie itu
Siauw Pek pun selalu waspada, Maka juga selekasnya mendengar anjuran si nona dan ia melihat dua orang musuh muncul untuk mengganggu Su Khong Taysu, ia segera mencelat maju sambil berseru, sementara golok pembasmi sudah berada didalam genggamannya.
Hanya dengan satu kelebatan bagaikan kilat, muncratlah darah berhamburan berbareng dengan dua kali jeritan yang hebat, yang disusul dengan jatuh terbantungnya empat buah tubuh Karena golok pembasmi sudah menguntungkan tubuh dua orang musuh itu
menjadi masing masing dua potong, kutung sebatas pinggang mereka Pihak musuh kaget bukan main menyaksikan kejadian hebat itu.
Bahkan Su Khong juga kagum tak kepalang hingga ia berkata didalam hatinya. "Bukan main hebatnya Pa Too. Dia tak kalah dengan jurus ilmu silat yang manapun dari Siauw Lim"
Habis membinasakan kedua jago dari Seng Kiong Sin Kun, Siauw Pek menoleh ke nona Hoan yang tuna netra.
"Nona" tanyanya. "Bagaimana sekarang" Apakah perlu kita basmi
musuh yang diluar dahulu atau segera menyerbu kesarang lawan?"
"Bukankah jumlah musuh diluar Seng Kiong berjumlah hanya kira kira dua ratus jiwa?" balik bertanya si nona.
"Tak salah" sahut Siauw Pek cepat. Hanya sekelebatan ia menyapu dengan sinar matanya kepada musuh. "Tapi kita tak perlu bertempur bergumulan dengan mereka itu cukup bersama beberapa orang tiangloo dari Siauw Lim Sie. Dengan menyerbu kepada mereka itu, dapat kira melabraknya hingga mereka nanti buyar sendirinya." Nona Hoan menghela napas.
"Itulah benar" bilangnya "Tapi itu bukanlah Cara yang sempurna. Kebinasaan seratus orang lebih didalam satu saat aku rasa terlalu kejam. Pasti tindakan kita semacam itu sudah berada didalam perhitungannya Seng Kiong sin Kun yang Cerdik itu. Itu bukan cara yang memutuskan"
Dan suaranya si nona berubah menjadi tinggi hingga terdengar oleh pihak musuh. Demikianlah dari balik kabut terdengar satu timpalan yang keras.
"Benar" begitu suara timpalan "itu bukan cara yang memutuskan. Merekalah orang orang yang berbaja, jumlah banyak dari mereka tidak berarti apa apa" katanya lagi lantang.
Nada suara itu, yang nyaring beda daripada suara yang semula tadi. Suara ini mestinya suara dari Seng Kiong sin Kun sendiri.
Dengan memegangi bahu adiknya, Soat Kun bertindak perlahan kedepan toatian. Disitu ia segera memperdengarkan suaranya yang tinggi halus "oleh karena pemandangan kedua belah pihak sama satu dengan lain, sekarang pastilah kita sudah dapat berbicara langsung, bukan?"
Dari dalam kabut segera terdengar jawaban seorang yang suara serak.
"Aku mohon bertanya, kedudukan nona sebagai apa?" demikian suara itu menanya.
Tanpa bersangsi nona Hoan menjawab "AKulah orang Kim Too Bun" katanya tegas.
Siauw Pek segera menambahkan. "Dan aku yang rendah adalah bengcu dari Kim Too Bun. Nona ini mempunyai kekuasaan penuh untuk mewakili partai Kim Too Bun kami"
Juga Su Khong mengasi dengar suaranya, "Kami dari Siauw Lim Sie, kami juga dapat diwakilkan oleh nona ini" demikian ketua Siauw
Lim Pay itu, yang sekarang sudah menaruh kepercayaan penuh
kepada murid yang cacat mata dari almarhum Hoan Tiong Beng.
Beda dari barusan, didalam toatian terdengar tawa ejekan yang disusul dengan suara dingin ini. "Tidak kusangka bahwa seorang nona muda sekali sebagai kau tetapi telah mendapat kepercayaan dan kekuasaan begini besar." Soat Kun tertawa hambar.
"Bagus Sin Kun, kau telah menginsafi suasana " demikian katanya sabar "Kau telah melihat keadaan yang sebenarnya, kau telah mengerti bahwa pertempuran tak dapat diputuskan dengan pertarungan pergumulan yang kacau balau. Pertempuran semacam itu cuma akan menambah banyaknya roh roh yang berpenasaran dan tak ada perlunya. Buat pihakmu cukup sudah asal kau dapat membinasakan beberapa orang kami yang termasuk pemimpin, itu sudah berarti kemenangan pihakmu. Jikalau kita toh mesti perang bergumulan itu, pihak kami berada jauh lebih kuat, didalam tempo tak satu jam, dapat kami membuat muka istana ini penuh dengan bergeletaknya dua ratus mayat."
Teranglah Seng Kiong Sin Kun menginsafi baik sekali kata kata
sinona, maka tak terdengar pula suaranya yang keras atau
ejekannya ia sudah segera merubah sikapnya menjadi tenang.
"Nona, dapatkah kau memberitahukan she dan namamu serta riwayat hidupmu?" demikian pertanyaannya .
Soat Kun bersikap halus seperti biasanya.
"Aku adalah Hoan Soat Kun" sahutnya sabar. "Aku adalah murid satu satunya dari almarhum Hoan Tiong Beng serta sekalian juga menjadi anak angkatnya."
"Jadi kau telah mewarisi banyak kepandaian Hoan Tiong Beng?" tanya satu suara dalam - suara dari seorang lainnya.
"Semua kepandaiannya almarhum ayah angkatku itu telah diwariskan kepada kami dua saudara" sahut si nona tetap sabar, bahkan ia berlaku jujur, "akan tetapi karena kecerdasan kami berdua ada batasnya, ada beberapa bagian yang kami tak dapat menyamai almarhum ayah angkat kami itu"
"Ha, kiranya kamu berdualah yang mangacau rencana kami" tiba tiba terdengar suara keras dari dalam kabut.
Tanpa menanti berhentinya suara orang itu dengan tertawa hambar, Soat Kun menyela "Kata kata yang hebat" Hanya berhenti sejenak ia terus menambahkan "Semua orang Bu Lim sudah sama insaf bahwa cuma dengan berkelahi mati matian barulah jiwa mereka dapat dilindungi. Maka andaikata tidak ada kami berdua saudara tekad mereka sudah bulat, dengan bekerja sama pastilah mereka bakal menyerbu kesini"
Suara dalam didalam kabut itu berkata:
"Kalau saja kamu datang lebih siang tiga bulan yang lalu...."
"Dan jikalau kami datang terlambat tiga bulan kemudian?" tanya Soat Kun.
"Maka seluruh dunia Bu Lim akan berada dalam genggamanku" jawab suara didalam kabut itu.
"Nah, sekarang terbukti bukan bahwa Thian telah tidak membantu kamu?" tanya nona Hoan.
"Akan tetapi sekarang pun masih belum dapat dipastikan sang menjangan bakal terbinasa ditangan siapa" kata pula suara didalam kabut itu, suara yang menyatakan dia menentang Thian, Tuhan Yang Maha Esa. Soat Kun tetap sabar.
"sin Kun" katanya, "kalau kau telah mempunyai kepercayaan yang kuat itu, sekarang sudah tiba saatnya buat kamu muncul memperlihatkan dirimu, guna kita melakukan satu pertempuran yang memutuskan. Kedua belah pihak akan mengajukan pemimpin pemimpinnya yang utama untuk bertanding untuk menang atau kalah, tak usah kita mengorbankan lebih banyak lagi tenaga tenaga yang tak berguna"
Tertawa dingin didalam kabut terdengar pula, disusul dengan pertanyaan yang sama dinginnya ini. "Bagaimana jika punco tak mau bergerak dari toatianku ini?"
Su Khong mendahului sinona menjawab. "Pendeta pendeta dari Siauw Lim Sie akan segera menyerbu kedalam toatian kamu"
"oh sungguh seorang pendeta tekebur" begitu terdengar ejekan
dari dalam kabut, suara dingin diiringi dengan tawa dingin pula.
Nona Hoan tidak melayani orang mengadu bicara, sebaliknya dia bertanya tenang. "Apakah kamu mengandalkan kabutmu yang tebal ini untuk melukai orang?"
Suara didalam kabut itu tidak menjawab, ia hanya bertanya. "Kaulah akhirnya Hoan Tiong Beng. Dialah seorang pintar yang tak ada yang dia tak tahu. Maka itu sebagai murid Hoan Tiong Beng, kau tahukah kabut ini benda apa?"
Nona Hoan menjawab pasti "itulah kabut alam yang ditambah bubuk beracun yang dibuat halus bagaikan debu"
Suara didalam kabut itu berkata pula. "Ya mungkin benar tepat dugaan kau ini, akan tetapi tahukah kau bagaimana harus memecahkannya?"
Dengan sabar sekali, Soat Kun memberikan jawabannya "jikalau kau menganggap kabut beracunmu didalam pendopo ini dapat merintangi kaum BuLim dikolong langit ini, itulah pertanda bahwa si manusia tolol tengah mimpi."
Orang didalam pendopo itu tertawa tawar.
"Jikalau kau dapat menerangkan caranya untuk memecahkan kabut kami ini, mungkin punco akan memikir buat mengangkat kaki dari pendopo ini" demikian suara yang menentang. Soat Kun tidak menjawab, hanya ia mengernyitkan alisnya. Terang ia sedang berpikir.
Ketika itu Su Khong sudah menotok beberapa jalan darah It Tie, yang terus diserahkan pada murid muridnya untuk dikekang, ketika ia melihat si nona berdiam, ia berbisik pada Coh Siauw Pek, "Coh bengcu... walaupun si nona sangat cerdas, mungkin ia tak akan dapat jalan buat segera memecahkan kabut itu."
Siauw Pek tahu pendeta luhur itu tidak bicara tanpa berpikir dahulu, maka:
"Habis bagaimana pendapat taysu?" ia tanya.
Tiang loo dari Siauw Lim Sie itu menjawab dengan sangat perlahan, hingga cuma ketua Kim Too Bun itu sendiri yang dapat mendengar. "Setelah tadi It Tie terlukakan dan tertawan, masih ada dua orang lain dari Seng Kiong sin kun yang menyerbu keluar hingga dia terbinasa diujung golok bengcu. Kenapakah mereka itu tak takut terhadap kabut beracun."
Siauw Pek cerdas, dapat ia menerka hati si pendeta.
"Apakah taysu maksudkan mereka itu membawa atau memakai obat yang dapat memunahkan kabut beracun itu?" tanyanya. Su Khong mengangguk.
"Tak perduli itu obat atau benda apapun lainnya" katanya "yang terang ialah mereka itu tidak takut akan racun itu. Inilah soalnya" Siauw Pek mengangguk.
"Benar" katanya "Baik, nanti aku bicara dengan nona Hoan"
Lalu ketua ini bertindak dengan sangat perlahan kearah Soat Kun, ia berhenti didampinginya nona itu, dan berkata bagaikan
berbisik, "nona, aku ingin bicara. Aku mau minta penjelasanmu...." "Apakah itu bengcu?" si nona tanya.
"Nona lihat kabut musuh, bukan " Kenapa kabut itu tidak mencelakai orangnya sendiri"
"Itulah sebab mereka terlebih dahulu sudah makan obat pemunahnya."
"Kalau begitu disaat ini, sukar buat kita mendayakan obat semacam itu, maka itu menurut aku, jalan satu satunya ialah
berdaya mendapatkannya dari tubuh mereka sendiri...."
"Memang, itulah satu satunya jalan...."
"Kalau begitu, ingin aku mencoba menyelundup kedalam
musuh...." "Daya ini baik, akan tetapi tak dapat kau menyerbu ancaman malapetaka"
Kata si anak muda pasti. "Kalau aku sendiri tidak memasuki sarang harimau, siapakah lagi?"
Soat Kun memperingati perlahan- "orang kita berjumlah cukup besar tetapi buat merebut kemenangan, itu bergantung cuma dengan kau dan Su Khong serta satu dua orang lainnya. Aku berdua cuma dapat berpikir, tidak dapat aku membantu. andaikata pihak
sana nekad menyerbu kita. Seandainya kau sampai terkena
racunnya, aku kuatir keadaan kita akan segera berubah buruk" "Habis, bagaimana pendapat nona?"
"Karena keadaan sangat mendesak ini" sahut si nona itu, "Tak dapat tidak terpaksa aku mesti mengambil jalan terakhir."
Siauw Pek menggeleng. "Bagaimanakah itu nona?"
"Aku menghendaki Ban Liang dan Oey Eng menyerbu ancaman marabahaya itu"
Kembali bengcu dari Kim Too Bun melengak. "Ini.... ini...." katanya gugup "Ini... mana bisa...?"
Soat Kun tidak menghiraukan keberatan ketua itu.
"Bengcu" katanya, "tolong minta mereka itu datang kemari, aku hendak bicara sendiri dengan mereka."
Tak tega hatinya Siauw Pek. tetapi keadaan sangat terpaksa, mau atau tidak ia toh memanggil Ban Liang dan Oey Eng. Soat Kun bangkit dengan perlahan sekali.
"Su Khong Siansu" panggilnya.
Pendeta dari Siauw Lim Sie itu menghampiri.
"Ada perintah apa, nona?" tanyanya.
"Aku minta sekarang juga siansu mengatur Lo han tin" sinona minta. "Inilah perlu buat menjaga kalau kalau musuh menerjang kita"
Su Khong taysu cerdas, tahu ia akan tugasnya, tanpa banyak
Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bicara lagi, ia lantas memerintahkan pihaknya bersikap untuk
membangun Lo Han Tin, benteng arhat, barisan dari Siauw Lim pay.
"Menurut apa yang aku dengar, Lo Han Tin menjadi pusaka aneh nomor satu dikolong langit ini" kata Soat Kun kemudian, "pasukan itu dapat maju dan mundur dan dapat membela diri dan menyerang dengan sewajarnya, benarkah itu?"
"Sebenarnya barisan kami ini terutama untuk membela diri" Su Khong menjelaskan. "Perihal penyerangan, tak selihay sebagaimana yang tersiar diluaran."
"Kalau begitu, tolonglah atur Lo Han Tin dimuka Toatian ini" si nona minta "Aku hendak mencoba memecahkan kabut racun dipendopo itu"
"Kita sekarang menghadapi pemimpin musuh. Inilah saat berhasil atau gagalnya usaha kita" berkata Su Khong "karena itu, sudah selayaknya kita bersiap sedia"
"Siansu benar" si nona mengangguk "tetapi masih ada satu permintaan lagi..."
"Apakah itu nona" Bilanglah" kata Tiangloo itu. "Asal yang kami sanggup, pasti kami slap sedia"
"Kabut beracun itu menjadi tameng liehay dari musuh" berkata sinona. "Untuk menyingkirkan itu, kita mesti menerjang bencana, harus ada orang yang berani menyerbunya" su Khong dapat menerka hati sinona.
"Aku akan sediakan empat orang ku untuk mona perintah" bilangnya.
"Mereka itu selain halus lihay ilmu silatnya" nona Hoan jelaskan, "juga merka mesti berpengalaman dan cerdas serta harus pandai merubah siasat seketika. Aku maksudkan orang sebangsa Su Kay Taysu. Bagaimana pendapat siansu?"
Belum lagi tiangloo itu menjawab. Su Kay sudah mendahuluinya.
"Buat guna kehormatan dan kehinaan Siauw Lim Pay" kata pendeta itu "untuk hidup dan musnahnya partai kita, loolap bersedia sekalipun untuk menyerbu api membara, berlaksa kali mati juga loolap tak perduli"
"Bagus" nona Hoan memuji. "Dengan keberanian berkorban dari taysu ini, hari ini pasti kita mempunyai harapan besar untuk menang"
Su Kay maju mendekati, ia memberi hormat.
"Loolap disini" katanya. Itu artinya ia telah menyiapkan diri buat menerima perintah apapun juga." ia memang sudah sangat mengagumi sinona.
Soat Kun mundur sejauh satu tombak.
"Kabut racun itu adalah racun yang bekerja sangat dahsyat" berkata ia "tanpa obat pemunahnya, biar dia orang gagah dan kuat luar biasa, tidak dapat dia bertahan andaikata dia menyerbu kedalam pendopo. oleh karena itu kita mesti berdaya dahulu mendapatkan obat pemunah itu."
Su Kay Taysu dan Ban Liang mengangguk berbareng tanda telah mengerti^
"Aku telah mengerti maksud nona" berkata mereka berbareng
juga. "Ada perintah apa lagi dari nona" Silahkan menitahkan"
"Seng Kiong Sin Kun dan orang orangnya berjumlah besar" berkata nona Hoan "Kenapa mereka tidak takut kabut beracun itu" Apakah sebabnya?"
"Rupanya sebab mereka mempunyai obat penakluk racunnya itu" Ban Liang mengutarakan terkaannya itu.
"Itu benar" si nona mengangguk. "Jangan kata memangnya aku tidak mampu memecahkan racun itu, taruh kata aku ketahui caranya disaat seperti ini dimana kita dapat cari bahan bahan obat serta membuatnya?"
"Maka itu perlu kita mengambil obat itu dari tangan musuh" Su Kay bilang.
"Pendopo dirintangi kabut racun, cara bagaimana kalian dapat memasuki pendopo itu?" si nona bertanya pula.
"Tak ada jalan lain daripada kita menyelundup bercampur baur
dengan orang orang mereka...." sahut Ban Liang.
"caranya merampas obat pemunah itu, tak dapat aku segera memberitahukannya" Nona Hoan berkata pula "cara itu harus dilakukan dengan melihat gelagat. Sementara itu ada kemungkinan kalian kena dipergoki Seng Kiong Sin Kun, akan terkena racun dan akan mati karenanya. Ataupun ada kemungkinan kalian kena tertawan dan dijatuhkan hukuman mati. Maka itu, kalian benar benar berani menempuh jalan ini atau tidak, terserah kepada kalian masing masing. Aku sendiri, tak mau aku memaksanya."
Dengan gagah Su Kay segera memberikan jawabnya "Loolap akan mati tanpa penasaran"
Ban Liang pun lantas berkata "Aku sudah tua, aku sudah
mendekati liang kubur, kalau aku mati buat guna kaum kita, buat
kepentingan orang banyak, aku puas" Soat Kun menghela napas.
"Umpama kata kalian dapat memasuki toa tian, tak nanti seketika juga kalian berhasil mendapatkan obat pemunah itu" berkata ia "kalian dapat memasuki pendopo itu dengan mengerahkan tenaga dalam, dengan menahan napas, tetapi ini tidak dapat meminta banyak tempo, sebaliknya tak mudah buat mencari tempat
penyimpanan obat itu...."
"Dalam hal ini nona, loolap mohon petunjukmu" berkata Su Kay. Ban Liang dan Oey Eng berdiam.
Soat Kun mengawasi ketiga orang itu. Katanya "Diumpamakan kalian bertiga berhasil mencari tempat penyimpanan obat itu, tetapi didepan Sin Kun ada banyak orangnya yang liehay, cara bagaimana kalian dapat mengambilnya didepan mereka itu?"
Su Kay Taysu berpikir keras. Lewat sesaat ia tersenyum. "Agaknya nona bukan bersungguh sungguh menghendaki kami
mengambil obat pemunah racun itu...." katanya sabar.
"Tak salah" si nona menjawab "Pikiran semacam itu khayalan belaka. AKu tidak pandai meramalkan, mana aku tahu obat disimpan dimana?"
"coba nona jelaskan" berkata Oey Eng, yang berdiam saja sejak tadi.
Tiba tiba wajah si nona muram.
"Tak kuat hatiku buat menyebutnya..." sahutnya.
"Nona" sianak muda mendesak "sekalipun nona menunjuk kami untuk mati, kami tak akan penasaran. Maka, tolong bilanglah"
"Ini bukannya soal mati saja" si nona tandaskan "inilah kematian yang sudah merupakan tubuh hancur dan tulang lebur. Tak dapat
aku menyebutnya...."
"Sebetulnya itu kematian macam apakah?" Su Kay turut bicara. "Sulit buat menjelaskannya" jawab sinona "Yang dapat dikatakan
ialah kematian itu bakal sangat hebat dan mengenaskan.... Dianatara kalian bertiga, yang satu pasti akan mati dan yang dua lainnya mungkin masih dapat hidup."
"Loolap hidup dengan mengandalkan kepada Sang Buddha, bagiku mati atau hidup sama saja" berkata orang beribadat itu.
"Tanah suci diBarat itu adalah tanah yang menjadi kenang
kenangan, karena itu kalau mesti mati biarlah loolap yang mati"
"Taysu maha suci dan ilmu silat taysu juga mahir luar biasa" berkata Ban Liang "masih sangat banyak diperlukan dari taysu, karena itu mana dapat taysu sembarang bicara dari hal mati" Adalah aku yang kedua tanganku berbau darah, karena telah
banyak orang yang aku binasakan, kalau mesti mati, biarlah aku si
tua yang menyambutnya" Oey Eng mengawasi kedua jago tua itu.
"Taysu berdua jauh lebih tua daripada aku, kalau ada sesuatu, akulah yang harus mewakilkan mengerjakannya" kata ia " Baiklah aku saja yang menerima tugas itu"
"Taysu bertiga sangat mengagumi aku" sinona berkata "Dalam
hal matipun taysu bertiga saling berlomba Sungguh sifat luar biasa"
"Loolap yang paling dulu membuka mulut, orang yang mesti mati itu mesti loolap adanya" berkata pula Su Kay Taysu "Sudahlah jangan kita saling berebutan. Disaat ini, sang waktu berharga sebagai emas. Nona, lekas nona keluarkan perintah mu"
"Telah aku bilang, orang yang mesti mati itu akulah situa" Ban Liang bilang.
"Aku juga tak mau ketinggalan" Oey Eng memastikan. "Sudah, taysu bertiga jangan berselisih" berkata Soat Kun.
"Aku ada daya" Ban Liang akhirnya mengusulkan "Kita mengundi, bagaimana?"
"Itulah tak dapat" Su Kay menentang, "Kalau tiga tiganya, bagaimana?"
"Jikalau kalian percaya, bagaimana kalau aku yang menunjuk?" tanya sinona.
"Bagus" berseru Ban Liang. "Kalau nona yang menunjuknya, pasti nona sudah memikirkannya masak masak"
Oey Eng berkata didalam hatinya: "Jangan jangan aku bukanlah
yang akan ditunjuk itu...."
Su Kay Taysu dan Ban Liangpun menerka nerka.
Segeralah terdengar suara merdu si nona Hoan: "Su Kay Taysu berdua Ban Huhoat sama sama mempunyai pengalaman yang banyak sekali, sudah sering menghadapi pertempuran, pula pandai melihat selata, taysu tak dapat disamakan dengan kebanyakan
orang, karenanya taysu berdua tak dapat menerima tugas ini.
Menurut aku, paling tepat kalau Oey huhoat yang menerima tugas"
Su Kay dan Ban Liang heran sekali. Kenapa si nona memilih seorang muda" Tadi si nona menunjuk calon yang pandai silat dan berpengalaman- Oey Eng pasti kalah dari mereka berdua. Maka keduanya segera menoleh mengawasi pemuda itu.
Oey Engpun heran, hingga ia melengak. sedangkan barusan ia menerka ia bukanlah orang yang bakal dipilih. Tapi cepat cepat ia berkata "Memang tepat pilihan ini"
"Amitaba budha" Su Kay kemudian memuji. "Nona, pilihanmu ini sangat loolap tak setuju"
Tapi sinona tersenyum. "Sejak ribuan tahun, siapapun tak luput dari kematian,. kata ia. "Oey Eng hu hoat masih muda sekali, sebenarnya aku tak tega akan kematiannya..."
"Benar Tapi kenapakah nona tidak memilih aku slorang tua?" tanya Ban Liang.
"Aku mengambil keputusan dengan melihat keadaan," nona Hoan memberi keterangan. "Tugas ini paling tepat bagi Oey huhoan. Tapi akupun tidak dapat membiarkan Oey huhoat mati dengan begitu
saja...." "Bagaimana itu nona?"
"Bagi seorang perempuan, apakah yang paling pahit getir?" sinona balik tanya.
"Itulah kalau masih muda dia kehilangan suaminya dan sesudah tua dia kehilangan anaknya..." sahut Ban Liang.
"Benar" kata sinona "sekarang aku serahkan diriku kepada Oey huhoat. Kalau nanti dia mati, aku akan menjadi jandanya. Harga dan hadiah ini cukup bukan?"
Oey Eng menjadi gugup, "Tidak. tidak dapat" serunya.
Ban Liang dan lainnyapun heran sekali.
Hoan Soat Kun tersenyum. "Apakah kau mencela aku bercacat" ia tanya.
"Jangan salah mengerti nona" kata Oey Eng bingung. "Mulai dari bengcu, siapakah yang tidak memandang dan menganggap nona sebagai malaikat?"
"Jikalau aku bukannya malaikat hanya manusia biasa, kau toh dapat menerima, bukan?" si nona tanya pula.
"Jikalau aku dikehendaki menyerbu api, tak akan aku tampik" sahut Oey Eng
"Nah, nona perintah kan saja" Soat Kun menghela napas.
"inilah pilihanku karena terpaksa" katanya perlahan "telah aku menimbang berulang kali, telah aku melihat kesana kemari, lambat
laun pikiranku mulai menjadi terang, dapat aku membayangkan Seng Kiong Sin Kun itu orang macam apa. Aku perhatikan segala kepandaiannya, lalu sepak terjangnya.."
Ban Liang dan Su Kay taysu menjadi sangat tertarik, "Bagaimana sebenarnya nona?" tanya mereka.
"Seng Kiong Sin Kun adalah seseorang" sahut si nona "Nama itu nama buatannya, guna menakuti hati orang"
"Menurut nona, nama itu jadinya nama kosong belaka?" Ban Liang menegasi.
"Ya demikianlah" jawab Soat Kun. "Didalam dunia ini tidak ada Seng Kiong sin Kun, yang ada hanya seorang edan otaknya yang telah lenyap kesadaran dirinya"
"Siapakah dia nona?" tanya Ban Liang.
"Ini barulah pendapat. Kalau aku menyebutnya, mungkin Ban Huhoat beramai tak akan percaya" menyahut si nona "Baiknya tunggu sampai sebentar, sesudah Ban huhoat bertiga memasuki toatian musuh. Disana akan dapat diketahui siapa dia itu..."
Ban Liang heran- "Nona," ia tanya pula, "sudikah nona menjelaskan sekarang siapakah dia?"
Nona itu agak terdesak. "Boleh" sahutnya akhirnya. "Silahkan sebutkan nona?"
Nona Hoan segera menyebutkan dengan sangat perlahan "Dialah ceng Gi Loojin."
Ban Liang bertiga melengak, hingga sekian lama mereka bungkam saja. Sungguh diluar dugaan
Soat Kun menambahkan "Aku bicara yang sebenarnya. Kalau sebentar kalian sudah berada didalam pendopo musuh, kalian akan
mendapatkan kebenarannya kata kataku ini" Su Kay merangkap kedua belah tangannya didepan dadanya.
"Amitabha budha" ia memuji. "Loolap percaya kau nona, loolap sangat mengagumimu, akan tetapi didalam hal ini, inlah terlalu tak dapat dipikir Sungguh sulit membuat orang mempercayainya. Bukankah ceng Gie Loojin telah terbinasa?"
"Memang sangat sulit buat dipercaya. Karena itu juga tidak berani aku membeberkan dimuka orang banyak. Tapi satu hal dapat aku terangkan, bukankah Seng Kiong Sin Kun selalu membuat manusia manusia palsu, baik mereka yang sudah mati maupun yang masih hidup" Kenapa ia tak dapat memalsukan dirinya sendiri?"
Si nona kemudian lantas merogoh sakunya, ia mengeluarkan tiga butir pil.
"inilah obat peranti melawan racun peninggalan guruku" ia menerangkan "silahkan Ban Huhoat bertiga mengemunya didalam mulut. Didalam istana sebentar, apabila musuh besar benar ceng Gi Loojin, harap kalian menggunai ini."
Nona Hoan merogoh pula sakunya. Kali ini dia mengeluarkan dua buah barang sebesar telur ayam, yang ia seragkan masing masing kepada Ban Liang dan Su Kay Taysu. Ia menambahkan "kalau barang ini ditimpukkan kelantai, api akan menyala dan asapnya mengepul. Adalah asapnya itu yang akan membuat orang tak sadarkan diri. orang orang sin Kun pandai menggunai racun tetapi mereka tak akan dapat bertahan dari racunku ini. orang akan roboh pingsan dalam sejenak. Kalian mengemut obat, kalian sendiri akan bebas dari bahaya tak sadarkan diri itu"
Ban Liang dan Su Kay menyambut benda itu.
Oey Eng mengawasi kedua orang itu diberikan pesan dan barang tetapi ia tidak. "Habis aku, apakah tugasku?" ia tanya.
Soat Kun mengawasi anak muda itu. Atau lebih benar ia cuma berpaling kearahnya.
"Tugasmu ialah yang terberat" sahutnya. Si anak muda menatap.
"Jikalau demikian, aku akan mati tanpa menyesal" bilangnya "coba nona menjelaskan apa yang aku harus kerjakan"
Soat Kun tidak segera menjawab. ia hanya berkata "Masih kau belum memberikan jawabanmu kepadaku"
"Apakah itu?" si anak muda tegaskan-
"Soal jodoh kita, Kau belum menyatakan menerima tawaranku" Oey Eng nampak sulit.
"Ada satu hal yang membuatku tidak mengerti" katanya. "Hal apakah itu?"
"Jikalau aku toh mesti mati, apa gunanya merecoki jodoh kita" Jikalau seandainya aku tidak mati, bagaimana saja nona nanti mengaturnya" Aku tahu tindakanmu ini cuma karena kau sangat kasihan terhadap diriku."
"Kau keliru menerka. Suatu pertempuran yang hebat, bagiannya ialah sembilan mati dan satu hidup, tetapi untuk kau bagian yang satu saja, yaitu bagian hidup, telah tidak ada. Kau mati untuk kebaikan orang banyak. Tanpa ada ikatan suami istri diantara kita, mana dapat aku menitahkan kau?"
Si anak muda menggelengkan kepala.
"Aku tidak mau kau mengasihani aku" katanya. "Itulah pengorbanan"
"Itu bukan pengorbanan belaka. Itu karena rasa hormatku. Rasa
hormatlah yang mendatangkan cinta kasih" Oey Eng tersenyum.
"Jikalau aku dapat keluar dari istana dengan masih hidup?"
"Pasti aku akan serahkan diriku kepadamu, buat merawatmu. Tak nanti aku telan kata kataku ini"
Wajah si anak muda suram. Ia menarik napas.
"Baik" sahutnya, akhirnya "Aku menerima baik padamu" Soat Kun segera berlutut.
"Taysu dan Ban huhoat, aku minta kalian menjadi saksi" kata ia. Terus ia berkata pada Oey Eng. "Mari kita mengasi hormat kepada Thian Yang Maha Esa, supaya dengan begini kita menjadi suami istri."
Melihat si nona demikian sungguh sungguh, Oey Eng turut menekuk lututnya. Maka bersama sama mereka menghormati Thian, lalu saling menghormat diri.
Su Kay dan Ban Liang heran, tetapi merekapun terharu. Mereka menerka, dengan Soat Kun berbuat demikian, mungkin si anak muda tidak bakal mempunyai harapan hidup lagi.
Selesai upacara yang sangat sederhana itu, Soat Kun bangkit, buat berkata dengan sungguh sungguh. "Taysu bersama Ban huhoat telah menjadi saksi: mulai hari ini aku Hoan Soat Kun, telah menjadi istrinya Oey Eng" Ban Liang berdua mengangguk.
Nona Hoan menghadapi Oey Eng, untuk berkata sangat perlahan- "Oey long, jikalau terjadi kau sampai mengorbankan dirimu, buat seumur hidupku aku akan menjaga kesucian diriku. Jikalau aku makan kata kataku, inilah sumpahku"
Setelah itu Soat Gie merogoh pinggangnya, untuk meloloskan sebuah ikat pinggang warna hitam yang lebar empat jari dan setiap satu dim ada bagiannya yang menonjol setinggi dua jari. Ia serahkan itu kepada kakaknya.
Soat Kun menyambuti ikat pinggang itu yang sebaliknya ia
angsurkan pada Oey Eng. "Kau libat ini dipinggangmu" pintanya.
Oey Eng menurut walaupun ia belum tahu apa maksudnya ikat pinggang itu.
"Nona ada pesan apa lagi?" ia tanya.
"Panggil aku hian cee" kata sinona.
"Baiklah Hiancee, ada apa lagi pesanmu?" tanya Oey Eng. ia menurut seketika tetapi la mengerutkan alis.
Baru sekarang sang "istri" memberikan keterangannya:
"ikat pinggang ini adalah menjadi barang peninggalan guruku almarhum. Didalam itu terbungkus obat peledak yang dahsyat sekali, yang kata guruku dapat menggempur gunung. Digunakan juga cuma satu kali"
"Suami" itu mengangguk.
"Aku mengerti" katanya "sekarang coba terangkan cara penggunaannya" Soat Kun memberikan keterangan-
"Baiklah aku ingat" kata Oey Eng.
"Sekarang Oey long, kau ikutlah siansu dan Ban huhoat" pesan istri itu. "Kalau didalam istana kau bertemu dengan ceng Gie Loojin dan hendak bertempur dengannya, kau kendorkan dahulu ikat pinggang itu, baru kau melawannya. Dia mesti dibikin hancur lebur seluruh tubuhnya" Oey Eng mengangguk.
Lantas Su Kay Taysu bertanya "Apakah perlu kita masuk dengan paksa?"
"Tak usah" sahut sinona "Aku akan membuat Seng Kiong Sin Kun gusar hingga dia nanti membiarkan taysu sekalian masuk dengan bebas, tanpa rintangan apapun juga"
Berkata begitu nona itu dan saudaranya bertindak ke toa tian, Ban Liang bertiga mengiringi. Untuk itu mereka melintasi Lo Han Tin, Siauw Pek dan lainnya terpisah cukup jauh dari empat orang itu, sebagaimana tadipun mereka berbicara berempat saja.
"Sin Kun, dengar" berkata si nona, nyaring setibanya mereka didepan toatian sekali menghadapi musuh "AKu telah mendapatkan cara untuk memunahkan kabut asapmu, tetapi untuk itu, kau harus izinkan tiga orang ku ini masuk kedalam pendopo guna mencoba coba dulu."
Dari dalam kabut terdengar suara yang dingin. "Benarkah itu, Punco tidak percaya"
"Jikalau kau tidak percaya, kau cobalah" Soat Kun bilang "Kau perintahkan orang orangmu membuka jalan, supaya ketiga orangku ini dapat masuk kedalam pendopo kamu"
"Baiklah, punco mau lihat" kata suara dingin tadi. "Hendak punco lihat, murid Hoan Tiong Beng mempunyai kepandaian apa. Nah, kamu masuklah"
Soat Kun tidak melayani bicara.
"Taysu silahkan masuk" ia kata kepada Su Kay Taysu bertiga.
Su Kay Taysu lantas membuka langkah lebar. Ia berjalan dimuka. Oey Eng ditengah, Ban Liang berjalan dibelakang bagaikan pahlawannya si orang she Oey. Benar benar mereka memasuki toa tian tanpa rintangan-
Siauw Pek dan rombongannya memasang mata tajam, terutama mereka mengawasi ketiga kawan mereka itu yang hendak mengadu jiwa, sampai mereka lenyap didalam kabut beracun.
"Sungguh nona lihay" Siauw Pek puji "Nona Hoan, didalam tempo yang pendek. nona telah berhasil mencari pemecahannya kabut jahat itu"
"Telah aku ajari siansu bertiga bagaimana harus menyerang kabut itu" kata nona Hoan-"Sekarang mari kita mundur sejauh sepuluh tindak. Selekasnya kabut buyar dan punah, baru kita menyerbu masuk untuk menyapu mereka"
Semua orang menurut, semua lantas mundur. Su Khong semua sangat mengagumi nona ini. Tidak ada orang yang menanya ini dan itu walaupun sebenarnya mereka heran dan ingin mengetahui
sesuatu.... "Nona" kemudian kata Su Khong, yang mendekati nona Hoan, "mereka cuma bertiga, bagaimana mereka nanti melayani Seng Kiong sin Kun serta orang orangnya yang berjumlah sangat besar itu" Bagaimana kalau loolap memilih dua puluh orang ku untuk turut memasuki toatian" Pasti mereka dapat memberikan tenaga bantuan mereka."
Soat Kun menggoyangkan kepala.
"Tak usah siansu" sahutnya. "Telah aku mengatur cukup, Mereka bertiga dapat melayani musuh."
Siauw Pek semua turut mendekati sinona hingga dia bagaikan dirumung. Semua mata mengawasi tajam. Semua kagum, tapi juga semua heran seperti Su Khong Taysu. cumalah bercuriga atau tidak. mereka bungkam, tidak ada yang berani menanya apa apa. Sebaliknya sinonalah yang membuka suara
"Aku mempunyai satu kabar girang untuk disampaikan kepada kalian semua" demikian katanya.
Kembali orang merasa heran sekali. Disaat genting seperti itu, sinona bicara kabar girang. Maka semua orang mendelong mengawasinya.
"Kabar girang apakah itu?" Siauw Pek tanya.
Soat Kun tidak menjawab, hanya dia bertanya "Mana Han in Taysu?"
Ketua dari Go Bie Pay itu menekan tanah dengan kedua tangannya, maka melesatlah tubuhnya kedepan sinona. "Loolap disini" sahutnya.
"Mana Nona Thio Giok Yauw?" sinona tanya pula.
"Ada apa nona Hoan?" tanya Giok Yauw cepat. "Aku disini"
Memang nona she Thio itu berada disisi nona yang menanyakannya itu.
Soat Kun tersenyum. "Inilah kabar girangku" bilangnya "ini mengenai diriku. Dengan disaksikanBan Loocianpwee dan Su Kay siansu, tadi jodohku telah dirangkap dengan jodoh Oey Eng"
Singkat dan getas warta girang itu.
"Benarkah itu?" tanya Giok Yauw heran- Nona inipun menghela napas perlahan.
"Thian yang menjadi saksi, aku tidak main main" sahut nona Hoan.
Siauw Pek tercengang, darahnya bergolak. Pemuda ini heran dan terkejut. Sebenarnya ia telah menaruh hati kepada nona yang cacat matanya itu. Ia sangat tertarik, kepintaran dan kecantikan sinona hingga ia tak memikirkan soal matanya yang tak bisa melihat itu. sekarang mendadak saja ia mendengar warta itu. Maka hebat baginya buat menenangkan diri.
"Terimalah hormatku, nona" ia segera memberi selamat. Soat Kun tersenyum.
"Nona Thio, hendak aku menjadi tukang merecoki jodohmu" kata ia kepada Giok Yauw, "sudikah kau memberi muka padaku?"
Hati nona Thio berdenyut. Inipun mengherankan dan mengejutkan padanya. Tidak keruan orang menimbulkan soal jodohnya. Bukankah merka tengah berada dimedan laga dan lagi menghadapi lawan yang sangat tangguh" Tapi ia harus memberikan jawabannya.
"Ayahku berada disini, encie bicara saja dengan ayahku itu" demikian jawabnya perlahan-
Soat Kun lalu menoleh kepada Thio Hong Hong.
"Loocianpwe, bagaimana pikiran loocianpwee?" ia tanya.
"Inilah urusan putriku" menjawab jago tua itu "Biasanya aku si tua taksuka usil. Buatku cukup asal anakku setujU."
"Seorang ayah yang baik" Nona Hoan memuji jago tua itu. "Nah nona Thio, bagaimana pikiranmu?"
Lihat atau tidak, Giok Yauw menjawab "Biasanya aku mengagumi kau encie, apapun yang encie rasa baik, aku..."
"Bagus kausuka mendengar aku" tukas nona Hoan- "Coh bengcu menjadi yatim piatu semenjak masih kecil sekali, dia harus dapat dilayani dan dihiburi oleh seorang nona pintar, gagah dan manis budi seperti kau, baru dia tak akan kesepian"
Siauw Pek mengerutkan alis. Hendak dia menyatakan sesuatu, tapi Soat Kun sudah mendahuluinya .
"Kalian telah menerima baik, bagus" demikian kata sinona "Sekarang hendak aku memberitahukan kalian siapa itu Seng Kiong Sin Kun"
Kata kata sinona bagaikan guntur yang mengagetkan orang. Memang siapapun ingin mendapat tahu tentang itu. Maka berdiamlah semua hadirin.
"Baik nona Silahkan nona menyebutkannya" kata Siauw Pek si ketua.
"Bukankah bengcu telah menerima baik tangannya nona Thio?" tanya nona Hoan.
Sementara itu Giok Yauw girangnya bukan kepalang. Sudah sekian lama ia jatuh hati pada pemuda yang tampan dan gagah itu. cuma ia tak berani mengutarakan sesuatu, sekarang ia girang hingga hatinya berdetak keras...
Siauw Pek mengangguk. Tak ada lain jalan baginya.
"Nah.... bagaimana pihak Thio?" Soat Kun tegaskan- ^
Thio Hong Hong memandang puterinya, terus ia menjawab
"Baiklah, sekarang aku mewakilkan anakku mengambil keputusan,
aku menerima baik jodoh ini. Nona kau bicaralah sekarang"
"Siapakah diantara kita yang pernah bertemu dengan ceng Gie Loojin?" tanya sinona kemudian-
"Aku" sahut cian Peng si dewa ikan.
"Ingatkah loocianpwee kalau pada wajahnya ada sesuatu yang beda dari pada orang lain?" tanya si nona sungguh sungguh. cian Peng berpikir.
"Dia mempunyai alis yang bagus dan mata yang jeli, tapi sinar matanya itu, jikalau diawasi sangat tajam dan agak bersikap kejam. sinar mata itu bagaikan dapat menembus hati"
"Han in Taysu" tanya sinona kepada ketua Ngo Bie Pay "kau berkesan sangat mendalam terhadap sinat matanya orang atau
orang orang yang kau katakan Seng Kiong Sin Kun itu, benarkah
sinar matanya seperti apa yang dilukiskan cian Loocianpwee ini?"
"Tak salah" Han in Taysu menjawab cepat "kedua matanya
sangat tajam dan berkilau, ada yang sangat sukar melupakan itu."
"Tapi ini masih belum cukup untuk membuktikan dialah ceng Gie Loojin" berkata Thio Hong Hong.
"Masih ada keteranganku lebih jauh" berkata sinona sambil ia menyingkap rambut didahinya. "Sebenarnya ceng Gie Loojin dan guruku almarhum adalah asal satu rumah perguruan- Guruku itu mempelajari ilmu alam, ilmu kebatinan , ilmu bintang dan ilmu tenung. Sedangkan ceng Gie Loojin mengutamakan ilmu obat obatan dan sebangsana. Entah apa ceng Gie Loojin secara diam diam telah meraCuni guruku dengan semacam racun istimewa hingga guruku tak bisa mempelajari ilmu silat sampai sempurna. oleh karena guruku tidak pandai silat, orang mengatakan ia dibataskan oleh bakatnya. Mengenai itu guruku menutup mulut. Tidak mau suhu membeber kejahatan saudara seperguruannya itu. Suhu berdiam tapi gurunya, ialah kakek guruku, mendapat tahu juga hal itu. ceng Gie Loojin lantas diusir. Lalu dia pergi merantau, dengan mengandali ilmu obat obatanya itu, dia berbuat amal. Itulah waktunya dia menyebut dirinya sebagai ceng Gie Loojin, siorang tua yang maha adil. Dengan berbuat baik, dia ingin gurunya berubah pikiran dan akan menerimanya kembali. Tapi kakek guru tidak memperdulikannya. Dia masih penasaran, dia baiki kacung tukang masak obat, yang dia suruh meracuni kakek guruku. Dia berbuat itu guna mencegah kakek guru mewariskan semua kepandaian kepada
suhu. Tempo kakek guru ketahui ia diracuni, ia segera menghajar mati kacungnya itu, tetapi iapun sudah terlambat, tak dapat ia mengobati dirinya sendiri. Inilah keterangan yang aku dapat dari suhu. suhu telah memesan kecuali sangat terpaksa, jangan aku buka rahasia ini"
Baru sinona bicara sampai disitu, telinga semua orang lantas diganggu suara gemuruh beberapa kali, bagaikan bumi ambruk. Suara itu disusul dengan berjatuhan banyak kepingan kepingan anggota tubuh manusia dan darahpun bermuncratan, semua ini datangnya dari arah toatian, pendopo besarnya Seng Kiong.
Semua orang terkejut. Siauw Pek sudah lantas menghunus Pa Too dengan menggenggam senjata mana ia berlompat lari ketoatian. begitu gesit dan pesat ia bergerak. cuma nampak sinar goloknya, ia sudah lantas tiba didepan pendopo. Semua orang kagum menyaksikan kelincahannya itu.
Su Khong Taysu bersama Thio Hong Hong, Bun Koan, Hie Sian cian Peng dan lainnya segera lompat menyusul bengcu dari Kim Too Bun- Mereka dapat menerka artinya gemuruh serta segala akibatnya itu.
Tiba didalam toatian, Siauw Pek menyaksikan satu pemandangan yang sangat menyayat hati berbareng membangunkan bulu roma. Mayat mayat bergelitukan atau bertumpukan, kaki dimana tangan dimana, muka mereka itu tak beraturan lagi. Darah mengalir diseluruh ruangan yang luas seklai, ia sampai berdiri menjublak saja.
"Adik, kau lagi bikin apa?" tiba tiba terdengar suara Bun Koan sang kakak.
Bengcu itu menoleh agak terkejut. Suara sikakak membuatnya sadar. Selain kakaknya itu, segera ia melihat Su khong taysu, yang lari keluar sambil memondong tubuh Su Kay Taysu yang mandi darah. Su Kay Taysu lantas ditolong, terutama mencegah darahnya mengalir terus serta membantu tenaga dalamnya.
Juga Hie Sian cian Peng muncul bersama Ban Liang, diapun bermandikan darah seluruh tubuhnya. Hingga Seng Su Poan juga perlu segera ditolongi.
Dilain bagian, Siauw Pek melihat Soat Kun dan Soat Gie tengah menghadapi Oey Eng. Pemuda itu rebah dilantai dengan bermandikan darah juga seperti Su Kay Taysu dan Ban Liang. Kedua
nona tampak sangat berduka, air mata mereka meleleh. Oey Eng
mengulur tangannya, untuk menggenggam tangan Soat Kun.
"Hiancee" katanya perlahan sekali "terkaanmu benar semuanya. Aku telah bertemu dengan ceng Gie Loojin yang lihay itu"
Baru ia mengucap demikian- Oey Eng sudah melepaskan genggamannya, matanya terus dipejamkan-
Soat Kun lantas mengeluarkan sebuah peles obat, katanya "inilah obat Hu Sim Sin tan buatan guruku, karena obatnya tinggal tiga maka juga aku cuma minta tiga orang yang menyerbu kabut asap Seng Kiong Sin Kun, adikku, lekas kau bagikan seorang satu"
Soat Gie adalah yang dipanggil adik itu, dan sang adik yang bisu itu segera bekerja. Ia menghampiri Oey Eng, buat memaksa membuka mulutnya buat memasukkan sebutir obat. Dua butir yang lainnya ia berikan kepada Su Khong Taysu dan cian Peng, buat dipakai menolongi Su Kay Taysu dan Ban Liang.
Tak lama setelah menelan obat, Oey Eng tersadar, bahkan dia tak selesu semula tadi. Ia membuka matanya mengawasi istrinya dan yang lain lain- ia belum bisa mengatakan sesuatu.
Demiklan juga keadaan Su Kay Taysu dan Ban Liang. Setelah lama berdiam saja, Soat Kun menghela napas panjang.
"Seng Kiong sudah termusnah. Seng Kiong sin Kun telah terbinasa, maka aman sejahteralah dunia sungai telaga atau kaum rimba persilatan" katanya perlahan "Sekarang telah selesai tugasku disini maka hendak aku pergi bersama suamiku ini guna menolong dia sebisa bisanya. Selamat tinggal"
Habis berkata, nona ini membungkuk untuk mengangkat dan memondong tubuhnya Oey Eng, lalu dengan berpegangan pada
Soat Gie, ia bertindak pergi....
Justru disaat itu mulailah toatian didengungkan doa para pendeta dari Siauw Lim Sie yang mengapal kitab Kim Kong Keng atau Diamond sutra. Disitu banyak sekali kurban manusia, juga pendeta
pendeta dari Siauw Lim Sie sendiri.....
Siauw Pek berpaling kepada Bun Koan.
"Benar encie, manusia itu harus melakukan banyak kebaikan" katanya.
"Ya" sahut kakak itu mengangguk "Nona Hoan telah berbuat baik terhadap kita."
"Encie mari" kata adik laki laki itu yang terus bertindak keluar toatian- Dan ketua ini lantas diikuti semua kawannya.
Disekitar situ, habis ledakan tadi, sunyi semuanya hanya kali ini burung burung gagak ramai dengan suaranya, sebab baru saja mereka pulang kesarangnya masing masing. Karena ketika itu, sang waktu mulai magrib
Kim Too Bun dibawah kepemimpinan Coh Siauw Pek terus menjaga ketenangan rimba persilatan- Coh Siauw Pek dengan pedang dan goloknya menjadi legenda dalam dunia persilatan selama ratusan tahun sebagai seorang pendekar pembela kebenaran yang tak terkalahkan.
Sampai disini cerita pedang dan golok yang menggetarkan.
TAMAT Tiga Naga Sakti 15 Sembilan Pusaka Wasiat Dewa Pengelana Tangan Sakti Karya Lovely Dear Sukma Pedang 1