Pencarian

Pendekar Baju Putih 3

Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


dengan cepat. Pada sore harinya, Tung-hai Mo-ong Kui Bhok pulang. Melihat tawanannya
sudah tidak ada, dia menjadi marah sekali dan memanggil puterinya.
"Di mana tawanan kita?" tanya ayah dengan alis berkerut.
"Ayah, dia tidak mau menikah denganku, maka aku membebaskannya!"
"Kau........ apa?"" Membebaskannya?"
"Aku tidak ingin memaksanya menjadi suamiku, ayah."
"Kalau dia tidak mau, harus diusahakan agar mau. Kenapa engkau
melepaskan dia" Engkau anak lancang, durhaka. Kaukira akan muda mencari
seorang mantu seperti dia" Murid Pat-jiu Pak-sian dan Nam-san Sianjin,
dengan tulang dan bakat yang baik sekali! Dan engkau melepaskannya.
"Kalau aku tidak memaksa seorang pria menjadi suamimu, mana ada yang
mau secara suka rela" Siapa yang mau menikah dengan gadis berwajah
mengerikan seperti kamu" Engkau sungguh tak tahu diri!" Ayah ini marah
sekali dan menuding-nudingkan telunjuknya kepada puterinya.
"Ayah?"!" Ciok Hwa menjerit dan lari ke dalam kamarnya.
Tung-hai Mo-ong tidak memperdulikannya.
"Dasar anak tak tahu diri, anak sial!" Dia malah memaki lagi dengan suara
lantang. 141 Saking marahnya dan jengkelnya terhadap anaknya yang dianggapnya
mendatangkan sial dengan wajahnya yang buruk itu, Tung-hai Mo-ong tetap
tidak perduli melihat puterinya itu keluar lagi membawa buntalan pakaian dan
pergi dari rumah tanpa pamit lagi kepadanya.
Sebetulnya, Tung-hai Mo-ong sayang kepada puterinya, puteri yang ditinggal
mati ibunya sejak masih kecil! Akan tetapi ketika berusia sepuluh tahun, anak
itu terkena penyakit yang aneh, yang membuat mukanya timbul benjolanbenjolan hitam sehingga muka itu menjadi buruk menjijikkan.
Datuk ini telah berusaha sedapat mungkin untuk mencarikan obatnya, namun
tidak berhasil. Bahkan dia telah memaksa tabib-tabib yang pandai untuk
mengobati anaknya, semua sia-sia belaka.
Hal ini membuatnya sedih dan juga kecewa. Sebelum sakit, puterinya amat
membanggakan hatinya karena cantik, mungil dan cerdas pula. Ilmu-ilmunya
telah dipelajari oleh anaknya itu dengan lancar sehingga kini ilmu kepandaian
Ciok Hwa sudah mencapai tingkat tinggi.
Puterinya itu memiliki kulit yang putih kemerahan, bentuk tubuh yang
menggairahkan, rambut yang hitam subur. Bahkan wajah itu memiliki bentuk
yang cantik, dengan sepasang mata seperti bintang kembar. Akan tetapi
benjolan-benjolan pada wajahnya itu sama sekali merusak semua kecantikan
itu! Setelah sehari semalam marah-marah, baru dia menyadari bahwa anak
perempuannya telah minggat. Dia merasa menyesal sekali, lalu tak lama
kemudian, Tung-hai Mo-ong juga pergi merantau untuk mencari anak
perempuannya. 142 "Y" Kota Ceng-tao masih termasuk wilayah kerajaan Sung bagian timur, terletak
di tepi Laut Kuning. Kota ini amat ramai karena selain menjadi kota pelabuhan
di mana banyak perahu-perahu besar membawa dan mengangkut barangbarang dagangan, juga ramai para nelayan memperdagangkan hasil lautan.
Akan tetapi seringkali para pedagang dan nelayan ini mendapat gangguan
para bajak laut yang kebanyakan berbangsa Jepang. Bahkan ada bajak laut
yang berani mendarat di dekat kota itu untuk mengganggu penduduk pantai.
Oleh karena itu pemerintah pusat menempatkan seorang panglimanya dengan
pasukannya untuk menjaga keamanan di sepanjang pantai wilayah Ceng-tao,
dengan markas besarnya berada di kota itu. Akan tetapi, seringkali para
serdadu pasukan penjaga keamanan ini bahkan mabok-mabokan dan
mengganggu rakyat jelata, meminta sumbangan dengan paksa seperti
perampok, bahkan berani pula melakukan pemaksaan dan perkosaan kepada
para wanita. Ulah mereka tidak jauh bedanya dengan ulah para bajak laut
sehingga rakyat menjadi semakin menderita, seolah menghadapi harimau
kemudian keamanan mereka dijaga segerombolan anjing srigala!
Seperti lajimnya, rakyat tidak berdaya dan merekapun hanya dapat berusaha
melakukan penyuapan kepada para perwira untuk melindungi mereka. Hanya
mereka yang mampu menyuap para perwira sajalah yang lepas dari gangguan
para serdadu itu. Mereka yang miskin dan tidak mampu menyogok, terpaksa
harus berhati-hati jangan sampai bentrok dengan para serdadu, dan kalau
mempunyai anak gadis yang cantik, cepat-cepat mereka pindahkan ke kota
lain yang jauh. 143 Pada suatu pagi, seorang wanita yang menunggang kuda memasuki kota itu.
Wanita ini amat menarik perhatian. Ketika duduk di atas punggung kudanya,
nampak betapa indah menggairahkan bentuk tubuh wanita itu, duduknya
tegak dan lekuk lengkung tubuhnya begitu mempesonakan.
Ia mengenakan pakaian sederhana akan tetapi tidak dapat menyembunyikan
bentuk tubuhnya yang elok, kepalanya ditutup topi petani untuk melindungi
muka dari sengatan matahari dan topi ini mempunyai kerudung yang
menyembunyikan mukanya. Karena tertutup kerudung warna hitam maka
muka itu tidak kelihatan bentuknya, hanya nampak kilatan matanya yang
mencorong tajam dari balik kerudung.
Melihat betapa di punggung wanita ini tergantung sebatang pedang, mudah
saja diduga bahwa wanita itu tentu seorang wanita kang-ouw. Dan biarpun
wajahnya tidak nampak, dari bentuk tubuhnya yang padat berotot itu dapat
diduga bahwa tentu ia masih muda.
Wanita ini bukan lain adalah Kui Ciok Hwa! Setelah meninggalkan rumah
ayahnya ia lalu membeli seekor kuda, menutupi mukanya dengan kerudung
hitam, dan ia menunggang kuda melanjutkan perantauannya menuju ke timur
dan setelah tiba di pantai, ia lalu melanjutkan perjalanannya ke utara.
Dan pada pagi hari itu tibalah ia di Ceng-tao, menarik perhatian banyak orang
akan tetapi gadis itu tidak memperdulikan pandangan semua orang dan
menjalankan kudanya lambat-lambat mencari sebuah rumah penginapan.
Karena Ceng-tao merupakan kota perdagangan dan pelabuhan, di situ
terdapat banyak sekali rumah penginapan dan rumah makan. Setelah
menemukan rumah penginapan yang nampaknya bersih dan tidak terlalu
144 sibuk, Ciok Hwa lalu membelokkan kudanya dan seorang pelayan rumah
penginapan segera keluar menyambut.
"Apakah masih ada kamar kosong yang berada di pinggir, menghadap ke
laut?" tanyanya. Pelayan itu memandang wajah tertutup kerudung itu dengan penuh perhatian,
seolah ingin menembusi kerudung itu dengan pandang matanya. Suara itu
demikian merdu, akan tetapi terdengar dingin sekali.
"Ada, ada nona. Silakan turun."
"Rawat kudaku baik-baik," katanya sambil melompat turun dan menurunkan
pula buntalan pakaiannya.
Pelayan meneriaki seorang rekannya untuk membawa kuda itu ke istal di
belakang, dan dia sendiri lalu mengantarkan Ciok Hwa menuju sebuah kamar
yang berada di pinggir, menghadap lautan. Ciok Hwa merasa cocok dengan
kamar ini dan ia memesan agar diantar sebaskom air hangat untuk mencuci
badan. Setelah mencuci badan dan berganti baju bersih, dengan masih memakai
cadar hitam iapun keluar dari kamarnya, lalu memasuki rumah makan yang
berada di depan rumah penginapan itu karena rumah makan ini masih
merupakan bagian dari rumah penginapan.
Sejak jaman dahulu, lebih dulu orang membuka rumah makan. Kemudian
karena banyak tamu yang membutuhkan kamar untuk melewatkan malam,
maka rumah-rumah makan yang besar membuka rumah penginapan dengan
kamar-kamar terpisah untuk para tamu yang membutuhkannya.
145 Pagi itu rumah penginapan telah ramai dengan pengunjung. Hampir semua
mata laki-laki memandang ketika Ciok Hwa memasuki rumah makan.
Siapa yang tidak tertarik melihat seorang wanita dengan bentuk tubuh
ramping menggairahkan itu dengan kulit tangan dan leher nampak putih
kemerahan dan rambut yang hitam lebat! Semua orang menahan napas dan
diam-diam mengeluh sayang bahwa si pemilik tubuh yang hebat itu
menyembunyikan mukanya di balik cadar hitam sehingga mereka tidak dapat
menikmati kecantikan wajah wanita itu.
Namun, melihat pedang di punggung wanita itu, tidak ada yang berani
mengeluarkan suara menggoda. Dan suasana dalam rumah makan itu
mendadak menjadi lebih meriah, suara para lelaki yang bicara mendadak
menjadi lebih lantang dan suara tawa mereka lebih keras.
Memang selalu demikianlah. Di antara banyak lelaki, kalau ada seorang
perempuan cantik datang hadir, tiba-tiba saja mereka menjadi lebih gembira,
bicara dan tertawa keras seolah setiap orang ingin didengar oleh perempuan
itu! Ciok Hwa tidak memperdulikan pandang mata semua lelaki itu. Ia sudah
seringkali melihatnya. Betapa menyakitkan hati, kalau ia ingat ketika ia masih
belum memakai cadar, mata laki-laki yang tadinya memandangnya penuh
kagum, tiba-tiba terbelalak ngeri ketika melihat wajahnya.
Seorang pelayan rumah makan segera menyambutnya dengan hormat dan
membawanya ke sebuah meja yang masih kosong, yang berada di tengah
ruangan itu sehingga Ciok Hwa menjadi tontonan dari segenap penjuru. Ia
tidak perduli karena meja di pinggir telah penuh semua dan minta disediakan
sarapan pagi berupa bak-pauw dan air teh.
146 Tak jauh dari meja di mana Ciok Hwa duduk, terdapat sebuah meja lain yang
dikelilingi empat orang berpakaian serdadu. Mereka itu sepagi ini sudah agak
mabuk karena terlalu banyak minum arak. Empat orang serdadu ini juga
tertarik ketika melihat Ciok Hwa masuk dan kini mereka membicarakan Ciok
Hwa sambil menuding-nuding tanpa sungkan lagi.
Kalau orang-orang gentar melihat pedang di punggung Ciok Hwa, agaknya
tidak demikian dengan empat orang serdadu itu. Di antara mereka, seorang
perwira, lalu berkata kepada tiga anak buahnya dengan suara lantang.
"Aih, sayang sekali seorang bidadari yang cantik menyembunyikan mukanya
di balik cadar hitam! Aduh betapa ramping pinggang itu!"
"Lihat, ciangkun, betapa halus dan putih mulus kulit leher itu! Dan tangan itu,
mungil sekali!" "Aku berani bertaruh potong tangan bahwa ia tentu cantik jelita seperti dewi
dari kahyangan! Empat orang itu dengan terang-terangan membicarakan Ciok Hwa dan
memuji-muji segalanya yang nampak.
"Akan tetapi hati-hati, ciangkun, ia membawa-bawa pedang," kata seorang
anak buah. "Ha-ha-ha," perwira itu terkekeh, "Itu menandakan bahwa ia cerdik. Pedang
itu untuk menakut-nakuti orang yang ingin menggodanya! Seperti bunga
mawar, tentu ada durinya, bukan?"
147 "Ciangkun kita berempat akan mati penasaran kalau tidak dapat melihat
wajahnya." "Benar, aku akan selalu digoda mimpi kalau tidak dapat melihat wajahnya,"
kata perwira itu. Dia seorang perwira berusia tiga puluhan tahun, berwajah
tampan gagah dan lagaknya angkuh dan sombong sekali.
"Ciangkun, kami bertiga tidak berani, akan tetapi beranikah ciangkun
memintanya untuk bersikap baik dan mengasihani kita untuk dapat
mengagumi wajahnya?"
"Kenapa tidak" Wanita cantik tentu berhati lembut seperti Kwan Im Pouwsat.
Kalau kita meminta tentu ia akan mengabulkannya. Aduh, aku, sudah dapat
membayangkan betapa senyumnya akan membuat kita terkagum-kagum."
"Dan mulutnya pasti menggairahkan sekali, dengan bibir merah delima,
hidungnya kecil mancung, matanya seperti mata burung Hong dan ahhh, tidak
dapat aku membayangkan kecantikannya," kata seorang serdadu lain.
Perwira yang sudah mulai mabok itu termakan bujukan anak buahnya dan
diapun bangkit berdiri, lalu dengan terhuyung menghampiri meja Ciok Hwa
yang sedang makan bak-pauw nya dengan kadang menggigitnya sepotong
dari balik cadarnya. Perwira itu berhadapan dengan Ciok Hwa, memegangi
meja agar jangan jatuh, lalu berkata,
"Nona, aku harap nona suka memenuhi permintaan kami untuk membuka
cadar nona, agar kami dapat menikmati dan mengagumi kecantikanmu?""
Ciok Hwa merasa betapa mukanya panas sekali. Akan tetapi karena sikap
orang ini cukup sopan, ia lalu menjawab. "Perwira, pergilah dan jangan
148 mengusikku lagi. Aku tidak akan membuka cadarku untuk siapapun juga.
Pergilah!" "Aih, nona, mengapa begitu galak?" Perwira itu terhuyung kembali ke
kursinya. Seorang serdadu bangkit berdiri dan menghampiri Ciok Hwa.
"Hei, nona manis. Engkau berani menolak permintaan atasanku" Buka
cadarmu seperti yang dia minta!" serdadu yang bertubuh tinggi besar itu
menggertak dan menggebrak meja Ciok Hwa.
Semua tamu yang berada di situ memandang khawatir, mengkhawatirkan
Ciok Hwa. Mengapa gadis itu tidak mau membuka saja cadarnya agar tidak
menimbulkan perkara. Akan tetapi tentu saja Ciok Hwa tidak mau membuka cadarnya. Bahkan
sekarang, berhadapan dengan serdadu yang bersikap kasar dan hendak
memaksanya, menjawab, "Aku tidak mau membuka cadarku! Pergilah, jangan mengganggu aku lagi.
Engkau hanya menghilangkan selera makanku saja!"
Serdadu tinggi besar itu tidak seperti sang perwira. Dia adalah seorang yang
sama sekali tidak terpelajar dan biasanya hanya menggunakan kedudukan
untuk memaksakan kehendaknya kepada siapapun juga.
"Buka cadarmu kataku!"
149 "Aku tiduk sudi!" jawab Ciok Hwa dengan suara lantang, menandakan bahwa
iapun telah menjadi marah.
"Kalau engkau tidak mau membukanya, aku yang akan membukanya dengan
paksa!" kata pula serdadu itu mengancam.
Ciok Hwa bangkit berdiri, di balik cadarnya, matanya mencorong dan cuping
hidungnya kembang kempis saking marahnya.
"Sudah lama aku mendengar bahwa kalian para serdadu hanyalah perampokperampok yang berpakaian seragam. Kini aku melihat kenyataannya bahwa
kalian mengandalkan kedudukan untuk memaksakan kehendak. Kuulangi,
aku tidak sudi membuka cadarku dan siapapun juga yang berani memaksa
dan membuka cadarku, akan kehilangan tangannya!"
Serdadu yang biasanya memang bertindak sewenang-wenang itu terkekeh,
"He-he-heh, berani engkau menentang kami. Akan kurenggut terbuka
cadarmu, hendak kulihat engkau dapat berbuat apa?"
Setelah berkata demikian, orang itu meraih dengan tangan kirinya,
menyambar ke arah muka Ciok Hwa untuk membuka cadarnya.
Ciok Hwa bangkit berdiri dan melompat ke belakang sehingga sambaran
tangan itu luput. Akan tetapi serdadu itu menjadi penasaran, melompati meja
dan menyerang terus, kini kedua tangannya bergerak, yang kiri mencengkeram ke arah cadar dan yang kanan mencengkeram ke arah dada!
Menghadapi serangan yang kurang ajar ini, Ciok Hwa menggerakkan tangan
kanannya. Nampak sinar berkelebat dan terdengar suara "crakk!" disusul
150 orang itu terhuyung ke belakang memegangi tangan kiri dengan tangan
kanannya. Dan ternyata tangan kiri itu telah buntung sebatas pergelangan. Tangan yang
buntung itu terlempar ke atas meja, masih membentuk tangan yang
mencengkeram seperti cakar setan!
Tidak nampak ketika Ciok Hwa mencabut pedang dan membuntungi tangan
terus memasukkan pedangnya kembali. Tadi yang nampak hanya sinar
pedang berkelebat saja. Serdadu yang kehilangan tangan kirinya itu berteriak-teriak kesakitan dan


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiga orang temannya lalu bangkit berdiri. Perwira itu marah melihat anak
buahnya dibuntungi tangannya, maka bersama dua orang anak buahnya, dia
lalu menyerang ke arah Ciok Hwa.
Dikeroyok tiga, Ciok Hwa sama sekali tidak gentar, ia tidak menggunakan
pedangnya lagi melainkan menggunakan kedua tangannya, memainkan jurus
Toat-beng-sin-ciang (Tangan Sakti Pencabut Nyawa). Ke dua tangan
menyambar-nyambar dengan cepat dan tiga orang pengeroyok itu berpelantingan dan terkapar pingsan menabrak meja kursi.
Para tamu menjadi panik dan mereka segera membayar harga makanan dan
meninggalkan rumah makan itu. Perkelahian dengan serdadu pemerintah
hanya akan menimbulkan kesukaran bagi mereka.
Pemilik rumah makan itu melihat betapa empat orang serdadu dibuat tidak
berdaya dan pingsan, segera menghampiri Ciok Hwa dan berkata dengan
suara lirih. 151 "Lihiap (Pendekar wanita) harap cepat pergi jauh-jauh dari sini. Lihiap telah
menghajar serdadu pemerintah, tentu pasukannya akan segera datang
menangkap lihiap. Lihiap tidak mungkin dapat melawan ratusan dari mereka."
Ciok Hwa menyadari keadaannya dan membenarkan pemilik rumah makan
itu. Dia mengeluarkan sekeping emas.
"Ini untuk mengganti kerusakan!" katanya dan iapun bergegas memasuki
kamar hotel itu, mengambil buntalan pakaiannya dan mengeluarkan kudanya
dari istal. Biarpun ia belum bermalam di rumah penginapan itu, ia
membayarnya dan segera menunggang kuda membalap keluar dari kota
Ceng-tao. Benar saja, tak lama kemudian sepasukan serdadu yang puluhan orang
banyaknya melakukan pengejaran keluar kota. Ciok Hwa membalapkan
kudanya menuju ke sebelah utara kota itu, terus dikejar oleh pasukan. Ketika
tiba di sebuah hutan, ia lalu memasuki hutan dan membiarkan kudanya lari
terus dan ia sendiri melompat turun dan menyelinap di antara pohon-pohon.
Akan tetapi, ketika pasukan itu tiba di luar hutan, tiba-tiba ada sekelompok
bajak laut yang menyemhunyikan diri di situ, muncul dari balik semak belukar
dan menyerang pasukan itu. Terjadilah pertempuran hebat antara puluhan
orang serdadu melawan puluhan orang bajak laut.
Ciok Hwa keluar dari tempat sembunyinya dan melihat betapa pihak bajak
laut kewalahan, timbul suatu gagasan dalam pikirannya. Tidak mungkin ia
kembali kepada ayahnya dan inilah kesempatan baik untuk mendapatkan
pasukan bajak. Kalau ia dapat menguasai para bajak dan memimpinnya, ia
akan bertualang dan akan melupakan semua kedukaannya.
152 Berpikir demikian ia lalu mencabut pedangnya dan membantu para bajak
menerjang ke arah pasukan kerajaan! Begitu gadis itu mengamuk, di pihak
pasukan segera menjadi kocar-kacir. Siapa saja yang berhadapan dengan
gadis berkerudung itu pasti roboh terkapar!
Setelah banyak rekan menjadi korban, akhirnya sisa pasukan itu melarikan
diri dan para bajak laut bersorak penuh kegembiraan karena menang.
Seorang yang bermata satu, yang menutupi mata kirinya dengan kain hitam,
menghampiri Ciok Hwa dan sejenak matanya yang tinggal satu itu menatap
Ciok Hwa penuh kagum. "Nona, kenapa nona membantu kami melawan para pasukan kerajaan?"
tanyanya dengan suara parau.
Kini kawan-kawannva juga berdatangan mengepung karena merekapun
kagum melihat sepak terjang gadis bercadar yang membuat pasukan itu
kocar-kacir. Dan semua mata kagum menggerayangi bentuk tubuh yang
indah itu, akan tetapi setelah melihat cadar itu, semua mata menjadi gentar
dan ragu. "Aku sengaja membantu kalian karena aku ingin menjadi pemimpin kalian!"
jawabnya dengan singkat. Mendengar ini, si mata satu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, engkau seorang
wanita hendak memimpin kami para bajak laut yang gagah berani! Ha-ha-ha,
kawan-kawan, dengar baik-baik, kalian hendak dipimpin oleh ia ini, ha-ha!"
Semua bajak laut lalu tertawa bergelak karena memang lucu mendengar
bahwa mereka akan dipimpin oleh seorang gadis yang bentuk tubuhnya
153 mempesonakan itu. Seorang gadis akan menjadi bajak laut" Aneh dan
menggelikan! "Mata satu, jangan tertawa dulu! Apakah aku kurang gagah berani sehingga
tidak dapat memimpin kalian" Lihat, apapun yang kau lakukan, akupun
sanggup melakukannya!"
Kembali si mata satu tersenyum menyeringai. "Mungkin engkau mempunyai
sedikit kepandaian bermain pedang. Akan tetapi lebih dari itu, engkau hanya
seorang wanita. Wanita itu mahluk lemah, bagaimana mungkin akan
memimpin kami, laki-laki yang jantan" Bagaimana kalau engkau menjadi
isteriku saja, menjadi isteri kepala bajak laut. Begitu lebih baik, bukan" Haha-ha!"
Semua bajak laut tertawa bergelak dan menyatakan setuju dengan pendapat
kepala mereka itu. Bagaimanapun juga, mereka masih memandang rendah
kepada Ciok Hwa, seorang wanita. Memang biasanya, para bajak laut itu
menganggap wanita hanya sebagai benda mainan.
Ciok Hwa membentak. "Dengar kau, mata satu! Kalau engkau tidak mau
menyerahkan kedudukan kepala bajak laut kepadaku secara baik-baik,
terpaksa aku merampasnya dari tanganmu!"
Mata yang tinggal satu itu terbelalak. "Bagus! Coba majulah melawanku.
Kalau engkau kalah, engkau harus menjadi isteriku, akan tetapi buka dulu
cadarmu agar kami melihat mukamu."
Semua bajak laut berteriak, "Buka cadarnya!"
154 Ciok Hwa memutar tubuhnya menghadapi mereka. "Siapa berani membuka
cadarku berarti dia bosan hidup!"
Semua anak buah bajak agak gentar menghadapi bentakan ini, akan tetapi si
mata satu lalu maju. "Marilah, hendak kucoba sampai di mana kelihaianmu, nona!"
Dia lalu menyerang dengan dahsyat, menggunakan kedua tangannya yang
kokoh kuat dengan otot-otot menggelembung dan melingkar-lingkar. Akan
tetapi, sampai tiga jurus dia menyerang, dia hanya menangkap dan memukul
udara kosong belaka karena dengan sigap dan cepatnya Ciok Hwa sudah
mengelak. Begitu si mata satu menyerang lagi dalam jurus ke empat, dengan pukulan
ke arah kepala Ciok Hwa dengan tangan kanan, gadis itu lalu mengelak sambil
menggerakkan tangan menotok pergelangan tangan kanan itu sehingga
seketika itu juga lengan kanan itu menjadi kejang. Dan sebelum Si mata satu
sempat menyerang lagi, Ciok Hwa menampar dengan kerasnya, mengenai
pundak si mata satu dan tanpa dapat dicegah lagi si mata satu terpelanting
dan terbanting roboh dengan keras!
Semua bajak laut terlongong. Kepala mereka yang berjenggot itu roboh hanya
dalam empat jurus! Si mata satu merangkak bangun dan matanya menjadi merah. Dia meraba
goloknya dan di lain saat dia sudah menyerang dengan goloknya sambil
berteriak nyaring seperti seekor biruang buas.
155 Namun kembali Ciok Hwa menggunakan kegesitannya. Kepala bajak itu terlalu
lamban baginya dan sambaran goloknya dapat dilihat dengan jelas, maka
mudah saja ia mengelak sampai sambaran golok yang ke lima kalinya.
Begitu mendapat kesempatan, tangannya membacok ke arah pergelangan
tangan kanan, kuat sekali sehingga golok itu terlepas dan di lain saat, kakinya
menendang dan tubuh kepala bajak laut itu terlempar dan jatuh berdebuk.
Dia nanar dan sejenak tak dapat bangkit kembali.
Ciok Hwa memandang ke sekeliling. "Hayo siapa lagi yang tidak setuju aku
menjadi kepala bajak laut?" tantangnya. Mata di balik cadar itu menyambarnyambar seperti kilat dan semua orang menjadi gentar.
Wanita itu benar-benar berbahaya sekali. Kepala merekapun dibuat tidak
berdaya dalam beberapa gebrakan, hanya dengan tangan kosong, belum
mempergunakan pedang. Mereka semua tidak berani menantang pandang
mata dari balik cadar itu dan menundukkan kepalanya.
Ciok Hwa lalu menghadapi si mata satu yang sudah merangkak bangun. "Mata
satu, bagaimana apakah engkau masih penasaran dan hendak melawanku
lagi?" Si mata satu yakin bahwa dia tidak akan menang melawan wanita yang aneh
ini. "Aku mengaku kalah," katanya merendah. "Kalau engkau mau, boleh saja
engkau memimpin kami!"
"Bagus, kalau begitu, mari kita cepat kembali ke perahu kita dan kalian
semua, tidak terkecuali, harus menaati semua perintahku. Siapa yang
melanggar akan dihukum berat!"
156 Para bajak laut itu lalu pergi ke tepi laut di mana diikat perahu-perahu kecil
mereka, kemudian mereka mendayung perahu-perahu kecil itu ke arah
tengah di mana terdapat sebuah perahu besar yang membuang sauh di situ.
Ciok Hwa ikut di salah sebuah perahu bersama si mata satu. Dan sedikitpun
ia tidak kelihatan gentar ketika perahu diombang-ambingkan ombak lautan.
Ketika semua orang menggunakan tali bergelantungan naik perahu besar,
tidak demikian dengan Ciok Hwa. Sekali mengayun tubuhnya, ia telah
melompat dari perahu kecil ke atas perahu besar! Perbuatan ini disambut
tepuk sorak para bajak laut, yang merasa kagum.
Akan tetapi pada saat itu, tanpa diketahui oleh Ciok Hwa, si mata satu yang
berada di belakangnya, mendorongnya keluar dari perahu. Ciok Hwa meraih
lengan si mata satu sehingga keduanya terlempar keluar dari perahu besar,
dan tercebur ke dalam lautan! Semua bajak laut menjenguk keluar.
Kini mereka merasa yakin bahwa kepala mereka, si mata satu, tentu akan
dapat menundukkan wanita bercadar itu karena si mata satu terkenal sebagai
ahli dalam air, pandai berenang dan menyelam seperti seekor ikan saja. Kedua
orang itu telah tenggelam di dalam lautan dan para anak buah bajak yang
memandang dan menanti telah menduga bahwa tak lama lagi si mata satu
akan menyeret wanita itu dalam keadaan telah pingsan!
Air laut bergerak dan muncullah sebuah kepala ke permukaan air. Para anak
buah bajak laut memandang dan mereka terbelalak, karena bukan kepala si
mata satu yang muncul, melainkan kepala wanita bercadar itu!
Dan wanita itu yang menyeret si mata satu dengan menjambak rambutnya
dan membawanya berenang ke atas sebuah di antara perahu kecil. Ia menarik
157 si mata satu ke atas perahu kecil dan dengan kedua tangannya, ia
melontarkan tubuh yang pingsan itu ke atas perahu besar dan jatuh berdebuk
di atas dek perahu besar.
Lalu diikuti melayangnya tubuh Ciok Hwa ke atas perahu besar. Tubuhnya
basah kuyup, pakaian yang basah itu mencetak tubuhnya sehingga nampak
jelas bentuk tubuh yang indah menggairahkan dengan lekuk lengkung yang
sempurna. Cadarnya masih menutupi muka dan air menetes-netes dari
dagunya. "Hayo, siapa lagi yang berani mencoba-coba denganku" Di darat atau di air
pun boleh!" bentak Ciok Hwa dan kini para anak buah bajak laut tidak ada
yang berani bergerak. Mereka semua sudah takluk dan ketakutan menghadapi
wanita aneh itu. Ketika si mata satu siuman, Ciok Hwa mendekati. Ketika dia hendak bangun.
Ciok Hwa menginjak dadanya dan berkata.
"Ini yang penghabisan, mengerti! Sekali lagi engkau melakukan perlawanan
kepadaku, matamu yang tinggal sebelah akan kubikin buta. Mengerti?"
Si mata satu mengangguk. "Sekarang aku menyatakan takluk kepadamu,
nona. Mulai saat ini, engkaulah pemimpin kami!"
Si mata satu sama sekali tidak mengerti bahwa gadis itu adalah puteri Tunghai Mo-ong (Raja Iblis Laut Timur), seorang datuk yang bukan saja lihai
ilmunya di darat, akan tetapi juga lihai dengan ilmunya di air. Sejak kecil Ciok
Hwa telah mempelajari ilmu dalam air itu sehingga ia dapat bergerak seperti
seekor ikan hiu saja di dalam air. Maka, tadipun dengan mudah ia dapat
menalukkan si mata satu dalam pergumulan di dalam air.
158 Demikianlah, mulai hari itu, Ciok Hwa menjadi seorang pemimpin bajak laut
yang limapuluh orang lebih banyaknya. Mereka semua takut dan taat
kepadanya karena Ciok Hwa memimpin dengan tangan besi. Yang melanggar
larangan dihukum berat. Dan semenjak dipimpin Ciok Hwa, terjadi perubahan besar pada kelompok
bajak laut ini. Mereka memang diperbolehkan membajak, akan tetapi kalau
yang dibajak tidak melakukan perlawanan, mereka dilarang keras membunuhi
orang yang tidak melawan.
Apa lagi memperkosa wanita merupakan larangan yang amat keras dengan
ancaman hukuman mati bagi pelakunya. Hasil bajakan dibagi rata, bukan
seperti ketika si mata satu menjadi kepala, dialah yang mendapat bagian
terbesar. Ciok Hwa bahkan jarang minta bagian, semua dibagi rata kepada
anak buahnya! Larangan-larangan itu memang pada mulanya tidak ditaati oleh para bajak.
Akan tetapi ketika Ciok Hwa benar-benar melakukan hukuman berat kepada
pelanggarnya, mereka menjadi jerih. Yang masih penasaran hanyalah si mata
satu. Pada suatu hari, mereka membajak perahu besar seorang saudagar yang
melakukan perjalanan bersama keluarganya. Mereka dihadang dan dibajak
habis-habisan. Si mata satu melihat puteri saudagar itu yang amat cantik, tidak dapat
menguasai dirinya dan dengan buas dia hendak memperkosa gadis itu. Ciok
Hwa mendengar akan hal ini, maka ia segera datang dan sebuah tamparan di
tengkuk si mata satu membuat si mata satu melepaskan korbannya.
159 Si mata satu bangkit dengan marah dan memberi isyarat dengan teriakannya.
Lima orang bajak laut yang tinggi besar mengepung Ciok Hwa. Agaknya si
mata satu sudah bersekongkol dengan lima orang rekannya untuk memberontak terhadap pimpinan wanita itu.
Kini mereka mengepung Ciok Hwa dengan golok di tangan. Pada hal, Ciok
Hwa ketika itu tidak membawa senjatanya. Namun, wanita ini dengan tenang
berdiri di tengah kepungan mereka.
"Keparat, kalian ini sudah bosan hidup. Kalian akan mampus semua kecuali si
mata satu. Aku sudah berjanji akan membutakan matanya yang sebelah lagi
agar dia hidup tersiksa, akan tetapi yang lain akan mampus. Hayo buang
senjata kalau masih ingin hidup!"
"Serang......!!" Si mata satu menggerakkan goloknya dan karena mereka
maju berenam, hati mereka besar dan mereka segera menyerang Ciok Hwa.
Mereka tidak tahu bahwa Ciok Hwa sudah siap dengan jarum-jarum
beracunnya. Ia mengelak ke sana ke mari dan ketika ke dua tangannya
bergerak mengirim pukulan, dari jari-jari tangannya menyambar jarum-jarum
halus. Pertama-tama si mata satu yang roboh dan menjerit-jerit menggaruk
matanya yang tinggal satu karena mata itu kini ditembusi sebatang jarum.
Saking sakitnya, dia menggunakan jarinya mencokel matanya sendiri
sehingga biji matanya keluar dan kini butalah kedua matanya. Lima orang
yang lain juga berteriak dan roboh, tubuh mereka ditendangi oleh Ciok Hwa
sehingga tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu terlempar ke dalam lautan.
160 "Bawa dia ke darat! lepaskan dia di sana!" perintah Ciok Hwa kepada anak
buahnya dan si mata satu yang masih meraung-raung itu lalu dibawa dengan
perahu kecil ke darat dan ditinggalkan di sana.
Semenjak peristiwa itu, semua anak buah tidak ada lagi yang mencoba-coba
untuk membantah perintah Ciok Hwa. Gadis bercadar ini lebih ditakuti dari


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada pimpinan yang dahulu, bahkan ditakuti seperti takut setan. Perahu
saudagar itu dilepaskan dan tidak diganggu setelah barang-barang berharganya dirampas. Demikianlah, Ciok Hwa menjadi kepala bajak laut yang ditakuti. Anak buahnya
yang merasa kagum dan bangga mempunyai pimpinan seperti ia, memberi
julukan Huang-hai Sian-li (Dewi Laut Kuning) kepadanya dan sejak memberi
julukan itu, mereka tidak lagi menyebut Nona, melainkan Sianli (Dewi)!
Ciok Hwa menerima saja julukan itu dan bahkan merasa bangga. Ayahnya
adalah Tung-hai Mo-ong (Raja Iblis Laut Timur) dan ia adalah Huang-hai Sianli (Dewi Laut Kuning). Sudah tepat sekali!
Akan tetapi, setiap kali terang bulan dan ia duduk melamun seorang diri di
geladak perahunya, ia memandangi bulan dan kadang menangis seorang diri.
Teringatlah ia kepada Cin Po dan berulang kali ia menghela napas panjang.
Ia telah jatuh cinta kepada Cin Po! Kalau bukan karena pemuda itu, tidak
mungkin ia menjadi seperti sekarang ini, menjadi bajak laut! Ia merasa rindu
sekali kepada Cin Po, akan tetapi juga bersedih kalau mengingat bahwa tidak
mungkin Cin Po membalas cintanya karena wajahnya yang amat buruk.
"Y" 161 Kita tinggalkan dulu Ciok Hwa yang menjadi kepala bajak laut di Lautan
Kuning dan mari kita ikuti perjalanan Cin Po yang berhasil lolos dari tangan
Tung-hai Mo-ong yang hendak memaksanya menjadi mantu, atas pertolongan
Ciok Hwa. Di dalam hatinya Cin Po berterima kasih sekali kepada Ciok Hwa yang biarpun
berwajah buruk namun berhati mulia itu. Dia meninggalkan daerah kekuasaan
kerajaan Wu-yeh dan langsung menuju ke utara untuk kembali ke wilayah
kerajaan Song. Ketika dia meninggalkan ibunya bersama Pat-jiu Pak-sian, dia berusia sebelas
tahun. Dia menjadi murid Pak-sian selama lima tahun, kemudan menjadi
murid Nam-san Sianjin selama tiga tahun. Usianya sekarang sudah
sembilanbelas tahun! Sebagai seorang pemuda yang berpakaian sederhana serba putih, Cin Po
melakukan perjalanan dengan cepat menuju ke Thian-san. Ibunya tinggal di
kaki Pegunungan Thian-san, di kuil Ban-hok-si yang terletak di dusun Bi-ciu.
Ke sanalah dia menuju. Ketika pegunungan Thian-san sudah nampak menjulang tinggi di depan, dia
teringat akan semua pengalamannya di Thian-san-pang dan dia mengepal
tinju, teringat akan perbuatan Ban Koan yang jahat.
Ban Koan telah berkhianat, telah bersekongkol dengan orang-orang Tok-coapang, membunuh kakek gurunya, Tiong Gi Cinjin dan membunuhi para murid
Thian-san-pang, setelah itu mengangkat diri sendiri menjadi ketua Thian-sanpang. Orang sejahat itu sesungguhnya tidak boleh dibiarkan hidup lebih lama
lagi. Akan tetapi ketika itu dia masih kanak-kanak dan hanya mampu memberi
hajaran karena bantuan gurunya, Pat-jiu Pak-sian.
162 Sekarang kalau mengingat akan semua itu, hatinya sudah mendorongnya
untuk pergi ke Thian-san-pang melihat keadaan. Kalau Thian-san-pang
dibawa menyeleweng oleh Ban Koan, dia harus membunuh orang itu dan
membersihkan Thian-san-pang demi nama besar dan nama baik kakek
gurunya dan juga ibunya. Bagaimana kalau Ban Koan sudah berubah dan memimpin Thian-san-pang
dengan baik" Dia menjadi bimbang ragu. Sebaiknya harus menanyakan
pendapat ibunya tentang hal itu, maka dia tidak jadi mendaki pegunungan,
melainkan menyimpang dan menuju ke dusun Bi-ciu.
Tiba-tiba dia melihat ribut-ribut di depan. Dia baru tiba di kaki pegunungan
yang sunyi, di dekat sebuah hutan.
Ketika dia berlari cepat ke arah tempat itu, dia melihat tujuh orang sedang
mengepung dan mengeroyok seorang gadis yang berpakaian merah. Gadis itu
mempergunakan pedangnya, namun para pengeroyoknya yang menggunakan
golok juga memiliki kepandaian lumayan sehingga gadis itu mulai terdesak.
Agaknya tujuh orang itu tidak ingin melukai si gadis baju merah, hanya
hendak menangkapnya saja.
Bujukan-bujukan kotor terdengar dari mulut mereka. Jelas bahwa mereka
mempunyai maksud yang jahat terhadap gadis itu.
"Nona manis, buang saja pedangmu dan mari ikut kami bersenang-senang!"
kata seorang di antara mereka.
"Benar, nona, sayang kalau kulitmu yang halus itu tergores golok kami!"
"Menyerahlah saja, manis."
163 Gadis itu menggerakkan pedangnya lebih cepat lagi dan berhasil menusukkan
pedangnya ke arah dada seorang pengeroyok.
"Tak?"!" Pedang itu meleset, seperti menusuk benda keras.
Melihat gadis itu memainkan ilmu pedang Thian-san Kiam-hoat mengertilah
Cin Po bahwa gadis itu tentulah murid Thian-san-pang, dan setelah tadi
tusukan itu tidak melukai para pengeroyok, diapun menduga bahwa tentu
pengeroyok itu orang-orang Tok-coa-pang, karena para anggauta Tok-coapang memang memiliki baju kebal di balik baju biasanya.
Mengingat bahwa gadis itu berada dalam bahaya, Cin Po segera melompat
keluar dari tempat pengintaiannya dan dia berseru dengan nyaring.
"Orang-orang Tok-coa-pang jahat! Kalian pantas diberi hajaran!"
Diapun bergerak cepat membagi-bagi pukulan. Karena maklum bahwa tubuh
bagian atas mereka kebal, maka pukulan dan tamparannya dia tujukan
kepada muka para pengeroyok itu.
Gerakan Cin Po sedemikian cepatnya sehingga setiap tamparan mengenai
sasaran membuat yang ditampar terpelanting dan mengaduh-aduh tidak
dapat bertanding lagi. Ada yang giginya rontok semua, ada yang pipinya
menjadi bengkak besar sampai sebelah matanya terpejam, ada yang
kepalanya benjol. Dalam waktu beberapa gebrakan saja, tujuh orang itu telah kebagian
tamparan semua dan mereka yang menyadari berhadapan dengan lawan yang
amat lihai, lalu melarikan diri tanpa menanti aba-aba lagi!
164 Cin Po berdiri memandang mereka tanpa melakukan pengejaran, tidak tahu
bahwa gadis berpakaian merah tadi memandangnya dengan mata terbelalak.
Akhirnya pandang mata itu menariknya dan dia menoleh.
Dua pasang mata bertemu dan bertaut sampai beberapa lamanya, penuh
selidik dan keraguan. Kemudian, mulut gadis cantik itu bergerak dan berseru
lirih, "Ko?" koko?"!"
Seruan itu lirih dan masih penuh keraguan. Namun cukuplah bagi Cin Po yang
segera maju dan berseru girang sekali.
"Hui Ing?".!!"
"Koko Cin Po"..! Benar engkau ini?""!"
Gadis itu maju dan kedua orang muda itu sudah saling berpegang tangan
dengan penuh kegembiraan. Dari kedua mata gadis itu keluar dua titik air
mata. Agaknya ia menyadari bahwa mereka bukan kanak-kanak lagi, maka
dengan canggung dan malu-malu ia melepaskan pegangan tangannya."
"Koko Cin Po?", engkau baru datang"....?"
"Hui Ing, nih, adikku! Engkau sudah menjadi seorang gadis dewasa yang
cantik jelita sekarang!" Cin Po memandang kagum.
Kalan tadi Hui Ing tidak memanggilnya terlebih dahulu, tentu dia tidak dapat
mengenalnya. Mereka saling mengamati, dan Hui Ing melihat betapa
kakaknya ini telah menjadi seorang pemuda yang tinggi besar dan gagah.
165 "Engkau juga, koko. Kalau tadi tidak melihat matamu yang sama sekali tidak
berubah, masih seperti dulu, tentu aku tidak akan mengenalmu. Tadi aku
ragu-ragu. Wah, engkau telah menjadi seorang yang sakti, koko. Aku girang
dan bangga sekali!" Gadis itu memandang penuh kagum.
"Hui Ing-moi, kenapa engkau dikeroyok orang-orang tadi" Bukankah mereka
itu orang-orang Tok-coa-pang?"
"Benar, koko. Mareka itu orang-orang Tok-coa-pang, mereka selalu mengganas di daerah ini dan sudah berulang kali aku bentrok dengan mereka.
Akan tetapi mereka itu lihai-lihai sehingga ibu sering melarangku untuk
bentrok dengan mereka."
"Bagaimana dengan ibu?"
"Ia baik-baik saja, dan seringkali membicarakan engkau, koko. Ibu tentu
girang sekali melihat engkau pulang telah menjadi seorang yang sakti. Melihat
engkau merobohkan tujuh orang Tok-coa-pang tadi, sungguh mengagumkan
sekali!" "Kalau Tok-coa-pang mengganas di sini, mengapa Thian-san-pang mendiamkannya saja?"
"Aih, engkau tidak tahu, koko. Thian-san-pang yang dipimpin oleh pengkhianat Ban Koan bersahabat dengan Tok-coa-pang, bahkan melakukan
kejahatan memeras penduduk bersama-sama."
Cin Po mengepal tinjunya dan memandang ke arah lereng Thian-san, "Si
keparat Ban Koan. Aku akan naik ke Thian-san-pang untuk menghajarnya!"
166 "Nanti dulu, koko. Sebaiknya kalau koko pulang dulu menemui ibu. Ibu sudah
rindu sekali kepadamu! Marilah, koko, kita pulang dulu dan membicarakan
tentang Thian-san-pang dengan ibu."
Kini Hui Ing tidak ragu-ragu lagi, memegang dan menggandeng tangan Cin
Po diajaknya menuju ke dusun Bi-ciu. Cin Po menurut saja. Masih banyak
waktu untuk naik ke Thian-san dan mengunjungi Thian-san-pang.
Dalam perjalanan ini Hui Ing bercerita banyak tentang ibunya. Betapa ibunya
kini lebih banyak berdoa dan bersamadhi memperdalam keagamaan walaupun
tidak menjadi seorang nikouw. Dan ia mendesak dengan hujan pertanyaan
tentang pengalaman Cin Po semenjak mereka saling berpisah.
"Nanti saja kuceritakan di depan ibu," kata Cin Po.
"Aku ingin mendengar dulu, apakah engkau selama ini belajar silat kepada
kakek botak yang berjuluk Pat-jiu Pak-sian itu?"
"Benar, aku belajar ilmu darinya selama lima tahun."
"Dan selanjutnya, engkau belajar dari mana lagi, Koko" Ilmu silatmu demikian
hebat, dengan tangan kosong mampu merobohkan tujuh orang Tok-coa-pang
tadi dengan demikian mudahnya."
"Aku masih mempelajari ilmu selama tiga tahun kepada Nam-san Sianjin."
"Wah, Nam-san Sianjin" Aku mendengar dari nenek bahwa Nam-san Sianjin
adalah datuk selatan, sama seperti Pat-jiu Pak-sian yang datuk utara itu! Jadi
engkau murid dari dua orang datuk sakti?"
167 Gadis itu memandang dengan kagum dan Cin Po yang menoleh kepadanya
harus mengakui kecantikan adiknya itu. Sepasang mata itu seperti mata
burung Hong, demikian jernih dan tajam. Dan mulut itu sungguh manis,
terhias lesung pipit di sebelah kiri.
"Dan engkau, adikku" Bagaimana dengan latihanmu" Kulihat engkau
memainkan Thian-san-kiam-sut dengan cukup baik tadi."
"Aih, memalukan! Aku sama sekali tidak berdaya menghadapi tujuh orang
Tok-coa-pang tadi. Kalau engkau tidak segera datang, aku tentu sudah celaka
di tangan mereka." "Engkau mampu menandingi tujuh orang dari mereka yang mengeroyokmu,
itu sudah cukup baik, Ing-moi."
"Tidak, aku minta engkau mengajariku ilmu-ilmu yang lebih tinggi, koko."
Cin Po tersenyum melihat gadis itu masih manja seperti dulu. Mereka lalu
berjalan cepat dan agaknya Hui Ing hendak memamerkan ilmu berlari
cepatnya kepada kakaknya.
Ia lalu mengerahkan tenaga dan berlari seperti terbang menuju ke dusun Biciu. Ia tidak melihat kakaknya berlari cepat, akan tetapi sungguh aneh setiap
kali ia menengok, kakaknya itu tetap berada di sebelahnya, tak pernah
tertinggal selangkahpun! Hal ini tidak mengherankan karena Cin Po telah menggunakan ilmu
meringankan tubuh Coan-beng-hui (Terbang Menembus Angin) sehingga
kalau dia menghendaki, tentu Hui Ing yang tertinggal jauh. Akan tetapi Cin
168 Po tidak mau melakukan ini dan hanya mengimbangi kecepatan lari gadis itu
dan selalu berada di sampingnya.
Ketika akhirnya mereka tiba di dusun Bi-ciu, Hui Ing sudah bermandikan
keringatnya sendiri sedang Cin Po tidak apa apa. Dengan agak terengah Hui
Ing tersenyum memandang kakaknya, dan kekagumannya bertambah besar.
Tahulah ia bahwa kakaknya tadi mengalah dan sengaja tidak mau
mendahului, buktinya untuk membarenginya tadi, kakaknya sama sekali tidak
mengerahkan tenaga, berkeringatpun tidak, pada hal ia sampai terengahengah kewalahan.
"Larimu seperti terbang saja, Ing-moi."
"Wah, dibandingkan denganmu, bukan apa-apa, koko. Engkau seperti tidak
berlari saja, berkeringatpun tidak!" kata Hui Ing sambil mengusap keringatnya
dengan satu tangan. Wajahnya berubah menjadi segar kemerahan karena
berlari itu sehingga nampak lebih cantik jelita seperti sekuntum bunga
tersiram embun pagi. Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di depan kuil Ban-hok-si. Hui Ing
langsung saja masuk sambil berteriak-teriak memanggil ibunya dan neneknya, tidak memperdulikan para nikouw yang berada di situ.
Cin Po tidak berani sembarangan memasuki kuil untuk para pendeta wanita
itu dan menanti di luar. Ketika dia melihat ibunya dan nenek gurunya keluar
bergegas, dia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan mereka.
"Cin Po?"..!" Seru Sung Bi Li dan hatinya tergetar melihat pemuda tinggi
besar yang tampan itu berlutut di depan kakinya.
169 Teringat ia betapa ia telah mengandung anak selama sembilan bulan dan
menyusuinya selama setahun lebih. Matanya bersinar lembut dan ada air
mata bergantung di pelupuknya.
"Ibu?"! Ibu baik-baik saja, bukan?" kata Cin Po sambil memberi hormat.
"Berdirilah, Cin Po, biarkan aku melihatmu!" kata ibu ini dengan suara
bergembira sekali. Cin Po bangkit berdiri di depan ibunya dan Sung Bi Li harus berdongak untuk
memandang wajah puteranya yang sekepala lebih tinggi darinya itu.
"Kau?" kau sudah dewasa?"" katanya, akan tetapi tiba-tiba saja sinar mata
yang lembut tadi kini berubah mengeras.
Ia teringat betapa pemuda yang berdiri di depannya ini adalah hasil perkosaan
orang terhadap dirinya! Seketika kebencian yang dulu sering mengusik
hatinya itu muncul kembali ke permukaan.
"Cin Po, sudahkah kaulaksanakan tugasmu seperti kupesankan dulu?"
Cin Po terkejut, tak menyangka akan ditanyakan hal itu. Dia menggeleng


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepalanya. "Belum, ibu. Aku baru saja berhenti belajar dan akan pulang lebih
dulu menemui ibu. Setelah itu, apapun yang ibu perintahkan akan
kulaksanakan." "Marilah masuk dulu, Cin Po. Kita bicara di dalam!" kata Lauw In Nikouw yang
sudah mengetahui semuanya dari cerita Bi Li, dan maklum dalam hatinya
bahwa kalau teringat masa lalu, Bi Li agaknya merasa benci kepada anaknya
sendiri itu. 170 Mereka semua lalu masuk dan Hui Ing berkata dengan girangnya kepada
ibunya, "Wah, ibu. Koko sekarang telah menjadi seorang yang sakti. Tadi,
dialah yang menolongku ketika aku dikeroyok oleh tujuh orang Tok-coapang?""
"Hui Ing! Bukankah sudah kularang kepadamu untuk berkelahi dengan
mereka!" cela Bi Li.
"Sudahlah," kata Lauw In Nikouw. "Biarkan sekarang Cin Po menceritakan
semua pengalamannya selama delapan tahun lebih meninggalkan kita."
Bi Li mengangguk. "Nah, ceritakanlah pengalamanmu, Cin Po. Engkau berguru
kepada Pat-jiu Pak-sian, bukan?"
Cin Po lalu menceritakan semua pengalamannya ketika dia menjadi murid Patjiu Pak-sian selama lima tahun. "Akan tetapi Suhu Pak-sian menyuruh aku
menjadi perwira Khi-tan. Ketika aku melihat regu serdadu yang kupimpin itu
merampok dan memperkosa, aku menjadi marah dan membunuhi mereka.
Maka aku lalu takut untuk kembali karena tentu akan dihukum sebagai
pemberontak, dan aku melarikan diri."
"Hemm, baik engkau melarikan diri, aku tidak akan senang mendengar
engkau menjadi seorang perwira Khi-tan," kata ibunya dengan alis berkerut.
Cin Po melanjutkan kisahnya, betapa dia bertemu dengan See-thian Tok-ong
dan muridnya yang bernama Kam Song Kui. Guru dan murid ini menangkapi
anak-anak kecil untuk dipakai latihan ilmu sesat. Dia mencegah mereka dan
malah tertawan oleh See-thian Tok-ong
171 "Aku akan dibunuhnya dan diambil sum-sum tulang dan darahku. Aku nyaris
tewas di tangan See-thian Tok-ong, akan tetapi pada saat itu muncul Namsan Sianjin yang menyelamatkan aku."
"Omitohud! Orang yang baik tentu akan berada dalam lindungan Thian. Namsan Sianjin adalah datuk dunia selatan," kata nenek ini.
Biarpun ia sendiri bukan seorang tokoh persilatan, namun Lauw In Nikouw
banyak mengetahui tentang dunia persilatan dan para tokoh besarnya.
"Nam-san Sianjin berhasil menggertak See-thian Tok-ong sehingga dia mau
melepaskan aku. Aku ikut dengan Nam-san Sianjin dan diambil murid olehnya
selama tiga tahun." Diam-diam Bi Li merasa girang sekali. Anaknya telah menjadi murid dua orang
datuk besar, tentu akan tercapai cita-citanya membalas dendam kepada
musuh besarnya. "Pada suatu hari aku didesak oleh seorang murid suhu yang mengajak aku
berlatih. Mula-mula dia yang lebih lama menjadi murid Suhu menghajarku
jatuh bangun karena ilmuku masih kalah matang. Akan tetapi aku
menggunakan ilmu dari suhu Pak-sian dan aku berhasil membuat dia jatuh
bangun. Aku diingatkan suci bahwa suhu tentu akan menghukumku kalau
mendengar betapa aku mengalahkan suhengku itu dengan ilmu lain, maka
aku menjadi ketakutan dan melarikan diri lagi."
Dia tidak mau banyak bercerita tentang Souw Mei Ling, sumoinya yang amat
baik kepadanya sehingga ketika ia pergi atas anjuran sucinya, ia diberi uang
dan kalung, yang kalungnya sampai sekarang masih dipakai di lehernya.
172 "Hemm, engkau selalu menjadi pelarian, koko. Kasihan benar," kata Hui Ing
sambil memandang wajah kakaknya. "Lalu bagaimana, koko?"
"Aku melarikan diri, maksudku hendak kembali ke wilayah Sung, akan tetapi
aku tersesat jalan memasuki daerah Wu-yeh. Pada suatu hari aku dihadang
puluhan orang perampok, aku dikeroyok dan mereka menggunakan senjata
jaring. Aku melawan mati-matian dan muncul Tung-hai Mo-ong dan muridnya
yang menolong dan membantuku membasmi para perampok."
"Omitohud! Luar biasa sekali pengalamanmu, Cin Po," kata Lauw In Nikouw.
"Dalam waktu delapan tahun ini, engkau sudah bertemu dengan Pat-jiu Paksian, datuk utara, lalu See-thian Tok-ong datuk barat, dan Nam-san Sianjin
untuk selatan, kemudian terakhir bertemu dengan Tung-hai Mo-ong datuk
timur. Bukan main!" "Lalu bagaimana, koko" Datuk Timur itu menolongmu" Baik benar dia!"
"Ekornya yang tidak baik, Ing-moi. Setelah membantuku membasmi
perampok, dia lalu hendak menjodohkan aku dengan puterinya. Aku tidak
mau dan dia memaksaku. Kami berkelahi dan aku kalah, tertawan. Untung
aku kemudian dibebaskan oleh puterinya dan dapat melarikan diri, lalu
menuju ke sini!" "Puterinya itu kautolak dan ia masih menolongmu dan membebaskanmu" Ah,
baik sekali hatinya!" seru Kwan Hui Ing memuji.
"Memang, baik sekali hatinya," kata Cin Po mengenang, dengan suara
sungguh-sungguh. "Ia begitu baik, kenapa engkau menolaknya, koko" Apakah ia cantik?"
173 "Cantik juga." "Cantik mana dibandingkan aku?"
"Ah, masih cantik engkau, Ing-moi!" Cin Po tersenyum.
"Kalau ia cantik dan begitu baik, kenapa engkau tidak mau dijodohkan
dengannya, koko?" "Eh, Ing-moi. Aku pergi meninggalkan rumah untuk mempelajari ilmu, bukan
untuk mencari jodoh. Bagaimana di luar pengetahuan ibu aku berani berjodoh
dengan seorang gadis."
"Dia bicara benar," kata Sung Bi Li. "Dia memang tidak boleh menikah dulu,
masih banyak tugas menantinya, dan dia harus melaksanakan dulu tugas itu."
"Oh, ya. Lebih dulu memberi hajaran kepada pengkhianat Ban Koan dan
membersihkan Thian-san-pang, lalu membasmi Tok-coa-pang, bukan?" kata
Hui Ing. "Benar, ibu," kata Cin Po. "Thian-san-pang harus dibersihkan dan pengkhianat
Ban Koan itu perlu diberi hajaran. Juga Tok-coa-pang yang telah mengakibatkan kematian kakek guru Tiong Gi Cinjin dan banyak murid Thiansan-pang harus dibasmi."
Bi Li bersikap sungguh-sungguh, memandang kepada puteranya dan berkata
dengan tegas. 174 "Cin Po, sudah lupakah engkau akan pesanku dulu itu" Lebih dulu setelah
engkau memiliki kepandaian, engkau harus membalas atas kematian
ayahmu!" "Aku tidak pernah melupakan hal itu ibu."
"Masih ingat nama pembunuh ayahmu itu?"
"Masih, nama julukannya Hek-siauw Siucai, bukan?"
"Dan masih ingat engkau, siapa dia, dari kelompok mana?"
"Dia adalah seorang di antara Huang-ho Ngo-liong (Lima Naga Sungai
Kuning)." "Bagus, nah engkau harus lebih dulu pergi mencarinya di sepanjang Sungai
Kuning. Setelah berhasil membunuhnya, barulah kita bicarakan tentang
Thian-san-pang dan Tok-coa-pang."
"Eh, eh, apa artinya ini ibu?" tiba-tiba Hui Ing bertanya, kepada Bi Li. "Setiap
kali aku bertanya tentang ayah, ibu tidak mau, memberitahu. Sekarang, baru
aku tahu bahwa mendiang ayah dibunuh orang dan ibu minta kepada koko,
untuk membalasnya. Kenapa ibu tidak pernah menceritakan kepadaku?"
Bi Li memandang kepada Lauw In Nikouw, dan seolah bertanya.
Nikouw tua ini hanya berkata lirih, "Omitohud?"!" dan ia memberi isyarat
dengan anggukan kepala. Lalu nikouw itu yang berkata lembut kepada Hui
Ing. 175 "Hui Ing, kini setelah Cin Po pulang dan engkau sudah cukup dewasa, tibalah
saatnya untuk kau ketahui rahasia tentang dirimu yang selama ini kami tutupi.
Ketahuilah, anak yang baik, sebetulnya engkau bukanlah puteri kandung dari
ibumu ini." Hui Ing terbelalak dan wajahnya menjadi pucat. "Apa...... bagaimana"..?"
katanya gagap. Bi Li mendekati dan merangkul Hui Ing.
"Biarpun benar demikian, aku amat sayang kepadamu, Hui Ing. Kuanggap
engkau puteriku sendiri karena sejak kecil engkau kurawat, dan engkau
minum air susu dari dadaku.
"Aku yang membesarkanmu. Akan tetapi sesungguhnya memang engkau
bukan anak kandungku. Engkau adalah anak kandung dari Suhu Tiong Gi
Cinjin." "Ahhhh?"!" Demikian kaget dan heran rasa hati Hui Ing, sehingga ia tidak
dapat berkata-kata sambil tetap dirangkul oleh Bi Li.
Cin Po juga merasa kaget dan heran, lalu dia berkata, "Kini baru aku mengerti
mengapa ibu hanya menyuruh aku yang memakai pakaian berkabung, akan
tetapi Ing-moi tidak. Kiranya Ing-moi bukan adik kandungku dan ia puteri
mendiang su-kong Tiong Gi Cinjin!"
"Dan ibu kandungku siapa, ibu" Di mana ia sekarang?" tanya Hui Ing dengan
suara gemetar. 176 Bi Li merangkul gadis itu dengan kasih sayang, "Ibu kandungmu meninggal
ketika melahirkanmu," Hui Ing terisak dalam rangkulan Bi Li.
"Sebulan sebelum engkau lahir, Thian-san-pang diserang oleh orang-orang
Tok-coa-pang dan dalam pertempuran itu, ibu kandungmu terkena senjata
rahasia. Ia menjadi sakit-sakitan dan ketika melahirkanmu, ia meninggal.
"Akan tetapi engkau selamat dan selanjutnya, ayahmu, yaitu mendiang suhu
menyerahkan engkau kepadaku untuk kurawat. Ketika itu Cin Po baru berusia
setahun." Hui Ing nampak marah sekali. "Ah, jadi ayah dan ibu kandungku semua mati
di tangan orang-orang Tok-coa-pang! Aku harus menuntut balas!"
"Bersabarlah, Hui Ing. Mereka itu lihai sekali. Tunggulah sampai Cin Po
menuntut balas kematian ayahnya, setelah itu baru kita akan membantunya
membasmi Tok-coa-pang dan membersihkan Thian-san-pang," kata Bi Li
membujuk. "Ibu benar, Ing-moi. Akulah kelak yang akan membalaskan kematian orang
tua kandungmu. Ah, siapa kira bahwa kita bukanlah saudara kandung! Begitu
banyak rahasia menyelimuti kehidupan kita. Ibu, masih ada satu hal lagi yang
ingin sekali kuketahui. Siapakah nama mendiang ayah kandungku?"
Bi Li menghela napas panjang. "Itu memang kurahasiakan, Cin Po. Tunggu,
kalau kelak engkau sudah berhasil membunuh musuh besar kita, baru akan
kuberitahu kepadamu siapa namanya!"
Cin Po mengerutkan alisnya. "Ibu bermarga Sung, kenapa aku juga bermarga
Sung" Tidak mungkin ayah kandungku bermarga Sung."
177 "Karena nama ayahmu masih kurahasiakan, maka untuk sementara engkau
kuberi nama margaku. Tidak usah banyak bertanya, lakukan balas dendam
itu dan engkau kelak akan mengetahui semuanya."
Sejak tadi Lauw In Nikouw hanya mendengarkan saja dan kadang ia menghela
napas, menyebut nama Buddha dan menggeleng kepala.
Kini Hui Ing menangis dalam rangkulan Bi Li.
"Kalau begitu aku sudah yatim piatu! Ahhh, ayah dan ibu kandungku telah
mati, aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi?"." Gadis itu menangis sedih.
"Hushh, engkau masih mempunyai aku. Bukankah selama ini aku telah
menjadi pengganti ibumu yang menyayangimu?"
"Dan engkau masih mempunyai kakak seperti aku, Ing-moi. Jangan berduka."
"Omitohud, akulah menjadi anggauta keluarga satu-satunya bagimu, Hui Ing.
Karena aku adalah adik kandung ayahmu."
"Nenek?"!" Hui Ing kini merangkul orang yang biasanya disebut nenek akan
tetapi ternyata adalah bibinya itu.
Setelah bermalam di dalam kuil itu selama tiga hari, pada hari ke empatnya
Cin Po berpamit dari ibunya, nenek gurunya dan juga dari Hui Ing untuk mulai
dengan tugasnya, yaitu mencari musuh besar pembunuh ayahnya yang
berjuluk Hek-siauw Siu-cai (Sasterawan Suling Hitam).
Hui Ing mengantarkan Cin Po sampai di luar dusun Bi-ciu. Setelah tiba di luar
dusun, Cin Po berkata, 178 "Sudahlah Ing-moi, sampai di sini saja engkau mengantarku. Kembalilah dan
aku pesan kepadamu, ingat baik-baik. Jangan sekali-kali engkau mencoba
untuk seorang diri membalas dendam kematian ayah dan ibu kandungmu.
"Tunggu sampai aku kembali. Mereka itu jahat dan berbahaya sekali dan
engkau bukanlah lawannya, Ing-moi."
Hui Ing sudah dapat memulihkan keadaan hatinya yang terguncang
mendengar akan riwayatnya itu. Kini ia memandang wajah pemuda itu dengan
sinar mata tajam. Pemuda itu bukan kakak kandungnya, bukan apa-apanya,
melainkan orang lain! Semenjak ia mengetahui bahwa Cin Po orang lain, terjadi perubahan di dalam
hatinya. Kini ia memandang Cin Po dengan sinar mata yang lain. Perasaan
kagumnya, sayangnya tidak lagi kagum dan sayang seorang adik kepada
kakaknya, melainkan kagum dan sayang seorang gadis dewasa terhadap
seorang pemuda! Perubahan ini mengguncangkan perasaannya, membingungkannya sehingga
ketika mereka hendak berpisah itu, ada perasaan sedih di hati gadis itu.
"Selamat jalan, koko." Akhirnya ia berkata. "Dan jangan engkau melupakan
aku?"" "Aih, engkau ini aneh-aneh, Ing-moi. Bagaimana mungkin aku dapat
melupakanmu. Nah, selamat tinggal dan jaga ibu baik-baik."
"Selamat jalan, jaga dirimu baik-baik, koko."
179 Cin Po pergi, setelah agak jauh membalikkan tubuhnya. Gadis itu masih berdiri
di sana memandangnya. Dia melambaikan tangannya, dibalas oleh lambaian
tangan Hui Ing, akan tetapi jaraknya terlampau jauh kini bagi Cin Po untuk
dapat melihat betapa butir-butir air mata menuruni kedua pipi gadis itu.
"Y" Cin Po sama sekali tidak tahu bahwa kemenangannya atas tujuh orang Tokcoa-pang ketika dia membantu Hui Ing menjadi perhatian Tok-coa-pang.
Perkumpulan Tok-coa-pang adalah perkumputan sesat yang tidak segan
melakukan segala macam kejahatan.
Perkumpulan ini didirikan oleh dua orang kakak beradik she Coa. Nama
mereka tidak dikenal dan orang hanya mengenal mereka sebagai Coa Ta Kui
(Iblis Besar Ular) sebagai ketua dan Coa Siauw Kui (Iblis Kecil Ular) sebagai
wakil ketua. She mereka memang dapat diartikan ular.
Mereka berdua memiliki ilmu silat yang tinggi, terutama sekali ahli dalam
urusan ular dan penggunaan racun ular. Mereka dahulunya memang pernah
menjadi pawang ular dan berdagang ular-ular berbisa, yang bisanya banyak
dibutuhkan untuk pengobatan dan dagingnya dimakan sebagai makanan
penguat tubuh. Setelah mendirikan perkumpulan, mereka memberi nama perkumpulan
mereka Tok-coa-pang (perkumpulan Ular Berbisa). Yang terkenal dengan Tokcoa-pang adalah karena mereka semua mengenakan baju yang kebal senjata,
dan mereka itu rata-rata pandai silat, dan pandai mempergunakan bisa ular
yang mereka oleskan pada senjata rahasia dan senjata golok mereka sehingga
sekali saja lawan tergores senjata mereka, lawan itu akan mengalami
keracunan bisa ular yang amat berbahaya.
180 Karena sifatnya yang jahat, maka perkumpulan Tok-coa-pang ini terkenal di
dunia persilatan sebagai pekumpulan sesat, dan semua perkumpulan para
pendekar yang termasuk polongan putih tidak mau bergaul dengan mereka.
Bahkan para pendekar memusuhi mereka. Oleh karena itu, ketika Ban Koan
yang mengobati Coa Siauw Kwi yang terluka, membuka pintu untuk
melakukan hubungan. Uluran tangan Ban Koan ini disambut dengan gembira
oleh Coa Ta Kui. Mereka lalu bersekutu dan persekutuan ini berhasil merebut kekuasaan atas
Thian-san-pang sehingga kini Thian-san-pang diketuai oleh Ban Koan yang
telah menjadi tokoh Tok-coa-pang. Melalui Thian-san-pang, Coa Ta Kui
hendak memperluas pengaruhnya ke dunia kang-ouw.
Coa Ta Kui dan adiknya, Coa Siauw Kwi masih murid keponakan dari Seethian Tok-ong, dan tentu saja mereka itu mempunyai hubungan dengan Seethian Tok-ong yang bekerja untuk pemerintah kerajaan Hou-han. Melalui Tokcoa-pang, mereka itu hendak mempengaruhi golongan kang-ouw agar kelak
mau membantu Hou-han yang berambisi untuk menalukkan kerajaan Sung!


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikianlah, Tok-coa-pang dan Thian-san-pang telah menjadi sekutu dan
merupakan jaringan luar demi kepentingan kerajaan Hou-han yang berkedudukan di Shan-si. Mereka merupakan jaringan mata-mata yang
bertugas membujuk para orang di dunia kang-ouw untuk memusuhi kerajaan
Sung, dan juga bertugas untuk membikin kacau dalam daerah kerajaan Sung
dengan berbagai kejahatan.
Setelah Cin Po mengalahkan tujuh orang Tok-coa-pang, segera orang-orang
itu melapor kepada ketua mereka betapa muncul seorang pemuda yang amat
lihai, yang mengalahkan mereka bertujuh dengan tangan kosong belaka.
181 Tentu saja hal ini menjadi perhatian para pimpinan dan mereka memasang
mata-mata sehingga akhirnya Ban Koan yang ikut pula mengambil bagian
dalam penyelidikan ini tahu bahwa pemuda yang amat lihai itu bukan lain
adalah Cin Po yang dulu bersama Pat-jiu Pak-sian pernah datang dan
menghajarnya. Mendengar bahwa pemuda lihai itu adalah murid Pat-jiu Pak-sian, Coa Ta Kui
dan Coa Siauw Kwi segera mengajak Ban Koan untuk menghadap See-thian
Tok-ong yang kebetulan sedang datang berkunjung ke Tok-coa-pang.
See-thian Tok-ong memang seringkali datang berkunjung untuk mengadakan
hubungan dengan dua orang murid keponakannya itu dan melihat perkembangan jaringan mata-mata yang telah dipasang di wilayah kerajaan
Sung melalui perkumpulan Thian-san-pang yang dikenal sebagai perkumpulan
orang gagah oleh dunia kang-ouw.
Baru sekali ini Ban Koan bertemu dengan See-thian Tok-ong. Dia memberi
hormat dengan kagum sekali melihat seorang kakek yang berusia enampuluh
tahun lebih, bertubuh tinggi besar seperti raksasa, bermuka hitam menyeramkan dan kepalanya bersorban.
Ban Koan sendiri kini telah menjadi seorang yang usianya sudah empatpuluh
tahun lebih, tubuhnya kini menjadi agak gendut dan mata nya menjadi
semakin sipit. Dia telah menikah dengan seorang murid Thian-san-pang
sendiri, akan tetapi sampai sekarang belum juga mempunyai keturunan.
Karena itu, maka dia mengambil dua orang selir yang masing-masing
memberikan seorang putera dan seorang puteri kepadanya, yang kini telah
berusia sekitar sepuluh tahun.
182 Coa Ta Kui juga seorang yang bertubuh tinggi besar, usianya sebaya dengan
Ban Koan, wajahnya seperti seekor singa, penuh brewok di seputar wajahnya,
membuat wajah itu nampak menyeramkan. Adapun Coa Siauw Kwi bertubuh
tinggi kurus, amat berbeda dengan kakaknya, karena Coa Siauw Kwi berwajah
bersih tanpa kumis tanpa jenggot.
Setelah menerima mereka bertiga, dengan tenang See-thian Tok-ong
mendengarkan laporan Coa Ta Kui.
"Supek, di Thian-san ini telah muncul seorang pemuda yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan agaknya dia merupakan ancaman bagi kita, karena
menurut kererangan Ban Koan, pemuda itu adalah murid Pat-jiu Pak-sian."
"Hemm, betulkah?" tanya See-thian Tok-ong dengan sikapnya yang acuh
sambil menoleh kepada Ban Koan.
"Betul, locianpwe, saya mengenal betul anak itu yang berkunjung kepada
ibunya di kuil Ban-hok-si. Dia dahulu tinggal pula di Thian-san-pang karena
ibunya adalah sumoi saya sendiri."
"Hemm, berapa usianya?"
"Sekitar sembilanbelas tahun."
Datuk Barat itu tertarik. "Nanti dulu, murid Pat-jiu Pak-sian, usianya
sembilanbelas tahun, tubuhnya tinggi besar" Kira-kira tiga-empat tahun yang
lalu?" hemm, ya, mungkin sekali dia!"
"Tepat sekali, tubuhnya tinggi besar, dan namanya Cin Po, Sung Cin Po," kata
Ban Koan yang tentu saja mengetahui bahwa Cin Po adalah anaknya sendiri!
183 "Bagus! Aku amat membutuhkan pemuda itu. Kita atur supaya dapat
menangkap dia!" See-thian Tok-ong lalu memberi perintah dan petunjuk
kepada dua orang murid keponakannya dan Ban Koan.
Siasat lalu diatur dan segala gerak-gerik dari mereka yang tinggal di Ban-hoksi telah diamat-amati oleh orang-orang Tok-coa-pang. Karena itu, kepergian
Cin Po tentu saja juga diketahui, bahkan ketika Hui Ing mengantar Cin Po
sampai keluar dusun, para mata-mata itupun melihatnya.
Ketika bayangan Cin Po sudah tidak nampak lagi, barulah Hui Ing
membalikkan tubuhnya dan hendak kembali ke kuil, akan tetapi alangkah
kagetnya ketika ia melihat lima orang telah berdiri di belakangnya. Dan
seorang di antara mereka adalah Ban Koan yang masih dikenalnya biarpun
sudah bertahun-tahun ia tidak melihat orang itu.
Ia memandang kepada orang itu dengan mata bersinar penuh kemarahan.
Inilah orangnya yang mengkhianati ketua Thian-san-pang, mengkhianati ayah
kandungnya dan bahkan karena orang ini bersekutu dengan Tok-coa-pang
maka ayah dan ibu kandungnya sampai tewas! Inilah musuh besarnya!
Ban Koan tersenyum ramah memandang kepada Hui Ing, "Eh, engkau Hui
Ing, bukan" Engkau yang dirawat oleh sumoi Bi Li! Lupakah engkau kepadaku,
Hui Ing" Aku adalah supekmu sendiri, Ban Koan."
"Aku tahu siapa engkau! Engkau adalah pengkhianat busuk dari Thian-sanpang! Engkau yang telah menjual Thian-san-pang kepada orang-orang jahat.
Engkau mengkhianati ketua Thian-san-pang, mengkhianati guru sendiri dan
membunuh banyak anggauta Thian-san-pang. Engkau adalah manusia yang
licik dan busuk!" 184 Setelah berkata demikian, mengingat bahwa orang ini yang mengakibatkan
kematian ayah dan ibu kandungnya, Hui Ing sudah mencabut pedangnya dan
menyerang kalang kabut menggunakan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Ban Koan terkejut, tidak mengira gadis itu akan sedemikian marahnya dan
menyerangnya. Dia menduga bahwa gadis ini tentu telah mengetahui rahasia
tentang dirinya, bahwa ia bukan puteri kandung Bi Li melainkan puteri
kandung mendiang Tiong Gi Cinjin maka menuduhnya seperti itu.
Ia cepat mengelak dan herloncatan ke sana sini untuk menghindarkan diri dari
serangan Hui Ing, bahkan lalu menghunus pedangnya untuk membuat
perlawanan. Biarpun dalam hal ilmu pedang Thian-san-kiam-sut dia lebih
matang dari kemahiran Hui Ing, akan tetapi karena gadis itu hendak
membalas dendam dan nekat sekali sehingga serangan-serangannya amat
berbahaya. Ban Koan lalu memberi isyarat kepada empat orang kawannya
dari Tok-coa-pang untuk mengeroyok.
Dikeroyok lima, tentu saja Hui Ing terdesak hebat. Baru melawan Ban Koan
saja, kalau orang itu menghendaki kematiannya, tentu ia akan kalah. Selain
ilmu pedangnya kalah matang, juga Ban Koan telah mempelajari ilmu dari
Tok-coa-pang bahkan telah mengenakan baju kebal di bawah bajunya yang
biasa. Kini, dikeroyok lima sebentar saja Hui Ing terdesak hebat. Kemudian, saat ia
terdesak itu, sebuah totokan tangan Ban Koan mengenai pundaknya dan
iapun roboh lemas. Ban Koan menyuruh seorang kawannya untuk cepat
memanggul tubuh yang lemas itu dan mereka pergi dengan cepat.
185 Sementara itu, Cin Po yang berangkat meninggalkan Thian-san, hendak
memulai dengan tugasnya mencari musuh besarnya, baru berjalan kira-kira
empat lie jauhnya, tiba-tiba ada seorang mendahuluinya dan menghadang
perjalanannya. "Berhenti dulu. Engkau yang bernama Sung Cin Po, bukan?"
Cin Po merasa heran karena dia tidak mengenal orang kurus yang gerakannya
gesit itu. "Benar, aku bernama Sung Cin Po. Siapa engkau dan ada urusan
apakah menghadangku?"
"Sung Cin Po, kalau engkau tidak ingin melihat gadis yang bernama Hui Ing
itu tewas, kau ikutilah aku!"
Orang itu lalu berlari dengan cepat, kembali ke arah Thian-san. Tentu saja Cin
Po menjadi terkejut sekali. Biarpun orang itu larinya cepat sekali, dengan
beberapa lompatan saja dia sudah dapat menyusulnya dan tangannya
mencengkeram arah pundak orang itu.
Si kurus itu hendak mengelak, akan tetapi sia-sia saja. Pundaknya sudah kena
dicengkeram oleh Cin Po dan dia mengeluh kesakitan.
"Hayo katakan, apa artinya ini!" bentak Cin Po.
"Ampun, aku hanya disuruh menjadi penunjuk jalan agar engkau dapat
menemukan gadis bernama Hui Ing yang telah ditawan."
Cin Po terkejut. "Kalau begitu cepat bawa aku ke sana!"
186 Orang itu dilepaskan dan orang itu berlari secepatnya menuju ke sebuah hutan
di kaki gunung Thian-san. Cin Po, dengan hati gelisah, mengikuti di
belakangnya. Setelah tiba di tengah hutan yang lebat, orang itu menyusup ke dalam semak
belukar dan berkata, "Sudah sampai!"
Cin Po tidak memperdulikannya lagi karena perhatiannya tertuju kepada Hui
Ing yang dia lihat terbelenggu pada sebatang pohon.
"Hui Ing.....!" teriaknya.
"Koko, jangan mendekat, engkau nanti terjebak. Orang-orang Tok-coa-pang
bersekongkol dengan Ban Koan menawan aku."
Hui Ing berteriak-teriak ketika melihat munculnya Cin Po. Akan tetapi Cin Po
tidak takut dan dia melangkah maju.
Tiba-tiba dari balik pohon besar itu muncul dua orang dan tentu saja dia
terkejut sekali karena melihat bahwa dua orang itu bukan lain adalah Seethian Tok-ong dan muridnya yang bernama Kam Song Kui!
Dari arah belakangnya terdengar gerakan orang dan ketika menengok,
ternyata dia telah dikepung oleh belasan orang anggauta Tok-coa-pang!
"See-thian Tok-ong, apa artinya ini?" bentak Cin Po marah.
See-thian Tok-ong bergelak-gelak. "Ha-ha-ha-ha, akhirnya engkau muncul
juga!" 187 Tahulah Cin Po bahwa Hui Ing ditawan hanya untuk memancing dia datang,
maka teriaknya, "See-thian Tok-ong, bebaskan Hui Ing. Ia tidak bersalah apaapa, jangan ganggu ia!"
"Suhu, jangan bebaskan. Aku menginginkan gadis itu!" tiba-tiba Kam Song
Kui yang tampan dan berpakaiaa mewah itu berkata.
Mendengat ini, See-thian Tok-ong tertawa lagi.
"Ha-ha-ha, memang sudah tiba waktunya engkau mengambil isteri dan kalau
engkau menyukai gadis itu, baik sekali."
Cin Po menjadi khawatir bukan main, dan Hui Ing berteriak, "Aku tidak sudi
menjadi isterimu, keparat busuk!"
"See-thian Tok-ong, engkau seorang datuk dari barat yang terkenal, mengapa
tidak malu melakukan perbuatan yang pengecut, menghina orang-orang
muda" Kalau engkau tidak membebaskan Hui Ing, aku akan melawanmu!"
"Biarkan aku menghajar dan menangkap orang kurang ajar ini untukmu,
suhu!" kata Kam Song Kui sambil mencabut sulingnya yang seperti perak.
Suling terbuat dari baja yang baik berwarna hitam, akan tetapi disepuh perak
sehingga nampak putih mengkilap. Karena sulingnya menggunakan julukan
yang gagah, yaitu Kang-siauw Taihiap (Pendekar Besar Suling Baja).
See-thian Tok-ong teringat bahwa pemuda ini adalah murid Pat-jiu Pak-sian
dan pernah ditolong oleh Nam-san Sianjin, maka dia khawatir kalau-kalau
muridnya tidak akan mampu menang. Maka dia memberi isyarat kepada
188 murid-murid keponakannya, yaitu Coa Ta Kui dan Coa Siauw Kui, para
pimpinan Tok-coa-pang untuk membantu.
Ke dua orang pimpinan Tok-coa-pang ini segera menghunus golok masingmasing dan bersama Kam Song Kui, mereka sudah mengepung Cin Po.
Pemuda ini tidak membawa senjata, maka diapun cepat menyambar sebuah
ranting kayu dari pohon di dekatnya. Ranting sepanjang lengannya inilah yang
menjadi senjatanya. Ketika tiga orang lawannya menyerangnya, diapun memutar rantingnya,
bersilat dengan ilmu Tiam-hiat-tung (Tongkat Penotok Darah) dan menggunakan gin-kangnya bergerak cepat mengirim totokan ke arah tiga
orang itu. Tiga orang lawannya cepat menangkis dan mengelak, lalu mereka pun
membalas dengan serangan senjata mereka. Namun, Cin Po memiliki gerakan
jauh lebih cepat dan ringan dibandingkan mereka, maka dia mampu mengelak
dari sambaran senjata mereka dan balas menyerang dengan cepatnya.
See-thian Tok-ong memandang kagum. Pemuda itu ternyata benar seperti
dugaannya, telah mempelajari ilmu-ilmu dari Nam-san Sianjin pula. Dia
mengenal Tiam-hiat-tung itu. Dengan menggabungkan ilmu yang dipelajarinya dari Pat-jiu Pak-sian dan Nam-san Sianjin, pemuda itu dapat
bergerak dengan lincah dan hebat.
Muridnya dan dua orang murid keponakannya akan sukar mendapatkan
kemenangan kecuali kalau mereka menggunakan senjata maut beracun. Dia
tidak ingin melihat pemuda itu tewas, karena dia membutuhkannya, untuk
diambil darah dan sumsumnya untuk menyempurnakan ilmunya.
189 Melihat muridnya dan kedua orang murid keponakan itu belum juga mampu
mendesak Cin Po, kakek ini lalu meloncat ke depan, berhadapan dengan Cin
Po. Melihat ini, Cin Po menggerakkan rantingnya untuk menotok, akan tetapi tibatiba See-thian Tok-ong menudingkan telunjuknya kepada Cin Po, matanya
memandang dengan sinar aneh dan terdengar dia membentak.
"Orang muda, berlututlah!"
Dalam suara itu terkandung kekuatan sihir yang hebat. Dan Cin Po tiba-tiba
merasa ada dorongan kuat untuk menjatuhkan diri berlutut. Dia mencoba
melawannya dan menolak dorongan keinginan ini sehingga dia terhuyung.
Dan kesempatan itu dipergunakan oleh See-thian Tok-ong tangannya yang
dapat mulur panjang untuk mencengkeram pundak Cin Po dan seketika Cin
Po menjadi lemas dan roboh! Cengkeraman kakek itu mengandung racun
dalam kuku-kukunya, racun yang membuat lawan menjadi lemas tak berdaya
lagi, seperti racun pembius.
"Tua bangka tak tahu malu! Beraninya mengeroyok!" Hui Ing yang masih
terbelenggu di pohon itu memaki-maki ketika melihat Cin Po tertawan pula.


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kam Song Kui sudah cepat membelenggu kaki tangan Cin Po dan diikat pula
di pohon dekat pohon di mana Hui Ing diikat. Keduanya kini terikat di pohon,
tak berdaya. Ternyata pengaruh racun yang membuat lemas itu hanya sebentar, dan Cin
Po sudah dapat bergerak kenbali. Akan tetapi kaki tangannya terikat dan dia
memandang kepada Hui Ing.
190 "Aku menyesal tak dapat menolongmu, Ing-moi," katanya jujur.
"Aku yang menyesal, koko. Engkau terjebak karena mereka menangkap aku."
Keduanya saling pandang, dan biarpun tahu bahwa mereka sudah tidak
berdaya dan terancam bahaya besar, keduanya sama sekali tidak kelihatan
takut. Melihat sikap gadis itu yang sedikitpun tidak takut, diam-diam Cin Po
merasa girang dan bangga. Sekali lagi dia berusaha menyelamatkan Hui Ing.
"See-thian Tok-ong, sekali lagi aku minta kepadamu agar membebaskan
adikku ini. Engkau sudah berhasil menangkap aku, maka bebaskanlah ia yang
tidak bersalah!" "Koko, aku tidak takut mati! Aku akan bangga dapat mati bersamamu!" teriak
Hui Ing dengan lantang dan Cin Po merasa terharu sekali.
Tiba-tiba dia merasa menyesal sekali. Kalau Hui Ing bukan adiknya, kalau
gadis itu tidak mengenalnya, tentu hari ini tidak sampai terjatuh ke tangan
iblis tua See-thian Tok-ong.
Pada saat itu, tiba-tiba angin bertiup keras dan entah dari mana datangnya,
di situ terdapat angin berpusing yang kuat sekali. Daun-daun dan debu
beterbangan dan berputar cepat.
Putaran angin ini bergerak maju, orang-orang yang terlanggar jatuh
bergelimpangan. See-thian Tok-ong sendiri merasa heran dan dia sudah
duduk bersila sambil memejamkan mata mengerahkan tenaganya.
Dari pusaran angin itu terdengar suara lembut, "See-thian Tok-ong, dari Houhan berani mengacau di daerah Sung. Kembalilah ke asalmu!"
191 Suara itu lembut namun berwibawa sekali.
See-thian Tok-ong tidak menjadi gentar, bahkan dia marah sekali. Sebagai
seorang datuk besar yang terkenal lihai dan juga ahli dalam ilmu hitam dan
sihir, dia maklum bahwa ada orang sakti menggunakan kekuatan ilmunya
untuk mendatangkan angin berputar itu.
Maka, dia lalu bangkit berdiri, menekuk kedua lututnya dan dalam keadaan
setengah berjongkok itu dia mendorongkan kedua tangannya. Uap hitam
mengepul dari kedua tangan itu ke arah angin berpusing yang berada di
depannya. "Wuuuttt?". Desss?"!!"
Hawa pukulan yang dahsyat menyambar ke arah angin berputar itu dan
akibatnya, tubuh See-thian Tok-ong terlempar ke belakang seperti didorong
oleh tenaga yang amat kuat. Ternyata tenaga dorongannya tadi ketika
bertemu dengan angin berputar, lalu kembali dan mendorongnya sendiri
sampai terpental. Melihat kenyataan ini, See-thian Tok-ong menjadi gentar. Baru sekali ini
selama hidupnya dia menghadapi kenyataan pahit.
Pukulannya yang amat hebat, bukan saja hebat karena tenaga sakti, akan
tetapi juga pukulan ini mengandung hawa ilmu hitam yang amat kuat dan
berbahaya, tertolak begitu saja oleh angin berputar itu dan membuat dia
terpental jauh ke belakang! Darah tersembur keluar dari mulutnya dan
tahulah dia bahwa dia telah terluka dalam, maka tanpa banyak cakap lagi dia
lalu pergi dari situ, diikuti dengan tergesa-gesa dan penuh rasa gentar oleh
para murid dan pengikutnya.
192 Cin Po dan Hui Ing melihat angin berputar itu menghampiri diri mereka. Tentu
saja mereka terkejut dan khawatir. Akan tetapi tiba-tiba, entah bagaimana,
belenggu kaki tangan mereka putus semua dan sebelum mereka tahu apa
yang terjadi, mereka terangkat oleh angin berputar itu dan dibawa terbang
cepat! Dalam waktu beberapa menit saja mereka telah jauh meninggalkan daerah
Thian-san dan tibalah mereka di sebuah padang rumput. Angin berputar yang
menyeret dan menerbangkan mereka itu masih berputar di situ, lalu tiba-tiba
angin itu berhenti berputar dan tubuh mereka berdua terpelanting ke atas
rumput! Cin Po terkejut bukan main. Tadi dia sudah mengerahkan tenaga sakti
sekuatnya untuk melepaskan diri dari daya tarik angin berputar itu, akan
tetapi semua usahanya sia-sia. Angin berputar itu terlalu kuat sehingga dia
tak mampu melepaskan diri. Dan begitu angin itu berhenti berputar, tubuhnya
terpelanting seperti sehelai daun kering!
Begitu tubuhnya jatuh ke atas padang rumput sampai bergulingan. Cin Po lalu
melompat bangun. Dia melihat Hui Ing juga sudah merangkak bangun dan
mereka berdua memandang ke arah angin berputar tadi. Akan tetapi tidak
nampak lagi angin berputar dan yang berada di situ adalah seorang kakek
yang tua renta. Kakek berambut putih, berkumis dan berjenggot putih dan panjang. Dan
pakaiannya! Dari kain kasar penuh tambalan pula, walaupun pakaian itu
bersih namun jelas itu adalah pakaian seorang pengemis!
193 Cin Po menjadi bingung dan ragu. Apakah pengemis tua ini yang tadi
mendatangkan angin berputar dan menolong dia dan Hui Ing dari tangan Seethian Tok-ong"
Hui Ing juga berdiri dan memandang bengong, ia tidak tahu harus bersikap
bagaimana karena ia tidak tahu siapa pengemis tua ini, dan kemana perginya
angin berputar tadi. Akan tetapi, Cin Po yang berada di sebelahnya sudah
memegang tangannya dan ditariknya tangannya oleh Cin Po yang mengajak
ia berlutut menghadap pengemis tua itu.
"Locianpwe telah menyelamatkan kami berdua dari tangan See-thian Tokong, sungguh budi locianpwe amat besar dan kami berdua menghaturkan
banyak terima kasih," kata Cin Po sambil memberi hormat dengan merangkap
kedua tangan di depan dada, diikuti oleh Hui Ing.
Kakek yang berpakaian seperti pengemis itu tersenyum dan wajahnya
nampak seperti wajah seorang kanak-kanak ketika dia tersenyum ramah,
sepasang matanya yang lembut itu juga ikut tersenyum.
"Siapakah kalian anak-anak muda dan kenapa kalian sampai terjatuh ke
tangan See-thian Tok-ong?"
Pertanyaan ini bagi Cin Po seperti sambil lalu saja dan dia yakin bahwa tanpa
diberi keteranganpun agaknya kakek ini sudah mengetahui segalanya. Akan
tetapi dia menjawab juga memperkenalkan diri.
"Teecu bernama Sung Cin Po dan ini adalah adik teecu bernama Kwan Hui
Ing. Kami berdua adalah cucu-cucu murid Thian-san-pang yang kini diduduki
seorang pengkhianat yang bersekutu dengan Tok-coa-pang.
194 "Ketika teecu meninggalkan tempat tinggal ibu teecu, yaitu di Ban-hok-si, di
tengah perjalanan teecu diberitahu bahwa kalau teecu ingin melihat adik teecu
selamat, teecu harus mengikuti orang itu.
"Ternyata adik teecu telah ditangkap oleh See-thian Tok-ong. Teecu hendak
membebaskannya, akan tetapi teecu malah tertawan pula."
Kakek itu mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Sebetulnya engkau sudah memiliki bakat yang membuat engkau tidak akan
kalah menghadapi orang seperti See-thian Tok-ong itu, hanya sayang
bakatmu masih terpendam dan belum digali. Aku melihat bahwa kalian
berjodoh denganku, dan melihat pula bahwa belum waktunya kalian tewas,
maka aku membawa kalian ke sini."
Mendengar ini Cin Po lalu memberi hormat. "Locianpwe, kalau benar teecu
berdua berbakat dan berjodoh dengan locianpwe, teecu mohon agar locianpwe
sudi menerima teecu berdua sebagai murid."
Karena yakin bahwa kakek ini adalah seorang yang luar biasa saktinya, Hui
Ing mendengar ucapan kakaknya, juga ikut memberi hormat dan memohon.
Kakek itu mengangguk-angguk. "Aku tidak akan menjadi guru kalian, hanya
memberi sedikit petunjuk kepada kalian agar kalian dapat mematangkan ilmu
yang sudah kalian miliki. Marilah kalian ikut aku!"
Kakek itu lalu melangkah pergi. Langkahnya begitu ringan seolah dia tidak,
menginjak tanah, dan kedua orang muda itu cepat-cepat mengikuti.
Cin Po saling pandang dengan Hui Ing dan seolah mereka dapat membaca isi
hati masing-masing. Biarpun kakek itu melangkah begitu ringan dan
195 seenaknya, namun kedua orang muda itu harus mengerahkan tenaga untuk
tidak sampai tertinggal. Dan dalam tatapan mata Hui Ing, Cin Po dapat merasakan sedikit keraguan.
Tentu adiknya ingat akan ibunya.
Mereka menjadi murid kakek sakti ini begitu saja dan Hui Ing mengikutinya
tanpa lebih dulu memberitahu ibunya. Tentu ibunya akan menjadi cemas dan
mencari-carinya. Sampai berapa lama mereka akan menerima petunjuk kakek
itu" Memang semula Hui Ing merasa khawatir karena tidak lebih dulu memberitahu ibunya. Orang tua itu tentu akan merasa gelisah sekali karena
ia menghilang begitu saja tanpa pamit. Akan tetapi ketika ia teringat bahwa
Cin Po berada bersamanya, hatinya menjadi tenang kembali dan gadis ini
mengerahkan seluruh tenaganya untuk dapat mengimbangi tubuh kakek yang
seperti meluncur terbawa angin itu.
Kakek itu membawa mereka ke sebuah bukit. Orang menyebut bukit ini Pekliong-san (Bukit Naga Putih). Menurut dongeng kuno, katanya bukit ini pernah
menjadi tempat bertapa seekor naga putih! Dan di puncak bukit itu terdapat
lantai batu yang ada bekas tapak kaki naga itu!
Tentu saja kebenaran dongeng ini masih perlu dibuktikan, akan tetapi yang
jelas bukit itu disebut Bukit Naga Putih. Dan karena puncak bukit itu gundul,
terdiri dari tanah padas dan kapur, maka jarang ada manusia mendaki bukit
yang tidak ada apa-apanya itu.
196 Agaknya justeru kesunyian bukit inilah yang membuat kakek itu memilih
tempat ini sebagai tempat tinggalnya, yaitu di sebuah guha besar. Seperti
biasa, bukit kapur selalu mempunyai banyak guha-guha.
Setelah tiba di guha besar itu, kakek tadi duduk bersila dan kedua orang muda
itu berlutut di depan kakinya.
"Cin Po, dan kau Hui Ing, tidak biasanya aku memberi petunjuk kepada orangorang muda seperti kalian. Akan tetapi seperti kukatakan tadi, agaknya ada
jodoh antara kalian denganku, maka aku akan memberi petunjuk kepada
kalian. "Akan tetapi ketahuilah bahwa ilmu yang akan kuajarkan kepada kalian
mempunyai pantangan, yaitu kalau kalian pergunakan untuk kejahatan, ilmu
itu akan menghancurkan kalian sendiri. Aku percaya bahwa kalian orangorang muda yang bijaksana, maka aku berani mengajarkan kepada kalian."
"Terima kasih sebelumnya atas segala petunjuk Suhu!" kata Cin Po gembira.
"Terima kasih, Suhu," kata pula Hui Ing.
Demikianlah, mulai hari itu, Cin Po dan Hui Ing menerima petunjuk dari kakek
itu. Selain memperdalam ilmu yang telah mereka kuasai, mereka juga
menerima pelajaran ilmu silat yang diberi nama Ngo-heng-sin-kun (Ilmu Silat
Lima Anasir). Di samping itu, mereka juga menerima ilmu kekuatan sihir
untuk mempengaruhi pikiran lawan. Akan tetapi mereka berdua dipesan
bahwa ilmu sihir ini tidak, boleh dipergunakan untuk mencelakai lawan, hanya
boleh untuk menjaga atau membela diri saja.
197 Mereka berdua selain berlatih ilmu, juga melayani keperluan kakek itu,
mencuci pakaian, menyediakan makanan atau minuman. Akan tetapi kakek
itu jarang sekali makan, lebih banyak berpuasa, bahkan jarang bercakap kalau
bukan untuk menerangkan ilmu yang diajarkannya.
Sang waktu berjalan dengan amat cepatnya sehingga dua tahun telah lewat
sejak Cin Po dan Hui Ing berlatih ilmu dari kakek aneh itu. Kakek itu memang
aneh. Ketika pada suatu hari Cin Po dan Hui Ing bertanya siapa sebenarnya nama
kakek itu, dia hanya terkekeh dan menjawab,
"Aku ini seorang yang sudah tua dan tidak mempunyai nama, kenapa tanyatanya soal nama" Aku tidak mempunyai nama."
Setelah terkekeh lagi, dia menyambung, "Apa sih artinya nama" Betapa baik
atau buruknya pun sebuah nama, itu tidak menunjukkan kenyataan atau
keadaan yang diberi nama itu."
"Kalau begitu, Suhu ini Bu Beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama)!" kata Cin Po.
"Heh-heh-heh, biarpun artinya Orang Tua Tanpa Nama, kalau sudah disebut,
menjadi nama juga. Ha-ha, terserah, diberi nama apapun, tidak akan
mengubah keadaan diriku yang sebenarnya."
"Kalau boleh teecu bertanya, sebenarnya Suhu ini siapakah dan berasal dari
mana?" "Sudahlah tidak perlu ditanyakan hal itu, aku sendiripun sudah lupa dari mana
aku berasal dan siapakah diriku ini. Yang terpenting bagi kalian adalah bahwa
198 selama hidup ini kalian berlakulah benar. Ambillah jalan benar di manapun
kalian berada, karena hanya jika kalian dapat melalui jalan kebenaran maka
hidup kalian di dunia tidak akan sia-sia."
"Akan tetapi Suhu," kata Cin Po. "Apakah kebenaran itu" Semua orang selalu
mengatakan bahwa dia bertindak demi kebenaran. Kalau ada dua pihak
bermusuhan, keduanya tentu akan mengaku bahwa pihak mereka yang
benar. Kebenaran diperebutkan oleh semua orang, sesungguhnya apa yang
disebut kebenaran itu, Suhu"
"Ini penting bagi teecu berdua karena tadi Suhu menasihatkan agar teecu
berdua bertindak melalui jalan kebenaran, sehingga sudah semestinya kalau
teecu mengerti apa yang dinamakan kebenaran itu."
"Kebenaran tidak bisa diperebutkan, kalau bisa diperebutkan itu bukan
kebenaran lagi namanya. Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang ada
manfaatnya bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Kalau hanya baik bagi
diri sendiri akan tetapi tidak baik bagi orang lain, itu bukan kebenaran
namanya. "Perbuatan menuruti nafsu sudah tentu tidak benar, satu-satunya perbuatan
benar adalah perbuatan yang dituntun oleh kekuasan Tuhan. Dan untuk
memperoleh tuntunan itu, kalian haruslah menyerah dengan sepenuh hatimu
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Barulah perbuatanmu akan benar.
"Ingat benar, kalau dibalik perbuatan itu ada pamrih demi kepentingan atau
kesenangan diri pribadi, maka perbuatan itu pasti mengandung ketidakbenaran.
199 "Nah, sudah cukup aku bicara tentang kebenaran, selanjutnya, serahkan saja
kepada Tuhan yang pasti akan memberi bimbinganNya kepada kalian. Tuhan
pasti memberi bimbingan kepada hati yang benar-benar baik dan bersih."
"Terima kasih atas nasihat Suhu dan teecu berdua pasti akan menaatinya
sekuat mungkin," kata Cin Po.
"Suhu, teecu ingin sekali bertanya tentang sesuatu," kata Hui Ing. "Ayah dan
ibu kandung teecu dibunuh orang. Kalau teecu membalas dendam dan
membunuh orang itu, apakah perbuatan teecu itu tidak benar?"
"Dendam kebencian merupakan racun bagi hati dan pikiran. Buanglah jauhjauh dendam kebencian itu. Seorang yang pernah melakukan kejahatan
belum tentu selamanya dia jahat.
Mungkin dia telah sadar dan berobat dan kemudian menjadi orang yang baik.
Kalau engkau hendak menentang seseorang, tentanglah kejahatannya.
Menentang kejahatan memang menjadi tugas kalian, akan tetapi penentangan itu bukan berdasarkan dendam pribadi, melainkan berdasar
menyelamatkan banyak orang dari pada kejahatan orang itu. Mengertikah
kalian?" "Teecu mengerti, Suhu," kata Hui Ing.
"Teecu mengerti, Suhu," kata pula Cin Po yang juga teringat akan dendam
yang ditanamkan sejak dia kecil oleh ibu kandungnya terhadap musuh besar
yang telah membunuh ayah kandungnya.
Kini dia merasa lega. Dia akan mencari orang itu dan kalau mendapatkan
orang itu jahat, dia akan menentangnya dan kalau perlu membunuhnya


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

200 karena kejahatannya, bukan karena dia hendak membalaskan kematian
ayahnya. Demikian pula dengan Hui Ing. Di dalam hatinya, tadinya gadis ini
mendendam kepada Ban Koan dan Tok-coa-pang. Setelah mendengar pesan
kakek itu, iapun merasa lega.
Kalau Ban Koan masih jahat, tentu akan dibasminya, demikian pula dengan
Tok-coa-pang. Akan tetapi kalau Ban Koan sudah bertobat dan menjadi orang
baik tidak ada alasan baginya untuk membunuhnya.
"Bagus, yang terpenting adalah pengertian kalian tentang tugas hidup karena
kalian dijelmakan menjadi manusia tidaklah sia-sia. Tuhan menghendaki agar
manusia melakukan kebaikan dan melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi
dirinya sendiri dan bagi manusia lain.
"Sekarang kalian telah mempelajari ilmu. Ingat, ilmu itu tiada batasnya.
Jangan sekali-kali menganggap bahwa setelah mempelajari ilmu dariku, kalian
lalu merasa yang paling pandai. Sama sekali tidak.
"Kepandaian yang dapat dimiliki manusia hanyalah sekelumit, dan Yang Maha
Pandai hanyalah Tuhan. Dari Tuhan semuanya datang, kita ini hanyalah alat
belaka, maka jadilah alat yang baik, jadilah alat yang berguna!
"Janganlah sekali-kali suka mengunggulkan diri. Makin rendah hati, kalian
akan menjadi lebih waspada dan semakin dekat dengan kekuasaan Tuhan.
Yang tinggi hati dan sombong, sekali waktu pasti akan jatuh dan menyadari
bahwa segala kekuasaan, kepandaian dan segalanya adalah milik Tuhan.
201 "Sekarang kalian boleh melanjutkan perjalanan ke mana kalian suka. Akan
tetapi ada sedikit pesanku.
"Belasan tahun yang lalu, aku memiliki sepasang pedang, yaitu Im Yang
Siang-kiam (Sepasang Pedang Langit Bumi) Pedang itu dicuri orang dan kini
dia bersembunyi di Pulau Iblis, di Lautan Kuning. Kalau kalian dapat
merampas sepasang pedang itu baik sekali, untuk kalian seorang sebatang.
"Kalau dibiarkan berada dalam tangan orang yang sesat jalan, sepasang
pedang itu dapat dipergunakan untuk kejahatan, dan hal itu sungguh sayang
sekali. Nah, sekarang kalian boleh pergi."
"Suhu hendak ke mana?" tanya Hui Ing.
Kakek itu tersenyum. "Manusia tidak akan dapat melepaskan diri dari maut.
Selama tinggal di dalam badan yang terdiri dari daging, tulang dan kulit ini,
pasti badan ini akan rusak, sakit dan mati. Akan tetapi sebelum kematian tiba,
aku ingin pergi ke Atap Dunia."
"Suhu maksudkan pergi ke Pegunungan Himalaya?" tanya Cin Po.
"Engkau sudah mengerti. Nah, aku mau pergi sekarang. Ingat semua pesanku
kalau kalian ingin selamat dan berbahagia dalam kehidupan kalian."
Setelah berkata demikian, kakek itu menggerakkan dan melambaikan
tangannya, lalu dia berkelebat dan lenyap dari depan guha itu.
Cin Po dan Hui Ing menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah guru mereka
pergi dan keduanya berbisik mengucapkan selamat jalan. Sejenak mereka
202 berlutut seperti patung, mengingat segala kebaikan guru itu dan segala ilmu
yang telah mereka pelajari selama dua tahun itu.
"Ing-moi?"!" Akhirnya Cin Po yang menegur terlebih dahulu.
Hui Ing menoleh dan Cin Po melihat betapa kedua mata adiknya itu basah dan
agak kemerahan. "Engkau menangis?"
"Aku terharu, koko. Suhu begitu baik kepada kita, dan sudah dua tahun ini
kita hidup bersamanya, menerima gemblengan darinya. Sekarang, tiba-tiba
suhu pergi meninggalkan kita, bagaimana hatiku tidak menjadi sedih"
Semangatku seakan-akan pergi mengikuti suhu."
Cin Po menghela napas panjang. Betapa pada dasarnya setiap orang manusia
ini selain merasa sendirian, kesepian dan mudah sekali hati ini melekat kepada
siapa saja dan apa saja. Dia sendiri pun tidak ada bedanya, maka diapun
berkata, "Aku mengerti bagaimana perasaanmu Ing-moi. Akan tetapi kita semua harus
berani menghadapi kenyataan bahwa setiap pertemuan tentu diakhiri dengan
perpisahan. Tidak ada yang abadi dalam kehidupan ini Ing-moi, dan kita harus
selalu siap menghadapi segala perubahan yang tiba menimpa diri kita.
"Biarlah kita mengikuti suhu dengan perasaan terima kasih kita, dan untuk
memberi ujud kepada rasa terima kasih kita itu, kita harus memenuhi semua
harapan dan nasihatnya. Tidakkah kau pikir begitu?"
203 "Engkau benar, koko. Sekarangpun aku sudah mengalihkan perhatianku,
membayangkan betapa akan senangnya hati ibu dan nenek, kalau melihat
kita kembali ke Ban-hok-si setelah dua tahun pergi tanpa pamit."
"Akan tetapi, Ing-moi. Ingat akan pesan suhu. Bukankah kita harus merampas
kembali Im-yang Siang-kiam milik suhu yang dicuri orang itu?"
"Apakah kita tidak pulang saja lebih dulu agar ibu tidak menjadi gelisah,
koko?" "Kupikir lebih baik kita pergi mencari pedang itu lebih dulu, Ing-moi. Kalau
kita pulang lebih dulu, tentu ibu dan nenek tidak akan memperkenankan kita
pergi lagi. Sudah kepalang kita meninggalkan mereka setelah kita berhasil
merampas pedang, baru kita kembali. Atau engkau saja kembali lebih dulu,
dan aku yang berusaha merampas pedang?"
"Tidak, koko! Bukankah ini merupakan tugas kita berdua karena pedang itu
untuk kita berdua" Marilah, aku menurut bagaimana sebaiknya kau yang
menentukan saja." Mereka lalu meninggalkan Pek-liong-san, menuruni bukit itu dan melakukan
perjalanan menuju ke timur, ke Lautan Kuning.
"Y" Kita menengok dulu keadaan Bi Li dan Liauw In Nikouw di Ban-hok-si. Mereka
sama sekali tidak menduga ada peristiwa buruk menimpa Hui Ing ketika
seorang penduduk dusun berlari-larian menemui mereka dengan muka pucat
dan napas terengah-engah.
204 "Celaka, toanio?", celaka".. nona Hui Ing"..!"
Sung Bi Li memegang pundak orang itu dan mengguncangnya. "Ada apakah,
paman" Apa yang terjadi dengan Hui Ing" Tenangkan hatimu dan ceritakan
yang jelas." Lauw In Nikouw mengambilkan air teh untuk diminumkan orang itu. Setelah
minum, barulah orang itu agak tenang sedikit.
"Saya baru saja lewat di luar pintu gerbang dusun kita. Saya melihat nona Hui
Ing berkelahi melawan lima orang, kemudian nona Hui Ing roboh dan
dipanggul oleh seorang di antara mereka, dibawa lari."
"Celaka!" Sung Bi Li berlari masuk mengambil pedangnya dan ia segera berlari
keluar dari dusun itu untuk melakukan pengejaran. Memang ia melihat bekas
tapak kaki orang-orang berkelahi di situ, akan tetapi tidak nampak lagi
bayangan lima orang yang menculik Hui Ing.
Ia lalu teringat kepada Thian-san-pang. Siapa lagi kalau bukan mereka atau
Tok-coa-pang yang menculik Hui Ing" Ia sudah mendengar desas-desus
bahwa orang-orang Thian-san-pang dan Tok-coa-pang seringkali melakukan
penculikan, terhadap gadis-gadis dusun.
Ia lalu pulang dan mengajak Lauw In Nikouw pergi ke Thian-san-pang. Kalau
ia tidak berhasil membujuk Ban Koan, mungkin Lauw In Nikouw akan berhasil
agar Ban Koan menyelidiki anak buahnya dan membebaskan Hui Ing kalau
benar diculik oleh mereka.
Dua orang wanita itu bergegas naik ke lereng Pegunungan Thian-san,
langsung menuju ke markas Thian-san-pang. Para anggauta Thian-san-pang
205 yang lama tentu saja mengenal mereka dan tidak ada yang berani
mengganggu ketika Sung Bi Li dan Lauw In Nikouw memasuki pintu gerbang
perkampungan itu. Seorang anggauta lalu memberi laporan kepada Ban Koan
tentang kunjungan ini. Ban Koan bergegas keluar dan menyambut mereka. Begitu melihat Bi Li,
jantungnya masih berdebar. Ah, setelah sekian tahun tidak bertemu sumoinya
itu, ternyata hatinya masih terguncang begitu bertemu. Dia masih mencintai
sumoinya itu! "Aih, kiranya engkau, sumoi. Dan Su-kouw (bibi guru) juga datang
berkunjung. Selamat datang dan mari silakan masuk!"
"Tidak usah masuk, suheng. Kita bicara di sini saja!" kata Bi Li dengan ketus
dan dingin. Ban Koan menarik napas panjang. "Engkau masih tidak berubah, sumoi.
Baiklah, ada keperluan apakah engkau mencari aku" Apa yang dapat
kulakukan untukmu, sumoi?"
"Suheng, bebaskan sekarang juga, Hui Ing!" teriak Bi Li dengan marah.
"Sumoi, apa maksudmu?" Ban Koan pura-pura kaget, pada hal tentu saja dia
tahu apa yang telah terjadi dengan Hui Ing yang telah ditolong oleh angin
berputar yang aneh. "Suheng, tidak usah berpura-pura. Hui Ing diculik oleh lima orang pria. Siapa
lagi mereka itu kalau bukan engkau atau anak buahmu" Cepat perintahkan
anak buahmu untuk membebaskan Hui Ing atau aku akan mengadu nyawa
denganmu!" 206 "Sabarlah, sumoi. Sungguh mati aku tidak tahu di mana Hui Ing berada."
"Bohong?"!" teriak Bi Li.
"Ban Koan, harap jangan mencari keributan dan bebaskanlah Hui Ing, kalau
benar ditawan oleh orang-orangmu," Lauw In Nikouw membujuk dengan
sauaranya yang lembut. "Su-kouw, saya sama sekali tidak tahu, di mana adanya Hui Ing. Bagaimana
harus membebaskannya?"
"Suheng Ban Koan! Ingat, kalau engkau berkeras tidak mau menyelidiki anak
buahmu dan membebaskan Hui Ing, aku akan menyiarkan ke seluruh pelosok
agar dunia kang-ouw mengetahui akan pengkhianatanmu, dan bahwa Thiansan-pang kau ajak menyeleweng dan bersekutu dengan Tok-coa-pang!"
"Sumoi, jangan marah dulu. Engkau sudah hafal akan keadaan di perkampungan kita ini. Nah, kenapa tidak kau selidiki dan geledah sendiri
apakah Hui Ing berada di sini?"
"Baik, aku akan mengadakan penggeledahan!" kata Bi Li dan ia lalu
melangkah masuk diikuti oleh Louw In Nikouw. Ban Koan mengikuti pula dari
belakang. Bi Li menggeledah ke dalam rumah, tidak memperdulikan keluarga Ban Koan
yang menjadi terkejut. Ia tentu menuju ke belakang dan kini bagian belakang
rumah itu telah dijadikan tempat tahanan oleh Ban Koan.
207 Bi Li menggeledah tempat ini, memasuki setiap tahanan dan mencari-cari.
Ketika ia memasuki sebuah kamar tahanan besar yang kosong, tiba-tiba dari
luar Ban Koan menutupkan pintu tahanan itu dan menguncinya.
Bi Li terkejut sekali, melompat ke pintu itu dan mendorong-dorongnya sekuat
tenaga. Akan tetapi pintu itu terbuat dari besi, kokoh kuat dan tidak dapat
terbuka. "Ban Koan, apa yang kaulakukan ini" Lepaskan aku, cepat!" Bi Li mencabut
pedangnya dan mengamuk kalang kabut membacoki pintu, akan tetapi hanya
mengeluarkan suara berkerontangan, tidak mampu membuka pintu itu.
"Bi Li, engkau tenang-tenanglah tinggal di sini, engkau akan diperlakukan
dengan baik. Ingat, aku tetap sayang padamu, Bi Li, hanya engkaulah yang
tidak tahu dicinta orang."
"Bebaskan aku, Ban Koan, lepaskan aku!"
"Dan membiarkan engkau berteriak-teriak di dunia kang-ouw memburukburukkan Thian-san-pang" Tidak, Bi Li, kau tinggal dulu di sini untuk
sementara." Lauw In Nikouw menjadi marah. "Omitohud........! Mengapa engkau berubah
menjadi jahat begini, Ban Koan" Ingat, Bi Li adalah sumoimu sendiri dan Hui
Ing adalah murid keponakanmu. Aku sendiri yang akan menyiarkan di dunia
kang-ouw kalau engkau tidak segera membebaskan Bi Li dan Hui Ing!"
"Ah, Su-kouw sudah tua. Jangan ikut-ikut urusan ini, pergi saja sana
bersembahyang di kuilmu!" kata Ban Koan yang menjadi marah dan dia
menggunakan tangannya mendorong tubuh nenek itu agar pergi keluar.
208 Didorong oleh tangan yang kuat itu, Lauw In Nikouw terpental keras dan
menabrak dinding kuat-kuat. Nenek itu mengeluh dan tubuhnya terkulai
lemas, kepalanya berdarah.
Ban Koan terkejut. Dia telah lupa bahwa nenek ini adalah seorang yang lemah.
Dorongannya tadi terlampau kuat dan nenek itu menabrak dinding, kepalanya
terbentur dinding dan kini ia terkulai dengan kepala retak.
Ban Koan cepat berjongkok dan memeriksa, kaget juga melihat nenek itu
sudah tewas! "Ban Koan, engkau..... engkau telah membunuh Su-kouw?"! Ah, keparat,
Ban Koan, engkau membunuh Su-kouw?"!" Bi Li berteriak, teriak dan
mengguncang-guncang pintu kamar tahanan.
"Ia tidak mati, aku akan mengobatinya," kata Ban Koan berbohong dan dia
memondong tubuh tubuh nenek itu keluar dari situ, menutupkan pintu yang
menyambung ke arah tempat tahanan itu sehingga dia tidak mendengar lagi
teriakan dan makian Bi Li.
Setibanya di luar, Ban Koan menyuruh anak buahnya menyediakan peti mati
dan kereta. Setelah meletakkan jenazah nenek itu ke dalam peti mati, dia
menyuruh anak buahnya mendorong kereta dorong menuruni lereng.
Dia sendiri yang mengantar jenazah itu ke kuil Ban-hok-si. Dan dia
mengatakan kepada para nikouw di situ bahwa Lauw In Nikouw menderita
kecelakaan, terjatuh ketika hendak mengunjungi Thian-san-pang.
209 Para nikouw menyambut dan mengurus pemakaman jenazah itu sebaikbaiknya. Mereka tidak berani banyak bicara lagi karena mereka semua sudah
tahu bahwa Ban Koan adalah ketua Thian-san-pang dan penguasa daerah itu.
Demikianlah, Sung Bi Li menjadi tahanan dalam Thian-san-pang dan biarpun
dia bebas tidak terbelenggu, namun ia tidak dapat meninggalkan ruangan
tahanan itu, di mana ia ditahan dan dijaga ketat siang malam. Bi Li menjadi
putus asa dan harapan satu-satunya, hanyalah Cin Po.
Ia tidak tahu bagaimana nasib Hui Ing, akan tetapi ia tahu benar bahwa Cin
Pedang Darah Bunga Iblis 7 Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bende Mataram 8
^