Pencarian

Pendekar Baju Putih 4

Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


Po bebas di luar. Tentu sekali waktu Cin Po akan pulang ke kuil Ban-hok-si dan mendengar dari
para nikouw bahwa Lauw In Nikouw telah tewas sedangkan ia setelah pergi
ke Thian-san-pang tidak kembali lagi. Pasti Cin Po akan mencarinya ke Thiansan- pang.
Kalau tidak mempunyai gantungan harapan ini, mungkin Bi Li telah
membunuh diri! Setiap kali mengingat akan nasib Hui Ing yang dikabarkan
tertawan oleh orang-orang jahat, hati Bi Li menjadi risau sekali. Ia tidak tahu
bagaimana keadaan Hui Ing, dan ia hanya dapat berdoa semoga gadis itu
terlepas dari bencana. "Y" Sekarang kita tinggalkan Bi Li yang sudah dua tahun menjadi kurus karena
memikirkan Hui Ing yang lenyap dan Cin Po yang tak kunjung pulang, dan
mari kita ikuti perjalanan Hui Ing dan Cin Po yang melakukan perjalanan
menuju ke Lautan Kuning untuk mencari pedang Im-yang Siang-kiam milik
210 Bu Beng Lojin yang lenyap dicuri orang. Mereka melakukan perjalanan dengan
cepat dan pada suatu hari mereka tiba di tepi Lautan Kuning.
Mereka mencari pantai yang terdapat dusun nelayan dan memasuki dusun itu.
Mereka tidak tahu di mana letaknya pulau yang dimaksudkan guru mereka.
Pulau yang agaknya menjadi tempat tinggal pencuri pedang itu.
Pula, mereka berdua asing dengan lautan. Andaikata tahu letaknya pulau
itupun, bagaimana mereka akan mampu mencarinya Mereka tidak biasa
berlayar, apalagi mengemudikan perahu melalui lautan yang bergelombang
dahsyat itu. Baru melihatnya saja mereka sudah merasa ngeri.
Mereka mulai bertanya-tanya kepada para nelayan, kalau-kalau ada yang
mengetahui di mana adanya Pulau Iblis dan kalau-kalau ada yang dapat
mengantar mereka ke sana. Akan tetapi para nelayan itu menggeleng kepala.
Tidak seorangpun mengetahui di mana adanya Pulau Iblis itu.
"Aku tahu di mana Pulau Iblis itu?".!" Tiba-tiba seorang nelayan berkata.
Cin Po dan Hui Ing menjadi girang sekali dan mereka memandang kepada
nelayan itu. Yang bicara itu seorang nelayan yang kulitnya terbakar sinar
matahari sampai menghitam, usianya sekitar empatpuluh tahun dan tubuhnya
kokoh kekar nampak kuat sekali.
Bukan hanya Cin Po dan Hui Ing yang memandang orang itu, juga para
nelayan lain, akan tetapi para nelayan itu agaknya tidak mengenal nelayan
ini. "Sobat, benarkah engkau mengetahui di mana adanya Pulau Iblis itu?"
211 Nelayan itu mengangguk. "Aku seorang nelayan pendatang dari pantai
sebelah selatan. Aku pernah mencari ikan di dekat sebuah pulau yang
nampaknya kosong dan para nelayan lain menyebutnya Pulau Iblis. Pulau itu
kelihatan menyeramkan, apalagi dengan nama itu, sehingga tidak ada
seorangpun berani mendarat di sana."
"Sobat, dapatkah engkau mengantar kami ke sana" Berapapun biayanya akan
kami bayar!" kata Hui Ing penuh semangat karena tidak menyangka demikian
mudahnya mereka akan mendapatkan keterangan tentang pulau itu.
"Jauhkah pulau itu dari sini?" tanya Cin Po.
"Pulau itu cukup jauh dari sini sehingga tidak tampak dari sini. Pula, pulau itu
kecil saja. Untuk mengantar kalian ke sana" Wah, tidak semudah itu, kecuali
tentu saja kalau kalian mempunyai cukup emas untuk membayarku!"
Mendengar ini, Hui Ing mengerutkan alisnya dan ia lalu mengeluarkan sehelai
saputangan dari bajunya. "Apakah emas sebegini sudah cukup untuk membayarmu, sobat?" katanya
dan dalam suaranya terkandung getaran aneh.
Nelayan itu memandang dan matanya terbelalak karena dalam buntalan
saputangan itu dia melihat emas berkilauan yang amat banyak.
"Ing-moi?"!" Cin Po mengeluarkan seruan yang nadanya menegur dan sambil
tersenyum Hui Ing lalu mengantungi lagi saputangannya.
212 Nelayan itu berseri-seri wajahnya dan dia berkali-kali mengangguk. "Sudah
cukup, lebih dari cukup. Nah, mari kita segera berangkat, pelayaran ke Pulau
Iblis memakan waktu setengah hari! Itu, di sana perahuku, silakan naik!"
Perahu itu ternyata sedikit lebih besar dari pada perahu-perahu nelayan yang
berada di tempat itu, dilengkapi pula dengan layar.
Dengan girang Cin Po dan Hui Ing naik ke perahu dan duduk di dalamnya.
Nelayan itu mendayung perahunya ke tengah, setelah terlepas dari ombak
yang menghempas ke pantai dia lalu memasang layar.
Cin Po berbisik. "Engkau tidak seharusnya melakukan itu, Ing-moi."
"Hanya untuk main-main, koko. Agar dia mau mengantar kita dan juga untuk
menguji apakah ilmuku sudah cukup kuat," kata Hui Ing sambil tersenyum
manis. Cin Po menghela napas. Tadi Hui Ing telah memperlihatkan sihirnya sehingga
saputangan kosong itu kelihatan banyak emasnya oleh nelayan itu. Dan
ternyata ilmu sihir Hui Ing sudah cukup kuat sehingga nelayan itu
terpengaruh. "Aku masih memiliki beberapa buah perhiasan, koko. Tentu aku akan
membayarnya," kata pula Hui Ing yang takut kalau Cin Po mengira ia hendak
menipu dengan ilmu sihirnya.
Cin Po tersenyum. "Aku tahu dan percaya, Ing-moi, hanya ilmu itu tidak
seharusnya dipakai untuk main-main. Akan tetapi sudahlah, pelayaran ini
membuat aku ngeri. Lihat, gelombangnya begitu besar. Aku merasa seperti
tidak berdaya sama sekali di antara gelombang samudera ini, Ing-moi."
213 "Apakah engkau tidak bisa berenang, koko?"
"Berenang sih bisa, sekadar tidak tenggelam. Dan engkau?"
"Di dekat kuil terdapat telaga kecil dan aku suka bermain-main dan mandi di
sana. Aku pun hanya dapat berenang sekadar tidak tenggelam."
"Itupun sudah cukup untuk membesarkan hati."
"]angan khawatir, koko. Tukang perahu kita ini agaknya seorang nelayan yang
berpengalaman berlayar, tentu perahu ini aman."
Memang nelayan itu nampaknya amat mahir mengemudikan perahu di antara
gelombang. Perahu meluncur dengan lajunya dan layar mengembang. Perahu
semakin ke tengah dan akhirnya daratan yang mereka tadi tinggalkan hanya
nampak seperti sebuah garis hitam yang kecil, menandakan bahwa mereta
sudah jauh berada di tengah samudera.
Setelah berlayar kurang lebih dua jam lamanya dan mereka sudah berada
amat jauh dari pantai yang kini sudah tidak nampak lagi, tiba-tiba dari depan
nampak sebuah perahu yang besar dengan bendera berwarna hitam. Setelah
dekat baru nampak bahwa selain perahu besar itu, terdapat pula lima buah
perahu kecil seperti perahu yang dikemudikan nelayan itu.
Mula-mula Cin Po dan Hui Ing tidak menaruh curiga. Mengira bahwa perahuperahu itupun perahu nelayan dan yang besar itu perahu saudagar yang lewat.
Akan tetapi ketika perahu-perahu kecil itu melakukan gerakan mengepung
perahu nelayan, mereka mulai menjadi curiga. Dan nelayan itupun menggulung layarnya dan melempar sauh untuk menghentikan perahunya.
214 "Kalian telah terkepung!" Tiba-tiba nelayan yang membawa mereka tadi
bangkit berdiri dan berkata dengan suara garang. "Cepat serahkan semua
emas dan bawaan kalian kalau kalian ingin selamat!"
Barulah Cin Po dan Hui Ing menyadari bahwa mereka telah terjebak dan yang
mereka tumpangi adalah perahu bajak yang kini membawa mereka kepada
teman-temannya yang sudah mengepung. Di setiap perahu kecil itu terdapat
tiga orang bajak, sehingga jumlah mereka ada belasan orang, belum lagi yang
berada di perahu besar berbendera hitam itu!
"Heii, engkau ini kiranya pembajak, ya?" bentak Hui Ing. "Kami tidak
mempunyai apa-apa, kenapa kalian hendak membajak kami?"
"Jangan bohong, nona. Serahkan emas tadi dan juga semua perhiasan yang
kaumiliki berikut buntalan itu, dan engkau juga, orang muda!"
"Bagaimana kalau tidak kami berikan?" kata Hui Ing.
"Kalau tidak kalian berikan, terpaksa kami akan melemparkan kalian ke
lautan!" "Jahanam busuk, aku akan memberikan apa-apa kepadamu kecuali ini!" kata
Hui Ing dan kakinya mencuat dengan kecepatan yang tak dapat diikuti dengan
mata sehingga bajak laut itu tak dapat menghindar lagi. Perutnya kena
ditendang kaki Hui Ing dan tubuhnya terlempar keluar dari dalam perahu,
tercebur ke dalam lautan!
Para bajak laut marah melihat ini. Beberapa orang berloncatan dari perahuperahu kecil ke atas perahu yang ditumpangi Cin Po dan Hui Ing. Kedua orang
muda ini sudah siap dan berdiri di atas perahunya.
215 Setiap ada orang dari perahu-perahu kecil itu meloncat ke perahu mereka,
mereka sambut dengan tamparan atau tendangan dan para bajak laut itu
terlempar dan tercebur ke dalam air! Gerakan Cin Po dan Hui Ing demikian
cepatnya sehingga para bajak laut tidak ada yang dapat bertahan ketika
disambut serangan. Sebentar saja sudah delapan orang bajak laut yang
tercebur ke dalam air. Tiba-tiba perahu di mana Cin Po dan Hui Ing berdiri itu berguncang. Dari
perahu besar itu terdengar teriakan melengking suara wanita.
"Jangan serang! Tenggelamkan perahu mereka itu!"
Kiranya itu merupakan perintah bagi para bajak laut. Yang masih di perahu
lalu berloncatan ke dalam air, bergabung dengan mereka yang terlempar ke
dalam air oleh serangan Cin Po dan Hui Ing. Ke dua orang muda ini ketika
menampar atau menendang memang membatasi tenaga mereka karena
mereka tidak ingin membunuh.
Dan kini mereka berada dalam bahaya besar. Perahu itu terguncang ke kanan
kiri lalu terbalik tanpa dapat dicegah lagi dan dengan sendirinya tubuh Cin Po
dan Hui Ing ikut terguling ke dalam air! Mereka berdua gelagapan dan
mencoba berenang. Mereka memang dapat mencegah tubuh mereka tenggelam, akan tetapi
ketika para bajak itu menyerang mereka keduanya menjadi panik karena
mereka sama sekali tidak biasa bertanding di dalam air. Dan dalam keadaan
seperti itu tidak mungkin pula mempergunakan kekuatan sihir mereka untuk
mempengaruhi para lawan. 216 Kembali mereka mendengar teriakan dari atas perahu besar, "Tangkap
mereka, jangan sampai membunuh mereka dan bawa mereka ke sini!"
Banyak tangan menangkap kaki Hui Ing dan Cin Po lalu mereka diseret ke
dalam air. Tentu saja mereka gelagapan dan sebentar saja mereka kehabisan
napas, minum air dan akhinya keduanya dalam keadaan pingsan telah dibawa
naik ke perahu besar berbendera hitam.
Ketika Cin Po siuman dari pingsannya, dia mendapatkan dirinya berada dalam
sebuah kamar yang cukup lebar. Tempat tidurnya tidak bergerak-gerak, maka
tahulah dia bahwa dia tidak lagi berada di perahu. Dia memandang ke sanasini dan melihat seorang wanita yang bertubuh menggairahkan duduk tak jauh
dari tempat tidurnya. Cin Po bangkit duduk. Pakaiannya kering dan ternyata yang dikenakan di
tubuhnya itu bukan pakaiannya. Semua pakaiannya berwarna putih dan
pakaian yang dipakainya itu berwarna kuning. Tentu semua pakaian dalam
buntalannya basah kuyup, pikirnya.
Dia teringat betapa dia dan Hui Ing diseret ke dalam air dan tidak berdaya,
akan tetapi teringat pula suara wanita yang memesan agar dia dan Hui Ing
tidak dibunuh. Kini dia membalikkan tubuhnya menghadapi wanita yang
pakaiannya dari sutera hitam namun wajahnya tersembunyi di balik cadar
hitam itu. Hanya nampak kulit tangan dan sebagian lehernya yang putih mulus, dan
bentuk tubuh di balik pakaian ringkas itu yang sempurna benar lekuk
lengkungnya! Seorang wanita yang cantik, pikir Cin Po. Mungkin pemilik suara
tadi dan kalau benar demikian, wanita inilah yang menjadi kepala bajak!
217 Sebelum dia bicara, pintu terbuka dan masuklah seorang wanita yang
pakaiannya ringkas dan serba hitam pula.
"Sian-li, tamu wanita itu telah siuman, kami menunggu perintah Sian-li!"
Wanita bercadar itu lalu berkata, dan suaranya dikenal oleh Cin Po sebagai
suara wanita yang tadi memerintah dari perahu besar.
"Sudah kalian ganti pakaiannya yang basah?"
"Sudah, Sian-li juga sudah kami keluarkan air dari dalam perutnya."
"Bagus, beri minum obat yang telah kuberikan tadi dan tenangkan ia,
suguhkan air teh yang baik dan minta kepadanya untuk menanti sebentar."
Wanita itu memberi hormat dan pergi meninggalkan kamar itu. Cin Po merasa
heran sekali. Wanita ini disebut "sian-li" atau dewi!
Cin Po memberi hormat. "Agaknya nona yang menjadi pemimpin para bajak dan yang telah
menyelamatkan kami. Siapakan nona dan mengapa menahan kami di sini"
Kami orang miskin tidak mempunyai apa-apa, kalau hendak menawan, tidak
akan ada yang memberi uang tebusan."
Wanita itu mengeluarkan suara seperti orang tertawa kecil dan bertata. "Aku
disebut Huang-hai Sian-li dan memang aku pemimpin para bajak laut tadi.
Tentu saja aku tidak menghendaki dibunuh karena kalian tadi juga tidak
membunuh orang-orangku, bukan" Apa lagi setelah engkau berada di sini,
tentu saja aku tidak akan membunuhmu, Sung Cin Po!"
218 Cin Po terkejut setengah mati. "Engkau?" engkau sudah mengenal namaku?"
"Tentu saja, twako. Apakah engkau tidak mengenal suaraku?" Wanita itu
mendekat dan menyingkap cadarnya.
Sejenak Cin Po menjadi bengong melihat wajah yang penuh benjolan itu.
Cadar itu segera tertutup kembali.
"Kau?" eh, nona?" Ciok Hwa?".!" katanya gagap, karena sama sekali tidak
menyangka bahwa kepala bajak laut itu adalah Kui Ciok Hwa, puteri dari Tunghai Mo-ong yang dulu hendak dinikahkan dengan dia!
"Ah, siapa kira, sudah dua kali engkau yang menyelamatkan nyawaku, Ciok
Hwa!" "Ssttt, semua orang mengenalku sebagai Huang-hai Sian-li, karena itu jangan
menyebut aku selain dengan nama itu, twako. Dan jangan mengucapkan
kata-kata sungkan. Bukankah kita berdua telah menjadi sahabat sejak dulu"
"Ketika orang-orangku mengeroyokmu, aku tidak mengira bahwa engkaulah
pemuda itu. Akan tetapi aku melihat engkau dan gadis itu tidak membunuhi
anak buahku, maka akupun memerintahkan untuk menangkap kalian hiduphidup. Setelah dibawah ke sini, barulah aku tahu bahwa pemuda itu adalah
engkau. Dan siapakah gadis itu, twako" Isterimu, atau tunanganmu?"
"Ihh, Ciok?" eh, Sian-li. Jangan menduga yang bukan-bukan. Sudah
kukatakan bahwa dua tahun yang lalu aku belum ingin menikah, juga
sekarang aku belum ada pikiran untuk itu. Gadis itu bernama Hui Ing, dan ia
adalah adikku, eh, adik tiri maksudku."
219 "Ah, begitukah?"
Pada saat itu, seorang anak buah laki-laki berlari masuk dan memberi hormat
kepada ketuanya. "Sian-li, celaka, gadis tamu kita itu mengamuk!"
Mendengar ini, Cin Po segera lari ke pintu diikuti oleh Huang-hai Sian-li. Sianli yang memimpin sebagai penunjuk jalan. Ternyata rumah itu cukup luas dan
mereka memasuki sebuah kamar. Dan terdapatlah pemandangan yang aneh.
Hui Ing sudah duduk di atas kursi dan terdapat tujuh orang anak buah bajak
laki-laki perempuan yang berdiri bagaikan boneka hidup. Begitu melihat Sianli masuk, Hui Ing segera berseru membentak, "Berhenti dan jangan bergerak!"
Akan tetapi karena Huang-hai Sian-li memakai cadar sehingga ia tidak dapat
langsung memandang mata gadis bercadar itu, maka pengaruh sihir yang
dilancarkan Hui Ing hanya lemah saja mempengaruhi Huang-hai Sian-li.
Biarpun demikian, kepala bajak laut ini terkejut karena seketika ia merasa
tubuhnya seperti kaku tidak mampu bergerak!
Ketika Cin Po masuk, kembali Hui Ing menudingkan telunjuknya ke arah lakilaki berpakaian kuning itu.
"Berlutut engkau!"
Akan tetapi pria itu tidak mau berlutut, bahkan menegurnya, "Hui Ing, kembali
kau"..." Hui Ing terkejut mengenal kakaknya. Ia lalu melompat bangun dan
menghampiri kakaknya, memegang kedua tangan kakaknya.
220 "Koko, engkau tidak apa-apa" Syukurlah. Aku sudah khawatir sekali!"
Huang-hai Sian-li sudah dapat bergerak kembali dan ia menghampiri. "Enci,
maafkanlah kami. Kami tidak bermaksud buruk dengan menahanmu di sini,


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya ada kesalahpahaman di antara kita. Sung-twako ini adalah seorang
sahabatku yang baik."
Hui Ing memandang kepada wajah bercadar, memandang dari kepala sampai
ke kaki dan ia kagum sekali. Seorang wanita yang memiliki bentuk tubuh yang
hebat dan kulitnya putih kemerahan. Tentu wajah tertutup cadar itu cantik
bukan main. Hatinya merasa sangat tidak enak mendengar wanita itu
mengakui Cin Po sebagai seorang sahabat yang baik. Lalu dipandangnya
wajah kakaknya. "Koko, siapakah ini?"
"Ing-moi, perkenalkan. Ini adalah Huang-hai Sian-li yang memimpin para
bajak laut di sini. Memang anak buahnya sudah biasa melakukan pembajakan
kepada siapa yang lewat di sini. Ketika tadi ia melihat kita tidak membunuhi
anak buahnya, iapun memerintahkan untuk menangkap kita hidup-hidup.
Setelah kita dibawa ke sini, barulah ia tahu bahwa pemuda itu adalah aku
yang sudah dikenalnya."
"Ah, begitukah?" Lalu Hui Ing melihat pakaian kering yang menempel di
tubuhnya. Pakaian sutera hitam, sama dengan yang dikenakan wanita itu.
"Jadi pakaian ini milikmu?" tanyanya.
221 "Benar, enci Hui Ing. Karena semua bekal pakaianmu basah kuyup. Aku
memberi pinjam pakaianku untuk kaupakai. Tadi anak buahku yang wanita
yang membantumu berganti pakaian di kamar ini. Maafkan aku."
"Akan tetapi, Sian-li, kita berada di manakah ini" Bukankah tadi kita naik
perahu lalu?"" "Kalian berdua dibawa ke perahuku dalam keadaan pingsan. Setelah
mengenalmu, maka aku memerintahkan perahu cepat-cepat dibawa pulang.
Ini adalah sebuah pulau kosong yang diberi nama Pulau Hiu dan menjadi
tempat tinggal kami. Marilah kalian ikut aku melihat-lihat keadaan pulau ini."
Mereka akan keluar, akan tetapi setibanya di pintu, Cin Po berkata kepada
adiknya, "Ing-moi, bebaskan mereka."
"Ah, aku sampai lupa!" Hui Ing lalu melambaikan tangan kepada tujuh orang
yang berdiri dan berjongkok seperti boneka hidup itu dan berseru,
"Bergeraklah kembali kalian!" Dan seketika itu tujuh orang itupun lalu dapat
bergerak seperti orang-orang baru habis bangun tidur.
Mereka keluar dari kamar itu. "Ilmu apakah itu" Bagaimana engkau dapat
membuat mereka semua tidak mampu bergerak, enci Hui Ing" Dan tadipun
ketika engkau meneriaki aku agar jangan bergerak, hampir saja aku tidak
dapat bergerak sama sekali."
Cin Po berkata, "Ah, adikku ini memang nakal. Ia mengerti sedikit ilmu sihir."
"Ahhh..... betapa lihainya!" Huang-hai Sian-li berseru kaget dan kagum.
222 Kini kakak beradik itu yang berbalik kagum. Rumah ini ternyata besar dan
lengkap dengan perabot-perabot rumah yang serba indah. Dan ketika mereka
tiba di luar, terdapat taman yang indah sekali, terdapat pula rumah-rumah
lain di Pulau Hiu itu yang ditempati anak buah bajak. Banyak keluarga bajak
yang bekerja di ladang, anak-anak bermain-main dan tampaknya sebagai
sebuah perkampungan biasa dengan penduduknya yang hidup tenteram dan
aman. "Mereka itu semua anak buahmu, Sian-li" Mereka nampak seperti keluarga
perkampungan biasa, bahkan penuh damai dan tenteram," kata Cin Po
kagum. "Dahulu mereka tidak begitu. Kehidupan mereka dahulu liar dan ganas,
mudah membunuh orang. Akan tetapi setelah aku yang memimpin mereka,
mulailah mereka hidup sebagai keluarga-keluarga biasa.
"Bahkan dalam pekerjaan membajak, kami jarang sekali membunuh orang
kalau bukan terpaksa, yaitu kalau ada perlawanan yang membahayakan diri
kita sendiri. Aku melarang setiap anggauta membunuh orang, kecuali kalau
membela diri. Mereka kini berkeluarga dan hidup tenang di pulau ini."
"Sungguh luar biasa. Seorang gadis seperti engkau kenapa menjadi kepala
bajak laut?" tanya Hui Ing sambil mencoba untuk menembus cadar itu dan
melihat wajah Sian-li. Akan tetapi ia tidak berhasil hanya melihat bentuk wajah yang elok, dengan
garis-garis yang menunjukkan bahwa wajah itu indah bentuknya. Rambutnya
demikian hitam dan subur.
223 "Akupun heran sekali, Sian-li. Bagaimana engkau, selama dua tahun ini, tibatiba saja sudah menjadi kepala bajak laut dan tinggal, di sini?"
Mereka sudah tiba di tepi sebuah tebing. Dari situ mereka dapat melihat laut
yang bebas dan luas. Di situ terdapat beberapa batang pohon yang rindang
dan bangku-bangku di bawahnya.
"Panjang ceritanya, twako. Mari duduklah dan aku akan bercerita."
Mereka bertiga lalu duduk di atas bangku dan tak lama kemudian dua orang
anak buah wanita datang berlari-lari sambil membawa minuman untuk
mereka bertiga. Ternyata Sian-li amat dihormati dan juga agaknya disayang
oleh para anak buahnya. Hal ini nampak dari sikap mereka dan pelayanan mereka. Setelah meletakkan
minuman dan makanan kecil di atas meja, dua orang itu berdiri di depan
kepala mereka. "Apa yang dapat kami bantu untuk Sian-li?"
"Sudah, kalian boleh tinggalkan kami di sini, dan beritahukan kepada Tok-gan
Kim-go (Buaya Emas Mata Satu) agar mulai hari ini tidak ada yang melakukan
pembajakan sampai aku memberi perintah lagi. Yang melanggar akan
dihukum berat!" "Baik, Sian-li!" Kedua orang pembantu wanita itu segera mundur.
Cin Po dan Hui Ing kagum melihat cara Huang-hai Sian-li mengatur anak
buahnya. Mereka lalu mendesaknya untuk segera menceritakan riwayatnya.
224 "Twako, setelah kita berpisah dahulu, ayah marah-marah sekali kepadaku,
dan aku lalu minggat. Ternyata ayah juga tidak mengejar atau mencariku.
"Dalam perjalanan ini aku bertemu dengan kelompok bajak laut yang dipimpin
oleh Tok-gan Kim-go. Aku mendapat pikiran untuk memimpin mereka dan aku
menaklukkan mereka. Sejak itulah aku lalu menjadi pimpinan mereka dan aku
mengatur kehidupan mereka sehingga tidak lagi liar dan ganas, walaupun
tetap menjadi bajak laut."
"Akan tetapi, bagaimana engkau dapat menundukkan mereka, adik Sian-li"
Kami sendiri ketika meaghadapi mereka dalam air, juga tidak berdaya."
Cin Po mengerti dan tertawa. "Ing-moi, engkau tidak tahu dengan siapa
engkau berhadapan! Sian-1i ini adalah puteri dari Tung-hai Mo-ong, datuk
besar Laut Timur dan tentu saja ia memiliki keahlian bermain dalam air."
Sian-1i tersenyum di balik cadarnya. "Tidak salah dugaanmu, twako. Aku
menaklukkan mereka di darat dan di air. Sebetulnya kalau di darat,
dibandingkan dengan Sung-twako aku bukan apa-apa."
"Aih, engkau merendahkan diri, adik Sian-li!" kata Hui Ing. "Aku percaya
bahwa ilmu silatmu tentu lihai sekali maka engkau dapat memimpin bajak laut
yang puluhan orang jumlahnya."
"Tidak, sesungguhnya saat inipun kehidupan kami terancam sekali, dan aku
khawatir tidak akan dapat mempertahankan kedudukanku, bahkan para
anggautaku mungkin akan mengalami kehancuran."
"Eh, apa yang terjadi, Sian-li?"
225 "Kami mempunyai musuh besar, yaitu gerombolan bajak laut Tengkorak
Putih, bajak laut yang para pemimpinnya terdiri dari bangsa Jepang dan anak
buahnya campuran. Mereka itu biasanya mengganas di lautan timur. Akan
tetapi akhir-akhir ini mereka juga mengganas di lautan Kuning.
"Tindakan mereka ganas. Membunuh, memperkosa wanita. Karena itu, kami
menantangnya dan beberapa kali terjadi bentrokan antara kami dan mereka.
"Akan tetapi, akhir-akhir ini mereka mengumpulkan anak buah yang
jumlahnya dua-tiga kali lebih besar dari pada anak buahku, dan juga mereka
mendatangkan jagoan-jagoan dari Jepang yang khusus didatangkan untuk
menghancurkan kelompokku.
"Sudah dua kali mereka mencoba menyerang pulau ini, akan tetapi masih
untung kami dapat memukulnya mundur. Aku khawatir, suatu ketika kami
akan kalah kuat dan kami akan dapat dihancurkan."
"Kalau saja kami dapat membantumu, Sian-li," kata Hui Ing penuh semangat.
Huang-hai Sian-li tersenyum di balik cadarnya. Ia mengulurkan tangannya
yang berkulit putih kemerahan dan lembut itu dan memegang tangan Hui Ing.
"Enci Hui Ing, ternyata engkau seorang gadis yang amat baik, seperti
kakakmu. Terima kasih, tidak usah engkau melibatkan diri dengan urusan
para bajak laut. Dan kalian ini bagaimanakah dapat berperahu dengan
seorang anak buah kami yang memancing korban" Ada keperluan apakah dan
hendak ke manakah kalian?"
"Kami memang sedang membutuhkan perahu berikut tukang perahunya
untuk mengantarkan kami ke Pulau Iblis, Sian-li!"
226 Sian-li terbelalak di balik cadarnya.
"Pulau".. Iblis?"" Ada keperluan apakah kalian hendak ke pulau yang
menakutkan itu"! Bahkan anak buah kamipun gentar untuk singgah di pulau
hantu itu. Di sana tidak ada apa-apa, hanya dihuni oleh hantu dan iblis."
"Hemm, engkau percaya akan hal itu, Sian-li" bukankah hantu dan iblis
merupakan dongeng belaka?"
"Bukan, bukan dongeng, twako. Aku telah mengalaminya sendiri. Pernah pada
suatu hari perahuku lewat dekat Pulau Iblis. Karena tertarik, aku lalu
memerintahkan anak buahku untuk mendekati karena aku ingin melihat apa
sebenarnya yang berada di pulau itu. Aku ingin mendarat.
"Akan tetapi begitu kami turun dari perahu dan mendaratkan kaki di pulau itu,
mendadak terdengar suara gerengan keras yang menggetarkan tanah pulau
itu dan dari jauh muncullah makhluk tinggi besar yang menyeramkan sekali.
"Kami semua ketakutan dan kembali ke dalam perahu, lalu mendayung
perahu itu cepat-cepat pergi meninggalkan pulau iblis itu. Hiiih, masih
meremang bulu tengkukku kalau membayangkan peristiwa yang aneh dan
mengerikan itu. Bukan hanya dongeng belaka, twako."
Akan tetapi cerita itu tidak membuat Cin Po dan Hui Ing menjadi takut.
"Bagaimana pun juga, kami ingin pergi ke pulau itu, Sian-li. Dapatkah anak
buahmu mengantar kami ke sana?"
"Bukan anak buahku, melainkan aku sendiri yang akan mengantar kalian ke
sana," kata Sian-li.
227 "Bukankah engkau ngeri dan takut untuk kembali ke sana?" tanya Cin Po.
"Kalau dengan engkau, aku tidak takut apapun juga, twako."
Ucapan ini demikian sungguh-sungguh dan nadanya penuh kepercayaan dan
penyerahan sehingga diam-diam Hui Ing mengerutkan alisnya.
Terasa benar olehnya betapa dalam suara itu terkandung kepercayaan dan
kemesraan yang menjadi tanda bahwa gadis bercadar ini sebetulnya mencinta
Cin Po. Perasaan hatinya menjadi tidak enak sekali, karena secara diam-diam
iapun mencinta Cin Po, bukan sebagai adik!
Pada saat itu terdengar sorak sorai gemuruh. Mereka terkejut dan melihat ke
arah datangnya suara, yaitu dari lautan.
Dan nampaklah tiga buah perahu sedang berlayar dekat dengan Pulau Hiu itu,
agaknya hendak mendarat. Dari tempat itu, dapat nampak bendera berdasar
hitam dengan gambar tengkorak putih.
"Gerombolan bajak laut Tengkorak Putih!" seru Sian-li. "Mereka telah datang
menyerbu lagi. Sekali ini dengan anak buah tiga perahu besar, tentu
jumlahnya seratus orang lebih!"
"Jangan khawatir, kami akan membantumu, Sian-li!" kata Hui Ing.
"Mari kita menyambut ke pantai!" kata pula Cin Po. Mereka segera
meninggalkan tebing itu dan berlari ke arah perkampungan di tengah pulau.
Berita tentang datangnya musuh itu sudah didengar oleh semua anggauta
bajak. Mereka sudah bersiap-siap dengan senjata di tangan, anak-anak
228 disembunyikan ke dalam rumah oleh ibu-ibu yang merasa tidak mempunyai
kekuatan untuk melawan. Akan tetapi para wanita yang mempunyai kepandaian, juga ikut bersiap dan
terkumpullah kurang lebih tujuhpuluh orang laki perempuan. Ketika Sian-li
tiba, mereka semua siap menerima perintah sang ketua.
"Kita semua pergi ke pantai dan menyambut mereka di sana. Jangan biarkan
mereka mengacau dalam perkampungan!" kata Sian-li. Dan berlari-larianlah
semua orang menuju ke pantai.
Tiga buah perahu besar berbendera tengkorak putih itu kini sudah mendekati
pantai. Dari atas perahu berloncatanlah orang-orang yang berpakaian biru,
dan di depan sendiri nampak lima orang yang melihat pakaian dan pedang
samurai mereka mudah dikenal bahwa mereka adalah bangsa Jepang. Tubuh
mereka pendek gempal dan kokoh kuat seperti batu karang.
Melihat bahwa penghuni Pulau Hiu menyambut mereka dengan pasukannya
yang jumlahnya hanya separuh dari jumlah para penyerbu, lima orang Jepang
itu tertawa bergelak dengan nada yang mengejek.
Sian-li berdiri di depan anak buahnya, sikapnya tenang sekali. Di kanan kirinya
berdiri Tok-gan Kim-go, pembantu utamanya dan Cin Po serta Hui Ing.
Lima orang Jepang itu melangkah maju dan melihat Hui Ing dan Sian-li,
mereka bicara dalam bahasa Jepang lalu ke limanya tertawa bergelak-gelak.
Lalu seorang di antara mereka, yang agak tinggi tubuhnya dan merupakan
kepala bajak laut Tengkorak Putih, sambil bertolak pinggang lalu berkata.
229 "Huang-hai Sian-li, kami sudah lama mendengar tentang gerombolanmu di
Pulau Hiu ini. Melihat bahwa pemimpin gerombolan Pulau Hiu hanyalah
seorang wanita, maka kami usulkan agar kalian semua menyerah saja kepada
kami. "Kami akan menerima kalian sebagai anggauta kami dan engkau Huang-hai
Sian-li dan gadis di sebelahmu itu, jadilah isteri-isteri kami. Tentu hidup kalian
akan senang sekali. "Tidak perlu ada pertempuran di antara kita, karena bukankah kita adalah
rekan-rekan bajak laut sendiri" Lebih baik bercinta dari pada bersengketa,
bukan" Ha-ha-ha-ha!"
Lima orang Jepang itu tertawa-tawa dan anak buah mereka yang jumlahnya
sedikitnya seratus duapuluh orang itu ikut-ikut tertawa.
"Pimpinan bajak laut Tengkorak Putih. Jangan samakan kami dengan kalian!
Biarpun kami juga bajak laut, akan tetapi kami mempunyai aturan-aturan,
tidak mengganas tanpa prikemanusiaan macam kalian. Kalian adalah
binatang-binatang buas yang sepantasnya dibasmi. Karena itu jangan harap
kami mau bergabung dengan kalian!"
"Ho-ho-ha-ha-ha, sayang kalau sampai anak buah kalian terbunuh semua.
Kami juga masih dapat menampung mereka karena makin banyak anak buah
semakin baik dan kuat. Karena itu dari pada pertempuran besar, marilah kita
para pemimpinnya bertanding.
"Kalau kalian kalah melawan kami, kalian harus menyerah dan semua anak
buah kalian menyerah pula tanpa pertempuran lagi. Sebaliknya kalau kami
kalah, kami akan pergi dan tidak akan mengganggu kalian lagi! Bagaimana?"
230 Sebelum Sian-li menjawab, Hui Ing yang mendahuluinya dan gadis ini berkata
lantang, "Heii, pimpinan bajak laut Tengkorak Putih! Siapa sih yang takut akan
tantanganmu" Akan tetapi, kalian mengandalkan banyak orang untuk main
keroyokan, ataukah hendak bertanding satu lawan satu"
"Aku berani bertaruh orang-orang macam kalian itu pengecut dan licik. Tentu
mengandalkan jumlah besar untuk mengeroyok. Kami di sini ada empat orang
yang akan mewakili kelompok kami bertanding. Nah, siapa di antara kalian
yang akan maju! Kamipun tidak takut keroyokan!"
Ketua Tengkorak Putih tertawa mengejek. "Tidak keroyokan juga tidak
mengapa. Kami di sini ada lima orang pimpinan. Nah, siapa di antara kalian
berempat yang hendak maju lebih dulu?"
Si mata satu Tok-gan Kim-go lalu melangkah maju. "Akulah yang akan maju
lebih dulu mewakili Pulau Hiu!" tantangnya dan diapun sudah mengeluarkan
senjatanya, sepasang kapak yang besar dan berat.
Melihat ini ketua Tengkorak Putih tertawa. "Ha-ha, bagus sekali. Sudah lama
aku mendengar akan kehebatan Tok-gan Kim-go. Biarlah aku sendiri yang
menandinginya!" Setelah berkata demikian, diapun mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang
ruyung baja yang juga berat. Ketua Tengkorak Putih ini berusia empatpuluhan
tahun dan tubuhnya yang pendek itu gempal dan kokoh sekali, otot-otot di
lengannya melingkar-lingkar, juga dadanya yang terbuka itu penuh dengan
otot mengembung.

Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

231 "Bagus! Aku sudah siap, majulah!" bentak Tok-gan Kim-go sambil menyilangkan kapaknya. Orang Jepang itupun mengeluarkan suara gerengan
hebat dan mengayun kedua ruyungnya di atas kepalanya.
"Haiiiiittt?"!!" Dia menyerang dengan dahsyat sekali, suara ruyungnya ketika
bergerak, menampar angin bersiutan. Tok-gan Kim-go menggerakkan
kapaknya untuk menangkis.
"Trang-trang-trang-tranggg?".!" Berkali-kali ruyung bertemu kapak dan
keduanya nampak seimbang dalam hal tenaga, karena ke duanya terhuyung
ke belakang. Akan tetapi Tok-gan Kim-go yang sudah marah sekali itu terus
menyerang balik dengan sepasang kapaknya yang menyambar-nyambar
ganas seperti kapak seorang algojo yang hendak menyambar batang leher
korbannya. Terjadilah pertandingan yang hebat dan menegangkan karena semua orang
tahu bahwa senjata mereka itu adalah senjata berat dan siapa yang terkena
lebih dulu tentu akan tewas. Suara berdentangan sepasang senjata mereka
kalau bertemu menambah tegang keadaan dan Huang-hai Sian-li memandang
dengan alis berkerut. Pihak lawan memang lihai sekali, dan dia melihat betapa
pembantunya itu mulai sibuk dan terdesak.
Kini, orang Jepang itu bersilat dengan cara aneh, yaitu dengan cara
bergulingan dan menyerang ke arah ke dua kaki Tok-gan Kim-go. Si mata
satu menjadi bingung dan dia berloncatan, sukar sekali untuk membalas
serangan itu karena lawan bergulingan dan main di bawah. Melihat ini, Sianli mengepal tinjunya karena sudah nampak bahwa pembantunya akan kalah!
232 Melihat ini, Hui Ing merasa tidak tega. Bukan tidak tega kepada si mata satu,
melainkan tidak tega kepada Sian-li yang jelas nampak tegang dan gelisah.
Maka, ia tak memandang kepada si Jepang yang bergulingan itu, dan berseru,
"Silat macam apa bergulingan seperti trenggiling itu" Kalau mencium batu
yang menonjol baru tahu rasa!"
Baru saja ia berkata begitu dengan pengerahan khi-kang sehingga terdengar
jelas oleh orang yang sedang bergulingan, tiba-tiba orang Jepang itu
mengeluh karena bibirnya benar-benar telah membentur sebongkah batu
yang entah kapan sudah menonjol di situ!
"Aduhhh?"!" serunya dan gerakannya menjadi kacau.
Kesempatan ini dipergunakan oleh si mata satu untuk menindih ruyungnya
dan tahu-tahu sebatang kapaknya telah menempel di leher lawan! Akan tetapi
si mata satu menahan gerakannya dan leher itu tidak sampai terpenggal,
hanya luka sedikit. Tentu saja dengan peristiwa itu, kepala gerombolan Tengkorak Putih
dinyatakan kalah. Kalau Si Mata Satu menghendaki, kepalanya sudah terpisah
dari tubuhnya. Ini saja sudah membuktikan bahwa Sian-li benar-benar
dipatuhi anak buahnya, yaitu tidak sembarangan membunuh orang!
Seorang Jepang yang berjenggot panjang melompat ke depan dan mencabut
pedang samurainya. "Hayo siapa berani maju melawanku!" teriaknya marah karena melihat
rekannya kalah. Empat orang Jepang yang lain itu adalah orang-orang
233 undangan, jagoan-jagoan Samurai yang terkenal, kawan-kawan dari ketua
Teng- korak Putih. Melihat gerakan orang ini, ketika mencabut samurai, tahu bahwa dia memiliki
kepandaian yang lebih tinggi dibandingkan Si Mata Satu, maka ia berseru,
menyuruh pembantunya itu mundur disambut sorak sorai anak buahnya yang
melihat pimpinannya maju. Kemudian Sian-li mencabut pedangnya dan
melangkah maju. "Aku yang akan menandingimu," katanya tenang.
Lawannya tertawa. "Nona, sebaiknya nona membuka kerudung penutup muka
itu agar aku dapat melihat wajah lawanku!" katanya dengan suara yang pelo
karena logatnya aneh dan asing.
"Aku sudah bersumpah siapa membuka cadarku ini, dia akan mati di
tanganku!" kata Sian-li dengan suara dingin dan sungguh-sungguh.
"Bagus, kalau dalam pertandingan ini engkau kalah, aku sendiri yang akan
membuka cadarmu, seperti seorang pengantin pria membuka cadar dari muka
isterinya. Ha-ha-ha!"
"Bersiaplah!" bentak Sian-li yang sudah memainkan pedangnya.
Orang Jepang itu melintangkan samurainya dengan kedua tangan memegangi
gagang samurai yang panjang. Samurai yang melengkung itu berkilauan
saking tajamnya. 234 Karena lawan tetap diam tidak mau menyerang lebih dulu, Sian-li lalu
membentak, "Lihat pedang!" dan pedangnya sudah menusuk dengan gerakan
kilat. Akan tetapi orang Jepang itu melompat ke samping dan saat itulah
samurainya menyambar dengan dahsyatnya. Kiranya dia menanti sampai
lawan menyerang, baru dia mengelak sambil menggerakkan samurainya
dengan ke dua tangan. "Haiiiiittt?".!!"
Melihat samurai itu menyambar dahsyat, Sian-li tidak mau menangkis,
melainkan mengelak dan ia mengandalkan kelincahan gerak tubuhnya untuk
meloncat dan menghindar. Sian-li mengerti bahwa kalau serangannya kurang
cepat, berarti ia membuka peluang bagi lawan untuk menyerangnya dengan
gerakan samurai yang amat berbahaya itu.
Maka, iapun lalu bersilat dengan cepat, menggunakan pedangnya untuk
menyerang secara sambung-menyambung. Kalau dielakkan pedangnya terus
mengejar ke arah mana lawan mengelak.
Dihujani serangan seperti ini, orang Jepang itu menjadi repot, tidak memiliki
kesempatan sama sekali untuk balas menyerang bahkan kini kadang-kadang
dia harus melindungi dirinya dengan pedang samurainya karena serangan
bertubi-tubi itu kadang tidak sempat lagi dielakkannya.
Huang-hai Sian-li adalah murid datuk besar Tung-hai Mo-ong, tentu saja ia
lihai bukan main. Ilmu pedangnya berdasarkan ilmu silat Toat-beng-sin-ciang
(Silat Sakti Pencabut Nyawa) yang sifatnya ganas sekali.
235 Maka, lawannya menjadi semakin repot dan belum sampai limapuluh jurus,
selagi orang itu menangkis dengan samurai yang dipegang ke dua tangannya,
tangan kiri Sian-li telah mendorong ke arah dadanya dengan pukulan Toatbeng-sin-ciang yang amat lihai itu.
Dari jari tangan pukulan ini, sebetulnya dapat diisi dengan jarum-jarum halus
beracun, akan tetapi, Sian-li tidak melakukan hal itu, hanya mendorong ke
arah dada, itupun dengan tenaga yang dikendalikan.
"Plakk?"!" Biarpun tidak sepenuh tenaga pukulan itu tetap saja membuat
orang Jepang itu terjengkaug dan muntah darah. Sorak sorai anak buah pulau
Hiu menyamhut kemenangan kedua ini.
Dari pihak Tengkorak Putih kini meloncat seorang Jepang yang usianya sudah
limapuluh tahun. Diapun memegang sebatang samurai yang tajam melengkung. "Kepandaian ketua Pulau Hiu, Huang-hai Sian-li, sungguh mengagumkan,
beranikah engkau menghadapi aku barang seratus jurus?"
Tentu saja Sian-li merasa malu kalau harus mundur, maka iapun melintangkan pedangnya dan membentak, "Siapa takut kepadamu" Majulah!"
Cin Po dan Hui Ing terlambat untuk mencegah. Dan melihat bahwa keadaan
Sian-li masih segar setelah memenangkan pertandingan tadi, merekapun
hanya menonton saja. "Ha-ha-ha, kalau aku kalah dari seorang wanita, jangan sebut namaku
Yamoto lagi. Aku Yamoto Si Samurai Tanpa Tanding!"
236 Si Jepang itu bersikap sangat congkak, menggerakkan samurainya di atas
kepala dengan gerakan yang mahir sekali dan gerakan itu membuat
samurainya menjadi gulungan sinar yang mengeluarkan suara berdesingan
dan bersuitan! Maklumlah Sian-li bahwa lawannya sekali ini sama sekali tidak bisa disamakan
dengan yang tadi, muka iapun memasang kuda-kuda dengan sikap waspada.
Yamoto ini memang lihai sekali. Begitu lawan memasang kuda-kuda, dia
langsung menyerang, menggerakkan samurainya hanya dengan sebelah
tangan kanan. Memang samurainya tidak panjang seperti samurai temannya
tadi dan tentu saja lebih ringan sehingga dapat dimainkan dengan sebelah
tangan. Dan serangannya juga bertubi-tubi datangnya, setiap serangan
mendatangkan angin dahsyat.
Sian-li mengimbanginya dengan kecepatan gerakannya. Kadang terpaksa ia
menangkis dan terkejutlah Sian-li ketika tangkisan itu membuat seluruh
lengan kanannya tergetar. Lawan ini memiliki tenaga yang kuat sekali! Iapun
dengan hati-hati memainkan Toat-beng-kiam-sut dan membalas serangan
lawan. Pertandingan sekali ini merupakan pertandingan paling ramai dibandingkan
dengan yang dua kali tadi. Sian-li harus mengerahkan seluruh tenaganya
karena kalau tidak, pedangnya akan dapat terpental kalau bertemu samurai
lawan. Dan lawan yang bernama Yamoto itu makin lama makin lihai saja. Setelah
lewat limapuluh jurus, Sian-li terpaksa main mundur karena ia sudah tidak
tahan lagi. 237 Ketika mundur itu, ia mendekati Hui Ing dan sekali Hui Ing menggerakkan
tangan, ia sudah menarik tangan kiri Sian-li sehingga terhuyung ke belakang
namun terlepas dari desakan lawan.
"Heii, hendak lari ke mana kau?" Yamoto hendak menyerang lagi.
Hui Ing berdiri menghadangnya. "Huang-hai Sian-li mengaku kalah karena ia
sudah terlalu lelah. Engkau licik sekali menantang orang yang sudah
kelelahan. Biarlah ia dianggap kalah dan pertandingan antara ia dan engkau
sudah selesai. "Akan tetapi keadaan masih kemenangan di pihak kami, masih dua satu untuk
kami. Nah, sekarang aku yang maju mewakili Pulau Hiu. Aku akan melawan
siapa saja yang berani menghadapi aku."
Yamoto tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, yang ada hanya tinggal wanita-wanita
cantik. Aku sudah menang dan belum membuka cadar dari muka Huang-hai
Sian-li." "Tidak ada perjanjian seperti itu! Itu hanya kemauanmu sendiri. Enak saja.
Sudahlah, jangan banyak mulut. Kalau engkau sudah merasa lelah dan
hendak mundur, mundurlah dan suruh dia yang berani melawan aku maju."
"Ha-ha-ha, aku paling suka melawan wanita cantik. Dan engkau cantik sekali,
nona. Keluarkan pedangmu atau senjatamu yang mana, hendak kulihat."
Hui Ing mengacungkan kedua kepalan tangannya. "Inilah senjataku, dan aku
akan melawanmu dengan kedua tangan kakiku saja. Untuk memukul anjing
kudisan seperti engkau, tidak perlu menggunakan pedang pusaka, cukup
dengan tendangan kaki saja."
238 Yamoto menjadi merah mukanya. Tadinya sorak sorai anak buah Tengkorak
Putih membuat dia bangga sekali, akan tetapi kini dia dipandang rendah dan
dimaki-maki oleh seorang wanita.
"Keparat, mulutmu lebih tajam dari pada samuraiku! Engkau bertangan
kosong" Baiklah, aku akan melayanimu dengan tangan kosong pula. Ha-haha, aku ingin menangkapmu dan memelukmu erat-erat!"
Dia tertawa dan semua temannya juga tertawa sehingga kini Hui Ing yang
menjadi kemerahan mukanya. Matanya bersinar tajam dan ia menudingkan
telunjuknya ke arah Yamoto dan membentak.
"Engkau anjing kudisan bisanya memang menggonggong. Hayo menggonggonglah yang keras!"
Yamoto hendak tertawa akan tetapi sungguh aneh, sekarang yang keluar dari
mulutnya adalah gonggongan menirukan suara anjing! Kawan-kawannya
yang tadinya sudah siap tertawa menjadi terbelalak dan biugung. Mengapa
Yamoto kini menggonggong seperti anjing"
"Heii, Yamoto. Kenapa kau?" seorang kawannya memegang pundaknya dari
belakang dan mengguncangnya.
"Hahh" Kenapa?"." Aku tertawa......!" katanya bingung, akan tetapi karena
melihat betapa Hui Ing mentertawakannya dan semua anak buah Pulau Hiu
juga tertawa sambil menuding-nuding kepadanya, dia menjadi marah sekali.
"Awas seranganku!" katanya dan diapun menubruk dengan cepat sekali
bagaikan seekor biruang yang menubruk korbannya. Maksud hatinya sekali
tubruk dia sudah dapat menangkap gadis yang menggemaskan itu untuk
239 diringkus dan dipeluk kuat-kuat, agar dia dapat melampiaskan kedongkolan
hatinya. "Hemm?".!" Hui Ing mengelak dengan lebih cepat lagi sehingga tubrukan
itupun hanya mengenai angin belaka.
Yamoto membalik karena tadi dia melihat lawannya menyelinap ke kanan
ketika mengelak dan kembali kedua tangannya yang berlengan pendek itu
sudah mencengkeram untuk menangkap lengan lawan.
Sekali ini dia berhasil. Dengan girang dia mencengkeram kedua lengan Hui
Ing. "Heiittt?"!?" Hui Ing menggeliat dan tubuhnya menjadi licin bagaikan belut
sehingga tangkapan itupun terlepas lagi. Kini Hui Ing berhati-hati sekali
karena tidak disangkanya bahwa ke dua tangan lawan dapat bergerak secepat
itu. Ketika lawan menubruk kembali, dia melompat ke atas dan tangannya
menampar pundak. Seketika tubuh Yamoto tergetar dan dia terhuyung hampir
roboh karena pundaknya telah tertotok oleh jari tangan Hui Ing. Sebaliknya,
Hui Ing juga maklum bahwa tubuh lawannya ternyata kuat dan kebal sehingga
totokannya hanya membuatnya tergetar dan terhuyung, tidak merobohkannya. Terjadilah pertandingan yang aneh. Bagaikan seekor biruang berusaha
menangkap seekor burung walet yang amat gesit. Tubrukan dan tangkapan
Yamoto selalu gagal dan hanya mengenai angin, sebaliknya beberapa kali dia
harus menderita karena tendangan kaki dan tamparan tangan Hui Ing.
240 Harus diketahui bahwa ilmu silat Hui Ing adalah ilmu silat dari Thian-sanpang, akan tetapi ilmu silat itu kini sudah menjadi sedemikian ampuh karena
diperdalam dan dimatangkan oleh petunjuk Bu Beng Lojin. Apa lagi ia telah
menerima pelajaran ilmu Ngo-heng-sin-kun yangmerupakan dasar dari semua
ilmu silat, karena dalam Ngo-heng-sin-kun (Silat Sakti Lima Unsur) terdapat


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sifat-sifat Ngo-heng, Swee (Air), Huo (Api), Bhok (Kayu), Kim (Logam), dan
Tee (tanah). Lima unsur pokok ini yang menjadikan segala sesuatu di dunia ini, termasuk
manusia yang tubuhnya tidak terlepas dari lima unsur ini. Di samping itu, Hui
Ing juga telah memiliki kekuatan sihir yang ampuh, maka tentu saja jagoan
Jepang itu dapat ia permainkan.
Setelah berkali-kali terhuyung bahkan yang terakhir kalinya sebuah tamparan
yang agak keras dari tangan Hui Ing mengenai lehernya membuat Yamoto
terpelanting roboh. Orang Jepang itu menjadi penasaran dan marah sekali.
"Singgg?"!!" Yamoto telah mencabut samurainya dan melintangkan samurai
itu di depan dadanya dan tangan kirinya dengan jari-jari terpentang menunjuk
ke atas kepala lurus ke atas.
"Keparat, keluarkan senjatamu!" bentaknya merasa malu sekali telah
dipermainkan seorang gadis muda.
"Aku tidak perlu menggunakan senjata seperti engkau, Yamoto. Dan pula,
untuk apa engkau memegang seekor ular sebagai senjata" Lihat, ular itu bisa
menggigit engkau sendiri!" kata Hui Ing sambil menuding dengan telunjuknya.
Yamoto dengan sendirinya memandang kepada samurainya dan dia terbelalak. Samurai itu kini telah menjadi seekor ular yang dia pegang pada
241 ekornya, dan ular itu kini membalik dengan moncong terbuka hendak
menyerangnya! Tentu saja dia menjadi ngeri dan cepat dilepaskan "ular" itu jauh-jauh. Akan
tetapi begitu tiba di atas tanah, ular itu berkerontang dan menjadi samurainya
kembali. Dia merasa heran dan menyadari dengan marah bahwa dia telah ditipu, dan
gadis itu agaknya menggunakan ilmu sihir sehingga dia melihat samurainya
benar-benar berubah menjadi seekor ular. Dengan marah dia lalu menyambar
samurainya itu dan sebelum gadis itu sempat berbuat atau berkata sesuatu,
dia sudah menyerang dengan samurainya, dengan gerakan yang dahsyat
sekali. "Heiiittt! Sayang luput, Yamoto!" ejek Hui Ing yang dapat mengelak dengan
merendahkan tubuhnya sehingga samurai menyambar lewat di atas kepalanya. Melihat betapa Hui Ing menghadapi Yamoto yang lihai sekali ilmu pedangnya
itu hanya dengan tangan kosong saja, Huang-hai Sian-li menjadi khawatir
sekali. Ngeri ia membayangkan gadis yang membantunya itu akan menjadi
korban samurai yang tajam itu.
"Enci Hui Ing, ini pergunakan pedangku!" teriaknya. Akan tetapi Hui Ing
menoleh sambil tersenyum.
"Terima kasih, Sian-li. Tidak usah. Sayang pedangmu kalau sampai kotor
terkena darah anjing ini!"
242 "Singgg?".!" Samurai itu menyambar lagi ke arah pinggang Hui Ing yang
sedang menoleh. Sekali terkena sambaran samurai itu, pinggang Hui Ing yang ramping itu akan
dapat terbabat putus! Akan tetapi, biarpun sedang menengok, namun
pendengaran Hui Ing amat tajam sehingga ketika samurai menyambar, ia
sudah melompat lagi menghindarkan diri dengan gerakan ringan sekali.
Kembali terjadi adegan seperti tadi. Yamoto dengan samurainya menyerang
dan menyambar-nyambar, sedangkan Hui Ing dengan gerakannya yang
ringan dan amat cepat itu menghindarkan diri. Namun sekali ini Hui Ing juga
maklum akan bahayanya samurai itu, maka tiba-tiba saja ia mengeluarkan
suara bentakan nyaring. "Tahan?".!!" Seketika gerakan samurai itu terhenti dan saat itu dipergunakan
Hui Ing untuk menendang tangan yang memegang samurai, dilanjutkan
dengan dorongan tangan kiri ke arah dada lawan.
"Dessss?"!!" Tubuh Yamoto terlempar ke belakang sampai bergulingan,
samurainya terlepas dari pegangannya dan diapun muntah darah segar dari
mulutnya dan selanjutnya dia tidak dapat melanjutkan perkelahian, dipapah
oleh teman-temannya. Kini tinggal dua orang jagoan Jepang dan mereka maju hersama. "Hayo siapa
berani melawan kami!" tantang seorang di antara mereka yang matanya sipit
sekali. Hui Ing hendak maju akan tetapi dicegah Cin Po. "Ing-moi, biar yang ini aku
yang menghadapi!" 243 Mendengar ini, Hui Ing tersenyum dan mundur ke dekat Sian-li.
Sian-li menyambutnya dengan penuh kekaguman. Tak disangkanya bahwa
Hui Ing ternyata hebat dan lihai sekali. Ia memegang tangan Hui Ing.
"Ah, engkau lihai sekali, enci Ing. Aku sungguh amat kagum kepadamu."
"Aih, tidak sama sekali, adik Sian-li. Bukan aku yang lihai melainkan anjinganjing itu yang tolol. Lihat saja yang dua itu tentu akan dipermainkan oleh
koko Cin Po." Cin Po kini sudah berhadapan dengan ke dua orang Jepang itu. Dia
memandang tajam dan melihat betapa kedua orang Jepang itu sudah
mencabut samurai mereka. Yang seorang memegang samurai putih dan orang
kedua memegang samurai hitam.
"Kami maju berdua, hayo kalian keluarkan dua orang jagoan kalian!" kata
yang memegang samurai hitam, yang mukanya agak hitam pula. Sedangkan
yang bermata sipit dan memegang samurai putih, diam saja.
"Majulah kalian berdua, aku akan menandingi kalian," kata Cin Po dengan
sikapnya yang tenang. Melihat seorang pemuda tanpa senjata berani menghadapi dan menantang
mereka berdua, dua orang jagoan samurai Jepang itu menjadi penasaran dan
marah sekali. Mereka adaah jagoan yang paling lihai di antara lima orang itu
dan mereka maju berdua, masa akan dihadapi Cin Po seorang"
"Kami bukan golongan pengecut tukang mengeroyok!" kata yang bermata
sipit. Tentu saja dia merasa malu kalau harus mengeroyok seorang pemuda.
244 Dia sudah merasa menjadi jagoan yang sukar menemukan tanding, dan dia
maju bersama adik seperguruannya, masa hanya dihadapi seorang pemuda
yang harus dikeroyoknya" Biarpun dia membantu kawannya yang menjadi
bajak laut, akan tetapi dia masih memiliki watak gagah sebagai seorang
pendekar. Mendengar ucapan itu, diam-diam Cin Po menghargainya dan kini Hui Ing
meloncat mendekati kakaknya.
"Kalau mereka menghendaki satu lawan satu, biar aku yang maju melawan
seorang di antara mereka!" katanya dan Cin Po tidak melarangnya. Dia
menganggap adiknya cukup kuat untuk menghadapi lawan, akan tetapi
karena dari sikap mereka, dia dapat menduga bahwa dua orang lawan ini
tidaklah seperti lawan-lawan yang sudah dikalahkan, melainkan orang-orang
yang menjunjung kegagahan dan karenanya tentu mempunyai kepandaian
istimewa, diapun berkata kepada adiknya.
"Ing-moi, kau pergunakan pedang Sian-li!"
Hui lng percaya kepada kakaknya. Kalau kakaknya berkata demikian, tentu
kakaknya tahu bahwa ia memerlukan sebatang pedang untuk menghadapi
lawan itu. Maka, ketika Sian-li menyodorkan pedangnya, ia menerima pedang
itu dan segera menghadapi dua orang Jepang itu.
"Nah, aku yang maju lebih dulu, Siapa yang akan melawanku?" tantangnya.
Si mata sipit menoleh kepada si muka hitam dan adik seperguruannya inilah
yang maju menghadapi Hui Ing dengan samurai hitamnya.
245 "Nona, aku sudah melihat bahwa ilmu kepandaian nona tadi cukup hebat
sehingga pantaslah melawan aku. Akan tetapi lebih dulu aku ingin mengenal
nama orang yang akan menjadi lawanku. Aku Komura berjuluk Samurai
Hitam." "Namaku Kwan Hui Ing," jawab gadis itu yang sejak diberitahu bahwa ia puteri
ketua Thian-san-pang, ia lalu menggunakan nama keturunan mendiang Tiong
Gi Cinjin yang bermarga Kwan.
"Bagus, nah mulailah nona," kata si muka hitam yang bernama Komura itu.
"Baik, lihat pedang, hiaaaattt.......!" Hui Ing lalu menggerakkan pedangnya
menggunakan jurus-jurus ilmu pedang Thian-san-kiam-sut.
Kalau mendiang ayahnya melihat ilmu pedang yang digerakkan puterinya itu,
tentu dia akan merasa heran bukan main. Ilmu pedang itu memang Thiansan-kiam-sut, akan tetapi gerakannya sedemikian cepatnya dan mengandung
tenaga yang amat dahsyat. Lenyaplah bentuk pedang itu dan yang nampak
hanyalah gulungan sinar pedang yang menyambar-nyambar ganas sekali.
Komura yang berjuluk Samurai Hitam itu lalu menggerakkan samurainya
untuk menangkis dan kedua orang itu segera terlibat dalam pertandingan
senjata yang amat seru dan menegangkan. Gerakan Samurai Hitam itupun
cepat bukan main, akan tetapi dia masih kalah cepat oleh Hui Ing.
Namun, setidaknya Komura dapat melindungi diri sendiri dengan putaran
samurainya sehingga pedang di tangan Hui Ing yang menyambar-nyambar itu
selalu bertemu dengan tangkisan Samurai Hitam.
246 Tiba-tiba, setelah lewat limapuluh jurus, Hui Ing mengeluarkan bentakan yang
mengandung getaran hebat sehingga mendebarkan hati Komura. Karena
terkejut dan jantungnya tergetar hebat, gerakan Komura menjadi agak
lamban dan kesempatan itu dipergunakan oleh Hui Ing untuk membabatkan
pedangnya ke arah kepala Komura.
Dan tiba-tiba saja Komura merasa kepalanya dingin dan ketika dirabanya,
rambutnya yang digelung ke atas itu telah lenyap dan tak lama kemudian
nampaklah rambut itu runtuh berhamburan!
Tentu saja Komura terkejut bukan main, mukanya pucat dan matanya
terbelalak. Ini merupakan kekalahan besar yang harus ditelan dan diakuinya.
Dia maklum bahwa kalau gadis yang amat lihai itu menghendaki, bukan
rambutnya yang melayang jatuh, melainkan kepalanya! Akan tetapi diapun
yakin bahwa kekalahannya bukan karena ilmu pedang melainkan oleh
bentakan melengking yang mengejutkan hatinya tadi.
"Aku mengaku kalah!" katanya gagah dengan suara yang lemas sambil
menyimpan samurai hitamnya.
Kini tinggal si mata sipit. Dia melangkah maju dihadapi Cin Po.
"Nona muda itu memiliki ilmu yang mujijat. Akan tetapi akupun memiliki ilmu
yang sama mujijatnya. Nah, dengarlah!"
Tiba-tiba si mata sipit mengeluarkan suara tawa yang demikian menggema
sehingga suara itu menggetarkan jantung semua orang. Bahkan kini banyak
anak buah Pulau Hiu ikut pula tertawa.
247 Huang-hai Sian-li cepat duduk bersila dan mengerahkan sin-kangnya karena
ia maklum bahwa suara tawa itu merupakan serangan dengan menggunakan
khi-kang yang amat kuat. Ia yang tidak diserang langsung saja merasakan
daya kekuatan yang terkandung dalam tawa itu, apa lagi Cin Po dan Hui Ing
yang berhadapan dengan si mata sipit dan diserang langsung itu.
Akan tetapi ke dua orang muda ini telah digembleng oleh Bu Beng Lojin,
mereka dapat menolak kekuatan yang menyerang mereka, bahkan mereka
ikut tertawa bukan karena terseret melainkan menertawakan si mata sipit.
"Ha-ha-ha, tertawalah terus, sobat. Tertawa itu sehat, bukan" Nah,
tertawalah terus!" kata Cin Po sambil mengerahkan kekuatan sihirnya dan si
mata sipit terkejut setengah mati karena tidak mampu menghentikan
tawanya! Pada hal tawa itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khi-kang, kalau
terus begitu bisa dia kehabisan tenaga! Maka dia menyimpan tenaga khikangnya, akan tetapi tawanya masih terus saja tidak dapat dihentikan,
terpingkal-pingkal! Kini daya serang tawanya tidak ada, maka mereka yang ikut tertawa, kini
berhenti tertawa dan yang tertawa tinggal si mata sipit seorang diri! Melihat
ini, teman-temannya menjadi terheran-heran dan si muka hitam menepuk
pundaknya sambil membentak,
"Hinaka-san, kenapa tertawa terus?"
Barulah Hinaka sadar dan dengan sendirinya tawanya terhenti.
Dia memandang kepada Cin Po dengan mata mencorong karena dia teringat
bahwa pemuda ini yang tadi menyuruhnya tertawa dan dia lalu tertawa tiada
248 hentinya. Tahulah dia bahwa pemuda ini memiliki ilmu sihir seperti yang
dimiliki gadis itu, dan dipermalukan di depan banyak orang itu, dia menjadi
marah sekali. "Orang muda, siapakah namamu" Aku Hinaka tidak biasa bertempur dengan
seorang yang tanpa nama."
"Hinaka, namaku adalah Sung Cin Po," jawab pemuda itu dengan sikap tenang
sekali biarpun si mata sipit sudah mencabut samurainya yang berkilauan
putih. "Bagus, Sung Cin Po. Keluarkan senjatamu!" Dia mengelebatkan samurainya
dan ujung sehelai ranting pohon di situ melayang jatuh disambar sinar
samurainya. "Twako, pakailah pedangku ini!" kata pula Huang-hai Sian-li setelah tadi
menerima kembali pedangnya dari Hui Ing.
Akan tetapi Cin Po tersenyum menoleh kepadanya, "Tidak perlu memakai
pedang, Sian-li," katanya dan diapun lalu memungut ujung ranting yang tadi
melayang turun karena disambar sinar pedang samurai si mata sipit. Ujung
ranting itu panjang seperti lengan dan besarnya hanya sejari kelingking,
pantasnya senjata seperti itu hanya untuk memukul anjing.
"Hinaka, senjataku ini sudah cukup. Majulah!" katanya sambil membuangi
daun yang menempel pada ranting itu.
Tentu saja Hinaka menjadi marah sekali karena terlalu dipandang rendah oleh
lawannya. Akan tetapi diam-diam diapun merasa girang karena dengan
senjata seperti itu, tidak mungkin pemuda itu dapat menandingi samurainya.
249 "Baik, engkau sendiri yang memilih ranting itu sebagai senjata. Agaknya
engkau sudah bosan hidup!" katanya sambil mengangkat samurainya tinggitinggi di atas kepalanya lalu dia lari maju menyerang sambil berteriak lantang,
"Haiiiiikkkk?"!!"
"Wuuut, singgg"...!" Samurai itu menyambar luput karena Cin Po, sudah
melangkah ke samping dan memutar tubuhnya.
Hinaka mengejarnya dengan mengelebatkan samurainya membalik. Samurai
itu membuat gerakan melengkung di atas kepalanya dan sudah menyambar
lagi ke arah tubuh Cin Po. Gerakan si mata sipit ini memang cepat sekali dan
tidak terduga datangnya. Akan tetapi sekali ini, yang dihadapinya adalah seorang pemuda yang bukan
saja mahir Thian-san-kiam-sut, melainkan sudah mendapat gemblengan dari
Pat-jiu Pak-sian dan menguasai Pat-jiu-sin-kun dan Hui-sin-kiam-sut, juga
sudah menerima gemblengan dari Nam San Sianjin dengan ilmu Tiam-hiattung dan Coan-hong-hui. Lebih dari itu, semua ilmu ini telah disempurnakan
ketika dia menjadi murid Bu Beng Lojin, bahkan juga sudah menguasai Ngoheng-sin-kun.
Dengan ilmu Coan-hong-hui (Terbang Menembus Angin), dengan mudah saja
dia dapat mengelakkan semua serangan samurai bersinar putih itu, bahkan
ketika pedang itu menyambar pinggangnya, dia meloncat ke atas dan turun
di atas punggung samurai! Sejenak dia menginjak samurai itu, lalu melompat
ke atas lagi dan berjungkir balik ketika samurai menyambar-nyambar. Hinaka
merasa seperti dipermainkan seekor burung wallet yang gesit sekali.
Setelah belasan jurus lewat dengan menyambar-nyambarnya samurai yang
selalu dielakkan Cin Po, kini Cin Po membalas. Dia bersilat dengan Tiam-hiat-
250 tung (Tongkat Penotok Jalan Darah), dan rantingnya itu meluncur ke sana sini
mengejar tubuh Hinaka dengan mencari jalan darahnya.
Hinaka terkejut sekali karena dia merasa betapa ranting itu menyambar
dengan kekuatan dahsyat

Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendatangkan angin! Dia mencoba untuk menggunakan samurainya menangkis dan membabat putus ranting itu, akan
tetapi ranting itu bergerak cepat sekali sehingga tangkisannya tidak pernah
mengena. Setelah menyerang berulang kali dengan totokan rantingnya, dan selalu
meleset atau tertangkis pedang, akhirnya Cin Po berhasil menotok pundak si
mata sipit itu dengan ujung rantingnya.
"Tukk!" Si mata sipit terhuyung ke belakang, akan tetapi tidak roboh! Tahulah
Cin Po bahwa Hinaka ini memiliki tubuh yang kebal, maka dia lalu mengubah
gerakannya. Kini memainkan Hui-sin-kiam-sut. Yang membuat rantingnya
seperti seekor ular terbang yang menyambar-nyambar ganas sekali dan
berulang kali mengarah kedua mata lawan!
Hinaka terkejut dan seketika dia terdesak mundur. Gerakan ranting lawannya
sedemikian cepatnya sehingga dia tidak sempat untuk membalas sama sekali.
Pada saat itu, melihat Hinaka terdesak, ketua bajak Tengkorak Putih lalu
memberi aba-aba kepada anak buahnya. Menyeranglah anak buah bajak laut
Tengkorak Putih itu, menyerbu ke arah anak buah Pulau Hiu. Melihat ini,
Huang-hai Sian-li dan Hui Ing mengamuk.
Biarpun jumlah para penyerbu itu jauh lebih besar, akan tetapi dengan adanya
dua orang wanita itu, mereka menjadi kocar-kacir.
251 Kepala bajak laut Tengkorak Putih dan tiga orang temannya juga sudah maju,
mereka dihadapi Hui Ing, Sian-li dan Tok-gan Kim-go.
Melihat pihak musuh yang bertindak curang dan tidak memegang janji, Cin Po
menjadi marah. Rantingnya bergerak cepat dan sekali ini, leher Hinaka
tertotok yang membuatnya sejenak menjadi kaku.
Saat itu dipergunakan oleh Cin Po untuk menendangnya sehingga dia roboh
terjengkang. Cin Po lalu membantu Hui Ing yang dikeroyok dua oleh Komura
dan Yamoto sehingga dalam beberapa jurus saja kedua orang Jepang itu
sudah roboh tersungkur. Keadaan anak buah bajak laut Tengkorak Putih
menjadi semakin panik dan akhirnya mereka semua melarikan diri sambil
menyeret teman-teman yang terluka.
Huang-hai Sian-li dan anak buahnya mengejar sampai musuh melarikan diri
ke dalam tiga perahu besar dan berlayar meninggalkan Pulau Hiu dengan
menderita kekalahan besar.
"Mudah-mudahan mereka akan jera untuk mengganggu kami lagi!" kata Sianli dengan gembira. "Terima kasih, toako dan engkau, juga Enci Hui Ing."
Huang-hai Sian-li kemenangan itu. lalu mengadakan Beberapa kali ia pesta besar mengangkat untuk cawan merayakan arak untuk menghormati ke dua orang tamunya dan melihat sikap yang demikian ramah
dan mesra dari Huang-hai Sian-li, Hui Ing seringkali mengerutkan alisnya.
Setelah pesta selesai, Cin Po dapat menukar bajunya yang dipinjamkan
kepadanya itu dengan bajunya sendiri yang sudah kering. Dia lalu mendapat
kesempatan bicara berdua dengan Hui Ing.
252 "Sian-li itu baik sekali, koko. Tidak pantas ia menjadi kepala bajak laut," kata
Hui Ing. "Biarpun menjadi kepala bajak laut, akan tetapi ia menggunakan peraturan
yang keras melarang anak buahnya menggunakan kekejaman terhadap para
korbannya." "Engkau agaknya sudah mengenal baik padanya, koko."
"Memang aku sudah mengenalnya dengan baik sekali. Lupakah kau, Ing-moi"
Aku sudah memberitahu kepadamu bahwa ia adalah puteri Tung-hai Mo-ong!"
"Kalau begitu, mengapa?"
"Aih, benar saja engkau sudah lupa. Bukankah aku dahulu sudah bercerita
kepadamu betapa aku ditawan oleh Tung-hai Mo-ong dan nyawaku terancam
karena dia hendak memaksaku menjadi mantunya?"
Hui Ing terbelalak. Baru sekarang ia teringat.
"Aihh........ jadi Sian-li itulah puteri Tung-hai Mo-ong yang hendak dikawinkan
denganmu, koko?" "Begitulah. Aku tidak setuju dan Tung-hai Mo-ong merobohkanku, menawanku dan membelenggu kakiku, dan Sian-li itulah yang membebaskan
aku. Kemudian, menurut ceritanya tadi, ayahnya marah kepadanya karena
membebaskanku dan kemarahan ayahnya itu membuat ia minggat sehingga
menjadi kepala bajak laut di sini."
"Ahhh?" ohhh".. ahhhh?"."
253 "Heii, kenapa engkau ber ah-oh-ah seperti itu?"
"Aku sungguh heran sekali, koko. Heran setengah mati. Sian-li adalah seorang
gadis yang luar biasa, lihai pandai dan cantik seperti bidadari!"
"Kenapa engkau tahu ia cantik seperti bidadari" Bagaimana engkau tahu,
kalau ia bercadar terus?"
"Dari suaranya, dari bentuk mukanya, dan bentuk tubuhnya, warna kulitnya,
aku yakin ia seorang gadis yang luar biasa cantiknya, akan tetapi engkau
menolak untuk menjadi jodohnya!"
"Ingat Ing-moi. Ketika itu aku baru berusia sembilanbelas tahun, masih
remaja, masih belum memikirkan perjodohan sama sekali. Bahkan sekarangpun tidak." "Akan tetapi ia kelihatannya amat memperhatikanmu, koko. Kelihatan begitu
mesra. Hal ini dapat kutangkap dari cara ia berbicara kepadamu."
"Sudahlah, Ing-moi. Jangan bicarakan urusan itu lagi. Yang terpenting bagi
kita, Sian-li mau mengantar kita ke Pulau Iblis mencari siang-kiam seperti
yang dipesan oleh suhu itu."
Akan tetapi diam-diam Hui Ing masih merasa penasaran sekali. Biarpun Cin
Po tidak memperlihatkan bahwa pemuda itu cinta kepada Sian-li, hanya
bersikap akrab, namun ia tidak dapat salah lihat atau salah dengar.
Gadis berkerudung itu pasti mencinta kakak angkatnya. Pasti! Maka, ia belum
puas kalau belum mendengar sendiri hal itu dari Sian-li.
254 Ketika ia mendapat kesempatan bertemu berdua saja dengan Sian-li, di taman
yang indah belakang rumah besar itu, ia langsung saja bicara tentang
kakaknya kepada ketua bajak laut Pulau Hiu itu.
"Sian-li, bagaimana pendapatmu tentang kakakku, Cin Po?"
Sian-li memandang dari balik kerudungnya, sepasang mata yang bersinar
tajam. "Apa?". maksudmu, enci Ing?" tanyanya.
"Aku pernah mendengar dari kakakku itu bahwa?" ayahmu pernah hendak
mengambil koko sebagai mantu. Tentu akan dijodohkan denganmu, bukan?"
"Ah, enci Ing"..!" Sian-li terlejut sekali, tidak menyangka bahwa Hui Ing tahu
akan hal itu, hal yang membuat hatinya terasa nyeri sampai sekarang. Bahkan
sampai ia menjadi kepala bajak laut adalah gara-gara ikatan jodoh yang
terputus itu! "Aku?" aku tidak mengerti mengapa engkau menanyakan soal itu kepadaku."
"Aku ingin sekali tahu, adik Sian-li. Kakakku menolak dijodohkan denganmu
karena memang dia belum memikirkan tentang perjodohan pada waktu itu.
Akan tetapi engkau yang ditolak, engkau malah membebaskannya. Dan
engkau malah bercekcok dengan ayahmu sehingga engkau melarikan diri dan
menjadi kepala bajak laut di sini. Kemudian, engkau bahkan menyelamatkan
kami dari kematian tenggelam. Sian-li, engkau tentu?", amat mencinta
kakak Cin Po, bukan?"
"Aih, enci Ing, kenapa engkau bicara tentang itu" Bicaralah tentang lain hal!"
255 "Tidak, adik Sian-li, aku ingin kepastian. Aku yakin bahwa engkau melakukan
itu karena engkau mencinta kakak Cin Po. Dan sampai kinipun engkau masih
mencintanya, hal ini dapat kudengar dari ucapanmu kalau bicara dengannya,
dari sikap dan sinar matamu yang seolah menembus cadarmu. Engkau
mencinta kakak Cin Po, bukan?"
"Enci Ing, kau?" kau cemburu kepadaku?"
Hui Ing terkejut sekali. Wajahnya berubah kemerahan. Bagaimana gadis
berkerudung itu dapat menduga demikian tepat" Seolah menyerang dengan
tusukan pedang yang menembus jantungnya. Akan tetapi ia mencoba untuk
mengelak. "Ihh, aku adalah adiknya!" katanya seperti membantah suara hatinya sendiri.
"Bukan, enci Ing. Kalau engkau adiknya, tentu engkau juga bermarga Sung
seperti dia. Akan tetapi margamu Kwan, hal itu saja sudah membuktikan
bahwa engkau bukan apa-apanya, mungkin hanya adik seperguruan. Dan aku
dapat melihat jelas bahwa engkau amat mencintanya, enci Ing. Karena itu
engkau cemburu kepadaku."
"Ngawur! Kakak Cin Po mencintamu, adik Sian-li. Dahulu, dua tahun yang lalu
mungkin dia belum memikirkan perjodohan. Akan tetapi sekarang, hemm, dia
tentu mencintamu. Engkau begini bijaksana, pandai dan cantik jelita. Aku
yakin dia pasti mencintaimu!"
"Enci Ing, harap jangan khawatir. Engkau keliru kalau mencemburuiku. Aku
tidak patut kau cemburui, karena?" karena?"" Tiba-tiba ia membuka
kerudungnya dan berkata, "Lihatlah sendiri!"
256 Hui Ing memandang dan matanya terbelalak, mukanya berubah agak pucat.
Hanya sebentar kerudung itu menutup kembali.
"Kau lihat sendiri. Mungkinkah orang seperti aku ada yang mencintai"
Mungkinkah?" Suara itu mengandung kegetiran dan kesedihan.
Sejenak Hui Ing tidak mampu bicara. Perasaan iba yang sangat besar
menyelinap di hatinya dan iapun lalu merangkul Sian-li,
"Adik Sian-li, ah, maafkan aku?" percayalah, yang pasti aku mencintamu,
adik Sian-li!" Sian-li menghela napas panjang dan menepuk-nepuk pundak Hui Ing, "Enci
Ing, engkau memang pantas kalau berjodoh dengan twako Cin Po. Kalian
memang cocok sekali, sama-sama lihai, dan sudah lama melakukan
perjalanan hidup berdua. Dan engkau baik sekali, enci Ing, aku mengiri atas
keberuntunganmu." "Jangan menyangka yang bukan-bukan, adik Sian-li. Terus terang saja, aku
memang amat mencinta koko, akan tetapi kadang terasa betapa hatiku
bimbang ragu. Kadang aku menganggap dan mencintainya seperti seorang
adik kepada kakaknya, dan terkadang?"." Ia tidak mampu melanjutkan.
"Hal itu adalah karena sudah lama kalian berkumpul sebagai kakak beradik.
Akan tetapi kalau memang dia mencintaimu seperti seorang pria mencinta
wanita?"" "Ah, aku tidak tahu, adik Sian-li. Aku tidak tahu dan aku kadang merasa
bingung sendiri!" 257 Kembali Sian-li menghela napas panjang. "Cinta memang aneh, dan ganjilnya,
lebih banyak mendatangkan tangis dari pada tawa. Akan tetapi aku
memujikan engkau akan berbabagia dalam cintamu, enci Ing."
"Aku juga mendoakan semoga engkau akan dapat sembuh dari penyakit yang
menodai wajahmu, adikku. Kalau wajahmu bersih dari noda itu, engkau akan
menjadi wanita tercantik di dunia ini dan semua pemuda tentu akan bertekuk
lutut di bawah telapak kakimu!"
"Aih, engkau bisa saja, enci. Sudahlah, mari kita bicarakan urusan lain. Nah,
itu dia orang yang kita bicarakan muncul."
Cin Po memasuki taman itu dan melihat ke dua orang gadis itu sedang
bercakap-cakap maka segera dia menghampiri.
"Eh, Ing-moi, kiranya engkau berada di sini" Kebetulan sekali, aku juga
sedang mencarimu, Sian-li!"
"Hemm, kenapa engkau mencari adik Sian-li?" tanya Hui Ing.
"Ingin menanyakan tentang Pulau Iblis. Kapan kita dapat berangkat ke sana?"
"Oya, Sian-li, siapakah yang akan dapat mengantar kami ke pulau itu" Kami
ingin segera mengunjunginya!"
Sian-li menghela napas. "Sebetulnya aku khawatir sekali melihat kalian
hendak mengunjungi tempat yang mengerikan itu. Akan tetapi aku telah
menyaksikan sendiri kelihaian kalian, maka aku menjadi berani. Aku
sendirilah bersama beberapa orang pembantuku yang akan mengantar kalian
ke sana. 258 "Akan tetapi sebelum kita berangkat, bolehkah aku mengetahui apa keperluan
kalian pergi ke tempat yang mengerikan itu" Kalau tidak untuk keperluan yang
teramat penting, mengapa tempat seperti itu dikunjungi?"
Hui Ing bertukar pandang mata dengan Cin Po dan gadis itu berkata. "Koko,
tidak ada buruknya kalau kita memberi tahu Sian-li, bagaimanapun juga ia
adalah sahabat kita yang baik, bukan?"
Cin Po mengangguk. "Terus terang saja, Sian-li, kami memenuhi permintaan
Suhu kami untuk mencari kembali pedang Suhu kami yang dicuri orang.
Pencurinya berada di pulau Iblis itulah."
"Ahhh?"! Sudah kuduga dan kucurigai bahwa yang beraksi sebagai iblis
itupun manusia juga. Tentu manusia yang sakti. Kalian harus berhati-hati
sekali!" "Demi memenuhi permintaan suhu, kami tentu saja akan berani menghadapi
bahaya apapun!" kata Hui Ing.
"Aku tertarik sekali. Aku sendiri yang akan memimpin para pembantuku
mengantar kalian ke sana. Kita menggunakan perahu kami yang terbaik!"
"Lalu kapan kita akan berangkat?" tanya Hui Ing.
"Biarpun perjalanan menuju ke pulau itu hanya makan waktu seperempat
hari, akan tetapi sebaiknya kalau kita berangkat pagi-pagi sekali besok, agar
kita tiba di sana, setelah matahari cerah."
"Bagus! Aku sudah lama ingin sekali melihat lagi munculnya matahari pagi
dari permukaan laut!" kata Hui Ing gembira.
259 Ia pernah satu kali melihat munculnya matahari pagi di permukaan laut dan
ingin sekali menikmati kembali pemandangan yang hebat itu. Berbeda jauh
pemandangannya antara munculnya matahari dari permukaan laut dengan
munculnya matahari dari balik puncak gunung yang sudah seringkali
dilihatnya. Malam itu mereka berkemas. Hui Ing dan Cin Po dalam kamar masing-masing
melakukan samadhi untuk menghimpun tenaga murni karena besok mereka
akan melakukan tugas penting yang mungkin sekali mengandung bahaya.
"Y" Cin Po tetah selesai bersamadhi dan hendak tidur. Akan tetapi entah mengapa
dia merasa gelisah. Mungkin karena hawa udara agak panas malam itu. Dia
harus mendapatkan hawa segar. Maka, dengan perlahan agar tidak
menimbulkan suara, dia membuka pintu jendelanya.
Bau harum semerbak menerpa hidungnya. Daun jendela terbuka, hawa masuk
dari taman membawa keharuman aneka bunga. Hal ini menimbulkan
semangat baginya. Dia melihat beberapa lampu gantung di taman.
Sebaiknya mencari kesegaran dan kesejukan dalam taman, pikirnya. Dengan


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerakan ringan, setelah mengenakan sepatunya, dia melompat keluar melalui
jendela kamarnya dan berjalan-jalan dalam taman itu.
Setelah tiba di tengah taman, tiba-tiba dia menahan kakinya. Ada suara orang
terisak di dalam taman! Berindap-indap dia menghampiri dan dalam keremangan cahaya lampu
gantung dia melihat bahwa yang menangis itu adalah Kui Ciok Hwa atau
260 Huang-hai Sian-li! Gadis itu duduk di atas bangku dekat kolam ikan dan
menangis terisak-isak. Begitu sedih tangisnya sehingga Cin Po tidak berani bernapas keras, hanya
mengintai dari balik batang pohon besar yang tumbuh di situ.
"Cin Po ahhh?" twako Cin Po......." Gadis itu mengeluh dan menangis
sesenggukkan. Tentu saja dia terkejut sekali. Gadis itu menangis karena dia! Dan teringatlah
dia akan peristiwa dua tahun yang lalu. Dia hendak dijodohkan dengan gadis
ini dan karena dia menolak, dia dihajar dan ditawan oleh Tung-hai Mo-ong.
Akan tetapi gadis ini membebaskannya, dengan berkorban diri dimarahi
ayahnya! Dan ketika berpisah, gadis ini ingin dianggap sebagai seorang
sahabat baik! Sekarang, secara kebetulan saja, mereka bertemu lagi dan kembali gadis itu
telah menolongnya, menyelamatkan nyawanya dan nyawa Hui Ing! Dan kini,
malam-malam di taman, gadis itu menangis dan menyebut-nyebut namanya.
Cin Po terharu bukan main. Kini mengertilah dia bahwa Kui Ciok Hwa mencinta
dirinya! Dan menangis karena merasa ditolak olehnya, ditolak karena
wajahnya yang cacat. "Twako Cin Po"..... mengapa aku tidak mati saja?"" Ah, mengapa aku harus
hidup menderita begini?"?"
Isak tangis yang memilukan hati itu, membuat Cin Po tidak dapat menahan
dirinya lagi. 261 Sebetulnya, dia merasa amat tertarik kepada gadis ini, kepada kepribadiannya. Entah itu perasaan cinta atau bukan, dia sendiri tidak tahu.
Akan tetapi dia merasa sangat kasihan, dan ingin sekali melihat gadis itu
berbahagia, tidak bersedih seperti sekarang ini.
"Ciok Hwa?".!" Dia memanggil dan mendekat.
Huang-hai Sian-li tersentak kaget, berbangkit dan membalikkan tubuhnya.
Ketika dia melihat bahwa yang memanggil namanya itu Cin Po yang sedang
ditangisinya, tentu saja ia terkejut bukan main. Ia merasa malu dan salah
tingkah. "Kau...... kau"..?" Ia tergagap.
"Ciok Hwa, kenapa engkau menangis seorang diri di sini, malam-malam
begini?" "Aku?" aku......, ah, tidak apa-apa twako?"!"
Cin Po memegang kedua tangan gadis itu. Serasa begitu lembut dan halus,
begitu hangat dan kedua tangan itu terasa seperti anak-anak ayam yang
menggetar dalam genggamannya.
"Hwa-moi, engkau?" menangis karena aku" Tadi kudengar engkau menyebut-nyebut namaku"...."
"Tidak........ tidak".. aku tidak berani?". ahh, lepaskan tanganku, twako".."
Ia menangis lagi, mengguguk.
262 Cin Po tidak melepaskan tangan itu, bahkan merangkul pundak Huang-hai
Sian-li. "Hwa-moi, katakan terus terang saja, engkau mencinta aku, bukan?"
"Ohhhh?" bagaimana aku berani" Aku yang seburuk ini........"
"Engkau tidak buruk, Hwa-moi. Engkau gadis yang paling bijaksana, baik dan
berhati mulia bagiku. Terus terang saja, Hwa-moi, sekarang aku berani
menyatakan bahwa akupun cinta padamu."
Ciok Hwa menjerit kecil dan melepaskan tangannya, melompat ke belakang.
Ia menyingkap kerudungnya.
"Lihat, lihat baik-baik, twako! Apakah engkau tidak jijik, tidak ngeri melihat
wajahku yang cacat ini?"
Cin Po tersenyum. "Sama sekali tidak, Hwa-moi. Engkau memiliki batin yang cantik, dan engkau
juga memiliki jasmani yang cantik jelita, hanya wajahmu cacat karena sakit,
dan aku bersumpah akan mencarikan obat untuk menyembuhkan cacat di
wajahmu itu. Aku cinta padamu, Ciok Hwa." Cin Po menghampiri lagi dan
merangkul. Ciok Hwa seperti tidak percaya kepada semua itu. Ia menatap wajah Cin Po,
menatap matanya, kemudian dia menjerit dan menangis di atas dada Cin Po,
sesenggukan dan pundaknya terguncang-guncang.
263 "Ciok Hwa, demikian besar pengorbananmu demi cintamu kepadaku. Aku
dapat merasakan besarnya cintamu padaku, dan aku menghargainya, aku
berterima kasih sekali dan dari cintamu yang demikian besar itulah tumbuh
perasaan sayang dan cinta dalam hatiku untukmu. Biarlah kelak aku akan
menghadap ayahmu untuk meminangmu. Mudah-mudahan dia tidak marah
lagi kepadaku dan kepadamu."
"Twako Cin Po, ahh?" twako........"
Dapat dibayangkan kebahagiaan yang terasa di dalam hati gadis itu. Baru saja
ia merasa menjadi orang yang paling sengsara di dunia ini, mencintai seorang
laki-laki yang tentu merasa benci dan jijik kepadanya. Dan kini, tanpa
disangka-sangkanya, pemuda itu menyatakan cintanya kepadanya.
Dari orang yang paling sengsara hidupnya kini berubah menjadi orang yang
paling bahagia! Betapa anehnya cinta! Dalam sekejap waktu saja dapat
mengubah keadaan hati seorang manusia. Dapat mengubah neraka menjadi
sorga, dari sorga berbalik menjadi neraka.
Dari jauh Hui Ing melihat ini semua. Iapun tidak dapat tidur dan keluar dari
kamarnya memasuki taman mencari udara segar. Tadinya ia merasa curiga
melihat seorang wanita dan seorang pria di taman, lalu ia menyusup agak
mendekat dan masih sempat melihat betapa Huang-hai Sian-li menangis
dalam pelukan Cin Po. Hampir ia tidak dapat percaya akan penglihatannya sendiri. Kalau Huang-hai
Sian-li jatuh cinta kepada kakaknya, ia sama sekali tidak merasa aneh.
Kakaknya memang pantas untuk menjatuhkan hati gadis yang mana saja.
264 Akan tetapi kakaknya mencinta Huang-hai Sian-li" Rasanya tidak mungkin.
Pria mana yang dapat jatuh cinta, kepada wanita yang mukanya buruk dan
cacat seperti itu, menjijikkan dan mengerikan"
Tidak, tidak mungkin Cin Po mencinta Sian-li, tentu hanya kasihan saja. Dan
kasihan bukanlah cinta. Ia harus minta ketegasan dari Cin Po.
Ia tidak mau kehilangan pemuda yang dicintanya itu. Dengan muka merah
dan mata basah Hui Ing menyelinap pergi, kembali ke dalam kamarnya akan
tetapi semalam itu ia tidak dapat tidur pulas.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hui Ing sudah menemui Cin Po dan
mengajak kakaknya ini bicara empat mata. Cin Po merasa heran melihat sikap
adiknya tidak seperti biasa, sekali ini sikapnya demikian serius.
"Ada apakah, Ing-moi?"
"Koko, katakanlah terus terang, apakah engkau menyayangku seperti aku
menyayangmu, mencintaku seperti aku mencintamu?"
Tentu saja Cin Po tertegun mendengar pertanyaan yang lebih menyerupai
serangan dan tuntutan itu. Dia tertawa memandang kepada gadis itu dengan
mata terbelalak, merasa lucu dan berkata,
"Aih, engkau semalam mimpi apakah, Ing-moi" Pagi-pagi sudah menanyakan
yang aneh-aneh. Tidak usah kau tanya juga tentu engkau sudah mengerti dan
yakin bahwa aku sayang dan cinta padamu. Engkau adalah adikku, mana ada
kakak yang tidak sayang kepada adiknya?"
265 "Akan tetapi, aku bukan adikmu, koko, dan engkau bukan kakakku. Bahkan
di antara kita tidak ada hubungan darah sedikitpun juga!"
"Heii, kenapa engkau berkata demikian, adikku" Ingat, kita dibesarkan dari
dada yang sama! Kita dirawat sejak bayi oleh sepasang tangan ibu yang sama!
Masih kurangkah itu menjadi penghubung di antara kita"
"Aku selalu memandangmu sebagai adikku sendiri, Ing-moi. Sukar rasanya
untuk memandang demikian, karena sejak berusia kecil sekali, sejak bayi kita
telah bersama-sama."
Hati kecil Hui Ing menjerit. "Aku tidak mau menjadi adikmu!" Akan tetapi
mulutnya tidak mengatakan itu dan iapun menangis.
Cin Po merasa heran dan khawatir, dihampirinya Hui Ing dan dia mengelus
rambut gadis itu dengan sikap menyayang.
Akan tetapi hal ini bahkan mengiris perasaan hati Hui Ing sehingga ia bangkit
berdiri dan lari meninggalkan pemuda itu sambil terisak, kembali ke dalam
kamarnya. Tentu saja Cin Po menjadi terheran-heran.
Dia mengerutkan alisnya dan sedikit dapat menduga apa yang menyebabkan
adiknya bersikap seperti itu. Agaknya adiknya itu mencintanya seperti
seorang gadis mencinta seorang pria! Akan tetapi tidak, hal itu harus dicegah!
Dia sudah terlanjur memandang gadis itu seperti adiknya sendiri.
Bagaimana mungkin dia mencintanya seperti seorang pria terhadap seorang
wanita" Apa lagi cintanya telah diberikannya kepada Ciok Hwa, dan semalam
dia telah menyatakan cintanya itu.
266 Diapun berkemas dan ketika bertemu dengan Hui Ing lagi, ternyata gadis itu
telah pulih dan sikapnya telah biasa kembali, lincah gembira sehingga diapun
terhibur dan tidak mau menyatakan sesuatu yang mengingatkan gadis itu
akan percakapannya pagi tadi. Diapun bersikap pura-pura tidak pernah ada
percakapan itu. "Enci Ing, sekali ini engkau dan twako Cin Po harus memperlengkapi diri
dengan sebatang pedang. Aku merasa bahwa dia yang tinggal di Pulau Iblis
itu tentulah orang yang sakti sekali, maka kalian berdua harus bersiap-siap
menjaga diri," kata Huang-hai Sian-li sambil menyerahkan sebatang pedang
kepada masing-masing. Hui Ing memandang kepada kakaknya dan Cin Po mengangguk, maka mereka
menerima bekal pedang itu dan mengikatkan di punggung mereka. Ketua
bajak laut Pulau Hiu itu membawa anak buah pilihan sebanyak limabelas
orang dan merekapun berangkatlah menggunakan perahu mereka yang paling
baik. Setelah layar dikembangkan, perahu meluncur dengan pesatnya menuju ke
tengah samudera. Berbeda rasanya menumpang perahu besar dibandingkan
perahu kecil ketika mereka berlayar kemarin dulu. Perahu besar tidak begitu
terguncang ombak sehingga Cin Po dan Hui Ing dapat menikmati pelayaran
ini. Kurang lebih tiga jam pelayaran, akhirnya Sian-li menudingkan telunjuknya
dan berkata, "Lihat! Itulah Pulau Iblis!"
Berdebar juga rasa hati Cin Po dan Hui Ing mendengar ini dan mereka
memutar tubuh memandang ke arah yang ditunjuk. Benar saja, nampak
267 sebuah pulau yang nampak menghitam dari tempat itu. Tidak besar dan
bentuknya bundar, berdiri terpencil sendiri di tengah samudera itu.
Para anak buah jelas kelihatan ketakutan karena mereka adalah mereka yang
dulu pernah bersama Huang-hai Sian-li menderita ketakutan hebat ketika
mencoba untuk mendarat di pulau itu. Akan tetapi Cin Po minta kepada Sianli dengan suara lantang, "Sian-li, harap dekatkan perahu ke pulau itu."
Huang-hai Sian-li memberi perintah anak buahnya. "Jangan takut. Dekatkan
perahu ke pulau dan pilih daratan yang landai. Kita akan mendarat!"
Biarpun ketakutan, para anak buah itu menaati perintah ketua mereka dan
tak lama kemudian perahu itu telah menempel di daratan yang landai.
Ternyata pulau itu cukup subur dengan pohon-pohon besar dan banyak pula
batu-batuan yang besar di sana sini.
Nampaknya seperti pulau kosong karena tidak kelihatan apa-apa kecuali
pohon-pohon dan batu-batu. Bahkan tidak kelihatan seekor binatang, tidak
nampak seekorpun burung beterbangan di atas pulau itu.
"Seperti pulau mati saja," kata Huang-hai Sian-li berbisik dan dari suaranya
jelas bahwa gadis ini nampak gentar.
Mendengar suara ini, Cin Po memegang tangan Huang-hai Sian-li dan berkata,
"Tenanglah, kita telah siap siaga menghadapi apapun juga, bukan?"
Merasa tangannya dipegang pemuda itu, Sian-li mengangguk dan nampak
bersemangat. Hal ini tidak lepas dari pandang mata Hui Ing. Gadis ini menjadi
tak senang dan marah, lalu melampiaskan kemarahannya dengan berteriak
nyaring melengking. 268 "Ahooiiii?".! Kalau ada penghuni Pulau Iblis ini, keluarlah menemui kami!"
Cin Po agak terkejut juga melihat kelancangan adiknya, akan tetapi dia tidak
menegur karena bagaimanapun juga, mungkin teriakan adiknya itu ada
gunanya untuk memancing keluar penghuni pulau. Memang lebih baik kalau
penghuni pulau itu yang keluar menyambut mereka dari pada mereka
memasuki daerah yang tidak dikenal dan mudah masuk perangkap.
Tidak lama mereka menanti setelah Hui Ing mengeluarkan kata-kata tadi,
terdengarlah suara gerengan yang menggetarkan seluruh pulau. Anak buah
bajak laut Pulau Hiu jatuh bangun melarikan diri kembali ke perahu
mendengar gerengan itu. Akan tetapi Huang-hai Sian-li meneriaki mereka agar kemhali dan siap siaga.
Ia sendiri agak gemetar berdiri di belakang Cin Po seolah berlindung kepada
pemuda itu. Hui Ing sama sekali tidak kelihatan gentar. Ia dan Cin Po berdiri tegak menanti
apa yang akan muncul setelah ada suara yang demikian nyaring menggetarkan itu. Dan seperti pernah diceritakan Sian-li kepada mereka. Mendadak dari balik
sebuah batu besar muncul seekor makhluk yang menyeramkan sekali.
Makhluk itu besar dan makin membesar seperti asap hitam bergumpalgumpal.
Nampak seperti seorang raksasa dengan mulut seperti mulut harimau dan
matanya bernyala-nyala, kedua lengannya yang besar itu dikembangkan dan
tangannya membentuk cakar. Sungguh mengerikan dan tidaklah 269 mengherankan kalau semua anak buah bajak menjatuhkan diri berlutut
sambil menggigil ketakutan.
Hui Ing dan Cin Po memandang tajam, sedangkan Sian-li yang ketakutan
memegang tangan Cin Po dari belakang, tangannya sendiri berubah dingin.
"Tenanglah," bisik Cin Po kepadanya dan melepaskan tangannya yang
dipegang. Dia sendiri harus siap siaga maka kalau tangannya dipegang dia
tidak akan leluasa bergerak.
Setelah memandang sejenak, dia dan Hui Ing maklum bahwa makhluk itu


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanyalah makhluk jadi-jadian, bukan makhluk biasa hanya muncul karena
kekuatan ilmu hitam belaka. Hui Ing lalu membungkuk, mengambil tanah dan
melompat ke depan makhluk itu sambil menyambitnya dengan segenggam
tanah. "Yang berasal dari tanah kembali kepada tanah!" bentaknya dan ia
melontarkan tanah dari tangannya dengan pengerahan tenaga sinkangnya.
"Desss?"!" Asap bergumpal-gumpal ketika makhluk itu dihantam tanah dan
asap itu membuyar dan tak lama kemudian lenyaplah makhluk yang
menyeramkan itu! Kemudian terdengar suara tawa, tawa terbahak-bahak seperti seorang gila
tertawa, atau seperti iblis tertawa dan dari belakang pohon muncullah seorang
laki-laki tua menunggang seekor harimau!
Kakek itu kurus kering, pakaiannya kedodoran, mukanya seperti tengkorak
dan hanya matanya saja yang mencorong dan bergerak liar seperti mata
orang gila. Rambutnya awut-awutan dan kakek itu sukar ditaksir usianya,
270 namun jelas bahwa dia tentu sudah berusia lanjut, mungkin tujuhpuluh tahun
lebih. Dia tertawa-tawa seperti orang gila sambil memandang ke arah Hui Ing.
"Wah, wah, seorang gadis cilik dapat memusnahkan makhluk yang kuciptakan. He, heh, anak perempuan kecil, engkau mau apakah datang ke
tempat ini?" Sekarang Cin Po yang maju. Dia merangkap kedua tangan depan dada,
kemudian berkata dengan sikap hormat.
"Locianpwe, kami berdua menerima perintah dari Suhu kami untuk datang ke
pulau ini dan mencari kembali Im-yang Siang-kiam. Tidak tahu apakah
locianpwe mengetahui di mana Im-yang Siang-kiam itu"`
"Ha-ha-ha, siapakah gurumu itu" Hayo katakan, siapa gurumu yang
menyuruh kalian mencari Im-yang Siang-kiam?"
Hui Ing cepat menjawab. "Guru kami tidak bernama, karena itu kami
menyebutnya Bu Beng Lojin! Kalau engkau mengetahui, lekas beritahukan
kepada kami. Jangan-jangan engkaulah pencuri pedang itu, kakek tua!"
"Ha-ha-ha, aku Bhok Seng Cun tidak pernah berbohong. Aku tidak takut
mengakui bahwa memang akulah yang mencuri pedang itu dari Orang Tua
Tanpa Nama. Aku yang melarikannya darinya.
"Dan sekarang dia menyuruh kalian berdua datang untuk mendapatkan
kembali" Ha-ha, apakah kalian orang-orang muda sudah bosan hidup"
Pergilah, pergilah, jangan membuat aku marah karena kalau aku marah kalian
pasti akan hancur lebur!"
271 "Kakek Bhok Seng Cun, kami harap engkau suka menyadari bahwa mencuri
itu merupakan perbuatan yang buruk sekali. Suhu kami telah bersikap sabar
dan membiarkan engkau melarikan pedang itu dan sekarang mengutus kami
untuk minta kembali pedang itu darimu.
"Kami menaati perintah Suhu, biar bagaimanapun, kami tidak akan takut dan
mundur sebelum engkau mengembalikan pedang itu kepada kami. Karena itu,
orang tua yang baik, kalau engkau tidak ingin melihat dilawan oleh orangorang muda yang pantas menjadi cucumu, harap kembalikan Im-yang Siangkiam kepada kami!"
"Ha-ha-ha, kalian orang-orang muda berani bicara besar! Lihat, Im-yang
Siang- kiam!" katanya aambil memasukkan tangan ke balik jubahnya yang
terlalu besar untuknya itu dan di lain saat, dia telah memegang sepasang
pedang yang mengeluarkan cahaya berkilauan. Yang sebatang mempunyai
sinar putih dan yang sebatang lagi agak kemerahan.
Melihat pedang itu, Cin Po dan Hui Ing menjadi kagum. Itulah pedang yang
harus mereka rampas dan oleh Bu Beng Lojin telah diberikan kepada mereka.
Mereka harus merampasnya, bukan karena ingin memiliki pedang yang hebat
itu, melainkan demi menaati pesan guru mereka!
"Kakek Bhok Seng Cun, serahkan pedang itu kepada kami!" kata Hui Ing
dengan nyaring. "Ha-ha, siapakah kalian ini berani memaksaku untuk menyerahkan pedang"
Hayo katakan siapa nama kalian agar aku tidak membunuh orang-orang tanpa
nama!" 272 "Aku bernama Sung Cin Po dan ini adikku bernama Kwan Hui Ing! Orang tua,
alangkah malunya menyimpan pedang curian, sebaiknya berikan kepada yang
berhak!" kata Cin Po.
"Sung Cin Po dan Kwan Hui Ing, kalian bertemu dengan aku orang tua, tidak
lekas berlutut menanti apa lagi! Hayo kalian cepat berlutut!" katanya dan
menudingkan ke dua pedangnya ke arah dua orang muda itu.
Dan tanpa dapat dicegah lagi, tiba-tiba saja Cin Po dan Hui Ing menjatuhkan
diri berlutut! Kakek itu tertawa bergelak akan tetapi di tengah-tengah tawanya
dia berhenti karena melihat dua orang muda itu telah melompat bangun
kembali. Kiranya sihirnya hanya sebentar saja mempengaruhi ke dua orang
muda itu. Tiba-tiba dia tertawa bergelak, suara tawanya demikian hebat sehingga para
anak buah bajak jatuh bergulingan, sedangkan Huang-hai Sian-li sendiri cepat
duduk bersila mengerahkan khi-kang untuk menahan suara tawa yang seperti
ujung pedang menusuk-nusuk ke dua telinganya. Akan tetapi Cin Po dan Hui
Ing tidak terpengaruh sama sekali.
Kakek itu lalu menggerakkan pedang, mulutnya berkemak kemik dan
menudingkan kedua pedangnya ke depan. Seketika muncul dua ekor naga
yang menyerbu ke arah dua orang muda itu.
Melihat ini, Huang-hai Sian-li gemetar dan khawatir sekali akan keselamatan
Hui Ing dan Cin Po. Akan tetapi, kedua orang muda itu kembali mengambil
tanah dan sekali sambit, dun ekor naga jadi-jadian itupun runtuh dan lenyap.
273 Kembali kakek itu menggerak-gerakkan Im-yang Siang-kiam dan berkemak
kemik, kini dari udara datang kilat menyambar-nyambar disertai suara
bergemuruh menyambar ke arah mereka semua.
Para anak buah bajak menjerit-jerit dan mereka jatuh berpelantingan. Huanghai Sian-li sendiri tubuhnya berguncang ketika kilat-kilat itu menyambarnya.
Akan tetapi Cin Po dan Hui Ing menggerak-gerakkan tangan lalu telunjuknya
menuding ke atas dan seketika kilat-kilat itupun berhenti dan lenyap. Akan
tetapi di antara anak buah bajak laut itu banyak yang babak belur dan bahkan
ada pula yang tewas saking ketakutan!
Melihat ini, marahlah Cin Po. "Bhok Seng Cun, engkau membunuhi orang yang
tidak bersalah, dosamu sungguh besar dan kami mewakili suhu untuk
memberi hukuman kepadamu!"
Setelah berkata demikian, Cin Po lalu memukul dari jarak jauh dengan
dorongan ke dua tangannya. Ada angin keras menyambar ke arah kakek itu
yang melompat dari atas punggung harimau.
Kemudian kakek itu berteriak aneh dan sang harimau besar agaknya mengerti
akan perintah itu karena tiba-tiba saja dia menubruk ke arah Cin Po sambil
menggereng keras. Melihat ini, Cin Po mengelak ke samping sambil mencabut pedang yang
diberikan oleh Sian-li tadi. Begitu tubuh harimau itu menyambar lewat,
pedangnya bergerak seperti kilat menusuk dada harimau. Pedang itu
menembus jantung dan sang harimau menggereng, kemudian jatuh berkelojotan dan tewas seketika.
274 Kini kakek itu yang menjadi marah sekali. "Jahat, jahat sekali engkau, orang
muda." "Tidak lebih jahat dari engkau, kakek Bhok Seng Cun."
"Apa kejahatanku" Selama puluhan tahun aku melayani orang tua itu, aku
selalu patuh dan setia. Akan tetapi dia membatasi diri dalam mengajarkan
ilmu kepadaku. "Maka aku lalu minggat membawa siang-kiam ini, sebagai upah atas
pelayananku selama puluhan tahun, apa itu salah" Aku tinggal mengasingkan
diri di sini, tidak mengganggu siapapun juga, kalian malah datang
mengganggu. Kalau membunuh beberapa dari orang-orangmu, apa itu
salah?" "Kamipun datang bukan untuk mengganggumu, melainkan untuk memenuhi
perintah Suhu mengambil kembali siang-kiam itu. Engkau tidak mau
menyerahkan secara baik-baik, bahkan menyerang kami. Harimaumu buas
dan dapat membunuh orang, maka terpaksa aku membunuhnya!
"Engkau mengatakan telah melayani suhu selama puluhan tahun, akan tetapi
buktinya engkau mendapatkan ilmu yang tinggi, apakah itu bukan merupakan
imbalan yang cukup" Akan tetapi engkau memilih jalan sesat, mencuri
pedang. Maka, sebelum terlambat, kembalikanlah Im-yang Siang-kiam
kepada kami!" "Oho-ho, tidak semudah itu, orang muda! Kaukira setelah engkau mampu
memunahkan ilmu sihirku dan membunuh tungganganku, engkau dapat
menangkan aku" Nah, majulah kalian!" tantangnya sambil memegang
sepasang pedang itu menyilang di depan dadanya.
275 "Kakek Bhok Seng Cun, engkau masih belum mengaku salah, memang
sepatutnya orang macam engkau dihajar!" bentak Hui Ing dan gadis ini sudah
menyerang dengan pedangnya.
Melihat Hui Ing sudah bergerak menyerang, Cin Po membantunya dan
menyerang dengan gerakan kilat.
Kakek itu mengelebatkan kedua pedangnya.
"Trang-tranggg?".!"
Cin Po dan Hui Ing terkejut bukan main karena pedang mereka patah bagian
ujungnya. Akan tetapi mereka tidak menjadi gentar, lalu menyerang lagi
dengan pedang buntung ujungnya itu, dan sekali ini karena maklum bahwa
lawan memegang sepasang pedang yang ampuh, mereka tidak mau mengadu
pedang mereka. Dengan gerakan yang lincah dan ringan cepat bukan main, kedua kakak
beradik itu segera dapat mendesak lawannya. Ternyata dalam hal ilmu
pedang, kakek itu tidak mampu menghadapi mereka berdua.
Memang dia memiliki ilmu pedang yang baik sekali, akan tetapi mungkin
karena usianya, gerakannya jauh kalah cepat dibandingkan Hui Ing dan Cin
Po sehingga kini dia terpaksa hanya mengelak dan memutar sepasang
pedangnya untuk melindungi tubuhnya. Setelah lewat limapuluh jurus,
napasnya sudah mulai memburu.
Melihat bahwa kalau dilanjutkan dia akan kalah, kakek itu lalu mengeluarkan
bentakan nyaring yang mengandung kekuatan sihir. Kakak beradik ini dapat
menahan serangan ini, akan tetapi terpaksa mereka berhenti menyerang
276 untuk menahan serangan suara itu dan kesempatan ini dipergunakan oleh
kakek itu untuk meloncat dan lari ke tengah pulau.
Tiba-tiba dari dalam pulau itu muncul seorang pemuda berpakaian serba hijau
dan pemuda itu membawa sebatang pedang.
"Siluman Tua, engkau hendak lari ke mana?" bentaknya dan diapun
menyerang kakek itu dengan pedangnya yang mengeluarkan sinar terang.
Kakek itu terpaksa menangkis dan pedang pemuda itu tidak patah, dan
mereka lalu bertanding dengan seru. Ternyata pemuda itu memiliki ilmu
kepandaian yang hebat pula.
Pedangnya bergerak dengan indahnya bagaikan seekor naga bermain di
angkasa. Dari gerakan ini Cin Po mengenal bahwa ilmu pedang itu tentulah
ilmu pedang Kun-lun-kiam-hoat yang terkenal indah dan berbahaya.
Karena tertahan oleh pemuda itu, sebentar saja Cin Po dan Hui Ing sudah
sampai di tempat itu dan merekapun menerjang kakek itu yang kini dikeroyok
oleh tiga orang muda yang lihai. Tidak kuatlah kakek itu dan dia pun melarikan
diri lagi setelah mengeluarkan bentakan nyaring.
Kalau Hui Ing dan Cin Po hanya tertahan sebentar penyerangan mereka
menghadapi bentakan itu, adalah si pemuda yang terhuyung ke belakang.
Agaknya ia tidak tahan menghadapi bentakan yang mengandung kekuatan
sihir ini. Cin Po dan Hui Ing mengejar lagi dan kini larinya kakek itu menuju ke sebuah
tebing yang tinggi. Dan nampaknya kakek itu sudah kehabisan napas dipakai
berlari mendaki tebing sehingga larinya semakin lambat.
277 Setelah tiba di tepi tebing pantai laut itu, dia berhenti dan ketika membalikkan
tubuhnya, dia melihat betapa dua orang muda yang lihai itu telah tiba di
depannya. Marahlah dia. "Kalian menghendaki siang-kiam ini" Nah, terimalah!" Dengan sisa tenaganya, dia melontarkan pedang itu.
Pedang itu bagaikan anak panah meluncur ke arah Cin Po dan Hui Ing. Bagi
orang lain, serangan ini dapat merupakan serangan maut karena pedang yang
meluncur seperti anak panah itu memang berbahaya sekali.
Namun, Hui Ing dan Cin Po telah memiliki kepandaian yang hebat. Mereka
miringkan tubuh dan ketika pedang meluncur lewat dekat tubuh, mereka
menyambar dengan tangan dan pedang itu dapat mereka tangkap!
Melihat ini, kakek itu terbelalak. Tak disangkanya bahwa pemuda dan gadis
itu telah menerima ilmu dari orang sakti itu, melebihi yang diterimanya.
Habislah harapannya dan dia sambil berteriak menyeramkan meloncat dari
atas tebing, menuju ke bawah.
Cin Po dan Hui Ing lari ke tepi tebing dan melongok ke bawah. Tubuh kakek
itu terhempas di bawah sana, diterima oleh batu-batu karang lalu disambar
ombak lautan dan lenyap. Mereka menghela napas panjang, diam-diam
menyesali nasib kakek itu yang begitu menyedihkan.
Pada ssat itu, pemuda baju hijau itu sudah tiba di situ dan dari bawah nampak
Huang-hai Sian-li berlari-larian naik. Sian-li lalu menghampiri Cin Po dan
berkata dengan girang, "Twako, engkau selamat! Syukurlah!"
"Akupun selamat, adik Sian-li!" kata Hui Ing mengejek.
278 "Ah, aku girang sekali kalian dapat menundukkan iblis itu."
"Berkat bantuan saudara ini," kata Cin Po yang lalu memberi hormat kepada
pemuda itu! Pemuda baju hijau itupun membalas penghormatan mereka. "Bantuanku tidak
berarti. Kepandaian ji-wi amat hebat sehingga tanpa bantuanku yang tidak
berarti, siluman tua itu pasti dapat ditundukkan!"
"Im-yang Siang-kiam itu telah dapat kalian rampas, twako?" tanya Sian-li
sambil memandang pedang di tangan Cin Po dan Hui Ing.
"Kakek itu pada saat terakhir melontarkan pedang untuk menyerang kami,
dan untung kami dapat menangkapnya," kata Cin Po.
"Dan dia agaknya seperti sudah diatur saja, dia melontarkan Im-kiam
kepadaku dan Yang-kiam kepada koko, sesuai dengan yang dikehendaki guru
kami." Mereka mengamati pedang-pedang itu dan menjadi kagum sekali.
Pemuda baju hijau itu memberi hormat lagi. "Aku merasa kagum sekali atas
ilmu kepandaian ji-wi, bolehkah aku mengetahui nama ji-wi yang mulia" Dan
juga nona yang baru datang ini" Aku sendiri bernama Yang Kim Sun."
"Aku bernama Sung Cin Po, ini adikku Kwan Hui Ing dan ini adalah ketua bajak
Alap Alap Laut Kidul 8 Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari Pendekar Kelana 7
^