Pencarian

Pendekar Baju Putih 8

Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


Di sekitar tempat itu memang masih terjadi pertempuran yang hebat antara
pasukan Sung dan pasukan Hou-han.
485 Kini Cin Po tidak mau mengalah dan hanya bertahan saja. Dia segera
memainkan pedangnya dengan ilmu silat Ngo-heng-sin-kun dan begitu dia
mendesak, See-thian Tok-ong menjadi sibuk sekali. Baginya, pedang yang
berkilauan itu seolah berubah menjadi banyak yang menyerangnya dari
segala penjuru. Dia berusaha untuk melindungi dirinya dengan pedangnya yang melengkung
itu, akan tetapi setelah lewat seratus jurus, pertahanannya bobol dan pedang
Yang-kiam dapat menembus gulungan sinar pedang yang dipakai sebagai
perisai dan tepat mengenai dada See-thian Tok-ong.
Karena pedang itu menembus jantungnya, maka See-thian Tok-ong roboh dan
tewas seketika. Melihat ini, pasukan Hou-han menjadi gentar dan kacau,
mereka melarikan diri meninggalkan banyak mayat kawan mereka.
Pertempuran berlangsung terus sampai berbulan-bulan, barulah akhirnya
pasukan Sung dapat menduduki kota raja. Akan tetapi biarpun mendapat
kemenangan besar, pasukan Sung kehilangan banyak perajurit.
Demikianlah, dalam waktu setahun saja, kerajaan Wu-yeh dan Hou-han
terjatuh ke tangan kerajaan Sung yang kini wilayahnya menjadi meluas ke
timur sampai di lautan dan ke selatan. Hanya tinggal Khi-tan dan Nan-cou
saja yang masih belum dapat mereka taklukan.
Kaisar menyambut kemenangan kegembiraan. Para panglima menghimpun pasukan-pasukan atas lalu Hou-han mengajukan baru untuk ini usul dengan agar memperbesar penuh kerajaan kekuatan balatentara untuk menggempur Nan-cou dan Khi-tan.
Akan tetapi usul ini ditentang dengan keras oleh Kok-su.
486 "Yang Mulia, kemenangan memang sepatutnya dirayakan. Akan tetapi kalau
sampai mabok kemenangan dapat membuat kita sendiri kehilangan kewaspadaan. Harap paduka ingat bahwa menghimpun pasukan yang besar
membutuhkan biaya yang luar biasa besarnya.
"Kini, Khi-tan dan Nan-cou sudah tahu akan kekuatan kita, dan tentu mereka
tidak berani sembarangan membuat kacau. Kalau kita gunakan sedikit emas
untuk mengirim hadiah kepada mereka setiap tahun, tentu mereka akan
menjadi tetangga yang baik.
"Menghimpun pasukan akan memakan biaya yang beberapa kali lebih banyak
dari pada kalau kita mengirim upeti tanda persahabatan. Sebaliknya, kalau
kita menghendaki perang, peperangan belum tentu membuat kita menang.
"Harap diingat bahwa Khi-tan tidak boleh disamakan dengan Hou-han dan
Wu-yeh. Khi-tan terlalu kuat dan kalau sampai terjadi perang dan kita kalah,
kita akan kehilangan segala-galanya."
Nasehat ini diterima sepenuhnya oleh Kaisar dan demikianlah. Perang
dihentikan dan Kaisar mengutus untuk mengirim upeti tahunan kepada Khitan, bahkan kerajaan Nan-cou yang lebih kecilpun tidak diganggu.
Para panglima diam-diam merasa prihatin sekali. Kekuatan pasukan Sung
amat kecil, hanya beberapa ratus ribu orang saja, padahal wilayahnya menjadi
semakin luas setelah Wu-yeh dan Hou-han ditundukkan.
Cin Po juga merasa penasaran. Diam-diam dia mencurigai Kok-su. Kenapa
Kok-su agaknya tidak setuju kalau kerajaan Sung memerangi Khi-tan" Akan
tetapi kecurigaannya tidak ada buktinya, dan sungguh bodoh untuk
487 menyerang Kok-su yang kedudukannya amat kuat dan amat dipercaya oleh
kaisar itu. Kekuasaan memang diperebutkan semua orang. Tanpa disadari lagi setiap
orang memperebutkan kekuasaan, baik kekuasaan itu dimulai dari dalam
rumah sendiri sampai keluar menjadi kekuasaan negara.
Kekuasaan merupakan perkembangan dari si-aku yang ingin dikenal dan
diakui. Si-aku, yaitu angan-angan dan gambaran tentang diri, diagungkan dan
dibesarkan, ingin dikenal sebagai sesuatu yang besar dan karenanya haus
akan kekuasaan. Kekuasaan dianggap sebagai identitas diri. Identitas si-aku.
Disamping itu, juga kekuasaan menjadi
sumber dari segala macam kesenangan. Kekuasaan diperebutkan dan siapa menang dia berkuasa, siapa
berkuasa dia pasti besar karena kekuasaan memang diperalat untuk
membesarkan si-aku. Bahkan hukumpun berada di tangan yang berkuasa.
Sebetulnya, kecurigaan Cin Po bukanlah kecurigaan kosong belaka. Kok-su
Lauw Thian Seng-cu sebetulnya adalah seorang manusia yang berwatak palsu.
Dia itu, ketika masih mudanya dahulu, pernah menjadi sute dari See-thian
Tok-ong dan dialah sebetulnya yang tadinya bersekongkol dengan See-thian
Tok-ong untuk membunuh Kaisar Sung.
Tentu saja dengan cita-cita bahwa dia sendiri yang kemudian akan memegang
kekuasaan dan menjadi kaisar! Dia masih keturunan bangsa Tibet, karenanya
dekat dengan bangsa Khi-tan dan Yu-cen. Dia tidak mungkin dapat setia
kepada Kaisar Sung, karena banyak sanak saudaranya, tanpa setahu kaisar,
menjadi korban dalam perang melawan kerajaan Sung.
488 Demikianlah, dengan pandainya dia menyusup ke dalam istana kerajaan Sung
dan dapat menduduki jabatan Kok-su dan mendapat kepercayaan sepenuhnya
oleh Kaisar Sung Thai Cung. Dalam sikapnya, Kok-su memang selalu berhatihati dan memperlihatkan kesetiaannya sehingga Kaisar sendiri dan para
pejabat tinggi terkecoh. Ketika pembunuhan terhadap Kaisar gagal dan pembunuhnya hampir
tertangkap oleh Cin Po, dengan cerdiknya Kok-su turun tangan membunuhnya
agar rahasianya tidak sampai bocor.
Kini kerajaan Hou-han sudah jatuh, bahkan See-thian Tok-ong telah tewas,
demikian pula kerajaan Wu-yeh. Diam-diam dia mengatur siasat lagi,
mendekati kerajaan Khi-tan dan mengadakan kontak rahasia dengan Pak-jiu
Pak-sian yang menjadi tokoh Khi-tan dan juga dengan Nam-san Cinjin tokoh
Nan-cao. Dia berusaha untuk membikin kerajaan Sung menjadi semakin lemah dan dia
sudah berhasil membujuk kaisar agar tidak memperbesar pasukannya dan
bahkan mengirim upeti kepada kerajaan Khi-tan sebagai tanda persahabatan!
Biarpun Kok-su Lauw Thian Seng-cu sudah bertindak dengan hati-hati sekali
dalam menghubungi kedua tokoh ini, namun karena sudah menaruh
kecurigaan, Menteri Lu Tong Pi yang memasang banyak mata-mata mulai
dapat mencium ketidakwajaran ini.
Beberapa kali orang-orangnya melihat berkelebatnya orang di waktu malam
yang berkunjung ke gedung tempat tinggal kok-su dan melihat pakaiannya
bayangan itu seperti bayangan orang Khi-tan. Akan tetapi gerakan orang itu
terlalu cepat sehingga tidak dapat tertangkap atau dilihat dengan jelas.
489 Diam-diam Menteri Lu mencatat semua ini dan dia menghubungi Cin Po,
memberitahu tentang kecurigaannya terhadap Kok-su dan minta agar Cin Po
diam-diam melakukan penyelidikan atas diri Kok-su Lauw Thian Seng-cu.
"Y" Pada suatu pagi yang cerah. Sebuah kereta yang indah meluncur menuju ke
pintu gerbang kota raja sebelah barat. Ketika tiba di gardu penjagaan, kereta
itu berhenti sebentar dan tirai kereta disingkap.
Ketika melihat siapa yang berada di dalam kereta, para penjaga yang tadinya
hendak memeriksa kereta, terkejut dan cepat memberi hormat. Siapa yang
tidak mengenal Kok-su Lauw Thian Seng-cu"
Melihat para penjaga sudah memberi hormat, Kok-su menutupkan lagi tirai
keretanya dan memerintahkan kusir kereta untuk melanjutkan perjalanan.
Kereta keluar dari pintu gerbang dan kuda-kuda penarik kereta dilarikan
dengan cepat menuju ke barat.
Sekitar tiga puluh lie jauhnya dari kota raja, kereta itu mendaki sebuah bukit
menuju ke sebuah bangunan yang merupakan tempat peristirahatan Kok-su.
Bukit itu sunyi dan bangunan itu menyendiri.
Setelah tiba di pekarangan bangunan itu, kereta berhenti dan Kok-su
meloncat turun dari dalam keretanya. Kusirnya lalu membawa kereta itu ke
belakang bangunan dan Kok-su melangkah ke beranda depan.
Dari dalam gedung itu muncul dua orang kakek yang menyambutnya. Yang
pertama seorang kakek berusia enampuluh dua tahun, tubuhnya sedang dan
kepalanya botak, alisnya tebal dan matanya seperti mata harimau, hidungnya
490 pesek dan mulutnya besar. Yang menarik adalah telinganya yang lebar seperti
telinga gajah. Kakek itu bukan sembarang orang karena dia adalah datuk dari
Utara, yaitu Pat-jiu Pak-sian tokoh Khi-tan!
Adapun kakek yang kedua adalah seorang kakek yang pendek kecil, seorang
yang katai karena tingginya tidak lebih dari satu setengah meter. Akan tetapi
jangan dipandang ringan kakek pendek kecil ini karena diapun seorang datuk,
yaitu datuk dari selatan Nam-san Sianjin tokoh Nan-cao!
"Ha-ha-ha, kalian berdua sudah datang lebih dulu?" tegur Kok-su sambil
tertawa. Pat-jiu Pak-sian juga tertawa. "Ha-ha, yang menjadi tuan rumah malah
terlambat. Aku sudah datang sejak kemarin dan Nam-san Sianjin ini sudah
datang sejak pagi tadi!" Mereka saling memberi hormat dengan mengangkat
ke dua tangan depan dada.
Pada saat itu, dari dalam rumah muncul pula tiga orang muda, seorang gadis
dan dua orang pemuda. Nam-san Sianjin segera memperkenalkan gadis yang
berusia sekitar duapuluh tiga tahun, cantik manis dan bertahi lalat di pipi
kirinya itu. "Kok-su, ini adalah muridku bernama Song Mei Ling dan yang ini muridku pula
bernama Kim Pak Hun!" Dia menuding ke arah seorang pemuda yang tinggi
besar dan nampak gagah, yang berdiri di samping Mei Ling.
"Wah, murid-muridmu ini nampak gagah, cantik dan tampan, Sianjin," kata
Kok-su memuji. "Dan yang seorang ini, siapakah dia?"
491 "Apakah locianpwe sudah lupa lagi kepada saya" Kita pernah satu kali saling
jumpa ketika Kok-su mengadakan pertemuan dengan mendiang Suhu Seethian Tok-ong. Saya datang untuk membantu Kok-su, karena saya ingin
membikin pembalasan atas kematian mendiang suhu. Nama saya Kam Song
Kui!" "Ah, benar! Tentu saja kami menerima bantuanmu dengan senang hati, Song
Kui. Sayang sekali gurumu telah tewas, akan tetapi jangan khawatir. Kita
semua sudah tahu siapa yang membunuh gurumu, dan kita kelak tentu akan
dapat membalas dendam itu!"
"Mari kita bicara di dalam saja, Kok-su," kata Pat-jiu Pak-sian sambil
memandang ke kanan kiri karena bagaimanapun juga dia merasa khawatir
kalau-kalau pertemuan rahasia ini akan terlihat orang lain.
"Baik, mari silakan masuk semua."
"Tiga orang muda ini sebaiknya menjaga di luar kalau-kalau ada orang luar
menyusup masuk," kata Pat-jiu Pak-sian dan Nam-san Sianjin mengangguk.
"Kalian jaga di luar," katanya kepada dua orang muridnya.
"Dan engkau menemani mereka di sini, Song Kui," kata Kok-su dengan nada
suara memerintah. Tiga orang muda itu mengangguk dan mereka tidak ikut
masuk, melainkan menjaga di luar.
"Sungguh tidak tepat kalau berjaga dalam tempat terbuka seperti ini.
Sebaiknya kita berjaga sambil bersembunyi agar kalau ada orang luar berani
masuk, kita dapat menangkapnya," usul Kam Song Kui.
492 Dua orang kakak beradik seperguruan itu menganggap usul ini tepat maka
mereka lalu menyelinap ke ruangan depan dan menjaga sambil mengintai ke
luar. Dengan masuknya tiga orang muda itu, suasana di luar rumah itu nampak
sunyi sekali. Dan ternyata usul Kam Song Kui tadi memang tepat sekali.
Setelah suasana di luar gedung menjadi sunyi, tiba-tiba nampak berkelebat
bayangan orang. Gerakannya cepat sekali dan tahu-tahu di situ telah berdiri
seorang wanita yang memakai cadar hitam di depan mukanya! Wanita itu
bukan lain adalah Kui Ciok Hwa.
Seperti yang dikatakan oleh mendiang Tung-hai Mo-ong kepada Cin Po, Ciok
Hwa melarikan diri dari ayahnya karena ayahnya melarang ia berhubungan
dengan Cin Po. Dalam pelariannya ini ia melihat pertempuran besar terjadi di
mana-mana yang mengakibatkan kerajaan Wu-yeh takluk.
Ia tidak memperdulikan pertempuran itu, tidak mau melibatkan diri, akan
tetapi ia amat mengkhawatirkan ayahnya. Ia berlari-lari ke sana ke mari
mencari ayahnya, akan tetapi tidak berhasil menemukan orang tua itu.
Sampai kerajaan Wu-yeh roboh dan takluk kepada kerajaan Sung, ia tidak
berhasil menemukan ayahnya.
Ia menjadi khawatir dan penasaran sekali. Ayahnya pernah bersekutu dengan
See-thian Tok-ong dan juga dengan Kok-su Kerajaan Sung. Bagaimana
sekarang kerajaan Sung malah menyerang Wu-yeh" Dan ke mana ayahnya
pergi" Ia tidak percaya kalau ayahnya melarikan diri. Ayahnya bukan orang
pengecut macam itu. 493 Kok-su Lauw Thian Seng-cu! Kepadanyalah ia harus menanyakan ayahnya.
Tentu Kok-su itu mengetahuinya karena bukankah mereka bekerja sama"
Itulah sebabnya, pada hari itu ia melakukan perjalanan memasuki daerah
Sung untuk mencari Kok-su Lauw Thian Seng-cu.
Di tengah perjalanan, ketika ia sudah hampir sampai di kota raja, ia melihat
kereta itu. Pernah satu kali ia melihat kereta milik Kok-su Lauw Thian Seng-cu, maka ia
lalu membayangi dan ketika kereta itu tiba di rumah atas bukit, iapun
mengintai. Benar saja dugaannya, kereta itu milik Kok-su Lauw Thian Sengcu. Akan tetapi ia menjadi ragu ketika melihat Kok-su itu bertemu, dengan
dua orang kakek yang, diketahuinya adalah datuk-datuk dari utara dan
selatan. Ia ingin sekali menyelidiki apa yang akan mereka bicarakan. Mungkin saja
mereka akan membicarakan tentang ayahnya!
Setelah melihat mereka bertiga dan juga tiga orang muda itu masuk dan
keadaan di luar gedung itu sunyi senyap, Ciok Hwa lalu meloncat dan
menggunakan keringanan tubuhnya. Ia sudah berada di pendopo gedung itu
ketika tiba-tiba tiga orang muda yang tadi dilihatnya memasuki gedung, tibatiba kini telah keluar dan mengepungnya!
"Tangkap mata-mata musuh!" bentak Souw Mei Ling dan ia sudah
menggerakkan pedangnya menyerang.
Ciok Hwa juga sudah mencabut pedangnya dan menangkis. Terjadilah
pertempuran antara kedua orang gadis itu.
494 Kim Pak Hun segera membantu sumoinya, menyerang dengan pedangnya
pula. Tentu saja Ciok Hwa menjadi terdesak karena baru melawan Mei Ling
seorang saja keadaan mereka sudah seimbang.
Melihat betapa gadis itu memiliki bentuk tubuh yang amat menggairahkan dan
kulit tangan dan lehernya demikian putih kemerah-merahan, Kam Song Kui
yang mata keranjang itu, sudah menjadi tergila-tergila, akan tetapi dia tahu
betapa buruknya wajah gadis itu.
"Jangan bunuh, tangkap agar kita dapat periksa apa kehendaknya!" katanya


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan iapun menggunakan sulingnya menyerang untuk menotok dan merobohkan gadis itu. Dikeroyok tiga, tentu saja Ciok Hwa menjadi terdesak hebat dan akhirnya,
sebuah totokan dari suling Kam Song Kui dapat membuatnya roboh terkulai
dan lemas tak berdaya. "Biar kubuka cadarnya agar kita tahu siapa ia dan apa maunya menyusup ke
sini!" kata pula Kam Song Kui dan cepat dia lalu menggunakan tangan kirinya
menyingkap cadar itu. Tiga orang itu melihat wajah yang penuh totol-totol hitam sehingga wajah itu
nampak buruk sekali. Melihat ini, terkejut dan meloncatlah Mei Ling dan Pak
Hun ke belakang. "Ihhh?".! Muka setan"..!" katanya Mei Ling jijik.
"Kita bunuh saja gadis ini!" kata pula Kim Pak Hun. Tiga orang itu sudah
menggerakkan pedang masing-masing, siap untuk membunuh.
495 Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring, "Tahan senjata!"
Tiga orang itu terkejut dan menengok, dan melihat seorang pemuda
berpakaian putih yang sudah mereka kenal baik. Cin Po telah berdiri di sana.
Pemuda ini menudingkan telunjuknya dan membentak, "Lepaskan pedang?".!" Sungguh aneh, tiga orang itu tidak kuasa membantah dan merekapun
melepaskan pedang masing-masing sehingga jatuh berdentingan ke atas
lantai. Cin Po melompat dengan cepatnya, menyambar tubuh Ciok Hwa dan
membebaskan totokan gadis itu.
"Twako........!" kata Ciok Hwa terharu bahwa pada saat yang tepat kekasihnya
muncul. Cin Po sudah mengambil pedang gadis itu dan menyerahkan pedang itu
kepada Ciok Hwa. "Hwa-moi, berhati-hatilah engkau."
Kini tiga orang muda itu sudah merasa biasa kembali. Mereka masih terkejut
melihat betapa mereka telah melepaskan pedang masing-masing. Kini mereka
menyambar kembali pedang mereka dan memandang kepada Cin Po.
"Sung Cin Po, gadis itu adalah mata-mata musuh! Berani engkau membelanya" Suhu berada di dalam, apakah engkau hendak menentang
suhu?" bentak Kim Pak Hun sambil menudingkan pedangnya.
Sementara itu Mei Ling memandang dengan penasaran. Bagaimana mungkin
Cin Po membela gadis yang wajahnya seperti setan itu dan nampaknya
demikian akrab" 496 "Kalian tidak tahu rupanya. Nona ini adalah Kui Ciok Hwa, puteri dari Tunghai Mo-ong Kui Bhok!"
Benar saja, kedua orang muda itu terkejut mendengar ini, akan tetapi Kam
Song Kui membentak, "Kami sudah tidak mempunyai urusan lagi dengan
Tung-hai Mo-ong! Cin Po, menyerahlah engkau sebelum kami terpaksa
menggunakan kekerasan!"
"Hemm, engkau tentu murid See-thian Tok-ong yang berjuluk Kang-siauw
Tai-hiap itu. Twako, biarkan aku melawannya!" kata Ciok Hwa gemas. Ia
sudah tidak senang ketika, ayahnya bersekutu dengan See-thian Tok-ong
yang dianggapnya seorang yang amat jahat.
"Tangkap mata-mata Sung!" Kim Pak Hun juga berseru karena dia sejak
dahulu membenci Cin Po yang pernah menjatuhkan hati sumoinya. Tanpa
diperintah lagi, kedua orang muda itu sudah maju menyerang. Mei Ling yang
tadinya masih nampak ragu, terpaksa menerjang pula membantu suhengnya.
Ciok Hwa menyambut suling Kam Song Kui dengan pedangnya, sedangkan
Cin Po menyambut kakak dan adik seperguruan itu dengan tangan kosong.
"Suci dan suheng, aku tidak ingin bertempur dengan kalian!" katanya, akan
tetapi Kim Pak Hun tidak mau mendengarkan kata-katanya, bahkan
menyerang lebih hebat pula.
Cin Po menggunakan kecepatan gerakannya yang dahulu juga dipelajarinya
dari Nam-san Sianjin, yaitu Coan-hong-hui untuk mengimbangi kecepatan
kedua saudara seperguruan itu, kemudian dengan pengerahan tenaganya, dia
mengeluarkan bentakan Tong-te-ho-kang. Seketika ke dua orang saudara
497 seperguruan itu terhuyung ke belakang dan roboh bagaikan didorong angin
badai! Sementara itu, Ciok Hwa juga sudah mulai mendesak Kam Song Kui dengan
pedangnya. Akan tetapi pada saat itu, dari dalam bermunculan tiga orang
kakek yang tadi terkejut mendengar suara yang nyaring dari Cin Po.
Mendengar bentakan yang menggetarkan ruangan di mana mereka duduk
berunding, tiga orang kakek itu terkejut dan maklum bahwa ada orang pandai
menggunakan ilmu khi-kangnya. Maka, mereka bergegas keluar dan melihat
pertempuran itu, mereka cepat berseru, "Hentikan pertempuran!"
Kam Song Kui yang sudah mulai, terdesak dan juga khawatir melihat dua
orang kawannya sudah roboh, cepat meloncat ke belakang.
Ciok Hwa meloncat ke dekat Cin Po yang berdiri dengan tegak dan sikap
tenang menghadapi tiga orang kakek itu.
Kok-su tentu saja terkejut setengah mati ketika mengenal Cin Po berada di
situ. Dan Cin Po tersenyum mengejek melihat kekagetan Kok-su.
"Kok-su, bagus sekali. Ternyata engkau seorang pengkhianat besar yang
mengadakan perkutuan dengan kerajaan Khi-tan dan Nan-cao! Pantas saja
engkau tidak menghendaki perang!"
Saking kagetnya Kok-su tidak dapat menjawab apa-apa hanya memandang
dengan mata terbelalak. Dia harus membunuh pemuda itu, kalau tidak, akan
hancurlah semua rencananya, bahkan akan berbahayalah baginya. Akan
tetapi dasar dia seorang yang ahli siasat dan banyak pengalaman, maka
akhirnya dia dapat juga menjawab.
498 "Sung Cin Po, engkau anak kemarin sore tahu apakah" Aku mengusahakan
perdamaian demi ketenteraman kehidupan rakyat dan keselamatan negara
Sung! Aku mengadakan pertemuan dengan para tokoh ini untuk membicarakan bagaimana agar perdamaian itu tetap terjaga baik, tidak
dirusak oleh setan- setan perang yang membinasakan banyak nyawa manusia
dan menghancurkan banyak harta benda!"
Pat-jiu Pak-sian yang pernah menjadi guru Sung Cin Po, segera maju dan
menegur bekas muridnya itu.
"Cin Po, lupakah engkau dengan siapa engkau berhadapan" Siapakah yang
menyelamatkanmu ketika engkau terjatuh ke dalam jurang" Siapa yang
menggemblengmu selama lima tahun dengan penuh kasih sayang?"
Cin Po mengangkat tangan ke depan dada dan menjura kepada kakek itu.
"Saya tidak akan pernah melupakan budi kebaikan suhu yang telah
dilimpahkan kepada saya. Akan tetapi bagaimanapun juga, saya juga tidak
dapat mengabaikan negara dan kerajaan di mana saya menjadi kawulanya.
Kalau negara saya dikhianati, tentu harus saya bela."
"Cin Po, jangan engkau mencampuri urusanku. Urusanku dengan Kok-su
Lauw-thian Seng-cu adalah demi kebaikan, dan siapapun tidak boleh
mencampuri, termasuk engkau yang pernah menjadi muridku."
"Maaf, suhu. Saya harap Suhu tidak salah mengerti. Suhu adalah seorang
tokoh Khi-tan dan kalau Suhu membantu Khi-tan, hal itu sudah sepatutnya.
Akan tetapi saya juga berhak untuk membela Sung, dan sebaiknya suhu
kembali ke Khi-tan dan jangan mengganggu kerajaan Sung."
"Bocah kurang ajar! Murid murtad! Engkau hendak melawanku?"
499 "Saya tidak berani kalau ini mengenai urusan pribadi. Akan tetapi untuk
membela kerajaan Sung, saya berani menghadapi dan melawan siapapun
juga." "Bagus! Engkau berani menentangku" Nah, hendak kulihat sampai di mana
sekarang kemajuanmu maka engkau berani melawan aku! Sambutlah!"
bentak Pat-jiu Pak-sian dan kakek ini sudah menyerang dengan ilmu pukulan
Pat-jiu-sin-kun. Ilmu silat Pat-jiu-sin-kun (Silat Sakti Delapan Tangan) ini
merupakan ilmu silat tangan kosong yang digerakkan dengan cepat bukan
main sehingga dua tangan seolah telah berubah menjadi delapan.
"Maafkan saya Suhu!" kata Cin Po dan dia pun bergerak dengan ilmu silat
yang sama! Tentu saja dia kalah pengalaman dan kalah matang dalam hal
ilmu silat ini, akan tetapi kakek itu tidak tahu bahwa Cin Po telah menerima
gemblengan dari seorang sakti, yaitu Bu Beng Lojin yang mematangkan
semua ilmu silat yang pernah dipelajari Cin Po.
Gerakannya menjadi lebih cepat, tenaganya menjadi lebih kuat sehingga
setelah mereka saling serang selama limapuluh jurus, Pat-jiu Pak-sian
terkejut bukan main karena sama sekali dia tidak mampu mendesak bekas
muridnya itu! Dengan marah dia lalu mencabut sebatang pedangnya lalu dia
mainkan ilmu pedang Hui-sin-kiam-sut.
Cin Po tidak berani memandang ringan dan diapun mencabut Yang-kiam. Dia
menggerakkan pedangnya dengan ilmu pedang yang sama dan setelah lewat
belasan jurus, suatu ketika kedua pedang bertemu dengan dahsyatnya dan
akibatnya, ujung pedang kakek itu menjadi patah!
Kakek itu meloncat ke belakang dengan muka pucat! Patahnya pedang dalam
hal ilmu adu pedang dapat dianggap sebagai kekalahan!
500 Melihat ini, Nam-san Sianjin meloncat maju. "Cin Po, apakah engkau juga
akan melawan aku, gurumu yang telah mengajarkan ilmu kepadamu selama
tiga tahun dengan sungguh hati?" bentaknya.
Cin Po sungguh merasa tidak enak sekali! Gurunya yang kedua ini memang
amat menyayangnya, demikian pula sucinya, Souw Mei Ling, selama tiga
tahun hidup bersamanya seperti seorang adik yang menyayangnya.
Dan sekarang dia harus berhadapan sebagai musuh dengan mereka! Diapun
memberi hormat kepada Nam-san Sianjin, lalu berkata dengan suara
mengandung penyesalan. "Suhu, sungguh, saya sama sekali tidak berani melawan Suhu. Maka harap
suhu suka kembali saja ke Nan-cao dan kita tidak saling berhadapan sebagai
musuh. Biarlah lain kali saya datang berkunjung untuk menghaturkan terima
kasih dan hormatku kepada Suhu!"
"Cin Po, mengingat akan hubungan kita dahulu, kuharap engkau suka pergi
meninggalkan tempat ini dan jangan membicarakan pertemuan ini dengan
siapapun juga. Kalau engkau tidak mau, berarti engkau menantangku dan
terpaksa kita harus bertanding."
"Maaf, suhu. Saya terpaksa akan menangkap Kok-su Lauw-thian Seng-cu dan
membawanya kepada Sribaginda Kaisar untuk diadili. Harap Suhu tidak
mencampuri, ini urusan dalam kerajaan Sung!"
"Anak keras kepala! Engkau hendak durhaka terhadap gurumu?"
"Apa boleh buat, Suhu. Bukan saya yang memaksa, melainkan Suhu sendiri."
501 "Bagus, sambutlah tongkatku ini!" Nam-san Sianjin bergerak dengan cepat
luar biasa. Dia adalah seorang ahli ginkang yang memiliki, gerakan cepat seperti terbang,
dan tongkatnya sudah menyambar dengan cepat bagaikan kilat melakukan
serangan totokan ke arah tigabelas jalan darah di sebelah depan tubuh Cin Po
secara bertubi. Akan tetapi Cin Po tentu saja mengenal baik serangan ini dan sudah memutar
pedangnya seperti kitiran. Sinar pedang itu bergulung-gulung membentuk
perisai sehingga semua totokan tertahan dan tidak dapat menembus gulungan
sinar pedang itu. Nam-san Sianjin menjadi penasaran dan dia lalu memainkan Hai-liong Sintung (Tongkat Sakti Naga Lautan) yang amat dahsyat. Akan tetapi semua
serangannya itu kandas dalam gulungan sinar pedang, bahkan ketika Cin Po
membalas, dia menjadi terdesak hebat dan hanya main mundur sambil
memutar tongkat melindungi tubuhnya dari gulungan sinar pedang yang
menekan dan menindih itu.
Melihat betapa Pat-jiu Pak-sian dan Nam-san Sianjin kalau maju satu lawan
satu tidak mampu mengalahkan Cin Po, Kok-su menjadi terkejut sekali. Dia
memang sudah tahu bahwa pemuda itu lihai, akan tetapi tidak menyangka
sama sekali bahwa pemuda itu mampu menandingi kedua orang datuk itu
yang pernah menjadi gurunya!
Timbul kekhawatirannya, maka dengan seruan yang menyeramkan kakek
yang pandai ilmu sihir ini lalu mencabut pedangnya dan membantu Nam-san
Sianjin. Melihat ini, karena khawatir pula rencananya akan gagal, Pat-jiu Pak-
502 sian tanpa malu-malu lagi juga terjun ke dalam pertempuran dan mengoroyok
bekas muridnya sendiri! Melihat ini, Ciok Hwa menjadi marah. "Orang-orang tua pengecut!" bentaknya
dan dengan pedangnya, ia nekat maju hendak membantu kekasihnya, akan
tetapi Souw Mei Ling, Kim Pak Hun dan Kam Song Kui sudah maju
menyambutnya sehingga kembali Ciok Hwa dikeroyok tiga!
Kini keadaan Cin Po terdesak hebat. Betapapun pandainya, kalau harus
melawan tiga orang datuk yang amat lihai itu sekaligus, tentu saja dia tidak
mampu dan kini pedang Yang-kiam yang ampuh itu hanya dipergunakan
sebagai perisai diri, diputar sehingga gulungan sinar itu melindungi tubuhnya
dari serangan tiga orang kakek sakti itu.
Keadaan Cin Po maupun Ciok Hwa dalam keadaan gawat. Sama saja seperti
halnya Cin Po, Ciok Hwa terdesak hebat dan ia terancam roboh di tangan tiga
orang lawannya. Dalam keadaan yang amat gawat itu, tiba-tiba terdengar seruan lembut,
"Siancai"..! Orang-orang tua tidak tahu diri, mengeroyok seorang muda?".!"
Dan nampaklah angin berpusing membawa debu dan daun-daun beterbangan
dan tiga orang datuk itu terhuyung ke belakang karena terdorong oleh angin
yang amat dahsyat. "Suhu?".!" Cin Po berseru dan cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan
seorang kakek yang berpakaian butut namun bersih, seperti kakek pengemis
tua renta yang bukan lain adalah Bu Beng Lojin!
503 "Siancai?"., selama ini sepak terjangmu cukup menggembirakan hati, Cin
Po," kata kakek itu sambil memandang kepada muridnya, kemudian menoleh
kepada yang lain. Tiga orang muda yang tadi mengeroyok Ciok Hwa kini juga berhenti
mengeroyok dan melihat kekasihnya berlutut di depan seorang kakek tua
renta, Ciok Hwa juga menjatuhkan dirinya berlutut karena bagaimanapun
juga, kedatangan kakek itu tadi telah menyelamatkannya.
Kakek itu tersenyum. "Kalian bangkitlah dan jangan takut. Para datuk yang
salah jalan ini tidak akan mengganggu kalian lagi." Kemudian kakek itu
menudingkan telunjuknya kepada Pat-jiu Pak-sian.
"Pat-jiu Pak-sian, selama belasan tahun tidak bertemu, aku tidak pernah
mendengar engkau melakukan penyelewengan, demikian pula engkau, Namsan Sianjin. Akan tetapi apa yang kalian lakukan hari ini sungguh membuat
hati tidak enak. Pat-jiu Pak-sian adalah seorang warga Khi-tan dan Nam-san
Sianjin seorang warga Nan-cao, kenapa hari ini berada di wilayah Sung dan


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeroyok orang-orang muda" Apakah kalian tidak mempunyai rasa malu
lagi?" "Orang tua, sejak dahulu engkau tidak pernah memperkenalkan nama,
kenapa sekarang mencampuri urusan kami?" kata Pat-jiu Pak-sian namun
suaranya terdengar menghormat dan halus. "Aku melakukan ini demi
membela negara Khi-tan, apa salahnya?"
"Aku juga berurusan dengan bekas muridku dan aku membela Nan-cao,
apakah engkau hendak menyalahkan aku, pengemis tua?" tanya Nam-san
Sianjin, akan tetapi diapun nampak jerih. Dahulu, belasan tahun yang lalu,
504 baik Pak-sian maupun Nam-san Sianjin pernah bertemu dan merasakan
kesaktian kakek itu, maka kini merekapun menjadi jerih.
"Siancai......! Alasan yang dicari-cari. Kalau kalian memang begitu cinta
kepada negara, kenapa kalian tidak berdiam di negara masing-masing dan
mengatur ketentraman dalam negara kalian"
"Dengan memerangi kejahatan kalian akan berjasa membuat negara masingmasing tenteram, damai dan makmur. Bukan dengan jalan bersekongkol
dengan Kok-su negara Sung untuk menjatuhkan kerajaan Sung.
"Sekarang kalau kalian melanjutkan hendak menjatuhkan negara Sung
dengan cara licik itu, terpaksa aku yang tua harus turun tangan mencegahnya
dan terserah kepada kalian, mau kembali ke negara masing-masing ataukah
hendak mencoba-coba aku orang tua?"
Sungguh aneh sekali. Datuk-datuk seperti Pat-jiu Pak-sian dan Nam-san
Sianjin kini menjadi kemerahan mukanya dan mereka nampak gentar. Tadi
saja ketika kakek sakti itu muncul, mereka sudah merasakan dorongan angin
yang membuat mereka terhuyung, dan maklumlah mereka bahwa mereka
sama sekali bukan tandingan kakek yang sakti itu.
"Hemm, Cin Po, bagaimanapun juga, engkau yang pernah menjadi muridku
ternyata tidak mengecewakan!" kata Pat-jiu Pak-sian. "Sekarang tidak ada
yang perlu dibicarakan lagi, aku akan kembali ke Khi-tan!" Setelah berkata
demikian, dengan langkah lebar kakek itu meninggalkan tempat itu.
"Pak Hun, Mei Ling, mari kita pulang. Tidak ada urusan lagi di negara Sung!"
kata pula Nam-san Sianjin dan diapun melangkah pergi. Kim Pak Hun segera
mengikuti gurunya, akan tetapi Souw Mei Ling memandang kepada Cin Po.
505 "Sute, selamat berpisah!" katanya.
Cin Po berseru. Bagaimanapun juga, sucinya ini tetap baik. Kalau tadi
mengeroyoknya, adalah karena terpaksa.
"Selamat jalan, suci, jaga dirimu baik-baik!" katanya.
Mereka semua pergi, tinggal Kam Song Kui yang masih berada di situ. Akan
tetapi tentu saja diapun sudah kehilangan semangat untuk melawan.
"Sung Cin Po, lain kali aku akan membuat perhitungan denganmu atas
kematian suhu!" Setelah berkata demikian, Si Suling Baja ini lalu meloncat
pergi dari situ. Kini tinggal Kok-su Lauw-thian Seng-cu seorang.
"Lauw-thian Seng-cu, engkau seharusnya malu," kata Bu Beng Lojin. "Engkau
sudah mendapat kedudukan dan kemakmuran di kerajaan Sung, namun
engkau tiada henti-hentinya mengkhianatinya. Engkau agaknya sudah tidak
dapat mengubah jalan hidupmu yang sesat, Lauw-thian Seng-cu.
"Sekarang tinggal engkau memilih satu di antara dua. Engkau meninggalkan
kedudukanmu sebagat Kok-su dan kembali ke tempat asalmu di barat, atau
engkau akan ditangkap Cin Po dan dibawa menghadap Kaisar untuk menerima
hukumanmu." Lauw-thian Seng-cu memandang marah: "Pengemis tua! Aku tidak ada urusan
denganmu, kenapa engkau usil" Kalau Cin Po hendak menangkap dan
melaporkan aku, coba suruh dia lakukan kalau dapat! Lebih baik aku mati dari
pada menuruti dua macam permintaanmu itu!"
506 "Siancai?"! Cin Po, engkau telah berjanji akan setia kepada Kaisar.
Laksanakanlah kesetiaanmu dan tangkaplah pengkhianat besar ini!"
"Haiiiittt?".!!" Lauw-thian Seng-cu sudah mengeluarkan bentakan nyaring,
tangannya mencakar tanah dan sekali lempar ke udara, muncullah seekor
naga hitam yang besar yang akan menubruk ke arah Cin Po.
"Siancai?".!" Bu Beng Lojin berseru dan dia menarik tangan Ciok Hwa untuk
mundur, membiarkan Cin Po menghadapi naga itu. Ciok Hwa khawatir sekali
akan keselamatan kekasihnya, akan tetapi ia melihat Cin Po dengan tenang
mengambil segenggam tanah dan menimpuk ke arah naga itu.
"Asal dari tanah kembali kepada tanah!" bentak Cin Po dan begitu naga itu
tertimpuk tanah, maka kembalilah dia kepada asalnya yaitu segenggam tanah
dan jatuh berhamburan. Bu Beng Lojin tersenyum melihat kemahiran muridnya akan tetapi Lauw Thian
Seng-cu menjadi semakin marah.
"Sambutlah!" Teriaknya dan begitu kedua tangannya bergerak, meluncurlah
empat buah hui-to (pisau terbang) menyambar ke arah tubuh Cin Po.
Pemuda ini tidak menjadi gugup, dengan tenangnya dia meloncat, berjungkir
balik dan begitu kedua tangannya menyambar, dia telah menangkap gagang
empat pisau itu dan sambil melompat turun dia menyambitkan pisau-pisau itu
kepada pemiliknya. Lauw Thian Seng-cu menangkis pisau-pisaunya sendiri sehingga runtuh
semua dan dia lalu menerjang dengan pedangnya, menyerang dengan
dahsyat karena dia tahu bahwa kalau dia tidak dapat membunuh pemuda itu,
507 maka dia sendiri yang akan celaka, terbunuh atau dihukum mati oleh kaisar.
Kenekadan dan kemarahannya membuat tenaganya bertambah besar, akan
tetapi kewaspadaannya berkurang.
Cin Po menggunakan ilmu meringankan tubuh Coan-hong-hui (Terbang
Menembus Angin) untuk menghindarkan semua serangan itu, dan kalau
mendapat kesempatan dia membalas. Namun lawannya juga cukup pandai
sehingga tidak mudah dirobohkan.
Keduanya kini terlibat dalam pertandingan mati-matian yang hebat sekali
sehingga Ciok Hwa yang menonton kekasihnya bertanding itu merasa
khawatir juga. Gadis ini mengenal orang sakti dan kakek itu memang sakti,
ilmu pedangnya yang dari Tibet itu seperti ilmu pedang para pendeta Lhama.
Juga kadang-kadang dia mengeluarkan geraman yang menggetarkan hati,
tentu menggunakan kekuatan sihir untuk menyerang Cin Po. Akan tetapi
pemuda ini sudah siap siaga dan selalu dapat menolak kekuatan sihir yang
melanda dirinya. Pedang mereka berputar semakin cepat dan lenyaplah bentuk pedangnya,
yang nampak hanya dua gulungan sinar pedang. Sinar pedang Yang-kiam
lebih cemerlang dan makin lama sinar pedang Cin Po semakin mendesak dan
menindih, tanda bahwa dia mulai dapat mendesak lawannya.
Memang Lauw Thian Seng-cu mulai merasa terdesak hebat. Dia sudah tua dan
tenaganya berkurang, juga pernapasannya tidaklah sekuat dahulu. Kalau
lawannya yang masih muda masih segar, dia sudah mulai loyo dan gerakan
pedangnya sudah kurang cepat dan kurang kuat.
508 "Lauw Thian Seng-cu, menyerahlah engkau untuk kubawa menghadap
Sribaginda Kaisar!" bentak Cin Po sambil mendesak dengan tusukan bertubitubi yang membuat lawannya terhuyung ke belakang dan main mundur.
"Lebih baik mati!" bentak Lauw Thian Seng-cu. Dia sudah lelah sekali karena
mereka bertanding sudah lebih dari duaratus jurus lebih dan kini dia mencari
jalan keluar untuk melarikan diri.
Ketika dia terhuyung mundur itu, tiba-tiba saja dia melontarkan pedangnya
dengan kekuatan sepenuhnya ke arah lawan lalu membalikkan tubuh hendak
lari dari situ. Cin Po menangkis pedang yang dilontarkan ke arahnya itu.
Tangkisannya demikian kuatnya, membuat pedang Lauw Thian Seng-cu itu
meluncur balik dan tanpa dapat dicegah lagi pedang itu mengenai punggung
Lauw Thian Seng-cu, menusuk dan menembus sampai keluar dari dada! Lauw
Thian seng-cu mengeluarkan teriakan mengerikan dan robohlah dia, tewas
seketika oleh pedangnya sendiri.
Cin Po tertegun. Gerakan menangkis dan mengembalikan pedang itu sama
sekali tidak disengajanya. Dia hanya menangkis dengan pengerahan tenaga
saja, sama sekali tidak mengira bahwa pedang itu akan meluncur balik dan
membunuh pemiliknya sendiri.
"Siancai......!" Lauw Thian Seng-cu sudah memetik buah dari ulahnya sendiri!"
kata Bu Beng Lojin dan mendengar ucapan gurunya ini, barulah Cin Po merasa
lega karena tidak dipersalahkan.
Dia lalu menghadap kakek sakti itu sambil menggandeng tangan Ciok Hwa
yang menjadi girang bukan main melihat kekasihnya keluar sebagai
pemenang. 509 "Suhu, teecu perkenalkan nona ini bernama Kui Ciok Hwa dan ia adalah puteri
Tung-hai Mo-ong. Suhu, Ciok Hwa dan teecu sudah saling berjanji untuk saling
berjodoh, dan teecu mohon doa restu dari suhu."
Kakek itu tertawa ramah. "Nona, mengapa engkau menyembunyikan mukamu
di balik cadar" Singkaplah, aku ingin melihat mukamu."
Cin Po terkejut sekali dan hendak melarang karena khawatir kalau gurunya
akan tidak setuju dengan perjodoban itu setelah melihat wajah yang cacat
dari Ciok Hwa. Akan tetapi dia tidak sempat melarang karena Ciok Hwa
dengan cepat sudah menyingkap cadarnya. Dia melihat muka yang penuh
totol-totol hitam itu, akan tetapi hanya sebentar karena gadis itu sudah
menutupkan lagi cadarnya.
Dan dia merasa heran, juga kagum dan berterima kasih kepada gurunya
karena gurunya sama sekali tidak kelihatan terkejut atau jijik, malah gurunya
tertawa seperti orang merasa kegelian, lalu berkata,
"Ciok Hwa, engkau memang sudah sepantasnya menjadi isteri Cin Po karena
kulihat engkau berbeda dari ayahmu. Nah, aku mendoakan semoga kelak
kalian menjadi suami isteri yang baik.
"Cin Po, kau urus jenazah Lauw Thian Seng-cu ini. Sebelum pergi, kuburlah
jenazahnya kemudian laporkan segalanya kepada Sribaginda Kaisar. Untuk
mencegah agar Sribaginda Kaisar tidak ragu lagi kepadamu dan percaya akan
ceritamu, ambil pedang itu dan perlihatkan kepadanya bahwa pedang itu
adalah milik Lauw Thian Seng-cu. Cabutlah pedang itu!"
Cin Po mencabut pedang yang menancap di punggung kakek yang tewas itu
dan ternyata pedang itu mempunyai ukiran bunga teratai sebagai tanda
510 bahwa Lauw Thian Seng-cu dahulunya adalah seorang tokoh dari perkumpulan Lhama Teratai Biru, yaitu golongan Lhama yang menjadi orangorang buruan pemerintah Tibet sendiri karena tindakan mereka yang
menyeleweng dari kebenaran.
"Nah, aku hendak melanjutkan perjalanan. Selamat tinggal!" Setelah berkata
demikian, sekali berkelebat Bu Beng Lojin telah lenyap dari situ.
Cin Po menjatuhkan dirinya berlutut ke arah perginya kakek itu diturut pula
oleh Ciok Hwa yang merasa gembira bukan main melihat guru kekasihnya
menyetujui perjodohan mereka.
Cin Po lalu mengubur jenazah Lauw Thian Seng-cu. Ketika dia memasuki
rumah itu, ternyata kusir dan para pembantu Lauw Thian Seng-cu sudah
melarikan diri, meninggalkan rumah itu kosong.
Cin Po lalu menggeledah rumah itu, menemukan surat-surat penting yang
menjadi bukti lebih lanjut tentang persekutuan antara Lauw Thian Seng-cu
dengan pemerintah Khi-tan dan Nan-cao. Semua bukti surat ini dia bawa
untuk diperlihatkan kepada kaisar. Barulah dia mendapat kesempatan untuk
bercakap-cakap dengan Ciok Hwa.
"Hwa-moi, aku mempunyai berita yang buruk bagimu dan yang sejak tadi
kusimpan saja karena aku menanti saat baik agar engkau tenang lebih dulu."
Ciok Hwa memandang kepada Cin Po dan suaranya terdengar tegang ketika
ia bertanya, "Berita mengenai ayahku?"
511 Cin Po memegang kedua tangan kekasihnya dan berkata dengan suara tegas,
"Tenangkan hatimu, Hwa-moi. Benar, berita mengenai ayahmu. Ayahmu telah
tewas dan akulah yang menguburkan jenazahnya."
"Ahhh........!" Gadis itu terisak menangis, Cin Po membiarkannya saja
menangis karena pada saat seperti itu, menangis merupakan obat terbaik bagi
orang yang dikejutkan oleh berita duka. Setelah tangis itu mereda, dia lalu
menceritakan tentang kematian Tung-hai Mo-ong.
"Aku dapatkan ayahmu terluka parah. Banyak sekali luka di tubuhnya dan
semua itu akibat pertempuran dalam perang. Mungkin karena terlalu banyak
yang dilawannya, akhirnya dia menderita luka parah.
"Dia dapat melarikan diri akan tetapi luka-lukanya membuat dia roboh. Aku
melihatnya dan memondongnya pergi, berusaha mengobatinya akan tetapi
percuma. Dia meninggal dunia karena luka-lukanya."
Ciok Hwa mengangkat mukanya, memandang wajah kekasihnya dari balik
cadarnya. "Aku percaya bahwa bukan engkau yang merobohkan dan
melukainya?" "Dugaan yang bodoh. Kalau aku yang merobohkannya mengapa aku
membawanya pergi dan berusaha mengobatinya" Percayalah, Ciok Hwa, tidak
mungkin aku melukai ayah dari kekasihku sendiri. Dan dia meninggalkan
pesan kepadaku, bahwa dia menyetujui perjodohan kita."
"Ah, ayah?".! Aku tahu bahwa sebetulnya dia amat sayang kepadaku dan
tidak membencimu. Hanya sayang dia terlibat dalam urusan kenegaraan dan
perang. Aku harus membalas dendam atas kematiannya!" gadis itu mengepal
tinju. 512 Cin Po merangkulnya. "Keliru, Hwa-moi! Engkau hendak membalas dendam
kepada siapakah" Ayahmu tewas dalam perang, dan kematian dalam perang
tidak perlu menimbulkan dendam. Selain kita tidak tahu siapa pembunuhnya,
juga dalam perang memang selalu terjadi saling bunuh.
"Bagaimana dengan mereka yang terbunuh demikian banyaknya, sampai
ratusan ribu orang, baik di pihak Hou-han, Wu-yeh, maupun Sung" Apakah
keluarganya juga lalu menaruh dendam" Kepada siapa"
"Tidak akan ada habisnya kalau begitu, Hwa-moi, oleh karena itu tebarkanlah
dendammu itu biar dihembus dan dibawa pergi angin. Dendam hanya akan
meracuni hatimu, Hwa-moi!"
Ciok Hwa terisak. "Koko, aku ingin mengunjungi makam ayahku, ingin
bersembahyang di depan makam ayahku."
"Mudah saja, mari kita ke sana sebelum kita kembali ke Hang-cou."
Demikianlah, Cin Po membawa Ciok Hwa ke dalam hutan di mana dia
menguburkan jenazah Tung-hai Mo-ong dan di depan makam yang masih
baru, yang ada tandanya batu besar sebagai pengganti nisan, Ciok Hwa
menangis dan bersembahyang dengan sedih.
Kesedihan yang melanda hati gadis itu tentunya kesedihan karena mengingat
akan keadaan diri sendiri. Ia tidak dapat menyedihi ayahnya karena ayahnya
telah tiada dan ia tidak tahu lagi bagaimana keadaan ayahnya sesudah mati.
Akan tetapi yang jelas, ia sedih karena dirinya menjadi sebatang kara, yatim
piatu. 513 "Ayah, ayah".. engkau telah pergi, bagaimana dengan diriku ini" Aku tidak
memiliki siapa-siapa lagi, ayah?"" demikian ia meratap.
Cin Po segera merangkulnya.
"Hwa-moi, tenanglah dan bagaimana engkau bisa berkata demikian di depan
makam ayahmu" Siapakah aku ini, Hwa-moi" Ingatlah, engkau masih
memiliki aku, dan aku yang akan menjadi pengganti ayahmu, pengganti
seluruh keluargamu, aku yang akan menemanimu, melindungimu, menyayangmu?"" "Koko?"!" Dan gadis ini merangkul dan menangis di dada Cin Po.
Setelah bersembahyang beberapa lamanya, mereka lalu

Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melanjutkan perjalanan menuju Hang-cou, kota raja kerajaan Sung Selatan.
"Y" Kita tinggalkan dulu Cin Po dan Ciok Hwa yang sedang melakukan perjalanan
menuju ke Hang-cou dan mari kita menengok keadaan di Thian-san-pang
yang sudah lama kita tinggalkan.
Seperti kita ketahui, Sung Bi Li dan Kwan Hui Ing tinggal di Thian-san-pang,
membangun kembali Thian-san-pang dan membersihkan kembali nama
perkumpulan itu yang dicemarkan oleh perbuatan Ban Koan.
Pada suatu hari, serombongan orang yang terdiri dari tujuh orang mendaki
bukit Thian-san dan berkunjung ke Thian-san-pang. Mereka itu adalah para
tokoh Kun-lun-pai yang datang berkunjung.
514 Di antara mereka terdapat Yap Kim Sun, pemuda berpakaian hijau yang
tampan dan gagah itu, bersama seorang pamannya, dan para tokoh Kun-lunpai yang dipimpin oleh Kong Hi Tojin dan sute-sutenya. Rombongan ini bukan
sekedar berkunjung untuk pesiar, melainkan terutama sekali untuk mengajukan pinangan atas diri Kwan Hui Ing untuk dijodohkan dengan Yap
Kim Sun. Paman Yap Kim Sun yang menjadi wali pemuda yang sudah tidak berayah lagi
itu bernama, Yap Siong Kun. Dia sendiri tidak berani mengajukan pinangan
puteri mendiang ketua Thian-san-pang, maka dia mengajak para tokoh dari
Kun-lun-pai untuk menemaninya dan "memperkuat" kedudukannya.
Para tokoh Kun-lun-pai dengan senang hati memenuhi permintaannya karena
Yap Kim Sun merupakan seorang murid keponakan yang baik dan yang sudah
mengangkat nama besar Kun-lun-pai dengan sepak terjangnya sebagai
seorang pendekar. Kong Hi Tojin adalah seorang paman guru dari Yap Kim
Sun, karena pemuda ini adalah murid ketua Kun-lun-pai dan Yap Kim Sun
bersama empat orang tokoh lain adalah para sute dari ketua Kun-lun-pai.
Di antara empat orang sute dari Kong Hi Tojin itu terdapat pula seorang tosu
yang dahulunya sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak perempuan.
Tosu ini bernama Yang Seng Cu berusia limapuluh tahun, seorang laki-laki
yang jangkung kurus dan berjenggot panjang.
Yang Seng Cu ikut dalam rombongan ini dengan hati yang tidak senang karena
sesungguhnya Yang Seng Cu sudah lama mengandung keinginan hatinya
untuk menjodohkan anak perempuannya dengan Yap Kim Sun. Maka, kini
mendengar bahwa Kim Sun hendak meminang seorang gadis puteri mendiang
ketua Thian-san-pang, tentu saja hatinya merasa tidak senang.
515 Akan tetapi dia menyembunyikan perasaannya ini dan malah ikut pula dengan
rombongan itu, tentu saja dengan niat untuk sedapat mungkin menggagalkan
porjodohan antara Yap Kim Sun dan puteri Thian-san-pang itu.
Ketika rombongan tiba di Thian-san-pang, tentu saja pihak perkumpulan ini
menyambutnya dengan hormat karena mereka tahu apa maksud kunjungan
itu, setelah melihat Yap Kim Sun berada di antara mereka. Sung Bi Li sendiri
menyambut, bersama Kwan Hui Ing, dan para tamu itu dipersilakan masuk ke
ruangan besar di mana pihak Thian-san-pang menyambutnya dengan sebuah
pesta. Dalam pesta makan ini mereka berkenalan dan bergembira dan setelah pesta
makan selesai, barulah Sung Bi Li dengan sikap hormat menanyakan maksud
kunjungan rombongan itu kepada kepala rombongan, yaitu Kong Hi Tojin.
"Kami dari Thian-san-pang merasa menerima kehormatan besar sekali dapat
menyambut kedatangan cu-wi (anda sekalian) dari Kun-lun-pai. Ada petunjuk
dan maksud penting apakah kiranya yang mengantar kunjungan cu-wi ini?"
"Toanio, maafkan kalau kami bersikap lancang. Sebetulnya, kedatangan kami
ini adalah karena permintaan murid keponakan kami yang bernama Yap Kim
Sun, untuk mengajukan pinangan atas diri puteri toanio yang bernama Kwan
Hui Ing." Gadis itu menjadi sedikit merah mukanya karena iapun hadir dalam
pertemuan itu. Ia hanya menundukkan mukanya saja setelah tadi mengerling
ke arah pemuda yang meminangnya itu.
"Nanti dulu, suheng. Sebuah pernikahan adalah sebuah peristiwa yang
teramat penting, dan perjodohan haruslah diteliti benar siapa yang akan
516 menjadi jodohnya, agar kelak kemudian hari tidak sampai menimbulkan
penyesalan besar. Toanio, sebelum urusan pinangan dibicarakan lebih lanjut,
maafkan saya kalau saya hendak menanyakan sesuatu kepada toanio."
Yang bicara ini adalah Yang Seng Cu dan sikapnya cukup sopan.
Sung Bi Li yang tidak menduga buruk, tentu saja tidak merasa keberatan.
"Totiang, tanyakanlah apa saja kepada kami, tentu akan kami jawab dengan
sejujurnya dan sejelasnya."
"Yang ingin kami tanyakan adalah keadaan dan kedudukan Thian-san-pang.
Karena kami semua pernah mendengar berita bahwa Thian-san-pang telah
melakukan banyak kejahatan, bahkan kabarnya Thian-san-pang pernah
bersekongkol dengan Tok-coa-pang dan dengan See-thian Tok-ong. Dengan
begitu berarti Thian-san-pang telah bersekongkol dengan kerajaan Hou-han
yang kini telah takluk kepada kerajaan Sung. Benarkah berita yang kami
dengar itu, toanio?"
Semua orang terkejut, termasuk Yap Kim Sun. Akan tetapi ucapan itu telah
dikeluarkan dan nampak betapa wajah Sung Bi Li berubah kemerahan, dan
sinar kemarahan menyorot dari kedua matanya.
Akan tetapi bagaimana pun juga, ia harus menjawab tuduhan yang
mencemarkan nama baik Thian-san-pang itu dan ini berarti bahwa ia harus
membongkar rahasia yang pernah menimpa perkumpulannya.
"Apa yang totiang dengar itu tidak kami sangkal, akan tetapi semua itu telah
berlalu. Memang di Thian-san-pang pernah terjadi pengkhianatan yang
dilakukan oleh seorang murid yang diam-diam membawa Thian-san-pang ke
arah penyelewengan, bahkan bersekutu dengan Tok-coa-pang. Akan tetapi
517 berkat kepandaian anak-anakku, pengkhianat telah disingkirkan sehingga kini
Thian-san-pang telah kembali ke jalan yg benar."
"Hemmm, jawaban toanio sudah cukup jelas. Akan tetapi, kami dari Kun-lunpai bagaimana dapat mengetahui dengan pasti bahwa Thian-san-pang adalah
sebuah perkumpulan yang bersih"
"Apa yang akan dijadikan bukti oleh toanio bahwa Thian-san-pang kini tidak
menyeleweng lagi" Sebetulnya kami tidak ingin mencampuri urusan Thiansan-pang, akan tetapi kalau Kun-lun-pai hendak berbesan dengan Thian-sanpang, kami harus lebih dulu mengehui bahwa Thian-san-pang benar-benar
bersih!" Sung Bi Li bangkit berdiri saking marahnya. Ia memandang kepada tosu itu
dengan dada bergelombang. Hampir saja ia memaki tosu itu kalau saja pada
saat itu tidak muncul Cin Po dan Ciok Hwa!
Ketika dari luar, Cin Po mendengar, bahwa orang-orang Kun-lun-pai sedang
diterima di ruangan besar. Sebagai orang dalam, dia langsung saja memasuki
ruangan itu bersama Ciok Hwa.
Seperti diketahui, ke dua orang muda ini pergi ke Hang-cou dan Cin Po sendiri
pergi menghadap kaisar dan menceritakan semua tentang pengkhianatan
Kok-su di depan para Menteri dan panglima.
Sebagai buktinya, dia membawa pedang milik Lauw Thian Seng-cu. Kaisar
marah sekali mendengar ini dan memerintahkan untuk menangkap semua
keluarga Kok-su untuk dihukum.
518 Setelah diberi ijin mengundurkan diri, Cin Po mengajak Ciok Hwa untuk pergi
ke Thian-san-pang untuk diperkenalkan kepada ibunya. Demikianlah, kedatangan mereka itu tepat sekali pada waktu Thian-san-pang menerima
kunjungan rombongan Kun-lun-pai dan Cin Po masih sempat mendengar
ucapan Yang Seng Cu yang menuduh Thian-san-pang itu.
"Sayalah yang dapat membuktikan bahwa Thian-san-pang adalah sebuah
perkumpulan yang bersih!" kata Cin Po.
Melihat puteranya datang bersama seorang wanita yang bercadar, Sung Bi Li
girang sekali, "Cin Po?" !" Dia lalu memperkenalkan pemuda itu kepada
semua tamunya. "Harap cu-wi ketahui bahwa pemuda ini adalah anakku bernama Cin Po!"
Yap Kim Sun yang sudah mengenalnya, segera maju dan memberi hormat,
"Bagaimana keadaanmu selama ini, tai-hiap" Kuharap baik-baik saja."
Semua tokoh Kun-lun-pai heran melihat sikap Kim Sun yang demikian
menghormati Cin Po. Akan tetapi, Yang Seng Cu merasa penasaran.
"Orang muda, apa buktinya bahwa Thian-san-pang adalah sebuah partai yang
bersih?" "Kalau Thian-san-pang dituduh bersekongkol dengan musuh, itu adalah fitnah
dan bohong belaka. Dahulu memang Thian-san-pang diselewengkan oleh
seorang pengkhianat, akan tetapi kini Thian-san-pang telah benar-benar
bersih. 519 "Buktinya" Lihat saya ini. Saya adalah seorang Thian-san-pang dan saya telah
mengabdi kepada kaisar sehingga memperoleh kepercayaan dari Sri baginda
Kaisar sendiri. Inilah buktinya!" Cin Po mengeluarkan cap dan surat kuasa
yang diterimanya dari kaisar Sung Thai Cung.
Tanpa malu-malu lagi karena memang ingin menggagalkan perjodohan itu,
Yang Seng Cu bangkit dan memeriksa surat kuasa dan cap itu. Kemudian dia
mengembalikannya kepada Cin Po sambil tersenyum mengejek.
"Semuda ini sudah, menjadi kepercayaan kaisar dan menjadi panglima
penyelidik" Orang muda, sungguh luar biasa sekali dan bagaimana pinto dapat
percaya bahwa engkau pantas untuk menjadi seorang panglima penyelidik
dan kepercayaan kaisar sebelum pinto merasakan sendiri kehebatanmu"
Kalau engkau berani, aku minta bukti dan marilah beri aku sedikit pelajaran
agar membuka mataku!"
Ini merupakan sebuah tantangan halus, juga penghinaan karena sama saja
dengan mengatakan bahwa Cin Po berbohong mengaku sebagai panglima
penyelidik dan kepercayaan kaisar. Hui Ing yang lebih keras hatinya itu sudah
bangkit berdiri dan kedua matanya mencorong marah.
"Kalian datang tidak diundang! Kenapa kalian datang hanya untuk menghina
kami" Kalau kalian tidak percaya kepada kami, kenapa kalian datang?"
"Ing-moi?".!" Yap Kim Sun berseru dengan suara memohon.
Cin Po segera menyabarkan hati adiknya, "Ing-moi, jangan menuruti hati yang
panas! Kepala harus tetap dingin. Mereka adalah orang-orang Kun-lun-pai,
sebuah perkumpulan yang amat besar dan terkenal. Sudah sepatutnya kalau
520 mereka itu meneliti agar pilihan murid mereka tidak sampai keliru." Lalu ia
menoleh kepada Yang Seng Cu.
"Totiang, kalau totiang menghendaki untuk menguji kebenaran keteranganku
bahwa aku menjadi panglima penyelidik dan kepercayaan Sribaginda Kaisar,
silakan!" Dia lalu mundur dan memilih tempat yang luas. Ruangan itu memang besar
dan luas sehingga masih terdapat tempat bagi mereka untuk mengadu ilmu
silat. Hui Ing sudah menghampiri Ciok Hwa dan digandengnya gadis itu, diajaknya
duduk di dekatnya. Akan tetapi karena keadaan, belum
sempat ia memperkenalkannya kepada ibunya.
Melihat Cin Po sudah pergi ke tempat yang luas, Yang Seng Cu bangkit dan
menghampirinya. Akan tetapi Kong Hi Tojin berkata kepadanya.
"Sute harap jangan membuat keributan, cukup untuk menguji saja."
Tosu ini tidak setuju dengan sikap sutenya, akan tetapi karena sudah
terlanjur, maka diapun tidak dapat berbuat apa-apa. Dan juga dia ingin
melihat sampai di mana kehebatan pemuda yang disebut tai-hiap oleh Yap
Kim Sun. Yang Seng Cu adalah seorang tosu yang mengandalkan ilmu kepandaian
sendiri sehinggga dia memandang rendah orang lain. Apa lagi yang
dihadapinya hanyalah seorang pemuda, maka dia lalu bertanya,
521 "Orang muda, dengan apa engkau hendak memperlihatkan kepandaianmu"
Kalau hendak mempergunakan senjata, keluarkanlah, akan pinto hadapi
dengan tangan kosong saja."
Cin Po tersenyum, sedangkan Hui Ing mengigit bibirnya. Betapa sombongnya!
"Totiang, kita bukanlah musuh dan permainan ini hanya untuk menguji saja.
Kenapa harus menggunakan senjata" Marilah kita main-main sebentar
dengan tangan kosong saja, biar totiang lebih leluasa untuk menguji aku yang
masih rendah kepandaianku."
"Tidak perlu merendah. Mulailah!" bentak Yang Seng Cu, yang sudah
memasang kuda-kuda. "Totiang yang menantang dan hendak mengujiku. Totiang yang mulai lebih
dulu. Aku telah siap diuji," kata Cin Po dengan tenang dan semua orang
mendengar ucapannya itu. Pada saat melihat sikap pemuda itu, Kong Hi Tojin sudah merasa kagum sekali
dan dia dapat menduga bahwa sutenya akan kecelik dan kalah. Namun Yang
Seng Cu bahkan merasa ditantang dan sambil berseru keras diapun mulai
menyerang dengan pukulan yang dahsyat sekali karena dia mempergunakan
jurus Cun-lui-tong-te (Guntur Musim Semi getarkan Bumi). Baru angin
pukulannya saja sudah menyambar dahsyat.
Akan tetapi dengan sikap tenang sekali dan gerakan yang ringan, tubuh Cin
Po sudah mendahului pukulan itu dan menghindar bagaikan sehelai bulu
ringan dihantam dengan keras.
522 Yang Seng Cu terkejut bukan main dan terheran-heran. Bagaimana pemuda
itu dapat menghindarkan diri sedemikian mudahnya, seolah-olah pukulannya
yang tidak dapat menyentuh tubuh itu.
Cepat dia lalu membalikkan tubuh sambil menyerang lagi ke arah pemuda itu
mengelak dan sekali ini dia menggunakan jurus Sin-liong-pai-bwe (Naga Sakti
Menyabetkan Ekor), akan tetapi kembali pukulannya hanya mengenai tempat
kosong belaka. Dengan memutar tubuh pula, tangannya diputar membentuk
cakar dan dia menyerang terus dengan cengkeraman tangannya, dengan
jurus Tai-peng-tiam-ci (Garuda Mementang Sayapnya).
Sekali ini Cin Po tidak mengelak melainkan menggerakkan tangannya untuk
menangkis. "Dukkk!" Kedua lengan bertemu dan Yang Seng Cu meringis kesakitan. Dia
merasa seolah lengannya bertemu dengan sepotong baja yang luar biasa
kerasnya. Namun dia masih penasaran dan tidak percaya bahwa dia tidak
mampu menundukkan lawan yang masih amat muda ini.
Lalu dia mengeluarkan ilmu silat andalannya, yaitu Pai-san-to-hai (Menolak
Gunung Menguruk Lautan). Sebuah ilmu silat yang dahsyat sekali karena
setiap gerakannya disertai tenaga sin-kang yang amat kuat.
Melihat lawan yang menggunakan ilmu yang dahsyat dan keras ini, Cin Po
merasa tidak senang juga. Orang ini terlalu angkuh dan juga memiliki hati
yang agak kejam, tidak mau mengalah sedikit pun. Tentu saja dia tidak tahu
apa yang menyebabkan Yang Seng Cu bersikap seperti itu.
"Maaf totiang!" katanya dan diapun menggunakan jurus dari ilmu silat Ngoheng-sin-kun, menotok kedua siku lawan sehingga tiba-tiba saja Yang Seng
523 Cu merasa betapa kedua lengannya menjadi lemas tak dapat digerakkan lagi.
Akan tetapi hanya sebentar karena cepat Cin Po membebaskan lagi
totokannya dengan menepuk kedua lengan itu.
Sekali ini wajah Yang Seng Cu berubah pucat sekali kemudian merah. Barulah
dia maklum bahwa pemuda ini sejak tadi mengalah kepadanya dan kalau
pemuda itu menghendaki, sudah sejak tadi dia dapat dirobohkan!
Bagaimanapun juga, Yang Seng Cu adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang
gagah perkasa dan kalau dia bersikap keras terhadap Thian-san-pang, hal itu
adalah karena dia ingin menggagalkan perjodohan itu.
Kini, dia yakin bahwa Thian-san-pang memang telah bersih, bahkan seorang
tokoh mudanya telah menjadi orang kepercayaan kaisar, dan panglima


Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penyelidik. Baru menggunakan surat kuasa itu saja, kalau pemuda itu berniat
jahat, dia sudah dapat ditangkap karena dianggap melawan petugas kaisar
yang mempunyai surat kuasa!
"Pinto menyerah! Kepandaianmu memang luar biasa sekali, orang muda!"
katanya sambil merangkap tangan depan dada memberi hormat.
Cin Po merasa girang melihat sikap gagah ini dan diapun membalas
penghormatan itu. "Terima kasih bahwa totiang telah suka mengalah," katanya dan kembali sikap
ini membuat Kong Hi Tojin menjadi kagum bukan main. Seorang pemuda yang
selain lihai sekali juga pandai membawa diri, tidak sombong dan amat rendah
hati. 524 Perundingan tentang peminangan itupun dilanjutkan tanpa banyak kesulitan
lagi dan akhirnya pinangan itu diterima dengan baik setelah diajukan oleh Yap
Siong Kun sebagai paman Kim Sun. Pertunangan telah diikat dengan
penukaran sebuah hiasan rambut dari batu permata dengan seuntai kalung
milik Hui Ing ditukar dengan hiasan rambut itu. Tinggal pernikahannya saja
akan dilangsungkan dalam waktu setengah tahun mendatang.
Para tamu merasa puas dan mereka pulang dengan hati senang, demikian
pula pihak nyonya rumah yang ditinggalkan merasa puas dengan ikatan
pertunangan yang memang sudah disetujui oleh ke dua orang muda yang
berpasangan itu. "Y" Setelah para tamu pulang, barulah Cin Po mendapatkan kesempatan untuk
memperkenalkan Ciok Hwa kepada ibunya. Mereka semua tetap duduk di
ruangan yang tadi, akan tetapi kini meja telah dibersihkan dan yang duduk
menghadapi meja hanya mereka berempat, Sung Bi Li, Kwan Hui Ing, Cin Po
dan Ciok Hwa. "Ibu, aku perkenalkan nona ini kepadamu. Ini adalah Kui Ciok Hwa dan kami
berdua sudah sepakat untuk saling berjodoh, ibu," kata Cin Po kepada ibunya.
Sung Bi Li tersenyum girang. "Ahh! Kiranya engkau sudah mendapatkan
pilihan hatimu" Bagus sekali, Cin Po! Namanya Kui Ciok Hwa" Nama yang
bagus. Berapa usiamu sekarang, Ciok Hwa?"
"Usia saya sudah duapuluh tahun, bibi," kata Ciok Hwa, tidak berani menyebut
ibu, karena perjodohan mereka belum diterima dan disahkan.
525 "Dan siapakah orang tuamu?"
Ditanya demikian, Ciok Hwa agak tertegun. Ia merasa bahwa ayahnya adalah
seorang datuk, Datuk Timur yang menjadi pembantu kerajaan Wu-yeh yang
dianggap musuh, maka ia ragu untuk memperkenalkan nama ayahnya.
Melihat ini, Cin Po mendahuluinya.
"Ibu, Hwa-moi ini sudah yatim piatu, tidak berayah tidak beribu lagi."
"Ah, kasihan engkau, Ciok Hwa," kata Bi Li, "Akan tetapi, siapa nama
mendiang ayahnya?" "Nama ayah almarhum adalah Kui Bhok........" kata Ciok Hwa lirih.
Kedua mata. Sung Bi Li agak terbelalak.
"Kui Bhok?"." Aku seperti pernah mengenal nama itu! Kui Bhok?"" Ah,
Tung-hai Mo-ong juga bernama Kui Bhok, bukan?"
"Memang mendiang ayah berjuluk Tung-hai Mo-ong, bibi," kata Ciok Hwa
yang tidak dapat menahan diri untuk menyembunyikan siapa ayahnya itu.
Lebih baik berterus terang, pikirnya penasaran. Bagaimanapun juga, Cin Po
sudah mengenal siapa ayahnya!
Kini sepasang mata itu benar-benar terbelalak lebar. "Tung-hai Mo-ong?""
Ciok Hwa, coba kau singkap cadarmu, ingin aku melihat mukamu."
Cin Po memandang kepada kekasihnya dengan hati penuh iba, akan tetapi,
dia tidak dapat mencegah dan agaknya Ciok Hwa juga tidak ragu-ragu lagi
526 untuk membuka cadarnya. Hui Ing memandang dengan wajah penuh
kekhawatiran. Cadar dibuka, seraut wajah yang penuh totol-totol hitam diangkat memandang kepada Bi Li dengan matanya yang bersinar-sinar. Terdengar
Sung Bi Li menjerit dan berteriak.
"Puteri Tung-hai Mo-ong berwajah setan"..! Tidak, aku tidak mau mempunyai
mantu seperti ini?"!"
"Ibu?"!" seru Cin Po.
Cadar itu tertutup kembali dan tubuh Ciok Hwa berkelebat keluar dari ruangan
itu. "Hwa-moi?"!!" Cin Po mengejar keluar dan sampai agak jauh dari Thian-sanpang, barulah ia dapat menyusul dan ia menangkap lengan gadis itu.
"Hwa-moi, kau maafkanlah ibuku?" kau maafkanlah aku".., mari kita
kembali dan akan kubicarakan baik-baik dengan ibu."
"Tidak, aku tidak mau kembali ke sana hanya untuk mendengar hinaan. Koko,
kau turutilah ibumu, jangan berjodoh dengan aku. Aku anak seorang datuk
sesat, dan wajahku seperti setan. Aku hendak kembali ke Pulau Hiu?"!" kata
gadis itu dengan suara terisak-isak.
"Hwa-moi?".!"
Akan tetapi Ciok Hwa merenggut lepas lengannya.
527 "Koko, jangan paksa aku atau aku akan melawanmu!" Dan ia berlari lagi
secepatnya meninggalkan pemuda itu.
Cin Po maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, kalau dia memaksa
keadaannya akan menjadi semakin buruk, maka dengan tubuh terasa lemas
dan hati terasa kosong dia lalu kembali kepada ibunya.
Hui Ing menyongsongnya. "Mana enci Ciok Hwa, koko?" tanyanya.
Cin Po menggeleng kepalanya dan menghela napas. "Ia tidak mau kembali ke
sini"..." "Lebih baik begitu, bagaimanapua juga aku tidak setuju mempunyai mantu
seperti setan begitu, apa lagi ia puteri Tung-hai Mo-ong!" kata Sung Bi Li
dengan nada suara masih marah.
"Ibu, apakah ibu menilai seseorang dari ayahnya" Kalau begitu, orang macam
apakah aku ini" Orang macam apakah dia yang menjadi ayah kandungku"
Ayahku jauh lebih jahat dari pada Tung-hai Mo-ong, ibu. Apakah ibu sudah
lupa akan hal ini" "Ciok Hwa memang puteri Tung-hai Mo-ong, akan tetapi ia tidak jahat seperti
ayahnya dan biarpun wajahnya buruk, namun hatinya amat baik. Dan tentang
ayahnya itu, mengingat aku adalah anak ayah yang lebih jahat lagi, sudah
sepatutnya kalau aku berjodoh dengan puteri seorang datuk seperti mendiang
Tung-hai Mo-ong." "Benar seperti yang dikatakan koko Cin Po, ibu. Enci Ciok Hwa itu biarpun
wajahnya cacat dan buruk, namun ia seorang gadis yang gagah perkasa,
528 berjiwa pendekar dan baik sekali. Bahkan tanpa pertolongannya, mungkin
kedua orang anakmu ini sudah tewas," Hui Ing juga membujuk ibunya.
"Tapi?" tapi?"" Bi Li masih mencoba membantah.
"Ibu, akulah yang menanggung bahwa enci Ciok Hwa itu seorang gadis yang
bijaksana dan berhati mulia!" tambah pula Hui Ing dengan suara mantap.
Kini Sung Bi Li menangis. Ia tidak setuju bermantukan Ciok Hwa karena
merasa kehormatan dan harga dirinya tersinggung. Apa akan kata orang nanti
kalau melihat ia mempunyai seorang mantu yang wajahnya seperti setan, apa
lagi puteri datuk Tung-hai Mo-ong" Tentang keadaan puteranya sendiri yang
berayahkan Ban Koan yang jahat, ia memang berusaha melupakan aib itu,
dan pula tidak ada orang lain yang mengetahuinya.
Kita sejak kecil sudah dijejali dengan penjagaan kehormatan dan harga diri
ini, sehingga setelah dewasa kita melakukan apa saja untuk menjaga
kehormatan dan harga diri. Dalam berpakaian, dalam tindak tanduk seharihari, kita tidak segan untuk berpalsu-palsu demi kehormatan dan harga diri.
Kehormatan dan harga diri sudah disatukan dalam bentuk pakaian,
kedudukan, harta benda, sikap, nama dan bukan kepada pribadi orang itu
sendiri sehingga setiap orang selalu berusaha ke arah peningkatan kehormatan dan harga diri. Dalam memilih mantupun, seperti Bi Li, orang
condong untuk melihat keadaan dan latar belakang orang itu, bukan melihat
pribadinya. Bi Li menangis sesenggukan. Hui Ing dan Cin Po saling pandang dan Hui Ing
yang mendesak ibunya, "Ibu, apakah ibu masih juga berkeberatan kalau koko
Cin Po berjodoh dengan enci Ciok Hwa?"
529 "Sesukamulah?". aku?" aku tidak melarang, hanya?" ah, sudahlah, kalau
memang Cin Po mencinta gadis itu terserah, aku tidak akan mencegahnya
lagi".." "Terima kasih, ibu!" Cin Po berlutut di depan kaki ibunya.
Sepekan kemudian Cin Po meninggalkan Thian-san-pang untuk pergi
menyusul Ciok Hwa ke Pulau Hiu.
"Y" Cin Po melakukan perjalanan cepat untuk menyusul Ciok Hwa ke Pulau Hiu.
Setelah sekarang Wu-yeh terjatuh ke tangan kerajaan Sung, melakukan
perjalanan ke daerah ini menjadi aman bagi Cin Po. Akhirnya, tanpa adanya
gangguan, tibalah dia di tepi pantai dan dia membeli sebuah perahu kecil dan
dengan cepat didayungnya perahu itu menuju ke Pulau Hiu.
Ketika tiba di dekat Pulau Hiu, dia melihat perahu-perahu hitam milik para
bajak laut Pulau Hiu dihias dengan bunga-bunga kertas warna warni. Dia
menjadi tertarik sekali dan ketika dia mendarat, suasana di pulau itupun
semarak dengan hiasan di sana sini!
Seorang anggauta bajak melihat dan mengenal Cin Po, lalu menegur, "Taihiap baru datang?"
"Apa yang terjadi di sini" Apa artinya semua hiasan ini?"
"Kami sedang mempersiapkan sebuah pesta pernikahan, tai-hiap. Besok pagi
akan diadakan perayaan pernikahan!" kata orang itu dengan nada suara
530 gembira. "Bukankah kedatangan tai-hiap
ini untuk menghadiri pesta pernikahan itu?" Cin Po terkejut dan di luar kesadarannya dia memegang lengan orang itu
sehingga yang dicengkeram lengannya mengaduh. Dia mengendurkan
cengkeramannya dan bertanya, "Siapa yang menikah" Hayo katakan, siapa
yang akan menikah besok pagi"!"
"Eh?" eh, apa tai-hiap belum tahu" Ketua kami akan menikah dengan bekas
ketua kami Si Mata Satu?"" Orang itu tidak melanjutkan kata-katanya karena
Cin Po sudah lenyap dari situ.
Bagaikan seorang yang kesetanan Cin Po masuk ke dalam rumah Ciok Hwa.
Beberapa orang penjaga yang berada di rumah itu berusaha untuk
menahannya, akan tetapi dengan menggerakkan tangan ke kanan kiri, enam
orang penjaga itu roboh jungkir balik dan dia terus berlari masuk,
mengejutkan Ciok Hwa yang sedang duduk melamun seorang diri di dalam
kamarnya. "Kau ..:...?"" Ciok Hwa bangkit berdiri memandang pemuda itu dari balik
cadarnya. "Hwa-moi, apa-apaan kau ini! Hendak menikah dengan Si Mata Satu!"
"Cin Po, kau tidak berhak mencampuri! Perduli apa engkau?" balas Ciok Hwa
dengan suara ketus. "Hwa-moi, engkau adalah calon isteriku. Tidak mungkin menikah dengan
orang lain!" 531 "Tidak, ibumu telah menghinaku, telah menolakku!"
"Akan tetapi aku tidak pernah menolakmu!"
"Tidak, aku tidak dapat menjadi isterimu, ibumu telah?"."
"Hwa-moi, engkau tidak mengenal ibuku. Ia bukanlah seorang wanita yang
jahat dan kejam. Mungkin karena terkejut, ketika itu, ia menolakmu. Akan
tetapi aku telah bicara dengannya dan ia mau menerimamu sebagai
mantunya." "Tidak, aku tidak mau dihina lagi. Biar aku menjadi isteri Si Mata Satu, atau
Si Mata Buta sekalipun, lebih tepat untukku. Engkau putera ketua Thian-sanpang yang terhormat, sedangkan aku hanya anak datuk sesat dan wajahku
cacat, buruk seperti setan!"
"Hwa-moi, aku cinta padamu dan engkau mencinta aku. Aku larang engkau
menikah dengan siapapun juga!" bentak Cin Po.
"Aku tidak perduli!"
"Aku akan membawamu pergi dari sini!"
"Aku tidak sudi!"
"Aku akan memaksamu!"
"Aku akan melawanmu!" teriak Ciok Hwa dan ia sudah menyerang Cin Po
dengan pukulan tangannya ke arah dada pemuda itu.
Cin Po tidak mengelak. 532 "Bukk!" pukulan mengenai dada Cin Po dan Ciok Hwa menjerit dan kaget
sendiri melihat Cin Po tidak mengelak atau menangkis. Akan tetapi Cin Po
sudah menggerakkan tangan menotoknya dan iapun roboh lemas dalam
rangkulan Cin Po, tertotok. Cin Po memondongnya dan membawanya keluar.
Semua anggauta Pulau Hiu sudah berkumpul di luar dan Si Mata Satu sudah
pula berdiri di situ. Melihat Si Mata Satu, Cin Po memandang dengan tajam.
"Engkau berani hendak menghalangi aku membawa pergi Ciok Hwa?"
bentaknya dengan geram. Si Mata Satu memberi hormat. "Tai-hiap, pernikahan ini adalah kehendak
ketua kami dan aku sama sekali tidak berani membantah. Harap jangan
persalahkan diriku dan kalau sekarang tai-hiap hendak membawanya, aku
hanya dapat merasa bersyukur."
Tahulah Cin Po bahwa pernikahan itu memang kehendak Ciok Hwa sematamata untuk menghancurkan hatinya, untuk membalas penghinaan yang
diterimanya dari ibunya. "Anak bodoh kau?"!" Dia mengomeli Ciok Hwa yang kini menangis di dalam
pondongannya lalu Cin Po melompat dan membawa Ciok Hwa lari ke pantai.
Dimasukkan tubuh gadis itu ke dalam perahunya dan didayungnya perahu itu
ke tengah, disaksikan oleh Si Mata Satu dan kawan-kawannya dengan
gembira. Mereka melambaikan tangun. Si Mata Satu yang paling merasa gembira.
Sebetulnya dia sendiri tidak suka untuk menikah dengan wanita yang bermuka
buruk mengerikan itu, akan tetapi dia tidak berani menolak kehendak Ciok
Hwa yang ditakuti. Maka, kini melihat Cin Po datang dan membawa pergi
533 wanita itu, tentu saja pernikahannya menjadi urung dan dia bergembira
sekali. Setelah berada di perahu, Cin Po membebaskan totokannya dari tubuh Ciok
Hwa. "Nah, sekarang kita berada di perahu, di atas air. Di sini aku tidak
berdaya dan kalau engkau akan membunuhku, lakukanlah!" kata Cin Po
kepada gadis yang masih menangis itu.
Mendengar ucapan Cin Po, Ciok Hwa menangis semakin sedih. Cin Po
mendiamkannya saja, hanya mendayung perahunya tanpa berkata apa-apa
lagi. "Engkau?" akan membawaku ke mana?" tanya Ciok Hwa setelah reda
tangisnya. "Engkau akan kubawa lagi menghadap ibu di Thian-san-pang."
"Aku tidak mau menerima penghinaan lagi. Lebih baik aku mati!"
"Ciok Hwa, percayalah kepadaku. Ibu telah berubah pendiriannya. Aku
tanggung bahwa ia tidak akan mengeluarkan kata-kata kasar lagi. Ia telah
menyadari keadaan dan tidak akan menolakmu lagi. Ketika itu ia hanya
terkejut dan dalam kekagetannya itu, ia telah menyinggungmu, maafkanlah
ibuku, Hwa-moi." Kembali Ciok Hwa terisak. "Koko?"."
"Ya.......?"

Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

534 "Katakanlah terus terang. Apakah cintamu kepadaku itu benar-benar" Ingat,
aku puteri Tung-hai Mo-ong yang pernah hendak membunuhmu dahulu. Dan
lebih lagi, aku memiliki wajah yang buruk menjijikkan seperti setan. Benarbenarkah cintamu kepadaku?"
"Hwa-moi, apakah aku harus bersumpah" Aku mencinta pribadimu, mencinta
kebijaksanaan dan kebaikanmu, bukan sekedar mencinta wajahmu. Wajahmu
boleh bercacat, akan tetapi bagiku, pribadimu tidak bercacat!"
Mendengar ucapan ini, Ciok Hwa membalik dan merangkul Cin Po, menangis
di dada pemuda itu. "Ah, koko...... betapa aku cinta padamu....... aku".. aku
rela mati untukmu?" aku".. aku tadinya hendak membunuh diri begitu
pernikahanku dirayakan."
"Hwa-moi.......!" Cin Po memeluknya erat-erat seolah tidak ingin gadis itu
terlepas darinya. "Betapa bodoh engkau! Aku tidak akan melepaskanmu, biar
apapun juga yang terjadi. Andaikata ibuku sungguh-sungguh tidak setuju, aku
tetap akan pergi bersamamu, hidup berdua denganmu. Percayalah! Akan
tetapi ibuku telah insaf dan ia menyetujui perjodohan kita."
"Benarkah, koko?"
"Aku tidak pernah mau berbohong kepadamu, kekasihku."
"Koko Cin Po?"!"
Perahu di dayung terus dan tak lama kemudian merekapun sudah mendarat.
Mereka langsung pergi ke Thian-san-pang. Karena percaya kepada kekasihnya, Ciok Hwa mau datang lagi ke Thian-san-pang walaupun
jantungnya berdebar keras penuh ketegangan.
535 Pertama-tama yang menyambut mereka adalah Hui Ing. "Enci Ciok Hwa,
syukurlah engkau mau datang kembali bersama koko! Kami girang sekali,
enci!" Kemudian Sung Bi Li keluar. Sejenak kedua orang wanita itu berdiri saling
berhadapan, diam tak bergerak seperti patung. Sinar mata Ciok Hwa seolah
menembus cadarnya mempelajari keadaan wajah calon ibu mertuanya.
Kemudian Bi Li melangkah maju dan merangkul gadis itu.
"Ciok Hwa, maafkan ibumu, nak!"
Mendengar ucapan itu, Ciok Hwa merangkul calon ibu mertuanya berbisik,
"Sayalah yang mengharapkan maaf darimu, ibu?"" Keduanya bertangisan
dan terobatilah hati Ciok Hwa yang pernah luka di tempat ini.
Karena Ciok Hwa sudah yatim piatu, maka perjodohan dirundingkan mereka
bersama. Kemudian diputuskan bahwa hari pernikahan mereka dibarengkan
dengan hari pernikahan Hui Ing, dan akan dirayakan di Thian-san-pang.
Setelah tinggal beberapa hari lamanya di Thian-san-pang, Ciok Hwa berpamit
dari ibu mertuanya untuk lebih dulu berkunjung ke makam ayahnya dan
bersembahyang. Cin Po menemaninya dan setelah tiba di makam itu, mereka
bersembahyang. Kemudian mereka duduk bercakap-cakap di depan makam.
"Kalau aku teringat akan kehidupan ayah di masa lalu dan kehidupanku
sendiri, aku tidak terlalu menyalahkan ibumu kalau ia dahulu itu menolakku.
Ayah adalah seorang datuk sesat dari Timur sedangkan aku" Aku pernah
menjadi kepala bajak laut di Pulau Hiu. Sedangkan engkau adalah putera
ketua Thian-san-pang yang terhormat!"
536 Ia menghela napas panjang. "Entah bagaimana engkau membujuk ibumu
sehingga akhirnya ia menyetujui perjodohan kita, koko."
Cin Po merasa bahwa sudah tiba waktunya bagi dia untuk berterus terang
kepada Ciok Hwa tentang rahasia dirinya. "Mudah saja, Hwa-moi. Kaukira aku
ini keturunan orang baik-baik" Mendiang ayah kandungku jauh lebih jahat
dibandingkan mendiang ayahmu."
Ciok Hwa terkejut sekali dan berseru, "Aku tidak percaya!"
"Nah, dengarlah baik-baik riwayatku. Engkau ingat ketika para tokoh Kun-lunpai menuduh Thian-san-pang pernah menyeleweng dan bersekongkol dengan
Coa-tok-pang yang jahat" Dan ibuku mengaku kepada mereka bahwa
memang pernah ada seorang pengkhianat mengacau di Thian-san-pang,
menguasai Thian-san-pang dan membawanya menyeleweng" Nah, pengkhianat itu adalah ayah kandungku!"
"Mana mungkin" Engkau putera ibumu yang menjadi ketua Thian-san-pang!"
bantah Ciok Hwa. "Memang benar, dan pengkhianat itu adalah suheng dari ibuku. Mereka bukan
suami isteri, akan tetapi pada suatu saat?". ahh, biarlah aku berterus terang
kepadamu, Ciok Hwa karena di antara suami isteri tidak boleh ada rahasia,
biar engkau tahu orang macam apa calon suamimu ini.
"Pada suatu waktu, selagi ibuku pingsan, ia telah diperkosa oleh suhengnya
itu. Dan akibatnya....... terlahirlah aku. Nah, sudah lega hatiku sekarang
setelah menceritakannya kepadamu."
"Ahhh, begitukah, koko" Dan siapa nama....... ayah kandungmu itu?"
537 "Namanya Ban Koan. Aku benci nama itu, seorang pengkhianat dan penjahat
kejam sekali." "Koko, sudah benarkah itu kalau engkau membenci ayahmu sendiri" Biarpun
dia jahat akan tetapi tetap dia ayahmu. Dan mengapa engkau memakai marga
Sung, bukan Ban?" "Aku menggunakan marga ibuku."
"Sudah benarkah itu, koko" Engkau adalah seorang yang jujur dan bijaksana,
kenapa tidak berani menggunakan marga ayah kandungmu" Malu?" Ciok Hwa
menegur. Cin Po menghela napas dan menyadari kesalahannya. "Apa yang harus
kulakukan, Ciok Hwa" Aku menjadi bingung mendengar teguranmu!"
"Aku tidak akan merasa puas kalau engkau tidak menggunakan nama marga
ayah kandungmu, yaitu marga Ban, dan aku tidak akan tenang kalau engkau
tidak mengajak aku bersembahyang di depan makam ayah kandungmu. Boleh
jadi ayah kita jahat, akan tetapi mereka adalah orang tua kita, dan kini
mereka telah meninggal dunia.
"Sepatutnya sebagai anak, kita harus berdoa memintakan ampun kepada
Tuhan atas segala dosa mereka. Bukan malah membenci mereka!"
Cin Po merangkul kekasihnya. "Alangkah mulia hatimu, Hwa-moi. Baiklah, aku
berjanji bahwa mulai saat ini nama lengkapku adalah Ban Cin Po dan nanti di
Thian-san-pang engkau akan kuajak bersembahyang di depan makam ayah
kandungku." 538 Senang dan legalah hati Ciok Hwa, maka iapun balas merangkul pemuda itu.
Kebahagiaan terasa bagi dua hati yang sepaham sependirian, dua hati yang
mencinta dengan tulus, biarpun melihat cacat cela dalam diri masing-masing.
"Y" Pernikahan dua pasang mempelai itu dirayakan dengan meriah di Thian-sanpang. Bukan hanya para tokoh kang-ouw yang datang sebagai undangan, juga
banyak pejabat tinggi termasuk Menteri Kebudayaan Lu Tong Pi hadir!
Setelah semua tamu bubaran, Cin Po dan Ciok Hwa berada di dalam kamar
pengantin yang berbau harum dupa. Dengan lembut Cin Po menghampiri Ciok
Hwa yang duduk di tepi pembaringan dan perlahan-lahan dia menyingkap
cadar hitam itu. Ditatapnya wajah isterinya yang totol-totol hitam itu tanpa jijik, bahkan
dengan penuh iba dan sayang. Dia melihat air mata mengalir turun di kedua
pipi, isterinya yang menundukkan mukanya dengan malu-malu.
"Isteriku sayang! Kenapa menangis?"
"Aku menangis karena bahagia, suamiku, karena aku kini yakin benar akan
cintamu kepadaku?"."
Cin Po merangkul. "Apakah selama ini engkau belum yakin?"
"Siapa bisa yakin, koko" Bagaimana mungkin seorang pria akan dapat
mencinta seorang gadis yang mukanya cacat?""
539 "Husssshhh, tidak usah menyebutkan lagi hal itu. Aku cinta padamu, moimoi!"
Dan Cin Po lalu mendekatkan mukanya, menciumi muka yang totol-totol
hitam itu. Setelah dia melepaskan isterinya, Ciok Hwa memandang kepadanya
sambil tertawa geli. Sudah tentu saja Cin Po menjadi terheran dan mengerutkan alisnya. "Kenapa
engkau tertawa geli, isteriku?"
"Hi-hi-hik, lihat mukamu seperti".. seperti badut! Sungguh lucu?"!"
Cin Po terkejut sekali, juga khawatir karena sikap isterinya seperti seorang
yang tidak waras pikirannya. Dia lalu lari ke meja dan mengambil cermin,
bercermin. Dia terbelalak melihat mukanya coreng-moreng hitam, memang seperti
badut. Dia terheran-heran. Bagaimana mukanya bisa coreng moreng seperti
itu" Ah, baru saja dia menciumi isterinya! Kedua pipi isterinya diciuminya dan
mukanya lalu coreng moreng.
Dia lalu melompat mendekati isterinya memegang wajah isterinya dengan ke
dua tangan dan memaksa isterinya mengangkat muka. Totol-totol hitam itu"
Dia lalu memondong isterinya ke kamar mandi dan dengan paksa dia mencuci
muka isterinya dengan air, lalu membersihkannya dengan bajunya. Dan"..
totol-totol hitam itu lenyap sama sekali.
Wajah isterinya putih kemerahan, mulus tanpa cacat dan bahkan cantik jelita
bagaikan bidadari! Dia terbelalak."
540 "Kau....... kau......., benar Ciok Hwa?".?"
Ciok Hwa tersenyum dan bukan main manis dan indahnya senyum itu.
"Apakah engkau sudah lupa lagi kepadaku, suamiku?"
Cin Po merangkul. Kedua matanya basah. "Engkau".. engkau".. sudah
sembuh?" "Sudah sejak lama! Sejak Yok-sian mengobatiku dari luka beracun, cacat di
mukaku sembuh. Justeru serangan jarum beracun dari Kam Song Kui itu telah
menyembuhkan cacat di mukaku, walaupun sempat membahayakan keselamatan nyawaku."
"Akan tetapi, kenapa engkau masih menutupi mukamu dengan cadar dan
memberi totol-totol hitam dengan tinta bak?"
Ciok Hwa tersenyum dan merangkul suaminya.
"Engkau bodoh, tidakkah kaulihat bahwa totol-totol hitam itu tidak sama
dengan keadaan mukaku yang dahulu, penuh benjolan-benjolan" Dan aku
memang sengaja membiarkan engkau mengira mukaku masih tetap buruk,
kalan tidak begitu, bagaimana aku dapat menguji sampai di mana besarnya
cintamu kepadaku" Aku tidak ingin dicinta karena wajahku cantik."
"Ah, engkau isteriku yang bijaksana?"" Cin Po kembali menciumi wajah
isterinya sampai Ciok Hwa terengah-engah. "Pantas saja Suhu Bu Beng Lojin
menyetujui perjodohanku denganmu."
541 "Suhumu seorang sakti yang bijaksana. Dia sudah tahu bahwa totol-totol
hitam itu hanya buatan, akan tetapi dia tidak membuka rahasiaku. Aku dapat
melihat ini dari pandang matanya yang penuh senyum maklum."
Cin Po menarik isterinya keluar kamar.
"Heii, mau engkau bawa ke mana aku!" teriak isterinya.
"Akan kupamerkan kepada semua orang!" kata Cin Po sambil tertawa dan
seperti orang kesetanan, dia berteriak-teriak membangunkan ibunya, bahkan
mengetuk-ngetuk pintu kamar Hui Ing dan suaminya, membangunkan semua
orang. "Lihat?"! Lihat ini isteriku, Kui Ciok Hwa yang cantik seperti bidadari!"
teriaknya kegirangan. Hui Ing dan suaminya terkejut pintu kamarnya diketuk dan mereka keluar dari
kamar. Demikian pula Sung Bi Li dan mereka semua terbelalak memandang
gadis yang cantik jelita, yang digandeng Cin Po.
Hui Ing lebih dulu maju dan merangkul Ciok Hwa. "Sungguh ajaib. Engkau
seorang gadis yang cantik jelita, enci. Aku merasa bangga dan girang sekali
mempunyai kakak ipar sepertimu!"
Kini giliran Sung Bi Li merangkul mantunya. "Akupun bangga dan girang
sekali, Ciok Hwa. Engkau mantuku yang baik?"" Dan nyonya ini tidak dapat
menahan air matanya. Setelah kembali ke dalam kamar, Cin Po merangkul isterinya.
542 "Semua orang bangga kepadamu, isteriku. Apa lagi aku!"
"Ahh, aku hanya isterimu yang jelek, bodoh dan?""
"Dan hebat!" Cin Po menutup kata-kata merendahkan diri itu dengan
ciumannya. Sampai di sini, selesailah sudah kisah Pendekar Baju Putih ini. Semoga kisah
ini ada manfaatnya bagi para pembaca, dan sampai jumpa di dalam kisah
yang lain. TAMAT 543 Setan Harpa 12 Pedang Medali Naga Karya Batara Tusuk Kondai Pusaka 9
^