Pencarian

Persekutuan Dua Iblis 2

Dewi Sri Tanjung Persekutuan Dua Iblis Bagian 2


Justru serangan-serangan Rudra Sangkala yang
dicampur dengan serangan racun wangi ini menyebabkan Hesti Makara menjadi sangal
marah, dan dalam waktu singkat mereka telah terlibat dalam perkelahian sengit.
Akan tetapi Adityawarman yang awas, melihat per-
kelahian itu menjadi curiga disamping heran. Hesti Makara menang pengalaman dan
lebih matang dalam gerakan
maupun tenaga saktinya. Namun mengapa gerakan Hesti Makara sekarang ini tampak
kaku, kurang tenaga dan takut-takut"
Adityawarman mengamati setiap gerak serangan Rudra Sangkala, penuh perhatian dan
selidik. Ia ingin tahu mengapa sebabnya Hesti Makara berkelahi tidak seperti
biasanya. "Plak plak ..... bukk..... bukk....!" terdengar suara dua kali pukulan disusul
masing-masing terhuyung ke belakang.
Akan tetapi secepat kilat Rudra Sangkala sudah melesat ke depan dan melancrkan
se-rangannya lagi.
Adityawarman mengamati perkelahian itu sekian lama.
Namun pejabat tinggi Majapahit ini belum juga bisa mengetahui sebabnya mengapa
sekali ini Hesti Makara tidak segarang biasanya"
Menurut penilaian Adityawarman, sekalipun Rudra
Sangkala termasuk pemuda peng-pengan (jagoan), tetapi tingkatnya masih sedikit
di bawah Hesti Makara. Jadi sulit dipercaya apabila Hesti Makara harus mengalami
kesulitan berhadapan dengan bocah ini. Tentu ada rahasia yang menyebabkan Hesti
Makara kesulitan.
Agaknya Kebo Druwoso juga melihat keanehan ini,
katanya, "Gusti, perkenankanlah hamba menolong dan mengeroyok bocah itu.
Nampaknya Hesti Makara
menghadapi kesulitan."
Jangan! cegah Adityawarman halus. Hal itu akan
menyebabhkan dia tersinggung dan merasa terhina. Sebab tidak seharusnya Hesti
Makara menghadapi kesulitan seperti ini. Kalau sekarang sampai terjadi maka
sebab itulah yang harus kita cari. Untuk itu tidak ada orangnya yang lebih tepat
melakukannya, kecuali diriku sendiri.
"Plak plak plak.....!"
Adityawarman dan pengawalnya kaget, ketika melihat Hesti Makara terhuyung mundur
beberapa langkah ke belakang dengan wajah pucat. Disusul kemudian Hesti Makara
muntah darah segar.
Akan tetapi agaknya Rudra Sangkala yang merasa di atas angin dan dapat memukul
lawan sampai muntah
darah ini, tidak mau memberi kesempatan kepada lawan bernapas. Ia melesat ke
depan sambil berteriak nyaring.
Maksudnya sekali pukul, lawan harus roboh dan mampus.
"Plakk.....!" Rudra Sangkala terhuyung mundur dan wajahnya pucat, ketika
tangannya ditangkis orang dan lengannya menjadi kesemutan. Mulutnya meringis
menahan sakit, namun sesaat kemudian wajah pemuda ini berubah merah padam dan
sepasang matanya seperti
menyala, menatap kepada Adityawarman.
"Huh... huh! Kamu mau mengeroyok, bagus." ujarnya.
"jangan maju satu demi satu, lebih banyak lebih baik."
Bukau main sombongnya pemuda ini. Kebo Druwoso
penasaran dan membentak nyaring, "Kurangajar! Apakah engkau menganggap dirimu
sudah paling sakli di dunia ini dan tanpa tanding lagi?"
Rudra Sangkala mengejek. "Heh heh heh heh, kau boleh mencoba."
Hesti Makara sudah lerluka dalam. Setelah mengatur pernapasan beberapa saat,
darahnya berhenti bergolak dan sesak dadanya menghilang. Ternyata luka itu tidak
berat dan tidak membahayakan. Karena itu ia segera bangkit lalu memperhatikan
Adityawarman yang sekarang berhadapan dengan Rudra Sangkala.
Dengan pandang mata yang masih sabar Adityawarman berkata, "Anak muda, dengar
kataku. Menyerahlah dan jangan melawan, percayalah penguasa peradilan Majapahit
bukanlah terdiri atas para manusia tamak. Tetapi apapun alasannya, main hakim
sendiri tidak bisa dibenarkan."
Namun manakah mungkin Rudra Sangkala mau
mendengar nasihat Adityawarman ini" Hati bocah ini menjadi besar setelah dapat
memukul Hesti Makara
sampai muntah darah. Ia merasa kuat. Karena itu tidak ada yang perlu ditakuti
lagi. "Heh heh heh heh, tak usah banyak mulut. Sambutlah pukulanku!"
Dengan gerakan cepat Rodra Sangkala sudah kembali menerjang ke depan. Jari
tangannya meneyntil tabung racun wangi di bawah kuku jari. Kemudian jari tangan
kiri yang semula bergerak membentuk cengkeraman itu sudah berubah menjadi tinju
memukul ke arah dada disusul cengkeraman tangan kanan yang mencengkeram leher.
Adityawarman hanya menggeser kaki sedikit ke kanan sambil mendorongkan tangan
kiri, sedangkan tangan kanan secepat kilat menyambar pergelangan tangan
lawan. Rudra Sangkala melompat untuk menghindar dan Adityawarman kaget ketika
hidungnya menghirup bau wangi disusul rasa pening dan pandangan menjadi kabur.
Ia cepat menahan napas dan berusaha mendorong
pengaruh racun itu dari dalam tubuhnya.
Pengalamannya ini menyadarkan dirinya, pengaruh bau wangi ini berbahaya.
Kemudian ia sadar pula, inilah agaknya yang menjadi penyebab Hesti Makara tidak
mampu melawan pemuda ini.
Sadar akau keadaan, ia menjadi marah. Ketika Rudra Sangkala menyerang lagi, ia
tidak segan-segan lagi melayani. Sebab ia sadar, pemuda ini amat herbahaya bagi
masyarakat disamping pelanggar hukum dan ketertiban.
Maka merupakan kewajibannya untuk melenyapkan
manusia jahat ini dari muka bumi.
"Plakk..... Aihh...!" Rudra Sangkala berteriak kaget dan cepat melompat mundur
sambil berjungkir balik. Wajah pemuda ini merah padam seteah berdiri kembali dan
memandang Adityawarman dengan mata mendelik.
Rudra Sangkala baru menyadari sekarang, laki-laki tampan yang gerak-geriknya
halus ini malah sangat berbahaya. Pukulannya tadi begitu bertemu dengan
tangkisan lawan, terasa telapak tangan lawan lunak seperti kapas dan tenaganya
menjadi tenggelam. Kalau saja dirinya tadi tidak lekas menarik kembali tangannya
lalu melompat dan berjungkir balik ke belakang, dirinya tentu celaka.
Akan tetapi justru pengalaman ini menyebabkan Rudra Sangkala meledak
kemarahannya. Ia takkan mungkin bisa mengalahkan lawan sakti ini, tanpa
menggunakan pedangnya. Dan kalau perlu iapun harus melepaskan senjata rahasia pisau terbang
yang kecil. Sing.... Sinar kekuning-kuningan terpancar dari pedang pusaka Rudra Sangkala,
setelah mencabut pedang.
"Aihh.....!" tak tercegah lagi Adityawarman maupun para pengawal itu berseru
kaget, Pedang Wesi Kuning.... seru Adityawarman.
Rudra Sangkala terkekeh, ejeknya. "Mengapa sebabnya engkau kaget" Heh heh heh
heh, pedangku ini memang pedang pusaka dengan nama Wesi Kuning. Pedang yang
ampuh tanpa lawan. Huh, karena kau terlalu mendesak aku, hemm, jangan sesalkan
aku jika pedangku ini minun darahmu!"
Sepasang mata Adityawarman menyala. Bukan saja oleh ucapan Rudra Sangkala yang
amat takabur dan menghina, tetapi juga melihat pedang itu sendiri. Sebagai
bangsawan Majapahit tentu saja ia amat kenal dengan pedang pusaka Wesi Kuning
ini. Pedang pusaka milik Kerajaan Majapahit, tetapi mengapa tiba-tiba sudah di
tangan bocah liar ini"
"Hemm orang muda! Dari manakah engkau memperoleh
pedang ini" hardik Adityawarman dengan mata tidak berkedip. Bukan saja engkau
telah berdosa membunuh pejabat negara, engkaupun ternyata pencuri pusaka
keraton." "Keparat!" bentak Rudra Sangkala dengan mata
menyala. "Siapakah yang mencuri" Pedang ini pemberian Guruku. Mengapa sebabnya
engkau sudah menuduh orang sembarangan?"
"Siapakah gurumu?"
Tidak perlu aku sembunyikan. Guruku bernama Murti Sari!"
"Ahhhh.......!" Adityawarman berseru tertahan
Bukan hanya Adityawarman, tetapi juga pengawal yang lain, kecuali Hesti Makara
yang tadi sudah tahu.
Akan tetapi walaupun sama-sama kaget, rasa kaget
berlainan. Kalau para pengawal itu kaget karena Murti Sari terkenal sebagai
wanita peng-pengan, wanita gagah perkasa, sebaliknya Adityawarman karena soal
lain. Memang sudah bukan rahasia lagi bagi para bangsawan Majapahit tentang nama tokoh
terkenal yang mengaku bemama Murti Sari ini. Tetapi bagi umum rahasia itu
ditutup rapat sekali agar tidak sampai menodai nama Kerajaan Majapahit.
Murti Sari adalah nama baru sesudah Sirna Dewi diusir dari keraton. Sebabnya
diusir, akibat tindak perbuatannya yang menodai nama baik para bangsawan yang
lain. Kecantikan wajah dan bentuk tubuh Murti Sari memang tidak tercela, karena memang
cantik jelita dan menawan.
Sebagai seorang puteri, ia telah dikawinkan seorang bangsawan Majapahit bemama
Narmada tetapi ternyata Sirna Dewi seorang isteri yang tidak setia. Dia suka
berbuat serong dengan laki-laki lain. Saking malu menyaksikan tingkah laku
wanita itu, Narmada yang amat mencintai Sirna Dewi. memilih bunuh diri.
Raja Jayanegara amat marah mendengar peristiwa itu.
Kemudian ia memerintahkan agar Sirna Dewi yang
mencemarkan nama baik keraton itu dihukum mati. Tetapi sebaliknya Mahapatih atau
Dyah Malayuda yang besar pengaruhnya dan dekat sekali hubungannya dengan raja
memintakan ampun, dan hukuman mati itu supaya diubah dengan pengusiran. Atas
permintaan Mahapati ini
kemudian Raja Jayanegara setuju. Lalu diusirlah Sirna Dewi dan tidak diakui lagi
sebagai kerabat keraton.
Sesudah terjadinya peristiwa ini, muncullah nama tokoh Murti Sari, tetapi kejam
dan ganas tidak sesuai dengan wajahnya yang cantik jelita.
Sekarang pemuda yang mengaku sebagai muridnya ini, menguasai pedang pusaka
keraton yang bernama Wesi Kuning. Ia menduga, tentu Murti Sari yang sudah
mencuri pusaka itu di kamar pusaka.
Dan yang menyebabkan Adityawarman heran, mengapa
hilangnya pusaka ini dari kamar pusaka, tidak seorangpun tahu" Dan kapan Murti
Sari mencuri"
"Anak muda!" Bentaknya penuh wibawa. "Kembalikan
pedang itu kepada kami. Sebab pedang itu adalah milik Kerajaan Majapahit."
"Heh... heh... heh... heh. Rudra Sangkala mengejek.
"Enak saja engkau membuka mulut. Pendeknya pedang ini milikku, pedang pemberian
Guruku." "Anak muda! Jika kau keras kepala, aku terpaksa
menggunakan kekerasan!"
Tiba-tiba terdengar suara lengking amat nyaring dari kejauhan, disusul suara
yang kecil tetapi merdu.
"Adityawarman! Engkau berani mengganggu muridku?"
Adityawarman kaget, demikian pula pengawal. Orang yang dapat berteriak dari
tempat jauh dan jelas, membuktikan sampai di manakah ketinggian ilmu yang
bersangkutan, tidak lama kemudian tampak bayangan ramping bergerak seperti
terbang. "Ibu!" seru Rudra Sangkala sambil menjatuhkan diri dan berlutut memberi hormat
kepada gurunya.
Murti Sari tersenyum manis sekali. Dan sekalipun
umurnya sudah tidak muda lagi, namun wajahnya masih amat cantik sedang tubuhnya
masih padat berisi,
terpelihara. Selintas orang akan menduga umur Murti Sari baru
tigapuluhan kurang. Malah Adityawarman sendiri juga merasa heran, mengapa
perempuan ini bisa awet muda"
"Bangkitlah Anakku!" Katanya merdu ditujukan kepada Rudra Sangkala.
Perempuan cantik ini lalu menghadapi Adityawarman sambil bertolak pinggang.
Sepasang matanya mendelik, namun tetap saja sepasang mata itu indah dan
menyedapkan dipandang. Katanya diiringi ketawanya yang merdu.
"Hi... hi... hik. Adityawarman! Hati-hati sedikit engkau bicara. Siapakah yang
sudah mencuri pedang pusaka Wesi Kuning?"
"Hemm, pedang pusaka Wesi Kuning itu benda pusaka milik kerajaan!" sahut
Adityawarman dengan sikap tenang,
"kalau sekarang di tangan bocah ini, mana mungkin tanpa mencuri?"
"Huh, engkau kurangajar sekali Adityawarman. Lupakah engkau, siapakah aku ini"
Engkau jangan menjadi
sombong setelah mempunyai jabatan tinggi, huh! Aku tidak mencuri, tetapi aku
mengambil pedang itu dari kamar pusaka."
"Mengambil tanpa seijin pemiliknya, bukankah itu
berarti mencuri?"
"Adityawarman!" bentak Murti Sari, "engkau keparat!
Apakah karena engkau sekarang berkedudukan tinggi, dihormati orang lalu setamak
ini" Kalau aku rela
kehilangan semua hak sebagai bangsawan Majapahit dan hanya mengambil sebatang
pedang saja, engkau masih sampai hati menyebut diriku sebagai pencuri" Huh, Huh,
engkau jangan sembarangan membuka mulut!"
Mendengar ucapan Murti Sari yang kasar dan menghina tuannya ini, tiga orang
pengawal itu menjadi amat penasaran. Apakah sebabnya tuannya itu masih bisa
bersikap sesabar itu"
Akan tetapi sekalipun marah dan penasaran mereka
tidak berani sembarangan membuka mulut maupun
menyerang Murti Sari. Sebab mereka menyadari, Murti Sari sakti mandraguna.
Meskipun demikian kedudukan mereka hanya sebagai
pengawal, mereka tidak takut untuk mengorbankan nyawa dalam membela tuan mereka.
Karena alasan itu diam-diam mereka sudah bersiap diri untuk membela keselamatan
Adityawarman. "Murti Sari!" kata Adityawarman. "Mengapa sebabnya engkau menyesal kehilangan
hak itu?" "Keparat! Siapakah yang menyesal" Aku hanya ingin mengatakan, apakah salahnya
aku mengambil pedang itu untuk kepentingan muridku?"
"Murti Sari, apa yang engkau lakukan itu memang salah.
Benda itu adalah milik kerajaan. Maka siapapun tidak boleh sembarangan mengambil
tanpa ijin Raja. Dan tahukah engkau akan akibat dari kelancanganmu ini" Dengan
pedang ini muridmu mengganas dan berani membunuh
tumenggung Gora Swara."
"Hi... hi... hik, engkau membela tumenggung keparat itu"
Semestinya engkaulah yang berkewajiban menghajar dia.
Tetapi apakah sebabnya ada orang yang bersedia mewakili engkau dan tidak minta
imbalan jasa, engkau malah tidak mengucapkan terima kasih" Apakah jadinya negara
Majapahit ini kalau terdapat sepuluh orang saja yang mempunyai pangkat
tumenggung dan perbuatannya sewenang-wenang seperti Gora Swara itu" Dia telah
menyebabkan muridku ini yatim piatu. Dialah yang menghancurkan keluarganya. Apa
salahnya dengan kemampuannya sendiri membalas sakit hati dan menghukum bawahanmu
yang jahat itu?"
"Murti Sari!" bentak Adityawarman menggeledek.
Agaknya ia telah hilang kesabarannya. "Negara ini mempunyai hukum dan masyarakat
dilindungi oleh hukum. Tiap manusia tidak boleh berbuat semau sendiri dan main
hakim sendiri. Hemm, apakah tuduhanmu bahwa Gora
Swara jahat dan sewenang-wenang itu tidak membuka kedokmu sendiri, bahwa engkau
sendirilah yang sewenang-wenang" Kalau benar Gora Swara bersalah, yang berhak
menentukan salah dan tidaknya bukanlah engkau, bukan muridmu dan bukan aku pula.
Salah dan benar itu baru terbukti apabila sudah diadili oleh pengadilan negara.
Nah, mestinya laporkan tindak perbuatan dengan bukti-bukti dan saksi-saksi
kepada hakim. Kemudian pengadilanlah yang akan memeriksa dan mengadili. Hemm,
bukan dengan caramu sendiri yang main hakim sendiri."
Adityawarman berhenti sejenak. "Lalu, Murti Sari!
Sekarang begini. Demi aku dan demi engkau, kembalikan pedang pusaka Wesi Kuning
itu dan serahkan pula
muridmu kepadaku."
Murti Sari terkekeh mengejek. "Heh... heh... heh... heh, enak saja engkau
membuka mulut. Serahkan pedang dan serahkan murid, siapa bilang muridku
bersalah" Huh...
huh, taukah engkau siapa yang berani mengganggu muridku berarti pula menantang
diriku Adityawarman! Katakanlah terus terang, engkau berani melawan aku?"


Dewi Sri Tanjung Persekutuan Dua Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hemm, aku seorang petugas negara, tidak pandang
bulu! Siapa yang bersalah harus mendapat hukuman yang setimpal. Dan sebagai
seorang hamba kerajaan, nyawa aku pertaruhkan demi pengabdianku kepada kerajaan.
Akan tetapi sekalipun demikian sungguh menyesal sekali, mengapa peristiwa
semacam ini harus terjadi" Mengapa engkau tersesat sejauh ini?" Adityawarman
menghela napas di tengah rasa penasaran. Karena sesungguhnya saja ia tidak tega
harus menggunakan kekerasan terhadap Murti Sari.
Murti Sari tertawa dingin, jawabnya. "Kau bilang sebagai petugas negara dan
tidak pandang hulu" Bagus! Dan kau bilang aku sesat" Bagus! Marilah kita
buktikan siapa di antara aku dan engkau, siapa yang lebih kuat" Tetapi huh,
jangan sesalkan aku jika terpaksa aku akan membunuh engkau!"
Murti Sari memalingkan muka kepada Rudra Sangkala yang berdiri di belakangnya,
lalu berkata, "Sangkala!
Pinjamkan pedang itu padaku. Pedang Wesi Kuning setiap sudah dihunus tak boleh
disarungkan lagi, sebelum minum darah manusia."
Rudra Sangkala segera maju dan memberikan pedang
pusaka Wesi Kuning yang terhunus itu. Oleh sinar matahari yang menimpa batang
pedang itu, berkilauan cahaya kuning. Setelah memegang pedang pusaka Wesi Kuning
itu, katanya. "Adityawarman. Cabutlah senjatamu!"
Dengan agak malas, Adityawarman mencabut pedang-
nya pula. Sungguh mati dalam hati Adityawarman tidak senang harus menghadapi
Murti Sari dengan kekerasan ini. "Sring...." ketika pedang dicabut, berkilauan
sinar itu dari batang pedang. Kemudian pedang tersebut dilintang-kan di depan
dada. Dua batang pedang yang sama-sama menyinarkan
cahaya. Yang satu berkilauan dan sinarnya kuning, sedang sebatang lagi bersinar
kebiruan. Ini merupakan bukti bahwa dua-duanya merupakan pedang pusaka. Memang
pedang yang digunakan Adityawarman ini pedang Tunggul Naga.
"Murti Sari!" kata Adityawarman. "Demi tugas, terpaksa aku meuyambut
tantanganmu. Dan demi kewibawaan
negara Majapahit pula aku harus bertindak keras kepadamu."
"Tak usah banyak mulut. Sambutlah!" lengking Murti Sari.
Seleret sinar kuning menyambar ke depan. Pedang Wesi Kuning itu hanya sebatang
saja. Tetapi di tangan Murti Sari ketika pedang bergerak lalu berubah menjadi
beberapa batang, menyamhar ke arah mata, leher, pundak dan uluhati.
"Trang...trang....trang...!" Benturan dua pedang me-
nimbulkan suara berdencing beberapa kali. Kemudian dua leret sinar biru dan
kuning itu saling libat seperti kilat cepatnya. Pemandangan itu indah sekali
bagai pelangi. Namun di balik pandangan yang menarik itu tersembunyi-lah ancaman maut yang
mengerikan. Dalam waktu singkat, mereka sudah berkelahi dengan sengit. Tubuh mereka lenyap
terbungkus oleh sinar pedang yang tidak pernah putus. Kadang melebar, kemudian
menyempit lagi. Sesaat lagi terpisah menjadi dua gulung sinar yang menyilaukan.
Perkelahian yang terjadi antara dua orang sakti ini men-debarkan dan
menegangkan. Lebih-lebih mereka sama-sama memegang pedang pusaka. Suara
berdencing selalu terdengar dan di tengah suara dencingan senjata ini, ter-
dengarlah Murti Sari berteriak kepada muridnya.
"Sangkala! Pergilah engkau. Biarlah cacing-cacing busuk ini, aku sendiri yang
menyelesaikan."
"Ibu! Manakah mungkin murid dapat meninggalkan
Guru dalam keadaan seperti ini" Pendeknya murid baru mau pergi jika bersama
Ibu." "Kurangajar kau, Sangkala! Engkau berani membantah perintah Ibumu" Hayo lekaslah
pergi. Ibumu akan segera menyusul engkau."
Rudra Sangkala tidak berani membantah lagi, tetapi baru saja akan melangkah.
Kebo Druwoso sudah membentak nyaring, "Berhenti!"
Laki-laki tinggi besar itu sudah melompat dan menghadang. Namun menyusul
terdengar seruan kaget dari mulut Kebo Druwoso sambil sibuk melompat dan
mengebutkan dua tangannya, sehingga Rudra Sangkala dapat pergi tanpa gangguan
lagi. "Apa yang sudah terjadi?" Begitu Kebo Druwoso membentak dan menghadang. Rudra
Sangkala telah menyerang dengan senjata rahasia pisau kecil. Dalam menyambitkan
pisau terbang ini, Rudra Sangkala tidak tanggung-tanggung. Pisau dua kali tujuh
telah menyambar ke arah Kebo Druwoso dalam jerak cukup dekat. Dalam kagetnya ia
memang masih dapat menghindari sambaran pisau
terbang kelompok pertama. Tetapi sambaran pisau yang kedua, sungguh di luar
dugaan Kebo Druwoso. Di antara tujuh pisau belati yang menyambar itu, masih
sempat mampir pada pahanya.
Pisau kecil itu menancap dan mengeluarkan darah.
Untung sekali pisau itu tidak beracun. Pisau tersebut cepat dicabut lalu tempat
luka itu dibubuhi obat luka, tetapi justru kesempatan ini menyebabkan Rudra
Sangkala dapat pergi tanpa gangguan lagi. Sebab baik Hesti Makara maupun Wukir
Boja yang tak menduga peristiwa itu, tidak sempat membantu dan menghadang
Akan tetapi kalau Kebo Druwoso menderita rugi oleh serangan Rudra Sangkala,
sebaliknya Murti Sari harus menderita rugi pula, karena tadi melawan sambil
berbicara dengan muridnya. Oleh gerakan yang sedikit lambat saja, tangkisan
pedangnya melesat dan menyebabkan baju
pada bagian pundaknya robek.
Masih untung sekali Murti Sari sempat merendahkan pundaknya, sehingga ujung
pedang pusaka Tunggul Naga itu tidak melukai kulit dan dagingnya, tetapi
sekalipun hanya robek bajunya, peristiwa ini menyebabkan Murti Sari amat marah.
Mendadak perempuan sakti ini melengking nyaring, menerjang Adityawarman dengan
pedang pusaka Wesi Kuning, sedangkan lengan kirinya sudah memegang saputangan
kecil warna hijau. Sambil menyerang itu Murti Sari mengebutkan saputangan ke
arah muka Adityawarman.
Adityawarman kaget sekali oleh kebutan sapu tangan kecil ini dan sadar bahwa
saputangan ini tentu
mengandung racun berbahaya. Maka cepat-cepat ia
menutup pernapasan.
Saputangan kecil warna hijau ini memang amat
berbahaya. Di saputangan inilah tersimpan racun wangi yang dapat menyebabkan
orang pening, mabuk tak sadar-kan diri. Dan berkat keampuhan racun wangi inilah
yang membantu menanjaknya nama Murti Sari, sehingga ditakuti oleh banyak orang.
Berkat pengalamannya menghadapi Rudra Sangkala
tadi dan menutup pernapasan, ia selamat dari serangan racun. Namun demikian
manakah mungkin dirinya dapat bertahan terus tanpa menghirup napas" Hal ini
menyebabkan Adityawarman harus membagi perhatian. Sebab
disamping menggunakan pedangnya untuk melindungi diri dan membalas serangan, ia
juga harus menggunakan
tangan kiri untuk mengebut guna mengusir hawa beracun yang selalu disebarkan
oleh Murti Sari.
Dan celakanya pula Murti Sari adalah perempuan yang cerdik. Makin kuat
Adityawarman mengusir racun yang ditebarkan makin banyak pula kebutan yang
dilakukan. Melihat repotnya Adityawarman melawan Murti Sari ini.
Kebo Druwoso, Hesti Makara dan Wukir Boja menjadi khawatir sekali dan tegang.
Akan tetapi untuk menerjang maju dan membantu, mereka juga tidak berani. Mereka
sudah kenal watak Adityawarman. Seorang ksatrya sejati yaug benci setengah mati
kepada apapun yang berbau curang. Maka kalau mereka maju membantu, hal ini bisa
menyebabkan Adityawarman tidak senang. Sebab perbuatan itu akan menurunkan
martabat dan harga dirinya.
Itulah sebabnya walaupun mereka kawatir, mereka tidak berani berbuat apa-apa dan
mereka bagai semut di atas api.
Dari sedikit tetapi pasti, pengaruh racun wangi yang sempat terhirup oleh
pernapasan Adityawarman
mempengaruhi perlawanannya. Karena pengaruh racun tersebut menyebabkan kepala
pening, dada sesak dan pandang mala kabur.
Sekalipun demikian masih untung Murti Sari belum
melupakan hubungan keluarga dengan Adityawarman.
Pendeknya Murti Sari sudah merasa puas apabila bisa menang melawan tokoh
Majapahit yang namanya amat
terkenal itu. Dengan demikian nama besarnya akan
menjadi semakin menanjak dan akan ditakuti semua
orang. "Tring trang trang cring trang.... Aihh...."
Setelah terjadi benturan pedang berturut-turut yang nyaring, terdengar seruan
tertahan Adityawarman, lalu tubuhnya terhuyung ke belakang. Dari pundaknya sudah
robek berikut sedikit kulit dan dagingnya. Sekalipun demikian luka itu tidak
berat. "Hi... hi... hik, Adityawarman! Engkau bersedia mengakui diriku yang menang atau
tidak?" Murti Sari ketawa genit sambil mengejek.
"Hemm," Adityawarman menghela napas panjang.
"Terus terang aku mengaku kalah dan pergilah. Aku takkan mengganggu lagi."
"Hi... hi... hik," Murti Sari ketawa merdu, lalu melangkah meninggalkan
Adityawarman yang penasaran dan para pingawalnya.
Tiba-tiba Wukir Boja berteriak. "Berhenti!"
Murti Sari berhenti juga dan mengangkat alisnya yang lentik. Sepasang matanya
yang indah itu menyala menatap tajam kepada Wukir Boja.
Akan tetapi sebelum Murti Sari sempat membuka mulut Adityawarman sudah
mendahului membentak. "Wukir Boja Apakah maksudmu" Aku sudah kalah dan biarkan
dia pergi." Wukir Boja menundukkan kepala masygul, tetapi tidak berani membantah.
Murti Sari terkekeh, katanya, "Adityawarman. Jika tidak memandang mukamu,
pengawal yang lancang mulut itu tentu sudah aku remuk kepalanya. Sudahlah,
selamat tinggal."
Sekali melompat tubuh Murti Sari yang ramping dan masih berisi itu, sudah
bergerak cepat sekali meninggalkan empat orang itu yang memandang dengan hati
penasaran. Diam-diam tiga orang pengawal ini mencela tuannya, mengapa mengalah kepada
perempuan itu. Padahal kalau Murti Sari tidak menggunakan saputangan beracun
tersebut, manakah mungkin menang melawan Aditya-
warman" Di antara tiga pengawal itu yang berani mengemukakan perasaan hanyalah Hesti
Makara. Katanya, "Gusti, dia jelas bersalah melindungi muridnya yang berdosa.
Akan tetapi mengapa sebabnya Gusti membiarkan dia pergi?"
Adityawarman menghela napas panjang. Sesaat
kemudian ia berkata penuh wibawa. "Dengarlah kamu semua. Apapun alasannya aku
sudah dikalahkan dalam perkelahian tadi. Aku menderita di pundak. Benar atau
salah seorang yang menderita kalah harus mau mengakui secara jujur. Dan sudah
tentu pula sebagai orang yang kalah, aku tidak berhak menahan dia lebih lama
lagi, dan tidak boleh pula mengganggu."
Tiga orang ini diam-diam mendengar jawaban Adityawarman memuji keagungan
wataknya. Memuji sikap
ksatrya yang penuh tanggungjawab. Namun mereka masih tidak percaya Adityawarman
kalah benar-benar berhadapan dengan Murti Sari. Dalam hal ilmu kesaktian jelas
Adityawarman unggul. Dan sebabnya sampai menderita luka karena pengaruh racun
wangi yang disebarkan Murti Sari lewat saputangan.
Maka setelah berdiam diri beberapa saat lamanya,
berkatalah Kebo Druwoso. "Tetapi Gusti, kalau dikatakan menang, kemenangan Murti
Sari tidak wajar. Dia curang menggunakan racun."
"Engkau benar! sahut Adityawarman. Tetapi siapakah yang dapat melarang Murti
Sari menggunakan akal
ataupun racun" Dia toh butuh menang, maka tidak salah apabila dia menyebarkan
racun wangi yaug membuat
orang pening dan dada sesak. Hemm, sudahlah.
Pendeknya aku sudah kalah melawan Murti Sari dan
Marilah kita pulang."
Tiga orang pengawal itu tidak berani membuka mulut lagi. Mereka kemudian
mengikuti langkah tuannya.
Beberapa orang yang sempat menyaksikan apa yang
terjadi, dan sempat pula mendengar pembicaraan itu tidak ada yang berani
mengganggu, tetapi bagaimanapun dalam hati orang-orang ini memuji watak
Adityawarman. Memang demikianlah watak Adityawarman. Watak
seorang ksatrya sejati yang dijauhkan oleh rasa benci dan dendam. Segala langkah
dan perbuatannya, terkenal selalu bijaksana dan adil. Maka terhadap peristiwa
ini terus terang diakui kekalahannya, tanpa mau bicara lagi tentang sebab
musababnya menderita kekalahan.
* * * 3 ebagai seorang gadis remaja yang belum pernah
pergi kemanapun, perjalanan Dewi Sritanjung
S sekarang ini menimbulkan kecanggungan juga
disamping merasa ragu untuk berbuat. Namun sesuai dengan pesan Kiageng Tunjung
Biru agar tidak menunjukkan rasa asingnya di tengah masyarakat maka dalam me-
langkahkan kaki ini gerakkannya mantap.
Disamping itu agar tidak menarik perhatian orang ia melangkah seperti yang lain
apabila di tempat ramai. Baru setelah di tempat sepi, ia menggunakan
kepandaiannya lari dan bergerak cepat.
Akan tetapi walaupun Dewi Sritanjung sudah berusaha agar tidak tampak asing,
orang yang melihat kemudaan-nya, kecantikannya dan tubuhnya yang padat berisi
itu, bagaimanapun menarik pula perhatian orang. Baik bagi orang yang hanya
sekadar kagum akan kecatnikan wajahnya, maupun laki-laki mata keranjang yang
selalu memburu wanita, karena menimbulkan perasaan dag dig dug.
Disamping menarik juga menimbulkan perasaan heran.
Sebab, sebagai seorang gadis dan cantik pula, mengapa berani melakukan
perjalanan seorang diri" Namun
disamping orang merasa heran, juga tidak sembarangan orang berani mengganggu,
karena setiap orang bisa menduga, orang yang berani melakukan perjalanan seorang
diri dan wanita pula, tentu sakti mandraguna. Maka bagi para laki-laki biasa,
hanya dapat mengagumi dan tidak berani mengganggu.
Pada hari ini matahari menyinarkan cahaya gemilang sehingga terasa terik. Maka
peluh membasahi sekujur tubuh Dewi Sritanjung, dan gadis ini merasa kegerahan.
Bagi gadis yang lain, jika merasa haus takkan kesulitan, mampir ke dalam warung
lalu membeli tetapi bagi Dewi Sritanjung yang belum pernah mengenal nilai uang
dan belum pernah pula membeli sesuatu, merasa repot juga berhadapan dengan rasa
haus ini. Benar kakeknya sudah membekali uang dan petunjuk
seperlunya, bagaimanakah cara orang mau membeli dan membayar kalau jajan di
warung. Namun demikian gadis ini masih timbul rasa ragu dan bimbang untuk
membeli. Sebaliknya kalau harus masuk ke pekarangan orang untuk minta air, juga timbul
rasa malu disamping takut.
Sebenarnya saja seorang gadis berwajah cantik seperti Dewi Sritanjung ini,
berbahaya juga berpergian seorang diri, sekalipun sudah membekali ilmu
kesaktiannya yang cukup tinggi. Soalnya ia belum pernah bergaul dalam
masyarakat, dan belum pernah pula mengenal tipu muslihat orang.
Sudah tentu gadis belum berpengalaman seperti ini akan menjadi mangsa empuk bagi
orang jahat. Masalah ini memang suduh terpikir pula oleh Kiageng Tunjung Biru, hingga pada
mulanya timbul pula perasaan tidak tega. Namun kemudian Kiageng Tunjung Biru
memaksa diri untuk melepas muridnya ini. Sebab menurut pendapatnya, dengan
kesulitan dan bahaya yang dihadapi akan memberi pengalaman berharga bagi bocah
itu sendiri, hingga cepat dapat berpikir secara dewasa dan kemudian tahu bahwa
setiap orang yang hidup di dunia ini harus tahu cara bergaul dengan orang lain.
Ketika Dewi Sritanjung menginjakkan kakinya di
Nganjuk, matahari tepat memancarkan sinar peraknya di tengah jagad. Sinar
matahari itu terasa panas sekali hingga gadis ini merasa tidak sanggup lagi
menahan rasa haus.
Untung kemudian tidak jauh di depan ada sebuah
warung yang tidak jauh dari pasar. Sekali pun diselimuti rasa ragu dan bimbang,
namun kakinya dipaksa pula supaya melangkah tanpa ragu.
Warung itu agak besar dan beberapa meja maupun
bangku panjang memenuhi ruangan. Beberapa
perempuan, menikmati pesanan sambil bicara dan
bercanda. Dewi Sritanjung berketetapan hati, masuk warung tanpa ragu dan tidak pedulian


Dewi Sri Tanjung Persekutuan Dua Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi. Ia segera duduk di salah satu bangku dan mejanya masih kosong. Pendeknya,
orang masuk warung dapat membayar, siapa dapat melarang"
Akan tetapi ketika ia merasa menjadi perhatian orang, hatinya terasa berdebaran
juga. Maka setelah duduk dengan sepasang matanya yang indah, tanpa rikuh lagi ia
sudah membalas setiap pandangan orang, baik laki-laki maupun perempuan. Sebab
menurut pikiran gadis ini, apakah salahnya kalau dirinya membalass memandang
orang-orang itu, justru mereka juga memandang dirinya"
Tidak disadari sama sekali oleh gadis ini, bahwa dalam pergaulan masyarakat
pandangan perempuan yang membalas pandangan laki-laki bisa menimbulkan salah
duga. Laki-laki bisa mengir perempuan itu adalah suka menanggapi ajakan laki-laki atau
suka diajak kencan.
Seorang pelayan laki-laki menghampiri dan dengan
sikap hormat bertanya, "pesan apa?"
Sesungguhnya bagi Dewi Sritanjung yang biasa hidup di dalam hutan, lebih suka
minum air serai seperti
kebiasaannya sehari-hari. Sedang dalam soal makan cukup singkong, ketela,
gembili, kimpul atau jagung. Malah kalau perlu sudah cukup kenyang hanya makan
daging bakar. Namun sesuai dengan pesan kakeknya agar tidak
menimbulkan kesan keasingannya, maka gadis ini
berlagak juga. Malah kemudian timbul pula seleranya untuk mencicipi makanan lain
yang selama ini belum pernah dinikmati. Bukankah hal ini penting bagi dirinya
dan penting pula dalam usaha menyesuaikan dirinya dalam pergaulan masyarakat
yang baru saja ia kenal"
"Terangkan yang jelas, apa saja makanan yang paling terkenal di warung ini,"
ujarnya tanpa ragu.
Dalam mengucapkan kata-kata ini ia cukup keras, dan ucapan itu memancing
perhatian orang disamping ketawa pula. Mendengar orang tertawa dan beberapa
pasang mata memandang dirinya, ia mengerutkan alis. Akan tetapi karena tidak
lahu arti dari ketawa orang itu, ia hanya merasa heran dan aneh. Ia tidak marah
dan mengalihkan perhatian kepada pelayan yang masih berdiri di dekatnya.
Dipandang sedemikian rupa oleh seorang gadis yang cantik jelita, sudah tentu si
pelayan menjadi gelagapan disamping terpesona. Sebagai akibatnya pula mulut si
pelayan ini seperti terkunci dan sulit mengucapkan kata-kata.
Pada meja yang berhadapan letaknya dengan meja Dewi Sritanjung, duduk dua orang
pemuda. Kalau pada mulanya pemuda ini duduk berhadapan sekarang menggeser diri,
kemudian mereka duduk berdampingan. Maksudnya jelas agar dengan demikian dapat
memandang gadis itu lebih leluasa.
Ketika melihat si pelayan tidak segera dapat menjawab, salah seorang sudah
membuka mulut. "Warung ini terkenal dengan gulai kambing. Agaknya lebih tepat
apabila Adik pesan nasi gulai saja."
Kalau gadis lain, kelancangan pemuda ini tentu sudah dapat menimbulkan salah
paham dan salah-salah bisa terjadi percekcokan pula. Tetapi Dewi Sritanjung yang
masih asing di masyarakat ini tidak marah dan malah mengangguk.
"Terima kasih Saudara telah menolong aku," katanya diiringi senyum manis.
"Baiklah, berikan kepadaku nasi gulai. Sedang minumannya apa saja boleh."
"Lebih enak kopi tubruk," pemuda yang lain ikut
memberi saran, agaknya ingin pula mendapat senyum manis seperti temannya.
Harapannya terkabul juga, karena gadis ini mengangguk sambil tersenyum manis. Ia
mengucapkan terima kasihnya seperti tadi dan kepada pelayan ia minta disediakan
kopi tubruk. Memang tidak bisa disalahkau kalau Sritanjung bersikap seperti itu, karena ia
beranggapan bahwa dua orang pemuda ini memberi pertolongan. Sesuai dengan
petunjuk kakeknya, setiap orang yang mengulurkan tangan tanpa diminta, itu
merupakan pertolongan, dan harus diterima dengan senang hati sambil mengucapkan
terima kasih. Hanya agak sayang cara menanggapi pertolongan yang diberikan orang ini. Dewi
Sritanjung menanggapi tanpa prasangka buruk. Ia menyangka pertolongan mereka ini
merupakan pertolongan yang wajar. Padahal dua pemuda ini menerima keadaan ini
dengan dugaan lain, mengira gadis jelita yang belum mereka kenal ini sudah
bersedia menanggapi.
Pemuda yang bicara pertama tadi kemudian mem-
beranikan diri bertanya. "Apakah Adik seorang diri saja?"
Dewi Sritanjung mengangguk sambil tersenyum,
jawabnya, "Ya! Aku hanya seorang diri."
"Bolehkah kami menemani makan di meja Nona?"
Seperti dua ekor kucing melihat tikus, mereka cepat bangkit, kemudian mereka
duduk di depan Sritanjung, dibatasi oleh meja. Dengan duduk berhadapan seperti
ini mereka dapat menikmati wajah ayu itu lebih jelas.
Kaki dua pemuda ini saling sentuh, mengandung arti tertentu tanpa ungkapan kata.
Dewi Sritanjung yang tanpa prasangka itu memang
belum tahu dan tidak menyadari bahwa cara mereka memandang itu adalah kurang
sopan dalam pergaulan. Hanya saja memang dalam dada gadis ini timbul pertanyaan pula yang tidak
terjawab, mengapa orang-orang itu memandang dirinya penuh perhatian dan siap
memberi pertolongan"
Setelah satu meja, dua pemuda ini lalu memperkenalkan diri. Yang seorang
menyebut dirinya dengan nama Kaligis, dan yang seorang memperkenalkan diri
dengan nama Sangkan. Dan sebaliknya Dewi Sritanjung yang tanpa prasangka itu
memperkenalkan diri tanpa ragu.
Dalam kegembiraannya, kemudian Sangkan memanggil
pelayan. Setelah pelayan itu datang, ia berkata, "kami akan merayakan perkenalan
kami dengan Adik Sritanjung in karena itu sekarang tolong sediakan sate hati,
masak buntut, gulai dan tiga piring nasi putih."
"Ahh,Saudara Sangkan," ujar Sritanjung. "Aku tadi sudah pesan makanan yang saya
butuhkan. Tetapi
mengapa Saudara pesan lagi?"
Sangkan yang cerdik dan licin ini tentu saja lebih pandai memikat perhatian
orang. Jawabnya, "Adik Sritanjung, maafkan aku. Sekarang ini Adik sebagai tamu
kami maka harus kami hormati. Dan untuk itu, kami selenggarakan pesta sederhana
ini." Kaligis yang sudah dapat menangkap maksud Sangkan segera menyambut dengan ujar
manis, "Benar! Adik
Sritanjung jangan menolak itu tidak baik. Bagaimanapun perkenalan kita ini harus
kita rayakan, sekalipun hanya secara sederhana."
"Lalu bagaimanakah dengan pesananku tadi?"
"Hal itu gampang, sebab bisa kita batalkan. Sebab dalam merayakan perkenalan
kita ini akan menjadi lebih akrab kalau kita makan hidangan yang sama," Sangkan
membujuk. Dewi Sritanjung yang tidak mempunyai prasangka buruk mengangguk. Ia setuju
dengan maksud dua orang pemuda yang baru ia kenal ini.
Sambil menunggu datangnya hidangan yang dipesan,
Sangkan memulai dengan pertanyaan, "Apakah Adik
Sritanjung sekarang ini sedang melakukan perjalanan"
benarkah" Kalau benar, lalu mau ke mana?"
"Aku" Oh. Saudara pandai sekali menduga orang." Dewi Sritanjung heran mengapa
Sangkan dapat menduga secara tepat. Memang sebenarnya aku sedang menuju Ibukota
Majapahit. "Ohhh....." tidak tercegah lagi terlepas seruan tertahan dari mulut Kaligis dan
Sangkan. Tentu saja mereka menjadi heran dan hampir tidak
percaya, karena jarak Majapahit tidak dekat. Mengapa gadis yang muda dan jelita
ini bepergian seorang diri"
Kalau menilik gerak-geriknya yang halus dan sikapnya yang polos ini, Sangkan
sudah dapat menduga, gadis ini tentu berasal dari desa yang jauh dengan kota.
Dan agaknya hanyalah gadis desa biasa yang tidak mengenal tajamnya pedang.
Karena gadis ini juga tidak tampak menyandang senjata.
Memang tidak mengherankan apabila Sangkan sampai
keliru duga, menganggap gadis ini gadis lemah yang tidak kenal ilmu kesaktian.
Karena pedang pusaka Tunggul Wulung disembunyikan sedemikian rupa hingga tidak
tampak. Dan hal ini dilakukan sesuai dengan petunjuk Kiageng Tunjung Biru.
"Seorang diri Adik ke Ibukota Majapahit. Apakah Adik sudah tahu, di manakah
letak kota tersebut?" pancing Sangkan.
Dewi Sritanjung menggeleng. Ia memang belum tahu, maka ia menggeleng dan
kemudian menjawab sejujurnya.
"Baru kali ini aku mau ke sana. Kakek hanya bilang, Ibukota Majapahit letaknya
di bagian timur. Akan tetapi di mana, terus terang aku belum tahu."
Mendengar ini Kaligis dan Sangkan saling pandang
disusul bibir tersenyum penuh arti.
"Ahh, kita sungguh beruntung karena kita mempunyai tujuan sama," ujar Sangkan.
"Apakah Adik Sritanjung tidak keberatan kalau kita menuju ke sana bersama-sama"
Dengan bersama-sama berarti Adik Sritanjung mempunyai teman untuk diajak bicara
dalam perjalanan."
Dewi Sritanjung yang tanpa prasangka ini menyambut ajakan ini dengan seuyum
manis dan wajah berseri.
Apakah salahnya menerima ajakan pemuda ini justru dengan adanya teman,
perjalanannya ke Ibukota Majapahit akan lebih lancar, dan kalau terjadi apa-apa
bisa diminta pertimbangannya"
"Tentu saja aku senang sekali," jawabnya. "Melakukan perjalanan bersama kalian.
Disamping itu tentunya kalian sudah pernah datang ke sana?"
"Bukan hanya pernah, tetapi malah sudah berkali-kali datang ke sana," Sangkan
menyahut cepat, nadanya
sungguh-sungguh. "Melakukan perjalanan ke sana bersama kami tentu saja akan
lebih aman dan cepat tiba di sana, karena tidak perlu bertanya-tanya lagi."
Bagi gadis ini yang masih asing dengan kota dan baru terjun ke masyarakat, tentu
saja masih belum mengenal macam apakah manusia jahat yang suka menggunakan
tipu muslihat ini. Karena itu dirinya mengira, orang yang sudah sering ke
Ibukota Majapahit akan mengenal semua orang.
"Sudah berapa kali kalian ke sana?" tanyanya penuh minat. "Dan apakah kalian
juga sudah kenal pula dengan seorang pemuda tampan bernama Surya Lelana?"
Mendengar pertanyaan ini Sangkan dan Kaligis garuk-garuk kepala. Namun Sangkan
seorang licik dan licin, sesaat kemudian sudah menjawab mantap. "Ohh, apakah
Adik merupakan teman baik Surya Lelana" Sungguh
kebetulan sekali akupun sahabatnya."
"Bagus sekali kalau kalian juga sahabat baik Surya Lelana." Dewi Sritanjung
gembira sekali, hingga bibirnya yang indah itu tersenyum lebih indah dan sedap
dipandang mata. Senyum gadis ini merupakan senyum polos dan tidak malu-malu.
"Sungguh menyenangkan sekali Saudara," sambut
Sritanjung. "Dengan demikian berarti perjalananku tidak akan kesepian lagi. Dan
sudah tentu pula melakukan perjalanan jauh bersama kawan akan mengurangi rasa
lelah dan perjalanan yang jauh itu seperti tidak terasa."
"Adik benar," Kaligis yang sejak tadi hanya berdiam diri mulai ikut bicara.
"Lebih-lebih Adik belum pernah datang ke sana. Sebaliknya, kami yang sudah
berkali-kali datang ke sana, dengan gampang akan mengantarkan Anda ke rumah
Surya Lelana."
"Ya!" Sritanjung yang selalu menyungging senyum
maniss ni, menyebabkan suaranya lebih merdu lagi. "Dan tentu rumahnya bagus
sekali. Ah, lebih lagi Surya Lelana berdiam di rumah Mahapatih Gajah Mada. Rumah
pejabat tinggi Majapahit itu tentu amat bagus disamping besar."
"Ohhhh... !" tidak tercegah lagi meluncurlah seruan kaget dari mulut dua orang
muda ini, mendengar nama Gajah Mada disebut.
Kemudian timbullah dugaan dalam hati dua pemuda ini, apakah hubungan gadis ini
dengan Gajah Mada"
Tiba-tiba saja dua orang pemuda ini teringat kepada cita-cita guru mereka yang
akan membalas dendam
kepada Mahapatih Gajah Mada. Dengan demikian apabila dapat menangkap gadis ini,
bukankah berarti mereka sudah dapat memberikan jasa bagi guru mereka"
Apabila melihat pula bahwa gadis ini nampaknya
sederhana, tentunya gadis ini cantik jelita tetapi lemah dan tiada kepandaian.
Dan hal ini sudah tentu amat kebetulan, karena merupakan permulaan baik bagi
mereka. Sebagai seorang pemuda yang licin dan licik. Sangkan dapat menguasai perasaan,
lalu jawabnya dengan lagak dibuat-buat. "Ya, tentu saja rumah Mahapatih amat
bagus dan juga luas sekali, disamping berada di tengah kota. Adik Sritanjung
tahu, sudah tak terhitung lagi jumlahnya kami masuk ke rumah Mahapatih Gajah
Mada. Uah... perabot rumahnya amat bagus, indah dan menyedapkan pandang mata.
Demikian pula hamba sahayanya banyak sekali.
Hemm, pendek kata Adik kebetulan sekali dapat bertemu dengan kami. Sebab dengan
perantaraan kami Adik
Sritanjung dengan gampang akan dapat masuk ke rumah Mahapatih Gajah Mada tanpa
kecurigaan dan tanpa
pemeriksaan lagi."
"Pemeriksaan" Pemeriksaan tentang apa?" Dewi
Sritanjung kaget berbareng heran. Sebab kakeknya tidak pernah memberitahukau
masalah ini. Meledak ketawa Sangkan dan Kaligis. Lalu Kaligis mendahului menjawab. "Di sana
memang dijaga oleh banyak prajurit pengawal. Maka orang yang mau masuk ke rumah
Mahapatih Gajah Mada tentu akan ditanya macam-macam, dan kalau perlu dilakukan
penggeledahan."
"Penggeledahan bagi orang yaug dicurigai," sambung Sangkan. "Tangan petugas yang
menggeledah, meraba-raba seluruh tubuh, barangkali ada senjata yang
disembunyikan dan bisa membahayakan Kerajaan Majapahit dan Mahapatih Gajah Mada.
Malah kalau perlu orangpun diperintahkan harus membuka pakaiannya."
"Aihh....!" wajah Sritanjung berubah menjadi merah. "Itu tidak sopan....."
Sangkan dan Kaligis menyeringai hatinya senang melihat perubahan wajah dan
kekagetan gadis ini. Dua orang muda ini gembira sekali, omong kosong dan
bualannya dapat mempengaruhi gadis ini dengan gampang. Padahal jangankan sudah
pernah masuk rumah Gajah Mada.
Datang ke Ibukota Majapahit pun belum pernah.
Akan tetapi gadis ini yang baru saja terjun ke dalam masyarakat, dan belum
mengetahui keadaan sebenarnya, tentu saja gampang dipengaruhi.
"Adik jangan kaget!" Sangkan meneruskan bualannya.
"Itu memang sudah menjadi peraturan, guna menjaga ketertiban dan keamanan bagi
para pejabat tinggi
kerajaan. Akan tetapi bersama kami Adik akan aman dari gangguan siapapun."
Melihat keasyikan tiga orang muda itu para tamu yang sedang jajan di warung
menjadi tertarik disamping heran.
Namun semua orang tidak berani mendekati maupun
mengganggu, setelah dalam pembicaraan itu menyebut-nyebut nama Mahapatih Gajah
Mada. Mereka lalu menduga, tentunya tiga orang muda ini orang-orang penting atau
putera bangsawan Majapahit, tetapi sedang
menyamar sebagai kawula biasa dalam melakukan tugas.
Tak lama kemudian pesanan mereka datang. Melihat
masakan daging yang baru kali ini saja ia saksikan, dari mulut Dewi Sritanjung
sudah terdengar suara ck ck ck, sedang hidungnya kembang kempis karena menghirup
bau gurih, sedap dan wangi. Kepada masakan yang baunya seperti ini hidungnya
merasa asing. Sebab biasanya apabila memasak daging di pondok gurunya, paling-
paling hanyalah daging bakar dengan bumbu seadanya, yang penting asal terasa
asin. Sangkan segera mengajak Dewi Sritanjung mulai
makan. Sedang gadis im tanpa malu-malu sudah mulai mengunyah daging yang kecil-
kecil itu, yang terasa sedap dan nikmat. Tadi ketika ia melihat daging yang
diiris kecil, ia agak kecewa, sebab biasanya ia menghadapi daging yang irisannya
besar berikut tulang.
Namun setelah tahu daging yang kecil inipun lebih sedap, gadis ini gembira
sekali sambil memuji-muji enaknya masakan.
"Itulah sebabnya aku tadi meuganjurkan agar Adik
pesan gulai," kata Sangkan dengan bangga.
Pemuda ini merasa berjasa, gadis jelita ini cocok dengan gulai dan sate.
Karena Dewi Sritanjung memang masih asing kepada
tatacara hidup dalam masyarakat dan segala aturan tetek bengeknya, maka gadis
ini tidak tahu bahwa dalam soal makanpun manusia ini di atur dengan sopan dan
santunnya. Karena ketidaktahuannya ini maka Dewi
Sritanjung makan dengan lahap, dan tanpa peduli lagi kepada yang lain. Sambil
mengunyah dan menelan
masakan yang belum pernah ia nikmati ini, berkali-kali gadis ini menghirup pula
kuah yang hangat dengan mulut bersuara.
Sesungguhnya agak merasa heran juga Sangkan
maupun Kaligis melihat cara gadis ini makan. Mengapa sebagai seorang gadis
menghirup kuah sampai bersuara seperti itu" Kalau di rumah sendiri memang tidak


Dewi Sri Tanjung Persekutuan Dua Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengapa, tetapi di warung, berarti di tempat umum, makan yang baik harus
mencegah timbulnya suara.
Akhirnya tiga orang ini silesai makan, kemudian Kaligis yang membayar seluruh
harga makanan, dan mereka
meninggalkan warung itu.
Mereka menuju ke selatan. Dewi Sritanjung di tengah dan diapit oleh Kaligis dan
Sangkan. Dalam berjalan ini si gadis tahu benar menuju ke selatan, sebab
matahari di sebelah kanan.
Sebagai seorang yang memang belum pernah
mengunjungi Ibukota Majapahit dan tidak tahu pula letaknya, maka gadis ini
berdiam diri. Menurut perkiraan gadis ini tentu menuju langsung ke Ibukota
Majapahit seperti janji semula. Karena mengira menuju Majapahit itulah maka Dewi
Sritanjung melangkah pasti tanpa ragu dan dalam perjalanan inipun mereka asyik
bicara, membicarakan apa saja sebagai pengisi waktu senggang.
Akan tetapi setelah perjalanan ini lama dan setiap terdapat jalan simpang selalu
dilewati tanpa membelok, akhirnya ia bertanya. "Mengapa sebabnya kita terus ke
selatan" Bukankah seharusnya kita menuju ke timur?"
"Belum waktunya kita membelok ke timur, Adik manis."
sahut Sangkan. "Kita baru membelok ke timur, sesudah kita melewati hutan kecil
di depan itu. Marilah Adik, perjalanan agak kita percepat dan Adik tidak perlu
ragu." Sambil berkata ini Sangkan meuyambar lengan kanan Dewi Sritanjung. Maksudnya,
Sangkan ingin membimbing gadis ini agar perjalanan lebih cepat.
"Ihhh....!" Dewi Sritanjung kaget dan cepat meronta, melepaskan tangan yang
dipegang Sangkan.
"Ahhh.....!" Sangkan kaget dan terhuyung hampir jatuh.
"Hai.....kenapa, Adik Sangkan...?" Kaligis kaget melihat Sangkan sempoyongan.
"Ahh, tidak apa apa!" sahut Sangkan guna menutup
rasa malunya. "Aku terantuk batu dan hampir jatuh."
Jawaban ini sesungguhnya tidak masuk akal. Tetapi Kaligis tidak mendesak lagi
dan percaya. Sebaliknya karena Dewi Sritanjung tidak melakukan perbuatan apa-
apa, hanya berdiam diri.
Apa yang telah terjadi memang di luar kesadaran Dewi Sritanjung. Ia tidak
menyadari bahwa ketika tangannya yang meronta tadi mengandung tenaga yang kuat
dan mendorong Sangkan. Tenaga yang kuat itu menyalur
sendiri ke lengannya yang menyebabkan Sangkan tak dapat bertahan, sekalipun
diam-diam Sangkan tadi
menggunakan tenaga pula dalam menyambar lengan Dewi Sritanjung.
Akan tetapi sebaliknya, kendati Sangkan merasa
terdorong oleh tenaga kuat yaug tidak tampak, pemuda ini sama sekali tidak sadar
kepada keadaan. Ia tadi hanya mengira pegangannya kurang kuat, sehingga dirinya
sendiri terhuyung.
"Apakah sebabnya kau pegang-pegang tangan orang?"
protes Dewi Sritanjung tidak senang. Protes yang keluar dari perasaan
kewanitaannya yang halus dan sepi dari perasaan lain.
Sangkan hanya menyeringai.
Tak lama kemudian tibalah mereka di hutan yang
membentang agak luas dan mereka menerobos masuk.
Setelah agak jauh mereka menerobos hutan, tanpa
terduga Sangkan dan Kaligis yang sudah saling memberi isyarat dengan mata itu,
menubruk hampir berbareng.
"Ahhh...!" Dewi Sritanjung kaget sekali ketika tiba-tiba empat tangan yang kuat
sudah memeluk tubuhnya. Dalam kagetnya gadis ini hanya dapat berteriak tertahan.
Sebaliknya begitu berhasil menubruk dan memeluk
tubuh gadis jelita dan montok itu, tidak tercegah lagi mulut Sangkan dan Kaligis
sudah terkekeh gembira. Tentu saja mereka gembira, dengan sekali tubruk sudah
berhasil. Jelas sekali gadis jelita ini seperti perempuan lain, hanyalah seorang perempuan
lemah. Saking tidak kuasa lagi menahan selera, melihat wajah jelita dan menggiurkan,
hampir berbareng Kaligis dan Sangkan sudah mencium pipi yang kuning dan montok
itu. Namun segera terdengar suara mengaduh kesakitan
dari mulut Kaligis dan Sangkan, disusul tubuh dua pemuda ini terhuyung hampir
jatuh. Tadi ketika tiba-tiba tubuhnya dipeluk dari kiri dan kanan, dalam kagetnya
Sritanjung hanya bisa berteriak tertahan. Namun naluri kewanitaannya segera
memberitahu, bahwa dua orang pemuda ini mempunyai maksud tidak baik. Lebih lagi
ketika dua pemuda ini sudah berusaha mencium pipinya, secara otomatis gadis ini
mendongakkan kepalanya, sehingga ujung hidung dua pemuda itu mendarat di leher.
Justru sentuhan ujung hidung ke leher ini menyebabkan rasa ngeri. Sritanjung
lalu memberontak! Hawa sakti dalam tubuh gadis ini segera bekerja sendiri, dan
akibatnya walaupun Kaligis dan Sangkan bukan pemuda lemah,
mereka tak kuasa lagi mempertahankan pelukannya.
Setelah dua pemuda ini terhuyung hampir roboh, gadis ini berdiri dengan wajah
merah dan alis terangkat, tanda marah. Bentaknya, "Huh huh, apa maksudmu main
peluk orang?"
Sangkan dan Kaligis dapat berdiri tegak kembali. Mulut mereka menyeringai dan
hati mereka penasaran, gemas dan hampir tidak kuasa lagi menahan hasrat
berhadapan dengan gadis cantik ini. Mereka berpikir di dalam hutan seperti ini,
dan jauh dari orang, siapakah yang bisa menolong gadis ini"
"Heh... heh... heh... heh, engkau tanya apa maksud kami" Sangkan mengejek. Kalau
laki-laki sudah memeluk perempuan, engkau masih juga bertanya maksudma" Adik
Manis, engkau harus menyerah kepada kami agar tidak menderita. Kalau kami marah,
kami merasa sayang
kepada kecantikanmu dan sayang pula akan keindahan tubuhmu kalau kami harus main
paksa dan menyiksa
engkau." Kaligis cepat menyambung, "Adik cantik, kami dua orang saudara, merupakan
perkasa. Jika engkau menjadi kekasih kami, engkau pasti bahagia. Mari, Adik
cantik kita lewatkan waktu dengan bersenang-senang di hutan ini. Hemm, tak akan
ada orang yang mengganggu."
Dewi Sritanjung mengerutkan alis. Ucapan dua orang pemuda ini sebenarnya asing
bagi telinganya, dan juga tidak tahu artinya. Tetapi walaupun demikian naluri
kewanitaannya dapat menduga maksud dua orang pemuda ini tentu tidak baik.
Setahun lalu tanpa seijinnya, Surya Lelana sudah mencium pipinya, akan tetapi
ketika itu Surya Lelana cepat minta maaf, sebaliknya dirinya juga tidak marah
atas perlakuan itu.
Namun dua orang muda ini sekalipun juga tidak minta ijin lebih dahulu, dalam
dadanya timbul perasaan lain.
Naluri kewanitaannya sudah memberitahu perbuatan
dua orang ini mengandung maksud tidak baik. Perasaan yang demikian ini makin
kuat lagi setelah termata sikap dua orang ini jauh berlainan dengan sikap Surya
Lelana. Dua pemuda ini tidak mau minta maaf, sebaliknya malah mengucapkan kata-kata
asing bagi telinganya.
"Kau.......kau.......apakah maksudmu sesungguhnya?"
bentaknya. "Heh... heh... heh... heh, jangan rewel. Adik manis, menyerahlah kepada kami!"
Sangkan terkekeh sambil membusungkan dada. "Setelah kita lewatkan hari dan malam
di hutan ini, baru kemudian kita bersama ke Majapahit."
"Ya, kita lewatkan hari dan malam bahagia di hutan yang sepi ini. Kaligis
menyambut dengan mulut
menyeringai. Adik cantik harus melayani kami berdua dan secara adil."
Sritanjung menjadi marah sekalipun belum begitu jelas maksud orang. Sebab
bagaimanapun sebagai gadis yang terasing dari pergaulan, ia asing dengan kata
cinta itu. "Huh... huh, kalau aku tidak sudi, kalian bisa apa?"
tantang Dewi Sritanjung.
Dua orang muda itu terkekeh, lalu Kaligis mengancam.
"Hem, engkau seorang perempuan, dan takkan menang melawan kami. Sudahlah, jangan
rewel. Jika rewel, engkau jangan menyalahkan kami kalau terpaksa menggunakan
kekerasan. Hemm, Adik cantik, apapun alasannya adalah tidak baik kalau harus
lewat jalan kekerasan. Karena itu menyerahlah baik-baik kepada kami."
Sebenarnya saja dua orang pemuda ini bukan merupakan pemuda bejat moral dan
selalu mengumhar nafsu jahat. Dorongan yang menyebabkan Kaligis dan Sangkan
sampai lupa diri dan buas menghadapi Dewi Sritanjung ini, akibat diketahuinya
hubungan Dewi Sritanjung dengan Gajah Mada. Padahal Gajah Mada adalah musuh guru
mereka. Kalau sekarang mereka dapat menangkap dan memmpermainkan gadis ini,
siapa yang dapat disalahkan justru berhadapan dengan lawan"
Gadis ini hanya seorang diri, padahal mereka dua orang.
Apa yang harus ditakutkan dan manakah mungkin gagal lagi"
Dewi Sritanjung tambah marah dan membentak,
"Kurang ajar! ternyata kamu manusia jahat berpura-pura baik. Huh, kamu lekas
pergi atau tidak" Jika tidak, engkau jangan menyalahkan aku jika aku terpaksa
menghajar kamu!"
Ucapan yang demikian ketus ini memancing gelak tawa dua pemuda itu. Kaligis dan
Sangkan saling pandang dan mulut meringis seperti iblis kelaparan.
"Adi Sangkan! Hayo kita keroyok saja dengan kekerasan.
Mana mungkin kila kalah?" Kaligis mengajak. "Betapa gembira Guru kita, apabila
kita berhasil menawan salah seorang yaug mempunyai hubungan dekat dengan Gajah
Mada ini."
"Engkau benar. Marilah!" sambut Sangkan sambil mendahului menerjang ke depan
dengan gerakan menubruk.
Melihat gerakan pemuda itu sadarlah Dewi Sritanjung akan keadaan. Lebih lagi
ketika mendengar ucapan
mereka yang menyinggung nama Gajah Mada. Semakin
jelaslah bahwa di balik sikap begitu baik, memang mengandung maksud tidak baik.
Dengan gerakan gesit gadis ini sudah menghindarkan diri dari tubrukan dua lawan
itu. Gerakan dua lawan ini walaupun cepat, menurut pandangan Dewi Sritanjung,
masih kurang cepat.
Gadis ini melawan dengan serangan-serangan tak
terduga. Tubuh gadis ini berkelebat cepat sekali seperti kilat menyambar hingga
Sangkan dan Kaligis kaget.
Mereka menjadi sadar bahwa gadis yang tampaknya lemah itu ternyata bukan gadis
sembarangan. Kemudian
merekapun sadar tidak mungkin dapat mengalahkan gadis ini tanpa senjata.
"Sring! Sring!" dua orang pemuda ini sudah mencabut pedang hampir berbareng.
Sangkan menyerang dari arah kiri dan Kaligis menyerang dari kanan.
Dewi Sritanjung kaget oleh sambaran pedang itu. Tetapi tanpa kesulitan gadis ini
dapat menghindari.
"Tring! Tring! Cring! Cring!" dentingan pedang terdengar empat kali. Pedang
Sangkan maupun Kaligis menyeleweng kemudian dua orang pemuda ini melompat
mundur, guna menghindari sambaran tangan dan kaki gadis itu.
Dalam menghadapi sambaran pedang tadi, Sritanjung sudah menyentil dengan jari
tangannya dan berhasil membuat pedang lawan menyeleweng. Hati gadis ini menjadi
besar disamping timbul rasa percaya diri.
Ia tadi memang nekad dan untung-untungan. Ia men-
coba untuk menangkis dengan sentilan jari tangan. Bagi dirinya yang belum
berpengalaman menghadapi lawan sungguh-sungguh, apa yang dilakukan sering
menimbulkan rasa ragu.
Sekarang dengan hasil yang diperoleh, dirinya menjadi tambah mantap, dan sambil
menguji pula sampai di
manakah ilmu tangan kosong bernama "Sindhung Riwut".
Dengan ilmu Sindhung Riwut yang berarti angin ribut maupun badai itu, maka
gerakan Dewi Sritanjung hebat bukan main. Tubuhnya berkelebat cepat menerobos di
antara sinar pedang lawan. Saking cepatnya ia bergerak, yang tampak hanyalah
warna dari pakaiannya.
Dewi Sritanjung memang menyukai warna bira muda.
Maka seleret warna biru muda berkelebat seperti
bayangan, dan makin lama gerakan gadis ini semakin mantap.
"Kesempatan bagus!" ujar gadis ini dalam hati. "Selama ini aku hanya memperoleh
kesempatan berlatih dengan Kakek. Dan selama itu pula Kakek tidak pernah
menyerang aku sungguh-sungguh. Bukankah peristiwa ini dapat aku jadikan semacam
ujian?" Berpikir demikian kalau semula gadis ini ingin sekali segera dapat menghalau
lawan, sekarang menjadi lain. Ia mencoba kecepatannya bergerak menerobos di sela
sambaran pedang lawan tanpa membalas menyerang.
Berkali-kali Kaligis dan Sangkan celingukan dan heran karena tiba-tiba lawannya
sudah lenyap. Tahu-tahu ada angin menyambar dari belakang, maka cepat-cepat
mereka membalikkan tubuh dan menyerang lagi.
Setelah beberapa kali dilakukan, gerak cepatnya dengan mencoba kecepatan gerak
tangannya. Gerakannya
sekarang menjadi lambat, tetapi tiap kali pedang lawan menyambar, tring, jarinya
yang lentik itu menangkis dan pedang lawan menyeleweng.
Sebaliknya Kaligis dan Sangkan menjadi penasaran, setelah peluh mereka membasahi
tubuh belum juga
berhasil mengalahkan lawan.
Kalau lawan juga bersenjata, hal ini masih tidak
mengapa. Tetapi sekarang ini lawan yang dikeroyok hanya bertangan kosong Mengapa
pedang mereka tidak pernah berhasil menyentuh ujung baju lawan" Dalam penasaran
ini mereka tidak mau sadar akan keadaan, sebaliknya malah tambah marah dan
nekad. Sambil membentak nyaring pedang mereka berkelebat lebih cepat lagi, menyambar ke
arah bagian tubuh lawan yang berbahaya. Tetapi celakanya walaupun suara
bentakan mereka sampai habis sambaran pedang mereka tak pernah berhasil
menyentuh ujung baju lawan.
Mereka berkelahi sudah cukup lama. Dewi Sritanjung menjadi heran sendiri melihat
keadaan dua orang lawan itu sudah mandi peluh dan napasnya kembang kempis,
sebaliknya dirinya masih segar dan napasnya masih biasa saja.
Setelah mendapat bukti dirinya bukan gadis
sembarangan seperti ucapan kakeknya. Dewi Sritanjung menjadi puas, lalu timbul
rasa bosan dan muak menghadapi dua pemuda ini. Mendadak terdengar bentakan
nyaring dari mulutnya, "Lepas!"
Sangkan dan Kaligis berteriak kaget dan wajahnya
pucat, ketika hampir berbareng pedangnya sudah terbang, dan lengannya menjadi
lumpuh. Untung sekali gadis ini tidak ingin mencelakakan pemuda itu. Ia tidak
menyusuli serangan karena ia sudah puas.
"Kamu tidak lekas pergi, apakah ingin merasakan
pukulanku!" bentaknya. "Huh, aku masih berlaku murah kepadamu, mengingat di
warung tadi sudah menemani aku makan."
Menyadari gadis cantik dan menggiurkan ini berilmu tinggi, tanpa rewel lagi dua
orang murid Si Tangan Iblis itu sudah melompat dan menyambar pedang, lalu
berlarian cepat meninggalkan Dewi Sritanjung.
Gadis ini tetap berdiri dengan mulut menyungging
senyum puas. Sepasang matanya yang indah itu
memandang kepergian mereka. Dan baru setelah
bayangan dua pemuda itu tidak tampak lagi, ia menghela napas lega. Hatinya besar
dan bangga, berkat gemblengan kakeknya, seorang diri dapat mengalahkan dua orang
lawan. Karena itu dalam perjalanan selanjutnya ia tidak perlu khawatir lagi
berhadapan dengan bahaya. Bukankah dirinya sekarang ini termasuk seorang sakti
mandraguna"
Ia membusungkan dadanya yang sudah membusung. Lalu terdengar suara hatinya yang
takabur. "Inilah aku! Dewi Sritanjung, murid Kiageng Tunjung Biru. Sekalipun perempuan,
belum tentu kalah melawan laki-laki. Huh, betapa gembira dan bangga, setelah
Ayah dan Ibu mendengar kisahku hari ini. Ibu tentu memeluk diriku penuh cinta
kasih, seperti yang dilakukan Kakek setiap kali hatinya puas melihat kemajuan
ilmuku." Siapa yang dapat menyalahkan Sritanjung menepuk
dada dan takabur seperti ini" Dia masih muda. Dia belum mengenal corak dan isi
dunia luas ini. Dan dia belum juga tahu betapa luasnya dunia, dalamnya lautan
dan tingginya gunung. Dia belum tahu bahwa tidak seorangpun di dunia ini dapat
menepuk dada merasa paling sakti dan paling pandai.
Yang merasa bodoh masih ada yang lebih bodoh. Yang merasa pandai masih ada lagi
yang lebih pandai. Betapa kerdil dan kecilnya manusia di dunia ini, apabila mau
sadar akan hidupnya. Dan betapa besar kekuasaan Yang Maha Tinggi. Tetapi gadis
semuda Dewi Sritanjung ini memang belum kenal dan belum tahu serta belum dapat
berpikir sejauh itu. Pengalaman hidupnya, kemudian hari akan menjadi guru dan
pelajaran. Dikaji, dimawas, dan diselidiki, serta dirasakan. Dengan demikian


Dewi Sri Tanjung Persekutuan Dua Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang menjadi benar-benar dewasa, sebab ketidakdewasaan itu hanya lerletak dalam
ketidaktahuannya tentang diri sendiri. Mengerti diri sendiri adalah permulaan
daripada kebijaksanaan.
Gadis ini kemudian melangkah, menuju utara lewat
jalan yang tadi telah dilalui. Dan sambil melangkah ia bergumam. "Kakek benar"
Nyatalah di dunia ini tidak sedikit jumlahnya manusia jahat. Hemm, aku harus
hati-hati tidak boleh sembarangan percaya kepada orang. Ahh, terlalu percaya
kepada orang, akibatnya akan mendekat-kan diri sendiri dengan bahaya."
Demikianlah pengalaman memberi pelajaran kepada
Dewi Sritanjung. Ia menjadi sadar bahwa nasihat dan petunjuk kakeknya memang
tidak bisa diabaikan.
Akan tetapi belum jauh ia melangkah, tiba-tiba ia mendengar bentakan nyaring
perempuan, "Hai Sangkan dan Kaligis! Kau mau lari ke mana?"
Dewi Sritanjung menghentikan langkahnya dengan rasa heran, Kaligis dan Sangkan"
Bukankah orang itu yang tadi lari setelah ia kalahkan" Sekarang ada perempuan
yang membentak. Agaknya perempuan itupun seperti dirinya, pernah ditipu.
Bagi gadis ini apapun yang terjadi akan menarik hatinya.
Lebih-lebih ia berpikir makin banyak peristiwa yang di-saksikan dan dialami,
akan memberi pengalaman berharga bagi hidupnya.
Ia membatalkan niatnya pergi. Ia melangkah kembali ke selatan, kemudian
berlarian. Tak lama ia berlarian, ia melihat seorang perempuan yang wajahnya
cukup cantik berhadapan dengan Sangkan dan Kaligis. Perempuan itu sikapnya
garang, mendelik sambil bertolak pinggang.
Dengan hati-hati Dewi Sritanjung menyelinap mendekat, lalu menyembunyikan diri
di belakang batu besar.
Kemudian ia mendengar Sangkan berkata.
"Adi Indah...ahh.... sungguh kebetulan. Aku dan Kakang Kaligis mencarimu
setengah mati, ternyata sekarang malah bertemu di tempat ini."
Perempuan muda itu memang Sarindah mendengus
dingin. "Apakah keperluanmu mencari aku?"
"Atas perintah Guru, kami mencarimu untuk dipanggil pulang."
"Untuk diadili karena sudah mencoba meracun Julung Pujud?"
"Ahh.... Adi Indah sudah tahu?" dua pemuda itu kaget.
"Hi... hi... hik, kamu jangan berpura-pura di depanku dan kamu jangan mencoba
membela diri dengan mencuci
tanganmu yang kotor. Huh, bukankah kamu yang sudah menaruh racun dalam tuak
itu?" "Tid..... tidak!" hampir berbareng Kaligis dan Sangkan menyangkal, tetapi tidak
lancar. "Huh... huh, kamu bisa menipu orang lain, tetapi kamu tak dapat menipu aku. Kamu
sudah memberi racun pada tuak itu, kemudian memfitnah aku, bukan" Pengecut!"
*** Mengapa Sarindah bisa tahu rahasia Kaligis dan
Sangkan" Lain siapakah yang memberi tahu" Anda akan mendapat jawabannya dalam
buku berjudul "DEWI SRITANJUNG MENCARI AYAH KANDUNG"
Ceritanya akan lebih seru dan menegangkan. Karena :
......... Mendadak Sarindah merasakan kepalanya
berdenyutan dan pening sekali, pandang matanya kabur.
"Trang...... Ahhhh... !" pedang Sarindah terpental terbang oleh pukulan Rudra
Sangkala. Dan Rudra Sangkala sudah melompat maju lalu memeluk gadis ayu itu.
Sarindah sudah pingsan, dalam pondongan Rudra Sangkala dan diciumi......
...... "Bocah! Kalau saja engkau tidak mempunyai
hubungan dengan Gajah Mada, tentu saja aku tidak
memusuhi, Karena itu sebelum aku menggunakan
kekerasan, menyerahlah aku jadikan sandra!" ancam Si Tangan Iblis.
Sepasang mata Dewi Sritanjung menyala. Jawabnya
lantang, Apakah salahnya orang mempunyai hubungan dengan Mahapatih Gajah Mada"
Orang yang berani
memusuhi beliau, berarti pemberontak!.......
Sanggupkah Dewi Sritanjung menghadapi Si Tangan
Iblis yang sakti mandraguna dan mempunyai Aji Mega Lengking" Dalam buku Seri
Dewi Sritanjung yang berjudul
"DEWI SRITANJUNG MENCARI AYAH KANDUNG" Anda akan
mendapat jawabannya.
*** Sala, awal Maret 1987
Dendam Empu Bharada 1 Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung Suramnya Bayang Bayang 7
^