Suramnya Bayang Bayang 7
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 7
Bukankah kakang dapat mengatakan, menolong seseorang
yang mengalami kesulitan karena dirampok orang misalnya.
Atau membebaskan satu padukuhan dari keganasan para
berandal yang ingin merampas semua kekayaan di
padukuhan itu." "Kenapa begitu" Bukankah tidak pernah ada lagi
perampokan dan tindakan kekerasan seperti itu lagi
sekarang ini?" bertanya Kiai Badra.
"Kenapa tidak" Bukankah hal itu telah terjadi atas
cucumu sendiri?" sahut Nyai Soka.
68 SH. Mintardja Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, "Itu
bukan persoalan satu perampokan."
"Apapun namanya, tetapi peristiwa itu adalah peristiwa
kekerasan. Kenapa kakang atau Gandar sama sekali tidak
berbuat apa-apa untuk mencegah hal itu terjadi?" bertanya
Nyai Soka. Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam, sementara
Gandar hanya dapat menundukkan kepalanya saja.
"Sekarang kita tidak akan dapat berbuat banyak atas
Iswari yang seakan-akan tidak lagi mempunyai keinginan
apa-pun juga di dalam hidupnya," berkata Nyai Soka. Lalu,
"Karena itu, aku harus membentuknya menjadi orang lain."
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya Kiai Badra.
"Aku yakin, bahwa di dalam tubuh Iswari itu mengalir
darah sebagaimana yang mengalir di tubuh kakang," jawab
Nyai Soka. "Sehingga karena itu, maka aku tidak akan
banyak mengalami kesulitan jika aku dan kakang Soka
menjadikan seseorang yang akan mampu mengimbangi
kemampuan perempuan yang dikatakan oleh Gandar,
sebagai istri muda Ki Wiradana yang memiliki ciri gerak
dan sikap dari perguruan Kalamerta."
Wajah Kiai Badra menjadi tegang. Namun kemudian
katanya, "Sebenarnya aku tidak ingin mengotori Iswari
dengan darah. Sejak ia tumbuh menjadi seorang gadis
remaja, aku dibayangi oleh keinginan untuk membuatnya
seorang gadis yang lain. Tetapi ternyata aku berpendapat,
bahwa sebaiknya Iswari menjadi seorang yang bersih, yang
tidak dibekali dengan satu keinginan untuk bermusuhan.
Sebagaimana aku sendiri, yang merasa bahwa sebaiknya
aku meninggalkan dunia yang penuh dengan tetesan darah
sesama itu. 69 SH. Mintardja "Tetapi yang terjadi adalah seperti yang kita lihat
bersama atas Iswari sekarang ini," berkata Kiai Soka, "Ia
mengalami perlakuan yang sangat tidak adil. Jika ia
memiliki ilmu kanuragan mungkin akibatnya akan lain."
"Ya. Mungkin Iswari sudah mati," jawab Kiai Badra. "Jika
Iswari mempunyai ilmu kanuragan, maka ia tentu bersikap
lain terhadap perempuan yang akan membunuhnya itu,
sehingga mungkin sekali timbul perkelahian antara Iswari
dengan perempuan itu. Karena Iswari baru mengandung,
maka geraknya tentu sangat terbatas, sehingga akhirnya ia
justru akan terbunuh karenanya."
Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Memang segala sesuatunya dapat dipandang dari sudut
yang berbeda-beda. Demikian juga ilmu kanuragan. Ilmu ini
akan dapat dipergunakan untuk menambah dosa, tetapi
juga dapat dipergunakan untuk berbuat kebajikan.
Melindungi orang-orang yang lemah dan menegakkan
keadilan. Pada satu saat kakang sendiri adalah orang yang
ditakuti di dunia olah kanuragan. Namun pada saat yang
lain, kakang menganggap bahwa kakang lebih baik menarik
diri dan tinggal di sebuah padepokan kecil dengan pesan
yang berbeda bagi sesama."
Kiai Badra termangu-mangu. Namun akhirnya ia pun
bertanya kepada Gandar, "Apa pendapatmu Gandar?"
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apakah
jika Iswari memiliki ilmu yang cukup, ia tidak terdorong
untuk membalas dendam sakit hatinya dan membunuh
orang-orang yang dianggap pernah bersalah kepadanya?"
"Jangan takut Gandar," berkata Kiai Soka. "Jika kami
menempanya, maka kami tidak hanya akan menempanya
70 SH. Mintardja dalam olah kanuragan saja, tetapi juga dalam olah
kejiwaannya." Gandar mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Segala
sesuatunya terserah kepada Kiai dan Nyai Soka. Aku
percaya bahwa yang akan dilakukan itu tentu sudah
dipertimbangkan masak-masak dan dipertanggung
jawabkan." "Ya Gandar. Aku akan bertanggung jawab terhadap
kakeknya dan lebih dari itu, aku bertanggung jawab pula
terhadap Yang Maha Kuasa. Jika ternyata kemudian dengan
ilmunya Iswari akan melepaskan dendamnya kepada
siapapun juga tanpa alasan, maka akan terjadi kewajiban
kami untuk mencegahnya."
Gandar mengangguk-angguk. Sambil memandang
kepada Kiai Badra ia berkata, "Kita serahkan saja semuanya
kepada kebijakan Kiai Soka berdua."
Kiai Badra pun mengangguk-angguk pula. Lalu katanya,
"Baiklah Soka. Seperti yang dikatakan Gandar, maka
segalanya terserah kepadamu. Tetapi bukankah kau
menunggu sampai saatnya Iswari mampu melakukannya
setelah ia melahirkan?"
"Ya kakang. Bukankah kita tidak tergesa-gesa," jawab
Nyai Soka. Kiai Badra pun kemudian mempercayakan Iswari
sepenuhnya kepada Kiai Soka dan Nyai Soka yang
sementara belas kasihan yang mendalam kepada Iswari.
Karena itu, maka mereka benar-benar ingin membentuk
agar pada suatu saat Iswari dapat membawa anaknya itu
kembali ke kedudukan yang seharusnya Kepala Tanah
Perdikan di Sembojan. 71 SH. Mintardja Ternyata Kiai Badra dan Gandar berada di padepokan
Tlaga Kembang itu tidak terlalu lama. Meskipun rasa-
rasanya Gandar tidak ingin meninggalkan padepokan itu,
namun setelah ia yakin bahwa Iswari justru akan tumbuh
dan berkembang dalam olah kanuragan, maka rasa-rasanya
Gandar pun menjadi yakin atas masa depan anak yang baru
dilahirkan oleh Iswari. Karena itu, maka Kiai Badra dan Gandar hanya
bermalam dua malam saja di padepokan kecil itu, dan
kemudian minta diri untuk kembali ke padepokannya.
Kiai dan Nyai Soka melepaskan mereka dengan pesan,
agar Kiai Badra dan Gandar atau salah seorang di antara
mereka sering datang ke padepokan kecil itu untuk melihat
perkembangan Iswari dalam olah kanuragan, dan melihat
pertumbuhan anak yang dilahirkannya itu.
Demikianlah, maka Kiai Badra dan Gandar pun
meninggalkan padepokan itu dengan berbagai macam
pikiran. Bahkan diperjalanan Gandar berkata kepada Kiai
Badra, "Kiai, tiba-tiba saja aku mempunyai satu pikiran
yang barangkali kurang baik bagi Kiai. Aku tiba-tiba saja
seperti yang pernah dikatakan ingin mendapatkan satu
keyakinan bahwa anak Iswari itu akan kembali ke Tanah
Perdikan Sembojan dan mendapatkan kedudukannya."
"Kenapa kau berpikiran demikian," berkata Kiai Badra.
"Apakah kau menganggap bahwa kedudukan itu adalah
satu-satunya jalan yang akan dapat membahagiakan cucuku
dan anak laki-lakinya itu" Sebenarnya aku pun menyadari
bahwa tujuan utama dari Soka suami istri adalah seperti
yang kau katakan itu pula."
"Entahlah Kiai," berkata Gandar kemudian. "Tetapi aku
membayangkan, seandainya perempuan cantik itu
72 SH. Mintardja mempunyai anak laki-laki pula dan kelak menggantikan
kedudukan Wiradana, apakah yang akan terjadi dengan
Tanah Perdikan Sembojan itu. Namun yang lebih
menggelisahkan aku lagi adalah bahwa perempuan cantik
itu menurut penilaianku sekilas, mempunyai ciri-ciri dari
perguruan Kalamerta sebagaimana yang Kiai pernah
memberitahukan kepadaku. Ciri-ciri yang khusus pada
setiap usaha pemusatan kemampuan pada orang-orang
yang termasuk tataran yang tinggi. Dan sikap itu telah aku
lihat dilakukan oleh perempuan itu sebagaimana pernah
aku katakan kepada Kiai dan Kiai pun agaknya sependapat,
bahwa ciri-ciri itu adalah ciri-ciri perguruan Kalamerta."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Adalah
kebetulan bahwa aku mengenal ciri-ciri perguruan
Kalamerta dan perguruan Sembojan. Agaknya aku pun
mengerti maksudmu dan aku pun mengerti dasar
kecemasanmu. Jika perempuan itu berhasil masuk ke dalam
keluarga Wiradana yang sudah tidak mempunyai istri lagi
itu, maka perempuan itu akan menjadi sangat berbahaya
bagi Ki Gede di Sembojan itu, karena Ki Gede lah yang telah
membunuh Kalamerta."
"Ya Kiai," sahut Gandar. "Hal itu tentu sudah
diperhitungkan pula oleh perempuan cantik itu."
"Lalu apa yang akan kau lakukan kemudian Gandar?"
bertanya Kiai Badra. "Sudah tentu dengan sangat hati-hati dan perlahan-lahan
Kiai. Aku ingin menyampaikan semua persoalan ini kepada
Ki Gede Sembojan," berkata Gandar.
"Ah," Kiai Badra berdesah. "Apakah kau akan dapat
meyakinkan Ki Gede bahwa hal seperti ini telah sebenarnya
terjadi?" 73 SH. Mintardja "Mudah-mudahan Kiai. Tetapi aku memang memerlukan
waktu yang panjang. Mudah-mudahan aku tidak terlambat,
karena perempuan cantik itu telah bertindak lebih dahulu,"
berkata Gandar. "Tetapi aku berharap, bahwa Wiradana
pun tidak akan dapat dengan serta merta membawa
perempuan itu kembali ke rumahnya, karena ia baru saja
kehilangan istrinya. Ki Gede agaknya masih berusaha untuk
menemukan Iswari meskipun Wiradana sendiri tidak
membantunya." "Terserahlah kepadamu Gandar. Tetapi berhati-hatilah.
Jika benar kau akan berhadapan dengan perguruan
Kalamerta, maka kau benar-benar harus mempersiapkan
dirimu. Agaknya dengan demikian, kau harus kembali
kepada alat-alat pembunuh yang sudah kau letakkan itu,"
berkata Kiai Badra. Gandar menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya
firasatnya memang sudah mengatakannya lebih dahulu
bahwa pada suatu saat, ia akan kembali meraba alat-alat
pembunuh itu. Ketika ia akan pergi ke Sembojan, sebelum
terjadi malapetaka atas Iswari, ia pun sudah menyentuh
senjatanya yang sudah disimpannya itu. Dan agaknya ia
benar-benar akan mempergunakannya kembali atau jenis
senjata lain yang manapun. Namun ia pada suatu saat akan
mempergunakan senjata lagi.
"Gandar," berkata Kiai Badra kemudian, "Jika kau pada
suatu saat mengambil satu keputusan untuk melakukan
langkah yang akan dapat berakibat luas, aku minta kau
menghubungi aku lebih dahulu jika waktunya
memungkinkan." Gandar mengangguk sambil menjawab, "Ya Kiai.
Bagaimana pun juga aku tidak berbuat sendiri."
74 SH. Mintardja Namun dalam pada itu, Gandar tidak segera
mendapatkan jalan, bagaimana yang sebaiknya. Setiap kali
ia mendekati Tanah Perdikan Sembojan, maka rasa-rasanya
ia akan memasuki satu daerah yang tertutup baginya.
"Apa yang akan kau lakukan" Menemui Ki Gede" Atau
memaksa Wiradana untuk mengatakan apa yang telah
dilakukan?" bertanya kepada diri sendiri.
Namun setiap kali Gandar selalu menunda usahanya
untuk berbicara dengan orang-orang Sembojan.
Karena itu, maka Gandar pun kemudian menjadi
semakin berhati-hati. Ia tidak perlu tergesa-gesa, karena
jika sekali ia salah langkah, maka kemungkinan yang buruk
akan dapat terjadi bukan saja atas dirinya, tetapi mungkin
atas Ki Gede Sembojan atau perempuan yang pernah
menyelamatkan Iswari dari pembunuhan yang keji.
Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Sembojan, Ki Gede
telah berhasil menempa duapuluh lima orang pengawal itu
pun mulai memberikan tugas-tugas kepada mereka. Pada
pengawal itu mendapat perintah untuk menilai keadaan di
Tanah Perdikan Menoreh dan sekitarnya.
Tetapi duapuluh lima orang itu sama sekali tidak
menemukan tanda-tanda bahwa Tanah Perdikan itu masih
dibayangi oleh kekuatan yang dapat membahayakan Tanah
Perdikan Menoreh. Bahkan menurut pengamatan mereka,
di padukuhan-padukuhan di perbatasan di luar Tanah
Perdikan itu pun tidak ada gejala yang dapat menunjukkan
adanya gangguan terhadap ketenangan dan ketentraman.
Karena itu, maka salah seorang dari anak-anak muda
yang mendapat tempaan khusus itu berkata, "Bagaimana
jika kita melangkah keluar Tanah Perdikan Ki Gede?"
75 SH. Mintardja Ki Gede masih merasa ragu-ragu. Ketika ia memanggil
Wiradana dan berbicara tentang hal itu, maka Wiradana itu
pun berkata, "Ayah, sebaiknya kita tidak melanggar
wewenang orang lain. Dalam hal hilangnya Iswari, kita
sudah tidak kekurangan langkah. Segala usaha sudah kita
lakukan. Dua puluh lima orang pengawal khusus itu telah
memeriksa setiap rumah dan bertanya hampir setiap orang
yang mungkin melihat Iswari pada saat-saat terakhir.
Sementara aku sendiri siang dan malam telah berusaha
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencarinya, bahkan dengan diam-diam tanpa
menimbulkan gangguan di daerah tetangga kita aku sudah
berusaha untuk menemukan pula. Tetapi semuanya sia-sia
saja. Iswari hilang begitu saja. Bahkan akhirnya aku curiga,
bahwa Iswari memang berusaha untuk meninggalkan kita."
"Itu tidak mungkin," jawab ayahnya. "Aku yakin, bahwa
Iswari telah menjadi kerasan tinggal disini. Ia menganggap
aku sebagai ayahnya sendiri, karena ia sudah tidak berayah.
Ia melakukan kewajibannya sebagai seorang istri yang baik
menurut pengamatanku. Ia tidak pernah mengeluh
meskipun hampir setiap malam ia kau tinggalkan justru
pada saat ia mengandung. Ia tetap melakukan tugasnya,
bukan saja sebagai seorang istri yang setia, tetapi juga
kewajibannya terhadap para tetangga bahkan di
padukuhan-padukuhan lain di Tanah Perdikan ini. Ia hilang
pada saat ia akan pergi ke rumah Pasih yang baru saja
melahirkan anak." Wiradana tidak menjawab. Setiap kali ia berbicara
dengan ayahnya tentang Iswari yang hilang itu, rasa-
rasanya ada saja persoalan yang tidak dapat bertemu.
"Pada saatnya ia akan melupakannya," berkata Wiradana
di dalam hatinya. 76 SH. Mintardja Karena itu, setiap kali Wiradana selalu berusaha untuk
menghindari pembicaraan dengan ayahnya tentang Iswari.
Yang dilakukan oleh Wiradana kemudian adalah kerja. Ia
berusaha untuk menutupi kelemahannya dengan kerja
keras bersama anak-anak Tanah Perdikan di siang hari.
Dengan rajin ia mengamati parit-parit dan bendungan. Jika
terdapat kekurangan, maka ia pun segera memanggil anak-
anak muda untuk bersama-sama memperbaikinya.
Namun di malam hari, Wiradana hampir tidak pernah
ada di rumahnya. Ia selalu berada di sisi istrinya yang cantik
yang telah membuatnya menjadi bagaikan gila.
"Kakang," berkata Warsi pada satu saat, "Aku harap
kakang tidak salah mengerti. Sebenarnya ada sesuatu yang
ingin aku sampaikan kepada kakang."
"Tentang apa Warsi?" bertanya Wiradana.
"Tentang hubungan kita," jawab Warsi. "Tetapi sekali
lagi, kakang jangan salah mengerti kata-kataku."
Wiradana mengerutkan keningnya. Namun dengan
sungguh-sungguh ia mendengarkan Warsi berkata,
"Kakang, sudah sekian lama aku menjadi istri kakang.
Namun rasa-rasanya aku masih dibayangi oleh keragu-
raguan. Seolah-olah rumah tangga kita bukannya rumah
tangga yang sewajarnya."
"Apa yang kau maksudkan Warsi?" bertanya Wiradana.
"Kakang ada di rumah hanya pada malam hari," berkata
Warsi kemudian, "Bahkan kadang-kadang malam hari pun
tidak atau hanya sebentar sekali. Jika aku melihat orang-
orang lain dalam hubungan keluarga, mereka berkumpul
hampir di setiap saat dalam waktu-waktu lepas dari kerja.
Maksudku, setiap kali seorang suami akan pulang untuk
makan bersama istrinya. Bukan hanya di malam hari. Tetapi
77 SH. Mintardja juga di siang hari. Jika matahari mulai turun ke Barat, maka
seorang suami akan meninggalkan kerjanya dan pulang
untuk makan bersama istri di rumah. Mungkin ia akan pergi
lagi di sore hari. Tetapi ia akan segera pulang untuk mandi
dan sekali-kali bergurau bersama keluarga menjelang
malam. Itulah yang sebenarnya aku risaukan kakang. Bukan
karena rumah ini terlalu kecil. Tetapi jika kakang selalu ada,
maka rumah ini merupakan istana yang paling berharga
bagiku." Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
berat ia berkata, "Aku mengerti Warsi. Sabarlah. Aku akan
berusaha untuk segera membawamu ke rumah."
"Jangan salah mengerti kakang. Bukankah aku sudah
mengatakannya sebelumnya," sahut Warsi. "Aku tidak ingin
pindah dari rumah ini. Rumah ini memberikan kesan
tersendiri kepadaku. Tetapi yang aku inginkan, rumah
tangga kita menjadi wajar, sebagaimana rumah tangga yang
lain." Wiradana mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia
berkata, "Tetapi selama kau masih ada disini, maka tidak
akan terjadi satu kehidupan yang serasi di antara kita. Aku
masih harus selalu berpura-pura. Mengatakan yang tidak
sebenarnya. Dan bahkan kadang-kadang aku kehilangan
akal untuk menyusun alasan-alasanku berikutnya."
Warsi menundukkan kepalanya. Setiap kali ia berbuat
seakan-akan menyesali sikapnya sendiri.
"Maafkan aku kakang. Lupakan saja kata-kataku
semuanya. Aku tidak ingin membuat kau menjadi semakin
terdesak dalam kesulitan," berkata Warsi.
"Tidak Warsi," jawab Wiradana. "Yang kau kehendaki
adalah sesuatu yang wajar sekali. Adalah menjadi
78 SH. Mintardja kewajibanku untuk dapat membantumu bahagia lahir dan
batin." "Tetapi aku tidak ingin membebanimu dengan berbagai
macam persoalan. Aku tahu, bahwa tugas-tugasmu cukup
banyak di Tanah Perdikan," jawab Warsi.
Dalam keadaan demikian, Wiradana justru merasa
semakin terdesak. Ia merasa bahwa selama ini ia tidak
dapat berbuat sebagaimana seorang laki-laki yang
bertanggung jawab atas istrinya. Seorang laki-laki yang
seharusnya mampu memberikan kesejahteraan kepada
istrinya. Bukan sebaliknya, justru seakan-akan telah
menyiksanya. "Warsi tidak ingin apa-apa, apalagi yang berlebihan,"
berkata Wiradana di dalam hatinya. "Ia hanya
menginginkan kewajaran dalam rumah tangga."
Dengan demikian, maka keinginan Wiradana untuk
membawa Warsi ke rumahnya menjadi semakin terdesak di
dadanya. Ayahnya yang masih saja bersedih karena
hilangnya Iswari, rasa-rasanya benar-benar telah menjadi
penghalang baginya. "Seharusnya ayah mengerti keadaanku," berkata
Wiradana di dalam hatinya. Namun Wiradana tidak akan
berani mengatakannya sebelum ia menemukan satu
keadaan yang paling tepat.
Pada saat Wiradana masih dikekang oleh kegelisahan
tentang keinginan Warsi untuk hidup wajar, maka di
padepokan Tlaga Kembang, Iswari telah mampu sedikit
demi sedikit melepaskan diri dari kepahitan perasaan
karena sikap suaminya. Selain anaknya yang tumbuh
dengan cepat menjadi anak yang gemuk dan segar, maka
79 SH. Mintardja Kiai Soka suami istri telah berusaha untuk benar-benar
membuatnya menjadi orang lain.
Ketika keadaan tubuh Iswari telah pulih kembali setelah
ia melahirkan, serta anaknya nampak sehat dan tidak
mengalami gangguan apapun, Nyai Soka mulai membawa
Iswari memasuki satu dunia yang sebelumnya terasa asing
baginya. "Iswari," berkata Nyai Soka. "Dengarlah. Bahwa di dalam
kehidupan ini kadang-kadang kita dihadapkan pada satu
keharusan yang tidak kita kehendaki. Mungkin di saat kita
berjalan di tengah-tengah bulak yang panjang tiba-tiba saja
hujan turun." Iswari mengerutkan keningnya. Ia tidak segera
menangkap maksud Nyai Soka.
Dalam pada itu, maka Nyai Soka itu pun melanjutkannya,
"Karena itu Iswari, jika kita sudah melihat mendung di
langit, dan kita akan menempuh perjalanan lewat bulak-
bulak panjang, maka sebaiknya kita membawa payung.
Seandainya hujan tidak jadi turun, kita tidak dirugikan
karenanya. Tetapi jika hujan benar-benar akan turun maka
kita tidak akan menyesal karenanya."
Iswari masih belum menangkap maksud Nyai Soka.
Sehingga Nyai Soka akhirnya menjelaskan. "Iswari. Cobalah
melihat kepada dirimu sendiri."
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Barulah ia mengerti
maksud Nyai Soka. Namun demikian, ia masih juga
bertanya, "Lalu apakah yang sebaiknya aku lakukan, nek?"
"Nenek sudah tua," jawab Nyai Soka. "Sementara itu
nenek tidak mempunyai seorang anak pun. Seorang anak
yang akan mewarisi harta yang paling berharga yang aku
miliki berdua bersama kakekmu Kiai Soka," Nyai Soka diam
80 SH. Mintardja sejenak, lalu, "Tetapi harta yang paling berharga itu
bukannya benda yang besar. Tetapi yang nenek miliki
adalah sekadar ilmu. Ilmu yang jika tidak aku wariskan
kepada siapapun juga, akan hilang tidak berarti bersama
jasad nenek dan kekek Soka yang tua ini. Sementara dua
orang cantrik yang ada di padepokan ini, tidak dapat kami
harapkan untuk dapat menjadi murid yang benar-benar
memenuhi keinginan nenek dan kakekmu disini.
Selebihnya, jika kau anggap penting maka ilmu itu akan
merupakan payung yang akan dapat kau bawa mengarungi
kelangsungan hidupmu dan hidup anakmu."
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apakah
artinya ilmu itu bagiku, nek. Aku sudah merasa senang
tinggal disini bersama nenek dan kakek. Aku tidak ingin
berbuat lebih banyak daripada berbuat sesuatu sesuai
dengan kemampuan yang ada padaku, sekadar menanak
nasi, mencuci pakaian dan membersihkan rumah."
"Benar," jawab Nyai Soka. "Tetapi meskipun kau hanya
akan menanak nasi, mencuci pakaian dan membersihkan
rumah, alangkah baiknya jika kau mampu berbuat sesuatu
jika anakmu berada dalam bahaya. Sekarang aku dan
kakekmu masih ada, sehingga meskipun kami sudah tua,
tetapi masih mungkin untuk membantu dan berusaha
menyelamatkan anakmu. Tetapi pada saatnya kami akan
kembali dipanggil oleh Tuhan yang maha menitahkan kami,
sementara itu anakmu tumbuh makin besar. Iswari, apakah
kau menyadari bahaya yang dapat menerkam anakmu
setiap saat?" Iswari menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari arah
pembicaraan Nyai Soka. Dan ia pun menyadari
kemungkinan itu atas anaknya, karena anaknya adalah anak
Wiradana. 81 SH. Mintardja Karena Iswari masih saja merenung, maka Nyai Soka itu
lalu bertanya, "Iswari, apakah kau mengerti maksudku?"
Iswari mengangguk kecil, sementara itu Nyai Soka
berkata, "Karena anakmu itu mempunyai kemungkinan
untuk memegang pimpinan di Tanah Perdikan Sembojan
menurut hak atas dasar keturunan, maka tentu ada orang
yang tidak atas dasar keturunan, maka tentu ada orang yang
tidak senang menerimanya, sebagaimana orang itu tidak
senang menerima kehadiranmu di Tanah Perdikan ini."
"Ya nek," suara Iswari terdengar lirih.
"Nah, jika kau menyadari, maka ikutilah nenek yang tua
selagi nenek masih berkesempatan," berkata Nyai Soka.
Iswari tidak membantah. Ia sadar, bahwa sejak saat itu,
ia akan memasuki satu dunia yang selamanya belum pernah
disentuhnya. Di hari berikutnya, neneknya telah mengajak Iswari
berjalan-jalan. Mereka memutari padepokan kecil itu
beberapa kali. Demikian yang mereka lakukan dari hari ke
hari. Semakin lama semakin bertambah jumlah putaran
yang mereka tempuh. "Karena kau sedang menyusui Iswari, maka kita akan
mulai dengan perlahan-lahan saja. Kita tidak tergesa-gesa.
Kita memerlukan waktu bukan hanya satu dua bulan. Bukan
hanya satu dua tahun. Tetapi mungkin sampai bertahun-
tahun, sementara itu anakmu tumbuh semakin besar.
Waktu kita memang terbatas Iswari. Sampai saatnya nenek
dan kakek Soka ini dipanggil menghadap Yang Maha
Agung." Iswari hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ternyata ia
adalah seorang yang patuh. Sejak ia dianggap oleh adik
kakeknya itu sebagai muridnya, maka apapun yang harus
82 SH. Mintardja dilakukan, telah dilakukannya meskipun terasa berat.
Karena Iswari yakin, bahwa neneknya itu tahu pasti, ukuran
yang dipergunakan untuk menakar kemampuan Iswari.
Sebenarnyalah yang dilakukan Iswari itu sama sekali
tidak mengganggunya dalam saat-saat ia sedang menyusui,
karena Nyai Soka telah memperhitungkan segala
sesuatunya sebaik-baiknya.
Di hari-hari berikutnya Nyai Soka mulai dengan latihan-
latihan di sanggar dengan gerakan-gerakan yang sangat
sederhana. Nyai Soka mengerti, bahwa Iswari sama sekali
belum pernah mengenal ilmu kanuragan. Tetapi karena di
dalam tubuhnya mengalir darah keturunan Kiai Badra,
maka Nyai Soka yakin, bahwa perempuan itu akan dapat
dibentuknya menjadi seorang perempuan yang memiliki
kelebihan dari orang lain.
Pada hari pertama, maka gerak-gerak yang sederhana itu
sudah terasa sangat sulit bagi Iswari. Tetapi demikian ia
mulai dengan gerak yang pertama dari latihan-latihan yang
diikutinya untuk selanjutnya, terasa oleh Iswari seakan-
akan ia memang dituntut untuk mempelajarinya dengan
sungguh-sungguh. Karena itu, maka Iswari pun kemudian mengikuti segala
latihan dengan sungguh-sungguh tanpa mengabaikan
kewajibannya terhadap anak laki-lakinya yang tumbuh
dengan suburnya. Sementara itu, betapapun kuatnya kemauan Ki Gede di
Sembojan untuk berusaha menemukan Iswari hidup atau
mati, namun akhirnya ia mulai dibayangi oleh satu
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kenyataan, bahwa Iswari tidak akan dapat diketemukan.
Kemarahannya yang tertuju kepada keluarga Kalamerta
harus dikekangnya, karena para pengawal yang terlatih itu
83 SH. Mintardja sama sekali tidak menemukan sekelompok orang yang
dapat dicurigai sebagai sisa-sisa gerombolan Kalamerta itu.
Saat-saat yang demikian itulah sebenarnya yang ditunggu
oleh Wiradana. Tetapi ia memang tidak mau salah langkah.
Ia tidak tergesa-gesa mengatakan kepada ayahnya bahwa ia
ingin beristri lagi. Tetapi untuk beberapa saat lamanya
Wiradana masih menunggu. Namun tiba-tiba hati Wiradana telah terguncang ketika
pada suatu hari, Gandar telah datang ke Tanah Perdikan
Sembojan. Gandar yang untuk beberapa lama selalu ragu-
ragu dan kebingungan untuk menemukan suatu jalan
menuju ke sebuah pertemuan dengan Ki Gede, akhirnya
menemukannya. Ia tidak ingin datang dengan diam-diam mengintip dan
mengikuti segala gerak-gerik Wiradana. Tetapi ia ingin
dengan terbuka langsung menuju ke rumah Ki Gede di
Sembojan. Kedatangannya memang cukup mengejutkan. Tetapi
karena di wajahnya tidak terbayang kesan-kesan yang
mendebarkan, bahkan nampaknya Gandar datang sambil
tersenyum-senyum, maka Wiradana menjadi agak tenang
menghadapinya. Gandar telah diterima oleh Ki Gede dan Wiradana di
pendapa. Ki Gede yang selalu merasa bersalah, berusaha
untuk berbuat sebaik-baiknya atas temuannya itu,
meskipun menurut anggapannya, Gandar tidak lebih dari
seorang pembantu Kiai Badra yang agak kurang tinggi
kemampuan daya nalarnya. Setelah hidangan disuguhkan, maka mulailah Gandar
mengatakan kepentingannya datang ke rumah Ki Gede.
Katanya, "Ki Gede, sebenarnyalah bahwa aku telah
84 SH. Mintardja diperintahkan oleh Kiai Badra untuk menyampaikan satu
pertanyaan tentang cucunya. Apakah telah didapat kabar
atau keterangan tentang Iswari. Apakah ia masih hidup atau
sudah mati. Jika masih hidup dimanakah orangnya, tetapi
jika mati dimanakah kuburnya?"
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
ditatapnya wajah Wiradana sambil berkata, "Jawablah,
karena Iswari adalah istrimu."
Wiradana tidak dapat ingkar. Maka ia pun berusaha
untuk memberikan jawaban. "Gandar, kami sudah berusaha
sejauh-jauh dapat kami lakukan. Ayah sudah membentuk
sepasukan pengawal khusus dan aku sendiri telah
menjelajahi bukan saja Tanah Perdikan ini, tetapi
padukuhan-padukuhan di sekitarnya. Namun kami belum
menemukan petunjuk apapun. Bagi kami, Iswari seakan-
akan hilang begitu saja tanpa jejak."
Namun tanpa diduga Gandar menjawab, "Itu tidak
mungkin Ki Wiradana. Tidak ada orang yang dapat lenyap
begitu saja. Tentu ada sebabnya. Juga Iswari."
Wiradana menjadi berdebar-debar. Ia menyangka bahwa
Gandar dapat bersikap demikian. Namun kemudian
jawabnya, "Maksudmu Gandar, Iswari telah hilang dan
sampai sekarang tidak dapat diketemukan."
"Ki Wiradana," berkata Gandar kemudian, "Bagi Kiai
Badra, Iswari adalah orang yang sangat penting.
Kelangsungan hidup keturunan Kiai Badra tergantung
kepada Iswari. Jika Iswari itu benar-benar hilang dan tidak
diketemukan, berarti kelangsungan keturunan Kiai Badra
terputus. Dan nama darah keturunan Kiai Badra pun akan
terhapus dari muka bumi."
85 SH. Mintardja Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
mengerti Gandar. Dan sebenarnyalah kami belum berhenti
berusaha. Duapuluh lima orang pengawal yang aku latih
secara khusus telah berusaha untuk mencari. Tetapi sampai
sekarang masih belum berhasil seperti yang dikatakan oleh
Wiradana itu." Karena yang menjawab Ki Gede maka Gandar pun hanya
dapat menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia
bertanya, "Ki Gede. Karena itu, apakah aku diperkenankan
untuk berada di Tanah Perdikan ini barang dua tiga hari.
Siapa tahu, justru pada saat aku berada disini, maka Iswari
dapat diketemukan." "O, silahkan. Silahkan Gandar. Kau dapat berada di
Tanah Perdikan ini berapa hari saja kau kehendaki. Selama
kau berada di Tanah Perdikan ini, maka kau dapat tinggal di
rumah ini," jawab Ki Gede.
"Terima kasih Ki Gede," berkata Gandar kemudian.
"Mudah-mudahan anak-anak muda Sembojan itu dapat
menemukan jejaknya. Apapun yang terjadi atas Nyai
Wiradana, namun jika kami sudah mendapat kejelasan,
maka rasa-rasanya kami akan dapat menjadi tenang."
"Ya, ya Gandar," jawab Ki Gede. "Perasaan yang
demikian itu dapat mengerti. Karena itu, maka kami akan
berusaha sebaik-baiknya."
Demikianlah, maka Gandar pun telah tinggal untuk
beberapa lamanya di Tanah Perdikan Sembojan. Sementara
itu, anak-anak muda yang duapuluh lima orang yang
mendapat tempaan khusus dari Ki Gede itu telah mendapat
perintah ulangan, mencari Nyai Wiradana karena Gandar
ada di Tanah Percikan itu.
86 SH. Mintardja "Kalian jangan mencari Nyai Wiradana sebagai mencari
orang secara wantah," pesan Ki Gede. "Kalian harus
mencarinya dengan mencari jejak, mengurai pengamatan
dan kemudian mengambil kesimpulan.
Anak-anak muda itu mengerti. Dan mereka pun
kemudian telah berpencar mencari jejak. Mereka bertanya
kepada siapa saja yang mungkin akan dapat memberikan
petunjuk atau siapakah yang telah melihat Iswari untuk
yang terakhir kalinya. Tidak ada orang yang dapat memberikan keterangan.
Sehingga dengan demikian maka jalur penyelidikan pun
telah terputus. Dalam pada itu, Wiradana sendiri juga kelihatan
bertambah sibuk. Namun dengan demikian ia semakin
sering tidak berada di rumah. Dengan alasan mencari jejak
Iswari yang telah hilang itu, maka ia pun lebih sering berada
di rumah Warsi. "Kehadiran orang itu sangat memuakkan," berkata
Wiradana kepada istrinya yang cantik itu.
"Tetapi ia tamu kakang. Bagaimanapun juga tamu itu
harus dihormati," berkata istrinya itu.
"Aku akan menghormati tamu yang memang pantas
dihormati. Tetapi tamu yang seorang ini tidak," jawab
Wiradana. Istrinya tidak menjawab lagi. Sebenarnyalah bahwa
Warsi sendiri juga merasa muak mendengar nama Gandar
itu disebut-sebut. Namun, kehadiran Gandar memang bukan sekadar untuk
mencari atau dengan kehadirannya, maka Tanah Perdikan
Sembojan telah dibuatnya bagaikan diguncang lagi. Tetapi
87 SH. Mintardja memang ingin berbicara dengan Ki Gede tanpa diketahui
oleh siapapun juga, termasuk Wiradana. Adalah kebetulan
sekali bahwa Ki Wiradana terlalu sering meninggalkan
rumahnya, sehingga kesempatan itu sebenarnya cukup luas.
Tetapi agaknya Ki Gede sendiri, yang merasa bersalah
atas hilangnya Iswari, lebih banyak mengarahkan
perhatiannya kepada anak-anak muda yang sedang mencari
jejak itu. Bahkan sekali dua kali, Ki Gede pernah ke luar
pula dari halaman rumahnya untuk bersama-sama dengan
anak-anak muda itu melihat-lihat di seputar Tanah
Perdikan. Meskipun kaki dan tangannya mengalami
kelemahan, namun Ki Gede masih dapat duduk di atas
punggung kuda. Dengan pertolongan seseorang Ki Gede
naik dan duduk di atas punggung kuda, kemudian dengan
tangannya yang lemah, Ki Gede masih mampu
menggerakkan kendali. ----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 6. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
88 SH. Mintardja Jilid Keenam Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 89 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja NAMUN Ki Gede sendiri itu pun tidak pernah
menemukan jejak apapun. Sementara itu, Gandar telah berusaha untuk mendapat
kesempatan berbicara langsung tanpa ada orang lain. Tetapi
ternyata kesempatan yang dirasanya cukup luas itu sulit
dicarinya. Setiap mereka duduk di pendapa, ada saja orang
lain yang ikut duduk bersamanya. Jika bukan Wiradana,
sekali-kali juga para bebahu Tanah Perdikan itu, atau
bahkan Ki Gedelah yang kemudian minta diri untuk
melakukan sesuatu. Tetapi Gandar telah bertekad untuk menunggu
kesempatan itu yang ia yakin pada satu saat pasti
didapatkannya. Tetapi sudah barang tentu Gandar tidak
akan dapat menyusul Ki Gede yang sedang duduk merenung
di dalam biliknya atau sedang berbincang dengan anak-
anak muda yang telah ditempanya secara khusus.
Namun Gandar cukup sabar. Meskipun ia sudah sepekan
berada di Tanah Perdikan Sembojan, tetapi karena ia masih
belum sempat berbicara langsung dengan Ki Gede tanpa
orang lain, maka ia masih juga belum berniat untuk
meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan.
Bahkan rasa-rasanya Gandar ingin mencoba berbicara
dengan Ki Gede justru di perjalanan pada saat-saat Ki Gede
berkeliling Tanah Perdikan untuk mencari jejak. Meskipun
Gandar tahu, bahwa yang dicari Ki Gede bukan sekadar
Nyai Wiradana yang hilang, tetapi juga mencari
kemungkinan adanya orang-orang yang mengganggu Tanah
Perdikan karena dendam mereka atas terbunuhnya
Kalamerta. 2 SH. Mintardja Sebenarnya Ki Gede sendiri telah dibakar oleh perasaan
dendam terhadap para pengikut Kalamerta, karena menurut
pendapatnya Iswari adalah karena pokal para pengikut
Kalamerta itu. Karena itulah, maka Ki Gede berusaha untuk
menemukan seorang saja di antara para pengikut Kalamerta
itu, untuk diperas keterangannya tentang hilangnya
menantunya. Ketika Gandar melihat pada satu pagi, Ki Gede bersiap-
siap untuk mengelilingi Tanah Perdikan bersama lima
orang pengawal berkuda, maka Ganar pun telah
memberanikan diri untuk minta ijin, ikut bersama dengan
sekelompok kecil orang-orang Tanah Perdikan Sembojan
itu. "Kebetulan sekali," jawab Ki Gede. "Senang sekali pergi
bersamamu Gandar. Kau akan melihat sendiri keadaan
Tanah Perdikan ini. Mungkin kau melihat sesuatu yang
dapat menarik perhatianmu dan kemudian dapat
dipergunakan untuk menelusuri jejak hilangnya Iswari."
Namun ketika Ki Gede memerintahkan seseorang
mempersiapkan seekor kuda, maka orang itu telah
bergeremeng dengan kawannya, "Seperti mencari sepucuk
jarum di lautan. Bukankah hilangnya Nyai Wiradana sudah
terjadi untuk waktu yang cukup lama" Apapun yang kita
lakukan sekarang, aku kira tidak akan memberikan hasil
apapun juga." "Kau bodoh," sahut kawannya. "Ki Gede bukan saja
mencari jejak hilangnya Nyai Wiradana. Tetapi Ki Gede itu
percaya bahwa di Tanah Perdikan ini masih ada orang-
orang yang ingin mengacaukan ketenangan dan
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketentraman yang sumbernya adalah para pengikut
Kalamerta." 3 SH. Mintardja Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba
saja mereka berpaling ketika mereka melihat Wiradana
melintas di sebelah kandang. Namun Wiradana itu tiba-tiba
saja berhenti dan bertanya, "Ada apa" Dimanakah beberapa
ekor kuda yang lain?"
Orang itu pun kemudian memberitahukan kepada
Wiradana, bahwa Ki Gede akan meronda bersama beberapa
orang anak muda. Akan ikut bersama Ki Gede, Gandar,
tamu dari padepokan kecil, saudara Nyai Wiradana.
"Jadi Gandar akan ikut?" bertanya Wiradana.
"Ya," jawab orang yang sedang menyiapkan kuda itu.
Wiradana berpikir sejanak. Apa kira-kira yang akan
dilakukan oleh orang itu. Mungkin satu usaha untuk
mempengaruhi Ki Gede, agar ia mencurigai Wiradana yang
jarang-jarang di rumah. Karena kesalahan yang dilakukannya, maka Wiradana
selalu mencurigai orang-orang yang berhubungan dengan
kesalahan yang dilakukannya.
Tiba-tiba saja Wiradana itu berkata, "Aku akan ikut.
Siapkan kuda untukku."
Orang yang sedang menyiapkan kuda itu termangu-
mangu. Namun ia pun ternyata tidak sempat bertanya,
karena Wiradana telah meloncat masuk ke dalam rumahnya
lewat pintu butulan. Orang itu hanya dapat menarik nafas. Sementara
kawannya berkata, "Kau tidak perlu mempersoalkannya.
Siapkan saja kudanya."
"Aku sudah mengerti," jawabnya setengah membentak.
4 SH. Mintardja Kawannya hanya tersenyum saja. Namun, ia pun
kemudian membantu pula mempersiapkan kuda-kuda yang
diperlukan. Wiradana yang langsung masuk ke dalam biliknya telah
berbenah diri. Sebenarnya ia tidak ingin ikut bersama
ayahnya meskipun ia tahu, bahwa ayahnya hari ini akan
pergi. Bahkan ia telah minta diri kepada istrinya untuk
pulang lebih pagi, karena Ki Gede akan pergi.
"Mungkin ayah akan memberikan beberapa pesan
kepadaku," berkata Wiradana.
Istrinya tidak pernah menahannya. Apapun yang
dilakukan oleh Wiradana seakan-akan selalu baik baginya,
meskipun sekali-kali ia mengusulkan agar Wiradana
bersikap lebih baik kepada ayahnya dan pada saat terakhir
kepada tamunya yang bernama Gandar. Karena dengan
demikian Warsi yakin, bahwa akibatnya akan terjadi justru
sebaliknya. Ketika semuanya sudah siap, maka Ki Gede mengerutkan
keningnya ketika ia melihat Wiradana ada di antara mereka.
"Kapan kau datang?" bertanya ayahnya.
"Baru saja ayah," jawab Wiradana. "Aku akan ikut
bersama ayah." "Apakah kau tidak letih?" bertanya ayahnya.
"Tidak ayah," jawab Wiradana. "Justru ada sesuatu yang
ingin aku sampaikan kepada ayah. Aku minta ayah
menelusuri pinggir hutan yang berbatasan dengan bukit
padas di sebelah bulak Pasungan."
"Ada apa?" bertanya ayahnya.
5 SH. Mintardja "Mungkin aku hanya terpengaruh oleh perasaanku. Rasa-
rasanya ada sesuatu yang pantas diamati. Mudah-mudahan
dugaanku tidak benar," jawab Wiradana.
"Ya, apa yang kau lihat," desak ayahnya.
"Aku melihat beberapa orang di pinggir hutan dicelah-
celah bukit-bukit padas. Wajah Ki Gede meremang. Dengan nada tinggi ia
bertanya, "Kau pasti bahwa mereka bukan orang-orang
Sembojan?" "Mereka bukan orang-orang Sembojan. Sebenarnya aku
ingin mengetahui lebih banyak tentang mereka, tetapi aku
cemas bahwa mereka akan dengan tergesa-gesa pergi.
Mudah-mudahan mereka masih ada disana," jawab
Wiradana. Ki Gede mengangguk-angguk. Dendamnya kepada orang-
orang yang menjadi pengikut Kalamerta semakin
memuncak sejak hilangnya Iswari dari Tanah Perdikan
Sembojan. Demikianlah, maka sekelompok kecil orang-orang itu
pun segera mempersiapkan diri. Dibantu oleh seorang
pengawal, Ki Gede pun segera naik ke atas punggung
kudanya. Kemudian yang lain pun telah berloncatan pula
naik, termasuk Wiradana dan kemudian Gandar.
"Marilah saudara-saudaraku," berkata Ki Gede. "Seperti
yang pernah kita lakukan, kita mencari jejak hilangnya
menantu dan sekaligus mencari para pengikut Kalamerta
yang masih berkeliaran di Tanah Perdikan ini."
Para pengiringnya pun telah siap untuk berangkat.
Dengan tangannya yang lemah Ki Gede pun kemudian
6 SH. Mintardja menggerakkan kendali kudanya untuk mendorong kudanya
melangkah meninggalkan halaman itu.
Tetapi ternyata telah terjadi sesuatu yang sangat
mengejutkan. Justru karena perhatian semua orang,
terutama Gandar, tertuju kepada Ki Gede, maka ia tidak
sempat memperhatikan sesuatu di luar halaman rumah Ki
Gede. Gandar yang cemas akan keadaan Ki Gede tangan dan
kakinya mengalami kelemahan sementara ia duduk di
punggung kuda, serta karena ia sama sekali tidak menduga,
bahwa akan terjadi sesuatu dengan Ki Gede di halaman itu
justru sebelum Ki Gede mulai menggerakkan kudanya,
maka Gandar tidak mendengar kehadiran seseorang.
Namun yang terjadi benar-benar menggemparkan. Selagi kuda Ki Gede siap untuk bergerak, maka tiba-tiba saja
terdengar Ki Gede mengeluh
tertahan. Tangannya yang lemah itu pun berusaha untuk meraba punggungnya sambil berdesis, "Setan. Aku
telah dikenai senjata rahasia
sekarang ini." "Apa ayah?" Wiradana
menjadi heran sementara orang-orang lain menjadi bingung. Ki Gede berusaha menahan keseimbangannya. Namun
pada wajahnya nampak gejolak kemarahan dan kecemasan
hatinya. 7 SH. Mintardja Gandarlah yang kemudian meloncat turun. Kemudian
dengan hati-hati ia berusaha membantu Ki Gede turun
sambil berkata, "Marilah Ki Gede, kita akan melihat, apa
yang telah terjadi."
"Punggungku," desis Ki Gede. "Aku merasa sesuatu
mengenaiku. Tentu senjata rahasia, semacam sumpit
beracun." Demikian Ki Gede turun dari kudanya, Gandar tidak
sempat membawanya naik ke pendapa. Dibiarkannya Ki
Gede duduk di tanah, sementara ia mencoba untuk melihat
punggung Ki Gede dengan melepas baju luriknya.
Jantung Gandar tergetar. Sebagai seorang pembantu Kiai
Badra yang memahami tentang obat-obatan, maka Gandar
pun mempunyai pengetahuan tidak sedikit tentang
pengobatan itu pula. Karena itu, demikian ia melihat punggung Ki Gede
Sembojan, maka ia pun telah menjadi gelisah.
Gandar melihat sebuah mata sumpit yang melekat pada
kulit Ki Gede agak membenam ke dalam dagingnya. Gandar
pun melihat di sekitar luka itu terdapat noda yang kebiru-
biruan. "Paser beracun," desisnya.
"Apa?" mata Wiradana terbelalak.
"Punggung Ki Gede telah dikenai semacam paser kecil
yang mungkin dilontarkan dengan sumpit," sahut Gandar.
"Gila," wajah Wiradana menjadi tegang. "Siapa yang
melakukannya?" Gandar tiba-tiba lupa akan dirinya, seorang pembantu
Kiai Badra yang agak kedungu-dunguan. Tiba-tiba saja ia
8 SH. Mintardja pun berteriak lantang. "Cepat. Kepung padukuhan induk
ini. Tentu seorang yang berilmu tinggi telah melakukan
pengkhianatan yang licik ini."
Wiradana pun bagaikan kehilangan nalar. Ia tidak
sempat berpikir. Seakan-akan diluar sadarnya, maka ia pun
telah berlari ke arah kudanya. Sekali loncat ia sudah berada
di punggung kuda sambil memberikan aba-aba, "Cepat.
Pergi ke semua pintu gerbang. Seorang di antara kalian
membunyikan isyarat kentongan. Kita akan menutup semua
pintu dan mengepung padukuhan induk ini."
Sesaat kemudian, maka kuda Wiradana pun telah
berderap meninggalkan halaman, disusul oleh anak-anak
muda yang lain. Mereka melarikan kuda mereka ke arah
yang berbeda, karena mereka akan menutup semua pintu
gerbang. Sementara itu, seorang yang lain, yang kebetulan
berada di halaman itu, telah berlari ke gardu di sebelah
regol halaman dan memukul kentongan dengan nada titir.
Gandar sendiri termangu-mangu sejenak. Tetapi ketika
ia berniat ikut mencari orang yang menyerang dengan licik
itu, ia melihat Ki Gede menjadi pucat dan kejang-kejang.
Gandar tidak dapat meninggalkannya. Ia tidak sampai
hati melihat keadaan Ki Gede yang menjadi sangat gawat.
Karena itu, maka ia pun kemudian telah berjongkok
disamping Ki Gede sambil berdesis, "Marilah Ki Gede.
Biarlah aku mencoba mengobati."
Ki Gede tidak menjawab. Keadaannya telah menjadi
sangat parah. Ketahanan tubuh Ki Gede ternyata tidak lagi
seperti sebelum ia mengalami kelemahan pada tangan dan
kakinya. 9 SH. Mintardja Gandar tidak bertanya lagi. Ia segera memapah Ki Gede
dan membawanya naik ke pendapa. Membaringkannya
miring agar ia dapat mengobati luka-lukanya.
Kepada seorang yang kebingungan di halaman, Gandar
berteriak, "Cepat, ambilkan air."
Berlari-lari orang itu mengambil air. Dengan air itu,
Gandar telah mencairkan serbuk obat yang dibawanya. Obat
yang dapat melawan racun.
Dengan obat itu Gandar mengusap luka di punggung Ki
Gede yang tidak berdarah, sementara jarum paser yang
dilontarkan dengan sumpit itu pun masih berada di dalam
luka itu. Ki Gede Sembojan menggeliat. Ternyata ia masih
dipengaruhi oleh perasaan pedih karena obat Gandar. Obat
yang seakan-akan menghisap racun, bukan saja pada jarum
paser kecil itu, tetapi juga yang sudah mengalir di dalam
darah Ki Gede. Sementara itu, Gandar pun telah mencairkan obat yang
lain pada mangkuk yang lain pula. Perlahan-lahan ia
menitikkan obat itu di bibir Ki Gede yang kemudian
kepalanya berada di pangkuan Gandar.
Ternyata Ki Gede masih berpengharapan. Titik-titik air
yang mengandung obat itu masih dapat melintasi
kerongkongan Ki Gede. Namun ternyata bahwa Ki Gede sudah terlalu lemah.
Racun yang bekerja pada tubuh Ki Gede adalah racun yang
sangat kuat, sementara daya tahan Ki Gede sendiri agaknya
sudah tidak terlalu kuat.
Karena itu, usaha Gandar pun tidak akan banyak
berpengaruh atas keadaan Ki Gede.
10 SH. Mintardja Tetapi agaknya Ki Gede masih sempat membuka
matanya. Ketika dengan agak kabur dilihatnya Gandar, Ki
Gede itu pun tersenyum. "Dimana Wiradana," desisnya.
"Sekelompok anak muda telah memencar dan menutup
semua jalan keluar padukuhan induk ini Ki Gede.
Sementara itu, isyarat kentongan telah dibunyikan,
sehingga tidak memungkinkan seorang pun dapat keluar
dari padukuhan induk ini."
Ki Gede masih tersenyum sambil mengangguk-angguk.
Katanya, "Syukurlah bahwa mereka mampu berpikir cepat."
Namun tiba-tiba senyum dibibir Ki Gede itu larut, "Tentu
orang Kalamerta. Sayang aku belum sempat menjumpainya.
Tetapi Wiradana harus tetap mencari mereka dan mencari
jejak hilangnya Iswari."
Terasa jantung Gandar menjadi berdegupan. Namun
katanya, "Sebaiknya Ki Gede menenangkan pikiran. Aku
berusaha untuk mengobati Ki Gede."
Tetapi Ki Gede justru menggeleng. Katanya, "Tidak ada
gunanya Gandar. Keadaanku sudah sangat lemah. Aku
merasa, obat yang kau oleskan pada lukaku untuk sesaat
mampu menghentikan arus racun di dalam darahku. Tetapi
ternyata darahku sudah terlalu dalam di kotori oleh racun
yang sangat kuat itu, sehingga obat yang kau berikan hanya
sekadar menahan saja. Tetapi tidak akan mampu
menyembuhkannya." "Aku akan berusaha Ki Gede," berkata Gandar.
"Tidak akan ada gunanya," desis Ki Gede hampir
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbisik. 11 SH. Mintardja Gandar tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun merasakan
keadaan sebagaimana dikatakan oleh Ki Gede.
Namun dalam pada itu, pada saat-saat yang gawat bagi
hidup Ki Gede, timbullah niat Gandar untuk mengatakan
sesuatu kepada Ki Gede yang menyangkut menantunya
yang sangat dikasihi itu. Karena itu, untuk beberapa saat ia
termangu-mangu. Namun akhirnya ia memaksa juga
bibirnya berkata setelah ia yakin tidak ada orang yang akan
dapat mendengarnya. "Ki Gede. Cobalah Ki Gede
mengerahkan segala daya tahan Ki Gede untuk tetap hidup.
Bagaimanapun buruknya obat-obatku, tetapi aku akan
mampu membantu Ki Gede jika Ki Gede sendiri
menghendaki untuk tetap bertahan."
"Apapun yang akan kau lakukan Gandar, tetapi jika
seorang telah terantuk batas, maka ia tidak akan dapat
berbuat banyak," jawab Ki Gede sendat.
"Tetapi Ki Gede," berkata Gandar. "Ada sesuatu yang
akan dapat dijadikan satu pancadan bagi Ki Gede untuk
bergairah tetap hidup," berkata Gandar.
Ki Gede memandang Gandar dengan pandangan yang
kabur. Namun ia pun bertanya, "Apa maksudmu Gandar?"
"Ki Gede," berkata Gandar kemudian. "Sebenarnya
bahwa Iswari masih hidup."
"He," Tiba-tiba terasa Ki Gede akan bangkit. Tetapi
tubuhnya sudah terlalu letih, sehingga kepalanya yang
sedikit terangkat itupun telah terkulai jatuh kembali di
pangkuan Gandar. "Ya Ki Gede, sebenarnyalah demikian," berkata Gandar
kemudian. "Tetapi dimana anak itu sekarang?" bertanya Ki Gede.
12 SH. Mintardja "Ia sudah berada di rumah kakeknya?" jawab Gandar.
"Bagaimana hal itu mungkin terjadi?" bertanya Ki Gede
pula. "Ki Gede," berkata Gandar. "Sebenarnyalah bahwa Iswari
akan dibunuh. Seorang telah menyelamatkannya dan
membawa Iswari kembali ke kakeknya. Untuk sementara
Iswari disembunyikan agar orang yang ingin membunuhnya
tidak mengetahui bahwa Iswari sebenarnya masih belum
mati. Sementara itu aku datang kemari untuk
memberitahukan hal ini kepada Ki Gede, tetapi untuk
memberikan kesan agar Iswari memang sudah mati, maka
aku pun berpura-pura mencari perempuan itu."
"O," Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. "Apakah kau
tahu, siapakah yang akan membunuhnya?" bertanya Ki
Gede. Gandar menjadi ragu-ragu. Dalam keadaan yang
demikian, Gandar tidak sampai hati mengatakan bahwa
Wiradana sendirilah sumber dari usaha pembunuhan itu.
Jika benar obatnya tidak dapat menyembuhkannya, maka
persoalan itu agar tidak menjadi beban pada saat-saat
terakhir. Karena itu, maka Gandar pun menjawab, "Ki Gede.
Agaknya dugaan Ki Gede benar. Sisa gerombolan
Kalamerta." "Nah apa kataku," desis Ki Gede lemah. "Syukurlah jika
ia masih hidup. Biarlah kakeknya melindunginya untuk
selamanya. Tetapi apakah Wiradana sudah tahu akan hal
ini?" Gandar menjadi ragu-ragu. Tetapi katanya kemudian,
"Sudah Ki Gede."
13 SH. Mintardja "O," Ki Gede mengerutkan keningnya. Seakan-akan ia
ingin melihat lebih jelas lagi wajah Gandar yang menjadi
kabur. Dengan suara parau Ki Gede kemudian berkata,
"Tetapi Wiradana sama sekali tidak memberikan kesan,
bahwa ia sudah mengetahui," Ki Gede menyeringai
menahan sakitnya yang seakan-akan menghimpit seluruh
tubuhnya. Namun kemudian dengan ketabahan seorang
laki-laki yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan,
maka Ki Gede pun tersenyum, "Itulah agaknya yang
membuatnya tidak terlalu bersedih atas hilangnya istrinya.
Bahkan seakan-akan ia tidak menghiraukannya lagi setelah
lewat beberapa pekan. Agaknya ia memang sama sekali
tidak merasa kehilangan."
Gandarlah yang terkejut mendengar jawaban itu. Bahkan
rasa-rasanya jantungnyalah yang berdeguban semakin
cepat. Di dalam hati ia memaki Wiradana tidak habis-
habisnya. Namun dihadapan Ki Gede yang dalam keadaan
yang parah itu, Gandar masih berusaha untuk tetap
mengekang diri. "Gandar," berkata Ki Gede. "Agaknya aku benar-benar
tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Umurku sudah
sampai pada batasnya. Sampaikan kepada Kiai Badra bahwa
aku mohon maaf atas peristiwa yang terjadi atas cucunya.
Meskipun Iswari masih tetap selamat, namun percobaan
pembunuhan atas dirinya sudah merupakan satu peristiwa
yang dapat mengguncang hati orang tua itu. Juga
sampaikan ucapan terima kasihku yang tidak terhingga,
seakan-akan Kiai Badra sudah dapat menyambung hidupku
untuk beberapa lama, sehingga tugasku benar-benar telah
selesai. Aku sudah mengawinkan anak laki-laki satu-
satunya yang aku miliki."
14 SH. Mintardja "Ya Ki Gede," desis Gandar. "Tetapi Ki Gede harus
berusaha untuk bertahan dan memohon kepada Sumber
Hidup. Bukankah Ki Gede masih ingin bertemu dengan
cucu Ki Gede?" "Cucu?" bertanya Ki Gede dengan suara yang semakin
lemah. "Ya. Cucu Ki Gede. Cucu Ki Gede itu sudah lahir. Seorang
anak laki-laki yang sehat, tampan dan nampaknya memiliki
kecerdasan dan bekal yang diwarisinya dari kakeknya,"
sahut Gandar. Ki Gede yang sudah menjadi gemetar itu sempat
tersenyum. Meskipun wajahnya bagaikan sudah hampir
membeku, namun ia masih berusaha untuk berkata, "Aku
mengucap sukur kepada Tuhan, bahwa Iswari sudah
melahirkan anaknya. Laki-laki atau perempuan bagiku
sama saja. Kurnia Yang Maha Agung itu harus mendapat
tempat sewajarnya di dunia yang ternyata merupakan arena
pergolakan yang sangat keras ini," Ki Gede terdiam sejenak,
lalu, "Gandar. Apakah Wiradana belum datang?"
"Belum Ki Gede," jawab Gandar.
"Baiklah. Aku titipkan kepadamu. Pertanda penguasa di
Tanah Perdikan ini," desis Ki Gede. Suaranya menjadi parau
dan hampir tak kedengaran lagi.
Dalam pada itu Ki Gede rasa-rasanya ingin
menggerakkan tangannya. Tetapi ia sudah menjadi sangat
lemah. Gandar menjadi berdebar-debar. Ia menyesal, bahwa ia
agak terlambat bertindak. Apalagi tubuh Ki Gede yang cacat
itu tidak memiliki daya tahan yang cukup untuk melawan
racun yang sangat tajam. Sehingga dengan demikian,
agaknya obat yang diberikan oleh Gandar itu hanya mampu
15 SH. Mintardja menunda saat-saat kematian. Tetapi tidak akan dapat
menyelamatkannya. "Seandainya Kiai Badra ada disini," berkata Gandar di
dalam hatinya. Namun dalam pada itu, karena Ki Gede tidak mampu
menggerakkan tangannya, maka ia pun berkata dengan
suara yang lemah bergetar, "Gandar. Tolong ambilkan
sebuah bandul beserta rantainya di kantong ikat
pinggangku." "Bandul, Ki Gede," ulang
Gandar. "Ya," desis Ki Gede.
Suaranya menjadi semakin lirih. Gandar tidak menjawab lagi. Perlahan-lahan ia mulai
meraba kantong ikat pinggang Ki Gede sementara
Ki Gede masih tetap berbaring beralaskan pangkuan Gandar. Ternyata bahwa di kantong ikat pinggang Ki Gede memang terdapat sebuah bandul yang tergantung
pada seutas rantai. Semuanya terbuat dari emas yang
kuning gemerlap. Bandul yang bulat sebesar biji jengkol itu
bertatahkan lukisan kepala seekor burung elang.
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Benda itu tentu
mahal sekali harganya. 16 SH. Mintardja Dalam pada itu, Ki Gede pun kemudian berkata,
"Gandar. Tolong berikan benda itu kepada Wiradana. Ia
akan berhak memiliki benda itu sebagai pertanda bahwa ia
akan memimpin Tanah Perdikan ini."
Jantung Gandar terasa berdenyut semakin cepat. Namun
ia menjawab, "Baiklah Ki Gede. Aku akan memberikan
nanti jika ia kembali."
Ki Gede tersenyum. Katanya, "Tugasku memang sudah
selesai, Gandar. Pesanku kepada Wiradana. Hati-hatilah ia
dengan istrinya. Ia harus ikut bertanggungjawab atas
keselamatannya meskipun untuk sementara istrinya berada
di padepokannya. Tetapi pada suatu saat, cucuku itulah
yang akan memiliki bandul itu sesudah Wiradana. Karena
cucuku itulah yang kelak akan berhak menggantikan
Wiradana menjadi Kepala Tanah Perdikan ini."
"Ya Ki Gede," jawab Gandar dengan suara datar.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
ia berdesis, "Agaknya aku tidak sempat menunggu orang-
orang Tanah Perdikan ini. He, siapa yang berada di
halaman?" Gandar berpaling ke halaman. Ia melihat empat orang
berdiri tegang dibawah tangga pendapa. Namun Gandar
yang cerdik itu telah membelakangi mereka sehingga orang-
orang itu tidak melihat dan tidak mendengar apa yang telah
dibicarakan antara Gandar dan Ki Gede.
Sementara itu, suara titir yang mengumandang bukan
saja di padukuhan induk, telah memanggil anak-anak
muda. Selain mereka yang mengepung padukuhan induk
itu, beberapa di antara mereka telah terkumpul di depan
regol rumah Kepala Tanah Perdikannya. Tetapi mereka
tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi di pendapa.
17 SH. Mintardja Mereka hanya melihat seseorang berusaha untuk mengobati
Ki Gede, sedangkan empat orang yang terdahulu tegang
dibawah tangga pendapa. Nampaknya mereka telah berbicara di antara mereka.
Menebak apa yang kira-kira terjadi dan menurut selera
mereka sendiri-sendiri memberikan arti dari peristiwa itu.
Sementara itu, keadaan Ki Gede menjadi parah. Gandar
tidak mampu berbuat apa-apa. Obat yang dibawanya tidak
dapat menahan arus racun di dalam darah Ki Gede, justru
selagi daya tahan Ki Gede sudah menurun.
Sejenak kemudian maka Ki Gede itu pun berkata,
"Gandar. Kau adalah orang satu-satunya yang ada disini,
justru pada saat umurku sampai ke batas. Tetapi aku
percaya kepadamu. Kau akan membantu memecahkan
masalah yang akan timbul di Tanah Perdikan ini
sepeninggalanku." "Ya Ki Gede," jawab Gandar. "Aku akan berusaha."
"Terima kasih," desis Ki Gede sambil tersenyum. Namun
wajahnya menjadi semakin pucat. Noda yang berwarna
kebiru-biruan mulai muncul di wajah itu.
Akhirnya, Ki Gede itu benar-benar menjadi semakin
lemah. Ketika Ki Gede itu sempat membuka matanya yang
mulai terpejam, maka serasa sebuah senyuman masih saja
membayang. "Ki Gede," panggil Gandar.
Tetapi Gandar tidak dapat berbuat apa-apa. Ki Gede itu
meninggal dalam suasana yang pasrah. Ia merasa bahwa
tugasnya memang sudah selesai. Apalagi ketika ia
mendengar bahwa menantunya yang sangat disayanginya
18 SH. Mintardja masih hidup dan bahkan cucunya telah lahir pula dengan
selamat. Gandar menarik nafas dalam-dalam. Ki Gede sudah tidak
bernafas lagi ia masih berbaring dipangkuannya.
Sejenak Gandar menimang bandul dan rantai yang
diambilnya dari kantong ikat pinggang Ki Gede. Benda
berharga bukan saja karena terbuat dari emas, tetapi juga
nilainya sebagai pertanda seorang Kepala Tanah Perdikan di
Sembojan itu telah menimbulkan persoalan di dalam
dirinya. Benda itu sesuai dengan pesan Ki Gede harus
diserahkan kepada Wiradana. Tetapi tumbuh satu
pertanyaan dihati Gandar. "Seandainya Ki Gede mengetahui
apa yang telah dilakukan oleh anak laki-lakinya terhadap
istrinya, apakah sikap Ki Gede tidak akan berubah?"
Sejenak Gandar termangu-mangu. Namun ia pun
kemudian teringat pesan Ki Gede pula, bahwa kelak anak
Iswari itu akan berhak memiliki bandul itu pula.
Sekilas Gandar berpaling ke halaman. Ia masih melihat
orang-orang yang gelisah. Sementara diregol halaman
semakin lama menjadi semain banyak orang yang
berkumpul. Bukan saja anak-anak muda, tetapi juga
beberapa orang lain yang mengetahui dan mendengar dari
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak-anak muda yang hilir mudik dengan sibuknya, apa
yang telah terjadi dengan Ki Gede.
Dalam pada itu, Gandar masih dalam kegelisahan karena
bandul yang diberikan oleh Ki Gede kepadanya, yang harus
disampaikannya kepada Wiradana. Di dasar hatinya ada
semacam ketidakrelaan, bahwa Tanah Perdikan ini akan
dipimpin oleh Wiradana yang mempunyai seorang istri lain
kecuali Iswari. Bahkan istrinya itu adalah seorang yang
memiliki ilmu yang tinggi.
19 SH. Mintardja "Ki Gede benar," desis Gandar. "Memang keluarga
Kalamerta yang telah mengacaukan ketenangan Tanah
Perdikan ini. Tiba-tiba Gandar mengambil keputusan untuk
menyimpan bandul itu. Setidak-tidaknya untuk sementara.
Ia akan melihat keadaan sebelum ia akan menyerahkan
bandul itu kepada Wiradana. Meskipun ia sadar bahwa
sebenarnya ia sama sekali tidak berhak untuk berbuat
demikian. Karena itu, maka bandul itu pun telah dimasukkan ke
dalam kantong ikat pinggangnya sendiri tanpa diketahui
oleh siapapun. Baru kemudian Gandar itu meletakkan Ki Gede perlahan-lahan. Kemudian ia pun bangkit dan melangkah ke tangga pendapa, mendekati orang-
orang yang sedang gelisah
itu. "Ki Gede sudah meninggal," desis Gandar.
"He," orang-orang di
halaman itu menjadi tegang.
Salah seorang di antara mereka telah melangkah naik perlahan-lahan mendekati tubuh Ki Gede yang terbaring. Ketika ia
berjongkok sambil meraba tangan Ki Gede yang bersilang
didada, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam. Ki Gede
sudah memejamkan matanya dan tidak bernafas lagi.
20 SH. Mintardja "Ya," desisnya. "Ki Gede sudah meninggal."
Demikianlah, maka beberapa orang yang lain pun telah
naik pula ke pendapa. Mereka memang melihat tubuh Ki
Gede yang pada wajahnya terdapat noda-noda yang kebiru-
biruan. Sehingga beberapa orang di antara mereka dapat
mengenali, bahwa Ki Gede memang terkena racun.
"Aku gagal mengobatinya," desis Gandar. "Aku mohon
maaf. Seandainya Kiai Badra sendiri ada disini, mungkin ia
dapat meramu obat yang lebih baik, yang sesuai dengan
kemampuan racun yang sangat tinggi ini."
Memang tidak ada orang yang menyalahkan Gandar. Ia
sudah berusaha. Tetapi usahanya tidak berhasil."
Karena itu, maka atas kesepakatan beberapa orang itu,
maka Ki Gede pun kemudian telah diangkat dibawa masuk
ke ruang tengah. Diletakkan di atas amben yang besar dan
ditutup dengan sehelai kain dari ujung kakinya sampai ke
ujung kepalanya. Namun mereka masih belum berbuat apa-apa, karena
mereka masih menunggu Wiradana.
Sementara itu, Wiradana memimpin anak-anak muda
mengepung seluruh padukuhan induk. Ia memerintahkan
anak-anak muda itu tidak saja menutup semua regol. Tetapi
setiap jengkal tanah yang melingkar padukuhan induk
harus diawasi. Ketika semua jalan keluar sudah tertutup, maka
Wiradana memerintahkan anak-anak muda Tanah Perdikan
untuk mencari orang yang pantas dicurigai diseluruh
padukuhan induk, semua rumah harus dimasuki tanpa
terkecuali. Meskipun rumah itu bebahu Tanah Perdikan itu
sekalipun. 21 SH. Mintardja "Jangan satu atau dua orang untuk setiap kelompok.
Tetapi lebih dari itu. Sedikit-dikitnya lima orang, agar setiap
pengamatan dapat meyakinkan," perintah Wiradana.
Dengan demikian, anak-anak muda dan bahkan hampir
setiap laki-laki di Tanah Perdikan Sebojan, terutama di
padukuhan induk itu menjadi sibuk. Mereka melihat setiap
rumah. Halamannya, ruang dalamnya bahkan kandang dan
lumbung-lumbungnya. Mungkin seorang bersembunyi atau
dengan sengaja menyembunyikannya diri sepengetahuan
pemilik rumahnya. Wiradana sendiri hilir mudik di atas punggung kudanya,
sambil setiap kali meneriakkan aba-aba bagi anak-anak
muda yang berkumpul di gardu-gardu dan bagi mereka
yang sedang sibuk melihat setiap halaman dan isi rumah
dan bangunan-bangunan yang ada. Bahkan banjar
padukuhan induk itu pun tidak luput dari pengamatan
anak-anak muda yang marah itu.
Tetapi mereka tidak menemukan seorang pun yang
pantas mereka curigai. "Cari sampai dapat," setiap kali Wiradana membentak.
Namun mereka tidak menemukan orang yang
dikehendaki. Tidak ada orang asing di padukuhan induk itu.
Bahkan kebetulan sekali, tidak ada tamu seorang pun di
rumah penghuni padukuhan induk. Orang-orang dari
tetangga padukuhan pun tidak ada yang kebetulan berada di
padukuhan induk. Wiradana menjadi semakin geram. Namun ketika ia
masih akan mengelilingi padukuhan itu sekali lagi, seorang
telah menemuinya untuk mengabarkan, bahwa Ki Gede
telah meninggal. "Ayah telah meninggal?" wajah Wiradana menegang.
22 SH. Mintardja "Ya," jawab orang yang memberitahukan itu.
"Bukankah Gandar sudah berusaha mengobatinya?"
bertanya Wiradana. "Ya. Tetapi gagal. Gandar telah berusaha sejauh dapat
dilakukan. Namun obat yang kebetulan dibawanya tidak
mampu menyelamatkan Ki Gede. Entahlah, jika Kiai Badra
sendiri ada disini sekarang," jawab orang itu.
Wiradana pun mengurungkan niatnya untuk sekali lagi
mengelilingi padukuhan itu. Tetapi ia langsung kembali ke
rumahnya untuk melihat keadaan ayahnya.
Kepada para pemimpin kelompok yang ditemuinya ia
berpesan, agar usaha itu terus dilakukan.
"Aku yakin, orang itu tentu masih ada di padukuhan
induk ini," berkata Wiradana. "Jika tidak ada orang lain,
tentu salah seorang di antara kita sendiri."
Dengan demikian maka anak-anak muda itu pun masih
sibuk dengan usaha mereka, sementara Wiradana sendiri
telah kembali ke rumahnya setelah ia mendengar bahwa
ayahnya telah meninggal. Demikian kudanya memasuki halaman, maka Wiradana
itu pun segera meloncat turun. Dengan tergesa-gesa ia naik
ke pendapa dan bertanya kepada Gandar yang duduk
dipendapa itu pula, "Dimana ayah?"
Gandar pun bangkit dan membawa Wiradana masuk ke
ruang dalam. Demikian ia masuk, maka ia pun tertegun.
Dilihatnya sesosok tubuh yang terbaring, diselubungi oleh
kain dari ujung kaki sampai ke ujung kepala.
"Ayah," desis Wiradana.
23 SH. Mintardja Perlahan-lahan ia melangkah mendekati sosok tubuh
yang membeku itu. Perlahan-lahan ia membuka selubung
itu di arah kepala. Jantung Wiradana terasa berdegup semakin cepat ketika
ia melihat wajah ayahnya yang bernoda kebiru-biruan di
beberapa tempat. Bahkan ternyata juga di tangannya dan
bahkan diseluruh tubuhnya.
"Racun," desis Wiradana.
"Aku sudah mencoba mengobatinya. Aku sudah
mengobati di arah lukanya. Aku berharap bahwa obat itu
akan dapat membantu menghisap racun yang mulai bekerja
ditubuh lewat saluran darah Ki Gede. Dan aku pun sudah
menitikkan obat dibibirnya. Sebenarnya aku
berpengharapan bahwa obat-obatku akan bermanfaat
setelah obat itu berhasil melewat kerongkongan. Tetapi
ternyata aku gagal," jawab Gandar.
Wiradana berdiri dengan kepala tunduk. Bagaimana pun
juga kematian ayahnya merupakan suatu peristiwa yang
pahit baginya. Setelah ia kehilangan ibunya, maka ia pun
kini kehilangan ayahnya, sehingga dengan demikian ia
menjadi yatim piatu. Gandar melihat mata Wiradana menjadi basah. Tetapi
Wiradana bertahan untuk tidak menangis.
"Agaknya sebagaimana dikatakan oleh Ki Gede sendiri,
saatnya memang telah tiba," berkata Gandar.
"Ya," Wiradana mengangguk. Namun ia sempat
menelusuri jalan hidup yang ditempuhnya selama ini.
Sekilas ia teringat pula kepada istrinya yang disangkanya
sudah mati, Iswari. Istrinya itu adalah seorang perempuan
yang sangat dikasihi oleh ayahnya. Kini ayahnya justru telah
menyusul Iswari yang disangkanya sudah mati.
24 SH. Mintardja "Sudahlah," berkata Gandar. "Yang perlu dipikirkan
kemudian adalah bagaimana menyelenggarakan jenazah Ki
Gede." Wiradana mengangguk kecil. Katanya, "Baiklah Gandar.
Apapun yang terjadi atas ayahku, aku tetap mengucapkan
terima kasih atas segala usahamu. Tetapi agaknya memang
sudah sampai saatnya ayah harus menghadap kembali
kepada Yang Maha Agung."
Gandar mengangguk-angguk. Namun ia menjawab, "
Sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk berusaha
saling menolong. Tetapi kali ini aku memang telah gagal
menolong Ki Gede." Wiradana pun kemudian melangkah keluar. Kepada
orang-orang yang berada di pendapa ia berkata, "Tolong,
marilah kita selenggarakan jenazah ayah. Sementara itu
anak-anak muda masih berusaha untuk mencari orang yang
dengan curang telah membunuh ayah."
Demikianlah, di halaman rumah Ki Gede telah terjadi
kesibukan tersendiri, sementara di seluruh padukuhan
induk-pun masih juga sibuk mencari orang yang pantas
dituduh membunuh Ki Gede di Sembojan.
Namun sementara itu, dalam kesibukan di dalam dan di
luar halaman rumah Ki Gede, Gandar masih sempat
merenungi bandul yang diberikan oleh Ki Gede Sembojan.
Apakah ia akan memenuhi permintaan Ki Gede
menyampaikan bandul itu kepada Wiradana, atau ia akan
menempuh satu kebijaksanaan lain, meskipun tidak untuk
dimilikinya sendiri. "Jika aku memberikan bandul ini kepada yang berhak
sekarang, maka aku telah menunaikan satu beban yang
dipercayakan kepadaku. Dari seseorang yang sekarang
25 SH. Mintardja sudah meninggal," berkata Gandar di dalam hatinya.
"Tetapi jika aku menyerahkan bandul itu, maka aku yakin
bahwa akan terjadi sesuatu yang akan dapat mengeruhkan
susana masa depan Tanah Perdikan ini. Jika perempuan
yang memiliki ilmu yang tinggi itu juga mempunyai seorang
anak, maka Wiradana tidak akan dapat berbuat adil dengan
menyerahkan bandul itu kepada anaknya yang sulung.
Apalagi agaknya Wiradana tidak akan mampu melawan
kehendak perempuan cantik itu apabila pada saatnya
perempuan itu menunjukkan kemampuannya yang
sebenarnya. Adalah tiba-tiba saja, bahwa Gandar telah melontarkan
dugaannya atas kematian Ki Gede itu kepada perempuan
yang menjadi istri Wiradana. Dengan ilmunya yang tinggi,
ia akan dapat melakukan seperti apa yang telah terjadi. Ia
dapat melontarkan paser-paser kecil itu dengan sumpit.
Kemudian dengan ilmunya yang tinggi itu pula, ia dapat
melarikan diri sebelum padukuhan induk itu sempat
dikepung. "Ia tentu memiliki ilmu iblis," geram Gandar.
Ia menyesal bahwa ia tidak berusaha mengejarnya,
menangkapnya dan menunjukkan kebenaran tentang istri
mudanya itu kepada Wiradana. Jika ia menyadari bahwa
akhirnya Ki Gede juga akan tidak tertolong lagi, maka ia
mungkin masih mempunyai kesempatan untuk mengejar
orang itu. Meskipun Gandar pun tidak yakin, bahwa ia akan
dapat menangkap perempuan itu. Tetapi seandainya ia
sempat bertahan beberapa lama, maka anak-anak muda
Tanah Perdikan Sembojan akan dapat mengepungnya dan
menjadi saksi, bahwa perempuan itu adalah perempuan
yang berbahaya bagi Sembojan.
26 SH. Mintardja Tetapi semuanya sudah telanjur. Pembunuh itu sudah
pergi. Namun besar dugaan Gandar, bahwa pembunuh itu
adalah istri muda Wiradana sendiri, yang merasa
rencananya akan selalu dapat dihambat oleh Ki Gede
Sembojan. Namun untuk dapat mengatakan demikian Gandar harus
dapat meyakinkan diri dan menemukan bukti-bukti yang
dapat meyakinkan orang lain bahwa hal itu memang terjadi.
Hari ini Sembojan telah berkabung. Pemimpin Tanah
Perdikan yang untuk waktu yang lama bekerja keras dan
menjadikan Sembojan sebuah Tanah Perdikan yang besar,
telah meninggalkan hasil kerjanya oleh kelicikan seseorang.
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terakhir pemimpin yang disegani itu telah berhasil
membunuh seorang penjahat yang namanya ditakuti bukan
saja oleh orang-orang Tanah Perdikan Sembojan dan
sekitarnya, bahkan namanya disegani oleh seluruh daerah
Pajang dan Kadipaten-kadipaten yang lain.
Dengan kepala tunduk orang-orang Sembojan
mengantarkan jenazah Ki Gede ke makam yang akan
menjadi tempat peristirahatannya yang terakhir. Terasa
betapa pahitnya untuk berpisah dengan seorang pemimpin
yang hatinya berada di antara rakyatnya.
"Tetapi saat kematian memang datang di luar kehendak
seseorang. Meskipun seseorang wenang berusaha, namun
terakhir keputusan berada di tangan Tuhan Yang Maha
Kasih," guman beberapa orang yang mengantar tubuh Ki
Gede dan memberikan penghormatan terakhir.
Namun dalam pada itu, padukuhan induk Tanah
Perdikan Sembojan itu masih tetap dikepung. Tidak seorang
pun boleh keluar dari Tanah Perdikan itu. Ketika iring-
iringan janazah Ki Gede melintasi regol diikuti oleh sederet
panjang rakyat Tanah Perdikan Sembojan, bukan saja dari
27 SH. Mintardja padukuhan induk, tetapi dari padukuhan-padukuhan yang
lain, maka ternyata pengawasan atas setiap orang yang
keluar masuk regol padukuhan induk menjadi kendor.
Namun para pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu telah
memberikan perintah kepada para pengawal untuk
mengamati setiap orang dalam iring-iringan itu. Jika
mereka melihat seseorang yang mencurigakan, maka
setidak-tidaknya orang itu harus dimintai keterangan.
Gandar pun ikut pula bersama iring-iringan itu ke
makam. Tetapi para pengawal sudah banyak yang
mengenalnya. Mereka sama sekali tidak menaruh curiga
kepadanya, karena justru Gandar dan Kiai Badra telah
banyak memberikan jasanya kepada Tanah Perdikan itu,
khususnya kepada Ki Gede Sembojan.
Di perjalanan menuju ke makam, Gandar masih selalu
digelisahkan oleh bandul sebesar biji jengkol yang
bergambar kepala burung elang dan tergantung pada seutas
rantai, yang semuanya terbuat dari emas.
"Aku akan menyimpannya untuk sementara," akhirnya
Gandar mengambil keputusan.
Demikianlah, akhirnya upacara penguburan jenazah Ki
Gede itu pun selesai. Satu persatu orang-orang yang
memberikan penghormatan terakhir itu pun meninggalkan
makam itu. Semakin lama makam itu pun menjadi semakin
senyap. Sementara itu, matahari pun menjadi semakin rendah
pula, mendekati punggung bukit di sebelah Barat.
Yang terakhir di makam itu adalah Wiradana yang
ditunggu oleh beberapa orang pengawal di regol makam.
Sejenak Wiradana memandangi makam ayahnya yang
28 SH. Mintardja masih basah oleh air bunga yang ditaburkan oleh orang-
orang yang memberikan penghormatan terakhirnya.
Namun kemudian sambil menarik nafas ia pun
melangkah meninggalkan makam yang membeku itu.
Namun ternyata masih ada seseorang yang tertinggal.
Gandarlah yang kemudian mendekati makam itu. Bahkan ia
pun telah berlutut disisi makam Ki Gede yang masih merah
itu. "Maafkan aku Ki Gede," desis Gandar. "Aku tidak
melakukan sebagaimana yang Ki Gede pesankan tentang
bandul pertanda pemimpin Tanah Perdikan Sembojan itu.
Aku untuk sementara tidak akan menyerahkan bandul itu
kepada Wiradana, karena aku tahu, bahwa tingkah laku
anak itu tidak sebagaimana yang Ki Gede kehendaki."
Suasana di makam itu terasa hening. Yang terdengar
kemudian adalah desis angin yang lembut menggerakkan
daun semboja yang tumbuh dengan suburnya. Bunganya
yang putih bersih bergayutan di ranting-rantingnya yang
nampak segar dilekati oleh daunnya yang hijau.
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan makam itu
sambil berkata kepada diri sendiri. "Anak Iswari itulah yang
berhak menerima pertanda ini. Wiradana sudah
menyimpang dari kebenaran tingkah laku seorang pewaris
jabatan tertinggi di Tanah Perdikan ini. Bahkan seandainya
hal ini didengar oleh Adipati Pajang, maka dapat terjadi hak
atas Tanah Perdikan ini dapat dicabut."
Tetapi Gandar tidak ingin mempersoalkan Tanah
Perdikan itu sampai ke Adipati Pajang. Karena jika
demikian, dan hak atas Tanah Perdikan beberapa
Kademangan dalam kedudukan yang sama dengan
29 SH. Mintardja kademangan-kademangan yang lain, maka anak Iswari itu
pun akan kehilangan haknya pula.
Karena itu, maka Gandar harus mencari jalan lain untuk
membuat penyelesaian atas Tanah Perdikan itu dalam
persoalan yang gawat, karena ia sadar, bahwa ia akan
berhadapan dengan kekuatan keluarga Kalamerta. Dalam
persoalan berikutnya, mau tidak mau maka istri Wiradana
yang cantik itu tentu akan melibatkan seluruh kekuatan
keluarga Kalamerta yang tertinggal.
Tetapi Gandar pun mempunyai keyakinan pada dirinya
sendiri dan kepada orang-orang yang tentu akan bersedia
membantunya. Bahkan pada saatnya ia yakin, rakyat Tanah
Perdikan Sembojan akan mampu memilih, siapakah yang
akan mereka kehendaki. Iswari atau perempuan cantik yang
tentu akan segera memasuki rumah Wiradana sebagai
istrinya yang sah, yang memiliki kekuatan paugeran sebagai
seorang istri. Malam itu Gandar masih berada di Tanah Perdikan
Sembojan. Ia berada di antara orang-orang yang berduka di
pendapa rumah Ki Gede. Terbayang di wajah orang-orang
Tanah Perdikan Sembojan, penyesalan yang mendalam atas
peristiwa yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.
Para bebahu Tanah Perdikan itu saling membicarakan
hasil yang pernah dicapai oleh Ki Gede selama ia memegang
pemerintahan di Tanah Perdikan itu. Sementara itu,
beberapa orang di antara mereka pun mulai berbicara
tentang Wiradana. "Tetapi dimana Ki Wiradana sekarang?" bertanya salah
satu di antara mereka. 30 SH. Mintardja "Kemarahan dan dendam di hatinya tidak terbendung
lagi. Ia telah meninggalkan rumah ini sebelum senja," jawab
seseorang. "Kemana?" bertanya yang lain.
"Seperti seseorang yang berkelana di dalam kelam. Tanpa
tujuan dan tanpa titik arah. Ia berusaha untuk menemukan
orang yang telah membunuh Ki Gede dengan licik. Tetapi
tentu suatu usaha yang sangat sulit. Mungkin orang yang
membunuh Ki Gede sudah berada beratus bahkan beribu
tonggak dari tempat ini, atau bahkan masih tetap di dalam
persembunyiannya," jawab orang itu.
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka membayangkan,
Ki Wiradana memacu kudanya dengan marah ke segenap
arah dan menyusuri semua jalan di Tanah Perdikan ini.
Tetapi ia tidak akan menemukan seorang pun yang akan
dapat dicurigainya. Hanya Gandar yang tahu pasti, kemana Wiradana itu
pergi. Sebenarnyalah Wiradana telah berada di rumah istrinya
yang cantik. Dengan nafas terengah-engah ia
menceriterakan apa yang telah terjadi dengan ayahnya.
"Seorang dengan licik telah membunuh ayah," geram
Wiradana. Warsi tidak menyahut. Tetapi kepalanya semakin lama
semakin menunduk. Bahkan kemudian titik-titik air
matanya telah jatuh di pangkuannya.
"Kakang," desisnya disela-sela isaknya. "Aku adalah
orang yang paling malang. Aku sudah terlalu lama
menunggu satu kesempatan, kapan aku dapat bersimpuh
sujud di kaki Ki Gede Sembojan. Bagaimanapun rendahnya
31 SH. Mintardja martabatku sebagai penari jalanan, tetapi aku adalah
menantunya. Namun Ki Gede itu kini sudah tidak ada lagi.
Aku merasa bahwa perkawinan kita belum pernah
mendapat restunya." "Sudahlah," berkata Wiradana. "Semuanya sudah terjadi.
Aku tidak akan dapat berbuat apa-apa. Segalanya agaknya
memang sudah menjadi takdir Yang Maha Agung, sehingga
hal itu harus terjadi."
Warsi mengusap matanya. Tetapi ia masih terisak.
Katanya kemudian, "Perkawinan kita adalah perkawinan
yang aneh kakang. Meskipun aku sudah menjadi istrimu,
tetapi aku merasa orang asing bagimu dan bagi keluargamu,
sehingga akhirnya aku terlambat mencium kaki ayah
mertuaku. Meskipun mungkin aku akan dikibaskannya dari
kulit kakinya yang tersentuh oleh bibirku akan dicuci tujuh
kali, namun adalah menjadi kewajibanku untuk datang
bersimpuh dan mencium kakinya itu."
"Bukan salahmu," berkata Wiradana. "Mungkin akulah
yang terlalu lemah sehingga aku belum berani membawamu
pulang ke rumah." Warsi tidak menjawab. Sementara itu Wiradana berkata
selanjutnya, "Warsi, marilah kita mengambil manfaat dari
kematian ayah. Bukan aku tidak bersedih karena aku
ditinggalkan oleh ayahku. Tetapi karena hal itu sudah
terjadi diluar kehendakku, maka aku merasa tidak bersalah
jika aku akan berbuat sesuai dengan kehendakku
sepeninggalan ayahku."
"Apa yang akan kau lakukan kakang?" bertanya Warsi.
"Aku akan segera menjadi kepala Tanah Perdikan,"
berkata Wiradana. "Aku akan dapat berbuat apa saja tanpa
32 SH. Mintardja seorang pun yang dapat mencegahnya. Aku akan dapat
membawamu pulang." "Itulah yang aku takutkan kakang," jawab Warsi.
"Kenapa takut?" bertanya Wiradana.
"Rasa-rasanya aku datang sambil bersembunyunyi.
Meskipun Ki Gede sudah tidak ada, tetapi jiwa dari
perbuatanku adalah demikian. Aku datang pada saat Ki
Gede mengetahuinya, sebagai laku seorang pencuri yang
masuk ke dalam rumah seseorang," jawab Warsi.
"Kau terlalu banyak mempertimbangkan persoalan-
persoalan yang sebenarnya tidak usah kau pikirkan," jawab
Wiradana. "Rumah itu adalah rumahku. Kau adalah istriku.
Apalagi?" Warsi tidak menjawab. Tetapi kepalanya masih saja
menunduk. Sekali-kali ia mengusap matanya yang basah oleh air mata. "Sudahlah Warsi," berkata
Wiradana. "Semuanya akan
dapat diatur sebaik-baiknya.
Semuanya akan berlangsung
dalam waktu yang dekat. Kau tidak usah membuat pertimbangan yang akan dapat membantumu kecewa atau mungkin menyesal atau
perasaan-perasaan lain semacamnya." Warsi mengangguk perlahan.
33 SH. Mintardja "Aku akan bertanggung jawab. Aku akan segera menjadi
kepala Tanah Perdikan yang dapat menentukan apa saja di
Tanah Perdikan ini. Tidak seorang pun akan dapat
mengganggu aku, apalagi dalam persoalan pribadi," berkata
Wiradana kemudian. Warsi masih saja berdiam diri dan mengangguk kecil.
Namun dalam pada itu, Wiradana pun kemudian minta
diri. Katanya, "Malam ini sebaiknya aku kembali ke Tanah
Perdikan. Di rumah tentu banyak orang berjaga-jaga."
"Silahkan kakang," jawab Warsi yang masih saja
mengusap air matanya. Sejenak kemudian, maka Wiradana pun telah berkemas
meninggalkan Warsi untuk kembali ke Tanah Perdikan,
berjaga-jaga bersama orang-orang Tanah Perdikan yang
berduka. Namun, demikian Wiradana berderap dan hilang di
dalam gelapnya malam, terdengar suara Warsi tertawa.
Suaranya bagaikan iblis betina yang menemukan sosok
mayat baru di pekuburan yang basah.
"Sekarang tidak ada lagi yang dapat menghalangi aku
untuk memasuki rumah Kepala Tanah Perdikan itu,"
berkata Warsi disela-sela tertawa iblisnya, "selebihnya, aku
sudah menunaikan tugasku yang paling sulit. Aku tidak
sabar menunggu untuk meracunnya. Justru dengan cara ini,
sekaligus aku membuka jalan untuk masuk ke rumah
Wiradana." Suara tertawa Warsi menjadi semakin meninggi.
"Sebentar lagi kau akan tunduk kepadaku anak manis,"
katanya pula. 34 SH. Mintardja Sambil tersenyum puas Warsi masuk ke dalam biliknya.
Sambil membaringkan diri, tangannya sempat meraba
sebuah sumpit dibawah tikar di pembaringannya.
Sebenarnyalah sebagaimana diduga oleh Gandar, Warsi
lah yang telah melakukan pembunuhan itu. Ia telah
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyamar sebagai seorang laki-laki memasuki padukuhan
induk Tanah Perdikan Sembojan, demikian suaminya
meninggalkannya pagi itu. Dengan kemampuan seorang
berilmu tinggi, maka ia dapat melakukan tugasnya dengan
sangat licik. Kemudian dengan ilmunya pula ia berlari jauh
melampaui kecepatan lari orang kebanyakan. Sehingga
ketika ketika padukuhan induk itu dikepung, Warsi
memang sudah berada diluarnya.
Karena itu, Wiradana tidak dapat menemukan seorang
pun yang pantas untuk dicurigai di padukuhan induk.
Pada sisa malam itu, Wiradana memang kembali ke
rumahnya. Ia pun kemudian duduk di antara orang-orang
Tanah Perdikan Sembojan yang berjaga-jaga. Termasuk
Gandar. Namun rasa-rasanya Wiradana menjadi berdebar-debar
setiap ia memandang wajah orang itu. Baginya, seakan-akan
Gandar itu pun selalu memandanginya tembus sampai
kejantung. Seakan-akan Gandar itu ingin melihat
kebersihan hatinya tentang kematian Iswari sebelum
kematian ayahnya itu terjadi.
"Setan," geram Wiradana di dalam hatinya. "Jika ia selalu
mengganggu ketenanganku, aku akan membunuhnya."
Namun ternyata, disaat itu Gandar sudah memikirkan
saat ia akan minta diri. Agaknya ia memang tidak perlu
terlalu lama berada di Tanah Perdikan Sembojan. Bahkan
rasa-rasanya ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera
35 SH. Mintardja bertemu dengan Kiai Badra. Bandul yang dibawanya itu
memang selalu membebani perasaannya, karena telah
terjadi pertentangan di dalam dirinya. Ia merasa bersalah
karena ia tidak memenuhi permintaan seseorang yang
ternyata sudah meninggal. Namun ia sadar, bahwa jika ia
memenuhinya, maka akan terjadi ketidak adilan karena
sikapnya itu. Dengan demikian maka Gandar ingin segera bertemu dan
berbicara dengan Kiai Badra. Seakan-akan ia ingin membagi
beban yang memberati perasaannya itu.
Karena itulah, ketika malam kemudian lewat, pagi-pagi
Gandar sudah menemui Ki Wiradana. Dengan nada yang
menyesal, ia minta diri, karena ia tidak dapat lebih lama lagi
berada di Tanah Perdikan Sembojan.
"Kenapa tergesa-gesa?" bertanya Wiradana untuk
berbasa-basi. "Aku tidak ingin mengganggu Tanah Perdikan yang
berduka ini," berkata Gandar. "Meskipun demikian bukan
berarti bahwa aku telah melupakan adikku Iswari yang
hilang di Tanah Perdikan ini. Dengan kematian Ki Gede aku
semakin yakin, sebagaimana dikatakan oleh Ki Gede, bahwa
keluarga Kalamerta masih tetap membayangi Tanah
Perdikan ini." Wiradana memaki di dalam hati. Tetapi ia menjawab,
"Yang terjadi adalah diluar kemampuan kami. Kematian
Iswari juga berada di luar kemampuan kami untuk
mencegahnya. Bahkan kematian ayah sendiri."
"Aku mengerti," berkata Gandar. "Yang penting bagi
Tanah Perdikan ini kemudian adalah menemukan. Siapakah
keluarga Kalamerta yang masih berkeliaran dan melakukan
pembunuhan-pembunuhan itu. Jika orang itu masih belum
36 SH. Mintardja diketemukan, maka pada suatu saat, kau juga akan menjadi
sasaran." Wiradana mengerutkan keningnya. Tetapi yang
dikatakan oleh Gandar itu memang mungkin sekali terjadi.
Seseorang dengan licik membunuhnya dengan paser-paser
kecil beracun yang dilontarkan dengan sumpit.
Sambil mengangguk-angguk Wiradana berkata, "Baiklah
Gandar. Agaknya aku sependapat. Sisa-sisa kekuatan
Kalamerta yang masih ada di Tanah Perdikan ini memang
harus dihancurkan sampai tuntas. Jika tidak, aku pun
percaya kepada pendapatmu itu, mungkin pada suatu saat,
akulah yang akan menjadi korbannya."
"Terima kasih jika kau masih mau memikirkan hal itu,
karena hal itu akan berarti bahwa kau juga memikirkan
keselamatan sendiri," berkata Gandar.
Demikianlah maka Gandar pun hari itu telah
meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan. Tidak seorang
pun yang mengetahui, bahwa Gandar telah membawa
bandul yang tergantung pada seutas rantai yang terbuat dari
emas. Adalah diluar kehendaknya sendiri ketika kaki Gandar
telah membawanya menelusuri pematang dan kemudian
tanggul sungai yang pernah dilalui oleh Iswari dibawah
ancaman patren seseorang perempuan yang disebut
Serigala Betina. Tetapi ternyata bahwa Serigala Betina yang
pernah terlibat kedalam dunia yang hitam itu masih juga
berjantung, sehingga Iswari tidak juga dibunuhnya.
Meskipun seandainya hal itu akan dilakukan juga oleh
Serigala Betina, Gandar sudah siap untuk
menyelamatkannya. 37 SH. Mintardja Tetapi ternyata bahwa Gandar telah mengagumi sikap
perempuan itu. Betapapun kelam hatinya namun masih
juga ada sepercik cahaya yang memancar di dalam hatinya
itu. "Aku tidak boleh melupakannya," berkata Gandar. "Jika
saatnya Iswari muncul, maka perempuan itu harus
diberitahu, agar ia menyingkir dari kemungkinan yang
paling buruk karena pembalasan dendam Ki Wiradana."
Sementara itu, di Tanah Perdikan Sembojan, kepergian
Gandar ternyata mampu melapangkan dada Wiradana. Ia
merasa bebas dari tatapan mata yang seakan-akan selalu
menusuk-nusuk sampai ke jantung. Mata yang ingin
melihat kenyataan dari tingkah lakunya terhadap istrinya
yang dikatakannya hilang tanpa diketahuinya.
Dalam pada itu, sepeninggal Ki Gede, maka
pemerintahan di Tanah Perdikan Sembojan telah dipegang
sepenuhnya oleh Wiradana. Ia berusaha untuk
menyesuaikan diri dengan apa yang pernah dilakukan oleh
ayahnya. Setiap kali Wiradana pergi mengelilingi Tanah
Perdikannya untuk melihat perkembangan kesejahteraan
rakyatnya. Dengan demikian, maka Wiradana dapat
mengamati dengan langsung apa yang sebenarnya
diperlukan oleh rakyatnya.
Namun ternyata bahwa Wiradana memang bukan Ki
Gede Sembojan. Bagaimanapun juga, ada perbedaan di
antara mereka. Wiradana mulai menunjukkan sifat-sifat
yang lain dari ayahnya. Dengan kuasanya ia mulai
menunjukkan sifat-sifat yang membingungkan orang-orang
Sembojan. Namun yang paling mengherankan orang-orang
Sembojan, terutama para bebahu, setiap malam Wiradana
masih saja tidak ada di rumahnya. Meskipun ia masih
38 SH. Mintardja mempergunakan alasan yang mungkin dipercaya, mencari
jejak hilangnya istrinya yang sudah lama terjadi serta
mencari kemungkinan adanya sisa keluarga Kalamerta yang
masih mendendam, namun beberapa orang mulai kurang
mengerti atas tingkah lakunya.
Tetapi Wiradana memang tidak akan terlalu lama
diombang-ambingkan oleh hubungannya yang samar-samar
dengan istrinya. Ketika ia merasa kedudukannya sebagai
Kepala Tanah Perdikan sudah mapan, meskipun belum
diwisuda oleh penguasa Pajang, namun ia merasa berhak
untuk menentukan sikap sesuai dengan keinginannya.
Karena itu, maka ia mulai merintis jalan untuk
mengambil istrinya dan membawanya kerumah.
Tetapi Wiradana tidak akan memberikan kesan bahwa ia
sudah berhubungan dengan perempuan itu untuk waktu
yang lama, agar tidak memancing pertanyaan bahkan
mungkin dapat menuntun arah pikiran beberapa orang tua
di Tanah Perdikan Sembojan tentang kematian istrinya.
Dengan demikian, maka Wiradana mempunyai gagasan
untuk mengulangi perkawinannya dengan Warsi
sebagaimana dilakukan dengan Iswari, seolah-olah ia belum
pernah melakukan perkawinan itu dengan Warsi.
Ketika rencana itu disampaikan kepada Warsi, maka
sambil menarik nafas dalam-dalam Warsi berkata,
"Segalanya terserah kepadamu kakang."
Meskipun demikian namun nampak wajah Warsi
menjadi suram. "Warsi," berkata Wiradana kemudian. "Apakah kau
mempunyai keberatan" Aku minta kau berterus terang.
Meskipun seandainya pendapatmu itu sama sekali
berlawanan dengan pendapatku. Karena bagiku, meskipun
39 SH. Mintardja kau menyerahkan segala sesuatunya, tetapi hatimu tidak
ikhlas, maka hal itu akan merupakan persoalan tersendiri
bagi keserasian hidup kita kelak."
Warsi memandang suaminya sekilas. Kemudian katanya,
"Kakang. Aku memang tidak mempunyai pilihan lain.
Meskipun dengan demikian aku menyadari, bahwa
perkawinan kita selama ini benar-benar perkawinan yang
tidak sewajarnya. Tetapi semuanya itu sudah berlalu. Aku
memang mengharap bahwa hari-hari kita yang akan datang
akan menjadi lebih baik dari masa yang telah kita lalui, itu
kakang." "Semua akan berubah Warsi. Kita akan hidup sewajarnya
sebagai seorang suami istri. Tidak ada yang akan dapat
menghalangi kita lagi, karena kekuasaan Tanah Perdikan ini
sudah berada di tanganku meskipun aku belum diwisuda,"
jawab Wiradana. Warsi mengangguk-angguk. Katanya, "Memang
segalanya terserah kepada kakang."
"Tetapi apakah kau juga melihat kemungkinan yang lebih
baik bagi masa depan seperti yang kau katakan?" desak
Wiradana. Warsi termenung sejenak. Namun kemudian ia pun
menganggukkan kepalanya. Demikianlah, maka Wiradana pun mulai membuka jalan
bagi perkawinan yang akan diselenggarakannya lagi dengan
upacara sebagaimana pernah dilakukannya.
Kepada orang-orang tua di Tanah Perdikan Sembojan,
Wiradana menyampaikan keluhannya, bahwa baginya
terlalu sepi untuk hidup seorang diri.
40 SH. Mintardja "Angger Wiradana," berkata salah seorang tetua Tanah
Perdikan, "Hilangnya angger Iswari telah melampaui waktu
seratus hari. Bahkan sudah jauh lewat. Karena itu,
seandainya memang ada niat di hati angger Wiradana untuk
kawin lagi, maka aku kira memang tidak ada halangannya.
Angger dapat memilih gadis yang manakah yang paling
sesuai bagi angger Wiradana. Setiap orang tua akan dengan
senang hati memenuhi permintaan angger atas anak gadis
yang angger kehendaki."
Tetapi Wiradana menggelengkan kepalanya. Katanya,
"Aku belum mempunyai pilihan paman. Yang ingin aku
dapatkan petunjuk, apakah pantas jika aku kawin lagi dalam
waktu yang dekat ini. Jika hal itu memang pantas aku
lakukan, baru kemudian aku akan memilih calon istriku
itu." Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Seperti yang sudah aku katakan. Waktu yang diperlukan
sudah lama lewat. Apalagi angger kini telah memangku
jabatan ayah angger yang sudah tidak ada lagi. Aku kira
memang sudah sepantasnya jika angger mengambil seorang
istri yang pantas yang setidak-tidaknya mendekati angger
Iswari." Wiradana mengerutkan keningnya. Terbayang sekilas
wajah, sikap dan tingkah laku Iswari yang sangat dikasihi
ayahnya itu. Terngiang pula suara Iswari yang kadang-
kadang membaca kidung di malam hari,
mengumandangkan, menggetarkan sepinya malam dengan
suara-nya yang jernih. Tidak seorang pun yang dapat menyangkal, bahwa Iswari
telah meletakkan dirinya sesuai dengan kedudukannya,
sebagai seorang menantu Kepala Tanah Perdikan. Karena
pada saat itu, Ki Gede tidak lagi mempunyai seorang istri,
41 SH. Mintardja maka seakan-akan Iswarilah yang mengisi kedudukan istri
Kepala Tanah Perdikan itu. Meskipun umurnya masih
cukup muda, tetapi ternyata Iswari berhasil menarik
perhatian perempuan-perempuan di Tanah Perdikan
Sembojan dengan sikap, tingkah laku dan kecakapannya.
Untuk sekejap Wiradana sempat memperbandingkan
kedua orang perempuan yang menjadi istrinya itu. Warsi
bagi Wiradana adalah seorang perempuan yang lembut,
luhur budi dan hatinya yang mudah tersentuh.
"Mudah-mudahan dengan bekal sifat-sifatnya itu, Warsi
akan merebut hati perempuan Tanah Perdikan ini
melampaui Iswari?" berkata Wiradana di dalam hatinya.
Meskipun demikian agaknya Wiradana sendiri kurang
yakin. Hampir seluruh Tanah Perdikan ini mengetahui,
bahwa Warsi adalah seorang penari keliling yang mendapat
nafkahnya dari belas kasihan orang atau yang ingin melihat
tariannya. Bahkan ada yang terdorong oleh satu keinginan
yang kasar untuk menari bersama dalam satu acara tayub
atau bahkan janggrung. "Aku tidak peduli," Wiradana akhirnya tidak mau lagi
membuat pertimbangan-pertimbangan. Agaknya hatinya
memang sudah terbius oleh kecantikan penari itu.
Namun pendapat salah seorang tetua Tanah Perdikan itu
membuat hati Wiradana menjadi agak terang. Ketika ia
menghubungi beberapa orang lain, maka mereka pun
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sependapat. Bahwa tidak ada lagi kesulitannya jika
Wiradana memang ingin kawin lagi.
Dengan cermat Wiradana mengatur segalanya. Ia tidak
percaya kepada siapapun juga untuk ikut memikirkan
tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi
42 SH. Mintardja kemudian. Namun ia sudah bertekad bahwa segalanya
harus berlangsung. Ketika saatnya sudah tiba, maka Wiradana pun
memanggil beberapa orang tua di Tanah Perdikan
Sembojan. Dengan beberapa penjelasan dan bahkan
bernada tekanan, Wiradana akhirnya menyampaikan
kepada orang-orang tua itu, "Paman dan para tetua Tanah
Perdikan. Ternyata bahwa setelah aku berusaha untuk
menemukan seorang perempuan yang pantas untuk
menjadi istriku, akhirnya aku mendapatkan juga."
Orang-orang tua itu saling berpandangan. Namun
kemudian salah seorang di antara mereka bertanya,
"Siapakah perempuan itu ngger?"
"Besok pada saatnya, paman akan mengetahuinya juga,"
jawab Wiradana. Orang tua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tidak bertanya lagi, karena agaknya Wiradana masih belum ingin mengatakannya.
Sementara itu, di padepokan kecil Kiai Badra,
Gandar telah melaporkan semua yang dialami. Bahkan
kecurigaannya kepada istri
Wiradana pun telah dikatakannya pula kepada Kiai Badra. Orang tua itu menjadi sangat berprihatin 43 SH. Mintardja mendengar laporan Gandar tentang Tanah Perdikan
Sembojan. Terbayang di angan-angan Kiai Badra, bahwa
jika Wiradana masih saja berpijak pada watak dan sifat-
sifatnya, serta dikendalikan oleh perempuan yang termasuk
keluarga Kalamerta menilik sikap ilmunya, maka Tanah
Perdikan Sembojan akan menjadi Tanah Perdikan yang
paling buruk di seluruh Pajang, sehingga apabila hal itu
diketahui oleh Adipati Pajang, maka Wiradana tentu tidak
akan diwisuda. Namun dalam pada itu, Gandar pun telah
memberitahukan pula tentang bandul yang dibawanya.
Bandul yang bergantung pada seutas rantai dan terbuat dari
emas. "Benda itu tentu akan dibutuhkan saat Wiradana akan
diwisuda," berkata Kiai Badra.
"Bagaimana jika tanpa benda itu?" bertanya Gandar.
"Aku tidak tahu. Tetapi mungkin Wiradana akan
mendapat kesulitan," jawab Kiai Badra.
Gandar termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Aku tidak rela menyerahkan benda ini kepada Wiradana.
Apalagi jika kelak perempuan yang menjadi istrinya itu
melahirkan anak pula. Maka anak Iswari itu tentu akan
tersisih dari kemungkinan untuk mendapatkan haknya."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Sebenarnya Kiai Badra
sama sekali tidak terikat kepada satu keinginan bahwa anak
cucunya itu harus menjadi Kepala Tanah Perdikan. Ia bukan
termasuk salah seorang yang tergila-gila kepada pangkat
dan kedudukan. Namun seperti juga Gandar, maka ia tidak
mau rasa keadilannya tersinggung. Disingkirkannya Iswari
dengan cara yang kotor itu telah membuat darahnya
menjadi panas. Untunglah bahwa ia masih mampu
44 SH. Mintardja menahan diri dan tidak melakukan satu langkah tanpa
dipertimbangkan dengan nalar. Sementara itu Tuhan masih
memberikan titik terang dihati perempuan yang disebut
Serigala Betina itu, yang menilik sifat-sifatnya tidak akan
mungkin mempunyai perasaan yang jernih terhadap Iswari.
Namun ternyata Tuhan menghendaki demikian.
Karena itu, maka Kiai Badra pun kemudian berkata,
"Baiklah Gandar. Kita akan dapat menyimpan untuk
sementara bandul itu. Kita akan melihat perkembangan
Tanah Perdikan Sembojan. Karena itu, kau dapat setiap kali
jika kau senggang dan tidak ada pekerjaan untuk pergi ke
Tanah Perdikan itu. Mungkin kau akan mendapat bahan
pertimbangan untuk mengambil langkah selanjutnya."
Gandar mengangguk. Katanya, "Rasa-rasanya memang
menarik untuk setiap kali pergi ke Tanah Perdikan itu Kiai.
Nampaknya Tanah Perdikan itu tidak akan berkembang
menjadi baik. Tetapi justru sebaliknya."
"Hal itu sudah dapat dibayangkan Gandar," berkata Kiai
Badra. "Tetapi apakah untuk seterusnya tidak ada usaha
yang dapat menolong Tanah Perdikan itu dari kehancuran."
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun
berdesis, "Anak itu pada suatu saat harus mampu
menjadikan Tanah Perdikan itu jauh menjadi lebih baik."
Kiai Badra tidak menyahut. Sementara itu, maka Gandar
pun berdesis, "Aku akan pergi ke kandang Kiai."
"Pergilah," jawab Kiai Badra. "Kuda yang berwarna coklat
merah itu sudah agak lama tidak mendapat kesempatan
untuk berlari-lari."
Gandar pun kemudian meninggalkan Kiai Badra yang
duduk merenungi diri. Namun tiba-tiba saja timbul
45 SH. Mintardja keinginannya untuk bertemu dengan Iswari dan sekaligus
melihat, apa saja yang dilakukan di Tlaga Kembang.
Pagi-pagi benar Gandar sudah menyiapkan dua ekor
kuda. Mereka akan pergi berkuda menuju ke Tlaga
Kembang. Tidak ada persoalan apapun yang timbul di perjalanan.
Demikian mereka memasuki regol padepokan Tlaga
Kembang, maka para cantrik yang ada di padepokan itu
telah menyambut mereka dengan ramahnya
"Marilah Kiai," cantrik itu mempersilakan.
Setelah menyerahkan kuda mereka kepada para cantrik
maka keduanya pun kemudian duduk di pendapa rumah
induk padepokan itu. Sejenak kemudian maka seorang cantrik telah
menghidangkan minuman dan makanan serta
mempersilakan mereka minum.
"He," bertanya Kiai Badra, "Dimana Kiai dan Nyai Soka?"
Cantrik itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Mereka
berada di sebuah pondok kecil di tepi Tlaga Kuning,
disebelah grojogan air di lereng bukit."
"O, apakah mereka sedang berjalan-jalan?" bertanya Kiai
Badra kemudian. "Tidak. Mereka sudah disana selama lebih dari sepekan,"
jawab cantrik itu. "Untuk apa" Dan dimana Iswari?" bertanya Kiai Badra
pula dengan gelisah. "Iswari ikut bersama mereka," jawab cantrik itu.
"Dan anaknya?" bertanya Kiai Badra selanjutnya.
46 SH. Mintardja "Anak itu dibawa serta," jawab cantrik itu. "Tetapi
mereka membawa seorang pemomong yang akan dapat
membantu Iswari melayani anaknya yang mulai nakal itu."
"O," Kiai Badra tersenyum. "Apa yang sudah dilakukan
oleh anak itu?" "Berteriak-teriak," jawab cantrik itu. "Setiap pagi
sebelum dini hari bersahut-sahut dengan kokok ayam
jantan." Kiai Badra tertawa. Keinginannya untuk bertemu dengan
cucu dan cicitnya itu menjadi semakin mendesaknya.
Karena itu, maka katanya kemudian, "Apakah letak Tlaga
Kuning itu jauh?" "Tidak," jawab cantrik itu.
"Tolong, bawa aku ke Tlaga itu," berkata Kiai Badra
kemudian. "Tetapi Kiai bermalam disini saja untuk malam ini.
Sekarang langit sudah menjadi merah," jawab cantrik itu.
"Tetapi bukankah Tlaga Kuning itu tidak terlalu jauh?"
sahut Kiai Badra. "Memang tidak terlalu jauh," jawab cantrik itu. "Tidak
ada setengah malam perjalanan."
"He, setengah malam perjalanan" Dan itu kau katakan
tidak terlalu jauh?" berkata Kiai Badra kemudian.
Cantrik itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya pula, "Bukankah tidak terlalu jauh dibandingkan
dengan padepokan Kiai itu?"
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Memang
tidak terlalu jauh. Tetapi aku sependapat, bahwa besok aku
akan pergi ke Tlaga Kuning."
47 SH. Mintardja Malam itu Kiai Badra dan Gandar telah sepakat untuk
bermalam. Tetapi, seorang cantrik telah memberitahukan
kepada mereka, agar mereka bermalam saja di luar
padepokan." "Ada apa sebenarnya?" bertanya Kiai Badra.
Cantrik itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Kiai. Sebenarnyalah Kiai dan Nyai Soka berusaha untuk
menghindarkan diri dari satu pertumpahan darah. Seorang
sahabat Kiai Soka dimasa mudanya merasa kehilangan
seorang ayah. Orang itu menduga, bahwa ayahnya telah
dibunuh oleh guru Kiai Soka pada saat itu. Pada satu waktu
yang sudah lama. Tetapi dendamnya tiba-tiba beralih
kepada Nyai dan Kiai Soka sekarang ini."
Kiai Badra mengerutkan keningnya. Hampir diluar
sadarnya ia bertanya, "Apakah orang itu orang yang sangat
luar biasa. Maksudku, bahwa Kiai dan Nyai Soka terpaksa
mengungsi?" "Bukan mengungsi Kiai. Tetapi mereka menghindari
pertumpahan darah. Agaknya Kiai Soka masih ingin
memberikan penjelasan. Tetapi tidak dalam keadaan seperti
ini. Orang itu tentu tidak akan mendengarkannya. Karena
itu, maka padepokan ini lebih baik dikosongkan. Mereka
tidak akan menemukan lawan di padepokan ini."
"Siapa orang yang memusuhi adikku itu?" bertanya Kiai
Badra. "Aku kurang tahu Kiai. Tetapi sebaiknya Kiai juga
menghindarkan diri dari kemungkinan yang buruk yang
dapat terjadi," berkata cantrik itu.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
pun bertanya, "Lalu bagaimana dengan kalian?"
48 SH. Mintardja "O," jawab cantrik itu. "Kami hanya cantrik-cantrik
padepokan. Tentu mereka tidak akan berbuat apa-apa
terhadap kami." Kiai Badra memandang Gandar sejenak. Namun
kemudian katanya, "Gandar. Marilah kita menyingkir.
Malam ini padukuhan ini akan didatangi oleh orang-orang
yang ingin membalas dendam kepada Kiai Soka karena
peristiwa sekian puluh tahun yang lalu."
"Baiklah Kiai. Aku akan ikut saja apa yang Kiai
perintahkan," jawab Gandar.
Namun dalam pada itu Kiai Badra bertanya, "Lalu
bagaimana dengan kuda-kuda kami. Orang-orang yang
membalas dendam itu mungkin seorang yang gemar sekali
mengumpulkan kuda. Bukankah dengan demikian semua
kuda di padepokan ini akan dibawa oleh penjahat itu."
Para cantrik itu termenung sejenak. Namun kemudian
katanya, "Kiai benar. Kuda-kuda itu pun harus
disingkirkan." Dengan demikian, maka para cantrik di padepokan itu
pun telah membawa Kiai Badra, Gandar dan beberapa ekor
kuda menyingkir. Mereka telah membawa kedua tamu
mereka jauh dari padepokan itu. Karena di halaman rumah
itu tidak ada kandang, maka kuda-kuda itu pun telah diikat
saja pada batang-batang pohon.
Pemilik rumah itu ternyata orang yang sangat ramah.
Mereka mempersilakan Kiai Badra dan Gandar untuk
berada di ruang dalam. "Silahkan Ki Sanak," berkata orang itu, "Menurut para
cantrik, padepokan itu akan didatangi oleh orang-orang
yang berniat buruk, sehingga Ki Sanak terpaksa diungsikan
kemari." 49 SH. Mintardja "Begitulah menurut para cantrik," jawab Kiai Badra.
"Kami sama sekali tidak menyangka, bahwa akan terjadi hal
seperti itu disini. Jika kami mengetahuinya, maka lebih baik
kami tidak datang di padepokan ini."
"Tetapi Ki Sanak dapat tinggal disini dengan tenang. Aku
sudah kenal dengan baik Kiai dan Nyai Soka. Bahkan sudah
seperti keluarga sendiri. Karena itu, aku sama sekali tidak
berkeberatan Ki Sanak berada di rumah ini semalam justru
untuk menghindarkan diri dari kemungkinan-kemungkinan
buruk," berkata pemilik rumah itu. "Anggaplah rumah ini
sebagai bagian dari padepokan Kiai dan Nyai Soka."
"Terima kasih Ki Sanak," jawab Kiai Badra.
Ketika kemudian malam turun dan gelap pun
menyelubungi padepokan kecil itu, maka Kiai Badra dan
Gandar telah berada di dalam bilik yang disediakan untuk
mereka. "Kenapa kita tidak pergi saja ke Tlaga Kuning Kiai?"
bertanya Gandar. "Bukankah itu lebih baik daripada kita
berada disini."
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya, "Rasa-rasanya ada yang mengikat aku disini. Aku
sebelumnya tidak pernah mendengar adikku itu pernah
bermusuhan dengan siapapun juga. Kini tiba-tiba seseorang
telah datang untuk membalas dendam. Seandainya benar
kata cantrik itu, bahwa yang datang untuk membalas
dendam itu adalah sahabat Kiai Soka di masa mudanya,
memang mungkin aku tidak mengetahuinya. Hal itu
mungkin sekali terjadi sebelum Kiai Soka kawin dengan
adikku. Tetapi adalah mengherankan sekali, bahwa tiba-tiba
setelah sekian puluh tahun, orang yang pernah menjadi
seorang sahabat itu datang untuk membalas dendam."
50 SH. Mintardja Gandar menarik nafas dalam-dalam. Ia pun sebenarnya
juga dihinggapi keinginan untuk mengetahui apa yang akan
terjadi, dan kenapa tiba-tiba saja sahabat itu teringat untuk
membalas dendam. Karena itu, maka Gandar pun kemudian sependapat
dengan Kiai Badra untuk berada di rumah kecil itu. Bahkan
seandainya sahabat itu tidak datang malam itu, Kiai Badra
akan menunggu di malam berikutnya.
Ketika keduanya sudah mendapatkan suguhan makan
malam, maka kedua orang itu telah berada kembali di
dalam biliknya. Untuk mengisi waktu maka Gandar mulai
berbicara tentang anak laki-laki Iswari dan bandul yang
dibawanya. Sebenarnyalah bahwa malam itu dua orang berkuda telah
mendekati padepokan Tlaga Kembang. Dua orang yang
bertubuh tegap kekar. Meskipun umur mereka sudah
melampaui pertengahan abad, namun nampak bahwa
mereka masih tetap orang-orang yang memancarkan
kemampuan yang tinggi yang tersimpan di dalam dirinya.
Di dalam sepinya malam kuda itu berderap di atas jalan
berbatu-batu. Kemudian mereka mulai memperlambat kuda
mereka setelah mereka mendekati regol padepokan Kiai dan
Nyai Soka yang kosong, selain beberapa cantrik yang tidak
mengetahui persoalan yang dibawa oleh kedua orang itu
secara pasti. Yang mereka ketahui adalah sebagaimana yang
mereka katakan kepada Kiai Badra dan Gandar yang
mereka singkirkan ke rumah seorang penghuni padukuhan
sebelah. Namun satu hal yang harus diingat oleh para cantrik,
bahwa mereka tidak perlu mengatakan dimana Kiai dan
Nyai Soka berada. Apapun yang terjadi atas mereka, namun
mereka harus tetap merahasiakannya.
51 SH. Mintardja Sejenak kemudian, maka kedua orang itu pun sudah
turun dari kuda mereka dan mengetuk regol padepokan.
Seolah-olah mereka adalah tamu-tamu yang memang sudah
diharapkan tanpa keseganan dan apalagi berusaha
memasuki padepokan dengan diam-diam.
Beberapa kali orang itu mengetuk pintu. Baru kemudian
seorang cantrik berlari-lari membuka pintu regol.
Jantung cantrik itu menjadi berdebar-debar. Ia sudah
menduga bahwa yang datang itu tentu orang yang dikatakan
oleh Kiai Soka sebagai orang-orang yang ingin membalas
dendam. Namun justru karena itu, maka cantrik itu menjadi
bagaikan terbungkam. Ia berdiri saja memandangi kedua
orang itu dengan mata yang tidak berkedip. Namun
mulutnya tidak dapat mengucapkan sepatah katapun.
Karena cantrik yang membuka pintu regol itu tidak
mengucapkan kata-kata, maka salah seorang dari kedua
orang itulah yang bertanya, "Apakah kau ingin
mempersilakan aku masuk?"
Cantrik itu menjawab dengan gagap, "Ya. Ya. Silakan."
Kedua orang itu pun kemudian menuntun kuda mereka
memasuki halaman padepokan itu. Rasa-rasanya
padepokan kecil itu memang sepi. Apalagi di malam hari.
Keduanya pun kemudian mengikatkan kuda mereka pada
tonggak-tonggak yang sudah tersedia di halaman.
Kemudian berdiri tegak sambil menunggu.
Cantrik yang mengikutinya itu pun kemudian menyadari,
bahwa ia harus mempersilakan kedua orang itu
sebagaimana ia mempersilakan seorang tamu. Karena itu,
Kisah Tiga Kerajaan 11 Neraka Hitam Seri Bara Maharani Karya Khu Lung Neraka Hitam 12
Bukankah kakang dapat mengatakan, menolong seseorang
yang mengalami kesulitan karena dirampok orang misalnya.
Atau membebaskan satu padukuhan dari keganasan para
berandal yang ingin merampas semua kekayaan di
padukuhan itu." "Kenapa begitu" Bukankah tidak pernah ada lagi
perampokan dan tindakan kekerasan seperti itu lagi
sekarang ini?" bertanya Kiai Badra.
"Kenapa tidak" Bukankah hal itu telah terjadi atas
cucumu sendiri?" sahut Nyai Soka.
68 SH. Mintardja Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, "Itu
bukan persoalan satu perampokan."
"Apapun namanya, tetapi peristiwa itu adalah peristiwa
kekerasan. Kenapa kakang atau Gandar sama sekali tidak
berbuat apa-apa untuk mencegah hal itu terjadi?" bertanya
Nyai Soka. Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam, sementara
Gandar hanya dapat menundukkan kepalanya saja.
"Sekarang kita tidak akan dapat berbuat banyak atas
Iswari yang seakan-akan tidak lagi mempunyai keinginan
apa-pun juga di dalam hidupnya," berkata Nyai Soka. Lalu,
"Karena itu, aku harus membentuknya menjadi orang lain."
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya Kiai Badra.
"Aku yakin, bahwa di dalam tubuh Iswari itu mengalir
darah sebagaimana yang mengalir di tubuh kakang," jawab
Nyai Soka. "Sehingga karena itu, maka aku tidak akan
banyak mengalami kesulitan jika aku dan kakang Soka
menjadikan seseorang yang akan mampu mengimbangi
kemampuan perempuan yang dikatakan oleh Gandar,
sebagai istri muda Ki Wiradana yang memiliki ciri gerak
dan sikap dari perguruan Kalamerta."
Wajah Kiai Badra menjadi tegang. Namun kemudian
katanya, "Sebenarnya aku tidak ingin mengotori Iswari
dengan darah. Sejak ia tumbuh menjadi seorang gadis
remaja, aku dibayangi oleh keinginan untuk membuatnya
seorang gadis yang lain. Tetapi ternyata aku berpendapat,
bahwa sebaiknya Iswari menjadi seorang yang bersih, yang
tidak dibekali dengan satu keinginan untuk bermusuhan.
Sebagaimana aku sendiri, yang merasa bahwa sebaiknya
aku meninggalkan dunia yang penuh dengan tetesan darah
sesama itu. 69 SH. Mintardja "Tetapi yang terjadi adalah seperti yang kita lihat
bersama atas Iswari sekarang ini," berkata Kiai Soka, "Ia
mengalami perlakuan yang sangat tidak adil. Jika ia
memiliki ilmu kanuragan mungkin akibatnya akan lain."
"Ya. Mungkin Iswari sudah mati," jawab Kiai Badra. "Jika
Iswari mempunyai ilmu kanuragan, maka ia tentu bersikap
lain terhadap perempuan yang akan membunuhnya itu,
sehingga mungkin sekali timbul perkelahian antara Iswari
dengan perempuan itu. Karena Iswari baru mengandung,
maka geraknya tentu sangat terbatas, sehingga akhirnya ia
justru akan terbunuh karenanya."
Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Memang segala sesuatunya dapat dipandang dari sudut
yang berbeda-beda. Demikian juga ilmu kanuragan. Ilmu ini
akan dapat dipergunakan untuk menambah dosa, tetapi
juga dapat dipergunakan untuk berbuat kebajikan.
Melindungi orang-orang yang lemah dan menegakkan
keadilan. Pada satu saat kakang sendiri adalah orang yang
ditakuti di dunia olah kanuragan. Namun pada saat yang
lain, kakang menganggap bahwa kakang lebih baik menarik
diri dan tinggal di sebuah padepokan kecil dengan pesan
yang berbeda bagi sesama."
Kiai Badra termangu-mangu. Namun akhirnya ia pun
bertanya kepada Gandar, "Apa pendapatmu Gandar?"
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apakah
jika Iswari memiliki ilmu yang cukup, ia tidak terdorong
untuk membalas dendam sakit hatinya dan membunuh
orang-orang yang dianggap pernah bersalah kepadanya?"
"Jangan takut Gandar," berkata Kiai Soka. "Jika kami
menempanya, maka kami tidak hanya akan menempanya
70 SH. Mintardja dalam olah kanuragan saja, tetapi juga dalam olah
kejiwaannya." Gandar mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Segala
sesuatunya terserah kepada Kiai dan Nyai Soka. Aku
percaya bahwa yang akan dilakukan itu tentu sudah
dipertimbangkan masak-masak dan dipertanggung
jawabkan." "Ya Gandar. Aku akan bertanggung jawab terhadap
kakeknya dan lebih dari itu, aku bertanggung jawab pula
terhadap Yang Maha Kuasa. Jika ternyata kemudian dengan
ilmunya Iswari akan melepaskan dendamnya kepada
siapapun juga tanpa alasan, maka akan terjadi kewajiban
kami untuk mencegahnya."
Gandar mengangguk-angguk. Sambil memandang
kepada Kiai Badra ia berkata, "Kita serahkan saja semuanya
kepada kebijakan Kiai Soka berdua."
Kiai Badra pun mengangguk-angguk pula. Lalu katanya,
"Baiklah Soka. Seperti yang dikatakan Gandar, maka
segalanya terserah kepadamu. Tetapi bukankah kau
menunggu sampai saatnya Iswari mampu melakukannya
setelah ia melahirkan?"
"Ya kakang. Bukankah kita tidak tergesa-gesa," jawab
Nyai Soka. Kiai Badra pun kemudian mempercayakan Iswari
sepenuhnya kepada Kiai Soka dan Nyai Soka yang
sementara belas kasihan yang mendalam kepada Iswari.
Karena itu, maka mereka benar-benar ingin membentuk
agar pada suatu saat Iswari dapat membawa anaknya itu
kembali ke kedudukan yang seharusnya Kepala Tanah
Perdikan di Sembojan. 71 SH. Mintardja Ternyata Kiai Badra dan Gandar berada di padepokan
Tlaga Kembang itu tidak terlalu lama. Meskipun rasa-
rasanya Gandar tidak ingin meninggalkan padepokan itu,
namun setelah ia yakin bahwa Iswari justru akan tumbuh
dan berkembang dalam olah kanuragan, maka rasa-rasanya
Gandar pun menjadi yakin atas masa depan anak yang baru
dilahirkan oleh Iswari. Karena itu, maka Kiai Badra dan Gandar hanya
bermalam dua malam saja di padepokan kecil itu, dan
kemudian minta diri untuk kembali ke padepokannya.
Kiai dan Nyai Soka melepaskan mereka dengan pesan,
agar Kiai Badra dan Gandar atau salah seorang di antara
mereka sering datang ke padepokan kecil itu untuk melihat
perkembangan Iswari dalam olah kanuragan, dan melihat
pertumbuhan anak yang dilahirkannya itu.
Demikianlah, maka Kiai Badra dan Gandar pun
meninggalkan padepokan itu dengan berbagai macam
pikiran. Bahkan diperjalanan Gandar berkata kepada Kiai
Badra, "Kiai, tiba-tiba saja aku mempunyai satu pikiran
yang barangkali kurang baik bagi Kiai. Aku tiba-tiba saja
seperti yang pernah dikatakan ingin mendapatkan satu
keyakinan bahwa anak Iswari itu akan kembali ke Tanah
Perdikan Sembojan dan mendapatkan kedudukannya."
"Kenapa kau berpikiran demikian," berkata Kiai Badra.
"Apakah kau menganggap bahwa kedudukan itu adalah
satu-satunya jalan yang akan dapat membahagiakan cucuku
dan anak laki-lakinya itu" Sebenarnya aku pun menyadari
bahwa tujuan utama dari Soka suami istri adalah seperti
yang kau katakan itu pula."
"Entahlah Kiai," berkata Gandar kemudian. "Tetapi aku
membayangkan, seandainya perempuan cantik itu
72 SH. Mintardja mempunyai anak laki-laki pula dan kelak menggantikan
kedudukan Wiradana, apakah yang akan terjadi dengan
Tanah Perdikan Sembojan itu. Namun yang lebih
menggelisahkan aku lagi adalah bahwa perempuan cantik
itu menurut penilaianku sekilas, mempunyai ciri-ciri dari
perguruan Kalamerta sebagaimana yang Kiai pernah
memberitahukan kepadaku. Ciri-ciri yang khusus pada
setiap usaha pemusatan kemampuan pada orang-orang
yang termasuk tataran yang tinggi. Dan sikap itu telah aku
lihat dilakukan oleh perempuan itu sebagaimana pernah
aku katakan kepada Kiai dan Kiai pun agaknya sependapat,
bahwa ciri-ciri itu adalah ciri-ciri perguruan Kalamerta."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Adalah
kebetulan bahwa aku mengenal ciri-ciri perguruan
Kalamerta dan perguruan Sembojan. Agaknya aku pun
mengerti maksudmu dan aku pun mengerti dasar
kecemasanmu. Jika perempuan itu berhasil masuk ke dalam
keluarga Wiradana yang sudah tidak mempunyai istri lagi
itu, maka perempuan itu akan menjadi sangat berbahaya
bagi Ki Gede di Sembojan itu, karena Ki Gede lah yang telah
membunuh Kalamerta."
"Ya Kiai," sahut Gandar. "Hal itu tentu sudah
diperhitungkan pula oleh perempuan cantik itu."
"Lalu apa yang akan kau lakukan kemudian Gandar?"
bertanya Kiai Badra. "Sudah tentu dengan sangat hati-hati dan perlahan-lahan
Kiai. Aku ingin menyampaikan semua persoalan ini kepada
Ki Gede Sembojan," berkata Gandar.
"Ah," Kiai Badra berdesah. "Apakah kau akan dapat
meyakinkan Ki Gede bahwa hal seperti ini telah sebenarnya
terjadi?" 73 SH. Mintardja "Mudah-mudahan Kiai. Tetapi aku memang memerlukan
waktu yang panjang. Mudah-mudahan aku tidak terlambat,
karena perempuan cantik itu telah bertindak lebih dahulu,"
berkata Gandar. "Tetapi aku berharap, bahwa Wiradana
pun tidak akan dapat dengan serta merta membawa
perempuan itu kembali ke rumahnya, karena ia baru saja
kehilangan istrinya. Ki Gede agaknya masih berusaha untuk
menemukan Iswari meskipun Wiradana sendiri tidak
membantunya." "Terserahlah kepadamu Gandar. Tetapi berhati-hatilah.
Jika benar kau akan berhadapan dengan perguruan
Kalamerta, maka kau benar-benar harus mempersiapkan
dirimu. Agaknya dengan demikian, kau harus kembali
kepada alat-alat pembunuh yang sudah kau letakkan itu,"
berkata Kiai Badra. Gandar menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya
firasatnya memang sudah mengatakannya lebih dahulu
bahwa pada suatu saat, ia akan kembali meraba alat-alat
pembunuh itu. Ketika ia akan pergi ke Sembojan, sebelum
terjadi malapetaka atas Iswari, ia pun sudah menyentuh
senjatanya yang sudah disimpannya itu. Dan agaknya ia
benar-benar akan mempergunakannya kembali atau jenis
senjata lain yang manapun. Namun ia pada suatu saat akan
mempergunakan senjata lagi.
"Gandar," berkata Kiai Badra kemudian, "Jika kau pada
suatu saat mengambil satu keputusan untuk melakukan
langkah yang akan dapat berakibat luas, aku minta kau
menghubungi aku lebih dahulu jika waktunya
memungkinkan." Gandar mengangguk sambil menjawab, "Ya Kiai.
Bagaimana pun juga aku tidak berbuat sendiri."
74 SH. Mintardja Namun dalam pada itu, Gandar tidak segera
mendapatkan jalan, bagaimana yang sebaiknya. Setiap kali
ia mendekati Tanah Perdikan Sembojan, maka rasa-rasanya
ia akan memasuki satu daerah yang tertutup baginya.
"Apa yang akan kau lakukan" Menemui Ki Gede" Atau
memaksa Wiradana untuk mengatakan apa yang telah
dilakukan?" bertanya kepada diri sendiri.
Namun setiap kali Gandar selalu menunda usahanya
untuk berbicara dengan orang-orang Sembojan.
Karena itu, maka Gandar pun kemudian menjadi
semakin berhati-hati. Ia tidak perlu tergesa-gesa, karena
jika sekali ia salah langkah, maka kemungkinan yang buruk
akan dapat terjadi bukan saja atas dirinya, tetapi mungkin
atas Ki Gede Sembojan atau perempuan yang pernah
menyelamatkan Iswari dari pembunuhan yang keji.
Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Sembojan, Ki Gede
telah berhasil menempa duapuluh lima orang pengawal itu
pun mulai memberikan tugas-tugas kepada mereka. Pada
pengawal itu mendapat perintah untuk menilai keadaan di
Tanah Perdikan Menoreh dan sekitarnya.
Tetapi duapuluh lima orang itu sama sekali tidak
menemukan tanda-tanda bahwa Tanah Perdikan itu masih
dibayangi oleh kekuatan yang dapat membahayakan Tanah
Perdikan Menoreh. Bahkan menurut pengamatan mereka,
di padukuhan-padukuhan di perbatasan di luar Tanah
Perdikan itu pun tidak ada gejala yang dapat menunjukkan
adanya gangguan terhadap ketenangan dan ketentraman.
Karena itu, maka salah seorang dari anak-anak muda
yang mendapat tempaan khusus itu berkata, "Bagaimana
jika kita melangkah keluar Tanah Perdikan Ki Gede?"
75 SH. Mintardja Ki Gede masih merasa ragu-ragu. Ketika ia memanggil
Wiradana dan berbicara tentang hal itu, maka Wiradana itu
pun berkata, "Ayah, sebaiknya kita tidak melanggar
wewenang orang lain. Dalam hal hilangnya Iswari, kita
sudah tidak kekurangan langkah. Segala usaha sudah kita
lakukan. Dua puluh lima orang pengawal khusus itu telah
memeriksa setiap rumah dan bertanya hampir setiap orang
yang mungkin melihat Iswari pada saat-saat terakhir.
Sementara aku sendiri siang dan malam telah berusaha
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencarinya, bahkan dengan diam-diam tanpa
menimbulkan gangguan di daerah tetangga kita aku sudah
berusaha untuk menemukan pula. Tetapi semuanya sia-sia
saja. Iswari hilang begitu saja. Bahkan akhirnya aku curiga,
bahwa Iswari memang berusaha untuk meninggalkan kita."
"Itu tidak mungkin," jawab ayahnya. "Aku yakin, bahwa
Iswari telah menjadi kerasan tinggal disini. Ia menganggap
aku sebagai ayahnya sendiri, karena ia sudah tidak berayah.
Ia melakukan kewajibannya sebagai seorang istri yang baik
menurut pengamatanku. Ia tidak pernah mengeluh
meskipun hampir setiap malam ia kau tinggalkan justru
pada saat ia mengandung. Ia tetap melakukan tugasnya,
bukan saja sebagai seorang istri yang setia, tetapi juga
kewajibannya terhadap para tetangga bahkan di
padukuhan-padukuhan lain di Tanah Perdikan ini. Ia hilang
pada saat ia akan pergi ke rumah Pasih yang baru saja
melahirkan anak." Wiradana tidak menjawab. Setiap kali ia berbicara
dengan ayahnya tentang Iswari yang hilang itu, rasa-
rasanya ada saja persoalan yang tidak dapat bertemu.
"Pada saatnya ia akan melupakannya," berkata Wiradana
di dalam hatinya. 76 SH. Mintardja Karena itu, setiap kali Wiradana selalu berusaha untuk
menghindari pembicaraan dengan ayahnya tentang Iswari.
Yang dilakukan oleh Wiradana kemudian adalah kerja. Ia
berusaha untuk menutupi kelemahannya dengan kerja
keras bersama anak-anak Tanah Perdikan di siang hari.
Dengan rajin ia mengamati parit-parit dan bendungan. Jika
terdapat kekurangan, maka ia pun segera memanggil anak-
anak muda untuk bersama-sama memperbaikinya.
Namun di malam hari, Wiradana hampir tidak pernah
ada di rumahnya. Ia selalu berada di sisi istrinya yang cantik
yang telah membuatnya menjadi bagaikan gila.
"Kakang," berkata Warsi pada satu saat, "Aku harap
kakang tidak salah mengerti. Sebenarnya ada sesuatu yang
ingin aku sampaikan kepada kakang."
"Tentang apa Warsi?" bertanya Wiradana.
"Tentang hubungan kita," jawab Warsi. "Tetapi sekali
lagi, kakang jangan salah mengerti kata-kataku."
Wiradana mengerutkan keningnya. Namun dengan
sungguh-sungguh ia mendengarkan Warsi berkata,
"Kakang, sudah sekian lama aku menjadi istri kakang.
Namun rasa-rasanya aku masih dibayangi oleh keragu-
raguan. Seolah-olah rumah tangga kita bukannya rumah
tangga yang sewajarnya."
"Apa yang kau maksudkan Warsi?" bertanya Wiradana.
"Kakang ada di rumah hanya pada malam hari," berkata
Warsi kemudian, "Bahkan kadang-kadang malam hari pun
tidak atau hanya sebentar sekali. Jika aku melihat orang-
orang lain dalam hubungan keluarga, mereka berkumpul
hampir di setiap saat dalam waktu-waktu lepas dari kerja.
Maksudku, setiap kali seorang suami akan pulang untuk
makan bersama istrinya. Bukan hanya di malam hari. Tetapi
77 SH. Mintardja juga di siang hari. Jika matahari mulai turun ke Barat, maka
seorang suami akan meninggalkan kerjanya dan pulang
untuk makan bersama istri di rumah. Mungkin ia akan pergi
lagi di sore hari. Tetapi ia akan segera pulang untuk mandi
dan sekali-kali bergurau bersama keluarga menjelang
malam. Itulah yang sebenarnya aku risaukan kakang. Bukan
karena rumah ini terlalu kecil. Tetapi jika kakang selalu ada,
maka rumah ini merupakan istana yang paling berharga
bagiku." Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
berat ia berkata, "Aku mengerti Warsi. Sabarlah. Aku akan
berusaha untuk segera membawamu ke rumah."
"Jangan salah mengerti kakang. Bukankah aku sudah
mengatakannya sebelumnya," sahut Warsi. "Aku tidak ingin
pindah dari rumah ini. Rumah ini memberikan kesan
tersendiri kepadaku. Tetapi yang aku inginkan, rumah
tangga kita menjadi wajar, sebagaimana rumah tangga yang
lain." Wiradana mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia
berkata, "Tetapi selama kau masih ada disini, maka tidak
akan terjadi satu kehidupan yang serasi di antara kita. Aku
masih harus selalu berpura-pura. Mengatakan yang tidak
sebenarnya. Dan bahkan kadang-kadang aku kehilangan
akal untuk menyusun alasan-alasanku berikutnya."
Warsi menundukkan kepalanya. Setiap kali ia berbuat
seakan-akan menyesali sikapnya sendiri.
"Maafkan aku kakang. Lupakan saja kata-kataku
semuanya. Aku tidak ingin membuat kau menjadi semakin
terdesak dalam kesulitan," berkata Warsi.
"Tidak Warsi," jawab Wiradana. "Yang kau kehendaki
adalah sesuatu yang wajar sekali. Adalah menjadi
78 SH. Mintardja kewajibanku untuk dapat membantumu bahagia lahir dan
batin." "Tetapi aku tidak ingin membebanimu dengan berbagai
macam persoalan. Aku tahu, bahwa tugas-tugasmu cukup
banyak di Tanah Perdikan," jawab Warsi.
Dalam keadaan demikian, Wiradana justru merasa
semakin terdesak. Ia merasa bahwa selama ini ia tidak
dapat berbuat sebagaimana seorang laki-laki yang
bertanggung jawab atas istrinya. Seorang laki-laki yang
seharusnya mampu memberikan kesejahteraan kepada
istrinya. Bukan sebaliknya, justru seakan-akan telah
menyiksanya. "Warsi tidak ingin apa-apa, apalagi yang berlebihan,"
berkata Wiradana di dalam hatinya. "Ia hanya
menginginkan kewajaran dalam rumah tangga."
Dengan demikian, maka keinginan Wiradana untuk
membawa Warsi ke rumahnya menjadi semakin terdesak di
dadanya. Ayahnya yang masih saja bersedih karena
hilangnya Iswari, rasa-rasanya benar-benar telah menjadi
penghalang baginya. "Seharusnya ayah mengerti keadaanku," berkata
Wiradana di dalam hatinya. Namun Wiradana tidak akan
berani mengatakannya sebelum ia menemukan satu
keadaan yang paling tepat.
Pada saat Wiradana masih dikekang oleh kegelisahan
tentang keinginan Warsi untuk hidup wajar, maka di
padepokan Tlaga Kembang, Iswari telah mampu sedikit
demi sedikit melepaskan diri dari kepahitan perasaan
karena sikap suaminya. Selain anaknya yang tumbuh
dengan cepat menjadi anak yang gemuk dan segar, maka
79 SH. Mintardja Kiai Soka suami istri telah berusaha untuk benar-benar
membuatnya menjadi orang lain.
Ketika keadaan tubuh Iswari telah pulih kembali setelah
ia melahirkan, serta anaknya nampak sehat dan tidak
mengalami gangguan apapun, Nyai Soka mulai membawa
Iswari memasuki satu dunia yang sebelumnya terasa asing
baginya. "Iswari," berkata Nyai Soka. "Dengarlah. Bahwa di dalam
kehidupan ini kadang-kadang kita dihadapkan pada satu
keharusan yang tidak kita kehendaki. Mungkin di saat kita
berjalan di tengah-tengah bulak yang panjang tiba-tiba saja
hujan turun." Iswari mengerutkan keningnya. Ia tidak segera
menangkap maksud Nyai Soka.
Dalam pada itu, maka Nyai Soka itu pun melanjutkannya,
"Karena itu Iswari, jika kita sudah melihat mendung di
langit, dan kita akan menempuh perjalanan lewat bulak-
bulak panjang, maka sebaiknya kita membawa payung.
Seandainya hujan tidak jadi turun, kita tidak dirugikan
karenanya. Tetapi jika hujan benar-benar akan turun maka
kita tidak akan menyesal karenanya."
Iswari masih belum menangkap maksud Nyai Soka.
Sehingga Nyai Soka akhirnya menjelaskan. "Iswari. Cobalah
melihat kepada dirimu sendiri."
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Barulah ia mengerti
maksud Nyai Soka. Namun demikian, ia masih juga
bertanya, "Lalu apakah yang sebaiknya aku lakukan, nek?"
"Nenek sudah tua," jawab Nyai Soka. "Sementara itu
nenek tidak mempunyai seorang anak pun. Seorang anak
yang akan mewarisi harta yang paling berharga yang aku
miliki berdua bersama kakekmu Kiai Soka," Nyai Soka diam
80 SH. Mintardja sejenak, lalu, "Tetapi harta yang paling berharga itu
bukannya benda yang besar. Tetapi yang nenek miliki
adalah sekadar ilmu. Ilmu yang jika tidak aku wariskan
kepada siapapun juga, akan hilang tidak berarti bersama
jasad nenek dan kekek Soka yang tua ini. Sementara dua
orang cantrik yang ada di padepokan ini, tidak dapat kami
harapkan untuk dapat menjadi murid yang benar-benar
memenuhi keinginan nenek dan kakekmu disini.
Selebihnya, jika kau anggap penting maka ilmu itu akan
merupakan payung yang akan dapat kau bawa mengarungi
kelangsungan hidupmu dan hidup anakmu."
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apakah
artinya ilmu itu bagiku, nek. Aku sudah merasa senang
tinggal disini bersama nenek dan kakek. Aku tidak ingin
berbuat lebih banyak daripada berbuat sesuatu sesuai
dengan kemampuan yang ada padaku, sekadar menanak
nasi, mencuci pakaian dan membersihkan rumah."
"Benar," jawab Nyai Soka. "Tetapi meskipun kau hanya
akan menanak nasi, mencuci pakaian dan membersihkan
rumah, alangkah baiknya jika kau mampu berbuat sesuatu
jika anakmu berada dalam bahaya. Sekarang aku dan
kakekmu masih ada, sehingga meskipun kami sudah tua,
tetapi masih mungkin untuk membantu dan berusaha
menyelamatkan anakmu. Tetapi pada saatnya kami akan
kembali dipanggil oleh Tuhan yang maha menitahkan kami,
sementara itu anakmu tumbuh makin besar. Iswari, apakah
kau menyadari bahaya yang dapat menerkam anakmu
setiap saat?" Iswari menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari arah
pembicaraan Nyai Soka. Dan ia pun menyadari
kemungkinan itu atas anaknya, karena anaknya adalah anak
Wiradana. 81 SH. Mintardja Karena Iswari masih saja merenung, maka Nyai Soka itu
lalu bertanya, "Iswari, apakah kau mengerti maksudku?"
Iswari mengangguk kecil, sementara itu Nyai Soka
berkata, "Karena anakmu itu mempunyai kemungkinan
untuk memegang pimpinan di Tanah Perdikan Sembojan
menurut hak atas dasar keturunan, maka tentu ada orang
yang tidak atas dasar keturunan, maka tentu ada orang yang
tidak senang menerimanya, sebagaimana orang itu tidak
senang menerima kehadiranmu di Tanah Perdikan ini."
"Ya nek," suara Iswari terdengar lirih.
"Nah, jika kau menyadari, maka ikutilah nenek yang tua
selagi nenek masih berkesempatan," berkata Nyai Soka.
Iswari tidak membantah. Ia sadar, bahwa sejak saat itu,
ia akan memasuki satu dunia yang selamanya belum pernah
disentuhnya. Di hari berikutnya, neneknya telah mengajak Iswari
berjalan-jalan. Mereka memutari padepokan kecil itu
beberapa kali. Demikian yang mereka lakukan dari hari ke
hari. Semakin lama semakin bertambah jumlah putaran
yang mereka tempuh. "Karena kau sedang menyusui Iswari, maka kita akan
mulai dengan perlahan-lahan saja. Kita tidak tergesa-gesa.
Kita memerlukan waktu bukan hanya satu dua bulan. Bukan
hanya satu dua tahun. Tetapi mungkin sampai bertahun-
tahun, sementara itu anakmu tumbuh semakin besar.
Waktu kita memang terbatas Iswari. Sampai saatnya nenek
dan kakek Soka ini dipanggil menghadap Yang Maha
Agung." Iswari hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ternyata ia
adalah seorang yang patuh. Sejak ia dianggap oleh adik
kakeknya itu sebagai muridnya, maka apapun yang harus
82 SH. Mintardja dilakukan, telah dilakukannya meskipun terasa berat.
Karena Iswari yakin, bahwa neneknya itu tahu pasti, ukuran
yang dipergunakan untuk menakar kemampuan Iswari.
Sebenarnyalah yang dilakukan Iswari itu sama sekali
tidak mengganggunya dalam saat-saat ia sedang menyusui,
karena Nyai Soka telah memperhitungkan segala
sesuatunya sebaik-baiknya.
Di hari-hari berikutnya Nyai Soka mulai dengan latihan-
latihan di sanggar dengan gerakan-gerakan yang sangat
sederhana. Nyai Soka mengerti, bahwa Iswari sama sekali
belum pernah mengenal ilmu kanuragan. Tetapi karena di
dalam tubuhnya mengalir darah keturunan Kiai Badra,
maka Nyai Soka yakin, bahwa perempuan itu akan dapat
dibentuknya menjadi seorang perempuan yang memiliki
kelebihan dari orang lain.
Pada hari pertama, maka gerak-gerak yang sederhana itu
sudah terasa sangat sulit bagi Iswari. Tetapi demikian ia
mulai dengan gerak yang pertama dari latihan-latihan yang
diikutinya untuk selanjutnya, terasa oleh Iswari seakan-
akan ia memang dituntut untuk mempelajarinya dengan
sungguh-sungguh. Karena itu, maka Iswari pun kemudian mengikuti segala
latihan dengan sungguh-sungguh tanpa mengabaikan
kewajibannya terhadap anak laki-lakinya yang tumbuh
dengan suburnya. Sementara itu, betapapun kuatnya kemauan Ki Gede di
Sembojan untuk berusaha menemukan Iswari hidup atau
mati, namun akhirnya ia mulai dibayangi oleh satu
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kenyataan, bahwa Iswari tidak akan dapat diketemukan.
Kemarahannya yang tertuju kepada keluarga Kalamerta
harus dikekangnya, karena para pengawal yang terlatih itu
83 SH. Mintardja sama sekali tidak menemukan sekelompok orang yang
dapat dicurigai sebagai sisa-sisa gerombolan Kalamerta itu.
Saat-saat yang demikian itulah sebenarnya yang ditunggu
oleh Wiradana. Tetapi ia memang tidak mau salah langkah.
Ia tidak tergesa-gesa mengatakan kepada ayahnya bahwa ia
ingin beristri lagi. Tetapi untuk beberapa saat lamanya
Wiradana masih menunggu. Namun tiba-tiba hati Wiradana telah terguncang ketika
pada suatu hari, Gandar telah datang ke Tanah Perdikan
Sembojan. Gandar yang untuk beberapa lama selalu ragu-
ragu dan kebingungan untuk menemukan suatu jalan
menuju ke sebuah pertemuan dengan Ki Gede, akhirnya
menemukannya. Ia tidak ingin datang dengan diam-diam mengintip dan
mengikuti segala gerak-gerik Wiradana. Tetapi ia ingin
dengan terbuka langsung menuju ke rumah Ki Gede di
Sembojan. Kedatangannya memang cukup mengejutkan. Tetapi
karena di wajahnya tidak terbayang kesan-kesan yang
mendebarkan, bahkan nampaknya Gandar datang sambil
tersenyum-senyum, maka Wiradana menjadi agak tenang
menghadapinya. Gandar telah diterima oleh Ki Gede dan Wiradana di
pendapa. Ki Gede yang selalu merasa bersalah, berusaha
untuk berbuat sebaik-baiknya atas temuannya itu,
meskipun menurut anggapannya, Gandar tidak lebih dari
seorang pembantu Kiai Badra yang agak kurang tinggi
kemampuan daya nalarnya. Setelah hidangan disuguhkan, maka mulailah Gandar
mengatakan kepentingannya datang ke rumah Ki Gede.
Katanya, "Ki Gede, sebenarnyalah bahwa aku telah
84 SH. Mintardja diperintahkan oleh Kiai Badra untuk menyampaikan satu
pertanyaan tentang cucunya. Apakah telah didapat kabar
atau keterangan tentang Iswari. Apakah ia masih hidup atau
sudah mati. Jika masih hidup dimanakah orangnya, tetapi
jika mati dimanakah kuburnya?"
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
ditatapnya wajah Wiradana sambil berkata, "Jawablah,
karena Iswari adalah istrimu."
Wiradana tidak dapat ingkar. Maka ia pun berusaha
untuk memberikan jawaban. "Gandar, kami sudah berusaha
sejauh-jauh dapat kami lakukan. Ayah sudah membentuk
sepasukan pengawal khusus dan aku sendiri telah
menjelajahi bukan saja Tanah Perdikan ini, tetapi
padukuhan-padukuhan di sekitarnya. Namun kami belum
menemukan petunjuk apapun. Bagi kami, Iswari seakan-
akan hilang begitu saja tanpa jejak."
Namun tanpa diduga Gandar menjawab, "Itu tidak
mungkin Ki Wiradana. Tidak ada orang yang dapat lenyap
begitu saja. Tentu ada sebabnya. Juga Iswari."
Wiradana menjadi berdebar-debar. Ia menyangka bahwa
Gandar dapat bersikap demikian. Namun kemudian
jawabnya, "Maksudmu Gandar, Iswari telah hilang dan
sampai sekarang tidak dapat diketemukan."
"Ki Wiradana," berkata Gandar kemudian, "Bagi Kiai
Badra, Iswari adalah orang yang sangat penting.
Kelangsungan hidup keturunan Kiai Badra tergantung
kepada Iswari. Jika Iswari itu benar-benar hilang dan tidak
diketemukan, berarti kelangsungan keturunan Kiai Badra
terputus. Dan nama darah keturunan Kiai Badra pun akan
terhapus dari muka bumi."
85 SH. Mintardja Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
mengerti Gandar. Dan sebenarnyalah kami belum berhenti
berusaha. Duapuluh lima orang pengawal yang aku latih
secara khusus telah berusaha untuk mencari. Tetapi sampai
sekarang masih belum berhasil seperti yang dikatakan oleh
Wiradana itu." Karena yang menjawab Ki Gede maka Gandar pun hanya
dapat menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia
bertanya, "Ki Gede. Karena itu, apakah aku diperkenankan
untuk berada di Tanah Perdikan ini barang dua tiga hari.
Siapa tahu, justru pada saat aku berada disini, maka Iswari
dapat diketemukan." "O, silahkan. Silahkan Gandar. Kau dapat berada di
Tanah Perdikan ini berapa hari saja kau kehendaki. Selama
kau berada di Tanah Perdikan ini, maka kau dapat tinggal di
rumah ini," jawab Ki Gede.
"Terima kasih Ki Gede," berkata Gandar kemudian.
"Mudah-mudahan anak-anak muda Sembojan itu dapat
menemukan jejaknya. Apapun yang terjadi atas Nyai
Wiradana, namun jika kami sudah mendapat kejelasan,
maka rasa-rasanya kami akan dapat menjadi tenang."
"Ya, ya Gandar," jawab Ki Gede. "Perasaan yang
demikian itu dapat mengerti. Karena itu, maka kami akan
berusaha sebaik-baiknya."
Demikianlah, maka Gandar pun telah tinggal untuk
beberapa lamanya di Tanah Perdikan Sembojan. Sementara
itu, anak-anak muda yang duapuluh lima orang yang
mendapat tempaan khusus dari Ki Gede itu telah mendapat
perintah ulangan, mencari Nyai Wiradana karena Gandar
ada di Tanah Percikan itu.
86 SH. Mintardja "Kalian jangan mencari Nyai Wiradana sebagai mencari
orang secara wantah," pesan Ki Gede. "Kalian harus
mencarinya dengan mencari jejak, mengurai pengamatan
dan kemudian mengambil kesimpulan.
Anak-anak muda itu mengerti. Dan mereka pun
kemudian telah berpencar mencari jejak. Mereka bertanya
kepada siapa saja yang mungkin akan dapat memberikan
petunjuk atau siapakah yang telah melihat Iswari untuk
yang terakhir kalinya. Tidak ada orang yang dapat memberikan keterangan.
Sehingga dengan demikian maka jalur penyelidikan pun
telah terputus. Dalam pada itu, Wiradana sendiri juga kelihatan
bertambah sibuk. Namun dengan demikian ia semakin
sering tidak berada di rumah. Dengan alasan mencari jejak
Iswari yang telah hilang itu, maka ia pun lebih sering berada
di rumah Warsi. "Kehadiran orang itu sangat memuakkan," berkata
Wiradana kepada istrinya yang cantik itu.
"Tetapi ia tamu kakang. Bagaimanapun juga tamu itu
harus dihormati," berkata istrinya itu.
"Aku akan menghormati tamu yang memang pantas
dihormati. Tetapi tamu yang seorang ini tidak," jawab
Wiradana. Istrinya tidak menjawab lagi. Sebenarnyalah bahwa
Warsi sendiri juga merasa muak mendengar nama Gandar
itu disebut-sebut. Namun, kehadiran Gandar memang bukan sekadar untuk
mencari atau dengan kehadirannya, maka Tanah Perdikan
Sembojan telah dibuatnya bagaikan diguncang lagi. Tetapi
87 SH. Mintardja memang ingin berbicara dengan Ki Gede tanpa diketahui
oleh siapapun juga, termasuk Wiradana. Adalah kebetulan
sekali bahwa Ki Wiradana terlalu sering meninggalkan
rumahnya, sehingga kesempatan itu sebenarnya cukup luas.
Tetapi agaknya Ki Gede sendiri, yang merasa bersalah
atas hilangnya Iswari, lebih banyak mengarahkan
perhatiannya kepada anak-anak muda yang sedang mencari
jejak itu. Bahkan sekali dua kali, Ki Gede pernah ke luar
pula dari halaman rumahnya untuk bersama-sama dengan
anak-anak muda itu melihat-lihat di seputar Tanah
Perdikan. Meskipun kaki dan tangannya mengalami
kelemahan, namun Ki Gede masih dapat duduk di atas
punggung kuda. Dengan pertolongan seseorang Ki Gede
naik dan duduk di atas punggung kuda, kemudian dengan
tangannya yang lemah, Ki Gede masih mampu
menggerakkan kendali. ----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 6. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
88 SH. Mintardja Jilid Keenam Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 89 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja NAMUN Ki Gede sendiri itu pun tidak pernah
menemukan jejak apapun. Sementara itu, Gandar telah berusaha untuk mendapat
kesempatan berbicara langsung tanpa ada orang lain. Tetapi
ternyata kesempatan yang dirasanya cukup luas itu sulit
dicarinya. Setiap mereka duduk di pendapa, ada saja orang
lain yang ikut duduk bersamanya. Jika bukan Wiradana,
sekali-kali juga para bebahu Tanah Perdikan itu, atau
bahkan Ki Gedelah yang kemudian minta diri untuk
melakukan sesuatu. Tetapi Gandar telah bertekad untuk menunggu
kesempatan itu yang ia yakin pada satu saat pasti
didapatkannya. Tetapi sudah barang tentu Gandar tidak
akan dapat menyusul Ki Gede yang sedang duduk merenung
di dalam biliknya atau sedang berbincang dengan anak-
anak muda yang telah ditempanya secara khusus.
Namun Gandar cukup sabar. Meskipun ia sudah sepekan
berada di Tanah Perdikan Sembojan, tetapi karena ia masih
belum sempat berbicara langsung dengan Ki Gede tanpa
orang lain, maka ia masih juga belum berniat untuk
meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan.
Bahkan rasa-rasanya Gandar ingin mencoba berbicara
dengan Ki Gede justru di perjalanan pada saat-saat Ki Gede
berkeliling Tanah Perdikan untuk mencari jejak. Meskipun
Gandar tahu, bahwa yang dicari Ki Gede bukan sekadar
Nyai Wiradana yang hilang, tetapi juga mencari
kemungkinan adanya orang-orang yang mengganggu Tanah
Perdikan karena dendam mereka atas terbunuhnya
Kalamerta. 2 SH. Mintardja Sebenarnya Ki Gede sendiri telah dibakar oleh perasaan
dendam terhadap para pengikut Kalamerta, karena menurut
pendapatnya Iswari adalah karena pokal para pengikut
Kalamerta itu. Karena itulah, maka Ki Gede berusaha untuk
menemukan seorang saja di antara para pengikut Kalamerta
itu, untuk diperas keterangannya tentang hilangnya
menantunya. Ketika Gandar melihat pada satu pagi, Ki Gede bersiap-
siap untuk mengelilingi Tanah Perdikan bersama lima
orang pengawal berkuda, maka Ganar pun telah
memberanikan diri untuk minta ijin, ikut bersama dengan
sekelompok kecil orang-orang Tanah Perdikan Sembojan
itu. "Kebetulan sekali," jawab Ki Gede. "Senang sekali pergi
bersamamu Gandar. Kau akan melihat sendiri keadaan
Tanah Perdikan ini. Mungkin kau melihat sesuatu yang
dapat menarik perhatianmu dan kemudian dapat
dipergunakan untuk menelusuri jejak hilangnya Iswari."
Namun ketika Ki Gede memerintahkan seseorang
mempersiapkan seekor kuda, maka orang itu telah
bergeremeng dengan kawannya, "Seperti mencari sepucuk
jarum di lautan. Bukankah hilangnya Nyai Wiradana sudah
terjadi untuk waktu yang cukup lama" Apapun yang kita
lakukan sekarang, aku kira tidak akan memberikan hasil
apapun juga." "Kau bodoh," sahut kawannya. "Ki Gede bukan saja
mencari jejak hilangnya Nyai Wiradana. Tetapi Ki Gede itu
percaya bahwa di Tanah Perdikan ini masih ada orang-
orang yang ingin mengacaukan ketenangan dan
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketentraman yang sumbernya adalah para pengikut
Kalamerta." 3 SH. Mintardja Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba
saja mereka berpaling ketika mereka melihat Wiradana
melintas di sebelah kandang. Namun Wiradana itu tiba-tiba
saja berhenti dan bertanya, "Ada apa" Dimanakah beberapa
ekor kuda yang lain?"
Orang itu pun kemudian memberitahukan kepada
Wiradana, bahwa Ki Gede akan meronda bersama beberapa
orang anak muda. Akan ikut bersama Ki Gede, Gandar,
tamu dari padepokan kecil, saudara Nyai Wiradana.
"Jadi Gandar akan ikut?" bertanya Wiradana.
"Ya," jawab orang yang sedang menyiapkan kuda itu.
Wiradana berpikir sejanak. Apa kira-kira yang akan
dilakukan oleh orang itu. Mungkin satu usaha untuk
mempengaruhi Ki Gede, agar ia mencurigai Wiradana yang
jarang-jarang di rumah. Karena kesalahan yang dilakukannya, maka Wiradana
selalu mencurigai orang-orang yang berhubungan dengan
kesalahan yang dilakukannya.
Tiba-tiba saja Wiradana itu berkata, "Aku akan ikut.
Siapkan kuda untukku."
Orang yang sedang menyiapkan kuda itu termangu-
mangu. Namun ia pun ternyata tidak sempat bertanya,
karena Wiradana telah meloncat masuk ke dalam rumahnya
lewat pintu butulan. Orang itu hanya dapat menarik nafas. Sementara
kawannya berkata, "Kau tidak perlu mempersoalkannya.
Siapkan saja kudanya."
"Aku sudah mengerti," jawabnya setengah membentak.
4 SH. Mintardja Kawannya hanya tersenyum saja. Namun, ia pun
kemudian membantu pula mempersiapkan kuda-kuda yang
diperlukan. Wiradana yang langsung masuk ke dalam biliknya telah
berbenah diri. Sebenarnya ia tidak ingin ikut bersama
ayahnya meskipun ia tahu, bahwa ayahnya hari ini akan
pergi. Bahkan ia telah minta diri kepada istrinya untuk
pulang lebih pagi, karena Ki Gede akan pergi.
"Mungkin ayah akan memberikan beberapa pesan
kepadaku," berkata Wiradana.
Istrinya tidak pernah menahannya. Apapun yang
dilakukan oleh Wiradana seakan-akan selalu baik baginya,
meskipun sekali-kali ia mengusulkan agar Wiradana
bersikap lebih baik kepada ayahnya dan pada saat terakhir
kepada tamunya yang bernama Gandar. Karena dengan
demikian Warsi yakin, bahwa akibatnya akan terjadi justru
sebaliknya. Ketika semuanya sudah siap, maka Ki Gede mengerutkan
keningnya ketika ia melihat Wiradana ada di antara mereka.
"Kapan kau datang?" bertanya ayahnya.
"Baru saja ayah," jawab Wiradana. "Aku akan ikut
bersama ayah." "Apakah kau tidak letih?" bertanya ayahnya.
"Tidak ayah," jawab Wiradana. "Justru ada sesuatu yang
ingin aku sampaikan kepada ayah. Aku minta ayah
menelusuri pinggir hutan yang berbatasan dengan bukit
padas di sebelah bulak Pasungan."
"Ada apa?" bertanya ayahnya.
5 SH. Mintardja "Mungkin aku hanya terpengaruh oleh perasaanku. Rasa-
rasanya ada sesuatu yang pantas diamati. Mudah-mudahan
dugaanku tidak benar," jawab Wiradana.
"Ya, apa yang kau lihat," desak ayahnya.
"Aku melihat beberapa orang di pinggir hutan dicelah-
celah bukit-bukit padas. Wajah Ki Gede meremang. Dengan nada tinggi ia
bertanya, "Kau pasti bahwa mereka bukan orang-orang
Sembojan?" "Mereka bukan orang-orang Sembojan. Sebenarnya aku
ingin mengetahui lebih banyak tentang mereka, tetapi aku
cemas bahwa mereka akan dengan tergesa-gesa pergi.
Mudah-mudahan mereka masih ada disana," jawab
Wiradana. Ki Gede mengangguk-angguk. Dendamnya kepada orang-
orang yang menjadi pengikut Kalamerta semakin
memuncak sejak hilangnya Iswari dari Tanah Perdikan
Sembojan. Demikianlah, maka sekelompok kecil orang-orang itu
pun segera mempersiapkan diri. Dibantu oleh seorang
pengawal, Ki Gede pun segera naik ke atas punggung
kudanya. Kemudian yang lain pun telah berloncatan pula
naik, termasuk Wiradana dan kemudian Gandar.
"Marilah saudara-saudaraku," berkata Ki Gede. "Seperti
yang pernah kita lakukan, kita mencari jejak hilangnya
menantu dan sekaligus mencari para pengikut Kalamerta
yang masih berkeliaran di Tanah Perdikan ini."
Para pengiringnya pun telah siap untuk berangkat.
Dengan tangannya yang lemah Ki Gede pun kemudian
6 SH. Mintardja menggerakkan kendali kudanya untuk mendorong kudanya
melangkah meninggalkan halaman itu.
Tetapi ternyata telah terjadi sesuatu yang sangat
mengejutkan. Justru karena perhatian semua orang,
terutama Gandar, tertuju kepada Ki Gede, maka ia tidak
sempat memperhatikan sesuatu di luar halaman rumah Ki
Gede. Gandar yang cemas akan keadaan Ki Gede tangan dan
kakinya mengalami kelemahan sementara ia duduk di
punggung kuda, serta karena ia sama sekali tidak menduga,
bahwa akan terjadi sesuatu dengan Ki Gede di halaman itu
justru sebelum Ki Gede mulai menggerakkan kudanya,
maka Gandar tidak mendengar kehadiran seseorang.
Namun yang terjadi benar-benar menggemparkan. Selagi kuda Ki Gede siap untuk bergerak, maka tiba-tiba saja
terdengar Ki Gede mengeluh
tertahan. Tangannya yang lemah itu pun berusaha untuk meraba punggungnya sambil berdesis, "Setan. Aku
telah dikenai senjata rahasia
sekarang ini." "Apa ayah?" Wiradana
menjadi heran sementara orang-orang lain menjadi bingung. Ki Gede berusaha menahan keseimbangannya. Namun
pada wajahnya nampak gejolak kemarahan dan kecemasan
hatinya. 7 SH. Mintardja Gandarlah yang kemudian meloncat turun. Kemudian
dengan hati-hati ia berusaha membantu Ki Gede turun
sambil berkata, "Marilah Ki Gede, kita akan melihat, apa
yang telah terjadi."
"Punggungku," desis Ki Gede. "Aku merasa sesuatu
mengenaiku. Tentu senjata rahasia, semacam sumpit
beracun." Demikian Ki Gede turun dari kudanya, Gandar tidak
sempat membawanya naik ke pendapa. Dibiarkannya Ki
Gede duduk di tanah, sementara ia mencoba untuk melihat
punggung Ki Gede dengan melepas baju luriknya.
Jantung Gandar tergetar. Sebagai seorang pembantu Kiai
Badra yang memahami tentang obat-obatan, maka Gandar
pun mempunyai pengetahuan tidak sedikit tentang
pengobatan itu pula. Karena itu, demikian ia melihat punggung Ki Gede
Sembojan, maka ia pun telah menjadi gelisah.
Gandar melihat sebuah mata sumpit yang melekat pada
kulit Ki Gede agak membenam ke dalam dagingnya. Gandar
pun melihat di sekitar luka itu terdapat noda yang kebiru-
biruan. "Paser beracun," desisnya.
"Apa?" mata Wiradana terbelalak.
"Punggung Ki Gede telah dikenai semacam paser kecil
yang mungkin dilontarkan dengan sumpit," sahut Gandar.
"Gila," wajah Wiradana menjadi tegang. "Siapa yang
melakukannya?" Gandar tiba-tiba lupa akan dirinya, seorang pembantu
Kiai Badra yang agak kedungu-dunguan. Tiba-tiba saja ia
8 SH. Mintardja pun berteriak lantang. "Cepat. Kepung padukuhan induk
ini. Tentu seorang yang berilmu tinggi telah melakukan
pengkhianatan yang licik ini."
Wiradana pun bagaikan kehilangan nalar. Ia tidak
sempat berpikir. Seakan-akan diluar sadarnya, maka ia pun
telah berlari ke arah kudanya. Sekali loncat ia sudah berada
di punggung kuda sambil memberikan aba-aba, "Cepat.
Pergi ke semua pintu gerbang. Seorang di antara kalian
membunyikan isyarat kentongan. Kita akan menutup semua
pintu dan mengepung padukuhan induk ini."
Sesaat kemudian, maka kuda Wiradana pun telah
berderap meninggalkan halaman, disusul oleh anak-anak
muda yang lain. Mereka melarikan kuda mereka ke arah
yang berbeda, karena mereka akan menutup semua pintu
gerbang. Sementara itu, seorang yang lain, yang kebetulan
berada di halaman itu, telah berlari ke gardu di sebelah
regol halaman dan memukul kentongan dengan nada titir.
Gandar sendiri termangu-mangu sejenak. Tetapi ketika
ia berniat ikut mencari orang yang menyerang dengan licik
itu, ia melihat Ki Gede menjadi pucat dan kejang-kejang.
Gandar tidak dapat meninggalkannya. Ia tidak sampai
hati melihat keadaan Ki Gede yang menjadi sangat gawat.
Karena itu, maka ia pun kemudian telah berjongkok
disamping Ki Gede sambil berdesis, "Marilah Ki Gede.
Biarlah aku mencoba mengobati."
Ki Gede tidak menjawab. Keadaannya telah menjadi
sangat parah. Ketahanan tubuh Ki Gede ternyata tidak lagi
seperti sebelum ia mengalami kelemahan pada tangan dan
kakinya. 9 SH. Mintardja Gandar tidak bertanya lagi. Ia segera memapah Ki Gede
dan membawanya naik ke pendapa. Membaringkannya
miring agar ia dapat mengobati luka-lukanya.
Kepada seorang yang kebingungan di halaman, Gandar
berteriak, "Cepat, ambilkan air."
Berlari-lari orang itu mengambil air. Dengan air itu,
Gandar telah mencairkan serbuk obat yang dibawanya. Obat
yang dapat melawan racun.
Dengan obat itu Gandar mengusap luka di punggung Ki
Gede yang tidak berdarah, sementara jarum paser yang
dilontarkan dengan sumpit itu pun masih berada di dalam
luka itu. Ki Gede Sembojan menggeliat. Ternyata ia masih
dipengaruhi oleh perasaan pedih karena obat Gandar. Obat
yang seakan-akan menghisap racun, bukan saja pada jarum
paser kecil itu, tetapi juga yang sudah mengalir di dalam
darah Ki Gede. Sementara itu, Gandar pun telah mencairkan obat yang
lain pada mangkuk yang lain pula. Perlahan-lahan ia
menitikkan obat itu di bibir Ki Gede yang kemudian
kepalanya berada di pangkuan Gandar.
Ternyata Ki Gede masih berpengharapan. Titik-titik air
yang mengandung obat itu masih dapat melintasi
kerongkongan Ki Gede. Namun ternyata bahwa Ki Gede sudah terlalu lemah.
Racun yang bekerja pada tubuh Ki Gede adalah racun yang
sangat kuat, sementara daya tahan Ki Gede sendiri agaknya
sudah tidak terlalu kuat.
Karena itu, usaha Gandar pun tidak akan banyak
berpengaruh atas keadaan Ki Gede.
10 SH. Mintardja Tetapi agaknya Ki Gede masih sempat membuka
matanya. Ketika dengan agak kabur dilihatnya Gandar, Ki
Gede itu pun tersenyum. "Dimana Wiradana," desisnya.
"Sekelompok anak muda telah memencar dan menutup
semua jalan keluar padukuhan induk ini Ki Gede.
Sementara itu, isyarat kentongan telah dibunyikan,
sehingga tidak memungkinkan seorang pun dapat keluar
dari padukuhan induk ini."
Ki Gede masih tersenyum sambil mengangguk-angguk.
Katanya, "Syukurlah bahwa mereka mampu berpikir cepat."
Namun tiba-tiba senyum dibibir Ki Gede itu larut, "Tentu
orang Kalamerta. Sayang aku belum sempat menjumpainya.
Tetapi Wiradana harus tetap mencari mereka dan mencari
jejak hilangnya Iswari."
Terasa jantung Gandar menjadi berdegupan. Namun
katanya, "Sebaiknya Ki Gede menenangkan pikiran. Aku
berusaha untuk mengobati Ki Gede."
Tetapi Ki Gede justru menggeleng. Katanya, "Tidak ada
gunanya Gandar. Keadaanku sudah sangat lemah. Aku
merasa, obat yang kau oleskan pada lukaku untuk sesaat
mampu menghentikan arus racun di dalam darahku. Tetapi
ternyata darahku sudah terlalu dalam di kotori oleh racun
yang sangat kuat itu, sehingga obat yang kau berikan hanya
sekadar menahan saja. Tetapi tidak akan mampu
menyembuhkannya." "Aku akan berusaha Ki Gede," berkata Gandar.
"Tidak akan ada gunanya," desis Ki Gede hampir
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbisik. 11 SH. Mintardja Gandar tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun merasakan
keadaan sebagaimana dikatakan oleh Ki Gede.
Namun dalam pada itu, pada saat-saat yang gawat bagi
hidup Ki Gede, timbullah niat Gandar untuk mengatakan
sesuatu kepada Ki Gede yang menyangkut menantunya
yang sangat dikasihi itu. Karena itu, untuk beberapa saat ia
termangu-mangu. Namun akhirnya ia memaksa juga
bibirnya berkata setelah ia yakin tidak ada orang yang akan
dapat mendengarnya. "Ki Gede. Cobalah Ki Gede
mengerahkan segala daya tahan Ki Gede untuk tetap hidup.
Bagaimanapun buruknya obat-obatku, tetapi aku akan
mampu membantu Ki Gede jika Ki Gede sendiri
menghendaki untuk tetap bertahan."
"Apapun yang akan kau lakukan Gandar, tetapi jika
seorang telah terantuk batas, maka ia tidak akan dapat
berbuat banyak," jawab Ki Gede sendat.
"Tetapi Ki Gede," berkata Gandar. "Ada sesuatu yang
akan dapat dijadikan satu pancadan bagi Ki Gede untuk
bergairah tetap hidup," berkata Gandar.
Ki Gede memandang Gandar dengan pandangan yang
kabur. Namun ia pun bertanya, "Apa maksudmu Gandar?"
"Ki Gede," berkata Gandar kemudian. "Sebenarnya
bahwa Iswari masih hidup."
"He," Tiba-tiba terasa Ki Gede akan bangkit. Tetapi
tubuhnya sudah terlalu letih, sehingga kepalanya yang
sedikit terangkat itupun telah terkulai jatuh kembali di
pangkuan Gandar. "Ya Ki Gede, sebenarnyalah demikian," berkata Gandar
kemudian. "Tetapi dimana anak itu sekarang?" bertanya Ki Gede.
12 SH. Mintardja "Ia sudah berada di rumah kakeknya?" jawab Gandar.
"Bagaimana hal itu mungkin terjadi?" bertanya Ki Gede
pula. "Ki Gede," berkata Gandar. "Sebenarnyalah bahwa Iswari
akan dibunuh. Seorang telah menyelamatkannya dan
membawa Iswari kembali ke kakeknya. Untuk sementara
Iswari disembunyikan agar orang yang ingin membunuhnya
tidak mengetahui bahwa Iswari sebenarnya masih belum
mati. Sementara itu aku datang kemari untuk
memberitahukan hal ini kepada Ki Gede, tetapi untuk
memberikan kesan agar Iswari memang sudah mati, maka
aku pun berpura-pura mencari perempuan itu."
"O," Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. "Apakah kau
tahu, siapakah yang akan membunuhnya?" bertanya Ki
Gede. Gandar menjadi ragu-ragu. Dalam keadaan yang
demikian, Gandar tidak sampai hati mengatakan bahwa
Wiradana sendirilah sumber dari usaha pembunuhan itu.
Jika benar obatnya tidak dapat menyembuhkannya, maka
persoalan itu agar tidak menjadi beban pada saat-saat
terakhir. Karena itu, maka Gandar pun menjawab, "Ki Gede.
Agaknya dugaan Ki Gede benar. Sisa gerombolan
Kalamerta." "Nah apa kataku," desis Ki Gede lemah. "Syukurlah jika
ia masih hidup. Biarlah kakeknya melindunginya untuk
selamanya. Tetapi apakah Wiradana sudah tahu akan hal
ini?" Gandar menjadi ragu-ragu. Tetapi katanya kemudian,
"Sudah Ki Gede."
13 SH. Mintardja "O," Ki Gede mengerutkan keningnya. Seakan-akan ia
ingin melihat lebih jelas lagi wajah Gandar yang menjadi
kabur. Dengan suara parau Ki Gede kemudian berkata,
"Tetapi Wiradana sama sekali tidak memberikan kesan,
bahwa ia sudah mengetahui," Ki Gede menyeringai
menahan sakitnya yang seakan-akan menghimpit seluruh
tubuhnya. Namun kemudian dengan ketabahan seorang
laki-laki yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan,
maka Ki Gede pun tersenyum, "Itulah agaknya yang
membuatnya tidak terlalu bersedih atas hilangnya istrinya.
Bahkan seakan-akan ia tidak menghiraukannya lagi setelah
lewat beberapa pekan. Agaknya ia memang sama sekali
tidak merasa kehilangan."
Gandarlah yang terkejut mendengar jawaban itu. Bahkan
rasa-rasanya jantungnyalah yang berdeguban semakin
cepat. Di dalam hati ia memaki Wiradana tidak habis-
habisnya. Namun dihadapan Ki Gede yang dalam keadaan
yang parah itu, Gandar masih berusaha untuk tetap
mengekang diri. "Gandar," berkata Ki Gede. "Agaknya aku benar-benar
tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Umurku sudah
sampai pada batasnya. Sampaikan kepada Kiai Badra bahwa
aku mohon maaf atas peristiwa yang terjadi atas cucunya.
Meskipun Iswari masih tetap selamat, namun percobaan
pembunuhan atas dirinya sudah merupakan satu peristiwa
yang dapat mengguncang hati orang tua itu. Juga
sampaikan ucapan terima kasihku yang tidak terhingga,
seakan-akan Kiai Badra sudah dapat menyambung hidupku
untuk beberapa lama, sehingga tugasku benar-benar telah
selesai. Aku sudah mengawinkan anak laki-laki satu-
satunya yang aku miliki."
14 SH. Mintardja "Ya Ki Gede," desis Gandar. "Tetapi Ki Gede harus
berusaha untuk bertahan dan memohon kepada Sumber
Hidup. Bukankah Ki Gede masih ingin bertemu dengan
cucu Ki Gede?" "Cucu?" bertanya Ki Gede dengan suara yang semakin
lemah. "Ya. Cucu Ki Gede. Cucu Ki Gede itu sudah lahir. Seorang
anak laki-laki yang sehat, tampan dan nampaknya memiliki
kecerdasan dan bekal yang diwarisinya dari kakeknya,"
sahut Gandar. Ki Gede yang sudah menjadi gemetar itu sempat
tersenyum. Meskipun wajahnya bagaikan sudah hampir
membeku, namun ia masih berusaha untuk berkata, "Aku
mengucap sukur kepada Tuhan, bahwa Iswari sudah
melahirkan anaknya. Laki-laki atau perempuan bagiku
sama saja. Kurnia Yang Maha Agung itu harus mendapat
tempat sewajarnya di dunia yang ternyata merupakan arena
pergolakan yang sangat keras ini," Ki Gede terdiam sejenak,
lalu, "Gandar. Apakah Wiradana belum datang?"
"Belum Ki Gede," jawab Gandar.
"Baiklah. Aku titipkan kepadamu. Pertanda penguasa di
Tanah Perdikan ini," desis Ki Gede. Suaranya menjadi parau
dan hampir tak kedengaran lagi.
Dalam pada itu Ki Gede rasa-rasanya ingin
menggerakkan tangannya. Tetapi ia sudah menjadi sangat
lemah. Gandar menjadi berdebar-debar. Ia menyesal, bahwa ia
agak terlambat bertindak. Apalagi tubuh Ki Gede yang cacat
itu tidak memiliki daya tahan yang cukup untuk melawan
racun yang sangat tajam. Sehingga dengan demikian,
agaknya obat yang diberikan oleh Gandar itu hanya mampu
15 SH. Mintardja menunda saat-saat kematian. Tetapi tidak akan dapat
menyelamatkannya. "Seandainya Kiai Badra ada disini," berkata Gandar di
dalam hatinya. Namun dalam pada itu, karena Ki Gede tidak mampu
menggerakkan tangannya, maka ia pun berkata dengan
suara yang lemah bergetar, "Gandar. Tolong ambilkan
sebuah bandul beserta rantainya di kantong ikat
pinggangku." "Bandul, Ki Gede," ulang
Gandar. "Ya," desis Ki Gede.
Suaranya menjadi semakin lirih. Gandar tidak menjawab lagi. Perlahan-lahan ia mulai
meraba kantong ikat pinggang Ki Gede sementara
Ki Gede masih tetap berbaring beralaskan pangkuan Gandar. Ternyata bahwa di kantong ikat pinggang Ki Gede memang terdapat sebuah bandul yang tergantung
pada seutas rantai. Semuanya terbuat dari emas yang
kuning gemerlap. Bandul yang bulat sebesar biji jengkol itu
bertatahkan lukisan kepala seekor burung elang.
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Benda itu tentu
mahal sekali harganya. 16 SH. Mintardja Dalam pada itu, Ki Gede pun kemudian berkata,
"Gandar. Tolong berikan benda itu kepada Wiradana. Ia
akan berhak memiliki benda itu sebagai pertanda bahwa ia
akan memimpin Tanah Perdikan ini."
Jantung Gandar terasa berdenyut semakin cepat. Namun
ia menjawab, "Baiklah Ki Gede. Aku akan memberikan
nanti jika ia kembali."
Ki Gede tersenyum. Katanya, "Tugasku memang sudah
selesai, Gandar. Pesanku kepada Wiradana. Hati-hatilah ia
dengan istrinya. Ia harus ikut bertanggungjawab atas
keselamatannya meskipun untuk sementara istrinya berada
di padepokannya. Tetapi pada suatu saat, cucuku itulah
yang akan memiliki bandul itu sesudah Wiradana. Karena
cucuku itulah yang kelak akan berhak menggantikan
Wiradana menjadi Kepala Tanah Perdikan ini."
"Ya Ki Gede," jawab Gandar dengan suara datar.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
ia berdesis, "Agaknya aku tidak sempat menunggu orang-
orang Tanah Perdikan ini. He, siapa yang berada di
halaman?" Gandar berpaling ke halaman. Ia melihat empat orang
berdiri tegang dibawah tangga pendapa. Namun Gandar
yang cerdik itu telah membelakangi mereka sehingga orang-
orang itu tidak melihat dan tidak mendengar apa yang telah
dibicarakan antara Gandar dan Ki Gede.
Sementara itu, suara titir yang mengumandang bukan
saja di padukuhan induk, telah memanggil anak-anak
muda. Selain mereka yang mengepung padukuhan induk
itu, beberapa di antara mereka telah terkumpul di depan
regol rumah Kepala Tanah Perdikannya. Tetapi mereka
tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi di pendapa.
17 SH. Mintardja Mereka hanya melihat seseorang berusaha untuk mengobati
Ki Gede, sedangkan empat orang yang terdahulu tegang
dibawah tangga pendapa. Nampaknya mereka telah berbicara di antara mereka.
Menebak apa yang kira-kira terjadi dan menurut selera
mereka sendiri-sendiri memberikan arti dari peristiwa itu.
Sementara itu, keadaan Ki Gede menjadi parah. Gandar
tidak mampu berbuat apa-apa. Obat yang dibawanya tidak
dapat menahan arus racun di dalam darah Ki Gede, justru
selagi daya tahan Ki Gede sudah menurun.
Sejenak kemudian maka Ki Gede itu pun berkata,
"Gandar. Kau adalah orang satu-satunya yang ada disini,
justru pada saat umurku sampai ke batas. Tetapi aku
percaya kepadamu. Kau akan membantu memecahkan
masalah yang akan timbul di Tanah Perdikan ini
sepeninggalanku." "Ya Ki Gede," jawab Gandar. "Aku akan berusaha."
"Terima kasih," desis Ki Gede sambil tersenyum. Namun
wajahnya menjadi semakin pucat. Noda yang berwarna
kebiru-biruan mulai muncul di wajah itu.
Akhirnya, Ki Gede itu benar-benar menjadi semakin
lemah. Ketika Ki Gede itu sempat membuka matanya yang
mulai terpejam, maka serasa sebuah senyuman masih saja
membayang. "Ki Gede," panggil Gandar.
Tetapi Gandar tidak dapat berbuat apa-apa. Ki Gede itu
meninggal dalam suasana yang pasrah. Ia merasa bahwa
tugasnya memang sudah selesai. Apalagi ketika ia
mendengar bahwa menantunya yang sangat disayanginya
18 SH. Mintardja masih hidup dan bahkan cucunya telah lahir pula dengan
selamat. Gandar menarik nafas dalam-dalam. Ki Gede sudah tidak
bernafas lagi ia masih berbaring dipangkuannya.
Sejenak Gandar menimang bandul dan rantai yang
diambilnya dari kantong ikat pinggang Ki Gede. Benda
berharga bukan saja karena terbuat dari emas, tetapi juga
nilainya sebagai pertanda seorang Kepala Tanah Perdikan di
Sembojan itu telah menimbulkan persoalan di dalam
dirinya. Benda itu sesuai dengan pesan Ki Gede harus
diserahkan kepada Wiradana. Tetapi tumbuh satu
pertanyaan dihati Gandar. "Seandainya Ki Gede mengetahui
apa yang telah dilakukan oleh anak laki-lakinya terhadap
istrinya, apakah sikap Ki Gede tidak akan berubah?"
Sejenak Gandar termangu-mangu. Namun ia pun
kemudian teringat pesan Ki Gede pula, bahwa kelak anak
Iswari itu akan berhak memiliki bandul itu pula.
Sekilas Gandar berpaling ke halaman. Ia masih melihat
orang-orang yang gelisah. Sementara diregol halaman
semakin lama menjadi semain banyak orang yang
berkumpul. Bukan saja anak-anak muda, tetapi juga
beberapa orang lain yang mengetahui dan mendengar dari
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak-anak muda yang hilir mudik dengan sibuknya, apa
yang telah terjadi dengan Ki Gede.
Dalam pada itu, Gandar masih dalam kegelisahan karena
bandul yang diberikan oleh Ki Gede kepadanya, yang harus
disampaikannya kepada Wiradana. Di dasar hatinya ada
semacam ketidakrelaan, bahwa Tanah Perdikan ini akan
dipimpin oleh Wiradana yang mempunyai seorang istri lain
kecuali Iswari. Bahkan istrinya itu adalah seorang yang
memiliki ilmu yang tinggi.
19 SH. Mintardja "Ki Gede benar," desis Gandar. "Memang keluarga
Kalamerta yang telah mengacaukan ketenangan Tanah
Perdikan ini. Tiba-tiba Gandar mengambil keputusan untuk
menyimpan bandul itu. Setidak-tidaknya untuk sementara.
Ia akan melihat keadaan sebelum ia akan menyerahkan
bandul itu kepada Wiradana. Meskipun ia sadar bahwa
sebenarnya ia sama sekali tidak berhak untuk berbuat
demikian. Karena itu, maka bandul itu pun telah dimasukkan ke
dalam kantong ikat pinggangnya sendiri tanpa diketahui
oleh siapapun. Baru kemudian Gandar itu meletakkan Ki Gede perlahan-lahan. Kemudian ia pun bangkit dan melangkah ke tangga pendapa, mendekati orang-
orang yang sedang gelisah
itu. "Ki Gede sudah meninggal," desis Gandar.
"He," orang-orang di
halaman itu menjadi tegang.
Salah seorang di antara mereka telah melangkah naik perlahan-lahan mendekati tubuh Ki Gede yang terbaring. Ketika ia
berjongkok sambil meraba tangan Ki Gede yang bersilang
didada, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam. Ki Gede
sudah memejamkan matanya dan tidak bernafas lagi.
20 SH. Mintardja "Ya," desisnya. "Ki Gede sudah meninggal."
Demikianlah, maka beberapa orang yang lain pun telah
naik pula ke pendapa. Mereka memang melihat tubuh Ki
Gede yang pada wajahnya terdapat noda-noda yang kebiru-
biruan. Sehingga beberapa orang di antara mereka dapat
mengenali, bahwa Ki Gede memang terkena racun.
"Aku gagal mengobatinya," desis Gandar. "Aku mohon
maaf. Seandainya Kiai Badra sendiri ada disini, mungkin ia
dapat meramu obat yang lebih baik, yang sesuai dengan
kemampuan racun yang sangat tinggi ini."
Memang tidak ada orang yang menyalahkan Gandar. Ia
sudah berusaha. Tetapi usahanya tidak berhasil."
Karena itu, maka atas kesepakatan beberapa orang itu,
maka Ki Gede pun kemudian telah diangkat dibawa masuk
ke ruang tengah. Diletakkan di atas amben yang besar dan
ditutup dengan sehelai kain dari ujung kakinya sampai ke
ujung kepalanya. Namun mereka masih belum berbuat apa-apa, karena
mereka masih menunggu Wiradana.
Sementara itu, Wiradana memimpin anak-anak muda
mengepung seluruh padukuhan induk. Ia memerintahkan
anak-anak muda itu tidak saja menutup semua regol. Tetapi
setiap jengkal tanah yang melingkar padukuhan induk
harus diawasi. Ketika semua jalan keluar sudah tertutup, maka
Wiradana memerintahkan anak-anak muda Tanah Perdikan
untuk mencari orang yang pantas dicurigai diseluruh
padukuhan induk, semua rumah harus dimasuki tanpa
terkecuali. Meskipun rumah itu bebahu Tanah Perdikan itu
sekalipun. 21 SH. Mintardja "Jangan satu atau dua orang untuk setiap kelompok.
Tetapi lebih dari itu. Sedikit-dikitnya lima orang, agar setiap
pengamatan dapat meyakinkan," perintah Wiradana.
Dengan demikian, anak-anak muda dan bahkan hampir
setiap laki-laki di Tanah Perdikan Sebojan, terutama di
padukuhan induk itu menjadi sibuk. Mereka melihat setiap
rumah. Halamannya, ruang dalamnya bahkan kandang dan
lumbung-lumbungnya. Mungkin seorang bersembunyi atau
dengan sengaja menyembunyikannya diri sepengetahuan
pemilik rumahnya. Wiradana sendiri hilir mudik di atas punggung kudanya,
sambil setiap kali meneriakkan aba-aba bagi anak-anak
muda yang berkumpul di gardu-gardu dan bagi mereka
yang sedang sibuk melihat setiap halaman dan isi rumah
dan bangunan-bangunan yang ada. Bahkan banjar
padukuhan induk itu pun tidak luput dari pengamatan
anak-anak muda yang marah itu.
Tetapi mereka tidak menemukan seorang pun yang
pantas mereka curigai. "Cari sampai dapat," setiap kali Wiradana membentak.
Namun mereka tidak menemukan orang yang
dikehendaki. Tidak ada orang asing di padukuhan induk itu.
Bahkan kebetulan sekali, tidak ada tamu seorang pun di
rumah penghuni padukuhan induk. Orang-orang dari
tetangga padukuhan pun tidak ada yang kebetulan berada di
padukuhan induk. Wiradana menjadi semakin geram. Namun ketika ia
masih akan mengelilingi padukuhan itu sekali lagi, seorang
telah menemuinya untuk mengabarkan, bahwa Ki Gede
telah meninggal. "Ayah telah meninggal?" wajah Wiradana menegang.
22 SH. Mintardja "Ya," jawab orang yang memberitahukan itu.
"Bukankah Gandar sudah berusaha mengobatinya?"
bertanya Wiradana. "Ya. Tetapi gagal. Gandar telah berusaha sejauh dapat
dilakukan. Namun obat yang kebetulan dibawanya tidak
mampu menyelamatkan Ki Gede. Entahlah, jika Kiai Badra
sendiri ada disini sekarang," jawab orang itu.
Wiradana pun mengurungkan niatnya untuk sekali lagi
mengelilingi padukuhan itu. Tetapi ia langsung kembali ke
rumahnya untuk melihat keadaan ayahnya.
Kepada para pemimpin kelompok yang ditemuinya ia
berpesan, agar usaha itu terus dilakukan.
"Aku yakin, orang itu tentu masih ada di padukuhan
induk ini," berkata Wiradana. "Jika tidak ada orang lain,
tentu salah seorang di antara kita sendiri."
Dengan demikian maka anak-anak muda itu pun masih
sibuk dengan usaha mereka, sementara Wiradana sendiri
telah kembali ke rumahnya setelah ia mendengar bahwa
ayahnya telah meninggal. Demikian kudanya memasuki halaman, maka Wiradana
itu pun segera meloncat turun. Dengan tergesa-gesa ia naik
ke pendapa dan bertanya kepada Gandar yang duduk
dipendapa itu pula, "Dimana ayah?"
Gandar pun bangkit dan membawa Wiradana masuk ke
ruang dalam. Demikian ia masuk, maka ia pun tertegun.
Dilihatnya sesosok tubuh yang terbaring, diselubungi oleh
kain dari ujung kaki sampai ke ujung kepala.
"Ayah," desis Wiradana.
23 SH. Mintardja Perlahan-lahan ia melangkah mendekati sosok tubuh
yang membeku itu. Perlahan-lahan ia membuka selubung
itu di arah kepala. Jantung Wiradana terasa berdegup semakin cepat ketika
ia melihat wajah ayahnya yang bernoda kebiru-biruan di
beberapa tempat. Bahkan ternyata juga di tangannya dan
bahkan diseluruh tubuhnya.
"Racun," desis Wiradana.
"Aku sudah mencoba mengobatinya. Aku sudah
mengobati di arah lukanya. Aku berharap bahwa obat itu
akan dapat membantu menghisap racun yang mulai bekerja
ditubuh lewat saluran darah Ki Gede. Dan aku pun sudah
menitikkan obat dibibirnya. Sebenarnya aku
berpengharapan bahwa obat-obatku akan bermanfaat
setelah obat itu berhasil melewat kerongkongan. Tetapi
ternyata aku gagal," jawab Gandar.
Wiradana berdiri dengan kepala tunduk. Bagaimana pun
juga kematian ayahnya merupakan suatu peristiwa yang
pahit baginya. Setelah ia kehilangan ibunya, maka ia pun
kini kehilangan ayahnya, sehingga dengan demikian ia
menjadi yatim piatu. Gandar melihat mata Wiradana menjadi basah. Tetapi
Wiradana bertahan untuk tidak menangis.
"Agaknya sebagaimana dikatakan oleh Ki Gede sendiri,
saatnya memang telah tiba," berkata Gandar.
"Ya," Wiradana mengangguk. Namun ia sempat
menelusuri jalan hidup yang ditempuhnya selama ini.
Sekilas ia teringat pula kepada istrinya yang disangkanya
sudah mati, Iswari. Istrinya itu adalah seorang perempuan
yang sangat dikasihi oleh ayahnya. Kini ayahnya justru telah
menyusul Iswari yang disangkanya sudah mati.
24 SH. Mintardja "Sudahlah," berkata Gandar. "Yang perlu dipikirkan
kemudian adalah bagaimana menyelenggarakan jenazah Ki
Gede." Wiradana mengangguk kecil. Katanya, "Baiklah Gandar.
Apapun yang terjadi atas ayahku, aku tetap mengucapkan
terima kasih atas segala usahamu. Tetapi agaknya memang
sudah sampai saatnya ayah harus menghadap kembali
kepada Yang Maha Agung."
Gandar mengangguk-angguk. Namun ia menjawab, "
Sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk berusaha
saling menolong. Tetapi kali ini aku memang telah gagal
menolong Ki Gede." Wiradana pun kemudian melangkah keluar. Kepada
orang-orang yang berada di pendapa ia berkata, "Tolong,
marilah kita selenggarakan jenazah ayah. Sementara itu
anak-anak muda masih berusaha untuk mencari orang yang
dengan curang telah membunuh ayah."
Demikianlah, di halaman rumah Ki Gede telah terjadi
kesibukan tersendiri, sementara di seluruh padukuhan
induk-pun masih juga sibuk mencari orang yang pantas
dituduh membunuh Ki Gede di Sembojan.
Namun sementara itu, dalam kesibukan di dalam dan di
luar halaman rumah Ki Gede, Gandar masih sempat
merenungi bandul yang diberikan oleh Ki Gede Sembojan.
Apakah ia akan memenuhi permintaan Ki Gede
menyampaikan bandul itu kepada Wiradana, atau ia akan
menempuh satu kebijaksanaan lain, meskipun tidak untuk
dimilikinya sendiri. "Jika aku memberikan bandul ini kepada yang berhak
sekarang, maka aku telah menunaikan satu beban yang
dipercayakan kepadaku. Dari seseorang yang sekarang
25 SH. Mintardja sudah meninggal," berkata Gandar di dalam hatinya.
"Tetapi jika aku menyerahkan bandul itu, maka aku yakin
bahwa akan terjadi sesuatu yang akan dapat mengeruhkan
susana masa depan Tanah Perdikan ini. Jika perempuan
yang memiliki ilmu yang tinggi itu juga mempunyai seorang
anak, maka Wiradana tidak akan dapat berbuat adil dengan
menyerahkan bandul itu kepada anaknya yang sulung.
Apalagi agaknya Wiradana tidak akan mampu melawan
kehendak perempuan cantik itu apabila pada saatnya
perempuan itu menunjukkan kemampuannya yang
sebenarnya. Adalah tiba-tiba saja, bahwa Gandar telah melontarkan
dugaannya atas kematian Ki Gede itu kepada perempuan
yang menjadi istri Wiradana. Dengan ilmunya yang tinggi,
ia akan dapat melakukan seperti apa yang telah terjadi. Ia
dapat melontarkan paser-paser kecil itu dengan sumpit.
Kemudian dengan ilmunya yang tinggi itu pula, ia dapat
melarikan diri sebelum padukuhan induk itu sempat
dikepung. "Ia tentu memiliki ilmu iblis," geram Gandar.
Ia menyesal bahwa ia tidak berusaha mengejarnya,
menangkapnya dan menunjukkan kebenaran tentang istri
mudanya itu kepada Wiradana. Jika ia menyadari bahwa
akhirnya Ki Gede juga akan tidak tertolong lagi, maka ia
mungkin masih mempunyai kesempatan untuk mengejar
orang itu. Meskipun Gandar pun tidak yakin, bahwa ia akan
dapat menangkap perempuan itu. Tetapi seandainya ia
sempat bertahan beberapa lama, maka anak-anak muda
Tanah Perdikan Sembojan akan dapat mengepungnya dan
menjadi saksi, bahwa perempuan itu adalah perempuan
yang berbahaya bagi Sembojan.
26 SH. Mintardja Tetapi semuanya sudah telanjur. Pembunuh itu sudah
pergi. Namun besar dugaan Gandar, bahwa pembunuh itu
adalah istri muda Wiradana sendiri, yang merasa
rencananya akan selalu dapat dihambat oleh Ki Gede
Sembojan. Namun untuk dapat mengatakan demikian Gandar harus
dapat meyakinkan diri dan menemukan bukti-bukti yang
dapat meyakinkan orang lain bahwa hal itu memang terjadi.
Hari ini Sembojan telah berkabung. Pemimpin Tanah
Perdikan yang untuk waktu yang lama bekerja keras dan
menjadikan Sembojan sebuah Tanah Perdikan yang besar,
telah meninggalkan hasil kerjanya oleh kelicikan seseorang.
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terakhir pemimpin yang disegani itu telah berhasil
membunuh seorang penjahat yang namanya ditakuti bukan
saja oleh orang-orang Tanah Perdikan Sembojan dan
sekitarnya, bahkan namanya disegani oleh seluruh daerah
Pajang dan Kadipaten-kadipaten yang lain.
Dengan kepala tunduk orang-orang Sembojan
mengantarkan jenazah Ki Gede ke makam yang akan
menjadi tempat peristirahatannya yang terakhir. Terasa
betapa pahitnya untuk berpisah dengan seorang pemimpin
yang hatinya berada di antara rakyatnya.
"Tetapi saat kematian memang datang di luar kehendak
seseorang. Meskipun seseorang wenang berusaha, namun
terakhir keputusan berada di tangan Tuhan Yang Maha
Kasih," guman beberapa orang yang mengantar tubuh Ki
Gede dan memberikan penghormatan terakhir.
Namun dalam pada itu, padukuhan induk Tanah
Perdikan Sembojan itu masih tetap dikepung. Tidak seorang
pun boleh keluar dari Tanah Perdikan itu. Ketika iring-
iringan janazah Ki Gede melintasi regol diikuti oleh sederet
panjang rakyat Tanah Perdikan Sembojan, bukan saja dari
27 SH. Mintardja padukuhan induk, tetapi dari padukuhan-padukuhan yang
lain, maka ternyata pengawasan atas setiap orang yang
keluar masuk regol padukuhan induk menjadi kendor.
Namun para pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu telah
memberikan perintah kepada para pengawal untuk
mengamati setiap orang dalam iring-iringan itu. Jika
mereka melihat seseorang yang mencurigakan, maka
setidak-tidaknya orang itu harus dimintai keterangan.
Gandar pun ikut pula bersama iring-iringan itu ke
makam. Tetapi para pengawal sudah banyak yang
mengenalnya. Mereka sama sekali tidak menaruh curiga
kepadanya, karena justru Gandar dan Kiai Badra telah
banyak memberikan jasanya kepada Tanah Perdikan itu,
khususnya kepada Ki Gede Sembojan.
Di perjalanan menuju ke makam, Gandar masih selalu
digelisahkan oleh bandul sebesar biji jengkol yang
bergambar kepala burung elang dan tergantung pada seutas
rantai, yang semuanya terbuat dari emas.
"Aku akan menyimpannya untuk sementara," akhirnya
Gandar mengambil keputusan.
Demikianlah, akhirnya upacara penguburan jenazah Ki
Gede itu pun selesai. Satu persatu orang-orang yang
memberikan penghormatan terakhir itu pun meninggalkan
makam itu. Semakin lama makam itu pun menjadi semakin
senyap. Sementara itu, matahari pun menjadi semakin rendah
pula, mendekati punggung bukit di sebelah Barat.
Yang terakhir di makam itu adalah Wiradana yang
ditunggu oleh beberapa orang pengawal di regol makam.
Sejenak Wiradana memandangi makam ayahnya yang
28 SH. Mintardja masih basah oleh air bunga yang ditaburkan oleh orang-
orang yang memberikan penghormatan terakhirnya.
Namun kemudian sambil menarik nafas ia pun
melangkah meninggalkan makam yang membeku itu.
Namun ternyata masih ada seseorang yang tertinggal.
Gandarlah yang kemudian mendekati makam itu. Bahkan ia
pun telah berlutut disisi makam Ki Gede yang masih merah
itu. "Maafkan aku Ki Gede," desis Gandar. "Aku tidak
melakukan sebagaimana yang Ki Gede pesankan tentang
bandul pertanda pemimpin Tanah Perdikan Sembojan itu.
Aku untuk sementara tidak akan menyerahkan bandul itu
kepada Wiradana, karena aku tahu, bahwa tingkah laku
anak itu tidak sebagaimana yang Ki Gede kehendaki."
Suasana di makam itu terasa hening. Yang terdengar
kemudian adalah desis angin yang lembut menggerakkan
daun semboja yang tumbuh dengan suburnya. Bunganya
yang putih bersih bergayutan di ranting-rantingnya yang
nampak segar dilekati oleh daunnya yang hijau.
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan makam itu
sambil berkata kepada diri sendiri. "Anak Iswari itulah yang
berhak menerima pertanda ini. Wiradana sudah
menyimpang dari kebenaran tingkah laku seorang pewaris
jabatan tertinggi di Tanah Perdikan ini. Bahkan seandainya
hal ini didengar oleh Adipati Pajang, maka dapat terjadi hak
atas Tanah Perdikan ini dapat dicabut."
Tetapi Gandar tidak ingin mempersoalkan Tanah
Perdikan itu sampai ke Adipati Pajang. Karena jika
demikian, dan hak atas Tanah Perdikan beberapa
Kademangan dalam kedudukan yang sama dengan
29 SH. Mintardja kademangan-kademangan yang lain, maka anak Iswari itu
pun akan kehilangan haknya pula.
Karena itu, maka Gandar harus mencari jalan lain untuk
membuat penyelesaian atas Tanah Perdikan itu dalam
persoalan yang gawat, karena ia sadar, bahwa ia akan
berhadapan dengan kekuatan keluarga Kalamerta. Dalam
persoalan berikutnya, mau tidak mau maka istri Wiradana
yang cantik itu tentu akan melibatkan seluruh kekuatan
keluarga Kalamerta yang tertinggal.
Tetapi Gandar pun mempunyai keyakinan pada dirinya
sendiri dan kepada orang-orang yang tentu akan bersedia
membantunya. Bahkan pada saatnya ia yakin, rakyat Tanah
Perdikan Sembojan akan mampu memilih, siapakah yang
akan mereka kehendaki. Iswari atau perempuan cantik yang
tentu akan segera memasuki rumah Wiradana sebagai
istrinya yang sah, yang memiliki kekuatan paugeran sebagai
seorang istri. Malam itu Gandar masih berada di Tanah Perdikan
Sembojan. Ia berada di antara orang-orang yang berduka di
pendapa rumah Ki Gede. Terbayang di wajah orang-orang
Tanah Perdikan Sembojan, penyesalan yang mendalam atas
peristiwa yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.
Para bebahu Tanah Perdikan itu saling membicarakan
hasil yang pernah dicapai oleh Ki Gede selama ia memegang
pemerintahan di Tanah Perdikan itu. Sementara itu,
beberapa orang di antara mereka pun mulai berbicara
tentang Wiradana. "Tetapi dimana Ki Wiradana sekarang?" bertanya salah
satu di antara mereka. 30 SH. Mintardja "Kemarahan dan dendam di hatinya tidak terbendung
lagi. Ia telah meninggalkan rumah ini sebelum senja," jawab
seseorang. "Kemana?" bertanya yang lain.
"Seperti seseorang yang berkelana di dalam kelam. Tanpa
tujuan dan tanpa titik arah. Ia berusaha untuk menemukan
orang yang telah membunuh Ki Gede dengan licik. Tetapi
tentu suatu usaha yang sangat sulit. Mungkin orang yang
membunuh Ki Gede sudah berada beratus bahkan beribu
tonggak dari tempat ini, atau bahkan masih tetap di dalam
persembunyiannya," jawab orang itu.
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka membayangkan,
Ki Wiradana memacu kudanya dengan marah ke segenap
arah dan menyusuri semua jalan di Tanah Perdikan ini.
Tetapi ia tidak akan menemukan seorang pun yang akan
dapat dicurigainya. Hanya Gandar yang tahu pasti, kemana Wiradana itu
pergi. Sebenarnyalah Wiradana telah berada di rumah istrinya
yang cantik. Dengan nafas terengah-engah ia
menceriterakan apa yang telah terjadi dengan ayahnya.
"Seorang dengan licik telah membunuh ayah," geram
Wiradana. Warsi tidak menyahut. Tetapi kepalanya semakin lama
semakin menunduk. Bahkan kemudian titik-titik air
matanya telah jatuh di pangkuannya.
"Kakang," desisnya disela-sela isaknya. "Aku adalah
orang yang paling malang. Aku sudah terlalu lama
menunggu satu kesempatan, kapan aku dapat bersimpuh
sujud di kaki Ki Gede Sembojan. Bagaimanapun rendahnya
31 SH. Mintardja martabatku sebagai penari jalanan, tetapi aku adalah
menantunya. Namun Ki Gede itu kini sudah tidak ada lagi.
Aku merasa bahwa perkawinan kita belum pernah
mendapat restunya." "Sudahlah," berkata Wiradana. "Semuanya sudah terjadi.
Aku tidak akan dapat berbuat apa-apa. Segalanya agaknya
memang sudah menjadi takdir Yang Maha Agung, sehingga
hal itu harus terjadi."
Warsi mengusap matanya. Tetapi ia masih terisak.
Katanya kemudian, "Perkawinan kita adalah perkawinan
yang aneh kakang. Meskipun aku sudah menjadi istrimu,
tetapi aku merasa orang asing bagimu dan bagi keluargamu,
sehingga akhirnya aku terlambat mencium kaki ayah
mertuaku. Meskipun mungkin aku akan dikibaskannya dari
kulit kakinya yang tersentuh oleh bibirku akan dicuci tujuh
kali, namun adalah menjadi kewajibanku untuk datang
bersimpuh dan mencium kakinya itu."
"Bukan salahmu," berkata Wiradana. "Mungkin akulah
yang terlalu lemah sehingga aku belum berani membawamu
pulang ke rumah." Warsi tidak menjawab. Sementara itu Wiradana berkata
selanjutnya, "Warsi, marilah kita mengambil manfaat dari
kematian ayah. Bukan aku tidak bersedih karena aku
ditinggalkan oleh ayahku. Tetapi karena hal itu sudah
terjadi diluar kehendakku, maka aku merasa tidak bersalah
jika aku akan berbuat sesuai dengan kehendakku
sepeninggalan ayahku."
"Apa yang akan kau lakukan kakang?" bertanya Warsi.
"Aku akan segera menjadi kepala Tanah Perdikan,"
berkata Wiradana. "Aku akan dapat berbuat apa saja tanpa
32 SH. Mintardja seorang pun yang dapat mencegahnya. Aku akan dapat
membawamu pulang." "Itulah yang aku takutkan kakang," jawab Warsi.
"Kenapa takut?" bertanya Wiradana.
"Rasa-rasanya aku datang sambil bersembunyunyi.
Meskipun Ki Gede sudah tidak ada, tetapi jiwa dari
perbuatanku adalah demikian. Aku datang pada saat Ki
Gede mengetahuinya, sebagai laku seorang pencuri yang
masuk ke dalam rumah seseorang," jawab Warsi.
"Kau terlalu banyak mempertimbangkan persoalan-
persoalan yang sebenarnya tidak usah kau pikirkan," jawab
Wiradana. "Rumah itu adalah rumahku. Kau adalah istriku.
Apalagi?" Warsi tidak menjawab. Tetapi kepalanya masih saja
menunduk. Sekali-kali ia mengusap matanya yang basah oleh air mata. "Sudahlah Warsi," berkata
Wiradana. "Semuanya akan
dapat diatur sebaik-baiknya.
Semuanya akan berlangsung
dalam waktu yang dekat. Kau tidak usah membuat pertimbangan yang akan dapat membantumu kecewa atau mungkin menyesal atau
perasaan-perasaan lain semacamnya." Warsi mengangguk perlahan.
33 SH. Mintardja "Aku akan bertanggung jawab. Aku akan segera menjadi
kepala Tanah Perdikan yang dapat menentukan apa saja di
Tanah Perdikan ini. Tidak seorang pun akan dapat
mengganggu aku, apalagi dalam persoalan pribadi," berkata
Wiradana kemudian. Warsi masih saja berdiam diri dan mengangguk kecil.
Namun dalam pada itu, Wiradana pun kemudian minta
diri. Katanya, "Malam ini sebaiknya aku kembali ke Tanah
Perdikan. Di rumah tentu banyak orang berjaga-jaga."
"Silahkan kakang," jawab Warsi yang masih saja
mengusap air matanya. Sejenak kemudian, maka Wiradana pun telah berkemas
meninggalkan Warsi untuk kembali ke Tanah Perdikan,
berjaga-jaga bersama orang-orang Tanah Perdikan yang
berduka. Namun, demikian Wiradana berderap dan hilang di
dalam gelapnya malam, terdengar suara Warsi tertawa.
Suaranya bagaikan iblis betina yang menemukan sosok
mayat baru di pekuburan yang basah.
"Sekarang tidak ada lagi yang dapat menghalangi aku
untuk memasuki rumah Kepala Tanah Perdikan itu,"
berkata Warsi disela-sela tertawa iblisnya, "selebihnya, aku
sudah menunaikan tugasku yang paling sulit. Aku tidak
sabar menunggu untuk meracunnya. Justru dengan cara ini,
sekaligus aku membuka jalan untuk masuk ke rumah
Wiradana." Suara tertawa Warsi menjadi semakin meninggi.
"Sebentar lagi kau akan tunduk kepadaku anak manis,"
katanya pula. 34 SH. Mintardja Sambil tersenyum puas Warsi masuk ke dalam biliknya.
Sambil membaringkan diri, tangannya sempat meraba
sebuah sumpit dibawah tikar di pembaringannya.
Sebenarnyalah sebagaimana diduga oleh Gandar, Warsi
lah yang telah melakukan pembunuhan itu. Ia telah
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyamar sebagai seorang laki-laki memasuki padukuhan
induk Tanah Perdikan Sembojan, demikian suaminya
meninggalkannya pagi itu. Dengan kemampuan seorang
berilmu tinggi, maka ia dapat melakukan tugasnya dengan
sangat licik. Kemudian dengan ilmunya pula ia berlari jauh
melampaui kecepatan lari orang kebanyakan. Sehingga
ketika ketika padukuhan induk itu dikepung, Warsi
memang sudah berada diluarnya.
Karena itu, Wiradana tidak dapat menemukan seorang
pun yang pantas untuk dicurigai di padukuhan induk.
Pada sisa malam itu, Wiradana memang kembali ke
rumahnya. Ia pun kemudian duduk di antara orang-orang
Tanah Perdikan Sembojan yang berjaga-jaga. Termasuk
Gandar. Namun rasa-rasanya Wiradana menjadi berdebar-debar
setiap ia memandang wajah orang itu. Baginya, seakan-akan
Gandar itu pun selalu memandanginya tembus sampai
kejantung. Seakan-akan Gandar itu ingin melihat
kebersihan hatinya tentang kematian Iswari sebelum
kematian ayahnya itu terjadi.
"Setan," geram Wiradana di dalam hatinya. "Jika ia selalu
mengganggu ketenanganku, aku akan membunuhnya."
Namun ternyata, disaat itu Gandar sudah memikirkan
saat ia akan minta diri. Agaknya ia memang tidak perlu
terlalu lama berada di Tanah Perdikan Sembojan. Bahkan
rasa-rasanya ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera
35 SH. Mintardja bertemu dengan Kiai Badra. Bandul yang dibawanya itu
memang selalu membebani perasaannya, karena telah
terjadi pertentangan di dalam dirinya. Ia merasa bersalah
karena ia tidak memenuhi permintaan seseorang yang
ternyata sudah meninggal. Namun ia sadar, bahwa jika ia
memenuhinya, maka akan terjadi ketidak adilan karena
sikapnya itu. Dengan demikian maka Gandar ingin segera bertemu dan
berbicara dengan Kiai Badra. Seakan-akan ia ingin membagi
beban yang memberati perasaannya itu.
Karena itulah, ketika malam kemudian lewat, pagi-pagi
Gandar sudah menemui Ki Wiradana. Dengan nada yang
menyesal, ia minta diri, karena ia tidak dapat lebih lama lagi
berada di Tanah Perdikan Sembojan.
"Kenapa tergesa-gesa?" bertanya Wiradana untuk
berbasa-basi. "Aku tidak ingin mengganggu Tanah Perdikan yang
berduka ini," berkata Gandar. "Meskipun demikian bukan
berarti bahwa aku telah melupakan adikku Iswari yang
hilang di Tanah Perdikan ini. Dengan kematian Ki Gede aku
semakin yakin, sebagaimana dikatakan oleh Ki Gede, bahwa
keluarga Kalamerta masih tetap membayangi Tanah
Perdikan ini." Wiradana memaki di dalam hati. Tetapi ia menjawab,
"Yang terjadi adalah diluar kemampuan kami. Kematian
Iswari juga berada di luar kemampuan kami untuk
mencegahnya. Bahkan kematian ayah sendiri."
"Aku mengerti," berkata Gandar. "Yang penting bagi
Tanah Perdikan ini kemudian adalah menemukan. Siapakah
keluarga Kalamerta yang masih berkeliaran dan melakukan
pembunuhan-pembunuhan itu. Jika orang itu masih belum
36 SH. Mintardja diketemukan, maka pada suatu saat, kau juga akan menjadi
sasaran." Wiradana mengerutkan keningnya. Tetapi yang
dikatakan oleh Gandar itu memang mungkin sekali terjadi.
Seseorang dengan licik membunuhnya dengan paser-paser
kecil beracun yang dilontarkan dengan sumpit.
Sambil mengangguk-angguk Wiradana berkata, "Baiklah
Gandar. Agaknya aku sependapat. Sisa-sisa kekuatan
Kalamerta yang masih ada di Tanah Perdikan ini memang
harus dihancurkan sampai tuntas. Jika tidak, aku pun
percaya kepada pendapatmu itu, mungkin pada suatu saat,
akulah yang akan menjadi korbannya."
"Terima kasih jika kau masih mau memikirkan hal itu,
karena hal itu akan berarti bahwa kau juga memikirkan
keselamatan sendiri," berkata Gandar.
Demikianlah maka Gandar pun hari itu telah
meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan. Tidak seorang
pun yang mengetahui, bahwa Gandar telah membawa
bandul yang tergantung pada seutas rantai yang terbuat dari
emas. Adalah diluar kehendaknya sendiri ketika kaki Gandar
telah membawanya menelusuri pematang dan kemudian
tanggul sungai yang pernah dilalui oleh Iswari dibawah
ancaman patren seseorang perempuan yang disebut
Serigala Betina. Tetapi ternyata bahwa Serigala Betina yang
pernah terlibat kedalam dunia yang hitam itu masih juga
berjantung, sehingga Iswari tidak juga dibunuhnya.
Meskipun seandainya hal itu akan dilakukan juga oleh
Serigala Betina, Gandar sudah siap untuk
menyelamatkannya. 37 SH. Mintardja Tetapi ternyata bahwa Gandar telah mengagumi sikap
perempuan itu. Betapapun kelam hatinya namun masih
juga ada sepercik cahaya yang memancar di dalam hatinya
itu. "Aku tidak boleh melupakannya," berkata Gandar. "Jika
saatnya Iswari muncul, maka perempuan itu harus
diberitahu, agar ia menyingkir dari kemungkinan yang
paling buruk karena pembalasan dendam Ki Wiradana."
Sementara itu, di Tanah Perdikan Sembojan, kepergian
Gandar ternyata mampu melapangkan dada Wiradana. Ia
merasa bebas dari tatapan mata yang seakan-akan selalu
menusuk-nusuk sampai ke jantung. Mata yang ingin
melihat kenyataan dari tingkah lakunya terhadap istrinya
yang dikatakannya hilang tanpa diketahuinya.
Dalam pada itu, sepeninggal Ki Gede, maka
pemerintahan di Tanah Perdikan Sembojan telah dipegang
sepenuhnya oleh Wiradana. Ia berusaha untuk
menyesuaikan diri dengan apa yang pernah dilakukan oleh
ayahnya. Setiap kali Wiradana pergi mengelilingi Tanah
Perdikannya untuk melihat perkembangan kesejahteraan
rakyatnya. Dengan demikian, maka Wiradana dapat
mengamati dengan langsung apa yang sebenarnya
diperlukan oleh rakyatnya.
Namun ternyata bahwa Wiradana memang bukan Ki
Gede Sembojan. Bagaimanapun juga, ada perbedaan di
antara mereka. Wiradana mulai menunjukkan sifat-sifat
yang lain dari ayahnya. Dengan kuasanya ia mulai
menunjukkan sifat-sifat yang membingungkan orang-orang
Sembojan. Namun yang paling mengherankan orang-orang
Sembojan, terutama para bebahu, setiap malam Wiradana
masih saja tidak ada di rumahnya. Meskipun ia masih
38 SH. Mintardja mempergunakan alasan yang mungkin dipercaya, mencari
jejak hilangnya istrinya yang sudah lama terjadi serta
mencari kemungkinan adanya sisa keluarga Kalamerta yang
masih mendendam, namun beberapa orang mulai kurang
mengerti atas tingkah lakunya.
Tetapi Wiradana memang tidak akan terlalu lama
diombang-ambingkan oleh hubungannya yang samar-samar
dengan istrinya. Ketika ia merasa kedudukannya sebagai
Kepala Tanah Perdikan sudah mapan, meskipun belum
diwisuda oleh penguasa Pajang, namun ia merasa berhak
untuk menentukan sikap sesuai dengan keinginannya.
Karena itu, maka ia mulai merintis jalan untuk
mengambil istrinya dan membawanya kerumah.
Tetapi Wiradana tidak akan memberikan kesan bahwa ia
sudah berhubungan dengan perempuan itu untuk waktu
yang lama, agar tidak memancing pertanyaan bahkan
mungkin dapat menuntun arah pikiran beberapa orang tua
di Tanah Perdikan Sembojan tentang kematian istrinya.
Dengan demikian, maka Wiradana mempunyai gagasan
untuk mengulangi perkawinannya dengan Warsi
sebagaimana dilakukan dengan Iswari, seolah-olah ia belum
pernah melakukan perkawinan itu dengan Warsi.
Ketika rencana itu disampaikan kepada Warsi, maka
sambil menarik nafas dalam-dalam Warsi berkata,
"Segalanya terserah kepadamu kakang."
Meskipun demikian namun nampak wajah Warsi
menjadi suram. "Warsi," berkata Wiradana kemudian. "Apakah kau
mempunyai keberatan" Aku minta kau berterus terang.
Meskipun seandainya pendapatmu itu sama sekali
berlawanan dengan pendapatku. Karena bagiku, meskipun
39 SH. Mintardja kau menyerahkan segala sesuatunya, tetapi hatimu tidak
ikhlas, maka hal itu akan merupakan persoalan tersendiri
bagi keserasian hidup kita kelak."
Warsi memandang suaminya sekilas. Kemudian katanya,
"Kakang. Aku memang tidak mempunyai pilihan lain.
Meskipun dengan demikian aku menyadari, bahwa
perkawinan kita selama ini benar-benar perkawinan yang
tidak sewajarnya. Tetapi semuanya itu sudah berlalu. Aku
memang mengharap bahwa hari-hari kita yang akan datang
akan menjadi lebih baik dari masa yang telah kita lalui, itu
kakang." "Semua akan berubah Warsi. Kita akan hidup sewajarnya
sebagai seorang suami istri. Tidak ada yang akan dapat
menghalangi kita lagi, karena kekuasaan Tanah Perdikan ini
sudah berada di tanganku meskipun aku belum diwisuda,"
jawab Wiradana. Warsi mengangguk-angguk. Katanya, "Memang
segalanya terserah kepada kakang."
"Tetapi apakah kau juga melihat kemungkinan yang lebih
baik bagi masa depan seperti yang kau katakan?" desak
Wiradana. Warsi termenung sejenak. Namun kemudian ia pun
menganggukkan kepalanya. Demikianlah, maka Wiradana pun mulai membuka jalan
bagi perkawinan yang akan diselenggarakannya lagi dengan
upacara sebagaimana pernah dilakukannya.
Kepada orang-orang tua di Tanah Perdikan Sembojan,
Wiradana menyampaikan keluhannya, bahwa baginya
terlalu sepi untuk hidup seorang diri.
40 SH. Mintardja "Angger Wiradana," berkata salah seorang tetua Tanah
Perdikan, "Hilangnya angger Iswari telah melampaui waktu
seratus hari. Bahkan sudah jauh lewat. Karena itu,
seandainya memang ada niat di hati angger Wiradana untuk
kawin lagi, maka aku kira memang tidak ada halangannya.
Angger dapat memilih gadis yang manakah yang paling
sesuai bagi angger Wiradana. Setiap orang tua akan dengan
senang hati memenuhi permintaan angger atas anak gadis
yang angger kehendaki."
Tetapi Wiradana menggelengkan kepalanya. Katanya,
"Aku belum mempunyai pilihan paman. Yang ingin aku
dapatkan petunjuk, apakah pantas jika aku kawin lagi dalam
waktu yang dekat ini. Jika hal itu memang pantas aku
lakukan, baru kemudian aku akan memilih calon istriku
itu." Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Seperti yang sudah aku katakan. Waktu yang diperlukan
sudah lama lewat. Apalagi angger kini telah memangku
jabatan ayah angger yang sudah tidak ada lagi. Aku kira
memang sudah sepantasnya jika angger mengambil seorang
istri yang pantas yang setidak-tidaknya mendekati angger
Iswari." Wiradana mengerutkan keningnya. Terbayang sekilas
wajah, sikap dan tingkah laku Iswari yang sangat dikasihi
ayahnya itu. Terngiang pula suara Iswari yang kadang-
kadang membaca kidung di malam hari,
mengumandangkan, menggetarkan sepinya malam dengan
suara-nya yang jernih. Tidak seorang pun yang dapat menyangkal, bahwa Iswari
telah meletakkan dirinya sesuai dengan kedudukannya,
sebagai seorang menantu Kepala Tanah Perdikan. Karena
pada saat itu, Ki Gede tidak lagi mempunyai seorang istri,
41 SH. Mintardja maka seakan-akan Iswarilah yang mengisi kedudukan istri
Kepala Tanah Perdikan itu. Meskipun umurnya masih
cukup muda, tetapi ternyata Iswari berhasil menarik
perhatian perempuan-perempuan di Tanah Perdikan
Sembojan dengan sikap, tingkah laku dan kecakapannya.
Untuk sekejap Wiradana sempat memperbandingkan
kedua orang perempuan yang menjadi istrinya itu. Warsi
bagi Wiradana adalah seorang perempuan yang lembut,
luhur budi dan hatinya yang mudah tersentuh.
"Mudah-mudahan dengan bekal sifat-sifatnya itu, Warsi
akan merebut hati perempuan Tanah Perdikan ini
melampaui Iswari?" berkata Wiradana di dalam hatinya.
Meskipun demikian agaknya Wiradana sendiri kurang
yakin. Hampir seluruh Tanah Perdikan ini mengetahui,
bahwa Warsi adalah seorang penari keliling yang mendapat
nafkahnya dari belas kasihan orang atau yang ingin melihat
tariannya. Bahkan ada yang terdorong oleh satu keinginan
yang kasar untuk menari bersama dalam satu acara tayub
atau bahkan janggrung. "Aku tidak peduli," Wiradana akhirnya tidak mau lagi
membuat pertimbangan-pertimbangan. Agaknya hatinya
memang sudah terbius oleh kecantikan penari itu.
Namun pendapat salah seorang tetua Tanah Perdikan itu
membuat hati Wiradana menjadi agak terang. Ketika ia
menghubungi beberapa orang lain, maka mereka pun
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sependapat. Bahwa tidak ada lagi kesulitannya jika
Wiradana memang ingin kawin lagi.
Dengan cermat Wiradana mengatur segalanya. Ia tidak
percaya kepada siapapun juga untuk ikut memikirkan
tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi
42 SH. Mintardja kemudian. Namun ia sudah bertekad bahwa segalanya
harus berlangsung. Ketika saatnya sudah tiba, maka Wiradana pun
memanggil beberapa orang tua di Tanah Perdikan
Sembojan. Dengan beberapa penjelasan dan bahkan
bernada tekanan, Wiradana akhirnya menyampaikan
kepada orang-orang tua itu, "Paman dan para tetua Tanah
Perdikan. Ternyata bahwa setelah aku berusaha untuk
menemukan seorang perempuan yang pantas untuk
menjadi istriku, akhirnya aku mendapatkan juga."
Orang-orang tua itu saling berpandangan. Namun
kemudian salah seorang di antara mereka bertanya,
"Siapakah perempuan itu ngger?"
"Besok pada saatnya, paman akan mengetahuinya juga,"
jawab Wiradana. Orang tua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tidak bertanya lagi, karena agaknya Wiradana masih belum ingin mengatakannya.
Sementara itu, di padepokan kecil Kiai Badra,
Gandar telah melaporkan semua yang dialami. Bahkan
kecurigaannya kepada istri
Wiradana pun telah dikatakannya pula kepada Kiai Badra. Orang tua itu menjadi sangat berprihatin 43 SH. Mintardja mendengar laporan Gandar tentang Tanah Perdikan
Sembojan. Terbayang di angan-angan Kiai Badra, bahwa
jika Wiradana masih saja berpijak pada watak dan sifat-
sifatnya, serta dikendalikan oleh perempuan yang termasuk
keluarga Kalamerta menilik sikap ilmunya, maka Tanah
Perdikan Sembojan akan menjadi Tanah Perdikan yang
paling buruk di seluruh Pajang, sehingga apabila hal itu
diketahui oleh Adipati Pajang, maka Wiradana tentu tidak
akan diwisuda. Namun dalam pada itu, Gandar pun telah
memberitahukan pula tentang bandul yang dibawanya.
Bandul yang bergantung pada seutas rantai dan terbuat dari
emas. "Benda itu tentu akan dibutuhkan saat Wiradana akan
diwisuda," berkata Kiai Badra.
"Bagaimana jika tanpa benda itu?" bertanya Gandar.
"Aku tidak tahu. Tetapi mungkin Wiradana akan
mendapat kesulitan," jawab Kiai Badra.
Gandar termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Aku tidak rela menyerahkan benda ini kepada Wiradana.
Apalagi jika kelak perempuan yang menjadi istrinya itu
melahirkan anak pula. Maka anak Iswari itu tentu akan
tersisih dari kemungkinan untuk mendapatkan haknya."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Sebenarnya Kiai Badra
sama sekali tidak terikat kepada satu keinginan bahwa anak
cucunya itu harus menjadi Kepala Tanah Perdikan. Ia bukan
termasuk salah seorang yang tergila-gila kepada pangkat
dan kedudukan. Namun seperti juga Gandar, maka ia tidak
mau rasa keadilannya tersinggung. Disingkirkannya Iswari
dengan cara yang kotor itu telah membuat darahnya
menjadi panas. Untunglah bahwa ia masih mampu
44 SH. Mintardja menahan diri dan tidak melakukan satu langkah tanpa
dipertimbangkan dengan nalar. Sementara itu Tuhan masih
memberikan titik terang dihati perempuan yang disebut
Serigala Betina itu, yang menilik sifat-sifatnya tidak akan
mungkin mempunyai perasaan yang jernih terhadap Iswari.
Namun ternyata Tuhan menghendaki demikian.
Karena itu, maka Kiai Badra pun kemudian berkata,
"Baiklah Gandar. Kita akan dapat menyimpan untuk
sementara bandul itu. Kita akan melihat perkembangan
Tanah Perdikan Sembojan. Karena itu, kau dapat setiap kali
jika kau senggang dan tidak ada pekerjaan untuk pergi ke
Tanah Perdikan itu. Mungkin kau akan mendapat bahan
pertimbangan untuk mengambil langkah selanjutnya."
Gandar mengangguk. Katanya, "Rasa-rasanya memang
menarik untuk setiap kali pergi ke Tanah Perdikan itu Kiai.
Nampaknya Tanah Perdikan itu tidak akan berkembang
menjadi baik. Tetapi justru sebaliknya."
"Hal itu sudah dapat dibayangkan Gandar," berkata Kiai
Badra. "Tetapi apakah untuk seterusnya tidak ada usaha
yang dapat menolong Tanah Perdikan itu dari kehancuran."
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun
berdesis, "Anak itu pada suatu saat harus mampu
menjadikan Tanah Perdikan itu jauh menjadi lebih baik."
Kiai Badra tidak menyahut. Sementara itu, maka Gandar
pun berdesis, "Aku akan pergi ke kandang Kiai."
"Pergilah," jawab Kiai Badra. "Kuda yang berwarna coklat
merah itu sudah agak lama tidak mendapat kesempatan
untuk berlari-lari."
Gandar pun kemudian meninggalkan Kiai Badra yang
duduk merenungi diri. Namun tiba-tiba saja timbul
45 SH. Mintardja keinginannya untuk bertemu dengan Iswari dan sekaligus
melihat, apa saja yang dilakukan di Tlaga Kembang.
Pagi-pagi benar Gandar sudah menyiapkan dua ekor
kuda. Mereka akan pergi berkuda menuju ke Tlaga
Kembang. Tidak ada persoalan apapun yang timbul di perjalanan.
Demikian mereka memasuki regol padepokan Tlaga
Kembang, maka para cantrik yang ada di padepokan itu
telah menyambut mereka dengan ramahnya
"Marilah Kiai," cantrik itu mempersilakan.
Setelah menyerahkan kuda mereka kepada para cantrik
maka keduanya pun kemudian duduk di pendapa rumah
induk padepokan itu. Sejenak kemudian maka seorang cantrik telah
menghidangkan minuman dan makanan serta
mempersilakan mereka minum.
"He," bertanya Kiai Badra, "Dimana Kiai dan Nyai Soka?"
Cantrik itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Mereka
berada di sebuah pondok kecil di tepi Tlaga Kuning,
disebelah grojogan air di lereng bukit."
"O, apakah mereka sedang berjalan-jalan?" bertanya Kiai
Badra kemudian. "Tidak. Mereka sudah disana selama lebih dari sepekan,"
jawab cantrik itu. "Untuk apa" Dan dimana Iswari?" bertanya Kiai Badra
pula dengan gelisah. "Iswari ikut bersama mereka," jawab cantrik itu.
"Dan anaknya?" bertanya Kiai Badra selanjutnya.
46 SH. Mintardja "Anak itu dibawa serta," jawab cantrik itu. "Tetapi
mereka membawa seorang pemomong yang akan dapat
membantu Iswari melayani anaknya yang mulai nakal itu."
"O," Kiai Badra tersenyum. "Apa yang sudah dilakukan
oleh anak itu?" "Berteriak-teriak," jawab cantrik itu. "Setiap pagi
sebelum dini hari bersahut-sahut dengan kokok ayam
jantan." Kiai Badra tertawa. Keinginannya untuk bertemu dengan
cucu dan cicitnya itu menjadi semakin mendesaknya.
Karena itu, maka katanya kemudian, "Apakah letak Tlaga
Kuning itu jauh?" "Tidak," jawab cantrik itu.
"Tolong, bawa aku ke Tlaga itu," berkata Kiai Badra
kemudian. "Tetapi Kiai bermalam disini saja untuk malam ini.
Sekarang langit sudah menjadi merah," jawab cantrik itu.
"Tetapi bukankah Tlaga Kuning itu tidak terlalu jauh?"
sahut Kiai Badra. "Memang tidak terlalu jauh," jawab cantrik itu. "Tidak
ada setengah malam perjalanan."
"He, setengah malam perjalanan" Dan itu kau katakan
tidak terlalu jauh?" berkata Kiai Badra kemudian.
Cantrik itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya pula, "Bukankah tidak terlalu jauh dibandingkan
dengan padepokan Kiai itu?"
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Memang
tidak terlalu jauh. Tetapi aku sependapat, bahwa besok aku
akan pergi ke Tlaga Kuning."
47 SH. Mintardja Malam itu Kiai Badra dan Gandar telah sepakat untuk
bermalam. Tetapi, seorang cantrik telah memberitahukan
kepada mereka, agar mereka bermalam saja di luar
padepokan." "Ada apa sebenarnya?" bertanya Kiai Badra.
Cantrik itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Kiai. Sebenarnyalah Kiai dan Nyai Soka berusaha untuk
menghindarkan diri dari satu pertumpahan darah. Seorang
sahabat Kiai Soka dimasa mudanya merasa kehilangan
seorang ayah. Orang itu menduga, bahwa ayahnya telah
dibunuh oleh guru Kiai Soka pada saat itu. Pada satu waktu
yang sudah lama. Tetapi dendamnya tiba-tiba beralih
kepada Nyai dan Kiai Soka sekarang ini."
Kiai Badra mengerutkan keningnya. Hampir diluar
sadarnya ia bertanya, "Apakah orang itu orang yang sangat
luar biasa. Maksudku, bahwa Kiai dan Nyai Soka terpaksa
mengungsi?" "Bukan mengungsi Kiai. Tetapi mereka menghindari
pertumpahan darah. Agaknya Kiai Soka masih ingin
memberikan penjelasan. Tetapi tidak dalam keadaan seperti
ini. Orang itu tentu tidak akan mendengarkannya. Karena
itu, maka padepokan ini lebih baik dikosongkan. Mereka
tidak akan menemukan lawan di padepokan ini."
"Siapa orang yang memusuhi adikku itu?" bertanya Kiai
Badra. "Aku kurang tahu Kiai. Tetapi sebaiknya Kiai juga
menghindarkan diri dari kemungkinan yang buruk yang
dapat terjadi," berkata cantrik itu.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
pun bertanya, "Lalu bagaimana dengan kalian?"
48 SH. Mintardja "O," jawab cantrik itu. "Kami hanya cantrik-cantrik
padepokan. Tentu mereka tidak akan berbuat apa-apa
terhadap kami." Kiai Badra memandang Gandar sejenak. Namun
kemudian katanya, "Gandar. Marilah kita menyingkir.
Malam ini padukuhan ini akan didatangi oleh orang-orang
yang ingin membalas dendam kepada Kiai Soka karena
peristiwa sekian puluh tahun yang lalu."
"Baiklah Kiai. Aku akan ikut saja apa yang Kiai
perintahkan," jawab Gandar.
Namun dalam pada itu Kiai Badra bertanya, "Lalu
bagaimana dengan kuda-kuda kami. Orang-orang yang
membalas dendam itu mungkin seorang yang gemar sekali
mengumpulkan kuda. Bukankah dengan demikian semua
kuda di padepokan ini akan dibawa oleh penjahat itu."
Para cantrik itu termenung sejenak. Namun kemudian
katanya, "Kiai benar. Kuda-kuda itu pun harus
disingkirkan." Dengan demikian, maka para cantrik di padepokan itu
pun telah membawa Kiai Badra, Gandar dan beberapa ekor
kuda menyingkir. Mereka telah membawa kedua tamu
mereka jauh dari padepokan itu. Karena di halaman rumah
itu tidak ada kandang, maka kuda-kuda itu pun telah diikat
saja pada batang-batang pohon.
Pemilik rumah itu ternyata orang yang sangat ramah.
Mereka mempersilakan Kiai Badra dan Gandar untuk
berada di ruang dalam. "Silahkan Ki Sanak," berkata orang itu, "Menurut para
cantrik, padepokan itu akan didatangi oleh orang-orang
yang berniat buruk, sehingga Ki Sanak terpaksa diungsikan
kemari." 49 SH. Mintardja "Begitulah menurut para cantrik," jawab Kiai Badra.
"Kami sama sekali tidak menyangka, bahwa akan terjadi hal
seperti itu disini. Jika kami mengetahuinya, maka lebih baik
kami tidak datang di padepokan ini."
"Tetapi Ki Sanak dapat tinggal disini dengan tenang. Aku
sudah kenal dengan baik Kiai dan Nyai Soka. Bahkan sudah
seperti keluarga sendiri. Karena itu, aku sama sekali tidak
berkeberatan Ki Sanak berada di rumah ini semalam justru
untuk menghindarkan diri dari kemungkinan-kemungkinan
buruk," berkata pemilik rumah itu. "Anggaplah rumah ini
sebagai bagian dari padepokan Kiai dan Nyai Soka."
"Terima kasih Ki Sanak," jawab Kiai Badra.
Ketika kemudian malam turun dan gelap pun
menyelubungi padepokan kecil itu, maka Kiai Badra dan
Gandar telah berada di dalam bilik yang disediakan untuk
mereka. "Kenapa kita tidak pergi saja ke Tlaga Kuning Kiai?"
bertanya Gandar. "Bukankah itu lebih baik daripada kita
berada disini."
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya, "Rasa-rasanya ada yang mengikat aku disini. Aku
sebelumnya tidak pernah mendengar adikku itu pernah
bermusuhan dengan siapapun juga. Kini tiba-tiba seseorang
telah datang untuk membalas dendam. Seandainya benar
kata cantrik itu, bahwa yang datang untuk membalas
dendam itu adalah sahabat Kiai Soka di masa mudanya,
memang mungkin aku tidak mengetahuinya. Hal itu
mungkin sekali terjadi sebelum Kiai Soka kawin dengan
adikku. Tetapi adalah mengherankan sekali, bahwa tiba-tiba
setelah sekian puluh tahun, orang yang pernah menjadi
seorang sahabat itu datang untuk membalas dendam."
50 SH. Mintardja Gandar menarik nafas dalam-dalam. Ia pun sebenarnya
juga dihinggapi keinginan untuk mengetahui apa yang akan
terjadi, dan kenapa tiba-tiba saja sahabat itu teringat untuk
membalas dendam. Karena itu, maka Gandar pun kemudian sependapat
dengan Kiai Badra untuk berada di rumah kecil itu. Bahkan
seandainya sahabat itu tidak datang malam itu, Kiai Badra
akan menunggu di malam berikutnya.
Ketika keduanya sudah mendapatkan suguhan makan
malam, maka kedua orang itu telah berada kembali di
dalam biliknya. Untuk mengisi waktu maka Gandar mulai
berbicara tentang anak laki-laki Iswari dan bandul yang
dibawanya. Sebenarnyalah bahwa malam itu dua orang berkuda telah
mendekati padepokan Tlaga Kembang. Dua orang yang
bertubuh tegap kekar. Meskipun umur mereka sudah
melampaui pertengahan abad, namun nampak bahwa
mereka masih tetap orang-orang yang memancarkan
kemampuan yang tinggi yang tersimpan di dalam dirinya.
Di dalam sepinya malam kuda itu berderap di atas jalan
berbatu-batu. Kemudian mereka mulai memperlambat kuda
mereka setelah mereka mendekati regol padepokan Kiai dan
Nyai Soka yang kosong, selain beberapa cantrik yang tidak
mengetahui persoalan yang dibawa oleh kedua orang itu
secara pasti. Yang mereka ketahui adalah sebagaimana yang
mereka katakan kepada Kiai Badra dan Gandar yang
mereka singkirkan ke rumah seorang penghuni padukuhan
sebelah. Namun satu hal yang harus diingat oleh para cantrik,
bahwa mereka tidak perlu mengatakan dimana Kiai dan
Nyai Soka berada. Apapun yang terjadi atas mereka, namun
mereka harus tetap merahasiakannya.
51 SH. Mintardja Sejenak kemudian, maka kedua orang itu pun sudah
turun dari kuda mereka dan mengetuk regol padepokan.
Seolah-olah mereka adalah tamu-tamu yang memang sudah
diharapkan tanpa keseganan dan apalagi berusaha
memasuki padepokan dengan diam-diam.
Beberapa kali orang itu mengetuk pintu. Baru kemudian
seorang cantrik berlari-lari membuka pintu regol.
Jantung cantrik itu menjadi berdebar-debar. Ia sudah
menduga bahwa yang datang itu tentu orang yang dikatakan
oleh Kiai Soka sebagai orang-orang yang ingin membalas
dendam. Namun justru karena itu, maka cantrik itu menjadi
bagaikan terbungkam. Ia berdiri saja memandangi kedua
orang itu dengan mata yang tidak berkedip. Namun
mulutnya tidak dapat mengucapkan sepatah katapun.
Karena cantrik yang membuka pintu regol itu tidak
mengucapkan kata-kata, maka salah seorang dari kedua
orang itulah yang bertanya, "Apakah kau ingin
mempersilakan aku masuk?"
Cantrik itu menjawab dengan gagap, "Ya. Ya. Silakan."
Kedua orang itu pun kemudian menuntun kuda mereka
memasuki halaman padepokan itu. Rasa-rasanya
padepokan kecil itu memang sepi. Apalagi di malam hari.
Keduanya pun kemudian mengikatkan kuda mereka pada
tonggak-tonggak yang sudah tersedia di halaman.
Kemudian berdiri tegak sambil menunggu.
Cantrik yang mengikutinya itu pun kemudian menyadari,
bahwa ia harus mempersilakan kedua orang itu
sebagaimana ia mempersilakan seorang tamu. Karena itu,
Kisah Tiga Kerajaan 11 Neraka Hitam Seri Bara Maharani Karya Khu Lung Neraka Hitam 12