Pencarian

Pinangan Iblis 1

Dewa Linglung 20 Pinangan Iblis Bagian 1


SATU Dewa Linglung jatuhkan pantatnya di akar
pohon dengan menghembuskan napas dari mulut-
nya. Hari itu panas terik luar biasa, seperti membakar kulit kepala. Lembah itu
begitu luas, seolah tak berujung. Entah berapa lama si Dewa Linglung menempuh
perjalanan yang seakan-akan tak ada
habisnya. Sekitar lembah itu tak ada sebatang pohon-
pun yang berdaun. Semuanya gersang. Yang
membuat aneh adalah sudah hampir setengah hari
Nanjar melakukan perjalanan melintasi lembah
itu, tapi sampai sekian lama dia belum menemu-
kan apa yang dinamakan ujung lembah.
Sekujur tubuh Nanjar telah basah oleh ke-
ringat. Terpaksa Nanjar membuka bajunya untuk
memeras air keringat. Sementara dalam hati dia
membathin. "Aneh! Seumur hidupku baru aku menjum-
pai lembah seluas ini...! Gila! benar-benar gila!
Lembah apa ini!?" Ketika dia menengadah menatap ke atas ternyata matahari masih
tetap berada di
atas kepala. Hati Nanjar tersentak.
"Aneh!" seharusnya matahari sudah con-
dong kearah barat. Bukankah ketika aku mena-
nyakan jalan ke Kota Raja pada kakek tua renta
ditepi jalan tadi tepat tengah hari" Rasanya aku sudah hampir setengah hari
menyusuri lembah,
tetapi matahari masih tetap berada di atas kepa-
la...?" Nanjar garuk-garuk tengkuknya meman-
dang terheran-heran. Matanya menjalari sekitar
lembah itu yang sunyi mencekam. Seekor burung-
pun tak ada yang terlihat terbang melintas di tempat yang gersang itu.
"Dimanakah aku" dan lembah apa ini?"
Nanjar terlongong-longong keheranan. Tapi Nanjar segera mengambil keputusan.
"Aku harus segera menemukan jalan keluar
dari lembah gila ini! Pasti ada yang tidak beres.
Kakek tua renta itu pasti sengaja menipu agar aku tersesat di lembah edan
ini..." pikir Nanjar dalam benak. Segera dikenakan bajunya yang baru selesai
diperas. Akan tetapi ketika lengannya menjulur un-
tuk menjumput pedang mustika Naga Merah yang
tadi diletakkan di atas akar, mendadak dia tersentak kaget.
"Hah!" kemana pedangku...?" Membelalak mata Nanjar melihat pedangnya telah
lenyap. Pedang mustika itu memang diletakkan di tanah dis-
andarkan pada akar pohon yang didudukinya ke-
tika tadi dia membuka bajunya. Tapi senjata pu-
saka itu kini lenyap tak berbekas. Kecuali seruling tulang yang masih terselip
dipinggang, dan buntalan kain yang selalu dibawanya.
Nanjar menyambar buntalan kainnya, lalu
berkelebat ke balik pohon. Akan tetapi tak nampak ada orang bersembunyi disitu.
Tubuh Nanjar kembali berkelebatan ke balik-balik pohon untuk me-
meriksa sekitar tempat itu. Namun tak dijumpai
sepotong makhluk atau manusia yang berada di
tempat itu. "Gila! Aneh!" Edan...!" maki Nanjar dengan berdiri menjublak. Kepalanya terasa
berdenyut-denyut dan otaknya serasa pecah memikirkan,
keanehan itu. "Apakah penyakit linglung ku kambuh lagi"
Atau ada makhluk halus yang sengaja menyembu-
nyikan pedangku" Ah! Gila! Edan semua!" Nanjar serasa sudah tak mampu berpikir
lagi dengan kejadian aneh yang dialaminya.
Pada saat itulah lapat-lapat telinga Nanjar
menangkap suara orang menangis terisak-isak.
Hati Nanjar tercekat. Telinganya dipasang untuk
mendengar dari mana arah suara itu. Mendadak
tubuhnya berkelebat ke arah pohon kayu rebah
yang berjarak kira-kira dua puluh tombak dari
tempat dia berdiri.
Seorang wanita berpakaian compang-
camping tampak duduk menggelepoh ditanah ber-
debu, tengah menangis terisak-isak. Rambutnya
terurai menutupi wajahnya. Cepat Nanjar melom-
pat menghampiri.
"Siapakah kau..." Mengapa berada ditempat
ini?" tanya Nanjar. Mendengar ada orang yang me-nyapa, gadis ini mengangkat
muka. Tampak wa-
jahnya bersimbah air mata. Gadis ini berwajah bulat sirih. Rambutnya kusut
masai. Sepasang ma-
tanya yang basah memandang Nanjar dengan bibir
setengah terbuka, memperhatikan pemuda di ha-
dapannya dari kepala sampai ke kaki.
"Namaku.... Mayanti. Aku... aku tersesat di lembah ini. Oh! to... tolonglah aku
tuan muda yang gagah. Aku tak mau mati di tempat ini." berkata gadis itu dengan terisak-isak.
Nanjar terlongong menatap gadis itu. Ternyata dia tidak sendiri. Selain dirinya
ada pula orang yang tersesat di lembah aneh yang tak berujung itu. Bagaimana dia
harus menolongnya, sedang menolong dirinya sendiri sa-
ja sudah sulit.
Akan tetapi Nanjar tampak unjukkan wajah
cerah. Mendadak dia tertawa gelak-gelak.
"Bagus! kau dan aku adalah senasib. Aku-
pun terjebak di lembah gila ini. Kalau kita tak dapat menemukan jalan keluar dan
terkurung di lembah edan ini biarlah kita mati sama-sama!"
Gadis itu membelalakkan matanya.
"Jadi kau sendiri tersesat dilembah ini?"
tanya si gadis melengak. Nanjar mengangguk.
"Haha... tapi jangan khawatir, setiap rumah pasti ada pintunya. Setiap jalan
pasti ada ujungnya.
Mustahil kita tak menemukan jalan keluar dari
lembah ini" Oh, ya! namamu Mayanti, bukan" Se-
nang sekali bertemu kau. Namaku Ginanjar, pang-
gil saja Nanjar....!" kata si Dewa Linglung.
Nanjar ulurkan lengannya pada gadis itu.
Sang gadis unjukkan senyum di antara belahan
bibirnya. Sesaat Nanjar telah mengangkat bangun
gadis itu. Sejenak keduanya saling tatap.
"Kita coba mencari jalan ke luar ke arah sa-na!" kata Nanjar sambil menunjuk.
"Mungkin kita temukan ujung tepi lembah untuk keluar dari ne-raka ini!"
Mayanti mengangguk. "Aku hanya menu-
rutkan kau. Dan... dan sebelumnya aku ucapkan
terima kasih atas kebaikan hatimu menolong diri-
ku" berkata si gadis. Wajahnya tampak berubah agak cerah.
"Jangan terlalu tergesa-gesa mengu-
capkan terima kasih, adik manis. Kita belum men-
getahui nasib apa yang bakal menghadang di de-
pan mata kita." kata Nanjar dengan tertawa tawar.
Sementara dalam berkata, hati Nanjar berkata
lain. "Hm, aku hanya mencari jalan untuk kau bi-sa keluar dari lembah ini. Bila
ku berhasil menemukan, aku akan kembali memasuki lembah gila
ini. Aku harus mengungkap keanehan-keanehan
itu. Dan pedang mustika Naga Merah tak akan
kubiarkan lenyap begitu saja..."
DUA Sementara Nanjar dan gadis itu beranjak
pergi untuk mencari jalan keluar lembah, sesosok tubuh berkelebat entah dari
mana munculnya, ta-hu-tahu telah berdiri di bawah sebatang pohon
tempat Nanjar tadi menjatuhkan pantatnya. Ter-
nyata sosok tubuh seorang kakek tua renta berju-
bah abu-abu. Lengannya mencekal sebuah tongkat
kayu seperti akar.
Wajah kakek ini tampak tersenyum menye-
ringai. Matanya tertuju pada akar pohon di dekat kakinya. Pedang mustika milik
Nanjar ternyata
masih menggeletak ditempat semula. Akan tetapi
aneh, karena Nanjar tadi sama sekali tak melihat pedangnya.
"Hehehe... dengan ilmu sihir yang kumiliki, dengan mudah aku dapat menipu
pandangan ma-ta bocah linglung!"
Selesai tertawa orang tua ini ulurkan len-
gannya menjumput pedang mustika Naga Merah.
Akan tetapi mendadak dia tersentak. Satu kekua-
tan aneh berhawa panas telah menyambar tan-
gannya, hingga cepat-cepat dia menarik pulang
lengannya dengan berteriak kaget.
Apa yang terjadi pada pedang mustika milik
si Dewa Linglung itu sungguh membuat dia terke-
jut. Karena tampak benda mustika itu memancar-
kan sinar kuning, membentuk kobaran api yang
mengelilingi badan pedang.
Sejenak laki-laki tua ini terpaku. Mendadak
bibirnya berkomat-kamit seperti membaca mante-
ra. Sepasang matanya menyorot tajam menatap
kearah benda mustika yang mengeluarkan cahaya
kuning membentuk lingkaran api itu.
Kekuatan mata bathin kakek ini ternyata
mampu melihat sebuah benda berbentuk keris pa-
da badan pedang tersebut. Keris itulah yang men-
geluarkan sinar kuning menyala.
"Hah!" keris Kyai Jaran Goyang!" sentaknya terkejut. Cahaya itu mendadak padam.
Kakek ini menunggu beberapa saat. Dia tak berani gegabah
untuk menjulurkan tangan mengambil pedang itu.
Pada saat itulah terdengar suara tertawa
mengekeh dirinya munculnya sebuah bayangan
putih berkelebat.
"Hik hik hik, setan tua! ternyata ilmu sihir-mu tak mampu mengangkat pedang
mustika Na- ga Merah dari atas tanah. Matamu cukup tajam
dapat melihat sesuatu yang tersembunyi di badan
pedang itu. Benar! cahaya kuning itu berasal dari keris Kyai Jaran Goyang yang
telah menyatu pada
pedang mustika itu."
Kakek tua ini belalakkan mata melihat seo-
rang nenek tua renta bertubuh bungkuk, mencek-
al tongkat bercagak di hadapannya.
"Iblis Bungkuk Lembah Jerangkong! Angin
apa yang meniupmu sampai kemari?" sentak si kakek terkejut.
"Hihihi... pengaruh kekuatan ilmu sihirmu
itulah yang membuat aku datang kemari. Aku me-
rasa dunia seperti mau kiamat. Apakah kau me-
mang mau membuat dunia kiamat" Hihik hik...
kau telah berbuat keterlaluan, setan tua! Apakah kau mau melebihi kekuasaan
Tuhan" hingga melakukan perbuatan gila-gilaan?" sahut si nenek.
"Heh! apa perdulimu dengan urusanku" Se-
jak dulupun aku memang tak cocok denganmu.
Kau selalu menghalangi langkahku. Kau selalu
mau ikut campur urusanku!" membentak marah si kakek. Wajahnya mendadak berubah
mengelam. Urat-urat lehernya menggembung.
"Bagus, kalau kau berkata begitu. Kita me-
mang tak cocok, dan tak akan pernah cocok! Ke-
cuali kalau aku mau mendukung langkahmu!" sahut si nenek ketus.
"Heheheh... saat ini aku sudah tak memer-
lukan dukunganmu. Dengan ilmu-ilmu yang kumi-
liki, aku bisa mewujudkan cita-citaku tanpa
mengharapkan secuil bantuanmu!" tertawa men-
gekeh si kakek.
Akan tetapi sebaliknya wajah si nenek be-
rubah menyuram.
"Hm, setan tua Datuk Patilongga! Jangan
harap cita-cita edanmu bisa terwujud. Walau ge-
larku Iblis Bungkuk Lembah Jerangkong, tapi ha-
tiku tak seburuk dan sejahat iblis! Kau kira ilmu-mu telah sampai setinggi
langit" Hik hik hik... jangan sombong datuk setan tua! Kejahatan tak akan
mendapat tempat berpijak di jagat ini selama ma-
sih ada ombak berdebur. Akulah orang pertama
yang akan menentang ambisi gilamu!" berkata nenek tua bungkuk ini dengan suara
lantang. "Bagus! Aku memang sudah memasukkan
nyawamu dalam daftar buku kematian. Akan teta-
pi kini bukan saatnya aku mengadu ilmu dengan-
mu, nenek peot!" Selesai berkata kakek tua renta yang bernama Datuk Patilongga
itu kibas-kan jubahnya. Mendadak asap hitam mengepul, dan se-
saat tubuh kakek itu telah lenyap sirna, bersa-
maan dengan lenyapnya asap hitam itu.
Nenek tua renta yang bergelar Iblis Bung-
kuk Lembah Jerangkong bukanlah seorang tokoh
yang berilmu rendah. Sepasang matanya dapat
melihat sosok tubuh Datuk Patilongga berkelebat
memasuki hutan. Dia tak mengejar, karena diapun
mengetahui kalau menggempur manusia yang
pernah satu perguruan dimasa muda itu bukanlah
saatnya. Disamping dia sendiri meragukan akan
kekuatannya. Jelas dia melihat kehebatan ilmu sihir Datuk Patilongga yang sukar
diukur tingginya.
Selama belasan tahun tak berjumpa, tentu ilmu
kepandaiannya pun semakin bertambah tinggi.
Namun dia bersyukur karena gagalnya ka-
kek itu merampas pedang mustika Naga Merah. Di
samping itu hatinya juga bergirang, karena diluar dugaan dia mengetahui adanya
keris Kyai Jaran
Goyang yang menyatu pada pedang mustika itu.
"Nenek bungkuk! terima kasih atas perto-
longanmu! Ah, sayang mengapa kau membiarkan
dia lenyap begitu saja" Dengan kita maju menggempur berdua, mustahil manusia
setan itu tak berhasil ditumpas!"
Suara yang terdengar dibelakang si nenek
adalah suara Nanjar. Gerakan kaki si Dewa Lin-
glung yang hampir tak menimbulkan suara itu bu-
kan tak terdengar oleh wanita tua ini. Bahkan dia sudah mengetahui siapa yang
datang. Tanpa membalikkan tubuh, dia menyahut.
"Anak muda kau simpanlah pedang musti-
kamu baik-baik. Banyak bahaya di depan mata.
Saat itu bukanlah waktu yang tepat untuk me-
numpas manusia itu. Kau beruntung memiliki pe-


Dewa Linglung 20 Pinangan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dang mustika Naga Merah, dan sebuah senjata ke-
ramat yang ditakuti para iblis telah bersatu dengan pedang mustikamu. Nah, aku
pergi! Hati- hatilah kau menjaga diri. Mungkin kita akan dapat
bertemu lagi untuk yang ketiga kalinya, entahlah!"
Selesai berucap tubuh nenek bungkuk berkelebat,
dan lenyap.... Nanjar tercenung menatap ke arah lenyap-
nya bayangan tubuh wanita kosen itu. Wanita tua
itu pernah berjumpa dengannya beberapa bulan
yang lalu. Mata nenek bungkuk itu amat tajam,
hingga dia dapat melihat pedang mustika Naga
Merah yang tersembunyi di punggung di balik pa-
kaiannya. Wanita tua itu menanyakan asal- usul
dirinya. Ternyata nenek tua renta yang bergelar Iblis Bungkuk Lembah Jerangkong
itu cuma mena- sihati saja agar menjaga baik-baik pedang milik-
nya. TIGA Nanjar cepat menjumput pedang mustika
Naga Merah yang masih menyandar di akar seperti
semula. Sesaat dia membolak-balik benda pusaka
itu. Kemudian memeriksanya dengan mencabut
keluar pedang itu dari serangka. Sinar merah sege-ra memancar dari badan pedang
yang berbentuk Naga itu. "Sebuah senjata keramat yang ditakuti para
iblis telah bersatu pada pedang ini?" kata Nanjar dalam hati, seraya mengamati.
Tapi dia tak melihat tanda apa-apa yang aneh dari pedang mustikanya.
"Senjata keramat macam apakah yang dimaksud nenek tua bungkuk itu...?" desis si
Dewa Linglung. Ketika Nanjar akan memasukkan kembali
pedangnya ke dalam serangka, gadis bernama
Mayanti yang tadi ditinggalkan ketika Nanjar me-
lompat ke tempat ini tiba-tiba muncul di belakang Nanjar.
Naluri si Dewa Linglung cukup peka untuk
mengetahui sesuatu yang berada di belakangnya.
Cepat dia berbalik.
"Eh! kau... Mayanti?" sentak Nanjar terkejut. Jarak tempat dia meninggalkan
gadis itu cukup jauh. Dan gadis itu tadi tampak sudah sangat keletihan. Tadinya
Nanjar berniat memondong gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara
orang saling bicara di dalam lembah itu. Diam-diam dia pasang telinga untuk
mendengar dari arah mana suara-suara itu. Setelah mendapat ke-
pastian Nanjar menyuruh gadis itu untuk me-
nunggunya di tempat itu. Lalu berkelebat mening-
galkan si gadis. Demikianlah hingga dia mengeta-
hui adanya dua orang kakek dan nenek yang sal-
ing bicara ketus.
Nanjar mengenali si kakek itu, yaitu orang
tua renta yang ditemuinya berada di sisi jalan, dan yang menunjukkan arah yang
harus dituju ke
arah Kota Raja. Hingga dia terjebak di lembah tak berujung itu.
Nenek bungkuk itu ternyata juga orang
yang telah dikenalnya, dan pernah berjumpa den-
gan dia. Adapun yang menjadi keheranan Nanjar
adalah, jarak dari tempat gadis itu cukup jauh ke tempat ini. Tapi tahu-tahu
gadis itu bisa berada di belakangnya dengan secepat itu.
"Tuan muda... pedangmu bagus. Boleh aku
melihatnya?" tanya si gadis. Sejenak Nanjar tertegun. Tapi segera menyahut.
"Haha... mengapa tidak" Asal kau berhati-
hati jangan sampai jarimu tersayat!"
Baru saja Nanjar mengulurkan lengannya
untuk memberikan pedangnya, mendadak mem-
bersit cahaya kuning menyilaukan mata. Gadis itu
menjerit parau. Tubuhnya terhuyung ke belakang
seperti tertolak oleh arus kekuatan berhawa panas yang mendorong tubuh gadis
itu. Alangkah terperanjatnya Nanjar ketika me-
lihat tubuh gadis itu berubah menjadi gumpalan
asap hitam. Ketika asap hitam itu lenyap, sosok
tubuh gadis itupun lenyap entah ke mana.
"Hah!" apakah dia bukan manusia?" sentak Nanjar terperangah kaget. Mendadak bulu
kuduk-nya meremang. Mendadak lapat-lapat telinganya
mendengar suara tertawa cekikikan di sana-sini
tak ketahuan arahnya, bercampur dengan suara
orang merintih-rintih.
"Keparat! manusia atau ibliskah kalian se-
mua" mengapa tak unjukkan diri dihadapanku"!"
teriak Nanjar. Kepalang basah! Nanjar tak perduli apakah dia berhadapan dengan
manusia atau iblis. Dia membentak gusar seraya putarkan pedang
mustikanya. Sinar merah membias udara, ber-
campur cahaya kuning yang membersit dari badan
pedang. Saat itulah tiba-tiba terjadi keanehan. Men-
dadak berangsur-angsur cahaya matahari memu-
dar. Cuacapun berubah menjadi gelap pekat.
Alangkah terkejutnya Nanjar ketika melihat
dia bukan berada di sebuah lembah, melainkan di
tengah pekuburan. Barulah dia menyadari kalau
saat itu cuaca telah berubah menjadi malam hari.
Bulu tengkuk Nanjar kembali meremang.
Kejadian apa lagi kah yang akan dialami" Belum
sempat dia berpikir lebih jauh, mendadak telin-
ganya mendengar suara mendesis. Suara mendesis
itu ternyata dari benda yang dipegangnya. Hampir tak percaya si Dewa Linglung
karena yang dicekal-nya bukanlah pedang mustika Naga Merah, me-
lainkan seekor ular yang mendesis-desis siap me-
matukkan mulutnya ke arah Nanjar.
"Hah! ular...?" teriak Nanjar. Secara tak sadar dia telah melemparkan ular itu.
Ular menda- dak lenyap, dan berubah menjadi pedang mustika
Naga Merah seperti asalnya. Nanjar tersentak ka-
get. Barulah Nanjar sadar bahwa dia terkena pen-
garuh ilmu sihir.
Saat itu selarik asap kuning meliuk keluar
dari badan pedang, lalu lenyap. "Sihir apa lagi ini?"
sentak Nanjar dalam hati. Detik itu juga dia telah melompat untuk menyambar
pedang mustika yang
tergeletak di tanah. Akan tetapi mendadak pedang itu lenyap menjadi segumpal
asap putih kemera-han yang membumbung ke udara. Pedang mustika
itu lenyap. Kegelapan kembali merayapi pekuburan itu.
Cuma sepotong bulan yang menerangi samar- sa-
mar. Nanjar terpaku beberapa saat.
"Keparat! Gila! apa artinya semua ini?" teriak Nanjar dengan wajah pucat, dan
peluh dingin membasahi sekujur tubuhnya.
Di saat itulah tiba-tiba pundak Nanjar se-
perti ada yang menyentuh, dan satu suara lirih
membisik di telinganya.
"Jangan risaukan apa yang terjadi. Mari
ikuti aku..."
Sepasang mata si Dewa Linglung membela-
lak lebar melihat seorang kakek berjubah dan ber-
sorban kuning dengan kumis dan jenggot putih
menjuntai telah berada di hadapannya. Lengan
kakek itu mencekal pundaknya.
Yang membuat aneh Nanjar adalah tubuh
kakek itu hanya mirip bayang-bayang saja. Tapi
sentuhan tangan pada pundaknya terasa membe-
kas. "Siapakah kau orang tua...?" sentak Nanjar dengan lidah terasa kelu. Laki-
laki tua mirip bayangan itu tersenyum.
"Jangan banyak bertanya. Mari kita tinggal-
kan tempat ini!" berkata kakek tua itu. Lalu balikkan tubuh. Selanjutnya Nanjar
hanya melihat so-
sok tubuh kakek jubah kuning itu seperti melun-
cur tanpa ada gerakan kaki yang melangkah.
"Manusiakah, atau hantu?" sentak Nanjar dalam hati. Tapi kali ini Nanjar sudah
tak perduli lagi. Tak ayal dia segera berkelebat menyusul
mengikuti bayangan kakek misterius berjubah
kuning itu. Sebentar saja sosok bayangan tubuh
Nanjarpun lenyap dikegelapan malam yang sema-
kin kelam.... EMPAT Di suatu tempat tersembunyi di dalam se-
buah goa di sisi relung bukit.... "Siapakah sebenarnya Eyang?" tanya Nanjar
dengan menatap bayangan tubuh kakek berjubah, bersorban kun-
ing di hadapannya. Manusia misterius ini tak bu-
ru-buru menjawab. Dia tersenyum seraya lengan-
nya bergerak mengelus jenggot putihnya yang pan-
jang menjuntai.
"Anak muda...! Akulah yang pada belasan
tahun silam disebut Kyai Jaran Goyang." sahut si kakek. "Kyai Jaran Goyang?"
sentak Nanjar terheran. "Bukankah itu julukan sebuah keris pusaka?"
Nanjar terlongong menatap kakek tua itu. Nanjar
memang pernah terlibat dalam peristiwa berdarah
dalam memperebutkan keris pusaka yang berna-
ma Kyai Jaran Goyang. Tapi keris keramat itu le-
nyap tanpa seorangpun yang mengetahuinya.
"Apa yang kau dengar dan ketahui itu tidak
salah, anak muda. Sebenarnya aku sudah tak
mempunyai jasad kasar di dunia fana ini. Do'aku
dikabulkan Yang Maha, Kuasa, hingga walau se-
benarnya aku sudah mati, tapi sukmaku masih
hidup. Sukmaku menyusup masuk ke dalam se-
buah keris besi kuning. Hanya seorang Empu tua
waktu itu yang mengetahui tentang diriku hingga
dia menamakan keris yang kususupi sukmaku,
Kyai Jaran Goyang..." ujar sang kakek berwujud bayangan itu.
Nanjar manggut-manggutkan kepalanya,
mendengarkan penjelasan orang tua itu. Hatinya
tercekat untuk mengetahui lebih lanjut.
"Sebenarnya nama itu bukanlah namaku.
Karena Empu tua itu terheran-heran melihat keris yang diciptakan dari bahan besi
kuning bergoyang-goyang dengan memperdengarkan suara seperti
ringkik kuda. Maka dia menjuluki keris itu Kyai
Jaran Goyang..."
Nanjar kembali manggut-manggut kepala.
"Siapakah nama Eyang sebenarnya?" tanya Nanjar. Seperti tadi, orang tua ini tak
buru-buru menyahut. Dia mengelus jenggotnya dan tersenyum. Kemudian menghela
napas. "Namaku KAPILATU. Aku bekas seorang pe-
nasihat Kerajaan Medang yang pertama di pulau
Jawa. Diwaktu terjadi pemberontakan aku me-
ninggalkan kerajaan. Karena aku merasa sudah
tak dibutuhkan lagi oleh baginda Raja. Aku men-
gasingkan diri ditempat sepi dan menjadi seorang pertapa."
Laki-laki tua berbentuk bayangan ini ber-
henti sejenak untuk menghela napas. Kemudian
meneruskan penuturannya.
"Sebenarnya ceritanya terlalu panjang un-
tuk kututurkan padamu, sedangkan waktu per-
mohonan ku hampir habis. Karena aku telah me-
nemukan jejak manusia keji yang telah membu-
nuhku puluhan tahun yang silam. Dan aku telah
menemukan orang yang kucari untuk mewarisi il-
mu yang kumiliki....."
"Siapakah manusia keji itu, Eyang" dan
siapa yang Eyang maksudkan untuk tujuan Eyang
itu?" tanya Nanjar dengan hati semakin tercekat.
"Manusia itu adalah adik kandungku sendi-
ri yang telah menjadi orang sesat. Dia bernama
PATILONGGA yang melengkapi namanya dengan
sebutan Datuk."
"Maksud Eyang, Datuk Patilongga?" tanya Nanjar.
"Benar! Bukankah kau telah pernah ber-
jumpa dengan dia?" Nanjar mengangguk. Dia telah mengetahui yang dimaksud kakek
ghaib itu adalah
laki-laki tua yang menunjukkan jalan ke Kota Ra-
ja, hingga dia tersesat di lembah ciptaan yang tak berujung. Diapun telah
mendengar nama itu dari
nenek tua Iblis Bungkuk Lembah Jerangkong keti-
ka adu mulut dengan manusia itu di dalam lem-
bah. Tampaknya sukma Kyai Jaran Goyang alias
Kapilatu tak dapat bicara panjang lebar. Waktu
amat mendesak seperti dikatakannya. Ternyata
orang yang dimaksudkan untuk menerima warisan
ilmunya tiada lain dari Nanjar sendiri. Tentu saja terkejut dan girangnya hati
si Dewa Linglung tak terkirakan. Seumur hidup baru dia belajar ilmu
pada seorang manusia arwah.
"Sebenarnya telah sejak lama aku mengikuti
langkah-langkahmu, anak muda. Karena sukmaku
telah menyatu dengan pedang mustika Naga Me-
rah yang kau miliki....!" kata kakek ghaib ini. Nanjar terlongong sesaat.
Barulah dia mengerti akan kata-kata si Iblis Bungkuk Lembah Jerangkong.
Benda keramat yang dimaksud nenek tua bung-
kuk itu adalah keris Kyai Jaran Goyang yang pada dasarnya adalah sukma Kapilatu.
"Waktuku tinggal empat puluh hari. Dan
waktu yang sempit itu harus kau pergunakan un-
tuk menyerap ilmu-ilmu yang kumiliki. Aku tahu
bahwa dengan memiliki senjata mustika yang ba-
gaimana hebatnya, sangatlah sukar untuk menja-
ga atau mempertahankannya. Tapi ilmu tak bisa
lenyap, selama manusia pemilik ilmu itu selalu
mematuhi peraturan yang terdapat dalam ilmu itu, dan tidak melanggar pantangan!"
Kyai Kapilatu. Kemudian meneruskan kata- katanya.
"Dengan kau memiliki ilmu untuk menjaga
diri serta untuk menolong orang yang memerlukan
bantuan tanganmu, bukanlah berarti kau harus
mengesampingkan senjata mustikamu. Karena
senjata memang diperlukan pula sewaktu-waktu.
Nah, dengan demikian mulai hari ini kau kuangkat menjadi muridku....!"
Nanjar tak berlaku ayal, segera membung-
kukkan tubuh memberi penghormatan pada kakek
ghaib itu, seraya berseru girang.
"Terima kasih Eyang Guru....! sejak hari ini aku adalah muridmu. Perintah apapun
yang kau tugaskan akan aku laksanakan dengan sepenuh


Dewa Linglung 20 Pinangan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati!" Kyai Jaran Goyang tersenyum manggut-manggut seraya mengangkat bangun si
Dewa Lin- glung. Kemudian ujarnya.
"Kau harus melakukan tapa tujuh hari tu-
juh malam di goa ini. Dan hari selanjutnya harus kau pergunakan sebaik-baiknya
untuk mempelaja-ri ilmu-ilmu yang akan kuwariskan padamu...!"
"Perintah Eyang Guru akan aku jalankan...
Bilakah aku mulai melakukan Eyang Guru?" sahut Nanjar. "Tunggulah sampai saat
menjelang fajar.
Ada beberapa syarat yang harus kali ucapkan den-
gan lidah dan kau iktikadkan dalam hati!" kata Kyai Kapilatu.
Sementara itu malam terus merayap. Terasa
begitu lama bagi Nanjar yang menanti saat-saat
untuk dia mulai bertapa. Saat-saat itu pula teringat pada semua kejadian dan
peristiwa yang di-
alami. Ternyata perjalanan hidupnya sudah cukup
jauh. Banyak peristiwa dialami selama mengemba-
ra ke setiap wilayah. Ternyata di atas langit masih ada langit lagi. Nanjar
bukanlah seorang tokoh super yang tak pernah mengalami kekalahan. Akan
tetapi takdirlah yang menentukan, hingga saat ini dia masih bernasib baik.
Secara kebetulan Nanjar selalu terlibat da-
lam urusan dendam, cinta, kemelut dan berbagai
kejahatan. Sebagai seorang pendekar yang berke-
wajiban menolong yang lemah dan menumpas ke-
laliman, Nanjar harus bergelut mengatasi semua
itu. Kini telah muncul seorang tokoh bernama Da-
tuk Patilongga. Tokoh sesat yang memiliki ilmu hitam yang amat tinggi.
Nanjar beruntung dapat bertemu dengan
sukma Kyai Jaran Goyang. Hal yang hampir dika-
takan terlalu mustahil! Tapi memang demikianlah
kenyataannya.....
LIMA Di bulan ketiga yang menginjak pada bulan
Suro, seorang pemuda berambut gondrong berbaju
penuh tambalan berwarna-warni melintas dis-
ebuah desa sebelah tenggara Kota Raja.
"Nama RENGGANA!" kata pemuda itu mem-
perkenalkan diri seraya menjura dihadapan seo-
rang laki-laki memakai blangkon, berbaju lurik
bergaris-garis coklat. Laki-laki berusia antara 45
tahun itu adalah Demang Sambiloto, kepala desa
di wilayah itu. Sejenak dia menatap pemuda di hadapannya, memperhatikan dari
kepala sampai ke
kaki. Pemuda di hadapannya hanya senyum-
senyum sambil memeluk tangan mempermainkan
dagunya. "Apakah aku kurang gagah untuk menjadi menantumu, orang tua?" bertanya
pemuda ini. Tentu saja pertanyaan itu membuat Demang Sam-
biloto melotot lebar, dan langsung membentak.
"Bocah kurang ajar! siapa yang mau men-
gambilmu sebagai menantu" Aku hanya butuh
seorang pembantu untuk mengurusi ternak kamb-
ing-kambingku. Apakah kau kemari diutus oleh Ki
Jembor Lamat?"
"Haha... benar sekali, paman Demang!
Maafkan aku, sebenarnya aku hanya bergurau."
sahut pemuda ini dengan tertawa.
Demang Sambiloto yang tadi hatinya men-
dongkol, mau tak mau jadi tersenyum. "Benarkah kau hanya bergurau?" tanyanya
agak kurang percaya. "Haha... kalau aku tak bergurau, apakah aku bersungguh-
sungguh" Haih! kukira akupun
cukup tahu diri. Mana mungkin seorang laki-laki
seperti aku yang tak punya kedudukan apa-apa,
miskin dan buruk rupa. Masakan kau sudi men-
gambil aku sebagai menantu?"
Hampir sepekan Renggana tinggal di rumah
Demang Sambiloto, tahulah dia kalau Demang
Sambiloto memiliki seorang anak gadis berparas
cantik. Gadis itu bernama, Ambarani. Renggana
diberi tempat menginap di belakang rumah. Di be-
lakang rumah besar ini terdapat tanah berpadang
rumput luas. Sekelilingnya dipagar dengan pagar
bambu. Tugas Renggana selain menggembala
kambing juga memperbaiki pagar-pagar yang ru-
sak. Di sebelah barat itulah terdapat belasan kandang kambing yang harus dirawat
dan dibersihkan
setiap hari. Tugas Renggana memang cukup berat. Tapi
dia mengerjakannya dengan rajin. Bahkan sering
terdengar suara nyanyian pemuda itu. Bersenan-
dung sambil menggembala ternak.
Ternyata sejak kemunculan Renggana, di-
am-diam telah menjadi perhatian Ambarani. Gadis
ini sering mencuri pandang, mengintip dari balik pagar memperhatikan Renggana.
Hal itu bukan tak diketahui oleh Renggana.
Diam-diam dia mulai menjalankan rencananya.
Malam itu sudah cukup larut... ketika seso-
sok bayangan bergerak menuju pintu belakang
rumah Demang Sambiloto. Tak terlalu sukar un-
tuk menerka siapa adanya orang itu. Dia tak lain dari Renggana. Entah ilmu apa
yang dipergunakan
pemuda ini, karena palang pintu secara perlahan
terbuka sendiri, seperti ada makhluk halus yang
membukakan palang pintu dari dalam. Namun
yang jelas bibir pemuda ini bergerak-gerak seperti membaca mantera-mantera.
Menjelang pagi tiba-tiba terdengar jeritan
pelayan, memekik-mekik sambil berlari ke ruang
tengah dan berdiri gemetar didepan pintu kamar
Demang Sambiloto.
Tentu saja jeritan pelayan perempuan itu
membuat terkejut Demang Sambiloto. Bagai disen-
gat kala dia terbangun dari tidurnya. Lalu melompat keluar dari kamar.
"Keparat! ada apakah kau pagi-pagi menje-
rit-jerit seperti orang kesurupan"!" bentak laki-laki ini.
"Uaaaaoooo! Uaaaooooo!"
Pelayan ini bukannya menerangkan apa
yang terjadi, tapi justru semakin berteriak tergagap-gagap seperti suara orang
mengigau. Terpaksa lengan Demang Sambiloto yang bicara. Satu tam-paran keras
mendarat di pipi pelayan perempuan
itu. Seketika itu juga dia mengaduh, dan jatuh ter-sungkur di lantai.
"Apa yang terjadi, goblok! Lekas katakan!"
bentak Demang Sambiloto menjambak rambut
wanita pelayannya, hingga perempuan ini menye-
ringai kesakitan. Tampak pipi wanita pelayan itu biru membengkak. Tapi dia
segera sadar. "Ampun gusti De... mang. Jeng Ambarani...
Jeng Ambarani, gusti Demang. Oh, lihatlah dika-
marnya... " Ujar wanita pelayan ini dengan ter-gagap-gagap.
Tak menunggu sampai sang pelayan selesai
berkata, Demang Sambiloto telah melompat bagai-
kan terbang, berlari memasuki pintu kamar anak
gadisnya. Membelalak lebar mata laki-laki kepala desa ini melihat anak gadis
satu-satunya itu
menggeletak terlentang di pembaringan, dalam
keadaan tak bergerak-gerak. Sepasang matanya
melotot, lidahnya terjulur. Dari sudut bibirnya
yang membuka tampak ada cairan darah yang
mengental meleleh ke dagu membasahi payudara.
"Ambarani....! anakku....!" detik itu juga terdengar jeritan parau Demang
Sambiloto. Dia menghambur memeluk sang anak gadis.
"Ya, Tuhan! apa gerangan yang telah terjadi padamu?" Diguncang-guncangkannya
tubuh gadis yang sudah kaku itu sambil berteriak-teriak kalap.
Tepat pada saat itu diluar rumah Demang
Sambiloto tampak dua orang laki-laki mendatangi
rumah kepala desa ini. Yang seorang adalah laki-
laki tua berusia antara 70 tahun, seorang lagi adalah seorang pemuda berkulit
hitam. Tampaknya mereka dua orang tetamu yang
baru saja tiba. Mendengar suara jeritan dan kega-duhan dalam rumah besar Demang
itu mereka sal-
ing pandang. "Apa yang terjadi?" sentak laki-laki tua itu.
Pemuda berkulit hitam itu cuma menggeleng, ka-
rena dia tahu pertanyaan itu bukan ditujukan
padanya. "Kau tunggu disini, Jumanta! Aku akan me-
lihat ke dalam. Heh!" apakah yang telah terjadi?"
kata laki-laki tua ini seraya menuju kepintu. Tapi ketika dia mendorong, daun
pintu rumah Demang
Sambiloto masih terkunci.
Baru dia mau mengetuk pintu, mendadak
segera mengurungkan. Dari ruang dalam terdengar
suara Demang Sambiloto.
"Keparat! Jahanam! Ini pasti perbuatan
Renggana! Dia telah memperkosa anakku, lalu
membunuhnya!"
"Hah!" Renggana siapa Renggana" Dia telah
memperkosa dan membunuh Jeng Ambarani?"
sentak laki-laki tua ini dengan wajah berubah pucat. Tak ayal dia segera
menggedor pintu.
"Siapa diluar itu" He, bujang tolol! cepat
bukakan pintu! Keparat! Jahanam! Bagaimana
kerjamu" Masakan tak tahu ada orang masuk ke
dalam kamar anakku?" teriak Demang Sambiloto.
Perempuan pembantu ini berlari bagaikan
terbang untuk membukakan pintu. Laki-laki tua
itu sejenak menatap pembantu wanita itu, lalu melompat ke dalam.
"Apa yang terjadi, gusti Demang?" suara la-ki-laki ini agak tergetar, dia
berdiri menatap laki-laki kepala desa itu.
"Kau... kau Jahanam keparat!" membentak Demang Sambiloto dengan mata mendelik
seperti mau melejit keluar dari kelopaknya, ketika melihat siapa yang berdiri di
hadapannya. "Mengapa dengan... dengan saya gusti De-
mang" Apakah salah saya...?" terperangah kaget laki-laki tua ini tak mengerti.
Sekali lengannya bergerak Demang Sambiloto telah mencengkeram
baju laki-laki tua itu.
"Keparat! Kau bawa Renggana kemari hanya
untuk memperkosa dan membunuh anak ga-
disku" Kau lihat anakku! Dia telah tewas akibat
perbuatan keponakanmu! Heh! Kau harus ber-
tanggung jawab atas perbuatan ini, dan bocah itu
harus membayar dengan jiwanya!"
"Tunggu dulu, gusti Demang. Siapakah
Renggana itu" Aku justru kemari mau mengantar-
kan keponakanku. Dia bernama Jumanta. Bukan-
kah aku telah berjanji akan mencarikan seorang
pembantu laki-laki untuk mengurus kambing-
kambing gusti Demang?"
"Hah!" Jadi Renggana bukan orang suru-
hanmu?" sentak Demang Sambiloto terperangah kaget. Saat itu pemuda berkulit
hitam yang menunggu diluar tiba-tiba masuk.
"Inilah Jumanta, gusti Demang. Kepona-
kanku yang kujanjikan akan kubawa kemari.....!"
kata laki-laki tua itu yang tak lain dari Ki Jembor Lamat. Mendadak Demang
Sambiloto merasakan
matanya berkunang-kunang. Kepalanya serasa be-
rat. Lantai yang dipijaknya serasa berputar. Detik itu juga dia roboh tak
sadarkan diri...
Ramailah seketika rumah Demang Sambilo-
to. Beberapa orang penduduk ternyata telah men-
datangi. Mereka ramai-ramai memasuki rumah
kepala desa itu. Jerit dan suara ratap tangis sang pembantu rumah tangga yang
membaur dengan teriakan-teriakan kaget mereka yang berdatangan.
Mayat gadis yang malang itu ditutupi dengan kain.
Atas penjelasan pembantu wanita itu, Reng-
gana lah yang dicurigai melakukan perbuatan gila dan keji itu. Segera ramai-
ramai mereka mencari
Renggana. Tapi pemuda itu telah lenyap.
ENAM Malam itu adalah tepat malam Jum'at kli-
won. Segunduk tanah yang masih memerah baru
saja selesai diuruk. Para pengantar jenazah baru saja kembali dari mengubur
mayat seorang gadis
bernama Ambarani. Dialah anak gadis Demang
Sambiloto yang tadi pagi kedapatan tewas di tem-
pat tidur dengan keadaan membugil.
Makam sekitar lereng bukit itu sunyi men-
cekam. Cuma sepotong bulan yang menerangi sa-
mar-samar. Entah dari mana munculnya mendadak se-
sosok bayangan telah berada di sekitar pekuburan itu. Matanya menatap ke arah
kuburan yang masih baru itu.
Siapa adanya orang ini, tiada lain dari seo-
rang kakek berjubah abu-abu. Dia tak lain dari
Datuk Patilongga. Tampak wajahnya menyeringai.
Lalu berkelebat melompat mendekati gundukan
tanah itu. "Hehehe... menurut si Renggana, muridku
yang gagah itu gadis yang satu ini punya tubuh
yang, bagus, putih mulus dan berwajah cantik.
Hm, baiklah! Aku akan menggunakan mayat gadis
ini sebagai umpan untuk memulai rencanaku..."
menggumam si kakek alias Datuk Patilongga.
Selesai menggumam tampak mulutnya ko-
mat-kamit membaca mantera-mantera. Sepasang
matanya tak berkedip menatap gundukan tanah di
hadapannya. Mendadak cuaca berubah gelap. Bu-
lan sekonyong-konyong lenyap. Dan angin tiba-
tiba membersit keras merontokkan dedaunan.
Mantera-mantera yang dibaca semakin lama
semakin cepat, dengan bahasa aneh yang tak di-
mengerti. Tampak kemudian kilatan petir berkre-
depan di angkasa. Salah satu lidah petir meluncur menyambar ke bawah.
Ternyata kilatan lidah petir itu tepat me-
nyambar kayu nisan kuburan Ambarani.
Terjadilah keanehan. Tanah kuburan itu
mendadak bergerak-gerak, tergetar. Saat berikut-


Dewa Linglung 20 Pinangan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya seperti terjadi sebuah ledakan dari dalam, tanah kuburan itu terbongkar.
Dan sesosok tubuh terbungkus kain putih
muncul dari dalam lubang. Itulah mayat Ambarani
yang telah bangkit kembali.
Datuk Patilongga berhenti membaca mante-
ra. Matanya menatap tajam sosok mayat di hada-
pannya. "Kau harus menurut perintahku! Nah! Ce-
pat ikuti aku!" berkata Datuk Patilongga. Mayat itu mengangguk. Laki-laki tua
ini segera balikkan tubuh, dan beranjak meninggalkan makam, diikuti
mayat Ambarani.
*** Menjelang siang hari dua orang pemuda
melintasi sisi makam, sambil bercakap-cakap. Sa-
lah seorang membawa sebuah kendi berisi air.
"Kasihan jeng Ambarani. Setelah diperkosa, dibunuh pula! Pemuda bernama Renggana
itu sungguh keji! Padahal aku ada menaruh hati padanya,
sayangnya aku cuma seorang petani. Mana mung-
kin bisa menyunting anak gusti Demang?" kata la-ki-laki muda berusia antara dua
puluh lima tahun berwajah cukupan ini. Dia bernama Maronto.
Kawannya yang membawa kendi berisi air
itu, cuma tersenyum sambil menghela napas.
"Haih! Kalau melihat kecantikan paras dan bagus-nya tubuhnya, kukira dia bisa
menjadi istri orang berpangkat. Setidak-tidaknya seorang Adipati. Tapi nasibnya
sungguh buruk..." tukas laki-laki yang berusia agak lebih tua dari pemuda itu,
dia bernama Kasiman. Kasiman pernah bekerja pada ke-
luarga Demang Sambiloto. Dia berhenti ketika me-
nikah dengan gadis dari kampung lain dan tinggal menetap di kampung istrinya.
Secara kebetulan dia datang ke desa ini un-
tuk menjenguk orang tua. Hingga dia mengetahui
kejadian yang menimpa keluarga Demang Sambi-
loto. "Setelah meletakkan kendi penuh air itu di kuburan jeng Ambarani apakah
kau akan terus kembali ke desa istrimu?" tanya Maronto.
"Ya! istriku baru saja melahirkan anakku
yang kedua. Kasihan jika ditinggal bekerja di tempat jauh. Padahal gusti Demang
menyuruhku be- kerja lagi..."
"Mengapa tak kau ajak saja istrimu, dan
tinggal menetap di rumah gusti Demang?"
"Aku memang pernah ditawari demikian
oleh gusti Demang, tapi istriku tak mau. Dia lebih senang tinggal di rumah
sendiri. Dan lagi aku bisa
menggarap sawah mertuaku di sana..." sahut Kasiman. Dalam bercakap-cakap itu
merekapun membelok kearah pintu makam. "Yang mana ku-
buran jeng Ambarani?" tanya Maronto.
"Itu yang paling sudut dekat pohon Angsa-
na" sahut Kasiman, sambil menunjuk. Mendadak hatinya tersentak karena melihat
tanah kuburan itu seperti terbongkar.
"Seperti ada yang tidak beres...?" sentaknya dalam hati. Kasiman mempercepat
langkahnya. Maronto bergegas mengikuti.
Laki-laki yang disuruh Demang Sambiloto
menaruh kendi di kuburan Ambarani ini melihat
kuburan Ambarani benar-benar terbongkar. Ketika
mereka memeriksa ternyata kuburan itu telah ko-
song. Mayat gadis itu telah lenyap....
"Celaka!" ini pasti perbuatan manusia!" kata Maronto.
"Benar! Mayat jeng Ambarani telah dicuri
orang! Oh, kita harus segera melaporkan pada
gusti Demang!" kata Kasiman dengan terperangah.
Kasiman melemparkan kendi berisi air yang
dipegangnya. Dan detik itu juga kedua laki-laki itu lari cepat meninggalkan
pekuburan itu. Gemparlah seketika penduduk desa itu. Di-
iringi puluhan penduduk, Demang tua itu berjalan setengah berlari menuju makam
untuk membuktikan kata-kata Maronto dan Kasiman. Napas De-
mang Sambiloto tersengal-sengal ketika tiba di
makam. Wajahnya tampak berubah pucat pias ke-
tika melihat kuburan anak gadisnya terbongkar,
dan jenazah Ambarani lenyap.
Gemetar tubuh Demang Sambiloto dengan,
wajah merah padam.
"Ini pasti perbuatan manusia edan! Apa
maksudnya menculik mayat anakku...?" menggumam laki-laki ini. Sesaat dia menatap
para penduduk yang berjejalan untuk melihat gundukan ta-
nah yang terbongkar itu. Pemandangan matanya
terbentur pada Kasiman dan Maronto, dua laki-
laki yang tadi memberi laporan.
"Kasiman, kau pernah bekerja padaku. Aku
butuh pertolonganmu. Pergilah kalian berdua ke
Kadipaten. Laporkan hal ini pada gusti Kanjeng
Adipati. Terutama katakan kemunculan manusia
bernama Renggana itu. Aku mencurigai pemuda
keparat itulah telah melakukannya. Hal ini adalah suatu tindak kejahatan yang
harus ditangani oleh yang berwajib. Munculnya pemuda bernama Renggana itu
bukanlah hal yang mustahil kalau tak
berlanjut dengan perbagai kejahatan lainnya. Bu-
kan saja meresahkan warga desa kita, tapi juga bi-sa dikhawatirkan akan merambat
ke Kota Raja!"
"Benar, gusti Demang. Tentu saja kami
akan membantu, karena masalah ini bukan masa-
lah keluarga gusti Demang saja. Tapi juga masalah setiap manusia yang mengutuk
perbuatan keji dan
jahat!" Semua warga yang berkumpul manggut-
manggut, dan menyatakan akan turut membantu
mencari jejak Renggana.
"Kalau kalian menemui pemuda itu dengan
ciri-ciri yang telah kalian ketahui, laporkan pada-
ku! Biar aku yang mencincang tubuh manusia bi-
adab itu!" berkata seorang laki-laki kekar yang berdiri di sebelah seorang
pemuda berambut gondrong yang sedari tadi cuma berdiri memeluk tan-
gan. TUJUH Pemuda yang bertampang dogol berbaju lu-
suh seperti orang kurang tidur itu adalah Nanjar si Dewa Linglung adanya.
Mendengar disebut-sebut
nama Renggana, Nanjar tersentak dan kerutkan
keningnya. Ketika rombongan penduduk itu bu-
bar, dan dua orang yang ditugaskan Demang
Sambiloto telah berangkat pergi, Nanjarpun berlalu cepat dari makam itu.
"Aku tahu siapa pemuda itu...." berkata Nanjar dalam hati. Lalu berkelebat
membelok ke-hutan kecil di tepi jalan. Sejak keberangkatan Demang Sambiloto dan
puluhan penduduk menuju
makam, Nanjar telah mendengar peristiwa yang
menimpa keluarga Demang itu. Kemunculan
Renggana segera dikaitkan dengan seseorang yang
telah dikenalnya. Yaitu Datuk Patilongga.
"Aku yakin Renggana pasti ada hubungan-
nya dengan kakek tua itu. Setidak-tidaknya hu-
bungan guru dan murid. Penculik mayat itu kalau
bukan Renggana sendiri yang menculik, tentu da-
tuk sesat itu yang melakukannya!"
Nanjar yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang
diturunkan kakek ghaib Kyai Jaran Goyang alias
Kapilatu selama Empat Puluh hari, telah lebih tiga pekan mencari jejak Datuk
Patilongga. Di samping untuk merebut kembali pedang mustika Naga Merah juga
mendapat tugas melenyapkan manusia
itu. Tentu saja kemunculan Renggana membuat
dia seperti menemukan langkah dimana adanya
Datuk Patilongga, karena Nanjar yakin Renggana
murid Datuk sesat itu.
Sejenak Nanjar termangu menatap ke depan
dengan benak memutar, menyusun rencana yang
akan dilakukannya.
"Melacak jejak datuk sesat itu agak sulit,
karena selain dia memiliki ilmu sihir luar biasa, juga telah beberapa pekan ini
aku tak dapat menemukan jejaknya. Sebaiknya aku mencari jejak
Renggana..." kata Nanjar dalam hati.
Mendadak Nanjar tersenyum sendiri. "Hm,
siapa tahu dia justru ke sana!" gumamnya. Setelah mengambil keputusan, Nanjar
segera berkelebat
pergi menerobos hutan kecil itu.
*** Sementara itu orang yang dicari Nanjar ter-
nyata telah berada di wilayah Kota Raja. Tampak-
nya dia tengah menuju ke arah gedung Kadipaten.
Di tepi jalan dia merandek ketika menden-
gar suara gemuruh kaki-kaki kuda mendatangi.
Sejenak dia terpaku, lalu berkelebat cepat ke sisi jalan dan sembunyi di balik
semak belukar. Tak lama muncul rombongan lasykar Kadi-
paten mengendarai empat belas ekor kuda. Paling
depan adalah Adipati Haryo Geni. Rombongan la-
sykar berkuda itu melintas cepat di jalan itu. Dari tempat persembunyiannya
Renggana tersenyum
menyeringai. "Haha... mereka tentu mencari aku setelah
mendapat laporan dari dua orang anak buah De-
mang Sambiloto. Bagus! Ini kesempatan baik buat
aku. Selagi gedung Kadipaten kosong, aku bisa
memasuki kamar Adipati. Kabarnya dia baru bebe-
rapa bulan menikah dengan anak gadis keluarga
bangsawan di Kota Raja. Haha.... tentu istrinya
seorang gadis yang cantik. Aku akan menjadikan
istri Adipati itu korban ke lima setelah anak gadis Demang Sambiloto..."
Renggana melompat keluar dari balik se-
mak. Matanya menatap kepulan debu para lasykar
kerajaan itu yang semakin jauh. Tak lama rom-
bongan berkuda itu lenyap tak kelihatan lagi.
Gerakan Renggana memang sangat cepat,
lincah. Entah dari mana menyelinapnya, tahu-
tahu tahu tak beberapa berapa lama kemudian dia
sudah berada di ruang dalam gedung Kadipaten.
Ternyata dia masuk melalui atap genting, lalu melompat turun melalui lubang
langit-langit. Secara kebetulan justru ruangan itu adalah
kamar tempat tidur dua orang emban.
Sejenak dia mengawasi sekitar ruangan.
Mendadak pintu kamar terbuka. Detik itu dengan
gerakan cepat Renggana melompat ke balik lemari
pakaian. Ternyata yang masuk adalah salah seo-
rang pembantu wanita alias emban. Entah ada ke-
perluan apa emban yang seorang ini memasuki
kamarnya. Ternyata kakinya melangkah mendeka-
ti lemari pakaian.
Enak saja dia membukai pakaiannya, sete-
lah terlebih dulu tadi dia mengunci pintu kamar.
Karena kamar dan lagi dalam kamar yang sudah
terkunci, mana khawatir apa-apa. Niatnya adalah
untuk berganti pakaian.
Mata Renggana agak membesar melihat po-
tongan tubuh sang emban yang masih gadis ini.
Dia memang baru beberapa bulan bekerja di Kadi-
paten. Dengan tubuh membugil dia membuka pin-
tu lemari pakaian. Pada saat itulah Renggana me-
lompat dari balik lemari. Sekali lengannya bergerak, emban itu mengeluh dan
roboh terkulai ter-
kena totokan Renggana. Sepasang mata gadis itu
membelalak melihat muncul seorang pemuda be-
rambut gondrong yang menangkap tubuhnya. Ba-
ru saja dia mau menjerit, dengan cepat pemuda itu menekap mulutnya. Dan satu
totokan telah mem-bungkam pelayan wanita itu.
"Haha.... kau cantik juga, hehe.... tentu kau emban di gedung kadipaten ini"
kata Renggana berdesis, seraya tersenyum menyeringai. Tubuh
emban malang itu dilemparkan ke pembaringan.
Sepasang matanya menjalari kemontokan
tubuh gadis itu.
Pada mulanya tampak wajah emban ini pu-
cat pias saking takutnya. Tapi entah ilmu apa yang digunakan Renggana. Ketika
dia menggamit dagu
gadis itu, dengan menatap tajam tak berkedip,
tampak butiran-butiran keringat menetes di leher sang emban.
Napasnya terdengar memacu. Tubuhnya
pun seperti bergelinjangan mengharap sesuatu.
Apalagi ketika lengan Renggana mulai menjalari ke setiap lekuk tubuh gadis itu.
Perlahan-lahan Renggana mengurut leher
sang emban. Ternyata gerakan itu adalah memu-
lihkan totokkan pada urat suara sang gadis.
"Siapa namamu...?" tanya Renggana berbisik. "Aku... Wartini..." sahutnya lirih.
Lengan Renggana kembali meremas. Gadis ini menggeliat
dengan mala setengah terpejam. Matanya menga-
tup. Dari bibirnya yang setengah terbuka terdengar desahan.
"Katakan dimana kamar gustimu?" tanya
Renggana. "Dikamar sebelah... Ohh, mengapa kau me-
nanyakan kamar gustiku?" sahut sang emban. Matanya agak membelalak terbuka. Tapi
lengan Renggana kembali meremas, membuat mata gadis
itu kembali mengatup.
Hawa rangsangan tampak terlihat pada wa-
jah Renggana, tapi seketika wajah itu berubah
mengelam. Lengan yang sudah digunakan untuk
membuka tali celana pangsinya, mendadak te-
rangkat ke atas. Dan meluncur cepat ke arah leher sang emban.
Terdengar suara erangan halus. Tubuh ga-
dis itu menyentak dengan mata membelalak lebar.
Lehernya terjulur keluar. Tubuhnya pun tanpa
berkelojotan. Selang sesaat tubuh itu terkulai setelah terdengar suara tulang
yang remuk. Renggana angkat lengannya dari leher pe-
layan itu. Tampak dari bibir gadis itu darah mengalir turun membasahi dagu.
Sepasang matanya
membeliak hampir putih seluruhnya. Lehernya ter-
julur mengeluarkan lendir bercampur darah. Ter-
nyata jiwanya telah melayang.
Renggana melompat dari pembaringan ke


Dewa Linglung 20 Pinangan Iblis di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arah pintu. Membukanya sedikit. Tampak di sebe-
lah ujung ruangan ada dua prajurit penjaga den-
gan bercakap-cakap membelakangi.
Sekali berkelebat, dia telah melompat ke
kamar yang bersebelahan dengan kamar itu. Saat
itu pintu tampak agak sedikit terbuka. Tak ayal
langsung Renggana melompat masuk. Dari dalam
ruangan itu terdengar suara teriakan kaget.
Tapi sekejap kemudian senyap....
DELAPAN Teriakan tertahan dari kamar istri Adipati
itu cukup membuat dua pengawal gedung itu curi-
ga. "Heh!" aku seperti mendengar suara teria-
kan kaget gusti Kanjeng permaisuri dari dalam
kamar..." "Aku juga mendengar. Hm, mari kita lihat!
Jangan-jangan manusia edan Renggana itu telah
masuk ke gedung Kadipaten. Hah!" celaka kalau
benar dia yang muncul..." kata kawannya. Mereka
memang baru memperbincangkan pemuda anak
tukang kuda Kadipaten itu yang kabur meninggal-
kan ayahnya, karena tak mau membantu peker-
jaan sang ayah. Laki-laki tua yang biasa mengurus kuda di gedung Kadipaten itu
telah meninggal beberapa bulan yang lalu.
Mereka sepakat untuk melihat apa yang ter-
jadi dalam kamar gusti mereka. Serentak kedua-
nya berlompatan mendekati pintu kamar.
Salah seorang segera mengetuk pintu. Tapi
tak ada sahutan. Tak sabar menunggu, salah seo-
rang segera mendorong daun pintu. Ternyata tak
dikunci. Saat keduanya melangkah masuk, men-
dadak terdengar jeritan keras saling beruntun.
Dan berbareng dengan suara jeritan itu, kedua tubuh pengawal itu terlempar
keluar kamar. Dua
pengawal itu berkelojotan meregang nyawa, lalu
kepala mereka terkulai. Tampak darah segar
membasahi lantai. Dari lubang mata, telinga dan
mulut mereka mengalirkan darah kental.
Ternyata semua itu adalah perbuatan Reng-
gana yang sengaja bersembunyi dibalik pintu setelah menotok istri Adipati. Dua
hantaman keras mengenai belakang kepala dua pengawal sial itu.
Kemudian Renggana melemparkan dua penjaga itu
keluar kamar. Ketika mendengar suara gaduh dalam
ruangan gedung beberapa pengawal segera berda-
tangan. Terperanjat mereka melihat pintu kamar
istri Adipati mereka menjeblak terbuka, dan dua
orang pengawal terkapar tak bergerak.
Beberapa pengawal berlompatan memasuki
kamar. Lainnya berjaga diluar. Akan tetapi para
pengawal itu cuma menjumpai jendela kamar yang
hancur, dan tak ditemui wanita istri Adipati bera-da dalam kamar itu. Mendadak
api berkobar di
ruangan belakang gedung.
Gemparlah seketika seisi gedung Kadipaten.
Teriakan para pengawal hiruk-pikuk. Mereka ber-
serabutan dengan berteriak-teriak.
"Api! Api! cepat padamkan..."
"Celaka!" Tolooong! Gusti permaisuri diculi-ki Gusti permaisuri diculik...!"
"Cepat cari penjahat itu! Semua menye-
bar...!" Ramailah suara teriakan di sana-sini. Pengawal berlari serabutan
kesana-kemari. Ada yang
memburu ke arah kebakaran, ada yang bolak- ba-
lik tak tentu apa yang harus dikerjakannya.
Sementara api semakin membesar di bebe-
rapa tempat. Kebakaran itu tampaknya sulit dice-
gah lagi. Tak berapa lama api telah mencapai wu-
wungan gedung. Siraman-siraman air para pen-
gawal tak memadamkan api yang semakin ganas
melahap gedung Kadipaten.
Sementara itu sesosok tubuh yang me-
manggul seseorang di atas pundaknya tampak
berkelebatan bagai bayangan di antara kepanikan
yang berlangsung digedung itu.
"Heh! puas sudah hatiku! Ayahku cuma
menghabiskan usia puluhan tahun sebagai tukang
kuda, ternyata matipun kalian tak mengurus jena-
zahnya secara layak. Tak sebanding dengan pen-
gabdiannya!" menggumam Renggana dengan ber-
diri di belakang gedung yang terbakar.
Sesaat kemudian dia telah berkelebat cepat
meninggalkan tempat itu dengan memondong istri
sang Adipati di atas pundaknya.
Saat itu pula dua sosok bayangan muncul
di belakang gedung, ketika Renggana baru saja
angkat kaki. Ternyata tak lain dari Nanjar dan seorang nenek tua bungkuk
bertongkat cagak. Siapa
lagi kalau bukan si Iblis Bungkuk Lembah Jerang-
kong. "Dewa Linglung! Kau kejarlah dia ...! biar aku mencoba mengatasi kebakaran
ini!" berkata Nenek Lembah Jerangkong. Nanjar mengangguk,
lalu berkelebat mengejar seraya membentak den-
Harpa Iblis Jari Sakti 6 Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Anak Pendekar 12
^