Raksasa Gunung Bromo 2
Dewa Linglung 12 Raksasa Gunung Bromo Bagian 2
serangan-serangan ganas
itu. Kedua Iblis Clurit Hitam sudah maklum akan kehebatan ilmu kedigjayaan
lawannya. Segera mereka
merobah serangan dengan menggunakan ilmu-ilmu
andalan mereka. Serangan-serangan dahsyat segera
mengurung Pandala. Empat bayangan clurit hitam saling susul membayangi Pandala
kemana dia bergerak.
"Terus cecar dia, Maruksa! jangan beri kesempatan
pada manusia keparat ini!" teriak Pindo. Semakin gen-carlah serangan-serangan
kedua Iblis Clurit Hitam
mencecar nyawa Pandala. Karena kalau mereka tak
dapat membunuhnya, justru merekalah yang akan di-
habisi nyawanya oleh Adipati itu. Tampaknya Pandala agak terdesak. Berkali-kali
kerisnya berbenturan dengan senjata kedua lawannya. Akan tetapi sepasang
senjata Maruksa dan Pindo tak terlepas dari tangan mereka.
Enam belas jurus telah lewat. Tiba-tiba Pandala
membentak keras.
"Cukuplah aku mengulur waktu memperpanjang
umur kalian!"
Ternyata Pandala cuma berpura-pura terdesak. Ka-
rena diam-diam dia telah memperhitungkan saat di-
mana dia akan menghabisi nyawa kedua lawannya. Ti-
ba-tiba.... Whuk! Whuk! Sepasang lengan Pandala
menghantam ke depan. Serangan kilat itu membuat
terkejut dua orang ini. Dia tak menyangka dengan gerakan lawan melompat ke
belakang melampaui tubuh
mereka, Pandala akan menyerang dengan mendadak.
Justru mereka baru saja membalikkan tubuh.
Sambaran angin panas bagaikan uap lahar tak da-
pat mereka hindari. Detik itu juga kedua Iblis Clurit Hitam itu perdengarkan
jeritan menyayat hati. Tubuh mereka terlempar bergulingan. Senjata-senjata
mereka terlempar ke udara. Tanpa sempat sekarat lagi keduanya telah melepaskan
nyawa seketika itu juga. Tampak baju mereka pada bagian dada hangus terbakar.
Kulit dada mereka mengelupas dan bau sangit merambah
udara. Ternyata isi dada merekapun turut hangus! Raden Pandala gerakkan sebelah
lengannya untuk men-
jumput keris yang terselip di kedua baris giginya. Lalu memasukkan kembali ke
dalam serangkanya di ping-
gang. "Hm, selesailah sebagian dari tugasku!" gumam
Pandala. Sejenak dia memperhatikan mayat ke empat
laki-laki itu yang berkaparan. Pandala segera menyeret satu persatu mayat-mayat
itu dan dilemparkannya dalam semak belukar. Kemudian dengan bergegas Panda-
la menghampiri kudanya. Beberapa saat kemudian
kuda putih yang ditunggangi Adipati Bangil telah
membedal cepat meninggalkan tempat itu....
*** TUJUH Dua hari kemudian di wilayah sebelah barat Kota
Raja melintas serombongan pasukan Kerajaan. Ternya-ta mereka iring-iringan yang
membawa tandu, dikawal oleh dua puluh orang prajurit yang dipimpin oleh seorang
Tumenggung yang mengendarai seekor kuda ber-
warna hitam. Ketika melintasi sisi sebuah hutan mendadak ber-
munculan beberapa sosok tubuh menghadang. Tentu
saja membuat pasukan Kerajaan ini tersentak kaget.
Nyatalah kalau yang menghadang itu adalah para beg-al. Dua orang berbaju kuning
dan belasan orang lainnya mengenakan pakaian warna hitam. Tampang-
tampang mereka tak lewat sedap dipandang mata.
"Hahaha... kalian boleh lewat terus. Akan tetapi
tinggalkan tandu itu disini!" berkata salah seorang dengan mengumbar tawa
berkakakan. "Kurang ajar! siapa kalian?" bentak Tumenggung ini dengan wajah sebentar pucat
sebentar merah padam.
"Hm, kau tentunya Tumenggung Kandilaga!" kata si
baju kuning yang bertubuh jangkung, berwajah lancip
dengan kumis ceriwis. Laki-laki ini sebelah kakinya disambung dengan besi
runcing untuk pengganti kakinya yang buntung.
"Aku memang Tumenggung Kandilaga yang tengah
mengawal Ndoro Ayu permaisuri Sultan Sepuh!" sahut laki-laki berusia empat
puluhan tahun ini dengan suara santar. "Kalian sungguh kurang ajar berani mem-
begal di siang bolong!"
Si baju kuning ini melirik ke arah tandu dengan senyum menyeringai. Lalu menoleh
pada kawannya yang
berbaju kuning pula, tapi berikat kepala merah. Sesaat keduanya sama-sama
tertawa terbahak-bahak.
Empat prajurit penggotong tandu letakkan tan-
dunya ke tanah. Lalu mencabut senjata siap mengha-
dapi segala kemungkinan. Dua puluh orang prajurit
lainnya tak berlaku ayal, segera berlompatan menjaga di sekitar tandu. Dari
dalam tandu sebuah kepala ter-sembul. Sebuah wajah cantik dari seorang wanita
mu-da memandang keluar dengan wajah pucat pias.
"Oh!" apakah yang terjadi?" sentak wanita permai-
suri Sultan Sepuh. "Tenanglah Ndoro Ayu! Pembegal-
pembegal tengik tak tahu adat ini segera akan kami ringkus!" berkata Tumenggung
Kandilaga. "Hahaha... rejeki besar bagi kita, kawan-kawan.
Dengan kita menawan permaisuri Sultan Sepuh, tentu tak sedikit tebusan yang
bakal kita terima!" berkata si baju kuning dengan tertawa menyeringai.
"Keparat! kalian harus dibuat mampus!" bentak
Tumenggung Kandilaga, seraya memberi aba-aba un-
tuk menerjang. Puluhan prajurit Kerajaan serta-merta meluruk ke
arah pengepung dari para begal itu. Dan sekejap saja terjadilah pertempuran
seru. Suara bentakan dan beradunya senjata-senjata tajam membisingkan anak
telinga. Suasana sunyi di sisi hutan itu sekejap saja te-
lah berubah ramai dan menjadi kancah pertarungan
adu jiwa. Dua laki-laki baju kuning itu melompat ke hadapan
Tumenggung Kandilaga.
"Kau tengah berhadapan dengan Dua Setan dari
Utara, Tumenggung Kandilaga! Haha... sebaiknya kau serahkan saja Ndoro Ayu-mu
kepada kami. Kau takkan sampai kehilangan nyawamu!" berkata laki-laki
ini. Dia bernama Sosro Kemplu dan yang satu lagi adalah adiknya yang bernama
Kunto. "Edan! kau kira aku sebangsa pengecut?" bentak
Tumenggung ini seraya melompat dari punggung kuda.
Sret! dia telah mencabut klewang panjangnya.
"Haha.. adikku! kau hadapi Tumenggung tolol ini.
Biar aku yang merampas perempuan istana itu!" ujar Sosro Kemplu dengan tertawa
lebar. Kemudian melompat ke arah tandu. Empat orang prajurit menghadang, dan
langsung menerjangnya dengan tusukan tombak.
Akan tetapi sekali dia menggerakkan tangannya,
keempat prajurit itu menjerit ngeri. Dan terjungkal roboh ketika empat buah
benda kecil bersinar kuning
meluncur dari kibasan tangan Sosro Kemplu. Nyatalah si Iblis dari Utara ini
telah menggunakan senjata rahasia untuk menyerang keempat prajurit itu.
Sementara itu prajurit lainnya tengah bertarung
dengan belasan orang yang rata-rata berkepandaian
tinggi. Lima orang prajurit sudah terjungkal roboh mandi darah. Belasan orang
itu terus merangsak para prajurit dengan serangan-serangan ganas.
Beberapa prajurit yang melihat Sosro Kemplu men-
dekati tandu segera menerjang beringas. Walau mereka telah melihat empat
kawannya roboh tak bernyawa,
akan tetapi agaknya semangat bertempur mereka amat luar biasa. Mereka adalah
prajurit-prajurit yang berani mati demi tugas yang dibebankan dipundak mereka.
"Heh! kalian mencari mati!" bentak Sosro Kemplu dengan mendengus.
Laki-laki baju kuning ini tak sempat menggunakan
senjata rahasianya karena tiga ujung tombak telah meluncur untuk memanggang
tubuhnya. Dengan gerakan
gesit dia melompat menghindari tusukan. Ujung ka-
kinya hinggap di mata tombak lawan. Gerakan Sosro
Kemplu cepat sekali. Di detik itu kedua lengannya
menghantam ke bawah. Prak! Prak! Dua prajurit tanpa sempat berteriak lagi
terjungkal roboh dengan batok kepala hancur.
Tentu saja membuat prajurit yang satu ini terperangah kaget. Sebelum dia
bertindak lebih lanjut, sambaran angin keras telah menyambar dadanya. Prajurit
ini rasakan dadanya bagai dihantam palu godam. Dengan
jeritan menyayat hati dia terjungkal roboh. Tulang dadanya ambrol terkena
pukulan Sosro Kemplu yang be-
risi tenaga dalam dahsyat.
Sementara itu Tumenggung Kandilaga tengah berta-
rung dengan seru melawan Kunto. Adik seperguruan
Sosro Kemplu inipun bukan lawan yang enteng, kare-
na sekejapan saja Tumenggung Kandilaga telah terdesak hebat. Senjata klewang
panjangnya hampir-hampir tak sempat dipergunakan. Karena Kunto terus mence-
carnya dengan hantaman-hantaman ganas!
Suatu ketika Tumenggung ini tak dapat lagi mem-
pertahankan diri dari gempuran lawan. Senjata kle-
wangnya terlepas, ketika mempergunakan menangkis
pukulan lawan yang hanya menggunakan tangan ko-
song. Tapi sebelah tangan Kunto ternyata lengan palsu yang terbuat dari besi.
Buk! hantaman berikutnya membuat Tumenggung
ini terjungkal bergulingan. Pucat pias wajah laki-laki abdi Kerajaan ini.
Dadanya serasa remuk dan sakitnya bukan alang kepalang. Untunglah dia mengenakan
ba- ju lapis dari besi tipis dibalik bajunya. Akan tetapi tetap saja membuat
Tumenggung ini mengerang kesak-
tian. Sementara itu dilihatnya para prajurit telah banyak yang tewas. Cuma tinggal
kurang lebih sebelas orang.
Keadaan amat mengkhawatirkan, karena keselamatan
permaisuri Sultan Sepuh terancam. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara
bentakan menggelegar.
"Begal-begal keparat! hentikan pembantaian kalian!"
Bentakan yang menggetarkan tanah itu membuat
begal terkesiap, termasuk si Dua Iblis dari Utara. Serentak mereka melompat
mundur. Sesosok tubuh ting-
gi besar bagaikan raksasa layaknya tahu-tahu telah muncul di tempat itu.
Membelalak mata Kunto dan Sosro Kemplu.
"Heh! siapa kamu manusia raksasa?" bentak Sosro
Kemplu. Orang ini tiada lain dari Kebo Gawuk. Entah bagai-
mana manusia penunggu puncak Bromo ini tahu-tahu
telah turun gunung. Padahal Empat Iblis Clurit Hitam tak berhasil membujuknya
untuk meninggalkan puncak Bromo. Mendengar dirinya disebut manusia raksa-sa,
Kebo Gawuk tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha.. haha... kau para begal picisan ingin mengetahui diriku" Akulah yang
bergelar Raksasa Gunung Bromo!" berkata Kebo Gawuk. Sosro Kemplu dan Kunto
krenyitkan keningnya mendengar gelar yang baru
didengarnya itu. "Raksasa Gunung Bromo?" sentak
Sosro Kemplu dengan melangkah mundur.
"Di puncak Bromo kudengar bersemayam seorang
kakek kosen yang bernama Ki Dwipa Morghana" Apa-
kah kau muridnya?" tanyanya.
"Benar! Syukurlah kalau kau sudah mengetahui!"
sahut Kebo Gawuk.
"Heh! orang bodoh! kau mencampuri urusan yang
akan menyulitkan saudara seperguruanmu sendiri!"
berkata Sosro Kemplu.
"Menyulitkan saudara seperguruanku sendiri" Apa
maksudmu?"
"Karena apa yang kami lakukan ini adalah..." belum sempat Sosro Kemplu
meneruskan kata-katanya, tiba-tiba laki-laki ini menjerit ngeri dan roboh
terjungkal dengan dada hangus terbakar. Tentu saja hal itu
membuat semua yang berada di tempat itu jadi terkejut. Tahu-tahu sesosok tubuh
mengenakan pakaian hitam telah muncul di tempat itu. Sosok tubuh ini membungkus
wajahnya dengan topeng yang hanya me-
nyembulkan sepasang matanya saja.
Kunto memburu ke arah saudara seperguruannya.
Ketika memeriksa ternyata nyawa Sosro Kemplu telah melayang. Melihat keadaan tak
menguntungkan, Kunto berkelebat melarikan diri. Hal itu segera diikuti kawan-
kawannya. Namun jerit-jerit mengerikan segera
terdengar. Empat orang dari para begal itu terjungkal roboh dengan punggung
hangus! "Siapa kau sebenarnya?" bentak Kunto. Sepasang
lengannya siap melancarkan serangan.
"Aku adalah malaikat yang akan mencabut nyawa-
mu!" sahut si manusia bertopeng dengan suara dingin.
"Keparat!" teriak Kunto seraya silangkan lengannya.
Lalu.. Whuk! Whuk! Dua pukulan tenaga dalam dilan-
carkan sekaligus. Brak! sebatang pohon tumbang terkena angin pukulannya yang
dahsyat. Akan tetapi serangan itu lolos. Karena dengan mudah si manusia
bertopeng telah menghindarkan diri.
Beberapa senjata rahasia meluruk bagai hujan ke
arah si orang bertopeng. Dengan gesit lawannya yang misterius ini kibaskan
lengannya menghantam buyar
senjata-senjata maut itu. Pertarungan berlalu beberapa jurus. Tampaknya
kehebatan lawan Kunto berada
dua tingkat di atas kepandaiannya. Ketika dua pukulan beradu, Kunto menjerit
keras. Tubuhnya terlempar beberapa tombak.
Kebo Gawuk terpaku ditempatnya dengan benak
penuh pertanyaan. "Siapakah orang bertopeng ini?"
berkata dia dalam hati. Kunto mengerang parau me-
megangi dadanya yang terasa remuk akibat beradunya tenaga dalam. Di saat itu
selarik sinar ungu telah menyambar lagi. Menjerit si Iblis dari Utara ini. Dan
roboh tak berkutik lagi. Nyawanya telah melayang ke
Akhirat. Sementara itu Kebo Gawuk telah dapat mene-
waskan tiga pembegal. Dua orang diantara mereka
berhasil lolos. Si Raksasa Gunung Bromo ini sengaja tak mengejar. "Yang dua itu
biarlah hidup. Mudah-mudahan mereka dapat insyaf dan menjadi orang
baik-baik!" gumam Kebo Gawuk. Lalu balikkan tubuh
untuk kembali ke tempat para prajurit tadi.
Langkahnya terhenti karena tiba-tiba si orang ber-
topeng muncul di hadapannya. "Hm, kau sudah ber-
hasil membereskannya?" berkata orang ini dengan ma-ta berkilat menatap Kebo
Gawuk. "Tiga orang itu telah mampus. Tapi yang dua mela-
rikan diri!"
"Mengapa kau tak mengejarnya" Penjahat-penjahat
itu harus ditumpas sampai keakar-akarnya!" berkata si orang bertopeng dengan
suara dingin. Mendelik mata Kebo Gawuk. "Heh! aku sengaja
membiarkan mereka hidup, siapa tahu mereka dapat
sadar kembali menjadi orang baik-baik! Kalau kau
mau membunuhnya kejarlah sendiri!" berkata Kebo
Gawuk dengan ketus. Dia merasa diperintah orang
bertopeng itu. Hal ini amat menyinggung perasaannya.
Dewa Linglung 12 Raksasa Gunung Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tertegun si manusia bertopeng ini. Tampaknya dia
maklum akan adat orang tinggi besar ini. Segera dia
alihkan pembicaraan.
"Baiklah, tak mengapa. Tapi sebaiknya kau tak
usah menemui orang-orang kerajaan itu!"
"Apa perdulimu pula dengan urusanku" Menemui
atau tidak bukan urusanmu!" sahut Kebo Gawuk se-
makin ketus. Diam-diam dia memperhatikan perawa-
kan dan mengira-ngira wajah di balik topeng hitam itu.
Laki-laki ini tampak jadi serba salah. Saat itu Kebo Gawuk telah berkata.
"Eh, kau membungkus wajahmu dengan kain hitam
itu apakah tampangmu jelek" Mengapa kau tak te-
rang-terangan saja?"
"Aku..." si orang bertopeng tak meneruskan kata-
katanya. Karena detik itu juga dia telah gerakkan lengannya secepat kilat ke
arah leher Kebo Gawuk. Se-
rangan mendadak itu tak diduga sama sekali oleh Ke-bo Gawuk. Ditambah dia belum
banyak pengalaman
karena hampir selama dua tahun dia mengeram di
puncak gunung Bromo.
Dengan mengeluh pendek dia roboh terguling... Se-
kali lagi si orang bertopeng ulurkan lengannya. Dan Kebo Gawuk tak berkutik lagi
dalam keadaan tertotok tubuhnya berikut pula urat suaranya. Itulah ilmu totok
yang amat lihai. Hingga Kebo Gawuk cuma bisa
melototkan mata dengan dada serasa meledak karena
marah. "Bagus! kau hanya akan merintangi aku saja, Kebo
Gawuk!" berdesis si orang bertopeng. Lalu berkelebat lenyap dari pandangan mata
si manusia raksasa dari gunung Bromo.
*** DELAPAN Matahari tepat berada di atas kepala ketika siang
itu seorang pemuda berpakaian gombrong menyan-
dang buntalan di punggung melewati sebuah sisi hu-
tan dengan bersiul-siul kecil. Pemuda berambut ikal gondrong ini merasa seperti
orang yang paling senang di dunia. Karena dia seperti tak memusingkan urusan
hidup. Terkadang dia melangkah seenaknya. Terkadang pula dia melompat-lompat
bagai seekor kera. Sementara mulutnya tak hentinya bersiul. Siapa adanya pemuda
ini tiada lain adalah Nanjar si Dewa Linglung.
Tiba-tiba dia berhenti bersiul. Hidungnya mengen-
dus-endus. Rupanya Nanjar mencium sesuatu yang
berbau busuk. "He" bau apakah ini" sungguh tak sedap!" gerutu
Nanjar seraya putar pandangannya ke beberapa arah.
Dia mulai melangkah menurutkan penciumannya. Bau
busuk semakin santar. Terpaksa dia menutup hidung.
Ketika menyibak semak belukar hampir saja dia ter-
loncat karena terperanjatnya. Beberapa sosok mayat bertumpukan disemak-semak
dalam keadaan membu-suk. "Ha!" mayat-mayat siapakah ini?" sentaknya seraya
menyurut mundur. Matanya membelalak melihat
mayat-mayat yang sudah dimakan ulat dan dikerumu-
ni lalat itu. Ketika melangkah ke belakang, kakinya menginjak
sebuah benda. Cepat dia menjumputnya. Ternyata se-
buah Clurit dari besi hitam.
"Hm! ini pasti salah satu senjata milik mayat-mayat itu. pikir Nanjar. "Apakah
mayat-mayat ini adalah
mayat-mayat si Empat Iblis Clurit Hitam?" sentak Nanjar menerka.
Dengan sebelah lengan masih menutupi hidung,
Nanjar membolak-balik senjata Clurit itu. Tampaknya dia merasa yakin bahwa
keempat mayat itu adalah
mayat si Empat Iblis Clurit Hitam.
Dilemparkannya Clurit itu ke balik semak. Lalu
berkelebat pergi dari tempat yang berbau busuk itu.
"Hm, tentu di tempat itu telah terjadi pertarungan yang menewaskan empat manusia
tokoh hitam itu..."
pikir Nanjar. Dia meneruskan langkahnya menembus
hutan. "Entah siapa orangnya yang telah bentrok dengan keempat orang itu! Huh!
perduli apa dengan kematian mereka" toh mereka hanya orang-orang jahat.
Pantaslah kalau mampus dibunuh orang. Kudengar di
wilayah barat empat orang itu banyak membuat onar
dengan berbagai kejahatan!" Akhirnya Nanjar melupakan keempat mayat yang
ditemuinya di tengah jalan
itu. Beberapa saat antaranya dengan melompat-lompat dari dahan ke dahan tak
ubahnya bagai seekor kera, Nanjar terus menembus hutan lebat itu. Dan baru
berhenti ketika tiba di sebuah lereng gunung.
Suara air terjun di kejauhan terdengar mengguruh.
Nanjar berdiri merenung beberapa saat. Di matanya
terbayang air jernih yang mengalir diantara batu-batu.
"Ah, kalau mandi di tempat itu tentu akan segar tu-buhku! Udara begini panas!
Selesai mandi aku akan
tidur. Menjelang sore bangun tidur baru aku pergi cari makanan untuk mengisi
perut..." kata Nanjar dalam
hati. Setelah mengambil keputusan segera dia berkelebat
dari tempat itu.
Suara gemuruh air terjun semakin santar. Dari ba-
lik semak yang rapat di depannya sudah terlihat air jernih yang mengalir
gemericik. Baru saja dia akan menuruni jalan menuju ke arah
sungai itu mendadak Nanjar hentikan langkahnya dan
menahan napas. Karena saat itu terdengar suara tertawa cekikikan dari arah
sungai. Suara seorang pe-
rempuan yang ditimbal oleh suara laki-laki.
"Ah, ada yang sedang mandi rupanya..."
Nanjar urungkan niatnya. Karena diam-diam dia
berniat untuk mengetahui siapa adanya mereka yang
tengah mandi dan bergurau itu.
Dari balik rumpun yang rapat Nanjar mengintip.
Pemandangan di depan matanya membuat dia se-
makin menahan napas... Karena tampak seorang gadis dalam keadaan telanjang bulat
tengah saling bergurau bermain air dengan seorang laki-laki yang cuma berdiri di
tepi sungai. Laki-laki itu usianya sekitar tiga puluh lima tahun. Dia berdiri
memeluk pundaknya seperti
enggan untuk terjun ke air. Tapi gadis itu dengan tertawa mengikik menyembur-
nyemburkan air ke arah-
nya. "Hayo buka celana mu! Hihihi... mengapa berdiri sa-ja" Airnya sejuk!" teriak si
gadis. Walau gadis itu me-rendam tubuhnya sampai sebatas dada, tapi bayangan
tubuhnya yang polos tak dapat tidak terlihat dari atas air. Mata Nanjar semakin
membulat. Sebagai seorang pemuda mana hal semacam itu di lewatkan begitu sa-ja"
Apa lagi gadis itu berparas cantik dan bertubuh putih serta mempunyai bentuk
tubuh yang bagus.
Karena terus menerus disembur dengan air terpak-
sa laki-laki itu melompat terjun ke dalam sungai tanpa membuka celananya lagi.
Cuma bajunya saja yang sejak tadi telah dibukanya.
Gadis itu tampak girang sekali. Merekapun bersen-
da gurau dengan berkejar-kejaran. Pemandangan itu
mengingatkan Nanjar pada sepasang sejoli yang tengah memadu kasih. "Entah laki-
laki itu suaminya ataukah hanya kawannya saja?" pikir Nanjar.
Suara cekikikan gadis itu berhenti ketika lengan si laki-laki berhasil menangkap
pinggang si dara cantik.
Tampaknya gadis itu tak berusaha meronta. Dua pa-
sang mata mereka saling tatap. Hati Nanjar semakin berdebar. Matanya semakin
membulat tak berkedip.
"Ah..." Nanjar cepat-cepat memalingkan muka keti-
ka kedua insan berlainan jenis itu saling kecup.
Sementara tubuh mereka saling peluk dengan erat.
Tubuh sang gadis menggeliat-geliat dalam dekapan la-ki-laki itu. Sementara lawan
jenisnya tampak semakin bersemangat. Kejap berikutnya si laki-laki telah me-
mondong tubuh polos gadis itu ke balik batu besar.
Entah apa yang dilakukan. Karena yang tampak
kemudian hanya dua pasang kaki mereka saja yang
kelihatan bergerak-gerak diantara sela-sela batu.
Dia mengenali siapa adanya laki-laki tersebut yaitu si Pendekar Lengan Tunggal
Joko Sangit. Tapi siapa adanya gadis itu Nanjar tak mengetahui.
"Sialan...!" maki Nanjar dalam hati. "Edan!" ma-
kinya lagi. "Tapi salahku sendiri mengapa mengintip orang sedang bercintaan?"
gerutunya. Lalu tanpa menoleh ke belakang lagi Nanjar berke-
lebat dari tempat itu...
"Hah!" lagi-lagi mayat!" sentak Nanjar terperanjat.
Karena dihadapannya terlihat berkaparan mayat-
mayat. Kali ini Nanjar benar-benar terkejut karena mayat-mayat yang
bergelimpangan itu adalah mayat
para prajurit Kerajaan. Akan tetapi membaur pula diantara mayat-mayat itu
beberapa sosok mayat orang
biasa. Diantara bangkai manusia yang berserakan itu terlihat sebuah tandu yang
tergelimpang. Nanjar tersentak seraya melompat menghampiri.
Benaknya berpikir keras untuk menduga apa yang
telah terjadi. Sesosok mayat yang berpakaian berbeda dari mayat
prajurit Kerajaan dihampiri Nanjar. Ternyata itulah mayat Tumenggung Kandilaga.
Tak jauh didekatnya
seekor kuda tergelimpang dengan kepala remuk. Tak
berapa jauh dari mayat Tumenggung itu terkapar pula mayat Sosro Kemplu salah
seorang dari si Dua Iblis dari Utara.
"Apakah yang telah terjadi?" pikir Nanjar dengan
kerutkan kening.
"Agaknya telah terjadi pertarungan di tempat ini
yang meminta korban kedua belah pihak!" kata Nanjar dalam hati. "Tapi tandu itu
kosong! Dugaanku tak
mungkin tandu itu berisi barang berharga karena dida-lamnya ada tempat duduk.
Setidak-tidaknya para prajurit ini tengah mengawal seorang putri atau mungkin
juga seorang permaisuri Raja. Karena tandu kebanya-kan digunakan untuk membawa
perempuan lemah!"
Satu hal yang membuat Nanjar agak memperhati-
kan adalah luka bekas pukulan yang telah menghan-
guskan isi dada. Diantaranya mayat orang Kerajaan
yang diperkirakan Nanjar adalah seorang Kepala Prajurit. Dan mayat si laki-laki
baju kuning. "Akan kuperiksa lagi sekitar tempat ini! apakah masih ada mayat-mayat lainnya?"
desis Nanjar dengan
wajah keruh. Lalu berkelebat ke beberapa arah. Benar saja, dia menjumpai mayat
seorang laki-laki yang juga berbaju kuning. Kematiannya dengan keadaan yang
sama. Yaitu dengan dada berikut isinya hangus!
"Hm, pukulan tenaga dalam yang hebat! Entah sia-
pa manusianya yang melakukan!" gumam Nanjar ter-
tegun. Tiba-tiba telinganya mendengar suara aneh seperti orang mengeluh.
Tersentak si Dewa Linglung.
Dengan memasang pendengaran Nanjar mencari tahu
dari arah mana suara itu.
Ketika dia melompat ke balik semak, tersentak Nan-
jar ketika melihat sesosok tubuh tinggi besar dalam
keadaan terkapar. Nafasnya kembang kempis dapat dilihat jelas dari perutnya yang
bergerak-gerak.
Siapa adanya orang tinggi besar ini tiada lain dari si Raksasa Gunung Bromo,
alias kebo Gawuk yang dalam
keadaan tertotok.
Sepintas saja Nanjar sudah mengetahui keadaan
orang itu. Segera dia berjongkok dan membebaskan totokan itu. Begitu merasai
dirinya bebas dari pengaruh totokan, Kebo Gawuk melompat bangun.
"Oh, oh...! terima kasih atas pertolonganmu, sobat!"
Kebo Gawuk menatap orang di hadapannya. Nanjar
tersenyum. "Siapakah kau dan apa yang telah terjadi?"
tanya Nanjar seraya melompat berdiri.
"Aku...aku... orang-orang menyebutku si Raksasa
Gunung Bromo!" sahut Kebo Gawuk tanpa menye-
butkan namanya. "Si orang bertopeng hitam itu telah menotok ku! Setan keparat!
kemana perginya kunyuk
itu?" Kebo Gawuk melompat berdiri, kepalanya dipa-
lingkan ke beberapa arah, sementara matanya memu-
tari sekitar tempat itu mencari-cari si manusia bertopeng. Tentu saja orang yang
dicarinya telah tak berada di tempat itu.
"Siapakah kau, sobat?" tanya Kebo Gawuk dengan
menatap tajam pada Nanjar.
"Namaku Nanjar! Secara tak sengaja aku lewat di
tempat ini! Aku melihat banyak sekali mayat-mayat
dari orang kerajaan juga beberapa mayat lain. Kemudian aku menjumpai kau di
tempat ini. Apakah sebe-
narnya yang telah terjadi?" bertanya si Dewa Linglung.
Kebo Gawuk merenung sejenak seperti memulihkan
ingatannya. Lalu segera menceritakan apa yang telah terjadi dan dialaminya.
"Entah siapa orang bertopeng hitam itu. Tapi aku seperti mengenali suaranya..."
berkata Kebo Gawuk mengakhiri ceritanya.
"Apakah kau mengetahui apa isi tandu yang dibawa
laskar Kerajaan itu?" tanya Nanjar.
"Ya! tandu itu berisi seorang perempuan, yaitu permaisuri Sultan Sepuh!" sahut
Kebo Gawuk. "Walau
aku tak melihatnya, tapi dari pembicaraan orang Kerajaan itu dengan si Dua Iblis
dari Utara serta konco-konconya aku mengetahui siapa adanya orang yang
berada di dalam tandu..."
"Tepat dugaanku!" sahut Nanjar.
"He" kau melihat disana ada tandu?" tanya Kebo
Gawuk tiba-tiba.
"Ya! sebuah tandu yang terbalik dan kosong!" sahut Dewa Linglung.
Kebo Gawuk tak menunggu jawaban Nanjar lebih
lanjut. Dia telah melompat dari tempatnya berdiri.
"Aku akan melihatnya!" teriak Kebo Gawuk.
Nanjar mengikuti di belakang laki-laki "raksasa" itu.
Diam-diam Nanjar memuji kagum melihat gerakan si
Raksasa Gunung Bromo walaupun bertubuh berat dan
tinggi besar tapi gerakannya begitu ringan. Pertanda memiliki ilmu meringankan
tubuh yang sempurna. Ta-pi siapakah si orang bertopeng itu yang dapat mempe-
cundanginya" pikir Nanjar. Dia mulai menerka bahwa luka-luka pada mayat dua
orang berbaju kuning yang menurut si Raksasa Gunung Bromo adalah si dua Iblis
dari utara serta seorang abdi Kerajaan yang dianggap Nanjar adalah seorang
Kepala Prajurit, adalah si orang bertopeng itu yang membunuhnya.
Membelalakkan mata Kebo Gawuk melihat di antara
mayat-mayat yang berserakan itu terdapat mayat Tu-
menggung Kandilaga. Padahal dia mengetahui Tu-
menggung itu dalam keadaan selamat. Dan masih ber-
sisa pula kira-kira sebelas orang prajurit Kerajaan dari dua puluh orang yang
mengawal tandu.
"Ini pasti perbuatan si orang bertopeng!" sentak Ke-bo Gawuk dengan mata
mendelik dan gigi gemeretuk
karena gusarnya. "Heh! mengapa dia membunuhi
orang-orang Kerajaan" Padahal tadinya dia justru menolong mereka dari tangan
para begal-begal itu!" berkata si Raksasa Gunung Bromo.
Nanjar beranjak mendekati. "Akupun menduga dia
Dewa Linglung 12 Raksasa Gunung Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang telah membunuh orang ini yang kusangka seo-
rang Kepala prajurit! Kiranya seorang Tumenggung..."
"Apakah kau mengenali pukulan semacam ini?"
tanya Nanjar menyambung kata-katanya. "Kulihat dua mayat yang mengenakan baju
kuning yang kau katakan adalah si Dua Iblis dari Utara, telah mengalami pukulan
yang sama seperti ini"
"Heh! inilah jurus pukulan Candrageni!" terkejut
Kebo Gawuk hampir melompat karena terkejutnya.
"jadi.... jadi... si manusia bertopeng itu adalah..."
WHUUUK! Angin panas menggebubu tiba-tiba menghantam ke
arah mereka. Nanjar terperanjat. Pendengarannya yang peka ternyata telah dapat
menangkap gerakan kaki seseorang yang mendekati. Diam-diam Nanjar telah bersikap
waspada. Ketika merasai sambaran angin panas yang ganas
ke arah punggung, dengan kecepatan kilat Nanjar
mendorong tubuh Kebo Gawuk disertai teriakan.
"Awas! serangan gelap!" Sementara dia sendiri segera berkelebat menghindarkan
diri dengan melompat ke
samping. BLANG! Tanah menyemburat hangus! Tubuh si Raksasa
Gunung Bromo terhuyung beberapa tombak. Jenazah
Tumenggung Kandilaga turut terlempar dengan men-
gerikan karena tak ubahnya bagai potongan arang
yang berserpihan.
Akan tetapi Kebo Gawuk selamat dari maut. Demi-
kian pula Nanjar.
"Iblis keji! pengecut licik!" bentak Nanjar seraya melompat ke arah samping.
WHUUT! lengannya meng-
hantam melontarkan pukulan dahsyat. Hawa dingin
menebar. Sesosok bayangan cepat sekali telah berkelebat dari semak belukar yang
hancur bagai diamuk
prahara angin salju!
"Iblis pengecut! jangan lari!" kembali Nanjar mem-
bentak keras. Tubuhnya melesat mengejar bayangan sosok tubuh
itu. Jarak sosok tubuh di depan Nanjar cuma kira-kira empat atau lima tombak.
Segera dia mengetahui kalau sosok tubuh itu mengenakan pakaian serba hitam.
Bahkan kepala dan wajahnya terbungkus kain hitam.
Akan tetapi cuma beberapa kejap saja. Karena tiba-
tiba lengan orang itu mengibas ke belakang. Menyam-barlah uap berwarna ungu ke
arahnya. Dengan sebat Nanjar kibaskan lengannya untuk
menampar buyar uap itu.
Akan tetapi dia telah kehilangan jejak. Manusia
misterius itu lenyap tak ketahuan kemana arahnya.
Nanjar tak berani bertindak gegabah karena jelas
orang itu memiliki ilmu yang amat tinggi. Terpaksa dia urungkan niatnya untuk
mengejar. Kebo Gawuk muncul dengan napas memburu.
"Kemana iblis pengecut itu?" teriaknya.
"Dia sudah kabur!" sahut Nanjar.
"Setan keparat! dia pasti si orang bertopeng!" berkata Kebo Gawuk.
"Dan dugaanku takkan meleset. Dia pasti si PAN-
DALA! pantas dia menutupi mukanya dengan topeng!
Tapi mengapa dia mau membunuhku?" gerutu si Rak-
sasa Gunung Bromo.
"Pandala" Siapakah orang yang kau maksudkan
itu?" Kebo Gawuk tak segera menjawab, tapi terdengar
dia menghela napas.
"Nanti akan kuceritakan padamu. Marilah kita ting-
galkan tempat ini. Salah-salah kita yang dituduh
membunuhi orang-orang Kerajaan!" kata Kebo Gawuk
Nanjar mengangguk. Kemudian keduanya bergegas
meninggalkan sisi hutan itu.
Dari keterangan Kebo Gawuk, Nanjar mengetahui
kalau Pandala adalah seorang Adipati yang bergelar Raden Pandala. Dan masih
saudara seperguruan laki-laki tinggi besar itu. Kebo Gawuk menceritakan juga
tentang saudara perguruannya yang lain yaitu bernama Ayu Rumpi yang telah
diperistrikan Pandala.
Dengan petunjuk berharga itu si Dewa Linglung
mau tak mau harus turut campur dengan peristiwa
tersebut. Karena hal itu menyangkut soal kejahatan.
Disamping dia ingin mengetahui apa sebenarnya dibalik ketelengasan Pandala"
Mengapa Adipati itu mem-
bunuh orang-orang Kerajaan" Bahkan mau mele-
nyapkan saudara seperguruannya sendiri!
Kebo Gawuk telah bertekad akan menumpas siapa-
pun yang bertindak jahat, tak perduli orang itu adalah saudara seperguruannya
sendiri. "Sungguh tak kusangka Pandala akan menempuh
jalan sesat! Apakah yang diinginkan dengan semua
itu" Bukankah dia telah hidup senang dengan jabatan sebagai Adipati seperti yang
kudengar dari Empat Iblis Clurit Hitam?" berkata dalam hati si Raksasa Gunung
Bromo. Kebo Gawuk merasa ada sesuatu hal yang tak
wajar. Keempat orang yang menamakan dirinya Empat
Iblis Clurit Hitam itu jelas empat tokoh golongan hitam. Tak mungkin seorang
Adipati akan berhubungan
dengan empat orang penjahat. Anehnya empat manu-
sia itu telah tewas seperti yang diceritakan Nanjar.
Termangu-mangu Kebo Gawuk dengan pertanyaan
memenuhi benaknya.
*** SEMBILAN BRAK! Pandala menghantam meja diruangan kamarnya
hingga papan kayu jati itu hancur berkepingan. "Keparat! urusan jadi semakin
kacau!" berdesis sang Adipati Bangil ini. "Aku tak dapat berdiam lebih lama di
gedung kadipaten ini! Semua ini gara-gara Ayu Rumpi si perempuan keparat itu!"
Pandala hempaskan tubuhnya ke pembaringannya
yang besar. Pikirannya kusut.
"Heh! terpaksa aku menghabisi nyawa Tumenggung
Kandilaga dan para pengawalnya. Akan tetapi tak
sampai hati aku membunuh Ndoro Ayu permaisuri
Sultan Sepuh... " gumamnya pelahan. Di ruang ma-
tanya terbayang peristiwa tadi siang yang telah dilakukannya, di saat dia
membunuh Tumenggung Kandilaga
dan menghabisi nyawa para prajurit pengawal tandu
setelah menotok Kebo Gawuk hingga tak berdaya. Ke-
mudian dengan cepat dia menekap mulut sang per-
maisuri yang menjerit ketakutan. Dan membawanya
berkelebat pergi dari tempat itu.
Permaisuri Sultan Sepuh yang bernama Pujayanti
itu disembunyikan di suatu tempat rahasia.
Kemudian dengan bergegas dia kembali ke Kadipa-
ten. Untuk menghindari berjumpa dengan orang-orang Kerajaan dia mengambil jalan
memutar. Akan tetapi ti-ba-tiba Pandala teringat pada Kebo Gawuk yang telah
ditotoknya. Khawatir saudara seperguruannya itu dapat membocorkan rahasia,
Pandala mengambil kepu-
tusan untuk membunuhnya sekalian.
Sayang niatnya tak terlaksana, karena Kebo Gawuk
telah dibebaskan si Dewa Linglung. Jurus maut yang bernama Candrageni digunakan
untuk menghabisi
nyawa Nanjar dan Kebo Gawuk. Tapi serangan itu lu-
put. Terpaksa dia menyingkirkan diri, karena diketahuinya pemuda yang telah
menolong Kebo Gawuk itu
berilmu tinggi.
Hal itulah yang membuat pikirannya menjadi resah.
"Siapakah laki-laki kumal bertampang bodoh yang
menolong Kebo Gawuk itu?" desis Pandala seraya me-
lompat berdiri. Agak lama dia merenung. Tapi segera mengambil keputusan. "Tak
ada jalan selain aku segera angkat kaki dari tempat ini. Cepat atau lambat kha-
bar tewasnya Tumenggung Kandilanga dan para praju-
ritnya serta lenyapnya permaisuri akan terdengar ke telinga orang-orang istana!"
Berpikir demikian tak berayal lagi segera Pandala
bergegas mengenakan pakaian hitamnya. Tak lupa
membungkus wajahnya dengan topeng yang telah be-
berapa kali dia pergunakan. Kemudian membuntal peti uang dan seperangkat
perhiasan. Dengan melalui jalan rahasia yang menembus ke belakang gedung
kadipaten, Pandala lenyap di kegelapan malam...
Tanpa diketahuinya sesosok tubuh yang bersem-
bunyi dibalik rumpun di belakang gedung telah mem-
buntutinya. Ternyata Nanjar adanya. Dia baru saja berniat men-
cari jalan untuk memasuki gedung Kadipaten itu melalui jalan belakang, setelah
bersusah payah mencari dimana adanya gedung Kadipaten Adipati Bangil itu.
"Bagus! Orang yang kucari justru muncul sendiri.
Hm, mau kemanakah dia?" berkata Nanjar dalam hati
seraya berkelebat dengan gerakan hati-hati agar tak menimbulkan suara, menyusul
si manusia bertopeng.
Dan terus menguntitnya.
*** Di Istana, Sultan Sepuh tampak mondar-mandir di
ruang pendopo dengan wajah cemas. Rombongan pra-
jurit Kerajaan di bawah pimpinan Tumenggung Kandi-
laga yang mengawal permaisurinya hingga malam tiba belum juga muncul. Seharusnya
sore tadi telah tiba di istana.
Usul Mapatih Kuncoro untuk mengirim sepasukan
prajurit menyusul rombongan yang terlambat itu diterima. Segera dia mengutus
Senopati Bayurana dengan membawa tiga puluh orang prajurit. Dikhawatirkan
ada terjadi apa-apa di tengah perjalanan.
"Ya, Tuhan...! Semoga tak terjadi apa-apa dengan
permaisuri ku..."
Menggumam Sultan Sepuh. Kemudian beranjak
masuk ke ruangan dalam, tapi kemudian keluar lagi.
Matanya menatap keluar pagar Istana. Tak sabar ra-
sanya dia menunggu kemunculan sang permaisuri
atau setidak-tidaknya berita secepatnya mengenai
keadaan istrinya Pujayanti. Agak menyesal dia membe-ri izin pada sang
permaisurinya untuk mengunjungi
kedua orang tuanya di Telo Sari. Padahal dia dapat mengutus orang agar besannya
itu datang saja ke Istana.
Tapi dia juga menyesali dirinya karena selalu me-
nunda-nunda keinginan sang permaisuri untuk mem-
buatkan sebuah gedung di dekat Istana, untuk tempat tinggal besannya. Hal itu
ditundanya karena pada
saat-saat ini dia sedang sibuk memikirkan langkah-
langkah baru demi memajukan rakyat agar kemakmu-
ran benar-benar dapat tercapai dan dirasakan oleh se-genap rakyat.
Pada saat itulah terdengar derap kaki kuda mema-
suki halaman Istana. Dua orang perwira Kerajaan me-
lompat dari punggung kuda. Lalu bergegas mengham-
piri pintu Istana. Sultan Sepuh setengah melompat
berlari menyongsong.
"Cepat katakan! Berita apa yang kalian bawa" Ba-
gaimana dengan Ndoro Ayu Pujayanti permaisuri ku"
Kemana gerangan Tumenggung Kandilaga?"
Sultan Sepuh memberondong kedua perwira kera-
jaan itu dengan pertanyaan-pertanyaan. Dengan agak gugup salah seorang segera
melapor. "Ampun Kanjeng Gusti Sultan! telah ditemukan oleh
gusti Senopati, para prajurit pengawal Ndoro Ayu Permaisuri dalam keadaan tak
bernyawa. Semua prajurit tewas termasuk Tumenggung Kandilaga!"
"Hah!" apa katamu?" sentak Sultan Sepuh terpe-
ranjat. "Lalu... lalu bagaimana dengan istriku?"
"Tandu dalam keadaan kosong. Tak dijumpai tanda-
tanda adanya jenazah Gusti Ndoro Ayu Permaisuri.
Saat ini Gusti Senopati dan para prajurit tengah mela-caknya."
Pucatlah seketika wajah Sultan Sepuh.
"Tumenggung Kandilaga dan para prajuritnya te-
was" Tandu kosong" Dan istriku... istriku lenyap" Oh, Tuhan..." Kalau tak cepat
dua perwira itu menahan
tubuhnya, tentu Sultan Sepuh sudah jatuh menggelo-
so karena begitu terkejutnya mendengar berita itu.
Mapatih Kuncoro muncul. Dia segera memburu ke
arah Sultan Sepuh.
"Tenang Kanjeng Gusti Sultan! Hamba telah mengi-
rim sepasukan prajurit untuk membantu mencari jejak gusti Ayu Permaisuri..."
hiburnya. Kemudian mema-pahnya menuju ruangan dalam istana. Beberapa em-
ban segera menyongsong untuk bantu memayang.
Keadaan di dalam istana jadi sibuk. Para emban itu memapah Sultan Sepuh ke dalam
kamarnya... Sementara itu Senopati Bayurana dan prajuritnya
terus melakukan pencarian. Melacak sekitar hutan untuk mencari jejak sang
Permaisuri. Ketika muncul pasukan yang dibawa oleh Tumenggung Suromangun
atas perintah Mapatih Kuncoro, keadaan sekitar wi-
layah hutan itu semakin ramai. Puluhan obor yang telah dipasang membuat cuaca
berubah menjadi terang
benderang. Akan tetapi pelacakan mereka sia-sia. Tak ada tan-
da-tanda atau ditemukannya mayat permaisuri Sultan Sepuh. Senopati Bayurana
segera memerintahkan untuk segera menghentikan pencarian itu.
"Cukuplah para tamtama! Pencarian akan dite-
ruskan besok pagi!" teriak Senopati tua ini. Para praju-ritpun segera
menghentikan pelacakan itu.
"Semua berkumpul! Dan bersiap-siap untuk kemba-
li ke Istana!" teriak Senopati memberi aba-aba. Tumenggung Suromangun turut
berteriak-teriak meni-
tahkan untuk segera menghentikan pekerjaan mereka.
Tak lama rombongan para prajurit Kerajaan itu se-
gera berbaris dan meninggalkan tempat itu...
*** SEPULUH "Paman Joko....! kau tunggulah aku disini. Aku
hanya akan mengambil sesuatu di tempat Kediaman-
ku. Setelah itu kita segera berangkat ke utara..."
Ayu Rumpi memeluk kekasihnya Joko Sangit alias
si Pendekar Lengan Tunggal dengan penuh perasaan.
Pagi itu begitu cerah. Matahari bersinar terang tanpa segumpal awanpun yang
menghalangi. "Dan, kita tak akan berpisah lagi..." sambung Joko Sangit.
"Sungguhkah kata-katamu, paman Joko Sangit...?"
Laki-laki berlengan tunggal itu mengangguk. "Aku
telah mendapatkan seorang gadis cantik yang telah membangkitkan gairah hidupku,
mengapa aku harus
membohongimu, adik manis?" Tak ada kebahagiaan
yang begitu besar dirasakan seorang gadis bila dipuji dirinya cantik. Ayu Rumpi
mendekap laki-laki itu kuat-kuat serasa tak akan dilepaskan lagi.
"Oh, paman Joko..." desisnya penuh kebahagiaan.
Dewa Linglung 12 Raksasa Gunung Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun segera Ayu Rumpi melepaskan pelukannya.
"Nah, paman Joko. Tunggulah disini. Sebentar aku
akan kembali lagi..." Selesai berkata, Ayu Rumpi balikkan tubuh dan berkelebat
pergi dari tempat itu dengan gerakan cepat.
Joko Sangit menatap bayangan sosok tubuh gadis
itu hingga lenyap.
Terdengar laki-laki ini menghela napas, seraya
menggumam. "Haih! Dunia memang aneh. Sesuatu yang diha-
rapkan terkadang tak menjadi kenyataan. Akan tetapi apa yang tak diharapkan
justru terjadi..."
Alangkah terkejutnya Ayu Rumpi ketika memasuki
halaman pondok tempat kediamannya mendapatkan
enam sosok tubuh anak buahnya telah berkaparan
menjadi mayat. Niatnya kembali kemari adalah untuk mengambil sebuah kotak kecil
berisi perhiasan yang akan di bawahnya. Sekalian membubarkan anak
buahnya karena dia akan pergi jauh tak kembali lagi.
Akan tetapi keenam laki-laki anak buahnya itu telah tewas.
"Oh, siapakah yang melakukan perbuatan ini?" sen-
taknya terkejut. Ketika memeriksa ke dalam pondok, Ayu Rumpi mendapatkan sesosok
tubuh wanita muda
tergolek di pembaringan dalam keadaan menangis tan-pa mengeluarkan suara. Wanita
muda itu mengenakan
pakaian keraton.
"Siapakah kau?" tanya Ayu Rumpi seraya melompat
menghampiri. Akan tetapi wanita itu tak mampu bica-ra, selain matanya saja yang
membelalak penuh air
mata. Tahulah Ayu Rumpi kalau wanita muda itu da-
lam keadaan tertotok.
Tak berlaku ayal segera Ayu Rumpi membebaskan
wanita muda itu dari pengaruh totokan. Melihat di-
rinya terbebas, wanita muda itu merangkul Ayu Rumpi dengan terisak-isak
menangis. Sebagai seorang wanita yang juga mempunyai perasaan yang sama, mau tak
mau tersentuh juga hati Ayu Rumpi.
Dia balas memeluk wanita itu dan menghiburnya
dengan kata-kata ramah.
"Sudahlah, kau sudah selamat. Hentikan tangismu,
kakak...! Ceritakanlah apa yang telah terjadi dan siapa yang membawamu ke tempat
ini" Dan kau ini siapakah?" tanya Ayu Rumpi ketika tangis wanita muda itu agak
mereda. "Terima kasih sebelumnya atas pertolonganmu,
adik...! Sesuatu telah terjadi dan menimpa diriku..."
berkata wanita muda itu, kemudian segera menutur-
kan peristiwa yang dialaminya.
"Jadi kau... kau gusti Kanjeng Permaisuri Sultan
Sepuh?" sentak Ayu Rumpi terperanjat. Seketika wa-
jahnya berubah pucat. Wanita muda itu mengangguk.
Wajah Ayu Rumpi sebentar merah sebentar pucat. Ha-
tinya tergetar dengan lutut terasa dilolosi tulang-tulangnya. "Orang bertopeng
itu pasti PANDALA! Pas-ti!" sentaknya dalam hati. "Dia telah memulai pembe-
rontakannya. Oh, apa yang harus kulakukan" Semua
ini karena diriku! Akulah yang menghembuskan asap
pemberontakan padanya! Tapi aku cuma berniat mem-
permain dia dengan persyaratan itu! Aku memben-
cinya! Aku dendam padanya. Karena dia telah mereng-
gut kesucian ku..."
Ayu Rumpi merasakan kepalanya menjadi berat.
Dia melangkah terhuyung ke tepi jendela. Jantungnya serasa berhenti berdenyut.
Dia sungguh tak menyangka kalau Pandala benar-benar membuktikan ucapan-
nya seperti yang di ucapkan di puncak Gunung Bromo.
"Tidak! aku sungguh-sungguh tak mengharapkan
hal itu. Bahkan aku mengira dia tak akan punya keberanian. Mungkin juga dia akan
tewas terlebih dulu sebelum hal yang memang tak kuharapkan itu terlaksa-
na! Bahkan... AKU sendiri yang akan membunuhnya!"
*** SEBELAS Tiba-tiba Ayu Rumpi balikkan tubuhnya dan mena-
tap pada sang Permaisuri Sultan Sepuh. Wajahnya
semakin pucat. Nafasnya tersengal-sengal. Tiba-tiba Ayu Rumpi jatuhkan dirinya
untuk berlutut di hadapan wanita itu seraya berkata dengan suara terisak.
"Gusti Permaisuri...oh, maafkanlah hamba yang tak
mengetahui dengan siapa hamba berhadapan. Dan
hamba telah berbuat lancang di hadapan Gusti Per-
maisuri..." Melihat Ayu Rumpi berlutut dihadapannya, cepat-cepat wanita muda
permaisuri Sultan Sepuh
membangunkan. "Sudahlah, adik. Jangan terlalu banyak peradatan.
Aku sangat berterima kasih atas pertolonganmu...!"
ujar Dewi Wijayanti.
Pada saat itulah terdengar suara ringkik kuda di-
iringi derap kaki-kaki kuda mendatangi ke arah pondok. Hati Ayu Rumpi tersentak.
Dia telah melompat
berdiri. Sekejap saja dia telah mengetahui siapa yang
datang. "Pandala!" sentaknya dalam hati. Ayu Rumpi tiba-
tiba telah melompat keluar dari pondok pesanggrahan itu. Si penunggang kuda
putih itu ternyata si laki-laki bertopeng. Tapi Ayu Rumpi telah mengetahui kalau
orang itu adalah Pandala. Kemunculan Ayu Rumpi
agak membuat Pandala terkejut. Kalau saja tak men-
genakan topeng akan terlihat parasnya yang berubah.
"Perempuan keparat! Pucuk di cinta ulam tiba!"
bentak Pandala. "Bagus! Aku memang menginginkan
kemunculanmu. Karena saat ini juga aku segera akan mengirim nyawamu ke Neraka!"
"Membunuhku?" Ayu Rumpi kerenyitkan kening-
nya. "Hm, apakah aku tak salah dengar?" tanya Ayu
Rumpi. "Ya! Karena aku sudah tak memerlukan kau lagi!
Aku telah mendapatkan seorang perempuan pengganti
mu yang akan kujadikan istriku!"
"Hm, kau akan membawa kabur Gusti Permaisuri
Sultan Sepuh?"
"Tepat katamu! Aku telah terlanjur jadi buronan Kerajaan! Semua ini karena gara-
gara ulah mu dengan
persyaratan gila itu!" menyahut Pandala dengan suara dingin.
"Persyaratan gila?" tukas Ayu Rumpi. "Hihihi... kita memang orang-orang gila,
Pandala! Karena hawa naf-sumu yang gila itu hingga aku harus menyerahkan
kesucian ku padamu! Karena kegilaan mu itu aku ter-
paksa harus menikah dengan seorang yang tak kucin-
tai! Tahukah kau Pandala" Aku telah mencintai seseorang yang tak dapat
kusebutkan namanya. Dan aku
telah bersumpah untuk mencarinya setelah aku turun gunung. Kesucian ku hanya
akan kuberikan padanya!"
Berkata Ayu Rumpi dengan tersenyum pahit. Lalu
sambungnya. "Tapi karena nafsu gilamu, aku telah ternoda! Mus-
nah sudah harapanku! Semua itulah yang menyebab-
kan aku mengajukan persyaratan gila, dan aku me-
mang akan membuatmu gila karena kau berkeyakinan
kau tak akan berhasil memenuhi keinginanku yang se-sungguhnya tak kuharapkan.
Karena aku mengha-
rapkan kematianmu sebagai penebus kegilaan mu!"
Sampai disini Ayu Rumpi menghentikan kata-katanya.
Dia menghela napas sejenak. Lalu sambungnya, kare-
na melihat Pandala cuma terpaku mematung seperti
tak mampu menggerakkan bibirnya.
"Sebenarnya aku mau menyudahi urusan dendam
itu! Lebih dari dua tahun kita hidup secara terpisah.
Hal itu sudah cukup untuk membebaskan aku dari
ikatan suami-istri. Bahkan aku telah cukup terhibur karena aku telah menemukan
orang yang kucintai.
Aku telah cukup merasa berbahagia dan melupakan
dendam ku padamu! Tapi sayang....! aku tak dapat
berdiam diri dengan apa yang akan kau lakukan! Aku harus melindungi Gusti
Permaisuri dari keinginan gilamu!"
Selesai berkata Ayu Rumpi gerakkan lengannya
mencabut senjata pedang pendek yang terselip di pinggangnya. "Dan terpaksa aku
harus mempertahankan
nyawaku karena kau mau membunuhku!" sambung
Ayu Rumpi dengan senyum sinis. Pandala tertawa ta-
war. Lalu melompat turun dari punggung kuda.
"Siapakah orang yang kau cintai itu, Ayu...?" tanya Pandala dengan suara dingin.
"Tak perlu kau mengetahui! Dia kini tengah me-
nungguku. Karena aku segera akan pergi jauh ke uta-ra!" Tampaknya Pandala belum
membuat reaksi untuk
segera bertarung. Dia menghela napas seperti mengha-
lau sesuatu yang mengganjal didadanya. Matanya me-
natap tajam Ayu Rumpi. Kemudian menengadah me-
natap langit, dan berkata datar.
"Pergilah kau temui kekasihmu itu, Ayu...! Pergilah!
Capailah kebahagiaan yang telah kau dapatkan itu!
Aku tak akan membunuhmu..." ujarnya pelahan.
Terhenyak Ayu Rumpi. Tapi segera dia menyambar-
nya dengan kata-kata tajam. "Hem, kau menyuruh aku pergi agar tak ada yang
menghalangimu membawa kabur Gusti Permaisuri, bukan" Heh! jangan harap niat-mu
akan terlaksana!"
"Aku akan mengembalikannya ke Istana!" sahut
Pandala lirih. Kata-kata Pandala cukup membuat Ayu Rumpi tertegun. Tapi gadis
ini segera membentak.
"Aku tak percaya kata-katamu Pandala! Jangan co-
ba-coba kau mengelabui ku."
"Kau harus percaya!" teriak Pandala menegur. Tiba-
tiba lengan Pandala bergerak mendorong ke depan.
Angin keras bersyiur membuat tubuh Ayu Rumpi ter-
huyung. Di detik itu juga Pandala telah berkelebat melompat ke arah pintu
pondok. Akan tetapi terjadilah sesuatu yang tak terduga, karena tiba-tiba tubuh Pandala
terlempar bergulingan diiringi teriakan menyayat hati.
Membelalak mata Ayu Rumpi melihat sesosok tu-
buh melompat keluar dari dalam pondok pesanggra-
han memburu ke arah Pandala yang terguling-guling di tanah.
Siapa adanya orang itu tiada lain dari Kebo Gawuk.
TAMAT Scan by Clickers
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Document Outline
SATU *** *** DUA TIGA *** EMPAT LIMA *** ENAM *** TUJUH DELAPAN *** SEMBILAN *** SEPULUH *** SEBELAS TAMAT Medali Wasiat 5 Sepasang Golok Mustika Karya Chin Yung Matahari Esok Pagi 7
serangan-serangan ganas
itu. Kedua Iblis Clurit Hitam sudah maklum akan kehebatan ilmu kedigjayaan
lawannya. Segera mereka
merobah serangan dengan menggunakan ilmu-ilmu
andalan mereka. Serangan-serangan dahsyat segera
mengurung Pandala. Empat bayangan clurit hitam saling susul membayangi Pandala
kemana dia bergerak.
"Terus cecar dia, Maruksa! jangan beri kesempatan
pada manusia keparat ini!" teriak Pindo. Semakin gen-carlah serangan-serangan
kedua Iblis Clurit Hitam
mencecar nyawa Pandala. Karena kalau mereka tak
dapat membunuhnya, justru merekalah yang akan di-
habisi nyawanya oleh Adipati itu. Tampaknya Pandala agak terdesak. Berkali-kali
kerisnya berbenturan dengan senjata kedua lawannya. Akan tetapi sepasang
senjata Maruksa dan Pindo tak terlepas dari tangan mereka.
Enam belas jurus telah lewat. Tiba-tiba Pandala
membentak keras.
"Cukuplah aku mengulur waktu memperpanjang
umur kalian!"
Ternyata Pandala cuma berpura-pura terdesak. Ka-
rena diam-diam dia telah memperhitungkan saat di-
mana dia akan menghabisi nyawa kedua lawannya. Ti-
ba-tiba.... Whuk! Whuk! Sepasang lengan Pandala
menghantam ke depan. Serangan kilat itu membuat
terkejut dua orang ini. Dia tak menyangka dengan gerakan lawan melompat ke
belakang melampaui tubuh
mereka, Pandala akan menyerang dengan mendadak.
Justru mereka baru saja membalikkan tubuh.
Sambaran angin panas bagaikan uap lahar tak da-
pat mereka hindari. Detik itu juga kedua Iblis Clurit Hitam itu perdengarkan
jeritan menyayat hati. Tubuh mereka terlempar bergulingan. Senjata-senjata
mereka terlempar ke udara. Tanpa sempat sekarat lagi keduanya telah melepaskan
nyawa seketika itu juga. Tampak baju mereka pada bagian dada hangus terbakar.
Kulit dada mereka mengelupas dan bau sangit merambah
udara. Ternyata isi dada merekapun turut hangus! Raden Pandala gerakkan sebelah
lengannya untuk men-
jumput keris yang terselip di kedua baris giginya. Lalu memasukkan kembali ke
dalam serangkanya di ping-
gang. "Hm, selesailah sebagian dari tugasku!" gumam
Pandala. Sejenak dia memperhatikan mayat ke empat
laki-laki itu yang berkaparan. Pandala segera menyeret satu persatu mayat-mayat
itu dan dilemparkannya dalam semak belukar. Kemudian dengan bergegas Panda-
la menghampiri kudanya. Beberapa saat kemudian
kuda putih yang ditunggangi Adipati Bangil telah
membedal cepat meninggalkan tempat itu....
*** TUJUH Dua hari kemudian di wilayah sebelah barat Kota
Raja melintas serombongan pasukan Kerajaan. Ternya-ta mereka iring-iringan yang
membawa tandu, dikawal oleh dua puluh orang prajurit yang dipimpin oleh seorang
Tumenggung yang mengendarai seekor kuda ber-
warna hitam. Ketika melintasi sisi sebuah hutan mendadak ber-
munculan beberapa sosok tubuh menghadang. Tentu
saja membuat pasukan Kerajaan ini tersentak kaget.
Nyatalah kalau yang menghadang itu adalah para beg-al. Dua orang berbaju kuning
dan belasan orang lainnya mengenakan pakaian warna hitam. Tampang-
tampang mereka tak lewat sedap dipandang mata.
"Hahaha... kalian boleh lewat terus. Akan tetapi
tinggalkan tandu itu disini!" berkata salah seorang dengan mengumbar tawa
berkakakan. "Kurang ajar! siapa kalian?" bentak Tumenggung ini dengan wajah sebentar pucat
sebentar merah padam.
"Hm, kau tentunya Tumenggung Kandilaga!" kata si
baju kuning yang bertubuh jangkung, berwajah lancip
dengan kumis ceriwis. Laki-laki ini sebelah kakinya disambung dengan besi
runcing untuk pengganti kakinya yang buntung.
"Aku memang Tumenggung Kandilaga yang tengah
mengawal Ndoro Ayu permaisuri Sultan Sepuh!" sahut laki-laki berusia empat
puluhan tahun ini dengan suara santar. "Kalian sungguh kurang ajar berani mem-
begal di siang bolong!"
Si baju kuning ini melirik ke arah tandu dengan senyum menyeringai. Lalu menoleh
pada kawannya yang
berbaju kuning pula, tapi berikat kepala merah. Sesaat keduanya sama-sama
tertawa terbahak-bahak.
Empat prajurit penggotong tandu letakkan tan-
dunya ke tanah. Lalu mencabut senjata siap mengha-
dapi segala kemungkinan. Dua puluh orang prajurit
lainnya tak berlaku ayal, segera berlompatan menjaga di sekitar tandu. Dari
dalam tandu sebuah kepala ter-sembul. Sebuah wajah cantik dari seorang wanita
mu-da memandang keluar dengan wajah pucat pias.
"Oh!" apakah yang terjadi?" sentak wanita permai-
suri Sultan Sepuh. "Tenanglah Ndoro Ayu! Pembegal-
pembegal tengik tak tahu adat ini segera akan kami ringkus!" berkata Tumenggung
Kandilaga. "Hahaha... rejeki besar bagi kita, kawan-kawan.
Dengan kita menawan permaisuri Sultan Sepuh, tentu tak sedikit tebusan yang
bakal kita terima!" berkata si baju kuning dengan tertawa menyeringai.
"Keparat! kalian harus dibuat mampus!" bentak
Tumenggung Kandilaga, seraya memberi aba-aba un-
tuk menerjang. Puluhan prajurit Kerajaan serta-merta meluruk ke
arah pengepung dari para begal itu. Dan sekejap saja terjadilah pertempuran
seru. Suara bentakan dan beradunya senjata-senjata tajam membisingkan anak
telinga. Suasana sunyi di sisi hutan itu sekejap saja te-
lah berubah ramai dan menjadi kancah pertarungan
adu jiwa. Dua laki-laki baju kuning itu melompat ke hadapan
Tumenggung Kandilaga.
"Kau tengah berhadapan dengan Dua Setan dari
Utara, Tumenggung Kandilaga! Haha... sebaiknya kau serahkan saja Ndoro Ayu-mu
kepada kami. Kau takkan sampai kehilangan nyawamu!" berkata laki-laki
ini. Dia bernama Sosro Kemplu dan yang satu lagi adalah adiknya yang bernama
Kunto. "Edan! kau kira aku sebangsa pengecut?" bentak
Tumenggung ini seraya melompat dari punggung kuda.
Sret! dia telah mencabut klewang panjangnya.
"Haha.. adikku! kau hadapi Tumenggung tolol ini.
Biar aku yang merampas perempuan istana itu!" ujar Sosro Kemplu dengan tertawa
lebar. Kemudian melompat ke arah tandu. Empat orang prajurit menghadang, dan
langsung menerjangnya dengan tusukan tombak.
Akan tetapi sekali dia menggerakkan tangannya,
keempat prajurit itu menjerit ngeri. Dan terjungkal roboh ketika empat buah
benda kecil bersinar kuning
meluncur dari kibasan tangan Sosro Kemplu. Nyatalah si Iblis dari Utara ini
telah menggunakan senjata rahasia untuk menyerang keempat prajurit itu.
Sementara itu prajurit lainnya tengah bertarung
dengan belasan orang yang rata-rata berkepandaian
tinggi. Lima orang prajurit sudah terjungkal roboh mandi darah. Belasan orang
itu terus merangsak para prajurit dengan serangan-serangan ganas.
Beberapa prajurit yang melihat Sosro Kemplu men-
dekati tandu segera menerjang beringas. Walau mereka telah melihat empat
kawannya roboh tak bernyawa,
akan tetapi agaknya semangat bertempur mereka amat luar biasa. Mereka adalah
prajurit-prajurit yang berani mati demi tugas yang dibebankan dipundak mereka.
"Heh! kalian mencari mati!" bentak Sosro Kemplu dengan mendengus.
Laki-laki baju kuning ini tak sempat menggunakan
senjata rahasianya karena tiga ujung tombak telah meluncur untuk memanggang
tubuhnya. Dengan gerakan
gesit dia melompat menghindari tusukan. Ujung ka-
kinya hinggap di mata tombak lawan. Gerakan Sosro
Kemplu cepat sekali. Di detik itu kedua lengannya
menghantam ke bawah. Prak! Prak! Dua prajurit tanpa sempat berteriak lagi
terjungkal roboh dengan batok kepala hancur.
Tentu saja membuat prajurit yang satu ini terperangah kaget. Sebelum dia
bertindak lebih lanjut, sambaran angin keras telah menyambar dadanya. Prajurit
ini rasakan dadanya bagai dihantam palu godam. Dengan
jeritan menyayat hati dia terjungkal roboh. Tulang dadanya ambrol terkena
pukulan Sosro Kemplu yang be-
risi tenaga dalam dahsyat.
Sementara itu Tumenggung Kandilaga tengah berta-
rung dengan seru melawan Kunto. Adik seperguruan
Sosro Kemplu inipun bukan lawan yang enteng, kare-
na sekejapan saja Tumenggung Kandilaga telah terdesak hebat. Senjata klewang
panjangnya hampir-hampir tak sempat dipergunakan. Karena Kunto terus mence-
carnya dengan hantaman-hantaman ganas!
Suatu ketika Tumenggung ini tak dapat lagi mem-
pertahankan diri dari gempuran lawan. Senjata kle-
wangnya terlepas, ketika mempergunakan menangkis
pukulan lawan yang hanya menggunakan tangan ko-
song. Tapi sebelah tangan Kunto ternyata lengan palsu yang terbuat dari besi.
Buk! hantaman berikutnya membuat Tumenggung
ini terjungkal bergulingan. Pucat pias wajah laki-laki abdi Kerajaan ini.
Dadanya serasa remuk dan sakitnya bukan alang kepalang. Untunglah dia mengenakan
ba- ju lapis dari besi tipis dibalik bajunya. Akan tetapi tetap saja membuat
Tumenggung ini mengerang kesak-
tian. Sementara itu dilihatnya para prajurit telah banyak yang tewas. Cuma tinggal
kurang lebih sebelas orang.
Keadaan amat mengkhawatirkan, karena keselamatan
permaisuri Sultan Sepuh terancam. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara
bentakan menggelegar.
"Begal-begal keparat! hentikan pembantaian kalian!"
Bentakan yang menggetarkan tanah itu membuat
begal terkesiap, termasuk si Dua Iblis dari Utara. Serentak mereka melompat
mundur. Sesosok tubuh ting-
gi besar bagaikan raksasa layaknya tahu-tahu telah muncul di tempat itu.
Membelalak mata Kunto dan Sosro Kemplu.
"Heh! siapa kamu manusia raksasa?" bentak Sosro
Kemplu. Orang ini tiada lain dari Kebo Gawuk. Entah bagai-
mana manusia penunggu puncak Bromo ini tahu-tahu
telah turun gunung. Padahal Empat Iblis Clurit Hitam tak berhasil membujuknya
untuk meninggalkan puncak Bromo. Mendengar dirinya disebut manusia raksa-sa,
Kebo Gawuk tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha.. haha... kau para begal picisan ingin mengetahui diriku" Akulah yang
bergelar Raksasa Gunung Bromo!" berkata Kebo Gawuk. Sosro Kemplu dan Kunto
krenyitkan keningnya mendengar gelar yang baru
didengarnya itu. "Raksasa Gunung Bromo?" sentak
Sosro Kemplu dengan melangkah mundur.
"Di puncak Bromo kudengar bersemayam seorang
kakek kosen yang bernama Ki Dwipa Morghana" Apa-
kah kau muridnya?" tanyanya.
"Benar! Syukurlah kalau kau sudah mengetahui!"
sahut Kebo Gawuk.
"Heh! orang bodoh! kau mencampuri urusan yang
akan menyulitkan saudara seperguruanmu sendiri!"
berkata Sosro Kemplu.
"Menyulitkan saudara seperguruanku sendiri" Apa
maksudmu?"
"Karena apa yang kami lakukan ini adalah..." belum sempat Sosro Kemplu
meneruskan kata-katanya, tiba-tiba laki-laki ini menjerit ngeri dan roboh
terjungkal dengan dada hangus terbakar. Tentu saja hal itu
membuat semua yang berada di tempat itu jadi terkejut. Tahu-tahu sesosok tubuh
mengenakan pakaian hitam telah muncul di tempat itu. Sosok tubuh ini membungkus
wajahnya dengan topeng yang hanya me-
nyembulkan sepasang matanya saja.
Kunto memburu ke arah saudara seperguruannya.
Ketika memeriksa ternyata nyawa Sosro Kemplu telah melayang. Melihat keadaan tak
menguntungkan, Kunto berkelebat melarikan diri. Hal itu segera diikuti kawan-
kawannya. Namun jerit-jerit mengerikan segera
terdengar. Empat orang dari para begal itu terjungkal roboh dengan punggung
hangus! "Siapa kau sebenarnya?" bentak Kunto. Sepasang
lengannya siap melancarkan serangan.
"Aku adalah malaikat yang akan mencabut nyawa-
mu!" sahut si manusia bertopeng dengan suara dingin.
"Keparat!" teriak Kunto seraya silangkan lengannya.
Lalu.. Whuk! Whuk! Dua pukulan tenaga dalam dilan-
carkan sekaligus. Brak! sebatang pohon tumbang terkena angin pukulannya yang
dahsyat. Akan tetapi serangan itu lolos. Karena dengan mudah si manusia
bertopeng telah menghindarkan diri.
Beberapa senjata rahasia meluruk bagai hujan ke
arah si orang bertopeng. Dengan gesit lawannya yang misterius ini kibaskan
lengannya menghantam buyar
senjata-senjata maut itu. Pertarungan berlalu beberapa jurus. Tampaknya
kehebatan lawan Kunto berada
dua tingkat di atas kepandaiannya. Ketika dua pukulan beradu, Kunto menjerit
keras. Tubuhnya terlempar beberapa tombak.
Kebo Gawuk terpaku ditempatnya dengan benak
penuh pertanyaan. "Siapakah orang bertopeng ini?"
berkata dia dalam hati. Kunto mengerang parau me-
megangi dadanya yang terasa remuk akibat beradunya tenaga dalam. Di saat itu
selarik sinar ungu telah menyambar lagi. Menjerit si Iblis dari Utara ini. Dan
roboh tak berkutik lagi. Nyawanya telah melayang ke
Akhirat. Sementara itu Kebo Gawuk telah dapat mene-
waskan tiga pembegal. Dua orang diantara mereka
berhasil lolos. Si Raksasa Gunung Bromo ini sengaja tak mengejar. "Yang dua itu
biarlah hidup. Mudah-mudahan mereka dapat insyaf dan menjadi orang
baik-baik!" gumam Kebo Gawuk. Lalu balikkan tubuh
untuk kembali ke tempat para prajurit tadi.
Langkahnya terhenti karena tiba-tiba si orang ber-
topeng muncul di hadapannya. "Hm, kau sudah ber-
hasil membereskannya?" berkata orang ini dengan ma-ta berkilat menatap Kebo
Gawuk. "Tiga orang itu telah mampus. Tapi yang dua mela-
rikan diri!"
"Mengapa kau tak mengejarnya" Penjahat-penjahat
itu harus ditumpas sampai keakar-akarnya!" berkata si orang bertopeng dengan
suara dingin. Mendelik mata Kebo Gawuk. "Heh! aku sengaja
membiarkan mereka hidup, siapa tahu mereka dapat
sadar kembali menjadi orang baik-baik! Kalau kau
mau membunuhnya kejarlah sendiri!" berkata Kebo
Gawuk dengan ketus. Dia merasa diperintah orang
bertopeng itu. Hal ini amat menyinggung perasaannya.
Dewa Linglung 12 Raksasa Gunung Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tertegun si manusia bertopeng ini. Tampaknya dia
maklum akan adat orang tinggi besar ini. Segera dia
alihkan pembicaraan.
"Baiklah, tak mengapa. Tapi sebaiknya kau tak
usah menemui orang-orang kerajaan itu!"
"Apa perdulimu pula dengan urusanku" Menemui
atau tidak bukan urusanmu!" sahut Kebo Gawuk se-
makin ketus. Diam-diam dia memperhatikan perawa-
kan dan mengira-ngira wajah di balik topeng hitam itu.
Laki-laki ini tampak jadi serba salah. Saat itu Kebo Gawuk telah berkata.
"Eh, kau membungkus wajahmu dengan kain hitam
itu apakah tampangmu jelek" Mengapa kau tak te-
rang-terangan saja?"
"Aku..." si orang bertopeng tak meneruskan kata-
katanya. Karena detik itu juga dia telah gerakkan lengannya secepat kilat ke
arah leher Kebo Gawuk. Se-
rangan mendadak itu tak diduga sama sekali oleh Ke-bo Gawuk. Ditambah dia belum
banyak pengalaman
karena hampir selama dua tahun dia mengeram di
puncak gunung Bromo.
Dengan mengeluh pendek dia roboh terguling... Se-
kali lagi si orang bertopeng ulurkan lengannya. Dan Kebo Gawuk tak berkutik lagi
dalam keadaan tertotok tubuhnya berikut pula urat suaranya. Itulah ilmu totok
yang amat lihai. Hingga Kebo Gawuk cuma bisa
melototkan mata dengan dada serasa meledak karena
marah. "Bagus! kau hanya akan merintangi aku saja, Kebo
Gawuk!" berdesis si orang bertopeng. Lalu berkelebat lenyap dari pandangan mata
si manusia raksasa dari gunung Bromo.
*** DELAPAN Matahari tepat berada di atas kepala ketika siang
itu seorang pemuda berpakaian gombrong menyan-
dang buntalan di punggung melewati sebuah sisi hu-
tan dengan bersiul-siul kecil. Pemuda berambut ikal gondrong ini merasa seperti
orang yang paling senang di dunia. Karena dia seperti tak memusingkan urusan
hidup. Terkadang dia melangkah seenaknya. Terkadang pula dia melompat-lompat
bagai seekor kera. Sementara mulutnya tak hentinya bersiul. Siapa adanya pemuda
ini tiada lain adalah Nanjar si Dewa Linglung.
Tiba-tiba dia berhenti bersiul. Hidungnya mengen-
dus-endus. Rupanya Nanjar mencium sesuatu yang
berbau busuk. "He" bau apakah ini" sungguh tak sedap!" gerutu
Nanjar seraya putar pandangannya ke beberapa arah.
Dia mulai melangkah menurutkan penciumannya. Bau
busuk semakin santar. Terpaksa dia menutup hidung.
Ketika menyibak semak belukar hampir saja dia ter-
loncat karena terperanjatnya. Beberapa sosok mayat bertumpukan disemak-semak
dalam keadaan membu-suk. "Ha!" mayat-mayat siapakah ini?" sentaknya seraya
menyurut mundur. Matanya membelalak melihat
mayat-mayat yang sudah dimakan ulat dan dikerumu-
ni lalat itu. Ketika melangkah ke belakang, kakinya menginjak
sebuah benda. Cepat dia menjumputnya. Ternyata se-
buah Clurit dari besi hitam.
"Hm! ini pasti salah satu senjata milik mayat-mayat itu. pikir Nanjar. "Apakah
mayat-mayat ini adalah
mayat-mayat si Empat Iblis Clurit Hitam?" sentak Nanjar menerka.
Dengan sebelah lengan masih menutupi hidung,
Nanjar membolak-balik senjata Clurit itu. Tampaknya dia merasa yakin bahwa
keempat mayat itu adalah
mayat si Empat Iblis Clurit Hitam.
Dilemparkannya Clurit itu ke balik semak. Lalu
berkelebat pergi dari tempat yang berbau busuk itu.
"Hm, tentu di tempat itu telah terjadi pertarungan yang menewaskan empat manusia
tokoh hitam itu..."
pikir Nanjar. Dia meneruskan langkahnya menembus
hutan. "Entah siapa orangnya yang telah bentrok dengan keempat orang itu! Huh!
perduli apa dengan kematian mereka" toh mereka hanya orang-orang jahat.
Pantaslah kalau mampus dibunuh orang. Kudengar di
wilayah barat empat orang itu banyak membuat onar
dengan berbagai kejahatan!" Akhirnya Nanjar melupakan keempat mayat yang
ditemuinya di tengah jalan
itu. Beberapa saat antaranya dengan melompat-lompat dari dahan ke dahan tak
ubahnya bagai seekor kera, Nanjar terus menembus hutan lebat itu. Dan baru
berhenti ketika tiba di sebuah lereng gunung.
Suara air terjun di kejauhan terdengar mengguruh.
Nanjar berdiri merenung beberapa saat. Di matanya
terbayang air jernih yang mengalir diantara batu-batu.
"Ah, kalau mandi di tempat itu tentu akan segar tu-buhku! Udara begini panas!
Selesai mandi aku akan
tidur. Menjelang sore bangun tidur baru aku pergi cari makanan untuk mengisi
perut..." kata Nanjar dalam
hati. Setelah mengambil keputusan segera dia berkelebat
dari tempat itu.
Suara gemuruh air terjun semakin santar. Dari ba-
lik semak yang rapat di depannya sudah terlihat air jernih yang mengalir
gemericik. Baru saja dia akan menuruni jalan menuju ke arah
sungai itu mendadak Nanjar hentikan langkahnya dan
menahan napas. Karena saat itu terdengar suara tertawa cekikikan dari arah
sungai. Suara seorang pe-
rempuan yang ditimbal oleh suara laki-laki.
"Ah, ada yang sedang mandi rupanya..."
Nanjar urungkan niatnya. Karena diam-diam dia
berniat untuk mengetahui siapa adanya mereka yang
tengah mandi dan bergurau itu.
Dari balik rumpun yang rapat Nanjar mengintip.
Pemandangan di depan matanya membuat dia se-
makin menahan napas... Karena tampak seorang gadis dalam keadaan telanjang bulat
tengah saling bergurau bermain air dengan seorang laki-laki yang cuma berdiri di
tepi sungai. Laki-laki itu usianya sekitar tiga puluh lima tahun. Dia berdiri
memeluk pundaknya seperti
enggan untuk terjun ke air. Tapi gadis itu dengan tertawa mengikik menyembur-
nyemburkan air ke arah-
nya. "Hayo buka celana mu! Hihihi... mengapa berdiri sa-ja" Airnya sejuk!" teriak si
gadis. Walau gadis itu me-rendam tubuhnya sampai sebatas dada, tapi bayangan
tubuhnya yang polos tak dapat tidak terlihat dari atas air. Mata Nanjar semakin
membulat. Sebagai seorang pemuda mana hal semacam itu di lewatkan begitu sa-ja"
Apa lagi gadis itu berparas cantik dan bertubuh putih serta mempunyai bentuk
tubuh yang bagus.
Karena terus menerus disembur dengan air terpak-
sa laki-laki itu melompat terjun ke dalam sungai tanpa membuka celananya lagi.
Cuma bajunya saja yang sejak tadi telah dibukanya.
Gadis itu tampak girang sekali. Merekapun bersen-
da gurau dengan berkejar-kejaran. Pemandangan itu
mengingatkan Nanjar pada sepasang sejoli yang tengah memadu kasih. "Entah laki-
laki itu suaminya ataukah hanya kawannya saja?" pikir Nanjar.
Suara cekikikan gadis itu berhenti ketika lengan si laki-laki berhasil menangkap
pinggang si dara cantik.
Tampaknya gadis itu tak berusaha meronta. Dua pa-
sang mata mereka saling tatap. Hati Nanjar semakin berdebar. Matanya semakin
membulat tak berkedip.
"Ah..." Nanjar cepat-cepat memalingkan muka keti-
ka kedua insan berlainan jenis itu saling kecup.
Sementara tubuh mereka saling peluk dengan erat.
Tubuh sang gadis menggeliat-geliat dalam dekapan la-ki-laki itu. Sementara lawan
jenisnya tampak semakin bersemangat. Kejap berikutnya si laki-laki telah me-
mondong tubuh polos gadis itu ke balik batu besar.
Entah apa yang dilakukan. Karena yang tampak
kemudian hanya dua pasang kaki mereka saja yang
kelihatan bergerak-gerak diantara sela-sela batu.
Dia mengenali siapa adanya laki-laki tersebut yaitu si Pendekar Lengan Tunggal
Joko Sangit. Tapi siapa adanya gadis itu Nanjar tak mengetahui.
"Sialan...!" maki Nanjar dalam hati. "Edan!" ma-
kinya lagi. "Tapi salahku sendiri mengapa mengintip orang sedang bercintaan?"
gerutunya. Lalu tanpa menoleh ke belakang lagi Nanjar berke-
lebat dari tempat itu...
"Hah!" lagi-lagi mayat!" sentak Nanjar terperanjat.
Karena dihadapannya terlihat berkaparan mayat-
mayat. Kali ini Nanjar benar-benar terkejut karena mayat-mayat yang
bergelimpangan itu adalah mayat
para prajurit Kerajaan. Akan tetapi membaur pula diantara mayat-mayat itu
beberapa sosok mayat orang
biasa. Diantara bangkai manusia yang berserakan itu terlihat sebuah tandu yang
tergelimpang. Nanjar tersentak seraya melompat menghampiri.
Benaknya berpikir keras untuk menduga apa yang
telah terjadi. Sesosok mayat yang berpakaian berbeda dari mayat
prajurit Kerajaan dihampiri Nanjar. Ternyata itulah mayat Tumenggung Kandilaga.
Tak jauh didekatnya
seekor kuda tergelimpang dengan kepala remuk. Tak
berapa jauh dari mayat Tumenggung itu terkapar pula mayat Sosro Kemplu salah
seorang dari si Dua Iblis dari Utara.
"Apakah yang telah terjadi?" pikir Nanjar dengan
kerutkan kening.
"Agaknya telah terjadi pertarungan di tempat ini
yang meminta korban kedua belah pihak!" kata Nanjar dalam hati. "Tapi tandu itu
kosong! Dugaanku tak
mungkin tandu itu berisi barang berharga karena dida-lamnya ada tempat duduk.
Setidak-tidaknya para prajurit ini tengah mengawal seorang putri atau mungkin
juga seorang permaisuri Raja. Karena tandu kebanya-kan digunakan untuk membawa
perempuan lemah!"
Satu hal yang membuat Nanjar agak memperhati-
kan adalah luka bekas pukulan yang telah menghan-
guskan isi dada. Diantaranya mayat orang Kerajaan
yang diperkirakan Nanjar adalah seorang Kepala Prajurit. Dan mayat si laki-laki
baju kuning. "Akan kuperiksa lagi sekitar tempat ini! apakah masih ada mayat-mayat lainnya?"
desis Nanjar dengan
wajah keruh. Lalu berkelebat ke beberapa arah. Benar saja, dia menjumpai mayat
seorang laki-laki yang juga berbaju kuning. Kematiannya dengan keadaan yang
sama. Yaitu dengan dada berikut isinya hangus!
"Hm, pukulan tenaga dalam yang hebat! Entah sia-
pa manusianya yang melakukan!" gumam Nanjar ter-
tegun. Tiba-tiba telinganya mendengar suara aneh seperti orang mengeluh.
Tersentak si Dewa Linglung.
Dengan memasang pendengaran Nanjar mencari tahu
dari arah mana suara itu.
Ketika dia melompat ke balik semak, tersentak Nan-
jar ketika melihat sesosok tubuh tinggi besar dalam
keadaan terkapar. Nafasnya kembang kempis dapat dilihat jelas dari perutnya yang
bergerak-gerak.
Siapa adanya orang tinggi besar ini tiada lain dari si Raksasa Gunung Bromo,
alias kebo Gawuk yang dalam
keadaan tertotok.
Sepintas saja Nanjar sudah mengetahui keadaan
orang itu. Segera dia berjongkok dan membebaskan totokan itu. Begitu merasai
dirinya bebas dari pengaruh totokan, Kebo Gawuk melompat bangun.
"Oh, oh...! terima kasih atas pertolonganmu, sobat!"
Kebo Gawuk menatap orang di hadapannya. Nanjar
tersenyum. "Siapakah kau dan apa yang telah terjadi?"
tanya Nanjar seraya melompat berdiri.
"Aku...aku... orang-orang menyebutku si Raksasa
Gunung Bromo!" sahut Kebo Gawuk tanpa menye-
butkan namanya. "Si orang bertopeng hitam itu telah menotok ku! Setan keparat!
kemana perginya kunyuk
itu?" Kebo Gawuk melompat berdiri, kepalanya dipa-
lingkan ke beberapa arah, sementara matanya memu-
tari sekitar tempat itu mencari-cari si manusia bertopeng. Tentu saja orang yang
dicarinya telah tak berada di tempat itu.
"Siapakah kau, sobat?" tanya Kebo Gawuk dengan
menatap tajam pada Nanjar.
"Namaku Nanjar! Secara tak sengaja aku lewat di
tempat ini! Aku melihat banyak sekali mayat-mayat
dari orang kerajaan juga beberapa mayat lain. Kemudian aku menjumpai kau di
tempat ini. Apakah sebe-
narnya yang telah terjadi?" bertanya si Dewa Linglung.
Kebo Gawuk merenung sejenak seperti memulihkan
ingatannya. Lalu segera menceritakan apa yang telah terjadi dan dialaminya.
"Entah siapa orang bertopeng hitam itu. Tapi aku seperti mengenali suaranya..."
berkata Kebo Gawuk mengakhiri ceritanya.
"Apakah kau mengetahui apa isi tandu yang dibawa
laskar Kerajaan itu?" tanya Nanjar.
"Ya! tandu itu berisi seorang perempuan, yaitu permaisuri Sultan Sepuh!" sahut
Kebo Gawuk. "Walau
aku tak melihatnya, tapi dari pembicaraan orang Kerajaan itu dengan si Dua Iblis
dari Utara serta konco-konconya aku mengetahui siapa adanya orang yang
berada di dalam tandu..."
"Tepat dugaanku!" sahut Nanjar.
"He" kau melihat disana ada tandu?" tanya Kebo
Gawuk tiba-tiba.
"Ya! sebuah tandu yang terbalik dan kosong!" sahut Dewa Linglung.
Kebo Gawuk tak menunggu jawaban Nanjar lebih
lanjut. Dia telah melompat dari tempatnya berdiri.
"Aku akan melihatnya!" teriak Kebo Gawuk.
Nanjar mengikuti di belakang laki-laki "raksasa" itu.
Diam-diam Nanjar memuji kagum melihat gerakan si
Raksasa Gunung Bromo walaupun bertubuh berat dan
tinggi besar tapi gerakannya begitu ringan. Pertanda memiliki ilmu meringankan
tubuh yang sempurna. Ta-pi siapakah si orang bertopeng itu yang dapat mempe-
cundanginya" pikir Nanjar. Dia mulai menerka bahwa luka-luka pada mayat dua
orang berbaju kuning yang menurut si Raksasa Gunung Bromo adalah si dua Iblis
dari utara serta seorang abdi Kerajaan yang dianggap Nanjar adalah seorang
Kepala Prajurit, adalah si orang bertopeng itu yang membunuhnya.
Membelalakkan mata Kebo Gawuk melihat di antara
mayat-mayat yang berserakan itu terdapat mayat Tu-
menggung Kandilaga. Padahal dia mengetahui Tu-
menggung itu dalam keadaan selamat. Dan masih ber-
sisa pula kira-kira sebelas orang prajurit Kerajaan dari dua puluh orang yang
mengawal tandu.
"Ini pasti perbuatan si orang bertopeng!" sentak Ke-bo Gawuk dengan mata
mendelik dan gigi gemeretuk
karena gusarnya. "Heh! mengapa dia membunuhi
orang-orang Kerajaan" Padahal tadinya dia justru menolong mereka dari tangan
para begal-begal itu!" berkata si Raksasa Gunung Bromo.
Nanjar beranjak mendekati. "Akupun menduga dia
Dewa Linglung 12 Raksasa Gunung Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang telah membunuh orang ini yang kusangka seo-
rang Kepala prajurit! Kiranya seorang Tumenggung..."
"Apakah kau mengenali pukulan semacam ini?"
tanya Nanjar menyambung kata-katanya. "Kulihat dua mayat yang mengenakan baju
kuning yang kau katakan adalah si Dua Iblis dari Utara, telah mengalami pukulan
yang sama seperti ini"
"Heh! inilah jurus pukulan Candrageni!" terkejut
Kebo Gawuk hampir melompat karena terkejutnya.
"jadi.... jadi... si manusia bertopeng itu adalah..."
WHUUUK! Angin panas menggebubu tiba-tiba menghantam ke
arah mereka. Nanjar terperanjat. Pendengarannya yang peka ternyata telah dapat
menangkap gerakan kaki seseorang yang mendekati. Diam-diam Nanjar telah bersikap
waspada. Ketika merasai sambaran angin panas yang ganas
ke arah punggung, dengan kecepatan kilat Nanjar
mendorong tubuh Kebo Gawuk disertai teriakan.
"Awas! serangan gelap!" Sementara dia sendiri segera berkelebat menghindarkan
diri dengan melompat ke
samping. BLANG! Tanah menyemburat hangus! Tubuh si Raksasa
Gunung Bromo terhuyung beberapa tombak. Jenazah
Tumenggung Kandilaga turut terlempar dengan men-
gerikan karena tak ubahnya bagai potongan arang
yang berserpihan.
Akan tetapi Kebo Gawuk selamat dari maut. Demi-
kian pula Nanjar.
"Iblis keji! pengecut licik!" bentak Nanjar seraya melompat ke arah samping.
WHUUT! lengannya meng-
hantam melontarkan pukulan dahsyat. Hawa dingin
menebar. Sesosok bayangan cepat sekali telah berkelebat dari semak belukar yang
hancur bagai diamuk
prahara angin salju!
"Iblis pengecut! jangan lari!" kembali Nanjar mem-
bentak keras. Tubuhnya melesat mengejar bayangan sosok tubuh
itu. Jarak sosok tubuh di depan Nanjar cuma kira-kira empat atau lima tombak.
Segera dia mengetahui kalau sosok tubuh itu mengenakan pakaian serba hitam.
Bahkan kepala dan wajahnya terbungkus kain hitam.
Akan tetapi cuma beberapa kejap saja. Karena tiba-
tiba lengan orang itu mengibas ke belakang. Menyam-barlah uap berwarna ungu ke
arahnya. Dengan sebat Nanjar kibaskan lengannya untuk
menampar buyar uap itu.
Akan tetapi dia telah kehilangan jejak. Manusia
misterius itu lenyap tak ketahuan kemana arahnya.
Nanjar tak berani bertindak gegabah karena jelas
orang itu memiliki ilmu yang amat tinggi. Terpaksa dia urungkan niatnya untuk
mengejar. Kebo Gawuk muncul dengan napas memburu.
"Kemana iblis pengecut itu?" teriaknya.
"Dia sudah kabur!" sahut Nanjar.
"Setan keparat! dia pasti si orang bertopeng!" berkata Kebo Gawuk.
"Dan dugaanku takkan meleset. Dia pasti si PAN-
DALA! pantas dia menutupi mukanya dengan topeng!
Tapi mengapa dia mau membunuhku?" gerutu si Rak-
sasa Gunung Bromo.
"Pandala" Siapakah orang yang kau maksudkan
itu?" Kebo Gawuk tak segera menjawab, tapi terdengar
dia menghela napas.
"Nanti akan kuceritakan padamu. Marilah kita ting-
galkan tempat ini. Salah-salah kita yang dituduh
membunuhi orang-orang Kerajaan!" kata Kebo Gawuk
Nanjar mengangguk. Kemudian keduanya bergegas
meninggalkan sisi hutan itu.
Dari keterangan Kebo Gawuk, Nanjar mengetahui
kalau Pandala adalah seorang Adipati yang bergelar Raden Pandala. Dan masih
saudara seperguruan laki-laki tinggi besar itu. Kebo Gawuk menceritakan juga
tentang saudara perguruannya yang lain yaitu bernama Ayu Rumpi yang telah
diperistrikan Pandala.
Dengan petunjuk berharga itu si Dewa Linglung
mau tak mau harus turut campur dengan peristiwa
tersebut. Karena hal itu menyangkut soal kejahatan.
Disamping dia ingin mengetahui apa sebenarnya dibalik ketelengasan Pandala"
Mengapa Adipati itu mem-
bunuh orang-orang Kerajaan" Bahkan mau mele-
nyapkan saudara seperguruannya sendiri!
Kebo Gawuk telah bertekad akan menumpas siapa-
pun yang bertindak jahat, tak perduli orang itu adalah saudara seperguruannya
sendiri. "Sungguh tak kusangka Pandala akan menempuh
jalan sesat! Apakah yang diinginkan dengan semua
itu" Bukankah dia telah hidup senang dengan jabatan sebagai Adipati seperti yang
kudengar dari Empat Iblis Clurit Hitam?" berkata dalam hati si Raksasa Gunung
Bromo. Kebo Gawuk merasa ada sesuatu hal yang tak
wajar. Keempat orang yang menamakan dirinya Empat
Iblis Clurit Hitam itu jelas empat tokoh golongan hitam. Tak mungkin seorang
Adipati akan berhubungan
dengan empat orang penjahat. Anehnya empat manu-
sia itu telah tewas seperti yang diceritakan Nanjar.
Termangu-mangu Kebo Gawuk dengan pertanyaan
memenuhi benaknya.
*** SEMBILAN BRAK! Pandala menghantam meja diruangan kamarnya
hingga papan kayu jati itu hancur berkepingan. "Keparat! urusan jadi semakin
kacau!" berdesis sang Adipati Bangil ini. "Aku tak dapat berdiam lebih lama di
gedung kadipaten ini! Semua ini gara-gara Ayu Rumpi si perempuan keparat itu!"
Pandala hempaskan tubuhnya ke pembaringannya
yang besar. Pikirannya kusut.
"Heh! terpaksa aku menghabisi nyawa Tumenggung
Kandilaga dan para pengawalnya. Akan tetapi tak
sampai hati aku membunuh Ndoro Ayu permaisuri
Sultan Sepuh... " gumamnya pelahan. Di ruang ma-
tanya terbayang peristiwa tadi siang yang telah dilakukannya, di saat dia
membunuh Tumenggung Kandilaga
dan menghabisi nyawa para prajurit pengawal tandu
setelah menotok Kebo Gawuk hingga tak berdaya. Ke-
mudian dengan cepat dia menekap mulut sang per-
maisuri yang menjerit ketakutan. Dan membawanya
berkelebat pergi dari tempat itu.
Permaisuri Sultan Sepuh yang bernama Pujayanti
itu disembunyikan di suatu tempat rahasia.
Kemudian dengan bergegas dia kembali ke Kadipa-
ten. Untuk menghindari berjumpa dengan orang-orang Kerajaan dia mengambil jalan
memutar. Akan tetapi ti-ba-tiba Pandala teringat pada Kebo Gawuk yang telah
ditotoknya. Khawatir saudara seperguruannya itu dapat membocorkan rahasia,
Pandala mengambil kepu-
tusan untuk membunuhnya sekalian.
Sayang niatnya tak terlaksana, karena Kebo Gawuk
telah dibebaskan si Dewa Linglung. Jurus maut yang bernama Candrageni digunakan
untuk menghabisi
nyawa Nanjar dan Kebo Gawuk. Tapi serangan itu lu-
put. Terpaksa dia menyingkirkan diri, karena diketahuinya pemuda yang telah
menolong Kebo Gawuk itu
berilmu tinggi.
Hal itulah yang membuat pikirannya menjadi resah.
"Siapakah laki-laki kumal bertampang bodoh yang
menolong Kebo Gawuk itu?" desis Pandala seraya me-
lompat berdiri. Agak lama dia merenung. Tapi segera mengambil keputusan. "Tak
ada jalan selain aku segera angkat kaki dari tempat ini. Cepat atau lambat kha-
bar tewasnya Tumenggung Kandilanga dan para praju-
ritnya serta lenyapnya permaisuri akan terdengar ke telinga orang-orang istana!"
Berpikir demikian tak berayal lagi segera Pandala
bergegas mengenakan pakaian hitamnya. Tak lupa
membungkus wajahnya dengan topeng yang telah be-
berapa kali dia pergunakan. Kemudian membuntal peti uang dan seperangkat
perhiasan. Dengan melalui jalan rahasia yang menembus ke belakang gedung
kadipaten, Pandala lenyap di kegelapan malam...
Tanpa diketahuinya sesosok tubuh yang bersem-
bunyi dibalik rumpun di belakang gedung telah mem-
buntutinya. Ternyata Nanjar adanya. Dia baru saja berniat men-
cari jalan untuk memasuki gedung Kadipaten itu melalui jalan belakang, setelah
bersusah payah mencari dimana adanya gedung Kadipaten Adipati Bangil itu.
"Bagus! Orang yang kucari justru muncul sendiri.
Hm, mau kemanakah dia?" berkata Nanjar dalam hati
seraya berkelebat dengan gerakan hati-hati agar tak menimbulkan suara, menyusul
si manusia bertopeng.
Dan terus menguntitnya.
*** Di Istana, Sultan Sepuh tampak mondar-mandir di
ruang pendopo dengan wajah cemas. Rombongan pra-
jurit Kerajaan di bawah pimpinan Tumenggung Kandi-
laga yang mengawal permaisurinya hingga malam tiba belum juga muncul. Seharusnya
sore tadi telah tiba di istana.
Usul Mapatih Kuncoro untuk mengirim sepasukan
prajurit menyusul rombongan yang terlambat itu diterima. Segera dia mengutus
Senopati Bayurana dengan membawa tiga puluh orang prajurit. Dikhawatirkan
ada terjadi apa-apa di tengah perjalanan.
"Ya, Tuhan...! Semoga tak terjadi apa-apa dengan
permaisuri ku..."
Menggumam Sultan Sepuh. Kemudian beranjak
masuk ke ruangan dalam, tapi kemudian keluar lagi.
Matanya menatap keluar pagar Istana. Tak sabar ra-
sanya dia menunggu kemunculan sang permaisuri
atau setidak-tidaknya berita secepatnya mengenai
keadaan istrinya Pujayanti. Agak menyesal dia membe-ri izin pada sang
permaisurinya untuk mengunjungi
kedua orang tuanya di Telo Sari. Padahal dia dapat mengutus orang agar besannya
itu datang saja ke Istana.
Tapi dia juga menyesali dirinya karena selalu me-
nunda-nunda keinginan sang permaisuri untuk mem-
buatkan sebuah gedung di dekat Istana, untuk tempat tinggal besannya. Hal itu
ditundanya karena pada
saat-saat ini dia sedang sibuk memikirkan langkah-
langkah baru demi memajukan rakyat agar kemakmu-
ran benar-benar dapat tercapai dan dirasakan oleh se-genap rakyat.
Pada saat itulah terdengar derap kaki kuda mema-
suki halaman Istana. Dua orang perwira Kerajaan me-
lompat dari punggung kuda. Lalu bergegas mengham-
piri pintu Istana. Sultan Sepuh setengah melompat
berlari menyongsong.
"Cepat katakan! Berita apa yang kalian bawa" Ba-
gaimana dengan Ndoro Ayu Pujayanti permaisuri ku"
Kemana gerangan Tumenggung Kandilaga?"
Sultan Sepuh memberondong kedua perwira kera-
jaan itu dengan pertanyaan-pertanyaan. Dengan agak gugup salah seorang segera
melapor. "Ampun Kanjeng Gusti Sultan! telah ditemukan oleh
gusti Senopati, para prajurit pengawal Ndoro Ayu Permaisuri dalam keadaan tak
bernyawa. Semua prajurit tewas termasuk Tumenggung Kandilaga!"
"Hah!" apa katamu?" sentak Sultan Sepuh terpe-
ranjat. "Lalu... lalu bagaimana dengan istriku?"
"Tandu dalam keadaan kosong. Tak dijumpai tanda-
tanda adanya jenazah Gusti Ndoro Ayu Permaisuri.
Saat ini Gusti Senopati dan para prajurit tengah mela-caknya."
Pucatlah seketika wajah Sultan Sepuh.
"Tumenggung Kandilaga dan para prajuritnya te-
was" Tandu kosong" Dan istriku... istriku lenyap" Oh, Tuhan..." Kalau tak cepat
dua perwira itu menahan
tubuhnya, tentu Sultan Sepuh sudah jatuh menggelo-
so karena begitu terkejutnya mendengar berita itu.
Mapatih Kuncoro muncul. Dia segera memburu ke
arah Sultan Sepuh.
"Tenang Kanjeng Gusti Sultan! Hamba telah mengi-
rim sepasukan prajurit untuk membantu mencari jejak gusti Ayu Permaisuri..."
hiburnya. Kemudian mema-pahnya menuju ruangan dalam istana. Beberapa em-
ban segera menyongsong untuk bantu memayang.
Keadaan di dalam istana jadi sibuk. Para emban itu memapah Sultan Sepuh ke dalam
kamarnya... Sementara itu Senopati Bayurana dan prajuritnya
terus melakukan pencarian. Melacak sekitar hutan untuk mencari jejak sang
Permaisuri. Ketika muncul pasukan yang dibawa oleh Tumenggung Suromangun
atas perintah Mapatih Kuncoro, keadaan sekitar wi-
layah hutan itu semakin ramai. Puluhan obor yang telah dipasang membuat cuaca
berubah menjadi terang
benderang. Akan tetapi pelacakan mereka sia-sia. Tak ada tan-
da-tanda atau ditemukannya mayat permaisuri Sultan Sepuh. Senopati Bayurana
segera memerintahkan untuk segera menghentikan pencarian itu.
"Cukuplah para tamtama! Pencarian akan dite-
ruskan besok pagi!" teriak Senopati tua ini. Para praju-ritpun segera
menghentikan pelacakan itu.
"Semua berkumpul! Dan bersiap-siap untuk kemba-
li ke Istana!" teriak Senopati memberi aba-aba. Tumenggung Suromangun turut
berteriak-teriak meni-
tahkan untuk segera menghentikan pekerjaan mereka.
Tak lama rombongan para prajurit Kerajaan itu se-
gera berbaris dan meninggalkan tempat itu...
*** SEPULUH "Paman Joko....! kau tunggulah aku disini. Aku
hanya akan mengambil sesuatu di tempat Kediaman-
ku. Setelah itu kita segera berangkat ke utara..."
Ayu Rumpi memeluk kekasihnya Joko Sangit alias
si Pendekar Lengan Tunggal dengan penuh perasaan.
Pagi itu begitu cerah. Matahari bersinar terang tanpa segumpal awanpun yang
menghalangi. "Dan, kita tak akan berpisah lagi..." sambung Joko Sangit.
"Sungguhkah kata-katamu, paman Joko Sangit...?"
Laki-laki berlengan tunggal itu mengangguk. "Aku
telah mendapatkan seorang gadis cantik yang telah membangkitkan gairah hidupku,
mengapa aku harus
membohongimu, adik manis?" Tak ada kebahagiaan
yang begitu besar dirasakan seorang gadis bila dipuji dirinya cantik. Ayu Rumpi
mendekap laki-laki itu kuat-kuat serasa tak akan dilepaskan lagi.
"Oh, paman Joko..." desisnya penuh kebahagiaan.
Dewa Linglung 12 Raksasa Gunung Bromo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun segera Ayu Rumpi melepaskan pelukannya.
"Nah, paman Joko. Tunggulah disini. Sebentar aku
akan kembali lagi..." Selesai berkata, Ayu Rumpi balikkan tubuh dan berkelebat
pergi dari tempat itu dengan gerakan cepat.
Joko Sangit menatap bayangan sosok tubuh gadis
itu hingga lenyap.
Terdengar laki-laki ini menghela napas, seraya
menggumam. "Haih! Dunia memang aneh. Sesuatu yang diha-
rapkan terkadang tak menjadi kenyataan. Akan tetapi apa yang tak diharapkan
justru terjadi..."
Alangkah terkejutnya Ayu Rumpi ketika memasuki
halaman pondok tempat kediamannya mendapatkan
enam sosok tubuh anak buahnya telah berkaparan
menjadi mayat. Niatnya kembali kemari adalah untuk mengambil sebuah kotak kecil
berisi perhiasan yang akan di bawahnya. Sekalian membubarkan anak
buahnya karena dia akan pergi jauh tak kembali lagi.
Akan tetapi keenam laki-laki anak buahnya itu telah tewas.
"Oh, siapakah yang melakukan perbuatan ini?" sen-
taknya terkejut. Ketika memeriksa ke dalam pondok, Ayu Rumpi mendapatkan sesosok
tubuh wanita muda
tergolek di pembaringan dalam keadaan menangis tan-pa mengeluarkan suara. Wanita
muda itu mengenakan
pakaian keraton.
"Siapakah kau?" tanya Ayu Rumpi seraya melompat
menghampiri. Akan tetapi wanita itu tak mampu bica-ra, selain matanya saja yang
membelalak penuh air
mata. Tahulah Ayu Rumpi kalau wanita muda itu da-
lam keadaan tertotok.
Tak berlaku ayal segera Ayu Rumpi membebaskan
wanita muda itu dari pengaruh totokan. Melihat di-
rinya terbebas, wanita muda itu merangkul Ayu Rumpi dengan terisak-isak
menangis. Sebagai seorang wanita yang juga mempunyai perasaan yang sama, mau tak
mau tersentuh juga hati Ayu Rumpi.
Dia balas memeluk wanita itu dan menghiburnya
dengan kata-kata ramah.
"Sudahlah, kau sudah selamat. Hentikan tangismu,
kakak...! Ceritakanlah apa yang telah terjadi dan siapa yang membawamu ke tempat
ini" Dan kau ini siapakah?" tanya Ayu Rumpi ketika tangis wanita muda itu agak
mereda. "Terima kasih sebelumnya atas pertolonganmu,
adik...! Sesuatu telah terjadi dan menimpa diriku..."
berkata wanita muda itu, kemudian segera menutur-
kan peristiwa yang dialaminya.
"Jadi kau... kau gusti Kanjeng Permaisuri Sultan
Sepuh?" sentak Ayu Rumpi terperanjat. Seketika wa-
jahnya berubah pucat. Wanita muda itu mengangguk.
Wajah Ayu Rumpi sebentar merah sebentar pucat. Ha-
tinya tergetar dengan lutut terasa dilolosi tulang-tulangnya. "Orang bertopeng
itu pasti PANDALA! Pas-ti!" sentaknya dalam hati. "Dia telah memulai pembe-
rontakannya. Oh, apa yang harus kulakukan" Semua
ini karena diriku! Akulah yang menghembuskan asap
pemberontakan padanya! Tapi aku cuma berniat mem-
permain dia dengan persyaratan itu! Aku memben-
cinya! Aku dendam padanya. Karena dia telah mereng-
gut kesucian ku..."
Ayu Rumpi merasakan kepalanya menjadi berat.
Dia melangkah terhuyung ke tepi jendela. Jantungnya serasa berhenti berdenyut.
Dia sungguh tak menyangka kalau Pandala benar-benar membuktikan ucapan-
nya seperti yang di ucapkan di puncak Gunung Bromo.
"Tidak! aku sungguh-sungguh tak mengharapkan
hal itu. Bahkan aku mengira dia tak akan punya keberanian. Mungkin juga dia akan
tewas terlebih dulu sebelum hal yang memang tak kuharapkan itu terlaksa-
na! Bahkan... AKU sendiri yang akan membunuhnya!"
*** SEBELAS Tiba-tiba Ayu Rumpi balikkan tubuhnya dan mena-
tap pada sang Permaisuri Sultan Sepuh. Wajahnya
semakin pucat. Nafasnya tersengal-sengal. Tiba-tiba Ayu Rumpi jatuhkan dirinya
untuk berlutut di hadapan wanita itu seraya berkata dengan suara terisak.
"Gusti Permaisuri...oh, maafkanlah hamba yang tak
mengetahui dengan siapa hamba berhadapan. Dan
hamba telah berbuat lancang di hadapan Gusti Per-
maisuri..." Melihat Ayu Rumpi berlutut dihadapannya, cepat-cepat wanita muda
permaisuri Sultan Sepuh
membangunkan. "Sudahlah, adik. Jangan terlalu banyak peradatan.
Aku sangat berterima kasih atas pertolonganmu...!"
ujar Dewi Wijayanti.
Pada saat itulah terdengar suara ringkik kuda di-
iringi derap kaki-kaki kuda mendatangi ke arah pondok. Hati Ayu Rumpi tersentak.
Dia telah melompat
berdiri. Sekejap saja dia telah mengetahui siapa yang
datang. "Pandala!" sentaknya dalam hati. Ayu Rumpi tiba-
tiba telah melompat keluar dari pondok pesanggrahan itu. Si penunggang kuda
putih itu ternyata si laki-laki bertopeng. Tapi Ayu Rumpi telah mengetahui kalau
orang itu adalah Pandala. Kemunculan Ayu Rumpi
agak membuat Pandala terkejut. Kalau saja tak men-
genakan topeng akan terlihat parasnya yang berubah.
"Perempuan keparat! Pucuk di cinta ulam tiba!"
bentak Pandala. "Bagus! Aku memang menginginkan
kemunculanmu. Karena saat ini juga aku segera akan mengirim nyawamu ke Neraka!"
"Membunuhku?" Ayu Rumpi kerenyitkan kening-
nya. "Hm, apakah aku tak salah dengar?" tanya Ayu
Rumpi. "Ya! Karena aku sudah tak memerlukan kau lagi!
Aku telah mendapatkan seorang perempuan pengganti
mu yang akan kujadikan istriku!"
"Hm, kau akan membawa kabur Gusti Permaisuri
Sultan Sepuh?"
"Tepat katamu! Aku telah terlanjur jadi buronan Kerajaan! Semua ini karena gara-
gara ulah mu dengan
persyaratan gila itu!" menyahut Pandala dengan suara dingin.
"Persyaratan gila?" tukas Ayu Rumpi. "Hihihi... kita memang orang-orang gila,
Pandala! Karena hawa naf-sumu yang gila itu hingga aku harus menyerahkan
kesucian ku padamu! Karena kegilaan mu itu aku ter-
paksa harus menikah dengan seorang yang tak kucin-
tai! Tahukah kau Pandala" Aku telah mencintai seseorang yang tak dapat
kusebutkan namanya. Dan aku
telah bersumpah untuk mencarinya setelah aku turun gunung. Kesucian ku hanya
akan kuberikan padanya!"
Berkata Ayu Rumpi dengan tersenyum pahit. Lalu
sambungnya. "Tapi karena nafsu gilamu, aku telah ternoda! Mus-
nah sudah harapanku! Semua itulah yang menyebab-
kan aku mengajukan persyaratan gila, dan aku me-
mang akan membuatmu gila karena kau berkeyakinan
kau tak akan berhasil memenuhi keinginanku yang se-sungguhnya tak kuharapkan.
Karena aku mengha-
rapkan kematianmu sebagai penebus kegilaan mu!"
Sampai disini Ayu Rumpi menghentikan kata-katanya.
Dia menghela napas sejenak. Lalu sambungnya, kare-
na melihat Pandala cuma terpaku mematung seperti
tak mampu menggerakkan bibirnya.
"Sebenarnya aku mau menyudahi urusan dendam
itu! Lebih dari dua tahun kita hidup secara terpisah.
Hal itu sudah cukup untuk membebaskan aku dari
ikatan suami-istri. Bahkan aku telah cukup terhibur karena aku telah menemukan
orang yang kucintai.
Aku telah cukup merasa berbahagia dan melupakan
dendam ku padamu! Tapi sayang....! aku tak dapat
berdiam diri dengan apa yang akan kau lakukan! Aku harus melindungi Gusti
Permaisuri dari keinginan gilamu!"
Selesai berkata Ayu Rumpi gerakkan lengannya
mencabut senjata pedang pendek yang terselip di pinggangnya. "Dan terpaksa aku
harus mempertahankan
nyawaku karena kau mau membunuhku!" sambung
Ayu Rumpi dengan senyum sinis. Pandala tertawa ta-
war. Lalu melompat turun dari punggung kuda.
"Siapakah orang yang kau cintai itu, Ayu...?" tanya Pandala dengan suara dingin.
"Tak perlu kau mengetahui! Dia kini tengah me-
nungguku. Karena aku segera akan pergi jauh ke uta-ra!" Tampaknya Pandala belum
membuat reaksi untuk
segera bertarung. Dia menghela napas seperti mengha-
lau sesuatu yang mengganjal didadanya. Matanya me-
natap tajam Ayu Rumpi. Kemudian menengadah me-
natap langit, dan berkata datar.
"Pergilah kau temui kekasihmu itu, Ayu...! Pergilah!
Capailah kebahagiaan yang telah kau dapatkan itu!
Aku tak akan membunuhmu..." ujarnya pelahan.
Terhenyak Ayu Rumpi. Tapi segera dia menyambar-
nya dengan kata-kata tajam. "Hem, kau menyuruh aku pergi agar tak ada yang
menghalangimu membawa kabur Gusti Permaisuri, bukan" Heh! jangan harap niat-mu
akan terlaksana!"
"Aku akan mengembalikannya ke Istana!" sahut
Pandala lirih. Kata-kata Pandala cukup membuat Ayu Rumpi tertegun. Tapi gadis
ini segera membentak.
"Aku tak percaya kata-katamu Pandala! Jangan co-
ba-coba kau mengelabui ku."
"Kau harus percaya!" teriak Pandala menegur. Tiba-
tiba lengan Pandala bergerak mendorong ke depan.
Angin keras bersyiur membuat tubuh Ayu Rumpi ter-
huyung. Di detik itu juga Pandala telah berkelebat melompat ke arah pintu
pondok. Akan tetapi terjadilah sesuatu yang tak terduga, karena tiba-tiba tubuh Pandala
terlempar bergulingan diiringi teriakan menyayat hati.
Membelalak mata Ayu Rumpi melihat sesosok tu-
buh melompat keluar dari dalam pondok pesanggra-
han memburu ke arah Pandala yang terguling-guling di tanah.
Siapa adanya orang itu tiada lain dari Kebo Gawuk.
TAMAT Scan by Clickers
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Document Outline
SATU *** *** DUA TIGA *** EMPAT LIMA *** ENAM *** TUJUH DELAPAN *** SEMBILAN *** SEPULUH *** SEBELAS TAMAT Medali Wasiat 5 Sepasang Golok Mustika Karya Chin Yung Matahari Esok Pagi 7