Pencarian

Iblis Seruling Maut 1

Dewa Linglung 13 Iblis Seruling Maut Bagian 1


Dia datang Sebagai seorang pendekar.
Dia aneh & bertindak seperti orang linglung
Para ksatria menyebut dia
Si DEWA LINGLUNG
Pendekar sakti yang
Digembleng 'lima' tokoh aneh
1 BUKIT CADAS SILUMAN siang itu tampak len-
gang... Hutan rimba di sekitar bukit itupun diam
membisu. Pantulan cahaya Matahari memercikkan ca-
haya kemilau dari permukaan sungai yang mengalir di
bawah bukit itu. Seekor elang melintas di atas bukit itu. Mendadak terdengar
suara mengiyak dari elang itu ketika sebuah batu kecil meluncur dari bawah dan
tepat menghantam elang tersebut.
"Kena!" terdengar suara teriakan di sebelah bawah. Seorang bocah laki-laki
tanggung berpakaian
warna abu-abu memburu ke arah elang yang jatuh itu
untuk memungutnya. Wajah bocah tanggung ini me-
nampakkan kegembiraan karena lemparannya berhasil
mengenai sasaran dengan tepat.
Seorang kakek kurus berkulit hitam mengena-
kan jubah lusuh berwarna hitam yang sejak tadi du-
duk di atas batu dipanas terik itu melompat turun dari atas batu yang
didudukinya. Matanya tajam seperti
elang mengawasi bocah laki-laki itu seraya mengham-
piri si kakek dengan perasaan bangga. Dia menyangka
kakek itu akan memujinya. Tapi sikap si kakek mem-
buat dia jadi melongo. Karena tanpa memandang sedi-
kitpun ke arahnya. Bahkan bibir kakek ini mencibir,
seraya berkata.
"Ilmu melempar batu mu masih jauh dari sem-
purna, anak jelek! kau masih perlu banyak belajar!"
Tentu saja dia jadi melengak heran. Hampir se-
bulan dia mempelajari cara melempar batu, tapi sete-
lah dia berhasil ternyata masih dibilang belum sem-
purna. "Kalau begitu aku tak mau belajar melempar batu lagi! Percuma saja!
Sampai kapan guru mengatakan aku sempurna" Dan sampai kapan aku harus te-
rus melempar batu?" gerutu si bocah dengan wajah cemberut.
Mendengar kata-kata si bocah, kakek ini jadi
tertawa tergelak-gelak.
"Hahahahaha.. anak jelek! mengapa adat mu
sejelek itu" Kau ini jelek, juga bodoh alias tolol!" berkata si kakek diantara
derai tawanya. "Kalau aku jelek, bodoh dan tolol mengapa kau
mengambil aku sebagai murid?" berkata bocah ini dengan wajah masih memberengut.
Si kakek jadi berhenti tertawa. Wajahnya beru-
bah seketika. Matanya membeliak menatap tajam bo-
cah itu. "Bocah keparat! kalau saja aku tak memikirkan bahwa kau adalah orang
yang kelak dapat mewu-
judkan cita-citaku, siang-siang aku telah membunuh
mampus dirimu!" berkata dalam hati si kakek. Akan tetapi mulutnya berkata. "Anak
jelek! karena kebodohan dan ketololan mu itulah aku mengangkatmu men-
jadi murid!"
Si bocah laki-laki itu jadi melengak.
"Guru benar-benar aneh!" ujarnya. "Apa yang kau harapkan dari seorang murid yang
tolol" Sampai
seratus tahun pun aku belajar padamu tetap saja aku
bodoh! kalau begitu buat apa kau berpayah-payah
mengajari aku dengan bermacam-macam ilmu?"
Si kakek jadi garuk-garuk kepalanya yang tidak
gatal. "Cerdik juga kau!" katanya dalam hati. Diam-diam dia menyenangi watak
anak itu yang beradat ke-
ras. Justru kekerasan dan keberanian demikian yang
dia harapkan. Disamping berani mengucapkan kata-
kata tanpa takut dimarahi atau diberi hukuman, juga
watak bocah itu polos dan jujur serta berani menyangkal bila tak sependapat
dengan kata hatinya.
"Kau benar, anak jelek! tapi bukan bodoh dan
tolol seperti yang kau maksudkan. Ketahuilah! Ilmu itu sedalam lautan. Di atas
langit masih ada langit! Aku mengatakan ilmu lemparanmu belum sempurna ka-
rena masih ada ilmu yang lebih tinggi dari cara me-
lempar batu seperti yang berhasil kau lakukan!"
"Kau lihatlah!" kata si kakek. Tiba-tiba dia membungkuk untuk menjumput sebutir
batu. Saat itu memang ada dua ekor burung melayang di udara. Si
kakek meremas batu itu, dan secepat kilat tanpa me-
noleh ke atas, jari lengannya menjentik. Pecahan batu itu meluncur deras dan
menghantam kedua ekor burung itu. Dan tepat mengenai sasarannya dengan te-
lak. Kedua ekor burung itu melayang jatuh ke ba-
wah. Bocah itu jadi terperangah. Bagaimana si kakek dapat melempar batu tanpa
melihat sasaran" pikirnya
Apakah gurunya mempunyai empat mata"
"Hebat!" pujinya tak sadar. Dengan mata membelalak dia menatap si kakek dengan
terkagum- kagum. Yang di tatap tertawa tergelak-gelak.
"Hehehehehe... kau akan dapat melakukan se-
perti itu bila kau rajin belajar!"
"Betulkah, guru?"
"Ya! bukan hanya itu, kaupun dapat memiliki
ilmu-ilmu lainnya yang lebih hebat lagi!" sahut si kakek dengan tersenyum. Tapi
sepasang matanya me-
nyambar tajam menatap bocah laki-laki itu seperti
mau menelannya bulat-bulat.
Diam-diam dia berkata dalam hati. "Kau mem-
punyai tulang yang baik dan bakat yang hebat.
Sayang, aku terpaksa harus mempergunakanmu un-
tuk membunuh kedua orang tuamu sendiri!"
"Cukuplah untuk hari ini, anak jelek! Kau boleh memanggang burung elangmu..!"
ujarnya. Lalu berkelebat lenyap dari hadapan si bocah laki-laki.
"Terima kasih guru!" teriak si bocah dengan girang. "Ah, kapankah aku memiliki
ilmu sehebat guru?"
berkata si bocah dalam hati memandang ke arah le-
nyapnya bayangan kakek itu dengan kagum.
Akan tetapi sebentar kemudian dia segera me-
lompat dan berlari-lari ke arah sebuah pondok kecil di-celah tebing.
Di depan pondok itu dia mencabuti bulu elang.
Setelah selesai segera mengambil kayu bakar dari
samping pondok. Tak lama kemudian dia telah me-
manggang nasi perolehannya disamping pondok.
Siapakah adanya bocah laki-laki itu" Dia ber-
nama Guci Manik. Sejak berusia lima tahun telah ber-
diam dipuncak bukit Cadas Siluman bersama si kakek.
Tak ada seorangpun yang mengetahui bahwa sesung-
guhnya bocah itu adalah seorang putera mahkota Ke-
rajaan yang diculik.
Siapa adanya kakek berkulit hitam berwajah
kaku dan bermata elang itu" Tiada lain dari seorang
laki-laki bekas abdi Kerajaan, Dia bernama BEO
ANINGKAL Beo Aningkal dipecat dari jabatan Adipati kare-
na dituduh melakukan perbuatan tercela yang meru-
sak kewibawaan Kerajaan Purwacarita. Rasa sakit hati dan dendam yang terpendam
didada Beo Aningkal
membuahkan rencana keji untuk membalas sakit hati
itu. Bukan saja pada Patih PANJI RANA akan tetapi ju-ga pada semua orang
kerajaan. Termasuk baginda Ra-
ja Citrasoma. Karena pemecatan itu langsung dari Pra-bu Citrasoma setelah
mendengar pengaduan Patih
Panji Rana. Kegemparan terjadi di istana, ketika putera
mahkota GUCI MANIK lenyap! Permaisuri Banowati
menangis tak berkeputusan karena kehilangan putera
yang disayangnya, yang kelak bakal dicalonkan men-
jadi pengganti ayahnya. Prabu Citrasoma panik dan
memerintahkan Patih Panji Rana untuk mencarinya.
Seluruh prajurit dikerahkan untuk mencari dimana
adanya sang putera mahkota yang kemungkinan di-
culik orang. Akan tetapi sampai berminggu-minggu,
bahkan berbulan-bulan tak membawa hasil. Guci Ma-
nik lenyap bagai ditelan bumi! Hilang tanpa krana..!
Permaisuri jatuh sakit sampai beberapa bulan
lamanya. Sang Prabu Citrasoma tak dapat berbuat
apa-apa selain menghibur istrinya. Demikianlah, Guci Manik tetap tak ada khabar
beritanya. Entah mati entah masih hidup. Prabu Citrasoma sudah menganggap
puteranya tak ada lagi di dunia. Untunglah sang per-
maisuri setahun kemudian hamil lagi. Kelahiran pute-
ra mereka yang ternyata seorang bayi perempuan agak
menghibur hati Dewi Banowati. Walaupun adanya ke-
melut dalam istana mengenai lenyapnya putera mah-
kota, namun Prabu Citrasoma tetap memerintah kera-
jaan Purwa Carita dengan penuh tanggung jawab.
2 Waktu berlalu demikian pesat. Seperti anak
panah yang melesat dari busurnya. Beberapa tahun
berlalu sudah. Pagi baru saja menjelma. Matahari me-
nyorotkan sinarnya menerangi alam mayapada. Cuaca
cerah tak berawan. Pada saat itulah dari arah hutan
muncul seorang laki-laki muda berkulit hitam. Berpa-
kaian aneh, yaitu terbuat dari kulit harimau berbentuk rompi. Bercelana pangsi
hitam. Pada ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit ular, terselip seruling
dari bambu hitam.
Siapa adanya, pemuda ini tiada lain dari Guci
Manik yang telah menjadi seorang pemuda dewasa.
Guci Manik memang telah diperbolehkan turun gu-
nung, dengan membawa tugas berat dari gurunya. Gu-
ci Manik telah berubah menjadi seorang pemuda ga-
gah. Walaupun berkulit hitam, tapi ketampanan wa-
jahnya nampak jelas. Hidungnya mancung. Tubuhnya
tegap dan kekar. Rambutnya gondrong sebatas bahu.
Dan memiliki sepasang mata yang tajam bagaikan ma-
ta seekor elang jantan.
"Hari ini adalah hari pertama aku turun gu-
nung!" menggumam Guci Manik. "Aku tak diperkenan-kan guru menggunakan namaku,
entah apa sebabnya"
Tapi gelar Iblis Seruling Maut pemberian guru cukup
bagus! Aneh!" Nama guru aku juga tak mengetahui,
kecuali gelar Hantu Elang Hitam. Tapi guru melarang
mengatakan pada sembarang orang..."
Setelah tercenung sejenak, Guci Manik berkele-
bat cepat meninggalkan hutan itu. Segerombolan bu-
rung terbang ketakutan karena terkejut. Dalam bebe-
rapa kejap saja bayangan tubuh Guci Manik pun le-
nyap dari tempat itu....
Siang itu dua ekor kuda berlari cepat mengitari
sisi hutan menuju arah timur. Penunggangnya adalah
dua orang laki-laki dan wanita. Yang satu ternyata
seorang pemuda berpakaian perwira kerajaan. Se-
dangkan yang satu lagi tak lain dari seorang gadis cantik berpakaian sutera
merah. Rambutnya dikepang
dua dengan pita berwarna kuning.
Gadis cantik berbaju merah ini ternyata mahir
mengendarai kuda. Bahkan memiliki keberanian yang
mengagumkan. Bagi seorang gadis biasa tentu tak be-
rani melarikan kuda begitu cepat. Apalagi jalan-jalan yang dilalui penuh akar
dan batu. Perwira muda yang
dibelakangnya cuma geleng-gelengkan kepala melihat
keberanian si gadis. Walaupun kagum akan tetapi dia
khawatir terjadi hal yang tak diinginkan. Dia agak tertinggal jauh, karena tak
membedal kuda begitu cepat.
"Aku harus menyusulnya! Haih! gusti puteri
Retno Sekar terlalu gegabah. Agaknya dia mau menun-
jukkan kepandaian menunggang kuda dihadapanku..."
pikir pemuda ini. Dia bernama Gaman Seto, seorang
kepala prajurit Kadipaten. Serentak dia membedal ku-
da untuk menyusul gadis itu.
Kekhawatirannya benar-benar menjadi kenya-
taan. Tiba-tiba dilihatnya si gadis menjerit kaget. Kuda yang ditungganginya
terjungkal. Dan tampak tubuh
gadis itu terlempar dari punggung kuda.
"Celaka!" sentak Gaman Seto dengan terperanjat. Kuda tunggangannya dilarikan
cepat untuk mem-
buru ke arah gadis itu dengan wajah berubah pucat.
Agaknya tubuh Retno Sekar akan terbanting ke
tanah dengan kejadian itu. Bila hal itu terjadi dan si gadis tak dapat
menyelamatkan diri, tentu lengan atau kakinya akan cidera. Akan tetapi detik itu
sebuah bayangan berkelebat menyangga tubuh gadis itu...
Ketika Gaman Seto tiba ditempat kejadian, se-
pasang mata pemuda perwira Kerajaan ini jadi mem-
belalak lebar. Tubuh Retno Sekar tampak berada da-
lam pondongan seorang laki-laki berkulit hitam. Ba-
junya terbuat dari kulit harimau. Siapa adanya laki-
laki itu tiada lain dari Guci Manik.
"Hm, kau terlalu ceroboh membiarkan gadis ini
menunggang kuda di jalan yang berbahaya! Untunglah
aku berhasil menyelamatkannya..!" berkata Guci Manik dengan kerutkan kening
menatap Gaman Seto.
Perwira muda ini melompat dari punggung ku-
da. Lalu menjura pada pemuda ini. "Terima kasih atas pertolonganmu, sobat.
Aku... aku telah berusaha mengejar untuk mencegahnya, namun terlambat!" kata
Gaman Seto. Diam-diam dia memperhatikan orang di
hadapannya. "Siapakah pemuda berkulit hitam ini"
kalau tak memiliki kepandaian tinggi, tak mungkin dia dapat menyangga tubuh
Retno Sekar. Apalagi kejadian
itu tak terduga..."
Gaman Seto memperhatikan ke arah jalan yang
dilalui kuda Retno Sekar. Dan tempat bekas tergelin-
cirnya kuda tunggangan gadis itu. Akan tetapi tak dilihatnya ada akar atau batu
yang menghalangi jalan.
"Kudanya tergelincir ketika melintas dijalan
ini!" kata Guci Manik. "Jalan disini memang agak licin oleh lumut!"
Gaman Seto manggut-manggut tanpa memper-
hatikan apakah memang jalanan itu berlumut atau ti-
dak. Lalu melangkah menghampiri Guci Manik. Diam-
diam hatinya agak mendongkol pada pemuda hitam
itu, karena tak menurunkan Retno Sekar dari pondon-
gannya. "Dia masih tak sadarkan diri, mungkin terkejut dengan kejadian barusan.


Dewa Linglung 13 Iblis Seruling Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biarlah aku menyadar-
kannya!" kata Guci Manik. "Disana ada sebuah sungai kecil. Dengan membasahi
wajahnya dengan air, dia
tentu akan cepat siuman."
Melengak Gaman Seto. Sebelum sempat dia
menyahut, pemuda itu telah membawanya melompat
dari situ. "Hei! tunggu!" teriak Gaman Seto terkejut. "Sikap pemuda itu sungguh aneh dan
amat mencuriga-
kan. Jangan-jangan dia bermaksud tidak baik dengan
gusti putri..." sentak pemuda perwira ini dalam hati.
Dengan khawatir dia melompat untuk mengiku-
ti pemuda itu. Benar, seperti yang dikatakan pemuda
berkulit hitam itu. Tak berapa jauh dari situ terdapat sebuah sungai kecil yang
berair jernih. Dengan gerakannya yang sebat, sebentar saja
Guci Manik telah tiba ditepi sungai. "Tenanglah! aku akan membuat dia siuman
lagi!" berkata Guci Manik melihat si perwira muda menyusulnya.
Guci Manik segera membaringkan tubuh Retno
Sekar direrumputan. Lalu membungkuk untuk me-
nyendok air dengan sebelah lengannya. Sementara
Gaman Seto terpaku memandang Retno Sekar. Tak ta-
hu apa yang akan diperbuatnya. Pada saat itulah tiba-tiba Gaman Seto memekik
keras ketika percikan air
menyemprot wajahnya. Semprotan air itu adalah ulah
perbuatan Guci Manik. Di saat Gaman Seto mengaduh
dengan terhuyung-huyung mengucak-ucak matanya
yang perih bukan main. Pada detik itulah Guci Manik
dengan sebat memondong tubuh Retno Sekar. Dan me-
larikan dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Gaman Seto marahnya bukan alang-kepalang.
Begitu berhasil membuka mata dia jadi terperangah
kaget, karena baik pemuda itu maupun Retno Sekar,
kedua-duanya telah lenyap. "Hah!" apa yang terjadi?"
sentaknya terkejut. "Keparat! aku telah terpedaya!" Pu-catlah seketika wajah
Gaman Seto. Dia melompat ke-
sana kemari dengan berteriak-teriak. "Penculik jaha-nam! pengecut licik!
keluarlah kau dari tempat per-
sembunyianmu! Mari hadapi aku secara kesatria!"
Dengan kalap Gaman Seto melompat kesana
kemari mencari jejak pemuda berbaju kulit harimau
itu. Namun Gaman Seto tak berhasil menjumpainya.
Pada saat itulah terdengar ringkik kuda. Ga-
man Seto tersentak kaget. Dia sangat hapal dengan
suara kudanya. Bagai disengat kala dia berkelebat melompat dan berlari cepat
dengan bergegas untuk
meme-riksa dimana kudanya ditinggalkan. Terlambat!
Derap kaki kuda telah terdengar menjauh! Ketika dia
tiba dijalan itu yang tampak cuma punggung pemuda
itu yang telah membedal kuda dengan cepat dengan
memondong gadis itu.
"Keparat!" maki Gaman Seto dengan menggigit gerahamnya. "Aku tak boleh
membiarkan dia kabur.
Keselamatan gusti puteri berada ditanganku!" berkata dalam hati Gaman Seto.
Detik itu juga dengan mem-
bentak keras dia telah mengejar si penculik itu.
Napas Gaman Seto tersengal-sengal. Perwira
muda ini merasakan napas hampir putus. Akan tetapi
mana mampu dia mengejar seekor kuda yang mem-
bedal lari dengan cepat" Sebentar saja dia sudah jauh tertinggal di belakang.
3 GUCI MANIK membedal kuda dengan cepat.
Sementara benaknya mengatur rencana terkutuk.
"Haha.. gadis secantik ini sukar didapat. Hari ini aku sungguh beruntung
mendapatkannya. Aku tak boleh
melewatkan kesempatan baik ini begitu saja.."
Entah berapa lama Retno Sekar tak sadarkan
diri setelah mengalami kejadian itu. Ketika dia mulai sadarkan diri, terkejutlah
dia karena kaki tangannya se-rasa lumpuh tak dapat digerakkan. Semakin terkejut
dia ketika melihat dirinya berada di dalam sebuah pondok. Dan tubuhnya terbaring
di atas balai-balai
bambu. Guci Manik segera menyembunyikan kuda
rampasannya ke belakang pondok, setelah memba-
ringkan tubuh gadis yang diculiknya dibalai-balai
bambu dalam ruangan pondok itu. Dia tak mengetahui
adanya sesosok bayangan yang menyelinap masuk ke
pintu pondok. Sosok tubuh ini mendekati Retno Sekar.
Membelalak mata Retno Sekar melihat sesosok tubuh
tahu-tahu muncul di hadapannya. Sebelum dia sempat
berteriak, laki-laki yang menutup wajahnya sebatas
hidung dengan secarik kain itu telah ulurkan lengan-
nya menekap mulutnya, dan menotok urat suaranya.
Kejap berikutnya dia telah berada dalam pondongan
laki-laki itu. Brak! Sekali hantam daun pintu pondok itu hancur
berkepingan. Laki-laki ini berkelebat melompat keluar pondok.
Saat itu Guci Manik baru saja selesai menyem-
bunyikan kuda. Bukan main terperanjatnya dia mendengar su-
ara bergedubrakan dan melihat serpihan daun pintu
bertebaran keluar pondok. Ketika melihat seseorang
berkelebat keluar dan jelas terlihat memondong seso-
sok tubuh, Guci Manik terlonjak kaget.
"Bangsat! siapa kau?"
Bentakan itu disusul dengan gerakan melompat
mengejar orang itu. Akan tetapi serangkum angin ke-
ras menyambar ke arahnya membuat dia melompat
menghindar. Saat itu dipergunakan orang itu untuk
berkelebat cepat angkat kaki dari tempat itu. Gerakannya ringan sekali walaupun
gadis itu berada dalam
pondongannya. Guci Manik tertegun seperti kena sihir dalam
terperangahnya karena kagum akan kegesitan orang
itu. Dia baru tersadar ketika sosok tubuh yang mem-
bawa gadis yang diculiknya itu telah lenyap.
"Setan! jangan lari bangsat!" Guci Manik berkelebat mengejar. Akan tetapi dia
telah kehilangan. Entah kemana berkelebatnya orang itu. Dengan muka
merah, Guci Manik memaki-maki.
Entah beberapa saat sudah berlalu. Laki-laki
bercadar itu tiba-tiba menghentikan larinya. Lalu
membaringkan tubuh gadis itu ditanah. Retno Sekar
menatap dengan pandangan takut dan cemas. Dia
mau berteriak, tapi suaranya tersangkut ditenggoro-
kan. Laki-laki bercadar itu melepaskan cadar penutup wajahnya. Ternyata dia
seorang laki-laki muda yang
tiada lain dari Nanjar alias si Dewa Linglung adanya.
"Hm, tubuhmu berat sekali. Aku tak tahu ke-
mana harus menghantar mu, sebaiknya kau kube-
baskan dari pengaruh totokan..."
Selesai berkata Nanjar ulurkan lengannya un-
tuk membuka totokan ditubuh dara itu. Sekaligus
membuka totokan pada urat suaranya. Merasai tu-
buhnya telah terbebas dari pengaruh totokan, gadis ini melompat bangun.
"Kau... siapakah" mengapa kau membawaku ke
tempat ini" Kau pasti akan berbuat jahat!" teriak Retno Sekar dengan menyurut
mundur. "Haha... aku telah menolongmu dari tangan
orang jahat, mengapa kau mengatakan aku mau ber-
buat jahat?" Nanjar tertawa geli.
"Aku, aku tak mengerti! siapakah kau" Dan
siapa yang kau maksudkan orang jahat itu?" sentak si gadis dengan wajah sebentar
merah sebentar pucat.
"Namaku Nanjar. Secara kebetulan aku telah
membuntuti seorang laki-laki berbaju kulit harimau
yang tindak-tanduknya mencurigai. Ketika tiba di satu tempat tepat disisi jalan
di sebelah timur hutan, aku melihat dua orang menunggang kuda. Penunggang
yang paling depan adalah seorang gadis yang melari-
kan kuda begitu cepat. Aku sudah dapat menerka ga-
dis penunggang kuda itu bukan gadis sembarangan
dan amat mahir mengendarai kuda. Gadis penunggang
kuda itu adalah kau sendiri!
Tiba-tiba aku melihat laki-laki yang aku kuntit
itu menjumput sebutir batu. Sebelum aku sempat
mencegah, dia telah menyambit kudamu hingga jatuh
ter-sungkur dan sebelah kaki depannya patah. Kau
sendiri terlempar dari atas punggung kuda. Ternyata
laki-laki itu punya gerakan cepat untuk segera me-
nyangga tubuhmu sebelum menyentuh tanah.
Agaknya kau pingsan setelah mengalami keja-
dian mendadak itu. Namun mataku tak dapat dikela-
bui, karena aku melihat jelas dia menotokmu...!" Nanjar berhenti sejenak dalam
menuturkan kejadian itu
untuk melihat reaksi si gadis.
Akan tetapi dara ini cuma terpaku mendengar-
kan. "Ketika kawanmu datang menyusul, laki-laki itu berpura-pura akan
menyadarkan kau, tapi ternyata dia cuma berpura-pura saja?" Nanjar tuturkan
kejadian dari awal hingga akhir tanpa ada satupun yang
dilewatkan. "Demikianlah, hingga aku berhasil menolongmu dari niat jahat laki-
laki berbaju kulit harimau itu!" Nanjar mengakhiri penuturannya.
"Jadi... jadi kau bukan orang yang menculik di-
riku?" sentak di gadis dengan wajah berubah cerah.
Rasa cemasnya lenyap seketika. Dari sikap dan kata-
kata pemuda berambut gondrong bertampang kumal
tapi memiliki ketampanan dibalik kekusutan wajahnya
itu, Retno Sekar dapat mengetahui pemuda itu tidak
berdusta. "Ya, kalau kau percaya!" sahut Nanjar.
"Aku. aku percaya..!"
"Hm, sukurlah! Nah, sekarang kau ceritakanlah
siapa dirimu dan siapa pula kawanmu seperjalanmu
itu" Kemanakah sebenarnya tujuanmu?" tanya Nanjar.
"Namaku... Retno Sekar!" sahut si gadis. Kemudian gadis ini segera menceritakan
siapa adanya dia
dan menerangkan siapa pemuda kawan seperjalanan-
nya itu. Nanjar mendengarkan penuturan Retno Sekar
dengan penuh perhatian.
4 Sungguh aku tak menyangka kalau kau seo-
rang puteri Adipati!" berkata Nanjar setelah mendengarkan penuturan gadis itu.
Retno Sekar tersenyum. "Kau tak perlu cang-
gung denganku, sobat Nanjar. Panggillah aku dengan
sebutan Retno Sekar saja!" ujar gadis ini.
"Baiklah, Retno Sekar! kukira sudah saatnya
aku mengantarkan kau ke rumahmu. Aku khawatir
berjumpa lagi dengan laki-laki berbaju kulit harimau itu. Dia bukan seorang
laki-laki yang dapat dianggap remeh. Selain ilmunya tinggi, juga memiliki
bermacam kelicikan!"
Gadis ini mengangguk. "Baiklah, sebelumnya
aku mengucapkan beribu terima kasih atas kebaikan-
mu..." Nanjar cuma manggut dengan tersenyum.
"Kau tak malu berjalan bersamaku hingga
sampai ke Kota Raja?"
"Mengapa malu?" sahut Retno Sekar dengan
kerenyitkan keningnya. "Kau seorang laki-laki yang gagah dan telah berbaik hati
menolong dan mengan-
tarkan aku sampai ke Kota Raja, tentu ayahku akan
senang melihatmu!"
"Ha" tampangku begini kumal masih dibilang
gagah?" "Hihihi.. kau memang tampan dan gagah, ma-sakan aku berdusta?" Retno
Sekar ternyata seorang gadis yang lincah. Usianya baru menginjak tujuh belas
tahun. Gadis ini tertawa geli melihat sikap Nanjar yang seperti seorang dungu.
Sepasang matanya membeliak
dengan biji mata seperti orang bermata juling, ketika mendengar dirinya dipuji
tampan dan gagah.
"Kau ternyata seorang pemuda jenaka, Nanjar!
Sudahlah, hayo kita berangkat!" berkata Retno Sekar.
"Baiklah, tuan puteri..!" sahut Nanjar seraya membungkuk mempersilahkan gadis
itu untuk lewat
didepannya. "Kau.. kau memang konyol, Nanjar!" Retno Sekar tersenyum. Hatinya sangat girang
karena berkena-
lan dengan pemuda itu. Diam-diam dia bermaksud
menahan pemuda itu hingga beberapa hari di Kadipa-
ten dengan demikian dia dapat mengenai lebih dekat.
Sepanjang perjalanan menuju Kota Raja, Retno
Sekar tak banyak bicara. Tapi hatinya justru yang bicara tiada henti.
"Dia tentu seorang yang berkepandaian tinggi.
Setahuku sifat orang Rimba Persilatan selalu aneh-
aneh. Pemuda ini telah berjasa besar menyelamatkan
diriku dari bencana. Ayah tentu akan memberinya
penghargaan..."
Sesekali dia melirik pada Nanjar yang berjalan
di sebelahnya. "Kau tidak letih, Retno?" tanya Nanjar tiba-tiba.
"Aku... aku tidak letih!" sahut Retno Sekar.
Mendadak dia teringat ketika dirinya dipondong oleh
pemuda itu. Mengingat demikian wajahnya menjadi
bersemu merah. Entah mengapa diam-diam dia men-
ginginkan hal itu terulang lagi. Tapi mana dia berani mengatakan bahwa dia minta
dipondong"
"Hm, aku seorang anak Adipati. Tak boleh sem-
barangan berbuat sesuatu yang meruntuhkan marta-
batku didepan seorang laki-laki yang baru dikenal!"
berkata Retno Sekar dalam hati. Akan tetapi walaupun hatinya mengatakan
demikian, direlung hatinya yang
lebih dalam mengatakan lain. "Aneh! Ayah selalu mengatakan demikian terhadapku.
Apakah manusia harus
dibedakan dengan derajat dan kedudukan-nya" Kukira
tidak!" hati kecilnya membantah.
Apa yang tersirat dihati kecil Retno Sekar me-
mang benar. Manusia tak dapat dibedakan dari derajat dan pangkat atau
kedudukannya. Tapi manusia dibe-
dakan karena perilakunya. Seorang pembesar Kerajaan
bisa saja berbuat suatu hal yang tidak baik dan bisa menjatuhkan harkat
kemanusiaannya.
Seorang rakyat jelata bisa saja mempunyai ke-
dudukan tinggi dimata orang banyak, karena budi ke-
baikan serta jasanya.
"Kita telah tiba diperbatasan Kota Raja, Retno!


Dewa Linglung 13 Iblis Seruling Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apakah aku harus mengantarmu sampai ke Kadipa-
ten?" Pertanyaan Nanjar membuat Retno Sekar terkejut. Karena dalam perjalanan
dia banyak melamun,
hingga tak menyadari kalau telah tiba diperbatasan
Kota Raja. Pada saat itu dikejauhan terlihat seekor kuda
membedal cepat ke arah mereka. Ketika semakin men-
dekat Retno Sekar berteriak girang.
"Gaman Seto!" teriaknya. Benarlah orang berkuda itu tak lain dari Gaman Seto si
perwira muda Kerajaan yang mengawal kepergiannya ke suatu tempat.
Karena kejadian ditengah jalan sekembali dari tempat yang dituju, perwira muda
itu terpisah. Bukan main
girangnya dia melihat kemunculan pemuda pengawal-
nya itu dalam keadaan selamat.
"Gusti puteri..! Siapakah orang ini?" berkata Gaman Seto seraya melompat dari
punggung kuda. "Dialah yang telah menyelamatkan diriku, Ga-
man Seto! Hayo kau haturkan hormat padanya!" sahut Retno Sekar. Tak menunggu
diperintah dua kali, Gaman Seto segera menjura dengan membungkukkan
tubuh pada Nanjar. Nanjar membalas dengan menjura
pula. "Ah, secara kebetulan aku berada ditempat kejadian dan tak sengaja telah
menolong gusti puteri
Retno Sekar..." kata Nanjar.
"He" kau menyebutku gusti puteri?" Retno Se-
kar pelototkan mata memandang Nanjar. Nanjar jadi
garuk-garuk tengkuknya. "Aku cuma membahasakan
dirimu pada pengawalmu ini" Nanjar menjelaskan.
"Tidak! kau harus tetap menyebutku Retno Se-
kar!" Retno Sekar berkeras dengan keinginannya.
"Ya, ya! aku secara kebetulan telah menolong
Jeng Retno Sekar" Nanjar mengulangi kata-katanya dengan menatap pada Gaman Seto.
Walau sikap Gaman Seto kelihatan tak menampilkan perubahan apa-
apa, tapi dalam hati perwira muda ini berkata. "Hm, agaknya Retno Sekar telah
mendapat sahabat baru
penggantiku" Aku sangsi apakah benar dia yang telah
menolong dari tangan penculik itu!" Diam-diam dia memperhatikan Nanjar dari
ujung rambut sampai ke
kaki dengan sikap kurang yakin.
"Siapakah namamu, sobat?" tanya Gaman Seto dengan suara agak ditekan. Entah
mengapa perasaan
"cemburu" tiba-tiba menindih dadanya.
"Namaku Nanjar, atau lengkapnya Ginanjar..."
Gaman Seto manggut-manggut. Sebelum Ga-
man Seto bertanya lebih lanjut Retno Sekar telah me-
narik lengan Nanjar. "Sudahlah, Gaman Seto. Kau be-rangkatlah lebih dulu. Yang
penting aku sudah sela-
mat. Kau tak usah khawatir didamprat ayahku atau
mendapat hukuman karena ketidak becusanmu men-
gawalku! Mari Nanjar! kau harus mengantarku sampai
ke gedung Kadipaten!"
Gaman Seto tak dapat berkata apa-apa selain
mengangguk dengan wajah berubah merah karena ma-
lu dikatakan tidak becus didepan pemuda itu.
"Baiklah, gusti puteri..!" sahutnya.
Cepat Gaman Seto segera menghampiri ku-
danya dan melompat ke atas punggung kuda tunggan-
gannya. Akan tetapi baru saja dia mau membedal ku-
danya mendadak Retno Sekar berkata.
"Tunggu!"
"Ada perintah apa lagi, gusti puteri?" tanya Gaman Seto dengan menyembunyikan
kemendongkolan hatinya. "Katakan pada ayahku untuk mengadakan pe-
nyambutan pada tetamu kita ini! Katakan bahwa tak
lama lagi aku segera tiba!"
"Ba..baik, gusti puteri..!"
Seusai menyahut Gaman Seto segera membedal
kudanya dengan cepat meninggalkan perbatasan itu.
Hampir meledak rasanya dada Gaman Seto mendengar
perintah itu. Dia adalah seorang perwira Kadipaten,
akan tetapi di hadapan pemuda asing itu tak ubahnya
seperti seorang pesuruh saja.
"Tidak! aku tak akan menyampaikan perintah
itu pada Kanjeng Adipati walaupun aku harus mene-
rima hukuman sekalipun!"
Gaman Seto merasa dirinya direndahkan di ha-
dapan pemuda itu. "Tak seharusnya Retno Sekar bersikap demikian, walaupun pemuda
itu telah meno-
longnya!" desis laki-laki ini dalam hati. "Seandainya aku dapat mengejar si
manusia penculik itu, tentu na-sibku tak sesial ini!" pikir Gaman Seto. Gaman
Seto menyesali kebodohannya yang kurang waspada. Hingga dia mudah diperdayai
laki-laki berbaju kulit harimau itu. Dalam pencariannya mengejar laki-laki yang
membawa lari Retno Sekar, Gaman Seto cuma mene-
mukan kudanya di belakang sebuah pondok dalam hu-
tan. Dengan hati kalut dia segera kembali pulang un-
tuk melaporkan kejadian itu. Dia sudah pasrah untuk
menjalani hukuman apapun karena peristiwa itu
Untunglah dia menjumpai Retno Sekar dalam
keadaan selamat. Dia menarik napas lega. Akan tetapi pemuda yang dikatakan telah
menolong Retno Sekar
telah membuat dia cemburu. Sikap Retno Sekar seperti
tak memandang sebelah mata terhadap dirinya.
Memang tak dapat disembunyikan bahwa diam-
diam Gaman Seto mencintai gadis puteri Adipati Sa-
wunggana. Ketika mendapat perintah dari Adipati un-
tuk mengawal Retno Sekar ke desa Weringin Kolot,
tempat tinggal seorang guru silat yang bernama Ki
Pandoyo, dia amat girang hati.
Dengan demikian dia bisa mencurahkan pera-
saannya pada gadis itu.
Semua niatnya ternyata punah karena peristi-
wa itu. Walaupun dia dapat berlega hati dengan sela-
matnya Retno Sekar dari tangan si penculik, namun
dadanya dibakar api cemburu yang panasnya tak ter-
perikan. Dirinya tak ubahnya bagaikan seorang ma-
nusia kerdil yang tak ada harganya. Dengan wajah me-
rah padam dia melarikan kudanya bagai kesetanan.
Ketika hampir mendekati pintu penjagaan Ka-
dipaten, tiba-tiba Gaman Seto menghentikan lari kudanya. "Tidak! aku tak akan
mematuhi perintah itu!
Tak perduli apapun yang bakal terjadi!" berkata Gaman Seto dalam hatinya.
Keputusannya telah bulat
Detik itu juga Gaman Seto memutar kudanya dan
menghilang ditikungan jalan...
5 Nanjar yang tahu gelagat tidak baik melihat si-
kap Gaman Seto sang perwira muda itu dengan halus
menolak ajakan Retno Sekar untuk mengantar sampai
ke gedung Kadipaten dan menghadap ayah gadis itu.
"Lain kali kalau aku ada kesempatan tentu
akan singgah di gedung kediamanmu!" kata Nanjar.
"Tidak! kau harus mengantarku sampai ke ru-
mahku dan menemui ayahku!" Retno Sekar berkeras mengajak Nanjar untuk menghadap
ayahnya. "Terimakasih, Retno..! tapi maafkanlah aku.
Aku berjanji takkan melupakan dirimu..! Nah, sampai
bertemu lagi!" selesai berkata Nanjar segera memutar tubuh, dan melangkah lebar
meninggalkan tempat itu.
Gadis ini terpaku dengan wajah bersemu merah. Ham-
pir-hampir dia menangis karena kecewanya. Tapi tak
lama dia sadar bahwa dia tak dapat memaksa pemuda
itu. Mungkin dia malu dengan keadaan dirinya, pikir
Retno Sekar seraya mempercepat langkahnya untuk
segera tiba digedung Kadipaten.
Sementara itu Nanjar telah berada di sebelah
barat perbatasan Kota Raja. Senja hampir tiba ketika Nanjar memasuki sebuah
desa. Mendadak Nanjar menahan langkah, ketika na-
lurinya yang tajam dapat merasakan adanya seseorang
yang membuntutinya.
"Hm, siapakah orang itu" ada maksud apa
membuntutiku?" berkata Nanjar dalam hati. "Ingin ku-lihat siapa manusianya!
jangan-jangan si laki-laki berbaju kulit harimau..."
Mendadak Nanjar mengalihkan niatnya untuk
singgah ke desa itu. Langkahnya membelok ke arah ki-
ri dimana padang rumput terbentang, dan sawah ker-
ing yang belum ditanami.
Tepat diujung jalan tiba-tiba sebuah bayangan
berkelebat dan sesosok tubuh telah berdiri tegak
menghadang dijalan yang akan dilalui. Dugaan Nanjar
meleset jauh, karena orang yang menghadang itu tidak lain dari Gaman Seto si
perwira Kerajaan.
"Tahan dulu langkahmu, pendekar gagah!" berkata Gaman Seto dengan suara dingin.
Walaupun me- nyebut kata-kata "pendekar gagah", tapi Gaman Seto bermaksud menghina. Karena
jelas tampak bibirnya
mencibir dengan senyum tak sedap dipandang.
"Hoi! kiranya kau, sobat Gaman Seto" ada apa-
kah kau mencegat perjalananku?" tanya Nanjar dengan tersenyum. Diam-diam dia
memperhatikan sikap
perwira muda ini.
"Heh! kalau tak ada hal penting, tak mungkin
aku menahanmu!" sahut Gaman Seto dengan suara
angker. "Ada hal yang penting?" Nanjar kerutkan keningnya. Diam-diam dia
terkejut juga mendengar kata-
kata Gaman Seto.
"Ya! suatu hal yang penting dan ada pertalian-
nya dengan kau!"
"Hm, aku tak mengerti, sobat! sebaiknya kau
katakan saja apakah hal yang kau katakan penting itu hingga kau mencegatku?"
Gaman Seto menatap Nanjar dengan tatapan
tajam. Sinar matanya menyorotkan api kecemburuan
juga iri hati yang jelas terlihat oleh Nanjar.
"Tahukah kau orang asing, dengan siapa kau
berhadapan?" tanya Gaman Seto. Nanjar naikkan alisnya dengan heran.
"Bukankah kau bernama Gaman Seto?" sahut
Nanjar dengan tersenyum,
"Heh! kau berhadapan dengan Panglima pasu-
kan sayap kiri Rajawali Sakti, Kerajaan Purwa Carita.
Aku bertugas sementara sebagai kepala prajurit Kadi-
paten atas persetujuan Gusti Patih Panji Rana. Dan
atas permintaan Gusti Adipati Sawunggana!"
"Ooo... begitu" Jadi ada perlu apakah sebenar-
nya kau mencegat perjalananku, tuan Panglima?" tanya Nanjar tanpa menunjukkan
rasa terkejut. "Bagus! sebagai seorang panglima, aku patut
mencurigai setiap orang asing yang masuk ke wilayah
Kota Raja. Walaupun menurut Gusti puteri Retno Se-
kar, kau telah berjasa menolongnya!"
"Dengan dasar apa tuan Panglima mencurigai
diriku?" tanya Nanjar. "Gusti Puteri Retno Sekar tak sembarangan bergaul dengan
orang biasa. Apalagi
orang asing sepertimu. Akan tetapi sikapnya seperti tidak wajar! Aku curiga!
jangan-jangan kau bermaksud
tidak baik di belakang hari dengan kemunculanmu di
Kota Raja! Dan siapa tahu laki-laki berbaju kulit harimau itu adalah kawanmu
sendiri!" kata Gaman Seto dengan tegas.
Nanjar jadi membesarkan mata mendengar ka-
ta-kata Gaman Seto. Akan tetapi Nanjar sudah dapat
menduga bahwa Gaman Seto sengaja cari perkara. Da-
sarnya adalah cuma rasa cemburu karena sikapnya
Retno Sekar yang agak keterlaluan ketika berbicara
pada perwira muda ini di hadapannya.
"Hahaha... apakah aku tak salah dengar" Aku
menolong orang tanpa pamrih dan tak mengharapkan
balasan apa-apa, juga tak perduli siapa yang aku to-
long. Apakah dia seorang rakyat jelata atau anak se-
orang pembesar Kerajaan. Adalah aneh kalau kau
mencurigai aku berkomplot dengan laki-laki berbaju
kulit harimau itu..!"
"Kau boleh bicara sekehendakmu, tapi aku ter-
paksa harus menahanmu untuk sementara, demi men-
jaga hal yang tak diinginkan! Demi ketenteraman wi-
layah Kota Raja!" sambar Gaman Seto dengan suara tandas. Nanjar jadi melengak.
"Hm, manusia sombong ini agaknya perlu diberi pelajaran!" berkata Nanjar dalam
hati. "Silahkan kau menahanku, tuan Panglima. De-
ngan cara bagaimanakah kau menghendaki?" tanya
Nanjar dengan sikap tak melakukan perlawanan.
"Bagus! kau akan menjadi tawanan istimewa
dan akan diperlakukan dengan baik bila kau tak me-
lawan! Nah! Ulurkanlah kedua lenganmu!" berkata Gaman Seto seraya mengeluarkan
sebuah borgol dari
celah ikat pinggangnya.
Nanjar tak membantah. Kedua lengannya diju-
lurkan ke depan. Gaman Seto dengan gerakan sebat
segera menggubat pergelangan tangan Nanjar, dan se-
kaligus menguncinya.
"Balikkan tubuhmu, dan ikuti jalan ini!" perintah Gaman Seto. Tanpa membantah
Nanjar ikuti perin-
tah itu. "Akan kau bawa kemana aku?"
"Tak usah banyak bicara! ikuti saja apa yang
kuperintahkan!"
"Baik! baik, tuan Panglima" sahut Nanjar dengan sikap seperti orang bodoh.
"Hm, ternyata tak sesukar seperti yang ku-
bayangkan..." berkata Gaman Seto dalam hati. "Pemuda sedungu inikah yang telah
berhasil merebut Retno
Sekar dari tangan si penculik" Aku benar-benar tak
percaya!" Cuaca kian gelap. Nanjar terus digusur melewa-
ti jalan-jalan penuh semak belukar. Sementara benak Gaman Seto bekerja mengatur
rencana. "Akan ku apakankah pemuda dogol ini" Apakah
sebaiknya kuhabisi saja nyawanya ditempat ini?" pikirnya. "Untunglah dia menolak
diajak menghadap Gusti Adipati. Hal itu akan membahayakan diriku. Aku akan
didamprat habis-habisan oleh Gusti Adipati sebagai seorang pengawal yang tidak
becus! Dan bisa-
bisa aku dipecat dari jabatan Kepala Kadipaten! Un-
tunglah pemuda dogol ini percaya bahwa aku adalah
seorang Panglima Kerajaan, hingga aku tak susah-


Dewa Linglung 13 Iblis Seruling Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

susah untuk menawannya!"
Benak Gaman Seto terus memikir. "Kalau saja
pemuda dogol ini dapat ku peralat, tentu akan segera
tercapai cita-citaku! Hm, sebaiknya kukorek keteran-
gan dari mulut si dogol ini..." Mendadak Gaman Seto memerintahkan Nanjar
berhenti. "Ada apa tuan Panglima" tadi kau menyuruh
aku berjalan cepat-cepat. Sekarang menyuruh berhen-
ti..!" Nanjar jatuhkan pantatnya ditanah.
"Dengar, sobat! Hm, namamu Nanjar, bukan"
Nah, dengar Nanjar! ada satu hal yang akan kubicara-
kan denganmu!" kata Gaman Seto dengan suara pelahan. "Aku akan melepaskanmu dan
membebaskan kau dari tuduhan, asalkan kau berkata terus terang!" Sejenak Nanjar
tertegun, lalu menatap tajam-tajam wajah
Gaman Seto. "Apakah yang akan kau tanyakan?"
"Bagus!" seringai Gaman Seto. "Ceritakanlah bagaimana kau bisa merebut Gusti
Retno Sekar dari
tangan penculik itu" itu pertanyaan kesatu! Perta-
nyaan kedua, apakah benar dia kawanmu ataukah
kau memang tak mengenalnya" Dan ketiga! Apakah
kau mempunyai ilmu kepandaian menundukkan hati
perempuan?"
Nyaris Nanjar tertawa gelak-gelak mendengar
ketiga pertanyaan itu. Pertanyaan yang terakhir itulah yang membuat dia hampir
tertawa geli. Tapi dengan
menahan senyum, Nanjar segera menyahut.
"Aku tak mempunyai kepandaian apa-apa se-
lain kepandaian menipu orang! Laki-laki berbaju kulit harimau itu aku tak
mengenalnya. Secara tak sengaja
aku melihat laki-laki itu memondong seorang gadis ke dalam sebuah pondok..."
Nanjar berhenti sebentar. Untuk menyeka peluhnya yang mengalir didahi dengan
kedua lengannya yang diborgol.
"Teruskan! teruskan!" Gaman Seto menelan lu-dah tak sabar.
"Tadinya aku tak perduli, kupikir aku tak perlu
mencampuri urusan orang. Tapi ketika laki-laki itu keluar lagi untuk
menyembunyikan kudanya di belakang
pondok, aku segera masuk ke kolong rumah..."
"Apa yang kau lakukan dikolong rumah itu?"
tanya Gaman Seto.
"Tadinya aku berniat mengintip. Tapi kubatal-
kan ketika melihat sebongkah kapur tak jauh dide-
katku. Lalu ku lumuri rambutku dengan kapur. Bukan
saja rambutku, tapi juga sekujur tubuhku termasuk
mukaku! Kemudian aku duduk di bawah tangga den-
gan bersila. Ketika laki-laki itu muncul lagi dan akan memasuki pondok, dia
terkejut melihat aku. Karena
tadi dia tak melihat siapa-siapa. Laki-laki itu melompat kaget dan dengan suara
menggeledek membentakku.
Dia menanyakan siapa aku. Aku katakan bahwa aku
adalah seorang manusia setengah siluman yang meng-
huni pondok itu..." Nanjar berhenti sejenak untuk me-leletkan lidah. Dilihatnya
Gaman Seto dengan penuh
perhatian, mendengarkan bualannya
"Tampaknya dia percaya. Cuaca gelap dikolong
rumah menolongku, hingga barut-barut bekas kapur
yang ku balurkan di sekujur tubuhku tak terlihat. Segera kukatakan pada laki-
laki itu bahwa perempuan
yang dibawanya mengidap penyakit menular. Dan ku
cegah meneruskan niatnya untuk menggagahi pe-
rempuan itu. Laki-laki itu manggut-manggut. Tampak-
nya dia percaya pada apa yang kukatakan. Kemudian
aku menyuruhnya pergi ketujuh buah sungai untuk
membersihkan tubuhnya, karena dia telah menyentuh
kulit perempuan itu. Kukatakan pula bahwa kalau dia
tak mematuhi syarat itu dia akan kena kutukan ku,
karena telah sembarangan memasuki rumah kosong
tanpa meminta izin padaku! Ketika dia pergi, aku se-
gera menyadarkan gadis itu dan cepat-cepat kuajak
meninggalkan tempat itu... hingga kemudian berjumpa
dengan tuan Panglima di perbatasan Kota Raja."
Gaman Seto manggut-manggut, seraya berkata.
"Kau sungguh cerdik!"
"Nah, masih ada satu pertanyaan lagi, yaitu
pertanyaan yang ketiga. Kau katakanlah dengan jujur
apakah kau memiliki ilmu yang kusebutkan tadi?"
"Ketika setahun yang lalu aku tinggal dirumah
kakekku, aku memang diberi wejangan untuk menga-
malkan satu ilmu aneh. Aku sendiri tak mengetahui
kegunaan ilmu itu..." kata Nanjar setelah termenung sejenak.
"Pasti ilmu yang kumaksudkan itu!" sentak Gaman Seto. "Katakanlah, amalan apakah
yang kakekmu menyuruhmu mengerjakan?" tanya Gaman Seto dengan tak sabar.
"Pertama-tama kakek menyuruhku bersemadhi
di sudut kamar dengan bertelanjang bulat, sambil
mengucap. REP SIREP, SAPI LANANG SAPI WEDOK,
MBAHMU ORA KETOK..! Selama satu hari satu malam
terus menerus!" Gaman Seto manggut-manggut. Lalu menyuruh Nanjar mengulangi
beberapa kali. Setelah
hapal, lalu dia menyuruh Nanjar meneruskannya.
"Kemudian setelah bersemedhi satu malam.
Berturut-turut tujuh malam aku disuruh memutari
rumah dengan telanjang bulat!"
"Dengan te...telanjang bulat?" sentak Gaman Seto terkejut.
"Ya! tapi kau tak usah khawatir, kakekku men-
gatakan bahwa tak seorangpun yang akan melihat. Ka-
rena setelah bersemedhi dan membaca amalan itu, tu-
buh akan terisi oleh ilmu ghaib hingga orang tak
mampu melihat diri kita!" Lagi Gaman Seto manggut-manggut.
"Lalu masih adakah syarat lainnya?"
"Tidak, hanya itu!" sahut Nanjar.
"Bagus! kalau cuma begitu tak susah untuk
mengerjakannya!" desis Gaman Seto dalam hati. "Terima kasih atas keteranganmu,
sobat Nanjar!"
"Aku masih ada beberapa pertanyaan lagi, tapi
tidak sekarang! Cuaca sudah semakin gelap. Malam ini kita menginap disebuah
dangau. Diujung hutan kecil
ini kita akan menjumpai dangau itu..." kata Gaman Se-to.
"Cepatlah! aku tak mau kemalaman di hutan
ini! Setelah kau menjawab pertanyaanku, aku akan
menepati janji untuk melepaskanmu!" Nanjar cuma mengangguk. Kemudian bangkit
berdiri untuk meneruskan langkah menyusuri jalan setapak di hutan kecil itu.
Sebenarnya Nanjar dapat saja melepaskan diri dari belenggu. Tapi dia ingin tahu
apakah yang akan dita-nyakan Gaman Seto lagi". Walaupun demikian Nanjar
tak lepas dari kewaspadaan terhadap sikap Gaman Se-
to. Apa yang terbersit dibenak Gaman Seto saat
itu" "Haha... aku telah berhasil mengorek keterangan dari pemuda dogol ini.
Inilah saat yang baik untuk
menghabiskan nyawanya karena aku telah tidak me-
merlukan lagi!" Sambil melangkah mengikuti Nanjar di belakang, pelahan-lahan
Gaman Seto menarik keluar
klewangnya dari pinggang. Wajah perwira muda ini
menyeringai. "Selamat jalan ke Akhirat, pemuda dogol!"
berkata dia dalam hati.. Klewangnya telah terangkat
dan siap ditebaskan ke batang leher si Dewa Linglung
"Eh, tuan Panglima! aku lupa mengatakan pa-
damu! Ada satu syarat lagi untuk memiliki ilmu pemi-
kat perempuan itu..!" kata Nanjar tiba-tiba. Secepat kilat Gaman Seto
menyembunyikan klewangnya ke bela-
kang punggung. "A.. apakah syarat itu, sobat Nanjar?" tanya Ga-
man Seto agak gugup. "Selama kau memutari rumah sebanyak tujuh malam berturut-
turut, kau tak boleh
bicara apa-apa. Jangan lupa, kau harus memutari ru-
mah sebanyak tujuh kali setiap malam. Pekerjaan itu
cukup banyak halangannya, tapi kau harus tabah. Ka-
rena kalau gagal kau harus mengulanginya lagi dari
semula!" "Ya, ya! aku mengerti..!" sahut Gaman Seto manggut-manggut.
"Sudahlah, percepat langkahmu..!" Gaman Seto sudah tak sabar untuk cepat
menghabisi nyawa si De-wa Linglung. Mendadak Nanjar merandek.
"Ssst..! ada seseorang membuntuti kita di sebe-
lah kanan hutan. Jangan-jangan si laki-laki berbaju
kulit harimau itu yang membuntuti kita!" bisik Nanjar.
Gaman Seto berpaling ke arah yang ditunjuk Nanjar
dengan mulutnya yang dimonyongkan.
"Kulihat sesosok bayangan menyuruk ke dalam
gerombolan ternak disana itu!" Nanjar kembali berbi-sik. Wajah Gaman Seto
berubah tegang dan tampak
membesi. "Bagus! kalau benar dia aku akan menangkapnya hidup-hidup. Dia telah
mempermainkan aku!"
Berkata Gaman Seto dengan geram.
"Manusia busuk! keluarlah kau dari tempat
persembunyianmu!"
"Whuut! Pras..!
Gaman Seto layangkan pukulannya menghan-
tam semak belukar hingga rebah berhamburan. Kle-
wangnya siap dipergunakan untuk menebas bila sosok
tubuh orang yang bersembunyi itu muncul. Akan teta-
pi tak ada tanda-tanda dibalik belukar itu ada manu-
sia. Bukan kepalang terkejutnya Gaman Seto ketika
kembali ke tempatnya ternyata pemuda tawanannya
telah lenyap. Semakin membelalak mata perwira muda
ini melihat rantai borgol yang tergeletak ditempat itu.
Rantai borgol itu masih utuh dan dalam keadaan ter-
kunci. "Aneh! apakah dia...dia dapat menghilang" Atau punya ilmu mengecilkan
tubuh?" berkata Gaman Seto dalam hati.
"Hah!" jangan-jangan dia benar-benar manusia
se.. setengah siluman?" sentak Gaman Seto mendesis.
Tak ayal lagi perwira ini segera angkat langkah seribu dengan wajah pucat, lari
terbirit-birit menerobos hutan meninggalkan tempat itu.
6 Jadi kau belum sampai ke desa Weringin Kolot
menemui Ki Pandoyo?" tanya Adipati Sawunggana menatap anak gadisnya Retno Sekar
Gadis itu mengge-
leng. "Karena kejadian itulah, niatku jadi terhalang, ayah..! Ah, sayang sekali
pemuda itu tak mau kuajak
menghadapmu"
"Siapakah nama pemuda itu dan darimanakah
asalnya?" "Aku tak menanyakan dia berasal dari mana,
dia bernama Nanjar."
"Nanjar?" sentak Adipati Sawunggana dengan kerenyitkan keningnya.
"Apakah orangnya bertampang seperti orang
bodoh, berambut panjang sebatas bahu, kumal dan..."
"Benar, ayah! tapi dia..dia sebenarnya tampan,
walaupun tampak kumal Dan dia memiliki ilmu yang
amat tinggi! Buktinya dia berhasil menolongku dari
tangan penculik itu..." potong Retno Sekar.
"Kau benar, anakku! Tahukah kau siapa pemu-
da itu" Dialah seorang tokoh muda Rimba Persilatan
yang terkenal dengan gelar di Dewa Linglung. Bahkan
ada pula yang menggelarinya si Pendekar Naga Merah!
Dan dia pulalah yang pernah menolongku pada bebe-
rapa bulan yang lalu ketika aku dalam perjalanan ke
Mataram atas perintah Gusti Prabu!"
Melengak Retno Sekar mendengar penuturan
ayahnya sang Adipati Sawunggana.
"Pantas kalau demikian, ayah! sayang... aku tak berhasil membujuknya untuk
menghadap ayah" kata Retno Sekar dengan wajah penuh kemasygulan.
"Ya, sayang sekali. Akupun belum sempat men-
gucapkan terima kasih pada pemuda gagah itu. Anak
muda itu agaknya tak mau aku memberi penghargaan
padanya..."
Kemudian Adipati Sawunggana menuturkan ke-
jadian yang dialaminya pada beberapa bulan yang lalu pada Retno Sekar. Pada
kurang lebih empat bulan
yang lalu Adipati Sawunggana mendapat perintah dari
sang Prabu Citrasoma untuk mengantarkan surat dan
upeti ke kerajaan Mataram yang berdaulat atas kera-
jaan Purwacarita. Ditengah perjalanan ketika melintasi sebuah hutan yang bernama
Alas Jajaten, mendadak
rombongannya dihadang oleh segerombolan perampok.
Terkejutlah Adipati Sawunggana ketika mengetahui
kepala perampok itu tak lain dari Bantar Parean, yang bergelar si Gagu Tangan
beracun. Manusia yang terkenal kejam dan ditakuti di
wilayah Alas Jajaten itu adalah bekas seorang buronan Kerajaan Mataram yang
masih berkeliaran dan sering
muncul mengganggu ketenteraman penduduk. Entah
berapa puluh manusia telah melayang ditangannya.
Bukan saja dari pihak kaum kerajaan, akan tetapi juga dari pihak kaum pendekar.
Manusia telengas ini muncul dan perginya bagaikan hantu. Agaknya dia dan
komplotannya banyak mempunyai jalan-jalan dan
tempat-tempat rahasia untuk bersembunyi.
Terjadilah pertarungan yang memakan korban
belasan pengawal. Anak-anak buah Bantar Parean ter-
nyata mempunyai ilmu yang tinggi. Baru anak buah-
nya saja sudah berhasil membunuh belasan prajurit
yang terlatih. Entah bagaimana tingginya ilmu si Gagu tangan beracun itu"
Adipati Sawunggana mati-matian
mempertahankan nyawanya. Dia berhasil menewaskan
empat orang anak buah Bantar Parean, sementara pra-
juritnya cuma tinggal beberapa orang lagi
Pada saat itulah muncul si manusia telengas
itu. Pertarungan tak dapat dihindarkan lagi. Dengan
semangat baja Adipati Sawunggana bertarung mem-
pertahankan nyawa. Akan tetapi kehebatan ilmu Ban-
tar Parean tidak cuma khabar beritanya saja. Nyaris
leher Adipati itu putus disambar senjata si Gagu Tangan Beracun, kalau pada
detik itu tak muncul seseo-
rang yang menolong jiwanya. Terpana Adipati Sa-
wunggana melihat kehebatan pertarungan antara si
penolong melawan Bantar Parean. Ternyata tak sampai
lebih dari dua belas jurus, sang penolong itu berhasil menewaskan si Gagu Tangan
Beracun. Beberapa anak buahnya yang melihat kematian
ketua mereka segera melarikan diri. Ternyata si pe-
nolong itu tak kepalang tanggung bekerja. Sisa-sisa perampok itu berhasil


Dewa Linglung 13 Iblis Seruling Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diringkusnya dan diserahkan pada Adipati Sawunggana. Sebelum Adipati Sawunggana
sempat mengucapkan terima kasih, laki-laki muda
yang bertampang kumal seperti orang bodoh itu telah
berkelebat pergi. Adipati Sawunggana mencoba menge-
jar. Disamping ingin mengenai siapa adanya pemuda
gagah itu dia juga ingin pemuda itu ikut ke Mataram.
Setidak-tidaknya pemuda itu akan mendapat penghar-
gaan besar dari sang Prabu Kerajaan Mataram bila dia menceritakan kejadian
tersebut, dengan bukti beberapa orang anak buah Bantar Parean, serta kepala si
Ga-gu Tangan Beracun. Akan tetapi pemuda gagah itu
cuma menyebutkan nama dan gelarnya saja. Lalu ber-
kelebat lenyap.
Retno Sekar terpaku mendengar penuturan
ayahnya. Begitu terpana dan terkesan dia pada kisah
yang diceritakan sang ayah. Akan tetapi kembali dia
menarik napas penuh kemasygulan mengingat dia
gagal menahan pemuda gagah itu.
"Satu hal yang membuat aku heran yaitu, sia-
pakah laki-laki berbaju kulit harimau yang diceritakan Gaman Seto dan yang telah
menculikmu itu?" Adipati Sawunggana bangkit dari kursinya. Pandangan matanya
menatap keluar pendopo. "Kukira dia cuma penjahat picisan saja, ayah! Si Gaman
Seto itulah yang tak becus mengawalku! Kukira dia belum pantas diangkat
sebagai Kepala Prajurit Kadipaten! Ilmunya paling tidak tiga kali lipat di bawah
pemuda yang telah meno-
longku!" "Pendapatmu tidak benar, anakku..! Laki-laki
berbaju kulit harimau itu tentu seorang tokoh hitam
yang baru muncul di dunia persilatan. Menurut kete-
rangan Gaman Seto ilmunya tak seberapa jauh diatas-
nya. Tapi orang itu amat licik dan berhasil memancing Gaman Seto hingga dia
berada jauh dari kau. Di kesempatan itulah dia kembali ke tempat dimana kau
pingsan, dan membawamu melarikan diri" tukas Adipati Sawunggana memprotes
pendapat anak gadisnya.
"Mulai sekarang kau tak boleh kemana-mana,
anakku! Aku khawatir terjadi apa-apa denganmu" berkata Adipati Sawunggana
setelah termenung sejurus
lamanya. "Tapi ayah..! aku belum menemui Ki Pandoyo,
bukankah ayah telah mengizinkan aku berguru selama
beberapa bulan ditempat kediamannya?" tukas Retno Sekar dengan wajah tertunduk
menampakkan kekece-waan.
"Kau harus mengerti, anakku. Bagaimana ka-
lau terjadi sesuatu yang menimpamu" Kau akan mem-
buat susah ayah dan ibumu. Aku akan mengundang
orang tua itu untuk menetap sementara disini. Bukan-
kah kau dapat belajar lebih tenang?" Retno Sekar tak menyahut. Pendapat ayahnya
memang baik, tapi dia
sudah bosan berdiam di Kadipaten. Kalau diizinkan
ayahnya tentu dia sudah mencari guru diwilayah lain
dan menetap di luar Kota Raja sampai dia kembali
dengan membawa hasil ilmu kedigjayaan walaupun
harus memakan waktu lama.
Agaknya Adipati Sawunggana mengerti akan
perasaan anak gadisnya. Dia menghampiri seraya
mengelus rambutnya Retno Sekar.
"Nanti kalau keadaan sudah aman, ayah akan
mengizinkan kau mencari ilmu di luar Kota Raja. Sa-
barlah, anakku... bukan aku tak menyayangi dirimu,
tapi justru karena ayah sayang padamu" hibur Adipati Sawunggana.
"Benarkah ayah?" Retno Sekar menatap ayah-
nya. Wajahnya tampak berubah berseri lagi. Adipati
Sawunggana mengangguk.
"Oh, ayah... terima kasih. Kau.. kau baik sekali"
Gadis ini memeluk ayahnya dengan berjingkrak girang.
Tapi tiba-tiba segera melepaskannya lagi. Wajahnya
merah. Karena girangnya dia lupa kalau dirinya telah dewasa. Entah mengapa ada
perasaan malu terhadap
ayahnya. Dia menunduk tersipu dan tiba-tiba saja berlari masuk ke ruangan dalam.
Adipati Sawunggana
tersenyum melihat kelakuan anak gadisnya. Dan ge-
lengkan kepala disertai tarikan napas panjang.
"Haih, Retno...Retno... kau masih seperti anak
kecil saja..!"
7 Mari masih pagi sekali. Suara burung masih
terdengar berkicau melagukan nyanyian merdu me-
nyambut munculnya sang surya diufuk timur yang ba-
ru menyembul dibalik gunung. Seorang laki-laki tua
berjubah putih tampak keluar dari sebuah pondok be-
sar yang boleh disebut sebagai pesanggrahan.
Siapa adanya orang ini tiada lain dari Ki Pan-
doyo. Pada beberapa tahun yang silam pesanggrahan
itu terisi oleh tujuh orang murid-muridnya yang mem-
pelajari ilmu kedigjayaan. Tapi saat ini pondok itu kosong. Tak seorangpun yang
menetap di pesanggrahan
itu. Karena ketujuh orang murid-muridnya telah me-
namatkan pelajaran. Hanya sesekali ada tetamu yang
datang mengunjungi padepokan itu. Paling tidak salah seorang dari murid-muridnya
yang muncul untuk me-nyambangi. Itupun tak terlalu sering. Terkadang sam-
pai beberapa bulan bahkan hampir lewat setahun, ba-
ru ada yang muncul.
Laki-laki tua yang sudah pantas disebut kakek
ini memiliki tubuh kecil dan kurus. Wajahnya boleh
dikatakan tinggal kulit dan tulang saja. Akan tetapi jangan disangka si kakek
ini sudah jompo dan tinggal menunggu mati saja. Karena tulang yang terbalut
kulit itu masih kuat. Ki Pandoyo memang memiliki perawakan demikian karena sudah
kodrat dari Tuhan. Wa-
laupun demikian di dalam tulang dan kulit serta sedikit daging itu terisi
kekuatan dahsyat. Cengkeraman
tangannya masih dapat meremukan batang pohon
kayu sekeras apapun. Dan pukulan tenaga dalamnya
masih bisa menghancurkan batu gunung! Di masa
muda kakek ini sudah kenyang malang-melintang di
dunia Rimba Hijau. Tak sedikit wilayah yang didatangi
untuk sekedar mencari nama besar, disamping me-
nyumbangkan tenaga demi membela kebenaran Melin-
dungi si lemah dari si kuat yang menindas. Pada belasan tahun yang silam dia
digelari orang di Pedang Malaikat. Tak sedikit kaum golongan hitam yang tewas
ditangannya. Sepak terjangnya membuat ciut nyali
kaum penjahat yang berusaha melebarkan sayapnya di
wilayah barat daya. Namanya harum di mata kaum
pendekar, akan tetapi menjadi momok yang mena-
kutkan bagi kaum golongan hitam. Bah-kan pernah
dia diangkat menjadi ketua diwilayah barat daya untuk mempersatukan kaum
pendekar di wilayah itu. Namun
dia mengundurkan diri dengan alasan sudah cukup
tua. Dan dia memerlukan ketenangan hidup. Sayang
dia tak menemukan kebahagiaan dalam rumah tangga.
Istrinya lari meninggalkan dia dengan membawa seo-
rang bocah laki-laki berusia satu tahun. Mengapa de-
mikian" Karena dia sudah tak mampu memberi keba-
hagiaan bathin pada sang istri. Pandoyo menyadari itu.
Dan tak mencari kemana perginya sang istri. Kepahi-
tan itu diterimanya dengan sabar. Akhirnya dia mene-
tap di wilayah ini disebuah desa tenang dan damai.
Yaitu desa Weringin Kolot yang terletak di sebelah timur perbatasan Kota Raja
dan termasuk dalam wi-
layah Kerajaan Purwa Carita...
Telah dua hari dia menunggu-nunggu kedatan-
gan tetamu istimewa yang akan mengunjungi padepo-
kannya. Tapi yang ditunggu sampai saat ini masih be-
lum muncul. Ki Pandoyo telah menerima sepucuk su-
rat yang dibawa oleh seorang prajurit Kerajaan. Dalam surat Adipati mengatakan
maksudnya untuk membawa puterinya ke padepokannya Puterinya berkeinginan
mempelajari ilmu untuk menambah pengetahuan da-
lam hal ilmu kedigjayaan selama beberapa bulan, dan
menetap di padepokannya.
Disamping terkejut Ki Pandoyo juga berbesar
hati karena tenaganya masih diperlukan. Dengan pe-
nuh kerendahan hati Ki Pandoyo segera menulis surat
balasan untuk disampaikan pada Adipati Sawunggana,
lalu memberikannya pada si prajurit utusan ini. Sehari kemudian utusan itu
datang lagi dengan membawa sepucuk surat bahwa Retno Sekar puteri Adipati Sa-
wunggana akan datang beberapa hari lagi untuk ber-
kenalan terlebih dulu, sebelum memberi keputusan
kapan akan memulai berguru.
Namun sampai beberapa hari Ki Pandoyo me-
nunggu kedatangan tetamu istimewa nya, tapi tak
kunjung muncul. Hal itu cukup membuat resah laki-
laki tua ini. "Aneh! apakah Gusti Adipati membatalkan
niatnya?" gumam Ki Pandoyo dengan suara mendesah.
Pandangan matanya menatap gumpalan awan hitam di
arah barat. Entah mengapa perasaannya mendadak
kurang enak. Hatinya berdebar-debar. Dia merasa seo-
lah ada sesuatu bakal terjadi. Selama beberapa tahun dia menetap di padepokan
itu belum pernah merasakan hal semacam itu. Mendadak saja hatinya gelisah.
Ki Pandoyo melangkah memasuki pondok padepokan.
"Ada apakah gerangan yang bakal terjadi?" desahnya heran
Baru saja dia menindak dua langkah mendadak
terdengar desiran angin dibelakangnya. Secepat kilat dia membalikkan tubuhnya.
Terkejutnya Ki Pandoyo
melihat sesosok tubuh telah berdiri kira-kira empat li-ma tombak di hadapannya.
"Aha! maaf orang tua! aku telah membuat kau
terkejut!"
"Siapakah kau anak muda?" sentak Ki Pandoyo dengan suara tenang walaupun hatinya
diam-diam agak heran melihat kemunculan seorang pemuda di
tempat kediamannya. Pemuda itu berbaju kulit hari-
mau. Bertampang gagah. Tapi sikapnya kurang sopan,
karena dia berdiri dengan bertolak pinggang. Rambut-
nya hitam lurus, panjangnya sebatas pundak. Sebuah
seruling hitam terselip dipinggangnya. Siapa adanya
pemuda ini Ki Pandoyo, tak mengenalnya. Bahkan tadi
dia mengira salah seorang muridnya yang muncul.
Sebilah Pedang Mustika 3 Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung Memburu Iblis 19
^