Pencarian

Suka Suka Cinta 2

Boma Gendeng 1 Suka Suka Cinta Bagian 2


mereka masih kritis..."
"Tapi tak ada yang meninggal Pak?" tanya seorang wartawati.
"Tidak, tidak ada." Jawab Letkol Kusumo. "Sudah, saya capek. Mau segera kembali
ke Jakarta."
"Kalau capek jangan jalan dulu Pak. Istirahat sebentar di Kantin sana. Kopi
tubruk paling asyik malam-malam
begini." Yang bicara sambil senyum adalah seorang wartawan bertubuh besar gemuk,
berjaket kulit dan pakai topi pet dibalik. Dia mewakili sebuah tabloid ibukota
dan di antara rekan-rekan wartawan dia dikenal dengan panggilan Tuyul Bengkak.
Nama ini cocok dengan keadaan dirinya yang gemuk besar kepala botak licin yang
selalu di-sembunyikan di bawah topi pet.
"Kamu ini pinter ngomong..."
"Kalau nggak pinter ngomong namanya bukan wartawan, Pak. Jadi kita ke Kantin
sana Pak?" kata Tuyul Bengkak pula.
"Cukup di sini saja. Kalian mau tanya apa?"
"Mengenai keanehan itu Pak. Menurut Letda Sofyan ketika tujuh anggota rombongan
pendaki gunung ditemukan, mereka berada di tepi ketinggian tanah gunung yang
longsor. Mereka berada dalam kantong tidur plastik
masing-masing.."
"Itu betul. Apa anehnya?" ujar Letkol Kusumo.
"Ya pasti aneh Pak," jawab wartawan si pinter ngomong Tuyul Bengkak. "Menurut
Pak Tatang dari Pos Pengawas, Ketujuh anak-anak itu ditemukan berjejer rapi
seperti ada yang mengatur..."
"'Siapa yang mengatur?"
"Nggak tau Pak. Justru kami tanya Bapak..."
"Saya nggak tau siapa yang ngatur. Mungkin itu cuma satu kebetulan saja."
Seorang wartawan lain berkata. "Menurut saudara Sambas, Wakil Kepala Pos
Pengawas waktu evakuasi,
dalam gelapnya malam dan buruknya cuaca paling cepat dari lereng gunung sampai
ke Pos akan makan waktu
sekitar lima jam. Ternyata Tim Pencari hanya membutuhkan waktu tiga jam..."
"Lha, apa anehnya" Letda Sofyan punya pengalaman dalam menangani berbagai
bencana alam di gunung. Apa lagi beberapa penduduk ikut membantu. Juga jangan
lupa-kan peranan Pak Tatang, Kepala Pos Pengawas...."
"Bagaimana pendapat Bapak tentang kunang-kunang?"
seorang wartawan ajukan pertanyaan.
Letkol Kusumo terdiam sesaat. "Kunang-kunang?"
"Betul Pak. Katanya sepanjang perjalanan menuruni gunung ada sekelompok kunang-
kunang terbang di sebelah depan rombongan. Seperti menuntun jalan....
Letkol Kusumo Atmojo hendak tertawa tapi tak jadi. Dia mengusap dagunya yang
ditumbuhi anggut-janggut pendek kasar. "Kunang-kunang bisa saja muncul dimana-
mana. Di pinggir laut, di hutan, di gunung..."
"Katanya kunang-kunang itu lenyap begitu saja sesaat setelah rombongan Tim
Pencari selamat berada di kaki gunung..."
"Saya tidak begitu memperhatikan. Waktu evakuasi di-laksanakan, saya tidak
sempat memperhatikan..."
"Satu hal lagi Pak. Dua orang anggota tim yang mengusung tandu bilang, bukan
pekerjaan mudah mengusung
orang menuruni gunung, apa lagi di malam hari. Tapi waktu mengusung anak-anak
itu mereka tidak merasa berat
sama sekali. Enteng-enteng saja..."
"Namanya saja anak-anak, bobot mereka berapa sih beratnya" Coba kalau si gendut
ini. Pasti berat!" Letkol Kusumo menunjuk pada wartawan si pinter ngomong yang
berbadan gemuk besar. Gelak tawa memenuhi halaman
parkir itu. Wartawan yang tadi bicara masih belum mau mengalah.
"Salah satu anggota rombongan pendaki gunung seorang anak perempuan gemuk.
Bobotnya paling tidak seratus
kilo. Tapi dua orang yang mengusung juga bilang enteng, gak berat."
Letkol Polisi Kusumo Atmojo tersenyum. Dia menegak-
kan kerah jaketnya lalu berkata.
"Anak perempuan gemuk itu, juga teman-temannya
hampir dua hari tidak makan-makan. Pasti badan mereka pada kayak balon kemps
semua. Pada enteng."
"Tapi Pak..." wartawan tadi kembali bicara. "Aduh, maaf Pak, bulu saya jadi
merinding Pak..."
"Kamu ini ada-ada saja. Merinding kenapa" Bulu yang mana yang merinding?"
Ucapan Pamen itu membuat tempat tersebut kembali
dipenuhi tawa bergelak para wartawan.
"Sungguhan Pak, saya nggak bohong. Menurut salah seorang pengusung, dibenarkan
oleh beberapa orang lainnya, seperti ada yang membantu mengusung anak-anak
itu." "Wah, kalau ada yang bantuin ya bagus dong! Harus ber-terima kasih. Tapi situ
tau siap yang membantu?" tanya Letkol Kusumo pula.
"Itu yang membuat saya merinding Pak. Katanya yang membantu mengusung itu tidak
kelihatan. Tapi jelas terasa ada..."
"Ah!" Letkol Kusumo lambaikan tangannya. "Siapa yang membantu" Setan, demit,
jin" Ada yang mengarang. Tapi....
Itu bagus buat berita sensasi. Muat di halaman pertama sebagai head line. Pasti
oplaag koran kalian naik. Ha.., ha...
ha!" Habis tertawa Pamen itu melangkah menuju ken-daraannya. Sebelum masuk ke
dalam jip Letkol Kusumo
berbalik. "Satu hal kalian harus ingat," katanya pada semua wartawan yang belum
beranjak dari tempat masing-masing. "Berhasilnya penyelamatan tujuh anak SMA
Nusantara Tiga itu adalah berkat bimbingan dan pertolongan Tuhan Yang Maha
Kuasa. Bukan karena siapa-
siapa." Mata Pak Letkol berkedip kesilauan ketika lampu kilat berkekuatan tinggi dari
kamera seorang wartawan me-nyapu wajahnya.
Wartawan tabloid yang kondang dengan nama Tuyul
Bengkak itu bersandar ke pintu Suzuki Katana hitam,
membuka topi pet lalu mengusapusap kepala botaknya
yang keringatan. Sepasang matanya masih memandang ke arah lenyapnya cahaya lampu
belakarig kendaraan yang dikemudikan Letkol Kusumo Atmojo.
"Letnan Kolonel itu..." Tuyul Bengkak bicara sendirian.
"Aku yakin dia tau semua keanehan yang terjadi waktu penyelamatan dilakukan. Ada
kandungan misteri besar
dalam peristiwa ini. Tapi mengapa Pak Kolonel berlagak tidak tau" Apa alasannya"
Jabatan" Religi" Apapun alasannya aku harus menemui dia sekali lagi. Juga anak
gadisnya itu. Trini. Banyak berita yang bisa digarap. Honorku bulan ini bisa
lumayan gede...." Tuyul Bengkak tersenyum. Dia pakai topinya kembali lalu masuk
ke dalam Suzuki Katana.
*** KEESOKAN harinya, hari Rabu, banyak media masa
mem-beritakan berhasilnya penyelamatan tujuh anak SMA Nusantara III yang mendaki
Gunung Gede. Sebelumnya
sudah sering diberitakan musibah yang menimpa banyak rombongan pendaki gunung.
Tapi peristiwa sekali ini
dianggap satu kejadian langka. Umumnya dalam peristiwa seperti itu jarang korban
bisa diselamatkan, apa lagi secara keseluruhan dan setelah dua hari dinyatakan
hilang. Beberapa kejadian aneh seperti adanya kunang-kunang, cepatnya waktu
penyelamatan, adanya bantuan makhluk-makhluk gaib ikut pula diungkapkan dalam
media. Nama Letkol Kusumo Atmojo, Letda Sofyan, Nugroho Sutanto, Tatang
Suryadilaga, Boma dan teman-temannya disebut-sebut dalam pemberitaan.
Di ruang kerjanya pagi hari Rabu itu, Letkol Kusumo
geleng-geleng kepala. "Apa sih maunya wartawan-wartawan itu. Segala makhluk gaib
disebut-sebut..."
Tiga hari kemudian empat dari tujuh anak yang dirawat di Rumah Sakit di Sukabumi
diperkenankan pulang.
Mereka adalah Firman, Rio, Ronny dan Andi. Dua hari setelah itu menyusul Vino
dan Gita juga diperbolehkan
pulang. Kini tinggal Boma seorang diri. Tubuhnya diserang demam tinggi dan
sesekali disertai kejang-kejang. Selain itu dari mulutnya sering keluar suara
seperti mengigau.
Lalu sesekali suara Boma berubah menjadi suara
perempuan tua. Atas permintaan kedua orang tuanya Boma kemudian
dipindahkan ke Rumah Sakit PMI di Bogor.
*** BOMA GENDENK SUKA-SUKA CINTA
8. TUYUL BENGKAK
RINI DAMAYANTI menggeliat di atas tempat tidur. Dia
sudah lama terbangun dan sudah beberapa kali
T mendengar Bibi Sarkah mengetuk pintu. Entah pada
ketukan yang keberapa akhirnya Trini berteriak.
"Ada apa sih Bi'?"
"Ada tamu Non." Jawab Bibi Sarkah dari luar kamar di depan pintu.
"Siapa" Cewek, cowok"!"
"Cowok! Katanya wartawan."
Trini turun dari tempat tidur, membuka pintu kamar dan mengeluarkan kepalanya
sedikit di celah pintu.
"Wartawan?"
"Iyya Non..."
"Ngapain?"
"Katanya udah ada janji sama Non..."
"Ah nggak, nggak ada janji tu. Apa lagi sama wartawan."
"Orangnya sih baek Non. Cuma gendut nggak
ketulungan."
"Orangnya dimana?" tanya Trini.
"Duduk di teras."
Trini membuka pintu kamar. Lupa kalau saat itu dia
Cuma mengenakan celana dalam mini dan kaos pendek
berbentuk singlet, melangkah berjingkat-jingkat ke ruang tamu. Dari balik
hordeng tebal dia mengintip keluar. Di kursi teras dia melihat seorang lelaki
gemuk memakai topi pet terbalik duduk sambil menikmati sebatang rokok. Di
pinggir jalan di depan rumah ada sebuah Suzuki Katana hitam. Trini ingat, orang
itu pernah dilihatnya di Rumah Sakit di Sukabumi pada malam anak-anak SMA
Nusantara III diselamatkan.
Seperti tadi, berjingkat-jingkat Trini kembali ke kamar.
Waktu melewati Bibi Sarkah dia berkata. "Saya nggak mau nemuin 'tu orang Bi'.
Bilang aja saya udah keluar..."
"Wah, wong Bibi tadi bilang Non ada. Kasihan kalau nggak ditemuin Non. Mungkin
ada hal sangat penting..."
"Si Bibi bisa-bisaan aja sih! Udah, suruh nunggu sana..."
"Baik Non. Bibi bikinin kopi tamunya...?"
"Nggak usah. Nanti jadi anteng keenakan. Malahan namunya jadi lama. Bilang aja
saya lagi mandi."
Setengah jam kemudian ketika akhirnya Trini muncul di teras, sebelum sang tamu
bicara Trini menegur duluan.
"Memang saya ada janji sama situ Mas?"
"Maaf Mbak. Kalau nggak pakai trick pasti sulit nemuin orang penting seperti
Mbak." Lalu wartawan bertubuh gemuk itu cepat-cepat mematikan rokoknya,
tersenyum lebar, membungkuk sedikit dan mengulurkan tangan
memperkenalkan diri.
"Saya Tuyul Bengkak dari tabloid...."
"Ih, namanya kok aneh sih," Trini langsung memotong ucapan orang.
Wartawan itu tertawa lebar. Dia berdiri dari kursi, membuka topi pet hingga
kelihatan kepalanya yang botak
plontos. "Mbak Trini lihat sendiri. Cocok enggak nama saya dengan potongan saya.
Gendut buntak, kepala botak..."
Lalu seperti seorang pragawan si gendut botak ini melangkah melenggang lenggok
di lantai teras, berputar satu kali, kembali duduk ke kursi.
Tawa Trini Damayanti meledak lepas. Kalau sebelumnya ada rasa kurang senang pada
orang ini kini mulai muncul rasa suka.
"Nama itu memang sih cocok sama orangnya," kata Trini. "Tapi masa iya sih situ
namanya Tuyul Bengkak.
Nggak lucu ah!"
Si gemuk tertawa lebar. Lalu dengan mimik serius dia berkata. "Nama saya
sebenarnya Simatupang."
"Simatupang" Situ dari Batak ya..."
"Bukan. Simatupang saya itu bukan nama Marga..."
"Lalu?" Trini heran.
"Simatupang itu singkatan dari Siang Malam Tunggu Panggilan."
Kembali Trini tertawa cekikikan.
"Ada-ada saja... Kok situ tau alarmat saya?"
"Wartawan... Tuyul Bengkak... Alamat siapapun mesti tau..."
"Serius nih, nama situ siapa sih sebenarnya" Nanti kalau ketemu di jalan masa
saya teriak: Hai! 'Tuyul
Bengkak!" "Itu nama yang afdol buat saya! Sudah nempe kiri kanan atas bawah depan
belakang!"
"Oke deh, saya nggak maksa kalau nggak mau kasih tau nama...." kata Trini.
Matanya memperhatikan sebuah telepon genggam terletak di atas meja. "Handphone
siapa 'nih?" "Saya, Tuyul Bengkak."
"Keren amat wartawan punya handphone."
"Yaah, sesuai perkembangan jaman dan kemajuan
teknologi. Apalagi katanya dalam menghadapi globalisasi di mana abad sekarang
adalah abad komunikasi. Jadi
wartawan perlu punya handphone. Biar sedikit tampil beda.
Ha... ha... ha."
"Jangan-jangan sadapan punya," kata Trini pula.
"Ooo, yang begituan sih udah nggak jaman. " Malu-maluin aja, Tuyul Bengkak pakai
tilpon sadapan..."
Trini tersenyum. "Oke, sekarang keperluannya nemui saya apa?"
"Betulnya saya mau ketemu Bapaknya Mbak Trini. Tapi susah banget. Mungkin Bapak
juga lagi sibuk. Waktu di Sukabumi kami rekan-rekan dari wartawan minta
penjelas-an Bapak mengenai keanehan-keanehan yang terjadi se-
waktu penyelamatan tujuh anggota pendaki gunung. Bapak menyangkal ada keanehan.
Hal ini membuat kami para
wartawan merasa kejadiannya makin misterius. Kami yakin Bapak tau peristiwa itu.
Tapi karena alasan tertentu nggak mau ngomong. Menurut Mbak Trini sendiri
gimana?" "Panggil aja Trini. Nggak usah pakai sebutan Mbak segala," kata Trini.
"Oke. Menurut Trini sendiri gimana" Terasa nggak adanya hal-hal aneh...."
"Saya nggak ngalamin sendiri. Jadi kurang tau. Tapi kalau dengar cerita Pak
Tatang, Kepala Pos Pengawas, juga ucapan Letda Sofyan, ditambah cerita Pak
Sambas yang memonitor radio komunikasi di Pos. Lalu keterangan beberapa orang
penduduk yang ikut mengusung teman-teman, kayaknya sih memang ada yang aneh.
Malah tadi malam, waktu Bapak makan malam sama Ibu, saya
nguping dengerin mereka membicarakan hal itu...."
"Nah, kalau gitu jelas memang ada misteri di Gunung Gede. Ada keanehan. Saya mau
coba menghubungi Kepala Sekolah, juga anak-anak yang sudah pulang. Siapa tau ada
cerita tambahan. Mungkin juga nanti Boma..."
"Boma masih di rumah sakit."
"Saya tau...."
"Mas Tuyul, kalau wawancaranya sudah selesai, saya mau berangkat ke Rumah Sakit
PMI Bogor. Mau ngeliat
Boma. Sorry, bukan ngusir nih..."
"Nggak apa-apa. Saya juga mau ke sana. Cari bahan berita baru. Mau barengan?"
"Nggak usah deh..."
"Takut ya sama orang gendut?"
"Iya, takut ketularan gendutnya," jawab Trini sambil tertawa.
Tuyul Bengkak ikut tertawa.
"Saya minta fotonya ya..."


Boma Gendeng 1 Suka Suka Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lho, kok pakai foto segala?"
"Foto adalah sejuta kata yang tidak bisa dituliskan dengari pena. Cia illa...!"
Tuyul Bengkak berpuisi. Dari dalam tas hitam yang diletakkannya di lantai teras
dikeluarkannya sebuah kamera Nikon AF. Dia mengambil foto Trini dari tiga arah,
semuanya semi close-up.
"Terima kasih, terima kasih banyak-banyak."
Tuyul Bengkak memasukkan kameranya kembali ke
dalam tas lalu mengenakan topi petnya.
Seperti biasa topi itu dipasang terbalik. Dia bangkit dari kursi tapi tidak
langsung melangkah.
"Masih ada satu pertanyaan lagi. Tadi kelupaan."
"Apa?"
"Hubungan Trini sama Boma, selain teman satu sekolah apa ada hubungan lain yang
istimewa?"
"Istimewa maksudnya pake madu susu telor plus jahe?"
Tuyul Bengkak tertawa lebar. "Saya cuma ingin negesin aja. Takut nanti salah
nulis. Bener nggak?"
Trini Damayanti terdiam sesaat. Terbayang olehnya
wajah Boma. Tiba-tiba ikut terbayang wajah Dwita Tifani.
Sepasang mata anak ini membesar. Senyum bermain di
bibirnya. "Ini kesempatan. Kesempatan besar! Biar dia tau rasa..." kata Trini
dalam hati. Suara Tuyul Bengkak menyadarkan Trini. , Anak ini
tersenyum. "Malu ah bilangnya!"
"Nggak usah malu-malu! Ini akan jadi satu berita besar, lho."
Trini mengangguk. "Memang, terus terang kami sudah lama pacaran. Mulai sama-sama
masih di kelas satu..."
"Boma anaknya agresif nggak?"
" Ajie busyet! Kok nanyanya sampai ke situ?" Trini cemberut tapi kemudian
tersenyum. " Ajie busyet!" mengulang Tuyul Gendut. "Wah! Itu kata-kata baru. Nggak ada di
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Musti dicatet..." Lalu wartawan ini membuat catatan kecil dalam notes kecil yang
sudah lecak dan selalu dibawa-bawanya.
"Bukan apa-apa. Soalnya kalau menurut saya Boma itu kan singkatan dari Bom Atom.
Jadi pasti panas terus, bahkan sewaktu-waktu bisa meledak. Ha... ha... ha..."
"Kalau Boma Bom Atom, lalu situ Bom apa?" tanya Trini.
"Saya mah tetep aja Tuyul Bengkak!" jawab sang wartawan. "Oke deh. Terima kasih
atas waktunya. Sampai ketemu di PMI Bogor.
Trini mengangguk. Begitu masuk ke dalam rumah anak
ini melompat kegirangan. "Dwita! Rasakan kau! Kalau berita itu muncul di koran,
semua orang bakal tau kalau Boma memang pacar gue! Lu boleh gigit jari!"
*** BOMA GENDENK SUKA-SUKA CINTA
9. MISTERI BERKELANJUTAN
AGI ITU ketika Dwita datang, ibu Boma tengah
mengompres kening anaknya dengan ngan sehelai
Phanduk yang dibasahi air es dari dalam rantang. Saat itu memang belum jam
kunjungan, namun para jururawat memberi banyak kebebasan pada keluarga dan
teman-teman Boma.
Di luar kamar Dwita bertemu dengan Firman dan Andi.
Dekat pintu kamar kelihatan Ronny dan Vino. Gita duduk terkantuk-kantuk di salah
satu sudut. Tadi malam anak ini ikut bergadang bersama teman-temannya menunggui
Boma. Hanya Rio yang tak kelihatan. Orang tua Boma ber-ulang kali memberi
nasihat pada Ronny dan kawan-kawan agar tidak usah datang dulu menjenguk karena
keadaan anak-anak yang baru keluar dari rumah sakit itu juga masih lemah.
Kawatir mereka jatuh sakit. Tapi anak-anak itu malah membuat semacam Posko di
halaman parkir rumah
sakit. Yang jadi tempat istirahat dan tidur secukupnya adalah dua buah mobil.
Satu Toyota Kijang milik saudara Ronny, satu lagi Opel Blazer kepunyaan ayah
Gita. Di atas ranjang Boma kelihatan seperti tidur nyenyak.
Lengan dan kaki diikat ke besi tempt tidur. Jarum infus menancap di tangan
kirinya yang tampak agak bengkak
kebiruan. Dwita ngobrol sebentar dengan Ronny, Vino, Firman dan Andi, melayangkan senyum
pada Gita lalu masuk ke dalam kamar.
"Bagaimana keadaan Boma, Bu?" tanya Dwita dengan suara perlahan sambil berdiri
di samping Nyonya Hesti Sumitro, ibu Boma.
"Panasnya nggak turun-turun. Tadi malam Boma kejang-kejang lagi. Mengigau,
ngomong sendirian. Tidak jelas apa yang diucapkan. Kadang-kadang suaranya
berubah seperti suara perempuan tua. Lalu sesekali dia memanggil-manggil Nek...
Nek... Tidak Nek... Jangan Nek. Nggak tau nenek siapa yang dipanggil. Heran,
semua teman-temannya
sudah pulang. Kini malah nungguin dia. Tapi dia sendiri masih begini."
"Dokter bilang apa Bu?" tanya Dwita.
"Dokter Erawan tadi malam bicara sama Bapak. Katanya dari hasil pemeriksaan
darah, nggak ada tanda-tanda
Boma terserang gejala thypus atau demam berdarah. Di badannya nggak ada luka,
berarti nggak ada infeksi. Tapi heran mengapa panasnya tinggi terus. Yang bikin
kami takut igauannya itu. Suaranya yang bisa berubah. Lalu nenek yang dipanggil-
panggilnya... Sudah dua malam dia begini terus. Jangankan sadar atau ngomong,
buka mata saja tidak."
Tidak terasa air mata mengucur jatuh ke pipi. Nyonya Hesti cepat menyeka
wajahnya dengan ujung lengan
panjang pakaiannya. "Ibu sama Bapak pikir-pikir, bagaimana kalau Boma
dipindahkan saja ke rumah sakit lain di Jakarta. Tapi Bapak bilang mau ikhtiar
yang lain. Nggak tau mau ikhtiar apa." Nyonya Hesti memasukkan handuk kecil ke
dalam rantang berisi es.
Dwita mendekat seraya berkata. "Mari Bu, biar saya yang bantu ngompres. Ibu
pasti capek. Duduk saja..."
"Ibu sudah nggak mikirin capek atau ngantuk atau lapar.
Ibu ingin anak ini cepat-cepat ketahuan apa penyakitnya.
Cepat sembuh..."
"Boma pasti sembuh Bu. Mari saya bantu..." Dwita mengambil handuk kecil dari
dalam rantang, memerasnya lalu meletakannya di atas kening Boma.
"Nek.... Jangan Nek.... Saya nggak mau. Jangan Nek..."
Tiba-tiba Boma mengeluarkan ucapan. Lalu suara anak itu berubah seperti suara
perempuan tua. Tapi tak jelas apa yang diucapkannya. Dwita sampai tergagau dalam
kejut-nya. Termos di atas meja kecil di samping tempat tidur hampir terjatuh
terlanggar sikutnya. Untung masih sempat dipegang oleh Nyonya Hesti.
Sesaat pucat wajah Dwita. Kalau tidak mendengar
sendiri rasanya tadi dia kurang percaya akan ucapan ibu Boma. Setelah agak
tenang, Dwita kembali mengompres-kan handuk kecil ke kening Boma. Pada waktu
itulah di pintu kamar muncul Trini Damayanti. Tapi Inak ini mem-batalkan niatnya
masuk. Air mukanya berubah ketika melihat Dwita yang sedang mengompres kepala
Boma. Ber- bagai rasa yang bermuara dari rasa cemburu memenuhi
hati anak ini. Dwita sendiri saat itu tidak melihat Trini.
Di sudut kamar Gita yang terkantuk-kantuk membuka
matanya ketika melihat ada orang muncul di pintu.
"Hemmm, kucing garong..." kata cewek gendut ini dalam hati lalu meramkan matanya
kembali, pura-pura tidur.
"Kok nggak jadi masuk?" Ronny yang berdiri dekat pintu bertanya.
"Belum jam kunjungan. Nanti aja," jawab Trini.
"Nggak apa-apa. Masuk aja," kata Vino. "Nanti juru-rawatnya marah."
"Jururawat yang mana?" tanya Vino heran. "Perasaan gua di dalam nggak ada
jururawat," kata Ronny Celepuk.
Trini meruncingkan bibir. "Itu tuh... Yang pakai stelan jins. Tau dong yang aku
maksud...." Yang dimaksudkan Trini dengan jururawat pakai stelan jins tentu saja
adalah Dwita Tifani. Sambil melangkah pergi dalam hati Trini berkata, "Pinter
juga 'tu cewek ngambil hati ibunya si Boma.
Huh!" "Heran si Trini," kata Vino begitu Trini berlalu'. "Temen lagi sakit masih
sempat-sempatnya ngunjukin rasa
cemburu." "Cinta Vin, Cinta SMU kau tau dong," kata Ronny. "Cinta SMA artinya Cinta
Sekolahan Memang Amburadul."
*** DI DEPAN Rumah Sakit Trini Damayanti memandang
seputar halaman parkir. Dia belum melihat Suzuki Katana hitam itu. Matanya
dilayangkan ke arah jalan raya yang dirindangi pohon-pohon besar.
"Mungkin belum datang. Mungkin dia nggak langsung ke sini..." Trini menggaruk
tengkuknya yang terasa gatal.
"Gimana ya" Mestinya sih di sini ada tilpon kartu." Dari dalam tasnya Trini
mengeluarkan selembar kartu tilpon dan sehelai kertas kecil bertuliskan catatan
nomor tilpon. Ketika dia hendak beranjak matanya melihat sebuah jip Suzuki Katana hitam baru
saja diparkir di pinggir jalan di depan rumah sakit.
"Mudah-mudahan dia." Trini melangkah cepat. "Betul, memang dia."
Dari dalam Suzuki Katana itu keluar sosok gemuk ber-
topi pet terbalik.
"Mas Tuyul! Hai!"
Tuyul Bengkak yang wartawan membalikkan badan.
"Kirain siapa! Cepat juga nyampainya. Udah lama?"
"Barusan. Mas Tuyul, saya boleh minjam handphone-nya?"
"Boleh, boleh. Asal jangan sambungan kosong kosong satu saja." 001 adalah
sambungan langsung internasional.
"Nggak, cuma deket sini kok," jawab Trini sambil menerima handphone yang
diacungkan Tuyul Bengkak.
Jari-jari lentik Trini Damayanti dengan cekatan memijit tombol-tombol angka
sambil matanya melirik ke kertas kecil di mana tertera sederetan nomor tilpon.
*** SEORANG jururawat muncul di kamar tempat Boma
dirawat. Dia menanyakan apakah ada yang bernama Dwita Tifani di kamar itu.
"Saya Dwita. Ada apa suster?"
"Ada tilpon di kantor. Dari Jakarta. Katanya penting."
Dwita mengikuti jururawat itu menuju kantor rumah
sakit. Jururawat menunjuk ke sebuah pesawat tilpon yang tergeletak di atas meja.
Dwita segera mengambil pesawat itu. "Hallo...." Tak ada jawaban. Karena memang
tilpon itu sudah mati. "Nggak ada suara suster..."
"Mungkin putus. Akhir-akhir ini memang suka ada gangguan," jawab jururawat.
"Yang nilpon tadi laki-laki atau perempuan" Mungkin memberitahu nama?" bertanya
Dwita. "Perempuan. Katanya Ibu Dwita. Dari Jakarta. Penting.
Perlahan-lahan. Dwita meletakkan pesawat tilpon ke
tempatnya. Setelah mengucapkan terima kasih dia keluar dari kantor rumah sakit.
Hatinya bertanya-tanya. "Ada apa Mama menilpon aku?"
Dwita sampai di depan kamar tempat Boma dirawat.
Langkah anak ini terhenti. Di situ, di dalam kamar dia melihat Trini Damayanti
tengah mengompres kepala Boma dengan handuk kecil. Persis seperti yang
dilakukannya tadi. Dwita Tifani tertegun diam sesaat di ambang pintu.
Benaknya berpikir-pikir, hatinya bertanya tanya.
"Pasti dia. Dia ngerjain aku. Licik!" Dwita memutar langkah lalu cepat-cepat
meninggalkan tempat itu.
Ronny dan Vino yang masih ada di depan pintu kamar
saling pandang lalu sama-sama senyum.
"Yang satu ini lain lagi modelnya, Ron," kata Vino.
"Iyya, tadi aku dengar dia seperti ngomong sendirian kayak orang kesambet."
Ronny melirik ke dalam kamar. Lalu berkata perlahan
pada Vino. "Pasti gara-gara jururawat yang lagi ngompres kepala teman kita itu."
"Bisa jadi," sahut Vino. "Ron, ngomong-ngomong Ibu Bahasa Inggris kok sempat-
sempatnya datang ke Pos
Pengawas. Lu liat nggak?"
"Liat. Itu 'kan biasa aja Vin. Namanya guru sama murid.
Murid ditimpa musibah. Guru ikut prihatin. Punya ke-
sempatan datang. Wajar aja gua rasa" Ada apa sih di otak kotor lu?" tanya Ronny.
"Kamu nggak tau?" balik bertanya Vino.
"Tau apa?" kini Ronny Celepuk yang balas bertanya.
"Ada isu..." jawab Vino.
"Au" Isu apa-an?"
"Ibu Renata suka sama Boma."
" Ajie gombal lu!" kata Ronny. "Kok ada sih yang punya pikiran begitu. Setiap
guru musti suka dong sama murid.
Maksud gue suka dalam arti sebatas hubungan antara
guru dan murid. Itu wajar menurut gua. Kalau guru nggak suka murid ya jangan
ngajar!" "Ada yang bilang begini Ron. Waktu di kelas satu, Ibu Renata katanya pernah
minta anterin Boma nonton. Katanya film yang mau ditonton banyak persamaannya
dengan kisah hidup Ibu Renata..."
"Masa iyya sih?" Ronny mulai percaya. "Terus Boma nemenin Ibu Renata."
"Itu yang nggak diketahui. Mungkin iyya, mungkin nggak," jawab Vino.
"Ala ude, deh. Gue juga kalau diminta Ibu Renata nemenin die ke mana aja, pasti
mau. Habis masih muda, baek banget, cakep lagi..."
"Kalau kamu sih jangan ditanya Ron. PPD!"
"Apa 'tuh PPD" Perusahaan Pengangkutan Djakarta" Bis PPD?"
" Pacaran Paling Doyan," jawab Vino.
Ronny Celepuk tertawa lebar. "Anak laki doyan pacaran sih jamak-jamak aja Vin.
Dari pada kayak lu nggak punya cewek."
Waktu hari Sabtu, hari terakhir sekolah. Sebelum
liburan, lu nyium si Sarah ya..."
" Ajie busyet! Jangan ngarang lu!"
"Ada anak yang bilang. Dia ngeliat lu lagi nyium Sarah dekat gudang sekolah.
Bener 'kan" Bilang aja iyya."
Ronny Celepuk kembali tertawa.
"Kalau cuma ciuman nggak bakal ketularan AIDS Vin.
Percaya gue!" kata Ronny lalu tertawa cekikikan.
*** DWITA TIFANI melangkah cepat di halaman parkir rumah
sakit. Dia mendengar langkah-langkah berat di belakangnya. Ada seseorang
mengikuti. Dwita ingat mimpinya tempo hari. Jangan-jangan Trini yang
mengejarnya. Dwita membalik. Orang yang mengikuti terkejut, cepat hentikan
langkahnya sebelum menabrak anak itu. Tangannya bergerak membetulkan letak kaca
mata tebal plus 6 yang
merosot di penampang hidungnya.
"Oo Bapak, saya kira siapa," kata Dwita ketika dilihatnya yang mengikuti
ternyata ayah Boma.
"Maafkan Bapak. Saya Sumitro, ayahnya Boma."
Dwita mengangguk.
"Bapak tau anak ini temannya Boma, tapi lupa namanya.
Jadi Bapak cuma mengikuti..."
"Nggak apa-apa Pak. Saya Dwita. Kelihatannya Bapak terburu-buru. Bapak mau
kemana?" "Nak Dwita bawa kendaraan?"
"Bawa."
"Sama supir?"
"Bawa sendiri."
"Bapak boleh minta tolong?"
"Boleh aja...."
"Kalau tidak merepotkan Nak Dwita, bisa antarkan Bapak ke Kedung Halang. Tidak
jauh dari sini."
"Hemmm, bisa Pak..."
"Kalau begitu tunggu sebentar."
Ketika kembali ayah Boma ditemani oleh seorang lelaki berpeci hitam. Ini Pak
Supangat, masih pamannya Boma.
Kita berangkat sekarang?"
"Boleh..."
Di tengah jalan tak ada yang bicara. Dwita tak tahan juga. Dia bertanya. "Pak
Sumitro, kita ke Kedung Halang ke tempatnya siapa?"


Boma Gendeng 1 Suka Suka Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rumah kenalan," jawab Sumitro Danurejo, ayah Boma.
"Rumahnya orang pintar."
"Maksud Bapak Doktor, Professor?" tanya Dwita.
Sumitro Danurejo tertawa. Lelaki berpeci bernama
Supangat tersenyum.
"Orang pintar yang Bapak maksud bukan Doktor bukan Professor. Tapi orang pintar
yang pandai mengobati
penyakitnya Boma..."
"Maksud Bapak dukun?" tanya Dwita polos.
"Sebenarnya bukan dukun. Tapi ya, bisa dikatakan begitu. Anggap saja dukun.
Orangnya sendiri tidak mau dikatakan sebagai dukun. Ini berkaitan dengan
sakitnya Boma. Sampai saat ini dokter Erawan tidak tau apa
sakitnya Boma. Bapak dan Pak Supangat ini sudah lama memperhatikan adanya
kelainan dalam sakitnya Boma.
Bapak pikir, semua jalan harus dicoba."
Dwita terdiam. Dia ingat pada ucapan-ucapan Boma di
rumah sakit tadi. Serasa terngiang kembali bagaimana suara Boma berubah seperti
suara seorang nenek-nenek.
Dalam hati anak ini berkita. "Heran, di abad serba modern ini, apa iyya orang
masih percaya pada dukun" Tapi sakitnya Boma memang aneh. Kalau dokter tidak tau
penyakitnya, apa dukun tau dari bisa menyembuhkan?"
*** BOMA GENDENK SUKA-SUKA CINTA
10. NENEK-NENEK DISAMPING RANJANG
I DALAM. Opel Blazer yang diparkir di bawah
kerindangan pohon besar, Vino mencolek bahu
DRonny Celepuk sambil bibirnya dicibirkan ke arah
Gita yang tidur di kursi belakang bergelung bantal kecil.
Saat itu hujan turun rintik-rintik. Udara kota hujan Bogor terasa sejuk
mendekati dingin.
"Orang gemuk memang penyakitnya begitu Ron. Enggak di mana enggak dimana maunya
tidur melulu. Nggak boleh nemplok langsung lengket. Kayak keong aja."
"Sialan, siapa yang tidur," tiba-tiba terdengar sahutan Gita walau matanya masih
tetap terpedan tubuhnya tidak bergerak.
"Eh, sorry, gua kira tidur. Habis tadi sampai ngorok segala," kata Vino.
"Brengsek! Enaknya aja bilang gua ngorok!" Mata Gita masih terpejam.
"Ngiler lagi. Tuh, liat. Jok mobil ampe basah,"
Ronny Celepuk menimpali.
Kini sepasang mata Gita gendut serta merta terbuka
nyalang, dia bangkit dari tidurnya dan duduk di kursi mobil.
Ucapan Ronny tadi membuat Gita di luar sadar menyekakan tangannya ke mulut.
Ronny dan Vino tertawa.
"Kalian berdua pada brengsek. Lu tau nggak gue lagi kecapean?" ucap Gita.
"Semua kita memang kecapean Tante..." kata Vino.
" Ajie gile! Lagu lu, sekali lagi lu panggil gue Tante bener-bener gue peperin
iler lu!" "Sabar teman, sabar," Ronny berkata sambil mengangkat tangan dan tertawa.
"Tadi ada wartawan," Vino memberitahu. "Nanya-nanya segala macam. Katanya ada
keanehan sewaktu kita diselamatkan di Gunung Gede..."
"Keanehan apa?" tanya Gita.
"Banyak. Mulai saat kita ditemukan berjejer di pinggir longsoran. Lalu kunang-
kunang, sampai makhluk-makhluk gaib..."
"Ron, kau inget nggak Pak Nugroho bilang. Waktu rombongan kita ditemukan, kita
semua berada dalam
kantong tidur. Padahal...."
"Gue nggak ngarti." Gita Parwati memotong ucapan Vino.
Ronny Celepuk tertawa. "Kamu sih memang banyakan nggak ngartinya, Git. Inget
nggak omongan Kepala Sekolah soal cerita Letda Sofyan sama Pak Tatang."
Gita mengangguk. Lalu berkata. "Mang Sambas, wakil Pak Tatang juga pernah bilang
sama aku waktu masih di rumah sakit di Sukabumi. Dia heran, kok teman-teman kita
bisa diselamatkan begitu cepat. Menurut perhitungan dari lokasi mereka ditemukan
sampai di pos paling tidak makan waktu lima jam. Nyatanya mereka bisa sampai
dalam tiga jam. Lalu ada anggota pencari yang membisiki aku. Katanya ada makhluk
halus yang kagak kelihatan tolong mengangkat usungan. Ih, gue jadi merinding.
Tapi..." Gita diam.
"Tapi apa ndut?" tanya Ronny Celepuk.
"Ada yang bikin gue lebih merinding," jawab Gita.
"Apa-an?" tanya Vino. "Lu liat cowok telanjang?"
"Setan gombal lu! Aku serius..." kata Gita Parwati. Dua mata belok anak
perempuan yang gemuk berkulit hitam ini menatap lurus ke depan.
"Jadi beneran kau liat cowok telanjang" Di mana"
Siapa?" Vino masih bergurau.
"Jangan becanda. Salah-salah kau bisa jadi seperti Boma. Diserang demam panas,
mengigau tak karuan..."
Ronny Celepuk dan Vino saling pandang. "Wah,
nyumpahin temen sendiri nih!" kata v mo.
"Gita, kau ini bicara apa sih"!" tanya Ronny.
"Gila, sekarang gua yang jadi merinding!" kata Vino pula sambil menggeser
duduknya lebih rapat ke pintu mobil.
"Kalian tau nggak. Waktu aku ngejagain Boma di
kamar...," kata Gita, "aku sering-sering ketiduran karena kecapean. Tapi setiap
aku terbangun dan melihat ke arah tempat tidur Boma, aku samar-samar melihat ada
orang berdiri di sampingnya. Perempuan..."
"Itu pasti ibunya," kata Vino pula.
Gita menggeleng. Sepasang matanya masih meman-
dang lurus ke depan. "Bukan, bukan ibunya Boma. Sosok perempuan itu bukan ibunya
Boma. Walau terlihat cuma samar-samar, aku yakin itu bukan ibunya Boma. Wong
ibunya Boma ada di sisi ranjang sebelahnya."
"Lalu siapa" Kau ngenalin orangnya?" tanya Ronny Celepuk. Mulutnya mendadak
terasa asam. Dia ingat rokok di kantong blujins. Tangannya merayap mengambil.
Baru setengah bungkusan rokok keluar, sepasang mata Gita
melirik ke arah saku celana Ronny lalu berputar memandang lekat-lekat ke wajah
anak lelaki itu. Entah mengapa Ronny merasakan hatinya jadi ciut lalu masukkan
bungkusan rokok kembali ke dalam saku celana.
Dua mata Gita kembali memandang lurus ke depan.
Mulutnya berucap.
"Sosok yang aku liat itu, agak bungkuk. Berdiri nggak bergerak-gerak di samping
ranjang Boma. Sosok itu sosok seorang nenek-nenek..."
"Apa"!" tanya Ronny.
Vino meraba tengkuknya yang mendadak terasa dingin.
"Yang berdiri di samping tempat tidur Boma adalah seorang nenek-nenek. Nenek-
nenek aneh. Kulitnya hitam.
Mukanya cekung. Wajahnya seram sekali. Dua matanya
angker mengerikan. Pakaiannya rombeng. Di atas
kepalanya aku melihat seperti ada hiasan aneh..."
Ronny menggigit bibirnya sendiri, menatap wajah Gita.
"Gita, lu nggak ngarang cerita 'kan?"
Gita menggeleng. "Buat apa aku ngarang" Apa untungnya?" sahut Gita. Lalu dia
meneruskan. "Mula-mula aku tidak acuh. Pertama kali aku melihat nenek-nenek itu
aku kira cuma perasaan atau pandangan khayal mataku doang.
Tapi setiap kali aku terbangun dan membuka mata, aku kembali ngeliat nenek-nenek
itu. Ngeliat sebentar, lalu sosoknya hilang. Ngeliat, hilang. Gitu terus-
terusan...."
Saat itu udara mendung dan hujan masih turun rintik-
rintik. Kota Bogor gelap lebih cepat.
"Ada satu hal lagi,"kata Gita Parwati.
"Apa-an?" tanya Vino dan Ronny berbarengan.
"Setiap nenek-nenek itu muncul, aku nyium bau pesing.
Santer banget." .
"Bau pesing?" ujar Ronny.
"Iyya." Jawab Gita.
"Aneh..." kata Ronny perlahan.
"Ah! Lu kali yang ngompol. Lu nyium kencing lu sendiri,"
kata Vino lalu tertawa cekikikan.
"Setan sialan lu!" maki Gita lalu melemparkan bantal yang dipegangnya ke arah
Vino. "Gua rasa udah magrib. Aku mau sholat dulu di
mussola..." kata Vino. Tapi suara mulut dan suara hatinya saling bertolak
belakang. Mulutnya memang berucap mau sembahyang tapi dalam hati entah mengapa
anak ini merasa tidak enak mau beranjak keluar dari Opel Blazer itu.
"Jangan pergi dulu Vin. Cerita Gita belum selesai."
Kebetulan Ronny melarang. Vino tetap duduk di tempatnya.
"Nenek-nenek yang kau liat itu, dia Cuma berdiri di samping tempat tidur Boma"
Nggak ngelakuin apa-apa?"
bertanya Ronny.
"Cuma diam. Berdiri menyoroti Boma dengan matanya yang angker," jawab Gita.
"Aneh," ujar Ronny Celepuk. Lalu bertanya. "Keliatannya cuma malem doang
atau..." "Malem lebih sering. Kalau siang seingatku cuma dua kali. Sebentar doang lalu
hilang..." jawab Gita.
"Aku jadi ingat Boma waktu ngigau. Kadang-kadang suaranya berubah seperti suara
nenek-nenek..." kata Ronny pula.
"Ya, aku ingat," kata Vino membenarkan ucapan Ronny.
"Mungkin, ah aku nggak berani bilang!"
"Bilang aja. Kau mau bicara apa?" ujar Gita.
"Mungkin teman kita Boma kemasukan roh halus..."
Saat itu mendadak di jalan raya terdengar suara ban
mendenyit panjang di aspal. Menyusul suara benturan
keras. Lalu suara orang-orang berteriak dan berlarian. Di dalam mobil Gita
terpekik. Ronny dan Boma tersentak
kaget. "Tabrakan..." kata Vino perlahan.
"Aku pengen kencing. Ron, temenin aku ke kamar
mandi..." "Lu gila. Masa sih kencing aja minta ditemenin."
"Lu yang gila. Emangnya gua minta temenin sampai masuk ke dalam. Sampai pintu
doang. Jagain aku di pintu.
Aku takut...."
Vino tertawa. Ternyata yang takut bukan cuma dirinya.
"Gede-gede begini penakut amat sih..." kata Ronny sambil tangannya membuka pintu
mobil. Dia turun duluan, baru Gita. Vino yang tak mau ditinggal sendiri segera
pula turun. Ketika ketiga anak itu jalan berdampingan ke bagian belakang rumah
sakit, beberapa orang memasuki
halaman, menggotong seorang anak muda yang keningnya bocor. Darah bergelimang
menutupi wajah dan sebagian kemejanya. Seorang Satpam mendatangi sambil membawa
kereta dorong. Ronny, Vino dan Gita memberi jalan. Sewaktu kereta
dorong lewat di depan mereka tercium bau minuman keras santar sekali.
"Pasti nyetir dalam keadaan teler," kata Gita sambil menutup hidung.
Di pintu depan menuju wc wanita Vino dan Ronny
Celepuk berdiri menunggu. Ini kesempatan untuk merokok, pikir Ronny. Anak ini
segera mengeluarkan rokoknya dari kantong blujins. Dari kantong lain dia
mengeluarkan korek api gas. Tiba-tiba di dalam wc terdengar suara perempuan
menjerit. Lalu suara orang lari.
"Ron, Gita Ron!" kata Vino yang mengenali suara temannya itu. Bungkusan rokok
dan korek api di tangan Ronny langsung jatuh ke ubin. Sesaat kemudian Gita
muncul berlari, sendal cuma sebelah, wajah pucat, nafas sesak. Anak gemuk ini
hampir jatuh terjerembab kalau tidak cepat ditolong Vino dan Ronny.
"Ada apa Gita"!" tanya Vino.
"Kau kenapa Git?"
"Aku takut. Cariin supir gue Ron. Aku mau pulang aja ke Jakarta. Aku mau pulang
aja." Suara Gita gemetaran setengah mau menangis.
"Pasti, tapi kenapa" Ada apa" Kenapa kau barusan menjerit lalu lari!" ujar
Ronny. "Kau udah kencing?" tanya Vino.
"Belum, nggak jadi..."
"Ada apaan sih Git?" Ronny kembali bertanya.
Gita berpaling, memandang sekilas ke arah pintu wc.
"Aku... aku nggak berani bicara disini. Nanti aja dalem mobil. Anterin aku ke
mobil. Cariin supir gue Ron..."
Sampai di mobil Ronny kembali bertanya. "Sekarang kau mau ngomong Git?"
"Iyya, cerita Git. Mukamu pucat. Kau keringatan...."
Gita Parwati mengusap wajahnya yang gembrot, lalu
mengusap lengannya yang basah oleh keringat. Lengan
kanan dengan tangan kiri, lengan kiri diusap dengan
tangan kanan. Dadanya masih turun naik. Setelah
tenangan sedikit anak ini baru berkata.
"Waktu aku mendorong pintu wc, mau masuk, aku lihat nenek-nenek bongkok itu ada
di sudut WC."
Wajah Ronny dan Vino langsung pucat. Sunyi, tak ada
yang bicara dalam mobil itu.
"Ron, sopir gue. Tolong cariin..." Gita akhirnya yang bicara.
Ronny mengangguk. Dia memutar tubuh siap melangkah
pergi mencari supir.
"Biar gue temenin Ron," kata Vino lalu beranjak dari kursi mobil yang baru saja
didudukinya. Sebenarnya anak ini merasa serem ditinggal sendirian bersama Gita.
"Gue ikut!" kata Gita lalu cepat-cepat membuka pintu mobil dan meloncat turun.
Tiga anak SMA Nusantara III itu sama-sama mencari
supir yang kemudian mereka temui sedang asyik
menyantap soto mie.
*** BOMA GENDENK SUKA-SUKA CINTA
11. BURUNG PUTIH DI ATAS ATAP
WITA TIFANI keluar dari Starlet merah, melangkah di
lorong pendek yang menghubungkan garasi dengan
Dbagian belakang rumah. Capek badannya tidak
seberapa dibanding dengan pikirannya yang kacau. Mbok Mirah muncul di ambang
pintu menuju ruang dalam.
"Dari mana aja Non" Bapak sama Ibu nanyain terus...."
Dwita tak menjawab. Dia menyerahkan tas kulitnya pada si pembantu seraya
berkata. "Bawain ke kamar saya."
Maya - kakak Dwita - sedang membaca sebuah majalah,
menurunkan bacaannya, memandang ke arah adiknya.
"Aduh, anak Mama. Dari pagi ngilang baru pulang gini ari."
"Aku capek May," jawab Dwita lalu menjatuhkan diri duduk di sofa seberang Maya.
"Jelas, dari tampangmu yang lecek kusut udah keliatan.
Tapi kalau aku perhatikan kamu ini lebih banyak capek pikiran dari pada capek
badan." "Tau deh."
Dwita melepaskan sepatu berhak rendah dari kedua
kakinya lalu enak melemparkan sepatu-sepatu itu ke sudut ruangan di mana
terletak sebuah rak sepatu. Hebatnya dua sepatu itu jatuh tepat di bagian rak
yang kosong, seperti diletakkan secara baik-baik.
Maya tersenyum melihat perbuatan adiknya itu.
"Kau habis dari mana?" Maya bertanya.
"Bogor. Rumah Sakit PMI"
"Boma?"
Dwita mengangguk.
"Masih dirawat anak itu. Gimana keadaannya?"
Dwita tak segera menjawab. Disandarkannya kepalanya
ke sofa, menatap langit-langit ruangan sebentar lalu malah memejamkan mata.
"Non cakep, jangan tidur di situ," kata Maya. "Ayo mandi.
Ganti baju. Papa sama Mama tadi bilang kalau kau sudah pulang kita makan malam
sama-sama."
"Nggak biasa-biasanya ada pesan makan malam sama-sama. Pasti ada yang mereka mau
bicarakan."
"Mungkin aja. Biasanya sih gitu," jawab Maya.


Boma Gendeng 1 Suka Suka Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin kau tau soal apa May?" Maya mengangkat bahu.
Dwita menggeliat lalu berdiri dari sofa. Dia berlari-lari kecil menaiki tangga
ke tingkat atas rumah di mana
kamarnya terletak.
"Hai Non! Katanya capek! Kok bisa naik tangga sambil lari" Aneh kau ini!"
Berseru Maya. "Jangan lupa periksa kamar mandimu Dwita! Siapa tahu gorilla tempo
hari nungguin kau di sana!"
*** DI MEJA makan kayu jati bundar malam itu Nyonya Tia
Erlan mengunyah makanan dalam mulu~nya perlahan-
lahan. Setelah menelan makanan dan meneguk sedikit air dia melirik pada Dwita
lalu memandang pada suaminya
yang duduk di seberang meja.
"Bagaimana keadaan teman-temanmu yang di rumah
sakit?" Tia Erlan bertanya sambil menyendok nasinya.
"Yang enam orang sudah pulang, Ma. Cuma Boma yang masih dirawat."
"Boma, anak yang jadi team leader pendaki Gunung Gede itu?"
"Benar Ma."
"Memangnya sakitnya berat sampai masih perlu terus dirawat?" ayah Dwita yang
bertanya. "Sakitnya aneh Ma."
"Aneh gimana?" Bertanya sang ibu, hampir berbarengan dengan Maya.
"Fisiknya sehat, nggak ada luka nggak ada apa-apa.
Hasil pemeriksaan darah di Lab juga bagus. Tapi dia
mengalami serangan panas tinggi terus-terusan."
"Mungkin ada gejala penyakit lain. Dokter pasti tahu, tapi biasanya nggak pernah
bilang..."
"Justru di situ letak keanehannya Ma. Dokter yang merawat Boma tidak menemukan
sebab-sebab panas
tinggi yang dialami Boma. Nggak ada tanda-tanda atau gejala thypus. Demam
berdarah juga nggak. Nggak ada luka atau infeksi. Obat penurun panas tidak
membantu."
"Dokternya nggak benar kalau gitu," ujar ibu Dwita.
"Masa' punya pasien tapi nggak tahu penyakitnya apa."
"Tapi Bomanya sadar?" tanya Maya.
Dwita menggeleng. "Matanya merem terus. Kadang-
kadang ngigau tak karuan. Kalau ngigau suaranya bisa berubah seperti nenek-
nenek. Kalau panasnya lagi naik dia suka kejang-kejang, berontak-berontak.
Jururawat terpaksa mengikat tangan dan kakinya ke besi tempat tidur."
"Jangan-jangan anak itu kemasukan mahluk halus,"
ucap Erlan Sujatmiko ayah Dwita. '
"Papa ini ada-ada saja. Orang diserang demam panas tidak heran kalau ngigau,
ngomong ngacau. Malah ada
yang mau mengamuk. Boma masih untung belum sampai
ke situ...."
Erlan Sujatmiko diam saja.
"Papa percaya hal-hal seperti itu?" Dwita tiba-tiba bertanya.
"Hal-hal yang mana?"
"Adanya mahluk halus, adanya hal-hal aneh dan gaib,"
ujar Dwita pula.
"Kenapa tidak?"
"Ayah Boma memang sudah minta bantuan orang
pinter." "Dukun?" tanya Maya.
Dwita mengangguk.
Nyonya Tia Sujatmiko menggeleng-gelengkan kepala.
"Anak sakit panas kok dimintai tolong dukun. Bisa-bisa nanti tambah tak karuan
anak itu."
"Bagaimana kau tahu ayahnya Boma minta tolong
dukun?" tanya Maya.
"Aku diminta tolong nganterin ke rumah dukun itu. Dekat Bogor juga."
"Apa yang dilakukan dukun itu?" tanya ayah Dwita.
*** ORANG pintar yang tinggal di Kedung Halang itu ber-
nama Sobirin Kartalegawa. Dia dikenal dengan panggilan Haji Sobirin karena
memang sudah empat kali naik haji ke tanah suci Makkah. Kabarnya tahun depan dia
akan me-nunaikan Rukun Islam yang ke lima itu untuk kelima kali-nya.
Haji Sobirin berusia lebih tujuh puluh tahun. Namun
fisiknya masih kelihatan sehat gagah. Wajahnya yang
kelimis dihias kumis dan janggut putih. Dia menyambut kedatangan tamu-tamunya
dengan segala keramahan. Apa
lagi sebelumnya memang sudah kenal dengan Pak
Supangat, lelaki yang membawa ayah Boma ke rumahnya.
"Pak Supangat, lama kita tidak bertemu. Ada kabar apa ini?" tegur tuan rumah.
Supangat menyalami Haji Sobirin lalu memperkenalkan
ayah Boma. "Ini Pak Sumirto Danudirja, sahabat saya di Jakarta."
Ayah Boma dan Haji Sobirin saling mengulurkan tangan.
"Ini gadis cantik puterinya siapa" Puteri Pak Supangat atau Pak Sumitro?" tanya
Haji Sobirin sambil memandang pada Dwita Tifani.
"Ini teman anak saya," menerangkan ayah Boma. "Dia yang ngantarkan kami ke
sini." Haji Sobirin mengangguk-angguk. Setelah dipersilahkan duduk oleh tuan rumah Pak
Supangat langsung saja pada maksud tujuan kunjungannya.
"Pak Haji mungkin dengar peristiwa rombongan anak-anak sekolah yang mengalami
musibah di Gunung Gede?"
"Oo itu" Cucu saya memang pernah cerita. Katanya dimuat di koran...."
"Kedatangan kami ini ada hubungannya dengan kejadian itu. Salah seorang anak
sekolah itu, putera Pak Sumitro ini, saat ini masih dirawat di rumah sakit.
Teman-temannya yang enam orang sudah keluar...." Lalu Pak Supangat me-nuturkan
riwayat sakit yang dialami Boma dan keadaannya sekarang ini. Pak Supangat
menutup ceritanya dengan
ucapan. "Kami datang, mudah-mudahan Pak Haji mau membantu. Tolong lihat, apa
benar mungkin sakitnya anak Pak Sumitro ini ada kelainan. Lalu kalau betul mohon
bantuan penyembuhannya sekalian...."
Lama Haji Sobirin terdiam, mungkin di dalam hati
membaca sesuatu. Lalu dia berkata. "Pak Sumitro, saya sering bilang sama Pak
Supangat, saya ini bukan orang pinter. Apa lagi kalau sampai disebut dukun. Tapi
yang namanya orang minta tolong, saya tidak berani menolak.
Saya akan lakukan apa yang saya bisa. Tapi ingat semua bukan karena ilmu atau
kepandaian saya. Semua adalah petunjuk dari Yang Maha Kuasa." Waktu menyebut
Yang Maha Kuasa Haji Sobirin menunjukkan jari telunjuknya ke atas. Lalu dia
bangkit berdiri, menutup pintu depan dan semua jendela. Setelah itu dia mengajak
ke tiga orang tamunya itu masuk ke ruangan dalam.
Setelah duduk di ruang dalam Haji Sobirin bertanya
pada Pak Supangat.
"Siapa nama putera Bapak Sumitro ini?"
"Boma," jawab Pak Supangat.
"Boma Tri Sumitro." Berkata ayah Boma menyebut nama lengkap anaknya.
"Ingat tanggal lahirnya putera Bapak?" tanya Haji Sobirin selanjutnya.
Sumitro Danurejo mengusap rambut di kepalanya be-
berapa kali. "Maaf, Pak Haji. Saya lupa." Tanggal lahir anaknya sendiri lelaki
ini tidak ingat.
"Hari lahirnya mungkin?" tanya Haji Sobirin lagi sambil tersenyum.
"Kalau harinya saya ingat betul Pak Haji. Hari Kemis malam Jum'at Kliwon. Jam
sebelas tiga puluh malam."
Haji Sobirin mengangguk. Perlahan-lahan dia pejamkan kedua matanya. Telapak
tangan dikembangkan, diletakkan di atas paha. Ayah Boma dan Pak Supangat
memperhatikan dengan pandangan mata yang hanya sekali-sekali berkedip. Dwita
diam-diam merasa tegang. Apa yang tengah dilakukan orang tua berkumis dan
berjanggut putih ini" Apakah sesuatu akan terjadi di tempat itu" Anak perempuan
ini semakin tegang ketika dilihatnya tubuh sebelah atas dan kepala Haji Sobirin
tersentak-sentak.
Wajahnya yang putih klimis kini berubah kemerahan dan peluh bercucuran di
keningnya. Ayah Boma berpaling pada Pak Supangat. Kalau ayah Boma tampak mulai
ada rasa tegang, sebaliknya Pak Supangat tenang saja. Mungkin hal seperti ini biasa
dilihatnya setiap dia mengantar orang meminta pertolongan Pak Haji.
Tak selang berapa lama sentakan-sentakan di tubuh
dan kepala Haji Sobirin berhenti. Perlahanlahan kedua matanyapun terbuka
kembali. Sambil mengucap istigfar beberapa kali dia mengusap keningnya yang
basah oleh keringat. Lalu dia meniandang pada ayah Boma. Hanya
memandang saja, tidak berkata apa-apa. Hal ini membuat Sumitro Danurejo merasa
tidak enak. Lelaki ini bertanya.
"Bagaimana Pak Haji?"
Yang ditanya mendehem beberapa kali. "Pak Sumitro, mungkin di rumah Bapak ada
menyimpan barang-barang
pusaka" Benda-benda kuno?" Ayah Boma menggeleng.
"Coba Bapak ingat-ingat. Mungkin saja sebilah keris, atau pisau kecil. Mungkin
juga batu atau jimat...." kata Haji Sobirin lagi.
Sumitro Danurejo coba mengingat-ingat. Tapi memang
dia tidak pernah menyimpan benda-benda seperti yang di-sebutkan Haji. Sobirin
itu maka kembali dia menggelengkan kepala.
"Saya tidak ada menyimpan benda-benda seperti Pak Haji katakan itu."
Haji Sobirin pejamkan mata sesaat, seperti merenung: Ketika membuka matanya
kembali, dia memandang pada
ayah Boma lalu berkata.
"Dalam petunjuk yang saya lihat putera Bapak tengah menghadapi satu perkara
besar. Saya juga melihat ada cahaya putih. Pertanda perkara itu bukan suatu yang
buruk. Mungkin, mungkin ada seseorang hendak menurunkan atau memberikan ilmu
pada putera Bapak...."
Ayah Boma terkejut. Dia memandang sesaat pada Pak
Supangat, melirik pada Dwita yang duduk tak bergerak di kursinya dan masih
menunjukkan wajah tegang.
"Ilmu apa?" tanya ayah Boma kemudian.
"Tidak bisa saya pastikan. Yang jelas bukan ilmu tulis baca, bukan ilmu
sekolahan...." jawab Haji Sobirin.
Sumitro Danurejo bertanya lagi. "Siapa yang hendak memberikan ilmu itu, Pak
Haji?" "Mungkin di antara kakek dari kakeknya Bapak,
mungkin juga dari garis istri Bapak pernah ada seorang yang memiliki ilmu
tertentu?"
"Dari saya jelas tidak ada. Entah dari ibunya Boma. Tapi saya rasa juga
tidak...."
"Pak Sumitro yakin?"
"Saya yakin."
"Kalau begitu...." kata Haji Sobirin sambil mengusap janggut putihnya. "Mungkin
ada orang lain yang hendak mewariskan ilmunya pada Boma. Tapi putera Bapak
menolak...."
"Karena menolak dia lalu mendapat serangan demam panas?" tanya ayah Boma.
"Mungkin saja, tapi tidak selalu begitu...."
"Pak Haji, orang yang mau mewariskan ilmu itu kepada Boma, dia...." Sumitro
Danurejo tak bisa meneruskan kata-katanya. Dia seperti tak tahu mau bicara apa
lagi. "Pak Mitro," kata Haji Sobirin. "Kalau mau cari tahu siapa orangnya itu adalah
hal yang sulit. Tapi yang jelas orang itu sudah lama tiada. Sudah berada di alam
barzah, alam roh, sejak puluhan mungkin ratusan tahun silam."
"Jadi hantu, jin?" ujar Sumitro.
Dwita merasa kuduknya dingin. Pak Supangat tak ber-
gerak dari kursinya. Haji Sobirin tersenyum.
"Apa yang akan terjadi itu di luar kuasa kita. Mungkin sudah begitu jalan hidup
putera Bapak." Di luar kuasa kita manusia, sesuai kehendak Yang Maha Kuasa. Yang
dapat kita lakukan ialah berusaha supaya putera Bapak tidak mengalami hal-hal
tak diinginkan."
"Lalu apa yang bisa saya lakukan untuk menolong anak saya?" tanya Sumitro
Danurejo pula. "Kita sama-sama meminta pertolongan Tuhan Yang
Maha Kuasa. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa
dengan putera Bapak. Haji Sobirin diam sebentar baru meneruskan. "Satu hal perlu
Pak Mitro ketahui, saya melihat bahwa putera Bapak mempunyai kepribadian yang
kuat, rasa welas asih dan setia kawan yang tinggi, memiliki keberanian luar
biasa tetapi yang ditutupnya dengan
senyum dan keramahan, kadang-kadang dengan senda
gurau." Haji Sobirin bangkit dari kursinya. Meminta ketiga
tamunya untuk menunggu sebentar lalu masuk ke dalam
kamar. Ketika tak selang berapa lama keluar dari
kamar,Haji Sobirin membawa satu botol air putih daIam botol plastik ukuran satu
liter. Dia menyerahkan botol itu pada ayah Boma seraya berkata.
"Kompreskan air ini dengan handuk kecil atau sapu tangan ke kepala putera Bapak.
Setiap Bapak mengompres, baca apa saja yang Bapak bisa baca. Paling tidak ucapkan Bismillah
Mudah-mudahan Allah memberikan kesembuhan."
Ayah Boma mengangguk, menerima sebotol air putih.
Baru saja dia mengucapkan terima kasih, tiba-tiba di wuwungan rumah terdengar
suara menggelepar keras
sekali. Dwita terkejut, juga ayah Boma dan Pak Supangat.
Ketiganya memandang ke atas. Yang tampak cuma eternity putih. Haji Sobirin
merenung sejenak. Lalu berkata pada ketiga tamunya.
"Ikuti saya. Ada tamu di atas atap...."
Dengan langkah-langkah tercekat Dwita, ayah Boma dan Pak Supangat mengikuti Haji
Sobirin keluar rumah.
Halaman rumah Haji Sobirin menyelimuti. Di salah satu ujung halaman Haji Sobirin
berhenti. Dia membalikkan badan, memandang ke arah atap rumah.
Di bagian atap yang paling tinggi ke tiga orang itu melihat bertengger seekor
burung putih besar, kepalanya diarahkan pada orang-orang di halaman seolah
membalas pandang mereka. Di kejauhan tiba-tiba terdengar suara panjang raungan anjing.
"Burung putih...." kata Haji Sobirin perlahan tapi cukup terdengar oleh ke tiga
orang yang berada di dekatnya.
"Orang yang hendak memberikan ilmu kepandaian itu mengutus burung putih. Memberi tanda bahwa dia tidak bermaksud jahat tapi
sekaligus memberi tahu bahwa
maksudnya jangan dihalangi. Kalau saja dia mengirim
burung hitam, akan lain artinya...."
Begitu Haji Sobirin selesai berucap, burung putih besar di atas atap
merentangkan sayapnya. Terdengar suara
menggelepar keras. Burung itu melesat ke udara, berputar satu kali di atas rumah
Haji Sobirin lalu melayang ke arah timur dan lenyap ditelan gelapnya malam.
*** DI MEJA makan Dwita meneguk air putih dalam gelas
sampai setengahnya lalu menyeka bibir dengan kertas tisu.
"Makannya cuma sedikit. Masakan Mama tidak enak atau sudah makan tadi di jalan?"
Dwita tersenyum mendengar pertanyaan ibunya itu.
"Masakan Mama enak. Perut sebenarnya masih mau
nerima, Ma. Tapi cukup sedikit aja, takut gemuk."
"Anak sekarang. Kalau makan nasi banyak-banyak di rumah katanya takut gemuk.
Tapi kalau jajan makanan
yang banyak fat nya di luar, wah tidak pernah cari alasan...."
Dwita tersenyum, mendekatkan wajahnya ke wajah sang
ibu lalu mencium pipinya. Anak ini kemudian berpaling pada ayahnya.
"Pa, apa mungkin air putih bisa menyembuhkan orang sakit?"
Erlan Sujatmiko menyandarkan punggung ke sandaran
kursi. Dia maklum pertanyaan puterinya itu ada kaitannya dengan sakitnya Boma.
Sang ayah menjawab.
"Tergantung daya khasiat air itu serta apa penyakit yang hendak disembuhkan.
Kalau yang Dwita maksudkan air
putih tadi, air putih untuk obat temanmu itu, mungkin saja bisa jadi sumber
kesembuhan. Karena penyakit temanmu itu di luar wajar. Di luar jalur ilmu
kedokteran. Tentunya jangan lupa sembuh apa tidaknya semua itu akan tergantung


Boma Gendeng 1 Suka Suka Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada kehendak Yang Maha Kuasa."
"Papa kalian memang suka percaya pada hal-hal seperti itu. Kekuatan gaib, black
magic, santet, guna-guna...."
"Saya tidak begitu saja percaya Ma. Lagi pula orangorang pintar zaman sekarang
yang katanya dukun ini
dukun itu, tidak semuanya bisa dipercaya. Ada yang cuma dukun-dukunan, menipu
orang saja kerjaannya. Malah ada juga dukun cabul. Baca di surat-surat kabar.
Berapa banyak saja yang sudah ditangkap. Lalu kalau saya tidak mengalami sendiri, mana
mungkin mau percaya begitu
saja" Ingat peristiwa tujuh tahun lalu?"
"Memangnya ada kejadian apa tujuh tahun lalu Pa?"
tanya Maya. "Tidak ada apa-apa. Tak perlu diceritakan pada anak-anak," kata Nyonya Tia
Erlan. "Lebih bagus diceritakan pada anak-anak. Agar mereka tahu bagaimana sebenarnya
hidup dari kehidupan ini. Lagi pula peristiwanya sudah cukup lama berlalu."
"Ya, cerita dong Pa," kata Dwita.
"Iya, kami kepingin tahu. Masa pakai rahasia segala sama kami anak-anak," pinta
Maya. Erlan Sujatmiko meneguk airnya lalu mulai bercerita.
"Waktu itu - tujuh tahun lalu - di kantor sudah tersiar kabar bahwa Papa akan
diangkat dan ditugaskan sebagai Konsul di luar negeri. Tiga bulan menjelang
keberangkatan, papa jatuh sakit. Yang sakit di bagian perut. Mula-mula seperti
diare. Buang-buang air selama seminggu. Badan Papa susut. Berat badan merosot
terus. Papa masuk
rumah sakit. Hampir dua minggu dirawat sembuh. Boleh pulang. Tapi belum satu
hari sampai di rumah, sakit perut kumat lagi. Kali ini bukan diare tapi buang
air campur darah segar. Untuk kedua kali Papa masuk rumah sakit lagi. Beberapa
dokter ahli menangani. Karena banyak
dokter jadi diagnose nya juga banyak. Hasil ronsen tidak menunjukkan apa-apa.
Padahal perut Papa sakitnya
seperti ditusuk-tusuk. Lalu ada seorang kawan menasihatkan agar penyakit Papa
coba dilihat pada orang pintar.
Papa, juga Mama tadinya tidak mau. Namun teman itu
secara diam-diam pura-pura menengok Papa mendatang-
kan orang pintar tadi ke rumah sakit. Kalau tidak salah orang itu bernama
Susilo. Setelah melihat Papa, Pak Susilo memberi tahu pada teman Papa bahfa Papa
bukan sakit biasa, tapi ada yang dengki karena Papa diangkat jadi Konsul. Katanya Papa lebih
baik pulang saja, percuma dirawat di rumah sakit. Sampai kapanpun tak bakal
sembuh. Nanti kalau sudah di rumah dia yang akan berusaha menolong. Papa
berunding dengan Mama. Akhirnya disepakati Papa tidak boleh dibawa pulang. Kalau
orang pintar itu memang mampu, dia harus mengobati Papa
langsung di rumah sakit. Karena begitu permintaan Papa, orang yang mau menolong
tidak keberatan. Papa ingat, hari itu Jum'at malam Sabtu. Hari Sabtunya hari
ulang tahun Papa yang ke empat puluh dua. Setelah jam
kunjungan selesai, teman Papa tadi dan orang pintar itu tetap tinggal di kamar
tempat Papa dirawat...."
*** "PAK ERLAN, apa saya boleh mematikan lampu besar, menggantikan dengan lampu
kecil saja...?" Susilo, orang yang hendak mengobati Erlan Sujatmiko bertanya.
Lelaki itu belum sempat menjawab istrinya mendahului.
"Kalau boleh biar terang seperti ini saja, Pak. Suami saya tidak biasa gelap,
suka pengap...."
"Baik Bu, ndak apa-apa. Tapi janji, Ibu atau Bapak jangan kaget melihat nanti
apa yang teradi. Pak Erlan, kalau terasa sakit usahakan ditahan. Jangan sampai
berteriak." Susilo kemudian membuka baju piama yang di-kenakan Erlan Sujatmiko,
menurunkan celana sampai sebatas pinggul. Dia pejamkan kedua matanya sementara
mulutnya tampak berkomat-kamit. Erlan Sujatmiko tiba-tiba melihat wajah Susilo
berubah putih seolah tidak berdarah lagi. Dalam keadaan seperti itu perlahan
sekali, dia gerakkan tangan kanannya. Telapak tangan dikembangkan
menghadap ke bawah. Lalu ditempelkan di atas perut,
dekat pusar sebelah kanan."
Erlan Sujatmiko merasa perutnya panas seperti ditindih seterika. Dia hendak
menjerit tapi masih ingat ucapan Susilo agar tidak berteriak apapun yang
terjadi. Ternyata rasa sakit itu hanya sebentar. Ketika Susilo mengangkat
tangannya dari atas perut rasa sakit itu serta merta menghilang.
Susilo membalikkan telapak tangannya. Tangan itu
tampak berlumuran darah. Di atas lumuran darah ada
tujuh buah jarum yang rata-rata sudah hitam karatan.
Ketika Erlan Sujatmiko memeriksa perutnya, dia tidak melihat bekas luka, hanya
sedikit noda darah di dekat pusar-nya.
*** "WAKTU itu tengkuk Mama terasa dingin merinding. Tapi masih belum bisa percaya,"
kata ibu Dwita. "Bagaimana mungkin ada tujuh buah jarum di perut Papa kalian.
Dan Pak Susilo mengeluarkannya dengan cara begitu luar
biasa." Erlan Sujatmiko meneruskan ceritanya.
"Dua hari kemudian Papa minta pulang. Para dokter melarang karena katanya akan
ada pemeriksaan khusus
sekali lagi. Tapi Papa bilang Papa sudah sembuh. Mereka semua heran. Karena
kenyataannya Papa memang mereka
lihat benar-benar sehat. Lalu jarum-jarum itu, masih Papa simpan sampai
sekarang."
"Ih, dibuang aja Pa. Buat apa disimpan-simpan," kata Dwita.
"Hitung-hitung buat kenang-kenangan," jawab sang ayah.
"Soal permintaan Pak Susilo yang Mama tolak waktu minta mematikan lampu,
sebenarnya cuma pura-pura saja.
Papa kalian tidak pernah pengap dalam gelap, malah
senang gelap-gelapan...."
Erlan Sujatmiko tertawa terbahak-bahak.
Ibu Dwita meneruskan. "Maksud Mama begini. Kalau Pak Susilo dukun bohongan,
dalam gelap siapa tahu apa yang dikerjakannya. Jangan-jangan jarum-jarum karatan
itu bisa saja sudah disiapkannya lebih dulu. Ternyata dia memang orang pintar
benaran." "Papa tau siapa orang yang ngejailin Papa itu?" Maya bertanya.
"Ya, duga-dugaan memang ada. Tapi hal semacam itu suatu yang sulit untuk
dibuktikan. Yang penting papa sembuh. Bersyukur pada Tuhan. Lagi pula Pak Susilo
ber-pesan, agar papa jangan punya rasa dendam kepada
siapapun. Pulangkan semuanya pada Yang Maha Kuasa...."
Erlan Sujatmiko meneguk kopi yang baru saja diantarkan Mbok Mirah. Setelah
meletakkan cangkir kopi kembali dia berkata. "Sekarang kita bicarakan soal lain.
Ada kemungkinan, bukan, bukan kemungkinan. Tapi hampir pasti.
Awal tahun depan Papa akan diserahkan satu jabatan di New York. Di Markas Besar
Perserikatan Bangsa-Bangsa."
"Ya illah Papa! Di Jakarta baru enam bulan, sudah mau pindah lagi. Gimana dong
sekolah Dwita." Dwita seperti protes.
"Tadinya Papa memang ingin mengusulkan tugas itu diserahkan pada teman lain yang
lebih senior. Tapi nama-nya tugas dan Papa pegawai Pemerintah yang diberi
kepercaya-an, tidak baik kalau menolak. Lagipula sekali ini semua teman
mendukung Papa untuk jabatan baru itu. Mungkin ini tugas Papa yang terakhir
sebelum memasuki pensiun."
Dwita terdiam. Dia merenung memandangi piring
kosong di depannya. Yang terbayang olehnya saat itu
adalah Boma. Malam itu ketika hendak memasuki kamar masing-
masing, sambil melangkah di samping adiknya Maya
berkata. "Aku tau, apa yang ada dalam benakmu waktu di meja makan. Waktu Papa
bilang ada tugas baru di New York. Berarti kita ikut boyongan ke sana...."
"Apa" Apa yang ada di benakku" Sok tau kau May." Ujar Dwita Tifani sambil
tersenyum. "Boma."
Sehyum Dwita berubah jadi tawa.
"Iya 'kan?"
"Anggep aja iya!" sahut Dwita.
"Boma! Namanya sih keren. Garang. Gimana sih anaknya. Aku jadi ingin tau
orangnya," kata Maya.
Dwita melambaikan tangan, mencibir lalu masuk ke
dalam kamarnya.
*** BOMA GENDENK SUKA-SUKA CINTA
12. WELCOME HOME BOMA!
OMBONGAN anak-anak SMA Nusantara III yang
menjemput Boma di Rumah Sakit PMI Bogor
Rtermasuk ayah serta ibu Boma terdiri dari lima
kendaraan. Boma si sakit yang baru sembuh berada dalam mobil urutan kedua Opel
Blazer milik ayah Gita. Mobil ini tadinya khusus hanya akan ditumpangi oleh
tujuh anak ' anggota rombongan Proyek "GG" yaitu Boma, Gita Parwati, Andi, Firman, Vino, Rio
dan Ronny. Tidak boleh campur dengan anak-anak lain bahkan orang tua juga tidak.
Ternyata ketika Boma dan enam temannya masuk, Trini sudah lebih dulu berada di
dalam mobil. "Hai! Aku boleh dong gabung di sini! Habis kangen sama Boma!" kata Trini.
Mungkin kaget dan tak menduga, mungkin juga kurang
senang, tak ada yang menyahuti. Ronny Celepuk langsung duduk di belakang kemudi.
Gita di kursi depan sebelah Ronny. Tampangnya yang gendut jelas ditekuk karena
kesal. Hatinya menggerutu. "Enak aja 'tu kucing garong naik mobil gue. Ngomong
kek, ijin kek!"
Untuk menghilangkan suasana yang mendadak jadi
tidak enak, Vino berkata. "Boleh aja Rin. Asal mau dempet-dempetan!"
"Dempet-dempetan! Itu yang dicari!" kata Andi yang duduk nyempil di pinggir
kiri. Di sebelahnya Boma, lalu diseling oleh Vino duduk Trini, baru yang lain-
lain. Enam orang di sebelah belakang memang lumayan sesak. Tapi anak-anak itu
tidak perduli. Yang penting mobil bisa jalan.
Ke Jakarta. Boma sudah sembuh!
"Ron, memangnya kau udah punya SIM?" tanya Boma.
"Beres Bom, jangan kawatir."
"Kalau KTP terus terang gue belon punya. Tapi SIM
udah. Itu hebatnya Ronny Celepuk!" Ronny mengagulkan diri.
"Pasti SIM nembak!" kata Rio.
"Coba gue liat! Jangan-jangan SIM lu SIM kuda!" `kata Vino.
Tawa pertama meledak dalam Opel Blazer itu.
"Ude Ron, jalan," kata Gita. Barusan bisa tertawa tapi kini kembali cemberut
sebel. "Di belakang temen-temen udah pada nglakson. Lu nggak dengar apa?"
"Tenang aja Git," jawab Ronny. Lalu seperti penyiar ramalan cuaca anak ini
berkata. "Udara cerah tak berawan.
Suhu sekitar dua puluh tiga derajat selsius. Kecepatan angin rata-rata dua puluh
kilometer per jam. Kalau gua kebut setengah jam pasti sampai di Jakarta!"
"Betul! Tapi langsung RSCM!" teriak Andi.
Tawa kedua menggema dalam mobil itu.
Begitu Opel Blazer keluar dari pintu gerbang Rumah Sakit PMI, Ronny mulai
menyanyi. Lagunya Kembali Ke
Jakarta yang biasa dinyanyikan Koes Plus.
Di sana rumahku, dalam kabut biru
Hatiku sedih di hari Minggit
Di sana kasihku, sendiri menunggu
Di batas waktu yang t'lah tertentu
Mula-mula suara Ronny sendiri dan perlahan. Lalu Gita mulai mengikuti. Terus
yang lain-lain tak mau ketinggalan.
Mobil itu seolah meledak ketika semua anak yang ada di dalamnya menyanyikan
keras-keras reffrain dari lagu.
Ke Jakarta aku kan kembali
Walaupun apa yang kan terjadi
Ke Jakarta aku kan kembali
Walaupun apa yang kan terjadi
Selama perjalanan ada satu hal yang ingin ditanyakan Boma. Dia tidak melihat
Dwita. Dia mau bertanya pada Andi yang duduk di samping kirinya. Tapi harus cari
kesempatan baik karena Trini berada di sebelahnya, hanya terpisah oleh Vino yang
duduk tepat di samping kanannya.
Dalam keadaan seperti ini, kebiasaan Boma muncul. Dia mulai menowel-nowel
hidungnya sendiri.
Lewat kaca spion di atasnya Ronny kebetulan melihat
kelakuan Boma. Langsung saja dia berucap. "Bom, sakit segitu lama, gue kirain lu
udah lupa nowelin hidung."
Boma cuma mesem dan menowel hidungnya sekali lagi.
Ketika mobil meluncur melewati pintu keluar toll Cibinong baru Boma dapat
kesempatan. Dia berbisik pada Andi.
"Aku nggak ngeliat Dwita. Dia nggak tau aku pulang hari ini?"
"Tau Bom. Dia tau. Katanya mau datang. Mungkin ada halangan...." jawab Andi.
"Halangannya mungkin Trini," bisik Boma lagi. "Karena Trini ikut rombongan
kalian, dia ngalah. Ngindarin ketemu Trini. Aku dengar dari Ronny tadi Dwita
marah besar sama Trini karena dibohongin pakai tilpon. Bener, yang itu memang
bener. Tapi soal Dwita nggak datang aku rasa...."
Boma membenturkan pahanya ke paha Andi ketika
sudut matanya melihat Trini memperhatikan dirinya dan berusaha mencuri dengar
apa yang dibicarakannya dengan Andi berbisik-bisik.
*** RUMAH kecil di ujung gang yang tadi penuh sesak oleh
anak-anak SMA Nusantara III kini tenggelam dalam
kesunyian. Boma masih berdiri di pintu pagar walau teman-temannya sudah lama
pulang. Hatinya haru. Persahabatan terkadang melebihi dari segala-galanya.
"Boma, kok masih berdiri di pagar" Ayo masuk. Kau masih perlu istirahat..." Ibu
Boma memanggil anaknya dari ruang tamu. Sementara ayah Boma mulai sibuk dengan
pekerjaan sablon.
"Bram kemana, Bu?" tanya Boma begitu masuk ke dalam rumah.
"Kakakmu itu hari ini mengikuti tes dalam rangka lamaran kerja. Mungkin sore
baru pulang," menerangkan ibu Boma. "Kau mau tidur di kamar bawah saja, biar
Bram yang di atas?"
"Saya di kamar atas saja Bu. Di atas...."
"Kau bisa naik tangga sendiri?"
"Masa sih nggak bisa Bu. Boma 'kan sudah sembuh."
Nyonya Hesti Sumitro tersenyum mendengar awaban
anaknya itu. "Sudah, naik sana. Hati-hati. Tidur. Nanti ibu buatkan makanan
kesenanganmu."
"Terima kasih Bu," kata Boma. Diciumnya pipi ibunya lalu dia naik ke tingkat
atas. Begitu masuk kamar matanya langsung tertumbuk pada satu karangan bunga
mawar merah dalam vas kuning, terletak di atas meja kecil dekat kepala tempat tidur.
Pada plastik pembungkus sehelai amplop ditempelkan dengan selotip. Boma
mengambil amplop itu lalu membukanya. Isinya sehelai kartu, ber-gambar setangkai bunga
mawar ditebari tetesan embun
segar. Di sebelah dalam kartu tertera serangkaian tulisan.
Welcome home Boma.
I miss yoii very much and will
see you soon. Take care.
Dwita "Dwita, tadi aku memang merasa kecewa. Namun
melihat bunga ini, aku tahu kau selalu memperhatikan diriku."
Boma duduk di tepi tempat tidur. Dibukanya plastik
pembungkus bunga mawar. Diangkatnya vas kuning dari
atas meja. Kuntum-kuntum bunga mawar merah didekat-
kannya ke hidungnya lalu dicium. Terasa keharuman yang segar memasuki rongga
dadanya. "Ibu lupa memberi tahu. Bunga itu dari seorang temanmu. Namanya Dwita. Malam
tadi, dia sendiri yang me-
ngantarkan ke sini."
Boma memandang ke pintu. Di situ ibunya berdiri. Boma merasa, agaknya kedatangan


Boma Gendeng 1 Suka Suka Cinta di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ibunya bukan hanya hendak memberitahu perihal bunga mawar dalam vas kuning itu
saja. Ada sesuatu yang lain. Boma bisa merasakan. Dan dia tidak menunggu lama.
"Boma, ada yang ingin ibu katakan. Sekalian mau ditanyakan. Sewaktu ayahmu
hendak membayar biaya
perawatanmu di kantor rumah sakit; pegawai di sana
memberi tahu, semua biaya sudah dilunasi. Ayahmu terkejut sekali. Padahal sampai
kemarin dia masih bingung mencari pinjaman untuk membayar biaya rumah sakit.
Tahu-tahu ketika mau dibayar sudah ada orang yang
melunasi...."
"Ayah tidak menanyakan siapa yang membayar?"
"Ada. Kata pegawai rumah sakit yang membayar
seorang perempuan. Itu dilakukannya kemarin siang setelah minta perincian
pembayaran sampai kau keluar."
"Pegawai itu nggak nyebutin nama?"
Ibu Boma menggeleng. "Kelihatannya dia tidak mau diketahui siapa dirinya."
"Lucu," kata Boma. Dia berpikir-pikir. "Ayah tidak tanya ciri-ciri orang itu?"
"Saat itu ayahmu mana ada pikiran sejauh itu. Sudah di-bayarkan orang saja
kagetnya bukan main. Tapi juga ber-syukur senang. Mungkin kau tahu siapa kira-
kira yang ber-budi baik itu?"
Boma meletakkan vas kuning kembali ke atas meja
kecil. "Boma nggak tau Bu. Nggak bisa menduga," jawab Boma. Namun di lubuk hatinya anak
ini bicara sendiri.
"Dwita" Dia mampu melakukan. Karena uangnya banyak.
Tapi masa' sih dia sampai berbuat sebaik itu" Mungkin Trini" Rasanya tidak. Tapi
siapa tau. Aku harus nyelidikin.
Saat ini aku cuma bisa berdoa pada Tuhan. Agar orang itu dilimpahi rahmat,
berkah dan rejeki berlipat ganda atas kebaikan budinya."
Boma berpaling ke pintu. Hendak menanyakan berapa
besar biaya perawatan dirinya yang telah dibayar orang itu.
Namun memandang ke pintu ibunya tak ada lagi di situ.
TAMAT Pendekar Penyebar Maut 29 Pendekar Gila Karya Kho Ping Hoo Elang Terbang Di Dataran Luas 7
^