Suramnya Bayang Bayang 10
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 10
tidak dapat menemukan mayat Iswari pada saat itu."
"Sudah aku katakan, bahwa mayatnya aku masukkan ke
dalam kedung dan dalam waktu sekejap, yang tinggal
hanyalah lingkaran-lingkaran di permukaan air. Tubuh itu
telah diseret oleh buaya-buaya kerdil ke dasar kedung."
Ki Wiradana termangu-mangu. Dipandanginya tubuh
perempuan yang sedang sakit itu.
Namun tiba-tiba Wiradana berkata, "Berbaringlah. Jika
kau merasa tubuhmu tidak enak. Berbaringlah. Aku akan
berbicara dengan berdiri saja disini."
21 SH. Mintardja "Tidak Ki Wiradana," jawab perempuan itu. "Aku masih
sanggup untuk berbicara sambil duduk tetapi sudah tentu
tidak terlalu lama."
"Jangan kau hiraukan basa-basi itu," berkata Ki
Wiradana. "Mungkin aku akan berbicara panjang."
Perempuan itu termangu-mangu. Namun tubuhnya
masih saja menggigil kedinginan.
"Berbaringlah," berkata Ki Wiradana. "Agar pembicaraan
kita dapat kita selesaikan dengan tuntas dan tidak tergesa-
gesa." Perempuan yang sedang sakit itu termangu-mangu.
Nafasnya agaknya menjadi terengah-engah. Karena itu,
maka katanya kemudian, "Aku memang sedang sakit Ki
Wiradana. Nafasku rasa-rasanya menjadi sesak setiap
perasaan dingin yang luar biasa ini datang. Sebentar lagi,
perasaan dingin ini akan berubah menjadi panas, sehingga
keringatku akan terperas habis. Kerongkonganku akan
menjadi kering dan mataku serasa disentuh bara."
" Jika demikian maka kau benar-benar sakit," berkata Ki
Wiradana. Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi ia pun
kemudian beringsut dan dengan tubuh gemetar ia pun
membaringkan dirinya. Menelentang dengan menjelujurkan
tubuhnya lurus-lurus, meskipun ia masih membungkus
tubuhnya dengan kain yang rangkap.
Ki Wiradana mengerutkan keningnya. Satu cara yang
tidak bisa bagi orang yang sedang sakit kedinginan seperti
itu. Namun ia tidak mengatakan sesuatu.
Tetapi agaknya perempuan itu dapat membaca perasaan
Ki Wiradana. Maka itu katanya, "Aku tidak berani tidur
miring sambil melingkarkan tubuh. Jika demikian, maka
rasa-rasanya tubuh ini jadi membeku dan punggung
22 SH. Mintardja bagaikan terasa patah jika kemudian aku harus
meluruskannya kembali nanti.
"Tetapi orang sakit panas dingin, biasanya tidur
melingkar di saat dingin mencengkam," sahut Ki Wiradana.
"Mungkin," jawab perempuan itu. "Tetapi aku sama
sekali tidak berani."
Ki Wiradana termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
perempuan yang berkerudung hingga kewajahnya sekali
lagi. Hanya sepasang mata sajalah yang kelihatan,
sementara kedua telapak tangannya terbungkus pula di
bawah kain selimutnya. Pada saat yang demikian, tiba-tiba timbul satu niat di
hati Ki Wiradana untuk menyelesaikan saja perempuan
yang sedang sakit itu, sehingga tidak akan menimbulkan
persoalan di masa datang. Jika perempuan itu mati dalam
keadaannya, maka orang-orang yang akan menemukannya
kelak tentu mengira bahwa perempuan itu mati karena
sakit. Tidak ada orang lain di rumah itu. Sehingga tidak ada
orang yang mengetahui, apa yang telah terjadi.
Karena itu, maka Wiradana pun menjadi berdebar-debar
oleh rencananya sendiri. Jantungnya terasa berdetak
semakin cepat. Namun demikian desakan di dalam dirinya
untuk menyelesaikan saja perempuan itu terasa semakin
menekan. "Aku dapat menutup jalan pernafasannya," berkata Ki
Wiradana di dalam hatinya. "Sehingga perempuan itu mati
lemas. Tidak ada bekas luka di dalam dirinya, sementara
selimutnya yang masih menyelubungi tubuhnya.
Dalam kebimbangan itu, hampir di luar sadarnya
Wiradana telah bertanya, "Sudah berapa hari kau sakit
Nyai?" 23 SH. Mintardja Nafas perempuan itu masih saja terengah-engah.
Disela-sela tarikan nafasnya
yang sendat ia menjawab dengan suara gemetar, "Sudah agak lama Ki Wiradana. Aku mulai berbaring sejak lima hari
yang lalu, meskipun aku mulai merasa dihinggapi penyakit ini sejak sepuluh
hari yang lalu." "Lalu siapakah yang melayani sejak kau berbaring," bertanya Ki
Wiradana. Perempuan itu tidak segera menjawab. Tetapi terdengar
perempuan itu merintih. Baru kemudian dengan suara
sendat perempuan itu berkata, "Aku masih harus melayani
diriku sendiri. Aku tidak mempunyai anak, Ki Wiradana.
Aku juga tidak mempunyai sanak kadang. Meskipun aku
mempunyai sedikit uang, tetapi tidak ada orang yang
bersedia membantuku dengan upah berapapun juga, karena
mereka mengenali latar belakang hidupku."
Ki Wiradana itu menarik nafas dalam-dalam. Keadaan
perempuan itu merupakan dorongan yang kuat baginya
untuk melakukan rencananya. Membunuh saja perempuan
yang sedang sakit-sakitan itu.
Memang masih ada keragu-raguan yang menyelinap di
hati Ki Wiradana. Kedatangannya di dorong oleh satu
keinginan untuk meyakinkan bahwa rahasianya tidak akan
diketahui oleh orang lain. Bahwa penari yang mirip dengan
24 SH. Mintardja Iswari itu bukan satu kesengajaan untuk menyindirnya.
Tetapi keadaan perempuan yang pernah dijuluki dengan
panggilan yang menggerakkan bulu tengkuk itu agaknya
telah menimbulkan dorongan baru di dalam dirinya.
Karena itu, maka Ki Wiradana pun telah menghentakkan
tangannya untuk mempertegas niatnya. Selangkah demi
selangkah ia mendekat. Kemudian katanya, "Nyai. Jika kau
tidak berkeberatan, sebelum aku berbicara banyak tentang
bekas istriku yang kau bunuh itu, apakah kau tidak
berkeberatan jika aku mengobatimu. Mungkin dengan satu
dua pijatan pada dada dan pundak Nyai, keadaan Nyai akan
berangsur baik." "Apakah kau dapat melakukannya Ki Wiradana?" berkata
perempuan itu dengan penuh harap.
"Aku akan mencoba Nyai," jawab Ki Wiradana. Namun
kemudian ia pun bertanya lebih lanjut, "Tetapi jawablah
pertanyaanku dengan jujur, apakah kau tidak mempunyai
hubungan dengan serombongan penari yang disebut orang
mirip dengan Iswari itu?"
"Ah, tentu tidak. Apa pamrihku," jawab perempuan itu.
Lalu, "Sekarang tolonglah, biarlah aku akan segera
sembuh." "Dan kau yakin bahwa rahasia itu masih tetap tertutup
rapat sampai sekarang?" bertanya Ki Wiradana kemudian.
"Demi buaya-buaya kerdil di kedung itu," jawab orang
yang pernah disebut Serigala Betina itu, "Hanya aku dan Ki
Wiradana sajalah yang mengetahuinya. Mungkin istri Ki
Wiradana yang sekarang. Tetapi apakah ada kecurigaan Ki
Wiradana, bahwa rahasia itu diketahui orang?"
"Aku hanya menghubungkan dengan serombongan
penari yang penarinya mirip sekali dengan Iswari. Tetapi
25 SH. Mintardja jika kau yakin bahwa rahasia kita tidak akan terungkapkan,
maka aku tidak akan gelisah," berkata Ki Wiradana
kemudian. "Aku bersumpah," berkata perempuan itu. Lalu,
"Sekarang, tolonglah aku Ki Wiradana."
Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Selangkah ia
maju. Ia pun kemudian berdiri disisi pembaringan
perempuan yang pernah disebut Serigala Betina itu. Sejenak
Ki Wiradana mengumpulkan kekuatan lahir dan batinnya.
Ia ingin menekan leher perempuan itu dengan sekali gerak
dan menghentikan pernafasannya sama sekali. Sesudah itu,
maka perempuan itu kelak akan diketemukan mati dibawah
selimut yang rangkap-rangkap dan dugaan bahwa ia mati
karena penyakitnya. Orang-orang di rumah sebelah
menyebelah tentu mengetahui bahwa perempuan yang
dibenci oleh orang-orang disekitarnya itu mengidap
penyakit. Mereka akan menyangka, bahwa penyakitnya
itulah yang telah membunuhnya.
Demikianlah, ketika jantung Ki Wiradana telah menjadi
mapan, maka tangannya mulai bergerak. Tetapi ia tidak
memijit dada dan pundak perempuan itu sebagaimana
dikatakan untuk dapat mengurangi penyakit di dalam diri
perempuan itu, tetapi tangan Ki Wiradana langsung menuju
kelehernya dan tiba-tiba saja satu cengkaman yang kuat
telah menerkam leher perempuan itu.
Terdengar perempuan itu memekik tertahan. Sementara
itu Ki Wiradana menekan leher itu semakin keras sambil
menggeram, "Kau pantas untuk dibunuh perempuan liar."
Perempuan itu meronta. Tetapi tangan Ki Wiradana
mencengkam semakin keras.
26 SH. Mintardja Wiradana yakin, bahwa ia akan menyelesaikan
perempuan itu dengan mudah. Sementara itu, tidak akan
ada orang yang akan menuduhnya melakukan pembunuhan
itu. Apalagi ia adalah pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikan Sembojan. Namun yang diduga oleh Ki Wiradana telah terjadi.
Kedua tangan perempuan itu, tiba-tiba saja telah menyusup
di antara tangan Ki Wiradana. Ki Wiradana sadar, bahwa
meskipun dalam keadaan sakit, tetapi gerak naluriah
perempuan yang memiliki ilmu kanuragan itu, tentu akan
berusaha melepaskan cekikan tangannya. Karena itu, maka
Ki Wiradana pun telah menghentakkan kekuatannya.
Tetapi tepat pada saat hentakan itu, ternyata perempuan
itupun telah menghentakkan tangannya pula. Kedua
tangannya yang menyusup di antara tangan Ki Wiradana
tiba-tiba telah terbuka dengan kekuatan yang luar biasa.
Satu kekuatan yang tidak diperkirakan sama sekali oleh
Ki Wiradana telah menggoyahkan kedudukan tangannya.
Bahkan kemudian kedua tangannya bagaikan direntang
oleh kekuatan yang tidak terlawan dari seorang perempuan
yang sedang sakit. Namun ternyata Ki Wiradana benar-benar kehilangan
kesempatan untuk membunuh perempuan itu. Kedua
tangannya yang mencekik itu pun benar-benar telah
terbuka. Bahkan sebelum Ki Wiradana sempat berbuat
sesuatu, maka perempuan itu telah berusaha untuk bangkit.
Tetapi Ki Wiradana tidak membiarkannya. Demikian
tangannya terlepas dari leher perempuan yang bangkit itu,
maka Ki Wiradana pun dengan serta merta telah menyerang
dada perempuan itu. 27 SH. Mintardja Tetapi sekali lagi, Ki Wiradana terkejut. Serangannya
sama sekali tidak menyentuh sasaran karena perempuan itu
telah merebahkan dirinya yang baru saja bangkit itu.
Namun sekaligus ia telah menangkap tangan Ki Wiradana.
Oleh satu kekuatan yang tidak diduganya sama sekali,
maka Ki Wiradana telah terseret dan terlempar melampaui
lebar pembaringan perempuan itu, langsung membentur
dan memecahkan dinding bambu.
Wiradana mengumpat ketika ia terjatuh di bilik
sebelahnya menghantam geledeg bambu.
Tetapi dengan serta merta Wiradana telah bangkit.
Dengan tangkasnya ia pun telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Namun dalam pada itu, perempuan yang
sedang sakit itu pun telah bangkit berdiri pula. Ia masih
juga berkerudung selimut meskipun tidak lagi rangkap
seperti sebelumnya. Namun ia masih menunjukkan sikap
seorang yang sedang sakit.
"Ki Wiradana," perempuan itu menggeram dengan suara
gemetar. "Apa maksudmu sebenarnya" Apakah benar kau
ingin membunuhku" Apa salahku" Bukankah perjanjian
kita sudah sama-sama kita penuhi. Aku membunuh Iswari
dan kau memberikan uang kepadaku. Sekarang kenapa kau
menuntut lebih banyak lagi" Bahkan nyawaku?"
Wiradana memandang perempuan itu dengan sorot mata
yang membara. Dengan garangnya ia berkata, "Perempuan
liar. Kau akan tetap merupakan duri di dalam dagingku.
Setiap saat kau akan dapat membuka rahasiaku. Mungkin
karena kau menginginkan upah tertentu atau oleh sebab-
sebab yang lain. Karena itu, maka sebaiknya kau mati saja
sekarang. Maka kemungkinanmu untuk membocorkan
rahasia itu akan hapus bersama hapusnya nyawamu."
28 SH. Mintardja "Kau laki-laki yang licik," geram perempuan itu. "Kau
ingin membunuhku justru pada saat aku sedang sakit.
Meskipun demikian, aku tidak akan menyerahkan nyawaku
dengan begitu mudah. Aku akan melawan sekalipun aku
tahu bahwa kau memiliki ilmu yang tinggi, warisan dari Ki
Gede di Sembojan. Tetapi kau pun harus ingat bahwa aku
adalah yang disebut Serigala Betina, yang pernah
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membunuh orang tanpa mengedipkan mata. Nah, marilah,
jika kau masih tetap berniat membunuhku, maka biarlah
aku atau kau yang akan terbunuh di sini."
Bagaimanapun juga terasa tengkuk Ki Wiradana
meremang. Serigala Betina itu agaknya terlalu yakin akan
dirinya. Seolah-olah ia memiliki ilmu yang seimbang
dengan ilmunya. Namun ternyata pada hentakan pertama,
perempuan itu berhasil melepaskan diri dari cengkeraman
tangannya di lehernya. Dengan kekuatan yang tidak pernah
diduganya, yang ternyata melampaui kekuatan
cengkeramannya. Bahkan kemudian ia telah terlempar oleh
kekuatan perempuan yang sedang sakit itu, menembus
dinding bambu dan menimpa geledeg di ruang sebelah.
Namun Wiradana yang merasa dirinya memiliki ilmu
yang jauh lebih tinggi dari Serigala Betina itu kemudian
membentak dengan kasar, "Tutup mulutmu. Aku memang
ingin membunuhmu dengan cara yang paling
berperikemanusiaan sehingga kau dengan cepat terbunuh
tanpa merasakan sakit. Bahkan aku pun telah mempercepat
kematianmu karena gigitan penyakitmu yang tidak
mungkin dapat kau obati, sementara aku akan terlepas dari
kecemasan bahwa pada suatu saat kau akan berkhianat
dengan alasan apapun juga. Tetapi kau ternyata terlalu
banyak tingkah sehingga akan mempersulit jalan
kematianmu sendiri. Kau kira, bahwa dengan melawan kau
akan dapat bebas dari kematian" Apalagi kau sedang dalam
29 SH. Mintardja keadaan sakit. Maka segala usahamu akan sia-sia. Bahkan
hanya akan menambah penderitaan disaat kematianmu
yang pahit ini." "Jangan hanya banyak bicara saja anak manis" berkata
pereanpuan itu, "jika kau, memang mampu membunuhku,
lakukanlah." Wajah Ki Wuadama menjadi merah membara. Selangkah
ja maju. Dinding yang pecah masih silang melinta.ng diha-
dapannya.. Namun dalam pada itu, maka Serigala Bertina itupun sa-
akan-akan memberi kesempatan kepada Ki Wiradana untuk
bergeser kebilik yang semula, sehingga dengan demikian,
maka mereka, akan dapat berkelahi, tanpa dirintangi oleh
amben dan dinding yang pecah itu.
Wiradana pun bergeser setapak demi satapak, sernentara
perempuan itu sengaja melangkah surut.
Sejenak kemudian keduanya telah berhadapan. Perempu-
an yang sakit itu masih saja membetulkan letak selimutnya
yang rangkap meskipun ia nampak bersiaga pula
menghadapi segala kemungkinan.
Wiradana agaknya tidak sabar lagi. Dengan garangnya,
maka ia pun telah menyerang langsung dengan tendangan
ke arah dada perempuan yang sedang sakit itu.
Tetapi, ternyata bahwa Wiradana sekali lagi diguncang
oleh perasaan terkejutnya. Perempuan itu sama sekali tidak
berusaha untuk menghindar. Tetapi ia hanya sekedar
menyilangkan tangannya di depan dadanya. Dengan sengaja
perempuan itu telah membenturkan kekuatannya.
Ketika benturan itu terjadi, Wiradana seakan-akan tidak
percaya pada kenyataan yang dihadapinya. Ternyata
30 SH. Mintardja pereanpuan yang sedang sakit itu sama sekali tidak bergeser
dari tempatnya. Tetapi justru Wiradana lah yang terpental
dua langkah surut dan jatuh terbanting di lantai.
Tetapi Wiradana itu pun berusaha dengan cepat bangkit.
Demikian ia berdiri maka hampir saja ia telah terjatuh lagi.
Namun dengan serta -merta, tangannya telah berpegangan
pada tiang yang hampir saja membentur kepalanya.
Kakinya yang menghantam tangan perempuan yang
tersilang di dadanya itu rasa-rasanya, akan patah.
Dengan mengerahkan daya tahan tubuhnya, Wiradana
mengatasi perasaan sakitnya. Sejenak kemudian, maka ia
pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Namun, ia tidak lagi dapat menganggap perempuan itu
perempuan yang dengan mudah akan dapat dibunuhnya.
Serigala Betina yang dianggapnya memiliki kemampuan
tidak lebih dari kemampuan perampok-perampok kecil
kebanyakan itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi.
Sehimgga deagan demikian maka Ki Wiradana itupun harus
benar-benar bertempur untuk dapat mengalahkannya dan
membunuhnya. Sekali lagi Wiradana memusatkan kemampuannya.
Perempuan yang sadang sakit itu masih saja berdiri sambil
menggigil kedinginan. Ia masih juga. membetulkan
kerudung dan selimut di seluruh tubuhnya.
"Perempuan gila" geram Wiradana.
Selangkah Wiradana maju. Namun-tiba-tiba dengan
kecepatan yang hampir tidak kasat mata, Wiradana
menyerang dada perempuan itu dengan tangannya.
Ternyata bahwa perempuan itu: hanya bergeser saja sedikit
sambil berusaha untuk menangkis serangan itu. Namun
Wiradana menarik serangannya. Sekali ia berputar
31 SH. Mintardja bertumpu pada sebelah kakinya, sementara sebelah kakinya
yang lain dalam putaran yang cepat menyerang lambung
perempuan yang sedang sakit itu.
Tetapi akibatnya justru parah bagi Wiradana. Perempuan
itu berhasil menangkap kaki Wiradana.
Wiradana yang merasa kakinya tertangkap oleh
kecepatan gerak lawannya, dengan cepat berputar sambil
menjatuhkan dirinya. Kakinya yang tertangkap itu
dihentakannya dan dengan kakinya, yang lain ia berusaha
untuk menyerang orang yang akan terseret oleh hentakkan
kakinya yang ditangkap itu.
Tetapi ternyata Wiradana salah. Orang itu dengan begitu
saja melepaskan kakinya dan sama sekali tidak berusaha
untuk berbuat apa-apa. Wiradana mengumpat kasar. Sekali ia berguling dengan
cepat. Kemudian meloncat bangkit. Bahkan dengan tiba-
tiba saja ia telah menyerang pula dengan serangan tangan
mendatar menyamping setinggi leher.
Seperti yang diperhitungkannya, maka perempuan itu
pun telah mengelak sambil merendahkan diri. Karena itu,
dengan serta merta, Wiradana telah menyerang wajah orang
yang sedang merendah itu dengan kakinya sambil menarik
serangan tangannya. Semuanya itu berlangsung demikian cepatnya, sehingga
Wiradana seakan-akan menjadi yakin bahwa sekali itu
lawannya tidak akan mampu mengelak.
32 SH. Mintardja Tetapi sekali lagi Wiradana salah. Kakinya yang terjulur
sama sekali tidak menyentuh apapun lagi. Bahkan di luar
dugaan sama sekali, kaki perempuan yang berkerudung dan
berselimut rangkap itu sempat juga menyentuh kaki
Wiradana yang berpijak pada lantai, sehingga karena
kakinya yang lain masih terangkat, Wiradana tidak
mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga
ia pun telah jatuh terlentang. Dengan tangkasnya Wiradana berusaha untuk melenting dan tegak berdiri.
Tetapi demikian ia tegak,
tanpa diketahui apa yang telah dilakukan, maka perempuan yang sakit itu telah berdiri dihadapannya.
Dengan kekuatan yang sangat besar, tangannya bergerak
menampar pipi Wiradana. Sekali lagi Wiradana terhuyung-huyung. Namun sebelum
ia terjatuh, tangan lawannya telah memegang bajunya dan
menariknya. Wiradana sempat melihat tangan yang lain dari lawannya
itu bergerak ke arah wajahnya. Dengan cepat ia berusaha
melindungi wajahnya itu dengan tangannya. Namun
ternyata tangan lawannya itu ditariknya. Serangannya pun
berubah sasaran. Yang kemudian terasa menjadi muak
adalah perutnya yang serasa ditimpa sebongkah batu hitam.
33 SH. Mintardja Wiradana menunduk. Tetapi bajunya masih belum
dilepaskan. Sekali lagi tangan yang memegangi bajunya itu
dihentakkan. Ketika wajah Wiradana sedikit tengadah,
maka sekali lagi perempuan itu telah menampar keningnya,
bersamaan dengan sebuah dorongan yang kuat pada
bajunya yang digenggam oleh tangan lawannya yang lain.
Wiradana benar-benar tidak mampu mempertahankan
keseimbangannya. Ketika ia berusaha berpegangan pada
tiang pula, maka terasa sebuah serangan telah menghantam
dadanya. Demikian kuatnya, sehingga nafasnya serasa
terputus karenanya. Matanya menjadi kabur. Semakin lama
semakin kabur, sementara tubuhnya tidak lagi dapat
dipertahankannya untuk tetap berdiri.
Sejenak kemudian Wiradana telah terjatuh dilantai.
Matanya menjadi gelap dan nafasnya terasa sesak. Sejenak
kemudian maka semuanya bagaikan hilang dari ingatannya.
Pingsan. Perempuan yang berdiri tegak disebelahnya itu telah
membuka kerudung dan selimutnya. Kemudian
melemparkan kain itu ke pembaringannya. Dipandanginya
Wiradana yang pingsan itu dengan tatapan mata yang
tajam. Namun perempuan itu kemudian menarik nafas
dalam-dalam. "Nyai," tiba-tiba perempuan itu memanggil.
Dari belakang, seorang perempuan yang lain memasuki
ruangan. Dipandanginya tubuh Wiradana yang terbaring
diam. "Nyai telah membunuhnya?" bertanya perempuan yang
baru saja masuk itu. "Ia tidak mati," jawab perempuan yang baru saja
berkelahi itu, "Ia hanya pingsan."
34 SH. Mintardja "Terima kasih Nyai. Tanpa Nyai, aku tentu benar-benar
sudah dibunuhnya. Agaknya ia mulai dibayangi oleh
ketakutan bahwa rahasianya pada satu saat akan
dibongkar," berkata perempuan yang masuk dari bilik
belakang itu. "Tetapi dengan demikian maka sikapnya terhadap
Serigala Betina akan berubah," berkata perempuan yang
berkelahi itu. Perempuan yang datang dari bilik belakang itu
termangu-mangu. Katanya, "Namun sebenarnyalah ia
mengenal kemampuanku, orang yang sesungguhnya disebut
Serigala Betina. Ia mengerti bahwa kemampuanku tidak
akan dapat mengimbangi kemampuannya."
Perempuan yang telah berkelahi dengan Ki Wiradana itu
mengangguk-angguk. Katanya, "Ia tetap menganggap
bahwa aku adalah Serigala Betina itu. Tetapi keadaan
selanjutnya mungkin akan sangat berbahaya atasmu.
Karena itu, marilah. Ikut aku ke padepokanku. Kau akan
bertemu lagi dengan Iswari. Aku benar-benar neneknya.
Maksudku, aku adalah adik kakeknya seperti yang sudah
aku katakan." Perempuan yang sebenarnya disebut Serigala Betina itu
termangu-mangu. Namun ia merasa, bahwa ia tidak akan
dapat bertahan untuk hidup jika ia tidak meninggalkan
rumahnya. Karena itu, maka Serigala Betina itu pun kemudian
berkata, "Baiklah Nyai. Aku akan ikut Nyai, Nyai sudah
menyelamatkan hidupku. Dan untuk selanjutnya aku akan
ikut saja kemana Nyai akan pergi dan apa saja yang akan
dilakukan oleh Nyai atasku."
35 SH. Mintardja "Baiklah. Kita akan segera meninggalkan tempat ini
sebelum Wiradana sadar. Tidak sia-sia aku berada disini
untuk beberapa lama. Aku sudah memperhitungkan, bahwa
Wiradana akan datang kemari setelah ia gagal menangkap
penari yang dikatakan oleh orang-orang Tanah Perdikan ini
mirip dengan Iswari."
"Tetapi apakah benar penari itu Iswari?" bertanya
Serigala Betina itu. Perempuan itu tersenyum. Katanya, "Marilah. Selagi
Wiradana masih nyenyak tidur."
Perempuan yang disebut Serigala Betina itu pun
kemudian mengemasi barang-barang yang mungkin dapat
dibawanya. Ia memang mempunyai simpanan sejak ia
masih ikut serta dalam rombongan perampok dan
penyamun. Sementara itu, ia memiliki pula beberapa jenis
perhiasan yang akan dapat dipergunakan untuk
kepentingan-kepentingan apapun di sisa hidupnya, karena
ia tidak mungkin lagi dapat menggantungkan dirinya
kepada orang lain. Apalagi orang-orang yang sudah
mengetahui latar belakang hidupnya di masa muda.
Setelah perempuan itu selesai, maka keduanya telah
meninggalkan tempat itu. Serigala Betina itu tidak
meninggalkan bekas apapun juga. Selimut kain panjang
yang dipergunakan oleh perempuan yang mengalahkan
Wiradana itu pun telah dibawanya pula. Hanya perkakas
rumah tangganya sajalah yang ditinggalkannya dengan
dinding penyekat ruang yang pecah.
Untuk beberapa saat lamanya, Wiradana masih terbaring
diam. Dari celah-celah pintu yang tidak tertutup rapat,
angin bertiup menyapu ruangan rumah Serigala Betina yang
sudah ditinggalkan itu. Segarnya angin malam telah
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyegarkan tubuh Ki Wiradana pula. Perlahan-lahan ia
36 SH. Mintardja pun mulai bergerak. Yang mula-mula terdengar adalah
keluhan perlahan. Kemudian kepala Ki Wiradana itu mulai
bergeser. Perlahan-lahan Ki Wiradana membuka matanya. Terasa
nafasnya masih sesak. Namun angin yang sejuk memang
membuat tubuhnya semakin segar.
Ketika Ki Wiradana mulai mengingat apa yang telah
terjadi, ia pun segera berusaha bangkit.
Meskipun tubuhnya masih terasa sakit, namun Wiradana
telah memaksa diri untuk berdiri. Diamatinya ruangan
disekelilingnya. Pintu yang tidak tertutup rapat. Dinding
bambu yang pecah dan amben yang sudah kosong.
Perempuan yang disangkanya Serigala Betina yang
sedang sakit itu sudah tidak ada di dalam ruangan itu.
"Gila," Ki Wiradana mengumpat. "Ia berhasil melarikan
diri." Selangkah Ki Wiradana bergeser. Lampu minyak masih
menyala tidak begitu besar, sehingga yang nampak
hanyalah remang-remang saja.
Wiradana pun kemudian berhasil mengingat sepenuhnya
apa yang telah terjadi. Kepalanya masih terasa pening dan
nafasnya masih saja seolah-olah tersendat-sendat.
"Aku harus menemukannya," berkata Ki Wiradana
kemudian. "Pada kesempatan lain, aku harus datang lagi
dan membunuhnya. Sudah tentu dalam kesempatan yang
tidak terlalu lama, agar ia belum mendapat kesempatan
berkhianat." Wiradana pun kemudian berjalan ke pintu. Dengan hati-
hati ia mendorong pintu itu semakin lebar. Namun ketika ia
37 SH. Mintardja sudah berada di luar, maka pintu itu pun ditutupnya
kembali. Dengan dada yang sakit dan kepala yang pening, maka
Wiradana meninggalkan halaman rumah Serigala Betina
itu. Memang ada keragu-raguan padanya untuk pulang
karena ia gagal membunuh perempuan yang disebut
Serigala Betina itu. Namun akhirnya Ki Wiradana itu pun menemukan akal
untuk menutupi kelemahannya, karena tentu tidak masuk
akal bahwa ia dapat dikalahkan oleh perempuan yang
sedang sakit itu. Ketika Ki Wiradana sampai ke regol rumahnya itu
merasa ragu-ragu. Sejenak ia membenahi dirinya.
Kemudian dengan cepat ia melintasi regol yang tidak
diselarak langsung menuju ke seketheng.
Para peronda yang ada di regol termangu-mangu. Tetapi
karena Wiradana berpaling pun tidak, maka mereka pun
sama sekali tidak pula bertanya tentang sesuatu.
Lewat pintu butulan, Wiradana memasuki rumahnya.
Seorang pembantunya mendengar pintu itu diketuk dan
mendangar suara Wiradana memanggil sehingga karena itu,
maka ia pun telah membuka selarak pintu.
Tetapi ketika ia memasuki biliknya yang agak terang, ia
pun tertegun. Istrinya yang bangkit dari pembaringannya
karena derit pintu, terkejut melihat kehadiran Wiradana.
"Kakang, kau kenapa kakang?" bertanya istrinya dengan
sangat cemas. "Aku kenapa?" bertanya Wiradana.
"Ada noda-noda kebiruan di keningmu," berkata istrinya
sambil meraba wajah Ki Wiradana.
38 SH. Mintardja Wiradana menyeringai. Yang disebut noda-noda itu
adalah bekas tangan perempuan yang dikiranya Serigala
Betina. Bekas itu masih terasa sakit ketika disentuh oleh
tangan istrinya. "Apakah kau baru saja berkelahi?" bertanya Warsi yang
mengenali noda-noda seperti itu.
Wiradana tidak dapat mengelak. Tetapi ia tidak dapat
mengatakan kelemahannya bahwa ia sudah dikalahkan oleh
perempuan yang disangkanya adalah Serigala Betina itu.
Karena itu maka katanya, "Ya. Aku memang baru saja
berkelahi." "Dengan siapa?" bertanya istrinya.
Wiradana pun kemudian menceriterakan bahwa ia
memang pergi ke rumah Serigala Betina. Tetapi ternyata di
rumah itu terdapat beberapa orang dari sebuah gerombolan
perampok. "Mungkin mereka orang-orang Kalamerta," berkata
Wiradana kemudian. Warsi mengerutkan keningnya. Hampir di luar sadarnya
ia menyahut, "Tentu bukan."
"Kau dapat memastikan bahwa mereka bukan para
pengikut Kalamerta yang mendendam yang kemudian
bekerja bersama dengan perempuan itu?" bertanya
Wiradana. Wajah Warsi menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat
menjawab. Meskipun demikian ia sama sekali tidak rela
seandainya suaminya menjadikan para pengikut Kalamerta
kambing hitam. 39 SH. Mintardja Dalam pada itu, maka Wiradana pun berkata, "Besok
malam aku akan kembali ke rumah itu. Aku harus
menemukan mereka dan menangkap mereka semuanya.
Aku akan membawa beberapa orang pengawal."
"Tetapi bagaimana yang terjadi atas kakang?" bertanya
Warsi pula. "Aku sama sekali tidak menyangka bahwa di dalam
rumah itu terdapat beberapa orang. Sebenarnya aku ingin
mendapatkan kepastian bahwa Serigala Betina itu tidak
berkhianat. Tetapi aku dijebak dalam perkelahian melawan
beberapa orang. Aku tidak dapat mengelakkan segala
serangan yang datang beruntun. Meskipun demikian, aku
telah mengusir mereka. Sayang sekali aku tidak berhasil
menangkap seorang pun di antara mereka, sehingga aku
tidak dapat melacak kegiatan itu untuk selanjutnya,"
berkata Ki Wiradana. Wajah Warsi menjadi tegang. Bagaimanapun juga ia pun
menjadi tersinggung bahwa suaminya telah mengalami
cidera karena pokal beberapa orang, yang justru oleh
suaminya disangka sisa-sisa gerombolan Kalamerta. Tetapi
Warsi tidak dapat berbuat apa-apa. Ia masih belum
menyatakan dirinya bahwa ia memiliki kemampuan yang
justru lebih tinggi dari suaminya.
Namun dalam pada itu Warsi pun bertanya, "Tetapi jika
kakang membawa perempuan ke rumah pengawal itu,
apakah tidak akan menimbulkan persoalan dengan Ki
Demang yang menguasai padukuhan itu?"
"Aku akan datang dengan diam-diam, sehingga Ki
Demang tidak akan mengetahuinya. Apalagi perempuan
yang disebut Serigala Betina itu adalah perempuan yang
dibenci oleh orang-orang disekitarnya. Sehingga orang-
orang disekitarnya, bahkan mungkin Ki Demang akan
40 SH. Mintardja bergembira jika perempuan itu terbunuh. Apalagi
rumahnya kini telah dipergunakan untuk berkumpul para
perampok dan penyamun. Agaknya perempuan itu telah
menjadi kambuh lagi."
Warsi mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi hati-hatilah
kakang. Mungkin perempuan itu memang sangat licik,
sehingga ia akan dapat berbuat apa saja untuk mencapai
niatnya." "Jangan cemas Warsi. Aku adalah Wiradana, anak Ki
Gede Sembojan. Aku akan dapat menyelesaikan setiap
persoalan yang aku hadapi," berkata Wiradana kemudian.
Warsi tidak menjawab lagi. Namun bagaimanapun juga
ia menjadi cemas menilik keadaan suaminya, sementara
perempuan yang disebut Serigala Betina itu masih belum
dapat diselesaikan. Agaknya kemungkinan buruk akan
dapat terjadi jika perempuan itu membongkar tingkah laku
Wiradana. Demikianlah, maka Warsi pun kemudian mempersilakan
Wiradana untuk membersihkan diri dan kemudian pergi ke
pembaringan. Dengan obat-obatan yang ada maka Warsi
telah berusaha untuk mengobati noda-noda di wajah
Wiradana dengan obat itu.
Namun dalam pada itu, ketika Wiradana telah tertidur,
Warsilah yang kemudian bangkit dari pembaringannya.
Dengan diam-diam ia pergi keluar. Kemudian hilang di
kegelapan tanpa setahu siapapun juga.
Warsi telah menyediakan jawaban jika seandainya
Wiradana terbangun dan menanyakan kemana ia pergi.
"Satu-satunya jawaban yang paling baik adalah pergi ke
sungai," berkata Warsi kepada diri sendiri. "Tetapi mudah-
mudahan kakang Wiradana yang letih itu akan tertidur
41 SH. Mintardja nyenyak. Apalagi obat yang aku usapkan pada wajahnya
mengandung reramuan yang dapat membuatnya tidur
nyenyak." Dengan kemampuan seorang yang berilmu tinggi maka
Warsi telah pergi ke padukuhan yang diketahuinya sebagai
tempat tinggal Serigala Betina itu. Meskipun ia belum
pernah datang ke rumah itu, tetapi dalam setiap
pembicaraan dengan suaminya, maka ia dapat
membayangkan dimana letak rumah itu.
Beralaskan atas ketajaman
penggraitanya, maka ternyata
Warsi dapat menemukan rumah itu. Tetapi ia tidak
menemukan seorang pun. Rumah itu telah kosong. Namun ia memang melihat bekas-bekas perkelahian yang terjadi. Dinding yang
pecah, geledeg yang terguling
dan barang-barang yang berserakan. "Memang mungkin sekali
kakang Wiradana harus berkelahi melawan beberapa
orang," berkata Warsi di dalam hatinya. Tetapi ia merasa
kecewa bahwa ia tidak dapat bertemu dengan perempuan
yang disebut Serigala Betina itu.
Jika Warsi sempat bertemu, maka perempuan yang
disebut Serigala Betina itu benar-benar tidak berarti apa-
apa baginya. Dengan demikian maka Warsi menjadi bertambah
cemas. Perempuan yang luput dari tangan suaminya itu
42 SH. Mintardja tentu akan dapat berkhianat. Karena itu, maka ia harus
secepatnya diketemukannya. Namun tidak ada orang yang
tahu kemana perempuan itu pergi. Jika benar ia telah
berada kembali di antara para perampok dan penyamun,
mungkin ia telah kembali lagi berada di sarang-sarang
penyamun itu. Dengan kegelisahan yang semakin mencengkam maka
Warsi pun telah meninggalkan rumah itu dan kembali ke
Tanah Perdikan Sembojan. Ketika ia memasuki rumahnya
lewat pintu-pintu dibukanya pada saat ia keluar, maka ia
menjumpai suaminya yang masih tidur nyenyak
sebagaimana diperhitungkannya.
Warsi pun kemudian membaringkan dirinya pula di
samping suaminya setelah ia membenahi pakaiannya.
Namun demikian kegelisahannya, membuatnya sama
sekali tidak dapat tidur barang sekejap pun.
Tetapi akhirnya Warsi mengambil satu kesimpulan, "Jika
pengkhianatan itu terjadi, maka aku akan menyatakan
diriku. Aku harus menunjukkan kuasaku berlandaskan
dengan kemampuanku."
Demikianlah, maka sampai matahari terbit, Warsi tidak
dapat memejamkan matanya lagi. Pada saatnya ia pun
bangun dan pergi ke Pakiwan sebagaimana kebiasaannya,
sementara Wiradana masih saja tertidur nyenyak. Kecuali
oleh keletihan dan sakit-sakit di tubuhnya, maka obat yang
diusapkan di wajah Wiradana memang mempunyai daya
yang membuatnya tidur nyenyak.
Dalam pada itu, perempuan yang disebut Serigala Betina
itu tengah dalam perjalanan menuju ke sebuah padepokan
yang jauh bersama seorang perempuan tua, namun yang
43 SH. Mintardja ternyata memiliki kemampuan yang sangat tinggi, Nyai
Soka. "Mudah-mudahan kita selamat sampai ke padepokan
Nyai," berkata Nyai Soka. "Aku berharap bahwa di
padepokan kita akan bertemu dengan Iswari, kakang Badra
dan pembantunya yang sangat setia, yang masih
mempunyai hubungan darah, bernama Gandar. Mudah-
mudahan mereka tidak berada di padepokan kakang
Badra." Perempuan yang disebut Serigala Betina itu
mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah ia merasa
heran, bahwa perempuan tua itu dengan mudah dapat
mengalahkan Wiradana. Dengan demikian ia menjadi malu
kepada dirinya sendiri yang mendapat sebutan Serigala
Betina namun yang tidak berarti apa-apa bagi perempuan
tua itu, sehingga ia lebih pantas disebut Kelinci Sakit-
sakitan daripada Serigala Betina itu.
Perjalanan mereka memang merupakan perjalanan yang
agaknya panjang. Tetapi rasa-rasanya mereka memang
sedang menuju ke tempat yang menyimpan pengharapan.
Apalagi bagi Serigala Betina itu. Ia memang ingin sekali
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertemu dengan Iswari. Orang yang pernah diancamnya
untuk dibunuhnya. Tetapi syukurlah bahwa pada waktu itu
hatinya mendapat tenang sehingga ia mengurungkan
kesediaannya untuk membunuh Nyai Wiradana yang
sedang mengandung itu. Setelah menempuh perjalanan panjang, maka akhirnya
mereka memasuki sebuah padepokan yang sejuk.
Padepokan Tlaga Kembang. Padepokan yang sejuk.
Padepokan tempat memelihara air tawar dan yang pagarnya
penuh dengan bunga-bungaan.
44 SH. Mintardja Ketika mereka memasuki padepokan itu, ternyata
padepokan itu masih kosong. Kiai Soka dan orang-orang
yang lain masih belum nampak berada di padepokan.
Ketika Nyai Soka bertanya kepada seorang cantrik, maka
cantrik itu menjawab, "Bukankah mereka pergi bersama
Nyai." "Ya. Tetapi arah kepergian kami berbeda-beda," jawab
Nyai Soka. "Tetapi agaknya mereka singgah di padepokan
kakang Badra lebih dahulu."
Namun dalam pada itu, seorang cantrik telah mengajak
seorang bayi laki-laki yang gemuk panjang menghadapi
Nyai Soka. Anak itu gembira sekali ketika melihat Nyai Soka
sehingga kedua tangannya menggapai-gapai dan berteriak-
teriak tidak menentu. Nyai Soka pun kemudian menerima anak itu. Kepada
perempuan yang datang bersamanya ia berkata, "ini adalah
anak Iswari itu." "O," perempuan itu termangu-mangu. Terasa
kerongkongannya menjadi panas. Anak itu adalah anak
yang manis. Jika ia saat itu membunuh ibunya, maka anak
itu pun tentu tidak akan pernah lahir di muka bumi.
Tetapi untunglah, bahwa seakan-akan ada yang
mencegah melakukannya. Ternyata perempuan yang untuk selamanya tidak pernah
membayangkan akan mendapat seorang anak pun karena ia
tidak pernah kawin itu, tertarik juga untuk menggendong
anak yang manis itu. Ternyata anak Iswari adalah anak yang berani. Ia mau
saja diajak oleh siapapun juga. Bahkan di tangan
45 SH. Mintardja perempuan yang belum pernah dikenalnya itu, anak yang
manis itu sempat juga melonjak-lonjak kegirangan.
"O," Serigala Betina itu pun menjadi gembira, "Anak ini
tentu akan menjadi anak yang nakal sekali."
Namun perempuan itu mengerutkan keningnya ketika ia
teringat bahwa anak itu adalah anak Wiradana, seorang
yang telah mencoba untuk membunuhnya.
"Tetapi neneknya sangat sayang kepadanya," berkata
perempuan itu di dalam hatinya, kemudian, "Bahkan anak
ini pun hampir saja menjadi korban ketamakan ayahnya
sendiri lewat tanganku."
Sejenak kemudian, maka digendongnya anak itu
berkeliling padepokan bersama Nyai Soka untuk melihat-
lihat dan menikmati sejuknya udara di padepokan.
Agaknya mereka masih harus menunggu dua tiga hari
lagi sampai saatnya Kiai Soka datang. Menurut perhitungan
Nyai Soka, mereka tentu singgah dahulu di padepokan Kiai
Badra untuk satu dua hari.
Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Sembojan, Wiradana
telah memanggil lima orang terbaik dari para pengawalnya.
Kelima orang itu telah diberinya petunjuk-petunjuk untuk
melakukan tugas mereka di luar Tanah Perdikan Sembojan.
"Kita tidak boleh membuang waktu," berkata Wiradana,
"Demikian kita menemukannya, maka kita akan
membunuhnya." Kelima orang pengawalnya mengangguk-angguk. Namun
mereka menjadi berdebar-debar juga. Meskipun setiap kali
Wiradana mengatakan bahwa sasaran mereka tidak lebih
dari perempuan sakit-sakitan.
46 SH. Mintardja Ketika rencana itu di dengar oleh Warsi, maka ia telah
berusaha mencegahnya. Meskipun Warsi tidak dapat
berkata berterus-terang bahwa ia pernah datang pula ke
rumah Serigala Betina yang kosong, namun Warsi dapat
mengatakan, "Perempuan itu tentu tidak akan berani lagi
berada di rumahnya. Ia akan pergi dan hidup di sarang para
perampok dan penyamun."
"Mungkin, tetapi mungkin pula ia merasa, karena ia tidak
berada di Tanah Perdikan Sembojan, sehingga ia sama
sekali tidak memikirkan bahwa kami akan datang untuk
menangkap mereka. Sementara itu meskipun mereka tidak
berada di Tanah Perdikan Sembojan, namun mungkin
sekali mereka membuat landasan di tempat itu untuk
melakukan perampokan di Tanah Perdikan ini," berkata
Wiradana. Warsi tidak mencegahnya meskipun ia tahu, bahwa
Wiradana tidak akan menemukan orang yang dicarinya.
Ketika hari menjadi gelap, maka Wiradana pun telah
bersiap dengan orang-orangnya. Mereka akan memasuki
Kademangan sebelah dengan diam-diam dan mengambil
perempuan yang disebut Serigala Betina itu. Namun pada
pengawalnya dan juga Warsi menggambarkan, bahwa
seandainya Wiradana masih menemukan perempuan yang
dicarinya, maka akan terjadi pertempuran melawan para
perampok dan penyamun yang ada di rumah perempuan
itu. Karena itu, bagaimanapun juga, ada semacam kecemasan
di hati Warsi. Karena itulah, maka ketika Wiradana
kemudian berangkat ke padukuhan di luar Tanah Perdikan
itu menjelang tengah malam. Warsi pun telah meninggalkan
rumahnya pula dengan diam-diam. Ia mencemaskan nasib
suaminya. Mungkin perempuan yang disebut Serigala
47 SH. Mintardja Betina itu justru akan memanggil kawan-kawannya lebih
banyak lagi, sehingga suaminya yang hanya membawa lima
orang pengawal itu akan terjebak oleh satu kekuatan yang
tidak terlawan. Namun Warsi tidak dapat berkata terus terang, bahwa ia
melibatkan diri dalam persoalan antara suaminya dengan
perempuan yang disebut Serigala Betina itu.
Demikianlah, maka Ki Wiradana bersama kelima orang
pengawalnya memasuki Kademangan di sebelah Tanah
Perdikan itu dengan laku justru sebagai orang-orang yang
ingin merampok. Mereka menyusup memasuki
Kademangan itu dengan menyusuri jalan-jalan setapak yang
sepi. Kemudian meloncati dinding padukuhan dan
menghindari gardu-gardu peronda.
Namun ketika mereka sampai di rumah perempuan yang
disebut Serigala Betina itu, maka rumah itu telah menjadi
kosong. Mereka tidak melihat seorang pun yang ada di
rumah itu, selain bilik-bilik yang kotor, dinding yang pecah
dan geledeg yang terguling.
"Gila," geram Wiradana. "Mereka benar-benar telah
pergi." "Ya," jawab salah seorang dari pengawalnya, "Tidak ada
tanda-tanda bahwa rumah ini ditempati oleh seseorang."
Wajah Wiradana menjadi tegang. Kepergian perempuan
itu akan dapat menumbuhkan persoalan baru padanya.
Mungkin perempuan itu akan membuka rahasia, bahkan
mungkin disertai fitnah yang lebih jahat lagi.
Tetapi Wiradana tidak dapat berbuat apa-apa.
Perempuan itu benar-benar telah pergi dan tidak diketahui
arah kepergiannya. 48 SH. Mintardja Karena itu, betapapun kesalnya Wiradana, maka yang
dapat dilakukannya kemudian adalah kembali dengan tidak
berhasil melakukan sesuatu.
Ketika Wiradana dan kelima pengawalnya dengan hati-
hati meninggalkan rumah itu, agar tidak diketahui oleh para
tetangga dan barangkali para peronda, maka seseorang
ternyata mengamati tingkah laku mereka dari kejauhan.
Orang itu adalah Warsi. Sebenarnyalah Warsi pun menjadi cemas. Perempuan
yang mengetahui rahasia kematian Iswari itu akan dapat
mengkhianati suaminya sehingga akan timbul persoalan
yang lebih rumit lagi. "Tidak ada jalan lain" berkata Warsi di dalam hatinya.
"Aku harus mengundang kekuatan yang akan dapat
mendukung kedudukan Wiradana, karena dengan
demikian, maka keturunanku kelak akan dapat mewarisi
Tanah Perdikan ini."
Warsi menarik nafas dalam-dalam. Namun
sebenarnyalah bahwa Warsi memang mencintai Wiradana.
Ia tidak mau kehilangan suaminya apapun yang terjadi.
Karena itu, maka ia merasa wajib untuk
menyelamatkannya, di samping kedudukan yang mungkin
akan dapat diwarisi oleh anaknya kelak.
"Dengan modal Tanah Perdikan, maka gegayuhan yang
lebih tinggi tentu akan dapat dicapainya," berkata Warsi di
dalam hatinya. Sementara itu ketika Wiradana sampai di rumahnya,
Warsi sudah berada kembali di biliknya seperti biasanya.
Namun nampak betapa cemas wajahnya ketika ia melihat
Wiradana memasuki bilik itu pula.
"Apa yang terjadi kakang?" bertanya Warsi.
49 SH. Mintardja "Seperti yang kau katakan, perempuan itu sudah pergi,"
jawab Wiradana. Warsi menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk
memberikan kesan bahwa ia tidak mengetahui akan hal itu.
Namun dalam pada itu, Warsi pun harus mulai berpikir,
jika pada suatu saat perempuan itu berkhianat, maka
apakah yang sebaiknya harus dilakukannya.
Persoalan itu pun dihubungkannya dengan serombongan
penari yang telah menggelisahkan Tanah Perdikan
Sembojan. Bahkan Warsi berpikir lebih jauh lagi, bahwa
telah terjadi satu permainan yang sangat rumit yang masih
belum dapat dipecahkannya.
Warsi memang tidak begitu percaya kepada kecerdasan
berpikir suaminya. Ia memang mencintai suaminya, tetapi
baginya suaminya tidak lebih dari seorang laki-laki yang
tampan, yang menarik hati perempuan. Tetapi yang otaknya
tumpul dan tidak mempunyai pengamatan yang jauh ke
depan. Bahwa Wiradana terlalu mempercayainya, adalah bukti
yang tidak dapat diingkari oleh Warsi sendiri, bahwa
suaminya terlalu mudah untuk ditipu. Sehingga justru
karena itu, maka Warsi pun mempunyai pendapat seperti
itu terhadap suaminya, dalam hubungannya dengan orang-
orang lain. "Mungkin sekali Wiradana juga ditipu oleh iblis betina
itu," berkata Warsi di dalam hatinya. "Bahkan mungkin
Iswari itu tidak dibunuhnya dan penari itu memang Iswari
itu sendiri." Wajah Warsi menjadi tegang. Tetapi ia bukan perempuan
yang cukup menyerah kepada kebingungan dan putus asa.
50 SH. Mintardja Ia adalah seorang yang mempunyai tekad yang menyala di
dalam dadanya. Karena itu, maka ia pun sudah bertekad, bahwa pada
suatu ketika ia tidak akan dapat bersembunyi lagi. Ia harus
menunjukkan dirinya yang sebenarnya, sementara
suaminya harus tunduk kepadanya.
Dengan cerdik Warsi memperhitungkan saat-saat yang
paling tepat untuk bertindak. Ia harus membiarkan
suaminya tersudut dan sulit untuk keluar dari persoalan
yang membelitnya. Pada saat yang demikian ia akan tampil
untuk menyelamatkannya dan sekaligus memaksa
suaminya itu untuk mencium kakinya.
"Ia harus bersedia menjadi laki-laki yang dapat menjadi
suami tetapi juga bersedia menjadi budak," berkata Warsi di
dalam hatinya. Sementara itu, ia sama sekali tidak ingin
melepaskan Tanah Perdikan Sembojan dari tangannya atau
keturunannya. Dalam keadaan yang demikian, maka laki-laki yang
disebutnya ayahnya itu sangat diperlukannya. Ia harus
dapat bertindak cepat dalam keadaan yang sangat
mendesak. Di luar pengetahuan Wiradana maka pada satu saat laki-
laki yang disebut ayahnya itu dipanggilnya. Dengan
sungguh-sungguh Warsi mengatakan keadaan yang
mungkin akan dapat menjadi gawat.
"Kau harus pulang menghadap ayah," berkata Warsi.
"Ayah harus mempersiapkan kekuatan yang kami perlukan.
Cari semua orang kita yang pada saat tertentu akan dapat
kita pergunakan. Kumpulkan mereka dan siapkan mereka
untuk tugas-tugas yang mungkin akan cukup berat. Bahkan
mungkin akan terpaksa terjadi pertumpahan darah."
51 SH. Mintardja Orang yang diakunya sebagai ayahnya itu mengangguk-
angguk. Lalu katanya, "Apakah aku harus berangkat
sekarang?" "Kau memang sangat dungu," bentak Warsi. Hampir saja
ia menampar mulut orang itu. "Jangan berbuat sesuatu
yang dapat menimbulkan pertanyaan dan kecurigaan. Jika
kau tiba-tiba saja minta diri untuk pulang, maka Wiradana
akan berpikir." Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Baru kemudian ia
bertanya, "Jadi bagaimana?"
"Nanti malam kita akan mencari kesempatan. Kita dapat
berbicara tentang apa saja. Baru kemudian kau
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengatakan, bahwa kau sudah terlalu lama berada disini.
Karena itu, maka kau ingin menengok rumah," jawab Warsi.
Laki-laki itu mengangguk-angguk. Ia harus melakukan
peranannya sebaik-baiknya. Jika ia gagal, maka
kemungkinan yang terjadi adalah bahwa kepalanya akan
dapat dipenggal oleh perempuan yang berwatak seribu itu.
Demikianlah, maka ketika mereka duduk mengelilingi
makan malam di amben besar di ruang dalam, mereka pun
bercakap-cakap tentang banyak hal yang terjadi di Tanah
Perdikan Sembojan. Namun agaknya Wiradana dengan
sengaja tidak mengatakan tentang kegelisahannya kepada
laki-laki yang disangkanya adalah mertuanya. Ia berharap
bahwa laki-laki itu dapat tinggal di Tanah Perdikan
Sembojan dengan tenang dan merasa damai.
Dalam kesempatan itulah, maka laki-laki itu pun
kemudian menyatakan keinginannya untuk kembali ke
rumahnya. "Sudah lama aku tidak menengok keluarga," berkata laki-
laki itu. "Sudah waktunya aku minta diri."
52 SH. Mintardja "Begitu tergesa-gesa?" bertanya Wiradana.
"Bukankah aku sudah lama berada disini?" sahut laki-laki
itu. Kemudian, "Namun dalam pada itu, aku pun tidak akan
terlalu lama meninggalkan Warsi. Pada suatu saat yang
pendek, aku akan segera datang kembali menengok kalian."
Wiradana mengangguk-angguk. Jawabnya, "Sebenarnya
aku ingin ayah berada di Tanah Perdikan ini lebih lama
lagi." "Terima kasih. Bukankah aku akan sering datang
berkunjung?" berkata laki-laki itu pula.
Wiradana tidak mencegahnya. Bahkan ia pun merasa
lapang, jika laki-laki itu tidak berada di Tanah Perdikan
justru pada saat Tanah Perdikan itu bergolak.
Karena itu, maka katanya kemudian, "Jika demikian
ayah, maka silahkan. Tetapi sudah tentu dengan pengertian,
bahwa setiap saat kami menunggu kedatangan ayah."
"Aku tidak akan sampai hati meninggalkan kalian terlalu
lama," jawab laki-laki itu. "Warsi masih terlalu muda.
Bukan umurnya tetapi pengalamannya sehingga ia
memerlukan bimbingan yang terus menerus. Mungkin dari
suaminya, mungkin dari ayahnya."
Wiradana mengangguk-angguk. Tetapi Warsi sendiri
mengumpat di dalam hati. Meskipun demikian kesan itu
sama sekali tidak nampak di wajahnya. Bahkan wajahnya
yang nampak luruh itu menunduk dalam-dalam.
Wiradana tidak berusaha untuk menahan lebih lanjut.
Ketika matahari kemudian terbit di keesokan harinya, maka
Wiradana telah mempersiapkan segala sesuatunya yang
akan dibawa oleh ayahnya. Bahkan ia telah menawarkan
seekor kuda yang tegar untuk dipergunakan.
53 SH. Mintardja "Jika ayah ingin mempergunakan seekor kuda, maka
kuda yang tegar yang merupakan kuda pilihan bagi Tanah
Perdikan ini, dapat ayah pergunakan. Dengan demikian
maka setiap kali ayah dapat menempuh perjalanan dengan
waktu yang lebih singkat."
"Kuda itu memang sangat menarik," berkata laki-laki itu.
"Nampaknya aku akan sangat berterima kasih jika aku
berkesempatan untuk mempergunakannya."
Ternyata bahwa laki-laki itu kemudian memang
mempergunakan seekor kuda yang tegar dan kuat. Sudah
lama ia menginginkan kuda yang demikian. Karena itu
maka tawaran Wiradana merupakan satu kebetulan yang
sangat menyenangkan. Sejenak kemudian maka laki-laki itu pun telah berpacu
meninggalkan Tanah Perdikan. Segala sesuatunya yang
didengarnya dari Warsi memang harus segera disampaikan
kepada ayah perempuan itu. Jika terlambat, maka segala
impian Warsi akan lenyap ditiup oleh keadaan yang tidak
diperhitungkannya sebelumnya.
Perjalanan laki-laki yang disebut ayah Warsi itu memang
jauh. Tetapi berkuda maka jarak itu terasa menjadi pendek.
Karena itu, maka ia merasa begitu cepat sampai ke
padukuhannya meskipun ia telah menempuh perjalanan
hampir sehari semalam. Hanya pada saat-saat kudanya
terasa letih sajalah ia berhenti untuk memberi kesempatan
kudanya minum dan makan rerumputan segar di
perjalanan. Tanpa beristirahat, maka laki-laki yang disebut ayah oleh
Warsi itu pun kemudian telah mencari ayah Warsi yang
sebenarnya. Nampak pada wajah dan sikapnya, bahwa ada
sesuatu yang menggelisahkannya. Karena itu, maka ayah
Warsi pun menjadi berdebar-debar pula.
54 SH. Mintardja "Apa yang telah terjadi?" bertanya ayah Warsi yang
sebenarnya kepada laki-laki itu.
Laki-laki itu pun menceriterakan apa yang telah dialami
oleh Warsi. Kegelisahan dan keadaan yang tidak menentu.
Setiap saat keadaan di Tanah Perdikan itu akan dapat
bergolak. "Kenapa bergolak," bertanya ayah Warsi. "Bukankah
segala keputusan ada di tangan Wiradana" Seandainya
perempuan yang disebut Serigala Betina itu membuka
rahasia Wiradana, maka Wiradana akan dapat
menangkapnya dengan tuduhan bahwa perempuan itu telah
memfitnahnya." "Tetapi bagaimana jika
Iswari itu memang masih hidup?" laki-laki itulah yang
kemudian bertanya. Ayah Warsi menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia bertanya, "Bagaimana menurut Warsi?" "Warsi tidak mempunyai
jalan lain kecuali mempergunakan kekuatan. Jika rahasia itu terbongkar,
maka tidak ada pilihan lain
kecuali memaksa Wiradana untuk bersikap keras. Tetapi juga mendukungnya dengan
kekuatan yang akan dapat melindunginya," jawab laki-laki
itu. 55 SH. Mintardja Ayah Warsi mengangguk-angguk. Katanya, "Warsi sudah
benar. Tetapi ia tidak perlu merasa terlalu cemas
menghadapi keadaan ini. Jika rahasia itu terbongkar, maka
Wiradana dapat menakut-nakuti rakyatnya dengan
tindakan kekerasan."
"Itulah yang dimaksud oleh Warsi," jawab laki-laki itu.
"Aku mengerti. Dan aku sudah membenarkannya. Karena
langkah itu meyakinkan, maka Warsi tidak perlu menjadi
gelisah atau ketakutan. Segalanya akan teratasi. Jika perlu
harus jatuh korban untuk menunjukkan bahwa Wiradana
dan Warsi tidak main-main," berkata ayah Warsi.
Kemudian hubungan antara Warsi dan Wiradana pun
akan berubah. Jika sampai saat ini Warsi adalah seorang
perempuan yang manja dan lembut hati, bahkan agak
cengeng, maka pada suatu saat ia akan menjadi perempuan
yang garang. Dan Wiradana harus menerima kenyataan
ini," berkata laki-laki itu.
Ayah Warsi mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Hal itu tidak dapat diingkari. Biarlah yang akan terjadi itu
terjadi. Bukankah Warsi menghendaki atau menyiapkan
kekuatan yang setiap saat diperlukan?"
Laki-laki itu mengangguk.
"Baiklah. Mulai besok aku akan bekerja keras. Aku
memang menghendaki Warsi tidak menjadi korban dalam
keadaan apapun. Karena itu, maka kita harus dapat
memenuhi kebutuhannya. Juga menyangkut kekuatan,"
berkata ayah Warsi. Laki-laki itu masih mengangguk-angguk. Ternyata ayah
Warsi tahu tepat apa yang diperlukan anak perempuannya.
Dengan demikian laki-laki itu tidak akan banyak mengalami
kesulitan di dalam tugasnya. Sementara itu Warsi memang
56 SH. Mintardja sudah berpesan, bahwa jika kekuatan yang diperlukan itu
sudah siap, maka laki-laki yang disebut sebagai ayah Warsi
itu harus datang lagi ke Tanah Perdikan Sembojan untuk
memberitahukan hal itu kepada Warsi. Sehingga dengan
demikian maka Warsi akan dapat mengambil langkah-
langkah yang diperlukan untuk mengatasi persoalan yang
mungkin akan memuncak di Tanah Perdikan itu.
Dalam pada itu, sebenarnya bahwa ayah Warsi telah
bekerja dengan cepat. Ia telah menghubungi beberapa
orang pengikutnya dan mereka yang pernah disebut sebagai
keluarga Kalamerta. Dengan kesetiaan yang tinggi, maka
mereka telah menyatakan untuk tetap berada dalam
lingkungan keluarga Kalamerta.
Beberapa orang kemudian telah terkumpul. Orang-orang
yang mempunyai kekuatan yang akan dapat membantu
Warsi dalam keadaan yang sangat diperlukan. Bahkan
orang-orang itu masih saja dibayangi pula oleh dendam
karena kematian Kalamerta oleh Ki Gede Sembojan.
"Tetapi kalian tidak akan dapat mendendam kepada
Wiradana," berkata ayah Warsi. "Wiradana sekarang sudah
menjadi suami anakku. Bagaimanapun juga Warsi
mencintainya dan lebih daripada itu, keturunan Warsi kelak
akan dapat menggantikannya menjadi seorang Kepala
Tanah Perdikan. Jika ia tidak mempunyai seorang anak
laki-laki, maka menantunyalah yang akan menjadi Kepala
Tanah Perdikan." Tetapi orang-orang itu sudah merasa puas, ketika mereka
telah mendengar bahwa Ki Gede Sembojan sendiri sudah
terbunuh. Sehingga sasaran dendam yang sebenarnya sudah
terselesaikan. Justru oleh Warsi sendiri.
Sementara itu ayah Warsi pun kemudian berkata kepada
bekas pengendang Warsi, "Agaknya aku sudah melakukan
57 SH. Mintardja sebagaimana dikehendaki oleh anakku. Jika diperlukan,
maka mereka akan dapat segera datang ke Tanah Perdikan
Sembojan kapan saja untuk keperluan apa saja."
"Baiklah," berkata orang yang disebut ayah Warsi di
Tanah Perdikan Sembojan itu. "Aku akan segera kembali.
Tetapi tentu tidak akan terlalu cepat, agar tidak justru
menimbulkan pertanyaan. Namun meskipun demikian, kita
wajib mengamati keadaan. Sebaiknya salah seorang dari
kita, berada di sekitar Tanah Perdikan itu. Mungkin kita
dapat menemui Warsi jika sekali-kali ia pergi berbelanja
meskipun hal ini jarang sekali dilakukan. Namun pada
suatu saat, Warsi juga pergi ke pasar. Mungkin Warsi
memerlukan sesuatu."
"Jika demikian kenapa bukan kau sajalah yang pergi?"
bertanya ayah Warsi. "Aku sudah banyak dikenal di Tanah Perdikan
Sembojan," jawab orang itu.
Ayah Warsi menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-
tiba saja ia berkata, "Aku sendiri akan pergi ke Tanah
Perdikan itu." "Tetapi ingat, ayah Warsi adalah aku," berkata bekas
pengendang itu. "Ya. Aku akan selalu ingat hal itu. Aku pinjam kudamu.
Kuda yang besar dan tegar. Lebih baik dari kuda yang
manapun yang kita miliki," berkata ayah Warsi.
"Sebenarnya aku tidak berkeberatan. Tetapi kuda itu
adalah pemberian Wiradana. Jika orang-orang Tanah
Perdikan itu mengenalinya, mungkin akan timbul persoalan
lain tentang kuda itu," jawab bekas pengendang itu.
"Gila kau," geram ayah Warsi. "Kau memang kikir sekali."
58 SH. Mintardja "Bukan aku yang kikir," jawab bekas pengendang itu.
"Tetapi terserah kepadamu. Kau tahu darimana aku
mendapatkan kuda itu."
"Persetan dengan kudamu. Aku akan pergi berjalan kaki.
Aku akan membawa seorang kawan di perjalanan," berkata
ayah Warsi kemudian. Dengan demikian, maka sudah menjadi keputusan,
bahwa ayah Warsi akan pergi ke Tanah Perdikan Sembojan.
Tetapi ia tidak akan langsung pergi ke rumah Warsi.
Tetapi ia akan mencari kesempatan untuk dapat bertemu
dengan Warsi, kemudian menentukan tempat untuk setiap
kali dapat berbicara tentang persoalan-persoalan yang
menyangkut Warsi, suaminya dan Tanah Perdikan
Sembojan. Sementara itu, di padepokan Tlaga Kembang, Kiai Badra
dan kawan-kawannya telah berkumpul. Ternyata mereka
memang singgah di padepokan Kiai Badra untuk beberapa
saat. Baru kemudian mereka pergi ke padepokan Kiai Soka.
Ketika Iswari yang datang bersama Kiai Badra dan
kawan-kawannya melihat perempuan yang disebut Serigala
Betina itu, ia terkejut. Namun kemudian hampir di luar
sadarnya, Iswari telah berlari dan memeluknya.
"Kapan kau datang Nyai?" bertanya Iswari ketika ia
kemudian melepaskan pelukannya.
Wajah perempuan itu menjadi tegang. Terasa
pelupuknya menjadi panas. Tetapi ia adalah perempuan
yang hidupnya telah ditempa oleh keadaan yang sangat
keras, sehingga ia pun kemudian berhasil menguasai
perasaannya. 59 SH. Mintardja "Aku datang ke padepokan ini bersama Nyai Soka," jawab
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perempuan itu. "Syukurlah," berkata Iswari. "Kami memang
mencemaskan keadaan Nyai."
"Nyai Soka tentu akan dapat menceriterakan peristiwa
yang mungkin sangat menarik," berkata perempuan itu.
Nyai Soka tersenyum. Jawabnya, "Sebagaimana juga
Iswari tentu akan dapat membuat ceritera yang lebih
menarik lagi tentang perjalanannya."
Iswari mengerutkan keningnya. Namun ia pun
tersenyum juga. Sejenak kemudian mereka pun telah duduk di pendapa
padepokan Tlaga Kembang. Beberapa orang laki-laki ada di
antara mereka. Laki-laki yang pada umumnya sudah
terhitung tua. Termasuk Kiai Badra dan Kiai Soka. Dua
orang yang tubuhnya masih nampak kekar dan kuat, yang
justru mendebarkan hati perempuan itu. Kedua orang itu
sudah dikenal oleh perempuan yang disebut Serigala Betina
itu. "Kau sudah berada disini pula?" berkata salah seorang di
antara kedua orang itu. "Ya Kiai," jawab Serigala Betina itu. "Ternyata Kiai juga
berada disini." Yang tua, yang bernama Sambi Wulung itu pun bertanya
pula, "Kenapa kau tiba-tiba saja berada disini?"
"Sudah aku katakan kepada Nyai Wiradana, aku datang
bersama Nyai Soka," jawab Serigala Betina itu.
"Panggil aku Iswari," potong Iswari.
60 SH. Mintardja "O," perempuan itu mengangguk. "Aku belum terbiasa
memanggil seperti itu. "Mulailah. Kau akan terbiasa mengucapkannya," berkata
Iswari kemudian. Perempuan yang disebut Serigala Betina itu pun menarik
sesuatu yang penting. Ternyata di pendapa orang-orang itu tidak
membicarakan sesuatu yang penting. Mereka berbicara
tentang padepokan, tentang musim dan tentang tanaman.
Karena itu, maka Nyai Soka pun kemudian telah
mengajak perempuan yang disebut Serigala Betina itu dan
Iswari untuk pergi ke belakang.
"Tenaga kami akan lebih berarti di belakang daripada
disini," berkata Nyai Soka. "Mungkin kami dapat membantu
masak atau mencuci mangkuk."
"Silahkan," jawab Kiai Soka. "Kami masih ingin berbicara
tentang apa saja." Nyai Soka dan kedua perempuan yang lain itu pun telah
meninggalkan pendapa. Tetapi ternyata Nyai Soka tidak
membawa mereka ke dapur, tetapi mereka masuk ke ruang
dalam. "Nyai," berkata Nyai Soka kemudian, "Ada yang ingin aku
tunjukkan. Bukankah Nyai pernah mempertanyakan
tentang penari yang di Tanah Perdikan Sembojan di
ributkan mirip dengan Iswari?"
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun mengangguk sambil menjawab, "Ya. Aku
memang pernah mempertanyakan hal itu."
61 SH. Mintardja "Bungkusan itu adalah bungkusan yang dibawa oleh
salah seorang pembantu kakang Badra. Cobalah lihat, apa
isinya," berkata Nyai Soka.
Perempuan itu termangu-mangu. Namun kemudian ia
pun telah membuka bungkusan itu.
Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Aku
sudah mengira. Karena itu, aku tidak terlalu terkejut
karenanya. Apalagi aku tahu pasti, bahwa Nyai Iswari
memang masih hidup."
Nyai Soka mengangguk-angguk. Iswari sendiri berdiri
saja bagaikan membeku. Bungkusan itu adalah bungkusan
pakaian seorang penari. "Nyai," berkata perempuan itu. "Sebenarnya aku ingin
orang-orang Tanah Perdikan Sembojan seluruhnya sempat
melihat sendiri, bahwa ada seorang penari yang mirip
dengan Nyai Wiradana. Dengan demikian persoalannya
akan cepat diselesaikan. Karena aku yakin, bahwa orang-
orang Tanah Perdikan Sembojan tentu sempat berpikir dan
mengurai apa yang sebenarnya terjadi. Aku bersedia
menjadi saksi dan memaparkan persoalan yang
sesungguhnya itu kepada orang-orang Tanah Perdikan
Sembojan. Iswari tidak segera menjawab. Tetapi matanya justru
menjadi redup. Sementara itu, Nyai Soka lah yang
menjawab, "Ada banyak pertimbangan pada hati Iswari."
Perempuan yang disebut Serigala Betina itu
mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti perasaan Iswari
yang sebenarnya lembut sebagaimana sikapnya. Meskipun
suaminya telah berniat dan bahkan telah melakukan usaha
untuk membunuhnya, tetapi agaknya sikap Iswari terhadap
suaminya tidak akan mungkin sekeras sikap suaminya.
62 SH. Mintardja Meskipun demikian, bukan berarti bahwa Iswari harus
berdiam diri menghadapi sikap suaminya.
Sebenarnyalah bahwa Nyai Soka pun memberikan
beberapa pertimbangan kepada Iswari. Ia dapat saja
memaafkan suaminya dan sama sekali tidak ingin
membalas dendam. Tetapi ia tidak boleh mengorbankan
Tanah Perdikan Sembojan. Mungkin Iswari memang tidak
begitu berkepentingan dengan Sembojan, karena Iswari
memang bukan orang Perdikan itu. Tetapi anak laki-lakinya
adalah pewaris Tanah Perdikan itu. Seandainya Wiradana
mempunyai anak laki-laki yang lain, maka anak laki-laki
Iswari adalah anaknya yang pertama. Ia adalah orang yang
paling berhak mewarisi Tanah Perdikan itu kelak.
Sementara itu, perempuan yang juga disebut Serigala
Betina itu pun kemudian mengetahui selengkapnya tentang
rombongan penari yang penarinya mirip sekali dengan
Iswari, karena penarinya memang Iswari itu sendiri.
Sementara pengiringnya adalah orang-orang tua yang
memiliki ilmu yang sangat tinggi. Di samping dari
perguruan Guntur Geni itupun telah menggabungkan diri
pula bersama mereka, ditambah dua orang Putut yang
dianggap sudah memiliki kemampuan yang memadai dari
perguruan Tlaga Kembang. Karena itulah, maka rombongan penari yang satu ini
sudah barang tentu akan merupakan rombongan penari
yang tidak biasa sebagaimana rombongan-rombongan yang
lain. Dalam keadaan tertentu rombongan penari ini akan
dapat menghadapi kekuatan yang betapapun besarnya.
Dalam pada itu, orang-orang yang berada di pendapa
ternyata telah membicarakan kemungkinan-kemungkinan
yang akan dapat terjadi. Ketika kemudian Iswari keluar
63 SH. Mintardja sambil menggendong anaknya, maka Kiai Soka pun telah
memanggilnya. "Duduklah," berkata Kiai Soka. "Bukankah anakmu tidak
menangis?" "Tidak kakek," jawab Iswari.
"Baiklah, dengarlah," berkata Kiai Soka. "Rasa-rasanya
kami bersepakat untuk meneruskan permainan kami
sampai seluruh Tanah Perdikan yakin, bahwa kau masih
tetap hidup." Wajah Iswari menunduk. Ia sama sekali tidak menjawab.
"Iswari," berkata Kiai Soka. "Menurut Gandar,
perempuan yang kemudian menjadi istri Wiradana itu
adalah perempuan yang tentu memiliki ilmu yang sangat
tinggi. Kau yang baru mulai, masih akan terpaut banyak.
Jika kita tidak mulai sekarang maka semakin lama
kedudukannya tentu akan semakin kuat. Ia tentu tidak
berdiri sendiri, karena ia mempunyai kekuatan ilmu
Kalamerta. Karena itu, bukankah lebih baik jika kita mulai
seawal mungkin?" Iswari mengangkat wajahnya sejenak. Namun kemudian
kembali wajah itu menunduk. Tidak ada yang dapat
dikatakannya kepada Kiai Soka.
Sementara itu, Kiai Badra sendiri hanya dapat
memandangi cucunya tanpa berkata sepatah kata pun. Ia
sependapat dengan Kiai Soka. Tetapi ia juga mengerti
perasaan cucunya. Karena itu, maka ia menunggu perkembangan keadaan
yang mungkin terjadi. Dalam pada itu, Kiai Soka pun kemudian berkata,
"Baiklah Iswari. Meskipun kita harus bekerja cepat, tetapi
64 SH. Mintardja kita masih mempunyai waktu pada saat ilmumu akan dapat
menyusul ilmu perempuan iblis yang telah membunuh Ki
Gede itu. Nenekmu mempunyai sejenis air yang dapat
mempercepat putaran kejadian. Air yang didapatkannya
dari tempat yang paling sulit dicapai. Jika ia berkenan,
maka ia akan dapat mempercepat putaran kejadian,
termasuk usahamu memperdalam ilmu."
Iswari tidak menjawab. Meskipun demikian ia juga tidak
menolak. Demikianlah, maka ketika Iswari telah meninggalkan
mereka maka orang-orang tua itu telah menyusun rencana
mereka sendiri. Setiap saat rencana itu akan dapat
dimanfaatkan. Meskipun demikian mereka tidak dapat
meninggalkan kesediaan Iswari sendiri.
Namun agaknya Kiai Soka telah berbicara kepada Nyai
Soka tentang air yang dikatakannya. Air yang dapat
mempercepat putaran kejadian, yang disebutnya sebagai
Banyu Gege. Ternyata bahwa Nyai Soka telah memanggil Iswari
seorang diri ketika anaknya sudah tidur nyenyak, ditunggu
oleh seorang endang yang biasa melayaninya. Bahkan anak
itu tidak akan rewel meskipun ditinggal ibunya sampai
berhari-hari. "Iswari," berkata Nyai Soka kemudian. "Apakah
kakekmu, Kiai Soka pernah menyinggung tentang Banyu
Gege, semacam air yang dapat mempercepat putaran
kejadian?" "Ya nenek. Kakek bermaksud agar aku dapat
meningkatkan ilmuku dengan cepat," jawab Iswari.
Tetapi Nyai Soka itu tersenyum. Katanya, "Kakekmu
memang benar Iswari. Tetapi yang dimaksud tentu bukan
65 SH. Mintardja sejenis air yang dapat diminum atau dapat dipergunakan
untuk mandi yang kemudian dengan sendirinya segala
putaran peristiwa-peristiwa akan berlangsung dengan cepat.
Kau akan dengan tiba-tiba memiliki ilmu yang tinggi, atau
peristiwa-peristiwa seperti itu."
Iswari mengerutkan keningnya. Ia memang menjadi
bingung, karena ia kurang mengerti maksud neneknya.
Sementara itu, Nyai Soka berbicara terus, "Iswari. Yang
dimaksud tentu satu usaha yang terus menerus, mengalir
tanpa henti seperti mengalirnya air. Dengan usaha yang
demikian, maka kau akan menjadi semakin meningkat."
Iswari mengangguk kecil. Katanya, "Apapun yang harus
aku lakukan, aku tidak akan ingkar nenek. Bukankah
selama ini juga aku patuh kepada nenek?"
"Ya. Tetapi untuk mempercepat kemajuanmu, maka
segala sesuatunya harus dilakukan berlipat ganda. Kau
harus menempuh laku yang sangat berat. Ada dua tugas
yang saling bertentangan yang harus kau lakukan. Kau
harus memeras tenagamu untuk melakukan latihan-latihan,
namun sementara itu, jenis makanan yang boleh kau makan
harus dikurangi. Anakmu sudah menjadi semakin besar,
sehingga sudah sering kau tinggalkan dan tidak kau susui
lagi. Ia sudah tumbuh dan berkembang dengan baik. Karena
itu, maka kau dapat meninggalkan beberapa jenis makanan
yang selama ini kau makan, apalagi pada saat-saat kau
menyusui," Nyai Soka berhenti sejenak, lalu. "Tetapi kau
sekarang sudah dapat menentukan bagi dirimu sendiri. Kau
harus mengurangi makan nasi dan rangkaiannya. Kau harus
mulai dari sedikit makan empon-empon. Kau harus
mengurangi tidur dan kau harus lebih banyak berada di
sanggar untuk memusatkan nalar budi. Laku itu harus kau
jalani beberapa pekan sebelum pada satu saat, kau akan
66 SH. Mintardja berpuasa empat puluh hari empat puluh malam. Jenis
makanan yang boleh kau makan menjadi semakin
menyempit. Setelah itu, maka tiga hari kemudian kau harus
pati geni. Jika kau kuat melakukannya, maka kau akan kuat
mulai dengan mempelajari satu ilmu yang nggegirisi. Ingat,
setelah laku itu, kau baru akan mulai dengan satu latihan
dari ilmu itu. Bukan karena laku itu maka kau telah
memiliki ilmu itu." Iswari menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian
maka ia benar-benar akan terjun ke dalam dunia olah
kanuragan. Namun dalam pada itu, neneknya itu pun telah
mendesaknya, "Bagaimana pendapatmu Iswari" Apakah
kau akan mampu melakukannya" Memang dengan laku itu,
seakan-akan berhasil mendalami satu ilmu dengan cara
yang lebih cepat dari jalan yang biasa sebagaimana kau
tempuh sekarang. Tetapi sebelum kau mulai, kau harus
memikirkannya masak-masak, agar kau tidak akan
membuang banyak waktu dan tenaga. Karena jika berhenti
di tengah, maka yang sudah kau korbankan itu akan
terhapus dan tidak akan mempunyai nilai apapun juga."
Iswari berpikir sejenak. Namun bagaimanapun juga, ada
juga perasaan yang asing didasar hatinya terhadap
perempuan yang kemudian menjadi Nyai Wiradana. Apalagi
anak laki-lakinya pada suatu saat tentu memerlukan
perlindungannya, karena anak itu telah terlepas dari
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perlindungan ayahnya. Bahkan ayahnya telah sampai hati
untuk melenyapkannya bersama ibunya sekaligus.
"Akulah yang harus melindunginya. Aku adalah ibunya
sekaligus ayahnya. Padahal perempuan yang kemudian
menjadi Nyai Wiradana dan yang tidak mustahil telah
membunuh Ki Gede dengan cara yang sangat licik itu adalah
67 SH. Mintardja perempuan yang memiliki ilmu yang sangat tinggi," berkata
Iswari di dalam hatinya. Karena itu, maka akhirnya Nyai Wiradana yang telah
dianggap terbunuh itu pun mengangguk. Ia lebih banyak
berpikir bagi anaknya. Jika ia tidak memiliki ilmu yang
memadai, maka apakah ia akan dapat melindungi anaknya
dari tangan Wiradana dan istrinya itu.
Namun dengan demikian, maka rencana Kiai Soka untuk
mulai lagi dengan permainan rombongan penarinya harus
ditunda. Tetapi karena mesu raga itu penting sekali bagi
Iswari, maka tidak ada seorang pun yang berkeberatan.
Bahkan murid-murid Guntur Geni itu sudah menyatakan,
bahwa untuk sementara mereka tidak akan kembali ke
perguruannya, karena beberapa orang sudah mampu untuk
melakukan tugasnya, karena perguruannya itu pada
dasarnya tidak mempunyai persoalan dengan perguruan
yang lain. Dalam pada itu, maka di hari yang sudah ditentukan,
maka Iswari pun telah mandi keramas dengan air landha
merang. Kemudian mempersiapkan diri lahir dan batinnya,
untuk memasuki satu masa perjuangan yang sangat berat.
Sehari semalam Iswari berada di dalam sanggarnya
dalam doa. Ia telah mendekatkan diri kepada Yang Maha
Agung. Dengan tulus ia mohon tuntunan, perlindungan dan
kemampuan untuk menyelesaikan usahanya, menempuh
laku lahir dan batin. Ternyata bahwa Iswari benar-benar bertekad mantap.
Dengan demikian maka di hari berikutnya, Iswari sudah
memasuki masa perjuangannya. Meskipun nampaknya ia
tetap melakukan tugasnya sehari-hari, namun waktunya
memasuki sanggar menjadi berlipat. Sementara itu ia telah
mengurangi jenis makannya sebagaimana biasanya. Ia
68 SH. Mintardja mulai makan empon-empon sebagaimana dimaksud oleh
neneknya. Namun dalam pada itu, bukan hanya Iswari sajalah yang
harus bekerja berat. Tetapi Nyai Soka dan Kiai Soka pun
telah bekerja berat pula untuk mewariskan ilmunya kepada
cucunya itu. Dari hari ke hari Iswari berada di dalam sanggar, berlatih
dan menambah ilmunya setapak demi setapak. Namun yang
dipelajarinya adalah semata-mata ketrampilan wadagnya
dan meningkatkan kekuatannya. Usaha untuk membangun
tenaga cadangan yang memiliki kekuatan berlipat dari
kekuatan wajarnya. Mempertajam inderanya, terutama
penglihatan dan pendengarannya, serta mempercerdas daya
tangkap dan daya cerna pikirannya.
Dengan sungguh-sungguh dan tidak mengenal lelah
Iswari melakukannya. Meskipun demikian kadang-kadang
timbul satu pertanyaan di hatinya, bahwa menurut
neneknya segalanya baru akan dimulai setelah ia selesai
dengan laku yang terakhir, pati geni.
Tetapi Iswari tidak bertanya. Ia melakukan apa saja yang
diajarkan oleh neneknya. Apalagi dalam ujud wadag yang
kasat mata dan dapat ditirukan. Jika terjadi kesalahan,
maka neneknya atau kakeknya masih dapat
membetulkannya. Namun demikian, Iswari masih tetap memikirkan satu
masa setelah ia selesai dengan pati geni. Latihan-latihan apa
lagi yang harus dilakukan. Jika yang dilakukan itu masih
belum dianggap mulai, maka ia tidak dapat membayangkan
apa yang harus dilakukan kemudian.
Sementara itu, selagi Iswari berada didalam sanggarnya,
hampir di setiap saat, maka di Tanah Perdikan Sembojan,
69 SH. Mintardja Wiradana telah mengambil langkah-langkah yang dianggap
perlu. Ternyata jalan pikiran Wiradana sesuai dengan jalan
pikiran Warsi, meskipun sebelumnya ia tidak pernah
membicarakannya lebih dahulu. Agaknya Wiradana
menganggap jika keadaan memaksa, maka sandaran yang
paling baik baginya untuk mempertahankan kekuasaannya
adalah kekuatan. Karena itu, maka Wiradana pun telah dengan sungguh-
sungguh membangun satu kekuatan untuk memagari
kekuasaannya. "Apakah yang sebenarnya kakang lakukan akhir-akhir
ini?" bertanya Warsi yang pura-pura tidak mengetahui apa
yang dilakukan oleh suaminya, "Nampaknya kakang
menjadi sibuk sekali."
Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Kepergian perempuan iblis yang disebut Serigala Betina itu
membuat aku selalu gelisah. Karena itu, maka aku ingin
meyakinkan diri, bahwa aku mempunyai sandaran kekuatan
di Tanah Perdikan ini."
"O," Warsi mengerutkan keningnya. "Apakah yang
kakang maksudkan" Apakah dengan demikian berarti akan
terjadi benturan kekuatan di Tanah Perdikan ini?"
"Mudah-mudahan tidak Warsi," jawab Wiradana. "Tetapi
aku masih selalu cemas bahwa Serigala Betina itu pada
suatu saat akan berkhianat. Jika ia membuka rahasiaku,
maka mungkin sekali orang-orang Tanah Perdikan ini akan
kehilangan kepercayaan kepadaku. Bahkan mungkin orang-
orang yang tidak mempunyai nalar akan dengan cepat
mengambil sikap yang dapat menjerumuskan Tanah
Perdikan ini ke dalam satu peperangan. Maka untuk
mencegah hal itu terjadi, aku harus mempunyai landasan
70 SH. Mintardja kekuatan. Dengan demikian maka tidak akan ada orang
yang berani menentangku dalam keadaan apapun juga."
Warsi menarik nafas dalam-dalam. Pikiran itu sesuai
sekali dengan jalan pikirannya. Tetapi ia masih berpura-
pura berkata, "Tetapi aku mohon kakang, jangan sampai
terjadi kekerasan lagi. Sepeninggalan Ki Gede, maka rasa-
rasanya kekerasan hanya akan menambah korban yang
tidak berarti." "Aku akan berusaha Warsi. Tetapi jalan yang aku tempuh
adalah dengan menyusun kekuatan. Mungkin kau kurang
memahami jalan pikiranku. Tetapi hal itu adalah jalan yang
sebaik-baiknya yang dapat aku lakukan sekarang ini,"
berkata Wiradana. Warsi tidak menjawab lagi. Wajahnya menunduk,
sementara matanya menjadi buram. Namun dalam pada itu,
hatinya bergejolak dan berkata, "Aku juga telah menyusun
satu kekuatan. Kekuatan itu harus dapat mengatasi semua
persoalan. Tetapi terhadap diri kita masing-masing maka
kekuatanmu tidak akan dapat mengimbangi kekuatanku,
sehingga kedalam, pada suatu saat kau harus tunduk
kepadaku." Wiradana sama sekali tidak dapat membaca perasaan
istrinya. Ia hanya melihat istrinya itu menundukkan
wajahnya. Menurut dugaannya istrinya menjadi cemas,
bahwa sesuatu akan terjadi di atas Tanah Perdikan
Sembojan. Dalam pada itu, maka Wiradana pun telah melakukan
usahanya dengan tidak mengenal lelah. Ia memperkuat
pengawal-pengawal yang setia kepadanya. Ia memberikan
sesuatu yang lebih banyak kepada mereka. Di setiap
padukuhan Wiradana telah menyusun kekuatan pengawal
yang khusus akan dapat menjalani perintahnya dengan
71 SH. Mintardja cepat tanpa mempersoalkan benar atau salah, buruk atau
baik. Kepada pengawal yang khusus itu Wiradana telah mem-
berikan latihan-latihan yang khusus pula. Dengan tekun Wi-
radana mengajar mereka dalam olah kanuragan dan
bermain senjata. Bukan saja untuk menambah ilmu bagi
para pengawal, tetapi juga untuk menakut-nakuti orang-
orang lain di Tanah Perdikan Sembojan.
Dengan demikian maka suasana di Tanah Perdikan Sem-
bojan menjadi jauh berbeda dengan suasana pada saat Ki
Gede Sembojan masih memerintah. Rasa-rasanya rakyat
Sembojan diburu oleh kegelisahan dan suasana kekerasan.
Setiap saat mereka bertemu dengan para pengawal yang
meronda. Pengawal yang memakai pakaian yang bagus di
atas kuda yang tegar dan membawa bekal uang yang cukup.
Namun yang mempunyai kebiasaan membentak-bentak,
menghardik dan menakut-nakuti rakyat Sembojan sendiri.
Bahkan Wiradana sudah mulai mempergunakan cara
yang dapat menumbuhkan persoalan yang rumit. Wiradana.
telah meminjam beberapa ekor kuda kepada orang-orang
Sembojan untuk kepentingan pengawalnya.
"Hanya kepada mereka yang memiliki tiga ekor kuda atau
lebih sajalah kita akan dapat meminjam" berkata Wiradana
kepada para pengawalnya. Sementara itu pengawalnya pun
mematuhinya. Mereka mengambil kuda orang-orang
Sembojan yang memiliki lebih dari dua ekor kuda. Mereka
yang memiliki tiga ekor, maka yang seekor akan diambil
untuk dipinjam oleh pengawal Tanah Perdikan Sembojan.
"Kita harus mengatasi semua gangguan keamanan de-
ngan cepat" berkata Wiradana kepada para pengawalnya.
72 SH. Mintardja Dengan demikian, maka suasana di Tanah Perdikan Sem-
bojan diliputi oleh kecemasan. Orang-orang Sembojan men-
jadi cemas, bahwa pada suatu saat bukan saja kuda yang
akan diambil oleh Ki Wiradana, tetapi mungkin pusaka-
pusaka sifat kandel yang memiliki tuah atau apa saja yang
memungkinkan dipergunakan bagi peningkatan keamanan.
Pada saat-saat Wiradana sibuk dengan para pengawal
yang dibentuknya, maka ketika Warsi pada satu pagi pergi
ke pasar, maka seseorang telah menggamitnya.
Ketika Warsi berpaling, maka iapun terkejut. Ternyata
orang yang menggamitnya itu adalah ayahnya.
"Ayah" desis Warsi.
Orang itu tersenyum. Tetapi ia berdesis, "Ingat Warsi,
aku bukan ayahmu disini. Bukankah kau mempunyai ayah
yang lain." "Aku akan membunuhnya dan ia tidak akan mengganggu
aku lagi" geram Warsi,
"Jangan begitu" berkata ayahnya, "orang itu masih
sangat kau perlukan sekarang. Ia pun telah banyak berjasa
kepadamu." Warsi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tertawa
sambil berkata, "Jangan takut ayah. Aku masih akan
memeliharanya beberapa tahun lagi." Warsi berhenti
sejenak, kemudian, "tetapi kapan ayah datang ke Tanah
Perdikan ini." "Aku sudah berada disini dua hari Warsi" berkata
ayahnya, "aku mencari kesempatan untuk menemuimu. Te-
tapi agaknya kau terlalu jarang keluar rumah."
"Ya ayah. Aku memang terlalu jarang keluar rumah"
jawab Warsi. 73 SH. Mintardja "Aku datang setelah ayahmu itu memberitahukan ke-
padaku semua rencanamu. Bukankah kau akan menyusun
kekuatan di Tanah Perdikan ini?" bertanya ayahnya.
Warsi berpaling ke sebelah menyebelah. Pasar itu terlalu
sibuk sehingga tidak banyak orang yang saling memperhati-
kan. Namun sekali-sekali seorang perempuan menunduk
hormat jika mereka lewat di sebelah Warsi.
"Kau sangat hormati disini Warsi?" bertanya ayahnya.
Warsi tersenyum. Katanya "Semua orang hormat ke-
padaku ayah. Apalagi kelak, jika aku sudah menyatakan
diriku sendiri. Maka akulah Kepala Tanah Perdikan ini."
"Untuk beberapa lama aku akan berada di Tanah
Perdikan ini Warsi. Aku disini mengaku sebagai pedagang
emas berlian. Aku menginap di sebuah kedai yang besar
yang juga menyediakan penginapan bagi para pedagang."
berkata ayahnya. "Terima kasih ayah. Mungkin aku memerlukan ayah di
setiap saat: Tetapi kedai yang mana yang ayah maksud?"
bertanya Warsi. "Kedai yang berada di ujung jalan ini" jawab ayah Warsi
sambil menunjuk jalan di depan pasar itu.
Warsi mengangguk-angguk. Kedai itu memang kedai
yang paling besar di Tanah Perdikan Sembojan dan terletak
di padukuhan induk. , "Setiap saat aku akan berbicara dengan ayah," berkata
Warsi. "Tetapi kenapa ayah tidak datang ke rumahku."
"Aku datang sebagai apa?" bertanya ayah Warsi. "Aku
tidak akan dapat mengatakan bahwa aku adalah ayahmu."
74 SH. Mintardja Warsi mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Ayah datang sebagai pedagang emas berlian.
Apakah aku akan membeli atau tidak, tetapi ayah dapat
menawarkannya sekadar untuk datang ke rumahku."
Ayah Warsi itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baik, aku
akan datang." "Tetapi apakah ayah seorang diri di Tanah Perdikan ini?"
bertanya Warsi. "Tidak. Aku datang bersama seorang keluarga kita,"
jawab ayahnya. "Siapa?" bertanya Warsi.
"Dampa," jawab ayahnya.
Warsi menarik nafas. Dampa adalah seorang yang cukup
unik untuk mengawal ayahnya, karena menurut pengertian
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Warsi, Dampa adalah seorang yang memiliki ilmu yang
termasuk paling baik di antara kawan-kawannya.
"Baik ayah," berkata Warsi kemudian. "Aku menunggu
kedatangan ayah Sementara itu, dalam satu kesempatan,
ayah akan dapat berceritera tentang kekuatan yang sudah
ayah siapkan." Ayahnya mengangguk-angguk. Katanya, "Besok sore aku
akan datang" Warsi pun kemudian berpisah dari ayahnya. Sambil
menjinjing kampil kecil, ayahnya menyusup di antara
orang-orang sibuk di dalam pasar.
Namun ternyata bahwa baik Warsi maupun ayahnya
sama sekali tidak mengetahui, bahwa di antara mereka yang
ada di pasar itu, seseorang tengah memperhatikan mereka
dengan seksama. 75 SH. Mintardja Ketika Warsi berpisah dengan ayahnya, maka orang itu
pun telah bangkit pula dari tempatnya, duduk bersila di
antara orang-orang yang sedang memilih alat-alat untuk
bekerja di sawah yang dijajakan dekat dengan pintu masuk
pasar yang hanya ramai sepekan sekali itu, sambil
menjinjing sebuah linggis untuk mengupas kelapa.
"Mudah-mudahan linggis ini tidak cepat tumpul,"
berkata orang itu. "Aku tanggung," berkata penjualnya. "Jika kelak menjadi
tumpul bawa kemari."
"Untuk apa?" bertanya pembeli linggis itu. "Akan diganti
yang lebih baik?" "Tidak. Hanya untuk melihat apakah benar linggis itu
menjadi tumpul," jawab penjual linggis itu sambil tertawa.
Orang yang membeli linggis itu tertawa pula. Tetapi ia
bergumam, "Awas, jika linggis itu tumpul, aku minta uang
kembali." Warsi lewat di belakang orang itu. Tetapi Warsi tidak
memperhatikannya. Sementara orang itu sempat pula
berpaling dan memandanginya.
"Cantik sekali," desis orang itu.
"He, jangan mencoba mengganggunya jika kepalamu
tidak ingin tembus oleh linggismu sendiri," sahut penjual
linggis itu. "Aku tahu, bukankah perempuan itu Nyai Wiradana,"
sahut orang yang membeli linggis itu. "Dan bukankah aku
hanya sekadar memujinya."
Penjual linggis itu mengumpat. Tetapi pembelinya tidak
mendengarnya. 76 SH. Mintardja Sejenak kemudian pembeli linggis itu pun telah
meninggalkan tempat itu. Ia berjalan di antara orang-orang
yang sibuk berada di pasar dengan kepentingan mereka
masing-masing. Namun demikian ketajaman
penglihatannya masih memungkinkannya untuk melihat
arah perjalanan orang yang baru saja berbicara dengan Nyai
Wiradana. Di sudut pasar ternyata telah menunggu seorang
kawannya yang disebut Dampa itu. Kemudian berdua
mereka keluar dari pasar dan berjalan menyusuri jalan di
muka pasar itu. Mereka berjalan perlahan-lahan saja, tanpa
memperhatikan orang-orang yang masih berjejalan di
dalam pasar. Namun ternyata orang itu tidak lepas dari pengamatan
orang yang membeli linggis. Meskipun ia tidak
mengikutinya, tetapi di sore hari orang yang membeli
linggis itu telah duduk di dalam sebuah kedai yang besar di
ujung jalan. Sambil membeli beberapa jenis makanan
bersama seorang kawannya, maka ia bertanya, "Apakah
saudagar intan berlian itu masih bermalam di sini?"
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Kenapa dengan saudagar itu?"
"Tidak apa-apa. Aku tidak tahu bahwa ia ada disini
malam ini sehingga aku tidak mengajak istriku," berkata
orang itu "Kenapa dengan istrimu?" bertanya pemilik warung.
"Ia memerlukan sepasang giwang untuk anaknya yang
tiga hari lagi akan dibawa suaminya ke Pajang," berkata
orang itu. "Sekarang kau dapat menemuinya," berkata pemilik
warung, "Ia di dalam."
77 SH. Mintardja "Biarlah. Besok aku akan datang dengan istriku," berkata
orang itu. Sejenak kemudian, maka kedua orang itu pun telah
meninggalkan warung itu. Seolah-olah tidak ada persoalan
yang terselip di dalam pertanyaan-pertanyaannya tentang
saudagar intan berlian itu.
Dalam pada itu, pemilik kedai itu pun tidak lagi
menghiraukan apa yang dikatakan oleh kedua orang yang
pernah membeli makanan di warungnya. Ia pun tidak
menghiraukan ketika hari berikutnya orang itu pun tidak
datang lagi, apalagi dengan istrinya.
Sementara itu, sebagaimana dikatakan, maka di sore hari
berikutnya ayah Warsi bersama seorang kawannya telah ke
rumah Ki Wiradana. Keduanya diterima sebagaimana
mereka menerima orang asing yang belum pernah
dikenalnya. Sikap Warsi pun cukup meyakinkan bahwa ia
belum mengerti orang yang baru datang itu.
Namun dengan bahasa yang tersusun, orang itu pun
kemudian berhasil meyakinkan kepada Ki Wiradana, bahwa
ia datang untuk menawarkan beberapa jenis perhiasan yang
dibawanya. Intan berlian dan emas.
"Kami mohon maaf Ki Wiradana, mungkin kedatangan
kami terlalu tiba-tiba dan tidak memberitahukan
sebelumnya. Tetapi bukankah kami tidak terlalu
mengganggu. Segalanya terserah. Kami adalah pedagang-
pedagang yang menawarkan kepada mereka yang kami
anggap mempunyai kemungkinan untuk membeli.
Seandainya tidak dapat dibayar sekaligus, maka kami tidak
berkeberatan untuk menerima pembayarannya dalam
tahap-tahap, karena kami yakin bahwa Ki Wiradana tentu
akan dapat memenuhinya pada saat-saat yang
78 SH. Mintardja dijanjikannya," berkata ayah Warsi yang mengaku sebagai
pedagang intan berlian itu.
Wiradana memandang istrinya, Katanya, "Segala
sesuatunya terserah kepada istriku. Jika ia menyenangi
salah satu dari perhiasan yang Ki Sanak bawa, serta harga
yang kau tawarkan wajar, maka mungkin sekali kami akan
membelinya." "Tentu," berkata saudagar itu, "Kami tidak pernah
menawarkan harga barang-barang kami dengan berlebih-
lebihan. Kami akan mengambil keuntungan yang sekecil-
kecilnya, namun jika barang kami sering laku maka yang
kecil itu pun akan menjadi besar."
Wiradana memang menyerahkan segalanya kepada
istrinya. Ada beberapa barang perhiasan yang dilihat oleh
Warsi. Tetapi Warsi masih belum memutuskan untuk
mengambil yang mana di antara barang-barang itu.
"Apakah Ki Sanak besok masih ada disini?" bertanya
Warsi. "Ya. Aku masih berada disini untuk beberapa hari. Aku
ingin datang ke rumah beberapa orang kaya di Tanah
Perdikan ini. Mungkin Ki Wiradana dapat membantu kami,
sekadar menunjukkan kepada siapa kami harus
menawarkan barang-barangku. Bukan dengan satu
kepastian untuk dibeli. Hanya sekadar menawarkan saja,"
jawab orang itu. "Jika demikian Ki Sanak," berkata Nyai Wiradana.
"Datanglah besok kemari. Aku akan memikirkannya dan
memilih. Apakah Ki Sanak tidak berkeberatan untuk
meninggalkan beberapa macam perhiasan itu disini?"
"Tentu," jawab pedagang itu, "Aku tidak akan mencurigai
Nyai Wiradana, istri pemangku jabatan Kepala Tanah
79 SH. Mintardja Perdikan Sembojan. Tetapi sudah tentu hanya satu atau dua
saja, sebab yang lain harus aku tawarkan kepada orang lain
lagi. Warsi pun kemudian memilih dua macam perhiasan.
Seuntai kalung dan sepasang giwang. Katanya, "Mungkin
aku akan membeli salah satu di antara keduanya. Bukan
kedua-duanya." Dengan demikian maka kesengajaan Warsi untuk
memberi kesempatan ayahnya datang ke rumahnya itu
dimengerti oleh ayahnya. Karena itu, maka ia pun benar-
benar telah meninggalkan dua macam perhiasan di rumah
Warsi. Ketika keduanya kembali ke penginapan, maka ayah
Warsi itu pun berkata, "Ternyata aku mendapat kesempatan
lebih baik untuk berhubungan dengan Warsi dari sekadar
mencegatnya di pasar. Besok aku akan datang dan mudah-
mudahan persoalannya tidak cepat sekali, sehingga aku
akan mendapat kesempatan untuk hilir mudik."
Dampa tersenyum. Katanya, "Warsi memang seorang
yang cerdik. Nampaknya suaminya sangat sayang
kepadanya." "Ia adalah anakku. Ia mewarisi kecerdikan, kepandaian
dan kemampuan olah kanuragan seperti aku juga," berkata
ayah Warsi sambil tertawa.
Dampa itu pun tertawa pula. Sebenarnya bahwa Warsi
memang seorang perempuan yang pandai mempergunakan
segala kesempatan. Ayah Warsi itu kembali ke kedai tempat ia menginap
telah malam mulai turun. Ia memasuki kedai yang sudah
memasang lampu. Demikian ia bersama kawannya selesai
80 SH. Mintardja makan malam, maka keduanya telah memasuki bilik yang
disediakan bagi mereka. Tetapi ternyata telah terjadi sesuatu yang tidak terduga
sebelumnya. Malam itu, dua orang dengan diam-diam telah
mendekati kedai tempat saudagar intan berlian itu
menginap. "Kita akan menunggu sampai tengah malam," berkata
seorang dari kedua orang itu.
Kawannya mengangguk-angguk. Namun agaknya tengah
malam sudah tidak terlalu jauh lagi.
Malam itu, udara terasa sejuk. Meskipun langit berawan
tipis, tetapi angin semilir bertiup di antara dedaunan.
Pada lewat tengah malam, dua orang telah dengan diam-
diam memasuki kedai tempat saudagar intan berlian itu
menginap. Mereka dengan hati-hati telah merusak pintu
dan masuk ke dalamnya. Meskipun tidak ada lampu sama
sekali di dalam kedai itu, namun kedua orang yang
memasuki pintu itu ternyata dapat melihat meskipun tidak
sejelas dalam sinar lampu minyak.
Di bagian belakang kedai itu, terdapat sebuah pintu. Jika
mereka memasuki pintu itu terdapat sebuah ruang yang
luas dengan amben-amben yang besar. Beberapa orang
pedagang bermalam disitu dan tidur berjajar di amben
besar itu. Sebuah amben besar buat laki-laki dan sebuah
amben besar buat perempuan.
Tetapi agaknya pedagang intan berlian itu tidak mau
tidur dalam keadaan demikian. Ia dan seorang kawannya
telah minta disediakan secara khusus sebuah bilik.
Meskipun bilik itu sempit, tetapi cukup memadai bagi
dua orang yang mengaku saudagar intan berlian itu, karena
81 SH. Mintardja dengan demikian mereka tidak harus tidur berhimpitan
dengan orang-orang yang tidak dikenalnya.
Kedua orang yang memasuki kedai dengan diam-diam itu
telah berusaha membuka pintu itu. Perlahan-lahan sekali,
agar deritnya tidak membangunkan orang-orang yang
sedang tidur nyenyak. Demikian pintu terbuka, maka keduanya tertegun.
Mereka mendengar dengkur yang keras di antara orang-
orang yang menginap di ruang yang besar itu. Namun
agaknya hari itu, yang menginap di bilik itu tidak cukup
banyak sebagaimana hari-hari pasaran.
Dengan hati-hati kedua orang itu mendekati orang-orang
yang sedang tidur nyenyak. Namun ternyata mereka tidak
menemukan pedagang intan berlian, sehingga kedua orang
itu kemudian menduga bahwa keduanya telah ditempatkan
ditempat yang lain. Karena itu, maka mereka pun telah mencari pintu lain
yang menghubungkan ruang yang besar itu dengan ruang
yang lain. Ketika mereka menemukan pintu itu, maka
mereka pun kemudian berusaha untuk membukanya.
Tetapi kedua orang itu menyadari bahwa kedua orang
mengaku pedagang intan berlian itu orang yang memiliki
ilmu yang tinggi. Apalagi orang yang mencoba
mendengarkan percakapan orang itu dengan Nyai
Wiradana, melihat sikap Nyai Wiradana yang cukup hormat
dan sebutan terhadap orang itu, bahwa orang itu adalah
ayahnya. Bahkan ayah yang sesungguhnya.
"Kita harus berhati-hati," desis yang seorang. "Kita tidak
boleh gagal. Sudah berhari-hari kita mengamati Nyai
Wiradana dan yang kemudian kita berhasil menemukan
82 SH. Mintardja pertemuannya dengan ayahnya yang mengaku saudagar ini.
Kita harus memanfaatkan keadaan ini."
Kawannya mengangguk. Namun dengan demikian
keduanya telah bersiaga sepenuhnya menghadapi keadaan
yang mungkin akan berkembang dengan cepat.
Perlahan-lahan pintu itu didorong ke samping. Sedikit
demi sedikit pintu itu terbuka. Namun mereka tidak dapat
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghindari sepenuhnya derit pintu yang sedang dibuka
itu. Karena itu, maka bunyi pintu itu telah membangunkan
kedua orang yang berada di dalamnya. Seandainya
keduanya bukan orang-orang berilmu yang memiliki indera
yang tajam, maka derit pintu itu tidak akan
membangunkannya. Tetapi karena keduanya adalah orang-
orang yang berilmu tinggi, maka ternyata bahwa keduanya
telah terbangun. Ketika kedua orang itu melihat pintu terbuka dan ada
orang yang berusaha memasuki bilik itu, maka keduanya
pun segera bersiaga. Ayah Warsi yang kemudian berdiri didepan itu pun
bertanya, "Ki Sanak. Apa maksudmu malam-malam begini
memasuki bilik tidurku."
"Jelas," jawab orang itu. "Aku datang untuk mengambil
perhiasan-perhiasan yang kau bawa. Apakah kau
berkeberatan?" "Jangan gila," geram ayah Warsi. "Barang-barang itu
adalah barang daganganku."
"Apapun yang kau katakan, kami datang untuk
mengambilnya," jawab orang itu.
83 SH. Mintardja "Kau sangka kau dapat menakut-nakuti kami" Agaknya
kau memang belum mengenal kami. Nasibmu kali ini
ternyata sangat buruk, bahwa kalian telah merampok kami,"
berkata ayah Warsi. "Kami telah merampok puluhan orang dan berhasil
dengan baik. Kali ini pun kami akan berhasil merampok
perhiasan yang kau bawa dengan hasil yang baik pula,"
berkata orang yang memasuki bilik itu.
"Perampok yang malang," desis ayah Warsi. "Aku
peringatkan sekali lagi, bahwa aku bukan pedagang
kebanyakan. Jika kau tidak ingin mati, pergilah. Aku tidak
akan mengganggumu." "Jangan banyak bicara," geram orang yang memasuki
bilik itu. "Serahkan semua perhiasanmu. Aku tidak
mempunyai banyak waktu."
Keributan itu agaknya telah membangunkan pula orang-
orang yang tidur di ruang yang besar itu. Mereka
berloncatan turun dari pembaringan. Ada di antara mereka
yang segera menghadapi apa yang terjadi, namun ada yang
masih bertanya-tanya. Sementara itu, ada orang yang
merasa dirinya wajib ikut menangkap orang yang akan
merampok itu, sementara ada yang menjadi ketakutan.
Namun dalam pada itu, ayah Warsi itu pun berkata,
"Lihatlah. Orang-orang itu sudah terbangun. Apa yang
dapat kau lakukan kemudian" Mereka akan beramai-ramai
menangkapmu dan kemudian menyeretmu ke Ki Wiradana,
pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan di Sembojan ini."
"Jangan banyak cakap. Serahkan, atau kau berdua akan
mati disini," geram orang yang ingin merampok itu.
Ayah Warsi bukan orang yang sabar. Karena itu, ketika
orang yang dianggapnya akan merampok itu
84 SH. Mintardja membentaknya, maka ia pun membentak pula sambil
melangkah maju. Disambarnya pedang yang berada
dibawah tikar tempat ia tidur.
"Aku memang ingin membunuhmu dan membuktikan
kepada orang-orang Sembojan, bahwa semua kejahatan di
Sembojan akan dapat dilawan dan dibinasakan," geram
ayah Warsi itu. Kedua perampok itu pun bergeser surut. Orang-orang
yang semula berada di luar pintu pun telah menyibak.
Sementara itu ayah Warsi dan Dampa telah melangkah
maju pula. "Di sini tempatnya agak luas," berkata orang yang
disangka perampok itu. "Kami akan membunuh kalian
berdua kemudian mengambil barang-barang yang kalian
bawa," orang itu terdiam sejenak. Kemudian sambil
berpaling kepada orang-orang yang ada di sekitarnya di
dalam bilik yang luas itu, ia berkata, "Siapa yang akan ikut
campur" ----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 9. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
85 SH. Mintardja Jilid Kesembilan Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 86 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja AKU menasihatkan kepada kalian untuk tidak
mencampuri persoalan kami. Aku akan merampok barang-
barangnya. Bukan barang-barang kalian. Karena itu, kalian
tidak usah melibatkan diri, karena melibatkan diri dalam
pertempuran bersenjata akan dapat berakibat maut.
Selebihnya, kami akan dapat mendendam kepada orang-
orang yang membantu menggagalkan usaha kami.
Wajah orang-orang yang berada di ruang itu pun menjadi
tegang. Namun ayah Warsi pun berkata, "Baiklah. Aku
sependapat. Jangan turut campur. Persoalan ini adalah
persoalan kami. Orang-orang itu akan merampok barang-
barangku. Karena itu, maka aku berhak untuk membunuh
mereka," lalu katanya kepada kawannya, "Marilah Dampa,
kita selesaikan saja mereka. Baru nanti kita akan
melaporkan kepada Ki Wiradana bahwa kita terpaksa
membunuh untuk mempertahankan barang-barang milik
kita yang akan dirampok."
Kedua orang yang ingin merampok barang-barang
saudagar emas itu pun telah bersiap pula. Ketika mereka
berpencar, maka orang-orang yang ada di ruang itu pun
menyibak. Bahkan perempuan-perempuan telah saling
berdesakan disudut ruangan.
Dalam pada itu, dua orang yang ingin merampas barang-
barang milik saudagar itu masih berkata, "He, apakah
kalian tidak memanggil para pengawal Tanah Perdikan jika
kalian takut menghadapi kami berdua."
"Persetan," geram ayah Warsi, "Bersiaplah untuk mati."
Sebelum orang yang akan merampas barang-barang itu
sempat menjawab, ayah Warsi telah mencabut pedangnya.
Agaknya ia tidak ingin berlama-lama bertempur. Ia ingin
2 SH. Mintardja segera membunuh perampok itu dan menyerahkan
mayatnya kepada Wiradana. Dengan demikian, maka
dengan tidak langsung ia telah menunjukkan kepada anak
perempuannya, bahwa ia telah siap untuk membantu
apapun yang terjadi di Tanah Perdikan Sembojan.
Sejenak kemudian pertempuran telah terjadi di dua
lingkaran. Ayah Warsi dan Dampa masing-masing melawan
seorang dari kedua orang yang akan merampok mereka itu.
Dengan demikian, maka orang-orang yang berada di
dalam bilik itu pun menjadi ketakutan. Mereka melihat ilmu
pedang yang tidak mereka mengerti. Benturan senjata dan
teriakan-teriakan nyaring.
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat.
Ternyata bahwa ayah Warsi, keluarga Kalamerta, memang
memiliki ilmu yang nggegirisi. Pedangnya berputar seperti
baling-baling. Sekali-kali mematuk dengan cepat mengarah
ke jantung lawan. Dengan demikian, maka perampok yang melawannya itu
pun harus mengerahkan segenap kemampuannya. Dengan
ilmu pedang yang jarang ada bandingnya ia melawan ayah
Warsi itu. Pedangnya mampu berputar cepat sekali. Bahkan
kemudian bagaikan kabut putih yang melingkari tubuhnya,
sehingga sulit bagi lawannya untuk menembus perisai
putaran pedang itu. Sementara itu, Dampa telah mempergunakan senjatanya
pula. Ia tidak terbiasa mempergunakan pedang. Tetapi ia
lebih senang mempergunakan sepasang tongkat baja yang
dirangkaikan dengan seutas rantai. Dengan kemampuan
yang sangat tinggi, maka senjata itu benar-benar
merupakan senjata yang sulit untuk dilawan. Kedua tongkat
itu kadang-kadang berputar. Namun kadang-kadang
3 SH. Mintardja mematuk kepala dengan kerasnya. Bahkan sebelah tongkat
baja itu dapat bagaikan terbang menyambar lawannya.
Salah seorang di antara kedua orang yang akan
merampok perhiasan itu menempatkan diri menjadi
lawannya. Senjatanya adalah sepasang trisula bertangkai
pendek. Dengan demikian maka pertempuran itu pun
memerlukan tempat yang semakin luas, karena ayunan
senjata yang semakin panjang menjangkau loncatan-
loncatan lawannya. Tongkat bertangkai itu dapat digenggam
untuk bertempur pada jarak jangkauannya, tetapi dapat
pula berputar sepanjang rantai yang mengikatnya.
Agaknya orang yang ingin merampok itu merasa,
ruangan itu terlalu sempit untuk menghadapi senjata
lawannya yang menggetarkan, sehingga karena itu, maka ia
pun telah bergeser ke pintu.
Ketika ia mendapat kesempatan, maka ia pun telah
meloncat dan membuka pintu itu. Kemudian meloncat
turun ke halaman. Dengan demikian, maka dua lingkaran pertempuran itu
terjadi di dua bagian penginapan itu. Yang satu berada di
dalam dan yang lain berada di luar.
Pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran
yang menggetarkan. Di ruang depan penginapan itu, dua
orang yang memiliki ilmu pedang yang matang telah
mengerahkan kemampuan masing-masing. Bahkan ayah
Warsi merasa beruntung, bahwa ada orang yang berusaha
untuk merampoknya. Dengan demikian ia dapat
menunjukkan kepada anaknya dan juga kepada Ki
Wiradana yang tidak mengenalnya sebagai mertuanya,
bahwa ia telah berjasa bagi Tanah Perdikan Sembojan.
4 SH. Mintardja Dengan demikian maka ia akan mendapat kepercayaan
yang lebih besar dari Ki Wiradana. Ia akan dapat mondar-
mandir di Tanah Perdikan itu tanpa dicurigai dan bahkan ia
akan mendapat kesempatan ikut berkuasa karena
kemampuannya. "Jika aku menunjukkan bahwa aku mempunyai
kekuatan, maka aku tentu akan ikut mendapatkan
kekuasaan. Apalagi apabila pada suatu saat Warsi berhasil
mendorong Wiradana untuk mengeterapkan kekuatan
untuk memperkuat kekuasaannya apabila persoalan-
persoalan yang pernah dilakukan itu akhirnya diketahui
oleh orang banyak," berkata ayah Warsi di dalam hatinya.
Karena itu, maka ia pun telah berusaha untuk dalam
waktu singkat melumpuhkan perampok itu dan kemudian
baru memberitahukan kepada Ki Wiradana.
Orang-orang yang ketakutan di penginapan itu sama
sekali tidak berani berbuat sesuatu. Mereka berdesakan di
sudut ruang dengan wajah yang pucat. Sebelumnya mereka
belum pernah mengalami perampokan seperti itu.
Sedangkan di halaman pertempuran antara Dampa dan
seorang di antara kedua orang yang akan merampok itu
menjadi semakin sengit. Ternyata keduanya telah
mempercayakan diri kepada kekuatan mereka. Benturan-
benturan yang keras telah terjadi, sehingga bunga-bunga
api pun berloncatan di udara memercik seperti bintang-
bintang kecil yang berhamburan mengoyak gelapnya
malam. Demikianlah pertempuran di dua lingkaran itu benar-
benar merupakan benturan ilmu yang tinggi.
Namun kemudian mulai nampak geseran keseimbangan
dalam pertempuran itu. Baik di dalam, maupun diluar.
5 SH. Mintardja Ternyata bahwa kedua perampok itu memiliki ilmu yang
lebih baik dari ayah Warsi dan kawannya. Perlahan-lahan
keduanya mulai terdesak. Bahkan Dampa mulai kehilangan
pengamatan atas senjatanya, ketika ujung senjata lawannya
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mulai menyentuh tubuhnya.
"Gila," Dampa sedikit berteriak. Sementara perampok
yang melawannya itu tertawa. Katanya, "Ayo Ki Sanak.
Apakah yang sebenarnya kau banggakan?"
Tongkat baja itu pun kemudian berputaran semakin
cepat memagari tubuhnya. Tetapi benturan yang terjadi
telah merusakkan putaran senjatanya itu. Bahkan dalam
usaha untuk memperbaiki keadaan, maka lawannya telah
mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk
menyerang. Sambil menyeringai kesakitan, Dampa meloncat surut.
Namun ternyata darah telah mengalir dari tubuhnya.
Dengan demikian, kemarahan yang membakar
jantungnya bagaikan telah mendidihkan darahnya. Tetapi ia
tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa lawannya telah
berhasil melukainya. Pertempuran semakin lama menjadi semakin kasar.
Dampa yang berusaha untuk bertempur dengan cara yang
lebih baik dari kebiasaannya, dalam keadaan terdesak, tidak
lagi dapat menyembunyikannya watak dan sifatnya. Sebagai
pengikut Kalamerta yang hidup dalam dunia yang hitam,
maka ia adalah orang yang kasar dan adalah menjadi
kebiasaannya untuk bertempur dengan kasar pula.
Tetapi lawannya sama sekali tidak terkejut ketika ia
melihat perkembangan ilmu lawannya. Namun demikian
ada yang mulai dipikirkannya. Dampa bertempur sambil
6 SH. Mintardja berteriak-teriak. Mengumpat dengan kasar dan mengaum
bagai serigala. Orang-orang yang berada di dalam penginapan itu
menjadi semakin ngeri. Karena mereka tidak melihat, maka
yang mereka sangka berteriak menggetarkan jantung itu
adalah justru salah satu dari kedua perampok itu.
Namun kawan perampok itu sendiri dan sebagaimana
juga ayah Warsi, mengerti bahwa yang berteriak-teriak
kasar itu adalah Dampa. Dengan nada rendah salah seorang yang akan merampok ayah Warsi dan sedang bertempur melawannya itu berkata, "Nah kau dengar, kawanmu
bukan seorang yang bertabiat lembut. Ia justru
jauh lebih kasar dari kawanku. Seorang perampok. He, apakah memang demikian kebiasaan
para saudagar?" Namun dengan cerdik ayah Warsi menjawab, "Aku
tidak peduli. Aku bawa orang itu untuk mengawalku
siapapun dia. Tetapi selama ini aku mempercayainya karena
kesetiaannya." "Tetapi Ki Sanak," berkata lawan ayah Warsi. "Ada satu
hal yang harus aku pertimbangkan. Kawanmu telah
berteriak-teriak seperti orang kesurupan. Dengan demikian
maka ada satu kemungkinan bahwa kawanmu telah
7 SH. Mintardja menarik perhatian orang lain yang akan melaporkannya
kepada para pengawal."
"Persetan dengan para pengawal. Aku tidak memerlukan
para pengawal. Justru aku akan menyerahkan mayat kalian
kepada para pengawal Tanah Perdikan Sembojan," jawab
ayah Warsi. "Mungkin kau berpendirian begitu," jawab lawannya.
"Tetapi orang lain yang tidak tahu menahu tentang
keinginan itu, akan dapat mengambil sikap. Mereka melihat
perkelahian di halaman itu. Kemudian dengan tidak
menghiraukan sikapmu, mereka berlari-lari melaporkan
para pengawal." "Tetapi jika para pengawal itu datang, aku akan minta
kepada mereka untuk menjadi saksi, bahwa malam ini aku
telah membunuh perampok di Tanah Perdikan Sembojan,
Tanah yang biasanya tenang dan tentram", jawab ayah
Warsi. Lawannya tertawa. Katanya, "Agaknya memang sudah
sampai waktunya kita mengakhiri permainan ini."
"Ya. Permainan ini akan segera berakhir dengan
kematianmu", geram ayah Warsi.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Tiba-tiba saja
kemampuan lawan ayah Warsi itu masih juga mampu
meningkat. Bahkan sejenak kemudian, ayah Warsi seolah-
olah telah kehilangan kemampuan untuk mengikuti
kecepatan gerak lawannya yang membingungkan.
Dengan demikian, maka seperti Dampa yang bertempur
Pedang Bunga Bwee 1 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 5
tidak dapat menemukan mayat Iswari pada saat itu."
"Sudah aku katakan, bahwa mayatnya aku masukkan ke
dalam kedung dan dalam waktu sekejap, yang tinggal
hanyalah lingkaran-lingkaran di permukaan air. Tubuh itu
telah diseret oleh buaya-buaya kerdil ke dasar kedung."
Ki Wiradana termangu-mangu. Dipandanginya tubuh
perempuan yang sedang sakit itu.
Namun tiba-tiba Wiradana berkata, "Berbaringlah. Jika
kau merasa tubuhmu tidak enak. Berbaringlah. Aku akan
berbicara dengan berdiri saja disini."
21 SH. Mintardja "Tidak Ki Wiradana," jawab perempuan itu. "Aku masih
sanggup untuk berbicara sambil duduk tetapi sudah tentu
tidak terlalu lama."
"Jangan kau hiraukan basa-basi itu," berkata Ki
Wiradana. "Mungkin aku akan berbicara panjang."
Perempuan itu termangu-mangu. Namun tubuhnya
masih saja menggigil kedinginan.
"Berbaringlah," berkata Ki Wiradana. "Agar pembicaraan
kita dapat kita selesaikan dengan tuntas dan tidak tergesa-
gesa." Perempuan yang sedang sakit itu termangu-mangu.
Nafasnya agaknya menjadi terengah-engah. Karena itu,
maka katanya kemudian, "Aku memang sedang sakit Ki
Wiradana. Nafasku rasa-rasanya menjadi sesak setiap
perasaan dingin yang luar biasa ini datang. Sebentar lagi,
perasaan dingin ini akan berubah menjadi panas, sehingga
keringatku akan terperas habis. Kerongkonganku akan
menjadi kering dan mataku serasa disentuh bara."
" Jika demikian maka kau benar-benar sakit," berkata Ki
Wiradana. Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi ia pun
kemudian beringsut dan dengan tubuh gemetar ia pun
membaringkan dirinya. Menelentang dengan menjelujurkan
tubuhnya lurus-lurus, meskipun ia masih membungkus
tubuhnya dengan kain yang rangkap.
Ki Wiradana mengerutkan keningnya. Satu cara yang
tidak bisa bagi orang yang sedang sakit kedinginan seperti
itu. Namun ia tidak mengatakan sesuatu.
Tetapi agaknya perempuan itu dapat membaca perasaan
Ki Wiradana. Maka itu katanya, "Aku tidak berani tidur
miring sambil melingkarkan tubuh. Jika demikian, maka
rasa-rasanya tubuh ini jadi membeku dan punggung
22 SH. Mintardja bagaikan terasa patah jika kemudian aku harus
meluruskannya kembali nanti.
"Tetapi orang sakit panas dingin, biasanya tidur
melingkar di saat dingin mencengkam," sahut Ki Wiradana.
"Mungkin," jawab perempuan itu. "Tetapi aku sama
sekali tidak berani."
Ki Wiradana termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
perempuan yang berkerudung hingga kewajahnya sekali
lagi. Hanya sepasang mata sajalah yang kelihatan,
sementara kedua telapak tangannya terbungkus pula di
bawah kain selimutnya. Pada saat yang demikian, tiba-tiba timbul satu niat di
hati Ki Wiradana untuk menyelesaikan saja perempuan
yang sedang sakit itu, sehingga tidak akan menimbulkan
persoalan di masa datang. Jika perempuan itu mati dalam
keadaannya, maka orang-orang yang akan menemukannya
kelak tentu mengira bahwa perempuan itu mati karena
sakit. Tidak ada orang lain di rumah itu. Sehingga tidak ada
orang yang mengetahui, apa yang telah terjadi.
Karena itu, maka Wiradana pun menjadi berdebar-debar
oleh rencananya sendiri. Jantungnya terasa berdetak
semakin cepat. Namun demikian desakan di dalam dirinya
untuk menyelesaikan saja perempuan itu terasa semakin
menekan. "Aku dapat menutup jalan pernafasannya," berkata Ki
Wiradana di dalam hatinya. "Sehingga perempuan itu mati
lemas. Tidak ada bekas luka di dalam dirinya, sementara
selimutnya yang masih menyelubungi tubuhnya.
Dalam kebimbangan itu, hampir di luar sadarnya
Wiradana telah bertanya, "Sudah berapa hari kau sakit
Nyai?" 23 SH. Mintardja Nafas perempuan itu masih saja terengah-engah.
Disela-sela tarikan nafasnya
yang sendat ia menjawab dengan suara gemetar, "Sudah agak lama Ki Wiradana. Aku mulai berbaring sejak lima hari
yang lalu, meskipun aku mulai merasa dihinggapi penyakit ini sejak sepuluh
hari yang lalu." "Lalu siapakah yang melayani sejak kau berbaring," bertanya Ki
Wiradana. Perempuan itu tidak segera menjawab. Tetapi terdengar
perempuan itu merintih. Baru kemudian dengan suara
sendat perempuan itu berkata, "Aku masih harus melayani
diriku sendiri. Aku tidak mempunyai anak, Ki Wiradana.
Aku juga tidak mempunyai sanak kadang. Meskipun aku
mempunyai sedikit uang, tetapi tidak ada orang yang
bersedia membantuku dengan upah berapapun juga, karena
mereka mengenali latar belakang hidupku."
Ki Wiradana itu menarik nafas dalam-dalam. Keadaan
perempuan itu merupakan dorongan yang kuat baginya
untuk melakukan rencananya. Membunuh saja perempuan
yang sedang sakit-sakitan itu.
Memang masih ada keragu-raguan yang menyelinap di
hati Ki Wiradana. Kedatangannya di dorong oleh satu
keinginan untuk meyakinkan bahwa rahasianya tidak akan
diketahui oleh orang lain. Bahwa penari yang mirip dengan
24 SH. Mintardja Iswari itu bukan satu kesengajaan untuk menyindirnya.
Tetapi keadaan perempuan yang pernah dijuluki dengan
panggilan yang menggerakkan bulu tengkuk itu agaknya
telah menimbulkan dorongan baru di dalam dirinya.
Karena itu, maka Ki Wiradana pun telah menghentakkan
tangannya untuk mempertegas niatnya. Selangkah demi
selangkah ia mendekat. Kemudian katanya, "Nyai. Jika kau
tidak berkeberatan, sebelum aku berbicara banyak tentang
bekas istriku yang kau bunuh itu, apakah kau tidak
berkeberatan jika aku mengobatimu. Mungkin dengan satu
dua pijatan pada dada dan pundak Nyai, keadaan Nyai akan
berangsur baik." "Apakah kau dapat melakukannya Ki Wiradana?" berkata
perempuan itu dengan penuh harap.
"Aku akan mencoba Nyai," jawab Ki Wiradana. Namun
kemudian ia pun bertanya lebih lanjut, "Tetapi jawablah
pertanyaanku dengan jujur, apakah kau tidak mempunyai
hubungan dengan serombongan penari yang disebut orang
mirip dengan Iswari itu?"
"Ah, tentu tidak. Apa pamrihku," jawab perempuan itu.
Lalu, "Sekarang tolonglah, biarlah aku akan segera
sembuh." "Dan kau yakin bahwa rahasia itu masih tetap tertutup
rapat sampai sekarang?" bertanya Ki Wiradana kemudian.
"Demi buaya-buaya kerdil di kedung itu," jawab orang
yang pernah disebut Serigala Betina itu, "Hanya aku dan Ki
Wiradana sajalah yang mengetahuinya. Mungkin istri Ki
Wiradana yang sekarang. Tetapi apakah ada kecurigaan Ki
Wiradana, bahwa rahasia itu diketahui orang?"
"Aku hanya menghubungkan dengan serombongan
penari yang penarinya mirip sekali dengan Iswari. Tetapi
25 SH. Mintardja jika kau yakin bahwa rahasia kita tidak akan terungkapkan,
maka aku tidak akan gelisah," berkata Ki Wiradana
kemudian. "Aku bersumpah," berkata perempuan itu. Lalu,
"Sekarang, tolonglah aku Ki Wiradana."
Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Selangkah ia
maju. Ia pun kemudian berdiri disisi pembaringan
perempuan yang pernah disebut Serigala Betina itu. Sejenak
Ki Wiradana mengumpulkan kekuatan lahir dan batinnya.
Ia ingin menekan leher perempuan itu dengan sekali gerak
dan menghentikan pernafasannya sama sekali. Sesudah itu,
maka perempuan itu kelak akan diketemukan mati dibawah
selimut yang rangkap-rangkap dan dugaan bahwa ia mati
karena penyakitnya. Orang-orang di rumah sebelah
menyebelah tentu mengetahui bahwa perempuan yang
dibenci oleh orang-orang disekitarnya itu mengidap
penyakit. Mereka akan menyangka, bahwa penyakitnya
itulah yang telah membunuhnya.
Demikianlah, ketika jantung Ki Wiradana telah menjadi
mapan, maka tangannya mulai bergerak. Tetapi ia tidak
memijit dada dan pundak perempuan itu sebagaimana
dikatakan untuk dapat mengurangi penyakit di dalam diri
perempuan itu, tetapi tangan Ki Wiradana langsung menuju
kelehernya dan tiba-tiba saja satu cengkaman yang kuat
telah menerkam leher perempuan itu.
Terdengar perempuan itu memekik tertahan. Sementara
itu Ki Wiradana menekan leher itu semakin keras sambil
menggeram, "Kau pantas untuk dibunuh perempuan liar."
Perempuan itu meronta. Tetapi tangan Ki Wiradana
mencengkam semakin keras.
26 SH. Mintardja Wiradana yakin, bahwa ia akan menyelesaikan
perempuan itu dengan mudah. Sementara itu, tidak akan
ada orang yang akan menuduhnya melakukan pembunuhan
itu. Apalagi ia adalah pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikan Sembojan. Namun yang diduga oleh Ki Wiradana telah terjadi.
Kedua tangan perempuan itu, tiba-tiba saja telah menyusup
di antara tangan Ki Wiradana. Ki Wiradana sadar, bahwa
meskipun dalam keadaan sakit, tetapi gerak naluriah
perempuan yang memiliki ilmu kanuragan itu, tentu akan
berusaha melepaskan cekikan tangannya. Karena itu, maka
Ki Wiradana pun telah menghentakkan kekuatannya.
Tetapi tepat pada saat hentakan itu, ternyata perempuan
itupun telah menghentakkan tangannya pula. Kedua
tangannya yang menyusup di antara tangan Ki Wiradana
tiba-tiba telah terbuka dengan kekuatan yang luar biasa.
Satu kekuatan yang tidak diperkirakan sama sekali oleh
Ki Wiradana telah menggoyahkan kedudukan tangannya.
Bahkan kemudian kedua tangannya bagaikan direntang
oleh kekuatan yang tidak terlawan dari seorang perempuan
yang sedang sakit. Namun ternyata Ki Wiradana benar-benar kehilangan
kesempatan untuk membunuh perempuan itu. Kedua
tangannya yang mencekik itu pun benar-benar telah
terbuka. Bahkan sebelum Ki Wiradana sempat berbuat
sesuatu, maka perempuan itu telah berusaha untuk bangkit.
Tetapi Ki Wiradana tidak membiarkannya. Demikian
tangannya terlepas dari leher perempuan yang bangkit itu,
maka Ki Wiradana pun dengan serta merta telah menyerang
dada perempuan itu. 27 SH. Mintardja Tetapi sekali lagi, Ki Wiradana terkejut. Serangannya
sama sekali tidak menyentuh sasaran karena perempuan itu
telah merebahkan dirinya yang baru saja bangkit itu.
Namun sekaligus ia telah menangkap tangan Ki Wiradana.
Oleh satu kekuatan yang tidak diduganya sama sekali,
maka Ki Wiradana telah terseret dan terlempar melampaui
lebar pembaringan perempuan itu, langsung membentur
dan memecahkan dinding bambu.
Wiradana mengumpat ketika ia terjatuh di bilik
sebelahnya menghantam geledeg bambu.
Tetapi dengan serta merta Wiradana telah bangkit.
Dengan tangkasnya ia pun telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Namun dalam pada itu, perempuan yang
sedang sakit itu pun telah bangkit berdiri pula. Ia masih
juga berkerudung selimut meskipun tidak lagi rangkap
seperti sebelumnya. Namun ia masih menunjukkan sikap
seorang yang sedang sakit.
"Ki Wiradana," perempuan itu menggeram dengan suara
gemetar. "Apa maksudmu sebenarnya" Apakah benar kau
ingin membunuhku" Apa salahku" Bukankah perjanjian
kita sudah sama-sama kita penuhi. Aku membunuh Iswari
dan kau memberikan uang kepadaku. Sekarang kenapa kau
menuntut lebih banyak lagi" Bahkan nyawaku?"
Wiradana memandang perempuan itu dengan sorot mata
yang membara. Dengan garangnya ia berkata, "Perempuan
liar. Kau akan tetap merupakan duri di dalam dagingku.
Setiap saat kau akan dapat membuka rahasiaku. Mungkin
karena kau menginginkan upah tertentu atau oleh sebab-
sebab yang lain. Karena itu, maka sebaiknya kau mati saja
sekarang. Maka kemungkinanmu untuk membocorkan
rahasia itu akan hapus bersama hapusnya nyawamu."
28 SH. Mintardja "Kau laki-laki yang licik," geram perempuan itu. "Kau
ingin membunuhku justru pada saat aku sedang sakit.
Meskipun demikian, aku tidak akan menyerahkan nyawaku
dengan begitu mudah. Aku akan melawan sekalipun aku
tahu bahwa kau memiliki ilmu yang tinggi, warisan dari Ki
Gede di Sembojan. Tetapi kau pun harus ingat bahwa aku
adalah yang disebut Serigala Betina, yang pernah
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membunuh orang tanpa mengedipkan mata. Nah, marilah,
jika kau masih tetap berniat membunuhku, maka biarlah
aku atau kau yang akan terbunuh di sini."
Bagaimanapun juga terasa tengkuk Ki Wiradana
meremang. Serigala Betina itu agaknya terlalu yakin akan
dirinya. Seolah-olah ia memiliki ilmu yang seimbang
dengan ilmunya. Namun ternyata pada hentakan pertama,
perempuan itu berhasil melepaskan diri dari cengkeraman
tangannya di lehernya. Dengan kekuatan yang tidak pernah
diduganya, yang ternyata melampaui kekuatan
cengkeramannya. Bahkan kemudian ia telah terlempar oleh
kekuatan perempuan yang sedang sakit itu, menembus
dinding bambu dan menimpa geledeg di ruang sebelah.
Namun Wiradana yang merasa dirinya memiliki ilmu
yang jauh lebih tinggi dari Serigala Betina itu kemudian
membentak dengan kasar, "Tutup mulutmu. Aku memang
ingin membunuhmu dengan cara yang paling
berperikemanusiaan sehingga kau dengan cepat terbunuh
tanpa merasakan sakit. Bahkan aku pun telah mempercepat
kematianmu karena gigitan penyakitmu yang tidak
mungkin dapat kau obati, sementara aku akan terlepas dari
kecemasan bahwa pada suatu saat kau akan berkhianat
dengan alasan apapun juga. Tetapi kau ternyata terlalu
banyak tingkah sehingga akan mempersulit jalan
kematianmu sendiri. Kau kira, bahwa dengan melawan kau
akan dapat bebas dari kematian" Apalagi kau sedang dalam
29 SH. Mintardja keadaan sakit. Maka segala usahamu akan sia-sia. Bahkan
hanya akan menambah penderitaan disaat kematianmu
yang pahit ini." "Jangan hanya banyak bicara saja anak manis" berkata
pereanpuan itu, "jika kau, memang mampu membunuhku,
lakukanlah." Wajah Ki Wuadama menjadi merah membara. Selangkah
ja maju. Dinding yang pecah masih silang melinta.ng diha-
dapannya.. Namun dalam pada itu, maka Serigala Bertina itupun sa-
akan-akan memberi kesempatan kepada Ki Wiradana untuk
bergeser kebilik yang semula, sehingga dengan demikian,
maka mereka, akan dapat berkelahi, tanpa dirintangi oleh
amben dan dinding yang pecah itu.
Wiradana pun bergeser setapak demi satapak, sernentara
perempuan itu sengaja melangkah surut.
Sejenak kemudian keduanya telah berhadapan. Perempu-
an yang sakit itu masih saja membetulkan letak selimutnya
yang rangkap meskipun ia nampak bersiaga pula
menghadapi segala kemungkinan.
Wiradana agaknya tidak sabar lagi. Dengan garangnya,
maka ia pun telah menyerang langsung dengan tendangan
ke arah dada perempuan yang sedang sakit itu.
Tetapi, ternyata bahwa Wiradana sekali lagi diguncang
oleh perasaan terkejutnya. Perempuan itu sama sekali tidak
berusaha untuk menghindar. Tetapi ia hanya sekedar
menyilangkan tangannya di depan dadanya. Dengan sengaja
perempuan itu telah membenturkan kekuatannya.
Ketika benturan itu terjadi, Wiradana seakan-akan tidak
percaya pada kenyataan yang dihadapinya. Ternyata
30 SH. Mintardja pereanpuan yang sedang sakit itu sama sekali tidak bergeser
dari tempatnya. Tetapi justru Wiradana lah yang terpental
dua langkah surut dan jatuh terbanting di lantai.
Tetapi Wiradana itu pun berusaha dengan cepat bangkit.
Demikian ia berdiri maka hampir saja ia telah terjatuh lagi.
Namun dengan serta -merta, tangannya telah berpegangan
pada tiang yang hampir saja membentur kepalanya.
Kakinya yang menghantam tangan perempuan yang
tersilang di dadanya itu rasa-rasanya, akan patah.
Dengan mengerahkan daya tahan tubuhnya, Wiradana
mengatasi perasaan sakitnya. Sejenak kemudian, maka ia
pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Namun, ia tidak lagi dapat menganggap perempuan itu
perempuan yang dengan mudah akan dapat dibunuhnya.
Serigala Betina yang dianggapnya memiliki kemampuan
tidak lebih dari kemampuan perampok-perampok kecil
kebanyakan itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi.
Sehimgga deagan demikian maka Ki Wiradana itupun harus
benar-benar bertempur untuk dapat mengalahkannya dan
membunuhnya. Sekali lagi Wiradana memusatkan kemampuannya.
Perempuan yang sadang sakit itu masih saja berdiri sambil
menggigil kedinginan. Ia masih juga. membetulkan
kerudung dan selimut di seluruh tubuhnya.
"Perempuan gila" geram Wiradana.
Selangkah Wiradana maju. Namun-tiba-tiba dengan
kecepatan yang hampir tidak kasat mata, Wiradana
menyerang dada perempuan itu dengan tangannya.
Ternyata bahwa perempuan itu: hanya bergeser saja sedikit
sambil berusaha untuk menangkis serangan itu. Namun
Wiradana menarik serangannya. Sekali ia berputar
31 SH. Mintardja bertumpu pada sebelah kakinya, sementara sebelah kakinya
yang lain dalam putaran yang cepat menyerang lambung
perempuan yang sedang sakit itu.
Tetapi akibatnya justru parah bagi Wiradana. Perempuan
itu berhasil menangkap kaki Wiradana.
Wiradana yang merasa kakinya tertangkap oleh
kecepatan gerak lawannya, dengan cepat berputar sambil
menjatuhkan dirinya. Kakinya yang tertangkap itu
dihentakannya dan dengan kakinya, yang lain ia berusaha
untuk menyerang orang yang akan terseret oleh hentakkan
kakinya yang ditangkap itu.
Tetapi ternyata Wiradana salah. Orang itu dengan begitu
saja melepaskan kakinya dan sama sekali tidak berusaha
untuk berbuat apa-apa. Wiradana mengumpat kasar. Sekali ia berguling dengan
cepat. Kemudian meloncat bangkit. Bahkan dengan tiba-
tiba saja ia telah menyerang pula dengan serangan tangan
mendatar menyamping setinggi leher.
Seperti yang diperhitungkannya, maka perempuan itu
pun telah mengelak sambil merendahkan diri. Karena itu,
dengan serta merta, Wiradana telah menyerang wajah orang
yang sedang merendah itu dengan kakinya sambil menarik
serangan tangannya. Semuanya itu berlangsung demikian cepatnya, sehingga
Wiradana seakan-akan menjadi yakin bahwa sekali itu
lawannya tidak akan mampu mengelak.
32 SH. Mintardja Tetapi sekali lagi Wiradana salah. Kakinya yang terjulur
sama sekali tidak menyentuh apapun lagi. Bahkan di luar
dugaan sama sekali, kaki perempuan yang berkerudung dan
berselimut rangkap itu sempat juga menyentuh kaki
Wiradana yang berpijak pada lantai, sehingga karena
kakinya yang lain masih terangkat, Wiradana tidak
mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga
ia pun telah jatuh terlentang. Dengan tangkasnya Wiradana berusaha untuk melenting dan tegak berdiri.
Tetapi demikian ia tegak,
tanpa diketahui apa yang telah dilakukan, maka perempuan yang sakit itu telah berdiri dihadapannya.
Dengan kekuatan yang sangat besar, tangannya bergerak
menampar pipi Wiradana. Sekali lagi Wiradana terhuyung-huyung. Namun sebelum
ia terjatuh, tangan lawannya telah memegang bajunya dan
menariknya. Wiradana sempat melihat tangan yang lain dari lawannya
itu bergerak ke arah wajahnya. Dengan cepat ia berusaha
melindungi wajahnya itu dengan tangannya. Namun
ternyata tangan lawannya itu ditariknya. Serangannya pun
berubah sasaran. Yang kemudian terasa menjadi muak
adalah perutnya yang serasa ditimpa sebongkah batu hitam.
33 SH. Mintardja Wiradana menunduk. Tetapi bajunya masih belum
dilepaskan. Sekali lagi tangan yang memegangi bajunya itu
dihentakkan. Ketika wajah Wiradana sedikit tengadah,
maka sekali lagi perempuan itu telah menampar keningnya,
bersamaan dengan sebuah dorongan yang kuat pada
bajunya yang digenggam oleh tangan lawannya yang lain.
Wiradana benar-benar tidak mampu mempertahankan
keseimbangannya. Ketika ia berusaha berpegangan pada
tiang pula, maka terasa sebuah serangan telah menghantam
dadanya. Demikian kuatnya, sehingga nafasnya serasa
terputus karenanya. Matanya menjadi kabur. Semakin lama
semakin kabur, sementara tubuhnya tidak lagi dapat
dipertahankannya untuk tetap berdiri.
Sejenak kemudian Wiradana telah terjatuh dilantai.
Matanya menjadi gelap dan nafasnya terasa sesak. Sejenak
kemudian maka semuanya bagaikan hilang dari ingatannya.
Pingsan. Perempuan yang berdiri tegak disebelahnya itu telah
membuka kerudung dan selimutnya. Kemudian
melemparkan kain itu ke pembaringannya. Dipandanginya
Wiradana yang pingsan itu dengan tatapan mata yang
tajam. Namun perempuan itu kemudian menarik nafas
dalam-dalam. "Nyai," tiba-tiba perempuan itu memanggil.
Dari belakang, seorang perempuan yang lain memasuki
ruangan. Dipandanginya tubuh Wiradana yang terbaring
diam. "Nyai telah membunuhnya?" bertanya perempuan yang
baru saja masuk itu. "Ia tidak mati," jawab perempuan yang baru saja
berkelahi itu, "Ia hanya pingsan."
34 SH. Mintardja "Terima kasih Nyai. Tanpa Nyai, aku tentu benar-benar
sudah dibunuhnya. Agaknya ia mulai dibayangi oleh
ketakutan bahwa rahasianya pada satu saat akan
dibongkar," berkata perempuan yang masuk dari bilik
belakang itu. "Tetapi dengan demikian maka sikapnya terhadap
Serigala Betina akan berubah," berkata perempuan yang
berkelahi itu. Perempuan yang datang dari bilik belakang itu
termangu-mangu. Katanya, "Namun sebenarnyalah ia
mengenal kemampuanku, orang yang sesungguhnya disebut
Serigala Betina. Ia mengerti bahwa kemampuanku tidak
akan dapat mengimbangi kemampuannya."
Perempuan yang telah berkelahi dengan Ki Wiradana itu
mengangguk-angguk. Katanya, "Ia tetap menganggap
bahwa aku adalah Serigala Betina itu. Tetapi keadaan
selanjutnya mungkin akan sangat berbahaya atasmu.
Karena itu, marilah. Ikut aku ke padepokanku. Kau akan
bertemu lagi dengan Iswari. Aku benar-benar neneknya.
Maksudku, aku adalah adik kakeknya seperti yang sudah
aku katakan." Perempuan yang sebenarnya disebut Serigala Betina itu
termangu-mangu. Namun ia merasa, bahwa ia tidak akan
dapat bertahan untuk hidup jika ia tidak meninggalkan
rumahnya. Karena itu, maka Serigala Betina itu pun kemudian
berkata, "Baiklah Nyai. Aku akan ikut Nyai, Nyai sudah
menyelamatkan hidupku. Dan untuk selanjutnya aku akan
ikut saja kemana Nyai akan pergi dan apa saja yang akan
dilakukan oleh Nyai atasku."
35 SH. Mintardja "Baiklah. Kita akan segera meninggalkan tempat ini
sebelum Wiradana sadar. Tidak sia-sia aku berada disini
untuk beberapa lama. Aku sudah memperhitungkan, bahwa
Wiradana akan datang kemari setelah ia gagal menangkap
penari yang dikatakan oleh orang-orang Tanah Perdikan ini
mirip dengan Iswari."
"Tetapi apakah benar penari itu Iswari?" bertanya
Serigala Betina itu. Perempuan itu tersenyum. Katanya, "Marilah. Selagi
Wiradana masih nyenyak tidur."
Perempuan yang disebut Serigala Betina itu pun
kemudian mengemasi barang-barang yang mungkin dapat
dibawanya. Ia memang mempunyai simpanan sejak ia
masih ikut serta dalam rombongan perampok dan
penyamun. Sementara itu, ia memiliki pula beberapa jenis
perhiasan yang akan dapat dipergunakan untuk
kepentingan-kepentingan apapun di sisa hidupnya, karena
ia tidak mungkin lagi dapat menggantungkan dirinya
kepada orang lain. Apalagi orang-orang yang sudah
mengetahui latar belakang hidupnya di masa muda.
Setelah perempuan itu selesai, maka keduanya telah
meninggalkan tempat itu. Serigala Betina itu tidak
meninggalkan bekas apapun juga. Selimut kain panjang
yang dipergunakan oleh perempuan yang mengalahkan
Wiradana itu pun telah dibawanya pula. Hanya perkakas
rumah tangganya sajalah yang ditinggalkannya dengan
dinding penyekat ruang yang pecah.
Untuk beberapa saat lamanya, Wiradana masih terbaring
diam. Dari celah-celah pintu yang tidak tertutup rapat,
angin bertiup menyapu ruangan rumah Serigala Betina yang
sudah ditinggalkan itu. Segarnya angin malam telah
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyegarkan tubuh Ki Wiradana pula. Perlahan-lahan ia
36 SH. Mintardja pun mulai bergerak. Yang mula-mula terdengar adalah
keluhan perlahan. Kemudian kepala Ki Wiradana itu mulai
bergeser. Perlahan-lahan Ki Wiradana membuka matanya. Terasa
nafasnya masih sesak. Namun angin yang sejuk memang
membuat tubuhnya semakin segar.
Ketika Ki Wiradana mulai mengingat apa yang telah
terjadi, ia pun segera berusaha bangkit.
Meskipun tubuhnya masih terasa sakit, namun Wiradana
telah memaksa diri untuk berdiri. Diamatinya ruangan
disekelilingnya. Pintu yang tidak tertutup rapat. Dinding
bambu yang pecah dan amben yang sudah kosong.
Perempuan yang disangkanya Serigala Betina yang
sedang sakit itu sudah tidak ada di dalam ruangan itu.
"Gila," Ki Wiradana mengumpat. "Ia berhasil melarikan
diri." Selangkah Ki Wiradana bergeser. Lampu minyak masih
menyala tidak begitu besar, sehingga yang nampak
hanyalah remang-remang saja.
Wiradana pun kemudian berhasil mengingat sepenuhnya
apa yang telah terjadi. Kepalanya masih terasa pening dan
nafasnya masih saja seolah-olah tersendat-sendat.
"Aku harus menemukannya," berkata Ki Wiradana
kemudian. "Pada kesempatan lain, aku harus datang lagi
dan membunuhnya. Sudah tentu dalam kesempatan yang
tidak terlalu lama, agar ia belum mendapat kesempatan
berkhianat." Wiradana pun kemudian berjalan ke pintu. Dengan hati-
hati ia mendorong pintu itu semakin lebar. Namun ketika ia
37 SH. Mintardja sudah berada di luar, maka pintu itu pun ditutupnya
kembali. Dengan dada yang sakit dan kepala yang pening, maka
Wiradana meninggalkan halaman rumah Serigala Betina
itu. Memang ada keragu-raguan padanya untuk pulang
karena ia gagal membunuh perempuan yang disebut
Serigala Betina itu. Namun akhirnya Ki Wiradana itu pun menemukan akal
untuk menutupi kelemahannya, karena tentu tidak masuk
akal bahwa ia dapat dikalahkan oleh perempuan yang
sedang sakit itu. Ketika Ki Wiradana sampai ke regol rumahnya itu
merasa ragu-ragu. Sejenak ia membenahi dirinya.
Kemudian dengan cepat ia melintasi regol yang tidak
diselarak langsung menuju ke seketheng.
Para peronda yang ada di regol termangu-mangu. Tetapi
karena Wiradana berpaling pun tidak, maka mereka pun
sama sekali tidak pula bertanya tentang sesuatu.
Lewat pintu butulan, Wiradana memasuki rumahnya.
Seorang pembantunya mendengar pintu itu diketuk dan
mendangar suara Wiradana memanggil sehingga karena itu,
maka ia pun telah membuka selarak pintu.
Tetapi ketika ia memasuki biliknya yang agak terang, ia
pun tertegun. Istrinya yang bangkit dari pembaringannya
karena derit pintu, terkejut melihat kehadiran Wiradana.
"Kakang, kau kenapa kakang?" bertanya istrinya dengan
sangat cemas. "Aku kenapa?" bertanya Wiradana.
"Ada noda-noda kebiruan di keningmu," berkata istrinya
sambil meraba wajah Ki Wiradana.
38 SH. Mintardja Wiradana menyeringai. Yang disebut noda-noda itu
adalah bekas tangan perempuan yang dikiranya Serigala
Betina. Bekas itu masih terasa sakit ketika disentuh oleh
tangan istrinya. "Apakah kau baru saja berkelahi?" bertanya Warsi yang
mengenali noda-noda seperti itu.
Wiradana tidak dapat mengelak. Tetapi ia tidak dapat
mengatakan kelemahannya bahwa ia sudah dikalahkan oleh
perempuan yang disangkanya adalah Serigala Betina itu.
Karena itu maka katanya, "Ya. Aku memang baru saja
berkelahi." "Dengan siapa?" bertanya istrinya.
Wiradana pun kemudian menceriterakan bahwa ia
memang pergi ke rumah Serigala Betina. Tetapi ternyata di
rumah itu terdapat beberapa orang dari sebuah gerombolan
perampok. "Mungkin mereka orang-orang Kalamerta," berkata
Wiradana kemudian. Warsi mengerutkan keningnya. Hampir di luar sadarnya
ia menyahut, "Tentu bukan."
"Kau dapat memastikan bahwa mereka bukan para
pengikut Kalamerta yang mendendam yang kemudian
bekerja bersama dengan perempuan itu?" bertanya
Wiradana. Wajah Warsi menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat
menjawab. Meskipun demikian ia sama sekali tidak rela
seandainya suaminya menjadikan para pengikut Kalamerta
kambing hitam. 39 SH. Mintardja Dalam pada itu, maka Wiradana pun berkata, "Besok
malam aku akan kembali ke rumah itu. Aku harus
menemukan mereka dan menangkap mereka semuanya.
Aku akan membawa beberapa orang pengawal."
"Tetapi bagaimana yang terjadi atas kakang?" bertanya
Warsi pula. "Aku sama sekali tidak menyangka bahwa di dalam
rumah itu terdapat beberapa orang. Sebenarnya aku ingin
mendapatkan kepastian bahwa Serigala Betina itu tidak
berkhianat. Tetapi aku dijebak dalam perkelahian melawan
beberapa orang. Aku tidak dapat mengelakkan segala
serangan yang datang beruntun. Meskipun demikian, aku
telah mengusir mereka. Sayang sekali aku tidak berhasil
menangkap seorang pun di antara mereka, sehingga aku
tidak dapat melacak kegiatan itu untuk selanjutnya,"
berkata Ki Wiradana. Wajah Warsi menjadi tegang. Bagaimanapun juga ia pun
menjadi tersinggung bahwa suaminya telah mengalami
cidera karena pokal beberapa orang, yang justru oleh
suaminya disangka sisa-sisa gerombolan Kalamerta. Tetapi
Warsi tidak dapat berbuat apa-apa. Ia masih belum
menyatakan dirinya bahwa ia memiliki kemampuan yang
justru lebih tinggi dari suaminya.
Namun dalam pada itu Warsi pun bertanya, "Tetapi jika
kakang membawa perempuan ke rumah pengawal itu,
apakah tidak akan menimbulkan persoalan dengan Ki
Demang yang menguasai padukuhan itu?"
"Aku akan datang dengan diam-diam, sehingga Ki
Demang tidak akan mengetahuinya. Apalagi perempuan
yang disebut Serigala Betina itu adalah perempuan yang
dibenci oleh orang-orang disekitarnya. Sehingga orang-
orang disekitarnya, bahkan mungkin Ki Demang akan
40 SH. Mintardja bergembira jika perempuan itu terbunuh. Apalagi
rumahnya kini telah dipergunakan untuk berkumpul para
perampok dan penyamun. Agaknya perempuan itu telah
menjadi kambuh lagi."
Warsi mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi hati-hatilah
kakang. Mungkin perempuan itu memang sangat licik,
sehingga ia akan dapat berbuat apa saja untuk mencapai
niatnya." "Jangan cemas Warsi. Aku adalah Wiradana, anak Ki
Gede Sembojan. Aku akan dapat menyelesaikan setiap
persoalan yang aku hadapi," berkata Wiradana kemudian.
Warsi tidak menjawab lagi. Namun bagaimanapun juga
ia menjadi cemas menilik keadaan suaminya, sementara
perempuan yang disebut Serigala Betina itu masih belum
dapat diselesaikan. Agaknya kemungkinan buruk akan
dapat terjadi jika perempuan itu membongkar tingkah laku
Wiradana. Demikianlah, maka Warsi pun kemudian mempersilakan
Wiradana untuk membersihkan diri dan kemudian pergi ke
pembaringan. Dengan obat-obatan yang ada maka Warsi
telah berusaha untuk mengobati noda-noda di wajah
Wiradana dengan obat itu.
Namun dalam pada itu, ketika Wiradana telah tertidur,
Warsilah yang kemudian bangkit dari pembaringannya.
Dengan diam-diam ia pergi keluar. Kemudian hilang di
kegelapan tanpa setahu siapapun juga.
Warsi telah menyediakan jawaban jika seandainya
Wiradana terbangun dan menanyakan kemana ia pergi.
"Satu-satunya jawaban yang paling baik adalah pergi ke
sungai," berkata Warsi kepada diri sendiri. "Tetapi mudah-
mudahan kakang Wiradana yang letih itu akan tertidur
41 SH. Mintardja nyenyak. Apalagi obat yang aku usapkan pada wajahnya
mengandung reramuan yang dapat membuatnya tidur
nyenyak." Dengan kemampuan seorang yang berilmu tinggi maka
Warsi telah pergi ke padukuhan yang diketahuinya sebagai
tempat tinggal Serigala Betina itu. Meskipun ia belum
pernah datang ke rumah itu, tetapi dalam setiap
pembicaraan dengan suaminya, maka ia dapat
membayangkan dimana letak rumah itu.
Beralaskan atas ketajaman
penggraitanya, maka ternyata
Warsi dapat menemukan rumah itu. Tetapi ia tidak
menemukan seorang pun. Rumah itu telah kosong. Namun ia memang melihat bekas-bekas perkelahian yang terjadi. Dinding yang
pecah, geledeg yang terguling
dan barang-barang yang berserakan. "Memang mungkin sekali
kakang Wiradana harus berkelahi melawan beberapa
orang," berkata Warsi di dalam hatinya. Tetapi ia merasa
kecewa bahwa ia tidak dapat bertemu dengan perempuan
yang disebut Serigala Betina itu.
Jika Warsi sempat bertemu, maka perempuan yang
disebut Serigala Betina itu benar-benar tidak berarti apa-
apa baginya. Dengan demikian maka Warsi menjadi bertambah
cemas. Perempuan yang luput dari tangan suaminya itu
42 SH. Mintardja tentu akan dapat berkhianat. Karena itu, maka ia harus
secepatnya diketemukannya. Namun tidak ada orang yang
tahu kemana perempuan itu pergi. Jika benar ia telah
berada kembali di antara para perampok dan penyamun,
mungkin ia telah kembali lagi berada di sarang-sarang
penyamun itu. Dengan kegelisahan yang semakin mencengkam maka
Warsi pun telah meninggalkan rumah itu dan kembali ke
Tanah Perdikan Sembojan. Ketika ia memasuki rumahnya
lewat pintu-pintu dibukanya pada saat ia keluar, maka ia
menjumpai suaminya yang masih tidur nyenyak
sebagaimana diperhitungkannya.
Warsi pun kemudian membaringkan dirinya pula di
samping suaminya setelah ia membenahi pakaiannya.
Namun demikian kegelisahannya, membuatnya sama
sekali tidak dapat tidur barang sekejap pun.
Tetapi akhirnya Warsi mengambil satu kesimpulan, "Jika
pengkhianatan itu terjadi, maka aku akan menyatakan
diriku. Aku harus menunjukkan kuasaku berlandaskan
dengan kemampuanku."
Demikianlah, maka sampai matahari terbit, Warsi tidak
dapat memejamkan matanya lagi. Pada saatnya ia pun
bangun dan pergi ke Pakiwan sebagaimana kebiasaannya,
sementara Wiradana masih saja tertidur nyenyak. Kecuali
oleh keletihan dan sakit-sakit di tubuhnya, maka obat yang
diusapkan di wajah Wiradana memang mempunyai daya
yang membuatnya tidur nyenyak.
Dalam pada itu, perempuan yang disebut Serigala Betina
itu tengah dalam perjalanan menuju ke sebuah padepokan
yang jauh bersama seorang perempuan tua, namun yang
43 SH. Mintardja ternyata memiliki kemampuan yang sangat tinggi, Nyai
Soka. "Mudah-mudahan kita selamat sampai ke padepokan
Nyai," berkata Nyai Soka. "Aku berharap bahwa di
padepokan kita akan bertemu dengan Iswari, kakang Badra
dan pembantunya yang sangat setia, yang masih
mempunyai hubungan darah, bernama Gandar. Mudah-
mudahan mereka tidak berada di padepokan kakang
Badra." Perempuan yang disebut Serigala Betina itu
mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah ia merasa
heran, bahwa perempuan tua itu dengan mudah dapat
mengalahkan Wiradana. Dengan demikian ia menjadi malu
kepada dirinya sendiri yang mendapat sebutan Serigala
Betina namun yang tidak berarti apa-apa bagi perempuan
tua itu, sehingga ia lebih pantas disebut Kelinci Sakit-
sakitan daripada Serigala Betina itu.
Perjalanan mereka memang merupakan perjalanan yang
agaknya panjang. Tetapi rasa-rasanya mereka memang
sedang menuju ke tempat yang menyimpan pengharapan.
Apalagi bagi Serigala Betina itu. Ia memang ingin sekali
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertemu dengan Iswari. Orang yang pernah diancamnya
untuk dibunuhnya. Tetapi syukurlah bahwa pada waktu itu
hatinya mendapat tenang sehingga ia mengurungkan
kesediaannya untuk membunuh Nyai Wiradana yang
sedang mengandung itu. Setelah menempuh perjalanan panjang, maka akhirnya
mereka memasuki sebuah padepokan yang sejuk.
Padepokan Tlaga Kembang. Padepokan yang sejuk.
Padepokan tempat memelihara air tawar dan yang pagarnya
penuh dengan bunga-bungaan.
44 SH. Mintardja Ketika mereka memasuki padepokan itu, ternyata
padepokan itu masih kosong. Kiai Soka dan orang-orang
yang lain masih belum nampak berada di padepokan.
Ketika Nyai Soka bertanya kepada seorang cantrik, maka
cantrik itu menjawab, "Bukankah mereka pergi bersama
Nyai." "Ya. Tetapi arah kepergian kami berbeda-beda," jawab
Nyai Soka. "Tetapi agaknya mereka singgah di padepokan
kakang Badra lebih dahulu."
Namun dalam pada itu, seorang cantrik telah mengajak
seorang bayi laki-laki yang gemuk panjang menghadapi
Nyai Soka. Anak itu gembira sekali ketika melihat Nyai Soka
sehingga kedua tangannya menggapai-gapai dan berteriak-
teriak tidak menentu. Nyai Soka pun kemudian menerima anak itu. Kepada
perempuan yang datang bersamanya ia berkata, "ini adalah
anak Iswari itu." "O," perempuan itu termangu-mangu. Terasa
kerongkongannya menjadi panas. Anak itu adalah anak
yang manis. Jika ia saat itu membunuh ibunya, maka anak
itu pun tentu tidak akan pernah lahir di muka bumi.
Tetapi untunglah, bahwa seakan-akan ada yang
mencegah melakukannya. Ternyata perempuan yang untuk selamanya tidak pernah
membayangkan akan mendapat seorang anak pun karena ia
tidak pernah kawin itu, tertarik juga untuk menggendong
anak yang manis itu. Ternyata anak Iswari adalah anak yang berani. Ia mau
saja diajak oleh siapapun juga. Bahkan di tangan
45 SH. Mintardja perempuan yang belum pernah dikenalnya itu, anak yang
manis itu sempat juga melonjak-lonjak kegirangan.
"O," Serigala Betina itu pun menjadi gembira, "Anak ini
tentu akan menjadi anak yang nakal sekali."
Namun perempuan itu mengerutkan keningnya ketika ia
teringat bahwa anak itu adalah anak Wiradana, seorang
yang telah mencoba untuk membunuhnya.
"Tetapi neneknya sangat sayang kepadanya," berkata
perempuan itu di dalam hatinya, kemudian, "Bahkan anak
ini pun hampir saja menjadi korban ketamakan ayahnya
sendiri lewat tanganku."
Sejenak kemudian, maka digendongnya anak itu
berkeliling padepokan bersama Nyai Soka untuk melihat-
lihat dan menikmati sejuknya udara di padepokan.
Agaknya mereka masih harus menunggu dua tiga hari
lagi sampai saatnya Kiai Soka datang. Menurut perhitungan
Nyai Soka, mereka tentu singgah dahulu di padepokan Kiai
Badra untuk satu dua hari.
Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Sembojan, Wiradana
telah memanggil lima orang terbaik dari para pengawalnya.
Kelima orang itu telah diberinya petunjuk-petunjuk untuk
melakukan tugas mereka di luar Tanah Perdikan Sembojan.
"Kita tidak boleh membuang waktu," berkata Wiradana,
"Demikian kita menemukannya, maka kita akan
membunuhnya." Kelima orang pengawalnya mengangguk-angguk. Namun
mereka menjadi berdebar-debar juga. Meskipun setiap kali
Wiradana mengatakan bahwa sasaran mereka tidak lebih
dari perempuan sakit-sakitan.
46 SH. Mintardja Ketika rencana itu di dengar oleh Warsi, maka ia telah
berusaha mencegahnya. Meskipun Warsi tidak dapat
berkata berterus-terang bahwa ia pernah datang pula ke
rumah Serigala Betina yang kosong, namun Warsi dapat
mengatakan, "Perempuan itu tentu tidak akan berani lagi
berada di rumahnya. Ia akan pergi dan hidup di sarang para
perampok dan penyamun."
"Mungkin, tetapi mungkin pula ia merasa, karena ia tidak
berada di Tanah Perdikan Sembojan, sehingga ia sama
sekali tidak memikirkan bahwa kami akan datang untuk
menangkap mereka. Sementara itu meskipun mereka tidak
berada di Tanah Perdikan Sembojan, namun mungkin
sekali mereka membuat landasan di tempat itu untuk
melakukan perampokan di Tanah Perdikan ini," berkata
Wiradana. Warsi tidak mencegahnya meskipun ia tahu, bahwa
Wiradana tidak akan menemukan orang yang dicarinya.
Ketika hari menjadi gelap, maka Wiradana pun telah
bersiap dengan orang-orangnya. Mereka akan memasuki
Kademangan sebelah dengan diam-diam dan mengambil
perempuan yang disebut Serigala Betina itu. Namun pada
pengawalnya dan juga Warsi menggambarkan, bahwa
seandainya Wiradana masih menemukan perempuan yang
dicarinya, maka akan terjadi pertempuran melawan para
perampok dan penyamun yang ada di rumah perempuan
itu. Karena itu, bagaimanapun juga, ada semacam kecemasan
di hati Warsi. Karena itulah, maka ketika Wiradana
kemudian berangkat ke padukuhan di luar Tanah Perdikan
itu menjelang tengah malam. Warsi pun telah meninggalkan
rumahnya pula dengan diam-diam. Ia mencemaskan nasib
suaminya. Mungkin perempuan yang disebut Serigala
47 SH. Mintardja Betina itu justru akan memanggil kawan-kawannya lebih
banyak lagi, sehingga suaminya yang hanya membawa lima
orang pengawal itu akan terjebak oleh satu kekuatan yang
tidak terlawan. Namun Warsi tidak dapat berkata terus terang, bahwa ia
melibatkan diri dalam persoalan antara suaminya dengan
perempuan yang disebut Serigala Betina itu.
Demikianlah, maka Ki Wiradana bersama kelima orang
pengawalnya memasuki Kademangan di sebelah Tanah
Perdikan itu dengan laku justru sebagai orang-orang yang
ingin merampok. Mereka menyusup memasuki
Kademangan itu dengan menyusuri jalan-jalan setapak yang
sepi. Kemudian meloncati dinding padukuhan dan
menghindari gardu-gardu peronda.
Namun ketika mereka sampai di rumah perempuan yang
disebut Serigala Betina itu, maka rumah itu telah menjadi
kosong. Mereka tidak melihat seorang pun yang ada di
rumah itu, selain bilik-bilik yang kotor, dinding yang pecah
dan geledeg yang terguling.
"Gila," geram Wiradana. "Mereka benar-benar telah
pergi." "Ya," jawab salah seorang dari pengawalnya, "Tidak ada
tanda-tanda bahwa rumah ini ditempati oleh seseorang."
Wajah Wiradana menjadi tegang. Kepergian perempuan
itu akan dapat menumbuhkan persoalan baru padanya.
Mungkin perempuan itu akan membuka rahasia, bahkan
mungkin disertai fitnah yang lebih jahat lagi.
Tetapi Wiradana tidak dapat berbuat apa-apa.
Perempuan itu benar-benar telah pergi dan tidak diketahui
arah kepergiannya. 48 SH. Mintardja Karena itu, betapapun kesalnya Wiradana, maka yang
dapat dilakukannya kemudian adalah kembali dengan tidak
berhasil melakukan sesuatu.
Ketika Wiradana dan kelima pengawalnya dengan hati-
hati meninggalkan rumah itu, agar tidak diketahui oleh para
tetangga dan barangkali para peronda, maka seseorang
ternyata mengamati tingkah laku mereka dari kejauhan.
Orang itu adalah Warsi. Sebenarnyalah Warsi pun menjadi cemas. Perempuan
yang mengetahui rahasia kematian Iswari itu akan dapat
mengkhianati suaminya sehingga akan timbul persoalan
yang lebih rumit lagi. "Tidak ada jalan lain" berkata Warsi di dalam hatinya.
"Aku harus mengundang kekuatan yang akan dapat
mendukung kedudukan Wiradana, karena dengan
demikian, maka keturunanku kelak akan dapat mewarisi
Tanah Perdikan ini."
Warsi menarik nafas dalam-dalam. Namun
sebenarnyalah bahwa Warsi memang mencintai Wiradana.
Ia tidak mau kehilangan suaminya apapun yang terjadi.
Karena itu, maka ia merasa wajib untuk
menyelamatkannya, di samping kedudukan yang mungkin
akan dapat diwarisi oleh anaknya kelak.
"Dengan modal Tanah Perdikan, maka gegayuhan yang
lebih tinggi tentu akan dapat dicapainya," berkata Warsi di
dalam hatinya. Sementara itu ketika Wiradana sampai di rumahnya,
Warsi sudah berada kembali di biliknya seperti biasanya.
Namun nampak betapa cemas wajahnya ketika ia melihat
Wiradana memasuki bilik itu pula.
"Apa yang terjadi kakang?" bertanya Warsi.
49 SH. Mintardja "Seperti yang kau katakan, perempuan itu sudah pergi,"
jawab Wiradana. Warsi menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk
memberikan kesan bahwa ia tidak mengetahui akan hal itu.
Namun dalam pada itu, Warsi pun harus mulai berpikir,
jika pada suatu saat perempuan itu berkhianat, maka
apakah yang sebaiknya harus dilakukannya.
Persoalan itu pun dihubungkannya dengan serombongan
penari yang telah menggelisahkan Tanah Perdikan
Sembojan. Bahkan Warsi berpikir lebih jauh lagi, bahwa
telah terjadi satu permainan yang sangat rumit yang masih
belum dapat dipecahkannya.
Warsi memang tidak begitu percaya kepada kecerdasan
berpikir suaminya. Ia memang mencintai suaminya, tetapi
baginya suaminya tidak lebih dari seorang laki-laki yang
tampan, yang menarik hati perempuan. Tetapi yang otaknya
tumpul dan tidak mempunyai pengamatan yang jauh ke
depan. Bahwa Wiradana terlalu mempercayainya, adalah bukti
yang tidak dapat diingkari oleh Warsi sendiri, bahwa
suaminya terlalu mudah untuk ditipu. Sehingga justru
karena itu, maka Warsi pun mempunyai pendapat seperti
itu terhadap suaminya, dalam hubungannya dengan orang-
orang lain. "Mungkin sekali Wiradana juga ditipu oleh iblis betina
itu," berkata Warsi di dalam hatinya. "Bahkan mungkin
Iswari itu tidak dibunuhnya dan penari itu memang Iswari
itu sendiri." Wajah Warsi menjadi tegang. Tetapi ia bukan perempuan
yang cukup menyerah kepada kebingungan dan putus asa.
50 SH. Mintardja Ia adalah seorang yang mempunyai tekad yang menyala di
dalam dadanya. Karena itu, maka ia pun sudah bertekad, bahwa pada
suatu ketika ia tidak akan dapat bersembunyi lagi. Ia harus
menunjukkan dirinya yang sebenarnya, sementara
suaminya harus tunduk kepadanya.
Dengan cerdik Warsi memperhitungkan saat-saat yang
paling tepat untuk bertindak. Ia harus membiarkan
suaminya tersudut dan sulit untuk keluar dari persoalan
yang membelitnya. Pada saat yang demikian ia akan tampil
untuk menyelamatkannya dan sekaligus memaksa
suaminya itu untuk mencium kakinya.
"Ia harus bersedia menjadi laki-laki yang dapat menjadi
suami tetapi juga bersedia menjadi budak," berkata Warsi di
dalam hatinya. Sementara itu, ia sama sekali tidak ingin
melepaskan Tanah Perdikan Sembojan dari tangannya atau
keturunannya. Dalam keadaan yang demikian, maka laki-laki yang
disebutnya ayahnya itu sangat diperlukannya. Ia harus
dapat bertindak cepat dalam keadaan yang sangat
mendesak. Di luar pengetahuan Wiradana maka pada satu saat laki-
laki yang disebut ayahnya itu dipanggilnya. Dengan
sungguh-sungguh Warsi mengatakan keadaan yang
mungkin akan dapat menjadi gawat.
"Kau harus pulang menghadap ayah," berkata Warsi.
"Ayah harus mempersiapkan kekuatan yang kami perlukan.
Cari semua orang kita yang pada saat tertentu akan dapat
kita pergunakan. Kumpulkan mereka dan siapkan mereka
untuk tugas-tugas yang mungkin akan cukup berat. Bahkan
mungkin akan terpaksa terjadi pertumpahan darah."
51 SH. Mintardja Orang yang diakunya sebagai ayahnya itu mengangguk-
angguk. Lalu katanya, "Apakah aku harus berangkat
sekarang?" "Kau memang sangat dungu," bentak Warsi. Hampir saja
ia menampar mulut orang itu. "Jangan berbuat sesuatu
yang dapat menimbulkan pertanyaan dan kecurigaan. Jika
kau tiba-tiba saja minta diri untuk pulang, maka Wiradana
akan berpikir." Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Baru kemudian ia
bertanya, "Jadi bagaimana?"
"Nanti malam kita akan mencari kesempatan. Kita dapat
berbicara tentang apa saja. Baru kemudian kau
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengatakan, bahwa kau sudah terlalu lama berada disini.
Karena itu, maka kau ingin menengok rumah," jawab Warsi.
Laki-laki itu mengangguk-angguk. Ia harus melakukan
peranannya sebaik-baiknya. Jika ia gagal, maka
kemungkinan yang terjadi adalah bahwa kepalanya akan
dapat dipenggal oleh perempuan yang berwatak seribu itu.
Demikianlah, maka ketika mereka duduk mengelilingi
makan malam di amben besar di ruang dalam, mereka pun
bercakap-cakap tentang banyak hal yang terjadi di Tanah
Perdikan Sembojan. Namun agaknya Wiradana dengan
sengaja tidak mengatakan tentang kegelisahannya kepada
laki-laki yang disangkanya adalah mertuanya. Ia berharap
bahwa laki-laki itu dapat tinggal di Tanah Perdikan
Sembojan dengan tenang dan merasa damai.
Dalam kesempatan itulah, maka laki-laki itu pun
kemudian menyatakan keinginannya untuk kembali ke
rumahnya. "Sudah lama aku tidak menengok keluarga," berkata laki-
laki itu. "Sudah waktunya aku minta diri."
52 SH. Mintardja "Begitu tergesa-gesa?" bertanya Wiradana.
"Bukankah aku sudah lama berada disini?" sahut laki-laki
itu. Kemudian, "Namun dalam pada itu, aku pun tidak akan
terlalu lama meninggalkan Warsi. Pada suatu saat yang
pendek, aku akan segera datang kembali menengok kalian."
Wiradana mengangguk-angguk. Jawabnya, "Sebenarnya
aku ingin ayah berada di Tanah Perdikan ini lebih lama
lagi." "Terima kasih. Bukankah aku akan sering datang
berkunjung?" berkata laki-laki itu pula.
Wiradana tidak mencegahnya. Bahkan ia pun merasa
lapang, jika laki-laki itu tidak berada di Tanah Perdikan
justru pada saat Tanah Perdikan itu bergolak.
Karena itu, maka katanya kemudian, "Jika demikian
ayah, maka silahkan. Tetapi sudah tentu dengan pengertian,
bahwa setiap saat kami menunggu kedatangan ayah."
"Aku tidak akan sampai hati meninggalkan kalian terlalu
lama," jawab laki-laki itu. "Warsi masih terlalu muda.
Bukan umurnya tetapi pengalamannya sehingga ia
memerlukan bimbingan yang terus menerus. Mungkin dari
suaminya, mungkin dari ayahnya."
Wiradana mengangguk-angguk. Tetapi Warsi sendiri
mengumpat di dalam hati. Meskipun demikian kesan itu
sama sekali tidak nampak di wajahnya. Bahkan wajahnya
yang nampak luruh itu menunduk dalam-dalam.
Wiradana tidak berusaha untuk menahan lebih lanjut.
Ketika matahari kemudian terbit di keesokan harinya, maka
Wiradana telah mempersiapkan segala sesuatunya yang
akan dibawa oleh ayahnya. Bahkan ia telah menawarkan
seekor kuda yang tegar untuk dipergunakan.
53 SH. Mintardja "Jika ayah ingin mempergunakan seekor kuda, maka
kuda yang tegar yang merupakan kuda pilihan bagi Tanah
Perdikan ini, dapat ayah pergunakan. Dengan demikian
maka setiap kali ayah dapat menempuh perjalanan dengan
waktu yang lebih singkat."
"Kuda itu memang sangat menarik," berkata laki-laki itu.
"Nampaknya aku akan sangat berterima kasih jika aku
berkesempatan untuk mempergunakannya."
Ternyata bahwa laki-laki itu kemudian memang
mempergunakan seekor kuda yang tegar dan kuat. Sudah
lama ia menginginkan kuda yang demikian. Karena itu
maka tawaran Wiradana merupakan satu kebetulan yang
sangat menyenangkan. Sejenak kemudian maka laki-laki itu pun telah berpacu
meninggalkan Tanah Perdikan. Segala sesuatunya yang
didengarnya dari Warsi memang harus segera disampaikan
kepada ayah perempuan itu. Jika terlambat, maka segala
impian Warsi akan lenyap ditiup oleh keadaan yang tidak
diperhitungkannya sebelumnya.
Perjalanan laki-laki yang disebut ayah Warsi itu memang
jauh. Tetapi berkuda maka jarak itu terasa menjadi pendek.
Karena itu, maka ia merasa begitu cepat sampai ke
padukuhannya meskipun ia telah menempuh perjalanan
hampir sehari semalam. Hanya pada saat-saat kudanya
terasa letih sajalah ia berhenti untuk memberi kesempatan
kudanya minum dan makan rerumputan segar di
perjalanan. Tanpa beristirahat, maka laki-laki yang disebut ayah oleh
Warsi itu pun kemudian telah mencari ayah Warsi yang
sebenarnya. Nampak pada wajah dan sikapnya, bahwa ada
sesuatu yang menggelisahkannya. Karena itu, maka ayah
Warsi pun menjadi berdebar-debar pula.
54 SH. Mintardja "Apa yang telah terjadi?" bertanya ayah Warsi yang
sebenarnya kepada laki-laki itu.
Laki-laki itu pun menceriterakan apa yang telah dialami
oleh Warsi. Kegelisahan dan keadaan yang tidak menentu.
Setiap saat keadaan di Tanah Perdikan itu akan dapat
bergolak. "Kenapa bergolak," bertanya ayah Warsi. "Bukankah
segala keputusan ada di tangan Wiradana" Seandainya
perempuan yang disebut Serigala Betina itu membuka
rahasia Wiradana, maka Wiradana akan dapat
menangkapnya dengan tuduhan bahwa perempuan itu telah
memfitnahnya." "Tetapi bagaimana jika
Iswari itu memang masih hidup?" laki-laki itulah yang
kemudian bertanya. Ayah Warsi menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia bertanya, "Bagaimana menurut Warsi?" "Warsi tidak mempunyai
jalan lain kecuali mempergunakan kekuatan. Jika rahasia itu terbongkar,
maka tidak ada pilihan lain
kecuali memaksa Wiradana untuk bersikap keras. Tetapi juga mendukungnya dengan
kekuatan yang akan dapat melindunginya," jawab laki-laki
itu. 55 SH. Mintardja Ayah Warsi mengangguk-angguk. Katanya, "Warsi sudah
benar. Tetapi ia tidak perlu merasa terlalu cemas
menghadapi keadaan ini. Jika rahasia itu terbongkar, maka
Wiradana dapat menakut-nakuti rakyatnya dengan
tindakan kekerasan."
"Itulah yang dimaksud oleh Warsi," jawab laki-laki itu.
"Aku mengerti. Dan aku sudah membenarkannya. Karena
langkah itu meyakinkan, maka Warsi tidak perlu menjadi
gelisah atau ketakutan. Segalanya akan teratasi. Jika perlu
harus jatuh korban untuk menunjukkan bahwa Wiradana
dan Warsi tidak main-main," berkata ayah Warsi.
Kemudian hubungan antara Warsi dan Wiradana pun
akan berubah. Jika sampai saat ini Warsi adalah seorang
perempuan yang manja dan lembut hati, bahkan agak
cengeng, maka pada suatu saat ia akan menjadi perempuan
yang garang. Dan Wiradana harus menerima kenyataan
ini," berkata laki-laki itu.
Ayah Warsi mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Hal itu tidak dapat diingkari. Biarlah yang akan terjadi itu
terjadi. Bukankah Warsi menghendaki atau menyiapkan
kekuatan yang setiap saat diperlukan?"
Laki-laki itu mengangguk.
"Baiklah. Mulai besok aku akan bekerja keras. Aku
memang menghendaki Warsi tidak menjadi korban dalam
keadaan apapun. Karena itu, maka kita harus dapat
memenuhi kebutuhannya. Juga menyangkut kekuatan,"
berkata ayah Warsi. Laki-laki itu masih mengangguk-angguk. Ternyata ayah
Warsi tahu tepat apa yang diperlukan anak perempuannya.
Dengan demikian laki-laki itu tidak akan banyak mengalami
kesulitan di dalam tugasnya. Sementara itu Warsi memang
56 SH. Mintardja sudah berpesan, bahwa jika kekuatan yang diperlukan itu
sudah siap, maka laki-laki yang disebut sebagai ayah Warsi
itu harus datang lagi ke Tanah Perdikan Sembojan untuk
memberitahukan hal itu kepada Warsi. Sehingga dengan
demikian maka Warsi akan dapat mengambil langkah-
langkah yang diperlukan untuk mengatasi persoalan yang
mungkin akan memuncak di Tanah Perdikan itu.
Dalam pada itu, sebenarnya bahwa ayah Warsi telah
bekerja dengan cepat. Ia telah menghubungi beberapa
orang pengikutnya dan mereka yang pernah disebut sebagai
keluarga Kalamerta. Dengan kesetiaan yang tinggi, maka
mereka telah menyatakan untuk tetap berada dalam
lingkungan keluarga Kalamerta.
Beberapa orang kemudian telah terkumpul. Orang-orang
yang mempunyai kekuatan yang akan dapat membantu
Warsi dalam keadaan yang sangat diperlukan. Bahkan
orang-orang itu masih saja dibayangi pula oleh dendam
karena kematian Kalamerta oleh Ki Gede Sembojan.
"Tetapi kalian tidak akan dapat mendendam kepada
Wiradana," berkata ayah Warsi. "Wiradana sekarang sudah
menjadi suami anakku. Bagaimanapun juga Warsi
mencintainya dan lebih daripada itu, keturunan Warsi kelak
akan dapat menggantikannya menjadi seorang Kepala
Tanah Perdikan. Jika ia tidak mempunyai seorang anak
laki-laki, maka menantunyalah yang akan menjadi Kepala
Tanah Perdikan." Tetapi orang-orang itu sudah merasa puas, ketika mereka
telah mendengar bahwa Ki Gede Sembojan sendiri sudah
terbunuh. Sehingga sasaran dendam yang sebenarnya sudah
terselesaikan. Justru oleh Warsi sendiri.
Sementara itu ayah Warsi pun kemudian berkata kepada
bekas pengendang Warsi, "Agaknya aku sudah melakukan
57 SH. Mintardja sebagaimana dikehendaki oleh anakku. Jika diperlukan,
maka mereka akan dapat segera datang ke Tanah Perdikan
Sembojan kapan saja untuk keperluan apa saja."
"Baiklah," berkata orang yang disebut ayah Warsi di
Tanah Perdikan Sembojan itu. "Aku akan segera kembali.
Tetapi tentu tidak akan terlalu cepat, agar tidak justru
menimbulkan pertanyaan. Namun meskipun demikian, kita
wajib mengamati keadaan. Sebaiknya salah seorang dari
kita, berada di sekitar Tanah Perdikan itu. Mungkin kita
dapat menemui Warsi jika sekali-kali ia pergi berbelanja
meskipun hal ini jarang sekali dilakukan. Namun pada
suatu saat, Warsi juga pergi ke pasar. Mungkin Warsi
memerlukan sesuatu."
"Jika demikian kenapa bukan kau sajalah yang pergi?"
bertanya ayah Warsi. "Aku sudah banyak dikenal di Tanah Perdikan
Sembojan," jawab orang itu.
Ayah Warsi menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-
tiba saja ia berkata, "Aku sendiri akan pergi ke Tanah
Perdikan itu." "Tetapi ingat, ayah Warsi adalah aku," berkata bekas
pengendang itu. "Ya. Aku akan selalu ingat hal itu. Aku pinjam kudamu.
Kuda yang besar dan tegar. Lebih baik dari kuda yang
manapun yang kita miliki," berkata ayah Warsi.
"Sebenarnya aku tidak berkeberatan. Tetapi kuda itu
adalah pemberian Wiradana. Jika orang-orang Tanah
Perdikan itu mengenalinya, mungkin akan timbul persoalan
lain tentang kuda itu," jawab bekas pengendang itu.
"Gila kau," geram ayah Warsi. "Kau memang kikir sekali."
58 SH. Mintardja "Bukan aku yang kikir," jawab bekas pengendang itu.
"Tetapi terserah kepadamu. Kau tahu darimana aku
mendapatkan kuda itu."
"Persetan dengan kudamu. Aku akan pergi berjalan kaki.
Aku akan membawa seorang kawan di perjalanan," berkata
ayah Warsi kemudian. Dengan demikian, maka sudah menjadi keputusan,
bahwa ayah Warsi akan pergi ke Tanah Perdikan Sembojan.
Tetapi ia tidak akan langsung pergi ke rumah Warsi.
Tetapi ia akan mencari kesempatan untuk dapat bertemu
dengan Warsi, kemudian menentukan tempat untuk setiap
kali dapat berbicara tentang persoalan-persoalan yang
menyangkut Warsi, suaminya dan Tanah Perdikan
Sembojan. Sementara itu, di padepokan Tlaga Kembang, Kiai Badra
dan kawan-kawannya telah berkumpul. Ternyata mereka
memang singgah di padepokan Kiai Badra untuk beberapa
saat. Baru kemudian mereka pergi ke padepokan Kiai Soka.
Ketika Iswari yang datang bersama Kiai Badra dan
kawan-kawannya melihat perempuan yang disebut Serigala
Betina itu, ia terkejut. Namun kemudian hampir di luar
sadarnya, Iswari telah berlari dan memeluknya.
"Kapan kau datang Nyai?" bertanya Iswari ketika ia
kemudian melepaskan pelukannya.
Wajah perempuan itu menjadi tegang. Terasa
pelupuknya menjadi panas. Tetapi ia adalah perempuan
yang hidupnya telah ditempa oleh keadaan yang sangat
keras, sehingga ia pun kemudian berhasil menguasai
perasaannya. 59 SH. Mintardja "Aku datang ke padepokan ini bersama Nyai Soka," jawab
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perempuan itu. "Syukurlah," berkata Iswari. "Kami memang
mencemaskan keadaan Nyai."
"Nyai Soka tentu akan dapat menceriterakan peristiwa
yang mungkin sangat menarik," berkata perempuan itu.
Nyai Soka tersenyum. Jawabnya, "Sebagaimana juga
Iswari tentu akan dapat membuat ceritera yang lebih
menarik lagi tentang perjalanannya."
Iswari mengerutkan keningnya. Namun ia pun
tersenyum juga. Sejenak kemudian mereka pun telah duduk di pendapa
padepokan Tlaga Kembang. Beberapa orang laki-laki ada di
antara mereka. Laki-laki yang pada umumnya sudah
terhitung tua. Termasuk Kiai Badra dan Kiai Soka. Dua
orang yang tubuhnya masih nampak kekar dan kuat, yang
justru mendebarkan hati perempuan itu. Kedua orang itu
sudah dikenal oleh perempuan yang disebut Serigala Betina
itu. "Kau sudah berada disini pula?" berkata salah seorang di
antara kedua orang itu. "Ya Kiai," jawab Serigala Betina itu. "Ternyata Kiai juga
berada disini." Yang tua, yang bernama Sambi Wulung itu pun bertanya
pula, "Kenapa kau tiba-tiba saja berada disini?"
"Sudah aku katakan kepada Nyai Wiradana, aku datang
bersama Nyai Soka," jawab Serigala Betina itu.
"Panggil aku Iswari," potong Iswari.
60 SH. Mintardja "O," perempuan itu mengangguk. "Aku belum terbiasa
memanggil seperti itu. "Mulailah. Kau akan terbiasa mengucapkannya," berkata
Iswari kemudian. Perempuan yang disebut Serigala Betina itu pun menarik
sesuatu yang penting. Ternyata di pendapa orang-orang itu tidak
membicarakan sesuatu yang penting. Mereka berbicara
tentang padepokan, tentang musim dan tentang tanaman.
Karena itu, maka Nyai Soka pun kemudian telah
mengajak perempuan yang disebut Serigala Betina itu dan
Iswari untuk pergi ke belakang.
"Tenaga kami akan lebih berarti di belakang daripada
disini," berkata Nyai Soka. "Mungkin kami dapat membantu
masak atau mencuci mangkuk."
"Silahkan," jawab Kiai Soka. "Kami masih ingin berbicara
tentang apa saja." Nyai Soka dan kedua perempuan yang lain itu pun telah
meninggalkan pendapa. Tetapi ternyata Nyai Soka tidak
membawa mereka ke dapur, tetapi mereka masuk ke ruang
dalam. "Nyai," berkata Nyai Soka kemudian, "Ada yang ingin aku
tunjukkan. Bukankah Nyai pernah mempertanyakan
tentang penari yang di Tanah Perdikan Sembojan di
ributkan mirip dengan Iswari?"
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun mengangguk sambil menjawab, "Ya. Aku
memang pernah mempertanyakan hal itu."
61 SH. Mintardja "Bungkusan itu adalah bungkusan yang dibawa oleh
salah seorang pembantu kakang Badra. Cobalah lihat, apa
isinya," berkata Nyai Soka.
Perempuan itu termangu-mangu. Namun kemudian ia
pun telah membuka bungkusan itu.
Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Aku
sudah mengira. Karena itu, aku tidak terlalu terkejut
karenanya. Apalagi aku tahu pasti, bahwa Nyai Iswari
memang masih hidup."
Nyai Soka mengangguk-angguk. Iswari sendiri berdiri
saja bagaikan membeku. Bungkusan itu adalah bungkusan
pakaian seorang penari. "Nyai," berkata perempuan itu. "Sebenarnya aku ingin
orang-orang Tanah Perdikan Sembojan seluruhnya sempat
melihat sendiri, bahwa ada seorang penari yang mirip
dengan Nyai Wiradana. Dengan demikian persoalannya
akan cepat diselesaikan. Karena aku yakin, bahwa orang-
orang Tanah Perdikan Sembojan tentu sempat berpikir dan
mengurai apa yang sebenarnya terjadi. Aku bersedia
menjadi saksi dan memaparkan persoalan yang
sesungguhnya itu kepada orang-orang Tanah Perdikan
Sembojan. Iswari tidak segera menjawab. Tetapi matanya justru
menjadi redup. Sementara itu, Nyai Soka lah yang
menjawab, "Ada banyak pertimbangan pada hati Iswari."
Perempuan yang disebut Serigala Betina itu
mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti perasaan Iswari
yang sebenarnya lembut sebagaimana sikapnya. Meskipun
suaminya telah berniat dan bahkan telah melakukan usaha
untuk membunuhnya, tetapi agaknya sikap Iswari terhadap
suaminya tidak akan mungkin sekeras sikap suaminya.
62 SH. Mintardja Meskipun demikian, bukan berarti bahwa Iswari harus
berdiam diri menghadapi sikap suaminya.
Sebenarnyalah bahwa Nyai Soka pun memberikan
beberapa pertimbangan kepada Iswari. Ia dapat saja
memaafkan suaminya dan sama sekali tidak ingin
membalas dendam. Tetapi ia tidak boleh mengorbankan
Tanah Perdikan Sembojan. Mungkin Iswari memang tidak
begitu berkepentingan dengan Sembojan, karena Iswari
memang bukan orang Perdikan itu. Tetapi anak laki-lakinya
adalah pewaris Tanah Perdikan itu. Seandainya Wiradana
mempunyai anak laki-laki yang lain, maka anak laki-laki
Iswari adalah anaknya yang pertama. Ia adalah orang yang
paling berhak mewarisi Tanah Perdikan itu kelak.
Sementara itu, perempuan yang juga disebut Serigala
Betina itu pun kemudian mengetahui selengkapnya tentang
rombongan penari yang penarinya mirip sekali dengan
Iswari, karena penarinya memang Iswari itu sendiri.
Sementara pengiringnya adalah orang-orang tua yang
memiliki ilmu yang sangat tinggi. Di samping dari
perguruan Guntur Geni itupun telah menggabungkan diri
pula bersama mereka, ditambah dua orang Putut yang
dianggap sudah memiliki kemampuan yang memadai dari
perguruan Tlaga Kembang. Karena itulah, maka rombongan penari yang satu ini
sudah barang tentu akan merupakan rombongan penari
yang tidak biasa sebagaimana rombongan-rombongan yang
lain. Dalam keadaan tertentu rombongan penari ini akan
dapat menghadapi kekuatan yang betapapun besarnya.
Dalam pada itu, orang-orang yang berada di pendapa
ternyata telah membicarakan kemungkinan-kemungkinan
yang akan dapat terjadi. Ketika kemudian Iswari keluar
63 SH. Mintardja sambil menggendong anaknya, maka Kiai Soka pun telah
memanggilnya. "Duduklah," berkata Kiai Soka. "Bukankah anakmu tidak
menangis?" "Tidak kakek," jawab Iswari.
"Baiklah, dengarlah," berkata Kiai Soka. "Rasa-rasanya
kami bersepakat untuk meneruskan permainan kami
sampai seluruh Tanah Perdikan yakin, bahwa kau masih
tetap hidup." Wajah Iswari menunduk. Ia sama sekali tidak menjawab.
"Iswari," berkata Kiai Soka. "Menurut Gandar,
perempuan yang kemudian menjadi istri Wiradana itu
adalah perempuan yang tentu memiliki ilmu yang sangat
tinggi. Kau yang baru mulai, masih akan terpaut banyak.
Jika kita tidak mulai sekarang maka semakin lama
kedudukannya tentu akan semakin kuat. Ia tentu tidak
berdiri sendiri, karena ia mempunyai kekuatan ilmu
Kalamerta. Karena itu, bukankah lebih baik jika kita mulai
seawal mungkin?" Iswari mengangkat wajahnya sejenak. Namun kemudian
kembali wajah itu menunduk. Tidak ada yang dapat
dikatakannya kepada Kiai Soka.
Sementara itu, Kiai Badra sendiri hanya dapat
memandangi cucunya tanpa berkata sepatah kata pun. Ia
sependapat dengan Kiai Soka. Tetapi ia juga mengerti
perasaan cucunya. Karena itu, maka ia menunggu perkembangan keadaan
yang mungkin terjadi. Dalam pada itu, Kiai Soka pun kemudian berkata,
"Baiklah Iswari. Meskipun kita harus bekerja cepat, tetapi
64 SH. Mintardja kita masih mempunyai waktu pada saat ilmumu akan dapat
menyusul ilmu perempuan iblis yang telah membunuh Ki
Gede itu. Nenekmu mempunyai sejenis air yang dapat
mempercepat putaran kejadian. Air yang didapatkannya
dari tempat yang paling sulit dicapai. Jika ia berkenan,
maka ia akan dapat mempercepat putaran kejadian,
termasuk usahamu memperdalam ilmu."
Iswari tidak menjawab. Meskipun demikian ia juga tidak
menolak. Demikianlah, maka ketika Iswari telah meninggalkan
mereka maka orang-orang tua itu telah menyusun rencana
mereka sendiri. Setiap saat rencana itu akan dapat
dimanfaatkan. Meskipun demikian mereka tidak dapat
meninggalkan kesediaan Iswari sendiri.
Namun agaknya Kiai Soka telah berbicara kepada Nyai
Soka tentang air yang dikatakannya. Air yang dapat
mempercepat putaran kejadian, yang disebutnya sebagai
Banyu Gege. Ternyata bahwa Nyai Soka telah memanggil Iswari
seorang diri ketika anaknya sudah tidur nyenyak, ditunggu
oleh seorang endang yang biasa melayaninya. Bahkan anak
itu tidak akan rewel meskipun ditinggal ibunya sampai
berhari-hari. "Iswari," berkata Nyai Soka kemudian. "Apakah
kakekmu, Kiai Soka pernah menyinggung tentang Banyu
Gege, semacam air yang dapat mempercepat putaran
kejadian?" "Ya nenek. Kakek bermaksud agar aku dapat
meningkatkan ilmuku dengan cepat," jawab Iswari.
Tetapi Nyai Soka itu tersenyum. Katanya, "Kakekmu
memang benar Iswari. Tetapi yang dimaksud tentu bukan
65 SH. Mintardja sejenis air yang dapat diminum atau dapat dipergunakan
untuk mandi yang kemudian dengan sendirinya segala
putaran peristiwa-peristiwa akan berlangsung dengan cepat.
Kau akan dengan tiba-tiba memiliki ilmu yang tinggi, atau
peristiwa-peristiwa seperti itu."
Iswari mengerutkan keningnya. Ia memang menjadi
bingung, karena ia kurang mengerti maksud neneknya.
Sementara itu, Nyai Soka berbicara terus, "Iswari. Yang
dimaksud tentu satu usaha yang terus menerus, mengalir
tanpa henti seperti mengalirnya air. Dengan usaha yang
demikian, maka kau akan menjadi semakin meningkat."
Iswari mengangguk kecil. Katanya, "Apapun yang harus
aku lakukan, aku tidak akan ingkar nenek. Bukankah
selama ini juga aku patuh kepada nenek?"
"Ya. Tetapi untuk mempercepat kemajuanmu, maka
segala sesuatunya harus dilakukan berlipat ganda. Kau
harus menempuh laku yang sangat berat. Ada dua tugas
yang saling bertentangan yang harus kau lakukan. Kau
harus memeras tenagamu untuk melakukan latihan-latihan,
namun sementara itu, jenis makanan yang boleh kau makan
harus dikurangi. Anakmu sudah menjadi semakin besar,
sehingga sudah sering kau tinggalkan dan tidak kau susui
lagi. Ia sudah tumbuh dan berkembang dengan baik. Karena
itu, maka kau dapat meninggalkan beberapa jenis makanan
yang selama ini kau makan, apalagi pada saat-saat kau
menyusui," Nyai Soka berhenti sejenak, lalu. "Tetapi kau
sekarang sudah dapat menentukan bagi dirimu sendiri. Kau
harus mengurangi makan nasi dan rangkaiannya. Kau harus
mulai dari sedikit makan empon-empon. Kau harus
mengurangi tidur dan kau harus lebih banyak berada di
sanggar untuk memusatkan nalar budi. Laku itu harus kau
jalani beberapa pekan sebelum pada satu saat, kau akan
66 SH. Mintardja berpuasa empat puluh hari empat puluh malam. Jenis
makanan yang boleh kau makan menjadi semakin
menyempit. Setelah itu, maka tiga hari kemudian kau harus
pati geni. Jika kau kuat melakukannya, maka kau akan kuat
mulai dengan mempelajari satu ilmu yang nggegirisi. Ingat,
setelah laku itu, kau baru akan mulai dengan satu latihan
dari ilmu itu. Bukan karena laku itu maka kau telah
memiliki ilmu itu." Iswari menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian
maka ia benar-benar akan terjun ke dalam dunia olah
kanuragan. Namun dalam pada itu, neneknya itu pun telah
mendesaknya, "Bagaimana pendapatmu Iswari" Apakah
kau akan mampu melakukannya" Memang dengan laku itu,
seakan-akan berhasil mendalami satu ilmu dengan cara
yang lebih cepat dari jalan yang biasa sebagaimana kau
tempuh sekarang. Tetapi sebelum kau mulai, kau harus
memikirkannya masak-masak, agar kau tidak akan
membuang banyak waktu dan tenaga. Karena jika berhenti
di tengah, maka yang sudah kau korbankan itu akan
terhapus dan tidak akan mempunyai nilai apapun juga."
Iswari berpikir sejenak. Namun bagaimanapun juga, ada
juga perasaan yang asing didasar hatinya terhadap
perempuan yang kemudian menjadi Nyai Wiradana. Apalagi
anak laki-lakinya pada suatu saat tentu memerlukan
perlindungannya, karena anak itu telah terlepas dari
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perlindungan ayahnya. Bahkan ayahnya telah sampai hati
untuk melenyapkannya bersama ibunya sekaligus.
"Akulah yang harus melindunginya. Aku adalah ibunya
sekaligus ayahnya. Padahal perempuan yang kemudian
menjadi Nyai Wiradana dan yang tidak mustahil telah
membunuh Ki Gede dengan cara yang sangat licik itu adalah
67 SH. Mintardja perempuan yang memiliki ilmu yang sangat tinggi," berkata
Iswari di dalam hatinya. Karena itu, maka akhirnya Nyai Wiradana yang telah
dianggap terbunuh itu pun mengangguk. Ia lebih banyak
berpikir bagi anaknya. Jika ia tidak memiliki ilmu yang
memadai, maka apakah ia akan dapat melindungi anaknya
dari tangan Wiradana dan istrinya itu.
Namun dengan demikian, maka rencana Kiai Soka untuk
mulai lagi dengan permainan rombongan penarinya harus
ditunda. Tetapi karena mesu raga itu penting sekali bagi
Iswari, maka tidak ada seorang pun yang berkeberatan.
Bahkan murid-murid Guntur Geni itu sudah menyatakan,
bahwa untuk sementara mereka tidak akan kembali ke
perguruannya, karena beberapa orang sudah mampu untuk
melakukan tugasnya, karena perguruannya itu pada
dasarnya tidak mempunyai persoalan dengan perguruan
yang lain. Dalam pada itu, maka di hari yang sudah ditentukan,
maka Iswari pun telah mandi keramas dengan air landha
merang. Kemudian mempersiapkan diri lahir dan batinnya,
untuk memasuki satu masa perjuangan yang sangat berat.
Sehari semalam Iswari berada di dalam sanggarnya
dalam doa. Ia telah mendekatkan diri kepada Yang Maha
Agung. Dengan tulus ia mohon tuntunan, perlindungan dan
kemampuan untuk menyelesaikan usahanya, menempuh
laku lahir dan batin. Ternyata bahwa Iswari benar-benar bertekad mantap.
Dengan demikian maka di hari berikutnya, Iswari sudah
memasuki masa perjuangannya. Meskipun nampaknya ia
tetap melakukan tugasnya sehari-hari, namun waktunya
memasuki sanggar menjadi berlipat. Sementara itu ia telah
mengurangi jenis makannya sebagaimana biasanya. Ia
68 SH. Mintardja mulai makan empon-empon sebagaimana dimaksud oleh
neneknya. Namun dalam pada itu, bukan hanya Iswari sajalah yang
harus bekerja berat. Tetapi Nyai Soka dan Kiai Soka pun
telah bekerja berat pula untuk mewariskan ilmunya kepada
cucunya itu. Dari hari ke hari Iswari berada di dalam sanggar, berlatih
dan menambah ilmunya setapak demi setapak. Namun yang
dipelajarinya adalah semata-mata ketrampilan wadagnya
dan meningkatkan kekuatannya. Usaha untuk membangun
tenaga cadangan yang memiliki kekuatan berlipat dari
kekuatan wajarnya. Mempertajam inderanya, terutama
penglihatan dan pendengarannya, serta mempercerdas daya
tangkap dan daya cerna pikirannya.
Dengan sungguh-sungguh dan tidak mengenal lelah
Iswari melakukannya. Meskipun demikian kadang-kadang
timbul satu pertanyaan di hatinya, bahwa menurut
neneknya segalanya baru akan dimulai setelah ia selesai
dengan laku yang terakhir, pati geni.
Tetapi Iswari tidak bertanya. Ia melakukan apa saja yang
diajarkan oleh neneknya. Apalagi dalam ujud wadag yang
kasat mata dan dapat ditirukan. Jika terjadi kesalahan,
maka neneknya atau kakeknya masih dapat
membetulkannya. Namun demikian, Iswari masih tetap memikirkan satu
masa setelah ia selesai dengan pati geni. Latihan-latihan apa
lagi yang harus dilakukan. Jika yang dilakukan itu masih
belum dianggap mulai, maka ia tidak dapat membayangkan
apa yang harus dilakukan kemudian.
Sementara itu, selagi Iswari berada didalam sanggarnya,
hampir di setiap saat, maka di Tanah Perdikan Sembojan,
69 SH. Mintardja Wiradana telah mengambil langkah-langkah yang dianggap
perlu. Ternyata jalan pikiran Wiradana sesuai dengan jalan
pikiran Warsi, meskipun sebelumnya ia tidak pernah
membicarakannya lebih dahulu. Agaknya Wiradana
menganggap jika keadaan memaksa, maka sandaran yang
paling baik baginya untuk mempertahankan kekuasaannya
adalah kekuatan. Karena itu, maka Wiradana pun telah dengan sungguh-
sungguh membangun satu kekuatan untuk memagari
kekuasaannya. "Apakah yang sebenarnya kakang lakukan akhir-akhir
ini?" bertanya Warsi yang pura-pura tidak mengetahui apa
yang dilakukan oleh suaminya, "Nampaknya kakang
menjadi sibuk sekali."
Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Kepergian perempuan iblis yang disebut Serigala Betina itu
membuat aku selalu gelisah. Karena itu, maka aku ingin
meyakinkan diri, bahwa aku mempunyai sandaran kekuatan
di Tanah Perdikan ini."
"O," Warsi mengerutkan keningnya. "Apakah yang
kakang maksudkan" Apakah dengan demikian berarti akan
terjadi benturan kekuatan di Tanah Perdikan ini?"
"Mudah-mudahan tidak Warsi," jawab Wiradana. "Tetapi
aku masih selalu cemas bahwa Serigala Betina itu pada
suatu saat akan berkhianat. Jika ia membuka rahasiaku,
maka mungkin sekali orang-orang Tanah Perdikan ini akan
kehilangan kepercayaan kepadaku. Bahkan mungkin orang-
orang yang tidak mempunyai nalar akan dengan cepat
mengambil sikap yang dapat menjerumuskan Tanah
Perdikan ini ke dalam satu peperangan. Maka untuk
mencegah hal itu terjadi, aku harus mempunyai landasan
70 SH. Mintardja kekuatan. Dengan demikian maka tidak akan ada orang
yang berani menentangku dalam keadaan apapun juga."
Warsi menarik nafas dalam-dalam. Pikiran itu sesuai
sekali dengan jalan pikirannya. Tetapi ia masih berpura-
pura berkata, "Tetapi aku mohon kakang, jangan sampai
terjadi kekerasan lagi. Sepeninggalan Ki Gede, maka rasa-
rasanya kekerasan hanya akan menambah korban yang
tidak berarti." "Aku akan berusaha Warsi. Tetapi jalan yang aku tempuh
adalah dengan menyusun kekuatan. Mungkin kau kurang
memahami jalan pikiranku. Tetapi hal itu adalah jalan yang
sebaik-baiknya yang dapat aku lakukan sekarang ini,"
berkata Wiradana. Warsi tidak menjawab lagi. Wajahnya menunduk,
sementara matanya menjadi buram. Namun dalam pada itu,
hatinya bergejolak dan berkata, "Aku juga telah menyusun
satu kekuatan. Kekuatan itu harus dapat mengatasi semua
persoalan. Tetapi terhadap diri kita masing-masing maka
kekuatanmu tidak akan dapat mengimbangi kekuatanku,
sehingga kedalam, pada suatu saat kau harus tunduk
kepadaku." Wiradana sama sekali tidak dapat membaca perasaan
istrinya. Ia hanya melihat istrinya itu menundukkan
wajahnya. Menurut dugaannya istrinya menjadi cemas,
bahwa sesuatu akan terjadi di atas Tanah Perdikan
Sembojan. Dalam pada itu, maka Wiradana pun telah melakukan
usahanya dengan tidak mengenal lelah. Ia memperkuat
pengawal-pengawal yang setia kepadanya. Ia memberikan
sesuatu yang lebih banyak kepada mereka. Di setiap
padukuhan Wiradana telah menyusun kekuatan pengawal
yang khusus akan dapat menjalani perintahnya dengan
71 SH. Mintardja cepat tanpa mempersoalkan benar atau salah, buruk atau
baik. Kepada pengawal yang khusus itu Wiradana telah mem-
berikan latihan-latihan yang khusus pula. Dengan tekun Wi-
radana mengajar mereka dalam olah kanuragan dan
bermain senjata. Bukan saja untuk menambah ilmu bagi
para pengawal, tetapi juga untuk menakut-nakuti orang-
orang lain di Tanah Perdikan Sembojan.
Dengan demikian maka suasana di Tanah Perdikan Sem-
bojan menjadi jauh berbeda dengan suasana pada saat Ki
Gede Sembojan masih memerintah. Rasa-rasanya rakyat
Sembojan diburu oleh kegelisahan dan suasana kekerasan.
Setiap saat mereka bertemu dengan para pengawal yang
meronda. Pengawal yang memakai pakaian yang bagus di
atas kuda yang tegar dan membawa bekal uang yang cukup.
Namun yang mempunyai kebiasaan membentak-bentak,
menghardik dan menakut-nakuti rakyat Sembojan sendiri.
Bahkan Wiradana sudah mulai mempergunakan cara
yang dapat menumbuhkan persoalan yang rumit. Wiradana.
telah meminjam beberapa ekor kuda kepada orang-orang
Sembojan untuk kepentingan pengawalnya.
"Hanya kepada mereka yang memiliki tiga ekor kuda atau
lebih sajalah kita akan dapat meminjam" berkata Wiradana
kepada para pengawalnya. Sementara itu pengawalnya pun
mematuhinya. Mereka mengambil kuda orang-orang
Sembojan yang memiliki lebih dari dua ekor kuda. Mereka
yang memiliki tiga ekor, maka yang seekor akan diambil
untuk dipinjam oleh pengawal Tanah Perdikan Sembojan.
"Kita harus mengatasi semua gangguan keamanan de-
ngan cepat" berkata Wiradana kepada para pengawalnya.
72 SH. Mintardja Dengan demikian, maka suasana di Tanah Perdikan Sem-
bojan diliputi oleh kecemasan. Orang-orang Sembojan men-
jadi cemas, bahwa pada suatu saat bukan saja kuda yang
akan diambil oleh Ki Wiradana, tetapi mungkin pusaka-
pusaka sifat kandel yang memiliki tuah atau apa saja yang
memungkinkan dipergunakan bagi peningkatan keamanan.
Pada saat-saat Wiradana sibuk dengan para pengawal
yang dibentuknya, maka ketika Warsi pada satu pagi pergi
ke pasar, maka seseorang telah menggamitnya.
Ketika Warsi berpaling, maka iapun terkejut. Ternyata
orang yang menggamitnya itu adalah ayahnya.
"Ayah" desis Warsi.
Orang itu tersenyum. Tetapi ia berdesis, "Ingat Warsi,
aku bukan ayahmu disini. Bukankah kau mempunyai ayah
yang lain." "Aku akan membunuhnya dan ia tidak akan mengganggu
aku lagi" geram Warsi,
"Jangan begitu" berkata ayahnya, "orang itu masih
sangat kau perlukan sekarang. Ia pun telah banyak berjasa
kepadamu." Warsi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tertawa
sambil berkata, "Jangan takut ayah. Aku masih akan
memeliharanya beberapa tahun lagi." Warsi berhenti
sejenak, kemudian, "tetapi kapan ayah datang ke Tanah
Perdikan ini." "Aku sudah berada disini dua hari Warsi" berkata
ayahnya, "aku mencari kesempatan untuk menemuimu. Te-
tapi agaknya kau terlalu jarang keluar rumah."
"Ya ayah. Aku memang terlalu jarang keluar rumah"
jawab Warsi. 73 SH. Mintardja "Aku datang setelah ayahmu itu memberitahukan ke-
padaku semua rencanamu. Bukankah kau akan menyusun
kekuatan di Tanah Perdikan ini?" bertanya ayahnya.
Warsi berpaling ke sebelah menyebelah. Pasar itu terlalu
sibuk sehingga tidak banyak orang yang saling memperhati-
kan. Namun sekali-sekali seorang perempuan menunduk
hormat jika mereka lewat di sebelah Warsi.
"Kau sangat hormati disini Warsi?" bertanya ayahnya.
Warsi tersenyum. Katanya "Semua orang hormat ke-
padaku ayah. Apalagi kelak, jika aku sudah menyatakan
diriku sendiri. Maka akulah Kepala Tanah Perdikan ini."
"Untuk beberapa lama aku akan berada di Tanah
Perdikan ini Warsi. Aku disini mengaku sebagai pedagang
emas berlian. Aku menginap di sebuah kedai yang besar
yang juga menyediakan penginapan bagi para pedagang."
berkata ayahnya. "Terima kasih ayah. Mungkin aku memerlukan ayah di
setiap saat: Tetapi kedai yang mana yang ayah maksud?"
bertanya Warsi. "Kedai yang berada di ujung jalan ini" jawab ayah Warsi
sambil menunjuk jalan di depan pasar itu.
Warsi mengangguk-angguk. Kedai itu memang kedai
yang paling besar di Tanah Perdikan Sembojan dan terletak
di padukuhan induk. , "Setiap saat aku akan berbicara dengan ayah," berkata
Warsi. "Tetapi kenapa ayah tidak datang ke rumahku."
"Aku datang sebagai apa?" bertanya ayah Warsi. "Aku
tidak akan dapat mengatakan bahwa aku adalah ayahmu."
74 SH. Mintardja Warsi mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Ayah datang sebagai pedagang emas berlian.
Apakah aku akan membeli atau tidak, tetapi ayah dapat
menawarkannya sekadar untuk datang ke rumahku."
Ayah Warsi itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baik, aku
akan datang." "Tetapi apakah ayah seorang diri di Tanah Perdikan ini?"
bertanya Warsi. "Tidak. Aku datang bersama seorang keluarga kita,"
jawab ayahnya. "Siapa?" bertanya Warsi.
"Dampa," jawab ayahnya.
Warsi menarik nafas. Dampa adalah seorang yang cukup
unik untuk mengawal ayahnya, karena menurut pengertian
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Warsi, Dampa adalah seorang yang memiliki ilmu yang
termasuk paling baik di antara kawan-kawannya.
"Baik ayah," berkata Warsi kemudian. "Aku menunggu
kedatangan ayah Sementara itu, dalam satu kesempatan,
ayah akan dapat berceritera tentang kekuatan yang sudah
ayah siapkan." Ayahnya mengangguk-angguk. Katanya, "Besok sore aku
akan datang" Warsi pun kemudian berpisah dari ayahnya. Sambil
menjinjing kampil kecil, ayahnya menyusup di antara
orang-orang sibuk di dalam pasar.
Namun ternyata bahwa baik Warsi maupun ayahnya
sama sekali tidak mengetahui, bahwa di antara mereka yang
ada di pasar itu, seseorang tengah memperhatikan mereka
dengan seksama. 75 SH. Mintardja Ketika Warsi berpisah dengan ayahnya, maka orang itu
pun telah bangkit pula dari tempatnya, duduk bersila di
antara orang-orang yang sedang memilih alat-alat untuk
bekerja di sawah yang dijajakan dekat dengan pintu masuk
pasar yang hanya ramai sepekan sekali itu, sambil
menjinjing sebuah linggis untuk mengupas kelapa.
"Mudah-mudahan linggis ini tidak cepat tumpul,"
berkata orang itu. "Aku tanggung," berkata penjualnya. "Jika kelak menjadi
tumpul bawa kemari."
"Untuk apa?" bertanya pembeli linggis itu. "Akan diganti
yang lebih baik?" "Tidak. Hanya untuk melihat apakah benar linggis itu
menjadi tumpul," jawab penjual linggis itu sambil tertawa.
Orang yang membeli linggis itu tertawa pula. Tetapi ia
bergumam, "Awas, jika linggis itu tumpul, aku minta uang
kembali." Warsi lewat di belakang orang itu. Tetapi Warsi tidak
memperhatikannya. Sementara orang itu sempat pula
berpaling dan memandanginya.
"Cantik sekali," desis orang itu.
"He, jangan mencoba mengganggunya jika kepalamu
tidak ingin tembus oleh linggismu sendiri," sahut penjual
linggis itu. "Aku tahu, bukankah perempuan itu Nyai Wiradana,"
sahut orang yang membeli linggis itu. "Dan bukankah aku
hanya sekadar memujinya."
Penjual linggis itu mengumpat. Tetapi pembelinya tidak
mendengarnya. 76 SH. Mintardja Sejenak kemudian pembeli linggis itu pun telah
meninggalkan tempat itu. Ia berjalan di antara orang-orang
yang sibuk berada di pasar dengan kepentingan mereka
masing-masing. Namun demikian ketajaman
penglihatannya masih memungkinkannya untuk melihat
arah perjalanan orang yang baru saja berbicara dengan Nyai
Wiradana. Di sudut pasar ternyata telah menunggu seorang
kawannya yang disebut Dampa itu. Kemudian berdua
mereka keluar dari pasar dan berjalan menyusuri jalan di
muka pasar itu. Mereka berjalan perlahan-lahan saja, tanpa
memperhatikan orang-orang yang masih berjejalan di
dalam pasar. Namun ternyata orang itu tidak lepas dari pengamatan
orang yang membeli linggis. Meskipun ia tidak
mengikutinya, tetapi di sore hari orang yang membeli
linggis itu telah duduk di dalam sebuah kedai yang besar di
ujung jalan. Sambil membeli beberapa jenis makanan
bersama seorang kawannya, maka ia bertanya, "Apakah
saudagar intan berlian itu masih bermalam di sini?"
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Kenapa dengan saudagar itu?"
"Tidak apa-apa. Aku tidak tahu bahwa ia ada disini
malam ini sehingga aku tidak mengajak istriku," berkata
orang itu "Kenapa dengan istrimu?" bertanya pemilik warung.
"Ia memerlukan sepasang giwang untuk anaknya yang
tiga hari lagi akan dibawa suaminya ke Pajang," berkata
orang itu. "Sekarang kau dapat menemuinya," berkata pemilik
warung, "Ia di dalam."
77 SH. Mintardja "Biarlah. Besok aku akan datang dengan istriku," berkata
orang itu. Sejenak kemudian, maka kedua orang itu pun telah
meninggalkan warung itu. Seolah-olah tidak ada persoalan
yang terselip di dalam pertanyaan-pertanyaannya tentang
saudagar intan berlian itu.
Dalam pada itu, pemilik kedai itu pun tidak lagi
menghiraukan apa yang dikatakan oleh kedua orang yang
pernah membeli makanan di warungnya. Ia pun tidak
menghiraukan ketika hari berikutnya orang itu pun tidak
datang lagi, apalagi dengan istrinya.
Sementara itu, sebagaimana dikatakan, maka di sore hari
berikutnya ayah Warsi bersama seorang kawannya telah ke
rumah Ki Wiradana. Keduanya diterima sebagaimana
mereka menerima orang asing yang belum pernah
dikenalnya. Sikap Warsi pun cukup meyakinkan bahwa ia
belum mengerti orang yang baru datang itu.
Namun dengan bahasa yang tersusun, orang itu pun
kemudian berhasil meyakinkan kepada Ki Wiradana, bahwa
ia datang untuk menawarkan beberapa jenis perhiasan yang
dibawanya. Intan berlian dan emas.
"Kami mohon maaf Ki Wiradana, mungkin kedatangan
kami terlalu tiba-tiba dan tidak memberitahukan
sebelumnya. Tetapi bukankah kami tidak terlalu
mengganggu. Segalanya terserah. Kami adalah pedagang-
pedagang yang menawarkan kepada mereka yang kami
anggap mempunyai kemungkinan untuk membeli.
Seandainya tidak dapat dibayar sekaligus, maka kami tidak
berkeberatan untuk menerima pembayarannya dalam
tahap-tahap, karena kami yakin bahwa Ki Wiradana tentu
akan dapat memenuhinya pada saat-saat yang
78 SH. Mintardja dijanjikannya," berkata ayah Warsi yang mengaku sebagai
pedagang intan berlian itu.
Wiradana memandang istrinya, Katanya, "Segala
sesuatunya terserah kepada istriku. Jika ia menyenangi
salah satu dari perhiasan yang Ki Sanak bawa, serta harga
yang kau tawarkan wajar, maka mungkin sekali kami akan
membelinya." "Tentu," berkata saudagar itu, "Kami tidak pernah
menawarkan harga barang-barang kami dengan berlebih-
lebihan. Kami akan mengambil keuntungan yang sekecil-
kecilnya, namun jika barang kami sering laku maka yang
kecil itu pun akan menjadi besar."
Wiradana memang menyerahkan segalanya kepada
istrinya. Ada beberapa barang perhiasan yang dilihat oleh
Warsi. Tetapi Warsi masih belum memutuskan untuk
mengambil yang mana di antara barang-barang itu.
"Apakah Ki Sanak besok masih ada disini?" bertanya
Warsi. "Ya. Aku masih berada disini untuk beberapa hari. Aku
ingin datang ke rumah beberapa orang kaya di Tanah
Perdikan ini. Mungkin Ki Wiradana dapat membantu kami,
sekadar menunjukkan kepada siapa kami harus
menawarkan barang-barangku. Bukan dengan satu
kepastian untuk dibeli. Hanya sekadar menawarkan saja,"
jawab orang itu. "Jika demikian Ki Sanak," berkata Nyai Wiradana.
"Datanglah besok kemari. Aku akan memikirkannya dan
memilih. Apakah Ki Sanak tidak berkeberatan untuk
meninggalkan beberapa macam perhiasan itu disini?"
"Tentu," jawab pedagang itu, "Aku tidak akan mencurigai
Nyai Wiradana, istri pemangku jabatan Kepala Tanah
79 SH. Mintardja Perdikan Sembojan. Tetapi sudah tentu hanya satu atau dua
saja, sebab yang lain harus aku tawarkan kepada orang lain
lagi. Warsi pun kemudian memilih dua macam perhiasan.
Seuntai kalung dan sepasang giwang. Katanya, "Mungkin
aku akan membeli salah satu di antara keduanya. Bukan
kedua-duanya." Dengan demikian maka kesengajaan Warsi untuk
memberi kesempatan ayahnya datang ke rumahnya itu
dimengerti oleh ayahnya. Karena itu, maka ia pun benar-
benar telah meninggalkan dua macam perhiasan di rumah
Warsi. Ketika keduanya kembali ke penginapan, maka ayah
Warsi itu pun berkata, "Ternyata aku mendapat kesempatan
lebih baik untuk berhubungan dengan Warsi dari sekadar
mencegatnya di pasar. Besok aku akan datang dan mudah-
mudahan persoalannya tidak cepat sekali, sehingga aku
akan mendapat kesempatan untuk hilir mudik."
Dampa tersenyum. Katanya, "Warsi memang seorang
yang cerdik. Nampaknya suaminya sangat sayang
kepadanya." "Ia adalah anakku. Ia mewarisi kecerdikan, kepandaian
dan kemampuan olah kanuragan seperti aku juga," berkata
ayah Warsi sambil tertawa.
Dampa itu pun tertawa pula. Sebenarnya bahwa Warsi
memang seorang perempuan yang pandai mempergunakan
segala kesempatan. Ayah Warsi itu kembali ke kedai tempat ia menginap
telah malam mulai turun. Ia memasuki kedai yang sudah
memasang lampu. Demikian ia bersama kawannya selesai
80 SH. Mintardja makan malam, maka keduanya telah memasuki bilik yang
disediakan bagi mereka. Tetapi ternyata telah terjadi sesuatu yang tidak terduga
sebelumnya. Malam itu, dua orang dengan diam-diam telah
mendekati kedai tempat saudagar intan berlian itu
menginap. "Kita akan menunggu sampai tengah malam," berkata
seorang dari kedua orang itu.
Kawannya mengangguk-angguk. Namun agaknya tengah
malam sudah tidak terlalu jauh lagi.
Malam itu, udara terasa sejuk. Meskipun langit berawan
tipis, tetapi angin semilir bertiup di antara dedaunan.
Pada lewat tengah malam, dua orang telah dengan diam-
diam memasuki kedai tempat saudagar intan berlian itu
menginap. Mereka dengan hati-hati telah merusak pintu
dan masuk ke dalamnya. Meskipun tidak ada lampu sama
sekali di dalam kedai itu, namun kedua orang yang
memasuki pintu itu ternyata dapat melihat meskipun tidak
sejelas dalam sinar lampu minyak.
Di bagian belakang kedai itu, terdapat sebuah pintu. Jika
mereka memasuki pintu itu terdapat sebuah ruang yang
luas dengan amben-amben yang besar. Beberapa orang
pedagang bermalam disitu dan tidur berjajar di amben
besar itu. Sebuah amben besar buat laki-laki dan sebuah
amben besar buat perempuan.
Tetapi agaknya pedagang intan berlian itu tidak mau
tidur dalam keadaan demikian. Ia dan seorang kawannya
telah minta disediakan secara khusus sebuah bilik.
Meskipun bilik itu sempit, tetapi cukup memadai bagi
dua orang yang mengaku saudagar intan berlian itu, karena
81 SH. Mintardja dengan demikian mereka tidak harus tidur berhimpitan
dengan orang-orang yang tidak dikenalnya.
Kedua orang yang memasuki kedai dengan diam-diam itu
telah berusaha membuka pintu itu. Perlahan-lahan sekali,
agar deritnya tidak membangunkan orang-orang yang
sedang tidur nyenyak. Demikian pintu terbuka, maka keduanya tertegun.
Mereka mendengar dengkur yang keras di antara orang-
orang yang menginap di ruang yang besar itu. Namun
agaknya hari itu, yang menginap di bilik itu tidak cukup
banyak sebagaimana hari-hari pasaran.
Dengan hati-hati kedua orang itu mendekati orang-orang
yang sedang tidur nyenyak. Namun ternyata mereka tidak
menemukan pedagang intan berlian, sehingga kedua orang
itu kemudian menduga bahwa keduanya telah ditempatkan
ditempat yang lain. Karena itu, maka mereka pun telah mencari pintu lain
yang menghubungkan ruang yang besar itu dengan ruang
yang lain. Ketika mereka menemukan pintu itu, maka
mereka pun kemudian berusaha untuk membukanya.
Tetapi kedua orang itu menyadari bahwa kedua orang
mengaku pedagang intan berlian itu orang yang memiliki
ilmu yang tinggi. Apalagi orang yang mencoba
mendengarkan percakapan orang itu dengan Nyai
Wiradana, melihat sikap Nyai Wiradana yang cukup hormat
dan sebutan terhadap orang itu, bahwa orang itu adalah
ayahnya. Bahkan ayah yang sesungguhnya.
"Kita harus berhati-hati," desis yang seorang. "Kita tidak
boleh gagal. Sudah berhari-hari kita mengamati Nyai
Wiradana dan yang kemudian kita berhasil menemukan
82 SH. Mintardja pertemuannya dengan ayahnya yang mengaku saudagar ini.
Kita harus memanfaatkan keadaan ini."
Kawannya mengangguk. Namun dengan demikian
keduanya telah bersiaga sepenuhnya menghadapi keadaan
yang mungkin akan berkembang dengan cepat.
Perlahan-lahan pintu itu didorong ke samping. Sedikit
demi sedikit pintu itu terbuka. Namun mereka tidak dapat
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghindari sepenuhnya derit pintu yang sedang dibuka
itu. Karena itu, maka bunyi pintu itu telah membangunkan
kedua orang yang berada di dalamnya. Seandainya
keduanya bukan orang-orang berilmu yang memiliki indera
yang tajam, maka derit pintu itu tidak akan
membangunkannya. Tetapi karena keduanya adalah orang-
orang yang berilmu tinggi, maka ternyata bahwa keduanya
telah terbangun. Ketika kedua orang itu melihat pintu terbuka dan ada
orang yang berusaha memasuki bilik itu, maka keduanya
pun segera bersiaga. Ayah Warsi yang kemudian berdiri didepan itu pun
bertanya, "Ki Sanak. Apa maksudmu malam-malam begini
memasuki bilik tidurku."
"Jelas," jawab orang itu. "Aku datang untuk mengambil
perhiasan-perhiasan yang kau bawa. Apakah kau
berkeberatan?" "Jangan gila," geram ayah Warsi. "Barang-barang itu
adalah barang daganganku."
"Apapun yang kau katakan, kami datang untuk
mengambilnya," jawab orang itu.
83 SH. Mintardja "Kau sangka kau dapat menakut-nakuti kami" Agaknya
kau memang belum mengenal kami. Nasibmu kali ini
ternyata sangat buruk, bahwa kalian telah merampok kami,"
berkata ayah Warsi. "Kami telah merampok puluhan orang dan berhasil
dengan baik. Kali ini pun kami akan berhasil merampok
perhiasan yang kau bawa dengan hasil yang baik pula,"
berkata orang yang memasuki bilik itu.
"Perampok yang malang," desis ayah Warsi. "Aku
peringatkan sekali lagi, bahwa aku bukan pedagang
kebanyakan. Jika kau tidak ingin mati, pergilah. Aku tidak
akan mengganggumu." "Jangan banyak bicara," geram orang yang memasuki
bilik itu. "Serahkan semua perhiasanmu. Aku tidak
mempunyai banyak waktu."
Keributan itu agaknya telah membangunkan pula orang-
orang yang tidur di ruang yang besar itu. Mereka
berloncatan turun dari pembaringan. Ada di antara mereka
yang segera menghadapi apa yang terjadi, namun ada yang
masih bertanya-tanya. Sementara itu, ada orang yang
merasa dirinya wajib ikut menangkap orang yang akan
merampok itu, sementara ada yang menjadi ketakutan.
Namun dalam pada itu, ayah Warsi itu pun berkata,
"Lihatlah. Orang-orang itu sudah terbangun. Apa yang
dapat kau lakukan kemudian" Mereka akan beramai-ramai
menangkapmu dan kemudian menyeretmu ke Ki Wiradana,
pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan di Sembojan ini."
"Jangan banyak cakap. Serahkan, atau kau berdua akan
mati disini," geram orang yang ingin merampok itu.
Ayah Warsi bukan orang yang sabar. Karena itu, ketika
orang yang dianggapnya akan merampok itu
84 SH. Mintardja membentaknya, maka ia pun membentak pula sambil
melangkah maju. Disambarnya pedang yang berada
dibawah tikar tempat ia tidur.
"Aku memang ingin membunuhmu dan membuktikan
kepada orang-orang Sembojan, bahwa semua kejahatan di
Sembojan akan dapat dilawan dan dibinasakan," geram
ayah Warsi itu. Kedua perampok itu pun bergeser surut. Orang-orang
yang semula berada di luar pintu pun telah menyibak.
Sementara itu ayah Warsi dan Dampa telah melangkah
maju pula. "Di sini tempatnya agak luas," berkata orang yang
disangka perampok itu. "Kami akan membunuh kalian
berdua kemudian mengambil barang-barang yang kalian
bawa," orang itu terdiam sejenak. Kemudian sambil
berpaling kepada orang-orang yang ada di sekitarnya di
dalam bilik yang luas itu, ia berkata, "Siapa yang akan ikut
campur" ----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 9. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
85 SH. Mintardja Jilid Kesembilan Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 86 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja AKU menasihatkan kepada kalian untuk tidak
mencampuri persoalan kami. Aku akan merampok barang-
barangnya. Bukan barang-barang kalian. Karena itu, kalian
tidak usah melibatkan diri, karena melibatkan diri dalam
pertempuran bersenjata akan dapat berakibat maut.
Selebihnya, kami akan dapat mendendam kepada orang-
orang yang membantu menggagalkan usaha kami.
Wajah orang-orang yang berada di ruang itu pun menjadi
tegang. Namun ayah Warsi pun berkata, "Baiklah. Aku
sependapat. Jangan turut campur. Persoalan ini adalah
persoalan kami. Orang-orang itu akan merampok barang-
barangku. Karena itu, maka aku berhak untuk membunuh
mereka," lalu katanya kepada kawannya, "Marilah Dampa,
kita selesaikan saja mereka. Baru nanti kita akan
melaporkan kepada Ki Wiradana bahwa kita terpaksa
membunuh untuk mempertahankan barang-barang milik
kita yang akan dirampok."
Kedua orang yang ingin merampok barang-barang
saudagar emas itu pun telah bersiap pula. Ketika mereka
berpencar, maka orang-orang yang ada di ruang itu pun
menyibak. Bahkan perempuan-perempuan telah saling
berdesakan disudut ruangan.
Dalam pada itu, dua orang yang ingin merampas barang-
barang milik saudagar itu masih berkata, "He, apakah
kalian tidak memanggil para pengawal Tanah Perdikan jika
kalian takut menghadapi kami berdua."
"Persetan," geram ayah Warsi, "Bersiaplah untuk mati."
Sebelum orang yang akan merampas barang-barang itu
sempat menjawab, ayah Warsi telah mencabut pedangnya.
Agaknya ia tidak ingin berlama-lama bertempur. Ia ingin
2 SH. Mintardja segera membunuh perampok itu dan menyerahkan
mayatnya kepada Wiradana. Dengan demikian, maka
dengan tidak langsung ia telah menunjukkan kepada anak
perempuannya, bahwa ia telah siap untuk membantu
apapun yang terjadi di Tanah Perdikan Sembojan.
Sejenak kemudian pertempuran telah terjadi di dua
lingkaran. Ayah Warsi dan Dampa masing-masing melawan
seorang dari kedua orang yang akan merampok mereka itu.
Dengan demikian, maka orang-orang yang berada di
dalam bilik itu pun menjadi ketakutan. Mereka melihat ilmu
pedang yang tidak mereka mengerti. Benturan senjata dan
teriakan-teriakan nyaring.
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat.
Ternyata bahwa ayah Warsi, keluarga Kalamerta, memang
memiliki ilmu yang nggegirisi. Pedangnya berputar seperti
baling-baling. Sekali-kali mematuk dengan cepat mengarah
ke jantung lawan. Dengan demikian, maka perampok yang melawannya itu
pun harus mengerahkan segenap kemampuannya. Dengan
ilmu pedang yang jarang ada bandingnya ia melawan ayah
Warsi itu. Pedangnya mampu berputar cepat sekali. Bahkan
kemudian bagaikan kabut putih yang melingkari tubuhnya,
sehingga sulit bagi lawannya untuk menembus perisai
putaran pedang itu. Sementara itu, Dampa telah mempergunakan senjatanya
pula. Ia tidak terbiasa mempergunakan pedang. Tetapi ia
lebih senang mempergunakan sepasang tongkat baja yang
dirangkaikan dengan seutas rantai. Dengan kemampuan
yang sangat tinggi, maka senjata itu benar-benar
merupakan senjata yang sulit untuk dilawan. Kedua tongkat
itu kadang-kadang berputar. Namun kadang-kadang
3 SH. Mintardja mematuk kepala dengan kerasnya. Bahkan sebelah tongkat
baja itu dapat bagaikan terbang menyambar lawannya.
Salah seorang di antara kedua orang yang akan
merampok perhiasan itu menempatkan diri menjadi
lawannya. Senjatanya adalah sepasang trisula bertangkai
pendek. Dengan demikian maka pertempuran itu pun
memerlukan tempat yang semakin luas, karena ayunan
senjata yang semakin panjang menjangkau loncatan-
loncatan lawannya. Tongkat bertangkai itu dapat digenggam
untuk bertempur pada jarak jangkauannya, tetapi dapat
pula berputar sepanjang rantai yang mengikatnya.
Agaknya orang yang ingin merampok itu merasa,
ruangan itu terlalu sempit untuk menghadapi senjata
lawannya yang menggetarkan, sehingga karena itu, maka ia
pun telah bergeser ke pintu.
Ketika ia mendapat kesempatan, maka ia pun telah
meloncat dan membuka pintu itu. Kemudian meloncat
turun ke halaman. Dengan demikian, maka dua lingkaran pertempuran itu
terjadi di dua bagian penginapan itu. Yang satu berada di
dalam dan yang lain berada di luar.
Pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran
yang menggetarkan. Di ruang depan penginapan itu, dua
orang yang memiliki ilmu pedang yang matang telah
mengerahkan kemampuan masing-masing. Bahkan ayah
Warsi merasa beruntung, bahwa ada orang yang berusaha
untuk merampoknya. Dengan demikian ia dapat
menunjukkan kepada anaknya dan juga kepada Ki
Wiradana yang tidak mengenalnya sebagai mertuanya,
bahwa ia telah berjasa bagi Tanah Perdikan Sembojan.
4 SH. Mintardja Dengan demikian maka ia akan mendapat kepercayaan
yang lebih besar dari Ki Wiradana. Ia akan dapat mondar-
mandir di Tanah Perdikan itu tanpa dicurigai dan bahkan ia
akan mendapat kesempatan ikut berkuasa karena
kemampuannya. "Jika aku menunjukkan bahwa aku mempunyai
kekuatan, maka aku tentu akan ikut mendapatkan
kekuasaan. Apalagi apabila pada suatu saat Warsi berhasil
mendorong Wiradana untuk mengeterapkan kekuatan
untuk memperkuat kekuasaannya apabila persoalan-
persoalan yang pernah dilakukan itu akhirnya diketahui
oleh orang banyak," berkata ayah Warsi di dalam hatinya.
Karena itu, maka ia pun telah berusaha untuk dalam
waktu singkat melumpuhkan perampok itu dan kemudian
baru memberitahukan kepada Ki Wiradana.
Orang-orang yang ketakutan di penginapan itu sama
sekali tidak berani berbuat sesuatu. Mereka berdesakan di
sudut ruang dengan wajah yang pucat. Sebelumnya mereka
belum pernah mengalami perampokan seperti itu.
Sedangkan di halaman pertempuran antara Dampa dan
seorang di antara kedua orang yang akan merampok itu
menjadi semakin sengit. Ternyata keduanya telah
mempercayakan diri kepada kekuatan mereka. Benturan-
benturan yang keras telah terjadi, sehingga bunga-bunga
api pun berloncatan di udara memercik seperti bintang-
bintang kecil yang berhamburan mengoyak gelapnya
malam. Demikianlah pertempuran di dua lingkaran itu benar-
benar merupakan benturan ilmu yang tinggi.
Namun kemudian mulai nampak geseran keseimbangan
dalam pertempuran itu. Baik di dalam, maupun diluar.
5 SH. Mintardja Ternyata bahwa kedua perampok itu memiliki ilmu yang
lebih baik dari ayah Warsi dan kawannya. Perlahan-lahan
keduanya mulai terdesak. Bahkan Dampa mulai kehilangan
pengamatan atas senjatanya, ketika ujung senjata lawannya
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mulai menyentuh tubuhnya.
"Gila," Dampa sedikit berteriak. Sementara perampok
yang melawannya itu tertawa. Katanya, "Ayo Ki Sanak.
Apakah yang sebenarnya kau banggakan?"
Tongkat baja itu pun kemudian berputaran semakin
cepat memagari tubuhnya. Tetapi benturan yang terjadi
telah merusakkan putaran senjatanya itu. Bahkan dalam
usaha untuk memperbaiki keadaan, maka lawannya telah
mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk
menyerang. Sambil menyeringai kesakitan, Dampa meloncat surut.
Namun ternyata darah telah mengalir dari tubuhnya.
Dengan demikian, kemarahan yang membakar
jantungnya bagaikan telah mendidihkan darahnya. Tetapi ia
tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa lawannya telah
berhasil melukainya. Pertempuran semakin lama menjadi semakin kasar.
Dampa yang berusaha untuk bertempur dengan cara yang
lebih baik dari kebiasaannya, dalam keadaan terdesak, tidak
lagi dapat menyembunyikannya watak dan sifatnya. Sebagai
pengikut Kalamerta yang hidup dalam dunia yang hitam,
maka ia adalah orang yang kasar dan adalah menjadi
kebiasaannya untuk bertempur dengan kasar pula.
Tetapi lawannya sama sekali tidak terkejut ketika ia
melihat perkembangan ilmu lawannya. Namun demikian
ada yang mulai dipikirkannya. Dampa bertempur sambil
6 SH. Mintardja berteriak-teriak. Mengumpat dengan kasar dan mengaum
bagai serigala. Orang-orang yang berada di dalam penginapan itu
menjadi semakin ngeri. Karena mereka tidak melihat, maka
yang mereka sangka berteriak menggetarkan jantung itu
adalah justru salah satu dari kedua perampok itu.
Namun kawan perampok itu sendiri dan sebagaimana
juga ayah Warsi, mengerti bahwa yang berteriak-teriak
kasar itu adalah Dampa. Dengan nada rendah salah seorang yang akan merampok ayah Warsi dan sedang bertempur melawannya itu berkata, "Nah kau dengar, kawanmu
bukan seorang yang bertabiat lembut. Ia justru
jauh lebih kasar dari kawanku. Seorang perampok. He, apakah memang demikian kebiasaan
para saudagar?" Namun dengan cerdik ayah Warsi menjawab, "Aku
tidak peduli. Aku bawa orang itu untuk mengawalku
siapapun dia. Tetapi selama ini aku mempercayainya karena
kesetiaannya." "Tetapi Ki Sanak," berkata lawan ayah Warsi. "Ada satu
hal yang harus aku pertimbangkan. Kawanmu telah
berteriak-teriak seperti orang kesurupan. Dengan demikian
maka ada satu kemungkinan bahwa kawanmu telah
7 SH. Mintardja menarik perhatian orang lain yang akan melaporkannya
kepada para pengawal."
"Persetan dengan para pengawal. Aku tidak memerlukan
para pengawal. Justru aku akan menyerahkan mayat kalian
kepada para pengawal Tanah Perdikan Sembojan," jawab
ayah Warsi. "Mungkin kau berpendirian begitu," jawab lawannya.
"Tetapi orang lain yang tidak tahu menahu tentang
keinginan itu, akan dapat mengambil sikap. Mereka melihat
perkelahian di halaman itu. Kemudian dengan tidak
menghiraukan sikapmu, mereka berlari-lari melaporkan
para pengawal." "Tetapi jika para pengawal itu datang, aku akan minta
kepada mereka untuk menjadi saksi, bahwa malam ini aku
telah membunuh perampok di Tanah Perdikan Sembojan,
Tanah yang biasanya tenang dan tentram", jawab ayah
Warsi. Lawannya tertawa. Katanya, "Agaknya memang sudah
sampai waktunya kita mengakhiri permainan ini."
"Ya. Permainan ini akan segera berakhir dengan
kematianmu", geram ayah Warsi.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Tiba-tiba saja
kemampuan lawan ayah Warsi itu masih juga mampu
meningkat. Bahkan sejenak kemudian, ayah Warsi seolah-
olah telah kehilangan kemampuan untuk mengikuti
kecepatan gerak lawannya yang membingungkan.
Dengan demikian, maka seperti Dampa yang bertempur
Pedang Bunga Bwee 1 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 5