Suramnya Bayang Bayang 17
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 17
akan dapat melakukannya, sementara langit menjadi semakin
suram. Tidak akan ada lagi orang yang lewat jalan bulak itu."
Kawannya menengadahkan kepalanya memandang langit yang
buram pada saat senja turun. Cahaya kemerah-merahan masih
tersangkut di bibir mega, namun yang kemudian menjadi kelam.
Keempat orang itu masih berjalan beberapa puluh langkah
dibelakang Kiai Badra dan Gandar. Ketika mereka memasuki
bulak yang panjang, maka senja pun menjadi semakin gelap.
"Beberapa saat lagi jalan ini akan melintasi sungai. Pada saat
mereka menuruni tebing, maka kita akan dapat melakukannya,"
berkata orang yang bertubuh tinggi dan berjambang lebat.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka berjalan
semakin cepat, sehingga jarak antara mereka dengan Kiai Badra
pun menjadi semakin dekat.
7 SH. Mintardja Dalam pada itu, Kiai Badra dan Gandar sebenarnyalah sudah
mengetahuhi bahwa dibelakang mereka ada empat orang yang
mengikutinya. Dengan nada datar Gandar bergumam, "Orang-
orang itu nampaknya mempunyai maksud tertentu."
"Ya," jawab Kiai Badra, "Bukan maksud kita mencari perkara.
Tetapi kita harus mempertahankan tunggul ini. Taruhan dari
tunggul ini adalah leher kita."
"Apakah Kiai tidak akan berusaha untuk berbohong lagi"
Mungkin Kiai harus mempergunakan kata-kata yang lebih
meyakinkan bagi empat orang itu," berkata Gandar.
"Ah, kau ada-ada saja," desis Kiai Badra. "Empat orang itu
tentu tidak mudah percaya sebagaimana orang-orang yang
pernah kita jumpai sebelumnya."
"Apa boleh buat," berkata Gandar.
Kiai Badra tidak menyahut lagi. Tetapi ia mempercepat
langkahnya menyeberangi bulak panjang.
Ketika mereka melihat sungai melintas dihadapan mereka
maka Kiai Badra itu pun berkata, "Gandar. Kita akan segera
menuruni tebing. Senja sudah menjadi semakin kelam, sehingga
aku mempunyai perhitungan, jika orang-orang itu berniat buruk,
maka mereka mempunyai kesempatan melakukannya dibawah
tebing itu." Gandar mengangguk-angguk. Katanya, "Ya Kiai. Nampaknya
mereka juga mempercepat langkah mereka."
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia
bergumam, "Dalam kemelut yang melibat Pajang, Jipang dan
Demak sekarang ini, masih ada juga orang yang mencari
keuntungan dengan cara yang tidak wajar."
"Justru ketika para prajurit terikat dalam pertentangan seperti
sekarang ini, mereka mendapat kesempatan yang lebih luas
untuk melakukannya, Kiai," jawab Gandar.
8 SH. Mintardja Kiai Badra mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya ia
berpaling. Ternyata keempat orang yang mengikutinya itu
menjadi semakin dekat. Karena itu, maka Kiai Badra pun yakin
bahwa keempat orang itu akan menghentikannya ditepian setelah
mereka menuruni tebing. Di tepian mereka tidak akan diganggu
oleh siapapun. Biasanya jika ada petani yang pergi ke sawah mereka hanya
menyusuri air di parit. Biasanya mereka tidak turun ke sungai,
kecuali justru anak-anak yang membuka pliridan. Itu pun
biasanya dilakukan didekat padukuhan-padukuhan.
Tetapi Kiai Badra dan Gandar pun tidak lagi berbicara. Mereka
berjalan semakin cepat. Sementara itu langit pun menjadi
bertambah hitam. Sejenak kemudian, maka jalan yang akan mereka lalui itu pun
telah memotong sebuah sungai yang tidak mempunyai jembatan.
Karena itu maka Kiai Badra dan Gandar harus menuruni tebing
dan menyeberangi sungai yang airnya memang tidak terlalu
banyak itu. Ternyata seperti yang diperhitungkan oleh Kiai Badra.
Demikian mereka menuruni tebing, maka keempat orang itu
sudah berada beberapa langkah saja dibelakangnya.
"Gandar, berhati-hatilah. Kita tidak tahu siapakah mereka.
Apakah mereka sekadar perampok-perampok dan penyamun-
penyamun biasa, atau mereka justru orang-orang Jipang yang
berkeliaran di daerah ini dan mempunyai tugas tertentu sehingga
mereka tertarik melihat tunggul di dalam selongsong ini," berkata
Kiai Badra. Gandar tidak menyahut. Tetapi ia memang sudah
mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, ketika Kiai Badra dan Gandar sudah
menuruni tebing dan berada ditepian, maka keempat orang
itupun telah menyusul mereka. Orang yang bertubuh tinggi besar
dan berjambang lebat itu berkata, "Tunggu Ki Sanak. Ada sesuatu
yang ingin kami tanyakan."
9 SH. Mintardja Kiai Badra dan Gandar memang harus berhenti. Mereka
kemudian berdiri menghadap keempat orang yang berjajar
beberapa langkah dihadapannya.
"Apa yang Ki Sanak tanyakan?" bertanya Kiai Badra.
Orang itu memandang tunggul di tangan Kiai Badra.
Kemudian ia pun bertanya, "Apakah yang kau bawa itu Ki
Sanak?" Kiai Badra ternyata tidak ingin berbohong kepada orang-orang
itu, karena ia menyadari bahwa hal itu tidak akan ada gunanya.
Karena itu, maka ia pun menjawab, "Aku membawa tunggul."
Keempat orang itu termangu-mangu sejenak. Namun orang
yang bertubuh tinggi dan besar itu bertanya, "Tunggul siapa?"
"Tunggul bagi Tanah Perdikan Sembojan," jawab Kiai Badra
tanpa berusaha untuk menyembunyikan ujud benda yang
dibawanya dibawah selongsong itu.
"Apakah aku dapat melihat?" orang bertubuh tinggi itu
bertanya pula. "Maaf Ki Sanak. Tunggul ini harus aku sampaikan kepada
pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan," jawab Kiai
Badra. "Aku tidak mengenal pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikan Sembojan. Yang ada sekarang adalah tunggul yang
kalian bawa. Maaf, aku ingin melihatnya," ulang orang itu.
"Aku juga minta maaf Ki Sanak. Aku tidak dapat
menyerahkannya. Tunggul ini merupakan benda yang sangat
berharga, meskipun bendanya sendiri mungkin tidak mempunyai
nilai dalam arti uang. Tetapi nilai jiwani dari benda ini sangat
tinggi bagi Tanah Perdikan Sembojan," jawab Kiai Badra.
"Aku hanya ingin melihatnya," berkata orang bertubuh tinggi
itu. "Sekali lagi aku minta maaf," sahut Kiai Badra.
10 SH. Mintardja "Ki Sanak," berkata orang bertubuh tinggi besar itu sambil
bergeser selangkah maju, "Sikapmu tidak menyenangkan aku.
Aku tidak biasa membiarkan orang lain yang menentang
kehendakku." Wajah Kiai Badra menegang sejenak. Namun jawabannya
ternyata sangat mengejutkan orang yang bertubuh tinggi besar
itu. Katanya, "Maaf Ki Sanak. Aku memang tidak sedang
berusaha membuatmu senang. Tetapi ketahuilah, bahwa akupun
tidak biasa membiarkan diriku diperintah orang lain."
Terdengar orang bertubuh tinggi itu mengumpat kasar.
Setapak lagi ia maju. Dipandanginya Kiai Badra di dalam keremangan ujung
malam, Katanya, "Kau sudah tua Ki Sanak. Kau jangan terlalu
banyak tingkah. Kesombonganmu itu akan dapat menyeretmu ke
dalam kesulitan." Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya,
"Bukan maksudku menyombongkan diri Ki Sanak. Tetapi
sebenarnyalah aku tidak akan dapat menyerahkan benda ini
kepada siapapun juga meskipun hanya sekejap. Benda ini tidak
boleh berpisah dari tanganku, karena taruhannya adalah leherku
dan leher anakku ini."
"Ternyata kalian adalah orang yang paling malang. Kau berdiri
disimpang jalan yang kedua-duanya menuju ke kematian. Jika
kau serahkan benda itu, maka kau akan dipenggal lehermu.
Tetapi jika tidak, maka kau pun akan mati ditanganku, sementara
benda itu akan jatuh ke tanganku juga."
Kiai Badra mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia
bertanya, "Apa maumu sebenarnya Ki Sanak, dan siapakah kau
dan kawan-kawanmu?" "Siapa aku sama sekali tidak penting bagimu kakek tua. Yang
penting kau serahkan benda itu. Aku tidak akan mengusikmu.
Jika kemudian karena tanggung jawabmu atas benda itu kau
dipenggal lehermu itu bukan salahku," jawab orang bertubuh
tinggi dan berjambang lebat itu.
11 SH. Mintardja "Jadi jelasnya, kau ingin merampok benda yang kami anggap
sangat berharga ini meskipun ujudnya tidak seberapa?" berkata
Kiai Badra. "Ya. Begitulah," jawab orang itu.
"Nah, dengan demikian sikapku akan jelas," berkata Kiai
Badra. "Aku tentu akan bersikap lain terhadap seorang perampok
dengan orang yang ingin merampas benda ini karena memiliki
pengertian akan arti dan nilai jiwani dari benda mati ini."
Wajah orang bertubuh tinggi itu menjadi tegang. Ia tidak
menyangka bahwa orang tua itu akan menghadapinya dengan
tenang sekali. Seakan-akan keempat orang itu tidak akan dapat
meruntuhkan selembar rambutnya pun.
Karena itu dengan nada kasar orang bertubuh tinggi besar itu
berkata lantang, "Kakek tua. Yang paling mencelakakanmu
akhirnya adalah kesombonganmu. Jika kau tidak terlalu sombong
aku kira kami masih akan dapat membuat pertimbangan-
pertimbangan atas langkah-langkah yang akan kami ambil.
Tetapi memperlakukan kalian berdua dengan cara yang paling
buruk." "Apapun yang kalian katakan, akan sama saja artinya bagi
kami berdua. Kecuali jika kalian berniat untuk mengurungkan
rencana kalian merampas benda ini, maka kami akan sangat
berterima kasih dan tidak akan melupakan jasa dan kebaikan hati
kalian," berkata Kiai Badra.
"Apakah kau mulai merajuk?" bertanya orang yang akan
merampok tunggul itu. "Merajuk?" bertanya Kiai Badra. "Tidak Ki Sanak. Kami
berterima kasih karena kalian telah membebaskan kami dari
keharusan untuk setidak-tidaknya menyakiti kalian."
"Tutup mulutmu," orang bertubuh tinggi besar itu berteriak,
"Kalian memang harus dibunuh. Benda yang kalian bawa itu akan
merupakan alat yang paling baik untuk membunuh kalian."
12 SH. Mintardja "O," Kiai Badra mengerutkan keningnya. Namun adalah di
luar dugaan, bahwa Kiai Badra justru telah membuka selongsong
tunggul yang dibawanya, kemudian mengikatkan selongsongnya
pada lengannya sambil berkata, "Inilah tunggul yang aku bawa Ki
Sanak." Wajah keempat orang itu menjadi tegang ketika terpandang
olehnya tunggul yang dibawa oleh Kiai Badra. Tunggul yang
merupakan sebentuk lingkaran bergerigi dan seakan-akan
bercahaya keemasan. "Ini adalah bentuk Cakra. Hanya bentuknya saja. Sudah tentu
bukan benar-benar Cakra ciri kekuasaan Raja Dwarawati dalam
ceritera pewayangan," berkata Kiai Badra sebagaimana seorang
kakek berceritera kepada cucunya saja.
Sejenak orang yang bertubuh tinggi besar itu termangu-
mangu. Dalam keremangan ujung malam, mereka tidak dapat
melihat landean itu dengan jelas. Tetapi bentuk cakra itu sendiri
memang seolah-olah bercahaya memantulkan sinar bintang-
bintang dilangit. "Nah Ki Sanak," berkata Kiai Badra kemudian. "Apakah kalian
masih berniat untuk merampas benda ini?"
Orang bertubuh tinggi besar itu bagaikan terbangun dari
mimpinya. Namun dengan gagap ia menyahut, "Tentu. Tentu Ki
Sanak. Justru setelah aku melihat bahwa tunggul itu nampakya
dibuat dari emas. Mungkin tunggul itu dihiasai dengan permata
dan logam-logam berharga lainnya."
"Memang" berkata Kiai Badra. "Pada lingkaran karahnya
terdapat beberapa permata sebesar biji jagung melingkar. Nah,
bukankah untuk mendapatkan benda ini kalian sudah
sepantasnya mengorbankan nyawa kalian."
Kata-kata Kiai Badra itu benar-benar menusuk perasaan
keempat orang itu, sementara Kiai Badra merasa berhasil
membuat orang-orang itu marah sehingga mereka tidak akan
mampu mempergunakan nalar mereka dengan baik. Dengan
demikian, seandainya mereka berilmu tinggi, maka perasaan
13 SH. Mintardja mereka akan berada di depan mendesak nalar mereka. dengan
demikian maka satu tapak kemenangan telah dapat digapainya
meskipun untuk selanjutnya masih juga belum dapat dijajaginya.
Orang bertubuh tinggi itu menggeram. Sementara kawannya
mengumpat kasar. Sambil melangkah maju ia berkata, "Jangan
beri kesempatan lagi orang itu untuk mengigau. Kita dapat
membunuhnya dengan segera."
"Ya," jawab yang bertubuh tinggi besar. "Kita dapat
membunuhnya dan melemparkan bangkainya ke sungai itu. Kita
tidak peduli siapakah keduanya dan dari manakah mereka
mendapatkan tunggul itu."
Dengan demikian maka kawan-kawannya telah bersiap pula,
mereka justru telah merenggang. Agaknya mereka menyadari
bahwa orang yang membawa tunggul itu bukan orang
kebanyakan, sehingga dengan demikian maka mereka pun telah
mempersiapkan senjata mereka.
Kiai Badra pun telah bersiap pula. Dengan nada datar dan
sikap yang tidak menunjukkan kegelisahan sama sekali ia berkata
kepada Gandar, "He, kau akan mempergunakan senjata apa?"
Dan jawab Gandar pun ternyata mampu menyesuaikan diri
dengan sikap Kiai Badra, "Aku dapat mempergunakan senjata
apa saja. Juga batu-batu ditepian ini, atau aku akan meminjam
salah satu di antara senjata keempat orang itu."
"Bagus," sahut Kiai Badra. Tiba-tiba saja tunggul itu pun telah
merunduk.
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya, "Tunggul adalah tempat untuk menyangkutkan dan
memaparkan kelebet. Tetapi agaknya akan dapat juga
dipergunakan sebagai senjata, karena di medan perang, dalam
kedaan terpaksa mereka yang membawa tunggul, rontek dan
panji-panji dapat mempergunakannya untuk mempersenjatai
diri." 14 SH. Mintardja "Gila," teriak salah seorang dari keempat orang itu.
"Kesombongan kalian benar-benar merupakan satu kegilaan yang
belum pernah aku temui sebelumnya dari orang manapun juga."
"Sekali lagi aku katakan, "jawab Kiai Badra. "Kami bukannya
ingin menyombongkan diri. Tetapi kami memang orang-orang
yang memiliki kemampuan yang memadai untuk
mempertahankan tunggul itu."
Keempat orang itu telah benar-benar dibakar oleh kemarahan.
Mereka tidak lagi mengekang diri. Dengan tiba-tiba saja seorang
di antara mereka telah meloncat menyerang Kiai Badra yang
membawa tunggul yang diterimanya dari Pajang.
Ketajaman penglihatan Kiai Badra menangkap gerak orang itu.
Ternyata orang itu memang tidak dapat diabaikan. Dorongan
kekuatan di dalam dirinya tentu cukup besar.
Karena itu, maka Kiai Badra pun telah berusaha mengelak. Ia
tidak ingin benar-benar mempergunakan tunggul itu. Ia tidak
ingin menangkis serangan parang lawannya yang besar dengan
landean tunggul itu. Jika landean tunggul yang terbuat dari kayu
berlian itu menjadi cacat, maka Ki Tumenggung Wirajaya tentu
akan mempertanyakannya. Namun demikian, Kiai Badra akan dapat mempergunakan
pangkal landeannya. Jika ia berhasil mengetuk dahi lawannya
dengan pangkal landean yang disalut dengan logam yang keras
sebangsa perunggu itu, maka dahi lawannya itu tentu akan retak.
Serangan itu telah menggerakkan ketiga orang yang lain untuk
bertempur bersama-sama melawan dua orang yang mereka
anggap sangat sombong dan menyakitkan hati itu.
Gandar melihat pula tata gerak lawannya. Betapapun mereka
di dorong oleh perasaannya, namun ternyata bahwa keempat
orang itu memang memiliki bekal dalam olah kanuragan.
15 SH. Mintardja Karena itu bagaimanapun juga Gandar harus berhati-hati.
Tetapi sebagaimana dikatakannya, ia memang mampu
mempergunakan senjata apa saja. Juga ikat pinggangnya yang
terbuat dari kulit yang tebal itu pun dapat dipergunakannya
sebagai senjata. Yang dilakukan oleh Gandar itu
membuat keempat orang yang ingin
menyamun tunggul itu menjadi
semakin geram. Gandar benar-benar
melepaskan ikat pinggangnya dan
mempergunakannya sebagai senjata.
Kain panjangnya kemudian hanya
diikatkannya saja dipinggangnya.
"Gila," geram salah seorang dari
keempat orang yang ingin memiliki
tunggul itu. "Kau adalah orang yang tidak tahu
diri. Kesombonganmu melampaui
ukuran orang biasa."
"Aku memang bukan orang biasa," jawab Gandar sambil
memutar ikat pinggangnya.
Orang-orang yang ingin menyamun tunggul itu benar-benar
tidak dapat menahan diri lagi. Mereka pun kemudian telah
melibatkan diri ke dalam perkelahian yang sengit. Dua orang
melawan Kiai Badra sedang dua yang lain melawan Gandar.
Ternyata Kiai Badra dan Gandar pun kemudian merasa bahwa
lawan-lawannya ternyata memiliki bekal ilmu kanuragan pula.
Sehingga dengan demikian mereka harus berhati-hati. Namun
gejolak perasaan lawannya telah mempengaruhi sikap mereka.
Kemarahan mereka membuat mereka lebih banyak bertindak
atas dasar perasaannya, bukan penalaran atas ilmu yang
dihadapinya. 16 SH. Mintardja Kiai Badra bertempur dengan mempergunakan tunggul yang
dibawanya itu sebagai senjatanya. Tetapi ia tidak ingin
membenturkan tunggul itu bahkan landeannya pun tidak, agar ia
tidak membuat tunggul itu menjadi cacat.
Meskipun demikian, kecepatan gerak Kiai Badra telah
membuat kedua lawannya menjadi berdebar-debar. Kemarahan
yang menghentak-hentak di dadanya, membuat keduanya
semakin kabur menghadapi putaran tunggul di tangan Kiai
Badra. Tetapi sebenarnyalah bahwa Kiai Badra menyerang lawannya
justru dengan pangkal landeannya yang disalut dengan logam
sejenis perunggu. Ketika pada satu kesempatan terbuka, landean
tombak itu berhasil menyusup disela-sela putaran parang
lawannya yang besar mengenai pundaknya, maka terdengar
orang itu mengumpat kasar. Namun orang itu telah terdorong
beberapa langkah surut. Terasa pundaknya menjadi sakit sekali,
seakan-akan tulang-tulangnya telah menjadi retak karenanya.
Namun ternyata ia memiliki daya tahan yang cukup besar,
sehingga karena itu, maka ia pun kemudian telah meloncat
kembali memasuki arena. Tetapi demikian ia kembali memasuki arena, kawannyalah
yang terdorong jatuh. Landean tunggul itu ternyata telah menyambar pahanya,
sehingga rasa-rasanya kakinya telah patah.
Namun demikian ia jatuh, maka ia pun segera melenting
berdiri dan siap kembali memasuki arena pertempuran itu.
Di lingkaran pertempuran yang lain, Gandar telah
menunjukkan kelebihannya dengan caranya. Kedua lawannya
benar-benar tergetar hatinya melihat cara Gandar bermain
dengan senjatanya yang aneh. Ikat pinggangnya itu kadang-
kadang dihentakkannya sebagaimana ujung cambuk yang
berjurai panjang. Namun tiba-tiba ikat pinggang Gandar yang
dialiri getaran ilmunya telah berubah menjadi semacam kepingan
baja yang kokoh dan kuat.
17 SH. Mintardja Meskipun demikian kedua orang lawan Gandar itu adalah
orang-orang yang telah berpengalaman dalam petualangan
mereka menjelajahi dunia kelam. Tangannya telah dilumuri
dengan darah dan berpuluh-puluh orang yang kadang-kadang
tidak berdaya sama sekali untuk menghadapinya.
Namun, saat itu mereka ternyata telah membentur kekuatan
yang membuat mereka menjadi gentar juga.
Sementara itu Gandar dengan sengaja telah berusaha untuk
setiap kali mengejutkan lawannya. Ketika lawannya menjulurkan
senjatanya maka tiba-tiba saja ikat pinggang Gandar telah
membelitnya. Satu hentakan telah membuat senjata lawannya itu
terlepas dari tangannya. Dengan jantung berdentangan orang itu berusaha untuk
meloncat surut, menghindari serangan Gandar yang akan
menyusul. Namun dalam pada itu, kawannya berusaha untuk
membantunya dengan meloncat maju sambil mengayunkan
senjatanya menebas ke arah leher Gandar.
Tetapi betapa orang itu terkejut. Ikat pinggang yang baru saja
membelit dan menghentakkan senjata lawannya itu telah
dipergunakannya menangkis serangan pedangnya.
Yang terjadi kemudian adalah satu benturan yang
mengejutkan. Senjata orang itu ternyata telah membentur ikat
pinggang Gandar bagaikan membentur daun pedang yang terbuat
dari baja pilihan. "Gila," teriak orang itu sambil meloncat surut. Namun
sementara itu, kawannya telah sempat meloncat untuk
memungut senjatanya yang terlepas.
Gandar tertawa. Dengan nada rendah ia berkata, "Marilah Ki
Sanak. Kita teruskan permainan ini."
Kedua orang lawannya yang marah itu segera bersiap. Mereka
berada di dua arah. Dengan serentak mereka telah berloncatan menyerang.
18 SH. Mintardja Namun Gandar bergerak lebih cepat. Ternyata serangan
keduanya tidak mengenai sasarannya. Sementara itu Gandar
telah meloncat dan justru sambil mengayunkan ikat pinggangnya.
Yang terdengar seorang di antara kedua lawannya itu
mengaduh. Ikat pinggang Gandar itu mengenai punggungnya.
Terasa betapa nyerinya. Namun yang terasa di punggung lawannya itu memang tidak
lebih dari sentuhan selembar kulit sebagaimana yang dilihatnya.
Ikat pinggang yang mengenai punggungnya itu tidak melukainya
sebagaiman sebilah pedang. Tidak pula meretakkan tulangnya
sebagai sepotong besi. Tetapi ikat pinggang itu telah membuat
kulit punggungnya merah melintang selebar ikat pinggang itu
sendiri. Orang yang dikenai ikat pinggang Gandar itu mengumpat. Di
dalam hatinya ia bertanya, "Apakah orang ini tukang sulap yang
dapat mengelabuhi mataku, atau mungkin perasaannku, seolah-
olah ikat pinggangnya dapat menjadi sekeping besi atau sebilah
pedang" Ternyata ketika ikat pinggang itu mengenaiku, maka
sentuhan itu tidak lebih dari sentuhan sebuah ikat pinggang kulit
meskipun terasa pedih juga."
Tetapi orang itu tidak sempat banyak berpikir. Sementara itu
ikat pinggang Gandar telah berputar lagi menyambar-nyambar
sehingga kedua orang lawannya harus berloncatan menghindari
sambil mengayun-ayunkan senjata mereka.
Namun senjata mereka ternyata menjadi tidak banyak
berguna. Jika mereka menyerang dan kemudian mendekati
Gandar sampai jarak jangkau ujung parang mereka, maka justru
ujung ikat pinggang Gandarlah yang mematuk mereka lebih
dahulu. Meskipun tidak menimbulkan luka yang menganga,
tetapi sentuhan ujung ikat pinggang itu terasa sakit sekali.
Bahkan kadang-kadang rasa-rasanya dada mereka telah ditusuk
dengan sebatang linggis. Atau seakan-akan dikenai dan dikoyak
oleh ujung pedang. Namun yang membekas ditubuh mereka
adalah noda-noda merah kebiru-biruan tanpa menitikkan darah.
19 SH. Mintardja Meskipun demikian, darah dibawah kuit daging mereka
seakan-akan telah menjadi bergumpal-gumpal. Biru kehitaman
dan kulit pun membengkak.
Kedua orang lawan Gandar itu berganti-ganti mengaduh
tertahan. Tubuh mereka telah dikenai ikat pinggang kulit itu
sehingga rasa-rasanya tidak ada lagi yang terlampaui, kecuali
pada wajah mereka. Sementara itu, lawan Kiai Badra pun menjadi semakin
terdesak pula. Pangkal landean tunggul itu ternyata mematuk
terlalu cepat untuk dihindari atau ditangkis dengan senjata.
Setiap kali terasa pangkal landean tunggul itu bagaikan
memecahkan tulang. Sekali mematuk pundak, lengan, punggung,
kemudian menyambar rusuk dan bahkan seorang di antara lawan
Kiai Badra telah kehilangan ikat kepalanya tersentuh pangkal
landean tunggul itu. Untunglah bahwa Kiai Badra memang tidak
ingin memecahkan tulang kepalanya.
Dengan demikian maka keempat orang yang ingin merampas
tunggul itu pun akhirnya telah kehilangan harapan. Dengan
putus asa mereka berkelahi. Namun mereka sama sekali tidak
dapat menghindari sentuhan-sentuhan pangkal landean tunggul
di tangan Kiai Badra dan ikat pinggang kulit Gandar. Semakin
lama maka sentuhan-sentuhan itu pun menjadi semakin sering,
sehingga tubuh keempat orang yang berkelahi melawan Kiai
Badra dan Gandar itu pun menjadi semakin kesakitan.
Orang yang bertubuh tinggi besar dan berjambang lebat itu
pun tidak melihat lagi kemungkinan apalagi untuk memenangkan
perkelahian itu, merampas tunggul dan kemudian membunuh
pembawanya, sedangkan untuk mempertahankan diri pun
keempat orang itu sudah merasa bahwa tidak mungkin untuk
melakukannya. Karena itu, bagi orang berjambang lebat itu tidak ada pilihan
lain yang dapat dilakukan kecuali melarikan diri. Karena itu,
maka ia pun segera mempersiapkan diri untuk melakukannya.
20 SH. Mintardja Untuk mengacaukan kedua orang pembawa tunggul itu maka
keempat orang itu harus bersama-sama melarikan diri ke arah
yang berbeda. Untuk itu orang bertubuh tinggi besar itu tidak
perlu memberitahukannya. Mereka sudah mengerti, apa yang
harus mereka lakukan jika mereka terpaksa melarikan diri.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, orang bertubuh
tinggi besar itu pun telah memberikan isyarat. Dari mulutnya
terdengar semacam suitan nyaring, sehingga ketiga orang
kawannya pun segera menyadari, bahwa tidak ada pilihan lain
bagi mereka daripada melarikan diri.
Dalam sekejap maka keempat orang itu pun telah melakukan
ancang-ancang. Demikian cepat, sehingga sejenak kemudian
mereka telah berloncatan ke arah yang berbeda untuk menguji
nasib mereka masing-masing. Siapa yang selamat dan dapat tetap
hidup adalah orang yang bernasib baik, sementara yang bernasib
buruk tentu akan diburu dan harus mati ditepian itu.
Namun perhitungan mereka ternyata keliru. Ternyata keempat
orang itu tidak sempat meninggalkan arena. Demikian mereka
meloncat lari, maka punggung mereka pun bagaikan terasa patah.
Dua orang yang berkelahi melawan Gandar, terasa hentakan yang
luar biasa kuatnya pada punggung mereka. Seleret kekuatan yang
mengenai punggungnya membuat keduanya terpelenting dan
jatuh di pasir tepian. Ketika mereka berusaha untuk bangkit, maka yang terdengar
adalah keduanya menyeringai kesakitan.
Sementara itu, dua orang yang lain, yang bertempur melawan
Kiai Badra pun tidak sempat melarikan diri. Rasa-rasanya seorang di antara mereka
telah terpatuk tulang punggungnya sehingga bagaikan patah.
Sedangkan yang lain, pangkal landean tunggul itu justru telah
mengetuk tengkuknya sehingga orang itu terjerembab jatuh
menelungkup di pasir tepian. Wajahnya menyuruk ke dalam pasir
sementara tengkuknya bagaikan membengkak sebesar
genggaman tangan. 21
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
SH. Mintardja Ternyata bahwa orang itu pun tidak mampu lagi untuk bangkit
dan berdiri sehingga dengan demikian maka keempat orang itu
pun kehilangan kemungkinan untuk melepaskan diri dari tangan
kedua orang yang membawa tunggul itu.
Sejenak kemudian Kiai Badra dan Gandar berdiri termangu-
mangu. Keempat orang yang akan merampas tunggul itu sama
sekali tidak berdaya. Karena itu, maka mereka dengan lemahnya
menjadi pasrah atas perlakuan yang akan mereka terima dari
kedua orang yang akan dirampoknya itu.
"Marilah," berkata Kiai Badra. "Jika kalian memang laki-laki
pilihan, berusahalah untuk merampas tunggul ini. Tunggul ini
memang sangat berharga. Bukan hanya karena tunggul ini mengandung emas dan
berlian, tetapi dengan tunggul ini kalian akan dapat mengalahkan
siapapun juga, karena orang yang membawa tunggul ini tidak
akan terkalahkan siapapun lawannya. Karena itulah aku
memastikan bahwa kami berdua tentu akan dapat mengalahkan
kalian berempat. Jangankan berempat, melawan sepuluh orang pun kami tidak
akan gentar, karena batas kemenangan tunggul ini memang
selupuh orang." Keempat orang itu sama sekali tidak menjawab. Namun
mereka berusaha untuk dapat bangkit dan duduk di atas pasir
tepian betapapun tubuh mereka merasasakit.
"Jika kalian sudah tidak mau melawan, maka sampailah
saatnya kami memberikan pertanda kemenangan kami," berkata
Kiai Badra. Keempat orang itu termangu-mangu.
Bahkan yang seorang di antara mereka bertanya, "Apakah
pertanda kemenangan itu.".
"Bagi seorang laki-laki pertanda kemenangan dalam
perkelahian adalah kematian lawannya. Karena itu bersiaplah,
kami akan membunuh kalian," berkata Kiai Badra.
22 SH. Mintardja "O," ternyata seorang yang lain memohon, "Kami mohon
ampun." Tetapi Kiai Badra tertawa. Katanya, "Kau minta ampun,"
Apakah kau tahu artinya, bahwa seorang laki-laki minta ampun?"
Orang itu menggeleng. Sementara Kiai Badra menyahut,
"Pengecut. Laki-laki yang mengelakkan diri dari kematian dalam
pertempuran adalah pengecut."
Keempat orang itu menjadi bingung. Mereka benar-benar
putus asa dan tidak berpengharapan lagi. Apalagi ketika Gandar
melangkah maju mendekati mereka.
Dengan nada berat ia berkata, "Aku meminjam parang kalian.
Yang manakah yang paling tajam dan yang manakah yang kira-
kira dapat dipergunakan untuk sekaligus memenggal leher kalian
agar kalian tidak terlalu tersiksa menjelang kematian kalian."
Keempat orang itu menjadi gemetar. Namun karena itu, maka
Kiai Badra dan Gandar dapat menebak, bahwa mereka benar-
benar perampok. Mereka bukan prajurit Jipang yang berpura-
pura menjadi perampok, karena prajurit Jipang tidak akan
bersikap demikian. Karena itu, maka dengan nada tinggi Kiai Badra bertanya, "He,
apakah benar-benar kalian minta ampun."
Keempat orang itu saling berpandangan. Seorang di antara
mereka menjawab, "Ya Ki Sanak. Kami minta ampun."
"Jadi kalian minta tidak dibunuh?" bertanya Kiai Badra.
"Ya. Kami mohon," jawab seorang di antara mereka.
Kiai Badra pun kemudian mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Tetapi yang kami cemaskan adalah bahwa dengan
menghidupi kalian, kami masih akan memberi kesempatan
kepada kalian untuk merampok. Mungkin orang lainlah yang
akan menjadi korban. Jika aku menghindarkan diri dari
membunuh empat orang sekarang ini disini, mungkin pada
23 SH. Mintardja kesempatan-kesempatan lain kau akan membunuh jauh lebih
banyak dari empat orang."
"Tidak. Kami berjanji," desis orang yang bertubuh tinggi besar.
"Apa artinya janji bagi kalian," geram Kiai Badra.
Keempat orang itu menjadi bingung. Tetapi mereka tidak
dapat menyalahkan, bahwa mereka sudah tidak dapat lagi
mendapat kepercayaan dari siapapun juga karena tingkah laku
mereka. Meskipun demikian orang itu masih berusaha, "Kami
bersumpah." "Bagaimana mungkin kami dapat mempercayai kalian,"
berkata Kiai Badra. Namun kemudian, "Tetapi baiklah. Kami
akan mencoba mempercayai kalian. Tetapi kami harus pernah
melihat rumah kalian. Keluarga kalian dan cara hidup kalian."
Wajah keempat orang itu menegang. Namun sementara itu
Kiai Badra berkata, "Jika kalian berkeberatan, maka biarlah
kalian kami selesaikan. Persoalannya tidak akan berkepanjangan,
dan kalian tidak akan memungut korban lagi. Baik harta benda
dan apalagi nyawa." Dengan demikian, maka keempat orang itu tidak dapat
menolak. Orang yang membawa tunggul itu akan melihat rumah
mereka. Setelah menutup kembali tunggul yang dibawanya dengan
selongsongnya, maka Kiai Badra dan Gandar telah mengikuti
keempat orang yang masih sangat lemah itu.
Tulang-tulang mereka terasa terlepas dari sendi-sendinya.
"Kita pergi ke rumahmu," desis Kiai Badra kepada orang yang
bertubuh tinggi besar itu.
Wajah orang itu menjadi sangat tegang. Katanya, "Rumahku
adalah yang paling jauh. Kenapa tidak ke rumah kawanku ini?"
24 SH. Mintardja "Tidak," jawab Kiai Badra. "Kami berdua ingin pergi ke
rumahmu." Orang itu menjadi bingung. Tetapi Kiai Badra berkata, "Jika
kau menolak, itu berarti bahwa kau tidak berkata dengan jujur,
sehingga aku tidak yakin bahwa kau benar-benar tidak akan
melakukan lagi. Karena itu, maka bagi kami lebih baik
membunuh kalian." Wajah orang itu menjadi pucat.
"Jawab," geram Gandar. "Kau bersedia membawa kami ke
rumahmu atau tidak?"
Orang itu tidak dapat mengelak. Karena itu, maka mereka pun
kemudian berjalan menuju ke rumah orang yang bertubuh tinggi
besar itu. Nampak keragu-raguan sekali telah mengekang perjalanan
orang itu. Tetapi dengan demikian Kiai Badra justru ingin tahu,
kenapa orang itu berkeberatan jika ia pergi ke rumahnya. Tentu
bukan karena orang itu tidak ingin diketahui rumahnya, tetapi
agaknya ada sebab lain. Ketika mereka memasuki padukuhan tempat tinggal orang itu,
padukuhan itu telah sepi. Cahaya obor disana-sini nampak
menerangi regol. Tetapi pada umumnya jalan-jalan di padukuhan
itu nampak gelap. Keempat orang itu berjalan dengan langkah yang tertegun-
tegun diikuti oleh Kiai Badra dan Gandar. Namun mereka
ternyata tidak dapat berbuat lain kecuali membawa kedua orang
itu ke rumah orang yang bertubuh tinggi besar dan berjambang
lebat itu. Sejenak kemudian, orang yang bertubuh tinggi besar itu pun
berhenti. Ia nampak gelisah. Kemudian katanya kepada Kiai
Badra, "Ki Sanak. Apakah kalian cukup melihat rumahku dari
luar?" "Tidak," jawab Kiai Badra. "Aku ingin menjadi tamumu. Aku
ingin berbicara dengan anak istrimu."
25 SH. Mintardja Wajah orang bertubuh tinggi besar itu menjadi semakin
tegang. Namun Kiai Badra yang menjadi semakin ingin tahu itu
pun berkata, "Jika kau keberatan, maka seperti yang telah aku
katakan. Kita kembali ke tepian, dan kalian tidak akan pernah
pulang." Orang bertubuh tinggi besar itu menarik nafas dalam-dalam.
Kawan-kawannya memandanginya dengan perasaan yang aneh di
wajah mereka. Namun Kiai Badra dan Gandar justru semakin ingin
mengetahui, apakah sebabnya orang itu menjadi gelisah.
Orang yang bertubuh tinggi besar itu benar-benar tidak dapat
mengelak. Selangkah demi selangkah, akhirnya mereka pun
sampai ke regol sebuah halaman yang luas.
Dengan ragu-ragu orang itu berkata, "Inilah rumahku."
Kiai Badra dan Gandar termangu-mangu. Sementara itu orang
yang bertubuh tinggi besar itu perlahan-lahan dengan penuh
keseganan membuka pintu regol yang tidak diselarak.
Kiai Badra dan Gandar terkejut. Ternyata disebelah halaman
yang luas itu berdiri sebuah rumah yang besar dan nampak kokoh
dan kuat. Terbuat dari kayu pilihan dengan garapan yang sangat
bagus. Orang bertubuh tinggi besar itu termangu-mangu. Namun
akhirnya ia mengangguk sambil menjawab, "Ya. Ini rumahku."
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Di edarkan
pandangan matanya ke sekelilingnya. Dilihatnya kandang di
halaman samping agak ke belakang. Menilik besarnya, maka
tentu ada beberapa ekor ternak di dalam kandang itu. Sementara
itu terdengar pula ringkik kuda disebelahnya.
"Aku tak mengira," desis Kiai Badra. Namun kemudian ia
berkata, "Tetapi jangan mencoba menipu kami. Kau tahu, bahwa
kami berdua dapat berbuat jauh lebih banyak dari yang telah
kami lakukan." 26 SH. Mintardja "Sama sekali tidak," berkata orang bertubuh tinggi besar itu.
"Kami sama sekali tidak akan menjebakmu. Bahkan seandainya
kalian mengurungkan niat kalian untuk masuk ke dalam
rumahku, aku sangat berterima kasih."
"Sikapmu justru mendorong aku untuk semakin ingin
memasuki rumahmu yang besar ini. Aku memang hampir tidak
percaya bahwa rumah ini adalah rumah seorang penyamun.
Sepantasnya rumah ini adalah rumah seorang Kepala Tanah
Perdikan sebagaimana rumah Kepala Perdikan di Sembojan,"
berkata Kiai Badra. Orang bertubuh tinggi besar itu tidak menjawab. Namun
kemudian dengan terpaksa sekali ia membawa Kiai Badra dan
Gandar naik ke pendapa. "Silakan duduk," berkata orang bertubuh tinggi besar itu.
Tetapi Kiai Badra justru menjadi sangat berhati-hati
menghadapi orang yang bertubuh tinggi besar itu. Karena itu,
maka katanya kepada Gandar, "Kau duduk disini bersama ketiga
orang kawannya. Aku akan ikut ke ruang dalam."
Wajah orang bertubuh tinggi itu menjadi semakin tegang.
Tetapi dengan pangkal landean tombaknya, Kiai Badra
menyentuh punggungnya sambil berkata, "Kau tahu, bahwa
selama ini aku hanya mempergunakan pangkalnya. Meskipun
tunggul pada dasarnya bukan senjata, tetapi kau sudah melihat bahwa ujung
dari tunggul ini berbentuk cakra. Dengan kemampuan tersendiri,
maka cakra ini akan dapat memenggal lehermu dengan sekali
sentuh, tanpa membuka selongsongnya lebih dahulu, meskipun
demikian aku harus mengganti selongsongnya dengan yang baru.
Wajah orang bertubuh tinggi itu menjadi pucat. Di bawah
cahaya lampu minyak, maka nampak betapa keringat membasahi
keningnya. "Marilah," berkata Kiai Badra.
27 SH. Mintardja Orang itu tidak dapat berbuat lain. Ia pun kemudian perlahan-
lahan mengetuk pintu rumahnya.
Namun sebelum pintu itu dibuka, maka orang itu pun
berdesis, "Ki Sanak. Apakah aku boleh mengajukan satu
permohonan?" "Apa?" bertanya Kiai Badra.
Orang itu memandang ketiga orang kawannya yang duduk
bersama Gandar di pendapa itu. Lalu katanya, "Jangan sebut-
sebut apa yang telah aku lakukan."
Kiai Badra mengerutkan keningnya. Lalu dengan nada tinggi
ia bertanya, "Kenapa?"
"Aku mohon Ki Sanak jangan mengatakan kepada istriku, apa
yang telah aku lakukan dan sebagaimana kau ketahui, apa
kerjaku selama ini," wajah orang itu benar-benar menjadi
memelas. "Aku kurang mengerti," berkata Kiai Badra.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Ki Sanak. Baiklah aku berterus terang. Selama ini
istriku tidak mengetahui siapakah aku sebenarnya. Ia
menganggap aku seorang pedagang yang sangat berpengaruh. Ia
menganggap aku menjadi kaya karena pekerjaanku itu.
Bukan sebagai seorang perampok. Ia berbangga dengan aku
sebagai suaminya, karena aku adalah seorang pedagang yang
bekerja keras tetapi yang dianggapnya dengan jujur. Hasil yang
aku peroleh ini pun telah memberikan kebanggaan kepadanya.
Bukan saja istriku, tetapi juga mertuaku berbangga atas
kerjaku. Mertuaku adalah Demang di Kademangan ini. Kau dapat
membayangkan, apa yang akan terjadi atasku jika istriku
akhirnya mengetahui bahwa aku adalah seorang perampok."
Wajah Kiai Badra menegang sejenak. Lalu katanya, "Bukan
main. Jadi ternyata kau adalah ular berwajah rangkap."
"Aku mohon Ki Sanak dapat mengerti," desis orang itu.
28 SH. Mintardja Kiai Badra tidak menjawab. Tetapi ialah yang kemudian justru
mengetuk pintu semakin lama semakin keras.
Sejenak kemudian terdengar suara seorang perempuan di
dalam, "Siapa itu?"
"Jawab," desis Kiai Badra.
Orang bertubuh tinggi besar itu ragu-ragu. Namun kemudian
ia pun menjawab, "Aku."
Perempuan di dalam rumah itu sudah mengenal betul suara
suaminya. Karena itu, maka ia pun tidak bertanya lebih lanjut.
Yang kemudian terdengar dari luar adalah langkah perempuan
mendekati pintu. Sejenak kemudian maka pintu itu pun terbuka. Seorang
perempuan berdiri termangu-mangu di pintu. Sekali-sekali ia
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menatap suaminya namun kemudian ditatapnya wajah Kiai
Badra, orang yang belum pernah dikenalnya.
"Ini tamuku," suaminya itu mencoba tersenyum.
"O," istrinya mengangguk-angguk. Tetapi ia merasa heran,
biasanya tamu-tamu suaminya dipersilakannya duduk di
pendapa. Namun ketika ia menjenguk pendapa, dilihatnya beberapa
orang sudah duduk di atas tikar pandan yang putih.
Istrinya justru menjadi ragu-ragu, apakah yang harus
dilakukan. Namun suaminyalah yang kemudian berkata,
"Tamuku yang seorang ini membawa dagangan yang khusus. Aku
ingin mempersilakannya duduk di dalam."
"O," istrinya kemudian bergeser, "Silakan."
"Terima kasih," jawab Kiai Badra yang kemudian melangkah
masuk. Keduanya pun kemudian duduk di ruang dalam, sementara
istrinya meninggalkan mereka dan kembali ke dalam biliknya.
29 SH. Mintardja "Ia sedang menyusui. Anak kami yang kedua baru berumur
lima bulan," berkata orang bertubuh tinggi besar itu.
"Untunglah, ia tidak melihat wajahmu yang bernoda kebiru-
biruan itu," berkata Kiai Badra. Orang itu hanya menundukkan
kepalanya saja. Di wajahnya terbayang gejolak perasaannya yang
melonjak-lonjak. Bahkan kemudian dengan nada penyesalan
yang sangat dalam ia berkata, "Aku mohon Ki Sanak. Barangkali
lebih baik aku kau bunuh saja ditepian tetapi dengan kesan yang
lain dari kematian seorang perampok."
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ki Sanak.
Kau telah melakukan satu kesalahan. Kesalahan yang sangat
besar. Seharusnya kau dihukum sangat berat karena kau telah
melakukan perampokan dan barangkali kau telah pernah
melakukan pembunuhan."
"Tidak Ki Sanak," jawab orang itu dengan serta merta. "Aku
tidak melakukan pembunuhan. Biasanya orang-orang yang aku
datangi menjadi ketakutan dan dengan begitu saja menyerahkan
segala yang aku minta."
"Apakah kau berkata sebenarnya?" bertanya Kiai Badra.
"Aku berkata sebenarnya," jawab orang itu. Bahkan kemudian
katanya, "Ki Sanak. Aku mempunyai banyak simpanan. Yang
sudah diketahui maupun yang belum diketahui oleh istriku. Jika
Ki Sanak memerlukan, bawa barang-barang itu. Apalagi yang
belum diketahui oleh istriku."
"Jadi kau telah memberikan barang-barang hasil rampokan itu
kepada istrimu?" bertanya Kiai Badra.
"Tidak. Yang diketahui oleh istriku tentu barang-barang yang
aku beli. Tetapi uangnyalah yang aku dapat dari hasil kerja
ini,"jawab orang itu. "Sedangkan barang-barang yang aku
dapatkan itulah yang aku simpan tanpa sepengetahuan istriku."
"Ki Sanak," berkata Kiai Badra. "Jika kau menyesali
perbuatanmu, aku tidak akan mengatakan pekerjaanmu ini
kepada istrimu. Tetapi jika ternyata masih terjadi perampokan di
30 SH. Mintardja daerah ini, siapapun yang melakukannya, maka aku akan
mengambil langkah-langkah untuk mempersoalkannya dengan
istrimu dan dengan mertuamu. Demang di daerah ini."
"Aku berjanji Ki Sanak. Aku akan menyesali perbuatanku dan
untuk selanjutnya aku akan berhenti melakukannya," jawab
orang itu. "Lalu barang-barang yang kau sembunyikan?" bertanya Kiai
Badra. "Aku tidak mengerti. Barang-barang itu sebaiknya diapakan,"
desis orang itu. "Sejauh dapat dikenali pemiliknya, barang itu sebaiknya
dikembalikan," berkata Kiai Badra.
"Tetapi dengan cara bagaimana agar tidak justru menjerat
leherku sendiri," berkata orang itu.
"Kau dapat mencari cara. Sementara itu kau dapat
menyembunyikannya. Pada suatu saat, jika kau mendapatkan
jalan yang paling baik, lakukanlah," berkata Kiai Badra.
"Jadi Kiai tidak akan mengatakan pekerjaanku sekarang
kepada istriku, apalagi kepada mertuaku?" bertanya orang itu.
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia
berkata, "Bagaimanapun juga kau harus mendapat hukuman.
Tetapi baiklah. Untuk sementara aku tidak akan mengatakannya.
Meskipun demikian seperti yang kau sudah aku katakan, jika di
daerah ini masih terjadi perampokan, maka yang pertama-tama
akan aku datangi adalah kau.
"Baiklah. Aku berjanji. Aku akan berbicara dengan kawan-
kawanku," berkata orang itu.
"Nah, baiklah," berkata Kiai Badra. "Mudah-mudahan kau
menepati janjimu agar aku tidak perlu berbuat sesuatu
lagi.?"Baiklah Ki Sanak," orang itu termangu-mangu.
31 SH. Mintardja "Untuk kebaikan hatimu aku mengucapkan terima kasih.
Tetapi siapakah sebenarnya Ki Sanak yang membawa tunggul
ini?" "Siapa pun aku. Tetapi tunggul ini adalah tunggul Kadipaten
Pajang," berkata Kiai Badra. "Justru dalam kemelut seperti ini
kau telah melakukan perbuatan tercela. Apakah kau tidak
mendengar bahwa prajurit Jipang sudah ada diperbatasan"
Sementara prajurit Pajang mempersiapkan diri menghadapinya,
maka kau dan kawan-kawanmu berbuat kejahatan. Memang
dalam keadaan seperti ini kau mendapat kesempatan yang lebih
leluasa karena para prajurit memusatkan perhatiannya kepada
persoalan yang timbul antara Pajang dan Jipang. Namun justru
dalam keadaan seperti ini kau harus membantu memecahkan
persoalan." Orang itu mengangguk-angguk.
"Nah, renungkan. Apakah yang dapat kau berikan kepada
Pajang untuk menegakkannya, justru ketika Pajang dikepung
oleh Jipang. Bukan sebaliknya," berkata Kiai Badra.
Orang bertubuh tinggi besar itu merenung. Tetapi nampak
keragu-raguan membayangi wajahnya. Agaknya ada sesuatu yang
ingin dikatakannya. Namun ditahankannya ditengah
tenggorokan. "Ki Sanak," berkata Kiai Badra yang menangkap keragu-
raguan itu, "Apakah masih ada yang ingin kau katakan?"
Orang bertubuh tinggi besar itu tidak segera menjawab.
Karena itu, maka Kiai Badra mendesaknya, "Katakanlah jika
masih ada persoalan. Apapun juga. Baik atau tidak baik.
Menguntungkan atau tidak. Justru dengan mengenali
persoalannya kita akan dapat mencari jalan pemecahan."
Orang itu memandang ke arah pintu. Dengan nada berat ia
berkata, "Ki Sanak. Sebenarnya satu di antara kawan-kawanku
memang berhubungan dengan orang-orang Jipang."
"He!" Kiai Badra terkejut, "Dalam hal apa?"
32 SH. Mintardja "Orang-orang Jipanglah yang mendorongnya untuk
melakukan pekerjaan seperti ini di tlatah Pajang. Memang
alasannya agak berbeda dengan alasanku. Namun akhirnya kami
dapat bekerja bersama," jawab orang itu.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Siapakah yang
lebih berpengaruh di antara kalian. Kau atau orang itu?"
Orang yang bertubuh tinggi besar itu berkata, "Kawan-
kawanku yang lebih percaya kepadaku."
"Tetapi kawan-kawanmu yang lain apakah juga mengetahui
bahwa kawanmu yang seorang itu berhubungan dengan orang-
orang Jipang?" berkata Kiai Badra.
"Ya, mereka mengetahui. Dan mereka pun menyadari bahwa
justru dalam kemelut seperti ini, kami dapat melakukan
pekerjaan kami dengan lebih baik," jawab orang itu.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya bukan
hanya kawanmu itu. Di daerah lain tentu ada juga kelompok-
kelompok yang dibujuknya untuk membuat kekalutan di daerah
Pajang. Karena dengan demikian, maka mereka akan dapat
memperlemah kedudukan Pajang dalam satu segi. Nah, karena
itu terserah kepadamu. Jika kau benar-benar ingin menyesali
kesalahanmu dan agar aku tidak berhubungan dengan Ki
Demang, maka kau harus dapat menghentikan pokal kalian.
Apalagi jika hal itu ada hubungannya dengan orang-orang Jipang.
Jika kau tidak dapat melakukannya, maka kau tentu akan
menyesal." "Baiklah. Aku akan berusaha," jawab orang itu.
"Jika demikian, kali ini aku tidak akan mengatakannya kepada
istrimu dan mertuamu. Kau masih dapat mempertahankan
wibawamu. Tetapi sementara itu kau harus mencari jalan
pemecahan tentang barang-barang yang sudah telanjur kau
simpan. Sementara itu kau pun harus dapat mengendalikan
kawan-kawanmu. Jika tidak maka barang-barang yang tentu
dipunyai juga oleh kawan-kawanmu itu dapat membahayakan
kedudukanmu. Jika seorang saja di antara kawan-kawanmu yang
33 SH. Mintardja tertangkap, maka orang itu tentu akan menyebut namamu. Maka
hancurlah martabatmu dihadapan Ki Demang dan dihadapan
orang-orang Kademangan ini," berkata Kiai Badra.
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun
mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti. Meskipun baru sekarang hal ini
terpikirkan olehku."
"Baiklah. Biarlah aku meneruskan perjalanan kali ini," berkata
Kiai Badra."Ki Sanak. Hari sudah terlalu malam untuk
melanjutkan perjalanan. Sebaiknya Ki Sanak bermalam disini
saja," berkata orang itu. "Biarlah aku berbicara dengan kawan-
kawanku." Kiai Badra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Baiklah. Terima kasih. Aku terima tawaranmu."
"Marilah. Biarlah Ki Sanak beristirahat di gandok bersama
kawan Ki Sanak itu," berkata orang bertubuh tinggi besar itu.
"Aku akan menjelaskan persoalannya kepada kawan-kawanku.
Mudah-mudahan mereka dapat mengerti."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih atas
kesempatan ini." Orang bertubuh tinggi besar itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian ia pun mempersilakan Kiai Badra untuk ke luar
pendapa. Kiai Badra pun kemudian duduk bersama Gandar dan tiga
orang kawan orang bertubuh tinggi besar itu. Sementara itu,
pemilik rumah itu telah berkata kepada istrinya, bahwa dua orang
tamunya akan bermalam di rumah itu.
"Suruhlah seseorang merebus air untuk mereka malam ini.
Jika masih ada nasi, suguhilah mereka makan. Agaknya mereka
memang belum makan malam," berkata orang yang bertubuh
tinggi itu. 34 SH. Mintardja Istrinya pun kemudian pergi ke dapur. Dibangunkannya
seorang pelayannya dan disuruhnya memanasi air.
Orang yang besar itu pun kemudian mempersilakan Kiai
Badra dan Gandar bermalam di gandok, sementara ia minta
kawan-kawannya untuk tinggal.
Sepeninggalan Kiai Badra yang membawa tunggulnya ke bilik
yang disediakan untuknya bersama Gandar, maka pemilik rumah
itu pun telah berbincang dengan ketiga orang tamunya yang lain,
kawan-kawannya melakukan tugas-tugas rahasianya.
"Ternyata keduanya bukan orang-orang kasar dan apalagi
pembunuh," berkata orang yang bertubuh tinggi itu. "Ternyata
kita mendapat kesempatan untuk hidup meskipun kita sudah
mengancam untuk membunuh mereka.
Kawannya mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka
bergumam," Kita wajib berterima kasih."
"Ya. Kita wajib berterima kasih. Selebihnya ternyata ia sudah
berbuat lebih baik daripada sekadar tidak membunuh. Ia telah
memenuhi permintaanku untuk tidak mengatakan kepada istri
dan mertuaku, apa kerja kita sebenarnya," berkata pemilik rumah
itu. "Jadi ia tetap berdiam diri?" bertanya kawannya.
"Ya. Ia bersedia untuk memenuhi permintaanku, meskipun
dengan syarat," jawab orang bertubuh tinggi itu.
Ketiga orang kawannya itu menjadi semakin bersungguh-
sungguh. Salah seorang di antaranya bertanya, "Syaratnya apa?"
"Aku harus menghentikan kerja ini. Jika aku masih
melakukannya maka rahasiaku akan diberitahukannya kepada
istri dan lebih-lebih lagi kepada mertuaku," jawab orang
bertubuh tinggi itu. Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Lalu katanya,
"Jadi kau harus berhenti dengan kerja ini?"
"Bukan hanya aku, tetapi kita," jawab pemilik rumah itu.
35 SH. Mintardja Kawan-kawannya termangu-mangu sejenak. Namun seorang
di antara mereka menyahut, "Kerja ini sudah memberikan
kenikmatan kepada kita meskipun kau sendiri belum terlalu lama
terlibat di dalamnya. Tetapi sama sekali tidak terpikir olehku
untuk menghentikannya."
"Jika kita tidak mau berjanji untuk menghentikan kerja ini,
maka kedua orang itulah yang akan menghentikannya," jawab
orang bertubuh tinggi itu.
"Bagaimana ia menghentikan kerja kita," bertanya kawannya.
"Tidak terlalu sulit bagi mereka. Membunuh kita," jawab orang
bertubuh tinggi besar itu. Lalu katanya, "Bukankah tubuh kita
sekarang sudah babak belur" Jika kau sempat memperhatikan
tubuhmu, maka kau akan melihat bahwa dengan mudah
sebenarnya mereka dapat membunuh kita."
"Kita mengiakannya saja," berkata seorang di antara mereka,
"Tetapi jika mereka telah pergi maka mereka tidak akan
menghalangi lagi kerja yang menarik ini. Sekadar menakut-
nakuti orang dan kita akan mendapat hasil yang banyak sekali,
meskipun sekali-kali kita juga kecewa, karena yang dimiliki
seseorang tidak sebanyak yang kita duga. Apalagi saat seperti ini.
Para prajurit tidak sempat memperhatikan polah tingkah kita,
karena mereka sedang berhadapan di perbatasan."
"Tidak," jawab orang yang bertubuh tinggi besar itu. "Aku
sudah berjanji. Dan sebenarnyalah aku menjadi sadar apa arti
kerja kita selama ini, justru pada saat Pajang sedang berada
dalam bahaya."
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi kawannya justru tertawa. Katanya, "Sejak kapan kau
ingat jadi pahlawan. He, bukankah dengan kerja yang selama ini
kita lakukan, kau dan kita semuanya dapat menyimpan harta
benda yang akan dapat kita pergunakan untuk menghidupi anak
cucu kita?" "Aku tidak ingin jadi pahlawan. Tetapi ayah mertuaku adalah
seorang Demang yang berada di bawah perintah Pajang. Karena
itu, biarlah aku menghentikan kerja ini. Tidak usah menjadi
36 SH. Mintardja pahlawan dan tidak perlu pula mencampuri persoalan Pajang dan
Demak termasuk Jipang," berkata orang bertubuh tinggi besar
itu. Namun kawannya itu pun menjawab, "Tidak mungkin bagiku.
Aku sudah berjanji untuk bekerja bersama dengan dua orang
saudaraku yang menjadi prajurit Jipang. Bukankah hal ini sudah
kau ketahui" Kedua saudaraku adalah perwira pada pasukan
Jipang yang kini bergabung dengan pasukan Tanah Perdikan
Sembojan. Bukankah aku pernah menceriterakannya
kepadamu?" "Ya. Tetapi bukankan kita dapat mengakhirinya?" sahut orang
bertubuh tinggi besar itu. "Katakan kepada kedua orang perwira
itu pada suatu saat jika kau bertemu, bahwa kau terpaksa
menghentikan kerja itu karena kau merasa tidak sanggup lagi.
Atau katakan bahwa kau sedang sakit atau alasan-alasan lain."
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, "Aku tidak ingin
melakukannya. Apalagi kedua orang saudaraku itu sekarang ada
disini. Ia dapat menengokku selagi mereka masih sempat. Jika
pertempuran itu mulai, maka mereka tidak akan sempat datang
berkunjung dan mengambil hadiah yang dapat aku berikan
kepada mereka dari hasil kerja ini. Bahkan kedua saudaraku itu
datang bersama seorang kawannya, perwira yang lebih tinggi
pangkatnya." Wajah orang bertubuh tinggi itu menjadi tegang. Katanya,
"Jangan begitu. Aku harap kau dapat mengerti. Bukankah nyawa
kita sekarang ini seakan-akan hanya nyawa pinjaman?"
"Kenapa nyawa pinjaman?" bertanya kawannya.
"Jika orang itu berniat membunuh kita, maka kita tentu sudah
mati. Dan dengan demikian kita memang tidak akan dapat
melanjutkan kerja kita yang binal ini," jawab orang yang
bertubuh tinggi besar itu.
Tetapi kawannya justru tertawa. Katanya, "bukan salah kita
jika mereka tidak membunuh kita. Nah, aku minta kepadamu,
jangan berpaling dari kerja ini."
37 SH. Mintardja Tetapi orang bertubuh tinggi besar itu berkata keras, "Kau
tahu siapa aku" Kau tahu batas kemampuan yang ada pada diri
kita masing-masing" Dan karena itu, maka jika bukan kedua
orang itu, maka aku dapat membunuhmu."
Wajah orang itu menjadi tegang. Namun kemudian katanya,
"Kau akan berbuat demikian?"
"Jika perlu aku dapat berbuat seperti itu," jawab orang
bertubuh tinggi besar itu.
Kawannya mengerutkan keningnya. Dipandanginya kedua
orang kawan yang lain yang ada di pendapa itu pula. Namun
nampaknya mereka sedang dalam kebimbangan juga.
"Pikirkan," berkata orang bertubuh tinggi besar itu. "Agaknya
masih ada waktu. Besok atau lusa, aku ingin mendengar
keputusanmu." Orang itu tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia berkata,
"Baiklah. Sekarang aku akan pulang. Aku akan memikirkannya."
Ketiga orang kawannya itu pun kemudian minta diri. Ketika
mereka bangkit berdiri, maka masih terasa tulang-tulang mereka
yang seakan-akan berpatahan.
Sambil menyeringai menahan nyeri maka ketiga orang itu
meninggalkan rumah kawannya yang sedang menerima dua
orang tamu yang gagal mereka rampok di tepian.
Demikian ketiganya ke luar dari regol halaman rumah itu,
orang yang berhubungan dengan perwira Jipang itu berkata,
"Persetan dengan igauan orang itu. Aku akan dapat
mengacaukannya, jika ia berhenti dari kerja ini, aku justru akan
melaporkannya kepada mertuanya, Ki Demang."
Seorang di antara mereka mengangguk-angguk. Jawabannya,
"Kau benar. Kita dapat mengancamnya. Dan orang itu tidak akan
berani menolak lagi rencana kita."
"Tetapi mungkin ia mengambil langkah-langkah lain," jawab
kawannya yang lain. 38 SH. Mintardja "Apa?" bertanya orang yang berhubungan dengan Jipang itu.
"Membunuh kita. Karena aku yakin orang itu memang akan
mampu melakukannya. Kita mengenalnya dan mengenal
ilmunya. Meskipun dihadapan orang yang membawa tunggul itu,
ia pun tidak banyak dapat berbuat apa-apa," jawab kawannya
yang lain. Orang yang berhubungan dengan Jipang itu menggeram,
"Persetan. Tetapi orang itu memang akan dapat membunuh kita.
Ia tidak akan dapat melakukannya lagi jika ia sudah mati."
Kedua kawannya serentak berpaling kepadanya. Seorang di
antara mereka bertanya, "Apa maksudmu?"
Orang yang berhubungan dengan Jipang itu termangu-mangu.
Namun kemudian katanya, "Tidak ada pilihan lain dalam
keadaan seperti ini. Hatinya ternyata mudah goyah.
Kekalahannya oleh orang-orang yang tidak dikenal itu
membuatnya kehilangan pegangan dan dengan mudah berpaling
dari permainan yang menyenangkan ini."
"Ya," seorang di antara kawannya menyahut, "Orang itu
memang tidak mempunyai pendirian."
"Bukan tidak mempunyai pendirian," berkata yang lain.
"Tetapi itu adalah perkembangan sikap seseorang yang memang
mungkin saja terjadi."
"Persetan," geram orang yang berhubungan dengan orang
Jipang itu. "Aku akan menentangnya. Bagaimana dengan kalian?"
"Aku setuju," sahut yang seorang dengan serta merta.
"Bagaimana dengan kau" bertanya orang yang berhubungan
dengan Jipang itu kepada kawannya yang seorang lagi, seorang
yang agak gemuk, tetapi berkepala kecil.
"Tentukan sikap. Kau berpihak kepadaku atau kepada orang
bingung itu." Sejenak orang gemuk itu termangu-mangu. Namun akhirnya
ia berkata, "Aku berpihak kepadamu. Tetapi tolong, beritahu aku
39 SH. Mintardja jika kau akan mengambil langkah-langkah, agar aku dapat
mempersiapkan diri."
"Bagus," jawab orang yang berhubungan dengan Jipang. "Pada
saatnya kita akan bertindak."
Orang bertubuh gemuk itu mengangguk-angguk. Namun ia
kemudian tidak terlalu lama berjalan bersama dengan kedua
orang kawannya. Ketika mereka sampai disimpang empat di
sebuah bulak yang tidak begitu panjang, orang bertubuh gemuk
itu berkata, "Aku akan pulang."
"Ya," jawab kawannya. "Kita masing-masing akan pulang. Kita
tidak akan berbuat apa-apa malam ini."
Dengan demikian maka orang bertubuh gemuk itu pun telah
mengambil jalan yang berbelok ke kiri. Kawan-kawannya pun
mengetahui, bahwa jalan itu adalah jalan yang menuju ke
rumahnya. Namun beberapa langkah kemudian, orang yang berhubungan
dengan Jipang itu berkata kepada kawannya, "Aku curiga kepada
si Kepala Kecil itu."
"Nampaknya ia pun ragu-ragu," jawab kawannya.
"Karena itu, kita tidak akan memberi tahukan langkah-
langkah kita kepadanya. Mungkin ia akan berkhianat. Biarlah ia
dalam keadaannya," berkata orang yang berpihak kepada Jipang
itu. Kawannya mengangguk-angguk. Namun keduanya pun
kemudian bersepakat untuk berbuat sesuatu.
"Kita harus mendahuluinya daripada kita didahuluinya,"
geram orang yang berhubungan dengan perwira-perwira Jipang
itu. Sementara itu, orang yang bertubuh gemuk dan berkepala
kecil itu ternyata tidak langsung pulang ke rumahnya. Hatinya
terasa gelisah karena sikap kedua orang kawannya.
40 SH. Mintardja Karena itu, maka dengan diam-diam ia telah mengambil jalan
setapak dan tidak lagi menuju ke rumahnya, tetapi ia pergi
kembali ke rumah kawannya yang bertubuh tinggi besar,
menantu Ki Demang. Kedatangannya mengejutkan pemilik rumah yang sedang
menjamu makan tamu-tamunya yang bermalam di rumahnya.
"He, kau," orang bertubuh tinggi itu menyapa.Orang gemuk
itu pun kemudian ikut pula duduk di antara mereka.
"Makanlah," orang bertubuh tinggi itu mempersilakan.
Orang bertubuh gemuk itu pun ternyata tidak menolak. Ia pun
ikut pula makan bersama mereka. Namun kemudian katanya,
"Sambil makan, aku akan memberitahukan sesuatu kepadamu."
Orang yang bertubuh tinggi itu termangu-mangu. Namun
kemudian katanya, "Tetapi jangan rusak nafsu makan kita."
"Tidak. Bahkan mungkin akan mendorong kita untuk makan
lebih banyak," berkata orang bertubuh gemuk itu.
"Katakanlah," jawab pemilik rumah itu.
Orang bertubuh gemuk itu pun kemudian menceriterakan apa
yang didengarnya dari pembicaraannya dengan kedua kawannya
yang lain. Sambil menyuapi mulutnya ia kemudian berkata, "Nah,
bukankah dengan demikian kau banyak makan sekarang sebelum
mungkin kau akan diselesaikan oleh mereka?"
"Gila," geram orang bertubuh tinggi besar itu, "Biarlah mereka
berdua bersama-sama mengeroyokku. Justru akulah yang akan
membunuh mereka berdua."
Tetapi orang bertubuh kecil itu memperingatkannya, katanya,
"Ketika aku duduk di pendapa, bukankah ia mengatakan bahwa
sekarang saudara-saudaranya yang menjadi perwira prajurit
Jipang itu ada disini?"
Orang bertubuh tinggi besar itu mengangguk-angguk.
Katanya, "Kepalamu kecil, tetapi kau cedik juga. Aku mengerti
41 SH. Mintardja maksudmu. Mungkin orang itu akan memperalat para perwira
itu. "Ya, mungkin begitu," jawab orang berkepala kecil itu.
"Apa boleh buat. Jika kita harus bertempur menghadapi
mereka, maka kita akan bertempur. He, bagaimana dengan kau?"
bertanya orang bertubuh tinggi besar itu.
"Tentu aku berpihak kepadamu. Aku tidak akan pulang malam
ini, Aku berada disini," jawab orang gemuk berkepala kecil itu.
Orang bertubuh tinggi dan menjadi menantu Ki Demang itu
pun kemudian berkata kepada Kiai Badra, "Ki Sanak. Aku minta
maaf jika mungkin istirahat Ki Sanak agak terganggu. Tetapi
jangan gelisah. Biarlah aku menyelesaikan persoalanku sendiri
dengan kawan-kawanku yang tidak mau menyadari
kekeliruannya. Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Kawanmu itu
agaknya tidak mau mempergunakan pertimbangan nalar sama
sekali. Tetapi aku pun ingin memperingatkanmu. Hati-hatilah.
Mungkin para perwira dari Jipang itu ikut campur. Dan kita tahu,
bahwa para perwira dari Jipang, sebagaimana para perwira
Pajang, memiliki kemampuan yang tinggi."
Orang bertubuh tinggi besar itu berkata, "Mungkin Ki Sanak.
Tetapi apaboleh buat jika memang harus terjadi demikian. Tetapi
dalam keadaan yang demikian, aku berada dalam keadaan yang
mapan. Aku tidak berkelahi sebagai perampok. Jika aku
terbunuh, maka orang-orang justru akan menganggap bahwa
akulah yang sedang dirampok.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Dengan nada ragu ia berkata,
"Apakah ada peronda di Kademangan ini. Anak-anak mudanya
atau katakanlah pengawal Kademangan?"
"Ada, meskipun tidak cukup baik. Tetapi dalam perselisihan
ini aku tidak akan dapat mempergunakan mereka. Mungkin
kawanku yang berhubungan dengan orang Jipang itu akan
42 SH. Mintardja bertindak licik justru karena ia mengetahui kelemahan
kedudukanku," jawab orang bertubuh tinggi itu.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Menantu Ki Demang itu
memang mempunyai kelemahan. Agaknya ia tidak ingin
mempersoalkannya dengan kawan-kawannya itu dicampuri oleh
terlalu banyak orang yang mungkin akan dapat membuka
rahasianya. Karena itu, maka menantu Ki Demang itu bertekad untuk
menghadapi kawan-kawannya dengan kemampuannya sendiri.
Ketika kemudian mereka telah selesai dengan makan malam
yang terlambat itu, mereka pun segera mengatur diri. Menantu Ki
Demang itu mempersilahkan Kiai Badra dan Gandar kembali ke
gandok sementara itu, ia menempatkan kawannya di bilik kanan
di dalam rumahnya. Tetapi menantu Ki Demang itu dengan diam-diam telah pergi
ke bagian belakang rumahnya. Di sebelah longkangan terdapat
beberapa orang laki-laki. Seorang gamel, seorang pekatik dan dua
orang anak muda yang membantunya bekerja di sawah.
Dengan hati-hati orang itu
membangunkan mereka dan berpesan, "Jika terjadi sesuatu
di rumah ini, kalian jangan
tergesa-gesa membunyikan isyarat." "Apa yang akan terjadi?"
bertanya orang-orang itu.
"Mungkin. Ada seseorang
kawan yang memberitahukan
bahwa ada orang-orang jahat
yang akan merampok rumah ini. Tetapi biarlah kita menyelesaikan persoalan itu
sendiri. Jangan memanggil
para pengawal dengan isyarat,"
43 SH. Mintardja
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata menantu Ki Demang itu.
Para pembantu di rumah itu pun mengangguk-angguk.
Sementara itu menantu Ki Demang itu pun berkata lebih jauh,
"Kalian pun jangan dengan serta merta melibatkan diri. Hati-
hatilah, yang akan berbenturan jika itu terjadi adalah orang-
orang berilmu. Jika kalian melihat kesempatan yang baik
terserah. Tetapi jika kalian tidak mengerti apa yang kalian
hadapi, maka kalian lebih baik menyingkir saja."
Para pembantu menantu Ki Demang itu pun termangu-
mangu. Seorang di antara mereka pun berkata, "Bukankah kami
laki-laki juga, maka kenapa kami harus sekadar menyingkir?"
"Mereka adalah orang-orang berilmu. Karena itu, kau tidak
akan dapat melawannya hanya sekadar dengan keberanian dan
kekuatan wadagmu saja," berkata menantu Ki Demang.
Para pembantunya tidak menjawab lagi. Tetapi bagaimana
pun juga mereka merasa ikut bertanggung jawab atas isi rumah
itu, karena mereka bekerja dan tinggal di rumah itu pula.
Sejenak kemudian, maka menantu Ki Demang itu pun telah
berada di dalam biliknya.
Dipandanginya kedua anaknya yang sedang tidur lelap
dibawah cahaya lampu minyak.
Pada wajah anak-anak yang sedang tidur itu terbayang
kebeningan budi yang seakan-akan belum ternoda sama sekali.
Dengan mata yang terpejam, wajah itu memancarkan cahaya
kedamaian dan ketenangan.
Menantu Ki Demang itu menarik nafas dalam-dalam.
"Kau tidak tidur?" bertanya istrinya yang berbaring di sebelah
anaknya yang masih menyusu.
"Sebentar lagi," jawab suaminya yang kemudian duduk di bibir
pembaringan, "Rasa-rasanya aku belum mengantuk."
44 SH. Mintardja "Bukankah hari sudah jauh malam?" bertanya istrinya pula.
"Tidurlah," berkata menantu Ki Demang itu. Lalu, "Aku masih
memikirkan pembicaraanku dengan orang tua yang ingin
menjual barangnya kepadaku."
Istrinya tidak bertanya lebih jauh. Suaminya yang menurut
pengertiannya adalah seorang pedagang yang berhasil itu,
kadang-kadang memang berbuat sesuatu yang tidak
diketahuinya. Dan ia tidak ingin bertanya terlalu jauh tentang
pekerjaan suaminya itu, karena agaknya suaminya tidak begitu
senang jika ia mempertanyakan sesuatu yang menyangkut
pekerjaan suaminya itu. Sebenarnyalah bahwa menantu Ki Demang itu memang
sedang dicengkam oleh kegelisahan. Ia menjadi cemas jika
rahasianya tiba-tiba saja akan terbongkar.
Sebelumnya ia tidak pernah mencemaskannya seperti pada
saat itu. Ia mulai membayangkan, apa yang mungkin terjadi pada
dirinya jika rahasia itu diketahui oleh Ki Demang. Bukan saja
menyangkut nasibnya, namanya dan kedudukannya sebagai
seorang menantu Demang. Tetapi bagaimana dengan anak-
anaknya itu. Justru karena itu, maka menantu Ki Demang itu
sama sekali tidak merasa mengantuk karenanya.
Sementara itu, di gandok, Kiai Badra pun tidak dapat tidur
barang sekejap pun. Dengan Gandar ia masih tetap duduk dan berbicara perlahan-
lahan. Bahkan menurut Gandar, malam itu mungkin sekali akan
terjadi sesuatu dengan menantu Ki Demang itu.
"Sudah tentu bahwa kita tidak akan dapat tinggal diam,"
berkata Gandar. "Apalagi jika orang-orang Jipang itu melibatkan
diri. "Apaboleh buat," berkata Kiai Badra. "Sebenarnya kita harus
menghindari setiap kemungkinan yang dapat menyeret kita ke
dalam satu persoalan. Bukankah kita sedang membawa tunggul
45 SH. Mintardja Pajang yang harus sampai ke padepokan kita dengan selamat
sebelum tunggul itu pada saatnya akan memasuki Tanah
Perdikan Sembojan?" Gandar mengangguk-angguk. Tetapi jawabnya, "Kita sudah
telanjur terlibat." Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kita
memang harus bersiap-siap.
Jika perlu maka tunggul itu akan aku pergunakan. Mungkin
orang-orang Jipang itu datang dalam jumlah yang cukup besar.
Kau pun akan dapat mempergunakan senjata yang memadai jika
kau benar-benar harus bertempur dengan beberapa orang
perwira Jipang." "Aku akan mempergunakan ikat pinggangku," jawab Gandar.
"Kau tidak memerlukan senjata yang lain?" bertanya Kiai
Badra. "Kali ini mungkin tidak Kiai," jawab Gandar.
"Ya. Apalagi jika kau memenangkan perkelahian yang
mungkin terjadi. Tetapi jika kau mengalami kesulitan?" bertanya
Kiai Badra. "Tidak Kiai. Jika dengan ikat pinggang ini aku mengalami
kesulitan, maka dengan apapun juga aku akan mengalami
kesulitan pula," jawab Gandar.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa dengan ikat
pinggang itu Gandar akan dapat menghadapi lawan-lawannya
sebagaimana ia mempergunakan senjata apapun juga.
Untuk beberapa saat mereka masih saja berbincang.
Sementara itu malam pun menjadi bertambah malam. Tengah
malam telah dilampaui beberapa saat. Namun rasa-rasanya
keduanya sama sekali tidak berniat untuk berbaring.
Di bilik yang lain, di dalam rumah menantu Ki Demang itu,
kawannya yang bertubuh agak gemuk dengan kepala yang agak
46 SH. Mintardja kecil dibandingkan dengan tubuhnya itu, ternyata masih juga
belum dapat tidur. Ia menjadi gelisah dipembaringannya.
Sekali ia memiringkan tubuhnya ke kiri, kemudian ke kanan,
dan bahkan kadang-kadang ia tidur menelungkup.
"Tenanglah anak manis," desisnya kepada diri sendiri. "Tidak
akan terjadi apa-apa di rumah ini. Sejak kapan kau menjadi
ketakutan mengalami peristiwa-peristiwa yang gawat seperti ini"
Apapun yang terjadi, biarlah terjadi. Hadapi dengan sikap
seorang laki-laki sejati."
Orang itu pun kemudian memejamkan matanya. Namun
ternyata bahwa ia pun tidak dapat segera tidur. Bahkan rasa-
rasanya ia ingin mendengar setiap desis di luar dinding biliknya.
Dalam pada itu, malam pun semakin lama menjadi semakin
dalam. Di kejauhan terdengar suara-suara malam yang kadang-
kadang berderik bagaikan menggelitik jantung. Namun kadang-
kadang terdengar semacam rintih memelas dan keluhan yang
sendu. Dalam sela-sela desir angin di dedaunan, Kiai Badra dan
Gadar yang memiliki pendengaran yang sangat tajam ternyata
mendengar suara yang lain. Bukan suara angin. Tetapi suara
sentuhan kaki pada bongkah-bongkah tanah berbatu-batuan di
sebelah gandok itu. Dengan isyarat Kiai Badra minta agar Gandar
berhati-hati. Sambil mengangguk Gandar pun kemudian berkisar untuk
mempertajam pendengarannya.
Seseorang memang sedang bergeser mendekati tempat
keduanya beristirahat di dalam bilik gandok itu.
Namun sementara itu, beberapa orang yang lain masih berada
di luar halaman. Seorang di antara mereka berkata, "Jadi tunggul itu
merupakan tunggul yang sangat berharga?"
47 SH. Mintardja "Ya. Bukan saja ujudnya, tetapi juga bahannya. Bahkan
mengandung permata. Di samping itu tunggul itu tentu juga
merupakan pertanda dari satu kuasa dari Pajang. Tetapi aku
tidak tahu," jawab orang yang diajaknya berbicara.
"Kita harus merampasnya," berkata orang yang pertama.
"Mungkin akan berguna bagi pasukan Jipang. Sementara itu, kau
dapat membunuh menantu Ki Demang yang tentu akan
berkhianat itu." "Aku memang sudah muak," berkata yang diajak berbicara.
"Kita akan menyelesaikan persoalan kita bersama-sama. Tetapi
jika aku mengalami kesulitan menghadapi menantu Ki Demang
itu, aku memerlukan bantuan."
Orang yang pertama mengangguk-angguk. Namun ia pun
tidak menjawab lagi. Beberapa saat mereka menunggu. Ketika terdengar suara
burung hantu lamat-lamat dari dalam halaman rumah itu, maka
orang-orang di luar dinding halaman itu pun mulai bergerak.
Beberapa orang kemudian dengan sangat berhati-hati telah
memasuki regol halaman yang memang tidak diselarak.
"Kita tidak akan mencuri tunggul itu," berkata seorang yang
berkumis tebal, "Tetapi aku akan mengambilnya dari tangannya."
"Terserah," jawab yang diajak berbicara, "Tetapi aku pun akan
membunuh menantu Ki Demang itu dengan cara yang sama
sebagaimana kau lakukan."
"Tetapi kau memerlukan bantuan kami," jawab orang
berkumis itu. "Ya. Dalam keadaan yang sulit," jawab orang itu.
Dengan demikian maka orang berkumis itu pun berkata, "Jika
demikian yang kita perlukan hanyalah keterangan tentang
keadaan rumah ini. Bukan kemungkinan untuk mencurinya."
Yang diajak bicara itu pun mengangguk-angguk.
48 SH. Mintardja Sejenak kemudian, maka mereka melihat seseorang yang
berjalan mendekati mereka.
Orang itu adalah seorang di antara mereka yang mendapat
tugas untuk mengamati keadaan di dalam rumah itu dan
memberikan isyarat dengan suara seperti suara burung hantu.
"Bagaimana?" bertanya orang berkumis itu.
"Tidak ada yang mencurigakan. Agaknya isi rumah ini tidak
menyadari bahwa kita akan datang malam ini," jawab orang itu.
"Dengan demikian, bukankah tidak ada persiapan dan apalagi
jebakan yang dapat menjerat kita?" bertanya orang berkumis itu.
"Tidak ada," jawab orang yang mendahului masuk.
"Jika demikian, marilah kita memasuki pintu. Kita akan
merampok rumah ini dan membunuh penguhuninya serta kedua
orang yang membawa tunggul itu," berkata orang yang berkumis
tebal itu. Sejenak kemudian beberapa orang itu pun telah naik ke
pendapa. Mereka tidak lagi mengendap-endap seperti laku
seorang pencuri. Tetapi mereka datang dan naik ke pendapa
selaku prajurit yang memasuki medan perang.
Seorang di antara mereka pun kemudian pergi ke pintu
pringgitan. Dengan hulu pedangnya orang itu mengetuk pintu
sambil berteriak memanggil, "He, siapakah yang ada di rumah?"
Orang-orang di dalam rumah itu masih belum tidur. Karena
itu suara ketukan pintu dan teriakan itu telah mengejutkan
mereka. Bahkan anak perempuan Ki Demang yang tertidur disisi
anaknya itu pun telah terkejut pula karenanya.
"Ada apa kakang?" perempuan itu bangkit dengan wajah yang
tegang. "Nyai, jaga anakmu baik-baik. Mungkin ada orang jahat yang
ingin mengganggu kita," jawab suaminya.
"Jadi?" istrinya menjadi semakin tegang.
49 SH. Mintardja "Jaga anakmu. Kau adalah anak perempuan seorang Demang.
Berlakulah sebagai ayahmu yang berani dan tidak gentar
menghadapi segala macam kesulitan. Jaga anakmu baik-baik.
Aku akan melihat, siapakah orang yang berteriak-teriak itu."
"Hati-hatilah kakang," suara perempuan itu menjadi parau.
Menantu Ki Demang itu pun kemudian membenahi dirinya. Di
beberapa bagian tubuhnya masih terasa sakit karena pangkal
landean tunggul Kiai Badra. Tetapi setelah makan dan
beristirahat sejenak, kekuatannya telah hampir menjadi pulih
kembali. Sejenak diamatinya ploncoan tempat ia menyimpan
senjatanya. Dengan perhitungan yang mapan ternyata ia meraih
tombak pendeknya. Jika ia harus menghadapi lawan lebih dari
seorang, maka tombak pendek itu agaknya akan lebih
menguntungkan daripada sebilah parang yang hanya pantas
untuk perampok-perampok sebagaimana sering dilakukannya.
Sementara itu, orang berkumis tebal itu pun telah
mengisyaratkan pula kepada kawannya untuk mengamati orang-
orang yang berada di gandok.
"Jangan beri kesempatan mereka lari sambil membawa
tunggul itu," katanya.
Dua orang di antara mereka pun telah mengawasi pintu
gandok yang masih tertutup.
Orang yang mengendap-endap mendahului kawannya itu pun
berdesis, "Mereka masih berada disana."
Dalam pada itu, terdengar sekali lagi ketukan pintu. Lebih
keras. dan suara memanggil pun menjadi lebih keras pula, "Buka
pintu atau rumah ini akan aku bakar?"
Menantu Ki Demang itu pun termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian kawannya yang bertubuh agak kegemukan dan
berkepala kecil itu pun telah mendekati pintu pula.
"Kita akan membuka pintu itu," berkata menantu Ki Demang.
50 SH. Mintardja Orang bertubuh gemuk itu tiba-tiba saja bertanya, "Kau masih
mempunyai tombak pendek?"
"Apakah kau mampu mempergunakan tombak" Bukankah
kebiasaanmu mempergunakan parangmu," bertanya menantu Ki
Demang. "Ketika aku pertama kali berlatih olah kanuragan, maka
senjata yang paling aku senangi adalah tombak pendek. Hanya
setelah aku menjadi perampok aku mempergunakan parang yang
besar itu," jawab orang yang agak gemuk itu.
"Ambillah," desis menantu Ki Demang.
Ketika orang itu sudah menggenggam tombak pendek, maka
kedua orang itu pun telah mendekati pintu. Dengan suara yang
tidak kalah lantangnya menantu Ki Demang itu bertanya, "Siapa
kau he?" Yang menjawab adalah kawannya yang berhubungan dengan
orang-orang Jipang itu, "Aku. Buka pintu dan berlutut
dihadapanku."
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menantu Ki Demang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia pun mendekati pintu sambil mempersiapkan diri.
Sambil memberi isyarat kepada kawannya untuk bersiap sebaik-
baiknya, maka ia pun membuka selarak pintu rumahnya
perlahan-lahan. Demikian pintu itu terbuka, maka ia pun segera meloncat
surut. Namun ketika orang-orang diluar pintu itu akan
memburunya masuk, maka mereka pun tertegun.
Dua ujung tombak telah menghalangi mereka.
"Siapa yang akan mati paling cepat?" suara menantu Ki
Demang itu sangat meyakinkan.
Yang kemudian berdiri di depan pintu adalah kawannya yang
telah berhubungan dengan orang-orang Jipang itu. Dengan suara
lantang ia berkata, "Pengecut. Berjongkoklah dihadapanku. Aku
51 SH. Mintardja harus membunuhmu agar kau untuk selanjutnya tidak
menghalangi lagi pekerjaanku."
"Kau pengkhianat," sahut menantu Ki Demang. "Siapapun
aku, tetapi aku tetap berdiri dibawah kuasa Adipati Pajang, bukan
Jipang." Tetapi orang berkumis tebal itulah yang kemudian tertawa.
Katanya, "Aku adalah salah seorang perwira dari Jipang itu. Aku
adalah saudaranya meskipun bukan saudara kandung. Ia telah
menemukan satu keyakinan di dalam hidupnya. Dan itu adalah
sangat berharga baginya."
"Aku sama sekali tidak menghargainya," berkata menantu Ki
Demang. "Nah, sekarang masih ada waktu bagi kalian untuk pergi
dari rumah ini. Atau aku harus mengusir kalian dengan
kekerasan?" Orang berkumis tebal itu tertawa berkepanjangan. Katanya,
"Apakah yang kau andalkan, bahwa kau akan mengusir aku" Aku
memang sudah mendengar dari suadaraku ini, bahwa kau adalah
orang yang terkuat di antara keempat orang kelompokmu.
Tetapi kau sekarang berhadapan dengan seorang perwira dari
Jipang." Sementara itu kawannya yang berpihak kepada Jipang itu pun
menyambung, "Jangan banyak bicara lagi. He, kau jangan
penjilat. Aku sudah mengira bahwa kau akan berada disini Kepala
Kecil." Kawannya yang berkepala kecil itu memandangi dengan
tajamnya. Namun tiba-tiba saja ia tersenyum sambil menjawab,
"Kau yang berkepala besar. Marilah, kita mencoba satu
permainan yang barangkali menarik. Kau dan aku berperang
tanding. Biarlah orang-orang lain menjadi saksi. Siapakah di
antara kita yang lebih baik. Kau atau aku."
"Persetan," geram orang yang ditantangnya, "Berlutut kalian
berdua. Kami sudah siap untuk memenggal leher kalian."
52 SH. Mintardja "Jangan terlalu banyak bicara," geram menantu Ki Demang.
"Sekarang pergilah atau perutmu akan kukoyak dengan tombak
ini." Orang yang berkumis tebal itulah yang kemudian berbicara,
"Kau keluar atau kami yang masuk."
Menantu Ki Demang itu pun termangu-mangu. Jika orang-
orang di luar itu berhasil masuk, maka mungkin sekali mereka
akan menemukan istrinya. Atau anaknya yang terkejut dan
menangis. Mungkin mereka dapat mempergunakan istri dan
anaknya untuk memaksanya menyerah. Sedangkan orang-orang
yang seakan-akan menjadi gila itu tentu tidak akan dapat berbuat
lain kecuali benar-benar membunuhnya, bahkan mungkin sekali
dilakukan dihadapan istrinya.
Karena itu, maka menantu Ki Demang itu pun menjawab,
"Kita akan bertempur ditempat yang luas. Aku akan keluar."
Orang berkumis tebal itu tersenyum. Katanya, "Kau memang
seorang yang berani Ki Sanak. Itulah agaknya kau adalah seorang
perampok yang disegani. Marilah, kita akan melihat, apakah
kemampuan seorang perampok mengimbangi kemampuan
seorang perwira dari prajurit Jipang."
Menantu Ki Demang itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian orang-orang yang berada di luar pintu itu pun bergeser
menjauh untuk memberi jalan kepada orang-orang yang berada
di dalam rumah itu untuk keluar.
Menantu Ki Demang itu memang agak ragu untuk melangkah
keluar pintu. Tetapi ketika ia melihat orang-orang yang berada di
luar pintu itu bergeser menjauh, maka ia pun dengan sangat hati-
hati melangkah ke pintu yang terbuka itu.
Pada saat yang demikian, tiba-tiba saja halaman rumah itu
telah digetarkan oleh suara tertawa. Perlahan-lahan saja. Tetapi
rasa-rasanya bagaikan mengguncang jantung.
53 SH. Mintardja Orang-orang yang berada di luar pintu pringgitan itu pun
berpaling. Mereka melihat seseorang berdiri di pintu gandok
diseberang halaman disebelah pendapa.
Perlahan-lahan orang itu menuruni tangga gandok yang tidak
begitu tinggi. Kemudian berdiri tegak di halaman dengan tunggul di
tangannya. Dalam cahaya lampu minyak di pendapa, maka tunggul itu
nampak bagaikan menyala. Gerigi cakra itu nampaknya bagaikan lidah api yang
menggeliat menggapai-gapai.
Orang-orang yang melihat tunggul itu menjadi berdebar-
debar. Beberapa orang prajurit Jipang yang berada di halaman
itu pun menjadi termangu-mangu karenanya.
Menantu Ki Demang, yang juga melihat tunggul itu pun
merasa kecut. Di dalam hati ia berkata, "Untunglah bahwa lidah
api itu tidak menyentuh kulit dagingku."Namun dalam pada itu,
dalam ketegangan itu, menantu Ki Demang itu pun mendapat
kesempatan untuk bergeser keluar diikuti oleh kawannya yang
agak gemuk dan berkepala kecil itu. Keduanya menggenggam
tombak pendek ditangannya.
Sedangkan yang harus mereka hadapi adalah kedua orang
perampok yang telah memisahkan diri itu. Tiga orang perwira
Jipang dan dua orang prajurit pengawal.
Menantu Ki Demang itu menarik nafas dalam-dalam. Jumlah
lawan mereka hampir lipat dua.
Namun demikian, tidak ada niat sama sekali untuk
mengurungkan pertempuran dengan cara apapun juga meskipun
seandainya nyawanya dapat diselamatkan karena itu. Ia benar-
benar sudah bertekad untuk bertempur apapun yang akan terjadi.
Demikian pula kawannya yang gemuk itu. Ia telah menyerahkan
tenaga dan kemampuannya meskipun harus bertaruh nyawa.
54 SH. Mintardja Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Kiai Badra bertanya,
"Apakah sebenarnya yang telah terjadi disini?"
"Persetan," geram salah seorang perwira Jipang, "Jangan
berpura-pura tidak tahu. Serahkan tunggul itu, dan biarkan kami membunuhmu dari
pada kau harus mati karena hukuman yang harus kau jalani."
"Aku tidak mengerti yang kau maksud. Apakah benar kalian
para perwira dari Jipang?" bertanya Kiai Badra.
"Kenapa hal itu kau tanyakan lagi?" geram perwira itu.
"Bukankah di antara kami telah menyebut, bahwa kami adalah
perwira dari Jipang."
"Jadi untuk apa sebenarnya
kalian ingin merampas tunggul
ini" Tunggul ini tidak ada
artinya sama sekali bagi kalian.
Tetapi mempunyai nilai yang
besar bagi kami," jawab Kiai
Badra. "Kau jangan membakar
jantungku dengan berpura-
pura bodoh seperti itu," jawab
perwira Jipang itu. Bahkan
orang berkumis tebal itu telah
mendekatinya pula. Katanya, "Kau menjengkelkan sekali kakek
tua. Berikan tunggul itu.
Jangan banyak bicara."
"Sayang Ki Sanak. Aku akan mempertahankannya," jawab Kiai
Badra. "Bukankah kau tahu, siapa kami" Kami adalah para perwira
Jipang. Pajang sekarang sudah terkepung. Apa yang akan kalian
55 SH. Mintardja lakukan?" perwira yang berkumis tebal itu menjadi semakin
marah. "Kami adalah abdi-abdi dari Kadipaten Pajang. Seperti para
abdi dari Jipang, maka kami adalah abdi-abdi yang setia. Karena
itu, apapun yang akan terjadi atas diri kami, maka kami akan
mempertahankan tunggul ini."
"Uh," geram perwira berkumis tebal itu, "Ternyata kau benar-
benar orang yang pertama-tama harus dibunuh."
Kiai Badra memandang perwira itu dengan tajamnya. Namun
kemudian katanya, "Kalian akan membuat kesalahan ganda Ki
Sanak. Kehadiran kalian di daerah Pajang sudah merupakan satu
kesalahan, karena kalian telah melanggar wewenang Kanjeng
Adipati Pajang. Kedua, bahwa di Pajang kalian ternyata telah
berusaha merampok kami."
"Tutup mulutmu," geram perwira itu. "Aku menyadari, menilik
sikapmu menghadapi kami, serta menurut ceritera orang-orang
yang telah gagal merampas tunggul itu, kau memang memiliki
kemampuan yang tinggi. Tetapi kelebihan kemampuanmu itu
adalah karena kalian melawan perampok-perampok kecil yang
tidak memiliki pengetahuan olah kanuragan sama sekali. Tetapi
apakah kau juga akan dapat menengadahkan dadamu jika kalian
bertemu dengan para perwira dari Jipang."
"Sebaiknya kita lihat," jawab Kiai Badra. "Kita masih
mempunyai banyak waktu."
Perwira Jipang itu tidak ingin berbicara lebih banyak lagi.
Dengan suara lantang ia berkata, "Urusi kelinci-kelinci itu. Aku
akan menyelesaikan orang tua ini."
Demikianlah orang-orang yang berada di halaman itu telah
menempatkan dirinya masing-masing. Dua orang perwira Jipang
dengan dua orang pengawal sudah siap menghadapi Kiai Badra
dan Gandar. Namun yang terdengar adalah perintah orang
berkumis tebal kepada kedua orang pengawalnya.
56 SH. Mintardja "Kalian harus menjaga agar orang-orang itu tidak melarikan
diri sambil membawa tunggul yang sangat kita perlukan itu.
Karena itu, kalian tidak usah turut bertempur. Amati saja
keadaannya. Kalian akan melihat bagaimana aku memenggal
leher lawanku."Kedua pengawal itu pun telah memencar dan
berdiri sebelah-menyebelah. Mereka harus menjaga agar kedua
orang itu atau salah seorang daripadanya berusaha melarikan diri
dan menyelamatkan tunggul yang menurut penilaian mereka
sangat berharga itu. Sementara itu, seorang perwira dan dua orang kawan menantu
Ki Demang yang telah menyatakan memisahkan diri, bahkan
akan membunuhnya itu, telah siap pula berhadapan dengan
menantu Ki Demang serta kawannya yang agak gemuk.
Perwira Jipang itu menggeram, "Seperti sudah kami katakan,
kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa. Aku ingin melihat
kemampuanmu dibandingkan dengan seorang perwira dari
Pajang." Menantu Ki Demang itu pun telah siap menghadapinya.
Sementara kawannya yang gemuk harus menghadapi dua orang
bekas kawannya sendiri. Tetapi orang yang agak gemuk dengan kepala kecil itu pun
sama sekali tidak gentar. Bahkan sambil tersenyum ia berkata,
"Kita sekarang akan memperbandingkan kemampuan kita
masing-masing. Jika ternyata kalian kalah, maka kalian harus
membayar aku banyak sekali. Setiap perampokan yang terjadi,
seharusnya pembagianku lebih banyak dari kalian, karena aku
mempunyai kelebihan lebih banyak. Tetapi jika aku harus mati
disini, maka tidak ada apa-apa yang patut dibanggakan, kecuali
kelicikan kalian karena kalian bertempur tidak sebagai laki-laki
sejati dalam perang tanding yang adil."
"Persetan," geram kawannya. "Kami memang tidak sedang
berperang tanding. Tetapi kami memang datang untuk
membunuhmu." 57 SH. Mintardja Orang yang agak gemuk itu tidak menjawab. Tetapi ia sudah
bergeser menjauhi menantu Ki Demang, agar mereka dapat
leluasa bertempur menghadapi lawan masing-masing dengan
senjata sebatang tombak pendek.
Sejenak kemudian, maka pertempuran itu pun telah mulai
membakar halaman rumah menantu Ki Demang. Seperti yang
diperintahkan oleh menantu Ki Demang, laki-laki yang ada di
bagian belakang rumah itu tidak segera melibatkan diri dan tidak
pula membunyikan tanda bahaya. Mereka tidak tahu alasannya,
kenapa menantu Ki Demang tidak mengizinkan mereka untuk
memukul ken-ongan. Mereka tidak tahu, bahwa menantu Ki
Demang merasa cemas, seandainya kawan-kawannya itu
tertangkap oleh para pengawal dan diserahkan kepada Ki
Demang, karena mereka tentu akan berbicara tentang dirinya
pula. Karena itu, maka menantu Ki Demang itu merasa lebih baik
dihadapinya sendiri. Tetapi ia tidak mengira sama sekali bahwa yang datang
bersama kedua orang itu adalah tiga orang perwira dan dua orang
prajurit pengawal dari Jipang.
Dalam pada itu, seorang di antara para perwira Jipang yang
menghadapi menantu Ki Demang itu pun telah menyerangnya
pula. Meskipun ia belum bersungguh-sungguh, tetapi nampak
bahwa perwira itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi.
Tetapi menantu Ki Demang itu pun termasuk orang yang
paling kuat di antara kawan-kawannya. Karena itu, maka
bagaimana pun juga ia berusaha untuk dapat mengimbangi
kemampuan perwira dari Jipang itu.
Namun memang tidak dapat dipungkiri, bahwa para perwira
Jipang, apalagi yang dikirim ke Pajang, adalah perwira yang
memiliki kemampuan terpilih. Karena itu, maka dalam benturan
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertama, telah tampak bahwa perwira Jipang itu memiliki
kelebihan. 58 SH. Mintardja Meskipun demikian, maka menantu Ki Demang itu tidak cepat
menyerah kepada keadaan. Dengan tombak panjangnya ia
berusaha untuk setidak-tidaknya bertahan untuk waktu yang
lebih lama dari pada sepenginang.
Di depan gandok, maka para perwira Jipang itu pun telah
melihat Kiai Badra dan Gandar. Kedua orang perwira itu ternyata
tidak mau kehilangan kesempatan. Karena itu maka mereka pun
berusaha untuk secepatnya menyelesaikan tugas mereka. Dengan
pedang panjang keduanya telah melibat Kiai Badra dan Gandar
ke dalam satu pertempuran yang keras dan cepat.
Tetapi para perwira Jipang itu belum mengenal Kiai Badra dan
Gandar sebelumnya. Karena itu, maka ketika terjadi benturan-benturan, mereka
pun segera menyadari, bahwa kedua orang itu memang memiliki
ilmu yang tinggi. Dalam pada itu, sebagaimana sebelumnya, Kiai
Badra berusaha untuk tidak membuat tunggulnya cacat. Tunggul
yang berbentuk cakra itu tidak dipergunakan pada tajam
geriginya. Tetapi Kiai Badra masih berusaha untuk mempergunakan
pangkal landeannya. Sementara itu, Gandar yang bersenjata ikat pinggang itu pun
telah mengambil satu keputusan yang menggetarkan jantungnya
sendiri. Lawannya itu harus diselesaikan sehingga ia tidak akan
dapat mengganggu menantu Ki Demang itu lagi dan sekaligus
mengurangi kekuatan pasukan Jipang di Pajang yang bergabung
dengan pasukan dari Tanah Perdikan Sembojan.
Perwira dari Jipang yang melawan Gandar itu memang
terkejut melihat Gandar mempergunakan senjata yang asing
baginya, namun dengan demikian, perwira itu menjadi semakin
berhati-hati. Ia sadar, bahwa jika lawannya itu bukan seorang
yang mumpuni maka ia tidak akan berani melawannya hanya
dengan senjata ikat pinggangnya.
Sementara itu Kiai Badra pun telah terlibat dalam
pertempuran yang cepat melawan perwira Jipang yang berkumis
59 SH. Mintardja lebat itu. Ternyata perwira Jipang itu berusaha untuk segera
mengalahkan lawannya. Namun ternyata lawannya adalah Kiai
Badra. Karena itu, maka betapapun perwira Jipang berkumis tebal itu
berusaha, namun usahanya itu ternyata sia-sia saja. Ia tidak
mampu berbuat banyak menghadapi orang tua yang membawa
tunggul itu. Demikian juga perwira Jipang yang bertempur melawan
Gandar. Ternyata Gandar adalah orang yang luar biasa. Ikat
pinggangnya yang mampu menebas seperti pedang, bukan
sekadar sebuah ceritera. Tetapi benar-benar dibuktikannya
sendiri dalam pertempuran itu.
Namun dalam pada itu, dilingkaran pertempuran yang lain,
menantu Ki Demang mengalami kesulitan menghadapi perwira
Jipang yang bertempur dengan garang. Pada saat yang pendek, ia
sudah mulai terdesak. Karena itu, menantu Ki Demang itu harus
memeras tenaganya untuk bertahan. Namun dengan demikian,
maka kemampuan dan daya tahannya akan cepat sampai ke
batas. Sementara itu, kawannya yang berbadan gemuk itu pun telah
mengalami kesulitan. Meskipun ia yakin, bahwa ia memiliki kemampuan tidak lebih
rendah dari kedua kawannya itu yang kemudian justru harus
dilawannya, tetapi ketika mereka berdua menyatukan
kemampuan mereka, orang yang gemuk itu mengalami kesulitan.
Kiai Badra agaknya melihat keadaan itu. Ia tidak dapat
membiarkan menantu Ki Demang itu benar-benar diterkam
kesulitan yang akan dapat membahayakan jiwanya.
Karena itu, maka ia pun merasa wajib untuk
menyelamatkannya. Dengan demikian maka Kiai Badra harus mengakhiri
perlawanan perwira Jipang itu mendahului batas daya tahan
60 SH. Mintardja menantu Ki Demang, agar dengan demikian ia masih sempat
memberikan pertolongan. Karena itu, maka Kiai Badra pun telah meningkatkan ilmunya,
sehingga perwira Jipang itu menjadi bingung. Pangkal landean
Tunggul itu bagaikan berputaran di sekitar tubuhnya, kemudian
mematuk dengan dahsyatnya, menyentuh kulit dagingnya. Setiap
sentuhan terasa bagaikan sentuhan bara api yang menyengat.
Perwira Jipang yang berkumis lebat itu menjadi gelisah.
Namun betapapun ia mengerahkan kemampuannya, namun
ternyata bahwa sulit baginya untuk mengatasi kecepatan gerak
orang tua yang bersenjata tunggul itu.
Bahkan semakin lama sentuhan pangkal landean tunggul itu
semakin sering mengenainya.
Perwira yang bertempur melawan Gandar pun segera
mengalami kesulitan. Meskipun Gandar hanya bersenjata ikat
pinggangnya, namun senjata itu ternyata mampu
mengimbangi perwira Jipang yang melawannya. Bahkan
semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa Gandar akan segera
memenangkan pertempuran itu.
Dalam keadaan yang memaksa itu, maka perwira Jipang yang
berkumis lebat itu tidak dapat berbuat lain daripada memberikan
perintah kepada prajuritnya untuk memasuki arena, bertempur
bersamanya menghadapi orang tua yang bersenjata tunggul yang
hanya dipergunakan pangkal landeannya saja.
"Ikutlah menangkap orang ini," berkata perwira itu, "Agaknya
ia benar-benar akan melarikan diri."
Kedua prajurit itu termangu-mangu. Namun mereka pun
segera menyadari bahwa mereka harus turun ke gelanggang.
Sejenak kemudian, maka kedua orang prajurit itu pun telah
melangkah mendekati pertempuran yang terjadi itu. Seorang
mendekati lingkaran pertempuran Kiai Badra yang lain
mendekati Gandar.Dengan senjata teracu, maka keduanya pun
kemudian langsung memasuki arena.
61 SH. Mintardja Namun yang terjadi memang sangat mengejutkan. Prajurit
yang memasuki arena melawan Kiai Badra itu pun segera telah
terlempar kembali keluar arena. Sekali ia menggeliat, kemudian
prajurit itu pun pingsan. Di dahinya terdapat noda kebiru-biruan.
Agaknya demikian ia berada di arena, maka ia pun menjadi
lengah, sehingga pangkal landean tunggul Kiai Badra telah
menyentuh dahinya, sedikit disebelah kening.
"Gila," perwira berkumis lebat itu mengumpat. Ternyata
bahwa prajurit itu sama sekali tidak berarti baginya.
Sementara itu, Gandar yang
juga melihat keadaan menantu
Ki Demang dan rekannya, ingin juga menyelesaikan pertempuran dengan cepat.
Karena itu, maka ikat pinggangnya pun telah berubah seolah-olah sebilah
pedang. Betapa ikat pinggang
itu terayun-ayun mendebarkan. Suaranya berdesing menggelitik telinga.
Dengan kemampuan yang luar biasa, maka Gandar pun
segera mendesak kedua orang
lawannya. Bahkan sejenak kemudian, ketika ikat pinggang
itu menyambar mendatar dan menyentuh lengan prajurit yang
bertempur melawannya, ternyata telah mengoyakkan kulitnya
sehingga luka pun telah menganga. Darah pun kemudian telah
mengucur dari luka yang pedih itu.
"Gila," geram perwira Jipang yang melihat lengan kawanya
terluka. Namun ketika ia dengan marah meloncat menyerang,
Gandar telah bergeser ke samping sambil mengayunkan ikat
pinggangnya. 62 SH. Mintardja Ternyata ikat pinggang Gandar itu telah mematuk lambung
perwira Jipang itu. Tetapi berbeda dengan kawannya yang koyak kulitnya, maka
ikat pinggang Gandar itu telah menghantam lambung bagaikan
selembar kepingan besi. Meskipun kulit perwira itu tidak terluka,
tetapi rasa-rasanya bagian dalam lambungnyalah yang remuk
karenanya. Karena itu, maka perwira itu berusaha mengambil jarak.
Dengan mengerahkan segenap daya tahannya, ia berusaha
mengatasi perasaan sakitnya.
Sementara itu, prajurit yang terluka di lengannya itu agaknya
masih mempunyai keberanian untuk menyerang Gandar. Dengan
senjata berputar, prajurit itu berusaha untuk melukai lawannya.
Namun yang terjadi sangat menggetarkan hatinya. Ternyata
dengan serangannya yang keras itu, pedangnya justru telah
terlontar dan terlepas dari tangannya. Pedang itu agaknya telah
membentur ikat pinggang Gandar yang dipergunakan untuk
menangkis serangan itu. Prajurit itu mengumpat. Sementara itu, perwira yang
lambungnya bagaikan remuk dibagian dalam itu berhasil
mengatasi rasa sakitnya. Ia pun berusaha untuk dapat membantu
prajurit yang terluka dan kehilangan pedangnya itu. Maka
perwira itu pun telah meloncat menyerang Gandar.
Gandar bergeser selangkah. Serangan perwira itu tidak
mengenainya sama sekali. Namun dengan demikian, prajurit yang kehilangan pedangnya
itu masih sempat memungutnya.
Dengan demikian, maka prajurit itu pun telah bersiap pula
untuk bertempur. Namun darah ternyata terlalu banyak ke luar
dari lukanya di lengan. Karena itu, maka kegelisahannya pun
telah mengganggu tata geraknya dalam pertempuran selanjutnya.
Sejenak kemudian, maka berbareng keduanya menyerang
Gandar. Dua ujung pedang bersama-sama mematuknya. Namun
63 SH. Mintardja kedua orang lawannya itu telah terluka, sehingga mereka tidak
mampu lagi untuk bergerak terlalu cepat.
Dengan demikian, maka Gandar tidak mengalami kesulitan
untuk menghindari serangan perwira itu. Namun sekaligus sekali
lagi ia menyambar pedang prajurit itu dengan ikat pinggangnya.
Sekali lagi pedang itu terlepas. Namun selagi prajurit itu
merenunginya sekejab, tiba-tiba saja terasa dadanya telah dikenai
ikat pinggang lawannya. Tetapi ikat pinggang itu tidak mengoyak
kulitnya. Namun benar-benar sebagaimana sehelai kulit yang
menghantam dadanya. Meskipun demikian dadanya itu terasa
panas sekali. Kulit dagingnya terasa bagaikan disentuh bara api.
Karena itu, maka terdengar ia mengaduh perlahan. Kemudian terhuyung-
huyung menepi menjauhi arena pertempuran. Apalagi ia sudah
tidak bersenjata lagi. "Pengecut," geram perwira itu. "Kenapa kau lari dari medan?"
Prajurit itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi dadanya masih
saja terasa panas sekali. Ketika ia sempat melihatnya, dibawah
cahaya lampu diserambi gandok, ia melihat dadanya memang
bagaikan terbakar melintang sebagaimana jalur sentuhan ikat
pinggang lawannya. Betapa sakitnya. Sehingga dengan demikian prajurit itu sudah
tidak mempunyai kemampuan lagi untuk berbuat sesuatu.
Lukanya yang mengoyak lengannya dan luka bakar yang
menyilang di dadanya itu, membuat sama sekali tidak berdaya
lagi. Apalagi tanpa senjata ditangan.
Sementara itu, perwira yang bertempur melawan Gandar itu
pun ternyata sudah tidak banyak lagi berbuat. Ia masih saja
mengumpati kawannya yang kemudian jatuh terduduk bersandar
dinding halaman. Namun sejenak kemudian, senjata lawannya
yang aneh itu sekali lagi telah mengenainya pula. Pundaknyalah
yang kemudian tersentuh ikat pinggang Gandar itu. Dengan
64 SH. Mintardja demikian maka rasa-rasanya tangannya memang menjadi
lumpuh, karena pundaknya bagaikan dikenai oleh sekeping besi
baja. Perwira itu mengumpat-umpat. Tetapi ia memang sudah tidak
berdaya. Ketika ia berusaha memindahkan pedangnya dari
tangan kanan ke tangan kirinya, maka serangan Gandar itu pun
datang lagi. Ikat pinggang kulit itu telah mengenai punggungnya
sebagaimana ikat pinggang kulit sewajarnya. Namun seperti
prajurit yang kehilangan kesempatan untuk melawannya itu,
maka punggungnya pun rasa-rasanya bagaikan terbakar.
Karena itu, maka perwira itu pun kemudian menggeliat dan
bergeser surut. Tetapi Gandar telah memburunya pula. Ikat
pinggang itu pun kemudian mematuk dadanya sebagaimana
sebatang linggis, sehingga perwira itu terdorong surut dan jatuh
terlentang. Tulang-tulang iganya rasa-rasanya telah berpatahan. Ketika ia
berusaha untuk bangkit, maka dari mulutnya telah meleleh darah
yang hangat. Ternyata perwira itu tidak berdaya lagi. Bahkan ia pun
kemudian jatuh terlentang. Kesakitan yang sangat telah
mencengkamnya. Gandar menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu ia melihat
Kiai Badra yang tidak mau mempergunakan tunggul sepenuhnya
dan selalu menghindari kemungkinan landean tunggul itu
menjadi cacat oleh benturan, telah dapat melumpuhkan
lawannya pula. Dengan pangkal landean tunggulnya Kiai Badra berhasil
mengetuk dada perwira Jipang yang berkumis lebat itu sehingga
perwira itu terlempar dari arena. Namun demikian ia berusaha
bangkit, maka diluar dugaannya, pangkal landean itu tepat
berada di atas dahinya, sehingga karena itu, maka kepalanyalah
yang telah terantuk pada pangkal landean yang sengaja dipasang
oleh Kiai Badra didepan dahinya itu.
65 SH. Mintardja
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kepala periwira itu terasa pening sekali. Matanya menjadi
berkunang-kunang, sehingga akhirnya semuanya menjadi gelap.
Seperti prajurit yang membantunya, maka perwira itu pun
menjadi pingsan. Gandar dan Kiai Badra pun kemudian telah terbebas dari
lawan-lawannya. Karena itu, maka mereka pun mulai
memandang ke arena pertempuran yang lain.Keduanya pun
melihat, bahwa menantu Ki Demang itu benar-benar berada
dalam kesulitan. Sementara kawannya yang gemuk itu pun telah terdesak
kesudut halaman. "Ambil lawan menantu Ki Demang itu Gandar," berkata Kiai
Badra. "Kemudian biarlah menantu Ki Demang dan kawannya
yang gemuk itu menghadapi bekas kawan-kawannya sendiri."
Gandar mengerutkan keningnya. Namun ketika ia melihat
keadaan menantu Ki Demang itu menjadi gawat maka ia pun
segera meloncat mendekatinya.
Dalam pada itu, perwira yang bertempur melawan menantu Ki
Demang itu sudah hampir sampai pada saat terakhir. Ia
mendesak menantu Ki Demang yang bersenjata tombak itu.
Dengan permainan pedangnya yang membingungkan, tombak
ditangan menantu Ki Demang itu hampir tidak berarti. Sekali-
sekali ujung tombak itu mampu menahan gerak maju lawannya.
Tetapi tiba-tiba saja terasa tombak itu telah terpukul
menyamping oleh pedang lawannya, sehingga pertahanannya
menjadi terbuka. Ketika perwira itu menyerang, maka menantu
Ki Demang hanya dapat berloncatan menghindari diri serta
berusaha memperbaiki arah tombaknya untuk menahan gerak
lawannya. Namun akhirnya menantu Ki Demang yang selalu berloncatan
mundur itu telah melekat dinding pringgitan. ia tidak lagi dapat
bergeser mundur. Sementara itu lawannya selangkah demi
selangkah telah bergerak maju sambil mengacungkan pedangnya.
66 SH. Mintardja "Kau tidak akan sempat menghindar lagi sekarang Ki Sanak,"
berkata perwira Jipang itu. "Sebenarnya aku tidak mempunyai
persoalan dengan kau. Tetapi agaknya kedua kawanmu itu, yang
seorang adalah sanak kadangku, sebagaimana dengan kawanku
yang berkumis lebat itu, minta kepadaku untuk membunuhmu.
Aku tidak mengerti persoalan apakah yang sudah terjadi di antara
kalian. Namun agaknya tunggul itu pun menjadi salah satu
penyebabnya." "Kau lihat," tiba-tiba saja
menantu Ki Demang itu berdesis, "Kawan-kawanmu
sudah tidak berdaya sama sekali." Perwira itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mencoba melihat apa
yang terjadi di halaman samping, di depan gandok.
Semula ia tidak banyak menghiraukan pertempuran itu, karena ia yakin bahwa
kawan-kawannya akan dapat
dengan cepat menguasai tunggul itu. Apalagi perwira itu
membelakanginya. Sementara itu ia memusatkan perhatiannya kepada menantu
Ki Demang yang dengan gigih melawannya.
Perwira itu menjadi berdebar-debar. Pertempuran sudah
berhenti. Namun ia tidak segera dapat melihat dengan jelas apa
yang terjadi. Menantu Ki Demang yang putus asa itu, semula dengan tidak
sengaja telah berpaling ke arah halaman samping. Dan menantu
Ki Demang itu melihat bahwa Kiai Badra berdiri tegak dengan
tunggul ditangannya, sehingga dengan demikian ia telah
67 SH. Mintardja mengambil kesimpulan bahwa Kiai Badra telah menyelesaikan
kedua lawannya. Pada saat yang demikian itulah, maka lawan menantu Ki
Demang telah mengambil keputusan untuk membunuhnya
karena ia sudah tidak sempat menghindar lagi.
Namun ia berhasil memperpanjang umurnya dengan
menunjukkan kepada lawannya, bahwa pertempuran di halaman
telah selesai. Benar atau tidak ia telah menyebut, bahwa kawan-
kawan perwira itu sudah tidak berdaya lagi.
Sejenak kemudian perwira itu pun menggeram. Ia pun melihat
bahwa orang tua yang membawa tunggul itu masih berdiri tegak,
sementara ia melihat pula seorang telah berlari mendekatinya.
Karena itu, maka perwira itu harus bergerak dengan cepat.
Dengan serta merta ia telah menggerakkan pedangnya untuk
mengakhiri perlawanan menantu Ki Demang itu.
Dengan demikian, maka ia akan dapat menyambut lawannya
yang baru. Tetapi ternyata menantu Ki Demang mampu mempergunakan
kesempatan yang sekejap itu. Selagi perwira itu berusaha melihat
keadaan di halaman, menantu Ki Demang telah bergeser
menyamping. Ia memang sudah memperhitungkan, bahwa
perwira itu tentu akan berusaha menyelesaikannya dengan
cepat.Karena itu, ketika perhatian perwira itu kembali kepadanya
menantu Ki Demang itu sudah mendapatkan jalan untuk
menghindar kesamping sambil menjulurkan tombaknya.
"Setan," geram perwira itu. "Kau akan lari kemana?"
Menantu Ki Demang sampai kepada usahanya yang terakhir
untuk mempertahankan hidupnya.
Namun usahanya itu telah memberikan kesempatan Gandar
untuk mencapainya. Dengan loncatan panjang, maka Gandar pun
telah berdiri beberapa langkah dari menantu Ki Demang yang
tegang. 68 SH. Mintardja "Ki Sanak," berkata Gandar yang berhasil memancing
perhatian perwira itu, "Apakah kau dapat berbangga dengan
kemenangan kecilmu" Bukankah sudah sepantasnya jika seorang
perwira dari Jipang berhasil mengalahkan seorang pedesan yang
tidak pernah mempelajari oleh keprajuritan."
"Persetan," geram perwira itu. "Jadi kau juga akan turun ke
arena dan akan mati pula."
"Kedua kawanmu dan kedua pengawalmu sudah tidak
berdaya. Apakah kau tidak akan menyerah?" bertanya Gandar.
"Seorang prajurit tidak mengenal arti menyerah," berkata
perwira itu. "Jika kau tidak ingin terbunuh juga, minggirlah."
"Aku akan mengambil alih pertempuran ini," jawab Gandar.
Lalu katanya kepada menantu Ki Demang, "Kau dapat membantu
kawanmu yang mengalami kesulitan itu."
Menantu Ki Demang itu termangu-mangu. Namun kemudian
ia bergeser selangkah, sementara Gandar maju mendekati
perwira yang mengacukan pedangnya itu.
"Licik," geram perwira itu kepada menantu Ki Demang, "Kau
tidak berani bertempur tanggon sebagai seorang laki-laki."
Menantu Ki Demang itu tertegun. Wajahnya menjadi merah.
Tetapi Gandarlah yang menjawab, "Apa katamu tentang kawan-
kawanmu yang bertempur berpasangan" Jangan berbicara
tentang harga diri. Kita semuanya sudah kehilangan harga diri itu
di sini." Perwira itu menggeram, sementara Gandar mendesak, "Cepat,
bantulah kawanmu yang gemuk itu."
Menantu Ki Demang itu bagaikan tersadar dari mimpinya. Ia
pun kemudian berlari-lari menuju ke arena yang lain, sementara
Gandar telah mengambil alih kedudukannya dihadapan perwira
Jipang yang tersisa itu. 69 SH. Mintardja Sementara itu, menantu Ki Demang itu pun datang tepat pada
waktunya. Namun ujung pedang salah seorang di antara kedua
lawan orang yang gemuk itu telah tergores ditubuhnya.
"Anak setan," orang yang gemuk itu menggeram. Sementara
itu tombak ditangannya segera berputar pula. Namun
bagaimanapun juga ia mengalami banyak kesulitan menghadapi
kedua orang lawannya. Apalagi karena pengerahan segenap
kemampuannya telah membuatnya mulai merasa bahwa
tenaganya telah susut. Lukanya yang meskipun tidak begitu
dalam itu ternyata telah mempengaruhinya. Ketika ia meraba
luka itu terasa darah yang meleleh di sela-sela jarinya.
Bagaimanapun juga hatinya menjadi gelisah. Sementara kedua
orang lawannya menjadi semakin garang, sebagaimana seekor
serigala melihat seekor kelinci yang tidak sempat lagi melarikan
diri. Namun pada saat yang sulit itu ia melihat seseorang berlari ke
arahnya. Belum lagi ia berhenti, telah terdengar suaranya,
"Bertahanlah. Aku datang membantumu. Kita akan berhadapan
dua melawan dua." Wajah orang yang gemuk itu menjadi tenang. Kedatangan
menantu Ki Demang itu tentu akan melonggarkan
kedudukannya, sehingga ia tidak lagi terjepit disudut halaman
Pedang Ular Mas 14 Memanah Burung Rajawali Karya Jin Yong Golok Bulan Sabit 6
akan dapat melakukannya, sementara langit menjadi semakin
suram. Tidak akan ada lagi orang yang lewat jalan bulak itu."
Kawannya menengadahkan kepalanya memandang langit yang
buram pada saat senja turun. Cahaya kemerah-merahan masih
tersangkut di bibir mega, namun yang kemudian menjadi kelam.
Keempat orang itu masih berjalan beberapa puluh langkah
dibelakang Kiai Badra dan Gandar. Ketika mereka memasuki
bulak yang panjang, maka senja pun menjadi semakin gelap.
"Beberapa saat lagi jalan ini akan melintasi sungai. Pada saat
mereka menuruni tebing, maka kita akan dapat melakukannya,"
berkata orang yang bertubuh tinggi dan berjambang lebat.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka berjalan
semakin cepat, sehingga jarak antara mereka dengan Kiai Badra
pun menjadi semakin dekat.
7 SH. Mintardja Dalam pada itu, Kiai Badra dan Gandar sebenarnyalah sudah
mengetahuhi bahwa dibelakang mereka ada empat orang yang
mengikutinya. Dengan nada datar Gandar bergumam, "Orang-
orang itu nampaknya mempunyai maksud tertentu."
"Ya," jawab Kiai Badra, "Bukan maksud kita mencari perkara.
Tetapi kita harus mempertahankan tunggul ini. Taruhan dari
tunggul ini adalah leher kita."
"Apakah Kiai tidak akan berusaha untuk berbohong lagi"
Mungkin Kiai harus mempergunakan kata-kata yang lebih
meyakinkan bagi empat orang itu," berkata Gandar.
"Ah, kau ada-ada saja," desis Kiai Badra. "Empat orang itu
tentu tidak mudah percaya sebagaimana orang-orang yang
pernah kita jumpai sebelumnya."
"Apa boleh buat," berkata Gandar.
Kiai Badra tidak menyahut lagi. Tetapi ia mempercepat
langkahnya menyeberangi bulak panjang.
Ketika mereka melihat sungai melintas dihadapan mereka
maka Kiai Badra itu pun berkata, "Gandar. Kita akan segera
menuruni tebing. Senja sudah menjadi semakin kelam, sehingga
aku mempunyai perhitungan, jika orang-orang itu berniat buruk,
maka mereka mempunyai kesempatan melakukannya dibawah
tebing itu." Gandar mengangguk-angguk. Katanya, "Ya Kiai. Nampaknya
mereka juga mempercepat langkah mereka."
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia
bergumam, "Dalam kemelut yang melibat Pajang, Jipang dan
Demak sekarang ini, masih ada juga orang yang mencari
keuntungan dengan cara yang tidak wajar."
"Justru ketika para prajurit terikat dalam pertentangan seperti
sekarang ini, mereka mendapat kesempatan yang lebih luas
untuk melakukannya, Kiai," jawab Gandar.
8 SH. Mintardja Kiai Badra mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya ia
berpaling. Ternyata keempat orang yang mengikutinya itu
menjadi semakin dekat. Karena itu, maka Kiai Badra pun yakin
bahwa keempat orang itu akan menghentikannya ditepian setelah
mereka menuruni tebing. Di tepian mereka tidak akan diganggu
oleh siapapun. Biasanya jika ada petani yang pergi ke sawah mereka hanya
menyusuri air di parit. Biasanya mereka tidak turun ke sungai,
kecuali justru anak-anak yang membuka pliridan. Itu pun
biasanya dilakukan didekat padukuhan-padukuhan.
Tetapi Kiai Badra dan Gandar pun tidak lagi berbicara. Mereka
berjalan semakin cepat. Sementara itu langit pun menjadi
bertambah hitam. Sejenak kemudian, maka jalan yang akan mereka lalui itu pun
telah memotong sebuah sungai yang tidak mempunyai jembatan.
Karena itu maka Kiai Badra dan Gandar harus menuruni tebing
dan menyeberangi sungai yang airnya memang tidak terlalu
banyak itu. Ternyata seperti yang diperhitungkan oleh Kiai Badra.
Demikian mereka menuruni tebing, maka keempat orang itu
sudah berada beberapa langkah saja dibelakangnya.
"Gandar, berhati-hatilah. Kita tidak tahu siapakah mereka.
Apakah mereka sekadar perampok-perampok dan penyamun-
penyamun biasa, atau mereka justru orang-orang Jipang yang
berkeliaran di daerah ini dan mempunyai tugas tertentu sehingga
mereka tertarik melihat tunggul di dalam selongsong ini," berkata
Kiai Badra. Gandar tidak menyahut. Tetapi ia memang sudah
mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, ketika Kiai Badra dan Gandar sudah
menuruni tebing dan berada ditepian, maka keempat orang
itupun telah menyusul mereka. Orang yang bertubuh tinggi besar
dan berjambang lebat itu berkata, "Tunggu Ki Sanak. Ada sesuatu
yang ingin kami tanyakan."
9 SH. Mintardja Kiai Badra dan Gandar memang harus berhenti. Mereka
kemudian berdiri menghadap keempat orang yang berjajar
beberapa langkah dihadapannya.
"Apa yang Ki Sanak tanyakan?" bertanya Kiai Badra.
Orang itu memandang tunggul di tangan Kiai Badra.
Kemudian ia pun bertanya, "Apakah yang kau bawa itu Ki
Sanak?" Kiai Badra ternyata tidak ingin berbohong kepada orang-orang
itu, karena ia menyadari bahwa hal itu tidak akan ada gunanya.
Karena itu, maka ia pun menjawab, "Aku membawa tunggul."
Keempat orang itu termangu-mangu sejenak. Namun orang
yang bertubuh tinggi dan besar itu bertanya, "Tunggul siapa?"
"Tunggul bagi Tanah Perdikan Sembojan," jawab Kiai Badra
tanpa berusaha untuk menyembunyikan ujud benda yang
dibawanya dibawah selongsong itu.
"Apakah aku dapat melihat?" orang bertubuh tinggi itu
bertanya pula. "Maaf Ki Sanak. Tunggul ini harus aku sampaikan kepada
pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan," jawab Kiai
Badra. "Aku tidak mengenal pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikan Sembojan. Yang ada sekarang adalah tunggul yang
kalian bawa. Maaf, aku ingin melihatnya," ulang orang itu.
"Aku juga minta maaf Ki Sanak. Aku tidak dapat
menyerahkannya. Tunggul ini merupakan benda yang sangat
berharga, meskipun bendanya sendiri mungkin tidak mempunyai
nilai dalam arti uang. Tetapi nilai jiwani dari benda ini sangat
tinggi bagi Tanah Perdikan Sembojan," jawab Kiai Badra.
"Aku hanya ingin melihatnya," berkata orang bertubuh tinggi
itu. "Sekali lagi aku minta maaf," sahut Kiai Badra.
10 SH. Mintardja "Ki Sanak," berkata orang bertubuh tinggi besar itu sambil
bergeser selangkah maju, "Sikapmu tidak menyenangkan aku.
Aku tidak biasa membiarkan orang lain yang menentang
kehendakku." Wajah Kiai Badra menegang sejenak. Namun jawabannya
ternyata sangat mengejutkan orang yang bertubuh tinggi besar
itu. Katanya, "Maaf Ki Sanak. Aku memang tidak sedang
berusaha membuatmu senang. Tetapi ketahuilah, bahwa akupun
tidak biasa membiarkan diriku diperintah orang lain."
Terdengar orang bertubuh tinggi itu mengumpat kasar.
Setapak lagi ia maju. Dipandanginya Kiai Badra di dalam keremangan ujung
malam, Katanya, "Kau sudah tua Ki Sanak. Kau jangan terlalu
banyak tingkah. Kesombonganmu itu akan dapat menyeretmu ke
dalam kesulitan." Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya,
"Bukan maksudku menyombongkan diri Ki Sanak. Tetapi
sebenarnyalah aku tidak akan dapat menyerahkan benda ini
kepada siapapun juga meskipun hanya sekejap. Benda ini tidak
boleh berpisah dari tanganku, karena taruhannya adalah leherku
dan leher anakku ini."
"Ternyata kalian adalah orang yang paling malang. Kau berdiri
disimpang jalan yang kedua-duanya menuju ke kematian. Jika
kau serahkan benda itu, maka kau akan dipenggal lehermu.
Tetapi jika tidak, maka kau pun akan mati ditanganku, sementara
benda itu akan jatuh ke tanganku juga."
Kiai Badra mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia
bertanya, "Apa maumu sebenarnya Ki Sanak, dan siapakah kau
dan kawan-kawanmu?" "Siapa aku sama sekali tidak penting bagimu kakek tua. Yang
penting kau serahkan benda itu. Aku tidak akan mengusikmu.
Jika kemudian karena tanggung jawabmu atas benda itu kau
dipenggal lehermu itu bukan salahku," jawab orang bertubuh
tinggi dan berjambang lebat itu.
11 SH. Mintardja "Jadi jelasnya, kau ingin merampok benda yang kami anggap
sangat berharga ini meskipun ujudnya tidak seberapa?" berkata
Kiai Badra. "Ya. Begitulah," jawab orang itu.
"Nah, dengan demikian sikapku akan jelas," berkata Kiai
Badra. "Aku tentu akan bersikap lain terhadap seorang perampok
dengan orang yang ingin merampas benda ini karena memiliki
pengertian akan arti dan nilai jiwani dari benda mati ini."
Wajah orang bertubuh tinggi itu menjadi tegang. Ia tidak
menyangka bahwa orang tua itu akan menghadapinya dengan
tenang sekali. Seakan-akan keempat orang itu tidak akan dapat
meruntuhkan selembar rambutnya pun.
Karena itu dengan nada kasar orang bertubuh tinggi besar itu
berkata lantang, "Kakek tua. Yang paling mencelakakanmu
akhirnya adalah kesombonganmu. Jika kau tidak terlalu sombong
aku kira kami masih akan dapat membuat pertimbangan-
pertimbangan atas langkah-langkah yang akan kami ambil.
Tetapi memperlakukan kalian berdua dengan cara yang paling
buruk." "Apapun yang kalian katakan, akan sama saja artinya bagi
kami berdua. Kecuali jika kalian berniat untuk mengurungkan
rencana kalian merampas benda ini, maka kami akan sangat
berterima kasih dan tidak akan melupakan jasa dan kebaikan hati
kalian," berkata Kiai Badra.
"Apakah kau mulai merajuk?" bertanya orang yang akan
merampok tunggul itu. "Merajuk?" bertanya Kiai Badra. "Tidak Ki Sanak. Kami
berterima kasih karena kalian telah membebaskan kami dari
keharusan untuk setidak-tidaknya menyakiti kalian."
"Tutup mulutmu," orang bertubuh tinggi besar itu berteriak,
"Kalian memang harus dibunuh. Benda yang kalian bawa itu akan
merupakan alat yang paling baik untuk membunuh kalian."
12 SH. Mintardja "O," Kiai Badra mengerutkan keningnya. Namun adalah di
luar dugaan, bahwa Kiai Badra justru telah membuka selongsong
tunggul yang dibawanya, kemudian mengikatkan selongsongnya
pada lengannya sambil berkata, "Inilah tunggul yang aku bawa Ki
Sanak." Wajah keempat orang itu menjadi tegang ketika terpandang
olehnya tunggul yang dibawa oleh Kiai Badra. Tunggul yang
merupakan sebentuk lingkaran bergerigi dan seakan-akan
bercahaya keemasan. "Ini adalah bentuk Cakra. Hanya bentuknya saja. Sudah tentu
bukan benar-benar Cakra ciri kekuasaan Raja Dwarawati dalam
ceritera pewayangan," berkata Kiai Badra sebagaimana seorang
kakek berceritera kepada cucunya saja.
Sejenak orang yang bertubuh tinggi besar itu termangu-
mangu. Dalam keremangan ujung malam, mereka tidak dapat
melihat landean itu dengan jelas. Tetapi bentuk cakra itu sendiri
memang seolah-olah bercahaya memantulkan sinar bintang-
bintang dilangit. "Nah Ki Sanak," berkata Kiai Badra kemudian. "Apakah kalian
masih berniat untuk merampas benda ini?"
Orang bertubuh tinggi besar itu bagaikan terbangun dari
mimpinya. Namun dengan gagap ia menyahut, "Tentu. Tentu Ki
Sanak. Justru setelah aku melihat bahwa tunggul itu nampakya
dibuat dari emas. Mungkin tunggul itu dihiasai dengan permata
dan logam-logam berharga lainnya."
"Memang" berkata Kiai Badra. "Pada lingkaran karahnya
terdapat beberapa permata sebesar biji jagung melingkar. Nah,
bukankah untuk mendapatkan benda ini kalian sudah
sepantasnya mengorbankan nyawa kalian."
Kata-kata Kiai Badra itu benar-benar menusuk perasaan
keempat orang itu, sementara Kiai Badra merasa berhasil
membuat orang-orang itu marah sehingga mereka tidak akan
mampu mempergunakan nalar mereka dengan baik. Dengan
demikian, seandainya mereka berilmu tinggi, maka perasaan
13 SH. Mintardja mereka akan berada di depan mendesak nalar mereka. dengan
demikian maka satu tapak kemenangan telah dapat digapainya
meskipun untuk selanjutnya masih juga belum dapat dijajaginya.
Orang bertubuh tinggi itu menggeram. Sementara kawannya
mengumpat kasar. Sambil melangkah maju ia berkata, "Jangan
beri kesempatan lagi orang itu untuk mengigau. Kita dapat
membunuhnya dengan segera."
"Ya," jawab yang bertubuh tinggi besar. "Kita dapat
membunuhnya dan melemparkan bangkainya ke sungai itu. Kita
tidak peduli siapakah keduanya dan dari manakah mereka
mendapatkan tunggul itu."
Dengan demikian maka kawan-kawannya telah bersiap pula,
mereka justru telah merenggang. Agaknya mereka menyadari
bahwa orang yang membawa tunggul itu bukan orang
kebanyakan, sehingga dengan demikian maka mereka pun telah
mempersiapkan senjata mereka.
Kiai Badra pun telah bersiap pula. Dengan nada datar dan
sikap yang tidak menunjukkan kegelisahan sama sekali ia berkata
kepada Gandar, "He, kau akan mempergunakan senjata apa?"
Dan jawab Gandar pun ternyata mampu menyesuaikan diri
dengan sikap Kiai Badra, "Aku dapat mempergunakan senjata
apa saja. Juga batu-batu ditepian ini, atau aku akan meminjam
salah satu di antara senjata keempat orang itu."
"Bagus," sahut Kiai Badra. Tiba-tiba saja tunggul itu pun telah
merunduk.
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya, "Tunggul adalah tempat untuk menyangkutkan dan
memaparkan kelebet. Tetapi agaknya akan dapat juga
dipergunakan sebagai senjata, karena di medan perang, dalam
kedaan terpaksa mereka yang membawa tunggul, rontek dan
panji-panji dapat mempergunakannya untuk mempersenjatai
diri." 14 SH. Mintardja "Gila," teriak salah seorang dari keempat orang itu.
"Kesombongan kalian benar-benar merupakan satu kegilaan yang
belum pernah aku temui sebelumnya dari orang manapun juga."
"Sekali lagi aku katakan, "jawab Kiai Badra. "Kami bukannya
ingin menyombongkan diri. Tetapi kami memang orang-orang
yang memiliki kemampuan yang memadai untuk
mempertahankan tunggul itu."
Keempat orang itu telah benar-benar dibakar oleh kemarahan.
Mereka tidak lagi mengekang diri. Dengan tiba-tiba saja seorang
di antara mereka telah meloncat menyerang Kiai Badra yang
membawa tunggul yang diterimanya dari Pajang.
Ketajaman penglihatan Kiai Badra menangkap gerak orang itu.
Ternyata orang itu memang tidak dapat diabaikan. Dorongan
kekuatan di dalam dirinya tentu cukup besar.
Karena itu, maka Kiai Badra pun telah berusaha mengelak. Ia
tidak ingin benar-benar mempergunakan tunggul itu. Ia tidak
ingin menangkis serangan parang lawannya yang besar dengan
landean tunggul itu. Jika landean tunggul yang terbuat dari kayu
berlian itu menjadi cacat, maka Ki Tumenggung Wirajaya tentu
akan mempertanyakannya. Namun demikian, Kiai Badra akan dapat mempergunakan
pangkal landeannya. Jika ia berhasil mengetuk dahi lawannya
dengan pangkal landean yang disalut dengan logam yang keras
sebangsa perunggu itu, maka dahi lawannya itu tentu akan retak.
Serangan itu telah menggerakkan ketiga orang yang lain untuk
bertempur bersama-sama melawan dua orang yang mereka
anggap sangat sombong dan menyakitkan hati itu.
Gandar melihat pula tata gerak lawannya. Betapapun mereka
di dorong oleh perasaannya, namun ternyata bahwa keempat
orang itu memang memiliki bekal dalam olah kanuragan.
15 SH. Mintardja Karena itu bagaimanapun juga Gandar harus berhati-hati.
Tetapi sebagaimana dikatakannya, ia memang mampu
mempergunakan senjata apa saja. Juga ikat pinggangnya yang
terbuat dari kulit yang tebal itu pun dapat dipergunakannya
sebagai senjata. Yang dilakukan oleh Gandar itu
membuat keempat orang yang ingin
menyamun tunggul itu menjadi
semakin geram. Gandar benar-benar
melepaskan ikat pinggangnya dan
mempergunakannya sebagai senjata.
Kain panjangnya kemudian hanya
diikatkannya saja dipinggangnya.
"Gila," geram salah seorang dari
keempat orang yang ingin memiliki
tunggul itu. "Kau adalah orang yang tidak tahu
diri. Kesombonganmu melampaui
ukuran orang biasa."
"Aku memang bukan orang biasa," jawab Gandar sambil
memutar ikat pinggangnya.
Orang-orang yang ingin menyamun tunggul itu benar-benar
tidak dapat menahan diri lagi. Mereka pun kemudian telah
melibatkan diri ke dalam perkelahian yang sengit. Dua orang
melawan Kiai Badra sedang dua yang lain melawan Gandar.
Ternyata Kiai Badra dan Gandar pun kemudian merasa bahwa
lawan-lawannya ternyata memiliki bekal ilmu kanuragan pula.
Sehingga dengan demikian mereka harus berhati-hati. Namun
gejolak perasaan lawannya telah mempengaruhi sikap mereka.
Kemarahan mereka membuat mereka lebih banyak bertindak
atas dasar perasaannya, bukan penalaran atas ilmu yang
dihadapinya. 16 SH. Mintardja Kiai Badra bertempur dengan mempergunakan tunggul yang
dibawanya itu sebagai senjatanya. Tetapi ia tidak ingin
membenturkan tunggul itu bahkan landeannya pun tidak, agar ia
tidak membuat tunggul itu menjadi cacat.
Meskipun demikian, kecepatan gerak Kiai Badra telah
membuat kedua lawannya menjadi berdebar-debar. Kemarahan
yang menghentak-hentak di dadanya, membuat keduanya
semakin kabur menghadapi putaran tunggul di tangan Kiai
Badra. Tetapi sebenarnyalah bahwa Kiai Badra menyerang lawannya
justru dengan pangkal landeannya yang disalut dengan logam
sejenis perunggu. Ketika pada satu kesempatan terbuka, landean
tombak itu berhasil menyusup disela-sela putaran parang
lawannya yang besar mengenai pundaknya, maka terdengar
orang itu mengumpat kasar. Namun orang itu telah terdorong
beberapa langkah surut. Terasa pundaknya menjadi sakit sekali,
seakan-akan tulang-tulangnya telah menjadi retak karenanya.
Namun ternyata ia memiliki daya tahan yang cukup besar,
sehingga karena itu, maka ia pun kemudian telah meloncat
kembali memasuki arena. Tetapi demikian ia kembali memasuki arena, kawannyalah
yang terdorong jatuh. Landean tunggul itu ternyata telah menyambar pahanya,
sehingga rasa-rasanya kakinya telah patah.
Namun demikian ia jatuh, maka ia pun segera melenting
berdiri dan siap kembali memasuki arena pertempuran itu.
Di lingkaran pertempuran yang lain, Gandar telah
menunjukkan kelebihannya dengan caranya. Kedua lawannya
benar-benar tergetar hatinya melihat cara Gandar bermain
dengan senjatanya yang aneh. Ikat pinggangnya itu kadang-
kadang dihentakkannya sebagaimana ujung cambuk yang
berjurai panjang. Namun tiba-tiba ikat pinggang Gandar yang
dialiri getaran ilmunya telah berubah menjadi semacam kepingan
baja yang kokoh dan kuat.
17 SH. Mintardja Meskipun demikian kedua orang lawan Gandar itu adalah
orang-orang yang telah berpengalaman dalam petualangan
mereka menjelajahi dunia kelam. Tangannya telah dilumuri
dengan darah dan berpuluh-puluh orang yang kadang-kadang
tidak berdaya sama sekali untuk menghadapinya.
Namun, saat itu mereka ternyata telah membentur kekuatan
yang membuat mereka menjadi gentar juga.
Sementara itu Gandar dengan sengaja telah berusaha untuk
setiap kali mengejutkan lawannya. Ketika lawannya menjulurkan
senjatanya maka tiba-tiba saja ikat pinggang Gandar telah
membelitnya. Satu hentakan telah membuat senjata lawannya itu
terlepas dari tangannya. Dengan jantung berdentangan orang itu berusaha untuk
meloncat surut, menghindari serangan Gandar yang akan
menyusul. Namun dalam pada itu, kawannya berusaha untuk
membantunya dengan meloncat maju sambil mengayunkan
senjatanya menebas ke arah leher Gandar.
Tetapi betapa orang itu terkejut. Ikat pinggang yang baru saja
membelit dan menghentakkan senjata lawannya itu telah
dipergunakannya menangkis serangan pedangnya.
Yang terjadi kemudian adalah satu benturan yang
mengejutkan. Senjata orang itu ternyata telah membentur ikat
pinggang Gandar bagaikan membentur daun pedang yang terbuat
dari baja pilihan. "Gila," teriak orang itu sambil meloncat surut. Namun
sementara itu, kawannya telah sempat meloncat untuk
memungut senjatanya yang terlepas.
Gandar tertawa. Dengan nada rendah ia berkata, "Marilah Ki
Sanak. Kita teruskan permainan ini."
Kedua orang lawannya yang marah itu segera bersiap. Mereka
berada di dua arah. Dengan serentak mereka telah berloncatan menyerang.
18 SH. Mintardja Namun Gandar bergerak lebih cepat. Ternyata serangan
keduanya tidak mengenai sasarannya. Sementara itu Gandar
telah meloncat dan justru sambil mengayunkan ikat pinggangnya.
Yang terdengar seorang di antara kedua lawannya itu
mengaduh. Ikat pinggang Gandar itu mengenai punggungnya.
Terasa betapa nyerinya. Namun yang terasa di punggung lawannya itu memang tidak
lebih dari sentuhan selembar kulit sebagaimana yang dilihatnya.
Ikat pinggang yang mengenai punggungnya itu tidak melukainya
sebagaiman sebilah pedang. Tidak pula meretakkan tulangnya
sebagai sepotong besi. Tetapi ikat pinggang itu telah membuat
kulit punggungnya merah melintang selebar ikat pinggang itu
sendiri. Orang yang dikenai ikat pinggang Gandar itu mengumpat. Di
dalam hatinya ia bertanya, "Apakah orang ini tukang sulap yang
dapat mengelabuhi mataku, atau mungkin perasaannku, seolah-
olah ikat pinggangnya dapat menjadi sekeping besi atau sebilah
pedang" Ternyata ketika ikat pinggang itu mengenaiku, maka
sentuhan itu tidak lebih dari sentuhan sebuah ikat pinggang kulit
meskipun terasa pedih juga."
Tetapi orang itu tidak sempat banyak berpikir. Sementara itu
ikat pinggang Gandar telah berputar lagi menyambar-nyambar
sehingga kedua orang lawannya harus berloncatan menghindari
sambil mengayun-ayunkan senjata mereka.
Namun senjata mereka ternyata menjadi tidak banyak
berguna. Jika mereka menyerang dan kemudian mendekati
Gandar sampai jarak jangkau ujung parang mereka, maka justru
ujung ikat pinggang Gandarlah yang mematuk mereka lebih
dahulu. Meskipun tidak menimbulkan luka yang menganga,
tetapi sentuhan ujung ikat pinggang itu terasa sakit sekali.
Bahkan kadang-kadang rasa-rasanya dada mereka telah ditusuk
dengan sebatang linggis. Atau seakan-akan dikenai dan dikoyak
oleh ujung pedang. Namun yang membekas ditubuh mereka
adalah noda-noda merah kebiru-biruan tanpa menitikkan darah.
19 SH. Mintardja Meskipun demikian, darah dibawah kuit daging mereka
seakan-akan telah menjadi bergumpal-gumpal. Biru kehitaman
dan kulit pun membengkak.
Kedua orang lawan Gandar itu berganti-ganti mengaduh
tertahan. Tubuh mereka telah dikenai ikat pinggang kulit itu
sehingga rasa-rasanya tidak ada lagi yang terlampaui, kecuali
pada wajah mereka. Sementara itu, lawan Kiai Badra pun menjadi semakin
terdesak pula. Pangkal landean tunggul itu ternyata mematuk
terlalu cepat untuk dihindari atau ditangkis dengan senjata.
Setiap kali terasa pangkal landean tunggul itu bagaikan
memecahkan tulang. Sekali mematuk pundak, lengan, punggung,
kemudian menyambar rusuk dan bahkan seorang di antara lawan
Kiai Badra telah kehilangan ikat kepalanya tersentuh pangkal
landean tunggul itu. Untunglah bahwa Kiai Badra memang tidak
ingin memecahkan tulang kepalanya.
Dengan demikian maka keempat orang yang ingin merampas
tunggul itu pun akhirnya telah kehilangan harapan. Dengan
putus asa mereka berkelahi. Namun mereka sama sekali tidak
dapat menghindari sentuhan-sentuhan pangkal landean tunggul
di tangan Kiai Badra dan ikat pinggang kulit Gandar. Semakin
lama maka sentuhan-sentuhan itu pun menjadi semakin sering,
sehingga tubuh keempat orang yang berkelahi melawan Kiai
Badra dan Gandar itu pun menjadi semakin kesakitan.
Orang yang bertubuh tinggi besar dan berjambang lebat itu
pun tidak melihat lagi kemungkinan apalagi untuk memenangkan
perkelahian itu, merampas tunggul dan kemudian membunuh
pembawanya, sedangkan untuk mempertahankan diri pun
keempat orang itu sudah merasa bahwa tidak mungkin untuk
melakukannya. Karena itu, bagi orang berjambang lebat itu tidak ada pilihan
lain yang dapat dilakukan kecuali melarikan diri. Karena itu,
maka ia pun segera mempersiapkan diri untuk melakukannya.
20 SH. Mintardja Untuk mengacaukan kedua orang pembawa tunggul itu maka
keempat orang itu harus bersama-sama melarikan diri ke arah
yang berbeda. Untuk itu orang bertubuh tinggi besar itu tidak
perlu memberitahukannya. Mereka sudah mengerti, apa yang
harus mereka lakukan jika mereka terpaksa melarikan diri.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, orang bertubuh
tinggi besar itu pun telah memberikan isyarat. Dari mulutnya
terdengar semacam suitan nyaring, sehingga ketiga orang
kawannya pun segera menyadari, bahwa tidak ada pilihan lain
bagi mereka daripada melarikan diri.
Dalam sekejap maka keempat orang itu pun telah melakukan
ancang-ancang. Demikian cepat, sehingga sejenak kemudian
mereka telah berloncatan ke arah yang berbeda untuk menguji
nasib mereka masing-masing. Siapa yang selamat dan dapat tetap
hidup adalah orang yang bernasib baik, sementara yang bernasib
buruk tentu akan diburu dan harus mati ditepian itu.
Namun perhitungan mereka ternyata keliru. Ternyata keempat
orang itu tidak sempat meninggalkan arena. Demikian mereka
meloncat lari, maka punggung mereka pun bagaikan terasa patah.
Dua orang yang berkelahi melawan Gandar, terasa hentakan yang
luar biasa kuatnya pada punggung mereka. Seleret kekuatan yang
mengenai punggungnya membuat keduanya terpelenting dan
jatuh di pasir tepian. Ketika mereka berusaha untuk bangkit, maka yang terdengar
adalah keduanya menyeringai kesakitan.
Sementara itu, dua orang yang lain, yang bertempur melawan
Kiai Badra pun tidak sempat melarikan diri. Rasa-rasanya seorang di antara mereka
telah terpatuk tulang punggungnya sehingga bagaikan patah.
Sedangkan yang lain, pangkal landean tunggul itu justru telah
mengetuk tengkuknya sehingga orang itu terjerembab jatuh
menelungkup di pasir tepian. Wajahnya menyuruk ke dalam pasir
sementara tengkuknya bagaikan membengkak sebesar
genggaman tangan. 21
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
SH. Mintardja Ternyata bahwa orang itu pun tidak mampu lagi untuk bangkit
dan berdiri sehingga dengan demikian maka keempat orang itu
pun kehilangan kemungkinan untuk melepaskan diri dari tangan
kedua orang yang membawa tunggul itu.
Sejenak kemudian Kiai Badra dan Gandar berdiri termangu-
mangu. Keempat orang yang akan merampas tunggul itu sama
sekali tidak berdaya. Karena itu, maka mereka dengan lemahnya
menjadi pasrah atas perlakuan yang akan mereka terima dari
kedua orang yang akan dirampoknya itu.
"Marilah," berkata Kiai Badra. "Jika kalian memang laki-laki
pilihan, berusahalah untuk merampas tunggul ini. Tunggul ini
memang sangat berharga. Bukan hanya karena tunggul ini mengandung emas dan
berlian, tetapi dengan tunggul ini kalian akan dapat mengalahkan
siapapun juga, karena orang yang membawa tunggul ini tidak
akan terkalahkan siapapun lawannya. Karena itulah aku
memastikan bahwa kami berdua tentu akan dapat mengalahkan
kalian berempat. Jangankan berempat, melawan sepuluh orang pun kami tidak
akan gentar, karena batas kemenangan tunggul ini memang
selupuh orang." Keempat orang itu sama sekali tidak menjawab. Namun
mereka berusaha untuk dapat bangkit dan duduk di atas pasir
tepian betapapun tubuh mereka merasasakit.
"Jika kalian sudah tidak mau melawan, maka sampailah
saatnya kami memberikan pertanda kemenangan kami," berkata
Kiai Badra. Keempat orang itu termangu-mangu.
Bahkan yang seorang di antara mereka bertanya, "Apakah
pertanda kemenangan itu.".
"Bagi seorang laki-laki pertanda kemenangan dalam
perkelahian adalah kematian lawannya. Karena itu bersiaplah,
kami akan membunuh kalian," berkata Kiai Badra.
22 SH. Mintardja "O," ternyata seorang yang lain memohon, "Kami mohon
ampun." Tetapi Kiai Badra tertawa. Katanya, "Kau minta ampun,"
Apakah kau tahu artinya, bahwa seorang laki-laki minta ampun?"
Orang itu menggeleng. Sementara Kiai Badra menyahut,
"Pengecut. Laki-laki yang mengelakkan diri dari kematian dalam
pertempuran adalah pengecut."
Keempat orang itu menjadi bingung. Mereka benar-benar
putus asa dan tidak berpengharapan lagi. Apalagi ketika Gandar
melangkah maju mendekati mereka.
Dengan nada berat ia berkata, "Aku meminjam parang kalian.
Yang manakah yang paling tajam dan yang manakah yang kira-
kira dapat dipergunakan untuk sekaligus memenggal leher kalian
agar kalian tidak terlalu tersiksa menjelang kematian kalian."
Keempat orang itu menjadi gemetar. Namun karena itu, maka
Kiai Badra dan Gandar dapat menebak, bahwa mereka benar-
benar perampok. Mereka bukan prajurit Jipang yang berpura-
pura menjadi perampok, karena prajurit Jipang tidak akan
bersikap demikian. Karena itu, maka dengan nada tinggi Kiai Badra bertanya, "He,
apakah benar-benar kalian minta ampun."
Keempat orang itu saling berpandangan. Seorang di antara
mereka menjawab, "Ya Ki Sanak. Kami minta ampun."
"Jadi kalian minta tidak dibunuh?" bertanya Kiai Badra.
"Ya. Kami mohon," jawab seorang di antara mereka.
Kiai Badra pun kemudian mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Tetapi yang kami cemaskan adalah bahwa dengan
menghidupi kalian, kami masih akan memberi kesempatan
kepada kalian untuk merampok. Mungkin orang lainlah yang
akan menjadi korban. Jika aku menghindarkan diri dari
membunuh empat orang sekarang ini disini, mungkin pada
23 SH. Mintardja kesempatan-kesempatan lain kau akan membunuh jauh lebih
banyak dari empat orang."
"Tidak. Kami berjanji," desis orang yang bertubuh tinggi besar.
"Apa artinya janji bagi kalian," geram Kiai Badra.
Keempat orang itu menjadi bingung. Tetapi mereka tidak
dapat menyalahkan, bahwa mereka sudah tidak dapat lagi
mendapat kepercayaan dari siapapun juga karena tingkah laku
mereka. Meskipun demikian orang itu masih berusaha, "Kami
bersumpah." "Bagaimana mungkin kami dapat mempercayai kalian,"
berkata Kiai Badra. Namun kemudian, "Tetapi baiklah. Kami
akan mencoba mempercayai kalian. Tetapi kami harus pernah
melihat rumah kalian. Keluarga kalian dan cara hidup kalian."
Wajah keempat orang itu menegang. Namun sementara itu
Kiai Badra berkata, "Jika kalian berkeberatan, maka biarlah
kalian kami selesaikan. Persoalannya tidak akan berkepanjangan,
dan kalian tidak akan memungut korban lagi. Baik harta benda
dan apalagi nyawa." Dengan demikian, maka keempat orang itu tidak dapat
menolak. Orang yang membawa tunggul itu akan melihat rumah
mereka. Setelah menutup kembali tunggul yang dibawanya dengan
selongsongnya, maka Kiai Badra dan Gandar telah mengikuti
keempat orang yang masih sangat lemah itu.
Tulang-tulang mereka terasa terlepas dari sendi-sendinya.
"Kita pergi ke rumahmu," desis Kiai Badra kepada orang yang
bertubuh tinggi besar itu.
Wajah orang itu menjadi sangat tegang. Katanya, "Rumahku
adalah yang paling jauh. Kenapa tidak ke rumah kawanku ini?"
24 SH. Mintardja "Tidak," jawab Kiai Badra. "Kami berdua ingin pergi ke
rumahmu." Orang itu menjadi bingung. Tetapi Kiai Badra berkata, "Jika
kau menolak, itu berarti bahwa kau tidak berkata dengan jujur,
sehingga aku tidak yakin bahwa kau benar-benar tidak akan
melakukan lagi. Karena itu, maka bagi kami lebih baik
membunuh kalian." Wajah orang itu menjadi pucat.
"Jawab," geram Gandar. "Kau bersedia membawa kami ke
rumahmu atau tidak?"
Orang itu tidak dapat mengelak. Karena itu, maka mereka pun
kemudian berjalan menuju ke rumah orang yang bertubuh tinggi
besar itu. Nampak keragu-raguan sekali telah mengekang perjalanan
orang itu. Tetapi dengan demikian Kiai Badra justru ingin tahu,
kenapa orang itu berkeberatan jika ia pergi ke rumahnya. Tentu
bukan karena orang itu tidak ingin diketahui rumahnya, tetapi
agaknya ada sebab lain. Ketika mereka memasuki padukuhan tempat tinggal orang itu,
padukuhan itu telah sepi. Cahaya obor disana-sini nampak
menerangi regol. Tetapi pada umumnya jalan-jalan di padukuhan
itu nampak gelap. Keempat orang itu berjalan dengan langkah yang tertegun-
tegun diikuti oleh Kiai Badra dan Gandar. Namun mereka
ternyata tidak dapat berbuat lain kecuali membawa kedua orang
itu ke rumah orang yang bertubuh tinggi besar dan berjambang
lebat itu. Sejenak kemudian, orang yang bertubuh tinggi besar itu pun
berhenti. Ia nampak gelisah. Kemudian katanya kepada Kiai
Badra, "Ki Sanak. Apakah kalian cukup melihat rumahku dari
luar?" "Tidak," jawab Kiai Badra. "Aku ingin menjadi tamumu. Aku
ingin berbicara dengan anak istrimu."
25 SH. Mintardja Wajah orang bertubuh tinggi besar itu menjadi semakin
tegang. Namun Kiai Badra yang menjadi semakin ingin tahu itu
pun berkata, "Jika kau keberatan, maka seperti yang telah aku
katakan. Kita kembali ke tepian, dan kalian tidak akan pernah
pulang." Orang bertubuh tinggi besar itu menarik nafas dalam-dalam.
Kawan-kawannya memandanginya dengan perasaan yang aneh di
wajah mereka. Namun Kiai Badra dan Gandar justru semakin ingin
mengetahui, apakah sebabnya orang itu menjadi gelisah.
Orang yang bertubuh tinggi besar itu benar-benar tidak dapat
mengelak. Selangkah demi selangkah, akhirnya mereka pun
sampai ke regol sebuah halaman yang luas.
Dengan ragu-ragu orang itu berkata, "Inilah rumahku."
Kiai Badra dan Gandar termangu-mangu. Sementara itu orang
yang bertubuh tinggi besar itu perlahan-lahan dengan penuh
keseganan membuka pintu regol yang tidak diselarak.
Kiai Badra dan Gandar terkejut. Ternyata disebelah halaman
yang luas itu berdiri sebuah rumah yang besar dan nampak kokoh
dan kuat. Terbuat dari kayu pilihan dengan garapan yang sangat
bagus. Orang bertubuh tinggi besar itu termangu-mangu. Namun
akhirnya ia mengangguk sambil menjawab, "Ya. Ini rumahku."
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Di edarkan
pandangan matanya ke sekelilingnya. Dilihatnya kandang di
halaman samping agak ke belakang. Menilik besarnya, maka
tentu ada beberapa ekor ternak di dalam kandang itu. Sementara
itu terdengar pula ringkik kuda disebelahnya.
"Aku tak mengira," desis Kiai Badra. Namun kemudian ia
berkata, "Tetapi jangan mencoba menipu kami. Kau tahu, bahwa
kami berdua dapat berbuat jauh lebih banyak dari yang telah
kami lakukan." 26 SH. Mintardja "Sama sekali tidak," berkata orang bertubuh tinggi besar itu.
"Kami sama sekali tidak akan menjebakmu. Bahkan seandainya
kalian mengurungkan niat kalian untuk masuk ke dalam
rumahku, aku sangat berterima kasih."
"Sikapmu justru mendorong aku untuk semakin ingin
memasuki rumahmu yang besar ini. Aku memang hampir tidak
percaya bahwa rumah ini adalah rumah seorang penyamun.
Sepantasnya rumah ini adalah rumah seorang Kepala Tanah
Perdikan sebagaimana rumah Kepala Perdikan di Sembojan,"
berkata Kiai Badra. Orang bertubuh tinggi besar itu tidak menjawab. Namun
kemudian dengan terpaksa sekali ia membawa Kiai Badra dan
Gandar naik ke pendapa. "Silakan duduk," berkata orang bertubuh tinggi besar itu.
Tetapi Kiai Badra justru menjadi sangat berhati-hati
menghadapi orang yang bertubuh tinggi besar itu. Karena itu,
maka katanya kepada Gandar, "Kau duduk disini bersama ketiga
orang kawannya. Aku akan ikut ke ruang dalam."
Wajah orang bertubuh tinggi itu menjadi semakin tegang.
Tetapi dengan pangkal landean tombaknya, Kiai Badra
menyentuh punggungnya sambil berkata, "Kau tahu, bahwa
selama ini aku hanya mempergunakan pangkalnya. Meskipun
tunggul pada dasarnya bukan senjata, tetapi kau sudah melihat bahwa ujung
dari tunggul ini berbentuk cakra. Dengan kemampuan tersendiri,
maka cakra ini akan dapat memenggal lehermu dengan sekali
sentuh, tanpa membuka selongsongnya lebih dahulu, meskipun
demikian aku harus mengganti selongsongnya dengan yang baru.
Wajah orang bertubuh tinggi itu menjadi pucat. Di bawah
cahaya lampu minyak, maka nampak betapa keringat membasahi
keningnya. "Marilah," berkata Kiai Badra.
27 SH. Mintardja Orang itu tidak dapat berbuat lain. Ia pun kemudian perlahan-
lahan mengetuk pintu rumahnya.
Namun sebelum pintu itu dibuka, maka orang itu pun
berdesis, "Ki Sanak. Apakah aku boleh mengajukan satu
permohonan?" "Apa?" bertanya Kiai Badra.
Orang itu memandang ketiga orang kawannya yang duduk
bersama Gandar di pendapa itu. Lalu katanya, "Jangan sebut-
sebut apa yang telah aku lakukan."
Kiai Badra mengerutkan keningnya. Lalu dengan nada tinggi
ia bertanya, "Kenapa?"
"Aku mohon Ki Sanak jangan mengatakan kepada istriku, apa
yang telah aku lakukan dan sebagaimana kau ketahui, apa
kerjaku selama ini," wajah orang itu benar-benar menjadi
memelas. "Aku kurang mengerti," berkata Kiai Badra.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Ki Sanak. Baiklah aku berterus terang. Selama ini
istriku tidak mengetahui siapakah aku sebenarnya. Ia
menganggap aku seorang pedagang yang sangat berpengaruh. Ia
menganggap aku menjadi kaya karena pekerjaanku itu.
Bukan sebagai seorang perampok. Ia berbangga dengan aku
sebagai suaminya, karena aku adalah seorang pedagang yang
bekerja keras tetapi yang dianggapnya dengan jujur. Hasil yang
aku peroleh ini pun telah memberikan kebanggaan kepadanya.
Bukan saja istriku, tetapi juga mertuaku berbangga atas
kerjaku. Mertuaku adalah Demang di Kademangan ini. Kau dapat
membayangkan, apa yang akan terjadi atasku jika istriku
akhirnya mengetahui bahwa aku adalah seorang perampok."
Wajah Kiai Badra menegang sejenak. Lalu katanya, "Bukan
main. Jadi ternyata kau adalah ular berwajah rangkap."
"Aku mohon Ki Sanak dapat mengerti," desis orang itu.
28 SH. Mintardja Kiai Badra tidak menjawab. Tetapi ialah yang kemudian justru
mengetuk pintu semakin lama semakin keras.
Sejenak kemudian terdengar suara seorang perempuan di
dalam, "Siapa itu?"
"Jawab," desis Kiai Badra.
Orang bertubuh tinggi besar itu ragu-ragu. Namun kemudian
ia pun menjawab, "Aku."
Perempuan di dalam rumah itu sudah mengenal betul suara
suaminya. Karena itu, maka ia pun tidak bertanya lebih lanjut.
Yang kemudian terdengar dari luar adalah langkah perempuan
mendekati pintu. Sejenak kemudian maka pintu itu pun terbuka. Seorang
perempuan berdiri termangu-mangu di pintu. Sekali-sekali ia
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menatap suaminya namun kemudian ditatapnya wajah Kiai
Badra, orang yang belum pernah dikenalnya.
"Ini tamuku," suaminya itu mencoba tersenyum.
"O," istrinya mengangguk-angguk. Tetapi ia merasa heran,
biasanya tamu-tamu suaminya dipersilakannya duduk di
pendapa. Namun ketika ia menjenguk pendapa, dilihatnya beberapa
orang sudah duduk di atas tikar pandan yang putih.
Istrinya justru menjadi ragu-ragu, apakah yang harus
dilakukan. Namun suaminyalah yang kemudian berkata,
"Tamuku yang seorang ini membawa dagangan yang khusus. Aku
ingin mempersilakannya duduk di dalam."
"O," istrinya kemudian bergeser, "Silakan."
"Terima kasih," jawab Kiai Badra yang kemudian melangkah
masuk. Keduanya pun kemudian duduk di ruang dalam, sementara
istrinya meninggalkan mereka dan kembali ke dalam biliknya.
29 SH. Mintardja "Ia sedang menyusui. Anak kami yang kedua baru berumur
lima bulan," berkata orang bertubuh tinggi besar itu.
"Untunglah, ia tidak melihat wajahmu yang bernoda kebiru-
biruan itu," berkata Kiai Badra. Orang itu hanya menundukkan
kepalanya saja. Di wajahnya terbayang gejolak perasaannya yang
melonjak-lonjak. Bahkan kemudian dengan nada penyesalan
yang sangat dalam ia berkata, "Aku mohon Ki Sanak. Barangkali
lebih baik aku kau bunuh saja ditepian tetapi dengan kesan yang
lain dari kematian seorang perampok."
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ki Sanak.
Kau telah melakukan satu kesalahan. Kesalahan yang sangat
besar. Seharusnya kau dihukum sangat berat karena kau telah
melakukan perampokan dan barangkali kau telah pernah
melakukan pembunuhan."
"Tidak Ki Sanak," jawab orang itu dengan serta merta. "Aku
tidak melakukan pembunuhan. Biasanya orang-orang yang aku
datangi menjadi ketakutan dan dengan begitu saja menyerahkan
segala yang aku minta."
"Apakah kau berkata sebenarnya?" bertanya Kiai Badra.
"Aku berkata sebenarnya," jawab orang itu. Bahkan kemudian
katanya, "Ki Sanak. Aku mempunyai banyak simpanan. Yang
sudah diketahui maupun yang belum diketahui oleh istriku. Jika
Ki Sanak memerlukan, bawa barang-barang itu. Apalagi yang
belum diketahui oleh istriku."
"Jadi kau telah memberikan barang-barang hasil rampokan itu
kepada istrimu?" bertanya Kiai Badra.
"Tidak. Yang diketahui oleh istriku tentu barang-barang yang
aku beli. Tetapi uangnyalah yang aku dapat dari hasil kerja
ini,"jawab orang itu. "Sedangkan barang-barang yang aku
dapatkan itulah yang aku simpan tanpa sepengetahuan istriku."
"Ki Sanak," berkata Kiai Badra. "Jika kau menyesali
perbuatanmu, aku tidak akan mengatakan pekerjaanmu ini
kepada istrimu. Tetapi jika ternyata masih terjadi perampokan di
30 SH. Mintardja daerah ini, siapapun yang melakukannya, maka aku akan
mengambil langkah-langkah untuk mempersoalkannya dengan
istrimu dan dengan mertuamu. Demang di daerah ini."
"Aku berjanji Ki Sanak. Aku akan menyesali perbuatanku dan
untuk selanjutnya aku akan berhenti melakukannya," jawab
orang itu. "Lalu barang-barang yang kau sembunyikan?" bertanya Kiai
Badra. "Aku tidak mengerti. Barang-barang itu sebaiknya diapakan,"
desis orang itu. "Sejauh dapat dikenali pemiliknya, barang itu sebaiknya
dikembalikan," berkata Kiai Badra.
"Tetapi dengan cara bagaimana agar tidak justru menjerat
leherku sendiri," berkata orang itu.
"Kau dapat mencari cara. Sementara itu kau dapat
menyembunyikannya. Pada suatu saat, jika kau mendapatkan
jalan yang paling baik, lakukanlah," berkata Kiai Badra.
"Jadi Kiai tidak akan mengatakan pekerjaanku sekarang
kepada istriku, apalagi kepada mertuaku?" bertanya orang itu.
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia
berkata, "Bagaimanapun juga kau harus mendapat hukuman.
Tetapi baiklah. Untuk sementara aku tidak akan mengatakannya.
Meskipun demikian seperti yang kau sudah aku katakan, jika di
daerah ini masih terjadi perampokan, maka yang pertama-tama
akan aku datangi adalah kau.
"Baiklah. Aku berjanji. Aku akan berbicara dengan kawan-
kawanku," berkata orang itu.
"Nah, baiklah," berkata Kiai Badra. "Mudah-mudahan kau
menepati janjimu agar aku tidak perlu berbuat sesuatu
lagi.?"Baiklah Ki Sanak," orang itu termangu-mangu.
31 SH. Mintardja "Untuk kebaikan hatimu aku mengucapkan terima kasih.
Tetapi siapakah sebenarnya Ki Sanak yang membawa tunggul
ini?" "Siapa pun aku. Tetapi tunggul ini adalah tunggul Kadipaten
Pajang," berkata Kiai Badra. "Justru dalam kemelut seperti ini
kau telah melakukan perbuatan tercela. Apakah kau tidak
mendengar bahwa prajurit Jipang sudah ada diperbatasan"
Sementara prajurit Pajang mempersiapkan diri menghadapinya,
maka kau dan kawan-kawanmu berbuat kejahatan. Memang
dalam keadaan seperti ini kau mendapat kesempatan yang lebih
leluasa karena para prajurit memusatkan perhatiannya kepada
persoalan yang timbul antara Pajang dan Jipang. Namun justru
dalam keadaan seperti ini kau harus membantu memecahkan
persoalan." Orang itu mengangguk-angguk.
"Nah, renungkan. Apakah yang dapat kau berikan kepada
Pajang untuk menegakkannya, justru ketika Pajang dikepung
oleh Jipang. Bukan sebaliknya," berkata Kiai Badra.
Orang bertubuh tinggi besar itu merenung. Tetapi nampak
keragu-raguan membayangi wajahnya. Agaknya ada sesuatu yang
ingin dikatakannya. Namun ditahankannya ditengah
tenggorokan. "Ki Sanak," berkata Kiai Badra yang menangkap keragu-
raguan itu, "Apakah masih ada yang ingin kau katakan?"
Orang bertubuh tinggi besar itu tidak segera menjawab.
Karena itu, maka Kiai Badra mendesaknya, "Katakanlah jika
masih ada persoalan. Apapun juga. Baik atau tidak baik.
Menguntungkan atau tidak. Justru dengan mengenali
persoalannya kita akan dapat mencari jalan pemecahan."
Orang itu memandang ke arah pintu. Dengan nada berat ia
berkata, "Ki Sanak. Sebenarnya satu di antara kawan-kawanku
memang berhubungan dengan orang-orang Jipang."
"He!" Kiai Badra terkejut, "Dalam hal apa?"
32 SH. Mintardja "Orang-orang Jipanglah yang mendorongnya untuk
melakukan pekerjaan seperti ini di tlatah Pajang. Memang
alasannya agak berbeda dengan alasanku. Namun akhirnya kami
dapat bekerja bersama," jawab orang itu.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Siapakah yang
lebih berpengaruh di antara kalian. Kau atau orang itu?"
Orang yang bertubuh tinggi besar itu berkata, "Kawan-
kawanku yang lebih percaya kepadaku."
"Tetapi kawan-kawanmu yang lain apakah juga mengetahui
bahwa kawanmu yang seorang itu berhubungan dengan orang-
orang Jipang?" berkata Kiai Badra.
"Ya, mereka mengetahui. Dan mereka pun menyadari bahwa
justru dalam kemelut seperti ini, kami dapat melakukan
pekerjaan kami dengan lebih baik," jawab orang itu.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya bukan
hanya kawanmu itu. Di daerah lain tentu ada juga kelompok-
kelompok yang dibujuknya untuk membuat kekalutan di daerah
Pajang. Karena dengan demikian, maka mereka akan dapat
memperlemah kedudukan Pajang dalam satu segi. Nah, karena
itu terserah kepadamu. Jika kau benar-benar ingin menyesali
kesalahanmu dan agar aku tidak berhubungan dengan Ki
Demang, maka kau harus dapat menghentikan pokal kalian.
Apalagi jika hal itu ada hubungannya dengan orang-orang Jipang.
Jika kau tidak dapat melakukannya, maka kau tentu akan
menyesal." "Baiklah. Aku akan berusaha," jawab orang itu.
"Jika demikian, kali ini aku tidak akan mengatakannya kepada
istrimu dan mertuamu. Kau masih dapat mempertahankan
wibawamu. Tetapi sementara itu kau harus mencari jalan
pemecahan tentang barang-barang yang sudah telanjur kau
simpan. Sementara itu kau pun harus dapat mengendalikan
kawan-kawanmu. Jika tidak maka barang-barang yang tentu
dipunyai juga oleh kawan-kawanmu itu dapat membahayakan
kedudukanmu. Jika seorang saja di antara kawan-kawanmu yang
33 SH. Mintardja tertangkap, maka orang itu tentu akan menyebut namamu. Maka
hancurlah martabatmu dihadapan Ki Demang dan dihadapan
orang-orang Kademangan ini," berkata Kiai Badra.
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun
mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti. Meskipun baru sekarang hal ini
terpikirkan olehku."
"Baiklah. Biarlah aku meneruskan perjalanan kali ini," berkata
Kiai Badra."Ki Sanak. Hari sudah terlalu malam untuk
melanjutkan perjalanan. Sebaiknya Ki Sanak bermalam disini
saja," berkata orang itu. "Biarlah aku berbicara dengan kawan-
kawanku." Kiai Badra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Baiklah. Terima kasih. Aku terima tawaranmu."
"Marilah. Biarlah Ki Sanak beristirahat di gandok bersama
kawan Ki Sanak itu," berkata orang bertubuh tinggi besar itu.
"Aku akan menjelaskan persoalannya kepada kawan-kawanku.
Mudah-mudahan mereka dapat mengerti."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih atas
kesempatan ini." Orang bertubuh tinggi besar itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian ia pun mempersilakan Kiai Badra untuk ke luar
pendapa. Kiai Badra pun kemudian duduk bersama Gandar dan tiga
orang kawan orang bertubuh tinggi besar itu. Sementara itu,
pemilik rumah itu telah berkata kepada istrinya, bahwa dua orang
tamunya akan bermalam di rumah itu.
"Suruhlah seseorang merebus air untuk mereka malam ini.
Jika masih ada nasi, suguhilah mereka makan. Agaknya mereka
memang belum makan malam," berkata orang yang bertubuh
tinggi itu. 34 SH. Mintardja Istrinya pun kemudian pergi ke dapur. Dibangunkannya
seorang pelayannya dan disuruhnya memanasi air.
Orang yang besar itu pun kemudian mempersilakan Kiai
Badra dan Gandar bermalam di gandok, sementara ia minta
kawan-kawannya untuk tinggal.
Sepeninggalan Kiai Badra yang membawa tunggulnya ke bilik
yang disediakan untuknya bersama Gandar, maka pemilik rumah
itu pun telah berbincang dengan ketiga orang tamunya yang lain,
kawan-kawannya melakukan tugas-tugas rahasianya.
"Ternyata keduanya bukan orang-orang kasar dan apalagi
pembunuh," berkata orang yang bertubuh tinggi itu. "Ternyata
kita mendapat kesempatan untuk hidup meskipun kita sudah
mengancam untuk membunuh mereka.
Kawannya mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka
bergumam," Kita wajib berterima kasih."
"Ya. Kita wajib berterima kasih. Selebihnya ternyata ia sudah
berbuat lebih baik daripada sekadar tidak membunuh. Ia telah
memenuhi permintaanku untuk tidak mengatakan kepada istri
dan mertuaku, apa kerja kita sebenarnya," berkata pemilik rumah
itu. "Jadi ia tetap berdiam diri?" bertanya kawannya.
"Ya. Ia bersedia untuk memenuhi permintaanku, meskipun
dengan syarat," jawab orang bertubuh tinggi itu.
Ketiga orang kawannya itu menjadi semakin bersungguh-
sungguh. Salah seorang di antaranya bertanya, "Syaratnya apa?"
"Aku harus menghentikan kerja ini. Jika aku masih
melakukannya maka rahasiaku akan diberitahukannya kepada
istri dan lebih-lebih lagi kepada mertuaku," jawab orang
bertubuh tinggi itu. Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Lalu katanya,
"Jadi kau harus berhenti dengan kerja ini?"
"Bukan hanya aku, tetapi kita," jawab pemilik rumah itu.
35 SH. Mintardja Kawan-kawannya termangu-mangu sejenak. Namun seorang
di antara mereka menyahut, "Kerja ini sudah memberikan
kenikmatan kepada kita meskipun kau sendiri belum terlalu lama
terlibat di dalamnya. Tetapi sama sekali tidak terpikir olehku
untuk menghentikannya."
"Jika kita tidak mau berjanji untuk menghentikan kerja ini,
maka kedua orang itulah yang akan menghentikannya," jawab
orang bertubuh tinggi itu.
"Bagaimana ia menghentikan kerja kita," bertanya kawannya.
"Tidak terlalu sulit bagi mereka. Membunuh kita," jawab orang
bertubuh tinggi besar itu. Lalu katanya, "Bukankah tubuh kita
sekarang sudah babak belur" Jika kau sempat memperhatikan
tubuhmu, maka kau akan melihat bahwa dengan mudah
sebenarnya mereka dapat membunuh kita."
"Kita mengiakannya saja," berkata seorang di antara mereka,
"Tetapi jika mereka telah pergi maka mereka tidak akan
menghalangi lagi kerja yang menarik ini. Sekadar menakut-
nakuti orang dan kita akan mendapat hasil yang banyak sekali,
meskipun sekali-kali kita juga kecewa, karena yang dimiliki
seseorang tidak sebanyak yang kita duga. Apalagi saat seperti ini.
Para prajurit tidak sempat memperhatikan polah tingkah kita,
karena mereka sedang berhadapan di perbatasan."
"Tidak," jawab orang yang bertubuh tinggi besar itu. "Aku
sudah berjanji. Dan sebenarnyalah aku menjadi sadar apa arti
kerja kita selama ini, justru pada saat Pajang sedang berada
dalam bahaya."
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi kawannya justru tertawa. Katanya, "Sejak kapan kau
ingat jadi pahlawan. He, bukankah dengan kerja yang selama ini
kita lakukan, kau dan kita semuanya dapat menyimpan harta
benda yang akan dapat kita pergunakan untuk menghidupi anak
cucu kita?" "Aku tidak ingin jadi pahlawan. Tetapi ayah mertuaku adalah
seorang Demang yang berada di bawah perintah Pajang. Karena
itu, biarlah aku menghentikan kerja ini. Tidak usah menjadi
36 SH. Mintardja pahlawan dan tidak perlu pula mencampuri persoalan Pajang dan
Demak termasuk Jipang," berkata orang bertubuh tinggi besar
itu. Namun kawannya itu pun menjawab, "Tidak mungkin bagiku.
Aku sudah berjanji untuk bekerja bersama dengan dua orang
saudaraku yang menjadi prajurit Jipang. Bukankah hal ini sudah
kau ketahui" Kedua saudaraku adalah perwira pada pasukan
Jipang yang kini bergabung dengan pasukan Tanah Perdikan
Sembojan. Bukankah aku pernah menceriterakannya
kepadamu?" "Ya. Tetapi bukankan kita dapat mengakhirinya?" sahut orang
bertubuh tinggi besar itu. "Katakan kepada kedua orang perwira
itu pada suatu saat jika kau bertemu, bahwa kau terpaksa
menghentikan kerja itu karena kau merasa tidak sanggup lagi.
Atau katakan bahwa kau sedang sakit atau alasan-alasan lain."
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, "Aku tidak ingin
melakukannya. Apalagi kedua orang saudaraku itu sekarang ada
disini. Ia dapat menengokku selagi mereka masih sempat. Jika
pertempuran itu mulai, maka mereka tidak akan sempat datang
berkunjung dan mengambil hadiah yang dapat aku berikan
kepada mereka dari hasil kerja ini. Bahkan kedua saudaraku itu
datang bersama seorang kawannya, perwira yang lebih tinggi
pangkatnya." Wajah orang bertubuh tinggi itu menjadi tegang. Katanya,
"Jangan begitu. Aku harap kau dapat mengerti. Bukankah nyawa
kita sekarang ini seakan-akan hanya nyawa pinjaman?"
"Kenapa nyawa pinjaman?" bertanya kawannya.
"Jika orang itu berniat membunuh kita, maka kita tentu sudah
mati. Dan dengan demikian kita memang tidak akan dapat
melanjutkan kerja kita yang binal ini," jawab orang yang
bertubuh tinggi besar itu.
Tetapi kawannya justru tertawa. Katanya, "bukan salah kita
jika mereka tidak membunuh kita. Nah, aku minta kepadamu,
jangan berpaling dari kerja ini."
37 SH. Mintardja Tetapi orang bertubuh tinggi besar itu berkata keras, "Kau
tahu siapa aku" Kau tahu batas kemampuan yang ada pada diri
kita masing-masing" Dan karena itu, maka jika bukan kedua
orang itu, maka aku dapat membunuhmu."
Wajah orang itu menjadi tegang. Namun kemudian katanya,
"Kau akan berbuat demikian?"
"Jika perlu aku dapat berbuat seperti itu," jawab orang
bertubuh tinggi besar itu.
Kawannya mengerutkan keningnya. Dipandanginya kedua
orang kawan yang lain yang ada di pendapa itu pula. Namun
nampaknya mereka sedang dalam kebimbangan juga.
"Pikirkan," berkata orang bertubuh tinggi besar itu. "Agaknya
masih ada waktu. Besok atau lusa, aku ingin mendengar
keputusanmu." Orang itu tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia berkata,
"Baiklah. Sekarang aku akan pulang. Aku akan memikirkannya."
Ketiga orang kawannya itu pun kemudian minta diri. Ketika
mereka bangkit berdiri, maka masih terasa tulang-tulang mereka
yang seakan-akan berpatahan.
Sambil menyeringai menahan nyeri maka ketiga orang itu
meninggalkan rumah kawannya yang sedang menerima dua
orang tamu yang gagal mereka rampok di tepian.
Demikian ketiganya ke luar dari regol halaman rumah itu,
orang yang berhubungan dengan perwira Jipang itu berkata,
"Persetan dengan igauan orang itu. Aku akan dapat
mengacaukannya, jika ia berhenti dari kerja ini, aku justru akan
melaporkannya kepada mertuanya, Ki Demang."
Seorang di antara mereka mengangguk-angguk. Jawabannya,
"Kau benar. Kita dapat mengancamnya. Dan orang itu tidak akan
berani menolak lagi rencana kita."
"Tetapi mungkin ia mengambil langkah-langkah lain," jawab
kawannya yang lain. 38 SH. Mintardja "Apa?" bertanya orang yang berhubungan dengan Jipang itu.
"Membunuh kita. Karena aku yakin orang itu memang akan
mampu melakukannya. Kita mengenalnya dan mengenal
ilmunya. Meskipun dihadapan orang yang membawa tunggul itu,
ia pun tidak banyak dapat berbuat apa-apa," jawab kawannya
yang lain. Orang yang berhubungan dengan Jipang itu menggeram,
"Persetan. Tetapi orang itu memang akan dapat membunuh kita.
Ia tidak akan dapat melakukannya lagi jika ia sudah mati."
Kedua kawannya serentak berpaling kepadanya. Seorang di
antara mereka bertanya, "Apa maksudmu?"
Orang yang berhubungan dengan Jipang itu termangu-mangu.
Namun kemudian katanya, "Tidak ada pilihan lain dalam
keadaan seperti ini. Hatinya ternyata mudah goyah.
Kekalahannya oleh orang-orang yang tidak dikenal itu
membuatnya kehilangan pegangan dan dengan mudah berpaling
dari permainan yang menyenangkan ini."
"Ya," seorang di antara kawannya menyahut, "Orang itu
memang tidak mempunyai pendirian."
"Bukan tidak mempunyai pendirian," berkata yang lain.
"Tetapi itu adalah perkembangan sikap seseorang yang memang
mungkin saja terjadi."
"Persetan," geram orang yang berhubungan dengan orang
Jipang itu. "Aku akan menentangnya. Bagaimana dengan kalian?"
"Aku setuju," sahut yang seorang dengan serta merta.
"Bagaimana dengan kau" bertanya orang yang berhubungan
dengan Jipang itu kepada kawannya yang seorang lagi, seorang
yang agak gemuk, tetapi berkepala kecil.
"Tentukan sikap. Kau berpihak kepadaku atau kepada orang
bingung itu." Sejenak orang gemuk itu termangu-mangu. Namun akhirnya
ia berkata, "Aku berpihak kepadamu. Tetapi tolong, beritahu aku
39 SH. Mintardja jika kau akan mengambil langkah-langkah, agar aku dapat
mempersiapkan diri."
"Bagus," jawab orang yang berhubungan dengan Jipang. "Pada
saatnya kita akan bertindak."
Orang bertubuh gemuk itu mengangguk-angguk. Namun ia
kemudian tidak terlalu lama berjalan bersama dengan kedua
orang kawannya. Ketika mereka sampai disimpang empat di
sebuah bulak yang tidak begitu panjang, orang bertubuh gemuk
itu berkata, "Aku akan pulang."
"Ya," jawab kawannya. "Kita masing-masing akan pulang. Kita
tidak akan berbuat apa-apa malam ini."
Dengan demikian maka orang bertubuh gemuk itu pun telah
mengambil jalan yang berbelok ke kiri. Kawan-kawannya pun
mengetahui, bahwa jalan itu adalah jalan yang menuju ke
rumahnya. Namun beberapa langkah kemudian, orang yang berhubungan
dengan Jipang itu berkata kepada kawannya, "Aku curiga kepada
si Kepala Kecil itu."
"Nampaknya ia pun ragu-ragu," jawab kawannya.
"Karena itu, kita tidak akan memberi tahukan langkah-
langkah kita kepadanya. Mungkin ia akan berkhianat. Biarlah ia
dalam keadaannya," berkata orang yang berpihak kepada Jipang
itu. Kawannya mengangguk-angguk. Namun keduanya pun
kemudian bersepakat untuk berbuat sesuatu.
"Kita harus mendahuluinya daripada kita didahuluinya,"
geram orang yang berhubungan dengan perwira-perwira Jipang
itu. Sementara itu, orang yang bertubuh gemuk dan berkepala
kecil itu ternyata tidak langsung pulang ke rumahnya. Hatinya
terasa gelisah karena sikap kedua orang kawannya.
40 SH. Mintardja Karena itu, maka dengan diam-diam ia telah mengambil jalan
setapak dan tidak lagi menuju ke rumahnya, tetapi ia pergi
kembali ke rumah kawannya yang bertubuh tinggi besar,
menantu Ki Demang. Kedatangannya mengejutkan pemilik rumah yang sedang
menjamu makan tamu-tamunya yang bermalam di rumahnya.
"He, kau," orang bertubuh tinggi itu menyapa.Orang gemuk
itu pun kemudian ikut pula duduk di antara mereka.
"Makanlah," orang bertubuh tinggi itu mempersilakan.
Orang bertubuh gemuk itu pun ternyata tidak menolak. Ia pun
ikut pula makan bersama mereka. Namun kemudian katanya,
"Sambil makan, aku akan memberitahukan sesuatu kepadamu."
Orang yang bertubuh tinggi itu termangu-mangu. Namun
kemudian katanya, "Tetapi jangan rusak nafsu makan kita."
"Tidak. Bahkan mungkin akan mendorong kita untuk makan
lebih banyak," berkata orang bertubuh gemuk itu.
"Katakanlah," jawab pemilik rumah itu.
Orang bertubuh gemuk itu pun kemudian menceriterakan apa
yang didengarnya dari pembicaraannya dengan kedua kawannya
yang lain. Sambil menyuapi mulutnya ia kemudian berkata, "Nah,
bukankah dengan demikian kau banyak makan sekarang sebelum
mungkin kau akan diselesaikan oleh mereka?"
"Gila," geram orang bertubuh tinggi besar itu, "Biarlah mereka
berdua bersama-sama mengeroyokku. Justru akulah yang akan
membunuh mereka berdua."
Tetapi orang bertubuh kecil itu memperingatkannya, katanya,
"Ketika aku duduk di pendapa, bukankah ia mengatakan bahwa
sekarang saudara-saudaranya yang menjadi perwira prajurit
Jipang itu ada disini?"
Orang bertubuh tinggi besar itu mengangguk-angguk.
Katanya, "Kepalamu kecil, tetapi kau cedik juga. Aku mengerti
41 SH. Mintardja maksudmu. Mungkin orang itu akan memperalat para perwira
itu. "Ya, mungkin begitu," jawab orang berkepala kecil itu.
"Apa boleh buat. Jika kita harus bertempur menghadapi
mereka, maka kita akan bertempur. He, bagaimana dengan kau?"
bertanya orang bertubuh tinggi besar itu.
"Tentu aku berpihak kepadamu. Aku tidak akan pulang malam
ini, Aku berada disini," jawab orang gemuk berkepala kecil itu.
Orang bertubuh tinggi dan menjadi menantu Ki Demang itu
pun kemudian berkata kepada Kiai Badra, "Ki Sanak. Aku minta
maaf jika mungkin istirahat Ki Sanak agak terganggu. Tetapi
jangan gelisah. Biarlah aku menyelesaikan persoalanku sendiri
dengan kawan-kawanku yang tidak mau menyadari
kekeliruannya. Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Kawanmu itu
agaknya tidak mau mempergunakan pertimbangan nalar sama
sekali. Tetapi aku pun ingin memperingatkanmu. Hati-hatilah.
Mungkin para perwira dari Jipang itu ikut campur. Dan kita tahu,
bahwa para perwira dari Jipang, sebagaimana para perwira
Pajang, memiliki kemampuan yang tinggi."
Orang bertubuh tinggi besar itu berkata, "Mungkin Ki Sanak.
Tetapi apaboleh buat jika memang harus terjadi demikian. Tetapi
dalam keadaan yang demikian, aku berada dalam keadaan yang
mapan. Aku tidak berkelahi sebagai perampok. Jika aku
terbunuh, maka orang-orang justru akan menganggap bahwa
akulah yang sedang dirampok.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Dengan nada ragu ia berkata,
"Apakah ada peronda di Kademangan ini. Anak-anak mudanya
atau katakanlah pengawal Kademangan?"
"Ada, meskipun tidak cukup baik. Tetapi dalam perselisihan
ini aku tidak akan dapat mempergunakan mereka. Mungkin
kawanku yang berhubungan dengan orang Jipang itu akan
42 SH. Mintardja bertindak licik justru karena ia mengetahui kelemahan
kedudukanku," jawab orang bertubuh tinggi itu.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Menantu Ki Demang itu
memang mempunyai kelemahan. Agaknya ia tidak ingin
mempersoalkannya dengan kawan-kawannya itu dicampuri oleh
terlalu banyak orang yang mungkin akan dapat membuka
rahasianya. Karena itu, maka menantu Ki Demang itu bertekad untuk
menghadapi kawan-kawannya dengan kemampuannya sendiri.
Ketika kemudian mereka telah selesai dengan makan malam
yang terlambat itu, mereka pun segera mengatur diri. Menantu Ki
Demang itu mempersilahkan Kiai Badra dan Gandar kembali ke
gandok sementara itu, ia menempatkan kawannya di bilik kanan
di dalam rumahnya. Tetapi menantu Ki Demang itu dengan diam-diam telah pergi
ke bagian belakang rumahnya. Di sebelah longkangan terdapat
beberapa orang laki-laki. Seorang gamel, seorang pekatik dan dua
orang anak muda yang membantunya bekerja di sawah.
Dengan hati-hati orang itu
membangunkan mereka dan berpesan, "Jika terjadi sesuatu
di rumah ini, kalian jangan
tergesa-gesa membunyikan isyarat." "Apa yang akan terjadi?"
bertanya orang-orang itu.
"Mungkin. Ada seseorang
kawan yang memberitahukan
bahwa ada orang-orang jahat
yang akan merampok rumah ini. Tetapi biarlah kita menyelesaikan persoalan itu
sendiri. Jangan memanggil
para pengawal dengan isyarat,"
43 SH. Mintardja
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata menantu Ki Demang itu.
Para pembantu di rumah itu pun mengangguk-angguk.
Sementara itu menantu Ki Demang itu pun berkata lebih jauh,
"Kalian pun jangan dengan serta merta melibatkan diri. Hati-
hatilah, yang akan berbenturan jika itu terjadi adalah orang-
orang berilmu. Jika kalian melihat kesempatan yang baik
terserah. Tetapi jika kalian tidak mengerti apa yang kalian
hadapi, maka kalian lebih baik menyingkir saja."
Para pembantu menantu Ki Demang itu pun termangu-
mangu. Seorang di antara mereka pun berkata, "Bukankah kami
laki-laki juga, maka kenapa kami harus sekadar menyingkir?"
"Mereka adalah orang-orang berilmu. Karena itu, kau tidak
akan dapat melawannya hanya sekadar dengan keberanian dan
kekuatan wadagmu saja," berkata menantu Ki Demang.
Para pembantunya tidak menjawab lagi. Tetapi bagaimana
pun juga mereka merasa ikut bertanggung jawab atas isi rumah
itu, karena mereka bekerja dan tinggal di rumah itu pula.
Sejenak kemudian, maka menantu Ki Demang itu pun telah
berada di dalam biliknya.
Dipandanginya kedua anaknya yang sedang tidur lelap
dibawah cahaya lampu minyak.
Pada wajah anak-anak yang sedang tidur itu terbayang
kebeningan budi yang seakan-akan belum ternoda sama sekali.
Dengan mata yang terpejam, wajah itu memancarkan cahaya
kedamaian dan ketenangan.
Menantu Ki Demang itu menarik nafas dalam-dalam.
"Kau tidak tidur?" bertanya istrinya yang berbaring di sebelah
anaknya yang masih menyusu.
"Sebentar lagi," jawab suaminya yang kemudian duduk di bibir
pembaringan, "Rasa-rasanya aku belum mengantuk."
44 SH. Mintardja "Bukankah hari sudah jauh malam?" bertanya istrinya pula.
"Tidurlah," berkata menantu Ki Demang itu. Lalu, "Aku masih
memikirkan pembicaraanku dengan orang tua yang ingin
menjual barangnya kepadaku."
Istrinya tidak bertanya lebih jauh. Suaminya yang menurut
pengertiannya adalah seorang pedagang yang berhasil itu,
kadang-kadang memang berbuat sesuatu yang tidak
diketahuinya. Dan ia tidak ingin bertanya terlalu jauh tentang
pekerjaan suaminya itu, karena agaknya suaminya tidak begitu
senang jika ia mempertanyakan sesuatu yang menyangkut
pekerjaan suaminya itu. Sebenarnyalah bahwa menantu Ki Demang itu memang
sedang dicengkam oleh kegelisahan. Ia menjadi cemas jika
rahasianya tiba-tiba saja akan terbongkar.
Sebelumnya ia tidak pernah mencemaskannya seperti pada
saat itu. Ia mulai membayangkan, apa yang mungkin terjadi pada
dirinya jika rahasia itu diketahui oleh Ki Demang. Bukan saja
menyangkut nasibnya, namanya dan kedudukannya sebagai
seorang menantu Demang. Tetapi bagaimana dengan anak-
anaknya itu. Justru karena itu, maka menantu Ki Demang itu
sama sekali tidak merasa mengantuk karenanya.
Sementara itu, di gandok, Kiai Badra pun tidak dapat tidur
barang sekejap pun. Dengan Gandar ia masih tetap duduk dan berbicara perlahan-
lahan. Bahkan menurut Gandar, malam itu mungkin sekali akan
terjadi sesuatu dengan menantu Ki Demang itu.
"Sudah tentu bahwa kita tidak akan dapat tinggal diam,"
berkata Gandar. "Apalagi jika orang-orang Jipang itu melibatkan
diri. "Apaboleh buat," berkata Kiai Badra. "Sebenarnya kita harus
menghindari setiap kemungkinan yang dapat menyeret kita ke
dalam satu persoalan. Bukankah kita sedang membawa tunggul
45 SH. Mintardja Pajang yang harus sampai ke padepokan kita dengan selamat
sebelum tunggul itu pada saatnya akan memasuki Tanah
Perdikan Sembojan?" Gandar mengangguk-angguk. Tetapi jawabnya, "Kita sudah
telanjur terlibat." Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kita
memang harus bersiap-siap.
Jika perlu maka tunggul itu akan aku pergunakan. Mungkin
orang-orang Jipang itu datang dalam jumlah yang cukup besar.
Kau pun akan dapat mempergunakan senjata yang memadai jika
kau benar-benar harus bertempur dengan beberapa orang
perwira Jipang." "Aku akan mempergunakan ikat pinggangku," jawab Gandar.
"Kau tidak memerlukan senjata yang lain?" bertanya Kiai
Badra. "Kali ini mungkin tidak Kiai," jawab Gandar.
"Ya. Apalagi jika kau memenangkan perkelahian yang
mungkin terjadi. Tetapi jika kau mengalami kesulitan?" bertanya
Kiai Badra. "Tidak Kiai. Jika dengan ikat pinggang ini aku mengalami
kesulitan, maka dengan apapun juga aku akan mengalami
kesulitan pula," jawab Gandar.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa dengan ikat
pinggang itu Gandar akan dapat menghadapi lawan-lawannya
sebagaimana ia mempergunakan senjata apapun juga.
Untuk beberapa saat mereka masih saja berbincang.
Sementara itu malam pun menjadi bertambah malam. Tengah
malam telah dilampaui beberapa saat. Namun rasa-rasanya
keduanya sama sekali tidak berniat untuk berbaring.
Di bilik yang lain, di dalam rumah menantu Ki Demang itu,
kawannya yang bertubuh agak gemuk dengan kepala yang agak
46 SH. Mintardja kecil dibandingkan dengan tubuhnya itu, ternyata masih juga
belum dapat tidur. Ia menjadi gelisah dipembaringannya.
Sekali ia memiringkan tubuhnya ke kiri, kemudian ke kanan,
dan bahkan kadang-kadang ia tidur menelungkup.
"Tenanglah anak manis," desisnya kepada diri sendiri. "Tidak
akan terjadi apa-apa di rumah ini. Sejak kapan kau menjadi
ketakutan mengalami peristiwa-peristiwa yang gawat seperti ini"
Apapun yang terjadi, biarlah terjadi. Hadapi dengan sikap
seorang laki-laki sejati."
Orang itu pun kemudian memejamkan matanya. Namun
ternyata bahwa ia pun tidak dapat segera tidur. Bahkan rasa-
rasanya ia ingin mendengar setiap desis di luar dinding biliknya.
Dalam pada itu, malam pun semakin lama menjadi semakin
dalam. Di kejauhan terdengar suara-suara malam yang kadang-
kadang berderik bagaikan menggelitik jantung. Namun kadang-
kadang terdengar semacam rintih memelas dan keluhan yang
sendu. Dalam sela-sela desir angin di dedaunan, Kiai Badra dan
Gadar yang memiliki pendengaran yang sangat tajam ternyata
mendengar suara yang lain. Bukan suara angin. Tetapi suara
sentuhan kaki pada bongkah-bongkah tanah berbatu-batuan di
sebelah gandok itu. Dengan isyarat Kiai Badra minta agar Gandar
berhati-hati. Sambil mengangguk Gandar pun kemudian berkisar untuk
mempertajam pendengarannya.
Seseorang memang sedang bergeser mendekati tempat
keduanya beristirahat di dalam bilik gandok itu.
Namun sementara itu, beberapa orang yang lain masih berada
di luar halaman. Seorang di antara mereka berkata, "Jadi tunggul itu
merupakan tunggul yang sangat berharga?"
47 SH. Mintardja "Ya. Bukan saja ujudnya, tetapi juga bahannya. Bahkan
mengandung permata. Di samping itu tunggul itu tentu juga
merupakan pertanda dari satu kuasa dari Pajang. Tetapi aku
tidak tahu," jawab orang yang diajaknya berbicara.
"Kita harus merampasnya," berkata orang yang pertama.
"Mungkin akan berguna bagi pasukan Jipang. Sementara itu, kau
dapat membunuh menantu Ki Demang yang tentu akan
berkhianat itu." "Aku memang sudah muak," berkata yang diajak berbicara.
"Kita akan menyelesaikan persoalan kita bersama-sama. Tetapi
jika aku mengalami kesulitan menghadapi menantu Ki Demang
itu, aku memerlukan bantuan."
Orang yang pertama mengangguk-angguk. Namun ia pun
tidak menjawab lagi. Beberapa saat mereka menunggu. Ketika terdengar suara
burung hantu lamat-lamat dari dalam halaman rumah itu, maka
orang-orang di luar dinding halaman itu pun mulai bergerak.
Beberapa orang kemudian dengan sangat berhati-hati telah
memasuki regol halaman yang memang tidak diselarak.
"Kita tidak akan mencuri tunggul itu," berkata seorang yang
berkumis tebal, "Tetapi aku akan mengambilnya dari tangannya."
"Terserah," jawab yang diajak berbicara, "Tetapi aku pun akan
membunuh menantu Ki Demang itu dengan cara yang sama
sebagaimana kau lakukan."
"Tetapi kau memerlukan bantuan kami," jawab orang
berkumis itu. "Ya. Dalam keadaan yang sulit," jawab orang itu.
Dengan demikian maka orang berkumis itu pun berkata, "Jika
demikian yang kita perlukan hanyalah keterangan tentang
keadaan rumah ini. Bukan kemungkinan untuk mencurinya."
Yang diajak bicara itu pun mengangguk-angguk.
48 SH. Mintardja Sejenak kemudian, maka mereka melihat seseorang yang
berjalan mendekati mereka.
Orang itu adalah seorang di antara mereka yang mendapat
tugas untuk mengamati keadaan di dalam rumah itu dan
memberikan isyarat dengan suara seperti suara burung hantu.
"Bagaimana?" bertanya orang berkumis itu.
"Tidak ada yang mencurigakan. Agaknya isi rumah ini tidak
menyadari bahwa kita akan datang malam ini," jawab orang itu.
"Dengan demikian, bukankah tidak ada persiapan dan apalagi
jebakan yang dapat menjerat kita?" bertanya orang berkumis itu.
"Tidak ada," jawab orang yang mendahului masuk.
"Jika demikian, marilah kita memasuki pintu. Kita akan
merampok rumah ini dan membunuh penguhuninya serta kedua
orang yang membawa tunggul itu," berkata orang yang berkumis
tebal itu. Sejenak kemudian beberapa orang itu pun telah naik ke
pendapa. Mereka tidak lagi mengendap-endap seperti laku
seorang pencuri. Tetapi mereka datang dan naik ke pendapa
selaku prajurit yang memasuki medan perang.
Seorang di antara mereka pun kemudian pergi ke pintu
pringgitan. Dengan hulu pedangnya orang itu mengetuk pintu
sambil berteriak memanggil, "He, siapakah yang ada di rumah?"
Orang-orang di dalam rumah itu masih belum tidur. Karena
itu suara ketukan pintu dan teriakan itu telah mengejutkan
mereka. Bahkan anak perempuan Ki Demang yang tertidur disisi
anaknya itu pun telah terkejut pula karenanya.
"Ada apa kakang?" perempuan itu bangkit dengan wajah yang
tegang. "Nyai, jaga anakmu baik-baik. Mungkin ada orang jahat yang
ingin mengganggu kita," jawab suaminya.
"Jadi?" istrinya menjadi semakin tegang.
49 SH. Mintardja "Jaga anakmu. Kau adalah anak perempuan seorang Demang.
Berlakulah sebagai ayahmu yang berani dan tidak gentar
menghadapi segala macam kesulitan. Jaga anakmu baik-baik.
Aku akan melihat, siapakah orang yang berteriak-teriak itu."
"Hati-hatilah kakang," suara perempuan itu menjadi parau.
Menantu Ki Demang itu pun kemudian membenahi dirinya. Di
beberapa bagian tubuhnya masih terasa sakit karena pangkal
landean tunggul Kiai Badra. Tetapi setelah makan dan
beristirahat sejenak, kekuatannya telah hampir menjadi pulih
kembali. Sejenak diamatinya ploncoan tempat ia menyimpan
senjatanya. Dengan perhitungan yang mapan ternyata ia meraih
tombak pendeknya. Jika ia harus menghadapi lawan lebih dari
seorang, maka tombak pendek itu agaknya akan lebih
menguntungkan daripada sebilah parang yang hanya pantas
untuk perampok-perampok sebagaimana sering dilakukannya.
Sementara itu, orang berkumis tebal itu pun telah
mengisyaratkan pula kepada kawannya untuk mengamati orang-
orang yang berada di gandok.
"Jangan beri kesempatan mereka lari sambil membawa
tunggul itu," katanya.
Dua orang di antara mereka pun telah mengawasi pintu
gandok yang masih tertutup.
Orang yang mengendap-endap mendahului kawannya itu pun
berdesis, "Mereka masih berada disana."
Dalam pada itu, terdengar sekali lagi ketukan pintu. Lebih
keras. dan suara memanggil pun menjadi lebih keras pula, "Buka
pintu atau rumah ini akan aku bakar?"
Menantu Ki Demang itu pun termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian kawannya yang bertubuh agak kegemukan dan
berkepala kecil itu pun telah mendekati pintu pula.
"Kita akan membuka pintu itu," berkata menantu Ki Demang.
50 SH. Mintardja Orang bertubuh gemuk itu tiba-tiba saja bertanya, "Kau masih
mempunyai tombak pendek?"
"Apakah kau mampu mempergunakan tombak" Bukankah
kebiasaanmu mempergunakan parangmu," bertanya menantu Ki
Demang. "Ketika aku pertama kali berlatih olah kanuragan, maka
senjata yang paling aku senangi adalah tombak pendek. Hanya
setelah aku menjadi perampok aku mempergunakan parang yang
besar itu," jawab orang yang agak gemuk itu.
"Ambillah," desis menantu Ki Demang.
Ketika orang itu sudah menggenggam tombak pendek, maka
kedua orang itu pun telah mendekati pintu. Dengan suara yang
tidak kalah lantangnya menantu Ki Demang itu bertanya, "Siapa
kau he?" Yang menjawab adalah kawannya yang berhubungan dengan
orang-orang Jipang itu, "Aku. Buka pintu dan berlutut
dihadapanku."
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menantu Ki Demang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia pun mendekati pintu sambil mempersiapkan diri.
Sambil memberi isyarat kepada kawannya untuk bersiap sebaik-
baiknya, maka ia pun membuka selarak pintu rumahnya
perlahan-lahan. Demikian pintu itu terbuka, maka ia pun segera meloncat
surut. Namun ketika orang-orang diluar pintu itu akan
memburunya masuk, maka mereka pun tertegun.
Dua ujung tombak telah menghalangi mereka.
"Siapa yang akan mati paling cepat?" suara menantu Ki
Demang itu sangat meyakinkan.
Yang kemudian berdiri di depan pintu adalah kawannya yang
telah berhubungan dengan orang-orang Jipang itu. Dengan suara
lantang ia berkata, "Pengecut. Berjongkoklah dihadapanku. Aku
51 SH. Mintardja harus membunuhmu agar kau untuk selanjutnya tidak
menghalangi lagi pekerjaanku."
"Kau pengkhianat," sahut menantu Ki Demang. "Siapapun
aku, tetapi aku tetap berdiri dibawah kuasa Adipati Pajang, bukan
Jipang." Tetapi orang berkumis tebal itulah yang kemudian tertawa.
Katanya, "Aku adalah salah seorang perwira dari Jipang itu. Aku
adalah saudaranya meskipun bukan saudara kandung. Ia telah
menemukan satu keyakinan di dalam hidupnya. Dan itu adalah
sangat berharga baginya."
"Aku sama sekali tidak menghargainya," berkata menantu Ki
Demang. "Nah, sekarang masih ada waktu bagi kalian untuk pergi
dari rumah ini. Atau aku harus mengusir kalian dengan
kekerasan?" Orang berkumis tebal itu tertawa berkepanjangan. Katanya,
"Apakah yang kau andalkan, bahwa kau akan mengusir aku" Aku
memang sudah mendengar dari suadaraku ini, bahwa kau adalah
orang yang terkuat di antara keempat orang kelompokmu.
Tetapi kau sekarang berhadapan dengan seorang perwira dari
Jipang." Sementara itu kawannya yang berpihak kepada Jipang itu pun
menyambung, "Jangan banyak bicara lagi. He, kau jangan
penjilat. Aku sudah mengira bahwa kau akan berada disini Kepala
Kecil." Kawannya yang berkepala kecil itu memandangi dengan
tajamnya. Namun tiba-tiba saja ia tersenyum sambil menjawab,
"Kau yang berkepala besar. Marilah, kita mencoba satu
permainan yang barangkali menarik. Kau dan aku berperang
tanding. Biarlah orang-orang lain menjadi saksi. Siapakah di
antara kita yang lebih baik. Kau atau aku."
"Persetan," geram orang yang ditantangnya, "Berlutut kalian
berdua. Kami sudah siap untuk memenggal leher kalian."
52 SH. Mintardja "Jangan terlalu banyak bicara," geram menantu Ki Demang.
"Sekarang pergilah atau perutmu akan kukoyak dengan tombak
ini." Orang yang berkumis tebal itulah yang kemudian berbicara,
"Kau keluar atau kami yang masuk."
Menantu Ki Demang itu pun termangu-mangu. Jika orang-
orang di luar itu berhasil masuk, maka mungkin sekali mereka
akan menemukan istrinya. Atau anaknya yang terkejut dan
menangis. Mungkin mereka dapat mempergunakan istri dan
anaknya untuk memaksanya menyerah. Sedangkan orang-orang
yang seakan-akan menjadi gila itu tentu tidak akan dapat berbuat
lain kecuali benar-benar membunuhnya, bahkan mungkin sekali
dilakukan dihadapan istrinya.
Karena itu, maka menantu Ki Demang itu pun menjawab,
"Kita akan bertempur ditempat yang luas. Aku akan keluar."
Orang berkumis tebal itu tersenyum. Katanya, "Kau memang
seorang yang berani Ki Sanak. Itulah agaknya kau adalah seorang
perampok yang disegani. Marilah, kita akan melihat, apakah
kemampuan seorang perampok mengimbangi kemampuan
seorang perwira dari prajurit Jipang."
Menantu Ki Demang itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian orang-orang yang berada di luar pintu itu pun bergeser
menjauh untuk memberi jalan kepada orang-orang yang berada
di dalam rumah itu untuk keluar.
Menantu Ki Demang itu memang agak ragu untuk melangkah
keluar pintu. Tetapi ketika ia melihat orang-orang yang berada di
luar pintu itu bergeser menjauh, maka ia pun dengan sangat hati-
hati melangkah ke pintu yang terbuka itu.
Pada saat yang demikian, tiba-tiba saja halaman rumah itu
telah digetarkan oleh suara tertawa. Perlahan-lahan saja. Tetapi
rasa-rasanya bagaikan mengguncang jantung.
53 SH. Mintardja Orang-orang yang berada di luar pintu pringgitan itu pun
berpaling. Mereka melihat seseorang berdiri di pintu gandok
diseberang halaman disebelah pendapa.
Perlahan-lahan orang itu menuruni tangga gandok yang tidak
begitu tinggi. Kemudian berdiri tegak di halaman dengan tunggul di
tangannya. Dalam cahaya lampu minyak di pendapa, maka tunggul itu
nampak bagaikan menyala. Gerigi cakra itu nampaknya bagaikan lidah api yang
menggeliat menggapai-gapai.
Orang-orang yang melihat tunggul itu menjadi berdebar-
debar. Beberapa orang prajurit Jipang yang berada di halaman
itu pun menjadi termangu-mangu karenanya.
Menantu Ki Demang, yang juga melihat tunggul itu pun
merasa kecut. Di dalam hati ia berkata, "Untunglah bahwa lidah
api itu tidak menyentuh kulit dagingku."Namun dalam pada itu,
dalam ketegangan itu, menantu Ki Demang itu pun mendapat
kesempatan untuk bergeser keluar diikuti oleh kawannya yang
agak gemuk dan berkepala kecil itu. Keduanya menggenggam
tombak pendek ditangannya.
Sedangkan yang harus mereka hadapi adalah kedua orang
perampok yang telah memisahkan diri itu. Tiga orang perwira
Jipang dan dua orang prajurit pengawal.
Menantu Ki Demang itu menarik nafas dalam-dalam. Jumlah
lawan mereka hampir lipat dua.
Namun demikian, tidak ada niat sama sekali untuk
mengurungkan pertempuran dengan cara apapun juga meskipun
seandainya nyawanya dapat diselamatkan karena itu. Ia benar-
benar sudah bertekad untuk bertempur apapun yang akan terjadi.
Demikian pula kawannya yang gemuk itu. Ia telah menyerahkan
tenaga dan kemampuannya meskipun harus bertaruh nyawa.
54 SH. Mintardja Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Kiai Badra bertanya,
"Apakah sebenarnya yang telah terjadi disini?"
"Persetan," geram salah seorang perwira Jipang, "Jangan
berpura-pura tidak tahu. Serahkan tunggul itu, dan biarkan kami membunuhmu dari
pada kau harus mati karena hukuman yang harus kau jalani."
"Aku tidak mengerti yang kau maksud. Apakah benar kalian
para perwira dari Jipang?" bertanya Kiai Badra.
"Kenapa hal itu kau tanyakan lagi?" geram perwira itu.
"Bukankah di antara kami telah menyebut, bahwa kami adalah
perwira dari Jipang."
"Jadi untuk apa sebenarnya
kalian ingin merampas tunggul
ini" Tunggul ini tidak ada
artinya sama sekali bagi kalian.
Tetapi mempunyai nilai yang
besar bagi kami," jawab Kiai
Badra. "Kau jangan membakar
jantungku dengan berpura-
pura bodoh seperti itu," jawab
perwira Jipang itu. Bahkan
orang berkumis tebal itu telah
mendekatinya pula. Katanya, "Kau menjengkelkan sekali kakek
tua. Berikan tunggul itu.
Jangan banyak bicara."
"Sayang Ki Sanak. Aku akan mempertahankannya," jawab Kiai
Badra. "Bukankah kau tahu, siapa kami" Kami adalah para perwira
Jipang. Pajang sekarang sudah terkepung. Apa yang akan kalian
55 SH. Mintardja lakukan?" perwira yang berkumis tebal itu menjadi semakin
marah. "Kami adalah abdi-abdi dari Kadipaten Pajang. Seperti para
abdi dari Jipang, maka kami adalah abdi-abdi yang setia. Karena
itu, apapun yang akan terjadi atas diri kami, maka kami akan
mempertahankan tunggul ini."
"Uh," geram perwira berkumis tebal itu, "Ternyata kau benar-
benar orang yang pertama-tama harus dibunuh."
Kiai Badra memandang perwira itu dengan tajamnya. Namun
kemudian katanya, "Kalian akan membuat kesalahan ganda Ki
Sanak. Kehadiran kalian di daerah Pajang sudah merupakan satu
kesalahan, karena kalian telah melanggar wewenang Kanjeng
Adipati Pajang. Kedua, bahwa di Pajang kalian ternyata telah
berusaha merampok kami."
"Tutup mulutmu," geram perwira itu. "Aku menyadari, menilik
sikapmu menghadapi kami, serta menurut ceritera orang-orang
yang telah gagal merampas tunggul itu, kau memang memiliki
kemampuan yang tinggi. Tetapi kelebihan kemampuanmu itu
adalah karena kalian melawan perampok-perampok kecil yang
tidak memiliki pengetahuan olah kanuragan sama sekali. Tetapi
apakah kau juga akan dapat menengadahkan dadamu jika kalian
bertemu dengan para perwira dari Jipang."
"Sebaiknya kita lihat," jawab Kiai Badra. "Kita masih
mempunyai banyak waktu."
Perwira Jipang itu tidak ingin berbicara lebih banyak lagi.
Dengan suara lantang ia berkata, "Urusi kelinci-kelinci itu. Aku
akan menyelesaikan orang tua ini."
Demikianlah orang-orang yang berada di halaman itu telah
menempatkan dirinya masing-masing. Dua orang perwira Jipang
dengan dua orang pengawal sudah siap menghadapi Kiai Badra
dan Gandar. Namun yang terdengar adalah perintah orang
berkumis tebal kepada kedua orang pengawalnya.
56 SH. Mintardja "Kalian harus menjaga agar orang-orang itu tidak melarikan
diri sambil membawa tunggul yang sangat kita perlukan itu.
Karena itu, kalian tidak usah turut bertempur. Amati saja
keadaannya. Kalian akan melihat bagaimana aku memenggal
leher lawanku."Kedua pengawal itu pun telah memencar dan
berdiri sebelah-menyebelah. Mereka harus menjaga agar kedua
orang itu atau salah seorang daripadanya berusaha melarikan diri
dan menyelamatkan tunggul yang menurut penilaian mereka
sangat berharga itu. Sementara itu, seorang perwira dan dua orang kawan menantu
Ki Demang yang telah menyatakan memisahkan diri, bahkan
akan membunuhnya itu, telah siap pula berhadapan dengan
menantu Ki Demang serta kawannya yang agak gemuk.
Perwira Jipang itu menggeram, "Seperti sudah kami katakan,
kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa. Aku ingin melihat
kemampuanmu dibandingkan dengan seorang perwira dari
Pajang." Menantu Ki Demang itu pun telah siap menghadapinya.
Sementara kawannya yang gemuk harus menghadapi dua orang
bekas kawannya sendiri. Tetapi orang yang agak gemuk dengan kepala kecil itu pun
sama sekali tidak gentar. Bahkan sambil tersenyum ia berkata,
"Kita sekarang akan memperbandingkan kemampuan kita
masing-masing. Jika ternyata kalian kalah, maka kalian harus
membayar aku banyak sekali. Setiap perampokan yang terjadi,
seharusnya pembagianku lebih banyak dari kalian, karena aku
mempunyai kelebihan lebih banyak. Tetapi jika aku harus mati
disini, maka tidak ada apa-apa yang patut dibanggakan, kecuali
kelicikan kalian karena kalian bertempur tidak sebagai laki-laki
sejati dalam perang tanding yang adil."
"Persetan," geram kawannya. "Kami memang tidak sedang
berperang tanding. Tetapi kami memang datang untuk
membunuhmu." 57 SH. Mintardja Orang yang agak gemuk itu tidak menjawab. Tetapi ia sudah
bergeser menjauhi menantu Ki Demang, agar mereka dapat
leluasa bertempur menghadapi lawan masing-masing dengan
senjata sebatang tombak pendek.
Sejenak kemudian, maka pertempuran itu pun telah mulai
membakar halaman rumah menantu Ki Demang. Seperti yang
diperintahkan oleh menantu Ki Demang, laki-laki yang ada di
bagian belakang rumah itu tidak segera melibatkan diri dan tidak
pula membunyikan tanda bahaya. Mereka tidak tahu alasannya,
kenapa menantu Ki Demang tidak mengizinkan mereka untuk
memukul ken-ongan. Mereka tidak tahu, bahwa menantu Ki
Demang merasa cemas, seandainya kawan-kawannya itu
tertangkap oleh para pengawal dan diserahkan kepada Ki
Demang, karena mereka tentu akan berbicara tentang dirinya
pula. Karena itu, maka menantu Ki Demang itu merasa lebih baik
dihadapinya sendiri. Tetapi ia tidak mengira sama sekali bahwa yang datang
bersama kedua orang itu adalah tiga orang perwira dan dua orang
prajurit pengawal dari Jipang.
Dalam pada itu, seorang di antara para perwira Jipang yang
menghadapi menantu Ki Demang itu pun telah menyerangnya
pula. Meskipun ia belum bersungguh-sungguh, tetapi nampak
bahwa perwira itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi.
Tetapi menantu Ki Demang itu pun termasuk orang yang
paling kuat di antara kawan-kawannya. Karena itu, maka
bagaimana pun juga ia berusaha untuk dapat mengimbangi
kemampuan perwira dari Jipang itu.
Namun memang tidak dapat dipungkiri, bahwa para perwira
Jipang, apalagi yang dikirim ke Pajang, adalah perwira yang
memiliki kemampuan terpilih. Karena itu, maka dalam benturan
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertama, telah tampak bahwa perwira Jipang itu memiliki
kelebihan. 58 SH. Mintardja Meskipun demikian, maka menantu Ki Demang itu tidak cepat
menyerah kepada keadaan. Dengan tombak panjangnya ia
berusaha untuk setidak-tidaknya bertahan untuk waktu yang
lebih lama dari pada sepenginang.
Di depan gandok, maka para perwira Jipang itu pun telah
melihat Kiai Badra dan Gandar. Kedua orang perwira itu ternyata
tidak mau kehilangan kesempatan. Karena itu maka mereka pun
berusaha untuk secepatnya menyelesaikan tugas mereka. Dengan
pedang panjang keduanya telah melibat Kiai Badra dan Gandar
ke dalam satu pertempuran yang keras dan cepat.
Tetapi para perwira Jipang itu belum mengenal Kiai Badra dan
Gandar sebelumnya. Karena itu, maka ketika terjadi benturan-benturan, mereka
pun segera menyadari, bahwa kedua orang itu memang memiliki
ilmu yang tinggi. Dalam pada itu, sebagaimana sebelumnya, Kiai
Badra berusaha untuk tidak membuat tunggulnya cacat. Tunggul
yang berbentuk cakra itu tidak dipergunakan pada tajam
geriginya. Tetapi Kiai Badra masih berusaha untuk mempergunakan
pangkal landeannya. Sementara itu, Gandar yang bersenjata ikat pinggang itu pun
telah mengambil satu keputusan yang menggetarkan jantungnya
sendiri. Lawannya itu harus diselesaikan sehingga ia tidak akan
dapat mengganggu menantu Ki Demang itu lagi dan sekaligus
mengurangi kekuatan pasukan Jipang di Pajang yang bergabung
dengan pasukan dari Tanah Perdikan Sembojan.
Perwira dari Jipang yang melawan Gandar itu memang
terkejut melihat Gandar mempergunakan senjata yang asing
baginya, namun dengan demikian, perwira itu menjadi semakin
berhati-hati. Ia sadar, bahwa jika lawannya itu bukan seorang
yang mumpuni maka ia tidak akan berani melawannya hanya
dengan senjata ikat pinggangnya.
Sementara itu Kiai Badra pun telah terlibat dalam
pertempuran yang cepat melawan perwira Jipang yang berkumis
59 SH. Mintardja lebat itu. Ternyata perwira Jipang itu berusaha untuk segera
mengalahkan lawannya. Namun ternyata lawannya adalah Kiai
Badra. Karena itu, maka betapapun perwira Jipang berkumis tebal itu
berusaha, namun usahanya itu ternyata sia-sia saja. Ia tidak
mampu berbuat banyak menghadapi orang tua yang membawa
tunggul itu. Demikian juga perwira Jipang yang bertempur melawan
Gandar. Ternyata Gandar adalah orang yang luar biasa. Ikat
pinggangnya yang mampu menebas seperti pedang, bukan
sekadar sebuah ceritera. Tetapi benar-benar dibuktikannya
sendiri dalam pertempuran itu.
Namun dalam pada itu, dilingkaran pertempuran yang lain,
menantu Ki Demang mengalami kesulitan menghadapi perwira
Jipang yang bertempur dengan garang. Pada saat yang pendek, ia
sudah mulai terdesak. Karena itu, menantu Ki Demang itu harus
memeras tenaganya untuk bertahan. Namun dengan demikian,
maka kemampuan dan daya tahannya akan cepat sampai ke
batas. Sementara itu, kawannya yang berbadan gemuk itu pun telah
mengalami kesulitan. Meskipun ia yakin, bahwa ia memiliki kemampuan tidak lebih
rendah dari kedua kawannya itu yang kemudian justru harus
dilawannya, tetapi ketika mereka berdua menyatukan
kemampuan mereka, orang yang gemuk itu mengalami kesulitan.
Kiai Badra agaknya melihat keadaan itu. Ia tidak dapat
membiarkan menantu Ki Demang itu benar-benar diterkam
kesulitan yang akan dapat membahayakan jiwanya.
Karena itu, maka ia pun merasa wajib untuk
menyelamatkannya. Dengan demikian maka Kiai Badra harus mengakhiri
perlawanan perwira Jipang itu mendahului batas daya tahan
60 SH. Mintardja menantu Ki Demang, agar dengan demikian ia masih sempat
memberikan pertolongan. Karena itu, maka Kiai Badra pun telah meningkatkan ilmunya,
sehingga perwira Jipang itu menjadi bingung. Pangkal landean
Tunggul itu bagaikan berputaran di sekitar tubuhnya, kemudian
mematuk dengan dahsyatnya, menyentuh kulit dagingnya. Setiap
sentuhan terasa bagaikan sentuhan bara api yang menyengat.
Perwira Jipang yang berkumis lebat itu menjadi gelisah.
Namun betapapun ia mengerahkan kemampuannya, namun
ternyata bahwa sulit baginya untuk mengatasi kecepatan gerak
orang tua yang bersenjata tunggul itu.
Bahkan semakin lama sentuhan pangkal landean tunggul itu
semakin sering mengenainya.
Perwira yang bertempur melawan Gandar pun segera
mengalami kesulitan. Meskipun Gandar hanya bersenjata ikat
pinggangnya, namun senjata itu ternyata mampu
mengimbangi perwira Jipang yang melawannya. Bahkan
semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa Gandar akan segera
memenangkan pertempuran itu.
Dalam keadaan yang memaksa itu, maka perwira Jipang yang
berkumis lebat itu tidak dapat berbuat lain daripada memberikan
perintah kepada prajuritnya untuk memasuki arena, bertempur
bersamanya menghadapi orang tua yang bersenjata tunggul yang
hanya dipergunakan pangkal landeannya saja.
"Ikutlah menangkap orang ini," berkata perwira itu, "Agaknya
ia benar-benar akan melarikan diri."
Kedua prajurit itu termangu-mangu. Namun mereka pun
segera menyadari bahwa mereka harus turun ke gelanggang.
Sejenak kemudian, maka kedua orang prajurit itu pun telah
melangkah mendekati pertempuran yang terjadi itu. Seorang
mendekati lingkaran pertempuran Kiai Badra yang lain
mendekati Gandar.Dengan senjata teracu, maka keduanya pun
kemudian langsung memasuki arena.
61 SH. Mintardja Namun yang terjadi memang sangat mengejutkan. Prajurit
yang memasuki arena melawan Kiai Badra itu pun segera telah
terlempar kembali keluar arena. Sekali ia menggeliat, kemudian
prajurit itu pun pingsan. Di dahinya terdapat noda kebiru-biruan.
Agaknya demikian ia berada di arena, maka ia pun menjadi
lengah, sehingga pangkal landean tunggul Kiai Badra telah
menyentuh dahinya, sedikit disebelah kening.
"Gila," perwira berkumis lebat itu mengumpat. Ternyata
bahwa prajurit itu sama sekali tidak berarti baginya.
Sementara itu, Gandar yang
juga melihat keadaan menantu
Ki Demang dan rekannya, ingin juga menyelesaikan pertempuran dengan cepat.
Karena itu, maka ikat pinggangnya pun telah berubah seolah-olah sebilah
pedang. Betapa ikat pinggang
itu terayun-ayun mendebarkan. Suaranya berdesing menggelitik telinga.
Dengan kemampuan yang luar biasa, maka Gandar pun
segera mendesak kedua orang
lawannya. Bahkan sejenak kemudian, ketika ikat pinggang
itu menyambar mendatar dan menyentuh lengan prajurit yang
bertempur melawannya, ternyata telah mengoyakkan kulitnya
sehingga luka pun telah menganga. Darah pun kemudian telah
mengucur dari luka yang pedih itu.
"Gila," geram perwira Jipang yang melihat lengan kawanya
terluka. Namun ketika ia dengan marah meloncat menyerang,
Gandar telah bergeser ke samping sambil mengayunkan ikat
pinggangnya. 62 SH. Mintardja Ternyata ikat pinggang Gandar itu telah mematuk lambung
perwira Jipang itu. Tetapi berbeda dengan kawannya yang koyak kulitnya, maka
ikat pinggang Gandar itu telah menghantam lambung bagaikan
selembar kepingan besi. Meskipun kulit perwira itu tidak terluka,
tetapi rasa-rasanya bagian dalam lambungnyalah yang remuk
karenanya. Karena itu, maka perwira itu berusaha mengambil jarak.
Dengan mengerahkan segenap daya tahannya, ia berusaha
mengatasi perasaan sakitnya.
Sementara itu, prajurit yang terluka di lengannya itu agaknya
masih mempunyai keberanian untuk menyerang Gandar. Dengan
senjata berputar, prajurit itu berusaha untuk melukai lawannya.
Namun yang terjadi sangat menggetarkan hatinya. Ternyata
dengan serangannya yang keras itu, pedangnya justru telah
terlontar dan terlepas dari tangannya. Pedang itu agaknya telah
membentur ikat pinggang Gandar yang dipergunakan untuk
menangkis serangan itu. Prajurit itu mengumpat. Sementara itu, perwira yang
lambungnya bagaikan remuk dibagian dalam itu berhasil
mengatasi rasa sakitnya. Ia pun berusaha untuk dapat membantu
prajurit yang terluka dan kehilangan pedangnya itu. Maka
perwira itu pun telah meloncat menyerang Gandar.
Gandar bergeser selangkah. Serangan perwira itu tidak
mengenainya sama sekali. Namun dengan demikian, prajurit yang kehilangan pedangnya
itu masih sempat memungutnya.
Dengan demikian, maka prajurit itu pun telah bersiap pula
untuk bertempur. Namun darah ternyata terlalu banyak ke luar
dari lukanya di lengan. Karena itu, maka kegelisahannya pun
telah mengganggu tata geraknya dalam pertempuran selanjutnya.
Sejenak kemudian, maka berbareng keduanya menyerang
Gandar. Dua ujung pedang bersama-sama mematuknya. Namun
63 SH. Mintardja kedua orang lawannya itu telah terluka, sehingga mereka tidak
mampu lagi untuk bergerak terlalu cepat.
Dengan demikian, maka Gandar tidak mengalami kesulitan
untuk menghindari serangan perwira itu. Namun sekaligus sekali
lagi ia menyambar pedang prajurit itu dengan ikat pinggangnya.
Sekali lagi pedang itu terlepas. Namun selagi prajurit itu
merenunginya sekejab, tiba-tiba saja terasa dadanya telah dikenai
ikat pinggang lawannya. Tetapi ikat pinggang itu tidak mengoyak
kulitnya. Namun benar-benar sebagaimana sehelai kulit yang
menghantam dadanya. Meskipun demikian dadanya itu terasa
panas sekali. Kulit dagingnya terasa bagaikan disentuh bara api.
Karena itu, maka terdengar ia mengaduh perlahan. Kemudian terhuyung-
huyung menepi menjauhi arena pertempuran. Apalagi ia sudah
tidak bersenjata lagi. "Pengecut," geram perwira itu. "Kenapa kau lari dari medan?"
Prajurit itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi dadanya masih
saja terasa panas sekali. Ketika ia sempat melihatnya, dibawah
cahaya lampu diserambi gandok, ia melihat dadanya memang
bagaikan terbakar melintang sebagaimana jalur sentuhan ikat
pinggang lawannya. Betapa sakitnya. Sehingga dengan demikian prajurit itu sudah
tidak mempunyai kemampuan lagi untuk berbuat sesuatu.
Lukanya yang mengoyak lengannya dan luka bakar yang
menyilang di dadanya itu, membuat sama sekali tidak berdaya
lagi. Apalagi tanpa senjata ditangan.
Sementara itu, perwira yang bertempur melawan Gandar itu
pun ternyata sudah tidak banyak lagi berbuat. Ia masih saja
mengumpati kawannya yang kemudian jatuh terduduk bersandar
dinding halaman. Namun sejenak kemudian, senjata lawannya
yang aneh itu sekali lagi telah mengenainya pula. Pundaknyalah
yang kemudian tersentuh ikat pinggang Gandar itu. Dengan
64 SH. Mintardja demikian maka rasa-rasanya tangannya memang menjadi
lumpuh, karena pundaknya bagaikan dikenai oleh sekeping besi
baja. Perwira itu mengumpat-umpat. Tetapi ia memang sudah tidak
berdaya. Ketika ia berusaha memindahkan pedangnya dari
tangan kanan ke tangan kirinya, maka serangan Gandar itu pun
datang lagi. Ikat pinggang kulit itu telah mengenai punggungnya
sebagaimana ikat pinggang kulit sewajarnya. Namun seperti
prajurit yang kehilangan kesempatan untuk melawannya itu,
maka punggungnya pun rasa-rasanya bagaikan terbakar.
Karena itu, maka perwira itu pun kemudian menggeliat dan
bergeser surut. Tetapi Gandar telah memburunya pula. Ikat
pinggang itu pun kemudian mematuk dadanya sebagaimana
sebatang linggis, sehingga perwira itu terdorong surut dan jatuh
terlentang. Tulang-tulang iganya rasa-rasanya telah berpatahan. Ketika ia
berusaha untuk bangkit, maka dari mulutnya telah meleleh darah
yang hangat. Ternyata perwira itu tidak berdaya lagi. Bahkan ia pun
kemudian jatuh terlentang. Kesakitan yang sangat telah
mencengkamnya. Gandar menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu ia melihat
Kiai Badra yang tidak mau mempergunakan tunggul sepenuhnya
dan selalu menghindari kemungkinan landean tunggul itu
menjadi cacat oleh benturan, telah dapat melumpuhkan
lawannya pula. Dengan pangkal landean tunggulnya Kiai Badra berhasil
mengetuk dada perwira Jipang yang berkumis lebat itu sehingga
perwira itu terlempar dari arena. Namun demikian ia berusaha
bangkit, maka diluar dugaannya, pangkal landean itu tepat
berada di atas dahinya, sehingga karena itu, maka kepalanyalah
yang telah terantuk pada pangkal landean yang sengaja dipasang
oleh Kiai Badra didepan dahinya itu.
65 SH. Mintardja
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kepala periwira itu terasa pening sekali. Matanya menjadi
berkunang-kunang, sehingga akhirnya semuanya menjadi gelap.
Seperti prajurit yang membantunya, maka perwira itu pun
menjadi pingsan. Gandar dan Kiai Badra pun kemudian telah terbebas dari
lawan-lawannya. Karena itu, maka mereka pun mulai
memandang ke arena pertempuran yang lain.Keduanya pun
melihat, bahwa menantu Ki Demang itu benar-benar berada
dalam kesulitan. Sementara kawannya yang gemuk itu pun telah terdesak
kesudut halaman. "Ambil lawan menantu Ki Demang itu Gandar," berkata Kiai
Badra. "Kemudian biarlah menantu Ki Demang dan kawannya
yang gemuk itu menghadapi bekas kawan-kawannya sendiri."
Gandar mengerutkan keningnya. Namun ketika ia melihat
keadaan menantu Ki Demang itu menjadi gawat maka ia pun
segera meloncat mendekatinya.
Dalam pada itu, perwira yang bertempur melawan menantu Ki
Demang itu sudah hampir sampai pada saat terakhir. Ia
mendesak menantu Ki Demang yang bersenjata tombak itu.
Dengan permainan pedangnya yang membingungkan, tombak
ditangan menantu Ki Demang itu hampir tidak berarti. Sekali-
sekali ujung tombak itu mampu menahan gerak maju lawannya.
Tetapi tiba-tiba saja terasa tombak itu telah terpukul
menyamping oleh pedang lawannya, sehingga pertahanannya
menjadi terbuka. Ketika perwira itu menyerang, maka menantu
Ki Demang hanya dapat berloncatan menghindari diri serta
berusaha memperbaiki arah tombaknya untuk menahan gerak
lawannya. Namun akhirnya menantu Ki Demang yang selalu berloncatan
mundur itu telah melekat dinding pringgitan. ia tidak lagi dapat
bergeser mundur. Sementara itu lawannya selangkah demi
selangkah telah bergerak maju sambil mengacungkan pedangnya.
66 SH. Mintardja "Kau tidak akan sempat menghindar lagi sekarang Ki Sanak,"
berkata perwira Jipang itu. "Sebenarnya aku tidak mempunyai
persoalan dengan kau. Tetapi agaknya kedua kawanmu itu, yang
seorang adalah sanak kadangku, sebagaimana dengan kawanku
yang berkumis lebat itu, minta kepadaku untuk membunuhmu.
Aku tidak mengerti persoalan apakah yang sudah terjadi di antara
kalian. Namun agaknya tunggul itu pun menjadi salah satu
penyebabnya." "Kau lihat," tiba-tiba saja
menantu Ki Demang itu berdesis, "Kawan-kawanmu
sudah tidak berdaya sama sekali." Perwira itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mencoba melihat apa
yang terjadi di halaman samping, di depan gandok.
Semula ia tidak banyak menghiraukan pertempuran itu, karena ia yakin bahwa
kawan-kawannya akan dapat
dengan cepat menguasai tunggul itu. Apalagi perwira itu
membelakanginya. Sementara itu ia memusatkan perhatiannya kepada menantu
Ki Demang yang dengan gigih melawannya.
Perwira itu menjadi berdebar-debar. Pertempuran sudah
berhenti. Namun ia tidak segera dapat melihat dengan jelas apa
yang terjadi. Menantu Ki Demang yang putus asa itu, semula dengan tidak
sengaja telah berpaling ke arah halaman samping. Dan menantu
Ki Demang itu melihat bahwa Kiai Badra berdiri tegak dengan
tunggul ditangannya, sehingga dengan demikian ia telah
67 SH. Mintardja mengambil kesimpulan bahwa Kiai Badra telah menyelesaikan
kedua lawannya. Pada saat yang demikian itulah, maka lawan menantu Ki
Demang telah mengambil keputusan untuk membunuhnya
karena ia sudah tidak sempat menghindar lagi.
Namun ia berhasil memperpanjang umurnya dengan
menunjukkan kepada lawannya, bahwa pertempuran di halaman
telah selesai. Benar atau tidak ia telah menyebut, bahwa kawan-
kawan perwira itu sudah tidak berdaya lagi.
Sejenak kemudian perwira itu pun menggeram. Ia pun melihat
bahwa orang tua yang membawa tunggul itu masih berdiri tegak,
sementara ia melihat pula seorang telah berlari mendekatinya.
Karena itu, maka perwira itu harus bergerak dengan cepat.
Dengan serta merta ia telah menggerakkan pedangnya untuk
mengakhiri perlawanan menantu Ki Demang itu.
Dengan demikian, maka ia akan dapat menyambut lawannya
yang baru. Tetapi ternyata menantu Ki Demang mampu mempergunakan
kesempatan yang sekejap itu. Selagi perwira itu berusaha melihat
keadaan di halaman, menantu Ki Demang telah bergeser
menyamping. Ia memang sudah memperhitungkan, bahwa
perwira itu tentu akan berusaha menyelesaikannya dengan
cepat.Karena itu, ketika perhatian perwira itu kembali kepadanya
menantu Ki Demang itu sudah mendapatkan jalan untuk
menghindar kesamping sambil menjulurkan tombaknya.
"Setan," geram perwira itu. "Kau akan lari kemana?"
Menantu Ki Demang sampai kepada usahanya yang terakhir
untuk mempertahankan hidupnya.
Namun usahanya itu telah memberikan kesempatan Gandar
untuk mencapainya. Dengan loncatan panjang, maka Gandar pun
telah berdiri beberapa langkah dari menantu Ki Demang yang
tegang. 68 SH. Mintardja "Ki Sanak," berkata Gandar yang berhasil memancing
perhatian perwira itu, "Apakah kau dapat berbangga dengan
kemenangan kecilmu" Bukankah sudah sepantasnya jika seorang
perwira dari Jipang berhasil mengalahkan seorang pedesan yang
tidak pernah mempelajari oleh keprajuritan."
"Persetan," geram perwira itu. "Jadi kau juga akan turun ke
arena dan akan mati pula."
"Kedua kawanmu dan kedua pengawalmu sudah tidak
berdaya. Apakah kau tidak akan menyerah?" bertanya Gandar.
"Seorang prajurit tidak mengenal arti menyerah," berkata
perwira itu. "Jika kau tidak ingin terbunuh juga, minggirlah."
"Aku akan mengambil alih pertempuran ini," jawab Gandar.
Lalu katanya kepada menantu Ki Demang, "Kau dapat membantu
kawanmu yang mengalami kesulitan itu."
Menantu Ki Demang itu termangu-mangu. Namun kemudian
ia bergeser selangkah, sementara Gandar maju mendekati
perwira yang mengacukan pedangnya itu.
"Licik," geram perwira itu kepada menantu Ki Demang, "Kau
tidak berani bertempur tanggon sebagai seorang laki-laki."
Menantu Ki Demang itu tertegun. Wajahnya menjadi merah.
Tetapi Gandarlah yang menjawab, "Apa katamu tentang kawan-
kawanmu yang bertempur berpasangan" Jangan berbicara
tentang harga diri. Kita semuanya sudah kehilangan harga diri itu
di sini." Perwira itu menggeram, sementara Gandar mendesak, "Cepat,
bantulah kawanmu yang gemuk itu."
Menantu Ki Demang itu bagaikan tersadar dari mimpinya. Ia
pun kemudian berlari-lari menuju ke arena yang lain, sementara
Gandar telah mengambil alih kedudukannya dihadapan perwira
Jipang yang tersisa itu. 69 SH. Mintardja Sementara itu, menantu Ki Demang itu pun datang tepat pada
waktunya. Namun ujung pedang salah seorang di antara kedua
lawan orang yang gemuk itu telah tergores ditubuhnya.
"Anak setan," orang yang gemuk itu menggeram. Sementara
itu tombak ditangannya segera berputar pula. Namun
bagaimanapun juga ia mengalami banyak kesulitan menghadapi
kedua orang lawannya. Apalagi karena pengerahan segenap
kemampuannya telah membuatnya mulai merasa bahwa
tenaganya telah susut. Lukanya yang meskipun tidak begitu
dalam itu ternyata telah mempengaruhinya. Ketika ia meraba
luka itu terasa darah yang meleleh di sela-sela jarinya.
Bagaimanapun juga hatinya menjadi gelisah. Sementara kedua
orang lawannya menjadi semakin garang, sebagaimana seekor
serigala melihat seekor kelinci yang tidak sempat lagi melarikan
diri. Namun pada saat yang sulit itu ia melihat seseorang berlari ke
arahnya. Belum lagi ia berhenti, telah terdengar suaranya,
"Bertahanlah. Aku datang membantumu. Kita akan berhadapan
dua melawan dua." Wajah orang yang gemuk itu menjadi tenang. Kedatangan
menantu Ki Demang itu tentu akan melonggarkan
kedudukannya, sehingga ia tidak lagi terjepit disudut halaman
Pedang Ular Mas 14 Memanah Burung Rajawali Karya Jin Yong Golok Bulan Sabit 6