Pencarian

Suramnya Bayang Bayang 16

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 16


20 SH. Mintardja punggung kudanya. Dan tanpa sadar mereka telah
menyorakinya. Para pemimpin Tanah Perdikan pun menjadi berdebar-
debar pula. Ki Wiradana benar-benar menjadi gelisah,
sementara wajah Ki Rangga Gupita pun menjadi semakin
tegang. "Kita harus bertindak," tiba-tiba Ki Wiradana
menggeram. Ki Rangga Gupita termangu-mangu sejenak. Namun
dalam waktu yang singkat, telah terjadi guncangan perasaan
pada para pemimpin pengawal dan bahkan Ki Wiradana
dan para perwira Jipang yang berada diseputar arena.
Hampir berbareng dua orang pengawal yang tersisa telah
terlempar pula dari kudanya dan jatuh terpelanting.
Bahkan seorang di antara para pengawal itu agaknya
kurang dapat menguasai tubuhnya pula saat ia jatuh dari
kudanya sehingga karena itu, maka puggungnya terasa
menjadi sangat sakit dan bagaikan akan patah.
Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan menjadi ragu-
ragu untuk bersorak. Ternyata para pengawal kebanggaan
mereka telah dikalahkan oleh seorang penunggang kuda
yang tidak mereka kenal. Dalam pada itu, hampir berbareng beberapa orang
perwira Jipang yang melatih para pengawal itu telah
bergerak maju. Seakan-akan berebut mereka berkata
kepada Ki Rangga Gupita, "Biarlah aku membuatnya jera."
Tetapi Ki Rangga yang memiliki pengamatan yang sangat
tajam atas kemampuan seseorang telah berkata, "Orang itu
bukan lawanmu." 21 SH. Mintardja "Jadi, kita akan membiarkannya saja dan membuat hati
para pengawal susut sebesar biji kemangi?" bertanya
seorang perwira. "Jika kau yang memasuki gelanggang, justru hanya akan
menambah kegelisahan saja. Menilik kemampuannya, maka
kau tidak akan dapat mengalahkannya," jawab Rangga
Gupita. "Jadi bagaimana?" bertanya perwira yang lain.
Ki Rangga menengadahkan wajahnya. Dipandanginya
penunggang kuda yang mengangkat tombaknya tinggi-
tinggi sebagai pertanda kemenangan itu. Namun para
penonton tidak lagi bersorak dengan gemuruh. Mereka
menjadi ragu-ragu dan bahkan mereka menjadi cemas.
Kebanggaan yang telah menyesak di dalam dada mereka
menjadi kabur. Dalam pada itu, terdengar suara Ki Rangga Gupita berat
dalam nada datar, "Akulah yang akan menyelesaikannya."
Para perwira terdiam. Mereka mengerti, bahwa Ki
Rangga Gupita adalah seorang yang memiliki ilmu yang
tinggi. Karena itu, ketika Ki Rangga Gupita menyatakan
bahwa ia sendiri yang akan memasuki arena, para perwira
itu pun tidak ada yang mendesak lagi untuk turun ke
gelanggang. Namun ketika Ki Rangga Gupita itu melangkah
selangkah maju, maka rasa-rasanya tiba-tiba saja Ki
Randukeling telah berdiri disebelahnya sambil berkata,
"Apakah kau sendiri yang akan turun ke arena?"
"Ya. Menurut pengamatanku, orang itu memiliki ilmu
yang melampaui ilmu para perwira," jawab Ki Rangga
Gupita. 22 SH. Mintardja Tetapi tanggapan Ki Randukeling terasa aneh sekali.
Bahkan ia tersenyum dengan lontaran perasaan yang sulit
dijajagi. "Kenapa Ki Randukeling tersenyum?" bertanya Ki
Rangga Gupita. "Orang itu memang memiliki ilmu melampaui para
perwira. Sebenarnya aku ingin Ki Wiradana yang tampil
lebih dahulu. Tetapi agaknya ia sudah didahului oleh para
perwira. Bahkan Ki Rangga Gupita, seorang perwira dari
petugas sandi di Jipang yang memiliki ilmu yang tinggi,
sudah siap untuk turun sendiri di arena," jawab Ki
Randukeling. "Aku tidak mengerti Ki Randukeling," jawab Ki Rangga
Gupita. "Nah, jika kau kehendaki masuklah ke gelanggang. Kau
akan mengetahui apa yang telah terjadi?" jawab Ki
Randukeling. Wajah Ki Rangga Gupita menjadi tegang. Sekali lagi
diamatinya penunggang kuda yang masih saja mengangkat
tombaknya sambil berkeliling arena. Namun tidak
terdengar lagi sorak yang gegap gempita di antara para
penonton permainan itu. Namun tiba-tiba Ki Rangga Gupita pun tersenyum.
Katanya, "Aku mengerti Ki Randukeling. Memang
sebaiknya Ki Wiradanalah yang tampil."
Hampir di luar sadarnya, Ki Rangga telah berpaling ke
arah Ki Wiradana. Sementara itu Ki Wiradana dan beberapa
orang pemimpin pengawal menjadi tegang.
Selangkah demi selangkah Ki Rangga Gupita mendekati
Ki Wiradana dengan tatapan mata yang mengandung
23 SH. Mintardja maksud tertentu. Selangkah dihadapan Ki Wiradana, Ki
Rangga berhenti sambil berkata, "Apakah kita akan
membiarkannya tetap mengangkat tombaknya di arena,
sehingga setiap orang menganggap bahwa orang itu tidak
terkalahkan di Tanah Perdikan ini?"
Ki Wiradana termangu-mangu. Namun kemudian seperti
yang diharapkan ia berkata, "Aku sendiri yang akan
melawannya." Ki Rangga Gupita mengangguk-angguk. Katanya,
"Agaknya memang lebih sesuai jika Ki Wiradana yang
tampil. Ki Wiradana tentu memiliki kemampuan
melampaui para perwira dari Jipang. Hampir saja aku
terdorong oleh perasaan marahku, sehingga aku sendiri
akan turun ke gelanggang sebelum aku mendapat ijin dari
Ki Wiradana. Namun ternyata bahwa Ki Wiradana sendiri
akan melakukannya." "Ya. Aku akan melakukannya," geram Ki Wiradana.
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia
memandang wajah Ki Rangga, namun kemudian ia pun
mengangguk kecil. Demikianlah maka Ki Wiradana pun telah
mempersiapkan diri. Dengan seekor kuda yang tegar maka
ia telah menggenggam tombak yang berujung tumpul untuk
terjun ke gelanggang sodoran.
Demikian Ki Wiradana memasuki arena di atas kudanya
sambil menjinjing tombak berujung tumpulnya, maka
gemuruh rakyat Tanah Perdikan bagaikan menggetarkan
bumi. Orang berkuda yang masih berada di tengah-tengah
arena ketika melihat Ki Wiradana memasuki gelanggang,
24 SH. Mintardja telah memutar kudanya menghadap ke arah pemangku
jabatan Kepala Tanah Perdikan itu.
Untuk beberapa saat keduanya berputar di tengah-tengah
arena, sementara beberapa orang pengawal masih tetap
mengepung arena itu. Mereka mendapat perintah untuk
menjaga, agar orang berkuda itu tidak ke luar dari
lingkungan arena pertandingan.
Sementara itu, Ki Rangga Gupita dan Ki Randukeling
telah berada di punggung kuda pula. Mereka telah
memasuki gelanggang meskipun mereka tidak akan
bertanding. Tetapi seakan-akan mereka akan menjadi saksi
dari pertandingan yang akan terjadi kemudian.
Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan itu menjadi
tegang. Ki Wiradana pun nampaknya telah menjadi tegang
pula. Namun ternyata bukan hanya mereka saja yang menjadi
tegang. Tetapi orang yang berada di punggung kuda dan
memasuki arena itu dengan cara yang tidak wajar,
nampaknya telah menjadi tegang pula.
Beberapa saat kemudian, Ki Rangga Gupita pun telah
memberikan isyarat untuk membunyikan bende sebagai
pertanda bahwa permainan itu akan dimulai, sehingga
dengan demikian permainan itu seakan-akan adalah
permainan yang memang disiapkan sebagaimana
permainan-permainan sebelumnya, kecuali ketika orang
yang memasuki gelanggang itu bertanding melawan empat
orang sekaligus. Demikian terdengar suara bende, maka kedua orang yang
telah berada di gelanggang itu bersiap. Ketika bende
berbunyi sekali keduanya memperbaiki dan membenahi diri
dipunggung kuda masing-masing. Ketika bende berbunyi
25 SH. Mintardja dua kali maka mereka telah bersiap di arah masing-masing.
Tanpa ada yang mengatur, keduanya telah berada di ujung-
ujung arena. Ketika benda berbunyi tiga kali, maka kedua ekor kuda
dengan penunggangnya masing-masing lepas berlari seperti
anak panah yang dilontarkan dari busurnya.
Dalam pada itu, kedua senjata ditangan kedua orang
yang berpacu di atas punggung kuda itu sudah merunduk,
siap untuk mendorong lawan masing-masing dari punggung
kuda mereka. Namun ternyata keduanya memiliki ketangkasan yang
tinggi. Dalam benturan yang terjadi kemudian, Ki Wiradana
memang hampir saja terlempar dari kudanya. Tetapi
ternyata ia masih mampu bertahan. Sementara penunggang
kuda yang lain bergeser sedikit di atas pelana kudanya.
Namun keduanya masih mampu mempertahankan
keseimbangan masing-masing.
Pertandingan selanjutnya, keduanya tidak terikat lagi
pada arah. Mereka mendapat kebebasan untuk menyerang
dan menghindar, sehingga kedua orang itu telah bertanding
sambar menyambar. Dengan demikian, maka pertandingan sodoran itu pun
kemudian berlangsung semakin lama semakin sengit. Debu
yang dilemparkan oleh kaki kuda mereka pun semakin lama
menjadi semakin banyak, sementara kedua ekor kuda itu
berlari-lari memenuhi ara-ara yang disediakan sebagai
gelanggang pertandingan. Namun dalam beberapa hal, Ki Rangga Gupita dan Ki
Randukeling melihat keragu-raguan pada tata gerak orang
berkuda yang bertanding melawan Ki Wiradana. Senjatanya
yang merunduk tepat mengenai dada, kadang-kadang telah
26 SH. Mintardja bergeser justru pada saat benturan hampir terjadi, sehingga
ujungnya yang tumpul itu hanya menyentuh pundaknya
saja. Namun sementara itu, Ki Wiradana telah berjuang
sejauh dapat dilakukan. Ia telah mengerahkan semua
kemampuan yang ada padanya, serta ketrampilan berkuda.
Tidak ada lagi yang tersisa padanya.
Namun demikian ia tidak mampu menjatuhkan orang
berkuda yang memakai tutup pada wajahnya.
Karena itulah maka pertandingan itu pun berlangsung
agak lama. Ki Wiradana telah memeras segenap
kemampuan, ketangkasan dan ketrampilannya untuk
berusaha mengimbangi penunggang kuda yang tidak
dikenal itu. Tetapi ternyata bahwa bagaimanapun juga ia
berusaha, namun kemampuannya memang tidak akan
dapat mencapai tataran yang setingkat dengan lawannya.
Karena perbedaan kemampuan serta ketangkasan
bermain kuda itulah, maka pada suatu saat, Ki Wiradana
lebih banyak menjadi sasaran serangan lawannya daripada
menyerang. Tangannya yang memegang senjatanya tidak
lagi mampu mengangkat dan merundukkan ujungnya tanpa
gemetar oleh kelelahan. Sementara lawannya masih juga
dengan tangkasnya menyambar-nyambar.
Dengan demikian maka beberapa saat kemudian, baik Ki
Wiradana sendiri, maupun orang-orang yang
menyaksikannya, terutama pera perwira dari jipang dan
para pengawal, melihat bahwa orang berkuda yang tidak
dikenal itu benar-benar telah menguasai arena. Ki
Wiradana tidak lagi berdaya untuk mempertahankan diri
ketika serangan yang keras pun datang menyambarnya.
Orang berkuda yang tidak dikenal itu telah menggertakkan
giginya untuk melenyapkan keragu-raguan yang terasa
mewarnai jantungnya. 27 SH. Mintardja Benturan yang kemudian terjadi, benar-benar telah
menentukan. Ki Wiradana tidak mampu untuk menangkis
serangan itu dengan senjatanya. Karena itu, maka ujung
senjata lawannya yang tumpul itu telah mengenai
sasarannya. Dada Ki Wiradana telah terdorong oleh kekuatan yang tidak terlawan. Karena
itu, maka ia pun kemudian
telah terlempar dari punggung kudanya. Tangannya yang memegang kendali kudanya pun telah
terlepas sehingga dengan demikian maka kudanya pun
telah berlari tanpa penunggang mengelilingi arena. Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan tidak lagi


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersorak-sorak. Jantung mereka tercengkam oleh
ketegangan. Ki Wiradana, pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikan Sembojan yang dianggap sebagai seorang yang
memiliki kelebihan di antara orang-orang Tanah Perdikan
itu telah dijatuhkan oleh orang yang tidak dikenal.
Suasana diseputar gelanggang itu justru menjadi tegang.
Wajah-wajah menunjukkan kerisauan dan kegelisahan.
Ki Rangga Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
tidak berbuat apa-apa. Ia tidak bersiap untuk turun ke
gelanggang sebagaimana pernah dikatakannya.
28 SH. Mintardja Beberapa orang perwira Jipang telah datang
mendekatinya dengan wajah yang memancarkan
kemarahan yang menghentak di dadanya.
"Ki Rangga. Apa yang akan kita perbuat?" bertanya salah
seorang perwira itu. Ki Rangga justru tersenyum. Katanya, "Kita sedang
menyaksikan satu permainan yang mengejutkan di antara
orang-orang Tanah Perdikan Sembojan.
"Apa yang Ki Rangga maksudkan?" bertanya perwira
yang lain. Sementara itu, Ki Wiradana yang terjatuh dari punggung
kudanya itu pun telah berdiri dan berjalan dengan gejolak
perasaan yang menghentak-hentak mendekati Ki
Randukeling dan Ki Rangga Gupita.
"Ki Wiradana ternyata tidak mampu melawannya,"
berkata Ki Rangga. Ki Wiradana mengangguk. Ia tidak dapat mengingkari
kenyataan yang disaksikan oleh sebagian orang-orang
Tanah Perdikan di sebuah gelanggang yang terbuka, bahwa
ia telah terjatuh dari punggung kuda dalam sebuah
permainan yang keras. Namun dalam pada itu, Ki Wiradana pun telah
menjawab, "Aku tidak pernah melakukan permainan seperti
ini." "Tetapi apakah lawanmu itu juga sering melakukannya?"
bertanya Ki Rangga. Ki Wiradana berpaling ke arah penunggang kuda yang
tidak dikenal yang masih duduk di atas kudanya sambil
memegangi senjatanya. 29 SH. Mintardja "Aku tidak tahu," jawab Ki Wiradana. "Aku tidak
mengenalnya. Apakah Ki Rangga dapat mengenali orang
itu?" "Soalnya bukan pernah atau tidak pernah. Tetapi
ketangkasan dan kenal ilmu yang ada di dalam diri para
pemain dari pertandingan ini akan ikut menentukan,"
berkata Ki Rangga. "Tetapi siapakah orang itu?" bertanya Ki Wiradana.
"Bertanyalah kepada Ki Randukeling," jawab Ki Rangga.
Ki Wiradana terdiam sejenak. Sementara itu orang-orang
Tanah Perdikan Sembojan itu, menyaksikan pertandingan
itu bagaikan mematung. Beberapa orang yang sempit
berpikir merasa sangat kecewa atas kekalahan Ki Wiradana.
Mereka menganggap Ki Wiradana tidak sebagaimana
ayahnya yang pernah membunuh Kalamerta, namun yang
kemudian terbunuh dengan cara yang sangat licik.
Dalam pada itu, Ki Wiradana memandang Ki
Randukeling yang tersenyum. Dengan penuh keragu-raguan
ia bertanya, "Kakek, apakah kakek dapat menyebutkan,
siapakah orang yang memakai tutup di wajahnya itu?"
"Wiradana," berkata Ki Randukeling. "Cobalah mengatur
perasaanmu. Kau jangan terkejut. Tidak ada maksud buruk
sama sekali dalam permainan ini. Namun sebenarnyalah
orang itu hanya ingin memperkenalkan dirinya karena
selama ini ia telah dianggap dan diperlakukan tidak
sebagaimana adanya."
"Aku tidak mengerti, kakek," jawab Ki Wiradana.
"Sebentar lagi, kau akan mengerti," jawab Ki
Randukeling. 30 SH. Mintardja Ki Wiradana termangu-mangu. Sementara itu Ki
Randukeling yang masih berada di punggung kudanya telah
mendekati orang berkuda yang tidak dikenal itu. Beberapa
langkah dihadapannya ia berhenti. Katanya, "Sudah
waktunya kau menyatakan dirimu sendiri."
Orang itu termenung sejenak. Namun kemudian bersama
Ki Randukeling ia telah mendekati Ki Wiradana yang
berdiri tegak dengan jantung yang berdebaran.
Dihadapan Ki Wiradana orang berkuda yang memakai
tutup diwajahnya itu tiba-tiba telah mengangkat senjatanya
yang bertangkai panjang dan berujung tumpul. Seolah-olah
ia ingin menyatakan sekali lagi kemenangannya atas Ki
Wiradana. Namun orang-orang Tanah Perdikan masih tetap berdiri
diam dengan ketegangan perasaan.
Sejenak kemudian Ki Randukeling itu pun berkata,
"Bukalah tutup wajahmu. Nyatakanlah kepada Ki Wiradana
dan orang-orang Tanah Perdikan ini, siapakah kau
sebenarnya." Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
pun telah menyerahkan senjatanya kepada Ki Randukeling.
Kemudian perlahan-lahan ia telah membuka tutup
wajahnya. Ki Wiradana terkejut bukan kepalang. Sementara itu,
orang-orang Tanah Perdikan sembojan yang berdiri di
paling depan dapat melihat siapakah orang itu, meskipun
masih dengan penuh keragu-raguan karena jarak di antara
mereka dengan orang berkuda di tengah gelanggang itu.
Namun ketika orang itu juga melepaskan ikat kepalanya,
sehingga rambutnya yang panjang terurai di punggungnya
31 SH. Mintardja maka orang-orang di pinggir gelanggang pun menjadi pasti,
sebagaimana Ki Wiradana. Ternyata orang itu adalah seorang perempuan.
"Aku kakang," desis orang itu.
"Warsi," Ki Wiradana menyebut nama itu dengan bibir
yang gemetar, "Bagaimana mungkin hal ini dapat
terjadi?"Warsi yang telah memenangkan permainan itu,
bahkan dengan sangat mengejutkan, setelah mengalahkan
empat orang pengawal sekaligus, maka ia pun telah
mengalahkan Ki Wiradana pula.
Dengan dada tengadah Warsi pun telah meloncat dari
punggung kudanya. Sekali lagi ia memandang berkeliling
sambil mengangkat tangannya.
Tetapi dahinya pun kemudian berkerut. Tidak seorang
pun yang bertepuk tangan. Tidak seorang pun yang
menerikkan sorak kebanggaan. Dan tidak seorang pun yang
dengan lantang menyanjunginya.
Namun Warsi pun kemudian tidak menghiraukannya.
Sementara itu Ki Randukeling berkata, "Permainan kita
telah berakhir hari ini Wiradana. Kita dapat menampilkan
acara yang terakhir sebagaimana direncanakan."
Wiradana tergagap. Jawabnya, "Ya, ya kakek. Semua
acara memang sudah diselesaikan."
"Perintahkan para pengawal itu menutup permainan
mereka. Kita dapat pulang. Kita sudah sehari berada di sini
dan kehidupan di Tanah Perdikan ini pun bagaikan telah
terhenti karena semua orang berkumpul disini," berkata Ki
Randukeling. Ki Wiradana mengangguk. Tetapi perasaannya masih
belum mapan karena kejutan yang sama sekali tidak
32 SH. Mintardja disangkanya. Bagaimana mungkin Warsi dapat berbuat
seperti itu. Ki Randukeling agaknya dapat meraba perasaan Ki
Wiradana. Karena itu, maka katanya, "Persoalan Warsi
nanti dapat aku jelaskan setelah kita berada dirumah."
"Baiklah kakek," jawab Ki Wiradana.
Betapapun jantungnya masih berdegupan, maka ia pun
kemudian memerintahkan para pemimpin pengawal untuk
mengakhiri acara permainan yang sudah sehari penuh itu.
Sementara itu, Ki Randukeling sempat berbicara dengan
Ki Rangga, "Ki Rangga. Cepat atasi gejolak yang mungkin
terjadi di perasaan para pengawal. Para perwira Jipang
harus dengan cepat menanganinya, sehingga mereka tidak
menjadi bimbang. Para perwira harus dapat menjelaskan,
bahwa dengan demikian, maka Tanah Perdikan akan
menjadi semakin kuat. Karena ternyata Nyai Wiradana akan
dapat membuat suaminya bukan saja sekadar mendorong
secara jiwani, tetapi secara kewadagan Nyai Wiradana juga
akan mampu membantu suaminya menghadapi persoalan-
persoalan yang mungkin akan menjadi gawat."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhya
kecemasan Ki Randukeling tentang para pengawal.
Sementara itu Ki Randukeling melanjutkan, "Karena itu,
maka para pengawal tidak usah cemas jika mereka harus
meninggalkan Tanah Perdikannya menuju ke Pajang,
karena Ki Wiradana dan Nyai Wiradana akan menjadi
pasangan yang siap melindungi Tanah Perdikan ini."
Ki Rangga tersenyum. Katanya, "Baiklah Ki Randukeling.
Ki Randukeling jangan terlalu mencemaskan para
pengawal. Mereka akan tunduk dan taat kepada para
33 SH. Mintardja pelatihnya, sementara Ki Wiradana akan segera berada
dibawah pengaruh istrinya yang cantik itu."
Ki Randukeling tersenyum pula.
Sementara itu, acara yang terakhir sudah mulai
berlangsung. Pasukan berkuda sekali lagi mengadakan
pameran berkeliling gelanggang.
Namun sambutan para penonton tidak lagi bergelora
sebagaimana pada saat permainan itu baru dimulai. Mereka
lebih banyak dicengkam oleh
kebingungan melihat kekalahan Ki Wiradana dari
istrinya, Warsi yang lebih
banyak dikenal sebagai seorang penari jalanan daripada seorang yang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan. Bahkan menurut pengenalan mereka,
Warsi tidak lebih dari seorang perempuan yang manja dan cengeng. Tetapi ternyata bahwa Warsi telah mengejutkan seisi Tanah Perdikan dan para perwira dari Jipang.
Demikianlah, maka permainan itu pun berakhir. Namun
sementara itu dua orang suami istri yang telah berusia
melampaui pertengahan abad dengan susah payah tengah
membujuk seorang perempuan untuk tidak mencampuri
permainan di gelanggang itu.
34 SH. Mintardja "Meskipun aku belum pernah melakukannya, tetapi aku
merasa mampu melakukannya," berkata perempuan itu.
Tetapi perempuan yang sudah berambut memutih itu
menjawab, "Jangan. Tidak ada gunanya. Belum waktunya
kau tampil dalam arena. Apalagi arena seperti ini."
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Ia harus
menahan kekecewaannya. Tetapi ia tidak dapat melanggar
pesan dua orang suami istri itu.
"Marilah, sebelum ada orang yang mengenalimu,"
berkata laki-laki dan istrinya yang sudah menjelang hari-
hari tuanya itu. Perempuan itu akhirnya menurut. Sambil menutup
kepalanya dengan selendang untuk melindungi terik
matahari meskipun sudah mulai berkurang karena matahari
yang menjadi semakin condong, namun juga untuk
menutup sebagian dari wajahnya agar wajah itu tidak
dikenali oleh orang-orang yang sedang menonton
permainan yang mendebarkan itu.
Ternyata tidak seorang pun yang dapat mengenali
perempuan itu, meskipun ia pernah hidup di antara rakyat
Tanah Perdikan Sembojan, karena perempuan itu adalah
Iswari. Betapa kecewanya ketika ternyata kakek dan neneknya
yang juga gurunya melarangnya untuk memasuki
gelanggang melawan perempuan yang ternyata adalah
Warsi itu. Setelah ia menjalani laku yang sangat berat, maka
Iswari merasa bahwa ia sudah menyimpan bekal di dalam
dirinya untuk mengimbangi kemampuan perempuan yang
berilmu iblis dari keluarga Kalamerta.
Namun dalam pada itu, peristiwa yang mengejutkan di
gelanggang itu telah menjadi bahan pembicaraan disegala
35 SH. Mintardja tempat. Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan
memperbincangkannya. Para pengawal pun dengan nada
yang berbeda-beda telah mempercakapkannya pula.
"Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi," berkata
seorang pengawal. "Memang sesuatu yang mungkin di luar jangkauan nalar.
Tetapi adalah satu kenyataan bahwa Nyai Wiradana
berhasil mengalahkan Ki Wiradana. Kenyataan itu tidak
dapat kita ingkari," berkata yang lain.
Kawannya mengangguk-angguk sambil bergumam,
"Memang satu hal yang tidak masuk akal. Tetapi Warsi
memang seorang perempuan yang diselubungi oleh
rahasia." Tetapi para pengawal tidak terlalu banyak mendapat
kesempatan untuk berbincang.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebagaimana dikehendaki oleh Ki Randukeling, maka
dengan cepat Ki Rangga sempat memberikan beberapa
petunjuk kepada para perwira Jipang di Tanah Perdikan.
Mereka harus dengan cepat dan tepat menanggapi gejolak
perasaan yang tentu timbul di antara para pengawal.
Demikianlah, dengan pesan dan penjelasan dari Ki
Rangga, para perwira itu pun telah memberikan keterangan
kepada para pengawal. Di samping menjelaskan
persoalannya sebagaimana dikehendaki oleh Ki
Randukeling lewat Ki Rangga Gupita, sehingga tanggapan
para pengawal itu pun menjadi terarah karenanya.
Sebagian besar dari para pengawal memang tidak
mempersoalkan lebih lanjut. Mereka menerima pikiran,
bahwa justru dengan demikian Tanah Perdikan ini akan
menjadi semakin kuat. Jika sebagian besar para pengawal
akan pergi ke Jipang, maka Tanah Perdikan Sembojan tidak
36 SH. Mintardja akan mencemaskan, karena di Tanah Perdikan ini ada Ki
Wiradana dan istrinya yang ternyata akan mampu
membantu suaminya dengan baik dan meyakinkan.
Namun demikian ada juga beberapa di antara mereka
yang masih saja selalu bertanya-tanya di dalam hati.
Siapakah sebenarnya Warsi itu. Apakah ia memang seorang
penari jalanan, atau ada latar belakang lain dari
kehidupannya, sehingga ia memiliki kemampuan
melampaui kemampuan Ki Wiradana.
Dalam pada itu, di rumah Ki Wiradana pun telah terjadi
pembicaraan yang tegang. Ki Wiradana memang menuntut
penjelasan tentang istrinya yang tiba-tiba saja mempunyai
kemampuan yang mengejutkan dan bahkan telah
mengalahkannya di arena yang disaksikan oleh rakyat Sembojan.
"Ada dua masalah yang timbul," berkata Ki Wiradana. "Yang
pertama, bagaimana mungkin kau tiba-tiba saja telah memiliki
ilmu yang mampu mengalahkan aku. Dan yang kedua harga
diriku dihadapan rakyatku telah menjadi kabur."
Warsi tertawa mendengar persoalan yang dikemukakan oleh
suaminya. Tetapi sebelum ia menjawab, Ki Randukeling telah
mendahuluinya. "Jangan menanggapi dengan cara yang salah
Wiradana. Dengan demikian, maka kau akan dapat melihat
keadaan ini dalam suasana yang baik."
"Tetapi peristiwa itu membuat aku menjadi sangat sulit,"
jawab Ki Wiradana. "Namun aku pun ingin tahu keadaan Warsi
yang sebenarnya. Ternyata selama ini ia telah berpura-pura dan
bukankah dengan demikian ia sudah mempermainkan aku.
Ternyata dengan puncak dari permainannya itu ia telah
mencemarkan namaku di hadapan rakyatku."
"Sudahlah," berkata Ki Randukeling. "Ki Wiradana harus
menerima kenyataan ini. Warsi adalah istri Ki Wiradana dan
bahkan telah mendapatkan seorang anak laki-laki. Siapapun
Warsi tidak sepantasnya dipersoalkan sekarang. Seharusnya Ki
37 SH. Mintardja Wiradana berusaha untuk mengetahui sejak Ki Wiradana ingin
mengambilnya sebagai seorang istri."
Wajah Ki Wiradana menjadi kemerah-merahan. Terasa
jantungnya berdentang semakin keras. Namun ia memang harus
menahan diri, karena ia merasa dirinya menjadi sangat kecil.
Sementara itu, Warsi justru telah berkata, "Kakang. Jangan
marah. Selama ini aku memang berpura-pura. Aku ingin agar
kakang tidak berkecil hati. Aku mencintai kakang sehingga aku
telah mengekang diri selama ini. Karena aku yakin, jika kakang
mengetahui bahwa aku memiliki kemampuan dalam olah
kanuragan, kakang tidak akan mengambil aku untuk kau jadikan
sebagai istrimu." "Tetapi kenapa kau tiba-tiba saja sampai hati untuk
menjatuhkan namaku dihadapan banyak orang" Kenapa kau
tidak berterus terang saja mengatakan kepadaku, siapakah kau
sebenarnya. Jika kau memang memiliki kemampuan, maka aku
tentu akan mengakuinya tanpa kau tunjukkan dihadapan saksi
yang terlalu banyak itu," geram Ki Wiradana.
"Kau tersinggung?" bertanya Warsi.
"Ya. Aku memang tersinggung," jawab Ki Wiradana.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan jika kau merasa
tersinggung?" bertanya Warsi.
"Aku Pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan disini," jawab
Ki Wiradana. "Tetapi kau tidak mempunyai kekuasaan apapun disini
kakang," jawab Warsi. "Para pengawal telah berada ditangan para
pelatihnya, para perwira dari Jipang. Mereka akan segera
berangkat ke Pajang."
"Aku akan mencegah pemberangkatan itu," berkata Ki
Wiradana. Tetapi Warsi dan Ki Randukeling tertawa bersama. Bahkan
Warsi sempat memegangi perutnya yang terguncang.
38 SH. Mintardja "Sudahlah Wiradana," berkata Ki Randukeling, "Jangan
menjadi gelisah. Tidak ada apa-apa. Lakukan kewajibanmu
sebagaimana biasa. Tetapi jangan mencoba mencegah pasukan
pengawalmu yang akan berangkat. Mereka sudah siap. Dari
duaratus orang pengawal khususmu, akan ditinggalkan duapuluh
lima orang. Sementara itu, para pengawal terpilih dari
padukuhan-padukuhan pun akan dibawa pula oleh para perwira
Jipang ke Pajang" "Aku berhak mencegahnya,"
jawab Ki Wiradana lantang.
"Apakah artinya hak yang
kau maksud itu?" bertanya Nyai
Wiradana. "Kami dapat
memaksamu untuk melakukan
sesuatu atas kehendak kami.
Antara lain, memaksamu untuk
melepaskan para pengawal itu
pergi ke Pajang. Jika kau
menolak, maka kami dapat berbuat apa saja atasmu tanpa
diketahui oleh rakyamu. Karena
sebenarnyalah, sudah disiapkan
seorang penggantimu yang sah
jika kau menentang kehendak
kami." "Pengganti?" wajah Ki Wiradana menjadi sangat tegang.
"Ya. Anak itu," jawab Warsi.
"Tentu tidak mungkin," berkata Ki Wiradana. "Ia akan
menggantikan aku setelah aku tidak ada.
"Bukankah ketidaaanmu dapat dipercepat," jawab Warsi.
Ki Randukeling yang mendengarnya tertawa berkepanjangan.
Sementara Warsi meneruskan. "Kakang. Sebenarnyalah aku tetap
seorang istri. Tetapi dalam keadaan yang memaksa, maka kau
akan dapat lenyap seperti lenyapnya Nyai Wiradana yang
39 SH. Mintardja pertama. Tanpa bekas. Para pengawal akan mencari di segenap
sudut Tanah Perdikan ini bahkan diluarnya. Tetapi tidak seorang
pun yang menemukannya."
"Para pengawal akan mencurigai kalian," geram Ki Wiradana.
"Mereka berada dibawah pengaruh para perwira Jipang. Apa
katamu?" sahut Warsi dengan wajah yang tiba-tiba telah berubah.
Bukan wajah yang lembut kemanjaan. Tetapi sorot matanya
menjadi tajam menyala. Jantung Ki Wiradana serasa akan meledak menghadapi
kenyataan itu. Tetapi ia merasa bahwa ia memang tidak akan
dapat berbuat apa-apa dihadapan Warsi dan Ki Randukeling.
Menurut penilaiannya, Ki Randukeling tentu memiliki ilmu yang
luar biasa. Jauh lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki Warsi.
Karena itu, maka Ki Wiradana pun merasa bahwa ia telah
terjebak ke dalam satu keadaan yang tidak dapat dihindarinya. Ia
telah terjerumus ke dalam satu kubangan lumpur yang
menjeratnya tanpa dapat dilepaskannya.
Tetapi semuanya itu sudah telanjur. Sementara Warsi masih
juga berkata sekali lagi, "Kakang, jika kau bersikap baik
terhadapku, maka aku masih tetap istrimu. Jangan cemas bahwa
aku dan kakek akan melakukan satu tindakan yang mengancam
keselamatanmu." Ki Wiradana hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
enyesalan betapapun menghentak-hentak di dadanya, namun ia
telah berada di dalam wuwu yang dipasang dengan umpan
seorang penari yang cantik.
Di luar sadarnya Ki Wiradana teringat kepada Iswari. Seorang
perempuan yang benar-benar lembut hati, yang telah
dikorbankannya untuk memanjakan nafsunya.
Adalah diluar sadarnya pula, tiba-tiba saja ia berharap bahwa
Iswari benar-benar masih belum mati sebagaimana terdengar
beberapa bisikan yang tidak pasti di antara orang-orang Tanah
Perdikan Sembojan sendiri.
40 SH. Mintardja Dalam pada itu, maka rencana para perwira Jipang di Tanah
Perdikan itu pun berjalan sebagaimana mereka kehendaki. Para
perwira Jipang yang memimpin para pengawal Tanah Perdikan
itu pun nampak menjadi semakin garang. Sebagaimana sikap
prajurit yang keras, maka mereka telah menyiapkan sepasukan
yang cukup besar yang terdiri dari para pengawal khusus dan
para pengawal dipadukuhan-padukuhan, namun yang terpilih.
Demikianlah, maka hari pemberangkatan pun telah tiba.
Pasukan yang besar itu memang memberikan kebanggaan. Bukan
saja setelah mereka mampu menunjukkan ketrampilan mereka
mempergunakan senjata, namun tanda-tanda kebesaran pasukan
itu pun menunjukkan seakan-akan Tanah Perdikan Sembojan
adalah satu lingkungan pemerintahan yang memiliki kekuatan
tiada taranya. Pasukan Tanah Perdikan itu sudah dilengkapi
dengan pertanda-pertanda kebesaran. Tunggul dan panji-panji.
Rontek dan kelebet. Sementara itu, telah dibawa pula beberapa
buah pedati untuk memuat perlengkapan dan makanan bagi para
prajurit. Mereka harus mempunyai persediaan sebelum mereka
dapat merapatkan diri dihadapan Pajang.
Semua laporan terperinci telah sampai di Jipang. Jipang
memang sudah menyediakan sekelompok kecil prajurit yang akan
menunggu di satu tempat yang ditentukan. Pasukan itu akan
bergabung dan bersama dengan seratus tujuhpuluh lima
pengawal khusus dari Tanah Perdikan Menoreh beserta para
perwira pelatih, akan menjadi inti kekuatan dari pasukan itu.
Rakyat Tanah Perdikan Sembojan melepas pasukan itu dengan
perasaan yang bercampur baur. Antara kebanggaan, kegelisahan
dan kecemasan. Sementara masih ada perasaan yang tersangkut
dihati tentang Nyai Wiradana yang tiba-tiba saja mampu
menunjukkan sebagai seorang terbaik dalam permainan sodoran
di ara-ara. Beberapa orang perempuan menitikkan air mata mereka,
karena anak laki-laki kebanggaan keluarga mereka, suami yang
baru beberapa bulan kawin, kekasih, kakak atau adik yang ikut
dalam pasukan yang akan diumpankan pada para prajurit Pajang
41 SH. Mintardja yang gemblengan. Meskipun ada di antara pasukan itu para
perwira dari Jipang dibawah pengamatan Ki Rangga Gupita,
namun orang-orang Tanah Perdikan Sembojan yang untuk waktu
yang lama sampai masa jabatan Ki Gede Sembojan yang
terbunuh adalah termasuk kawula Pajang, mereka pun pernah
mendengar nama-nama besar seperti Ki Gede Pemanahan, Ki
Penjawi, Ki Wira, Ki Wuragil dan beberapa nama Senopati Pajang
pilihan yang lain, kawan-kawan bermain dan saudara-saudara
seperguruan dengan Kanjeng Adipati Hadiwijaya sendiri.
Tetapi tidak seorang pun dapat mencegah. Para pengawal
sendiri nampaknya berbangga telah mendapat tugas untuk pergi
ke Pajang. Para perwira telah menganjurkan kepada para
pengawal untuk berjuang menegakkan kedudukan Tanah
Perdikan Sembojan yang oleh Pajang sangat diperkecil artinya.
"Pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan kalian mendapat
kesulitan untuk menuntut pengakuan dari Pajang," berkata para
perwira Jipang kepada para pengawal. "Karena sebenarnyalah
Pajang akan menghapuskan semua Tanah Perdikan. Baik yang
ditetapkan oleh Pajang sendiri dan surat Kekancingan, maupun
yang sudah ditetapkan sebelumnya oleh Demak. Karena itu,
berjuanglah untuk menuntut keadilan, bahwa hak Tanah
Perdikan Sembojan harus tetap dihormati oleh Pajang."
Dengan demikian, maka para pengawal itu telah dibekali suatu
perasaan yang dapat menyalakan tekad di dalam dada mereka.
Sementara itu para perwira Jipang pun berkata selanjutnya
kepada mereka, "Adalah kesempatan yang sangat baik bagi Tanah
Perdikan ini bahwa para pengawalnya dapat berjuang bersama-
sama dengan Jipang yang akan membantu hak Tanah Perdikan
Sembojan." Karena itulah, maka para pengawal telah berangkat dengan
dada tengadah ketika mereka kemudian berjalan menyusuri
jalan-jalan padukuhan. Ki Wiradana, istrinya dan beberapa orang melepas pasukan itu
tidak di depan rumahnya atau di banjar Tanah Perdikan, tetapi
42 SH. Mintardja mereka berada disebuah bulak di luar padukuhan induk Tanah
Perdikan Sembojan. "Mereka memerlukan waktu yang lama untuk mencapai
tujuan. Tempat yang sudah ditentukan dan sudah disiapkan
disebelah Timur Pajang. Sementara pasukan yang datang dari
Jipang akan berada di sebelah Barat Pajang. Dengan demikian
Pajang akan merasa terkepung dan menjadi cemas akan
nasibnya, sementara pasukannya yang besar berada di hadapan
pasukan Jipang seberang menyeberang Bengawan," berkata Ki
Rangga Gupita. "Namun demikian mereka akan berada di tempat
itu dengan mapan, karena mereka sudah siap dengan bekal yang
mereka perlukan. Meskipun pedati-pedati itu rasa-rasanya
menghambat perjalanan, tetapi pada saatnya akan ikut
menentukan. Jika pasukan ini kehabisan bekal sebelum mapan di
tempat yang dituju, maka akan dapat menumbuhkan persoalan
tersendiri. Sedangkan sekelompok prajurit Jipang yang akan
bergabung dengan pasukan ini agaknya sudah menunggu
sebagaimana keterangan yang aku dapatkan dari Jipang."
Ki Wiradana tidak banyak memberikan tanggapan.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dipandanginya pasukan pengawalnya yang memang dapat
memberikan kebanggaan. Tetapi pasukan itu akan pergi untuk
bertempur bagi kepentingan Jipang.
Karena itu, Ki Wiradana memandangi pasukannya dengan
tatapan mata yang buram, sebagaimana buramnya Tanah
Perdikan Sembojan itu sendiri.
Dalam pada itu, Warsi memang tampil dengan sikap yang jauh
berbeda dengan sikapnya dihari-hari yang lewat. Meskipun ia
mengenakan pakaian yang biasanya dipakainya sehari-hari
sebagai istri Wiradana, tetapi wajahnya tidak lagi menunduk.
Suaranya tidak lagi tertahan penuh dengan keragu-raguan serta
seakan-akan membebankan setiap persoalan dalam perasaannya.
Bahkan ketika pasukannya lewat, Warsi sempat berbicara
panjang dengan Ki Rangga Gupita. Keduanya nampak gembira
dan sekali-kali keduanya tertawa.
43 SH. Mintardja Di sebelah Ki Wiradana, Ki Randukeling sekali-kali
mengamatinya. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil
berkata, "Kau sudah sampai pada saat dimana kau tidak mungkin
kembali. Pasukanmu telah terlibat dalam pertempuran melawan
Pajang. Karena itu, maka kau harus menggantungkan dirimu
kepada Jipang." Ki Wiradana berpaling ke arah Ki Randukeling. Namun di luar
kehendaknya, ia justru melihat Warsi, istrinya mencubit lengan
Ki Rangga Gupita. Jantung Ki Wiradana berdesir. Tetapi ia harus menahan
dirinya. Di sekitarnya berdiri orang-orang yang memiliki
kelebihan. Bukan saja dari orang kebanyakan, tetapi juga dari
dirinya sendiri. Karena itu, maka Ki Wiradana pun tiba-tiba merasa bahwa
dirinya memang tidak berharga. Disebelahnya berdiri Ki
Randukeling. Kemudian istrinya dan Ki Rangga Gupita. Pedagang
emas berlian dan orang yang disebut sebagai ayah Warsi.
Menurut pendapat Ki Wiradana, orang itu tentu dipersiapkan
oleh Ki Randukeling untuk membatasi dirinya
Dengan demikian maka Ki Wiradana hanya dapat berdiri
memantung sambil menunggu pasukannya lewat ke ujung
ekornya. Beberapa pedati yang berisi perbekalan dan
dibelakangnya beberapa orang pengawal bersenjata mengawasi
perbekalan yang ada di dalam pedati itu.
Ketika iring-iringan pasukan pengawal Tanah Perdikan
Sembojan itu sudah lewat, maka terasa Tanah Perdikan memang
menjadi kosong, sebagaimana hati pemangku jabatan Kepala
Tanah Perdikannya. Dengan kepala tunduk, Ki Wiradana berjalan meninggalkan
bulak yang berdebu memasuki padukuhannya. Istrinya berada
disampingnya sedangkan Ki Rangga Gupita berjalan disebelah Ki
Randukeling dibelakangnya.
Dibelakang mereka berjalan saudagar emas berlian dan orang
yang mengaku ayah Warsi bersama beberapa orang pemimpin
44 SH. Mintardja Tanah Perdikan yang lain. Beberapa orang bebahu padukuhan
induk dan para pemimpin pengawal yang tinggal.
Ki Wiradana seakan-akan tidak mampu untuk menyatakan
sesuatu selama iring-iringan itu memasuki padukuhan induk.
Dadanya terasa sesak. Apalagi setiap kali ia mendengar Ki
Rangga berbicara dengan istrinya yang selalu berpaling dan
memperlambat jalannya. Namun demikian sesaknya dada Ki Wiradana sehingga tiba-
tiba saja diluar kekang nalarnya ia bertanya, "Kapan Ki Rangga
berangkat ke Pajang?"
"O," Ki Rangga tersenyum, "Aku tidak tergesa-gesa. Aku bukan
termasuk pasukan yang harus bertempur di medan antara Jipang
dan Pajang. Tetapi aku mempunyai wewenang untuk mengatur
pasukan dari Tanah Perdikan ini. Karena itu, maka aku baru akan
menyusul dua hari lagi, karena pasukan itu tentu berjalan sangat
lamban. Aku pun tidak perlu berada dan menunggui pasukan itu.
Jika segala sesuatunya sudah teratur baik, serta kesiagaan
pasukan itu sudah memadai untuk menghadapi pasukan Pajang,
maka aku dapat saja kembali."
"Kembali ke Jipang?" bertanya Ki Wiradana.
"Aku dapat kembali ke Jipang. Tetapi dapat juga kembali ke
Tanah Perdikan ini, karena aku adalah seorang Putut dari
seorang pertapa yang bernama Ki Randukeling," jawab Ki Rangga
sambil tertawa. Suara tertawa itu terasa gemuruh dijantung Ki Wiradana.
Apalagi ketika beberapa orang telah tertawa pula. Warsi pun
tertawa seperti Ki Randukeling dan beberapa orang lain.
Suara tertawa yang gemuruh itu bagaikan memecahkan
seluruh isi dadanya. Menurut perasaannya, orang-orang itu telah
mentertawakan kedunguannya selama ini. Bahkan istrinya yang
dianggapnya sebagai perempuan yang dapat menjadi ilham
segala langkah-langkah yang diambilnya itu ternyata bukan
seorang perempuan yang mulai sebagaimana diduganya.
45 SH. Mintardja "Penari iblis itu telah mempermainkan aku," geram Ki
Wiradana. Namun ia tidak dapat mengatakannya kepada
siapapun juga. Demikianlah pada saat-saat berikutnya Ki Wiradana tidak lagi
mempunyai gairah di dalam kerja. Tanah Perdikannya menjadi
sepi dan hatinya pun tidak lagi bergejolak. Ia kadang-kadang
masih juga teringat kepada bandul yang disyaratkan bagi
wisudanya. Tetapi sudah tidak ada minat lagi untuk mencarinya.
Sikap Warsi di rumah pun telah berubah pula. Perempuan itu
menjadi garang dan setiap kali membentaknya. Bahkan adalah di
luar dugaan Wiradana, ketika Warsi itu berbicara kepada Ki
Randukeling, seolah-olah membicarakan sebuah mainan yang
sangat mengasyikkan, "Kakek, aku sebenarnya telah
meminjamkan nyawa kepada kakang Wiradana."
"He, bagaimana mungkin kau meminjamkan nyawa kepada
seseorang?" bertanya Ki Randukeling.
"Sebenarnya aku telah siap membunuhnya. Kami terlibat
kedalam perkelahian karena kakang Wiradana menyerangku. Ia
sudah tidak berdaya sama sekali untuk melawan. Tetapi aku
ternyata memang mencintainya, sehingga aku tidak
membunuhnya," berkata Warsi.
"O," Ki Randukeling tertawa. Tertawa lepas sebagaimana
menertawakan sesuatu yang lucu. Seakan-akan ia tidak sedang
berbicara tentang jiwa seseorang.
Wiradana pun kemudian teringat. Dari pembicaraan Warsi
selanjutnya dengan kakeknya, ia dapat membayangkan kembali
saat-saat ia bertempur dengan seseorang yang tidak dikenalnya,
namun yang sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Ternyata orang itu adalah Warsi. Perempuan yang kemudian
menjadi istrinya. Seorang istri yang dianggapnya bersikap
sebagaimana seorang perempuan yang berhati bening,
kemanjaan dan luruh. Ternyata perempuan itu adalah
perempuan yang memang hampir saja membunuhnya.
46 SH. Mintardja Martabat Ki Wiradana benar-benar terasa direndahkan.
Namun ia tidak mempunyai kesempatan untuk
mempertahankannya. Namun dengan demikian, Ki Wiradana menyadari sepenuhnya
apa yang telah terjadi atas dirinya. Ia dapat menggambarkan
kembali urut-urutan peristiawa yang dialaminya. Justru pada
saat-saat ia sudah berada dibawah bayang-bayang yang suram
dari satu kehidupan yang kelam. Ia dapat melihat cahaya yang
cerah diluar jangkauannya.
Tetapi segala sesuatunya yang cerah itu tinggal dapat
dialaminya dalam suatu mimpi, karena yang telah terjadi itu
tidak akan dapat diulanginya dalam susunan lakon yang berbeda.
Semakin jelas bayangan urutan peristiwa itu tergambar di
dalam angannya, maka semakin dalam pula penyesalan di dalam
dadanya, mengorek, menghujam sampai ke pusat jantungnya.
Sementara itu, pasukan pengawal Tanah Perdikan Sembojan
yang sedang dalam perjalanan ke Pajang, sama sekali tidak
membayangkan bahwa di dalam diri pemangku jabatan Kepala
Tanah Perdikannya tengah terjadi pergolakan. Lebih dahsyat dari
pergolakan yang terjadi secara kewadagan di Tanah Perdikan
Sembojan itu. Dengan gembira pasukan pengawal Tanah Perdikan Sembojan
itu melintasi jalan-jalan bulak. Memasuki kademangan demi
kademangan dan menembus padukuhan demi padukuhan.
Munculnya sepasukan pengawal yang disangka sepasukan
prajurit oleh orang-orang padukuhan yang dilaluinya memang
mengejutkan. Pertanda kebesaran dan kelengkapan senjata untuk
menunjukkan bahwa pasukan itu memang sudah siap untuk
berperang, membuat daerah-daerah dilaluinya bertanya-tanya.
Bahkan ketika mereka memasuki sebuah kademangan yang
besar, Ki Demang yang memiliki keberanian, bersama beberapa
orang bebahu dan pengawal telah bersiap-siap untuk
menyongsongnya. Demikian mereka mendapat laporan tentang
47 SH. Mintardja sebuah pasukan yang akan lewat, maka Ki Demang pun telah
mempersiapkan dirinya ditepi jalan yang dilalui oleh pasukan itu.
Pasukan pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang dipimpin
oleh para perwira dari Jipang itu melihat, bahwa sekelompok
orang berdiri seberang menyeberang jalan yang akan dilaluinya.
Tetapi mereka sama sekali tidak merasa terganggu karenanya.
Sekelompok orang yang berdiri disebelah menyebelah jalan itu
terlalu sedikit untuk berbuat sesuatu atas padukuhan yang kuat
itu. Meskipun demikian, Ki Demang telah memberikan isyarat
agar pasukan itu berhenti.
Perwira Jipang yang memimpin pasukan itu pun ternyata
tidak ingin membuat persoalan di perjalanan. Karena itu, maka ia
pun telah memberikan isyarat pula kepada para perwira yang lain
agar pasukan itu berhenti.
"Kami mohon maaf," berkata Ki Demang sambil membungkuk
dalam-dalam dan penuh hormat. "Apakah aku diperkenankan
untuk mengetahui, pasukan yang manakah yang lewat sekarang
ini" Kami tidak dengan cepat dapat membaca pertanda, umbul-
umbul, rontek dan kelebet yang menandai kebesaran pasukan
ini." Perwira itu tersenyum. Sambil menepuk bahu Ki Demang ia
berkata, "Jangan risaukan kami. Kami adalah sepasukan prajurit
yang menginginkan satu suasana yang dapat memberikan
ketenangan bagi rakyat. Bukan sebaliknya. Karena itu, maka kami
harus mencegah kesewenangan, ketamakan dan ketidak adilan."
"Benar Ki Sanak," jawab Ki Demang. "Tetapi siapakah yang Ki
Sanak maksudkan dengan mereka yang melakukan ketidakadilan
itu, sehingga Ki Sanak telah membawa sepasukan prajurit untuk
mencegahnya?" Perwira itu justru tertawa. Sekali lagi
ia menepuk bahu Ki Demang, katanya, "Pada saatnya kau akan
mengetahuinya. He, apakah kau pemimpin daerah ini?"
"Aku demang di Kademangan ini," jawab Ki Demang.
48 SH. Mintardja "Sudahlah Ki demang. Jangan persoalkan kami. Jangan
tanyakan kami datang darimana dan untuk apa," jawab perwira
Jipang itu. Tetapi Ki Demang itu menjawab "apakah salahnya jika kami
mengetahuinya" "
"Memang tidak ada salahnya," jawab perwira itu. "Tetapi juga
tidak ada salahnya jika Ki Demang tidak mengetahuinya."
Ki Demang masih akan bertanya lagi. Tetapi perwira itu pun
segera melangkah sambil berputar menghadap ke pasukannya. Ia
pun kemudian memberikan isyarat agar pasukannya itu pun
melanjutkan perjalanan menuju ke Pajang dari sisi sebelah
Timur." Ki Demang tidak dapat berbuat apa-apa. Iring-iringan itu pun
kemudian lewat. Jika Ki Demang memaksa agar pasukan itu
berhenti, tentu akan terjadi benturan kekerasan. Dalam keadaan
yang demikian Ki Demang merasa, bahwa Kademangannya tidak
mempunyai kekuatan sebesar pasukan yang lewat itu.
Karena itu, dengan dada yang berdegupan, Ki Demang
terpaksa membiarkan iring-iringan itu berjalan.
Ketika Ki Demang melihat bagian belakang dari pasukan itu,
yang terdiri dari beberapa buah pedati dengan berbagai macam
perlengkapan dan bekal, maka Ki Demang pun menjadi semakin
gelisah. Rasa-rasanya pasukan itu merupakan pertanda bahwa
perang memang sudah berada di ambang pintu, karena Ki
Demang pun telah mengetahui persoalan yang tumbuh di Demak,
Pajang dan Jipang. Untuk beberapa saat lamanya Ki Demang termangu-mangu.
Beberapa orang bebahu dan pengawal Kademangan itu pun
memandangi debu yang berhamburan dengan hati yang
berdebar-debar. 49 SH. Mintardja Namun dalam pada itu, ketika pasukan itu menjadi semakin
jauh dan Ki Demang sudah bermaksud untuk kembali memasuki
regol halaman banjar, seorang dalam pakaian petani yang
sederhana telah mendekatinya. Sambil tersenyum ia berkata
kepada Ki Demang, "Maaf Ki demang. Mungkin aku
mengganggu." Ki Demang memperhatikan orang itu sejenak. Kemudian ia
pun berpaling kepada seorang
bebahu, "Apakah orang ini
orang Kademangan ini" Rasa-
rasanya aku belum pernah melihatnya." Bebahu itu berdesis, "Aku
juga belum mengenalnya. Ki
Demang dapat bertanya kepadanya." Ki Demang memandang orang itu dengan ragu. Namun
orang itulah yang mendahuluinya, "Aku memang
bukan orang Kademangan ini.
Karena itu, maka sikapku mungkin mengganggu Ki Demang."
"Apa maksudmu?" bertanya Ki Demang.
"Ki Demang," berkata orang itu, "Aku hanya ingin sekadar


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberitahukan kepada Ki Demang. Bukankah tadi Ki Demang
bertanya kepada pemimpin pasukan itu, tetapi pemimpin
pasukan itu tidak bersedia menjelaskan, pasukan manakah yang
telah melewati Kademangan ini?"
Ki Demang termangu-mangu. Tetapi ia tidak menjawab.
"Ki Demang. Mungkin aku tahu jawabannya," berkata petani
itu. "Pasukan itu adalah pasukan Tanah Perdikan Sembojan."
50 SH. Mintardja Ki Demang memandang petani itu dengan tajamnya. Ia
melihat sesuatu yang lain pada orang itu, sehingga Ki Demang itu
pun menjadi curiga karenanya.
"Kenapa Ki Demang memandang aku seperti itu?" bertanya
petani itu. "Siapakah kau sebenarnya?" bertanya Ki Demang.
"Kenapa Ki Demang tidak justru bertanya tentang pasukan itu
lebih banyak lagi?" petani itu justru bertanya.
Ki Demang berpaling ke arah debu yang sudah dihanyutkan
angin sehingga tidak ada apapun lagi yang nampak oleh Ki
Demang. "Pasukan itu adalah pasukan Sembojan, tetapi yang sudah
menjadi bagian dari kekuatan Jipang," berkata orang yang dalam
ujud petani itu. "Maksudmu Jipang atau Pajang?" bertanya Ki Demang.
"Pasukan Sembojan itu menjadi bagian dari pasukan Jipang
untuk memerangi Pajang. Jelas" Mereka berlindung kepada
kebesaran nama Arya Penangsang dan memusuhi Adipati
Hadiwijaya. Bukankah aku tidak sekadar keliru
menyebutkannya?" jawab orang berpakaian seperti petani
kebanyakan itu. "Siapa kau?" sekali lagi Ki Demang bertanya.
Aku adalah petugas sandi dari Pajang," jawab petani itu. Lalu,
"Aku nasehatkan agar Kademangan yang besar ini mengerahkan
kekuatan untuk menghadapi Jipang yang sudah mendekati
Pajang dari dua arah. Itu jika kalian masih tetap merasa bagian
dari Pajang. Bukan justru berpaling kepada Jipang.
"Kami adalah bagian dari Pajang," jawab Ki Demang.
"Jika demikian siapkan pengawalmu. Berikan latihan pada
tingkat setinggi-tingginya yang mungkin kalian capai. Meskipun
tidak akan setingkat dengan para pengawal Tanah Perdikan
Sembojan yang dilatih oleh para perwira dari Jipang namun
51 SH. Mintardja Pajang akan sangat memerlukan anak-anak muda dalam jumlah
yang besar," berkata petani itu.
Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih atas
keterangan ini." "Baiklah. Aku akan mengikuti pasukan itu," berkata orang
dalam pakaian petani itu.
"Sudah jauh," desis Ki Demang.
"Mereka maju lamban sekali karena justru mereka membawa
beberapa pedati. Aku akan segera menyusulnya. Bersiaplah dan
hubungi kademangan-kademangan terdekat. Kerahkan semua
kekuatan yang ada. Mungkin di Kademangan ini ada bekas
prajurit yang sudah mengundurkan diri karena umurnya atau
siapapun yang akan dapat menjadi pelatih dari para pengawal
itu," berkata orang dalam pakaian petani itu.
Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih.
Kami akan melaksanakan. Tetapi siapakah nama Ki Sanak?"
Orang dalam pakaian petani itu tersenyum. Katanya,
"Yakinlah bahwa aku adalah seorang petugas dari Pajang."
Ki Demang tidak memaksanya. Tetapi ia percaya bahwa orang
itu memang petugas sandi dari Pajang. Namun demikian Ki
Demang masih harus memastikan kebenaran keterangan itu.
Namun dalam pada itu, Ki Demang pun berkata, "Pilih dua
orang terbaik di antara para pengawal. Biarlah mereka pergi ke
Sembojan untuk mendengarkan pembicaraan orang-orang
Sembojan sendiri. Mungkin di pasar-pasar. Mungkin di warung-
warung. Dengan demikian kita akan menjadi yakin akan langkah-
langkah yang kita ambil. Para bebahu pun mengangguk-angguk. Ki Jagabayalah yang
kemudian akan mengatur tugas-tugas bagi anak-anak muda
Kademangan itu. Sementara itu, pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu pun
berjalan menyusuri jalan-jalan padukuhan dan jalan-jalan bulak.
52 SH. Mintardja Umbul-umbul, rontek, kelebet dan tunggul yang mereka bawa
memberikan dorongan gairah perjuangan yang membara dihati
para pengawal yang merasa dirinya memiliki kemampuan
seorang prajurit. Karena itulah, maka jika mereka melihat anak-
anak muda di padukuhan-padukuhan yang mereka lalui, maka
dengan wajah tengadah mereka seakan-akan berkata, "Inilah
pengawal terpilih yang akan mampu menyelesaikan tugas-
tugasnya dengan tuntas."
Namun perjalanan pasukan itu memang lamban. Di lewat
tengah hari pasukan itu berhenti beberapa saat. Kemudian
dibawah terik matahari yang membakar, pasukan itu
melanjutkan perjalanan. Namun oleh latihan-latihan yang berat
para pengawal itu sama sekali tidak merasakan keletihan dan
kelelahan. Baru ketika matahari turun ke punggung perbukitan, pasukan
itu mencari tempat untuk bermalam. Sebuah hutan kecil
merupakan tempat yang paling baik bagi mereka. Sementara
sebuah sungai mengalir di pinggir hutan kecil itu.
"Kita bermalam disini," berkata perwira Jipang yang
memimpin pasukan itu. Setelah mendapat perintah dari para pemimpin kelompok
masing-masing, maka pasukan itu pun telah menyebar, mencari
tempat sendiri-sendiri untuk bermalam.
Namun tidak ada masalah bagi para pengawal itu. Dimanapun
mereka dapat berhenti untuk beristirahat dan tidur nyenyak.
Yang kemudian menjadi sibuk adalah para petugas yang
menyediakan makan dan minum bagi pasukan itu. Mereka harus
menyalakan api untuk menanak nasi dan merebus air.
"Hati-hati," pesan para perwira Jipang. "Api yang kalian
nyalakan jangan menjadi sebab hutan ini terbakar. Jika kalian
telah selesai masak, maka api itu harus kalian padamkan. Jika
kalian meninggalkan sepercik bara, mungkin bara itu akan dapat
menjadi sebab, seluruh hutan ini menjadi abu."
53 SH. Mintardja Orang-orang yang bertugas menyiapkan makan dan minum
itu mengangguk-angguk. Karena itu, maka kemudian mereka pun
telah memilih tempat yang paling lapang. Apalagi mendekati
sungai sehingga mereka akan dapat mengambil air dari belik di
pinggir sungai itu. Ketika kemudian malam turun, maka dibeberapa tempat telah
dipersiapkan tempat-tempat untuk berjaga-jaga. Beberapa orang
bergantian bertugas ditempat-tempat itu. Bagaimana pun juga
mereka harus berhati-hati, karena mereka merasa bahwa mereka
telah melibatkan diri ke dalam satu pertentangan antara
kekuatan-kekuatan yang besar.
Sementara itu, ketika malam menjadi semakin malam, terasa
hutan kecil itu menjadi semakin gelap. Namun dijantung hutan
itu mulai terdengar suara-suara binatang hutan yang kadang-
kadang memang mendirikan bulu tengkuk. Aum harimau yang
lapar disahut oleh suara anjing hutan dalam kelompok-kelompok
yang cukup besar. Seorang pengawal yang bertugas berjaga-jaga merasa ngeri
juga mendengar suara-suara malam ditengah-tengah hutan yang
lebat itu. "Anjing hutan itu biasanya datang tidak seekor demi seekor,"
katanya. "Ya. Dalam kelompok-kelompok. Mereka menyerang bersama-
sama," jawab kawannya.
"Ngeri juga mendengar suaranya. Tiga atau empat ekor di
antara sekelompok anjing hutan itu menggonggong," berkata
yang pertama. Kawannya mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Kita juga
tidak seorang demi seorang menghadapi anjing hutan itu jika
mereka datang berkelompok. Kita akan menghadapi mereka
dalam kelompok pula."
54 SH. Mintardja Pengawal yang pertama itu mengerutkan keningnya. Namun ia
pun kemudian tersenyum sambil menjawab, "Kita memang
berkelompok sebagaimana anjing hutan itu."
Keduanya kemudian terdiam. Yang terdengar adalah suara-
suara yang asing. Namun rasa-rasanya memang mengerikan.
Namun dalam pada itu, para penjaga itu telah mendengar
suara yang lain. Bukan suara-suara malam di hutan kecil itu.
Bukan aum harimau lapar. Bukan pekik kera yang terkejut di
malam hari. Bukan pula gonggongan anjing hutan. Tetapi derap
beberapa ekor kuda. Pengawal yang sedang berjaga-jaga itu pun segera bangkit.
Dua orang di antara mereka dengan senjata telanjang mengamati
suara itu dengan seksama.
"Benar, derap kaki kuda," desisnya.
"Siapkan semua kawan-kawan yang bertugas," sahut
kawannya, "Kita harus memberikan laporan secepatnya.
Para pengawal pun segera bersiap. Lima orang dengan senjata
di tangan masing-masing merunduk ketepi hutan itu dan seorang
kawannya telah melaporkannya ke induk pasukan.
Tetapi ketika pengawal yang berjaga-jaga itu sampai ke tempat
para perwira Jipang beristirahat, ternyata mereka juga telah
mendengar derap kaki kuda.
"Beri isyarat, agar semua orang di dalam pasukan ini bersiap,"
perintah para perwira itu.
Sesaat kemudian perintah itu pun telah menjalar.
Sebagaimana sikap prajurit, maka dalam waktu yang singkat,
semuanya sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi derap kaki kuda itu semakin lama terdengar menjadi
semakin jauh. Bahkan kemudian telah hilang dari pendengaran
para pengawal Tanah Perdikan Sembojan.
Para perwira dari Jipang itu sempat berbicara tentang derap
kaki kuda itu. Agaknya mereka menganggap bahwa derap kaki
55 SH. Mintardja kuda itu merupakan satu persoalan yang harus mereka tanggapi
dengan sungguh-sungguh. "Perkuat penjagaan," berkata pemimpin pasukan itu.
Para pemimpin pengawal telah mengatur penjagaan menjadi
duakali lipat. Sementara yang lain pun kembali beristirahat.
Namun ada juga di antara mereka yang mengumpat-umpat.
"Derap kuda itu hanya mengganggu saja."
"Jangan abaikan," sahut kawannya. "Mungkin mereka,
penunggang kuda yang agaknya lebih dari satu itu petugas-
petugas sandi dari Pajang."
"Tetapi mungkin juga perampok-perampok yang melarikan
hasil rampokannya," sahut yang pertama.
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian
mengangguk sambil menjawab, "Memang mungkin."
Keduanya pun tidak berbicara lagi. Mereka berusaha untuk
dapat tidur sebaik-baiknya karena mereka masih harus
menempuh perjalanan yang panjang dikeesokan harinya.
Sementara itu, para pengawal yang bertugas berjaga-jaga pun
harus berganti pada saat-saat tertentu agar setiap orang
mendapat kesempatan untuk beristirahat.
Namun agaknya para perwira dari Jipang tidak sempat untuk
berbuat demikian, karena mereka menganggap bahwa derap kaki
kuda itu merupakan satu persoalan yang tidak dapat
diabaikannya. Meskipun ada juga di antara mereka yang sempat
tertidur satu dua kejap, namun para perwira itu merasakan
sesuatu yang harus ditanggapi dengan sungguh-sungguh.
Tetapi agaknya tidak ada persoalan yang timbul yang
merupakan kelanjutan dari derap kaki kuda semalam. Ketika
cahaya fajar nampak dilangit, maka setiap orang dalam pasukan
itu telah mempersiapkan diri. Mereka sempat pergi ke sungai
untuk mandi sebelum mereka mendapat rangsum makan pagi.
56 SH. Mintardja Pada saat matahari terbit, maka pasukan itu sudah siap untuk
meneruskan perjalanan. Sebagaimana dihari sebelumnya, maka
pasukan itu dengan sengaja telah memasang rontek, umbul-
umbul dan kelebet pada tunggul-tunggul yang didapatnya dari
Jipang. Tetapi sekali lagi pasukan itu dikejutkan oleh kehadiran pihak
yang tidak mereka kehendaki. Ketika pasukan itu sudah siap
untuk berangkat, tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan pula oleh
derap kaki kuda. Dari balik gerumbul disebelah lapangan perdu
di luar hutan kecil itu, dua ekor kuda telah berlari kencang
meninggalkan pasukan yang termangu-mangu itu.
"Kami akan mengejarnya," desis pemimpin pasukan berkuda
yang ada di antara para pengawal.
Tetapi perwira Jipang yang memimpin pasukan itu
menggeleng, "Tidak perlu. Hanya akan memperlambat
perjalanan kita. Apalagi belum tentu kalian dapat menyusul
kedua penunggang kuda yang mendapat kesempatan lebih
dahulu untuk berlari itu."
Pemimpin pasukan berkuda itu pun menarik nafas dalam-
dalam seakan-akan ingin mengendapkan gejolak perasaannya.
Sejenak kemudian maka pasukan itu pun mulai bergerak.
Seperti dihari sebelumnya, maka para pengawal telah berjalan
dengan dada tengadah. Meskipun perjalanan mereka cukup
lamban, namun tidak mengurangi kesigapan seluruh pasukan.
Dalam pada itu, dua ekor kuda telah berlari membawa
penunggangnya mendahului pasukan yang keluar dari hutan kecil
itu. Mereka sadar, bahwa mereka tidak dikejar oleh para
pengawal, sehingga karena itu, maka mereka tidak terlalu
tergesa-gesa. Seorang di antaranya kemudian berkata, "Bagaimana
pendapat Ki Tumenggung?"
"Agaknya Wiradana benar-benar menjadi sakit hati," berkata
orang yang disebut Ki Tumenggung itu.
57 SH. Mintardja "Dan Ki Tumenggung telah menyaksikan sendiri," desis
pengawalnya. "Ya. Aku sekarang percaya," jawabnya. "Ketika aku mendapat


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laporan tentang pemberontakan yang dilakukan oleh Tanah
Perdikan Sembojan apalagi dengan menerima para perwira dari
Jipang aku kurang percaya. Ki Wiradana telah menemui aku
untuk membicarakan kedudukannya sebagai Kepala Tanah
Perdikan. Tetapi aku tidak dapat memenuhinya dengan segera
karena persoalan yang timbul antara Pajang dan Jipang.
Meskipun demikian aku sudah menyanggupinya untuk
menyelesaikan persoalannya jika keadaan telah memungkinkan.
Tetapi agaknya ia telah memilih langkah yang salah."
"Bagaimana laporan tentang istrinya yang bernama Warsi?"
bertanya pengawalnya. "Ya. Semuanya sudah kita ketahui. Petugas sandi kita telah
mendapat banyak keterangan," berkata Ki Tumenggung. "Tetapi
agaknya kita memang terlambat. Kita baru mengandalkan
pengamatan yang luas setelah kita melihat kehadiran orang-
orang Jipang di Tanah Perdikan Sembojan," jawab Ki
Tumenggung. "Tetapi kita memang tidak menduga sama sekali,
bahwa hal itu akan terjadi di Tanah Perdikan Sembojan."
"Sepeninggal Ki Gede, Sembojan benar-benar menjadi rusak,"
berkata pengawalnya kemudian.
"Tetapi nampaknya Wiradana masih juga harus memikirkan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Tanah
Perdikan itu. Aku tidak yakin bahwa semua orang Tanah
Perdikan itu menerima sikap Ki Wiradana, terutama untuk
berdiri di belakang Jipang," berkata Ki Tumenggung. "Karena
agaknya Wiradana hanya ingin untuk segera mendapatkan
kedudukannya sebagai kepala Tanah Perdikan sepenuhnya.
Agaknya Jipang menyanggupinya dan sekaligus untuk
melindunginya." "Ki Tumenggung," bertanya pengawalnya. "Kenapa pada saat
ia menghadap Ki Tumenggung tidak segera menyelesaikan saja
58 SH. Mintardja persoalannya sehingga kemungkinan Tanah Perdikan itu
dipengaruhi oleh Jipang dapat diperkecil."
"Sudah aku katakan. Kanjeng Adipati sedang sibuk. Bahkan
nampaknya perkembangannya menjadi semakin buruk.
Sementara Ki Wiradana juga belum menemukan pertanda
kekuasaan Tanah Perdikannya. Meskipun aku juga sudah
menyanggupinya, seandainya tanda itu tidak diketemukan, aku
akan berusaha memecahkan persoalannya karena semua orang
mengetahui, bahwa Wiradana memang anak laki-laki satu-
satunya dari Ki Gede Sembojan," jawab Ki Tumenggung.
Pengawalnya mengangguk-angguk. Nampaknya Ki
Tumenggung memang sudah berusaha untuk berbuat sebaik-
baiknya. Tetapi ternyata Wiradana tidak mau menerima keadaan
itu. Ia justru tergesa-gesa berpaling kepada Jipang.
Meskipun demikian Ki Tumenggung masih juga berkata,
"Memang mungkin sekali Ki Wiradana berada dibawah
pengaruh istrinya yang ternyata mampu mengalahkannya di
permainan sodoran sebagaimana aku mendengar laporan tentang
hal itu." Pengawalnya mengangguk-angguk, sementara Ki Tumenggung
Wirajaya kemudian justru memacu kudanya semakin cepat.
Namun tidak seorang pun yang akan mengetahuinya, bahwa ia
adalah seorang Tumenggung dalam pakaian sederhana yang
dikenakannya. Sementara itu pasukan Tanah Perdikan Sembojan merambat
dengan lamban mendekati tujuan. Tetapi tujuan itu masih cukup
jauh. Di Tanah Perdikan Sembojan, maka atas permintaan Warsi, Ki
Wiradana telah menghimpun anak-anak muda yang masih ada.
Pengawal-pengawal padukuhan yang tersisa itu pun telah
mendapatkan latihan-latihan yang keras. Duapuluh lima orang
pengawal khusus yang ditinggalkan di Tanah Perdikan Sembojan
telah mengumpulkan anak-anak muda dari padukuhan-
padukuhan untuk ditempa menjadi pengawal yang baik.
59 SH. Mintardja "Mungkin pasukan kita dihadapan Pajang memerlukan
bantuan," berkata Warsi.
"Aku tidak akan mengirimkan pengawal lagi ke luar Tanah
Perdikan," berkata Ki Wiradana.
Tetapi Warsi tertawa. Katanya, "Kau tidak dapat menentang
kehendak kami. Disini ada aku, ada kakek Randukeling, ada ayah
yang sebenarnya dan ada orang yang aku sebut sebagai ayahku,
tukang gendang itu. Dan disini juga ada Ki Rangga Gupita."
Wajah Wiradana menjadi tegang. Tetapi sebenarnyalah bahwa
disekitarnya terdapat orang-orang yang dapat memaksanya
untuk berbuat apa saja. Bahkan seandainya yang ada hanya Warsi
sendiri pun, ia tidak akan dapat menentang kehendaknya, karena
ia sadar, bahwa ia tidak akan mampu mengimbangi ilmu istrinya
yang cantik itu. Selain latihan-latihan yang berat, maka pajak pun terasa
terlalu menekan. Tetapi Tanah Perdikan Sembojan memerlukan
dana bagi perjuangannya. Meskipun Jipang juga memberikan
dana bagi pasukan yang berangkat ke Pajang, tetapi Tanah
Perdikan itu sendiri masih harus menutup kekurangannya dan
membiayai para pengawal yang ada di Tanah Perdikannya
sendiri. Ki Wiradana yang untuk beberapa lama telah menutup mata
dan telinganya atas keadaan rakyatnya, justru mulai melihat dan
mendengar, betapa rakyatnya menjadi semakin mengalami
banyak kesulitan untuk memenuhi kewajiban mereka membayar
pajak yang semakin tinggi.
Dalam pada itu, Ki Rangga Gupita yang akan menyusul
pasukan ke Pajang itu ternyata masih juga belum berangkat.
Namun yang bagi ki Wiradana merupakan duri di dalam
dagingnya. Selain Ki Rangga itu membayangi pemerintahan yang
dilakukannya di atas Tanah Perdikan Sembojan bersama
beberapa orang yang lain, nampaknya Ki Rangga Gupita itu pun
menjadi semakin akrab dengan istrinya.
60 SH. Mintardja Namun semuanya itu harus tetap disimpannya saja di dalam
hatinya. Perasaannya yang terasa sangat pahit, serta penyesalan
yang tidak berkeputusan. Bahkan ia masih harus menjalankan semua perintah orang-
orang yang ada disekitarnya atas namanya sendiri meskipun
bertentangan dengan perasaannya.
Dalam pada itu, Ki Wiradana sedang berbicara dengan para
pengawal khusus yang ditinggalkan, ia sempat bertanya kepada
Ki Rangga, "Apakah Ki Rangga tidak ingin melihat keadaan
pasukan kita yang berada di hadapan Pajang. Bukankah menurut
perhitungan kita, pasukan itu sudah berada di sana?"
"Tentu sudah," jawab Ki Rangga. "Sebenarnya aku ingin juga
pergi ke Pajang. Tetapi aku masih harus menunggu, apakah
Tanah Perdikan ini akan dapat menjaga dirinya dalam keadaan
seperti ini." "Tetapi bukankah kita berkepentingan untuk melihat keadaan
pasukan kita yang berada di Pajang?" bertanya Ki Wiradana.
"Tentu," jawab Ki Rangga. "Tetapi aku sudah mendapat
laporan bahwa mereka telah berada ditempat tujuan. Mereka
telah bergabung dengan pasukan kecil prajurit Jipang yang akan
berbaur dengan mereka, agar pasukan itu menjadi semakin kuat.
Nah, bukankah dengan demikian, aku tidak perlu tergesa-gesa
pergi ke Pajang" Apalagi menurut pengamatan sandi, prajurit
Pajang memang belum bergerak."
Wiradana hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak
dapat mengusir Ki Rangga, karena Ki Rangga mempunyai
kedudukan yang kuat di antara orang-orang yang berada
disekitarnya. Bahkan Ki Rangga adalah orang yang mendapat
kepercayaan yang besar dari pada pemimpin di Jipang.
Pada saat-saat Ki Wiradana berada di antara duapuluh lima
orang pengawal khususnya yang terlatih, kadang-kadang
memang timbul niat Ki Wiradana untuk menentukan sikap.
Bersama keduapuluh lima orang itu, ia berhadap akan dapat
menghadapi orang-orang yang mengelilinginya dengan sikap
61 SH. Mintardja yang sangat menyakitkan hati. Ditambah dengan para pengawal
di padukuhan-padukuhan yang sedang mengadakan latihan-
latihan yang keras. Namun Ki Wiradana tidak berani untuk memulainya. Para
pengawal itu bersikap asing terhadapnya. Mereka justru lebih
akrab dengan Ki Rangga Gupita. Bahkan setiap kali para
pengawal itu selalu menyebut dan memuji para perwira Jipang
yang pernah menjadi pelatih mereka.
Tetapi ternyata bahwa Ki Wiradana tidak cukup cermat
mengamati keadaan pasukan khususnya yang tinggal duapuluh
lima orang itu. Di antara mereka terdapat orang-orang yang
meragukan sikap Tanah Perdikan Sembojan. Meskipun demikian,
perasaan itu seakan-akan hanya disimpannya saja didalam hati.
Karena itu, maka selanjutnya, Wiradana harus menjalani satu
kehidupan yang sangat pahit. Meskipun dimata orang-orang
Tanah Perdikan Sembojan ia adalah seorang pemangku jabatan
Kepala Tanah Perdikan, namun sebenarnyalah yang dilakukan
tidak lebih dari menjalankan perintah Warsi, penari jalanan yang
berhasil menyusup memasuki rumahnya dan bahkan menginjak-
injak harga diri dan martabatnya.
Dengan demikian, maka yang selanjutnya mengatur Tanah
Perdikan yang sebenarnya adalah Warsi atas nasihat dan
petunjuk dari kakeknya, ayahnya dan Ki Rangga Gupita.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Tanah Perdikan
Sembojan digelisahkan oleh kedatangan seorang penghubung
dari Jipang yang bertugas di Pajang. Dengan tergesa-gesa orang
itu berusaha untuk dapat bertemu dengan Ki Rangga Gupita dan
Ki Wiradana. "Ada apa?" tanya Ki Randukeling ketika mereka sudah duduk
di pendapa. "Agaknya Pajang mulai bergerak," berkata penghubung itu. "Ki
Rangga dimohon untuk dapat datang ke Pajang. Mereka
memerlukan pertimbangan Ki Rangga."
62 SH. Mintardja "Seandainya Pajang mulai bergerak, apa yang dilakukan?"
bertanya Ki Rangga. "Mereka menyusun kekuatan di hadapan pasukan Jipang dan
Tanah Perdikan Sembojan," jawab penghubung itu.
"Apakah kau sudah menghubungi pasukan Jipang yang berada
disebelah Barat Pajang?" bertanya Ki Rangga.
"Sudah ada penghubung yang pergi ke sebelah Barat Pajang.
Tetapi agaknya pasukan Pajang memang menggerakan
pasukkannya untuk menghadapi kedua kekuatan Jipang," jawab
penghubung itu. "Apakah pasukan Pajang yang berada dihadapan pasukan
Jipang disebelah-menyebelah Bengawan sudah ditarik?" bertanya
Ki Randukeling. "Belum," jawab penghubung itu. "Tetapi ternyata bahwa
Pajang masih menyimpan kekuatan untuk melindungi Kota
Rajanya." Ki Rangga termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Aku
akan pergi ke Pajang bersama Ki Wiradana. Mudah-mudahan ia
dapat memantapkan tekad para pengawal Tanah Perdikan.
"Biarlah ia berada disini menunggui anaknya," sahut Ki
Randukeling. "Akulah yang akan ikut bersamamu."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jika
demikian kita akan berangkat bersama."
Sebagai seorang perajurit maka Ki Rangga tidak perlu
menunggu esok. Ia pun segera berkemas untuk bersama-sama Ki
Randukeling dan penghubung itu pergi ke Pajang. Sementara itu
Warsi, ayahnya dan orang yang diaku sebagai ayahnya itu akan
menunggui Tanah Perdikan Sembojan bersama Ki Wiradana.
Namun sebenarnyalah bahwa kepergian Ki Rangga dan Ki
Randukeling itu tidak lepas dari pengamatan seseorang. Petugas
sandi dari Pajang masih belum tahu, tentang dua orang yang
akan dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan bagi
63 SH. Mintardja pasukan Jipang dan Tanah Perdikan Sembojan yang berada
dihadapan Pajang. Tetapi pihak lain ternyata melihat keduanya
meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan bersama seorang
penghubung yang mereka anggap sebagai seorang pengawal.
Karena itu, maka padepokan kecil yang agak jauh dari
padukuhan induk Tanah Perdikan pun segera mengetahuinya
pula. "Jadi Randukeling tidak ada ditempat?" bertanya Kiai Soka.
"Mereka pergi yang mungkin sekali ke arah pasukannya yang
berada di Pajang," jawab Sambi Wulung yang lebih banyak
berada di Tanah Perdikan Sembojan daripada di padepokan kecil
itu, karena ia adalah orang yang tidak dikenal di Tanah Perdikan
Sembojan. Kiai Soka mengangguk-angguk. Katanya, "Kita mendapat
peluang untuk bermain-main di Tanah Perdikan Sembojan.
Tetapi di samping itu, kita sudah sepantasnya membuat
hubungan dengan Pajang. Agaknya memang sudah waktunya,
sehingga kita akan dapat menyesuaikan diri dengan langkah-
langkah yang diambil Pajang."
Sambi Wulung mengangguk pula. Tetapi ia masih bertanya,
"Apakah kita akan pergi ke Pajang?"
"Salah seorang di antara kita akan pergi ke Pajang," jawab Kiai
Soka. "Kita dapat membicarakan banyak hal. Antara lain tentang
Tanah Perdikan Sembojan. Anak Wiradana yang lahir dari Iswari
itu pun berhak atas Sembojan. Apalagi ia mempunyai pertanda
kebesaran Tanah Perdikan Sembojan."
"Siapakah di antara kita yang akan pergi?" bertanya Sambi
Wulung. "Biarlah kakek buyutnya. Mungkin Kiai Badra masih dapat
mengenali kembali sahabat-sahabatnya pada masa lampau yang
sekarang berada di Pajang," berkata Kiai Soka.
Kiai Badra yang sedang berada di padepokan adik
perempuannya itu pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
64 SH. Mintardja "Aku menurut saja keputusan kalian. Jika aku yang harus pergi,
maka aku akan pergi."
"Kiai Badra tentu akan sampai ke Pajang," berkata Kiai Soka
kemudian. "Meskipun seandainya ia bertemu dengan pasukan
Jipang dan Tanah Perdikan Sembojan. Bahkan dengan Ki
Randukeling sekalipun."


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiai Badra hanya tersenyum saja. Katanya, "Doakan agar aku
selamat sampai ke tujuan." Kiai Badra berhenti sejenak, lalu,
"Tetapi aku akan membawa Gandar bersamaku."
"Silakan," jawab Kiai Soka. "Sementara itu kami yang tinggal
akan menyiapkan rombongan penari yang sudah beberapa lama
tidak hadir di Tanah Perdikan Sembojan.
"Tetapi tunggu aku kembali dari Pajang," jawab Kiai Badra.
"Tentu. Siapakah pengendangnya jika kau tidak ikut bersama
dengan rombongan itu," sahut Kiai Soka.
"Bukankah kau juga seorang pengendang yang baik?" bertanya
Kiai Badra. "Tetapi kakanglah yang lebih sesuai dengan penarinya," Nyai
Soka ikut memotong pembicaraan itu.
Kiai Badra tertawa. Namun katanya kemudian, "Besok aku
akan pergi ke Pajang. Aku akan melihat pasukan Tanah Perdikan
Sembojan itu." Seperti yang dikatakannya, maka di keesokan harinya, Kiai
Badra dan Gandar pergi ke Pajang untuk membuat hubungan
dengan beberapa orang Pajang tentang Tanah Perdikan
Sembojan yang sudah jelas berpihak kepada Jipang.
Untuk mempermudah perjalanannya, maka Kiai Badra dan
Gandar sengaja tidak membawa kuda. Mereka berjalan kaki saja
menyusuri jalan-jalan setapak yang memintas menuju ke Pajang.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh Kiai Badra, ia ingin melihat
pasukan Tanah Perdikan Sembojan yang berada dibawah
pimpinan orang-orang Jipang.
65 SH. Mintardja "Randukeling ada disana," berkata Gandar.
"Karena itu, kita harus berhati-hati," jawab Kiai Badra.
Namun Kiai Badra dan Gandar adalah orang-orang yang
memiliki ilmu linuwih. Dengan kelebihan yang ada pada mereka,
maka mereka berusaha untuk melakukan rencana mereka sebaik-
baiknya. Keduanya yang tidak langsung ke Pajang itu, ternyata berhasil
mendekati pasukan Tanah Perdikan Sembojan yang membuat
pesanggrahan disebuah padukuhan kecil namun memiliki pagar
yang cukup baik dipergunakan sebagai benteng pertahanan.
Tanpa menghiraukan penghuni padukuhan itu, pasukan yang
telah bergabung dengan orang-orang Jipang yang dikirim
langsung ke tempat itu, tinggal sekehendak hati. Bukan saja
rumah Ki Bekel padukuhan itu dan banjarnya, tetapi juga rumah-
rumah orang yang terhitung kecukupan telah mereka
pergunakan. Bahkan mereka tidak saja mengambil beras dari
persediaan yang mereka bawa dengan pedati-pedati dari Tanah
Perdikan Sembojan, tetapi mereka telah mengambil pula dari
lumbung-lumbung rakyat padukuhan itu.
Kecuali langsung mengadakan pengamatan ke dalam
padukuhan itu di malam hari, Kiai Badra juga berusaha untuk
dapat membuat hubungan dengan penghuni padukuhan itu
ketika mereka berada di sawah. Dengan demikian, maka Kiai
Badra dan Gandar mendapat gambaran yang cukup tentang
pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu.
Dengan tambahan bekal itulah, maka Kiai Badra telah pergi
meneruskan perjalanannya memasuki Pajang.
Tetapi yang pertama-tama ditemui oleh Kiai Badra adalah
seorang yang pernah dikenalnya dengan baik. Kemudian oleh
orang itu Kiai Badra akan dibawa langsung menghadap Ki
Tumenggung Wirajaya. "Jika kau ingin berbicara tentang Tanah Perdikan,
berbicaralah dengan Ki Tumenggung Wirajaya. Menurut
pengetahuanku, ia mendapat tugas untuk mengurusi beberapa
66 SH. Mintardja Tanah Perdikan yang ada di lingkungan Kadipaten Pajang,"
berkata sahabat Kiai Badra itu.
"Terima kasih," sahut Kiai Badra yang sudah agak lama tidak
saling bertemu. "Tetapi dengan syarat," berkata orang itu. "Jika kau minta aku
mengantarmu, maka nanti malam kau harus bermalam
dirumahku." Kiai Badra tersenyum. Katanya, "Sebenarnya aku ingin minta
kepadamu untuk diijinkan bermalam. Tetapi aku takut
mengucapkannya. Tiba-tiba kau menawarkannya kepadaku. Nah,
apakah aku akan menolaknya."
Kawannya yang sudah setua Kiai Badra itu tertawa. Katanya,
"Kau masih sama dengan yang beberapa tahun yang lalu."
"Aku tidak akan berubah. Tetapi kau harus mengetahui, bahwa
perjalananku kali ini adalah perjalanan yang tersembunyi,"
berkata Kiai Badra. "O," orang itu tertawa berkepanjangan. "Kau agaknya
membawa tugas rahasia. He, apakah kau sekarang justru menjadi
petugas sandi Tanah Perdikan Sembojan" Justru setelah kau
menjadi setua itu." "Ah, kau ini ada-ada saja. Tugasku adalah tugas pribadi. Tetapi
apakah tidak mungkin ada rahasia bagi pribadi yang khusus?"
bertanya Kiai Badra. "Kau memang seorang pribadi yang aneh. Agaknya rahasia itu
adalah rahasia kehidupanmu selama ini. Kau mengaku sebagai
seorang pertapa. Tetapi mungkin terjadi sesuatu atasmu sehingga
kau harus berhubungan dengan Ki Wirajaya," berkata sahabatnya
itu. "Apapun yang kau katakan. Tetapi jika kau tidak berjanji
untuk merahasiakan persoalan pribadi ini, aku tidak mau
bermalam di rumahmu," berkata Kiai Badra.
67 SH. Mintardja Orang itu tertawa. Namun katanya kemudian, "Mari aku antar
kau menghadap Ki Tumenggung Wirajaya."
Demikianlah, maka Kiai Badra dan Gandar pun telah di antar
menghadap Ki Tumenggung Wirajaya. Ternyata sahabat Kiai
Badra adalah seorang yang telah mengenal baik Ki Tumenggung,
sehingga dengan demikian, maka ia tidak mengalami kesulitan
untuk mendapatkan waktu menghadap.
Ki Tumenggung Wirajaya menerima tamu-tamunya dengan
ramah, sebagaimana kebiasaannya. Betapapun ia berhati-hati
menghadapi seseorang, tetapi ia tetap seorang yang ramah.
Sabahat Kiai Badra itu pun kemudian memperkenalkannya
kepada Ki Tumenggung Wirajaya serta mengutarakan maksudnya
untuk menghadap. "Terserah kepada Ki Tumenggung. Bagaimana
Ki Tumenggung menanggapi maksud Kiai Badra itu."
Ki Tumenggung Wirajaya mengangguk-angguk. Namun ia
masih bertanya, "Jadi Kiai mempunyai keterangan tentang Tanah
Perdikan Sembojan." "Ya Ki Tumenggung, meskipun barangkali Ki Tumenggung
sudah mengetahuinya," jawab Kiai Badra.
"Sebagian dari persoalan yang menyangkut Tanah Perdikan itu
memang sudah aku ketahui. Bahkan aku telah melihat sendiri
pasukan Tanah Perdikan Sembojan yang kini berada di hadapan
Pajang disisi Timur," berkata Ki Tumenggung.
Kiai Badra mengangguk. Tetapi ia pun kemudian berkata, "Ya
Ki Tumenggung. Bahkan saat ini dua orang terpenting dari Tanah
Perdikan Sembojan dan Jipang telah berada di antara mereka."
"Siapa?" bertanya Ki Tumenggung.
"Ki Rangga Gupita dan Ki Randukeling," jawab Kiai Badra.
"Rangga Gupita," Ki Tumenggung Wirajaya mengulangi. "Aku
mengenal Rangga Gupita. Ia memang seorang yang memiliki
ilmu yang luar biasa. Tetapi aku belum mengenal orang yang
bernama Ki Randukeling."
68 SH. Mintardja "Ki Randukeling adalah seorang pertapa. Ia adalah orang
keluarga Kalamerta yang termasuk dalam tataran tertinggi di
samping Kalamerta sendiri. Ia adalah paman Kalamerta itu,"
jawab Kiai Badra. Ki Tumenggung Wirajaya mengangguk-angguk. Katanya, "Jika
demikian, maka Pajang tidak boleh bermain-main dengan
pasukan Tanah Perdikan itu. Sementara itu Pajang memang
sudah bergerak dan menempatkan pasukan untuk menghadapi
pasukan gabungan antara pasukan Jipang dan Tanah Perdikan
Sembojan itu. Tetapi agaknya Pajang harus menempatkan orang-
orang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi, agar pasukan Pajang
tidak menjadi rusak oleh Ki Rangga Gupita dan Ki Randukeling.
Jika ada dua orang meskipun ilmunya tidak setingkat Ki Rangga
dan Ki Randukeling, namun mempunyai bekal yang cukup, maka
bersama-sama dalam kelompok kecil, mereka akan dapat
menahan kedua orang itu di samping para perwira yang lain."
Kiai Badra yang sependapat dengan Ki Tumenggung
menyahut, "Agaknya Pajang memang harus bersungguh-sungguh
menghadapi pasukan itu. Meskipun pasukan itu datang dari
Tanah Perdikan, tetapi sebagian besar dari mereka telah
mempunyai bekal yang memang dipersiapkan dengan sungguh-
sungguh oleh para perwira Jipang yang berpengalaman."
Ki Tumenggung dengan nada datar menyahut, "Pajang
mencoba untuk menghimpun para pengawal dari Kademangan-
kademangan di sekitar Kota Raja. Tetapi mereka tentu hanya
dapat dipergunakan sebagai pelengkap saja. Di antara mereka
harus ada kekuatan yang sebenarnya. Dan kekuatan yang
sebenarnya itu harus diperhitungkan sungguh-sungguh dalam
keadaan seperti itu."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Sebagian besar
kekuatan Pajang ditarik untuk menghadapi Jipang di seberang
Bengawan Sore. Tetapi pasukan Jipang pun sebagian besar ada
disana pula. 69 SH. Mintardja Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Hampir diluar
sadarnya ia berpaling kepada sahabat Kiai Badra yang
membawanya menghadap Ki Tumenggung.
Agaknya sahabat Kiai Badra itu mengerti apa yang sedang
dipikirkan oleh Ki Tumenggung sehingga kemudian ia berkata,
"Orang ini dapat dipercaya Ki Tumenggung."
Ki Tumenggung tersenyum. Katanya, "Sejak aku melihatnya,
maka aku pun telah berpendapat, bahwa Kiai Badra adalah
seorang yang dapat dipercaya."
"Mudah-mudahan Ki Tumenggung," berkata Kiai Badra,
"Namun demikian, kedatanganku menghadap Ki Tumenggung
bukannya tanpa pamrih pribadi."
Ki Tumenggung memandang Kiai Badra dengan tajamnya.
Dengan nada datar ia bertanya, "Apakah yang kau maksudkan?"
"Aku adalah seorang yang berkepentingan dengan jabatan
Kepala Tanah Perdikan," berkata Kiai Badra.
"Tanah Perdikan?" bertanya Ki Tumenggung, "Bukankah satu-
satunya orang yang berhak menjadi Kepala Tanah Perdikan
Sembojan seharusnya adalah Ki Wiradana?"
"Ya Ki Tumenggung. Yang pantas menjadi Kepala Tanah
Perdikan Sembojan seharusnya adalah Ki Wiradana. Tetapi
ternyata bahwa Ki Wiradana telah berpihak kepada Jipang,"
berkata Kiai Badra. "O, itu persoalan lain. Itu adalah pemberontakan yang harus
diselesaikan dengan cara yang wajar bagi sebuah
pemberontakan," jawab Ki Tumenggung.
"Namun dengan demikian, ada satu kemungkinan bahwa
Tanah Perdikan Sembojan akan dihapuskan atau jatuh ketangan
yang bukan keturunan Ki Gede Sembojan," berkata Kiai Badra.
Ki Tumenggung Wirajaya mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya, "Wiradana memang pernah datang kepadaku
untuk menyelesaikan persoalan jabatannya. Tetapi pada saat ia
70 SH. Mintardja datang, Pajang sedang sibuk menghadapi persoalan Demak.
Apalagi Jipang telah menyatakan diri untuk mengambil
kepemimpinan Demak, karena menurut Jipang, jalur yang benar
adalah jalur Jipang. Dengan demikian, maka aku minta Ki
Wiradana bersabar sambil mencari pertanda kebesaran Tanah
Perdikan Sembojan yang katanya hilang."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Nampaknya jalan telah
terbuka untuk menyampaikan niat kedatangannya yang
sebenarnya. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, "Ki
Tumenggung. Jika diperkenankan, aku ingin menyampaikan
persoalan jalur kekuasaan Tanah Perdikan itu, selagi belum jatuh
keputusan Pajang atas Tanah Perdikan itu, justru karena Ki
Wiradana dapat dianggap memberontak melawan Pajang."
"Apa yang ingin kau sampaikan?" bertanya Ki Tumenggung.
Kiai Badra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Tanda kebesaran Tanah Perdikan Sembojan ada
padaku." "Pada Kiai Badra?" Ki Tumenggung memandanginya dengan
heran. "Ya Ki Tumenggung. Mungkin memang sudah menjadi garis
yang dikehendaki oleh Yang Maha Adil, maka tanda yang berupa
sebuah bandul itu ada padaku," jawab Kiai Badra.
Ki Tumenggung memandang wajah Kiai Badra dengan
tajamnya. Dengan nada datar ia berkata, "Bandul dengan lukisan
kepala seekor burung?"
"Ya Ki Tumenggung," jawab Kiai Badra. Ia tidak ingin sekadar
menyebutnya. Tetapi ia pun kemudian mengambil dari kantong
ikat pinggangnya. Bandul yang merupakan pertanda jabatan
Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Untuk beberapa saat Ki Tumenggung Wirajaya termangu-
mangu. Tetapi sejenak kemudian Ki Tumenggung itu pun
bertanya, "Ki Wiradana pernah mengatakan bahwa bandul itu
telah hilang. Bagaimana mungkin bandul itu sampai ke tangan
71 SH. Mintardja Kiai" Apakah Kiai menemukannya atau merampasnya dari Ki
Gede Sembojan?" "Aku memang menunggu pertanyaan Ki Tumenggung itu,"
sahut Kiai Badra. "Ceritakanlah" minta Ki Tumenggung.
Kiai Badra pun menceriterakan apa yang sesungguhnya
pernah terjadi di Tanah Perdikan Sembojan. Tentang cucunya
yang tersingkir, bahkan hampir saja menjadi korban
pembunuhan, seandainya tidak terjadi satu keajaiban karena
kasih Yang Maha Agung, yang telah menyelamatkan dengan
langsung menggerakkan hati perempuan yang disebut Serigala
Betina itu. Kemudian lahir cicitnya laki-laki dan setelah itu lahir
pula anak laki-laki Ki Wiradana dari istrinya yang kedua, Warsi
yang ternyata adalah keluarga Kalamerta.
Ki Tumenggung mendengarkan keterangan Kiai Badra dengan


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seksama. Sekali-kali ia mengerutkan keningnya. Sekali-kali
mengangguk-angguk. Bahkan kadang-kadang wajahnya menjadi
tegang dan bersungguh-sungguh.
Demikian Kiai Badra selesai bercerita, maka Ki Tumenggung
itu pun berdesis, "Aku dapat melihat persoalan ini dengan
gamblang Kiai. Terima kasih atas keterangan yang Kiai berikan.
Bukankah dengan demikian berarti bahwa Ki Wiradana telah
berusaha melakukan pembunuhan terhadap istrinya yang sedang
mengandung" Kemudian menyerahkan Tanah Perdikan itu
dibawah pengaruh Jipang, sehingga ia dapat diartikan telah
melakukan pemberontakan. Namun agaknya sekarang Ki
Wiradana itu merupakan golek yang sekadar merupakan
bayangan yang suram dari kekuasaan istrinya."
"Benar Ki Tumenggung. Namun demikian, bukankah anak
Wiradana yang lahir dari istrinya yang pertama tidak terpercik
noda kesalahannya?" bertanya Kiai Badra.
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, "Menurut
pengamatanku sekilas, anak itu memang tidak bersalah."
72 SH. Mintardja "Dan anak itu mempunyai pertanda jabatan Kepala Tanah
Perdikan," berkata Kiai Badra.
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti
maksudmu. Baiklah, hal ini telah aku dengar sebelum terlambat.
Karena itu, pada saatnya, setelah persoalan yang lebih besar
dapat diselesaikan, maka aku akan menyelesaikan persoalan
Tanah Perdikan ini."
"Ki Tumenggung," berkata Kiai Badra. "Jika Ki Tumenggung
tidak berkeberatan untuk memberikan izin, apakah anak
Wiradana itu sebaiknya merebut kekuasaan Tanah Perdikan dari
ayahnya dan menempatkan Tanah Perdikan itu kembali ke dalam
garis pemerintahan yang berkiblat kepada Pajang?"
Wajah Ki Tumenggung memancarkan keheranan yang
bergejolak di dalam hatinya. Dengan nada tinggi ia bertanya,
"Apakah yang akan dilakukan oleh anak Wiradana itu?"
"Sudah aku katakan, merebut kekuasaan atas izin Pajang.
Bahkan mungkin perintah dari Pajang," jawab Kiai Badra.
Ki Tumenggung masih termangu-mangu. Sekali-sekali ia
memandang ke arah sahabat Kiai Badra, yang membawanya
menghadap. Seolah-olah Ki Tumenggung minta
pertimbangannya. "Maaf Ki Tumenggung," berkata sahabat Kiai Badra, "Aku
bukan orang pemerintahan. Tetapi aku ingin menyampaikan
sedikit pendapatku."
"Apa?" bertanya Ki Tumenggung.
"Ki Tumenggung," berkata sahabat Kiai Badra. "Sekarang
justru datang waktunya untuk menguji kesetiaan anak Wiradana
itu terhadap Pajang. Jika ia berhasil merebut kekuasaan dan
mengarahkan kembali Tanah Perdikan itu kepada Pajang, maka
anak itu akan berhak menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan
kelak. Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
mengerti. Yang akan mengalami pendadaran tentu bukan anak
73 SH. Mintardja itu sendiri. Tetapi orang-orang yang mendukungnya, termasuk
kakeknya. Tetapi pikiran itu memang menarik," Ki Tumenggung
berhenti sejenak. Namun kemudian katanya, "Tetapi bukan aku
pemimpin tertinggi Kadipaten Pajang. Namun karena Kanjeng
Adipati berada di pesangrahan menghadapi pasukan Arya
Penangsang, Adipati Jipang, maka aku akan berbicara dengan
beberapa orang pemimpin yang ada sehingga keputusannya akan
menjadi tanggung jawab bersama. Jika saatnya Kanjeng Adipati
Hadiwijaya kembali, maka kami, bersama-sama akan
menyampaikan pertanggung jawaban itu."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Ki
Tumenggung. Tetapi sampai kapan kami harus menunggu?"
"Hari ini persoalannya akan aku bicarakan. Besok kau akan
mendapat keterangan," jawab Ki Tumenggung.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Ternyata bahwa Ki
Tumenggung Wirajaya bergerak cepat, sehingga persoalannya
tidak akan menjadi terlambat. Sementara itu sahabat Kiai Badra
itu pun berkata, "Dengan demikian akan di dapat keuntungan
timbal balik. Tanah Perdikan Sembojan akan bergolak, sehingga
Tanah Perdikan yang besar itu tidak akan dapat mengirimkan
pasukan bantuan kepada pasukannya yang ada dihadapan
Pajang. Bahkan sebaliknya, Tanah Perdikan Sembojan justru
akan menarik sebagian dari para pengawalnya untuk mengatasi
kemelut di Tanah Perdikan sendiri."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Besok bawalah Kiai Badra ini kembali kepadaku."
Demikianlah, maka Kiai Badra pun kemudian mohon diri
bersama Gandar dan sahabatnya, orang Pajang itu. Dengan
penuh harapan Kiai Badra harus menunggu sampai esok.
"Nah, aku menagih janji," berkata sahabatnya.
"Apa?" bertanya Kiai Badra.
74 SH. Mintardja "Kau memang sudah pikun," jawab sahabatnya itu. "Bukankah
kau berjanji untuk tinggal di rumahku ini" He orang di rumah
tentu sudah menyembelih tiga ekor ayam hari ini."
"Tiga?" ulang Kiai Badra.
"Ya. Kami ingin menjamu kalian," berkata sahabatnya itu.
"Tetapi tiga ekor," desis Kiai Badra.
"Bukankah biasanya kau sendiri menghabiskan seekor ayam?"
bertanya sahabat Kiai Badra itu.
Kiai Badra tertawa. Gandar pun ikut tertawa. Tetapi dengan
nada rendah sahabat Kiai Badra berkata, "Memang tiga ekor.
Tetapi ayam kemanggang."
"Uh" desis Gandar "ketiganya aku sanggup meng-
habiskannya. Ketiga orang itu tertawa.
Malam itu Kiai Badra dan Gandar bermalam dirumali
sahabatnya. Ternyata bahwa sahabat Kiai Badra itu juga
menoaruh minat atas keadaan di Tanah Perdikan
Sembojan, sehingga karena itu, maka iapun akan ikut
berusaha untuk meyakinkan, agar Pajang menyetujui
rencana Kiai Badra. Atas nama cicitnya, merebut kembali
Tanah Perdikan Sembojan dari kekuasaan orang-orang
yang tidak bertanggung jawab, yang justru adalah keluarga
Kalamerta. Bahkan Gandar pun berkata, "Satu
kemungkinan, bahwa kematian Ki Gede Sembojan pun
telah direncanakan dari dalam."
"Aku memastikannya" desis sahabat Kiai Badra.
Dengan demikian maka Kiai Badra telah memantapkan
tekadnya untuk berbuat sebagaimana dikatakannya.
Merebut kembali, jika perlu dengan kekerasan.
Kesempatan yang ada justru memberikan peluang yang
75 SH. Mintardja seluas-luasnya karena kekuatan Tanah Perdikan Sembojan
berada di Pajang. Malam rasa-rasanya berjalan lamban sekali. Kiai Badra
ingin segera bertemu kembali dengan Ki Tumenggung
Wirajaya untuk mendapat keterangan, apakah Pajang
setuju jika Kiai Badra akan mengambil alih pemerintahan
di Sembojan dengan kekerasan.
Namun akhirnya malam pun berakhir. Meskipun rasa-
rasanya matahari malas sekali naik ke atas-punggung pegu-
nungan, tetapi Kiai Badra sudah merasa tenang, bahwa
sebentar lagi ia akan mendengar kepastian itu dari Ki
Tumengguag Wirajaya. "Memang agak tergesa-gesa bahwa sebelum matahari
memanjat sepenggalah, keduanya telah pergi ke rumah Ki
Tumenggung Wirajaya, diikuti oleh Gandar.
Kedatangan mereka disambut dengan senyum sebagaina-
na yang selalu nampak di bibir Ki Tumenggung yang ramah
itu. Kemudian ketiganya pun dipersilahkan menungguu
diruang dalam. Demikian Ki Tumnggung menemui mereka, maka dengan
seta merta Kiai Badrapun bertanya, "Maaf Ki Tumenggung.
Rasa-rasanya seperti kanak-kanak yang menunggu oleh-oleh
dari ibunya yang pergi ke pasar. Seakan-akan aku tidak sa-
bar lagi. Karena itu perkenankanlah aku mendengar kepu-
tusan yangg telah diambil."
Ki Tumenggung tersenyum. Katanya, "Baiklah Kiai. Aku
mengerti kegelisahan yang selama ini bergejolak didalam
dada Kiai. Langkah yang salah yang diambil oleh Ki Wira-
dana memang akan dapat berakibat kurang baik bagi anak-
nya. Apalagi sekarang Ki Wiradana mempunyai dua orang
anak laki laki. Yang seorang adalah anak laki-laki yang
76 SH. Mintardja sehari-harinya dikenal sebagai anaknya yang akan berhak
menggantikan kedudukannya, sementara yang seorang
meskipun tidak dikenal oleh orang-orang Sembojan, namun
justru tnempunyai pertanda jabatan Kepala Tanah Perdikan.
"Ya Ki Tumenggung" jawab Kiai Badra, "tetapi kami
mohon satu keputusan yang adil. Karena meskipun tidak
dikenal, tetapi anak Iswari itu adalah juga anak Wiradana."
"Ya. Ya. Aku mengerti Kiai Badra" jawab Ki Tu menggung,
"bahkan menurut urutan kelahiran, maka anak cucu Kiai
telah lahir lebib dahulu dari seorang isteri yang masih dapat
dianggap sah, karena Iswari masih belum diceraikan. Justru
karena ia dianggap mati."
"Jadi, bagaimanakah keputusan Ki Turnenggung?" desak
Kiai Badra. Ki Tumenggung Wirajaya tertawa. Katanya "Baiklah Kiai.
Persoalan yang Kiai bawa telah aku sampaikan dalam satu
pertemuan terbatas antara para pemimpin Pajang yang tidak
ikut Kangjeng Adipati Hadiwijaya."
"Dan hasilnya?" Kiai Badra tidak sabar.
Ki Tumenggung Wirajaya tertawa lebih keras, sementara
Kiai Badra berkata "Ki Tumenggung sengaja membuat jan-
tungku rontok." "Baiklah Kiai. Aku akan mengabarkan hasil pembica-
raanku." berkata Ki Tumenggung. Lalu "sebenarnyalah,
persoalan yang Kiai Badra kemukakan itu sangat menarik.
Sebagian dari para pernimpin dengan serta merta
menanggapi rencana Kiai dengan baik. Bahkan akhirnya
kami memutuskan, mendahului kepulusan Kangjeng
Adipati, bahwa Kiai bukan saja di benarkan untuk merebut
kembali Tanah Perdikan Sembojan dari tangan-tangan
orang yang sekarang ini membayangi kekuasaan Ki
77 SH. Mintardja Wiradana, tetapi Kiai mendapat perintah untuk
melakukannya:" "Jadi Pajang justru memberikan perintah itu?" bertanya
Kiei Badra. "Ya." jawab Ki Tumenggung.
"Terima kasih Ki Tumenggung. Tetapi jangan kepadaku.
Berikan perintah itu kepada Iswari, cucuku." berkata Kiai
Badra. "Kamilah yang memberikan perintah itu. Sekarang Kiai
memerintahkan kepadaku" jawab Ki Tumenggung.
"O, maaf Ki Tumenggung. Perasaanku terlalu bergejolak.
Aku mohon maaf" desis Kiai Badra.
Ki Tumenggung tersenyum. Katanya, "Tetapi baiklah.
Usul itu dapat diterima. Pajang memberikan perintah
kepada Iswari, cucu Kiai Badra untuk atas nama anak laki-
lakinya, merebut kembali Pajang dari pengaruh Jipang."
"Terima kasih Ki Tumenggung. Terima kasih" berkata
Kiai Badra. "Sebagai kelengkapan perintah itu, maka Kiai Badra akan
mendapat tunggul pertanda dari Pajang" berkata Ki,
Tumenggung kemudian. Dada Kiai Badra rasa-rasanya telah bergejolak. Dengan
nada dalam ia berkata, "Kami akan menjalankan perintah itu
sebaik-baiknya dengan taruhan yang paling berharga yang
dapat kami berikan."
Ki Tumenggung Wirajaya pun kemudian berkata, "Kiai.
Aku akan memberikan tunggul itu kepada Kiai sekarang.
Apakah Kiai akan dapat membawanya ke padepokan Kiai.
"Atau tunggul itu akan Kiai titipkan disini sampai saatnya
78 SH. Mintardja Kiai dapat mengambil?"
"Aku akanmembawanya" berkata Kiai Badra, "deongan
demikian maka semua gerakan kami menjadi sah Atas
nama Pajang dan bagi masa depan Tanah Perdikan
Sembojan." Tetapi sahabat Kiai Badra itu berdesis, "Bagi masa depan
Sembojan atau bagi masa depan cicit Kiai itu?"
Wajah Kiai Badra menegang sejenak. Namun iapun ke-
mudian tersenyum. Katanya, "Bukankah pada awal pembi-
caraan ini aku sudah mengatakan bahwa aku pun telah
membawa pamrih pribadi?"
Ki Tumenggung Wirajaya lah yang kemudian menengahi,
"Tidak ada salahnya dengan pamrih pribadi, asal pamrih
pribadi itu dilandasi dengan niat yang baik dan berjalan
dijalui tebenaran. Bukan sekedar kebenaran bagi kepenting
diri sendiri. Tetapi kebenaran dalam pengertian hubungan
antara sesama, meskipun itu pun belum tentu berarti
kebenaran yang mutlak."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Tu-
menggung berkata, "Tunggulah. Aku akan mengambil tung-
gul itu. Tetapi aku berpesan, agar Kiai membawanya dengan
hati-hati. Kiai tidak perlu lagi melihat pasukan Tanah Perdi-
kan Sembojan yang cukup besar yang bergabuing dengan
pasukan Jipang yang jumlahnya hanya sedikit itu, untuk
menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat
terjadi." ----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 14. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
79 SH. Mintardja

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jilid Ke empat belas Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 80 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja "Ya Ki Tumenggung. Karena aku membawa tunggul
Kadipaten, maka aku akan mencari jalan yang paling aman. Agar
tunggul itu dapat sampai ketangan orang yang berhak
melaksanakan perintah Pajang," jawab Kiai Badra.
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, "Aku berharap
perintah itu dapat dilakukan sebaik-baiknya. Kami, yang telah
memberanikan diri mendahului perintah Kanjeng Adipati, akan
mempertanggung jawabkannya di tataran pemerintahan Pajang
jika kalian benar-benar melakukanya dengan jujur.
Tetapi jika ternyata ada langkah-langkah yang miring dari
persoalan ini, maka mungkin sekali akulah yang akan digantung
oleh Kanjeng Adipati."
"Kami akan menjunjung perintah ini sebaik-baiknya," jawab
Kiai Badra. "Berpegang kepada pertanda pemerintahan di Tanah Perdikan
Sembojan, maka anak Wiradana itu akan mendapat perhatian
justru lebih besar dari Wiradana sendiri," berkata Ki
Tumenggung. "Namun segalanya akan dapat diatur kemudian
setelah tugas kalian selesai. Demikian pula, setelah persoalan
Demak dapat diselesaikan pula, sehingga Kanjeng Adipati
mendapat kesempatan yang cukup."
Kiai Badra justru menjadi berdebar-debar. Rasa-rasanya ia
sudah tidak sabar lagi untuk mengambil langkah-langkah yang
sesuai dengan perintah dari Pajang itu, bahwa atas nama
anaknya, Iswari harus merebut kembali Tanah Perdikan
Sembojan dari pengaruh Jipang serta menyingkirkan orang-
orang yang telah membayangi kekuasaan Kepala Tanah Perdikan
Sembojan itu. Namun tugas itu memberikan harapan kepadanya, bahwa
masa depan Tanah Perdikan itu sendiri akan semakin baik.
Dengan demikian maka Kiai Badra pun segera mohon diri.
Beberapa pesan masih disampaikan oleh Ki Tumenggung
2 SH. Mintardja Wirajaya yang bertanggung jawab atas perintah yang
disampaikan kepada Iswari lewat Kiai Badra itu terhadap
Kanjeng Adipati kelak. "Kami akan melakukannya sejauh kemampuan yang ada pada
kami," berkata Kiai Badra kemudian.
Sejenak kemudian maka Kiai Badra dan Gandar pun telah
berada di rumah sahabat Kiai Badra itu. Mereka masih akan
berada di rumah itu untuk semalam lagi. Besok sebelum matahari
terbit mereka akan kembali ke padepokan kecil mereka.
"Barhati-hatilah," pesan sahabat Kiai Badra. "Perjalananmu
dibayangi tugas yang sangat berat bagi Tanah Perdikan
Sembojan. Tunggul itu tidak boleh terlepas dari tanganmu jika
kau tidak ingin digantung oleh Ki Tumenggung Wirajaya."
"Jika tunggul ini terlepas dari tanganku, Pajang tidak akan
sempat menggantungku," jawab Kiai Badra.
"Kenapa?" bertanya sahabatnya.
"Lepasnya tunggul ini akan berbareng dengan pecatnya
nyawaku," jawab Kiai Badra. Lalu, "Sudah tentu Pajang tidak
akan menggantung tubuhku."
Sahabatnya tersenyum. Namun katanya, "Siapa tahu tubuhmu
akan dijadikan pengewan-ewan."
"Dan kau akan mengerahkan rakyat Pajang untuk
menyaksikannya," sahut Kiai Badra.
Sahabatnya tertawa. Namun kemudian Kiai Badra dan Gandar
pun tertawa pula. Dalam pada itu, ketika malam tiba, Kiai Badra dan Gandar
berusaha untuk beristirahat sebaik-baiknya. Sebagaimana
mereka rencanakan, maka sebelum fajar, mereka telah
meninggalkan rumah sahabat mereka di Pajang, untuk
menempuh perjalanan kembali. Perjalanan yang menyandang
pesan bagi masa depan Tanah Perdikan Sembojan.
3 SH. Mintardja Karena itu, maka Kiai Badra dan Gandar justru telah mencari
jalan yang paling aman. Mereka menempuh jalan-jalan simpang
yang tidak begitu banyak dilalui orang, sehingga tunggul yang
mereka bawa dibawah selongsong kain putih, tidak banyak
menarik perhatian. Meskipun demikian, satu dua orang yang berpapasan, serta
jika mereka terpaksa melewati pedukuhan-pedukuhan kecil yang
tidak dapat mereka hindari, ada saja orang yang bertanya, apa
yang mereka bawa itu. "Tombak," jawab Kiai Badra.
"Untuk apa?" bertanya seseorang.
"Tombak ini ternyata tidak memberikan tuah yang baik bagi
keluarga kami," jawab Kiai Badra. "Menurut pendapat seorang
tua, tombak ini harus dilarung."
"Dilarung dimana?" bertanya orang itu.
"Di goa Karang Ludes," jawab Kiai Badra.
"Goa itu terletak dimana?" orang itu masih bertanya.
"Dibawah permukaan air laut di Lautan Selatan. Pada saat air
surut, maka goa itu baru kelihatan," jawab Kiai Badra.
"Sayang," desis orang itu. "Tombak dibalik selongsong itu
tentu tombak yang sangat baik ujudnya menilik pangkal
landasannya yang agaknya dibuat dari logam yang mahal."
Kiai Badra mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tidak
menduga bahwa orang itu telah memperhatikan pangkal pandean
tombak yang dibalut oleh logam yang berwarna kuning
keemasan. Namun untuk meyakinkan orang itu, maka Kiai Badra berkata,
"Jika kau tertarik akan tombak ini, apakah kau mau
mengambilnya" Tetapi jika terjadi sesuatu dengan keluargamu,
bukan tanggung jawabku."
"Terjadi apa?" bertanya orang itu.
4 SH. Mintardja "Entahlah. Apa saja," jawab
Kiai Badra. Tetapi orang itu menggeleng.
Katanya, "Jika tombak itu
memang harus dilarung, biarlah
dilarung, agar tidak menimbulkan persoalan dihari
kemudian." Kiai Badra mengangguk- angguk. Namun setelah mereka
membelakangi orang itu Gandar
tersenyum sambil berkata,
"dapat juga Kiai berbohong."
Kiai Badra tersenyum juga.
Jawabnya, "Satu-satunya cara
yang tidak menimbulkan persoalan."
"Ya Kiai. Meskipun berbohong tetapi dengan meyakinkan,
maka orang lain pun akan percaya," desis Gandar sambil tertawa.
Kiai Badra pun tertawa juga sambil berkata, "Jawaban yang
dapat diulangi setiap ada orang yang bertanya."
Gandar mengangguk-angguk. Namun ia berkata, "Tetapi
mungkin ada juga seseorang yang menjawab lain."
"Apa maksudmu?" bertanya Kiai Badra.
"Jika Kiai menawarkan tunggul itu, dan orang yang Kiai tawari
itu menjawab ya, apa yang akan Kiai lakukan?" bertanya Gandar.
"Membawanya lari," jawab Kiai Badra sambil tertawa.
Gandar pun tertawa juga. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh.
Menurut pendapatnya, orang-orang yang akan mempertanyakan
tunggul itu akan puas mendengar jawaban Kiai Badra.
Ternyata karena perjalanan mereka yang melingkar-lingkar,
mereka telah menempuh perjalanan yang semakin panjang.
5 SH. Mintardja Mereka harus bermalam diperjalanan pada jarak yang masih
cukup jauh. Tetapi bermalam disembarang tempat bukan merupakan
persoalan bagi Kiai Badra dan Gandar.
Namun demikian, di luar sadar kedua orang itu, ternyata ada
juga orang yang menaruh perhatian terhadap tunggul yang
dibawa oleh Kiai Badra itu. Justru bukan orang kebanyakan yang
dengan terbuka telah bertanya tentang benda yang dibawa itu.
Tetapi ternyata empat orang yang berpapasan dengan Kiai Badra
dan Gandar menjelang sore hari, sangat memperhatikan tunggul
yang berada dibawah selongsong putih itu.
"Kau lihat, apa yang dibawa oleh orang tua itu?" bertanya
salah seorang di antara mereka.
"Mungkin sebangsa tombak," jawab kawannya. "Apakah kau
memperhatikannya?" "Ya," jawab yang lain. "Aku melihatnya. Selongsongnya tidak
menutup seluruh landeannya. Aku melihat pangkal landean yang
mencuat ke luar dari selongsongnya."
"Menarik sekali," jawab seorang di antara mereka yang
bertubuh tinggi besar dan berjambang lebat, "Jika demikian
apakah perjalanan kita tunda?"
"Aku setuju," desis kawannya. "Kita masih akan dapat
merampoknya besok. Orang itu tidak akan tergesa-gesa
berpindah rumah. Bahkan jika usaha kita mendapatkan tombak
itu cepat selesai, kita masih mempunyai waktu."
"Tidak. Kita akan merampasnya nanti jika malam turun. Kita
tidak akan sempat lagi pergi ke sasaran kita semula. Biarlah
besok saja kita mengambil isi rumah itu. Bukankah tidak ada
batas waktu dan tidak ada perhitungan hari?" berkata yang lain.
"Tidak ada perhitungan hari. Tetapi kita harus
memperhitungkan waktu bagi hari-hari tertentu. Malam ini kita
mempunyai waktu menjelang saat tengah malam.
6 SH. Mintardja Tetapi jika kita melakukannya besok, kita harus membuat
perhitungan lagi. Mungkin kita baru boleh melakukannya setelah
tengah malam, atau justru pada saat ayam berkokok untuk kedua
kalinya," sahut kawannya.
Ternyata keempat orang itu bersepakat untuk mengurungkan
pekerjaan yang akan dilakukannya. Mereka lebih tertarik kepada
tombak yang berada di dalam selongsong itu. Menilik ujud
pangkal landeannya, tombak itu tentu merupakan benda yang
sangat berharga. Dengan demikian maka keempat orang itu pun telah berhenti.
Mereka berbalik dan mengikuti perjalanan Kiai Badra bersama
Gandar yang membawa menurut dugaan mereka adalah sebatang
tombak yang sangat berharga. Bahkan mungkin landean tombak
itu diselut dengan emas dan tretes berlian. "Kita menunggu
malam," berkata salah seorang di antara mereka.
"Kenapa menunggu malam," sahut yang lain. "Jika mereka
berada di bulak panjang yang melintasi sungai itu, maka kita
Golok Maut 3 Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan Karya Gu Long Rajawali Lembah Huai 4
^