Suramnya Bayang Bayang 26
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 26
Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa atas kakeknya. Kecuali
kakeknya sangat diperlukan, maka kakeknya memiliki ilmu yang
tidak ada bandingnya. Ki Randukeling yang melihat Warsi
menundukkan kepalanya dalam-dalam, betapapun jantungnya bergejolak, kemudian berkata, "Aku akan
berada di halaman." Sepeninggal Ki Randukeling
terdengar gemeretak gigi Ki
Rangga Gupita. Namun perwira
Jipang yang ada di ruangan itu
berkata, "Sebaiknya kau
pertimbangkan pesan itu baik-
baik. Ki Randukeling adalah
orang yang memiliki ilmu dan
pengalaman yang sangat luas."
Ki Rangga tidak menyahut.
Tetapi ia pun kemudian meninggalkan ruang itu pula
bersama Warsi. Diluar, keduanya berhenti sejenak. Terdengar Ki Rangga
berkata, "Jika orang menyangka bahwa kita telah berhubungan
tidak saja bagi kepentingan perang ini, tetapi lebih condong
kepada hubungan pribadi, apa salahnya kita akan melakukannya
benar-benar." Warsi mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian
berkata dengan nada lembut, "Apakah sampai sekarang kita tidak
dalam keadaan yang demikian?"
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sementara Warsi pun
berkata, "Aku hanya memerlukan Wiradana sampai wisudanya.
Kemudian aku harus menyingkirkannya. Kematiannya akan
mewariskan kedudukan itu kepada anakku."
40 SH. Mintardja Ki Rangga pun mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-
mudahan segalanya akan cepat selesai. Jipang yang
meningkatkan kegiatan pasukannya dimana-mana akan semakin
cepat menghancurkan pasukan Pajang. Terutama di
pesanggrahan itu sendiri."
Sebenarnya kegiatan pasukan Jipang disemua medan telah
meningkat. Perintah Ki Patih Mantahun ternyata mendapat
tanggapan yang menyala dihati para prajurit Jipang dan
pengawal-pengawal yang dikerahkannya dari beberapa Tanah
Perdikan dan Kademangan. Hampir semua pasukan Jipang yang
tersebar, telah memanfaatkan anak-anak muda dari Tanah
Perdikan dan Kademangan yang berada dibawah pengaruhnya.
Bahkan bagi Tanah Perdikan dan Kademangan yang memang
berada dibawah perintah Jipang, maka pengerahan tenaga anak-
anak muda masih terus dilakukan. Tetapi hal itu tidak dapat
dilakukan oleh pasukan Jipang disisi sebelah Timur Pajang,
karena di Tanah Perdikan Sembojan yang berhasil
dipengaruhinya itu telah terjadi pergolakan tersendiri.
Usaha Jipang untuk menggetarkan pertahanan Pajang
dimana-mana itu nampaknya berpengaruh juga. Keberanian
prajurit Jipang yang bergelora memang telah membuat para
panglima Pajang di daerah pertempuran yang tersebar menjadi
berdebar-debar. Pasukan Pajang di Pajang sendiri, baik disisi
Barat maupun disisi Timur nampaknya tidak banyak mengalami
kesulitan. Bahkan kadang-kadang pasukan Pajang masih sempat
melakukan langkah-langkah pertama dalam benturan kekuatan
antara keduanya. Namun imbangan kekuatan di medan yang lain
sering kali menggelisahkan para perwira Pajang.
Karena itulah, maka Pajang pun telah melakukan hal yang
sama dengan prajurit-prajurit Jipang. Mereka berusaha
mengerahkan anak-anak muda dari lingkungan mereka. Namun
ternyata Jipang telah mengadakan persiapan lebih dahulu.
Sebelum segalanya terjadi, beberapa lingkungan anak-anak muda
telah mendapat latihan-latihan yang mapan. Sementara Pajang
tidak berbuat demikian, sehingga anak-anak muda yang
41 SH. Mintardja dibawanya ke medan, bakalnya tidak sebanyak anak-anak muda
yang berada di lingkungan prajurit Jipang.
Hal itu disadari oleh para pemimpin Pajang. Baik yang ada di
Pajang, maupun yang berada di pesanggrahan ditepi Bengawan
Sore. Karena itu, maka Pajang telah dengan sungguh-sungguh
memperhatikan perkembangan keadaan.
Dalam satu pertemuan antara Kanjeng Adipati Pajang
bersama para panglima pasukannya, maka Kanjeng Adipati itu
pun dengan terbuka telah memberikan keterangan tentang
keadaan pasukan Pajang. "Jika pertentangan ini semakin berkepanjangan, maka
mungkin sekali kitalah yang akan mengalami kesulitan" berkata
Kangjeng Adipati, "meskipun kita masih mempunyai kekuatan
cadangan yang belum kita pergunakan sepenuhnya. Kekuatan
dari Kalinyamat akan dapat membantu kita sebagaimana kita
akan dapat mengerahkan kekuatan dari Demak. Namun semakin
meluasnya pertentangan dan semakin menjalarnya api
peperangan di medan yang lebih merata di Demak ini, akan
semakin menyebarkan penderitaan. Karena itu, maka kita harus
mengambil langkah-langkah yang dapat memotong kemungkinan
itu." Para Panglimanya mengangguk-angguk. Samentara itu Ki
Pemanahan berkata, "Dendam dihati Ratu Kalinyamat pun telah
membakar seluruh hidupnya, sehingga Ratu telah bertapa di
Bukit Damaraja. Jika perang ini tidak segera mendapatkan
penyelasaian dan Arya Penangsang tidak dapat segera dibunuh,
maka keadaan Ratu itu akan menjadi semakin parah."
"Aku mengerti" jawab Adipati Pajang, "aku memikirkan sikap
kakang mbok Ratu. Tetapi landasan perjuangan kita adalah
menegakkan kelangsungan pamerintahan Demak. Meskipun
alasan kakang Adipati Arya Penangsang dapat dimengerti, tetapi
caranya mengguncang ketenangan pada saat ini dengan
melakukan serangan-serangan tersembunyi dan bahkan telah
menimbulkan kematian, sangat aku sesalkan. Desakan keinginan
42 SH. Mintardja pribadinya tidak lagi dapat dikekang dengan pertimbangan
kepentingan yang lebih luas. Jika aku kemudian memegang
kemudi pemerintahan itu, bukan semata-mata karena aku ingin
menjadi seorang Raja yang berkuasa setelah Demak. Tetapi
memang harus ada seseorang yang memegang kendali
pemerintahan apalagi untuk menghadapi Jipang. Mangkatnya
Ayahanda Sultan Demak telah dimanfaatkan oleh kakangmas
Arya Penangsang untuk mengadakan perubahan yang mendasar
pada pemerintahan di atas Tanah ini. Jika hal itu memang
dikehendaki oleh para pemimpin, tetua dan apalagi rakyat
seluruh Demak, maka tidak ada yang berkeberatan untuk
menyerahkannya. Tetapi sebelum hal itu pasti, maka kakangmas
Arya sudah melangkah. Sementara langkahnya sangat menyakiti
hati rakyat di beberapa daerah. Daerah Prawata, Daerah
Kalinyamat dan Pajang serta rakyat di Kota Raja Demak. Dendam
pribadinya karena kemudian ayahanda kakangmas Adipati
Jipang itu telah membakar dasar-dasar pertimbangan nalar bagi
seorang pemimpin yang berkedudukan sebagai Adipati."
Ki Pemanahan ,mengangguk-angguk. Dengan nada dalam KI
Pemanahan berkata, "Penyelesaian pertempuran yang tersebar
dimana-mana itu harus terjadi disini Kangjeng Adipati."
"Ya. Aku, sependapat" jawab Adipati Pajang.
"Semakin cepat semakin baik Kangjeng" tambah Ki Penjawi.
"Baiklah" berkata Kangjeng Adipati Pajang, "siapkan seluruh
kekuatan yang ada di pasanggrahan ini dengan diam-diam. Pada
saat yang ditentukan, aku akan memimpin pasukan itu langsung
menusuk ke jantung pasanggrahan kakangmas Arya Penangsang.
Kelemahan pokok dari pasukan yang lebih dahulu menyerang
adalah pada saat penyeberangan berlangsung. Karena itu, maka
kita harus dapat merahasiakan saat-saat kita mulai bergerak. Jika
kita sudah berada di seberang, apapun yang akan dilakukan
kakangmas Arya Penangsang dengan pasukannya, kita tidak akan
gentar. Bahkan seandainya kakangmas menuntut perang tanding,
aku akan melayaninya dengan senang hati. Karebet anak dari
Tingkir ini tidak akan berkerut dihadapan kepada Arya
43 SH. Mintardja Penangsang Putera Sekar Seda Lepen, meskipun kakangmas Arya
Penangsang merangkapi dirinya dengan seribu jenis ilmu
sekalipun." Ki Pemanahan dan Ki Penjawi, saling berpandangan sejenak.
Kemudian terdengar Ki Pemanahan berkata, "Kangjeng. Hamba
mohon dapat dipertimbangkan sekali lagi. Apakah memang
sudah saatnya Kangjeng turun sendiri ke arena. Kami percaya
bahwa Kangjeng Adipati memiliki bekal untuk melawan Arya
Penaagsang. Bahkan mungkin landasan dari ilmu yang mapan
didalam diri Kangjeng Adipati lebih kuat daripada yang ada
didalam, diri Arya Penangsang. Namun agaknya masih mungkin
dicari cara lain yang lebih baik untuk memenangkan
pentempuran melawan Jipang di induk kekuatan ini."
"Aku kira, cara inilah yang paling baik ditempuh. Cara
seorang kesatria yang harus mempergunakan cara terakhir yang
sebenarnya sangat aku benci. Perang." gumam Kangjeng. Adipati.
Lalu, "Tetapi, segala cara yang telah dicoba ternyata gagal. Berapa
kali kita sudah mencoba untuk mengadaknn pendekatan. Tetapi
apa yang dilakukan oleh kakangmas Arya Penangsang"
Pembunuhan. Alasannya adalah utang pati nyaur pati. Sementara
itu, yang pernah terjadi di pinggir Kali itu tidak jelas. Tetapi Arya
Penangsang sudah memastikan bahwa ayahandanya telah
dibunuh oleh saudaranya dalam memperebutkan tahta. Karena
itu, menurut kakangmas Arya Penangsang yang dilakukannya itu
adalah menuntut keadilan."
"Kami mengerti Kangjeng" berkata Panjawi, "bahkan usaha
pembunuhan itu telah terjadi atas diri Kangjeng Adipati sendiri.
Namun justru karena tingkah lakunya yang tidak berlandaskan
sikap seorang kesatria itulah, maka kita sebaiknya juga
melawannya dengan akal. Meskipun tidak dengan licik seperti
yang dilakukan oleh Arya Penangsang."
"Meskipun kita dapat menduga, bahwa kelicikan itu tentu ada
sumbernya. Ada orang yang mempengaruhi kakangmas Arya
Penangsang yang pada dasarnya bukan orang yang licik." berkata
Kangjeng Adipati Pajang. 44 SH. Mintardja "Kami pun sudah menduga" berkata Ki Pemanahan, "agaknya
akal Patih Mantahun lah yang telah mempengaruhi sikap
Kangjeng Adipati Arya Penangsang. Namun bagaimanapun juga,
tidak-ada salahnya jika kita berhati-hati menghadapi pasukan
Jipang yang kuat dan sebagaimana kita ketahui, para prajurit
Jipang memiliki keberanian dan bahkan seakan-akan mereka
tidak lagi mempergunakan nalar serta perasaannya jika mereka
sudah turun ke medan ;pertempuran."
"Aku tahu. Prajurit Jipang adalah prajurit yang mengalami
tempaan yang sangat kuat sehingga. mereka menjadi prajurit-
prajurit pilihan. Hal itu dapat terjadi, karena sejak kakanganas
Arya Penangsang memegang pemerintahan, maka niat untuk
merombak pemerintahan Demak itu sudah ada didalam,
hatinya." jawab Kangjeng Adipati.
"Karena itu Kangjeng. Jika diperkenankan hamba
mengajukan pertimbangan. Pasukan Pajang bagaimanapun juga,
jangan menyeberang Bengawan Sore. Meskipun pada musim ini,
airnya tidak terlalu dalam. Tetapi pada saat kuda-kuda kita
berada ditengah sungai serta pasukan kita sedang melawan arus
air yang meskipun tidak terlalu deras, serangan yang menentukan
akan datang dari arah tebing. Betapapun kita berusaha
merahasiakan serangan yang mungkin kita lakukan di dini hari,
namun kita menyadari, bahwa para pengawas di seberang
bengawan itu tidak akan pernah lengah." berkata Pemanahan.
"Jadi bagaimana menurut pendapatmu?" bertanya Kangjeng
Adipati. "Kita akan mencari cara untuk memancing mereka
menyeberang. Mungkin kita akan beradu kesabaran. Siapakah'
yang lebih betah menunggu, maka mereka akan memenangkan
perang, karena mereka tidak menyeberang.".berkata Ki
Pemanahan. Kanjeng Adipati Pajang yang menganggap bahwa Ki
Pemanahan dan Ki Penjawi adalah saudara tuanya itu pun
menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah. Tetapi jangan
45 SH. Mintardja terlalu lama. Aku tidak akan dapat memenangkan lomba
kesabaran itu." "Seharusnya Kanjeng Adipati memiliki kesabaran yang lebih
besar dibandingkan dengan Adipati Jipang," berkata Ki Penjawi.
"Mungkin aku secara pribadi," jawab Adipati Pajang., "Tetapi
bagaimana dengan keadaan pasukan kita diseluruh medan yang
tersebar. Bagaimana kedudukan Pajang sendiri yang dihadapkan
kepada pasukan yang kuat disisi Barat dan Timur. Jika semuanya
itu masih harus menunggu terlalu lama, maka mungkin Pajang
akan mengalami kesulitan.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja putera angkat Adipati
Pajang, yang sebenarnya adalah putera Ki Pemanahan itu pun
memotong pembicaraan, "Hamba akan bersedia mengemban
perintah apapun juga berhadapan dengan pasukan Arya
Penangsang." Kanjeng Adipati Pajang mengerutkan keningnya. Namun ia
pun kemudian tersenyum sambil berkata, "Kau masih terlalu
muda Sutawijaya. Mungkin beberapa tahun lagi kau akan mampu
mengemban tugas-tugas yang tidak kalah beratnya."
Tetapi anak yang masih terlalu muda itu menyahut, "Tetapi
hamba sudah cukup dewasa untuk melawan pamanda Arya
Penangsang. Mungkin pamanda Arya Penangsang memiliki
pengalaman yang jauh lebih banyak dari hamba. Tetapi hamba
memiliki kemudaan, tekad dan barangkali kesempatan."
Kanjeng Adipati Hadiwijaya dari Pajang itu tertawa. Katanya,
"Aku senang mendengar permintaanmu. Dengan demikian maka
kau adalah anak yang menunjukkan kebesaran tekad dan
keberanianmu. Tetapi masih ada yang harus kau perhatikan.
Kenyataan yang harus kau hadapi."
Sutawijaya memandang ayahanda angkatnya dengan kecewa.
Tetapi ia tidak dapat memaksakan kehendaknya. Bahkan Kanjeng
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adipati itu pun kemudian berkata, "Kita harus membuat
perhitungan yang cermat sebagaimana kakang Pemanahan dan
kakang Penjawi sarankan. Tetapi jangan terlalu lama. Bukan aku
46 SH. Mintardja tidak bersabar, tetapi tuntutan keadaan memaksa kita bergerak
agak cepat." Dengan demikian maka Ki Pemanahan dan Ki Penjawi
beserta beberapa Senapati yang lain pun meninggalkan
penghadapan di pesanggrahan. Mereka memang harus membuat
perhitungan yang cermat, tetapi mereka pun harus
memperhitungkan keadaan yang berkembang setelah jatuh
perintah Ki Patih Mantahun.
Di luar balai penghadapan di pesanggrahan itu, Ki
Pemanahan dan Ki Penjawi telah memanggil Raden Sutawijaya.
Dengan wajah yang keras Ki Pemanahan bertanya kepada
anandanya yang telah diambil angkat oleh Adipati Hadiwijaya,
"Kenapa kau berani menyombongkan dirimu, bersedia melawan
Arya Penangsang. Meskipun kau belum pernah melihat
bagaimana Arya Penangsang turun ke medan tetapi kau tentu
pernah mendengarnya."
"Ya, aku pernah mendengarnya ayah," jawab Sutawijaya.,
"Tetapi aku pun bukannya tidak pernah menempa diri. Aku
adalah murid Pemanahan dan sekaligus murid Karebet anak dari
Tingkir itu." "Kau terlalu kanak-kanak untuk mengerti, apa yang
sebenarnya sedang kita hadapi sekarang ini," berkata Ki Penjawi.,
"Untunglah bahwa Kanjeng Adipati menganggap tawaranmu itu
hanya sebagai kelakar yang segera dilupakannya."
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun ia berdesis,
"Justru aku menyesal bahwa ayahanda Adipati tidak
menghiraukan permohonanku."
"Kau harus mempergunakan nalarmu. Kau menjadi semakin
dewasa, sehingga seharusnya kau tahu apa yang baik kaulakukan
dan yang mana yang tidak baik," berkata Ki Pemanahan.,
"Seandainya Sultan tidak mengasihimu seperti anak kandungnya
sendiri, maka ia akan dapat menjadi marah, karena persoalan
yang gawat ini kau anggap sekadar sebagai satu arena permainan.
47 SH. Mintardja Berperang melawan Arya Penangsang tidak sekadar seperti kau
bermain sembunyi-sembunyian atau bermain jirak dengan miri."
"Aku tahu ayah," jawab Raden Sutawijaya., "Aku memiliki
pengetahuan olah kanuragan. Jika aku harus bertempur melawan
pamanda Arya Penangsang di atas punggung kuda, maka aku
yakin, bahwa aku akan dapat mengimbanginya."
Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
percaya bahwa kau memiliki kemampuan menunggang kuda.
Tetapi perang bukan sekadar berpacu dengan kuda atau sekadar
keterampilan berkuda."
Sementara itu, selagi Ki Pemanahan dan Ki Penjawi
memberikan beberapa petunjuk kepada Raden Sutawijaya, maka
saudara seperguruan Ki Pemanahan dan Ki Penjawi yang
kebetulan lebih tua dari mereka dalam tataran perguruan dan
yang sudah beberapa hari berada di pesanggrahan, telah hadir
pula dalam pembicaraan itu. Ketika ia memasuki ruangan, maka
dilihatnya Pemanahan dan Penjawi berbicara sungguh-sungguh,
sementara Raden Sutawijaya nampak merenungi setiap kata-kata
ayah dan pamannya itu. "Apakah ada persoalan yang sangat penting yang sedang
kalian bicarakan," bertanya Ki Juru Martani, saudara
seperguruan Ki Pemanahan dan Ki Penjawi.
Ki Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Setelah
mempersilakan Ki Juru duduk, maka Ki Pemanahan pun telah
menceriterakan sikap Raden Sutawijaya dihadapan ayahanda
angkatnya. "Bukankah itu satu sikap deksura?" bertanya Ki Pemanahan.
Ki Juru tersenyum. Katanya, "Anak-anak muda kadang-
kadang memang kurang memikirkan tingkah lakunya. Tetapi
biarlah Sutawijaya merenungi kata-katanya. Nah, beristirahatlah.
Mungkin sambil berbaring kau akan mengetahui, kenapa ayah
dan pamanmu Penjawi bahkan Kanjeng Adipati pun
berkeberatan, meskipun mungkin kau akan mendapat tugas yang
berat pula dikesempatan lain."
48 SH. Mintardja Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian meninggalkan pertemuan itu. Dengan wajah muram
Raden Sutawijaya telah pergi ke kandang kudanya mengamati
seekor kudanya yang paling disukainya. Besar dan tegar. Namun
nampak pada sorot matanya bahwa ia menjadi sangat kecewa
bahwa permohonannya sama sekali tidak dipertimbangkan.
Bahkan seakan-akan hanya sekadar kelakuan yang tidak berarti.
Namun dalam pada itu, ternyata Ki Juru mempunyai
tanggapan yang lain. Bahkan dengan senyum di bibir, Ki Juru
berkata, "Kau harus memanfaatkan keberanian anak laki-lakimu
dalam keadaan seperti ini. Arya Penangsang memang seorang
yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Jarang sekali ada orang
yang dapat mengimbangi kemampuannya. Kulitnya bagaikan
menjadi kebal segala macam senjata. Bahkan menurut
keterangan yang aku dengar, Arya Penangsang tidak akan dapat
mati jika tubuhnya tidak tergores oleh pusakanya sendiri. Kiai
Setan Kober, kerisnya yang nggegirisi itu."
"Apalagi jika hal itu benar," berkata Ki Pemanahan., "Apa
daya Sutawijaya. Bukankah lebih baik aku atau adi Penjawi yang
harus turun ke medan perang. Kami, orang-orang tua ini agaknya
telah mempunyai bekal yang cukup, betapapun tingginya ilmu
yang ada di dalam diri Arya Penangsang. Kami masing-masing
telah cukup lama mengabdikan diri di dalam lingkungan
keprajuritan, sehingga pengalaman kami pun agaknya sudah
cukup luas untuk menghadapi Arya Penangsang."
Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Senyumnya masih
nampak di bibirnya. Katanya, "Aku percaya. Aku pun percaya
bahwa kalian tidak akan gentar menghadapi Arya Penangsang,
bahkan dalam perang tanding sekalipun. Tetapi dalam persoalan
ini, kita harus meyakinkan diri, bahwa kalian akan dapat
menyelesaikan persoalan."
"Masalah yang sebenarnya terletak pada Bengawan Sore.
Tidak pada kemampuan perseorangan. Arya Penangsang sendiri
meskipun ia berilmu tinggi, namun satu dua orang Pajang akan
dapat menghadapinya. Bahkan aku yakin bahwa dalam keadaan
49 SH. Mintardja yang memaksa kedua Adipati Pajang dan Jipang berhadapan
langsung, maka Adipati Pajang akan dapat memenangkannya.
Namun bagaimanapun juga, keadaan pasukan dari kedua belah
pihak akan menentukan. Siapa yang berani menyeberangi
Bengawan Sore, maka pasukannya akan hancur di tengah-tengah
Bengawan." Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Marilah kita pikirkan dengan tenang dan bersungguh-sungguh.
Kita akan dapat membicarakannya tidak hanya pada hari ini.
Mungkin malam nanti kita akan dapat menemukan satu cara
yang paling baik. Tetapi berilah kesempatan aku berbicara
dengan anakku Raden Sutawijaya. Mungkin aku dapat membantu
memecahkan persoalan ini."
"Kakang" berkata. Ki Pemanahan, "tetapi kakang jangan
bermain-main dengan nyawa anak itu. Meskipun ia sudah
diambil oleh Kangjeng Adipati menjadi anaknya, ia adalah tetap
anakku." Ki Juru: tertawa. Katanya "Aku baru akan melihat
kemungkinannya. Jika nanti aku mendapatkan satu diantara-
beberapa kemungkinan itu, maka terserah, kepada kalian, apakah
kalian akan melakukan atau mungkin mengusulkan kepada
Kangjeng Adipati atau tidak. Segala sesuatunya tergantung
kepada kalian." Ki Pemanahan masih saja merasa jantungnya berdegupan.
Persoalan yang dihadapinya adalah persoalan yang
menegangkan. Sementara itu Ki Juru Martani nampaknya
menanggapinya dengan tidak bersungguh-sungguh.
Namun akhirnya Ki Pemanahan itu berkata didalam dirinya
"Segalanya memang tergantung kepadaku. Kemungkinan apapun
yang dikatakan oleh kakang Juru Martani, aku dapat
menolaknya. Ia tidak akan dapat langsung berhubungan dengan
Kangjeng Adipati dalam hal ini. Seandainya ia memaksa diri
untuk bertemu dengan Kangjeng Adipati diluar pengetahuanku,
maka Kangjeng Adipati tentu akan mengajak aku berbincang."
50 SH. Mintardja Karena itu, maka Ki Pemanahan juga tidak berkeberatan
ketika Ki Juru ingin berbicara langsung dengan Raden Sutawijaya
tanpa dipengaruhi oleh orang lain.
Ketika di Pasanggrahan Pajang maupun Jipang di tepi
Bengawan Sore masih saja disibukkan dengan kemungkinan-
kemungkinan yang akan dapat ditempuh oleh kedua belah pihak
untuk memecahkan kebekuan yang seakan-akan mencengkam
kedua induk kekuatan Pajang dan Jipang itu, maka di medan
perang yang terpencar, pertempuran-pertempuran telah
mreningkat. Patih dari Jipang telah mengeluarkan perintah
untuk menekan kekuatan Pajang disegala medan. Namun Pajang
yang mengetahui perintah itu, telah mengimbanginya dengan
meningkakan kegiatan Tasukan-pasukannya.
Dalam pada itu, .pasukan Pajang yang berada disisi Timur
Pajang sendiri, telah berusaha untuk mengimbangi usaha-usaha
pasukan Jipang yang tengah melakukan perintah Patih
Mantahun dengan sebaik-baiknya. Namun disamping persoalan
antara Jipang dan Pajang, maka telah berkembang pula persoalan
diantara anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan.
Ketika keadaan anak muda Sembojan yang terluka dan
berada ditengah-tengah pasukan Pajang menjadi semakin baik,
maka ia pun telah menawarkan beberapa kemungkinan kepada
Gandar. "Aku dapat mengantarkanmu memasuki padukuhan itu
melalui jalan yang paling aman" berkata anak muda itu, "tetapi
dengan demikian kau hanya akan dapat melihat dan barangkali
mengetabui serba sedikit tentang kedudukan anak muda Tanah
Perdikan diantara pasukan Jipang itu. Tetapi kau tidak akan
dapat berbicara dengan mereka, apalagi setelah aku hilang dari
antara mereka. Mungkin pengawasan para prajurit Jipang akan
diperketat." "Jika demikian apakah kau melibat kemungkinan yang !ain?"
bertanya Gandar. 51 SH. Mintardja "Satu kemungkinan yang lain yang akan dapat aku lakukan"
berkata anak muda itu, "aku kembali kedalam kelompokku."
"Kesampingkan kemungkinan itu" berkata Gandar, "seperti
pernah dikatakan oleh Kiai Soka, nyawamu akan terancam. Kau
mungkin akan langsung ditangkap dan diperlakukan sebagai
seorang pengkhianat. Apalagi dengan sengaja kita sudah
memancing perhatian para petugas sandi bahwa kau ada
diantara kami disini bahkan telah menunjukkan lingkungan
,pertahanan pasukan Jipang.
"Sudah aku katakan, aku akan dapat mencari seribu macam
alasan. Tetapi seandainya, alasan-alasanku itu tidak mereka
percaya, maka kematianku bukannya sesuatu yang harus disesali.
Sebab seharusnya aku memang sudah mati." berkata anak itu.
"Aku tidak sependapat" berkata Gandar, "Kiai Soka tentu juga
tidak sependapat." "Jangan mencegah usahaku untuk sedikit memberikan terang
kepada kawan-kawanku dari Tanah Perdikan Sem!bojan"
berkata, anak muda itu. Lalu katanya, "Tetapi aku memerlukan
pertolonganmu. Kau dapat mencambuk punggungku dan
mungkin pada bagian-bagian tubuhku yang lain."
Gandar mengerutkan keningnya. Ia mengerti maksud anak
Sembojan itu. Ia pun dapat membayangkan apa yang akan
dilakukannya. Meskipun demikian, Gandar itu berkata, "Bicarakan dengan
Kiai Soka." Anak muda. Tanah Perdikan Sembojan itu pun. kemudian
menemui Kiai Soka dan mengutarakan niatnya. Ia ingin pergi ke
daerah pertahanan orang-orang Jipang dan kawan-kawannya
dari Tanah Perdikan Sembojan.
"Satu usaha yang sangat berbahaya" berkata Kiai Soka.,
"Sebaiknya kau tidak :melakukannya.."
"Mungkin cara ini dapat membantu memberikan kesadaran
kepada kawan-kawanku di lingkungan orang-orang Jipang itu."
52 SH. Mintardja jawab anak muda Tanah Perdikan itu, "aku akan dapat
menceriterakan apa yang terjadi disini. Tetapi yang lebih penting
lagi, aku dapat menceriterakan apa yang telah terjadi di Tanah
Perdikan Sembojan sendiri. Aku dapat mengatakan, kepada
kawan-kawanku, bahwa telah terjadi perubahan lagi di Tanah
Perdikan Sembojan, karena orang-orang Sembojan telah
menemukan dirinya kembali. Sebagian anak-anak muda yang
tertinggal di Sembojan telah bangkit dan dengan berdebar-debar
menunggu saudara-saudaranya kembali kepangkuan kampung
halaman dengan jiwa yang telah diperbaharui."
Kiai Soka menarik nafas dalaan-dalam. Apa yang dilihatnya
diantara pasukan Pajang, serta apa yang didengarnya tentang
Tanah Perdikannya telah memberikan kesadaran kepada anak
muda itu. Bahkan ia telah menyediakan dirinya untuk melakukan
satu langkah yang sangat berbahaya bagi kepentingan Tanah
Perdikannya. Namun kebesaran tekad anak itu tidak lagi memungkinkan bagi Kiai Soka
dan Gandar untuk mencegahnya. Bahkan ketika
seorang Senapati Pajang memberikan sedikit gambaran
tentang ketatnya paugeran bagi
pasukan Jipang. anak muda itu
tidak mengurungkan keinginannya untuk kembali ke
kelompoknya. Akhirnya Gandar tidak dapat menolak lagi. Sebagaimana diminta oleh anak
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu, maka Gandar pun telah
mencambuknya beberapa kali.
Di punggung, didada dan dilengan. Dengan demikian maka telah
tergores bekas-bekas cambuk itu silang melintang. Bahkan anak
53 SH. Mintardja muda itu telah melukai tubuhnya sendiri dengan sentuhan bara
api dan ujung senjata tajam.
"Kau sakiti dirimu sendiri" berkta Gandar, "mudahmudahan
kau berhasil." Anak muda itu menyeringai menahan pedih. Tetapi iapun
kemudian terseayum sambil berkata, "Apapun yang akan terjadi,
aku sudah berniat untuk melakukannya."
Gandar hanya menarik nafas dalam-dalam.
Pada saat senja turun, maka anak muda itu pun telah bersiap-
siap. Gandar berjanji akan mengantarkannya sampai ke tempat
yang memungkinkan. Sementara itu, beberapa orang prajurit
Pajang akan mencarinya dengan obor ditangan.
Setelah semua persiapan dilakukan, maka rencana yang telah
disusun itupun mulai dilaksanakan. Ketika, malam menjadr
semakin dalam, maka sekelompok prajurit Pajang dengan
beberapa obor telah melintas di daerah yang memisahkan
kekuatan Pajang dengan kekuatan Jipang di sisi Timur.
Obor-obor itu memang menarik perhatian orang-orang
Jipang. Beberapa petugas sandi telah mengamatinya dengan
saksama. Seorang petugas sandi yang berada beberapa puluh langkah
dari prajurit-prajurit Pajang yang membawa obor itu berdesis,
"Nampaknya ada yang mereka cari."
"Ya. Mereka telah mencari sesuatu atau seseorang." berkata
yang lain. Apa yang mereka lihat itu pun kemudian telah mereka bawa
kepada pimpinan mereka sebagai laporan yang sangat menarik.
Pada saat yang demikian, maka anak muda Tanah Perdikan
Sembojan yang dikawani Gandar telah mendekati padukuhan.
Mereka menyusuri tanah persawahan yang kering dan tidak
ditanami. yang tumbuh kemudian adalah batang ilalang dan
rerumputan liar. 54 SH. Mintardja Ketika keduanya telah mendekati padukuhan yang dituju,
maka anak muda Tanah Perdikan Sembojan itu memberikan
isyarat agar Gandar kembali ke daerah yang dikuai, oleh pasukan
Pajang. "Tetapi nampaknya kau lemah sekali" bisik Gandar,
"tubuhmu yang kau sakiti benar-benar membuatmu kehilangan
sebagian dari darahmu. Bahkan bekas cambuk di seluruh
tubuhmu itu benar-benar telah menghisap tenagamu."
Tetapi anak muda itu berusaha tersenyum. Katanya, "Tidak
apa-apa. Aku akan segera sehat kembali."
Demikianlah, maka Gandar pun kemudian beringsut surut.
Sementara anak muda Sembojan itu merangkak mendekati
padukuhan yang sepi. Pengenalannya atas padukuhan itu memungkinkannya untuk
menghindari para penjaga. Ia berusaha untuk dapat memasuki
padukuhan tanpa dilihat oleh prajurit Jipang, bahkan oleh,
petugas yang bukan dari kelompoknya. Ia ingin langsung dapat
memasuki barak tempat kelompoknya tinggal.
Gandar untuk beberapa saat masih berada di tempatnya.
Sambil berjongkok ia mengamati keadaan. Namun ketika anak
Sembojan itu tidak dapat dilihatnya lagi, maka iapun segera
beringsut kembali. Namun dalam pada itu, keadaan anak muda Sembojan itu
benar-benar sangat lemah. Luka-lukanya yang memang belum
sembuh benar, ditambah dengan luka-luka yang disengaja
memberikan bekas pada tubuhnya, telah membuatnya banyak
kehilangan tenaga. Tetapi anak muda itu berjuang dengan tenaganya yang tersisa
untuk meloncati dinding ,padukuhan. Kemudian dengan susah
payah ia berusaha mendekati barak kelompoknya diantara
rumah-rumah di padukuhan itu yang dipergunakan oleh
keloumpak-kelampok lain. 55 SH. Mintardja Betapun tubuhnya menjadi semakin lemah, namun ia masih
sempat juga merayap dengan sangat hati-hati disela-sela
pepohonan di ikebun-kebun di padukuhan itu. Sehingga
akhirnya, ia benar-benar berada disatu lingkungan yang
dipergunakan oleh kelompoknya.
Karena itu, maka anak muda itu tidak lagi merayap di sela-
sela tetumbuhan. Ia pun kemudian berjalan tertatih-tatih menuju
ke sebuah gardu yang dipergunakaa oleh para petugas di
kelompoknya berjaga-jaga.
Tiga orang yang berada digardu itu terkejut. Mereka melihat
seseorang berjalan tertatih-tatih. Dalam cahaya obor mereka
melihat orang itu terbuyung-huyunng dan sebelum orang itu
mencapai gardu itu, tubuh itu pun telah roboh di tanah.
Tiga orang itu pun segera meloncat turun dari gardunya:
Dengan tangkasnya mereka mengangkat orang itu dan
membawanya kebawah obor di gardu.
"He, anak yang hilang itu" berkata salah seorang diantara
mereka. "Ya." desis yang lain.
"Apa yang telah terjadi atasnya" bertanya yang seorang lagi.
Ketiga orang itu menjadi berdebar-debar ketika mereka
melihat disela-sela baju anak muda yang terbuka dibagian
dadanya. Luka-luka yang silang melintang bekas lecutan. Luka-
luka bekas api dan goresan-goresan senjata tajam.
"Gila" seorang diantara mereka hampir berteriak, "anak ini
sama sekali bukan seorang pengkhianat: Ia justru mengalami
perlakuan yang sangat keji."
"Laporkan ke pemimpin kelompok kita" berkata yang
seorang. Seorang diantara ketiga orang itu pun telah berlari-lari ke
rumah yang dipergunakan oleh pemimpin kelompoknya. Dengan
serta merta ia telah mengetok pintu keras-keras.
56 SH. Mintardja "He, siapa itu?" terdengar seseorang membentak dari dalam,
"aku belum tidur."
Ketika pintu dibuka, anak muda yang datang itu pun menarik
nafas dalam-dalam. Di ruang dalam terdapat dua orang yang
bertugas berjaga-jaga bergantian. Namun saat itu, pemimpin
kelompoknya pun masih duduk bersama mereka bermain
macanan. Kedatangan anak muda yang tergesa-gesa itu memang
mengejutkan. Namun sebelum pemimpin kelompoknya itu
bertanya, anak muda itu, telah melaporkannya, "Anak yang
hilang itu datang kembali dalam keadaan yang parah".
"Dimana ia sekarang" bertanya pemimpin kelompok itu.
"Pingsan, di gardu. Ia telah memaksa diri untuk berjalan
memasuki padukuhan ini dalam keadaan yang sangat payah.
Sejenak kemudian, maka pemimpin kelompok itu pun telah
berada di gardu. Bahkan kemudian disusul oleh anak-anak muda
yang lain, sehingga di sekitar gardu itu pun kemudian menjadi
penuh dilingkari oleh anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan
yang berada didalam kelompok itu.
Anak muda yang baru datang dari lingkungan para pranirit
Pajang itu memang pingsan.
Pemimpin kelompok yang menyaksikan keadaan anak muda
itu menggeram. Katanya, "Inikah adab yang dijunjung tinggi oleh
orang-orang Pajang?"
Anak-anak muda dalam kelompok itu yang semula ter-
guncang oleh berbagai pertimbangan, tiba-tiba justru semakin
mantap untuk meneruskan perjuangan mereka diantara para
prajurit Jipang. Mereka telah melihat sendiri kebiadaban para
prajurit Pajang yang menimpa salah seorang kawan mereka.
Ketika anak muda itu dibawa ke rumah yang dipergunakan
oleh pemimpin kelompok bersama beberapa orang pengawal, dan
kemudian dibaringkan di pembaringan, maka anak-anak muda
didalam kelompok itu dapat melihat dengan jelas, bekas-bekas
57 SH. Mintardja cambuk yang telah mengelupas kulit. Luka-luka yang mereka
kenali sebagai luka bakar, sementara itu beberapa gores senjata
tajam nampak masih baru dibanding dengan luka anak itu sendiri
yang didapatkamya didalam perang.
Seorang anak muda telah menitikkan air dibibirnya.
Kesegaran yang ketuudian menjalari seluruh tubuhnya
membuatnya perlahan-lahan sadar kembali.
Perlahan-lahan ia mulai memperhatikan bayangan-bayangan
yang buram di sekitarnya. Kemudian ia mulai melihat wajah-
wajah yang tegang mengerumuninya. Wajah-wajah kawan-
kawannya yang berada didalam satu kelompok.
"Bagaimana keadaanmu" bertanya pemimpin kelompok itu.
Anak muda yang pingsan itu dengan susah payah berusaha
mengenali dirinya. ia mengingat-ingat apa yang telah
dilakukannya. Ketika ia menyadari, untuk apa ia kembali
ketengah-tengah kelompoknya, maka ia pun menarik nafas
dalam-dalam, ia harus mengekang diri agar ia tidak kehilangan
nalar dan pengamatan perasaan. Jika ia mengigau tentang tugas
yang diembannya, maka segalanya akan dapat menjadi rusak
karenanya. Dan barangkali ia sendiri tidak akan berumur
panjang. Karena itu, maka anak muda itu pun berusaha dengan se-
penuh kemampuannya untuk tetap menyadari apa yang
dikatakannya selama belum mencapai kesadaran sepenuhnya,
maka ia masih akan tetap mengatupkan mulutnya.
'Ternvata sejenak kemudian semuanya menjadi terang.
Dibawah cahaya lampu maka ia melihat apa yang ada
disekitarnya. Ruangan yang dikenalnya dengan baik, wajah-
wajah kawannya dan pemimpin kelompoknya.
"Bagaimana keadaanmu?" pemimpin kelompok pengawal itu
bertanya lagi. 58 SH. Mintardja Anak muda itu setelah yakin apa yang dihadapinya,
menyahut, "Baik. Aku dalam keadaan baik."
"Tetapi bagaimana hal seperti ini dapat terjadi?" bertanya
pemimpin kelompok itu sambil menunjuk luka-luka di tubuh
anak muda itu. Anak muda itu tidak segera menjawab. Namun perlahan-
lahan ia menggerakkan kepalanya. Tetapi anak muda itu
menyeringai menahan sakit yang menggigit tubuhnya. Bukan
sekedar berpura-pura. Tetapi ia benar-benar merasa betapa
pedihnya luka-lukanya yang tersentuh basahnya keringat.
"Aku mempunyai ceritera yang menarik" berkata anak muda
itu, "tetapi apakah aku diperkenankan beristirahat?"
"Ya, beristirahatlah. Kami tidak tergesa-gesa. Besok kita
masih mempunyai waktu" jawab pemimpin kelompok itu.
Namun tiba-tiba anak muda itu berkata, "Apakah disini masih
tersedia nasi barang segenggam?"
"O, nasi" bertanya salah seorang kawannya, "aku akan
mencarinya." Sebenarnyalah anak muda itu telah berlari ke dapur untuk
mencari sesuap nasi. Karena ia menduga bahwa anak muda itu
tentu belum makan sejak sore. Bahkan mungkin sehari ia tidak
mendapat ransum sama sekali.
Ketika nasi itu diberikan kepadanya, maka iapun telah
berdesis, "Aku lapar sekali."
"Tanpa lauk" berkata kawannya, "kecuali sepotong telur."
"Ini sudah jauh dari cukup" suaranya terdengar perlahan
sekali. Seorang kawannya pun kemudian menyuapinya dengan suru
daun pisang. Anak muda itu nampaknya memang lapar sekali.
Mungkin karena ia benar-benar harus menahan sakit, sementara
itu ia masih harus merayap dari luar dinding padukuhan sampai
ke lingkungan kelompoknya.
59 SH. Mintardja Setelah makan sekepal nasi, maka anak muda itu dengan
lemah berkata, "Aku mohon waktu untuk beristirahat barang
sejenak. Besok aku akan berceritera panjang lebar mengenai
pengalamanku." Pemimpin kelumpok itu mengangguk-angguk. Katanya
kepada anak-anak muda yang berkerumun, "Biarlah ia
berstira.hat. Besak ia akan berangsur baik. Biarlah ia berceritera
tentang pengalamannya yang pahit, sementara itu kenyataan ini
harus merubah sikap para Senapati Jipang dan para pemimpin
dari Tanah Perdikan Sembojan."
Anak-anak muda yang berkerumun itu pun kemudian
seorang demi seorang telah meninggalkan tempat itu. Mereka
ingin memberi kesempatan kepada anak yang terluka itu untuk
beristirahat. Sementara itu pemimpin kelompok itu pun telah
menghubungi beberapa orang kepercayaannya. Bersama-sama
mereka telah pergi ke rumah yang dipergunakan oleh orang-
orang yang disebut para pemimpin dari Tanah Perdikan
Sembojan. Kedatangan anak muda, pemimpin kelompok itu memang
mengejutkan. Apalagi setelah pemimpin kelompok itu
memberikan laporan, bahwa anak buahnya. yang hilang itu telah
kembali dalam keadaan yang parah.
"Jadi anak itu tidak berkhianat?" bertanya Ki Wiradana.
"Menilik keadaannya, aku yakin bahwa ia tidak berkhianat"
jawab pemimpin kelompok. "Apakah ia sudah memberikan laporan apa saja yang pernah
di alami?" bertanya Ki Wiradana pula.
"Ia masih terlalu, lemah. Ketika ia diketemukan oleh para
petugas, anak itu sedang pingsan." jawab pemimpin kelompok
itu. Warsi yang kemudian ikut mendengarkan laporan itu ter-
mangu-mangu. Sementara Ki Randukeling yang hadir pula
60 SH. Mintardja berkata, "Memang hal itu dapat saja terjadi. Orang-orang Pajang
itu menemukannya di medan, lalu membawanya dengan paksa."
Tetapi Warsi berkata, "Menurut laporan dari para petugas
sandi, anak itu telah ikut bersama beberapa orang prajurit Pajang
dan dari kejauhan menunjukkan kekuatan kita disini."
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Orang-orang Pajang itu dapat saja memaksanya" jawab
pemimpin kelompoknya. Sementara itu, Ki Rangga yang kemudian datang berkata,
"Apakah hal ini ada hubungannya dengan laporan, bahwa
beberapa orang prajurit Pajang sedang mencari sesuatu atau
seseorang di perbatasan antara kedua kekuatan di daerah ini?"
"Mungkin sekali" jawab Ki Randukeling, "mungkin mereka
berusaha untuk menangkap kembali anak yang berusaha
melarikan diri itu."
"Aku akan melihatnya" berkata Ki Rangga.
"Besok saja Ki Rangga" cegah pemimpin kelompoknya, "anak
itu masih sering pingsan. Biarlah ia beristirahat dan tidur sejauh
dapat dilakukan, agar keadaannya berangsur baik.
"Anak cengeng" jawab Ki Rangga, "kita memerlukan
keterangan segera. Apa salahnya jika kita hanya bertanya saja
kepadanya, dan ia cukup menjawabnya sambil berbaring."
"Tetapi tubuhnya nampak sangat lemah" berkata pemimpin
kelompok itu. "Tetapi kita memerlukan keterangan itu. Jika ia mati besok
pagi-pagi, maka kita kehilangan keterangan yang seharusnya
dapat dikatakannya." jawab Ki Rangga.
"Ia tidak akan mati" jawab pemimpin kelompoknya, "bahkan
seandainya ia mati sekalipun, biarlah ia mati dengan tenang. Aku
adalah pemimpin kelompoknya."
"Apa tahumu tentang peperangan seperti ini" bentak Ki
Rangga, "Aku akan berbicara."
61 SH. Mintardja Tetapi Ki Randukeling berkata, "Sebaiknya kita memang
harus sedikit bersabar. Mungkin kita dapat membiarkannya mati
setelah kita menyadap keterangannya. Tetapi bagi aku, anak itu
lebih baik hidup lebih panjang lagi agar kita dapat bertanya lebih
banyak dan tidak tergesa-gesa."
Ki Rangga menggeretakkan giginya. Baginya Ki Randukeling
justru banyak menghambat pekerjaan yang akan dilakukannya.
Namun Ki Rangga juga tidak dapat memaksakan kehendaknya. Ia
pun kemudian terdiam dan bahkan ia tidak lagi mengacuhkan
pembicaraan berikutnya. Sementara itu Ki Wiradana pun akhirnya berkata kepada
pemimpin kelompok itu, "Kembalilah ke kelompoknnu. Besok
pagi, aku akan melihatnya. Mudah-mudahan ia sudah berangsur
baik dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kami."
Pemimpin kelompok itu pun kemudian meninggalkan para
pemimpin Tanah Perdikan Sembojan dan kembali ke
kelompoknya. Ketika ia melihat keadaan kawannya yang baru
saja datang dalam keadaan terluka parah, ia pun menarik nafas-
dalam-dalam. Agaknya anak itu sempat tidur.
Tetapi petugas yang berada di dekat anak itu berbaring
berkata, "Ia sangat gelisah. Ia hanya dapat tertidur sejenak-
sejenak. Setiap kali ia terbangun dan merintih."
"Lukanya memang parah" berkata pemimpin kelompok itu,
"besok menjelang pagi, kau harus melaporkan kepada petugas
yang merawat kesehatan pasukan ini."
"Ya tua atau yang muda?" bertanya anak muda yang bertugas
itu. "Ah kau. Yang mana saja" jawab pemimpin kelompok itu.
Pemimpin kelompok itu pun kemudian memasuki biliknya
dan berusaha untuk beristirahat. Namun ia merasa ngeri jika ia
membayangkan apa yang telah terjadi atas kawannya yang
terluka parah itu. Pemimpin kclompok itu membayangkan,
bahwa tawanan di tangan orang-orang Pajang mengalami siksaan
62 SH. Mintardja yang luar biasa. Namun untuk mengurangi ketegangan dihatinya
ia berkata kepada diri sendiri, "Tetapi tentu tidak semua prajurit
Pajang dan tentu tidak terhadap semua tawannan. Hanya
tawanan yang diperlukan keterangannya sajalah yang diperasnya
sampai darah pun ikut menjadi kering."
Sebenarnyalah, anak muda itu tidak dapat tidur dengan
nyenyak. Bukan saja karena luka-lukanya serta bekas ujung-
ujung cambuk yang membuat kulit terkelupas itu merasa sangat
pedih, tetapi kegelisahannya juga telah mencengkamnya. Betapa
ia mantap untuk melakukan pekerjaan yang telah dibebankannya
sendiri diatas bahunya itu namun ketika ia sudah benar-benar
berada ditengah-tengah anak-anak muda Tanah Perdikan
Sembojan, serta lingkungan prajurit Jipang, kegelisahannya pun
telah timbul pula. Tetapi ia yakin bahwa ia akan dapat mengelabui orang-orang
Jipang dan orang-orang yang menyebut dirinya para pemimpin
dari Tanah Perdikan Sembojan itu, meskipun mereka adalah para
pemimpin yang terusir. Anak muda itu pun menyadari, bahwa pada saat pertama ia
berada diantara kawan-kawannya, maka akan timbul kebencian
dan kemarahan terhadap orang-orang, Pajang. Tetapi ia
perlahan-lahan akan dapat merubah sikap kawan-kawannya itu.
Menjelang pagi, maka seorang petugas yang merawat
kesehatan pasukan Jipang yang dipanggil itu pun telah datang.
Ketika ia memeriksa keadaan tubuh anak muda itu, maka ia
menemukan bahwa anak muda itu dalam keadaan yang payah
dau sangat letih lahir dan batin.
"Aku Akan berusaha mengobatinya" berkata petugas itu.
Menurut umurnya ia adalah petugas yang lebih tua dari petugas
yang lain. Namun justru karena itu maka pengalaman dan
pengetahuannya pun lebih banyak pula dari kawan-kawannya
yang lain. Dengan teliti tubuh anak muda itu diamatinya. Kulit-kulitnya
memang terkelupas oleh ujung cambuk. Ia pun mengalami luka-
63 SH. Mintardja luka bakar di dadanya, dilengan dan bagian-bagian tubuh yang
lain. Kepada seorang anak muda yang lain ia berkata, "Tolong.
Pergilah ke dapur. Biarlah para petugas di dapur menyediakan air
panas semangkuk. Aku akan meramu obat yang akan aku oleskan
pada tubuh anak ini. Mungkin akan terasa pedih. Tetapi mudah-
mudahan kemudian ia akan merasa segar kembali disamping
obat yang harus diminumnya."
Demikianlah maka pengobatan pun telah dilakukan sebaik-
baiknya. Seperti yang dikatakan oleh petugas yang tua itu, bahwa
obatnya akan terasa pedih. Namun kemudian tubuhnya memang
merasa menjadi segar. Apalagi ketika ia sudah minum pula obat
yang diberikan oleh petugas itu.
Dalam pada itu, ternyata Ki Rangga sudah menjadi tidak
sabar. Meskipun langit masih buram dan matahari belum terbit,
ia bersama Warsi telah pergi ke barak anak muda yang terluka
parah itu. Ki Wiradana pun telah berlari-lari kecil menyusulnya.
Sementara Ki Randukeling pun mengikutinya di belakang.
Ketika ia sampai di barak kelompok itu, pemimpin
kelompoknya masih berada didalam biliknya meskipun ia sudah
terbangun. Ketika ia mendengar kedatangan para pemimpin
Tanah Perdikan, maka ia pun telah membenahi diri dan keluar
pula dari dalam biliknya, sementara itu Ki Rangga dan Warsi
telah berdiri di sebelah menyebelah anak yang sudah menjadi
berangsur baik itu. Namun ketika Ki Rangga melihat luka-lukanya, maka ia pun
menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, "Gila orang-orang
Pajang itu. Menurut pendengaranku, mereka tidak terbiasa
melakukan hal seperti itu. Karena itu, mungkin mereka telah
berada dalam kesulitan. Mungkin kekuatan pasukannya, tetapi
mungkin juga persediaan pangan dan kebutuhan-kabutuhan lain.
Warsi mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Kita
sudah dapat bertanya kepadanya tentang kepergiaannya itu."
64 SH. Mintardja Ki Rangga mengangguk-angguk pula. Katanya, "Ya. Kita akan
bertanya kepadanya."
Sementara itu, Ki Wiradana dan Ki Randukeling yang
menyusul mereka, telah menggeleng-gelengkan kepalanya pula
melihat keadaan anak muda itu.
Ki Wiradana yang kemudian mendekati anak itu telah
menyentuh tangannya sambil berdesis, "Bagaimana keadaaamu?"
Anak muda itu membuka matanya. Ketika ia melihat Ki
Wiradana maka iapun tersenyum. Katanya dalam nada yang
dalam terputus-putus, "Aku tidak apa-apa Ki Wiradana."
"Kau terluka parah" berkata Ki Wiradana. "Apa yang telah
terjadi atas dirimu?"
Anak itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia mencoba
memandang orang-orang yang hadir diruang itu, dilihatnya Ki
Wiradana, Nyi Wiradana, Ki Rangga Gupita, Ki Randukeling,
pemimpin kelompoknya dan beberapa anak muda yang berdiri
agak jauh dari pembaringannya. Diantara mereka terdapat
keluarga Nyi Wiradana pula.
"Katakan" desak Ki Rangga, "mungkin yang kau alami serta
yang kau lihat itu penting bagi kami."
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
kemudian berdesis, "Aku berhasil melarikan diri."
"Tetapi kenapa kau berada diantara mereka?" bertanya Ki
Rangga. Wajah anak itu nampak berkerut. Pertanyaan itu nampaknya
membuatnya keheranan. Karena itu, maka ia pun menjawab,
"Pertanyaan Ki Rangga aneh."
"Kenapa aneh?" bertanya Ki Rangga pula.
"Bukankah setiap orang, terutama didalam kelompokku,
tudah dapat mengerti, bahwa aku telah dibawa oleh orang-orang
Pajang" Jika tidak demikian, apakah yang sebenarnya terjadi atas
diriku" Aku terluka pada saat pertempuran itu terjadi. Kemudian
65 SH. Mintardja orang-orang Pajang itu menarik diri. Aku tidak tahu, kenapa tiba-
tiba saja mereka berniat untuk membawaku yang terluka." jawab
anak muda itu. "Jangan membual," bentak Ki Rangga., "Semula tidak ada
orang yang tahu bahwa kau dibawa oleh orang-orang Pajang.
Kami hanya dapat menduga demikian. Tidak ada orang yang
melihat kau dibawa oleh orang-orang Pajang itu. Karena itu,
maka kami dapat saja menduga bahwa kau memang ingin
berkhianat dengan menyeberang kepada orang-orang Pajang."
"Ki Rangga," anak muda itu memotong pembicaraan. Dengan
serta merta ia berusaha untuk bangkit dari pembaringannya.
Namun ia pun kemudian menyeringai menahan sakit. Dengan
lemahnya ia kembali berbaring.
Pemimpin kelompoknyalah yang kemudian mendekatinya
sambil berdesis, "Jangan bangkit. Kau harus masih banyak
beristirahat. Kau tidak boleh terlalu letih dan terlalu banyak
berbicara, apalagi berpikir."
Tetapi Ki Rangga memotong, "Untuk kepentingan
keprajuritan, sepantasnya ia menjawab semua pertanyaan. Ia
harus lebih banyak berusaha memberikan arti dari hidupnya bagi
perjuangan. Jangan terlalu mementingkan diri sendiri."
"Aku berharap bahwa ia segera dapat sembuh," berkata
pemimpin kelompoknya. "Keterangan yang diketahuinya akan dapat diberikan
kemudian, apabila keadaannya sudah menjadi lebih baik."
"Sementara itu barak kita sudah digulung oleh para prajurit
Pajang," jawab Ki Rangga.
Dalam pada itu, Ki Wiradana berusaha untuk menengahinya.
Dengan nada berat ia bertanya kepada anak muda yang terluka
itu, "Apakah kau sudah memberikan terlalu banyak keterangan
kepada orang-orang Pajang?"
Anak muda itu menggeleng. Katanya, "Aku mencoba
bertahan. Karena itu keadaanku menjadi seperti ini."
66 SH. Mintardja "Kau sudah dibawa oleh para prajurit Pajang keperbatasan.
Dan kau agaknya telah menunjuk beberapa kelemahan dari
pertahanan kita disini," desak Ki Rangga.
"Aku belum gila," jawab anak itu., "Aku dapat mengatakan
yang bukan sebenarnya. Jika aku tidak mengatakan sesuatu,
mungkin aku sudah mati."
"Sudahlah," berkata pemimpin kelompok itu ketika ia melihat
wajah anak itu menjadi tegang, "Kau berhak untuk beristirahat."
"Hak apa?" Warsilah yang bertanya, "Siapakah yang
memberikan hak itu kepadanya?"
"Aku," jawab pemimpin kelompok itu. "Dasarnya adalah
perikemanusiaan." "Gila kau," geram Ki Rangga., "Kau berani menyombongkan
dirimu seperti itu" Kau kira kau ini siapa he?"
Anak muda yang menjadi pemimpin kelompok itu menjadi
berdebar-debar. Apalagi ketika Ki Rangga itu berkata, "Apakah
kau menganggap bahwa pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikanmu akan dapat melindungimu?"
Anak muda itu termangu-mangu. Namun yang menjawab
adalah Ki Randukeling, "Tidak. Ki Wiradana tidak akan dapat
melindunginya. Lalu apa yang akan kau lakukan?"
Wajah Ki Rangga menegang. Sementara itu Warsi lah yang
berkata, "Kita harus membenahi diri. Kita harus memperbaharui
pengertian kita tentang hak dan kewajiban kita masing-masing.
Anak itu telah kehilangan kesetiaannya kepada hak dan
kewajibannya, apalagi ia adalah seorang pemimpin kelompok."
Yang menjawab adalah Ki Randukeling., "Aku sependapat
dengan Warsi. Kita harus kembali kepada hak dan kewajiban kita
masing-masing. Nah, apakah kata kalian dengan sikap kalian?"
Wajah-wajah pun menjadi semakin tegang. Namun Ki
Randukeling pun kemudian berkata, "Baiklah. Beristirahatlah.
Namun kami masih ingin sedikit mendengarkan darimu. Jika ada
67 SH. Mintardja yang kau anggap penting untuk segera kami ketahui.
Katakanlah." Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "Aku tidak dapat mengetahui sesuatu yang
ada di dalam barak mereka dan apalagi rencana mereka. Yang
dapat aku lihat adalah kesibukan mereka yang luar biasa. Aku
tidak tahu, apakah arti dari kesibukan itu, karena aku pun sibuk
mengalami tekanan yang hampir tidak tertahankan. Untunglah
aku masih mampu membendung semua keterangan di mulutku
betapapun aku menderita."
Ki Randukeling mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Baiklah.
Kau wajar sekali jika tidak mengetahui sesuatu dari rencana
mereka. Tetapi bagaimana kau dapat melepaskan diri?"
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anak itu mengerutkan keningnya. Sementara itu Ki
Randukeling pun tersenyum sambil berkata, "Baiklah. Jika kau
masih ingin beristirahat, beristirahatlah. Tetapi jika kau teringat
sesuatu yang pantas segera kau beritahukan, maka kau harus
melaporkannya kepada pemimpin kelompokmu."
Anak itu mengangguk kecil. Katanya, "Baiklah Ki
Randukeling. Aku akan mencoba mengingat-ingat.
Ki Randukeling pun kemudian berkisar dari tempatnya dan
keluar dari ruang itu tanpa menghiraukan orang lain. Sementara
itu Ki Rangga dan Warsi pun telah bersiap-siap untuk pergi pula.
Namun Ki Rangga masih sempat berkata., "Kalian anak-anak
Tanah Perdikan, kalian harus tetap menyadari bahwa kalian
merupakan bagian dari pasukan Jipang. Dan aku adalah perwira
dari prajurit sandi Jipang".
Pemimpin kelompok itu memandangi Ki Wiradana yang
berdiri tegak. Tetapi Ki Wiradana tidak menyahut sama sekali. Ia
hanya memandangi saja. Ki Rangga dan Warsi yang
meninggalkan tempat itu. Ki Wiradana memang masih belum ingin meninggalkan
tempat itu. Bahkan ia pun kemudian menunggui anak muda yang
terluka itu. Kepada pemimpin kelompok ia berkata, "Biarlah anak
68 SH. Mintardja ini berada di sini untuk seterusnya. Ia memang harus disisihkan
dari mereka yang terluka di Banjar. Keadaan anak ini agak
khusus". "Ya Ki Wiradana, jawab pemimpin kelompok itu, aku pun
akan meminta kepada petugas yang merawat orang-orang sakit,
agar merekalah yang bersedia datang kemari, khusus untuk
merawat anak muda yang terluka secara khusus ini pula".
Ki Wiradana mengangguk-angguk. Sementara itu matahari
telah naik ke kaki langit.
Para petugas di padukuhan itu pun telah menjadi sibuk.
Bergantian mereka menjaga padukuhan itu dan bergantian pula
mereka melakukan pengamanan ke arah kekuatan Jipang yang
menghadapi mereka. Setelah mendapat pengobatan, maka anak muda yang telah
menyakiti dirinya sendiri itupun merasa berangsur menjadi baik.
Darahnya rasa-rasanya telah mengalir wajar, meskipun karena
sebagian dari darahnya telah mengalir melalui luka, maka
tubuhnya pun terasa masih terlalu lemah.
Ia sadar, bahwa pada saatnya ia akan menghadapi
pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam. Karena itu, selama
ia masih sempat, maka ia pun telah menganyam angan-angan. Ia
harus menemukan satu urut-urutan peristiwa yang dikarangnya,
namun harus menjadi satu kenyataan di dalam dirinya sehingga
ia tidak akan salah jawab apabila ia menerima berbagai macam
pertanyaan. Ketika matahari lewat puncak langit, serta setelah ia
mendapat ransum makan siang, yang diperhitungkannya itu pun
terjadilah. Yang kemudian datang kepadanya bukan hanya Ki
Rangga, Warsi dan Ki Randukeling, tetapi ada di antara mereka
para perwira dari prajurit Jipang. Sementara itu Ki Wiradana
masih tetap berada di rumah itu.
Namun anak muda itu telah siap. Ia telah menempatkan
dirinya pengalaman yang sangat pahit ketika ia berada di tangan
para prajurit Pajang. 69 SH. Mintardja Karena itu, ketika orang-orang yang datang itu mengajukan
berbagai pertanyaan, maka jawabannya pun ajeg. Ia tidak
terumbang-ambing oleh pertanyaan yang kadang-kadang
berputar balik. Ia telah mengatakan apa adanya, sesuai dengan
kenyataan yang terjadi di angan-angannya yang disusunnya
dengan matang. "Aku terluka parah," ia mulai dengan ceritanya., "Memang ada
niat untuk menyingkir dari medan. Tetapi aku tidak mampu lagi.
Mungkin orang lain yang tidak mengalaminya, masih juga
menganggap bahwa aku seharusnya dapat menepi dan meloncati
dinding padukuhan. Tetapi aku benar-benar tidak dapat
bergerak. Mataku berkunang-kunang dan tulang-tulangku
bagaikan sudah terlepas dari tubuhku."
Demikian, ceritera yang terjadi di dalam angan-angan itupun
telah diuraikan terperinci. Bagaimana ia dibawa oleh para
prajurit Pajang atas permintaan Gandar. Kemudian ia memang
mengalami pengobatan. Namun setelah keadaannya berangsur
baik, maka mulailah penderitaan yang hampir tidak
tertanggungkan. "Di tangan para perwira keadaanku memang lebih baik.
Tetapi di tangan para prajurit, terutama anak-anak muda yang
ditariknya dari padukuhan-padukuhan, terlebih-lebih lagi
ditangan Gandar, rasa-rasanya aku ingin membunuh diri,"
berkata anak muda itu selanjutnya. Ia pun kemudian
menceriterakan bagaimana ia berusaha untuk melarikan diri.
Karena orang-orang Pajang mengiranya bahwa ia sudah tidak
bertenaga sama sekali, maka penjagaan pun menjadi lengah. Ia
pun berpura-pura seakan-akan ia tidak mampu lagi
menggerakkan jari-jarinya, sehingga orang-orang Pajang mengira
bahwa ia tidak akan mungkin dapat berbuat apa-apa lagi. Namun
dalam keadaan demikian itulah, maka ia berhasil merayap ke luar
melintasi jarak yang cukup panjang bagi seseorang yang dalam
keadaan lemah dan memaksa diri memasuki padukuhan itu.
70 SH. Mintardja "Aku tidak tahu apa yang kemudian terjadi setelah aku
melihat gardu penjagaan bagi kelompokku," berkata anak muda
itu. "Kau pingsan sebelum kau sempat mencapai gardu itu,"
pemimpin kelompoknya meneruskan.
Orang-orang yang mendengarkannya mengangguk-angguk.
Satu dua di antara mereka masih mengajukan beberapa
pertanyaan. Namun jawabnya cukup meyakinkan, sehingga
akhirnya seorang perwira telah berkata, "ia memang tidak berniat
untuk berkhianat. Mudah-mudahan yang dialaminya itu dapat
menjadi petunjuk bagi siapapun yang ingin mencoba memasuki
lingkungan orang-orang Pajang. Mereka akan mengalami
perlakuan yang sama. Mereka akan menjadi permainan yang
sangat menyakitkan tubuh serta hati."
Ternyata anak muda itu mampu meyakinkan orang-orang
Jipang dan para pemimpin Tanah Perdikannya, sehingga mereka
tidak lagi mencurigainya. Namun keyakinan mereka itu harus
ditebus dengan penderitaan, karena seluruh tubuhnya terasa
menjadi sakit, pedih dan nyeri. Sementara darahnya mengalir
dari lukanya, sehingga tubuhnya menjadi lemah sekali.
Pada hari-hari pertama ternyata kebencian kawan-kawannya
terhadap orang-orang Pajang dan Gandar menjadi semakin
besar. Mereka seakan-akan ikut merasa disakiti lahir dan
batinnya. Sekali-kali anak muda itu mendengar kawan-kawannya
mengumpat dan bahkan mendendam.
"Jika saja aku dapat menangkap salah seorang diantara
mereka," berkata seorang kawannya.
Anak muda itu sama sekali tidak memberikan tanggapan. Ia
masih saja berbaring dengan lemahnya. Sekali-kali terdengar ia
berdesis menahan sakit. Di pasukan yang berseberangan, Kiai Soka dan Gandar masih
saja merasa cemas, bahwa anak muda yang telah menyakiti
dirinya itu akan mengalami kesulitan. Bahkan seorang perwira
Pajang pun berkata, "Mudah-mudahan anak itu selamat,
71 SH. Mintardja meskipun ia telah mengorbankan citra prajurit Pajang. Dengan
caranya maka akan terdapat kesan, bahwa prajurit Pajang telah
memperlakukannya diluar batas perikemanusiaan."
"Kesan itu tentu akan timbul pada mulanya," berkata
Gandar., "Tetapi jika ia berhasil, maka ia akan dapat
mempengaruhi setidak-tidaknya beberapa orang kawannya yang
terdekat dan yang paling dipercaya."
"Kita akan menunggu dua tiga hari. Mungkin ada sesuatu
yang terjadi yang dapat ditangkap oleh para petugas sandi atau
anak itu telah tenggelam lagi ke dalam dunianya yang lama tanpa
menumbuhkan perubahan apapun juga."
Kiai Soka dan Gandar itu pun mengangguk-angguk. Namun
tiba-tiba saja Gandar berkata, "Apakah aku dapat mengambil tiga
atau empat orang anak-anak muda Tanah Perdikan Kiai?"
Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam. Maksud Gandar sudah
jelas. Bahkan iapun pernah berpikir untuk berbuat demikian.
Sementara itu perwira Pajang yang ikut berbincang itupun
berkata, "Tentu akan memberikan banyak keuntungan. Jika kau
minta pendapatku, maka aku akan menyatakan dukunganku
sepenuhnya. Tetapi itu. menurut kebutuhan prajurit Pajang.
Kemudian bagaimana pertimbangan para ,pemimpin Tanah
Perdikan bahwa kita harus mengadu anak-anak muda dari satu
lingkungan." "Tidak" jawab Gandar "kita tidak akan mengadu mereka,
karena yang akan aku bawa hanya ampat atau lima orang. Yang
penting bagi kami adalah pengaruh kehadirannya agar anak-anak
muda yang beradaa dilingkungan orang-orang Jipang itu sedikit
terbuka hatinya. Jika kehadiran anak-anak muda itu berhasil
membuka hati mereka disamping usaha yang telah dilakukan
oleh anak muda yang telah menyakiti dirinya sendiri, maka
agaknya kemajuan akan dengan lebih cepat diperoleh."
Kiai Soka anengangguk-angguk. Katanya, "Kau boleh
mencobanya Gandar. Tetapi. segala sesuatunya kau dapat
membicarakannya dengan Kiai Badra dan Iswari. Jika mereka
72 SH. Mintardja sependapat, maka yang kau bawa harus anak-anak muda yang
terbaik, agar kemungkinan pahit yang dapat terjadi atas mereka
dipeperangan dapat diperkecil sekecil-kocilnya."
Gandar mengangguk-angguk. Katanya "Jika demikian, aku
akan segera berangkat."
"Hati-hatilah" berkata Kiai Soka "kau akan melalui daerah
yang membingungkan. Mungkin kau akan bertemu dengan
peronda dari Pajang, tetapi mungkin kau akan berpapasan
dengan peronda dari Jipang."
Gandar mengangguk. Jawabnya "Aku akan berusahaa untuk
menghindarkan diri dari mereka."
"Terlebih-lebih lagi pada saat kau, kembali kemari." berkata
Kiai Soka. Gandar mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya Kiai. Aku;
mohon doa. restu." "Aku akan berdoa. Apalagi kita yakin bahwa yang kita
lakukan, semata-mata untuk kebaikan satu lingkungan yang luas.
Tanah Perdikan Sembojan. Semoga langkah-langkah kita selalu
mendapat perlindungan Yang Maha Kasih sehingga kita akan
dapat menjadi lantaran keselamatan lahir batin orang-orang
Tanah Perdikan Sembojan itu." berkata Kiai Soka.
Atas persetujuan para perwira Pajang, maka Gandarpun telah
menempuh perjalanan kembali ke Tanah Perdikan Sembojan.
Agar perjalanannya tidak diganggu oleh para pra-urit Pajang
yang tidak mengenalnya, maka Gandar telah mendapat satu
tanda yang memberikan isyarat, bahwa pembawa tanda itu
adalah mereka yang membantu para prajurit Pajang. Pertanda itu
adalah, sebuah lingkaran besi sebesar buah jengkol dengan
pahatan gambar lingkaran pula bersusun dua. Disamping itu ia
harus selalu ingat pula kalimat sandi bagi para prajurit Pajang
yang berlaku untuk sepekan. Namun perjalanan Gandar tidak
akan makan waktu sepekan. Bahkan bagi pengamanan
perjalanannya apabila ia melewati waktu yang sepekan, ia 'akan
dapat mempergunakan kalimat sandi khusus yang diperuntukkan
73 SH. Mintardja bagi penghubung yang pergi keluar lingkungan untuk waktu yang
tidak ditentukan, sehingga kalimat sandi yang dikenalnya berlaku
untuk waktu yang lebih panjang.
Demikianlah maka Gandar pun telah meninggalkan Pajang
menuju ke Tanah Perdikan Sembojan, untuk mengambil empat
atau lima anak-anak muda Sembojan yang terpilih.
----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 22. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
74 SH. Mintardja Jilid Ke dua puluh dua Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di,
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 75 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja DALAM pada itu, di pasanggrahan Kangjeng Adipati
Pajaing, Ki Juru Martani berusaha menjelaskan kesimpulan yang
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
didapatkannya setelah ia berbicara beberapa kali dengan Raden
Surtawajaya. "Aku setuju anak itu maju kemedan perang" berkata Ki Juru
Martani. "Anak itu bukan anak kakang" jawab Ki Pemanahan, "Jika. ia
mati, kakang tidak merasa kehilangan."
Ki Juru tertawa. Katanya, "Jangan kau lapisi pertimbangan
nalarmu, dengan perasaanmu yang cengeng seperti itu. Jika aku
menyatakann satu pendapat, maka pendapat itu tentu
berdasarkan atas berbagai macam pertimbangan."
"Sutawijaya masih terlalu kanak-kanak" berkata Ki
Pemanahan. "Kakang," berkata Ki Penjawi., "Sudahlah. Biarlah aku yang
menyatakan diri untuk maju ke medan perang jika sudah kita
ketemukan cara untuk mengatasi kesulitan pasukan pada saat
menyeberangi Bengawan Sore. Aku akan menghadapi Adipati
Jipang apapun yang akan terjadi. Biarlah Kangjeng Adipati
Hadiwijaya duduk tenang di pesanggrahan, karena masih ada
para Senapatinya yang akan mampu mengatasi kemampuan ilmu
Arya Penangsang." "Aku percaya Adi Penjawi," jawab Ki Juru Martani., "Bahwa
kau memiliki keberanian yang cukup untuk menghadapi Arya
Penangsang. Tetapi kau masih belum meyakinkan, bahwa kau
akan dapat mengalahkannya. Apakah kau mempunyai sejenis
pusaka yang akan dapat kau pergunakan untuk menembus ilmu
kebal Arya Penangsang" Atau mungkin lambaran ilmu lain yang
memiliki kemampuan seperti itu?"
"Kakang. Aku, kakang Pemanahan dan kakang Juru adalah
saudara seperguruan Adipati Pajang. Kita mempunyai
2 SH. Mintardja kemampuan yang serupa. Aji Tameng Waja dan bahkan Lembu
Sekilan," jawab Ki Penjawi.
Ki Juru Martani tersenyum. Katanya, "Aku percaya. Kita
sudah saling mengetahui. Tetapi kita pun tidak akan dapat ingkar
jika kita menyebut tataran kemampuan kita atas ilmu yang sama.
Kemampuan kita mengetrapkan ilmu yang sama-sama kita sadap
itu berada pada tataran yang berbeda. Sudah barang tentu,
Adipati Hadiwijaya memiliki kemampuan yang tertinggi. Baru
kemudian kita berturut-turut. Namun aku masih belum yakin
bahwa dengan ilmu itu kita akan mampu mengimbangi tataran
kemampuan Arya Penangsang."
"Jika demikian, kenapa kakang justru menunjuk Sutawijaya
untuk menandingi Arya Penangsang jika kita yang tua-tua ini
masih belum meyakinkan," berkata Ki Pemanahan.
Ki Juru Martani menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya, "Anakmu adalah seorang anak muda yang memiliki
ketangkasan berkuda luar biasa. Berbeda dengan ilmu
kanuragan, maka tidak seorang pun di antara kita yang akan
dapat menyamai ketrampilan naik kuda sebagaimana anakmu
itu." "Sudah aku katakan kakang. Perang berbeda dengan adu
ketangkasan naik kuda," berkata Ki Pemanahan.
"Aku mengerti," jawab Ki Juru., "Tetapi cobalah
menyampaikan hal ini kepada Kangjeng Adipati. Katakan bahwa
kau berdualah yang akan mengatur pasukan untuk melawan
pasukan Jipang tanpa menyeberangi Bengawan Sore. Kalian
berdua merasa cukup kuat untuk menandingi Arya Penangsang,
sehingga Kangjeng Adipati tidak perlu menyingsingkan lengan
bajunya menghadapi Adipati Pajang itu."
"Aku tidak mengerti," berkata Ki Pemanahan., "Jika
demikian, kenapa kita berbicara tentang Sutawijaya. Biarlah aku
dan Adi Penjawi. Kangjeng Adipati tentu lebih percaya, karena
Kangjeng Adipati mengetahui siapa aku dan Adi Penjawi itu."
3 SH. Mintardja "Dalam pembicaraan itu, Sutawijaya harus hadir. Biarlah ia
memaksa diri untuk ikut ke medan. Sekadar ikut ke medan. Itu
saja," berkata Ki Juru.
"Aku tidak mengerti," desis Ki Pemanahan., "Kakang justru
bergurau pada saat kita benar-benar pening menghadapi
kebekuan ini, justru karena Bengawan Sore."
"Aku tidak bermain-main. Cobalah kau katakan hal itu
kepada Kangjeng Adipati," berkata Ki Juru., "Segala sesuatunya
akan kita atur kemudian. Jika kita menghadapi kesulitan, maka
kita akan mengubah cara yang kita tempuh."
Ki Pemanahan masih belum tahu pasti, apakah yang akan
terjadi. Ki Penjawi justru memijit keningnya sambil berkata,
"Kakang membuat kami kebingungan."
"Masih ada beberapa kemungkinan. Kita akan memilih satu
di antaranya. Jika urung, maka kita masih mempunyai
kemungkinan-kemungkinan yang lain," berkata Ki Juru.
Ki Pemanahan dan Ki Penjawi masih saja termangu-mangu.
Meskipun mereka pun yakin, bahwa Ki Juru bukannya tidak
mempunyai perhitungan atau bahkan bermain-main dengan
nyawa anak muda itu. Dalam pada itu, maka Ki Juru pun berkata, "Cobalah
menyampaikannya kepada Kangjeng Adipati bahwa kalian
berdua akan memimpin pasukan untuk melawan Arya
Penangsang. Kemudian suruhlah anakmu memaksa untuk ikut
bersamamu." "Jika Kangjeng Adipati Hadiwijaya mengijinkan" bertanya Ki
Pemanahan. "Kita akan menentukan langkah-langkah berikutnya" jawab
Ki Juru. "Kakang, katakan seluruhnya, apakah sebenarnya yang ingin
kakang lakukan, agar aku tidak menjadi ragu-ragu. Nampaknya
masih ada yang kakang rahasiakan sehingga aku tidak mendapat
4 SH. Mintardja gambaran yang bulat dari apa yang akan terjadi." berkata Ki
Pemanahan. "Kau akan melakukan langkah pertama. Baru langkah itulah
yang akan menentukan langkah-langkah berikutnya. Karena itu,
aku masih belum dapat mengatakannya, apa yang harus kau
lakukan dalam keseluruhan." berkata Ki Juru.
Ki Pemanahan dan Ki Penjawi saling berpandangan. Namun
karena Ki Juru adalah saudara seperguruan mereka yang lebih
tua, serta menurut kebiasaannya, orang itu memang sering
memberikan jalan keluar dalam berbagai macam hambatan yang
pernah terjadi didalam hidup serta didalam mengemban tugas-
tugas mereka, maka akhirnya Ki Pemanahan itu pun berkata,
"Baiklah kakang. Aku akan mencoba menghadap dan
menyampaikan kepada Kangjeng Adipati, apa yang sebaiknya
kita lakukan." Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya, "Bagus. Mudah-
tnudahan yang terjadi memungkinkan kita mengambil langkah-
langkah berikutnya. Namun pada dasarnya, kalian berdua telah
menyatakan keberanian kalian untuk menghadapi Arya
Penangsang. "Kakang Juru benar-benar membingungkan kami" sahut Ki
Penjawi, "kami adalah prajurit. Justru Lurahnya prajurit. Jika
kami tidak mempunyai keberanian untuk menghadapi lawan
yang betapapun tinggi ilmunya, seluruh prajurit Pajang tidak
akan berarti lagi." Ki Juru tersernyum. Katanya, "Aku mengerti adi. Maksudku
adalah jika rencanaku tidak dapat berjalan seperti yang aku
inginkan, maka garis jundurnya adalah kalian berdua benar-
benar akan menghadapi Arya. Penangsang yang garang itu."
"Jangan memperkecil arti perguruan kita sendiri" jawab Ki
Pamanahan, "meskipun kita pantang untuk menyombongkan
diri, tetapi bukankah kita diwajibkan untuk mempunyai
kepercayaan kepada diri sendiri?"
5 SH. Mintardja Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya, "Kau benar.
Sementara, itu kita akan berbuat sesuatu yang mungkin akan
dapat berarti bagi Pajang."
Demikianlah, Ki Pemanahan dan Ki Penjawi telah
memutuskan untuk menghadapi dan mengajukan permohonan
untuk menghadapi Arya. Penangsang langsung. Meskipun
keduanya masih belum pasti, apakah yang akan terjadi, tetapi
mereka pada dasarnya memang mempunyai kepercayaan kepada
saudara tua seperguruan mereka, Ki Juru Martani.
Ketika kesempatan itu datang, maka Ki Pemanahan dan Ki
Penjawi pun telah menyampaikan maksudnya itu kepada
kangjeng Sultan Pajang. "Agaknya lebih baik kami, berdua, mencobanya dahulu
Kangjeng" berkata Ki Pemanahan kemudian, "baru kemudian jika
kami berdua telah gagal, maka terserahlah kepada Kangjeng
Adipati, apakah Kangjeng akan turun sendiri ke medan."
"Bagaimana dengan Bengawan Sore?"bertanya Kangjeng
Adipati. "Kami berdua akan mencoba memecahkannya. Tetapi kami
berdua mohon izin untuk mempergunakan segala kekuatan yang
ada di pesanggrahan ini," mohon Ki Pemanahan.
Kangjeng Adipati merenung sejenak. Lalu katanya, "Kenapa
hanya kalian berdua, sementara itu aku duduk dengan tenang
tanpa berbuat sesuatu di pesanggrahan justru pada saat kalian
mempertaruhkan nyawa kalian" Sebaiknya tidak begitu kakang.
Kita bertiga akan berada di medan. Jika kakangmas Arya
Penangsang ingin berperang tanding, biarlah ia memilih. Kau,
kakang Penjawi atau aku. Kita sama-sama mempunyai bekal dari
sebuah perguruan yang sama. Meskipun mungkin dalam
perkembangannya kita mempunyai jalur yang berbeda, tetapi
pada dasarnya kita mempunyai bekal yang sama. Karena itu,
maka kita masing-masing akan dapat menghadapinya dalam
perang tanding." 6 SH. Mintardja "Tidak Kangjeng Adipati. Kangjeng Adipati adalah seseorang
yang diharapkan untuk dapat menjadi pengikat Tanah ini, agar
kebesaran Demak tidak menjadi surut. Sedangkan kami berdua
adalah Senapati yang memang bertugas di medan perang. Karena
itu, maka biarlah kami berdua menjalankan tugas kami. Jika
kami gagal, segalanya terserah kepada Kangjeng Adipati," sahut
Ki Pemanahan. Kangjeng Adipati merenung sejenak. Namun sambil menarik
nafas dalam-dalam ia berkata, "Aku tidak dapat menolaknya,
kakang Pemanahan. Tetapi aku minta kakang memperhitungkan
segala sesuatunya sebagaimana yang selalu kakang katakan
kepadaku. Misalnya tentang Bengawan Sore."
"Kami akan selalu memperhatikan segalanya yang mungkin
mempengaruhi perang yang akan datang Kangjeng," jawab Ki
Pemanahan. Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Suaranya menjadi
datar., "Berhati-hatilah. Kakangmas Arya Penangsang adalah
seorang yang memiliki ilmu dan kemampuan yang sangat tinggi."
Ki Pemanahan mengangguk hormat. Katanya, "Kami berdua
sudah mempertimbangkan masak-masak, apa yang mungkin
kami lakukan." "Baiklah," berkata Kangjeng Adipati., "Segala sesuatunya
terserah kepada Ki Pemanahan. Tetapi setiap langkah, aku minta
dihubungi. Beberapa orang penghubung khusus aku minta selalu
memberikan gambaran tentang perang yang akan terjadi. Karena
mungkin aku tidak menunggu keadaan menjadi terlambat. Aku
dapat saja turun ke medan setiap saat."
"Kangjeng jangan gelisah," berkata Ki Pemanahan., "Jika
kami berdua sudah tidak ada lagi, terserahlah. Tetapi kami
mohon Kangjeng Adipati percaya sepenuhnya kepada kami
berdua." "Kakang," berkata Kangjeng Adipati., "Bukan aku tidak
percaya. Tetapi banyak kemungkinan dapat terjadi. Jika aku
anggap perlu untuk turun ke medan, maka tidak seorang pun
7 SH. Mintardja yang dapat mencegah aku. Apalagi jika keadaan prajurit Pajang
menjadi parah menghadapi prajurit Jipang, maka kehadiranku
akan sangat berpengaruh. Karena jika aku turun ke medan berarti
bukan aku sendiri. Tetapi pasukan pengawal khusus itu pun akan
beserta aku pula memasuki medan pertempuran."
Ki Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Memang tidak
ada seorang pun yang berhak mencegah jika hal itu memang
sudah dikehendaki oleh Kangjeng Sultan. Namun Ki Pemanahan
masih berharap bahwa dengan rencana yang akan disusun
bersama Ki Juru, ia dan Ki Penjawi akan dapat menyelesaikan
persoalan antara Pajang dan Jipang.
Namun dalam pada itu, sebagaimana dipesankan kepada
Sutawijaya yang bergelar Ngabei Loring Pasar sebelumnya, maka
tiba-tiba saja ia pun berkata, "Ampun ayahanda Adipati. Hamba
mohon, agar hamba diperkenankan ikut dalam pertempuran itu
bersama ayah Pemanahan dan paman Penjawi."
Adipati Pajang mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian tersenyum sambil berkata, "Jangan nakal Sutawijaya.
Kau tinggal bersamaku di pesanggrahan. Besok, jika datang
waktunya, maka kita akan pergi bersama-sama."
"Ayahanda, hamba sudah cukup dewasa. Hamba sudah
waktunya untuk turun ke medan. Apalagi akan berada di medan
pula ayah Pemanahan dan paman Penjawi," desak Sutawijaya.
"Tunggulah jika saat itu datang," jawab Adipati Hadiwijaya.
"Saat itu sudah datang" berkata Suaawijaya pula "hamba
merasa tidak akan tenang berada, di pasanggrahan, sementaraa
itu perang terjadi di pinggir Bengawan Sore." '
"Akulah yang harus merasa demikian" sahut Kangjeng
Adipati "karena. itu, tinggallah bersamaku. Pada saatnya kita
akan pergi bersama-sama seperti, yang sudah aku katakan."
"Hamba mahon ampun ayahanda. Hamba ingin pergi
bersama ayah Pemanahan dan paman Penjawi. Hamba ingin
8 SH. Mintardja menunjukkan kepada Pajang, bahwa. kehadiran hamba
mempunyai arti bagi Pajang."
"Aku mengerti Sutawijaya" jawab Kangjeng Adipati "aku
memang berharap bahwa kau menyadari kehadiranmu bagi
Pajang. Tetapi kau tidak akan dapat melakukan sesuatu diluar
kemampuanmu. Kau memang harus menunjukkan baktimu bagi
tanah kelahiran. Bukankah setiap kali kau mendengar nasehat
dan petunjukku tentang hal itu.. Namun kau tidak boleh
melupakan kenyataan. Kau dapat berbuat sesuatu dimedan
perang. Tetapi setelah kakang Pemanahan dan kakang Penjawi,
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau aku sendiri kelak menyingkirkan kakangmas Arya
Penangsang. Kau dapat menghadapi para Senapatinya, sekaligus
untuk menilai kemampuan ilmumu."
Tetapi Raden Sutawijaya menjawab, "Ayahanda. Satu
keinginan telah mendesak dihati hamba tanpa dapat dikekang. Hamba ingin turun
ke medan perang. Bukankah
ayahanda mengajarkan kepada
hamba, bahwa hidup dan mati
itu bukan milik hamba sendiri"
Karena itu ayahanda, perkenankanlah hamba maju
ke medan perang dengan bekal
yang ada didalam diri hamba
serta pasrah bahwa Yang Maha
Kasih akan melindungi hamba
serta seluruh pasukan Pajang.
Meskipun segala.nya. harus
disertai dengan usaha dan perjuangan yang tidak. mengenal
surut" Kangjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam. Agaknya.
Sutawijaya tidak dapat dicegah lagi. Bahkan Kangjeng Adipati
9 SH. Mintardja telah disentuh oleh perasaan bangga atas anak angkatnya
meskipun ia masih juga dibayangi oleh kecemasan.
Namun ketika ia melihat Ki Pemanahan maka ia pun
kemudian bertanya "Bagaimana menurut pendapatmu kakang
Pemanahan. Satawijaya telah aku ambil sebagai anakku. Aku
mengasihinya seperti anakku sendiri. Tetapi bagaimanapun juga
ia adalah anakmu. Karena itu aku memerlukan
pertimbanganmu." Ki Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia-pun menjawab, "Bagi hamba Kangjeng, angger
Sutawijaya agaknya ingin menunjukkan bahwa ia sudah mulaj
menginjak usia dewasanya. Meakipun demikian segala
sesuatunya terserah kepada Kangjeng Adipati."
Adipati Pajang itu merenung sejenak. Namun kemudian
katanya "Baiklah kakang. Kakang sendiri akan turun ke medan.
Karena itu aku titipkan Sutawijaya kepada kakang. Disamping
itu, akui minta sekali lagi, agar aku. selalu dihubungi untuk
mendapatkan gambaran apa yang terjadi di medan. Jika perlu,
perintahkan panghubung untuk memberi isyarat agar aku. turun
sendiri membantu kakang pemanahan dan kakadg Penjawi.
Apalagi Sutawijaya akan ikut bersama kakang berdua."
Ki Pemanahan menunduk hormat sambil menjawab "Ampun
Kangjeng Adipati. Hamba menyadari bahwa hamba telah
mendapat beban yang berat. Selain hamba harus menghadapi
Arya Penangsang, hamba. harus melindungi angger Sutawi}aya.
Tetapi hamba tidak sendiri. Hamba turun ke medan bersama adi
Penjawi." Kangjeng Adipati mengangguk-angeuk. Lalu katanya kepada
Sutawijaya, "Baiklah ngger. Jika hatimu telah bulat. Tetapi ingat
bahwa kau adalah orang baru di peperangan. Karena itu, kau
harus menurut segala perintah ayah dan pamanmu. Dalam hiruk
pikuknya pertempuran, jika ayah dan pamanmu tidak dapat
mengawasimu karena mereka sendiri terlibat didalam
pertempuran, maka kau harus tunduk kepada perintah Senapati
10 SH. Mintardja yang memimpinmu. Ingat, kau bukan Panglima di peperangan
itu. Kau bukan lagi anakku dan mempunyai pengaruh tertentu di
medan. Tetapi segala sesuatu berada sepenuhnya di tangan
Panglima, serta Senapati-senapati yang melakukan wewenang
atas perintahnya." Sutawijaya menengadahkan wajahnya. Nampak sorot
matanya menjadi cerah. Dengan nada tinggi ia berkata, "Jadi,
ayahanda memperkenankan hamba, ikut bersama ayah dan
paman?" "Kau tidak bertamasya bersama ayah dan pamanmu. Tetapi
kau maju perang dalam susunan barisan tertentu. Ingat ini,
Sutawijaya." pesan ayahandanya pala.
"Hamba ayahanda. Hamba mengucapkan terima kasih atas
perkenan itu." jawab Sutawijaya.
Kangjeng Adipati pun kemudian berkata kepada Ki.
Pemanahan "Segala sesuatunya terserah kepada kakang berdua."
"Baiklah Kangjeng" jawab Ki Pemanahan "hamba dan adi
Penjawi akan berusaha sebaik-baiknya. Namun sekali lagi kami
mohon perkenan Kangjeng Adipati, bahwa kakang Juru Mertani
akan menyertai hamba."
"Kakang Juru Martani?" ulang Kangjeng Adipati. "Hamba
Kangjeng" jawab Ki Pemanahan.
Kangjeng Adipati itu pun mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
berterima kasih kepadanya. Aku mengerti, bahwa kakang Juru
Martani adalah seorang yang memiliki ketajaman nalar. Mudah-
mudahan ia akan dapat membantu kita semuanya dalam usaha
,penyelesaian." "Jika Kangjeng tidak berkeberatan, maka perkenankan kami
menghubunginya. Sekaligus kami mahon diri dan mohon doa
restu agar kami dapat menyelesaikan tugas ini sebaik-baiknya"
berkata Ki Pemanahan. "Baiklah. Pergilah dan berjuanglah bagi kejayaan tanah
kelahiran yang sedang dibayangi oleh kabut perpecahan ini.
11 SH. Mintardja Mudah-mudahan kita semuanya. dapat mengatasinya. Jika
perjuangan kami ternyata benar, Tuhan tentu akan menyertai
kita. Tetapi jika tidak, segalanya terserah atas kehendak Nya,
karena .hanya kehendak-Nya sajalah yang akan terjadi." desis
Kangjeng Adipati. Demikianlah mereka pun telah mohon diri. Sutawijaya pun
telah mohon diri pula. Tetapi ketika Sutawijaya itu bergeser beberapa langkah surut
maka Kangjeng Adipati, itu pun telah menahannya sambil
berkata, "Tunggu Sutawijaya. Sudah sepantasnya seseorang yang
pergi kemedan perang itu membawa pusaka bagi sipat
kandelnya." Bukan saja Raden Sutawijaya yang bergelar Raden Ngabehi
Loring Pasar yang tertegun, tetapi juga Ki Pemanaban dan Ki
Peajawi. Sementara itu, Kangjeng Adipati pun berkata, "Sutawijaya. Ke
medan perang harus disertai lambaran berani menghadapi
kemungkinan yang paling pahit sekalipun. Meskipun kau benar,
bahwa hidup dan mati itu memang bukan milik kita. Tetapi kita
perlu berusaha untuk mempertahankan oleh "tunya. Karena itu,
agar aku menjadi lebih tenang melepaskan kepergianmu ke
medan, maka aku ingin memberimu senjata yang mungkin akan
dapat kau pergunakan untuk melindungi dirimu sendiri,
meskipun seandainya tanpa disengaja kau bertemu langsung
dengan pamanmu, Arya Penangsang."
Sutawijaya. menjadi berdebar-debar. Sementara itu Kangjeng
Adipati telah berdiri sambil berkata pula "Tunggulah."
Raden Sutawujaya yang telah bergeser dari tempatnya itu pun
telah duduk kembali. Demikian pula Ki Pemanahan dan Ki
Penjawi Mere;kaa menunggu dengan jantung yang berdebar-
debar. Pusaka apakah yang akan diberikan kepada Raden
Sutawijaya. Betapa terkejut Ki Pemanahan dan Ki Penjawi melitiat
Kangjeng Adipati itu ketika keluar dari ruang penympanan
12 SH. Mintardja Pusaka di Pasanggrahan itu depgan membawa sepucuk tombak,
Kangjeng Kiai Pleret. Ki Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Ternyata kasih
Kangjeng Adipati kepada anaknya yang diambilnya anak angkat
itu benar-benar merasuk sampai ketulang sungsum. Kangjeng
Kiai Pleret adalah pusaka tertinggi yang dimiliki oleh Kangjeng
Adipati disamping kerisnya bersama Kiai Crubuk, yang tidak
pernah terpisah dari tubuhnya. Ternyata bahwa Kangjeng Kiai
Pleret itulah yang akan menjadi pusaka sipat kandel Sutawijaya.
Kangjeng Adipati itu pun kemudian duduk pula. kembali
sambil berdesis, "Sutawijaya.
Setiap orang di Pajang dan
bahkan Demak mengenali pusaka ini. Aku ingin memberikan kepadamu sebagai
bekal. Mudah-mudahan pusaka
ini dapat menjadi lantaran
keselamatanmu, bahkan seandianya kau bertemu langsung dengan Adipati Jipang
diluar perhitungan, karena di
peperangan itu banyak kemungkinan yang dapat terjadi. Sutawijaya justru bagaikan
membeku. Namun jantungnyalah yang serasa melonjak. Ia tidak
menduga sama sekali bahwa ayahanda angkatnya akan
nnemberikan bekal yang paling berharga disamping bekal
ilmunya. "Kemarilah Sutawijaya," panggil Kangjeng Adipati.
Sutawijaya itu pun kemudian mendekat sambili berjalan
jongkok. Dengan nada yang penuh dengan ucapan terima kasih,
Sutawijaya menerima pusaka yang sangat berharga baginya itu,
13 SH. Mintardja apalagi jika ia kelak memasuki medan perang melawan pasukan
Jipang. Hampir tidak dapat keluar dari kerongkongannya ketika ia
kemudian mengucapkan, "Terima kasih ayahanda."
Kangjeng Adipati menepuk pundaknya sambil berkata,
"Berhati-hatilah. Tombak ini adalah tombak pusaka terbesar yang
aku miliki. Pergunakanlah sebagaimana anggapanmu atas dirimu
sendiri, bahwa kau telah dewasa. Seorang yang dewasa akan
memilih keadaan yang paling tepat untuk mempergunakan
sebuah pusaka besar sebagaimana Kangjeng Kiai Pleret. Kau
tidak dapat mempergunakannya untuk sekadar bersombong diri,
apalagi untuk kepentingan yang bertentangan dengan watak
seorang kesatria." "Hamba ayahanda," jawab Sutawijaya. Sebenarnya masih
banyak yang ingin dikatakannya. Tetapi kata-katanya seakan-
akan telah tersangkut dikerongkongan.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Pemanahan, Ki
Penjawi dan Sutawijaya sekali lagi mohon diri meninggalkan
penghadapan di pesanggrahan itu. Dengan restu Kangjeng
Adipati mereka harus mempersiapkan diri, membuka medan
yang menentukan menghadapi pasukan Jipang di seberang
Bengawan Sore. Ketika mereka sampai di pondok dilingkungan pesanggrahan,
maka mereka pun segera ditemui oleh Ki Juru Martani.
Dengan singkat Ki Pemanahan telah menceriterakan apa yang
terjadi pada saat mereka menghadap Kangjeng Adipati.
"Angger Sutawijaya telah diperkenankan untuk ikut ke
medan. Nah, apa yang harus kami lakukan bagi langkah
berikutnya?" bertanya Ki Pemanahan.
Ki Juru mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam ia
bertanya, "Apakah Kangjeng Adipati tidak berpesan apapun
kepada Sutawijaya ketika Kangjeng mengijinkannya pergi
bersamamu, adi?" 14 SH. Mintardja "Ya. Kangjeng Adipati telah berpesan serta memberikan
petunjuk-petunjuk kepada angger Sutawijaya," jawab Ki
Pemanahan. "Dimana Sutawijaya sekarang?" bertanya Ki Juru.
"Anak itu berada di dalam bilikku. Ia sedang mempersiapkan
dirinya lahir dan batinnya," jawab Ki Pemanahan.
Ki Juru mengangguk-angguk. Namun ia pun bertanya,
"Apakah Kangjeng Adipati tidak memberikan lebih dari pesan
dan nasihat-nasihat?"
Ki Pemanahan dan Ki Penjawi mengerutkan keningnya.
Namun tiba-tiba Ki Pemanahan berkata sambil mengangguk-
angguk, "Aku baru mengerti kakang. Apakah kau menyadari adi
Penjawi?" Ki Penjawi pun mengangguk-angguk pula. Jawabnya, "Ya.
Ternyata kakang Juru Martani mempunyai perhitungan yang
jauh. Jadi kakang Juru sudah melihat kemungkinan bahwa
Kangjeng Adipati akan memberikan Kangjeng Kiai Pleret kepada
angger Sutawijaya?" Ki Juru Martani tersenyum. Katanya, "Pada langkah pertama
perhitunganku tepat. Tanpa angger Sutawijaya, Kangjeng Adipati
tidak akan memberikan pusaka terbesarnya itu. Sementara itu,
setiap orang mengetahui, bahwa Arya Penangsang adalah orang
yang memiliki ilmu yang tinggi. Tanpa pusaka bernilai tinggi
pula, maka tidak seorang pun akan mampu mengalahkannya."
"Baiklah kakang," berkata Ki Pemanahan., "Tetapi apakah
mungkin aku atau adi Penjawi lah yang kemudian membawa
tombak pusaka terbesar itu di medan. Jika demikian, apabila
terjadi sesuatu dengan Sutawijaya, alangkah murkanya Kangjeng
Adipati, justru karena pusaka yang diberikan kepada anak
angkatnya itu berada ditangan orang lain."
"Jangan kau minta pusaka itu," jawab Ki Juru., "Juga jangan
adi Penjawi. Biarkan Sutawijaya sendiri yang membawanya ke
medan. Karena seperti yang kau katakan, jika terjadi sesuatu
15 SH. Mintardja dengan anak itu sementara pusaka itu berada ditangan orang
lain, maka orang yang membawa pusaka itu tentu akan
digantungnya." "Jadi menurut kakang, Sutawijaya benar-benar harus
menghadapi Kangjeng Adipati Jipang?" bertanya Ki Pemanahan.
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya dengan
nada dalam, "Agaknya yang terjadi harus demikian."
"Kakang tidak bergurau?"
bertanya Ki Penjawi. Ki Juru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
katanya, "Baiklah, segala
sesuatunya kita rencanakan
dengan cermat. Kita akan membicarakannya jika kalian
setuju. Jika tidak kita akan
mencari upaya lain."
Ki Pemanahan dan Ki Penjawi saling berpandangan
sejenak. Sementara itu Ki Juru
Martani berkata selanjutnya,
"Tetapi satu hal yang perlu
diingat. Kalian sudah menyanggupi untuk turun ke
medan lebih dahulu sebelum Kangjeng Adipati itu sendiri.
Sebagai Panglima yang dipercaya, kalian hanya mempunyai dua
pilihan. Berhasil membunuh Arya Penangsang atau tidak keluar
lagi dari medan jika kalian gagal."
"Kami menyadari," jawab Ki Pemanahan., "Dalam
pertempuran ini, maka taruhannya adalah nyawa kami. Seperti
yang kakang katakan. Hanya ada dua pilihan. Membunuh atau
dibunuh oleh Arya Penangsang. Kemudian keadaan pasukan yang
seimbang akan ditentukan oleh keadaan itu. Jika kami yang
dibunuh, maka pasukan Pajang akan dikoyak oleh pasukan
16 SH. Mintardja Jipang sampai saatnya Kangjeng Adipati sendiri turun ke medan.
Tetapi jika Arya Penangsang terbunuh, maka pasukan Jipanglah
yang akan pecah bercerai berai."
"Jangan lengah," Ki Juru mengingatkan., "Masih ada Patih
Mantahun. Bahkan mungkin pada benturan pertama, yang akan
kalian jumpai di medan adalah Patih Mantahun. Baru kemudian
Arya Penangsang akan menyusul."
"Kami akan menurut saja petunjuk kakang Juru jika mungkin
kami lakukan menurut pertimbangan keprajuritan," berkata Ki
Pemanahan kemudian. "Baiklah," berkata Ki Juru., "Besok kita akan melihat-lihat
tepian Bengawan Sore sekaligus merencanakan, apa yang
sebaiknya kita lakukan kemudian."
Demikianlah, sebagaimana dikatakan oleh Ki Juru, dihari
berikutnya, mereka bertiga telah berada di tepian Bengawan Sore.
Mereka tidak hadir ditepian dengan sepasukan prajurit yang
lengkap untuk siap menyeberangi Bengawan. Tetapi mereka
sekadar melihat-lihat, untuk menentukan langkah-langkah yang
paling baik menghadapi pasukan Jipang diseberang.
Ki Pemanahan dan Ki Penjawi hanya membawa sekelompok
kecil pengawal, sementara para prajurit yang memang bertugas
ditepian untuk mengawasi gerak-gerik pasukan Jipang telah
menyambut kehadiran mereka.
Untuk beberapa saat mereka bertiga hanya mondar-mandir
ditepian. Mereka kadang-kadang berdiri sambil mengamati
keadaan diseberang. Dari tempat mereka, ketiga orang itu
melihat kesiagaan para pengawas dari Jipang ditepian sebelah.
"Kita tidak akan dapat menyeberangi Bengawan ini tanpa
diketahui oleh prajurit Jipang ," berkata Ki Pemanahan.
Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya, "Kita harus berusaha
memancing mereka untuk menyeberang."
17 SH. Mintardja "Mereka mengerti sebagaimana kita mengerti, bahwa
menyeberangi Bengawan mengandung bahaya yang bahkan
dapat menentukan," jawab Ki Pemanahan.
Ki Juru pun menyahut, "Aku mengerti."
Ki Pemanahan termangu-mangu. Namun ia pun tidak
mengatakan sesuatu lagi. Ki Pemanahan dan Ki Penjawi pun kemudian mengikuti saja
langkah-langkah Ki Juru Martani. Sekali-kali Ki Juru telah
menunjuk ke arah para prajurit Jipang. Kemudian berjalan lagi
hilir mudik. Bahkan kemudian Ki Juru pun telah mengambil batu
dan melontarkannya ketengah-tengah Bengawan.,
"Agaknya tidak terlalu dalam di musim kering begini,"
berkata Ki Juru., "Meskipun demikian, aku sependapat bahwa
kita tidak akan menyerang."
Ki Pemanahan dan Ki Penjawi mengangguk-angguk. Kata-
kata itu sudah diucapkannya beberapa kali.
Namun dalam pada itu, Ki Juru pun tertegun ketika ia
melihat seseorang yang sedang menyabit rumput. Hanya seorang
diri, sementara itu, para pekatik dari Pajang agaknya tidak akan
menyabit rumput ditempat itu, karena disebelah pesanggrahan
terdapat lingkungan yang rumputnya subur dan terdapat
disebuah ara-ara yang cukup luas, disambung dengan padang
perdu sebelum mencapai tepi sebuah hutan kecil yang mulai
dibuka untuk tanah persawahan. Namun agaknya usaha tu
terhenti ketika perang mulai membakar Demak.
"Aku tertarik melihat orang menyabit rumput itu," berkata Ki
Juru., "Tentu bukan seorang petani kebanyakan menilik dari
pakaiannya. Keranjangnya pun sebuah keranjang yang lebih baik
dari keranjang orang kebanyakan."
"Apa yang menarik pada orang itu?" bertanya Ki Penjawi.
Ki Juru hanya tersenyum saja. Namun ia pun telah mendekati
orang itu dan kemudian bertanya, "Ki Sanak. Untuk apa Ki Sanak
menyabit rumput?" 18 SH. Mintardja Orang itu berpaling ke arah Ki Juru sambil mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia pun menjawab, "Sudah tentu
untuk memberi makan kuda."
"O," Ki Juru mengangguk-angguk., "Jadi kau tidak menyabit
rumput untuk seekor kambing misalnya."
"Untuk memberi makan kambing aku tidak perlu menyabit
rumput disini," jawab orang itu.
"Itulah yang ingin aku tanyakan," berkata Ki Juru., "Kenapa
Ki Sanak menyabit rumput disini" Apakah Ki Sanak anak orang
Pajang atau orang Jipang?"
"Aku bukan orang Pajang," jawab orang itu tanpa merasa
takut. "Jadi kau orang Jipang?" bertanya Ki Juru.
"Ya. Aku orang Jipang. Aku menyabit rumput khusus bagi
kuda Kangjeng Adipati. Hanya rumput ditempat inilah yang
sangat digemari oleh kuda yang disebut Gagak Rimang itu,"
orang itu justru berbangga.
"Kenapa kau tidak merasa takut, bahwa kau akan ditangkap
oleh para prajurit Pajang" Bukankah kau sadari, bahwa Pajang
dan Jipang kini sedang berperang?" bertanya Ki Juru
"Aku mengerti," jawab orang itu., "Tetapi bukankah orang-
orang Pajang bukannya pengecut" Jika aku seorang prajruit,
mungkin aku akan ditangkap. Tetapi aku anya seorang pekatik.
Buat apa orang-orang Pajang menangkapku" Selain tidak ada
artinya, maka mereka pun tidak akan melakukannya
sebagaimana dikatakan oleh para prajurit Jipang, bahwa prajurit
Pajang tidak akan merendahkan dirinya menangkap seorang
pekatik." Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya, "Benar Ki Sanak.
Kami memang tidak akan mengganggu seorang pekatik. Silakan.
Disini rumputnya memang subur dan khusus."
19 SH. Mintardja Pekatik itu mengangguk-angguk. Tetapi tangannya sama
sekali tidak berhenti menyabit rumput.
Ketika Ki Juru kemudian meninggalkan tempat itu, maka ia
pun berdesis, "Nampaknya diseberang sungai tanahnya tidak
sesubur di daerah ini, sehingga khusus bagi kuda Arya
Penangsang yang bernama Gagak Rimang itu telah dicarikan
rumput secara khusus pula."
"Apa orang itu bukan
seorang petugas sandi?"
bertanya Ki Pemanahan. "Memang mungkin. Tetapi
dari tempatnya menyabit rumput, ia tidak akan mendapat keterangan apapun
juga tentang prajurit Pajang di
pesanggrahan," jawab Ki Juru.
"Tetapi ia dapat berhubungan dengan seseorang yang mungkin berhasil menyusupkan dirinya
ke dalam lingkungan prajurit
Pajang," jawab Ki Pemanahan.
"Memang mungkin. Tetapi
dari tempatnya menyabit rumput, ia tidak akan mendapat
keterangan apapun juga tentang prajurit Pajang di
pesanggrahan." jawab Ki Juru.
"Tetapi ia dapat berhubungan dengan seseorang yang
mungkin berhasil menyusupkan dirinya kedalam lingkungan
prajurit Pajang." jawab Ki Pemanahan.
"Kau. dapat menunjuk satu atau dua orang kepercayaanmu
untuk mengawasinya dari kejauhan. Tetapi jangan
ditakuttakutinya, karena mungkin kita memerlukannya" berkata
Ki Juru. 20 SH. Mintardja "Untuk apa ?" bertanya Ki Penjawi, "apakah mungkin pada
suatu saat kita akan menangkapnya dan memaksanya
memberikan keterangan tentang pasukan Jipang" Apakah ia
memiliki pengertian barang sedikitpun tentang keadaan para
prajurit Jipang" Agaknya yang diketahuinya haniyalah simpanan
rumgut Arya Penangsang bagi kudanya yang bersama Gagak
Rimang itu." "Tentu tidak adi Penjawi. Kita tidak akan mengharapkan
keterangan apapun dari padanya. Tetapi mungkin kita
memerlukannya untuk kepentingan lain. Karena itu, sejak
sekarang kita harus memerintahkan seorang yang benar-benar
dapat dipercaya untuk bukan saja mengawasinya, jika mungkin ia
berhubungan dengan seseorang dalam tugas sandi, tetapi orang
yang mengawasinya itu harus tahu benar, setiap hari apa pekatik
itu menyeberangi Bengawan Sore dan menyabit rumput ditempat
itu." berkata Ki Juru.
"Kakang terlalu berahasia terhadap kami" desis Ki
Pemanahan, "kami adalah :prajurit-prajurit Pajang, justru yang
telah menyatakan diri bersedia menyelesaikan pasukan Jipang
bahkan dengan Arya Penangsangnya sekaligus. Sudah tentu kami
tidak akan berbuat bodoh untuk membocorkan rahasia yang
mungkin akan sangat penting artinya, jika kami tidak ingin leher
kamilah yang akan ditebas dengan keris pusaka Arya Penangsang
yang dinamainya Kangjeng Kiai Setan Kober itu."
"Bukan aku berahasia adi" berkata KI Juru, "rencana yang
aku susun belum matang. Itulah sebabnya, aku masih ingin
mandapatkan beberapa keterangan yang akan dapat
mematangkan rencanaku. Baru kemudian kita akan melangkah"
Ki Pemanahan dan Ki Penjawi tidak mandesaknya lagi. Tetapi
Ki Penjawi kemudian berkata, "Tetapi jangan menunggu
Kangjeng Adipati Pajang kehilangan kesabaran. Betapa malu kita
semua, jika tiba-tiba saja Kangjeng Adipati yang tidak sabar telah
langsung turun ke medan dan memimpin prajurit Pajang
menyeberangi Bengawan tanpa dapat dicegah lagi."
21 SH. Mintardja Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku minta
waktu" sepekan. Kalian lebih baik berterus terang, bahwa kalian
akan melakukannya satu dua hari setelah lewat sepekan,
sementara ini kalian sedang mempersiapkan segala sesuatunya
serta memperhitungkan hari yang paling baik untuk berangkat
menunaikan kerja yang besar ini. Aku kira Kangjeng Adiipati
dapat mengerti dan tidak mengambil langkah-langkah sendiri.
Sementara itu, kalian berdua benar-benar harus mulai
mempersiapkan prajurit Pajang sebaik-baikmya. Jika Kangjeng
Adipati melihat kalian mulai bergerak, maka ia tidak akan gelisah
menunggu." Ki Pemanahan dan Ki Penjawi mengangguk-angguk. Namun
mereka sependapat dengan Ki Juru, bahwa mereka harus mulai
berbuat sesuatu, disamping berterus terang, bahwa langkah-
langkah yang pasti baru dapat diambil setelah lewat sepekan.
Dengan demikian, maka Ki Pemanahan dan Ki Penjawi pun
telah mulai memanggil para pemim:pin kelampok prajurit Pajang
yang berada di pasanggrahan. Sedikit demi sedikit Ki Pemanahan
telah memberitahukan kepada mereka, agar mereka bersiap-siap
untuk menghadapi perang yang besar yang mungkin. akan segera
meledak. "Kami hampir kehilangan kesabaran" berkata seorang
Senapati "jika perintah itu jatuh, maka kamipun siap untuk
melintasi Bengawan Sore dan memecahkan pertahanan orang.
orang Jipang." "Segala sesuatunya sedang kami rencanakan dengan cermat"
berkata Ki Pemanahan, "yang penting bagi kalian, dalam waktu
sepekan ini, cobalah membiasakan diri kembali dengan senjata-
senjata. kalian. Kalian harus meningkatkan latihan-latihan baik
secara pribadi maupun dalam kelompok, bahkan gelar perang.
Mungkin selama ini kalian telah mulai dibayangi oleh kejemuan
sehingga kalian menjadi segan berlatih untuk mempergunakan
senjata kalian masing-masing. Nah, agaknya sekarang sudah tiba
waktunya. Jika selama ini kita sempat tidur nyenyak, maka
sekarang kita harus segera bangun."
22 SH. Mintardja Dengan perintah itu, maka para prajurit Pajang di
pasangngrahan itu pun mulai bangkit. Mereka kemudian telah
mengadakan laiihan-latihan yang berat. Namun mereka tidak
boleh kehabisan nafas, sehingga jika datang saatnya mereka
harus benar-benar bertempur, mereka sudah kehabisan tenaga
sama sekali. Yang ditingkatkan kemudian bukan saja kemampuan
memegang senjata, tetapi juga persediaan dan perlengkapan
keprajuritan bagi pasukan Pajang itu.
Sebagaimana disadari oleh para pemimpin Pajang, maka
persiapan yang d.ilakukannya itu, tidak lepas dari pengamatan
para petugas sandi Jipang. Karena itu, maka Jipang pun telah
bersiap-siap pula menghadapi segala kemungkinan. Bahkan
sebagaimana pernah diperintahkan oleh Patih Mantahun, maka
gerakan pasukan Jipang yang tersebar pun harus ditingkatkan.
Kepada para penghubung Patih Mantahun berkata, "Jangan
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beri kesempatan para Senapati Pajang memusatkan perhatiannya
kepada kekuatannya di pasanggrahan. Jika keadaan pasukannya
yang tersebar mendapat tekanan yang berat, maka para Senapati
di Pasanggrahan pun tentu akan berpikir tentang mereka. Bahkan
mungkin mereka harus mengirimkan pasukan untuk
membantunya." Perintah itu pun segera tersebar. Tetapi agaknya sulit bagi
para prajurit Jipang untuk melakukan perintah itu, karena
kekuatan mereka tidak lebih besar dari kekuatan pasukan Pajang
yang juga tersebar. Yang dapat dilakukan oleh prajurit Jipang hanyalah
meningkatkan gangguan-gangguan mereka atas pasukan Pajang.
Sementara mereka yang berada di sekitar Pajang, telah
meningkatkan usaha mereka menakut-nakuti orang-orang Pajang
dan menyebarkan keterangan yang dapat membuat orang-orang
Pajang gelisah, karena menurut mereka pasukan Pajang telah
dipukul hancur dimana mana.
23 SH. Mintardja Dengan susah payah para prajurit Pajang telah memerangi
usaha itu. Berbagai cara sudah ditempuh, sehingga dengan
demikian maka perang yang terjadi tidak saja dengan ketajaman
ujung senjata, tetapi juga dengan ketajaman ujung lidah.
Dalam pada itu, di daerah sebelah Timur Pajang,
pertempuran-pertempuran pun semakin sering terjadi, meskipun
tidak merupakan perang yang cukup besar untuk
memperebutkan kedudukan. Pasukan Jipang yang di antaranya
terdiri, dari anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan berusaha
untuk meningkatkan gangguan mereka sebagaimana di
kehendaki oleh Ki Patih Mantahun. Namun kekuatan mereka
sangat terbatas, sehingga setiap kali mereka harus membuat
perhitungan-perhitungan yang cermat.
*** Sementara itu. Gandar yang pergi ke Tanah Perdikan
Sembojan telah menempuh perjalanan kembali ke Pajang
bersama dengan sepuluh orang anak muda Tanah Perdikan
Sembojan yang memiliki ilmu yang paling baik diantara kawan-
kawan .mereka "Kepergian kalian berbeda dengan kepergian kawan-kawan
kalian yang berada dilingkungan pasukan Jipang" berkata
Gandar, "mereka telah terseret tanpa dapat melawan, yang
bahkan ternyata telah merampas kesadaran pribadi mereka,
bahwa yang mereka lakukan adalah semacam pamberontakan.
Tetapi kalian justru akan mengemban tugas sebaliknya. Kami
bermaksud untuk memberikan kesadaran kembali kepada
kawan-kawan kalian yang telah lupa diri. Jika mereka melihat
kalian, mungkin mereka akan mulai berpikir tentang kedudukan
mereka." Sebenarnya banyak anak-anak muda. yang menyediakan diri.
untuk pergi. Tetapi Kiau Badra dan Iswari tidak melepaskan
mereka, karena mereka sangat diperlukan untuk menjaga
ketenangan Tanah Perdikan Sembojan yang mulai tumbuh.
Bahkan sebenarnya jumlah anak-anak muda di Tanah Perdikan
24 SH. Mintardja itu terlalu sedikit. Namun karena setiap laki-laki yang masih
mampu untuk berbuat sesuatu telah merelakan diri mareka
untuk ikut menegakkan Tanah Perdikan itu dengan cara mereka
masing-masing, maka para pemimpin Tanah Perdikan itu tidak
terlalu mencemaskan keadaan. Ternyata bahwa Tanah Perdikan
Sembojan itu tidak terlalu merasa diguncang oleh peperangan
yang terjadi antara Pajang dan Jipang, justru sepeninggal Ki
Wiradana pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan
serta orang-orang yang mempengaruhinya.
Orang-orang Tanah Perdikan itu tidak lagi merasa terlalu
berat dibebani oleh pajak yang tidak mereka ketahui untuk apa.
Beberapa orang dengan bersembumyi telah memperkatakan
pajak pada waktu Ki Wiradana be,rkuasa, bahwa pajak itu telah
dihisap untuk kepentingan pribadi isteri Ki Wiradana dan beaya
bagi para pengawal yang manja, namun yang ternyata telah
menjadi alat untuk memeras dan bahkan kemudian terseret
kedalam pertentangan antara Pajang dan Jipang. Justru berpihak
kepada Jipang. Namun setelah Ki Wiradama dan orang-orang yang
mempengaruhinya tersisih dari Tanah Perdikan, maka pajak pun
telah diatur dan ditertibkan sesuai dengan kemampuan masing-
masing. Sementara itu, kedudukan para pengawal pun mapan
kembali pada tugas-tugas pengawal yang sebagaimana diatur
oleh Ki Gede Sembojan semasa hidupnya. Para Bekel pun telah
menyandang kewajiban mereka tanpa dibayangi oleh para,
pengawal. Tetapi dalam pada itu, dalam keseluruhan., maka rakyat
Sembojan telah berusaha bekerja keras untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup mereka serta ketertiban di Tanah
Perdikannya. Justru pada saat perang antara Pajang dain Jipang
semakin berkecamuk, maka rakyat Sembojan pun menjadi
semakin meningkatkan kerja mereka, karena pada satu saat
perang itu mungkin akan terjadi pula di Tanah Perdikan mereka,
karena mereka pun menduga, bahwa Ki Wiradana dan. orang-
orang yang mempengaruhinya tentu akan kembali. Sementara itu
25 SH. Mintardja anak-anak Sembojan sendiri sebagian justru berdiri di pihak Ki
Wiradana. "Bahkan tidak mustahil bahwa Jipang akan ikut campur. Jika
Jipang menang, maka kita harus berjuang mati-matian untuk
tidak membiarkan Tanah Perdikan ini menjadi landasan serta
sumber bahan makan bagi mereka," berkata Iswari.
"Tetapi tanpa Pajang apabila Pajang kalah, kita bukan apa-
apa," berkata salah seorang Bekel.
"Mungkin Pajang dapat ditaklukkan. Tetapi tentu akan
berjuang terus. Mudah-mudahan kita mendapat teman untuk itu.
Aku yakin bahwa mereka akan berhimpun dan tetap mengadakan
perlawanan terhadap Jipang."
"Jika Jipang kalah?" bertanya seorang Bekel yang lain,
"Apakah berarti bahwa kita sudah tidak mempunyai kerja lagi"
Kita akan dapat tegak sebagaimana masa Ki Gede dahulu?"
"Tidak Ki Bekel," jawab Iswari., "Jika Jipang kalah kita pun
masih dihadapkan pada satu perjuangan yang berat. Pecahan
prajurit Jipang dan kekuatan Kalamerta akan selalu membayangi
kekuasaan di Tanah Perdikan ini. Namun dalam keadaan yang
demikian, ada kemungkinan, baru satu kemungkinan, bahwa
Pajang akan dapat membantu kita."
Para Bekel di Tanah Perdikan Sembojan itupun mengangguk-
angguk. Namun seorang di antara para Bekel itu berkata, "Kita
sudah membuat hubungan yang sangat baik dengan tetangga-
tetangga kita. Hubungan yang seakan-akan terputus untuk
beberapa saat, pada waktu Ki Wiradana masih berkuasa dibawah
bayangan pengaruh istrinya yang muda itu, telah merenggangkan
hubungan kita dengan mereka. Kekuasaan yang mendesak semua
paugeran telah membuat tetangga-tetangga kita lebih baik
membuat jarak karena mereka tidak mau terlibat, kini telah
berpaut kembali. Bahkan anak-anak muda di Kademangan-
kademangan itu pun telah bersiap untuk membantu jika terjadi
sesuatu dengan kesediaan timbal balik."
26 SH. Mintardja Iswari mengangguk-angguk. Katanya, "Beberapa orang di
antara kita telah berada di tengah-tengah mereka untuk
memberikan tuntunan dalam olah kanuragan. Peningkatan
kemampuan mereka, akan sangat berarti bagi kita semuanya."
Para Bekel itu pun mengiakannya. Namun yang terpenting
adalah peringatan Iswari kemudian, "Tetapi segala sesuatunya
tergantung kepada diri kita sendiri. Sikap mereka mungkin akan
dapat berubah. Karena itu, betapa kecilnya kekuatan yang ada di
Tanah Perdikan ini harus digalang sebaik-baiknya."
Sebenarnyalah, bahwa Tanah Perdikan Sembojan tidak
pernah sepi dari usaha peningkatan kemampuan bukan saja
anak-anak mudanya. Tetapi setiap laki-laki yang masih mampu
menggenggam senjata telah ikut serta. Mereka yang memiliki
pengalaman menjadi prajurit dan pengawal di masa mudanya,
telah mengenakan pakaian mereka kembali serta memberikan
tuntunan kepada orang-orang di sekitarnya. Sementara anak-
Kisah Pedang Di Sungai Es 9 Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung Pengelana Rimba Persilatan 6
Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa atas kakeknya. Kecuali
kakeknya sangat diperlukan, maka kakeknya memiliki ilmu yang
tidak ada bandingnya. Ki Randukeling yang melihat Warsi
menundukkan kepalanya dalam-dalam, betapapun jantungnya bergejolak, kemudian berkata, "Aku akan
berada di halaman." Sepeninggal Ki Randukeling
terdengar gemeretak gigi Ki
Rangga Gupita. Namun perwira
Jipang yang ada di ruangan itu
berkata, "Sebaiknya kau
pertimbangkan pesan itu baik-
baik. Ki Randukeling adalah
orang yang memiliki ilmu dan
pengalaman yang sangat luas."
Ki Rangga tidak menyahut.
Tetapi ia pun kemudian meninggalkan ruang itu pula
bersama Warsi. Diluar, keduanya berhenti sejenak. Terdengar Ki Rangga
berkata, "Jika orang menyangka bahwa kita telah berhubungan
tidak saja bagi kepentingan perang ini, tetapi lebih condong
kepada hubungan pribadi, apa salahnya kita akan melakukannya
benar-benar." Warsi mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian
berkata dengan nada lembut, "Apakah sampai sekarang kita tidak
dalam keadaan yang demikian?"
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sementara Warsi pun
berkata, "Aku hanya memerlukan Wiradana sampai wisudanya.
Kemudian aku harus menyingkirkannya. Kematiannya akan
mewariskan kedudukan itu kepada anakku."
40 SH. Mintardja Ki Rangga pun mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-
mudahan segalanya akan cepat selesai. Jipang yang
meningkatkan kegiatan pasukannya dimana-mana akan semakin
cepat menghancurkan pasukan Pajang. Terutama di
pesanggrahan itu sendiri."
Sebenarnya kegiatan pasukan Jipang disemua medan telah
meningkat. Perintah Ki Patih Mantahun ternyata mendapat
tanggapan yang menyala dihati para prajurit Jipang dan
pengawal-pengawal yang dikerahkannya dari beberapa Tanah
Perdikan dan Kademangan. Hampir semua pasukan Jipang yang
tersebar, telah memanfaatkan anak-anak muda dari Tanah
Perdikan dan Kademangan yang berada dibawah pengaruhnya.
Bahkan bagi Tanah Perdikan dan Kademangan yang memang
berada dibawah perintah Jipang, maka pengerahan tenaga anak-
anak muda masih terus dilakukan. Tetapi hal itu tidak dapat
dilakukan oleh pasukan Jipang disisi sebelah Timur Pajang,
karena di Tanah Perdikan Sembojan yang berhasil
dipengaruhinya itu telah terjadi pergolakan tersendiri.
Usaha Jipang untuk menggetarkan pertahanan Pajang
dimana-mana itu nampaknya berpengaruh juga. Keberanian
prajurit Jipang yang bergelora memang telah membuat para
panglima Pajang di daerah pertempuran yang tersebar menjadi
berdebar-debar. Pasukan Pajang di Pajang sendiri, baik disisi
Barat maupun disisi Timur nampaknya tidak banyak mengalami
kesulitan. Bahkan kadang-kadang pasukan Pajang masih sempat
melakukan langkah-langkah pertama dalam benturan kekuatan
antara keduanya. Namun imbangan kekuatan di medan yang lain
sering kali menggelisahkan para perwira Pajang.
Karena itulah, maka Pajang pun telah melakukan hal yang
sama dengan prajurit-prajurit Jipang. Mereka berusaha
mengerahkan anak-anak muda dari lingkungan mereka. Namun
ternyata Jipang telah mengadakan persiapan lebih dahulu.
Sebelum segalanya terjadi, beberapa lingkungan anak-anak muda
telah mendapat latihan-latihan yang mapan. Sementara Pajang
tidak berbuat demikian, sehingga anak-anak muda yang
41 SH. Mintardja dibawanya ke medan, bakalnya tidak sebanyak anak-anak muda
yang berada di lingkungan prajurit Jipang.
Hal itu disadari oleh para pemimpin Pajang. Baik yang ada di
Pajang, maupun yang berada di pesanggrahan ditepi Bengawan
Sore. Karena itu, maka Pajang telah dengan sungguh-sungguh
memperhatikan perkembangan keadaan.
Dalam satu pertemuan antara Kanjeng Adipati Pajang
bersama para panglima pasukannya, maka Kanjeng Adipati itu
pun dengan terbuka telah memberikan keterangan tentang
keadaan pasukan Pajang. "Jika pertentangan ini semakin berkepanjangan, maka
mungkin sekali kitalah yang akan mengalami kesulitan" berkata
Kangjeng Adipati, "meskipun kita masih mempunyai kekuatan
cadangan yang belum kita pergunakan sepenuhnya. Kekuatan
dari Kalinyamat akan dapat membantu kita sebagaimana kita
akan dapat mengerahkan kekuatan dari Demak. Namun semakin
meluasnya pertentangan dan semakin menjalarnya api
peperangan di medan yang lebih merata di Demak ini, akan
semakin menyebarkan penderitaan. Karena itu, maka kita harus
mengambil langkah-langkah yang dapat memotong kemungkinan
itu." Para Panglimanya mengangguk-angguk. Samentara itu Ki
Pemanahan berkata, "Dendam dihati Ratu Kalinyamat pun telah
membakar seluruh hidupnya, sehingga Ratu telah bertapa di
Bukit Damaraja. Jika perang ini tidak segera mendapatkan
penyelasaian dan Arya Penangsang tidak dapat segera dibunuh,
maka keadaan Ratu itu akan menjadi semakin parah."
"Aku mengerti" jawab Adipati Pajang, "aku memikirkan sikap
kakang mbok Ratu. Tetapi landasan perjuangan kita adalah
menegakkan kelangsungan pamerintahan Demak. Meskipun
alasan kakang Adipati Arya Penangsang dapat dimengerti, tetapi
caranya mengguncang ketenangan pada saat ini dengan
melakukan serangan-serangan tersembunyi dan bahkan telah
menimbulkan kematian, sangat aku sesalkan. Desakan keinginan
42 SH. Mintardja pribadinya tidak lagi dapat dikekang dengan pertimbangan
kepentingan yang lebih luas. Jika aku kemudian memegang
kemudi pemerintahan itu, bukan semata-mata karena aku ingin
menjadi seorang Raja yang berkuasa setelah Demak. Tetapi
memang harus ada seseorang yang memegang kendali
pemerintahan apalagi untuk menghadapi Jipang. Mangkatnya
Ayahanda Sultan Demak telah dimanfaatkan oleh kakangmas
Arya Penangsang untuk mengadakan perubahan yang mendasar
pada pemerintahan di atas Tanah ini. Jika hal itu memang
dikehendaki oleh para pemimpin, tetua dan apalagi rakyat
seluruh Demak, maka tidak ada yang berkeberatan untuk
menyerahkannya. Tetapi sebelum hal itu pasti, maka kakangmas
Arya sudah melangkah. Sementara langkahnya sangat menyakiti
hati rakyat di beberapa daerah. Daerah Prawata, Daerah
Kalinyamat dan Pajang serta rakyat di Kota Raja Demak. Dendam
pribadinya karena kemudian ayahanda kakangmas Adipati
Jipang itu telah membakar dasar-dasar pertimbangan nalar bagi
seorang pemimpin yang berkedudukan sebagai Adipati."
Ki Pemanahan ,mengangguk-angguk. Dengan nada dalam KI
Pemanahan berkata, "Penyelesaian pertempuran yang tersebar
dimana-mana itu harus terjadi disini Kangjeng Adipati."
"Ya. Aku, sependapat" jawab Adipati Pajang.
"Semakin cepat semakin baik Kangjeng" tambah Ki Penjawi.
"Baiklah" berkata Kangjeng Adipati Pajang, "siapkan seluruh
kekuatan yang ada di pasanggrahan ini dengan diam-diam. Pada
saat yang ditentukan, aku akan memimpin pasukan itu langsung
menusuk ke jantung pasanggrahan kakangmas Arya Penangsang.
Kelemahan pokok dari pasukan yang lebih dahulu menyerang
adalah pada saat penyeberangan berlangsung. Karena itu, maka
kita harus dapat merahasiakan saat-saat kita mulai bergerak. Jika
kita sudah berada di seberang, apapun yang akan dilakukan
kakangmas Arya Penangsang dengan pasukannya, kita tidak akan
gentar. Bahkan seandainya kakangmas menuntut perang tanding,
aku akan melayaninya dengan senang hati. Karebet anak dari
Tingkir ini tidak akan berkerut dihadapan kepada Arya
43 SH. Mintardja Penangsang Putera Sekar Seda Lepen, meskipun kakangmas Arya
Penangsang merangkapi dirinya dengan seribu jenis ilmu
sekalipun." Ki Pemanahan dan Ki Penjawi, saling berpandangan sejenak.
Kemudian terdengar Ki Pemanahan berkata, "Kangjeng. Hamba
mohon dapat dipertimbangkan sekali lagi. Apakah memang
sudah saatnya Kangjeng turun sendiri ke arena. Kami percaya
bahwa Kangjeng Adipati memiliki bekal untuk melawan Arya
Penaagsang. Bahkan mungkin landasan dari ilmu yang mapan
didalam diri Kangjeng Adipati lebih kuat daripada yang ada
didalam, diri Arya Penangsang. Namun agaknya masih mungkin
dicari cara lain yang lebih baik untuk memenangkan
pentempuran melawan Jipang di induk kekuatan ini."
"Aku kira, cara inilah yang paling baik ditempuh. Cara
seorang kesatria yang harus mempergunakan cara terakhir yang
sebenarnya sangat aku benci. Perang." gumam Kangjeng. Adipati.
Lalu, "Tetapi, segala cara yang telah dicoba ternyata gagal. Berapa
kali kita sudah mencoba untuk mengadaknn pendekatan. Tetapi
apa yang dilakukan oleh kakangmas Arya Penangsang"
Pembunuhan. Alasannya adalah utang pati nyaur pati. Sementara
itu, yang pernah terjadi di pinggir Kali itu tidak jelas. Tetapi Arya
Penangsang sudah memastikan bahwa ayahandanya telah
dibunuh oleh saudaranya dalam memperebutkan tahta. Karena
itu, menurut kakangmas Arya Penangsang yang dilakukannya itu
adalah menuntut keadilan."
"Kami mengerti Kangjeng" berkata Panjawi, "bahkan usaha
pembunuhan itu telah terjadi atas diri Kangjeng Adipati sendiri.
Namun justru karena tingkah lakunya yang tidak berlandaskan
sikap seorang kesatria itulah, maka kita sebaiknya juga
melawannya dengan akal. Meskipun tidak dengan licik seperti
yang dilakukan oleh Arya Penangsang."
"Meskipun kita dapat menduga, bahwa kelicikan itu tentu ada
sumbernya. Ada orang yang mempengaruhi kakangmas Arya
Penangsang yang pada dasarnya bukan orang yang licik." berkata
Kangjeng Adipati Pajang. 44 SH. Mintardja "Kami pun sudah menduga" berkata Ki Pemanahan, "agaknya
akal Patih Mantahun lah yang telah mempengaruhi sikap
Kangjeng Adipati Arya Penangsang. Namun bagaimanapun juga,
tidak-ada salahnya jika kita berhati-hati menghadapi pasukan
Jipang yang kuat dan sebagaimana kita ketahui, para prajurit
Jipang memiliki keberanian dan bahkan seakan-akan mereka
tidak lagi mempergunakan nalar serta perasaannya jika mereka
sudah turun ke medan ;pertempuran."
"Aku tahu. Prajurit Jipang adalah prajurit yang mengalami
tempaan yang sangat kuat sehingga. mereka menjadi prajurit-
prajurit pilihan. Hal itu dapat terjadi, karena sejak kakanganas
Arya Penangsang memegang pemerintahan, maka niat untuk
merombak pemerintahan Demak itu sudah ada didalam,
hatinya." jawab Kangjeng Adipati.
"Karena itu Kangjeng. Jika diperkenankan hamba
mengajukan pertimbangan. Pasukan Pajang bagaimanapun juga,
jangan menyeberang Bengawan Sore. Meskipun pada musim ini,
airnya tidak terlalu dalam. Tetapi pada saat kuda-kuda kita
berada ditengah sungai serta pasukan kita sedang melawan arus
air yang meskipun tidak terlalu deras, serangan yang menentukan
akan datang dari arah tebing. Betapapun kita berusaha
merahasiakan serangan yang mungkin kita lakukan di dini hari,
namun kita menyadari, bahwa para pengawas di seberang
bengawan itu tidak akan pernah lengah." berkata Pemanahan.
"Jadi bagaimana menurut pendapatmu?" bertanya Kangjeng
Adipati. "Kita akan mencari cara untuk memancing mereka
menyeberang. Mungkin kita akan beradu kesabaran. Siapakah'
yang lebih betah menunggu, maka mereka akan memenangkan
perang, karena mereka tidak menyeberang.".berkata Ki
Pemanahan. Kanjeng Adipati Pajang yang menganggap bahwa Ki
Pemanahan dan Ki Penjawi adalah saudara tuanya itu pun
menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah. Tetapi jangan
45 SH. Mintardja terlalu lama. Aku tidak akan dapat memenangkan lomba
kesabaran itu." "Seharusnya Kanjeng Adipati memiliki kesabaran yang lebih
besar dibandingkan dengan Adipati Jipang," berkata Ki Penjawi.
"Mungkin aku secara pribadi," jawab Adipati Pajang., "Tetapi
bagaimana dengan keadaan pasukan kita diseluruh medan yang
tersebar. Bagaimana kedudukan Pajang sendiri yang dihadapkan
kepada pasukan yang kuat disisi Barat dan Timur. Jika semuanya
itu masih harus menunggu terlalu lama, maka mungkin Pajang
akan mengalami kesulitan.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja putera angkat Adipati
Pajang, yang sebenarnya adalah putera Ki Pemanahan itu pun
memotong pembicaraan, "Hamba akan bersedia mengemban
perintah apapun juga berhadapan dengan pasukan Arya
Penangsang." Kanjeng Adipati Pajang mengerutkan keningnya. Namun ia
pun kemudian tersenyum sambil berkata, "Kau masih terlalu
muda Sutawijaya. Mungkin beberapa tahun lagi kau akan mampu
mengemban tugas-tugas yang tidak kalah beratnya."
Tetapi anak yang masih terlalu muda itu menyahut, "Tetapi
hamba sudah cukup dewasa untuk melawan pamanda Arya
Penangsang. Mungkin pamanda Arya Penangsang memiliki
pengalaman yang jauh lebih banyak dari hamba. Tetapi hamba
memiliki kemudaan, tekad dan barangkali kesempatan."
Kanjeng Adipati Hadiwijaya dari Pajang itu tertawa. Katanya,
"Aku senang mendengar permintaanmu. Dengan demikian maka
kau adalah anak yang menunjukkan kebesaran tekad dan
keberanianmu. Tetapi masih ada yang harus kau perhatikan.
Kenyataan yang harus kau hadapi."
Sutawijaya memandang ayahanda angkatnya dengan kecewa.
Tetapi ia tidak dapat memaksakan kehendaknya. Bahkan Kanjeng
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Adipati itu pun kemudian berkata, "Kita harus membuat
perhitungan yang cermat sebagaimana kakang Pemanahan dan
kakang Penjawi sarankan. Tetapi jangan terlalu lama. Bukan aku
46 SH. Mintardja tidak bersabar, tetapi tuntutan keadaan memaksa kita bergerak
agak cepat." Dengan demikian maka Ki Pemanahan dan Ki Penjawi
beserta beberapa Senapati yang lain pun meninggalkan
penghadapan di pesanggrahan. Mereka memang harus membuat
perhitungan yang cermat, tetapi mereka pun harus
memperhitungkan keadaan yang berkembang setelah jatuh
perintah Ki Patih Mantahun.
Di luar balai penghadapan di pesanggrahan itu, Ki
Pemanahan dan Ki Penjawi telah memanggil Raden Sutawijaya.
Dengan wajah yang keras Ki Pemanahan bertanya kepada
anandanya yang telah diambil angkat oleh Adipati Hadiwijaya,
"Kenapa kau berani menyombongkan dirimu, bersedia melawan
Arya Penangsang. Meskipun kau belum pernah melihat
bagaimana Arya Penangsang turun ke medan tetapi kau tentu
pernah mendengarnya."
"Ya, aku pernah mendengarnya ayah," jawab Sutawijaya.,
"Tetapi aku pun bukannya tidak pernah menempa diri. Aku
adalah murid Pemanahan dan sekaligus murid Karebet anak dari
Tingkir itu." "Kau terlalu kanak-kanak untuk mengerti, apa yang
sebenarnya sedang kita hadapi sekarang ini," berkata Ki Penjawi.,
"Untunglah bahwa Kanjeng Adipati menganggap tawaranmu itu
hanya sebagai kelakar yang segera dilupakannya."
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun ia berdesis,
"Justru aku menyesal bahwa ayahanda Adipati tidak
menghiraukan permohonanku."
"Kau harus mempergunakan nalarmu. Kau menjadi semakin
dewasa, sehingga seharusnya kau tahu apa yang baik kaulakukan
dan yang mana yang tidak baik," berkata Ki Pemanahan.,
"Seandainya Sultan tidak mengasihimu seperti anak kandungnya
sendiri, maka ia akan dapat menjadi marah, karena persoalan
yang gawat ini kau anggap sekadar sebagai satu arena permainan.
47 SH. Mintardja Berperang melawan Arya Penangsang tidak sekadar seperti kau
bermain sembunyi-sembunyian atau bermain jirak dengan miri."
"Aku tahu ayah," jawab Raden Sutawijaya., "Aku memiliki
pengetahuan olah kanuragan. Jika aku harus bertempur melawan
pamanda Arya Penangsang di atas punggung kuda, maka aku
yakin, bahwa aku akan dapat mengimbanginya."
Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
percaya bahwa kau memiliki kemampuan menunggang kuda.
Tetapi perang bukan sekadar berpacu dengan kuda atau sekadar
keterampilan berkuda."
Sementara itu, selagi Ki Pemanahan dan Ki Penjawi
memberikan beberapa petunjuk kepada Raden Sutawijaya, maka
saudara seperguruan Ki Pemanahan dan Ki Penjawi yang
kebetulan lebih tua dari mereka dalam tataran perguruan dan
yang sudah beberapa hari berada di pesanggrahan, telah hadir
pula dalam pembicaraan itu. Ketika ia memasuki ruangan, maka
dilihatnya Pemanahan dan Penjawi berbicara sungguh-sungguh,
sementara Raden Sutawijaya nampak merenungi setiap kata-kata
ayah dan pamannya itu. "Apakah ada persoalan yang sangat penting yang sedang
kalian bicarakan," bertanya Ki Juru Martani, saudara
seperguruan Ki Pemanahan dan Ki Penjawi.
Ki Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Setelah
mempersilakan Ki Juru duduk, maka Ki Pemanahan pun telah
menceriterakan sikap Raden Sutawijaya dihadapan ayahanda
angkatnya. "Bukankah itu satu sikap deksura?" bertanya Ki Pemanahan.
Ki Juru tersenyum. Katanya, "Anak-anak muda kadang-
kadang memang kurang memikirkan tingkah lakunya. Tetapi
biarlah Sutawijaya merenungi kata-katanya. Nah, beristirahatlah.
Mungkin sambil berbaring kau akan mengetahui, kenapa ayah
dan pamanmu Penjawi bahkan Kanjeng Adipati pun
berkeberatan, meskipun mungkin kau akan mendapat tugas yang
berat pula dikesempatan lain."
48 SH. Mintardja Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian meninggalkan pertemuan itu. Dengan wajah muram
Raden Sutawijaya telah pergi ke kandang kudanya mengamati
seekor kudanya yang paling disukainya. Besar dan tegar. Namun
nampak pada sorot matanya bahwa ia menjadi sangat kecewa
bahwa permohonannya sama sekali tidak dipertimbangkan.
Bahkan seakan-akan hanya sekadar kelakuan yang tidak berarti.
Namun dalam pada itu, ternyata Ki Juru mempunyai
tanggapan yang lain. Bahkan dengan senyum di bibir, Ki Juru
berkata, "Kau harus memanfaatkan keberanian anak laki-lakimu
dalam keadaan seperti ini. Arya Penangsang memang seorang
yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Jarang sekali ada orang
yang dapat mengimbangi kemampuannya. Kulitnya bagaikan
menjadi kebal segala macam senjata. Bahkan menurut
keterangan yang aku dengar, Arya Penangsang tidak akan dapat
mati jika tubuhnya tidak tergores oleh pusakanya sendiri. Kiai
Setan Kober, kerisnya yang nggegirisi itu."
"Apalagi jika hal itu benar," berkata Ki Pemanahan., "Apa
daya Sutawijaya. Bukankah lebih baik aku atau adi Penjawi yang
harus turun ke medan perang. Kami, orang-orang tua ini agaknya
telah mempunyai bekal yang cukup, betapapun tingginya ilmu
yang ada di dalam diri Arya Penangsang. Kami masing-masing
telah cukup lama mengabdikan diri di dalam lingkungan
keprajuritan, sehingga pengalaman kami pun agaknya sudah
cukup luas untuk menghadapi Arya Penangsang."
Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Senyumnya masih
nampak di bibirnya. Katanya, "Aku percaya. Aku pun percaya
bahwa kalian tidak akan gentar menghadapi Arya Penangsang,
bahkan dalam perang tanding sekalipun. Tetapi dalam persoalan
ini, kita harus meyakinkan diri, bahwa kalian akan dapat
menyelesaikan persoalan."
"Masalah yang sebenarnya terletak pada Bengawan Sore.
Tidak pada kemampuan perseorangan. Arya Penangsang sendiri
meskipun ia berilmu tinggi, namun satu dua orang Pajang akan
dapat menghadapinya. Bahkan aku yakin bahwa dalam keadaan
49 SH. Mintardja yang memaksa kedua Adipati Pajang dan Jipang berhadapan
langsung, maka Adipati Pajang akan dapat memenangkannya.
Namun bagaimanapun juga, keadaan pasukan dari kedua belah
pihak akan menentukan. Siapa yang berani menyeberangi
Bengawan Sore, maka pasukannya akan hancur di tengah-tengah
Bengawan." Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Marilah kita pikirkan dengan tenang dan bersungguh-sungguh.
Kita akan dapat membicarakannya tidak hanya pada hari ini.
Mungkin malam nanti kita akan dapat menemukan satu cara
yang paling baik. Tetapi berilah kesempatan aku berbicara
dengan anakku Raden Sutawijaya. Mungkin aku dapat membantu
memecahkan persoalan ini."
"Kakang" berkata. Ki Pemanahan, "tetapi kakang jangan
bermain-main dengan nyawa anak itu. Meskipun ia sudah
diambil oleh Kangjeng Adipati menjadi anaknya, ia adalah tetap
anakku." Ki Juru: tertawa. Katanya "Aku baru akan melihat
kemungkinannya. Jika nanti aku mendapatkan satu diantara-
beberapa kemungkinan itu, maka terserah, kepada kalian, apakah
kalian akan melakukan atau mungkin mengusulkan kepada
Kangjeng Adipati atau tidak. Segala sesuatunya tergantung
kepada kalian." Ki Pemanahan masih saja merasa jantungnya berdegupan.
Persoalan yang dihadapinya adalah persoalan yang
menegangkan. Sementara itu Ki Juru Martani nampaknya
menanggapinya dengan tidak bersungguh-sungguh.
Namun akhirnya Ki Pemanahan itu berkata didalam dirinya
"Segalanya memang tergantung kepadaku. Kemungkinan apapun
yang dikatakan oleh kakang Juru Martani, aku dapat
menolaknya. Ia tidak akan dapat langsung berhubungan dengan
Kangjeng Adipati dalam hal ini. Seandainya ia memaksa diri
untuk bertemu dengan Kangjeng Adipati diluar pengetahuanku,
maka Kangjeng Adipati tentu akan mengajak aku berbincang."
50 SH. Mintardja Karena itu, maka Ki Pemanahan juga tidak berkeberatan
ketika Ki Juru ingin berbicara langsung dengan Raden Sutawijaya
tanpa dipengaruhi oleh orang lain.
Ketika di Pasanggrahan Pajang maupun Jipang di tepi
Bengawan Sore masih saja disibukkan dengan kemungkinan-
kemungkinan yang akan dapat ditempuh oleh kedua belah pihak
untuk memecahkan kebekuan yang seakan-akan mencengkam
kedua induk kekuatan Pajang dan Jipang itu, maka di medan
perang yang terpencar, pertempuran-pertempuran telah
mreningkat. Patih dari Jipang telah mengeluarkan perintah
untuk menekan kekuatan Pajang disegala medan. Namun Pajang
yang mengetahui perintah itu, telah mengimbanginya dengan
meningkakan kegiatan Tasukan-pasukannya.
Dalam pada itu, .pasukan Pajang yang berada disisi Timur
Pajang sendiri, telah berusaha untuk mengimbangi usaha-usaha
pasukan Jipang yang tengah melakukan perintah Patih
Mantahun dengan sebaik-baiknya. Namun disamping persoalan
antara Jipang dan Pajang, maka telah berkembang pula persoalan
diantara anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan.
Ketika keadaan anak muda Sembojan yang terluka dan
berada ditengah-tengah pasukan Pajang menjadi semakin baik,
maka ia pun telah menawarkan beberapa kemungkinan kepada
Gandar. "Aku dapat mengantarkanmu memasuki padukuhan itu
melalui jalan yang paling aman" berkata anak muda itu, "tetapi
dengan demikian kau hanya akan dapat melihat dan barangkali
mengetabui serba sedikit tentang kedudukan anak muda Tanah
Perdikan diantara pasukan Jipang itu. Tetapi kau tidak akan
dapat berbicara dengan mereka, apalagi setelah aku hilang dari
antara mereka. Mungkin pengawasan para prajurit Jipang akan
diperketat." "Jika demikian apakah kau melibat kemungkinan yang !ain?"
bertanya Gandar. 51 SH. Mintardja "Satu kemungkinan yang lain yang akan dapat aku lakukan"
berkata anak muda itu, "aku kembali kedalam kelompokku."
"Kesampingkan kemungkinan itu" berkata Gandar, "seperti
pernah dikatakan oleh Kiai Soka, nyawamu akan terancam. Kau
mungkin akan langsung ditangkap dan diperlakukan sebagai
seorang pengkhianat. Apalagi dengan sengaja kita sudah
memancing perhatian para petugas sandi bahwa kau ada
diantara kami disini bahkan telah menunjukkan lingkungan
,pertahanan pasukan Jipang.
"Sudah aku katakan, aku akan dapat mencari seribu macam
alasan. Tetapi seandainya, alasan-alasanku itu tidak mereka
percaya, maka kematianku bukannya sesuatu yang harus disesali.
Sebab seharusnya aku memang sudah mati." berkata anak itu.
"Aku tidak sependapat" berkata Gandar, "Kiai Soka tentu juga
tidak sependapat." "Jangan mencegah usahaku untuk sedikit memberikan terang
kepada kawan-kawanku dari Tanah Perdikan Sem!bojan"
berkata, anak muda itu. Lalu katanya, "Tetapi aku memerlukan
pertolonganmu. Kau dapat mencambuk punggungku dan
mungkin pada bagian-bagian tubuhku yang lain."
Gandar mengerutkan keningnya. Ia mengerti maksud anak
Sembojan itu. Ia pun dapat membayangkan apa yang akan
dilakukannya. Meskipun demikian, Gandar itu berkata, "Bicarakan dengan
Kiai Soka." Anak muda. Tanah Perdikan Sembojan itu pun. kemudian
menemui Kiai Soka dan mengutarakan niatnya. Ia ingin pergi ke
daerah pertahanan orang-orang Jipang dan kawan-kawannya
dari Tanah Perdikan Sembojan.
"Satu usaha yang sangat berbahaya" berkata Kiai Soka.,
"Sebaiknya kau tidak :melakukannya.."
"Mungkin cara ini dapat membantu memberikan kesadaran
kepada kawan-kawanku di lingkungan orang-orang Jipang itu."
52 SH. Mintardja jawab anak muda Tanah Perdikan itu, "aku akan dapat
menceriterakan apa yang terjadi disini. Tetapi yang lebih penting
lagi, aku dapat menceriterakan apa yang telah terjadi di Tanah
Perdikan Sembojan sendiri. Aku dapat mengatakan, kepada
kawan-kawanku, bahwa telah terjadi perubahan lagi di Tanah
Perdikan Sembojan, karena orang-orang Sembojan telah
menemukan dirinya kembali. Sebagian anak-anak muda yang
tertinggal di Sembojan telah bangkit dan dengan berdebar-debar
menunggu saudara-saudaranya kembali kepangkuan kampung
halaman dengan jiwa yang telah diperbaharui."
Kiai Soka menarik nafas dalaan-dalam. Apa yang dilihatnya
diantara pasukan Pajang, serta apa yang didengarnya tentang
Tanah Perdikannya telah memberikan kesadaran kepada anak
muda itu. Bahkan ia telah menyediakan dirinya untuk melakukan
satu langkah yang sangat berbahaya bagi kepentingan Tanah
Perdikannya. Namun kebesaran tekad anak itu tidak lagi memungkinkan bagi Kiai Soka
dan Gandar untuk mencegahnya. Bahkan ketika
seorang Senapati Pajang memberikan sedikit gambaran
tentang ketatnya paugeran bagi
pasukan Jipang. anak muda itu
tidak mengurungkan keinginannya untuk kembali ke
kelompoknya. Akhirnya Gandar tidak dapat menolak lagi. Sebagaimana diminta oleh anak
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu, maka Gandar pun telah
mencambuknya beberapa kali.
Di punggung, didada dan dilengan. Dengan demikian maka telah
tergores bekas-bekas cambuk itu silang melintang. Bahkan anak
53 SH. Mintardja muda itu telah melukai tubuhnya sendiri dengan sentuhan bara
api dan ujung senjata tajam.
"Kau sakiti dirimu sendiri" berkta Gandar, "mudahmudahan
kau berhasil." Anak muda itu menyeringai menahan pedih. Tetapi iapun
kemudian terseayum sambil berkata, "Apapun yang akan terjadi,
aku sudah berniat untuk melakukannya."
Gandar hanya menarik nafas dalam-dalam.
Pada saat senja turun, maka anak muda itu pun telah bersiap-
siap. Gandar berjanji akan mengantarkannya sampai ke tempat
yang memungkinkan. Sementara itu, beberapa orang prajurit
Pajang akan mencarinya dengan obor ditangan.
Setelah semua persiapan dilakukan, maka rencana yang telah
disusun itupun mulai dilaksanakan. Ketika, malam menjadr
semakin dalam, maka sekelompok prajurit Pajang dengan
beberapa obor telah melintas di daerah yang memisahkan
kekuatan Pajang dengan kekuatan Jipang di sisi Timur.
Obor-obor itu memang menarik perhatian orang-orang
Jipang. Beberapa petugas sandi telah mengamatinya dengan
saksama. Seorang petugas sandi yang berada beberapa puluh langkah
dari prajurit-prajurit Pajang yang membawa obor itu berdesis,
"Nampaknya ada yang mereka cari."
"Ya. Mereka telah mencari sesuatu atau seseorang." berkata
yang lain. Apa yang mereka lihat itu pun kemudian telah mereka bawa
kepada pimpinan mereka sebagai laporan yang sangat menarik.
Pada saat yang demikian, maka anak muda Tanah Perdikan
Sembojan yang dikawani Gandar telah mendekati padukuhan.
Mereka menyusuri tanah persawahan yang kering dan tidak
ditanami. yang tumbuh kemudian adalah batang ilalang dan
rerumputan liar. 54 SH. Mintardja Ketika keduanya telah mendekati padukuhan yang dituju,
maka anak muda Tanah Perdikan Sembojan itu memberikan
isyarat agar Gandar kembali ke daerah yang dikuai, oleh pasukan
Pajang. "Tetapi nampaknya kau lemah sekali" bisik Gandar,
"tubuhmu yang kau sakiti benar-benar membuatmu kehilangan
sebagian dari darahmu. Bahkan bekas cambuk di seluruh
tubuhmu itu benar-benar telah menghisap tenagamu."
Tetapi anak muda itu berusaha tersenyum. Katanya, "Tidak
apa-apa. Aku akan segera sehat kembali."
Demikianlah, maka Gandar pun kemudian beringsut surut.
Sementara anak muda Sembojan itu merangkak mendekati
padukuhan yang sepi. Pengenalannya atas padukuhan itu memungkinkannya untuk
menghindari para penjaga. Ia berusaha untuk dapat memasuki
padukuhan tanpa dilihat oleh prajurit Jipang, bahkan oleh,
petugas yang bukan dari kelompoknya. Ia ingin langsung dapat
memasuki barak tempat kelompoknya tinggal.
Gandar untuk beberapa saat masih berada di tempatnya.
Sambil berjongkok ia mengamati keadaan. Namun ketika anak
Sembojan itu tidak dapat dilihatnya lagi, maka iapun segera
beringsut kembali. Namun dalam pada itu, keadaan anak muda Sembojan itu
benar-benar sangat lemah. Luka-lukanya yang memang belum
sembuh benar, ditambah dengan luka-luka yang disengaja
memberikan bekas pada tubuhnya, telah membuatnya banyak
kehilangan tenaga. Tetapi anak muda itu berjuang dengan tenaganya yang tersisa
untuk meloncati dinding ,padukuhan. Kemudian dengan susah
payah ia berusaha mendekati barak kelompoknya diantara
rumah-rumah di padukuhan itu yang dipergunakan oleh
keloumpak-kelampok lain. 55 SH. Mintardja Betapun tubuhnya menjadi semakin lemah, namun ia masih
sempat juga merayap dengan sangat hati-hati disela-sela
pepohonan di ikebun-kebun di padukuhan itu. Sehingga
akhirnya, ia benar-benar berada disatu lingkungan yang
dipergunakan oleh kelompoknya.
Karena itu, maka anak muda itu tidak lagi merayap di sela-
sela tetumbuhan. Ia pun kemudian berjalan tertatih-tatih menuju
ke sebuah gardu yang dipergunakaa oleh para petugas di
kelompoknya berjaga-jaga.
Tiga orang yang berada digardu itu terkejut. Mereka melihat
seseorang berjalan tertatih-tatih. Dalam cahaya obor mereka
melihat orang itu terbuyung-huyunng dan sebelum orang itu
mencapai gardu itu, tubuh itu pun telah roboh di tanah.
Tiga orang itu pun segera meloncat turun dari gardunya:
Dengan tangkasnya mereka mengangkat orang itu dan
membawanya kebawah obor di gardu.
"He, anak yang hilang itu" berkata salah seorang diantara
mereka. "Ya." desis yang lain.
"Apa yang telah terjadi atasnya" bertanya yang seorang lagi.
Ketiga orang itu menjadi berdebar-debar ketika mereka
melihat disela-sela baju anak muda yang terbuka dibagian
dadanya. Luka-luka yang silang melintang bekas lecutan. Luka-
luka bekas api dan goresan-goresan senjata tajam.
"Gila" seorang diantara mereka hampir berteriak, "anak ini
sama sekali bukan seorang pengkhianat: Ia justru mengalami
perlakuan yang sangat keji."
"Laporkan ke pemimpin kelompok kita" berkata yang
seorang. Seorang diantara ketiga orang itu pun telah berlari-lari ke
rumah yang dipergunakan oleh pemimpin kelompoknya. Dengan
serta merta ia telah mengetok pintu keras-keras.
56 SH. Mintardja "He, siapa itu?" terdengar seseorang membentak dari dalam,
"aku belum tidur."
Ketika pintu dibuka, anak muda yang datang itu pun menarik
nafas dalam-dalam. Di ruang dalam terdapat dua orang yang
bertugas berjaga-jaga bergantian. Namun saat itu, pemimpin
kelompoknya pun masih duduk bersama mereka bermain
macanan. Kedatangan anak muda yang tergesa-gesa itu memang
mengejutkan. Namun sebelum pemimpin kelompoknya itu
bertanya, anak muda itu, telah melaporkannya, "Anak yang
hilang itu datang kembali dalam keadaan yang parah".
"Dimana ia sekarang" bertanya pemimpin kelompok itu.
"Pingsan, di gardu. Ia telah memaksa diri untuk berjalan
memasuki padukuhan ini dalam keadaan yang sangat payah.
Sejenak kemudian, maka pemimpin kelompok itu pun telah
berada di gardu. Bahkan kemudian disusul oleh anak-anak muda
yang lain, sehingga di sekitar gardu itu pun kemudian menjadi
penuh dilingkari oleh anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan
yang berada didalam kelompok itu.
Anak muda yang baru datang dari lingkungan para pranirit
Pajang itu memang pingsan.
Pemimpin kelompok yang menyaksikan keadaan anak muda
itu menggeram. Katanya, "Inikah adab yang dijunjung tinggi oleh
orang-orang Pajang?"
Anak-anak muda dalam kelompok itu yang semula ter-
guncang oleh berbagai pertimbangan, tiba-tiba justru semakin
mantap untuk meneruskan perjuangan mereka diantara para
prajurit Jipang. Mereka telah melihat sendiri kebiadaban para
prajurit Pajang yang menimpa salah seorang kawan mereka.
Ketika anak muda itu dibawa ke rumah yang dipergunakan
oleh pemimpin kelompok bersama beberapa orang pengawal, dan
kemudian dibaringkan di pembaringan, maka anak-anak muda
didalam kelompok itu dapat melihat dengan jelas, bekas-bekas
57 SH. Mintardja cambuk yang telah mengelupas kulit. Luka-luka yang mereka
kenali sebagai luka bakar, sementara itu beberapa gores senjata
tajam nampak masih baru dibanding dengan luka anak itu sendiri
yang didapatkamya didalam perang.
Seorang anak muda telah menitikkan air dibibirnya.
Kesegaran yang ketuudian menjalari seluruh tubuhnya
membuatnya perlahan-lahan sadar kembali.
Perlahan-lahan ia mulai memperhatikan bayangan-bayangan
yang buram di sekitarnya. Kemudian ia mulai melihat wajah-
wajah yang tegang mengerumuninya. Wajah-wajah kawan-
kawannya yang berada didalam satu kelompok.
"Bagaimana keadaanmu" bertanya pemimpin kelompok itu.
Anak muda yang pingsan itu dengan susah payah berusaha
mengenali dirinya. ia mengingat-ingat apa yang telah
dilakukannya. Ketika ia menyadari, untuk apa ia kembali
ketengah-tengah kelompoknya, maka ia pun menarik nafas
dalam-dalam, ia harus mengekang diri agar ia tidak kehilangan
nalar dan pengamatan perasaan. Jika ia mengigau tentang tugas
yang diembannya, maka segalanya akan dapat menjadi rusak
karenanya. Dan barangkali ia sendiri tidak akan berumur
panjang. Karena itu, maka anak muda itu pun berusaha dengan se-
penuh kemampuannya untuk tetap menyadari apa yang
dikatakannya selama belum mencapai kesadaran sepenuhnya,
maka ia masih akan tetap mengatupkan mulutnya.
'Ternvata sejenak kemudian semuanya menjadi terang.
Dibawah cahaya lampu maka ia melihat apa yang ada
disekitarnya. Ruangan yang dikenalnya dengan baik, wajah-
wajah kawannya dan pemimpin kelompoknya.
"Bagaimana keadaanmu?" pemimpin kelompok pengawal itu
bertanya lagi. 58 SH. Mintardja Anak muda itu setelah yakin apa yang dihadapinya,
menyahut, "Baik. Aku dalam keadaan baik."
"Tetapi bagaimana hal seperti ini dapat terjadi?" bertanya
pemimpin kelompok itu sambil menunjuk luka-luka di tubuh
anak muda itu. Anak muda itu tidak segera menjawab. Namun perlahan-
lahan ia menggerakkan kepalanya. Tetapi anak muda itu
menyeringai menahan sakit yang menggigit tubuhnya. Bukan
sekedar berpura-pura. Tetapi ia benar-benar merasa betapa
pedihnya luka-lukanya yang tersentuh basahnya keringat.
"Aku mempunyai ceritera yang menarik" berkata anak muda
itu, "tetapi apakah aku diperkenankan beristirahat?"
"Ya, beristirahatlah. Kami tidak tergesa-gesa. Besok kita
masih mempunyai waktu" jawab pemimpin kelompok itu.
Namun tiba-tiba anak muda itu berkata, "Apakah disini masih
tersedia nasi barang segenggam?"
"O, nasi" bertanya salah seorang kawannya, "aku akan
mencarinya." Sebenarnyalah anak muda itu telah berlari ke dapur untuk
mencari sesuap nasi. Karena ia menduga bahwa anak muda itu
tentu belum makan sejak sore. Bahkan mungkin sehari ia tidak
mendapat ransum sama sekali.
Ketika nasi itu diberikan kepadanya, maka iapun telah
berdesis, "Aku lapar sekali."
"Tanpa lauk" berkata kawannya, "kecuali sepotong telur."
"Ini sudah jauh dari cukup" suaranya terdengar perlahan
sekali. Seorang kawannya pun kemudian menyuapinya dengan suru
daun pisang. Anak muda itu nampaknya memang lapar sekali.
Mungkin karena ia benar-benar harus menahan sakit, sementara
itu ia masih harus merayap dari luar dinding padukuhan sampai
ke lingkungan kelompoknya.
59 SH. Mintardja Setelah makan sekepal nasi, maka anak muda itu dengan
lemah berkata, "Aku mohon waktu untuk beristirahat barang
sejenak. Besok aku akan berceritera panjang lebar mengenai
pengalamanku." Pemimpin kelumpok itu mengangguk-angguk. Katanya
kepada anak-anak muda yang berkerumun, "Biarlah ia
berstira.hat. Besak ia akan berangsur baik. Biarlah ia berceritera
tentang pengalamannya yang pahit, sementara itu kenyataan ini
harus merubah sikap para Senapati Jipang dan para pemimpin
dari Tanah Perdikan Sembojan."
Anak-anak muda yang berkerumun itu pun kemudian
seorang demi seorang telah meninggalkan tempat itu. Mereka
ingin memberi kesempatan kepada anak yang terluka itu untuk
beristirahat. Sementara itu pemimpin kelompok itu pun telah
menghubungi beberapa orang kepercayaannya. Bersama-sama
mereka telah pergi ke rumah yang dipergunakan oleh orang-
orang yang disebut para pemimpin dari Tanah Perdikan
Sembojan. Kedatangan anak muda, pemimpin kelompok itu memang
mengejutkan. Apalagi setelah pemimpin kelompok itu
memberikan laporan, bahwa anak buahnya. yang hilang itu telah
kembali dalam keadaan yang parah.
"Jadi anak itu tidak berkhianat?" bertanya Ki Wiradana.
"Menilik keadaannya, aku yakin bahwa ia tidak berkhianat"
jawab pemimpin kelompok. "Apakah ia sudah memberikan laporan apa saja yang pernah
di alami?" bertanya Ki Wiradana pula.
"Ia masih terlalu, lemah. Ketika ia diketemukan oleh para
petugas, anak itu sedang pingsan." jawab pemimpin kelompok
itu. Warsi yang kemudian ikut mendengarkan laporan itu ter-
mangu-mangu. Sementara Ki Randukeling yang hadir pula
60 SH. Mintardja berkata, "Memang hal itu dapat saja terjadi. Orang-orang Pajang
itu menemukannya di medan, lalu membawanya dengan paksa."
Tetapi Warsi berkata, "Menurut laporan dari para petugas
sandi, anak itu telah ikut bersama beberapa orang prajurit Pajang
dan dari kejauhan menunjukkan kekuatan kita disini."
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Orang-orang Pajang itu dapat saja memaksanya" jawab
pemimpin kelompoknya. Sementara itu, Ki Rangga yang kemudian datang berkata,
"Apakah hal ini ada hubungannya dengan laporan, bahwa
beberapa orang prajurit Pajang sedang mencari sesuatu atau
seseorang di perbatasan antara kedua kekuatan di daerah ini?"
"Mungkin sekali" jawab Ki Randukeling, "mungkin mereka
berusaha untuk menangkap kembali anak yang berusaha
melarikan diri itu."
"Aku akan melihatnya" berkata Ki Rangga.
"Besok saja Ki Rangga" cegah pemimpin kelompoknya, "anak
itu masih sering pingsan. Biarlah ia beristirahat dan tidur sejauh
dapat dilakukan, agar keadaannya berangsur baik.
"Anak cengeng" jawab Ki Rangga, "kita memerlukan
keterangan segera. Apa salahnya jika kita hanya bertanya saja
kepadanya, dan ia cukup menjawabnya sambil berbaring."
"Tetapi tubuhnya nampak sangat lemah" berkata pemimpin
kelompok itu. "Tetapi kita memerlukan keterangan itu. Jika ia mati besok
pagi-pagi, maka kita kehilangan keterangan yang seharusnya
dapat dikatakannya." jawab Ki Rangga.
"Ia tidak akan mati" jawab pemimpin kelompoknya, "bahkan
seandainya ia mati sekalipun, biarlah ia mati dengan tenang. Aku
adalah pemimpin kelompoknya."
"Apa tahumu tentang peperangan seperti ini" bentak Ki
Rangga, "Aku akan berbicara."
61 SH. Mintardja Tetapi Ki Randukeling berkata, "Sebaiknya kita memang
harus sedikit bersabar. Mungkin kita dapat membiarkannya mati
setelah kita menyadap keterangannya. Tetapi bagi aku, anak itu
lebih baik hidup lebih panjang lagi agar kita dapat bertanya lebih
banyak dan tidak tergesa-gesa."
Ki Rangga menggeretakkan giginya. Baginya Ki Randukeling
justru banyak menghambat pekerjaan yang akan dilakukannya.
Namun Ki Rangga juga tidak dapat memaksakan kehendaknya. Ia
pun kemudian terdiam dan bahkan ia tidak lagi mengacuhkan
pembicaraan berikutnya. Sementara itu Ki Wiradana pun akhirnya berkata kepada
pemimpin kelompok itu, "Kembalilah ke kelompoknnu. Besok
pagi, aku akan melihatnya. Mudah-mudahan ia sudah berangsur
baik dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kami."
Pemimpin kelompok itu pun kemudian meninggalkan para
pemimpin Tanah Perdikan Sembojan dan kembali ke
kelompoknya. Ketika ia melihat keadaan kawannya yang baru
saja datang dalam keadaan terluka parah, ia pun menarik nafas-
dalam-dalam. Agaknya anak itu sempat tidur.
Tetapi petugas yang berada di dekat anak itu berbaring
berkata, "Ia sangat gelisah. Ia hanya dapat tertidur sejenak-
sejenak. Setiap kali ia terbangun dan merintih."
"Lukanya memang parah" berkata pemimpin kelompok itu,
"besok menjelang pagi, kau harus melaporkan kepada petugas
yang merawat kesehatan pasukan ini."
"Ya tua atau yang muda?" bertanya anak muda yang bertugas
itu. "Ah kau. Yang mana saja" jawab pemimpin kelompok itu.
Pemimpin kelompok itu pun kemudian memasuki biliknya
dan berusaha untuk beristirahat. Namun ia merasa ngeri jika ia
membayangkan apa yang telah terjadi atas kawannya yang
terluka parah itu. Pemimpin kclompok itu membayangkan,
bahwa tawanan di tangan orang-orang Pajang mengalami siksaan
62 SH. Mintardja yang luar biasa. Namun untuk mengurangi ketegangan dihatinya
ia berkata kepada diri sendiri, "Tetapi tentu tidak semua prajurit
Pajang dan tentu tidak terhadap semua tawannan. Hanya
tawanan yang diperlukan keterangannya sajalah yang diperasnya
sampai darah pun ikut menjadi kering."
Sebenarnyalah, anak muda itu tidak dapat tidur dengan
nyenyak. Bukan saja karena luka-lukanya serta bekas ujung-
ujung cambuk yang membuat kulit terkelupas itu merasa sangat
pedih, tetapi kegelisahannya juga telah mencengkamnya. Betapa
ia mantap untuk melakukan pekerjaan yang telah dibebankannya
sendiri diatas bahunya itu namun ketika ia sudah benar-benar
berada ditengah-tengah anak-anak muda Tanah Perdikan
Sembojan, serta lingkungan prajurit Jipang, kegelisahannya pun
telah timbul pula. Tetapi ia yakin bahwa ia akan dapat mengelabui orang-orang
Jipang dan orang-orang yang menyebut dirinya para pemimpin
dari Tanah Perdikan Sembojan itu, meskipun mereka adalah para
pemimpin yang terusir. Anak muda itu pun menyadari, bahwa pada saat pertama ia
berada diantara kawan-kawannya, maka akan timbul kebencian
dan kemarahan terhadap orang-orang, Pajang. Tetapi ia
perlahan-lahan akan dapat merubah sikap kawan-kawannya itu.
Menjelang pagi, maka seorang petugas yang merawat
kesehatan pasukan Jipang yang dipanggil itu pun telah datang.
Ketika ia memeriksa keadaan tubuh anak muda itu, maka ia
menemukan bahwa anak muda itu dalam keadaan yang payah
dau sangat letih lahir dan batin.
"Aku Akan berusaha mengobatinya" berkata petugas itu.
Menurut umurnya ia adalah petugas yang lebih tua dari petugas
yang lain. Namun justru karena itu maka pengalaman dan
pengetahuannya pun lebih banyak pula dari kawan-kawannya
yang lain. Dengan teliti tubuh anak muda itu diamatinya. Kulit-kulitnya
memang terkelupas oleh ujung cambuk. Ia pun mengalami luka-
63 SH. Mintardja luka bakar di dadanya, dilengan dan bagian-bagian tubuh yang
lain. Kepada seorang anak muda yang lain ia berkata, "Tolong.
Pergilah ke dapur. Biarlah para petugas di dapur menyediakan air
panas semangkuk. Aku akan meramu obat yang akan aku oleskan
pada tubuh anak ini. Mungkin akan terasa pedih. Tetapi mudah-
mudahan kemudian ia akan merasa segar kembali disamping
obat yang harus diminumnya."
Demikianlah maka pengobatan pun telah dilakukan sebaik-
baiknya. Seperti yang dikatakan oleh petugas yang tua itu, bahwa
obatnya akan terasa pedih. Namun kemudian tubuhnya memang
merasa menjadi segar. Apalagi ketika ia sudah minum pula obat
yang diberikan oleh petugas itu.
Dalam pada itu, ternyata Ki Rangga sudah menjadi tidak
sabar. Meskipun langit masih buram dan matahari belum terbit,
ia bersama Warsi telah pergi ke barak anak muda yang terluka
parah itu. Ki Wiradana pun telah berlari-lari kecil menyusulnya.
Sementara Ki Randukeling pun mengikutinya di belakang.
Ketika ia sampai di barak kelompok itu, pemimpin
kelompoknya masih berada didalam biliknya meskipun ia sudah
terbangun. Ketika ia mendengar kedatangan para pemimpin
Tanah Perdikan, maka ia pun telah membenahi diri dan keluar
pula dari dalam biliknya, sementara itu Ki Rangga dan Warsi
telah berdiri di sebelah menyebelah anak yang sudah menjadi
berangsur baik itu. Namun ketika Ki Rangga melihat luka-lukanya, maka ia pun
menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, "Gila orang-orang
Pajang itu. Menurut pendengaranku, mereka tidak terbiasa
melakukan hal seperti itu. Karena itu, mungkin mereka telah
berada dalam kesulitan. Mungkin kekuatan pasukannya, tetapi
mungkin juga persediaan pangan dan kebutuhan-kabutuhan lain.
Warsi mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, "Kita
sudah dapat bertanya kepadanya tentang kepergiaannya itu."
64 SH. Mintardja Ki Rangga mengangguk-angguk pula. Katanya, "Ya. Kita akan
bertanya kepadanya."
Sementara itu, Ki Wiradana dan Ki Randukeling yang
menyusul mereka, telah menggeleng-gelengkan kepalanya pula
melihat keadaan anak muda itu.
Ki Wiradana yang kemudian mendekati anak itu telah
menyentuh tangannya sambil berdesis, "Bagaimana keadaaamu?"
Anak muda itu membuka matanya. Ketika ia melihat Ki
Wiradana maka iapun tersenyum. Katanya dalam nada yang
dalam terputus-putus, "Aku tidak apa-apa Ki Wiradana."
"Kau terluka parah" berkata Ki Wiradana. "Apa yang telah
terjadi atas dirimu?"
Anak itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia mencoba
memandang orang-orang yang hadir diruang itu, dilihatnya Ki
Wiradana, Nyi Wiradana, Ki Rangga Gupita, Ki Randukeling,
pemimpin kelompoknya dan beberapa anak muda yang berdiri
agak jauh dari pembaringannya. Diantara mereka terdapat
keluarga Nyi Wiradana pula.
"Katakan" desak Ki Rangga, "mungkin yang kau alami serta
yang kau lihat itu penting bagi kami."
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
kemudian berdesis, "Aku berhasil melarikan diri."
"Tetapi kenapa kau berada diantara mereka?" bertanya Ki
Rangga. Wajah anak itu nampak berkerut. Pertanyaan itu nampaknya
membuatnya keheranan. Karena itu, maka ia pun menjawab,
"Pertanyaan Ki Rangga aneh."
"Kenapa aneh?" bertanya Ki Rangga pula.
"Bukankah setiap orang, terutama didalam kelompokku,
tudah dapat mengerti, bahwa aku telah dibawa oleh orang-orang
Pajang" Jika tidak demikian, apakah yang sebenarnya terjadi atas
diriku" Aku terluka pada saat pertempuran itu terjadi. Kemudian
65 SH. Mintardja orang-orang Pajang itu menarik diri. Aku tidak tahu, kenapa tiba-
tiba saja mereka berniat untuk membawaku yang terluka." jawab
anak muda itu. "Jangan membual," bentak Ki Rangga., "Semula tidak ada
orang yang tahu bahwa kau dibawa oleh orang-orang Pajang.
Kami hanya dapat menduga demikian. Tidak ada orang yang
melihat kau dibawa oleh orang-orang Pajang itu. Karena itu,
maka kami dapat saja menduga bahwa kau memang ingin
berkhianat dengan menyeberang kepada orang-orang Pajang."
"Ki Rangga," anak muda itu memotong pembicaraan. Dengan
serta merta ia berusaha untuk bangkit dari pembaringannya.
Namun ia pun kemudian menyeringai menahan sakit. Dengan
lemahnya ia kembali berbaring.
Pemimpin kelompoknyalah yang kemudian mendekatinya
sambil berdesis, "Jangan bangkit. Kau harus masih banyak
beristirahat. Kau tidak boleh terlalu letih dan terlalu banyak
berbicara, apalagi berpikir."
Tetapi Ki Rangga memotong, "Untuk kepentingan
keprajuritan, sepantasnya ia menjawab semua pertanyaan. Ia
harus lebih banyak berusaha memberikan arti dari hidupnya bagi
perjuangan. Jangan terlalu mementingkan diri sendiri."
"Aku berharap bahwa ia segera dapat sembuh," berkata
pemimpin kelompoknya. "Keterangan yang diketahuinya akan dapat diberikan
kemudian, apabila keadaannya sudah menjadi lebih baik."
"Sementara itu barak kita sudah digulung oleh para prajurit
Pajang," jawab Ki Rangga.
Dalam pada itu, Ki Wiradana berusaha untuk menengahinya.
Dengan nada berat ia bertanya kepada anak muda yang terluka
itu, "Apakah kau sudah memberikan terlalu banyak keterangan
kepada orang-orang Pajang?"
Anak muda itu menggeleng. Katanya, "Aku mencoba
bertahan. Karena itu keadaanku menjadi seperti ini."
66 SH. Mintardja "Kau sudah dibawa oleh para prajurit Pajang keperbatasan.
Dan kau agaknya telah menunjuk beberapa kelemahan dari
pertahanan kita disini," desak Ki Rangga.
"Aku belum gila," jawab anak itu., "Aku dapat mengatakan
yang bukan sebenarnya. Jika aku tidak mengatakan sesuatu,
mungkin aku sudah mati."
"Sudahlah," berkata pemimpin kelompok itu ketika ia melihat
wajah anak itu menjadi tegang, "Kau berhak untuk beristirahat."
"Hak apa?" Warsilah yang bertanya, "Siapakah yang
memberikan hak itu kepadanya?"
"Aku," jawab pemimpin kelompok itu. "Dasarnya adalah
perikemanusiaan." "Gila kau," geram Ki Rangga., "Kau berani menyombongkan
dirimu seperti itu" Kau kira kau ini siapa he?"
Anak muda yang menjadi pemimpin kelompok itu menjadi
berdebar-debar. Apalagi ketika Ki Rangga itu berkata, "Apakah
kau menganggap bahwa pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikanmu akan dapat melindungimu?"
Anak muda itu termangu-mangu. Namun yang menjawab
adalah Ki Randukeling, "Tidak. Ki Wiradana tidak akan dapat
melindunginya. Lalu apa yang akan kau lakukan?"
Wajah Ki Rangga menegang. Sementara itu Warsi lah yang
berkata, "Kita harus membenahi diri. Kita harus memperbaharui
pengertian kita tentang hak dan kewajiban kita masing-masing.
Anak itu telah kehilangan kesetiaannya kepada hak dan
kewajibannya, apalagi ia adalah seorang pemimpin kelompok."
Yang menjawab adalah Ki Randukeling., "Aku sependapat
dengan Warsi. Kita harus kembali kepada hak dan kewajiban kita
masing-masing. Nah, apakah kata kalian dengan sikap kalian?"
Wajah-wajah pun menjadi semakin tegang. Namun Ki
Randukeling pun kemudian berkata, "Baiklah. Beristirahatlah.
Namun kami masih ingin sedikit mendengarkan darimu. Jika ada
67 SH. Mintardja yang kau anggap penting untuk segera kami ketahui.
Katakanlah." Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "Aku tidak dapat mengetahui sesuatu yang
ada di dalam barak mereka dan apalagi rencana mereka. Yang
dapat aku lihat adalah kesibukan mereka yang luar biasa. Aku
tidak tahu, apakah arti dari kesibukan itu, karena aku pun sibuk
mengalami tekanan yang hampir tidak tertahankan. Untunglah
aku masih mampu membendung semua keterangan di mulutku
betapapun aku menderita."
Ki Randukeling mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Baiklah.
Kau wajar sekali jika tidak mengetahui sesuatu dari rencana
mereka. Tetapi bagaimana kau dapat melepaskan diri?"
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anak itu mengerutkan keningnya. Sementara itu Ki
Randukeling pun tersenyum sambil berkata, "Baiklah. Jika kau
masih ingin beristirahat, beristirahatlah. Tetapi jika kau teringat
sesuatu yang pantas segera kau beritahukan, maka kau harus
melaporkannya kepada pemimpin kelompokmu."
Anak itu mengangguk kecil. Katanya, "Baiklah Ki
Randukeling. Aku akan mencoba mengingat-ingat.
Ki Randukeling pun kemudian berkisar dari tempatnya dan
keluar dari ruang itu tanpa menghiraukan orang lain. Sementara
itu Ki Rangga dan Warsi pun telah bersiap-siap untuk pergi pula.
Namun Ki Rangga masih sempat berkata., "Kalian anak-anak
Tanah Perdikan, kalian harus tetap menyadari bahwa kalian
merupakan bagian dari pasukan Jipang. Dan aku adalah perwira
dari prajurit sandi Jipang".
Pemimpin kelompok itu memandangi Ki Wiradana yang
berdiri tegak. Tetapi Ki Wiradana tidak menyahut sama sekali. Ia
hanya memandangi saja. Ki Rangga dan Warsi yang
meninggalkan tempat itu. Ki Wiradana memang masih belum ingin meninggalkan
tempat itu. Bahkan ia pun kemudian menunggui anak muda yang
terluka itu. Kepada pemimpin kelompok ia berkata, "Biarlah anak
68 SH. Mintardja ini berada di sini untuk seterusnya. Ia memang harus disisihkan
dari mereka yang terluka di Banjar. Keadaan anak ini agak
khusus". "Ya Ki Wiradana, jawab pemimpin kelompok itu, aku pun
akan meminta kepada petugas yang merawat orang-orang sakit,
agar merekalah yang bersedia datang kemari, khusus untuk
merawat anak muda yang terluka secara khusus ini pula".
Ki Wiradana mengangguk-angguk. Sementara itu matahari
telah naik ke kaki langit.
Para petugas di padukuhan itu pun telah menjadi sibuk.
Bergantian mereka menjaga padukuhan itu dan bergantian pula
mereka melakukan pengamanan ke arah kekuatan Jipang yang
menghadapi mereka. Setelah mendapat pengobatan, maka anak muda yang telah
menyakiti dirinya sendiri itupun merasa berangsur menjadi baik.
Darahnya rasa-rasanya telah mengalir wajar, meskipun karena
sebagian dari darahnya telah mengalir melalui luka, maka
tubuhnya pun terasa masih terlalu lemah.
Ia sadar, bahwa pada saatnya ia akan menghadapi
pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam. Karena itu, selama
ia masih sempat, maka ia pun telah menganyam angan-angan. Ia
harus menemukan satu urut-urutan peristiwa yang dikarangnya,
namun harus menjadi satu kenyataan di dalam dirinya sehingga
ia tidak akan salah jawab apabila ia menerima berbagai macam
pertanyaan. Ketika matahari lewat puncak langit, serta setelah ia
mendapat ransum makan siang, yang diperhitungkannya itu pun
terjadilah. Yang kemudian datang kepadanya bukan hanya Ki
Rangga, Warsi dan Ki Randukeling, tetapi ada di antara mereka
para perwira dari prajurit Jipang. Sementara itu Ki Wiradana
masih tetap berada di rumah itu.
Namun anak muda itu telah siap. Ia telah menempatkan
dirinya pengalaman yang sangat pahit ketika ia berada di tangan
para prajurit Pajang. 69 SH. Mintardja Karena itu, ketika orang-orang yang datang itu mengajukan
berbagai pertanyaan, maka jawabannya pun ajeg. Ia tidak
terumbang-ambing oleh pertanyaan yang kadang-kadang
berputar balik. Ia telah mengatakan apa adanya, sesuai dengan
kenyataan yang terjadi di angan-angannya yang disusunnya
dengan matang. "Aku terluka parah," ia mulai dengan ceritanya., "Memang ada
niat untuk menyingkir dari medan. Tetapi aku tidak mampu lagi.
Mungkin orang lain yang tidak mengalaminya, masih juga
menganggap bahwa aku seharusnya dapat menepi dan meloncati
dinding padukuhan. Tetapi aku benar-benar tidak dapat
bergerak. Mataku berkunang-kunang dan tulang-tulangku
bagaikan sudah terlepas dari tubuhku."
Demikian, ceritera yang terjadi di dalam angan-angan itupun
telah diuraikan terperinci. Bagaimana ia dibawa oleh para
prajurit Pajang atas permintaan Gandar. Kemudian ia memang
mengalami pengobatan. Namun setelah keadaannya berangsur
baik, maka mulailah penderitaan yang hampir tidak
tertanggungkan. "Di tangan para perwira keadaanku memang lebih baik.
Tetapi di tangan para prajurit, terutama anak-anak muda yang
ditariknya dari padukuhan-padukuhan, terlebih-lebih lagi
ditangan Gandar, rasa-rasanya aku ingin membunuh diri,"
berkata anak muda itu selanjutnya. Ia pun kemudian
menceriterakan bagaimana ia berusaha untuk melarikan diri.
Karena orang-orang Pajang mengiranya bahwa ia sudah tidak
bertenaga sama sekali, maka penjagaan pun menjadi lengah. Ia
pun berpura-pura seakan-akan ia tidak mampu lagi
menggerakkan jari-jarinya, sehingga orang-orang Pajang mengira
bahwa ia tidak akan mungkin dapat berbuat apa-apa lagi. Namun
dalam keadaan demikian itulah, maka ia berhasil merayap ke luar
melintasi jarak yang cukup panjang bagi seseorang yang dalam
keadaan lemah dan memaksa diri memasuki padukuhan itu.
70 SH. Mintardja "Aku tidak tahu apa yang kemudian terjadi setelah aku
melihat gardu penjagaan bagi kelompokku," berkata anak muda
itu. "Kau pingsan sebelum kau sempat mencapai gardu itu,"
pemimpin kelompoknya meneruskan.
Orang-orang yang mendengarkannya mengangguk-angguk.
Satu dua di antara mereka masih mengajukan beberapa
pertanyaan. Namun jawabnya cukup meyakinkan, sehingga
akhirnya seorang perwira telah berkata, "ia memang tidak berniat
untuk berkhianat. Mudah-mudahan yang dialaminya itu dapat
menjadi petunjuk bagi siapapun yang ingin mencoba memasuki
lingkungan orang-orang Pajang. Mereka akan mengalami
perlakuan yang sama. Mereka akan menjadi permainan yang
sangat menyakitkan tubuh serta hati."
Ternyata anak muda itu mampu meyakinkan orang-orang
Jipang dan para pemimpin Tanah Perdikannya, sehingga mereka
tidak lagi mencurigainya. Namun keyakinan mereka itu harus
ditebus dengan penderitaan, karena seluruh tubuhnya terasa
menjadi sakit, pedih dan nyeri. Sementara darahnya mengalir
dari lukanya, sehingga tubuhnya menjadi lemah sekali.
Pada hari-hari pertama ternyata kebencian kawan-kawannya
terhadap orang-orang Pajang dan Gandar menjadi semakin
besar. Mereka seakan-akan ikut merasa disakiti lahir dan
batinnya. Sekali-kali anak muda itu mendengar kawan-kawannya
mengumpat dan bahkan mendendam.
"Jika saja aku dapat menangkap salah seorang diantara
mereka," berkata seorang kawannya.
Anak muda itu sama sekali tidak memberikan tanggapan. Ia
masih saja berbaring dengan lemahnya. Sekali-kali terdengar ia
berdesis menahan sakit. Di pasukan yang berseberangan, Kiai Soka dan Gandar masih
saja merasa cemas, bahwa anak muda yang telah menyakiti
dirinya itu akan mengalami kesulitan. Bahkan seorang perwira
Pajang pun berkata, "Mudah-mudahan anak itu selamat,
71 SH. Mintardja meskipun ia telah mengorbankan citra prajurit Pajang. Dengan
caranya maka akan terdapat kesan, bahwa prajurit Pajang telah
memperlakukannya diluar batas perikemanusiaan."
"Kesan itu tentu akan timbul pada mulanya," berkata
Gandar., "Tetapi jika ia berhasil, maka ia akan dapat
mempengaruhi setidak-tidaknya beberapa orang kawannya yang
terdekat dan yang paling dipercaya."
"Kita akan menunggu dua tiga hari. Mungkin ada sesuatu
yang terjadi yang dapat ditangkap oleh para petugas sandi atau
anak itu telah tenggelam lagi ke dalam dunianya yang lama tanpa
menumbuhkan perubahan apapun juga."
Kiai Soka dan Gandar itu pun mengangguk-angguk. Namun
tiba-tiba saja Gandar berkata, "Apakah aku dapat mengambil tiga
atau empat orang anak-anak muda Tanah Perdikan Kiai?"
Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam. Maksud Gandar sudah
jelas. Bahkan iapun pernah berpikir untuk berbuat demikian.
Sementara itu perwira Pajang yang ikut berbincang itupun
berkata, "Tentu akan memberikan banyak keuntungan. Jika kau
minta pendapatku, maka aku akan menyatakan dukunganku
sepenuhnya. Tetapi itu. menurut kebutuhan prajurit Pajang.
Kemudian bagaimana pertimbangan para ,pemimpin Tanah
Perdikan bahwa kita harus mengadu anak-anak muda dari satu
lingkungan." "Tidak" jawab Gandar "kita tidak akan mengadu mereka,
karena yang akan aku bawa hanya ampat atau lima orang. Yang
penting bagi kami adalah pengaruh kehadirannya agar anak-anak
muda yang beradaa dilingkungan orang-orang Jipang itu sedikit
terbuka hatinya. Jika kehadiran anak-anak muda itu berhasil
membuka hati mereka disamping usaha yang telah dilakukan
oleh anak muda yang telah menyakiti dirinya sendiri, maka
agaknya kemajuan akan dengan lebih cepat diperoleh."
Kiai Soka anengangguk-angguk. Katanya, "Kau boleh
mencobanya Gandar. Tetapi. segala sesuatunya kau dapat
membicarakannya dengan Kiai Badra dan Iswari. Jika mereka
72 SH. Mintardja sependapat, maka yang kau bawa harus anak-anak muda yang
terbaik, agar kemungkinan pahit yang dapat terjadi atas mereka
dipeperangan dapat diperkecil sekecil-kocilnya."
Gandar mengangguk-angguk. Katanya "Jika demikian, aku
akan segera berangkat."
"Hati-hatilah" berkata Kiai Soka "kau akan melalui daerah
yang membingungkan. Mungkin kau akan bertemu dengan
peronda dari Pajang, tetapi mungkin kau akan berpapasan
dengan peronda dari Jipang."
Gandar mengangguk. Jawabnya "Aku akan berusahaa untuk
menghindarkan diri dari mereka."
"Terlebih-lebih lagi pada saat kau, kembali kemari." berkata
Kiai Soka. Gandar mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya Kiai. Aku;
mohon doa. restu." "Aku akan berdoa. Apalagi kita yakin bahwa yang kita
lakukan, semata-mata untuk kebaikan satu lingkungan yang luas.
Tanah Perdikan Sembojan. Semoga langkah-langkah kita selalu
mendapat perlindungan Yang Maha Kasih sehingga kita akan
dapat menjadi lantaran keselamatan lahir batin orang-orang
Tanah Perdikan Sembojan itu." berkata Kiai Soka.
Atas persetujuan para perwira Pajang, maka Gandarpun telah
menempuh perjalanan kembali ke Tanah Perdikan Sembojan.
Agar perjalanannya tidak diganggu oleh para pra-urit Pajang
yang tidak mengenalnya, maka Gandar telah mendapat satu
tanda yang memberikan isyarat, bahwa pembawa tanda itu
adalah mereka yang membantu para prajurit Pajang. Pertanda itu
adalah, sebuah lingkaran besi sebesar buah jengkol dengan
pahatan gambar lingkaran pula bersusun dua. Disamping itu ia
harus selalu ingat pula kalimat sandi bagi para prajurit Pajang
yang berlaku untuk sepekan. Namun perjalanan Gandar tidak
akan makan waktu sepekan. Bahkan bagi pengamanan
perjalanannya apabila ia melewati waktu yang sepekan, ia 'akan
dapat mempergunakan kalimat sandi khusus yang diperuntukkan
73 SH. Mintardja bagi penghubung yang pergi keluar lingkungan untuk waktu yang
tidak ditentukan, sehingga kalimat sandi yang dikenalnya berlaku
untuk waktu yang lebih panjang.
Demikianlah maka Gandar pun telah meninggalkan Pajang
menuju ke Tanah Perdikan Sembojan, untuk mengambil empat
atau lima anak-anak muda Sembojan yang terpilih.
----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 22. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
74 SH. Mintardja Jilid Ke dua puluh dua Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di,
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 75 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja DALAM pada itu, di pasanggrahan Kangjeng Adipati
Pajaing, Ki Juru Martani berusaha menjelaskan kesimpulan yang
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
didapatkannya setelah ia berbicara beberapa kali dengan Raden
Surtawajaya. "Aku setuju anak itu maju kemedan perang" berkata Ki Juru
Martani. "Anak itu bukan anak kakang" jawab Ki Pemanahan, "Jika. ia
mati, kakang tidak merasa kehilangan."
Ki Juru tertawa. Katanya, "Jangan kau lapisi pertimbangan
nalarmu, dengan perasaanmu yang cengeng seperti itu. Jika aku
menyatakann satu pendapat, maka pendapat itu tentu
berdasarkan atas berbagai macam pertimbangan."
"Sutawijaya masih terlalu kanak-kanak" berkata Ki
Pemanahan. "Kakang," berkata Ki Penjawi., "Sudahlah. Biarlah aku yang
menyatakan diri untuk maju ke medan perang jika sudah kita
ketemukan cara untuk mengatasi kesulitan pasukan pada saat
menyeberangi Bengawan Sore. Aku akan menghadapi Adipati
Jipang apapun yang akan terjadi. Biarlah Kangjeng Adipati
Hadiwijaya duduk tenang di pesanggrahan, karena masih ada
para Senapatinya yang akan mampu mengatasi kemampuan ilmu
Arya Penangsang." "Aku percaya Adi Penjawi," jawab Ki Juru Martani., "Bahwa
kau memiliki keberanian yang cukup untuk menghadapi Arya
Penangsang. Tetapi kau masih belum meyakinkan, bahwa kau
akan dapat mengalahkannya. Apakah kau mempunyai sejenis
pusaka yang akan dapat kau pergunakan untuk menembus ilmu
kebal Arya Penangsang" Atau mungkin lambaran ilmu lain yang
memiliki kemampuan seperti itu?"
"Kakang. Aku, kakang Pemanahan dan kakang Juru adalah
saudara seperguruan Adipati Pajang. Kita mempunyai
2 SH. Mintardja kemampuan yang serupa. Aji Tameng Waja dan bahkan Lembu
Sekilan," jawab Ki Penjawi.
Ki Juru Martani tersenyum. Katanya, "Aku percaya. Kita
sudah saling mengetahui. Tetapi kita pun tidak akan dapat ingkar
jika kita menyebut tataran kemampuan kita atas ilmu yang sama.
Kemampuan kita mengetrapkan ilmu yang sama-sama kita sadap
itu berada pada tataran yang berbeda. Sudah barang tentu,
Adipati Hadiwijaya memiliki kemampuan yang tertinggi. Baru
kemudian kita berturut-turut. Namun aku masih belum yakin
bahwa dengan ilmu itu kita akan mampu mengimbangi tataran
kemampuan Arya Penangsang."
"Jika demikian, kenapa kakang justru menunjuk Sutawijaya
untuk menandingi Arya Penangsang jika kita yang tua-tua ini
masih belum meyakinkan," berkata Ki Pemanahan.
Ki Juru Martani menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya, "Anakmu adalah seorang anak muda yang memiliki
ketangkasan berkuda luar biasa. Berbeda dengan ilmu
kanuragan, maka tidak seorang pun di antara kita yang akan
dapat menyamai ketrampilan naik kuda sebagaimana anakmu
itu." "Sudah aku katakan kakang. Perang berbeda dengan adu
ketangkasan naik kuda," berkata Ki Pemanahan.
"Aku mengerti," jawab Ki Juru., "Tetapi cobalah
menyampaikan hal ini kepada Kangjeng Adipati. Katakan bahwa
kau berdualah yang akan mengatur pasukan untuk melawan
pasukan Jipang tanpa menyeberangi Bengawan Sore. Kalian
berdua merasa cukup kuat untuk menandingi Arya Penangsang,
sehingga Kangjeng Adipati tidak perlu menyingsingkan lengan
bajunya menghadapi Adipati Pajang itu."
"Aku tidak mengerti," berkata Ki Pemanahan., "Jika
demikian, kenapa kita berbicara tentang Sutawijaya. Biarlah aku
dan Adi Penjawi. Kangjeng Adipati tentu lebih percaya, karena
Kangjeng Adipati mengetahui siapa aku dan Adi Penjawi itu."
3 SH. Mintardja "Dalam pembicaraan itu, Sutawijaya harus hadir. Biarlah ia
memaksa diri untuk ikut ke medan. Sekadar ikut ke medan. Itu
saja," berkata Ki Juru.
"Aku tidak mengerti," desis Ki Pemanahan., "Kakang justru
bergurau pada saat kita benar-benar pening menghadapi
kebekuan ini, justru karena Bengawan Sore."
"Aku tidak bermain-main. Cobalah kau katakan hal itu
kepada Kangjeng Adipati," berkata Ki Juru., "Segala sesuatunya
akan kita atur kemudian. Jika kita menghadapi kesulitan, maka
kita akan mengubah cara yang kita tempuh."
Ki Pemanahan masih belum tahu pasti, apakah yang akan
terjadi. Ki Penjawi justru memijit keningnya sambil berkata,
"Kakang membuat kami kebingungan."
"Masih ada beberapa kemungkinan. Kita akan memilih satu
di antaranya. Jika urung, maka kita masih mempunyai
kemungkinan-kemungkinan yang lain," berkata Ki Juru.
Ki Pemanahan dan Ki Penjawi masih saja termangu-mangu.
Meskipun mereka pun yakin, bahwa Ki Juru bukannya tidak
mempunyai perhitungan atau bahkan bermain-main dengan
nyawa anak muda itu. Dalam pada itu, maka Ki Juru pun berkata, "Cobalah
menyampaikannya kepada Kangjeng Adipati bahwa kalian
berdua akan memimpin pasukan untuk melawan Arya
Penangsang. Kemudian suruhlah anakmu memaksa untuk ikut
bersamamu." "Jika Kangjeng Adipati Hadiwijaya mengijinkan" bertanya Ki
Pemanahan. "Kita akan menentukan langkah-langkah berikutnya" jawab
Ki Juru. "Kakang, katakan seluruhnya, apakah sebenarnya yang ingin
kakang lakukan, agar aku tidak menjadi ragu-ragu. Nampaknya
masih ada yang kakang rahasiakan sehingga aku tidak mendapat
4 SH. Mintardja gambaran yang bulat dari apa yang akan terjadi." berkata Ki
Pemanahan. "Kau akan melakukan langkah pertama. Baru langkah itulah
yang akan menentukan langkah-langkah berikutnya. Karena itu,
aku masih belum dapat mengatakannya, apa yang harus kau
lakukan dalam keseluruhan." berkata Ki Juru.
Ki Pemanahan dan Ki Penjawi saling berpandangan. Namun
karena Ki Juru adalah saudara seperguruan mereka yang lebih
tua, serta menurut kebiasaannya, orang itu memang sering
memberikan jalan keluar dalam berbagai macam hambatan yang
pernah terjadi didalam hidup serta didalam mengemban tugas-
tugas mereka, maka akhirnya Ki Pemanahan itu pun berkata,
"Baiklah kakang. Aku akan mencoba menghadap dan
menyampaikan kepada Kangjeng Adipati, apa yang sebaiknya
kita lakukan." Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya, "Bagus. Mudah-
tnudahan yang terjadi memungkinkan kita mengambil langkah-
langkah berikutnya. Namun pada dasarnya, kalian berdua telah
menyatakan keberanian kalian untuk menghadapi Arya
Penangsang. "Kakang Juru benar-benar membingungkan kami" sahut Ki
Penjawi, "kami adalah prajurit. Justru Lurahnya prajurit. Jika
kami tidak mempunyai keberanian untuk menghadapi lawan
yang betapapun tinggi ilmunya, seluruh prajurit Pajang tidak
akan berarti lagi." Ki Juru tersernyum. Katanya, "Aku mengerti adi. Maksudku
adalah jika rencanaku tidak dapat berjalan seperti yang aku
inginkan, maka garis jundurnya adalah kalian berdua benar-
benar akan menghadapi Arya. Penangsang yang garang itu."
"Jangan memperkecil arti perguruan kita sendiri" jawab Ki
Pamanahan, "meskipun kita pantang untuk menyombongkan
diri, tetapi bukankah kita diwajibkan untuk mempunyai
kepercayaan kepada diri sendiri?"
5 SH. Mintardja Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya, "Kau benar.
Sementara, itu kita akan berbuat sesuatu yang mungkin akan
dapat berarti bagi Pajang."
Demikianlah, Ki Pemanahan dan Ki Penjawi telah
memutuskan untuk menghadapi dan mengajukan permohonan
untuk menghadapi Arya. Penangsang langsung. Meskipun
keduanya masih belum pasti, apakah yang akan terjadi, tetapi
mereka pada dasarnya memang mempunyai kepercayaan kepada
saudara tua seperguruan mereka, Ki Juru Martani.
Ketika kesempatan itu datang, maka Ki Pemanahan dan Ki
Penjawi pun telah menyampaikan maksudnya itu kepada
kangjeng Sultan Pajang. "Agaknya lebih baik kami, berdua, mencobanya dahulu
Kangjeng" berkata Ki Pemanahan kemudian, "baru kemudian jika
kami berdua telah gagal, maka terserahlah kepada Kangjeng
Adipati, apakah Kangjeng akan turun sendiri ke medan."
"Bagaimana dengan Bengawan Sore?"bertanya Kangjeng
Adipati. "Kami berdua akan mencoba memecahkannya. Tetapi kami
berdua mohon izin untuk mempergunakan segala kekuatan yang
ada di pesanggrahan ini," mohon Ki Pemanahan.
Kangjeng Adipati merenung sejenak. Lalu katanya, "Kenapa
hanya kalian berdua, sementara itu aku duduk dengan tenang
tanpa berbuat sesuatu di pesanggrahan justru pada saat kalian
mempertaruhkan nyawa kalian" Sebaiknya tidak begitu kakang.
Kita bertiga akan berada di medan. Jika kakangmas Arya
Penangsang ingin berperang tanding, biarlah ia memilih. Kau,
kakang Penjawi atau aku. Kita sama-sama mempunyai bekal dari
sebuah perguruan yang sama. Meskipun mungkin dalam
perkembangannya kita mempunyai jalur yang berbeda, tetapi
pada dasarnya kita mempunyai bekal yang sama. Karena itu,
maka kita masing-masing akan dapat menghadapinya dalam
perang tanding." 6 SH. Mintardja "Tidak Kangjeng Adipati. Kangjeng Adipati adalah seseorang
yang diharapkan untuk dapat menjadi pengikat Tanah ini, agar
kebesaran Demak tidak menjadi surut. Sedangkan kami berdua
adalah Senapati yang memang bertugas di medan perang. Karena
itu, maka biarlah kami berdua menjalankan tugas kami. Jika
kami gagal, segalanya terserah kepada Kangjeng Adipati," sahut
Ki Pemanahan. Kangjeng Adipati merenung sejenak. Namun sambil menarik
nafas dalam-dalam ia berkata, "Aku tidak dapat menolaknya,
kakang Pemanahan. Tetapi aku minta kakang memperhitungkan
segala sesuatunya sebagaimana yang selalu kakang katakan
kepadaku. Misalnya tentang Bengawan Sore."
"Kami akan selalu memperhatikan segalanya yang mungkin
mempengaruhi perang yang akan datang Kangjeng," jawab Ki
Pemanahan. Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Suaranya menjadi
datar., "Berhati-hatilah. Kakangmas Arya Penangsang adalah
seorang yang memiliki ilmu dan kemampuan yang sangat tinggi."
Ki Pemanahan mengangguk hormat. Katanya, "Kami berdua
sudah mempertimbangkan masak-masak, apa yang mungkin
kami lakukan." "Baiklah," berkata Kangjeng Adipati., "Segala sesuatunya
terserah kepada Ki Pemanahan. Tetapi setiap langkah, aku minta
dihubungi. Beberapa orang penghubung khusus aku minta selalu
memberikan gambaran tentang perang yang akan terjadi. Karena
mungkin aku tidak menunggu keadaan menjadi terlambat. Aku
dapat saja turun ke medan setiap saat."
"Kangjeng jangan gelisah," berkata Ki Pemanahan., "Jika
kami berdua sudah tidak ada lagi, terserahlah. Tetapi kami
mohon Kangjeng Adipati percaya sepenuhnya kepada kami
berdua." "Kakang," berkata Kangjeng Adipati., "Bukan aku tidak
percaya. Tetapi banyak kemungkinan dapat terjadi. Jika aku
anggap perlu untuk turun ke medan, maka tidak seorang pun
7 SH. Mintardja yang dapat mencegah aku. Apalagi jika keadaan prajurit Pajang
menjadi parah menghadapi prajurit Jipang, maka kehadiranku
akan sangat berpengaruh. Karena jika aku turun ke medan berarti
bukan aku sendiri. Tetapi pasukan pengawal khusus itu pun akan
beserta aku pula memasuki medan pertempuran."
Ki Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Memang tidak
ada seorang pun yang berhak mencegah jika hal itu memang
sudah dikehendaki oleh Kangjeng Sultan. Namun Ki Pemanahan
masih berharap bahwa dengan rencana yang akan disusun
bersama Ki Juru, ia dan Ki Penjawi akan dapat menyelesaikan
persoalan antara Pajang dan Jipang.
Namun dalam pada itu, sebagaimana dipesankan kepada
Sutawijaya yang bergelar Ngabei Loring Pasar sebelumnya, maka
tiba-tiba saja ia pun berkata, "Ampun ayahanda Adipati. Hamba
mohon, agar hamba diperkenankan ikut dalam pertempuran itu
bersama ayah Pemanahan dan paman Penjawi."
Adipati Pajang mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian tersenyum sambil berkata, "Jangan nakal Sutawijaya.
Kau tinggal bersamaku di pesanggrahan. Besok, jika datang
waktunya, maka kita akan pergi bersama-sama."
"Ayahanda, hamba sudah cukup dewasa. Hamba sudah
waktunya untuk turun ke medan. Apalagi akan berada di medan
pula ayah Pemanahan dan paman Penjawi," desak Sutawijaya.
"Tunggulah jika saat itu datang," jawab Adipati Hadiwijaya.
"Saat itu sudah datang" berkata Suaawijaya pula "hamba
merasa tidak akan tenang berada, di pasanggrahan, sementaraa
itu perang terjadi di pinggir Bengawan Sore." '
"Akulah yang harus merasa demikian" sahut Kangjeng
Adipati "karena. itu, tinggallah bersamaku. Pada saatnya kita
akan pergi bersama-sama seperti, yang sudah aku katakan."
"Hamba mahon ampun ayahanda. Hamba ingin pergi
bersama ayah Pemanahan dan paman Penjawi. Hamba ingin
8 SH. Mintardja menunjukkan kepada Pajang, bahwa. kehadiran hamba
mempunyai arti bagi Pajang."
"Aku mengerti Sutawijaya" jawab Kangjeng Adipati "aku
memang berharap bahwa kau menyadari kehadiranmu bagi
Pajang. Tetapi kau tidak akan dapat melakukan sesuatu diluar
kemampuanmu. Kau memang harus menunjukkan baktimu bagi
tanah kelahiran. Bukankah setiap kali kau mendengar nasehat
dan petunjukku tentang hal itu.. Namun kau tidak boleh
melupakan kenyataan. Kau dapat berbuat sesuatu dimedan
perang. Tetapi setelah kakang Pemanahan dan kakang Penjawi,
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau aku sendiri kelak menyingkirkan kakangmas Arya
Penangsang. Kau dapat menghadapi para Senapatinya, sekaligus
untuk menilai kemampuan ilmumu."
Tetapi Raden Sutawijaya menjawab, "Ayahanda. Satu
keinginan telah mendesak dihati hamba tanpa dapat dikekang. Hamba ingin turun
ke medan perang. Bukankah
ayahanda mengajarkan kepada
hamba, bahwa hidup dan mati
itu bukan milik hamba sendiri"
Karena itu ayahanda, perkenankanlah hamba maju
ke medan perang dengan bekal
yang ada didalam diri hamba
serta pasrah bahwa Yang Maha
Kasih akan melindungi hamba
serta seluruh pasukan Pajang.
Meskipun segala.nya. harus
disertai dengan usaha dan perjuangan yang tidak. mengenal
surut" Kangjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam. Agaknya.
Sutawijaya tidak dapat dicegah lagi. Bahkan Kangjeng Adipati
9 SH. Mintardja telah disentuh oleh perasaan bangga atas anak angkatnya
meskipun ia masih juga dibayangi oleh kecemasan.
Namun ketika ia melihat Ki Pemanahan maka ia pun
kemudian bertanya "Bagaimana menurut pendapatmu kakang
Pemanahan. Satawijaya telah aku ambil sebagai anakku. Aku
mengasihinya seperti anakku sendiri. Tetapi bagaimanapun juga
ia adalah anakmu. Karena itu aku memerlukan
pertimbanganmu." Ki Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia-pun menjawab, "Bagi hamba Kangjeng, angger
Sutawijaya agaknya ingin menunjukkan bahwa ia sudah mulaj
menginjak usia dewasanya. Meakipun demikian segala
sesuatunya terserah kepada Kangjeng Adipati."
Adipati Pajang itu merenung sejenak. Namun kemudian
katanya "Baiklah kakang. Kakang sendiri akan turun ke medan.
Karena itu aku titipkan Sutawijaya kepada kakang. Disamping
itu, akui minta sekali lagi, agar aku. selalu dihubungi untuk
mendapatkan gambaran apa yang terjadi di medan. Jika perlu,
perintahkan panghubung untuk memberi isyarat agar aku. turun
sendiri membantu kakang pemanahan dan kakadg Penjawi.
Apalagi Sutawijaya akan ikut bersama kakang berdua."
Ki Pemanahan menunduk hormat sambil menjawab "Ampun
Kangjeng Adipati. Hamba menyadari bahwa hamba telah
mendapat beban yang berat. Selain hamba harus menghadapi
Arya Penangsang, hamba. harus melindungi angger Sutawi}aya.
Tetapi hamba tidak sendiri. Hamba turun ke medan bersama adi
Penjawi." Kangjeng Adipati mengangguk-angeuk. Lalu katanya kepada
Sutawijaya, "Baiklah ngger. Jika hatimu telah bulat. Tetapi ingat
bahwa kau adalah orang baru di peperangan. Karena itu, kau
harus menurut segala perintah ayah dan pamanmu. Dalam hiruk
pikuknya pertempuran, jika ayah dan pamanmu tidak dapat
mengawasimu karena mereka sendiri terlibat didalam
pertempuran, maka kau harus tunduk kepada perintah Senapati
10 SH. Mintardja yang memimpinmu. Ingat, kau bukan Panglima di peperangan
itu. Kau bukan lagi anakku dan mempunyai pengaruh tertentu di
medan. Tetapi segala sesuatu berada sepenuhnya di tangan
Panglima, serta Senapati-senapati yang melakukan wewenang
atas perintahnya." Sutawijaya menengadahkan wajahnya. Nampak sorot
matanya menjadi cerah. Dengan nada tinggi ia berkata, "Jadi,
ayahanda memperkenankan hamba, ikut bersama ayah dan
paman?" "Kau tidak bertamasya bersama ayah dan pamanmu. Tetapi
kau maju perang dalam susunan barisan tertentu. Ingat ini,
Sutawijaya." pesan ayahandanya pala.
"Hamba ayahanda. Hamba mengucapkan terima kasih atas
perkenan itu." jawab Sutawijaya.
Kangjeng Adipati pun kemudian berkata kepada Ki.
Pemanahan "Segala sesuatunya terserah kepada kakang berdua."
"Baiklah Kangjeng" jawab Ki Pemanahan "hamba dan adi
Penjawi akan berusaha sebaik-baiknya. Namun sekali lagi kami
mohon perkenan Kangjeng Adipati, bahwa kakang Juru Mertani
akan menyertai hamba."
"Kakang Juru Martani?" ulang Kangjeng Adipati. "Hamba
Kangjeng" jawab Ki Pemanahan.
Kangjeng Adipati itu pun mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
berterima kasih kepadanya. Aku mengerti, bahwa kakang Juru
Martani adalah seorang yang memiliki ketajaman nalar. Mudah-
mudahan ia akan dapat membantu kita semuanya dalam usaha
,penyelesaian." "Jika Kangjeng tidak berkeberatan, maka perkenankan kami
menghubunginya. Sekaligus kami mahon diri dan mohon doa
restu agar kami dapat menyelesaikan tugas ini sebaik-baiknya"
berkata Ki Pemanahan. "Baiklah. Pergilah dan berjuanglah bagi kejayaan tanah
kelahiran yang sedang dibayangi oleh kabut perpecahan ini.
11 SH. Mintardja Mudah-mudahan kita semuanya. dapat mengatasinya. Jika
perjuangan kami ternyata benar, Tuhan tentu akan menyertai
kita. Tetapi jika tidak, segalanya terserah atas kehendak Nya,
karena .hanya kehendak-Nya sajalah yang akan terjadi." desis
Kangjeng Adipati. Demikianlah mereka pun telah mohon diri. Sutawijaya pun
telah mohon diri pula. Tetapi ketika Sutawijaya itu bergeser beberapa langkah surut
maka Kangjeng Adipati, itu pun telah menahannya sambil
berkata, "Tunggu Sutawijaya. Sudah sepantasnya seseorang yang
pergi kemedan perang itu membawa pusaka bagi sipat
kandelnya." Bukan saja Raden Sutawijaya yang bergelar Raden Ngabehi
Loring Pasar yang tertegun, tetapi juga Ki Pemanaban dan Ki
Peajawi. Sementara itu, Kangjeng Adipati pun berkata, "Sutawijaya. Ke
medan perang harus disertai lambaran berani menghadapi
kemungkinan yang paling pahit sekalipun. Meskipun kau benar,
bahwa hidup dan mati itu memang bukan milik kita. Tetapi kita
perlu berusaha untuk mempertahankan oleh "tunya. Karena itu,
agar aku menjadi lebih tenang melepaskan kepergianmu ke
medan, maka aku ingin memberimu senjata yang mungkin akan
dapat kau pergunakan untuk melindungi dirimu sendiri,
meskipun seandainya tanpa disengaja kau bertemu langsung
dengan pamanmu, Arya Penangsang."
Sutawijaya. menjadi berdebar-debar. Sementara itu Kangjeng
Adipati telah berdiri sambil berkata pula "Tunggulah."
Raden Sutawujaya yang telah bergeser dari tempatnya itu pun
telah duduk kembali. Demikian pula Ki Pemanahan dan Ki
Penjawi Mere;kaa menunggu dengan jantung yang berdebar-
debar. Pusaka apakah yang akan diberikan kepada Raden
Sutawijaya. Betapa terkejut Ki Pemanahan dan Ki Penjawi melitiat
Kangjeng Adipati itu ketika keluar dari ruang penympanan
12 SH. Mintardja Pusaka di Pasanggrahan itu depgan membawa sepucuk tombak,
Kangjeng Kiai Pleret. Ki Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Ternyata kasih
Kangjeng Adipati kepada anaknya yang diambilnya anak angkat
itu benar-benar merasuk sampai ketulang sungsum. Kangjeng
Kiai Pleret adalah pusaka tertinggi yang dimiliki oleh Kangjeng
Adipati disamping kerisnya bersama Kiai Crubuk, yang tidak
pernah terpisah dari tubuhnya. Ternyata bahwa Kangjeng Kiai
Pleret itulah yang akan menjadi pusaka sipat kandel Sutawijaya.
Kangjeng Adipati itu pun kemudian duduk pula. kembali
sambil berdesis, "Sutawijaya.
Setiap orang di Pajang dan
bahkan Demak mengenali pusaka ini. Aku ingin memberikan kepadamu sebagai
bekal. Mudah-mudahan pusaka
ini dapat menjadi lantaran
keselamatanmu, bahkan seandianya kau bertemu langsung dengan Adipati Jipang
diluar perhitungan, karena di
peperangan itu banyak kemungkinan yang dapat terjadi. Sutawijaya justru bagaikan
membeku. Namun jantungnyalah yang serasa melonjak. Ia tidak
menduga sama sekali bahwa ayahanda angkatnya akan
nnemberikan bekal yang paling berharga disamping bekal
ilmunya. "Kemarilah Sutawijaya," panggil Kangjeng Adipati.
Sutawijaya itu pun kemudian mendekat sambili berjalan
jongkok. Dengan nada yang penuh dengan ucapan terima kasih,
Sutawijaya menerima pusaka yang sangat berharga baginya itu,
13 SH. Mintardja apalagi jika ia kelak memasuki medan perang melawan pasukan
Jipang. Hampir tidak dapat keluar dari kerongkongannya ketika ia
kemudian mengucapkan, "Terima kasih ayahanda."
Kangjeng Adipati menepuk pundaknya sambil berkata,
"Berhati-hatilah. Tombak ini adalah tombak pusaka terbesar yang
aku miliki. Pergunakanlah sebagaimana anggapanmu atas dirimu
sendiri, bahwa kau telah dewasa. Seorang yang dewasa akan
memilih keadaan yang paling tepat untuk mempergunakan
sebuah pusaka besar sebagaimana Kangjeng Kiai Pleret. Kau
tidak dapat mempergunakannya untuk sekadar bersombong diri,
apalagi untuk kepentingan yang bertentangan dengan watak
seorang kesatria." "Hamba ayahanda," jawab Sutawijaya. Sebenarnya masih
banyak yang ingin dikatakannya. Tetapi kata-katanya seakan-
akan telah tersangkut dikerongkongan.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Pemanahan, Ki
Penjawi dan Sutawijaya sekali lagi mohon diri meninggalkan
penghadapan di pesanggrahan itu. Dengan restu Kangjeng
Adipati mereka harus mempersiapkan diri, membuka medan
yang menentukan menghadapi pasukan Jipang di seberang
Bengawan Sore. Ketika mereka sampai di pondok dilingkungan pesanggrahan,
maka mereka pun segera ditemui oleh Ki Juru Martani.
Dengan singkat Ki Pemanahan telah menceriterakan apa yang
terjadi pada saat mereka menghadap Kangjeng Adipati.
"Angger Sutawijaya telah diperkenankan untuk ikut ke
medan. Nah, apa yang harus kami lakukan bagi langkah
berikutnya?" bertanya Ki Pemanahan.
Ki Juru mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam ia
bertanya, "Apakah Kangjeng Adipati tidak berpesan apapun
kepada Sutawijaya ketika Kangjeng mengijinkannya pergi
bersamamu, adi?" 14 SH. Mintardja "Ya. Kangjeng Adipati telah berpesan serta memberikan
petunjuk-petunjuk kepada angger Sutawijaya," jawab Ki
Pemanahan. "Dimana Sutawijaya sekarang?" bertanya Ki Juru.
"Anak itu berada di dalam bilikku. Ia sedang mempersiapkan
dirinya lahir dan batinnya," jawab Ki Pemanahan.
Ki Juru mengangguk-angguk. Namun ia pun bertanya,
"Apakah Kangjeng Adipati tidak memberikan lebih dari pesan
dan nasihat-nasihat?"
Ki Pemanahan dan Ki Penjawi mengerutkan keningnya.
Namun tiba-tiba Ki Pemanahan berkata sambil mengangguk-
angguk, "Aku baru mengerti kakang. Apakah kau menyadari adi
Penjawi?" Ki Penjawi pun mengangguk-angguk pula. Jawabnya, "Ya.
Ternyata kakang Juru Martani mempunyai perhitungan yang
jauh. Jadi kakang Juru sudah melihat kemungkinan bahwa
Kangjeng Adipati akan memberikan Kangjeng Kiai Pleret kepada
angger Sutawijaya?" Ki Juru Martani tersenyum. Katanya, "Pada langkah pertama
perhitunganku tepat. Tanpa angger Sutawijaya, Kangjeng Adipati
tidak akan memberikan pusaka terbesarnya itu. Sementara itu,
setiap orang mengetahui, bahwa Arya Penangsang adalah orang
yang memiliki ilmu yang tinggi. Tanpa pusaka bernilai tinggi
pula, maka tidak seorang pun akan mampu mengalahkannya."
"Baiklah kakang," berkata Ki Pemanahan., "Tetapi apakah
mungkin aku atau adi Penjawi lah yang kemudian membawa
tombak pusaka terbesar itu di medan. Jika demikian, apabila
terjadi sesuatu dengan Sutawijaya, alangkah murkanya Kangjeng
Adipati, justru karena pusaka yang diberikan kepada anak
angkatnya itu berada ditangan orang lain."
"Jangan kau minta pusaka itu," jawab Ki Juru., "Juga jangan
adi Penjawi. Biarkan Sutawijaya sendiri yang membawanya ke
medan. Karena seperti yang kau katakan, jika terjadi sesuatu
15 SH. Mintardja dengan anak itu sementara pusaka itu berada ditangan orang
lain, maka orang yang membawa pusaka itu tentu akan
digantungnya." "Jadi menurut kakang, Sutawijaya benar-benar harus
menghadapi Kangjeng Adipati Jipang?" bertanya Ki Pemanahan.
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya dengan
nada dalam, "Agaknya yang terjadi harus demikian."
"Kakang tidak bergurau?"
bertanya Ki Penjawi. Ki Juru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
katanya, "Baiklah, segala
sesuatunya kita rencanakan
dengan cermat. Kita akan membicarakannya jika kalian
setuju. Jika tidak kita akan
mencari upaya lain."
Ki Pemanahan dan Ki Penjawi saling berpandangan
sejenak. Sementara itu Ki Juru
Martani berkata selanjutnya,
"Tetapi satu hal yang perlu
diingat. Kalian sudah menyanggupi untuk turun ke
medan lebih dahulu sebelum Kangjeng Adipati itu sendiri.
Sebagai Panglima yang dipercaya, kalian hanya mempunyai dua
pilihan. Berhasil membunuh Arya Penangsang atau tidak keluar
lagi dari medan jika kalian gagal."
"Kami menyadari," jawab Ki Pemanahan., "Dalam
pertempuran ini, maka taruhannya adalah nyawa kami. Seperti
yang kakang katakan. Hanya ada dua pilihan. Membunuh atau
dibunuh oleh Arya Penangsang. Kemudian keadaan pasukan yang
seimbang akan ditentukan oleh keadaan itu. Jika kami yang
dibunuh, maka pasukan Pajang akan dikoyak oleh pasukan
16 SH. Mintardja Jipang sampai saatnya Kangjeng Adipati sendiri turun ke medan.
Tetapi jika Arya Penangsang terbunuh, maka pasukan Jipanglah
yang akan pecah bercerai berai."
"Jangan lengah," Ki Juru mengingatkan., "Masih ada Patih
Mantahun. Bahkan mungkin pada benturan pertama, yang akan
kalian jumpai di medan adalah Patih Mantahun. Baru kemudian
Arya Penangsang akan menyusul."
"Kami akan menurut saja petunjuk kakang Juru jika mungkin
kami lakukan menurut pertimbangan keprajuritan," berkata Ki
Pemanahan kemudian. "Baiklah," berkata Ki Juru., "Besok kita akan melihat-lihat
tepian Bengawan Sore sekaligus merencanakan, apa yang
sebaiknya kita lakukan kemudian."
Demikianlah, sebagaimana dikatakan oleh Ki Juru, dihari
berikutnya, mereka bertiga telah berada di tepian Bengawan Sore.
Mereka tidak hadir ditepian dengan sepasukan prajurit yang
lengkap untuk siap menyeberangi Bengawan. Tetapi mereka
sekadar melihat-lihat, untuk menentukan langkah-langkah yang
paling baik menghadapi pasukan Jipang diseberang.
Ki Pemanahan dan Ki Penjawi hanya membawa sekelompok
kecil pengawal, sementara para prajurit yang memang bertugas
ditepian untuk mengawasi gerak-gerik pasukan Jipang telah
menyambut kehadiran mereka.
Untuk beberapa saat mereka bertiga hanya mondar-mandir
ditepian. Mereka kadang-kadang berdiri sambil mengamati
keadaan diseberang. Dari tempat mereka, ketiga orang itu
melihat kesiagaan para pengawas dari Jipang ditepian sebelah.
"Kita tidak akan dapat menyeberangi Bengawan ini tanpa
diketahui oleh prajurit Jipang ," berkata Ki Pemanahan.
Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya, "Kita harus berusaha
memancing mereka untuk menyeberang."
17 SH. Mintardja "Mereka mengerti sebagaimana kita mengerti, bahwa
menyeberangi Bengawan mengandung bahaya yang bahkan
dapat menentukan," jawab Ki Pemanahan.
Ki Juru pun menyahut, "Aku mengerti."
Ki Pemanahan termangu-mangu. Namun ia pun tidak
mengatakan sesuatu lagi. Ki Pemanahan dan Ki Penjawi pun kemudian mengikuti saja
langkah-langkah Ki Juru Martani. Sekali-kali Ki Juru telah
menunjuk ke arah para prajurit Jipang. Kemudian berjalan lagi
hilir mudik. Bahkan kemudian Ki Juru pun telah mengambil batu
dan melontarkannya ketengah-tengah Bengawan.,
"Agaknya tidak terlalu dalam di musim kering begini,"
berkata Ki Juru., "Meskipun demikian, aku sependapat bahwa
kita tidak akan menyerang."
Ki Pemanahan dan Ki Penjawi mengangguk-angguk. Kata-
kata itu sudah diucapkannya beberapa kali.
Namun dalam pada itu, Ki Juru pun tertegun ketika ia
melihat seseorang yang sedang menyabit rumput. Hanya seorang
diri, sementara itu, para pekatik dari Pajang agaknya tidak akan
menyabit rumput ditempat itu, karena disebelah pesanggrahan
terdapat lingkungan yang rumputnya subur dan terdapat
disebuah ara-ara yang cukup luas, disambung dengan padang
perdu sebelum mencapai tepi sebuah hutan kecil yang mulai
dibuka untuk tanah persawahan. Namun agaknya usaha tu
terhenti ketika perang mulai membakar Demak.
"Aku tertarik melihat orang menyabit rumput itu," berkata Ki
Juru., "Tentu bukan seorang petani kebanyakan menilik dari
pakaiannya. Keranjangnya pun sebuah keranjang yang lebih baik
dari keranjang orang kebanyakan."
"Apa yang menarik pada orang itu?" bertanya Ki Penjawi.
Ki Juru hanya tersenyum saja. Namun ia pun telah mendekati
orang itu dan kemudian bertanya, "Ki Sanak. Untuk apa Ki Sanak
menyabit rumput?" 18 SH. Mintardja Orang itu berpaling ke arah Ki Juru sambil mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia pun menjawab, "Sudah tentu
untuk memberi makan kuda."
"O," Ki Juru mengangguk-angguk., "Jadi kau tidak menyabit
rumput untuk seekor kambing misalnya."
"Untuk memberi makan kambing aku tidak perlu menyabit
rumput disini," jawab orang itu.
"Itulah yang ingin aku tanyakan," berkata Ki Juru., "Kenapa
Ki Sanak menyabit rumput disini" Apakah Ki Sanak anak orang
Pajang atau orang Jipang?"
"Aku bukan orang Pajang," jawab orang itu tanpa merasa
takut. "Jadi kau orang Jipang?" bertanya Ki Juru.
"Ya. Aku orang Jipang. Aku menyabit rumput khusus bagi
kuda Kangjeng Adipati. Hanya rumput ditempat inilah yang
sangat digemari oleh kuda yang disebut Gagak Rimang itu,"
orang itu justru berbangga.
"Kenapa kau tidak merasa takut, bahwa kau akan ditangkap
oleh para prajurit Pajang" Bukankah kau sadari, bahwa Pajang
dan Jipang kini sedang berperang?" bertanya Ki Juru
"Aku mengerti," jawab orang itu., "Tetapi bukankah orang-
orang Pajang bukannya pengecut" Jika aku seorang prajruit,
mungkin aku akan ditangkap. Tetapi aku anya seorang pekatik.
Buat apa orang-orang Pajang menangkapku" Selain tidak ada
artinya, maka mereka pun tidak akan melakukannya
sebagaimana dikatakan oleh para prajurit Jipang, bahwa prajurit
Pajang tidak akan merendahkan dirinya menangkap seorang
pekatik." Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya, "Benar Ki Sanak.
Kami memang tidak akan mengganggu seorang pekatik. Silakan.
Disini rumputnya memang subur dan khusus."
19 SH. Mintardja Pekatik itu mengangguk-angguk. Tetapi tangannya sama
sekali tidak berhenti menyabit rumput.
Ketika Ki Juru kemudian meninggalkan tempat itu, maka ia
pun berdesis, "Nampaknya diseberang sungai tanahnya tidak
sesubur di daerah ini, sehingga khusus bagi kuda Arya
Penangsang yang bernama Gagak Rimang itu telah dicarikan
rumput secara khusus pula."
"Apa orang itu bukan
seorang petugas sandi?"
bertanya Ki Pemanahan. "Memang mungkin. Tetapi
dari tempatnya menyabit rumput, ia tidak akan mendapat keterangan apapun
juga tentang prajurit Pajang di
pesanggrahan," jawab Ki Juru.
"Tetapi ia dapat berhubungan dengan seseorang yang mungkin berhasil menyusupkan dirinya
ke dalam lingkungan prajurit
Pajang," jawab Ki Pemanahan.
"Memang mungkin. Tetapi
dari tempatnya menyabit rumput, ia tidak akan mendapat
keterangan apapun juga tentang prajurit Pajang di
pesanggrahan." jawab Ki Juru.
"Tetapi ia dapat berhubungan dengan seseorang yang
mungkin berhasil menyusupkan dirinya kedalam lingkungan
prajurit Pajang." jawab Ki Pemanahan.
"Kau. dapat menunjuk satu atau dua orang kepercayaanmu
untuk mengawasinya dari kejauhan. Tetapi jangan
ditakuttakutinya, karena mungkin kita memerlukannya" berkata
Ki Juru. 20 SH. Mintardja "Untuk apa ?" bertanya Ki Penjawi, "apakah mungkin pada
suatu saat kita akan menangkapnya dan memaksanya
memberikan keterangan tentang pasukan Jipang" Apakah ia
memiliki pengertian barang sedikitpun tentang keadaan para
prajurit Jipang" Agaknya yang diketahuinya haniyalah simpanan
rumgut Arya Penangsang bagi kudanya yang bersama Gagak
Rimang itu." "Tentu tidak adi Penjawi. Kita tidak akan mengharapkan
keterangan apapun dari padanya. Tetapi mungkin kita
memerlukannya untuk kepentingan lain. Karena itu, sejak
sekarang kita harus memerintahkan seorang yang benar-benar
dapat dipercaya untuk bukan saja mengawasinya, jika mungkin ia
berhubungan dengan seseorang dalam tugas sandi, tetapi orang
yang mengawasinya itu harus tahu benar, setiap hari apa pekatik
itu menyeberangi Bengawan Sore dan menyabit rumput ditempat
itu." berkata Ki Juru.
"Kakang terlalu berahasia terhadap kami" desis Ki
Pemanahan, "kami adalah :prajurit-prajurit Pajang, justru yang
telah menyatakan diri bersedia menyelesaikan pasukan Jipang
bahkan dengan Arya Penangsangnya sekaligus. Sudah tentu kami
tidak akan berbuat bodoh untuk membocorkan rahasia yang
mungkin akan sangat penting artinya, jika kami tidak ingin leher
kamilah yang akan ditebas dengan keris pusaka Arya Penangsang
yang dinamainya Kangjeng Kiai Setan Kober itu."
"Bukan aku berahasia adi" berkata KI Juru, "rencana yang
aku susun belum matang. Itulah sebabnya, aku masih ingin
mandapatkan beberapa keterangan yang akan dapat
mematangkan rencanaku. Baru kemudian kita akan melangkah"
Ki Pemanahan dan Ki Penjawi tidak mandesaknya lagi. Tetapi
Ki Penjawi kemudian berkata, "Tetapi jangan menunggu
Kangjeng Adipati Pajang kehilangan kesabaran. Betapa malu kita
semua, jika tiba-tiba saja Kangjeng Adipati yang tidak sabar telah
langsung turun ke medan dan memimpin prajurit Pajang
menyeberangi Bengawan tanpa dapat dicegah lagi."
21 SH. Mintardja Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku minta
waktu" sepekan. Kalian lebih baik berterus terang, bahwa kalian
akan melakukannya satu dua hari setelah lewat sepekan,
sementara ini kalian sedang mempersiapkan segala sesuatunya
serta memperhitungkan hari yang paling baik untuk berangkat
menunaikan kerja yang besar ini. Aku kira Kangjeng Adiipati
dapat mengerti dan tidak mengambil langkah-langkah sendiri.
Sementara itu, kalian berdua benar-benar harus mulai
mempersiapkan prajurit Pajang sebaik-baikmya. Jika Kangjeng
Adipati melihat kalian mulai bergerak, maka ia tidak akan gelisah
menunggu." Ki Pemanahan dan Ki Penjawi mengangguk-angguk. Namun
mereka sependapat dengan Ki Juru, bahwa mereka harus mulai
berbuat sesuatu, disamping berterus terang, bahwa langkah-
langkah yang pasti baru dapat diambil setelah lewat sepekan.
Dengan demikian, maka Ki Pemanahan dan Ki Penjawi pun
telah mulai memanggil para pemim:pin kelampok prajurit Pajang
yang berada di pasanggrahan. Sedikit demi sedikit Ki Pemanahan
telah memberitahukan kepada mereka, agar mereka bersiap-siap
untuk menghadapi perang yang besar yang mungkin. akan segera
meledak. "Kami hampir kehilangan kesabaran" berkata seorang
Senapati "jika perintah itu jatuh, maka kamipun siap untuk
melintasi Bengawan Sore dan memecahkan pertahanan orang.
orang Jipang." "Segala sesuatunya sedang kami rencanakan dengan cermat"
berkata Ki Pemanahan, "yang penting bagi kalian, dalam waktu
sepekan ini, cobalah membiasakan diri kembali dengan senjata-
senjata. kalian. Kalian harus meningkatkan latihan-latihan baik
secara pribadi maupun dalam kelompok, bahkan gelar perang.
Mungkin selama ini kalian telah mulai dibayangi oleh kejemuan
sehingga kalian menjadi segan berlatih untuk mempergunakan
senjata kalian masing-masing. Nah, agaknya sekarang sudah tiba
waktunya. Jika selama ini kita sempat tidur nyenyak, maka
sekarang kita harus segera bangun."
22 SH. Mintardja Dengan perintah itu, maka para prajurit Pajang di
pasangngrahan itu pun mulai bangkit. Mereka kemudian telah
mengadakan laiihan-latihan yang berat. Namun mereka tidak
boleh kehabisan nafas, sehingga jika datang saatnya mereka
harus benar-benar bertempur, mereka sudah kehabisan tenaga
sama sekali. Yang ditingkatkan kemudian bukan saja kemampuan
memegang senjata, tetapi juga persediaan dan perlengkapan
keprajuritan bagi pasukan Pajang itu.
Sebagaimana disadari oleh para pemimpin Pajang, maka
persiapan yang d.ilakukannya itu, tidak lepas dari pengamatan
para petugas sandi Jipang. Karena itu, maka Jipang pun telah
bersiap-siap pula menghadapi segala kemungkinan. Bahkan
sebagaimana pernah diperintahkan oleh Patih Mantahun, maka
gerakan pasukan Jipang yang tersebar pun harus ditingkatkan.
Kepada para penghubung Patih Mantahun berkata, "Jangan
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beri kesempatan para Senapati Pajang memusatkan perhatiannya
kepada kekuatannya di pasanggrahan. Jika keadaan pasukannya
yang tersebar mendapat tekanan yang berat, maka para Senapati
di Pasanggrahan pun tentu akan berpikir tentang mereka. Bahkan
mungkin mereka harus mengirimkan pasukan untuk
membantunya." Perintah itu pun segera tersebar. Tetapi agaknya sulit bagi
para prajurit Jipang untuk melakukan perintah itu, karena
kekuatan mereka tidak lebih besar dari kekuatan pasukan Pajang
yang juga tersebar. Yang dapat dilakukan oleh prajurit Jipang hanyalah
meningkatkan gangguan-gangguan mereka atas pasukan Pajang.
Sementara mereka yang berada di sekitar Pajang, telah
meningkatkan usaha mereka menakut-nakuti orang-orang Pajang
dan menyebarkan keterangan yang dapat membuat orang-orang
Pajang gelisah, karena menurut mereka pasukan Pajang telah
dipukul hancur dimana mana.
23 SH. Mintardja Dengan susah payah para prajurit Pajang telah memerangi
usaha itu. Berbagai cara sudah ditempuh, sehingga dengan
demikian maka perang yang terjadi tidak saja dengan ketajaman
ujung senjata, tetapi juga dengan ketajaman ujung lidah.
Dalam pada itu, di daerah sebelah Timur Pajang,
pertempuran-pertempuran pun semakin sering terjadi, meskipun
tidak merupakan perang yang cukup besar untuk
memperebutkan kedudukan. Pasukan Jipang yang di antaranya
terdiri, dari anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan berusaha
untuk meningkatkan gangguan mereka sebagaimana di
kehendaki oleh Ki Patih Mantahun. Namun kekuatan mereka
sangat terbatas, sehingga setiap kali mereka harus membuat
perhitungan-perhitungan yang cermat.
*** Sementara itu. Gandar yang pergi ke Tanah Perdikan
Sembojan telah menempuh perjalanan kembali ke Pajang
bersama dengan sepuluh orang anak muda Tanah Perdikan
Sembojan yang memiliki ilmu yang paling baik diantara kawan-
kawan .mereka "Kepergian kalian berbeda dengan kepergian kawan-kawan
kalian yang berada dilingkungan pasukan Jipang" berkata
Gandar, "mereka telah terseret tanpa dapat melawan, yang
bahkan ternyata telah merampas kesadaran pribadi mereka,
bahwa yang mereka lakukan adalah semacam pamberontakan.
Tetapi kalian justru akan mengemban tugas sebaliknya. Kami
bermaksud untuk memberikan kesadaran kembali kepada
kawan-kawan kalian yang telah lupa diri. Jika mereka melihat
kalian, mungkin mereka akan mulai berpikir tentang kedudukan
mereka." Sebenarnya banyak anak-anak muda. yang menyediakan diri.
untuk pergi. Tetapi Kiau Badra dan Iswari tidak melepaskan
mereka, karena mereka sangat diperlukan untuk menjaga
ketenangan Tanah Perdikan Sembojan yang mulai tumbuh.
Bahkan sebenarnya jumlah anak-anak muda di Tanah Perdikan
24 SH. Mintardja itu terlalu sedikit. Namun karena setiap laki-laki yang masih
mampu untuk berbuat sesuatu telah merelakan diri mareka
untuk ikut menegakkan Tanah Perdikan itu dengan cara mereka
masing-masing, maka para pemimpin Tanah Perdikan itu tidak
terlalu mencemaskan keadaan. Ternyata bahwa Tanah Perdikan
Sembojan itu tidak terlalu merasa diguncang oleh peperangan
yang terjadi antara Pajang dan Jipang, justru sepeninggal Ki
Wiradana pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan
serta orang-orang yang mempengaruhinya.
Orang-orang Tanah Perdikan itu tidak lagi merasa terlalu
berat dibebani oleh pajak yang tidak mereka ketahui untuk apa.
Beberapa orang dengan bersembumyi telah memperkatakan
pajak pada waktu Ki Wiradana be,rkuasa, bahwa pajak itu telah
dihisap untuk kepentingan pribadi isteri Ki Wiradana dan beaya
bagi para pengawal yang manja, namun yang ternyata telah
menjadi alat untuk memeras dan bahkan kemudian terseret
kedalam pertentangan antara Pajang dan Jipang. Justru berpihak
kepada Jipang. Namun setelah Ki Wiradama dan orang-orang yang
mempengaruhinya tersisih dari Tanah Perdikan, maka pajak pun
telah diatur dan ditertibkan sesuai dengan kemampuan masing-
masing. Sementara itu, kedudukan para pengawal pun mapan
kembali pada tugas-tugas pengawal yang sebagaimana diatur
oleh Ki Gede Sembojan semasa hidupnya. Para Bekel pun telah
menyandang kewajiban mereka tanpa dibayangi oleh para,
pengawal. Tetapi dalam pada itu, dalam keseluruhan., maka rakyat
Sembojan telah berusaha bekerja keras untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup mereka serta ketertiban di Tanah
Perdikannya. Justru pada saat perang antara Pajang dain Jipang
semakin berkecamuk, maka rakyat Sembojan pun menjadi
semakin meningkatkan kerja mereka, karena pada satu saat
perang itu mungkin akan terjadi pula di Tanah Perdikan mereka,
karena mereka pun menduga, bahwa Ki Wiradana dan. orang-
orang yang mempengaruhinya tentu akan kembali. Sementara itu
25 SH. Mintardja anak-anak Sembojan sendiri sebagian justru berdiri di pihak Ki
Wiradana. "Bahkan tidak mustahil bahwa Jipang akan ikut campur. Jika
Jipang menang, maka kita harus berjuang mati-matian untuk
tidak membiarkan Tanah Perdikan ini menjadi landasan serta
sumber bahan makan bagi mereka," berkata Iswari.
"Tetapi tanpa Pajang apabila Pajang kalah, kita bukan apa-
apa," berkata salah seorang Bekel.
"Mungkin Pajang dapat ditaklukkan. Tetapi tentu akan
berjuang terus. Mudah-mudahan kita mendapat teman untuk itu.
Aku yakin bahwa mereka akan berhimpun dan tetap mengadakan
perlawanan terhadap Jipang."
"Jika Jipang kalah?" bertanya seorang Bekel yang lain,
"Apakah berarti bahwa kita sudah tidak mempunyai kerja lagi"
Kita akan dapat tegak sebagaimana masa Ki Gede dahulu?"
"Tidak Ki Bekel," jawab Iswari., "Jika Jipang kalah kita pun
masih dihadapkan pada satu perjuangan yang berat. Pecahan
prajurit Jipang dan kekuatan Kalamerta akan selalu membayangi
kekuasaan di Tanah Perdikan ini. Namun dalam keadaan yang
demikian, ada kemungkinan, baru satu kemungkinan, bahwa
Pajang akan dapat membantu kita."
Para Bekel di Tanah Perdikan Sembojan itupun mengangguk-
angguk. Namun seorang di antara para Bekel itu berkata, "Kita
sudah membuat hubungan yang sangat baik dengan tetangga-
tetangga kita. Hubungan yang seakan-akan terputus untuk
beberapa saat, pada waktu Ki Wiradana masih berkuasa dibawah
bayangan pengaruh istrinya yang muda itu, telah merenggangkan
hubungan kita dengan mereka. Kekuasaan yang mendesak semua
paugeran telah membuat tetangga-tetangga kita lebih baik
membuat jarak karena mereka tidak mau terlibat, kini telah
berpaut kembali. Bahkan anak-anak muda di Kademangan-
kademangan itu pun telah bersiap untuk membantu jika terjadi
sesuatu dengan kesediaan timbal balik."
26 SH. Mintardja Iswari mengangguk-angguk. Katanya, "Beberapa orang di
antara kita telah berada di tengah-tengah mereka untuk
memberikan tuntunan dalam olah kanuragan. Peningkatan
kemampuan mereka, akan sangat berarti bagi kita semuanya."
Para Bekel itu pun mengiakannya. Namun yang terpenting
adalah peringatan Iswari kemudian, "Tetapi segala sesuatunya
tergantung kepada diri kita sendiri. Sikap mereka mungkin akan
dapat berubah. Karena itu, betapa kecilnya kekuatan yang ada di
Tanah Perdikan ini harus digalang sebaik-baiknya."
Sebenarnyalah, bahwa Tanah Perdikan Sembojan tidak
pernah sepi dari usaha peningkatan kemampuan bukan saja
anak-anak mudanya. Tetapi setiap laki-laki yang masih mampu
menggenggam senjata telah ikut serta. Mereka yang memiliki
pengalaman menjadi prajurit dan pengawal di masa mudanya,
telah mengenakan pakaian mereka kembali serta memberikan
tuntunan kepada orang-orang di sekitarnya. Sementara anak-
Kisah Pedang Di Sungai Es 9 Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung Pengelana Rimba Persilatan 6