Suramnya Bayang Bayang 25
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 25
Perdikan Sembojan." "Ah," Ki Rangga mengerutkan keningnya., "Bertanyalah
kepada Warsi, isteri pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan
Sembojan atau bertanyalah kepada Ki Wiradana sendiri."
Ki Randukeling tidak menjawab langsung. Tetapi ia pun
kemudian berdesis, "Kita akan melihat, apa yang kelak terjadi jika
kalian tidak mau melihat kenyataan."
Warsi pun kemudian menyahut, "Kakek benar-benar telah
menjadi orang tua." Ki Randukeling memandang Warsi dengan tajamnya.
Kemudian katanya, "Jadi buat apa kau libatkan aku ke dalam
persoalan ini jika kau anggap aku sudah terlalu tua?"
Wajah Warsi tiba-tiba menjadi tegang. Namun kemudian
katanya, "Maafkan aku kakek. Aku tidak bermaksud menyakiti
hati kakek. Agaknya aku terlalu percaya kepada kekuatan yang
ada pada kita sekarang, sehingga aku terlalu yakin akan dapat
berbuat apapun juga atas Tanah Perdikan Sembojan yang sudah
tidak mempunyai kekuatan lagi. Apalagi dengan bantuan
kekuatan Jipang." "Kebanggaan diri yang berlebihan akan merugikan diri
sendiri," berkata Ki Randukeling. "Tetapi sudahlah. Kita akan
membicarakannya kemudian. Kita sekarang sedang menunggu
kehadiran pasukan Pajang."
Senapati Jipang yang memimpin prajurit-prajurit Jipang di
padukuhan itu pun kemudian berkata, "Persoalan Tanah
52 SH. Mintardja Perdikan Sembojan adalah persoalan yang kecil dibandingkan
dengan persoalan yang kita hadapi sekarang."
"Ya. Tetapi Jipang harus mempunyai landasan di daerah
Selatan. Bahkan seandainya Pajang telah diduduki, namun aku
tidak yakin jika Pajang menyerah bersama seluruh rakyatnya,"
jawab Ki Randukeling. Namun kemudian, "Tetapi sudahlah.
Pasukan Pajang sudah mulai bergerak mendekati padukuhan ini."
Senapati itu pun kemudian bergeser selangkah mendekati
dinding padukuhan. Diamatinya gerak pasukan Pajang dalam
gelar yang mendekati padukuhan itu.
"Bunyikan isyarat," perintah Senapati itu.
Sejenak kemudian telah terdengar isyarat kentongan kecil
dengan irama dua-dua ganda. Sementara itu, pasukan Pajang
dalam gelar telah menjadi semakin dekat. Namun pasukan
Pajang saat itu tidak melengkapi gelarnya dengan pertanda-
pertanda kebesaran. Tanpa rontek dan umbul-umbul, kecuali
tunggul pertanda pasukannya dengan panji-panjinya.
Pasukan Pajang itu pun juga mendengar isyarat yang
dibunyikan oleh pasukan Jipang. Tetapi pasukan Pajang itu
memang sudah mengira, jika kehadirannya sudah diketahui oleh
pasukan Jipang. Karena itu suara isyarat itu tidak
mengejutkannya. Beberapa saat, pasukan Pajang itu kemudian telah memasang
pelindung di baris paling depan. Mereka yang membawa perisai
akan berada di barisan pertama. Jipang akan menyambut mereka
dengan anak panah dan lembing yang dilontarkan dari balik
dinding padukuhan yang tidak begitu tinggi dan dari balik
pepohonan dan rumpun-rumpun bambu.
Ketika pasukan Pajang itu hanya tinggal beberapa langkah saja
dari dinding padukuhan, maka terdengar isyarat titir yang
memanjang. Satu isyarat yang menggantikan bunyi bende tiga
kali berturut-turut. Isyarat bahwa pasukan Jipang harus segera
mulai menyambut kedatangan pasukan Pajang itu.
53 SH. Mintardja Dengan isyarat itu, maka sebagaimana diperhitungkan oleh
pasukan Pajang, anak panah dan lembing pun mulai meluncur
dari balik dinding dan pepohonan. Karena itu, maka pasukan
Pajang itu pun telah berlindung dibalik perisai yang tersusun
rapat. Sehingga dengan demikian maka pasukan Pajang itu
seakan-akan tidak terhambat sama sekali.
Meskipun demikian, ada juga lembing dan anak panah yang
sempat menyusup dibawah perisai dan mengenai kaki prajurit
Pajang. Tiga orang prajurit Pajang yang belum mencapai batas
pertempuran harus sudah keluar dari gelar. Mereka segera
mendapat perawatan. Ujung anak panah dan lembing telah
melukai kaki mereka sehingga seakan-akan mereka tidak lagi
mampu melangkah terus. Tetapi setelah mendapat sedikit pengobatan dan darahpun
menjadi pampat, maka mereka telah bangkit sambil berkata,
"Aku akan menyusul pasukan itu."
"Tunggu," sahut yang merawat. "Biarlah darahmu tidak keluar
lagi dari luka. Kalian harus beristirahat barang sejenak.
Pertempuran itu tidak akan segera berakhir. Bahkan mungkin
akan memerlukan waktu lama sehingga saatnya matahari
terbenam." Ketiga orang itu tidak memaksa. Tetapi rasa-rasanya mereka
tidak sabar menunggu sampai saat yang diperkenankan oleh
orang yang mendapat tugas merawat mereka.
Dalam pada itu, pasukan Pajang telah mencapai dinding
padukuhan. Dengan demikian, maka anak panah pun tidak lagi
dapat dipergunakan dengan baik. Karena itu, maka para prajurit
Jipang dan anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang
membawa busur telah diletakkannya. Mereka telah mencabut
pedangnya dan dengan tangkasnya mereka menyambut
kedatangan pasukan Pajang.
Sejenak kemudian pertempuran pun berlangsung dengan
sengitnya. Pasukan dari kedua belah pihak telah bertempur di
54 SH. Mintardja batas dinding padukuhan. Pasukan Pajang memang telah
mendapat pesan dari para Senapati dan pemimpin kelompok agar
mereka tidak terlalu dalam terlibat ke dalam pertempuran di
dalam dinding padukuhan. Mereka justru harus berusaha
memancing orang-orang Jipang untuk keluar dari padukuhan.
Bahkan sesuai dengan rencana, maka gelar pasukan Pajang itu
telah bergerak justru surut beberapa langkah. Ketika tunggul
pasukannya terangkat dan panji-panjipun terayun-ayun,
terdengar isyarat dari mulut para pemimpin kelompok agar
pasukan Pajang itu mundur.
Gerak itu ternyata telah berhasil memancing pasukan Jipang
keluar dari dinding padukuhan. Mereka berloncatan menyerang
dan berusaha mendesak pasukan Pajang lebih jauh.
Tetapi ternyata beberapa langkah dari dinding padukuhan,
Pasukan Pajang itu berhenti. Gerak mundurnya tidak lagi
dilanjutkannya. Bahkan pasukan itu seakan-akan telah
menemukan tempat untuk bertumpu dengan kuatnya.
Kedua belah pihak pun kemudian telah meningkatkan
kemampuan mereka. Namun mereka masih mengekang diri,
karena mereka menyadari bahwa pertempuran itu akan
berlangsung cukup lama. Sementara itu beberapa orang perwira Pajang memang sudah
berada di dalam kelompok-kelompok kecil. Tetapi mereka belum
mulai bergerak karena mereka belum menemukan tekanan yang
berat dari Ki Randukeling dan para pemimpin dari Tanah
Perdikan Sembojan yang lain, namun yang tidak diakuinya di
Sembojan sendiri. Namun dalam pada itu, ternyata orang-orang dari Tanah
Perdikan Sembojan telah menentukan sikapnya yang lain. Ki
Randukeling telah berada di dalam satu kelompok bersama Ki
Rangga Gupita, Warsi, ayah Warsi, Ki Wiradana dan orang yang
pernah diaku sebagai ayah Warsi itu. Sementara itu, anak-anak
muda yang telah memiliki kemampuan sebagaimana seorang
prajurit telah bertempur dengan tangkasnya pula.
55 SH. Mintardja Ternyata Ki Randukeling dan para pemimpin dari anak-anak
muda Tanah Perdikan Sembojan yang berpihak kepada Jipang itu
melakukan sebagaimana dikatakan. Mereka sama sekali tidak
mengekang diri lagi. Ketika mereka membentur pasukan Pajang
maka mereka pun telah bersiap untuk membunuh.
Kelompok yang terdiri dari raksasa-raksasa di dalam olah
kanuragan itu mengikuti gerak maju pasukan Jipang yang
terpancing keluar dari padukuhan. Ketika pasukan Pajang mulai
memantapkan garis pertempuran, maka Ki Randukeling pun
berkata, "Kita akan mulai. Tidak ada lagi keragu-raguan."
"Ya," sahut Ki Rangga, "Tidak ada belas kasihan dan
pengekangan diri. Tetapi harus berlaku juga bagi Ki
Randukeling." Ki Randukeling mengangguk-angguk kecil. Namun
kebesarannya sebagai seorang pertapa memang telah
membuatnya ragu-ragu meskipun ia telah menyatakan tidak ada
keragu-raguan. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang sangat
tinggi, apakah ia akan membunuh para prajurit kebanyakan yang
berlandaskan pada ilmu keprajuritannya tanpa ilmu yang lain.
Namun terdengar Ki Rangga berkata, "Marilah Ki
Randukeling. Kita akan berada di medan."
"Marilah kakek," Warsi mengajaknya pula., "Seperti yang
kakek katakan. Tidak ada keragu-raguan."
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Katanya, "Marilah,
mulailah." "Baiklah," berkata Ki Rangga., "Aku akan mulai."
Ki Rangga pun kemudian telah menarik tangan Warsi sambil
berkata, "Marilah. Kita merupakan pasangan yang paling
menakutkan di medan perang."
Dengan gerak naluriah Warsi berpaling kepada Ki Wiradana.
Bagaimanapun juga, laki-laki itu adalah suaminya. namun ia pun
segera meninggalkannya dan memasuki medan bersama Ki
Rangga." 56 SH. Mintardja Wiradana termangu-mangu. Namun tiba-tiba sepasang tangan
telah mendorongnya sambil berkata, "Marilah. Kau tidak usah
sakit hati melihat istrimu berpasangan dengan orang yang
memiliki ilmu yang seimbang dengannya di peperangan. Tidak di
dalam bilik. Majulah sesuai dengan rencana. Kita akan berada di
dalam satu kelompok."
Ki Wiradana bagaikan terbangun dari mimpinya.
Dipandanginya wajah ayah Warsi dengan jantung yang berdenyut
semakin cepat. "Apalagi yang kau pikirkan," bentak ayah Warsi.
Namun dalam pada itu terdengar suara lain, "Ia adalah
pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan."
Ki Wiradana dan ayah Warsi itu berpaling. Ki Randukeling
berdiri tegak sambil memandang ayah Warsi itu dengan
tajamnya. Ayah Warsi itu tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian
melangkah menyusul Warsi ke medan.
"Marilah," ajak Ki Randukeling kemudian., "Kita akan
melakukan satu permainan yang mengejutkan bagi Pajang."
Ki Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Jawabannya
bagaikan tidak sadar, "Marilah kakek. Aku sudah siap."
Keduanya pun kemudian telah melangkah pula memasuki
medan. Mereka harus berada dalam satu kelompok sebagaimana
sudah direncanakan. Namun dalam pada itu, ternyata Rangga Gupita dan Warsi
telah lebih dahulu menyerang para prajurit Pajang. Tetapi
seorang pemimpin kelompok yang telah melihat kehadirannya
telah memerintahkan seorang penghubung memberikan isyarat
bahwa di tempat itu terdapat orang-orang Jipang yang
memerlukan perhatian. 57 SH. Mintardja Sementara itu, maka sekelompok prajurit telah berusaha
membatasi gerak Ki Rangga dan Warsi. Tetapi keduanya teryata
benar-benar telah mengamuk seperti serigala yang kelaparan.
Para prajurit Pajang memang mengalami kesulitan. Kedua
orang itu ternyata benar-benar memiliki ilmu yang sangat tinggi
bagi para prajurit kebanyakan. Karena itulah, maka dalam waktu
yang singkat, maka seorang prajurit Pajang telah terluka
lengannya. Bahkan sekejap kemudian yang lain pun telah
menyeringai pula menahan pedih di pundaknya.
Namun dalam pada itu, isyarat yang diberikan oleh
penghubung itu pun segera ditangkap oleh Senapati yang
memerintahkan para perwira yang memiliki landasan ilmu yang
lebih baik dari para prajurit untuk mendekati medan yang
dianggap berbahaya itu. "Isyarat itu tidak mengatakan bahwa yang datang adalah Ki
Randukeling," berkata Senapati itu kepada Kiai Soka dan Gandar.
Kiai Soka mengangguk-angguk. Namun ternyata demikian
para perwira itu meninggalkan induk pasukan, isyarat yang lain
telah sampai kepada Senapati itu. Sambil menarik nafas Senapati
itu berkata, " Ya Kiai. Ki Randukeling pun ada ditempat itu."
Kiai Soka tersenyum. Katanya "Aku akan pergi ke tempat itu
pula. Mudah-mudahan aku memilikii kemampuan untuk
mengimbangi ilmu Ki Randukeling yang luar biasa itu."
"Aku percaya bahwa Kiai Soka akan dapat melakukannya"
jawab Senapati itu. Kiai Soka tidak menjawab. Tetapi ia pun segera bergeser
bersama Gandar menuju ke tempat yang diisyaratkan.
Sebenarnyalah, di tempat itu telah terjadi pertempuran yang
semakin sengit. Ketika para perwira datang ketempat itu, maka
para pemimpin dari anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan
yang berpihak Jipang telah berada ditempat itu pula.
Namun pada saat para perwira itu dalam kelompok-kelompok
kecil ingin berpencar, mereka telah ditemui oleh seorang
58 SH. Mintardja penghubung yang melaporkan, bahwa para pemimpin dari
pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu berada didalam satu
kelompok, "Bukan kebiasaan mereka" berkata salah seorang perwira.
"Memang bukan kebiasaan mereka" jawab penghubung itu,
"tetapi agaknya mereka ingin melakukan sesuatu untuk
mengatasi keterbatasan mereka jika mereka berhadapan dengan
kelompok-kelopok kecil perwira yang mempunyai ilmu
melampaui para prajurit."
"Baiklah" berkata perwira itu, "kita harus menyesiuaikan diri."
"Silahkan. Keadaan sudah menjadi gawat" berkata
penghubung itu. "Kita akan membicarakannya" berkata perwira itu. "Cepatlah.
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kematian telah disusul dengan kematian," berkata penghubung
itu pula dengan cemas. Para perwira itu pun kemudian telah berbicara beberapa saat.
Tetapii kesimpulan yang mereka ambil adalah, merekapcun
berada di satu kelompok yang lebih besar untuk menghadapi
kelompok orang-orang berilmu itu.
"Kita akan dapat menentukan sikap berikutnya jika kita sudah
berada di medan" berkata perwira yang tertua diantara mereka,
"korban telah jatuh. Kita jangan terlalu lama membiarkan para
prajurit dalam kesulitan"
Demikianlah prajurit-prajurit yang dianggap memiliki
kelebihan dari prajurit kebanyakan itu pun segera menempatkan
dirinya di medan. Namun mereka memang menjadi berdebar-
debar melihat beberapa orang yang dianggap berilmu tinggi
berada didalam satu kelompok Bahkan diantara mereka terdapat
Ki Randukeling. Ketika Ki Randukeling melihat beberapa orang perwira hadir
di medan, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Agaknya kita akan dapat mulai dengan permainan yang lebih
59 SH. Mintardja baik. Aku lebih senang membunuh orang-orang berilmu daripada
membunuh prajurit-prajurit yang dungu itu."
Ki Ranggapun tertawa. Katanya "Marilah Ki Randukeling.
Tidak ada keragu-raguan. Tidak ada belas kasihan dan
pebgekangan diri. Siapapun yang datang kehadapanku, akan aku
bunuh." Warsi pun menyahut "Membunuh adalah tugas kita di medan
pertempuran seperti ini."
Para perwira Pajang itu pun menjadi semakin berhati-hati.
Mereka mengerti, betapa tingginya ilmu Ki Randukeling. Jika ia
berdiri sendiri, maka beberapa orang perwira dapat
megepungnya dan membatasi geraknya. Tetap dalam kelompok
orang-orang berilmu yang seakan-akan menghadap, ke segala
arah itu, maka para perwira itu harus berbuat dengan
perhitungan yang lebih baik.
Sementara itu, para prajurit Pajang telah berusaha untuk
menekan lawannya, di segala titik benturan.
Karena para pemimpin dari anak-anak muda Tanah Perdikan
Sembojan itu berada di satu kelompok, maka, di medan yang
membentang itu, tidak terdapat kekuatan-kekuatan yang
mencuat dari para prajurit kebanyakan. Para Perwira Jipang
memang memiliki kemampuan melampaui para prajuritrrya.
Tetapi mereka tidak merupakan kekuatan penentu, karena
kemampuan mereka tidak lebih dari para pemimpin kelompok
dari Pajang. Namun yang benar-benar mengejutkan adalah kelompok para
pemimpin yang datang dari Tanah Perdikan Sembojan. Ternyata
mereka benar-benar bagaikan menjadi buas. Raugga Gupita dan
Warsi seolah-olah memang tidak dapat dikekang lagi. Bahkan Ki
Rangga Gupita telah mempergunakan kemampuan tertingginya,
sehingga setiap senjata yang bersentuhan dengan senjatanya,
meskipun hanya sentuhan kecil, telah menjadi rambatan
mengalirnya panas yang bagaikan membakar telapak tangan.
60 SH. Mintardja Warsi benar-benar mengamuk sebagai seekor harimau betina.
Tanpa kekaug sama sekali, sehingga semua gerak senatanya
bagaikan menyebarkan udara kematian. Ayahnya pun menjadi
bagaikan liar dan kehilangan pengamatan. Sementara yang masih
tetap ragu-ragu adalah Ki Wiradanaa sendiri. Tetapi karena ia
sudah berada di lingkungan orang yang sedang mengamuk, maka
ia pun telah bertempur pula dengan segenap kemampuannya.
Ki Randukeling memang tidak menjadi buas seperti yang lain.
Ia masih tetap mengendalikan dirinya. Meskipun ia akan
mungkin berbuat lebih kasar, tetapi ia masih rnemikirkan harga
dirinya sebagai seorang pertapa yang besar dan orang yang dekat
dengan Ki Patih Mantahun.
Namun demikian, meskipun masih juga tetap dikekang, tetapi
kemampuan Ki Randukeling memang menggetarkan orang-orang
yang berada dalam kelompok berusaha membatasi geraknya.
Dalam susunan yang lain, maka para pemimpin Tanah
Perdikan Sembojan itu benar-benar menjadi sangat berbahaya.
Bahkan para perwira Pajang yang menghadapi mereka tengah
memeras nalar mereka, apa yang sebaikmya mereka lakukan
untuk melawan cara yang dipergunakan oleh para pmnimpin
Tanah Perdikan Sembojan itu.
Ketika pertempuran menjadi semakin seru, maka terjadilah
keseimbangan yang tidak merata. Di medan yang menebar itu,
pasukan Pajang mampu menguasai keadaan. Tetapi pada satu
titik pertempuran, para pemimpin dari anak-anak muda Tanah
Perdikan itu mengamuk tanpa dapat dibatasi geraknya, sehingga
bagaikan putaran angin pusaran yang membabat segala sesuatu
yang disentuhnya. Kecemasan itu benar-benar mencengkam para perwira dan
prajurit Pajang. Mereka merasa perlu untuk menemukan satu
cara mengatasinya. Tidak langsung dalam banturan yang tentu
akan menuntut terlalu banyak korban.
Yang dapat dilakukan oleh Pajang adalah menyampaikran
kesulitan itu kepada Senapati yang memimpin pasukan Pajang
61 SH. Mintardja lang datang menyerang, bahwa Jipang, khususnya, pasukan
Tanah Perdikan Sembojan telah mempergunakan cara baru yang
mengejutkan Pajang. "Tekan pasukan Jipang di sekitar tempat itu dengan cara yang
sama" perintah Senopati itu, " beri hesan bahwa pasukan Pajang
akan menghancurkan pasukan Jipang sampai tuntas".
Perintah itu pun segera sampai pula kepada para pemimpin
kelompok di medan di sekitar para pemimpin pasukan Tanah
Perdikan Sembojan ditamhah Ki Rangga Gupita bagaikan
mengamuk. Pasukan Pajang yang marah itu pun segera melakukan
perintah itu, Tanpa arnpun mereka menekan pasukan Jipang
yang sebagian besar justru terdiri dari anak-anak muda Tanah
Perdikan Sembojan untuk mempengaruh perasaan para
pernimpinniya. Tetapi para pemimpin pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu
agaknya telah menemukan satu cara yang mereka anggap cukup
baik untuk menghancurkan kekuatan Pajang, terutama para
perwiranya. Karena itu, maka untuk sementara mereka
membiarkan kesulitan yang dialami oleh pasukannya.
"Kita akan dapat membunuh lebih banyak" teriak Ki Rangga
Gupita. "Ya. Kita hancurkan orang-orang Pajang yang merasa dirinya
berilmu." "Dimana Tumenggung Wirajaya" teriak Ki Rangga Gupita
"permainan kita belum tuntas. Kenapa aku tidak melihatnya di
medan sejak aku kembali kemari."
Para perwira Pajang itu termangu-mangu. Sebenarnyalah Ki
Tumenggung Wirajaya memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi ia
sedang melakukan tugas lain tidak di medan pertempuran.
Namun tantangan itu memperingatkan para perwira Pajang
bahwa Ki Tumenggung Wirajaya akan dapat dihadapkan kepada
orang yang menantangnya itu.
62 SH. Mintardja Tetapi tiba-tiba yang terdengar justru suara lain. Suara yang
terdengar lembut sareh. Tetapi getarannya bagaikan telah
mengguncang setiap dada, "Jangan mencari Tumenggung
Wirajaya yang sedang sibuk. Ia hari ini tidak sempat melayani
kalian. Tetapi agaknya akulah penganggur yang tidak mempunyai
pekerjaan lain dapat melakukan tugasnya di medan ini.
Suara itu benar-benar mengejutkan. Lebih-lebih Ki
Randukeling yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Suara itu
seolah-olah khusus ditujukan kepadanya lewat sentuhan jiwani
yang sangat khusus. Karena itu, dengan nada suara yang sama Ki Randukeling
justru bertanya "He, Ki Sanak. Siapakah kau?"
"Aku adalah salah seorang kawula dari Tanah Perdikan
Sembojan yang sebenarnya adalah salah satu keluarga Kadipaten
Pajang." jawab suara itu, "tetapi Sembojan ternyata telah
menempuh jalan sesat dan memilih bertempur bersamasama
Jipang justru rnelawan Pajang."
"Siapa kau?" ulang Ki Randukeling.
"Orang memanggilku Kiai Soka. Aku adalah adik dari kakek
Iswari yang kini memerintah Tanah Perdikan Sembojan atas
nama anak laki-lakinya karena ayah anak itu berhalangan. Iswari
telah melakukan tugas sehari-hari dari pemangku jabatan Kepala
Tanah Perdikan Sembojan. Kedatanganku di medan ini telah
mengemban beberapa tugas, antara lain memberikan kesadaran
kepada anak-anak muda Sembojan tentang kedudukan mereka,
dan menyatakan kepada kalian orang-orang sesat, bahwa Tanah
Perdikan Sembojan yang berdiri tegak diatas kebenarannya akan
mengejar kemanapun kalian lari."
"Kaulah itu Kiai?" desis Ki Randukeling
"Persetan" Warsi lah yang berteriak dengan suara heras.
Tetapi terasa bahwa suara itu adalah suara mantab yang sama
sekali tidak mampu rnengimbangi, getar suara Kiai Soka. "Anak
pemangku jabatan Kepala Tamah Perdikan Sembojan itu ada
disini bersamaku." 63 SH. Mintardja "Jangan berteriak-teriak begitu" terdengar suara lain.
Meskipun tidak seperti Kiai Soka, tetapi Gandar sempat
membangunkan kekuatan ilmunya lewat getar suaranya, "aku
tahu kau memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi sekarang kalian
adalah orang-orang terbuang. Dengar sekali lagi seperti yang
dikatakan oleh Kiai Soka. Aku datang untuk menunjukkan
kepada kalian, bahwa kemanapun kalian lari, maka kalian akan
tetap dikejar." "Aku bunuh kau" teriak Ki Rangga yang mencoba
mengimbangi getar suara Gandar.
Tetapi yang terdengar adalah suara Gandar tertawa. Katanya
"Kaulah petugas sandi dari Jipang yang telah bekerja sama
dengan Ki Randukeling dan kemudian benar-benar menguasai Ki
Wiradana bukan saja senyum dibihir sebagaimana dilakukan
pada saat Warsi datang pertama kali di Tanah Perdikan, tetapi
benar-benar dengan kekerasan" Karena Warsi benar-benar
menjadi buas setelah ia merasa kekuatannya terkumpul di Tanah
Perdikan Sembojan?" "Persetan" teriak Ki Rangga Gupita. Hampir saja ia meloncat
berlari kearah Gandar. Tetapi Warsi mencegahnya. Katanya,
"Akulah yang akan membunuhnya."
Warsi tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun telah meloncat,
benar-benar sebagai seekor harimau betina kearah Gandar.
Sementara itu Kiai Soka justru telah berpesan, "jangan bunuh
perempuan itu." "Aku sudah muak" geram Gandar.
"Jaga perasaan Iswari. Biarlah Iswari yang kelak
menundukkannya." desis Kiai Soka.
"Apakah Iswari mampu?" bertanya Gandar. "Kita akan
rnenjajaginya" jawab Kiai Soka.
Gandar tidak menjawab lagi. Perempuan yang garang itu telah
berada dihadapannya. 64 SH. Mintardja Karena itu maka Gandar pun harus segera bersiap. Ia menjadi
berdebar-debar ketika ia melihat Warsi tidak mempergunakan
senjata pedang. Tetapi dalam puncak kemarahannya dan
menghadapi lawan yang dianggapnya cukup tangguh, maka ia
telah mempergunakan senjata lenturnya.
Warsi telah mengurai rantainya yang merupakan senjata
andalannya. Tetapi Gandar justru ingin tetap mempergunakan senjata yang
sejak semula telah dibawanya ke medan itu. Sebuah tombak
pendek. Meskipun Gandar juga mempunyai dan mampu
mempergunakan senjata lentur, tetapi ia tidak ingin
mempergunakannya menghadapi Warsi yang telah lcbih dahulu
mengurai rantainya. "Kau akan menyesal karena kesombonganmu" geram Warsi.
"Apa daya seorang perempuan" desis Gandar, "aku sudah
banyak mengenal perempuan yang katanya berilmu tinggi."
"Tutup tnulutcnu" bentuk Warsi, sambil mengayunkan
rantainya. Gandar terkejut. Ujung rantai itu memang hampir saja
menyambar mulutnya. Namun Gandar cepat bergeser, sehingga
rantai itu tidak berhasil menyentuhnya.
"Kau terlalu cepat marah" berkata Gandar, "tenanglah sedikit,
agar kau tidak kelihatan terlalu liar."
"Diam. Diam kau" Warsi berteriak, "kau akan bertempur atau
akan berbicara saja?"
Gandar tertawa. Namun ia pun dengan tangkas mengelak
ketika rantai ditangan Warsi, itu barputaran menyambarnwa.
Namun demikian Gandar meloncat, ujung rantai itu telah
memburunya, mematuk dengan dahsyatnya.
Gandar tidak menjadi gugup. Ia pun cepat menghindar.
Bahkan dengan sebelah tangannya, Gandar menjulurkan
tombaknya ke arah dada Warsi.
65 SH. Mintardja Satu serangan yang tidak terduga. Karena itu, Warsi lah yang
kemudian harus mengelak. Dengan demikian maka pertempuran pun menjadi semakin
meningkat. Ternyata bahwa Gandar harus mengakui, bahwa
Warsi memang memiliki ilmu yang tinggi. Namun hampir diluar
sadamya, Gandar bertanya, "Ilmu inikah peninggalan Kalamerta
yang garang itu" "Persetan" geram Warsi marah.
Grandar tidak berbicara lagi. Tetapi ia harus benar-benar
memusatkan perhatiannya kepada ujung rantai Warsi yang
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya., "Bahkan kadang-
kadang rantai itu berputar-putar bergulung bagaikan kabut yang
siap melibatnya kedalam satu putaran maut.
Tetapi Gandar memang tangkas. Ia sama sekali tidak menjadi
bingung. Dengan kemampuan i1munya yang tinggi, maka ia pun
mampu mengimbangi kegarangan harimau betina yang memiliki
keturunan ilmu Kalamerta itu.
Ia pun mengimbangi kecepatan gerak Warsi dengan kerapatan
gerak pula. Sekali-sekali ujung tombaknya mampu menyusup
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diantara gumpalan putaran rantai Warsi, sehingga Warsi pun
harus bergeser surut. Sebagaimana Gandar harus mengakui kemampuan Warsi,
maka Warsi-pun tidak dapat mengingkari kenyataan. Gandar
memiliki kelebihan dari sesamanya dalam olah kanuragan.
Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya pun
semakin lama menjadi semakin sengit. Keduanya telah
mengerahkan segenap kemampuannya untuk saling mengatasi.
Namun dalam pada itu, Gandar pun berusaha untuk
mengamati kemampuan Warsi jika kemampuan itu sudah sampai
ke puncak. Meskipun ia harus bertempur dengan segenap
kemampuannya, tetapi Gandar tidak melupakan pesan Kiai Soka.
Warsi tidak baleh dibunuh seandainya ia mampu melakukannya,
66 SH. Mintardja karena pada suatu saat Iswari ingin bertemu langsung dengan
perempuan itu. Tetapi Iswari tidak boleh menjadi korban dalam pertemuan
itu. Karena itu, maka Gandar harus mampu mamberikan
pertimbangan, apakah Iswari benar-benar sudah siap atau belum
menghadapi ilmu, Kalamerta itu.
Dulain pihak Kiai Soka telah berhasil memancing Ki
Randukeling keluar dari sekelompok orang-orang berilmu yang
memimpin anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang ada
di Pajang bersama pasukan Jipang itu, Dengan nada rendah Ki
Randukeling berkata, "Kau telah merusak rencana kami Ki
Sanak." "Rencana yang mana yang kau maksudkan?" bertanya Kiai
Soka. "Kami ingin menghancurkan pasukan Pajang yang datang hari
ini ke padukuhan ini" berkata Ki Randukeling.
"Kenapa" bertanya Kiai Soka pula.
"Kedatangawmu telah merubah gelar yang kami siapkan"
jawab Ki Randukeling, "gelar yang khusus menjebak para perwira
dari Pajang." "Jangan bermain-main dengan jiwa anak-anak Tanah
Perdikan" berkata Kiai Soka, "bukankah dengan caranu itu,
kematian sajalah yang akan bertambah banyak. Bukan
penyelesaian seperti yang kau harapkan."
"Kenapa begitu?" bertanya Kiai Randukeling.
"Mungkin kalian mampu membunuh prajurit Pajang lobih
banyak" berkata Kiai Soka, "tetapi orang-orang Jipang pun
terbunuh lebih banyak diluar lingkaran kelompok. Orang-orang
berilmu tinggi dari Tanah Perdikan Sembojan ini. Karena itu,
cara yang kau pakai adalah justru cara yang paling buruk dari
segala pertempuran yang pernah terjadi."
67 SH. Mintardja Kiai Randukeling mengangguk-angguk. Jawabnya, "Mungkin
kau benar, karena para pemimpin dari Tanah Perdikan Sembojan
telah berkumpul, sehingga yang tersebar didalam gelar hanyalah
para prajurit dan anak-anak muda Tanah Perdikan. Untuk
selanjutnya aku akan memikirkan cara yang lebih baik dari cara
ini, sehingga korban tidak akan jatuh terlalu banyak."
"Terima kasih" desis Kiai Soka, "kematian dikedua belah pihak
yang meningkat dalam perang seperti ini bagiku merupakan satu
keprihatinan yang tinggi:. Kematian prajurit Pajang yang
meningkat membuatku menjadi cemas. Sementa'ra itu kematian
anak-anak Tanah Perdikan yang berlipat membuat hatiku
menjadi sangat terasa pahit."
"Baiklah Ki Sanak" berkata Ki Randukeling, "aku akan selalu
mengingat pesanmu itu, meskipun seandainya kau sudah tidak
ada lagi." "Kenapa aku menjadi tidak ada?" bertanya Kiai Soka.
"Pertemuan kita kali ini berbeda dengan perternuan kita di
Tanah Perdikan itu Kiai?"
"Ah, jangan berpura-pura begitu-. Bukankah kita berada di
peperangan. Kau atau aku akan dapat terbunuh di peperangan
seperti ini." jawab Ki Randukeling.
Kiai Soka mengangguk-anggu!k. Sementara. itu katanya,
"Memang mungkin kau atau aku dapat terbunuh. Tetapi
kematian kita kurang bermanfaat disini."
"Dimana yang menurut pertimbanganmu lebih bermanfaat?"
bertanya Ki Randukeling. "Jika aku mati, seakan-akan kematianku tidak lebih
merupakan bagian dari pasukan Pajang. Sedangkan jika kau mati,
kaupun hanya sekedar bagian dari orang-orang Jipang." jawab Ki
Soka. "Jadi bagaimana ?" bertanya Ki Randukeling.
68 SH. Mintardja "Aku datang memang untuk menunjukkan bahwa Tanah
Perdikan Sembojan berani menghadapi kalian dimanapun juga.
Tetapi kita akan lebih berarti jika kita mati di Tanah Perdikan
langsung dalam persoalan yang kita masuki. Apakah kau setuju ?"
bertanya Kiai Soka. Ki Randukeling merenung sejenak. Namun kemudian katanya,
"Lihatlah. Pertempuran telah berubah. Kau berhasil
mengacaukan kekuatan .pasukan Jipang, khususnya yang terdini
dari anak-anak Tanah Perdikan."
"Tetapi, aku sudah berpesan kepada Gandar untuk tidak
membunuh Warsi." berkata Kiai Saka seakan-akan tidak
mendengar kata Ki Randukeling.
"Kenapa?" bertanya Ki Randukeling.
"Ada dua hal" jawab Kiai Soka, "yang pertama mungkin
Gandar memang tidak mampu melakukannya. Sedangkan yang
kedua, seandainya ia mampu membunuh, makca Iswari tentu
akan sangat kecewa. Cucuku itu ingin sekali bertemu dengan
Warsi. Mungkin cucuku tidak jujur. Ia tidak hanya dibebani oleh
persoalan Tanah Perdikan yan harus diselesaikannya. Tetapi ada
persoalan pribadi yang menyangkut kehidupannya."
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Namun kernudian
katanya, "Baiklah Kiai. Apapun yang akan terjadi, aku
sependapat, bahwa Warsi harus bertemu dengan Iswari. Warsi
adalah cucuku dan Iswari adalah cucu Kiai. Biarlah pada suatu
saat keduanya menentukan, siapakah yang sebenarnya berbak
atas Tanah Perdikan Sembojan atas nama anak mereka masing-
masing. Tetapi satu hal yang Kiai harus ingat, Warsi memiliki
warisan ilmu Kalamerta yang garang itu."
"Itu tidak menentukan Ki Sanak," berkata Kiai Soka.,
"Kalamerta mampu dikalahkan oleh Ki Gede Sembojan, tetapi
anak Ki Gede yang bernama Wiradana itu sama sekali tidak
mampu menunjukkan kemampuan ilmu warisan ayahnya.
Karena itu, maka ia telah menjadi budak keturunan Kalamerta
yang membalas dendam. Semula oleh senyuman, tetapi
69 SH. Mintardja kemudian benar-benar oleh ilmunya." Ki Randukeling
mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Sekarang apa yang akan
kita lakukan?" "Terserah kepada Ki Sanak," jawab Kiai Soka., "Kita sudah
berada dipeperangan," berkata Ki Randukeling.
Kiai Soka mengangguk kecil. Katanya, "Aku siap berbuat apa
saja sekarang." "Kita akan bertempur. Tetapi aku setuju bahwa semuanya
akan ditentukan kemudian di Tanah Perdikan Sembojan," jawab
Ki Randukeling. Demikianlah, maka keduanya pun telah bersiap. Namun
agaknya Ki Rangga Gupita yang melihat Ki Randukeling lebih
banyak berbicara itu berteriak, "Marilah Ki Randukeling. Tanpa
keragu-raguan dan tanpa belas kasihan."
Ki Randukeling tidak menjawab. Tetapi teriakan itu
mendorong untuk bertempur.
Meskipun demikian, maka Ki Randukeling memang tidak
berharap untuk dapat membunuh Kiai Soka dan sebaliknya.
Meskipun demikian keduanya memang telah berusaha untuk
saling menjajagi. Keduanya mulai melepaskan ilmu-ilmu mereka
meskipun tidak sampai ke puncak.
Dengan demikian maka keseimbangan pertempuran itu pun
memang berubah. Ki Rangga Gupita tidak lagi mempunyai kawan
yang dapat mengimbanginya dalam sebuah kelompok. Meskipun
ayah Warsi juga bertempur dengan garang, tetapi tanpa Warsi, Ki
Rangga menjadi kecewa. Meskipun demikian ia benar-benar telah bertempur
sebagaimana direncanakan. Tanpa ragu-ragu. Namun kemudian
ia lebih suka bertempur sendiri.
Dengan demikian, maka perwira dari Pajang menjadi lebih
mudah menghadapinya. 70 SH. Mintardja Demikian juga menghadapi ayah Warsi, Ki Wiradana dan
orang-orang lainnya yang memiliki kelebihan dari prajurit
kebanyakan. Dalam pada itu, pertempuran itu masih berlangsung terus.
Ditempat-tempat tertentu, pasukan Pajang masih terus menekan
pasukan Jipang, karena pasukan Pajang memang lebih banyak
jumlahnya. Sementara itu, para pemimpin dari pasukan Tanah
Perdikan Sembojan seakan-akan telah berkumpul menjadi satu
kelompok yang ternyata tidak dapat melakukan rencana mereka,
karena kehadiran Kiai Soka dan Gandar.
Namun demikian pasukan Pajang menekan semakin kuat
lawannya, maka bantuan dari padukuhan sebelah pun telah
datang. Sepasukan prajurit Jipang yang diantaranya juga terdiri
dari anak-anak muda dari Tanah Perdikan Sembojan telah
memasuki arena pertempuran.
Tetapi Senapati Pajang yang memimpin gelombang
penyerangan itu tidak menjadi cemas. Ia sudah mendapat
laporan tentang medan dalam keseluruhan, sehingga dengan
demikian maka ia dapat membuat perhitungan-perhitungan
tertentu. Meskipun demikian tetapi kehadiran kekuatan baru pada
pasukan Jipang telah memberikan perubahan atas keseluruhan
perang gelar itu. Dengan demikian maka para pemimpin
kelompok dari para prajurit Pajang harus memberikan aba-aba
untuk menentukan imbangan kekuatan dari pasukannya
dihadapan para prajurit Jipang.
Dalam pada itu, karena Ki Randukeling dan Warsi telah
menemukan lawan masing-masing, maka sebagian dari para
perwira Jipang yang dipersiapkan telah mendapat kesempatan
untuk berada ditempat itu. Bahkan mereka pun berusaha untuk
menebar dan berada di antara para prajurit.
Ki Rangga Gupita lah yang mengumpat-umpat tidak habis-
habisnya. Dengan mengerahkan kemampuan dan ilmunya ia
memang berusaha untuk membunuh sebanyak-banyaknya.
71 SH. Mintardja Namun tiga orang prajurit terpilih Pajang menghadapinya
dengan keberanian yang mengagumkan.
Ketiga orang Prajurit Pajang itu menyadari, bahwa Ki Rangga
memiliki ilmu yang mendebarkan. Lewat sentuhan senjata ia
mampu mengalirkan ilmunya, merambat dan menyengat telapak
tangan lawannya. Tetapi ketiga orang prajurit Pajang itu berusaha untuk
menghindari setiap sentuhan senjata. Mereka berusaha untuk
menghindari setiap serangan, namun diimbangi dengan serangan
oleh prajurit yang kebetulan bebas dari serangan itu.
Ki Rangga Gupita mengumpat sejadi-jadinya. Ketiga orang
Pajang itu ternyata juga orang pilihan. Mereka mampu bergerak
cepat dan loncatan-loncatan panjang mereka dapat mengimbangi
kelebihan Ki Rangga Gupita yang marah itu..
Sementara .itu. Warsi masih bertempur melawan Gandar
dengan garangnya. Tetapi tidak banyak yang dapat mereka
lakukan, karena ternyata masing-masing memang memiliki
kelebihan. Di arena gelar yang menebar, pertempuran pun
menjadi.semakin lama semakin sengit.
Pasukan Pajang tidak lagi dapat menekan pasukan Jipang
sebagaimana pada saat pasukan Jipang di padukuhan sebelah
belum datang untuk membantu.
Tetapi pasukan Jipang pun tidak dapat dengan serta, merta
mengusir pasukan Pajang dari daerah pertahanan mereka..
Namun dalam pada itu, kehadiran beberapa orang perwira
Pajang yang tidak lagi berkumpul dalam satu kelompok untuk
melawan Ki Randukeling dan Warsi telah mempengaruhi medan
pula. Mereka sempat menimbulkan hentakan-hentakan di
beberapa tempat di sepanjang gelar pasukan Pajang.
Sementara itu, beberapa orang prajurit pilihan masih tetap
berada di sekitar Ki Rangga Gupita dan: ayah Warsi. Sedangkan
Ki Wiradana tidak banyak menimbulkan persoalan. Meskipun ia
72 SH. Mintardja memiliki kemampuan olah kanuragan, namun seorang perwira
Pajang terpilih mampu mengedalikannya.
Dengan demikian maka 'pertempuran antara kedua pasukan
itu pun menjadi semakin sengit.
Pertempuran itu sendiri bagi pasukan Pajang bukannya
pertempuran yang menentukan kedudukan pasukan. Tetapi
Pajang berniat untuk mengguncang ketahanan jiwani pasukan
Jipang Dengan serangan itu, maka Pajang menunjukkan bahwa
Pajang masih tetap memiliki kekuatan yang besar untuk
menghadapi Jipang. Dalam serangan yang beutumpu kepada kekuatan seutuhnya,
maka kekuatan Pajang benar-benar akan mampu mengacaukan
kedudukan Jipang. Dalam kekalutan perang itu, maka Gandar masih juga teringat
akan beban kehadirannya di Pajang. Karena itu; maka setiap kali
ia sempat maka iapun ,telah berteriak, "He, anak-anak muda
Tanah Pardikan Sembojan. Apakah yang ingin kalian dapatkan
dengan mengorbankan jiwa dan raga kalian bagi kepentingan
Jipang. Dengar, bahwa saat ini Tanah Perdikan Sembojan sedang
membangun diri, sehingga tenaga dan pikiran anak-anak
mudanya sangat dibutuhkannya. Sementara itu, kalian berada
bersama prajurit-prajurit Jipang dan memerangi Pajang."
"Tutup mulutmu" teriak Warsi yang menyerangaya seperti
amuk badai. Tetapi Gandar pun telah siap menghadapi kemungkin itu. Ia
memang terdiam. Namun dangan demikian maka serangan-
serangan Warsi tidak dapat mengenainya. Bahkan ketika Gandar
menghentakkan kemampuannya, ia telah mendesak Warsi
beberapa langkah surut.
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun ketika ada kesempatan lagi; maka Gandar itu pun
berteriak, "Terserah kepada kalian anak-anak muda Tanah
Perdikan Sembojan. Apakah kalian akan bersama kami atau
lalian akan tetap berdiri disisi lain sehingga, dengan demikian
kalian akan meunusuhi kami"
73 SH. Mintardja Sekali lagi Warsi menghentakkan kemampuannya menyerang
Gandar. Namun serangan itu pun tidak mampu mendesaknya.
Tetapi teriakan-teriakan Gandar sama sekali tidak nampak
mempunyai pengaruh dalam pertempuran itu. Anak-anak muda
Tanah Pendikan. Sembojan masih bertempur dengan garangnya.
Mereka yang memiliki: ilmu seimbang dengan para prajuri,t,
telah .berada di garis pertama. Sementara mereka yang menyusul
kemudian, berada di belakang mereka. Namun pada saat-saat
yang gawat merekapun ikut pula menentukan. Bahkan ada
diantara anak-anak muda Tanah Perdikan itu yang memang
sudah dianggap memiliki kemampuan yang tidak ubahnya
sebagaimana prajurit yang berpengalaman, sehingga dengan
demikian maka mereka pun telah berada diantara prajurit-
prajarit Jipang itu sendiri.
----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 21. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
74 SH. Mintardja Jilid Ke dua puluh satu Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di,
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 75 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja NAMUN didalam pasukan anak-anak muda Tanah Perdi
kan itu, Bukannya tidak ada prajurit-prajurit Jipang yang
menjadi tulang pendukungnya. Diantara kelompok-kelompok
anak-anak muda Tanah Perdikan itu memang terdapat prajurit-
prajurit Jipang yang memiliki kemampuan yang setataran dengan
para prajurit yang lain. Mereka bersama dengan anak-anak muda
Tanah Perdikan yang berkemampuan prajurit, merupakan
kekuatan yang tidak ada ubahnya sebagaimanaa bagian-bagian
yang lain dari gelar yang menebar itu. Apalagi anak-anak muda
Tanah Perdikan mempunyai pemimpin-pemimpin yang tangguh
tanggon. Karena itulah, maka di bagian yang sebagian besar terdiri dari
anak-anak muda Tanah Perdikan itu, bukan merupakan bagian
yang lemah dari seluruh peartahanan pasukan Jipang didalam
gelarnya. Sementara itu, Kiai Soka dan Ki Randukeling pun, telah
bertempur pula meskipun mereka masih belum sampai ke
puncak ilmunya. Namun kedua, orang memiliki ilmu yang tinggi
itu menyadari, bahwa mereka memerlukan waktu yang panjang,
seandainya mereka ingin menyelesaikan pertempuran itu. Karena
itulah, maka telah terulang -kembali, apa yang pernah terjadi di
Tanah Perdikan Sembojan. Keduanya memang tidak berniat
untuk saling mengalahkan pada saat itu.
Tetapi keduanya sudah menyempatkan diri untuk saling
menjajagi. Jika sebelumnya mereka tidak mendapat kesempatan
yang cukup untuk saling mengenali ilmu masing-masing, maka,
pada saat itu, mereka telah, mendapatkan kesempatan itu.
Namun beberapa saat kemudian Ki Randukeling itu berkata,
"Kiai, nampaknya pasukan Pajang akan berhasil mendesak lagi
pasukan Jipang. Setiap kali terjadi seperti itu, sehingga pasukan
Jipang tidak banyak mendapat kesempatan untuk bergerak."
"Tetapi kenapa kalian tidak menghentikan perlawanan kalian
sampai disini?" bertanya Kiai Soka.
2 SH. Mintardja "Pasukan Jipang justru mendapat perintah dari Ki Patih
mentahun untuk mempertinggi kegiatan pasukan sehingga
pertempuran akan menjadi semakin sering terjadi." jawab K! R
andukeling. "Aku mengerti maksudnya" jawab Kiai Soka.
"Maksudnya memang mudah untuk ditangkap" berkata Ki
Randukeling, "tetapi pada satu saat yang pendek, maka Pajang
memang benar-benar akan dikalahkan di pasanggrahannya, di
tepi Bengawan Sore. Jika demikian, maka pasukan Pajang
dimana-manapun akan segera ditundukkan. Nah, apa katamu
jika hal itu terjadi pula disini?"
"Jika terjadi disini, alangkah menyedihkan" jawab Kiai Soka,
"tetapi hal itu tidak akan terjadi. Berita yang kami dengar, bahwa
pasukan Jipang sama sekali tidak berani menyerang pasukan
Pajang di seberang Bengawan Sore."
"Itu hanya ceritera pejalan yang kehilangan keseimbangan
nalar" jawab Ki Randukeling. Lalu, "Coba renungkan, apa yang
akan terjadi, jika pasukan Jipang disini memenangkan perang.
Apakah akan jadinya Tanah Perdikan Scmbojan itu?"
"Kalian akan berpegang kepada kekuatan Jipang?" bertanya
Kiai Soka. "Apa boleh buat" jawab Ki Randukeling.
"Lihat," berkata Kiai Soka, "Pertahananmu bergeser
mendekati padukuhan. Bukankah hal itu berarti bahwa Jipang
terdesak?" Ki Randukeling tidak segera menjawab. Ia memang
merasakan bahwa benturan gelar kedua pasukan itu bergeser
mendekati padukuhan. Ketika Ki Randukeling menebarkan pandangannya ia berkata,
"Apakah kau cukup berjiwa besar untuk memberi kesempatan
kepadaku melihat medan?"
3 SH. Mintardja "Silakan," berkata Kiai Soka, "Aku tidak akan
mengganggumu." Sebenarnyalah ketika Ki Randukeling
menyaksikan medan, maka ia melihat bahwa pasukan Pajang
telah berhasil mendesak lagi pasukan Jipang, meskipun pasukan
Jipang sudah dibantu oleh pasukan yang datang dari padukuhan
sebelah. "Namun pasukan Jipang ini belum seluruhnya Kiai," berkata
Ki Randukeling., "Di padukuhan yang lain masih ada pasukan
Jipang." "Ki Sanak jangan berpura-pura tidak tahu. Bukankah pasukan
Pajang juga belum mengerahkan seluruh kekuatannya, hanya
untuk sisi sebelah Timur?" bertanya Kiai Soka.
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Namun
sebenarnyalah penempatan kekuatan yang tepat telah
mengguncang pertahanan pasukan Jipang. Namun yang terjadi
itu belum merupakan ketentuan terakhir. Para perwira Jipang
tidak membiarkan pasukannya terdesak. Karena itu, mereka pun
berusaha untuk menilai, apa yang sebenarnya telah terjadi di
medan yang menebar itu. Beberapa orang penghubung sibuk mengumpulkan
kenyataan-kenyataan yang terjadi di medan. Kenyataan yang
sepenuhnya tanpa ditambah dan dikurangi. Dengan demikian
maka para perwira Jipang akan dapat menentukan sikapnya
menghadapi pasukan Pajang yang kuat itu, apalagi dengan
perhitungan yang sangat cermat dan menentukan.
Sebenarnya bahwa pasukan Jipang tidak akan dapat bertahan
terlalu lama. Pasukan Pajang dengan kuat telah menekan
pasukan Jipang itu, sehingga semakin lama menjadi semakin
mendekati dinding padukuhan.
Senapati Jipang yang memimpin pasukan itu tidak dapat
berbuat lain kecuali memberikan isyarat, agar pasukan Jipang
memasuki padukuhan dan bertahan di belakang dinding.
Sementara itu pasukan yang khusus harus meloncat lebih dahulu,
menyediakan lembing dan tombak panjang untuk menghalau
4 SH. Mintardja orang-orang Pajang seandainya mereka akan mengejar dan
mendesak pasukan Jipang dengan memasuki padukuhan itu.
Sementara itu Kiai Soka dan Ki Randukeling yang masih
saling menjajagi itu masih sempat pula berbincang. Dengan nada
datar Ki Randukeling berdesis, "Sudahlah Kiai. Pasukan Jipang
memang harus ditarik. Agaknya Senapati Jipang sudah
memberikan isyarat."
"Silahkan," jawab Kiai Soka., "Pada suatu saat kita akan
bertemu lagi. Mungkin aku memanggil kekuatan dari Tanah
Perdikan Sembojan untuk menghancurkan pemberontak di
Tanah Perdikan itu disini, atau kami harus menunggu
pemberontak itu datang kembali ke Tanah Perdikan dalam ujud
yang bagaimanapun juga, karena kami menyadari, bahwa di
samping kemungkinan bantuan orang-orang Jipang, maka kalian
mempunyai kekuatan gerombolan Kalamerta yang tersisa, yang
jika perlu akan dapat kalian himpun kembali."
"Syukurlah jika kalian dapat
membayangkan kekuatan yang
akan dapat menghantui Tanah
Perdikan itu," berkata Ki
Randukeling., "Tetapi baiklah
aku akan mentaati perintah
Senapati pasukan Jipang itu."
Dalam pada itu, maka sekelompok orang yang khusus
telah berada di dalam dinding
padukuhan dengan tombak- tombak dan lembing-lembing
yang panjang. Dalam keadaan
yang gelisah, maka isyarat telah
diberikan kepada pasukan Jipang untuk menarik diri ke
dalam dinding padukuhan. 5 SH. Mintardja Warsi mengumpat sejadi-jadinya. Ia belum berhasil
membunuh Gandar. Namun Warsi pun tidak dapat ingkar, bahwa
untuk membunuh Gandar bukanlah pekerjaan yang dapat
dilakukan sebagaimana direncanakannya sendiri, karena Gandar
ternyata memiliki kemampuan yang sangat tinggi pula.
Dalam pada itu, pasukan Jipang perlahan-lahan telah ditarik
ke dalam dinding padukuhan. Para perwira Jipang mulai
menyadari bahwa mereka agaknya telah terpancing keluar yang
ternyata pertempuran yang kemudian terjadi sama sekali tidak
menguntungkan mereka. Sementara itu, Gandar pun harus menahan diri, agar ia tidak
terlibat ke dalam pertempuran antara hidup dan mati dengan
Warsi. Karena itu, maka Gandar pun tidak memburunya.
Dilepaskannya Warsi surut ke belakang sebagaimana gelar
pasukan Jipang. Sekelompok demi sekelompok pasukan Jipang
itu telah meloncati dan memasuki dinding padukuhan, sementara
itu, sekelompok di antara mereka yang telah mendahului, telah
siap dengan lembing dan tombak ditangan.
Senapati yang memimpin pasukan Pajang pun telah
memberikan isyarat pula agar pasukan Pajang tidak memasuki
dinding padukuhan. Tugas mereka memang tidak harus mengusir
pasukan Jipang dari padukuhan itu. Tetapi pasukan Pajang itu
hanya sekadar menunjukkan bahwa Pajang masih tetap memiliki
kemampuan yang tinggi untuk mengatasi kehadiran pasukan
Jipang di Pajang. Namun dalam pada itu, Gandar masih sempat berteriak
dengan suara yang menggetarkan udara, "Anak-anak dari Tanah
Perdikan Sembojan. Masih ada kesempatan bagi kalian. Siapa
yang menyadari kesalahannya dalam langkah ini dan kembali
kepada kesadaran diri, maka kalian akan diampuni. Ayah dan ibu
kalian di Tanah Perdikan telah menyerahkan persoalan kalian
kepada kami. Tetapi ketahuilah bahwa mereka telah meratapi
kalian yang sesat siang dan malam. Jika air mata ibu kalian
menjadi kering, maka mereka pun telah kehilangan harapan
untuk dapat bertemu lagi dengan kalian, karena kalian akan
6 SH. Mintardja menjadi mayat di medan pertempuran ini yang sebenarnya tidak
kalian mengerti maknanya."
"Tutup mulutmu orang
gila," bentak Warsi.
Namun Gandar masih juga berteriak, "Sadari. Apa yang
sebenarnya terjadi atas kalian
di bawah kekuasan perempuan
yang tidak lebih dan tidak
kurang adalah penari jalanan.
Tidak semua penari jalanan
bernilai rendah seperti perempuan itu. Tetapi
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perempuan itu adalah penari
jalanan yang tidak bermartabat." Suara Gandar terputus. Sebuah lembing meluncur hampir saja menyambar dadanya. Karena itu, maka ia pun harus
bergeser selangkah ke samping.
Ketika ia memperhatikan arah lembing itu, maka ia pun
melihat Ki Rangga Gupita berdiri di atas dinding padukuhan
dengan wajah yang merah membara.
Gandar justru tertawa. Tetapi ia pun terikat kepada perintah
Senapati pasukan Pajang yang memberi isyarat agar Pajang pun
mulai menarik pasukannya.
Sementara Pajang bersiap-siap, maka Kiai Soka melihat Ki
Randukeling pun duduk di atas dinding padukuhan. Orang tua
itu tersenyum sambil melontarkan suaranya yang tidak terlalu
keras, tetapi menggetarkan selaput telinga Kiai Soka., "Sampai
disini pertempuan kita hari ini Kiai. Bukankah kita sudah saling
dapat mengenali lebih banyak lagi daripada pertemuan kita di
Tanah Perdikan Sembojan waktu itu?"
7 SH. Mintardja "Ya," jawab Kiai Soka dengan cara yang sama. "Pertemuan
kita mendatanglah yang akan menentukan."
Ki Randukeling dan Kiai Soka tertawa. Namun mereka tidak
berbicara lagi. Demikianlah, pasukan Pajang memang tidak berusaha untuk
memasuki padukuhan. Mereka menyadari bahwa pada dinding
padukuhan itu terdapat ujung tombak yang memagarinya,
sehingga pada saat pasukan itu meloncati dinding, maka terdapat
kelemahan yang akan berakibat buruk bagi pasukan Pajang jika
mereka memaksa untuk mendesak musuh.
Karena itulah, maka beberapa saat kemudian, pasukan Pajang
telah menarik diri dari medan. Namun mereka sempat mencari
dan merawat kawan-kawan mereka yang terluka dan bahkan ada
di antara mereka yang ternyata telah gugur di pertempuran.
Para prajurit Pajang itu sama sekali tidak mengganggu para
prajurit Jipang yang terluka. Namun ketika Gandar menemukan
seorang anak muda Tanah Perdikan yang terbaring karena luka-
luka yang parah, maka ia pun bertanya, "Siapa namamu?"
Anak muda itu memandanginya dengan penuh kebencian.
Tetapi Kiai Soka yang kemudian berdiri disebelahnya bersama
seorang perwira dari Pajang berkata, "Kami tidak akan berbuat
apa-apa atasmu. Kami tahu bahwa kau tidak mampu berbuat lain
daripada yang kau lakukan sekarang. Tetapi ketahuilah bahwa
Tanah Perdikan Sembojan sekarang sudah bangkit dibawah
pimpinan Iswari, istri Ki Wiradana yang tua, yang pernah
dianggap hilang dari Tanah Perdikan, atas nama anak Ki
Wiradana itu sendiri, yang kecuali lahir dari istri yang tua, saat
kelahirannya pun lebih dahulu dari anak Warsi itu."
Anak muda itu tidak menjawab. Tetapi sorot matanya masih
saja menunjukkan sikap hatinya yang diwarnai oleh pengaruh
para perwira dari Jipang.
Tetapi dengan sabar Kiai Soka masih berkata, "Baiklah. Kau
masih mempunyai kesempatan untuk memikirkannya.
8 SH. Mintardja Perbincangan dengan kawan-kawanmu, mungkin kalian
menemukan satu sikap yang benar."
Anak muda itu sama sekali tidak menjawab. Sementara itu
Kiai Soka berkata, "Baiklah. Kami minta diri. Sebentar lagi
kawan-kawanmu akan datang untuk mengambilmu dan
merawatmu." Kiai Soka dan Gandar pun kemudian meninggalkan anak
muda itu. Namun ketika mereka bertemu lagi dengan seorang
anak muda Tanah Perdikan yang terluka, mereka mempunyai
kesan yang berbeda. "Kau menangis?" bertanya Gandar kepada anak muda yang
terbaring diam itu. Anak muda itu tidak menjawab. Tetapi memang nampak dari
matanya menitik ungkapan perasaannya.
"Marilah, ikut kami," berkata Gandar.
"Aku tidak dapat bangkit," desis anak muda itu.
Perwira Pajang yang bersamanya itu pun telah
memerintahkan membawa anak muda itu bersama orang-orang
Pajang yang terluka. "Mungkin anak itu akan berarti bagi kita," berkata perwira
Pajang itu. Tertanya anak muda itu tidak menolak.
Demikianlah, maka pasukan Pajang itu pun telah ditarik dari
medan. Sebagaimana perintah yang diemban, maka pasukan itu
memang tidak harus mendesak kedudukan Jipang. Tetapi mereka
hanya sekadar mengguncang pasukan Jipang dan mengimbangi
perintah Patih Kadipaten Jipang untuk meningkatkan kegiatan di
semua medan. Ternyata bahwa yang dilakukan oleh para prajurit Pajang itu
memberikan kesan yang khusus bagi orang-orang Jipang dan
anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan.
9 SH. Mintardja Terutama atas kehadiran dua orang keluarga Iswari, istri Ki
Wiradana yang tua. Dalam pada itu, ketika pasukan Pajang sudah menjadi
semakin menjauh, maka para prajurit Jipang pun telah
mengirimkan petugas-petugasnya untuk merawat para prajurit
Jipang dan anak-anak muda tanah Perdikan Sembojan yang
terluka dan tidak mampu meninggalkan medan. Sebagaimana
orang-orang Pajang, maka ada di antara prajurit Jipang dan
anak-anak Tanah Perdikan Sembojan yang gugur pula di
peperangan. Pada saat para petugas itu sibuk mengangkat para korban,
maka disebuah serambi rumah di padukuhan itu Ki Rangga
Gupita mengumpat-umpat sejadi-jadinya. Sambil mengawasi
gerak para prajurit, Ki Rangga berkata, "Iblis dari Tanah
Perdikan itu memang harus dibinasakan. Sebenarnya aku ingin
mendapat kesempatan itu."
"Aku lebih berhak membunuhnya," sahut Warsi., "Tetapi
kesempatan yang hampir aku dapatkan itu lenyap bersama
perintah pasukan Jipang menarik diri."
Namun Ki Randukeling pun menyahut, "Jangan berkata
begitu. Aku melihat apa yang terjadi. Tidak seorang pun di antara
kalian berdua yang dapat membunuh Gandar itu. Ia memiliki
kemampuan menurut pengamatanku setidak-tidaknya seimbang
dengan kemampuan kalian sebagaimana aku dengan orang tua
itu. Sebenarnya aku juga ingin membunuhnya. Tetapi sangat sulit
aku lakukan, dan bahkan tidak mungkin untuk seperti sekarang
ini." "Tetapi jika aku mendapat kesempatan, aku yakin dapat
membunuhnya," berkata Warsi., "Aku memiliki kemampuan
Kalamerta." "Kau kira tidak ada kemampuan yang melampaui
kemampuan Kalamerta" Marilah kita dengan jujur menilai sikap
dan keadaan kita, agar kita dapat membuat perhitungan yang
wajar dan justru akan memberikan hasil yang pasti. Seandainya
10 SH. Mintardja Kalamerta itu tidak terkalahkan, maka ia tidak akan mati di
tangan Ki Gede Sembojan yang kemudian telah dibunuh dengan
licik," berkata Ki Randukeling.
"Bukan dengan licik," jawab Warsi., "Aku tidak dapat
mengatakannya begitu, meskipun pembunuh itu tidak datang dan
menantangnya perang tanding."
Wiradana mendengarkan pembicaraan itu. Tetapi ia tidak
dapat berbuat apa-apa. Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
kemudian katanya, "Baiklah. Semuanya akan menjadi
pengalaman bagi kita. Namun aku berharap bahwa kita tidak
mengingkari kenyataan tentang diri dan kemampuan orang-
orang yang akan berhadapan dengan kita sehingga dengan
demikian kita akan dapat membuat perhitungan-perhitungan
yang benar. Jika kita terlalu berbangga akan diri kita sendiri,
maka kita akan terjerumus ke dalam kesulitan."
Warsi tidak menjawab. Betapa tidak senangnya Ki Rangga
Gupita mendengar penjelasan Ki Randukeling yang selalu
menunjuk kelemahan diri sendiri, namun Ki Rangga Gupita itu
pun terdiam pula. Sementara itu, beberapa orang prajurit Pajang masih sibuk
untuk merawat kawan-kawan mereka yang terluka dan
membawanya ke banjar padukuhan untuk mendapat pertolongan
yang lebih baik. Sementara itu, mereka pun harus mengubur
kawan-kawan mereka yang telah terbunuh di peperangan itu.
Sementara itu, langit pun telah mulai menjadi buram.
Matahari telah tenggelam di balik pegunungan. Lampu-lampu
minyak mulai dipasang. Namun di lingkungan prajurit Pajang
maka lampu-lampu pun mengalami penghematan. Tidak semua
rumah yang dipergunakan oleh para prajurit Jipang dibeberapa
padukuhan memerlukan lampu. Bahkan di antara para prajurit
itu lebih senang untuk tidur saja di luar rumah. Mereka
membawa amben-amben bambu atau tikar-tikar pandan ke luar
11 SH. Mintardja dan dibentangkan di sepanjang serambi atau bahkan di bawah
pepohonan. Udara yang kadang-kadang terasa panas di dalam rumah dan
ruangan yang gelap membuat nafas mereka serasa sesak.
Sehingga dengan demikian mereka merasa lebih lapang tidur di
luar rumah. Bahkan dalam keadaan yang tergesa-gesa mereka
akan dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan keadaan.
Namun demikian, di regol-regol padukuhan, masih juga
terdapat obor-obor yang ukup terang. Di gardu para penjaga dan
di tempat-tempat para perwira yang bertugas, lampu minyak
menyala terang benderang.
Sementara itu, di tempat-tempat yang khusus, anak-anak
muda Tanah Perdikan Sembojan sedang beristirahat di antara
mereka. Ada yang berbaring dibentangan tikar pandan diserambi,
ada yang berada di ruang dalam dengan lampu dlupak yang
redup dan bahkan ada yang berkeliaran di halaman.
Namun, hampir semua orang digelitik oleh peristiwa yang
telah terjadi di medan pertempuran yang terjadi sebelumnya.
Meskipun demikian jarang di antara anak-anak muda itu yang
dengan terbuka membicarakannya. Apalagi jika di antara mereka
terdapat prajurit-prajurit Jipang.
Meskipun demikian, ada juga sekelompok kecil anak-anak
muda yang tidak dapat menahan diri untuk berbicara tentang
kehadiran Gandar dan Kiai Soka.
"Aku telah melihat mereka di antara kawan-kawan kita yang
terluka di banjar," berkata salah seorang dari anak-anak muda
Tanah Perdikan itu mulai dengan pembicaraannya. "Seorang di
antara mereka sempat berbicara dengan Kiai Soka."
"Bagaimana mungkin ia mendapat kesempatan itu?" bertanya
seorang kawannya. "Ketika pasukan Pajang ditarik mundur, maka orang-orang
kita yang terluka sama sekali tidak diusiknya. Di antaranya
12 SH. Mintardja seorang kawan kita telah ditemui oleh orang-orang yang
mengaku keluarga Iswari itu," sahut anak muda yang pertama.
Nampaknya beberapa orang di dalam kelompok itu tertarik
kepada ceritera itu. Seorang di antara mereka bertanya, "Apa
yang dikatakannya?" "Seperti yang diteriakkan oleh Gandar," jawab anak muda
yang pertama. Kawan-kawannya termangu-mangu. Namun kemudian
seorang di antara mereka bertanya, "Apa kalian mulai
terpengaruh?" Pertanyaan itu memang mendebarkan. Tetapi anak muda
yang pertama kemudian menjawab, "Aku hanya ingin mendengar
cerita tentang Tanah Perdikan kita, tentang orang tua kita dan
tentang apakah yang sebenarnya telah terjadi. Kawan-kawan kita
yang datang kemudian telah mengabarkan tentang kehadiran
kembali Iswari dan bahkan kekuasaan seakan-akan telah
berpindah tangan. Sebagaimana dikatakan oleh Gandar, bahwa
Iswari lah yang kini memegang pemerintahan di Tanah Perdikan.
Namun mereka tetap berkiblat kepada Pajang."
"Pada saatnya, kita akan kembali dan menyelesaikan
persoalannya," desis seorang anak muda yang bertubuh tinggi.,
"Apalagi setelah Pajang dapat dihancurkan. Jika idak di Kota
Raja mungkin kehancuran itu akan dimulai dari pesanggrahan di
tepi Bengawan Sore."
Beberapa orang yang lain mengangguk-angguk. Seorang yang
bertubuh kecil menyambung," Bukan masalah yang rumit. Kita
akan dapat menganggapnya sebagai gigitan nyamuk pada saat
kita sedang terkantuk-kantuk. Memang terasa mengganggu.
Tetapi tidak akan banyak berarti."
Anak muda yang pertama menjadi termangu-mangu. Tetapi
ia pun kemudian bertanya, "Bagaimana sikap orang tua dan
saudara-saudara kita yang masih berada di Tanah Perdikan
sekarang" Bukankah kita sadari, bahwa Iswari yang dianggap
hilang itu adalah istri pertama Ki Wiradana dan anaknya adalah
13 SH. Mintardja anak Wiradana yang lebih tua meskipun mungkin hanya
berselisih bulan dari anak Warsi?"
"Itu bukan soal," desis yang bertubuh tinggi., "Jika kita
datang dengan kekuatan, maka semuanya akan selesai."
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun
sebenarnyalah telah terjadi pergolakan di dalam hati mereka.
Sementara itu, para petugas yang merawat prajurit yang
terluka pun tidak lagi sibuk dengan tugas-tugasnya. Beberapa
orang yang terluka sudah mulai tenang dan bahkan beberapa
orang telah dapat tidur meskipun tidak terlalu nyenyak. Mereka
sering terbangun dan merintih karena pedih pada luka-lukanya.
Namun dengan pengobatan yang baik, perasaan pedih itu pun
terasa berkurang. Dalam pada itu, ketika sekelompok anak-anak muda Tanah
Perdikan yang berbincang itu mulai membaringkan diri, tiba-tiba
seorang kawannya yang lain telah menghampiri mereka.
"He, apakah kau mendengar tentang kawan kita yang hilang
itu?" desis anak muda itu.
"Hilang bagaimana?" bertanya salah seorang di antara
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka yang sudah berbaring itu sambil bangkit dan duduk.
"Di antara yang gugur dan yang terluka nampaknya sudah
berhasil diketahui semuanya dengan pasti, dari kelompok berapa
dibawah pimpinan siapa. Sebagaimana kita tahu, seorang di
antara kelompok kita terluka meskipun tidak terlalu parah dan
seorang lagi terkilir kakinya disamping beberapa orang yang
terluka tetapi tidak mengganggu sebagaimana hampir kita alami
semuanya," jawab anak muda yang baru datang itu. Lalu katanya,
"Tetapi masih ada seorang yang tidak terdapat di antara mereka
yang gugur, tetapi juga tidak terdapat di antara mereka yang
terluka." "Siapa?" bertanya yang bangkit dan kemudian duduk itu.
Bahkan beberapa orang yang lain pun telah bangkit pula, apakah
14 SH. Mintardja bukan karena petugas yang mengamibil para korban itu tidak
teliti sehingga justru masih tertinggal."
"Sudah diulang sampai beberapa kali. Semua korban.
diketemukan. Kecuali seorang itu" jawab kawannya yang baru
datang. Anak-anak muda Tanah. Perdikan itu termangu-mangu.
Namun orang yang bertubuh tinggi itu berkata, "Mungkin anak
itu ikut bersama orang-orang Pajang atau mungkin dibawa
dengan paksa untuk menjadi sumber keterangan bagi orang-
orang yang mengaku dari Tanah Perdikan itu."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang yang lain
berdesis, "Satu kemungkinan. Agaknya memang demikian."
"Jika benar demikian, agaknya. akan terjadi peristiwa seperti
itu lagi" berkata kawannya yang baru, datang, "atau
setidak,tidaknya memberikan kemungkinan kawan-kawan kita
yang lain berniat melakukannya."
"Untuik apa?" tiba-tibaa saja anak muda yang bertahan tinggi
itu, membentak, "apakah kawan-kawan. kita sudah dihinggapi
keinginan untuk berkhianat?"
Anak-anak muda itu memandanginya dengan tegang. Namun
anak muda yang baru datang itu menjawab, "Tidak. Tetapi siapa
tahu bahwa yang terjadi itu merupakan permulaan dari yang
tidak kita kehendaki itu."
"Hukuman bagi seorang pengkhianat adalah hukuman mati",
geram anak muda bertubuh tinggi itu, "kita akan saling
mengawasi. Siapa diantara kita yang berkhianat, maka orang itu
harus kita relakan. Jika benar anak itu hilang, maka kita memang
harus menilainya. Apakah ia dengan sengaja mengikuti orang-
orang Pajang dan dengan demikian anak itu sudah dapat disebut
berkhianat, atau ia dengan paksa dibawa oleh orang-orang Pajang
untuk mengalami tekanan yang sangat berat karena. orang-orang
Pajang, termasuk orang yang mengaku dari Tanah Perdikan itu
memerlukan keterangannya. Dan jika ia mati dalam keadaan
yang demikian, maka ia adalah justru seorang pahlawan."
15 SH. Mintardja Kawan-kawannya tidak menjawab. Anak muda yang baru
datang itu pun tidak berbicara lagi.: Bahkan iapun kemudian
duduk bensandar dinding sambil merenung.
Anak muda bertubuh tinggi itu masih juga berkata, "Kita akan
berbicara dengan pemimpin kelompok kita agar disampaikan
kepada para perwira dari Jipang. Persoalan seperti ini jangan
dibiarkan menumbuhkan akibat-akibat buruk dari kesetiaan kita.
Sementara itu kawan-kawan kita sendiri yang datang kemudian
dari Tanah Perdikan itu pun nampaknya tidak memiliki kesetiaan
yang utuh. Terhadap mereka harus diambil langkah-langkah yang
pasti, justru karena ada orang yang mengaku berasal dari Tanah
Perdikan Sembojan yang mempergunakan cara yang licik untuk
mempengaruhi kawan-kawan kita."
Suasana justru menjadi diam. Tetapi terasa ketegangan
didalam dada anak-anak muda itu. Bahkan sebagian dari mereka
tidak dapat melupakan apa yang mereka dengar dari mulut
Gandar dan perasaan yang kemudian mulai menggelitik hati.
Namun anak bertubuh tinggi itu masih bergumam, "Ingat,
setiap pengkhianat akan dibunuh tanpa mengingat, apakah ia
kawan, sanak kadang bahkan orang tua sekalipun. Demikian juga
kelak jika kita kembali ke Tanah Perdikan. Siapakah yang
berkhianat, harus kita lenyapkan agar pertumbuhan Tanah
Pcrdikan untuk selanjutnya menjadi subur dan tidak diracuni
oleh sikap yang dapat menghancurkan Tanah Perdikan justru
dari dalam lingkungan sendiri"
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Kawan-kawannya
justru mulai lagi membaringlaan diri. Tetapi mereka tidak dapat
segera tidur dengan nyenyak.
Sebenarnya bahwa hilangnya seorang diantara anak-anak
perdikan itu mem:ang menjadi persoalan. Nampaknya beberapa
orang perwira Jipang menaruh perhatian secara khusus. Apalagi
orang-orang yang merasa dirinya pemimpin Tanah Perdikan
Sembojan. 16 SH. Mintardja "Memang banyak terdapat pengkhianat diantara anak-anak
perdikan sendiri." geram Warsi.
"Sekali lagi aku ingin menegaskan, itu, adalah kesalahan
pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu sendiri"
sahut Ki Rangga Gupita, "tanpa wibawa yang cukup bagaimana ia
dapat mempengaruhi dan menguasai anak-anak Tanah
Perdikan?" Wajah Ki Wiradana menjadi merah. Gejolak perasaannya
bagaikan meretakkan dadanya. Namun kemudian dipaksakannya
menjawab meskipun dengan jantung yang bendebaran, "Belum
tentu anak itu berkhianat. Mungkin ia dibawa dengan paksa oleh
orang-orang Pajang sehingga dalam keadaaan terluka tanpa
dapat melawan, ia harus ikut bersama mereka."
"Omong kosong" teriak Warsi, "jika demikian mungkin sekali
tidak ada seorang pun anak muda Sembojan yang tertinggal."
"Dengan dungu kau mencoba membela dirimu" gream Ki
Rangga Gupita. Namun sementara itu Ki Randukeling berkata, "Sudahlah.
Tidak ada gunanya kita mencari siapakah yang bersalah. Kita
lebih baik melihat kemungkinan atas anak itu. Srandainya ia
sengaja dibawa, anak itu tidak akan banyak memberikan arti bagi
orang-orang Pajang. Anak itu tidak akan dapat memberikkan
keterangan apapun juga tentang pasukan Jipang ini dalam
keseluruhan, apalagi rencana yang disusun oleh para pemimpin
dari Jipang. Tetapi aku condong untuk menyangka demikian.
Anak itu tidak sengaja berkhianat sebagaimana dikatakan oleh Ki
Wiradana." Wajah Ki Wiradana menjadi merah. Gejolak perasaannya
bagaikan meretakkan dadanya. Namun kemudian dipaksakannya
menjawab meskipun dengan jantung yang berdebaran., "Belum
tentu anak itu berkhianat. Mungkin ia dibawa dengan paksa oleh
orang-orang Pajang sehingga dalam keadaan terluka tanpa dapat
melawan, ia harus ikut bersama mereka."
17 SH. Mintardja "Omong kosong," teriak Warsi., "Jika demikian mungkin
sekali tidak ada seorang pun anak muda Sembojan yang
tertinggal." "Dengan dungu kau mencoba membela dirimu," geram
Rangga Gupita pula. Namun sementara itu Ki Randukeling berkata, "Sudahlah.
Tidak ada gunanya kita mencari siapakah yang bersalah. Kita
lebih baik melihat kemungkinan atas anak itu. Seandainya ia
sengaja dibawa, anak itu tidak akan banyak memberikan arti bagi
orang-orang Pajang. Anak itu tidak akan dapat memberikan
keterangan apapun juga tentang pasukan Jipang ini dalam
keseluruhan, apalagi rencana yang disusun oleh para pemimpin
dari Jipang. Tetapi aku condong untuk menyangka demikian.
Anak itu tidak sengaja berkhianat sebagaimana dikatakan oleh Ki
Wiradana." "Tetapi yang penting peristiwa itu dapat menimbulkan sikap
yang merugikan," desis Ki Rangga Gupita.
"Itu sama-sama kita tahu," desis Ki Randukeling., "Karena itu
apakah yang dapat kita lakukan kemudian atas anak-anak kita
yang masih ada. Mungkin kita perlu memberikan penjelasan atau
keterangan yang lain yang dapat mencegah peristiwa seperti yang
kita cemaskan itu terjadi."
"Mungkin kita memang perlu menakut-nakuti mereka,"
berkata Warsi. "Kita dapat mengambil langkah yang lebih pasti," berkata Ki
Rangga Gupita. "Orang-orang Sembojan yang terluka dan tidak
dapat kita seret kembali ke induk pasukan, lebih baik dibinasakan
saja." "Tidak," tiba-tiba saja Ki Wiradana berteriak. Meskipun
kemudian keringatnya membasahi seluruh tubuhnya ketika ia
memandang mata Ki Rangga Gupita dan Warsi yang bagaikan
menyala. Untunglah bahwa Ki Randukeling pun kemudian
berkata dengan suara berat, "Aku adalah seorang pertapa.
Meskipun aku masih dipengaruhi oleh nafsu lahiriah
18 SH. Mintardja sebagaimana keinginanku melihat Jipang menghancurkan
Pajang, serta melihat cicitku berhasil menguasai sepenuhnya
Tanah Perdikan Sembojan, namun cara yang keras dan keji itu
tidak dapat aku setujui. Mungkin aku termasuk salah seorang
yang hidup dalam bayangan yang kelam, apalagi jika aku disebut
seorang pertapa. Namun aku masih mempunyai pertimbangan
yang mencegah perlakuan seperti itu."
Wajah Warsi menjadi semakin tegang. Tetapi ternyata ia pun
tidak berani membantah kata-kata kakeknya ketika ia melihat
wajah kakeknya yang bersungguh-sungguh.
Ki Rangga Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi baginya
cara itu akan mengurangi usaha pengkhianatan terhadap para
pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang telah berada didalam
pasukan Jipang. Untuk beberapa saat mereka pun tidak berbincang lagi. Ki
Randukeling bahkan telah meninggalkan ruangan itu. Sedangkan
Ki Wiradana pun merasa lebih baik menyingkir daripada terlibat
lagi dalam pembicaraan yang mungkin akan menjadi keras.
Tanpa hadirnya Ki Randukeling maka segalanya tentu akan
mengikuti saja jalan pikiran Warsi dan Ki Rangga Gupita.
"Pikiran yang cengeng," desis Ki Rangga Gupita ketika Ki
Randukeling telah meninggalkan ruang itu.
"Sebenarnya segala sesuatunya tergantung kepada kita,"
berkata Warsi., "Jalan pikiran Ki Rangga sebenarnya dapat
membantu Jipang dan Tanah Perdikan Sembojan sendiri untuk
tidak digoncangkan oleh sikap-sikap kerdil dari anak-anak
mudanya. Tetapi kakek terlalu berperasaan."
"Pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu pun
cengeng juga. Ialah yang mula-mula menyatakan penolakannya,"
berkata Ki Rangga Gupita.
"Ia hanya bermanfaat namanya saja," berkata Warsi., "Kita
tidak dapat menyingkirkannya sebelum kita kembali dan
menguasai Sembojan. Bahkan mendapat ketetapan dari Jipang,
19 SH. Mintardja bahwa Wiradana lah yang menjadi pemimpin Tanah Perdikan
itu," berkata Warsi., "Setelah itu, ia tidak kita perlukan lagi."
Ki Rangga Gupita menggeram, katanya, "Rasa-rasanya aku
tidak sabar lagi menunggu."
Warsi memandang Ki Rangga sejenak. Namun kemudian katanya, "Udara
panas sekali disini."
Kedua orang itu pun kemudian meninggalkan tempat itu. Mereka tidak menghiraukan seorang yang
duduk di serambi samping dalam kegelapan. Jantung orang itu bagaikan bergejolak
ketika ia melihat Warsi dan Ki
Rangga meninggalkan halaman
rumah itu. Dengan diam-diam orang itu mengikutinya sambil berlindung bayangan pepohonan. Namun darahnya justru bagaikan mendidih ketika
melihat keduanya telah turun ke jalan dan hilang dalam
kegelapan. Orang itu, Ki Wiradana, hanya dapat menggeretakkan
giginya. Tetapi ia tidak dapat mencegah apapun yang akan
dilakukan oleh istrinya dan Ki Wiradana itu. Keduanya memiliki
kemampuan yang jauh lebih tinggi dari kemampuannya.
Ki Wiradana itu pun kemudian melangkah kembali
keserambi. Dengan lemahnya ia duduk lagi di kegelapan
sebagaimana hatinya yang gelap. Langkahnya yang sesat telah
membawanya semakin dalam menukik ke liang kehancuran.
20 SH. Mintardja Namun Wiradana tidak melihat jalan yang dapat
membawanya ke luar dari bencana itu. Bukan saja bagi dirinya
sendiri, tetapi bagi Tanah Perdikan Sembojan.
Dalam kegelisahan Wiradana sempat merenungi langkahnya
yang pertama menuju ke kesesatan. Pada saat ia mula-mula
melihat Warsi, yang membuat dirinya sebagai seorang penari
jalanan. Namun segalanya itu hanya dapat disesali saja oleh Ki
Wiradana. Apalagi jika teringat olehnya istrinya yang pertama,
yang hampir saja binasa karena sikapnya.
"Ternyata Tuhan menghendaki lain," berkata Ki Wiradana itu
di dalam hatinya. Wiradana itu pun kemudian bangkit dari tempat duduknya
ketika ia melihat dua orang pengawal yang lewat di halaman,
menggantikan dua orang yang berada di gardu bersama dengan
dua orang dari kelompok yang lain.
Dua orang yang digantikan itu tentu melihat istrinya dan Ki
Rangga keluar dari halaman rumah itu. Tetapi para pengawal itu
pun tidak ada yang berani mengganggunya, sementara suaminya
sendiri tidak berbuat apa-apa.
Hampir di luar sadarnya maka Ki Wiradana pun telah pergi
ke bagian belakang rumah itu. Sesaat ia berdiri dimuka bilik yang
tertutup. Namun ia mendengar suara anaknya yang merengek.
Ketika anaknya terdiam, yang didengarnya adalah isak tangis
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang tertahan. Ki Wiradana tahu pasti, bahwa pemomong
anaknyalah yang telah menangis itu. Namun juga karena
perasaan takut yang mencekam. Sementara Warsi jarang sekali
menengoknya dan apalagi memberikan sedikit ketenangan di
hatinya. Tetapi Ki Wiradana tidak mengetuk pintu bilik anaknya itu. Ia
pun kemudian berjalan ke ruang depan. Ternyata ruangan itu
telah sepi. Semua orang telah pergi ke biliknya masing-masing
atau kemana saja yang mereka kehendaki.
21 SH. Mintardja Wiradana pun kemudian berbaring di amben bambu yang
besar yang terdapat di ruangan itu sendiri. Sementara lampun
pun menjadi semakin redup. Ketika kemudian lampu padam,
maka Ki Wiradana berusaha untuk dapat tidur barang sejenak. Ia
tidak tahu apa yang akan terjadi esok. Apakah pasukan Pajang
akan datang menyerang atau datang perintah dari Panglima
pasukan Jipang di Pajang untuk berganti menyerang atau
membuat gerakan-gerakan yang lain.
Betapa pun sulitnya, namun akhirnya Ki Wiradana itu sempat
juga tidur barang sejenak.
Dalam pada itu, pasukan Pajang yang menarik diri dari
medan itu pun tengah beristirahat pula. Beberapa orang yang
terluka telah mendapat perawatan sebagaimana seharusnya.
Di antara mereka terdapat seorang anak muda dari Tanah
Perdikan Sembojan yang ditunggui oleh Gandar, Kiai Soka dan
seorang perwira dari Pajang.
Dalam malam yang semakin lengang, anak muda itu merasa
bahwa keadaannya menjadi semakin baik oleh pengobatan yang
lebih baik. "Tidurlah, sebentar lagi hari akan menjadi pagi," berkata Kiai
Soka. Anak itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya, "Disini
aku merasa lebih tenang daripada jika aku berada di antara
orang-orang Jipang."
"Kenapa?" bertanya perwira dari Jipang
"Aku tidak tahu," jawab anak muda itu., "Mungkin karena
disini ada Kiai Soka dan Gandar yang akan dapat membawa aku
kembali ke Tanah Perdikan Sembojan, atau justru aku harus
menjalani hukuman mati, karena aku adalah seorang di antara
mereka yang telah melawan Pajang."
"Jangan berpikir yang aneh-aneh," berkata Kiai Soka.,
"Tenanglah. Kau berada ditempat yang lebih baik sebagaimana
perasaanmu mengatakannya."
22 SH. Mintardja Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Di sebelahnya
terbaring para prajurit Pajang yang terluka. Bahkan anak muda
Tanah Perdikan Sembojan itu tahu, bahwa ada di antara prajurit
Pajang yang gugur di pertempuran.
Para prajurit yang terluka itu menurut perasaan anak muda
Tanah Perdikan itu, selalu memandangnya dengan penuh
kebencian. Tetapi para perwira memperlakukannya dengan baik.
Apalagi Kiai Soka dan Gandar. Karena itu, maka anak muda itu
merasa bahwa orang-orang Pajang itu tidak akan berbuat apa-apa
atasnya. Dalam pada itu, maka Gandar pun berkata, "Tidurlah. Aku
akan menungguimu disini."
Anak muda itu tidak menjawab. Ia berusaha untuk dapat
tidur barang sejenak. Apalagi luka-lukanya sudah menjadi lebih
baik dan tidak lagi digigit oleh perasan pedih.
Ketika anak muda itu memejamkan matanya, maka Kiai Soka
pun telah dipersilakan oleh perwira Pajang itu untuk beristirahat
pula, sementara Gandar minta untuk tetap berada ditempat itu
menunggui anak muda yang sedang berusaha untuk tidur itu.
"Aku akan membantunya jika ia memerlukan sesuatu,"
berkata Gandar. "Biarlah ia menungguinya," berkata Kiai Soka kemudian
sambil meninggalkan tempat itu bersama perwira Pajang yang
mempersilakannya. Sepeninggal mereka, Gandar pun telah duduk bersandar
dinding disisi anak muda yang terluka itu. Sementara seorang
prajurit Pajang yang bertugas telah mendatanginya pula.
Gandar pun kemudian bergeser sambil mempersilakan
prajurit itu untuk duduk bersamanya. Katanya, "Marilah.
Duduklah." "Terima kasih," sahut prajurit Pajang itu., "Aku bertugas
diregol." 23 SH. Mintardja "O," Gandar mengangguk-angguk.
"Bagaimana keadaannya?" bertanya prajurit Pajang itu.
"Ia sudah berangsur baik," jawab Gandar.
Prajurit Pajang itu mengangguk-angguk. Namun ia pun telah
bertanya pula, "Bagaimana sikap kawan-kawannya yang lain"
Apakah mereka masih tetap dipengaruhi oleh para prajurit
Jipang dan memusuhi Pajang?"
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, "Kita harus
berusaha melepaskan mereka dari cengkaman pengaruh
beberapa orang yang mengaku pimpinan Tanah Perdikan
Sembojan. Merekalah sebenarnya yang telah menyesatkan anak-
anak muda dari Tanah Perdikan Sembojan itu, yang kini ternyata
telah terpecah. Anak-anak muda yang masih berada di Tanah
Perdikan sendiri telah menyadari kesalahan langkah mereka dan
mereka telah kembali berpegang kepada sikap Sembojan yang
seharusnya, dibawah pimpinan Iswari, istri pemangku jabatan
Kepala Tanah Perdikan yang sekarang. Namun sayang bahwa
pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu sendiri
berada di antara orang-orang Jipang.
Prajurit Pajang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Satu
persoalan yang agaknya sangat rumit telah terjadi di Tanah
Perdikan Sembojan. Para perwira disini pun harus memberikan
banyak sekali keterangan kepada para prajurit, apalagi yang
terluka, tentang anak muda Sembojan ini. Untunglah bahwa
mereka dapat dikendalikan dan tidak mendendam kepada anak
muda ini." "Ya," jawab Gandar., "Hal itu dapat dimengerti. Tetapi
nampaknya para prajurit Pajang, terutama yang terluka sudah
dapat mengerti dan dapat menerimanya berada di antara mereka.
Aku yakin anak muda ini pada saat ia sembuh, tidak akan lagi
beranjak dari antara prajurit-prajurit Pajang."
"Jika ia bersedia hadir dipeperangan, maka hal itu akan
memberikan keuntungan kepada pasukan Pajang. Sebagaimana
kehadiranmu bersama Kiai Soka," berkata prajurit itu., "Karena
24 SH. Mintardja kehadirannya di medan di antara prajurit Pajang akan dapat
mendorong anak-anak muda Pajang itu berpikir."
"Ia sudah menyatakan sikap seperti itu," jawab Gandar.
Prajurit Pajang itu mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Sudahlah, biarlah ia berusaha untuk beristirahat barang sejenak
menjelang pagi. Agaknya besok pasukan ini tidak akan bergerak.
Tetapi jika pasukan Jipang datang menyerang maka kita akan
dipaksa untuk bertempur lagi."
"Aku kira pasukan Jipang tidak akan bergerak," sahut
Gandar., "Mereka harus membenahi diri."
Prajurti Pajang itu mengangguk. Katanya, "Aku sependapat.
Tetapi kadang-kadang memang terjadi yang diluar perhitungan.
Meskipun demikian, kita tidak perlu gelisah. Ada petugas sandi
yang tentu akan dapat dengan cepat memberikan isyarat,
sementara itu pasukan yang terdiri dari beberapa kelompok telah
bersiap untuk bertempur kapanpun juga, di samping sekelompok
pasukan berkuda yang dapat bergerak dengan cepat ketempat-
tempat yang memerlukannya."
"Baiklah," berkata Gandar., "Aku pun akan beristirahat."
Prajurit itu pun kemudian meninggalkan Gandar yang masih
tetap menunggui anak yang terluka itu. Bagaimanapun juga, ada
sedikit kegelisahan di dalam hatinya, bahwa ada juga orang
Pajang yang dungu dan tidak dapat mengekang diri.
Namun agaknya tempat itu semakin lama menjadi semakin
tenang. Hampir semua orang sudah tertidur, meskipun ada juga
di antara mereka yang lukanya agak parah, sulit untuk dapat
memejamkan matanya. Tetapi anak muda Tanah Perdikan Sembojan itu ternyata
sempat juga tertidur di ujung malam sebagaimana Gandar juga
tertidur sambil duduk di lantai bersandar dinding.
Ketika matahari kemudian terbit, anak muda Tanah Perdikan
Sembojan itu pun terbangun. Keadaan tubuhnya sudah menjadi
semakin baik. Lukanya tidak lagi terasa pedih sekali.
25 SH. Mintardja Gandar lah yang kemudian telah pergi ke pakiwan. Kemudian
membasahi muka ikat kepalanya dan dipergunakannya untuk
mengusap tubuh anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang
belum dapat bangkit dan pergi ke pakiwan sendiri.
"Berbaring sajalah dahulu," berkata Gandar., "Nanti siang aku
bantu kau ke pakiwan, jika tubuhnya sudah terasa semakin
segar." Anak muda itu tidak membantah. Ketika tubuhnya diusap
dengan ikat kepala Gandar yang basah, tubuhnya itu benar-benar
terasa segar meskipun jika ikat kepala itu menyentuh bagian dari
lukanya itu masih terasa pedih.
Ketika Kiai Soka kemudian datang menengoknya, maka anak
muda itu telah dapat tersenyum dan wajahnya sudah menjadi
agak kemerahan. "Kau sudah tidak terlalu pucat lagi," berkata Kiai Soka.
Sementara anak muda itu berangsur baik, maka di
padukuhan, pesanggrahan pasukan Jipang di sebelah Timur
Pajang, Wiradana telah mengumpulkan anak-anak muda Tanah
Perdikan yang ada di antara pasukan Jipang. Beberapa orang
perwira Jipang menungguinya disamping Ki Rangga Gupita,
seorang perwira dari Prajurit Sandi Jipang yang memang
ditugaskan di Pajang, Warsi, Ki Randukeling dan beberapa orang
keluarga dari Warsi yang ada di padukuhan itu.
"Katakan," geram Warsi di telinga Ki Wiradana., "Agar
mereka mengerti, bahwa seorang di antara mereka telah hilang.
Dan itu diketahui dengan pasti, sehingga mereka merasa setiap
orang mendapat pengawasan sepenuhnya."
Ki Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun
berdiri dihadapan anak-anak muda Tanah Perdikan yang
berbaris dalam susunan pasukan yang lengkap, sebagaimana
mereka akan memasuki medan perang.
26 SH. Mintardja Dengan suara lantang Ki Wiradana pun kemudian
memberitahukan apa yang telah terjadi pada saat pasukan Pajang
menyerang. "Memang telah jatuh korban di antara kita, sebagaimana
terjadi atas pasukan Jipang dan juga pasukan Pajang," berkata Ki
Wiradana kemudian, "Memang adalah menjadi watak dari setiap
peperangan, bahwa perang akan menelan korban."
Warsi menghentakkan kakinya. Ia tidak sabar mendengarkan
pembicaraan Wiradana yang berbelit-belit.
Sementara itu Ki Wiradana pun berkata selanjutnya, "Di
antara korban yang jatuh di antara kita, maka seorang telah
hilang. Seorang yang mungkin terluka, namun yang kemudian
tidak kembali lagi ke pasukannya. Orang yang demikian itu perlu
mendapat penilaian secara khusus apa yang telah dilakukannya."
Anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan itu pun
semuanya terdiam. Dalam pada itu terdengar Ki Wiradana
melanjutkan, "Kami mengetahui setiap orang di dalam pasukan
kita. Mungkin anak itu benar-benar hilang. Tetapi jika ada usaha
untuk melarikan diri atau melakukan satu langkah yang
bertentangan dengan jiwa kesatria anak-anak muda Tanah
Perdikan Sembojan, maka ia akan mendapatkan hukuman yang
seimbang dengan kesalahan yang telah dilakukannya. Satu
peringatan bagi kalian, dimanapun anak itu berada, maka ia tidak
akan luput dari tangan kami. Kami akan menilai, dan kemudian
mengambil kesimpulan, apakah ia akan kita serahkan kembali ke
dalam pasukannya, atau anak itu harus digantung dihadapan
kalian." Suasana pun menjadi semakin tegang. Anak-anak muda
Tanah Perdikan itu merasa dicengkam oleh kecemasan. Bahkan
Ki Wiradana telah berbicara dan mengancam mereka dengan
suara yang keras yang jarang sekali dilakukan sebelumnya.
"Nah, siapakah di antara kalian yang dapat memberikan
keterangan tentang anak itu" Siapakah yang telah melihat pada
27 SH. Mintardja saat-saat terakhir dari peperangan yang berlangsung kemarin?"
bertanya Ki Wiradana. Beberapa orang anak muda saling berpandangan, sementara
semua mata dari para pemimpin pasukan Tanah Perdikan dan
para perwira Jipang itu tertuju ke kelompok anak yang hilang itu.
"Apa katamu?" bertanya Ki Wiradana kepada pemimpin
kelompok itu. Pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Seorang di antara kami melihat anak itu terluka. Tetapi
menurut perhitungan kami ia masih sempat menarik diri ke
belakang garis pertempuran atau bahkan ke balik dinding
padukuhan." Ki Wiradana memandanginya dengan tegang. Kemudian
dengan lantang ia membentak, "Tetapi yang terjadi tidak
demikian. Anak itu tidak ada di padukuhan dan tidak kembali ke
kelompoknya." "Itu berada di luar pengetahuan kami," jawab pemimpin
kelompok itu. Lalu katanya, "Tetapi mungkin salah seorang di
antara anak-anak dalam kelompok itu melihatnya dan bersedia
memberikan keterangan."
Ki Wiradana mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Nah, siapakah di antara kalian yang ingin memberikan
penjelasan?" Untuk beberapa saat tidak terdengar jawaban. Karena itu,
maka Ki Wiradana itu pun kemudian berkata lantang, "Jika
demikian, maka kesimpulan kita adalah, anak itu telah
berkhianat. Sebenarnya ia mempunyai kesempatan untuk
menyingkir dari medan, tetapi ia tidak melakukannya."
Anak-anak muda Tanah Perdikan itu pun menjadi berdebar-
debar. Wajah mereka menjadi tegang. Sementara di antara
mereka, tidak dapat menerima kesimpulan yang diambil dengan
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serta merta itu. Tetapi sebagian yang lain mengangguk-angguk
mengiakan. Terutama anak-anak muda yang pertama berangkat
28 SH. Mintardja dari Tanah Perdikan Sembojan. Anak-anak muda yang mendapat
tempaan yang paling lengkap dan paling baik di antara anak-anak
muda Tanah Perdikan yang lain.
Ketegangan itu menjadi semakin memuncak ketika Ki
Wiradana kemudian berkata, Nah, kita akan menentukan
hukuman apakah yang akan kita berikan kepada pengkhianat itu.
Juga kepada pengkhianat-pengkhianat yang mungkin akan
timbul ula di antara kalian."
Anak-anak muda itu terdiam. Namun dalam pada itu Warsi
tidak puas dengan ancaman yang diucapkan oleh Ki Wiradana.
Karena itu maka ia pun telah berteriak pula, "Kalian dengar" Kita
akan menentukan hukuman itu. Dan menurut paugeran seorang
prajurit, hukuman bagi seorang pengkhianat adalah hukuman
mati. Yang akan kita tentukan bukannya kemungkinan untuk
mengubah hukuman mati itu. Tetapi cara yang paling tepat untuk
melaksanakan hukuman mati itu.
Suara Warsi bagaikan melengking berputaran di atas
padukuhan dan di dalam setiap dada anak-anak muda Tanah
Perdikan Sembojan itu. Cara untuk melaksanakan hukuman mati
adalah ancaman yang sangat mengerikan.
Sementara itu Ki Rangga Gupita menyambung pula, "Seorang
prajurit akan merasa dirinya direndahkan dan kehilangan
martabatnya jika ia dilepas dari kedudukannya. Tetapi martabat
seorang prajurit yang dihukum mati karena berkhianat adalah
jauh lebih rendah daripada itu. Pengkhianatan tidak ubahnya
seperti tingkah laku seekor anjing yang menjilat kaki seekor babi
hutan yang harus diburunya. Karena itu, jika kalian terpaksa
harus mati, matilah sebagai seorang pahlawan. Jangan mati
sebagai seorang pengkhianat di tiang gantungan, atau terikat dan
terluka arang keranjang karena dihukum picis."
Tengkuk anak-anak muda Tanah Perdikan itu meremang
membayangkan hukuman yang sangat keji akan dilakukan atas
seorang pengkhianat. 29 SH. Mintardja Namun demikian ada juga di antara anak-anak muda itu yang
memiliki keberanian bertanya kepada diri sendiri, "Tetapi jika di
antara para pengkhianat itu sudah jatuh ketangan Pajang atau
para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan dari seberang yang
lain itu, apakah Ki Wiradana, Warsi dan Ki Rangga yang sombong
itu akan dapat menghukumnya?"
Tetapi tidak seorang pun yang berani mempersoalkannya.
Wajah-wajah tegang itu membuat anak-anak muda Tanah
Perdikan Sembojan bagaikan dihadapkan kepada pengadilan
yang berlambang pedang yang menyala tanpa keseimbangan.
Karena yang berbicara adalah gelora kebencian, bukan tuntutan
keadilan. Untuk beberapa saat lamanya, anak-anak muda Tanah
Perdikan itu masih mendengar ancaman-ancaman. Panglima
yang memegang pimpinan pasukan Jipang di daerah Timur
Pajang itu pun ikut mengancam. Bahkan dengan bentakan-
bentakan yang dapat meruntuhkan jantung.
"Hukuman dapat diberikan bukan saja yang melakukan
pengkhianatan. Tetapi kelompoknya akan dapat menjadi sasaran
hukuman yang tidak kalah beratnya. Karena itu, maka mereka
yang berada di satu kelompok seharusnya saling mengawasi yang
satu atas yang lain," berkata perwira Jipang itu.
Sementara itu, Ki Rangga Gupita pun berkata, "Kalian
dengar" Jadi kalian harus lebih mantap melihat kawan kalian
mati di peperangan daripada berkhianat."
Ki Randukeling memandanginya dengan wajah yang tegang.
Meskipun dengan istilah lain, agaknya Ki Rangga masih saja
bersikap kasar terhadap anak-anak Tanah Perdikan Sembojan.
Baginya seseorang yang terluka akan lebih baik mati saja
daripada ada kemungkinan untuk menyerahkan diri kepada
lawan. Ketika setiap dada anak-anak Tanah Perdikan Sembojan itu
telah penuh dengan ancaman, celaan, perintah dan bentakan-
bentakan, maka mereka pun diperkenankan kembali ke barak
30 SH. Mintardja mereka masing-masing di padukuhan yang mereka pergunakan
sebagai tempat kedudukan itu.
Wajah-wajah pun menjadi murung. Rara-rasanya mereka
berada dalam satu bayangan yang suram dan penuh dengan
kecurigaan. Satu orang di antara mereka hilang. Dan mereka pun
merasa kehilangan kebebasan mereka yang masih tersisa. Apalagi
bagi anak-anak muda yang datang kemudian.
Mula-mula tidak ada seorang pun di antara mereka yang
membicarakan perkembangan keadaan itu. Mereka saling
mencurigai dan tidak percaya bahwa mereka tidak akan
dilaporkan. Namun melalui peraturan-peraturan yang panjang,
akhirnya ada juga anak-anak muda itu yang mulai
membicarakannya. Meskipun mula-mula sekadar keluhan, bahwa hilangnya
seorang di antara kawan mereka, maka hari-hari bagi anak-anak
muda Tanah Perdikan Sembojan itu pun menjadi semakin gelap.,
"Anak itu memang harus dihukum," desis seorang anak muda.
"Ia sudah mencekik leher kita semuanya yang tertinggal."
"Jadi karena itukah ia harus dihukum" Bukan karena
pengkhianatannya?" bertanya yang lain.
Anak muda yang pertama merasa ragu untuk berbicara lebih
panjang, namun yang lain itulah yang justru berkata selanjutnya,
"Ia harus dihukum karena pengkhianatan. Itu jika benar ia
melakukannya. Ketika ia terluka, pemimpin kelompoknya
mengatakan, bahwa anak itu masih mungkin meninggalkan
medan. Jika penglihatan itu keliru dan anak yang terluka itu
justru mati di medan, apakah itu juga satu pengkhianatan"
Seandainya ia tidak mati, tetapi ia dibawa tidak atas kehendaknya
sendiri, apakah itu juga satu pengkhianatan?"
Anak muda yang pertama memandang kawannya dengan
tajamnya. Namun tiba-tiba ia berdesis, "Anak itu adik sepupumu
bukan?" 31 SH. Mintardja Kawannya menjadi tegang. Tetapi ia pun tidak ingkar, "Ya.
Anak yang disebut pengkhianat itu adalah adik sepupuku. Ia anak
seorang janda miskin yang semula berbangga karena anaknya
menjadi seorang pengawal. Aku tidak tahu apakah sekarang ia
akan menangisi anaknya yang hilang itu atau tidak."
Anak muda yang pertama itu pun mengangguk-angguk.
Namun tiba-tiba diluar dugaan, seorang anak muda yang lain,
yang sejak semula hanya mendengarkan saja pembicaraan itu
menyahut, "Aku juga tidak tahu, apakah ibuku akan menangis
atau tertawa jika ia melihat keadaanku."
Kawan-kawannya yang berbicara lebih dahulu itu pun
terdiam sejenak. Anak muda itu pun adalah anak seorang janda
yang miskin. Yang semula juga merasa berbangga bahwa anaknya
menjadi seorang pengawal yang terpilih dan mendapat uang yang
cukup sehingga anak itu tidak lagi selalu minta uang kepada
ibunya yang janda itu. Mereka terdiam ketika mereka melihat seorang prajurit
Jipang yang lewat. Dan bahkan kemudian mendekati anak-anak
muda itu sambil berkata, "He, apakah kalian sedang berbicara
tentang pengkhianat itu" Seharusnya kalian menjadi gelisah
justru hanya karena tingkah laku seorang saja di antara kalian
yang banyak ini." "Kami sedang membicarakan diri kami," jawab salah seorang
pengawal Tanah Perdikan. "Kenapa dengan diri kalian?" bertanya prajurit itu.
"Kami tidak boleh terperosok kedalam sikap seperti kawan
kami yang hilang itu seandainya ia benar-benar berkhianat,"
jawab anak muda itu. "Bukankah sudah pasti bahwa ia berkhianat?" bertanya
prajurit Jipang itu. Anak-anak muda itu ragu-ragu. Namun akhirnya mereka
mengangguk. Seorang di antara mereka menjawab, "Ya. Anak itu
memang berkhianat. Itulah sebabnya kami harus mengerti benar-
32 SH. Mintardja benar, apakah yang sebenarnya terjadi sekarang di tempat ini
agar kami, khususnya anak-anak muda Tanah Perdikan
Sembojan tidak kehilangan kiblat."
"Bagus," berkata prajurit Jipang itu., "Dengan demikian maka
kalian telah benar-benar berjiwa seorang prajurit."
Namun ketika prajurit Jipang itu pergi, hampir berbareng tiga
orang anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara
seorang yang lain lagi berdesis, "Sudahlah. Kita berbicara tentang
yang lain." Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi seorang di
antara mereka sempat juga berkata, "Kita sudah tidak berhak lagi
berbicara tentang diri kita sendiri."
Kawan-kawannya memandanginya. Namun tidak seorang
pun yang menyahut. Meskipun demikian, ternyata mereka pun
mengiakannya di dalam hati.
Pada hari itu, anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang
berada di antara orang-orang Pajang sudah menjadi semakin
segar, meskipun ia masih tetap berbaring di tempatnya. Ia
memang merasa lebih tenang berada di dekat Gandar dan Kiai
Soka meskipun anak muda itu belum mengenal mereka terlalu
rapat. Sementara itu, para prajurit Pajang pun telah mendapat
penjelasan tentang anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang
ada di antara mereka. "Anak itu tidak akan kita perlakukan sebagai tawanan,"
berkata seorang pemimpin kelompok kepada prajurit-prajuritnya
yang bertugas menjaga orang-orang yang terluka, "Ia lebih dekat
kita anggap sebagai kawan baru yang akan membantu kita."
Namun demikian ada juga di antara orang Pajang yang bertanya,
"Tetapi bukankah ia berada di medan" Siapa tahu, bahwa dalam
pertempuran ia pernah membunuh seorang prajurit Pajang?"
"Pada saat itu ia tidak tahu apa yang dilakukannya," jawab
pemimpin kelompok itu., "Jika kau sempat berbicara dengan
anak itu, maka kau akan tahu, bahwa ia adalah korban dari
33 SH. Mintardja kedunguan dan kelemahan pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikannya." Para prajurit Pajang itu mengangguk-angguk. Mereka
memang pernah mendengar ceritera tentang kegagalan
pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan untuk
minta pengukuhan dan wisuda sebagai Kepala Tanah Perdikan.
Sebenarnya permohonannya tidak ditolak, tetapi sekadar
menunggu persoalan Pajang dan Jipang selesai, sementara itu ia
harus menemukan pertanda kekuasaan Tanah Perdikan
Sembojan. Sebuah bandul emas yang bertatahkan lukisan
burung. Namun dalam kekecewaan itu datanglah pengaruh tentang
Jipang dan janji hari depan yang lebih baik bagi Tanah Perdikan
Sembojan. Dan yang lebih parah lagi, bahwa di Tanah Perdikan
Sembojan telah ada Warsi, kekuatan yang bersumber dari
dendam Kalamerta yang terbunuh oleh Ki Gede Sembojan.
Dalam pada itu, Kiai Soka dan Gandar pun telah berbicara
dengan para perwira Pajang, bahwa pada satu saat, anak muda
yang mereka pungut dari medan pertempuran itu akan mereka
bawa untuk meronda di daerah gawat yang berhadapan dengan
padukuhan-padukuhan yang dipergunakan oleh pasukan Jipang.
Mereka sengaja menarik perhatian para petugas sandi Jipang
agar mereka melihat, bahwa seorang anak muda Tanah Perdikan
ada di antara mereka. "Jika ia sudah dapat bangkit dan duduk di atas punggung
kuda, maka kita akan membawanya," berkata perwira Pajang itu.
Ternyata para perwira Pajang, Kiai Soka dan Gandar tidak
perlu menunggu sampai berhari-hari. Di hari berikutnya anak
muda itu sudah mampu bangkit dan berjalan ke pakiwan.
Sementara luka-lukanya telah berangsur menjadi sembuh.
"Besok aku sudah dapat berkuda," berkata anak muda itu.
Kiai Soka mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi apakah kau
menyadari sepenuhnya maksud kami memperlakukan kau seperti
itu?" 34 SH. Mintardja "Aku tahu," jawab anak muda itu., "Karena itu, aku tidak
merasa diperalat. Bahkan aku merasa dengan demikian aku
sudah membantu meletakkan pengertian anak-anak muda Tanah
Perdikan pada kedudukan yang seharusnya."
"Bagus," berkata Kiai Soka., "Mudah-mudahan sikapmu
mempunyai pengaruh atas anak-anak muda itu."
"Jika aku sudah sembuh benar, beri aku kesempatan untuk
memasuki barak kawan-kawanku dari Tanah Perdikan," berkata
anak itu. "Jangan," sahut Kiai Soka., "Itu tentu akan sangat berbahaya.
Mungkin kau dapat dianggap telah lari dari kewajibanmu."
"Aku dapat menyebut seribu macam alasan," berkata anak
muda itu. "Tetapi jika kau berbuat demikian, maka jiwamu benar-benar
akan terancam. Kita tidak tahu tanggapan prajurit Jipang atas
kepergianmu," berkata Kiai Soka.
"Agaknya aku sudah harus mati pada saat aku diketemukan
oleh prajurit Pajang. Hidupku yang sekarang adalah kelebihan
saja yang harus aku manfaatkan sebaik-baiknya, terutama bagi
kepentingan Tanah Perdikan. Kesadaran ini bukan tiba-tiba saja
tumbuh di dalam hatiku, tetapi sebenarnya aku sudah
memikirkannya sejak aku masih harus berada di barak-barak
para pengawal yang berpihak kepada Jipang, bahwa pada suatu
saat anak-anak muda Tanah Perdikan harus bersikap lain," jawab
anak muda itu. Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam. Namun Gandarlah
yang menyahut, "Kita harus memikirkannya masak-masak. Kau
tidak sepantasnya dengan sengaja menyurukkan nyawamu
ketajamnya pedang para prajurit Jipang. Tetapi mungkin ada
jalan lain yang dapat ditempuh. Bahkan mungkin aku dapat
mengantarkanmu memasuki barak-barak para pengawal di
Tanah Perdikan itu di malam hari, atau dengan cara lain yang
mungkin akan dapat kita ketemukan kemudian."
35 SH. Mintardja
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Tetapi yang pasti, besok aku akan dapat ikut berkuda berkeliling
daerah perbatasan kekuatan pasukan Pajang dan Jipang."
Hari itu anak muda Tanah Perdikan itu pun telah beristirahat
dan mendapatkan pengobatan sebaik-baiknya, agar besok ia akan
dapat ikut serta mengadakan pengamatan keliling di perbatasan
itu. Di hari itu, baik pasukan Pajang maupun pasukan Jipang
tidak mengadakan gerakan-gerakan yang berarti. Orang-orang
Jipang sibuk dengan usaha mereka menakut-nakuti anak-anak
muda Tanah Perdikan Sembojan agar mereka tidak berkhianat.
Sementara pasukan Pajang pun sedang beristirahat meskipun
kedua belah pihak tidak melepaskan kewaspadaan.
Di hari berikutnya, para petugas sandi Pajang melaporkan
bahwa mereka tidak melihat gerakan pasukan Jipang yang
mencurigakan, sebagaimana para petugas sandi Jipang pun
memberikan laporan, bahwa Pajang tidak mengambil langkah-
langkah yang penting. Karena itulah, maka Pajang pun kemudian telah menentukan
untuk mengirim sekelompok kecil pasukan berkuda untuk
mengamati medan. Di antara mereka yang ada di dalam
kelompok kecil itu adalah justru para perwira terpilih, Kiai Soka,
Gandar dan salah seorang pengawal Tanah Perdikan Sembojan
yang ada di antara prajurit Pajang dan yang dianggap hampir
pasti oleh Jipang sebagai seorang pengkhianat.
Dengan sengaja para prajurit Pajang yang sekelompok itu
memancing perhatian para petugas sandi dari Jipang. Dengan
berani mereka melihatasi daerah yang paling rawan di antara
kekuatan Pajang dan Jipang. Jalan di bulak panjang di antara
tanah persawahan yang tidak ditanami karena para petani telah
pergi mengungsi dari lingkungan ajang perang yang mengerikan
itu. Di tengah-tengah bulak sekelompok kecil pasukan berkuda
itu justru berhenti. 36 SH. Mintardja "Beri kami penjelasan tentang kedudukan pasukan Jipang,"
berkata Kiai Soka kepada anak muda itu., "Para perwira Pajang
tentu akan sangat berterima kasih tentang keteranganmu itu."
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Tetapi Kiai Soka
sama sekali tidak memaksanya.
Namun agaknya anak muda itu memang tidak berniat untuk
menyimpan rahasia. Karena itu, maka ia pun telah
menceriterakan apa yang diketahuinya tentang pasukan Jipang.
Anak muda itu menunjuk beberapa padukuhan yang
dipergunakan oleh prajurit-prajurit Jipang dan para pengawal
Tanah Perdikan. Ia pun dapat memberikan keterangan meskipun
kurang pasti, jumlah pasukan Jipang dan pengawal Tanah
Perdikan yang ada di padukuhan-padukuhan itu.
Para perwira Pajang itu pun mengangguk-angguk. Seorang di
antara mereka berkata, "Keterangan ini memang sangat berguna.
Kita akan dapat membuat perhitungan yang lebih cermat jika kita
berniat untuk mengganggu orang-orang Jipang."
Sebagaimana dikehendaki, maka seorang petugas sandi
Jipang telah melihat sekelompok prajurit Pajang mengamati
daerah pertempurarn. Diantara mereka terdapat seorang
pengawal Tanah Perdikan Sembojan.
"Kau kenali anak itu?" bertanya. Ki Rangga Gupita kepada
petugas sandi yang kemudian malapor itu.
"Ya. Aku pasti. Selain ia masih tetap mengenakan pakaian
pengawal akupun tidak melupakan wajahnya. Ia memang pantas
disebut pengkhianat. Agaknya ia telah menunjukkan
pesanggrahan pasukan Jipang disini," berkata petugas sandi itu.
Ki Rangga Gupita menggeram. Sementara seorang perwira
Jipang pun berkata, "Agaknya tidak banyak pengaruh yang dapat
ditimbulkan oleh pengkhiaat anak itu dari segi ketahanan
pasukan Jipang ini sendirian asal Ki Wiradaria dapat mencegah
terulangnya peristiwa seperti itu terjadi lagi,"
37 SH. Mintardja "Itulah yang sulit dipertanggung jawabkan" berkata Ki
Rangga Gupita "Ki Wiradana memang benar-benar seorang yang
dungu dan pengecut. Ia tidak memiliki jiwa kepemimpinan yang
dapat mengikat anak-anak muda Tanah Perdikan. Tanpa bantuan
para perwira dari Jipang, maka para pengawal Tanah Perdikan
itu tidak berarti sama sekali."
Perwira itu mengerutkan keningnya. Sementara itu Ki
Randukelingpun berkata, "Kau
terlalu menjelekkan pemangku
jabatan Kepala Tanah Perdikan
itu." "Ki Randukeling dapat
melihatnya" jawab Ki Rangga,
"nah, dimana ia sekarang. Ia
lebih senang menunggui penmomong anaknya itu daripada berada diantara pasukannya." "Ki Rangga" berkata Ki
Randukeling kemudian, "bagaimanapun juga kita harus
menghormatinya. Ki Raagga dan Warsi terlalu meremehkannya.
Ia sudah berhuat sejauh dapat dilakukannya. Adalah pantas
sekali jika sekali-kali ia menengok anaknya yang ditenlantarkan
oleh ibunya." Wajah Warsi menjadi merah. Tetapi ketika ia melihat sorot
mata kakeknya yang juga tajam, maka iapun menundukkan
wajahnya. Kakeknya berkata dengan sungguh-sungguh. Bahkan
Ki Randukeling itu masih berkata selanjutnya, "Justru pada saat
kita memerlukan dukungan dari segala pihak, dan justru pada
saat kita memerlukan kekuatan yang utuh, kalian melukai hati
pemangku jabatan Kepala, Tanah Perdikan itu. Ki Rangga. Aku
adalah orang tua yang melihat persoalanmu yang bergeser
kepada persoalan pribadi. Aku tidak akan mencampurinya karena
38 SH. Mintardja kalian adalah orang-orang dewasa. Tetapi jangan korbankan
persatuan sikap dan perbuatan menghadapi Pa.jang sekarang ini.
Aku berkata justru pada saat Ki Wiradana tidak ada, agar jika
kalian merasa tersinggung, kalian tidak semakin
mendendamnya." Wajah-wajah menjadi tegang. Tetapi Ki Randukeling tidak
sekedar berbicara sebagaimana biasanya ia melerai percakapan
diantara Warsi dan suaminya yang tidak banyak berperan atas
jabatannya. Namun Ki Randukeling benar-benar menyatakan
sikapnya. Karena itu maka ia pun berkata selanjutnya "Jika anak-
anak muda Tanah Perdikan itu tidak setia, bukan salah Ki
Wiradana. Kita harus berbicara dengan jujur. Apakah Ki
Wiradana leluasa menentukan langkah-langkah yang dapat
diambilnya untuk mengikat anak-anak mudanya" Yang
dilakukannya adalah sekedar melakukan perintah kalian. Tetapi
jika ada langkah yang salah, kalian ingin membebankannya
kepadanya." Tidak ada seorang pun yang membantah. Orang-orang itu
seakan-akan baru sempat memandanginya sebagaimana tingkat
kedudukannya yang sewajarnya. Ki Randukeling adalah orang
yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Dalam hubungan dengan
pemerintahan di Jipang, ia adalah sahabat Ki Patih Mantahun.
Bahkan Ki Patih dapat menerima banyak petunjuk-petunjuk Ki
Randukeling. "Nah", berkata Ki Randukeling kemudian, "sejak sekarapg
aku tidak ingin mendengar semua kesalahan ditimpakan kepada,
Ki Wiradana yang sudah memberikan kekuatan yang cukup besar
pada pasukan Jipang disini." Ki Randukeling berhenti sejenak
sambil memandangi Warsi. Katanya kemudian, "Aku tidak akan
mempersoalkan kesetiaanmu sebagai seorang isteri. Itu
urusanmu." 39 SH. Mintardja Wajah Warsi bagaikan disentuh bara api. Betapa panasnya.
Misteri Pulau Neraka 3 Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Kisah Membunuh Naga 22
Perdikan Sembojan." "Ah," Ki Rangga mengerutkan keningnya., "Bertanyalah
kepada Warsi, isteri pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan
Sembojan atau bertanyalah kepada Ki Wiradana sendiri."
Ki Randukeling tidak menjawab langsung. Tetapi ia pun
kemudian berdesis, "Kita akan melihat, apa yang kelak terjadi jika
kalian tidak mau melihat kenyataan."
Warsi pun kemudian menyahut, "Kakek benar-benar telah
menjadi orang tua." Ki Randukeling memandang Warsi dengan tajamnya.
Kemudian katanya, "Jadi buat apa kau libatkan aku ke dalam
persoalan ini jika kau anggap aku sudah terlalu tua?"
Wajah Warsi tiba-tiba menjadi tegang. Namun kemudian
katanya, "Maafkan aku kakek. Aku tidak bermaksud menyakiti
hati kakek. Agaknya aku terlalu percaya kepada kekuatan yang
ada pada kita sekarang, sehingga aku terlalu yakin akan dapat
berbuat apapun juga atas Tanah Perdikan Sembojan yang sudah
tidak mempunyai kekuatan lagi. Apalagi dengan bantuan
kekuatan Jipang." "Kebanggaan diri yang berlebihan akan merugikan diri
sendiri," berkata Ki Randukeling. "Tetapi sudahlah. Kita akan
membicarakannya kemudian. Kita sekarang sedang menunggu
kehadiran pasukan Pajang."
Senapati Jipang yang memimpin prajurit-prajurit Jipang di
padukuhan itu pun kemudian berkata, "Persoalan Tanah
52 SH. Mintardja Perdikan Sembojan adalah persoalan yang kecil dibandingkan
dengan persoalan yang kita hadapi sekarang."
"Ya. Tetapi Jipang harus mempunyai landasan di daerah
Selatan. Bahkan seandainya Pajang telah diduduki, namun aku
tidak yakin jika Pajang menyerah bersama seluruh rakyatnya,"
jawab Ki Randukeling. Namun kemudian, "Tetapi sudahlah.
Pasukan Pajang sudah mulai bergerak mendekati padukuhan ini."
Senapati itu pun kemudian bergeser selangkah mendekati
dinding padukuhan. Diamatinya gerak pasukan Pajang dalam
gelar yang mendekati padukuhan itu.
"Bunyikan isyarat," perintah Senapati itu.
Sejenak kemudian telah terdengar isyarat kentongan kecil
dengan irama dua-dua ganda. Sementara itu, pasukan Pajang
dalam gelar telah menjadi semakin dekat. Namun pasukan
Pajang saat itu tidak melengkapi gelarnya dengan pertanda-
pertanda kebesaran. Tanpa rontek dan umbul-umbul, kecuali
tunggul pertanda pasukannya dengan panji-panjinya.
Pasukan Pajang itu pun juga mendengar isyarat yang
dibunyikan oleh pasukan Jipang. Tetapi pasukan Pajang itu
memang sudah mengira, jika kehadirannya sudah diketahui oleh
pasukan Jipang. Karena itu suara isyarat itu tidak
mengejutkannya. Beberapa saat, pasukan Pajang itu kemudian telah memasang
pelindung di baris paling depan. Mereka yang membawa perisai
akan berada di barisan pertama. Jipang akan menyambut mereka
dengan anak panah dan lembing yang dilontarkan dari balik
dinding padukuhan yang tidak begitu tinggi dan dari balik
pepohonan dan rumpun-rumpun bambu.
Ketika pasukan Pajang itu hanya tinggal beberapa langkah saja
dari dinding padukuhan, maka terdengar isyarat titir yang
memanjang. Satu isyarat yang menggantikan bunyi bende tiga
kali berturut-turut. Isyarat bahwa pasukan Jipang harus segera
mulai menyambut kedatangan pasukan Pajang itu.
53 SH. Mintardja Dengan isyarat itu, maka sebagaimana diperhitungkan oleh
pasukan Pajang, anak panah dan lembing pun mulai meluncur
dari balik dinding dan pepohonan. Karena itu, maka pasukan
Pajang itu pun telah berlindung dibalik perisai yang tersusun
rapat. Sehingga dengan demikian maka pasukan Pajang itu
seakan-akan tidak terhambat sama sekali.
Meskipun demikian, ada juga lembing dan anak panah yang
sempat menyusup dibawah perisai dan mengenai kaki prajurit
Pajang. Tiga orang prajurit Pajang yang belum mencapai batas
pertempuran harus sudah keluar dari gelar. Mereka segera
mendapat perawatan. Ujung anak panah dan lembing telah
melukai kaki mereka sehingga seakan-akan mereka tidak lagi
mampu melangkah terus. Tetapi setelah mendapat sedikit pengobatan dan darahpun
menjadi pampat, maka mereka telah bangkit sambil berkata,
"Aku akan menyusul pasukan itu."
"Tunggu," sahut yang merawat. "Biarlah darahmu tidak keluar
lagi dari luka. Kalian harus beristirahat barang sejenak.
Pertempuran itu tidak akan segera berakhir. Bahkan mungkin
akan memerlukan waktu lama sehingga saatnya matahari
terbenam." Ketiga orang itu tidak memaksa. Tetapi rasa-rasanya mereka
tidak sabar menunggu sampai saat yang diperkenankan oleh
orang yang mendapat tugas merawat mereka.
Dalam pada itu, pasukan Pajang telah mencapai dinding
padukuhan. Dengan demikian, maka anak panah pun tidak lagi
dapat dipergunakan dengan baik. Karena itu, maka para prajurit
Jipang dan anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang
membawa busur telah diletakkannya. Mereka telah mencabut
pedangnya dan dengan tangkasnya mereka menyambut
kedatangan pasukan Pajang.
Sejenak kemudian pertempuran pun berlangsung dengan
sengitnya. Pasukan dari kedua belah pihak telah bertempur di
54 SH. Mintardja batas dinding padukuhan. Pasukan Pajang memang telah
mendapat pesan dari para Senapati dan pemimpin kelompok agar
mereka tidak terlalu dalam terlibat ke dalam pertempuran di
dalam dinding padukuhan. Mereka justru harus berusaha
memancing orang-orang Jipang untuk keluar dari padukuhan.
Bahkan sesuai dengan rencana, maka gelar pasukan Pajang itu
telah bergerak justru surut beberapa langkah. Ketika tunggul
pasukannya terangkat dan panji-panjipun terayun-ayun,
terdengar isyarat dari mulut para pemimpin kelompok agar
pasukan Pajang itu mundur.
Gerak itu ternyata telah berhasil memancing pasukan Jipang
keluar dari dinding padukuhan. Mereka berloncatan menyerang
dan berusaha mendesak pasukan Pajang lebih jauh.
Tetapi ternyata beberapa langkah dari dinding padukuhan,
Pasukan Pajang itu berhenti. Gerak mundurnya tidak lagi
dilanjutkannya. Bahkan pasukan itu seakan-akan telah
menemukan tempat untuk bertumpu dengan kuatnya.
Kedua belah pihak pun kemudian telah meningkatkan
kemampuan mereka. Namun mereka masih mengekang diri,
karena mereka menyadari bahwa pertempuran itu akan
berlangsung cukup lama. Sementara itu beberapa orang perwira Pajang memang sudah
berada di dalam kelompok-kelompok kecil. Tetapi mereka belum
mulai bergerak karena mereka belum menemukan tekanan yang
berat dari Ki Randukeling dan para pemimpin dari Tanah
Perdikan Sembojan yang lain, namun yang tidak diakuinya di
Sembojan sendiri. Namun dalam pada itu, ternyata orang-orang dari Tanah
Perdikan Sembojan telah menentukan sikapnya yang lain. Ki
Randukeling telah berada di dalam satu kelompok bersama Ki
Rangga Gupita, Warsi, ayah Warsi, Ki Wiradana dan orang yang
pernah diaku sebagai ayah Warsi itu. Sementara itu, anak-anak
muda yang telah memiliki kemampuan sebagaimana seorang
prajurit telah bertempur dengan tangkasnya pula.
55 SH. Mintardja Ternyata Ki Randukeling dan para pemimpin dari anak-anak
muda Tanah Perdikan Sembojan yang berpihak kepada Jipang itu
melakukan sebagaimana dikatakan. Mereka sama sekali tidak
mengekang diri lagi. Ketika mereka membentur pasukan Pajang
maka mereka pun telah bersiap untuk membunuh.
Kelompok yang terdiri dari raksasa-raksasa di dalam olah
kanuragan itu mengikuti gerak maju pasukan Jipang yang
terpancing keluar dari padukuhan. Ketika pasukan Pajang mulai
memantapkan garis pertempuran, maka Ki Randukeling pun
berkata, "Kita akan mulai. Tidak ada lagi keragu-raguan."
"Ya," sahut Ki Rangga, "Tidak ada belas kasihan dan
pengekangan diri. Tetapi harus berlaku juga bagi Ki
Randukeling." Ki Randukeling mengangguk-angguk kecil. Namun
kebesarannya sebagai seorang pertapa memang telah
membuatnya ragu-ragu meskipun ia telah menyatakan tidak ada
keragu-raguan. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang sangat
tinggi, apakah ia akan membunuh para prajurit kebanyakan yang
berlandaskan pada ilmu keprajuritannya tanpa ilmu yang lain.
Namun terdengar Ki Rangga berkata, "Marilah Ki
Randukeling. Kita akan berada di medan."
"Marilah kakek," Warsi mengajaknya pula., "Seperti yang
kakek katakan. Tidak ada keragu-raguan."
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Katanya, "Marilah,
mulailah." "Baiklah," berkata Ki Rangga., "Aku akan mulai."
Ki Rangga pun kemudian telah menarik tangan Warsi sambil
berkata, "Marilah. Kita merupakan pasangan yang paling
menakutkan di medan perang."
Dengan gerak naluriah Warsi berpaling kepada Ki Wiradana.
Bagaimanapun juga, laki-laki itu adalah suaminya. namun ia pun
segera meninggalkannya dan memasuki medan bersama Ki
Rangga." 56 SH. Mintardja Wiradana termangu-mangu. Namun tiba-tiba sepasang tangan
telah mendorongnya sambil berkata, "Marilah. Kau tidak usah
sakit hati melihat istrimu berpasangan dengan orang yang
memiliki ilmu yang seimbang dengannya di peperangan. Tidak di
dalam bilik. Majulah sesuai dengan rencana. Kita akan berada di
dalam satu kelompok."
Ki Wiradana bagaikan terbangun dari mimpinya.
Dipandanginya wajah ayah Warsi dengan jantung yang berdenyut
semakin cepat. "Apalagi yang kau pikirkan," bentak ayah Warsi.
Namun dalam pada itu terdengar suara lain, "Ia adalah
pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan."
Ki Wiradana dan ayah Warsi itu berpaling. Ki Randukeling
berdiri tegak sambil memandang ayah Warsi itu dengan
tajamnya. Ayah Warsi itu tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian
melangkah menyusul Warsi ke medan.
"Marilah," ajak Ki Randukeling kemudian., "Kita akan
melakukan satu permainan yang mengejutkan bagi Pajang."
Ki Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Jawabannya
bagaikan tidak sadar, "Marilah kakek. Aku sudah siap."
Keduanya pun kemudian telah melangkah pula memasuki
medan. Mereka harus berada dalam satu kelompok sebagaimana
sudah direncanakan. Namun dalam pada itu, ternyata Rangga Gupita dan Warsi
telah lebih dahulu menyerang para prajurit Pajang. Tetapi
seorang pemimpin kelompok yang telah melihat kehadirannya
telah memerintahkan seorang penghubung memberikan isyarat
bahwa di tempat itu terdapat orang-orang Jipang yang
memerlukan perhatian. 57 SH. Mintardja Sementara itu, maka sekelompok prajurit telah berusaha
membatasi gerak Ki Rangga dan Warsi. Tetapi keduanya teryata
benar-benar telah mengamuk seperti serigala yang kelaparan.
Para prajurit Pajang memang mengalami kesulitan. Kedua
orang itu ternyata benar-benar memiliki ilmu yang sangat tinggi
bagi para prajurit kebanyakan. Karena itulah, maka dalam waktu
yang singkat, maka seorang prajurit Pajang telah terluka
lengannya. Bahkan sekejap kemudian yang lain pun telah
menyeringai pula menahan pedih di pundaknya.
Namun dalam pada itu, isyarat yang diberikan oleh
penghubung itu pun segera ditangkap oleh Senapati yang
memerintahkan para perwira yang memiliki landasan ilmu yang
lebih baik dari para prajurit untuk mendekati medan yang
dianggap berbahaya itu. "Isyarat itu tidak mengatakan bahwa yang datang adalah Ki
Randukeling," berkata Senapati itu kepada Kiai Soka dan Gandar.
Kiai Soka mengangguk-angguk. Namun ternyata demikian
para perwira itu meninggalkan induk pasukan, isyarat yang lain
telah sampai kepada Senapati itu. Sambil menarik nafas Senapati
itu berkata, " Ya Kiai. Ki Randukeling pun ada ditempat itu."
Kiai Soka tersenyum. Katanya "Aku akan pergi ke tempat itu
pula. Mudah-mudahan aku memilikii kemampuan untuk
mengimbangi ilmu Ki Randukeling yang luar biasa itu."
"Aku percaya bahwa Kiai Soka akan dapat melakukannya"
jawab Senapati itu. Kiai Soka tidak menjawab. Tetapi ia pun segera bergeser
bersama Gandar menuju ke tempat yang diisyaratkan.
Sebenarnyalah, di tempat itu telah terjadi pertempuran yang
semakin sengit. Ketika para perwira datang ketempat itu, maka
para pemimpin dari anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan
yang berpihak Jipang telah berada ditempat itu pula.
Namun pada saat para perwira itu dalam kelompok-kelompok
kecil ingin berpencar, mereka telah ditemui oleh seorang
58 SH. Mintardja penghubung yang melaporkan, bahwa para pemimpin dari
pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu berada didalam satu
kelompok, "Bukan kebiasaan mereka" berkata salah seorang perwira.
"Memang bukan kebiasaan mereka" jawab penghubung itu,
"tetapi agaknya mereka ingin melakukan sesuatu untuk
mengatasi keterbatasan mereka jika mereka berhadapan dengan
kelompok-kelopok kecil perwira yang mempunyai ilmu
melampaui para prajurit."
"Baiklah" berkata perwira itu, "kita harus menyesiuaikan diri."
"Silahkan. Keadaan sudah menjadi gawat" berkata
penghubung itu. "Kita akan membicarakannya" berkata perwira itu. "Cepatlah.
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kematian telah disusul dengan kematian," berkata penghubung
itu pula dengan cemas. Para perwira itu pun kemudian telah berbicara beberapa saat.
Tetapii kesimpulan yang mereka ambil adalah, merekapcun
berada di satu kelompok yang lebih besar untuk menghadapi
kelompok orang-orang berilmu itu.
"Kita akan dapat menentukan sikap berikutnya jika kita sudah
berada di medan" berkata perwira yang tertua diantara mereka,
"korban telah jatuh. Kita jangan terlalu lama membiarkan para
prajurit dalam kesulitan"
Demikianlah prajurit-prajurit yang dianggap memiliki
kelebihan dari prajurit kebanyakan itu pun segera menempatkan
dirinya di medan. Namun mereka memang menjadi berdebar-
debar melihat beberapa orang yang dianggap berilmu tinggi
berada didalam satu kelompok Bahkan diantara mereka terdapat
Ki Randukeling. Ketika Ki Randukeling melihat beberapa orang perwira hadir
di medan, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Agaknya kita akan dapat mulai dengan permainan yang lebih
59 SH. Mintardja baik. Aku lebih senang membunuh orang-orang berilmu daripada
membunuh prajurit-prajurit yang dungu itu."
Ki Ranggapun tertawa. Katanya "Marilah Ki Randukeling.
Tidak ada keragu-raguan. Tidak ada belas kasihan dan
pebgekangan diri. Siapapun yang datang kehadapanku, akan aku
bunuh." Warsi pun menyahut "Membunuh adalah tugas kita di medan
pertempuran seperti ini."
Para perwira Pajang itu pun menjadi semakin berhati-hati.
Mereka mengerti, betapa tingginya ilmu Ki Randukeling. Jika ia
berdiri sendiri, maka beberapa orang perwira dapat
megepungnya dan membatasi geraknya. Tetap dalam kelompok
orang-orang berilmu yang seakan-akan menghadap, ke segala
arah itu, maka para perwira itu harus berbuat dengan
perhitungan yang lebih baik.
Sementara itu, para prajurit Pajang telah berusaha untuk
menekan lawannya, di segala titik benturan.
Karena para pemimpin dari anak-anak muda Tanah Perdikan
Sembojan itu berada di satu kelompok, maka, di medan yang
membentang itu, tidak terdapat kekuatan-kekuatan yang
mencuat dari para prajurit kebanyakan. Para Perwira Jipang
memang memiliki kemampuan melampaui para prajuritrrya.
Tetapi mereka tidak merupakan kekuatan penentu, karena
kemampuan mereka tidak lebih dari para pemimpin kelompok
dari Pajang. Namun yang benar-benar mengejutkan adalah kelompok para
pemimpin yang datang dari Tanah Perdikan Sembojan. Ternyata
mereka benar-benar bagaikan menjadi buas. Raugga Gupita dan
Warsi seolah-olah memang tidak dapat dikekang lagi. Bahkan Ki
Rangga Gupita telah mempergunakan kemampuan tertingginya,
sehingga setiap senjata yang bersentuhan dengan senjatanya,
meskipun hanya sentuhan kecil, telah menjadi rambatan
mengalirnya panas yang bagaikan membakar telapak tangan.
60 SH. Mintardja Warsi benar-benar mengamuk sebagai seekor harimau betina.
Tanpa kekaug sama sekali, sehingga semua gerak senatanya
bagaikan menyebarkan udara kematian. Ayahnya pun menjadi
bagaikan liar dan kehilangan pengamatan. Sementara yang masih
tetap ragu-ragu adalah Ki Wiradanaa sendiri. Tetapi karena ia
sudah berada di lingkungan orang yang sedang mengamuk, maka
ia pun telah bertempur pula dengan segenap kemampuannya.
Ki Randukeling memang tidak menjadi buas seperti yang lain.
Ia masih tetap mengendalikan dirinya. Meskipun ia akan
mungkin berbuat lebih kasar, tetapi ia masih rnemikirkan harga
dirinya sebagai seorang pertapa yang besar dan orang yang dekat
dengan Ki Patih Mantahun.
Namun demikian, meskipun masih juga tetap dikekang, tetapi
kemampuan Ki Randukeling memang menggetarkan orang-orang
yang berada dalam kelompok berusaha membatasi geraknya.
Dalam susunan yang lain, maka para pemimpin Tanah
Perdikan Sembojan itu benar-benar menjadi sangat berbahaya.
Bahkan para perwira Pajang yang menghadapi mereka tengah
memeras nalar mereka, apa yang sebaikmya mereka lakukan
untuk melawan cara yang dipergunakan oleh para pmnimpin
Tanah Perdikan Sembojan itu.
Ketika pertempuran menjadi semakin seru, maka terjadilah
keseimbangan yang tidak merata. Di medan yang menebar itu,
pasukan Pajang mampu menguasai keadaan. Tetapi pada satu
titik pertempuran, para pemimpin dari anak-anak muda Tanah
Perdikan itu mengamuk tanpa dapat dibatasi geraknya, sehingga
bagaikan putaran angin pusaran yang membabat segala sesuatu
yang disentuhnya. Kecemasan itu benar-benar mencengkam para perwira dan
prajurit Pajang. Mereka merasa perlu untuk menemukan satu
cara mengatasinya. Tidak langsung dalam banturan yang tentu
akan menuntut terlalu banyak korban.
Yang dapat dilakukan oleh Pajang adalah menyampaikran
kesulitan itu kepada Senapati yang memimpin pasukan Pajang
61 SH. Mintardja lang datang menyerang, bahwa Jipang, khususnya, pasukan
Tanah Perdikan Sembojan telah mempergunakan cara baru yang
mengejutkan Pajang. "Tekan pasukan Jipang di sekitar tempat itu dengan cara yang
sama" perintah Senopati itu, " beri hesan bahwa pasukan Pajang
akan menghancurkan pasukan Jipang sampai tuntas".
Perintah itu pun segera sampai pula kepada para pemimpin
kelompok di medan di sekitar para pemimpin pasukan Tanah
Perdikan Sembojan ditamhah Ki Rangga Gupita bagaikan
mengamuk. Pasukan Pajang yang marah itu pun segera melakukan
perintah itu, Tanpa arnpun mereka menekan pasukan Jipang
yang sebagian besar justru terdiri dari anak-anak muda Tanah
Perdikan Sembojan untuk mempengaruh perasaan para
pernimpinniya. Tetapi para pemimpin pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu
agaknya telah menemukan satu cara yang mereka anggap cukup
baik untuk menghancurkan kekuatan Pajang, terutama para
perwiranya. Karena itu, maka untuk sementara mereka
membiarkan kesulitan yang dialami oleh pasukannya.
"Kita akan dapat membunuh lebih banyak" teriak Ki Rangga
Gupita. "Ya. Kita hancurkan orang-orang Pajang yang merasa dirinya
berilmu." "Dimana Tumenggung Wirajaya" teriak Ki Rangga Gupita
"permainan kita belum tuntas. Kenapa aku tidak melihatnya di
medan sejak aku kembali kemari."
Para perwira Pajang itu termangu-mangu. Sebenarnyalah Ki
Tumenggung Wirajaya memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi ia
sedang melakukan tugas lain tidak di medan pertempuran.
Namun tantangan itu memperingatkan para perwira Pajang
bahwa Ki Tumenggung Wirajaya akan dapat dihadapkan kepada
orang yang menantangnya itu.
62 SH. Mintardja Tetapi tiba-tiba yang terdengar justru suara lain. Suara yang
terdengar lembut sareh. Tetapi getarannya bagaikan telah
mengguncang setiap dada, "Jangan mencari Tumenggung
Wirajaya yang sedang sibuk. Ia hari ini tidak sempat melayani
kalian. Tetapi agaknya akulah penganggur yang tidak mempunyai
pekerjaan lain dapat melakukan tugasnya di medan ini.
Suara itu benar-benar mengejutkan. Lebih-lebih Ki
Randukeling yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Suara itu
seolah-olah khusus ditujukan kepadanya lewat sentuhan jiwani
yang sangat khusus. Karena itu, dengan nada suara yang sama Ki Randukeling
justru bertanya "He, Ki Sanak. Siapakah kau?"
"Aku adalah salah seorang kawula dari Tanah Perdikan
Sembojan yang sebenarnya adalah salah satu keluarga Kadipaten
Pajang." jawab suara itu, "tetapi Sembojan ternyata telah
menempuh jalan sesat dan memilih bertempur bersamasama
Jipang justru rnelawan Pajang."
"Siapa kau?" ulang Ki Randukeling.
"Orang memanggilku Kiai Soka. Aku adalah adik dari kakek
Iswari yang kini memerintah Tanah Perdikan Sembojan atas
nama anak laki-lakinya karena ayah anak itu berhalangan. Iswari
telah melakukan tugas sehari-hari dari pemangku jabatan Kepala
Tanah Perdikan Sembojan. Kedatanganku di medan ini telah
mengemban beberapa tugas, antara lain memberikan kesadaran
kepada anak-anak muda Sembojan tentang kedudukan mereka,
dan menyatakan kepada kalian orang-orang sesat, bahwa Tanah
Perdikan Sembojan yang berdiri tegak diatas kebenarannya akan
mengejar kemanapun kalian lari."
"Kaulah itu Kiai?" desis Ki Randukeling
"Persetan" Warsi lah yang berteriak dengan suara heras.
Tetapi terasa bahwa suara itu adalah suara mantab yang sama
sekali tidak mampu rnengimbangi, getar suara Kiai Soka. "Anak
pemangku jabatan Kepala Tamah Perdikan Sembojan itu ada
disini bersamaku." 63 SH. Mintardja "Jangan berteriak-teriak begitu" terdengar suara lain.
Meskipun tidak seperti Kiai Soka, tetapi Gandar sempat
membangunkan kekuatan ilmunya lewat getar suaranya, "aku
tahu kau memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi sekarang kalian
adalah orang-orang terbuang. Dengar sekali lagi seperti yang
dikatakan oleh Kiai Soka. Aku datang untuk menunjukkan
kepada kalian, bahwa kemanapun kalian lari, maka kalian akan
tetap dikejar." "Aku bunuh kau" teriak Ki Rangga yang mencoba
mengimbangi getar suara Gandar.
Tetapi yang terdengar adalah suara Gandar tertawa. Katanya
"Kaulah petugas sandi dari Jipang yang telah bekerja sama
dengan Ki Randukeling dan kemudian benar-benar menguasai Ki
Wiradana bukan saja senyum dibihir sebagaimana dilakukan
pada saat Warsi datang pertama kali di Tanah Perdikan, tetapi
benar-benar dengan kekerasan" Karena Warsi benar-benar
menjadi buas setelah ia merasa kekuatannya terkumpul di Tanah
Perdikan Sembojan?" "Persetan" teriak Ki Rangga Gupita. Hampir saja ia meloncat
berlari kearah Gandar. Tetapi Warsi mencegahnya. Katanya,
"Akulah yang akan membunuhnya."
Warsi tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun telah meloncat,
benar-benar sebagai seekor harimau betina kearah Gandar.
Sementara itu Kiai Soka justru telah berpesan, "jangan bunuh
perempuan itu." "Aku sudah muak" geram Gandar.
"Jaga perasaan Iswari. Biarlah Iswari yang kelak
menundukkannya." desis Kiai Soka.
"Apakah Iswari mampu?" bertanya Gandar. "Kita akan
rnenjajaginya" jawab Kiai Soka.
Gandar tidak menjawab lagi. Perempuan yang garang itu telah
berada dihadapannya. 64 SH. Mintardja Karena itu maka Gandar pun harus segera bersiap. Ia menjadi
berdebar-debar ketika ia melihat Warsi tidak mempergunakan
senjata pedang. Tetapi dalam puncak kemarahannya dan
menghadapi lawan yang dianggapnya cukup tangguh, maka ia
telah mempergunakan senjata lenturnya.
Warsi telah mengurai rantainya yang merupakan senjata
andalannya. Tetapi Gandar justru ingin tetap mempergunakan senjata yang
sejak semula telah dibawanya ke medan itu. Sebuah tombak
pendek. Meskipun Gandar juga mempunyai dan mampu
mempergunakan senjata lentur, tetapi ia tidak ingin
mempergunakannya menghadapi Warsi yang telah lcbih dahulu
mengurai rantainya. "Kau akan menyesal karena kesombonganmu" geram Warsi.
"Apa daya seorang perempuan" desis Gandar, "aku sudah
banyak mengenal perempuan yang katanya berilmu tinggi."
"Tutup tnulutcnu" bentuk Warsi, sambil mengayunkan
rantainya. Gandar terkejut. Ujung rantai itu memang hampir saja
menyambar mulutnya. Namun Gandar cepat bergeser, sehingga
rantai itu tidak berhasil menyentuhnya.
"Kau terlalu cepat marah" berkata Gandar, "tenanglah sedikit,
agar kau tidak kelihatan terlalu liar."
"Diam. Diam kau" Warsi berteriak, "kau akan bertempur atau
akan berbicara saja?"
Gandar tertawa. Namun ia pun dengan tangkas mengelak
ketika rantai ditangan Warsi, itu barputaran menyambarnwa.
Namun demikian Gandar meloncat, ujung rantai itu telah
memburunya, mematuk dengan dahsyatnya.
Gandar tidak menjadi gugup. Ia pun cepat menghindar.
Bahkan dengan sebelah tangannya, Gandar menjulurkan
tombaknya ke arah dada Warsi.
65 SH. Mintardja Satu serangan yang tidak terduga. Karena itu, Warsi lah yang
kemudian harus mengelak. Dengan demikian maka pertempuran pun menjadi semakin
meningkat. Ternyata bahwa Gandar harus mengakui, bahwa
Warsi memang memiliki ilmu yang tinggi. Namun hampir diluar
sadamya, Gandar bertanya, "Ilmu inikah peninggalan Kalamerta
yang garang itu" "Persetan" geram Warsi marah.
Grandar tidak berbicara lagi. Tetapi ia harus benar-benar
memusatkan perhatiannya kepada ujung rantai Warsi yang
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya., "Bahkan kadang-
kadang rantai itu berputar-putar bergulung bagaikan kabut yang
siap melibatnya kedalam satu putaran maut.
Tetapi Gandar memang tangkas. Ia sama sekali tidak menjadi
bingung. Dengan kemampuan i1munya yang tinggi, maka ia pun
mampu mengimbangi kegarangan harimau betina yang memiliki
keturunan ilmu Kalamerta itu.
Ia pun mengimbangi kecepatan gerak Warsi dengan kerapatan
gerak pula. Sekali-sekali ujung tombaknya mampu menyusup
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diantara gumpalan putaran rantai Warsi, sehingga Warsi pun
harus bergeser surut. Sebagaimana Gandar harus mengakui kemampuan Warsi,
maka Warsi-pun tidak dapat mengingkari kenyataan. Gandar
memiliki kelebihan dari sesamanya dalam olah kanuragan.
Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya pun
semakin lama menjadi semakin sengit. Keduanya telah
mengerahkan segenap kemampuannya untuk saling mengatasi.
Namun dalam pada itu, Gandar pun berusaha untuk
mengamati kemampuan Warsi jika kemampuan itu sudah sampai
ke puncak. Meskipun ia harus bertempur dengan segenap
kemampuannya, tetapi Gandar tidak melupakan pesan Kiai Soka.
Warsi tidak baleh dibunuh seandainya ia mampu melakukannya,
66 SH. Mintardja karena pada suatu saat Iswari ingin bertemu langsung dengan
perempuan itu. Tetapi Iswari tidak boleh menjadi korban dalam pertemuan
itu. Karena itu, maka Gandar harus mampu mamberikan
pertimbangan, apakah Iswari benar-benar sudah siap atau belum
menghadapi ilmu, Kalamerta itu.
Dulain pihak Kiai Soka telah berhasil memancing Ki
Randukeling keluar dari sekelompok orang-orang berilmu yang
memimpin anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang ada
di Pajang bersama pasukan Jipang itu, Dengan nada rendah Ki
Randukeling berkata, "Kau telah merusak rencana kami Ki
Sanak." "Rencana yang mana yang kau maksudkan?" bertanya Kiai
Soka. "Kami ingin menghancurkan pasukan Pajang yang datang hari
ini ke padukuhan ini" berkata Ki Randukeling.
"Kenapa" bertanya Kiai Soka pula.
"Kedatangawmu telah merubah gelar yang kami siapkan"
jawab Ki Randukeling, "gelar yang khusus menjebak para perwira
dari Pajang." "Jangan bermain-main dengan jiwa anak-anak Tanah
Perdikan" berkata Kiai Soka, "bukankah dengan caranu itu,
kematian sajalah yang akan bertambah banyak. Bukan
penyelesaian seperti yang kau harapkan."
"Kenapa begitu?" bertanya Kiai Randukeling.
"Mungkin kalian mampu membunuh prajurit Pajang lobih
banyak" berkata Kiai Soka, "tetapi orang-orang Jipang pun
terbunuh lebih banyak diluar lingkaran kelompok. Orang-orang
berilmu tinggi dari Tanah Perdikan Sembojan ini. Karena itu,
cara yang kau pakai adalah justru cara yang paling buruk dari
segala pertempuran yang pernah terjadi."
67 SH. Mintardja Kiai Randukeling mengangguk-angguk. Jawabnya, "Mungkin
kau benar, karena para pemimpin dari Tanah Perdikan Sembojan
telah berkumpul, sehingga yang tersebar didalam gelar hanyalah
para prajurit dan anak-anak muda Tanah Perdikan. Untuk
selanjutnya aku akan memikirkan cara yang lebih baik dari cara
ini, sehingga korban tidak akan jatuh terlalu banyak."
"Terima kasih" desis Kiai Soka, "kematian dikedua belah pihak
yang meningkat dalam perang seperti ini bagiku merupakan satu
keprihatinan yang tinggi:. Kematian prajurit Pajang yang
meningkat membuatku menjadi cemas. Sementa'ra itu kematian
anak-anak Tanah Perdikan yang berlipat membuat hatiku
menjadi sangat terasa pahit."
"Baiklah Ki Sanak" berkata Ki Randukeling, "aku akan selalu
mengingat pesanmu itu, meskipun seandainya kau sudah tidak
ada lagi." "Kenapa aku menjadi tidak ada?" bertanya Kiai Soka.
"Pertemuan kita kali ini berbeda dengan perternuan kita di
Tanah Perdikan itu Kiai?"
"Ah, jangan berpura-pura begitu-. Bukankah kita berada di
peperangan. Kau atau aku akan dapat terbunuh di peperangan
seperti ini." jawab Ki Randukeling.
Kiai Soka mengangguk-anggu!k. Sementara. itu katanya,
"Memang mungkin kau atau aku dapat terbunuh. Tetapi
kematian kita kurang bermanfaat disini."
"Dimana yang menurut pertimbanganmu lebih bermanfaat?"
bertanya Ki Randukeling. "Jika aku mati, seakan-akan kematianku tidak lebih
merupakan bagian dari pasukan Pajang. Sedangkan jika kau mati,
kaupun hanya sekedar bagian dari orang-orang Jipang." jawab Ki
Soka. "Jadi bagaimana ?" bertanya Ki Randukeling.
68 SH. Mintardja "Aku datang memang untuk menunjukkan bahwa Tanah
Perdikan Sembojan berani menghadapi kalian dimanapun juga.
Tetapi kita akan lebih berarti jika kita mati di Tanah Perdikan
langsung dalam persoalan yang kita masuki. Apakah kau setuju ?"
bertanya Kiai Soka. Ki Randukeling merenung sejenak. Namun kemudian katanya,
"Lihatlah. Pertempuran telah berubah. Kau berhasil
mengacaukan kekuatan .pasukan Jipang, khususnya yang terdini
dari anak-anak Tanah Perdikan."
"Tetapi, aku sudah berpesan kepada Gandar untuk tidak
membunuh Warsi." berkata Kiai Saka seakan-akan tidak
mendengar kata Ki Randukeling.
"Kenapa?" bertanya Ki Randukeling.
"Ada dua hal" jawab Kiai Soka, "yang pertama mungkin
Gandar memang tidak mampu melakukannya. Sedangkan yang
kedua, seandainya ia mampu membunuh, makca Iswari tentu
akan sangat kecewa. Cucuku itu ingin sekali bertemu dengan
Warsi. Mungkin cucuku tidak jujur. Ia tidak hanya dibebani oleh
persoalan Tanah Perdikan yan harus diselesaikannya. Tetapi ada
persoalan pribadi yang menyangkut kehidupannya."
Ki Randukeling mengangguk-angguk. Namun kernudian
katanya, "Baiklah Kiai. Apapun yang akan terjadi, aku
sependapat, bahwa Warsi harus bertemu dengan Iswari. Warsi
adalah cucuku dan Iswari adalah cucu Kiai. Biarlah pada suatu
saat keduanya menentukan, siapakah yang sebenarnya berbak
atas Tanah Perdikan Sembojan atas nama anak mereka masing-
masing. Tetapi satu hal yang Kiai harus ingat, Warsi memiliki
warisan ilmu Kalamerta yang garang itu."
"Itu tidak menentukan Ki Sanak," berkata Kiai Soka.,
"Kalamerta mampu dikalahkan oleh Ki Gede Sembojan, tetapi
anak Ki Gede yang bernama Wiradana itu sama sekali tidak
mampu menunjukkan kemampuan ilmu warisan ayahnya.
Karena itu, maka ia telah menjadi budak keturunan Kalamerta
yang membalas dendam. Semula oleh senyuman, tetapi
69 SH. Mintardja kemudian benar-benar oleh ilmunya." Ki Randukeling
mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Sekarang apa yang akan
kita lakukan?" "Terserah kepada Ki Sanak," jawab Kiai Soka., "Kita sudah
berada dipeperangan," berkata Ki Randukeling.
Kiai Soka mengangguk kecil. Katanya, "Aku siap berbuat apa
saja sekarang." "Kita akan bertempur. Tetapi aku setuju bahwa semuanya
akan ditentukan kemudian di Tanah Perdikan Sembojan," jawab
Ki Randukeling. Demikianlah, maka keduanya pun telah bersiap. Namun
agaknya Ki Rangga Gupita yang melihat Ki Randukeling lebih
banyak berbicara itu berteriak, "Marilah Ki Randukeling. Tanpa
keragu-raguan dan tanpa belas kasihan."
Ki Randukeling tidak menjawab. Tetapi teriakan itu
mendorong untuk bertempur.
Meskipun demikian, maka Ki Randukeling memang tidak
berharap untuk dapat membunuh Kiai Soka dan sebaliknya.
Meskipun demikian keduanya memang telah berusaha untuk
saling menjajagi. Keduanya mulai melepaskan ilmu-ilmu mereka
meskipun tidak sampai ke puncak.
Dengan demikian maka keseimbangan pertempuran itu pun
memang berubah. Ki Rangga Gupita tidak lagi mempunyai kawan
yang dapat mengimbanginya dalam sebuah kelompok. Meskipun
ayah Warsi juga bertempur dengan garang, tetapi tanpa Warsi, Ki
Rangga menjadi kecewa. Meskipun demikian ia benar-benar telah bertempur
sebagaimana direncanakan. Tanpa ragu-ragu. Namun kemudian
ia lebih suka bertempur sendiri.
Dengan demikian, maka perwira dari Pajang menjadi lebih
mudah menghadapinya. 70 SH. Mintardja Demikian juga menghadapi ayah Warsi, Ki Wiradana dan
orang-orang lainnya yang memiliki kelebihan dari prajurit
kebanyakan. Dalam pada itu, pertempuran itu masih berlangsung terus.
Ditempat-tempat tertentu, pasukan Pajang masih terus menekan
pasukan Jipang, karena pasukan Pajang memang lebih banyak
jumlahnya. Sementara itu, para pemimpin dari pasukan Tanah
Perdikan Sembojan seakan-akan telah berkumpul menjadi satu
kelompok yang ternyata tidak dapat melakukan rencana mereka,
karena kehadiran Kiai Soka dan Gandar.
Namun demikian pasukan Pajang menekan semakin kuat
lawannya, maka bantuan dari padukuhan sebelah pun telah
datang. Sepasukan prajurit Jipang yang diantaranya juga terdiri
dari anak-anak muda dari Tanah Perdikan Sembojan telah
memasuki arena pertempuran.
Tetapi Senapati Pajang yang memimpin gelombang
penyerangan itu tidak menjadi cemas. Ia sudah mendapat
laporan tentang medan dalam keseluruhan, sehingga dengan
demikian maka ia dapat membuat perhitungan-perhitungan
tertentu. Meskipun demikian tetapi kehadiran kekuatan baru pada
pasukan Jipang telah memberikan perubahan atas keseluruhan
perang gelar itu. Dengan demikian maka para pemimpin
kelompok dari para prajurit Pajang harus memberikan aba-aba
untuk menentukan imbangan kekuatan dari pasukannya
dihadapan para prajurit Jipang.
Dalam pada itu, karena Ki Randukeling dan Warsi telah
menemukan lawan masing-masing, maka sebagian dari para
perwira Jipang yang dipersiapkan telah mendapat kesempatan
untuk berada ditempat itu. Bahkan mereka pun berusaha untuk
menebar dan berada di antara para prajurit.
Ki Rangga Gupita lah yang mengumpat-umpat tidak habis-
habisnya. Dengan mengerahkan kemampuan dan ilmunya ia
memang berusaha untuk membunuh sebanyak-banyaknya.
71 SH. Mintardja Namun tiga orang prajurit terpilih Pajang menghadapinya
dengan keberanian yang mengagumkan.
Ketiga orang Prajurit Pajang itu menyadari, bahwa Ki Rangga
memiliki ilmu yang mendebarkan. Lewat sentuhan senjata ia
mampu mengalirkan ilmunya, merambat dan menyengat telapak
tangan lawannya. Tetapi ketiga orang prajurit Pajang itu berusaha untuk
menghindari setiap sentuhan senjata. Mereka berusaha untuk
menghindari setiap serangan, namun diimbangi dengan serangan
oleh prajurit yang kebetulan bebas dari serangan itu.
Ki Rangga Gupita mengumpat sejadi-jadinya. Ketiga orang
Pajang itu ternyata juga orang pilihan. Mereka mampu bergerak
cepat dan loncatan-loncatan panjang mereka dapat mengimbangi
kelebihan Ki Rangga Gupita yang marah itu..
Sementara .itu. Warsi masih bertempur melawan Gandar
dengan garangnya. Tetapi tidak banyak yang dapat mereka
lakukan, karena ternyata masing-masing memang memiliki
kelebihan. Di arena gelar yang menebar, pertempuran pun
menjadi.semakin lama semakin sengit.
Pasukan Pajang tidak lagi dapat menekan pasukan Jipang
sebagaimana pada saat pasukan Jipang di padukuhan sebelah
belum datang untuk membantu.
Tetapi pasukan Jipang pun tidak dapat dengan serta, merta
mengusir pasukan Pajang dari daerah pertahanan mereka..
Namun dalam pada itu, kehadiran beberapa orang perwira
Pajang yang tidak lagi berkumpul dalam satu kelompok untuk
melawan Ki Randukeling dan Warsi telah mempengaruhi medan
pula. Mereka sempat menimbulkan hentakan-hentakan di
beberapa tempat di sepanjang gelar pasukan Pajang.
Sementara itu, beberapa orang prajurit pilihan masih tetap
berada di sekitar Ki Rangga Gupita dan: ayah Warsi. Sedangkan
Ki Wiradana tidak banyak menimbulkan persoalan. Meskipun ia
72 SH. Mintardja memiliki kemampuan olah kanuragan, namun seorang perwira
Pajang terpilih mampu mengedalikannya.
Dengan demikian maka 'pertempuran antara kedua pasukan
itu pun menjadi semakin sengit.
Pertempuran itu sendiri bagi pasukan Pajang bukannya
pertempuran yang menentukan kedudukan pasukan. Tetapi
Pajang berniat untuk mengguncang ketahanan jiwani pasukan
Jipang Dengan serangan itu, maka Pajang menunjukkan bahwa
Pajang masih tetap memiliki kekuatan yang besar untuk
menghadapi Jipang. Dalam serangan yang beutumpu kepada kekuatan seutuhnya,
maka kekuatan Pajang benar-benar akan mampu mengacaukan
kedudukan Jipang. Dalam kekalutan perang itu, maka Gandar masih juga teringat
akan beban kehadirannya di Pajang. Karena itu; maka setiap kali
ia sempat maka iapun ,telah berteriak, "He, anak-anak muda
Tanah Pardikan Sembojan. Apakah yang ingin kalian dapatkan
dengan mengorbankan jiwa dan raga kalian bagi kepentingan
Jipang. Dengar, bahwa saat ini Tanah Perdikan Sembojan sedang
membangun diri, sehingga tenaga dan pikiran anak-anak
mudanya sangat dibutuhkannya. Sementara itu, kalian berada
bersama prajurit-prajurit Jipang dan memerangi Pajang."
"Tutup mulutmu" teriak Warsi yang menyerangaya seperti
amuk badai. Tetapi Gandar pun telah siap menghadapi kemungkin itu. Ia
memang terdiam. Namun dangan demikian maka serangan-
serangan Warsi tidak dapat mengenainya. Bahkan ketika Gandar
menghentakkan kemampuannya, ia telah mendesak Warsi
beberapa langkah surut.
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun ketika ada kesempatan lagi; maka Gandar itu pun
berteriak, "Terserah kepada kalian anak-anak muda Tanah
Perdikan Sembojan. Apakah kalian akan bersama kami atau
lalian akan tetap berdiri disisi lain sehingga, dengan demikian
kalian akan meunusuhi kami"
73 SH. Mintardja Sekali lagi Warsi menghentakkan kemampuannya menyerang
Gandar. Namun serangan itu pun tidak mampu mendesaknya.
Tetapi teriakan-teriakan Gandar sama sekali tidak nampak
mempunyai pengaruh dalam pertempuran itu. Anak-anak muda
Tanah Pendikan. Sembojan masih bertempur dengan garangnya.
Mereka yang memiliki: ilmu seimbang dengan para prajuri,t,
telah .berada di garis pertama. Sementara mereka yang menyusul
kemudian, berada di belakang mereka. Namun pada saat-saat
yang gawat merekapun ikut pula menentukan. Bahkan ada
diantara anak-anak muda Tanah Perdikan itu yang memang
sudah dianggap memiliki kemampuan yang tidak ubahnya
sebagaimana prajurit yang berpengalaman, sehingga dengan
demikian maka mereka pun telah berada diantara prajurit-
prajarit Jipang itu sendiri.
----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 21. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
74 SH. Mintardja Jilid Ke dua puluh satu Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di,
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 75 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja NAMUN didalam pasukan anak-anak muda Tanah Perdi
kan itu, Bukannya tidak ada prajurit-prajurit Jipang yang
menjadi tulang pendukungnya. Diantara kelompok-kelompok
anak-anak muda Tanah Perdikan itu memang terdapat prajurit-
prajurit Jipang yang memiliki kemampuan yang setataran dengan
para prajurit yang lain. Mereka bersama dengan anak-anak muda
Tanah Perdikan yang berkemampuan prajurit, merupakan
kekuatan yang tidak ada ubahnya sebagaimanaa bagian-bagian
yang lain dari gelar yang menebar itu. Apalagi anak-anak muda
Tanah Perdikan mempunyai pemimpin-pemimpin yang tangguh
tanggon. Karena itulah, maka di bagian yang sebagian besar terdiri dari
anak-anak muda Tanah Perdikan itu, bukan merupakan bagian
yang lemah dari seluruh peartahanan pasukan Jipang didalam
gelarnya. Sementara itu, Kiai Soka dan Ki Randukeling pun, telah
bertempur pula meskipun mereka masih belum sampai ke
puncak ilmunya. Namun kedua, orang memiliki ilmu yang tinggi
itu menyadari, bahwa mereka memerlukan waktu yang panjang,
seandainya mereka ingin menyelesaikan pertempuran itu. Karena
itulah, maka telah terulang -kembali, apa yang pernah terjadi di
Tanah Perdikan Sembojan. Keduanya memang tidak berniat
untuk saling mengalahkan pada saat itu.
Tetapi keduanya sudah menyempatkan diri untuk saling
menjajagi. Jika sebelumnya mereka tidak mendapat kesempatan
yang cukup untuk saling mengenali ilmu masing-masing, maka,
pada saat itu, mereka telah, mendapatkan kesempatan itu.
Namun beberapa saat kemudian Ki Randukeling itu berkata,
"Kiai, nampaknya pasukan Pajang akan berhasil mendesak lagi
pasukan Jipang. Setiap kali terjadi seperti itu, sehingga pasukan
Jipang tidak banyak mendapat kesempatan untuk bergerak."
"Tetapi kenapa kalian tidak menghentikan perlawanan kalian
sampai disini?" bertanya Kiai Soka.
2 SH. Mintardja "Pasukan Jipang justru mendapat perintah dari Ki Patih
mentahun untuk mempertinggi kegiatan pasukan sehingga
pertempuran akan menjadi semakin sering terjadi." jawab K! R
andukeling. "Aku mengerti maksudnya" jawab Kiai Soka.
"Maksudnya memang mudah untuk ditangkap" berkata Ki
Randukeling, "tetapi pada satu saat yang pendek, maka Pajang
memang benar-benar akan dikalahkan di pasanggrahannya, di
tepi Bengawan Sore. Jika demikian, maka pasukan Pajang
dimana-manapun akan segera ditundukkan. Nah, apa katamu
jika hal itu terjadi pula disini?"
"Jika terjadi disini, alangkah menyedihkan" jawab Kiai Soka,
"tetapi hal itu tidak akan terjadi. Berita yang kami dengar, bahwa
pasukan Jipang sama sekali tidak berani menyerang pasukan
Pajang di seberang Bengawan Sore."
"Itu hanya ceritera pejalan yang kehilangan keseimbangan
nalar" jawab Ki Randukeling. Lalu, "Coba renungkan, apa yang
akan terjadi, jika pasukan Jipang disini memenangkan perang.
Apakah akan jadinya Tanah Perdikan Scmbojan itu?"
"Kalian akan berpegang kepada kekuatan Jipang?" bertanya
Kiai Soka. "Apa boleh buat" jawab Ki Randukeling.
"Lihat," berkata Kiai Soka, "Pertahananmu bergeser
mendekati padukuhan. Bukankah hal itu berarti bahwa Jipang
terdesak?" Ki Randukeling tidak segera menjawab. Ia memang
merasakan bahwa benturan gelar kedua pasukan itu bergeser
mendekati padukuhan. Ketika Ki Randukeling menebarkan pandangannya ia berkata,
"Apakah kau cukup berjiwa besar untuk memberi kesempatan
kepadaku melihat medan?"
3 SH. Mintardja "Silakan," berkata Kiai Soka, "Aku tidak akan
mengganggumu." Sebenarnyalah ketika Ki Randukeling
menyaksikan medan, maka ia melihat bahwa pasukan Pajang
telah berhasil mendesak lagi pasukan Jipang, meskipun pasukan
Jipang sudah dibantu oleh pasukan yang datang dari padukuhan
sebelah. "Namun pasukan Jipang ini belum seluruhnya Kiai," berkata
Ki Randukeling., "Di padukuhan yang lain masih ada pasukan
Jipang." "Ki Sanak jangan berpura-pura tidak tahu. Bukankah pasukan
Pajang juga belum mengerahkan seluruh kekuatannya, hanya
untuk sisi sebelah Timur?" bertanya Kiai Soka.
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Namun
sebenarnyalah penempatan kekuatan yang tepat telah
mengguncang pertahanan pasukan Jipang. Namun yang terjadi
itu belum merupakan ketentuan terakhir. Para perwira Jipang
tidak membiarkan pasukannya terdesak. Karena itu, mereka pun
berusaha untuk menilai, apa yang sebenarnya telah terjadi di
medan yang menebar itu. Beberapa orang penghubung sibuk mengumpulkan
kenyataan-kenyataan yang terjadi di medan. Kenyataan yang
sepenuhnya tanpa ditambah dan dikurangi. Dengan demikian
maka para perwira Jipang akan dapat menentukan sikapnya
menghadapi pasukan Pajang yang kuat itu, apalagi dengan
perhitungan yang sangat cermat dan menentukan.
Sebenarnya bahwa pasukan Jipang tidak akan dapat bertahan
terlalu lama. Pasukan Pajang dengan kuat telah menekan
pasukan Jipang itu, sehingga semakin lama menjadi semakin
mendekati dinding padukuhan.
Senapati Jipang yang memimpin pasukan itu tidak dapat
berbuat lain kecuali memberikan isyarat, agar pasukan Jipang
memasuki padukuhan dan bertahan di belakang dinding.
Sementara itu pasukan yang khusus harus meloncat lebih dahulu,
menyediakan lembing dan tombak panjang untuk menghalau
4 SH. Mintardja orang-orang Pajang seandainya mereka akan mengejar dan
mendesak pasukan Jipang dengan memasuki padukuhan itu.
Sementara itu Kiai Soka dan Ki Randukeling yang masih
saling menjajagi itu masih sempat pula berbincang. Dengan nada
datar Ki Randukeling berdesis, "Sudahlah Kiai. Pasukan Jipang
memang harus ditarik. Agaknya Senapati Jipang sudah
memberikan isyarat."
"Silahkan," jawab Kiai Soka., "Pada suatu saat kita akan
bertemu lagi. Mungkin aku memanggil kekuatan dari Tanah
Perdikan Sembojan untuk menghancurkan pemberontak di
Tanah Perdikan itu disini, atau kami harus menunggu
pemberontak itu datang kembali ke Tanah Perdikan dalam ujud
yang bagaimanapun juga, karena kami menyadari, bahwa di
samping kemungkinan bantuan orang-orang Jipang, maka kalian
mempunyai kekuatan gerombolan Kalamerta yang tersisa, yang
jika perlu akan dapat kalian himpun kembali."
"Syukurlah jika kalian dapat
membayangkan kekuatan yang
akan dapat menghantui Tanah
Perdikan itu," berkata Ki
Randukeling., "Tetapi baiklah
aku akan mentaati perintah
Senapati pasukan Jipang itu."
Dalam pada itu, maka sekelompok orang yang khusus
telah berada di dalam dinding
padukuhan dengan tombak- tombak dan lembing-lembing
yang panjang. Dalam keadaan
yang gelisah, maka isyarat telah
diberikan kepada pasukan Jipang untuk menarik diri ke
dalam dinding padukuhan. 5 SH. Mintardja Warsi mengumpat sejadi-jadinya. Ia belum berhasil
membunuh Gandar. Namun Warsi pun tidak dapat ingkar, bahwa
untuk membunuh Gandar bukanlah pekerjaan yang dapat
dilakukan sebagaimana direncanakannya sendiri, karena Gandar
ternyata memiliki kemampuan yang sangat tinggi pula.
Dalam pada itu, pasukan Jipang perlahan-lahan telah ditarik
ke dalam dinding padukuhan. Para perwira Jipang mulai
menyadari bahwa mereka agaknya telah terpancing keluar yang
ternyata pertempuran yang kemudian terjadi sama sekali tidak
menguntungkan mereka. Sementara itu, Gandar pun harus menahan diri, agar ia tidak
terlibat ke dalam pertempuran antara hidup dan mati dengan
Warsi. Karena itu, maka Gandar pun tidak memburunya.
Dilepaskannya Warsi surut ke belakang sebagaimana gelar
pasukan Jipang. Sekelompok demi sekelompok pasukan Jipang
itu telah meloncati dan memasuki dinding padukuhan, sementara
itu, sekelompok di antara mereka yang telah mendahului, telah
siap dengan lembing dan tombak ditangan.
Senapati yang memimpin pasukan Pajang pun telah
memberikan isyarat pula agar pasukan Pajang tidak memasuki
dinding padukuhan. Tugas mereka memang tidak harus mengusir
pasukan Jipang dari padukuhan itu. Tetapi pasukan Pajang itu
hanya sekadar menunjukkan bahwa Pajang masih tetap memiliki
kemampuan yang tinggi untuk mengatasi kehadiran pasukan
Jipang di Pajang. Namun dalam pada itu, Gandar masih sempat berteriak
dengan suara yang menggetarkan udara, "Anak-anak dari Tanah
Perdikan Sembojan. Masih ada kesempatan bagi kalian. Siapa
yang menyadari kesalahannya dalam langkah ini dan kembali
kepada kesadaran diri, maka kalian akan diampuni. Ayah dan ibu
kalian di Tanah Perdikan telah menyerahkan persoalan kalian
kepada kami. Tetapi ketahuilah bahwa mereka telah meratapi
kalian yang sesat siang dan malam. Jika air mata ibu kalian
menjadi kering, maka mereka pun telah kehilangan harapan
untuk dapat bertemu lagi dengan kalian, karena kalian akan
6 SH. Mintardja menjadi mayat di medan pertempuran ini yang sebenarnya tidak
kalian mengerti maknanya."
"Tutup mulutmu orang
gila," bentak Warsi.
Namun Gandar masih juga berteriak, "Sadari. Apa yang
sebenarnya terjadi atas kalian
di bawah kekuasan perempuan
yang tidak lebih dan tidak
kurang adalah penari jalanan.
Tidak semua penari jalanan
bernilai rendah seperti perempuan itu. Tetapi
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perempuan itu adalah penari
jalanan yang tidak bermartabat." Suara Gandar terputus. Sebuah lembing meluncur hampir saja menyambar dadanya. Karena itu, maka ia pun harus
bergeser selangkah ke samping.
Ketika ia memperhatikan arah lembing itu, maka ia pun
melihat Ki Rangga Gupita berdiri di atas dinding padukuhan
dengan wajah yang merah membara.
Gandar justru tertawa. Tetapi ia pun terikat kepada perintah
Senapati pasukan Pajang yang memberi isyarat agar Pajang pun
mulai menarik pasukannya.
Sementara Pajang bersiap-siap, maka Kiai Soka melihat Ki
Randukeling pun duduk di atas dinding padukuhan. Orang tua
itu tersenyum sambil melontarkan suaranya yang tidak terlalu
keras, tetapi menggetarkan selaput telinga Kiai Soka., "Sampai
disini pertempuan kita hari ini Kiai. Bukankah kita sudah saling
dapat mengenali lebih banyak lagi daripada pertemuan kita di
Tanah Perdikan Sembojan waktu itu?"
7 SH. Mintardja "Ya," jawab Kiai Soka dengan cara yang sama. "Pertemuan
kita mendatanglah yang akan menentukan."
Ki Randukeling dan Kiai Soka tertawa. Namun mereka tidak
berbicara lagi. Demikianlah, pasukan Pajang memang tidak berusaha untuk
memasuki padukuhan. Mereka menyadari bahwa pada dinding
padukuhan itu terdapat ujung tombak yang memagarinya,
sehingga pada saat pasukan itu meloncati dinding, maka terdapat
kelemahan yang akan berakibat buruk bagi pasukan Pajang jika
mereka memaksa untuk mendesak musuh.
Karena itulah, maka beberapa saat kemudian, pasukan Pajang
telah menarik diri dari medan. Namun mereka sempat mencari
dan merawat kawan-kawan mereka yang terluka dan bahkan ada
di antara mereka yang ternyata telah gugur di pertempuran.
Para prajurit Pajang itu sama sekali tidak mengganggu para
prajurit Jipang yang terluka. Namun ketika Gandar menemukan
seorang anak muda Tanah Perdikan yang terbaring karena luka-
luka yang parah, maka ia pun bertanya, "Siapa namamu?"
Anak muda itu memandanginya dengan penuh kebencian.
Tetapi Kiai Soka yang kemudian berdiri disebelahnya bersama
seorang perwira dari Pajang berkata, "Kami tidak akan berbuat
apa-apa atasmu. Kami tahu bahwa kau tidak mampu berbuat lain
daripada yang kau lakukan sekarang. Tetapi ketahuilah bahwa
Tanah Perdikan Sembojan sekarang sudah bangkit dibawah
pimpinan Iswari, istri Ki Wiradana yang tua, yang pernah
dianggap hilang dari Tanah Perdikan, atas nama anak Ki
Wiradana itu sendiri, yang kecuali lahir dari istri yang tua, saat
kelahirannya pun lebih dahulu dari anak Warsi itu."
Anak muda itu tidak menjawab. Tetapi sorot matanya masih
saja menunjukkan sikap hatinya yang diwarnai oleh pengaruh
para perwira dari Jipang.
Tetapi dengan sabar Kiai Soka masih berkata, "Baiklah. Kau
masih mempunyai kesempatan untuk memikirkannya.
8 SH. Mintardja Perbincangan dengan kawan-kawanmu, mungkin kalian
menemukan satu sikap yang benar."
Anak muda itu sama sekali tidak menjawab. Sementara itu
Kiai Soka berkata, "Baiklah. Kami minta diri. Sebentar lagi
kawan-kawanmu akan datang untuk mengambilmu dan
merawatmu." Kiai Soka dan Gandar pun kemudian meninggalkan anak
muda itu. Namun ketika mereka bertemu lagi dengan seorang
anak muda Tanah Perdikan yang terluka, mereka mempunyai
kesan yang berbeda. "Kau menangis?" bertanya Gandar kepada anak muda yang
terbaring diam itu. Anak muda itu tidak menjawab. Tetapi memang nampak dari
matanya menitik ungkapan perasaannya.
"Marilah, ikut kami," berkata Gandar.
"Aku tidak dapat bangkit," desis anak muda itu.
Perwira Pajang yang bersamanya itu pun telah
memerintahkan membawa anak muda itu bersama orang-orang
Pajang yang terluka. "Mungkin anak itu akan berarti bagi kita," berkata perwira
Pajang itu. Tertanya anak muda itu tidak menolak.
Demikianlah, maka pasukan Pajang itu pun telah ditarik dari
medan. Sebagaimana perintah yang diemban, maka pasukan itu
memang tidak harus mendesak kedudukan Jipang. Tetapi mereka
hanya sekadar mengguncang pasukan Jipang dan mengimbangi
perintah Patih Kadipaten Jipang untuk meningkatkan kegiatan di
semua medan. Ternyata bahwa yang dilakukan oleh para prajurit Pajang itu
memberikan kesan yang khusus bagi orang-orang Jipang dan
anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan.
9 SH. Mintardja Terutama atas kehadiran dua orang keluarga Iswari, istri Ki
Wiradana yang tua. Dalam pada itu, ketika pasukan Pajang sudah menjadi
semakin menjauh, maka para prajurit Jipang pun telah
mengirimkan petugas-petugasnya untuk merawat para prajurit
Jipang dan anak-anak muda tanah Perdikan Sembojan yang
terluka dan tidak mampu meninggalkan medan. Sebagaimana
orang-orang Pajang, maka ada di antara prajurit Jipang dan
anak-anak Tanah Perdikan Sembojan yang gugur pula di
peperangan. Pada saat para petugas itu sibuk mengangkat para korban,
maka disebuah serambi rumah di padukuhan itu Ki Rangga
Gupita mengumpat-umpat sejadi-jadinya. Sambil mengawasi
gerak para prajurit, Ki Rangga berkata, "Iblis dari Tanah
Perdikan itu memang harus dibinasakan. Sebenarnya aku ingin
mendapat kesempatan itu."
"Aku lebih berhak membunuhnya," sahut Warsi., "Tetapi
kesempatan yang hampir aku dapatkan itu lenyap bersama
perintah pasukan Jipang menarik diri."
Namun Ki Randukeling pun menyahut, "Jangan berkata
begitu. Aku melihat apa yang terjadi. Tidak seorang pun di antara
kalian berdua yang dapat membunuh Gandar itu. Ia memiliki
kemampuan menurut pengamatanku setidak-tidaknya seimbang
dengan kemampuan kalian sebagaimana aku dengan orang tua
itu. Sebenarnya aku juga ingin membunuhnya. Tetapi sangat sulit
aku lakukan, dan bahkan tidak mungkin untuk seperti sekarang
ini." "Tetapi jika aku mendapat kesempatan, aku yakin dapat
membunuhnya," berkata Warsi., "Aku memiliki kemampuan
Kalamerta." "Kau kira tidak ada kemampuan yang melampaui
kemampuan Kalamerta" Marilah kita dengan jujur menilai sikap
dan keadaan kita, agar kita dapat membuat perhitungan yang
wajar dan justru akan memberikan hasil yang pasti. Seandainya
10 SH. Mintardja Kalamerta itu tidak terkalahkan, maka ia tidak akan mati di
tangan Ki Gede Sembojan yang kemudian telah dibunuh dengan
licik," berkata Ki Randukeling.
"Bukan dengan licik," jawab Warsi., "Aku tidak dapat
mengatakannya begitu, meskipun pembunuh itu tidak datang dan
menantangnya perang tanding."
Wiradana mendengarkan pembicaraan itu. Tetapi ia tidak
dapat berbuat apa-apa. Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
kemudian katanya, "Baiklah. Semuanya akan menjadi
pengalaman bagi kita. Namun aku berharap bahwa kita tidak
mengingkari kenyataan tentang diri dan kemampuan orang-
orang yang akan berhadapan dengan kita sehingga dengan
demikian kita akan dapat membuat perhitungan-perhitungan
yang benar. Jika kita terlalu berbangga akan diri kita sendiri,
maka kita akan terjerumus ke dalam kesulitan."
Warsi tidak menjawab. Betapa tidak senangnya Ki Rangga
Gupita mendengar penjelasan Ki Randukeling yang selalu
menunjuk kelemahan diri sendiri, namun Ki Rangga Gupita itu
pun terdiam pula. Sementara itu, beberapa orang prajurit Pajang masih sibuk
untuk merawat kawan-kawan mereka yang terluka dan
membawanya ke banjar padukuhan untuk mendapat pertolongan
yang lebih baik. Sementara itu, mereka pun harus mengubur
kawan-kawan mereka yang telah terbunuh di peperangan itu.
Sementara itu, langit pun telah mulai menjadi buram.
Matahari telah tenggelam di balik pegunungan. Lampu-lampu
minyak mulai dipasang. Namun di lingkungan prajurit Pajang
maka lampu-lampu pun mengalami penghematan. Tidak semua
rumah yang dipergunakan oleh para prajurit Jipang dibeberapa
padukuhan memerlukan lampu. Bahkan di antara para prajurit
itu lebih senang untuk tidur saja di luar rumah. Mereka
membawa amben-amben bambu atau tikar-tikar pandan ke luar
11 SH. Mintardja dan dibentangkan di sepanjang serambi atau bahkan di bawah
pepohonan. Udara yang kadang-kadang terasa panas di dalam rumah dan
ruangan yang gelap membuat nafas mereka serasa sesak.
Sehingga dengan demikian mereka merasa lebih lapang tidur di
luar rumah. Bahkan dalam keadaan yang tergesa-gesa mereka
akan dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan keadaan.
Namun demikian, di regol-regol padukuhan, masih juga
terdapat obor-obor yang ukup terang. Di gardu para penjaga dan
di tempat-tempat para perwira yang bertugas, lampu minyak
menyala terang benderang.
Sementara itu, di tempat-tempat yang khusus, anak-anak
muda Tanah Perdikan Sembojan sedang beristirahat di antara
mereka. Ada yang berbaring dibentangan tikar pandan diserambi,
ada yang berada di ruang dalam dengan lampu dlupak yang
redup dan bahkan ada yang berkeliaran di halaman.
Namun, hampir semua orang digelitik oleh peristiwa yang
telah terjadi di medan pertempuran yang terjadi sebelumnya.
Meskipun demikian jarang di antara anak-anak muda itu yang
dengan terbuka membicarakannya. Apalagi jika di antara mereka
terdapat prajurit-prajurit Jipang.
Meskipun demikian, ada juga sekelompok kecil anak-anak
muda yang tidak dapat menahan diri untuk berbicara tentang
kehadiran Gandar dan Kiai Soka.
"Aku telah melihat mereka di antara kawan-kawan kita yang
terluka di banjar," berkata salah seorang dari anak-anak muda
Tanah Perdikan itu mulai dengan pembicaraannya. "Seorang di
antara mereka sempat berbicara dengan Kiai Soka."
"Bagaimana mungkin ia mendapat kesempatan itu?" bertanya
seorang kawannya. "Ketika pasukan Pajang ditarik mundur, maka orang-orang
kita yang terluka sama sekali tidak diusiknya. Di antaranya
12 SH. Mintardja seorang kawan kita telah ditemui oleh orang-orang yang
mengaku keluarga Iswari itu," sahut anak muda yang pertama.
Nampaknya beberapa orang di dalam kelompok itu tertarik
kepada ceritera itu. Seorang di antara mereka bertanya, "Apa
yang dikatakannya?" "Seperti yang diteriakkan oleh Gandar," jawab anak muda
yang pertama. Kawan-kawannya termangu-mangu. Namun kemudian
seorang di antara mereka bertanya, "Apa kalian mulai
terpengaruh?" Pertanyaan itu memang mendebarkan. Tetapi anak muda
yang pertama kemudian menjawab, "Aku hanya ingin mendengar
cerita tentang Tanah Perdikan kita, tentang orang tua kita dan
tentang apakah yang sebenarnya telah terjadi. Kawan-kawan kita
yang datang kemudian telah mengabarkan tentang kehadiran
kembali Iswari dan bahkan kekuasaan seakan-akan telah
berpindah tangan. Sebagaimana dikatakan oleh Gandar, bahwa
Iswari lah yang kini memegang pemerintahan di Tanah Perdikan.
Namun mereka tetap berkiblat kepada Pajang."
"Pada saatnya, kita akan kembali dan menyelesaikan
persoalannya," desis seorang anak muda yang bertubuh tinggi.,
"Apalagi setelah Pajang dapat dihancurkan. Jika idak di Kota
Raja mungkin kehancuran itu akan dimulai dari pesanggrahan di
tepi Bengawan Sore."
Beberapa orang yang lain mengangguk-angguk. Seorang yang
bertubuh kecil menyambung," Bukan masalah yang rumit. Kita
akan dapat menganggapnya sebagai gigitan nyamuk pada saat
kita sedang terkantuk-kantuk. Memang terasa mengganggu.
Tetapi tidak akan banyak berarti."
Anak muda yang pertama menjadi termangu-mangu. Tetapi
ia pun kemudian bertanya, "Bagaimana sikap orang tua dan
saudara-saudara kita yang masih berada di Tanah Perdikan
sekarang" Bukankah kita sadari, bahwa Iswari yang dianggap
hilang itu adalah istri pertama Ki Wiradana dan anaknya adalah
13 SH. Mintardja anak Wiradana yang lebih tua meskipun mungkin hanya
berselisih bulan dari anak Warsi?"
"Itu bukan soal," desis yang bertubuh tinggi., "Jika kita
datang dengan kekuatan, maka semuanya akan selesai."
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Namun
sebenarnyalah telah terjadi pergolakan di dalam hati mereka.
Sementara itu, para petugas yang merawat prajurit yang
terluka pun tidak lagi sibuk dengan tugas-tugasnya. Beberapa
orang yang terluka sudah mulai tenang dan bahkan beberapa
orang telah dapat tidur meskipun tidak terlalu nyenyak. Mereka
sering terbangun dan merintih karena pedih pada luka-lukanya.
Namun dengan pengobatan yang baik, perasaan pedih itu pun
terasa berkurang. Dalam pada itu, ketika sekelompok anak-anak muda Tanah
Perdikan yang berbincang itu mulai membaringkan diri, tiba-tiba
seorang kawannya yang lain telah menghampiri mereka.
"He, apakah kau mendengar tentang kawan kita yang hilang
itu?" desis anak muda itu.
"Hilang bagaimana?" bertanya salah seorang di antara
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka yang sudah berbaring itu sambil bangkit dan duduk.
"Di antara yang gugur dan yang terluka nampaknya sudah
berhasil diketahui semuanya dengan pasti, dari kelompok berapa
dibawah pimpinan siapa. Sebagaimana kita tahu, seorang di
antara kelompok kita terluka meskipun tidak terlalu parah dan
seorang lagi terkilir kakinya disamping beberapa orang yang
terluka tetapi tidak mengganggu sebagaimana hampir kita alami
semuanya," jawab anak muda yang baru datang itu. Lalu katanya,
"Tetapi masih ada seorang yang tidak terdapat di antara mereka
yang gugur, tetapi juga tidak terdapat di antara mereka yang
terluka." "Siapa?" bertanya yang bangkit dan kemudian duduk itu.
Bahkan beberapa orang yang lain pun telah bangkit pula, apakah
14 SH. Mintardja bukan karena petugas yang mengamibil para korban itu tidak
teliti sehingga justru masih tertinggal."
"Sudah diulang sampai beberapa kali. Semua korban.
diketemukan. Kecuali seorang itu" jawab kawannya yang baru
datang. Anak-anak muda Tanah. Perdikan itu termangu-mangu.
Namun orang yang bertubuh tinggi itu berkata, "Mungkin anak
itu ikut bersama orang-orang Pajang atau mungkin dibawa
dengan paksa untuk menjadi sumber keterangan bagi orang-
orang yang mengaku dari Tanah Perdikan itu."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang yang lain
berdesis, "Satu kemungkinan. Agaknya memang demikian."
"Jika benar demikian, agaknya. akan terjadi peristiwa seperti
itu lagi" berkata kawannya yang baru, datang, "atau
setidak,tidaknya memberikan kemungkinan kawan-kawan kita
yang lain berniat melakukannya."
"Untuik apa?" tiba-tibaa saja anak muda yang bertahan tinggi
itu, membentak, "apakah kawan-kawan. kita sudah dihinggapi
keinginan untuk berkhianat?"
Anak-anak muda itu memandanginya dengan tegang. Namun
anak muda yang baru datang itu menjawab, "Tidak. Tetapi siapa
tahu bahwa yang terjadi itu merupakan permulaan dari yang
tidak kita kehendaki itu."
"Hukuman bagi seorang pengkhianat adalah hukuman mati",
geram anak muda bertubuh tinggi itu, "kita akan saling
mengawasi. Siapa diantara kita yang berkhianat, maka orang itu
harus kita relakan. Jika benar anak itu hilang, maka kita memang
harus menilainya. Apakah ia dengan sengaja mengikuti orang-
orang Pajang dan dengan demikian anak itu sudah dapat disebut
berkhianat, atau ia dengan paksa dibawa oleh orang-orang Pajang
untuk mengalami tekanan yang sangat berat karena. orang-orang
Pajang, termasuk orang yang mengaku dari Tanah Perdikan itu
memerlukan keterangannya. Dan jika ia mati dalam keadaan
yang demikian, maka ia adalah justru seorang pahlawan."
15 SH. Mintardja Kawan-kawannya tidak menjawab. Anak muda yang baru
datang itu pun tidak berbicara lagi.: Bahkan iapun kemudian
duduk bensandar dinding sambil merenung.
Anak muda bertubuh tinggi itu masih juga berkata, "Kita akan
berbicara dengan pemimpin kelompok kita agar disampaikan
kepada para perwira dari Jipang. Persoalan seperti ini jangan
dibiarkan menumbuhkan akibat-akibat buruk dari kesetiaan kita.
Sementara itu kawan-kawan kita sendiri yang datang kemudian
dari Tanah Perdikan itu pun nampaknya tidak memiliki kesetiaan
yang utuh. Terhadap mereka harus diambil langkah-langkah yang
pasti, justru karena ada orang yang mengaku berasal dari Tanah
Perdikan Sembojan yang mempergunakan cara yang licik untuk
mempengaruhi kawan-kawan kita."
Suasana justru menjadi diam. Tetapi terasa ketegangan
didalam dada anak-anak muda itu. Bahkan sebagian dari mereka
tidak dapat melupakan apa yang mereka dengar dari mulut
Gandar dan perasaan yang kemudian mulai menggelitik hati.
Namun anak bertubuh tinggi itu masih bergumam, "Ingat,
setiap pengkhianat akan dibunuh tanpa mengingat, apakah ia
kawan, sanak kadang bahkan orang tua sekalipun. Demikian juga
kelak jika kita kembali ke Tanah Perdikan. Siapakah yang
berkhianat, harus kita lenyapkan agar pertumbuhan Tanah
Pcrdikan untuk selanjutnya menjadi subur dan tidak diracuni
oleh sikap yang dapat menghancurkan Tanah Perdikan justru
dari dalam lingkungan sendiri"
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Kawan-kawannya
justru mulai lagi membaringlaan diri. Tetapi mereka tidak dapat
segera tidur dengan nyenyak.
Sebenarnya bahwa hilangnya seorang diantara anak-anak
perdikan itu mem:ang menjadi persoalan. Nampaknya beberapa
orang perwira Jipang menaruh perhatian secara khusus. Apalagi
orang-orang yang merasa dirinya pemimpin Tanah Perdikan
Sembojan. 16 SH. Mintardja "Memang banyak terdapat pengkhianat diantara anak-anak
perdikan sendiri." geram Warsi.
"Sekali lagi aku ingin menegaskan, itu, adalah kesalahan
pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu sendiri"
sahut Ki Rangga Gupita, "tanpa wibawa yang cukup bagaimana ia
dapat mempengaruhi dan menguasai anak-anak Tanah
Perdikan?" Wajah Ki Wiradana menjadi merah. Gejolak perasaannya
bagaikan meretakkan dadanya. Namun kemudian dipaksakannya
menjawab meskipun dengan jantung yang bendebaran, "Belum
tentu anak itu berkhianat. Mungkin ia dibawa dengan paksa oleh
orang-orang Pajang sehingga dalam keadaaan terluka tanpa
dapat melawan, ia harus ikut bersama mereka."
"Omong kosong" teriak Warsi, "jika demikian mungkin sekali
tidak ada seorang pun anak muda Sembojan yang tertinggal."
"Dengan dungu kau mencoba membela dirimu" gream Ki
Rangga Gupita. Namun sementara itu Ki Randukeling berkata, "Sudahlah.
Tidak ada gunanya kita mencari siapakah yang bersalah. Kita
lebih baik melihat kemungkinan atas anak itu. Srandainya ia
sengaja dibawa, anak itu tidak akan banyak memberikan arti bagi
orang-orang Pajang. Anak itu tidak akan dapat memberikkan
keterangan apapun juga tentang pasukan Jipang ini dalam
keseluruhan, apalagi rencana yang disusun oleh para pemimpin
dari Jipang. Tetapi aku condong untuk menyangka demikian.
Anak itu tidak sengaja berkhianat sebagaimana dikatakan oleh Ki
Wiradana." Wajah Ki Wiradana menjadi merah. Gejolak perasaannya
bagaikan meretakkan dadanya. Namun kemudian dipaksakannya
menjawab meskipun dengan jantung yang berdebaran., "Belum
tentu anak itu berkhianat. Mungkin ia dibawa dengan paksa oleh
orang-orang Pajang sehingga dalam keadaan terluka tanpa dapat
melawan, ia harus ikut bersama mereka."
17 SH. Mintardja "Omong kosong," teriak Warsi., "Jika demikian mungkin
sekali tidak ada seorang pun anak muda Sembojan yang
tertinggal." "Dengan dungu kau mencoba membela dirimu," geram
Rangga Gupita pula. Namun sementara itu Ki Randukeling berkata, "Sudahlah.
Tidak ada gunanya kita mencari siapakah yang bersalah. Kita
lebih baik melihat kemungkinan atas anak itu. Seandainya ia
sengaja dibawa, anak itu tidak akan banyak memberikan arti bagi
orang-orang Pajang. Anak itu tidak akan dapat memberikan
keterangan apapun juga tentang pasukan Jipang ini dalam
keseluruhan, apalagi rencana yang disusun oleh para pemimpin
dari Jipang. Tetapi aku condong untuk menyangka demikian.
Anak itu tidak sengaja berkhianat sebagaimana dikatakan oleh Ki
Wiradana." "Tetapi yang penting peristiwa itu dapat menimbulkan sikap
yang merugikan," desis Ki Rangga Gupita.
"Itu sama-sama kita tahu," desis Ki Randukeling., "Karena itu
apakah yang dapat kita lakukan kemudian atas anak-anak kita
yang masih ada. Mungkin kita perlu memberikan penjelasan atau
keterangan yang lain yang dapat mencegah peristiwa seperti yang
kita cemaskan itu terjadi."
"Mungkin kita memang perlu menakut-nakuti mereka,"
berkata Warsi. "Kita dapat mengambil langkah yang lebih pasti," berkata Ki
Rangga Gupita. "Orang-orang Sembojan yang terluka dan tidak
dapat kita seret kembali ke induk pasukan, lebih baik dibinasakan
saja." "Tidak," tiba-tiba saja Ki Wiradana berteriak. Meskipun
kemudian keringatnya membasahi seluruh tubuhnya ketika ia
memandang mata Ki Rangga Gupita dan Warsi yang bagaikan
menyala. Untunglah bahwa Ki Randukeling pun kemudian
berkata dengan suara berat, "Aku adalah seorang pertapa.
Meskipun aku masih dipengaruhi oleh nafsu lahiriah
18 SH. Mintardja sebagaimana keinginanku melihat Jipang menghancurkan
Pajang, serta melihat cicitku berhasil menguasai sepenuhnya
Tanah Perdikan Sembojan, namun cara yang keras dan keji itu
tidak dapat aku setujui. Mungkin aku termasuk salah seorang
yang hidup dalam bayangan yang kelam, apalagi jika aku disebut
seorang pertapa. Namun aku masih mempunyai pertimbangan
yang mencegah perlakuan seperti itu."
Wajah Warsi menjadi semakin tegang. Tetapi ternyata ia pun
tidak berani membantah kata-kata kakeknya ketika ia melihat
wajah kakeknya yang bersungguh-sungguh.
Ki Rangga Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi baginya
cara itu akan mengurangi usaha pengkhianatan terhadap para
pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang telah berada didalam
pasukan Jipang. Untuk beberapa saat mereka pun tidak berbincang lagi. Ki
Randukeling bahkan telah meninggalkan ruangan itu. Sedangkan
Ki Wiradana pun merasa lebih baik menyingkir daripada terlibat
lagi dalam pembicaraan yang mungkin akan menjadi keras.
Tanpa hadirnya Ki Randukeling maka segalanya tentu akan
mengikuti saja jalan pikiran Warsi dan Ki Rangga Gupita.
"Pikiran yang cengeng," desis Ki Rangga Gupita ketika Ki
Randukeling telah meninggalkan ruang itu.
"Sebenarnya segala sesuatunya tergantung kepada kita,"
berkata Warsi., "Jalan pikiran Ki Rangga sebenarnya dapat
membantu Jipang dan Tanah Perdikan Sembojan sendiri untuk
tidak digoncangkan oleh sikap-sikap kerdil dari anak-anak
mudanya. Tetapi kakek terlalu berperasaan."
"Pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu pun
cengeng juga. Ialah yang mula-mula menyatakan penolakannya,"
berkata Ki Rangga Gupita.
"Ia hanya bermanfaat namanya saja," berkata Warsi., "Kita
tidak dapat menyingkirkannya sebelum kita kembali dan
menguasai Sembojan. Bahkan mendapat ketetapan dari Jipang,
19 SH. Mintardja bahwa Wiradana lah yang menjadi pemimpin Tanah Perdikan
itu," berkata Warsi., "Setelah itu, ia tidak kita perlukan lagi."
Ki Rangga Gupita menggeram, katanya, "Rasa-rasanya aku
tidak sabar lagi menunggu."
Warsi memandang Ki Rangga sejenak. Namun kemudian katanya, "Udara
panas sekali disini."
Kedua orang itu pun kemudian meninggalkan tempat itu. Mereka tidak menghiraukan seorang yang
duduk di serambi samping dalam kegelapan. Jantung orang itu bagaikan bergejolak
ketika ia melihat Warsi dan Ki
Rangga meninggalkan halaman
rumah itu. Dengan diam-diam orang itu mengikutinya sambil berlindung bayangan pepohonan. Namun darahnya justru bagaikan mendidih ketika
melihat keduanya telah turun ke jalan dan hilang dalam
kegelapan. Orang itu, Ki Wiradana, hanya dapat menggeretakkan
giginya. Tetapi ia tidak dapat mencegah apapun yang akan
dilakukan oleh istrinya dan Ki Wiradana itu. Keduanya memiliki
kemampuan yang jauh lebih tinggi dari kemampuannya.
Ki Wiradana itu pun kemudian melangkah kembali
keserambi. Dengan lemahnya ia duduk lagi di kegelapan
sebagaimana hatinya yang gelap. Langkahnya yang sesat telah
membawanya semakin dalam menukik ke liang kehancuran.
20 SH. Mintardja Namun Wiradana tidak melihat jalan yang dapat
membawanya ke luar dari bencana itu. Bukan saja bagi dirinya
sendiri, tetapi bagi Tanah Perdikan Sembojan.
Dalam kegelisahan Wiradana sempat merenungi langkahnya
yang pertama menuju ke kesesatan. Pada saat ia mula-mula
melihat Warsi, yang membuat dirinya sebagai seorang penari
jalanan. Namun segalanya itu hanya dapat disesali saja oleh Ki
Wiradana. Apalagi jika teringat olehnya istrinya yang pertama,
yang hampir saja binasa karena sikapnya.
"Ternyata Tuhan menghendaki lain," berkata Ki Wiradana itu
di dalam hatinya. Wiradana itu pun kemudian bangkit dari tempat duduknya
ketika ia melihat dua orang pengawal yang lewat di halaman,
menggantikan dua orang yang berada di gardu bersama dengan
dua orang dari kelompok yang lain.
Dua orang yang digantikan itu tentu melihat istrinya dan Ki
Rangga keluar dari halaman rumah itu. Tetapi para pengawal itu
pun tidak ada yang berani mengganggunya, sementara suaminya
sendiri tidak berbuat apa-apa.
Hampir di luar sadarnya maka Ki Wiradana pun telah pergi
ke bagian belakang rumah itu. Sesaat ia berdiri dimuka bilik yang
tertutup. Namun ia mendengar suara anaknya yang merengek.
Ketika anaknya terdiam, yang didengarnya adalah isak tangis
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang tertahan. Ki Wiradana tahu pasti, bahwa pemomong
anaknyalah yang telah menangis itu. Namun juga karena
perasaan takut yang mencekam. Sementara Warsi jarang sekali
menengoknya dan apalagi memberikan sedikit ketenangan di
hatinya. Tetapi Ki Wiradana tidak mengetuk pintu bilik anaknya itu. Ia
pun kemudian berjalan ke ruang depan. Ternyata ruangan itu
telah sepi. Semua orang telah pergi ke biliknya masing-masing
atau kemana saja yang mereka kehendaki.
21 SH. Mintardja Wiradana pun kemudian berbaring di amben bambu yang
besar yang terdapat di ruangan itu sendiri. Sementara lampun
pun menjadi semakin redup. Ketika kemudian lampu padam,
maka Ki Wiradana berusaha untuk dapat tidur barang sejenak. Ia
tidak tahu apa yang akan terjadi esok. Apakah pasukan Pajang
akan datang menyerang atau datang perintah dari Panglima
pasukan Jipang di Pajang untuk berganti menyerang atau
membuat gerakan-gerakan yang lain.
Betapa pun sulitnya, namun akhirnya Ki Wiradana itu sempat
juga tidur barang sejenak.
Dalam pada itu, pasukan Pajang yang menarik diri dari
medan itu pun tengah beristirahat pula. Beberapa orang yang
terluka telah mendapat perawatan sebagaimana seharusnya.
Di antara mereka terdapat seorang anak muda dari Tanah
Perdikan Sembojan yang ditunggui oleh Gandar, Kiai Soka dan
seorang perwira dari Pajang.
Dalam malam yang semakin lengang, anak muda itu merasa
bahwa keadaannya menjadi semakin baik oleh pengobatan yang
lebih baik. "Tidurlah, sebentar lagi hari akan menjadi pagi," berkata Kiai
Soka. Anak itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya, "Disini
aku merasa lebih tenang daripada jika aku berada di antara
orang-orang Jipang."
"Kenapa?" bertanya perwira dari Jipang
"Aku tidak tahu," jawab anak muda itu., "Mungkin karena
disini ada Kiai Soka dan Gandar yang akan dapat membawa aku
kembali ke Tanah Perdikan Sembojan, atau justru aku harus
menjalani hukuman mati, karena aku adalah seorang di antara
mereka yang telah melawan Pajang."
"Jangan berpikir yang aneh-aneh," berkata Kiai Soka.,
"Tenanglah. Kau berada ditempat yang lebih baik sebagaimana
perasaanmu mengatakannya."
22 SH. Mintardja Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Di sebelahnya
terbaring para prajurit Pajang yang terluka. Bahkan anak muda
Tanah Perdikan Sembojan itu tahu, bahwa ada di antara prajurit
Pajang yang gugur di pertempuran.
Para prajurit yang terluka itu menurut perasaan anak muda
Tanah Perdikan itu, selalu memandangnya dengan penuh
kebencian. Tetapi para perwira memperlakukannya dengan baik.
Apalagi Kiai Soka dan Gandar. Karena itu, maka anak muda itu
merasa bahwa orang-orang Pajang itu tidak akan berbuat apa-apa
atasnya. Dalam pada itu, maka Gandar pun berkata, "Tidurlah. Aku
akan menungguimu disini."
Anak muda itu tidak menjawab. Ia berusaha untuk dapat
tidur barang sejenak. Apalagi luka-lukanya sudah menjadi lebih
baik dan tidak lagi digigit oleh perasan pedih.
Ketika anak muda itu memejamkan matanya, maka Kiai Soka
pun telah dipersilakan oleh perwira Pajang itu untuk beristirahat
pula, sementara Gandar minta untuk tetap berada ditempat itu
menunggui anak muda yang sedang berusaha untuk tidur itu.
"Aku akan membantunya jika ia memerlukan sesuatu,"
berkata Gandar. "Biarlah ia menungguinya," berkata Kiai Soka kemudian
sambil meninggalkan tempat itu bersama perwira Pajang yang
mempersilakannya. Sepeninggal mereka, Gandar pun telah duduk bersandar
dinding disisi anak muda yang terluka itu. Sementara seorang
prajurit Pajang yang bertugas telah mendatanginya pula.
Gandar pun kemudian bergeser sambil mempersilakan
prajurit itu untuk duduk bersamanya. Katanya, "Marilah.
Duduklah." "Terima kasih," sahut prajurit Pajang itu., "Aku bertugas
diregol." 23 SH. Mintardja "O," Gandar mengangguk-angguk.
"Bagaimana keadaannya?" bertanya prajurit Pajang itu.
"Ia sudah berangsur baik," jawab Gandar.
Prajurit Pajang itu mengangguk-angguk. Namun ia pun telah
bertanya pula, "Bagaimana sikap kawan-kawannya yang lain"
Apakah mereka masih tetap dipengaruhi oleh para prajurit
Jipang dan memusuhi Pajang?"
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, "Kita harus
berusaha melepaskan mereka dari cengkaman pengaruh
beberapa orang yang mengaku pimpinan Tanah Perdikan
Sembojan. Merekalah sebenarnya yang telah menyesatkan anak-
anak muda dari Tanah Perdikan Sembojan itu, yang kini ternyata
telah terpecah. Anak-anak muda yang masih berada di Tanah
Perdikan sendiri telah menyadari kesalahan langkah mereka dan
mereka telah kembali berpegang kepada sikap Sembojan yang
seharusnya, dibawah pimpinan Iswari, istri pemangku jabatan
Kepala Tanah Perdikan yang sekarang. Namun sayang bahwa
pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu sendiri
berada di antara orang-orang Jipang.
Prajurit Pajang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Satu
persoalan yang agaknya sangat rumit telah terjadi di Tanah
Perdikan Sembojan. Para perwira disini pun harus memberikan
banyak sekali keterangan kepada para prajurit, apalagi yang
terluka, tentang anak muda Sembojan ini. Untunglah bahwa
mereka dapat dikendalikan dan tidak mendendam kepada anak
muda ini." "Ya," jawab Gandar., "Hal itu dapat dimengerti. Tetapi
nampaknya para prajurit Pajang, terutama yang terluka sudah
dapat mengerti dan dapat menerimanya berada di antara mereka.
Aku yakin anak muda ini pada saat ia sembuh, tidak akan lagi
beranjak dari antara prajurit-prajurit Pajang."
"Jika ia bersedia hadir dipeperangan, maka hal itu akan
memberikan keuntungan kepada pasukan Pajang. Sebagaimana
kehadiranmu bersama Kiai Soka," berkata prajurit itu., "Karena
24 SH. Mintardja kehadirannya di medan di antara prajurit Pajang akan dapat
mendorong anak-anak muda Pajang itu berpikir."
"Ia sudah menyatakan sikap seperti itu," jawab Gandar.
Prajurit Pajang itu mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Sudahlah, biarlah ia berusaha untuk beristirahat barang sejenak
menjelang pagi. Agaknya besok pasukan ini tidak akan bergerak.
Tetapi jika pasukan Jipang datang menyerang maka kita akan
dipaksa untuk bertempur lagi."
"Aku kira pasukan Jipang tidak akan bergerak," sahut
Gandar., "Mereka harus membenahi diri."
Prajurti Pajang itu mengangguk. Katanya, "Aku sependapat.
Tetapi kadang-kadang memang terjadi yang diluar perhitungan.
Meskipun demikian, kita tidak perlu gelisah. Ada petugas sandi
yang tentu akan dapat dengan cepat memberikan isyarat,
sementara itu pasukan yang terdiri dari beberapa kelompok telah
bersiap untuk bertempur kapanpun juga, di samping sekelompok
pasukan berkuda yang dapat bergerak dengan cepat ketempat-
tempat yang memerlukannya."
"Baiklah," berkata Gandar., "Aku pun akan beristirahat."
Prajurit itu pun kemudian meninggalkan Gandar yang masih
tetap menunggui anak yang terluka itu. Bagaimanapun juga, ada
sedikit kegelisahan di dalam hatinya, bahwa ada juga orang
Pajang yang dungu dan tidak dapat mengekang diri.
Namun agaknya tempat itu semakin lama menjadi semakin
tenang. Hampir semua orang sudah tertidur, meskipun ada juga
di antara mereka yang lukanya agak parah, sulit untuk dapat
memejamkan matanya. Tetapi anak muda Tanah Perdikan Sembojan itu ternyata
sempat juga tertidur di ujung malam sebagaimana Gandar juga
tertidur sambil duduk di lantai bersandar dinding.
Ketika matahari kemudian terbit, anak muda Tanah Perdikan
Sembojan itu pun terbangun. Keadaan tubuhnya sudah menjadi
semakin baik. Lukanya tidak lagi terasa pedih sekali.
25 SH. Mintardja Gandar lah yang kemudian telah pergi ke pakiwan. Kemudian
membasahi muka ikat kepalanya dan dipergunakannya untuk
mengusap tubuh anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang
belum dapat bangkit dan pergi ke pakiwan sendiri.
"Berbaring sajalah dahulu," berkata Gandar., "Nanti siang aku
bantu kau ke pakiwan, jika tubuhnya sudah terasa semakin
segar." Anak muda itu tidak membantah. Ketika tubuhnya diusap
dengan ikat kepala Gandar yang basah, tubuhnya itu benar-benar
terasa segar meskipun jika ikat kepala itu menyentuh bagian dari
lukanya itu masih terasa pedih.
Ketika Kiai Soka kemudian datang menengoknya, maka anak
muda itu telah dapat tersenyum dan wajahnya sudah menjadi
agak kemerahan. "Kau sudah tidak terlalu pucat lagi," berkata Kiai Soka.
Sementara anak muda itu berangsur baik, maka di
padukuhan, pesanggrahan pasukan Jipang di sebelah Timur
Pajang, Wiradana telah mengumpulkan anak-anak muda Tanah
Perdikan yang ada di antara pasukan Jipang. Beberapa orang
perwira Jipang menungguinya disamping Ki Rangga Gupita,
seorang perwira dari Prajurit Sandi Jipang yang memang
ditugaskan di Pajang, Warsi, Ki Randukeling dan beberapa orang
keluarga dari Warsi yang ada di padukuhan itu.
"Katakan," geram Warsi di telinga Ki Wiradana., "Agar
mereka mengerti, bahwa seorang di antara mereka telah hilang.
Dan itu diketahui dengan pasti, sehingga mereka merasa setiap
orang mendapat pengawasan sepenuhnya."
Ki Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun
berdiri dihadapan anak-anak muda Tanah Perdikan yang
berbaris dalam susunan pasukan yang lengkap, sebagaimana
mereka akan memasuki medan perang.
26 SH. Mintardja Dengan suara lantang Ki Wiradana pun kemudian
memberitahukan apa yang telah terjadi pada saat pasukan Pajang
menyerang. "Memang telah jatuh korban di antara kita, sebagaimana
terjadi atas pasukan Jipang dan juga pasukan Pajang," berkata Ki
Wiradana kemudian, "Memang adalah menjadi watak dari setiap
peperangan, bahwa perang akan menelan korban."
Warsi menghentakkan kakinya. Ia tidak sabar mendengarkan
pembicaraan Wiradana yang berbelit-belit.
Sementara itu Ki Wiradana pun berkata selanjutnya, "Di
antara korban yang jatuh di antara kita, maka seorang telah
hilang. Seorang yang mungkin terluka, namun yang kemudian
tidak kembali lagi ke pasukannya. Orang yang demikian itu perlu
mendapat penilaian secara khusus apa yang telah dilakukannya."
Anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan itu pun
semuanya terdiam. Dalam pada itu terdengar Ki Wiradana
melanjutkan, "Kami mengetahui setiap orang di dalam pasukan
kita. Mungkin anak itu benar-benar hilang. Tetapi jika ada usaha
untuk melarikan diri atau melakukan satu langkah yang
bertentangan dengan jiwa kesatria anak-anak muda Tanah
Perdikan Sembojan, maka ia akan mendapatkan hukuman yang
seimbang dengan kesalahan yang telah dilakukannya. Satu
peringatan bagi kalian, dimanapun anak itu berada, maka ia tidak
akan luput dari tangan kami. Kami akan menilai, dan kemudian
mengambil kesimpulan, apakah ia akan kita serahkan kembali ke
dalam pasukannya, atau anak itu harus digantung dihadapan
kalian." Suasana pun menjadi semakin tegang. Anak-anak muda
Tanah Perdikan itu merasa dicengkam oleh kecemasan. Bahkan
Ki Wiradana telah berbicara dan mengancam mereka dengan
suara yang keras yang jarang sekali dilakukan sebelumnya.
"Nah, siapakah di antara kalian yang dapat memberikan
keterangan tentang anak itu" Siapakah yang telah melihat pada
27 SH. Mintardja saat-saat terakhir dari peperangan yang berlangsung kemarin?"
bertanya Ki Wiradana. Beberapa orang anak muda saling berpandangan, sementara
semua mata dari para pemimpin pasukan Tanah Perdikan dan
para perwira Jipang itu tertuju ke kelompok anak yang hilang itu.
"Apa katamu?" bertanya Ki Wiradana kepada pemimpin
kelompok itu. Pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Seorang di antara kami melihat anak itu terluka. Tetapi
menurut perhitungan kami ia masih sempat menarik diri ke
belakang garis pertempuran atau bahkan ke balik dinding
padukuhan." Ki Wiradana memandanginya dengan tegang. Kemudian
dengan lantang ia membentak, "Tetapi yang terjadi tidak
demikian. Anak itu tidak ada di padukuhan dan tidak kembali ke
kelompoknya." "Itu berada di luar pengetahuan kami," jawab pemimpin
kelompok itu. Lalu katanya, "Tetapi mungkin salah seorang di
antara anak-anak dalam kelompok itu melihatnya dan bersedia
memberikan keterangan."
Ki Wiradana mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Nah, siapakah di antara kalian yang ingin memberikan
penjelasan?" Untuk beberapa saat tidak terdengar jawaban. Karena itu,
maka Ki Wiradana itu pun kemudian berkata lantang, "Jika
demikian, maka kesimpulan kita adalah, anak itu telah
berkhianat. Sebenarnya ia mempunyai kesempatan untuk
menyingkir dari medan, tetapi ia tidak melakukannya."
Anak-anak muda Tanah Perdikan itu pun menjadi berdebar-
debar. Wajah mereka menjadi tegang. Sementara di antara
mereka, tidak dapat menerima kesimpulan yang diambil dengan
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serta merta itu. Tetapi sebagian yang lain mengangguk-angguk
mengiakan. Terutama anak-anak muda yang pertama berangkat
28 SH. Mintardja dari Tanah Perdikan Sembojan. Anak-anak muda yang mendapat
tempaan yang paling lengkap dan paling baik di antara anak-anak
muda Tanah Perdikan yang lain.
Ketegangan itu menjadi semakin memuncak ketika Ki
Wiradana kemudian berkata, Nah, kita akan menentukan
hukuman apakah yang akan kita berikan kepada pengkhianat itu.
Juga kepada pengkhianat-pengkhianat yang mungkin akan
timbul ula di antara kalian."
Anak-anak muda itu terdiam. Namun dalam pada itu Warsi
tidak puas dengan ancaman yang diucapkan oleh Ki Wiradana.
Karena itu maka ia pun telah berteriak pula, "Kalian dengar" Kita
akan menentukan hukuman itu. Dan menurut paugeran seorang
prajurit, hukuman bagi seorang pengkhianat adalah hukuman
mati. Yang akan kita tentukan bukannya kemungkinan untuk
mengubah hukuman mati itu. Tetapi cara yang paling tepat untuk
melaksanakan hukuman mati itu.
Suara Warsi bagaikan melengking berputaran di atas
padukuhan dan di dalam setiap dada anak-anak muda Tanah
Perdikan Sembojan itu. Cara untuk melaksanakan hukuman mati
adalah ancaman yang sangat mengerikan.
Sementara itu Ki Rangga Gupita menyambung pula, "Seorang
prajurit akan merasa dirinya direndahkan dan kehilangan
martabatnya jika ia dilepas dari kedudukannya. Tetapi martabat
seorang prajurit yang dihukum mati karena berkhianat adalah
jauh lebih rendah daripada itu. Pengkhianatan tidak ubahnya
seperti tingkah laku seekor anjing yang menjilat kaki seekor babi
hutan yang harus diburunya. Karena itu, jika kalian terpaksa
harus mati, matilah sebagai seorang pahlawan. Jangan mati
sebagai seorang pengkhianat di tiang gantungan, atau terikat dan
terluka arang keranjang karena dihukum picis."
Tengkuk anak-anak muda Tanah Perdikan itu meremang
membayangkan hukuman yang sangat keji akan dilakukan atas
seorang pengkhianat. 29 SH. Mintardja Namun demikian ada juga di antara anak-anak muda itu yang
memiliki keberanian bertanya kepada diri sendiri, "Tetapi jika di
antara para pengkhianat itu sudah jatuh ketangan Pajang atau
para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan dari seberang yang
lain itu, apakah Ki Wiradana, Warsi dan Ki Rangga yang sombong
itu akan dapat menghukumnya?"
Tetapi tidak seorang pun yang berani mempersoalkannya.
Wajah-wajah tegang itu membuat anak-anak muda Tanah
Perdikan Sembojan bagaikan dihadapkan kepada pengadilan
yang berlambang pedang yang menyala tanpa keseimbangan.
Karena yang berbicara adalah gelora kebencian, bukan tuntutan
keadilan. Untuk beberapa saat lamanya, anak-anak muda Tanah
Perdikan itu masih mendengar ancaman-ancaman. Panglima
yang memegang pimpinan pasukan Jipang di daerah Timur
Pajang itu pun ikut mengancam. Bahkan dengan bentakan-
bentakan yang dapat meruntuhkan jantung.
"Hukuman dapat diberikan bukan saja yang melakukan
pengkhianatan. Tetapi kelompoknya akan dapat menjadi sasaran
hukuman yang tidak kalah beratnya. Karena itu, maka mereka
yang berada di satu kelompok seharusnya saling mengawasi yang
satu atas yang lain," berkata perwira Jipang itu.
Sementara itu, Ki Rangga Gupita pun berkata, "Kalian
dengar" Jadi kalian harus lebih mantap melihat kawan kalian
mati di peperangan daripada berkhianat."
Ki Randukeling memandanginya dengan wajah yang tegang.
Meskipun dengan istilah lain, agaknya Ki Rangga masih saja
bersikap kasar terhadap anak-anak Tanah Perdikan Sembojan.
Baginya seseorang yang terluka akan lebih baik mati saja
daripada ada kemungkinan untuk menyerahkan diri kepada
lawan. Ketika setiap dada anak-anak Tanah Perdikan Sembojan itu
telah penuh dengan ancaman, celaan, perintah dan bentakan-
bentakan, maka mereka pun diperkenankan kembali ke barak
30 SH. Mintardja mereka masing-masing di padukuhan yang mereka pergunakan
sebagai tempat kedudukan itu.
Wajah-wajah pun menjadi murung. Rara-rasanya mereka
berada dalam satu bayangan yang suram dan penuh dengan
kecurigaan. Satu orang di antara mereka hilang. Dan mereka pun
merasa kehilangan kebebasan mereka yang masih tersisa. Apalagi
bagi anak-anak muda yang datang kemudian.
Mula-mula tidak ada seorang pun di antara mereka yang
membicarakan perkembangan keadaan itu. Mereka saling
mencurigai dan tidak percaya bahwa mereka tidak akan
dilaporkan. Namun melalui peraturan-peraturan yang panjang,
akhirnya ada juga anak-anak muda itu yang mulai
membicarakannya. Meskipun mula-mula sekadar keluhan, bahwa hilangnya
seorang di antara kawan mereka, maka hari-hari bagi anak-anak
muda Tanah Perdikan Sembojan itu pun menjadi semakin gelap.,
"Anak itu memang harus dihukum," desis seorang anak muda.
"Ia sudah mencekik leher kita semuanya yang tertinggal."
"Jadi karena itukah ia harus dihukum" Bukan karena
pengkhianatannya?" bertanya yang lain.
Anak muda yang pertama merasa ragu untuk berbicara lebih
panjang, namun yang lain itulah yang justru berkata selanjutnya,
"Ia harus dihukum karena pengkhianatan. Itu jika benar ia
melakukannya. Ketika ia terluka, pemimpin kelompoknya
mengatakan, bahwa anak itu masih mungkin meninggalkan
medan. Jika penglihatan itu keliru dan anak yang terluka itu
justru mati di medan, apakah itu juga satu pengkhianatan"
Seandainya ia tidak mati, tetapi ia dibawa tidak atas kehendaknya
sendiri, apakah itu juga satu pengkhianatan?"
Anak muda yang pertama memandang kawannya dengan
tajamnya. Namun tiba-tiba ia berdesis, "Anak itu adik sepupumu
bukan?" 31 SH. Mintardja Kawannya menjadi tegang. Tetapi ia pun tidak ingkar, "Ya.
Anak yang disebut pengkhianat itu adalah adik sepupuku. Ia anak
seorang janda miskin yang semula berbangga karena anaknya
menjadi seorang pengawal. Aku tidak tahu apakah sekarang ia
akan menangisi anaknya yang hilang itu atau tidak."
Anak muda yang pertama itu pun mengangguk-angguk.
Namun tiba-tiba diluar dugaan, seorang anak muda yang lain,
yang sejak semula hanya mendengarkan saja pembicaraan itu
menyahut, "Aku juga tidak tahu, apakah ibuku akan menangis
atau tertawa jika ia melihat keadaanku."
Kawan-kawannya yang berbicara lebih dahulu itu pun
terdiam sejenak. Anak muda itu pun adalah anak seorang janda
yang miskin. Yang semula juga merasa berbangga bahwa anaknya
menjadi seorang pengawal yang terpilih dan mendapat uang yang
cukup sehingga anak itu tidak lagi selalu minta uang kepada
ibunya yang janda itu. Mereka terdiam ketika mereka melihat seorang prajurit
Jipang yang lewat. Dan bahkan kemudian mendekati anak-anak
muda itu sambil berkata, "He, apakah kalian sedang berbicara
tentang pengkhianat itu" Seharusnya kalian menjadi gelisah
justru hanya karena tingkah laku seorang saja di antara kalian
yang banyak ini." "Kami sedang membicarakan diri kami," jawab salah seorang
pengawal Tanah Perdikan. "Kenapa dengan diri kalian?" bertanya prajurit itu.
"Kami tidak boleh terperosok kedalam sikap seperti kawan
kami yang hilang itu seandainya ia benar-benar berkhianat,"
jawab anak muda itu. "Bukankah sudah pasti bahwa ia berkhianat?" bertanya
prajurit Jipang itu. Anak-anak muda itu ragu-ragu. Namun akhirnya mereka
mengangguk. Seorang di antara mereka menjawab, "Ya. Anak itu
memang berkhianat. Itulah sebabnya kami harus mengerti benar-
32 SH. Mintardja benar, apakah yang sebenarnya terjadi sekarang di tempat ini
agar kami, khususnya anak-anak muda Tanah Perdikan
Sembojan tidak kehilangan kiblat."
"Bagus," berkata prajurit Jipang itu., "Dengan demikian maka
kalian telah benar-benar berjiwa seorang prajurit."
Namun ketika prajurit Jipang itu pergi, hampir berbareng tiga
orang anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara
seorang yang lain lagi berdesis, "Sudahlah. Kita berbicara tentang
yang lain." Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi seorang di
antara mereka sempat juga berkata, "Kita sudah tidak berhak lagi
berbicara tentang diri kita sendiri."
Kawan-kawannya memandanginya. Namun tidak seorang
pun yang menyahut. Meskipun demikian, ternyata mereka pun
mengiakannya di dalam hati.
Pada hari itu, anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang
berada di antara orang-orang Pajang sudah menjadi semakin
segar, meskipun ia masih tetap berbaring di tempatnya. Ia
memang merasa lebih tenang berada di dekat Gandar dan Kiai
Soka meskipun anak muda itu belum mengenal mereka terlalu
rapat. Sementara itu, para prajurit Pajang pun telah mendapat
penjelasan tentang anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang
ada di antara mereka. "Anak itu tidak akan kita perlakukan sebagai tawanan,"
berkata seorang pemimpin kelompok kepada prajurit-prajuritnya
yang bertugas menjaga orang-orang yang terluka, "Ia lebih dekat
kita anggap sebagai kawan baru yang akan membantu kita."
Namun demikian ada juga di antara orang Pajang yang bertanya,
"Tetapi bukankah ia berada di medan" Siapa tahu, bahwa dalam
pertempuran ia pernah membunuh seorang prajurit Pajang?"
"Pada saat itu ia tidak tahu apa yang dilakukannya," jawab
pemimpin kelompok itu., "Jika kau sempat berbicara dengan
anak itu, maka kau akan tahu, bahwa ia adalah korban dari
33 SH. Mintardja kedunguan dan kelemahan pemangku jabatan Kepala Tanah
Perdikannya." Para prajurit Pajang itu mengangguk-angguk. Mereka
memang pernah mendengar ceritera tentang kegagalan
pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan untuk
minta pengukuhan dan wisuda sebagai Kepala Tanah Perdikan.
Sebenarnya permohonannya tidak ditolak, tetapi sekadar
menunggu persoalan Pajang dan Jipang selesai, sementara itu ia
harus menemukan pertanda kekuasaan Tanah Perdikan
Sembojan. Sebuah bandul emas yang bertatahkan lukisan
burung. Namun dalam kekecewaan itu datanglah pengaruh tentang
Jipang dan janji hari depan yang lebih baik bagi Tanah Perdikan
Sembojan. Dan yang lebih parah lagi, bahwa di Tanah Perdikan
Sembojan telah ada Warsi, kekuatan yang bersumber dari
dendam Kalamerta yang terbunuh oleh Ki Gede Sembojan.
Dalam pada itu, Kiai Soka dan Gandar pun telah berbicara
dengan para perwira Pajang, bahwa pada satu saat, anak muda
yang mereka pungut dari medan pertempuran itu akan mereka
bawa untuk meronda di daerah gawat yang berhadapan dengan
padukuhan-padukuhan yang dipergunakan oleh pasukan Jipang.
Mereka sengaja menarik perhatian para petugas sandi Jipang
agar mereka melihat, bahwa seorang anak muda Tanah Perdikan
ada di antara mereka. "Jika ia sudah dapat bangkit dan duduk di atas punggung
kuda, maka kita akan membawanya," berkata perwira Pajang itu.
Ternyata para perwira Pajang, Kiai Soka dan Gandar tidak
perlu menunggu sampai berhari-hari. Di hari berikutnya anak
muda itu sudah mampu bangkit dan berjalan ke pakiwan.
Sementara luka-lukanya telah berangsur menjadi sembuh.
"Besok aku sudah dapat berkuda," berkata anak muda itu.
Kiai Soka mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi apakah kau
menyadari sepenuhnya maksud kami memperlakukan kau seperti
itu?" 34 SH. Mintardja "Aku tahu," jawab anak muda itu., "Karena itu, aku tidak
merasa diperalat. Bahkan aku merasa dengan demikian aku
sudah membantu meletakkan pengertian anak-anak muda Tanah
Perdikan pada kedudukan yang seharusnya."
"Bagus," berkata Kiai Soka., "Mudah-mudahan sikapmu
mempunyai pengaruh atas anak-anak muda itu."
"Jika aku sudah sembuh benar, beri aku kesempatan untuk
memasuki barak kawan-kawanku dari Tanah Perdikan," berkata
anak itu. "Jangan," sahut Kiai Soka., "Itu tentu akan sangat berbahaya.
Mungkin kau dapat dianggap telah lari dari kewajibanmu."
"Aku dapat menyebut seribu macam alasan," berkata anak
muda itu. "Tetapi jika kau berbuat demikian, maka jiwamu benar-benar
akan terancam. Kita tidak tahu tanggapan prajurit Jipang atas
kepergianmu," berkata Kiai Soka.
"Agaknya aku sudah harus mati pada saat aku diketemukan
oleh prajurit Pajang. Hidupku yang sekarang adalah kelebihan
saja yang harus aku manfaatkan sebaik-baiknya, terutama bagi
kepentingan Tanah Perdikan. Kesadaran ini bukan tiba-tiba saja
tumbuh di dalam hatiku, tetapi sebenarnya aku sudah
memikirkannya sejak aku masih harus berada di barak-barak
para pengawal yang berpihak kepada Jipang, bahwa pada suatu
saat anak-anak muda Tanah Perdikan harus bersikap lain," jawab
anak muda itu. Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam. Namun Gandarlah
yang menyahut, "Kita harus memikirkannya masak-masak. Kau
tidak sepantasnya dengan sengaja menyurukkan nyawamu
ketajamnya pedang para prajurit Jipang. Tetapi mungkin ada
jalan lain yang dapat ditempuh. Bahkan mungkin aku dapat
mengantarkanmu memasuki barak-barak para pengawal di
Tanah Perdikan itu di malam hari, atau dengan cara lain yang
mungkin akan dapat kita ketemukan kemudian."
35 SH. Mintardja
Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Tetapi yang pasti, besok aku akan dapat ikut berkuda berkeliling
daerah perbatasan kekuatan pasukan Pajang dan Jipang."
Hari itu anak muda Tanah Perdikan itu pun telah beristirahat
dan mendapatkan pengobatan sebaik-baiknya, agar besok ia akan
dapat ikut serta mengadakan pengamatan keliling di perbatasan
itu. Di hari itu, baik pasukan Pajang maupun pasukan Jipang
tidak mengadakan gerakan-gerakan yang berarti. Orang-orang
Jipang sibuk dengan usaha mereka menakut-nakuti anak-anak
muda Tanah Perdikan Sembojan agar mereka tidak berkhianat.
Sementara pasukan Pajang pun sedang beristirahat meskipun
kedua belah pihak tidak melepaskan kewaspadaan.
Di hari berikutnya, para petugas sandi Pajang melaporkan
bahwa mereka tidak melihat gerakan pasukan Jipang yang
mencurigakan, sebagaimana para petugas sandi Jipang pun
memberikan laporan, bahwa Pajang tidak mengambil langkah-
langkah yang penting. Karena itulah, maka Pajang pun kemudian telah menentukan
untuk mengirim sekelompok kecil pasukan berkuda untuk
mengamati medan. Di antara mereka yang ada di dalam
kelompok kecil itu adalah justru para perwira terpilih, Kiai Soka,
Gandar dan salah seorang pengawal Tanah Perdikan Sembojan
yang ada di antara prajurit Pajang dan yang dianggap hampir
pasti oleh Jipang sebagai seorang pengkhianat.
Dengan sengaja para prajurit Pajang yang sekelompok itu
memancing perhatian para petugas sandi dari Jipang. Dengan
berani mereka melihatasi daerah yang paling rawan di antara
kekuatan Pajang dan Jipang. Jalan di bulak panjang di antara
tanah persawahan yang tidak ditanami karena para petani telah
pergi mengungsi dari lingkungan ajang perang yang mengerikan
itu. Di tengah-tengah bulak sekelompok kecil pasukan berkuda
itu justru berhenti. 36 SH. Mintardja "Beri kami penjelasan tentang kedudukan pasukan Jipang,"
berkata Kiai Soka kepada anak muda itu., "Para perwira Pajang
tentu akan sangat berterima kasih tentang keteranganmu itu."
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Tetapi Kiai Soka
sama sekali tidak memaksanya.
Namun agaknya anak muda itu memang tidak berniat untuk
menyimpan rahasia. Karena itu, maka ia pun telah
menceriterakan apa yang diketahuinya tentang pasukan Jipang.
Anak muda itu menunjuk beberapa padukuhan yang
dipergunakan oleh prajurit-prajurit Jipang dan para pengawal
Tanah Perdikan. Ia pun dapat memberikan keterangan meskipun
kurang pasti, jumlah pasukan Jipang dan pengawal Tanah
Perdikan yang ada di padukuhan-padukuhan itu.
Para perwira Pajang itu pun mengangguk-angguk. Seorang di
antara mereka berkata, "Keterangan ini memang sangat berguna.
Kita akan dapat membuat perhitungan yang lebih cermat jika kita
berniat untuk mengganggu orang-orang Jipang."
Sebagaimana dikehendaki, maka seorang petugas sandi
Jipang telah melihat sekelompok prajurit Pajang mengamati
daerah pertempurarn. Diantara mereka terdapat seorang
pengawal Tanah Perdikan Sembojan.
"Kau kenali anak itu?" bertanya. Ki Rangga Gupita kepada
petugas sandi yang kemudian malapor itu.
"Ya. Aku pasti. Selain ia masih tetap mengenakan pakaian
pengawal akupun tidak melupakan wajahnya. Ia memang pantas
disebut pengkhianat. Agaknya ia telah menunjukkan
pesanggrahan pasukan Jipang disini," berkata petugas sandi itu.
Ki Rangga Gupita menggeram. Sementara seorang perwira
Jipang pun berkata, "Agaknya tidak banyak pengaruh yang dapat
ditimbulkan oleh pengkhiaat anak itu dari segi ketahanan
pasukan Jipang ini sendirian asal Ki Wiradaria dapat mencegah
terulangnya peristiwa seperti itu terjadi lagi,"
37 SH. Mintardja "Itulah yang sulit dipertanggung jawabkan" berkata Ki
Rangga Gupita "Ki Wiradana memang benar-benar seorang yang
dungu dan pengecut. Ia tidak memiliki jiwa kepemimpinan yang
dapat mengikat anak-anak muda Tanah Perdikan. Tanpa bantuan
para perwira dari Jipang, maka para pengawal Tanah Perdikan
itu tidak berarti sama sekali."
Perwira itu mengerutkan keningnya. Sementara itu Ki
Randukelingpun berkata, "Kau
terlalu menjelekkan pemangku
jabatan Kepala Tanah Perdikan
itu." "Ki Randukeling dapat
melihatnya" jawab Ki Rangga,
"nah, dimana ia sekarang. Ia
lebih senang menunggui penmomong anaknya itu daripada berada diantara pasukannya." "Ki Rangga" berkata Ki
Randukeling kemudian, "bagaimanapun juga kita harus
menghormatinya. Ki Raagga dan Warsi terlalu meremehkannya.
Ia sudah berhuat sejauh dapat dilakukannya. Adalah pantas
sekali jika sekali-kali ia menengok anaknya yang ditenlantarkan
oleh ibunya." Wajah Warsi menjadi merah. Tetapi ketika ia melihat sorot
mata kakeknya yang juga tajam, maka iapun menundukkan
wajahnya. Kakeknya berkata dengan sungguh-sungguh. Bahkan
Ki Randukeling itu masih berkata selanjutnya, "Justru pada saat
kita memerlukan dukungan dari segala pihak, dan justru pada
saat kita memerlukan kekuatan yang utuh, kalian melukai hati
pemangku jabatan Kepala, Tanah Perdikan itu. Ki Rangga. Aku
adalah orang tua yang melihat persoalanmu yang bergeser
kepada persoalan pribadi. Aku tidak akan mencampurinya karena
38 SH. Mintardja kalian adalah orang-orang dewasa. Tetapi jangan korbankan
persatuan sikap dan perbuatan menghadapi Pa.jang sekarang ini.
Aku berkata justru pada saat Ki Wiradana tidak ada, agar jika
kalian merasa tersinggung, kalian tidak semakin
mendendamnya." Wajah-wajah menjadi tegang. Tetapi Ki Randukeling tidak
sekedar berbicara sebagaimana biasanya ia melerai percakapan
diantara Warsi dan suaminya yang tidak banyak berperan atas
jabatannya. Namun Ki Randukeling benar-benar menyatakan
sikapnya. Karena itu maka ia pun berkata selanjutnya "Jika anak-
anak muda Tanah Perdikan itu tidak setia, bukan salah Ki
Wiradana. Kita harus berbicara dengan jujur. Apakah Ki
Wiradana leluasa menentukan langkah-langkah yang dapat
diambilnya untuk mengikat anak-anak mudanya" Yang
dilakukannya adalah sekedar melakukan perintah kalian. Tetapi
jika ada langkah yang salah, kalian ingin membebankannya
kepadanya." Tidak ada seorang pun yang membantah. Orang-orang itu
seakan-akan baru sempat memandanginya sebagaimana tingkat
kedudukannya yang sewajarnya. Ki Randukeling adalah orang
yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Dalam hubungan dengan
pemerintahan di Jipang, ia adalah sahabat Ki Patih Mantahun.
Bahkan Ki Patih dapat menerima banyak petunjuk-petunjuk Ki
Randukeling. "Nah", berkata Ki Randukeling kemudian, "sejak sekarapg
aku tidak ingin mendengar semua kesalahan ditimpakan kepada,
Ki Wiradana yang sudah memberikan kekuatan yang cukup besar
pada pasukan Jipang disini." Ki Randukeling berhenti sejenak
sambil memandangi Warsi. Katanya kemudian, "Aku tidak akan
mempersoalkan kesetiaanmu sebagai seorang isteri. Itu
urusanmu." 39 SH. Mintardja Wajah Warsi bagaikan disentuh bara api. Betapa panasnya.
Misteri Pulau Neraka 3 Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Kisah Membunuh Naga 22