Pencarian

Suramnya Bayang Bayang 28

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 28


benteng pertahanan pasukan Pajang disisi Timur, namun bagi
Tanah Perdikan Sembojan pasukan itu adalah pasukan yang
15 SH. Mintardja sangat kuat, apalagi anak-anak Tanah Perdikan Sembojan yang
terpilih justru berada di dalam pasukan itu pula.
Keduanya itu pun berusaha untuk mempercepat langkah
mereka. Bahkan kadang-kadang mereka telah berlari kecil
menyeberangi bulak mendahului pasukan yang besar itu. Namun
karena iring-iringan itu di antaranya terdapat beberapa pedati,
maka iring-iringan itu pun merambat sangat lamban.
Karena itu, maka jarak antara kedua orang itu dengan
pasukan yang menuju ke Tanah Perdikan itu pun menjadi
semakin lama menjadi semakin panjang.
Ketika kedua orang itu kemudian memasuki daerah
pertahanan yang telah disiapkan kerangka gelar untuk
menghadapi pasukan Jipang yang akan datang, maka kedua
orang itu pun langsung berpesan kepada pemimpin pasukan itu,
bahwa lawan telah berada di perjalanan.
Pemimpin pasukan Tanah Perdikan itu pun mendapat
keterangan pula bahwa pasukan Jipang itu jauh lebih besar dari
yang pernah diduga. "Terima kasih," berkata pemimpin pasukan itu. "Kita akan
mempertahankan Tanah Perdikan ini dengan segenap
kemampuan yang ada, meskipun kita harus mengorbankan
nyawa kita." "Berhati-hatilah," berkata kedua orang itu. "Mudah-mudahan
kita mendapat jalan keluar dari keadaan ini. Bukan maksud kami
menakut-nakuti. Tetapi kami mengharap kalian mendapat
gambaran yang sesungguhnya dari lawan yang bakal datang."
"Kami mengerti," jawab pemimpin itu. "Kami siap melakukan
apa saja. Bukankah kau akan menyampaikan laporan ini kepada
pemimpin tertinggi Tanah Perdikan ini?"
"Ya, aku akan menghadap," jawab orang itu.
Keduanya pun kemudian melanjutkan perjalanan mereka
memasuki Tanah Perdikan Sembojan, langsung menuju ke
padukuhan induk. 16 SH. Mintardja Ketika kedua orang itu sampai ke banjar yang dipergunakan
sebagai bangsal kepemimpinan, maka mereka menjumpai para
pemimpin masih berada di tempat itu.
Dengan singkat mereka melaporkan apa yang telah mereka
lihat tentang pasukan Jipang itu. Mereka pun memberikan
laporan terperinci mengenai jumlah dan kekuatan pasukan itu.
Kiai Soka yang berada di antara para pemimpin Tanah
Perdikan itu pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ternyata
pengamatanku kurang lengkap selama aku berada di Pajang.
Agaknya aku belum pernah menemui pasukan Jipang itu
selengkapnya, sehingga karena itu, maka kekuatan mereka
sesungguhnya memang lebih besar dari yang aku duga."
"Ya," Gandar mengangguk-angguk. "Mereka berada di
beberapa padukuhan yang terpencar meskipun pada jarak yang
tidak terlalu jauh. Agaknya mereka tidak selalu melepaskan
semua prajurit dan anak-anak muda Tanah Perdikan ini."
"Tentu mereka selalu menahan pasukan cadangan," berkata
Iswari. "Hanya dalam keadaan tertentu pasukan cadangan itu
dilepaskan." Kiai Soka mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Jadi, apakah
yang akan kita lakukan?"
"Apapun yang akan terjadi," jawab Iswari. "Kita akan
bertahan." Tetapi Kiai Badra yang merenung itu pun kemudian berkata,
"Kita jangan tergesa-gesa. Jika kekuatan lawan memang tidak
mungkin untuk dihadapi dengan gelar karena jumlahnya yang
sangat besar, maka kita harus memikirkan cara lain."
"Maksud kakek?" bertanya Iswari.
"Itulah yang harus kita bicarakan sekarang. Apakah yang
paling baik kita lakukan," jawab Kiai Badra.
Iswari mengerutkan keningnya. Katanya, "Waktu kita tinggal
beberapa saat lagi. Disini ada para Bekel dan para pemimpin yang
17 SH. Mintardja mewakili beberapa Kademangan yang telah menyatakan
kesediaannya membantu kita. Kita akan menentukan
sebagaimana kita perlihatkan selama ini. Apapun yang terjadi,
kita akan mempertahankan Tanah Perdikan ini."
"Aku mengerti Iswari," jawab Kiai Badra. "Mempertahankan
tanah ini artinya tidak membiarkan tanah ini dikuasai lagi oleh
orang-orang yang tidak berhak itu. Bahkan berarti kita harus
membunuh diri dan kemudian melepaskan tanah kelahiran ini
kepada orang-orang itu."
"Apakah dengan demikian berarti bahwa kita harus menarik
diri lebih dahulu?" bertanya Iswari.
Kiai Badra menjadi ragu-ragu. Namun Nyai Soka lah yang
kemudian berkata, "Kita harus membuat perhitungan
berdasarkan kenyataan yang ada."
Iswari menjadi tegang. Kiai
Soka yang mengetahui keadaannya berkata, "Kita akan
mempertahankan tanah ini.
Kita akan menanyakan kepada
para Bekel dan wakil dari
Kademangan yang ada di sekitar kita, kekuatan yang
mungkin kita siapkan apakah
cukup memadai. Artinya, kita
akan bertempur dalam imbangan perhitungan seorang
prajurit." "Kakek," berkata Iswari.
"Seandainya perhitungan itu
menunjukkan bahwa kekuatan
kita kurang memadai, apakah itu berarti kita harus menarik diri
dan membiarkan mereka memasuki Tanah Perdikan ini?"
Kiai Soka dan Kiai Badra saling berpandangan. Namun dalam
pada itu, wakil-wakil dari Kademangan sebelah menyebelah itu
18 SH. Mintardja pun telah menyatakan sikapnya. Salah seorang dari mereka
berkata, "Anak-anak muda di Kademanganku masih utuh seperti
yang kita lihat setiap hari. Mereka telah melatih diri meskipun
belum memadai kesiagapan seorang prajurit. Tetapi jumlah
mereka cukup banyak, ditambah dengan laki-laki yang masih
sanggup mengangkat senjata yang jumlahnya tentu akan
memadai." Sementara itu, yang lain pun telah memberikan sikap serupa
sehingga dengan demikian, mereka akan mendapat jumlah
pasukan yang mungkin dapat mengimbangi. Namun belum
merupakan dasar kekuatan dan kemampuan yang cukup.
Namun dalam pada itu para Bekel pun bersikap serupa.
Mereka tidak ingin meninggalkan Tanah Perdikan itu barang
sekejap. Seorang di antara mereka berkata, "Yang akan terjadi
adalah malapetaka." Kiai Soka dan Kiai Badra termangu-mangu. Namun Bekel itu
menjelaskan, "Jika kita pergi meninggalkan Tanah Perdikan ini,
isinya tentu akan dihancurkan sama sekali oleh orang-orang yang
datang itu. Setiap laki-laki akan dilumpuhkan, bahkan mungkin
akan dibunuh. Rumah-rumah yang tidak dikehendaki akan
dibakar dan semua kekayaan yang ada akan dirampas. Apalagi
prajurit Jipang yang sudah tidak mempunyai ikatan itu. Mereka
tidak lagi terikat oleh paugeran apapun juga, sehingga mereka
akan dapat berbuat sesuka hati meskipun melanggar peradaban
sekalipun. Karena itulah, maka kedatangan mereka akan
mencemaskan setiap laki-laki dan akan menakutkan bagi setiap
perempuan, apalagi gadis-gadis."
Kiai Soka dan Kiai Badra mengangguk-angguk. Sementara itu
Nyai Soka pun berkata, "Aku kira memang tidak ada jalan lain.
Kita dapat mengerti keterangan Ki Bekel itu dan kita pun dapat
membayangkannya." "Baiklah," berkata Kiai Badra. "Jika kita memang sudah
bertekad bulat, maka apaboleh buat. Kami yang tua-tua ini tidak
akan ingkar akan tanggung jawab kami. Namun kami memang
19 SH. Mintardja perlu untuk memastikan, apakah kita semuanya memang sudah
bertekad untuk bertahan sampai orang yang terakhir. Dengan
demikian kita tidak akan lagi saling melepaskan tanggung jawab
kita masing-masing."
"Baik kakek," jawab Iswari. "Kita akan bertempur. Kita sudah
siap, sementara jumlah kita, termasuk kesediaan beberapa
Kademangan tetangga, cukup memadai. Jika kita dapat
menempatkan diri pada keadaan yang menguntungkan, maka
kita tidak akan mereka hancurkan meskipun kemampuan kita
secara pribadi masing-masing berada dibawah kemampuan para
prajurit." "Jika demikian," berkata Kiai Badra. "Waktu kita tinggal
sedikit." "Masih belum dini. Kita masih mempunyai waktu untuk
menentukan garis pertahanan kedua," berkata Iswari.
"Ingat Iswari," berkata Kiai Soka kemudian. "Pasukan Jipang
tidak lagi perlu menempati paugeran perang. Mungkin mereka
akan menyerang tanpa menunggu fajar. Karena itu, maka
persiapan kita pun harus dilakukan secepatnya."
Iswari mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian
berkata, "Baiklah. Kita akan berada di antara pasukan kita
masing- masing. Kita akan mengisi pertahanan yang kerangkanya
sudah kita siapkan. Sementara itu, mereka yang tidak terpasang
pada gelar, akan berada di pertahanan baris kedua yang tidak
akan terlalu jauh dari pertahanan pertama. Semua diserahkan
kepada para pemimpin kelompok menurut ketentuan yang sudah
kita sepakati sebelumnya."
Demikianlah, maka pertemuan itu pun sudah hampir ditutup.
Namun tiba-tiba dua orang pengawal bergegas masuk. Seorang di
antaranya berkata, "Kami membawa dua orang yang ingin
menghadap." "Siapa?" bertanya Iswari.
20 SH. Mintardja "Mereka tidak mau menjelaskan siapakah mereka. Tetapi
mereka bersedia dibawa menghadap para pemimpin dalam
kawalan para pengawal Tanah Perdikan."
Iswari memandang Kiai Badra sejenak. Ketika Kiai Badra
mengangguk kecil, maka Iswari pun berkata, "bawa orang itu
kemari." Kedua pengawal itu pun keluar dari ruangan pembicaraan itu.
Sejenak kemudian, maka mereka pun telah datang kembali
membawa dua orang yang dikawal oleh dua orang bersenjata
tombak yang merunduk di belakang punggung mereka.
Keduanya pun kemudian bergeser maju mendekati Iswari yang memegang pimpinan pembicaraan itu.
Dengan suara berat seorang di
antara mereka berkata, "Selamat malam."
"Marilah Ki Sanak," sahut
Iswari. "Kedatangan Ki Sanak
agak mengejutkan kami. Siapakah Ki Sanak berdua?"
Seorang di antara mereka menjawab, "Kami adalah
prajurit sandi dari Pajang.
Kami memang tidak menyebut
siapakah kami ketika para
pengawal menyergap kami, karena kami tidak dapat
membedakan, yang manakah para pengawal yang setia dan yang
manakah yang mungkin akan berbuat lain yang dapat merugikan
kehadiran kami disini."
"O," Iswari mengangguk-angguk.
Sementara orang itu berkata, "Memang tidak ada ciri yang
terlalu khusus. Tetapi ikat pinggangku adalah ikat pinggang
21 SH. Mintardja prajurit Pajang, meskipun mungkin saja ikat pinggang seperti ini
aku ketemukan di medan perang."
"Baiklah Ki Sanak," berkata Iswari. "Kami akan menilai apa
yang akan Ki Sanak katakan. Jika Ki Sanak dapat meyakinkan
kami, maka kami akan percaya bahwa Ki Sanak adalah petugas
Sandi dari Pajang." "Kami memang mendapat tugas untuk mengawasi pasukan
Jipang yang meninggalkan sisi Timur daerah pertempuran di
Pajang. Menurut perhitungan kami, mereka akan pergi ke Tanah
Perdikan ini. Agaknya perhitungan kami tidak terlalu jauh dari
kenyataan. Kami akan memperingatkan para pemimpin Tanah
Perdikan ini, bahwa pasukan Jipang sudah bergerak."
"O," Iswari mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih.
Pengawas kami juga sudah melaporkan apa yang terjadi
sebagaimana Ki Sanak katakan. Tetapi apakah ada keterangan
lain yang melengkapi kami tentang pasukan itu?"
"Tidak banyak. Tetapi satu hal yang perlu kami beritahukan,
bahwa dua orang petugas sandi yang lain telah melaporkan
keberangkatan pasukan Jipang itu kepada sekelompok prajurit
Pajang yang membayangi pasukan Jipang itu, meskipun pasukan
induk dari Pajang berada di tempat yang agak jauh. Tetapi
kelompok itu akan dapat bergerak mendahului pasukan Induk.
Namun demikian, pasukan Pajang berharap bahwa Tanah
Perdikan ini memantapkan pertahanannya sehingga jika terjadi
keterlambatan kedatangan pasukan Pajang keadaan para
pengawal Tanah Perdikan ini tidak terlanjur menjadi parah.
Mungkin para pemimpin Tanah Perdikan ini dapat mengambil
langkah-langkah yang memungkinkannya," berkata petugas sandi
itu. "O," Iswari termangu-mangu. Sementara itu Kiai Badra
berkata, "Langkah-langkah yang bagaimanakah yang sebaiknya
harus kami ambil. Kami sudah memutuskan untuk menahan
pasukan Jipang itu agar mereka jangan memasuki Tanah
22 SH. Mintardja

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perdikan ini. Menurut pertimbangan kami jika mereka sempat
masuk, maka Tanah Perdikan ini akan menjadi sangat parah."
"Kami mengerti," jawab petugas itu. "Tetapi apakah Tanah
Perdikan ini memiliki kekuatan yang cukup untuk menahan arus
pasukan Jipang itu barang sesaat. Jika mereka langsung
membuka pertempuran, maka menjelang dini pertempuran itu
sudah akan mulai. Jika pasukan Tanah Perdikan ini mampu
bertahan sampai fajar, maka pasukan Pajang yang sekelompok
itu akan sampai di medan. Mungkin pasukan yang sekelompok
itu dapat memperingan beban pasukan Tanah Perdikan ini.
Namun kita harus bertempur sampai saatnya matahari
sepenggalah. Jika pasukan induk Pajang itu dapat bergerak cepat
sesuai dengan perhitungan tanpa hambatan apapun juga, maka
saat matahari sepenggalah mereka akan sampai."
"Jadi apakah maksud Ki Sanak, ada pertimbangan untuk
menarik diri dari medan?" bertanya Kiai Badra. "Maksudku
menghindari benturan kekuatan untuk sementara?"
"Jika itu dianggap perlu," jawab petugas sandi.
Tetapi Iswari menyahut, "Kita bertekad untuk menahan
mereka. Para Demang dari Kademangan tetangga siap membantu
kita dan para Bekel di Tanah Perdikan pun telah menyatakan
kesediaannya melakukan apa saja bagi Tanah Perdikannya."
Kedua petugas sandi itu mengangguk-angguk. Katanya, "Jika
demikian, mulailah menyusun pertahanan. Waktunya tinggal
sedikit." "Kerangka gelar telah disusun," jawab Iswari.
"Baiklah," berkata petugas sandi itu. "Jika demikian silakan
mengatur pasukan. Aku pun akan tetap berada disini sampai
pasukan Pajang itu datang."
"Terima kasih Ki Sanak," jawab Kiai Badra. "Kalian akan
dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan yang berarti.
Kami masih belum cukup berpengalaman menghadapi perang
seperti itu." 23 SH. Mintardja Namun bagi Iswari, para Bekel dan para pemimpin
Kademangan tetangga, kedatangan kedua orang petugas sandi
dari Pajang itu justru telah membuat mereka menjadi semakin
mantap. Mereka harus bertahan sampai matahari terbit. Jika
sekelompok prajurit Pajang itu datang, maka yang sekelompok
itu tentu akan mempengaruhi pertempuran. Apalagi jika induk
pasukan Pajang itu benar-benar datang.
Karena semuanya sudah dipersiapkan, maka dengan cepat
gelar pasukan Tanah Perdikan Sembojan dan beberapa
Kademangan tetangganya itu pun telah siap. Sementara itu,
malam pun menjadi semakin tipis.
Di seberang bulak panjang dihadapan garis pertahanan Tanah
Perdikan Sembojan, pasukan Jipang sedang menyusun diri.
Setelah mereka memasuki padukuhan itu, mereka berusaha
untuk mengatur pasukannya sebaik-baiknya. Namun dalam pada
itu padukuhan itu pun ternyata sudah ditutup. Pada saat pasukan
Jipang datang, mereka segera mengepung padukuhan itu dan
tidak membiarkan seorang pun dari penghuninya meninggalkan
padukuhan mereka. "Kami hanya memerlukan banjar padukuhan ini," berkata
Panglima pasukan Jipang itu.
Tidak seorang pun yang dapat menghalangi mereka, ketika
pasukan Jipang itu membawa pedati-pedati mereka memasuki
halaman banjar yang cukup luas.
Sejenak kemudian maka tugas pun telah tersusun. Sesuai
dengan kemampuan dan pengalaman mereka, maka pasukan
Jipang itu telah membagi diri. Sebagian besar dari mereka harus
menuju ke medan. Dari petugas sandi mereka yang telah pernah memasuki
Tanah Perdikan Sembojan mereka mempunyai gambaran,
bagaimana mereka harus menyusun pasukan untuk memasuki
Tanah Perdikan itu. 24 SH. Mintardja "Kita akan bergerak melalui dua jurusan," berkata seorang
perwira. "Kita tidak akan membentur pertahanan pasukan Tanah
Perdikan yang agaknya sudah dipersiapkan."
"Dengan petunjuk pemimpin pengawal yang terdiri dari anak-
anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang ada di lingkungan
kita itu serta Ki Wiradana sendiri, maka pasukan Jipang akan
dapat menyusun garis serangan, yang justru menghindari
kesiagaan garis pertahanan yang pernah diperhitungkan oleh
para petugas sandi Jipang yang pernah memasuki Tanah
Perdikan," berkata perwira yang lain.
Panglima pasukan Jipang itu termangu-mangu. Namun
agaknya ia masih memerlukan pertimbangan Ki Rangga Gupita.
"Cara itu mungkin juga baik," berkata Ki Rangga. "Tetapi
menurut perhitungan kita, pasukan Tanah Perdikan itu tentu
tidak akan terlalu kuat. Jika kita langsung membentur garis
pertahanan mereka, maka agaknya tugas kita akan cepat selesai.
Kita akan dapat menghancurkan kekuatan induk pasukan Tanah
Perdikan Sembojan. Yang tersisa tentu tidak akan berarti lagi."
Panglima itu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku perhatikan
pertimbangan ini. Agaknya kita akan memilih cara yang paling
cepat. Kita akan membatasi arena dan penghancuran mereka
disatu tempat. Berbeda dengan Pajang yang mempunyai
pertahanan yang kuat sehingga kita perlu memecah pasukan dan
memasuki sasaran kita melalui dua atau tiga jalur."
Beberapa orang perwira yang lain ternyata sependapat
dengan Panglima itu, sehingga mereka mengusulkan untuk
menyerang langsung Tanah Perdikan itu dalam gelar.
"Kerja kita akan cepat selesai," berkata seorang di antara
mereka. Seperti yang mereka rencanakan, maka pasukan Jipang tidak
akan menunggu matahari terbit.
Demikianlah, maka akhirnya para perwira itu pun sepakat
untuk menyerang Tanah Perdikan Sembojan langsung beradu
25 SH. Mintardja gelar, karena menurut perhitungan para perwira Jipang kekuatan
mereka jauh lebih besar dari kekuatan Tanah Perdikan Sembojan.
Ketika semua persiapan sudah siap, maka pasukan Jipang
yang besar itu pun mulai bergerak. Hanya sebagian kecil saja
yang mereka tinggalkan untuk menjaga barang-barang yang
mereka bawa serta menyiapkan makan dan minum bagi pasukan
Jipang itu jika setiap saat diperlukan.
Tetapi pada saat yang demikian pertahanan pasukan Tanah
Perdikan Sembojan pun telah siap pula untuk menerima mereka.
Dengan cepat pasukan pengawal Tanah Perdikan Sembojan dan
beberapa Kademangan disekitarnya telah mengisi dan
melengkapi kerangka gelar yang memang sudah dipersiapkan
sebelumnya. Atas petunjuk kedua orang petugas sandi Pajang
dan sesuai pula dengan perhitungan beberapa para pemimpin
Tanah Perdikan, maka pertahanan kedua jangan terlalu jauh dari
gelar di garis pertama. "Jika memang menurut
perhitungan kalian, garis
pertahanan akan dengan sengaja ditarik mundur sambil
menjajagi kekuatan lawan,
maka sebaiknya garis pertahanan kedua segera mampu menopang agar gelar
itu tidak telanjur pecah sebelum sampai ke garis pertahanan kedua," berkata
salah seorang petugas sandi
Pajang itu, "Rencana yang
kalian persiapkan memang baik. Kesediaan digaris pertahanan kedua memang dapat mengejutkan pasukan
lawan yang mereka berhasil mendesak mundur. Tetapi kalian
harus mampu mempergunakan saat itu terjadi, saat pasukan
26 SH. Mintardja digaris pertahanan kedua pasukan gelar. Jika saat itu dapat
kalian pergunakan sebaik-baiknya, agaknya memang akan ada
pengaruhnya." Iswari mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita akan
melakukan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan para pemimpin
kelompok mampu menangkap semua keterangan yang telah kita
berikan kepada mereka sehingga segalanya akan dapat berjalan
dengan rencana." Namun dalam pada itu, kedua petugas sandi dari Pajang itu
pun merasa heran ketika mereka melihat tunggul pertanda
limpahan kuasa dari Pajang yang berada di tangan para
pemimpin Tanah Perdikan Sembojan.
Kiai Badra yang melihat perasaan dihati kedua orang petugas
sandi itu pun menjelaskan dengan pendek, kenapa tunggul itu
berada di Tanah Perdikan.
"Jika demikian, memang seharusnyalah Pajang melibatkan
diri langsung dalam persoalan ini," berkata petugas sandi itu.
"Mudah-mudahan mereka tidak terlambat karena berbagai
hambatan. Menilik jumlah kekuatan Tanah Perdikan, kita akan
dapat bertahan sampai pasukan pertama Pajang itu datang."
Namun ia masih berkata di dalam hatinya, "Tetapi aku belum
tahu tingkat kemampuan pasukan ini meskipun jumlahnya
memadai." Tetapi petugas sandi itu tidak mengatakannya.
Menjelang dini hari, maka dua orang pengawas telah
melaporkan, bahwa pasukan Jipang telah bergerak. Agaknya
pasukan Jipang itu pun telah yakin bahwa mereka akan dengan
cepat menyelesaikan tugas mereka bersama dengan anak-anak
muda Tanah Perdikan itu sendiri.
Beberapa orang yang mendahului pasukan itu pun berhasil
mengamati gerak pertahanan pasukan Tanah Perdikan, sehingga
mereka pun segera melaporkan kepada Panglima pasukan Jipang
itu. 27 SH. Mintardja "Jumlah mereka cukup banyak," berkata prajurit yang
bertugas mengamati keadaan medan itu.
"Mungkin mereka dapat mengerahkan setiap laki-laki yang
kakek-kakek sampai yang masih ingusan. Tetapi kemampuan
mereka tidak berarti apa-apa," sahut Ki Rangga Gupita yang
mendengar laporan itu. Panglima pasukan Jipang itu mengangguk-angguk. Namun
sudah tetap dihatinya untuk bergerak dan menghancurkan
pertahanan Tanah Perdikan itu, siapapun yang berada di pasukan
lawan. Pasukan Jipang itu pun telah mendekati Tanah Perdikan
Sembojan tidak saja melalui jalan bulak. Tetapi sebagian dari
mereka berjalan di sawah di antara tanaman-tanaman yang
sedang tumbuh subur menjelang masa berbunga.
Dengan demikian maka tanaman yang hijau gelap itu pun
telah berpatah terinjak-injak oleh kaki sepasukan prajurit yang
membawa senjata telanjang ditangan.
Prajurit Jipang dan anak-anak Tanah Perdikan yang
tergabung di dalamnya telah memiliki pengalaman yang luas.
Karena itu, maka ketika pasukan itu mendekati daerah
pertahanan pasukan Tanah Perdikan, maka dengan cepat,
mereka pun telah menebar dan membentuk satu gelar yang
mantap. "Kita jangan menganggap bahwa kita sedang berhadapan
dengan pasukan yang lemah. Kita harus tetap merasa bahwa kita
berhadapan dengan pasukan Pajang yang kuat. Kita harus
mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada diri kita. Jika
timbul korban tidak terhitung pada pasukan lawan, maka itu
adalah karena kesalahan mereka sendiri, yang dengan sombong
berani menentang pasukan Jipang yang kuat ini," pesan Panglima
pasukan Jipang itu kepada para pemimpin kelompok sesaat
menjelang pasukan itu bergerak langsung menyerang pertahanan
lawan. 28 SH. Mintardja Demikianlah, menjelang fajar, pasukan Jipang telah bersiap
sepenuhnya dihadapan pasukan Tanah Perdikan Sembojan.
Meskipun langit masih gelap, namun Panglima pasukan Jipang
itu merasa tidak terkait lagi oleh segala macam paugeran perang
yang mengikat pasukan-pasukan di medan perang dalam perang
gelar. Karena itu, maka sejenak kemudian, maka pasukan Jipang itu
telah menjatuhkan perintah agar pasukannya mulai bergerak.
Isyarat pun kemudian telah terdengar. Suara bende yang
melengking tinggi telah memecahkan kesenyapan fajar di bulak
panjang itu. Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan terkejut mendengar
suara bende. Mereka tidak mengira, bahwa pasukan Jipang
mempergunakan tengara yang memang sering dipergunakan di
peperangan yang besar. Namun biasanya bende itu berbunyi
pada saat matahari sudah mulai melemparkan cahaya ke bumi.
Namun pasukan Tanah Perdikan pun telah bersiap
sepenuhnya. Bende itu sekaligus telah memerintahkan kepada
mereka untuk menarik senjata mereka dari sarungnya.
Sementara itu, sebagian dari mereka telah mempersiapkan anak
panah dan busurnya telah bersiaga pula untuk menghambat
gerak maju pasukan Jipang.
Namun dalam pada itu, pasukan Tanah Perdikan itu telah
mempersiapkan jalur untuk mengundurkan diri sambil menjajagi
kemampuan lawan. Jika pada benturan yang pertama, terasa
kekuatan lawan terlalu keras, maka pasukan Tanah Perdikan itu
harus menjadi lentur agar tidak pecah dan terkoyak-koyak.
Pasukan Tanah Perdikan akan ditarik mundur dan harus
memantul pada kekuatan pertahanan di garis pertahanan kedua.
Pada garis pertahanan kedua pasukan Tanah Perdikan Sembojan
tidak boleh mundur lagi apapun yang akan terjadi, karena jika
pasukan itu menarik diri, maka tidak akan ada lagi tempat untuk
bersandar, sehingga pasukan itu tentu akan terusir keluar,
bahkan bercerai berai. Dalam keadaan yang demikian, Tanah
29 SH. Mintardja Perdikan akan diduduki oleh pasukan Jipang dengan segala
akibat yang paling parah untuk waktu yang tidak dapat


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditentukan. Kedua orang prajurit dari pasukan sandi Pajang itu pun
berdebar-debar sambil menunggu pasukan Jipang yang bergerak
dalam kegelapan. Mereka masih belum melihat pasukan lawan
dengan jelas. Namun mereka dapat membayangkan bagaimana
pasukan itu maju dalam gelar.
Sebenarnyalah pasukan Jipang telah menyerang dalam gelar
perang dengan senjata telanjang. Suara bende yang mengiringi
gerak maju mereka telah memberikan getaran didalam setiap
jantung di dalam pasukan itu, bahwa mereka harus berhasil
dalam waktu dekat menghancurkan pertahanan lawan dan
memasuki Tanah Perdikan Sembojan.
Para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan sama sekali tidak
bersiap dengan isyarat seperti itu. Namun Iswari tidak
kekurangan akal. Ia harus memberikan dorongan kepada
pasukannya agar mereka tidak terpengaruh oleh isyarat yang
terlontar dari suara bende yang beruntun tidak henti-hentinya.
Dua orang penghubung diperintahkannya memasuki
padukuhan terdekat dibelakang garis pertempuran. Semua orang
yang ada di padukuhan itu, agar membunyikan kentongan.
Sekaligus memberikan perintah, agar perempuan dan anak-anak
menyingkir ke padukuhan berikutnya, karena menilik keadaan
yang dihadapi oleh pasukan Tanah Perdikan, agaknya pasukan
lawan itu cukup berat dan medan pun akan dapat bergeser-geser.
Jika sekelompok pasukan lawan terlepas dari pertahanan dan
memasuki padukuhan itu, maka perempuan dan anak-anak itu
tidak akan mengalami bencana karenanya.
Dengan cepat kedua orang penghubung itu bergerak. Karena
itu sebelum benturan terjadi, maka telah terdengar suara
kentongan di seluruh padukuhan. Bahkan kemudian telah
menjalar diseluruh Tanah Perdikan Sembojan. Kentongan dalam
nada titir yang sahut menyahut.
30 SH. Mintardja Suara kentongan itu memang dapat memberikan satu
suasana yang lebih bergejolak dihati setiap orang dalam pasukan
Tanah Perdikan Sembojan. Mereka merasa digetarkan oleh
teriakan kampung halamannya lewat suara kentongan itu,
seakan-akan jerit minta perlindungan.
Sementara itu, pasukan Jipang pun telah mulai memasuki
batas pandang pasukan Tanah Perdikan Sembojan di dalam
gelapnya ujung malam. Seperti yang sudah dipersiapkan, maka
mereka yang harus menghambat gerak maju pasukan Jipang
dengan panah pun telah mulai memasang anak panah pada
busurnya. Sejenak kemudian, ketika pasukan Jipang memasuki jarak
jangkau anak panah mereka, maka anak panah itu pun
berloncatan dari busurnya.
Hal itu memang sudah diperhitungkan oleh pasukan Jipang
seperti benturan-benturan gelar yang pernah terjadi jika pasukan
itu menyerang. Karena itu, maka mereka yang mempersiapkan
perisaipun segera mengambil tempat, melindungi kawan-
kawannya yang berada di belakangnya.
Namun yang tidak diperhitungkan oleh pasukan Jipang
adalah bahwa tiba-tiba saja obor-oborpun telah menyala pada
garis pertahanan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Untuk
sesaat para pemimpin pasukan Jipang itu tidak mengerti, apa
yang akan dilakukan oleh orang-orang Tanah Perdikan. Namun
karena hari masih gelap, maka para pemimpin prajurit Jipang itu
menganggap, bahwa orang-orang Tanah Perdikan itu tidak mau
mengalami kesalahan, berbenturan dengan kawan sendiri.
Meskipun pasukan Jipang itu telah mempersiapkan perisai,
namun ternyata bahwa anak-anak panah yang meluncur
bagaikan hujan itu mampu menghambat gerak maju mereka.
Dalam keremangan fajar, anak panah itu tidak dapat mereka lihat
dengan jelas. Karena itu, maka prajurit yang berperisai telah
mengangkat perisai mereka sebagaimana mereka
31 SH. Mintardja mempergunakannya melawan anak-anak panah tanpa
mengetahui dengan pasti arah datangnya.
Dengan demikian, maka pasukan itu pun masih tetap
bergerak maju selangkah demi selangkah yang terayun semakin
cepat untuk memberikan tekanan pada benturan pertama.
Meskipun satu dua orang di antara mereka terluka oleh anak-
anak panah yang menyusup di antara perisai-perisai mereka.
Namun yang kemudian terjadi benar-benar diluar
perhitungan mereka. Ketika jarak kedua pasukan itu menjadi
semakin dekat, maka tiba-tiba saja orang-orang Tanah Perdikan
telah melemparkan obor-obor mereka ke arah pasukan lawan
yang mendekat. Para prajurit Jipang memang terkejut karenanya. Untuk
sejenak mereka melupakan anak panah yang menghujam.
Mereka yang kakinya tersentuh api pun telah berloncatan.
Namun dengan demikian, maka perisai-perisai mereka telah
terbuka, sehingga ujung anak panah pun menyengat mereka.
Para pemimpin kelompok dari pasukan Jipang itu
mengumpat. Dengan lantang seorang di antara mereka berteriak,
"Jangan menjadi bingung."
Tetapi jika api mulai membakar ujung kain panjang maka
seorang prajurit telah melonjak-lonjak kepanasan, sehingga
kawannya harus membantunya memadamkan api itu.
Pada saat yang demikian justru anak panahpun telah
menghambur bagaikan semburan air. Di luar perhitungan, maka
ternyata anak panah itu telah memungut banyak korban yang
luka-luka. Semula memang ada niat untuk memilih sasaran, agar anak
panah itu tidak terlalu mengarah kepada kelompok-kelompok
anak-anak Tanah Perdikan. Namun karena malam masih tersisa,
sehingga orang-orang Tanah Perdikan dan sekitarnya tidak
begitu dapat membedakan sasaran. Ketika obor-obor
dilemparkan, maka jarak kedua pasukan itu sudah menjadi
32 SH. Mintardja semakin dekatnya, sehingga sulit bagi orang-orang Tanah
Perdikan untuk dapat membidik.
Sesaat kemudian, maka benturan kedua pasukan itu
telah terjadi. Orang-orang
Jipang justru telah dibakar oleh
kemarahan yang membuat darah mereka mendidih. Anak
panah orang-orang Tanah Perdikan telah mengambil banyak korban kawan-kawan
mereka sehingga luka-luka dan
memerlukan perawatan, sehingga mereka telah dibawa
kebelakang garis pertempuran.
Tetapi orang-orang Tanah Perdikan serta beberapa Kademangan disekitarnya benar-benar telah bersiap.
Meskipun mereka sadar, bahwa kemampuan mereka kurang
berimbang, namun tekad mereka yang menggelora di dalam
dada, agaknya mampu membuat pertahanan orang-orang Tanah
Perdikan itu menjadi kuat.
Demikianlah kedua pasukan itu pun kemudian telah
berbenturan. Dalam sisi gelapnya dini hari menjelang fajar,
kedua pihak tidak mampu memilih lawan. Mereka harus
berhadapan dengan orang-orang yang kebetulan bertemu dalam
benturan itu. Orang-orang Tanah Perdikan merasa betapa kerasnya
benturan itu. Namun seperti yang dipesankan oleh beberapa
orang pemimpin kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan
itu, bahwa mereka harus memberikan hentakan pada benturan
yang pertama. Itulah sebabnya maka terdengar dibeberapa
bagian medan yang masih remang-remang itu teriakan-teriakan
nyaring. Bahkan sorak yang gemuruh.
33 SH. Mintardja Sejenak kemudian, maka terjadilah pertempuran yang seru di
antara kedua pasukan itu. Meskipun anak-anak muda Tanah
Perdikan Sembojan masih belum banyak berpengalaman, namun
tekad yang menyala di dalam setiap dada telah mempengaruhi
tenaga dan kemampuan anak-anak muda itu.
Sebagaimana pesan yang pernah diberikan oleh para
pemimpin Tanah Perdikan Sembojan, mereka pun harus
memakai akal untuk menahan desakan lawan. Karena mereka
menyadari, sebagian di antara pasukan lawan itu adalah anak-
anak muda Tanah Perdikan sendiri, maka dibeberapa bagian dari
arena itu telah terdengar teriakan-teriakan yang dengan sengaja
mempengaruhi anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang
berada di pihak pasukan Jipang.
Seorang pemimpin kelompok dari para pengawal Tanah
Perdikan itu telah berteriak di antara suara dentang senjata
beradu, "He anak-anak Tanah Perdikan ini. Apapun yang terjadi,
kita akan mempertahankan kampung halaman kita. Tempat kita
dilahirkan dan dibesarkan."
Sementara itu orang lain pun telah menyahut, "Kita berjuang
untuk kehormatan Tanah Kelahiran."
Dalam pada itu, seorang perwira Jipang yang marah
berteriak, "Pengkhianat. Kau kira kau mampu mengelabuhi
kebenaran pandangan kami atas tingkah laku kalian" Setiap
pengkhianat harus dihukum dengan hukuman yang paling berat."
Namun yang terdengar adalah teriakan yang lain, "Kita
berjuang untuk tanah ini. Untuk kelangsungan hidup anak-anak
kami. Kita pertahankan setiap jengkal tanah warisan nenek kakek
kita." Yang lain lagi berteriak nyaring, "Sedumuk bathuk, senyari
bumi, taruhannya mati."
Teriak-teriakan yang bersahut-sahutan itu telah memacu
setiap orang di dalam pertempuran itu untuk lebih memeras
kemampuan mereka, meskipun mereka masing-masing
34 SH. Mintardja menyadari, bahwa tenaga mereka tidak boleh terkuras habis pada
benturan pertama itu. Dalam pertempuran yang semakin panas itu, pergolakan yang
keras bukan saja terjadi di arena. Tetapi di sebagian isi dada
anak-anak Tanah Perdikan yang berada di lingkungan pasukan
Jipang. Bagaimanapun juga, ketika mereka berada diambang Tanah
Perdikan yang sudah beberapa lama mereka tinggalkan, serta
menghadapi perlawanan dari sanak kadang, kawan bermain dan
barangkali keluarga sendiri, maka mereka pun merasa berada di
ujung jalan simpang. Lebih-lebih lagi mereka yang sejak semula telah menjadi
ragu-ragu. Mereka yang telah disentuh oleh berbagai perasaan
yang menggelitik hati. Bahkan ada di antara mereka yang
sebenarnya telah mengambil sikap pasti, namun belum
menemukan jalan yang pantas untuk dilewatinya.
Pergolakan yang terjadi di dalam dada anak-anak muda
Tanah Perdikan yang sudah berbenih sejak benturan-benturan
terakhir di Pajang sebelah Timur itu, menjadi tumbuh dan mekar,
sehingga terasa mempengaruhi sikap dan tata gerak mereka.
Namun bagaimanapun juga pertempuran itu merupakan
pertempuran yang dahsyat. Benturan antara dua pasukan yang
memiliki dorongan yang kuat untuk menghancurkan lawan.
Tetapi ternyata bahwa sejumlah anak-anak muda Tanah
Perdikan Sembojan yang ada di antara pasukan Jipang tidak
mampu untuk bertempur sepenuh hati karena pergolakan yang
terjadi di dalam diri mereka. Dalam pada itu, untuk mencegah
kemungkinan yang sangat parah, maka Tanah Perdikan
Sembojan telah menebarkan orang-orang yang memiliki
kemampuan yang tinggi. Mereka sudah memperhitungkan,
bahwa di dalam kegelapan, sulit bagi mereka untuk mencari
lawan, sehingga karena itu, mereka harus menerima lawan yang
datang kepada mereka. 35 SH. Mintardja Jika para pemimpin dan orang-orang yang berilmu tinggi
ditebarkan, maka agaknya akan sangat membantu bagi para
pengawal jika secara kebetulan mereka bertemu dengan orang-
orang pilihan di lingkungan lawan.
Karena itulah, maka di induk pasukan, pada paruh gelar dari
para pengawal Tanah Perdikan terdapat Iswari yang didampingi
oleh Nyai Soka sendiri. Sementara itu, sebagai Senapati pengapit
yang terdapat pada sebelah kiri dan kanan terdiri dari Kiai Soka
dan Kiai Badra, sedangkan yang berada di antara induk gelar dan
sayap sebelah menyebelah terdapat Gandar dan perempuan yang
pernah disebut Serigala Betina yang telah dengan tekun
menempa diri untuk menyadap ilmu dari Nyai Soka untuk
melengkapi ilmu yang serba sedikit telah ada padanya.
Sedangkan di ujung-ujung sayap terdapat Sambi Wulung dan Jati
Wulung. Di antara mereka terdapat para Bekel yang memang bertekad
untuk ikut berjuang mempertahankan Tanah Perdikan itu.
Namun Iswari telah berpesan, hanya mereka yang memiliki
kemampuan sajalah yang dibenarkan untuk berada langsung di
garis pertempuran, sementara yang lain diminta untuk berada di
garis pertahanan kedua. Para pengawal yang mempunyai kelebihan dari kawan-
kawannya telah bersiap-siap untuk bertempur bersama para
Bekel yang pada umumnya sudah berumur menjelang setengah
abad. Namun justru karena itu, pada umumnya mereka telah
memiliki pengalaman yang luas di dalam tugas mereka sejak pada
masa pemerintahan yang tertib dari Ki Gede Sembojan.
Karena Ki Gede Sembojan adalah seorang yang memiliki ilmu
yang sangat tinggi, maka para Bekel pun pada umumnya
berusaha juga untuk memiliki ilmu sejauh dapat mereka jangkau.
Di samping para pemimpin dari Tanah Perdikan Sembojan
sendiri, maka beberapa orang murid Kiai Soka, Nyai Soka dan
Kiai Badra di padepokan masing-masing, telah berada pula di
medan. Meskipun jumlah mereka tidak banyak, tetapi mereka
36 SH. Mintardja memiliki kemampuan lebih baik dari para pengawal yang dengan
tergesa-gesa melatih diri. Sementara para murid di padepokan itu
pada umumnya telah berguru dalam bilangan tahun.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Didalam gelar pasukan lawan, Panglima pasukan Jipang pun
telah menebar Senapati. Tetapi para pemimpin anak-anak Tanah
Perdikan Sembojan yang ada di antara mereka, agaknya tetap
berada di satu kelompok. Mereka mempercayakan kekuatan
sayap pasukan kepada para Senapati Jipang dan para pemimpin
kelompok dari para pengawal Tanah Perdikan yang pernah
ditempa oleh para perwira dari Jipang.
Warsi yang lebih banyak memerintah anak-anak muda Tanah
Perdikan meskipun melalui mulut Ki Wiradana ternyata tidak
berada di induk pasukan, karena di induk pasukan terdapat
Panglima pasukan Jipang. Warsi dan Ki Rangga Gupita telah
berada di sisi sebelah kiri dalam kedudukan sebagai Senapati
pengapit di samping Senapati yang sebenarnya dari Jipang.
Namun karena kekuatan anak-anak muda Tanah Perdikan
sebagian besar terletak disebelah menyebelah pasukan induk
pada gelar, maka Warsi pun berada di antara mereka. Tetapi Ki
Randukeling telah membawa Ki Wiradana justru berada disisi
sebelah kanan. Dalam benturan yang terjadi, maka ternyata orang-orang
berilmu tinggi itu benar-benar telah bertempur dan tidak hanya
sekadar bermain-main. Mereka menyadari taruhan yang harus
diberikan jika pasukan mereka dikalahkan. Meskipun orang-
orang berilmu puncak, baik Kiai Soka, Kiai Badra dan juga Ki
Randukeling tidak berniat untuk membunuh lawan sebagaimana
menebas ilalang dengan parang setajam pisau cukur, namun
mereka benar-benar berniat melumpuhkan lawan sebanyak-
banyaknya. Adalah diluar perhitungan, bahwa Ki Randukeling yang
menghentakkan kekuatannya dengan melemparkan lawan-
lawannya yang tidak berdaya, telah bertemu dengan seorang yang
memiliki kemampuan serupa. Didalam keremangan dini hari
37 SH. Mintardja mendekati, fajar, tba-tiba saja Ki Randukeling telah bertemu
dengan seorang tua yang telah dikenalaya dengan baik. Kiai Soka.
Ki Randukeling menarik nafas dalam-dalam, Ketika Kiai Soka
menyibak anak-anak Tanah Perdikan yang telah disapu oleh
kemampuan yang luar biasa dari Ki Randukeling.
"Kita bertemu lagi Kiai" desis Ki Randukeling.
Kiai Soka mengangguk kecil. Katanya, "Bagaimana mungkin,
kita tanpa berjanji telah bertemu lagi disini."
"Bukan satu keajaiban" sahut Ki Randukeling, "baiklah Kiai.
Agaknya pertemuan kita kali ini bukan waktunya lagi untuk
bergurau." "Aku mengerti Ki Randukeling" jawab Kiai Soka, "benturan
kekuatan kali ini sangat menentukan. Itulah sebabnya aku pun
berpikir, bahwa kita pun harus bersungguh-sungguh. Apapun
yang terjadi. Kita memang sudah tua. Mungkin aku. mungkin kau
yang akan lebih dahulu kembali. Tetapi mungkin juga kita
bersama-sama." Ki Randukeling menarik nafas dalamdalam. Katanya,
Baiklah, kita agaknya telah tersudut dalam pertempuran ini bagi
kepentingan cucu kita masing-masing. Tetapi lebih daripada itu,
aku memang sependapat bahwa Tanah ini sebaiknya diserahkan
kepada para prajurit Jipang. Mereka harus menyusun diri dan
pada saatnya kembali bersiap menghadapi Pajang."
"Aku heran, bahwa orang seperti Ki Randukeling masih juga
sempat bermimpi seperti itu." jawab Kiai Soka "Ki Randukeling,
bukankah kita mempunyai pandangan yang cukup luas dari jarak
yang cukup panjang, karena kita sendiri sudah berdiri, di luar
nafsu dan ketamakan itu. Jika dalam keadaan seperti kemarin
Jipang tidak dapat mengalahkan Pajang, maka tentu kita
mengetahui, apakah mungkin pada masa yang akan datang
Jipang mampu bangkit dan mengalahkan Pajang. Lebih-lebih
dari tempat ini" 38 SH. Mintardja Ki Randukeling mengangguk-angguk. Namun ia menjawab,
"Kiai, siapakah diantara kita yang kurang bening melihat
keadaan" Kau kira setelah Pajang berdiri dan Adipati Hadiwijaya
itu dinobatkan, keadaan akan menjadi tenteram, tenang dan
damai" Aku tidak yakin. Beberapa Adipati yang semula bernaung
dibawah kekuasaan Demak, terutama di sisi Timur, dan daerah
Pesisir, tentu masih akan memperhitungkan keadaan sebaik-
baiknya. Apakah mereka akan tunduk kepada Mas Karebet atau
tidak" Kau pun tentu dapat membayangkan, apakah Kangjeng
Ratu Kalinyamat itu akan sekedar menerima nasibnya begitu saja
meskipun keinginannya membalas dendam kematian suaminya
telah berhasil dilakukan oleh Karebet."
Kangjeng Ratu Kalinyamat tidak akan berbuat apa-apa" jawab
Kiai Soka. "Sejak semula ia tidak mempunyai keinginan yang
aneh-aneh selain gejolak kemarahan karena Kangjeng Sunan
Prawoto telah terbunuh. Apalagi kemudian suaminya pula,
sehingga karena itu, maka kematian Arya Penangsang telah
mampu memadamkan api yang menyala di dadanya."
"Kita bertolak dari sudut pandangan yang berbeda" berkata Ki
Randukeling, "Ya. Sejak semula sudah aku sadari. Karena itu, mungkin
pembicaraan kita tidak akan bertemu," jawab Kiai Soka. "Nah,
sekarang kita harus menyelesaikan persoalan diluar
pembicaraan." Ki Randukeling mengangguk. Namun ia pun masih berpaling
ke arah Ki Wiradana yang tiba-tiba saja sudah berhadapan
dengan seorang Bekel yang dibantu oleh dua orang pengawal
Tanah Perdikan. "Aku kasihan kepadanya," berkata Ki
Randukeling. "Istrinya, cucuku sendiri, ternyata telah
menghancurkan hidup dan masa depannya. Tetapi itu adalah
akibat kesalahannya sendiri. Apalagi setelah hadir seorang
petugas sandi Jipang yang bernama Ki Rangga Gupita itu."
"Tetapi kau tetap saja pada langkah-langkahmu yang sesat,"
berkata Kiai Soka. 39 SH. Mintardja "Jangan menyebut dengan kata-kata yang menyakitkan itu,"
berkata Ki Randukeling. "Sudah aku katakan, aku
memandanginya dari sudut yang berbeda daripada yang kau
lakukan." Kiai Soka mengangguk-angguk. Namun Ki Randukeling lah
yang kemudian berkata, "Baiklah. Kita akan bertempur. Kali ini
kita memang akan bersungguh-sungguh."
Kiai Soka tidak menjawab. Tetapi apapun segera
mempersiapkan diri. Ia sadar bahwa yang dihadapinya adalah
seorang tua yang memiliki ilmu yang sangat tinggi."
Sejenak kemudian keduanya telah mulai terlibat dalam
pertempuran. Perlahan-lahan ilmu keduanya menjadi semakin
meningkat, sehingga keduanya pun telah membuat satu lingkaran
yang ternyata harus dijauhi oleh orang-orang lain di dalam
pasukan masing-masing, karena ilmu yang kemudian terlontar
dari keduanya merupakan ilmu yang sulit untuk dimengerti.
Sementara itu, Ki Wiradana masih juga bertempur
menghadapi salah seorang Bekel yang pernah diperintahnya
bersama dua orang pengawal Tanah Perdikan Sembojan.
Meskipun Ki Wiradana itu mempunyai bekal ilmu, tetapi gejolak
di dalam dadanya menghadapi kenyataan itu telah membuat
terkekang oleh perasaannya sendiri. Ia tidak dapat mengerahkan
segenap kemampuannya untuk membunuh lawan-lawannya,
karena bagaimanapun juga, pengakuan dari langkah-langkahnya
yang sesat serta penyesalan yang dalam selalu membayanginya.
Namun lawannya pun bukan orang yang tidak berperasaan.
Ki Bekel yang pernah menjadi bawahan Ki Wiradana itu pun
agaknya ragu-ragu untuk menghentakkan kemampuannya
bersama kedua orang pengawalnya. Sehingga dengan demikian,
maka pertempuran itu pun bukan merupakan pertempuran yang
seru dan puncak kemampuan masing-masing.
Tetapi di bagian lain, orang-orang Jipang benar-benar
menjadi keras dan kasar. Mereka telah mendapatkan perintah
40 SH. Mintardja untuk membunuh sebanyak-banyaknya tanpa dikekang oleh
perasaan atau pertimbangan-pertimbangan lain.
Namun para pengawal Tanah Perdikan Sembojan pun telah
berbekal tekad yang membara di dalam hati. Dalam jumlah yang
cukup banyak mereka bertempur tanpa mengenal takut. Berbekal
latihan-latihan yang bersungguh-sungguh, meskipun waktunya
tidak cukup panjang, serta tekad yang menyala, maka mereka
menjadi lawan yang tangguh bagi pasukan Jipang.
Di bagian lain, ternyata para prajurit Jipang telah dikejutkan
oleh kehadiran seorang perempuan yang bertubuh agak gemuk
dan kokoh. Perempuan yang pernah disebut dengan Serigala
Betina. Ternyata setelah menempa diri dibawah bimbingan Nyai
Soka, maka ia benar-benar telah memiliki ilmu yang tinggi
meskipun belum setataran dengan Iswari yang telah tuntas ing
kawruh kanuragan. Namun ternyata bahwa perempuan yang agak gemuk itu telah
mengacaukan garis pertempuran para prajurit Jipang.
Kehadiran Serigala Betina itu telah mempengaruhi garis
perang yang cukup panjang. Beberapa orang prajurit Jipang
harus memperhatikan kehadirannya yang mencemaskan itu,
karena setiap ayunan senjatanya akan dapat berakibat maut bagi
lawan-lawannya. Dalam pada itu, disisi lain dari gelar yang lebar itu, Warsi dan
Ki Rangga Gupita telah mematahkan setiap perlawanan anak-
anak muda Tanah Perdikan Sembojan. Namun mereka tidak
dapat dengan leluasa melakukan pembunuhan, karena kehadiran
Kiai Badra yang menjadi Senapati pengapit.
Dengan sareh Kiai Badra berkata, "Luar biasa. Kalian
mengamuk sebagai harimau kelaparan. Harimau yang
berpasangan seperti ini agaknya memang sangat berbahaya."
"Setan kau," bentak Ki Rangga Gupita. "Agaknya kau yang
lebih dahulu harus dibunuh."
41 SH. Mintardja Kiai Badra tertawa. Katanya, "Jangan bersikap terlalu keras
dan kasar terhadap orang tua."
"Apa peduliku," jawab Warsi yang garang. "Kita berada di
peperangan. Coba tunjukkan kepadaku, dimana perempuan yang
disebut pemimpin Tanah Perdikan Sembojan itu."
"Jangan mencari yang tidak kau jumpai. Pasukan Jipang itu
sudah melanggar paugeran. Sebelum matahari terbit, gelar
perang yang utuh ini telah menyerang. Karena itu, kita tidak
perlu memilih lawan. Siapapun yang kita jumpai dalam gelapnya
dini hari, itu adalah lawan kita. Ketika kemudian langit menjadi
terang, maka kita pun baru tahu dengan jelas, siapakah yang
berhadapan dengan kita dalam susunan gelar yang bagaimana,"
jawab Kiai Badra. Warsi tidak menjawab lagi. Ia pun dengan serta merta telah
menyerang Kiai Badra dengan garangnya disusul oleh Ki Rangga
Gupita yang berbekal ilmu yang tinggi pula.
Namun Kiai Badra adalah orang tua yang memiliki
kemampuan dan pengalaman yang sangat luas. Itulah sebabnya,
bahwa meskipun ia harus berhadapan dengan dua orang yang
berilmu tinggi, namun Kiai Badra masih mampu melindungi
dirinya. Di bagian yang lebih jauh dari induk pasukan, Gandar yang
garang itu pun telah bertempur tanpa kendali sebagaimana
dilakukan oleh orang-orang Jipang. Semakin garang orang-orang
Jipang menyerangnya, maka semakin banyak pula korban yang
jatuh. Namun akhirnya Gandar pun berada seakan-akan dalam
kepungan, karena beberapa orang perwira Jipang dan pemimpin
kelompok Tanah Perdikan Sembojan sendiri telah menempatkan
diri untuk melawannya. Demikian pula terjadi di ujung-ujung sayap gelar. Sambi
Wulung dan Jati Wulung ternyata harus berhadapan dengan
kelompok-kelompok yang kuat. Ayah Warsi yang juga berada
diujung sayap sebagaimana orang yang pernah diakunya sebagai
42 SH. Mintardja ayahnya diujung yang lain namun mereka tidak mampu
mengimbangi lawannya yang kuat seorang diri.
Ayah Warsi yang pernah menyebut dirinya sebagai seorang
saudagar itu ternyata tidak mampu melawan Sambi Wulung yang
berilmu tinggi melampaui tataran kemampuannya. Itulah
sebabnya, maka beberapa prajurit Jipang harus membantunya
dan bersama-sama melawan pimpinan pasukan Tanah Perdikan
yang berada di ujung sayap itu.
Lebih-lebih lagi orang yang pernah menjadi ayah Warsi,
pengendang pada saat Warsi menjadi penari yang menyusup ke
Tanah Perdikan Sembojan. Ia sama sekali tidak banyak berarti
dihadapan Jati Wulung, sehingga seperti di sayap yang lain, maka
Jati Wulung pun harus melawan beberapa orang prajurit Jipang.
Namun para pengawal Tanah Perdikan Sembojan pun
tanggap akan keadaan. Mereka tidak membiarkan Jati Wulung
terkepung. Para pengawal itu pun telah berusaha untuk
membantu memecahkan kepungan itu bersama-sama dengan
kemampuan yang tinggi dari Jati Wulung sendiri.
Meskipun demikian, beberapa kekuatan yang lebih tinggi dari
kemampuan para perwira Jipang tidak berhasil mencegah
kekuatan pasukan Jipang dalam keseluruhan mendesak pasukan
Tanah Perdikan Sembojan. Sebagaimana sudah diperhitungkan,
maka dalam benturan yang keras, pasukan Tanah Perdikan
Sembojan harus lentur. Pasukan Tanah Perdikan itu memang
disiapkan untuk menarik diri sampai garis pertahanan kedua
yang akan menumpu kekuatan pasukan Tanah Perdikan
Sembojan memantul kembali mendesak pasukan lawan dengan
kekuatan baru. Pada saat yang diperhitungkan, pasukan di garis
pertahanan ke dua itu akan memasuki medan sehingga membuat
satu hentakan yang diharapkan akan berpengaruh atas pasukan
lawan. Karena itu, maka para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan
yang seharusnya tidak merasa terdesak oleh lawan harus
menyesuaikan diri dengan gerak mundur pasukan Tanah
43 SH. Mintardja Perdikan dalam keseluruhan. Gelar pasukan Tanah Perdikan itu
tidak boleh koyak, sehingga lawan akan dapat menyusup
kedalamnya. Demikianlah, pada saat langit menjadi terang, pasukan Tanah
Perdikan Sembojan mulai bergerak mundur. Namun dengan
perhitungan dan latihan-latihan yang matang sebelum peristiwa
sebenarnya itu terjadi, maka gelar pasukan Tanah Perdikan itu


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang tidak dapat dikoyak oleh lawan, meskipun kekuatan
pasukan Jipang itu memang cukup besar dan mampu
mengguncang pertahanan Tanah Perdikan.
Tetapi para pemimpin dan bahkan para pengawal Tanah
Perdikan sudah menyadarinya sejak semula. Meskipun anak-
anak muda Tanah Perdikan ditambah dengan anak-anak muda
beberapa Kademangan di sekitarnya mencapai jumlah yang
memadai, namun kemampuan secara pribadi antara setiap orang
didalam kedua pasukan itu tidak setataran.
Namun beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan Sembojan
yang memiliki ilmu yang tinggi itu ternyata ikut menentukan
ketahanan perlawanan pasukan Tanah Perdikan Sembojan,
karena kemampuan mereka harus dinilai sebagaimana
sekelompok prajurit Jipang itu sendiri.
Gerak mundur pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu
agaknya telah membesarkan hati para prajurit Jipang. Mereka
menyangka, bahwa perlawanan pasukan Tanah Perdikan
Sembojan itu sudah akan sampai pada akhirnya. Karena itu,
maka mereka pun telah mendesak pasukan yang mundur itu
dengan segenap kemampuan yang ada. Para Senapati mereka
telah meneriakkan aba-aba yang keras untuk semakin menekan
pasukan Tanah Perdikan. Tetapi para pengawal Tanah Perdikan Sembojan dan anak-
anak muda dari beberapa Kademangan di sekitarnya, sama sekali
tidak merasa terdesak. Mereka memang dengan sengaja bergerak
mundur untuk mencapai sandaran yang lebih kuat. Semakin
cepat gerak mundur itu, terasa semakin baik bagi mereka.
44 SH. Mintardja Sebenarnyalah, sejenak kemudian maka mereka telah
mendekati batas pertahanan kedua dari pasukan Tanah Perdikan
Sembojan. Demikian orang-orang Jipang itu meneriakkan
kemenangan mereka, tiba-tiba saja terdengar sorak yang
menggelegar dibalik pasukan Tanah Perdikan. Tiba-tiba dari
balik pematang dan rimbunnya batang jagung di sawah,
berloncatan anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan dan
Kademangan di sekitarnya. Dengan senjata di tangan, serta
teriakan-teriakan nyaring mereka telah memasuki gelar pasukan
Tanah Perdikan Sembojan. Kehadiran mereka memang mengejutkan. Saat itulah yang
harus dipergunakan sebaik-baiknya. Ketika orang-orang Jipang
masih termangu-mangu, maka ujung-ujung senjata pun semakin
mendesak mereka. Bahkan ujung-ujung senjata itu telah tergores
di kulit daging mereka yang tidak sempat menanggapi keadaan
dengan cepat. Pertempuran pun menjadi semakin dahsyat. Kehadiran
kekuatan baru itu benar-benar telah menahan arus kekuatan
pasukan Jipang. Namun prajurit Jipang yang berpengalaman itu pun segera
menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru. Para Senapati pun
telah meneriakkan aba-aba.
Demikian juga para pemimpin berpengalaman itu pun segera
menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru. Para Senapati pun
telah meneriakkan aba-aba.
Demikian juga para pemimpin kelompok anak-anak muda
Tanah Perdikan yang berada di lingkungan pasukan Jipang itu.
Para pemimpin kelompok yang setia kepada Ki Wiradana tanpa
mengetahui kegoncangan hati Ki Wiradana sendiri. Bagi mereka,
orang-orang Tanah Perdikan Sembojan yang berani menentang
Ki Wiradana adalah pengkhianat yang harus dihancurkan
sebagaimana dikatakan oleh para pemimpin Jipang. Bahkan
Panglima pasukan Jipang itu pernah juga langsung
45 SH. Mintardja memerintahkan membunuh semua pengkhianat, siapapun
mereka. Bahkan saudara sendiri.
Karena itu, maka pertempuran itu pun menjadi semakin seru.
Namun kelebihan setiap pribadi di dalam pasukan Jipang
termasuk anak-anak Sembojan sendiri, memang mempunyai
pengaruh yang besar terhadap pertempuran itu.
Untuk beberapa saat pertempuran itu berlangsung seru. Di
beberapa tempat tertentu, pasukan Jipang telah dicemaskan oleh
beberapa orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Di
antara beberapa pemimpin pasukan Tanah Perdikan Sembojan
menunjukkan bahwa mereka tidak akan dapat dihancurkan
meskipun diusahakan untuk melawannya dalam kelompok-
kelompok khusus, karena para pengawal Tanah Perdikan
Sembojan sendiri tidak membiarkannya. Bahkan kerja sama di
antara anak-anak muda Tanah Perdikan itu dengan para
pemimpinnya yang berilmu tinggi, mampu menghambat gerak
maju pasukan Jipang. Namun ternyata bahwa pasukan Tanah Perdikan itu harus
mengakui kelebihan pasukan Jipang.
Di induk pasukan, Iswari telah bertempur dengan segenap
kemampuannya. Tetapi karena di induk pasukan lawan, kekuatan
utama pasukan dipusatkan, maka Iswari justru lebih banyak
berusaha untuk melindungi anak-anak muda Tanah Perdikan
Sembojan meskipun kelebihannya kadang-kadang memang
menggetarkan jantung para prajurit Jipang.
Sedangkan disamping Iswari, Nyai Soka pun telah berbuat
serupa. Ia pun lebih banyak berusaha untuk menyelamatkan
anak-anak muda Tanah Perdikan dari kegarangan para prajurit
Jipang. Sementara itu Panglima pasukan Jipang itu pun telah
bertempur tanpa kekang sama sekali. Ia tidak peduli, siapakah
yang dihadapinya. Senjatanya berputaran, terayun dan mematuk.
Setiap kali terdengar seorang mengeluh karena ujung senjata
Panglima pasukan Jipang itu menyentuh sasaran.
46 SH. Mintardja Namun akhirnya, Panglima pasukan Jipang itu membentur
perlawanan yang mengejutkan. Ketika Iswari kemudian
menghadapinya, maka seolah-olah ia tidak mempunyai
kesempatan sama sekali. Seorang pengawal Tanah Perdikan yang terpercaya, diapit
oleh dua orang terbaik telah mendapat kepercayaan Iswari untuk
memegang tunggul yang diterimanya dari Pajang. Tetapi sesuai
dengan pendapat Nyai Soka, bahwa tunggul itu harus dibawa di
belakang garis perang, justru karena pasukan Jipang yang sangat
kuat. Panglima pasukan Jipang yang bertemu dengan Iswari di
medan pertempuran itu pun menggeram. Ketika Iswari telah
berada dihadapannya, barulah Panglima itu jelas, bahwa orang
yang menghadapinya itu adalah seorang perempuan.
"Kenapa kau?" bertanya Panglima itu. "Apakah tidak ada
Senapati laki-laki di antara pasukanmu?"
"Sudahlah," berkata Iswari. "Kita sudah berhadapan disini.
Marilah kita uji, siapakah yang paling baik di antara kita. Aku
kecewa melihat sikapmu terhadap anak-anak ingusan, kau telah
membabatnya seperti membabat batang ilalang."
"Bukankah kita berada di medan perang?" bertanya Panglima
itu. "Perlakukan aku seperti itu. Bukankah kita berada di medan?"
sahut Iswari. "Baiklah. Aku akan bersikap serupa," jawab Panglima itu.
"Agaknya aku tahu siapakah yang aku hadapi. Bukankah kau
yang disebut-sebut bernama Iswari yang mengaku memimpin
Tanah Perdikan Sembojan ini?"
"Aku bukan sekadar mengaku. Aku memang pemimpin Tanah
Perdikan ini. Di belakang ada tunggul pertanda limpahan
kekuasaan dari Pajang. Sementara itu aku juga memegang
pertanda kuasa Kepala Tanah Perdikan ini."
47 SH. Mintardja "Kau tentu telah mencurinya," berkata Panglima itu. "Yang
berkuasa di atas Tanah Perdikan ini adalah Ki Wiradana."
"Ia tidak ada di atas Tanah Perdikan ini," jawab Iswari.
"Ia telah diusir oleh pengkhianat kalian. Dan kini kembali
untuk memperoleh haknya," jawab Panglima itu.
"Tidak ada tempat lagi baginya di Tanah Perdikan ini," sahut
Iswari kemudian. Panglima itu tidak menjawab lagi. Ia memang berniat
menghancurkan saja Iswari yang sombong itu. Sebagai seorang
Panglima pasukan Jipang, maka Panglima itu tentu memiliki
ilmu yang mumpuni. Karena itu, maka sejenak kemudian, ia pun telah menyerang
Iswari dengan senjatanya. Sebuah pedang yang panjang dan
besar, sesuai dengan ujud tubuhnya yang tinggi dan kekar.
Namun ternyata Iswari memiliki kemampuan yang sangat
tinggi. Untuk menghadapi pedang yang besar dan berat serta
panjang itu Iswari memilih senjata sebatang tombak pendek.
Sejenak kemudian terjadi pertempuran yang sangat seru di
antara kedua orang pemimpin itu. Panglima itu memang seorang
yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Dilandasi dengan
ilmunya, maka ia adalah seorang yang sangat berbahaya.
Namun Iswari memiliki bekal ilmu linuwih. Karena itu, maka
meskipun ia seorang perempuan dengan tubuh sedang, namun
dengan melepaskan tenaga cadangannya, maka kekuatan Iswari
tidak kalah dari kekuatan lawannya.
Karena itu, ketika terjadi benturan senjata, lawannya benar-
benar menjadi heran. Apalagi ketika mereka menjadi lama
bertempur. Beberapa hal yang dilakukan Iswari ternyata tidak
mampu diurai dengan nalarnya. Sehingga karena itu, maka
Panglima itu pun hampir saja kebingungan.
48 SH. Mintardja Namun ketika ia selalu terdesak surut, maka ia pun telah
memberikan isyarat kepada dua orang pengawal khususnya
untuk ikut menyelesaikan perempuan yang bernama Iswari itu.
Meskipun demikian, namun di bagian-bagian lain, pasukan
Tanah Perdikan benar-benar telah terdesak. Betapapun mereka
bertahan, namun prajurit Jipang dan anak-anak muda Tanah
Perdikan yang setia kepada Ki Wiradana pun telah mendesak
mereka tanpa belas kasihan sebagaimana para prajurit di medan
perang. Beruntunglah bagi pasukan Tanah Perdikan, bahwa sebagian
dari anak-anak muda Tanah Perdikan itu masih saja menjadi
ragu-ragu. Seorang di antara mereka yang pernah berada di
lingkungan pasukan Pajang dan atas kehendaknya sendiri
kembali ke tengah-tengah pasukan Jipang, ternyata tidak tahan
lagi melihat kawan-kawannya yang mempertahankan tanah
kelahirannya mengalami kesulitan. Beberapa orang kawan-
kawannya telah tertusuk senjata di dada. Bahkan yang lain telah
terbunuh dengan lambung terkoyak.
Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak, "He, anak-anak
Tanah Perdikan Sembojan. Apakah kalian masih saja menjadi
gila dan tidak tahu diri bertempur melawan keluarga sendiri"
Sejak berangkat dari Tanah Perdikan ini aku sudah ragu, untuk
apakah sebenarnya kami mempertaruhkan nyawa?"
Kata-katanya tidak tuntas. Tiba-tiba seorang menyerangnya.
Namun ia mampu mengelak. Bahkan tiba-tiba saja ia telah
meloncat menyusup di antara pertempuran dan sedikit
menimbulkan kebingungan. Ternyata anak muda itu hilang ditelan pasukan Tanah
Perdikan Sembojan. Untunglah bahwa ia cepat meyakinkan anak-
anak muda Tanah Perdikan, bahwa ia telah berpihak kepada
mereka. "Jangan salah mengerti," berkata anak muda itu. "Jika kalian
dapat menunjukkan dimana Gandar, maka ia tahu pasti, bahwa
aku benar-benar ingin berada di antara kalian."
49 SH. Mintardja Dua orang pengawal telah membawanya kepada Gandar.
Dengan senang sekali Gandar menerimanya untuk bertempur
bersamanya. Bukan hanya anak muda itu. Ketika anak muda itu sekali lagi
meneriakkan keyakinannya, maka beberapa orang anak muda
yang lain pun pendiriannya mulai mantap. Keragu-raguan yang
sudah lama disimpannya tiba-tiba saja meledak tidak
tertahankan lagi. Karena itulah, maka kemudian berturut-turut beberapa orang
anak muda telah berlari menyusup garis benturan dan
menyatakan diri berpihak kepada pasukan Tanah Perdikan.
Sikap itu ternyata menjalar. Namun para prajurit Jipang pun
akhirnya menyadari apa yang terjadi. Demikian pula para
pengawal yang setia kepada Ki Wiradana. Karena itu, jika
seseorang nampak meragukan, tanpa peringatan lagi ujung
pedang telah menikamnya. Mungkin oleh prajurit Jipang tetapi
mungkin oleh kawannya sendiri yang juga berasal dari Tanah
Perdikan Sembojan. Tetapi ternyata bahwa sikap para prajurit Jipang dan
sebagian anak-anak muda yang setia kepada Ki Wiradana itu
tidak menakut-nakuti mereka. Ketika sekelompok kecil pengawal
yang berada di lingkungan prajurit Jipang itu menentukan sikap
meskipun sebelumnya tidak pernah dibicarakannya, maka justru
telah terjadi pertempuran diantara anak-anak Tanah Perdikan
sendiri yang berada di lingkungan prajurit Jipang.
Namun prajurit-prajurit Jipang tidak sempat membantu
menghancurkan anak-anak muda yang dianggap berkhianat itu.
Apalagi ketika dengan sekuat tenaga, anak-anak muda Tanah
Perdikan Sembojan yang melihat keadaan itu telah
menghentakkan kekuatannya betapapun kecilnya untuk
mencabik kekuatan prajurit-prajurit Jipang yang harus
menghadapi dua medan. Apalagi prajurit-prajurit Jipang itu
merasa telah ditikam dari belakang oleh anak-anak muda Tanah
Perdikan yang mereka anggap berkhianat itu.
50 SH. Mintardja Karena keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya,
maka para prajurit Jipang itu pun telah kehilangan sesaat,
sehingga anak-anak muda Tanah Perdikan yang sekelompok itu
sempat berlari menyusup garis pertempuran dan kemudian
berada di antara kawan-kawan dan saudara-saudaranya.
"Disinilah tempat kita," teriak pemimpin kelompok yang ikut
berbalik itu. "Aku sudah merasa berada di dalam kandang
sendiri. Nah, sekarang kematianku bukan soal lagi."
Dengan demikian maka kekuatan Tanah Perdikan Sembojan
justru semakin bertambah. Beberapa orang masih saja
menyeberang berpihak kepada Tanah Perdikannya.
Tetapi kemarahan prajurit Jipang benar-benar telah tidak


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkekang. Mereka benar-benar telah berusaha untuk membunuh
sebanyak-banyaknya. Apalagi ketika sinar matahari pagi mulai
terasa. gatal di kulit. Para prajurit Jipang itu merasa, bahwa
mereka telah bertempur terlalu lama. Mereka berharap
sebelumnya bahwa saat-saat matahari terbit, Tanah Perdikan itu
sudah direbut kembali. Dua orang prajurit dari Pajang dalam tugas sandinya menjadi
cemas. Ia berharap bahwa prajurit Pajang akan dapat membantu.
Tanah Perdikan Sembojan benar-benar telah berada dalam
kesulitan. Meskipun para pemimpinnya telah melakukan apa saja
yang mungkin mereka lakukan, namun perimbangan dalam
keseluruhan memang berat sebelah.
"Untunglah, bahwa di beberapa bagian dari pasukan Jipang,
anak-anak muda Tanah Perdikan ini yang semula berpihak
kepada Jipang telah menyadari kesalahannya dan pada saat yang
sangat diperlukan telah kembali ke pangkuan kampung halaman.
Tanpa mereka, mungkin pasukan Tanah Perdikan itu sudah
pecah." berkata yang seorang kepada lainnya
Namun kawannya berdesis, "Tetapi aku menjadi gelisah.
Menurut perhitungan pasukan Pajang yang pertama tentu sudah
datang." 51 SH. Mintardja "Ya. Yang tidak dibayangkan sebelumnya agaknya sudah
terjadi. Namun seandainya demikian, dan terjadi lagi perubahan
sikap beberapa orang anak muda Tanah Perdikan, maka pasukan
Tanah Perdikan ini akan mampu bertahan lebih lama lagi."
Sebenarnyalah, beberapa orang anak muda masih saja
berusaha untuk menyusup keluar dari barisan pasukan Jipang
dan memasuki barisan Tanah Perdikan Sembojan, meskipun ada
di antara mereka yang tidak sempat melakukannya karena ujung
pedang yang membelah kulit daging.
Dengan demikian, maka keseimbangan pun perlahan-lahan
telah berubah. Pasukan Jipang tidak lagi dengan mudah dapat
mendesak pasukan Tanah Perdikan Sembojan. Beberapa
kelompok anak muda Tanah Perdikan yang memiliki kemampuan
prajurit justru telah berada di antara saudara mereka sendiri,
bertempur melawan prajurit Jipang. Namun ternyata ada di
antara mereka yang telah bertemu dengan kawan sekelompok
yang masih tetap berada di antara pasukan Jipang.
"Kau juga berkhianat," geram kawannya yang masih berada di
antara pasukan Jipang. "Akhirnya aku memutuskan untuk memilih," jawab kawannya
yang sudah berbalik. "Aku melihat kenyataan ini. Bukan sekadar
ceritera sebagaimana pernah aku dengar di Pajang. Lebih baik
aku membunuhmu daripada aku membunuh adik-adikku yang
masih belum trampil mempermainkan senjata."
"Persetan," geram kawannya yang marah sambil menikam.
Tetapi yang ditikam sempat mengelak dan berkata, "Atau
sadari apa yang kau hadapi. Mungkin di antara pasukan Tanah
Perdikan itu terdapat ayahmu."
"Aku tidak peduli," jawab kawannya yang masih tetap berada
di tataran pasukan Jipang.
Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi
semakin seru. Namun tanpa dirasakan, selangkah demi selangkah
pasukan Tanah Perdikan Sembojan memang terdesak surut.
52 SH. Mintardja Meskipun di beberapa tempat sekelompok pasukan yang berada
di sekitar orang-orang berilmu tinggi mampu mendesak, namun
dalam keseluruhan pasukan Tanah Perdikan itu surut. Jika
orang-orang berilmu tinggi itu tidak mau menyesuaikan diri,
maka akhirnya pasukan itu memang akan terkoyak dan orang-
orang berilmu tinggi itu akan berpisah dan terperosok ke dalam
lingkungan lawan. Karena itu sambil melindungi anak-anak
muda yang berada di sekitarnya, mereka pun ikut pula bergeser
selangkah demi selangkah.
Iswari benar-benar gelisah mengalami keadaan ini. Ia tidak
ingin menarik diri. Ia ingin bertahan sampai orang yang terakhir.
Namun ketika ia berada di medan, maka ia pun tidak sampai hati
melihat korban yang berjatuhan bergelimpangan berlumuran
darah. "Apakah pasukan ini pada saatnya harus mati semuanya,"
bertanya Iswari kepada diri sendiri.
Namun pasukannya masih mampu bertahan meskipun
semakin lama menjadi semakin mendekati padukuhan.
"Jika pasukan ini terdesak sampai ke padukuhan, maka
kemungkinan pasukan ini pecah menjadi semakin besar," berkata
Iswari di dalam hatinya sambil menghadapi Panglima pasukan
Jipang dan kadang-kadang sempat juga melindungi anak-anak
muda yang bertempur di sekitarnya.
Namun tidak dapat diingkari satu kenyataan bahwa pasukan
Tanah Perdikan Sembojan dalam keseluruhan gelar telah
terdesak mundur, betapapun pasukan itu bertahan tanpa
mengenal takut sama sekali. Bahkan di beberapa tempat terdapat
anak-anak muda yang kurang diperhitungkan dan bagaikan
membunuh diri menyerbu ke dalam barisan lawan.
Prajurit-prajurit Jipang adalah prajurit yang berpengalaman.
Namun menghadapi anak-anak muda yang seolah-olah
membunuh diri tanpa mengenal takut itu, terasa bulu tengkuk
mereka meremang juga. 53 SH. Mintardja Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka padukuhan
terdekat itu pun telah berada beberapa puluh langkah saja di
belakang pasukan Tanah Perdikan Sembojan. Beberapa saat lagi,
maka pasukan itu akan terdesak masuk sehingga pecahlah gelar
yang telah disusun dan dipersiapkan dengan rapi.
Tetapi Iswari tidak dapat meneriakkan aba-aba untuk
bertahan apapun yang terjadi. Ia sudah melihat banyaknya
korban yang jatuh di kedua belah pihak. Anak-anak muda Tanah
Perdikan yang kurang memiliki bekal telah bertempur tanpa
mengenal takut. Iswari justru menjadi gelisah karenanya. Bahkan kemudian ia
pun hampir kehilangan akal. Ia mempunyai kemampuan yang
sangat tinggi sehingga ia dapat mengesampingkan pesan
kemanusiaan, maka ia akan dapat memperingan tekanan
pasukan lawan dengan bertempur tanpa menghiraukan dasar-
dasar penalaran kemanusiaan. Namun dengan demikian maka ia
akan dapat disebut sebagai seorang yang biadab.
"Tetapi apa boleh buat," berkata Iswari. "Jika benar aku
menjadi biadab, semata-mata karena aku ingin melindungi
pasukanku yang diperlakukan dengan biadab pula."
Bahkan Iswari pun kemudian mengharap bahwa orang-orang
lain dalam pasukannya yang memiliki ilmu yang tinggi, akan
melakukan pula demi untuk mempertahankan Tanah Perdikan
Sembojan. Dalam kebimbangan itu tiba-tiba seluruh pasukan kedua
belah pihak di dalam gelar yang sedang berbenturan itu terkejut.
Mereka dari kedua belah pihak ternyata telah mendengar suara
bende yang mengumandang menggetarkan udara. Suara bende
yang nadanya berbeda dengan suara bende pasukan Jipang.
"Siapa?" tiba-tiba terdengar Panglima pasukan Jipang itu
bergumam. Iswari tidak mengendorkan serangannya. Meskipun ia belum
memasuki tingkat yang disebutnya sendiri diluar peradaban,
namun serangan-serangannya cukup membuat lawannya kadang-
54 SH. Mintardja kadang kebingungan. Panglima yang bertempur berpasangan
dengan dua orang pengawalnya yang terpercaya itu banyak
mengalami kesulitan sehingga kadang-kadang mereka harus
berloncatan mengambil jarak.
Sebenarnyalah suara bende itu telah menggetarkan arena.
Semakin lama menjadi semakin dekat.
Dua orang petugas sandi dari Pajang itu pun mendengar
suara bende yang mengumandang. Sejenak keduanya menegang.
Namun sejenak kemudian mereka melihat sekelompok pasukan
yang datang mendekati arena.
"Mereka telah datang," berkata salah seorang dari petugas
sandi itu." "Hanya sekelompok," sahut yang lain.
Kawannya mengangguk-angguk. Yang datang itu memang
hanya sekelompok pasukan Pajang yang cepat dijangkau oleh
penghubung. Namun yang lain akan datang menyusul.
"Yang lain tentu masih cukup lama," berkata petugas sandi
yang pertama itu. "Ya. Sekelompok ini pun datang terlambat menurut
perhitungan kita. Yang lain tentu lewat tengah hari atau bahkan
di sore hari," berkata yang lain. Tetapi katanya kemudian,
"Mudah-mudahan yang sekelompok ini mempunyai arti."
Kehadiran sekelompok prajurit Pajang itu telah menimbulkan
berbagai perasaan pada mereka yang sedang bertempur. Umbul-
umbul dan ciri-ciri yang ada, meskipun hanya sekadarnya,
menunjukkan bahwa pasukan itu adalah pasukan Pajang.
Orang-Orang Jipang yang kemudian juga melihat kedatangan
pasukan itu telah mengumpat-umpat. Meskipun pasukan itu
hanya pasukan kecil, tetapi sekelompok prajurit Pajang itu tentu
mempunyai arti yang besar bagi pertempuran itu.
55 SH. Mintardja Sementara itu, orang-orang Tanah Perdikan Sembojan
merasa, bahwa pasukan kecil itu tentu akan dapat mengubah
keseimbangan pertempuran yang sengit itu.
Dalam pada itu, Panglima pasukan Jipang yang marah itu
pun kemudian berteriak lantang, "Hancurkan lawan sekarang
juga. Kita akan segera menyambut lawan lain yang baru."
Perintah itu pun disambut dan diteriakkan pula oleh setiap
pemimpin kelompok, sehingga para prajurit Jipang itu pun telah
menghentakkan kemampuan mereka.
Namun para pengawal Tanah Perdikan itu pun telah
mengerahkan segenap kemampuan mereka. Karena di antaranya
terdapat anak-anak muda yang semula berada di pihak Jipang,
maka mereka pun dapat mengimbangi kemampuan lawan-
lawannya yang setia kepada Ki Wiradana serta prajurit-prajurit
Jipang. Demikianlah, sejenak kemudian sekelompok pasukan Pajang
itu telah mendekati arena. Kedua orang petugas sandi Pajang itu
telah berlari-lari melingkari arena yang lebar dan berusaha untuk
dapat mencapai pasukan Pajang itu.
Dengan singkat petugas sandi itu memberikan laporan
kepada Senapati yang memimpin sekelompok pasukan Pajang
itu. Kemudian mempersilahkan pasukan itu mengambil sikap.
"Baiklah," berkata Senapati Pajang itu. "Kami akan memasuki
arena dari arah kami datang. Beritahukan kepada pemimpin
pasukan Tanah Perdikan."
Kedua orang petugas sandi itu pun kemudian kembali kepada
pasukan Tanah Perdikan setelah mempersilahkan Senapati
Pajang itu terjun ke dalam pertempuran.
"Pasukan Tanah Perdikan Sembojan sudah terlalu letih,"
berkata petugas sandi itu.
Sebenarnyalah bahwa anak-anak Tanah Perdikan yang belum
berpengalaman itu merasa mulai menjadi letih. Mereka telah
mengerahkan tenaga mereka untuk bertahan agar pasukan Tanah
56 SH. Mintardja Perdikan itu tidak pecah. Namun ternyata pertempuran itu
berlangsung berkepanjangan, sehingga pada suatu saat mereka
tentu akan kehabisan tenaga.
Dalam pada itu, seorang pemimpin kelompok yang bertugas
di bagian belakang gelar pasukan Jipang melihat pasukan Pajang
itu mendekat. Meskipun tidak terlalu besar, tetapi pasukan itu
tentu akan sangat berpengaruh. Karena itu, maka dengan
tergesa-gesa ia pun berusaha mencari hubungan dengan
Panglima pasukan Jipang. Tetapi Panglima pasukan Jipang itu sedang sibuk melayani
seorang perempuan yang garang. Karena itu, maka ia pun telah
berteriak, "Panglima, pasukan Pajang itu datang dan akan turun
ke arena dari arah belakang gelar."
"Sesuaikan dirimu. Hancurkan pula mereka dengan
kelompok-kelompok di ekor pasukan," perintah Panglima
pasukan Jipang itu sambil bertempur melawan Iswari bersama
dua orang pengawalnya. Pemimpin kelompok itu pun segera kembali ke tempatnya. Ia
pun telah meneriakkan perintah itu kepada kelompoknya untuk
menarik diri dari pertempuran mereka melawan orang-orang
Tanah Perdikan Sembojan. Bahkan ia telah menghubungi dua
orang pemimpin kelompok yang lain untuk melakukan langkah
serupa menghadapi pasukan Pajang yang tidak terlalu besar itu.
Senapati yang memimpin pasukan Pajang itu pun untuk
beberapa saat mengawasi arena yang riuh. Namun Senapati itu
merasakan dengan naluri keprajuritannya, bahwa pasukan
Jipang memang akan semakin mendesak pasukan Tanah
Perdikan Sembojan jika tidak ada bantuan yang datang.
"Untunglah bahwa kita masih berangkat lebih dahulu,"
berkata Senapati pasukan Pajang itu kepada seorang perwira
pambantunya. "Jika kita menunggu pasukan induk, maka
pasukan Tanah Perdikan itu tidak akan mampu bertahan lagi."
"Ya," desis perwira itu. "Agaknya kita pun harus segera
memasuki arena." 57 SH. Mintardja Senapati itu pun kemudian memerintahkan pasukannya yang
tidak begitu besar itu menebar. Tebarannya tidak dapat
menjangkau dari ujung sampai ke ujung gelar. Namun pasukan
Pajang itu mampu membayangi seluruh pasukan di pusat gelar
lawan. Senapati Pajang itu telah memerintahkan sekali lagi agar
membunyikan suara bende sebagai tengara, bahwa pasukannya
akan memasuki medan. "Kita tidak menyerang mereka dengan
diam-diam dari belakang," berkata Senapati itu.
Ketika bende itu ditabuh, maka terdengar sorak orang-orang
Tanah Perdikan itu membahana bagaikan meruntuhkan langit.
Mereka yang sudah mulai merasa letih pun seakan-akan telah
mendapatkan kekuatan baru, sehingga tenaga mereka seolah-
olah bertambah. Sementara itu, kekuatan Jipang di induk pasukan pun
menjadi berkurang. Sebagian dari mereka telah ditarik mundur
untuk menghadapi prajurit Pajang yang menyerang dari
belakang. Sementara itu pasukan yang ada di sebelah menyebelah


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pusat gelar itu pun telah berkerut untuk mengisi kekosongan
pasukan di pusat gelar. Dengan kehadiran pasukan Pajang itu, maka keseimbangan
pertempuran itu pun dengan cepat berubah. Pasukan Jipang yang
harus menghadapi lawan dari dua arah itu mengalami kesulitan,
karena kedua belah pihak berusaha untuk menekan dan menjepit
pusat gelar pasukan Jipang.
Panglima pasukan Jipang itu pun kemudian memutuskan
untuk meninggalkan lawannya, karena ia harus mengatur
perlawanan dari dua arah itu. Namun Iswari harus mendapat
lawan yang memadai. Dua orang perwira Jipang kemudian telah menggantikan
kedudukan panglimanya. Namun kedua orang itu tidak juga
banyak dapat berbuat dihadapan Iswari sebagaimana
Panglimanya. Sehingga dengan demikian, Iswari, seorang
perempuan dari Tanah Perdikan Sembojan telah bertempur
58 SH. Mintardja melawan empat orang prajurit Jipang yang memiliki pengalaman
yang keras di banyak medan pertempuran. Namun keempat
orang itu ternyata tidak mampu mengalahkannya.
Ketika pasukan Pajang sudah mulai melibatkan diri kedalam
pertempuran, pasukan Tanah Perdikan Sembojan merasa
mempunyai kesempatan untuk bernafas. Tekanan pasukan
Jipang tidak lagi terasa bagaikan mencekik. Sehingga dengan
demikian, maka rasa-rasanya beberapa orang yang mulai merasa
kehabisan tenaga mampu beristirahat sejenak.
Namun pengaruh kehadiran pasukan Pajang itu belum
banyak terasa di sayap-sayap gelar. Kedua belah pihak masih
bertempur sebagaimana sebelumnya, sehingga perlahan-lahan
pasukan Tanah Perdikan masih juga terdesak.
Dengan demikian maka gelar itu pun telah menjadi lengkung
seperti busur. Sayup-sayup gelar yang seharusnya maju ke depan,
ternyata tidak mampu menahan tekanan yang sangat berat.
Iswari yang sempat memperhatikan pasukannya serta
mendapat laporan tentang keadaan di sayap pasukannya, telah
mengambil kebijaksanaan untuk mengatasinya. Karena ia
melihat bahwa pasukan Pajang lebih banyak tertuju kepada pusat
gelar lawan, maka Iswari pun telah memerintahkan dua
kelompok kecil pasukan di pusat gelarnya untuk pergi ke ujung
kedua sayap yang masih saja terdesak.
Akhirnya kedua orang pemimpin kelompok telah membawa
pasukannya masing-masing ke ujung sebelah kiri dan kanan dari
sayap gelar pasukannya. Sementara itu, beberapa orang anak
muda Tanah Perdikan yang baru saja berbalik dari pasukan
Jipang dan memasuki pasukan Tanah Perdikan telah ikut pula
menuju ke ujung-ujung sayap.
Dengan demikian Iswari berharap bahwa kekuatan
pasukannya akan menjadi rata setelah pasukan Pajang itu datang.
Namun anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan dan
Kademangan di sekitarnya yang belum berpengalaman sulit
untuk dengan sendirinya menyesuaikan dirinya pada perubahan
59 SH. Mintardja yang terjadi di medan. Itulah sebabnya, maka beberapa orang
yang ada di antara mereka yang memiliki ilmu yang tinggi serta
wawasan yang luas membantu anak-anak muda Tanah Perdikan
itu menanggapi keadaan. Demikian pula setelah kehadiran pasukan Pajang. Para
pemimpin Tanah Perdikan harus memberikan beberapa petunjuk
sambil bertempur agar mereka dapat bergeser menebar, karena
di induk gelar, kekuatan Pajang akan banyak memberikan
bantuan. Meskipun perlahan-lahan namun akhirnya kekuatan pasukan
Tanah Perdikan itu pun merata juga, sehingga kehadiran pasukan
Pajang itu terasa manfaatnya dari ujung ke ujung gelar yang lain.
Dalam pada itu, pasukan Pajang yang segar itu telah
bertempur dengan keras pula sebagaimana prajurit Jipang.
Mereka telah mendapat tempaan sebagaimana prajurit Jipang
pula. Mereka pun telah mempunyai pengalaman yang cukup di
medan perang yang paling kasar sekalipun.
Karena itu, maka kehadiran mereka benar-benar merupakan
lawan yang seimbang dengan para prajurit Jipang.
Dalam pada itu, matahari pun semakin lama menjadi semakin
tinggi di langit yang cerah. Selembar-selembar mega yang putih
mengalir lamban ke utara. Angin yang semilir bertiup dari arah
laut mengusap tubuh-tubuh yang basah oleh keringat dan darah.
Semakin tinggi matahari merayap di wajah langit, maka anak-
anak muda Tanah Perdikan Sembojan pun menjadi semakin
letih. Namun kehadiran pasukan Pajang ternyata telah
menentukan akhir dari pertempuran itu. Satu-satu para prajurit
Jipang telah jatuh. Meskipun lawan mereka pun telah
menaburkan korban pula, tetapi prajurit Pajang yang segar telah
mendesak mereka ke dalam kesulitan.
Panglima pasukan Jipang itu pun mengumpat sejadi-jadinya.
Dengan garangnya ia telah memilih Senapati Pajang sebagai
lawannya daripada harus melawan Iswari bersama dua orang
pengawalnya. 60 SH. Mintardja Menghadapi Senapati dari Pajang agaknya Panglima pasukan
Jipang itu mempunyai sedikit kelebihan. Tetapi Senapati itu pun
telah melibatkan seorang prajuritnya untuk membantunya
menghadapi Panglima Jipang yang marah itu.
Namun setelah pertempuran itu berlangsung lebih lama,
maka ternyata bahwa gabungan pasukan Tanah Perdikan
Sembojan, Kademangan-kademangan sekitarnya dan pasukan
Pajang meskipun tidak cukup besar, telah mampu mengatasi
kekuatan pasukan Jipang dan anak-anak Tanah Perdikan
Sembojan yang setia kepada Ki Wiradana. Apalagi ketika anak-
anak Tanah Perdikan Sembojan yang semula berada di dalam
lingkungan pasukan Jipang menjadi semakin banyak yang
menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi, sehingga mereka
pun telah menembus garis benturan dan bergabung dengan
pasukan Tanah Perdikan. Panglima pasukan Jipang yang melihat keadaan pasukannya
mengumpat kasar. Ia pun telah melepaskan lawannya pula dan
menyerahkan kepada pengawal-pengawalnya. Ia sendiri berusaha
untuk dapat melihat pertempuran itu dalam keseluruhan.
Namun sebenarnyalah keadaan pasukannya memang menjadi
semakin parah. Pasukan Pajang yang tidak terlalu banyak itu
benar-benar telah ikut menentukan keseimbangan. Kemampuan
pasukan Pajang itu ternyata telah berhasil menghimpit pusat
gelar pasukan Jipang, sehingga para prajurit Jipang di pusat gelar
itu benar-benar mengalami kesulitan.
Sementara itu, pasukan Tanah Perdikan yang menebar dari
pusat gelar menjalar sampai ke ujung sayap telah memperkuat
kedudukan seluruh gelar. Dengan demikian maka pasukan Jipang itu agaknya benar-
benar semakin terdesak. Warsi yang melihat anak-anak Tanah Perdikan Sembojan
banyak yang menyeberang mengumpat tidak habis-habisnya.
Seperti juga Ki Rangga Gupita, maka ia telah menganggap anak-
61 SH. Mintardja anak itu telah berkhianat, sementara Ki Wiradana memang tidak
mampu untuk mengikat mereka dalam satu kesetiaan yang utuh.
Karena itu, jika benar pasukan Jipang itu pecah, maka Ki
Wiradana sama sekali tidak akan berarti bagi Warsi dan Ki
Rangga Gupita. Ketika matahari telah mulai melewati puncak langit, maka
pasukan Jipang sudah tidak mampu lagi untuk bertahan lebih
lama lagi. Pasukan Pajang semakin menekannya, sementara itu,
pasukan Tanah Perdikan Sembojan pun rasa-rasanya justru
menjadi semakin kuat. Kekuatan di pusat gelar yang merayap
sampai ke ujung sayap, ternyata telah mampu memberikan
tekanan balik dan mendesak pasukan Jipang untuk bergeser
mundur. Kekuatan Tanah Perdikan Sembojan yang diisi oleh
anak-anak muda yang baru saja menyeberang benar-benar sulit
untuk diatasi oleh para prajurit Jipang.
Sementara itu, ketika para pemimpin Jipang sedang berusaha
untuk memecahkan kesulitan, tiba-tiba medan itu telah
digetarkan oleh suara bende pula, namun dalam nada yang lain
lagi. Ketika beberapa orang sempat berpaling, maka nampaklah
iring-iringan pasukan yang lebih besar. Pasukan Pajang yang
datang kemudian menyusul pasukannya yang lebih dahulu
datang. Kedatangan iring-iringan itu benar-benar telah
menggoyahkan jantung para prajurit Jipang. Mereka memang
prajurit yang tidak mudah mengenal takut. Tetapi dalam keadaan
mendesak, dan bahkan kemudian datang lagi pasukan yang dapat
memperkuat pasukan lawan tentu akan sangat menentukan.
Dalam pada itu, ketika pasukan Pajang itu menjadi semakin
dekat, maka Senapati Pajang yang lebih dahulu datang itu pun
telah berteriak ditujukan kepada Panglima Jipang yang sudah
meninggalkannya, "Pasukan Jipang, menyerahlah. Semakin cepat
kalian menyerah, maka kalian akan mendapat perlakuan yang
62 SH. Mintardja lebih baik daripada mereka yang tidak mau melihat kenyataan,
dan tetap mengadakan perlawanan."
Namun para prajurit Jipang itu sama sekali tidak berniat
untuk menyerah. Namun mereka pun sadar, bahwa mereka tidak
akan mampu bertahan lebih lama lagi, apalagi jika pasukan yang
datang itu segera menerjunkan diri ke dalam arena.
Dalam waktu yang sempit itu, para prajurit Jipang harus
menemukan jawabannya, apakah yang akan mereka lakukan.
Dalam kebimbangan itu, maka pasukan Tanah Perdikan
Sembojan pun semakin mendesaknya. Dengan tangkasnya anak-
anak muda yang semula berpihak kepada Jipang itu pun telah
menyerang para prajurit Jipang dengan penuh kebencian.
Panglima pasukan Jipang yang telah meninggalkan lawan-
lawannya itu pun melihat keadaan yang semakin mendesak.
Ruang gerak yang semakin sempit dan pasukan yang kuat yang
akan dapat menghancurkannya jika mereka tidak mau menyerah.
Karena itu, maka Panglima pasukan Jipang itu pun telah
mengambil satu keputusan yang tidak pernah diperhitungkan
sebelumnya. Menarik diri dari medan.
Namun keadaan medan ternyata menjadi sulit dengan
kehadiran dua kekuatan lawan yang berseberangan. Pasukan
Jipang tidak dapat mundur ke dua arah. Di depan mereka
terdapat pasukan Tanah Perdikan Sembojan, sementara di ekor
pasukan terdapat prajurit Pajang yang garang.
Karena itu, maka tidak ada jalan lain bagi para prajurit Jipang
daripada meninggalkan medan menurut jalan masing-masing.
Panglima itu tidak memperdulikan lagi, bagaimana nasib anak-
anak Tanah Perdikan Sembojan yang ada di antara prajurit-
prajuritnya. Apapun yang akan terjadi atas anak-anak itu,
bukanlah tanggung jawabnya.
Karena itu, sejenak kemudian telah terdengar satu isyarat
yang menjalar sambung-menyambung. Isyarat untuk
63 SH. Mintardja mengundurkan diri dari medan yang akan menjadi sangat berat
dengan kehadiran pasukan Pajang yang kedua itu.
Tetapi suasananya tidak menguntungkan bagi pasukan
Jipang yang karena lawannya berada di dua sisi. Namun memang
tidak ada jalan bagi pasukan itu. Jika pasukan itu menunggu
kehadiran pasukan Pajang yang baru, maka keadaan tentu akan
menjadi semakin parah. Demikianlah, maka ketika isyarat itu terdengar, maka
prajurit-prajurit Jipang itu pun telah menghambur meninggalkan
medan. Tetapi karena suasana yang kalut serta keadaan para
prajurit Jipang itu sendiri, maka para pemimpin kelompok
pasukan itu tidak dapat mempertahankan kesatuan kelompok-
kelompok masing-masing. Dengan demikian maka pasukan
Jipang itu tidak mampu melakukan upaya menarik diri dalam
keadaan utuh. Namun mereka telah pecah bercerai berai.
Yang terlebih-lebih kacau lagi adalah anak-anak muda Tanah
Perdikan yang ada di dalam lingkungan pasukan Jipang.
Sebagian dari mereka telah kehilangan kemampuan berpikir.
Karena itu, maka mereka tidak lagi dapat berbuat apa-apa. Ketika
ia mendengar teriakan agar mereka menyerah saja, maka mereka
pun telah meletakkan senjata mereka dan menyerah.
Sebenarnyalah beberapa pemimpin kelompok pasukan Tanah
Perdikan Sembojan telah meneriakkan perintah untuk menyerah
saja. "Tidak ada jalan untuk keluar dari medan," berkata salah
seorang pemimpin kelompok, "Menyerah sajalah. Kita dapat
berbicara sebagai saudara kandung."
Sementara itu Gandar juga berteriak nyaring, "Kenapa kalian,
anak-anak muda Tanah Perdikan ini akan ikut melarikan diri"
Bukankah kalian telah berada di atas Tanah kelahiran" Bukankah
kalian ikut terpanggil oleh kampung halaman?"
Namun sementara itu terdengar suara Warsi, "Tinggalkan
neraka ini. Kita akan menyusun kekuatan dan berbuat jauh lebih
baik dari kegagalan ini."
64 SH. Mintardja Memang masih ada anak-anak muda Tanah Perdikan yang
setia kepada Ki Wiradana dan ikut melarikan diri juga. Mereka
yang merasa telah bertempur dengan sungguh-sungguh dan telah
mencelakai anak-anak Tanah Perdikan itu sendiri. Bagi mereka
agaknya tidak akan ada tempat lagi di Tanah Perdikan yang telah
disakitinya sendiri itu. Dalam keadaan yang kalut itu, anak-anak Tanah Perdikan
Sembojan yang mempertahankan kampung halamannya itu
berusaha untuk mengejar para prajurit Jipang dan saudara-
saudara mereka yang melarikan diri. Namun beberapa orang
pemimpin kelompok telah memperingatkan, bahwa sangat
berbahaya bagi mereka untuk mengejar prajurit Jipang yang
melarikan diri itu. Prajurit-prajurit Pajang pun telah mencoba untuk mengejar
mereka. Namun akhirnya mereka membiarkan orang-orang yang
tersisa itu hilang dibalik pepohonan di sawah dan pategalan serta
padukuhan di seberang bulak panjang.
Tetapi Senapati Pajang yang memimpin pasukan yang datang
terdahulu itu agaknya telah menghimpun pasukannya kembali
dalam kesiagaan penuh. Kepada Iswari Senapati itu kemudian


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata, "Kita harus melakukan sekaligus. Kita akan mengikuti
gerak mundur pasukan itu sampai ke landasannya."
"Landasannya yang mana?" bertanya Iswari.
"Mereka tentu telah menempatkan barang-barang yang
mereka bawa di satu padukuhan. Pada umumnya para prajurit
Jipang itu tentu akan mundur kelandasan. Karena itu, kita akan
menyusul mereka ke padukuhan itu," jawab Senapati itu.
"Tetapi kita harus mencari padukuhan yang mana?" jawab
Iswari. "Tentu tidak terlalu jauh. Dan kita akan dapat menanyakan
kepada mereka yang telah menyerah. Mungkin padukuhan di
seberang bulak itu," jawab Senapati itu.
65 SH. Mintardja Iswari mengangguk-angguk. Ia pun kemudian telah
memerintahkan pasukannya untuk bersiap kembali. Sementara
itu, Iswari pun telah memerintahkan kelompok-kelompok
tertentu untuk membersihkan medan, merawat kawan-kawan
mereka yang terluka dan mengumpulkan mereka yang gugur di
medan. Tetapi Senapati Pajang itu berkata, "Kami hanya memerlukan
sebagian kecil dari pasukan Tanah Perdikan Sembojan. Kami
akan membawa pasukan yang baru saja datang."
Semuanya berjalan dengan cepat. Berdasarkan pengalaman
yang luas serta kemampuan yang tinggi, maka dalam waktu
singkat pasukan Pajang itu telah dapat bergerak kembali menuju
ke padukuhan di seberang bulak panjang. Dua orang telah
menghubungi pasukan yang baru datang untuk memberikan
laporan dan minta pasukan itu langsung mengikuti pasukan
Pajang yang menyeberangi bulak.
Senapati. yang memimpin pasukan yang baru datang itu pun
melihat suasana. Mereka melihat pasukan Jipang yang pecah dan
bercerai berai. Karena itu, maka Senapati itupun segera
mempersiapkan pasukannya menuju ke padukuhan di seberang
bulak. Sebenarnyalah bahwa sebagian besar dari prajurit Jipang
memang berlari menuju ke padukuhan yang mereka buat
menjadi landasan mereka sebelum mereka menyerang pasukan
Tanah Perdikan Sembojan. Namun mereka tidak dapat berbuat
banyak. Panglima pasukan Jipang itu tidak sempat mengatur
prajurit-prajuritnya yang bercerai berai. Namun ia pun telah
memberikan perintah untuk meninggalkan padukuhan itu.
Kepada. prajurit-prajurit yang dijumpainya ia telah
memerintahkan agar mereka berusaha untuk saling
berhubungan. "Kita akan berada; di sekitar tempat ini sepanjang jalur yang
memungkinkan agak ke sebelah Barat." berkata Panglimanya,
"kita harus berpisah sekarang dan berusaha saling menemukan
66 SH. Mintardja dua tiga hari lagi. Kita harus menyadari, bahwa pasukan lawan
itu tentu akan datang kemari."
Dengan demikian maka pasukan Jipang itu benar-benar telah
bercerai berai mencari jalan hidup masing-masing.
Dalam pada itu pasukan Pajang dan sebagian kecil pasukan
Tanah Perdikan Sembojan yang dipimpin langsung oleh Iswari
disertai sebagian para pemimpinnya telah memasuki padukuhan
itu pula. Mereka langsung menuju ke Banjar, karena para prajurit
yang tertangkap telah menyebutnya, bahwa mereka telah
meletakkan barang-barang mereka di Banjar.
Namun yang mereka jumpai di banjar tinggallah beberapa
pedati dan barang-barang yang telah dibawa oleh prajurit Jipang.
Mereka sama sekali tidak menjumpai seorang prajurit pun lagi.
Iswari yang datang ke padukuhan itu bersama Kiai Badra,
Kiai Soka dan Nyi Soka telah menemukan satu kenyataan, bahwa
lawan mereka benar-benar telah dihancurkan.
Suasana ketakutan telah mencengkam padukuhan itu.
Beberapa orang yang kemudian dapat dihubungi oleh para
pemimpin pasukan Pajang dan Tanah Perdikan Sembojan
menyebutkan bahwa yang mereka ketahui adalah, bahwa tiba-
tiba saja padukuhan mereka telah ditutup. Semula mereka tidak
tahu bahwa yang datang itu adalah pasukan Jipang. Namun
akhirnya mereka pun mengetahuinya pula.
"Apa yang mereka lakukan baru-baru ini?" bertanya seorang
perwira Pajang kepada seorang laki-laki, separuh baya.
"Mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka berlarian
memasuki padukuhan ini dan sebentar kemudian mereka telah
lari pula meninggalkan padukuhan." jawab laki-laki itu.
Dengan cermat pasukan Pajang yang datang dalam dua
gelombang itu telah memeriksa padukuhan itu. Namun mereka
sudah tidak menjumpai seorang pun yang tersisa dari pasukan
Jipang. 67 SH. Mintardja Namun dalam pada itu, ketika sekelompok prajurit Pajang itu
menyusuri jalan menuju ke gerbang diujung lain, mereka telah
menemukan seorang perempuan yang pingsan. Dengan hati-hati
para prajurit Pajang itu telah membawa perempuan itu ke banjar.
Dengan hati-hati pula mereka berusaha untuk
menyadarkannya. Dengan titik-titik air yang diteteskan di bibir,
maka perempuan itu pun telah membuka matanya.
Iswari yang mendapat laporan tentang perempuan itu pun
telah menungguinya pula. Ketika perempuan itu sudah sadar
sepenuhnya, maka ia pun dapat menjawab beberapa pertanyaan,
meskipun di wajahnya masih membayang ketakutan.
"Jangan takut" berkata Iswari "kami tidak akan berbuat apa-
apa. Kami hanya ingin mendengar keteranganmu."
Perempuan itu termangu-mangu.. Namun tiba-tiba saja ia
berdesis sangat perlahan, "Nyai Wiradana?"
Iswari mengerutkan keningnya. Dengan agak segan ia
menjawab "Ya. Aku Nyai Wiradana."
Perempuan itu tiba-tiba saja menangis. Namun kemudian
diantara isaknya ia berkata "Aku telah dipaksa untuk ikut
bersama Nyai Wiradana yang muda."
Iswari termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya ia dapat
mengenali perempuan itu. Sambil menepuk bahunya ia pun
bertanya pula, "Apa yang telah terjadi atasmu?"
"Aku telah ikut bersama Nyai Wiradana yang muda ke Pajang
dan kemudian berada. di Pajang beberapa lama. Kemudian ikut
pula ke padukuhan ini. Hari ini aku telah dipaksa untuk
mengikutinya lagi. Tetapi aku tidak sanggup."
"Kenapa kau harus mengikutinya" bertanya Iswari pula.
"Aku dipaksa untuk merawat anak Ki Wiradana," jawab
perempuan itu. Sepercik gejolak kecil telah menghentak di dada Iswari.
Bagaimanapun juga, ia tidak dapat menyisihkan hati dan
68 SH. Mintardja perasaannya sebagai seorang perempuan. Anak itu adalah anak
Wiradana dengan istrinya yang muda, yang karena hubungan itu,
ia hampir saja menjadi korban justru pada saat ia sedang
mengandung. Namun Iswari telah berusaha dengan sekuat tenaga
menyingkirkan perasaan itu. Kepada perempuan itu Iswari pun
kemudian bertanya pula, "Lalu apa yang terjadi atasmu sehingga
kau menjadi pingsan?"
Sejenak perempuan itu mengingat-ingat. Namun kemudian
isaknya telah mengeras. Dengan sendat ia pun berkata, "Karena
aku tidak mau lagi mengikutinya, maka tiba-tiba saja perempuan
yang garang itu telah mendorongku. Yang teringat olehku adalah
bahwa aku telah terjatuh. Kemudian aku tidak tahu lagi apa yang
telah terjadi dengan diriku."
Iswari mengangguk-angguk kecil. Dengan suara bergetar ia
bertanya, "Jadi anak itu kemudian ikut dengan ibunya tanpa
pemomong lagi?" "Agaknya demikian," jawab perempuan itu.
Iswari mengangguk-angguk. Namun terasa sesuatu bergejolak
di dalam dirinya. Nyai Soka yang agaknya mengetahui perasaannya pun
kemudian telah menarik tangannya dan membimbingnya
meninggalkan perempuan itu. Namun ia masih juga berpesan
kepada perempuan yang baru saja pingsan itu, "Beristirahatlah
dahulu. Nanti kita bersama-sama kembali ke Tanah Perdikan
yang tinggal sejengkal lagi."
Perempuan itu mengangguk. Sementara Iswari pun telah
menuju ke halaman banjar.
"Kasihan perempuan itu," desis Iswari.
"Ya. Ia tentu sangat menderita selama ia dipaksa mengikuti
Warsi dalam petualangannya. Tubuhnya nampak menjadi kurus
dan wajahnya pun pucat sekali," jawab Nyai Soka. "Tetapi ia
69 SH. Mintardja sudah bebas dari perempuan yang bengis itu dan sebentar lagi ia
akan kembali kepada keluarganya."
Iswari tidak menyahut. Sementara itu Kiai Soka dan Kiai
Badra masih berada di banjar bersama para Senapati Pajang yang
datang terdahulu dan yang datang kemudian.
Namun tiba-tiba telah terjadi sedikit keributan di regol
halaman banjar. Seorang prajurit berlari-lari naik ke banjar
untuk memberikan laporan. Kemudian beberapa orang termasuk
Kiai Soka dan Kiai Badra telah keluar dan turun ke halaman
langsung menuju ke regol.
Iswari dan Nyai Soka yang memang sudah berada di halaman
memperhatikan mereka itu dengan wajah yang tegang. Tetapi
untuk sementara mereka tidak bertanya sesuatu.
Baru sejenak kemudian, jantung Iswari bagaikan berhenti
berdenyut, ketika beberapa orang telah menggotong seseorang ke
banjar. Nyai Soka pun terkejut. Namun perhatiannya kemudian lebih
banyak tertuju kepada Iswari yang berdesis sambil memegangi
tangannya, "Nenek."
Nyai Soka kemudian memeluknya. Iswari jarang
memanggilnya nenek seperti yang diucapkannya itu. Karena itu,
maka terasa goncangan hati cucunya yang bagaimanapun juga
adalah seorang perempuan.
Sejenak kemudian Kiai Badra telah turun dari Banjar dan
mendekatinya. Keraguan nampak diwajahnya. Namun akhirnya
ia berkata dengan nada berat, "Iswari. Yang terluka parah itu
adalah Ki Wiradana."
Iswari memang sudah menduganya. Ia melihat sekilas
seorang laki-laki yang terluka dibawa masuk ke banjar. Dan ia
pun mengenali laki-laki itu sebagai suaminya.
Namun untuk sesaat Iswari tengah diamuk oleh benturan-
benturan perasaan di dadanya. Betapapun ia bertahan, namun
terasa titik-titik air matanya meleleh di pipinya.
70 SH. Mintardja Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia
pun berkata, "Iswari, saat ini kau adalah seorang Senapati. Kau
lihat para pengawal yang berada di halaman samping itu dan
yang sebagian lagi ikut melihat-lihat isi padukuhan ini?"
Iswari mengangguk kecil. Ia mengusap air matanya dan
mencoba berdiri tegak. "Marilah kita masuk," berkata Kiai Badra.
Iswari termangu-mangu. Ketika ia berpaling kepada Nyai
Soka, maka Nyai Soka itu pun berkata, "Kau memang seorang
Senapati sekarang, Iswari."
Iswari mengangguk. Sejenak kemudian maka dengan langkah
seorang Senapati Iswari telah kembali memasuki banjar.
Sebenarnyalah yang terbaring di sebuah amben bambu di
dalam banjar itu adalah Ki Wiradana yang terluka parah di
lambung. Kiai Soka telah berusaha untuk mengobatinya sehingga
untuk sesaat telah memperingan penderitaannya.
"Ia diketemukan di pematang di luar padukuhan itu," berkata
seorang prajurit Pajang. "Bagaimana mungkin hal ini terjadi," berkata seorang perwira
Pajang. "Jika benar orang ini Pemangku Jabatan Kepala Tanah
Perdikan Sembojan yang telah terlibat ke dalam lingkungan
kekuasaan Jipang sebelum Jipang dikalahkan, kenapa ia
diketemukan terluka parah di pematang di sebelah padukuhan
ini" Apakah mungkin ia terluka di pertempuran itu dan para
pengawalnya berusaha untuk menyelamatkannya. Tetapi kenapa
tiba-tiba saja ia telah ditinggalkan di pematang itu" Seandainya
para pengawalnya tidak lagi mampu membawanya, kenapa tidak
ditinggalkannya di banjar ini?"
"Memang satu teka-teki," jawab Kiai Soka. "Tetapi biarlah Ki
Wiradana sendiri nanti menjawab teka-teki itu. Ia akan segera
sadar dan mudah-mudahan dapat mengatakan apa yang terjadi
atas dirinya." 71 SH. Mintardja Para perwira Pajang itu pun mengangguk-angguk. Namun
kemudian Kiai Soka pun berkata, "Kita akan membawa Ki
Wiradana kembali ke Tanah Perdikan. Kita akan dapat
membicarakan dan mengurai segala peristiwa ini dengan sebaik-
baiknya." Demikianlah sejenak kemudian, para perwira Pajang itupun
telah membicarakan kedudukan mereka. Akhirnya diambil satu
keputusan bahwa sebagian dari prajurit Pajang itu akan tetap
berada di padukuhan itu. "Kami harus belajar dari pengalaman," berkata seorang di
antara mereka. "Kami yang bertugas membayangi pasukan
Jipang yang sudah kami perkirakan menuju ke Tanah Perdikan
ini, ternyata jarak yang kami ambil agak terlalu jauh. Untunglah
kami menempatkan pasukan kecil lebih dekat sehingga pasukan
kecil itu dapat datang lebih cepat. Karena itu, kami akan memilih
tempat yang tidak terlalu jauh dari Tanah Perdikan. Kami akan
berbicara dengan Ki Bekel di padukuhan ini serta Ki Demang.
Mudah-mudahan mereka tidak berkeberatan."
Namun Kiai Soka pun berkata, "Di dalam pasukan Tanah
Perdikan, terdapat anak-anak dari Kademangan ini."
"Syukurlah," berkata perwira Pajang itu. "Jika demikian maka
tentu tidak akan ada kesulitan."
Sedangkan bagian yang lain dari pasukan Pajang itu untuk
sementara akan ditempatkan di Tanah Perdikan Sembojan.
Mereka akan langsung membantu Tanah Perdikan itu untuk
membangun dirinya dan menghadapi kemungkinan-
kemungkinan yang dapat ditimbulkan oleh kelompok-kelompok
prajurit Jipang atau anak-anak tanah perdikan itu yang sampai
saat terakhir tetap berada di antara pasukan Jipang.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah semua pembicaraan mapan, maka Iswari dengan
beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan Sembojan serta
pasukan kecilnya akan kembali ke Tanah Perdikan untuk
membenahi keadaan. Sementara pasukan Pajang masih akan
72 SH. Mintardja menentukan langkah-langkah yang harus mereka ambil dalam
waktu dekat dan panjang. Namun dalam pada itu, sebelum mereka meninggalkan
banjar dengan membawa Ki Wiradana dan perempuan yang telah
dipaksa untuk menjadi pemomong anak Warsi itu, Kiai Soka
berkata kepada Senapati pasukan Pajang itu, "Seorang yang
berilmu sangat tinggi masih berada di antara orang-orang Jipang
itu. Aku agaknya telah gagal memancingnya untuk bertempur
sampai kemampuan terakhir. Ia telah ikut mengundurkan diri
bersama pasukan Jipang lainnya.
"Siapa?" bertanya Senapati Pajang itu.
"Ki Randukeling," jawab Kiai Soka.
Senapati Pajang itu menarik nafas dalam-dalam. Nama itu
memang pernah dikenalnya. Ki Randukeling memang seorang
yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Demikianlah maka Iswari dan pasukan kecil dari Tanah
Perdikan Sembojan itu pun telah menyeberangi bulak panjang
kembali ke padukuhan yang terdekat dengan garis pertempuran.
Di banjar padukuhan itu telah dikumpulkan tubuh mereka yang
telah gugur untuk mempertahankan Tanah Kelahiran. Sementara
itu, mereka yang terluka telah dibawa ke rumah di sebelah-
menyebelah banjar itu untuk segera mendapat perawatan.
Gandar, Sambi Wulung, Jati Wulung, perempuan yang
pernah disebut Serigala Betina itu, para pemimpin dari
Kademangan sebelah-menyebelah dan para Bekel ikut sibuk pula
mengumpulkan korban-korban itu.
Wajah-wajah pun telah menjadi muram. Korban memang
cukup banyak sebagaimana diduga oleh para pengawal Tanah
Perdikan Sembojan itu sendiri. Namun dengan kesadaran yang
tinggi atas keselamatan Tanah Perdikannya, maka mereka sama
sekali tidak menjadi gentar.
Di samping para korban, maka para pengawal Tanah
Perdikan itu pun masih harus mengurus para tawanan. Para
73 SH. Mintardja tawanan yang terdiri dari para prajurit-prajurit Jipang akan
diserahkan kepada para perwira dari Pajang, sedangkan mereka
yang terdiri dari anak-anak muda Tanah Perdikan itu sendiri,
akan menjadi kewajiban dari para pemimpin Tanah Perdikan
Sembojan. Dalam pada itu, perempuan yang telah dipaksa oleh Warsi
untuk mengikutinya itu pun kemudian telah di antar ke
rumahnya untuk menemui keluarganya. Sedangkan Ki Wiradana
yang terluka parah itu pun telah dibawa pula ke rumah yang
memang diperuntukkan untuk menampung orang-orang yang
terluka. ----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 25. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
74 SH. Mintardja Jilid Ke dua puluh lima Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di,
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seluruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi 75 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja KETIKA Gandar mengetahui bahwa Ki Wiradana terluka
parah dan berada di tangan Kiai Soka, maka ia pun telah datang
menjenguknya. Namun tiba-tiba saja giginya gemeretak. Ia
teringat, bagaimana Serigala Betina itu hampir saja menyudahi
hidup Nyi Wiradana yang pada saat itu sedang mengandung.
Gandar itu terkejut ketika seorang perempuan telah hadir
pula di sebelahnya. Perempuan yang disebut Serigala Betina itu
sendiri. "Apa katamu tentang orang ini?" bertanya Gandar.
Serigala Betina itu menarik nafas panjang. Sebenarnyalah
bahwa baginya orang yang bernama Ki Wiradana itu adalah
orang yang paling bengis yang pernah dikenalnya. Ia sendiri yang
pernah hidup di dalam dunia yang keras, kasar dan bahkan
biadab, tidak sampai hati melaksanakan perintah membunuh
seseorang yang ternyata sedang mengandung tanpa bersalah.
Namun melihat Ki Wiradana terbaring tidak berdaya dengan
wajah pucat dan pakaian bernoda darah, Serigala Betina itu
berkata, "Ia telah mendapatkan sebagian dari hukumannya."
Gandar mengangguk kecil. Katanya, "Mudah-mudahan ia
menyadari kesalahan yang pernah dibuatnya. Tetapi siapakah
Pendekar Latah 24 Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong Putera Sang Naga Langit 1
^