Pencarian

Suramnya Bayang Bayang 29

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 29


yang telah melukainya?"
Serigala Betina itu mengerutkan keningnya. Katanya,
"Menurut seorang pengawal, ia melihat Ki Wiradana ikut
menarik diri dari medan. Nampaknya ia tidak terluka dan bahkan
ia masih dapat mengikuti Ki Randukeling yang mundur perlahan-
lahan sambil melawan Kiai Soka yang mengikutinya."
"Ya," berkata Kiai Soka. "Tetapi kemudian Ki Randukeling itu
telah berhasil melepaskan diri dari pertempuran. Sejak itu aku
tidak melihat lagi Ki Wiradana."
Gandar tidak menyahut lagi. Ia pun kemudian meninggalkan
Serigala Betina yang masih berada di dalam bilik itu. Perlahan-
2 SH. Mintardja lahan perempuan yang bertubuh agak gemuk itu mendekati Kiai
Soka sambil bertanya, "Bagaimana keadaannya Kiai?"
"Lukanya memang agak parah. Satu tusukan dilambung.
Hanya satu luka. Tetapi luka itu cukup dalam," jawab Kiai Soka.
Sejenak Serigala Betina termenung. Namun kemudian ia
bertanya, "Apakah luka itu membahayakan jiwanya?"
"Kita tidak dapat menentukan. Tetapi akan berusaha untuk
mengobatinya," jawab Kiai Soka.
"Semoga ia sembuh," gumam Serigala Betina.
Kiai Soka mengerutkan keningnya, sementara itu perempuan
itu pun berkata, "Jika ia mati, maka ia tidak sempat mengerti apa
yang sebenarnya telah terjadi dalam keseluruhan. Jika ia hidup,
maka biarlah ia melihat kesalahan yang pernah dilakukannya dan
membawa malapetaka bukan saja bagi keluarganya, tetapi bagi
Tanah Perdikan ini."
Kiai Soka mengangguk-angguk. Bagi Serigala Betina,
kematian Ki Wiradana pada saat itu agaknya terlalu cepat
baginya. Begitu dalam kebencian perempuan yang pernah
diupahnya untuk membunuh Iswari yang sedang mengandung
itu, sehingga ia masih menuntut agar Ki Wiradana itu tetap hidup
untuk lebih lama lagi mengalami penyesalan.
Tetapi Kiai Soka bersikap lain. Ia merasa wajib untuk
menyelamatkan nyawa seseorang yang masih mungkin
dilakukan. Bukan hanya terhadap Ki Wiradana, bahkan terhadap
prajurit Jipang yang terluka sekalipun, bersama-sama dengan
beberapa orang lain yang menguasai ilmu pengobatan.
Karena itulah maka Kiai Soka telah berusaha dengan segenap
kemampuannya untuk mengobati mereka yang terluka, termasuk
Ki Wiradana. Apalagi Kiai Soka sendiri ingin mengetahui, apakah
yang sebenarnya telah terjadi dengan Ki Wiradana itu.
Justru karena itu, maka Kiai Soka pun kemudian telah
memisahkan Ki Wiradana dari orang-orang lain dan
menempatkannya disebuah bilik. Dengan reramuan yang paling
3 SH. Mintardja baik luka Ki Wiradana telah menjadi benar-benar mampat.
Sementara itu, dengan telaten setitik demi setitik Kiai Soka
berusaha memasukkan cairan obat lewat mulut Ki Wiradana.
Kiai Badra yang kemudian juga menunggui Ki Wiradana itu
pun mengangguk-angguk. Ketika titik obat berhasil masuk ke
dalam mulutnya, maka Kiai Badra pun mengharap bahwa Ki
Wiradana itu masih dapat tertolong.
Namun dalam pada itu, Nyai Sokalah yang harus dengan sabar memberikan petunjuk-petunjuk kepada Iswari. Meskipun ia seorang
Senapati, namun ia tetap seorang perempuan. "Kau tidak usah memikirkannya sekarang,"
berkata Nyai Soka. "Aku
mengerti, bahwa perasaan dan
pikiranmu menjadi kalut. Tetapi kau harus dapat mencari
keseimbangan di antara perasaan dan pikiranmu. Persoalan yang sebenarnya
dihadapi oleh Tanah Perdikan
ini belum selesai. Perempuan yang menjadi sumber malapetaka
itu masih dapat melepaskan diri bersama para prajurit Jipang.
Perempuan itu tentu tidak akan menghentikan usahanya untuk
merebut tanah ini. Apalagi ia berhak karena ia mempunyai
seorang anak laki-laki dari Ki Wiradana. Jika kau kemudian
tenggelam ke dalam ksulitan perasaan dan pikiranmu, maka kita
akan kehilangan perhitungan untuk menghadapi masa-masa
datang itu. Sementara itu kita pun tahu, bahwa perempuan itu
berasal dari Keluarga Kalamerta yang dibebani dendam atas Ki
Gede Sembojan, ayah Ki Wiradana."
4 SH. Mintardja Iswari mengangguk-angguk. Ia memang berusaha sekuat
tenaga untuk dapat menguasai perasaannya yang kalut. Setiap
kali nampak sekilas kenangan, bagaimana ia dibawa oleh
perempuan yang bernama Serigala Betina itu ketempat yang sepi,
justru pada saat ia sedang mengandung. Perempuan yang disebut
Serigala Betina itu telah mendapat perintah untuk membunuhnya
tanpa belas kasihan, justru dari suaminya sendiri.
Dan kini, laki-laki yang memerintahkan untuk membunuhnya
pada saat ia sedang mengandung itu ada ditangannya sebagai
tawanan yang terluka parah. Jika ia mau, maka ia akan dapat
melakukan pembalasan. Kapan pun ia menghendaki.
Tetapi bagaimana pun juga laki-laki itu adalah ayah anak
yang pernah dilahirkannya, yang mempunyai hak untuk
menggantikannya sebagai pemangku Kepala Tanah Perdikan
Sembojan. Namun setiap kali ia mendengar Nyai Soka berkata, "Kau
tidak usah memikirkannya sekarang. Masih ada waktu.
Sementara kau dibutuhkan oleh Tanah Perdikan ini. Tanah
Perdikan yang sedang berserakan karena pertempuran yang
keras." Iswari mengangguk kecil. Ia pun kemudian mencoba untuk
melihat dengan mata hatinya, keadaan diseluruh Tanah
Perdikannya. Karena itu, maka Iswari pun telah mengatupkan giginya
rapat-rapat. Ia pun telah menghentakkan kekuatan batinnya
untuk menghadapi persoalan yang telah mengguncangkan nalar
budinya itu. Sementara Itu Nyai Soka pun berkata, "Marilah. Kita melihat
keadaan Tanah Perdikan ini."
Iswari pun kemudian telah ikut bersama Nyai Soka untuk
melihat-lihat keadaan. Ditemuinya beberapa orang Bekel dan para pemimpin dari
Kademangan tetangga. Ia pun melihat pula mereka yang terluka
5 SH. Mintardja yang berada di rumah-rumah disekitar banjar. Namun atas
permintaan Nyai Soka, Iswari tidak memasuki bilik yang
dipergunakan khusus untuk Ki Wiradana.
Akhirnya Iswari pun telah berada di banjar pula.
Bagaimanapun juga terasa kulitnya meremang melihat anak-anak
terbaik Tanah Perdikan yang gugur. Ia melihat juga beberapa
orang perempuan yang menangisi anak-anaknya dan bahkan
menangisi suaminya. Bahkan rasa-rasanya jantung Iswari
menjadi hampir tidak berdetak ketika ia melihat perempuan yang
kehilangan dua anak laki-lakinya. Yang seorang gugur karena
mempertahankan Tanah Perdikannya, yang lain terbunuh justru
karena ia berada dilingkungan para prajurit Jipang.
Peperangan telah melakukannya tanpa pertimbangan apapun
juga. Ketika Iswari meninggalkan banjar itu, maka ia harus
mengusap matanya yang basah betapapun ia tidak
menghendakinya. Di tempat lain, Iswari melihat para pemimpin kelompok
sedang mengamati keadaan kelompoknya. Mempersiapkan
kelompoknya untuk menghadapi tugas-tugas berikutnya yang
mungkin akan segera menyusul.
Namun agaknya kehadiran pasukan Pajang telah jauh
memperingan tugas-tugas para pengawal. Meskipun mereka
sadar bahwa mereka tidak boleh lengah.
Hari itu Tanah Perdikan Sembojan dan beberapa
Kademangan di sekitarnya memang sedang berkabung. Meskipun
mereka merasa bahwa mereka berhasil mempertahankan Tanah
Perdikannya dan mengusir para prajurit Jipang, namun mereka
telah menyerahkan korban yang tidak sedikit.
Sementara itu, setelah persiapan memungkinkan, maka
korban di antara anak-anak muda dari Kademangan sebelah
menyebelah telah diusung kembali ke Kademangan mereka. Bagi
mereka gugur mempertahankan Tanah Perdikan Sembojan tidak
ubahnya seperti mempertahankan kampung halaman mereka
6 SH. Mintardja sendiri, karena jatuhnya Sembojan ketangan para prajurit Jipang,
akan berarti bencana pula bagi kademangan-kademangan itu.
Hari itu Tanah Perdikan benar-benar menjadi sibuk
meskipun pertempuran yang tidak terlalu panjang telah berakhir.
Dengan dihadiri oleh para pemimpin dari Tanah Perdikan
Sembojan sendiri, para pemimpin dari Kademangan-
kademangan sebelah dan para pemimpin dari para prajurit
Pajang, maka para korban yang gugur dari segala pihak telah
dikuburkan. Namun bagaimanapun juga para pemimpin Tanah
Perdikan Sembojan telah memisahkan antara mereka yang
bertempur bagi tanah kelahiran termasuk para prajurit Pajang
dengan orang-orang yang dianggap akan merebut Tanah
Perdikan itu dari yang berhak.
Sementara itu, para tawanan pun telah dibagi pula. Para
bekas prajurit Jipang akan menjadi tanggung jawab pasukan
Pajang, sementara anak-anak dari Tanah Perdikan Sembojan
sendiri telah ditempatkan dilingkungan Tanah Perdikan dan
menjadi tanggung jawab para pemimpin dari Tanah Perdikan itu.
"Dengan demikian maka kerja kita masih belum selesai,"
berkata Iswari. Kiai Badra mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa bagi
.Iswari, lawannya terutama adalah Warsi. Bukan saja karena
Warsi ingin merebut Tanah Perdikan Sembojan untuk dijadikan
alas masa depannya dan masa depan anaknya, tetapi kehadiran
Warsi telah merusakkan segala-galanya di Tanah Perdikan itu.
Merusakkan hidupnya sebagai seorang isteri, merusakkan
ketenangan dan kedamaian Tanah Perdikan Sembojan dan
kemudian melibatkan Sembojan langsung dalam perang besar
antara Pajang dan Jipang sehingga anak-anak muda Tanah
Perdikan sendiri telah terbelah.
Dengan demikian maka Kiai Badra pun kemudian berkata,
"Iswari, kerja kita memang belum sedesai. Kita semua tentu
mempunyai perhitungan serupa, bahwa pertempuran itu tentu
akan datang kembali. jika Pajang berhasil, menggulung sisa-sisa
7 SH. Mintardja prajurit Jipang atau, bahkan karena kesadaran sendiri, prajurit-
prajurit Jipang itu menyerah, maka Warsi masih tetap
merupakan bahaya, karena ia mempunyai kelompok yang pernah
menjadi besar dan yang mungkin akan dapat dihimpunmya
kembali, yaitu gerombolan Kalamarta.
"Baiklah, kami ikut memperhatikannya" berkata Panglima
pasukan Pajang, "tugas terpenting kami adalah menjaring setiap
bekas prajurit Jipang. Kami akan bersyukur jika meseka atas
kesadaran sendiri menghentikan gerakan mereka, dan
menghubungi kami, Agaknya mereka akan mendapatkan
pengampunan." "Terima kasih" sahut Kiai Badra, "tugas terpenting kami
adalah membangun Tanah Perdikan ini, wadagnya dan jiwanya.
Iswari harus mampu mengikat kembali yang telah berserakan di
Tanah Perdikan ini."
"Aku yakin" sahut Panglima pasukan Pajang sambil
tersenyum, "Nyai Wiradana mempunyai kemampuan yang luar
biasa. Apalagi ia seorang perempuan. Ia memiliki kegarangan
prajurit linuwih di medan perang, tetapi ia memiliki kelembutan
seorang ibu di masa Tanah Perdikan ini memerlukan
asuhanmya." "Ah" Iswari tertunduk. Wajahnya menjadi semburat merah.
Namun tiba-tiba saja dari mulutnya berdesis "Masih ada orang
yang berhak mengatur Tanah Perdlikan ini"
"Tidak" jawab Panglima pasukan Pajang, "aku mengerti; yang
dimaksud oleh Nyai Wiradana. Yaitu Ki Wiradana sendiri. Tetapi
karena kesalahan yang pernah dilakukannya, bahkan ia dapat di
anggap telah momberontak terhadap Pajang, maka Pajang akan
dapat mengambil langkah-langkah tertentu. Pajang tidak akan
berbuat sewenang-wenang atas hak Tanah Perdikan ini. Tetapi
kita semuanya tahu, bahwa ada seseorang yang mempunyai hak
menerima jabatan itu jika karena kesalabannya Ki Wiradana
tidak lagi mungkin memangku jabatatnya kembali. Anak Ki
Wiradana itu sendari. Karena anak itu masih terlalu kecil dan
8 SH. Mintardja belum tahu akan kewajibannya, maka dapat ditunjuk seseorang
yang akan menjadi pelaksana dari hak itu."
Iswari menarl nafas dalam-dalam, sementara. Panglima
Pajang itu berkata, "Kita mempunyai seribu bukti dan saksi."
Sementara itu, selagi pembicaraan masih berlangsung,
seorang telah datang menghadap. Ketika Kiai Badra bertanya
kepadanya, maka orang itu berkata, "Kiai Soka berpesan, jika Ki
Wiradana mulai sadar sepenuhnya aku harus menyampaikan hal
itu kepadanya." "O" Kiai Badra pun telah berpaling kepada Kiai Soka
"Jadi Ki Wiradana telah sadar sepenuhnya?" bertanya Kiai
Soka, lalu, "apakah ia sudah tidak mengigau lagi?"
"Tidak Kiai" jawab orang itu, "Ki Wiradara sudah tahu pasti,
dimana ia sekarang berada dan dalam keadaan yang bagaimana."
Kiai Soka mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah. Aku akan
melihatnya." Beberapa orang pun menyatakan untuk pergi bersama Kiai
Soka. Namun ketika Iswari juga beringsut, Nyai Soka telah
memegangi tangannya sambil berbisik di telinganya, "Kau jangan
menerimanya sekarang Iswari."
Iswari memandang wajah Nyai Soka. Namun ketika
terpandang olehnya tatapan matanya yang lembut, ia pun


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunduk dalam-dalam. Berbagai perasaan telah bergejolak
didalam dadanya, sehingga betapapun ia bertahan, akhirnya titik-
titik air matanya telah menertes di bahu Nyai Soka.
Kiai Badra yang kemudian berdiri dibelakangnya pun
berbisik, "Segala sesuatunya akan menjadi baik. Tetapi kita
memerlukan waktu." Iswari tidak menjawab. Tetapi ia sendiri tidak segera
mengetahui keinginannya. Kadang-kadang keinginannya untuk bertemu Ki Wiradana
seakan-akan sangat mendesak. Namun tiba-tiba saja tumbuhlah
9 SH. Mintardja kebenciannya karena orang itu telah berniat membunuhnya.
Bukan sekadar berniat, tetapi niat itu sudah dilakukan dengan
langkah-langkah. Namun Tuhan telah menahan ujung pisau yang
hampir saja menembus dadanya.
"Kau harus benar-benar mempersiapkan diri menghadapi
persoalan pribadimu, justru karena kau sekarang adalah
pimpinan tertinggi Tanah Perdikan Sembojan atas nama
anakmu," berkata Nyai Soka.
Iswari tidak menjawab. Dan ia sadar, anak itu adalah anak Ki
Wiradana. Dalam pada itu, beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan
Sembojan dan prajurit Pajang yang bertugas di Tanah Perdikan
itu telah datang ke bilik tempat Ki Wiradana dirawat.
Sebenarnyalah bahwa Ki Wiradana memang sudah sadar
sepenuhnya. Tetapi luka itu agaknya benar-benar parah, sehingga
nampak betapa ia mengalami penderitaan karenanya.
Kiai Soka lah yang kemudian duduk dibibir pembaringan Ki
Wiradana. Sambil meraba dahinya ia berkata, "Tubuhmu menjadi
panas. Tetapi mudah-mudahan segalanya dapat diatasi."
Ki Wiradana berusaha menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
pun telah menyeringai menahan sakit pada lukanya.
"Ki Wiradana," desis Kiai Soka. "Untuk menentukan langkah-
langkah kami berikutnya, apakah Ki Wiradana dapat mengatakan
serba sedikit, apakah yang telah terjadi?"
Ki Wiradana termangu-mangu. Diamatinya orang-orang yang
ada disekitarnya. Rasa-rasanya memang ada yang dicarinya.
Namun ia tidak melihatnya.
Hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat seorang
perwira Pajang ada pula di antara orang-orang yang
mengerumuninya. Apalagi ketika nampak dibelakang orang-
orang yang berdiri disekitarnya, seorang perempuan yang agak
gemuk yang dikenalnya sebagai Serigala Betina itu.
10 SH. Mintardja Sementara itu terdengar kata-kata Kiai Soka lembut, "Ki
Wiradana. Kami mohon Ki Wiradana bersedia membantu kami,
apakah yang sebenarnya telah terjadi dengan Ki Wiradana?"
Ki Wiradana yang mencoba bergeser telah berdesis menahan
sakit. Namun ia pun kemudian berkata dengan suara yang
bergetar perlahan-lahan, "Aku telah dikhianati."
"Siapa yang mengkhianati?" bertanya Kiai Soka.
"Ketika kami berusaha menyingkir dari padukuhan itu, maka
diluar dugaanku, Rangga Gupita telah menusukku," jawab Ki
Wiradana. "Bagaimana sikap istri Ki
Wiradana" Apakah ia tidak
melihatnya" Bukankah istri Ki
Wiradana itu juga memiliki
ilmu yang tinggi, sehingga jika
ia berniat membantu, ia akan
dapat menyelamatkan Ki Wiradana." Wajah Ki Wiradana yang nampak berkerut manahan sakit itu menjadi tegang sejenak. Namun kemudian suaranya yang bergetar itu
menjadi semakin merendah.
Katanya, "Warsi telah
berkhianat pula. Ia justru
membiarkan semuanya terjadi. Agaknya Warsi pun ingin
menyingkirkan aku." Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang
wajah Kiai Badra dan Panglima pasukan Pajang keduanya
mengangguk-angguk kecil. Agaknya keduanya dapat mengerti
pergolakan yang telah terjadi di antara orang-orang yang berada
di antara prajurit-prajurit Jipang yang telah kehilangan induk itu.
11 SH. Mintardja Agaknya Warsi dan Ki Rangga Gupita telah menemukan
langkah yang sama untuk masa depan mereka berdua. Sementara
Warsi tidak merasa memerlukan Ki Wiradana lagi, karena
kegagalan memasuki Tanah Perdikan. Sementara itu, ia sudah
mempunyai seorang anak laki-laki yang akan dapat diperalatnya
untuk menuntut semacam hak atas Tanah Perdikan itu.
Meskipun mungkin harus disertai dengan satu rencana yang keji,
membunuh anak Iswari dengan cara apapun juga.
Kiai Soka tidak bertanya lebih banyak lagi. Menurut
pengamatannya keadaan Ki Wiradana cukup berbahaya. Karena
itu, maka Kiai Soka telah memberinya kesempatan beristirahat
sebanyak-banyaknya, agar keadaannya dapat menjadi berangsur
baik. Tetapi menilik pernafasan yang tersendat-sendat, serta
keadaan tubuh serta peredaran darahnya, sebenarnya bahwa Kiai
Soka menjadi cemas. Bahkan ia pun kemudian berbisik ditelinga
Kiai Badra, "Bagaimana dengan Iswari" Apakah ia perlu
menemuinya?" Kiai Badra termangu-mangu sejenak. Namun jawabannya
kemudian, "Kita bicarakan dengan Nyai Soka."
Panglima prajurit Pajang itu pun agaknya mengerti juga
bahwa Ki Wiradana masih belum selayaknya untuk terlalu
banyak berbicara. Namun ia sudah mengatakan pokok peristiwa
yang terjadi atas dirinya.
Karena itu, maka orang-orang yang ada disekitar Ki Wiradana
itu pun kemudian mulai meninggalkannya. Di luar bilik itu,
mereka sempat berbicara serba sedikit tentang Ki Rangga Gupita.
Dari beberapa orang anak muda Tanah Perdikan yang menyerah
dan yang telah berbalik bergabung dengan saudara-saudara
mereka, telah didengar keterangan tentang hubungan Ki Rangga
Gupita dan Warsi, istri muda Ki Wiradana itu.
Dalam pada itu, ternyata keadaan Ki Wiradana justru menjadi
bertambah buruk. Karena itulah, maka Kiai Soka akhirnya
mengambil kebijaksanaan untuk berbicara dengan Nyai Soka
12 SH. Mintardja tentang Iswari. Apakah sebaiknya ia diberi kesempatan untuk
bertemu atau tidak. "Apakah sama sekali sudah tidak ada harapan?" bertanya
Panglima prajurit Pajang itu.
Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Segala
sesuatunya ada ditangan Yang Maha Kuasa. Kami sudah
berusaha sejauh dapat kami lakukan. Namun usaha kami yang
terakhir adalah berdoa agar ia mendapat kesempatan untuk
mengakui segala kesalahannya dan bertaubat kepada Yang Maha
Adil." Panglima pasukan Pajang itu menarik nafas dalam-dalam. Ia
mengerti arti dari kata-kata Kiai Soka yang memiliki pengetahuan
tentang pengobatan itu. Yang telah berusaha bersama Kiai Badra
dan orang-orang lain yang memiliki pengetahuan serupa.
Dalam pada itu, Kiai Soka dan Kiai Badra pun telah berusaha
untuk berbicara dengan Nyai Soka mengenai keadaan Ki
Wiradana yang semakin lama justru menjadi semakin gawat.
Segala usaha sudah diakukan. Bahkan Ki Wiradana sudah dapat
sadar sepenuhnya dari pingsannya. Namun keadaan lukanya
memang sangat parah. "Apakah tidak ada jalan yang dapat kalian lakukan untuk
menyelamatkan jiwanya?" bertanya Nyai Soka cemas.
"Nyai," sahut Kiai Soka. "Apakah yang dapat kita lakukan jika
Yang Maha Agung menghendaki memanggilnya kembali."
Nyai Soka mengangguk kecil. Sementara itu Kiai Badra pun
bertanya, "Dimanakah Iswari?"
Nyai Soka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ia sedang
diguncang oleh perasaan yang tidak menentu. Kebencian,
kerinduan dan dendam bercampur baur. Sementara itu, ia sadar
sepenuhnya bahwa Ki Wiradana adalah ayah dari anak laki-
lakinya. "Nyai," berkata Kiai Badra, "Apa boleh buat. Kita harus
memberi tahukan hal ini kepadanya. Jika ia ingin menemuinya,
13 SH. Mintardja sebaiknya segera dilakukannya, karena keadaan Ki Wiradana
sudah menjadi semakin memburuk."
Nyai Soka termangu-mangu. Dengan nada berat ia berkata,
"Hatinya akan sangat tergoncang."
"Tetapi jika terlambat, mungkin perasaannya akan menjadi
semakin pahit," jawab Kiai Soka.
Nyai Soka mengangguk kecil. Tetapi sangat berat baginya
untuk mengatakan kepada Iswari tentang keadaan Ki Wiradana.
Karena itu, maka Nyai Soka pun memutuskan untuk tidak
mengatakan keadaan yang gawat itu. Ia hanya akan mengajaknya
menemuinya. Selebihnya Iswari akan melihatnya sendiri.
Ketika Nyai Soka menemui Iswari di ruang dalam, dilihatnya
Iswari sedang mendukung anak laki-lakinya. Ketika Nyai Soka
memasuki ruang itu, maka dengan serta merta Iswari mencoba
menghapus air matanya yang masih saja selalu meleleh dipipinya.
"Iswari," desis Nyai Soka.
Iswari tidak menjawab. "Kakekmu telah mengatakan kepadaku, bahwa kau
mempunyai kesempatan untuk melihat suamimu," berkata Nyai
Soka dengan hati-hati. Iswari mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia
memeluk anaknya semakin erat. Seakan-akan telah bergetar
dihatinya isyarat bahwa yang akan ditemuinya adalah hanya saat-
saat terakhir saja dari sisa hidup suaminya.
"Iswari," berkata Nyai Soka. "Marilah. Sekali lagi aku
peringatkan bahwa disamping seorang perempuan dengan segala
sifat-sifatnya, kau adalah seorang Senapati. Pada saat kau
mendukung anakmu, maka kau adalah seorang ibu yang
mengalami perlakuan pahit dari suamimu. Tetapi jika anak itu
kau lepaskan barang sejenak, dan kau membawa pedang
dilambung atau terlebih lagi tunggul dari Pajang itu, maka kau
benar-benar seorang Senapati."
14 SH. Mintardja Iswari mengangguk. Ia mengerti maksud Nyai Soka. Namun
bagaimanapun juga, hatinya hanya satu. Apakah ia seorang
perempuan yang sakit karena tingkah laku suaminya atau ia
seorang Senapati yang telah berhasil dalam pertempuran
melawan orang-orang yang ingin menguasai Tanah Perdikannya.
"Nah, marilah," berkata Nyai Soka.
"Baiklah nek," jawab Iswari. "Biarlah aku serahkan anak ini
kepada pemomongnya."
Nyai Soka mengerutkan keningnya. Namun katanya
kemudian, "Iswari. Bawalah anakmu."
Iswari termangu-mangu. Namun kemudian ia pun
mengangguk kecil. Demikianlah Iswari bersama Nyai Soka telah pergi menuju ke
tempat Ki Wiradana dirawat. Kiai Soka dan Kiai Badra telah
menemani pula. Bahkan Panglima Pasukan Pajang itu pun telah
mengikuti mereka pula dibelakang. Meskipun Panglima itu
seorang prajurit yang pada saat-saat terakhir hidupnya seakan-
akan selalu di medan perang, namun ia dapat mengerti,
goncangan-goncangan perasaan yang terjadi di dalam hati Iswari
dan tentu juga pada Ki Wiradana setelah serba sedikit ia
mendengar tentang kehidupan mereka yang pahit.
Iswari memang tertegun ketika mereka berada dipintu bilik
tempat Ki Wiradana dirawat. Namun hatinya mulai berguncang
ketika ia melihat seorang yang duduk disisi pembaringannya.
Orang yang mendapat tugas untuk merawat secara khusus Ki
Wiradana yang agaknya semakin parah.
Ketika orang itu melihat Iswari yang menggendong anaknya
dimuka pintu, maka ia pun telah bergeser bangkit dan melangkah
surut. "Marilah," berkata Kiai Soka. "Kau akan melihat keadaan Ki
Wiradana." 15 SH. Mintardja Iswari menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ditabahkannya
hatinya. Satu-satu ia melangkah memasuki bilik itu mendekati
pembaringan suaminya yang terbujur diam.
Berbagai perasaan telah bergejolak di dalam dadanya. Ia
melihat laki-laki itu sebagai suaminya. Tetapi ia pun melihat
orang itu telah berusaha membunuhnya, karena ada perempuan
lain yang datang kepadanya.
Kiai Soka lah yang kemudian mendekati Ki Wiradana yang
menjadi semakin lemah. Orang tua itu pun kemudian berjongkok
disamping pembaringannya. Perlahan-lahan ia berbisik
ditelinganya, "Ki Wiradana. Ini istrimu, Iswari."
Ki Wiradana membuka matanya. Tetapi agaknya ia belum
jelas atas pendengarannya itu, sehingga sekali lagi Kiai Soka
berbisik, "Ki Wiradana. Iswari ada disini."
Nampak dahi Ki Wiradana berkerut. Dengan suara bergetar
dan sangat perlahan ia bertanya, "Siapa?"
"Iswari," jawab Kiai Soka.
Ki Wiradana itu berusaha untuk mencerna pendengarannya.
Kemudian sekali lagi ia berusaha mendapat penjelasan. "Iswari?"
"Ya. Iswari," jawab Kiai Soka.
Wajah Ki Wiradana menegang sejenak. Namun ia pun
kemudian menyeringai menahan sakit.
Iswari yang melihat keadaan Ki Wiradana itu pun hatinya
menjadi luluh. Ia melihat laki-laki yang menjadi ayah dari
anaknya itu sangat kesakitan, pucat dan nafasnya terengah-
engah. Karena itu betapapun kekecewaan, kebencian dan dendam
membara didadanya, namun ia tidak sampai hati melihat laki-laki
itu menderita. Apalagi ketika ia kemudian mendengar Ki Wiradana berdesis
dengan suara yang dipaksakan, "Apakah ia sudi datang melihat
aku?"

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

16 SH. Mintardja "Ia telah datang bersama anakmu, Ki Wiradana," jawab Kiai
Soka. "Anakku," Ki Wiradana mengulang.
"Ya. Anakmu," jawab Kiai Soka.
Jantung Ki Wiradana terasa berdebar semakin cepat. Lukanya
terasa menggigitnya semakin keras. Namun anak itu datang
kepadanya bersama ibunya yang pernah dikhianatinya, bahkan ia
sampai hati mengupah orang untuk membunuhnya pada saat ia
sedang mengandung. Sejenak Ki Wiradana termangu-mangu dalam kesakitan. Yang
pernah dilihatnya adalah anak yang dilahirkan oleh Warsi.
Seorang anak laki-laki yang dibawanya menjelajahi medan
perang yang gawat. Namun Warsi pun kemudian telah berkhianat
pula karena ia telah melarikan diri bersama Ki Rangga Gupita
dan bahkan ia telah berusaha membunuhnya.
"Iswari," desis Ki Wiradana. "Benarkah kau Iswari?"
"Ya. Aku Iswari kakang," jawab Iswari.
Air mata dipipi Ki Wiradana semakin deras mengalir. Dengan
suara sendat ia berkata, "Dosaku tidak terhitung lagi Iswari. Aku
tidak berhak minta maaf kepadamu. Biarlah dosa ini aku bawa
untuk memasuki api neraka."
Iswari yang mencoba bertahan, ternyata tidak mampu lagi. Ia
pun telah terisak disisi pembaringan suaminya.
"Kakang, aku sudah memaafkanmu. Diminta atau tidak
diminta," desis Iswari.
"O," terdengar Ki Wiradana berdesah.
"Ini anakmu kakang," berkata Iswari.
Ki Wiradana mencoba untuk berpaling. Dilihatnya dalam
kekaburan matanya, seorang anak laki-laki yang sehat gemuk dan
wajahnya seakan-akan bersinar.
17 SH. Mintardja Tiba-tiba Ki Wiradana melupakan rasa sakitnya. Seakan-akan
ia telah mendapatkan kekuatan baru, sehingga dengan serta
merta ia pun telah bangkit.
"Kakang," Iswari mencoba mencegah. Demikian pula Kiai
Soka. Tetapi Ki Wiradana telah duduk dipembaringan.
"Lihat, bawa anak itu kemari," desisnya.
Iswari termangu-mangu. Namun kemudian diserahkannya
anaknya ke tangan Ki Wiradana.
Tangan Ki Wiradana yang lemah itu tiba-tiba mendapat
kekuatan untuk mendukung anaknya meskipun Iswari selalu
menjaganya jika tangan suaminya tidak lagi mampu
mendukung bayi yang berat itu.
"O, kau," Ki Wiradana benar-
benar menangis sambil mencium anak itu. Anak itu meronta. Ia tidak
mengenal orang yang mendukungnya itu. Apalagi
ketika terasa air mata yang
hangat membasahi wajahnya.
Namun Ki Wiradana itu terkejut ketika tangannya
tersentuh sesuatu. Ia sempat
mengamati benda di leher anaknya itu. Matanya yang
kabur seakan-akan menjadi terang kembali.
"Pertanda kuasa Kepala Tanah Perdikan Sembojan," desisnya.
"Ya kakang," jawab Iswari disela-sela isaknya.
"Darimana kau dapatkan?" bertanya Ki Wiradana.
"Ki Gede," jawab Iswari sebagaimana dikatakan oleh Gandar.
18 SH. Mintardja "O," Sekali lagi Ki Wiradana mencium anaknya. Katanya,
"Tuhan Maha Besar. Betapa besar dosaku, tetapi agaknya Tuhan
sudah mengaturnya. Anak inilah yang telah ditunjuknya menjadi
Kepala Tanah Perdikan itu. Untunglah aku tidak menemukannya
pada waktu itu, sehingga terjadilah yang akan terjadi."
Iswari hanya menunduk saja. Tetapi air matanya pun menjadi
semakin deras mengalir. Dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Wiradana berkata, "Iswari.
Inilah anakmu. Jaga ia baik-baik agar anak ini benar-benar dapat
memegang jabatan yang memang seharusnya dipegangnya.
Tetapi tentu ada pihak-pihak yang tidak menyukainya, sehingga
ia harus diselamatkan dari usaha yang licik untuk
menyingkirkannya." Ki Wiradana itu pun kemudian telah menyerahkan anak itu
kepada Iswari. Dengan nada yang semakin lembut ia masih
berpesan lagi, "Kaulah yang berhak mengembaninya. Segalanya
telah tertutup bagiku."
Tiba-tiba saja Ki Wiradana itu pun telah kehilangan
kekuatannya kembali. Untunglah Ki Soka cepat menangkapnya, sehingga Ki
Wiradana itu tidak terjatuh terlalu keras.
"Kakang," desis Iswari.
Ki Wiradana sudah terbaring lagi dengan lemahnya. Bahkan
terdengar ia mengaduh menahan sakit pada lukanya. Sementara
itu nafasnya pun menjadi semakin sesak.
Anaknya telah berada kembali ditangan ibunya, sehingga
anak itu merasa dirinya aman kembali. Disembunyikan wajahnya
di dada ibunya yang berdebar-debar menghadapi keadaan yang
sangat pahit itu. Namun dalam pada itu, orang-orang yang berada di ruang itu
menjadi cemas. Kiai Badra telah berjongkok pula disisi
pembaringan Ki Wiradana. Wajahnya menjadi tegang ketika ia
menyentuh dada Ki Wiradana yang menjadi semakin lemah.
19 SH. Mintardja "Kiai," desis Kiai Badra sambil menggamit Kiai Soka.
Kiai Soka pun menjadi tegang pula. Namun mereka telah
melakukan segala usaha. Apapun yang mungkin mereka lakukan
telah mereka lakukan. Obat yang paling baik yang ada pada
mereka telah mereka berikan.
Sementara itu Ki Wiradana masih juga berdesis, "Kiai. Aku
titipkan anakku kepada Kiai dan kepada semuanya yang ada
disini. Semoga ia benar-benar dapat mewarisi haknya. Kiai dan
semua orang akan menjadi saksi, jika Pajang menuntut
pemberontakan yang telah dilakukan oleh Tanah Perdikan itu,
maka semua adalah tanggung jawabku. Anak itu tidak bersalah,
sehingga anak itu tidak dapat terpecik kesalahanku sehingga hak
Tanah Perdikan ini dapat dicabut."
"Ya, ya Ki Wiradana," sahut Kiai Badra. "Kami akan menjadi
saksi. Disini ada pula para perwira prajurit Pajang yang tahu
benar apa yang terjadi, sehingga anakmu tidak akan mengalami
perlakuan yang tidak seharusnya."
Ki Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
telah mengeluh, justru karena lukanya terasa sakit sekali. Bahkan
kemudian terdengar suaranya bergetar, "Jalan itu telah terbuka.
Sebaiknya aku minta diri."
"Kakang," desis Iswari. Air matanya menjadi semakin deras.
Bagaimanapun juga hatinya terasa sangat pedih melihat keadaan
Ki Wiradana. Namun jika Yang Maha Agung menghendaki, maka tidak
seorang pun yang akan dapat ingkar. Saat itu datang pada
waktunya. Tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat.
Demikian pula terjadi dengan Ki Wiradana. Saat itu pun
ternyata tidak dapat ditunda dengan segala macam usaha. Saat
yang tidak dapat diubah oleh apapun juga dan oleh siapapun
juga. Kiai Badra dan Kiai Soka melihat wajah Ki Wiradana yang
pucat itu. Wajah yang semakin lama semakin suram. Ketika bibir
20 SH. Mintardja itu bergerak mendengar suaranya lirih, "Aku minta diri. Aku
mohon kalian berdoa untukku. Apapun yang telah aku lakukan,
semoga aku mendapat keringanan."
Kiai Badra dan Kiai Soka tidak menjawab. Mata itu terbuka
perlahan-lahan. Namun kemudian tertutup lagi. Satu tarikan
nafas pendek dan desis, "Jaga anakku."
Suara itu kemudian hilang bersama hentinya detak jantung Ki
Wiradana. Nyai Soka yang melihat keadaan itu cepat tanggap. Ia pun
segera mendekap Iswari yang mendukung anaknya. Sebuah jerit
terdengar. Sementara itu Nyai Soka berusaha membawanya
bergeser menjauh. "Marilah Iswari," desis Nyai
Soka. "Kasihan anakmu. Ia
akan ketakutan melihat kau
menangis. Ikhlaskanlah yang
telah dipanggilnya menghadap.
Percayalah bahwa yang terjadi
itu adalah sesuatu yang terbaik
baginya. Tidak seorang pun
yang akan dapat ingkar."
Iswari berusaha untuk menguasai perasaannya. Namun tangisnya tidak dapat
dibendungnya lagi. Perempuan yang juga disebut Serigala Betina itu pun
segera mendekat. Diambilnya
anak Iswari dari tangan perempuan yang sedang didera oleh
perasaannya yang pedih itu.
Di luar pintu Gandar duduk sambil bertopang dagu. Ia
mendengar Iswari menangis. Tetapi ia tidak dapat berbuat
apapun juga. 21 SH. Mintardja Suasana di ruang itu pun menjadi sendu. Kiai Badra dan Kiai
Soka telah menempatkan tubuh Ki Wiradana pada sikap yang
seharusnya. Diaturnya tangannya bersilang didadanya.
"Marilah Iswari," ajak Nyai Soka. "Biarlah orang-orang tua
menyelesaikan segala-galanya. Penderitaan Ki Wiradana telah
berakhir. Jangan hambat perjalanannya dengan tangismu."
Iswari berusaha untuk menahan hatinya. Tetapi yang terasa
di dadanya adalah justru dendam yang membara. Ia
membebankan segala kesalahan kepada perempuan yang
bernama Warsi. Bahkan ia pun telah meyakinkan dirinya, bahwa
perempuan yang bernama Warsi itu telah merencanakan segala-
galanya sejak ia memasuki Tanah Perdikan sebagai seorang
penari jalanan. Dan nampaknya rencana itu berjalan lancar
kecuali pembunuhan atas diri Iswari yang gagal itu, karena tiba-
tiba dihati perempuan yang disebut Serigala Betina itu terpercik
sinar terang. "Seandainya tidak demikian, maka aku pun telah terbunuh,"
berkata Iswari di dalam hatinya. Namun itu pun merupakan
pertanda baginya bahwa apapun yang diusahakan oleh seseorang,
tidak akan dapat mengubah apa yang telah ditetapkan oleh Yang
Maha Agung. Iswari pun kemudian tidak mengelak ketika Nyai Soka
membawanya ke luar dari bilik dan meninggalkan rumah yang
dipergunakan untuk merawat Ki Wiradana itu.
Di dalam rumah itu masih tinggal para pemimpin Tanah
Perdikan Sembojan yang lain dan beberapa orang perwira
pasukan Pajang. Mereka memandang tubuh Ki Wiradana yang
terbujur diam. Namun nampaknya Ki Wiradana memang sudah
mendapatkan ketenangannya.
Kematian Ki Wiradana itu agaknya merupakan peringatan
yang sangat keras bagi Tanah Perdikan Sembojan. Para
pemimpin Tanah Perdikan itu seolah-olah merasa dihadapkan
kepada satu masa yang baru bagi Tanah Perdikan yang telah
22 SH. Mintardja mengalami goncangan-goncangan yang telah menggoyahkan
sendi-sendi pemerintahan Tanah Perdikan itu.
Dalam pada itu, maka semua kegiatan yang lain untuk
sementara telah terhenti di Tanah Perdikan Sembojan kecuali
kesiagaan. Mereka sibuk menyelenggarakan tubuh Ki Wiradana.
Bagaimanapun juga ia adalah Pemangku Jabatan Kepala Tanah
Perdikan Sembojan. Berbagai tanggapan telah tumbuh di kalangan rakyat
Sembojan. Namun pada saat-saat terakhir, mereka tidak merasa
perlu untuk menolak penghormatan yang diberikan kepada Ki
Wiradana yang pernah dianggap berkhianat kepada Pajang dan
telah menjerumuskan Tanah Perdikan Sembojan ke dalam
kesulitan. Atas persetujuan segala pihak, maka tubuh Ki Wiradana itu
pun telah dibaringkan di banjar Padukuhan Induk Tanah
Perdikan Sembojan. Beberapa pengawal menjaganya dengan
penuh kewaspadaan. Kematian Ki Wiradana karena
pengkhianatan orang-orang yang paling dipercayanya telah
mendorong para pengawal untuk tetap waspada. Karena tidak
mustahil mereka akan berbuat sesuatu atas tubuh yang sudah
membeku itu. Baru dihari berikutnya, Ki Wiradana dimakamkan dengan
upacara sederhana. Ia adalah orang yang mempunyai jabatan
terpenting di Tanah Perdikan itu, tetapi ia bukan seorang yang
pantas dijadikan teladan. Karena itu, maka orang-orang yang
menghadiri upacara itupun bersikap ragu. Mereka tidak tahu,
penghormatan yang bagaimana yang harus diberikan kepada Ki
Wiradana itu. Meskipun demikian, ketika tubuh itu akan diberangkatkan ke
makam, Kiai Badra sempat memberikan sedikit sesorah. Orang
tua itu berharap agar orang-orang Tanah Perdikan memberikan
penghormatan terakhir dengan ikhlas, apapun yang pernah
dilakukan Ki Wiradana. Setiap orang akan dapat terjerumus ke
dalam kekhilafan. 23 SH. Mintardja "Karena itu, selagi kita mempunyai kesempatan, maka kita
harus selalu berdoa kepada Tuhan, agar kita tidak terseret ke
dalam langkah sesat. Semoga kita dijauhkan dari godaan, karena
hanya Tuhanlah yang mempunyai kuasa tanpa batas," berkata
Kiai Badra. Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan itu pun bagaikan
melihat kembali apa yang telah terjadi di atas Tanah Perdikan itu.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat Ki Wiradana mulai terjerat oleh godaan. Seorang
perempuan yang berparas cantik, yang memasuki Tanah
Perdikan itu sebagai seorang penari jalanan. Namun akhirnya,
orang-orang yang sedikit memiliki penalaran yang tajam melihat,
bahwa kehadiran Warsi di Tanah Perdikan itu bukannya satu
kebetulan, tetapi dibekali dengan rencana yang masak dan yang
sebagian besar sudah berhasil.
Demikianlah, maka tubuh Ki Wiradana itu pun kemudian
telah diusung ke kubur diiringi oleh sikap yang tidak menentu.
Meskipun banyak pula orang yang mengantarkannya, namun
wajah-wajah yang ragu dan tidak yakin akan langkah-langkah
sendiri telah mewarnai iring-iringan itu.
Iswari sendiri tidak ikut mengantar Ki Wiradana ke kubur.
Bersama Nyai Soka ia berada di rumah merenungi semua
peristiwa yang telah terjadi.
Namun dalam pada itu, beberapa kali Nyai Soka berkata
kepadanya, "Jangan terpancang pada masa yang pernah terjadi
Iswari. Angkatlah wajahmu. Lihatlah jalan panjang yang masih
harus kita lalui. Kau harus mengantar anakmu dengan selamat,
sampai saatnya ia dapat berdiri sendiri sebagai Kepala Tanah
Perdikan tanah ini. Para perwira Pajang yang ada di Tanah
Perdikan ini telah menyatakan kesediaan mereka untuk menjadi
saksi, apa yang telah terjadi disini, sehingga Pajang tidak
mencabut kedudukan Tanah Perdikan yang pernah diberikan
kepada tlatah ini." Iswari mengangguk kecil. Ia mencoba mencerna keterangan
Nyai Soka itu. 24 SH. Mintardja Jika Iswari mendengar suara anaknya yang kebetulan tertawa
atau menangis, maka ia pun seakan-akan telah mendapat
dorongan di dalam dirinya, bahwa ia harus berbuat banyak bagi
anaknya dan Tanah Perdikan yang pernah mengalami
kegoncangan itu. Namun Iswari tidak pernah melupakan pesan suaminya
disaat terakhir, bahwa ia harus berhati-hati menjaga anaknya.
Tidak mustahil bahwa ada pihak yang ingin menyingkirkannya,
karena ada anak laki-laki yang lain yang juga merasa berhak atas
kedudukan Kepala Tanah Perdikan itu.
Tetapi beberapa orang perwira Pajang telah mengatakan,
bahwa Pajang dapat saja menolak keturunan Kepala Tanah
Perdikan yang ternyata diragukan kesetiaannya, bahkan Pajang
berhak menunjuk orang lain meskipun juga dari darah keturunan
yang sama, atau bahkan dari darah keturunan yang lain sama
sekali. Atau yang lebih keras lagi Pajang akan dapat mencabut
hak sebagai Tanah Perdikan jika diperlukan sekali.
Meskipun demikian kemungkinan bahwa seseorang atau
sekelompok orang berusaha untuk menyingkirkan anak Iswari itu
bukannya satu hal yang mustahil.
Karena itu, maka perhatian yang bersungguh-sungguh harus
selalu diberikan kepada anak laki-laki yang tumbuh dengan
suburnya itu. Sementara itu, Tanah Perdikan Sembojan masih mempunyai
beban yang tidak ringan. Anak-anak muda yang tetap berada di
pihak Jipang sampai saat terakhir dan tertawan, merupakan
masalah yang harus dipecahkan dan diselesaikan dengan sebaik-
baiknya. Demikianlah, setelah penguburan Ki Wiradana lewat, maka
Tanah Perdikan Sembojan pun mulai membenahi dirinya. Para
pemimpin Tanah Perdikan itu untuk sementara sependapat,
bahwa pasukan Pajang masih diperlukan. Namun perlahan-lahan
jumlah pasukan Pajang itu akan dikurangi sejalan dengan
kesiagaan Tanah Perdikan itu sendiri, serta keadaan keseluruhan
25 SH. Mintardja yang meliputi Pajang, Jipang dan Demak serta Kadipaten-
kadipaten yang lain termasuk keluarga Kerajaan Demak.
Para tawanan yang terdiri dari para bekas prajurit Jipang
telah dibawa ke Pajang sementara tawanan yang terdiri dari
anak-anak Tanah Perdikan Sembojan telah ditangani oleh para
pemimpin Tanah Perdikan sendiri.
Namun para pemimpin Tanah Perdikan itu pun selalu
berhubungan dan membicarakannya dengan para perwira
Pajang, langkah-langkah yang sebaiknya diambil atas anak-anak
muda itu. Pada hari-hari pertama, pengawasan terhadap mereka masih
benar-benar dilakukan dengan keras. Para pemimpin Tanah
Perdikan Sembojan ingin mengguncang perasaan anak-anak
muda itu dengan cara seorang prajurit, sebagaimana mereka
pernah ditempa oleh para prajurit Jipang.
Para pengawal Tanah Perdikan terpilih yang mengawal dan
menjaga para tawanan itu pun mendapat perintah untuk
bertindak sebagai seorang prajurit atas para tawanannya.
Seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu telah berbicara
dihadapan para tawanan dengan bahasa yang keras.
"Jika satu atau sekelompok orang di antara kalian berbuat
sesuatu yang dapat mengganggu lingkungan apalagi berusaha
untuk melakukan pelanggaran atas paugeran tentang keberadaan
kalian disini, maka terhadap orang yang demikian akan diambil
tindakan yang keras," berkata pemimpin pengawal itu, kemudian
katanya selanjutnya, "Kami telah mengenal kalian, dan kalianpun
telah mengenal kami. Karena itu, maka kami tahu pasti kesalahan
kalian yang sulit untuk diampuni."
Para tawanan itu mengumpat. Tetapi mereka tidak dapat
berbuat apa-apa. Para pengawal nampaknya bersiaga sepenuhnya
untuk mengambil langkah-langkah sebagaimana dikatakan oleh
pemimpin pengawal itu. Wajah-wajah dari para pengawal yang
sebenarnya memang sudah dikenal dan mengenal para tawanan
itu nampak tidak ramah sama sekali. Bahkan yang menyakitkan
26 SH. Mintardja hati, di antara para pengawal itu terdapat juga kawan-kawan
mereka sendiri yang pernah bergabung dengan pasukan Jipang.
Namun yang menurut pengertian para tawanan itu justru telah
berkhianat. Namun dihari-hari berikutnya, para tawanan itu mulai
bergabung dengan sikap yang lain dari para pengawal. Meskipun
para pengawal itu masih tetap bersikap keras dan hati-hati,
namun kata-kata yang dilontarkan telah mulai bernada lain.
Pemimpin pengawal yang pada hari-hari pertama selalu
mengancam dengan kata-kata yang kadang-kadang kasar, mulai
mempergunakan istilah-istilah yang lembut.
"Aku minta maaf atas
sikapku," berkata pemimpin
pengawal itu pada satu saat
kepada para tawanan, "Aku
memang tidak dapat bersikap
lain. Aku mengerti, bahwa kita
adalah bersaudara. Namun kita
sudah dipisahkan oleh sikap
kita. Semoga sikap kita bukan
gambaran dari keyakinan kita
yang sudah mantap. Kami masih berharap bahwa sikap
kalian akan berubah justru
karena sikap kalian tidak
dilandasi oleh keyakinan."
Para tawanan itu memang mulai berpikir. Pemimpin pengawal itu menurut pengertian
mereka adalah salah seorang di antara anak-anak muda yang oleh
para prajurit Jipang tidak dianggap sebagai seorang yang cukup
baik untuk diterima sebagai pengawal pada waktu itu.
Namun beberapa orang tawanan itu melihat bahwa anak
muda yang dianggap kurang baik itu ternyata memiliki
kemampuan melakukan tugasnya dengan wibawa yang cukup.
27 SH. Mintardja Tetapi masih ada juga seorang di antara para tawanan itu
berdesis, "Ia hanya dapat berbicara. Coba, ada prajurit Pajang
disini. Ia tidak akan berani berlagak seperti itu."
Anggapan yang demikian ternyata telah menghinggapi
beberapa orang tawanan yang tidak senang melihat sikap
pemimpin pengawal itu. Bahkan seorang di antara para tawanan
yang tidak dapat menahan diri telah berkata langsung, "Kau
jangan berbuat sewenang-wenang. Kau dapat berbuat demikian
bukan karena kau mampu. Ingat, dalam pendadaran yang
dilakukan oleh para prajurit Jipang, kau pun ikut pula. Tetapi kau
telah ditolak karena kau tidak mampu berbuat apa-apa. Kau
menjadi sakit hati. Dan sekarang kau mendapat kesempatan
untuk melepaskan sakit hatimu, karena dibelakangmu ada para
prajurit Pajang." Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Ketika ia
memandang para tawanan yang lain, ia mendapat kesan yang lain
pula. Tidak banyak para tawanan yang bersikap seperti anak
muda itu. Anak muda yang memang dikenalnya sebagai anak
muda yang keras kepala, meskipun dengan demikian, ia termasuk
anak muda yang mempunyai kemampuan jasmaniah yang
tinggi." Untuk kali ini, pemimpin pengawal itu tidak
menghiraukannya. Namun ia sempat menemui Gandar yang
membimbingnya dalam olah kanuragan dan menceriterakan apa
yang dialaminya. "Apakah kau akan menunjukkan bahwa kau memiliki
kemampuan yang tidak kalah dari anak itu?" bertanya Gandar.
"Aku belum yakin," berkata anak muda itu.
"Aku akan meyakinkanmu," jawab Gandar. "Tunda segala-
galanya untuk kira-kira tiga hari. Selama ini bersikap wajar
sajalah sebagaimana kau lakukan sehari-hari. Selama itu aku
akan melihat kemampuanmu."
Pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Terima kasih. Aku akan menahan diri untuk tiga hari."
28 SH. Mintardja Sebenarnyalah dalam tiga hari itu, disetiap malam Gandar
telah menempa pemimpin pengawal itu secara khusus. Meskipun
sebelumnya pemimpin pengawal itu telah mendapat latihan-
latihan yang berat, namun Gandar benar-benar harus yakin
bahwa anak muda itu memiliki ilmu yang lebih baik dari para
perwira yang pernah mendapat latihan-latihan dari para perwira
Jipang. Ternyata rencana Gandar itu diketahui oleh seorang perwira
Pajang, sehingga sebagai seorang perwira prajurit ia mempunyai
pengetahuan tentang kemampuan apa saja yang dimiliki oleh
prajurit Pajang dan Jipang yang bersumber dari induk yang sama
pada saat Demak berkuasa. Dengan demikian, maka perwira itu
dapat ikut serta mengarahkan latihan-latihan yang berat dari
anak muda itu sehingga ia benar-benar mampu mengimbangi
kemampuan seorang prajurit.
Bahkan pada malam ketiga Kiai Badra yang melihat Gandar
melatih anak muda itu secara khusus ditunggui oleh seorang
perwira Pajang telah mendekat dan bertanya, "Ada apa" Agaknya
anak ini ingin secara khusus menempa diri."
Gandar menceriterakan dengan singkat persoalan yang
dihadapi anak muda itu sehingga Kiai Badra pun tersenyum
sambil berkata, "Bagus. Tempa anak itu sehingga ia yakin.
Perwira Pajang itu akan dapat mengatakan, apakah ia sudah
memiliki kemampuan secara pribadi sebagaimana seorang
prajurit." "Perwira itu sudah yakin," berkata Gandar.
"Jika demikian kau pun yakin," jawab Kiai Badra.
"Bahkan menurut perwira itu, ia sudah memiliki kemampuan
seorang pelatih khusus. Bahkan secara pribadi ia memiliki
kelebihan," berkata Gandar kemudian.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, "Ada baiknya
untuk sekali-kali berbicara dengan anak-anak yang masih belum
sempat menilai tingkah lakunya sendiri itu dengan bahasa yang
khusus." 29 SH. Mintardja Demikianlah, maka pemimpin pengawal itu benar-benar telah
siap jika memang diperlukan. Dihari-hari yang pada malam
harinya dipergunakan untuk menempa diri itu, ia tidak banyak
berbicara. Tetapi sikapnya sama sekali tidak berubah. Bahkan
terasa menjadi lebih angkuh dan keras. Khususnya dengan anak-
anak yang seakan-akan telah menantangnya.
Dengan demikian anak muda yang masih menganggap
dirinya memiliki kelebihan karena pernah mendapat latihan-
latihan yang keras dari perwira Jipang itu menjadi semakin
membencinya. Beberapa kali anak-anak itu telah menegur langsung atas
sikap pemimpin pengawal itu. Namun seakan-akan sama sekali
tidak dihiraukannya. Namun setelah hari ketiga lewat, dan anak
muda yang membencinya itu mengumpatinya lagi, anak itu
berhenti dihadapannya sambil bertolak pinggang.
Tetapi tawanan itu justru berkata, "Kau menjadi semakin
sombong. Tetapi kami menjadi semakin tahu bahwa kau dapat
perlakuan khusus." "Tutup mulutmu," geram pemimpin pengawal itu. "Kau tahu
bahwa dengan kata-katamu itu kau akan dapat mendapat
perlakuan khusus." "Apapun yang akan kau lakukan atasku. Tetapi aku tahu siapa
kau sebenarnya. Anak cengeng disudut padukuhan. Ayahmu
seorang pencari ikan, sedang biyungmu pekerjaannya tidak lebih
dari menjual daun pisang dan sekali-kali anyaman tikar. Nah,
sekarang karena kau berhasil menjilat kaki orang-orang Pajang
kau berani bertolak pinggang," berkata tawanan itu.
"Kata-katamu menyakitkan hati," berkata anak muda itu.
"Kau memang memancing persoalan" Aku dapat mengikatmu
dan memukulimu dengan rotan, anak setan. Jika kau menyebut
orang tuaku, kau kira aku tidak tahu siapa orang tuamu" Seorang
yang mengaku saudagar ternak namun tidak lebih dari botoh adu
jago itu" Dan sebut sendiri, siapakah ibumu he?"
30 SH. Mintardja "Persetan dengan orang tuaku," jawab tawanan itu. "Tetapi
aku sudah berbuat sesuatu bagi Tanah Perdikan ini meskipun
akhirnya aku jatuh ketangan pengkhianat-pengkhianat."
"Seandainya anggapanmu benar, bahwa bukan kaulah yang
berkhianat, apakah sebenarnya yang telah kau lakukan" Beramai-
ramai pergi ke Pajang sambil bersembunyi dipunggung orang-


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang Jipang" Itulah yang kau sebut telah pernah berbuat
sesuatu?" bertanya anak muda pemimpin pengawal itu.
Sementara itu beberapa orang telah datang berkerumun. Dua
orang tawanan yang lain berusaha untuk membawa kawannya
yang marah itu untuk menyingkir. Tetapi anak muda itu tidak
mau, bahkan ia telah menghentakkan tangan kedua orang
kawannya itu. Sementara beberapa pengawal menjadi
tersinggung melihat sikapnya. Seorang di antara para pengawal
berkata, "Kita ambil saja anak itu. Bukankah ia anak tukang adu
ayam yang sering berkelahi di arena itu?"
Tetapi pemimpin pengawal itu menggeleng. Katanya kepada
kedua orang tawanan yang akan menyingkirkan anak itu.
"Biarlah. Apa yang dikehendaki" Mungkin ia merasa bangga
bahwa ia terpilih menjadi seorang pengawal pada saat orang-
orang Jipang ada disini, sedangkan aku waktu itu tidak diterima.
Tetapi aku mampu membuktikan bahwa meskipun saat itu aku
tersisih, tetapi aku tidak lebih buruk daripadanya dalam olah
kanuragan. Agaknya ia dapat diterima bukan karena kelebihan
yang dimilikinya pada tubuhnya, tetapi hanya kebetulan saja para
perwira Jipang waktu itu memang tidak bersungguh-sungguh
atau mereka memang dungu."
"Gila," geram tawanan itu. "Aku yakin kau tidak berani
membuktikan." "Jangan tanggapi," berkata seorang pengawal. "Biarlah aku
membungkamnya dengan ujung tombak."
Tetapi pemimpin pengawal itu tersenyum. Katanya, "Biarlah
aku membuktikan, bahwa bualannya itu hanya omong kosong."
31 SH. Mintardja Dan tiba-tiba saja pemimpin pengawal itu berkata kepada
para pengawal, "Siapkan arena."
"He, apakah kau bersungguh-sungguh?" bertanya beberapa
pengawal hampir berbareng.
"Aku bersungguh-sungguh," jawab pemimpin pengawal itu.
Beberapa pengawal itu menjadi cemas. Mereka menyadari
bahwa tawanan itu adalah anak-anak muda pilihan yang
dianggap paling baik justru pada pilihan pertama. Apalagi anak
muda itu sudah mendapat tempaan yang berat dari para perwira
Jipang. Meskipun pemimpin pengawal itu juga pernah
mengalami latihan-latihan yang berat, namun tataran
kemampuan mereka masih harus diperhitungkan pula.
"Jangan cemas," berkata pemimpin pengawal itu. "Sebelum
aku dibawa Gandar ke Pajang secara khusus, aku mendapat
tempaan khusus pula. Bahkan selama aku di Pajang tanpa
mengenal waktu aku selalu berlatih dan sedikit pengalaman di
medan yang sebenarnya."
Para pengawal itu ternyata tidak dapat mencegahnya lagi.
Yang dikatakan oleh pemimpin pengawal itu memang benar. Ia
termasuk salah seorang yang secara khusus telah dijemput oleh
Gandar dan dibawa ke Pajang. Untuk itu Gandar memang telah
menempanya secara khusus. Namun para pengawal itu tidak
tahu, bahwa di dalam tiga malam terakhir anak muda itu pun
telah mendapat petunjuk-petunjuk dan latihan khusus lagi
bahkan dibawah pengawasan seorang perwira Pajang yang
mengetahui ukuran kemampuan seorang prajurit Jipang dan
Pajang. Karena baik perwira itu maupun Gandar yakin bahwa
tawanan itu tidak memiliki ilmu yang lebih baik dari para prajurit
Jipang yang sebenarnya. Setinggi-tingginya kemampuannya
tentu dalam batas setingkat dengan para prajurit.
Perintah pemimpin pengawal itu untuk membangunkan
sebuah arena memang menarik perhatian. Rencana itu telah
dengan cepat menjalar sehingga para pemimpin Tanah Perdikan
Sembojan pun mendengarnya.
32 SH. Mintardja Namun ketika Iswari ingin
mencegahnya, Gandar berkata,
"Biarkan saja. Pemimpin
pengawal itu memiliki kekhususan." Iswari termangu-mangu. Namun ia masih saja merasa
cemas. Bahkan ketika Kiai
Badra pun menasihatinya untuk tidak cemas Iswari masih tetap berdebar-debar.
"Para tawanan yang keras
kepala itu sebaiknya memang
melihat sendiri kemampuan
para pengawal," berkata Kiai
Badra. "Tetapi bagaimana jika tawanan itu dapat mengalahkannya?"
berkata Iswari. Kiai Badra tersenyum sambil berkata, "Mudah-mudahan
penilaian Gandar dan perwira Pajang itu tidak salah.
Iswari akhirnya tidak mencegahnya meskipun ia masih tetap
dibayangi oleh kecemasan.
Sementara itu, para pengawal benar-benar telah menyiapkan
sebuah arena. Para pengawal dan bahkan beberapa orang
pemimpin Tanah Perdikan Sembojan dan para perwira prajurit
Pajang telah menyaksikan pula. Sementara itu, para tawanan pun
mendapat kesempatan pula untuk melihat. Apakah yang
dikatakan oleh kawannya itu benar bahwa para pengawal Tanah
Perdikan adalah sekadar sisa-sisa dari anak-anak muda yang
tidak terpilih untuk menjadi pasukan pengawal yang baik,
sehingga karena itu, maka para pengawal itu tidak lebih dari
anak-anak muda yang hanya sekadar berlindung dibawah
ketajaman ujung pedang para prajurit Pajang.
33 SH. Mintardja Ketika tawanan itu memasuki arena, maka wajahnya nampak
menjadi cerah. Sementara itu pemimpin pengawal itu pun telah
melepaskan semua senjatanya dan hadir dilapangan sebagaimana
tawanan yang pernah menantangnya itu.
"Kau akan menyesal," geram tawanan itu. "Aku akan
membunuhmu meskipun aku tahu, akibatnya aku akan dihukum
picis." "Tidak," sahut pemimpin pengawal, "Kau tidak akan dihukum
jika kau menang. Tetapi sayang, hukumanmu akan berlangsung
di arena itu. Tawanan itu tertawa, katanya, "Bukankah kau masih ingat,
bagaimana kau diusir ketika kau bersamaku mengalami
pendadaran" Bagaimana kau dicaci maki para pelatih pada waktu
itu, karena kau dengan keadaanmu berani ikut memasuki
pendadaran" Bukankah kau yang hampir pingsan ketika kau
harus memanjat tambang dan kemudian terayun untuk meloncati
parit?" "Ya," jawab pelatih pengawal itu.
"Nah, jika demikian, apakah artinya kau memasuki arena
seperti ini" Bukankah kau hanya sekadar membunuh diri?"
bertanya tawanan itu. "Aku ingin membuktikan bahwa para perwira Jipang itu
memang dungu. Akulah yang sebenarnya anak terbaik pada
waktu itu. Tetapi mereka tidak melihatnya. Justru mereka telah
menerimamu hanya karena kau pandai membual dan bertingkah
laku kasar," sahut pemimpin pengawal itu.
Tawanan itu menggeram. Namun pemimpin pengawal itu
mendahuluinya, "Bukankah kita akan berkelahi" Jika kau masih
saja membual maka perkelahian ini akan urung. Kawan-
kawanmu yang menonton akan kecewa dan aku pun kecewa
karena aku tidak sempat membuktikan bahwa orang-orang
Jipang itu dungu dan kau pun lebih dungu lagi dari mereka."
34 SH. Mintardja Tawanan itu memang tidak menjawab. Matanya menjadi
merah oleh kemarahan yang menghentak-hentak.
Sejenak keduanya masih bergeser berputar. Namun sejenak
kemudian tawanan itu telah meloncat menerkam lawannya.
Tetapi lawannya sempat mengelak. Bahkan ia tidak
membiarkan tawanan itu menyerangnya pula. Justru pengawal
itu telah berputar dengan ayunan kaki mendatar.
Tetapi tawanan itu melihat serangan mendatar itu datang.
Dengan tangkas ia bergeser surut, sehingga ayunan kaki yang
mendatar itu tidak menyentuhnya.
Sekejap kemudian keduanya telah berdiri tegak dengan kaki
renggang, siap untuk bertempur lebih sengit lagi.
Sebenarnyalah sejenak kemudian keduanya telah bertempur
dengan sengitnya. Tawanan itu memang seorang yang memiliki
kemampuan setingkat dengan para prajurit. Ia telah pernah
ditempa oleh para perwira Jipang di Tanah Perdikan Sembojan.
Satu kesempatan yang pada waktu itu agaknya diperebutkan.
Dengan demikian tawanan itu memang merasa bahwa ia
memiliki kemampuan yang tentu jauh lebih baik dari pemimpin
pengawal yang pernah ditolak oleh orang-orang Jipang pada
waktu itu. "Aku akan membuktikan bahwa pilihan para perwira Jipang
itu tepat pada waktu itu," berkata tawanan itu di dalam hatinya.
Tetapi sebaliknya pemimpin pengawal itu juga ingin
mengatakan bahwa meskipun ia pernah ditolak oleh para perwira
Jipang, namun ia memiliki kemampuan yang tidak kalah baiknya
dari kawan-kawannya yang dalam pemilihan yang pertama itu
telah terpilih. Dengan demikian maka kedua orang itu telah membawa
keinginan masing-masing untuk menyatakan kebenaran sikap
dan pendapatnya lewat perkelahian itu.
35 SH. Mintardja Para pengawal Tanah Perdikan Sembojan dan para
pemimpinnya menyaksikan pertempuran antara kedua orang itu
dengan tegang. Mereka melihat pengawal itu bertempur dengan
tata gerak yang cepat dan langkah-langkah yang mantap.
Sedangkan tawanan itu pun telah menunjukkan kemampuannya
dan kekuatan yang tersirat pada setiap geraknya.
Sementara itu tawanan itu mulai merasa heran. Lawannya
ternyata tidak dapat ditumbangkan dengan mudah sebagaimana
dibayangkan sebelumnya. Ia menduga bahwa lawannya itu tidak
akan dapat bertahan sepenginang karena kemampuannya akan
segera dapat menggulungnya tanpa ampun. Tetapi yang
dijumpainya memang agak diluar dugaannya.
Namun tawanan itu berkata di dalam dirinya, "Mungkin ia
memiliki ketrampilan yang tinggi. Tetapi aku yakin ketahanan
tubuhnya yang lemah itu tidak akan dapat bertahan lebih lama
lagi." Dengan demikian tawanan itu memang berusaha untuk
memancing agar derap permainan itu menjadi semakin cepat. Ia
berharap bahwa dengan demikian nafas pemimpin pengawal itu
akan bagaikan terkuras dari rongga dadanya.
Agaknya pemimpin pengawal itu tidak dapat menghindari
dera serangan lawannya, sehingga pertempuran itu memang
menjadi lebih cepat. Keduanya saling menyambar dan saling
menghindar. Tangan dan kaki mereka bergerak dengan cepat,
menggapai sasaran namun kemudian menangkis serangan.
Tawanan yang pernah ditempa oleh para perwira Jipang itu
berusaha untuk bertempur pada jarak yang panjang, sehingga
langkah dan gerak mereka pun menjadi semakin banyak
mengerahkan tenaga. Namun beberapa saat mereka bertempur, tawanan itu justru
menjadi semakin heran. Pemimpin pengawal itu sama sekali
tidak menjadi letih dan kehilangan kemampuannya untuk
melawan. Setelah mereka berkelahi beberapa lama, pemimpin
pengawal itu masih saja mampu bergerak dan bertempur dengan
36 SH. Mintardja tangkas dan cepat. Bahkan kadang-kadang pemimpin pengawal
itu telah menunjukkan gerak yang tiba-tiba dan agak
membingungkan. Tawanan itu semakin lama menjadi semakin berdebar-debar.
Ternyata bahwa pemimpin pengawal itu memiliki kemampuan
jauh lebih baik dari yang diduganya. Dengan demikian ia tidak
dapat menguras tenaga pemimpin pengawal itu seperti yang
direncanakan dan kemudian mempermainkannya seperti seekor
kucing mempermainkan seekor tikus kecil yang lemah, yang
untuk lari pun tidak akan mungkin lagi mendapat kesempatan.
Tetapi pemimpin pengawal itu masih tetap garang dan
berloncatan dengan cepatnya.
Karena itu, maka tawanan itu harus mengubah cara yang
dipergunakannya. Ia tidak lagi menunggu sampai lawannya
kehabisan tenaga dan menjeratnya ke dalam permainan yang
akan menjadi tontonan yang menarik. Tetapi tawanan itu
bertekad untuk dengan segera menghancurkan lawannya. Ia tidak
dapat menunggu lebih lama lagi dan memberikan kesan seolah-
olah pemimpin pengawal itu dapat mengimbangi
kemampuannya. Dengan demikian maka pertempuran itu bukan saja semakin
cepat, tetapi juga menjadi semakin keras. Sambil meloncat
menyambar lawannya, tawanan itu berteriak lantang, "Ternyata
kau harus dihancurkan sama sekali."
Pemimpin pengawal itu terkejut ketika tiba-tiba saja ia
mendengar lawannya berteriak. Apalagi tangan lawannya yang
mengembang dengan jari-jari terbuka hampir saja menerkam
wajahnya. "Gila," geram pemimpin pengawal itu. "Kau membuat aku
terkejut. Bukan karena ilmumu, tetapi karena mulutmu."
Tawanan itu menjadi semakin marah. Karena tangannya
tidak mengenai sasaran, maka demikian kakinya menyentuh
tanah, tiba-tiba saja ia telah melenting menyerang dengan kaki
mendatar. 37 SH. Mintardja Hampir saja serangan yang keras itu dapat mengenai
lawannya. Tetapi pemimpin pengawal itu sempat meloncat
mengelak. Bahkan ketika kaki tawanan itu terjulur, tiba-tiba saja
dengan gerak yang sangat cepat, pemimpin pengawal itu justru
telah menyerang kaki yang lain, yang tegak di atas ditanah.
Serangan itu memang tidak terduga. Tetapi tawanan itu
sempat melihatnya. Namun ia agak terlambat mengambil sikap.
Justru karena kakinya yang sebelah terangkat, maka sulit baginya
untuk pada waktunya menghindar.
Pada saat yang demikian, maka kaki pemimpin pengawal itu
sempat menyambar kaki tawanan itu pada saat kakinya yang lain


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terangkat. Sebuah dorongan yang kuat telah melemparkannya.
Tetapi tawanan itu memang sudah memperhitungkan
meskipun ia tidak sempat menghindar. Karena itu, demikian kaki
pemimpin pengawal itu mengenainya, maka ia pun telah
membiarkan dirinya berguling namun dengan cepat sekali
melenting berdiri. Namun ternyata pemimpin pengawal itu benar-benar
memiliki kemampuan diluar dugaannya. Demikian ia tegak, maka
tiba-tiba saja terasa dadanya bagaikan ditepuk oleh kekuatan
yang luar biasa, seakan-akan segumpal batu hitam menimpa
dadanya itu. Karena itu, maka tawanan itu telah sekali lagi terdorong kuat
sekali. Sekali lagi ia harus menjatuhkan diri dan kemudian
melenting berdiri. Tetapi ia mengumpat dengan kasar ketika pada saat ia tegak,
pemimpin pengawal itu telah tegak dihadapannya pula. Bahkan
sambil tersenyum dan bertolak pinggang ia berkata, "Satu
permainan yang bagus. Ternyata latihan-latihan yang kau
lakukan dibawah bimbingan para perwira Jipang itu memberikan
kemampuan yang cukup baik kepadamu."
Tawanan itu mengumpat. Namun sebenarnyalah ia melihat
pemimpin pengawal itu berdiri tegak di dalam keadaan yang
masih segar. Sementara dadanya sendiri merasa sesak oleh
38 SH. Mintardja serangan yang ternyata adalah dorongan telapak tangan
pemimpin pengawal itu. "Darimana kau mendapatkan kekuatan dan ketahanan tubuh
itu anak setan?" geram tawanan itu.
"Sejak semula sudah aku katakan," jawab pemimpin pengawal
itu. "Bukan keadaan tubuhku dan ketajaman nalarku yang
menyebabkan aku ditolak untuk mengikuti latihan-latihan pada
waktu itu. Tetapi orang-orang Jipang itulah yang dungu. Mereka
tidak melihat, bahwa dengan sengaja aku berbuat demikian agar
aku tidak terseret ke dalam sikap dan anggapan seperti yang
bermukim dikepalamu sekarang ini."
"Persetan," geram tawanan itu.
"Terserahlah apa yang ingin kau katakan. Tetapi aku telah
membuktikan sendiri, bahwa aku tidak lebih buruk dari kau yang
pernah ditempa oleh para perwira Jipang justru pada angkatan
yang pertama," jawab pemimpin pengawal itu.
Tawanan itu tidak menjawab. Namun ialah yang kemudian
dengan tiba-tiba dan diluar dugaan telah meloncat menyerang.
Demikian tiba-tiba sehingga pemimpin pengawal itulah yang
terlambat mengambil sikap. Yang dilakukannya kemudian ialah
sekadar memiringkan tubuhnya dan menangkis serangan itu
dengan tangannya. Yang terjadi adalah benturan yang keras. Pemimpin pengawal
itu agaknya masih belum bersiap sepenuhnya menerima
serangan itu, sehingga ialah yang kemudian terdorong beberapa
langkah surut dan bahkan keseimbangannya tidak lagi dapat
dipertahankan. Karena itu maka pemimpin pengawal itu pun
telah jatuh berguling. Namun dengan penuh kesadaran ia telah
meloncat berdiri dan bersiap untuk menghadapi kemungkinan.
Lawannyalah yang bernafsu untuk memburunya dan
menyerangnya pada saat pemimpin pengawal itu tegak,
sebagaimana dilakukan oleh pemimpin pengawal itu atas dirinya,
ternyata tidak dapat dilakukan. Bahkan keseimbangannya pun
menjadi goncang, karena pada saat benturan itu, ia pun telah
39 SH. Mintardja terpental selangkah surut pada saat justru ia ingin meloncat maju
memburu lawannya. Hampir saja tawanan itu pun jatuh
berguling. Namun dengan susah payah ia mampu tetap tegak,
meskipun ia tidak sempat memburu lawannya sehingga lawannya
mampu berdiri tegak dan bersiap menunggu serangannya.
Tawanan itu mengumpat dengan marahnya. Sementara itu
pemimpin pengawal yang telah terjatuh itu pun menjadi marah
pula. Darahnya mulai terasa semakin panas didalam tubuhnya.
Dengan demikian, maka perkelahian yang kemudian terjadi
menjadi semakin seru. Keduanya menjadi garang dan bertempur
dengan keras dan bahkan kasar.
Para tawanan yang mendapat kesempatan untuk melihat
perkelahian itu menjadi berdebar-debar pula. Mereka juga tidak
menyangka bahwa pemimpin pengawal itu ternyata memiliki
kemampuan mengimbangi kemampuan kawannya yang
mendapat kesempatan untuk ditempa dengan keras oleh para
perwira Jipang. Mereka pun tahu bahwa anak muda yang
menjadi pemimpin pengawal itu gagal pada pendadaran pada
saat ia memasuki kesatuan pengawal pilihan.
Tetapi mereka pun mulai menjadi ragu-ragu. Apakah anak
muda yang menjadi pemimpin pengawal itu benar-benar tidak
mampu menempuh pendadaran pada waktu itu, atau dengan
sengaja memang membuat demikian agar ia tidak dapat diterima
menjadi pengawal terpilih pada waktu itu.
Sementara itu, pertempuran antara kedua orang itu pun
menjadi semakin seru. Keduanya telah mengerahkan
kemampuan mereka tanpa terkekang lagi. Benturan-benturan
menjadi semakin sering terjadi.
Namun dengan demikian, maka keduanya menjadi semakin
menyadari tataran mereka masing-masing. Keduanya semakin
mendapatkan kepastian tentang kemampuan mereka.
Tawanan itu mengumpat tidak habis-habisnya. Anak muda
yang disangkanya hanya sekadar menyombongan diri karena
perlindungan para prajurit Pajang itu ternyata memang memiliki
40 SH. Mintardja kemampuan yang sulit diatasinya. Bahkan ketika mereka
berkelahi beberapa lama, namun nampaknya tenaga pemimpin
pengawal itu masih belum surut. Justru pada saat tawanan itu
merasa bahwa ia sudah berada pada batas tertinggi dari kekuatan
dan kemampuannya. Beberapa kali kedua belah pihak telah berhasil mengenai
lawannya. Dan bahkan tubuh keduanya telah menjadi merah biru
di beberapa tempat. Namun perkelahian itu masih saja
berlangsung dengan sengitnya.
Sebenarnyalah bahwa Gandar pun mulai merasa cemas.
Perkelahian itu sudah berlangsung terlalu lama. Jika
pertempuran itu tidak segera selesai, maka Gandar pun
mencemaskan ketahanan kemampuan pemimpin pengawal itu.
Tetapi pemimpin pengawal itu, betapapun kemarahan
bergejolak di dalam dadanya, namun ia masih mempergunakan
nalarnya sebaik-baiknya. Ia masih berusaha untuk tidak
kehilangan kekang atas dirinya sendiri. Bahkan ia telah
memperhitungkan kemungkinan perkelahian itu akan
berlangsung lama. Dengan sengaja pemimpin pengawal itu ingin mengukur
sampai seberapa jauh kemampuan dan ketahanan tubuh tawanan
yang pernah ditempa oleh para perwira Jipang itu. Ia justru ingin
membuktikan, bukan saja kepada lawannya itu, tetapi juga
kepada para tawanan yang lain, yang pernah merasa dirinya
orang terbaik di Tanah Perdikan Sembojan.
Karena itu, meskipun keduanya telah merasa tubuh mereka
saling disakiti, namun pertempuran itu masih berlangsung
dengan sengitnya. Tetapi ternyata bahwa kekuatan dan kemampuan tawanan
yang sudah berada di puncak itu mulai surut perlahan-lahan.
Nafasnya mulai berdesahan dan keringat yang bagaikan diperas
dari seluruh tubuhnya itu pun membuat kekuatannya seakan-
akan semakin susut terus.
41 SH. Mintardja "Anak gila," geram tawanan itu. Ia masih mencoba
menghentakkan serangannya. Kedua tangannya telah terjulur
menerkam dada lawannya pada saat ia melihat pertahanan
lawannya terbuka. Namun pemimpin pengawal itu sempat
bergeser selangkah surut, sehingga jari-jari tawanan itu tidak
menyentuhnya. Namun justru pada saat yang demikian
pemimpin pengawal itu merendahkan dan kakinya telah terjulur
menyamping. Dengan cepat tawanan itu memutar tubuhnya sambil
bergeser. Ia sempat mendorong kaki yang terjulur itu dengan
sepenuh kekuatan sehingga kaki itu seakan-akan telah terlempar.
Pada saat pemimpin pengawal itu berputar dengan bertumpu
pada tumit kakinya yang lain, maka tawanan itu telah menyerang
dengan pukulan ke arah lambung. Dengan meloncat selangkah ke
depan, sambil sedikit merendah, maka tangannya terjulur dengan
jari-jari merapat. Ujung jari-jarinya yang merapat itu siap untuk
mematuk lambung lawannya yang sedang berputar itu.
Tetapi pemimpin pengawal itu bergerak lebih cepat. Ia
sempat melenting menyamping pada saat kakinya yang lain
menyentuh tanah, sehingga dengan demikian, maka ujung jari-
jari tangan yang merapat itu tidak mengenai sasaran.
Namun tawanan itu tidak melepaskan lawannya. Ia masih
berusaha untuk memburunya. Sambil meloncat selangkah maju
tangannya menghantam ke arah kening.
Namun pemimpin pengawal itu sempat bergeser. Pada saat
tangan itu berdesing di sebelah keningnya, maka tiba-tiba saja
pemimpin pengawal itu telah menghantam perut tawanan itu.
Pukulan itu demikian cepatnya sehingga sulit untuk
dihindari. Tangannya yang lain yang berusaha menangkis sambil
memiringkan tubuhnya, tidak berhasil membebaskannya
sepenuhnya. Sehingga dengan demikian pukulan pemimpin
pengawal itu masih juga mengenai lambungnya meskipun tidak
telak. Namun demikian pemimpin pengawal itulah yang tidak
mau membiarkan kesempatan berlalu. Pada jarak yang dekat itu
42 SH. Mintardja ia justru menghentak maju selangkah. Sikunya diangkatnya
mengarah ke dada tawanan itu.
Gerakan itu berlangsung demikian cepatnya pada jarak yang
sangat pendek. Karena itu, maka terasa dadanya itu tiba-tiba
menjadi sesak. Pukulan itu bagaikan telah mematahkan tulang-
tulang iganya. Tawanan itu masih sempat meloncat mundur. Ia jatuh pada
kedua kakinya yang merendah. Satu kakinya ditarik setengah
langkah kebelakang, sementara tangannya siap melindungi
bagian samping tubuhnya. Sekali lagi pemimpin pengawal itu memburunya. Kakinyalah
yang kemudian melingkar mendatar. Tumitnyalah yang
mengarah ke punggung lawannya yang berdiri menyamping.
Tetapi tawanan itu sempat meloncat surut sehingga putaran
kaki lawannya itu lewat, dengan tangkasnya tawanan itu telah
menyerang, menyapu kaki lawannya yang menjadi tumpuan
putaran tubuhnya. Sapuan itu demikian cepatnya sehingga pemimpin kelompok
itu tidak sempat mengelak. Sapuan itu telah membentur kakinya
sehingga pemimpin pengawal itu terlempar jatuh. Sebelum ia
sempat melenting tawanan itu telah meloncat dan
menghentakkan kakinya menyerang dada.
Pemimpin pengawal itu sempat berguling. Sambil berputar ia
telah mengayunkan kakinya menyilang ke arah yang berbeda,
menjepit kaki tawanan itu dari dua arah pada ketinggian yang
tidak sama. Satu putaran telah melemparkan tawanan itu sehingga ia pun
tidak mampu bertahan berdiri. Ia pun telah terjatuh dan bahkan
terbanting di tanah. Hanya karena latihan-latihan yang mapan
sajalah yang menyelamatkannya, karena ia sempat berputar pada
punggungnya, berguling dan kemudian melenting berdiri.
Namun pada saat itu, pemimpin pengawal itu pun telah
berdiri tegak pula. 43 SH. Mintardja Keduanya saling memandang untuk sejenak. Keduanya telah
mulai merasa bahwa tenaga mereka sedikit demi sedikit susut.
Namun tawanan yang sama sekali tidak menduga bahwa
pemimpin pengawal itu memiliki kemampuan olah kanuragan
yang tinggi mulai menjadi gelisah. Nafasnya mulai berkejaran
dan tulang-tulangnya serasa retak dimana-mana.
Ketika keduanya terlibat lagi dalam perkelahian yang satu,
maka pemimpin pengawal itu mulai merasa yakin, bahwa ia
benar-benar mampu melawan tawanan yang pernah mendapat
latihan dari para perwira Jipang itu.
Perlahan-lahan namun pasti ia semakin mendesak lawannya.
Pukulan-pukulannya semakin sering mengenai tubuh lawannya.
Bahkan ketika tawanan itu lengah, tangan pemimpin pengawal
itu telah mengenai keningnya.
Mata tawanan itu berkunang-kunang. Tetapi ia telah
mendapat tempaan lahir dan batin yang kuat sekali, sehingga
tidak mudah baginya untuk berputus asa. Itulah sebabnya, maka
tawanan itu masih juga berusaha mengayunkan tangannya pula
mendatar dan berusaha menghantam leher pemimpin pengawal
itu dengan sisi telapak tangannya.
Tetapi dengan memiringkan tubuhnya sedikit kebelakang,
ayunan tangan itu tidak mengenainya. Bahkan tiba-tiba saja ia
telah meloncat maju sambil mengangkat lututnya, tepat
mengenai perut pengawal itu.
Terdengar keluhan tertahan. Perut itu rasanya menjadi sangat
mulas. Bahkan rasa-rasanya isi perutnya telah terdorong ke
dadanya sehingga ia tidak mampu lagi untuk bernafas.
Pemimpin pengawal itu masih ingin meyakinkan bahwa
serangannya itu menentukan. Kedua tangannya kemudian
terayun dengan kerasnya. Dengan sisi telapak tangannya pula ia
menghantam pundak tawanan itu kiri dan kanan.
Tawanan itu mengaduh. Kemudian ia pun terhuyung-huyung
surut kebelakang. Sementara itu pemimpin pengawal itu berkata
44 SH. Mintardja kepada diri sendiri, "Untung, aku tidak memukul lehernya
dengan kedua sisi telapak tenganku dari dua arah."
Sebenarnya jika ia memukul leher tawanan itu, agaknya
tawanan itu tidak akan dapat bernafas lagi. Mungkin tawanan itu
akan mati. Meskipun kematian itu terjadi dalam arena, namun
akan dapat menimbulkan kesan tersendiri.
Sesaat pemimpin pengawal itu berdiri tegak. Dilihatnya
tawanan itu pun kemudian telah terjatuh di tanah. Nafasnya
terengah-engah, sementara tenaganya bagaikan telah terhisap
habis oleh perkelahian itu.
Pemimpin pengawal itu pun berusaha untuk tetap bertahan
berdiri. Sejenak ia mengamati keadaan. Namun kemudian sorak


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun bagaikan membelah langit. Para pengawal telah bersorak-
sorak melihat kemenangan itu.
Para tawanan yang sempat menyaksikan perkelahian itu
menarik nafas dalam-dalam. Mereka melihat satu kenyataan,
bahwa pengawal Tanah Perdikan Sembojan ternyata memiliki
kemampuan yang tinggi. Meskipun ia sadar, bahwa tidak semua
pengawal memiliki ilmu setataran dengan pemimpin pengawal
itu, namun dengan demikian mereka harus mengakui, bahwa
anak muda yang dianggap sebagai orang yang tersisih pada masa
mereka memasuki pendadaran untuk menjadi pengawal dibawah
tempaan para prajurit Jipang itu, telah mampu menyadap ilmu
yang lebih baik dari mereka.
Kekalahan salah seorang di antara para tawanan yang
termasuk pengawal terbaik itu, telah memberi isyarat kepada
mereka, terutama mereka yang sampai saat terakhir tetap pada
sikap mereka, bahwa mereka harus mempertimbangkan segala
macam segi untuk menentukan sikap mereka lebih lanjut.
Sementara itu, para tawanan pun menjadi berdebar-debar.
Pemimpin pengawal itu akan dapat menjatuhkan hukuman yang
paling berat kepada pengawal yang telah menantangnya dan yang
kemudian turun ke arena. Pemimpin pengawal itu jika mau, akan
45 SH. Mintardja dapat membunuh lawannya tanpa dapat dipersalahkan, selama
itu terjadi di arena. Sejenak mereka termangu-mangu. Pemimpin pengawal itu
memang merasa sangat letih. Bahkan ia merasa seakan-akan
sudah tidak mampu lagi berbuat sesuatu selain bertahan untuk
dapat tetap berdiri. Tetapi beberapa saat kemudian, ketika angin
semilir menyentuh wajahnya, maka tubuhnya pun terasa menjadi
segar. Sebagian dari kekuatannya telah tumbuh kembali di dalam
dirinya. Diamatinya lawannya yang terbaring dengan nafas terengah-
engah. Dengan susah payah lawannya itu berusaha untuk
bangkit. Namun demikian ia duduk, ia pun telah terbanting lagi
jatuh terlentang tidak berdaya.
Tawanan yang kalah itu pun sadar. Pemimpin pengawal itu
akan dapat mendekatinya dan mencekik lehernya sampai mati
tanpa ada seorang pun yang dapat menyentuhnya. Ia berhak
berbuat demikian dalam perang tanding itu.
Ketika ia melihat pemimpin pengawal itu maju setapak
mendekatinya, maka jantungnya pun menjadi berdebar-debar.
Rasa-rasanya ia ingin meronta dan meloncat bangkit untuk
melawan. Tetapi tulang-tulangnya terasa bagaikan terlepas dari
sendi-sendinya. Bahkan tulang-tulang rusuknya terasa bagaikan
berpatahan. Karena itu, semakin dekat pemimpin pengawal itu ke
arahnya, rasa-rasanya ia pun menjadi semakin gelisah.
Namun akhirnya ia tidak mampu mengelak dari kenyataan,
sehingga dengan demikian ia pun menjadi pasrah terhadap
kenyataan, bahwa ia telah dikalahkan dan akan dapat
diperlakukan apa saja oleh lawannya yang menang di arena
perang tanding itu. Tetapi lawannya yang kemudian berdiri disisi tubuhnya yang
terbaring itu tidak melakukannya. Bahkan kemudian pemimpin
pengawal itu berkata, "Bangkitlah. Kembalilah kepada kawan-
kawanmu. Namun kau sudah membuktikan bahwa anak-anak
46 SH. Mintardja muda yang pernah menjadi pasukan pengawal dibawah tempaan
orang-orang Jipang bukan anak muda yang terbaik dari Tanah
Perdikan ini. Aku minta kau dan kawan-kawanmu menyadari,
bahwa masih banyak hal yang salah terjadi di dalam alam pikir
kalian. Bukan saja tentang kemampuan dalam olah kanuragan.
Tetapi juga kekeliruan sikap batin kalian terhadap Tanah
Perdikan serta para pemimpinnya. Renungkan. Kalian masih
mendapat kesempatan."
Tawanan yang kalah di arena itu termangu-mangu. Namun
pemimpin pengawal itu pun kemudian berdiri menghadap
perwira Pajang. Sambil membungkuk hormat ia pun berkata,
"Perkelahian ini sudah selesai."
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat pemimpin
pengawal itu telah menyelesaikan perang tanding serta
mengambil sikap yang tepat setelah ia memenangkan perang
tanding itu. Pemimpin pengawal itu tidak membunuh lawannya,
tetapi membiarkannya hidup dan kembali kepada kawan-
kawannya. Dengan demikian maka perang tanding itu pun telah selesai.
Para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan serta para perwira
prajurit Pajang telah meninggalkan arena. Mereka memang
merasa tegang dan berdebar-debar. Namun rasa-rasanya dada
mereka telah menjadi lapang.
Pemimpin pengawal itu masih berdiri di arena. Sementara
beberapa orang tawanan yang lain telah memasuki arena pula
untuk menolong kawannya bangkit berdiri.
Demikian tawanan itu berdiri, maka ia pun bertanya kepada
pemimpin pengawal itu, "Kenapa kau tidak membunuhku" Kau
berhak berbuat demikian setelah kau memang dalam perang
tanding ini. Apalagi aku hanya seorang tawanan yang dapat
diperlakukan apa saja."
"Aku tidak ingin membunuhmu," jawab pemimpin pengawal
itu. "Aku hanya ingin membuktikan, bahwa kau bukan orang
terbaik bagi anak-anak muda Tanah Perdikan. Juga sikapmu
47 SH. Mintardja bukan sikap yang mutlak benar. Karena itu, renungkanlah
kembali apa yang pernah kau lakukan dan apa yang pernah
terjadi diatas Tanah Perdikan ini."
Tawanan itu tidak menjawab. Namun kemudian ia pun telah
dipapah oleh kawan-kawannya meninggalkan arena itu kembali
ke barak mereka dibawah pengawalan para pengawal dengan
senjata telanjang. Para tawanan itu pun sempat memandang para pengawal itu
sekilas. Mereka menyadari, bahwa tiba-tiba saja sikap mereka
telah berubah. Para pengawal itu bukan sekadar golok kayu
digerakkan oleh tajamnya ujung-ujung pedang prajurit Pajang.
Namun mereka benar-benar pengawal yang berhak menyandang
pakaian sebagaimana mereka kenakan dan senjata sebagai
mereka pegang. Kemampuan para pengawal itu tidak begitu terasa dalam
benturan kekuatan di medan pertempuran dalam perang brubuh.
Para pengawal yang kemudian menjadi tawanan itu mengira,
bahwa anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan itu sekadar
berada dibawah bayangan dan perlindungan pasukan Pajang.
Ketika para tawanan itu telah berada didalam barak mereka,
maka mereka pun sempat merenungkan apa yang telah terjadi.
Apalagi tawanan yang telah dikalahkan di arena perang tanding
itu, sementara pemimpin pengawal itu tidak memberikan
hukuman apapun kepadanya, apalagi membunuhnya meskipun ia
berhak. Di bagian lain dari barak itu mulai terdengar pembicaraan
yang bersungguh-sungguh. Mereka yang sudah mulai ragu-ragu,
telah dipacu untuk menentukan sikap, bahwa tidak ada yang
tersirat di dalam diri mereka kecuali penyesalan.
"Kita harus melihat kenyataan," berkata salah seorang
tawanan. "Tanah Perdikan ini kini berada di tangan Iswari. Istri
tua Ki Wiradana." Kawannya mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Bukankah ia
memang berhak" Bukankah ia istri yang tua dan kita dapat
48 SH. Mintardja menutup mata melihat saat kehadiran istri muda Ki Wiradana.
Kita semuanya kecewa pada waktu itu. Namun rasa-rasanya kita
bagaikan terbius ketika para perwira Jipang itu datang. Kita telah
terjerumus untuk memilih sikap yang salah justru dengan penuh
kebanggaan." "Aku sudah menyesal sejak semula," sahut yang lain. "Tetapi
aku tidak sempat berbuat apa-apa. Lingkunganku telah
menyeretku ke dalam sikap dan keadaan yang semula tidak aku
kehendaki. Karena itu, ketika di Pajang aku bertemu dengan
saudaraku dari Tanah Perdikan, goncangan perasaanku menjadi
semakin menekan." Beberapa orang tawanan yang mendengarnya mengangguk-
angguk. Namun mereka yang sampai saat terakhir masih juga
berani memaki pemimpin pengawal itu, harus menilai kembali
sikapnya menghadapi para pengawal dan para pemimpin Tanah
Perdikan Sembojan. Dalam keragu-raguan itu, para tawanan pun ternyata
menghadapi satu kenyataan, bahwa sikap para pengawal
terhadap mereka pun perlahan-lahan telah berubah. Para
tawanan tidak lagi berlaku sebagai prajurit yang keras dan
garang. Tetapi mereka menjadi semakin dekat dan pembicaraan
diantara para pengawal dan para tawanan telah menjadi
bertambah terbuka. Iswari menyaksikan perkembangan keadaan itu pun menjadi
semakin yakin akan keberhasilan para pengawal menguasai
keadaan. Bukan secara wadag dan mengungkung mereka yang
pernah berpihak kepada Jipang di barak-barak tertutup, tetapi
justru menguasai perasaan mereka, sehingga hati mereka
menjadi semakin terbuka menghadapi kenyataan.
Dengan demikian, maka garis-garis batas diseputar barak-
barak itu pun telah diperlonggar. Beberapa orang tawanan yang
menurut para pengawal bersikap baik, telah diijinkan untuk
bertemu dengan keluarganya. Bahkan beberapa orang telah
49 SH. Mintardja diperkenankan untuk keluar dari barak-barak tertutup dan
menengok keluarga mereka.
Seorang tawanan yang semula bersikap keras dan kasar
terhadap para pengawal, sebagaimana sikap tawanan yang turun
ke arena perang tanding itu, benar-benar telah menyadari
keadaan yang dihadapinya. Ketika para pengawal kemudian
memberinya kesempatan untuk keluar dari barak tertutup itu
sehari, maka waktu itu pun dipergunakannya sebaik-baiknya.
Ibunya tidak dapat membendung air matanya ketika ia
melihat anaknya yang sudah dianggapnya hilang itu kembali lagi
kepadanya. Selama perang besar antara Pajang dan Jipang
berlangsung, ia sudah merasa kehilangan anaknya. Namun ketika
Jipang menyerah, ia berharap bahwa anaknya itu akan kembali
lagi kepadanya. Tetapi yang terjadi telah membuatnya putus asa,
karena Jipang dan anak-anak muda Tanah Perdikan yang berada
dibawah pengaruh mereka datang menyerang Tanah Perdikan itu
sendiri, sehingga akhirnya anaknya itu menjadi tawanan.
"Aku mengerti apa yang telah terjadi," berkata anak muda itu
kepada ayah dan ibunya. "Hatiku telah mulai terbuka."
"Syukurlah," berkata ibunya. "Mudah-mudahan semua
tekanan pada hati orang tua ini sudah berlalu."
Anak muda itu mengangguk-angguk.
Namun anak muda itu terkejut ketika ia mendengar derap
kaki kuda yang berhenti dihalaman. Ia melihat seorang pengawal
Tanah Perdikan meloncat turun dari kudanya. Pengawal yang
masih sangat muda. Namun hatinya semakin berdebar ketika ia melihat seorang
yang masih sangat muda itu berlari-lari ke pintu rumahnya.
"Tole, kaukah itu," anak muda yang berada di dalam itu
hampir berteriak. Pengawal Tanah Perdikan itu tertegun. Ia pun keumudian
berdesis, "Kakang."
50 SH. Mintardja Keduanya pun kemudian berpelukan. Mereka sudah berpisah
terlalu lama. Sejak mereka kanak-kanak, mereka hampir tidak
pernah berpisah. Mereka adalah dua orang saudara laki-laki
tanpa saudara yang lain. Kakaknya selalu membawa adiknya
kemana ia pergi. Mencari dan membuat mainan untuk adiknya,
menggendongnya jika adiknya merengek dan bahkan jika adiknya
segan makan, adiknya itu telah disuapinya.
Namun ia harus meninggalkan adiknya karena ia memasuki
pasukan pengawal yang ditempa oleh para perwira Jipang.
Anak muda itu mencoba mengingat, bagaimana perasaannya
pada waktu itu. Ia tidak lagi ingat, apakah ia merasa bangga atau
segan bahkan merasa terpaksa untuk ikut dalam pasukan
pengawal. Namun setelah ia ditempa dengan keras oleh para
perwira Jipang, maka hatinya mengeras. Celakanya keyakinan itu
tumbuh dan berkembang di dalam dirinya justru pada saat ia
berdiri ditempat yang salah. Jipang telah dengan cerdik
memberikan keterangan yang dapat meyakinkan para pengawal
tentang keadaan yang dihadapi pada waktu itu, sehingga ia pun
telah melihat kenyataan-kenyataan semu yang dibuat oleh para
perwira Jipang itu. Ternyata kemudian adiknya yang masih sangat muda telah
memasuki pasukan pengawal pula namun disisi yang
berseberangan. Kedua orang tua mereka pun menarik nafas dalam-dalam.
Mereka memang merasa cemas seandainya keduanya ternyata
tidak dapat mengekang diri masing-masing.
Namun para pengawal, dibawah pimpinan Iswari telah
mendapat lambaran agar mereka tidak bersikap memusuhi
saudara-saudara mereka yang sedang ditawan.
"Mereka adalah anak-anak terbaik kita yang hilang," berkata
Iswari. "Dan kini kita telah menemukan kembali meskipun baru
wadagnya. Karena itu perlahan-lahan kita harus mampu
menemukan pula jiwanya kembali sebagaimana anak-anak
terbaik yang pulang ke rumah ibu bapaknya."
51 SH. Mintardja Kedua anak muda itu pun kemudian telah duduk di amben
bambu di dalam rumah itu. Namun agaknya anak muda yang
pernah berada di lingkungan pasukan Jipang itu tidak mampu
menahan gejolak perasaannya. Tiba-tiba saja ia telah menutup
wajahnya dengan kedua telapak tangannya untuk
menyembunyikan air mata yang meleleh dipipinya.
Dalam nada rendah dan suara yang bergetar ia berkata,
"Sebagai laki-laki aku pantang menitikkan air mata. Tetapi
kenyataan yang aku hadapi sangat menyentuh perasaanku.
Untunglah kita tidak bertemu di medan pertempuran."
Adiknya hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara
kakaknya itu berkata, "Tuhan Maha Besar. Dan kita telah
dipertemukan dalam keadaan yang sangat baik ini."
Adiknya hanya mengangguk-angguk saja. Meskipun ia ingin


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjawab, tetapi ia tidak menemukan kata-kata yang tepat.
Demikianlah, tawanan itu sempat makan dan minum di
rumahnya tanpa merasa gelisah. Ia mendapat kesempatan sehari
penuh. Apalagi di rumah itu ternyata ada seorang pengawal
Tanah Perdikan Sembojan pula.
Namun ternyata adiknya tidak dapat menemaninya sampai
menjelang sore. Adiknya harus kembali ke kesatuannya untuk
melakukan tugas-tugasnya.
"Jangan cemas kakang," berkata adiknya. "Semua orang
Tanah Perdikan ini dan disekitarnya mampu mengekang diri.
Mereka tidak akan berbuat apa-apa.
Kakaknya itu mengangguk-angguk. Hatinya justru tergetar
ketika ia melihat adiknya dengan tangkas meloncat ke punggung
kudanya dan kemudian dilarikannya keluar halaman turun ke
jalan di depan rumah mereka.
"Anak itu ternyata tumbuh dan berkembang dengan
gagahnya," berkata tawanan itu.
Ayahnya mengangguk kecil. Desisnya kemudian, "Marilah.
Duduklah kembali." 52 SH. Mintardja Tawanan itu masuk kembali ke ruang dalam dan duduk
bersama ayah dan ibunya. Ia akan berada di rumah itu sampai
matahari turun disisi Barat.
Sebenarnyalah orang-orang Tanah Perdikan tidak bersikap
memusuhinya ketika ia kemudian kembali ke barak tertutup.
Seorang kawannya yang dikenalnya dengan baik sebelum ia pergi
ke Pajang telah bertemu pula disimpang tiga dalam pakaian
pengawal Tanah Perdikan. Dengan akrab pengawal itu menyapanya meskipun ia tahu,
bahwa anak muda itu adalah tawanan.
Beberapa saat mereka berbicara dengan lancar. Namun tiba-
tiba tawanan itu telah menanyakan seorang kawannya yang lain
yang mempunyai hubungan sangat baik pada waktu itu.
Kawannya yang hampir disetiap hari bersama-sama pergi ke
sawah, karena sawah mereka berdekatan letaknya. Bersama-
sama menelusuri air dan bersama-sama menunggu air hampir
semalam suntuk. Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
sambil menarik nafas dalam-dalam ia menjawab, "Anak itu sudah
gugur." "Gugur?" tawanan itu mengulang. "Kapan dan dimana?"
"Belum lama. Ketika pasukan Jipang itu menyerang Tanah
Perdikan ini. Tanah kuburnya agaknya masih basah," jawab
pengawal itu. "O," tawanan itu mengangguk-angguk. Ia sadar apa yang
telah terjadi. Karena itu, tiba-tiba saja terasa telah ada jarak di
antara mereka berdua. Pengawal itu telah dicengkam oleh
keharuan mengingat kawan-kawannya yang telah gugur. Yang
mungkin di antaranya telah dibunuh oleh tawanan yang berdiri
dihadapannya itu. Namun sebagaimana selalu diperingatkan oleh para
pemimpin mereka, agar mereka mampu mengekang diri untuk
53 SH. Mintardja menemukan satu masa yang lebih baik bagi Tanah Perdikan
tanpa dibayangi oleh dendam dan kebencian.
"Betapa sulitnya," berkata pengawal itu di dalam hatinya.
Namun ia pun kemudian memaksa diri untuk tersenyum dan
berkata, "Marilah. Sebentar lagi aku akan bertugas."
"O, silakan," jawab tawanan itu.
Namun tiba-tiba pengawal itu berkata, "He, apakah kau
sudah bertemu dengan adikmu?"
Tawanan itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baru saja
aku bertemu di rumah. Adikku telah menjadi seorang pengawal
yang baik." "Ya," jawab pengawal itu. "Adikmu ternyata memiliki
keberanian melampaui kawan-kawannya. Ia cepat maju dalam
olah kanuragan, sehingga para pelatih merasa heran akan
ketajaman nalar budinya."
Tawanan itu mengangguk-angguk. Ia memang melihat
sesuatu yang lebih pada adiknya itu.
Sejenak kemudian maka pengawal itu telah
meninggalkannya. Tawanan itu mengikutinya dengan pandangan
matanya, sehingga pengawal itu hilang ditikungan.
Dengan langkah lesu tawanan itu menuju kembali ke barak
tertutup. Di sepanjang jalan ia merasa berada di tanah kelahiran
sendiri meskipun ia seorang tawanan. Ia tidak melihat sikap
bermusuhan. Jika sekali-kali ia melihat gadis-gadis yang menepi
karena berpapasan dengan dirinya, maka ia sama sekali tidak
merasa tersinggung. Ia mencoba untuk memaklumi, apakah yang
sebenarnya bergejolak di hati gadis-gadis itu.
Ketika ia kembali ke barak, maka dipintu regol halaman ia
disambut dengan ramah oleh para pengawal yang berjaga-jaga.
Meskipun para pengawal itu tetap bersiaga sepenuhnya, tetapi
mereka menjadi semakin ramah. Mereka menyapanya sebagai
54 SH. Mintardja kawan bermain diwaktu remaja, bukan sebagai seorang pengawal
menghadapi tawanannya. Dengan cara itu, perlahan-lahan Iswari dan seluruh Tanah
Perdikan Sembojan telah menemukan kembali anak-anak mereka
yang hilang. Perlahan-lahan tumbuhlah kesadaran di hati anak-
anak mdua yang pernah terlepas dari kekang kendali pengabdian
yang sebenarnya bagi Tanah Perdikan.
Namun dalam pada itu, para pengawal Tanah Perdikan
Sembojan tidak pernah melepaskan kesiagaan mereka, karena
mereka menyadari, bahwa bahaya yang sebenarnya masih tetap
mengancam. Para prajurit Jipang yang pecah, Warsi dan Ki
Rangga Gupita yang masih dapat menghimpun kembali
gerombolan Kalamerta yang pernah hilang namanya sesaat,
setelah pemimpinnya dihancurkan oleh Ki Gede Sembojan
sendiri. Sebenarnyalah para pemimpin pasukan Jipang yang pecah
masih berusaha untuk dapat berhimpun kembali. Mereka
berusaha untuk dapat saling berhubungan, sebagaimana
dipesankan oleh para perwira mereka. Namun agaknya mereka
mengalami kesulitan. Meskipun demikian, perlahan-lahan jumlah mereka yang
sempat berkumpul itu pun menjadi semakin bertambah. Tetapi
mereka tidak dapat berbuat apa-apa atas Tanah Perdikan
Sembojan, karena Tanah Perdikan dan Kademangan disekitarnya
masih ditunggui oleh sepasukan prajurit Pajang yang
ditempatkan terpisah-pisah, namun yang dalam keadaan yang
gawat, mereka akan dapat dengan cepat dihimpun menjadi satu
kekuatan yang tidak akan terlawan.
Karena itu, maka para pemimpin bekas prajurit Jipang yang
pecah itu, merasa lebih baik untuk mencari jalan lain daripada
satu keinginan untuk memasuki Tanah Perdikan Sembojan.
Agaknya untuk sementara mereka telah mengarahkan
pandangan mereka kepada sekelompok bekas prajurit Jipang
yang berada disebelah Barat Pajang. Dalam keadaan yang lemah,
55 SH. Mintardja maka mereka lebih baik bergabung dengan kawan-kawan
mereka, sehingga dengan demikian mereka akan menjadi cukup
kuat untuk setidak-tidaknya memperpanjang hidup mereka.
Tetapi disamping bekas para prajurit Jipang yang berkeliaran,
ternyata ada pula anak-anak Tanah Perdikan Sembojan yang
berada dilingkungan pasukan Jipang yang kehilangan pegangan.
Mereka tidak tertawan karena mereka sempat melarikan diri
bersama para bekas prajurit Jipang. Tetapi prajurut Jipang pun
kemudian tidak menghiraukan mereka lagi. Karena itu, maka
mereka tidak lagi tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan.
Sementara itu mereka pun harus makan dan minum, sehingga
dengan demikian maka mereka tersudut kedalam keadaan yang
sangat sulit. Dalam keadaan yang sangat menekan itu, mereka tidak
mempunyai pilihan lain. Mereka tidak mau mati kelaparan,
sehingga dengan demikian, maka mereka pun telah terdorong
untuk mencari makan dengan cara yang tidak sewajarnya.
Mereka memasuki rumah-rumah di Kademangan di luar Tanah
Perdikan Sembojan untuk minta makan kepada penghuninya.
Jika terasa penghuninya agak keberatan, maka mereka terpaksa
mempergunakan kekerasan. Untuk sementara anak-anak muda itu masih berusaha untuk
menghindari Tanah Perdikan Sembojan. Jika mereka terpaksa
mempergunakan kekerasan, maka orang-orang yang dipaksa itu
bukan orang yang pernah dikenalnya.
Namun peristiwa yang terjadi beruntun itu telah didengar
oleh orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Para pemimpin dari
Kademangan di sebelah menyebelah telah memberitahukan
bahwa sekelompok anak muda yang kelaparan telah melakukan
perampokan dengan kekerasan. Bahkan akhirnya yang tidak
diharapkan pernah terjadi. Seorang pemilik rumah yang telah
dilukai oleh anak-anak muda yang kelaparan, namun memiliki
bekal olah kanuragan itu.
56 SH. Mintardja "Panjagaan di gardu-gardu telah ditingkatkan," berkata
pemimpin pengawal di Kademangan sebelah. "Tetapi mereka
dapat juga menyusup memasuki rumah-rumah di Kademangan
kami. Yang kami cemaskan adalah, bahwa pada suatu saat
mereka tidak hanya mencari makanan dan minuman. Tetapi
terdorong oleh kebiasaan itu, maka mereka benar-benar menjadi
perampok. Mereka tidak mengambil makanan dan minuman
karena kelaparan, tetapi benar-benar merasa perlu untuk
mengumpulkan dan memiliki harta benda yang berlebihan."
Iswari yang mendapat laporan itu pun menjadi sangat
prihatin. Ia pun kemudian memerintahkan semua orang untuk
menyebarkan keputusan yang diambil oleh para pemimpin Tanah
Perdikan Sembojan bagi anak-anak muda Tanah Perdikan
Sembojan yang berkeliaran tidak menentu. Mereka akan
mendapat perlakuan yang baik jika mereka bersedia
menyerahkan diri kepada para pengawal di Tanah Perdikan
Sembojan. Tetapi anak-anak muda itu tidak pernah datang menyerah.
"Mungkin mereka tidak mendengar keputusan itu," berkata
pemimpin pengawal Tanah Perdikan.
"Cobalah mempergunakan maklumat yang ditulis dan
disebarkan. Mungkin pada suatu saat mereka sempat membaca,"
berkata Kiai Badra. Pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu pun telah
mencobanya. Mereka menulis di atas lembaran kain berwarna
putih dan ditempelkan di beberapa tempat. Tidak hanya
dilingkungan Tanah Perdikan Sembojan, tetapi juga di
Kademangan di luar Tanah Perdikan Sembojan.
Ternyata pada suatu saat anak-anak muda itu menjumpai
juga maklumat yang ditempelkan pada sebatang pohon randu
alas yang besar di tengah bulak.
Tiga orang anak muda yang berada dalam satu kelompok
telah membaca maklumat itu.
57 SH. Mintardja Untuk beberapa saat mereka merenungi kata demi kata yang
tercantum dalam maklumat itu.
"Apakah yang dikatakan itu benar?" desis salah seorang di
antara mereka. "Entahlah," sahut kawannya. "Tetapi yang menyerah pada
saat perang terjadi itu pun telah ditawan. Apalagi kita. Mungkin
maklumat itu dibuat setelah mereka menjadi putus asa karena
mereka tidak mampu menangkap kita."
Kedua orang yang lain mengangguk-angguk. Seorang di
antara mereka berkata, "Apakah kita akan memperhatikan
maklumat kita." "Persetan," geram kawannya. "Kita bukan orang-orang dungu
yang mudah dijebak. Kita akan meneruskan pengembaraan kita,
sampai pada suatu saat kita mendapat hubungan dengan Ki
Rangga Gupita, Warsi atau para pemimpin prajurit Jipang."
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan
bertahan. Kawan-kawan kita yang menyerah ternyata mengalami
nasib yang sangat buruk. Mungkin seorang demi seorang mereka
telah dibunuh, sehingga akhirnya mereka akan habis dan tidak
lagi dicemaskan akan mengganggu untuk selama-lamanya.
Pengkhianat-pengkhianat itu akan dapat memerintah Tanah
Perdikan Sembojan menurut selera mereka."
"Kita harus berusaha untuk dapat menghubungi para prajurit
Jipang. Tempat yang ditunjuk telah kita datangi beberapa kali,
tetapi kita tidak pernah bertemu dengan seorang pun. Sementara
itu kita tidak tahu, kemana Warsi pergi," berkata yang lain.
"Tetapi kita yakin bahwa mereka akan tetap pada sikap
mereka. Warsi tentu berusaha untuk mendapatkan kembali
Tanah Perdikan itu, karena anak laki-lakinya adalah anak Ki
Wiradana yang berhak menggantikan kedudukan ayahnya," sahut
kawannya. "Nah,"berkata yang lain. "Apalagi kita. Sedang Ki Wiradana
pun telah dibunuhnya ketika ia tertangkap dalam keadaan luka."
58 SH. Mintardja Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Yang seorang
berdesis, "Ya, Ki Wiradana pun telah mereka bunuh pula, apapun
yang mereka katakan."
Dengan demikian, maka mereka bertiga pun sama sekali tidak
berniat untuk menyerahkan diri dan kembali ke lingkungan
keluarga Tanah Perdikan Sembojan. Bahkan dendam dan
kebencian mereka terhadap kawan-kawannya di Sembojan pun
menjadi semakin memuncak.
"Pada suatu saat, kita akan memasuki Sembojan itu sendiri.
Biarlah orang-orang Sembojan mengetahui, bahwa kita masih
ada dan mampu berbuat sesuatu."
Ternyata yang mereka katakan itu bukan sekadar ucapan
kata-kata saja. Mereka berusaha untuk pada suatu saat dapat
melakukannya. Itulah sebenarnya, maka pada malam ketiga orang itu
menyusup ke padukuhan yang termasuk dalam Tanah Perdikan
Sembojan. Mereka mengerti bahwa penjagaan dimalam hari di
padukuhan-padukuhan dilakukan oleh anak-anak muda dengan
baik. Karena itu, maka mereka pun telah melakukannya dengan
sangat berhati-hati. Mereka bertiga sepakat untuk memasuki rumah seorang yang


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah mereka kenal. Seorang yang mereka anggap cukup kaya.
Kehadiran ketiga orang itu benar-benar mengejutkan. Pemilik
rumah itu sama sekali tidak menyangka, bahwa tiga orang
pengawal yang pernah ikut bersama pasukan Jipang itu telah
datang di malam hari yang sepi dengan wajah yang menakutkan.
Melihat pemilik rumah itu ketakutan, ketiga anak muda itu
tertawa tertahan. Seorang di antara mereka berkata, "Nah, kau lihat, bahwa
kami masih tetap ada. Bukan saja ujud kami, tetapi juga sikap
dan keyakinan kami."
"Aku tidak mengerti," jawab pemilik rumah itu. "Keyakinan
yang manakah yang kau sebut itu?"
59 SH. Mintardja "Bahkan beberapa orang pengkhianat telah menguasai Tanah
Perdikan ini," jawab salah seorang dari ketiganya.
"Jika mereka kalian sebut pengkhianat, siapakah yang
sebenarnya berhak atas Tanah Perdikan ini?" bertanya pemilik
rumah itu. "Kau jangan berpura-pura bodoh," jawab anak muda itu.
"Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan ini adalah Ki
Wiradana yang telah dibunuh oleh pengkhianat-pengkhianat itu."
"Kau salah," jawab pemilik rumah itu. "Ki Wiradana
diketemukan dalam keadaan luka parah. Segala usaha sudah
dilakukan. Tetapi para pemimpin Tanah Perdikan ini telah gagal
menyelamatkan jiwanya. Ki Wiradana telah meninggal dengan
tenang ditunggui oleh para pemimpin Tanah Perdikan ini."
Anak-anak mudaa itu menggeleng. Seorang diantaranya
justru membentak: "Jangan kau anggap kami dungu. Kami tahu
apa yang telah terjadi atas Ki Wiradana itu."
"Aku mengatakan yang sebenarnya" jawab pemilik rumah itu.
"Orang-orang Tanah Perdikan yang telah berkhianat itu dapat
saja mengarangkan sebuah ceritera tentang kematian Ki
Wiradana. Tetapi kami tahu pasti peristiwanya, sehingga karena
itu kau jangan mencoba membohongi kami." bentak salah
seorang dari ketiga orang itu.
Pemilik rumah itu melihat gelagat yang kurang haik. Karena
itu, ia harus berusaha urituk menyesuaikan dirinyu. Katanya,
"Yang aku katakan sesuai dengan yang dikatakan oleh orang-
orang yang kini memegang pimpanan. Jika yang aku katakan bukan yang sebenarnya, maka orang-orang yang memimpin
Tanah Perdikan inilah. yang: telah membohongi aku pula."
"Ya. Kau dan orang-ora;ng se Tanah Perdikan ini telah
dibohonginya. Sementara itu, kalian telah diperasnya pula agar
kalian ikut membeayai kegiatan-kegiatan pengkhianatan mereka
itu." geram salah seorang diantara mereka.
60 SH. Mintardja Pemilik rumah itu termangu-mangu. Tetapi ia pun telah
memutuskan untuk berusaha menyelamatkan diri, sehingga ia tidak membantah lagi. Bahkan ia pun telah mengangguk-anghuk
mengiakan. "Nah" berkata ketiga orang anak muda itu, "sekarang berikan
uang kepada kami,. Kami memerlukannya untuk bekal
perjuangan. Pada satu saat, maka kami dan kawan-kawan kami
yang setia, akan datang kembali memasuki Tanah Perdikan ini
sambil membawa anak Ki Wiradana yang berhak atas Tanah
Perdikan ini." Pemilik rumah itu mengangguk-angguk. Ia memang tidak dapat menolak permintaan ketiga orang anak muda itu.
"Cepat" bentak salah seorang diantara ketiganya.
Pemilik rumah itu pun telah bergegas mengambil uang dan
dimasukkannya dalam sebuah kampil kecil. Ia memang lebih baik
memberikan uang itu daripada keselamatannya terganggu. Ketiga
orang anak muda itu tentu mengalami tekanan hidup yang sangat
berat sehingga mereka telah melakukan perampokan itu.
Ternyata anak-anak muda itu tidak memaksa untuk minta
lebih banyak Ketika mereka menerima uang dalam kampil kecil
itu, mereka sama sekali tidak mempersoalkan jumlahnya.
"Nah" berkata salah seorang diantara mereka. "Ingatlah. Pada
suatu saat kami akan datang dalam keadaan yang lain. Kami akan
datang sebagai pengawal yang terhormat di Tanah Perdikan ini
untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Tanah Perdikan ini.
akan diperintah oleh anak laki-larki Ki Wiradana, sementara itu
Tanah Perdikan ini akan menjadi landasan para prajurit Jipang
untuk menegakkan kembali kebesaran pemerintah bukan saja
Jipang, tetapi Demak dan menghancurkan pamberontakan
Karebet yang mengaku bernama Hadiwijaya itu."
Pemilik rumah itu hanya mengangguk-angguk kecil saja.
"Terima kasih atas pemberianmu. Kami akan minta diri"
berkata salah seorang dari ketiga anak muda itu.
61 SH. Mintardja Pemilik rumah itu tidak menjawab. Ia tidak dapat berbuat
sesuatu untuk mencegah semuanya itu terjadi. Ketiga orang, anak
muda itu membawa senjata meskipun masih tergantung di
lambung. Ternyata ketiganya tidak menarik senjatanya untuk
mengancamnya langsung. Demikian ketiga orang anak muda itu meninggalkan rumah,
maka pemilik rumah itu pun segera berlari menuju ke
longkangan. Dengan serta merta orang itu telah meraih pemukul
kentongan. Jika ia membunyikan isyarat itu, maka ia yakin
bahwa ketiga orang anak muda itu akan dapat ditangkap, karena
anak-anak muda yang berada di gardu akan dengan cepat
berpencar, menutup semua jalan dan yang lain menuju ke
sumber isyarat itu. Namun ketika tangannya sudah terayun, terasa seakan-akan
ada yang menahannya untuk tidak memukul kentongan itu.
Pemilik rumah itu tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja ia merasa
kasihan terhadap ketiga orang anak muda itu.
Perlahan-lahan pemilik rumah itu telah menggantungkan
kembali pemukul kentongan itu sambil bordesah panjang.
Isterinya yang melihatnya mengurungkan niatnya memukul
kentongan bertanya dengan heran, "Kenapa kau, tidak
membunyikannya?" mohon maaf".terpotong sedikit aja"
SUAMINYA menggeleng lemah. Katanya, "Aku tidak sampai
hati. Jika aku membunyikan kentongan ini, maka anak-anak
muda dan para pengawal akan memburu mereka seperti sedang
memburu tupai. Sedangkan ketiga anak-anak muda itu adalah
keluarga kita sendiri, meskipun mereka telah tersesat."
"Tetapi dengan demikian kau telah membiarkan mereka
berkeliaran," berkata istrinya. "Jika ketiganya tertangkap, maka
mereka akan mendapat perlakuan baik sehingga akhirnya mereka
menyadari akan kekeliruan mereka."
62 SH. Mintardja Pemilik rumah itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Kau benar. Tetapi aku tidak sampai hati melakukannya. Aku
membayangkan ketiganya akan diburu dan mereka akan
berkelahi sehingga ketiga orang anak muda itu dipaksa untuk
menyerah. Mungkin karena keteguhan hati ketiga anak muda itu,
mereka harus mengalami perlakuan yang keras sebelum mereka
dapat diikat untuk dibawa ke barak-barak tertutup."
Istrinya termangu-mangu. Namun katanya, "Apakah kau
keberatan seandainya anak-anak itu mengalami perlakuan kasar,
namun kemudian hati mereka terbuka dan tidak lagi berkeliaran
seperti itu!" Suaminya itu menjadi bingung. Namun kemudian katanya,
"Aku akan ke gardu. Aku akan melaporkannya. Jika anak-anak
muda di gardu akan memburunya, aku akan ikut bersama
Pendekar Kidal 14 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Pendekar Pemanah Rajawali 12
^