Pencarian

Suramnya Bayang Bayang 6

Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja Bagian 6


dari kakek?" Sejenak Gandar termangu-mangu. Namun kemudian ia
pun menjawab, "Tidak ada pesan apa-apa Wiradana. Aku
hanya merasa kangen kepada adikku. Sudah kira-kira
setengah tahun aku tidak menengoknya. Bahkan mungkin
lebih." Wiradana mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "Syukurlah, jika kau hanya sekadar menengoknya.
Berapa hari kau akan berada disini?"
Pertanyaan itu terdengar agak aneh. Tetapi Gandar tidak
mau berprasangka. Maka jawabnya, "Ki Gede minta aku
tinggal disini sampai upacara tujuh bulan yang akan segera
dilaksanakan." Wajah Wiradana menegang. Hampir diluar sadarnya ia
bertanya, "Dan kau juga menyanggupinya."
"Ya," jawab Gandar.
Wiradana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
pun tidak bertanya lagi. Sambil melangkah pergi ia
bergumam," Aku perlu istirahat."
Tetapi tiba-tiba saja Gandar bertanya, "Apakah kau baru
pulang Wiradana?" "Ya," jawab Wiradana. "Aku bertanggung jawab atas
pengamanan Tanah Perdikan ini."
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
88 SH. Mintardja "Apakah kau pergi seorang diri?" bertanya Gandar pula.
Wiradana mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
menjawab, "Tidak selalu. Kadang-kadang aku membawa
satu dua orang pengawal."
Gandar tidak bertanya lagi. Wiradana pun kemudian
masuk ke ruang dalam lewat pintu butulan.
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
kemudian melangkah kembali menuju ke gandok.
"Aku tidak boleh berprasangka," berkata Gandar di
dalam hatinya. "Sementara Ki Gede dan Iswari tidak
menaruh kecurigaan apa-apa."
Di hari itu, Gandar tidak banyak bertemu dengan
Wiradana. Seolah-olah Wiradana lebih banyak berada di
dalam biliknya. Sementara itu Iswari selalu sibuk bekerja di
dapur. Namun menjelang tengah hari, Iswari telah siap
berbenah diri. Ketika ia akan pergi, ia singgah sejenak di
gandok untuk minta diri kepada Gandar, "Kakang, aku akan
pergi ke rumah sebelah."
"O," Gandar yang duduk di dalam gandok pun melangkah
keluar, "Untuk apa?"
"Tetangga di sebelah melahirkan tiga hari yang lalu. Aku
menungguinya di saat bayi itu lahir. Agak sulit. Sejak itu aku
belum menengoknya lagi," jawab Iswari.
Gandar mengangguk-angguk. Katanya, "Pergilah."
Tetapi ketika Iswari melangkah turun dari tangga
gandok, Gandar bertanya, "Kau tidak pergi bersama
suamimu?" Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
89 SH. Mintardja "Ah. Tidak," jawab Iswari. "Selain bukan kebiasaan laki-
laki mengunjungi kelahiran, kakang Wiradana sedang
beristirahat. Semalam suntuk ia nganglang."
"Lalu di siang hari suamimu tidak banyak berbuat apa-
apa?" bertanya Gandar.
"Ah, tentu saja ia melakukan tugasnya pula. Tetapi
karena kewajibannya di malam hari lebih banyak menuntut
waktunya, maka ia berusaha untuk mengurangi tugas-tugas
di siang hari. Kakang Wiradana telah membagi tugas yang
kurang penting dan dapat dikerjakan oleh orang lain di
siang hari." Gandar mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya
lebih lanjut. Ketika Iswari kemudian meninggalkannya, maka Gandar
itu pun telah duduk di serambi gandok. Dipandanginya
kesibukan di rumah Kepala Tanah Perdikan itu. Meskipun
Ki Gede sudah menjadi cacat kaki dan tangannya, tetapi ia
masih tetap berada di pendapa untuk menerima beberapa
orang bebahu yang datang menemuinya.
Gandar mengerutkan keningnya, ketika ia melihat
Wiradana pun kemudian duduk pula bersama ayahnya.
Agaknya memang ada beberapa masalah yang sedang
dibicarakan oleh para bebahu.
"Namun agaknya bukan persoalan yang gawat," berkata
Gandar di dalam hatinya. Karena menilik sikap para
bebahu, agaknya mereka justru sedang membicarakan
sesuatu yang menarik. Ketika kemudian sekilas Gandar memandang Wiradana
yang sedang sibuk berbicara dengan tamu-tamu ayahnya
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
90 SH. Mintardja itu, terasa sesuatu bergetar di dahi Gandar. Sambil menarik
nafas dalam-dalam ia berkata kepada diri sendiri, "Aku
terlalu dipengaruhi oleh mimpi Kiai Badra, sehingga semua
pandanganku kepada orang-orang di sekitar Iswari telah
dialasi dengan kecurigaan. Agaknya aku memang tidak
pantas mencurigai orang-orang yang justru sedang bekerja
keras untuk kepentingan Tanah Perdikan ini."
Namun sebenarnyalah, alas dari sikap Gandar bukan saja
karena mimpi Kiai Badra. Tetapi ia seakan-akan di dorong
oleh satu keinginan untuk berbuat sesuatu bagi keselamatan
Iswari. Ia merasa tidak rela melihat seandainya Iswari
digigit nyamuk sekalipun. Sejak mereka bersama-sama
tinggal di padepokan, maka hampir semua tingkah laku
Gandar semata-mata ditujukan untuk kesenangan Iswari.
Dan kini, mimpi Kiai Badra membuatnya sangat cemas
tentang perempuan yang sedang mengandung itu.
Dalam beberapa kesempatan di hari itu, Gandar dapat
berbicara pula dengan Wiradana yang datang menemuinya
di gandok. Namun nada pembicaraan Wiradana agak
berbeda dengan Ki Gede Sembojan. Ketika mereka
membicarakan rencana upacara tujuh bulan kandungan
Iswari, maka Wiradana itu pun berkata, "Sebenarnya tidak
akan ada apa-apa, Gandar. Agak-ya ayah hanya mengatakan
menurut basa-basi saja. Semuanya akan dilangsungkan
dengan sederhana. Karena itu, bukan satu hal yang
seharusnya kau lakukan untuk menunggu hari itu
seandainya kau memang mempunyai kepentingan yang lain.
Kecuali jika kau memang ingin menunggui adikmu.
Sementara itu, agaknya Kiai Badra pun tidak perlu diberi
tahu. Besok saja, jika bayi itu lahir, maka biarlah satu dua
orang datang kepada kakek untuk mengabarinya."
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
91 SH. Mintardja Gandar mengerutkan keningnya. Semula ia sudah
berusaha untuk menyingkirkan segala macam prasangka.
Tetapi sikap Wiradana itu justru telah menumbuhkan
pertanyaan-pertanyaan baru.
----------oOo---------- Bersambung ke Jilid 5. Naskah diedit dari e-book yang diupload di website Tirai
kasih http://kangzusi.com/SH_Mintardja.htm
Terima kasih kepada Nyi DewiKZ
Jilid Kelima Cetakan Pertama Naskah ini disusun untuk kalangan sendiri:
Bagi sanak-kadang yang berkumpul / cangkrukan di
"Padepokan" pelangisingosari atau di
http://pelangisingosari.wordpress.com.
Keberadaan naskah ini tentu melalui proses yang
panjang, mulai scanning, retype " editing dan
layouting sehingga menjadi bentuknya seperti
sekarang ini. Admin mempersilahkan mengunduh naskah ini
secara gratis dengan harapan buku yang mulai langka
ini dapat dibaca oleh sanak kadang di seluruh
Nusantara bahkan di seluruh dunia (WNI yang ada di
seuruh dunia). Untuk menghargai jerih payah beliau-beliau yang
telah bekerja dengan ikhlas demi menghadirkan buku
ini, maka dilarang menggunakan untuk tujuan
komersiil bagi naskah ini.
Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
92 SH. Mintardja satpampelangi Koleksi: Ki Arema dan Ki Truno Prenjak
Scanning: Satpampelangi dan Ki Truno Prenjak
Retype: Nyi Dewi KZ di Web http://kangzusi.com/SH_Mintard
ja.htm Edit ulang: Ki Arema Lay-out: Satpampelangi Http://kangzusi.com/ dan http://pelangisingosari.wordpress.com/
93 SH. Mintardja 1 SH. Mintardja SEMENTARA itu Wiradana pun berkata selanjutnya,
"Yang sekarang lebih menarik perhatianku sebenarnya
adalah justru pengamanan daerah ini. Ada beberapa
laporan tentang hadirnya beberapa orang yang pantas
dicurigai. Beberapa kejahatan kecil telah terjadi di
padukuhan-padukuhan justru di luar Tanah Perdikan ini.
Karena itu, aku harus mendapat keterangan sebanyak-
banyaknya tentang hal itu, agar dengan demikian aku dapat
mengatur Tanah Perdikan ini sebaik-baiknya. Aku masih
selalu memikirkan kemungkinan Kalamerta kembali
membawa dendam di Tanah Perdikan ini."
Gandar mengangguk-angguk. Ia tidak memberikan
banyak tanggapan. Namun ia lebih banyak berbicara kepada
dirinya sendiri. Rasa-rasa ada semacam kecemasan bahwa
dengan demikian Iswari akan merasa kesepian.
Bagaimanapun juga, tidaklah sewajarnya jika seorang istri
terlalu sering ditinggalkan di rumah sendiri semalam-
malaman. Lebih dari itu, ada perasaan tidak rela di dalam dada
Gandar melihat perlakuan Wiradana atas Iswari apapun
alasannya. Karena betapapun besarnya tanggung jawab
Wiradana atas Tanah Perdikan Sembojan, namun ia pun
harus bertanggung jawab pula atas kesejahteraan istrinya,
lahir dan batin. Karena itu, adalah tidak wajar jika setiap
malam Iswari dibiarkannya merenungi dirinya sendiri di
pembaringannya justru pada saat harapannya untuk
mendapatkan seorang anak sedang melambung.
Sesaat kemudian, Wiradana masih melanjutkan, "Karena
itu Gandar, jangan terikat oleh keinginan ayah untuk tinggal
disini sampai upacara tujuh bulan kandungan Iswari. Tidak
2 SH. Mintardja akan ada apa-apa. Jika kau segan mengatakannya kepada
ayah, biarlah aku saja yang mengata-kannya."
Tetapi justru karena itu, keinginan Gandar tetap berada
di Tanah Perdikan itu menjadi semakin besar. Namun ia
tidak mengatakannya, bahkan tiba-tiba saja telah tumbuh
rencana di dalam dirinya.
Karena itu, maka Gandar pun kemudian menjawab,
"Wiradana, sebenarnyalah bahwa aku mempunyai
kewajiban yang tidak dapat aku tinggalkan terlalu lama.
Jika demikian halnya, maka biarlah aku berterus terang
kepada Ki Gede bahwa aku tidak perlu menunggu sampai
upacara itu." "Bagus," desis Wiradana hampir di luar sadarnya.
Sementara itu terkilas di dalam hatinya, bahwa kehadiran
Gandar hanya akan mengganggu rencananya yang sudah
disiapkannya bersama Warsi. Menyingkirkan Iswari. Jika
perlu justru pada saat bayinya belum lahir. Bagi Warsi hal
itu akan merupakan kerja yang sekaligus tanpa bersusah
payah melakukan lagi untuk melenyapkan anak Iswari yang
akan berhak mewarisi Tanah Perdikan ini.
Karena itu, maka Wiradana itu pun berkata, "Tetapi
segalanya terserah kepadamu. Jika kau ingin tinggal di
Tanah Perdikan ini, kami pun akan menerimanya dengan
senang hati. Namun seandainya kau harus kembali karena
tugas-tugasmu di padepokanmu, maka aku kira ayah pun
tidak akan berkeberatan."
"Ki Wiradana," berkata Gandar kemudian, "Aku akan
mengambil jalan tengah-tengah. Aku akan berada beberapa
hari lagi di Tanah Perdikan ini, tetapi tidak sampai upacara
tujuh bulan kandungan Iswari. Dengan demikian, maka
rasa-rasanya aku dapat memenuhi semua keinginannya."
3 SH. Mintardja "Terserah kepadamu," berkata Wiradana. Sebenarnya ia
masih kecewa juga. Tetapi itu akan lebih baik daripada
Gandar menunggu sampai hari upacara itu.
"Aku harus melenyapkan Iswari sebelum upacara,"
berkata Wiradana yang hatinya sudah disusupi iblis itu.
Demikianlah, maka Gandar masih akan berada di Tanah
Perdikan itu untuk beberapa hari. Namun ia akan
memanfaatkan saat-saat itu sebaik-baiknya. Saat yang
hanya beberapa hari itu. Ternyata bahwa Gandar tidak dapat bertahan pada
sikapnya sebagai sekadar orang yang dungu dan tidak
mampu berbuat apa-apa. Meskipun ia tetap
mempertahankan anggapan orang lain atasnya, tetapi
ternyata bahwa ia telah berbuat sesuatu.
Ketika malam turun, maka ia tidak berada di dalam


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gandok tanpa diketahui oleh siapapun. Ia sempat melihat
Wiradana turun di saat Tanah Perdikan Sembojan mulai
diselubungi oleh kegelapan. Ternyata bahwa Gandar
mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu. Di
dorong oleh gejolak perasaannya, maka telah timbul di
dalam hatinya keinginan untuk mengetahui, apa yang
dilakukan oleh Wiradana di malam hari.
Karena itu, maka Gandar pun telah mengikutinya. Ia
sadar, bahwa Wiradana anak Ki Gede Sembojan sekaligus
muridnya, adalah seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Ki Gede sendiri telah berhasil membunuh orang yang
bernama Kalamerta. Nama yang sangat disegani bukan saja
di Tanah Perdikan Sembojan, tetapi nama itu rasa-rasanya
telah menghantui seluruh Kadipaten Pajang.
Dengan demikian maka Gandar pun telah melakukannya
dengan sangat hati-hati. Ia tidak boleh gagal, sehingga
4 SH. Mintardja Wiradana mengetahui apa yang dilakukannya. Jika
demikian, maka persoalannya benar-benar akan menjadi
sangat menyulitkan Iswari. Seandainya sebelumnya tidak
ada persoalan apapun juga, maka yang dilakukannya itu
justru akan menghancurkan hidup Iswari dan hari
depannya. Namun ternyata bahwa Gandar yang dianggap dungu itu
mampu melakukannya. Ia mampu mengikuti perjalanan
Wiradana yang tergesa-gesa, keluar dari Tanah Perdikan.
"Apakah setiap malam Wiradana menempuh perjalanan
yang cukup panjang ini?" bertanya Gandar di dalam
hatinya. Semakin lama Gandar rasa-rasanya menjadi semakin
ingin tahu, kemana Wiradana itu akan pergi. Karena itu,
maka ia pun menjadi semakin rapat mengikutinya, agar ia
tidak kehilangan jejak, namun juga tidak diketahui bahwa ia
telah mengikutinya. Ketika kemudian Wiradana memasuki sebuah
padukuhan, jantung Gandar berdebar semakin cepat.
Nampaknya daerah tetangga Perdikan Sembojan itu
bukannya satu Tanah perdikan. Tetapi satu Kademangan
yang tidak begitu besar. Kegiatan anak-anak mudanya pun
tidak sebagaimana dilakukan oleh anak-anak muda
Sembojan, apalagi setelah Ki Gede Sembojan membunuh
orang yang bernama Kalamerta.
Karena itu, maka rasa-rasanya padukuhan itu sangat
lengang. Tidak ada orang sama sekali di gardu di mulut
padukuhan. Ketika Wiradana memasuki padukuhan itu,
tidak seorang pun yang menyapanya. Setiap pintu rumah
sudah tertutup rapat. Bahkan regol-regol halaman pun telah
tertutup pula. 5 SH. Mintardja Tetapi, tidak ada kesan sama sekali bahwa padukuhan itu
telah di jamah oleh kerusuhan sebagaimana dikatakan oleh
Wiradana. Kecurigaan Gandar menjadi semakin meningkat, ketika
kemudian Wiradana memasuki sebuah regol halaman
rumah yang tidak terlalu besar.
Jantung Gandar menjadi semakin cepat berdenyut.
Namun ia masih berusaha untuk dapat berbuat sebaik-
baiknya. Baginya Wiradana adalah seorang yang memiliki
ilmu yang tinggi karena ia adalah anak dan murid Ki Gede
Sembojan. Untuk beberapa saat lamanya, Gandar tidak segera
mendekati rumah itu. Ia berusaha untuk menenangkan
hatinya, agar ia mampu memusatkan kemampuannya,
menahan pernafasannya sehingga desahnya tidak mudah
didengar oleh orang lain. Apalagi orang yang memiliki ilmu
yang tinggi. Baru setelah ia berhasil menenangkan dirinya maka
dengan sangat berhati-hati Gandar telah mendekati rumah
kecil itu. Dengan berlandaskan kemampuannya, maka ia
berusaha untuk menyerap segala macam bunyi yang
mungkin timbul dari dirinya. Pernafasannya, langkahnya,
mungkin jika tubuhnya menyentuh dinding, dan
kemungkinan-kemungkinan lainnya yang dapat terjadi.
Dalam keadaan yang demikian itulah, Gandar kemudian
mendekati dinding rumah itu.
Namun langkahnya tiba-tiba berhenti. Ia menjadi ragu-
ragu. Ada semacam hambatan di dalam dirinya untuk
meneruskan niatnya. "Bagaimanakah jika aku melihat sesuatu yang dapat
menyakiti hati Iswari," berkata Gandar di dalam hatinya.
6 SH. Mintardja Sejenak Gandar termangu-mangu. Namun dorongan
ingin tahunya kemudian telah memaksanya untuk bergeser
semakin dekat dengan dinding rumah kecil itu.
Dengan ketajaman pendengarannya, maka dari balik
dinding Gandar mendengar percakapan di dalam. Perlahan-
lahan sekali. Tetapi jelas bagi Gandar.
Terasa jantung Gandar bagaikan akan terlepas dari
tangkainya. Dalam beberapa saat kemudian, ia tahu pasti,
apa yang sebenarnya telah terjadi. Apa yang dilakukan oleh
Wiradana jika ia pergi meninggalkan rumahnya,
meninggalkan Iswari dan meninggalkan Tanah Perdikannya
di malam hari. Hatinya yang sudah mulai tenang itu telah bergejolak
kembali. Rasa-rasanya ia ingin meloncat dan mencekik
Wiradana yang curang itu.
Namun untunglah, bahwa Gandar masih dapat menahan
diri. Rasa-rasanya masih ada satu keinginan untuk
membuktikannya dengan penglihatannya. Apa yang telah
dilakukan oleh Wiradana di rumah itu.
Seakan-akan bukan oleh kehendaknya sendiri, Gandar
telah bergeser melekat dinding. Ketika ia menemukan
sebuah lubang di antara anyaman bambu dan tiang kayu,
maka ia telah mengintip ke dalam.
"O," Gandar mengeluh. Ia melihat Wiradana duduk
bersama seorang perempuan yang sangat cantik. Seorang
perempuan yang menyambutnya dengan manja dan
agaknya telah menyediakan makanan dan minuman yang
hangat baginya. Namun dalam pembicaraan mereka, Gandar
mengetahuinya bahwa keduanya telah menjadi suami istri
sebagaimana Wiradana dengan Iswari.
7 SH. Mintardja Tubuh Gandar menjadi gemetar. Tetapi justru dengan
demikian, maka ia telah kehilangan pemusatan nalar
budinya untuk menyerap bunyi yang timbul dari dirinya.
Karena itu, maka penyerapannya pun menjadi berkurang
pula. Gandar baru sadar, baha ia telah melakukan sesuatu
kesalahan ketika tiba-tiba saja ia melihat perempuan yang
duduk di samping Wiradana itu mengangkat wajahnya,
justru pada saat Wiradana baru menghirup minuman
hangatnya, sehingga Wiradana tidak memperhatikannya.
"Kakang," tiba-tiba saja terdengar suara perempuan
cantik itu, "Ada sesuatu yang terlupa. Aku akan mengambil
gula kelapa di dapur sejenak."
"Minuman ini sudah cukup manis," berkata Wiradana.
Perempuan itu tersenyum. Sambil berdiri ia menepuk
bahu Wiradana sambil berdesis, "Hanya untuk sekejap.
Nanti kita makan bersama-sama."
Perempuan cantik itu pun kemudian berdiri dan
melangkah ke dapur. Gandar menyadari kelengahannya. Ia pun kemudian
telah kembali memusatkan ilmu serapnya, sehingga tidak
ada lagi bunyi apapun yang timbul daripadanya. Bahkan
seandainya ia menyentuh dinding sekalipun.
Namun sebenarnyalah Gandar ingin tahu, apa yang akan
dilakukan perempuan cantik itu di dapur.
Dengan hati-hati Gandar bergeser dari tempatnya.
Melihat arah perempuan itu, Gandar dapat menduga, di
manakah letak dapur di rumah itu.
Karena itu, maka ia pun telah melingkari sudut rumah itu
dan berusaha untuk dapat mengintip pula ke dalam dapur.
8 SH. Mintardja Ternyata Gandar menemukan lubang kecil di sela-sela
anyaman dinding. Dari sela-sela itu ia melihat ke dalam
dapur yang gelap. Namun dengan mengerahkan
kemampuannya, maka pandangan matanya pun menjadi
semakin tajam sehingga dapat mengatasi kegelapan dapur
yang lampunya sudah tidak dinyalakan lagi itu.
Namun tiba-tiba jantungnya berdegup lebih cepat lagi.
Bahwa ia menghadapi satu kenyataan tentang Wiradana
yang mempunyai istri yang lain kecuali Iswari dan telah
membuat darahnya menjadi panas.
Namun kemudian ia telah melihat satu kenyataan lain
yang membuat darahnya semakin mendidih.
Ternyata Gandar melihat perempuan cantik itu berdiri
tegak sambil menengadah kepalanya. Tangannya ditekuk
pada sikunya sejajar di sebelah menyebelah tubuhnya
dengan jari-jari yang mengepal.
"Gila," desis Gandar di dalam hatinya. Ia mengenal sikap
itu. Sikap pemusatan kekuatan lahir dan batin dari satu
aliran ilmu yang mendebarkan. Satu garis keturunan
dengan ilmu yang dimiliki oleh Kalamerta.
"Siapakah sebenarnya perempuan ini?" bertanya Gandar
kepada dirinya sendiri. Namun ia tetap sadar akan dirinya. Ia pun telah
mengerahkan segenap kemampuannya untuk mempertinggi
daya serapnya, karena itu ia tahu bahwa agaknya
perempuan itu telah mendengar sesuatu, sehingga ia pun
telah berusaha mendengar lagi dengan memusatkan
ilmunya untuk mempertajam pendengarannya.
Sebenarnyalah memang telah terjadi satu benturan ilmu.
Ilmu yang melandasi Gandar atas ilmu serap bunyi, dan
9 SH. Mintardja ilmu Warsi yang mampu mempertajam daya tangkap
pendengarannya. Namun pertempuran itu tidak berlangsung terlalu lama.
Sejenak kemudian terdengar suara Wiradana memanggil,
"Warsi." Warsi menarik nafas dalam-dalam. Ia terpaksa
melepaskan ilmunya. Namun nampaknya ia sudah puas
dengan pengamatannya yang sesaat dengan
pendengarannya, karena ia memang tidak mendengar apa-
apa. "Agaknya aku telah tergoda oleh desis angin," berkata
Warsi di dalam hatinya. Ia pun kemudian melangkah, keluar dari kegelapan.
Namun begitu ia melampaui pintu, cepat-cepat ia
melangkah kembali sehingga Gandar menjadi berdebar-
debar. Namun ternyata Warsi masih menyempatkan diri
mengambil beberapa gula kelapa. Demikian cepatnya
meskipun di dapur itu tidak ada lampu sama sekali.
Demikinlah Warsi hilang dari balik pintu dapur, maka
Gandar pun menarik nafas dalam-dalam. Yang
dilakukannya pertama-tama kemudian menjauhi rumah itu.
Bahkan Gandar telah meloncati dinding halaman dan
kemudian menyusuri lorong sempit ke jalan yang lebih
besar. Dengan hati-hati Gandar berjalan dengan langkah
yang diberati oleh tekanan perasaannya, keluar dari
padukuhan itu. Namun untuk beberapa saat, Gandar yang kemudian
turun ke sungai kecil yang menyilang jalan itu, duduk di
atas sebongkah batu di belakang semak-semak. Getar di
dadanya bagaikan tidak dapat diterangkan lagi. Rasa-
10 SH. Mintardja rasanya ia sudah siap untuk mengoyak tubuh Wiradana
yang telah berkhianat terhadap Iswari.
Tetapi dengan susah payah Gandar berusaha untuk
mempergunakan nalarnya. Agaknya Iswari sama sekali
tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Karena itu,
seandainya ia melakukan satu langkah yang mengarah
kepada terbukanya rahasia itu, maka ia tidak akan sampai
hati melihat akibat yang akan terjadi atas Iswari, justru
pada saat Iswari sedang mengandung.
"Kejutan itu akan sangat berpengaruh atas
kandungannya," berkata Gandar di dalam hatinya.
Namun demikian kebencian yang tidak terbatas telah
mengguncang perasaannya terhadap Wiradana.
"Apa yang harus aku lakukan?" Gandar menutup
wajahnya dengan kedua tangannya.
Betapa ia berusaha, tetapi ia tidak menemukan jalan
terang yang paling pantas untuk dilakukannya. Bahkan
demikian ia berusaha memikirkan persoalan itu, maka
kepalanya pun telah menjadi sangat pening karenanya.
Akhirnya Gandar itu pun berdiri. Ia masih sadar, bahwa
ia harus berada di gandok sebelum fajar. Sehingga karena
itulah, maka dengan langkah yang gontai ia berjalan
kembali ke Tanah Perdikan Sembojan.
Dalam dinginnya udara malam, ternyata Gandar
menemukan satu jawaban, "Aku akan menunggu sampai
Iswari melahirkan. Anak itu adalah anak Wiradana. Laki-
laki atau perempuan, anak itu adalah anaknya yang
pertama. Jika ia laki-laki, ia akan langsung menjadi calon
pengganti ayahnya kelak. Jika ia perempuan, maka
menantunyalah yang akan menduduki jabatan itu."
11 SH. Mintardja Tetapi satu pertanyaan timbul, "Bagaimana jika
perempuan itu mempunyai anak laki-laki?"
Gandar menggeram. Namun akhirnya ia bertekad untuk
berbicara kelak dengan Ki Gede. Tetapi sekali lagi ia
berdesis, "Aku harus menahan diri sampai anak itu lahir.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jika satu persoalan akan mempengaruhi anak di dalam
kandungan itu, maka hati Iswari akan menjadi semakin
hancur karenanya." Dengan demikian, maka rasa-rasanya hati Gandar
menjadi lebih mapan untuk menentukan langkah-
langkahnya, meskipun masih belum pasti. Segalanya akan
dilakukan setelah anak Iswari lahir. Bahkan seandainya ia
harus berhadapan dengan perempuan cantik, istri Wiradana
yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi itu.
Namun Gandar pun berkesimpulan, agaknya Wiradana
tidak menyadari bahwa istrinya memiliki ilmu yang
nggegirisi. Istrinya itu pun agaknya dengan sengaja telah
menyembunyikan kemampuannya.
"Ia memikat Wiradana tentu dengan kecantikannya,"
berkata Gandar di dalam hatinya.
Dalam pada itu, ketika fajar menyingsing dan terdengar
suara sapu lidi di halaman, Gandar memang sudah berada
di dalam biliknya di gandok rumah Ki Gede Sembojan.
Ketika ia membuka pintu, dilihatnya dalam keremangan
dini hari, seseorang sedang menyapu halaman.
Gandar pun melangkah turun ke halaman dan sejenak
kemudian ia pun telah pergi ke pakiwan. Maka senggot
timba pun telah berderit. Seperti yang dilakukannya
sebelumnya, maka Gandar pun telah mengisi pakiwan.
Para pembantu di rumah Ki Gede telah
mempersilakannya untuk langsung mandi saja. Tetapi
12 SH. Mintardja Gandar menjawab, "Aku sudah terbiasa bekerja apa saja di
padepokan." Karena itu, maka akhirnya Gandar itu pun dibiarkannya
saja mengambil air untuk mengisi pakiwan.
Jantung Gandar terasa berdesir ketika tiba-tiba saja
melihat Wiradana dengan tergesa-gesa pergi ke pakiwan.
Ketika Wiradana itu melihat Gandar, maka ia pun telah
tertegun. Namun Gandar justru bagaikan membeku. Ia
sedang bergulat dengan perasaannya agar ia tidak berbuat
sesuatu yang dapat merusak suasana tenang di rumah itu.
Suasana yang dapat membentuk ketenangan hati Iswari dan
bayi di dalam kandungannya.
Karena Gandar tidak menyapanya, maka Wiradanalah
yang kemudian bertanya, "Sepagi ini kau sudah menimba
air Gandar?" Gandar menarik nafas dalam-dalam. Hampir tidak
terloncat dari bibirnya, namun akhirnya terdengar juga ia
menjawab, "Sebagaimana selalu aku lakukan di
padepokan." Wiradana tidak bertanya lagi. Ia pun langsung pergi ke
pakiwan. Demikian ia selesai membersihkan diri, maka ia
pun telah meninggalkan pakiwan itu.
Tetapi Gandar ternyata sudah sempat bertanya, "Apakah
kau baru pulang?" "Ya," sebenarnyalah Wiradana benci sekali
mendengarkan pertanyaan itu. Tetapi ia harus
menjawabnya. Lalu, "Aku langsung nganglang dan melihat
air di parit-parit."
13 SH. Mintardja Gandar tidak bertanya lagi. Ia mencemaskan dirinya
sendiri bahwa pada satu saat ia tidak lagi mampu
mengekang pertanyaannya. Tanpa berpaling lagi, Wiradana pun telah hilang lewat
pintu dapur masuk ke ruang dalam.
Dalam pada itu, selagi Gandar masih belum selesai
memenuhi jambangan di pakiwan, jantungnya berdesir
ketika ia melihat Iswari keluar pula dari pintu dapur sambil
membawa beberapa mangkuk kotor yang akan dicuci
didekat sumur. Sambil tersenyum cerah ia bertanya kepada
Gandar, "Kau sudah bangun kakang."
Dada Gandar terasa berdegupan. Ia melihat senyum
Iswari yang cerah. Namun seakan-akan ia juga melihat
Iswari yang sedang menangisi nasibnya yang sangat
malang, karena suaminya telah mengambil orang lain untuk
menjadi istrinya pula. Bahkan agaknya Wiradana lebih
mencintai yang kedua, karena hampir tiap malam,
Wiradana memilih berada di tempat istri-nya itu.
"Tetapi memang mungkin sekali terjadi, perempuan itu
telah kawin dengan Wiradana sebelum ia kawin dengan
Iswari," berkata Gandar di dalam hatinya. Tetapi
kemungkinan itu agaknya kecil sekali. Karena sebelumnya,
Wiradana seakan-akan tidak pernah meninggalkan
rumahnya sampai semalam-malaman. Bahkan ia lebih
banyak berada di rumahnya atau di gardu-gardu perondan
di Tanah Perdikan Sembojan.
Iswari mengerutkan keningnya. Gandar tidak segera
menjawab pertanyaannya, bahkan seakan-akan Gandar itu
sedang mengingat-ingat sesuatu yang terlupakan.
"Ada sesuatu yang kau pikirkan kakang?" bertanya
Iswari. 14 SH. Mintardja "O," Gandar tiba-tiba saja berdesah. Namun dengan
cepat ia berusaha memperbaiki kesalahannya. Katanya,
"Aku memang sedang mengingat mimpiku semalam. Aku
berniat mengatakan kepadamu. Tetapi tiba-tiba aku telah
lupa." "Mimpi tentang apa kakang" Apakah mimpi itu begitu
pentingnya sehingga kau berniat untuk mengatakan
kepadaku?" bertanya Iswari.
"Tidak begitu penting. Aku memang telah melupakan
mimpi itu, tetapi kesannya mimpi itu baik bagimu Iswari,"
jawab Gandar. Iswari tertawa. Tetapi rasa-rasanya suara tertawa itu
tidak ubahnya dengan suara tangis yang memilukan.
Namun demikian, Gandar masih tetap dikendalikan dengan
nalarnya. Bukan sekadar perasaannya.
Iswari kemudian meletakkan mangkuk-mangkuknya di
dekat jambangan kecil yang sering dipergunakannya untuk
mencuci alat-alat dapurnya kemudian berjongkok sambil
berkata, "Kakang, aku minta airnya."
Dengan serta merta Gandar pun telah menimba air dan
dituangkannya ke dalam jambangan kecil itu. Ada semacam
gejolak di dalam hatinya mendengar permintaan Iswari
meskipun hanya air se jambangan kecil. Justru karena
Gandar mengetahui keadaan yang sedang dialami oleh
Iswari. Demikian, sejak hari itu, Gandar harus berusaha sekuat-
kuatnya untuk menahan gejolak di dalam hatinya Ia harus
bersikap wajar dan seakan-akan tidak mengetahui apapun
juga. Kadang-kadang memang ada perasaan menyesal di
dalam dirinya, bahwa ia sudah mengikuti dan kemudian
15 SH. Mintardja mengetahui apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh
Wiradana, sehingga dengan demikian, maka perasaannya
telah dibebani karenanya. Beban yang justru terasa sangat
berat. Dengan demikian, maka Gandar merasa bahwa ia tidak
akan dapat terlalu lama berada di rumah Ki Gede dengan
beban tersebut. Sehingga dengan demikian maka ia
memutuskan untuk segera meninggalkannya dengan
pengertian, bahwa setelah anak yang ada di dalam
kandungannya itu lahir, maka ia akan membuat
perhitungan dengan Wiradana.
"Aku akan melaporkannya kepada Ki Gede," geram
Gandar yang agaknya tidak berkeberatan apabila karena itu
akan timbul akibat yang memaksanya berhadapan dengan
perempuan cantik, yang memiliki ilmu yang tinggi yang
ternyata telah menguasai Wiradana itu.
"Apa boleh buat," geram Gandar, "Dan agaknya ilmu
perempuan itu melampaui ilmu yang dimiliki oleh
Wiradana." Ketika Gandar kemudian menyampaikan maksudnya
untuk pulang ke padepokannya, Ki Gede terkejut sekali.
Menurut tangkapannya, maka Gandar akan berada di
rumahnya sampai upacara tujuh bulan kandungan Iswari.
Namun tiba-tiba saja ia telah minta diri.
"Aku merasa sangat gelisah untuk terlalu lama berada
disini Ki Gede," berkata Gandar. "Rasa-rasanya aku sudah
meninggalkan tugas-tugasku terlalu lama. Sementara itu
Kiai Badra akan menjadi kebingungan menunggu
kedatanganku. Mungkin Kiai Badra telah dicemaskan oleh
kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi
atasku diperjalanan. Jika ternyata kelak Kiai Badra sendiri
16 SH. Mintardja ingin hadir, maka alangkah baiknya dan alangkah
senangnya Iswari dalam upaya tujuh bulan kandungannya
itu." "Sudah aku katakan," berkata Ki Gede. "Biarlah orangku
pergi ke padepokan. Kau berada disini dan Kiai Badra akan
aku undang pula untuk datang. Waktunya tinggal beberapa
hari saja." "Biarlah aku sendiri saja kembali ke padepokan Ki Gede,"
berkata Gandar. "Rasa-rasanya ada sesuatu yang memanggil aku pulang,"
jawab Gandar. Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
berkata, "Tetapi pada hari upacara, kau dan Kiai Badra
harus berada disini. Harus."
Gandar berusaha untuk tersenyum. Katanya, "Baiklah Ki
Gede. Aku akan mengatakannya kepada Kiai Badra."
Ternyata Iswari pun terkejut mendengar Gandar yang
minta diri untuk pulang. Tetapi Gandar kemudian berhasil
meyakinkan bahwa ia akan datang lagi bersama Kiai Badra
secepatnya. "Aku akan menangis jika kau dan kakek tidak ada disini
pada upacara itu," berkata Iswari.
Gandar menyadari, bahwa Iswari hanya sekadar
bergurau. Tetapi hati Gandar justru merasa sakit, karena ia
tahu, bahwa pada suatu saat Iswari benar-benar akan
menangis jika ia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi
atas dirinya. Namun dengan susah payah Gandar memaksa dirinya
untuk tersenyum sambil berkata, "Aku tentu akan datang
Iswari." 17 SH. Mintardja Demikianlah, maka Gandar pun telah meninggalkan
rumah Ki Gede Sembojan. Tetapi rasa-rasanya hatinya telah
terbelah. Yang dilihatnya di Sembojan adalah satu peristiwa
yang sangat pahit, bukan saja bagi Iswari, tetapi juga bagi
Kiai Badra dan dirinya sendiri.
Semakin jauh Gandar melangkah, hatinya terasa menjadi
semakin bergejolak. Kemarahan, kebencian dan bahkan
dendam telah membakar hatinya. Rasa-rasanya terlalu sakit
jika ia harus sekadar merendamnya di dalam dadanya.
Karena itu, demikian Gandar terlepas dari Tanah
Perdikan Sembojan, maka tiba-tiba saja ia sudah berlari
mendaki sebuah bukit berbatu-batu. Rasa-rasanya ia ingin
melepaskan kepenatan hatinya di atas bukti yang tidak
dihuni oleh seorang pun juga.
Dengan mengerahkan tenaga dan kemampuannya,
Gandar pun berlari dan berlari. Kakinya semakin lama
menjadi semakin cepat bergerak. Bahkan kemudian kaki itu
telah berloncatan dari batu ke batu, mendaki dan kemudian
bagaikan melayang-layang di puncak bukit itu.
Ketika Gandar yakin bahwa ia telah berada jauh dari
sesamanya, maka tiba-tiba saja ia telah berdiri di atas
sebongkah batu. Sambil menengadahkan kepalanya, tiba-
tiba saja ia berteriak sekeras-kerasnya. Seakan-akan ia ingin
melontarkan segala persoalan yang telah menyumbat
dadanya, dilambari dengan segenap kekuatan ilmunya.
Akibatnya ternyata mendebarkan jantung. Suara yang
terlontar dari sela-sela bibir Gandar telah menggetarkan
bukit berbatu kapur itu. Batu-batu kecil yang terletak di
bibir lereng-lereng bukit itu telah berguguran. Sementara
semak-semak bagaikan digundang. Daun-daun yang kuning
telah runtuh jatuh di atas bebatuan.
18 SH. Mintardja Untuk beberapa saat Gandar mengguncang bukit itu.
Namun agaknya ia masih belum puas. Tiba-tiba saja ia telah
meloncat, berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya di
dada dengan telapak tangan terbuka. Dengan satu loncatan
panjang, maka tangan itu telah terayun dengan kerasnya
menghantam lereng batu kapur di atas bukit itu.
Sejenak kemudian terdengar suara gemuruh. Tangan Gandar benar- benar telah memecahkan batu-batu kapur itu, sehingga berguguran menghambur dibawah kakinya. Sejenak Gandar masih berdiri mematung. Namun kemudian ia telah menarik
nafas dalam-dalam. Rasa- rasanya beban di dalam dadanya telah berkurang, setelah dilontarkannya lewat suara dan kekuatannya. Seluruh tubuh Gandar telah menjadi basah oleh
keringatnya. Nafasnya menjadi berkejaran lewat lubang
hidungnya. Setelah menghentakkan segenap kekuatan
ilmunya, maka rasa-rasanya tubuh Gandar menjadi letih.
Gandar pun kemudian duduk di atas sebongkah batu


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kapur. Dipandanginya lereng disekitarnya. Sepi.
Namun terasa kemudian angin yang semilir telah
menerpa tubuhnya yang menjadi semakin segar.
19 SH. Mintardja Untuk beberapa saat Gandar duduk merenung. Ia masih
berusaha menemukan sikap yang sebaiknya dilakukan. Ia
memang telah memutuskan untuk mempersoalkan
hubungan Wiradana dengan Iswari setelah anak Iswari
lahir. Namun sementara itu, apakah yang sebaiknya
dilakukannya. Apakah ia akan menyampaikan persoalan itu
kepada Kiai Badra yang hatinya tentu akan menjadi hancur
pula mengingat nasib cucunya yang malang itu. Ayah ibu
Iswari telah mengalami nasib yang buruk. Dan sekarang
Iswari pun mengalami nasib yang kurang baik pula
meskipun dalam ujud yang berbeda.
Rasa-rasanya Gandar telah berdiri disimpang jalan. Ada
keinginannya untuk kembali ke padepokannya dan
melupakan persoalan Iswari, ia selalu ingat pesan Iswari
meskipun sambil bergurau, jika ia dan Kiai Badra tidak
datang pada upacara tujuh bulan kandungan Iswari, maka
Iswari akan menangis. Gandar tidak sadar berapa lama ia merenung di atas
bukit kapur itu. Tetapi ketika ia menengadahkan wajahnya
kelangit, dilihatnya matahari telah turun. Tubuhnya rasa-
rasanya menjadi semakin panas oleh cahaya matahari yang
membakar. Tetapi Gandar telah beringsut. Ia telah duduk di atas
sebongkah batu sambil merenung.
Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka Gandar
masih saja berada di tempatnya. Ketika ia bangkit dan
melangkah turun untuk kembali ke padepokannya, tiba-tiba
saja ada semacam hambatan dari dalam dirinya. Rasa-
rasanya ia tidak sampai hati untuk meninggalkan Iswari
sendiri dalam keadaannya. Karena itu, maka ia telah duduk
kembali ditempatnya. 20 SH. Mintardja "Lalu aku mau apa?" bertanya Gandar di dalam hatinya.
Bahkan ketika matahari menghilang dibalik bukit,
Gandar masih tetap duduk ditempatnya. Ia sama sekali
tidak merasa lapar dan haus. Kekalutan nalarnya
membuatnya tidak menghiraukan lagi kepada dirinya
sendiri. Gandar baru bangkit ketika terasa angin yang dingin
mulai menembus kulitnya. Langit nampak bersih. Bintang-
bintang nampak bergayutan di langit, menebar dari tepi
sampai ketepi. Gandar yang berdiri tegak di atas batu kapur itu
kemudian telah berniat untuk tidak segera kembali. Ia ingin
mengamati lebih dekat, apa yang akan terjadi atas Iswari.
Kesan sikap Wiradana terhadapnya membuatnya semakin
curiga, karena Wiradana seakan-akan telah mengusirnya.
"Mungkin Wiradana cemas bahwa pada suatu saat aku
dapat mengetahui rahasianya," berkata Gandar di dalam
hatinya. Tetapi semacam firasat telah menahannya agar ia
tidak tergesa-gesa meninggalkan Tanah Perdikan Sembojan.
Gandar pun ternyata menuruti kata hatinya. Ia ingin
tetap berada di bukit kapur
itu. Ia ingin tetap berada dibukit kapur itu. Ia
mempunyai sisa bekal uang serba sedikit, sehingga disiang
hari ia dapat turun dan membeli makanan apa saja justru
diluar Tanah Perdikan, sementara di malam hari, ia telah
berkeliaran di Tanah Perdikan. Setiap malam ia menunggu
Wiradana lewat. Kemudian mengikutinya sampai ke rumah
perempuan cantik itu untuk mendengarkan pembicaraan
mereka serba sedikit. Namun karena Gandar telah dapat menjajagi ilmu istri
Wiradana tanpa disengaja maka setiap kali ia telah
21 SH. Mintardja mengetrapkan ilmu sebaik-baiknya, agar kehadirannya
tetap tidak diketahui oleh perempuan cantik yang akan
menjadi istri Wiradana itu.
Tetapi pada suatu saat, rasa-rasanya telinga Gandar
bagaikan disambar petir ketika ia mendengar satu rencana
yang sangat keji. Dari mulut Wiradana ia mendengar bahwa
telah disiapkan perangkap untuk membunuh Iswari
sebelum upacara tujuh bulan kandungannya.
Rasa-rasanya hati Gandar tidak terkendali lagi. Siapapun
perempuan itu, dan ilmu apa yang dimilikinya, namun
Gandar tidak akan gentar.
Tetapi ternyata bahwa Gandar masih dapat mengekang
dirinya. Ia masih mampu mempergunakan nalarnya,
sehingga ilmunya tidak terlepas daripadanya untuk tetap
menyerap bunyi apapun yang timbul dari dalam dirinya.
Bahkan kemudian Gandar pun berusaha untuk
mendengar semakin banyak.
"Aku telah memanggil serigala betina itu," berkata
Wiradana. "Apakah ia dapat dipercaya?" bertanya perempuan cantik
itu. "Serahkan semuanya kepadaku," jawab Wiradana.
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian perempuan itu menundukkan kepalanya. Tiba-
tiba saja titik-titik air telah menetes dari pelupuk matanya.
"Kenapa kau Warsi?" bertanya Wiradana.
"Aku tidak sampai hati membiarkan perempuan itu
diperlakukan seperti itu," isak Warsi.
22 SH. Mintardja "Tetapi bukankah kau sependapat, bahwa ia tidak ada
jalan lain yang dapat aku tempuh?" berkata Wiradana.
Perempuan itu mengangguk. Tetapi ia berkata,
"Bagaimanapun juga aku pun seorang perempuan."
"Jangan kau renungkan terlalu dalam. Kita akan segera
dapat menyelesaikan persoalan ini untuk kemudian mencari
jalan untuk memecahkan persoalan berikutnya," berkata
Wiradana. Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi terdengar ia
terisak. Namun justru isak itulah yang membuat Gandar menjadi
muak. Ia sadar, bahwa yang dilakukan oleh perempuan itu
tentu satu sikap pura-pura.
Tetapi dalam pada itu, maka bagi Gandar, persoalannya
bukan lagi sekadar ingin tahu atau menunggu setelah bayi
Iswari lahir. Nyawa Iswari ternyata telah terancam. Karena
itu, maka mau tidak mau ia harus berbuat sesuatu.
Dari pembicaraan berikutnya Gandar mengetahui, bahwa
dua hari lagi, seseorang akan mengajak Iswari pergi ke
tempat seseorang yang sedang menyambut kedatangan
anaknya. Mereka akan berangkat dari rumah di waktu
senja. Tetapi saat mereka sampai di bulak, hari tentu sudah
gelap. Sejak saat itu, Iswari tidak akan sampai ke rumah
untuk selamanya. Dengan demikian, maka Gandar tidak lagi dapat ingkar
dari kewajiban. Masalahnya sudah terlalu jauh dari
kewajaran. Karena itu maka apapun yang akan terjadi,
Gandar merasa wajib untuk berbuat sesuatu.
Meskipun Gandar telah mendengar, saat yang akan
dipilih untuk membunuh Iswari, namun malam sebelumnya
23 SH. Mintardja ia tetap mengawasinya. Ia merasa cemas bahwa Wiradana
mengubah dan mempercepat rencananya.
Ternyata rencana Wiradana adalah benar-benar rencana
yang sudah masak, sehingga dengan demikian, maka
sebagaimana dikatakan, rencana itu akan dilakukan di hari
yang sudah ditentukan. Pada saat yang dikatakan oleh Wiradana, sebenarnyalah
seorang perempuan telah singgah di rumah Nyai Wiradana.
Perempuan yang masih belum dikenal oleh Iswari.
"Nyai," berkata perempuan itu, "Ki Wiradana berpesan
kepadaku. Jika aku akan pergi mengunjungi Nyi Pasih, aku
diminta untuk singgah sebentar. Bukankah Nyai Wiradana
akan pergi ke rumahnya?"
Nyi Wiradana mengangguk. Namun terasa sesuatu yang
janggal pada orang itu. Ia belum pernah mengenalnya. Jika
perempuan itu perempuan Tanah Perdikan, maka ia tentu
sudah mengenalnya, karena setiap orang perempuan
bahkan laki-laki pun di Tanah Perdikan itu telah dikenalnya
dengan akrab. "O," perempuan itu menyadari bahwa Nyai Wiradana
agak heran melihat kehadirannya, "Aku adalah penghuni
Kademangan sebelah. Mungkin Nyai memang belum
mengenal aku. Karena aku akan mengunjungi Nyai Pasih
dan melewati jalan ini, maka sekaligus aku singgah barang
sejenak agar aku mempunyai kawan di jalan. Nanti, pada
saatnya pulang suamiku akan menunggu aku disini."
Iswari mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya masih
ada sesuatu yang meragukannya. Sementara itu perempuan
itu berkata, "Suamiku adalah Jagabaya di Kademangan
sebelah. Ia banyak berhubungan dengan Ki Wiradana,
karena suamiku banyak belajar tentang keamanan Tanah
24 SH. Mintardja Perdikan ini, sementara Ki Wiradana dengan tekun
mempelajari kerusuhan yang sering timbul di Kademangan
kami sebelum kerusuhan itu menjalar ke Tanah Perdikan
ini." Baru kemudian Iswari mengangguk-angguk ketika orang
itu memperkenalkan diri sebagai Nyai Jagabaya. Karena itu,
maka Iswari pun segera menjawab, "Maaf Nyai Jagabaya.
Karena aku belum mengenal Nyai, maka aku merasa agak
canggung. Marilah, duduklah. Aku memang sudah
mengatakan kepada suamiku, bahwa aku akan pergi ke
rumah Nyi Pasih hari ini."
"Nah, karena itulah atas pesan Ki Wiradana maka aku
singgah," jawab Nyai Jagabaya.
Iswari pun kemudian mempersilahkan perempuan itu
masuk. Tetapi katanya, "Sudahlah Nyai. Aku menunggu
disini. Bukankah Nyai juga sudah siap untuk berangkat."
Sementara itu Wiradana pun telah keluar dari pringgitan.
Ketika ia melihat Iswari berbicara dengan seorang
perempuan, maka ia pun mendekat sambil berkata, "Inilah
Nyai Jagabaya yang akan aku katakan itu Iswari."
"Tetapi kakang tidak mengatakan bahwa Nyai Jagabaya
akan singgah," jawab Iswari. "Sehingga aku menjadi
bingung, karena aku belum mengenalnya."
"Nyai Jagabaya," berkata Wiradana. "Sebenarnya aku
sendiri akan mengantar Iswari ke padukuhan sebelah untuk
menengok Nyai Pasih, karena aku juga mempunyai
kepentingan dengan padukuhan sebelah. Namun ternyata
aku harus pergi ke padukuhan lain. Karena aku tidak dapat
mengantar, maka biarlah kalian pergi berdua. Tetapi jangan
terlalu malam pulang. Meskipun di daerah ini sekarang
25 SH. Mintardja termasuk daerah yang aman, namun sebaiknya kalian juga
berhati-hati." "Ah," desis Nyai Jagabaya, "Suamiku tidak pernah
sempat mengantarku kemana saja. Karena itu, aku sudah
terbiasa pergi sendiri. Meskipun demikian suamiku sudah
berjanji untuk menjemputku aku disini nanti."
"O, baiklah. Ia akan diterima disini dengan senang hati.
Mudah-mudahan persoalanku pun sudah selesai, sehingga
aku akan dapat menemuinya sendiri," berkata Ki Wiradana.
Wiradana pun kemudian menyuruh istrinya untuk segera
bersiap sebelum hari menjadi gelap. "Biarlah aku
mengawani Nyai Jagabaya ini."
"Ah, aku akan menunggu disini saja Nyai," berkata
perempuan itu selanjutnya.
Demikianlah, maka Nyai Wiradana yang semula akan
pergi di antar oleh suaminya ternyata urung. Tetapi baginya
hal itu bukanlah satu persoalan. Ia sudah terbiasa pula pergi
sendiri. Apalagi mengunjungi kelahiran. Adalah tidak biasa
bagi seorang laki-laki. Hanya pada waktu malam biasanya
laki-laki disebelah menyebelah datang untuk berjaga-jaga
semalam suntuk sambil membaca kidung.
Sejenak kemudian maka Iswari pun telah siap. Sejenak
kemudian ia pun turun ke halaman. Sementara itu langit
pun sudah menjadi kian suram.
Ketika kedua perempuan itu minta diri, maka Wiradana
pun berpesan, " Berhati-hatilah"
Demikianlah, maka kedua orang perempuan itu pun
telah turun ke jalan dan menyusuri jalan di padukuhan
induk itu menuju ke regol padukuhan. Ketika mereka keluar
26 SH. Mintardja dari regol padukuhan induk itu, gelap benar-benar telah
turun. Tetapi keduanya sama sekali tidak menjadi cemas.
Padukuhan yang akan mereka tuju adalah padukuhan
sebelah yang hanya di antara oleh sebuah bulak pendek.
Nyai Wiradana sama sekali tidak merasa cemas untuk
pulang di malam hari. Jika ia merasa agak takut oleh
sesuatu, mungkin seekor binatang buas yang tersesat, atau
oleh hal-hal lain yang tiba-tiba saja timbul, ia dapat minta
diantarkan oleh para peronda atau orang-orang lain yang
ada di rumah yang dikunjunginya.
Demikian mereka keluar dari padukuhan dan memasuki
bulak, maka Iswari pun bertanya, "Sudah berapa lama kau
tinggal di Kademangan sebelah?"
"Sejak kecil Nyai," jawab perempuan itu. "Agak berbeda
dengan Nyai. Bukankah Nyai tinggal di Tanah Perdikan ini
sejak kawin dengan Ki Wiradana?"
Iswari mengangguk-angguk, sementara perempuan itu
melanjutkan, "Aku lahir dan dibesarkan di Kademangan itu.
Orang tuaku pun lahir dan dibesarkan di sana pula. Kedua-
duanya. Mereka adalah kawan bermain sejak kecil.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian orang tua mereka telah menjodohkan mereka
menjadi suami istri. Nyai Wiradana mengangguk-angguk. Kata-nya, "Jika
demikian, maka kau dapat melakukan tugasmu sebagai
seorang istri Jagabaya sebaik-baiknya, karena kau mengenal
kampung halamanmu sebaik mengenal dirimu sendiri."
Perempuan itu tertawa. Katanya, "Bukankah Nyai juga
dapat melakukan kewajiban Nyai sebaik-baiknya meskipun
Nyai bukan seorang yang dilahirkan dan dibesarkan di
Tanah Perdikan ini?"
27 SH. Mintardja "Aku, aku baru belajar melakukannya," jawab Iswari.
Perempuan itu tidak menjawab lagi. Diamati-nya jalan
yang akan dilaluinya. Sementara hari benar-benar sudah
menjadi gelap. Ketika mereka sampai di simpang tiga, Iswari terkejut.
Tiba-tiba saja perempuan itu menggamitnya dan berkata,
"Kita berbelok ke kanan Nyai."
Iswari tertegun. Katanya, "Bukankah rumah Ki Pasih ada
di padukuhan di hadapan kita?"
"Ya. Tetapi kita akan berbelok kekanan," jawab
perempuan itu tegas. "Aku tidak mengerti," jawab Iswari.
"Nanti kau akan mengerti," jawab perempuan itu pula.
Iswari masih termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja
tubuhnya menjadi gemetar ketika tiba-tiba saja melihat
perempuan itu menarik sesuatu dari balik bajunya. Patrem.
Dengan suara bergetar Iswari bertanya, "Apa artinya ini
Nyai?" Orang yang menyebut dirinya Nyai Jagabaya itu
mendesak maju sambil berdesis, "Marilah. Jangan banyak
persoalan jika kau ingin mengalami nasib buruk."
Iswari mundur selangkah. Namun perempuan itu
kemudian membentak, "Berbeloklah kekanan."
Iswari tidak mempunyai pilihan. Ia pun kemudian harus
memenuhi perintah perempuan itu. Meskipun jantungnya
serasa berhenti mengalir, tetapi ia berusaha untuk dapat
melangkah sebagaimana dikehendaki oleh perempuan itu.
28 SH. Mintardja Bahkan beberapa langkah kemudian Iswari masih
sempat bertanya, "Siapakah kau sebenarnya?"
Perempuan itu tidak segera menjawab. Ia berjalan rapat
di sisi Iswari dengan patrem di tangannya.
"Siapa kau dan apa maksudmu?" desak Warsi.
Perempuan itu memandang wajah Iswari sejenak. Kemudian katanya, "Aku adalah
perempuan yang dipanggil serigala betina di Kademangan sebelah. Aku adalah seorang perempuan yang pernah ikut dalam gerombolan berandal yang mempunyai nama yang ditakuti, meskipun tidak segarang Kalamerta."
"Jadi apakah kau ingin
merampok aku?" bertanya
Iswari. "Aku tahu, bahwa kau tidak membawa apapun yang
berharga sekarang. Dan aku sudah lama tidak lagi hidup
dalam dunia itu lagi," jawab perempuan itu.
"Jadi apa maksudmu?" bertanya Iswari berulang kali.
Perempuan itu tidak segera menjawab. Tetapi ia
mendesak agar Iswari berjalan semakin cepat.
Hari masih belum terlalu malam. Tetapi jalan-jalan bulak
sudah menjadi sepi. Padukuhan yang sudah terlalu dekat itu
29 SH. Mintardja justru menjadi semakin jauh, karena kedua perempuan itu
telah berbelok dari jalan yang seharusnya.
Ternyata bahwa perempuan itu telah membawa Iswari
menuju ke luar Tanah Perdikan. Bahkan kemudian mereka
telah berbelok di sepanjang jalan terjal.
"Kita akan kemana?" bertanya Iswari yang menjadi
semakin ketakutan. "Jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakaimu,"
geram perempuan yang disebut serigala betina itu.
Iswari menjadi semakin ketakutan. Mereka kemudian
berjalan menyusur tebing sebatang sungai kecil tetapi
curam. "Aku letih sekali," desis Iswari.
"Jangan berhenti," bentak perempuan itu. "Kita masih
akan berjalan beberapa langkah lagi. "
"Kakiku rasa-rasanya sudah tidak mau melangkah lagi.
Sakit dan perutku pun terasa sakit pula," Iswari hampir
menangis. Perempuan itu tidak menjawab. Namun ia masih
mendorong Iswari untuk berjalan beberapa puluh langkah
lagi, sehingga akhirnya mereka sampai pada kelokan sungai
itu. Di bawah tebing itu nampak air sungai bagaikan tidak
mengalir. Tetapi agaknya dikelokan sungai itu, air menjadi
sangat dalam. "Nyai Wiradana," berkata perempuan itu. "Kita sekarang
berhenti disini." Tubuh Iswari benar-benar terasa gemetar. Ketika ia
berdiri berhadapan dengan perempuan yang mengaku
sebagai Nyai Jagabaya di Kademangan sebelah itu, maka
30 SH. Mintardja rasa-rasanya ia berdiri berhadapan dengan iblis betina yang
sedang kehausan darah. "Siapa sebenarnya kau yang disebut serigala betina itu?"
bertanya Iswari. "Dan maksudmu kau membawa aku
kemari" Jika hal ini diketahui oleh suamiku, maka kau tentu
akan mendapat hukuman daripadanya."
Tetapi yang disebut serigala betina itu tertawa. Katanya,
"Nasibmu memang buruk Nyai."
"Katakan," minta Nyai Wiradana. "Apa maksudmu?"
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Aku sedang mengemban satu tugas."
"Tugas apa?" bertanya Iswari dengan jantung yang
berdegupan. "Jika suamimu mengerti apa yang aku lakukan sekarang,
maka ia tidak akan berbuat apa-apa. Yang aku lakukan ini
justru karena perintah suamimu," jawab perempuan itu.
"Apa yang kau maksudkan?" desak Iswari.
"Baiknya aku berterus terang, karena kau tidak akan
mempunyai kesempatan untuk membuka rahasia ini,"
berkata perempuan itu. "Aku mendapat tugas dari suamimu
untuk membunuhmu." "Membunuhku" Kau bohong. Suamiku tidak akan
berbuat seperti itu," suara Nyai Wiradana hampir tidak
dapat meloncat dari bibirnya.
"Jangan menyesali nasib," berkata perempuan itu. "Aku
adalah perempuan yang paling kotor di antara kaumku. Aku
telah membunuh beberapa orang dalam kerjaku.
Merampok, menyamun dan merampas milik orang lain.
Pada saat aku sudah melupakan darah yang tercecer pada
31 SH. Mintardja tubuhku, maka aku mendapat tugas yang mirip kerja itu.
Membunuhmu." "Omong kosong," teriak Iswari. "Tentu bukan suamiku."
"Jangan berteriak Nyai," desis perempuan itu. "Tidak ada
gunanya. Tempat ini tidak pernah dikunjungi orang."
"Wajah Iswari menjadi semakin pucat. Selangkah ia
bergeser surut. Tetapi nampaknya perempuan itu memang
terlalu garang. Namun tiba-tiba saja suara perempuan itu berubah,
"Nyai. Aku memang seorang pembunuh. Tetapi ketika aku
menyadari, bahwa Nyai baru mengandung rasa-rasanya
hatiku tergetar karenanya. Jika aku membunuhmu, berarti
aku telah membunuh dua nyawa sekaligus. Dua nyawa yang
sama sekali tidak berdosa."
Iswari justru menjadi termangu-mangu melihat sikap
perempuan itu. Namun ia menjadi bagaikan terbungkam
karenanya. Ketika perempuan itu selangkah maju, maka Iswari pun
melangkah mundur. Namun perempuan itu berdesis,
"Jangan mundur lagi Nyai. Kau dapat terjerumus ke dalam
tebing. Jika kau terperosok masuk ke dalam kedung itu,
maka kau tidak akan pernah dapat keluar lagi. Bukankah
kita sama-sama mengetahui bahwa di dalam kedung itu
bahkan di sungai kecil ini ka-dang-kadang terdapat buaya-
buaya kerdil namun yang ternyata sangat rakus itu."
Kulit tubuh Iswari meremang. Di luar sadar-nya ia
berpaling, memandang ke arah kedung dibawahnya.
"O," Iswari memekik kecil.
"Tenanglah Nyai," berkata orang yang mengaku Nyai
Jagabaya itu. "Aku sudah berterus terang kepada Nyai,
32 SH. Mintardja bahwa aku mendapat perintah dari suamimu untuk
membunuhmu karena aku menganggap bahwa kau tidak
akan pernah dapat membuka rahasia ini. Tetapi ternyata
bahwa nuraniku berkata lain. Betapapun kotornya tanganku
oleh darah orang-orang yang pernah aku bunuh, tetapi
sebenarnyalah Nyai, aku tidak sampai hati membunuhmu."
Ternyata perempuan itu seakan-akan ingin membuktikan
kata-katanya. Sejenak kemudian maka ia pun telah
menyarungkan patremnya sambil berkata, "Nyai. Aku tidak
akan membunuh Nyai. Tetapi dengan demikian akan timbul
persoalan. Jika Nyai kembali ke rumah Ki Gede, maka Ki
Wiradana akan mengetahui bahwa aku tidak melakukan
kewajibanku dengan baik."
Iswari masih tetap terbungkam. Namun nampaknya
perempuan itu berhasil meyakinkan Iswari, katanya,
"Karena itu Nyai. Marilah kita saling menolong. Aku tidak
akan membunuh Nyai, tetapi aku minta Nyai jangan
kembali ke rumah Ki Gede Sembojan. Terserah kepada
Nyai, kemana Nyai akan pergi. Bukankah Nyai berasal dari
sebuah padepokan yang agak jauh, sehingga Nyai dapat
kembali ke padepokan itu dan minta kepada kakek Nyai
perlindungan" Tetapi aku pun minta perlindungan. Kakek
Nyai jangan membuka rahasia ini, karena dengan demikian
justru nyawaku lah yang terancam."
"O," Iswari berdesah, "Kau berkata sebenarnya?"
"Aku berkata sebenarnya Nyai. Aku akan mengatakan
bahwa aku telah membunuh Nyai dan melemparkannya
kedalam kedung itu. Mereka tidak akan ribut mencari
mayat Nyai, karena mereka tentu menyangka bahwa mayat
Nyai telah dimakan oleh buaya-buaya kerdil di dalam
kedung itu," berkata perempuan itu.
33 SH. Mintardja Iswari tidak dapat menahan air matanya. Meskipun ia
menyadari, bahwa perjalanan ke padepokan kakeknya
memerlukan perjalanan yang sangat melelahkan, apalagi
pada saat ia sedang mengandung, namun agaknya hal itu
lebih baik daripada ia harus mati di tebing kedung dan
kemudian mayatnya menjadi makanan buaya kerdil. Jika ia
masih hidup, maka ia akan dapat berusaha dengan cara
apapun juga untuk mencapai padepokan kakeknya.
"Terima kasih Nyai," desis Iswari. "Jika kita
berkesempatan untuk bertemu lagi, aku tidak akan
melupakan kebaikan hati Nyai. Nyai telah menyelamatkan
nyawaku dan nyawa anakku yang masih berada di dalam
kandungan," Iswari berhenti sejenak, lalu, "Tetapi Nyai, jika
aku boleh mengetahui, kenapa suamiku ingin membunuh
aku?" Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Ki Wiradana memang seorang laki-laki yang
kurang bertanggung jawab Nyai. Aku minta Nyai jangan
terkejut. Keresahan di hati Nyai akan dapat berakibat buruk
bagi anak di dalam kandungan Nyai. Karena itu ikhlaskan
saja tingkah laku suamimu Nyai. Serahkan semuanya
kepada nasib." "Ya, tetapi kenapa?" Iswari semakin ingin tahu.
"Ketahuilah Nyai, sebenarnya suamimu telah beristri
lagi," jawab perempuan itu ragu.
"Oh," Iswari menutup wajahnya dengan kedua
tangannya. Tubuhnya tiba-tiba saja bagaikan terguncang.
Untunglah bahwa perempuan itu cepat meloncat dan
menangkap Iswari sambil berkata, "Nyai, hati-hatilah.
Dibawah itu adalah kedung yang menyimpan buaya-buaya
kerdil yang dapat mengoyak tubuh Nyai. Jika Nyai
34 SH. Mintardja tergelincir masuk ke dalamnya, maka sia-sialah usahaku
untuk membiarkan Nyai untuk tetap hidup."
Iswari menyadari keadaannya. Bahkan tiba-tiba saja,
darahnya yang seakan-akan berhenti mengalir, telah
bergejolak. Wajahnya yang pucat telah membara. Kekuatan
yang tidak dikenal telah mengalir di dalam dirinya.
Perlahan-lahan ia melepaskan diri dari tangan
perempuan yang mendapat perintah dari suaminya untuk
membunuhnya. Dengan suara bergetar oleh gejolak di
dalam hatinya ia berkata, "Nyai, sebenarnyalah terima
kasihku kepadamu tidak terhingga. Sekarang aku minta diri.
Aku akan mencari jalan kembali ke padepokan. Aku tidak
mau mati sebelum aku bertemu dengan kakek. Aku berdoa
dan memohon, semoga keinginanku dikabulkan oleh Yang
Maha Agung." "Yang Maha Agung," perempuan itu mengulang,
"Sebutan yang asing bagiku. Tetapi aku akan membantumu
berdoa bagi Yang Maha Agung."


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih. Mudah-mudahan kau pun tidak akan
mengalami kesulitan," berkata Iswari.
"Kita akan berpisah Nyai. Aku akan bertemu dengan Ki
Wiradana besok pagi. Aku akan membasahi patremku. Aku
akan mengatakan, bahwa patremku telah aku cuci
semalam," berkata perempuan itu.
Iswari tidak menjawab. Dipandanginya perempuan itu
dengan tajamnya. Di dalam gelapnya malam, perempuan itu
merasakan, bahwa sorot mata Iswari memancarkan ucapan
terima kasih yang tidak terhingga bercampur dengan
kemarahan yang menyesak di dadanya.
Perempuan itulah yang lebih dahulu berkisar dan
melangkah meninggalkan Iswari. Beberapa langkah ia
35 SH. Mintardja berpaling. Perempuan itu masih sempat mengangkat
tangannya, memberikan salam perpisahan yang dijawab
pula oleh Iswari meskipun tangannya terasa gemetar.
Beberapa saat kemudian, perempuan itu telah hilang
didalam gelapnya malam. Yang tinggal kemudian adalah Iswari sendiri. Ketika perempuan yang semula mengaku Nyai Jagabaya itu sudah tidak nampak lagi, maka malam pun seakan-akan menjadi semakin pekat. Kekuatan asing yang muncul di dalam
dirinya tiba-tiba telah lenyap pula. Iswari berjongkok di tebing itu sambil menangis.
Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia tidak tahu, jalan manakah
yang harus ditempuh jika ia ingin kembali ke
padepokannya. Ia baru sekali menempuh perjalanan itu.
Dari padepokannya ke Tanah Perdikan Sembojan. Dan
terlalu sulit baginya untuk mengingat kembali jalan yang
ditempuhnya pada waktu itu. Apalagi di malam hari.
Iswari terpekik kecil ketika ia merasa tubuhnya digamit
seseorang. Tiba-tiba saja ia bangkit berdiri sambil berputar.
Sekali lagi Iswari terkejut. Dalam keremangan malam ia
melihat seseorang yang agaknya sudah dikenalnya dengan
36 SH. Mintardja baik, sehingga demikian ia melihat bentuk bayangan
kehitaman di hadapannya, ia langsung dapat mengenalinya.
"Kakang Gandar?" desis Iswari.
Orang itu memang Gandar. Karena itu jawabnya, "Ya,
Iswari. Aku Gandar."
Tiba-tiba saja Iswari berlari memeluknya sambil
menangis. Di sela-sela tangisnya ia berdesis, "Kakang,
nasibku ternyata sangat buruk kakang."
"Sudahlah Iswari," sahut Gandar. "Jangan menangis. Aku
sudah mengetahui seluruhnya apa yang terjadi atas dirimu.
Aku menunggui pembicaraanmu dengan perempuan itu.
Tetapi karena ternyata perempuan yang disebut serigala
betina itu tiba-tiba saja membatalkan niatnya, untuk
membunuhmu, maka rasa-rasanya aku tidak perlu berbuat
apa-apa terhadapnya."
"O," Iswari bertanya, "Jadi kakang melihat semua yang
terjadi dan mendengar semua pembicaran kami?"
"Ya, Iswari. Aku tahu, bahwa perempuan itu telah
mendapat perintah dari Wiradana untuk membunuhmu,
karena Wiradana telah kawin lagi," jawab Gandar. "Tetapi
kita wajib berterima kasih kepada Yang Maha Agung dan
kepada perempuan yang telah melepaskan kau dari
malapetaka itu. Betapa buramnya hatinya, tetapi rasa-
rasanya ia masih juga mendapat cahaya di dalam hatinya,
sehingga ia tidak mau membunuhmu karena kau sedang
mengandung." Iswari masih saja terisak. Namun Gandar berkata,
"Sudahlah Iswari. Kau harus kembali kepada tekadmu. Kau
tidak mau mati sebelum bertemu dengan kakekmu, Kiai
Badra." 37 SH. Mintardja Iswari mengangguk sambil berdesis, "Ya kakang. Aku
harus bertemu dengan kakek. Kakeklah yang semula
mempertemukan aku dengan Wiradana."
"Tetapi kau jangan menyalahkan kakekmu Iswari. Aku
kira Wiradana menurut perhitungan kewadagan, memang
seorang laki-laki yang pantas menjadi suamimu. Tetapi
ternyata bahwa perhitungan itu salah."
Iswari hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara
itu, maka Gandar pun berkata, "Marilah Iswari. Aku antar
kau pulang." "Tetapi kenapa tiba-tiba saja kakang berada disini"
Bukankah dua hari yang lalu, kakang telah minta diri untuk
kembali ke padepokan?" bertanya Iswari tiba-tiba.
"Ya, Iswari," jawab Gandar. "Tetapi aku mendapat firasat
buruk tentang dirimu. Karena itu aku mengurungkan niatku
untuk pulang. Bahkan timbul niatku untuk mengawasimu
setiap malam. Ternyata yang terjadi adalah seperti ini."
Iswari menarik nafas dalam-dalam, sementara sekali lagi
Gandar berkata, "Marilah. Kita tinggalkan tempat ini
sebelum Wiradana datang untuk menyaksikan apakah kau
benar-benar sudah tidak ada."
"Marilah kakang," jawab Iswari.
Tetapi sementara itu, Gandar berkata, "Iswari.
Berjalanlah menyusuri tebing itu dahulu. Aku akan
meninggalkan bekas yang akan meyakinkan Wiradana
bahwa kau memang sudah tidak ada lagi. Dengan demikian,
aku pun sudah membantu perempuan yang tidak sampai
hati membunuhmu itu, agar ia mendapat kepercayaan dari
Wiradana." "Apa yang akan kau lakukan?" bertanya Iswari.
38 SH. Mintardja "Di tempat ini harus ada bekas darah," jawab Gandar.
"Dengan demikian, maka perbuatan perempuan yang
disebut serigala betina itu benar-benar meyakinkan."
"Bagaimana kau mendapatkan darah itu," bertanya
Iswari pula. "Tidak terlalu sulit Iswari. Aku ingin melukai tanganku
sendiri dan menitikkan darah itu di tebing ini. Kemudian
aku akan dapat mengobatinya sehingga luka itu pampat.
Tidak terlalu banyak, asal bekas itu ada."
Iswari menjadi berdebar-debar. Tetapi ia menurut
sebagaimana dikatakan oleh Gandar. Ia pun kemudian
melangkah beberapa langkah menjauh.
Dalam pada itu, Gandar melakukan sebagaimana
dikatakannya. Ia telah menggigit tangannya sendiri.
Kemudian menghamburkan darah yang mengalir dari luka
itu di atas tebing dan diacukannya pada lereng tebing itu
pula. Memang tidak terlalu banyak, karena Gandar pun
kemudian menghamburkan obat pada luka itu, sehingga
luka itu menjadi pampat. Sejenak Gandar berdiri tegak. Dipusatkannya
kemampuannya pada indera penglihatannya, sehingga
meskipun malam menjadi bertambah gelap, namun ia dapat
melihat noda-noda darah di tebing itu.
"Sudah cukup," desis Gandar kepada diri sendiri.
Sejenak kemudian, maka Gandar pun telah menyusul
Iswari yang sudah berjalan beberapa langkah menjauh.
Ketika ia berada di belakangnya, maka ia pun berdesis,
"Iswari. Ingat. Kau harus sampai kepada kakekmu. Karena
itu, kau harus dapat mengatasi kelemahan wadagmu,
meskipun kau harus mengingat pula kandunganmu. Kita
39 SH. Mintardja harus menempuh perjalanan agak jauh. Bukankah kau
masih ingat serba sedikit, pada saat kau datang kemari?"
Iswari mengangguk. Dan Gandar pun berkata lebih
lanjut, "Tetapi sekali lagi kau harus yakin, bahwa kau akan
bertemu dengan kakekmu dalam keadaan yang baik."
Demikianlah, maka keduanya pun telah melanjutkan
perjalanan. Gandar tidak merasa perlu untuk tergesa-gesa.
Ia sadar, bahwa Iswari tidak akan dapat berjalan terlalu
cepat karena kandungannya. Sementara itu, ia merasa
bahwa orang-orang Wiradana tentu tidak akan mencarinya
lagi. Kecuali di tebing itu sudah ada bekas darah, maka
seperti yang dikatakan oleh serigala betina itu, bahwa
seseorang yang terperosok kedalam kedung itu, tentu akan
menjadi makanan buaya-buaya kerdil yang terdapat di
dalam kedung itu. Namun dalam perjalanan itu, Gandar sempat menilai
perempuan yang menyebut dirinya serigala betina itu. Ia
mungkin benar, seorang perempuan yang telah menjadi
berandal dan melakukan perampokan dan pembunuhan.
Tetapi sebenarnyalah menurut Gandar, dibanding dengan
istri Wiradana yang cantik itu, perempuan yang disebut
serigala betina itu belum bernilai sekuku irengnya. Serigala
betina itu sama sekali tidak akan berarti apa-apa bagi istri
Wiradana yang cantik, yang menurut penilaian Gandar,
tentu mempunyai ilmu yang sangat tinggi, sebagaimana
Kalamerta. Meskipun Gandar dan Iswari berjalan tidak terlalu cepat,
namun mereka pun semakin lama menjadi semakin jauh.
Namun Iswari tidak perlu cemas, bahwa ia akan kehilangan
jalan. Gandar tentu tidak akan kehilangan arah kembali ke
padepokannya. 40 SH. Mintardja Dalam pada itu, maka perempuan yang disebut serigala
betina itu tidak langsung menuju ke rumah Ki Wiradana. Ia
ingin pulang dan beristirahat. Baru di pagi hari berikutnya,
ia akan melaporkan hasil kerjanya kepada Wiradana.
Namun, alangkah terkejutnya perempuan itu, ketika ia
memasuki halaman rumahnya, Wiradana telah duduk di
serambi, di atas amben bambu yang memang diletakkannya
di serambi itu. "Ki Wiradana," desis serigala betina itu.
Ki Wiradana mengangguk, "Ya, Nyai. Aku sudah
menunggumu." "Marilah. Silahkan masuk," perempuan itu
mempersilahkan. "Terima kasih. Aku sudah lama duduk di sini. Yang ingin
segera aku ketahui, bagaimana hasil tugasmu itu Nyai?"
bertanya Ki Wiradana. "O, semuanya berjalan lancar. Aku sudah
menyelesaikannya di tebing, di atas kedung. Kemudian
melemparkannya ke dalam kedung itu sebagaimana Ki
Wiradana kehendaki," jawab perempuan itu.
Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Nyai. Cobalah berikan patremmu itu kepadaku," berkata
Wiradana. Jantung perempuan itu menjadi berdeguban. Namun
kemudian katanya, "Aku sudah mencucinya."
"O," Wiradana mengerutkan keningnya. "Apakah
menjadi kebiasaanmu mencuci patrem itu dengan air
wantah" Bukankah kau setiap kali memandikan patremmu
dengan warangan?" 41 SH. Mintardja Perempuan yang disebut serigala betina itu termangu-
mangu sejenak. Kemudian katanya, "Aku tidak ingin
patremku berbau bacin. Aku telah menusuk tubuh seorang
yang sedang mengandung. Satu perbuatan terkutuk yang
seharusnya tidak aku lakukan. Tetapi karena upah yang Ki
Wiradana tawarkan terlalu banyak, maka aku telah
melakukannya. Tetapi justru karena itu, aku telah mencuci
kerisku. Tidak dengan air, tetapi dengan pasir. Aku
hunjamkan patrem ini ke dalam pasir beberapa kali
sehingga bersih karenanya. Meskipun pasir di tepian itu
basah juga oleh air, tetapi nilainya berbeda. Dan sudah
barang tentu, aku harus memandikan kerisku dengan
warangan, sehingga keris kecilku ini tidak kehilangan daya
bunuhnya." Ki Wiradana bangkit dari duduknya. Ia melangkah
mendekati perempuan itu sambil berkata, "Tunjukkan keris
kecilmu itu." Serigala betina itu tidak berbuat dengan ragu-ragu.
Dengan tatag diserahkannya patremnya kepada Ki
Wiradana. Namun demikian patrem itu diterima, maka
perempuan itu telah melangkah surut.
Ki Wiradana telah menarik patrem itu dari sarungnya.
Namun seperti dikatakan oleh perempuan itu, bahwa
patrem itu telah bersih. Tidak ada bekas darah yang melekat
pada daun patrem itu. Wiradana memandang perempuan itu sejenak. Namun
kemudian ia berkata, "Mungkin kau benar, bahwa patrem
ini sudah kau bersihkan. Tetapi kau tentu tidak sempat
membersihkan tempat dimana Iswari kau tusuk dengan
patremmu itu." 42 SH. Mintardja Perempuan itu mengerutkan keningnya. Namun ia tidak
boleh ragu-ragu. Karena itu, maka ia pun bertanya, "Apa
maksud Ki Wiradana?"
"Kita pergi ke tempat kau membunuh Iswari," berkata
Wiradana. "Aku sama sekali tidak berkeberatan," berkata
perempuan itu. Namun kemudian katanya, "Tetapi kau
tentu tidak akan dapat menemukan Nyai Wiradana yang
sudah menjadi makanan buaya kerdil di kedung itu."
"Aku ingin melihatnya," berkata Wiradana sambil
menyerahkan kembali patrem perempuan itu.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perempuan itu bergeser mendekat untuk menerima
patremnya. Ia sama sekali tidak ragu-ragu untuk pergi
bersama dengan Ki Wiradana ke tebing di atas kedung
meskipun sebenarnya hatinya terasa bergejolak.
Sejenak kemudian maka keduanya pun telah pergi ke
tempat yang menurut pengakuan perempuan itu,
dipergunakannya untuk membunuh Nyai Wiradana.
Ternyata jarak itu tidak terlalu dekat. Apalagi keduanya
berusaha untuk tidak memotong jalan menyeberangi Tanah
Perdikan Sembojan, karena Ki Wiradana tidak ingin
bertemu dengan orang-orang Sembojan.
Karena itu, maka mereka memerlukan waktu yang cukup
lama. Lebih lama dari waktu yang dipergunakan perempuan
itu kembali ke rumahnya, di padukuhan di luar Tanah
Perdikan Sembojan disebelah padukuhan yang
dipergunakan oleh Ki Wiradana.
Lewat tengah malam, keduanya baru sampai ditempat
yang mereka tuju. Tebing di atas sebuah kedung yang
dihuni oleh beberapa ekor buaya kerdil yang rakus.
43 SH. Mintardja "Dimana kau bunuh perempuan itu?" bertanya
Wiradana. "Disini," berkata perempuan itu tanpa ragu-ragu.
"Menyingkirlah," desis Wiradana.
Perempuan itu bergeser mundur. Ia tidak tahu, apa yang
akan dilakukan oleh Wiradana.
Ternyata Wiradana telah mengambil serangkai biji jarak
pada sebatang lidi yang dibawanya. Kemudian dengan
thithikan ia membuat api untuk menyalakan sebuah dimik
belerang. Dengan dimik itulah ia kemudian menyalakan biji
jarak yang sudah kering itu.
Perempuan yang mengaku Nyai Jagabaya itu menjadi
semakin berdebar-debar. Namun tiba-tiba hatinya menjadi
mapan. Ia sama sekali tidak menyesal bahwa ia telah
membiarkan Nyai Wiradana hidup meskipun seandainya ia
sendiri harus mengalami perlakuan yang buruk. Perempuan
itu sadar, bahwa Ki Wiradana adalah seorang yang memiliki
ilmu yang tinggi. Namun demikian, jika ia harus mati, maka
biarlah ia mati sebagaimana seorang berandal yang pernah
bertualang dan melakukan pembunuhan-pembunuhan.
Karena itu, jika Ki Wiradana ingin menghukumnya karena
ia ingkar akan tugas yang diberikan kepadanya, maka ia
akan melawan meskipun akhirnya ia harus mati.
Sejenak kemudian maka biji jarak itu telah menyala
sebagaimana sebuah obor kecil. Dengan terang nyala biji
jarak itu, Wiradana melihat-lihat tempat yang disebut
sebagai tempat perempuan itu membunuh Iswari.
Namun tiba-tiba justru perempuan itulah yang terkejut.
Dalam cahaya lampu obor kecil itu, ia telah melihat darah
yang tercecer di tebing itu. Sebagian memang sudah
terhapus oleh jejak kaki Ki Wiradana, tetapi di dedaunan
44 SH. Mintardja perdu dan rerumputan mereka masih melihat darah yang
mulai mengering. "Darah," desis perempuan itu di dalam hatinya, "Apa
pula yang telah terjadi" Apakah sepeninggalku justru
Wiradana sendiri yang telah membunuh istrinya karena aku
membiarkannya hidup?"
Pertanyaan itu telah menghantam dinding dadanya. Jika
demikian maka yang dilakukan oleh Wiradana itu sekadar
berpura-pura untuk membawanya ke tempat itu dan
kemudian membunuhnya pula.
Namun perempuan itu terkejut ketika ia mendengar Ki
Wiradana itu berkata, "Ya. Aku memang melihat darah.
Agaknya kau memang benar-benar telah membunuhnya."
Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi ia masih tetap
curiga. Namun dalam pada itu, obor kecil itu ternyata tidak
tahan terlalu lama. Sebentar kemudian obor itu pun telah
menyalakan biji jarak yang terakhir, sehingga sejenak
kemudian api pun telah padam.
"Terima kasih," berkata Wiradana. "Dengan kematian
Iswari aku telah bebas dari persoalan-persoalan yang sangat
rumit, meskipun belum berarti bahwa persoalanku telah
selesai seluruhnya."
Perempuan itu masih termangu-mangu. Ia melihat
Wiradana mengambil sesuatu dari kantong ikat
pinggangnya dan kemudian diserahkannya kepada
perempuan itu sambil berkata, "Ini upah yang aku janjikan.
Tetapi ingat, bahwa jika rahasia ini bocor, maka nyawamu
akan menjadi taruhannya. Aku tidak akan dapat
memaafkanmu meskipun aku akan dapat mengelakkan
segala tuduhan." 45 SH. Mintardja Perempuan itu diam saja. Tetapi dengan hati-hati ia
menerima upah yang diberikan oleh Wiradana. Tetapi ia
tidak sempat menghitung apakah upah itu sudah sesuai
dengan jumlah yang dijanjikan.
Sejenak kemudian Wiradana telah meninggalkan tempat
itu. Ternyata obor kecilnya tidak cukup lama menyala,
sehingga Wiradana tidak sempat melihat rerumputan di
lereng. Jika ia teringat akan hal itu, mungkin ia akan
mempertanyakan, kenapa rerumputan di lereng itu tidak
menunjukkan bekas bahwa seseorang telah menelusur
kebawah, sehingga rerumputan dan daun-daun perdu akan
berpatahan. Dalam pada itu, sepeninggalan Ki Wiradana, perempuan
itulah yang justru mulai merenung. Di tempat itu benar-
benar ada darah. Cukup banyak, berhamburan di tanah dan
terpercik pada rerumputan dan daun-daun perdu,
meskipun sebagian telah terhapus oleh kaki-kaki mereka.
"Darah siapa?" pertanyaan itu selalu bergejolak di dalam
hatinya. Tetapi akhirnya perempuan itu pun melangkah
meninggalkan tempat itu. Namun bagaimana pun juga ia
masih tetap berteka-teki di dalam hatinya.
Dalam pada itu, sejenak kemudian maka matahari pun
telah naik ke sisi langit disebelah Timur. Iswari yang merasa
dirinya terlalu kusut itu pun telah mencari sebuah belik.
Setelah mencuci muka dan membersihkan tangan dan
kakinya, maka Iswari pun telah membenahi dirinya.
"Perjalanan kita masih cukup jauh Iswari," berkata
Gandar. "Biarlah jika kau sependapat, singgah barang
sejenak di sebuah warung makan dan minum. Aku masih
mempunyai sisa bekal yang aku bawa dari rumah."
46 SH. Mintardja Iswari tidak berkeberatan. Mereka telah berada di luar
Tanah Perdikan Sembojan. Bahkan agak jauh, sehingga
tidak akan ada orang yang akan dapat mengenalinya lagi.
Ternyata dengan makan dan minum di sebuah kedai,
tubuh Iswari terasa menjadi lebih segar. Ia pun kemudian
mampu berjalan lebih cepat lagi meskipun tetap sangat
terbatas. "Jika kau merasa lelah, berkatalah. Kita mencari tempat
untuk istirahat. Biarlah kita sampai di padepokan dalam
waktu tiga hari atau lebih, asal saja dengan selamat. Kau
dan kandunganmu." Iswari mengerti maksud Gandar. Karena itu, maka ia pun
menjadi tidak tergesa-gesa pula karenanya dan berjalan
tidak terlalu cepat. Sementara itu, mereka makan dan
minum di perjalanan dengan sisa uang yang masih ada pada
Gandar. Demikianlah betapapun lambatnya, namun akhirnya
Iswari dan Gandar sampai juga di padepokan.
Kedatangan Iswari benar-benar telah mengejutkan Kiai
Badra. Karena itu, maka ia pun segera bertanya apa artinya
kedatangan cucunya itu. Gandar tidak mau berteka-teki. Ia pun segera
mengatakan apa yang telah terjadi dengan Iswari sehingga
perempuan itu telah pulang bersamanya.
Ketika Kiai Badra mendengar laporan itu, maka rasa-
rasanya jantungnya telah berhenti berdetak. Sesaat
wajahnya menjadi pucat. Namun sesaat kemudian wajah itu
menjadi merah membara. Namun akhirnya ia berkata, "Tuhan Maha Kasih.
Ternyata Tuhan masih berbelas kasihan kepadamu Iswari,
47 SH. Mintardja Kau masih diperkenankan menatap matahari. Sementara
itu, kau pun harus berterima kasih kepada perempuan yang
telah mengaku Nyi Jagabaya itu."
"Ya kakek," suara Iswari menjadi sangat dalam. Air
matanya kembali menitik di pipinya mengenang peristiwa
yang dialaminya, "Tetapi aku tidak mengenal perempuan
itu, kakek. Ia menyebut dirinya serigala betina, karena ia
memang dinamai demikian oleh orang-orang di sekitarnya
karena ia pernah menjadi salah seorang di antara orang-
orang sepadukuhan yang menjadi perampok. Agaknya
memang tidak banyak perempuan yang menjadi perampok.
Salah seorang di antaranya adalah perempuan itu."
"Apakah kau tahu nama sebenarnya?" bertanya Kiai
Badra. "Tidak kakek. Aku tidak tahu namanya yang sebenarnya,"
jawab Iswari. "Tetapi apakah kau masih akan tetap mengenalinya jika
kau bertemu lagi?" bertanya kakek itu pula.
Iswari termangu-mangu. Katanya, "Aku bertemu dengan
orang itu menjelang senja. Tetapi aku masih dapat melihat
wajahnya dengan jelas. Agaknya jika aku berkesempatan
untuk bertemu lagi, aku masih akan tetap mengenali
wajahnya. Wajahnya memang nampak keras. Tetapi waktu
itu ia adalah seorang perempuan yang ramah.
"Baiklah Iswari," berkata Kiai Badra. "Semua peristiwa
yang kita alami kita kembalikan kepada Yang Maha Agung.
Kita pasrahkan hidup kita kepada yang memberikan hidup
itu, sehingga dengan demikian kita akan merasa bahwa
hidup mati kita bukanlah kita sendiri yang memilikinya."
Iswari mengangguk-angguk kecil. Ia pun berusaha untuk
mengembalikan persoalannya kepada Yang Maha Agung
48 SH. Mintardja sehingga dengan demikian maka Iswari pun akhirnya dapat
menerima keadaan itu dengan hati yang lebih tenang.
Namun demikian, bagaimanapun juga sebenarnya di
dalam dada Kiai Badra telah timbul pergolakan yang
dahsyat. Untuk beberapa saat Kiai Badra mengalami
kebingungan. Tetapi akhirnya dengan susah payah ia
berhasil mengekang dirinya sambil berdesis, "Jangan
bodoh. Serahkan semuanya kepada kuasa Tuhan yang Maha
Kasih." Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Sembojan juga telah
terjadi kegemparan. Pada saat Iswari pergi dari rumahnya,
suaminya masih berada di rumah. Malam itu juga,
Wiradana pulang setelah ia memastikan kematian istrinya.
Tetapi sementara itu, di rumah Ki Gede telah terjadi
kegelisahan karena Nyai Wiradana belum kembali.
Wiradana yang sudah memastikan bahwa istrinya
dibunuh oleh orang yang dipercayanya, kemudian ikut pula
kebingungan meskipun hanya berpura-pura. Wiradana
telah memerintahkan orang-orangnya untuk mencari
istrinya di seluruh sudut Tanah Perdikan Sembojan.
"Ia pergi ke rumah Pasih," bertanya Wiradana.
Tetapi ketika seseorang menanyakannya ke rumah Pasih
ternyata bahwa malam itu Nyai Wiradana tidak pergi ke
rumah itu. Dengan demikian maka seisi Tanah Perdikan Sembojan
telah menjadi gempar. Istri Ki Wiradana ternyata telah
hilang. Dalam pada itu, semua orang telah terlibat dalam
pencarian. Bahkan anak-anak yang mengembala pun telah
mendapat pesan untuk mencari Nyai Wiradana di ladang, di
49 SH. Mintardja semak-semak dan di antara batu-batu padas di bukit. Tetapi
ternyata Nyai Wiradana tidak pernah diketemukan.
Dalam pada itu, Wiradana sendiri, dalam sepekan masih
juga berdebar-debar. Jika seseorang menemukan sesosok
mayat di kedung atau barangkali kerangkanya atau tanda-
tanda lain, maka orang-orang Sembojan tentu akan
menghubungkannya dengan hilangnya Nyai Wiradana.
"Seandainya diketemukan di kedung itu, orang-orang
Sembojan tidak akan tahu, apa yang sebenarnya terjadi,"
berkata Wiradana di dalam hatinya.
Namun sebenarnya tidak seorang pun yang menemukan
sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai pancadan untuk
mencari jejak hilangnya Nyai Wiradana.
Sementara itu, Ki Gede Sembojan sendiri menjadi sangat
berprihatin atas hilangnya menantunya. Ki Gede
sebenarnya sangat mengasihi menantunya itu, yang pada
saat-saat tertentu dapat diajaknya berbincang tentang isi
kidung yang dibacanya. Bahkan Iswari yang mempunyai
suara yang jernih itu kadang-kadang membaca kidung itu
dalam tembang beberapa bait. Baru kemudian mereka
membicarakan isinya. Pembicaraan yang tidak dapat
dilakukan dengan orang lain, bahkan dengan Wiradana
sekalipun karena Wiradana sama sekali tidak tertarik pada
kesusastraan. Selain itu, Iswari adalah seorang perempuan yang dengan
cepat berusaha menyesuaikan diri. Meskipun ia seorang
gadis padepokan yang lugu, namun setelah ia menjadi istri
Wiradana maka ia pun segera dikenal dengan baik oleh
semua perempuan di Tanah Perdikan itu sebagai seorang
perempuan muda yang ramah, terampil dan rendah hati.
50 SH. Mintardja Namun tiba-tiba saja perempuan yang bernama Iswari


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu telah hilang. Ketika orang-orang Sembojan sudah yakin bahwa mereka
tidak akan dapat menemukan Nyai Wiradana, maka Ki
Gede telah memanggil Wiradana dan beberapa orang
bebahu, untuk membicarakan tentang hilangnya Iswari dari
Tanah Perdikan Sembojan. Ketika semua orang sudah berkumpul, maka Ki Gede pun
langsung berkata kepada mereka, "Saudara-saudaraku,
agaknya kita menghadapi suatu masalah yang sangat rumit.
Aku tidak dapat mengambil kesimpulan lain daripada
menuduh keluarga Kalamerta lah yang telah mengambil
Iswari. Dendamnya kepadaku ternyata telah
ditumpahkannya kepada orang yang tidak bersalah sama
sekali, apalagi Iswari sedang mengandung. Sayang, kaki dan
tanganku terlalu lemah untuk berbuat sesuatu. Tetapi jika
aku masih memiliki kemampuanku seutuhnya, maka aku
sendiri akan mencarinya. Sementara itu, aku juga tidak
sampai hati memerintahkan kepada Wiradana untuk
mencarinya dengan akibat menghadapi gerombolan
Kalamerta, karena ia sendiri pernah mengalami satu
keadaan yang hampir saja merenggut nyawanya. Karena itu,
maka aku perintahkan Tanah Perdikan Sembojan harus
menyusun satu kekuatan. Dengan kekuatan itu kita harus
menemukan Iswari atau jika tidak, maka keluarga
Kalamerta harus kita musnahkan. Aku tidak yakin bahwa
Tanah Perdikan Sembojan akan mampu melakukannya.
Sementara itu, kita harus memerintahkan dua orang untuk
pergi ke padepokan Kiai Badra. Hilangnya Iswari harus kita
beritahukan kepada kakeknya, apapun akibatnya. Aku tidak
akan mengingkari tanggung jawab jika kakeknya itu marah
dan menuntut dikembalikannya cucunya. Kita, seluruh isi
Tanah Perdikan ini harus berusaha."
51 SH. Mintardja Keringat dingin mulai membasahi punggung Wiradana.
Meskipun ia tahu, bahwa ayahnya sangat mengasihi Iswari,
tetapi ternyata bahwa sikap ayahnya akan melampaui
dugaannya atas hilangnya Iswari.
Dalam pada itu, maka Ki Gede itu pun berkata kepada
Wiradana, "Kau siapkan sepasukan yang kuat. Aku sendiri
akan menempa pasukan itu sebagai pasukan khusus untuk
menghadapi keluarga Kalamerta."
"Bagaimana ayah akan melakukannya?" bertanya
Wiradana. "Hanya tangan dan kakiku yang menjadi lemah. Tetapi
otakku tidak. Mata dan telingaku pun tidak," jawab Ki Gede
Sembojan, "Karena itu, lakukanlah secepatnya. Aku
memerlukan duapuluh lima orang terpilih."
Wiradana tidak menjawab. Namun ia mulai
membayangkan kesulitan-kesulitan baru didalam hidupnya.
Apakah ia akan dapat meyakinkan ayahnya bahwa
sepantasnya ia kawin lagi dengan perempuan cantik yang
sebenarnya telah menjadi istrinya itu" Apa kata ayahnya
jika ayahnya mengetahui, bahwa perempuan itu adalah
seorang tledek yang mencari nafkahnya dengan menari dari
satu tempat ke tempat yang lain.
Dengan demikian maka Ki Gede pun kemudian telah
memanggil dua orang penghubung yang harus pergi
berkuda secepatnya ke padepokan Ki Badra.
"Bukankah kau pernah mengunjungi padepokan itu?"
bertanya Ki Gede kepada kedua orang itu.
"Sudah Ki Gede," jawab salah seorang dari keduanya.
52 SH. Mintardja "Nah, pergilah ke padepokan itu dengan segera. Kalian
harus menyampaikan satu berita yang akan dapat
mengejutkan Kiai Badra," berkata Ki Gede.
Kedua orang itu mengerti, bahwa keduanya harus
memberitahukan kepada Kiai Badra bahwa cucunya yang
menjadi menantu Ki Gede di Sembojan telah hilang.
Setelah Ki Gede memberikan beberapa pesan, maka
kedua orang itu pun segera berangkat berkuda menuju ke
padepokan Kiai Badra. Dalam pada itu, di padepokan Kiai Badra, keadaan Iswari
secara wadag sudah berangsur baik. Ia tidak merasa lagi
kelelahan dan perutnya sudah tidak terasa sakit lagi setelah
perjalanan sekian jauhnya. Kakeknya telah memberinya
berbagai macam obat yang berguna sekali bagi kepulihan
tenaganya setelah berjalan jauh dan bagi kebaikan
kandungannya. Namun demikian batinnya masih saja terasa
betapa pedihnya. Ia tidak
menduga sama sekali, bahwa ia akan dilemparkan
kedalam satu keadaan yang
sangat pahit. Meskipun ia
terbebas dari pembunuhan,
tetapi rasa-rasanya hidup
memang sudah tidak menarik lagi. Meskipun demikian, kakeknya dan Gandar selalu berusaha untuk menenangkannya. Setiap 53 SH. Mintardja kali Kiai Badra berusaha untuk mendekatkan cucunya
kepada sikap pasrah kepada Yang Maha Agung, dengan
tidak terlepas dari doa yang tulus.
Tetapi Kiai Badra pun mengerti, betapa sakitnya hati
cucunya yang mengalaminya. Sementara sebelumnya ia
sama sekali tidak melihat tanda-tanda yang dapat
mengarahkannya kepada persiapan jiwani menghadapi
persoalan yang demikian. Namun dalam pada itu, Kiai Badra pun kemudian
berkata kepada cucunya, "Iswari. Mungkin hatimu merasa
sangat pedih atas peristiwa yang telah terjadi. Tetapi kau
harus tetap tabah menghadapinya, karena sebentar lagi kau
akan melahirkan anakmu. Bahkan seperti yang sudah
dilakukan, dan untuk seterusnya kau harus tetap merasa
berterima kasih, bahwa kau sudah terlepas dari maut.
Namun kita tidak boleh berhenti sampai disini. Pada
saatnya suamimu atau Ki Gede tentu akan mengirimkan
orang kemari, memberitahukan bahwa kau telah hilang.
Karena itu, maka jika utusan itu melihat kau ada disini,
maka nasib perempuan yang telah mengurungkan
kewajibannya membunuhmu itu akan menjadi sangat
buruk. Sebagaimana ia membebaskan kau dari kematian,
maka kau pun harus berusaha untuk menyelamatkannya."
"Apa yang harus aku lakukan kakek?" bertanya Iswari.
"Sebaiknya untuk sementara kau tidak berada di
padepokan ini," berkata Kiai Badra.
"Aku harus tinggal dimana?" bertanya Iswari.
"Kau sebaiknya untuk sementara berada di tempat
nenekmu, maksudku adikku yang berada di padepokan kecil
yang dinamainya padepokan Tlaga Kembang," jawab Kiai
Badra. "Bukankah kau pernah pergi ke sana?"
54 SH. Mintardja Iswari mengangguk kecil. Ia memang pernah pergi ke
padepokan adik kakeknya itu. Padepokan yang disebut
padepokan Tlaga Kembang. Padepokan kecil yang terletak
di tepi sebuah telaga yang tidak begitu besar, tetapi di dalam
telaga itu terdapat banyak ikan dari berbagai jenis yang
dapat dijadikan sumber pencaharian dari penghuni
padepokan kecil itu, di samping tanah pertanian dan
peternakan. "Nah, bagaimana pendapatmu Iswari?" bertanya
kakeknya. Rasa-rasanya Iswari tidak lagi mempunyai keinginan
apapun. Karena itu, maka kemanapun ia akan di singkirkan,
ia tidak akan berkeberatan. Apalagi di padepokan kecil yang
sejuk itu. Karena itu, maka jawabnya, "Aku menurut saja perintah
kakek. Jika hal itu akan dapat menyelamatkan perempuan
yang tidak membunuhku itu, maka aku akan merasa senang
sekali." "Baiklah," berkata Kiai Badra, "Besok kau akan berangkat
dengan sebuah pedati. Biarlah kau di antar kakangmu
Gandar. Tetapi jika kau sudah sampai di padepokan kecil
itu, maka biarlah Gandar segera kembali. Aku akan
menunggui padepokan dan barangkali jika benar ada tamu
dari Tanah Perdikan Sembojan."
Iswari hanya mengangguk saja. Ia memang tidak lagi
mempunyai keinginan apapun juga bagi dirinya sendiri.
Di hari berikutnya Iswari benar-benar berangkat ke
padepokan Tlaga Kembang. Namun belum lagi
perjalanannya mencapai dua tiga Kabuyutan, maka utusan
dari Tanah Perdikan Sembojan itu benar-benar telah
datang. 55 SH. Mintardja Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam ketika ia
mengetahui bahwa dua orang berkuda yang datang itu
adalah orang-orang Sembojan. Untunglah bahwa Iswari
sudah tidak ada di padepokan itu lagi.
Kiai Badra yang berpura-pura tidak mengetahui
persoalan dibawa oleh kedua orang itu mempersilahkan
mereka dengan ramah. Bahkan ia sama sekali tidak
menyinggung mengenai cucunya itu.
Kedua orang yang datang itu pun menjadi bimbang
untuk mulai dengan persoalan mereka yang sebenarnya.
Nampaknya Kiai Badra menyambut mereka dengan
gembira. Jika mereka mengatakan sebagaimana pesan Ki
Gede, maka kegembiraan Kiai Badra itu tentu akan larut
seketika. Tetapi keduanya tidak dapat berbuat lain. Dengan sangat
berhati-hati, maka keduanya berganti-ganti telah
menyampaikan pesan Ki Gede di Sembojan, bahwa cucu
Kiai Badra telah hilang. "Hilang?" wajah Kiai Badra tiba-tiba menjadi tegang,
"Jangan bergurau ngger. Gandar baru saja datang dari
Tanah Perdikan itu barang tiga empat hari yang lalu. Ia
sama sekali tidak mengatakan apa-apa tentang adik
perempuannya. Bahkan ia mengatakan, sebentar lagi akan
dilakukan upacara tujuh bulan kandungan cucuku itu."
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang
di antara mereka berkata, "Ya Kiai. Gandar memang baru
saja mengunjungi Tanah Perdikan. Ketika Gandar kembali,
memang tidak terjadi sesuatu dengan Nyai Wiradana.
Tetapi beberapa hari setelah Gandar pergi, tiba-tiba saja
Nyai Wiradana itu hilang. Ia minta ijin kepada suaminya
untuk mengunjungi seorang tetangga padukuhan yang baru
56 SH. Mintardja melahirkan. Tetapi Nyai Wiradana tidak pernah mencapai
rumah itu dan untuk seterusnya juga tidak kembali ke
rumahnya." "Ah," suara Kiai Badra menjadi bergetar, "Bagaimana
mungkin hal itu terjadi?"
"Itulah yang membingungkan kami Kiai," jawab utusan itu.
"Ki Sanak," berkata Kiai
Badra kemudian, "Jika
benar yang kalian katakan
tentang cucuku, maka aku kembalikan segalanya kepada Ki Wiradana dan Ki
Gede Sembojan. Aku telah menyerahkan cucuku untuk menjadi istri Ki Wiradana
dan menjadi menantu Ki Gede di Sembojan. Maka tanggung jawab atas cucuku itu sudah beralih dari tanganku kepada Ki Wiradana terutama, karena ia
adalah suaminya. Aku minta agar cucuku segera
diketemukan. Jika tidak, maka aku akan minta
pertanggungan jawab Ki Wiradana."
Jawaban Kiai Badra itu memang sudah diduga. Karena
itu, maka salah seorang dari kedua orang itu segera
menjawab "Ki Gede sudah mengatakan Kiai bahwa ia
bertanggung jawab atas hilangnya Nyai Wiradana. Bahkan
Ki Gede sudah memerintahkan, menyusun satu pasukan
khusus yang terdiri dari dua puluh lima orang dibawah
pimpinan Ki Gede akan berusaha untuk menemukan Nyai
57 SH. Mintardja Wiradana dan menghancurkan sisa keluarga Kalamerta,
karena menurut dugaan Ki Gede, tidak ada pihak lain yang
melakukannya selain sisa keluarga Kalamerta yang
mendendamnya." "Tetapi bukankah tangan dan kaki Ki Gede masih terasa
sangat lemah?" bertanya Kiai Badra.
"Ki Gede menyadari," jawab salah seorang dari kedua
orang itu. "Tetapi Ki Gede akan tetap melakukannya
dibantu oleh Wiradana."
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia
masih akan mengucapkan banyak sekali tuntutan dan
penyesalan atas hilangnya cucunya. Tetapi ketika ia
mendengar sikap Ki Gede meskipun tangan dan kakinya
sudah menjadi cacat itu merasa bertanggung jawab
sepenuhnya, maka kata-katanya tidak lagi dapat
dilontarkan lewat bibirnya. Bahkan yang dikatakannya
kemudian adalah, "Ki Sanak. Sampaikan kepada Ki Gede,
aku mengucapkan beribu terima kasih atas tanggung jawab
Ki Gede terhadap cucuku itu. Mudah-mudahan cucuku
dapat diketemukan dengan selamat dan kembali lagi ke


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah Ki Gede, hidup rukun dan damai bersama suaminya.
Sebenarnyalah cucuku itu adalah satu-satunya orang yang
akan menyambung keturunanku kelak."
Kedua orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi mereka
hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Bagi Kiai Badra,
Iswari merupakan orang yang sangat penting yang akan
dapat menyambung garis keturunannya. Jika Iswari tidak
dapat diketemukan atau katakanlah mengalami nasib
sangat buruk, sehingga Nyai Wiradana itu tidak dapat
diketemukan hidup, tetapi diketemukan meninggal, maka
garis keturunan Kiai Badra akan terputus sampai cucunya
itu saja. 58 SH. Mintardja Demikianlah, kedua orang itu tidak terlalu lama berada
di padepokan Kiai Badra. Ketika mereka sudah
menyampaikan persoalan yang mereka bawa, serta
mendapat hidangan sekadarnya, maka mereka pun segera
meninggalkan padepokan Kiai Badra.
Dalam pada itu, ternyata Iswari yang naik pedati,
memerlukan watu yang lama di perjalanan. Menurut
perhitungan Gandar, mereka baru akan sampai di keesokan
harinya menjelang tengah hari. Namun di malam hari
mereka berhenti sepenuhnya.
Ternyata mereka tidak mengalami hambatan sesuatu di
perjalanan. Seperti perhitungan Gandar, maka mereka
memasuki padukuhan Tlaga Kembar menjelang tengah hari.
Dalam suasana yang buram, Iswari memasuki satu
padepokan yang meskipun sudah dikenalnya, tetapi bukan
daerah bermainnya sendiri semasa kecilnya.
Kedatangan Iswari dan Gandar disambut dengan senang
hati oleh adik Kiai Badra. Mereka gembira sekali melihat
kedatangan Iswari yang jarang sekali mengunjunginya.
Karena itu, maka dengan tergopoh-gopoh adik Kiai Badra
bersama suaminya telah mempersilahkannya naik ke
pendapa padepokan kecil itu.
Tetapi kegembiraan itu tidak terlalu lama meliputi
suasana pertemuan itu. Karena setelah mereka duduk
bersama dan saling menanyakan keselamatan masing-
masing, maka nenek Iswari itu pun bertanya keperluannya
datang. Sebagaimana dilakukan terhadap Kiai Badra, Gandar pun
berkata terus terang tanpa ada yang disembunyikan. Sejak
Iswari dibawa ke Tanah Perdikan Sembojan, sampai saat ia
59 SH. Mintardja harus meninggalkan Tanah Perdikan itu dengan hati yang
terluka. Kedua orang tua pemilik padepokan itu mengangguk-
angguk. Dengan nada lembut neneknya itu pun bertanya
kepada Gandar, "Jadi, segala sesuatunya telah diatur sendiri
oleh suaminya itu?" "Ya Nyai," jawab Gandar. "Memang sungguh menusuk
perasaan. Namun sudah barang tentu bahwa kita akan
sampai pada saatnya menerima kenyataan itu dengan hati
yang pasrah kepada Yang Maha Kuasa."
"Ya Gandar," berkata nenek Iswari. "Karena itu, aku akan
menerima Iswari dengan senang hati. Biarlah ia tinggal
untuk sementara disini. Aku kira sampai saatnya ia
melahirkan, akan lebih baik jika ia berada disini. Di rumah
kakeknya, tidak ada seorang perempuan yang akan dapat
membantu kelahiran anak di dalam kandungan itu. Tetapi
disini, aku akan dapat menolongnya, karena aku memang
seorang dukun bayi."
"Terima kasih Nyai," sahut Gandar. "Biarlah Iswari
menetap untuk sementara disini. Ia akan dapat menghirup
satu suasana yang baru yang mungkin akan dapat sedikit
menjernihkan nalar budinya. Sementara itu, kita tidak akan
mencemaskan jika saat-saat kelahiran itu tiba."
Demikianlah, sejak saat itu Iswari telah berada di rumah
suami istri yang oleh para cantriknya disebut Kiai dan Nyai
Soka di Tlaga Kembang. Kedua suami istri yang sudah tua itu merasa sangat
kasihan kepada Iswari yang mengalami satu nasib yang
sangat buruk, sementara kedua orang suami istri itu sama
sekali tidak mempunyai seorang anak pun. Sebenarnya Nyai
60 SH. Mintardja Soka telah melahirkan dua kali. Tetapi kedua-duanya telah
diambil kembali oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dengan demikian, maka kedua orang tua itu pun merasa
seakan-akan kehadiran Iswari di padepokannya, sebagai
kedatangan anak kandungnya sendiri yang telah lama
meninggalkan mereka. Karena itulah maka sikap kedua suami istri itu kepada
Iswari bagaikan sikap dua orang tua kepada anaknya
sendiri. Dengan sungguh-sungguh Nyai Soka mengamati
perkembangan kandungan Iswari yang semakin lama
menjadi semakin besar itu. Menjelang saat kelahiran, maka
Nyai Soka memberikan beberapa petunjuk khusus bagi
Iswari. "Di saat-saat senggang, sebaiknya kau berjalan-jalan
perlahan-lahan mengelilingi padepokan ini. Dengan
demikian, mudah-mudahan akan dapat berpengaruh,
mempercepat kelahiran anakmu jika saatnya tiba," berkata
Nyai Soka. Iswari pun melakukan semua pesan dengan sebaik-
baiknya. Kadang-kadang di pagi hari menjelang fajar, Iswari
sudah berjalan beberapa kali mengelilingi padepokan.
Tetapi seperti pesan Nyai Soka, jangan terlalu memaksa diri
apabila kakinya sudah merasa lelah.
Sementara itu, di Tanah Perdikan Sembojan, Ki Gede
Sembojan benar-benar menjadi sangat berprihatin.
Nampaknya Ki Gede jauh lebih bersedih daripada Wiradana
sendiri. Seperti yang diminta, maka telah disiapkan dua puluh
lima orang pengawal terpilih di Tanah Perdikan Sembojan.
Ternyata meskipun Ki Gede mengalami kelemahan kaki dan
61 SH. Mintardja tangan, tetapi ia benar-benar telah memberikan latihan-
latihan khusus kepada dua puluh lima orang itu. Dengan
isyarat kata dan perintah-perintah, Ki Gede telah
memberikan latihan khusus kepada mereka dan terutama
kepada Wiradana sendiri. "Wiradana. Kau sudah memiliki semua dasar ilmuku.
Kau harus mampu mengembangkannya dan memecahkan
beberapa persoalan dalam ilmu kanuragan. Kau akan
memimpin dua puluh lima orang ini kelak untuk
menghancurkan keluarga Kalamerta yang tersisa, yang
agaknya masih tetap mengancam Tanah Perdikan
Sembojan. Hilangnya Iswari merupakan penghinaan yang
paling besar di dalam hidupku sampai setua ini. Kau dan
dua puluh lima pengawal ini harus dapat menghancurkan
sisa keluarga Kalamerta. Jika masih ada orang yang
memiliki ilmu yang tinggi, maka seharusnya kau mampu
mengalahkannya dengan landasan ilmumu yang sudah
lengkap itu," berkata Ki Gede Sembojan setiap kali kepada
anak laki-lakinya. Wiradana hanya menundukkan kepalanya saja. Tetapi
ternyata ia lebih sering berada di rumah Warsi daripada
berada di sanggarnya. Sehingga menurut penilikan Ki Gede,
kemajuan ilmu Wiradana terasa sangat lamban sekali.
Ki Gede memang menjadi sangat berprihatin atas anak
laki-lakinya yang tunggal itu. Setiap kali ia selalu
memberikan nasehat agar anaknya menyadari
kedudukannya. Bahkan kadang-kadang ia masih marah
kepada anaknya itu. Apalagi setelah Iswari hilang dari
Tanah Perdikan. "Wiradana," berkata Ki Gede, "Seharusnya kaulah yang
menangis karena istrimu itu hilang. Kaulah yang paling
terhina karenanya. Jika kau setiap malam pergi ke daerah-
62 SH. Mintardja daerah yang kurang aman meskipun di luar Tanah Perdikan
untuk mengetahui dan mempelajari perkembangan
keadaan, maka seharusnya kau sudah dapat mengambil
kesimpulan. Katakanlah, bahwa keluarga Kalamerta masih
saja membayangi Tanah Perdikan Sembojan."
Wiradana tidak dapat menjawab setiap ayahnya
mempersoalkannya. Bahkan semakin lama rasa-rasanya ia
lebih baik menghindari ayahnya daripada harus menjawab
pertanyaan-pertanyaannya.
Tetapi Ki Gede justru menjadi semakin keras menempa
dua puluh lima pengawal yang dipersiapkan untuk
menghancurkan sisa-sisa keluarga Kalamerta yang masih
dianggap selalu membayangi Tanah Perdikan Sembojan.
Sementara itu, selagi Ki Gede sibuk dengan para
pengawal terpilihnya, Warsi merasa bahwa jalan menjadi
semakin lapang baginya. Rasa-rasanya ia tidak sabar lagi
menunggu saat-saat ia dibawa pulang ke rumah Wiradana.
Ia akan menjadi orang yang penting di Tanah Perdikan
Sembojan, sekaligus kesempatan untuk membalas sakit hati
pamannya menjadi makin luas pula.
Tetapi Warsi harus menahan diri. Setiap kali Wiradana
masih minta waktu, karena sikap ayahnya yang keras.
"Aku tidak tergesa-gesa," berkata Warsi. "Bahkan
sebenarnya aku tidak ingin untuk pindah dari rumah ini.
Rasa-rasa-nya rumah kecil ini telah memberikan kesejukan
dihatiku, asal kakang Wiradana selalu berada disisiku. Aku
sama sekali tidak menginginkan apapun juga, selain kakang
Wiradana. Karena itu, biarlah Ki Gede melakukan apa yang
ingin dilakukan." "Aku menjadi jemu untuk mengikuti perintahnya,"
berkata Wiradana. 63 SH. Mintardja "Ah, seharusnya kakang tidak berbuat seperti itu,"
berkata Warsi. "Bukankah Ki Gede itu ayah kakang.
Bukankah menjadi kewajiban kakang untuk mengikuti
segala perintahnya."
"Ayah ingin memenjarakan aku didalam sangkar
sehingga aku tidak mempunyai kesempatan berbuat lain.
Waktuku untuk datang kepadamu menjadi sangat terbatas,"
jawab Wiradana. Tetapi Warsi tersenyum. Senyumnya masih tetap manis
sekali bagi Wiradana. Katanya, "Kakang. Semakin sering kau berada di dalam
sangkar, maka menurut ceritamu, ilmumu menjadi semakin
meningkat. Karena itu kenapa kau berkeberatan."
Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
tidak dapat terlalu lama berpisah denganmu Warsi. Biar
sajalah ilmuku sama sekali tidak meningkat. Di Tanah
Perdikan Sembojan terdapat anak-anak muda yang menjadi
pengawal yang tangguh. Mereka akan dapat melindungi aku
dan Tanah Perdikan karena jumlah mereka cukup banyak."
Warsi tidak mendesak. Sebenarnyalah ia tidak ingin
Wiradana meningkatkan ilmunya, karena ia menjadi cemas,
bahwa pada suatu saat, ilmu Wiradana akan dapat
melampaui ilmunya sendiri, sehingga jika perselisihan di
antara mereka, Wiradana tidak lagi dapat dikuasai dengan
ilmunya. Namun dengan demikian, maka sikap Wiradana
membuat Ki Gede menjadi sangat berprihatin. Semakin
lama Wiradana menjadi semakin jarang berada di rumah.
Bermacam-macam alasan yang dikatakannya kepada
ayahnya. Bahkan suatu hari ia berkata, "Ayah, aku tidak
dapat berada di rumah ini terlalu lama. Aku tidak dapat
64 SH. Mintardja menenangkan diriku sepeninggal istriku. Setiap aku melihat
pintu bilik itu, aku selalu teringat akan Iswari yang hilang
itu." "Jangan cengeng," jawab ayahnya. "Kau jangan meratap
seperti itu. Tetapi kau harus berbuat sesuatu karena
hilangnya istrimu. Kau harus meningkatkan ilmumu,
kemudian mencari istrimu yang hilang, merebutnya dengan
kekerasan, jika perlu mengorbankan nyawamu sendiri."
Wiradana termangu-mangu. Tetapi ia diam saja.
"Wiradana, meskipun aku sudah cacat, tetapi aku berniat
untuk mencarinya, apapun yang akan terjadi. Aku harus
menemukan satu cara untuk menghadapi lawan, tanpa
tangan dan kakiku yang lemah ini," geram ayahnya yang
kehilangan kesabaran. Seperti yang dikatakan, maka Ki Gede itu pun telah
bekerja keras. Duapuluh lima orang pengawal itu akan
menjadi tangan-tangan dan kakinya. Mereka berlatih tanpa
mengenal lelah untuk mencapai satu tataran tertentu jika
mereka pada suatu saat benar-benar dihadapkan pada para
pengikut Kalamerta yang sudah kehilangan pimpinannya
itu. "Keluarga Kalamerta tanpa Kalamerta itu sendiri tentu,"
kata-kata Ki Gede di dalam hatinya, "Meskipun ia
menyadari bahwa di antara mereka ada yang memiliki
kemampuan melampaui Wiradana apapun yang pernah
dikatakan oleh Wiradana tentang lawannya itu."
Karena itu, maka yang dilakukan oleh Ki Gede itu bukan
hanya satu dua hari saja tetapi ia telah melakukannya dalam
hitungan bulan. Sementara Ki Gede bekerja keras dalam keadaan cacat, di
padepokan Tlaga Kembang, Iswari sudah sampai pada suatu
65 SH. Mintardja waktu, dimana kandungannya sampai pada saat
kelahirannya. Di bawah perawatan Nyai Soka serta para pembantunya
maka Iswari kemudian benar-benar telah melahirkan anak-
nya dengan selamat. Seorang anak laki-laki yang besar dan
tampan. Berkulit kuning dan bermata hitam.


Suramnya Bayang Bayang Karya S H. Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"O," desisnya Nyai Soka, "Alangkah gagahnya."
Ketika Iswari kemudian untuk pertama kali melihat
wajah anak laki-lakinya, maka ia tidak lagi dapat menahan
air ma-tanya yang meleleh di pipinya. Anak itu mirip sekali
dengan ayahnya, Ki Wiradana. Anak Kepala Tanah Perdikan
di Sembojan. "Sudahlah Iswari," berkata Nyai Soka. "Bersyukurlah
kepada Tuhan, bahwa kau telah melahirkan anakmu dengan
selamat." Iswari hanya dapat mengangguk kecil. Namun
bagaimana mungkin ia dapat melupakan peristiwa yang
sangat pahit dalam hidupnya. Disingkirkan oleh suaminya
sendiri, bahkan hampir saja nyawanya telah direnggutnya
sama sekali. Namun kemudian atas tuntunan Nyai Soka, Iswari
berhasil mengatasi gejolak perasaannya. Sementara Nyai
Soka pun mengerti, betapa sakitnya perasaan Iswari.
Namun Iswari tidak dapat dibiarkan perasaannya itu
menderita tanpa akhir. Kabar gembira itu pun segera disampaikan oleh Kiai dan
Nyai Soka kepada Kiai Badra dan Gandar yang telah
kembali ke padepokannya. Betapa perasaan gembira
membuat keduanya melupakan sejenak apa yang pernah
terjadi atas cucu Kiai Badra itu.
66 SH. Mintardja Karena itu, maka keduanya telah berniat untuk segera
mengunjungi Iswari dan anaknya yang baru lahir. Namun
dengan pesan, agar tidak seorang pun dari penghuni
padepokan yang ditinggalkan itu mengatakan kepada
siapapun juga bahwa Iswari masih hidup dan bahkan
melahirkan anaknya di padepokan Tlaga Kembang.
Kehadiran Kiai Badra dan Gandar di Tlaga Kembang
membuat Kiai dan Nyai Soka semakin bergembira.
Meskipun Iswari tidak dapat menahan perasaannya pada
saat ia melihat kakeknya mengunjunginya, namun
kemudian wajahnya menjadi cerah pula.
"Anak laki-laki itu adalah keturunan Kepala Tanah
Perdikan Sembojan," desis Gandar di telinga Kiai Badra.
"Maksudmu?" bertanya Kiai Badra.
"Ia berhak atas kedudukan kakeknya," jawab Gandar.
"Bukan semata-mata karena kedudukan yang baik itu,
tetapi pada suatu saat, harus dinyatakan kepada orang-
orang Sembojan, bahwa anak Iswari itu adalah satu-satunya
orang yang berhak menggantikan kedudukan Wiradana.
Bukan anak dari perempuan cantik yang gila itu, seandainya
ia kelak mempunyai juga seorang anak."
Kiai Badra mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
mengatakannya kepada Iswari, karena ia yakin, bahwa
Iswari akan menolak setiap usaha untuk menghubungkan
kembali anak itu dengan ayahnya, yang menganggap bahwa
Iswari telah mati. Namun dalam pada itu, ketika pada malam hari, Kiai
Badra, Gandar dan Nyai Soka sedang duduk di pendapa
maka terbersitlah satu pikiran pada Nyai Soka untuk
membentuk Iswari menjadi seorang yang lain dari Iswari
sebelumnya. 67 SH. Mintardja "Apa maksudmu?" bertanya Kiai Badra.
"Kakang," berkata Nyai Soka. "Sebenarnya aku merasa
aneh akan sikap kakang dan yang kemudian juga sikap
Gandar. Selama ini kalian benar-benar seperti dua orang
penghuni padepokan yang tidak berarti apa-apa selain
sekali-sekali menolong mengobati orang yang sedang sakit."
"Ah, bagaimana mungkin kau menyebut aku tidak berarti
selain menolong orang yang sakit," jawab Kiai Badra. "Coba,
sebutkan Soka, apa yang lebih baik daripada menolong
orang yang sedang sakit dan kemudian menyembuhkannya
dalam batas jangkauan kemampuannya?"
"Aku mengerti kakang," jawab Nyai Soka. "Tetapi
bukankah kalian memiliki sesuatu yang lebih daripada
sekadar mengobati seseorang" Bukankah kakang jika
menghendaki akan mampu menolong orang lain lebih
banyak lagi." "Aku tahu maksudmu" Membunuh lagi?" sahut Kiai
Badra. "Ah. Kakang terlalu menyudutkan diri sendiri," berkata
Kiai Soka. "Kenapa kakang mempergunakan istilah itu"
Pangeran Perkasa 1 Munculnya Jit Cu Kiong ( Istana Mustika Matahari) Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Tujuh Pembunuh 4
^