Pencarian

Terkurung Di Perut Gunung 2

Dewi Sri Tanjung 9 Terkurung Di Perut Gunung Bagian 2


dak ia telah mencabut sumpitan yang semula ter-
selip di pinggang. Lalu secepat kilat sumpitan itu diisi dengan peluru tanah
liat yang beracun.
Ujung sumpitan itu sudah menyentuh bibir dan
siap guna membidik gadis ini.
Sumpitan yang terbuat dari buluh ini ju-
stru lebih berbahaya daripada senjata golok me-
reka. Sebab di samping dengan sumpitan mereka
akan dapat menyerang lawan dari jarak jauh, pe-
luru itupun berbahaya sekali. Sekalipun peluru
tersebut tidak menimbulkan luka dan tidak begi-
tu sakit, namun akan dapat menyebabkan nyawa
melayang karena tanah liat itu beracun.
Dan racun inipun bekerja amat cepat, se-
hingga dalam waktu setengah hari saja akan te-
was apabila tidak mendapat obat pemunah racun
dari murid dan guru ini.
Tetapi karena Dewi Sritanjung belum luas
pengalaman, maka gadis ini tidak menyadari ba-
haya dari peluru sumpitan ini Ia malah tertawa
cekikikan dan mengejek.
- Hi hi hik, siapa yang takut kepada mai-
nan kanak-kanak itu" Huh, tidak lekas enyah da-
ri depanku, apakah kamu masih menunggu aku
turun tangan lebih keras" -
Hampir saja Damar Seto sudah membidik-
kan peluru itu. Tetapi untung tiba-tiba terdengar bentakan halus, - Damar!
Tunggu! - Damar Seto urung membidik dan menu-
runkan senjatanya, lalu disusul oleh berkelebat-
nya bayangan orang yang cepat sekali, tahu-tahu
sudah berdiri di depan mereka.
Dewi Sritanjung membelalakkan mata keti-
ka melihat munculnya seorang kakek kurus ker-
ing dengan perut buncit, tanpa baju pula.
Mendadak saja gadis ini terkekeh saking
geli, karena bentuk tubuh kakek ini memang lucu
tetapi juga membuat orang merasa iba hati. Kare-
na orang akan segera menduga kakek ini seorang
penderita penyakit cacing. Tentu kakek ini tinggal menunggu saat ajal datang.
- Hi hi hik, kakek cacingan datang kemari
mau apa" Yang gagah dan muda saja tak sanggup
melawan aku, apakah engkau datang untuk men-
cari mampus" -
Akan tetapi Klinthung Waluh tidak marah
mendengar ejekan ini dan malah tersenyum, ke-
mudian bertanya, - Bocah, siapakah engkau ini
dan siapa pula gurumu, berani sembarangan
membuka mulut dan berkeliaran di tempat ini" -
- Hi hi hik, apakah maksudmu bertanya
nama dan Guruku" Sudahlah, engkau jangan
ikut campur, Kek. Aku tak sampai hati kepada
Kakek yang sudah sakit. -
- Heh heh heh heh. - Klinthung Waluh
terkekeh saking geli, mendengar kesombongan
bocah ini - Hemm, engkau bocah ingusan yang
tak tahu tingginya langit dan dalamnya lautan.
Hemm, baru memiliki kepandaian sedangkal itu
engkau sudah menjadi congkak, sombong dan tak
pandai menghargai orang tua. -
Klinthung Waluh berhenti dan mengamati
gadis itu. Lanjutnya, - Bocah, apakah engkau
tahu bahwa aku ini yang terkenal dengan nama
Klinthung Waluh, penghuni Gunung Kelud
ini" - Celakanya Dewi Sritanjung memang belum
pernah kenal dan juga belum pernah mendengar
nama tokoh ini, maka nama besar kakek sakti ini
tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Gadis ini
malah ketawa cekikikan dan mengejek lagi.
- Huh, tidak peduli dengan Klinthung Se-
mangka atau Klintung Timun. Pendeknya orang
yang berani mengganggu diriku, huh, rasakan ta-
jamnya pedangku ini. -
Klinthung Waluh mengurut-urut jenggot
kambingnya dalam usaha menekan amarah da-
lam dada, diejek demikian rupa oleh bocah ingu-
san ini. Ia masih mempunyai harga diri, malu
apabila harus melayani bocah ini dengan kekera-
san. Oleh sebab itu hatinya segera memutuskan,
untuk merobohkan gadis ini dengan pengaruh Aji
"Netra Luyub".
- Anak baik, sekarang sudah sore. Engkau
sudah mengantuk, kenapa engkau tidak lekas ti-
dur"- Dan kemudian yang terjadi adalah aneh
sekali. Dewi Sritanjung yang semula penuh se-
mangat dan mengejek itu, tiba-tiba saja menguap
dan berkata lirih, - Benar, aku sudah mengan-
tuk. Sebaiknya aku lekas tidur saja -
Setelah berkata demikian Dewi Sritanjung
segera merebahkan diri untuk tidur di atas tanah berdebu.
Melihat gadis ini sudah terpengaruh oleh
Aji "Netra Luyub" dari gurunya, Guna Praya dan Damar Seto sudah melompat ke
depan guna saling berebut untuk dapat menangkap gadis yang
tidur diluar sadarnya itu.
3 Akan tetapi sebelum dua pemuda itu ber-
hasil menyentuh tubuh Dewi Sritanjung, me-
nyambarlah angin yang halus namun kuat sekali.
Brukkk...! Tiba-tiba saja kakak-beradik se-
perguruan ini bertubrukan keras. Kepala mereka
saling beradu, dan akibatnya kepala mereka
mendadak pening, pandang mata gelap dan sa-
kitnya bukan main.
- Aduhhhh...! - mereka memekik hampir
berbareng, kemudian terhuyung sambil mende-
kap kepala masing-masing yang seperti pecah.
Klinthung Waluh terbelalak kaget berba-
reng keheranan. Tetapi belum juga hilang rasa
kaget dan herannya, tiba-tiba muncullah di samp-
ing Dewi Sritanjung yang sudah tertidur itu, seorang kakek bertubuh tinggi
besar. Entah berumur berapakah kakek ini me-
mang sulit ditaksir. Kumis dan jenggotnya sudah
putih semua seperti perak, membuktikan me-
mang sudah, amat tua.
Mungkin umur kakek ini sudah lebih tujuh
puluh lima tahun. Tetapi sekalipun rambutnya
sudah putih, tubuh kakek ini masih gagah. Kulit
tubuhnya masih belum berkeriput, sinar matanya
menunjukkan wataknya yang sabar, agung dan
berwibawa. Akan tetapi mata kakek ini, siapapun
yang bertatap pandang akan cepat mengalihkan
pandang matanya. Sebab sepasang mata itu ber-
sinar tajam sekali dan mengandung pengaruh
yang mukjizat. - Siapa kau! - bentak Klinthung Waluh.
Matanya mendelik, tetapi ketika bertatap pandang dengan kakek itu, Klinthung
Waluh menjadi kaget. - Hemm, Klinthung Waluh. Tentu saja
engkau tidak kenal aku tapi sebaliknya aku tetap masih mengenal kau. Hal ini
tidak mengheran-
kan, karena namamu memang amat termasyur
dan menggetarkan penjuru jagad! - sahut kakek
ini dengan nada memuji di samping merendahkan
diri. - Heh heh heh heh, aku tidak membutuh-
kan pujianmu!- hardik Klinthung Waluh. - Lekas
katakanlah siapa kau dan apa pula maksudmu
mengganggu urusan kami" -
Pada saat itu muncullah kemudian dua
orang muda, seorang laki-laki dan perempuan.
Mereka ini kemudian berdiri di belakang kakek
itu, namun mereka seperti tidak peduli kepada
Klinthung Waluh dan muridnya. Perhatian mere-
ka malah tertuju kepada Dewi Sritanjung. Si gadis tak kuasa menahan diri lalu
menyentuh kakek itu
dan berkata. - Kakek, bangunkanlah dahulu gadis itu.
Kasihan dia tidur di tanah dan pakaiannya ko-
tor. - Kakek itu tersenyum, jawabnya, - Biarkan
dulu dia tidur dan mengaso. Hanya jaga sajalah
agar tidak seorangpun berani mengganggu. -
Kemudian kakek ini menatap kembali ke-
pada Klinthung Waluh. Jawabnya, - Hemm, ka-
rena kau mendesak, biarlah sekarang aku mem-
perkenalkan namaku dan juga dua bocah ini. Te-
tapi tentu saja namaku tidak mempunyai arti
apa-apa bagi dirimu, yang terkenal sakti mandra-
guna. Ya, aku ini hanya seorang petani dari Desa Kepakisan, Kediri. Dan kemudian
orang menjadi terbiasa menyebut diriku ini dengan nama Mpu
Kepakisan, hingga kemudian nama ini lalu kupa-
kai sampai sekarang. Hemm, adapun dua bocah
ini yang laki-laki bernama Rangga Pramana. Bo-
cah ini juga tidak mempunyai arti apa-apa pula
bagi tiap orang. Namun ayahnya, adalah Mahapa-
tih Majapahit bernama Gajah Mada. Sedang bo-
cah perempuan ini tidak lain adalah cucuku sen-
diri bernama Ratih. -
Kata-kata ini diucapkan oleh kakek itu per-
lahan dan jelas. Agaknya mempunyai maksud
agar sekali menerangkan, sudah cukup.
Akan tetapi walaupun keterangan ini dibe-
rikan secara perlahan, sudah menyebabkan Klin-
thung Waluh kaget setengah mati seperti disam-
bar oleh petir. Karena nama Mpu Kepakisan amat
termasyur dan dihormati oleh setiap orang, seba-
gai tokoh sakti pada jaman kini. Dan sekalipun
rumahnya di Kepakisan Kediri, yang cukup jauh
dengan Ibukota Majapahit, namun telah dikenal
orang sebagai salah seorang pembantu Gajah Ma-
da yang setia, dan termasuk pula sebagai seorang yang banyak jasanya bagi
Majapahit. Tetapi sekalipun Klinthung Waluh kaget, ia
berusaha menutupi perasaannya dengan keta-
wanya yang terkekeh.
- Heh heh heh heh, sungguh mujur hari
ini aku dapat berhadapan dengan Mpu Kepakisan
yang terkenal sakti mandraguna. Maka terimalah
hormat dari Klinthung Waluh. -
Dan benar juga. Klinthung Waluh sudah
ngapurancang (menempatkan dua telapak tangan
di depan perut) sambil membungkuk seperti la-
zimnya seorang memberi hormat.
Sekalipun tampaknya Klinthung Waluh
memberikan hormatnya, tetapi sebenarnya hor-
mat yang ia berikan ini adalah lain, dan hanya
Mpu Kepakisan sendiri yang tahu dan merasakan.
Sebab setelah Klinthung Waluh membungkuk,
segera menyambarlah tenaga yang tidak tampak
telah menyerang ke arah Mpu Kepakisan.
Mpu Kepakisan sadar sedang dicoba orang.
Karena itu iapun cepat berbuat sama, seperti
memberikan hormat kepada Klinthung Waluh.
Yang terjadi kemudian menyebabkan orang
heran berbareng kaget. Sebab tahu-tahu terden-
garlah keluhan Klinthung Waluh sambil ter-
huyung mundur tiga langkah ke belakang.
Klinthung Waluh sudah berusaha menekan
darah yang bergolak dalam tubuhnya, namun ti-
dak juga berhasil. Dan tahu-tahu, segumpal da-
rah sudah meloncat dari mulut. Dan dari kenya-
taan ini membuktikan, dalam segebrakan menga-
du tenaga sakti, Klinthung Waluh kalah. Ia sudah menderita luka dalam, sekalipun
tidak parah Namun peristiwa ini tidak menyebabkan
Klinthung Waluh menjadi gentar maupun khawa-
tir, sebab ia mempunyai Aji "Netra Luyub" yang akan dapat mengalahkan lawan
dengan gampang.
Sekarang setelah sadar dirinya berhadapan
dengan kakek sakti, maka sepasang matanya me-
natap tajam kepada Mpu Kepakisan dan sejenak
kemudian terdengar suaranya yang halus.
- Hai Mpu Kepakisan! perjalanan dari Ke-
diri sampai kemari adalah cukup jauh. Hayo se-
karang mengasolah, dan tidur! -
Ketika itu Rangga Pramana dan Ratih ju-
stru, ikut memandang ke arah Klinthung Waluh.
Akibatnya dua orang muda ini menjadi terpenga-
ruh. Mendadak saja mereka merasakan kelelahan
dan menguap serta ingin tidur.
Namun tiba-tiba pengaruh aneh itu terusir
lagi ketika terdengar Mpu Kepakisan berkata ha-
lus, - Hemm, Klinthung Waluh! tipu muslihatmu
hanya permainan bocah ingusan saja. Anak, kau
bangunlah! Jangan tidur di sembarang tempat.-
Rangga Pramana dan Ratih hilang rasa
kantuknya, kembali seperti semula. Adapun Dewi
Sritanjung yang sejak tadi tidur sudah membuka
mata, mengucak mata itu dengan punggung tela-
pak tangannya. Kemudian gadis ini nampak kaget
ketika mendapatkan dirinya berbaring di atas ta-
nah berdebu. Ia cepat melompat bangkit, lalu ia
menebarkan matanya ke sekeliling. Gadis ini ke-
heranan melihat hadirnya seorang kakek dan dua
orang muda yang belum ia kenal.
- Kenapa aku..." - desis Dewi Sritanjung
seperti ditujukan kepada diri sendiri.
- Anak, kau telah ditipu orang, - sahut
Mpu Kepakisan sekalipun tidak ditanya.
Mendengar jawaban kakek yang belum ia


Dewi Sri Tanjung 9 Terkurung Di Perut Gunung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kenal itu, tetapi ia sadar sudah ditolong dan diselamatkan jiwanya, sepasang
mata gadis ini me-
nyala. Teringatlah kemudian apa yang tadi terjadi.
Dirinya dihadang dua orang muda dan kemudian
berkelahi. Ia berhasil mematahkan senjata lawan, tetapi segera muncul seorang
kakek tanpa baju dan menyusul menyuruh dirinya agar tidur
Teringat semua itu, mendadak saja gadis
ini marah. Ia memungut pedang pusakanya yang
menggeletak di tanah yang tadi lepas dari tangan di luar kemauannya.
Setelah pedang di tangan Dewi Sritanjung
segera melompat dan menerjang ke arah Damar
Seto dan Guna Praya sambil membentak nyaring,
- Manusia busuk, mampuslah! -
- Ayaaa . . . ! - Klinthung Waluh mengge-
rakkan tangannya menampar dengan maksud
melindungi keselamatan muridnya.
Akan tetapi tiba-tiba Mpu Kepakisan men-
gangkat tangan pula mendorong ke arah Klin-
thung Waluh sambil berkata halus, - Biarkan
yang muda berhadapan dengan yang muda. Apa-
kah kau tidak malu mengganggu orang muda" -
Dorongan Mpu Kepakisan itu menerbitkan
angin yang halus tetapi kuat sekali. Klinthung
Waluh terpaksa harus mengurungkan maksudnya
melindungi muridnya. Sebab apabila tidak, di-
rinya sendiri dalam bahaya. Maka tamparannya
kemudian ia alihkan untuk menangkis dorongan
Mpu Kepakisan. - Ahhhhh . . . ! - Klinthung Waluh berteriak
tertahan lalu mengeluh.
Disusul oleh tubuhnya yang terhuyung
mundur tiga langkah. Sedang Mpu Kepakisan
masih tetap berdiri di tempatnya. Dalam gebrakan mengadu tenaga sakti ini jelas
Klinthung Waluh
masih berada jauh di bawah Mpu Kepakisan.
Damar Seto dan Guna Praya yang teran-
cam keselamatannya akibat terjangan Dewi Sri-
tanjung telah berlompatan mundur. Kemudian
mereka menggunakan senjata sumpitan untuk
membidikkan peluru tanah liat yang beracun.
Akan tetapi Dewi Sritanjung waspada. Ia
sudah memutarkan pedangnya guna melindungi
diri dari serangan sumpitan itu. Dan akibatnya
peluru dari sumpitan berjatuhan terbentur ben-
teng pedang. Malah kemudian kakak beradik sepergu-
ruan ini harus sibuk berlompatan ke sana dan ke
mari dalam usaha menghindari sambaran pedang
si gadis, yang makin lama tambah berbahaya.
Mereka kemudian menjadi kebingungan
sendiri karena mereka tidak mendapat kesempa-
tan untuk mengisi peluru sumpitan dan membi-
dik. Ketika itu Ratih sudah akan maju dan
membantu Dewi Sritanjung. Gadis ini penasaran
dan merasa tidak tega, melihat Dewi Sritanjung
harus melayani dua orang lawan. Maka ia ber-
maksud untuk membantu menghajar dua pemu-
da itu. Akan tetapi maksudnya ini terhalang, ka-
rena dicegah oleh Mpu Kepakisan.
- Ratih, biarkan dia memuaskan penasa-
rannya. Percayalah, sekalipun dikeroyok dua, ga-
dis itu tidak bakal kalah. -
- Tetapi tanganku terasa gatal, Kek, - ujar
Ratih - Heh heh heh heh, bagian manakah yang
gatal" Garuklah! Rasa gatal itu pasti hilang.- Mpu Kepakisan berkelakar.
Ratih cemberut oleh godaan Kakeknya ini.
Namun demikian ia seorang cucu (cucu bagi Mpu
Kepakisan, sebenarnya adalah murid) yang patuh
kepada kakeknya (gurunya), maka kemudian ga-
dis ini hanya berdiri. Tetapi sekalipun demikian sepasang mata gadis ini tak
pernah berkedip memandang mereka yang berkelahi.
Tadi ketika Damar Seto maupun Guna
Praya bersenjata saja, mereka tak mampu me-
layani sambaran pedang gadis ini. Apa pula seka-
rang, mereka hanya tinggal mempunyai senjata
sumpitan. Maka mereka menjadi sibuk bukan
main. Mereka tidak sempat membidik lagi, pa-
dahal apabila sumpitan itu sampai terbentur oleh pedang akan segera hancur.
Karena itu dalam
usaha mereka menyelamatkan diri, tidak ada ja-
lan lagi kecuali menggunakan kecepatan mereka
bergerak. Makin lama sinar biru dari pedang pusaka
Tunggul Wuhing bergulung-gulung menguasai
arena perkelahian. Dan sinar yang bergulung-
gulung itu, menerbitkan angin halus, tetapi kuat sekali. Sinar biru itu
membungkus tubuh Dewi
Sritanjung di samping mengurung ruang gerak
lawan. Hal ini membuat kedudukan Guna Praya
dan Damar Seto semakin menjadi sulit. Dalam
menghadapi kesulitan dan dalam usaha memper-
tahankan nyawa ini, tiba-tiba saja mereka beru-
bah ganas. Tring tring trang trang . . . terdengar suara
yang nyaring berturut-turut. Sebab Damar Seto
dan Guna Praya telah membela diri dengan me-
nyumbitkan senjata rahasia, berujud paku bera-
cun. Namun sungguh sayang, serangan senjata
rahasia ini hanya sia-sia belaka. Tidak sebatang paku pun yang berhasil menembus
benteng pedang, karena semua tertangkis dan runtuh di ta-
nah. Bumm... mendadak terdengar suara yang
tidak demikian keras. Namun ledakan ini mener-
bitkan asap hitam yang amat tebal dan keadaan
di tempat itu menjadi gelap. Ledakan yang men-
gepulkan asap hitam dan tebal ini, berasal dari
sebuah benda yang telah dibanting oleh Klinthung Waluh. - Lindungi diri dan
pejamkan mata! - suara halus ini, diucapkan oleh Mpu Kepakisan, guna
memperingatkan kepada mereka yang muda.
Peringatan Mpu Kepakisan ini memang te-
pat sekali. Asap hitam tersebut mengandung ra-
cun yang dapat membuat mata orang seperti me-
nangis, karena mengucurkan air mata terus-
menerus. Dan bukan hanya itu saja pengaruh asap
hitam dari ledakan ini, tetapi justru lebih jahat
lagi. Sebab mata yang sudah kemasukan asap hi-
tam ini, apabila tidak mendapatkan obat pemu-
nahnya, dalam waktu sehari saja akan menjadi
parah. Air mata yang keluar akan berubah men-
jadi darah, lalu berakibat terjadinya kebutaan dan lumpuh. Jadi memang amat
ganaslah akibat dari
racun ini. Orang akan menjadi cacat seumur hi-
dup. Mpu Kepakisan tidak hanya tinggal diam
melihat asap hitam berbahaya itu. Dua tangannya
kemudian bergerak bergantian dan mendorong.
Angin yang habis segera menyambar dari telapak
tangan ke arah asap yang tebal dan hitam itu.
Akan tetapi setelah asap hitam dan tebal
itu tersingkir pergi, maka terbelalaklah mata Dewi Sritanjung, Rangga Premana
maupun Ratih. Sedang yang tidak tampak heran hanya Mpu Kepa-
kisan sendiri. Karena secara tiba-tiba Klinthung Waluh dan dua orang muridnya
itu sekarang telah lenyap tanpa bekas.
- Itulah perwujudan bahaya yang telah aku
katakan tadi kepada kamu!- Mpu Kepakisan
berkata halus, ditujukan kepada Ratih dan Rang-
ga Pramana. - Dan itu pula sebabnya aku tak da-
pat membiarkan orang-orang muda yang belum
kenal bahaya datang ke tempat ini. Dalam hal il-
mu kesaktian, Klinthung Waluh tidak perlu dita-
kuti. Akan tetapi tipu muslihat dan ilmu sihirnya, maupun segala macam racunnya,
amat berbahaya bagi setiap orang. Dan itu pula sebabnya,
Rangga Pramana, ketika ayahmu mengutus sepa-
sukan prajurit terpilih kemari, menemui kegaga-
lan. Sebab mereka semua tidak kuasa melawan
pengaruh ilmu sihir Klinthung Waluh yang dis-
ebut Aji Netra Luyub itu. -
Dewi Sritanjung yang sudah menyimpan
kembali pedangnya, dan mendengar pula penjela-
san kakek itu, tanpa terasa sudah berseru terta-
han. - Ohhh . . . kalau demikian aku tadi su-
dah terpengaruh oleh ilmu sihir itu, sehingga aku tertidur di luar kehendakku" -
Mpu Kepakisan ketawa sejuk, jawabnya, -
Kau benar, Nak, hampir celaka oleh pengaruh il-
mu sihir Klinthung Waluh. Masih untung pada
saat yang tepat aku tiba di tempat ini sehingga
kau bisa terhindar dari bahaya. -
Merasa dirinya sudah diselamatkan orang,
tiba-tiba saja Dewi Sritanjung menjatuhkan diri
berlutut memberi hormat.
Akan tetapi Mpu Kepakisan segera mengge-
rakkan tangannya, menampar perlahan ke depan.
Angin yang halus menyambar ke arah Dewi Sri-
tanjung; Kemudian di luar kehendak gadis ini
sendiri, tubuhnya telah terangkat berdiri.
- Anak, engkau tidak perlu berlutut macam
itu di depanku. -
Dewi Sritanjung menundukkan muka. Ia
sadar, kakek sederhana ini seorang kakek sakti
mandraguna. Terbukti kakek ini dapat melawan
pengaruh ilmu sihir Klinthung Waluh dan dapat
menyelamatkan dirinya dari bahaya.
- Kakek, aku yang muda bernama Dewi
Sritanjung, - katanya dengan sikap menghormat.
- Atas pertolongan Kakek yang telah me-
nyelamatkan nyawaku, tiada lain aku hanya da-
pat mengucapkan terima kasih. -
- Heh heh heh heh,- kakek ini ketawa se-
juk. - Hanya secara kebetulan saja aku datang
di tempat ini dan berhasil menyelamatkan engkau
dari bahaya. Tetapi sebenarnya semua itu adalah
cermin dari pertolongan Dewata Yang Agung, yang
melalui diriku. -
Ia berhenti sejenak, lalu, - Orang menye-
but aku dengan nama Mpu Kepakisan. Adapun
bocah laki-laki ini, namanya Rangga Pramana dan
bocah perempuan yang sebaya kau ini adalah cu-
cuku bernama Ratih. -
Tiga orang muda itu saling mengangguk
memberi hormat. Tetapi Ratih yang sejak tadi su-
dah ingin bertanya sudah mendahului bertanya
kepada kakeknya.
- Kek, aku heran sekali. Kenapa tiba-tiba
saja tiga orang tadi lenyap tanpa bekas" -
- Semua itu takkan menyebabkan orang
heran, apabila tahu rahasianya, - Mpu Kepakisan
menerangkan. - Mereka bukannya bisa menghi-
lang, tetapi yang jelas mereka sudah melarikan
diri lewat jalan rahasia dan dengan demikian pula menjadi jelas, di sekitar
tempat ini banyak terdapat jalan rahasia di bawah tanah. Hemm, justru
oleh kepandaian Klinthung Waluh seperti ini, se-
babnya Gajah Mada sulit menghancurkannya. Ki-
ta tahu bahwa setiap pemberontakan yang terjadi, selalu dapat dibasmi dalam
waktu singkat. Tetapi sebaliknya Klinthung Waluh mempunyai kekuatan luar biasa
sekalipun dia tidak punya praju-
rit. - - Tetapi kalau aku gampang. - Ratih ber-
pendapat. - Gampang" - Rangga Pramana kaget. -
Apakah yang akan kau lakukan" -
- Bakar saja tempat ini! Dan sekalipun
mereka menyembunyikan diri di dalam tanah,
mereka tetap akan mampus juga. -
- Heh heh heh heh ... - Mpu Kepakisan
terkekeh. - Itu merupakan tindakan yang tidak
bijaksana, Ratih. Dan sudah tentu Nak mas Ga-
jah Mada takkan mau berbuat seperti itu. Sebab
dengan membakar pinggang Kelud ini, berarti
akan menimbulkan malapetaka yang hebat dan
akan merugikan negara maupun para kawula Ma-
japahit sendiri. -
- Apakah sebabnya"- Ratih tertarik
- Begini Ratih. Hutan yang rusak, lebih-
lebih terbakar atau dibakar, akan menyebabkan
tanah di sini menjadi gundul, yang akibatnya
akan menimbulkan malapetaka hebat. Sebab aki-
batnya pada saat datangnya musim kering akan
banyak sumber air yang kering dan tidak dapat
memberikan airnya lagi. Dan dengan begitu para
golongan petani takkan dapat mengerjakan sawah
maupun tanahnya yang lain. Dan kemudian akan
menimbulkan kekurangan hasil bumi dan kebu-
tuhan pokok hidup yang berujud beras maupun
bahan makanan yang lain. Akibatnya harga akan
melonjak tinggi. Padahal mahalnya harga kebutu-
han hidup, akan banyak menimbulkan gangguan
keamanan. - Mpu Kepakisan berhenti dan mengambil
napas. Sejenak kemudian ia baru meneruskan, -
Cucuku, sebaliknya apabila pada musim penghu-
jan, malapetaka yang timbul tidak kurang ba-
hayanya pula. Sebab air hujan itu takkan dapat
meresap ke dalam tanah, oleh karena tidak ada
pohon besar yang dapat menahan air hujan itu.
Sebagai akibatnya pula, hujan itu akan menye-
babkan tanah longsor di sana sini dan menye-
babkan timbulnya banjir besar. Akibatnya air
akan melanda dan merusakkan sawah, desa
maupun ladang. Timbulnya banjir akan menye-
babkan para kawula semakin menderita pula. -
Kakek ini berhenti lagi dan mencari kesan.


Dewi Sri Tanjung 9 Terkurung Di Perut Gunung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika melihat Rangga Pramana maupun Ratih ti-
dak membuka mulut, ia meneruskan, - Jadi,
baik pada musim kemarau maupun musim peng-
hujan akan sama akibatnya, kawula menderita.
Semua itu sebagai akibat rusaknya hutan, gun-
dulnya gunung maupun bukit, akan menimbul-
kan bahaya dan akibat yang merugikan kita se-
mua. Ratih, itulah sebabnya hutan dan pegunun-
gan itu harus dijaga kelestarian nya jangan sam-
pai menjadi rusak. -
Dua orang muda itu tidak membuka mu-
lut. Dan kesempatan ini digunakan oleh Mpu Ke-
pakisan untuk meneruskan nasihatnya, - Men-
gingat itu semua, maka Anakmas Gajah Mada se-
lalu bertindak bijaksana. Ia banyak memberikan
contoh dan banyak pula memberi nasihat kepada
para kawula. Sedang tujuannya yang utama da-
lam usaha guna membangun Majapahit menjadi
kerajaan yang kuat dan sentosa. -
- Tetapi Kek, dengan lenyapnya mereka
lewat jalan rahasia, berarti tugas Kakek sekarang ini gagal juga. - Ratih menjadi
masygul. - Kakek
tidak bedanya yang lain, belum pula dapat men-
galahkan Klinthung Waluh yang jahat itu. -
Mpu Kepakisan menghela napas dalam. -
Ya! Tetapi apa harus dikata, kalau memang harus
terjadi seperti ini" -
Untuk beberapa saat lamanya mereka tidak
ada yang membuka mulut. Sekarang perhatian
mereka semua tertuju kepada persoalan Klin-
thung Waluh. Namun tiba-tiba Mpu Kepakisan segera te-
ringat kepada Dewi Sritanjung yang tadi hampir
celaka di tangan Klinthung Waluh.
Ia kemudian memandang gadis itu sambil
bertanya, - Anak, apakah sebabnya engkau da-
tang ke tempat ini" Apakah engkau memang be-
lum tahu gunung Kelud ini merupakan wilayah
berbahaya, oleh sepak terjang Klinthung Waluh
yang jahat itu" -
- Ya. Aku memang belum luas pengala-
man. Dan aku yang muda memang tidak tahu
tempat ini amat berbahaya. Saya ingin dan terta-
rik untuk melihat dari dekat, tentang gunung
yang mengeluarkan asap itu. Saya ingin tahu,
apakah sebabnya gunung itu bisa mengeluarkan
asap terus-menerus" -
- Ahhh . . . ! - tiga orang ini berseru ter-
tahan hampir bersamaan.
Tak mengherankan apabila mereka menja-
di kaget, justru apa yang dilakukan gadis ini amat berbahaya.
- Anak, apakah engkau tidak tahu gunung
yang mengeluarkan asap itu amat berbahaya" se-
bab orang takkan dapat mendekati. -
- Ahhh, apakah sebabnya" - Dewi Sritan-
jung kaget. - Sebab gunung yang mengeluarkan asap
itu amat panas apabila lubang asapnya didekati.
Dan bukan hanya itu, mungkin siapapun malah
takkan tahan oleh bau belerang yang menyengat
hidung dan orang bisa direnggut maut.-
- Ihh ... apakah sebabnya" -
- Karena asap itu di samping panas, juga
bau belerang menyengat hidung, menyebabkan
sesak napas. -
- Tetapi apakah sebabnya asap itu berbau
belerang " -
- Karena di dalam perut gunung berapi itu
terdapat banyak belerang, -
- Ahhh, terima kasih Kek atas petunjuk-
mu. Untung aku belum sampai ke puncak gu-
nung itu. - - Apakah engkau hanya seorang diri" -
- Benar. - - Hemm, Nak, engkau bocah perempuan.
Mengapa sebabnya kau terlalu berani berkelana
seorang diri" -
Pertanyaan ini mengingatkan keadaan di-
rinya dan menyebabkan ia mendadak sedih. Ke-
mudian ia teringat kepada nasibnya yang sudah
tidak mempunyai ibu lagi.
Namun perasaan ini cepat-cepat ia tekan.
Ia tidak menginginkan orang tahu akan asal usul
dan keadaannya. Untuk itu maka kemudian gadis
ini membohong. - Ya, aku memang sengaja berkelana seo-
rang diri untuk, mencari pengalaman. Bahaya-
bahaya yang kuhadapi akan selalu aku hadapi
dengan senang hati, justru timbulnya bahaya itu
malah akan memperkaya pengalaman. -
- Ahh, Adik terlalu berani. - Ratih mem-
berikan pendapatnya. - Gadis muda lagi cantik
seperti kau ini, akan memancing dan merangsang
kepada orang lain untuk berbuat tidak baik. -
- Terima kasih atas peringatanmu. Akan
tetapi aku percaya, Dewata Yang Agung akan se-
lalu melindungi hamba-Nya yang tidak bersalah
dan tidak melakukan perbuatan jahat. Buktinya,
dalam perjalananku sekarang ini, sekalipun da-
lam keadaan bahaya selalu mendapatkan perto-
longan orang lain sebagai utusan Dewata. -
- Heh heh heh, - Mpu Kepakisan terkekeh.
Diam-diam kakek ini kagum akan kekerasan hati
dan keberaniannya.
- Aku kagum akan keberanianmu, Nak.
Mpu Kepakisan memuji. - Ya, manusia yang hi-
dup di dunia ini memang kesulitan yang dihadapi
akan menjadi guru dan pengalaman hidup seseo-
rang. Mudah-mudahan pula apa yang engkau ci-
takan ini dikabulkan Dewata Yang Agung. Tetapi
kalau boleh aku ingin bertanya, siapakah orang
tuamu, tempat tinggalmu dan juga gurumu" -
- Hemm, - Dewi Sritanjung menghela
napas. Tidak urung terasa perih juga hatinya,
mendapat pertanyaan seperti ini. Namun ia sudah
memutuskan takkan membuka rahasia hidupnya
kepada sembarang orang.
- Kakek, - jawabnya. - Aku sudah seba-
tang-kara. Aku tidak berayah dan tidak beribu la-gi. Sejak kecil kakekku yang
memungut dan me-
rawat diriku. Karena itulah aku tidak mempunyai
Guru, karena sejak kecil Kakek sendirilah yang
mendidikku. - - Apakah Kakekmu itu, si pemilik pedang
itu" - - Benar! Mengapa " -
- Ha ha ha ha, Kakek dan Gurumu adalah
Ki ageng Tunjung Biru, bukan " -
Dewi Sritanjung melengak kaget menden-
gar dugaan Mpu Kepakisan yang tepat ini. Maka
tidak tercegah lagi Dewi Sritanjung mengangguk.
- Benar! Tetapi bagaimanakah sebabnya Kakek
dapat menduga setepat itu" -
- Heh heh heh heh, di dunia ini hanya
seorang saja pemilik pedang pusaka Tunggul Wu-
lung yang sekarang dalam tanganmu itu, Ki ageng
Tunjung Biru. Sungguh kebetulan sekali perte-
muan yang tidak terduga ini. Nak, karena kau
orang kita sendiri, maka tahukah engkau akan
hubungan antara Ki ageng Tunjung Biru dengan
Mahapatih Gajah Mada"-
- Saudara seperguruan. -
- Benar! Sekalipun usia Ki ageng Tunjung
Biru dengan Mahapatih Gajah Mada terpaut jauh.
Oleh karena itu antara engkau dan Rangga Pra-
mana ini, masih mempunyai pula hubungan per-
guruan, sebab dia ini adalah putera Mahapatih
Gajah Mada. - - Ahhh, - Dewi Sritanjung berseru terta-
han. Ia kemudian memandang Rangga Pramana
sejenak, kemudian ia menundukkan kepala.
- Aku pernah datang ke rumah Paman
Gajah Mada, - ujarnya kemudian. - Tetapi ke-
napa ketika itu Adi Rangga Premana tidak tam-
pak" - Panggilan "adi" kepada Rangga Pramana'
memang tepat, sekali pun umur Rangga Pramana
lebih tua dibanding dengan Dewi Sritanjung. Ka-
rena Rangga Pramana anak Gajah Mada, sebagai
adik seperguruan Ki ageng Tunjung Biru.
- Benar, - sahut Rangga Pramana - Sebab
sejak beberapa bulan ini aku tidak tinggal di Majapahit, tetapi aku tinggal di
Kepakisan. - Pada saat Mpu Kepakisan sedang akan bi-
cara, maka menyambarlah sebuah benda yang
bentuknya bulat, lalu menggelinding.
Mereka heran berbareng curiga, lebih-lebih
Dewi Sritanjung justru sebelum dirinya berhada-
pan dengan bahaya, benda bulat semacam ini
pernah menyambar dirinya, disusul terdengarnya
suara yang memberi peringatan.
Orang yang percaya kepada takhayul tentu
akan beranggapan benda bulat yang dapat berge-
rak itu merupakan suatu keanehan dan keajai-
ban. Tetapi Mpu Kepakisan adalah orang tua
yang sudah kaya pengalaman. Maka kakek ini ti-
dak mungkin bisa tertipu.
Kakek ini sudah dapat menduga, tentu da-
lam benda bulat itu yang tampaknya seperti ka-
rung, terdapat manusia sakti mandraguna. Hing-
ga sekalipun di dalam karung dapat bergerak me-
nurut kemauannya.
Karena itu kakek ini menjadi curiga, apabi-
la dalam benda bulat itu berisi salah seorang
pembantu Klinthung Waluh. Maka ketika Rangga
Pramana sudah bergerak mau mengejar, ia men-
cegah. - Jangan! Biarlah aku sendiri yang men-
gurus. - Benda itu masih menggelinding cepat seka-
li dan tiba-tiba terdengar suara yang dalam bulatan tersebut, tetapi jelas.
- Hai Mpu Kepakisan. Kenapa engkau se-
karang menjadi tolol" Heh heh heh heh, apakah
engkau tidak sadar sudah terancam oleh bahaya"
Nah, tidak cepat pergi mengikuti aku, celakalah
kalian. - Mpu Kepakisan terbelalak. Tetapi ia sadar
peringatan yang ia dengar dari dalam benda bulat itu tidak boleh ia abaikan.
Sebab memang tidak
mustahil apabila Klinthung Waluh bermain cu-
rang, menyembunyikan diri dalam jalan rahasia.
di bawah tanah. Sadar akan bahaya kakek ini
dengan gugup berkata,
- Anakku semua, lekas ikut aku! -
Rangga Pramana maupun Ratih segera me-
lompat dan mengikuti Mpu Kepakisan. Sedang
arah gerak mereka mengikuti gerakan benda bu-
lat yang aneh dan menggelinding itu.
Tetapi sebaliknya Dewi Sritanjung agak ra-
gu. Ia mempunyai pendapat lain dan kurang per-
caya peringatan itu. Oleh sebab itu sekalipun bergerak gadis ini mengambil arah
lain dan berten-
tangan dengan gerakan Mpu Kepakisan.
Bum ... ! Belum jauh orang-orang itu meninggalkan
tempat mereka tadi tahu-tahu tanah itu amblong
dan debu mengepul tinggi.
Mpu Kepakisan, Rangga Pramana dan Ra-
tih menghentikan langkah lalu membalikkan tu-
buh. Mereka terkejut dan terbelalak, melihat terjadinya tanah longsor itu.
- Ahh, manakah bocah itu tadi" - seru ka-
kek ini kaget sekali dan wajahnya menjadi pucat.
- Ahhh, celaka! Dia tentu terjebak! -
- Mari cepat kita tolong! - Ratih gugup dan
mengajak. Dari wajahnya yang pucat tampak sekali
gadis ini mengkhawatirkan Dewi Sritanjung.
- Tidak! Jangan! - Mpu Kepakisan mence-
gah. - Kenapa"- Rangga Pramana heran.
- Hemm, - kakek ini menghela napas da-
lam. - Kita sudah melihat sendiri, wilayah Klinthung Waluh ini penuh dengan
jebakan berba- haya. Ahhh, apakah yang akan terjadi apabila ti-
dak muncul tokoh aneh yang menyembunyikan
diri dalam karung tadi" Hemm, kita semua tentu
sudah masuk dalam perangkap Klinthung Waluh.
Maka jelaslah bagi kita, tokoh aneh itu sudah
menyelamatkan nyawa kita dari bahaya maut. -
Kakek ini berhenti. Setelah menghela na-
pas lagi, terusnya, - Hemm, terus terang aku
sendiri pun tidak mengenal tempat ini secara
baik. Padahal keberanian tanpa perhitungan akan
menimbulkan korban jiwa sia-sia. Sesungguhnya
akupun tidak tega kepada Dewi Sritanjung. Akan,
tetapi apakah daya kita" Apakah nyawa dia seo-
rang itu harus kita tambah dengan tiga nyawa la-
gi" - Mendengar jawaban dan penjelasan Mpu
Kepakisan dua orang muda ini terbungkam. Me-
reka tidak dapat membantah kebenaran ucapan
kakek ini. Daerah yang penuh dengan jebakan
rahasia ini memang amat berbahaya bagi orang
luar. Akibatnya dua orang muda ini hanya dapat


Dewi Sri Tanjung 9 Terkurung Di Perut Gunung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghela napas dalam sambil memandang tem-
pat yang tadi mereka tempati untuk berdiri. Tem-
pat itu sekarang sudah amblong, maka mereka
kemudian menduga, Dewi Sritanjung sudah ter-
perosok masuk ke dalam lubang jebakan itu.
Untuk beberapa saat lamanya Mpu Kepaki-
san juga tidak membuka mulut. Ia mengamati ta-
nah yang amblong itu sambil mengurut-urut
jenggotnya yang putih, dalam usahanya mengu-
rangi rasa sedih yang memenuhi dalam dadanya.
Kakek ini menyesal sekali, mengapa Dewi Sritan-
jung tidak mau percaya peringatan benda aneh
yang dapat menggelinding dan berbicara itu.
Tiba-tiba suasana yang hening itu dipecah-
kan oleh pertanyaan Ratih, - Kek, dapatkah Ka-
kek menduga, siapakah kira-kira tokoh sakti yang bersembunyi dalam karung dan
telah menyelamatkan kita tadi"-
- Entahlah, aku belum bisa menduga.
Namun jelas sekali tokoh itu membantu kita dan
akupun percaya, dia tokoh aneh tetapi berhati
emas. Ahhh . .. mungkinkah dia" -
- Siapakah dia, Kek"
- Orang yang dapat bersembunyi di dalam
karung, bentuknya menjadi bulat dan dapat ber-
gerak seperti itu, siapa lagi kalau bukan Mpu
Anusa Dwipa" Heh heh heh heh. -
Mendadak terdengar suara orang ketawa
terkekeh nyaring.
- Sobat, engkau memang tajam rasa di
samping cerdik. Sebenarnya aku tadi enggan ke-
luar dari kantung wasiatku ini. Tetapi karena
engkau telah menyebut namaku, maka tidak
enak rasanya apabila aku terus bersembunyi da-
lam kantungi wasiat. -
Mpu Anusa Dwipa dan Mpu Kepakisan
memang merupakan sahabat lama. Maka perte-
muan tidak terduga ini menyebabkan mereka
gembira sekali.
Namun ketika tidak melihat Dewi Sritan-
jung kakek gemuk ini membelalakkan mata dan
menggumam, - Aneh! Di manakah bocah perem-
puan tadi"-
Ratih yang tadi khawatir dan menganjur-
kan kakeknya (gurunya) supaya menolong gadis
itu sudah berteriak, - Dia terjebak. Tolonglah
dia!- - Ya! Nampaknya dia memang sudah ter-
jebak, Saudara Dwipa, - ujar Mpu Kepakisan
dengan nada sedih. - Coba usahakanlah perto-
longan, dan aku percaya engkau telah mengenal
secara baik wilayah ini. -
- Hemm . . . anak nakal itu memang sela-
lu membuat orang repot saja! - desis Mpu Anusa
Dwipa. - Ahh, celaka! Gara-gara si nakal, aku
harus berurusan dengan Klinthung Waluh lagi.
Hemm baiklah! Aku akan berusaha menolong bo-
cah itu. Tetapi, Saudara Kepakisan, sebaiknya
engkau dengarkan permintaanku ini.... -
- Tentang apa" -
- Sekarang pergilah secepatnya kau ke
Kotaraja Majapahit. Menghadaplah kau kepada
Mahapatih Gajah Mada, dan beritahukanlah
pemberontak Sadeng yang sudah pernah dihan-
curkan itu, ternyata masih terdapat sisanya yang berbahaya. -
- Ah, kau tahu" Lalu di manakah sisa-sisa
itu sekarang bertempat tinggal" - Mpu Kepakisan
kaget sekali. - Di sana! Di sebelah selatan Gunung Ma-
lang. Mereka bersembunyi dalam suatu lembah
tidak jauh dari mata air Kali Sanen. Maka minta-
lah kau kepada Mpu Mada, agar segera menge-
rahkan pasukan terpilih, berani dan tangkas. Dan sebaiknya, malah engkau pula
yang memimpin pasukan itu. Hemm, mungkin kau bertanya, apa-
kah sebabnya" Sebabnya adalah karena daerah
itu merupakan daerah terasing dan mereka
menggunakan jalan rahasia di bawah tanah. -
- Ahhh ... - tak urung Mpu Kepakisan
berseru tertahan. - Bagaimanakah mungkin
orang bisa masuk ke sana tanpa pengetahuan
lengkap jalan rahasia itu" -
Mpu Anusa Dwipa terkekeh. - Heh heh
heh heh heh, tentu saja aku dapat membantu
kau. - Mpu Anusa Dwipa segera mengambil se-
lembar kain sutera dari dalam saku jubahnya.
Lembaran kain sutera putih ini, kemudian ia ben-
tangkan di tanah. Kemudian ternyata pada kain
sutera ini sudah terlukis semacam peta.
- Nah, dengan petunjuk ini engkau dapat
dengan mudah datang ke sana. Sekarang kita
berpisah dan membagi tugas. -
Tanpa menunggu jawaban, Mpu Anusa
Dwipa sudah melangkah pergi seenaknya. Namun
karena tubuhnya pendek gemuk seperti gentong
maka kakek sakti ini jalannya seperti menthog
dan migag-migug, hingga semua bagian tubuhnya
bergerak-gerak.
Mpu Kepakisan memandang ke arah Mpu
Anusa Dwipa pergi. Ia menghela napas pendek,
terharu dan amat berterima kasih kepada kakek
gemuk itu. Tetapi karena ia sudah mengenal wa-
tak dan tabiat Mpu Anusa Dwipa yang memang
aneh, maka kakek ini tidak berusaha mencegah
kepergiannya. Kemudian ia melambaikan tangan kepada
Rangga Pramana dan Ratih. Ia lalu mengajak dua
orang muda ini secepatnya meninggalkan Gunung
Kelud. Mereka bergerak cepat tanpa bicara. Dan
benak Mpu Kepakisan agak tegang, setelah men-
dengar tentang masih terdapatnya sisa pemberon-
tak Sadeng itu.
Menurut pendapatnya, sisa pemberontak
itu apabila tidak selekasnya dibasmi, akan sema-
kin sulit dihancurkan apabila sisa pemberontak
Sadeng ini semakin kuat. Oleh karena itu terpikir oleh kakek ini untuk segera
memberikan laporan
kepada Mahapatih Gajah Mada.
Tidaklah mengherankan apabila kakek ini
menjadi tegang. Sebab ketika membasmi pembe-
rontak Sadeng itu, dirinya ikut terjun dan mem-
bantu Adityawarman sebagai panglima. Ketika itu
dirinya melawan Mpu Sadeng. Sebab Mpu Sadeng
seorang sakti dan mempunyai ilmu sihir yang
berbahaya bagi lawan. Dan berkat perlawanannya
waktu itu, ia dapat mengalahkan Mpu Sadeng.
Hingga pemberontak Sadeng itu kemudian ter-
basmi. 4 Mpu Anusa Dwipa melangkah tanpa ragu
menuju ke arah daerah berbahaya yang penuh
oleh jebakan itu. Kemudian sepasang alis kakek
gendut ini berkerut, ketika melihat lubang jeba-
kan yang terbuka dan hampir mencelakakan Mpu
Kepakisan maupun yang lain. Kakek ini kemu-
dian agak membungkuk lalu mengadakan penye-
lidikan. Tidak lama. Beberapa jenak kemudian ka-
kek ini dengan gerak ringan sekali, sudah berloncatan ke arah puncak gunung.
Gerakan kakek ini sungguh menakjubkan.
Sekalipun tubuhnya gendut seperti gentong, na-
mun gerakannya cepat sekali seperti dapat ter-
bang. Tak lama kemudian Mpu Anusa Dwipa su-
dah tiba pada daerah yang penuh dengan batu-
batu besar. Batu tersebut ada pula yang sebesar
rumah dan ada pula yang lebih tinggi dan lebih
besar dibanding rumah.
Kakek ini kemudian menjejak tanah. Lalu
tubuhnya yang gendut itu melesat ke atas. Ju-
bahnya berkibaran tertiup angin dan sesaat ke-
mudian ia telah berdiri pada batu gunung yang
terbesar dan tertinggi. Ia memandang sekeliling
seperti menyelidik, dan tiba-tiba sudah berteriak nyaring.
- Hai Klinthung Waluh! Hayo, lekaslah ke-
luar!!. Aku, Mpu Anusa Dwipa ingin ketemu den-
gan kau! - Teriakan kakek ini terdengar nyaring sekali
dan suara itu memantul dari tebing ke tebing dan batu ke batu. Tak lama kemudian
seperti iblis dan setan. Klinthung Waluh bersama dua orang
muridnya sudah muncul.
Keanehan segera terjadi. Klinthung Waluh
yang tadi sikapnya garang ketika berhadapan
dengan Mpu Kepakisan, sekarang bersama dua
muridnya sudah berlutut di tanah. Sejenak ke-
mudian Klinthung Waluh berkata dengan na-
danya amat menghormat.
- Mpu, saya sudah datang. Adakah keper-
luan Mpu, hingga perlu memanggil saya" -
- Heh heh heh heh, bangkitlah! - perintah
Mpu Anusa Dwipa yang masih tetap berdiri di ba-
tu itu. Klinthung Waluh dan muridnya segera pu-
la bangkit berdiri. Tetapi guru dan murid ini sekalipun berdiri, kepalanya
menunduk, dan tidak
seorangpun berani mengangkat kepalanya me-
mandang kakek gendut itu. Jelas sekali sikap me-
reka amat menghormat, seakan berhadapan den-
gan guru. Memang sekalipun bukan guru langsung,
Klinthung Waluh termasuk pula orang yang be-
runtung, karena pernah memperoleh suatu ilmu
kesaktian dari Mpu Anusa Dwipa. Dan berkat il-
mu kesaktian pemberian dari kakek gendut ini,
maka kesaktian Klinthung Waluh menanjak ting-
gi. Apakah sebabnya Mpu Anusa Dwipa yang
terkenal sebagai tokoh sakti yang -banyak meno-
long orang, sudi memberi ilmu kesaktian kepada
Klinthung Waluh, yang terkenal merupakan seo-
rang tokoh sesat dan jahat itu"
Inilah salah satu keanehan Mpu Anusa
Dwipa. Karena memang terkenal mempunyai wa-
tak aneh dan berhati emas, maka menjadi kege-
maran dari kakek ini, menyembunyikan diri da-
lam karung, menekuk tubuh dan berloncatan se-
perti bola, dan karung itu sendiri ia sebut sebagai
'kantung wasiat'.
Orang banyak memang menganggap Klin-
thung Waluh seorang sesat dan jahat. Tetapi Mpu
Anusa Dwipa tidak memandang demikian. Menu-
rut pendapat kakek gemuk ini, Klinthung Waluh
ini sama dengan orang yang lain. Sebagai manu-
sia biasa yang kedudukannya dan keadaannya
sama dengan manusia yang lain. Manusia yang
tidak serba sempurna, tetapi mempunyai kelema-
han dan kekurangan. Yang disebut sesat dan ja-
hat bukanlah si manusia itu sendiri, melainkan
adalah tindak dan perbuatannya.
Mpu Anusa Dwipa menatap ke arah Klin-
thung Wakih penuh perhatian. Sejenak kemudian
ia berkata, - Hai Klinthung Waluh! Engkau apa-
kan bocah perempuan yang masuk dalam jeba-
kanmu tadi"-
- Bocah yang mana"- Klinthung Waluh ma-
lah bertanya. Ia mengangkat kepala sebentar
memandang Mpu Anusa Dwipa. Namun cepat-
cepat ia menundukkan kepala lagi dengan sikap
yang tetap menghormat.
- Heh heh heh heh, siapa lagi kalau bukan
bocah perempuan yang tadi tertidur oleh ilmu su-
lapmu itu" -
- Mpu . . ehh . . .Guru ... ehh ... Mpu, tidak
ada . . . sungguh tidak ada... dan kami berani...
bersumpah.... -
Mpu Anusa Dwipa mengerutkan alis, ben-
taknya, - Klinthung Waluh! Kau berani menipu
aku"- - Ohhh..... tidak ...! - tubuh Klinthung Wa-
luh mendadak gemetaran saking ketakutan. -
Guru . . . sungguh mati. . . tidak ada. Manakah
mungkin saya berani... menipu Bapa"
- Hayo angkatlah mukamu dan sekarang
semua memandang kepadaku!-
Guru dan murid itupun tanpa berani
membantah lagi sudah mengangkat muka mas-
ing-masing, lalu memandang ke arah Mpu Anusa
Dwipa. Kakek aneh dan berhati emas ini dengan
memandang sinar mata orang, akan segera tahu
orang itu berdusta ataukah jujur. Maka setelah
mengamati sinar mata guru dan murid ini, Mpu
Anusa Dwipa menjadi percaya, mereka sudah
memberi keterangan sejujurnya.
- Heh heh heh heh, - ia terkekeh. - Aku
percaya kepada kamu. Sudahlah, sekarang aku
mau pergi. - - Bapa . . . ! - tiba-tiba Klinthung Waluh
berseru. - Engkau perlu apa lagi" -
- Bapa . . . besar harapan saya... agar Ba-
pa sudi membimbing diri saya ini, agar bisa men-
dapatkan ilmu kesaktian yang lebih hebat lagi. -
- Heh heh heh, ha ha ha ha, - Mpu Anusa


Dewi Sri Tanjung 9 Terkurung Di Perut Gunung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dwipa bergelak-gelak mendengar permintaan
Klinthung Waluh ini, lalu bertanya, - Kemudian
setelah engkau bisa mendapatkan ilmu kesaktian
yang lebih tinggi lagi, apakah tujuanmu" -
- Bukan lain agar saya menjelma sebagai
manusia paling sakti di dunia ini. -
- Ha ha ha ha! - makin bergelak kakek
gendut ini mendengar maksud Klinthung Waluh.
- Hai Klinthung Waluh, dengarlah baik-baik apa
yang aku katakan ini. Ketahuilah bahwa Gunung
Kelud ini orang bilang sudah tinggi. Akan tetapi tinggi manakah dengan awan yang
bergerak, di angkasa itu" Tetapi nyatanya awan yang tinggi itu masih kalah tinggi lagi dengan
langit. Hemm, bulan di angkasa lebih tinggi lagi, tetapi masih kalah tinggi
dengan matahari. Sedang matahari masih
kalah tinggi lagi dengan bintang. Ha ha ha ha,
hanya lamunan kosong saja orang yang bercita-
cita ingin menjadi orang tersakti, orang terpandai dan orang tertinggi" Yang
sakti masih ada yang
lebih sakti. Yang pandai masih ada yang lebih
pandai lagi. Dan yang merasa berkedudukan ting-
gi masih ada yang lebih tinggi, dan yang merasa
kuasapun masih ada pula yang lebih kuasa la-
gi. - Mpu Anusa Dwipa berhenti dan mengambil
napas. Sejenak kemudian ia meneruskan, -
Orang bercita-cita memang baik. Akan tetapi
orang melamun akan menjadi sahabat setan dan
iblis. Lebih berabe lagi jika manusia sudah mela-munkan agar dirinya bisa serba
tahu, serba kua-
sa, serba menang dan ingin menyamai kekuasaan
Dewata Yang Agung. Orang yang demikian itu
akan tersesat jalan karena bersahabat dengan se-
tan dan iblis. Hai Klinthung Waluh. Tahukah
engkau tentang setan dan iblis itu" -
- Setan dan iblis adalah penggoda manu-
sia. - - Heh heh heh heh, engkau seperti burung
beo yang menirukan orang bicara. Ketahuilah se-
tan dan iblis itu, menghuni dalam tiap-tiap ma-
nusia. - - Ahhh ... kalau begitu . . . saya ... -
- Benar! Dalam tubuhmu pun setan mau-
pun iblis menghuninya, heh heh heh heh, engkau
kaget" Itulah tanda engkau selama ini tidak per-
nah mau mawas diri, sebagai akibat engkau
hanya selalu menurutkan nafsu dan pikiran ja-
hatmu. Dengarlah hai Klinthung Waluh, para cer-
dik pandai sudah bilang, setan maupun iblis akan menggoda setiap manusia, yang
tidak mau menyadari hidupnya sebagai makhluk Dewata
Agung. Tidak mau sadar sebagai makhluk yang
lemah. Manusia yang mau mawas diri dan sadar
diri, dalam hidupnya ini tanpa penilaian dan per-bandingan. Dan apabila kau
sudah bisa seperti
ini, niscaya dalam sanubarimu takkan ada lagi
yang disebut " aku" dan selalu minta tempat paling depan. Sebab si aku itulah
sesungguhnya nafsu
manusia yang selalu ingin memperoleh, dan bu-
kan yang lain. -
Kakek ini berhenti, mengambil napas, lalu
terusnya, - Nah, kegiatan dan keinginan si aku ini yang kemudian menimbulkan
nafsu yang tidak
pada tempatnya. Dan itulah sebenarnya setan
dan iblis. Itulah yang selalu mengganggu hidup-
mu menjadi tidak tenteram. Maka orang berkata,
si Anu sedang menurutkan nafsu yang merusak,
yang tidak baik, sedang menuruti godaan setan
dan si iblis. Heh heh heh heh, Klinthung Waluh,
godaan setan dan iblis akan selalu berlangsung
terus selama hidupmu, jika engkau tak mau ma-
was diri. Jika engkau selalu membandingkan dan
jika engkau selalu menilai. Karena dalam dadamu
akan selalu berkecamuk rasa iri hati dan selalu
mengumandang jeritan mengapa orang itu bisa
hidup kaya raya, tetapi aku melarat"-
Mpu Anusa Dwipa tidak peduli, Klinthung
Waluh mau mendengar nasihatnya ini atau tidak.
Maka ia terus nyerocos saja.
- Engkau jangan memandang apa yang kau
sebut melarat itu dari kacamata lahiriah. Sebab, yang tidak pernah menipu itu
hanyalah dari kacamata kejiwaan. Orang yang berkedudukan ting-
gi, kaya raya, akan tetapi dari sudut kejiwaan bi-sa disebut melarat, apabila
orang itu hanya selalu memikirkan kepentingan diri pribadi sambil merugikan
orang lain. Dia seorang melarat dari ka-
sih, melarat dari kebijaksanaan, keadilan, kesa-
daran, kebaikan, keluhuran, aih .. . heh heh heh heh .. . -
Mpu Anusa Dwipa tiba-tiba menghentikan
pidatonya, ketika melihat Klinthung Waluh dan
muridnya sudah tidak tampak lagi. Agaknya Klin-
thung Waluh dan muridnya sudah lenyap lewat
pintu rahasia, sehingga gerakan mereka tidak tertangkap oleh telinga Mpu Anusa
Dwipa. Mpu Anusa Dwipa kemudian terkekeh-
kekeh sendiri, menertawakan diri sendiri, bicara tanpa ada yang mendengarkan.
Tetapi sekalipun demikian ia tidak marah
maupun masygul, Klinthung Waluh maupun mu-
ridnya tidak mau mendengar nasihat baiknya.
Sebab semua orang akan memetik buah tana-
mannya sendiri. Kalau memang Klinthung Waluh
memilih menanam pohon yang beracun dan akan
teracuni diri sendiri, siapakah yang dapat mencegah" Biarlah Klinthung Waluh
hidup dengan garis
dan takdir yang sudah ditentukan Dewata Yang
Agung. Mpu Anusa Dwipa meniup turun dari batu
besar itu. Lalu kening kakek ini berkerut, ketika teringat lagi kepada Dewi
Sritanjung yang tiba-tiba lenyap itu.
Sesungguhnya saja ia tadi sudah
mengkhawatirkan apabila gadis tersebut sudah
tertangkap oleh Klinthung Waluh lalu menjadi
tawanan. Akan tetapi karena Klinthung Waluh
mengatakan tidak tahu menahu, maka kakek ini
menduga, Dewi Sritanjung sudah pergi menggu-
nakan jalan lain.
Tak lama kemudian kakek ini sudah berla-
rian meninggalkan pinggang Kelud. Namun belum
jauh ia menuruni pinggang gunung ini, ia berhen-
ti. Ia menebarkan pandang matanya ke sekeliling, seperti sedang mencari sesuatu.
Tetapi di sekeli-lingnya tidak terdapat seorangpun.
Mpu Anusa Dwipa menghela napas pan-
jang. Desisnya, - Hemm, apakah sebabnya aku
sampai, terlupa kepada bocah itu" Lebih tiga bu-
lan lamanya aku tidak ketemu . . . hemm, ke ma-
nakah dia sekarang" Jangan-jangan .... -
Ia berhenti dan berdiam diri. Ada firasat
dalam sanubarinya, sesuatu yang tidak beres
dengan bocah yang ia maksud.
Lalu siapakah bocah itu" Hemm, siapa lagi
kalau bukan Mahisa Singkir yang amat ia sayang
itu" Memang aneh sekali, kepada Mahisa Singkir
ia makin lama menjadi semakin terpikat, sayang
dan suka sekali. Sebab bukan saja Mahisa Sing-
kir seorang pemuda cerdik dan berbakat, tetapi
juga jujur, sederhana dan setia. Kesetiaan Mahisa Singkir ini sudah pernah ia
coba. Pada suatu ha-ri, ia menguji kesetiaan Mahisa Singkir dengan
cara memerintahkan supaya memanjat pohon
yang tinggi kemudian ia memerintahkan agar me-
loncat turun. Pada mulanya ia menduga tentu Mahisa
Singkir akan menolak perintah ini dan mengemu-
kakan alasan, apabila dirinya melaksanakan pe-
rintah dirinya akan mati terbanting di tanah dan mati. Namun ternyata dugaannya
ini keliru. Tanpa membantah sepatahpun, Mahisa Singkir
sudah memanjat pohon yang tinggi itu sampai
puncak. Mpu Anusa Dwipa masih tidak percaya,
Mahisa Singkir akan benar-benar melompat turun
dari dahan itu. Sebab walaupun Mahisa Singkir
mempunyai kepandaian yang sepuluh kali lipat
dari keadaannya sekarang, tentu akan tewas se-
ketika jika terjun bebas dari tempat yang tinggi itu. Namun ternyata dugaannya
salah lagi, dan
tanpa ragu sedikitpun bocah itu sudah melompat
turun. Melihat melompatnya Mahisa Singkir dari
tempat yang tinggi, Mpu Anusa Dwipa sendiri
yang kemudian menjadi kelabakan. Ia ingin men-
cegah akan tetapi sudah terlanjur. Kakek ini
menggeleng-gelengkan kepala, tetapi juga kagum
menemukan bocah yang setia seperti ini.
Guna menolong Mahisa Singkir, tiada jalan
lain kecuali ia melompat ke bawah Mahisa Singkir yang sedang meluncur turun
dengan cepat. Kakek
ini kemudian menggerakkan tangan mendorong
ke atas bergantian. Angin yang halus tetapi kuat sekali menyambut ke arah Mahisa
Singkir. Dan oleh dorongan angin dari bawah itu, mendadak
membal kembali ke atas beberapa kali.
Justru oleh dorongan dari bawah ini, sete-
lah tubuh Mahisa Singkir kembali meluncur tu-
run kecepatannya menjadi berkurang. Dan sete-
lah kakek ini berkali-kali mendorong ke atas, ma-ka kemudian tubuh Mahisa
Singkir dapat diteri-
ma oleh Mpu Anusa Dwipa dengan selamat.
Tetapi mungkin saking merasa ngeri dan
juga oleh pengaruh dari luncuran yang cepat se-
kali, Mahisa Singkir menjadi pingsan. Sambil terkekeh Mpu Anusa Dwipa memondong
Mahisa Singkir ke tempat rindang, lalu ia baringkan di
atas rumput. Setelah ia pijit dan urut beberapa
lamanya; Mahisa Singkir bergerak lalu sadar.
- Apakah aku sudah mati" - Mahisa
Singkir mengucapkan kata-katanya seperti itu,
ketika ia membuka mata pertama kali setelah
pingsan. - Heh heh heh heh, siapakah yang mati"
Hemm, Anak, mengapakah sebabnya engkau mau
saja aku suruh terjun dari pohon yang tinggi
itu" - - Bagi saya tiada alasan membantah pe-
rintah Kakek. -
- Sekalipun sadar perintah itu bisa me-
nyebabkan kematianmu sendiri" -
-Ya.- - Kenapa" -
- Karena Kakek demikian baik kepada
saya, dan karena saya sudah banyak berutang
budi yang tidak mungkin dapat aku balas dengan
nyawa sekalipun. -
Tiba-tiba Mpu Anusa Dwipa terkekeh. -
Heh heh heh heh, engkau seperti yang lain, ikut-
ikutan menganggap "budi" bisa diperutangkan.
Budi bukanlah uang dan barang. Kalau uang dan
barang orang bisa menjualbelikan maupun mem-
perutangkan. Tetapi budi tidak bisa. -
- Kenapa Kek" Bukankah semua orang
mengakui hutang budi itu memang ada" -
- Bukan semua orang! Tetapi masih ada
beberapa orang dan juga aku sendiri yang ber-
pendapat, budi itu tidak bisa diperutangkan. -
- Ahhh . . . Kakek aneh! Kakek menyendi-
ri. Apakah baik apabila orang menyendiri dan ti-
dak mau mengakui pendapat yang sudah umum
itu" - - Terserah orang menganggap diriku aneh.
Tetapi aku tidak setuju kepada pendapat umum
itu, jika orang dapat mengadakan hutang-piutang
tentang budi. Anak, budi tidak dapat dihutang-
kan. Maka kalau ada orang yang merasa mengu-
tangkan budi kepada seseorang, itu jelas muna-
fik. Berarti apa yang ia berikan, apa yang ia serahkan kepada orang lain itu
tidak ikhlas. Karena orang itu mengharapkan sesuatu di balik pembe-
rian dan bantuannya." -
Ia berhenti dan mengambil napas. Sejenak
kemudian ia meneruskan, - Anak, kalau ada
orang bilang rela dan ikhlas memberikan sesuatu
tetapi masih ada harapan tersembunyi di balik
bantuan itu, apa lagi sebutannya kalau sesung-
guhnya orang itu hanya pura-pura saja" Jadi apa
yang ia lakukan hanya merupakan pura-pura saja
agar orang menyebut dirinya baik. Agar orang
menyebut dirinya seorang dermawan, budiman
dan sebutan, yang lain lagi. Tetapi pada kenya-
taannya, apa yang ia lakukan bukanlah dilandasi
oleh rasa kesadaran yang tulus. -
- Hemm, Anak, apa yang sudah aku beri-
kan kepadamu, tidak lain karena aku ingin mem-
beri. Aku tidak mengharapkan apa-apa dari kau
maupun orang lain yang aku beri. Maka terserah
penilaianmu sendiri, tetapi aku tidak merasa
mengutangkan budi itu. Sebab apa yang aku la-
kukan adalah sudah wajar, sesuai dengan kea-
daanku. Kalau aku tidak punya, bagaimanakah
mungkin aku dapat memberi" Heh heh heh heh,
karena kau butuh dan sebaliknya aku punya,
maka terjadilah pemberian itu. Dan itu pula se-
babnya aku tidak pernah mempunyai murid dan
menolak pula ketika engkau menyatakan ingin
menjadi muridku. Hubungan guru dan murid
akan menimbulkan ikatan, hingga aku tidak bisa
bebas lagi dan sebaliknya engkau pun tidak be-
bas. - Teringat kepada bocah bernama Mahisa
Singkir itu, dalam hatinya lalu timbul pertanyaan.
Ke manakah bocah itu" Dalam sanubarinya tera-


Dewi Sri Tanjung 9 Terkurung Di Perut Gunung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sa ada getaran yang memberi firasat adanya se-
suatu yang tidak beres. Tetapi apakah itu" Ia
sendiri tidak tahu. Maka kemudian kakek ini me-
ninggalkan Gunung Kelud, menuju ke timur.
Mpu Anusa Dwipa memang tidak tahu sa-
ma sekali, Mahisa Singkir sekarang ini menjadi
tawanan Mpu Galuh, bersama teman seperjala-
nannya bernama Sarwiyah.
Biarlah Mpu Anusa Dwipa sekarang ini
bingung memikirkan Mahisa Singkir yang amat ia
sayangi itu. Yang menjadi pertanyaan sekarang, ke
manakah Dewi Sritanjung yang tiba-tiba lenyap
itu" Apakah Dewi Sritanjung terjebak oleh pe-
rangkap Klinthung Waluh yang jahat itu" Dan
mengapa pula sebabnya sekalipun Mpu Anusa
Dwipa sudah berusaha dengan bertanya kepada
Klinthung Waluh, tetapi orang ini menyatakan ti-
dak tahu" Benarkah keterangan Klinthung Waluh
apabila ia tidak tahu ke mana Dewi Sritanjung
pergi" Yang sudah terjadi memang di luar dugaan
semua orang. Sebagai seorang gadis yang masih
hijau dan picik pengalaman, sekali pun ia sudah
mendapat pemberitahuan, lereng Kelud ini ba-
nyak jebakan dan jalan rahasia, ia masih juga kurang percaya. Ia tidak mau
berkaca kepada pen-
galaman yang baru saja ia alami, menjadi roboh
pingsan oleh Klinthung Waluh. Sebagai akibat ra-
sa kurang percaya akan petunjuk orang ini, maka
ia tidak mau mengikuti Mpu Kepakisan, dan ma-
lah mencari jalan yang lain.
Sebagai akibat kurang pengertian dan pen-
getahuannya, di samping juga kurang hati-hati,
maka belum sepuluh langkah ia meninggalkan
tempat, tiba-tiba saja kakinya merasa menginjak
tempat kosong. Gadis ini kaget dan berusaha melawan
luncuran tubuhnya, sambil memukulkan kaki
dan tangannya ke tepi lubang. Namun sungguh
celaka! tubuhnya terus meluncur turun pada lu-
bang yang gelap bukan main. Akibatnya sekali-
pun ia tabah dan penuh rasa percaya kepada diri
sendiri, dari mulutnya meluncur jerit nyaring.
Tetapi sekalipun demikian, Dewi Sritanjung
masih berusaha mengurangi kecepatan luncuran
tubuhnya dengan jalan mengatur keseimbangan
tubuhnya. Hanya sayang sekali, lubang ini ter-
nyata dalam sekali, sehingga luncurannya bu-
kannya berkurang, malah semakin menjadi cepat.
Saking kaget, takut dan ngeri, akhirnya gadis ini pening, namun masih tetap
sadar. Entah sudah berapa lama tubuhnya me-
luncur cepat sekali ke bawah. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya tertahan oleh angin
yang kuat sekali
dari bawah, hingga tubuhnya membal ke atas
kembali. Tetapi keadaan itu tidak lama, tubuhnya kembali meluncur turun. Lalu
terasa lagi angin
kuat menyambar dari bawah, dan tubuhnya
membal kembali. Meluncur lalu membal kembali
sampai beberapa kali ini menyebabkan dirinya
seperti dikocok dan kepalanya tambah pening.
Dan pada, akhirnya gadis ini tidak dapat berta-
han lagi lalu pingsan!
Hembusan angin yang kuat dari bawah ini
ternyata dari dorongan tangan seorang nenek
yang tua renta, kurus kering dan rambutnya
awut-awutan tidak disanggul. Nenek ini hampir
telanjang karena pakaiannya sudah cabik tidak
keruan. Nenek ini duduk ngelesot di tanah yang
lembab. Setelah berkali-kali memukulkan dua be-
lah tangannya ke atas bergantian, dan dari tela-
pak tangannya terbit angin yang kuat sekali, ma-
ka luncuran Dewi Sritanjung makin lama menjadi
semakin lambat. Lalu ketika tubuh gadis yang
pingsan ini meluncur turun, sudah diterima oleh
dua tangannya yang kurus kering.
Oleh pertolongan yang tidak terduga dari
makhluk yang berdiam di dalam lubang ini, sela-
matlah nyawa Dewi Sritanjung. Tetapi mungkin
sekali karena terlalu banyak mengeluarkan tena-
ga sekarang nenek ini dadanya menjadi tersengal-
sengal lalu terbatuk-batuk. Ia membiarkan gadis
ini yang terbaring di depannya dan dalam kea-
daan pingsan. Sambil tersengal-sengal dan terbatuk-
batuk ini, nenek tersebut memandang penuh per-
hatian. Desisnya, - Hemm, seorang bocah pe-
rempuan yang masih muda. Mengapakah sebab-
nya bisa terperosok masuk dalam lubang ini" -
Setelah hilang rasa sesak dalam dadanya,
nenek ini mulai memijit dan mengurut Dewi Sri-
tanjung untuk menyadarkannya. Berkat pijitan
ini tiba-tiba gadis itu sadar lalu bangkit.
- Ahhhh ... ! - gadis ini kaget sekali ketika
melihat di dekatnya terdapat seorang nenek tua
renta, rambut awut-awutan, kotor dan menjijik-
kan dan setengah telanjang.
- Hi hi hik, engkau kaget" Jangan takut!
Anak, aku bukan setan dan bukan hantu. Tetapi
aku adalah manusia seperti engkau juga. -
Nah, Saudara Pembaca, hanya sampai di
sini cerita berakhir. Lho, kok berakhir, lalu bagaimanakah nasib Dewi Sritanjung
yang sekarang terperosok dalam lubang jebakan dan terkurung
dalam perut Gunung" Pertanyaan ini akan terja-
wab dalam cerita berjudul "RAHASIA KIAGENG
TUNJUNG BIRU".
Memang ternyata Ki ageng Tunjung Biru,
yang menjadi kakek dan sekaligus gurunya itu
mempunyai rahasia yang belum pernah terung-
kap. Tampaknya Ki ageng Tunjung Biru demikian
rapat menyembunyikan rahasia itu, walaupun
kepada cucu dan sekaligus muridnya yang amat
terkasih. Lalu, rahasia tentang apa" Rahasia ma-
salah perempuan. Justru adanya masalah perem-
puan ini kemudian Ki ageng Tunjung Biru men-
gasingkan diri di dalam hutan hanya seorang diri.
Hingga hidupnya hanya seorang diri dan baru
mempunyai keluarga, setelah menemukan dan
merawat Dewi Sritanjung sampai dewasa.
Dan justru adanya rahasia ini pula, maka
Ki ageng Tunjung Biru menolak tawaran Gajah
Mada agar sedia membantu di Kotaraja Majapa-
hit. Dan ia lebih suka hidup bersunyi diri di dalam hutan yang jauh dari manusia
lain Kalau demikian halnya, apakah yang bakal
diceritakan dalam buku berjudul "RAHASIA
KIAGENG TUNJUNG BIRU", itu melulu masalah
yang menyangkut dia seorang"
O, jelas tidak! Cerita dalam buku tersebut
akan lebih memikat Anda, baik sebagai hiburan di kala senggang maupun dalam
usaha menguak se-jarah Majapahit. Dalam buku tersebut kita juga
bakal bertemu kembali dengan Mahisa Singkir,
dan juga Sarwiyah.
... - Cinta kasih itu bagiku tidak ditentukan oleh pangkat, kedudukan dan
martabat. Kakang, aku
mencintaimu dengan sepenuh hati, sejak aku me-
lihatmu yang pertama kali. Apakah engkau tidak
merasakan .... "
Setelah berkata Ika Dewi menundukkan
muka. Agaknya setelah mengucapkan kata-
katanya, gadis ini menjadi lega, namun juga me-
rasa malu. Mahisa Singkir menghela napas lagi. Ujar-
nya, - Hemm...mmm... sudilah engkau memaaf-
kan aku. Karena . . . karena ......
Tiba-tiba Ika Dewi mengangkat kepalanya, mena-
tap Mahisa Singkir dengan tajam. Lalu terdengar
ucapannya yang bernada sengit, - Karena eng-
kau sudah mencintai gadis lain, bukan . . . " -
Mahisa Singkir yang jujur itu mengangkat
kepala, memandang gadis ini sambil menghela
napas dan mengangguk.
- Gadis mana "-
Mahisa Singkir berdiam diri...
... - Jika kau mengantuk, silakan tidur.
Aku akan menjagamu, agar tidak ada lalat mau-
pun nyamuk yang mengganggu. -
- Hemm, sekalipun tidak engkau jaga,
nyamuk dan lalat tidak dapat masuk ke dalam
kamar ini. Sudahlah, sekarang engkau harus per-
gi. Bagaimanakah kita akan menangkis kalau ada
tuduhan kita sudah berbuat tidak senonoh di
kamar ini" -
- Siapa yang berani berbuat seperti itu" -
Rakit Cendana membelalakkan matanya.
- Jika orang itu masih kepengin hidup, takkan
mungkin berani menuduh aku dan dirimu seperti
itu. Maka Adikku, engkau jangan khawatir. -
- Tidak! - Sarwiyah membentak. - Po-
koknya sekarang juga kau harus meninggalkan
kamar ini. - Dengan perasaan kecewa sekali pemuda ini
pergi juga meninggalkan kamar. Namun diam-
diam pemuda ini sudah memutuskan, ia akan
menggunakan ramuan obat yang bisa menimbul-
kan rangsangan birahi.
- Huh huh . . . ! - desisnya. - Aku ingin
melihat. Apakah kau masih sanggup bertahan la-
gi, apabila dalam nasi sudah aku campur dengan
obat" Huh, kau akan segera menyerah dalam pe-
lukanku.. ... heh heh heh heh! -
= s e l e s a i =
Sala, Minggu kedua Mei 1987.
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Kemelut Di Majapahit 21 Kisah Si Rase Terbang Soat-san Hui-hauw Karya Chin Yung Makam Bunga Mawar 1
^