Pencarian

Tersiksa Seperti Di Neraka 2

Dewi Sri Tanjung 6 Tersiksa Seperti Di Neraka Bagian 2


aku berikan harus lain. Maka semua orang kita perintahkan agar menghukum dengan
sengatan api rokok.
Heh heh heh heh, hukuman yang amat
menyenangkan, bukan" Dan Adityawarman baru mampus setelah amat menderita oleh
siksaan itu."
Membayangkan kemungkinan yang
bisa dicapai kemudian hari, pemuda ini ketawa terkekeh nyaring.
Akan tetapi tiba-tiba timbul rasa khawatirnya, kalau gadis ini sampai
memberontak. Jika sampai terjadi demikian, semua harapannya akan sia-sia,
apabila gadis ini nanti sudah diberi penawar racun.
Ia memang bisa main paksa dan
menggunakan kekerasan. Namun dengan cara demikian apalah dirinya dapat
mengharapkan cinta kasih dan kesetiaan dari gadis ini"
Ia menunduk lagi dan memandang
wajah perawan ayu dalam pondongannya ini. Wajah ini sungguh-sungguh ayu dan
mempesona. Dan walaupun dalam keadaan pingsan, namun tidak bedanya dengan orang
sedang tidur. Mulut mungil dan bibir yang merah merekah itu
menyungging senyum seperti menantang.
Hatinya tidak kuat lalu ia mengecup agak lama.
Mengamati wajah ayu ini dan
memeluk tubuhnya yang hangat, darah dalam tubuhnya bergolak dan memberontak.
Rasanya tak kuat lagi harus menahan diri, dan ingin memperisteri perawan ayu ini
sekarang juga. Akan tetapi tiba-tiba terde-
ngarlah suara hatinya yang mencegah,
"Jangan! Engkau jangan melakukannya, jika ingin terkabul cita-citamu dapat
menguasai bumi nusantara ini, dan apabila engkau ingin menjadi Raja Majapahit.
Sebab dengan perbuatanmu, perawan ayu ini bukannya mencintai engkau, tetapi
malah semakin benci kepada engkau."
"Persetan dengan cita-cita.
Persetan dengan kedudukan sebagai Raja Majapahit," bantah keinginannya. "Aku tak
kuat lagi menahan hasrat. Gadis ini demikian cantik dan menggairahkan,
menyebabkan aku tergila-gila. Makin cepat aku memperisteri gadis ini, berarti
akan mengurangi rasa
gandrungku."
"Bodoh kau! Lupakah engkau bahwa di dunia yang luas ini tidak terhitung jumlah
wanita cantik jelita" Setelah engkau berhasil menjadi Raja
Majapahit, apa yang engkau kehendaki takkan seorang pun berani melawan dan
membantah. Dengan kekuasaanmu engkau dapat memerintahkan punggawa
untuk menangkap dan merampas perawan ayu maupun isteri orang, jika engkau memang
membutuhkan. Pendeknya engkau akan dapat mengumpulkan perempuan berapa saja yang
kau suka."
"Tetapi, aku tidak dapat menahan keinginan."
"Huh, engkau memang bandel. Yang
engkau pikirkan hanyalah mencari pemuas nafsu melulu, tanpa memikirkan cita-
cita. Pendeknya engkau harus tunduk kepadaku. Sekarang juga kita bawa pergi
gadis ini menemui ibu.
Dengan bantuan ibu, percayalah gadis ini pada akhirnya akan bisa kau
tundukkan. Apakah engkau tidak senang apabila kemudian gadis cantik ini menjadi
isterimu yang setia dan
penurut?" Akhirnya sang keinginan itu sadar dan tunduk. Mulut Rudra Sangkala terkekeh
nyaring, dan wajahnya berseri.
"Bagus, heh heh heh heh. Aku
harus membawa pulang perawan ayu ini secepatnya. Aku harus minta pertolongan
Ibu, agar gadis ini menjadi tunduk dan menjadi kekasihku."
Ia menunduk sambil memandang
wajah ayu itu, dan sejenak
melanjutkan, "Diajeng, walaupun engkau menolak toh akhirnya engkau akan tunduk
juga kepadaku. Guruku wanita sakti disamping cerdik. Jika lewat bujukan halus
engkau tidak juga
tunduk, guruku akan menggunakan ramuan racun untuk menundukkan engkau. Heh heh
heh heh, marilah kita sekarang pulang Manis, tetapi ehh, berikan dulu upah
memondong dengan bibirmu yang bagai madu itu."
Ia menunduk. Sekali lagi ia
mengecup bibir yang mungil dan merah
itu. Dan sejenak kemudian ia sudah berlompatan meninggalkan tempat yang sudah
bosah-basih itu.
Cepat sekali gerakan dan lari
pemuda ini. Hanya dalam waktu singkat ia sudah menghilang dalam rimbunan daun
hutan. Dada yang terpenuhi oleh rasa
gembira yang meluap ini, menyebabkan gerakannya makin lama semakin menjadi
cepat. Beban tubuh Dewi Sritanjung dalam pondongannya itu, seakan tidak
mempengaruhi gerakannya. Dan seakan gadis cantik berumur delapan belas tahun ini
hanyalah boneka yang amat ringan.
*** 3 Rudra Sangkala berlarian cepat
menuju ke selatan. Ia memilih jalan yang jauh dari pedesaan dan jalan umum. Dan
ia memilih menerobos hutan belantara dan perbukitan. Sebab
apabila bertemu dengan orang, tidak urung orang akan curiga dan salah-salah
perjalanannya terganggu. Maka walaupun sedikit jauh dan memutar, jalan yang ia
tempuh sekarang ini akan aman dan ia akan dapat mencapai Lodaya tanpa gangguan.
Akan tetapi ketika pemuda ini
sudah berada di tepi hutan yang tidak jauh lagi dengan Desa Pringsewu, pemuda
ini menjadi kaget disamping keheranan. Ia menghentikan larinya dan mendadak
sepasang matanya terbelalak.
Apa yang sudah terjadi"
Tiba-tiba saja gadis ayu dalam
pondongannya itu sudah lenyap seperti dapat menghilang. Walaupun ia tidak
merasakan perawan ayu itu jatuh dan lepas dari tangannya, namun ia
celingukan juga mencari ke sekitarnya.
Namun sungguh celaka, yang dicari tetap tidak ada.
"Adakah setan yang sudah berani
mengganggu diriku?" desisnya, bertanya kepada diri sendiri.
Namun pertanyaan itu kemudian ia sendiri yang menjawab, "Tidak mungkin!
Untuk apa setan merebut calon
isteriku?"
Pemuda ini kemudian menghela
napas panjang. Hatinya menjadi bingung dan serba salah. Apabila bukan setan,
lalu siapakah yang dapat merebut gadis ayu itu dari pondongannya, dan dalam
keadaan dirinya lari cepat" Telinganya sudah amat terlatih dan peka. Setiap
gerakan orang yang halus sekalipun ia akan dapat mendengar, padahal ia tadi
tidak mendengar suara apa-apa.
Di samping itu ia juga sudah
celingukan ke sekeliling, tetapi ia tidak melihat seorang pun.
Pemuda ini mengerutkan alis dan
kemudian berpikir, mengingat-ingat, apakah yang terjadi sebelum Dewi Sritanjung
lenyap dari pondongannya.
Sesudah menenangkan hati dan
mengingat-ingat, kemudian pemuda ini ingat kembali apa yang terjadi. Tadi, ia
merasakan sambaran angin yang amat halus. Dan berbareng dengan menyambar-nya
angin yang halus itu, lenyaplah Dewi Sritanjung dari pondongannya.
Jika demikian halnya tentu gadis ayu itu sudah direbut orang. Tetapi yang
menjadi pertanyaan, bagaimanakah orang itu bisa merebut dari tangannya" Dan
sekarang orang itu bersembunyi di mana"
Untung juga ia seorang pemuda
cerdik. Ia dapat menduga, seseorang yang sudah merebut gadis itu tentu
bersembunyi di pohon. Karena itu tiba-tiba ia menengadahkan kepalanya.
"Ahhhh....!" Tidak tercegah lagi dari mulut pemuda ini terdengar seruan kaget
Apakah yang ia lihat"
Ternyata perawan ayu yang
digandrungi dan tadi ia pondong itu, sekarang sudah tergantung di bawah dahan
pohon yang cukup tinggi. Kepala gadis itu di bawah dan kaki di atas.
Aneh sekali! Ia hampir tidak percaya kepada pandang matanya sendiri.
Mungkinkah bisa terjadi"
Kalau secara aneh gadis yang tadi ia pondong itu dalam waktu singkat sudah
tergantung seperti itu, jelas memang ada setan yang sudah mengganggu dirinya.
Jika dirinya berhadapan dengan manusia yang berani mengganggu, tentu ia akan
sanggup melawan dan berkelahi. Tetapi apabila setan yang bisa menghilang, diam-
diam tengkuknya merinding. Mungkinkah dirinya dapat melawan makhluk halus yang
tidak kasat mata (dapat dipandang)"
Betapapun rasa sayang memenuhi
dada, dan betapa kecewa kehilangan perawan ayu ini, ia terpaksa harus pergi
sambil gigit jari. Maka kemudian ia sudah melompat dan lari ketakutan.
"Heh heh heh heh... lucu!"
Rudra Sangkala kaget mendengar
suara tertawa terkekeh yang nadanya menghina dirinya itu. Kemudian ia
membalikkan tubuh, tetapi celakanya ia tidak melihat seorang pun. Padahal ia
tadi tidak salah dengar dan jelas ia mendengar suara orang ketawa terkekeh.
Apakah bukan manusia" Apakah
suara setan" Rudra Sangkala bukan pemuda penakut. Karena itu ia
menebarkan pandang matanya dan menyelidik. Pada saat ia sedang mencari-cari itu,
mendadak ia mendengar suara air gemericik dari atas pohon. Dan ketika ia melihat
ke arah turunnya air, ia mengerutkan alis. Dari manakah
air terjun yang kecil itu" Dan kalau terjadi hujan mengapakah di tempat itu
melulu yang jatuh hujan"
Tetapi sejenak kemudian pemuda
ini berjingkrak. Kemarahannya meledak.
Sekarang ia baru sadar bahwa air terjun itu berasal dari seorang kakek gendut
berjubah putih yang jongkok di atas dahan pohon, tidak jauh dari tempat gadis
itu tergantung secara terbalik itu.
Sekarang Rudra Sangkala bisa
menduga, kiranya kakek gendut berjubah putih itulah yang sudah mengganggu
dirinya. Kakek itu telah merebut calon korbannya. Dan tentu pula kakek gendut
itu kebetulan harus membuang air kecil karena tidak sempat turun dari pohon.
"Jahanam keparat! Setan alas
bangkotan. Hayo, cepatlah turun jika engkau memang tidak ingin aku sambit dari
bawah. Hayo cepat, lepaskan gadisku."
Sambil mencaci-maki dan mengancam ini, Rudra Sangkala sudah memper-siapkan pisau
kecil sebagai senjata rahasia, berjumlah enam buah. Ia sudah memutuskan apabila
kakek gendut berjubah putih itu tidak tunduk
perintahnya, ia akan segera menyerang dengan pisau yang sudah ia persiapkan.
Akan tetapi celakanya kakek
gundul berjubah putih itu tidak takut.
Kakek itu masih tetap nongkrong di
dahan sambil ketawa terkekeh-kekeh.
"Heh heh heh heh, siapakah yang
mau percaya, gadis ini milikmu"
Buktinya engkau sudah menggunakan racun untuk merobohkannya. Heh heh heh heh,
itulah sebabnya sekarang gadis ini aku gantung secara terbalik, kaki di atas dan
kepala di bawah. Dengan cara ini, aku harapkan racunmu akan dapat terusir dari
tubuhnya."
Betapa kaget pemuda ini sulit
terlukiskan. Jika kakek gendut itu secara tepat sudah dapat mengetahui
rahasianya, jelas sekali kakek gendut ini bukanlah tokoh sembarangan.
Namun demikian diam-diam ia
menjadi geli. Manakah mungkin racun yang menyebabkan Dewi Sritanjung pingsan itu
dapat dipunahkan hanya dengan digantung seperti itu" Gurunya seorang sakti dan
ahli racun. Racun wangi itu takkan dapat diusir tanpa obat pemunah dan yang
hanya dirinya sendiri yang memiliki, di samping juga gurunya.
Rudra Sangkala terkekeh mengejek,
"Heh heh heh heh, kakek tua bangka yang tidak tahu malu. Huh, kakek yang masih
suka daun muda!"
"Hai, apa katamu"!" bentak kakek itu sambil mendelik, tetapi masih tetap
nongkrong di dahan pohon.
"Engkau sudah kakek-kakek
termakan usia, namun engkau masih juga
berbuat curang, merebut gadis calon isteriku. Apakah ini tidak berarti engkau
seorang kakek yang masih suka makan daun muda?" ejek Rudra Sangkala yang merasa
geli. "Dan sangkamu, hanya dengan engkau gantung seperti itu, racun yang sudah
masuk dalam tubuhnya menjadi punah?"
"Uah ha ha hah, seorang maling
tanpa melalui pemeriksaan berbelit-belit, sekarang sudah mengaku sendiri.
Nah, bukankah dugaanku benar belaka, gadis ini pingsan oleh racunmu"
Nyatalah kau seorang pemuda curang, pemuda licik. Huh, sungguh memalukan karena
di samping engkau curang dan licik, engkau pun seorang muda yang sombong. Huh,
untuk mengajar sopan bagi kau, sekarang aku ingin bertanya, apakah yang aku
pegang ini bukan obat pemunah racunmu itu?"
Sambil tetap nongkrong di atas
dahan, kakek gendut ini lalu
memamerkan kantung kecil terbuat dari kain hijau.
Rudra Sangkala berjingkrak kaget.
Karena pemuda ini segera dapat
mengenal kantung kain hijau miliknya itu, dan merupakan tempat menyimpan obat
pemunah racun wangi. Tetapi apakah sebabnya secara ajaib kantung itu sudah di
tangan si kakek" Ahh, sekarang Rudra Sangkala baru sadar, bukan saja kakek itu
sudah merebut Dewi Sritanjung, tetapi juga secara pandai sekali sudah mencuri pula obat
pemunah racun. Dari kaget pemuda ini menjadi
amat marah. Tiba-tiba ia sudah
menggeram keras dan tangannya bergerak menyambut. Enam batang pisau kecil yang
tadi sudah ia persiapkan itu menyambar seperti tatit. Lima batang pisau langsung
menyerang kakek gendut sedang yang sebatang mengarah ke tali yang menggantung
Dewi Sritanjung.
Gerakan Rudra Sangkala ini di
samping cepat juga mengagumkan. Desir angin yang kuat mendahului datangnya pisau
dan sudah tentu sungguh
berbahaya bagi kedudukan si kakek gendut yang nongkrong di atas dahan pohon itu.
"Haitt.... uahh.... hayaaaa...!"
seru kakek gendut itu seperti gugup.
Rudra Sangkala tersenyum menge-
jek. Ia sudah memastikan, sambaran lima batang pisaunya akan menancap tepat pada
tubuh kakek gendut itu, sedang yang sebatang tentu akan dapat memutuskan tali
yang menggantung Dewi Sritanjung.
Dan tali itu memang putus oleh
sambaran pisau. Namun Rudra Sangkala menjadi kaget merasa kecewa dan hampir
tidak percaya kepada pandang matanya sendiri.
Kakek gendut itu yang semula ia
duga akan terpanggang oleh pisaunya, ternyata belum mati. Entah bagaimana cara
kakek ini menyelamatkan diri.
Yang jelas semua pisau sudah menancap pada dahan dan batang pohon. Sedang kakek
itu sendiri kemudian dengan gerakan yang mengagumkan, sudah melayang turun
sambil mengepit tubuh Dewi Sritanjung yang masih pingsan.
Namun demikian rasa kagetnya
hanya sebentar saja menghuni dalam dadanya. Tangannya kembali bergerak dan tujuh
sinar berkeredap telah menyambar ke arah si kakek yang sedang meluncur turun.
"Hayaaaa...!"
Kakek itu mengebutkan lengan
jubahnya dan tujuh batang pisau
terbang itu secara ajaib sudah tertangkap oleh lengan jubah. Dan ketika tangan
kakek itu bergerak, wutt....
tujuh batang pisau itu menyambar ke bawah.
Saking kaget dan tidak pernah


Dewi Sri Tanjung 6 Tersiksa Seperti Di Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menduga, Rudra Sangkala seperti
terpaku di tanah. Tetapi justru perbuatannya yang tidak sengaja ini malah
menyelamatkan dirinya dari maut Sebab pisau itu telah menancap di sekitar
kakinya, dan yang tampak tinggal hulunya saja.
Kakek gendut berjubah putih dan
gundul ini tidak lain tokoh yang kita kenal. Seorang tokoh sakti berhati
emas, yang selalu ringan tangan
menolong orang, tanpa mengharapkan pamrih untuk pribadi.
Kakek itu sekarang sudah berdiri di tanah dan Dewi Sritanjung dikepit pada
ketiak kiri. Ia menatap Rudra Sangkala dengan sepasang mata
bersinar-sinar, lalu menegur, "Hai bocah! Mengapa sebabnya engkau
demikian kejam" Aku toh sudah tua, tanpa engkau bunuh pun, tidak lama lagi aku
akan mati dengan sendirinya, sesuai dengan takdir Dewata. Tetapi apakah sebabnya
engkau seperti tidak sabar menunggu saat Dewata memanggil aku pula?"
"Tetapi engkau sendiri yang cari perkara. Jika Kakek tidak mengganggu aku, tentu
saja aku takkan mengganggu kau."
"Orang muda, hati-hati sedikit
kau bicara. Siapakah yang sudah
mengganggu?"
Rudra Sangkala mendelik saking
penasaran. Sudah jelas kakek ini mengganggu dirinya, mengapa masih juga bertanya
dan tidak mau mengaku" Karena itu bentaknya lantang, "Kakek tua bangka! Huh,
engkau jangan menggunakan kepandaianmu bersilat lidah. Sudah jelas engkau yang
mengganggu diriku, mengapa engkau masih juga menyangkal?"
"Heh heh heh heh," kakek itu
terkekeh geli. "Engkau sudah memutar-
balikkan kenyataan, bocah! Engkau sendiri yang lancang tangan, engkau malah
menuduh orang lain telah
mengganggumu. Kalau saja engkau tidak main curang merobohkan gadis ini dengan
racun, siapakah yang sudi mencampuri urusanmu?"
"Akan tetapi gadis itu tidak
mempunyai hubungan apa pun dengan kau!"
"Siapa bilang" Hayo, siapa yang
bilang tidak mempunyai hubungan" Bocah ini masih saudaraku."
"Apa" Saudaramu" Apakah engkau
tahu nama gadis ini?"
"Hemm, aku tak tahu namanya.
Tetapi jelas gadis ini saudaraku, maka menjadi kewajibanku untuk menyelamatkan
dari tanganmu yang jahat. Tetapi sebaliknya engkau pun masih mempunyai hubungan
saudara pula. Apakah engkau tidak tahu?"
"Kakek tua bangka yang tidak tahu malu, engkau jangan mengacau. Siapakah yang
sudi mempunyai saudara macam engkau?"
"Heh heh heh heh, jika engkau
tidak sudi tidaklah apa. Tetapi yang jelas semua manusia yang hidup di atas bumi
ini mempunyai hubungan saudara.
Sebab manusia pertama yang diciptakan oleh Dewata Agung itu hanya dua orang
saja. Yang seorang laki-laki bernama Adam dan yang seorang perempuan dengan
nama Hawa."
Dada Rudra Sangkala seperti mau
meledak saking marahnya. Kiranya dirinya sekarang ini berhadapan dengan seorang
kakek sinting. Kalau tidak sinting mana mungkin bicara seperti ini" Saking tak
kuat lagi menahan marahnya, pemuda ini sudah membentak lantang.
"Kakek tua bangka! Engkau jangan memancing kemarahanku. Hayo, cepat kembalikan
obat pemunah racun milikku dan juga gadis itu."
"Heh heh heh heh, orang muda,
ketahuilah bahwa diriku bukan orang serakah. Aku hanya memerlukan sebutir obat
pemunah racun ini. Nah, yang lain aku kembalikan. Nih!"
Benar juga! Kakek gendut ini
hanya mengambil sebutir obat saja.
Obat yang sebutir itu langsung ia masukkan ke mulut Dewi Sritanjung.
Sedangkan kantung hijau yang penuh obat pemunah racun itu segera
dilemparkan kepada Rudra Sangkala.
Dengan gagah Rudra Sangkala
segera menyambar kantung yang dilemparkan itu. Akan tetapi betapa kaget pemuda
ini ketika lemparan yang
nampaknya perlahan itu, mengandung tenaga dahsyat yang tidak nampak.
Kendati Rudra Sangkala itu sudah mengerahkan kekuatannya, tidak urung masih
terhuyung beberapa langkah ke
belakang. Setelah menyimpan kembali kantung obat pemunah racun itu, sambil mendelik Rudra
Sangkala sudah membentak,
"Kakek busuk! Apakah engkau sengaja menghina orang muda?"
"Hemm, bocah! Siapa yang
menghina" Aku tidak menghina siapa pun, baik yang tua, maupun yang muda.
Baik yang gemuk maupun yang kurus, dan baik yang belum ubanan maupun yang sudah
ubanan. Juga baik kepada orang waras maupun kepada orang gendeng."
Sring.... Tahu-tahu seleret sinar kuning
kemilauan sudah siap pada tangan kanan. "Kakek busuk! Jika kau tetap membandel,
aku Rudra Sangkala, murid tunggal Ibu Murti Sari, akan membunuh kau dengan
pedang ini."
Sebenarnya memang ada maksud
tertentu dari Rudra Sangkala, menyebut nama gurunya ini. Maksudnya agar kakek
ini menjadi kaget dan mau mengalah.
Akan tetapi celakanya, Mpu Anusa Dwipa tidak takut. Kakek ini malah tersenyum,
lalu jawabnya, "Tanpa engkau beritahu pun, sesungguhnya aku sudah tahu jika
engkau murid Murti Sari, perempuan yang galak itu. Huh, ketahuilah bocah, di
dunia ini hanya seorang saja yang menggunakan racun wangi sebagai senjata, ialah
gurumu. Sudahlah bocah, sebaiknya engkau
mengalah saja padaku. Relakanlah gadis ini untuk aku. Bocah, aku sudah tua tentu
saja sulit bagi diriku untuk memperoleh gadis yang lebih muda dan secantik ini.
Berbeda dengan engkau toh masih muda. Tanpa memaksa pun tentu banyak gadis yang
suka kepada engkau."
Rudra Sangkala mendelik mendengar jawaban
Mpu Anusa Dwipa ini dan
matanya seperti menyinarkan api.
Ternyata dugaannya benar belaka, kakek gendut ini memang 'bandot tua' yang masih
suka daun muda. Karena sudah tua dan tidak ada lagi gadis yang mau mendekati,
lalu menggunakan kesempatan merebut dari
tangan orang lain.
Sungguh tidak tahu malu, bandot tua seperti ini harus ia bunuh.
"Huh, bandot tua kurang ajar!
Engkau tidak bisa mencari gadis, tahumu hanya merebut milik orang.
Sekarang harus mampus dalam tanganku."
Sambil membentak ia sudah
menerjang maju, memilih jurus ilmu pedangnya yang paling hebat dan berbahaya. Ia
sadar sekarang ini berhadapan dengan kakek sakti mandraguna.
Dugaannya ini ia mendasarkan teba-kannya yang tepat tentang gurunya Murti Sari.
Sadar menghadapi kakek sakti ia
tidak berani sembrono. Karena itu dalam serangannya ini ia tidak
tanggung-tanggung lagi. Di samping menggunakan pedang pusaka, tangan kirinya
sudah membantu dengan menyebarkan racun wangi untuk mengalahkan lawan.
Siut wut.... tik tik....
"Hayaaaaa...!"
Gerakan Rudra Sangkala memang
cepat sekali. Tetapi gerakan Mpu Anusa Dwipa lebih cepat lagi dalam menghin-
darkan diri. Hingga semua serangan Rudra Sangkala luput.
Tiba-tiba kakek gendut ini
menggerakkan cuping hidungnya dan membentak, "Kurang ajar! Kau menggunakan racun
wangi untuk mengalahkan aku"
Huh, kalau saja bukan murid Murti Sari, engkau tentu sudah aku pukul mampus!"
Sambil bicara Mpu Anusa Dwipa
sudah menggerakkan lengan jubah yang panjang itu. Lengan jubah yang terbuat dari
kain itu sekarang berubah seperti hidup. Seakan sudah berubah menjadi seekor
ular yang sedang marah. Dan sambaran lengan jubah ini menerbitkan angin kuat
sekali. Mendadak saja Rudra Sangkala
kaget sekali. Ia sudah menggunakan kecepatannya bergerak dan mengerahkan seluruh
tenaganya. Tetapi sungguh celaka sekali, di luar kemauannya lengan yang memegang
pedang itu seperti tidak berdaya, dan secara
mendadak pula tubuhnya sudah ikut berputar mengikuti gerak arah putaran angin
yang menyambar dari lengan jubah.
Makin ia mengerahkan tenaga untuk melawan, putaran itu justru semakin bertambah
kuat. Kemudian tubuhnya berputar seperti gasing, dan sama sekali tidak dapat
melawan lagi. Sebagai akibatnya kepala menjadi pusing, dada sesak dan pandang mata kabur. Ia
sadar putaran angin ini amat berbahaya, tetapi usahanya melawan sia-sia belaka.
Apabila keadaan ini berlangsung terus, jiwanya tentu terancam. Namun untuk
berteriak minta ampun, ia pun tidak sudi karena malu.
Makin lama Rudra Sangkala semakin payah. Ia sudah tidak bisa melawan lagi, dan
tinggal mengikuti angin putaran yang semakin lama bertambah dahsyat.
Tiba-tiba saja ia merasakan
dirinya seperti terbang. Kakinya tidak menginjak bumi lagi dan beberapa batang
pohon berseliweran di bawah kakinya. Sebagai seorang pemuda yang sudah cukup
pengalaman ia sadar
dirinya sekarang sudah terlempar oleh kekuatan maha dahsyat. Maka yang bisa
dilakukan sekarang tidak lain hanya menjaga keseimbangan tubuh agar tidak jatuh
ke tanah tidak terbanting.
Blung.... "Aduhhh...!" pekik Rudra Sangkala yang nyaring, kemudian ia menangis kesakitan.
Ternyata walaupun ia sudah
berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya, agar tidak sampai terbanting, harapannya
sia-sia belaka. Ia
terbanting keras sekali di tanah dengan pantat lebih dahulu.
Maka kita tidak aneh apabila
pemuda ini mengaduh-aduh kesakitan, meringis, dan tidak cepat dapat
berdiri, dan ia terpaksa mengusap-usap pantat dan tengah selakangnya.
Rasa nyeri, kiut-miut,
cekot- cekot, panas dan senut-senut campur aduk menjadi satu. Karena pada saat dirinya
terbanting tadi, tengah
selakangnya terbentur oleh tonggak kayu yang menonjol. Maka tidak
terbayangkan betapa sakit dan derita pemuda ini, kecuali bagi orang yang sudah
pernah mengalami sendiri, tengah selakangnya terjepit.
Dan kepala pemuda ini pun terasa lebih pening dan pandang matanya semakin kabur,
sedang jari tangan masih tetap sibuk mengelus-elus tengah selakangnya. Ketika
rasa pening sudah banyak berkurang dan rasa cekot-cekot tengah selakang hampir
tak terasa lagi, ia memandang ke depan. Tetapi kakek gundul berjubah putih itu
sudah tidak tampak lagi.
"Huh, bangsat tua cabul! Pada
saatnya nanti aku tentu akan dapat membalas kekurang-ajaranmu!" desisnya sambil
bangkit berdiri.
Setelah memungut pedangnya yang
tadi terlempar dan disarungkan
kembali, ia meninggalkan tempat itu dengan hati masygul dan kecewa.
Mpu Anusa Dwipa sekarang sudah
duduk di rerumputan, dan Dewi
Sritanjung didudukkan di depannya, disandarkan pada batang pohon. Kakek gendut
ini matanya berkedip-kedip mengamati wajah ayu Dewi Sritanjung, sedang mulutnya
beberapa kali menyeringai. Ternyata ia tidak terlalu lama
menunggu gadis ini, karena sudah mulai bergerak dan kemudian membuka matanya.
Gadis ayu ini kaget lalu melompat berdiri, ketika mendapatkan dirinya bersandar
pada batang pohon, sedang di depannya duduk seorang kakek gendut pendek yang
mulutnya menyeringai dan belum pernah ia kenal.
Pada mulanya gadis ini menduga,
kakek gendut ini bukan manusia. Karena dalam keadaan duduk ini kakek itu pendek
sekali dan hampir bundar bagai bola.
"Kakek tua, engkau apakan aku
ini?" tegurnya penuh curiga, berhadapan dengan kakek belum ia kenal.
"Heh heh heh heh, apakah sebabnya
engkau malah bertanya kepadaku"
Mestinya engkau tanyakan kepada dirimu sendiri, engkau sudah aku apakan?"
Jawaban Mpu Anusa Dwipa ini
barang tentu menyebabkan Dewi Sritanjung kaget sekali. Gilakah kakek ini" Kalau
dirinya tahu sebabnya, tentu saja tidak bertanya. Tetapi mengapa kakek ini malah
menganjurkan bertanya kepada diri sendiri"
Hampir saja Dewi Sritanjung
marah. Namun mendadak ia teringat kepada apa yang tadi sudah dialami. Ia ingat
berkelahi melawan seorang
pemuda. Namun kemudian pandang matanya menjadi kabur dan selanjutnya ia tidak
ingat apa-apa. Tahu-tahu sekarang dirinya sudah berada di depan kakek ini.
"Kek, terangkanlah. Di manakah
pemuda kurang ajar yang tadi berkelahi dengan aku?"
Mpu Anusa Dwipa tidak cepat
menjawab dan masih tetap saja duduk tidak bergerak. Hanya sepasang matanya saja
yang membuktikan bahwa masih hidup, berkedip-kedip seperti bintang di langit.
Karena mengira kakek ini belum
mendengar, ia mengulangi lagi, "Kek, terangkanlah. Di manakah pemuda kurang ajar
tadi yang telah berkelahi dengan aku" Dan mengapa pula sebabnya aku sampai di
tempat ini?"
Tiba-tiba Mpu Anusa Dwipa
terkekeh sebelum menjawab. Kemudian,
"Hemm, engkau tadi roboh di tangan pemuda itu, bukan" Kemudian engkau ditawan
dan akan dibawa pergi. Tetapi ketika pemuda itu lewat di sini, dia aku hadang.
Kemudian engkau kurebut dari tangan dia."
"Ohh....!" Tiba-tiba saja Dewi
Sritanjung menjatuhkan diri dan
berlutut, memberi hormat kepada kakek gendut yang masih duduk itu. Sebab
sadarlah ia sekarang, kakek gendut ini adalah penolongnya, hingga dirinya dapat
selamat dari bahaya.
Setelah berlutut, gadis ini
kemudian berkata, "Kakek, terima kasih atas pertolonganmu."
"Heh heh heh heh, siapakah yang
menolong engkau" Aku merebut dari tangan bocah tadi, karena aku sendiri memang
butuh engkau."
Betapa kaget Dewi Sritanjung
hingga ia sudah melompat berdiri dengan tangan kanan sudah siap pada hulu pedang
pusaka Tunggul Wulung.
Sepasang mata gadis ini mendelik dan kemudian membentak.
"Kau.... kau tua bangka masih
ingin perempuan muda" Huh, bandot tua!
Apakah engkau tidak malu kepada
tubuhmu sendiri yang sudah hampir mampus?"
"Heh heh heh heh, apakah
bedanya?" Mpu Anusa Dwipa terkekeh tetapi masih tetap duduk. "Aku juga laki-laki
seperti pemuda tadi, dan laki-laki seratus prosen. Sedang tua dan muda itu
bukankah hanya oleh perbedaan umur saja?"
Kakek ini berhenti dan memandang Dewi Sritanjung mencari kesan. Setelah
berkedip-kedip, ia meneruskan, "Hai bocah, dengarlah. Bukankah tentang
manusianya toh sama saja" Di dunia ini laki-laki selalu butuh perempuan, dan
sebaliknya perempuan butuh laki-laki.
Hayo, katakanlah, apakah engkau tidak membutuhkan laki-laki dan selama hidup
engkau akan hidup sendirian sebagai perawan?"
"Jahanam. Setan alas! Kakek tua
bangka yang cabul!" bentak Dewi


Dewi Sri Tanjung 6 Tersiksa Seperti Di Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sritanjung yang cepat tersinggung dan marah mendengar ucapan Mpu Anusa Dwipa.
Tetapi sekalipun demikian, dalam hati ia juga menyesal, mengapa dirinya ini sial
bertumpuk-tumpuk" Dan mengapa pula dirinya harus berhadapan dengan laki-laki
berwatak buaya" Yang muda apa lagi sedangkan yang tua pun masih tidak malu
berburu perempuan.
Dan Mpu Anusa Dwipa masih tetap
saja duduk, menjawab, "Heh heh heh heh, engkau boleh memaki apa saja kepada
diriku, Cah Ayu! Pendeknya aku ini seorang laki-laki dan engkau gadis
yang ayu. Hayo, mau apa lagi kalau sudah begitu?"
"Setan alas! Babi, celeng,
anjing, kunyuk, bedebah busuk! Kau bandot tua yang ingin mampus...!"
Dada Dewi Sritanjung berombak
saking marahnya. Tetapi celakanya kakek gendut ini, mendapat caci maki masih
saja duduk santai. Malah mata kakek ini berkedip-kedip sedang
mulutnya menyeringai.
"Cah Ayu, teruskanlah caci-makimu itu. Hayo, apa lagi" Sebutlah semua binatang
yang kotor dan boleh pula engkau menyebut diriku dengan jahanam busuk. Heh heh
heh heh." "Jahanam busuk!" Tanpa sesadarnya Dewi Sritanjung menirukan.
Dan kakek itu, perutnya yang
gendut bergerak-gerak, terkekeh geli.
"Teruskanlah. Hayo, teruskanlah, heh heh heh heh."
"Keparat! Kakek tua bandot dan
jahanam busuk. Cacing busuk, babi kudisan, bandot bangkotan! Sepasang matamu
seperti kucing melihat ikan asin. Mulutmu menyeringai seperti kera makan trasi.
Huh, setan alas! Hayo berdirilah dan hayo berkelahi melawan aku jika engkau
memang berani."
"Ha ha ha ha." Mpu Anusa Dwipa
ketawa bekakakan. "Apakah sekarang kau sudah puas mencaci-maki aku" Dan sekarang
kau akan membunuh aku dengan
pedangmu?"
"Manusia macam kau, bandot tua,
babi gila, celeng sinting, kenapa tidak dibunuh mampus saja, agar dunia ini
tidak kotor" Hayo bersiaplah. Aku tidak mau menyerang orang yang tidak mau
melawan." Sring...! Pedang yang menyinarkan cahaya
biru segera tercabut dari sarung, dan gadis ini sudah siap menghadapi segala
kemungkinan. Walaupun belum banyak pengalaman, Dewi Sritanjung sudah dapat
menduga, kakek ini bukan orang sembarangan.
Tetapi celakanya Mpu Anusa Dwipa masih tetap duduk dengan santai, dan jawabannya
malah seenaknya, "Jika mau membunuh aku, kenapa pedangmu tidak lekas kau
sabatkan ke leherku" Berdiri juga bakal mati, duduk pun akan mati.
Tentu saja aku lebih suka duduk saja seperti sekarang ini."
Perut gadis ini menjadi panas dan dadanya seperti mau meledak merasa direndahkan
orang. "Rasakan pedangku. Kepalamu akan segera berpisah dengan lehermu!"
bentaknya nyaring.
Siuutt.... wuuuttt....
"Aih....!"
Dengan kecepatan luar biasa,
seleret sinar itu berkelebat dan bergulung-gulung ke sekitar kakek
gendut itu. Tetapi tiba-tiba gadis ini terbelalak kaget, sebab setelah ia
menghentikan serangan, kakek itu sudah lenyap.
Dewi Sritanjung celingukan. Ia
tidak percaya begitu saja orang dapat lenyap secara tiba-tiba maupun
menghilang. Dalam hati gadis ini menduga, tentu kakek gendut cabul itu sekarang
bersembunyi. "Hai tua bangka cabul!" teriaknya lantang. "Apakah sebabnya engkau bersembunyi"
Hayo, jika engkau memang laki-laki sejati dan gagah perwira, keluarlah dari
tempat persembunyianmu.
Inilah Dewi Sritanjung, murid tunggal Kiageng Tunjung Biru."
Tiba-tiba ia mendengar suara
ketawa terkekeh dari atas, "Heh heh heh heh, kenapa tidak engkau sebut sekalian
embah gurumu dan juga moyang gurumu" Ha ha ha ha, sangkamu apabila sudah
memperkenalkan diri sebagai murid Kiageng Tunjung Biru, aku
menjadi ketakutan seperti melihat gendruwo?"
Dewi Sritanjung menengadah. Ia
melihat kakek gendut itu sekarang sudah nongkrong dan berjongkok di atas dahan
pohon yang cukup tinggi.
Melihat itu diam-diam gadis ini
kagum. Dalam keadaan duduk kemudian dapat melesat setinggi itu membuktikan kakek
ini benar-benar seorang kakek
sakti mandraguna. Tetapi sekarang ini ia dalam keadaan marah, maka gadis ini
tidak peduli. Ia mengerahkan
kepandaiannya meloncat tinggi sambil menyerang dengan pedangnya.
Siutt.... wutt.... sing....
Sebagai murid Kiageng Tunjung
Biru, begitu menjejak tanah, tubuhnya sudah meluncur ringan sekali ke atas.
Pedangnya menyambar dahsyat tetapi kemudian gadis ini memekik kaget, ketika
tiba-tiba kakek gendut itu terjatuh ke bawah dengan kepala di bawah dan kaki di
atas. Karena itu ia menduga, kakek itu tentu lepas dari pegangannya kemudian
terpeleset dan akan mati dengan kepala hancur.
Dewi Sritanjung sudah meluncur
turun kembali ke tanah. Tetapi
kemudian gadis ini terbelalak kaget.
Ia bagai mimpi, menghadapi peristiwa yang cukup aneh ini. Pada
saat tubuhnya sendiri meluncur ke bawah ini, ternyata tubuh kakek gendut itu, yang
sudah jatuh ke bawah dengan kepala lebih dahulu, tahu-tahu sudah membal lalu
duduk di tempat semula.
"Heh heh heh heh, apakah sebabnya engkau tidak jadi membunuh aku yang sudah tua
ini?" ejek Mpu Anusa Dwipa.
"Apakah engkau menginginkan si kakek bangkotan yang cabul ini masih hidup terus
di dunia?"
Sulit terbayangkan betapa marah
gadis ini, diejek seperti itu. Jelas ia tadi sudah menyerang dengan maksud
membunuh. Namun ternyata usahanya gagal, dan bagaimanakah cara kakek itu
menyelamatkan diri, ia tidak tahu.
Saking gemasnya gadis ini sudah
membantingkan kakinya.
Kemudian ia melengking nyaring
lalu kembali menyerang kakek itu yang sekarang duduk di dahan pohon. Dan ia
sudah siap sedia apabila kakek itu meluncur ke bawah, akan ia hajar dengan
pedang pusakanya.
Akan tetapi gadis ini lagi-lagi
terbelalak kaget berbareng keheranan.
Sebab tiba-tiba saja kakek gendut itu secara mendadak sudah lenyap. Dan ketika
ia meluncur kembali turun ke bumi, ia menengadah. Tetapi ternyata ia tidak
melihat kakek gendut itu tadi dan entah sudah pergi ke mana.
"Heran! Ke manakah dia?" desisnya perlahan.
Tetapi pada saat gadis ini sedang kebingungan dan mencari-cari, tiba-tiba dari
tempat yang agak jauh, ia mendengar suara halus masuk dalam rongga telinganya.
"Cah Ayu, anak baik, cepatlah
engkau pergi dari tempat ini. Sebab apabila pemuda yang menawan engkau tadi
datang kembali bersama gurunya, aku tidak berani menanggung lagi keselamatanmu."
Mendengar suara halus ini, dan ia kenal suara si kakek gendut tadi, ia menjadi
heran dan mengerutkan alis.
Namun mendadak saja gadis ini
menjatuhkan diri berlutut ke arah suara.
"Aduh.... kakek yang baik...,"
teriaknya. "Maafkanlah aku yang
seperti buta ini. Terima kasih atas segala pertolongan Kakek. Akan tetapi,
apakah sebabnya Kakek tidak sudi memperkenalkan diri?"
Dan dari tempat yang jauh ia
mendengar suara jawaban yang halus,
"Anak baik, sudah seharusnya manusia di dunia ini saling tolong. Tetapi anak
baik, sebutan menolong ini ada dua macam. Menolong secara ikhlas tanpa pamrih
dan menolong tidak secara ikhlas dan berarti mempunyai pamrih.
Ketahuilah Anak baik, jika ada orang menolong tetapi mengandung pamrih untuk
mencari keuntungan diri, itu jelas bukan pertolongan namanya. Sebab apabila
sebagai dasar memberi
pertolongan itu mengandung pamrih, jelas sekali apabila pamrih yang dimaksud
tidak diperoleh, orang itu takkan mau mengulurkan tangan dan memberi
pertolongan. Sebaliknya yang kedua, menolong
itu harus ikhlas, tanpa pamrih untuk kepentingan diri. Ia mengulurkan tangannya
tiada lain hanya bermaksud
menolong. Ia tidak mengharapkan
sesuatu Nah, inilah yang baru bisa disebut pertolongan itu.
Sekarang tentang namaku, mengapa sebabnya engkau repot" Bukankah
sebenarnya nama itu hanyalah sebutan guna pengenal diri" Manusia hidup di dunia
ini yang penting bukanlah nama dan kedudukan, tetapi adalah perbuatan. Sebab
walaupun manusia itu bernama mentereng, kedudukannya tinggi, berpangkat, kaya
raya, apabila perbuatannya tidak patut, ia adalah manusia yang memalukan. Karena
itu bagiku, Anak baik, engkau boleh
menyebut dengan nama apa saja apabila ketemu kembali. Kau boleh menyebut kakek
gendut, boleh juga kakek cabul, babi, cacing busuk dan apa lagi, heh heh heh
heh." "Ahhhh...!" Dewi Sritanjung
memekik lirih dan ia menjadi amat menyesal.
Ia menyesal mengapa tadi tanpa
meneliti lebih dahulu, ia sudah curiga dan menduga yang bukan-bukan. Padahal ia
tadi sudah mencaci-maki habis-habisan, dan akibatnya tidak bisa lain kecuali
minta maaf penuh penyesalan.
Berhadapan dengan kenyataan yang aneh ini, Dewi Sritanjung baru menjadi ingat
kepada petunjuk gurunya yang mengatakan, di dunia ini banyak tokoh sakti yang
aneh. Dan kiranya kakek
gendut itu tadi termasuk di dalamnya, termasuk tokoh aneh itu. Dia sudah memberi
pertolongan namun tidak
membanggakan pertolongannya, hingga dirinya salah duga, dan celakanya walaupun
ia mencaci maki kalang kabut tidak ditanggapi.
Namun demikian ia tidak berani
terlalu lama di tempat ini. Peringatan kakek itu patut ia patuhi, sebab kalau
pemuda itu benar kembali lagi dengan gurunya, tidak mungkin dirinya sanggup
melawan. Oleh karena itu ia cepat menyarungkan pedangnya lalu secepatnya
meninggalkan tempat itu.
Tetapi sekalipun demikian benak
gadis ini masih terliputi pertanyaan yang menyesak dada. Siapakah kakek gendut
berjubah putih dan gundul seperti pendeta itu" Ia tidak
menyadari sama sekali telah bertemu dengan tokoh sakti berhati emas, Mpu Anusa
Dwipa. Seorang kakek yang selalu mendekatkan diri kepada kebajikan, suka menolong
orang yang sedang dalam kesulitan tanpa mengharapkan pamrih untuk pribadi.
*** 4 Dua orang gadis berumur duapuluh dua dan duapuluh satu tahun, duduk di atas batu
di tepi Bengawan Solo yang mengalir dengan tenang. Di tempat mereka duduk
sekarang ini merupakan tebing curam, terlindung oleh rim-bunnya pepohonan.
Wajah dua gadis itu tampak muram, pakaian mereka kusut, dan merupakan suatu
keanehan dari sikap gadis. Sebab biasanya gadis akan selalu memperhatikan
kerapian pakaian maupun
perawatan diri agar selalu tampak cantik.
Mereka cukup lama duduk ter-
menung, dan mata mereka mengamati air sungai yang mengalir dan jernih itu.
Sedang keindahan alam dan sinar
matahari pagi yang hangat itu seakan tidak ada artinya bagi mereka.
Dua gadis ini sebenarnya kakak
beradik. Yang tua bernama Sarindah dan yang muda bernama Sarwiyah, sedang wajah
mereka tergolong gadis cantik.
Kecantikan yang khas bagi para gadis desa dan kecantikannya itu merupakan
kecantikan asli pemberian alam.
Tetapi sekalipun demikian sinar
matanya mencerminkan watak antara dua gadis ini. Yang tua sinar matanya
mencerminkan watak keras, galak dan cerewet. Sebaliknya yang muda sinar
matanya mencerminkan kelembutan, keibuan dan kehalusan seorang wanita.
Tiba-tiba terdengar Sarindah
menghela napas panjang. Sarwiyah mengangkat muka dan menatap kakaknya.
Namun hanya sebentar, kemudian ia menundukkan kepalanya kembali tanpa membuka
mulut. Lalu ia pun menghela napas panjang tetapi tidak terdengar jelas.
"Wiyah, apakah kita harus hidup
bergelandangan seperti ini terus?"
tanya Sarindah mengandung penyesalan dalam.
"Tentu saja aku pun tidak
menginginkan, Mbakyu," sahut Sarwiyah sambil menatap wajah kakaknya dengan sinar
mata sayu. "Tetapi apa yang harus dikata, apabila keadaan memang menghendaki?"
"Tetapi kita tidak boleh hanya
menggantungkan diri kepada nasib melulu, Wiyah."
"Lalu, bagaimanakah maksudmu?"
"Bagaimanapun kita berdua harus
berusaha sekuat tenaga."
Sarindah menghela napas panjang
lagi. Lalu terdengar gerutunya yang bernada gemas. "Huh, semua ini tidak lain
adalah gara-gara jahanam busuk Gajah Mada! Huh, kelak kemudian hari akan datang
saatnya pembalasanku!"
Sarwiyah keheranan. Kemudian ia
memandang kakaknya sambil bertanya,
"Mbakyu, apakah maksudmu, dan mengapa pula engkau menyalahkan Gajah Mada?"
"Mengapa tidak" Dialah biang
keladi hidup kita yang tidak beruntung ini!" desis perempuan ini dengan nada
gemas. "Lupakah engkau, ayah kita dibunuh mati oleh jahanam itu" Dan yang masih
segar dalam ingatan kita, bukankah kakek pun tewas dalam tangan jahanam itu?"
Untuk sejenak Sarwiyah memandang kakaknya dengan pandang mata heran.
Kemudian gadis ini berkata, "Tetapi Mbakyu, Kakek tewas secara wajar. Dia
dikalahkan dalam perkelahian melawan Mahapatih Gajah Mada. Mengapa harus kita
sesalkan" Dan tentang ayah kita, Mbakyu, apakah engkau lupa kepada penjelasan
Mahapatih Gajah Mada sesaat sebelum berkelahi dengan Kakek" Waktu itu Gajah Mada
sedang menyelamatkan Raja Jayanegara, dalam kedudukannya sebagai Bekel
Bhayangkara Majapahit."
Gadis ini berhenti mengambil
napas. Lalu, "Ayah merupakan salah seorang anggota pasukan Bhayangkara
penyelamat Raja itu. Tetapi ternyata Ayah kemudian minta diri dengan alasan
menjenguk keluarga. Ketika itu Gajah Mada curiga, maka Ayah kita dibunuh, demi
keselamatan Raja. Tindakan itu tidak bisa kita salahkan dan kita sesalkan
Mbakyu, sebab Gajah Mada sedang membela Raja. Apalagi kemudian
terbukti, ayah kita termasuk salah seorang sekutu Bendara Kuti yang memberontak,
maka...." "Wiyah!" bentak Sarindah lantang memotong ucapan adiknya yang belum selesai itu,
dan sepasang mata gadis ini menyala, pertanda marah. "Engkau adalah anak ayah
dan cucu kakek macam apa ini" Sebagai seorang anak ayah dan seorang cucu Kakek
si Tangan Iblis yang dibunuh orang, mengapa sebabnya engkau tidak membela ayah
dan kakekmu, malah engkau menyalahkannya" Apakah engkau akan memusuhi keluargamu
sendiri dan membela musuh?"
Bentakan kakaknya ini menyebabkan Sarwiyah terdiam, sekalipun sebenarnya apa
yang ia ucapkan tadi beralasan, sebagai ungkapan kejujuran hati yang mengakui
bahwa ayah dan kakeknya memang pada pihak bersalah, dan
mengapa harus membela"
Akan tetapi dasar seorang gadis
yang berperasaan halus dan selalu tunduk pada kakaknya, maka selama hidup ia
tidak pernah sanggup
berbantahan dan bertengkar dengan mbakyunya ini. Dan selamanya ia selalu


Dewi Sri Tanjung 6 Tersiksa Seperti Di Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersikap mengalah, sekalipun sebenarnya pada pihak yang benar.
Sarindah masih menatap tajam
adiknya. Lalu, "Wiyah! Jika aku tidak mengingat engkau adalah adikku, tentu
sudah aku hancurkan kepalamu, tahu"!
Ucapanmu itu merupakan pengkhianatan terhadap keluarga yang tidak tanggung-
tanggung. Wiyah, engkau harus ber-pendirian tegas. Apapun alasannya, kematian
Ayah dan Kakek harus kita balas dan tanpa bisa ditawar-tawar lagi. Mengerti"!"
Sarwiyah terpaksa mengangguk
juga, jawabnya, "Mengerti, Mbakyu."
Sekalipun demikian anggukan dan
jawaban ini bertentangan dengan isi hatinya, ia terpaksa melakukannya juga.
"Nah, jika engkau sudah mengerti, engkau adalah adikku yang baik. Engkau anak
Ayah dan engkau cucu Kakek yang dapat membalas budi kebaikan orang tua. Hemm,
betapa menyesal Ayah maupun Kakek di alam sana dan akan mengutuk dirimu, apabila
kau berkhianat."
Sarindah berhenti sejenak mencari kesan. Kemudian ia melanjutkan,
"Engkau harus mengerti, Wiyah. Gara-gara Gajah Mada yang jahat itu, kita
mengalami hidup seperti sekarang ini.
Kita terpaksa harus hidup bergelandangan karena takut pulang ke Tosari.
Takut kalau-kalau Gajah Mada memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap kita.
Apakah engkau tidak menginginkan bisa hidup tenteram seperti dulu?"
(Tentang terbunuh matinya si
Tangan Iblis atau kakek dari dua gadis ini, silakan baca buku Seri Dewi
Sritanjung, berjudul "Mencari Ayah Kandung", oleh pengarang yang sama.)
"Tentu saja, Mbakyu. Sebab hidup seperti sekarang ini hati amat
tersiksa."
"Itulah soalnya. Sekarang kita
harus berusaha. Kita sekarang harus mau memeras pikiran dan tenaga.
Bukankah engkau masih ingat juga, usaha mencari adik bungsu Sentiko, sampai
sekarang belum juga berhasil?"
Sarwiyah tambah muram teringat
kepada adiknya, Sentiko. Padahal Sentiko adalah adik laki-laki satu-satunya.
Adik bungsu! Namun bocah itu pergi diam-diam, kemudian hilang dan sampai
sekarang belum terdengar
tentang kabar beritanya. Rasa dada gadis ini terhimpit teringat Sentiko.
Dan Sarwiyah sekarang menjadi ingat, tugas yang ia hadapi cukup berat.
Bukan saja tuntutan membalas sakit hati keluarga, tetapi masih pula harus
mencari Sentiko sampai ketemu.
"Lalu, bagaimanakah menurut
pendapatmu, Mbakyu?"
Untuk beberapa saat lamanya Sarindah tidak menjawab. Wajah yang semula murung itu sekarang agak
berseri dan kemudian jawabnya, "Wiyah, jika engkau bersedia menuruti perin-
tahku, usaha kita tentu berhasil."
"Katakanlah Mbakyu, apa yang
harus kulakukan?" desaknya sambil
memandang kakaknya.
"Tugas yang harus kau lakukan,
engkau harus mencari calon suamimu.
Warigagung."
"Ahh...!" gadis ini berseru
tertahan. "Mengapa harus mencari dia"
Tidak, Mbakyu. Aku malu! Aku adalah gadis dan tak sampai hati apabila aku harus
mengejar dia.... sekalipun dia calon suamiku. Apakah aku harus
menurunkan martabatku sebagai wanita di mata laki-laki?"
Sarindah mengerutkan alis tidak
senang. Lalu katanya agak kasar,
"Wiyah! Engkau harus mengerti, baik Warigagung maupun gurunya, Julung Pujud, ada
dua orang yang bisa kita harapkan bantuannya. Padahal Warigagung adalah calon
suamimu dan Julung Pujud adalah calon mertuamu yang sudah mendapat persetujuan
Kakek. Kenapa engkau harus merasa malu dan merasa mengejar laki-laki" Tidak!
Engkau bukan mengejar,
tetapi merupakan
kewajibanmu untuk membicarakan masalah kita ini kepada mereka. Maka aku percaya
Warigagung maupun gurunya akan mengerti alasanmu, mengapa kau mencari mereka."
Sarindah berhenti, menghela napas pendek. Sejenak kemudian ia meneruskan, "Kalau
dahulu Kakang Tanu Pada yang aku cintai dan Kebo Pradah yang engkau cintai belum
jelas kabar beritanya, memang waktu itu aku
mengerti, engkau masih bimbang dan ragu. Tetapi Kebo Pradah sekarang sudah tewas
oleh kecurangan Kaligis dan Sangkan. Huh, bangsat itu apabila bertemu dengan
aku, tentu kuremukkan kepalanya. Sayang, waktu itu kita lengah sehingga sesudah
tertangkap, mereka dapat melarikan diri."
Ia berhenti lagi dan sejenak
kemudian lanjutnya, "Sudahlah Wiyah, pendeknya kau harus mencari Warigagung guna
minta bantuannya."
"Dan Mbakyu menyertai keper-
gianku?" "Goblok! Mengapa aku dan engkau
harus selalu begini terus" Engkau sudah dewasa dan ilmu kesaktianmu tidak
mengecewakan. Maka sudah waktu-nya engkau harus dapat hidup dan berdiri sendiri.
Engkau jangan khawatir, aku pun akan berusaha sekuat kemampuanku. Sekarang aku harus pergi dan
mencari bantuan. Sedang ke mana tujuanku, aku sendiri belum tahu pasti."
"Tetapi Mbakyu, apakah tidak
lebih baik apabila kita ini terus berdua saja" Perlunya kita akan dapat bekerja
sama setiap berhadapan dengan kesulitan."
"Wiyah, mengapa engkau ini
sekarang menjadi penakut" Tidak!
Pendeknya mulai sekarang ini kita
harus berpisah. Engkau pergi mencari Warigagung dan aku akan mencari
bantuan kepada orang lain. Marilah kita sekarang berpisah dan melakukan tugas
masing-masing."
"Mbakyu, ahhh.... mengapa harus
sekarang juga" Kita akan berpisah dan tak tahu kapan bisa bertemu kembali.
Maka dari itu, kita gunakan waktu ini untuk persiapan perpisahan itu agar hati
kita tidak demikian kosong."
"Wiyah! Waktu amat berharga bagi kita sekarang ini. Sudahlah, kita harus
berpisah sekarang juga. Hayo, lekaslah kita berangkat. Dan aku pun akan menempuh
perjalanan ke arah lain."
Sarwiyah sudah amat kenal watak
dan sifat kakak perempuannya ini, yang tidak bisa dibantah kemauannya. Maka
walaupun terasa berat ia harus
berpisah, dan akhirnya Sarwiyah bangkit juga lalu pergi. Ketika sudah melangkah
agak jauh, ia membalikkan tubuh dan memandang ke arah Sarindah yang masih duduk
di atas batu. Melihat kebimbangan adiknya,
Sarindah berteriak lantang, "Lekaslah pergi, Wiyah! Engkau jangan menoleh lagi
kemari. Saat kita akan berpisah memang berat. Namun sesudah dilakukan takkan
terasa lagi."
Sarwiyah membalikkan tubuh tanpa menjawab, tetapi yang jelas gadis ini
berusaha menyembunyikan air matanya yang mengalir turun. Gadis ini merasa juga
betapa beratnya berpisah dengan kakaknya, sehingga gadis itu menangis.
Ketika Sarwiyah sudah tidak
tampak bayangannya lagi, Sarindah menghela napas panjang. Terbayanglah kini
semua perjalanan hidupnya. Beberapa bulan lalu dirinya, Sarwiyah dan kakeknya
masih hidup terhormat di Tosari dan juga mempunyai beberapa orang murid laki-
laki. Dan di antara murid laki-laki itu, ia mencintai pemuda pendiam bernama
Tanu Pada. Sedangkan Sarwiyah mencintai Kebo Pradah. Namun ternyata kemudian dua orang
pemuda itu harus tewas dalam tangan Kaligis dan Sangkan yang
curang. Sekarang bukan saja dirinya
kehilangan pemuda yang ia cintai, tetapi juga kakeknya tewas dalam tangan Gajah
Mada. Sekarang terpaksa hidup tidak menentu sebagai gadis yang bergelandangan.
Tetapi Sarindah tidak lama duduk termenung di tempat ini. Kemudian ia bangkit
dan melangkah cepat menuju ke barat. Ia sudah mempunyai rencana tetap. Sarindah
akan minta bantuan seorang sakti yang pernah ia dengar, bertempat tinggal di
Ngaglik, lereng Gunung Lawu.
Di sana menurut keterangan yang
pernah ia dengar, hiduplah seorang kakek yang telah lumpuh dua kakinya.
Kakek ini menurut keterangan baru berumur sekitar empat puluh lima tahun. Tetapi
sebagai akibat lumpuhnya kaki itu menjadi tampak lebih tua dan kakek itu pun
menjadi jorok. Terhadap masalah joroknya kakek
itu sebenarnya Sarindah tidak peduli.
Sebab yang penting bagi dirinya
sekarang, bukankah kakek bernama Madrim itu mempunyai keahlian yang amat ia
butuhkan" Kakek Madrim itu seorang ahli
ilmu hitam. Dia dapat membunuh orang dengan jampi-jampi dan mantra gaib.
Maka dalam usahanya membalas dendam kepada Gajah Mada, kiranya hanya dengan
sarana itu sajalah yang paling tepat. Namun yang menyebabkan gadis ini agak ragu
adalah syarat untuk meluluskan permintaannya itu, dan tiba-tiba saja bulu
kuduknya meremang dan tubuhnya gemetaran merasa ngeri.
Menurut keterangan yang sudah ia peroleh, syarat kakek itu aneh!
Berhubungan dengan lumpuhnya itu ia menjadi benci kepada setiap laki-laki.
Maka apabila ada laki-laki yang berani datang ke pondoknya, orang itu tentu mati
terbunuh oleh Kakek Madrim. Atau kalau hati Kakek Madrim sedang riang, maka
laki-laki yang berani datang ke pondoknya tentu menjadi lumpuh dua
kakinya oleh tangan kakek itu.
Mungkin, siksaan itu mempunyai maksud agar sama dengan dirinya yang lumpuh.
Apakah watak seperti itu tidak
aneh" Orang tidak bersalah, kakek itu sanggup membunuh dan atau menyiksa.
Mungkinkah hal seperti ini merupakan suatu penyakit yang menghinggapi jiwa Kakek
Madrim sesudah kakinya lumpuh"
Karena dirinya menderita lumpuh maka kakek ini menjadi iri dan tidak senang
kepada setiap laki-laki yang tidak cacat"
Sebaliknya, kakek itu akan
menerima dengan senang hati dan tangan terbuka, mulut tertawa dan wajah berseri,
apabila orang yang datang berkunjung ke pondoknya itu seorang perempuan. Lebih
lagi apabila yang datang itu gadis atau perempuan muda yang cantik wajahnya.
Kakek Madrim akan menyambut kedatangan tamu itu dengan sikap amat manis. Dan
semua permintaan tamu-tamu perempuan ini, akan dilayani dengan senang hati.
Dia akan melayani orang minta
obat untuk penyakit ringan sampai kepada penyakit yang sudah parah.
Kemudian orang yang patah hati karena cinta, maupun sampai kepada guna-guna
untuk menundukkan orang yang tidak mau membalas cintanya. Demikian pula tentang
masalah yang disebut tenung, kakek itu sanggup memberinya.
Dan menurut kabar, orang yang
tertenung oleh Kakek Madrim itu dalam waktu mendadak akan mati didahului dengan
muntah darah yang bercampur dengan jarum karatan, ijuk, paku dan beberapa benda
yang lain. Akan tetapi sebagai sarana bagi
setiap orang yang minta bantuan itu, syarat Kakek Madrim selalu aneh dan tidak
lumrah. Sebab perempuan yang datang dan minta pertolongan itu harus mau
menyerahkan diri sebagai "isteri"
tanpa nikah, sedikitnya satu hari satu malam.
Tiba-tiba Sarindah menghentikan
langkahnya, dan tubuhnya tampak
gemetaran, bulu kuduk berdiri teringat syarat semacam itu. Haruskah dirinya yang
selama ini selalu menjaga
kesuciannya sebagai perawan, secara mudah menyerah kepada Kakek Madrim yang
lumpuh dan jorok itu"
Akan tetapi kemauannya membalas
dendam menggebu-gebu. Maka walaupun dirinya harus menjadi korban, semua itu
merupakan pengorbanan suci demi keluarga. Demi ayahnya maupun kakeknya yang
sudah tewas di tangan Gajah Mada.
"Tidak, tidaaaakkkk!" pekiknya.
"Manakah mungkin harus menerima begitu saja syarat yang gila-gilaan itu"
Tidak sudi.... tidak sudiiii...!"
Sarindah menjatuhkan diri dan
duduk pada sebuah batu di bawah pohon
rindang. Ia menghela napas berat, lalu merenung. Sedang keringat yang
membasahi leher dan tubuhnya ia
biarkan saja mengalir pada kulit yang halus dan lumar itu.
"Hemm, tetapi apakah dayaku?"
desisnya. "Hanya dengan jalan minta pertolongan Kakek Madrim itu sajalah, jalan
termudah bagiku untuk dapat membalaskan sakit hati keluargaku. Dan tanpa lewat
tenung itu, manakah
mungkin aku dapat mengalahkan orang yang kedudukannya setinggi itu" Dia selalu
dikawal keselamatannya oleh prajurit. Dua puluh tahun lagi belum tentu aku dapat
mencapai cita-citaku tanpa bantuan orang lain."
"Tetapi pertolongan Madrim itu hanya diberikan apabila engkau bersedia menjadi
isterinya tanpa nikah sehari semalam, " teriak hatinya yang marah. "Semurah
itukah harga diriku, dan harus menyerahkan kehormatan dan harga diriku kepada
kakek lumpuh" "
"Engkau jangan sembarangan
bicara! " bentak kemauan.
"Huh, engkau jangan menuduh aku semurah itu kawan. Aku sudah berumur dua puluh
dua tahun, tetapi aku tetap pandai menjaga kesucianku. Kalau sekarang terpikir
olehku untuk menyerahkan diri kepada kakek itu, tidak lain demi kepentingan kita
semua. Demi membalas sakit hati orang tua, " sambung si
pikiran. "Nah, engkau benar! " sambut kemauan. "Pengorbanan satu hari satu malam itu
tentu saja masih murah apabila dibanding dengan tercapainya cita-cita dalam
waktu singkat. Gajah Mada akan mampus oleh tenung. Apakah engkau tidak mau
mengerti, hai hati. "
"Hu hu huuuuu..., " tiba-tiba si hati menangis. "Engkau bisa berkata, tetapi
tidak tahu betapa deritaku oleh peristiwa seperti itu. Engkau, hai kemauan dan
pikiran, akan memperoleh keuntungan tanpa penderitaan. Dan engkau tubuh, setelah
engkau lepas dari pelukan Kakek Madrim tidak akan merasakan apa-apa lagi. Tetapi
aku ini, selama hidup akan menderita. Aku akan terkenang terus peristiwa
terkutuk itu. Engkau tahu" Hu hu huuuu.... belum terjadi saja aku sudah ngeri.
Aku sudah ketakutan setengah mati! "
"Matikanlah rasamu itu, hai
hati! " bujuk kemauan. "Derita itu hanya bersemayam dan tak mau pergi, jika
engkau selalu mengenang. Akan tetapi jika engkau tidak mengenang dan tidak
merasakannya, apa yang disebut suka dan duka maupun derita itu tidak ada lagi.
Dan semuanya akan berlalu seperti tertiup angin. Nah, anggap saja belum pernah
terjadi. Bukankah pada saat kita harus berdiam di pondok
Kakek Madrim itu, tidak seorang pun tahu apa yang sudah terjadi" "
Tiba-tiba saja otaknya tertawa.
Katanya, "Ha ha ha ha, sudahlah!
Kalian jangan bersitegang dan bertengkar. Pendeknya sekarang kita harus pergi ke
sana. Biarkan kakek itu menuntut persyaratan segila itu.
Sanggupilah! Terimalah! Aku yang akan mengatur semuanya nanti. Percayalah oleh
siasatku, maksud kita bakal tercapai, tetapi kita tetap selamat. "
"Benarkah itu" " teriak hati.
"Engkau berani menanggung kita ini selamat" "
"Kenapa tidak" Aku yang ber-
tanggung jawab! " sahut si otak dengan mantap. "Apakah engkau masih kurang
percaya akan kemampuanku" Sudahlah, mari kita berangkat dan tidak perlu ragu
maupun takut! "
Setelah bagian tubuhnya saling
bantah beberapa saat lamanya, bibir Sarindah tersenyum sekali. Hatinya menjadi
mantap. Tekadnya menjadi bulat, dan rencananya pasti berhasil.
"Huh, engkau akan tahu rasa Kakek Madrim, berhadapan dengan gadis cerdik seperti
aku!" desisnya. "Huh, kakek jorok, cabul dan biadab. Engkau akan ketemu


Dewi Sri Tanjung 6 Tersiksa Seperti Di Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batunya!" Dengan gerakan yang mantap dan
penuh percaya diri, Sarindah menuju Gunung Lawu. Dan ketika tiba di kaki
Lawu, Sarindah mandi pada air kali yang airnya jernih sekali. Ia perlu berganti
pakaian bersih. Dan rambut yang sudah beberapa hari lamanya dibiarkan kusut dan
awut-awutan itu, sekarang disisir rapi dan disanggul demikian menarik. Dasar
rambutnya subur dan hitam, maka setelah menghias diri tampak menjadi semakin
cantik. Ia sengaja mematut diri
dan sengaja memikat perhatian laki-laki. Seakan saat ini dirinya sedang menuju ke rumah
laki-laki yang dicintai untuk ngunggah-unggahi
(untuk menyerahkan
diri ). Ketika ia bercermin pada sebuah
kubangan yang airnya amat jernih, ia tersenyum bangga melihat kecantikannya
sendiri. Ia makin percaya, setiap laki-laki akan terpesona.
Tetapi sekalipun demikian, tidak urung ia menghela napas dalam pula, ketika
teringat Madrim itu kakek lumpuh. Sekarang dirinya harus ke sana, minta
pertolongannya untuk membunuh Gajah Mada dengan tenung.
Akan tetapi sesudah itu dirinya harus menyerah diperlakukan sebagai isterinya.
Bergidik juga gadis ini sekalipun ia sudah mempunyai rencana matang.
Apakah di rumah kakek itu siasat yang akan dilakukan dapat berjalan dengan baik"
Ia belum tahu! Namun demikian ia
percaya, akan berusaha sesuai dengan kemampuannya.
Demikianlah dengan hati yang
bulat ia sudah mendaki pinggang Lawu dengan cepat. Ia kemudian terpaksa harus
bertanya kepada penduduk desa yang ia jumpai. Dan ketika Sarindah menyatakan
akan ke Ngaglik menemui Madrim, penduduk desa yang mendengar terbelalak.
"Anak mau pergi ke sana?" tanya
perempuan tua seakan kurang percaya.
"Benar, Bibi! Aku akan ke sana
minta pertolongan."
"Mengapa harus minta pertolongan ke sana" Kasihan engkau Nak, kau masih muda
lagi cantik. Di dunia ini masih banyak dukun peng-pengan dan dapat menolong
orang. Mengapa kau tidak memilih dukun lain saja" Jika Anak menginginkan, aku
bisa memberi petunjuk dukun sakti, rumahnya di Matesih."
Sarindah tersenyum, jawabnya,
"Terima kasih Bibi atas perhatianmu.
Tetapi aku akan tetap datang ke pondok Kakek Madrim. Dia terkenal sebagai dukun
manjur dan aku percaya.
Tetapi.... apakah sebabnya Bibi tak rela aku ke sana?"
Kendati ia sudah mendengar syarat aneh dan gila-gilaan dari Kakek
Madrim, namun ia masih mencoba
bertanya. "Anak, Kakek Madrim itu lumpuh
tetapi gila perempuan. Maka setiap perempuan yang datang ke sana, harus memenuhi
persyaratan, mau diperisteri tanpa nikah beberapa hari lamanya."
"Dan perempuan-perempuan itu juga bersedia?" tanyanya.
Perempuan itu mengangguk.
"Apakah segala yang diminta orang itu pasti terkabul?"
Perempuan itu menggeleng.
Jawabnya, "Belum tentu, Nak. Buktinya ada pula perempuan yang sudah menyerahkan
diri, tetapi toh permintaannya tidak terkabul."
"Apakah yang diminta?"
"Macam-macam. Dari soal pela-
risan, susuk dan cinta."
Namun akhirnya kemauan Sarindah
tidak bisa berkurang oleh pengaruh.
Katanya dalam hati, "Persetan dengan keadaan kakek itu. Sekalipun
keadaannya menjijikkan kalau kakek itu dapat menolong membunuh Gajah Mada,
apakah salahnya" Aku bukan perempuan tolol. Sebelum kakek itu dapat menjamah
tubuhku, kakek itu akan mampus lebih dulu oleh pedangku ini."
Di depan pondok, Sarindah
berteriak, "Kulanuwun.., kulanuwun..."
Lalu terdengar suara seperti
kaleng pecah dari dalam pondok.
"Masuklah Anak, apakah engkau
mencari Kakek Madrim?"
"Benar."
Ketika masuk gadis ini tidak lupa sopan santun. Ia membungkuk memberi hormat ke
arah suara, karena pondok itu gelap sekali. Dan baru setelah beberapa lama dapat
membiasakan diri, tiba-tiba saja gadis ini bergidik dan bulu kuduknya berdiri,
melihat keadaan Kakek Madrim yang duduk bersila di atas tikar usang tanpa
bergerak. Karena benar, kakek itu jorok dan menjijikkan. Agaknya sebagai akibat
kelumpuhannya menyebabkan kakek ini jarang menyentuh air.
"Duduklah!"
Sarindah sadar lalu membungkuk
memberi hormat. Kemudian ia duduk di atas tikar yang kotor, yang
dibentangkan di tanah. Gadis ini terpaksa menundukkan kepala karena merasa ngeri
bertatap pandang dengan kakek itu. Namun sekalipun menunduk, Sarindah mengintip
dari celah bulu matanya untuk melihat kakek itu. Dan ia melihat mata kakek itu
berkedip-kedip dan mulut menyeringai seperti iblis kelaparan.
"Anak, engkau siapa dan datang
dari mana?"
Sarindah mengangkat mukanya se-
kilas, menatap Madrim, lalu jawabnya,
"Saya bernama Sarindah, dan datang dari Madiun."
"Apakah maksudmu datang kemari"
Adakah engkau minta syarat agar lekas memperoleh jodoh" Hemm, engkau cukup
cantik, sesungguhnya tanpa syarat apapun banyak laki-laki yang suka kepadamu."
Kalau saja sekarang ini dirinya
tidak memerlukan bantuan kakek ini, ia tentu sudah marah dan memukul kakek yang
dianggap lancang.
"Tidak, Kek. Bukan itu.
Kedatanganku agar Kakek mau membantu aku membunuh orang, dengan tenung."
"Hai...! Aku harus membunuh orang dengan tenung" Apakah sebab engkau mempunyai
permintaan seperti itu, Nak"
Engkau jangan main-main dengan
tenung." "Tetapi..., aku benci dengan
orang itu. Dia sudah membunuh seluruh keluargaku."
"Ohhh.... keluargamu dibunuh
orang" Kasihan...."
Sarindah mengangguk. "Itulah
sebabnya aku mohon pertolongan Kakek, agar orang itu dapat mati dengan tenung."
"Siapakah orang yang kau maksud
itu?" "Gajah Mada."
"Ahhh...!" Kakek itu kaget.
"Gajah Mada sebagai Mahapatih Majapahit itu" Uah, berat... berat...."
"Apakah sebabnya berat" Apakah
Kakek tidak sanggup dan tidak bisa?"
"Apa katamu" Siapakah yang tidak bisa?" bentak kakek itu. "Siapa pun aku bisa
membunuh dengan tenung
apabila aku menghendaki."
"Tetapi apakah sebabnya
Kakek tadi bilang berat?"
"Yang berat itu tebusan dan
syarat perlengkapan tenung itu
sendiri. Karena tenung itu ditujukan kepada Gajah Mada, maka aku bisa melakukan
asal saja engkau memenuhi syarat yang diperlukan untuk itu."
"Katakanlah Kek, apakah
syaratnya?"
"Anak, tenung yang akan membunuh Gajah Mada tenung betina atau perempuan. Karena
tenung perempuan maka membutuhkan kawan."
"Tentunya kakek dapat mengusaha-
kan kawan itu."
"Tentu saja, Nak. Tetapi tenung
tadi tidak mau diberi kawan sambarangan. Kawannya harus orang yang minta tenung
itu sendiri."
"Aku" Mengapa?" Sarindah kaget.
"Sabarlah Nak, dengarkan baik-
baik. Engkau harus tahu, baik tenung laki-laki maupun perempuan yang akan
melakukan tugas itu, semuanya menghuni dalam tubuhku. Jadi antara aku dan
engkau, syaratnya harus rukun tidak bedanya suami dan isteri."
Sekalipun ia sudah tahu akhirnya kakek ini akan mengucapkan kata-kata
seperti itu, tidak urung hatinya tercekat juga. Memandang pun sudah jijik, dan
kalau tidak dalam keadaan terpaksa, duduk berhadapan ini pun tidak kuat lama.
Bau kakek ini tengik sekali, dan napasnya hampir sesak. Tetapi
sebaliknya kalau dirinya menolak, tentu kakek ini tidak mau menolong, dan cita-
citanya akan gagal.
"Kek, demi tercapainya maksud
itu, aku setuju. Aku bersedia menjadi kawan tenung itu. Tetapi...."
"Tetapi apa?"
"Kerjakan dahulu tenung itu.
Kemudian aku akan memenuhi persyaratan itu."
Sarindah mengucapkan kata-katanya dengan tenang dan mantap. Sebab ia sudah
mempunyai rencana bulat, kakek ini lumpuh dan ia akan menyerang dan membunuh
sebelum kakek ini dapat menjamah tubuhnya.
*** TAMAT Sala, Medio Maret 1987
Maaf, hanya sampai di sini kita
terpaksa berpisah dahulu, dan kita akan bertemu kembali dalam cerita berjudul
"Rahasia Dewa Asmara". Anda akan bertemu kembali dengan tokoh kita Sarindah,
Dewi Sritanjung, Sarwiyah maupun yang lain. Sudah tentu lebih menarik dan
mendebarkan. Dan juga Anda akan bertemu dengan Sarindah di pondok Kakek Madrim yang ingin
membunuh Gajah Mada dengan tenung. Berhasilkah dia membunuh Kakek Madrim setelah
menolong dengan tenung"
Jawabnya terbeber jelas dalam cerita
"Rahasia Dewa Asmara".
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Clickers
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Document Outline
Pengantar 1 *** 2 *** 3 *** 4 *** TAMAT Panji Akbar Matahari Terbenam 2 Pendekar Penyebar Maut Lanjutan Darah Pendekar Karya Sriwidjono Badai Awan Angin 24
^