Pencarian

Tersiksa Seperti Di Neraka 1

Dewi Sri Tanjung 6 Tersiksa Seperti Di Neraka Bagian 1


TERSIKSA SEPERTI DI NERAKA Serial 06 Dewi Sritanjung
Karya: Widi Widayat
Cover & Illustrasi: Arie
Penerbit: MELATI Jakarta
Cetakan pertama: 1987
HAK CIPTA dilindungi oleh Undang-undang
Penyiaran harus seizin Penulis
Pengantar Dewi Sritanjung melakukan per-
jalanan dalam usaha mencari ayah kandung. Di perjalanan bertemu dengan dua
pemuda bernama Kaligis dan
Sangkan, lalu terbujuk untuk pergi bersama. Di dalam hutan, gadis ini ditangkap
oleh dua pemuda itu. Untung ia berkepandaian tinggi hingga usaha itu gagal, dan
malah dapat mengusir Sangkan dan Kaligis lari terbirit-birit.
Tetapi perhatian Dewi Sritanjung segera tertarik oleh datangnya gadis cantik
yang menghadang Kaligis dan Sangkan. Gadis ini adalah Sarindah, cucu tua Si
Tangan Iblis. Dewi
Sritanjung sembunyi di belakang batu besar dan siap menolong Sarindah apabila
gadis itu sampai kalah. Ia rela apabila gadis itu celaka di tangan Kaligis
maupun Sangkan.
Celakanya, kepandaian Sarindah
hampir seimbang dengan dua pemuda itu.
Maka akibatnya, gadis ini tidak lekas dapat menundukkan Sangkan maupun Kaligis.
Untung sekali Si Tangan Iblis dan Sarwiyah segera muncul dan menolong.
Hingga kesulitan Sarindah teratasi.
Namun segera terjadi salah paham antara si Tangan Iblis dengan Dewi Sritanjung,
setelah mendengar
keterangan mempunyai hubungan erat dengan Gajah Mada. Maka si Tangan Iblis ingin
menangkap, tetapi Dewi Sritanjung melawan. Terjadi perkelahian dan hampir saja
gadis ini celaka kalau Gajah Mada tidak segera muncul dan menolong.
Dalam perkelahian secara ksatrya, satu lawan satu ini, pada akhirnya si Tangan
Iblis kalah dan mati. Sesudah itu Dewi Sritanjung lalu mengikuti Gajah Mada
menuju Ibukota Majapahit guna dipertemukan dengan ayah kandungnya.
Pada kesempatan ini Surya Lelana yang sudah sejak lama tertarik oleh kejelitaan
Dewi Sritanjung tidak dapat menguasai perasaan dan menyatakan cintanya, dan
tidak ditolak oleh Dewi Sritanjung.
Nah, untuk seterusnya ikutilah
cerita "Tersiksa Seperti di Neraka"
ini. 1 Dewi Sritanjung dipersilakan
masuk lebih dahulu ketika pintu kereta dibuka Surya Lelana. Tanpa ragu sedi-
kitpun gadis ini masuk, lalu duduk pada bak bagian belakang.
Namun ketika Surya Lelana sudah
masuk, pemuda ini cepat memberitahu,
"Diajeng, kita harus duduk di sini.
Kita berjajar, sebab bak belakang untuk tempat duduk Rama."
"Idih! Kau ini bagaimana?" sahut Dewi Sritanjung sambil tersenyum dan mata yang
indah itu mengerling.
"Bukankah alasanmu ini, karena engkau bermaksud agar engkau dapat duduk
berdampingan dengan aku?"
Sekalipun berkata demikian,
sebenarnya gadis ini merasa senang sekali apabila dapat duduk berdampingan
dengan Surya Lelana. Entah apa sebabnya, rasanya bahagia sekali.
Surya Lelana menyambut gadis ini dengan ketawa lirih. Lalu, "Diajeng, aku memang
berkata sejujurnya. Memang pada bagian belakang itu merupakan tempat duduk
kebesaran bagi Rama dalam kedudukannya sebagai Mahapatih
Majapahit. Sedang engkau dan aku harus duduk di sini, dan...."
Dewi Sritanjung yang sudah duduk di samping Surya Lelana menatap wajah pemuda
ini sambil bertanya, "Dan
apa...?" Surya Lelana tidak cepat
menjawab. Bibirnya tersenyum dan matanya menatap wajah ayu itu.
Yang dipandang menjadi berdebar
dan malu, tapi dalam dadanya terasa amat bahagia.
"Apakah engkau tidak marah dengan kejadian waktu itu" Ketika aku mau pergi dan
minta diri dari kau
sambil..... mencium...?"
Pipi gadis ini berubah merah
mendengar pertanyaan itu. Untuk
sejenak gadis ini menundukkan muka.
Setelah diangkat lagi, kepalanya menggeleng.
"Tidak, Surya. Tidak ada rasa
marah dalam hatiku," jawabnya polos.
"Apakah sebabnya engkau tidak
marah?" Gadis ini tergagap mendengar pertanyaan ini. Sesungguhnya ia ingin sekali
mengatakan, dirinya tak tahu mengapa sebabnya tidak marah atas perlakuan Surya
Lelana itu, dan
sungguh aneh pula dirinya malah selalu terkenang pengalaman itu.
Dewi Sritanjung menggelengkan
kepalanya, jawabnya lirih, "Aku tidak tahu...."
Jantung Surya Lelana berdebar
mendengar jawaban gadis yang singkat ini. Kalau demikian halnya, apakah jawaban
ini merupakan tanda, gadis
inipun mengimbangi perasaan hatinya"
Ia sudah terlanjur tercuri hatinya oleh gadis ini. Gadis sederhana, tetapi
memiliki kecantikan luar biasa, kecantikan yang alami.
Dengan agak ragu Surya Lelana
bergerak. Pemuda ini ingin menjajagi bagaimanakah sikap Dewi Sritanjung.
Maka jari tangannya lalu meraba jari tangan Dewi Sritanjung yang kecil, runcing
dan halus itu. Jari tangan itu untuk beberapa saat lamanya ia usap-usap dan ia
permainkan. Setelah
melihat gadis ini diam saja, gerakannya mulai berani dan merembet naik ke
lengan. Lalu sambil mengusap-usap lengan itu, Surya Lelana berkata halus,
"Diajeng, apakah engkau takkan marah apabila mendengar perkataanku?"
"Engkau mau berkata apa?" sahut
Dewi Sritanjung sambil menundukkan kepala, karena usapan tangan Surya Lelana itu
kuasa membuat jantungnya berdebar tegang. "Dan mengapa pula aku harus marah?"
"Diajeng, tahukah engkau bahwa
sejak pertemuanku denganmu yang
pertama kali, aku sudah jatuh cinta kepadamu?"
Dewi Sritanjung berjingkrak men-
dengar istilah asing yang diucapkan oleh pemuda tampan di sampingnya ini.
Tetapi justru kata-kata asing ini, sebenarnya sudah lama tersimpan dalam
dadanya dan selalu berharap agar Surya Lelana mengucapkan kata-kata itu.
Akan tetapi sekarang, anehnya,
setelah mendengar ucapan dari mulut Surya Lelana yang mencintai dirinya, mulut
Dewi Sritanjung malah seperti terkunci dan tidak bisa menjawab, sekali pun dalam
dadanya bergolak perasaan yang mendesak agar segera memberi jawaban. Gadis ini
hanya bisa menundukkan muka, dadanya turun naik.
"Diajeng Tanjung," bisik Surya
Lelana halus, sedang jari tangannya dengan lancang sudah mengangkat dagu Dewi
Sritanjung yang halus dan kuning itu, "Bagaimana" Engkau terimakah perasaan
cintaku ini?"
Dewi Sritanjung belum juga men-
jawab, sekalipun hatinya amat ingin.
Namun sekalipun gadis ini belum
menjawab, Surya Lelana sudah cukup maklum bahwa gadis ini mengimbangi
perasaannya. Terbukti Dewi Sritanjung tidak berusaha melepaskan jari tangan
Surya Lelana yang memegang dagu.
Tahu-tahu Surya Lelana sudah
memeluk, lalu mencium mulut Dewi Sritanjung. Untuk sejenak gadis ini gelagapan,
namun kemudian sudah
mendorong pundak Surya Lelana
perlahan. "Surya, ya... agaknya aku pun
mempunyai perasaan yang sama...,"
jawabnya. "Mengapa masih menggunakan
istilah agaknya, Diajeng" Apakah engkau masih meragukan cinta kasihku?"
"Surya, hal ini bisa kita bica-
rakan setelah aku bertemu dengan orang tuaku. Kemudian orang tuamu bisa bicara
dengan orang tuaku. Hemm, sudahlah.... Guru datang...."
Dewi Sritanjung mengubah letak
duduknya, menggeser pantat ke seberang kanan menyentuh dinding kereta. Surya
Lelana tahu diri bergeser pada bagian lain.
Pintu kereta terbuka. Gajah Mada masuk sambil tersenyum. Katanya halus,
"Aku senang sekali kalian rukun.
Marilah kita sekarang pulang. Aku sudah menyuruh orang untuk memanggil orang
tuamu, Tanjung."
Gajah Mada duduk pada bak
belakang. Pintu kereta ditutupkan kembali oleh sais kereta dari luar.
Dewi Sritanjung hanya bisa me-
ngangguk. Gadis ini jantungnya
berdebar penuh perasaan gembira, tak lama lagi akan dapat berhadapan dengan
orang tuanya, yang sudah belasan tahun lamanya belum pernah ia lihat wajahnya
dan belum pernah ia kenal.
Akan tetapi sesungguhnya disam-
ping jantungnya berdebaran oleh
pengaruh bakal bertemu dengan orang tuanya, gadis ini juga berdebar oleh
perlakuan Surya Lelana tadi yang
lancang memberi ciuman. Ia khawatir apabila apa yang dilakukan itu
diketahui Gajah Mada. Sebab, ternyata begitu masuk tokoh itu mengatakan gembira
mereka berdua begitu rukun.
Tak lama kemudian roda kereta
sudah bergerak oleh tarikan kuda yang dicambuk sais. Selama hidupnya baru kali
ini Dewi Sritanjung merasakan naik kereta. Tubuhnya terguncang-guncang oleh lari
kuda yang cepat.
Bagi Dewi Sritanjung, naik kereta seperti ini nyaman juga, sekalipun lambat,
apabila dibandingkan dirinya naik di punggung harimau.
Dewi Sritanjung menggunakan jari tangannya untuk membuka tirai yang menutup
lubang kereta. Ia memandang keluar, kemudian terpikat oleh
pemandangan baru yang belum pernah ia saksikan. Sepanjang jalan yang dilalui
banyak berdiri rumah besar dan megah.
Orang yang lalu lalang semakin banyak.
Di samping juga banyak orang
menjajakan dagangan sambil berteriak.
Tiba-tiba perhatiannya terganggu oleh pertanyaan Gajah Mada.
"Tanjung, mengapa sebabnya gurumu tidak menyertai engkau kemari?"
"Apakah Paman belum membaca surat dari Kakek?" Sritanjung berbalik bertanya.
Gajah Mada tersenyum. Lalu,
"Memang sudah, Anakku. Tetapi Kakang
Tunjung Biru tidak menyinggung keadaan pribadi gurumu. Beliau hanya memberitahu,
engkau adalah murid tunggal.
Engkau merupakan pewaris Kiageng Tunjung Biru. Karena itu engkau
mempunyai hak menggunakan pedang pusaka Tunggul Wulung."
"Kakek tidak bicara tentang
siapakah orang tuaku?"
"Bicara, Anakku, dan kau tak
perlu khawatir. Tak lama lagi engkau akan dapat bertemu dengan orang tuamu.
Anakku, engkau sungguh beruntung sebagai pewaris kakak seperguruanku.
Bukan saja engkau merupakan pewaris ilmu satu-satunya, engkau juga memperoleh
hak mewarisi senjata pusakanya."
Dewi Sritanjung tersenyum bangga.
Lalu, "Paman, kalau tidak salah Guru pernah mengatakan pedang pusaka
Tunggul Wulung itu mempunyai saudara kembar, bernama Tunggul Naga. Dan menurut
Kakek, Pamanlah yang memiliki pedang Tunggul Naga itu. Benarkah?"
"Itu benar, Anakku. Akan tetapi
karena aku kurang membutuhkan pedang pusaka itu, maka aku pinjamkan kepada Gusti
Adityawarman."
Mendengar pedang pusaka dipin-
jamkan kepada orang lain, sesungguhnya Dewi Sritanjung kurang senang. Tetapi ia
tidak membuka mulut dan mencela.
"Tanjung, engkau belum menjawab
pertanyaanku. Mengapa engkau tidak
datang bersama gurumu?"
Surya Lelana yang sejak tadi
berdiam diri menyambut, "Ya! Mengapa Uwa Guru tidak datang bersama kau"
Alangkah senang hatiku apabila Uwa Guru bersedia datang ke Majapahit.
Apalagi kalau membawa serta harimau yang jinak itu."
Dewi Sritanjung menghela napas
pendek. Lalu, "Ya, keputusan Kakek itu sebenarnya menyebabkan hati murid kurang
sreg (puas). Akan tetapi Kakek tidak mau meninggalkan pondoknya.
Ketika murid mengatakan tidak ingin pergi dan ingin menunggui dan melayani
kebutuhannya, Kakek malah marah. Murid kurang tahu alasan Kakek sebenarnya,
mengapa tidak bersedia meninggalkan tempat yang sepi itu."
Gajah Mada menghela napas.
Sesungguhnya ia amat mengharapkan kakak seperguruannya itu datang ke Majapahit.
Sebab, walaupun sudah tua, bantuan pikiran kakak seperguruannya itu amat ia
butuhkan, sehubungan dengan jabatan yang ia pangku.
Sudah menjadi cita-citanya untuk membangun Majapahit ke puncak
kejayaan. Dan cita-citanya itu baru akan terwujud dan terlaksana apabila
Majapahit menggunakan kekuatan
angkatan perang untuk menyerbu ke wilayah dan menaklukkan penguasanya.
Walaupun jumlah prajurit tidak
terhitung banyaknya, jumlah tersebut tak akan ada artinya apabila
kekurangan pemimpin yang sakti
mandraguna. Namun apa harus dikata, agaknya Kiageng Tunjung Biru memang sudah
tidak mau lagi mencampuri urusan duniawi dan apalagi urusan peme-rintahan.
"Sungguh sayang," desisnya.
"Tetapi ahh, sudahlah. Agaknya memang harus demikianlah garis yang telah
ditentukan Yang Maha Tinggi. Manusia bisa berusaha, tetapi ketentuan di tangan
Dia." Untuk sejenak dalam kereta itu
tidak ada suara. Tetapi kemudian Dewi Sritanjung bertanya, "Paman, bolehkah
murid bertanya?"
Gajah Mada memandang gadis itu
sambil tersenyum. Jawabnya, "Mengapa tidak" Bertanyalah apa saja yang engkau
butuhkan. Jika aku dapat
menjawab, semua pertanyaanmu akan kujawab."
"Guru banyak memberi nasihat
padaku, agar murid menggunakan ilmu kesaktian untuk membela rakyat dan
memberantas kejahatan. Menurut peni-laian murid, kakek yang bernama si Tangan
Iblis itu jahat. Bukan saja berusaha menangkap murid, setelah diketahui
mempunyai hubungan dengan Paman, tetapi di samping itu juga berusaha merebut
pedang pusaka Tunggul
Wulung. Akan tetapi mengapa pada saat orang itu sudah tidak berdaya dan minta
dibunuh, Paman tidak sedia membunuhnya" Paman, apakah sikap ini sudah benar?"
Gajah Mada mengangguk-anggukkan
kepala mendengar pertanyaan ini.
Setelah batuk-batuk kecil, jawabnya,
"Ya, pertanyaanmu ini penting sekali artinya. Dharma seorang gagah, seorang
ksatrya, harus mendekatkan diri dengan perbuatan yang menguntungkan rakyat
banyak. Sebaliknya, jauhkanlah dirimu dari nafsu dan kepentingan pribadi.
Pendeknya, dalam melaksanakan tugas dan dharma baktimu, harus sepi dari pamrih


Dewi Sri Tanjung 6 Tersiksa Seperti Di Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk diri sendiri. Semua ditujukan untuk kesejahteraan
manusia." Ia berhenti sejenak, dan sejenak kemudian meneruskan, "Tetapi engkau harus
selalu ingat, pembunuhan
bukanlah jalan terbaik untuk mencapai tujuan masyarakat yang sejahtera.
Sebab kekerasan dan tangan besi takkan memberi kesadaran kepada mereka yang
sedang gelap jiwanya. Maka berikanlah kasih dan petunjuk, dan beri pula
kesempatan untuk memperbaiki diri, untuk kembali ke jalan benar."
Gajah Mada berhenti lagi sambil
mencari kesan. Ketika melihat Dewi Sritanjung maupun Surya Lelana berdiam diri,
ia meneruskan, "Betapa untung
yang akan kau peroleh apabila orang yang semula tersesat itu kemudian menjadi
sadar. Mereka akan menjadi pembantu yang setia. Mereka akan menjadi tenaga
sukarela dalam usaha kita mencapai masyarakat sejahtera dan kerta raharja.
Sebaliknya Anakku, apabila main bunuh dengan alasan memberantas kejahatan, akan
mendekatkan diri dengan bahaya. Dengan alasan apapun juga, pembunuhan
terhadap sesama manusia adalah tidak baik. Lupakah engkau bahwa orang yang
terbunuh itu mempunyai anak, cucu, saudara dan sanak keluarga" Betapa sakit hati
keluarga yang terbunuh itu, yang kemudian hari akan menimbulkan rasa benci dan
dendam. Seterusnya akan terjadi balas-membalas yang tidak ada akhirnya, yang
semua itu hanyalah akan merugikan manusia sendiri."
Dewi Sritanjung maupun Surya
Lelana masih berdiam diri, dan Gajah Mada memandang mereka mencari kesan.
Karena dua orang muda itu tidak
membuka mulut, ia meneruskan, "Dalam pada itu sudah merupakan kesopanan dan jiwa
ksatrya, yang pantang melakukan perbuatan apa pun terhadap lawan yang sudah
tidak bisa melawan, tidak
berdaya atau sudah terluka. Itulah sebabnya aku tadi mengatakan, tidak pada
tempatnya mengganggu Taruno."
"Tetapi Paman...," ujar Dewi
Sritanjung, "orang seperti si Tangan Iblis itu jelas tidak bisa diharapkan
kembali ke jalan benar. Buktinya walaupun Paman bersikap bijaksana, orang itu
malah membuka mulut semau sendiri dan mengancam kepada Paman."
Gajah Mada ketawa lirih. Lalu,
"Bisa dimengerti apabila dia membuka mulut seperti itu. Sebab hati dan
perasaannya masih dilanda oleh
penasaran. Seseorang akan bisa sadar tidaklah mungkin terjadi secara tiba-tiba,
dan tentu memerlukan waktu.
Anakku, orang yang sudah mendapat kesempatan untuk merenungkan, untuk mendalami
dan menghayati, baru dengan demikian hati dan perasaan ini bisa terbuka. Dan
kemudian membawa kepada kesadaran."
"Akan tetapi, sudah tentukah
orang mau merenungkan, mendalami, menghayati atau mawas diri?"
Gajah Mada terkekeh senang
mendengar bantahan Dewi Sritanjung ini. Ia mengangguk-angguk, lalu, "Ya, memang
antara manusia satu dan yang lain akan terjadi perbedaan. Dan memang belum tentu
semua orang mau merenungkan, menghayati dan mawas diri. Akan tetapi Anakku,
orang yang bijaksana takkan mengambil keputusan sebelum mencoba. Segala sesuatu
dipikir lebih dahulu sedalam-dalamnya, ditimbang-timbang, dan takkan menyesal
maupun putus asa apabila harapannya sampai gagal. Sebab engkau harus tahu, kita
ini amat kecil apabila
dibandingkan dengan Dia."
Ketika itu roda kereta sudah
berhenti berputar. Sais meloncat dari tempat duduknya, lalu membuka pintu
kereta. Gajah Mada tersenyum sambil
berkata, "Tanjung, kita sudah sampai.
Dan kau Surya, engkau harus dapat menjadi tuan rumah yang baik. Ajaklah adikmu
lebih dulu menghadap ibumu, dan perkenalkanlah pula dengan Trisna Dewi."
Surya Lelana mengangguk mengi-
akan, lalu membimbing Dewi Sritanjung, diajak keluar dari kereta.
Dewi Sritanjung terbelalak kagum begitu turun dari kereta, dan melihat bangunan
rumah yang luas, kokoh dan bagus. Pekarangan rumah dikurung oleh tembok batu
yang amat tinggi, dan beberapa orang prajurit yang bertugas jaga tak pernah
lepas dengan tombak telanjang. Mereka nampak gagah dan menyeramkan.
Akan tetapi gadis ini tidak
mendapat kesempatan melihat semua itu lama-lama, karena lengannya sudah ditarik
dan diajak melangkah oleh Surya Lelana.
"Diajeng Tanjung," katanya, "jika engkau menginginkan melihat keadaan
kota Majapahit, jangan khawatir. Aku akan selalu bersedia menjadi teman dan
pengawalmu. Tetapi saat sekarang ini, kita harus patuh kepada perintah Guru.
Aku harus mengantar engkau menghadap Ibu, isteri Rama Gajah Mada untuk
memperkenalkan diri, dan juga kepada Diajeng Trisna Dewi, puteri Rama."
"Tetapi...."
"Mengapa?"
"Aku malu. Bagaimanakah perasaan Puteri Trisna Dewi itu kalau melihat
kelancanganku menggunakan pakaiannya?"
"Engkau sudah memperoleh izin
dari Rama. Aku yang akan menerangkan bahwa engkau hanyalah menuruti
perintah Rama saja," Surya Lelana menghibur. "Ahh, engkau belum kenal dan tahu
wajah Diajeng Trisna Dewi, maka engkau menjadi khawatir. Dia seorang puteri
bangsawan yang amat baik, sabar, dan ramah. Sudahlah, engkau jangan takut. Aku
yang akan menerangkan semuanya."
Dewi Sritanjung ragu. Kemudian
katanya, "Tetapi... aku biasa hidup di hutan, kurang mengenal segala macam adat
kesopanan, tatakrama maupun aturan dalam lingkungan keluarga pembesar tinggi.
Lalu bagaimanakah aku harus bersikap, baik kepada Ibu Gajah Mada maupun kepada
Puteri Trisna Dewi?"
Surya Lelana bisa mengerti
keraguan gadis ini. Maka sambil
melangkah menuju rumah belakang, pemuda ini terpaksa memberi sedikit pengertian
dalam hubungan lingkungan, sikap dan tutur kata, yang diperlukan gadis ini
nanti. Petunjuk itu amat diperhatikan
oleh Dewi Sritanjung, maka perjalanan mereka menjadi agak terlambat, dan bagi
mereka yang tidak tahu, agaknya dua orang muda ini sedang membicarakan perasaan
hati masing-masing, yang sedang dilanda oleh gelora asmara muda.
Akan tetapi sekalipun sambil
melangkah Surya Lelana sudah memberi sekadar petunjuk, tidak urung hati Dewi
Sritanjung kurang tenteram dan selalu berdebaran.
Kaki Dewi Sritanjung terasa kaku ketika dirinya harus menirukan Surya Lelana,
menggunakan jari kaki dan lutut untuk berjalan dengan jongkok ( laku dhodhok -
Jawa), sesuai dengan tata kesopanan di dalam rumah
bangsawan tinggi.
Akan tetapi hati gadis ini
kemudian agak terhibur, ketika dari tempat duduknya isteri Gajah Mada memberi
senyum manis sedang tangannya diangkat memberi isyarat agar lekas datang
menghadap. Puteri Trisna Dewi yang ketika
itu duduk di samping ibunya, cepat-
cepat bangkit, lalu lari-lari kecil mendapatkan Dewi Sritanjung. Dan gadis ini
dengan wajah cerah dan senyum manis sudah berkata halus, "Diajeng, berdirilah.
Mengapa kau harus
merendahkan diri seperti itu?"
Trisna Dewi menarik bangun Dewi
Sritanjung dan gadis ini pun tidak membantah, lalu berdiri. Memang jari kaki dan
lututnya terasa sakit dipaksa untuk berjalan seperti itu. Kemudian kepada Surya
Lelana, puteri ini
berkata, "Surya, tugasmu sudah
selesai." Surya Lelana mengangguk dan
tersenyum. Kemudian pemuda ini kembali keluar, tetapi dalam hatinya agak
masygul. Sebab apabila boleh, ia tidak ingin berpisah sekejap pun dengan gadis
yang ia cintai itu. Dan setiba di luar, pemuda ini mengamati ke dalam, ke arah
Dewi Sritanjung.
Dewi Sritanjung seperti mimpi
ketika tiba-tiba isteri Gajah Mada meraih, lalu memeluk dan menciumi sepasang
mata berkaca-kaca penuh rasa haru. Gadis ini tidak tahu akan
sebabnya, memandang wajah wanita tua itu dengan rasa heran, dan ketika
memalingkan muka memandang Trisna Dewi, ternyata puteri Gajah Mada itupun
sepasang matanya berkaca-kaca.
Sekalipun demikian bibir Trisna Dewi menyungging senyum manis.
Di luar tahu gadis ini, Gajah
Mada sudah memberitahu kepada isteri dan anaknya, tentang gadis malang bernama
Dewi Sritanjung.
Dewi Sritanjung disuruh duduk di atas kursi, diapit oleh ibu dan anak itu.
Sesaat kemudian terdengar isteri Gajah Mada berkata, "Anakku, engkau jangan
merasa rendah diri. Tahukah engkau, siapakah sesungguhnya orang tuamu?"
Dewi Sritanjung menggeleng.
Hatinya berdebar kemudian bertanya,
"Siapakah sebenarnya orang tua
hamba...?"
"Ahhh...," potong isteri Gajah
Mada. "Jangan engkau gunakan kata hamba itu, Anakku. Engkau bukan
seorang hamba."
"Diajeng Tanjung, Ibu benar,"
sambung Trisna Dewi. "Engkau pun seorang puteri bangsawan seperti aku."
"Puteri?" Dewi Sritanjung
terbelalak. "Mengapa seorang puteri, dan siapa pula ayah bundaku?"
"Engkau adalah puteri Laksamana
Nala, seorang Panglima Angkatan Laut Majapahit. Ayahmu seorang panglima yang
amat terkenal, dan berkedudukan tinggi."
"Laksamana Nala?" Dewi Sritanjung ragu.
Dewi Sritanjung menundukkan
kepala dan merenung. Dalam hatinya
timbul rasa heran dan bertanya-tanya.
Kalau benar dirinya seorang puteri bangsawan, mengapa sampai tujuhbelas tahun
umurnya, ia belum pernah
mendapat kesempatan mengenal wajah orang tua dan belum merasakan kasih sayangnya
pula" Mengapa bisa demikian"
"Saya menjadi bingung," ujar
gadis ini ragu. "Bagaimanakah
sesungguhnya saya ini" Mengapakah sebabnya saya hidup di tengah hutan bersama
Kakek Tunjung Biru seorang diri" Lalu apa sajakah rahasia dari kehidupanku ini?"
"Anakku, engkau jangan kecil
hati," hibur ibu itu. "Semua akan segera engkau ketahui, sesudah ayahmu datang."
"Tetapi mengapakah sebabnya aku
harus di sini" Dan mengapa sebabnya tidak langsung dibawa ke rumah orang tuaku?"
"Hal itu sesuai dengan surat
Kakang Tunjung Biru. Tetapi percayalah bahwa baik gurumu maupun Kangmas Gajah
Mada bermaksud baik. Dan engkau akan mendengar semua itu nanti."
Keterangan yang samar-samar ini
menyebabkan Dewi Sritanjung tetap bingung dan kurang mengerti. Akan tetapi gadis
ini terpaksa harus puas dengan semua ini. Namun demikian oleh sikap ramah dari
ibu dan anak ini, menyebabkan Dewi Sritanjung terhibur,
dan segala keraguannya sedikit
menghilang. Ia mulai dapat
menyesuaikan diri dengan kehidupan para bangsawan.
Pada kesempatan ini, beberapa
orang pelayan wanita bermunculan, lalu menghidangkan minuman dan makanan.
Lalu dengan ramah ibu dan anak ini mengajak Dewi Sritanjung makan.
Menghadapi meja yang penuh
hidangan dan belum pernah ia kenal ini Dewi Sritanjung gembira dan lupalah ia
kepada hal yang lain. Dasar perutnya sudah lapar, maka Dewi Sritanjung makan
dengan lahap. Sedang baik ibu maupun Trisna Dewi tidak jemunya menerangkan nama
makanan yang sedang diambil maupun dimakan gadis ini.
Demikianlah Dewi Sritanjung cepat dapat menyesuaikan diri, berkat sikap isteri
dan puteri Gajah Mada yang ramah. Seusai makan, diajaklah gadis ini pergi ke
taman. Bagi gadis ini segala macam tanaman dan bunga yang terdapat di dalam
taman ini tidak menarik, karena tanaman dan bunga-bunga yang bermekaran itu jauh
kalah indah dan kalah menyedapkan apabila dibanding dengan bunga-bunga yang
tumbuh liar di dalam hutan. Akan tetapi ketika diajak ke kolam ikan, Dewi
Sritanjung gembira dan berkali-kali mengemukakan kekagumannya,
melihat ikan di dalam air yang
warnanya aneka macam itu.
Pada kesempatan ini Dewi
Sritanjung banyak diminta untuk
menceritakan kehidupannya di dalam
hutan. Dan gadis ini menceritakan apa adanya, tentang keadaan hutan yang penuh
belukar, sepi dan banyak
binatang liar dan buas maupun berbisa.
Trisna Dewi tertarik sekali oleh cerita ini, sebab bagi puteri ini, apa yang
disebut hutan dan belukar itu adalah asing. Sering juga ia minta kepada ayahnya
untuk ikut serta di kala Gajah Mada berburu. Namun
permintaan itu tidak pernah dika-bulkan, ditolak secara halus dengan berbagai
alasan. Di saat dua orang gadis ini
sedang asyik bicara sambil memandang ikan-ikan yang berseliweran di dalam kolam
ini, datanglah seorang pelayan yang tergopoh. Perempuan itu setelah berlutut di
depan Trisna Dewi,
berkata, "Ampunkan hamba, Gusti. Tuan puteri berdua mendapat panggilan agar
langsung datang ke pendapa. Semuanya sudah menunggu Gusti berdua."
"Baiklah," sahut Trisna Dewi,
kemudian mengajak Dewi Sritanjung langsung menuju ke pendapa.
Ketika tiba di pendapa, Dewi
Sritanjung agak heran melihat Surya Lelana menundukkan kepala dan
tampaknya masgul sekali. Perubahan
sikap ini menimbulkan pertanyaan dalam hati gadis ini. Sebab biasanya Surya
Lelana akan segera memandang dirinya dengan mata bersinar-sinar dan bibir
tersenyum. Laksamana Nala duduk juga
berhadapan dengan Gajah Mada, mengamati Dewi Sritanjung penuh perhatian.
Hatinya berdebar tidak karuan, karena baik wajah maupun bentuk tubuh Dewi
Sritanjung mirip sekali dengan ibunya, Dewi Anwari. Hati panglima ini amat
terharu, teringat kepada Dewi Anwari yang sudah tiada.
Tiba-tiba saja Laksamana Nala
bangkit dari tempat duduknya. Ia melangkah dan langsung memeluk Dewi Sritanjung.
Tentu saja gadis ini kaget dan hampir saja memberontak. Untung nalurinya
mencegah, hingga gadis ini berdiam diri dengan pandang mata keheranan.
Melihat ini Gajah Mada cepat
memberitahu, "Tanjung, dialah ayahmu."
"Ohh.... Ayah...," pekik Dewi
Sritanjung. Dan tiba-tiba saja gadis ini
menyembunyikan mukanya ke dada
Laksamana Nala, sambil menangis ter-sedu. Sebaliknya Laksamana Nala
memeluk pundak anaknya ini, sambil meneliti kalung gadis ini yang
mempunyai hiasan burung garuda.
Dari sudut mata laki-laki ini
kemudian menitik pula air mata yang bening. Laksamana Nala yang gagah perkasa
itu, sekarang menangis benar-benar. Menangis karena hatinya amat terharu
berbareng menyesal, teringat akan isteri tercinta Dewi Anwari.
Kalau saja waktu itu dirinya tidak meninggalkan Dewi Anwari secara diam-diam,
tentunya isterinya itu tidak akan mati. Dan tentunya Dewi
Sritanjung tidak kehilangan ibu
kandungnya, juga tak akan dibuang ke sungai.
Di saat Dewi Sritanjung
sesenggukan di dada ayahnya ini, tiba-tiba terdengarlah jerit tertahan.
"Anakku...!"


Dewi Sri Tanjung 6 Tersiksa Seperti Di Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu seorang wanita yang wajahnya masih nampak cantik sekalipun sudah tua, sudah
menubruk dan memeluk Dewi Sritanjung.
Dewi Sritanjung mengangkat
wajahnya yang basah air mata,
memandang perempuan itu sejenak.
Laksamana melepaskan pelukannya
sambil berkata lirih, "Tanjung, inilah ibumu."
"Ibuuuu...!" pekik Dewi
Sritanjung sambil memeluk erat perempuan itu dan menyembunyikan mukanya ke dada.
Menyusul kemudian terdengar suara tangis dua orang perempuan yang
mengibakan hati, dan menimbulkan rasa
haru kepada mereka yang melihat.
Saking terharu, isteri Gajah Mada maupun Trisna Dewi ikut menangis di tempat
duduknya. Adapun Gajah Mada hanya berdiam diri sambil menghela napas berulang-
ulang, sedang Surya Lelana menundukkan kepala tampak lesu dan sedih.
Akan tetapi Laksamana Nala kaget dan cepat menyambar tubuh isterinya, hingga
perempuan itu tidak jadi roboh.
Ternyata perempuan yang mengaku
sebagai ibu Dewi Sritanjung itu sudah pingsan. Dan menyebabkan Dewi
Sritanjung yang baru bisa bertemu dengan ibunya itu, kebingungan dan memanggil-
manggil. Isteri Gajah Mada dan Trisna Dewi cepat menyerbu dan menghibur Dewi Sritanjung.
Dan yang pingsan segera dirawat, dipondong Laksamana Nala, lalu dibaringkan di
pembaringan kayu berukir indah, beralas kain warna jambon (merah jambu).
Apakah sebabnya isteri Laksamana Nala menjadi pingsan setelah mengaku sebagai
ibu Dewi Sritanjung" Memang ada sebabnya. Semula terjadilah
pertentangan dalam hatinya, dibujuk oleh Gajah Mada, agar mau mengaku sebagai
ibu kandung Dewi Sritanjung.
Hal itu dilakukan dengan maksud agar gadis yang belum pernah melihat wajah ayah
bundanya itu tidak menjadi kecil
hati. Sebab betapa akan sedih Dewi Sritanjung, apabila tahu ibunya sudah tiada!
Di samping untuk menjaga agar hati dan perasaan gadis ini tidak kaget, langkah
ini dimaksud pula untuk menutup rahasia Laksamana Nala yang sudah menyia-nyiakan
Dewi Anwari. Sedang yang teramat penting adalah guna menghilangkan noda hitam dalam keluarga,
karena Dewi Sritanjung adalah cucu Kuti, seorang dharmaputra yang memberontak
dan mati terbunuh.
Itulah sebabnya Dewi Sritanjung
tadi sengaja disingkirkan ke taman dulu, agar gadis ini tidak mendengar rahasia
kematian ibu kandungnya.
Akan tetapi betapa berat rasa
hati isteri Laksamana Nala ini, tahu-tahu harus mengakui anak dari madunya,
sebagai anak kandungnya sendiri.
Lebih-lebih gadis ini adalah cucu Kuti, seorang pemberontak yang hampir saja
menimbulkan bencana hebat bagi Majapahit.
Namun sekalipun berat rasa hati
perempuan ini, setelah dipikir lebih dalam dan luas lagi, semua kesalahan
terletak pada pundak suaminya sendiri.
Sebab taklah mungkin anak Kuti itu menjadi isteri suaminya, kalau suaminya
memang tidak menghendaki.
Sebaliknya anak yang tidak berdosa ini, tidak mungkin lahir di dunia ini dan
mencari orang tuanya, apabila
tidak ada dua insan yang mencip-
takannya. Setelah terjadi pertentangan
hebat dalam dada ibu ini, pada akhirnya kesadarannya menang. Ia sedikit
berkorban untuk suaminya sendiri, adalah sudah sepatutnya bagi seorang isteri.
Merupakan kewajibannya pula, justru apa yang dilakukan adalah untuk nama baik
suaminya sendiri. Akan tetapi walaupun sudah sedemikian jauh ia berpikir dan ia
mempertimbangkan, tidak urung ibu ini pingsan juga.
Akhirnya ibu ini sadar juga
setelah dirawat sendiri oleh Laksamana Nala, Setelah membuka mata dan sadar,
mulutnya sudah berkata, "Tanjung....
ohh, anakku...."
Dewi Sritanjung segera memberikan kepalanya untuk diusap-usap oleh ibunya, juga
memberikan pipinya untuk dicium ibunya. Air mata mereka
membanjir membasahi pipi, dan untuk beberapa lama tidak ada yang bicara.
Jari-jari tangan isteri Panglima Nala mengusap-usap rambut, kemudian seluruh
muka dan leher Dewi
Sritanjung. Dan gadis ini hatinya amat terharu, bangga, gembira dan bahagia.
Apa yang diharapkan selama ini, dan apa yang dibayangkan serta dikenang selama
belasan tahun lamanya itu, sekarang terwujud. Ia bertemu dengan ibunya, dan
beginilah kasih sayang
seorang ibu kepada anaknya.
Akan tetapi sekalipun gadis ini
merasa amat bahagia dan bangga, dapat bertemu dengan ayah bundanya, timbul pula
perasaan aneh dalam dadanya.
Sekarang menjadi jelas dirinya bukan anak orang sembarangan. Ternyata dirinya
seorang puteri Panglima Angkatan Laut, Laksamana Nala, yang kedudukannya amat
tinggi di Kerajaan
Majapahit. Namun mengapa sebabnya dirinya terpisah dengan ayah bundanya, dan
kemudian sampai dipelihara oleh Kiageng Tunjung Biru" Timbul pertanyaan dalam
hatinya, kalau demikian apakah dirinya ini memang salah
seorang anak yang disia-siakan oleh ayah bundanya"
Dewi Sritanjung tak kuasa menahan perasaan dan pertanyaan yang bergolak dalam
dadanya ini. Maka masih sambil memeluk ibunya, gadis ini bertanya,
"Ibu.... ohh, mengapa aku ini?"
"Apakah maksudmu, Anakku?" tanya ibunya dengan nada yang amat kasih.
"Apakah sebabnya Ayah dan Ibu
tega kepadaku" Mengapa baru sekarang ini saja Tanjung dapat bertemu dan mengenal
wajah Ayah maupun Ibu" Dan mengapa pula sebabnya Tanjung terpisah dengan Ayah
dan Ibu?" Ibunya tidak cepat menjawab.
Tetapi malah memandang suaminya dengan sinar mata yang bertanya. Laksamana
Nala dapat menduga maksud isterinya.
"Anakku, kisahnya cukup panjang,"
sahut ayahnya. Laksamana Nala segera mengarang
cerita yang ia pikir masuk akal. Ia mengatakan bahwa ketika Dewi
Sritanjung masih kecil, kira-kira baru berumur satu setengah tahun, sudah
dilarikan oleh pengasuhnya. Tentu saja peristiwa ini menyebabkan seluruh
keluarga sedih dan berusaha menemukan kembali, dengan menyebar banyak hamba
untuk mencari. Namun usaha-usaha yang sudah mengerahkan ratusan orang
banyaknya, dan pencarian dilakukan ke seluruh penjuru itu, sia-sia belaka.
Setiap petugas yang pulang, selalu memberi laporan sama, tidak dapat
menemukannya. Setelah lebih dua tahun lamanya mencari tidak juga berhasil,
akhirnya usaha pencarian dihentikan.
"Betapa sedih hatiku dan hati
ibumu, sulit dilukiskan, Anakku,"
lanjut Laksamana Nala. "Akhirnya karena usaha itu gagal, baik aku maupun ibumu
hanya dapat mohon kepada Dewata Agung, agar engkau selalu selamat dan kemudian
hari dapat bertemu kembali."
"Tetapi Ayah, siapa yang kemudian memberi petunjuk bahwa Tanjung dirawat oleh
Guru?" sela Dewi Sritanjung.
"Ya. Itulah permulaan aku dan
ibumu dapat bertemu dengan anak yang
sudah lama hilang. Dalam surat gurumu yang ditujukan kepada Kangmas Gajah Mada,
belum lama berselang gurumu datang ke Caruban. Kemudian gurumu mendengar
keterangan dari Bupati Caruban yang memang sudah aku mintai pertolongan ikut
serta mencari jejakmu. Adapun sebagai tanda anakku yang hilang itu, ialah seutas kalung dengan
hiasan burung garuda, terbuat dari emas. Nah, Anakku, setelah gurumu mendengar
keterangan ini, maka
terpikir kemudian untuk mengembalikan engkau kepada orang tuanya."
"Tetapi.... mengapa sebabnya Ayah tidak datang ke sana?"
"Anakku..., agaknya memang sudah menjadi kehendak gurumu, memang harus demikian.
Buktinya gurumu tidak mau memberitahu langsung padaku. Melainkan malah mengutus
engkau supaya datang sendiri ke Majapahit. Bukankah gurumu pun menerangkan,
bahwa di Majapahit engkau bakal bertemu dengan orang tuamu?"
Dewi Sritanjung menghela napas
panjang. Untuk beberapa saat lamanya gadis ini hanya terisak-isak.
Ketika itu datanglah Gajah Mada, isterinya, Trisna Dewi dan Surya Lelana. Gajah
Mada dan isterinya berseri wajahnya setelah melihat Dewi Sritanjung dengan
ibunya nampak rukun.
Laksamana Nala menatap Surya
Lelana yang nampak lesu dan kecewa.
Tetapi karena tidak tahu apa yang dikandung dalam hati pemuda ini, maka
Laksamana Nala memalingkan muka ke arah Dewi Sritanjung. Katanya,
"Tanjung, sudahkah engkau kenal dengan saudaramu yang tua?"
"Mana, Ayah" Siapa?" Dewi
Sritanjung terperangah.
"Dia inilah abangmu, namanya
Surya Lelana," Laksamana Nala memperkenalkan.
Dewi Sritanjung terbelalak kemu-
dian terpaku seperti patung dan tidak dapat membuka mulut, Surya Lelana
diperkenalkan sebagai abangnya.
Dalam hatinya timbul rasa masy-
gul, mengapa bisa terjadi demikian"
Mengapa pemuda tampan yang sudah mencuri hatinya dan ia cintai pula itu, adalah
abangnya sendiri" Hemm, seorang abang dan sudah memberi ciuman beberapa kali
kepada dirinya, ciuman penuh kasih sayang antara pria dan wanita. Timbullah rasa
malu dalam hati gadis ini, hingga ia menundukkan mukanya, tidak berani bertatap
pandang dengan Surya Lelana.
Untunglah Surya Lelana cepat
dapat menekan perasaan. Walaupun hatinya amat sedih setelah tahu gadis ini
adiknya sendiri, ia melangkah menghampiri sambil meletakkan telapak tangannya di
atas pundak. "Adikku, oh.... maafkanlah
aku.... yang tidak tahu...."
Dewi Sritanjung tidak menjawab,
hanya menangis sesenggukan. Laksamana Nala dan isterinya memandang mereka dengan
heran. Dalam hati bertanya, apa yang sudah terjadi"
Di antara mereka yang hadir hanya Gajah Mada yang tahu sebabnya. Katanya dengan
nada penuh sabar, "Anakku, hidup manusia ini takkan lepas dari garis yang sudah
ditetapkan oleh Yang Maha Tinggi. Manusia yang bijaksana, karena merasa hidupnya
dikuasai dan ada yang memberi hidup, akan menerima hidupnya ini secara wajar,
dan apa adanya. Karena dengan cara
itu hidupnya akan dijauhkan dari rasa sesal atau kecewa. Dan menerima apa adanya
karena sadar hidupnya sesuai dengan garis yang sudah ditentukan oleh Dewata Yang
Agung." Gajah Mada berhenti sejenak,
lalu, "Anakku, lupakanlah apa yang sudah terjadi. Jangan kau tengok apa yang
sudah kau lalui. Ketahuilah, hidup adalah saat ini. Sekarang, bukan kemarin,
bukan tadi dan bukan pula esok pagi atau nanti. Yang lalu
biarlah berlalu, yang belum jangan dipikir. Bersyukurlah kalian kepada Dewata
Yang Agung, kita dipertemukan dan dapat berkumpul kembali masih dalam keadaan
selamat tidak kurang
satu apa."
Sekalipun Gajah Mada mengucapkan kata-kata yang samar-samar, Laksamana Nala
sudah dapat menduga apa yang terjadi antara Dewi Sritanjung dengan Surya Lelana.
Bahwa saudara seayah lain ibu itu, karena tidak tahu, sudah menjalin cinta
kasih. Diam-diam Nala menyesal sekali, mengapa bisa terjadi seperti ini. Tetapi
apa harus dikata, justru tidak tahu" Masih untung dua anak muda ini pada saat
sudah genting dapat mengetahui keadaan yang
sebenarnya. Mereka belum terlanjur.
Baik Nala maupun isterinya
kemudian menghibur pula dengan petunjuk yang berharga. Dewi Sritanjung hanya
dapat menangis sesenggukkan di dada ibunya. Tidak tahu apa yang harus ia
lakukan, menghadapi peristiwa yang tidak pernah ia duga dan harapkan itu.
Akhirnya terhibur juga hati Dewi Sritanjung setelah mendapat nasihat dan bujukan
dari ayah, ibu, Gajah Mada dan isterinya. Setelah dianggap cukup, kemudian
diboyonglah Dewi Sritanjung ke rumah kediaman Laksamana Nala.
Kedatangannya disambut oleh saudaranya yang lain, dua orang kakak perempuan.
Dewi Sritanjung dielu-elukan tiada bedanya dengan tamu agung. Semua keluarga
dikumpulkan seluruhnya, lalu satu demi satu hamba sahaya ini
berlutut di depan Dewi Sritanjung
sambil memperkenalkan diri dan
menghaturkan selamat datang.
Akan tetapi betapapun meriah
penyambutan ayah, bunda, saudara maupun hamba sahaya, dalam hati gadis ini masih
terdapat perasaan yang kurang sreg (puas). Gadis ini masih kurang percaya
keterangan ayahnya, bahwa ketika dirinya kecil dilarikan oleh pengasuhnya,
kemudian ayah bundanya berusaha menemukan kembali dengan berbagai macam cara. Sebab kalau
benar dirinya sudah lama dicari, dan kalau benar sebagai tanda seutas kalung
emas dan hiasan burung garuda, mengapa pada saat Surya Lelana datang dan
berkenalan pertama kali, Surya Lelana tidak segera mengenal dirinya sebagai
adiknya yang sudah lama
hilang" Sebab Surya Lelana pun tentu tahu pula tentang tanda ini. Dan kalau
tidak tahu, itulah aneh dan sulit ia percaya.
Diam-diam timbullah kecurigaan
gadis ini, tentu ada suatu rahasia yang ditutup oleh ayah bundanya.
Kemudian timbul dugaan gadis ini, kiranya ketika dirinya kecil, memang sengaja
dibuang oleh ayah bundanya.
Dan berarti dirinya lahir di dunia ini, memang diluar kehendak orang tuanya.
Berkecamuk berbagai macam
perasaan di dalam dada gadis ini,
ketika sudah berbaring di pembaringan kayu yang berukir indah, beralas kain
sutera biru dan di dalam kamar indah berbau harum pula. Akibatnya gadis ini
tidak juga dapat tidur, sekalipun tubuhnya terasa lelah.
Entah mengapa sebabnya, dalam
hati gadis ini timbul perasaan tidak puas oleh sikap ibu maupun dua orang kakak
perempuan. Sebab setelah selesai mengelu-elukan ketika dirinya tiba, tiga
perempuan itu seperti tidak peduli lagi kepada dirinya.
Mengapa bisa terjadi demikian"
Waktu yang belasan tahun tidaklah singkat. Namun mengapa baik ibu maupun dua
kakak perempuannya itu membiarkan dirinya tidur dalam sebuah kamar dan sendirian
pula" Apakah sebabnya
keluarga itu tidak tampak rindu" Dan lagi pula kalau dirinya muncul, bukan
ibunya yang lebih dahulu menyambut kedatangannya, tetapi malah ayahnya"
Bagaimanapun seorang ibu tentu lebih memperhatikan anak yang dilahirkan dari
rahimnya, dibanding dengan ayah.
Akan tetapi apakah sebabnya malah terjadi sebaliknya"
Mengapa" Apakah sebabnya" Per-
tanyaan ini terus berkecamuk dalam dadanya. Akan tetapi sayangnya ia tidak dapat
menjawab sendiri.
"Hanya Ayah seorang yang akan
dapat menjawab pertanyaan ini,"
pikirnya sambil bangkit dari
pembaringan. "Hemm, malam ini juga aku harus bertemu dengan Ayah. Aku harus
mendapat keterangan jelas dan Ayah harus sedia membeberkan kenyataan yang
sebenarnya."
Demikianlah, gadis ini kemudian
keluar dari kamar. Rumah yang besar itu sunyi dan tidak melihat seorang pun.
Lampu besar di tengah ruangan, sudah dipadamkan orang, dan ia
termangu beberapa saat lamanya sambil menebarkan pandang matanya. Di manakah
letak kamar ayahnya" Rumah ini luas sekali, tidak gampang mencari letak kamar
ayahnya.

Dewi Sri Tanjung 6 Tersiksa Seperti Di Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Huh, luas, hi hi hiiiikk," gadis ini ketawa lirih seorang diri. "Aku biasa
hidup di dalam hutan yang luas dan berbahaya. Apakah artinya rumah yang hanya
seluas ini?"
Setelah menetapkan hatinya,
dengan langkah hati-hati ia mulai menyelidik. Tetapi mendadak Dewi Sritanjung
mempertajam pendengarannya, ketika mendengar suara perempuan sedang bicara
perlahan. "Ahh, dari kamar besar yang masih menyala
lampunya itu."
Sebagai gadis sakti, ia dapat
bergerak tanpa suara. Dan kebetulan sekali pintu tidak terkunci dan
sedikit terbuka. Dari celah pintu itu, ia melihat di dalam kamar, ibunya
duduk bersimpuh di meja pendek, sedang dua kakak perempuannya duduk di depan
ibunya. Ia mendengar suara kakaknya yang bertanya, "Ibu, sebenarnya saya heran sekali
dengan munculnya seorang gadis yang disebut sebagai adikku itu. Ayah bilang,
dahulu dilarikan oleh pengasuh ketika masih kecil. Tetapi ketika aku tanyakan
kepada hamba tertua, yang sudah lebih duapuluh tahun lamanya mengabdi di rumah
ini, dia malah keheranan dan bingung. Dan dia menerangkan bahwa puteri Ibu hanya
tiga orang saja dan tidak seorang pun yang hilang.
Ibu, jelaskanlah. Mana yang benar?"
Berdebar jantung Dewi Sritanjung mendengar ini. Ia menahan napas, ingin
mendengar jawaban ibunya secara jelas.
Tetapi ibunya tidak segera memberikan jawaban, malah kemudian menghela napas
berulang-ulang, seperti berat untuk membuka mulut. Dan baru sesudah
didesak berkali-kali oleh anaknya, ibu itu menjawab.
"Sesungguhnya memang demikian,
Anakku. Memang anakku hanya tiga orang saja. Gadis yang tadi datang, dan
diakukan sebagai anak bungsu oleh ibu, memang bukan anak ibu."
Berdenyut kepala Dewi Sri
tanjung, lalu pandang matanya menjadi kabur. Bukan anaknya" Kalau demikian, aku
ini anak siapa"
"Kalau bukan, mengapa Ibu mau
mengakui?"
"Itu hanya menuruti kehendak
Ayahmu saja. Jelasnya demikian, akan tetapi aku minta rahasiakanlah agar tidak
sampai didengar oleh Sritanjung.
Dahulu ayahmu mempunyai seorang isteri muda, bernama Dewi Anwari. Dari isteri
muda itu lahirlah Dewi Sritanjung.
Tetapi malang, ketika melahirkan anak pertama itu, Dewi Anwari meninggal."
"Horeee...." sorak dua gadis itu.
"Kamu tidak boleh berkata begitu.
Tahu" Kamu harus dapat bersikap baik dan mencintai dia seperti kepada adikmu
sendiri. Kalau aku sedia
berkorban demi kepentingan Ayahmu, mengapa kamu tidak" Kamu harus pandai menjaga
rahasia ini, agar Dewi
Sritanjung tidak tahu dan Ayahmu tidak marah kepadamu, kepada kita. Bagaimanapun
dia seorang anak yang patut dikasihani. Sejak kecil dia tidak mengenal ayah dan
bundanya, dan tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari orang tua maupun
saudara-saudaranya."
Dua gadis itu berdiam diri
dibentak ibunya. Namun dari sikapnya, Dewi Sritanjung tahu, jelas tidak senang.
Untuk beberapa saat lamanya gadis ini berdiri bagai patung. Tetapi dari sudut
matanya, menitik air mata yang bening. Dan dalam dada gadis ini,
tiba-tiba saja terjadi semacam perang batin yang amat hebat.
Ibuku sudah mati" pekik dalam
dadanya. Di mana" Ah..., Kakek tentu bisa menerangkan tentang Ibu dan makamnya.
Mendadak terdengar suara pekik
nyaring dan panjang, "Ibuuu...!"
Disusul suara brakkkk....
Penghuni rumah kaget. Laksamana
Nala dan Surya Lelana yang ketika itu belum tidur cepat melompat dan lari ke
rumah belakang. Sebab mereka mengira, telah terjadi sesuatu di dalam rumah itu.
Ketika ayah dan anak ini masuk ke dalam rumah, Nala melihat isteri anaknya baru
saja keluar dari kamar dengan wajah pucat karena kaget.
"Apa yang terjadi?" tanya Nala.
Tetapi tanpa menunggu jawaban,
Nala kemudian tertarik perhatiannya kepada pecahan kayu di lantai rumah.
Ketika ia menengadah ternyata baik langit-langit maupun atap sudah jebol.
Nala cepat melompat ke kamar Dewi Sritanjung, ternyata puterinya tidak ada.
"Celaka!" pekik Nala. "Surya....
aahh, adikmu pergi tiba-tiba. Mari kita kejar!"
Saking gugup dan gelisahnya,
tanpa menunggu jawaban, Nala sudah menjejak lantai, tubuhnya melesat ke
atas lewat langit-langit dan atap yang jebol. Sedang Surya Lelana cepat lari ke
arah pintu. Nala memang sudah dapat menduga, Dewi Sritanjung pergi lewat langit-langit dan
atap yang jebol itu. Dan pekik panjang yang menyebut ibu tadi, tentu pekikan
puterinya. Sebab tidak mungkin orang luar berani datang dan mengganggu rumahnya.
Nala mengerahkan kepandaiannya
lari, sambil memanggil nama Dewi Sritanjung. Tetapi teriakan Nala itu sia-sia
belaka, demikian pula usahanya mengejar. Gadis itu sudah tidak tampak
bayangannya dan sudah jauh pergi.
Surya Lelana juga berlarian cepat sekali mengambil arah lain. Pemuda ini lari
dengan hati tidak keruan, sebab ternyata gadis jelita yang ia cintai itu adalah
adiknya sendiri, sehingga hatinya menjadi masygul dan kecewa.
*** 2 Matahari musim kemarau sinarnya
menyengat kulit. Jalan berdebu dan pohon-pohon kecil layu kesulitan mendapatkan
air. Ladang orang dibiarkan kosong tanpa tanaman, dan tanahnya yang kering
pecah-pecah sedang rumput pun sulit bisa hidup. Sawah-sawah yang
menggantungkan air hujan juga terbeng-kalai, pak tani terpaksa menganggur,
karena sawah tidak dapat menghasilkan apa-apa.
Seorang gadis yang hanya berpa-
kaian dari bahan kasar dan sederhana, melangkah dengan lesu. Rambutnya yang
kering itu sudah tidak teratur lagi oleh angin nakal. Peluh membasahi dahi,
pipi, dan lehernya dibiarkan menetas. Dan pipi yang kuning halus itu oleh sinar
matahari berubah menjadi merah jambu. Sekalipun demikian kejelitaan gadis ini
tidak berkurang malah bertambah.
Hanya sayang, sepasang mata
bintang itu nampak sayu, dan berkali-kali gadis ini melangkah sambil
menghela napas panjang. Dan agaknya dada gadis ini terasa sesak oleh derita
batin. Kenyataannya memang demikian.
Batin gadis cantik itu menderita, sehingga dunia yang luas ini dirasa terlalu
sempit. Matahari yang
menyinarkan cahayanya amat terik itu seperti gelap. Segelap hatinya
sekarang ini! Siapakah gadis ini dan ke manakah tujuannya hanya seorang diri" Seakan ia tidak
menyadari bahwa kejelitaannya ini bisa menimbulkan bahaya setiap waktu. Karena
kecantikannya dapat menimbulkan rangsangan laki-laki tidak
bertanggung jawab untuk menggunakan kesempatan dan mengganggu.
Namun sebaliknya gadis ini memang tidak merasa khawatir dan takut oleh gangguan
orang dalam perjalanannya sekarang ini. Ia memang bukan gadis sembarangan. Laki-
laki yang berani sembrono salah-salah menderita malu dihajar oleh kaki dan
tangan yang kecil, namun berbahaya.
Dialah Dewi Sritanjung yang
menderita pukulan batin hebat, setelah tertumbuk oleh peristiwa yang tidak
sesuai dengan harapannya semula.
Harapan yang sudah belasan tahun lamanya ia tunggu untuk dapat bertemu dengan
ayah bundanya, tetapi yang terjadi malah sebaliknya.
Tetapi adakah sesuatu yang aneh
itu di dunia ini" Segalanya bisa terjadi yang serba aneh. Demikian pula apa yang
harus diderita oleh Dewi Sritanjung ini. Masih semuda itu, ia sudah harus
mengalami pukulan batin dan harus menempuh perjalanan tanpa tujuan, tidak
bedanya dengan gelandangan. Seseorang yang sedang menderita, semuanya tidak menyenangkan, dan biasanya
menjadi kurang waspada akan keadaan sekitarnya. Demikian pula gadis ini, ia
menjadi tidak sadar, semenjak tadi telah dibayangi oleh sepasang mata dan selalu
memperhatikan gerak-geriknya. Sepasang mata itu mirip sepasang mata seekor kucing yang melihat
tikus gemuk. Mata yang melihat, tetapi mulut yang mengeluarkan air liur.
Sepasang mata yang bersinar aneh itu, adalah mata seorang pemuda
berumur 22 tahun. Pemuda yang wajahnya cukup tampan, tetapi pucat. Gerakan
pemuda ini gesit dan tidak bersuara, seakan mempunyai sayap, sehingga seperti
terbang. Sambil bergerak gesit dan tidak bersuara ini, mulutnya berkomat-kamit
dan tersenyum aneh. Entah apa saja yang sedang terpikir oleh pemuda ini.
Sungguh sayang, Dewi Sritanjung
tidak menyadari dirinya ada orang yang membayangi. Derita batinnya menyebabkan
telinga yang biasa peka itu
menjadi seperti tuli. Ia terus
melangkah menuju ke barat, tidak mempedulikan kulitnya yang kuning halus itu
tersengat oleh matahari.
Tak lama kemudian gadis ini malah menuju ke tempat yang berjauhan
letaknya dengan desa. Kemudian ia malah masuk ke dalam sebuah hutan yang tidak
jauh dari Kali Bluwak Julang, yang
bermata air dari perbukitan
Kendeng. Melihat air yang jernih, mendadak saja ia merasa gerah. Betapa nikmatnya setelah
sejak pagi terbakar sinar
matahari yang panas, sekarang dapat menyejukkan tubuh dengan menyelam dalam air
kali ini, mandi dan
berkecimpung. Namun gadis ini tidak segera
melaksanakan niatnya, dan ia kemudian duduk di atas batu di tepi sungai.
Kaki terasa sejuk setelah menjulur ke bawah dan terendam air sungai sampai
betis. Gadis ini duduk berdiam diri.
Tetapi pada saat ia duduk berdiam diri ini, tiba-tiba saja kenangannya
melayang kembali ke Majapahit, waktu bertemu ayahnya pertama kali di ramah Gajah
Mada. Ia menangis dan ayahnya juga menangis. Ketika itu ia merasa heran, mengapa
ibunya malah tidak menitikkan air mata, bertemu pertama kali dengan puterinya
yang belasan tahun lamanya hilang" Semula ia
menduga tentu ibunya seorang wanita tabah, hingga tidak menitikkan air mata,
sekalipun berhadapan dengan peristiwa yang amat mengharukan.
Namun keheranannya itu kemudian
terjawab setelah ia berdiam di rumah sendiri, rumah Laksamana Nala.
Ternyata wanita yang mengaku sebagai ibunya itu, bukan ibu kandungnya, malah ibu
tirinya. Rahasia itu baru diketahui
setelah secara tidak sengaja dirinya mendengar pembicaraan ibunya dengan
dua orang kakak perempuannya, bahwa dirinya bukan anak hilang, tetapi anak tiri.
Hatinya terpukul kemudian ia lari dari rumah gedung yang megah itu.
Dewi Sritanjung menghela napas
panjang. Ia kemudian meruntuhkan pandang matanya ke air yang mengalir dengan
tenang itu. Lalu ia membuka bajunya dengan maksud akan segera merendam tubuh
dalam air sungai dan mandi.
Namun baru saja selesai melepas
baju, tiba-tiba gadis ini kaget dan cepat memakai kembali bajunya. Sebab pada
saat bajunya lepas tadi, ia mendengar dengus napas halus orang, tidak jauh dari
tempatnya duduk.
Dengan lincah Dewi Sritanjung
meloncat berdiri. Sepasang mata yang semula sayu itu sekarang berubah berkilat-
kilat, dan dari mulutnya kemudian terdengarlah bentakan nyaring.
"Hai! Siapa yang bersembunyi di
semak itu" Hayo, lekaslah keluar."
Pemuda pucat yang sejak tadi
membayangi gadis ini terkejut. Pemuda ini dalam hati mencaci maki dirinya sendiri, mengapa sudah mendengus
dan jantungnya berdegup cepat sekali, ketika baru saja melihat kulit tubuh yang
kuning mulus, sesaat gadis itu melepas baju" Akibatnya si gadis tahu
dirinya sedang mengintip di dalam semak. Padahal apabila tadi dirinya kuasa
menahan debaran jantungnya, ia tentu dapat menyaksikan sesuatu yang lebih indah
dan menarik, di kala gadis itu sudah bugil dan mandi di kali.
Sesungguhnya ia tadi meren-
canakan, pada saat si gadis ber-
kecimpung dalam air, ia akan
menggunakan kesempatan dengan jalan mencuri dan menyembunyikan pakaian gadis
itu. Apabila pakaian gadis itu sudah ia sembunyikan, dirinya tentu akan dapat
menekan gadis itu supaya menyerah.
Akan tetapi sekarang semuanya
sudah terlanjur. Semua harapannya sudah buyar, dan mau tidak mau dirinya
sekarang harus keluar dari tempat persembunyiannya.
Namun ia memang seorang pemuda
sakti. Karena itu ia tidak gentar sedikit pun walau tahu gadis itu bersenjata
pedang. Memang ia sudah menduga, seorang gadis ayu yang berani melakukan
perjalanan seorang diri, tentu bukan gadis sembarangan.
Pemuda itu meloncat keluar dari
semak tempatnya bersembunyi sambil terkekeh. Lalu mulutnya menyeringai, tidak
menyembunyikan kekagumannya melihat kejelitaan gadis yang baru berumur delapan
belas tahun itu, ibarat bunga yang sedang mekar dan
menyebarkan bau yang harum semerbak.
"Heh heh heh heh, Adik Manis,
apakah sebabnya engkau tidak jadi mandi" Silakan engkau mandi dulu untuk
menyegarkan tubuh. Dan biarkanlah aku membantumu dengan menjaga pakaianmu, yang
sekaligus menjagai keselamatanmu pula dari gangguan orang. Dan lebih dari itu
aku pun dapat melihat dan mengamati tubuhmu yang bugil itu."
"Keparat mata keranjang!" bentak Dewi Sritanjung. "Apa kerjamu memang hanya
mengintip orang sedang mandi?"
"Heh heh heh heh, mengapa tidak"
Aku paling senang mengintip perempuan yang mandi di kali. Apalagi jika perempuan
itu mandi di sungai yang airnya jernih seperti ini."
"Kurang ajar! Cabul! Jika engkau tidak lekas enyah dari tempat ini, rasakan jika
aku marah!"
Makin meledak ketawa pemuda itu, dan menjadi geli oleh jawaban gadis yang ketus
itu. Dalam hatinya sudah menduga, tentu gadis ini belum
mengenal dirinya, maka berhadapan tidak menjadi gentar. Padahal bagi wanita lain
yang sudah mengenal
dirinya, tentu sudah ndheprok (duduk bersimpuh) dan minta ampun sambil gemetaran
tubuhnya. "Heh heh heh heh. Aku ingin
melihat, apa yang akan engkau lakukan terhadap diriku" Apakah engkau bisa
memaksa dan mengusir aku tanpa aku sendiri yang menghendaki?"
Ejekan itu menyebabkan Dewi
Sritanjung tambah marah. Sepasang matanya yang indah itu sekarang
menyala. Memang tidak mengherankan apabila pemuda ini mengejek seperti itu. Ia memang
bukan pemuda sembarangan, dan malah murid seorang tokoh sakti pula.
Pemuda ini bernama Rudra Sangkala, dan gurunya bernama Murti Sari. Hanya sungguh
sayang, ilmunya yang tinggi bukan diperuntukkan berbuat mulia, menolong sesama
hidup, malah untuk perbuatan jahat. Ia memang seorang pemuda yang gemar
mendekatkan diri kepada nafsu berburu perempuan.
Karena sesat, maka Rudra Sangkala menjadi pemuda liar yang tidak pernah
melewatkan kesempatan bagus apabila berhadapan dengan perempuan. Dan sungguh
amat sayang pula, gurunya yang bernama Murti Sari itupun tidak pernah menegur
perbuatan muridnya yang sesat.
Menyebabkan pemuda ini semakin
menjadi, dan sekarang ia berhadapan dengan Dewi Sritanjung, sikapnya memandang


Dewi Sri Tanjung 6 Tersiksa Seperti Di Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

enteng. Sikap ini memancing kemarahan
Dewi Sritanjung. Bentaknya, "Aku akan mengusir engkau seperti anjing, dengan
pedangku ini!"
Sring...! Rudra Sangkala berjingkrak kaget, melihat sebatang pedang yang
menyinarkan cahaya biru.
"Pedang bagus, heh heh heh heh!"
ujarnya. Sebagai pemuda yang sudah cukup
pengalaman, ia segera dapat menerka secara tepat pedang si gadis ini bukan
pedang sembarangan, tetapi malah pedang pusaka. Namun demikian ia tidak menjadi
gentar, malah gembira dan kemudian timbullah niatnya untuk menaklukkan gadis
cantik ini dengan jalan apapun. Apabila maksudnya ini terkabul, sekali tepuk
akan mendapat dua sasaran yang berharga. Pertama ia akan mempunyai pedang pusaka
yang menyinarkan cahaya biru dan yang kedua ia akan dapat mempunyai gadis ayu
ini. Dewi Sritanjung mengerutkan alisnya yang lentik. Sebentar ia meragu.
Haruskah ia berselisih dan berkelahi dengan pemuda ini" Padahal sesuai dengan
pesan kakeknya, ia harus
berusaha menghindari perselisihan dengan siapapun. Sebab walaupun memiliki
sejuta orang sahabat, hidupnya tidak juga dapat tentram apabila masih mempunyai
seorang musuh saja. Dan jika ia ingat pesan Kiageng Tunjung Biru ini, ia memang
tidak ingin berkelahi.
Tetapi celakanya, pemuda ini sengaja mengganggu dirinya dan malah meremehkan.
Tidak, bantah hatinya. Apapun
yang terjadi, pemuda yang kurang ajar ini harus engkau lawan dan engkau hajar
biar menjadi jera.
"Hemm," Dewi Sritanjung mendengus dingin. "Apakah engkau membandel dan tidak
lekas enyah dari tempat ini"
Engkau janganlah menunggu aku marah!"
Akan tetapi walaupun gadis ini
sudah memperingatkan, Rudra Sangkala malah semakin bersikap meremehkan.
Matanya bersinar-sinar aneh dan bibir-nya membentuk senyum mengejek.
"Heh heh heh heh, aku ingin
melihat apakah engkau dapat mengusir aku" Hemm, Adik Manis, apakah aku kurang
gagah dan kurang tampan" Huh, adakah laki-laki segagah dan setampan aku ini"
Hem, daripada kita ini
berselisih, toh lebih menyenangkan apabila kita rukun menjadi kekasih."
Meledak kemarahan gadis ini,
mendengar ucapan pemuda itu.
Bentaknya, "Awas pedang...!"
Siut... wut.... Auww...!
Rudra Sangkala memekik tertahan
saking kagetnya. Mimpi pun tidak, gadis cantik ini dapat bergerak
secepat itu. Begitu membentak, pedang yang bersinar biru itu sudah menyambar
dahsyat sekali. Maka sedikit lambat bergerak, dirinya tentu sudah ber-lubang
tubuhnya. Karena itu ia menjadi cepat sadar, sekalipun tampaknya lemah lembut,
gadis ini bukan sembarangan.
Namun demikian ia juga bukan
pemuda lemah. Ia merasa sebagai murid tunggal wanita sakti Murti Sari. Maka
sungguh memalukan sekali apabila berhadapan dengan perempuan saja dirinya harus
menyerah kalah.
Sring...! Sungguh cepat gerakan
tangan Rudra Sangkala. Tahu-tahu sebatang pedang telah di tangan kanan.
Seleret sinar kuning menyambar ketika pedang itu tercabut dari sarungnya, dan
inilah pedang pusaka yang bernama Wesi Kuning, pedang pusaka pemberian gurunya.
Trang trang....
Benturan pedang terdengar amat
nyaring. Dua-duanya kaget dan melompat mundur, karena benturan tadi memang
hebat. Lengan masing-masing tergetar, dan seperti mendapat aba-aba, masing-
masing melihat pedangnya. Namun
ternyata pedang itu tidak apa-apa, sekalipun berbenturan keras.
Dewi Sritanjung heran dalam hati.
Mengapa pedang lawan tidak patah berbenturan dengan pedangnya" Kalau demikian
jelas sekali pedang bersinar kuning itu pedang pusaka pula.
Menyadari pedang lawan merupakan pedang pusaka, gadis ini amat hati-hati.
Seleret sinar panjang yang
warnanya biru membentuk lingkaran membungkus dirinya dengan kecepatan
yang sulit dilukiskan. Sinar yang membentuk lingkaran besar dan kecil ini,
kadang menggetar dan menyambar ke arah lawan secara dahsyat, tetapi celakanya
pedang ini tidak kuasa menembus benteng pedang lawan.
Sebagai murid Murti Sari, pemuda ini sudah termasuk ahli ilmu pedang jempolan.
Gerakannya demikian aneh, kadang menggetar, hingga pedang yang hanya sebatang
itu dapat berubah seperti belasan banyaknya. Namun kadang juga membentuk
lingkaran yang tidak pernah putus.
Oleh kecepatan gerak dua orang
muda ini menggunakan pedang, lenyaplah bentuk pedang itu dan yang tampak
hanyalah sinar kuning dan biru saling libat. Seakan dua ekor ular yang sedang
berkelahi dan saling libat.
Trang trang.... siutt....
wutt.... Benturan pedang yang nyaring
terdengar lagi. Kemudian disusul oleh sambaran pedang yang lebih dahsyat.
Apabila dua orang yang memiliki
ilmu pedang bertemu dan masing-masing menggunakan pedang pusaka, tentu terjadi
perkelahian yang seru dan berbahaya. Maka dalam waktu singkat, keadaan di tepi
sungai itu menjadi bosah-basih
(morat-marit) tidak
karuan. Semak belukar yang tinggi dan subur itu, seakan diserbu oleh puluhan
penyabit rumput. Dan pohon-pohon sekitarnya, seperti diserbu oleh para tukang
kayu. Pohon-pohon yang kecil segera tumbang oleh tajamnya pedang.
Sedang ranting dan dahan pohon yang tidak begitu tinggi, juga menjadi
berantakan. Makin lama perkelahian ini
bertambah sengit. Mereka adalah dua orang muda yang masih berdarah panas dan
masih bertenaga penuh. Maka
semakin lama berkelahi, dua batang pedang pusaka itu sambarannya menjadi semakin
cepat dan berbahaya.
Rudra Sangkala yang pada mulanya meremehkan gadis ini sekarang matanya baru
terbuka. Gadis yang tampaknya lemah lembut ini memang tak dapat dianggap remeh.
Ia juga melihat jelas gerakan gadis ini masih agak kaku, membuktikan gadis ini
belum memiliki pengalaman cukup luas dalam dunia perkelahian. Akan tetapi
kekurangannya itu bisa ditutup oleh kecepatan gadis ini bergerak. Dan bukan
hanya itu, tangan kirinya yang membantu, setiap memukul segera menyambar angin
pukulan dahsyat Diam-diam
ia heran dan bertanya dalam hati, siapakah guru gadis ini"
Terbayang kemudian dalam benak-
nya, betapa hebat apabila dirinya dan gadis itu dapat menjadi kekasih. Tentu
akan menggemparkan jagad ini, dengan
munculnya sepasang jago pedang. Akan tetapi celakanya gadis ini sulit dibujuk
dengan ucapan, dan sulit pula ditundukkan dengan kekerasan. Hal ini menyebabkan
Rudra Sangkala penasaran.
Kalau pada mulanya ia masih berharap dapat menundukkan gadis ini, makin lama
berkelahi menjadi semakin tipis harapannya. Dalam keadaan seperti ini lalu
timbul kekhawatirannya, kalau dirinya sampai kalah. Karena timbul
kekhawatirannya ini, akibatnya
membangkitkan watak asli Rudra
Sangkala. Watak yang sesat!
"Hiaaaattt...!"
Rudra Sangkala kaget sekali dan
cepat membuang diri ke belakang, berjungkir balik dalam usaha menyelamatkan
diri. Sambaran pedang yang bersinar
biru itu memang tidak terduga-duga.
Sedikit saja lambat, dirinya tentu akan roboh.
Tetapi justru oleh serangan ini, Rudra Sangkala semakin penasaran.
Kalau tidak dapat menundukkan gadis ini masih dalam keadaan hidup,
pendeknya ia harus menang. Meskipun demikian ia masih berteriak sambil melawan.
"Adik ayu, apakah engkau masih
membandel juga?"
"Mampuslah!" jawaban Dewi Sritanjung disusul oleh sambaran pedangnya
yang dahsyat, dibantu oleh pukulan tangan kiri yang melancarkan pukulan dari
ilmu tangan kosong, Sindung Riwut.
Semua ini menyebabkan Rudra
Sangkala tambah marah. Hampir saja ia mengambil pisau kecil untuk menyerang
gadis bandel ini. Tetapi niatnya ini segera urung, dan ia berpendapat lebih baik
menundukkan dengan racun wangi.
Bukankah dengan racun ini, ia dapat membuat gadis ayu ini terpengaruh dan
kemudian pingsan"
Dalam keadaan gadis ini pingsan, dirinya akan dapat menawan. Dan kalau sudah
dapat menawan, ia akan dapat merayu dan membujuk. Namun sebaliknya apabila gadis
ini tetap membandel, ia akan menggunakan kekerasan. Pendeknya sudah timbul
keputusan dalam hatinya, apabila tidak dapat mendapatkan kasih cinta, ia harus
dapat memiliki tubuhnya. Memperoleh keputusan demikian,
tiba-tiba saja Rudra Sangkala terkekeh. Pedangnya yang bersinar kuning itu
segera menyambar lagi dengan dahsyat
Trang trang.... siut.... sring
trang.... Beberapa kali terjadi benturan
pedang yang keras dan nyaring. Pada saat pedang berbenturan ini, Rudra Sangkala
sudah menyebarkan racun wangi
yang jahat itu.
Dasar Dewi Sritanjung belum
berpengalaman menghadapi lawan yang biasa berbuat curang, maka ia hanya
keheranan, ketika tiba-tiba hidungnya menghirup bau yang semerbak wangi.
Karena polos dan tidak curiga, maka gadis ini menduga tentu tak jauh dari tempat
ini terdapat rumpun pohon bunga yang menyebarkan bau harum itu. Maka gadis ini
tidak curiga sedikit pun, bahwa bau wangi ini adalah hasil perbuatan dari lawan.
Dewi Sritanjung baru menjadi
kaget setelah tiba-tiba kepalanya pening dan matanya kabur. Merasakan keadaan
ini ia baru menyadari lawan sudah menggunakan racun. Saking
marahnya, ia membentak nyaring sambil menyerang dahsyat sambil mencaci.
"Jahanam busuk! Engkau curang
menyebar racun!"
Rudra Sangkala tidak melayani
serangan lawan dan hanya berlompatan jauh menghindar sambil terkekeh
mengejek, "Heh heh heh heh, engkau takkan dapat menang melawan aku!"
Gadis ini menjadi amat khawatir
setelah kepala pening dan pandang matanya kabur. Sadarlah gadis ini, racun sudah
terlanjur masuk ke paru-paru.
Sayang sekali Dewi Sritanjung
sadar sudah terlambat. Kesadarannya
yang terlambat ini tidak dapat
menolong dirinya, karena racun wangi dapat bekerja cepat sekali. Maka kemudian
terdengar keluhan Dewi Sritanjung, disusul tubuhnya yang
terhuyung-huyung lalu roboh.
Untung sebelum roboh Rudra
Sangkala sudah melompat dan menyambar.
Dan gadis ini sekarang sudah dalam pondongan pemuda itu.
Rudra Sangkala menyeringai se-
perti iblis kelaparan. Kemudian ia tertawa terkekeh, membuktikan sekarang ini ia
gembira sekali, pada akhirnya dapat merobohkan gadis ayu ini. Dan saking tak
kuasa menahan hasrat ia lalu menunduk dan mencium bibir mungil dan merah itu.
Dengan hati-hati ia menyarungkan pedangnya sendiri. Lalu ia memungut pedang Dewi
Sritanjung yang bersinar biru itu. Pedang ini ditimang-timang sebentar, diamati
agak lama, dan setelah puas ia meringis.
"Diajeng, kekasihku yang ayu,
sekarang engkau harus mengakui
keunggulanku" Heh heh heh heh. Engkau harus menjadi kekasihku, dan engkau harus
menurut menjadi isteriku."
Kemudian ia menundukkan kepalanya lagi, menggunakan ujung hidungnya mencium pipi
yang halus dan montok itu.
"Pedangmu ini amat bagus. Tetapi
aku tidak ingin merampas, maupun memiliki. Bukankah setelah kita menjadi
kekasih, menjadi suami-isteri, aku dan kau sama-sama membutuhkan senjata yang
ampuh" Engkau dengan pedang pusakamu sendiri dan aku dengan pedang pusakaku
pula, akhirnya akan menjagoi seluruh dunia ini. Heh heh heh heh, semua orang
akan tunduk dan kita dapat memerintah mereka sesuka hati."
Rudra Sangkala berhenti dan
memberikan ciumannya lagi. Sejenak kemudian sambungnya, "Sesudah semua orang
tunduk dan di bawah pengaruh kita berdua, huawaduh.... kita akan hidup
terhormat. Kemudian Diajeng, kita kumpulkan semua kekuatan itu, dan kita gunakan
untuk memukul Kerajaan Majapahit. Diajeng, dengan bantuan guruku, percayalah
akan dapat menundukkan semua tokoh Majapahit.
Huh, Mahapatih Gajah Mada harus
dicincang, biar tubuhnya hancur
berkeping-keping. Lalu Mpu Nala yang terkenal gagah perkasa itu, kita hukum
rangket dengan sapu kawat berduri sampai mampus. Huh, kemudian
Adityawarman yang sombong itu, aku memang benci sekali. Untuk dia hukuman yang
Pendekar Penyebar Maut 26 Naga Beracun Lanjutan Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Pendekar Latah 1
^