Pencarian

Tiga Dara Pendekar 10

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 10


hari ini ia mengetahui bahwa kaisar sudah mening-galkan
surat wasiat, maka lekas ia menyampaikan berita itu kepada
In Si. Mendapat kabar itu, segera In Si berembuk juga dengan
orang-orang kepercayaannya, pendapat mereka ternyata
sama dengan In Ceng, maka ln Si juga mengirim tiga
pengawalnya yang mahir Gin-kang untuk pergi mencuri lihat
surat wasiat, dua di antara tiga jago pengawal yang dikirim itu
bukan lain ialah orang-orang yang dilihat Teng Hiau-lan di
dalam istana tersebut tadi.
Ketiga jagoan yang dikirim ln Si itu setelah berunding,
mereka ambil keputusan, dua orang meronda dan seorang
naik ke atas be-landar induk istana tempat papan dimana
tertaruh surat wasiat itu.
Ketika orang itu merayap naik dari tiang besar di tengah
istana, sekonyong-konyong dari belakang belandar induk yang
melintang itu menyambar keluar beberapa titik sinar
mengkilap. Begitu cepat titik-titik sinar itu menyambar hingga tak
mungkin jagoan pengawal itu sempat berkelit, segera dua
pisau terbang menancap pada badannya dan seketika itu pula
terguling ke bawah. Dalam pada itu, dengan cepat tampak Pang Lin melayang
keluar dari emperan rumah, lalu melompat naik pula ke atas
genting kaca istana itu, menyusul lantas terdengar orang
berteriak, "Tangkap penjahat!"
Yang berteriak itu bukan lain ialah Thian-yap Sanjin,
dengan akal maling teriak maling, ia sengaja alihkan perhatian
orang dan tumplekan kesalahan pada pihak lain. Ketika jago
pengawal istana memburu datang, Thian-yap bersama Pang
Lin sudah kabur dari samping istana Eng-hoa-tian terus
bersembunyi di tempat gelap.
Kembali bercerita mengenai Teng Hiau-lan tadi, ketika ia
berlari keluar dari jalan di bawah tanah itu, dilihatnya di luar
Kian-jing-kiong sudah ada bayangan pedang dan sinar golok
yang sedang bergebrak. Ketika Hiau-lan sampai di luar Yang-sim-tian, Khong-hi menongolkan
kepalanya dari semak tempat persembunyian,
selagi kaisar ini hendak memanggilnya, sekonyong-konyong
terlihat sesosok bayangan orang secepat terbang mendatangi,
begitu cepat hingga hampir berbarengan dengan Teng Hiaulan.
"Siapa berani bikin kaget Yang Mulia?" bentak Thaykam
penjaga ketika melihat ada orang secara sembrono berani
menerjang. Akan tetapi segera terdengar orang itu tertawa panjang.
"Ha, kiranya kau inilah kaisarnya!" serunya dengan beringas.
Sekali bergerak, segera ia kirim telapak tangannya membelah
ke arah Khong-hi. Dengan cepat kedua Thaykam tadi berusaha maju
menolong, namun hanya sekali gebrak saja mereka sudah
dipukul roboh hingga semaput. Menyusul pukulan orang itu
mengancam pula, sedang kakinya berbareng pun menendang.
Hubungan daran-daging antara ayah dan anak tidak
memungkinkan Hiau-lan berpeluk tangan, melihat Khong-hi
terancam bahaya, segera Teng Hiau-lan melolos pedangnya,
dengan cepat ia ayun senjatanya membabat ke pinggang
orang, dengan demikian ia paksa orang menarik kembali
serangannya pada Khong-hi.
Orang itu ternyata cukup tangkas pula, mendadak ia
meloncat naik, namun Teng Hiau-lan punya Tui-hong-kiamhoat
cepat luar biasa, secara bertubi-tubi ia mencecar orang.
Ketika orang itu melayani serangan Hiau-lan, sementara itu
Khong-hi sudah bersembunyi masuk ke dalam istana Yangsim-
tian. Karena maksudnya gagal, orang itu rupanya menjadi
murka, Ciang-hoat atau ilmu pukulan dengan telapak tangan
lantas berubah, ia menerjang maju di bawah kurungan sinar
pedang Hiau-lan, rupanya ia sudah nekat dan siap mengadu
jiwa. Nampak Khong-hi sudah menyingkir pergi, Teng Hiau-lan
tidak ingin melayani orang lebih lama, mendadak ia tarik
senjatanya dan melompat keluar kalangan. Tidak terduga
gerak tubuh orang itu ternyata cepat luar biasa, begitu Hiaulan
melompat mundur, segera ia pun mendesak maju, dengan
sekali jambret ia dapat memegang pundak pemuda itu.
"Ling-kiong (istana pengasingan) terletak dimana?"
bentaknya dengan suara tertahan.
Tergerak juga hati Hiau-lan atas pertanyaan orang, untuk
menolong diri sendiri, cepat ia keluarkan tipu penyelamat
ajaran Ie Lan-cu, tiba-tiba ia mendoyong ke depan, berbareng
pedangnya menerobos melalui bawah bahu terus menusuk ke
belakang. Bila orang itu tak melepaskan cekalannya, pasti tusukan
Hiaulan akan menembus perutnya.
Sama sekali orang itu tidak menduga bahwa Kiam-hoat
Teng Hiau-lan bisa begitu lihai, terpaksa ia lepaskan
cekalannya dengan cepat terus melompat pergi hingga jauh,
sedang Hiau-lan sendiri pun tidak urung kena dilempar hingga
tergopoh-gopoh dan pundak pun terasa panas pedas.
Nyata Teng Hiau-lan tidak tahu bahwa orang ini bukan lain
ialah bekas tunangan ibunya dulu yang pernah diceritakan itu,
yaitu Ciok Keh-siu. Setelah menghilang selama tiga puluhan tahun, kiranya ia
pergi merantau untuk mencari guru silat, akhirnya ia berhasil
masuk perguruan Cong-lam-pay, menjadi murid tokoh
ternama aliran tersebut, yaitu Bu Sing-hua (adik Bu Ging-yao).
Setelah melatih diri dengan giat selama belasan tahun,
dalam hal Kun (pukulan tangan/kepalan) dan Kiam (pedang)
ia sudah cukup dalam mempelajarinya.
Habis tamat belajar, pernah juga dua kali Ciok Keh-siu
kembali ke kotaraja, ketika bertemu Khau Sam-pian, ia
mendapat tahu bahwa Hay Hong (ibu Hiau-lan) telah digusur
ke istana pengasingan, kejadian ini tentu saja menambah rasa
dukanya. Sebenarnya ia mau menyusup masuk ke istana, tetapi Khau
Sam-pian mencegahnya. Kata Khau Sam-pian, "Meski
kepandaian-mu bagus, tapi jago silat dalam istana terlalu
banyak, kalau gagal, bukan saja sia-sia kau mengantar nyawa,
bahkan lebih membikin susah Hay Hong."
Begitulah Khau Sam-pian memberi nasihat agar Ciok Kehsiu
membatalkan saja niatnya itu. Karenanya Ciok Keh-siu
kemudian berangkat ke tempat jauh dengan perasaan hampa.
Kejadian itu sudah selang tiga puluhan tahun, tapi tekad
Ciok Keh-siu ingin mencari Hay Hong itu ternyata tidak pernah
padam. Pikirnya, usiaku dan Hay Hong kini sudah sama-sama
lanjut, kalau sekarang tidak bertemu, mungkin harus
menunggu sampai jelmaan hidup yang akan datang.
Oleh sebab itulah maka dengan menghadapi bahaya ia
memasuki istana. Tidak terduga pada malam ini juga, dua
putra pangeran telah sama-sama mengirim jago pengawal
mereka ke istana, sedang Teng Hiau-lan berada pula di dalam
sana. Begitulah, setelah Ciok Keh-siu terpaksa mundur karena
tipu serangan Hiau-lan tadi, dalam pada itu dilihatnya di depan
Kian-jing-kiong sudah berwujud lautan senjata, para jago
pengawal istana sudah berduyun-duyun membanjir datang
dan siap tempur. Lekas ia memilih jalan sepi, ia kitari gunung-gunungan
palsu, berkat rintangan dalam taman itu ia tidak sampai
kepergok orang. Pada suatu ketika, ia incar seorang Wi-su yang terpencil
sendiri, secara tiba-tiba ia menyergapnya dari belakang,
dengan sekali hantam ia bikin pengawal itu semaput, ia
menyeretnya masuk ke dalam gua gunung-gunungan, ia lucuti
pakaian seragam pengawal itu terus dipakainya sendiri,
kemudian dengan lagak kereng ia berjalan keluar.
Dengan begitu tanpa terasa akhirnya ia telah sampai di
kolam depan istana pengasingan tadi, tiba-tiba dilihatnya ada
serombongan Kiong-li sedang menggotong sebuah balai-balai
atau balai-balai bambu, di atas balai-balai itu rebah seorang
wanita yang tubuhnya tertutup de-ngan kain putih.
Tidak tersangka olehnya bahwa wanita ini justru
kekasihnya yang dirindukannya siang dan malam selama tiga
puluh tahun ini. Kiranya sesudah Teng Hiau-lan diajak pergi Khong-hi,
wanita itu menangis sedih pula. sesudah menangis lalu ia
tertawa, menangis dan tertawa lagi, tiba-tiba ia merasa
segenap harapannya sudah kosong, tubuhnya seperti tinggal
raga belaka, kekuatan jiwanya sama sekali lenyap, dan
akhirnya ia jatuh roboh. Mengenai masuknya kaisar ke dalam istana pengasingan
itu, dengan segera hal itu diketahui oleh para Thaykam,
dayang-dayang kebiri itu biasanya paling pintar mengeduk
keuntungan pada kesempatan baik, mereka menunggu Khonghi
sudah pergi, dengan segera mereka lantas melapor kepada
pembesar wanita yang mengurus istana pengasingan itu.
Ketika mereka memeriksa ke dalam, mereka dapatkan Hay
Hong sudah menggeletak di lantai, maka sesudah berunding,
diputuskan memindahkan Hay Hong dari tempat itu, kemudian
baru dilaporkan kepada Hongsiang.
Oleh karena itulah, pada waktu Ciok Keh-siu lewat tepi
kolam tadi, segera ia kepergok rombongan Kiong-li itu.
"Siapa berani terobosan ke sini?" bentak Kiong-li kepala
ketika melihat ada seorang Thaykam datang dari depan.
Waktu Ciok Keh-siu mengangkat kepalanya, dilihatnya
wanita yang digotong itu tertutup kain putih, rambutnya sudah
jarang-jarang dan ubanan, paras mukanya keriput dan sangat
seram, jari kedua tangan yang tertampak dari luar kurus
kering seperti cakar ayam saja, ia mengkirik sendiri, dalam
hati menggerutu dan merasa sebal.
Tiga puluh tahun tidak bertemu, sudah tentu Hay Hong
bukan lagi wanita cantik lagi, ternyata kekasih yang dicarinya
itu sudah bertemu tapi dia malah pangling, mimpi pun tidak
pernah ia duga bahwa wanita tua yang rupanya menakutkan
itu justru adalah kekasih yang ia cari dengan tidak
menghiraukan bahaya bagi dirinya.
Dalam keadaan sadar tak sadar Hay Hong mendengar
suara bentakan, perlahan-lahan ia pentang kelopak matanya,
namun sementara itu Ciok Keh-siu sudah lewat.
Waktu itu, dua jago pengawal yang dikirim Tit-kun-ong In
Si sudah tertangkap, seorang di antara pengawal itu karena
lebih dulu kena pisau terbang Pang Lin yang berbisa,
ditambah lagi waktu bertempur terlalu banyak mengeluarkan
tenaga, maka ketika ia dibekuk sudah keburu mati terserang
racun. Khong-hi sendiri memeriksa Wi-su yang tertangkap itu,
ketika mengetahui bahwa Wi-su itu dikirim oleh putranya
sendiri yang sulung, ia menjadi gusar, segera ia titahkan
memecat In Si dari kedudukannya sebagai Tit-kun-ong dan
diserahkan Cong-jin-hu (dewan pengawas) untuk
mengawasinya. Dengan demikian maka kembali In Ceng berhasil
melenyapkan seorang musuh besarnya.
Malam itu sesudah terjadi huru-hara, setelah keadaan
tenteram kembali, hari pun hampir pagi. Khong-hi menahan
Teng Hiau-lan tinggal semalam di Yang-sim-tian. Besok
paginya, Thaykam pengurus istana melaporkan bahwa Kionggo
yang ditahan dalam istana pengasingan itu semalam sudah
meninggal. Bukan main rasa terharunya Khong-hi ketika mendapat
laporan itu, berulang-ulang ia menghela napas, tapi segera ia
titahkan menguburnya dengan penuh kehormatan sebagai
selir kesayangan. Sesudah itu ia lantas memanggil Hiau-lan ke
kamar tulisnya. ' "Tidak perlu kau tunggu ibumu lagi, semalam ia sudah
meninggal!" dengan muram Khong-hi memberitahukan berita
sedih itu. Memangnya Teng Hiau-lan sudah berduka, kini mendapat
berita buruk itu, seluruh tubuhnya seketika menjadi kaku, ia
hendak menangis, namun tiada air mata. Lama sekali baru ia
tenang kembali. "Baiklah, aku berangkat!" katanya kemudian
dengan suara parau. "Kau tunggu sebentar!" kata Khong-hi. Habis itu ia
perintahkan Hong-bun-koan (pembesar pengantar)
menghadap, ia menulis sepucuk surat perintah, kemudian ia
suruh Hong-bun-koan membawa Hiau-lan pergi menjumpai In
Ceng. Begitulah dengan perasaan duka dan bimbang Teng Hiaulan
keluar dari istana. Sesampai di depan istana In Ceng
ternyata ia masih linglung.
"Sudah sampai!" kata Hong-bun-koan sambil
mendorongnya. Karena itu baru ia tersadar dari impiannya, kemudian ia
melangkah turun dari kereta kuda mereka.
"Hongsiang betul-betul sudah pikun dan gegabah, masakah
orang tolol begini dipilih menjadi pengawal," diam-diam Hongbun-
koan itu merasa geli. Dalam pada itu Hiau-lan sudah mencuci bersih obat polesan
mukanya di dalam istana, maka parasnya kini sudah kembali
asal. Tatkala melihat siapa yang berhadapan dengan dia, Siangmo
menjadi kaget. Akan tetapi karena Hiau-lan diantar oleh
Hong-bun-koan, bahkan menurut cerita pembesar itu, pemuda
ini terhitung pengawal kesayangan Sri Baginda, maka mau tak
mau mereka harus membiarkannya menemui In Ceng.
Ketika nampak Hiau-lan, In Ceng sendiri pun merasa heran
dan terkejut, Liau-in dan Haptoh yang berada di sampingnya
juga pentang mata lebar-lebar saking heran.
"Hiau-lan, permainan sandiwara apakah sebenarnya yang
sedang kau lakukan?" tegur Liau-in tak sabar, begitu Hongbun-
koan itu berlalu. Akan tetapi In Ceng lantas mencegahnya, ia goyanggoyang
tangannya. "Dengan bakat Teng-heng yang tinggi,
memang sudah sepantasnya mencari jalan keluar yang baik,"
katanya kemudian. "Sejak kapankah Teng-heng masuk ke
istana" Apa kesehatan Hongsiang baik-baik saja?"
"Baik," sahut Hiau-lan, ia tertegun sejenak, sesudah itu
tiba-tiba ia berkata lagi, "Harap Pwelek (panggilan pangeran
Boan) singkirkan orang-orang lainnya."


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Atas permintaan ini, In Ceng merasa kurang senang.
"Kedua orang ini semuanya orang kepercayaanku, apa yang
Teng-heng hendak katakan, boleh katakan saja terus terang,"
ujarnya. "Lebih baik kita berdua saja yang berbicara berhadapan!"
pinta Teng Hiau-lan pula.
"Berani kau kurangajar!" bentak Liau-in gusar.
Namun In Ceng tiba-tiba mendapat pikiran lain, selagi ia
hendak memerintahkan Liau-in dan Haptoh menyingkir,
mendadak di bawah loteng terdengar suara gaduh bercampur
suara teriakan orang menangkap pembunuh.
Tanpa diperintah Liau-in angkat tongkatnya terus berdiri,
akan tetapi pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara
gedubrakan yang keras, pintu kamar dimana mereka berada
sudah didobrak orang, menyusul terlihat seorang dengan
pedang terhunus menubruk masuk ke dalam secepat terbang!
Waktu Teng Hiau-lan mengawasi, ternyata orang ini adalah
orang yang semalam bergebrak dengan dirinya itu.
Orang yang menerjang masuk ternyata Ciok Keh-siu
adanya. Begitu melompat masuk, pedangnya bergerak,
dengan tipu 'Pek-khing-koan-jit' (pelangi putih menembus
sinar matahari), dengan cepat ia menusuk In Ceng.
Sudah tentu Liau-in tidak tinggal diam, tongkatnya bekerja
dengan cepat, maka terdengarlah suara nyaring beradunya
benda keras, pedang orang itu terguncang pergi hingga ujung
senjatanya mengarah ke jurusan samping terus menyambar
ke iga Teng Hiau-lan. Lekas Hiau-lan berkelit, tapi ia tidak balas menyerang..
Sementara itu Haptoh pun sudah bergerak, telapak tangan
kirinya menghantam dari samping, sedang kepalan kanan
berbareng juga memukul ke tempat luang musuh.
Begitu menyambut serangan lawan, segera Ciok Keh-siu
insyaf bahwa kepandaian Liau-in dan Haptoh masih jauh di
atas dirinya, segera ia pura-pura menyerang dua kali,
kemudian dengan cepat ia menerobos keluar melalui jendela.
Sudah tentu orang itu tidak dibiarkan kabur begitu saja,
Haptoh yang pertama menguber keluar.
"Kalau kau adalah Wi-su dalam istana, mengapa tidak kau
balas serangan tadi?" bentak Liau-in kepada Teng Hiau-lan.
Berbareng itu tangan kirinya menarik, tanpa kuasa Hiau-lan
ikut terseret keluar dari kamar loteng itu, karena tidak keburu
menahan dirinya, sekalian Hiau-lan lantas melayang turun ke
bawah. Terdengar suara beradunya senjata ramai sekali
dibarengi suara orang berseru terkejut.
Waktu Teng Hiau-lan berpaling ke sana, seketika ia
mengeluh. Kiranya di antara sinar pedang yang sambarmenyambar
dan bayangan orang berkelebat kian kemari itu
tertampak olehnya Kwantang-si-hiap juga sudah datang
semua. Lebih celaka lagi ialah gurunya, Thi-cio-sin-tan Nyo Tiongeng
dengan putrinya, juga sedang bertarung sengit di
pelataran itu. Ketika mendadak nampak Hiau-lan, terdengar Nyo Tiongeng
berseru kaget, cepat ia lolos lewat di bawah senjata Han
Tiong-san, yaitu pacul 'Pi-hun-tuh', yang saat itu sedang
memaculnya. "Aku ada di sini, Suhu!" seru Hiau-lan memanggil.
Akan tetapi Ciok Keh-siu sudah keburu menyela, "Awas, dia
adalah mata-mata musuh!"
Karena kata-kata ini, air muka Nyo Tiong-eng seketika
berubah, tanpa bicara segera ia menghantam dengan telapak
tangannya. Kiranya sejak Kwantang-si-hiap menempur Siang-mo di
atas Thay-hing-san dahulu dan menderita kekalahan besar,
selama dua belas tahun ini mereka melatih diri secara giat,
mereka senantiasa berpikir akan menuntut balas pada Siangmo,
akan tetapi Siang-mo berada di dalam istana Si-hongcu,
Kwantang-si-hiap tak berani me-ngeluruk secara sembrono.
Kini mereka mendapat kabar bahwa Si-hongcu sedang
keluar kota dengan membawa tokoh silatnya, hanya tertinggal
Siang-mo dan seorang she Han saja buat menjaga rumah.
Sementara ini kepandaian Kwantang-si-hiap masing-masing
sudah banyak bertambah tinggi daripada dahulu, oleh karena
itu mereka lalu mengeluruk ke kotaraja dengan maksud
mengobrak-abrik istana pangeran sambil membalas dendam.
Kebetulan juga waktu itu Nyo Tiong-eng dan putrinya, Nyo
Liu-jing, sedang mencari Teng Hiau-lan, mereka merantau
Kang-ouw dengan menjual silat dan sementara itupun sampai
di kotaraja. Pada suatu hari, di Thian-kio (lapangan terkenal di Peking,
tempat yang biasanya menjadi pusat berkumpul orang-orang
perantauan) Nyo Tiong-eng bertemu Ciok Keh-siu. Mereka
berdua memang sudah kenal, maka segera bergabung dan
tinggal bersama. Beberapa hari kemudian, mereka berpapasan dengan
Kwantang-si-hiap pula, empat pendekar dari Kwantang ini
mengajak Ciok Keh-siu ikut menempur Siang-mo, akan tetapi
waktu itu yang dipikirkan Ciok Keh-siu senantiasa hanya
mencari kekasihnya, maka dengan suatu alasan ia menolak
ajakan itu. Sudah tentu tampikan orang membikin Kwantang-si-hiap
rada kurang senang. Waktu usahanya mencari kekasih gagal dan Ciok Keh-siu
kembali lagi, ia lihat Kwantang-si-siap masih sirik padanya,
maka dalam dukanya ia membeberkan isi hatinya, di sini baru
Kwan-tang-si-hiap mengetahui bahwa orang ternyata
mempunyai kisah hidup yang mengharukan.
Begitulah kemudian Ciok Keh-siu mengulangi lagi soal lama,
bersama Kwantang-si-hiap dan Nyo Tiong-eng ayah dan anak,
hari itu juga ia ikut masuk ke istana Si-hongcu bual
menggempur Siang-mo. Kembali tadi, ketika Teng Hiau-lan nampak Suhunya tak
mau tahu akan kata-katanya dan pukulan masih terus
diarahkan padanya, lekas pemuda ini berkelit.
Namun Ciang-hoat atau ilmu pukulan Nyo Tiong-eng
memang aneh dan hebat, segera ia melangkah maju lagi,
dengan gerak tipu 'Co-yu-gay-kiong' (membidik ke kanan dan
ke kiri) berbareng ia pukulkan kedua tangannya.
Karena kepepet, terpaksa Teng Hiau-lan harus menangkis,
ia sambut serangan itu dengan tipu 'Kay-ka-toat-bau'
(melepas baju dan mencopot jubah), ia patahkan pukulan Nyo
Tiong-eng itu, kemudian ia melompat pergi sejauh lebih
setombak. Melihat ilmu silat pemuda ini sudah jauh maju, Nyo Tiongeng
masih terus merangsek dan menggempur lagi.
Nampak ayahnya sudah mulai hilang kesabaran, Nyo Liujing
menjadi gugup, ia khawatir ayahnya betul-betul akan
melukai Teng Hiau-lan, cepat ia berteriak, "Tia-tia (ayah)!"
Nyo Tiong-eng urungkan serangannya dan berdiri di
tempatnya demi mendengar seruan gadisnya itu, akan tetapi
segera ia di-papaki oleh Haptoh, sekali angkat tangan, Haptoh
mendesak Nyo Tiong-eng hingga tergetar mundur.
Lekas Nyo Liu-jing keluarkan kepandaiannya membidikkan
peluru, ia berusaha melindungi ayahnya.
Peristiwa luar biasa yang terjadi mendadak itu, menjadikan
Teng Hiau-lan bingung, seketika ia kehilangan akal.
Dalam pada itu Hian-hong Tojin yang bertabiat keras,
karena seruan Ciok Keh-siu mengenai Hiau-lan tadi, ia pun
terkejut. "Betulkah katamu?" tanyanya kepada Ciok Keh-siu.
"Semalam bahkan dia berada bersama dengan si tua
Hongte, kalau aku tidak kabur dengan cepat, mungkin aku
sudah tewas di bawah pedangnya!" sahut Ciok Keh-siu
menguatkan keterangannya.
Karena penjelasan ini, Hian-hong menjadi gusar, tapi
segera ia pun merasa heran bahwa Ciok Keh-siu yang ilmu
silatnya tidak di bawah dirinya, mengapa bisa dikalahkan Teng
Hiau-lan" Maka segera ia menubruk maju, dengan pedang di tangan
kanan, sedang tangan kiri mencekal tongkat, kedua senjata
berbareng ia hantamkan. Hiau-lan cukup mengetahui kelihaian Hian-hong yang tidak
kenal ampun kepada lawannya, serangannya susah untuk
dielakkan, oleh karena itu ia tak berani gegabah, lekas ia
cabut pedangnya untuk menangkis.
Serangan Hian-hong sebenarnya hanya pancingan saja
tetapi juga bisa kena betul-betul, namun ia hanya ingin
mencoba kepandaian Teng Hiau-lan saja, sudah tentu hal ini
tidak diketahui oleh pemuda ini.
Maka untuk melayani serangan Hian-hong yang terkenal
lihai itu, Hiau-lan keluarkan Thian-san-kiam-hoat yang hebat
untuk melindungi diri, dari kiri ia gunakan tipu 'Ping-ho-kaytong'
(sungai es melumer) dan dari sebelah kanan ia gunakan
gerakan 'Liong-yau-jim-yan' (ular naga masuk liang), ia
menyerang sembari membela diri, dengan demikian ia paksa
Hian-hong menarik kembali senjatanya.
Baru kini Hian-hong percaya apa yang dikatakan Ciok Kehsiu
memang tidak dusta, maka secepat kilat ia ubah tipu
serangannya, ia tidak mau pura-pura memancing lagi, tapi
terus merangsek, tiap tipu serangannya selalu mengarah ke
tempat yang berbahaya. Hiau-lan menangkis sebisanya beberapa kali, sesudah itu ia
lantas berteriak, "Suhu! Supek, dengarkan penuturanku!"
"Tutup bacotmu, siapa yang mau percaya lagi pada orang
yang lupa budi dan berkhianat semacam kau ini!" bentak
Hian-hong gusar. Sesudah itu serangannya jadi makin gencar
dan sengit. Karena sedikit terlambat Hiau-lan berkelit, segera lengan
bajunya kena tertusuk robek oleh pedang Hian-hong hingga
terpaksa pemuda ini memutar lebih kencang pedangnya, ia
unjuk gerak tipu yang paling hebat dari Thian-san-kiam-hoat.
Sebenarnya Teng Hiau-lan hanya bermaksud membela diri
saja, tak terduga gerak tipunya tadi ternyata membawa
pengaruh yang cukup hebat, begitu ia bergerak, keadaan
menjadi sukar ditahan pula, segera terdengar suara nyaring
beradunya senjata, tongkat di tangan kiri Hian-hong kena
dikutungi sebagian oleh Yu-liong-pokiam.
Kejadian tak tersangka itu seketika membikin Hian-hong
tercengang dan merandek. Kesempatan itu segera digunakan oleh Teng Hiau-lan buat
melompat pergi. Tak terduga segera ia disambut pula lawan
yang lain, pandangan matanya mendadak menjadi silau dan
bau arak pun menusuk hidung. Kiranya Long-goat Siansu telah
menyemburkan araknya mengarah kedua mata Teng Hiau-lan.
Dengan cepat pemuda ini berkelit, namun Long-goat tak
mau melepaskan lawannya begitu saja, sekuat tenaga ia
semprotkan araknya lagi, kini arus araknya berubah kecil-kecil
hingga baju Hiau-lan kena disemprot tembus dan berlubang
laksana sarang tawon. Sementara itu Ban-li-tui-hong Liu Sian-gai juga tidak tinggal
diam, secepat anak panah ia pun melayang tiba, sekali
mengulur tangan segera ia bermaksud menjambret, namun
meleset hingga yang kena hanya baju Hiau-lan. Karena itu
baju pemuda ini terobek sebagian sampai surat yang ditulis
oleh Kaisar yang berada dalam bajunya ikut kena terebut.
Atas kejadian mendadak ini, Hiau-lan menjadi terkesima
dan terpaku. "Aku ... aku berulang-ulang ia hendak bicara,
akan tetapi suaranya macet dan hanya sampai
kerongkongannya saja dan tak mampu keluar lebih lanjut.
"Aku apa?" bentak Nyo Liu-jing demi nampak sikap pemuda
ini. Rasa suka dan duka bercampur-aduk dalam hati gadis ini,
akan tetapi ia pun tidak ayal, dengan sekali pentang
gendewanya, segera ia bidikkan pelurunya.
Teng Hiau-lan yang sudah kacau pikiran dan linglung,
serangan itu ternyata tidak dihindarkan olehnya.
Namun Liau-in tidak tinggal diam, dengan sekali
menggereng ia putar tongkatnya yang besar itu, kontan peluru
yang dibidikkan Liu-jing kena disampuk terpental balik.
Waktu,melihat Nyo Liu-jing berparas cantik manis, Hwesio
ini mendadak timbul maksud jahatnya, dengan tongkat
menutul tanah, tubuhnya membal ke atas, ia pentang sebelah
tangannya, laksana elang hendak menyambar kelinci, segera
ia hendak jambret Nyo Liu-jing.
Hian-hong terkejut atas serangan itu, senjatanya segera
ditariknya ke samping, di antara berkelebatnya sinar pedang
segera menusuk 'Thian-liau-hiat' di tulang punggung Liau-in.
Liau-in cukup gesit, dengan menggunakan tongkatnya
sebagai galah, ia putar tubuh dan tetap tidak mau melepaskan
Nyo Liu-jing, jambretannya masih diteruskan kepada gadis itu.
Namun Kiam-hoat Hian-hong pun sangat cepat, ia pun
tidak mengubah tipu serangannya, sedikit bergerak, dengan
gaya 'Yang-liu-ti-lo' (tangkai pohon meneteskan embun),
dengan rada miring ia menutuk pula 'Cing-ciok-hiat' di
punggung Liau-in. Nampak imam tua ini cukup cekatan, Liau-in tak berani
memandang enteng lagi kepada lawannya, ia putar tubuh
terus melompat ke sana. Kepandaian Liau-in tentu lain daripada yang lain, sambaran
angin tongkatnya sangat hebat dan tajam laksana pisau,
beruntun Hian-hong menangkis belasan jurus, namun ia
segera insyaf bahwa dirinya bukan tandingan Hwesio ini.
Dalam pada itu, keadaan pertarungan sengit sudah menjadi
kacau, pihak Kwantang-si-hiap sudah terdesak di bawah
angin, lebih-lebih keadaan Nyo Liu-jing sangat menguatirkan.
"Pergi!" seru Hian-hong kepada kawan-kawannya.
Berbareng itu senjatanya bekerja lebih kencang, ia menusuk
dua kali ke arah Sat Thian-ji dan Sat Thian-toh, lebih dulu ia
lepaskan tiga saudara angkatnya, Liu Sian-gai, Tan Goan-pa
dan Long-goat Siansu dari ancaman dua iblis itu, sedang Nyo
Tiong-eng sambil melindungi putrinya, dibantu Ciok Keh-siu di
sebelah belakang, bergantian mereka pun akhirnya melompat
keluar dari pagar tembok taman itu.
Dengan menjinjing tongkatnya, Liau-in sebenarnya masih
berniat mengudak, akan tetapi ia keburu ditahan In Ceng.
"Biarkan saja mereka pergi!" teriak putra pangeran itu dari
atas loteng. Kiranya In Ceng sedang merundingkan soal surat wasiat
kaisar dengan Thian-yap Sanjin, karena urusan ini lebih
penting, ia khawatir keonaran tadi jadi meluas dan memberi
kesempatan kepada pangeran lain untuk menggempur


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padanya, sebab itulah ia mencegah dan memanggil kembali
Liau-in dan kawan-kawan Sementara itu yang paling bingung dan ruwet pikirannya
ialah Teng Hiau-lan. Memangnya ia sudah berduka dan putus
asa karena peristiwa semalam, yang membongkar rahasia
asal-usul dirinya selama ini, sama sekali tidak terduga kini
terjadi pula salah paham dengan gurunya. Dalam keadaan
demikian, ia hendak habiskan nyawa sendiri pun tidak
mungkin, jangan kata Nyo Tiong-eng dan Kwantang-si-hiap
begitu berbudi dan setia kawan kepadanya, bahkan kalau ia
mati begitu saja, maka nama jeleknya menjadi lebih susah
untuk dicuci bersih. Begitulah, dalam keadaan hati hancur, sebelah tangannya
yang menghunus pedang tadi perlahan-lahan melurus lemas
ke bawah. "Penjahat sudah kabur, ada apalagi kau terus mematung di
sini?" dengan tertawa menyindir Liau-in menegur pemuda itu.
Ejekan itu membikin hati Hiau-lan jadi makin terluka dan
gemas. "Mati pun tidak nanti aku minta belas kasihan pada kalian!"
teriaknya mendadak terus mengenjot tubuhnya melompat ke
atas pagar tembok dan pergi.
Dengan perasaan tidak keruan, pemuda ini berlari keluar
dari pintu gerbang utara tanpa tujuan. Tiba-tiba ia terkaget
karena seruan orang yang memapak padanya dari depan,
"Anak kurangajar, masih berani juga kau mengejar!"
Ternyata Nyo Tiong-eng yang berdiri di atas tembok
benteng. Sesudah rombongan Hian-hong ini kabur dari istana
pangeran, mereka pun melalui jalan ini, baru saja mereka
melangkah sampai di atas tembok benteng dan hendak
melintas keluar, Nyo Tiong-eng yang berada paling belakang
tiba-tiba melihat Teng Hiau-lan seorang diri menyusul datang
dengan berlari, orang tua ini mengira Teng Hiau-lan sedang
menguber mereka. "Suhu, harap kau memberi kesempatan padaku untuk
memberi penjelasan!" seru Hiau-lan dengan suara terputusputus.
Nyo Liu-jing yang berjalan di depan diapit Hian-hong dan
Long-goat Siansu, ketika mendengar suara orang, gadis ini
segera berhenti. Tergetar juga hatinya demi mendengar
seruan Teng Hiau-lan yang memilukan itu. "Coba biarkan dia
bicara, mungkin ada sebab lain!" ujarnya tak tega.
"Jangan bergurau dengan jiwa sendiri!" kata Hian-hong
ragu-ragu. Sesudah itu ia lantas meneriaki Nyo Tiong-eng,
"Nyo-heng, awas kalau di belakang ada pengejar lain!"
Maka tanpa bicara lagi segera Nyo Tiong-eng pentang
gendewanya, di antara mendesirnya angin, ia bidikkan dua
pelurunya. Sementara itu Teng Hiau-lan yang setengah linglung dan
kabur semangatnya, tidak dapat berkelit, keruan saja batok
kepala dan sikunya terkena bidikan peluru, terus saja ia jatuh
tersungkur. "Kau telah melanggar pantangan keras pintu perguruan,
tidak nanti aku mengampuni kau!" Nyo Tiong-eng membentak
pula. Kemudian ketika Teng Hiau-lan merangkak berdiri,
rombongan Nyo Tiong-eng sudah pergi jauh.
Seorang diri Teng Hiau-lan melanjutkan langkahnya dengan
lambat sekali, teringat pada larangan Ko-yang-pay yang
sangat keras waktu dia masuk perguruan, ia telah bersumpah
setia pada kedua belas larangan besar, pasal empat di antara
larangan itu menyatakan tak boleh berdekatan dengan
pembesar dan bergaul dengan pejabat negeri, sedang pasal
12, melarang menipu guru dan menodai leluhur, dua pasal ini
semuanya kini telah dilanggarnya.
"Tentu Suhu khawatir Liau-in dan kawan-kawan menyusul
dari belakang, kalau tidak, tadi aku sudah ditangkap olehnya,"
begitu ia berpikir. Karena pikiran ini, ia pun bergidik ngeri, ia bukan takut
mati, tapi ia khawatir kalau peristiwa fitnah ini selamanya
sukar dibikin terang dan namanya takkan dapat dicuci bersih
lagi. Sesudah ia kembali ke pondoknya di Se-san, ia tenggelam
dalam lamunannya, di antara manusia yang berjubel di dunia
ini ternyata tidak terdapat seorang pun sanak familinya,
bahkan seorang sahabat karib buat saling mencurahkan isi
hatinya saja tidak ada, ia menjadi makin pilu dan tak bisa
menguasai perasaannya. Setelah berpikir pergi datang, akhirnya ia ingat kepada Lu
Si-nio. Meski dirinya belum lama dan belum karib bersahabat
dengan Lu Si-nio, tapi gadis ini adalah putri keluarga
terpelajar, pengetahuan dan pandangannya tentu tidak bisa
disamakan dengan orang biasa, malah terhadap dirinya pun
nona itu menunjukkan sikap sangat simpatik.
Pikir punya pikir, ia tetap tidak mendapatkan jalan pikiran
lain, seperti jagat yang demikian luas melulu Lu Si-nio saja
yang dapat dipercaya penuh. Oleh sebab itulah, segera ia
tinggalkan ibukota dan menuju ke Ciatkang.
Sepanjang jalan tidak jarang ia harus menghadapi tokoh
Bu-lim yang mencegat dan menggempur padanya. Pemuda ini
rada kurang mengerti mengapa dirinya selalu diincar, namun
ia pun berlaku cukup waspada.
Ia tidak tahu bahwa Nyo Tiong-eng telah menyiarkan
peristiwa dirinya yang dikatakan sudah mengkhianati
perguruan. Masih untung baginya, yang mencegat sepanjang
jalan semuanya bukan jago silat yang berarti, maka dengan
selamat ia sampai di Ciatkang.
Akan tetapi setiba di Ciatkang, baru ia tahu bahwa sejak
lima tahun yang lalu Sim Cay-khoan sudah ditangkap dan Lu
Po-tiong juga sudah meninggal, Lu Si-nio pun sudah pindah
tempat tinggal. Meski sudah diselidiki dan mencari tahu,
namun tetap tidak diperoleh kabar sedikitpun.
Syukur waktu itu kebetulan Kam Hong-ti berada di
Ciatkang, maka dengan memberanikan diri Teng Hiau-lan
lantas pergi menemui Kanglam-tayhiap (pendekar besar
Kanglam) itu. Walau Kam Hong-ti tidak menaruh kepercayaan penuh
pada penuturan Hiau-lan, tetapi pendekar ini masih cukup
bijaksana juga, ia memberitahukan tempat tinggal
Sumoaynya, yaitu Lu Si-nio.
Di samping itu, untuk menjaga kemungkinan Teng Hiau-lan
mengajak komplotannya bermaksud jahat, maka secara diamdiam
ia pun menguntit di belakang pemuda ini untuk
mengawasi gerak-geriknya, penguntitan itu terus ia lakukan
sampai dekat Sian-he-nia, waktu dilihatnya Teng Hiau-lan
benar seorang diri mendaki gunung, barulah ia sudahi.
Begitulah, kini Hiau-lan sedang duduk berdampingan
dengan Lu Si-nio di tepi gerujukan air sambil bercakap dengan
asyik sekali. Perasaan masgul Teng Hiau-lan yang bertumpuk selama
beberapa bulan ini, dengan adanya percakapan yang tak lama
ini telah terlontar keluar semua, maka pikirannya yang butek
segera terasa segar dan terang.
Sehabis ia bercerita, tanpa terasa mereka sudah
melewatkan waktu hampir setengah hari dan sang surya pun
sedang memancarkan sinarnya di tengah angkasa, air terjun
yang menumpahkan airnya itu tertimpa sinar matahari hingga
menerbitkan corak yang beraneka warna.
Selesai mendengarkan penuturan orang, Lu Si-nio lantas
ber-bangkit sambil tersenyum, kemudian ia menarik Hiau-lan
naik ke atas sebuah batu padas besar. "Coba kau memandang
dari tempat tinggi ini," katanya kepada pemuda itu.
Teng Hiau-lan tidak mengerti maksudnya, tapi ia ikut naik
dan memandang jauh ke sana, maka terasa olehnya
keindahan alam yang permai berada di bawah tangkapan
matanya, tak terasa pikirannya menjadi makin terang dan
perasaan masgulnya pun lenyap.
"Pemandangan pegunungan yang indah permai dapat
mencuci bersih suasana buruk, kemegahan alam semesta
yang tidak pernah lenyap tentu makin menambah semangat
kepahlawanan. Hidup manusia senantiasa menjumpai hal-hal
yang mengecewakan, tapi buat apa dipikirkan," demikian Lu
Si-nio berkata pula seperti bersajak sambil tertawa.
Dalam sekejap itu Teng Hiau-lan merasa seperti awan
mendung yang tadinya menutup gelap, kini telah tersapu
bersih oleh beberapa perkataan Lu Si-nio.
"Kabarnya ketika kau belajar pada Nyo Tiong-eng, di waktu
siang kau belajar silat dan kalau malam membaca, malahan
katanya pernah juga kau membuat sebuah sajak bukan?"
dengan tertawa Lu Si-nio bertanya.
Teng Hiau-lan menjadi jengah, mukanya berubah merah.
"Sajak itu tidak lebih hanya buah tangan ketika masih muda
dan ditulis sekenanya, hakikatnya tidak berupa sajak!" sahut
Hiau-lan dengan menggumam.
Seperti diketahui, sajak yang ia tulis itu justru ia gubah
untuk mengenang Lu Si-nio, hal ini entah cara bagaimana
telah diketahui oleh gadis ini, keruan saja ia menjadi tak
tenteram pikirannya ketika orang menyebutnya.
"Sajakmu itu aku sudah membacanya," kata Lu Si-nio lagi.
"Rasanya cukup berisi, cuma agak terlalu mengandung rasa
duka, orang muda tidak seharusnya berbuat demikian.
Beberapa baris permulaan sajakmu itu penuh mengandung
perasaan berduka karena sebatangkara. Padahal dalam
pergaulan kita ini, tidak kurang sahabat yang dapat
menyelami isi hati kita, apalagi jika kau berlaku sesuai dengan
jalan yang betul dan berbuat untuk kepentingan orang
banyak, tidak perlu lagi kau khawatir tidak akan punya kawan
baik." Hiau-lan menunduk tanpa bersuara, tetapi perasaannya
timbul tenggelam serupa gelombang ombak.
Lu Si-nio banyak pula memberi petuah dengan mencontoh
pada patriot-patriot di zaman dahulu, kecuali itu ia
membawakan pula beberapa sajak gubahannya sendiri yang
penuh mengandung perasaan dan membangkitkan semangat
bagi Teng Hiau-lan, kalau bukan Lu Si-nio mengaku sajak itu
adalah gubahannya, sekali-kali pasti Hiau-lan tidak percaya
sajak itu gubahan seorang gadis jelita seperti dia.
Begitulah mereka bercakap dengan asyik dan cocok sekali,
walaupun rasa kesal Hiau-lan kini sudah lenyap, tapi ia masih
ingin bertanya pendapat si nona cara menghadapi
kehidupannya kelak. Tengah ia merenung, terdengar It-biau
Hwesio sedang meneriaki mereka di bawah, "Si-nio, Simsianseng
sudah bangun tidur siang, ia sedang mencari kau!"
Ketika Lu Si-nio menengadah, baru ia sadar bahwa hari
sudah lewat lohor. "Betul-betul percakapan asyik hingga lupa waktu, sang
surya ternyata sudah doyong ke barat," ujarnya dengan
tertawa. "Perutmu tentu sudah lapar, marilah kita pulang
makan." "Sim-sianseng yang manakah?" tanya Hiau-lan ketika
mereka menurun ke bawah. "Yaitu orang yang dahulu sering aku sebut padamu, murid
kesayangan ayahku, namanya Sim Cay-khoan!" sahut Si-nio.
Hiau-lan jadi kaget dan bersuara heran. "Bukankah lima
tahun yang lampau ia tertawan?" tanyanya kemudian.
"Kiranya Kam-suheng masih belum bercerita padamu
bahwa belakangan kami telah berhasil menolongnya lolos," Lu
Si-nio menerangkan pula. Keterangan ini membikin Teng Hiau-lan agak terguncang
juga hatinya, tapi kemudian ia berpikir, "Lu Si-nio begitu baik
terhadap diriku seperti saudara sendiri, hal ini sudah cukup
menjadi kenangan bagiku untuk selamanya, mana bisa aku
menaruh harapan lain yang terlalu muluk?"
Karena pikiran ini ia jadi rada tenang dan lega, dengan
tanpa berkata ia mengikuti Lu Si-nio kembali ke dalam kuil.
Sementara itu Sim Cay-khoan sudah bangun tidur siang,
waktu ia mengulangi mengenangkan apa yang Lu Si-nio
katakan padanya pagi tadi, ia merasa bahagia sekali. Teringat
pada sajak yang pernah ia tulis itu, ia menjadi tertawa
sendirian. Pikirnya, Si-nio sudah begitu mendalam
menyintaiku, namun diriku masih suka cari pusing sendiri,
sungguh tak beralasan sama sekali. Pikirnya pula, Lu Si-nio
yang usianya masih muda dan parasnya cantik, tapi selama
lima tahun ini sudi menahan kesunyian di pegunungan, hanya
untuk mengiringi dirinya yang cacat dan tidak berguna,
bahkan berjanji mengikat dirinya, betul-betul timbul dari rasa
kasih yang asli dan ketulusan yang murni, mungkin orangorang
di zaman dahulu pun jarang terdapat seperti Lu Si-nio.
Di lain pihak, sesudah Lu Si-nio dan Teng Hiau-lan masuk
pelataran kuil, mereka berjalan berendeng, kini Hiau-lan
ternyata sudah tumbuh tinggi hingga melebihi Lu Si-nio.
Dalam pelataran kuil itu terdapat sebuah kolam, air kolam
dari sumber air pegunungan sangat bening hingga dapat
dibuat cermin, maka terbayanglah seorang pemuda gagah
ganteng dengan seorang gadis cantik menggiurkan.
Tadi waktu Lu Si-nio mendengar penuturan Hiau-lan di tepi
air terjun, yang dia pikirkan hanya berusaha melenyapkan
pikiran sedih pemuda itu, pikiran lain tidak ada, terhadap
bayangan di dalam air kini sedikitpun ia tidak berpikir sesuatu.
Tetapi setelah melewati kolam dan memasuki ruangan dalam,
mendadak ia teringat pada sajak yang digubah Sim Caykhoan,
ia menjadi khawatir kalau kekasihnya itu masih belum
menaruh kepercayaan penuh padanya, kalau nampak Hiaulan,
jangan-jangan akan timbul salah paham hingga ada
kemungkinan akan menambah berat penyakitnya. Karena itu,
tanpa terasa langkahnya mendadak ia lambatkan.
"Cici, apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Hiau-lan
seperti merasakan sesuatu.
"Ah, tiada apa-apa!" sahut Si-nio merandek dan
mendongak, ia lihat sinar sang surya yang terang benderang
dengan bunga hutan yang sedang mekar mewangi laksana
sedang menertawainya. Kemudian ia melanjutkan pula langkahnya, ia bawa Hiaulan
masuk ke dalam dan mengetuk pintu sebuah kamar yang
sunyi keadaannya. "Cay-khoan, ada tamu!" seru Si-nio.
Tempat tidur Sim Cay-khoan sebenarnya dekat dengan
pintu kamar, asalkan mengulur tangan saja sudah sampai
untuk membuka selot pintu, akan tetapi pemuda itu ternyata


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak berbuat demikian, ia turun dari pembaringannya, dengan
sebelah tangan memegang dinding, tangan yang lain
membuka pintu. Nampak perbuatan orang, lekas Lu Si-nio maju memayangnya.
"Baru saja kau sanggup bergerak sedikit, jangan kau
bikin dirimu terlalu letih!" ujarnya.
Agaknya Sim Cay-khoan tercengang juga ketika mendadak
melihat Teng Hiau-lan berada di samping Lu Si-nio, namun
dengan cepat ia berkata, "Hendaklah lebih dulu kau meladeni
tamu!" "Tamu ini adalah sobat sendiri," sahut Si-nio sambil melirik
kekasihnya, tapi dilihatnya wajah Sim Cay-khoan tidak
menunjukkan tanda lain sedikitpun, maka lekas ia
memayangnya kembali ke pembaringan dan kemudian ia
perkenalkan mereka berdua.
"Teng-heng silakan duduk, aku tidak leluasa bergerak,
harap suka memaafkan!" kata Sim Cay-khoan setelah
mengenal siapa tetamunya.
Menyaksikan keadaan ini, baru kini Teng Hiau-lan tahu
bahwa orang yang Lu Si-nio jaga selama lima tahun ini
ternyata adalah seorang cacat, saking terharunya, ia merasa
Lu Si-nio betul-betul seorang nona yang lain daripada yang
lain. Sementara Lu Si-nio mengambilkan santapan bagi mereka,
Teng Hiau-lan asyik bercakap dengan Sim Cay-khoan.
"Ada sesuatu soal ingin kumohon petunjuk pada Sim-heng,"
kata Hiau-lan setelah selesai dahar.
"Silakan katakan!" sahut Sim Cay-khoan. Maka kembali
Teng Hiau-lan menuturkan semua kejadian atas dirinya.
Habis mendengar cerita itu, mendadak Sim Cay-khoan
berduduk tegak. "Kalau Teng-heng tidak menampik, dengan
senang aku ingin mengajukan suatu pendapat," katanya
kemudian. "Eng-moay, silakan kau mengiringi Teng-heng
berangkat!" Lu Si-nio jadi terkejut karena kata-kata yang sekonyongkonyong
itu. "Dan bagaimana denganmu?" sahutnya khawatir.
"Kini badanku sudah makin sehat, Lwekang yang aku latih
pun sudah mulai menanjak, lagi pula ada It-biau Taysu yang
merawatku, kukira lebih dari cukup," kata Sim Cay-khoan lagi.
"Sedang urusan Teng-heng sebaliknya sukar diselesaikan
kalau kau tidak membantunya. Setiap urusan ada perbedaan
enteng dan berat, kalau urusan penting dan enteng disalahTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hitungkan, maka persoalan bisa jadi runyam. Kita orang
bersekolah, justru harus bisa membedakan urusan penting
dan tidak, apalagi soal setia kawan sejak dahulu memang
tidak terbatas pada kaum lelaki saja, kalau Teng-heng adalah
kawan seperjuangan kita, kesulitannya tidak boleh kita biarkan
begitu saja!" Lu Si-nio tidak menyangka kekasihnya ini bisa berpikiran
begitu bijaksana dan berhati mulia, ia terharu hingga
meneteskan air mata. "Peristiwa luar biasa yang Teng-heng hadapi ini, menurut
pandanganku, kesulitan yang datang dari luar gampang
dibereskan, tetapi ganjalan hati inilah yang susah
dihilangkan," terdengar Sim Cay-khoan berkata.
"Sudilah kiranya Sim-heng memberi petunjuk!" kata Hiaulan.
Kini dia menganggap Sim Cay-khoan seperti saudara
tuanya saja. "Soal kesalah-pahaman guru Teng-heng itu, kalau ada Sinio
yang tampil ke depan buat menyelesaikannya, kiranya
urusan akan menjadi beres," tutur Sim Cay-khoan. "Hanya
mengenai asal-usul diri sendiri yang sudah Teng-heng ketahui
itu, terhadap hari depanmu, mungkin inilah yang agak ruwet!"
Perkataan ini ternyata cocok dan jitu sekali mengetuk lubuk
hati Teng Hiau-lan, ia sedang kesal karena merasa dirinya
masih berdarah kerajaan. "Siapa yang didukung rakyat, maka kita pun ikut
mendukungnya, dan siapa yang dibuang oleh rakyat, kita pun
meninggalkan dia pula, jalan keluar bagi kehidupanmu
selanjutnya terletak pada pokok persoalan tadi!" demikian Sim
Cay-khoan meneruskan pula.
Teng Hiau-lan menunduk untuk merenungkan petuah
orang, lama sekali baru ia mengangkat kepalanya lagi.
"Banyak terima kasih atas petunjuk Sim-heng!" katanya
kemudian. "Eng-moay, besok juga boleh kau iringi Teng-heng turun
gunung!" kata Sim Cay-khoan kepada Lu Si-nio.
Lu Si-nio terguncang perasaannya mendengar kata-kata
yang spontan itu. "Beberapa hari lagi adalah hari Chit-sik!"
tiba-tiba nona itu berkata.
Sim Cay-khoan mengerti arti kata-kata Chit-sik (tanggal 7
bulan 7), hari pertemuan Gu-long (pemuda penggembala)
dengan Cit-li (gadis penenun), nyata Lu Si-nio tidak tega
berpisah dengan dirinya. "Sudah lima tahun kita berdampingan siang dan malam,
kejadian ini saja entah sudah berapa ribu kali lipat lebih
bahagia daripada Gu-long bertemu Cit-li, buat apa kita
bersedih hanya karena perpisahan yang tidak lama ini,"
dengan tertawa Sim Cay-khoan menghibur Lu Si-nio.
Mendengar ucapan ini, tahulah Lu Si-nio bahwa kekasihnya
ini mencintainya dengan setulus hati dan tidak menaruh
prasangka sedikitpun, walaupun rada berat juga karena harus
berpisah, namun diam-diam Si-nio merasa gembira dan lega.
Tengah mereka berbicara, tiba-tiba terdengar It-biau
Hwesio mengetuk pintu memanggil, "Si-nio, hari ini entah
bertiup angin apa, kembali ada tamu!"
"Tamu siapa?" tanya Si-nio.
"Suhengmu Kanglam-tayhiap Kam Hong-ti!" sahut It-biau.
Mendengar itu, Hiau-lan merasa heran. "Kam-tayhiap
menunjukkan jalan padaku untuk datang ke Sian-he-nia sini,
aku kira ia tidak kemari, mengapa kini ia menyusul juga!"
ujarnya. "Kedatangan Kam-suheng tentu ada urusan penting," kata
Si-nio. Bersama Teng Hiau-lan, mereka lantas menyambut
keluar. Ketika nampak Teng Hiau-lan keluar bersama Lu Si-nio,
maka Kam Hong-ti menjadi yakin bahwa apa yang pemuda ini
ceritakan dahulu memang tidak dusta, karena itu sikapnya
terhadap pemuda ini menjadi jauh lebih simpatik.
"Diam-diam aku telah melindungi kau naik gunung, tahukah
kau?" kata Kam Hong-ti pada Hiau-lan dengan memegang
tangannya. "Sedikitpun aku tidak merasa!" sahut Hiau-lan dengan rada
malu diri karena tidak sadar orang telah membuntutinya.
Kam Hong-ti memang cerdik, sesudah ia memberitahu
tempat tinggal Lu Si-nio pada Teng Hiau-lan, di samping ia
khawatir kalau pemuda ini berbohong dan diam-diam
mengajak cakar alap-alap dan anjing pemburu pemerintah
mengeluruk ke atas gunung. Kecuali ini ia khawatir juga bila
apa yang pemuda ini katakan memang sungguh-sungguh dan
bukan mustahil dikuntit orang jahat pula. Sebab itulah diamdiam
ia membuntuti Teng Hiau-lan, ia tunggu sesudah Hiaulan
naik ke atas gunung baru kembali ke arah semula.
Tidak terduga baru saja ia putar balik, tidak jauh di bawah
kaki Sian-he-nia ia mengalami suatu kejadian aneh.
"Sejak berpisah hingga kini sudah ada lima tahun, apakah
para Suheng semuanya baik-baik saja?" demikian tanya Lu Sinio
sesudah memberi hormat pada Suhengnya itu.
"Satu dua tahun belakangan ini jarang sekali aku berjumpa
dengan saudara seperguruan kita," sahut Kam Hong-ti. "Tidak
tersangka, tanpa sengaja tadi aku malah memperoleh benda
tanda pengenal dari saudara seperguruan kita."
"Apakah barangkali salah seorang Suheng telah mengutus
orang mencari aku?" tanya Lu Si-nio heran.
Kam Hong-ti tidak menjawab, tapi dari bajunya segera
dikeluarkannya sebuah lukisan, terus diangsurkan kepada Lu
Si-nio. "Coba kau lihat, lukisan siapakah ini?" tanyanya pada sang
Sumoay. Dalam lukisan itu ternyata tergambar seekor garuda yang
bersikap gagah sekali, akan tetapi terkurung dalam sangkar,
hanya patuknya yang menjulur keluar sangkar dan kedua
sayapnya terpentang seperti hendak berteriak. Di samping
sangkar terlukis pula seorang gadis, parasnya mirip sekali
dengan putri Ciatkang Sunbu, Li Bing-cu.
"Apakah suatu tanda Loh-suheng kena tertawan oleh
Ciatkang Sunbu?" seru Lu Si-nio sesudah melihat lukisan itu.
Loh Bin-ciam adalah putra keluarga cendekiawan, meski
ilmu silatnya tidak terlalu tinggi, tapi seni lukisnya sangat
terkenal, lebih-lebih terkenal pandai menggambar garuda.
Dengan lukisannya yang menggambarkan garuda terkurung
dalam sangkar, agaknya dipakai sebagai perumpamaan orang,
bahwa dirinya berada dalam tawanan.
"Kam-suheng, darimanakah kau memperoleh lukisan ini?"
tanya Si-nio dengan khawatir.
"Sesudah aku mengikuti Teng-heng naik gunung sini, aku
sendiri lantas kembali," Kam Hong-ti mulai menutur, "baru
saja aku tempuh tiga empat li, tiba-tiba kudengar ada suara
mendengkingnya kuda di balik gunung yang berkumandang
tertiup angin, malah sayup-sayup terdengar pula suara jeritan
ngeri." Mendadak air muka Lu Si-nio berubah. "Jangan-jangan
anjing dan alap-alap kerajaan sudah ada yang mencium
kediamanku ini?" tanyanya cepat.
"Semula aku pun khawatir seperti kau," sahut Kam Hong-ti.
"Maka dengan cepat aku lantas memburu balik ke gunung
buat memeriksanya, namun yang aku dapatkan hanya debu
yang mengepul tinggi, beberapa penunggang kuda sudah
pergi jauh. Aku yakin tidak mungkin menyusul mereka, maka
terpaksa aku hanya memeriksa secara teliti di sekitar tempat
itu, tiba-tiba aku lihat pada batu padas di kaki gunung itu
terdapat noda darah, rupanya ada orang yang telah bertarung
sengit dari jalan raya hingga sampai di kaki gunung dan
akhirnya baru tertawan musuh."
"Menurut pandangan Kam-tayhiap, apakah mereka tadinya
bertujuan akan naik ke gunung sini?" Teng Hiau-lan
menimbrung. "Tampaknya bukan," sahut Kam Hong-ti. "Kalau melihat be-
. kas telapak kaki dan noda darah, rupanya mereka mulai
bertempur dari jalan raya terus berpindah ke lamping gunung,
tapi kemudian makin lama makin menjauh. Melihat
keadaannya, seperti beberapa orang mengeroyok satu orang,
akhirnya orang ini kena diringkus. Apabila beberapa orang itu
bertujuan hendak naik ke gunung sini, mestinya mereka tak
perlu kabur setelah memperoleh kemenangan."
"Orang yang tertangkap itu apakah mungkin Loh-suheng?"
tanya Si-nio. "Tampaknya bukan," sahut Kam Hong-ti pasti. "Loh-suheng
tidak mempunyai ilmu silat begitu bagus."
Atas jawaban ini, Teng Hiau-lan merasa heran juga. "Kamtayhiap
tidak menyaksikan sendiri, bagaimana bisa
membedakan bagus tidaknya kepandaian orang?" tanyanya.
"Tanah di kaki gunung itu basah lagi licin, maka bekas
telapak kakinya cukup jelas, dari cara melangkah dan
menggeser menurut bekas telapak kaki itu, terang ada
beberapa orang yang mengembut seorang, tapi orang yang
dikeroyok itu ternyata tidak menjadi kalut langkah kakinya,
maju mundurnya teratur," demikian Kam Hong-ti
menerangkan. "Meski Loh-suheng memiliki kepandaian setaraf
itu, tapi ia jarang menghadapi pertempuran, kalau turun
kalangan belum tentu ia dapat berlaku begitu tenang."
Cara Kam Hong-ti menganalisa sedemikian teliti sampai hal
kecil, bukan saja Teng Hiau-lan merasa kagum sekali, bahkan
Lu Si-nio sendiri hams mengakui Suhengnya itu betul-betul
seorang tokoh kawakan Kangouw, begitu luas
pengalamannya, betapapun dirinya masih jauh ketinggalan.
"Belakangan ini aku bermaksud membikin perjalanan jauh
untuk menyambangi beberapa Suheng kita," terdengar Kam
Hong-ti berkata pula. "Ada satu hal lagi, tahun lalu aku
mendengar dari Ji-suheng (Ciu Sun), katanya Kwantang-sihiap
ingin sekali bertemu denganku, ada kemungkinan aku
akan menuju utara, ke kotaraja terus melawat ke Liautang."
"Kebetulan sekali," ujar Si-nio tertawa gembira ketika
mendengar maksud Suhengnya ini, "aku dan Hiau-lan besok
juga akan membikin perjalanan jauh, marilah kita berangkat
bersama. Ada Suheng yang mengiringi kami, tentu kami akan
banyak lebih aman." "Tapi bagaimana dengan Sim-sianseng?" tanya Kam Hongti.
"Paling akhir ini ia sudah banyak maju, tadi ia sudah bisa
jalan dengan bersandar dinding," tutur Lu Si-nio. "Begitu ia
mengetahui urusan Hiau-lan, segera ia minta aku
membantunya untuk meredakan ketegangan dan memberi
penjelasan kepada sesama kawan kalangan Kangouw."
"Sim-sianseng bisa berlaku begitu bijaksana, walaupun ia
seorang pelajar lemah, tapi jiwanya yang agung malah jauh di
atas golongan kita!" puji Kam Hong-ti setelah mendengar
penuturan itu. Ia lantas minta Lu Si-nio memperkenalkannya
kepada Sim Cay-khoan. Ketika mendengar Kam Hong-ti akan
mengiringi perjalanan mereka berdua, maka Sim Cay-khoan
menjadi lebih lega. Besoknya pagi-pagi benar mereka bertiga lantas turun
gunung dan menuju ke utara. Agar leluasa di perjalanan, Lu
Si-nio menyamar sebagai lelaki, Kam Hong-ti yang pandai
merias muka, dengan obat cair ia merias Teng Hiau-lan hingga
wajah aslinya berubah, dengan demikian sepanjang jalan tiada
seorang pun yang dapat mengenali mereka.
Letak Ciatkang di sebelah utara Sian-he-nia, mereka bertiga
mengambil jalan Liongya, Kinhoa terus menjurus ke timur
masuk ke Gihou, Siauhin dan kemudian sampai di Siausan,
mereka hendak menyambangi dulu kampung halaman Loh
Bin-ciam. Dari Siausan, kalau maju lagi akan sampai di teluk Hangciu,
jalan besar terletak di tepi laut, sedang di belakang jalan
terletak gunung, Lu Si-nio yang sudah lama mengeram diri di
pegunungan, kini dapat melihat lautan pula, rasanya menjadi
banyak segar dan pikiran pun lapang.
Hari ini mereka menuju ke perkampungan kediaman Loh
Bin-ciam, karena hati gembira, bersama Kam Hong-ti dan


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Teng Hiau-lan, Lu Si-nio mendaki ke atas bukit buat
memandang jauh ke lautan luas, maka tertampak olehnya
banyak sekali pulau yang besar maupun kecil penuh
mengelilingi pantai, perahu nelayan pun banyak terdapat
hingga berwujud bintik-bintik putih berkelap-kelip dipandang
dari jauh. Selagi Lu Si-nio merasa senang dan tertarik oleh
pemandangan alam indah itu, tiba-tiba ia mendengar Kam
Hong-ti bersuara memanggil.
"Ada apakah Chit-ko?" tanyanya sambil menoleh.
"Coba kau lihat ini!" sahut Kam Hong-ti. Segera ia bawa Lu
Si-nio menuju ke bawah suatu batu padas yang menonjol
keluar di sana, ia kebut debu di atas batu itu, maka
tertampaklah di atas batu itu terukir banyak sekali tanda
rahasia yang aneh, satu pun Lu Si-nio tidak kenal tanda aneh
itu. "Tanda rahasia apakah ini?" tanya Si-nio heran.
"Aku pun tidak tahu, kira-kira tanda rahasia dari komplotan
kalangan Kangouw," ujar Kam Hong-ti.
"Ah, sudahlah, buat apa kita mengurus tetek-bengek ini,"
kata Si-nio pula. "Bukan itu maksudku," sahut Kam Hong-ti. "Coba kau lihat
lagi ini." Lalu ia ajak Lu Si-nio melihat lebih lanjut, nyata batu
pegunungan yang berukir tanda aneh itu ada lima atau enam
tempat. "Ada dua tanda rahasia yang aku rada paham, maksudnya
kira-kira berjanji pada suatu hari untuk berkumpul di sini,"
kata Kam Hong-ti lagi. "Apakah mungkin terdapat tokoh persilatan yang
bersembunyi atau mengasingkan diri di sini" Tetapi inipun
tiada sangkut-pautnya dengan kita," ujar Lu Si-nio. j
"Pat-moay, kau dan Loh-suheng masing-masing tinggal di
timur dan barat Ciatkang, aku pun sering kian kemari di
beberapa propinsi daerah selatan, tokoh ternama di Ciatkang
atau pemimpin perkumpulan apapun sudah kita ketahui
semua, tetapi selamanya belum pernah mendengar bahwa di
kampung Loh-suheng ini terdapat pula tokoh Kangouw yang
mengasingkan diri," tutur Kam Hong-ti.
"Apakah Chit-ko menyangsikan soal ini ada hubungannya
dengan Loh-suheng?" tanya Si-nio.
"Tidak berani kupastikan, tetapi dari sini ke rumah Lohsuheng
tidak lebih hanya delapan puluhan li saja, selamanya
aku belum pernah mendengar Loh-suheng mengatakan bahwa
di kampungnya terdapat orang berkepandaian tinggi, oleh
karena itu aku rada heran," ujar pendekar ini. "Marilah,
sekalian kita selidiki lebih lanjut."
Setelah mereka bertiga melintasi lamping gunung dan
mengi-tar beberapa deretan batu padas yang menonjol, tibaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tiba tertampak di tengah bukit sebelah depan ada asap yang
mengepul bergulung-gulung.
"Di tengah bukit sana tampaknya ada penduduk," kata Lu
Si-nio. "Coba kita periksa ke bukit sebelah sana," ajak Kam Hongti.
Lalu mereka melintas ke balik gunung dan menurun ke
bawah, di bawah bukit itu ternyata banyak terdapat sawah
pegunungan yang bersusun.
"Tidak hanya ada penduduknya, bahkan terdapat
perkampungan di sini!" ujar Kam Hong-ti dengan tertawa.
Setelah melalui lembah yang diapit oleh dua gunung,
akhirnya sampailah mereka di kaki bukit tadi, di sini Kam
Hong-ti memperlambat langkahnya sambil mendaki untuk
memeriksa, sesampai di tengah gunung, kembali mereka
ketemukan pula dua tiga tempat yang ada tanda rahasia
orang Kangouw. Tidak lama, ketika hampir sampai di atas gunung,
tertampaklah di sebelah gunung sana asap dapur mengepul.
"Sudah setengah hari kita tempuh perjalanan dan jauh
memasuki tanah pegunungan ini, penduduk di bawah gunung
sudah pulang mengaso dan mulai menanak nasi, kalau kita
tidak lekas keluar dari tempat sunyi ini, malam ini mungkin
kita harus menginap di sini," ujar Lu Si-nio dengan tertawa.
"Biar kita periksa lagi," sahut Kam Hong-ti yang belum
puas. Habis berkata, mendadak ia menghentikan tindakannya,
wajahnya tiba-tiba terunjuk rasa kejut dan heran.
Biasanya Kam Hong-ti terkenal pendiam dan tidak gampang
mengunjuk perasaan hatinya, walaupun menghadapi urusan
betapa besarnya selalu berlaku tenang, dalam hal ini dia
terhitung nomor satu di antara sesama saudara
seperguruannya. "Chit-ko, apa yang telah kau lihat?" tanya Si-nio heran.
Namun Kam Hong-ti tidak lantas menjawab, ia berpikir
sejenak, sesudah itu baru ia membuka suara, "Sungguh aku
tidak mengerti, apakah mungkin salah seorang Suheng kita
terkurung di tempat ini!"
Habis itu ia bawa Lu Si-nio ke bawah suatu batu padas, di
samping batu itu terdapat pula satu potong batu yang
menonjol lancip hingga serupa pedang dan licin seperti kaca,
di atas batu itu terdapat ukiran tanda rahasia, ternyata tanda
rahasia ini adalah tanda yang biasa mereka pergunakan di
antara sesama saudara seperguruan sendiri, hanya tanda yang
tertampak kini rada sederhana dan se-rabutan, tanda yang
diukir itu mengandung arti, 'kena terkurung, harap memberi
bantuan'. "Coba lihat, apakah ini tanda tinggalan dari saudara
seperguruan kita?" tanya Kam Hong-ti pada Sumoaynya.
"Mengapa bukan?" jawab Si-nio yang dapat mengenali juga
tanda rahasia seperguruan itu.
"Bila betul tanda pengenal dari saudara seperguruan kita,
mengapa tiada tanda angkanya?" ujar Kam Hong-ti.
Kiranya di antara murid Tok-pi-sin-ni, apabila saling
memberi kabar, tanda yang mereka pakai selalu dengan angka
urutan, misalnya Kam Hong-ti harus memberi tanda 'chit' atau
tujuh dan Lu Si-nio pakai tanda 'pat' atau delapan sesuai
dengan urutan mereka.. Hal ini bukannya Lu Si-nio tidak mengerti, soalnya ia lihat
tanda rahasia di atas batu tadi memang betul tanda dari
sesama perguruan, maka ia tidak memeriksa lebih teliti.
"Kecuali itu, masih ada hal yang lebih aneh, dapatkah kau
melihatnya?" kata Kam Hong-ti lagi.
"Chit-ko, hanya berdasarkan beberapa tanda yang terlalu
sederhana ini, darimana kau bisa mengetahui begitu banyak?"
sahut Lu Si-nio dengan heran terhadap ketajaman pikiran
Suhengnya ini. "Ada apalagi yang lebih mengherankan"
Sedikitpun aku tidak melihatnya, silakan menerangkan untuk
menambah pengetahuanku!"
"Lihat ini, tanda ini digores dengan jari tangan sebagai
ganti alat tulis, dengan kekuatan jari tanda ini terukir di atas
batu," demikian Kam Hong-ti menjelaskan. "Tampaknya
kepandaian orang ini masih di atasnya Loh-suheng, tapi
berada di bawah Peh-suheng, sebaliknya kira-kira setingkat
dengan Ciu Sun dan Co Jin-hu kedua Suheng, tapi kalau ditulis
oleh kedua Suheng kita ini, gaya tulisannya tentu bergaya tua,
sedang gaya tulisan ini, di antara goresan maupun tutulannya
kelihatan rada bersifat hijau, maka aku berani memastikan,
yang meninggalkan tanda rahasia ini pasti bukan saudara
seperguruan kita." Dengan penjelasan Suhengnya ini, diam-diam Lu Si-nio
merasa kagum sekali akan ketelitian dan cara mengupasnya.
"Siapa orang yang meninggalkan tanda rahasia ini, kini
sedikit banyak aku pun sudah dapat menangkapnya,"
terdengar Kam Hong-ti berkata lagi setelah memeriksa
sebentar pula. "Chit-ko, jangan kau katakan dahulu, biar aku coba ikut
menerka," tiba-tiba Lu Si-nio berkata dengan tertawa.
Sementara itu dengan penuh perhatian Teng Hiau-lan pun
sedang memeriksa tanda-tanda tadi, namun sedikitpun ia
tidak mendapatkan sesuatu yang dapat dimengerti. Tengah ia
merasa bingung, tiba-tiba terdengar Lu Si-nio melanjutkan
pula. "Yang meninggalkan tanda ini adalah seorang gadis,
usianya jauh lebih muda lagi dari aku," kata nona itu.
"Tepat sekali," Kam Hong-ti bertepuk tangan sambil
tertawa. "Cara bagaimana kalian dapat mengetahui?" tanya Hiaulan.
"Pernahkah kau mempelajari seni menulis?" tanya Si-nio.
"Sejak kecil aku tidak bersekolah, belakangan sesudah
berada di pintu perguruan keluarga Nyo, baru aku ada
kesempatan buat bersekolah," sahut Teng Hiau-lan. "Tetapi
selama itu aku hanya suka membaca kitab saja, soal latihan
menulis jarang kulakukan."
"Gaya tulisan wanita tentu lebih lembut dan halus daripada
lelaki, hal ini tentu kau ketahui," Lu Si-nio menjelaskan. "Meski
tanda ini tidak tertulis dengan pit melainkan digores dengan
jari tangan, namun tidak terlepas juga dari gaya tulisan
tertentu menurut kebiasaan, masakah kau tidak dapat
membedakannya." "Sebaliknya aku bukan berdasarkan gaya tulisan itu,
melainkan karena aku melihat garis tanda itu begitu kecil dan
lembut, maka dapat diterka tentunya berasal dari goresan jari
kaum wanita," demikian Kam Hong-ti menerangkan
pandangannya. "Pat-moay, walau kau masih kurang
pengalaman dalam Kangouw, tapi kau memang sangat pintar
sekali!" "Pintar apa" Padahal tanda ini ditulis oleh saudara
seperguruan kita atau bukan saja aku tidak bisa
mengenalnya," sahut Si-nio dengan muka rada merah.
"Itu tak dapat salahkan kau," ujar Kam Hong-ti, "kau belum
pernah bertemu dengan beberapa Suheng, terhadap
kepandaian mereka sampai di tingkatan mana, dengan
sendirinya kau pun tidak begitu paham seperti aku."
Setelah berpikir, kemudian ia lanjutkan lagi, "Di antara
saudara seperguruan, kecuali kau sendiri, selebihnya tiada lagi
wanitanya, cara bagaimana orang ini bisa kenal tanda rahasia
kita, ini justru sangat aneh. Kalau kita sudah sampai di sini,
maka biarlah sekalian kita selidiki saja kampung di bawah sana
untuk melihat lebih jauh."
Sesampai di pucuk gunung, ketika mereka memandang ke
bawah, pemandangan di balik gunung ini berlainan, di sini
terdapat puncak kecil yang bersusun dan melingkar-lingkar
seperti pintu yang berderet, di tengah gunung sebaliknya
terdapat sebuah jalanan yang digali oleh tenaga manusia dan
dibikin secara memutar. "Keadaan tempat ini masih boleh juga," ujar Kam Hong-ti
dengan tertawa. Kemudian mereka turun ke bawah melalui jalanan
pegunungan itu, sampai di tengah gunung, nampak belasan
rumah penduduk. Waktu itu matahari sudah terbenam ke barat, senja mulai
sunyi, hanya kawanan burung yang kembali ke sarangnya
mengeluarkan suara kicauan yang ramai.
Setelah mereka turun dari gunung itu, mereka bertiga
masuk ke dalam sebuah pedusunan, penduduk kampung itu
kebanyakan sedang bersantap malam di rumahnya, hanya
beberapa orang saja yang masih iseng jalan-jalan di luaran,
waktu nampak datangnya tiga orang asing, mereka menjadi
heran. Dalam kampung itu terdapat sebuah gedung besar dengan
pintu gerbang warna kemerah-merahan yang menyolok sekali
di antara rumah penduduk lainnya. Maka menujulah Kam
Hong-ti beserta kawan-kawan ke sana.
"Apakah tuan sekalian datang hendak mencari Siancengcu?"
ada penduduk kampung yang memapaki mereka dan
menegur. "Ya, betul!" sahut Kam Hong-ti.
"Silakan menunggu sebentar," ujar penduduk itu. Lalu ia
berlari mendahului menuju ke gedung tadi.
Sebelum tiba di gedung itu, lebih dulu Kam Hong-ti berkata
kepada Lu Si-nio dengan suara perlahan. "Nanti kalau kita
sudah masuk ke sana, biarlah aku yang mengatur tanyajawab,
kalau terjadi sesuatu, harap perhatikan isyaratku baru
kemudian bertindak," begitu ia berpesan.
"Sudah tentu kami akan menurut petunjuk Suheng," sahut
Si-nio. Tengah bercakap, mereka sudah sampai di depan gedung
itu, kedua pintu gerbang kemerahan yang tadinya tertutup kini
mendadak terbuka lebar. Tak lama kemudian terlihatlah dari dalam keluar dua orang
lelaki tegap, mereka mengacungkan jari tengah sambil
menuding ke tanah, sesudah itu mereka bersoja.
"Apakah Sam-wi (tuan bertiga) satu sumber dan satu jalan
atau hendak memindahkan emas masuk ke tanah?" tanya
mereka kemudian. Dengan kata-kata rahasia (sandi) yang biasa dipergunakan
sindikat atau perkumpulan Kangouw, mereka maksudkan
apakah kalian sesama kaum dari golongan atau perkumpulan
lain, atau termasuk saudara golongan sendiri yang hendak
menghadap pemimpin" Sebagai jawaban atas pertanyaan itu, Kam Hongti
mengacungkan jempol menunjuk langit, sesudah itu baru ia
buka suara dengan lagak angkuh, "Matahari, rembulan dan
bintang di langit, tidak ada hubungannya dengan tanah."
Mendengar sahutan ini, air muka kedua lelaki itu jadi
berubah, dengan sikap sangat hormat, lekas mereka berkata,
"Sam-wi silakan masuk, biar kami lapor Cengcu dahulu."
Kiranya dua kalimat yang diucapkan Kam Hong-ti tadi
secara tegas ia terangkan kedudukannya, ia bilang dirinya
bukan orang dari perkumpulan mereka, maka siapa pun tiada
yang berhak mengurus. Orang yang berani berkata demikian kalau bukan
benggolan sesuatu perkumpulan, tentu adalah seorang tokoh
yang sudah ternama. Kedua lelaki itu lantas mengantar ketiga tamunya ke
ruangan tetamu. Setelah duduk, tak lama kemudian terlihat
dari ruangan belakang muncul seorang kakek yang sudah
berusia sekitar enam puluhan tapi masih sehat kuat. Mereka
pikir tentu inilah yang disebut Sian-cengcu tadi.
Selagi Hiau-lan mau berdiri, Kam Hong-ti keburu


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyikutnya dengan siku dan mendahului berdiri, lebih dulu
Kam Hong-ti berjalan ke tengah tiga langkah, lalu melangkah
setindak ke kiri, setindak pula ke kanan, akhirnya ia mundur
lagi ke belakang tiga tindak, habis itu baru memberi isyarat
agar Lu Si-nio dan Teng Hiau-lan berdiri dan memberi hormat
kepada tuan rumah. Melihat perbuatan Kam Hong-ti tadi, tertampak orang tua
itu rada tercengang, tetapi juga rada mendongkol.
Kiranya yang disebut Sian-cengcu (cengcu = kepala
kampung) ini memang bukan orang sembarangan, ketika ia
mendapat laporan ada tiga tetamu hendak berjumpa
dengannya, segera ia bergegas keluar menemui orang, akan
tetapi begitu berhadapan ia menjadi sangat kecewa, sebab
semula ia mengira yang datang ini pasti tokoh yang sudah
ternama, tak terduga ternyata semua tidak dikenalnya. Apalagi
Lu Si-nio dan Teng Hiau-lan kelihatan masih terlalu muda,
lebih-lebih Lu Si-nio, karena gadis ini memperoleh ajaran
rahasia awet muda dari Ie Lan-cu, maka tampak dia hanya
seorang pemuda sastrawan lemah yang tidak lebih baru
berumur dua puluhan tahun.
Di antara ketiga orang, Kam Hong-ti berusia paling tua,
sikapnya pun lebih wajar tanpa kikuk, tetapi umurnya juga
baru sekitar tiga puluh lebih saja, bahkan mukanya pucat
kuning dan tubuhnya kurus, lebih mirip seorang penyakitan.
Sebab itu Sian-cengcu rada sangsi, ia menyangka orangorang
ini mungkin adalah penipu dari kalangan Kangouw.
Tetapi kalau melihat cara Kam Hong-ti menjalankan tata cara
yang maju lalu mundur lagi, cara ini hanya dilakukan oleh
orang-orang yang sama derajat, sebenarnya ia rada
mendongkol, namun kemudian ia berpikir pula, kalau orang
sudah berani mencarinya ke sini, sudah tentu mereka kenal
nama kebesarannya, dan sesudah bertemu hanya dengan
penghormatan sama derajat atau tingkatan, pasti mereka ini
bukan orang sembarangan. Lebih-lebih kalau diingat bahwa
orang-orang kosen di Kangouw tidak kurang banyaknya, maka
ia pun tidak berani berlaku ayal lagi.
Begitulah kemudian ia lantas membalas hormat dengan
soja (kepalan diangkat di depan dada) sambil tertawa, tetapi
diam-diam ia kumpulkan tenaga dalamnya pada kepalan
hingga angin kepalan terus menyambar ke arah Kam Hong-ti.
. Namun hal itu ternyata tidak membikin goyah Kam Hong-ti
sedikitpun, ia pun balas menghormat dengan sedikit
membungkuk, dengan perbuatannya ini sebaliknya Siancengcu
sendiri yang rada sempoyongan, lekas ia menahan
tubuhnya. "Lauheng (saudara) sungguh hebat," mau tak mau ia
memuji dengan tertawa. "Dan kedua saudara yang lain ini
tentu anak murid Lauheng bukan?"
"Burung belibis terbang sejajar, semua tergolong sama
tingkatan," sahut Kam Hong-ti.
Keterangan ini kembali membikin Sian-cengcu tercengang.
"Maafkan perkataanku tadi yang kurang pengertian," katanya
kepada Lu Si-nio sambil mengulurkan tangan.
Lu Si-nio pun tidak menolak, ia pun mengulur tangannya
menjabat tangan orang. Mendadak Sian-cengcu merasakan
tangannya kaku linu, kini dia baru tahu kepandaian Lu Si-nio
sebenarnya masih di atas Kam Hong-ti.
Di antara tiga serangkai ini, perawakan Teng Hiau-lan
paling gagah dan kuat, sudah tentu Sian-cengcu tak berani
menjajal orang lagi, lekas ia menyilakan tetamunya duduk
dengan laku hormat. "Kabarnya Cengcu hendak mengadakan pesta ulang tahun,
maka kami bertiga sengaja datang membikin repot," demikian
Kam Hong-ti buka suara sesudah mereka mengambil tempat
duduknya. Mendengar kata-kata kawannya ini, Teng Hiau-lan menjadi
bingung dan heran. Ia pikir, "Darimana Kam-tayhiap
mengetahui orang tua ini hendak membikin pesta ulang
tahun?" Nyata ia tidak tahu bahwa ucapan Kam Hong-ti ini
kembali adalah kata-kata rahasia di kalangan Kangouw.
Sepanjang jalan tadi Kam Hong-ti melihat belasan tempat
yang terdapat tanda rahasia dari suatu organisasi atau
perkumpulan gelap, waktu ia mempelajari tanda itu, ia
menduga tuan rumah di sini tentu adalah seorang benggolan
perkumpulan besar. Besar kemungkinan tempatnya
berdekatan dan hendak mengundang orang-orang dari
golongan lain untuk mengadakan pertemuan di sini.
Pertemuan semacam itu di kalangan Kangouw biasanya
disebut 'ulang tahun', oleh sebab itulah sengaja Kam Hong-ti
mencoba dengan perkataannya tadi, dan betul saja dia dapat
menebak dengan tepat. Begitulah maka demi mendengar ucapan Kam Hong-ti, lagilagi
Sian-cengcu bergelak tawa. "Beruntung sekali atas
kesudian kalian bertiga datang hingga banyak menambah
semarak pesta, cuma waktunya harus tunggu beberapa hari
lagi baru akan tiba hari ulang tahun, hal ini terpaksa membikin
susah kalian bertiga agar sementara tinggal dahulu di sini!"
sahutnya kemudian. "Kalau begitu, tentunya akan lebih banyak membikin repot
pada Cengcu," ujar Kam Hong-ti.
Lalu kedua pihak saling bertanya namanya masing-masing,
Kam Hong-ti memperkenalkan namanya menjadi Teng Liong,
Lu Si-nio menjadi Li Siang-siang dan Teng Hiau-lan berganti
menjadi Pang Hiau. "Dimana kalian membuka gunung dan mendirikan toko?"
tanya Sian-cengcu dalam istilah sandi.
"Air mengalir dan awan meluncur, tiada sesuatu tempat
tertentu," jawab Kam Hong-ti.
"Kalau begitu kalian bertiga tentu naik garis dan gantung
papan merek bukan?" tanya pula tuan rumah.
"Tidak bermerek dan tidak mendirikan toko, ada bunga
nikmati bunga, ada arak minum arak, lima danau empat
lautan semua merupakan kawan," kata Kam Hong-ti.
Begitulah mereka berdua bertanya-jawab lagi dengan
menggunakan bahasa rahasia Kangouw, Teng Hiau-lan yang
masih hijau menjadi makin bingung. "
Kiranya Sian-cengcu itu masih ragu dan curiga, berulang
kali ia masih terus mencoba bertanya asal-usul orang. Pertama
ia tanya orang apakah pemimpin sesuatu perkumpulan atau
Cecu yang bercokol pada sesuatu gunung. Kam Hong-ti
menjawabnya bukan, kemudian Sian-cengcu bertanya lagi
apakah mereka ini begal tunggal yang berkeliaran ke seluruh
penjuru, oleh Kam Hong-ti dijawab bukan pula, bahkan
ditambahkan bahwa mereka tiada sesuatu hubungan dengan
kaum Hek-to dan Pek-to (golongan hitam dan golongan
putih), tetapi di kalangan Kangouw terdapat banyak kawankawan
mereka. Dengan menerangkan kedudukan sendiri
sedemikian jelas, kalau bukan Cianpwe-kojin (orang kosen dari
angkatan tua), tentu adalah Seng-beng-hiap-khek (pendekar
yang sudah kenamaan). Karena itu, sungguhpun Sian-cengcu sudah banyak makan
asam garam Kangouw, mau tak mau ia pun rada bingung dan
hanya meraba-raba saja tanpa tahu pasti. Dalam hati diamdiam
ia coba mengingat tokoh ternama di kalangan Kangouw,
namun meski sudah berpikir pergi datang, nyata tiada seorang
pun yang ia ketahui berusia begitu muda seperti mereka ini.
Karena sudah hilang akal, terpaksa Sian-cengcu harus
meladeni orang secara hormat, ia perintahkan centing
menyediakan kamar untuk tempat mereka mengaso. Meski
demikian, dalam hati Sian-cengcu masih tetap penasaran, ia
membatin, "Han-lokoay kalau tidak malam ini tentu besok
datang, ia pasti mengetahui asal-usul ketiga orang ini."
Sementara itu sesudah berada dalam kamar tamu yang
disediakan, diam-diam Lu Si-nio bertanya kepada Kam Hongti,
"Chit-ko biasanya suka berlaku hati-hati, mengapa kali ini
sengaja unjuk kududukan diri sendiri?"
"Sian-cengcu ini jelas adalah pentolan sesuatu Panghwe
(perkumpulan rahasia), kita datang mendadak, kalau tidak
sedikit pamerkan diri, mana dia sudi meladeni kita," sahut
Kam Hong-ti. "Karena kita bukan anggota sesuatu Panghwe,
maka terpaksa harus pura-pura mengaku diri sebagai
pendekar Kangouw yang tiada sesuatu tempat kediaman
tertentu." Meski berkata begitu, Kam Hong-ti sendiri justru benar
adalah seorang pendekar yang termashur di Kangouw pada
masa itu, hakikatnya dia tak perlu bilang 'pura-pura'. Karena
itulah Sian-cengcu tidak menyangka bahwa dia ini Kam Hongti
adanya. Selang tak lama, Sian-cengcu menyuruh orang mengantar
santapan malam, makanan yang disuguhkan ternyata terpilih.
Melihat ini Lu Si-nio berbalik menjadi curiga.
"Dia belum tahu seluk-beluk kita, tidak nanti dia berani
mengerjai kita?" ujar Kam Hong-ti tertawa, sesudah itu ia
lantas mendahului makan-minum sepuasnya.
Kemudian ketika centing datang lagi membersihkan
daharan mereka, centing ini memberitahu, "Cengcu kami
mengirim salam kepada tuan-tuan dan minta dimaafkan beliau
tidak mengiringi ke sini."
"Jika Cengcu ada keperluan lain, jangan sungkan," ujar
Kam Hong-ti. Begitulah mereka bertiga lantas tidur sekamar. Sampai
tengah malam, tiba-tiba Kam Hong-ti berkata pada Lu Si-nio,
"Pat-moay, coba kau keluar buat menyelidiki perkampungan
mereka ini apa ada sesuatu yang aneh?"
Di antara anak murid Tok-pi-sin-ni boleh dikata Lu Si-nio
punya Ginkang yang paling tinggi, Kam Hong-ti cukup tahu
dirinya masih di bawah Sumoaynya ini, oleh karena itu ia
minta adik perguruannya yang pergi menyelidiki keadaan.
Lu Si-nio tidak membantah, ia mendekati jendela, dilihatnya
di luar sana banyak terdapat bayangan orang. "Chit-ko, kita
diawasi orang," tuturnya dengan suara perlahan kepada sang
Suheng. "Nanti kupancing mereka menyingkir," ujar Kam Hong-ti.
Habis itu ia gunakan jari tengah terus menjojoh ke tembok
di sebelah depan jendela hingga tembok itu sedikit terlubang,
kemudian ia dapatkan sepotong belahan bambu yang runcing
pada pojok kamar, ia tancapkan belahan bambu itu ke dalam
lubang kecil tadi terus dikorek.
"Sudah cukup," katanya kemudian setelah dia mengorek
sebentar. Lalu ia keluarkan sebutir pelor besi dari dalam
kantong senjatanya, ia jepit pelor itu dengan kedua jari dan
dimasukkan ke dalam lubang tembok yang dikoreknya tadi
terus disentil keluar. Dengan menerbitkan sedikit suara, pelor
itu terbang keluar kamar.
Menyusul segera terdengar ada suara orang yang berlari
menuju ke jurusan dimana pelor itu jatuh.
Lu Si-nio cukup cerdik, ia tahu itu adalah akal Kam Hong-ti
yang sengaja memancing orang untuk memburu ke tempat
terbitnya suara, maka tanpa ayal lagi, dengan meringkaskan
pakaiannya segera Lu Si-nio menerobos keluar jendela.
Kiranya penjaga di luar tadi waktu mendengar suara berbunyinya
pelor, segera mengira ada 'ya-heng-jin' yang 'Tau-ciokmui-
loh' (lempar batu mencari jalan), maka beramai mereka
lantas memburu ke sana. Apabila kemudian mereka kecele
dan kembali, sementara itu Lu Si-nio sudah melayang lewat
dua rumah terus bersembunyi di belakang sebuah bukitbukitan.
Taman di gedung Sian-cengcu ini ternyata sangat luas,
keadaan pajangan dalam taman bunga inipun luar biasa,
terlihat di seluruh penjuru banyak terdapat bukit-bukitan palsu
yang indah, jalanan menyusur pepohonan dibikin berliku-liku,
di tengah taman masih dibangun pula sebuah rumah bersusun
terbuat dari batu. Nampak pemandangan ini, diam-diam Lu Si-nio merasa
heran, karena tempat semacam ini seperti pernah ia kunjungi.
Setelah ia berpikir lagi, akhirnya ia jadi mengerti. Kiranya
pemandangan dalam taman ini ternyata sengaja meniru corak
taman istirahat yang dibangun Hi Kak Tay-ong di atas Chiantiang-
giam di pulau Cian-hing-to, walaupun tidak semegah dan
sebagus taman Hi Kak itu, namun sudah termasuk bagus juga.
Begitulah Lu Si-nio bersembunyi di belakang bukit-bukitan
tadi, ia lihat sekitarnya tiada orang, selagi ia hendak melompat
keluar, tiba-tiba ia mendengar ada suara tindakan orang.
Ia urung melompat keluar, ia coba mengintai siapa
gerangan yang datang. Terlihat olehnya ada empat gadis
dengan membawa lentera berjalan lewat, sementara itu
terdengar pula mereka sedang bercakap-cakap.
"Tabiat Kun-cu (putri raja) ini sungguh luar biasa, kalau
melihat wajahnya yang cantik molek, siapa pun takkan
menduga ilmu silatnya sangat tinggi," terdengar salah seorang
gadis itu berkata. "Betul," sahut gadis yang lain. "Kemarin dia tak mau
makan, Bing-cecu telah membujuknya, tapi entah apa yang
dikatakan, mendadak Kun-cu menamparnya, untung Bing-cecu
sempat mengegos, namun begitu meja kayu wangi yang
terdapat di situ kena dipukulnya hingga rusak."
"Ya, Cengcu sendiri yang pergi membujuknya, akhirnya
baru dia mau makan," gadis yang lain ikut menimbrung.
"Kabarnya ilmu silat Bing-cecu tidak di bawah Cengcu kita,
pula terhitung tokoh ternama di Kangouw, dia ternyata cukup
sabar," kata gadis keempat tidak mau ketinggalan.
"Dia kan seorang Kun-cu, bagaimanapun dia harus sabar!"
sahut gadis yang pertama tadi.
Lu Si-nio mendengarkan suara itu dengan menempelkan
telinga ke tanah, ia tahu keempat gadis itu sudah pergi jauh,
suara mereka pun makin lama makin lemah.
"Aneh, darimana datangnya seorang Kun-cu?" demikian Lu
Si-nio merasa tidak mengerti. Ia sangsi apa mungkin seorang
beng-golan suatu perkumpulan rahasia berani menawan
seorang putri keluarga kerajaan"
Karena merasa tertarik, segera ia melayang keluar dari
tempat persembunyiannya, dengan enteng sekali dan secara
berendap ia menguntit di belakang keempat gadis tadi.
Ginkang Lu Si-nio sudah pada tingkat kesempurnaan,
kepandaian ini boleh dikata sudah sanggup menyeberangi
sungai dengan menggunakan kapu-kapu saja dan sedikitpun
takkan mengeluarkan suara, dengan mengintil di belakang,
gadis-gadis itu ternyata tidak merasa sama sekali.
Setelah menguntit sejenak, terdengar pula seorang di
antara gadis tadi membuka suara lagi, "Besok lusa adalah hari


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perayaan pembukaan "Pang" kita, entah Tay-ong datang atau
tidak?" "Putrinya berada di sini, aku kira dia pasti datang!" sahut
gadis lainnya. "Aku dengar dari Siaucengcu (tuan muda), katanya Tayong
terlalu repot, tidak sempat kemari," gadis lainnya ikut
bicara. "Eh, Siaucengcu rupanya sangat baik padamu, seringkah
bicara denganmu hal-hal yang menyenangkan," gadis pertama
menggoda kawannya. Lalu terdengar si gadis yang digoda membalas dengan
omelannya, kemudian mereka lantas saling guyon lagi.
"Kau bilang tabiat Kun-cu terlalu jelek, sebaliknya aku
malah mengatakan baik," gadis yang pertama berkata lagi
setelah lewat sejenak. "Kemarin aku melayani dia menyisir
rambut dan merias diri, dia lantas memegang tanganku sambil
bertanya ini dan itu, serupa saja seperti kakakku."
"Kabarnya Tay-ong tak mengizinkan dia kawin dengan
orang pilihannya, karena itu ia lantas melarikan diri," gadis lain
menyahut. "Apa betul" Darimana kau mendapat tahu?"
"He, apa dia tidak malu" Mengapa ribut minta kawin?"
"Pantas, karena tak boleh kawin dengan orang yang
dipenujui, lantas tabiatnya berubah begitu buruk!"
Begitulah ketiga gadis lainnya juga ramai menerocos, diamdiam
Lu Si-nio menjadi geli. Kemudian setelah keempat gadis itu mengitari bukitbukitan
dan gardu taman sana, secara berliku-liku akhirnya
mereka sampai di pojok barat taman itu, maka tertampaklah
sebuah gedung bersusun tiga yang megah sekali, pada pojok
emper tergantung belasan lampu angin berbentuk delapan
segi, sedang daun jendela di atas loteng ketiga terlihat
terpentang, di antara cahaya pelita yang menyorot di tembok,
remang-remang kelihatan punggung seorang gadis jelita yang
seperti sudah dikenal Lu Si-nio, tetapi dia tidak ingat siapa
adanya. Sementara itu selagi Lu Si-nio berniat melalui jalan kecil
lainnya untuk mendahului ke depan empat gadis tadi dan akan
terus melayang naik ke atas loteng itu, mendadak dilihatnya
sinar lampu di atas loteng dipadamkan, sedang dari tikungan
taman sekonyong-konyong muncul dua orang.
Melihat datangnya kedua orang itu, keempat gadis tadi
semua meluruskan tangan dan berdiri diam, lekas Lu Si-nio
sembunyi ke dalam semak pepohonan lebat di dekatnya.
Kemudian ia coba mengintip siapa gerangan kedua orang
ini, maka ia menjadi kaget, ternyata kedua orang ini yang
seorang ialah Sian-cengcu dan yang lain adalah Suhengnya
Thian-yap sanjin, Han Tiong-san.
"Apa malam ini juga kau lantas hendak berangkat"
Mengapa tak besok pagi saja?" terdengar Sian-cengcu bicara
pada Han Tiong-san. "Hari ini kita kedatangan tiga bocah, lagu
suara mereka sangat sombong, aku justru ingin minta
bantuanmu untuk meraba asal-usul mereka yang sebenarnya!"
Mendengar percakapan ini Lu Si-nio menjadi makin
terkejut. Pikirnya, "Ilmu silat Han Tiong-san hebat sekali,
lebih-lebih kepandaian senjata rahasianya. Jika hanya dia
seorang saja yang datang masih tidak mengapa, khawatirnya
kalau Liau-in dan kawan-kawan pun datang bersama dia."
Tengah ia berpikir, kembali terdengar kedua orang itu
bicara lagi. "Teman tuaku sedang menanti, besok lusa aku pasti datang
memberi selamat pada ulang tahunmu," kata Han Tiong-san.
"Sedang mengenai ketiga bocah yang kau maksudkan, biarlah
sebentar aku pergi melihatnya, kalau memang betul tokoh
ternama, tidak mungkin aku tidak mengenalnya."
"Baiklah, mari kita menyambangi Kun-cu lebih dulu, dalam
dua hari ini tabiatnya sungguh luar biasa!" sabut Sian-cengcu.
"Hm, kiranya budak hina-dina ini!" terdengar Han Tiong-san
menjengek ketika mendengar orang menyebut Kun-cu.
Mereka berdua lantas naik ke atas loteng tadi.
Kesempatan itu segera digunakan Lu Si-nio untuk lekas
kembali ke kamarnya, dengan Ginkangnya yang luar biasa ia
bisa meng-ingusi penjaga tadi.
Sementara itu Kam Hong-ti dan Teng Hiau-lan sudah tidak
sabar menanti kembalinya. Waktu daun jendela bergerak,
masuklah Lu Si-nio dengan melayang enteng seperti burung.
"Aku telah meniru kau tadi, sebelum tiba di kamar ini, aku
pancing mereka menyingkir dengan segelintir batu kerikil,"
katanya perlahan pada Kam Hong-ti dengan tersenyum.
"Adakah sesuatu yang kau dapatkan?" tanya Suhengnya
itu. "Hal ini biarlah kita bicarakan besok saja, sebentar lagi Han
Tiong-san, si iblis tua itu hendak memeriksa ke sini, sementara
kita harus pura-pura tidur," sahut Lu Si-nio.
Maka segera mereka mengatur seperlunya untuk pura-pura
tidur. Kamar tamu ini sangat luas, tiga tempat tidur mereka
berderet, Kam Hong-ti tidur di tengah.
Lewat tak lama, tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk,
Kam Hong-ti sengaja menunggu sejenak, sesudah itu baru
pura-pura kaget terbangun dan membukakan pintu kamar.
Maka tertampak Han Tiong-san dan Sian-cengcu berdiri di
ambang pintu kamar mereka.
"Tadi ada ya-heng-jin (orang jalan malam) mengintai
perkampungan kita, tentu Sam-wi ikut terkejut?" kata Siancengcu.
"Sungguh memalukan, tidur kami terlalu nyenyak,
sedikitpun tidak tahu," Kam Hong-ti pura-pura berbohong.
"Itulah, aku khawatir membikin kaget tuan-tuan!" ujar Siancengcu.
Lalu ia perkenalkan Han Tiong-san kepada mereka.
Dengan sinar mata tajam Han Tiong-san mengamati Kam
Hong-ti bertiga. Meski Lu Si-nio dan Teng Hiau-lan sudah pernah bertemu
muka dengan Han Tiong-san, tapi karena sekarang mereka
sudah merias muka, lagi pula Lu Si-nio menyamar sebagai
lelaki, ditambah di bawah sinar pelita yang guram lagi dan
Han Tiongsan sendiri sedang bercabang pikiran, nyata ia telah
kena dikelabui. Setelah mereka saling merendah diri beberapa patah kata,
kemudian Han Tiong-san mohon diri buat pergi dan disusul
oleh Sian-cengcu. "Ketiga bocah ini bukan tokoh ternama apa segala, hanya
tampaknya ilmu silat mereka memang tidak rendah, mungkin
anak murid orang ternama yang sengaja omong besar, bisa
juga bertujuan untuk mengenalkan nama dan menonjolkan
diri," ujar Han Tiong-san setelah berlalu.
"Mungkinkah anak murid dari Thian-san-kiam-khek?"
mendadak Sian-cengcu bertanya.
"Sudah lama ahli waris Thian-san-kiam terputus turunan,
mengapa kau masih dendam?" sahut Han Tiong-san, sesudah
itu ia menyambung lagi, "Cengcu, maafkan aku harus
berangkat, sebenarnya dengan kepandaianmu ditambah lagi
ada Wei-tocu dan Bing-cecu di sini, apakah kalian masih takut
pada ketiga bocah ini?"
Melihat kawannya ini begitu terburu-buru, Sian-cengcu tak
berani menahan lebih jauh. Han Tiong-san segera berangkat,
di antara gerak tubuhnya yang cepat, dalam sekejap saja ia
sudah menghilang keluar pedusunan untuk menyelesaikan
urusannya sendiri. Besok paginya disusul pula hari ketiga, berturut-turut para
tamu yang terdiri dari benggolan perkumpulan rahasia lainnya
sudah datang berkunjung, keruan saja Sian-cengcu
merupakan orang yang paling repot menyambut tetamunya,
tapi di antara seribu kerepotannya toh siang dan malam ia
mengadakan tempo khusus untuk menyambangi Kam Hong-ti
bertiga. Kam Hong-ti sendiri sudah kawakan di kalangan Kangouw,
di antara percakapan mereka selalu ia bikin bingung Siancengcu
hingga benggolan ini tidak dapat meraba asal-usulnya.
Sampailah pada lohor hari keempat, tiba-tiba Sian-cengcu
sendiri datang mengundang mereka. Mereka bertiga mengikuti
tuan rumah menuju ke taman, ternyata di tengah taman itu
sudah siap beberapa meja perjamuan.
Melihat keadaan ini tiba-tiba Lu Si-nio teringat pada waktu
Hi Kak Tay-ong mengundangnya ke perjamuannya dahulu,
keadaan itu ternyata rada mirip dengan keadaan dalam taman
ini Ketika Sian-cengcu menyilakan mereka menempati tempat
duduk yang sudah disediakan, Lu Si-nio-dan Teng Hiau-lan
mencoba memeriksa di antara tamu yang hadir itu, ternyata di
antara tujuh tamu yang duduk di meja terhormat sana ada
dua orang yang mereka kenal, yang satu adalah Leng-huntocu
Wei Yang-wi dan yang lain adalah Thay-ouw-cecu Bing
Bu-kong. Nampak hadirnya dua orang ini, diam-diam mereka
merasa heran. Setelah Kam Hong-ti bertiga mengambil tempat duduk,
menyusul tiada putusnya para tamu lainnya banyak yang
datang lagi buat memberi selamat pada Sian-cengcu. Ketika
Kam Hong-ti mendengar kata-kata selamat yang mereka
ucapkan, ternyata tamu-tamu itu menghaturkan selamat pada
hari pendirian 'Pang' (perkumpulan atau sindikat).
"Mana bisa satu perkumpulan rahasia yang baru berdiri
sudah begini mentereng?" begitu diam-diam Kam Hong-ti
bertanya dalam hati. Tengah ia heran, tiba-tiba tampak Sian-cengcu mengangkat
cawan araknya, sedang tangan kiri mengeluarkan sebuah
kipas dari sakunya dan dikibaskan dengan cepat hingga
terpentang, nyata di sebelah luar kipasnya itu hitam licin
mengkilap, bahkan tulang kipasnya bersinar gemerdep.
Melihat kipasnya ini, baru mendadak Kam Hong-ti tahu apa
artinya. "Eh, kiranya adalah Tiat-sian-pang di Kanglam sini
telah bangkit kembali!" demikian pikirnya dalam hati.
Dapat dijelaskan bahwa sekitar lima puluhan tahun yang
lampau, Tiat-sian-pang (gerombolan kipas baja) di daerah
Kanglam merupakan satu perkumpulan rahasia yang terbesar,
Pangcu atau pemimpin gerombolan itu bernama Sian Hun-ting
dan memiliki ilmu silat yang tinggi, tidak peduli dari golongan
putih atau hitam, semuanya tidak dia beri ampun, sungguhpun
demikian, dia terhitung juga salah seorang tokoh kenamaan
dan disegani. Tapi kemudian Sian Hun-ting kena dikelabui oleh
iblis Hek Hui-hang hingga akhirnya bermusuhan dengan
Thian-san-chit-kiam, akibatnya dia tertawan oleh Leng Bwehong
dan Pho Jing-cu, lalu terbinasa dengan mengenaskan
(bacalah Thian San Chit Kiarri).
Sesudah Sian Hun-ting tewas, karena ular tanpa kepala
lagi, dengan sendirinya Tiat-sian-pang dinyatakan bubar.
Sementara itu Sian Hun-ting masih punya seorang cucu,
tatkala Sian Hun-ting tewas, cucunya ini waktu itu belum
genap sepuluh tahun, sesudah bocah ini dewasa, cita-citanya
condong untuk membangun kembali bekas pekerjaan
kakeknya itu, ia merantau mencari guru pandai untuk belajar
silat, ia memberi nama pada dirinya sendiri sebagai Sian Hokcho
(Hok-cho berarti kembali pada semula).
Setelah dia merantau kian kemari, dengan bantuan Hi Kak,
akhirnya berhasil juga ia menyusun kembali Tiat-sian-pang
dan hari ini adalah hari perayaan pembukaan kembali
mewarisi pekerjaan leluhurnya itu.
Namanya pembukaan, tapi lebih tepat dikatakan
membangun kembali. Meski usia Kam Hong-ti belum terhitung
tua, tapi soal kejadian di kalangan Kangouw dia cukup paham.
Oleh sebab itu juga ia ikut angkat cawan menghaturkan
selamat. "Hari ini perkumpulan kami dibangun kembali, atas
kesudian para kawan berkunjung kemari, lebih-lebih atas
bantuan Hi Kak Tay-ong yang telah membantu sepenuh
tenaga, kami seluruh anggota perkumpulan menghaturkan
banyak terima kasih," terdengar Sian Hok-cho mulai pidato
dengan kebas-kebas kipas bajanya.
Mendengar pidato pembukaan ini, mengertilah Lu Si-nio
bahwa orang ternyata bangun kembali atas dukungan Hi Kak
Tay-ong, pantas Bing Bu-kong dan Wei Yang-wi jauh-jauh ikut
hadir, tentu kedua orang ini datang ke sini sebagai utusan Hi
Kak. Begitulah, setelah berhenti sejenak untuk menceguk
araknya, kemudian Sian Hok-cho melanjutkan lagi, "Mengingat
berbagai perkumpulan dan para pemimpin kita di daerah
Kanglam sini biasanya tersebar seperti pasir, kemegahan
kaum kita pada lima puluh tahun yang lalu seperti telah buyar
laksana asap, hal ini sungguh membikin malu kita terhadap
leluhur. Tetapi kini Hi Kak Tay-ong sudah merajai lautan, hal
ini sungguh harus dibuat bangga oleh kaum kita, tidakkah
lebih baik kalau sekarang perkumpulan kita di Kanglam sama
mengangkat sumpah dan berserikat saja untuk ikut membantu
Hi Kak Tay-ong." Dengan mengeluarkan maksud hatinya ini, seketika
berbagai benggolan dan pemimpin perkumpulan yang hadir
menjadi ramai saling berembuk. Meski sebelum mereka hadir
di perjamuan ini sudah mengetahui maksud tujuan Sian Hokcho,
namun urusan ini terlalu besar dan penting, secara
mendadak hal ini dikemukakan, sesaat ternyata tiada seorang
pun yang berani angkat bicara menanggapi.
Kam Hong-ti dan Lu Si-nio yang menyaksikan di samping
dapat meraba bahwa pendapat berbagai benggolan itu sudah
saling berlainan, hal ini merupakan kesempatan baik buat
mereka untuk mengambil tindakan. Tetapi selagi mereka
hendak melakukan sesuatu, kembali terdengar Sian Hok-cho
membuka suara pula, "Urusan ini besar hubungannya dengan
hidup atau hancurnya kaum kita, menurut pandanganku, bila
saudara-saudar setuju, yang pasti hanya akan membawa
keuntungan dan tiada ruginya."
"Apa yang Sian-cengcu katakan ini memang betul!"
terdengar Pangcu Hay-yang-pang, To Keng-ciau, menyambut
pidato orang dengan berdiri. "Memang urusan ini terlalu besar
sangkut-pautnya, maka biarlah kita pikirkan lebih masak lagi!"
Dengan perkataan ini, tampaknya ia menunjang usul tuan
rumah, tetapi sebenarnya bertujuan mengulur waktu.
Sudah tentu Sian Hok-cho mengerti, ia tahu bahwa wibawa
dirinya masih belum cukup untuk menundukkan orang,
kedatangan para Pangcu hari ini, setengahnya karena
memandang muka Hi Kak dan setengah lainnya lebih tepat
dikatakan berkat jasa leluhurnya. Oleh sebab itu, dalam


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan demikian ia pun tidak berani terlalu memaksa.
"To-pangcu dapat berpikir panjang dan sudah banyak
pengalaman, mana Siaute berani tidak menghargainya,
bolehlah urusan ini kita bicarakan lagi besok," katanya
kemudian. Nampak urusan ini tertunda, rupanya Bing Bu-kong agak
kecewa, ketika ia bermaksud berdiri buat angkat bicara, tibatiba
ada dua anggota perkumpulan datang menghaturkan
sebuah kotak berlapis emas, waktu Sian Hok-cho membuka
dan diperiksa, terlihat di dalam kotak itu terdapat serenceng
emas dan selembar kartu nama merah besar.
Sian Hok-cho mengambil kartu nama itu untuk dibaca,
mendadak air mukanya berubah. "Silakan mereka masuk!"
serunya kemudian. Selang tak lama, terlihatlah dari luar masuk tiga orang,
yang dua sudah lanjut usianya dan yang seorang masih muda.
Ketika mengenali siapa orang yang masuk ini, hampir saja
Teng Hiau-lan berseru kaget.
Ternyata seorang di antara orang tua ini bukan lain ialah
Ce Bin-kau yang terkenal dengan julukan 'Ca-ih-sin-say' atau
si singa sakti bersayap. Sedang si pemuda tadi adalah
putranya, Ce Sek-kiu. Sebagaimana diketahui, beberapa tahun yang lalu ayah dan
anak ini pernah mengunjungi Nyo Tiong-eng dengan maksud
melamar anak gadisnya, tetapi Nyo Liu-jing sengaja mengajak
bertanding pada Ce Sek-kiu hingga tangan pemuda ini hampir
saja dipatahkan. Malahan keberangkatan Teng Hiau-lan dari
keluarga Nyo itu sedikit banyak ada hubungannya dengan
peristiwa itu. Sungguh tidak dinyana, setelah berpisah beberapa tahun,
kini sekonyong-konyong mereka muncul di sini.
"Ada apakah, kenalkah kau pada mereka?" tanya Lu Si-nio
perlahan ketika melihat Hiau-lan menatap ayah dan anak itu
dengan kesima. Hiau-lan manggut-manggut. Sesaat dalam benaknya
terbayang semua kejadian yang telah silam. Pikirnya, "Ce Sekkiu
ini entah masih benci padaku atau tidak?"
Sementara itu Ce Bin-kau dengan langkah lebar mendekat,
ia kiongchiu (angkat kedua tangan di depan dada) sebagai
hormat pada Sian Hok-cho, matanya menatap tajam ke
sekeliling kalangan, menyusul baru ia mulai berkata, "Eh,
kiranya hari ini Sian-cengcu telah banyak mengundang tokoh
besar dari Bu-lim, haha, kedatangan diriku yang sudah tua
bangka ini sungguh kebetulan juga!"
Terlihat Sian Hok-cho pun kiongchiu balas menghormat.
"Ca-ih-sin-say, sudah lama kagum sekali!" jawabnya
kemudian. "Hari ini sudi datang bersama Leng-piauthau, entah
ada petunjuk apa?" Sebelum menjawab, lebih dulu Ce Bin-kau merangkap
tangan memberi hormat berputar kepada para benggolan
yang hadir di sim, habis itu baru dia berkata, "Cayhe bernama
Ce Bin-kau, ini adalah sahabatku Leng Gak, Congpiauthau
Thong-goan-piau-hang di Lam-khia, dan yang ini adalah
putraku Ce Sek-kiu. Dua bulan yang lalu, anakku membantu
Leng-piauthau mengawal dalam perjalanan ke Kwitang, di
tengah jalan barang kawalannya ternyata kena dirampas oleh
kawan-kawan dari Tiat-sian-pang, meski harta kawalannya
tidak besar, hanya lima puluh ribu tahil, dalam pandangan
Sian-cengcu tentu bukan soal harta sebesar ini, sebaliknya
buat Leng-piauthau dan aku tua bangka yang rudin, untuk
mengganti kerugian terang tidak mampu, tiada jalan lain,
terpaksa kami tebalkan kulit muka kemari buat memohon
kepada Cengcu agar suka memberikan muka dan suka
mengembalikan harta kawalan itu. Dan inilah aku Ce Bin-kau
memberi hormat di sini!"
Kiranya sejak Ce Bin-kau dan anaknya meninggalkan
kediaman keluarga Nyo, mereka kembali ke Kwangwa buat
melatih diri secara giat, karena itu Ngo-heng-kun yang dilatih
Ce Sek-kiu sudah banyak memperoleh kemajuan.
Kedatangan mereka ayah dan anak kembali ke pedalaman
sebenarnya bertujuan mencari Nyo Tiong-eng beserta putrinya
untuk menuntut balas hinaan dahulu itu. Waktu mereka
sampai di Lam-khia (Nanking), kebetulan mereka berjumpa
dengan sahabat lama Leng Gak yang sedang menerima
barang kawalan seharga lima puluh ribu tahi! perak ke
Kwitang, waktu itu Tiat-sian-pang diketahui sedang
mempersiapkan diri untuk membangun kembali pangkalan
lama mereka dan sudah banyak merampas harta benda
saudagar di berbagai tempat di daerah Kanglam. Berhubung
dengan itu, Leng Gak menjadi khawatir dan serba susah.
Hendaklah diketahui bahwa Piau-hang atau perusahaan
pengawalan yang kerjanya mengangkut dan mengawal, soal
kepandaian adalah urusan kedua, yang utama dan penting
justru adalah hubungan baik dengan kawan-kawan dari
lapisan hitam yang disebut Hek-to di berbagai tempat, karena
itu yang paling dikhawatirkan ialah kawanan perampok dan
begal liar yang baru muncul, sebab hendak mengikat
persahabatan waktunya tentu tidak keburu lagi.
Begitulah, dalam keadaan serba susah itu, tentu saja Leng
Gak girang sekali atas kedatangan Ce Bin-kau dan putranya, ia
terus terang menceritakan kesulitannya dan mohon bantuan
mereka ayah dan anak. Mengingat hubungan persahabatan mereka, pula
mengingat putranya, Ce Sek-kiu, masih perlu pengalaman dan
penggemblengan, maka Ce Bin-kau lantas menyuruh Ce Sekkiu
membantu wakil Congpiauthau mengawal harta tadi. Tak
terduga, tetap juga barang kawalan itu kena dirampas
kawanan Tiat-sian-pang. Urusan merampas piau (harta yang dikawal) dan meminta
kembali piau yang dirampas dalam kalangan Kangouw
merupakan urusan biasa. Apalagi Ce Bin-kau dan Nyo Tiongeng
pada lebih tiga puluh tahun yang lampau disebut sebagai
Pak-kok-siang-hiong atau dua pahlawan di negeri utara, kaum
Lok-lim di daerah selatan pun mendengar nama mereka yang
tenar dan disegani, tentunya tidak dapat disamakan dengan
orang yang tidak terkenal.
Sebab itulah maka para pemimpin perkumpulan lain
membatin, "Muka yang diminta ini pasti akan diberikan oleh
Sian Hok-cho, sebab harta lima puluh ribu tahil perak bukan
jumlah yang terlalu besar, rasanya Sian Hok-cho tidak pelit
dan suka mengikat permusuhan dengan tokoh ternama."
Tidak tersangka, dugaan mereka ternyata meleset,
mendadak terdengar Sian Hok-cho bergelak tertawa.
"Menurut aturan, Ce-loenghiong yang sudi datang buat
minta kembali harta kawalan itu, sungguh ini merupakan
suatu kehormatan besar buat Siaute, bagaimanapun juga
tentu harta itu akan diserahkan kembali. Cuma saja, soalnya
hari ini adalah hari pembukaan dan sembahyang pada leluhur
perkumpulan kami, kalau uang perak yang putih bersih itu
diangkut keluar pintu oleh orang, setidaknya terasa rada
menyinggung pantangan."
"Lebih baik begini saja," ia menyambung lagi, "kelima puluh
ribu tahil perak itu kita anggap sebagai hadiah, kami dan Celoenghiong
ayah dan anak beserta Leng-piauthau akan saling
bertanding tiga babak untuk menambah semarak perjamuan
ini, kalau Ce-loenghiong berada di pihak yang menang, maka
biarpun kami kalah juga akan merasa gembira!"
Usulnya ini sama sekali di luar dugaan benggolan yang
hadir dalam perjamuan ini, Kam Hong-ti sendiri pun
menganggap tuan rumah merosotkan harga diri sebagai
Pangcu. Nyata mereka tidak tahu bahwa dalam hal ini Sian Hok-cho
mempunyai perhitungan sendiri.
Sudah belasan tahun Sian Hok-cho berusaha membangun
kembali Tiat-sian-pang, meski sedikit banyak sudah dikenal
namanya, tetapi wibawa pribadinya bagaimanapun masih
belum cukup, lebih-lebih karena usulnya membantu Hi Kak
tadi tidak didukung oleh benggolan yang hadir, hal ini sudah
membikin dia merasa serba sulit. Dalam keadaan demikian
kebetulan Ce Bin-kau muncul hendak menagih harta
kawalannya, karena rasa mendongkolnya yang belum
terlampiaskan, maka Sian Hok-cho sengaja mengambil
kesempatan itu dengan tujuan hendak membikin runtuh nama
tokoh terkenal itu, berbareng untuk menanjakkan martabat
sendiri. Begitulah demi mendengar usul orang yang terangterangan
menantang itu, Ce Bin-kau dengan menahan rasa
gusarnya lantas tertawa mendorgak. "Tulangku yang sudah
tua lapuk ini, mana aku berani minta bertanding segala. Tetapi
Pangcu rupanya tidak rela mengembalikan begitu saja barang
kawalan itu, sesungguhnya kami pun tak berani memaksa.
Tapi syukurlah Pangcu sudah tunjukkan jalannya, jika kami
tidak terima, terang harta kawalan itu tidak mampu kami
ganti. Dalam keadaan terpaksa, mau tak mau kami harus
menuruti keinginan Pangcu!"
Dengan jawabannya ini, jelas Ce Bin-kau menerima baik
tantangan orang buat bertanding.
"Bagus, kalau begitu kita atur begini saja, dalam
pertandingan tiga babak, siapa yang menangkan dua babak,
lima puluh ribu tahil perak itu menjadi haknya," kata Sian Hokcho.
"Kalian adalah tamu, maka silakan siapa di antara kalian
yang akan maju lebih dulu?"
Selagi Ce Bin-kau hendak maju sendiri, tiba-tiba ia
didahului oleh Leng-piauthau, Leng Gak.
"Soal harta kawalan ini memangnya adalah kewajiban
Siaute, maka aku boleh belajar kenal beberapa gebrak saja
dengan Pangcu," tantangnya.
Sian Hok-cho menjengek seakan tidak sudi melawan orang
yang dipandang bukan tandingannya. Ia melambaikan
tangannya, lalu seorang lelaki bermuka hitam melompat maju.
Orang ini adalah seorang di antara tiga wakil Pangcu,
namanya Co Goan-lang. "Tidak usah Pangcu bergebrak biar aku saja yang
menerima beberapa gebrak dari Leng-piauthau!" seru orang
she Co itu dengan tertawa.
Setelah Leng Gak tanya jelas nama orang, kemudian ia
kiong-chiu sambil berkata lagi, "Kedatangan kami ini
tujuannya hanya ingin menagih piau, sekali-kali tak berani
pandang perkumpulan kalian sebagai musuh, maka
pertandingan kita boleh berakhir bila ada yang kena senggol
saja, hendaklah Hupangcu suka mengalah sedikit!"
Soal bertanding dan menagih piau adalah kejadian biasa di
kalangan Bu-lim, apa yang Leng Gak katakan justru sesuai
dengan peraturan Kangouw, ia memang sengaja merendah
diri. Sebaliknya ternyata tidak demikian dalam pikiran Co
Goan-lang, dia adalah seorang kasar, meski cukup tangkas
tapi hal sopan-santun kalangan Kangouw umumnya tidak
banyak dipahaminya,'maka dalam hati ia menertawai Leng
Gak yang belum-belum sudah jeri.
Segera ia melangkah maju terus pasang kuda-kuda sambil
berseru, "Tak usah merendah, nah, mulailah!"
Habis itu segera ia membuka serangan lebih dulu, begitu
lengannya diulur, terdengar suara keretekan tulang,
menunjukkan betapa kuat lengannya itu, mendadak ia
menubruk maju, bogemnya yang besar terus menjotos ke
muka lawan. Leng Gak tergolong jago dari Thay-kek-pay, cepat ia
mengegos, dengan gerak 'Sia-kua-tan-pian' (menggantung
ruyung rada miring), segera ia potong pergelangan tangan
musuh. Namun gerak tubuh Co Goan-lang juga cukup gesit, dengan
sekali membalik, cepat ia menghantam lagi ke bawah iga
lawan. Leng Gak pasang kuda-kudanya dengan kuat dan
menangkis, tangan kiri diangkat dan tangan lainnya menekan
ke bawah, tampaknya tidak banyak ia mengeluarkan tenaga,
tetapi Co Goan-lang ternyata dipaksa mundur beberapa
tindak. Melihat cara serangan kawannya itu, Sian Hok-cho
mengerut kening. "Melawan Thay-kek-kun jangan main
hantam melulu," katanya terhadap Wei Yang-wi. Ucapan ini
sebenarnya sengaja diperdengarkan kepada Co Goan-lang, tak
terduga lantaran Co Goan-lang sudah kalah sekali gebrak, ia
menjadi beringas, tidak memperhatikan lagi kata-kata
Pangcunya itu. Apa yang Co Goan-lang latih adalah 'Hek-hou-kun' (ilmu
pukulan macan kumbang). Dengan tenaganya yang kuat dan
tubuh kekar, ia pikir tiada halangan menerima dua kali
gebukan lawan. Begitulah maka dengan pura-pura menyerang sekali,
kembali ia menerjang maju lagi dengan tipu 'Ok-hou-kiok-sim'
(harimau buas mengorek hati), bogem kanan secepat kilat
dipukulkan ke dada Leng Gak.
Tetapi serangan ini dihindarkan oleh Leng Gak dengan
sedikit berkelit ke samping, sesudah itu mendadak ia putar
tubuh dan mem-baliki tangan untuk menggantol tangan
orang. Thay-kek-kun (ilmu pukulan Thay-kek-pay) mengutamakan
pinjam tenaga lawan buat memukul kembali lawan, sebab Co
Goan-lang tadi telah mengeluarkan sepenuh tenaganya, kena
ditarik Leng Gak pula, ia menjadi sempoyongan menyelonong
ke depan, waktu Leng Gak menambahi pula dengan sekali
dorong, tanpa ampun lagi Co Goan-lang terbanting tengkurap,
saking keras jatuhnya ini hingga dia meronta sekian lama baru
dapat bangun kembali. Inipun Leng Gak sengaja memberi keringanan, hanya
Kisah Para Pendekar Pulau Es 13 Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen Senopati Pamungkas I 22
^