Pencarian

Tiga Dara Pendekar 11

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 11


menggunakan tiga bagian tenaganya, kalau tidak, sedikitnya
tulang lengan bisa dipatahkan dan terbanting mampus.
Nampak pihaknya memperoleh kemenangan dulu, dengan
muka berseri Ce Bin-kau memberi kiongchiu sembari berkata,
"Syukurlah pihakmu suka mengalah untuk babak pertama!"
Rupanya Sian Hok-cho menjadi naik darah, ia gebrakkan
cawan araknya sambil berteriak "Baik, dan kini aku sambut
kau dalam babak kedua!"
Karena tantangan ini, segera Ce Bin-kau turun ke kalangan.
"Bagus sekali kalau Pangcu suka memberi petunjuk beberapa
gebrak!" sahutnya dengan suara lantang.
Sementara itu Sian Hok-cho pun sudah siap, ia tanggalkan
jubah luarnya, selagi ia hendak melompat maju, tiba-tiba dari
belakangnya melayang keluar seorang pemuda.
"Tia-tia (ayah), biarlah anak wakilkan engkau untuk babak
ini!" kata pemuda itu, putra Sian Hok-cho, namanya Sian Siauting.
Ilmu silat Sian Hok-cho terdiri dari berbagai cabang, maka
putranya juga sudah terlatih sejak kecil, dasarnya terpupuk
kuat. Nampak putranya ingin mencoba-coba, Sian Hok-cho
berpikir sejenak, ia membatin, walaupun anaknya masih
kurang cukup ulet, tetapi ilmu silatnya sudah mahir dan
masak, pula orangnya muda dan tenaganya kuat, dalam hal
ini saja lebih dulu sudah menarik keuntungan, biarkan dia
maju melawan Ce Bin-kau, kalau kalah tidak menjadi hina,
sebaliknya kalau menang segera bisa menggetarkan kalangan
Kangouw. Karena pikiran ini, segera ia menyatakan
persetujuannya. "Baiklah, cuma kau harus hati-hati!"
pesannya. Segera Sian Siau-ting mencopot baju luarnya dan turun
kalangan, sebaliknya terlihat Ce Bin-kau dengan tersenyum
malah mundur ke samping. Melihat kelakuan orang ini, Sian Siau-ting menjadi bingung,
ia pandang orang dengan tidak mengerti. Tapi pada saat itu
juga Ce Sek-kiu sudah maju ke tengah. "Aku yang akan
menyambut Siau-pangcu di babak ini," serunya dengan suara
nya-ring. Karena majunya Ce Sek-kiu, baru kini Sian Siau-ting
mengerti bahwa Ce Bin-kau anggap tidak pantas bertanding
dengan dirinya. Mengenai Ce Sek-kiu, sejak kena dihajar oleh Nyo Liu-jing
dahulu, lagak sombong yang dimilikinya sudah banyak
berkurang. Setelah berhadapan dengan lawan, dengan
merangkap kepalan ia pasang kuda-kuda, dengan penuh
perhatian ia menantikan musuh.
"Ce-enghiong silakan buka serangan!" ujar Sian Siau-ting.
"Mana aku berani, aku yang rendah dan masih muda harus
menyilakan Siaupangcu memberi petunjuk dulu," sahut Ce
Sek-kiu. "Tidak, kalian adalah tamu, sudah seharusnya kau yang
buka serangan lebih dulu!" ujar Sian Siau-ting pula.
Melihat orang berkukuh pendirian, Ce Sek-kiu pun tidak
menampik lagi, segera ia buka serangan, dengan tangan kiri
bergerak dulu, menyusul kepalan kanan lantas memukul.
Sian Siau-ting merangkap tangannya, dengan gerak
tangkisan 'Hun-jiu', secara gampang saja ia patahkan
serangan orang. "Eh, kiranya dia pun dari Thay-kek-pay," diam-diam Ce
Sek-kiu membatin. Habis itu ia perkuat kuda-kudanya dan menyusul saling
bergantian kedua kepalannya memukul lagi. Latihan kaki Ce
Sek-kiu sudah kuat sekali, kalau Sian Siau-ting hendak
merobohkannya dengan meminjam tenaga pukulan tidak
gampang berhasil. Begitulah maka sesudah bergebrak lebih dua puluh jurus,
kedua pihak ternyata masih tetap tiada yang memperoleh
keuntungan. Melihat pukulan Ce Sek-kiu yang kuat dan angin
pukulannya menyambar kencang, Teng Hiau-lan yang sejak
tadi memperhatikan pemuda ini, diam-diam ia memuji, "Dia
punya Ngo-heng-kun nyata sudah banyak mendapat
kemajuan!" "Apa kalian berdua memang sudah kenal?" tanya Lu Si-nio
di sampingnya ketika mendengar Hiau-lan menggumam
sendiri. Hiau-lan manggut-manggut, tetapi pandangan matanya
tetap ditujukan pada Ce Sek-kiu tanpa berkedip, dalam hati ia
berharap pemuda ini yang menang.
Setelah pertempuran berjalan tak lama pula, perlahan Ce
Sek-kiu tampak mulai berada di atas angin, tetapi lantaran ini
dia lalu tidak secermat seperti tadi. Sebenarnya Ngo-heng-kun
yang dia pe-lajari berguna untuk menyerang, harus
merangsek susul-menyusul, serangan pertama keluar harus
disusul dengan serangan kedua, dengan demikian baru bisa
mengunjuk kekuatan ilmu pukulan itu.
Tetapi setelah berada di atas angin, Ce Sek-kiu ternyata
berlaku ayal, ia anggap kepandaian orang tidak lebih hanya
sekian saja, maka sesudah gerak serangan 'Ting-san-gwa-hou'
(mendaki gunung menunggang macan), dia melangkah maju
miring dan menyerang ke depan dengan mengganti tipunya
menjadi 'Tiu-nio-hwan-cu' (angkat belandar ganti cagak),
dengan telapak tangan kiri melindungi dada sendiri, kepalan
kanan terus menghantam dada musuh.
Namun dengan sedikit mengegos Sian Siau-ting sudah
dapat menghindarkan serangan itu, berbareng mendadak ia
ubah silatnya menjadi 'Kau-kun' atau silat pukulan monyet, ia
menubruk maju, begitu jari tangannya bergerak, segera ia
mengarah kedua mata Ce Sek-kiu.
Perubahan silat lawan itu ternyata di luar dugaan Ce Sekkiu,
lekas pemuda ini menarik tubuh dan berganti serangan,
dengan tangan melindungi dada ia menangkis ke atas.
Tak terduga Sian Siau-ting kembali ganti serangan lagi, dari
cakar jari ia ubah menjadi telapak tangan terus hendak
mencekal urat nadi tangan Ce Sek-kiu, gerak tipu ini adalah
Kim-na-jiu-hoat, ilmu mencengkeram dan menangkap.
Untuk menghindarkan diri terpaksa Ce Sek-kiu melangkah
mundur, tetapi pada saat itu juga secepat kilat tiba-tiba Sian
Siau-ting pukulkan kepalan kanan, serangan ini begitu cepat
hingga tidak mungkin lagi Ce Sek-kiu sempat berkelit, dalam
keadaan terpaksa ia harus terima mentah-mentah pukulan itu
dengan pundaknya. Maka tanpa ampun lagi segera terdengar suara "plak" yang
keras, Ce Sek-kiu merasakan sekali gebukan hingga
terhuyung-huyung mundur beberapa langkah beruntung tidak
sampai terjatuh. Karena kejadian ini, terdengar orang-orang di pihak Tiatsian-
pang sama bersorak tertawa!
Meski Ce Sek-kiu sudah digembleng lagi beberapa tahun
oleh ayahnya, kesabarannya sudah banyak berbeda dengan
dulu, tapi kini secara terang-terangan kena dihantam orang, ia
tak bisa menguasai diri lagi, sekonyong-konyong ia membalik
tubuh dengan cepat, menyusul pukulannya segera
dikeluarkan, ia hujani lawan dengan pukulan, membelah,
menyodok, menghantam, menyabet dan memotong, kelima
gaya serangan yang menjadi kebanggaan Ngo-heng-kunnya,
begitulah secara kalap ia mencecar Sian Siau-ting.
Namun Sian Siau-ting kini sudah berhasil memahami cara
serangannya, sejak kecil ia sudah ikut ayahnya berkelana di
Kang-Ouw, sudah biasa bertanding dalam berbagai ilmu silat
pukulan atau senjata dengan berbagai golongan pula, oleh
karena itu dalam hal menghadapi pertarungan di tengah
kalangan, ia jauh lebih pengalaman daripada Ce Sek-kiu,
ditambah apa yang dia pelajari pun banyak aneka ragamnya,
tidak terbatas suatu macam ilmu silat saja. Karenanya, dengan
cara menyerang Ce Sek-kiu yang terlalu bernap-su ini justru
cocok dengan keinginannya.
Rangsekan lawan yang bertubi-tubi itu tidak membuatnya
gugup atau takut, sebaliknya ia berkelit kian kemari mengikuti
irama serangan Ce Sek-kiu.
Keadaan demikian ini dalam pandangan orang yang kurang
paham mungkin mengira dia kena didesak oleh Ce Sek-kiu,
sebaliknya dalam pandangan orang yang paham, justru Sian
Siau-ting yang berada di atas angin, ia selalu berada di pihak
penggerak, ia melayani lawannya secara bebas, ia hanya
menantikan kesempatan baik, bila Ce Sek-kiu sedikit ayal,
segera ia turun tangan dengan serangan mematikan.
Di samping itu Ce Bin-kau yang menyaksikan pertarungan
putranya ini, diam-diam menghela napas kecewa, dalam hati
mencaci maki anak yang sudah begitu lama belajar, ternyata
masih tetap belum paham dasar ilmu pukulan, entah sudah
berapa kali ia katakan padanya, "Kalau menang jangan
congkak dan kalau kalah jangan bingung." Namun kini
anaknya ini ternyata masih tetap punya penyakit itu, mulamula
memandang enteng lawan dan kemudian menjadi aseran
dan main rangsek secara ngawur, kalau begini terus tentu saja
ia harus menelan kekalahan.
Begitulah sembari memaki dalam hati ia merasa khawatir
juga, Ce Bin-kau dapat melihat Ciang-hoat atau ilmu pukulan
Sian Siau-ting cukup ganas dan kejam, pemuda ini tentu akan
ambil kesempatan buat mencelakai lawan, dengan demikian ia
dapat mengangkat namanya di kalangan Kangouw.
Tetapi apa daya, Ce Bin-kau hanya khawatir sendiri dan tak
mampu berbuat apa-apa, dengan nama baik pribadinya, tidak
nanti dia mau turun kalangan membantu, bahkan untuk
menyerukan pertandingan itu diakhiri dan mengaku kalah saja
juga tak mungkin. Tengah ia khawatir, tiba-tiba dilihatnya Ce Sek-kiu
memaksakan diri melancarkan satu tipu Ngo-heng-kun yang
disebut 'Chiong-hun-pi-bu' (menembus awan menyingkirkan
kabut), kedua telapak tangannya berbareng dihantamkan ke
bagian atas tubuh lawan. Sebaliknya terlihat Sian Siau-ting hanya tertawa mengejek,
mendadak ia mengulur tangan kanan dengan cepat terus
meraup tangan Sek-kiu, sedang tangan kiri menyusul hendak
memotong pelipis musuh. Dalam kedudukan begini, bila Ce
Sek-kiu kena dihantam pelipisnya, maka besar kemungkinan
jiwanya akan melayang. Melihat putranya menghadapi bahaya, Ce Bin-kau berseru
kaget, saat demikian ini ia tak mempedulikan kedudukan
dirinya lagi, segera ia melompat maju.
Akan tetapi belum sampai ia bertindak, sekonyong-konyong
pundaknya kena ditekan orang, sedang di tepi telinganya ada
suara orang yang membentak, "Apa yang hendak kau
lakukan?" Yang menekan dia ternyata bukan lain ialah Leng-hun-tocu
Wci Yang-wi. Ce Bin-kau tidak sabar lagi, ia paksa mengangkat
pundaknya dan hendak melompat naik sekuatnya. Sekejap itu
mendadak terdengar Sian Hok-cho juga berseru membentak,
berbareng terlihat sebuah bayangan hitam secepat terbang
melayang ke tengah kalangan, menyusul Sian Siau-ting dan Ce Sek-kiu keduanya dengan cepat terpisah minggir ke samping. Perubahan yang luar biasa dan dalam sekejap saja ini telah membikin Wei Yang-wi mengendorkan tangannya yang menahan pundak orang, sedang Ce Bin-kau dan Sian Hok-cho berdua pun lantas melompat maju
berbareng. Sementara itu tertampaklah di tengah kalangan sudah
berdiri seorang pemuda gagah cakap dengan senyum simpul,
sambil merangkap kedua kepalan tangannya di depan dada
sedang berkata, '"Dua harimau bertarung, akhirnya pasti ada
satu yang luka, Wan-pwe berlaku sembrono sengaja menjadi
pemisah, harap kedua Lo-cianpwe suka memaafkan."
Pemuda yang mendadak ikut campur tangan ini ternyata
Teng Hiau-lan adanya. Ce Bin-kau dan anaknya sudah berpisah beberapa tahun
dengan Teng Hiau-lan, ditambah lagi pemuda ini telah merias
muka hingga berupa lain, dengan sendirinya Ce Bin-kau jadi
pangling. Dalam pada itu kalau Ce Sek-kiu merasa sangat berterima
kasih pada juru pisahnya ini, adalah sebaliknya Sian Siau-ting
bukan main gusarnya, tetapi tadi ia kena ditarik oleh Teng
Hiau-lan hingga pukulannya gagal, ia tahu ilmu silat orang
masih jauh di atas dirinya, maka ia tak berani sembarang
menantang, namun ia pun segera membuka suara menegur,
"He. kau paham peraturan Kangouw atau tidak" Sudah terang
kau melihat aku akan menang, kau sengaja ikut campur
tangan. Jelas kau sengaja membantu dia. mana bisa dianggap
memisah?" Di pihak lain, waktu mendadak tampak Teng Hiau-lan ikut
campur. Kam Hong-ti rada terkejut, dalam hati ia menduga
urusan bakal runyam. Betul juga, segera kawanan Tiat-sian-pang beramai
mencaci-maki. "Hubungan Ce-loenghiong nyata luas sekali hingga dimanamana
dapat mengundang orang buat membantu," terdengar
Sian Hok-cho menyindir. "Hanya kalau dengan cara begini,
diam-diam membokong dengan sekali pukulan atau sekali
gablokan, kiranya hal ini bukan kelakuan seorang Enghiong
(ksatria). Baiklah, kalau Siauko (engkoh cilik) ini sudah turun
tangan membantu Ce-loenghiong, maka bolehlah sekalian
wakilkan Ce-loenghiong menerima bahak yang terakhir ini!"
Dengan uraian Sian Hok-cho yang cukup menusuk dan
mendesak ini, ia telah mengolok-olok Ce Bin-kau dengan
tajam, kemudian secara langsung pula ia menantang Teng
Hiau-lan.

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seketika semua pandangan mata ditujukan kepada Teng
Hiau-lan seorang, sedang Lu Si-nio dan Kam Hong-ti mau tak
mau menjadi khawatir juga.
Di pihak lain Ce Bin-kau yang diolok-olok mukanya menjadi
merah padam saking menahan gusarnya, dia tergolong
Enghiong atau orang gagah kenamaan, mana ia tahan
dicemooh Sian Hok-cho begitu rupa, apalagi melihat sikap Sian
Hok-cho begitu galak dan mendesak terus, tampaknya segera
akan bergebrak dengan Hiau-lan, maka cepat ia menghadang
ke depan sambil membentak, "Nanti dulu, dengarkan katakataku!"
Sian Hok-cho anggap dirinya sudah berada di atas angin,
baik pertandingan tadi maupun hal 'cengli' (peraturan), maka
ia tertawa mengejek atas bentakan Ce Bin-kau tadi. "Ada
petunjuk apalagi dari Ce-loenghiong?" tanyanya.
"Tadi kita sudah sepakat bertanding tiga babak," dengan
suara lantang Ce Bin-kau berkata, "babak pertama pihak Sianpangcu
telah sudi mengalah, sedang babak kedua walaupun
kalah-menang belum terputus, tapi sebenarnya saja Siaupangcu
tadi memang sudah berada di atas angin, biarlah kami
mengaku kalah. Mengenai ksatria muda yang gagah perkasa
ini, dia dan aku selamanya belum saling kenal, turun
tangannya buat memisah hanya terdorong oleh maksud
baiknya saja, di sini aku menghaturkan terima kasihku. Tapi
aku tak berani mengundang dia buat mewakilkan aku
menyanggah wajan panas, biar kita tetap teruskan perjanjian
semula saja dan babak ketiga ini aku yang menerima
beberapa gebrak dari Pangcu.
"Pangcu adalah tokoh cemerlang di daerah Kanglam,
seumpama aku harus menderita kekalahan dari Pangcu,
rasanya juga bangga bagiku. Sebaliknya bila beruntung
miangku yang sudah lapuk ini masih tahan pukul atau berkat
Pangcu yang sudi mengalah sekali dua pukulan, maka budi
itupun akan aku terima dengan baik dan sobatku yang
kehilangan barang itupun boleh bebas dari bahaya keluarga
hancur dan harta benda rudin."
Dengan perkataannya ini Ce Bin-kau telah unjuk
kepandaian adu lidah, pertama ia mengakui babak tadi Ce
Sek-kiu telah kalah, sesudah itu ia minta menyambung
perjanjian semula dan tetap hendak bertanding dan menagih
piau, di antara kata-katanya bahkan menggambarkan
kesempitan hati Sian Hok-cho.
Begitulah maka demi mendengar perdebatan kedua orang
tadi, para benggolan dari berbagai perkumpulan yang hadir
lantas berbisik saling berunding, mereka anggap Sian Hok-cho
hendak membalas dendam pada seorang angkatan muda,
pertama kedudukan dirinya sudah merosot; karena soal lima
puluh ribu tahil perak harus mengakibatkan keluarga orang
lain hancur dan harta benda rudin, hal ini lebih-lebih tak patut.
Oleh sebab itulah, sehabis Ce Bin-kau mengucapkan
perkataannya tadi, ternyata tiada seorang pun yang
menyokong suara Sian Hok-cho, sebaliknya malah banyak
orang yang memuji, "Bagaimanapun jahe tetap pedas yang
tua. Coba lihat, dengan perkataannya ini Ca-ih-sin-say telah
memutar balikkan kedudukannya yang tadi sudah terdesak."
Terpaksa Sian Hok-cho tak berani bertingkah lagi, mukanya
menjadi berubah. "Siau-ting, kau mundur," katanya kemudian.
"Ce-loenghiong, kita tentukan keunggulan masing-masing
dalam hal kepalan dan kaki, atau memutuskan kalah menang
di atas senjata tajam?"
Sebelum menjawab tantangan orang itu, Ce Bin-kau
mengayun tangan memberi tanda, lalu Teng Hiau-lan dan Ce
Sek-kiu mundur berbareng, habis itu Ce Bin-kau mengambil
tempat lalu buka suara. "Baik kepalan atau kaki maupun
senjata tajam, semuanya aku siap menerima," sahutnya.
Sian Hok-cho menjadi murka, segera ia copot dan
lemparkan jubahnya dan maju hendak turun tangan. Akan
tetapi sebelum ia bertindak lebih jauh, tiba-tiba dari luar ada
orang berlari masuk dengan cepat.
Yang berlari masuk ini adalah dua begundal Sian Hok-cho
yang bertugas menyambut tetamu, begitu sampai di hadapan
Pangcu mereka, segera mereka persembahkan sebuah kotak
merah dengan diangkat tinggi-tinggi. "Pangcu, Thi-cio-sin-tan
Nyo Tiong-eng bersama Kwantang-si-hiap hendak menjumpai
engkau orang tua!" seru mereka melapor.
Mendengar pemberitahuan ini, bukan saja Sian Hok-cho
terkejut, balikan Ce Bin-kau pun ikut terperanjat.
Dengan cepat Sian Hok-cho melompat ke tempatnya tadi
untuk mengenakan kembali baju luarnya.
"Babak pertandingan kita ini boleh ditunda sementara!"
katanya pada Ce Bin-kau sambil kiongchiu. Habis ini ia sendiri
lantas memimpin beberapa begundalnya keluar menyambut
tamu. Di sebelah sana Ce Bin-kau pun tak tenteram hatinya,
sudah beberapa tahun ia tidak berjumpa dengan kawannya
ini, bahkan ia sedang hendak mencari padanya, tidak
tersangka mendadak bersua di sini. Yang membingungkan
pikirannya adalah apa yang harus dikatakan nanti kalau sudah
berhadapan" Di samping itu, orang yang juga merasa tak tenteram
mungkin ialah Teng Hiau-lan, hatinya berdebar demi
mendengar Thi-cio-sin-tan Nyo Tiong-eng datang kemari.
Akan tetapi rupanya Kam Hong-ti sudah dapat menebak
apa yang dikandung dalam hati Teng Hiau-lan, dengan
tersenyum pendekar ini menghiburnya. "Teng-heng tak usah
khawatir, nanti kau tidak perlu bersuara, biar aku yang
mewakilkan kau membereskan urusanmu yang ruwet ini,"
katanya. Sementara itu terlihat Nyo Tiong-eng dan Kwantang-si-hiap
berturut-turut telah masuk. Begitu masuk, pandangan Nyo
Tiongeng lantas menatap ke seluruh kalangan, demi melihat
Ce Bin-kau dan anaknya, segera ia mendekatinya. "Ce-toako,
baik-baikkah selama berpisah?" ia menyapa dengan
merangkap kedua tangan. "Baik!".sahut Ce Bin-kau dengan sikap dingin.
Mendadak Nyo Tiong-eng berpaling kepada Sian Hok-cho
dan berkata pada Pangcu Tiat-sian-pang itu. "Sian-pangcu,
hari ini perkumpulanmu membikin pembukaan, aku orang she
Nyo hendak menghaturkan selamat. Kedua, ada sesuatu yang
ingin kumohon padamu."
"Ada keperluan apa yang hendak Nyo-loenghiong
rundingkan, silakan katakan saja!" sahut Sian Hok-cho.
"Aku ingin pinjam lima puluh ribu tahil perak pada Pangcu!"
sahut Nyo Tiong-eng dengan suara keras.
Mendengar ini, seketika air muka Sian Hok-cho berubah.
"Jika Nyo-loenghiong kekurangan uang, ambil saja
secukupnya, cuma entah kenapa harus berjumlah lima puluh
ribu?" katanya sambil kiongchiu.
"Soalnya karena aku mempunyai seorang sobat karib yang
punya ikatan sehidup semati denganku, putranya dengan
sendirinya adalah keponakanku," demikian Nyo Tiong-eng
menerangkan. "Keponakanku itu telah mewakilkan orang
mengawal piau dan telah kehilangan lima puluh ribu tahil
perak, mereka yang biasa mengembara di Kangouw sudah
tentu tidak seperti Cengcu yang memiliki harta benda
bertumpuk, terang dia tidak mampu mengganti sejumlah tadi,
dan aku yang menjadi pamannya mana bisa berpeluk tangan
saja tanpa berdaya baginya?"
Maka tahulah Sian Hok-cho akan maksud kedatangan
orang, kini ia mengerti bahwa Nyo Tiong-eng ternyata
sekomplotan dengan Ce Bin-kau. "Ha, kalau begitu kau datang
menagih piau untuk Ca-ih-sin-say?" tanyanya segera.
"Memang betul, aku bersama Kwantang-si-hiap minta kau
suka memberi muka pada kami atas permintaanku ini!" sahut
Nyo Tiong-eng. Dalam keadaan demikian ini, mau tak mau Sian Hok-cho
harus memperhitungkan untung ruginya bila sampai
bergebrak. Nama Nyo Tiong-eng sudah terkenal dan budi pekertinya
dijunjung tinggi dalam Bu-lim, lebih-lebih Kwantang-si-hiap
sudah terkenal pula sebagai Enghiong yang disegani kalangan
Kangouw, bila Sian Hok-cho menilik pihaknya, Han Tiong-san
yang ilmu silatnya paling kuat masih belum datang, ia sendiri
bersama Bing Bu-kong dan Wei Yang-wi mungkin bukan
tandingan mereka. Oleh karena itu, meski dalam hati ia gusar dan
mendongkol, terpaksa ia unjuk senyum. "Soal kecil ini sampai
membikin kalian berlima jauh-jauh datang ke sini, Cayhe
betul-betul merasa tak enak sekali, di hadapan Nyoloenghiong
dan Kwantang-si-hiap, jangankan hanya lima puluh
ribu tahil perak, lebih banyak lagi Siaute juga akan
menghaturkannya," sahutnya sembari merangkap kepalan
lagi. Habis berkata, ia perintahkan orangnya menyediakan surat
uang (serupa cek zaman kini) dan menambah meja lagi, lalu
mempersilakan Nyo Tiong-eng dan Kwantang-si-hiap duduk,
sesudah itu ia pun minta maaf kepada Ce Bin-kau dan Leng
Gak serta meminta mereka duduk semeja dengan Nyo Tiongeng
dan kawan-kawan Ce Bin-kau sudah menyaksikan kepandaian Sian Siau-ting
tadi, ia mengerti kepandaian Sian Hok-cho pasti jauh lebih
tinggi, kalau pertandingan dilangsungkan, ia sendiri
sesungguhnya tidak banyak harapan buat menang. Kini berkat
kedatangan Nyo Tiong-eng bisa menghindarkan kesulitannya
itu, sudah tentu dalam hati ia merasa berterima kasih, tetapi
karena peristiwa dahulu itu, seketika ia tidak sanggup
mengatakan sesuatu. Hian-hong Totiang dan Ce Bin-kau juga kenalan lama,
maka Hian-hong membuka suara lebih dulu, "Waktu Nyotoako
mendapat tahu urusanmu ini, ia menjadi khawatir dan
tak sabar lagi, kami didesak dan segera berangkat ke sini
sepanjang malam, untung datang tepat pada waktunya."
Baru kini Ce Bin-kau tahu bahwa kedatangan Nyo Tiongeng
ini ternyata melulu untuk membela kepentingannya.
Sementara itu .Nyo Tiong-eng pun tidak tinggal diam, ia
menuang penuh cawan araknya, lalu berkata pada Ce Bin-kau,
"Peristiwa dahulu itu, Siaute merasa menyesal sekali!"
Melihat orang bersungguh-sungguh, Ce Bin-kau terima
cawan arak yang diangsurkan itu terus ia minum hingga
kering. "Dalam keadaan menderita baru kelihatan jelas akan
persahabatan sejati, urusan anak-anak itu selanjutnya
hendaklah jangan disebut lagi!" sahutnya sambil bergelak
tertawa. Kalau di meja Nyo Tiong-eng ini mereka sedang asyik sekali
bicara, adalah Sian Hok-cho yang paling kehilangan muka,
karenanya seluruh amarahnya dia alihkan kepada Teng Hiau-
Lan. "Hari ini perkumpulan kami membikin upacara pembukaan,
atas kesudian kunjungan para Enghiong dan kawan, dengan
sendirinya banyak menambah semarak perayaan ini," katanya
kemudian dengan suara keras. "Tadi Pang-heng ini (seperti
diketahui Hiau-lan menyamar dengan nama Pang Hiau) telah
unjuk kepandaian yang bagus, sungguh kami kagum sekali.
Hanya sayang, cuma satu dua gebrak saja dan belum
mengunjuk seluruh kepandaiannya, maka kami masih ingin
Pang-heng suka unjuk sedikit kepandaian lagi, agar kita
semua bisa menambah pengalaman."
Karena dirinya dijadikan sasaran, Teng Hiau-lan menjadi
bingung, ia tidak mengerti cara bagaimana harus menjawab.
Wei Yang-wi terhitung orang yang cerdik, ketika nampak
perawakan Teng Hiau-lan dan mendengar suaranya, ia merasa
seperti sudah pernah berjumpa entah dimana. Karena ingin
menyelami lebih lanjut, segera ia bangkit berdiri. "Biarlah aku
saja yang bergebrak beberapa jurus dengan Pang-heng ini
untuk menambah kegembiraan Pang-cu," ujarnya.
Teng Hiau-lan jadi makin bingung dan tak tenteram semua
pandangan orang kini sama menatap padanya.
Di sebelah sana, Hian-hong Tojin yang sudah kawakan di
dunia Kangouw, daya ingatnya lebih-lebih luar biasa, siapa
saja yang pernah dijumpainya, meski bertemu lagi sesudah
sepuluh tahun ia masih sanggup menyebut nama orang. Kini
setelah ia amat-amati orang sejenak, tiba-tiba ia bertanya
kepada Nyo Tiong-eng, "Kau lihat orang ini mirip Teng Hiaulan
tidak?" Mendengar nama pemuda ini, seketika Nyo Tiong-eng
merasa curiga. "Ya, memang rada mirip," sahutnya kemudian.
"Cuma paras mukanya lain!" ujar Tan Goan-pa
menimbrung. Mendengar orang mempercakapkan pemuda itu, Ce Binkau
lantas menceritakan cara bagaimana Teng Hiau-lan telah
membantu pihaknya tadi. Tujuannya menceritakan
sebenarnya adalah hendak memperkenalkan pemuda gagah
itu kepada Hian-hong, siapa tahu demi mendengar ceritanya
itu, mendadak imam tua ini mengetok tongkamya ke lantai,
tubuhnya terus mencelat maju ke tengah.
Di pihak sana Wei Yang-wi yang sedang menantang
bertempur, ketika melihat Hian-hong melayang tiba, karena
tak tahu maksud tujuan orang, seketika ia menjadi
tercengang. "Aku si imam tua ini paling suka ikut meramaikan suasana,"
terdengar Hian-hong berteriak, "melihat pemuda gagah ini
dengan pinggang tergantung pedang, pasti dia adalah anak
murid dari ahli ilmu pedang ternama, maka aku imam tua
bangkotan ini ingin bertanding Kiam-hoat dengan dia."
Mendengar ucapan Hian-hong ini, Sian Hok-cho terperanjat
tetapi girang juga, ia tahu 'Loan-pi-hong-kiam-hoat' Hian-hong
ter-mashur di dunia persilatan, cuma sama sekali tidak
diduganya imam ini mau tampil ke depan buat membantu
pihaknya, bahkan sudi bertanding pedang dengan seorang
pemuda. Di pihak lain Kam Hong-ti juga lantas mendorong Teng
Hiau-lan. "Perintah orang tua jangan ditolak, boleh kau layani
Toya itu barang sejurus!" ujarnya.
Mendengar Kam Hong-ti berkata demikian, Hiau-lan
menjadi tidak ragu-ragu lagi, segera ia melompat ke tengah.
Sementara itu Hian-hong sudah tak sabar lagi, begitu orang
maju, segera tongkat di tangan kiri lantas menyabet, sedang
pedang di tangan yang lain pun berbareng menusuk dari
bawah tongkatnya. Ilmu pedang Hian-hong terkenal cepat lagi ganas laksana


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hujan lebat dan angin badai, begitu hebat ia menyerang
secara bertubi-tubi, baru Hiau-lan sempat berkelit dua kali,
hampir saja ia kena tertusuk. Karena sudah kepepet, tiada
jalan lain, ia harus melolos Yu-liong-pokiam, seketika sinar
pedang gemerlapan. "Murid murtad, tidak lekas letakkan senjata dan menyerah!"
bentak Hian-hong demi mengenal siapa adanya.
Segera pula ia menusuk dua kali ke tempat berbahaya di
tubuh Hiau-lan, sedang tongkat di tangan kiri pun menyambar
dan mengemplang. Menghadapi rangsekan hebat itu, terpaksa Hiau-lan
mencurahkan seluruh semangatnya untuk melayani orang
hingga tidak sempat buka suara buat menerangkan.
Karena pertarungan kedua orang yang makin sengit ini, Ce
Bin-kau beserta putranya menjadi sangat terkejut, ia tidak
mengerti mengapa Hian-hong begitu bernapsu menempur
seorang pemuda, Ce Bin-kau jadi khawatir.
"Toako, pemuda perkasa ini pernah menolong jiwa anakku,
tampaknya dia bukan orang jahat, ada urusan apa hendaklah
dibicarakan secara baik-baik, lekas kau turun tangan
menghentikan Hian-hong Totiang," katanya cepat sambil
menarik lengan Nyo Tiong-eng.
Nyo Tiong-eng i ternyata tidak sependapat dengan dia, air
mukanya dingin saja, bahkan ia kebaskan lengan baju yang
dipegang orang. "Dia telah mengkhianati perguruan dan
menyerah pada Boan, dosanya harus dihukum mati!" sahutnya
kemudian. Habis itu malah dia berdiri dan meneriaki Hianhong,
"Hian-hong Toheng, harap kau wakilkan aku
menangkap murid murtad itu hidup-hidup, jangan sampai tak
bernyawa!" Sebenarnya Nyo Tiong-eng hendak turun tangan sendiri,
tapi karena Hian-hong sudah bergebrak, dengan sendirinya
dia tidak leluasa buat maju lagi. Dalam pada itu demi Ce Binkau
mendengar Nyo Tiong-eng mendamprat Teng Hiau-lan
sebagai "murid murtad," ia jadi terperanjat. "Siapakah orang
ini?" tanyanya tak mengerti.
"Dia ialah Teng Hiau-lan, yang dahulu pernah berkelahi
dengan Sek-kiu itu," jawab Nyo Tiong-eng.
Mendapat keterangan ini, Ce Sek-kiu pentang mata lebar
ter-heran-heran, sedang Ce Bin-kau pun merasa bingung.
Ce Sek-kiu meski berpikiran sempit, tapi ia pun bisa
membedakan antara budi dan dendam. Tadi Teng Hiau-lan
telah menolong dirinya, bagaimanapun hal itu adalah budi
buat dia, sebenarnya ia hendak mengatakan perasaan hatinya
kepada pamannya itu, tapi melihat wajah Nyo Tiong-eng yang
sungguh-sungguh dan kereng, ia jadi urung, tak berani
membuka suara. "Ai, tidak nyana ia bisa berubah begini!" demikian ia
menghela napas. Sementara itu di tengah kalangan, Hian-hong masih terus
me-rangsek lawannya, tongkat dan pedangnya bekerja
berbareng dan tiap serangannya lihai luar biasa.
Terpaksa Teng Hiau-lan mainkan Thian-san-kiam-hoat yang
hebat hingga memancarkan sinar pedang gemerlapan, begitu
cepat seperti gelombang ombak yang bergulung-gulung, ia
hanya membela diri saja dan tidak balas menyerang, meski
daya tekanan pedang dan tongkat Hian-hong mengejutkan
orang, namun ternyata tiada satu lubang pun yang dapat
dimasukinya. Karena tak berdaya, saking gusarnya ia mendamprat,
"Thian-san-pay selamanya mengeluarkan anak-murid
pahlawan, tetapi setelah kau dapat menipu Thian-san-kiamhoat,
sebaliknya terima menjadi anjing dan alap-alap bangsa
Boan, sungguh membikin noda nama baik leluhur Thian-sanpay
saja!" Belum lenyap suara caciannya ini mendadak di pihak Tiatsian-
pang terjadi ribut-ribut, sekonyong-konyong Sian Hok-cho
melompat ke tengah kalangan dan kipasnya menghadang di
antara dua orang yang sedang bertempur itu, lelatu api lantas
muncrat, pada kesempatan itulah Teng Hiau-lan lantas
melompat mundur ke belakang dua tindak.
"Hian-hong Toheng, orang ini adalah musuh besar
perkumpulan kami, harap serahkan padaku saja!" demikian
Sian Hok-cho berseru. "Apa, menyerahkan padamu?" tanya Hian-hong tak
mengerti. "Ya," sahut Sian Hok-cho, "kau adalah tamu, seumpama
kau ada dendam dan bermusuhan dengan dia juga harus
menyerahkan persoalan ini pada kami yang menjadi tuan
rumah." Waktu itu Bing Bu-kong, Wei Yang-wi dan begundal Tiatsian-
pang beruntun ikut melompat maju terus mengepung.
Namun Hian-hong ternyata tidak gentar, dengan mata
mendelik dan pedang terhunus ia masih tetap di tempatnya.
"Biar aku yang tangkap orang ini, sesudah itu baru
kuserahkan padamu, bagaimana?" kata Sian Hok-cho lagi.
Melihat gelagat sudah telanjur demikian, Hian-hong terima
baik tawaran itu, ia kembalikan pedang ke sarungnya. "Baik,"
sahutnya kemudian, "tetapi ilmu pedangnya sudah
memperoleh ajaran asli dari Thian-san, kau harus hati-hati!"
Jika Sian Hok-cho buka suara berulang-ulang, adalah Teng
Hiau-lan sebaliknya merasa bingung. "Aku dan Pangcu
selamanya belum kenal, dengan perkumpulanmu juga tiada
sesuatu hubungan, darimanakah bisa timbul permusuhan?"
tanyanya. "Aneh, kau adalah anak murid Thian-san, masakah
terhadap kejadian dahulu sedikitpun kau tidak tahu?" balas
Sian Hok-cho bertanya. "Pada lima puluh tahun yang lalu,
kakek kami telah menjadi korban di tangan Thian-san-chitkiam,
sungguh tidak nyana hari ini selagi kami membikin
pembukaan dan sembahyang pada leluhur, arwah Cosuya
(kakek moyang) ternyata telah mengantar kau ke sini. He,
leluhur yang menanam, yang memetik buah keturunannya,
leluhur utang darah, yang bayar keturunannya. Masakah kau
ingin selamatkan jiwamu sekarang?"
Habis sang Pangcu berpidato, begundalnya segera
berteriak gemuruh membantu mengobarkan semangat.
Begitulah kedua belah pihak akan bergebrak, tiba-tiba Kam
Hong-ti melompat maju terus membentak dengan suaranya
yang keras menggelegar. "Huh, orang balas dendam pun
caranya tidak begitu, apa kalian hendak main keroyokan?"
Muka Kam Hong-ti tertampak kuning pucat dan tubuhnya
kurus, rupanya sedikitpun tidak menarik, tapi suara
bentakannya ternyata begitu keras hingga seluruh ruangan
tergetar. Keruan kawanan Tiat-sian-pang menjadi jeri, tanpa
terasa mereka sama melangkah mundur ke belakang.
Namun Sian Hok-cho ternyata tidak gampang" digertak,
dengan mengangkat kipas ia menjengek, "Nyata aku terlupa
bahwa masih ada dua orang pandai di sini, jika kalian berdua
setingkatan dengan dia, tentunya juga ingin ikut membagi
beban pertanggungan jawab ini bukan?"
"Aku bukan anak murid dari Thian-san, siapa sudi ikut
peduli urusanmu," sahut Kam Hong-ti ketus, "tetapi menurut
kebiasaan Kangouw, hendak balas dendam juga ada
aturannya, aku hanya tidak biasa melihat orang main
keroyokan." Karena olok-olok ini, muka Sian Hok-cho menjadi merah
padam, dalam kedudukannya sebagai Pangcu menantang
seorang muda dari angkatan rendah memang sudah
merosotkan pamornya, apalagi sekarang dituduh Kam Hong-ti
pihaknya hendak main keroyok.
"Mengapa kau tidak pentang matamu lebih lebar, siapa
yang hendak main keroyok?" ia mencoba bela diri. "Orang
kami hanya gemas karena dendam, hati mereka terbakar, dan
maju hendak melihat lebih jelas muka musuh, hal itukah yang
menyalahi aturan" Kini boleh satu lawan satu, dia adalah anak
murid keturunan Thian-san-chit-kiam, dan aku adalah cucu
dari bapak pendiri Tiat-sian-pang, hari ini biar aku yang
menyelesaikan soal ini dengan dia, sekali-kali Tiat-sian-pang
kami tidak akan unggulkan diri karena berjumlah lebih banyak,
tetapi kalau kalian hendak membantu, pihak kami juga ada
orang yang akan menyambut kau."
Pantasnya Sian Hok-cho mengajukan putranya untuk
bertanding dengan Teng Hiau-lan hingga sesuai dengan
kedudukannya, tetapi tadi dia sudah menyaksikan ilmu pedang
Teng Hiau-lan, ia tahu putranya pasti bukan tandingan orang,
oleh sebab itu dengan menebalkan kulit mukanya, terpaksa ia
maju sendiri. Begitulah, maka atas jawaban orang tadi Kam Hong-ti
tertawa terbahak-bahak. "Sebenarnya balas dendam terhadap keturunan musuh
merupakan ciri dalam perkumpulan kalangan Kangouw,
kebiasaan dan ciri buruk ini hingga kini lambat-laun pun sudah
hapus," katanya kemudian. "Dengan kedudukanmu sebagai
seorang Pangcu dan bertindak menurut kebiasaan busuk itu,
caramu sebenarnya tidak membikin orang kagum, namun bila
kau tetap hendak melaksanakan ciri lama itu, hal itupun
adalah kebebasanmu. Cuma saja kita harus berjanji dulu yang
jelas, kalau kau kalah, lantas bagaimana?"
"Kalau aku kalah, Tiat-sian-pang selanjutnya tidak akan
mempersulit lagi padanya, sebaliknya bagaimana jika aku
menang?" jawab Sian Hok-cho.
"Kalau kau menang, maka terserah padamu untuk berbuat
sesukamu terhadap dia!" sahut Kam Hong-ti.
Tetapi Hian-hong ternyata tidak menerima janji kedua
belah pihak itu, segera berseru. "Orang ini adalah murid
murtad Thi-cio-sin-tan, kami tak pedulikan soal kalahmenangnya
Tiat-sian-pang!" Kam Hong-ti tersenyum. "Hal ini sudah tentu!" sahutnya
sambil kiongchiu kepada Hian-hong dari jauh.
Sementara itu terlihat Sian Hok-cho telah mengebas
kipasnya, beramai para begundalnya segera mundur ke
belakang, sebaliknya Bing Bu-kong dan Wei Yang-wi sengaja
menggeser tempat duduk lebih mendekat Kam Hong-ti
ditambah konco-konco mereka juga siap berjaga-jaga di
empat penjuru. Akan tetapi Kam Hong-ti tak gentar, ia berlaku seperti biasa
saja, ia minum arak sepuasnya seperti tiada terjadi sesuatu
yang hebat. Di meja sebelah sana, Hian-hong, Nyo Tiong-eng dan
kawan-kawan juga sedang terheran-heran dan bertanya dalam
hati, mereka melihat rupa Kam Hong-ti tidak menunjukkan
sesuatu keistimewaan, akan tetapi caranya bicara ternyata
begitu lihai, bahkan lagu suaranya menunjuk kedudukannya
bukan tergolong orang biasa.
Kwantang-si-hiap dan Nyo Tiong-eng memang belum
pernah kenal Kam Hong-ti, maka tiada seorang pun di antara
mereka yang menduga akan diri pendekar ini, hanya dalam
hati mereka masih terus meraba dan menduga siapa gerangan
lelaki kurus ini. "Pantas Hiau-lan berani berkhianat, kiranya di belakangnya
berdiri orang lain lagi," ujar Nyo Tiong-eng.
Tapi Hian-hong agaknya berpendapat lain, ia berkerut
kening. "Tampaknya orang ini cukup bijaksana dan paham
peraturan Kangouw, dia lebih mirip dari golongan kita,"
katanya. "Orang pandai seperti dia ini mengapa mau membantu
murid murtad ini!" sahut Nyo Tiong-eng berkerut kening juga.
Tengah mereka bercakap, di tengah kalangan Teng Hiaulan
dan Sian Hok-cho sudah mulai bergebrak.
Sian Hok-cho cukup kenal lihainya Thian-san-kiam-hoat,
tapi melihat usia Teng Hiau-lan yang begitu muda, ia
menduga orang masih belum cukup melatih diri, tentu belum
masak kepandaiannya, maka begitu turun tangan segera ia
berlaku cerdik, ia melangkah minggir, sedang kipasnya terus
mengebas ke muka orang, sesudah itu tiba-tiba secepat kilat
jari tangan yang lain menutuk 'Koh-cing-hiat' di dada Hiau-lan.
Namun Teng Hiau-lan segera menggeraki pedangnya dan
memancarkan sinar menyilaukan, mendadak setengah
berputar ia menjaga rapat bagian atas dan tengah, sesudah
itu ujung senjatanya terus balik menabas musuh.
Gerak tipu ini adalah gerak permulaan Thian-san-kiam-hoat
yang disebut 'Hun-so-thian-san' atau awan mengurung Thiansan,
habis itu disusul dengan tipu kedua 'Pi-hun-bong-goat'
(menyingkap awan memandang rembulan), sekonyongkonyong
Yu-liong-kiam menyabet dari samping, ujung
pedangnya terus mencukit dari bawah ke atas mengarah
muka orang. Nampak Kiam-hoat lawan sangat lihai, lekas Sian Hok-cho
mendakkan tubuhnya ke bawah, dengan cepat ia berputar,
kipasnya mendadak dipentang lagi dan dipakai sebagai
pedang, dengan tipu 'Peng-soa-lok-gan' (burung belibis
hinggap di pesisir), ia mengiris pergelangan tangan orang.
Tipu serangan ini digunakan secara tepat dan bagus sekali,
untuk menghindarkan bahaya, lekas Teng Hiau-lan putar
ujung senjatanya terus menyampuk ke samping.
Sebenarnya kalau Sian Hok-cho menggunakan tipu
serangan ini dengan sungguh-sungguh, dapat diduga Hiau-lan
pasti akan ter-luka, akan tetapi karena dia takut pada pedang
pusaka lawan yang hebat, ia tak berani adu senjata, karena
itu ketika Hiau-lan sampuk-kan pedangnya, ia pun cepat
menarik kipasnya, maka kedua orang sama-sama tidak
terluka. Ketika Hiau-lan ayun pedangnya maju lagi, kembali ia
lancarkan serangan berbahaya dari 'Tui-hong-kiam-hoat' yang
disebut 'Li-kong-sia-ciok' (Li Kong memanah batu), ujung
pedangnya tahu-tahu nyelonong menusuk urat nadi di tangan
lawan. Lekas Sian Hok-cho rangkap kipasnya, ujung kipas
digunakan membentur perlahan ke batang pedang lawan,
karena itu serangan Tang Hiau-lan menjadi sedikit melenceng,
sedang Sian Hok-cho dengan cepat meloncat pergi, waktu
Teng Hiau-lan menubruk maju lagi, lawannya sempat turun
kembali ke bawah dan pasang kuda-kuda dengan kuat,
kipasnya dipentang, kembali ia saling gempur dengan Teng
Hiau-lan. Makin lama pertarungan makin sengit hingga berulangulang
harus saling menghadapi bahaya. Teng Hiau-lan
menang dalam hal Kiam-hoat yang bagus, ditambah lagi


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedangnya adalah pedang pusaka; sedang Sian Hok-cho
menang dalam hal keuletan, pengalaman lebih banyak dan
latihannya lebih masak. Setelah pertempuran berjalan lebih seratus jurus, kipas
Sian Hok-cho tempo-tempo digunakan seperti pedang,
kadang-kadang ia pakai sebagai senjata peranti menutuk,
perubahannya beraneka macam, serangannya pun banyak
ragamnya. Tetapi Teng Hiau-lan tidak kena diselomoti, ia tidak
menghiraukan pancingan orang, ia hanya memainkan 'Si-mikiam-
hoat' dari Thian-san-kiam-hoat sedemikian hebatnya
untuk menjaga diri, kadang ia ganti dengan Tui-hong-kiamhoat
untuk balas menyerang. Dalam keadaan demikian, meski Sian Hok-cho jauh lebih
ka-wakan, tapi Hiau-lan mainkan pedangnya begitu cepat dan
rapat tanpa lubang sedikitpun, mau tak mau pemimpin Tiatsian-
pang ini terpaksa harus melayani lawan lebih giat.
Pertarungan sengit ini membikin kawanan Tiat-sian-pang
jadi terkejut dan mata terbelalak, sama sekali tidak mereka
duga bahwa seorang anak muda sanggup melawan Pangcu
mereka yang biasa mereka pandang dan junjung laksana
malaikat dewata. Di sebelah sana Lu Si-nio pun sedang menyaksikan
pertarungan itu dengan seksama, ia bandingkan Teng Hiaulan
punya Thian-san-kiam-hoat dengan Hian-li-kiam-hoat
sendiri, ia merasa Hian-li-kiam-hoat sendiri walaupun lebih
aneh dan susah diraba, tapi kalau bicara soal kecepatan dan
ketangkasan ditambah mengandung inti sari dari berbagai
cabang silat lainnya, maka Hian-li-kiam-hoat terang tak bisa
menandingi Thian-san-kiam-hoat.
Dengan menyaksikan permainan Kiam-hoat ini, si gadis
menjadi lebih mendalam memahami dasar ilmu pedang pada
umumnya. Karena itu tiba-tiba timbul semacam pikiran aneh dalam
hatinya, ia ingin bisa lebur Thian-san-kiam-hoat dan Hian-likiam-
hoat menjadi satu. Tetapi bila ia teringat lagi bahwa
sekali-kali Ie Lan-cu tidak nanti menerima dirinya sebagai
murid, sedang Teng Hiau-lan sendiri masih belum cukup
masak Kiam-hoatnya, hendak bertukar pikiran dengan pemuda
itupun tidak akan banyak memahami intisari Thian-san-kiamhoat.
Apalagi kewajiban dendam keluarga dan sakit hati
negara senantiasa menjadi pikirannya, dari mana ada tempo
bertahun-tahun untuk berlatih dengan sungguh-sungguh.
Berpikir sampai di sini, tak tertahan ia tertawa sendiri.
Sementara itu Kam Hong-ti rupanya pun tertarik oleh Kiamhoat
sebagus itu. Katanya pada sang Sumoay, "Pat-moay,
ilmu silat memang terlalu dalam laksana lautan besar saja.
Dulu ketika pertama kali aku bertemu Hiau-lan, karena
latihannya yang masih kurang, aku menganggap dia sebagai
pemuda biasa saja, tidak nyana ia bisa menggunakan Kiamhoat
yang bagus untuk menutup kelemahan latihannya, maka
ketahuilah bahwa jalan buat belajar silat, tidak peduli dimulai
dari bagian mana, asal saja mempunyai satu kekhususan,
akhirnya pasti akan jadi juga!"
"Soal bun dan bu teorinya memang sama, keuletan latihan
adalah sama seperti keuletan belajar, orang yang sudah
banyak belajar (sastra) terang lebih berguna daripada yang
asal bicara tentang sastra saja," sahut Lu Si-nio.
Kam Hong-ti tersenyum. Ia mengerti perkataan Sumoaynya
ini, secara diam-diam sengaja menjunjung dia.
Kiranya di antara saudara seperguruan Kam Hong-ti, selain
Liau-in Hwesio, dasar latihannya berhitung yang paling kuat,
tetapi dalam hal Kiam-hoat dan Ginkang Lu Si-nio terhitung
yang paling mahir. Maka dia menjawab dengan tertawa, "Kalau hanya kenyang
membaca segala macam kitab tanpa disalurkan melalui pena
yang bagus, maka apa yang dipelajarinya itupun tiada
faedahnya." "Perkataan Suheng memang betul," ujar Lu Si-nio dengan
tertawa juga. "Suheng telah memperoleh Kun-hoat (ilmu
pukulan tangan kosong) dari Suhu dan aku memperoleh Suhu
punya Kiam-hoat, kita justru harus saling tukar pikiran dan
saling belajar." Saat itu pertempuran sengit Teng Hiau-lan melawan Sian
Hok-cho ternyata masih tetap ramai, belum tampak siapa
yang bakal menang dan kecundang, tiap kali ujung pedang
Teng Hiau-lan selalu kena dikebas melenceng oleh kipas Sian
Hok-cho, sebaliknya ia pun hanya sanggup menghindarkan
bahaya serangan berkat keuletannya, untuk balas menyerang
sudah tidak bisa lagi. "Kepandaian Sian Hok-cho tidak di bawah Suheng!" ujar Lu
Si-nio. "Jika kebentur di tangan kita, mungkin ia hanya sanggup
menerima lima sampai tujuh puluh jurus saja!" sahut Kam
Hong-ti tertawa. Percakapan mereka dilakukan di tengah orang-orang yang
sedang bertanding, seperti di samping mereka sudah tiada
manusia lain lagi, keruan saja Bing Bu-kong dan Wei Yang-wi
yang ikut mendengar menjadi terperanjat.
Wei Yang-wi pernah bertemu dengan Lu Si-nio di Thianhing-
to, oleh karena itu ia coba mengamat-amati orang, ia
merasa perawakan dan muka orang dengan senyumannya
seperti sudah pernah ia kenal, cuma lupa dan tidak teringat
kepada Lu Si-nio, ia menjadi terkejut, tapi setelah ia berpikir
lagi, seumpama Lu Si-nio menyamar sebagai lelaki, pasti juga
usianya tidak semuda ini, sedang pemuda ini tidak lebih hanya
seorang bocah yang usianya lebih kurang baru dua puluhan,
sedang lagu suaranya begitu sombong, meski Wei Yang-wi
adalah kawakan Kangouw, mau tak mau ia pun curiga dan
ragu-ragu. Sementara itu pertempuran menjadi makin sengit, Hianhong
yang berada di meja sebelah sana mendadak berdiri,
pandangan matanya diarahkan keluar, air mukanya pun
tertampak rada aneh. Nampak sikap orang, Kam Hong-ti mengikuti arah
pandangan I lian-hong, demi matanya menatap ke arah sana,
ia menjadi terkejut. Ternyata apa yang ia lihat adalah Han Tiong-san dan Tang
Ki-joan sedang mendatangi dengan mendesak minggir
kawanan Tiatsian-pang yang berkerumun. Yang paling hebat
adalah di antara Han Tiong-san dan Tang Ki-joan terdapat
pula seorang yang tangan kirinya diseret oleh Han Tiong-san
dan tangan kanan ditarik Tang Ki-joan, orang ini berjalan
dengan cara dipaksa. Orang ini ternyata bukan lain daripada murid kelima Tok-pisin-
ni, Pek Thay-koan adanya.
Mengenai Han Tiong-san dan Tang Ki-joan berdua, mereka
memang dititahkan Si-hongcu untuk menghadiri perayaan
pembukaan Tiat-sian-pang. Karena ada keperluan pribadi lain,
malam itu Han Tiong-san pergi dari rumah orang she Sian itu
dan baru kembali sekarang. Sedang Tang Ki-joan lebih dulu
bertamu ke kediaman Ciatkang Sunbu, Li Wi, setelah
bergabung dengan Han Tiong-san baru kemudian mereka
berangkat bersama. Pada waktu mereka sampai di bukit sebelah rumah orang
she Sian ini, mereka memergoki Pek Thay-koan yang sedang
berjalan seorang diri, ilmu silat mereka berdua memang di
atas Pek Thay-koan, apalagi dikeroyok, keruan dalam sekejap
saja Pek Thay-koan sudah kena mereka bekuk.
Cuma mereka pun tahu bahwa Pek Thay-koan adalah
menantu Hi Kak Tay-ong, walaupun ada berita pembatalan
perjodohan itu, namun mereka belum tahu jelas sebabmusababnya,
ditambah lagi Pek Thay-koan adalah Sute Liauin,
meski sesama saudara seperguruan mereka tidak akur satu
sama lain, tapi karena ada hubungan itu, mau tak mau
mereka tak berani membikin susah Pek Thay-koan, hanya
dengan Kim-na-jiu-hoat yang hebat mereka cengkeram
kencang urat nadi tangan Pek Thay-koan terus diseret ke sini.
Waktu mereka memasuki perkampungan, segera tertampak
banyak orang berkerumun, kemudian baru diketahui bahwa
sang Pangcu sedang bertanding silat dengan orang, mereka
menjadi heran, segera mereka mendesak minggir orang-orang
yang berkerumun itu buat masuk ke dalam.
Dalam pada itu, kedatangan Han Tiong-san dan Tang Kijoan
pun sudah dilihat Kwantang-si-hiap.
Belum lama berselang mereka pernah bertarung secara
sengit dengan Han Tiong-san di istana Si-hongcu, karena itu,
demi nampak kedatangan lawannya itu, segera mereka jadi
beringas dan gusar. "Kawanan Tiat-sian-pang ini tentu ada hubungan dengan In
Ceng, hari ini kita buka pantangan membunuh," ajak Hianhong.
"Baik, kalian berempat menghadapi kedua iblis itu, biar aku
yang bereskan murid murtad," ujar Nyo Tiong-eng.
Dalam pada itu Han Tiong-san yang sudah mendekat lantas
berseru, "Sian-pangcu, mengapa kau bertanding dengan
seorang bocah?" Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong Kwantang-sihiap
melayang maju melalui atas kepala orang-orang.
Han Tiong-san sangat terkejut, pada saat yang sama juga
dari meja yang lain kembali sesosok bayangan orang
melayang naik ke atas, kiranya ialah Lu Si-nio.
Rupanya begitu Kam Hong-ti melihat siapa yang
mendatangi, segera ia menjawil Sumoaynya itu. Ketika Lu Sinio
menoleh, dia pun terkejut.
"Lekas kau tolong Go-ko (kakak kelima)," kata Kam Hongti.
Mendengar itu, Wei Yang-wi yang memang sudah berjagajaga
di dekat mereka segara membentak, "Hendak apa
kalian?" Tetapi pada saat itu juga, secepat kilat Kam Hong-ti sudah
mengirim pukulan telapak tangannya, Wei Yang-wi menangkis
dengan kedua lengannya, namun tidak urung ia kena tergetar
mundur beberapa tindak. Dalam pada itu Lu Si-nio yang miliki Ginkang sempurna,
telah melayang ke sana laksana burung di antara sambaran
angin pukulan dan bayangan orang.
Jika tadi Kwantang-si-hiap bergerak lebih dulu, tapi Lu Sinio
ternyata tiba lebih depan, pada waktu dia masih terapung
di udara, dengan cepat ia lolos 'Siang-hoa-kiam' terus diputar,
dengan tipu 'Pek-gwan-kik-ki' (kera putih mematahkan tangkai
pohon), segera ia menikam kepala Han Tiong-san.
* Han Tiong-san adalah Suheng Thian-yap Sanjin, terang
ilmu silatnya tinggi sekali. Ketika mendadak diserang, lekas ia
kendorkan tangan yang mencekal Pek Thay-koan, sedang
dirinya lantas mencelat ke atas, ia papaki Lu Si-nio dan
hendak merebut senjatanya.
Sama sekali tidak terduga bahwa Ginkang Lu Si-nio sudah
di puncak kesempurnaan, ketika Han Tiong-san meloncat naik
dengan kedua jari hendak menutul batang pedangnya, sedang
tangan kiri hendak menarik pergelangan tangannya untuk
sama-sama turun ke bawah, namun Lu Si-nio keburu menekuk
pedangnya ke bawah, baru saja Han Tiong-san sempat
mengayun tangan kiri, mendadak Lu Si-nio sudah
berjumpalitan ke atas, sesudah itu masih tetap menyerang
dengan tipu 'Pek-guan-kik-ki' tadi, sinar pedangnya
berkelebat, kembali ia menikam kepala orang, tapi kali ini
yang diincar ialah Tang Ki-joan.
Ilmu silat Tang Ki-joan lebih rendah dari kawannya, maka
ia tak berani berusaha merebut pedang seperti Han Tiong-san,
dalam keadaan terpaksa ia harus melepaskan cekalannya pada
Pek Thay-koan terus berkelit ke samping, sesudah itu kedua
tangannya susul menyusul balas menghantam.
Setelah Pek Thay-koan terlepas dari tawanan orang, ia
putar-putar pergelangan tangannya buat melemaskan otot
yang sudah sekian lama digenggam orang.
Di sebelah sana setelah Han Tiong-san menancapkan
kakinya kembali ke bawah, segera ia keluarkan Pi-hun-tuh,
paculnya yang istimewa, tanpa ayal ia hantam Pek Thay-koan.
Tetapi saat itu juga Kwantang-si-hiap keburu datang, Hianhong
Tojin segera mengayun tongkatnya hingga menerbitkan
suara nyaring keras karena beradu dengan pacul orang, lelatu
api pun bercipratan, berbareng pedang di tangan lain juga
lantas menusuk. Lekas Han Tiong-san putar paculnya dengan cepat hingga
berwujud satu lingkaran, ia bentur pergi tongkat dan. pedang
Hian-hong, saking kuatnya benturan itu hingga Hian-hong
Tojin merasa tangannya pegal, hampir saja tak sanggup
menahan senjatanya. Dalam pada itu Long-goat Siansu pun tidak tinggal diam, ia
membuka mulut terus menyemprot, arak yang ia semburkan
ini laksana rantai perak terbang di udara, tapi karena
kesamplok oleh angin pacul Han Tiong-san yang diputar cepat
tadi, arus arak ini menjadi buyar tersebar laksana hujan lebat.
Merasakan kekuatan semprotan arak yang hebat itu, diamdiam
Han Tiong-san terkejut dan mengakui Lwekang orang
yang hebat. Sementara itu Hian-hong kembali memutar pedangnya
pula, dengan cepat ia menusuk lagi. Dengan paculnya, Han
Tiong-san menyampuk lagi hingga pedang Hian-hong
mendadak menjurus ke lain arah, tetapi imam ini bisa
mempergunakan gerakan itu dengan baik, ia barengi
memotong ke bawah untuk membabat kedua kaki lawan.
Nampak serangan lihai ini, Han Tiong-san menggerung
keras, tangan kiri pun lantas dipukulkan sambil sedikit
mundur, dengan demikian kembali pedang Hian-hong kena
tergetar pergi oleh angin pukulannya.
Ketika kemudian Hian-hong mengemplang pula dengan
tongkatnya, kena ditangkis lagi oleh pacul lawan.
Nampak kawannya tidak berhasil, cepat Long-goat
memburu maju, kembali ia semburkan araknya, karena
dikeroyok dua jago kelas wahid, Han Tiong-san tak berani
sembarangan menyerang, terpaksa ia memutar paculnya
sedemikian cepatnya sambil menantikan saat baik untuk balas
menggempur. Di pihak sana, pertarungan juga tidak kurang ramainya,
beruntun beberapa kali gerak pedang Lu Si-nio mendesak
Tang Ki-joan mundur ke belakang.
"Pat-moay!" terdengar Pek Thay-koan berseru, "bantu aku,
tolong dulu Hi Yang!"
Lu Si-nio menjadi kaget. "Apa katamu?" tanyanya tidak
mengerti.

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'Karena itu gerak pedangnya jadi agak kendur, kesempatan
ini segera digunakan oleh Tang Ki-joan buat mundur teratur.
Akan tetapi Liu Sian-gai yang sudah getol sejak tadi dengan
cepat enjot tubuhnya, kesepuluh jarinya yang dia tekuk segera
mengetuk ke atas kepala orang.
Dalam hal Ginkang, terkecuali Ie Lan-cu dan beberapa
tokoh angkatan tua lainnya, Liu Sian-gai hanya di bawah Lu
Si-nio saja. Jari tangannya yang memakai cincin baja itu, di
luar dugaan Tang Ki-joan dengan menerbitkan suara "plok"
yang keras, berhasil mengetuk kepala lawan.
Karena ketukan yang keras itu, Tang Ki-joan merasa
kepalanya kesakitan seakan pecah, lekas ia geraki tangannya
dengan gaya 'Hun-jiu' terus mendorong ke samping.
Dalam hal mengadu kepandaian, Liu Sian-gai memang
kalah kuat, oleh karena terkena dorongan itu, hampir saja ia
jatuh telentang. Tetapi Tan Goan-pa pun segera maju membantu, dengan
mengeluarkan suara gerungan, ia pergunakan kepandaian
'Toa-sui-pi-jiu', kepandaian cara memotong dan menggablok,
ia mengulur telapak tangan dan membelah, begitu keras
tenaganya hingga pukulannya membawa sambaran angin
yang menderu. Terkejut atas tenaga orang yang besar, Tang Ki-joan tak
berani menyambut pukulan itu, ia putar tubuh dengan cepat,
tetapi Tan Goan-pa lantas mengulur tangan pula hendak
mencengkeram dan menawannya, yang dia gunakan adalah
kepandaian yang hebat dari 'Hun-kin-cho-kut-jiu', kepandaian
yang bisa memutus otot dan membikin miang keseleo.
Meskipun tampaknya serangan Tan Goan-pa luar biasa,
kepandaian Gwakang (kekuatan tenaga luar) sudah sampai di
puncaknya kesempurnaan, tapi dalam hal Lwekang, Tan
Goan-pa masih belum masak, masih jauh di bawah Tang Kijoan.
Sudah tentu Tang Ki-joan tidak mengetahui tinggi rendah
kepandaian lawan, ketika nampak serangan mengancam
dengan hebat, tanpa terasa timbul rasa jerinya, cepat ia
keluarkan kepandaian tunggal Heng-ih-kun, tubuhnya seperti
terbang mengitari Goan-pa.
Saat Liu Sian-gai menubruk maju menghantam Tan Goanpa,
kena disampuk kedua tangan orang, hampir saja berbalik
akan jatuh menggelongsor, untung Liu Sian-gai untuk ketiga
kalinya menubruk lagi dengan cincin bajanya, Tang Ki-joan
terpaksa harus berkelit meluputkan diri, karena itu Tan Goanpa
sempat memperkokoh tubuhnya dan maju menggempur
pula. Dalam pada itu, Lu Si-nio dan Pek Thay-koan juga
menyaksikan Si-hiap menggempur musuh dengan hebat,
seketika sukar diputuskan mana yang bakal menang atau
kalah, saat itu seluruh kalangan menjadi gaduh tidak keruan,
Kam Hong-ti menempur Wei Yang-wi dan Bing Bu-kong dengan sengit, meja perjamuan
telah mereka bikin jungkir balik hingga hancur.
Dengan memutar pedang Lu Si-nio membuka jalan maju ke
tengah, Pek Thay-koan yang sudah berhasil merebut sebatang
golok juga menyusul menerjang masuk.
"Hi Yang kenapa?" tanya Lu Si-nio mengulangi seruan Pek
Thay-koan tadi, walaupun keadaan ribut sekali.
"Hi Yang melarikan diri dari rumahnya dan hendak mencari
diriku," Pek Thay-koan menjelaskan, "lebih dulu ia telah
mengirim kabar, sepanjang jalan ia tinggalkan tanda rahasia,
aku telah menguntit dan menyusul ke sini, tampaknya dia
terkurung oleh kawanan Tiat-sian-pang!"
"Baik, kau boleh bantu Kam-suheng, biar aku nanti mencari
Hi Yang!" kata lu Si-nio.
Pek Thay-koan menjadi girang. "Kau mengetahui jejaknya?"
ia tanya. Akan tetapi Lu Si-nio tak sempat menjawab lagi, laksana
terbang ia menerjang menuju ke jurusan barat.
Di lain pihak, Kam Hong-ti seorang diri melayani dua
jagoan kelas wahid, kekuatan mereka ternyata setanding,
tetapi demi dilihatnya Nyo Tiong-eng memasuki tengah
kalangan terus menggempur Teng Hiau-lan, pendekar ini
menjadi khawatir. "Kau wakilkan aku menahan mereka sejenak!" serunya
ketika melihat Pek Thay-koan mendatangi.
Habis ini dengan pura-pura menyerang sekali, kemudian ia
pun menerjang ke tengah ruangan.
Saat itu di ruangan itu sudah merupakan medan
pertempuran yang gaduh tak teratur, para benggolan berbagai
perkumpulan yang hadir termasuk orang-orang Tiat-sian-pang
sendiri, ketika melihat di antara tetamu yang saling gempur
ada pula tetamu yang membantu Pangcu mereka, dalam hal
ini Nyo Tiong-eng, maka mereka menjadi bingung dan tak
berani sembarangan ikut turun tangan.
Sementara itu. Sian Hok-cho yang secara sengit lagi
melawan Teng Hiau-lan, merasa serba sulit karena tak
unggulan melawan orang, ketika tiba-tiba melihat Nyo TiongTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
eng datang membantu, ia jadi girang, kipasnya segera bekerja
lebih cepat, ia menusuk, memukul dan memotong semakin
bersemangat. "Kau mundur!" bentak Nyo Tiong-eng padanya sambil
mengulur tangan terus hendak menjambret Teng Hiau-lan.
Dalam keadaan bingung, Sian Hok-cho cepat menarik
serangan. Sebaliknya Teng Hiau-lan segan berlawanan dengan
bekas gurunya itu, ia berkelit dua kali dan menjadi gugup.
"Murid murtad, masih berani kau melawan?" Nyo Tiong-eng
membentak lagi. Berbareng sebelah tangannya terus
menggablok ke atas kepala pemuda itu.
Untuk menangkis sudah tidak mungkin lagi, dengan
mengem-beng air mata Teng Hiau-lan hanya pejamkan mata
menunggu ke-matian. Di luar dugaan, tepai sekali Kam Hong-ti keburu tiba,
pendekar ini segera angkat tangannya menangkis, keruan saja
pukulan Nyo Tiong-eng tadi seperti mengenai besi baja hingga
orang tua ini terguncang mundur beberapa tindak.
Sebagaimana diketahui Nyo Tiong-eng berjuluk 'Thi-cio-sintan'
atau tangan besi peluru sakti, suatu tanda ketangkasan
pukulan dan bidikan peluru bajanya yang jitu, sudah tentu
kekuatan pukulannya tadi tidak bisa dipandang enteng. Tak
terduga mendadak ketemu tandingan keras, tenaga telapak
tangannya tadi ternyata berada di bawah orang, keruan saja
tidak kepalang kagetnya. "Mengapa saudara membantu manusia tak berbudi ini?"
lekas ia menegur Kam Hong-ti.
Akan tetapi mendadak Kam Hong-ti melompat maju, ia
angkat tangannya terus mengesut mukanya, karena itu
polesan obat yang melekat di mukanya segera terusap hilang
hingga sinar matanya kini tertampak tajam! Seketika ia
berubah seorang yang lain. Keruan Nyo Tiong-eng makin
kaget hingga terkesima dan mata terbelalak.
"Nyo-locianpwe, kita sudah lama saling kenal nama masingmasing,
tidak nyana hari ini baru bisa berjumpa!" seru Kam
Hong-ti dengan tertawa. "Siapakah kau?" tanya Nyo Tiong-eng pula.
"Kanglam Kam Hong-ti!" jawab Kam Hong-ti.
Mendengar nama orang, kembali Nyo Tiong-eng berseru
kaget, lekas ia memberi hormat yang dibalas juga oleh Kam
Hong-ti. Memang semenjak Kam Hong-ti unjuk diri di dunia
Kangouw, ia selalu melakukan tindakan mulia dengan
menolong kaum lemah dan membantu golongan miskin, oleh
karena itu namanya betul-betul mengguncangkan kalangan
Kangouw, baik Hek-to atau Pek-to semuanya kagum padanya.
Sebaliknya N^o Tiong-eng pun sangat terkenal dan
disegani di dunia persilatan, hanya karena Nyo Tiong-eng lebih
banyak tinggal di rumah, sedang Kam Hong-ti selalu
berkelana, maka namanya lebih terkenal dan cemerlang.
Begitulah maka demi saling bertemu, sudah tentu mereka
saling memberi hormat. "Dapatkah kiranya Kam-tayhiap menerangkan mengapa
melindungi muridku yang murtad ini?" terdengar Nyo Tiongeng
bertanya pula. Dalam pada itu Sian Hok-cho dan Teng Hiu-tan kembali
mulai bertempur lagi, ketika Sian Hok-cho mendengar yang
datang adalah Kanglam-tayhiap, mau tak mau ia merasa
gugup dan jeri. "Ling-toh (murid tuan) sedang menderita kepedihan hati
yang maha besar, ada urusan pribadi yang maha rahasia, ia
sekali-kali bukanlah manusia yang suka mengkhianati guru
dan tidak setia!"-begitulah jawab Kam Hong-ti.
Berturut-turut Kam Hong-ti menggunakan kata-kata "maha"
untuk meyakinkan Nyo Tiong-eng, mau tak mau orang tua ini
rada tergerak juga hatinya.
"Hendaklah suka pandang mukaku, janganlah mendesak
lagi pada Ling-toh, persoalannya biarlah nanti aku terangkan!"
demikian Kam Hong-ti menambahkan.
"Perkataan Kam-tayhiap sudah tentu aku percaya penuh,
jika memang demikian halnya, mungkin akulah yang telah
salah mendakwa muridku itu!" sahut Nyo Tiong-eng akhirnya.
Sementara itu di pihak sana, Pek Thay-koan yang melawan
Bing Bu-kong dan Wei Yang-wi sudah bergebrak dua tiga
puluh jurus, karena memang ilmu silatnya masih di bawah
Kam Hong-ti, kini satu harus melawan dua, sudah tentu ia
kewalahan, terpaksa ia mundur ke tengah kalangan.
"Harap Nyo-locianpwe suka memberi bantuan pada
Suheng-ku," pinta Kam Hong-ti demi nampak Pek Thay-koan
terancam bahaya. "Sudah tentu!" sahut Nyo Tiong-eng tanpa ragu-ragu lagi.
Habis itu, secepat terbang segera ia papaki Bing Bu-kong
terus memberi sekali pukulan dengan telapak tangannya.
Dalam pada itu Kam Hong-ti sendiri pun melompat maju
juga. "Teng:hiante, biar aku yang bereskan dia!" serunya pada
Hiau-lan yang sedang menempur Sian Hok-cho.
Keruan Sian Hok-cho menjadi gugup, lekas ia melompat ke
belakang terus berteriak pada begundalnya. "Mengapa kalian
tidak lekas turun tangan, tangkap orang-orang ini, lekas!"
Begitulah maka kawanan Tiat-sian-pang lantas merubung
maju. Namun Kam Hong-ti cukup cerdik dan bisa
menggunakan pikiran, mendadak ia melompat ke atas
sekuatnya, ia naik ke atas sebuah bukit-bukitan, berbareng
segera ia berteriak sambil mengacungkan tangan, "Dengarkan
kataku! Sian Hok-cho telah mengekor pada Hi Kak dan terima
menjadi budak bangsa Boan dan ikut memperebutkan takhta
untuk In Ceng, ia pun berniat menjebloskan Tiat-" sian-pang
yang terkutuk! Tetapi hari ini ketumbuk di tangan kami
Kanglam-chit-hiap, tidak mungkin kami membiarkan
muslihatnya terkabul, hendaklah kalian mendengarkan, sekalikali
jangan ikut tersesat!"
Di antara tetamu itu banyak pemimpin berbagai
perkumpulan rahasia yang kenal Kam Hong-ti, maka banyak di
antara mereka saling memberi tahu pada kawan-kawannya
tentang siapa yang sedang mereka hadapi itu.
"Dialah Kanglam-tayhiap!" begitu mereka saling mendesis.
"Entah Chit-hiap (tujuh pendekar) datang semua atau
tidak?" ada lagi yang bertanya.
"Coba lihat, Pek Thay-koan juga berada di sim!" sahut yang
lain. Memang kali ini para benggolan yang hadir dalam
perjamuan ini setengahnya karena memandang muka leluhur
Sian Hok-cho dan setengah lagi terpengaruh perbawa Hi Kak
yang berdiri di belakang Sian Hok-cho, tetapi kini demi
mendengar ancaman Kam Hong-ti tadi, sudah tentu mereka
lebih suka membelakangi Hi Kak daripada harus berlawanan
dengan Kanglam-chit-hiap. Bahkan mereka yang bernyali kecil
malah diam-diam sudah ada yang menggeloyor pulang
dengan membawa begundalnya.
Dalam pada itu sebagian besar kawanan Tiat-sian-pang
sendiri pun tak berani segera turun tangan, ada sebagian kecil
yang coba mengembut maju, tapi begitu Teng Hiau-lan
memutar pedangnya, mereka segera dibikin kocar-kacir,
banyak yang tangan atau kakinya terkurung atau sedikitnya
kepala pecah dan darah muncrat, senjata mereka pun
beruntun kena dipenggal kutung. Di lain pihak, Ce Bin-kau
ayah dan anak pun tidak berpeluk tangan, mereka melolos
senjata dan segera menerjang ke dalam kalangan
pertempuran membantu Teng Hiau-lan menghalau musuh.
Kembali bercerita tentang Lu Si-nio, sesudah ia menuju ke
belakang, dengan Ginkang yang luar biasa, beberapa kali
loncatan naik-turun, tidak berselang lama ia sudah sampai di
pojok barat taman itu, gedung bersusun tiga yang berdiri
megah sudah berada di hadapannya, ia lihat dari dalam
gedung itu berjalan keluar dua gadis yang ternyata adalah dua
di antara empat wanita yang ia jumpai pada malam itu.
"He, siapa yang menyuruh kau kemari?" tanya mereka
terhe-ran-heran begitu menampak Lu Si-nio.
"Katanya badan Kun-cu kurang sehat, maka Pangcu
menyuruhku mengantar obat ke sini!" sahut Lu Si-nio
membohong. Kedua wanita itu makin heran, air muka mereka tampak
mengunjuk rasa sangsi. "Siapa yang bilang Kun-cu sakit?" tanya mereka lagi
berbareng. "Dia dalam keadaan baik-baik saja, bahkan tadi
masih bercerita dan tertawa!"
Apa yang Lu Si-nio katakan tidak lebih hanya pancingan
belaka, kini setelah mengetahui dengan pasti bahwa Hi Yang
memang berada di gedung ini, ia menjadi girang sekali. Tanpa
bicara lagi segera ia cabut pedangnya terus meloncat ke atas
emperan loteng kedua, di sini ia tutulkan pedangnya hingga
badannya membal ke atas lagi, dengan demikian ia sudah bisa
sampai di loteng ketiga. Tetapi baru saja ia hendak melompat turun ke lantai,
sekonyong-konyong dari samping ia diserang orang, lekas Lu
Si-nio menyampuk ke bawah dengan pedangnya, tetapi
dengan menekan ujung pedangnya ke depan, orang itu bisa
menghindarkan lekatan senjata Lu Si-nio.
Sesudah Lu Si-nio dapat mengambil tempatnya dengan
baik, terlihat jelas bahwa orang yang berdiri di depannya ini
ternyata adalah seorang nenek yang seluruh rambut
kepalanya sudah putih ubanan.
"Lekas menyingkir, aku tak akan melukai kau!" kata Lu Sinio.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi nenek itu berbalik tertawa mengejek. "Hm,
bocah kemarin saja berani kau mengintai Kun-cu di sini!"
sahutnya, sesudah itu senjatanya bergerak lagi, sekali ini ia
membelah dari atas menuju kepala orang.
Namun dengan sedikit berkelit Lu Si-nio dapat menghindar-
. kan serangan itu, berbareng laksana anak panah meluncur
cepatnya ia menerobos lewat di bawah pedang orang terus
menyelonong masuk ke dalam kamar.
Begitu berada di dalam kamar, ia lihat seorang gadis jelita
sedang rebah di atas ranjang, siapa lagi dia kalau bukan Hi
Yang" "Lekas, Pek Thay-koan sedang menunggu kau di luar!" seru
Si-nio begitu berada di depan si nona.
Mendengar suara orang, seketika Hi Yang melompat
bangun, tetapi ia masih merasa sangsi. "Siapa kau?" tanyanya.
Selagi Si-nio hendak menjawab, ternyata nenek tadi sudah
menyusul masuk terus menubruk maju dengan pedangnya.
"Kau biarkan aku keluar!" Hi Yang berteriak.
Namun si nenek ternyata tidak terima perintahnya itu.
"Tanpa izin ayahmu, siapa pun tak boleh melepaskan kau!"
sahutnya. "Mengingat usiamu sudah lanjut, maka dengan maksud
baik aku nasihati kau agar menyingkir saja, mengapa kau
berani merintangi aku?" kata Lu Si-nio dengan tertawa dingin.
Mendengar hinaan itu, si nenek menjadi gusar, tanpa
menjawab lagi segera ia menusuk. Cepat Lu Si-nio berkelit
kian kemari di antara sambaran angin senjata lawan, meski
sudah belasan kali tusukan dilancarkan, namun sedikitpun si
nenek tak bisa mengenai orang, bahkan ujung baju Lu Si-nio
saja tak tersenggol. "Mau menyingkir atau tidak?" kembali Lu Si-nio membentak
lagi, ia sudah hilang kesabaran.
Ketika kemudian pedangnya menusuk terus dipuntir, di
antara suara "traang" beradunya senjata, hampir saja pedang
si nenek terbang dari tangannya, maka insyaflah dia bahwa
dirinya bukan tandingan orang.
"Baik, awas kau!" katanya kemudian dengan gemas dan
melotot. "Boleh saja kau ingat diriku dalam hati!" Lu Si-nio tertawa.
Segera tubuhnya bergerak lagi, di antara sinar senjata
gemerdep, dengan cepat ia menusuk pundak kiri si nenek.
Orang tua itu tak berani banyak bicara lagi, setelah menangkis
serangan ini, lekas ia melarikan diri menerobos keluar melalui
jendela. Dengan mata kepala sendiri menyaksikan Kiam-hoat Lu Sinio
yang begitu hebat, saking kagumnya hingga Hi Yang
terbelalak kesima. "Nona yang baik, ada orang sedang menantikan kau,
mengapa belum mau keluar ke sana?" ujar Si-nio menggoda.
Melihat Lu Si-nio berkelakar padanya, cara bicaranya pun
tidak sebagaimana mestinya antara kaum lelaki dan wanita
yang belum kenal, berbalik Hi Yang menjadi ragu-ragu lagi.
Karena si nona masih belum mau keluar, Lu Si-nio lantas
mengulur tangan menarik, tapi segera disengkelitkan oleh Hi
Yang. "Pek Thay-koan tidak nanti punya kawan macam kau
ini," serunya. "Mengapa tidak?" sahut Lu Si-nio dengan tertawa.
"Jika kau adalah sahabatnya, kau tentu tahu pernah apa
diriku dengan dia, mengapa baru pertama kali bertemu kau
sudah berani menggoda seperti tadi?" kata Hi Yang lagi.
Pada zaman feodal, hubungan antara kaum pria dan wanita
dibatasi dengan berbagai larangan, sekalipun kaum muda di
kalangan Kangouw umumnya memang lebih bebas, tetapi
kalau bukan orang yang sudah kenal betul, tidak mungkin
mengulur tangan hendak menarik segala.
Karena itulah Lu Si-nio baru ingat babwa dirinya kini
sedang menyamar sebagai pria, maka tersenyumlah dia,
segera ia tarik ikat kepalanya hingga tertampaklah rambutnya
yang hitam gombyok. Melihat itu Hi Yang rada terkejut, tapi ia lantas ingat juga
dan kegirangan, segera ia menubruk maju terus merangkul
kencang Lu Si-nio. "Oh, Cici yang baik, kau tentu Sumoay
Thay-koan bukan?" serunya.
"Kini kau tidak mengomeli aku lagi bukan?" sahut Lu Si-nio
dengan tertawa. "Sungguh tidak pernah aku duga bahwa usiamu masih
begini muda!" ujar Hi Yang. Lalu dengan menggandeng
tangan Lu Si-nio lantas turun dari loteng gedung itu.
Tatkala itu di kalangan pertempuran sedang berlangsung
sengit sekali, Nyo Tiong-eng berjajar dengan Pek Thay-koan
melawan Bing Bu-kong dan Wei Yang-wi berdua, mereka
merupakan dua pasang lawan yang kuat.
Di pihak lain Ce Bin-kau ayah dan anak bersama Teng
Hiau-lan telah membikin kalang-kabut kawanan Tiat-sian-pang
yang mengembut, sedang Kam Hong-ti pun bergebrak
melawan Sian Hok-cho. Dengan kipas bajanya Sian Hok-cho
bertempur mati-matian, namun ia tidak bisa unggul,
sebaliknya kena didesak sampai belakang bukit-bukitan taman
itu, meski ada dua Hu-pangcu (wakil ketua perkumpulan) ikut
membum maju membantu ketua mereka, tapi tidak umng
masih saja berada di bawah angin dan kececar.
Waktu Lu Si-nio bersama Hi Yang sudah berada dekat
kalangan pertempuran, ia memandang selumh penjum, ia lihat
Kwantang-si-hiap agak kewalahan menghadapi lawan mereka.
"Lekas kau pergi membantu Pek-suheng, biar aku yang
bantu Kwantang-si-hiap," segera Lu Si-nio berkata pada Hi
Yang. Sudah tentu Hi Yang senang sekali bisa membantu
tunangannya itu, tanpa disumh kedua kalinya segera ia
mencabut goloknya tems menerjang maju.
Ketika nampak kedatangan Hi Yang, keruan semangat Pek
Thay-koan banyak bertambah dan makin giat melayani
musuh. "Hi-moaymoay!" demikian sambil bertempur berulang-ulang
ia pun memanggil. Hi Yang menjadi rada jengah, dengan muka bersemu
merah ia lantas masuk dalam garis pertarungan. "Begini
banyak orang, kenapa kau gembar-gembor?" sahutnya
dengan suara rendah sesudah berendeng dengan
tunangannya ini. Pek Thay-koan tersenyum bahagia, segera ia ayun
senjatanya bertempur lebih semangat, semua serangannya
merupakan ancaman bahaya bagi musuh.
Sebagaimana diketahui, Bing Bu-kong adalah tangan kanan
Hi Kak Tay-ong, ketika mendadak nampak Hi Yang membantu
pihak Pek Thay-koan dan berlawanan dengannya, ia menjadi
gugup. "He, bagaimana ini" Apa betul-betul kau hendak
membelakangi ayahmu?" serunya pada Hi Yang.
"Bing-sioksiok (paman Bing), jika kau tidak lekas
menyingkir, jangan kau sesalkan aku nanti," sahut Hi Yang.
"Pulanglah kau dan katakan pada ayah, suruh dia jangan urus
diriku lagi, anggap saja tidak punya anak seperti aku ini!"
Bing Bu-kong dan Wei Yang-wi berdua yang melawan Nyo
Tiong-eng dan Pek Thay-koan memang sudah merasa berat,
apalagi kini ditambah dengan masuknya Hi Yang, sudah tentu
lebih-lebih tak tahan buat mereka. Hi Yang adalah putri
kesayangan junjungan mereka, jika nanti karena salah gerak
tangan hingga melukai anak dara ini, tentu celaka bagi
mereka. Karena itu, setelah mereka berdua saling memberi isyarat,
segera angkat kaki alias kabur.
Dengan kaburnya Bing Bu-kong dan Wei Yang-wi berdua,
Sian Hok-cho menjadi makin gugup dan jeri, ia berniat kabur
juga, namun Kam Hong-ti ternyata tidak memberi kesempatan
padanya, begitu ganas serangannya, cara bagaimana ia
sanggup meloloskan diri"
Begitulah maka setelah berlangsung tak lama lagi, kedua
wakil Pangcu yang membantunya beruntun roboh kena
pukulan. "Baiklah, kalau bukan kau yang mampus, biarlah aku yang
mati!" teriak Sian Hok-cho dengan mengertak gigi.
Habis itu mendadak ia tekuk kipasnya sekuat tenaga,
hingga kipas baja itu tertekuk patah, berbareng belasan anak
panah kecil tiba-tiba menyambar ke depan laksana hujan.
Ini adalah tipu serangan terakhir Sian Hok-cho, kipas
bajanya terpasang alat rahasia di dalamnya, bila ditekuk
patah, ruji kipas segera berubah menjadi anak panah terus
menyambar keluar. Akan tetapi Kam Hong-ti tidak gampang dibokong, di
antara suitannya yang panjang, ia kebas lengan bajunya
hingga menerbitkan angin keras, belasan anak panah yang
menyambar tiba semuanya tergetar jatuh.
Pada saat itu juga Sian Hok-cho hendak angkat langkah
seribu, namun tidak keburu lagi, tiba-tiba terdengar suara
gertakan Kam Hong-ti yang menggeledek, di bawah pukulan
telapak tangannya yang keras, Sian Hok-cho seketika terguling
roboh dengan muka berdarah, menyusul Kam Hong-ti angkat
sebelah kakinya terus menginjak tulang pinggang orang
sambil menggertak, "Kawan-kawan Tiat-sian-pang, silakan
dengarkan perkataanku!"
Dalam pada itu, Han Tiong-san dan Tang Ki-joan berdua
pun sedang melawan Kwantang-si-hiap dengan sengit. Hianhong
Tojin bersama Long-goat Siansu mengeroyok Han Tiongsan
nampak di atas angin, sebaliknya Tan Goan-pa bersama
Liu Sian-gai yang melayani Tang Ki-joan ternyata kececar
tanpa bisa balas menyerang.
Tengah pertarungan berlangsung dengan sengit, mendadak
mereka mendengar suara gertakan Kam Hong-ti yang
menggeledek, bahkan Han Tiong-san dan Tang Ki-joan
nampak Sian Hok-cho, ke-ma Tiat-sian-pang sudah tertawan
orang, mereka insyaf keadaan tidak menguntungkan bagi
mereka, bila pertempuran dilangsungkan terus, pasti mereka
sendiri tidak terluput dari malapetaka.
Karena itulah pada suatu kesempatan, Han Tiong-san menyampuk
pedang dan tongkat Hian-hong dengan paculnya,
berbareng ia melompat ke atas untuk menghindarkan
semburan arak yang datang dari depan, segera pula ia teriaki
kawannya, "Angin kencang, lekas lari!"
Mendengar seruan rekannya itu, lekas Tang Ki-joan purapura
mengayun tangan menghantam, tapi segera ia menyusul
Han Tiong-san kabur. Kwantang-si-hiap juga sudah letih dan
napas tersengal, mereka pun tidak mengudak lebih jauh.
Begitulah maka pertempuran sengit yang tadi berlangsung
dengan hebat seketika terhenti oleh suara gertakan Kam
Hong-ti, kawanan Tiat-sian-pang menjadi kuncup semua,
dengan tangan lurus ke bawah mereka menantikan apa yang
hendak dikatakan pendekar besar itu.
"Saudara-saudara adalah sesama bangsa kita, kalian
melaksanakan pekerjaan Hek-to dan merampas harta yang
tidak halal, aku Kam Hong-ti pasti tidak merintangi," demikian
Kam Hong-ti mulai buka suara. "Tetapi jika kalian terima
diperalat bangsa Boan dan ikut terima diperbudak Hi Kak,
maka aku orang she Kam tidak nanti mengizinkan. Di antara
kalian tentu ada yang bisa berpikir secara bijaksana, maka
silakan renungkan kata-kataku ini."
Di antara kawanan Tiat-sian-pang itu yang separoh sudah
terpengaruh dan jeri oleh nama besar Kanglam-tayhiap dan
yang separoh lagi melihat kedudukan mereka sudah tidak
menguntungkan, maka secara beramai mereka lantas berkata,
"Kami bersedia mendengarkan pesan Kam-tayhiap!"
Kemudian Kam Hong-ti angkat kakinya, seketika juga Sian
Hok-cho memuntahkan darah segar, ia merangkak bangun
dan berduduk. "Sian Hok-cho, meski kau bercita-cita busuk, tetapi masih
tidak terlalu jahat, jika selanjutnya kau mau mengubah
kelakuanmu dan kembali ke jalan benar, aku pun boleh
mengampuni jiwamu," kata Kam Hong-ti kepada tawanannya
itu. Dalam keadaan demikian, yang diharapkan Sian Hok-cho
hanyalah jiwanya bisa selamat, sudah tentu ia tidak berani
membantah. "Jika kau masih sayang jiwamu, pertama, seterusnya kau
tak boleh berkecimpung lagi di kalangan Kangouw," demikian
Kam Hong-ti kemukakan syarat-syaratnya.
"Menurut, pasti menurut!" sahut Sian Hok-cho cepat
terhadap syarat pertama itu. "Mulai hari ini juga segera aku
bubarkan perkumpulan ini dan membawa putraku pulang
kampung, seterusnya aku tutup pintu dan simpan senjata, aku
cuci tangan tidak berbuat sesuatu lagi."
"Baik, dan kedua, harta benda yang kau kumpulkan selama
ini harus kau serahkan padaku untuk diatur seperlunya,
kecuali apa yang berada di atas tubuhmu, satu mata uang pun
tidak boleh kau bawa lagi," begitulah syarat kedua dari Kam
Hong-ti. Harta benda yang Sian Hok-cho timbun selama sepuluh
tahun, hasil dari rampasan- dan rampokannya ini tidak kurang
dari jutaan tahil, kini Kam Hong-ti melarang dia membawa
pergi walaupun hanya sepeser, mau tak mau ia merasa pedih
juga dan sayang, akan tetapi apa yang ia bisa perbuat"
"Soal harta benda yang ada itu, silakan saja Kam-tayhiap
mengambilnya!" akhirnya terpaksa ia menyahut.
"Aku pun tak menginginkan hartamu itu," ujar Kam Hong-ti
dengan tertawa. Habis itu ia lantas suruh Sian Hok-cho dan orang-orangnya
yang bertugas mengurus kekayaannya untuk mengeluarkan
semua harta benda termasuk barang-barang berharga lainnya,
lalu Kam Hong-ti bagi-bagikan semua harta yang ada itu pada
kawanan Tiat-sian-pang, sedang barang mestika lainnya yang
masih ketinggalan ia tahan sementara, sesudah sibuk
setengah harian akhirnya baru urusan ini bisa dibereskan.
"Baiklah, kini kau boleh pergi," bentak Kam Hong-ti
kemudian pada Sian Hok-cho. "Selanjutnya bila aku temukan
lagi kau masih keluyuran di Kangouw, tatkala itu aku tetap
kenal dirimu, tetapi kepalanku tidak nanti kenal kau!"
Dengan rasa lega karena orang suka mengampuni jiwanya,
lekas Sian Hok-cho bersama putranya lari terbirit-birit
meninggalkan dusun pegunungan itu.
"Kita sudah membikin kacau dan mengobrak-abrik tempat
ini, mereka pun dilepas pergi, apa tak takut mereka
mengumpulkan begundal lain atau bersekongkol dengan


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentara kerajaan dan kembali mengepung kita di sini?" tanya
Lu Si-nio sesudah pentolan Tiat-sian-pang itu pergi.
"Tak usah khawatir," ujar Kam Hong-ti. "Dari kota kalau
mengirim pasukan sedikitnya makan waktu dua hari baru bisa
sampai di sini, andaikan Hi Kak hendak mengirim bantuan, hal
ini lebih-lebih tak mungkin. Apalagi pedusunan ini berada di
antara bukit-bukit yang susah ditempuh!"
Mendengar keterangan ini, Lu Si-nio pikir memang tidak
salah juga. "Chit-ko pandai berpikir, betul-betul Siaumoay
mengakui tidak bisa memadai engkau," sahutnya kemudian.
"Ya, berlaku hati-hati kan tiada jeleknya," kata Kam Hong-ti
dengan tertawa. Sementara itu cuaca sudah gelap, di atas dahan pohon
yang penuh tergantung lampu lampion yang beraneka warna,
yang tadinya disediakan untuk sembahyangan pada leluhur
karena pembukaan Pang, maka kini justru dipakai sekalian
buat penerangan. "Haha, perjamuan malam dengan lampion yang beraneka
warna, nikmat juga!" dengan bergelak tertawa Kam Hong-ti
berkata. Kemudian ia perintahkan pelayan dan koki keluarga
Sian yang masih belum pergi itu menyediakan dua meja
perjamuan. Waktu ia periksa kawan-kawannya, ternyata Pek
Thay-koan sudah menghilang. "Dimanakah Go-ko?" tanyanya.
"Tadi aku lihat dia sedang kasak-ktfsuk dengan Hi Yang di
belakang bukit-bukitan, mungkin karena sudah lama berpisah,
kini bertemu kembali, sampai makan pun terlupa," sahut Si-nio
dengan tertawa. "Coba kau pergi cari dia," kata Kam Hong-ti dengan
tersenyum. Dan selagi Lu Si-nio hendak berangkat mencari Pek Thaykoan,
tiba-tiba terdengar Kam Hong-ti tertawa dan berkata
pula, "Tentu tanda rahasia perguruan kita yang ditinggalkan di
atas batu padas pegunungan itu adalah perbuatan si Hi Yang
inilah," ujarnya. "Go-ko sesungguhnya terlalu juga, mengapa
ia sembarangan mem-beritahu tanda rahasia kita kepada
orang lain." "Ya, tetapi Hi Yang sudah bukan orang lain lagi," sahut Sinio.
"Sekalipun mereka sudah pasti menjadi suami istri tetapi Hi
Yang bukan orang perguruan kita, apa yang Go-ko lakukan
bagaimanapun kurang baik," kata Hong-ti lagi, ia tidak
sependapat dengan Sumoaynya.
"Baiklah, kelak kalau ada kesempatan, biar aku nasihatkan
padanya," sahut Si-nio akhirnya.
Atas jawaban ini baru terlihat Kam Hong-ti merasa puas, ia
mengangguk-angguk. Kiranya Pek Thay-koan memang terlalu gegabah, sering kali
soal-soal kecil tidak diperhatikan. Meski Tok-pi-sin-ni
menciptakan ilmu pedang tersendiri, namun ia tidak pernah
membuka sesuatu cabang atau golongan tersendiri, maka
tidak terdapat Ciang-bun atau pejabat ketua perguruan yang
bisa mengawasi semua anak murid.
Kam Hong-ti adalah Sute atau adik seperguruan, dengan
sendirinya ia tak dapat menegur Pek Thay-koan, terpaksa ia
memberi tanda pada Lu Si-nio agar Sumoaynya ini yang
menyampaikan maksudnya itu.
Lu Si-nio adalah putri pujangga ternama, ilmu silatnya
sangat tinggi pula, sedang perangainya pun halus lembut
disukai orang, oleh sebab itu Pek Thay-koan jauh lebih akrab
dengan dia. Begitulah sesudah sibuk saru hari, kini Kam Hong-ti baru
merasa senggang, lalu ia menemui Kwantang-si-hiap, Ca-ihTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sin-say dan Nyo Tiong-eng serta kawan-kawan, saling
mengutarakan rasa kagum masing-masing.
"Nyo-loenghiong kini lenyaplah semua kesalahan-pahaman
terhadap Ling-toh (murid tuan) bukan?" kata Kam Hong-ti
ketika nampak Teng Hiau-lan berada di samping Nyo Tiongeng
Tersenyumlah Nyo Tiong-eng, ia pun kiongciu sebagai
tanda hormat dan terima kasih.
Kiranya pada kesempatan tadi Teng Hiau-lan sudah
menceritakan kisah kehidupannya pada Nyo Tiong-eng, sudah
tentu orang tua ini tidak pernah menduga bahwa asal-usul
muridnya ini ternyata begitu ruwet, memangnya Nyo Tiongeng
suka pada Hiau-lan, hanya karena salah paham mengira
pemuda ini hendak mengkhianati perguruan, sebab itulah ia
benci dan hendak menghukum mati padanya. Tapi demi
mendengar penjelasannya, semua kesalah-pahaman buyar
seluruhnya, tak tertahan lagi ia merangkul pemuda ini.
"Oh, anakku, aku telah salah menuduh kau!" katanya
dengan pilu. "Ini tidak bisa menyalahkan Suhu!" sahut Hiau-lan. Lalu ia
pun menerangkan pula Sim Cay-khoan pernah memberi
petunjuk padanya. "Apa yang Sim-sianseng katakan itu cocok dengan
pendapat-ku, memang bagaimanapun ia adalah orang
terpelajar, maka apa yang dikatakannya betul-betul
berpandangan jauh," ujar Nyo Tiong-eng kemudian.
Di sebelah sana Ce Sek-kiu yang sudah digembleng lagi
selama beberapa tahun, pengalaman dan pengetahuannya
tentang kehidupan manusia juga sudah jauh lebih masak, kini
melihat Nyo Tiong-eng dan Teng Hiau-lan begitu rapat laksana
ayah dan anak, perasaannya terhadap Nyo Liu-jing yang
memangnya sudah menipis, kini menjadi lenyap seluruhnya.
Maka majulah dia ke depan Teng Hiau-lan menghaturkan
terima kasih atas pertolongannya tadi, begitulah belakangan
mereka pun menjadi sahabat yang karib sekali.
Rupanya di antara orang-orang ini, yang merasa paling
gembira adalah Nyo Tiong-eng, berulang kali ia ajak
mengeringkan cawan arak pada Kam Hong-ti. "Katanya Hiaulan
hendak ikut kalian ke kotaraja?" tanyanya kemudian.
"Ya, ada apakah?" sahut Kam Hong-ti.
"Sebenarnya aku ingin dia pulang dahulu," kata Nyo Tiongeng.
"Memangnya kami hendak mencari Loenghiong untuk
menjelaskan persoalannya," sahut Kam Hong-ti dengan
tertawa. "Kini kalian sudah saling bertemu, semua salah
paham sudah hilang, dengan sendirinya urusan kami sudah
beres, memang seharusnya dia ikut engkau pulang."
Tengah berbicara, terlihat Lu Si-nio, Pek Thay-koan dan Hi
Yang bertiga datang dari balik bukit-bukitan sana dengan
langkah cepat. "Chit-ko, berita tentang Loh-suheng kini sudah didapatkan!"
seru Lu Si-nio dari jauh.
"Betulkah" Coba lekas ceritakan!" sahut Kam Hong-ti
dengan girang. "Lebih baik Hi-moay saja yang cerita, pada hari
ditangkapnya Loh-suheng, kebetulan Hi-moay pun berada di
tempatnya," sahut Si-nio.
Mendengar dirinya ditunjuk bercerita, dengan muka merah
ke-malu-maluan Hi Yang mulai menceritakan apa yang dia
alami. "Sejak Lu-cici dan Thay-koan membikin ribut pulau Thianhing,
akibatnya ayah menjaga rapat diriku, aku pura-pura
menuruti semua kemauannya, aku tidak bikin ribut pun tidak
bikin kacau, lambat-laun setelah beberapa tahun berlalu,
pengawasan ayah terhadap diriku mulai kendur, namun masih
tetap tiada kesempatan buat melarikan diri.
Sampai bulan yang lalu, karena ayah harus memenuhi
janjinya dengan Hok-liong Cuncia, beliau telah menyeberang
laut menuju suatu pulau kecil di dekat Lisun untuk bertemu
dengannya." Cerita sampai di sini, sekonyong-konyong Kam Hong-ti
bersuara heran. "He, Hok-liong Cuncia selamanya kan tinggal
di Coa-to (pulau ular) dan tidak pernah meninggalkan tempat
itu, cara bagaimana dia bisa berjanji bertemu dengan
ayahmu?" ujarnya tidak mengerti.
"Itulah aku sendiri pun tidak tahu!" kata Hi Yang.
"Nama Hok-liong Cuncia cukup besar, cuma tak diketahui
sampai dimana ilmu silatnya?" timbrung Lu Si-no.
"Aku hanya tahu dia bergaul rapat dengan Sat Thian-ji dan
Sat Thian-toh kedua iblis itu, sedang sampai dimana ilmu
silatnya tiada orang yang mengetahuinya," kata Kam Hong-ti.
"Kemudian setelah ayah berangkat, pada satu kesempatan
ketika para penjaga lengah, segera aku kabur dengan mencuri
sebuah perahu," demikian sambungnya.
Sementara itu terdengar Hi Yang sudah melanjutkan
ceritanya lagi. "Di atas kapal itu banyak tersedia rangsum,
ditambah lagi aku rada mahir tentang perairan, malam itu
ombak besar pula, aku menduga sekalipun kabar dirinya
diketahui, aku tentu sudah beberapa puluh li jauhnya dari
sana, hendak mengejar pun tak keburu lagi."
Kam Hong-ti berpikir, "Gadis ini berani menghadapi bahaya
dan melarikan diri dari lautan besar, suatu tanda betapa dalam
rasa cintanya terhadap Pek-suheng."
"Keberanian nona sungguh harus dikagumi," ia lantas
memuji. Hi Yang tertawa. "Tiada yang luar biasa, hanya karena
setiap hari makan ikan, rasanya sudah bosan," sahutnya.
Lu Si-nio ikut tertawa oleh jawaban ini, segera ia tuang
secawan arak sambil menyumpit sepotong ayam panggang
dan diangsurkan pada si gadis. "Nah, ini sebagai hadiah
hiburan bagimu," katanya.
Hi Yang pun tidak menolak, dengan tersenyum ia makan
apa yang diberikan itu. "Dulu pernah aku mendengar Thaykoan
bercerita tentang saudara seperguruannya, aku tahu
bahwa Loh-samko (kakak ketiga) tinggal di Siau-san di pantai
sekitar Ciatkang, maka aku lantas mengarahkan kapalku
menuju ke tempatnya itu," demikian ia melanjutkan lagi
ceritanya. "Lima enam tahun yang lalu, aku dan Loh-suheng serta Lusumoay
karena harus menolongi Sim-sianseng, pernah kami
bertempur dengan pasukan kerajaan di sana, habis kejadian
itu, aku mengantar Lu-sumoay ke Sian-he-nia, sedang Lohsuheng
pun melarikan diri ke Kwantang. Mungkin kau tidak
mengetahui kejadian ini," sela Kam Hong-ti.
"Terang dia tidak mengetahui peristiwa itu, cuma memang
kebetulan sekali, pada hari dia sampai di Siau-san, secara
diam-diam Loh-suheng pun pulang ke rumahnya," dengan
tertawa Lu Si-nio menambahkan.
"Kalau aku tahu peristiwa itu, sudah tentu aku tidak begitu
tolol datang ke sana," Hi Yang memulai lagi setelah meneguk
araknya. "Setelah aku sampai di Siau-san, waktu bertanya
dimana letak rumah keluarga Loh, ternyata tiada yang berani
memberitahu. "Tengah aku bertanya, tiba-tiba ada sepasukan tentara
lewat menyongsong seorang gadis, ketika mendengar aku
bertanya orang she Loh, gadis itu mendekati aku terus
menegur, 'Kau mencari Loh Bin-ciam untuk urusan apa"
Pernah apa kau dengan dia"' Aku tertegun oleh pertanyaan
itu, aku tahu kedatangannya tidak bermaksud baik, maka aku
lantas hendak kabur. Tak tahunya ilmu silat gadis itu ternyata
sangat tinggi, dengan sekali lompat dari kudanya ia sudah
menghadang di hadapanku. Setelah aku bergebrak beberapa
puluh jurus dengan dia, baru aku memperoleh kemenangan."
"Bukankah gadis itu bermuka daun sirih, alisnya lentik dan
masih kekanak-kanakan?" tiba-tiba Lu Si-nio menyela.
"Betul," sahut Hi Yang.
"Dia adalah putri Ciatkang Sunbu Li Wi yang bernama Li
Bing-cu, sebenarnya ia tidak paham sedikitpun tentang ilmu
silat, mengapa hanya dalam lima enam tahun ini dia sudah
bisa meyakinkan kepandaian yang begitu bagus, bahkan bisa
melawan kau hingga beberapa puluh jurus?" kata Si-nio penuh
keheranan. "Tetapi baru saja aku berada di atas angin, mendadak dari
dalam pasukan tentara tampil seorang wanita berbaju hijau
bertangan kosong tanpa senjata, hanya dalam tiga jurus saja
senjataku sudah kena direbut olehnya," Hi Yang menyambung
lagi. "Apa wanita berbaju hijau itu adalah si nenek berambut
putih yang akhir-akhir ini menjaga kau itu?" tanya Lu Si-nio.
"Bukan, tapi mereka satu komplotan," Hi Yang
menerangkan. Mendengar cerita ini Kam Hong-ti merasa heran juga, ia
sedang berpikir, maka ia tidak ikut bicara. Dalam hati ia
membatin, dengan ilmu silat Hi Yang, dirinya saja belum tentu
bisa merebut senjatanya dalam tiga gebrakan, lalu siapakah
gerangan si wanita baju hijau itu"
"Darimana kau mengetahui mereka adalah sekomplotan?"
terdengar Lu Si-nio bertanya.
"Sesudah aku ditangkap oleh wanita baju hijau itu," Hi
Yang bercerita pula, "aku lantas diikat terus dikerek pada
dahan pohon liu di depan rumah keluarga Loh, wanita itu
mengayun cambuknya hendak menyabet aku, tetapi baru satu
kali, dari atas loteng rumah keluarga Loh sekonyong-konyong
melayang turun satu orang. 'Loh Bin-ciam berada di sini, kalau
mau tangkap boleh tangkap aku, tapi jangan merembet pada
orang lain yang tak berdosa,' demikian orang itu berteriak
menantang. Karena itu si wanita baju hijau tadi tertawa
cekikikan. Katanya, 'Haha, Loh Bin-ciam, ini namanya kau
masuk jaring sendiri.' Habis itu segera ia melompat maju,
tidak lebih dari sepuluh jurus orang she Loh pun sudah
tertangkap." Sampai di sini, diam-diam Kam Hong-ti berkata dalam hati,
"Meski Loh-suheng adalah kaum Kongcu (putra keluarga
terpandang) yang lemah, tetapi punya sikap jantan juga."
Sementara itu terdengar Hi Yang meneruskan lagi, "Wanita
baju hijau tadi mengayun cambuknya sambil membentak, 'Dia
pernah apa denganmu"' Loh-ya menjawab selamanya belum
pernah kenal. 'Kalau begitu buat apa dia mencari kau"' tanya
lagi si wanita baju hijau. Karena itu Loh-ya berpaling
mengamat-amati diriku, karena pandangannya itu aku menjadi
jengah hingga mukaku berubah merah! Dalam keadaan
begitu, sudah tentu tidak enak bagiku untuk menceritakan
hubungan diriku dengan Thay-koan."
Karena kata-kata terakhir ini, Lu Si-nio tertawa mengikik.
"Orang merasa jengah, kau malah tertawa," omel Hi Yang,
lalu ia sambung pula, "Kemudian Li Bing-cu membawa diriku
dan Loh-ya ke gubernuran. Kata si wanita baju hijau setelah
sampai di tempat mereka, 'Coba panggil orang Tiat-sian-pang
ke sini untuk mengenalinya, mereka biasa kian kemari di


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalangan Kangouw, mungkin mereka tahu asal-usul budak ini.'
Begitulah maka besok paginya si nenek lantas datang padaku,
aku tidak kenal dia, sebaliknya dia kenal aku, begitu bertemu
dia lantas memanggil namaku, karena itu si wanita baju hijau
segera berubah sikap terhadapku, ia lepaskan aku dan
menyerahkan diriku pada si nenek untuk dibawa ke Tiat-sianpang
sini." "Ternyata dugaan Pat-moay tidak salah, Sam-ko betul-betul
telah dikurung di dalam gubernuran Ciat-kang," ujar Kam
Hong-ti sesudah cerita orang habis. "Kalau begitu tidak perlu
lagi kita menuju ke kampung Sam-ko."
Hari kedua, para pahlawan itu lantas berpisah. Nyo Tiongeng
membawa Teng Hiau-lan kem-bali ke rumahnya di
Soatang, Kwantang-si-hiap dan Ca-ih-sin-say Ce Bin-kau
beserta putranya, Ce Sek-kiu, atas undangan Nyo Tiong-eng,
mereka pun ikut menuju ke rumah jago tua itu.
"Nyo-loenghiong dan Kwantang-si-hiap, kalian harus
membantu sedikit kerepotanku," tiba-tiba Kam Hong-ti berkata
sebelum mereka berpisah. "Silakan Kam-tayhiap katakan," sahut Nyo Tiong-eng.
"Adalah soal barang mestika Tiat-sian-pang ini," tutur Kam
Hong-ti dengan tertawa. "Karena kami tidak leluasa
membawanya, maka harap kalian suka mewakilkan
menyimpan serta menggunakannya, di waktu melakukan
pekerjaan, kita kadang memerlukan sedikit uang juga."
Atas permintaan ini, tanpa ragu Nyo Tiong-eng
menerimanya dengan baik. Sewaktu Teng Hiau-lan mohon diri pada Lu Si-nio, pemuda
ini merasa sangat sedih, ia merasa seperti kehilangan sesuatu,
meski terhadap Lu Si-nio pemuda ini sudah tiada pikiran apaapa
lagi, namun budi si nona yang ia terima dan setia kawan
yang begitu tebal,' bagaimanapun ia merasa berat buat
berpisah. Sudah tentu Nyo Tiong-eng menyaksikan sendiri rasa berat
berpisah ini, maka ia mendesak Teng Hiau-lan lekas
berangkat. Sesudah Nyo Tiong-eng berlalu, Kam Hong-ti, Lu Si-nio,
Pek Thay-koan dan Hi Yang berempat juga lantas bebenah
menuju ke Hangciu (Hangchou).
Pagi hari ketiga, mereka sudah tiba di kota permai yang
tersohor dengan julukan 'surga dunia' itu, mereka mencari
satu rumah penginapan yang berada di tepi telaga Se-ouw
untuk merundingkan cara bagaimana menyelidiki gubernuran
nanti malam. Karena waktunya masih pagi, mereka menyewa sebuah
perahu buat pesiar mengelilingi telaga yang termashur itu.
Air telaga begitu jernih dan tenang bagai cermin, sampai
ikan yang sedang berenang juga tertampak dengan jelas,
sesudah mendayung tak berapa lama, tiba-tiba mereka
melihat ada tiga pagoda yang ujung atasnya menonjol
terapung di permukaan air dengan gaya yang indah dan
bayangan pagoda yang aneh terbalik di dalam air. Di samping
pagoda itu terdapat sebuah pulau kecil yang penuh tumbuh
bunga dan pepohonan lebat, remang-remang tertampak pula
bangunan tinggi menjulang.
"Sungguh indah sekali!" puji Hi Yang dengan gembira.
"Ini adalah tempat yang paling indah di Se-ouw, namanya
'Sam-tam-in-gwat', di tengah telaga terdapat telaga pula dan
di tengah pulau terdapat pulau, cara mengatur hutan dan
taman di dalamnya tiada tandingan di daerah Tonglam
(tenggara), konon pendirinya bukan lain ialah Soh Tong-po.
Jika Hi-moay merasa suka dengan keindahan ini, mari kita
naik ke sana," ajak Lu Si-nio dengan tertawa.
Begitulah mereka lantas meninggalkan perahu terus
mendarat, melalui jembatan 'tikung sembilan', senang sekali
hati Hi Yang oleh keindahan pemandangan di sekitarnya.
"Di tempat yang indah permai memang tidak pernah
kekurangan orang yang bisa menikmatinya, coba lihat pemuda
itu!" tiba-tiba Lu Si-nio berkata sambil menuding ke depan.
Waktu Hi Yang memandang, dilihatnya di permukaan
telaga terdapat* sebuah perahu kecil yang sedang didayung
dengan perlahan-lahan, di dalam perahu ada seorang pemuda
yang usianya sekitar tiga puluh tahun, mukanya putih dan
cakap. Di dalam perahu terdapat sebuah meja yang dilengkapi
dengan seperangkat alat teh, ada sebuah teko dan terdapat
pula sebuah khim (kecapi), sementara pemuda tampan itu
sedang tarik suara bersenandung.
Suara nyanyiannya ternyata ulem dan merdu sayup-sayup
berkumandang ke seluruh telaga dan menarik sekali bagi
pendengaran orang. "Orang ini bukan orang biasa," Pek Thay-koan memuji
begitu mendengar suara nyanyian itu.
Apa yang dinamakan Sam-tan-in-gwat adalah sebuah pulau
kecil di tengah Se-ouw, 'pulau' ini lebih tepat dikatakan sebuah
bendungan yang mengitar bulat hingga berwujud satu telaga
kecil di dalam telaga, sedang di tengahnya terdapat pula
sebuah pulau yang lebih kecil, sebab itulah disebut 'di tengah
telaga terdapat telaga dan di tengah pulau ada pulau'. Dan di
antara telaga dan telaga, pulau dan pulau itu dihiasi dengan
gardu dan rumah pemandangan yang indah, tinggi rendah,
menonjol dengan menarik sekali, semuanya menunjukkan
betapa pandai si penciptanya.
"Mari kita masuk ke dalam," ajak Lu Si-nio.
Setelah mereka melalui jembatan 'tikung sembilan' dan
menembus gardu dan gapura yang berliku-liku, akhirnya
mereka sampai di tempat pohon Liu yang rindang, di sini ada
gardu yang teratur dengan necis dan bersih, pada papan pintu
gardu tertulis tiga huruf 'Ging-chui-han', sedang di kedua
samping terdapat pula sepasang 'Lian' yang indah.
"Sepasang Lian ini meski terdiri dari empat belas huruf,
tetapi sudah cukup mencerminkan seluruh keindahan Se-ouw,
Lian yang ada di 'Peng-ouw-chiu-gwat' boleh dikata dua
ciptaan yang bagus," demikian Lu Si-nio memuji.
"Pat-moay selalu mengingat-ingat syair dan Lian dari
tempat-tempat ternama, kalau diriku pasti tidak akan telaten
begitu," ujar Kam Hong-ti tertawa.
Hi Yang terkurung bertahun-tahun di pulau terpencil, di
waktu senggang ia pun suka membaca, karenanya ia tertarik
juga oleh apa yang Lu Si-nio katakan tadi. "Lu-cici, coba kau
uraikan Lian yang terdapat di 'Peng-ouw-chiu-gwat' itu,"
pintanya kemudian. "Buat apa terburu-buru," sahut Si-nio tertawa, "sebentar
lagi bila kau suka, boleh kita menuju ke 'Peng-ouw-chiu-gwat'
dan kau boleh contek semua tulisan Lian yang bagus itu."
"Apa tuan ingin secangkir jenang teratai dan dua teko
Liong-cing-teh pula?" demikian tukang penjual minuman
menawarkan pada mereka. Jenang teratai (terbikin dari tepung bunga teratai yang
diseduh dengan air mendidih) dan Liong-cing-teh (nama
sejenis teh wangi) dari Se-ouw memang terkenal, oleh sebab
itu tanpa ragu-ragu lagi segera Lu Si-nio menerima baik
tawaran itu. Di dalam warung teh 'Ging-chui-han' itu, peminum teh
ternyata hanya beberapa orang saja, pada meja di pojok timur
seorang kakek duduk sendirian, ketika nampak Kam Hong-ti,
Lu Si-nio dan kawan-kawan masuk, agaknya ia rada menaruh
perhatian, ia mengamati mereka berulang-ulang.
Lu Si-nio sendiri merasa rupa orang tua ini seperti sudah
pernah dikenalnya, akan tetapi dimana seketika ia tak ingat.
Tidak lama mereka duduk, di antara kerai bambu yang
tersingkap, tertampak si pemuda tampan yang sendirian
dengan perahunya tadi masuk juga ke tempat minum teh ini.
Melihat pemuda gagah dan penuh tenaga dalam yang
tersembunyi itu, diam-diam Kam Hong-ti menaruh perhatian.
Sementara itu si pemuda juga telah minta dibuatkan
secangkir jenang teratai dan satu teko Liong-cing-teh, ia
mengambil tempat di tepi telaga, matanya yang bersinar pun
mengerling Kam Hong-ti dan kawan-kawan
Meski Lu Si-nio dan Hi Yang sudah menyamar sebagai
lelaki, tapi demi tertatap pandangan pemuda itu, tanpa terasa
Hi Yang menundukkan kepala sebagaimana lazimnya anak
perempuan yang malu-malu.
Melihat kelakuan kawannya ini, lekas Lu Si-nio menjawilnya
dengan kaki dari bawah meja, sambil berkata, "Go-ko, coba
lihat pemandangan di tengah telaga yang begitu indah
permai." Di sini mengertilah Hi Yang bahwa Lu Si-nio sengaja
memperingatkan padanya dan sengaja memanggil "Go-ko"
padanya agar teringat dirinya sedang menyamar sebagai
lelaki. Ia merasa geli juga, kalau dipikir lagi, tak tertahan ia
pun terperanjat, tanpa sengaja tadi ia sudah mengunjuk sikap
malu-malu kaum wanita, jika sampai diketahui oleh pemuda
itu, tentu akan sangat tidak menguntungkan.
Akan tetapi pemuda cakap itu agaknya tidak
memperhatikan, sesudah menatap sejenak dengan
pandangannya, lalu ia alihkan sinar matanya pada si kakek
yang duduk sendirian tadi.
Si kakek itu rupanya sudah rada sinting karena arak yang
berulang masuk tenggorokannya, dengan duduk bersandar,
terdengar ia bernyanyi kecil dengan sajaknya. Apa yang
dinyanyikan itu adalah syair kuno yang sangat terkenal hingga
si pemuda tadi ikut menepuk meja mengiringi irama
nyanyiannya. Sehabis orang selesai bernyanyi, mendadak pemuda
tampan itu berdiri terus menuju ke depan meja si kakek.
"Bapak tentunya Ki-lopek adanya!" katanya sambil memberi
hormat. Atas hormat orang itu, si kakek segera membalas. "Likongcu,"
ia menyahut, "lebih tiga puluh tahun yang lalu aku
berpisah dengan ayahmu, tidak disangka hari ini bisa bertemu
kau di sini." Mendengar percakapan mereka, tiba-tiba Lu Sio-nio jadi
ingat sesuatu, tidak sangsi lagi orang tua ini tentu adalah Ki
Teng-hong. Dahulu sewaktu Engkong Lu Si-nio, Lu Liu-liang membuka
sekolah dan memberi 'kuliah', banyak di antara kaum
terpelajar dari daerah Ciatkang timur dan barat yang datang
ikut mendengarkan kuliahnya itu, di antaranya Ki Teng-hong
juga pernah mendengarkan kuliahnya.
Waktu itu usia Lu Si-nio belum ada sepuluh tahun. Lalu ia
belajar silat pada Tok-pi-sin-ni di Bin-san dan tidak pernah
berjumpa pula dengan dia. Belakangan ia mendengar cerita
dari ayahnya bahwa Ki Teng-hong meski dilahirnya di
kabupaten Siu-jiang, tapi dibesarkan di Sucwan, kabarnya
waktu mudanya pernah melakukan pekerjaan besar, sedang
mengenai 'pekerjaan besar' apa ayahnya tidak menjelaskan,
kala itu Lu Si-nio masih terlalu muda, maka ia pun tidak
bertanya lebih jauh. Demikianlah, dalam pada itu Li-kongcu tadi terlihat sedang
bercakap asyik sekali dengan Ki Teng-hong, suara percakapan
mereka terlalu perlahan, seperti takut didengar orang lain.
Melihat kelakuan mereka, diam-diam Si-nio membatin,
"Kedua orang ini tampaknya seperti sahabat lama, tapi kalau
menurut perkataan Ki Teng-hong tadi bahwa sudah lebih tiga
puluh tahun ia berpisah dengan ayah pemuda ini, kalau
begitu, ketika mereka berpisah, pasti pemuda ini belum
dilahirkan, mengapa begitu bertemu Ki Teng-hong lantas
memanggil "Li-kongcu" padanya, seperti sudah lama
mengetahui asal-usul pemuda ini."
Tak lama kemudian, tertampak pemuda itu berdiri
memanggil pengurus warung buat membereskan pembayaran,
si kakek pun ikut berdiri dan segera akan berangkat.
Tetapi sebelum mereka bertindak, mendadak si pemuda
kembali duduk sambil menatap keluar, paras mukanya
terunjuk rasa kejut dan heran.
Waktu Lu Si-nio menoleh, dilihatnya di antara kerai yang
disingkap, berjalan masuk tiga orang wanita.
Segera Lu Si-nio kenal seorang di antaranya bukan lain
ialah Li Bing-cu, yang satu lagi adalah wanita berbaju hijau,
sedang yang lain ialah anak dara berusia sekitar empat atau
limabelas tahun, paras dara ini sangat menarik sekali, sewaktu
masuk ia sedikit tersenyum hingga pada pipi kanannya terlihat
jelas sebuah dekik yang manis.
Nampak kedatangan mereka, Lu Si-nio rada terkejut, ia
lihat tangan Hi Yang pun rada gemetar. Lu Si-nio mengerti
wanita berbaju hijau ini pasti orang yang pernah tangkap Hi
Yang tempo hari, maka lekas ia menjawil kawannya ini dengan
maksud tenang saja. Hi Yang pikir dirinya kini sudah menyamar sebagai lelaki,
belum tentu wanita baju hijau bisa mengenalinya. Apalagi kini
ada Kanglam-tayhiap dan Lu Si-nio, seandainya harus saling
gebrak, pihaknya belum tentu kalah, buat apa harus merasa
takut. Karena pikiran itu, hatinya rada lega, ia pura-pura seperti
tidak pernah terjadi sesuatu dan sedang menikmati
pemandangan indah. Sesudah masuk Li Bing-cu segera memilih tempat di
pinggir. "Siaumoaymoay (adik cilik), coba lihat tempat ini
bagaimana kalau dibandingkan Pak-hay di kota Pakkhia?"
terdengar Li Bing-cu bertanya pada dara cilik tadi dengan
menarik tangannya. Anak dara itu tidak menjawab, kembali ia tersenyum,
sedang kedua matanya yang bundar lebar sedang
memandang sekelilingnya. Pada saat itu juga, sekonyong-konyong pemuda tampan
tadi berdiri sambil berseru memanggil, "Adik Ing, mengapa
kau pun datang ke sini?"
Mendengar teguran itu, Li Bing-cu bertiga hanya melototi
pemuda itu, tiada seorang pun di antara mereka yang
menjawab. Pemuda cakap itu ternyata tidak mau sudah, dengan
langkah cepat ia malah mendekati orang.
"Ing-moay, bagaimana kau ini" Hanya tiga tahun tidak'
bertemu, apa kau sudah lupa pada diriku?" ia menyapa lagi
sembari mengulur tangan hendak menarik anak dara tadi.
Tetapi dengan sedikit berkelit anak dara itu sudah
menghindarkan diri, berbareng itu tangannya membalik terus
menampar ke muka orang. Hampir saja pemuda tampan itu
kena ditampar karena tidak menduga sebelumnya, lekas ia


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melompat pergi. "Ing-moay, apa kau sudah gila?" teriak pemuda itu.
Akan tetapi anak dara itu segera mendamprat, "Siapa
adalah kau punya Ing-moay?"
Menyusul ia lantas melompat maju, kedua tangannya
bergerak menghantam lagi. Namun dengan sedikit memutar,
Harpa Iblis Jari Sakti 27 Pantang Berdendam Serial Tujuh Manusia Harimau (1) Karya Motinggo Boesye Lencana Pembunuh Naga 7
^