Pencarian

Tiga Dara Pendekar 17

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 17


besar, ia melanjutkan perjalanan, pada waktu magrib baru ia
sampai di rumahnya. Melihat putranya pulang, Lian Toan-ling girang sekali, tiada
hentinya ia tanya ini dan itu, akan tetapi Lian Keng-hiau lantas
singkirkan bawahannya, lalu tanya ayahnya dengan suara
bisik-bisik, "Ayah, apakah ada seorang anak perempuan
seperti ini datang kemari?" Lantas ia menceritakan wajah Pang
Lin. "Ada, sudah hampir setengah tahun ia berada di sini, ia
bawa tanda bukti dan surat dari kau," sahut Lian Toan-ling.
"Dan kapan ia telah pergi?" tanya Keng-hiau pula.
"Siapa bilang dia pergi?" ayahnya berbalik tanya dengan
tidak mengerti. "Siang tadi aku masih suruh orang antarkan
yan-oh-theng (kuah sarang burung) padanya. Ibumu sangat suka
padanya, tetapi nona cilik itu justru bertabiat sangat aneh, ia
tak mau tinggal bersama kita, ia ingin sendirian tinggal dalam
taman bunga di belakang, yaitu tinggal di kamar yang dulu
ditinggali gurumu itu! Ia pun tidak sudi dilayani orang,
terpaksa kami hanya mengirim santapan padanya setiap hari,
seperti melayani gurumu dahulu saja."
"Memang aku yang suruh dia berbuat begini," kata Kenghiau.
"Apa dia adalah bakal menantu yang telah kau penujui?"
tanya Lian Toan-ling. Keng-hiau merasa heran, dalam hati ia membatin, "Siang
tadi justru dia masih saling hantam dengan Siang-mo, tetapi
mengapa ayah bilang dia masih makan yan-oh-theng di
rumah?" Karena itu, maka ia tidak menjawab pertanyaan ayahnya
tadi, dengan tergesa-gesa ia menuju ke taman bunga.
Melihat kelakuan putranya, Lian Toan-ling menyangka
anaknya merasa malu, maka dengan tertawa ia kembali ke
kamarnya. Ketika Keng-hiau masuk ke dalam taman, ia lihat rumput
liar memenuhi seluruh taman, dinding tembok pun roboh dan
bobol, pikirnya, "Agaknya sesudah Suhu meninggal, ayah ikut
berduka dan enggan merawat taman ini."
Setelah ia jalan lagi, tiba-tiba ia mencium bau wangi bunga
Bwe yang sedap, ternyata beberapa ratus tangkai bunga Bwe
tampak mengitari dimana dulu ia tinggal bersama gurunya,
waktu ia mendekat dan melihatnya, ternyata tiap tangkai
bunga semuanya terpotong dan dirawat dengan rajin, ia
menduga tentu kerjaan Pang Lin di sini. Ia dapat melihat pula
batu undak-undakan depan rumah itu bersih mengkilap,
rumah ini pun terawat, lain sekali dengan keadaan di luar
sana. Dengan perlahan Keng-hiau mendorong pintu rumah dan
masuk ke dalam, ia melihat di kamar baca masih ada sinar
pelita yang menembus keluar, maka dengan perlahan Lian
Keng-hiau mengetok dua kali.
"Siapa" Sudah begini malam, aku tidak ingin makan lagi!"
terdengar Pang Lin berseru dari dalam.
Keruan Keng-hiau girang sekali, ia tersenyum, secara
mendadak ia mendorong pintu dan masuk ke dalam. Tiba-tiba
ia lihat Pang Lin duduk di dalam kamar baca dengan wajah
yang heran bercampur gugup, gadis itu sedang membalikbalik
halaman sejilid buku! Mengenai Pang Lin, sejak hari dimana ia tinggalkan Li Ti
yang terluka dan menggeletak di rimba, kemudian ia menuju
ke rumah orang she Lian ini dan menunjukkan surat
pengantar dari Lian Keng-hiau, lalu tinggal di dalam taman
besar ini. Taman ini sudah lama tak terawat, sebenarnya Lian Toanling,
ayah Liar Keng-hiau, tidak tega membiarkan anak dara ini
tinggal di dalamnya, akan tetapi dengan tersenyum Pang Lin
unjuk sedikit kepandaiannya, ia jemput sebutir batu krikil,
dengan sekali timpuk ia bidik jatuh burung yang hinggap di
pohon dalam taman itu. Melihat kepandaian si nona, Lian Toan-ling jadi teringat
pada putranya yang banyak menimbulkan hal-hal aneh,
pikirnya, kalau nona cilik ini memang disuruh kemari oleh
Keng-hiau, tentu bukan orang sembarang orang, maka
sesudah dibikin bersih, ia lantas pindahkan Pang Lin tinggal di
kamar baca yang dulu ditinggali Ciong Ban-tong itu.
Begitu memasuki taman ini, segera Pang Lin merasakan
hatinya tergoncang, kemudian sesudah masuk kamar baca itu,
lebih-lebih ia merasa tempat ini seperti sudah pernah
didatanginya. Ia berpikir keras dan coba mengingatnya, akan
tetapi sedikitpun ia tidak ingat sesuatu lagi.
Ia disuruh tinggal dalam taman ini oleh Lian Keng-hiau,
memangnya panglima muda ini mempunyai maksud tujuan
yang dalam. Pang Lin sudah minum obat pelupa yang diberi In
Ceng hingga daya ingatannya lenyap semua, kejadian sebelum
anak dara ini masuk istana sudah sama sekali tak diingatnya
lagi. Oleh sebab itulah Keng-hiau membiarkan gadis ini tinggal
di tempat yang dulu pernah ditinggalinya agar ingatannya bisa
tersentak dan pulih kembali kejernihannya.
Akan tetapi sudah beberapa tahun Pang Lin kehilangan
daya ingatan, meski betul ia merasa taman ini seperti sudah
dikenalnya, namun masih tetap belum bisa teringat kejadian
dahulu. Sesudah beberapa hari ia tinggal di situ, semua tempat dan
pelosok taman sudah didatangi dan dikelilinginya, lapat-lapat
ia seperti ingat bahwa tempat ini adalah tempat lama yang
dulu sering dibuat bermain dirinya. Akan tetapi kapankah ia
pernah datang ke taman ini" Inilah yang tak diingatnya lagi.
Timbul pikirannya, "Aku dan Lian Keng-hiau baru saja
kenal, darimana aku bisa pernah tinggal di rumahnya?" Ia
menjadi ragu-ragu dan bingung. Setelah lewat lebih setengah
bulan, perlahan-lahan pikirannya baru terasa rada tenteram.
Pada suatu malam, Pang Lin mondar-mandir di dalam
taman, ia putar otak berpikir dan mengingatnya. Dalam pada
itu mendadak ia lihat di atas pagar tembok ada berkelebatnya
bayangan, berturut-turut ada dua orang meloncat masuk ke
dalam taman. Pang Lin dapat melihat gerak tubuh kedua orang ini meski
cepat dan gesit, tetapi Ginkangnya masih belum tergolong
ahli, diam-diam ia siapkan dua buah pisau terbang berbisa,
waktu hendak ia sambitkan, tiba-tiba ia berbalik pikiran, ia
urungkan niatnya. Sementara itu terdengar kedua pendatang itu saling bicara.
"Apakah tempat ini yang dulu ditinggali Ciong Ban-tong"
Eh, mengapa di dalam kamar sana ada sinar pelita?" kata
orang yang di depan. "Apa mungkin anak dara itu masih berada di sini?" sahut
kawannya. "Itu tidak mungkin," kata pula orang yang duluan. "Aku
sudah selidiki dengan terang, pada hari kematian Ciong BanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tong, anak dara itu digondol pergi oleh Siang-mo ke dalam
istana." Mendengar kata-kata "Ciong Ban-tong", hati Pang Lin
berdegup keras, nama ini terasa hapal sekali.
Dalam pada itu, terdengar pendatang yang di belakang tadi
telah buka suara lagi, "Jangan-jangan Lian-Keng-hiau
menaruh penjaga di sini?"
"Lian Keng-hiau kini di Pakkhia, ia sedang sibuk membantu
In Ceng merebut takhta, mana sempat mengurus tamannya
ini." "Tetapi Lian Keng-hiau banyak tipu akalnya, kita harus
berjaga-jaga." Begitulah setelah mereka berdua berembuk sejenak,
masingmasing lantas mengeluarkan sebuah benda yang bentuknya
mirip leher dan mulut burung bangau, mereka menuju ke
bawah jendela kamar baca itu, apa yang hendak diperbuat
mereka, Pang Lin sendiri tidak paham, tetapi ia terus
mengawasi gerak-gerik mereka.
Selang tak lama, kedua orang itu mendorong pintu dan
masuk ke dalam kamar. Diam-diam Pang Lin menyelusup keluar dari semak bunga,
begitu bergerak ia ayunkan tabuhnya ke atas emperan rumah,
dengan gaya '^in-cu-to-kwi-liam' atau kerai mutiara
tergantung terbalik, dengan kedua ujung kaki menggantol
pada emper rumah dan kepalanya menjungkir ke bawah, ia
coba mengintip ke dalam kamar.
Sementara itu ia lihat kedua orang itu sedang saling
pandang di dalam, rupanya mereka merasa heran dan raguragu.
Kiranya mereka mengira di dalam rumah pasti terdapat
penghuninya, maka mereka pergunakan alat yang menyerupai
mulut bangau tadi dan menyemburkan semacam obat tidur
'Khe-bin-ngo-ko-hoan-hua-hio' ke dalam, orang yang terkena
obat tidur ini akan tidak sadar sebelum menjelang pagi di
waktu ayam jago mulai berkokok. Tetapi ketika mereka masuk
ke dalam rumah, mereka mendapatkan rumah ini kosong
melompong tanpa ada satu manusia pun. Ini adalah ciri dan
pantangan besar bagi orang yang suka kelayapan malam.
Keruan mereka menjadi gugup.
Karena itu, seorang di antara mereka segera melompat
keluar lagi buat memeriksa sekelilingnya, namun Pang Lin
sudah keburu bersembunyi di pojok emperan, orang itu ketika
tidak mendapatkan suatu bayangan pun, kemudian masuk lagi
ke dalam. "Aneh, betul-betul tiada satu manusia pun," katanya pada
sang kawan dengan terheran-heran.
"Sudahlah, peduli ada orang atau tidak, lekaslah geledah,"
ujar yang lain. Begitulah mereka lantas bekerja keras, membongkar semua
almari dan kopor yang ada di situ, tetapi demi nampak
pakaian Pang Lin, kembali mereka heran sekali.
"Apa mungkin cucu perempuan luar Khong-susiok itu telah
kembali ke sini?" kata seorang di antara mereka.
"la tinggal dengan baik-baik dan senang sekali dalam
istana, mana bisa ia kembali ke sini." sahut yang lain.
"Sudahlah, jangan berpikir yang tidak-tidak."
Segera mereka teruskan penggeledahan sampai
menggunakan alat senjata buat mengetok dinding dan
membongkar lantai. Pang Lin jadi bingung melihat perbuatan mereka, pikirnya,
"Apa mungkin di sini terpendam sesuatu harta karun yang
dirahasiakan?" Selang tak lama, kedua orang itupun menggeser tempat
tidur dan mencari di bawah ranjang, mereka kembali menggali
lagi, habis itu tiba-tiba terdengar suara nyaring beradunya
benda keras. "Ha, sudah ketemu!" terdengar seorang berkata dengan
suara girang. Menyusul terlihat ia menggali keluar sebuah kotak besi, ia
coba kutak-katik kotak besi itu, akan tetapi tidak dapat
membukanya. Melihat kawannya sudali lama masih belum bisa membuka
kotak itu, yang seorang lagi jadi tak sabar. "Bawa pulang saja
untuk diupayakan nanti!" ujarnya.
"Tetapi belum diketahui apakah di dalamnya tersimpan
kitab yang kita cari itu, jika bukan, perjalanan kita ini kan siasia
belaka?" sahut yang duluan tadi. Habis itu ia lantas lolos
keluar goloknya dan menyambung lagi, "Biar aku belah saja
dengan golok ini." "Hati-hati sedikit, jangan sampai kitab di dalamnya
terusak," ujar yang lain.
Belum selesai ia berkata, golok kawannya sudah bekerja,
sekonyong-konyong tertampak lelatu bercipratan, tutup kotak
mendadak menjeplak, berbareng dua buah Hui-to menyambar
keluar dari dalam, karena tidak pernah menduga akan hal ini,
hulu hati orang itu tepat tertancap pisau terbang, ia menjerit
ngeri terus roboh terguling.
Sedang seorang lagi masih sempat berkelit ke samping,
setelah agak lama tiada tanda-tanda yang mencurigakan, ia
baru melangkah maju lagi, ia ambil keluar kitab yang berada
dalam kotak dan diperiksa, habis itu cepat ia masukkan kitab
itu ke dalam bajunya. "Ha, akhirnya kudapat juga," katanya dengan tertawa
senang. Lalu ia menendang mayat kawannya ke pinggir sambil
berkata, "Suko, pada hari ulang tahunmu nanti aku akan
bersembahyang untukmu. Kini kitab yang dicari sudah
diketemukan, di alam baka kiranya kau boleh menutup mata
dengan tenang." Kemudian ia putar tubuh terus bertindak keluar.
Akan tetapi ia sudah dinanti Pang Lin sejak tadi, gadis ini
jadi gusar melihat peristiwa tadi, pikirnya, orang ini sungguh
busuk, biar dia rasakan juga pisau terbangku.
Begitu orang melangkah keluar rumah, sekonyong-konyong
pisau Pang Lin menyambar dengan tepat mengenai hulu
hatinya, orang itu roboh dengan menjerit, dalam sekejap
jiwanya melayang menyusul Suhengnya tadi.
Pang Lin lantas melompat turun dari atas rumah, lebih dulu
ia ambil kitab yang berada dalam baju orang tadi, ia lihat pada
kulit kitab itu tertulis empat huruf "Kim-cian-to-se". Kemudian
ia masuk ke dalam rumah dan menjemput kedua pisau
terbang yang menyambar keluar dari kotak besi.
Akan tetapi segera ia terperanjat demi melihat jelas Hui-to
itu! Kiranya kedua pisau tadi serupa benar dengan pisau
miliknya. Pang Lin coba memeriksa luka kedua orang itu, ia
dapatkan tanda-tanda lukanya pun sama pula. Keruan ia
semakin curiga dan terkejut. Pikirnya, Han-pepek pernah
bilang Hui-to berbisa yang aku pakai ini adalah senjata rahasia
tunggal yang tidak biasa digunakan orang lain di Kangouw,
tapi mengapa Hui-to yang menyambar keluar dari kotak besi
ini serupa dengan miliknya"
Kiranya sejak kecil Pang Lin ikut Ciong Ban-tong dan
mempelajari kepandaian lihai 'Tiao-beng-sin-to', pisau sakti
sambar nyawa, setelah dia digondol masuk ke dalam istana
oleh Siang-mo, walaupun daya ingatannya hilang, namun ilmu
silat yang dipelajarinya sejak kecil masih belum terlupakan,
kotak yang berisi dua puluh empat buah Hui-to pun senantiasa
terbawa di tubuhnya. Di istana Si-hongcu In Ceng memang penuh dengan orangorang


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandai, karena Pang Lin sangat lincah dan
menyenangkan, maka dari ahli-ahli silat yang ada dalam istana
itu ia telah banyak mendapatkan ajaran ilmu silat yang
beraneka ragam. Di antaranya
Han Tiong-san adalah ahli menggunakam Am-gi, tatkala ia
lihat Hui-to yang dipakai Pang Lin, segera ia kenal pisau ini
adalah ajaran asli dari cabang silat Pho Jing-cu, dengan
mengambil sebuah pisau Pang Lin, secara teliti Han Tiong-san
telah mempelajarinya, maka tidak selang beberapa hari, racun
apa yang terlekat di atas pisau itupun dapat diketahuinya.
Han Tiong-san sendiri adalah seorang tokoh cabang
persilatan juga, ia tidak ingin menggunakan senjata rahasia
dari cabang orang lain, oleh sebab itulah ia hanya
mengajarkan cara merendam Hui-to itu dengan racun dan
resep obat pemunahnya pada Pang Lin dan menerangkan pula
cara menggunakannya. Semenjak Ciong Ban-tong wafat, Bu-kek-pay tiada ahli
waris lagi, meski Lian Keng-hiau sudah berhasil mempelajari
cabang ilmu silat itu beberapa bagian, tetapi dengan
kedudukan Lian Keng-hiau sekarang, dengan sendirinya tidak
nanti ia keluyuran di kalangan Kangouw, karena itu Han
Tiong-san mengatakan pada Pang Lin bahwa pisau terbangnya
itu tiada orang lain lagi yang bisa menggunakannya di
kalangan Kangouw. Pang Lin menyangka Hui-to itu ajaran asli dari Han Tiongsan
sendiri, hakikatnya ia tidak teringat lagi pernah ada
seorang 'Ciong Ban-tong'.
Begitulah sesudah Pang Lin berpikir pulang-pergi masih
belum juga paham, akhirnya ia pendam kedua mayat yang
menggeletak di situ, ia bebenah kamarnya yang diobrak-abrik
tadi, kemudian ia coba membuka kotak besi dan memeriksa
kitab yang tersimpan di dalamnya, tapi kembali ia terkejut,
disusul dengan rasa kegirangan!
Ternyata kitab itu terbagi menjadi jilid A dan jilid B, dalam
jilid A seluruhnya terbagi menjadi tiga belas bab, tiga bab
yang pertama isinya adajah rahasia berlatih Lwekang, sedang
sepuluh bab di belakang adalah ajaran ilmu pukulan dan ilmu
pedang. Jilid B yang seluruhnya terdiri dari dua belas bab
ternyata adalah kitab ilmu ketabiban.
Lebih dulu Pang Lin coba membaca ajaran ilmu pukulan
dan pedang, ia merasa beberapa pelajaran di dalamnya masih
kurang lihai daripada apa yang telah dia pelajari, tetapi bila ia
membaca tiga bab yang di depan, ia merasa di dalamnya
mengandung arti yang terlalu dalam dan sangat luas.
Dari Li Ti, Pang Lin dapat belajar sedikit cara berlatih ilmu
Lwekang, tetapi karena Li Ti sendiri dalam ilmu Lwekang juga
belum mencapai tingkat yang sempurna, hanya tahu kulitnya
tetapi tidak paham sarinya, apalagi pelajaran dilakukan secara
lisan yang terputus-putus dan tidak sambung-menyambung,
kini setelah dapat membaca kitab ini, seketika Pang Lin
menjadi jelas seluruhnya, apa yang dulu pernah ia pelajari,
bukan saja di dalam kitab ini telah dijelaskan secara luas,
bahkan ia banyak memperoleh sari yang lebih hebat di
dalamnya. Hendaklah diketahui bahwa Pho Jing-cu adalah ahli silat
dari cabang silat terkemuka, meski kepandaiannya tidak
memadai keganasan Pek-hoat Mo-li, tetapi dalam hal belajar
Lwekang menurut caranya ini, dibanding dengan cabang silat
Pek-hoat Mo-li, boleh di-kata jauh lebih berhasil.
Pang Lin memang gadis berbakat, maka semenjak itulah ia
tinggal di dalam kamar sunyi di dalam taman untuk
mempelajarinya secara mendalam, selang setengah tahun ia
sudah memperoleh kemajuan yang pesat, sampai semua ilmu
pukulan dan ilmu pedang pun dapat ia pelajari dengan baik.
Hari ini secara iseng ia sedang membalik-balik kitab jilid
kedua, sebenarnya Pang Lin tidak sabar membaca kitab
pelajaran ilmu ketabiban ini, tetapi setelah ia balik-balik
sepuluh dua puluh halaman, tiba-tiba ia membaca di
antaranya terdapat resep dan cara menyembuhkan sakit
hilang ingatan. Ia jadi tertarik, tapi meski setengah hari ia
membacanya berulang-ulang, namun tetap tidak paham
isinya. Kiranya ini adalah catatan dan konsep yang Pho Jing-cu
bikin ketika dahulu ia menyembuhkan Kui Tiong-bing yang
terkena penyakit 'Li-hun-cing' atau sakit linglung, tak ingat
asal-usul diri sendiri. Pho Jing-cu pun senantiasa mempelajari ilmu ketabiban
secara mendalam, sekalipun sembuhnya penyakit Kui Tiongbing
dahulu berkat jasa Boh Wan-lian, juga karena bantuan
yang tidak sengaja. Karena itulah Pho Jing-cu berpendapat mengobati orang
sakit tidak dapat melulu mengandalkan kejadian yang
kebetulan, ia memeras otak terus dan akhirnya mendapatkan
resep dan cara menyembuhkan penyakit sebangsa kehilangan
ingatan, cara penyembuhan yang dipakainya kira-kira serupa
seperti hipnotis pada zaman ini. *
Pang Lin yang sama sekali tiada dasar pengertian ilmu
ketabiban, dengan sendirinya ia tidak paham apa yang
dibacanya. Sungguhpun Pang Lin tidak paham apa yang dibaca tetapi
timbul pikirannya, kejadian dirinya di masa kanak-kanak tidak
dapat diingatnya, ditanyakan pada para paman dan mamak
itu, mereka pun tak dapat menjelaskan, apa yang diterangkan
oleh mereka tiada yang cocok satu sama lain, ia sangsi
jangan-jangan dirinya juga terkena penyakit hilang ingatan
yang aneh ini, kalau begitu kitab ini agaknya banyak juga
gunanya. Lalu ia coba membalik-balik pula, sampai pada halaman
terakhir, tiba-tiba ia lihat di situ tertulis beberapa baris huruf
yang berbunyi: Untuk diketahui Keng-hiau muridku, Kitab ini adalah hasil
darah keringat Pho-suco, kau harus menyimpannya sebagai
barang pusaka dan menggunakan pula kitab ini sebagai bukti
untuk menerima jabatan Ciangbun Bu-kek-pay.
Ciong Ban-tong. Kiranya pada masa hidup Ciong Ban-tong, dengan susah
payah ia mendidik Lian Keng-hiau hingga menjadi pemuda
'Bun-bu-coan-cay' atau serba pandai dalam hal ilmu silat
maupun ilmu surat, tujuannya tidak lain ialah supaya pemuda
ini bisa mewarisi Bu-kek-pay, cuma waktu itu karena Lian
Keng-hiau masih belum dewasa (waktu Ciong Ban-tong mati ia
baru berumur empat belas), oleh sebab itu kitab pusaka ini
masih belum diturunkan padanya.
Karena harus berjaga apabila dirinya mendadak terbinasa di
tangan musuh, Ciong Ban-tong telah menuliskan beberapa
baris huruf pada akhir kitab itu, maksudnya adalah seperti
surat wasiat atau pesan yang ditinggalkannya itu.
Betul saja akhirnya Ciong Ban-tong terbinasa di tangan
Siangmo, sebelum ia menghembuskan napas yang
penghabisan, ia dapat mengetahui bahwa Lian Keng-hiau
ternyata adalah manusia yang berjiwa kotor dan telah
mengkhianati guru, maka ia tidak jadi memberitahukan
tempat dimana kitab pusaka itu disimpan.
Begitulah sesudah Pang Lin membaca Beberapa baris
tulisan tadi, baru ia ketahui bahwa Ciong Ban-tong adalah
guru Lian Keng-hiau, tanpa terasa ia jadi berpikir, "Entah
siapakah Ciong Ban-tong ini" Tetapi Hui-to dalam kotak
besinya itu serupa seperti pisau yang aku gunakan, dengan
aku tentu ada sangkut-pautnya. Tetapi bila mendengar .apa
yang dikatakan kedua pencuri kitab tadi bahwa si Ciong Bantong
ini sudah mati, agaknya soal ini hanya bisa ditanyakan
pada Lian Keng-hiau saja."
Dan malam itu Pang Lin sedang termenung menghadapi
kitab yang dipegangnya, ia berpikir sampai jauh malam,
sampai akhirnya ia terkejut oleh kedatangan Lian Keng-hiau.
Tatkala Lian Keng-hiau masuk ke dalam secara tiba-tiba.
dan melihat Pang Lin sedang duduk dalam kamar dan sedang
membalik-balik sebuah kitab, ia pun tercengang sejenak.
"Sudah begini jauh malam kau masih belum tidur" Kitab
apakah yang sedang kau baca?" kemudian ia menegurnya.
Karena pertanyaan ini, sekonyong-konyong Pang Lin
teringat bahwa kitab ini adalah tinggalan Ciong Ban-tong
untuk Lian Keng-hiau sebagaimana dituliskan, jika sampai
dilihatnya tulisan itu, bukankah kitab ini harus diserahkan
padanya. Pang Lin tidak rela memberikan kitab itu padanya, maka
tatkala Keng-hiau hendak melongok kitab yang dipegangnya,
lekas Pang Lin gulung buku itu dan dimasukkan ke dalam
bajunya. "Kau ini sungguh terlalu, masuk tanpa permisi dulu," segera
ia pura-pura mengomel. Lian Keng-hiau menjadi terkesima demi melihat wajah si
gadis dengan senyuman yang manis ini. "Apakah lukamu
sudah baik?" tanyanya kemudian.
Sudah tentu Pang Lin menjadi bingung, ia tidak mengerti
arti pertanyaan orang. "Apa katamu?" balasnya tanya.
"Ha, kepandaianmu sungguh bagus, sudah jauh lebih tinggi
daripada dulu Kembali Pang Lin tercengang oleh kata-kata ini, ia
membatin jangan-jangan Keng-hiau telah tahu aku
mendapatkan kitab pusaka ini.
"Cakar Pat-pi-sfh-mo yang berbisa sungguh lihai, setelah
minum obat pemunahnya, hanya dalam setengah jam kau
sudah bisa berjalan seperti biasa, cepat amat," terdengar
Keng-hiau berkata. "Melihat cahaya mukamu, sama seperti
orang sehat." Keruan Pang Lin jadi semakin bingung, "Kapan aku
terluka?" akhirnya ia bertanya.
"Ha, kau si cilik nakal ini masih ingin bergurau dengan
aku," sahut Keng-hiau dengan tertawa. "Kau tak ingin
bertemu Siang-mo, maka aku telah singkirkan mereka ke lain
tempat." Tentu saja Pang Lin tetap bingung atas kata-kata orang.
"Apakah arti sebenarnya kata-katamu ini, sedikitpun aku tidak
paham!" sahutnya lagi.
"Siang hari tadi kau berkelahi dengan siapa?" tanya Kenghiau
dengan mendongkol. "Aneh, sudah ada setengah tahun aku di sini dan tidak
pernah keluar dari taman ini, kapankah aku berkelahi dengan
orang?" sahut Pang Lin terheran-heran.
Melihat jawaban si anak dara yang sungguh-sungguh dan
tampaknya sedikitpun tidak bergurau ini, mau tak mau Lian
Keng-hiau terheran-heran juga.
"Sehari penuh kau berada di dalam kamar ini?" desaknya
lagi. "Tentu saja, buat apa aku dustai kau?" sahut Pang Lin.
"Tetapi sudah jelas hari ini aku telah bertemu dengan kau!"
kata Keng-hiau lagi dengan mata terpentang lebar saking
herannya. Melihat sikapnya yang aneh ini, Pang Lin jadi tertawa geli.
"Barangkali kau telah melihat setan!" ujarnya. Setelah ia
berhenti sejenak, tiba-tiba ia berkata, "Sudahlah, tidak usah
merecoki urusan setan. Coba jawab, bukankah Ciong Ban-tong
adalah gurumu?" "Ya, kenapa?" sahut Keng-hiau ragu-ragu.
Mendadak Pang Lin ayun tangannya, sebuah Hui-to
ditimpukkan ke muka Keng-hiau.
Serangan yang tiba-tiba ini keruan membikin Keng-hiau
terkejut, lekas ia ulur tangan menangkap pisau itu dengan
tepat. "Apa yang kau perbuat?" bentaknya.
"Hihi, cara kau menyambut Hui-to ini sama seperti caraku!"
dengan tertawa Pang Lin menyahut.
Mendengar kata-kata ini, dalam hati Keng-hiau berkata,
"Aku dan kau memang sama belajar dari satu guru, mengapa
bisa lain." Mal'a ia lantas berkata pula, "Kiranya kau sengaja menjajal
aku!" "Ya, tempo hari aku masih belum jelas dengan gerak
tanganmu, maka kini aku menjajal sekali lagi," sahut Pang Lin.
"Perlu apa kau melakukan ini?" tanya Keng-hiau.
Ternyata Pang Lin tidak menjawab, dengan bertopang dagu
ia menatap terus pada Lian Keng-hiau.
"Tamanmu ini, dulu aku seperti sudah pernah datang ke
sini," katanya kemudian dengan tertawa.
Keng-hiau menjadi terguncang hatinya. Segera terdengar
Pang Lin meneruskan lagi.
"Aku dan kau seperti sudah kenal juga" Mengapa mereka
se-dikitpun tidak mau memberitahukan padaku?"
Kata-kata ini membikin hati Keng-hiau tergerak, ia memang
orang yang banyak berprasangka, maka ia lantas berpikir,
"Budak liar ini secerdik setan, apa yang dikatakan tidak boleh
dipercaya penuh. Jika umpama ia bukan sungguh-sungguh
selisih paham dengan Hong-siang, tapi Hongsiang yang
sengaja mengutus dia buat menyelidiki diriku, bukankah hal ini
bisa runyam bagi diriku?"
"Kenapa kau tidak buka suara?" tegur Pang Lin demi
nampak Keng-hiau termenung.
"Darimana kau mendapat tahu nama Suhuku?" tanya Kenghiau
kemudian. Karena pertanyaan ini, giliran Pang Lin tak bisa menjawab
seketika. Ia tidak ingin kehilangan kitab itu, dengan sendirinya
ia tak dapat menjelaskan bahwa dia mengetahuinya dari
tulisan Ciong Ban-tong. Keragu-raguannya ini dapat dilihat oleh Lian Keng-hiau,
maka ia semakin menaruh curiga. Ia pikir, jika bukan orang
istana yang memberitahu padanya, tentunya orang Kangouw
yang bilang padanya. Ia sudah hampir setahun kabur dari
istana, selama ini entah berhubungan dengan orang macam
apa saja, tidak boleh tidak harus waspada.
Sementara itu dengan mengerut kening Pang Lin telah
menjawabnya. "Kau ini betul-betul suka curiga," katanya
dengan tertawa. "Kau adalah Lian-tayciangkun yang maha
sohor, urusanmu dengan sendirinya banyak orang yang
mengetahui." "Siapakah yang memberitahu kau?" desak Keng-hiau lagi.
"Aku dengar dari pembicaraan orang di jalan, mana aku
tahu namanya?" sahut Pang Lin.
Dengan jawaban ini Pang Lin menyangka telah cukup
masuk akal dan tentunya bisa diterima, tak terduga justru


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata-katanya ini mengenai pantangan Lian Keng-hiau, urusan
Keng-hiau belajar silat dengan Ciong Ban-tong sangat
dirahasiakan, mana mungkin orang di jalan bisa
mengetahuinya. Dengan sendirinya ia pun tahu gadis ini
sedang berdusta. "Haha, sejak kapan kau mulai belajar berdusta?" katanya
kemudian dengan bergelak tertawa.
"Siapakah yang berdusta?" sahut Pang Lin, "aku bertanya
padamu, tapi kau tidak gubris, sebaliknya kau tanya terus
padaku. Hm, jangan kau membaiki diriku lagi!"
Karena kata-kata terakhir ini, Keng-hiau menjadi serba
salah, ia tidak dapat memastikan sikap si nona yang kekanakkanakan
ini sungguh-sungguh atau pura-pura
"Baiklah, kau duduk dulu," katanya kemudian, "coba jawab,
kau punya Hui-to itu siapa yang mengajarkan padamu?"
"Paman Han Tiong-san yang mengajari," sahut Pang Lin.
"Bukan!" kata Keng-hiau geleng-geleng kepala.
"Kalau begitu siapa?" tanya Pang Lin.
Selagi Keng-hiau hendak berkata, tiba-tiba ia dengar di luar
seperti ada suara berisik, maka lekas ia urungkan
perkataannya. "Ssssssttt, lekas kau sembunyi, biar aku lihat siapa yang
datang?" katanya pada Pang Lin dengan suara tertahan.
Dengan melelet lidah Pang Lin menurut dan bersembunyi
ke belakang tempat tidur.
Kemudian Lian Keng-hiau membuka pintu kamar dan
melongok keluar, maka tertampak olehnya Liau-in sedang
mendatangi dengan langkah lebar, tongkat terjinjing di
tangannya. Kiranya setelah Liau-in dan Tang Ki-joan kembali dengan
mengalami kekalahan besar, mereka telah diberitahu bahwa
Lian Keng-hiau sudah pulang ke kampung halamannya.
Waktu Liau-in berlima hendak berangkat dari kotaraja, In
Ceng pernah memberi titah rahasia agar mereka secara diamdiam
mengawasi gerak-gerik Lian Keng-hiau. Apalagi Liau-in
biasanya anggap dirinya lebih tua, maka ia suka jual lagak,
selamanya ia tidak pandang sebelah mata atas diri Lian Kenghiau,
kini ia mendongkol pula karena Lian Keng-hiau tidak
menunggu kembalinya, maka ia lantas berunding dengan
Tang Ki-joan. "Si Lian cilik ingin kita bekerja mati-matian untuk
kepentingannya, sebaliknya ia sendiri enak-enak pulang ke
rumah, mari kita cari dia ke rumahnya!" ajaknya pada Tang Kijoan.
Akan tetapi Tang Ki-joan lebih tahu tata-krama antara
kaum pembesar negeri, ia tidak setuju ajakan kawannya ini.
"Dia adalah panglima pasukan, tanpa undangannya lagi
pula tiada urusan penting, bagaimana boleh kita pergi
mencarinya?" sahutnya kemudian.
"Kita memberitahu dia bahwa Pui Kin-beng tidak berhasil
kita tangkap, tetapi kita kepergok budak liar itu, apakah ini
bukan urusan penting?" kata Liau-in.
"Urusan ini hanya urusan kecil saja," ujar Tang Ki-joan
dengan menggeleng kepala.
Liau-in jadi mendongkol. "Kau tak mau pergi, biar aku pergi
sendiri!" katanya dengan rada aseran. "Kita mendapat titah
rahasia kaisar, kita bukan bawahan bocah she Lian itu, apa
yang harus kita takuti?"
Begitulah, maka dengan menjinjing tongkatnya segera ia
menyusul ke Tan-li;; malam-malam.
Keruan Keng-hiau jadi kaget melihat datangnya Liau-in
yang sekonyong-konyong ini. "Po-kok Siansu, mengapa
malam-malam engkau datang kemari?" tegurnya segera.
Akan tetapi Liau-in tidak lantas menjawab, ia memandang
ke sekeliling ruangan. "Siao Lian. kau sedang bicara dengan
siapa?" tanyanya kemudian.
"Aku sedang membaca di dalam kamar, mungkin kau salah
dengar," sahut Keng-hiau.
"Apakah kamar ini dulu tempat tinggal Ciong Ban-tong?"
tanya Liau-in lagi. "Ya," sahut Keng-hiau.
"Wah, sungguh indah sekali. Baiklah, mari kita duduk di
dalam," tanpa diminta dan sebelum Lian Keng-hiau buka
suara, segera Liau-in mendorong pintu kamar dan masuk ke
dalam. Sudah tentu bukan buatan dongkol Lian Keng-hiau melihat
ke-kurang-ajarannya ini, ia mendamprat di dalam hati, "Kau
kepala gundul ini, lambat laun aku pasti akan ajar adat
padamu." Sungguhpun dalam hati gusar, tetapi pada wajahnya
sedikit-pun tidak tampak perasaannya. "Jika Siansu sudi
mampir, itulah baik sekali," demikian ia malah menyambut
dengan tertawa. Lantas ia masuk mengikut di belakang Liauin.
"Ehm, harum sekali, seperti kamar tidur perawan," kata
Liau-in dengan tertawa sambil menyedot dengan hidung
sesudah mengambil tempat duduk.
"Taysu suka berkelakar saja!" sambut Keng-hiau pula.
Akan tetapi mata Liau-in yang mirip mata maling segera
celi-ngukan ke seluruh pelosok kamar.
"Hah, sarung bantal sulaman dengan selimut dan kasur
merah, he, Lian cilik, mungkin secara rahasia kau pulang buat
kawin hingga kami semua tiada yang diberitahu, kau harus
didenda apa nanti?" kata Liau-in.
"Aku adalah putra tunggal, ibuku terlalu memanjakan dan
sayang padaku sejak kecil," tutur Keng-hiau, "beliau kuatir aku
tidak bisa tumbuh hingga besar, beliau telah terima macammacam
usul kaum Nikoh dan mak comblang segala dan
anggap aku seperti anak perempuan saja, maka semua
perabot yang ada di kamar ini terdiri dari perabot anak
perempuan, untuk tumbal, katanya dengan begini bisa
menghilangkan sial dan buang segala bencana, sungguh
menggelikan sekali."
Pada masa itu di kalangan rakyat ada kebiasaan
membesarkan putra tunggal dengan menganggapnya sebagai
anak perempuan. Namun Liau-in masih setengah percaya dan
setengah tidak, mendadak ia mendekati tempat tidur, ia
goyang perlahan ranjang itu.
Keruan tidak kepalang rasa terkejut Lian Keng-hiau, ia pikir
rahasianya sekali ini pasti akan terbongkar.
"Ha, ranjangmu inipun bagus dan indah sekali, sungguh
aku ingin merasakan empuknya dan tidur di sini," Liau-in
berkata pula dengan tertawa.
Lian Keng-hiau mengira Pang Lin pasti akan dilihat olehnya,
siapa duga meski Liau-in sudah menggoyang beberapa kali,
namun di belakang kelambu ternyata tiada suara apa-apa.
Keruan Lian Keng-hiau sangat heran, batinnya, "Budak
setan cerdik ini sungguh pintar sekali menyembunyikan
dirinya!" Sementara itu dengan memukul tongkat ke lantai, Liau-in
lantas duduk di pinggiran ranjang.
"Di rumahku, masih tersedia kamar tamu lagi, mana aku
berani merendahkan diri Taysu buat tinggal di sini," ujar Kenghiau
dengan air muka yang sengaja berubah jadi kurang
senang. "Halia, aku hanya seorang Hwesio kasar dan bergurau saja
dengan kau, jangan kau anggap sungguh-sungguh," sahut
Liau-in dengan bergelak tertawa ketika nampak gelagat
kurang baik. Bagaimanapun Lian Keng-hiau adalah seorang panglima
dari suatu pasukan besar, maka Liau-in tak berani terlalu
kurangajar. "Tadi aku telah pergoki budak liar itu," segera ia mengadaada
ke persoalan lain, "rupanya ilmu silatnya telah jauh lebih
tinggi dari dulu, sungguh aneh bukan?"
Kembali Keng-hiau tercengang oleh perkataan ini. "Kau pun
pergoki dia?" tanyanya.
"Ya, dan siapa lagi yang memergoki dia?" sahut Liau-in.
"Kedua bersaudara Sat, mereka telah dikibuli olehnya,"
tutor Keng-hiau. Habis itu mereka lantas saling menceritakan apa yang telah
dialami masing-masing pada siang hari tadi.
"Pui Kin-beng tak berhasil ditangkap, hal ini harus
dilaporkan pada Hongsiang," kata Keng-hiau dengan sungguhsungguh.
Lalu ia mengambil kertas dan angkat pit hendak menulis
laporan. Liau-in sendiri tidak mengerti kesusastraan, maka ia
paling tidak sabar menyaksikan orang menulis dan membaca.
"Bagus, Lian cilik, kau tulis laporan, apa perlu aku melayani
kau di sini?" kata Liau-in.
Sudah tentu keinginan Liau-in inilah yang diharapkan Kenghiau,
segera ia menjawab, "Biar kuantar kau ke rumah besar
di sebelah sana, aku nanti suruh dua penyanyi cantik melayani
kau." Keluarga Lian adalah hartawan kaya raya di daerah Holam,
maka penyanyi yang ada di rumahnya cukup terkenal. Keruan
Liau-in menjadi girang sekali.
"Haha, inilah baru dapat disebut sobat sejati," ujarnya
dengan tertawa. Begitulah Lian Keng-hiau lantas mengantar Liau-in keluar
dari taman bobrok itu, ia panggil menghadap pengurus rumah
tangganya dan memberi perintah supaya meladeni Liau-in
dengan baik. Habis itu seorang diri ia lantas kembali ke kamar
baca di dalam taman. Sementara itu sinar pelita di dalam kamar berkelap-kelip
bergoyang, dengan perlahan Lian Keng-hiau mendorong pintu
dan masuk ke dalam, tetapi mendadak dari atas belandar
rumah meloncat turun seorang.
"Kau si kecil nakal ini hendak bergurau apa dengan aku,"
bentak Lian Keng-hiau. Gadis yang melompat turun ini mencabut pedangnya terus
menusuk, ketika ia melihat jelas bahwa orang yang masuk ini
adalah Lian Keng-hiau, tangannya mendadak ditarik kembali.
"Kau sudah dengar terang bukan apa yang aku
percakapkan dengan Liau-in tadi?" kata Keng-hiau pula. "Liauin
pun telah memergoki kau, tapi kau masih berani bilang hari
ini kau tidak pernah keluar dari rumah ini!"
"Liau-in, Liau-in yang mana?" tanya gadis itu.
"Hm, kau masih pura-pura bodoh, masakah Po-kok Siansu
saja tidak kau kenal lagi?" sahut Keng-hiau.
Nona itu seperti baru paham. "O, apa kau maksudkan
Hwesio gendut bengis dengan menjinjing tongkat itu?"
katanya kemudian. "Kau ini sungguh nakal, kalau perkataanmu ini didengar
Liau-in, pasti bukan main gusarnya!" sahut Keng-hiau dengan
tertawa. "Dan kini kau sudah mengaku bukan" Bukankah hari
ini lebih dulu kau bentrok dengan Liau-in, kemudian baru
kepergok oleh Siang-mo?"
Waktu Lian Keng-hiau berbicara dengan Liau-in mengenai
kejadian siang tadi, tujuannya adalah supaya didengar Pang
Lin untuk melihat bagaimana reaksinya.
Tak terduga si anak dara ini menjadi heran malah. "O,
kiranya Hwesio gendut itu betul adalah Liau-in?" sahutnya.
"Kalau begitu, bukan saja aku telah bertemu dengan dia,
bahkan telah bergebrak dengan dia, ada apakah?"
"Nah, akhirnya kau mengaku juga?" ujar Keng-hiau girang.
"Kalau begitu biar aku pun bicara terus terang padamu, kau
punya Hui-to itu bukan Han Tiong-san yang mengajarkan
padamu, tetapi Ciong Ban-tong yang mengajarkan, meski aku
dengan kau bukan saudara, namun tiada ubahnya seperti
saudara." Sembari berkata ia lantas mengulur tangan hendak menarik
si nona. Tak terduga mendadak nona itu telah mengibaskan
lengan bajunya, "plok", muka Lian Keng-hiau telah ditampar
sekali. "Hm, cengar-cengir dan bertingkah, apa kau cari mampus?"
damprat si nona pula. Sudah tentu Lian Keng-hiau menjadi bingung. "He,
mengapa kau ini" Kenapa kau begini galak?" katanya.
"Kau ini bernama Lian Keng-hiau bukan?" damprat si gadis
sembari geraki pedangnya ke muka orang.
"Nonaku yang baik, jangan kau berlagak, di sini bukan
panggung sandiwara!" ujar Keng-hiau.
"Kau telah paksa si iblis tadi memberi obat pemunah
padaku, mengingat hal ini, aku boleh ampuni jiwamu!"
terdengar si gadis buka suara pula. "Di mana kitab pusaka
tinggalan Pho Jing-cu, lekas kau serahkan padaku."
"Kitab apa?" tanya Keng-hiau tak mengerti.
"Masih kau pura-pura bodoh?" semprot anak dara itu.
"Bukankah kitab itu telah kau dapat, jika tidak, mengapa aku
mencari ke-mana-mana tidak menemukannya?"
Mendengar ini, pikiran Keng-hiau jadi tergerak. "Apakah
kitab yang kau baca tadi itu" Hahaha! Hm!" katanya dan
akhirnya menjengek. Lalu ia berpikir dalam hati, "Kiranya kitab pusaka kakek
guruku sudah kau ambil, sedang asal-usul dirimu pun sudah
kau ketahui, sebaliknya kini kau masih mempermainkan
diriku." Karena mendongkolnya ini, segera ia ulur tangan
menjambret, tak terduga mendadak si nona telah menyikut
juga, karena sodokan sikutnya ini hingga Keng-hiau sendiri
ditumbuk pergi beberapa tindak, menyusul pedangnya
menusuk lagi. Lian Keng-hiau jadi murka, dengan sekali gerungan, ia
menyambar sebuah kursi untuk menangkis pedang orang.
Tetapi tiba-tiba nona itu menarik kembali senjatanya.
"Budi dan dendam selamanya kuingat dengan baik, biar
aku tidak bunuh kau!" anak dara itu berkata. Berbareng itu,
dengan sekali enjot ia melompat keluar melalui jendela.
Keruan Lian Keng-hiau gusar sekali, ia terjang keluar rumah
buat mencegatnya. Karena belum paham jalanan di dalam
taman itu, maka sekejap saja anak dara itu sudah dicegat Lian
Keng-hiau melalui jalanan kecil.
"Kau budak yang tidak kenal budi kebaikan ini, lekas
katakan siapa yang menyuruh kau ke sini?" damprat Kenghiau
sambil lolos pedang kebesaran pemberian In Ceng.
"Ha, aku telah mengampuni jiwamu, mengapa sebaliknya
kau malah menguber aku terus"!" sambut si gadis dengan
tertawa mengejek. Habis itu, dengan gerak tipu 'Jun-honghut-
liu' atau angin musim semi menghembus pohon liu, segera
ia menusuk ke arah dada Lian Keng-hiau.
Gadis ini memang bukan Pang Lin sebagaimana disangka


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lian Keng-hiau, melainkan Pang Ing adanya.
Waktu Pang Ing turun gunung, Ie Lan-cu telah berpesan
padanya agar dalam perjalanan ke Bin-san supaya sekalian
datang ke Tan-liu untuk mencari kitab pusaka tinggalan Pho
Jing-cu. Ia tidak tahu bahwa panglima muda yang
diketemukan siang tadi adalah Lian Keng-hiau, maka sesudah
ia lolos dari tangan Siang-mo, pada malamnya dengan
menggunakan ilmu entengkan tubuh yang hebat diam-diam ia
menyambangi rumah keluarga Lian, secara kebetulan ia
kesasar ke dalam taman bobrok itu, sesampainya di sini,
justru waktu itu Lian Keng-hiau sedang mengantar Liau-in
keluar, maka mereka berdua masih belum saling pergok.
Tatkala Pang Ing memasuki kamar dalam taman itu, ia lihat
api pelita masih menyala dengan terang, kelambu sutera
terurai indah, terang sekali kamar itu adalah kamar anak
perawan, bahkan ia ketahui penghuninya seperti bara saja
keluar dari kamar. Karena itu ia merasa heran sekali:
Ia telah mencari dan menggeledah seluruh kamar, tapi tak
menemukan kitab yang dikatakan Suhunya itu, cari punya cari,
akhirnya ia membongkar sampai di belakang kelambu tempat
tidur, secara kebetulan ia menyenggol alat rahasia yang ada di
situ, mendadak dinding kamar di pojok situ menjeplak terbuka
dan terlihat satu pintu rahasia.
Pang Ing jadi terheran-heran, ia pikir kamar ini sungguh
aneh sekali! Ketika ia coba memasuki pintu rahasia itu, ia merasakan
bau wangi semerbak menusuk hidung, tampaknya seperti baru
saja ada orang bersembunyi di tempat ini.
Waktu ia menyalakan api dan mencari lagi secara lebih teliti
di dalam dinding berlapis itu, tetap tidak diketemukan kitab
yang dimaksud, sebaliknya ia malah menemukan pintu rahasia
di ujung lain dan diketahuinya ternyata bisa menembus keluar.
Kiranya dinding tembok berlapis rahasia ini sebenarnya
adalah ciptaan Ciong Ban-tong ketika ia bersembunyi di rumah
keluarga Lian ini untuk menghindarkan pencarian musuh.
Ketika Pang Lin tinggal di sini, gadis inipun dapat
menemukan pintu rahasianya, sebaliknya Lian Keng-hiau
sendiri tidak mengetahui. Tatkala Liau-in masuk ke dalam
kamar, waktu itu Pang Lin sudah mengeluyur keluar melalui
pintu rahasia itu. Begitulah, maka sewaktu Pang Ing mencari kitab
tinggalannya Pho Jing-cu di dinding lapisan rahasia itu, karena
tidak bisa menemukan, ia lantas kembali ke kamar dan
kebetulan kepergok Lian Keng-hiau yang telah kembali.
Sebenarnya sudah lama Pang Ing mendengar dari gurunya
bahwa Lian Keng-hiau adalah seorang pentolan pengkhianat,
sedianya ia hendak sekali tusuk membinasakannya, tetapi
karena siang hari tadi dirinya telah ditolong, karena itu ia
memberi ampun dan hanya berusaha kabur saja.
Sebaliknya Lian Keng-hiau malah salah sangka Pang Ing
sebagai Pang Lin, tanpa pikir lagi segera ia mengudak keluar.
Saking mendongkolnya, Pang Ing menjadi benci, ia keluarkan
Thian-san-kiam-hoat yang paling hebat, keruan Lian Kenghiau
dibikin kerepotan oleh tipu-tipu serangannya.
Namun Liang Keng-hiau pun bukan orang lemah, sejak
kecil ia sudah mendapatkan ajaran Ciong Ban-tong, ia
mendapat didikan dari Siau-lim-sam-lo, tiga tema Siau-lim-si,
oleh sebab itu ilmu silatnya juga tidak rendah, walaupun ia
masih bukan tandingan Pang Ing, namun setelah bertempur
tiga lima jurus, ia masih belum terkalahkan.
Pang Ing menjadi sebal bergebrak terlalu lama, ia tidak
mau terlibat dalam pertarungan tems, ia merangsek berulang
kali, ia desak Lian Keng-hiau mundur ke belakang, habis itu
segera ia membalik tubuh terus hendak kabur.
Dalam pada itu, sungguhpun Lian Keng-hiau menaruh hati
pada Pang Lin, tapi melihat Pang Ing berulang kali
melancarkan serangan yang mematikan, mau tak mau timbul
juga rasa curiganya, ia sangsikan anak dara ini apa bukan
dikirim oleh In Ceng untuk menyelidiki dirinya, atau sudah
berkomplot dengan musuh yang lain, hanya ada satu di antara
dua kemungkinan ini. Sebab itulah ia harus menyandaknya, ia mengandalkan
dirinya paham sekali jalanan dalam taman bunga yang luas ini,
ia terus mencegat sambil menempurnya. Pada suatu
kesempatan ia melepaskan dua buah panah bersuara sebagai
tanda bahaya, ia hendak memanggil datangnya Siang-mo.
Taman bunga ini memang sangat luas, mereka berdua
bertempur sepanjang jalan, melintasi beberapa buah bukitbukitan
palsu, mereka terus bergebrak hingga sampai pojok
taman sebelah barat-daya.
Padr saat itu juga tiba-tiba terdengar di sebelah timur
berkumandang juga suara bentakan orang bertempur, Lian
Keng-hiau jadi tertegun, tetapi ia lantas berpikir, janganjangan
jago bawahannya telah memergoki begundal nona ini
dan sedang saling gebrak di sana. Karena itu, ia lebih-lebih tak
mau melepaskan orang, sambil bertempur ia berseru
memanggil bala bantuan. Keruan Pang Ing menjadi murka juga. "Kau ini betul-betul
tidak kenal baik dan busuk!" dampratnya.
Menyusul Toan-giok-kiam berkelebat, dengan tipu 'Tayboh-
liu-soa' atau pasir berhamburan di gurun luas, dengan
cepat ia melancarkan tipu serangan yang mematikan.
Di antara sinar pedang yang menyambar dan debu yang
beterbangan, sekuat tenaga Lian Keng-hiau menangkis
serangan lawan, maka terdengarlah suara "kraak" yang keras
disusul muncratnya lelatu api, pedang yang dipegangnya
ternyata gumpil sebagian.
Pada waktu ilmu pedang orang mulai kacau, kembali Pang
Ing menyerang dengan tipu 'Tay-hay-yang-po' atau ombak
menderu di samudera raya, di antara sinar pedangnya yang
gemerlapan, pundak Lian Keng-hiau akhirnya terkena sekali
tusukan. Pada saat itu juga tiba-tiba Lian Keng-hiau nampak sesosok
bayangan orang secepat terbang sedang mendatangi, segera
ia berseru, "Tangkap budak liar itu!"
Akan tetapi Pang Ing sudah keburu melompat ke atas
pagar tembok terus melompat keluar dan menghilang di
tengah kegelapan. Orang yang datang ini ternyata adalah seorang pemuda
tampan berperawakan jangkung.
"Hm, budak liar yang mana?" ia menjengek.
Ketika Lian Keng-hiau menuding keluar, di bawah sinar
rembulan yang remang-remang mendadak ia mengetahui
bahwa orang ini bukan jago bawahannya, ia jadi tercengang,
dalam pada itu secepat kilat, orang itu telah menusukkan
pedangnya. Keruan Lian Keng-hiau terkejut, lekas ia menarik diri ke
belakang, ia keluarkan tipu Bu-kek-kiam-hoat yang hebat
dengan cara lunak melawan keras. Tak terduga Kiam-hoat
orang ini aneh dan ganas, sudah terang gaya serangannya
mengarah ke kiri, tetapi entah mengapa mendadak berbalik
menuju ke kanan, lekas Lian Keng-hiau menghindarkan diri
dengan melompat pergi, akan tetapi sudah terlambat,
mendadak ia merasakan kepala menjadi enteng, ternyata
rambutnya sudah terkupas sebagian.
Pemuda yang datang ini bukan lain adalah Li Ti. Sejak ia
ditolong oleh Bu Sing-hua, terhadap Pang Lin yang
meninggalkan dia di saat dia berada dalam bahaya, ia merasa
tidak mengerti. Tetapi ketika melihat anak dara itu suka
tinggalkan obat untuknya, hatinya jadi rada lega dan terhibur.
Pikirnya, sesudah "Ing-moay" turun gunung, sekalipun
tabiatnya telah berubah banyak, namun belum terhitung
kehilangan budi pekertinya, dari obat yang ditinggalkan ini
dapat diketahui martabatnya. Oleh sebab itulah, ia jadi lebih
besar lagi minatnya menemukan anak dara itu.
Bu Sing-hua adalah paman (adik ibu) Li Ti, tetapi Sing-hua
tidak tinggal di Thian-san, walaupun di waktu menyambangi
kakak perempuannya pernah juga ia dua kali bertemu Pang
Ing, namun ia belum kenal tabiat anak dara ini. Maka waktu
mendengar lagu suara sang keponakan yang telah jatuh cinta
pada Pang Ing, ia lantas me-nasehati Li Ti.
"Sudahlah, walaupun anak dara itu adalah murid
kesayangan le-lihiap, muka dan ilmu silatnya tergolong pilihan
pula, tetapi melihat kelakuannya, jangan berani-berani
memujinya. Sekalipun ia masih tinggalkan obat untukmu,
namun dalam keadaan bahaya ia tinggalkan kawan sendiri
yang terkarib, itulah perbuatan yang tidak mungkin
dibenarkan di kalangan Bu-lim," demikian Bu Sing-hua
berkata. Setelah berpikir sejenak, lalu ia berkata pula, "Apalagi
anak dara yang bersama kau itu, apakah betul Pang Ing atau
bukan, juga masih belum diketahui dengari pasti. Kalau
melihat obat yang dia tinggalkan ini adalah obat yang jarang
ada, tapi juga bukan obat keluaran Thian-san."
"Ya, asal di dunia ini tiada dua orang Pang Ing, maka pasti
tidak bisa salah!" sahut Li Ti tertawa. Lalu ia berkata lagi,
"Omelan paman tadi memang tidak salah, tapi bagaimanapun
ia masih anak-anak, tabiatnya masih aneh dan belum kuat, ia
gampang terpancing oleh barang yang datang dari luar,
paman adalah angkatan tuanya, tanggung jawab mendidiknya
engkau juga harus pikul sebagian."
Mendengar keponakannya ini malah membikin pembelaan
bagi anak dara itu, maka Bu Sing-hua pun tak ingin
menyebutnya lagi. Hari ini mereka kebetulan sampai di Tan-liu, Bu Sing-hua
teringat bahwa Ciong Ban-tong, cucu murid Pho Jing-cu yang
merupakan ahli waris satu-satunya Bu-kek-pay pernah
mengajar di rumah keluarga Lian. Menurut Ie Lan-cu, abu
jenazah Ciong Ban-tong ditanam di taman, meski belum
pernah bersua dengan Ciong Ban-tong, tapi aku pernah
mendapat ajaran beberapa jurus dari Pho Jing-cu, sedikit
banyak aku juga masih ada hubungan dengan Bu-kek-pay, kini
aku sudah sampai di sini, sepantasnya aku berziarah ke
kuburannya. Begitulah maka malam-malam bersama Li Ti, mereka
memasuki taman tak terawat itu secara diam-diam. Sesudah
berada di dalam taman, tiba-tiba mereka lihat di kamar baca
yang ada di tengah taman itu ada cahaya lampu berkelapkelip.
"He, ada orang tinggal di situ!" desis Bu Sing-hua dengan
heran. "Taman inipun aneh sekali bangunannya, hanya terdapat
rumah itu saja satu-satunya," kata Li Ti.
"Kata Ie-lihiap, sesudah Ciong Ban-tong meninggal,
kabarnya taman ini ditutup oleh keluarga Lian, tapi mengapa
ada orang tinggal di dalam situ?" sahut Bu Sing-hua.
Maka secara mengendap, mereka berdua lantas mendekati
rumah itu. Sesampai di luar rumah, tiba-tiba mereka mendengar di
dalam kamar itu ada suara gelak tertawa keras, lalu ada suara
bentakan pula, "Ha, Lian kecil, telah kembalikah kau" Bagus
sekali perbuatanmu?"
Menyusul dari dalam lantas melompat keluar seorang
Hwesio gendut, ketika mereka perhatikan, ternyata bukan lain
dari Liau-in Hwesio! Kiranya Liau-in meski suka sembrono, hanya tangkas tapi
kurang akal. Namun kali ini di antara kasarnya terdapat
halusnya juga, ternyata ia dapat menggunakan otak. Ketika ia
diantar Keng-hiau keluar taman dan diserahkan pada
pengurus rumah tangganya untuk dilayani lebih jauh. Tiba-tiba
Liau-in ingat bahwa kejadian malam ini banyak terdapat halhal
yang mencurigakan. Pantasnya jika sejak anak-anak
dibesarkan sebagai anak perempuan, sesudah dewasa,
sedikitnya anak itu juga akan mempunyai sifat-sifat wanita.
Akan tetapi Lian Keng-hiau tidak demikian, ia gagah dan
tampan, tindakannya pun tegas, mana ada sifat seperti
perempuan" Karena hatinya sangsi, maka Liau-in pun tiada selera untuk
menikmati kesenangan lagi.
"Taysu, silakan mengaso, akan kupanggil dua penyanyi
cantik buat meladeni kau," kata si pelayan sesudah
membawanya masuk sebuah kamar yang terhias mewah
sekali. "Nanti dulu," tiba-tiba Liau-in mencegah.
"Taysu ada perintah apa?" tanya si pelayan.
"Tuan muda adalah putra tunggal majikanmu, di waktu
kecil tentu ia disayang sekali oleh orang tuanya bukan," tanya
Liau-in. "Sudah tentu," sahut si pelayan. Dalam hati ia membatin
mengapa Hwesio ini bertanya hal-hal ini.
"Menurut adat istiadat di kampungmu sini, putra yang
tunggal, biasanya dibesarkan oleh orang tua dengan cara
seperti anak perempuan, betulkah?" tanya Liau-in lagi.
"Kebiasaan ini memang ada, tetapi tuan muda kami lain
daripada yang lain, sejak kecil ia luar biasa nakalnya, ia paling
suka berkelahi dengan orang. Coba kau pikir, mana mungkin
ia sudi dianggap sebagai anak perempuan oleh orang tuanya?"
tutur si pelayan. Mendengar keterangan ini Liau-in terdiam sejenak.
Kemudian baru ia berkata pula, "Aku tak usah dilayani
penyanyi lagi. Itu dua orang tua aneh yang datang siang tadi apakah masih
tinggal di sini?" "Ya, ada!" sahut pelayan.
"Aku ingin sekali bicara dengan mereka," kata Liau-in lagi.
"Harap kau undang mereka, katakan Po-kok Siansu hendak
bicara." Pelayan itu tahu mereka adalah kawan sendiri, maka
sedikitpun tidak curiga, segera ia pergi mengundang Siangmo.
"Tuan muda bilang Hwesio ini gemar minum dan suka main
perempuan, tampaknya tidak demikian halnya," demikian
dalam hati si pelayan berpikir.
Pada waktu itu Siang-mo masih belum tidur, ketika mereka
dengar Liau-in berada juga di sini, cepat mereka datang
menemuinya. "Cukong, (maksudnya In Ceng) suruh kita mengawasi
gerak-gerik si Lian," demikian Liau-in mulai berkata kepada
Siang-mo sesudah menyingkirkan si pelayan, "tadinya kita
mengira si Lian dapat dipercaya dan setia, siapa tahu malam
ini aku pergoki dia berbuat hal-hal yang merugikan
Hongsiang." Sudah tentu Siang-mo menjadi kaget oleh kabar itu, segera
mereka bertanya kejadian apakah yang telah dilihat Liau-in.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka Liau-in lantas menceritakan pengalamannya dibohongi
Keng-hiau. "Di kamarnya itu pasti ada apa-apa yang aneh. Marilah kita
coba menggeledah ke sana?" akhirnya ia mengajak Siang-mo.
Liau-in menyangka Siang-mo pasti akan menerima
ajakannya, tak terduga karena kedudukan Siang-mo berada di
bawah Liau-in dan Haptoh, sedang lagak Liau-in biasanya juga
congkak dan sombong, sudah lama mereka penasaran. Lian
Keng-hiau dapat mengetahui di antara mereka ada
persaingan, maka siang-siang ia telah memikat Siang-mo
dengan sedikit budi. "Urusan sekecil ini belum bisa dibilang merugikan kaisar!"
demikian mereka menyahut. "Bagaimanapun ia adalah
panglima su-atu pasukan dari tiga angkatan perang, mana
boleh kita kurang sopan padanya."
Keruan Liau-in menjadi gusar oleh bantahan itu. "Baik, jika
kalian tidak mau pergi, kalau nanti aku dapat menggeledah
sesuatu bukti dan melapor pada Hongsiang, sedikitnya kalian
akan ikut tersangkut juga," ia mengancam.
Mau tak mau Siang-mo harus berpikir juga bila ancaman itu
betul-betul terjadi. Pat-pi-sin-mo Sat Thian-ji lebih banyak
pengalaman, maka ia tarik lengan baju saudaranya supaya
jangan membantah lebih lanjut.
"Jika memang Po-kok Siansu ada perintah, mana berani
kami tidak menurut," katanya kemudian, "mari silakan Siansu
berangkat dulu, kami segera menyusul."
Dengan cara begini Sat Thian-ji bertujuan melihat gelagat
dulu. Liau-in pun tidak banyak omong lagi, ia pikir, mereka
sudah mau menurut, boleh dibiarkan meronda saja di
belakangnya. Waktu Liau-in mendatangi kamar baca, ketika itu Lian
Keng-hiau sudah menguber Pang Ing ke ujung taman di
sebelah barat-daya. Saking luasnya taman itu, maka mereka
bertiga tidak sampai saling pergok.
Sekalipun sayup-sayup Liau-in mendengar ada suara
beradunya senjata di tempat yang agak jauh di pojok taman,
tapi teringat kesempatan yang baik tidak boleh dilewatkan
begitu saja, maka ia lantas curahkan perhatian seluruhnya
untuk menggeledah kamar. Ketika ia dapatkan pakaian Pang Lin, dalam hati ia tertawai
Lian Keng-hiau yang berani menyembunyikan anak dara itu
untuk bermusuhan dengan diri mereka! Ketika ia ketok-ketok
dinding tembok dengan tongkamya, ia dapatkan pintu rahasia
pada dinding berlapis itu, keruan ia bertambah gusar.
Tengah ia hendak mencari Lian Keng-hiau, tak terduga
mendadak kebentur dengan kedatangan Bu Sing-hua dan Li
Ti. Liau-in pernah kecundang di tangan Bu Sing-hua, musuh
lama bertemu lagi, sudah tentu ia menjadi murka. Begitu ayun
tongkat, segera ia kepruk kepala orang.
Namun Bu Sing-hua sudah siap sedia, ia putar galah
pikulannya, dalam sekejap ia balas menyerang beberapa kali
hingga terjadilah pertarungan sengit.
Pada waktu itu Li Ti mendengar suara anak panah yang
dilepas Lian Keng-hiau menggema di angkasa, lekas mencari
ke tempat datangnya suara, tatkala sampai di ujung baratdaya,
dari jauh ia sudah nampak Lian Keng-hiau sedang
bergebrak dengan seorang anak gadis, waktu ia memburu
tiba, gadis tadi sudah lebih dulu melompat lewat ke sebelah
pagar. Mendadak pula Li Ti keluarkan tipu serangan lihai dari
aliran Pek-hoat Mo-li, dengan sekali menebas ia berhasil
mengupas sebagian rambut Lian Keng-hiau, lalu secara
tergesa-gesa mengejar keluar taman.
Bagi Lian Keng-hiau, begitu bertemu Li Ti, seketika jiwanya
hampir melayang, keruan ia terkejut sekali. Sebenarnya,
biarpun ilmu silat I i Ti sangat lihai, tetapi dibanding Lian
Keng-hiau selisihnya pun tidak banyak. Soalnya Kiam-hoat
ajaran cabang Pek-hoat Mo-li berlawanan dengan Kiam-hoat
cabang lain, aneh lagi ganas tiada bandingannya, Lian Kenghiau
tidak pernah menduga dan siap sedia lebih dulu, dengan
sendirinya ia kecundang oleh pedang Li Ti. Keruan ia menjadi
jeri, ia mengira Li Ti adalah jagoan yang diundang Pang Lin
untuk menggempur dirinya, maka lekas ia berlari kembali ke
kamarnya. Waktu itu Liau-in sedang menempur Bu Sing-hua dengan
sengit. Kedua orang memiliki Lwekang yang tinggi, tiap kali
senjata mereka saling bentur, tentu menerbitkan suara keras
nyaring. Di waktu senjata mereka diputar dengan cepat, maka
terdengarlah sambaran angin menderu sampai tanaman di
dalam taman terguncang semua dan berantakan. Saking
kerasnya tenaga mereka, keduanya terpaksa mundur
setombak lebih ke belakang oleh desakan senjata lawan.
Sudah tentu Lian Keng-hiau tak berani coba-coba maju ke
tengah demi melihat pertempuran mereka yang hebat itu.
Selang tak lama, perlahan-lahan Liau-in tertampak mulai
berada di bawah angin, ketika Bu Sing-hua mengumpulkan
tenaga dalamnya, begitu galah pikulannya diayun, dengan
membawa angin keras galahnya mengemplang di atas tongkat
Liau-in hingga memuncratkan lelatu api, saking keras
hantaman itu hingga genggaman Liau-in kesemutan sampai ia
tergetar mundur dua tindak.
Sebenarnya Bu Sing-hua tiada niat bertempur lebih lama,
maka begitu mendesak mundur musuh, segera ia hendak
angkat kaki. Akan tetapi Liau-in ternyata masih penasaran, matanya
menjadi merah, begitu mundur segera ia menubruk maju lagi,
dengan gerak tipu 'Jong-liong-pah-bwe' atau naga tua
menggoyang buntut, segera tongkatnya menyabet pula.
Namun Bu Sing-hua telah tegakkan galahnya dengan
gerakan 'Sing-hing-tau-coan' atau bintang meluncur matahari
berputar, dengan galahnya ia tangkis tongkat Liau-in.
"Hwesio jahat, apa kau benar-benar tidak kenal
kelihaianku, biar kucabut nyawamu!" bentak Bu Sing-hua.
Habis itu ia keluarkan sebuah kelcnengan, ia komak-kamik
seperti membaca mantera, sedang tangan kiri menggoyang
terus ke-lenengannya tanpa berhenti. Keruan suara genta kecil
yang riuh ramai itu membikin pikiran Liau-in menjadi kacau
dan tak tenteram, daya permainan tongkatnya pun mulai
kendur dan tidak sehebat tadi, sebaliknya galah Bu Sing-hua
makin lama semakin lihai, serangannya juga semakin gencar.
"Lian cilik, apa kau hanya bisa pasang mata saja di
samping?" Liau-in membentak gemas demi nampak Lian
Keng-hiau hanya menonton saja tanpa turun tangan
membantunya. Akan tetapi kedudukan Lian Keng-hiau kini adalah panglima
perang besar, ia tidak sudi turun tangan bersama Liau-in,
apalagi ia lihat pihak musuh terlalu kuat, lebih-lebih ia tak mau
ambil resiko itu. Karena bentakan Liau-in tadi, dalam hati ia
menjadi gusar. "Siang-mo selekasnya akan datang, untuk apa aku ikut
campur?" demikian ia berkata dengan tertawa dingin.
Tengah ia buka suara, betul juga dari arah timur telah
muncul dua bayangan orang mendatangi secepat terbang,
memang tidak salah lagi adalah Siang-mo adanya.
"Lekas kalian maju membantu," seru Lian Keng-hiau.
Di antara kedua saudara Sat ini, Sat Thian-ji lebih bisa
berpikir, tatkala ia melayang maju dan lewat di samping Kenghiau,
sekalian ia membisiki telinganya, "Liau-in tadi telah
menggeledah kamarmu!"
Saking cepatnya ia melayang lewat hingga bisikannya tidak
kentara, ketika mendadak Lian Keng-hiau sadar akan arti
bisikan itu, dua bersaudara maju dari dua jurusan, bersama
Liau-in mereka bertiga mengepung Bu Sing-hua di tengah.
Karena bisikan Sat Thian-ji tadi, Lian Keng-hiau menjadi
tertegun sejenak, ia pun tidak ada hasrat buat menonton
pertarungan itu lebih lama, segera ia berlari kembali ke
kamarnya, maka ia dapatkan seisi kamarnya sudah diobrakabrik
orang. "Hm, sungguh kurangajar kepala keledai itu," demikian ia
pikir dengan gemas, tapi ia lantas membatin pula, "Aku adalah
panglima angkatan perang, jenderal kepercayaan kaisar yang
bertakhta sekarang, mengapa Liau-in diam-diam berani
menggeledah kamarku kalau tiada orang yang menjadi
sandarannya?" Tindak-tanduk In Ceng yang kejam selama ini sudah cukup
diketahui Lian Keng-hiau, karena itulah bila ia pikir kembali
satu per satu apa yang telah terjadi, tak tertahan ia jadi
berkeringat dingin sendiri.
Namun ia lantas membatin pula, "Liau-in ini tidak boleh
dibiarkan tinggal lebih lama di sampingku, In Ceng pernah
memberi titah rahasia padaku agar mencari kesempatan
membasminya, kini kalau aku lakukan dengan lebih cepat,
kiranya tiada halangan! Apalagi kini aku memegang
kekuasaan, dibanding Liau-in kedudukanku jauh lebih penting,
tidak nanti hanya karena aku membunuh Liau-in, lantas In
Ceng berselisihan paham dengan aku."
Lian Keng-hiau berotak tajam dan banyak mempelajari ilmu
siasat militer, pada saat demikian ia sudah dapat menerka
bahwa In Ceng yang telah mengatur sendiri politik adu
dombanya, yaitu supaya dia dan Liau-in saling awas
mengawasi dan saling bentur bila perlu.
Karena itulah keinginan Keng-hiau buat melenyapkan Liauin
semakin menjadi kuat, seorang diri ia mondar-mandir di
kamar untuk mencari daya upaya cara membinasakan Liau-in.
Jika Keng-hiau sedang memeras otak mencari tipudayanya,
adalah Liau-in dan kawan-kawan pun sedang
memeras tenaga mereka bertempur di luar sana.
Walaupun kepandaian Liau-in sedikit di bawah Bu Sing-hua,
tetapi dengan ditambah Siang-mo yang ikut mengeroyok,
segera pula pihaknya berubah menjadi di atas angin.
Sementara itu Sat Thian-ji dengan sepuluh kuku jarinya
yang mirip cakar itu sedang menyerang dengan hebat, ia
keluarkan cara menubruk dan menggempur seperti elang
kucing, ia melompat kian kemari secara gesit dan lincah,
selalu ia serang tempat luang di pihak musuh. Sebaliknya Sat
Thian-toh mengandalkan dirinya kuat perkasa, ia menerjang
dan menghantam secara serabutan, sedang Liau-in pun
memutar tongkat menandingi galah pikulan Bu Sing-hua, tapi
ia bermain cukup hati-hati supayartongkatnya tidak mengenai
kawan. Keruan Bu Sing-hua menjadi gusar bercampur kuatir, ia
gusar karena Liau-in yang namanya sangat tersobor, kini
secara tidak malu mengeroyoknya tiga lawan satu, sedang
kuatirnya disebabkan karena Li Ti yang terpencar tadi sampai
kini masih belum nampak kembali atau kedengaran suaranya,
ia tidak tahu apakah keponakannya itu kena tertawan musuh
atau sudah mengejar keluar taman"
Dalam keadaan gusar dan kuatir itu ia pun tidak ingin
terlibat lebih lama dalam pertempuran, karena ingin
menerjang keluar dari kepungan, segera ia perkencang
senjatanya, begitu cepat dan keras ia mengayun galah hingga
membawa guncangan angin yang keras, saking hebat senjata
yang diputarnya, Siang-mo dipaksa berputar-putar mengikuti
gerakan senjatanya, hanya Liau-in saja yang masih sanggup
melayani galah pikulan Bu Sing-hua, sedang Siang-mo sudah
tak mampu mendesak maju lagi.
Dalam pertarungan sengit itu, Sat Thian-toh menjadi kesal
dan merasa sebal dengan bunyi kelenengan yang dikocok
terus oleh Bu Sing-hua. "Kurangajar, barang apakah itu, pakai model setan segala!"
dampratnya dengan gusar. Ia tidak tahu bahwa membunyikan genta untuk membikin
bingung musuh adalah semacam kepandaian tunggal Bu Singhua.
Bagi kaum ahli, pantangan terbesar adalah tidak dapat
memusatkan perhatian, maka Bu Sing-hua menggunakan
kelenengannya unmk membikin kacau pikiran musuh,
sebaliknya ia sendiri tidak terpengaruh oleh bunyi
kelenengannya sendiri, tanpa kelihatan kekuatannya jadi
bertambah beberapa bagian.
Akan tetapi siasat membunyikan kelenengan untuk
mengacaukan perhatian musuh, faedahnya hanya sekedar
membantu saja, soal kalah menang masih harus bergantung
pada kekuatan dari kedua belah pihak. Liau-in mengeroyok
dengan bantuan Siang-mo, kekuatan yang nyata ini jauh lebih
kuat daripada Bu Sing-hua, oleh sebab itulah meski sudah
ratusan jurus masih belum bisa diputuskan pihak yang kalah
dan menang, namun jelas Liau-in bertiga sudah berada di atas
angin dan lebih kuat! Di antara tiga orang pihak Liau-in, kepandaian Sat Thiantoh
paling rendah, malahan tabiatnya jauh lebih berangasan
dari Liau-in, justru karena ia dibikin bingung oleh bunyi
kelenengan hingga hatinya tak tenteram dan pikiran kacau, ia
menjadi murka dan mencaci maki secara kotor, segera ia
menerjang maju dan hendak merebut kelenengan yang
dipegang Bu Sing-hua. Melihat musuhnya berani coba-coba mendekat, Bu Singhua
tertawa mengejek, begitu galahnya bergerak, dengan tipu
'Ki-lam-hing-kang' atau kapal besar melintang di sungai, lebih
dulu ia menutup jalan serangan Liau-in, berbareng tangan
kirinya yang mencekal kelenengan mendadak dikocok keras di
tepi telinga Sat Thian-toh. '
Karena tidak menduga akan perbuatan lawan, saking
kagetnya oleh bunyi kelenengan yang keras dan mendadak
ini, Sat Thian-toh melompat ke atas, akan tetapi Bu Sing-hua
tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, ia kebut dengan lengan
bajunya, dengan tipu serangan yang lihai 'Liu-sing-hui-siu'
atau bintang meluncur lengan baju terbang, suatu tipu
serangan yang lihai ajaran cabang silat Pho Jing-cu, maka
tubuh Sat Thian-toh yang besar seperti kerbau itu terlempar
pergi sejauh lebih tiga tombak.
Karena serangannya berhasil hingga kepungan musuh
bobol, seketika Bu Sing-hua menerobos keluar kalangan. Sat
Thian-ji lagi sibuk menolong saudaranya, dengan sendirinya
Liau-in tak berani menguber sendirian.
Rupanya pertarungan ini cukup memakan tenaga Liau-in,
selelah Bu Sing-hua kabur, ia tarik kembali tongkatnya,
napasnya masih memburu, ngos-ngosan.
"Siansu tentu telah capai!" terdengar Lian Keng-hiau
menyapa dengan tersenyum dan berdiri di ambang pintu
kamarnya.

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat sikap Lian Keng-hiau yang tenang-tenang saja
seperti tidak pernah terjadi sesuatu, keruan Liau-in menjadi
heran. "Dia sudah masuk ke kamarnya, masakah dia tak
mengetahui bahwa aku telah menggeledah kamarnya itu?"
demikian ia membatin dengan heran. Maka dengan menjinjing
tongkamya, ia lantas mendekati Lian Keng-hiau.
"Po-kok Siansu, silakan masuk!" Keng-hiau berkata pula,
Liau-in pun tidak sungkan, dengan langkah lebar ia lantas
masuk ke kamar baca itu, entah disengaja atau tidak,
tongkatnya mendadak mengetok lantai, maka terdengarlah
suara keras nyaring dari senjatanya itu. Lalu terdengar ia
berkata, "Lian cilik, dimanakah nona yang kau sembunyikan
itu" Kita adalah kenalan lama, mengapa tidak suruh dia keluar
menemui aku?" Keng-hiau tersenyum. "Po-kok Siansu," ia menyahut,
"percuma saja sudah beberapa tahun kau ikut Hongsiang,
masakah kau belum bisa menyelami pikirannya."
"Kenapa?" tanya Liau-in tak mengerti.
"Hongsiang paling suka mencurigai orang, tatkala kita
berangkat, bukankah dia pernah perintahkan kau agar diamdiam
mengawasi diriku?" demikian tiba-tiba Keng-hiau
bertanya secara terus terang.
Keruan Liau-in kaget, matanya membelalak lebar, ia tidak
mengerti darimana orang mendapat tahu hal itu.
"Hal itu sudah lama kuketahui," lanjut Keng-hiau pula,
"justru Hongsiang sendiri yang memberitahu padaku, la
bilang, dengan memberi perintah itu padamu, maksudnya
justru hendak menguji kesetiaanmu?"
Liau-in mengiakan, setengah percaya dan setengah sangsi
atas penuturan ini. "Oleh sebab itu, bukannya Hongsiang hendak mengawasi
aku, justru kaulah yang perlu diawasi!" demikian Keng-hiau
menyambung pula. Kata-kata terakhir ini rada menggoncangkan hati Liau-in,
sekalipun demikian, di mulut ia berkata, "Siao Lian, apakah
kau sengaja hendak memecah belah antara aku dengan
Hongsiang?" "Mana aku berani," sahut Keng-hiau dengan tertawa.
"Cuma saja Siansu tidak perlu kuatir, tidak nanti aku
membusuk-busukkan kau di hadapan Hongsiang."
Dengan perkataannya ini, maksud Keng-hiau sebenarnya
adalah memaksa agar Liau-in mau bekerja sama dan saling
melindungi dengan dia. Sudah tentu karena gertakan ini, Liau-in dibikin ragu-ragu,
ia menunduk dan bungkam, ia masih belum percaya penuh
apa yang dikatakan Lian Keng-hiau. Pikirnya, "Urusan ini
sangat penting, harus kurundingkan dulu dengan Tang Kijoan."
Melihat Liau-in terdiam, kembali Keng-hiau berkata lagi
dengan tertawa, "Anak dara itu memang ada di rumahku,
bahkan sudah setengah tahun tinggal di sini!"
Mendengar orang tiba-tiba berterus-terang, sungguh di luar
dugaan Liau-in. "Inipun atas kemauan Hongsiang!" sambung Keng-hiau
pula. "Kau bohong Lian cilik," tuduh Liau-in tiba-tiba.
"Po-kok Siansu," sahut Keng-hiau, "Umpama kepandaianmu
sudah tiada taranya, tapi soal orang muda, tampaknya kau
masih belum cukup paham."
"Mengapa?" tanya Liau-in.
"Hongsiang bermaksud memasukkan anak dara ini ke
belakang istana dan akan diangkat sebagai Kui-hui (selir
kesayangan), tahukah kau hal ini?" berbalik Keng-hiau
bertanya. "Aku hanya tahu bahwa Cukong (tuanku) memang penujui
dia," sahut Liau-in. "Sedang mengenai apakah anak dara itu
hendak diangkat sebagai Kui-hui atau tidak, itulah aku tidak
tahu. Asal Cukong senang, mengangkat dia sebagai Kui-hui
juga bukan hal yang aneh."
Mendengar kata-kata Liau-in, Lian Keng-hiau terbahakbahak,
"Haha, apa yang Po-kok Siansu katakan tadi terang
kurang tepat! Tampaknya dalam hal ini masih banyak sekali
persoalan yang belum kau pahami!"
Liau-in jadi bingung. "Mengapa kata-kataku kurang tepat?"
ia bertanya. "Mengenai larangan istana bahwa wanita Han tidak boleh
masuk istana, tahukah kau akan hal ini?" tanya Keng-hiau
dengan tertawa. "Ya, itu tidak lebih hanya aturan kosong saja, bukankah
Tang Siau-wan dari angkatan yang lalu juga wanita Han?" ujar
Liau-in. "Betul, memang peraturan itu belakangan telah dibikin
longgar, tetapi wanita Han sekali-kali tidak boleh diangkat
menjadi permaisuri, apakah kau masih tidak mengetahuinya?"
tanya pula Keng-hiau dengan tertawa.
"O, kalau begitu anggap saja aku yang salah omong," sahut
Liau-in kemudian. "Padahal anak dara itu akan diangkat
menjadi apapun tiada sangkut pautnya dengan aku. Aku
hanya tahu Cukong suka dia, sebaliknya kau telah
menyembunyikan dia selama setengah tahun, cara bagaimana
kau hendak menerangkan perbuatanmu itu?"
Kembali Lian Keng-hiau bergelak tertawa, "Jika melulu
karena Hongsiang menginginkan dia, itu masih soal yang
terlalu sederhana, seumpama akan dibuat permainan
sekalipun juga bukan soal. Yang menjadi soal adalah
Hongsiang justru sungguh-sungguh penu-jui dia!" kata Kenghiau.
"Lian cilik, kau jangan pakai perkataan yang berbelit-belit,
bukankah persoalannya sama saja?" sahut Liau-in.
"Haha, justru perbedaannya banyak sekali," kata Kenghiau.
"Bilamana Hongsiang menyukai dia dan hendak
menganugerahi su-atu gelar angkatan padanya, maka dia
harus berasal dari keluarga yang terhormat atau bangsawan,
tahukah kau akan hal ini?"
"O, soal ini aku masih belum tahu," sahut Liau-in heran.
"Kalau orang biasa dalam urusan perjodohan suka bicara
setimpal tidak antara keluarga dan kedudukan, hal ini
tentunya kau tahu bukan?" kata Keng-hiau. "Sekarang
Hongsiang adalah orang terhormat dan paling agung di kolong
langit ini, oleh sebab itu pengangkatan permaisuri dan
pemilihan selir kesayangan harus juga terdiri dari putri-putri
keluarga bangsawan dan terhormat. Jika dari keluarga rakyat
biasa, paling banyak hanya bisa dipilih jadi Kiong-go (dayang
istana), untuk inipun harus melalui seleksi dahulu, dan bila
beruntung si gadis mendapat perhatian dari kaisar dan digauli,
dia harus melahirkan anak laki-laki dahulu baru dapat diangkat
menjadi Kui-hui. Sedang anak dara ini asal-usulnya masih
belum terang, sebaliknya Hongsiang pun tak suka
merendahkan dia menjadi Kiong-go, maka terpaksa harus
dicari jalan lain." "O, kalau begitu sekarang aku mengerti."
"Oleh karena itu Hongsiang telah mengirim dia keluar
istana dan suruh tinggal di rumahku, sekalian menganggap
ayahku sebagai ayah angkatnya!" sambung Keng-hiau.
"Tetapi mengapa Cukong bilang padaku bahwa anak dara
itu minggat sendiri dari istana, malahan menyuruh aku ikut
mencarinya!" kata Liau-in.
"Itulah karena kalian sudah sangat kenal dengan dia, jika
mendadak ia menghilang, untuk menjaga agar kalian tidak
curiga, maka Hongsiang sengaja bilang dia telah minggat,"
ujar Keng-hiau. "Bila kelak dia masuk kembali ke istana, kalian
tentu menyangka dia adalah adik perempuanku, mana
mungkin menduga bahwa dia adalah budak liar itu?"
Mendengar sampai di sini, dalam hati Liau-in sudah percaya
tujuh delapan bagian, oleh karena itu ia lantas bertanya pula,
"Tetapi mengapa ia tinggal dalam kamarmu?"
"Cis," sengaja Keng-hiau mengomel, "Kau ini mengapa
berpikir ke jurusan yang tidak-tidak" Taman ini sudah lama
ditutup, justru baik sekali kalau dia tinggal di sini."
"O, kalau begitu memang sengaja dirahasiakan supaya
tidak diketahui orang luar," kata Liau-in. "Tetapi
"Aku pulang ke sini sengaja menyambangi dia, memangnya
kau sangka aku pun tinggal di sini?" potong Keng-hiau.
Maka tertawalah Liau-in oleh jawaban itu.
"Oleh sebab itu juga, sekali-kali jangan kau beritahu
Hongsiang," melanjutkan Keng-hiau pula. "Jika tidak, karena
kau telah mengetahui rahasianya, bukannya kau mendapat
sesuatu jasa, sebaliknya kau bakal mendapat ganjaran."
Karena gertakan dan ancaman ini, seketika hati Liau-in
kuncup separah, ia lantas angkat tongkatnya dan hendak
pergi. "Lalu anak dara yang bakal menjadi Kui-hui yang terhormat
itu bersembunyi kemana?" tiba-tiba ia buka suara sebelum
melangkah pergi. "Begitu dia melihat kedatanganmu, sejak tadi ia sudah
kabur ketakutan!" sahut Keng-hiau.
Habis itu dengan menggandeng tangan Liau-in, Keng-hiau
mengajaknya keluar dan memanggil Siang-mo, mereka
berempat lalu kembali ke kamar masing-masing.
Dengan tipu dayanya tadi Keng-hiau telah berhasil
menundukkan Liau-in, ia tahu bahwa tabiat Liau-in keras dan
kaku, oleh karena itu lebih dulu ia berusaha merangkulnya,
jika siasatnya ini tidak berhasil lalu ia mendahului
menggertaknya agar Hwesio ini tidak berani main gila.
Begitulah, maka sesudah Keng-hiau berada di kamar, ia
tunggu sesudah Liau-in tidur, secara diam-diam ia memanggil
menghadap Sat Thian-ji. "Dahulu ketika Hongsiang mengundang kalian, beliau
pernah berjanji bila kelak beliau berhasil merebut takhta, kau
akan diangkat menjadi Kok-su (iman negara), tidak nyana kini
kalian malah berkedudukan di bawah orang lain," kata Kenghiau
pada Sat Thian-ji dengan tujuan menghasut.
"Ya, memang kepandaian kami terlalu rendah, apa yang
bisa dikatakan lagi!" sahut Sat Thian-ji. Meski berkata
demikian, tetapi di antara lagu suara Keng-hiau dapat
mengetahui adanya rasa penyesalan.
"Hendaklah Sat-locianpwe tidak perlu merendahkan diri
sendiri," ujar Keng-hiau pula. "Kalau bicara tentang
kepandaian dan tingkatan, sedikitnya kau harus sejajar
dengan Liau-in." Sat Thian-ji hanya bungkam saja.
"Sebenarnya maksud Hongsiang sendiri ingin kau
menggantikan Liau-in!" sambung Keng-hiau.
Berulang-ulang Sat Thian-ji menggeleng kepala.
"Tiada telinga di dinding sebelah, apa yang perlu kau
takuti?" ujar Keng-hiau. "Terus terang saja, oleh karena dia
terlalu sombong dan berlagak karena sedikit jasanya, maka
Hongsiang ingin aku melenyapkan dia!"
Di antara kelima orang yang dikirim In Ceng, yakni Liau-in,
Tang Ki-joan, Siang-mo dan Kam Thian-liong, Liau-in selalu
menganggap dirinya sebagai orang kepercayaan In Ceng, ia
tidak dirangkul oleh Lian Keng-hiau.
Sedang Tang Ki-joan orangnya lebih licik, ia tahu In Ceng
segan pada Lian Keng-hiau dan juga segan pada Liau-in, akan
tetapi dalam keadaan perang, In Ceng harus menggunakan
tenaga Lian Keng-hiau, maka terhadap Keng-hiau ia berusaha
mendekati, sekali-kali tak berani menganggap diri sendiri
sebagai kaum Cianpwe atau orang lebih tua. Adapun Kam
Thian-liong selamanya membuntut pada Tang Ki-joan, ia
sendiri tidak punya pendirian.
Siang-mo sudah lama dirangkul Lian Keng-hiau, oleh sebab
itu setelah berunding sebentar secara rahasia, mereka sudah
mendapatkan tipu akal untuk melenyapkan Liau-in.
Terhadap bencana yang bakal menimpa dirinya itu,
sedikitpun Liau-in ternyata belum tahu, ia masih berselubung
di dalam selimut. Besoknya pagi-pagi sekali, Siang-mo sudah menggedor
pintu dan membangunkan Liau-in. "Kami berdua saudara hari
ini hendak kembali ke induk pasukan, apakah Po-kok Siansu
masih ingin tinggal di sini?" demikian tanya mereka pada Liauin.
"Biarlah aku kembali bersama kalian!" sahut Liau-in, ia
tergesa-gesa kembali karena hendak berunding dengan Tang
Ki-joan. Sementara itu Lian Keng-hiau sejak tadi sudah menyiapkan
perjamuan sebagai ucapan selamat jalan pada Liau-in dan
kawan-kawan Begitu arak dituang, segera Siang-mo
mendahului menghabiskan isi cawan mereka.
Liau-in yang biasanya memang paling doyan air kata-kata,
dalam sekejap mengeringkan tiga cawan.
Tiba-tiba ia lihat air muka Siang-mo agak lain daripada
biasanya, Lian Keng-hiau pun tidak muncul, Liau-in jadi curiga,
ia coba kumpulkan Lwekangnya, dengan memusatkan tenaga
di perut ia berusaha mendesak keluar hawa arak, mendadak ia
rasakan arus tenaganya tidak selancar biasanya, sekonyongkonyong
matanya melotot! Melihat mata orang yang mendelik ini, Siang-mo menjadi
ketakutan hingga muka pucat, sementara itu Liau-in telah
membentak keras, sekali tarik ia jambret Sat Thian-ji.
Sebenarnya kepandaian Siang-mo meski lebih lemah
daripada Liau-in, kalau mereka bersatu padu dan mengeroyok
berbareng, sedikitnya mereka bisa menandingi Liau-in sama
kuat, apalagi jika ditambah dengan Lian Keng-hiau, terang
kemenangan pasti berada dalam tangan mereka.
Tetapi karena jeri atas ketangkasan Liau-in, Lian Keng-hiau
sendiri tak berani keluar, sedang Siang-mo berdua selama ini
memang berada di bawah pengaruh kewibawaan Liau-in,
mereka sangat keder padanya. Lebih-lebih Sat Thian-toh,
pernah ia coba adu tenaga dengan Liau-in, tapi ditundukkan
oleh lawannya ini, bahkan tulang tangannya hampir terpuntir
patah. Sat Thian-toh adalah orang yang berwatak polos, maka
sejak itu ia jeri pada Liau-in.
Dalam arak yang mereka minum tadi telah dicampuri obat
racun keluaran pulau Ular, mereka berdua saudara sudah
minum obat pemunahnya lebih dulu, karena itu walaupun
minum sepuasnya tidak bakal terkena racun.
Dengan begitu Lian Keng-hiau telah melaksanakan tipu
muslihatnya, ia suruh Siang-mo mengajak minum Liau-in,
semula ia diduga Liau-in pasti mampus keracunan, tak
tersangka Lwekang Liau-in sudah terlatih hebat, meski
beruntun ia habiskan tiga cawan arak berbisa, namun
wajahnya tetap tidak berubah.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karenanya Siang-mo menjadi gugup oleh ketangkasan
orang, karena itu meski kepandaian Sat Thian-ji cukup tinggi,
ia kena dicekal Liau-in dengan sekali gerak saja.
"Lekas serahkan obat penawarnya!" bentak Liau-in begitu
berhasil menawan Sat Thian-ji, ia tekan urat nadinya dengan
tiga jari. "Tiada sangkut pautnya dengan kami," sahut Sat Thian-ji
dengan gugup. Akan tetapi Liau-in telah kencangkan ketiga jarinya dan
pencet lebih keras tangannya.
"Obat penawar ada di dalam kantongku," sahut Sat Thian-ji
akhirnya. Tanpa ayal segera Liau-in keluarkan obat penawar dari
kantong tawanannya dan dijejalkan ke mulut. Dalam pada itu
dari belakang pintu angin secara beramai dan berteriak telah
menyerbu keluar jago-jago dari keluarga Lian.
Segera Liau-in lemparkan Sat Thian-ji, ia sambar
tongkatnya dan diputar secepat angin, ia pukul ke timur dan
menyabet ke barat dengan hebat, hingga pintu angin, meja
kursi dihantam remuk be-rantakan.
"Sat Thian-ji lekas maju!" terdengar teriakan Lian Kenghiau
yang menongolkan kepala dari loteng.
Mau tidak mau Sat Thian-ji melompat bangun, bersama Sat
Thian-toh segera melawan dengan mati-matian.
Dalam pada itu mendadak Liau-in ayun tongkatnya,
senjatanya menghantam pada pilar batu, seketika pilar batu
yang kasar bulat itu dihantam patah hingga dinding tembok
ambruk dan rumah runtuh. Di antara pecahan genteng dan batu yang berhamburan
dan debu beterbangan, Siang-mo masih sempat
mengundurkan diri dengan cepat, sedang jago-jago keluarga
Lian yang tak sempat menyelamatkan diri, banyak yang
tertindih hingga tangan putus dan kaki patah bergelimpangan
memenuhi lantai. Sementara itu dengan memutar tongkat, Liau-in membobol
kepungan orang dan menerjang ke ruangan belakang dengan
maksud mengadu jiwa dengan Lian Keng-hiau yang sementara
itu masih menongol di atas loteng!
Tetapi dengan cepat Siang-mo sudah keburu menubruk
maju lagi, sedang pemanah yang sudah disiapkan oleh Lian
Keng-hiau pun telah berjaga menantikan segala kemungkinan.
Tidak antara lama, tiba-tiba Liau-in merasakan napasnya
sesak dan jantung memukul keras, tenggorokan terasa kering.
Walaupun ia sudah minum obat penawar yang didapat dari
Sat Thian-toh, namun belum sempat mengatur pernapasan
untuk menjalankan tenaga dalamnya, tapi segera ia harus
menghadapi pertarungan sengit, karenanya obat penawar itu
belum bisa mengatasi bekerjanya racun hingga perlahan-lahan
racunnya menjalar. Liau-in insaf tidak sanggup bertempur lebih lama lagi, maka
dengan sekali membalik tubuh ia ayun tongkamya terus
menerjang keluar. Tidak ayal lagi pemanah yang sudah siap tadi, seketika
menghamburkan anak panah, akan tetapi sekalipun anak
panah beterbangan, mana bisa mengenai Liau-in, tidak lama
ia sudah berhasil menerjang sampai di pintu gerbang.
"Lian Keng-hiau, kau keparat, suatu waktu jika kau
ketumbuk di tanganku, dengan tongkatku nanti kupatahkan
kaki anjingmu!" demikian saking gemasnya Lian-in berteriak
mencaci-maki. Habis itu dengan sekali depak ia bikin pintu gerbang rumah
keluarga Lian terpentang, menyusul tongkatnya bekerja pula,
ia hancur leburkan dua buah singa batu yang berada di kanankiri
luar pintu, kemudian bertindak pergi dengan perasaan
tetap penasaran. Setelah Liau-in berlalu, Lian Keng-hiau memeriksa keadaan
rumahnya, ia lihat anak panah berserakan memenuhi lantai,
tanpa tertahan ia merasa keder atas ketangkasan Liau-in.
"Bagaimana baiknya, ia telah berhasil lolos?" tanya Siangmo
berbareng dengan kuatir. "Jangan kuatir, segera aku tulis laporan pada Hongsiang,
tidak nanti Hongsiang percaya pada perkataannya," ujar Lian
Keng-hiau. "Aku akan perintahkan Ki Pi-sia dan Tang Ki-joan
menangkap dia, rasanya tidak mungkin dia bisa lolos dari
telapak tanganku." Begitulah, setelah Liau-in menerjang keluar rumah keluarga
Lian, semakin dipikir ia semakin gemas, lebih dulu ia
sembunyikan diri pada sebuah bukit terdekat, ia duduk
semedi, dengan demikian ia dapat memaksa racun yang
berada dalam badannya keluar semua dengan ilmu
Lwekangnya yang tinggi. "Kalau seorang diri melawan orang banyak untuk mencari
keparat itu buat menuntut balas, seketika rasanya tidak bakal
berhasil, lebih baik aku kembali ke kotaraja melapor pada
Hongsiang saja, biar pangkat panglima she Lian dipecat dulu,
kemudian baru aku cari dia buat bikin perhitungan," demikian
Liau-in berpikir. Ia mengira In Ceng pasti akan membela dirinya, maka
dengan hati gemas menujulah dia kembali ke Pakkhia.
Kembali mengenai Pang Lin, sejak malam itu ia lolos dan
kabur melalui pintu rahasia dinding berlapis, ia pun menuju ke
jurusan utara, pada hari kedua sampailah dia di Sin-an,
sepanjang jalan ia lihat banyak orang memperhatikan dirinya,
semua mengincar padanya. "Memang aku hanya seorang gadis dan berjalan sendiri,
pantas kalau menai \k perhatian orang," pikirnya.
Ia tidak tahu bahwa yang menarik perhatian orang adalah
karena rupanya yang cantik.
"Liau-in dan kawan-kawan kini sudah keluar semua,
tentunya mereka tidak akan melepaskan diriku, ada baiknya
kalau aku menyamar saja," demikian ia berpikir lagi.
Waktu itu ia sampai di Sin-an, sebuah kota kecil, tiba-tiba ia
dengar di belakangnya ada suara kelenengan kuda, ketika
Pang Lin menoleh, ia lihat penunggang kuda itu adalah
seorang sastrawan yang berusia setengah umur, mukanya
putih bersih, perawakannya pendek, dandanannya agak
perlente, bajunya yang terbikin dari kain sutra bersulam
menyolok pandangan mata. Rupanya seorang keturunan
bangsawan. "He, pakaian orang ini sangat bagus, biar malam nanti aku
mencurinya buat menyamar," Pang Lin membatin dalam hati.
Sementara ia lihat orang itu telah masuk ke sebuah
penginapan, maka Pang Lin pun ikut memasuki rumah
penginapan itu. Melihat kedatangan tamu, dengan sendirinya pengurus
penginapan melakukan penyambutan. "Apa kalian perlu
sebuah atau dua buah kamar, Toaya?" tanyanya pada
sastrawan tadi. "Apa katamu?" sahut sastrawan itu dengan bingung.
Waktu ia menoleh, ia lihat seorang gadis cantik ikut di
belakangnya, maka tahulah dia bahwa si pengurus
penginapan telah salah paham.
"Aku hanya sendirian, cara bagamana bisa tinggal di dua
kamar?" dengan tertawa ia menjawab.
"O, saya mengira nona ini adalah kawan tuan," kata
pengurus penginapan dengan tertawa juga.
"Cis!" Pang Lin hendak mendamprat. Tetapi segera si
pengurus penginapan minta maaf.
"Hendaklah nona jangan marah, karena suasana tidak
aman, jarang sekali ada kaum wanita yang menginap di sini
sendirian," katanya.
Sementara itu si sastrawan tadi sudah minta disediakan
kamar kelas satu, Pang Lin sendiri pun minta disediakan
sebuah. Atas permintaan orang, pengurus penginapan itu berbalik
mengerut kening, ia menjadi sangsi sebab seorang perempuan
yang sendirian mengembara masih dapat dimengerti, tetapi
kini ia lihat Pang Lin berdandan sebagai Siocia keluarga
hartawan, mau tak mau si pengurus penginapan jadi curiga, ia
tak berani menerima orang tinggal di penginapannya.
"Kenapa" Apa kau sangka aku tak mampu bayar?"
demikian omel Pang Lin rada naik darah. Berbareng ia rogoh
keluar dua keping uang emas terus dibanting di atas meja.
"Mana aku berani menolak," lekas pengurus itu merendah
dengan muka tertawa. "Cuma tempatku ini terlalu sederhana
dan kotor, aku hanya kuatir kalau nona mencelanya nanti."
Habis itu lekas ia sediakan sebuah kamar bagus untuk Pang
Lin. Menjelang tengah malam, diam-diam Pang Lin bangun,
dengan perlahan ia melompat ke atas rumah, ia melayang
lewat ke kamar sebelah, ia tempelkan kuping buat
mendengarkan, tetapi ia dapatkan dalam kamar keadaan sepi.
"Sastrawan ini toh bukan orang dari kalangan Kangouw,
mengapa berlaku begini hati-hati," demikian ia menertawai diri
sendiri. Segera ia patahkan ruji jendela, sekali loncat ia melayang
masuk ke dalam kamar orang, perlahan-lahan ia mendekati
pembaringan terus mengambil pakaian sutra bersulam si
sastrawan itu. Tetapi pada saat itu juga, tiba-tiba orang yang rebah di
pembaringan tertawa dingin dan berbareng melompat bangun,
sekali ulur tangan, seketika pergelangan tangan Pang Lin
dicekal! Kejadian ini di luar dugaan Pang Lin hingga gadis ini rada
terkejut, namun ia cukup sebat, dengan sedikit memuntir dan
menarik, ia gunakan gerakan 'Hi-hu-kay-bang' atau nelayan
melepas jala, segera ia dapat melepaskan tangannya dari
cekalan orang. Sastrawan itu bersuara heran karena dengan gampang
Pang Lin bisa lepaskan diri dari cekalannya, menyusul jarinya
mengulur terus menutuk, dalam kegelapan ia seperti bermata
kucing saja, tempat yang dia tutuk ternyata mengarah 'Thiancu-
hiat' yang berbahaya di belakang leher.
Tidak usah disangsikan lagi, serangan sastrawan di malam
gelap secara tepat ini, terang adalah seorang ahli silat, jika
pada setengah tahun berselang dapat dipastikan Pang Lin
akan roboh di-tutuk. Tetapi kini kepandaiannya sudah lain,
Sastrawan itu menyerang secepat kilat, tetapi tempat dimana
jarinya mengenai, tiba-tiba terasa empuk lunak, sekonyongkonyong
jarinya meleset dan melenceng ke arah lain.
Dalam pada itu Pang Lin telah baliki telapak tangannya
hingga saling beradu tangan dengan sastrawan itu, Pang Lin
terdorong dan hampir saja jatuh terjerumus, sebaliknya orang
itu rada terkejut juga karena kepandaian Pang Lin yang di luar
dugaannya, ia tergoncang juga oleh tenaga Pang Lin, syukur
dengan cepat ia bisa melayang pergi dengan meminjam
tenaga pukulan si nona ini, terus melompat lewat meja yang
berada di tengah kamar. Begitu tancapkan kaki di dekat pintu, segera ia nyalakan
api dengan batu apinya. "Ha, memang aku sudah menduga kau pasti akan datang,"
dengan tersenyum sastrawan itu berkata. "Marilah duduk,
silakan duduk, kita boleh bicara baik-baik dan jangan
mengejutkan tetamu lain."
Karena perbuatannya sudah ketahuan orang, keruan Pang
Lin serba salah dan rikuh, terpaksa ia menurut dan duduk.
"Dengan wajahmu yang rupawan dan ilmu silatmu yang
tinggi, mengapa kau menjadi pencuri?" tanya sastrawan itu
dengan tersenyum sesudah menyulut pelita yang ada di atas
meja. "Darimana kau mengetahui aku akan mencuri barangmu?"
berbalik Pang Lin bertanya.
"Sejak bertemu, kau lantas menguntit terus di belakangku,
kalau hal sekecil ini saja aku tak bisa menduga, apakah aku
masih bisa berkelana di Kangouw?" sahut sastrawan itu
dengan tertawa. "Ha, cuma kau salah lihat, walau dandananku
perlente, ini hanya watakku saja yang memang suka demikian,
milikku sebenarnya tiada harganya buat kau curi. Tetapi jika
kau kekurangan uang, aku nanti boleh berikan serenteng uang
emas padamu, lebih banyak dari itu aku tidak punya."
"Siapa ingin emasmu?" ujar Pang Lin tertawa. ?ambil
berkata ia membuka leher bajunya, ia perlihatkan kalung yang
dipakainya dengan mutiaranya yang gemerlapan menyilaukan
mata. Ini adalah barang berharga dari istana yang dia pakai, tiap
mutiara pada kalung yang dipakainya itu adalah sama
besarnya, bundar lagi besar. Hanya kalung mutiara ini saja
harganya sudah lebih dari ratusan tahil emas.
Keruan sastrawan itu menjadi kaget, sekalipun ia sudah
banyak pengalaman, namun ia bingung juga atas diri Pang
Lin. Setelah berpikir lagi, sekonyong-konyong ia memegang
pedangnya. "Kalau bukan pendekar wanita dari kalangan hitam
(maksudnya golongan bandit) tentunya kau adalah jagoan dari
kerajaan" Maafkan, maaf kalau aku kurang hormat?" demikian
dengan suara ketus ia menegur.
"Kalangan hitam atau kalangan putih apa segala, aku tidak
mengerti semua itu!" sahut Pang Lin dengan tertawa geli.
"Kalau begitu, apa maksud kedatanganmu ini?" tanya si
sastrawan pula. "Bajumu ini berapa harganya?" tanya Pang Lin. "Boleh kau
jual saja padaku!" Sastrawan itu menjadi bingung oleh kata-kata itu, ia tidak
mengerti apa maksud orang, ia pun tidak paham apa gadis ini
sedang bergurau atau sungguh-sungguh.
"Aku akan beli pakaianmu dengan kalung mutiaraku ini,
tentunya kau tidak bakal rugi bukan?" tanya Pang Lin pula.
Tak terduga, sastrawan itu menjadi gusar. "Kau sengaja
datang buat mempermainkan diriku bukan?" dampratnya tibatiba.
"Siapa ada tempo bermain dengan kau?" sahut Pang Lin.
Sastrawan itu bertambah heran, ia lihat anak dara ini
berkata dengan sikap tidak seperti bergurau.
"Tidak menjadi soal kuberikan cuma-cuma seperangkat
pakaianku," katanya kemudian. "Tetapi numpang tanya
siapakah guru dan nama nona yang terhormat" Bolehkah
menerangkan?" Atas pertanyaan orang, kembali Pang Lin tertawa geli.
"Kita hanya kebetulan bertemu di perjalanan, buat apa
mencari tahu diri orang," sahurnya, "lagi pula guruku terlalu
banyak, mana bisa aku terangkan satu per satu padamu?"


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu untuk apa kau inginkan pakaian lelaki?" tanya si
sastrawan. '"Kau mau kasih atau tidak, kalau tidak biar aku lantas
pergi," kata Pang Lin tak sabar lagi.
Sastrawan itu cukup ternama di kalangan Bu-lim, tapi ia
tidak bisa meraba asal-usul si nona, tentu dalam hati ia masih
penasaran. "Baiklah, jika kau mampu boleh kau coba pergi," sahurnya
dengan tersenyum sambil berdiri.
Nampak orang siap sedia manghadapi kekerasan, Pang Lin
berpikir, "Jika harus berkelahi, tidak nanti aku jeri padamu,
tetapi kalau mengejutkan tamu lain, rasanya kurang baik."
Maka berkatalah dia, "Sebenarnya tiada halangannya
kujawab pertanyaanmu, tetapi tidak boleh kau sembarangan
menyiarkan di luaran."
"Sudah tentu," jawab si sastrawan"
"Nah, dengarkan," tutur Pang Lin, "ayahku adalah bandit
besar, ia paksa aku menikah dengan orang yang aku tidak
suka, oleh karena itu aku melarikan diri, tapi ayahku banyak
mempunyai mata-mata di luar, aku kuatir dipergoki, maka aku
ingin menyamar buat menghindarkan incaran mereka."
Sudah tentu apa yang dituturkan Pang Lin bohong belaka,
tetapi cerita yang dikarang ini menjadi mirip benar dengan
urusan Hi Yang. Maka dengan penuh perhatian sastrawan itu mengamatamati
padanya. "Berapa umurmu tahun ini?" tiba-tiba ia
bertanya. "Kau ini sungguh tidak punya aturan, mengapa bertanya
umur orang segala?" sahut Pang Lin kurang senang.
Sastrawan itu bergelak tertawa oleh jawabannya. "Betul
kau, betul, baiklah aku tidak tanya lagi," katanya kemudian.
"Dan asal-usulmu pun tidak perlu kau beritahukan padaku.
Asal kita sama tahu dalam hati saja, bolehlah."
"Kau mau jual pakaian padaku tidak?" ulang Pang Lin akan
maksudnya. "Tidak perlu beli, akan kuberikan padamu dengan gratis,"
sahut sastrawan itu. Keruan Pang Lin sangat girang, ia menghaturkan terima
kasih. "Meski kepandaianku tidak seberapa, tetapi di kalangan
Kang-ouw juga tidak sedikit sobat andaiku," terdengar
sastrawan berkata lagi. "Besok kau berangkat bersama aku
saja. Aku tanggung semua orang dari utara maupun selatan
sungai atau dari kalangan hitam, siapa saja tiada yang berani
mengganggu kau." Dalam hati Pang Lin pikir besar amat mulut sastrawan ini,
boleh juga aku melihat tokoh macam apakah dia ini. Karena
itu, ia lantas terima tawaran itu dengan tersenyum.
Kiranya sastrawan ini bukan lain adalah Sute Pek Thaykoan,
yaitu murid keenam Tok-pi Sin-ni yang bernama Li
Gwan. Li Gwan adalah keturunan bangsawan di Ouw-lam, selama
sepuluh tahun belakangan ini belum pernah ia menjelajah
keluar kampung halamannya. Belakangan ia menerima surat
undangan Kam Hong-ti yang meminta dia berziarah ke makam
gurunya di Bin-san pada hari Ching-beng. Ditegaskan pula
oleh Kam Hong-ti bahwa kali ini adalah pertemuan besar bagi
sesama saudara perguruan, tidak boleh tidak datang. Karena
itulah Li Gwan lantas berangkat ke utara seorang diri.
Meski sudah lama Li Gwan tidak berkelana keluar kampung
halamannya, tetapi di antara sesama saudara perguruan
masih sering berhubungan dan saling kirim kabar. Oleh
karenanya terhadap urusan Pek Thay-koan ia pun pernah
mendengar, maka ketika mendengar perkataan Pang Lin tadi,
ia sangsi gadis ini apa bukan Hi Yang adanya.
Tetapi jika melihat umur Pang Lin tidak lebih baru belasan
tahun saja, sedang peristiwa perjodohan Pek Thay-koan sudah
ramai dibicarakan orang dan tersebar di Kangouw pada limaenam
tahun yang lalu. Dengan dasar ini, tampaknya Hi Yang
tidak mungkin berumur begini muda.
Tetapi bila ia pikir lagi bahwa kaum wanita pintar bersolek,
kabarnya Pat-moay Lu Si-nio juga senantiasa beroman seperti
gadis yang berumur dua puluhan saja meski usia yang
sebenarnya sudah lebih tiga puluh. Kalau begitu, jika Hi Yang
mendapat ajaran dari orang kosen dan dapat meremajakan
wajahnya, rasanya hal inipun bukan mustahil.
"Tidak peduli dia Hi Yang atau bukan, biar sementara aku
berjalan bersama dia, besok lusa sudah bisa sampai di Binsan,
asal di sana bertemu Ciu-ji-ko atau Kam-chit-te, pasti
mereka akan dapat mengenalnya," demikian katanya dalam
hati. Besok paginya, Pang Lin menyamar sebagai lelaki, ia beli
seekor kuda, lantas berangkat mengikuti Li Gwan.
Di tengah jalan kedua orang sama coba berusaha
memancing pihak lain, tetapi Pang Lin cukup licin dan cerdik,
mana bisa Li Gwan berhasil dengan pancingannya.
Setelah perjalanan dilanjutkan lagi, kemudian mereka turun
dari kuda dan mengaso sambil mengobrol di bawah sebuah
pohon yang rindang. "Wanita yang tinggi ilmu silatnya di kalangan Kangouw
terlalu jarang sekali, boleh dikatakan bisa dihitung dengan jari,
kecuali Lu Si-nio, harus disebut pula Hi Yang," demikian Li
Gwan mulai buka suara dengan tidak pernah melepaskan
usahanya memancing perkataan orang.
Namun Pang Lin hanya tersenyum saja, dalam hati ia tidak
setuju dengan pendapat orang.
"Ilmu silatmu pun terhitung kelas tinggi," kata Li Gwan
pula. "Menurut penglihatanku, sekalipun kau belum bisa
menandingi Lu Si-nio, tetapi dibandingkan Hi Yang terang
tidak kalah." Kembali Pang Lin memperlihatkan senyumannya. "Apakah
kau pernah melihat mereka berdua?" tanyanya.
Li Gwan jadi tercengang oleh pertanyaan yang mendadak
ini. "Belum pernah," sahutnya kemudian. Apa yang dikatakan
ini memang sungguh-sungguh.
"Kalau kau belum pernah melihat mereka, darimana kau
mengetahui tinggi rendahnya ilmu silat mereka dan
sembarangan membuat bandingan?" tanya Pang Lin.
Li Gwan gelagapan, tadinya ia hanya bermaksud
memancing rahasia orang, tak tahunya ia sendiri tak bisa
menjawab. "Meski belum pernah melihatnya, tetapi menurut cerita
kawan kalangan Kangouw, bisa aku ketahui gambarannya,"
sahutnya kemudian dengan tertawa paksa. "Dan kau sendiri,
apa kau pernah melihat mereka?"
"Aku malah betul-betul sudah pernah melihat mereka," kata
Pang Lin dengan tertawa. "Lu Si-nio punya kepandaian betulbetul
jarang ada bandingannya. Tetapi Hi Yang meski mahir
ilmu silat, namun tidak tertampak sesuatu yang luar biasa."
Apa yang dikatakan Pang Lin juga betul, sebab tahun yang
lalu ketika berada di 'Sam-kam-in-goat' di Se-ouw, kota
Hangciu, ia sendiri menyaksikan pertarungan antara Liau-in di
satu pihak dengan Lu Si-nio dan Hi Yang di lain pihak.
Mendengar Pang Lin banyak memuji Lu Si-nio sebaliknya
menilai rendah Hi Yang, Li Gwan jadi lebih mencurigai si gadis
ini adalah Hi Yang sendiri.
Dan selagi ia hendak memancing dengan kata-kata lain,
tiba-tiba ia dengar Pang Lin berkata, "Lekas berangkat, hayo
lekas!" Ketika Li Gwan mengangkat kepala memandang jauh, maka
tertampak olehnya ada seorang Hwesio gendut dengan
menjinjing tongkat sedang mendatangi dengan langkah lebar,
ia kenal Hwesio ini bukan lain adalah Toasuheng atau kakak
perguruan pertama, Liau-in Hwesio, ia jadi terkejut.
Selagi ia hendak angkat langkah menuruti anjuran Pang
Lin, tiba-tiba Liau-in sudah meneriaki dia. "Liok-te (adik
keenam), tunggu dulu, kita sudah hampir sepuluh tahun tidak
pernah berjumpa!" Karena teriakan ini, Li Gwan tak jadi melangkah pergi.
Melihat Li Gwan tidak bergerak, Pang Lin berpikir, jika aku
sendiri angkat kaki, tentu segera dapat diketahui oleh Liau-in
akan diriku yang sebenarnya. Ilmu silatnya sangat tinggi, bila
ia keprak kudanya mengejar aku, pasti aku tidak bisa lolos.
Karena pikiran ini, ia lantas berlagak tenang, dengan
seenaknya saja ia bersandar pada pohon di pinggir jalan.
Sedang dalam hati ia memikirkan daya upaya untuk
meloloskan diri dari cengkeraman musuh.
Di pihak lain, walau sudah hampir sepuluh tahun Li Gwan
tidak pernah berjumpa dengan Liau-in, tetapi dari saudara
seperguruan yang lain ia sudah mengetahui tindak-tanduk
Liau-in selama ini, semua kejahatan yang telah dilakukan
Suhengnya yang paling tua ini telah ia ketahui dengan jelas.
Karena itu, jika kini ia sendiri harus menghadapi sang Suheng,
diam-diam ia mengeluh juga.
"Sute, baik-baikkah kau" Siapakah kawanmu ini?"
terdengar Liau-in menyapa lagi.
Ilmu silat Li Gwan seperti juga enam saudara di
perguruannya yang lain, sebagian besar adalah Liau-in yang
mewakilkan guru mereka mengajarkan padanya. Karena itu
sekalipun Li Gwan tahu sang Suheng telah berkkhianat dan
tersesat, tidak urung ia memberi hormat juga sambil bertanya
keselamatannya. "Berkat doa restu Suheng, selama ini aku baik sekali,"
sahutnya kemudian. "Kawanku ini baru kenal di perjalanan."
Atas jawaban Sutenya ini, Liau in hanya mendengus saja,
sedang pandangan matanya terus menatap Pang Lin dalam
dandanannya sebagai kaum pria.
"Kabarnya Suheng paling belakang ini sangat makmur,"
demikian Li Gwan buka suara lagi.
"Em, karena itu kau yang menjadi Sute lantas kurang
senang?" sahut Liau-in.
Li Gwan tak berani menjawab. Sedang Liau-in masih terus
memandang Pang Lin tanpa berkesip, melihat sikap si nona,
diam-diam Li Gwan sesalkan orang tidak kenal sopan-santun
kalangan Kangouw, maka ia lantas mendekati anak dara itu.
"Ini adalah Suhengku Liau-in, kau boleh berkenalan dengan
dia," demikian ia terangkan pada Pang Lin.
Di luar dugaan, bukannya Pang Lin menurut, sebagai
jawaban ia ayun tangannya, mendadak tiga belati menyambar
ke depan, yang sebuah mengarah kuda tunggangan Li Gwan
dan dua belati lainnya mengincar tubuh Li Gwan.
Keruan Li Gwan terkejut sekali, dalam keadaan tidak
berjaga, sekalipun masih sempat menghindarkan sebuah
belati, tetapi sebuah yang lain menancap di pundak kirinya,
tanpa ampun ia terguling dan tak sadarkan diri.
Pada saat itu juga secepat terbang Pang Lin lantas cemplak
kudanya, dengan belatinya ia tusuk pantat kuda, saking
sakitnya karena tusukan itu, dengan mengeluarkan suara
lengkingan keras, kuda itu segera membedal ke depan laksana
terbang! Rupanya demi mendengar Li Gwan dan Liau-in saling sebut
Suheng dan Sute, dalam hati Pang Lin pikir, "Jika aku tidak
lantas kabur, sebentar lagi kalau mereka berdua berbicara
lebih terang, pasti diriku bakal celaka!"
Meski usia Pang Lin masih muda, tapi tipu dayanya cukup
banyak, ia mengerti ilmu silat Liau-in sangat tinggi, Hui-to
atau belati terbang pasti tidak akan bisa mengenainya, maka
ia lantas ganti haluan dan mengincar Li Gwan. Ia sudah
menduga dengan tindakan ini, sesudah Li Gwan terluka,
karena harus menolong Sutenya lebih dulu, tentu Liau-in tidak
sempat mengejar dirinya. Apa yang Pang Lin perhitungkan ternyata tidak salah, tetapi
karena itu pula Li Gwan yang tidak berdosa menjadi sasaran
dan terluka. Melihat Pang Lin sudah kabur dengan mencemplak kuda,
untuk memburu jelas tak menyandak lagi. Betul juga Liau-in
lantas menolong Li Gwan dahulu.
Terhadap pisau berbisa Pang Lin, Liau-in sudah cukup kenal
dan tahu asal-usulnya, meski dalam kantong ia tak membekal
obal pemunah yang tepat untuk racun pisau terbang orang,
tapi segera ia mengorek luka Li Gwan untuk mencegah
menjalarnya racun, kemudian dengan obat luka dari istana
yang mustajab ia bubuhkan ke luka Sutenya itu, dengan
demikian keselamatan Li Gwan terjamin.
Sebenarnya bukannya Liau-in lebih sayang pada Sutenya
ini, maka ia mau mengobati lukanya, tapi ia berniat memaksa
sang Sute untuk menuruti perintahnya dan ikut dia ke
kotaraja. Memang sejak Liau-in menyerah pada In Ceng, ia merasa
namanya banyak tercemar dan kehilangan muka karena di
antara adik seperguruannya tiada seorang pun yang mau
menurut padanya. Nama Li Gwan di antara Kanglam-pat-hiap meski belum
bisa memadai nama Kam Hong-ti dan Pek Thay-koan yang
cemerlang, namun bila ia dapat dipaksa untuk menurut,
sedikitnya Liau-in bisa memulihkan wibawanya. Dengan begini
ia takkan ditertawai kawan-kawan kalangan Kangouw bahwa
dia sebagai kepala dari 'Kanglam-pat-hiap' ternyata tiada
seorang pun Sutenya mau tunduk padanya.
Ketika Liau-in melepas baju luar Li Gwan untuk mengorek
daging busuk buat menghilangkan racun, tiba-tiba tangannya
menyentuh sesuatu, hatinya jadi tergerak, ia coba
menggagapi barang-barang dalam baju Li Gwan, alhasil dari
baju Sutenya ini ia dapat menggeledah sebutir Lak-wan atau
lilin sebesar biji kelengkeng.
Liau-in sudah banyak pengalaman, tanpa ayal segera ia
remas biji lilin itu, ternyata di dalamnya terdapat secarik
kertas, waktu ia ambil dan dibacanya, maka tahulah dia,
kiranya itu adalah surat rahasia yang dikirim oleh Can Cing
dari Ouwlam dan ditujukan pada Gak Ciong-ki.
Can Cing masih terhitung sahabat baik ayah Gak Ciong-ki,
suratnya ini bermaksud menghasut agar setelah Gak Ciong-ki
dapat memperoleh kekuasaan militer hendaklah lantas
memberontak melawan kerajaan Boan-jing. Dalam surat ini
malah Can Cing sengaja menonjolkan leluhur pujaan keluarga
she Gak, yaitu Gak Hui, jenderal pembela tanah air dan
pencinta bangsa yang melawan penjajahan bangsa Nukhin
dari negeri Khin atau Kim pada zaman dinasti Song. Gak
Ciong-ki dinasehati pula agar suka mencontoh leluhurnya


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melawan penjajah serta penindasan bangsa asing.
Begitulah, sungguhpun tidak banyak Liau-in mengenal
huruf, tetapi maksud sekedarnya isi surat itu dapat ia pahami.
"Hm, tidak nyana kaum Kongcu ini bisa melakukan urusan
begini juga," diam-diam ia tertawa dingin. Ketika ia berpikir
lagi bahwa Gak Ciong-ki adalah wakil Lian Keng-hiau, dengan
surai rahasia ini sebagai bukti, tentu Lian Keng-hiau bisa juga
dibikin terjungkal kedudukannya.
Ilmu Ulat Sutera 16 Giring Giring Perak Karya Makmur Hendrik Tiga Naga Sakti 9
^