Pencarian

Tiga Dara Pendekar 16

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 16


juga, "waktu kami lewat Engyang di daerah Holam, karena
Hian-hong Toako ada keperluan, maka kami bertiga lantas
disuruh jalan lebih dulu, baru saja kami sampai di Hou-laukoan,
kami kepergok budak cilik itu dalam perjalanan dengan
seorang pemuda." "Budak cilik yang manakah?" tanya Teng Hiau-lan.
"Siapa lagi, budak cilik yang pernah dipelihara In Ceng itu,"
sahut Tan Goan-pa dengan gemas. "Dulu waktu kita obrakabrik
istana Si-hongcu, kita pernah berhadapan dengan dia,
kali ini kembali kepergok dalam perjalanan, aku tertarik oleh
rupanya yang menyenangkan, aku menyapa padanya, siapa
duga dia lantas hamburkan tiga buah pisau padaku, karena
jaraknya terlalu dekat, untuk menghindar sudah tidak keburu
lagi, terpaksa aku menggunakan lenganku buat menangkis.
Tak terduga kepandaian anak dara itu sudah maju pesat, satu
pisau di antaranya menggores lenganku, dalam sekejap luka
lenganku menjadi kaku dan hitam, maka tahulah aku bahwa
pisau yang dipakainya itu berbisa!"
"O, kalau begitu dia tentu Pang Lin!" seru Hiau-lan.
"Dan pemuda yang bersama dia itu bukankah tampan dan
berperawakan jangkung, menggunakan pedang, Kiam-hoatnya
pun sangat menakjubkan?" Lu Si-nio bertanya juga.
"Betul," sahut Liu Sian-gai.
"Kalau begitu anak dara ini bukan Pang Lin, tetapi dia
murid terakhir le-locianpwe di Thian-san," ujar Lu Si-nio.
"Tidak, gerak tangan Pang Ing tidak begitu ganas, lagi pula
ia tidak biasa menggunakan Hui-to (pisau terbang) berbisa,"
kata Teng Hiau-lan. "Sewaktu masih di Thian-san, aku sering
melihat dia, hati bocah itu sangat welas-asih dan alim sekali."
Mendengar keterangan Teng Hiau-lan ini, Lu Si-nio menjadi
heran. "Katanya kedua keponakan perempuanmu ini anak kembar,
jika begitu tentu mereka mirip sekali satu sama lain,"
tanyanya. "Memang, sampai aku sendiri pun tak bisa membedakan,"
jawab Hiau-lan. "Ya, kalau begitu tentu Li Ti telah salah sangka, sang
adik,dikira sang kakak!" ujar Lu Si-nio tersenyum geli.
"Siapakah Li Ti?" tanya Liu Sian-gai heran.
"Putra Bu-locianpwe dari Thian-san-chit-kiam!" Si-nio
menerangkan lebih jauh. ."Ah, lantas bagaimana baiknya?" seru Liu Sian-gai terkejut.
"Aku telah bergebrak dengan dia di Hou-lau-koan, aku terkena
pedangnya, sebaliknya ia pun kena aku pukul sekali dengan
gelang bajaku. Jika nanti Bu-locianpwe tahu, apakah aku tidak
akan didamprat?" "Itu tidak akan terjadi, Bu-locianpwe sudah lanjut usianya,
kesabarannya sudah tiada taranya, dapat dipastikan ia tidak
nanti gusar karena kesalahan kalian yang tidak sengaja," ujar
Hiau-lan. "Liu-tayhiap, coba kau lanjutkan ceritamu, aku nanti
beritahu asal-usul si anak dara tadi," sela Lu Si-nio.
"Setelah Si-te (adik keempat) terkena pisau berbisa si
budak cilik itu, aku pun bergebrak dengan si pemuda dan
kemudian sama terluka, si budak cilik masih hendak
mengudak kami, untung Gin-kangku cukup baik, akhirnya aku
bisa menolong Si-te dan kabur," tutur Liu Sian-gai. "Dan cerita
selanjutnya biar Hian-hong Toako saja yang menuturkan."
Hian-hong pun tidak menolak, segera ia menyambung
cerita orang, "Aku suruh mereka bertiga jalan dulu, siapa duga
bisa terjadi peristiwa itu" Kemudian setelah "aku susul
mereka, dengan gusar aku lantas mencari budak cilik itu, aku
pikir si pemuda sudah terluka, mereka tentu tidak akan pergi
jauh, maka sesudah aku balut Iut ka Sam-te dan Si-te, kami
lantas mencari mereka di sekitar bukit Hou-Iau-koan, pada
waktu dekat magrib pemuda itu dapat kami temukan, akan
tetapi budak cilik itu sudah tiada bersama dia, sebaliknya dia
berteman seorang Kangouw-longtiong (tabib pengembara)
yang aneh, sungguh tidak terduga sama sekali!"
Mendengar cerita terakhir ini, diam-diam Ling-sian
menertawai mereka, batihnya, "Kwantang-si-hiap yang
terkenal sampai terjatah di bawah seorang gadis cilik, pantas
kalau Hian-hong naik darah. Tetapi bila kebentur dengan
guruku dan dia masih berani pamer kepandaian, maka pantas
kalau dia ketemu batanya."
Sekalipun demikian, ia tidak lantas menjelaskan siapa si
tabib pengembara itu, dengan tersenyum ia coba bertanya,
"Hian-hong Totiang, sama sekali tidak terduga bagaimana
maksudmu?" "Ya, sebab begitu pemuda itu nampak kami, ia lantas kisiki
si tabib pengembara itu, tentunya ia beritahu bahwa kami
adalah orang yang melukainya," sambung Hian-hong lagi.
"Ternyata si tabib pengembara itu berangasan sekali, rupanya
karena kisikan pemuda itu, belum sampai kami buka suara,
sekonyong-konyong ia angkat galah pikulannya terus
menghantam. Setelah saling gempur, akhirnya kami berlalu!"
Kembali Ling-sian tersenyum oleh cerita itu, ia tahu di
antara Kwantang-si-hiap, meski usia Hian-hong paling tua dan
kepandaiannya paling tinggi, namun juga yang paling suka
unggul. "Hian-hong Totiang harap jangan gusar, hanya jatuh di
tangan tabib pengembara itu rasanya tidak perlu menjadi
soal," ia lantas berkata.
"Apa katamu," sahut Hian-hong mendongkol. "Hm, aku
lihat gerak serangannya rada mirip dengan kau, tentunya kau
dan dia berasal dari satu golongan?"
"Memang, malah lebih dari itu," jawab Ling-sian dengan
tertawa. "Beliau adalah guruku, Bu-locianpwe dari Thian-san
adalah kakak perempuannya, dia orang tua telah membikin
gusar kalian, biar aku sebagai muridnya yang minta maaf
saja." Hian-hong menjadi kaget oleh keterangan ini, seketika ia
terbungkam. "Ia orang tua memang sudah tiga puluhan tahun tidak
pernah menginjak daerah tengah ini, oleh sebab itu tidak
kenal kalian berempat, harap Hian-hong Totiang jangan
marah," Ling-sian berkata lagi.
"Haha, kalau memang dia adanya, maka kami jatuh di
tangannya bisa berkata apalagi!" sahut Hian-hong dengan
gelak tertawa. "Agaknya usia gurumu tidak berselisih banyak dengan
kau?" tanya Longgoat Siansu.
"Ya, sesudah setengah umur aku baru angkat guru
padanya," tutur Ling-sian.
Sementara itu Kam Hong-ti pun ikut buka suara.
"Sayang si dara cilik itu lenyap lagi, apa selama kalian
bergebrak dengan Bu-locianpwe, anak dara itupun tidak
pernah unjuk diri?" tanyanya.
"Tidak," sahut Hian-hong.
Kiranya sesudah Pang Lin dilepaskan oleh Lian Keng-hiau,
karena yang diinginkan adalah berlatih Lwekang dari aliran
yang baik, maka di malam harinya, dengan segala daya-upaya
diam-diam ia memancing kabur Li Ti. Melihat yang menggoda
dia adalah anak dara yang dikenalinya, dengan sendirinya Li Ti
senang sekali. "Pamanmu ada sesuatu keperluan harus ke Bin-san dahulu,
ia suruh aku bersama kau segera menyusulnya," begitulah
kata Pang Lin pada Li Ti.
Bu Ging-yao memang minta adiknya mengawasi putranya
secara diam-diam, oleh karena itu sewaktu Li Ti menempur
Liau-in dengan sengit di Hangciu, selama itu Bu Sing-hua
belum unjuk diri. Kini secara ngawur Pang Lin berkata sekenanya. tak
tahunya malah kena sasarannya dengan jitu.
Sedang Li Ti membatin, "Tentunya ibu dan paman ingin
aku lebih banyak tergembleng di kalangan Kangouw, maka
paman tidak ingin bersama dengan aku," lalu ia berpikir lagi.
"Pang Ing kenal paman dengan baik, pasti ia tidak mendustai
aku." Karena pikiran itulah, maka tanpa sangsi lagi Li Ti bersama
Pang Lin lantas meninggalkan Hangciu.
Sepanjang jalan Pang Lin tidak habis putar otak dan
berdaya untuk bertanya semua rahasia berlatih Lwekang dari
Li Ti, pemuda ini mengira si anak dara ialah Pang Ing, maka
sedikitpun tidak curiga, ia beritahu segala apa yang
diketahuinya atas rahasia berlatih Lwekang.
Terhadap pribadi Li Ti, Pang Lin tidak merasa tertarik,
tetapi juga tidak benci, ia jalan bersama pemuda ini, tujuan
satu-satunya bukan lain hanya ingin memancing rahasia
Lwekang dari pemuda ini, jika tujuannya sudah tercapai,
segera ia akan berdaya-upaya meninggalkan pemuda ini.
Justru secara kebetulan, sebelum mereka sampai Bin-san,
di Hou-lau-koan mereka kepergok dengan tiga orang dari
Kwantang-si-hiap, dalam pertarungan ini, dengan pisau yang
berbisa Pang Lin telah melukai Tan Goan-pa, Li Ti pun kena
menusuk Liu Sian-gai satu kali, sebaliknya karena ilmu entengi
tubuh Liu Sian-gai bagus sekali, tanpa terduga Li Ti pun kena
digebuk sekali oleh gelang bajanya dan kena jalan darah yang
berbahaya hingga mengalami luka parah.
Pang Lin tidak lantas meninggalkan Li Ti, lebih dulu ia
mema-yang pemuda itu ke tempat sepi di dalam hutan yang
lebat, di sini ia tinggalkan sebungkus obat bubuk, habis itu
diam-diam mengeluyur pergi.
Syukur kemudian Bu Sing-hua keburu menyusul tiba dan
lewat di samping hutan, ketika mendengar rintihan Li Ti,
segera ia masuk hutan buat menengoknya, ketika nampak
keponakannya terluka parah, ia ambil obat bubuk yang
ditinggalkan itu dan diperiksanya pula, ia menjadi heran
melihat obat ini, karena obat bubuk ini adalah obat pemunah
racun yang paling berharga dan hanya terdapat di dalam
istana, tanpa ragu-ragu ia bubuhi obat itu pada luka Li Ti,
kemudian setelah ia tanya asal-usul obat itu, ia menjadi lebih
heran. "Sungguhpun obat mujarab di Thian-san tidak kurang
banyaknya, tapi Ie-locianpwe tak punya obat bubuk semacam
ini," ujarnya. la tidak tahu bahwa obat ini memang dibawa Pang Lin dari
istana Si-hongcu. Li Ti sendiri pun timbul curiganya, dan
sebelum mereka berdua bicara lebih banyak, Kwantang-si-hiap
sudah keburu datang. Sebenarnya dengan ilmu silat yang tinggi dari Kwantang-sihiap,
kalau empat lawan satu, sekalipun Bu Sing-hua tidak
gampang kalah, tetapi untuk menang pun sulit.
Akan tetapi dua di antara empat pendekar itu, yakni Liu
Sian-gai dan Tan Goan-pa sudah terluka lebih dulu, sedang Li
Ti sesudah dibubuhi obat, lengannya sudah bisa bergerak lagi,
maka paman dan keponakan ini berjajar dan Kwantang-si-hiap
kalah habis-habisan, beruntung Bu Sing-hua menguatirkan
luka Li Ti, maka ia tidak mengudak lebih jauh.
Begitulah, sesudah Kwantang-si-hiap selesai menceritakan
pengalaman mereka, kemudian Lu Si-nio pun menuturkan
asal-usul Li Ti dan Pang Lin sebagaimana ia janjikan tadi.
Karena cerita ini, semua orang menghela napas terharu.
"Aku telah bersumpah mencari kembali keponakan
perempuan itu, kini sudah tahu jejaknya, biar aku
menyusulnya ke Holam," demikian Teng Hiau-lan buka suara.
"Lebih baik kau kembali ke pasukan In Te dahulu," ujar
Kam' Hong-ti sesudah berpikir sejenak. "Aku taksir sesudah ln
Ceng naik takhta, pasti ia tidak perkenankan In Te tinggal
lebih lama di kotaraja, jika ln Te pimpin pasukannya ke barat
lagi, maka Holam adalah tempat yang harus dilaluinya. Dalam
pasukannya kau boleh lihat gelagat, bila ada kesempatan kau
bisa mengadu domba mereka, biar sesama saudara
berhantam sendiri. Seandainya tidak bisa, kau dapat
menggerakkan putra bangsa Han yang berada dalam
pasukannya yang masih berdarah patriot."
Terlihat Lu Si-nio seperti hendak buka suara, tapi Kam
Hong-ti kembali menyambung dengan tertawa.
"Mungkin Pat-moay kuatir karena Teng-hiante seorang diri
berada di dalam pasukan besar dan mungkin berbahaya,
tetapi dalam pasukan ln Te terdapat tidak sedikit saudara dari
perkumpulan kita, lagi pula sesudah kita mendapat tahu hari
keberangkatan In Te, kita dapat mendahului ke Holam secara
berkelompok." "3aik juga," ujar Lu Si-nio, "memangnya kita sudah harus
naik Bin-san buat ziarah ke makam Suhu, sesudah kita
berziarah ke makam Suhu baru kita kembali ke Sian-he-nia."
Di lain pihak, ternyata isi hati In Ceng kena diduga secara
jitu oleh Kam Hong-ti, betul juga In Ceng (kini sudah menjadi
Kaisar Yong-ceng) tidak ingin In Te tinggal lebih lama di
kotaraja. Sesudah upacara kenaikan takhta In Ceng selesai, dengan
penuh rasa dongkol In Te kembali ke pasukannya malammalam,
ia tidak menduga bahwa dengan cara cepat luar biasa,
Lian Keng-hiau sudah memperlemah kekuasaan militernya.
Kiranya begitu Lian Keng-hiau sampai di markas pasukan In
Te, segera ia kumpulkan perwira tinggi dari dua puluh delapan
batalion tentara pangeran itu dan mengumumkan kenaikan
takhta ln Ceng di hadapan perwira itu, mereka diperintahkan
supaya setia pada kaisar baru.
Perwira ini adalah orang kepercayaan In Te, semula
mereka menaruh harapan agar In Te bisa naik takhta, tetapi
kini demi mendengar In Ceng yang menduduki takhta,
seketika lebih dari separo opsir itu berubah hati, mereka
hanya memikirkan buat selamatkan pangkat dan kedudukan
sendiri, mana berani timbul pikiran buat berontak.
Begitulah, pada senjanya, perubahan sebutan sebagai
Kaisar Yong-ceng atas kenaikan takhta lu Ceng telah
diumumkan secara resmi, bahkan opsir dari dua belas batalion
Hui-liong-kun (pasukan naga terbang) yang paling
diunggulkan In Te pun tergoncang.
Ketika In Te kembali ke dalam pasukannya, sepanjang
malam ia pun kumpulkan para opsir kepercayaannya untuk
berunding. Tetapi tujuh di antara dua belas opsir tinggi Hui-liong-kun
tidak setuju buat bermusuhan dengan Lian Keng-hiau, bahkan
Futuh yang dianggap sebagai tangan kanan In Te pun
berkata, "Si-pwelek telah naik takhta, kini Lian Keng-hiau
mendesak kita dengan menonjolkan kaisar baru, kalau kita


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serang dia, mungkin pasukan kita akan tergoncang."
In Te menjadi bungkam karena kata-kata panglima
kepercayaannya ini, ia membatin, "Panglima yang terpercaya
saja berpikiran demikian, apalagi perwira lainnya, lebih-lebih
tidak berguna berunding dengan mereka."
Tetapi ia lantas berpikir lagi, "Asal masih ada gunung, tidak
kuatir kehabisan kayu, sekalipun Lian Keng-hiau lebih kuat
lagi, tidak lebih ia hanya wakilku saja, kekuasaan masih
berada dalam tanganku, biar sementara ini aku bersabar dulu,
kelak kalau mengadakan ekspedisi ke barat, aku akan pakai
tipu 'pinjam golok membunuh orang', biar Lian Keng-hiau
bersama pasukannya yang berada di garis paling depan
dimusnahkan musuh. Kala itu, jarak dengan ibukota ada
puluhan ribu li, sekalipun aku tidak berhasil merebut takhta,
namun bisa juga memperkukuh diri dengan tentaraku dan
merajai daerah barat sana supaya tak mengalami siksaan
batin oleh keparat ln Ceng."
Setelah ambil keputusan ini, ia lantas berkata pada para
opsirnya, "Jika begitu, biarkan Lian Keng-hiau menjadi wakil
panglima, hanya kita harus lebih waspada menghadapinya."
Kemudian setelah para opsir mengundurkan diri, ln Te
berunding lagi dengan Futuh, ia menjelaskan pikirannya tadi,
Futuh pun akur dengan keputusan yang diambilnya, maka
besok paginya In Te mengajukan rekes, ia mohon agar
diperbolehkan memimpin pasukannya ke barat lagi.
Ketika permohonan diajukan, dilaporkan bahwa Teng Hiaulan
minta bertemu. Keruan In Te menjadi girang, segera ia
perintahkan orang masuk. "Di waktu menderita kesukaran baru tahu hati kawan sejati,
di kala aku kehilangan pengaruh kau masih kembali padaku,
selanjutnya aku pasti tidak sampai merugikan kau."
Lalu ia pun bertanya cara bagaimana Teng Hiau-lan bisa
meloloskan diri. "Semalam dalam istana terjadi penyerbuan, waktu keadaan
kacau-balau, aku lantas kabur," tutur Hiau-lan.
In Te menyangka penyerbu itu tentu atas perintah putra
pangeran lain, meski ia tergolong orang yang cerdik, namun
sedikitpun ia tidak curiga atas cerita Hiau-lan, bahkan ia lantas
menaikkan Hiau-lan menjadi wakil komandan pasukan
pengawal pribadinya setingkat dengan Ki Pi-sia dan Pui Kinbeng.
Kembali bercerita tentang In Ceng, sesudah kaisar baru ini
menerima permohonan In Te, permohonan ini tentu saja
cocok dengan maksudnya, maka ia titahkan In Te segera
pimpin tentaranya ke barat setelah lewat tahun baru. Di
samping itu ia pun berdaya-upaya buat menyelesaikan Liau-in
dan lain-lain, ia pindahkan Liau-in, Sat Thian-toh, Sat Thian-ji,
Tang Ki-joan dan Thian-liong berlima ke pasukan Lian Kenghiau,
diam-diam ia panggil menghadap Keng-hiau.
"Di antara lima orang ini selain Tang Ki-joan yang rada
mengerti peraturan, empat orang lainnya terlalu liar dan sukar
dijinakkan, bila sudah selesai ekspedisi ke barat dan empat
orang ini ternyata tidak mampus, kau boleh wakilkan aku
bereskan mereka," demikian titahnya kepada Lian Keng-hiau.
Perintah rahasia ini membikin Keng-hiau mengkirik, bulu romanya
berdiri, tapi bila dipikir lagi, ia merasa bahwa justru ini
adalah tanda kepercayaan In Ceng padanya, maka ia menjadi
girang bercampur kuatir, lekas ia menjura menerima titah itu.
Sudah tentu Lian Keng-hiau tidak pernah menduga bahwa
di lain pihak dengan cara yang sama In Ceng pun telah
berpesan pada kelima jagoannya agar mereka mengawasi
gerak-gerik Lian Keng-hiau. Inilah yang dinamakan politik adu
domba dari In Ceng. Sekejap saja tahun baru sudah lewat, dengan sebutan 'Buwan-
tay-ciangkun' (Panglima besar keamanan), In Te kembali
pimpin pasukan ekspedisinya ke barat, sedang Lian Keng-hiau
adalah wakil panglimanya, secara mendadak naik pangkat tiga
tingkat, bahkan In Ceng telah menambah pula kekuatan lima
puluh ribu tentara terlatih baik baginya, oleh karena itu,
sungguhpun Lian Keng-hiau menjabat sebagai wakil panglima,
tapi hakikatnya ia dengan In Te berkedudukan sama,.
Begitulah sesudah pasukan besar itu berangkat, sebulan
kemudian sampailah di Cu-sian-tin di propinsi Holam, dari sini
ke kampung halaman Lian Keng-hiau, yakni Tanliu, perjalanan
hanya sehari saja, maka Keng-hiau lantas perintahkan
pasukannya mengaso tiga hari di situ.
Pada hari itu, Teng Hiau-lan bersama beberapa perwira dari
pasukan pengawal minum arak di dalam kota Cu-sian-tin, di
atas loteng kedai arak yang mereka masuki, terlihat ke utara
adalah kota Khayhong dan ke selatan menghadap Hijiang,
kedudukan Cu-sian-tin betul-betul sangat strategis, Hiau-lan
jadi teringat bahwa kota ini adalah tempat dimana dulu Gak
Hui pernah menyapu bersih tentara Kim yang menyerbu ke
tanah airnya, ia jadi terharu bila teringat kisah sejarah itu,
batinnya, kini bangsa Boanciu telah masuk ke pe-daiahian lagi,
kekejaman mereka melebihi tentara Kim yang dulu menjajah
ahala Song, kini dirinya yang berdarah Boan sebaliknya ikut
serta di antara pergerakan membangun kembali negara
bangsa Han, sungguh suatu hal yang tidak pernah diduga
sebelumnya. Tengah ia termenung-menung dan kusut pikiran, tiba-tiba
terdengar di bawah loteng terjadi ribut-ribut yang ramai sekali.
Waktu Teng Hiau-lan menengok ke bawah loteng, ia lihat
orang di jalan dan para penjual menyingkir dengan ketakutan.
"Ada apakah?" tanya Hiau-lan kepada seorang di jalan.
Melihat Hiau-lan berdandan sebagai perwira, orang itu
menjadi ketakutan. "Ampun tuan, ampun! Hamba selamanya
taat pada peraturan dan undang-undang, hamba bukan orang
jahat," ia meratap memohon.
"Apa katamu?" tanya Hiau-lan pula.
Mendengar lagu suara Hiau-lan lemah-lembut, akhirnya
orang itu menjadi lega. "Di luar kota telah datang satu pasukan tentara, kabarnya
hendak menangkap orang," kemudian ia menerangkan
sebabnya terjadi ribut. "Sungguh aneh," pikir Hiau-lan sembari melepaskan orang
itu, "di waktu pasukan berjalan, mana bisa mengadakan
penangkapan" Apa mungkin karena prajurit yang berkeliaran
mengganggu keamanan kota, padahal disiplin militer In Te
dan Lian Keng-hiau sangat keras dan tidak dapat disamakan
dengan pasukan tentara lain, apalagi pasukan besar berkemah
di luar kota, kecuali perwira prajurit dilarang masuk ke kota,
kalau begitu, pasukan tentara yang dikatakan tadi datang
darimana?" Tengah ia merasa heran dan ragu-ragu, sementara itu dari
luar kota terlihat debu mengepul beterbangan, arus manusia
pun semakin membanjir, karena desakan arus manusia yang
membanjir itu, tanpa kuasa Hiau-lan pun ikut terdorong, tetapi
baru beberapa tindak ia melangkah, sekonyong-konyong ia
merasa dirinya ditumbuk orang dengan keras.
Teng Hiau-lan cukup lama berlatih silat, perasaan tubuhnya
sangat tajam, karena tabrakan orang tadi, segera ia merasa
ada sesuatu yang aneh, ketika ia meraba badannya, ternyata
kantong uang, pedang dan batu giok pemberian Kaisar Khonghi
tempo hari sudah lenyap. Kalau yang hilang barang lain tidak menjadi soal baginya,
tapi "pedang itu adalah pemberian In Te, betapapun harus
direbut kembali. Maka cepat ia menerjang ke sana, dilihatnya
di depan sana seorang sedang melotot padanya dengan mata
mendelik, pedangnya jelas tergantung di pinggang orang itu,
sedang batu Giok juga tampak terpegang di tangan orang.
Dengan mendongkol Teng Hiau-lan terus mengejar ke sana.
Aneh juga, orang itu ternyata tidak menghilang ke tengah
lautan manusia, sebaliknya berlari ke tempat sepi. Hiau-lan
tambah curiga, segera ia mengudak lebih kencang. Selang
tidak lama mereka sudah berada di luar kota.
Lari orang itu makin lama makin cepat, arahnya berlawanan
dengan tempat perkemahan pasukan. Segera Teng Hiau-lan
mengejar terlebih kencang dengan Ginkangnya yang tinggi,
akan tetapi meski pemuda itu telah mengeluarkan segenap
kemampuannya, tetap tidak dapat menyusul. Keruan kejut
Hiau-lan tidak terkatakan.
Perlu diketahui bahwa Ginkang Teng Hiau-lan meski belum
semahir Lu Si-nio, tapi sudah tergolong jarang ada
bandingannya di dunia Kangouw. Sekarang Ginkang orang itu
terlebih tinggi daripada Teng Hiau-lan, tampaknya tidak lebih
rendah daripada Ban-li-tui-hong Liu Sian-gai, jelas orang itu
bukan pencopet biasa. Hati Hiau-lan tergerak, maka langkahnya sengaja
dikendurkan. Orang itu seperti serba tahu saja, langkahnya
ikut dilambatkan. "Hai, kawan di depan itu, kita selamanya tidak kenal,
kenapa engkau menggoda diriku?" seru Hiau-lan.
Orang itu menoleh dan memperlihatkan muka membadut,
lalu menggumam sendiri, "Pedang ini kalau dijual sebagai besi
tua toh tidak seberapa harganya, tapi batu Giok ini sedikitnya
laku beberapa tahil perak."
Sekonyong-konyong Teng Hiau-lan melompat ke depan
terus menjambret. "Ai, celaka!" orang itu berteriak, sekali bergerak tahu-tahu
sudah melayang ke depan beberapa meter jauhnya. Lalu
katanya pula dengan tertawa, "Untung, tidak sampai
tertangkap basah!" Bersambung ke jilid III Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia/Kang Ouw Sam Lie Hiap
Karya : Liang Ie Shen Saduran : Gan KL DJVU : TAH dimhader Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewi.0fees.net/
Jilid 3 Teng Hiau-lan menjemput beberapa potong batu kecil dan
disambitkan susul-menyusul secara cepat, tujuannya hanya
untuk menakut-nakuti saja, maka sambitan batu itu sengaja
lebih tinggi beberapa senti di atas kepala orang. Tapi
mendadak orang itu malah melompat ke atas sehingga batu
sambitan Teng Hiau-lan tepat mengenai belakang kepalanya,
"plok", bukan kepala yang bocor, sebaliknya batu itu mencelat
entah kemana. "Aduh! Lihai amat opas ini! Aku harus lari secepatnya!"
teriak orang itu sambil meraba kepalanya yang tersambit batu.
Tiba-tiba langkahnya bekerja cepat, larinya seperti kesetanan.
Tentu saja Teng Hiau-lan makin heran dan sangsi, ia pikir
kesempatan berkenalan dengan orang kosen ini tak boleh
disia-siakan. Segera ia berseru, "Cianpwe-enghiong (ksatria
angkatan lebih tua) di depan, biarlah aku menyerah kalah
saja, sudilah berhenti untuk berkenalan!"
Namun orang itu tidak menggubrisnya dan tetap berlari
secepat terbang. Hiau-lan mendongkol, segera ia pun 'tancap
gas' dan mengejar, sesudah uber-menguber sekian lamanya,
akhirnya mereka memasuki lereng pegunungan di depan.
Menurut taksiran Hiau-lan, mungkin sudah 20-30 li jauhnya
dari kota Cu-sian-tin, ia menjadi terkesiap dan sangsi, janganjangan
orang itu sengaja memancingnya ke situ, entah apa
tujuannya. Tiba-tiba orang itu memperlambat langkah, pandangan
Teng Hiau-lan mendadak terbeliak, kiranya mereka telah
memasuki sebuah lembah gunung yang penuh tertimbun
salju, di tengah lembah ada sebuah rumah kecil beratap
rumbia. Di situlah orang itu berhenti, mendadak ia mengayun
tangannya, sebuah benda menyambar ke arah Teng Hiau-lan.
Cepat Hiau-lan menangkap benda itu, kiranya adalah
pedangnya yang dicuri tadi.
Waktu orang itu mengayunkan tangan dua kali, dompet
dan batu Giok milik Hiau-lan dilempar kepadanya pula. Habis
itu mendadak orang itu menghela napas panjang dan
mengomel, "Kau ini benar-benar lebih menghargai harta
benda daripada jiwa sendiri, ai, sungguh sayang dan harus
disesalkan! Lantaran kau lebih sayang harta daripada jiwa,
maka kukembalikan semua milikmu agar jika jadi setan
janganlah rohmu menggoda diriku."
Hiau-lan merasa di balik ucapan orang itu ada maksud
tertentu, ia tercengang dan berkata, "Mana Wanpwe berani
sayang harta secara membuta, bilamana ada kesalahan,
sudilah Cianpwe memberi petunjuk."
"Ah, pakai Cianpwe dan Wanpwe segala, aku paling benci
sebutan tetek-bengek ini," ujar orang itu sambil menoleh dan
tertawa. "Coba kutanya kau, jika kau mengaku tidak sayang
harta, mengapa kau terus mengudak diriku secara matimatian
hanya karena aku membawa lari tiga macam
barangmu." "Wanpwe tak bermaksud jahat, tapi ingin belajar kenal
orang kosen," kata Hiau-lan.
"Hahaha, mulutmu tidak cocok dengan pikiranmu," ujar
orang itu dengan bergelak tertawa. "Waktu kugondol lari
barangmu, masakah kau tahu aku tergolong 'orang kosen'
segala?" Memang waktu itu Teng Hiau-lan menganggap orang
sebagai copet biasa, ia menjadi bungkam atas olok-olok
orang. Maka orang itu berkata pula, "Yang jelas kau merasa berat
kehilangan barangmu tadi bukan?"
"Soalnya pedang ini adalah pemberian seorang kawan,
betapapun aku tak boleh menghilangkannya, maka
"Kawan apa?" sela orang itu. "Kukira bukan kawan biasa,
tapi atasanmu bukan?"
Keruan Hiau-lan melengak atas ucapan orang secara blakblakan
itu. Dengan tertawa orang itu berkata pula, "Tentunya kau
kuatir ditanya In Te bila kehilangan pedang ini dan merasa
kehilangan pamor sebagai wakil komandan pasukan pengawal,
betul tidak" Padahal pedang ini juga bukan pedang pusaka
segala, kalau Yu-liong-pokiam kepunyaanmu sendiri dapat
hilang, mengapa pedang ini tak boleh hilang?"
Seketika Teng Hiau-lan melongo heran, orang itu ternyata
kenal benar seluk-beluk dirinya, sungguh aneh.
Dengan terbahak-bahak orang itu lantas menyambung,
"Orang yang menghadiahkan pedang padamu itu kini jiwanya
terancam, mana dia sempat bertanya pedangmu lagi!"
Selagi Teng Hiau-lan terkejut dan merasa bingung, orang


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu melanjutkan, "Aku telah menyelamatkan jiwamu, kau tahu
tidak?" Hiau-lan terperanjat dan tambah bingung.
"Ya, kau tentu tidak percaya bukan" Baiklah, biar
kutunjukkan dulu seorang padamu!" kata orang itu, lalu ia
dekap mulutnya dan bersuit. Dari rumah tadi segera muncul
seorang. Kembali Hiau-lan terperanjat demi mengenali siapa
orang yang muncul ini. Kiranya orang ini adalah seorang di antara dua jago
kepercayaan In Te, yaitu Pui Kin-beng.
"Teng-heng, tentunya kau terkejut bukan?" Pui Kin-beng
lantas menyapa. "Mengapa kau berada di sini, Pui-heng?" tanya Hiau-lan.
"Silakan masuk, biar kuceritakan nanti," jawab Pui Kinbeng.
Setelah berada di dalam rumah, lebih dulu Teng Hiau-lan
tanya nama orang yang mencopet barangnya tadi.
Orang itu hanya bergelak tertawa dan tidak menjawab,
tiba-tiba ia menjulurkan kedua tangannya ke depan Teng
Hiau-lan. Semula Hiau-lan tidak paham maksud orang, setelah diteliti
barulah diketahui ada kelainan pada kedua tangan orang itu.
Jika tangan orang biasa umumnya berjari lima, tapi pada
kedua tangan orang ini masing-masing tumbuh lebih satu jari,
jadi kedua tangannya seluruhnya ada dua belas jari.
Melihat tangan orang ini, tiba-tiba Hiau-lan teringat pada
seseorang dan berseru, "Ha, kau tentu adalah Cap-ji-ci Biaujiu-
sin-thau Tan Tek-thay!"
"Betul," sahut orang itu mengangguk dan tertawa. "Kini
tentu kau sudah tahu bahwa aku bukan Cianpwe segala
bukan?" Hiau-lan tak bisa menjawab, matanya terbelalak lebar, ia
makin heran, kejadian yang dialaminya hari ini seakan mimpi
saja. Kiranya Cap-ji-ci Biau-jiu-sin-thau Tan Tek-thay, si tukang
copet sakti berjari dua belas, sebenarnya adalah Toaku (ipar,
kakak istri) Kam Hong-ti, namanya di kalangan Kangouw pun
cukup terkenal. Karena itulah Teng Hiau-lan jadi heran, pikirnya, "Pui Kinbeng
dan Ki Pi-sia, dua orang ini adalah kepercayaan In Te,
mengapa Pui Kin-beng bisa berada bersama dengan ipar Kam
Hong-ti, malahan seperti kawan lama saja?"
"Cukong (majikan, maksudnya In Te) hari ini mungkin
sukar terhindar dari maut!" terdengar Pui Kin-beng berkata
dengan sedih. Kembali Hiau-lan heran, kalau Pui Kin-beng masih
menyebut In Te sebagai Cukong, maka terang dia dan Kam
Hong-ti bukan sesama golongan.
"Jika bukan Tan-toako sengaja memancingmu kemari,
mungkin jiwamu pun sukar terjamin!" terdengar Pui Kin-beng
berkata. "Bagaimana, betul tidak?" dengan tertawa Tan Tek-thay
menyambung. "Bukankah aku telah berkata sebenarnya dan
tidak mendustai kau?"
Tanpa ayal Hiau-lan lantas memberi hormat padanya.
"Terima kasih atas pertolongan Tan-toako," katanya,
"tetapi masih mengharap suka menerangkan kejadian yang
sebenarnya agar aku tidak merasa sangsi."
"Sebenarnya, kau harus berterima kasih kepada Pui-toako,"
ujar Tan Tek-thay, "kalau bukan dia, aku tidak tahu kau
sedang minum arak di kota."
"Apa kau tahu dimana kau punya Yu-liong-pokiam itu?"
tanya Pui Kin-beng. "Pedangku dirampas Liau-in, tentunya berada di tangan
Liau-in juga," sahut Hiau-lan.
"Dan tahukah kau dimana Liau-in kini berada?" Pui Kinbeng
bertanya pula. "Bukankah berada di dalam istana?" jawab Hiau-lan.
Seperti diketahui Liau-in berlima ikut pasukan Lian
Kenghiau, tapi karena pasukan Lian Keng-hiau berlainan
pimpinan, maka Teng Hiau-lan sendiri tidak mengetahuinya.
"Bukan saja Liau-in tak berada dalam istana, bahkan
pedangmu itu kinipun sudah tiada di tangan Liau-in lagi," tutur
Pui Kin-beng kemudian. "Hari ini Lian Keng-hiau telah
melakukan perebutan kekuasaan, pedangmu banyak
membantu dia." Hiau-lan jadi semakin heran oleh keterangan itu.
"Liau-in kini berada di pasukan Lian Keng-hiau, sedang kau
punya Yu-li^ng-kiam kinipun berada di tangan Ki Pi-sia,"
sambung Tan Tek-thay dengan tertawa.
Pui Kin-beng asalnya adalah pemimpin suatu perkumpulan
Kangouw di daerah Kanglam, sewaktu In Te mencari orang
pandai sepuluh tahun yang lalu, ia mengabdi pada pangeran
itu. Sebelum masuk menjadi komplotan [n Te, Pui Kin-beng
dan Kam Hong-ti sudah lama kenal baik, karena itu dengan
Tan Tek-thay, ia pun pernah berjumpa beberapa kali dan
cukup kenal. Begitulah maka lebih dulu Pui Kin-beng menceritakan asalusul
dirinya pada Teng Hiau-lan, habis itu baru ia berkata lagi,
"Cukong kami memegang kekuasaan militer yang penting,
dengan sendirinya keparat In Ceng itu tidak dapat melepaskan
dia begitu saja, sewaktu masih berada di kotaraja, karena
kuatir pangeran lain ikut mencela tindakannya, maka ia tak
berani turun tangan di kotaraja, tapi menanti sesudah Lian
Keng-hiau berhasil merebut kekuasaan militer, barulah Lian
Keng-hiau disuruh turun tangan."
Sebenarnya hal ini sudah dalam dugaan Teng Hiau-lan,
tetapi ia sengaja bertanya, "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Ki Pi-sia paling menyukai Pokiam," tutur Pui Kin-beng,
"maka Liau-in memberikan pedangmu itu padanya, ia pancing
dia dengan pangkat dan kedudukan, suruh dia mengkhianati
Cukong, Ki Pi-sia menyanggupi, lalu Lian Keng-hiau minta dia
menghasut pula diriku. Tapi aku tidak ingin mengkhianati
Cukong, dengan Ki Pi-sia aku sudah bersahabat selama
belasan tahun, aku pun tidak mau melaporkan
pengkhianatannya, maka aku lantas pakai akal mengulur
waktu, aku minta diberi tempo satu dua hari buat berpikir, ini
adalah kejadian pagi tadi. Sebenarnya aku berniat segera
memperingatkan Cukong, siapa duga dia sudah keburu pergi memenuhi
undangan perjamuan Lian Keng-hiau, aku insaf keadaan bakal
celaka. Betul juga, selang tidak lama ada yang melapor
kepadaku secara rahasia, katanya di tempat Lian Keng-hiau
telah mulai bergerak."
"Di dalam pasukan Keng-hiau terdapat juga saudarasaudara
kita," dengan tersenyum Tan Tek-thay menyeletuk.
"Sebab itulah Pui-toako lantas kemari dan memberi kabar ini
padaku." Meski Pui Kin-beng berilmu silat tinggi, tapi dalam hal
kehidupan sendiri ia terlalu sembrono, terlalu menitik beratkan
hubungan pribadi dan tidak menggunakan akal-budi yang
sehat. Karena kelemahannya ini, dengan sedikit murah hati In
Te merangkul dia, sebagai balasan ia pun bersedia
membelanya mati-matian. Akan tetapi terhadap Kam Hong-ti,
ia pun menjunjung tinggi dan menghormatinya, karena itu
pada saat ia tertimpa kesukaran, orang Kam Hong-ti
menyuruh dia lekas melarikan diri dan memberitahu padanya
bahwa Tan Tek-thay berada di sini, maka segera ia
mencarinya. "Dan Kam-tayhiap apa sudah tahu peristiwa ini?" tanya
Hiau-lan dengan suara kuatir setelah selesai mendengarkan
cerita orang. "Kam-chitte mungkin dua hari lagi baru bisa sampai sini,
sementara Kwantang-si-hiap sudah datang," sahut Tan Tekthay.
Kiranya Kam Hong-ti merasa kurang leluasa karena terlalu
banyak kawan, maka ia atur kawan-kawannya jadi tiga
rombongan. Rombongan pertama adalah Kwantang-si-hiap
dan yang kedua ialah Nyo Tiong-eng, Loh Bin-ciam dan dia
sendiri, sedang rombongan ketiga adalah Lu Si-nio bersama
Pek Thay-koan dan Hi Yang.
Walaupun Kam Hong-ti belum datang, tapi karena
hubungannya yang luas, dalam pasukan Lian Keng-hiau pun
terdapat mata-matanya, karena itu diam-diam ada orang yang
menjaga keselamatan Teng Hiau-lan, tapi pemuda ini sama
sekali tidak mengetahui. "Lalu bagaimana Pui-toako, apa yang hendak kau lakukan
se-lanjutnya?" tanya Hiau-lan kemudian.
"Aku harus bertemu KA Pi-sia dulu malam nanti baru bisa
mengambil keputusan tetap," sahut Pui Kin-beng dengan
tertawa getir. "Apa" Kau masih akan menemui Ki Pi-sia?" seru Hiau-lan
kaget. "Ya, hubunganku dengan dia selama belasan tahun seperti
saudara sendiri, seandainya mesti putus hubungan, apapun
harus dibicarakan," ujar Pui Kin-beng. "Lagi pula aku ingin
mencari tahu bagaimana keadaan Cukong sekarang."
Hiau-lan tidak sependapat dengan jalan pikiran yang tak
benar ini, tapi ia lihat Pui Kin-beng masih terus menyebut
'Cukong' pada In Te, maka tidak enak buat menasehatinya, ia
lantas bertanya lagi, "Kalau begitu, apa kau masih akan
kembali ke markas tentara?"
"Tidak, aku sudah kirim orang buat berjanji dengan Ki Pi-sia
untuk bertemu di Swat-hun-kok besok pagi," sahut Kin-beng.
"Dimanakah letak Swat-hun-kok?" tanya Hiau-lan.
"Di lembah gunung sana," Tan Tek-thay menerangkan
dengan tersenyum. "Kalau Ki Pi-sia sudah menyerah pada pangkat dan
kedudukan, hendaklah Pui-heng suka berjaga, pertemuan
besok biar aku berangkat bersama kau," demikian kata Teng
Hiau-lan. "Itulah jangan." sahut Pui Kin-beng, "aku sudah berjanji
untuk bertemu sendirian dengan dia, jika ada orang lain akan
kurang leluasa." Di sebelah sana tertampak Tan Tek-thay memberi tanda
pada Teng Hiau-lan supaya tak usah banyak omong lagi.
Sorenya, dari kabar yang diperoleh, dapat diketahui bahwa
Lian Keng-hiau atas firman kaisar telah menggantikan In Te
menjabat sebagai 'Bu-wan-tayciangkun', sedang pasukan
pengawal ln Te semuanya telah dimusnahkan bahkan tujuh
perwira paling terperca-ya dari pangeran itupun dibunuh, tiga
perwira di antaranya yang minum arak bersama Teng Hiaulan,
di kedai arak itulah mereka tertangkap, sedang In Te dan
Futuh diketahui tertangkap di tengah perjamuan, soal matihidupnya
masih belum diketahui. Mendapat berita ini, keruan Pui Kin-beng berduka sekali, ia
pukul-pukul dada sendiri dan menangis keras.
Besok paginya Pui Kin-beng lantas menuju ke lembah Swathun-
kok untuk menantikan kedatangan Ki Pi-sia, cuaca pagi
dingin dengan bunga salju yang berhamburan laksana bulu
angsa, keadaan sepi dan seram.
Pui Kin-beng berdiri di atas sebuah batu cadas, mendongak
memandang kian kemari, ia lihat orang yang ditunggunya
masih belum tampak batang hidungnya, dalam hati ia pikir
tentu dirinya yang datang terlalu pagi.
Tengah ia kesepian, tiba-tiba terdengar suitan panjang
berkumandang dari dekat, menyusul Ki Pi-sia melompat keluar
dari tengah apitan dua batu cadas di sebelah sampingnya.
"Ha, sungguh dini sekali kedatangan Pui-heng, dan
dimanakah kedua kawanmu itu" Mengapa mereka tidak ikut
datang sekalian?" terdengar Ki Pi-sia menegur.
Pui Kin-beng terkejut oleh teguran ini. "Mungkinkah
semalam ia sudah berada di sini?" demikian ia membatin.
"Kita sudah berjanji buat bertemu berdua, mengapa
mengajak orang lain?" sahutnya kemudian.
Tiba-tiba Ki Pi-sia menarik muka, "Apa Pui-heng sudah
mempertimbangkan dengan baik?" ia bertanya lagi.
"Budi Cukong kepada kita tidak sedikit
"Tetapi kita hendaklah bisa melihat gelagat," Ki Pi-sia
memotong, "mereka bersaudara saling berebut takhta, apakah
kau masih ingin berkorban untuk dia?"
Sampai di sini muka Pui Kin-beng berubah. "Jadi kau bikin
celaka Cukong?" tanyanya.
"Soal itu aku tidak ikut turun tangan," sahut Ki Pi-sia.
"Tidak nyana, kau ternyata manusia yang suka lupa budi
dan tidak setia!" kata Pui Kin-beng dengan air mata berlinang.
"Hendaklah Pui-heng jangan kuatir, Cukong masih belum
mati, apa yang kau tangisi?" sahut Ki Pi-sia.
"Apa" Lian Keng-hiau mau melepas dia?" tanya Pui Kinbeng
pula. "Kaisar sendiri telah mengirim Haptoh buat
mengundangnya pulang ke kotaraja," dengan tertawa Ki Pi-sia
memberitahu. Mendengar keterangan ini, Pui Kin-beng tahu dengan
digiring kembalinya In Te ke kotaraja atas perintah In Ceng,
maka dapat dipastikan akhirnya In Te tidak luput dari
kematian, apalagi ln Ceng berhati kejam, mungkin kematian In
Te akan lebih mengenaskan daripada mati di bawah senjata.
Membayangkan ini, Pui Kin-beng jadi gusar.
"Apa kau tidak ngeri akan perbuatan Hongsiang yang tak
berbudi dan buta perasaan itu?" tanyanya.
Akan tetapi Ki Pi-sia menanggapi dengan ganda tertawa
saja. "Apa yang kau tertawai?" damprat Put Kin-beng gusar.
"Kita berlainan dengan Capsi-pwelek," sahut Ki Pi-sia
tertawa, "kita juga tidak berebut takhta dengan Hongsiang
sekarang, sekalipun ia tak beibudi dan tak berperasaan, ada
sangkut-paut apa dengan kita?"
Melihat bekas kawannya susah diinsafkan, Pui Kin-beng
menjadi dingin hati. "Selama belasan tahun kita berhubungan,
tak nyana kau adalah Siaujin (orang yang berjiwa rendah)
semacam ini!" dampratnya dengan suara sedih.
Keruan Ki Pi-sia menjadi marah. "Apalagi?" sahutnya.
"Sudahlah, pergilah kau!" kata Pui Kin-beng tiba-tiba
dengan menghela napas. "Sebagai lelaki tidak nanti aku
mencaci secara kotor, biarlah hubungan kita sekaligus dihapus
sampai di sini saja, kau boleh pergi menjadi pembesar dan aku
pulang menjadi bandit lagi. Asal kau tidak melakukan
penangkapan padaku, aku pun tidak akan bergebrak dengan
kau." Habis itu Pui Kin-beng membalik tubuh terus bertindak
pergi.

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nanti dulu!" tiba-tiba Ki Pi-sia berseru.
"Hendak apalagi kau?" tanya Kin-beng sambil menoleh.
"Harap Pui-heng pikir lagi yang matang!" ujar Ki Pi-sia.
Namun Pui Kin-beng tidak menyahut, saking berduka
hatinya, ia tertawa dingin, lalu balik tubuh terus bertindak
pergi. Akan tetapi baru saja ia melangkah beberapa tapak,
mendadak ia dengar suara tawa terbahak-bahak, ketika Pui
Kin-beng berpaling memandang lagi, terlihat olehnya di balik
batu cadas tadi menongol dua orang, yang seorang adalah
Hwesio dan yang lain adalah seorang kakek rada gemuk, dua
orang ini bukan lain adalah Liau-in dan Tang Ki-joan.
"Ha, Ki Pi-sia, kiranya kau mengajak teman untuk melayani
aku?" damprat Kin-beng dengan murka.
"Tidak perlu aku ajak orang buat melayani kau," sahut Ki
Pi-sia dengan tertawa dingin, "bagaimana kekuatan kau dan
aku, kita sama tahu, aku hanya ingin tanya sekali lagi
padamu, mau tidak kau ikut kami kembali?"
"Jadi kau pasti hendak menahan aku?" balas tanya Pui Kinbeng
dengan tersenyum mengejek.
"Sudahlah Ki-thongling, kali ini kami ingin bukti darimu!"
terdengar Tang Ki-joan membuka suara dengan tak sabar.
Maka tanpa ayal Ki Pi-sia melolos pedangnya, segera sinar
mengkilap berkelebat menyilaukan mata.
"Pui Kin-beng," serunya kemudian, "jika kau sudah tidak
setia sebagai kaum hamba, maka aku pun tidak peduli lagi
hubungan persaudaraan kita!"
"Bagus, kau boleh gunakan darahku untuk mewarnai topi
kebesaranmu!" teriak Pui Kin-beng. Dengan telapak tangan kiri
menjaga dada, kepalan kanan segera ia pukulkan dari bawah.
Pi-sia tertawa ejek atas serangan ini, dengan sedikit
menggeser, pedang Yu-liong-pokiam (milik Teng Hian-lan)
segera berkelebat menusuk ke lambung orang dari samping.
"Bagus!" teriak Kin-beng. Mendadak ia maju dengan cepat,
ia geraki tangan secepat kilat, menyodok ke dada lawan
dengan membawa sambaran angin keras.
"Apa kau cari mampus?" bentak Ki Pi-sia atas serangan
orang yang membawa resiko ini. Mendadak ia baliki
tangannya, ujung pedang berputar terus memotong ke lengan
orang, tetapi Pui Kin-beng tiba-tiba melompat ke atas, tangan
kiri menyanggah siku orang, sedang tangan kanan hendak
mencekal lengan lawan. Rupanya Pui Kin-beng mengetahui ilmu pedang Ki Pi-sia
tidak boleh dipandang enteng, begitu turun tangan seketika
mengadu jiwa, ia keluarkan tipu serangan yang berbahaya
tadi. Di pihak lain Ki Pi-sia ternyata tidak menjadi gugup, ia
tekuk lengannya dan mendadak mundur, dengan demikian ia
hindarkan cekalan Pui Kin-beng, sedang pedangnya berbareng
disodokkan ke depan, ia menutuk 'Jiau-yo-hiat' di iga kiri Pui
Kin-beng, ini adalah, tipu pertolongan di kala terancam
bahaya. Syukur Pui Kin-beng masih se,mpat berkelit dengan cepat,
sehingga ujung pedang Ki Pi-sia menabas di atas pundaknya.
"Hari ini biar aku adu jiwa dengan kau!" bentak Pui Kinbeng
dengan kalap. Menyusul kepalannya bekerja cepat dan telapak tangan
ber-sambaran, ia keluarkan delapan belas jurus 'Tiang-kun'
yang lihai, ia menghantam dari atas dan memukul dada orang
sambil menerobos kian kemari di bawah berkelebatnya sinar
pedang lawan yang bergulung-g'.'lung.
Ilmu silat Ki Pi-sia dan Pui Kin-beng sebenarnya pilihan dari
tingkat tinggi, yang seorang mahir dalam hal 'Kun-sut' atau
ilmu pukulan, dan yang lain pandai 'Kiam-hoat' atau ilmu
permainan pedang, kekuatan mereka sebenarnya delapan tahil
setengah kati alias sama kuat, tetapi Ki Pi-sia memiliki Yuliong-
pokiam, maka tanpa terasa kekuatannya menjadi
bertambah beberapa bagian, ditambah Pui Kin-beng marah
terlebih dahulu, begitu maju lantas mengadu jiwa dan matimatian
menggempur musuh, karena itu tenaganya jadi lekas
habis. Maka sesudah pertarungan berlangsung beberapa lama,
tipu serangan pedang Ki Pi-sia jadi semakin gencar, ia desak
Pui Kin-beng hingga mundur terus tanpa bisa membalas.
Selang tidak lama, keadaan Pui Kin-beng semakin lemah, di
tengah lembah salju hanya tertampak gulungan sinar pedang
yang berputar kian kemari, tubuh Pui Kin-beng terkurung di
dalam sinar pedang lawan.
Di samping sana Liau-in dan Tang Ki-joan mengikuti
pertarungan sengit ini dengan berpeluk tangan, mereka hanya
saling pandang dan tertawa sendiri.
"Orang ini ternyata telah menyerah, sebatang Yu-liongpokiam
yang kau berikan padanya boleh dikata masih ada
harganya," ujar Tang Ki-joan.
"Ya, asalnya toh barang orang lain dan diberikan pada
orang, apa yang perlu disayangkan," sahut Liau-in dengan
tersenyum. Lalu ia menyambung lagi, "Kiam-hoat orang ini
masih jauh di atas Hay-hun Hwesio, cuma belum tahu
bagaimana Ginkangnya?"
Tang Ki-joan tahu maksud kata-kata Liau-in ini. Maka
dengan tertawa, ia berkata, "Tampaknya Ginkangnya juga
tidak lemah, kelak kalau bertemu Sumoaymu, boleh suruh dia
coba menghadapinya."
Kiranya meski Liau-in lebih ulet daripada Lu Si-nio, tetapi
karena segan terhadap Kiam-hoat dan Ginkang si nona, sudah
beberapa kali mereka bergebrak, tapi tiap kali hanya sama
kuat saja dan Liau-in tak mampu menawannya, karena itu ia
ingin sekali mencari seorang yang punya Kiam-hoat dan
Ginkang bagus sebagai pembantunya.
Sementara itu pertarungan kedua orang di tengah lembah
gunung itu makin lama semakin sengit.
"Tidak lebih dari tiga puluh jurus Pui Kin-beng pasti akan
tewas di bawah pedang Ki Pi-sia," ujar Tang Ki-joan dengan
tertawa. "Ha, yang untung adalah Lian Keng-hiau," Liau-in turut
tertawa. "Sudah menangkap In Te, kini dua jagonya yang
paling dipercaya dan paling kuat dapat dibereskan, kalau
dilaporkan, adalah satu jasa besar."
Tengah mereka bercakap dan tertawa, tiba-tiba terdengar
Pui Kin-beng menjerit ngeri, mungkin terkena senjata lawan.
Sudah tentu Tang Ki-joan senang sekali, ia gembira karena
pandangannya tadi ternyata tidak meleset.
Tidak terduga, belum lenyap suara tawanya, mendadak
terdengar suara bentakan orang yang keras, berbareng itu
dari atas bukit turun beberapa orang.
"Keparat gundul Liau-in, lekas kemari terima kematianmu!"
terdengar bentakan pemimpin dari orang yang datang itu, dia
bukan lain daripada Hian-hong Tojin.
Menyusul di belakang Tosu kecuali rekan-rekan dari Kwantang-
si-hiap, terdapat pula Tan Tek-thay dan Teng Hiau-lan.
Kiranya Tan Tek-thay sudah menduga Ki Pi-sia pasti datang
dengan begundalnya, hal ini bukan lantaran Ki Pi-sia kuatir
tidak sanggup menandingi Pui Kin-beng, tapi pasti Lian Kenghiau
yang tidak percaya pada orang yang baru menyerah
padanya ini, dan mengirim orangnya buat mengawasi. Karena
melihat Pui Kin-beng terlalu gegabah, maka sebelumnya Tan
Tek-thay juga tidak mau mencegahnya, ia secara diam-diam
mengajak Kwantang-si-hiap berjaga di atas bukit lembah itu.
Tadi waktu Tang Ki-joan dan Liau-in saling pandang
dengan tertawa gembira, Tan Tek-thay dan Teng Hiau-lan pun
saling pandang dan tertawa.
"Biarkan Pui Kin-beng dengan mata kepala sendiri
menyaksikan corak asli kawannya ini, supaya ia betul-betul
percaya nasehat kita," ujar Tan Tek-thay.
Dari 'ata-kata ini baru tahulah Teng Hiau-lan akan maksud
Tan Tek-thay. Kembali tatkala Liau-in melihat Kwantang-si-hiap mendadak
muncul di luar dugaannya, sungguh tidak ia duga Pui Kin-beng
bisa mengundang keempat pendekar ini sebagai
pembantunya, tapi Liau-in pun tidak gentar, dengan congkak
ia menanti kedatangan orang.
"Hahaha, apa kau kira Hud-ya takut padamu!" sambut Liauin
dengan tertawa, berbareng ia ayun tongkatnya menangkis
pedang Hian-hong yang sementara itu sudah dekat terus
menusuk. Akan tetapi Liu Sian-gai pun segera melompat ke atas,
sepuluh cincin bajanya ia keprukkan ke batok kepala Liau-in
yang gundul, namun Liau-in keburu membalik tongkatnya
dengan membawa sambaran angin menderu, dengan gerak
tipu 'Ciam-liong-thian' atau naga sembunyi tiba-tiba naik ke
langit, tongkat ia sabetkan ke atas hingga Liu Sian-gai
terpaksa tak berani turun ke bawah, tapi terus melayang turun
ke samping. Ketika Liau-in tinggalkan dia, kembali Liu Sian-gai
meloncat buat menghantamnya.
Liau-in menjadi murka, ia kumpulkan tenaga dalam dan
mendadak menyerang Hian-hong dengan tipu yang
mematikan, meski Liu Sian-gai kembali menghantam, namun
sedikitpun Liau-in tak menghiraukan dia, tongkatnya tetap
mengincar pada Hian-hong terus menyabet.
Dalam pada itu sepuluh cincin baja Liu Sian-gai sudah mengepruk
ke batok kepalanya yang gundul, keruan terdengar
suara "plak, plok" yang keras, tetapi rasanya seperti
menghantam papan baja saja, karenanya Liu Sian-gai sendiri
berbalik terperanjat, bahkan ia terpental pergi.
Di pihak lain sudah tentu Hian-hong tak mampu menahan
tipu serangan Liau-in yang gencar dengan seluruh
kekuatannya, Hian-hong coba menangkis tiga kali sepenuh
tenaga, tetapi ia merasakan genggaman tangannya lecet
saking kuat Lwekang yang dikeluarkan Liau-in.
Pada suatu kesempatan Liau-in mengemplang dengan
tongkatnya ke kepala Hian-hong, syukur dari samping Longgoat
Siansu keburu datang membantu, begitu ia membuka
mulut, kontan ia semburkan arus araknya.
Karena menghamburnya arus arak ini, Liau-in merasa di
depan matanya berkabut putih remang-remang, lekas ia
angkat lengan baju buat melindungi mata, sedikit
keterlambatannya ini, Hian-hong yang memainkan ilmu
pedangnya dengan cepat luar biasa sempat balas mengirim
satu tusukan ke bawah iganya.
Dengan girang Hian-hong mengira serangannya akan
berhasil, tak terduga Lwekang Liau-in betul-betul sudah tiada
taranya, ia bisa 'Thing-hong-pian-gi' atau mendengarkan
sambaran angin membedakan darimana datangnya serangan,
sekonyong-konyong otot dagingnya bisa mendekuk, karena itu
meski tusukan Hian-hong tadi ujung senjatanya dapat
menempel daging orang, namun mendadak terasa lunak
tempat yang tertusuk itu dan tak bisa mengeluarkan tenaga
lagi. Begitulah hanya terpaut sedikit saja Hian-hong ternyata
tidak mampu menusuk orang, sebaliknya Liau-in sudah lantas
membentak, segera ia menubruk maju.
Kini keduanya boleh dikata akan saling bergumul, senjata
mereka sudah tak keburu digunakan lagi.
Melihat Suhengnya terancam bahaya, Tan Goan-pa lekas
maju menolong, ia pentang tangan terus menubruk maju
menyambut tubrukan Liau-in tadi, dengan demikian ia
gantikan Suhengnya bergumul dengan Liau-in.
Tan Goan-pa sudah terlatih kulit dagingnya seakan kulit
tembaga dan tulang baja, tenaganya pun besar luar biasa,
maka begitu keduanya saling tumbuk, seketika Liau-in didesak
mundur hingga sempoyongan, tetapi Tan Goan-pa lebih celaka
lagi, ia menjerit sekali, matanya berkunang-kunang dan
mulutnya memuntahkan darah segar, berbareng terus
terpental pergi sejauh beberapa tombak.
Tetapi syukur karena latihan dan ketangkasannya, setelah
memuntahkan darah segar, ia istirahat sejenak dan segera
pulih kembali. Setelah melompat bangun, ia ayun kepalan dan
segera menerjang maju lagi.
Begitulah Liau-in seorang diri melawan Kwantang-si-hiap
dengan sepenuh tenaga, batok kepalanya tadi telah diketok
oleh sepuluh cincin b^ja Liu Sian-gai, tempat yang terkena
masih terasa sakit, maka kini ia tak berani memaksakan diri
buat menerima gebukan lawan lagi.
Sementara itu Long-goat Siansu kembali menyemburkan
arus araknya, tetapi dengan gampang serangan ini dapat
dielakkan oleh Liau-in, ia kebas lengan bajunya yang lebar
hingga membawa sambaran angin keras, arus arak yang
disemburkan Long-goat dikebas' pergi hingga bercipratan dan
menghamburkan bau wangi arak.
Terkejut sekali Kwantang-si-hiap oleh ketangkasan Liau-in
yang luar biasa. Tapi sebaliknya, Liau-in sendiri merasa
kepayahan, ia harus berjaga dari semburan arak Long-goat
Siansu yang menyerupai peluru, ia harus menghindari pula
gempuran cincin baja 'Ban-li-tui-hong' Liu Sian-gai, di lain
pihak ia terancam oleh serangan hebat 'Loan-pi-hong-kiamhoat'
Hian-hong Tojin yang cepat luar biasa, lagi pula harus
melayani 'Toa-sui-pi-jiu' Tan Goan-pa yang lihai, seorang diri
melawan empat orang, mau tak mau ia terdesak di bawah
angin. Di sebelah sana, Pui Kin-beng juga bertempur mati-matian,
tampaknya sudah letih dan payah sekali, ia menduga dirinya
pasti akan binasa, syukur mendadak Teng Hiau-lan menubruk
maju membantu. Begitu mendekat pemuda ini putar pedangnya dengan
gerakan 'Thian-san-hui-soat' atau salju beterbangan di Thiansan,
tiba-tiba ia menikam dari atas dengan sinar pedang
gemerdep laksana kembang salju berhamburan. Tetapi oleh Ki
Pi-sia serangan ini dipatahkan dengan sekali tangkisan.
Keduanya sama ahli memakai pedang, kalau soal latihan
dan keuletan memang Ki Pi-sia lebih tinggi, tetapi kalau bicara
tentang Kiam-hoat, sari ilmu pedangnya, Teng Hiau-lan jauh
lebih bagus. Karena itu Ki Pi-sia terpaksa harus
mengumpulkan Lwekang dibarengi dengan bermacam gerakan
tipu untuk melawan Thian-san-kiam-hoat Teng Hiau-lan yang
luar biasa itu. Sebenarnya kalau satu lawan satu, jika keadaan
berlangsung lama, Teng Hiau-lan bukanlah tandingan Ki Pi-sia,
tetapi kini Hiau-lan mendapat bantuan Pui Kin-beng, kekuatan
jadi bertambah, dengan dua lawan satu, akhirnya Ki Pi-sia
dibikin tak berdaya dan berada di pihak terserang.
Tatkala itu kedua pihak terbagi menjadi tiga kelompok, Tan


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tek-thay, si copet sakti berjari dua belas, seorang diri
menempur Tang Ki-joan yang licik dan banyak tipu
muslihatnya. Begitu Tang Ki-joan balas menyerang, ia lantas memakai
ge-"rak 'Pat-kwa-yu-sin-ciu', memancing dua kali serangan,
setelah itu tiba-tiba ia berlari memutar kian-kemari. Dengan
demikian bila bukan ahli silat kelas satu, pasti akan kehabisan
tenaga oleh godaannya dan akhirnya akan memberi
kesempatan pihak lawan untuk menyerang.
Itulah cara Tang Ki-joan menjajal lawan untuk pertama
kalinya, ia tidak lantas bergebrak sungguh-sungguh dengan
orang, tetapi lebih dulu memancing gaya serangan orang
untuk kemudian baru balas merangsek menurut siasat yang
sudah diatur. Siapa tahu Tang Ki-joan yang licik dan banyak akal sekali
ini ia benar-benar bertemu balunya, ia diingusi oleh Tan Tekthay.
Sebenarnya ilmu silat Tan Tek-thay yang sejati masih di
bawah Tang Ki-joan maupun Teng Hiau-lan, akan tetapi ia
dijuluki sebagai si tukang copet sakti, gerak tubuh dan
tangannya dengan sendirinya licin dan gesit luar biasa,
ditambah Ginkangnyp memang hebat, maka jika tak saling
gebrak memakai tenaga dalam, orang pasti akan
menyangsikan dia sebagai ahli silat kelas wahid.
Karena itu kemarin Teng Hiau-lan sendiri dikelabui hingga
telanjur berseru "Cianpwe" padanya.
Sementara itu Tang Ki-joan telah menjajal dengan dua kali
serangan pancingan, Tan Tek-thay pun tidak mau digertak, ia
bergaya hendak menubruk orang, padahal cuma gerak purapura
saja, maka keduanya sebegitu jauh masih belum beradu
kekuatan. Jika Tang Ki-joan berputar mengitarinya dengan gerak
'Boan-liong-jiau-poh' atau naga melilit melingkar langkah,
maka Tan Tek-thay pun balas dengan memukul ke sini dan
menjotos ke sana, tiba-tiba di timur, mendadak sudah di
sebelah barat, ia berlaku selicin belut.
Melihat cara Tan Tek-thay memainkan pukulan dan
jotosan-nya susp'i diraba, tetapi gerakannya cepat dan gesit
luar biasa. Tang Ki-joan menyangka diri sendiri yang terlalu
cetek pengetahuannya dan tidak mengenal ilmu pukulan
lawan yang lihai. Siapa duga Tan Tek-thay hanya sengaja
membikin tabir asap untuk membingungkan orang,
pukulannya sebenarnya serabutan dan ngawur.
Sebaliknya semakin lama Tang Ki-joan semakin terkejut
dan ragu-ragu, ia berlaku lebih hati-hati lagi melayani
lawannya yang tidak bisa diraba hendak kemana tipu
serangannya, suatu ketika ia coba mendekati orang, tidak
tahunya justru karena berlaku hati-hati, kembali ia dikibuli
oleh Tan Tek-thay. Kiranya Tan Tek-thay sudah dapat mengetahui bahwa Tan
Ki-joan hanya memakai gerak tipu pancingan belaka, maka
demi nampak dia mendekat, mendadak ia unjuk kepandaian
mencopet yang lihai, tahu-tahu ia merogoh saku Tang Ki-joan,
habis itu segera ia melompat pergi, menyusul lantas
mengayun tangan sembari berge-lak tertawa.
Cepat Tang Ki-joan mengegos sembari menangkap dengan
tangannya sehingga senjata rahasia lawan jatuh di tangannya.
Akan tetapi ia menjadi terperanjat ketika mengenali senjata
rahasia yang berada di tangannya ini bukan lain adalah
miliknya sendiri, yakni 'Tau-kut-ting', paku penembus tulang,
segera ia meraba kantong, mau tak mau ia terperanjat,
ternyata satu pak berisi dua puluh empat paku itu telah hilang
tanpa bekas. Sementara di sebelah sana tampak Tan Tek-thay sedang
berjingkrak dan menari kegirangan. "Ai, Tang-lojat,
kekayaanmu sungguh terlalu menyedihkan, apakah milikmu
memang hanya sedikit besi tua ini saja?" demikian Tan Tekthay
menggoda. Tang Ki-joan jadi semakin keder terhadap Tan Tek-thay, ia
tidak mengerti mengapa paku yang berada dalam sakunya
mendadak bisa berpindah tangan, ia mundur beberapa tindak
buat melihat keadaan sekitarnya, ia lihat Liau-in yang
dikerubut Kwantang-si-hiap tampak berada di bawah angin,
sedang Ki Pi-sia yang mati-matian menempur Pui Kin-beng
dan Teng Hiau-lan berdua pun tampak lebih banyak diserang
daripada menyerang. "Siang-siang kalau tahu keparat Pui Kin-beng akan
mengajak konco, mestinya kita juga membawa kawan lebih
banyak!" demikian ia pikir dengan perasaan gemas.
Dalam pada itu Liau-in kembali diketok lagi oleh cincin baja
Liu Sian-gai, keruan Hwesio ini menjadi murka dan
mengamuk, ia ayun tongkatnya sedemikian rupa hingga
membawa angin menderu. Di pihak lain Hian-hong Tojin menghindar dan berkelit kiankemari
sembari mencari kesempatan buat balas menyerang,
Long-goat Siansu pun tiada hentinya menyemburkan arus
araknya buat membantu rekan-rekannya, araknya yang penuh
satu Ho-lo besar sampai hampir habis tersembur, jubah Liauin
yang tertembus oleh hujan arak pun kelihatan berlubang
seperti sarang tawon, mau tak mau Liau-in rada terkejut dan
kuatir juga. "Po-kok Siansu, mereka mengandalkan orang yang lebih
banyak, biarlah kita berikan kelonggaran hidup beberapa hari
lagi untuk mereka!" Tang Ki-joan meneriaki kawannya tatkala
nampak gelagat jelek. Saat itu juga terdengar Liau-in menggerung keras, ia
tangkis pedang Hian-hong yang sementara itu sedang
menusuk padanya, habis itu ia lantas angkat kaki menerjang
keluar kepungan. Tak terduga Tan Goan-pa yang gagah
berani dan kuat di bawah perlindungan Long-goat Siansu, lagilagi
menyemburkan arus araknya, pada waktu Liau-in
mengayun tongkat dan belum ditarik kembali, mendadak
dengan penuh tenaga Tan Goan-pa menangkap tongkat Liauin
terus ditekan ke bawah. Hian-hong pun tak menyia-nyiakan terjangan saudaranya
ini, seketika ia memasuki lowongan itu dan menusuk.
Karena jaraknya sudah terlalu dekat, tenaga serangan
orang besar pula, meski Lwekang Liau-in sangat tinggi dan
sempat menekuk sikunya terus menyikut, tetapi tidak urung
lengannya tertusuk hingga darah membasahi jubahnya.
"Pergi!" tiba-tiba Liau-in membentak, ia sendai tongkatnya
sehingga Tan Goan-pa dilempar ke udara.
Syukur pada waktu itu Liu Sian-gai sedang menubruk dari
atas, maka lekas ia jambret leher baju Tan Goan-pa supaya
tidak terlempar lebih jauh, kemudian keduanya tancapkan kaki
kembali ke tanah. Sementara itu dengan menjinjing tongkat, Liau-in masih
terus menerjang pergi, waktu mendekati Tan Tek-thay,
mendadak ia kem-plangkan tongkatnya pada si tukang copet
ini, di bawah goncangan angin tongkatnya yang keras, meski
tidak terkena kemplangannya, namun tidak urung Tan Tekthay
hampir tak bisa menguasai diri dan hampir roboh, berkat
gerak tubuh yang lincah dan cepat, akhirnya ia bisa
menghindarkan diri. Nampak gaya orang barusan, tiba-tiba Tang Ki-joan jadi
tergerak hatinya. "Cepat, mari kita terjang bersama ke bawah
gunung!" sementara terdengar Liau-in berseru.
Kini timbul kesangsian Tang Ki-joan pada Tan Tek-thay, ia
sangsikan orang belum tentu memiliki kepandaian sejati, akan
tetapi demi melihat Liau-in terluka, maka ia sendiri tak berani
bertempur lebih lama lagi, tiba-tiba ia sambitkan 'Tau-kut-ting'
yang dapat ia raup tadi ke arah Teng Hiau-lan sambil berseru,
"Ki-thongling, hayo lekas angkat kaki!"
Memangnya sejak tadi Ki Pi-sia sudah berpikir hendak
angkat langkah seribu, akan tetapi karena dikerubut oleh Teng
Hian-lan secara ketat, kini mendadak Hiau-lan harus
mengegos, serangannya pun menjadi kendor, Ki Pi-sia
menjadi girang, segera ia putar pedangnya dengan gerakan
'Hui-hong-bu-liu' atau angin meniup pohon liu menari,
terdengar suara "trang" yang keras, pedang Hiau-lan dipuntir
hingga terpental terbang.
Akan tetapi Hiau-lan tidak menyerah mentah-mentah,
sebaliknya ia jadi makin bernapsu hendak merebut kembali
pedang pusaka yang berada di tangan musuh, tiba-tiba ia
serang berbareng dengan dua telapak tangannya, yang satu
mendorong dan yang lain mencekal, dengan tangan kosong ia
paksa hendak merebut pedang dari tangan orang.
Sudah tentu Ki Pi-sia tidak menyerah begitu saja, tiba-tiba
ia putar Yu-liong-pokiam terus menikam ke bawah dengan
cepat, di bawah mengkilapnya ujung senjata, tampaknya Teng
Hiau-lan akan tertembus perutnya oleh tikaman itu, tetapi
sebelum senjata lawan mengenai tubuhnya, mendadak dari
samping Pui Kin-beng keburu mengirim satu tendangan
hingga mengenai pinggang Ki Pi-sia.
Karena tidak terduga oleh 'serangan dari samping ini. Ki Pisia
menjerit kesakitan terus jatuh tersungkur, sebaliknya Teng
Hiau-lan yang tak keburu menahan dirinya ikut jatuh
tengkurap dan dengan persis menindih di atas tubuh Ki Pi-sia.
Tentu saja pemuda ini tidak mau membuang kesempatan,
dengan tangan kiri segera ia cekik leher orang dan tangan
kanan berusaha merebut pedang orang asal miliknya itu.
"Teng-heng, awas!" seru Pui Kin-beng memperingatkan
Teng Hiau-lan. Belum lenyap suaranya, betul juga Ki Pi-sia sudah
bergerak, mendadak sebelah kakinya menendang dengan
keras, keruan saja Teng Hiau-lan didepak pergi sejauh
beberapa tombak. Di sini tertampaklah bahwa tenaga dalam Hiau-lan masih
belum dapat menandingi musuh, setelah bergumul badan adu
badan, akhirnya ia menderita rugi sendiri.
Nampak kawannya kecundang, Pui Kin-beng tak
bersemangat mengurus lawannya lagi, lebih dulu ia bertindak
menolong kawan, ia tarik bangun Hiau-lan.
"Jangan urus aku, lekas kejar musuh!" ujar Hiau-lan.
Waktu Pui Kin-beng coba periksa keadaan pemuda ini, ia
lihat Teng Hiau-lan hanya keseleo tulang kakinya saja dan
tidak berbahaya. "Baik, biar aku rebut kembali pedangmu!" sahurnya
kemudian sambil berlari pergi menguber musuh.
Maka terjadilah udak-udakan, .dengan Liau-in dan Tang Kijoan
berada paling depan disusul Kwantang-si-hiap serta Tan
Tekthay, mereka terus berlari keluar dari lembah gunung.
Di lain pihak Ki Pi-sia yang merasakan sekali tendangan Pui
Kin-beng, miang pahanya menjadi kesakitan. Ia memang lebih
cerdik dan tidak kabur sejalan dengan Liau-in dan Tang Kijoan
untuk menghindarkan ancaman Kwantang-si-hiap, maka
seorang diri ia memencar ke jalan lain.
Sudah tentu Pui Kin-beng tidak membiarkan musuh bekas
kawannya ini merat begitu saja, ia menguber dengan
kencang. Ilmu entengi tubuh Ki Pi-sia lebih baik daripada Liau-in,
justru ia kabur dengan memilih jalanan kecil yang sepi dan
paling dulu berhasil meninggalkan lembah ini, pikirnya dalam
hati, "Aku punya Pokiam, Pui Kin-beng terang bukan
tandinganku, jika dia tinggalkan rombongannya dan mengejar
sendirian, maka itu berarti ia cari ke-matian sendiri."
Selang tak lama, ia sudah mendahului kabur keluar dari
lembah gunung, ia tinggalkan Liau-in dan kawan-kawan
sejauh lebih setengah li. Di pihak sana, Liu Sian-gai di antara
Kwantang-si-hiap terhitung yang paling tinggi Ginkangnya,
akan tetapi mereka harus berempat baru bisa mengalahkan
Liau-in, oleh sebab itu Liu Sian-gai hanya bisa mengganggu
Liau-in secara berkala saja, menguber sambil menempur
mereka, tetapi tidak berani mendahului ke depan. Kwantangsi-
hiap memperkirakan Liau-in telah terluka, mereka berniat
mengepung dia dan bertempur dalam jangka lama supaya
Hwe-sio jahat ini binasa sendiri saking letihnya.
Sementara itu Ki Pi-sia sudah keluar dari lembah gunung,
dalam hati ia sedang memperhitungkan daya upaya,
maksudnya sebentar lagi akan putar balik dan menghajar Pui
Kin-beng dengan serangan mematikan.
Justru pada saat itu juga mendadak pandangan matanya
terbeliak, ia lihat dari depan mendatangi seorang gadis jelita
berusia antara lima enam belas tahun, pada ujung rambut
kepalanya terikal dua konde kecil, matanya bening, mukanya
semu merah, rupanya cantik manis seperti bidadari yang turun
dari kahyangan, perawakan gadis itu kecil mungil dan sangat
menarik. Melihat gadis secantik ini, sekalipun Ki Pi-sia sedang
menyelamatkan jiwanya dengan berlari kencang, tidak
tertahan ia memandang juga kepada gadis jelita ini.
Gadis yang pinggangnya menyandang sebatang pedang
pendek ini ketika nampak Ki Pi-sia berlari datang dari depan,
mendadak membentak, "Berhenti!"
Karena heran atas bentakan orang, seketika Ki Pi-sia
menghentikan langkah. "Serahkan pedangmu itu!" tiba-tiba gadis itu membentak.
"Nona cilik, ada apakah dengan kau?" sahut Ki Pi-sia
dengan tertawa, ia anggap lucu sikap anak dara yang tak
dikenalnya ini. Tak terduga, mendadak anak dara itu melompat ke atas
sambil mendamprat, "Kau si pencuri ini, jika tak kau serahkan
pedang itu, biar nonamu mengambilnya sendiri!"
Ilmu entengi tubuh Ki Pi-sia sangat tinggi, tentu saja ia
tidak pandang sebelah mata pada orang, ketika gadis ini
melompat dan menyambar ke arahnya, ia tidak tega melukai
orang, maka hanya mengegos ke samping sambil mengulur
tangan kiri dengan maksud memegang pergelangan tangan si
nona. Di luar dugaan tiba-tiba ia merasa pandangan mata
menjadi kabur, secepat kilat anak dara itu melayang lewat dari
atas kepalanya, mendadak pula Ki Pi-sia merasakan tangannya
menjadi enteng, ternyata pedang pusaka Yu-liong-pokiam
sudah direbut oleh nona cilik itu.
Keruan tidak kepalang rasa kaget Ki Pi-sia karena Ginkang
si gadis ternyata jauh di atas dirinya. Walaupun dirinya tidak
bermaksud bergebrak, maka tidak berjaga sebelumnya, akan
tetapi dalam sekejap mata dan sekali gerakan saja anak dara
itu sanggup merebut pedang dari cekalan tangannya, maka
dapat dimengerti ilmu silat si nona pasti juga tidak boleh
dibuat mainan.

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitulah sesudah gadis itu merampas pedang orang,
segera ia mencegat di hadapan Ki Pi-sia. "Lekas mengaku,
pedang ini kau curi darimana?" ia membentak lagi dengan
ancaman ujung senjata. Sementara itu Pui Kin-beng yang mengudak musuh pun
sudah tiba, kini Ki Pi-sia harus menghadapi lawan dari muka
dan belakang, ia menjadi neka.t, mendadak ia meloncat ke
atas, berbareng bogemnya menjotos ke muka si gadis.
"Hm, kau pencuri kecil ini masih berani kurangajar!" jengek
si gadis. Berbareng pedangnya bergerak secepat angin,
beruntun dua kali ia menusuk 'Cing-ciok-hiat' di pinggang
kanan dan 'Kiok-ti-hiat' di lengan kiri orang.
Serangan berantai yang lihai lagi cepat ini memaksa Ki Pisia
menekuk tubuh dan menggeser langkah, ia harus
keluarkan seluruh kemampuannya baru bisa menghindarkan
diri dari tusukan itu. Nampak orang mampu menghindarkan serangannya, muka
si gadis itupun terunjuk rasa heran. Dalam hati ia sedang
membatin, "Kata Suhu, ilmu silatku sudah boleh buat
merantau Kangouw, tetapi mengapa aku sudah lantas
bertemu lawan setangguh ini, dan tu-sukanku sekaligus tak
bisa mengenainya" Jika semua orang yang kutemukan
berkepandaian seperti dia, maka selanjurnya aku harus
berlaku lebih hati-hati."
Ki Pi-sia bisa hindarkan dua serangan lagi, di sebelah lain
Pui Kin-beng juga sudah tiba, ketika nampak kejadian itu, ia
pun heran dan terkejut, selagi ia bermaksud maju membantu
si gadis, namun ia keburu dibentak.
"Siapa kau, tak boleh kau maju!" demikian gadis itu
membentak. Waktu Pui Kin-beng tercengang dan merandek, ia lihat si
gadis sudah susul-menyusul melancarkan serangan pada Ki Pisia
dengan cepat hingga ia dipaksa berputar-putar, serangan
dan tusukan si gadis yang satu semakin cepat dari yang lain,
Kiam-hoatnya yang lihai ternyata belum pernah disaksikannya
selama hidup! Mau tak mau Pui Kin-beng jadi gegetun, ia menghela napas
panjang, katanya dalam hati, "Di bumi ini betul-betul tidak
sedikit orang kosen, hanya seorang gadis cilik saja
berkepandaian begini tinggi, padahal dulu aku pandang
segalanya serba rendah dan tiada yang lebih unggul dari
diriku, aku betul-betul seperti katak dalam tempurung!"
Sebenarnya kalau bicara soal kepandaian silat, Ki Pi-sia dan
gadis cilik itu masing-masing punya keunggulan sendiri, jika
bertanding ilmu pedars", maka boleh dikata adalah setengah
kati delapan tahil alias sama kuat.
Akan tetapi Ki Pi-sia sudah bertempur setengah hari
melawan Pui Kin-beng dan Teng Hiau-lan, tenaganya sudah
banyak berkurang, ditambah lagi ia sudah ditendang sekali
oleh Pui Kin-beng, gerak-geriknya banyak terpengaruh,
apalagi kini ia harus melawan dengan tangan kosong, keruan
ia selalu berada di bawah ancaman pedang si gadis.
Begitulah maka sesudah berjalan beberapa puluh jurus,
tiba-tiba terdengar gadis cilik itu membentak, "Kena!"
Ternyata pundak Ki Pi-sia sudah tertusuk. Namun Ki Pi-sia
cukup sigap, segera ia jatuhkan diri terus menggelundung
pergi untuk kemudian bangkit kembali di tempat sejauh
beberapa tombak. Saking kesimanya menyaksikan
pertarungan hebat ini sampai Pui Kin-beng lupa membantu si
gadis menangkap musuh. Setelah tusukannya berhasil mengenai orang, gadis itu
berba-lik jadi kaget, soalnya untuk pertama kali inilah ia
melukai orang, maka ketika mendadak nampak ujung
senjatanya berlumuran darah, seketika tangannya menjadi
lemas malah. Justru pada saat itu tiba-tiba terdengar suara bentakan
orang yang keras, "Budak liar, hendak berbuat apa kau ke
sini?" Anak dara tadi menjadi bingung, ia tidak mengerti
mengapa mendadak ada orang mendamprat dia, tatkala ia
menengadah, ia lihat debu bergulung-gulung, serombongan
orang sudah menerjang tiba, yang paling depan adalah
seorang Hwesio dengan tangan menjinjing tongkat besar,
rupanya bengis, suara teriakan tadi datangnya dari Hwesio ini.
Dalam sekejap si nona melihat di belakang Hwesio itu
beruntun menerjang datang beberapa orang, para pengejar
Hwesio ini beraneka macam rupanya, ada yang tinggi, ada
yang pendek, ada Tosu pula dan ada Hwesio.
Waktu itu terlihat seorang lelaki berbadan jangkung yang
ikut mengejar, setiap beberapa tindak ia lantas melayang ke
atas, dengan menekuk sepuluh jarinya ia lantas mengetok ke
atas kepala si Hwesio yang gundul, di samping itu seorang
Tosu yang lain setelah menyerang dua kali dengan pura-pura,
ia lantas menyerobot mendahului ke depan, kemudian dengan
sikap ganas Tosu itu mendelik pada dirinya.
Keruan si gadis menjadi heran, ia bertanya pada diri sendiri
mengapa orang mendelik padanya.
"Hai, kau budak liar ini, lekas ikut aku pulang!" demikian
Tosu itu membentak. Kiranya gadis cilik ini bukan lain daripada Pang Ing, si
kakak dari anak perempuan kembar itu. Ia sudah hampir
sepuluh tahun belajar ikrt Ie Lan-cu, ia sudah memperoleh
intisari ajaran Thian-san-kiam-hoat, ditambah sejak kecil ia
belajar Lwekang dari cabang silat yang asli, dengan sendirinya
dasarnya terpupuk lebih baik daripada Teng Hiau-lan. LebihTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
lebih dalam hal ilmu entengi tubuh, tidak nanti Hiau-lan bisa
memadainya. Ie Lan-cu memungut murid pada usia sudah sangat lanjut,
maka ia pandang Pang Ing sebagai ahli waris satu-satunya
(Teng Hiau-lan pernah belajar tiga tahun padanya, tetapi ia
hanya dianggap sebagai murid 'akuan' saja). Karena kuatir
mempengaruhi jiwa dan semangat belajar Pang Ing, maka
selamanya Ie Lan-cu tidak pernah menceritakan asal-usul si
gadis yang menyedihkan itu. Secara lapat-lapat Pang Ing
hanya ingat bahwa kala kecil ia pernah tinggal di dalam
sebuah istana yang besar sekali, di dalam istana itu banyak
sekali orang, maka Ie Lan-cu lantas memberitahu bahwa
tempat itu adalah sarang penjahat, ia ditolong keluar dari
sarang penjahat itu. Kecuali itu ia masih ingat seorang yang disebut "Teng-sioksiok",
orang inipun pernah belajar ilmu pedang pada Suhu,
tetapi kata Suhu, orang ini tidak terhitung sebagai muridnya,
mereka diharuskan saling sebut paman dan keponakan,
"Teng-sioksiok" (paman Teng) ini telah turun gunung ketika ia
berusia sepuluh. Seterusnya orang yang paling dikenalnya
adalah Li-pekbo dan "Li-koko" yang tinggal di puncak selatan
Thian-san, dia sendiri pernah tinggal di sana selama setahun
bersama Bu Ging-yao, "Li-koko" itu beberapa tahun lebih
muda daripada "Teng-sioksiok", tapi ia merasa "Li-koko" lebih
menyenangkan daripada "Teng-sioksiok".
Sementara ini Pang Ing sudah berusia enam belas tahun,
belum genap sebulan ia turun gunung, Ie Lan-cu suruh dia
mencari Teng-sioksiok lebih dulu, akan tetapi le Lan-cu sendiri tidak
tahu kini Teng Hiau-lan berada dimana, oleh sebab itu ia kasih
tahu lagi bahwa ada seorang yang bernama "Lu Si-nio" sangat
karib sekali hubungannya dengan Teng-sioksiok, Pang Ing
disuruh meninggalkan ukiran tulisan di atas dahan pohon di
samping kuburan Tok-pi Sin-ni di Bin-san, mengatakan bahwa
dia sudah turun gunung, maka diharap bila Lu Si-nio membaca
tulisan itu suka membawa Teng Hiau-lan menemuinya.
Ie Lan-cu pikir Kanglam-chit-hiap mempunyai hubungan
sangat luas di kalangan Kangouw, lagi pula Kanglam-chit-hiap
tiap tahun pasti ada yang naik ke Bin-san buat berziarah ke
makam gurunya, tidak peduli yang mana, bila membaca
tulisan yang ditinggalkan Pang Ing, tentu mereka akan
memberitahu Lu Si-nio, sebaliknya Lu Si-nio tentu bisa
mencari Pang Ing. Tetapi berhubung jarak antara Bin-san dan Tan-liu tidak
jauh, Ie Lan-cu berpesan pula pada muridnya ini bila sampai
di propinsi Holam, hendaknya menengok ke taman belakang
kediaman keluarga Lian, ia beritahukan pula bahwa di tengah
taman bunga itu terdapat sebuah kamar baca, ia disuruh
masuk ke kamar baca itu untuk menyelidiki secara teliti, sebab
mungkin di dalamnya masih terdapat kitab peninggalan.
Seperti diketahui pada tahun Ciong Ban-tong binasa di
bawah tangan Siang-mo, kebetulan Ie Lan-cu berlalu di
tempat itu, kemudian bersama Lu Si-nio dan kawan-kawan
mereka telah membikin kocar-kacir Siang-mo beserta
begundalnya {baca jilid 1 Tiga Dara Pendekar).
Waktu itu Ie Lan-cu menyimpan peninggalan Ciong Bantong
berupa kitab ajaran ilmu pedang dan ilmu ketabiban, ia
pikir kelak akan diserahkan kembali pada ahli waris Bu-kekpay,
tatkala itu karena tergesa-gesa, maka ia tidak meneliti
lebih dulu, belakangan baru kedapatan bahwa sebuah kitab
"Kim-ciam-toh-se', kitab penyembuhan dengan tusuk jarum,
masih ketinggalan, kitab ini adalah tinggalan Pho Jing-cu,
tokoh angkatan tua Bu-kek-pay, yang dikumpulkannya dengan
susah payah dan berisi resep serta cara pengobatan, bukan
saja hebat dalam hal ilmu ketabiban, bahkan banyak pula
terdapat sari rahasia Lwekang golongan Bu-kek-pay.
Ie Lan-cu sendiri masih terhitung tingkatan lebih muda dari
Pho Jing-cu, tetapi di masa hidupnya Pho Jing-cu sangat
sayang padanya, oleh karena itu Ie Lan-cu ingin Pang Ing
mendapatkan kembali kitab itu, maksudnya tidak lain ialah
agar darah keringat yang dikeluarkan kaum Cianpwe tidak
terbuang percuma. Karena itulah Pang Ing kebentrok dengan rombongan
orang ini di jalanan antara Cu-sian-tin ke Tan-liu. Pertamatama
yang ke-pergok olehnya adalah Ki Pi-sia. Di tangan Ki Pisia
waktu itu masih terhunus pedang, yakni Yu-liong-pokiam
milik Teng Hiau-lan. Perlu diketahui bahwa Yu-liong-kiam dan Toan-giok-kiam
adalah dua pedang pusaka dari Thian-san, Teng Hiau-lan
memperoleh Yu-liong-kiam dan Pang Ing mendapatkan Toangiok-
kiam dari gurunya, le Lan-cu.
Kedua pedang ini adalah tinggalan Hui-bing Siansu pada
ratusan tahun lalu yang digembleng di masa mudanya,
wujudnya sama, hanya ukuran panjang-pendeknya yang
berbeda,, yakni Toan-giok-kiam berupa pedang pendek,
karenanya maka begitu Pang Ing melihat, segera ia mengenali
Yu-liong-pokiam dan terus merebutnya dari tangan Ki Pi-sia,
bahkan orang ini dia lukai pula.
Sementara itu ketika Hian-hong melihat Pang Ing, ia telah
salah sangka bahwa Pan Ing adalah Pang Lin yang
dijumpainya tahun lalu, ia lantas ingat saudara keempatnya,
yaitu Tan Goan-pa yang pernah luka oleh belati terbangnya,
maka ia bermaksud menangkap 'Pang Lin' untuk diserahkan
pada Teng Hiau-lan supaya diberi pelajaran.
Ketika Tan Goan-pa pun menyusul datang, ia pun tertegun
sejenak demi menampak si gadis.
Di lain pihak saat Pang Ing nampak Hian-hong sedang
melotot padanya, ia menjadi heran. Pikirnya, orang jahat di
Kangouw sungguh banyak sekali, tanpa tahu sebab
persoalannya, rombongan orang ini datang-datang sudah
hendak membinasakan seorang bocah cilik seperti aku ini,
sungguh kejam sekali! Lalu ia pikir pula bahwa gurunya pernah berpesan apabila
merantau di Kangouw, hendaklah banyak melakukan
perbuatan mulia, melawan kekejaman dan membantu kaum
lemah. Maka ia lantas ambil keputusan, Tosu ini harus diberi
hajaran sedikit supaya tahu rasa.
Maka ketika kemudian Hian-hong menyabet dengan
tongkatnya bermaksud memukul jatuh Yu-liong-pokiam dan
kemudian baru menangkapnya, di luar dugaan, begitu
tongkatnya menyabet, sekonyong-konyong sinar perak
berkelebat, dengan mengeluarkan suara "trang" dan
memuncratkan lelatu api, tongkat Hian-hong ternyata
terkutung sebagian! Hian-hong berteriak kaget oleh kejadian ini, sementara itu
Pang Ing membalik, senjatanya menusuk dari samping, lekas
Hian-hong menyambut dan balas menyerang lagi, tetapi baru
saja ia bergerak, secepat kilat Pang Ing telah mengubah tipu
serangannya yang kedua dan ketiga dengan susul-menyusul.
Ilmu pedang Hian-hong, 'Loan-pi-hong-kiam-hoat',
sebenarnya terkenal kecepatannya, tak terduga tipu serangan
Pang Ing melebihi kecepatannya, untung Hian-hong lebih
matang dan lebih ulet, ia dapat menghindarkan tiga serangan
itu. Sementara serangan keempat Pang Ing sudah sampai pula,
kali ini dengan tipu *Liu-sing-joan-goat' (bintang meluncur
menembus rembulan), suatu tipu hebat dari Thian-san-kiamhoat,
ujung senjatanya secepat kilat mengarah tenggorokan
Hian-hong. Untuk menghindarkan serangan ini, Hian-hong terpaksa
harus mengangkat pedang menangkis ke atas, maka kembali
terdengar suara "trang" yang nyaring, ternyata pedang HianTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hong terkutung sebagian. Bukan main kejut Hian-hong. Lekas
ia melompat keluar dari kalangan pertempuran.
Akan tetapi segera ia dipapaki Liau-in yang sementara itu
sudah menerjang sampai di hadapannya, dengan sekali
kemplangan, tongkatnya diayun ke atas kapala Hian-hong,
syukur Hian-hong masih sempat meloncat pergi dengan cepat,
sedang Liu Sian-gai dan Tan Tek-thay secara beramai pun
sudah mengembut maju buat membantu.
Melihat si Hwesio menghantam si Tosu, Pang Ing berpikir
tentu Tosu ini orang jahat dan si Hwesio adalah orang baikbaik.
Tak ia sangka waktu Liau-in nampak dia, ia pun salah
sangka Pang Ing sebagai Pang Lin, pikir Liau-in, "Pang Lin
adalah orang yang dimaui oleh Hongsiang, jangan sampai dia
lolos lagi.'" Karena itulah begitu ia putar tongkatnya, ia desak Tan Tekthay,
Liu Sian-gai dan kawan-kawan hingga terpaksa harus
mundur. Rombongan orang ini dikepalai oleh Hian-hong, kini
kedua senjata Hian-hong, yaitu pedang dan tongkat, sudah
terkurung semua, dengan sendirinya mereka menjadi jeri dan
tidak berani merangsek Liau-in lebih dekat lagi.
Dalam pada itu Liau-in dapat melihat pula di tangan Pang


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ing memegang pedang pusaka Yu-liong-kiam, ia berpikir lagi,
"Budak liar ini sungguh terlalu berani, sampai Ki Pi-sia pun
berani dilukai-nya."
Maka tanpa ayal lagi, begitu ia geraki tongkatnya,
mendadak ia lantas menyapu ke arah Pang Ing.
Padahal Liau-in disangka orang baik oleh Pang Ing, sama
sekali tidak diduganya, sekonyong-konyong Hwesio ini berbalik
menyerangnya, dalam keadaan tidak berjaga lebih dulu, ia
masih sempat angkat pedang buat menangkis, maka
terdengarlah suara "trang" yang keras, walau tongkat Liau-in
tergumpil sebagian, namun Yu-liong-pokiam di tangan Pang
Ing tak bisa dipegang kencang lagi, pedang pusaka itu
terguncang terbang ke udara.
Tang Ki-joan yang berada di dekat situ dengan cepat lantas
melompat hendak merebut pedang pusaka yang terbang ke
atas itu, akan tetapi gerak tubuh Tan Tek-thay ternyata
terlebih cepat, tukang copet sakti ini telah mendahului
setengah langkah dan berhasil menyambar pedang pusaka itu.
Tang Ki-joan menjadi murka karena didahului orang, diamdiam
ia kumpulkan tenaga dalam terus mengirim sebelah
telapak tangannya untuk menghantam, hendak
menghindarkan diri sudah tak sempat lagi, tiada jalan lain,
Tan Tek-thay terpaksa sambut serangan ini secara keras
lawan keras, ia pun baliki telapak tangannya menangkis.
Maka terdengarlah suara "plak" yang keras dibarengi jeritan
Tang Ki-joan sembari melompat mundur sejauh tiga tombak,
pada telapak tangannya tertampak darah bercucuran.
Tan Tek-thay, si tukang copet sakti, dengan sendirinya
punya akal licik sebagai tukang copet, sudah terang ia tahu
bukan tandingan orang, jika harus beradu tenaga sungguhan
terang ia akan kalah, maka diam-diam di telapak tangannya
telah dia jepit sebuah 'Tau-kut-ting', paku penembus tulang,
yang dia copet dari saku Tang Ki-joan tadi, tatkala kedua
telapak tangan beradu, ujung paku terus menancap, keruan
saja 'Tau-kut-ting' itu betul-betul menembus telapak tangan
tuannya. Sebaliknya Tan Tek-thay yang paksakan diri menerima
hantaman itu, seketika juga merasa kepala pusing dan mata
berkunang-kunang, bumi dirasakan seperti berputar dan langit
terbalik, untung Long-goat Siansu keburu menahan tubuhnya
hingga tidak sampai roboh.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Long-goat.
Akan tetapi Tan Tek-thay tidak menyahut, ia berpaling ke
jurusan lain terus meludah pada lengan bajunya, perbuatan ini
dapat diketahui Long-goat Siansu, ia lihat pada lengan baju
Tan Tek-thay basah merah, tahulah dia tentu Tan Tek-thay
terluka dalam, oleh karena itu sengaja meludah sambil
berpaling, perlunya supaya tidak diketahui musuh.
"Mari pergi saja!" lekas Long-goat berseru pada Suhengnya
demi melihat gelagat jelek.
Dalam keadaan Hian-hong sudah terkutung senjatanya,
Tan Tek-thay terluka dalam pula, sedang Pui Kin-beng sudah
payah kehabisan tenaga, tiga kawannya lagi terang bukan
tandingan Liau-in, bahkan masih belum diketahui si gadis cilik
ini kawan atau lawan, terpaksa Hian-hong memberi tanda,
mereka berenam lantas mundur teratur.
Di sebelah sana Liau-in masih menempur Pang Ing,
sesudah berhasil membikin terbang pedang si gadis, maju
setindak lagi ia ulurkan tangannya hendak menjambret.
Tak terduga kembali Pang Ing mencabut keluar pedangnya
sendiri, Toan-giok-kiam, begitu ia geraki Pokiamnya buat
membabat, dengan kaget Liau-in lekas menarik kembali
tangannya, akan tetapi betapa cepatnya pun tidak urung
lengan bajunya terobek sebagian.
Keruan tidak kepalang murka Liau-in, ia ayun tongkatnya
dengan tujuan menghantam terbang pedang si gadis lagi
seperti tadi. Namun Pang Ing sudah berpengalaman, ia tak
membiarkan pedangnya kebentur, ia melompat sambil
menutulkan ujung pedangnya ke ujung tongkat orang, maka
tubuhnya pun ikut membal ke atas, di angkasa ia masih putar
senjatanya untuk segera menubruk lagi ke bawah sambil
menikam. Dengan sendirinya Liau-in tidak gampang dilukai, ia
tegakkan tongkatnya terus menyodok ke atas.
Lekas Pang Ing mengegos di udara, habis itu beruntun ia
mendahului menyerang tiga kali dengan cepat sekali.
Tetapi kembali serangan ini dapat digagalkan Liau-in
dengan sekali putar tongkamya, begitu hebat daya tekanan
tongkatnya hingga Pang Ing dipaksa menancapkan kembali
kakinya ke bawah di tempat sejauh setombak lebih. Liau-in
tidak tinggal diam, dengan memutar tongkat segera ia
memburu maju, ia ulur tangannya hendak menjambret lagi.
Tapi ilmu pedang Pang Ing ternyata hebat luar biasa,
sedikit kendur daya tekanan tongkat Liau-in, mendadak ia
menyelusup lewat di bawah tongkamya terus mendesak maju
sambil pedang menusuk ke bawah bahu Liau-in.
Tidak kepalang kaget Liau-in atas serangan tiba-tiba ini,
untuk menghindarkan diri dari kematian. terpaksa ia harus
balas membinasakan lawan juga, mendadak ia tarik
tongkatnya terus menyabet ke depan, gerak tipu ini adalah
gaya 'gugur gunung' dari Thian-mo-tiang-hoat yang lihai, satu
tipu mencari kemenangan di kala diri sendiri terancam bahaya,
tenaga yang dikeluarkan luar biasa dahsyatnya.
Pang Ing terkejut juga oleh serangan musuh yang
membalik, melihat gelagat tak menguntungkan, kembali ia
tutulkan ujung senjatanya ke atas tongkat orang, tubuhnya
lagi-lagi tersendai naik ke udara.
"Hwesio ini sungguh tangkas sekali, terang aku bukan
tandingannya!" begitu pikir Pang Ing.
Maka ketika ia tancapkan kakinya kembali, ia tidak
menyerang Liau-in lagi, tetapi ia keluarkan ilmu entengi
tubuhnya yang hebat dan kabur menuju ke jurusan selatan.
Liau-in sampai terkesima dan mata terbelalak oleh gerak
tubuh dan silat si gadis yang bagus itu, dalam hati ia berkata,
"Celaka, celaka! Budak liar entah dapat belajar Kiam-hoat
darimana sehingga demikian bagusnya, sejak kini di kalangan
Kangouw bakal bertambah seorang 'Lu Si-nio' lagi."
Di samping sana Tang Ki-joan sedang sibuk mencabut paku
yang menancap di telapak tangannya dan mengobati
racunnya, tidak nyana senjata ini bisa makan tuannya sendiri,
ia mendongkol sekali oleh kelicinan orang, katanya pada Liauin
dengan menghela napas, "Kita kalah habis-habisan."
"Budak liar ini telah banyak bertambah lihai ilmu entengi
tubuhnya," kata Liau-in tatkala nampak gerakan Pang Ing
begitu sebat dan cepat, hanya sekejap saja sudah menghilang
dari pandangannya. "Mari kita kembali dan melapor pada Lian Keng-hiau,"
ajaknya kemudian. Setelah Liau-in dan Tang Ki-joan kembali di Cu-sian-tin,
sementara itu Ki Pi-sia sudah sampai lebih dulu, ketika mereka
bertiga memasuki kemah, baru mereka mendapat tahu bahwa
karena tak sabar menantikan mereka kembali, dengan
membawa beberapa prajurit pengawal, Lian Keng-hiau sudah
berangkat ke kampung halamannya di Tan-liu. Mereka
diberitahu pula oleh perwira piket bahwa Tayswe dua hari lagi
baru akan kembali bersama pasukan, disampaikan pula pada
Liau-in agar dia menyerahkan Pui Kin-beng pada Gak Ciong-ki
untuk diambil tindakan seperlunya.
Atas pesan yang ditinggalkan itu, tidak bisa berbuat lain
bagi Liau-in dan Tang Ki-joan kecuali menurut saja.
Bercerita tentang Lian Keng-hiau, sesudah dapat merebut
kekuasaan militer dari In Te, dapat menaklukkan Ki Pi-sia
pula, ia gembira sekali. Ia memandang kampung halamannya
dari jauh, dalam hati lantas terbayang wajah Pang Lin yang
manis. Ketika Keng-hiau menghitung, nyata sampai tahun ini Pang
Lin sudah genap berumur enam belas, ia pikir anak dara ini
tentu sudah tumbuh lebih tinggi daripada dahulu.
Ia teringat juga atas dirinya sendiri yang telah berbahagia
dalam usia semuda ini, kekuasaan ada, para pangeran saja
tidak ia pandang sebelah mata, begitu pula pembesar macam
apapun ia anggap sepi, manusia hidup sampai pada tingkatan
demikian ini boleh dika-ta sudah senang dan puas sekali.
Kekurangan satu-satunya bagi dirinya ialah masih belum
mempunyai seorang istri yang menyenangkan dan cocok
dengan pilihan hatinya. Ia jadi teringat, walaupun Hongsiang menaruh hati pada
Pang Lin, tapi sebagai maharaja yang mempunyai selir cantik
memenuhi istananya, kalau aku bisa mendahului maju
selangkah dan memperoleh Pang Lin lebih dulu, tentunya
Hongsiang tidak merasa enak untuk berebut dengan aku.
Hendaklah diketahui bahwa kini kedudukan Lian Keng-hiau
sudah jauh berbeda, terhadap In Ceng, ia pun tidak begitu
takut seperti dahulu. Lian Keng-hiau perintahkan pasukannya berkemah tiga hari
di luar kota Cu-sian-tin, tujuannya selain hendak
menyelesaikan urusan In Te, ia ingin pulang menyambangi
rumahnya sekaligus mencari tahu apakah Pang Lin masih
tinggal di rumahnya atau tidak.
Pagi hari itu ia menulis sepucuk surat dan menyuruh Siangmo
menyampaikan kepada ayahnya, maksudnya agar
kepulangannya ini tidak terlalu mendadak hingga membikin
kaget orang tua saja, sebenarnya hanya lagak Keng-hiau
sesudah menjadi panglima besar.
Siang-mo, Pat-pi-sin-mo Sat Thian-ji dan Tay-lik-sin-mo Sat
Thian-toh, meski watak kedua manusia iblis ini masih sangat
liar, tetapi mereka tidak sesombong seperti Liau-in, mereka
masih mau tunduk di bawah perintah Lian Keng-hiau, oleh
sebab itulah diam-diam Keng-hiau telah memberi perintah
rahasia kepada mereka berdua untuk mewakilkan dirinya
mengawasi tindak-tanduk Liau-in, hari ini mereka diutus pula
mengirim surat pribadi. Sesudah Siang-mo berangkat, Lian Keng-hiau menunggu
pula sampai hari sudah siang, namun masih belum nampak
Liau-in dan kawan-kawan kembali, ia jadi tak sabar, pikirnya,
"Ah, biar urusan kecil ini diselesaikan oleh Gak Ciong-ki saja."
Maka ia sendiri lantas membawa beberapa prajurit
pengawalnya, terus mencemplak kuda perangnya dan pulang
ke rumah asalnya. Kembali mengenai Pang Ing, sesudah gadis ini kabur ke
jurusan yang sepi, ia lihat Hwesio jahat itu tidak menguber
lebih jauh, maka ia lantas balik kembali ke jalanan tadi, ia
menarik napas lega dan meneruskan perjalanan menuju ke
Tan-liu. Menjelang lohor, tiba-tiba ia mendengar di belakangnya
berkumandang suara keleningan kuda, ketika menoleh,
dilihatnya ada dua kakek berwajah aneh sedang cengar-cengir
padanya. Tiba-tiba Pang Ing teringat bahwa kedua orang ini seperti
pernah bertemu entah dimana. Waktu ia coba mengingatnya,
tahulah dia, kedua orang ini adalah orang dari 'sarang
penjahat' itu, waktu dirinya masih kecil mereka sering
mengajaknya bermain di dalam gedung besar itu, ia masih
ingat dalam gedung besar itu seperti banyak terdapat palung
Buddha yang besar dan aneh beraneka macam.
Pang Ing ternyata masih ingat kedua iblis ini, sebaliknya ia
lupa akan Liau-in, karena rupa Siang-mo rada aneh dan lain
dari yang lain, pula asalnya mereka yang membawa Pang Ing
ke dalam istana pangeran.
Keruan begitu nampak Pang Ing, mereka menjadi
kegirangan, seketika Sat Thian-ji melompat turun dari kuda
terus menghadang ke depan orang.
"Yan-ji, dalam dua tahun ini kemana kau pergi" Marilah ikut
kami pulang!" demikian ia berseru.
Akan tetapi tiba-tiba ia lihat mata Pang Ing mengunjuk
sinar terang, matanya membelalak bundar padanya.
"Kenapa, apa kau sudah tak kenal aku lagi?" kata Sat
Thian-ji rada kuatir. "Aku kenal kau sebagai bandit!" tiba-tiba Pang Ing
menyahut. Keruan Sat Thian-ji menjadi gusar karena orang berani
mengatakan dia bandit. "Sekalipun kami'adalah bandit atau
iblis, sedikitnya ada budi juga atas dirimu!" balasnya
mendamprat. Memang Siang-mo di kala muda pernah menjadi bandit,
mereka pun tahu bahwa di kalangan Kangouw, mereka
disebut sebagai 'iblis', oleh sebab itu mereka paling benci jika orang
memaki mereka bandit dan iblis, coba kalau bukan Pang Ing,
sejak tadi ia tentu sudah turun tangan.
Tak terduga Sat Thian-ji belum turun tangan, tahu-tahu
Pang Ing malah memulai lebih dulu, begitu tubuhnya
bergerak, dengan cepat ia kirim tusukan ke muka orang.
Namun Sat Thian-ji cukup sebat, dengan enteng ia
mengegos, tapi baru saja ia menghindarkan diri, sekonyongkonyong
Pang Ing mengirim pula tusukan kedua dan ketiga
susul-menyusul, Sat Thian-ji berulang kali ganti tipu gerakan,
tapi tetap belum bisa menghindar rangsekan si dara, ia
merasakan ujung pedang Pang Ing seperti berkelebat kian
kemari di muka dan belakangnya, masih untung karena Sat
Thian-ji pernah meyakinkan ilmu menggempur dan menubruk
cara elang kucing, hingga gerakannya gesit dan licin, kalau
tidak, sejak tadi ia sudah ditusuk oleh Pang Ing.
Keruan Sat Thian-ji semakin murka, saking gusarnya ia
berteriak, "Budak ini sudah tak kenal budi lagi, buat apa kita
sayangi dia?" Segera Sat Thian-toh ikut menerjang maju terus membelah
dengan telapak tangannya.
Melihat rupa kedua iblis yang bengis dan kejam ini mulai
mengeroyok, Pang Ing pun menjadi sengit.
"Bagus sekali, kalian bandit anjing ini betul-betul jahat!"
serunya. Ujung senjatanya lantas membalik, Sat Thian-toh
yang biasanya suka terjang dan menghantam secara ceroboh,
ia tidak menduga ilmu pedang Pang Ing bisa begini bagus dan
lihai, karena itu, lekas ia bermaksud menarik kembali
tangannya, tetapi sudah terlambat, pundaknya tergores.
Sat Thian-ji pun tak lahan lagi, begitu tubuhnya melayang
naik, tiba-tiba sepuluh jarinya terulur dan sepuluh kukunya
yang panjang menjulur keluar menusuk ke muka Pang Ing.
Karena serangan yang aneh ini, Pang Ing jadi terkejut juga,


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lekas ia putar tubuh dan menusuk lagi dengan cepat, tetapi
dengan mengeluarkan gerak serangan seperti elang kucing,
dengan mencakar, menubruk, membeset dan mematuk, Sat
Thian-ji mulai bergebrak dengan sengit melawan Pang Ing.
Di samping sana, Sat Thian-toh yang sudah terlatih laksana
kulit tembaga dan talang besi, hanya terkena goresan pedang
saja ia anggap sepele, mendadak ia cabut sekenanya
sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan, habis itu ia
sabetkan dari samping ke arah Pang Ing.
Namun Pang Ing bisa bergerak dengan gesit dan cepat,
dengan sedikit berkelit ia sudah bisa menghindarkan diri.
Sementara itu Sat Thian-ji telah mengulur tangan kanan
hendak mencakar lengan dan tangan kiri mencengkeram ke
muka lawan, melihat tipu serangan yang cukup ganas ini,
berulang kali Pang Ing masih bisa meluputkan diri dengan
gerak tabuh yang bagus. Akhirnya Sat Thian-toh menjadi murka, tiba-tiba ia menyerampang
dengan batang pohon, ia menyapu kaki Pang Ing,
dengan begini Pang Ing dipaksa harus menjaga bagian bawah
dirinya, maka ilmu entengi tabuhnya pun terpengaruh, sedang
kepandaian menubruk dan menghantam secara elang kucing
dari Sat Thian-ji lihai luar biasa, lagi pula mereka berdua
saudara bisa bekerja sama dengan rapat, meski ilmu pedang
Pang Ing sangat bagus, namun ia pun tak bisa mengalahkan
mereka. Ilmu silat Pang Ing sekarang kira-kira sepadan dengan Lu
Si-nio di kala untuk pertama kali turun dari Bin-san, waktu itu
Lu Si-nio bisa mengalahkan Pat-pi-sin-mo, tapi masih belum
bisa menandingi keroyokan Siang-mo berdua.
Kini pun demikian dengan Pang Ing, apalagi umurnya
masih lebih muda daripada waktu Lu Si-nio turun gunung
dulu, tenaganya pun tak bisa bertahan lebih lama daripada
Siang-mo. Begitulah, maka sesudah saling gebrak kira-kira setengah
jam, Pang Ing merasa napasnya mulai memburu dan hati
terguncang hebat, tenaganya habis, ia bermaksud membobol
kepungan orang buat kabur, namun kedua lawan ternyata
semakin kencang mengerubut-nya.
"Budak yang lupa budi dan tak setia, hayo, lekas kau
berlutut dan mengaku salah, mungkin kami masih bisa ampuni
engkau!" terdengar Sat Thian-ji mendamprat pula.
Namun sepatah kata pun Pang Ing tak menjawab,
sekonyong-konyong ia memutar pedang dan menusuk
pergelangan tangan Sat Thian-ji, ketika dengan cepat Sat
Thian-ji menarik kembali tangannya, di lain pihak Sat Thiantoh
sudah menyapu pula dengan dahan pohonnya.
Setiap kesempatan tidak pernah Pang Ing sia-siakan,
dengan cepat ia menutul dahan pohon itu dengan ujung
kakinya, menyusul berjumpalitan terus melayang pergi jauh.
"Lari kemana!" bentak Sat Thian-ji. " Ia pun melompat naik
dengan cepat terus mencengkeram dari
atas. Tidak terduga ilmu entengi tubuh Pang Ing sudah
sempurna, di tengah udara mendadak ia sedikit menekuk
tubuh, berbareng pedang membalik terus menusuk ke atas.
Karena serangan balasan yang mendadak lagi cepat ini, Sat
Thian-ji tak keburu menghindarkan diri, betisnya tertusuk,
tetapi ia masih terus mencakar ke bawah, karena itu Pang Ing
pun terluka oleh kuku jarinya, berbareng karena tenaga
dorongan orang, Pang Ing berhasil melayang pergi sejauh lima
enam tombak. "Bagus sekali, kau budak liar ini masih berani melukai
orang tua!" Sat Thian-toh berteriak pula. Ia putar pohon yang
dicekal terus memburu maju dengan cepat.
Sat Thian-ji sudah tertusuk, untung Pang Ing menyerang di
udara dan tak bisa menggunakan tenaga sepenuhnya, maka
lukanya tidak berat, ia robek kain baju buat membalut
lukanya, kemudian dengan menahan rasa sakit ia mengudak
lagi. Setelah Pang Ing bisa lari pergi beberapa tindak, mendadak
ia merasakan kepalanya pusing dan matanya berkunangkunang,
mulutnya kering dan kehausan, kiranya ini adalah
bekerjanya racun pada lukanya yang terkena cakaran kuku Sat
Thian-ji. Perlu diketahui bahwa sepuluh kuku jari Sat Thian-ji sudah
terendam dalam air racun dari ular yang paling berbisa, jika
tiada obat pemunahnya, dalam dua belas jam orang yang
terkena pasti akan binasa, semakin banyak mengeluarkan
tenaga, menjalarnya racun semakin cepat.
Pang Ing tidak mengetahui akan hal ini, tadi ia telah angkat
langkah seribu hendak kabur, karena itu hampir saja ia
terjungkal pingsan, cepat ia berhenti dan mengumpulkan
tenaga dalam untuk menahan bekerjanya racun, dengan
demikian ia rasakan rada mendingan. Sebab ini juga Siang-mo
keburu menyusul tiba. "Kau budak rendah yang tidak kenal budi kebaikan ini, kini
kau berada di ambang pintu kematian, apa kau belum mau
mengaku salah dan minta ampun?" dengan gemas Sat Thian-ji
membentak. "Cis!" tiba-tiba Pang Ing membalas dengan suara
mencemooh. Ia ingat betul apa yang diajarkan gurunya bahwa
sekalipun badan boleh menjadi abu, tetapi sekali-kali tidak
boleh menyerah dan minta ampun. Maka ia lantas hentikan
tindakannya, ia angkat pedang pusakanya, Toan-giok-kiam, ke
atas. x "Hayo, bandit anjing, coba majulah lagi!" dampratnya
menantang. Sudah tentu kedua iblis ini sangat murka atas caci maki si
nona yang berulang-ulang menyebut mereka bandit.
"Kau sudah terluka oleh kuku berbisa, jika kau tidak minta
ampun, tidak disangsikan lagi kau pasti akan mampus, apakah
kau masih belum mau insaf?" damprat Sat Thian ji. "Jika kau
tetap kepala batu, kami akan duduk di sampingmu sini dan
menyaksikan kau mampus oleh bekerjanya racun di badanmu,
tidak perlu kami berhantam lagi dengan kau!"
Pang Ing juga menjadi murka, secara kalap ia menerjang
maju pula terus menyerang, ia memberondong orang dua kali
tusukan. Sat Thian-ji tertawa dingin atas serangan anak dara ini, ia
tarik saudaranya mundur ke belakang, Pang Ing lantas
menerjang maju lagi, tetapi kembali ia merasakan pandangan
matanya kabur dan jantung memukul keras, lekas ia berusaha
menenangkan semangatnya supaya tetap sadar.
"Cis, dasar bandit anjing, tidak berani secara terangterangan,
tetapi secara diam-diam memakai cakar berbisa,
memang perbuatan bandit yang kotor dan rendah!" Pang Ing
mencaci maki lagi. Sat Thian-ji mengerti gadis ini tidak akan tahan lebih lama
lagi, maka ia tak gubris caci makinya, sebaliknya Sat Thian-toh
menjadi tak sabar, ia membentak dengan gusar terus
menubruk maju. "Awas dengan Pokiamnya!" seru Sat Thian-ji memperingat-
Sekonyong-klonyong Pang Ing juga melompat naik
memapaki orang dengan tusukan pedangnya, hantaman Sat
Thian-toh ternyata mengenai tempat kosong, sebaliknya tibatiba
pundaknya kembali tertusuk oleh senjata Pang Ing.
Sat Thian-ji lebih licik dari saudaranya, ia telah mengincar
dengan jitu, begitu ulur tangannya, seketika ia dapat merebut
pedang Pang Ing, sekalian ia mendorong anak dara itu hingga
Pang Ing jatuh tersungkur.
Sat Thian-toh beruntun merasakan dua kali tusukan Pang
Ing, ia menjadi murka, begitu melompat maju segera ia
menghampiri Pang Ing yang masih menggeletak di tanah.
"Biar dia minta ampun sendiri!" ujar Sat Thian-ji.
"Kau boleh ampuni dia, tetapi aku tidak!" sahut Sat Thiantoh
dengan murka. Dengan menggenggam kepalan ia
memburu maju lagi. Sat Thian-ji cukup kenal tabiat saudara mudanya ini yang
tidak mungkin dikendalikan bila sudah umbar kemurkaan, ia
tiada alasan buat merintanginya. Dalam keadaan serba susah
ini tiba-tiba terdengar suara keleningan kuda yang berbunyi
nyaring dan ramai, debu pun mengepul tebal, tertampak Lian
Keng-hiau sedang mendatangi dengan beberapa prajurit
pengiringnya. "Hai, apakah yang sedang kalian lakukan?" seru Keng-hiau
dari jauh. "Budak liar yang tidak kenal kebaikan ini telah menusuk
aku dua kali!" tutur Sat Thian-toh dengan gemas.
Waktu itu Pang Ing masih jatuh pingsan di atas tanah,
demi mengenali siapa nona itu, diam-diam Lian Keng-hiau
sangat terkejut, namun ia tidak menunjukkan tanda-tanda
perasaannya. "Cara bagaimana kalian pergoki dia?" ia lantas tanya lagi.
Maka Sat Thian-ji lantas menceritakan kejadian tadi.
"Untung dia tak dipergoki di rumahku," demikian diam-diam
Lian Keng-hiau bersyukur dalam hati. "Tetapi si budak Pang
Lin seperti setan cerdiknya, mengapa dia tidak lantas
menyingkir demi kepergok dua iblis ini?"
Sementara itu terdengar Sal Thian-toh buka suara lagi
dengan rasa gemas yang masih belum hilang, "Budak yang
tidak kenal kebaikan ini biar kubinasakan dia saja, Tayswe!"
Mendengar kata-kata ini, mata Lian Keng-hiau menjadi
melotot. "Bila kelak Hongsiang minta orangnya, siapa berani
menanggung resiko?" dengan dingin ia bertanya.
Memang Sat Thian-toh adalah seorang kasar yang tidak
bisa berpikir, karena ancaman itu seketika ia tertegun.
"Thian-ji, coba berikan obat pemunahnya padaku,"
kemudian terdengar Lian Keng-hiau berkata pada Sat Thian-ji.
Dengan sendirinya Sat Thian-ji tidak berani menolak
perintah dan mengeluarkan obat pemunahnya. "Tayswe, kami
berdua saudara bersedia menggiringnya ke kotaraja," katanya
kemudian. Tetapi Keng-hiau tidak menjawab, ia terima obat pemunah
yang disodorkan itu dan dengan cepat ia bubuhkan di luka
Pang Ing, sebagian pula ia cekoki mulut anak dara itu.
Obat pemunah ini memang sangat mustajab, hanya dalam
sekejap Pang Ing sudah sadarkan diri, ketika melihat SiangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
mo berdiri di sebelah dan terdapat pula seorang panglima
muda berjongkok di sampingnya, ia menjadi heran.
"Adik Lin, tenanglah dan kumpulkan tenagamu saja," ujar
Keng-hiau setelah melihat anak dara itu sadar.
Pang Ing menjadi lebih heran dan bingung oleh panggilan
orang, pikirnya di dalam hati, "Hari ini entah bagaimana" Ada
orang memaki aku budak liar, ada pula yang memanggil aku
adik segala!" Ketika ia lihat sikap panglima muda ini tidak bermaksud
jahat, ia lantas tenangkan diri, bahkan ia lantas duduk dan
diam-diam kumpulkan tenaga dalam. Selang tidak lama, ia
rasakan napasnya sudah berjalan seperti biasa dan tenaga
sudah pulih, dengan sekali loncat ia lantas berdiri.
"Budak liar, sekali ini kau mau menyerah atau tidak?"
dengan mata mendelik Sat Thian-toh mendamprat padanya.
"Saudaraku, jangan kau takut-takuti dia!" ujar Sat Thian-ji.
Sebaliknya Lian Keng-hiau lantas berkata kepada Pang Ing,
"Ambil pedangmu itu dan pulanglah bersama aku!"
Pang Ing tak menyahut, ia masukkan pedang ke dalam
sarungnya, lalu ia memberi, hormat kepada Lian Keng-hiau.
"Banyak terima kasih atas budi pertolonganmu tadi," katanya.
Habis itu mendadak tubuhnya bergerak, ia keluarkan
Ginkang yang hebat luar biasa, ia melompat turun ke gili-gili
sawah terus kabur dengan kencang.
"Lekas kejar!" seru Lian Keng-hiau gugup. Segera pula ia
sendiri menguber dengan disusul oleh prajurit pengiringnya.
Siang-mo pun ikut pula mengudak.
Akan tetapi dalam sekejap Pang Ing sudah melayang lewat
belasan petak sawah kering dan naik ke atas bukit sana,
dengan kuda susah untuk mendaki gunung, sedang ilmu
entengi tubuh Siang-mo tidak lebih unggul dari si nona, maka
dengan mata terbuka lebar Lian Keng-hiau menyaksikan anak
dara itu menghilang ke dalam rimba gunung dan tidak muncul
pula. "Budak ini sudah tak kenal budi kebaikan lagi, kami berdua
saja tidak mau dikenalnya lagi, tak usah mengharapkan
kembalinya lagi," ujar Sat Thian-toh dengan mendongkol.
Lian Keng-hiau jadi tertegun, ia terdiam, rada lama baru
terdengar ia menjawab, "Kelak saja mengurusnya lagi."
Lalu dengan membawa prajuritnya ia kembali ke jalanan
Pedang Asmara 7 Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis 11
^