Pencarian

Tiga Dara Pendekar 20

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 20


"Coba baunya, sedap tidak?" dengan tertawa Pang Lin
menggoda. Tanpa disuruh lagi segera Li Ti menggerogoti paha
kambing panggang itu meski masih dipegangi Pang Lin.
"Ehm, sedap dan sangat lezat!" demikian berulang-ulang ia
memuji. Habis itu segera ia pegangi paha kambing itu terus dilalap
dengan lahap sekali. "Lama kelaparan, jangan kau makan terlalu banyak, awas
perutmu bisa berbalik jadi sakit," ujar Pang Lin dengan
tertawa. "Jangan kuatir, kita sudah biasa berlatih Lwekang, tidak
nanti punya perut begitu lemah seperti orang biasa," sahut Li
Ti sambil terus menjejalkan daging ke mulutnya.
Sekejap saja paha kambing panggang itu sudah dilalap
bersih tinggal tulangnya saja.
Nampak orang makan dengan rakus, diam-diam Pang Lin
menjadi geli, hampir saja ia tertawa, tetapi bila teringat
olehnya bahwa pemuda itu kelaparan disebabkan membela
dirinya^juaka urunglah ia tertawa.
"Ha, tadi aku malah kuatir kalau kau tidak kembali ke sini!"
demikian Li Ti berkata dengan tertawa meringis.
"Aku pergi agak lama sebab aku tak berani memanggang di
dekat gua sini, aku kuatir kau tak tahan asapnya," sahut Pang
Lin. "Bagus, kini kau sudah banyak tahu urusan," puji Li Ti.
"Tetapi aku tahu dalam hati kau mengomeli aku," ujar Pang
Lin. "Kapan aku pernah mengomeli kau?" tanya Li Ti.
Habis itu ia lantas menyalakan api unggun dengan kayu
bakar yang terdapat di situ. Di bawah sinar api, ia lihat Li Ti
sedang terpesona memandang dirinya, Pang Lin menjadi geli.
"Bagaimana" Apa aku telah salah omong lagi dan membikin
marah kau?" tanyanya dengan tertawa.
"Tidak, tetapi aku sedang memikirkan sejurus tipu serangan
pedang," sahut Li Ti.
"Tipu serangan yang manakah?" tanya Pang Lin heran.
"Tadi Waktu kau bertempur melawan Hwesio jahat itu,
suatu ketika Hwesio ita telah menggunakan tipu 'King-to-bikan'
(ombak mendampar pantai)," tatar Li Ti, "lantas kau
keluarkan tipu 'It-wi-to-kang' (sebatang galah menyebrangi
sungai), dengan enteng kau mengelakkan serangan musuh
dan dengan manis sekali kau menghindarkan diri, caramu itu
memang tepat sekali. Namun aku masih ingat waktu Ie-pekbo
mempertunjukkan 'Han-to-kiam-hoat' dari Thian-san-kiamhoatnya,
di antaranya terdapat satu gerak tipu yang disebut
'Long-yong-kim-bun' (arus air membanjiri pinta emas), satu
gerakan dengan empat macam serangan susul-menyusul dan
hebat sekali, cocok sekali untuk melawan tipu serangan
musuh 'King-to-bik-an' tadi, tetapi mengapa tidak kau pakai
jurus ita" Cuma terhadap Thian-san-kiam-hoat aku sendiri pun
kurang paham, hanya pendapatku saja begitu, betul tidak,
harap adik suka memberi petunjuk dan dapatkah kau
perlihatkan gerak tipu 'Long-yong-kim-bun' ita padaku, agar
kita dapat mempelajarinya."
Pang Lin jadi melongo oleh pertanyaan orang yang terakhir
ini, namun ia masih memaksakan diri menjawab. "Aku sudah
lupa semua." "Bagaimana kau bisa lupa?" kata Li Ti tidak percaya.
"Ya, sesudah aku turun gunung, pernah aku jatuh sakit
payah sekali," tutur Pang Lin dengan mata merah berkaca.
"Waktu itu tiada orang yang merawat aku, maka seorang
perempuan tua telah memasak obat untukku, sesudah aku
minum dan sembuh, lalu segala apa yang terjadi dahulu aku
tidak ingat lagi." Apa yang diuraikan Pang Lin sudah tentu bohong belaka,
dengan sendirinya Li Ti pun sukar mempercayainya. Maka
pemuda ini memandangi Pang Lin dengan mata terpentang
lebar. Pang Lin agak terharu demi nampak rasa simpati pemuda
ini padanya, ia pikir, lambat-laun toh akan ketahuan juga,
tidakkah aku ceritakan terus terang saja sekarang"
Tetapi tiba-tiba terdengar Li Ti menghela napas dan
berkata, "Sayang, sungguh sayang sekali, Thian-san-kiamhoat
begitu hebat dan mujizat, ternyata telah dilupakan semua
olehmu!" Namun Pang Lin lantas mendekatinya dan menarik tangan
Li Ti. "Jika aku mendustai kau umpamanya, apa kau akan marah
padaku?" demikian tiba-tiba dengan tertawa si nona bertanya.
Keruan Li Ti sangat terkejut. "Dalam hal apa kau telah
mendustai aku?" tanyanya cepat.
"Sebenarnya aku sama sekali tidak paham Thian-san-kiamhoat!"
sahut Pang Lin. Di luar dugaan, jawaban ini membikin Li Ti bergelak
tertawa malah. "Haha, ucapanmu inilah yang betul-betul
dusta, jika kau tidak paham Thian-san-kiam-hoat, lalu siapa
lagi yang paham?" ujarnya geli.
"Ya, aku tahu pikiranmu, kau tentu curiga aku ini bukan
kau punya Ing-moay, maka semua jasa yang telah kau berikan
padaku membuatmu menyesal bukan?" tiba-tiba Pang Lin
berkata dengan mengembeng air mata.
"Mengapa kau bisa berkata demikian?" sahut Li Ti dengan
melonjak. "Kita kaum pendekar sudah biasa menolong
sesama, seumpama orang tidak dikenal, dalam keadaan
menderita dan jatuh sakit, sudah seharusnya kita memberi
pertolongan padanya. Apalagi antara kau dan aku" Dengan
kata-katamu itu, kau anggap aku ini orang macam apa?"
Sebenarnya Pang Lin sudah hendak menerangkan asal-usul
dirinya, tetapi demi nampak sikap Li Ti yang sungguh-sungguh
ini, tiba-tiba ia urungkan maksudnya.
"Sudahlah, aku hanya bergurau saja dengan kau, lantas
kau anggap sungguh-sungguh?" sahutnya kemudian dengan
tersenyum manis. Begitulah semalam ita, keduanya sama bergulang-guling
tidak bisa pulas. Belum pernah Pang Lin bertemu lelaki yang
begini tulus, karena ita hatinya menjadi bimbang, sebentar ia
pikir hendak menceritakan semua keadaan sebenarnya
padanya, tetapi lain saat ia pikir tetap menutupi saja rahasia
ini. Entah mengapa, tiba-tiba ia jadi teringat pada Lian Kenghiau.
Lian Keng-hiau mempunyai wibawa yang besar, pandai dan
gagah, tindak-tanduknya dengan sendirinya punya semacam
daya pengaruh yang agung, dalam hati Pang Lin sangat
kagum padanya, malah pada waktu sebelum naik ke Ko-san,
ia selalu merasa Li Ti tidak dapat dibandingkan dengan Lian
Keng-hiau, tetapi semenjak mengalami sakitnya ini, bayangan
Lian Keng-hiau perlahan-lahan telah menipis dari hati
sanubarinya. Kemudian Pang Lin teringat juga pada ln Ceng yang telah
memaksa hendak menikahi dirinya, tiba-tiba timbul semacam
pikiran aneh, "Mengapa manusia harus menikah" Sungguh aku
tidak mengerti. Tetapi seorang gadis harus mempunyai suami,
agaknya hal ini tidak bisa dihindarkan. Jika seandainya aku
harus memilih seorang suami, lalu siapakah yang aku pilih"
Ah, paling baik kalau mereka bisa seperti boneka terbuat dari
tanah liat yang bisa digepuk hancur dan kemudian dilebur
menjadi satu setelah dicampur dengan air. Tetapi, ah, betulbetul
pikiran yang bodoh! Aku toh tidak perlu menikah
sekarang, untuk apa aku pikirkan soal ini?"
Berpikir sampai di sini, tiba-tiba ia tertawa sendiri.
Di pihak sana, Li Ti pun lagi berpikir tak keruan, ia sedang
mengenangkan kembali apa yang pernah diucapkan Pang Lin,
selagi pikirannya diliputi awan curiga, mendadak iamendengar
suara tertawa Pang Lin. "He, kau belum tidur?" tegurnya sambil berbangkit.
"Aku teringat pada keledai gundul yang lari terbirit-birit
oleh gertakanmu tadi, maka aku menjadi geli," sahut Pang Lin.
Sementara ita kayu yang dinyalakan sebagai obor meletikletik.
"Hawa malam sangat dingin, kau harus menjaga dirimu
baik-baik, apa perlu membakar api unggun lagi?"
"Tidak, tidak perlu, aku toh bukan kaum putri yang tidak
tahan angin," sahut Pang Lin.
Karena tak bisa pulas, ia berbangkit untuk mengobrol
dengan Li Ti, waktu ia mendorong buntalannya yang dipakai
sebagai bantal, tiba-tiba tangannya menyentuh kitab yang ada
di dalamnya, ia lantas mengeluarkannya.
"Semuanya berkat kitab inilah yang telah menolong
jiwamu," ujar Li Ti tertawa demi nampak orang memegangi
kitab. Teringat akan budi Li Ti yang tidak bisa dibalas, tanpa pikir
lagi Pang Lin lantas menyodorkan kitab yang tiada
bandingannya warisan Pho Jing-cu itu padanya. "Sukakah kau
pada kitab ini, biarlah kuberikan padamu saja," katanya.
Tiba-tiba pikiran Li Ti tergerak. "Apa kitab ini kau ambil atas
perintah Ie-pekbo?" tanyanya kemudian.
"Ya, darimana kau tahu?" sahut Pang Lin.
"Beliau menyuruh kau mengambil kitab ini, dengan
sendirinya dengan maksud akan ditinggalkan untuk ahli waris
Bu-kek-pay, mana boleh kau sembarangan memberikannya
pada orang lain?" kata LiTi.
Keruan Pang Lin menjadi gelagapan, tidak ia menduga
kata-katanya yang serampangan tadi ternyata salah lagi.
Hendaklah diketahui bahwa Ie Lan-cu adalah tokoh
terkemuka dari suatu aliran silat, tingkatannya sangat tinggi,
sekali-kali tidak beralasan baginya untuk mengangkangi kitab
pusaka orang lain. Pang Lin dibesarkan dalam istana, ia tidak mengetahui
bahwa dalam dunia persilatan justru memandang berat urusan
demikian ini, waktu berdusta ia hanya mengikuti lagu
perkataan Li Ti, ia mengira kitab ini dikehendaki Ie Lan-cu,
maka dirinya yang dikenal sebagai 'murid' ada hak buat
menyelesaikannya. Di luar dugaan, Li Ti malah mencelanya, seketika ia
menjadi gelagapan dan tak bisa memberi alasan tentang apa
yang diucapkannya tadi. Sementara itu terdengar Li Ti sedang menghela napas
sambil memandangi kitab itu. v
"Celaka, sekali ini tentu akan ketahuan, tentunya dia telah
mengetahui kata-kataku yang bohong tadi, maka berulang kali
ia menghela napas," demikian kata Pang Lin dalam hati.
Dalam pada itu, sesudah menghela napas, lalu terdengar Li
Ti membuka suara lagi, "Jika ingat dahulu le-locianpwe
bersama Pho-cosu dari Bu-kek-pay datang ke daerah
perbatasan dari Tionggoan (daerah tengah), maka beliau
boleh dikata punya hubungan turun-temurun dengan Bu-kekTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
pay, tetapi kini sejak mangkatnya Pho Jing-cu, dia saksikan
sendiri Bu-kek-pay menjadi hancur, sampai ahli waris pun
tidak ada, kitab ini tepatnya entah harus diserahkan pada
siapa, jika Ie-pekbo melihat kita, entah betapa ia akan
berduka!" Setelah merandek sejenak, lalu ia menyambung,
"Namun dengan tingkatan le-locianpwe, beliau boleh
melakukan upacara paling agung dari dunia persilatan, yaitu
berdasar kedudukan dirinya sebagai tokoh suatu cabang
persilatan untuk memilih ahli waris dari suatu cabang lain dan
menyerahkan kitab pusakanya."
"Soal ini tidak perlu kau ikut pikirkan, ahli waris Bu-kek-pay
sudah lama ada orangnya," sahut Pang Lin tiba-tiba dengan
tertawa. "Siapa" Apa kau maksudkan Lian Keng-hiau?" kata Li Ti.
"Hm, meski Lian Keng-hiau adalah murid Ciong Ban-tong, tapi
dia telah mengkhianati gurunya untuk mencari kebahagiaan
sendiri, perbuatannya ini tidak nanti diampuni oleh kaum
pendekar kita. Pernah aku mendengar dari ibuku, suatu kali
le-locianpwe dalam percakapannya pernah mengajak ibu
untuk mengeluarkan pengumuman pada sesama orang Bu-lim,
mereka mewakili Ciong Ban-tong membikin pembersihan
perguruan untuk memecat Lian Keng-hiau dari pintu Bu-kekpay!"
Tengah ia berkata, tiba-tiba ia lihat alis Pang Lin terkerut
rapat, air mukanya pun berubah, seketika Li Ti menghentikan
penuturannya dengan heran.
"Kenapa, apa kau kurang enak badan?" tanyanya sambil
menarik tangan Pang Lin. Kiranya Pang Lin sedang pedih sekali hatinya, sama sekali
tidak terduga olehnya bahwa Lian Keng-hiau yang dia kagumi
selama ini, dalam pandangan kaum pendekar dan dunia
persilatan ternyata tidak lebih hanya 'telur busuk' belaka.
Sebenarnya ia hendak bertanya pada Li Ti cara bagaimana
Lian Keng-hiau mengkhianati gurunya, tetapi ia kuatir Li Ti
bercerita hal-hal yang lebih mendukakan hatinya, maka ia
urung bertanya. "Kau bilang sudah lama Bu-kek-pay mempunyai ahli waris,
jika maksudmu bukan Lian Keng-hiau, lalu siapa lagi?"
demikian Li Ti mendesak. Namun Pang Lin sudah menyusun kata-katanya yang
bohong, setelah ia tenangkan diri, lalu dengan tertawa
berkata, "Orangnya kau kenal dengan baik!"
"Siapa?" tanya Li Ti pula.
"Ialah aku sendiri!" sahut Pang Lin.
Sudah tentu Li Ti terperanjat, ia tidak mau percaya begitu
saja. "Mana bisa Ie-pekbo membiarkan kau masuk ke cabang
silatnya" Kau adalah ahli warisnya yang tunggal, kalau kau
masuk ke cabang lain, apa tidak berarti jerih payahnya selama
sepuluh tahun mengajar kau terbuang percuma saja?" ujar Li
Ti. "Tetapi guruku bilang sebenarnya beliau hendak mencari
ahli waris lain buat Bu-kek-pay, tapi kalau tidak didapatkan
orang yang cocok berarti mengecewakan Pho Jing-cu, jika
dapat yang betul-betul baik, mungkin orangnya sudah tua,
pula tak bersemangat, oleh sebab itulah aku disuruh
membangun kembali Bu-kek-pay. Sedang mengenai ahli waris
Thian-san-pay, bukankah masih ada Teng-sioksiok?"
Demikianlah Pang Lin menjawab dengan alasannya. Ia
telah mengetahui dari ucapan Li Ti sendiri dan sudah paham
seluk-beluk seseorang dari Thian-san, oleh karena itu, apa
yang dikatakannya cukup masuk akal juga.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mau tak mau Li Ti rada percaya apa yang dikatakan itu.
Pikirnya, "Ie-pekbo adalah tokoh terkemuka dari suatu aliran
sendiri, tindakannya dengan sendirinya susah diduga oleh
kaum muda. Secara rela dan ikhlas ia mau mengorbankan
murid kesayangannya untuk cabang lain, tindakannya ini
sungguh harus dipuji!"
Kemudian teringat pula olehnya bahwa Pang Lin memang
mahir ilmu pedang Bu-kek-pay, tentunya Ie Lan-cu yang
menyuruh gadis ini belajar, maka terhadap apa yang
dituturkannya tadi, I i l'i percaya sepenuhnya.
"Jika demikian ternyata kau adalah miang punggung Hukck-
pay yang akan datang, selamat dan bahagialah!" dengan
tertawa ia memberi selamat.
"Oleh karena ita juga aku ada hak buat memberikan kitab
ini padamu," kata Pang Lin dengan tertawa.
"Tetapi aku tidak ingin masuk perguruan lain, buat apa kau
berikan padaku?" sahut Li Ti tertawa juga. Dalam hati ia pun
menganggap Pang Lin masih bertabiat anak-anak.
"Aku tidak punya barang lain untuk diberikan padamu,
maka kitab ini tidak boleh tidak harus kau terima," kata Pang
Lin pula. "Kau tak usah kuatir, tidak nanti aku menyuruh kau
masuk ke dalam Bu-kek-pay."
"Jangan kau berlaku seperti anak-anak," sahut Li Ti
tertawa. "Ini adalah kitab mestika dari perguruanmu, tidak
seharusnya kau sembarangan memberikan pada orang lain."
Namun Pang Lin memaksa lagi. "Jilid pertama yang berisi
pelajaran ilmu pukulan dan ilmu pedang, semuanya sudah
kuhapal-kan di luar kepala. Sedang jilid kedua yang berisi
resep dan ilmu ketabiban, sedikitpun malah aku tidak paham,
untuk membacanya saja kepalaku pusing, buat apa aku
memilikinya?" Mendengar si nona menyebut kitab ilmu ketabiban,
mendadak mata Li Ti terbeliak, tiba-tiba timbul semacam
pikirannya, di bawah sinar obor yang remang-remang
tertampak olehnya tulisan 'Kim-ciam-to-se' yang menyolok
sekali di atas kulit kitab yang pernah ia baca ita. Ia teringat
resep dan nama-nama penyakit yang terdapat dalam kitab ita,
di antaranya terdapat nama penyakit aneh 'Li-hun-cin',
pikirnya, "Kata Ing-moay, sesudah dia jatah sakit, lalu semua
pelajaran Thian-san-kiam-hoat telah terlupa, entah betul
tidak?" Setelah mengambil keputusan, lalu dengan tersenyum ia
berkata, "Baiklah, jika begitu berikan saja padaku kitab
ketabiban jilid kedua ita."
Melihat orang sudah mau menerima, Pang Lin jadi senang,
dengan tersenyum simpul ia lantas memberikan jilid kedua
padanya. "Bagus, jika kau sudah memahami isinya, kelak kalau aku
menderita sesuatu penyakit, segera aku akan pergi mencari
kau," ia tambahkan pula dengan berkelakar.
Kemudian dengan saling pandang dan tertawa, lalu mereka
pun pergi tidur. Besoknya pagi-pagi sekali waktu Li Ti mendusin, ia tidak
mendapatkan Pang Lin. "Tentu ia pergi berburu pula," pikir Li Ti dalam hati.
Setelah kemarin malam menghabiskan sepotong paha
kambing panggang dan tidur nyenyak semalam, kini
semangatnya sudah pulih seluruhnya, ia berlari keluar gua
untuk menyedot hawa segar. Setelah memainkan sejurus ilmu
pukulan untuk melemaskan otot-ototnya, kemudian ia
menyusuri bukit mencari Pang Lin.
Di Ko-san banyak terdapat puncak menjulang tinggi. Li Ti
memanjat ke atas sebuah puncak, ia berdiri di atas batu
pegunungan dan memandang jauh, di bawah dimana ia berdiri
air terjun meng-gerujuk berhamburan dengan mengeluarkan
suara berdentum, di atas gunung diliputi kabut tipis dan awan
mengambang, suatu pemandangan alam yang indah permai
dan megah sekali. Di depan puncak gunung sana, di sebelah utara Siau-sit-san
dimana Siau-lim-si berada, setelah mengalami kebakaran
hebat, seluruh gunung kelihatan tandus dengan warna kuning
hangus di tengah himpitan puncak lain yang menghijau segar,
jelas sekali kelihatan tidak setimpal dan menimbulkan
perasaan tak enak bagi yang memandangnya.
"Entah sebab apa api berkobar, sungguh merusak
pemandangan yang indah ini!" pikir Li Ti.
Karena rasa kecewanya itu, ia lantas masuk ke dalam hutan
lebat untuk memetik bunga pegunungan. ?
Pada waktu itu juga, di antara pegunungan yang sunyi
senyap itu, tiba-tiba berkumandang suara tertawa orang.
Lekas Li Ti bersembunyi di belakang sebuah batu besar,
waktu ia mengintip, ia lihat ada serombongan orang sedang
mendatangi, setelah sampai di depan batu dimana ia
bersembunyi, mendadak mereka berhenti.
Waktu Li Ti menegasi, ia lihat seorang lelaki di antaranya
berusia antara tiga puluhan tahun, memakai jubah sulaman
dan ikat pinggang ukiran, sikapnya agung dan berwibawa,
dengan sebelah kaki menginjak di atas batu, orang ini
mengerling kian kemari, kedua matanya bersinar tajam.
Orang lain memisahkan diri di kedua samping, rupanya
mereka adalah pengiring, orang yang paling berdekatan
dengan lelaki agung itu mempunyai wajah yang keren, begitu
nampak orang ini, hampir saj;, Li Ti berteriak.
Orang ini ternyata bukan lain daripada Cing-se-tayciangkun
(panglima besar penggempur ke barat) Lian Keng-hiau yang
baru saja memegang kekuasaan.
"Hongsiang punya perhitungan memang tepat dan luar
biasa, ditambah kewibawaan yang tinggi, maka tiada
beberapa bulan naik takhta, seluruh penjuru sudah dapat
ditaklukkan," demikian terdengar Lian Keng-hiau menjilat. "In
Te yang memimpin pasukan sebesar dua ratus ribu prajurit
sudah tertawan tanpa kesulitan, sedang Siau-lim-si yang suka
mengunggulkan ilmu silatnya tiada bandingan, tidak urung kini
mengalami nasib hancur lebur menjadi abu, sekalipun Cin (Si)
Ong, Han Bu (Te), Tong (Thay) Cong dan Song (Thay) Co
juga tidak bisa menandingi Hongsiang."
Mendengar kata-kata ini, Li Ti jadi terkejut, ia tidak
menduga bahwa lelaki agung tadi ternyata Kaisar Yong Ceng
adanya (dahulu pengeran In Ceng).
"Itapun atas jasamu Lian-tayciangkun," terdengar Yong
Ceng menjawab dengan tersenyum.
"Lima ratus padri Siau-lim-si sudah terbakar hangus oleh
api tanpa seorang pun berani melawan, hal ini menunjukkan
wibawa Hongsiang yang agung," terdengar Lian Keng-hiau
berkata lagi sambil menunjuk tumpukan puing di bawah
puncak Ngo-hay-hong dimana Siau-lim-si berada.
Mendengar pujian ita, Yong Ceng tertawa terbahak-bahak.
"Suatu biara yang bersejarah ribuan tahun seperti Siau-limsi
kini telah musnah terbakar habis, hanya gara-gara
perbuatannya sendiri, namun perasaanku pun ikut sedih,"
tiba-tiba Yong Ceng berkata dengan menghela napas.
"Itu tidak bisa menyalahkan Hongsiang," ujar Keng-hiau
cepat. "Hongsiang sudah cukup bijaksana dan murah hati,
hanya sayang, padri-padri Siau-lim-si itu yang tidak kenal
peraturan pemerintah dan tidak bisa memahami kemurahan
hati Hongsiang." Mendengar ucapan terakhir ini, Li Ti menjadi muak rasanya,
tanpa terasa ia pun mengkirik.
"Terbakarnya Siau-lim-si memang sayang sekali," terdengar
Yong Ceng berkata pula, "biarlah setelah aku kembali ke
kotaraja, segera aku titahkan Holam Sunbu memperbaiki
kembali biara ini dan mencari padri pengurusnya yang berilmu
tinggi." Mendengar sampai di sini, sekonyong-konyong Li Ti
merasakan batu di depannya terasa sedikit tergoyang.
Dengan cepat Li Ti berusaha mendekam lebih ke bawah,
akan tetapi sudah terdengar suara gertakan orang yang keras,
"Siapa kau, lekas keluar!"
Menyusul mendadak batu besar itu roboh, mau tak mau Li
Ti segera melompat keluar, segera ia dapatkan dirinya sudah
dikepung musuh. Kiranya sesudah Kaisar Yong Ceng membakar musnah
Siau-lim-si, ia tinggalkan Hay-hun Hwesio untuk menjaga di
tempat kebakaran ini, tetapi sudah lewat sebulan, belum
tertampak Hay-hun kembali melaporkan tugasnya, ia ingin
menyaksikan sendiri keadaan Siau-lim-si sesudah terbakar,
karena itu, maka segera ia bawa pengiringnya antara lain
Thian-yap Sanjin, Haptoh dan lain-lain naik ke Ko-san.
Ketika mendadak muncul seorang yang tak dikenal, Yong
Ceng bersikap tenang saja.
"Setelah Siau-lim-si terbakar, tiada seorang pun tokoh
dunia persilatan yang berani datang mengunjungi, tetapi
orang ini ternyata berani naik ke Ko-san, nyalinya boleh
dibilang tidak kecil," katanya dengan tersenyum. "Coba kalian
mundur dahulu, biar aku tanya."
"Apa yang hendak kau tanyakan?" kata Li Ti dengan
angkuh. "Apa kau anak murid Siau-lim-si?" tanya Yong Ceng.
"Bukan," jawab Li Ti ketus.
"Kalau begitu ada hubungan apakah antara kau dengan
para Tianglo (tertua) Siau-lim-si?"
"Tianglo Siau-lim-si terlalu agung dan disegani, aku masih
belum ada harganya untuk bisa bersahabat dengan mereka,"
sahut Li Ti pula. Mendengar jawaban ini, seketika muka Lian Keng-hiau
berubah. Akan tetapi berlainan dengan Yong Ceng, ia malah
bergelak tertawa. "Jika begitj untuk apalagi kau naik ke Ko-san sini?"
tanyanya lagi. "Ada permusuhan apakah antara kau dan Siau-lim-si,
mengapa kau bakar habis biara kuno ini dan dua kali naik ke
Ko-san?" ber-balik Li Ti bertanya.
"Kurangajar, berani kau adu mulut dengan Hongsiang!"
demikian para pengiring Yong Ceng lantas membentak.
Yong Ceng pun mengerut kening oleh jawaban orang yang
berani ita, pikirnya dalam hati, "Sungguh anak muda yang tak
takut mati, jika aku bisa menundukkan dia, aku tentu akan
mendapatkan seorang pembantu yang berguna."
Dalam pada ita salah seorang pengiringnya melaporkan.
"Mayat Cin Tiong-wat telah ditemukan, tetapi Hay-hun Hwesio
sampai kini belum diketahui kemana perginya, harap
Hongsiang memberi perintah penangkapan keparat cilik ini
untuk diperiksa, coba ditanya apakah perbuatan dia sendiri
atau masih ada begundalnya yang lain!"
Mendengar kata orang yang terakhir ini, Li Ti menjadi
kuatir, ia menduga hari ini pasti sukar untuk meloloskan diri,
hanya saja jangan sampai Ing-moay ikut diringkus.
Karena itu, sebelum Yong Ceng bertanya, dengan terus
terang ia lantas mendahului menyawab. "Ya, semuanya adalah
perbuatanku sendiri!"
"Cin Tiong-wat telah kau bunuh, tetapi dimana Hwesio itu?"
Yong Ceng bertanya. "Ia terluka oleh tusukan pedangku, karena tiada orang
yang menolongnya, mungkin kini ia pun sudah mampus!"
sahut Li Ti. Karena penuturan ini, para pengiring Yong Ceng menjadi
gusar, segera mereka hendak meringkus Li Ti.
Akan tetapi tiba-tiba Yong Ceng tertawa lagi.
"Ha, anak muda, jangan kau sembarang membual, hanya
kau seorang diri, masakah kau bisa menghindarkan
pemeriksaan Han Tiong-san dan bisa pula mencelakai dua
jagoku?" Dengan kata-kata itu Yong Ceng pikir kalau betul orang
mempunyai kepandaian begitu tinggi, maka lebih-lebih harus
ditandukkan. Di pihak lain Li Ti tertegun juga oleh kata-kata Yong Ceng
tadi, ia pikir apakah kaisar ini seorang yang paham ilmu silat"
"Harap kebijaksanaan Hongsiang, anak ini tentu punya
begundal lain, harap diberi perintah penggeledahan seluruh
gunung ini!" segera Lian Keng-hiau mengusulkan dari
samping. Karena itu, Li Ti menjadi kuatir. "Hm, jagoan apa" Tidak
lebih hanya boneka saja! Apakah kedua orang yang tak
berguna itu adalah jagoan yang kau perintahkan menjaga Kosan"
Haha!" sengaja ia mengejek.
Keruan ejekan itu membikin gusar para pengiring Yong
Ceng, termasuk juga Thian-yap Sanjin, "Hongsiang, jika
keparat kecil ini tidak diberi hajaran, maka nama baik para
bayangkara istana kita tentu akan tersapu habis," katanya
dengan gemas. Namun Yong Ceng tetap tersenyum saja, ia memanggil
Hap-toh ke dekatnya dan secara bisik-bisik ia memberi
beberapa pesan. "Anak muda, jangan kau anggap bisa naik ke Ko-san sini,
lantas menganggap luar biasa kepandaianmu, dan jangan pula
kau sombong karena bisa menjatahkan dua jagoanku,"
katanya kemudian kepada Li Ti. "Sekarang kau boleh pilih
sesukamu, satu di antara jagoan yang aku bawa ini, asal kau
mampu menandingi sama kuatnya, aku akan lepaskan kau
turun gunung." Li Ti pikir dirinya toh tidak akan bisa lolos, daripada mati
konyol kenapa harus takut" Karena itu, segera pula ia cabut
pedangnya sambil membentak. "Baik, aku pun silakan kau
pilih jago sesukamu! Maju satu akan kulawan satu, bila maju
dua aku lantas lawan dua-duanya!"
Kata-kata ini sengaja ia ucapkan dengan suara keras
dengan maksud agar didengar oleh Pang Lin, dengan
demikian supaya si nona sempat menyembunyikan diri.
"Sungguh besar sekali mulut anak ini! Haptoh, coba kau
saja tempur dia," dengan tertawa segera Yong Ceng memberi
perintah. Tanpa diperintah untuk kedua kalinya, segera Haptoh maju
ke depan, ia keluarkan senjatanya, 'Liu-sing-tui', dua buah
bandul bertali, dengan cepat ia lemparkan kedua bandulan itu
terus menghantam dari kanan-kiri.
Nampak datangnya serangan cukup lihai dan keras, dengan
gesit Li Ti berkelit, berbareng ini secepat kucing menerkam
tikus, pedangnya menusuk secepat kilat ke tenggorokan
Haptoh.

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi dengan mengikuti datangnya gaya serangan,
Haptoh berputar pergi dengan sebat, sedang bandul sebelah
kiri ia benturkan pada batang pedang.
Di luar dugaan, ilmu permainan pedang Li Ti ternyata lain
dari yang lain, tampaknya ia menusuk ke jurusan tengah, tapi
mendadak bisa menikam ke bawah.
Keruan Haptoh menjadi kaget, begitu bandulnya
membentur tempat kosong, tahu-tahu ujung senjata orang
telah dekat pada lutut kakinya, lekas ia mencelat ke atas,
dengan kaki kiri ia injak ujung pedang lawan, berbareng ia
melompat mundur beberapa tindak.
"Kiam-hoat bagus!" sorak Yong Ceng memuji.
Haptoh menjabat sebagai Congkoan atau pemimpin besar
Wi-su (pasukan pengawal) di dalam istana, kedudukan dan
kepandaiannya sederajat dengan Thian-yap Sanjin, maka demi
mendengar suara pujian Hongsiang pada lawannya, ia menjadi
malu, segera ia putar bandulnya secepat angin, dengan sengit
ia menubruk maju pula. Perlu diketahui bahwa kepandaian Haptoh memang tidak di
bawah Liau-in, tadi ia hampir tertusuk oleh Li Ti disebabkan ia
terlalu gegabah memandang enteng lawan. Kini sesudah ia
merebut kembali kehilangan mukanya di hadapan Hongsiang,
sudah tentu ia putar bandulnya lebih kencang hingga
membawa sambaran angin yang keras, daya tekanannya
ternyata luar biasa. Meski Kiam-hoat Li Ti hebat sekali dan aneh, namun di
bawah tekanan sepasang bandulan musuh, ia tak bisa
mengeluarkan seluruh kemahirannya. Syukur semenjak Li Ti
turun gunung sudah beberapa kali ia mengalami pertempuran
be'sar, kepandaiannya pun sudah banyak maju daripada
waktu ia bertempur melawan Liau-in di Hangciu dahulu, kalau
tidak, tentu sudah sejak tadi ia diringkus oleh Haptoh.
Begitulah, setelah beberapa puluh jurus mereka saling
gebrak masih belum terpisahkan, Yong Ceng jadi makin
tertarik oleh kepandaian Li Ti.
"Usia anak ini masih semuda ini, tetapi ia bisa bertahan
begitu lama melawan Hap-congkoan, melulu ini saja sudah
susah dicari bandingannya!" kata Yong Ceng pada Thian-yap
Sanjin. "Cuma tenaganya sudah mulai habis, paling banyak ia
hanya mampu bertahan lima puluh jurus lagi," ujar Thian-yap
Sanjin. "Dia punya Kiam-hoat ini rada aneh, apa kau kenal?" tibatiba
Yong Ceng bertanya. Seketika Thian-yap menjadi merah jengah, la adalah tokoh
besar suatu cabang persilatan sendiri, pengalamannya banyak
dan pengetahuannya luas, akan tetapi terhadap Kiam-hoat Li
Ti ini ia ternyata tidak kenal.
Sebaliknya Yong Ceng yang mempunyai kecerdasan otak
melebihi orang lain, setelah berpikir sejenak, segera ia dapat
meraba dari cabang mana Kiam-hoat Li Ti ini.
"Thian-san-kiam-hoat dan Hian-li-kiam-hoat sudah pernah
kulihat semua," demikian ia berkata, "Kiam-hoat orang ini
tidak seruwet perubahan Thian-san-kiam-hoat, tetapi juga
tidak sebagus perubahan Hian-li-kiam-hoat. Akan tetapi
lihainya sebaliknya berada di atas kedua macam ilmu pedang
tadi. Tampaknya Kiam-hoat ini kalau bukan Tat-mo-kiam-hoat,
tentu adalah Kiam-Jioat yang khas dari Pek-hoat Mo-li."
Yong Ceng sendiri keluaran Siau-lim-si, terhadap ilmu
permainan pedang dari berbagai cabang persilatan meski ia
belum mengenalnya, namun sedikit banyak ia sudah pernah
mendengar cerita dari orang, oleh karenanya ia bisa
mengutarakan pendapatnya dengan masuk akal.
"Hongsiang, Kiam-hoat orang ini tentu adalah Kiam-hoat
yang khas dari Pek-hoat Mo-li," kata Thian-yap Sanjin setelah
berpikir sejenak. "Mungkin dia ini adalah putra Bu Ging-yau.
Sifat Bu Ging-yau yang ringan tangan dan ganas itu lebih
susah dilawan daripada Ie Lan-cu. Baiknya kita jangan
sembarangan mencelakai dia."
Jika Thian-yap Sanjin berkata dengan nada kuatir, Yong
Ceng sebaliknya masih tertawa.
"Hal itu sudah kupesan pada Hap-congkoan," kata
maharaja ini. "Hanya aku tak peduli dia ini anak siapa, yang
jelas orang yang mempunyai keberanian begini adalah orang
berbakat yang sukar dicari."
Dalam pada itu setelah pertempuran berjalan lebih tiga
puluh jurus lagi, tenaga Li Ti sudah lemah, betul juga ia mulai
mengunjuk tanda bakal kalah.
Sebaliknya Haptoh bermaksud menawan Li Ti hidup-hidup,
tujuan inipun tidak gampang terkabul.
Perlu diketahui bahwa pertandingan antara kaum ahli,
dalam keadaan serang-menyerang, tidak mungkin memberi
peluang sedikitpun. Meski kepandaian Haptoh masih menang
setingkat, tetapi untuk menawan Li Ti sedikitnya ia harus
melukai dahulu pemuda ini, tetapi justru Yong Ceng tidak
memperkenankan Haptoh melukainya, inilah yang membikin
Haptoh serba salah. Sebaliknya senjata Li Ti bergerak tiada ketentuan dengan
perubahan yang susah diduga sebelumnya, beberapa kali
Haptoh bermaksud membentur pedangnya, tetapi selalu
dengan cepat dapat dihindarkan.
Sudah tentu lama-lama Haptoh menjadi gelisah, ia tidak
sabar lagi, mendadak ia dapatkan suatu akal baik, tiba-tiba ia
memperkencang dua bandulnya dan beruntun melancarkan
tipu serangan mematikan, dengan demikian tampaknya setiap
saat Li Ti bisa tewas di bawah hantaman bandulnya. Bahkan
tiap kali ia menyerang selalu dibarengi dengan gertakan agar
Li Ti suka menyerah saja.
Di luar dugaan, ternyata Li Ti malah melawan dengan matimatian,
sedikitpun ia tidak gentar, dalam serangan sengit itu,
bandul Haptoh saban-saban menyambar lewat di atas
kepalanya, memang tampaknya sangat menguatirkan bagi
keselamatannya. "Kau minta aku menyerah, hm, jangan kau harap!" jengek
Li Ti dengan murka. Habis itu tiba-tiba ia ganti permainan pedang, dari
terserang ia balas merangsek, dengan mati-matian ia terus
mendesak maju. Dalam keadaan tegang itu, mendadak terdengar sekali
siulan nyaring, tahu-tahu Pang Lin muncul dari hutan sana.
"Ing-moay, lekas kau melarikan diri!" seru Li Ti kuatir.
Karena sedikit lengah ini, ternyata pedangnya lantas
mencelat terbang oleh benturan bandul Haptoh.
Berbareng itu terdengar Yong Ceng membentak juga,
"Berhenti dulu!"
Kiranya Pang Lin telah mendengar suara pertempuran itu,
maka diam-diam ia menyusur sampai di pinggir hutan, tibatiba
ia lihat Yong Ceng dengan membawa pengiringnya
sedang menyaksikan pertempuran sengit itu dari samping,
keruan tidak kepalang terkejutnya.
Sebenarnya ia berpikir hendak lari saja, tetapi waktu ia lihat
Li Ti sudah terkurung oleh serangan Haptoh dan dalam
keadaan gawat. "Jika aku tidak menolong dia, jiwanya pasti akan
melayang," demikian ia berpikir.
Dalam keadaan demikian, Pang Lin tidak takut lagi akan
ancaman Yong Ceng yang akan menikahi dirinya, segera ia
mencabut belatinya yang berbisa dan mendadak melompat
maju. Yong Ceng terkejut bercampur girang demi nampak
munculnya Pang Lin yang mendadak itu. "Ha, budak Lin,
sudah puaskah kau keluyuran sekian lama" Hayo, lekas, ikut
aku pulang!" dengan tertawa ia lantas menegur.
Tetapi sebagai jawaban, Pang Lin mengacungkan belatinya
ke hulu hati sendiri, lalu mengancam, "Jika kau melukai aku
punya Li-koko, maka aku pun tidak ingin hidup lagi."
"Siapa yang hendak mencelakai dia, jangan kau kuatir, mari
sini!" sahut Yong Ceng dengan tertawa.
Di bawah kepungan musuh, Li Ti sama sekali tidak gentar,
tetapi kini mendadak nampak Pang Lin memohon kemurahan
hati kaisar musuh, terkejutnya ini sungguh bukan buatan! Ia
sangsikan dirinya apa bukan berada dalam alam mimpi buruk"
Dalam keadaan ita tiba-tiba, ia merasa tangannya
kesemutan, kiranya urat nadinya telah dipencet kencang oleh
jari Haptoh. Sementara ita selangkah demi selangkah Pang Lin lantas
mendekati. Lian Keng-hiau terguncang juga hatinya, ia kuatir kalau
Pang Lin membongkar rahasia dan menceritakan bahwa dia
pernah bersembunyi di rumahnya, maka ia coba memberi
kedipan mata pada anak dara ini. Namun Pang Lin seperti
tidak tahu, dengan kaku ia berjalan ke samping Yong Ceng.
"Budak Lin, simpanlah pisaumu itu," Yong Ceng coba
membujuk. Akan tetapi Pang Lin ternyata tidak menggubrisnya, ia tetap
mengarahkan belati ke hulu hati sendiri.
"Sebagai kaisar tidak nanti aku berbohong, simpanlah
pisaumu, aku tidak akan mencelakai dia," kata Yong Ceng lagi.
Sambil mengangkat kepala kemudian Pang Lin menyimpan
kembali belati ke dalam kantong senjatanya. "Si-pwelek, aku
sengaja datang memberi selamat padamu!" demikian
kemudian ia menyapa dengan ketus. ?
"Kau berhadapan dengan Hongsiang, mengapa tidak
berlutut?" Haptoh membentak, tujuannya ialah untuk
menyadarkan sebutan si nona tadi yang keliru, karena In Ceng
kini sudah menjadi Kaisar Yong Ceng.
"Biarlah, dia sudah biasa nakal, tidak perlu pakai tatacara
segala!" ujar Yong Ceng. Habis itu dengan tertawa ia
menyambung pula, "Kau telah keluyuran kemana-mana, tentu
sudah cukup kau merasakan pahit getirnya. Istana kita dahulu
ita kini sudah dirombak menjadi Yong-ho-kiong, kamarmu
masih tetap seperti sedia kala."
"Kau lepaskan dia, baru aku ikut kau pulang," kata Pang
Lin. "Setelah kau ikut aku pulang ke istana, aku segera akan
membebaskan dia," sahut Yong Ceng tertawa.
"Baik, sebagai kaisar jangan kau berdusta, biarlah aku ikut
kau pulang!" kata Pan" Lin.
Li Ti menjadi ternganga oleh tanya-jawab itu, beruntun
Pang Lin memanggil dua kali padanya, tapi sama sekali tidak
dijawabnya. Sementara itu Yong Ceng telah memberi tanda, dengan
menyeret Li Ti. lebih dulu Haptoh turun ke bawah gunung.
"Dia pernah apa dengan kau" Kalian berhubungan sangat
baik bukan?" kemudian Yong Ceng bertanya pada Pang Lin.
"Dia adalah kakak angkatku, sudah tentu kami sangat
baik!" sahut Pang Lin. Sambil menjawab, dalam hati ia pun
berdaya-upaya untuk menghadapi apa yang akan terjadi nanti.
Mendengar jawaban tadi, sekonyong-konyong Yong Ceng
merasakan semacam perasaan cemburu, ia tidak buka suara
lagi, melainkan hanya tertawa dingin.
Di lain pihak, hati Lian Keng-hiau pun sedang kebat-kebit,
tetapi syukur Pang Lin tidak membongkar rahasianya.
"Harap Hongsiang menuju ke rumah hamba dahulu," lapor
Keng-hiau kemudian. Yong Ceng mengangguk tanda setuju.
Waktu Pang Lin mengerling ke arah Keng-hiau, dengan
cepat Keng-hiau menunduk.
Rumah Lian Keng-hiau memang tidak jauh dari Ko-san,
setelah mereka turun gunung dan menukar kuda- yang segar,
malam itu juga mereka tiba di rumah keluarga Lian.
"Kau aturlah yang baik terhadap dia," Yong Ceng memberi
titah. Keng-hiau terima perintah itu, ia kurung Pang Lin di dalam
kamar bacanya yang dulu. Di luar kamar dijaga pula oleh
Thian-yap Sanjin dan Haptoh, maka tidak nanti anak dara ini
mampu kabur. Taman keluarga Lian ini, sejak Keng-hiau pulang sudah
dilabur dan diperbaharui dengan mentereng dan ditambahi
pula beberapa rumah, tidak sunyi senyap lagi seperti tadinya.
Maka Yong Ceng dan Li Ti pun tinggal di dalam taman itu.
Setelah makan malam, tiba-tiba Yong Ceng memanggil Lian
Keng-hiau menghadap. Sudah tentu dengan perasaan kebat-kebit Keng-hiau
menghadap sang maharaja ini.
"Aku pikir hendak mengangkat budak Lin sebagai Kui-hui
(selir kesayangan), bagaimana pendapatmu?" tanya Yong
Ceng sesudah Keng-hiau datang.
"Itu adalah urusan rumah tangga kerajaan, hamba tidak
berani ikut campur," ujar Keng-hiau.
"Kau tentu tahu bahwa asal-usul budak Lin tidak jelas,
meski peraturan putri Han masuk istana sudah dibikin longgar,
tapi Thay-hou (ibu suri) masih ada ...." sampai di sini Yong
Ceng berhenti dan ragu-ragu untuk mengucapkan.
Akan tetapi dengan kecerdasannya, Keng-hiau segera
paham maksud maharaja ini. Pikirnya, "Taksiranku dahulu
ternyata tidak meleset."
"Dengan memberanikan diri, hamba bersedia mengaku Linkuijin
(sebutan penghormatan pada selir kaisar) menjadi adik
angkat," katanya kemudian.
"Kau ini memang betul-betul pintar," ujar Yong Ceng
dengan tertawa atas usul orang yang cocok dengan
kemauannya. "Baiklah, kalau kau mau mengaku, sekalian
mengaku sebagai adik sepupu saja. Kau boleh kirim dia masuk
istana, tentu Thay-hou tidak akan banyak omong lagi."
Diam-diam Keng-hiau jadi girang karena usahanya berhasil.
"Perjalanan ke barat untuk sementara boleh ditunda, lusa
boleh kau kembali ke kotaraja bersama aku," tiba-tiba Yong
Ceng berkata pula. Sebenarnya Keng-hiau hendak menggunakan kesempatan
ini untuk menemui Pang Lin, maka dengan kata-kata Yong
Ceng terakhir ini, ia seperti diguyur air dingin.
"Dan lalu bagaimana dengan urusan Hi Kak?" ia bertanya.
Kiranya tempo hari sesudah Keng-hiau membereskan
urusan In Te, sebenarnya ia hanya ambil keputusan hendak
tinggal selama tiga hari saja di rumah, kemudian karena
kedatangan Yong Ceng dan menyuruh dia menunda dulu
ekspedisi ke barat dan diam-diam mereka mengatur pasukan
untuk menghadapi Hi Kak, oleh karena itu ia tinggal di
rumahnya sampai sekarang.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia telah minta Hongsiang memenuhi janji dan
menyerahkan Soatang di bawah kekuasaannya, cara bagaimana pula
menghadapinya dalam urusan ini?" tanya Keng-hiau.
"Itu hanya soal kecil," sahut Yong Ceng tertawa. "Thio
Ting-giok tidak begitu bodoh untuk diselomoti, urusan timbang
terima itu perlu surat-menyurat yang memakan waktu selama
beberapa bulan, kala mana Hi Kak tentu sudah seperti bulus di
dalam kuali." Karena jawaban ini, terpaksa Lian Keng-hiau hanya
mengia-kan saja dan lantas mengundurkan diri.
"Jika budak Lin sampai masuk istana, lambat atau cepat ia
pasti akan membongkar rahasiaku yang telah
menyembunyikan dia tempo hari, hal ini bagaimana baiknya?"
demikian Keng-hiau berpikir dengan kuatir. Setelah kembali
dalam kamarnya, segera ia suruh menyingkir semua
pelayannya terus memeras otak mencari daya-upaya untuk
menghadapi persoalan ini.
Kembali pada Pang Lin, setelah nona ini disekap dalam
kamar, ia lihat tirai kelambu kamar itu seperti baru, selimut
tersulam burung merpati masih tertata dengan baik, tanpa
terasa ia mengingat-ingat pula kejadian yang telah lampau.
"Tidak jelek juga Lian Keng-hiau melayani aku, cara
bagaimanakah aku bisa bertemu dia lagi?" demikianlah ia
berpikir. Lalu pikirnya lagi, "Taman ini seperti sudah pernah
aku diami beberapa lama berselang, tetapi mengapa aku tidak
mengingatnya, jika aku bisa tinggal lagi barang setengah
tahun di sini, mungkin dapat menemukan sedikit sinar terang."
Tengah ia berpikir, Yong Ceng telah perintahkan Haptoh
memanggil dia menghadap. Dalam perjalanan, Pang Lin
memeras otak memikirkan tipu-daya untuk menghadapi Yong
Ceng. Yong Ceng sendiri tinggal di suatu kamar besar di rumah
yang baru dibangun pada pojok barat taman. Waktu Pang Lin
masuk, Yong Ceng tersenyum senang, ia memberi tanda agar
Haptoh mengundurkan diri, maka dalam kamar hanya tinggal
dia dan Pang Lin berdua saja.
"Sudah lama kau menetap dalam istana, selama itu aku
tidak berbuat sesuatu apapun terhadap kau, tetapi mengapa
kau minggat?" tanya Yong Ceng.
"Aku sudah bosan tinggal di sana, maka aku ingin jalanjalan
keluar, dosa apakah atas perbuatanku ini?" sahut Pang
Lin dengan mulut memoncong.
Yong Ceng jadi tergiur hatinya oleh sikap gadis ini.
"Baiklah, yang sudah biarlah sudah, cuma selanjutnya
jangan kau sembarang pergi lagi!" ujarnya kemudian dengan
tertawa. "Aku toh bukan anggota keluargamu, mengapa kau
mengurusi aku?" sahut Pang Lin.
"Selanjutnya kau akan menjadi anggota keluargaku!" kata
Yong Ceng pula. Habis itu ia lantas mendekati dengan maksud hendak
mencium si nona, akan tetapi dengan cepat Pang Lin
mengelak. "Hm, kau anggap aku sebagai Kiongli (dayang istana) yang
hina-dina?" damprat Pang Lin.
Yong Ceng menjadi kuatir oleh perubahan sikap si nona,
dengan tertawa lekas ia membujuk lagi. "Aku bakal
mengangkat kau sebagai Kui-hui, kecuali Hong-hou
(permaisuri), dalam istana kau terhitung orang yang paling
agung." Sebenarnya tidak kepalang gusar Pang Lin, tetapi ia
paksakan diri untuk bersabar.
"Bagaimana" Malam ini kau jangan pergi lagi ya?" kata
Yong Ceng. Berbareng itu ia mengulur tangan hendak
memeluk. Melihat kelakuan orang yang semakin buas, Pang Lin pikir,
ilmu silat Yong Ceng lebih tinggi, kalau sampai menggunakan
kekerasan, pasti aku akan kewalahan. Karena itu segera ia
berlagak tertawa. "Haha, seorang kaisar yang terpuja masakah berbuat
begini, apa kau tidak malu?" katanya kemudian. "Sungguhpun
kau hendak mengangkat aku sebagai Kui-hui, tapi hal inipun
harus mendapatkan persetujuanku secara sukarela."
Ia tidak tahu bahwa Yong Ceng sudah lama mengiler
padanya, apalagi kini melihat anak dara ini sudah tumbuh
besar dan semakin cantik, perasaannya jadi makin tergiur dan
tidak bisa menguasai diri lagi. Segera ia maju lebih dekat.
Terpaksa Pang Lin menghindarkan diri melangkah mundur.
'"Apa yang aku suka lakukan, siapa yang berani
merintangi!" Yong Ceng menjawab, habis itu ia mendesak
maju terus hendak menarik pula.
Akan tetapi tiba-tiba Pang Lin berkata, "Oya, Si-pwelek
sudah naik takhta, aku masih belum memberi hormat. Selamat
dan bahagialah Hongsiang!"
Yong Ceng menjadi tertegun oleh kata-kata yang
mendadak ini. "Buat apa kau pakai peradatan ini segala?"
ujarnya. "Surat wasiat di atas Kong-beng-tay-tian itu bagus sekali
cara mengubahnya!" Pang Lin berkata pula.
Mendengar surat wasiat di atas belandar istana itu disebutsebut,
Yong Ceng jadi terperanjat, teringat olehnya memang
Pang Lin dan Thian-yap Sanjin yang melakukan pengintipan
surat wasiat ita dan Longetoh kemudian yang mengubah
tulisannya. "Kau lama berkeluyuran di luar, apa kau ceritakan kejadian
itu pada orang luar?" tanya Yong Ceng dengan air muka
berubah. "Itulah kau tak perlu kuatir, aku masih bisa menjaga
rahasia, mana berani aku sembarangan bercerita," sahut Pang
Lin tenang. "Cuma kalau aku dibikin marah, terpaksa aku akan
berteriak tentang kejadian itu."
Karena gertakan ini, hawa napsu Yong Ceng yang tadinya
menyala mendadak tersirap separoh. Sebab, meski Yong Ceng
sudah bisa menghapus kekuasaan In Te, namun putra
pangeran lainnya masih belum terbasmi semuanya, jika
rahasia ini sampai tersiar, maka kedudukan Yong Ceng pasti
akan menjadi guncang. "Baiklah, kelak kalau aku ambil kau masuk istana secara
resmi, tatkala ita baru kita menjadi suami-istri," dengan
menyengir Yong Ceng akhirnya berkata.
"Itu perkara nanti," ujar Pang Lin.
"Tetapi kalau kau tidak menuruti kemauanku, aku segera
akan bunuh kau punya Li-koko itu," balas Yong Ceng
menggertak. Karena ini Pang Lin menjadi kuatir. Pikirnya, untuk masuk
istana sedikitnya masih ada tempo setengah bulan lagi,
selama ada waktu aku harus berusaha mengulur waktu juga.
Maka dengan tertawa ia lantas berkata pula, "Sudahlah, kini
sudah jauh malam, kau sendiri tidak mengantuk, akulah yang
mau tidur, aku kembali ke kamar saja."
Mendengar lagu suara -si nona sudah menjadi halus, Yong
Ceng membatin, siapa yang tidak mengharapkan kejayaan dan
kemewahan" Budak ini tidak Lebih hanya bermaksud
menjunjung tinggi harga diri saja, tentu ia pun ingin secara
resmi diangkat menjadi Kui-hui dulu baru ia mau menuruti
keinginanku. Begitulah dengan girang ia lantas melambaikan tangan dan
menyahut, "Baiklah, boleh kau kembali ke kamarmu!"
Tetapi baru saja Pang Lin melangkah dua-tiga tindak,
belum sampai keluar pintu kamar, mendadak Yong Ceng
sudah memanggilnya kembali lagi. Keruan ia terkejut.
"Sungguh tidak gampang melayani Hongsiang, ada apalagi
yang hendak kau katakan padaku?" tanyanya sambil menoleh.
Yong Ceng tidak lantas menjawab, ia ragu-ragu sejenak,
tapi akhirnya ia buka suara juga. "Kau telah berkeliaran lama
di Kangouw, wajahmu tidak terurus lagi, rambutmu pun
serabutan tak keruan, maka aku hendak menyuruh Kiongli
merias kau sebentar."
Pang Lin sangat heran oleh kata-kata ini, ia tidak mengerti
mengapa mendadak sang maharaja mengurusi soal tetekbengek
ini" Setelah Yong Ceng masuk ke dalam, kemudian ia
membawa keluar dua orang Kionggo, yang seorang membawa
kotak rias dan yang lain membawa baskom berisi air cuci
muka, kedua dayang itu merias dan menyisir rambut Pang Lin
dan sebagainya, sudah tentu nona ini sangat kesal, namun
sedapat mungkin ia bersabar dan membiarkan kedua dayang
itu bekerja. Dalam pada itu salah satu Kionggo mengeluarkan sebuah
kotak kecil dari dalam kotak rias tadi, dalam kotak kecil ini
seperti terisi sebangsa gincu, dayang itu mencungkit setitik
gincu itu dan di-poleskan ke lengan Pang Lin.
"Mengapa gincu dipoles di lengan, merah begitu, kelihatan
kotor sekali!" ujar Pang Lin kurang senang.
Habis itu ia angkat lengan bajunya hendak menggosok,
akan tetapi gincu itu ternyata tidak bisa hilang.
"Cuci saja dengan air!" kata Yong Ceng bergelak tertawa.
Keruan Pang Lin heran dan curiga, ia sambar handuk dari
tangan seorang Kionggo, ia celupkan ke air baskom terus
dikesutkan ke lengannya, di luar dugaan warna gincu itu
makin digosok semakin merah, sedang Yong Ceng masih terus
tertawa terbahak-bahak, agaknya gembira sekali.
Kiranya Yong Ceng menyangsikan Pang Lin yang
berhubungan terlalu rapat dengan Li Ti, ia menjadi cemburu
dan curiga, maka ia sengaja memerintah Kionggo tadi menguji
kesucian anak gadis ini dengan Siu-kiong-seh, gincu cecak.
Siu-kiong adalah nama lain dari cecak, kabarnya Siu-kiongseh
cara membuatnya mula-mula melolohi cecak dengan
lemak sapi dan kambing, setelah lama cecak ini dipiara hingga
perutnya merah membara kelihatan tembus, lalu darah
binatang cilik ini diambil dan dicampurkan dengan gincu.
Bahan campuran ini kalau ditutulkan setitik di atas lengan
wanita, jika wanita itu sudah menjadi nyonya, sekali kesut
gincu itu segera akan hilang, tetapi kalau masih perawan,
semakin digosok dan dikucek, warna gincu malah semakin
menjadi merah dan menyala.
Usia Pang Lin masih terlalu muda, sudah tentu ia tidak tahu
bahwa sang kaisar sengaja menguji dirinya dengan Siu-kiongseh
itu, maka setelah ia gosok dan gincu tetap tidak hilang, ia
jadi uring-uringan. "Apa-apaan ini?" omelnya dengan mendongkol.
Dengan tertawa Yong Ceng lantas memerintahkan kedua
dayang itu memayangnya keluar. Tapi Pang Lin sudah
terlanjur ngam-bek, ia kipatkan tangan Kionggo itu terus pergi
sendiri. Besok paginya Lian Keng-hiau meminta ayah-bundanya
datang ke taman untuk mengadakan upacara penerimaan
'anak angkat', Pang Lin tidak membantah, ia membiarkan
dirinya diatur mereka semaunya.
Ibu Keng-hiau ternyata sangat sayang pada Pang Lin,
orang tua ini tahu setelah pengakuan 'anak' ini, si nona akan
segera diantar masuk istana, maka ia merasa gegetun sekali.
Karena terharunya, pada waktu ia menyisir rambut Pang Lin,
hampir saja air matanya menetes.
Sudah tentu hal ini dapat dilihat oleh Pang Lin.
"Sebenarnya anak pun tidak tega meninggalkan engkau
ibu," katanya dengan suara perlahan.
"Aku pun tidak ingin melepaskan kau, nak, cuma sayang
sebenarnya orang tua itu hendak mengatakan "sayang Kenghiau
tiada rezeki buat mempersunting kau", namun kata-kata
yang belum sampai diucapkan ini ditelan kembali.
Pang Lin sangat cerdik, tentu saja ia tahu maksud
perkataan orang. "Mengapa kakak Keng-hiau tidak mengunjungi aku?"
katanya lagi. "Selanjutnya kau adalah Kui-jin, tanpa perintah Hongsiang,
mana berani ia mengunjungi kau sendirian," ujar ibu Kenghiau.
"Harap ibu sampaikan padanya bahwa aku sangat kangen,"
kata Pang Lin. "Anakku yang baik, tahulah aku, selanjutnya harap kau
banyak membantu dia di hadapan Hongsiang," sahut si orang
tua itu sambil berpaling ke jurusan lain untuk mengusap air
matanya. Pada petang harinya, di waktu makan malam, penjaga
telah diganti oleh Siang-mo, kedua saudara Sat.
"Lin-kuijin, silakan bersantap!" kata Sat Thian~ji dengan
perasaan ramah ketika ia membawakan nasi untuk Pang Lin.
"Sat-pepek, kenapa kau panggil aku seperti itu?" tanya
Pang Lin. "Ha, kembali kau panggil aku Pepek (paman)" Bukankah
kau hendak menusuk aku hingga tembus?" sahut Sat Thian-ji
mengejek Kiranya tempo hari Sat Thian-ji telah keliru menyangka
Pang Ing sebagai Pang Lin dan hampir ditusuk olehnya,
karena itu dendamnya sampai sekarang masih belum lenyap.
"Mana aku berani bergebrak dengan kau, cara bagaimana
kau bisa berkata begitu?" sahut Pang Lin terheran-heran.
Nampak si nona menjawab dengan sikap yang biasa tanpa
kikuk, terang bukannya sengaja berpura-pura tidak tahu,
keruan Sat Thian-ji pun merasa heran.
"Bukankah sebulan yang lalu di dekat rumah Lian ini kau
pernah mencaci-maki kami berdua, bahkan Ji-pek (paman
kedua, maksudnya Sat Thian-toh) telah kau lukai?"
Seketika Pang Lin melonjak kaget oleh penuturan itu.
"Aneh sekali, memang mengenai kejadian itu sampai kini
aku pun masih bingung, hari itu hakikatnya aku tidak pernah
melangkah keluar pintu kamar, tetapi begitu datang Lian
Keng-hiau lantas bilang aku pernah bergebrak dengan kalian,
aku malah menyangka dia bertemu setan, tak tahunya
sekarang kau pun berkata demikian, apa mungkin di dunia ini
betul-betul ada seorang lagi yang rupanya mirip sekali dengan
aku, dan kalian telah sangka dia sebagai diriku?"
Karena penjelasan ini Sat Thian-ji pun tercengang. Ia tidak
tahu bahwa Pang Lin memang masih punya seorang kakak
kembar, pada enam belas tahun yang.lalu, di atas Thay-hingsan
ia telah menggondol lari Pang Ing, tetapi kemudian dicuri
kembali oleh Ie Lan-cu, kemudian lagi ia merebut pula Pang


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lin dari tangan Ciong Ban-tong, selama itu ia anggap kakakberadik
kembar itu terdiri dari seorang saja.
"Hari itu betul-betul bukan dirimu?" tanyanya dalam
keheranannya. "Mana bisa di dunia ini ada orang yang begini
mirip?" "Sat-pepek," kata Pang Lin tiba-tiba, "bukankah kau yang
membawa aku masuk istana?"
"Ya, ada apa?" sahut Sat Thian-ji.
"Harap kau beritahu aku, siapa sebenarnya ayah-bundaku?"
tanya Pang Lin pula. Thian-ji menjadi terperanjat oleh pertanyaan yang tidak
disangka ini, pikirnya dalam hati, "Aku sendiri adalah salah
seorang musuh keluargamu, mana boleh aku beritahu
padamu." Kemudian dengan berlagak tertawa baru ia menjawab,
"Bukankah sudah beberapa kali aku katakan bahwa kau
adalah orok buangan yang aku temukan di pinggir jalan."
"Aku tidak percaya!" sahut Pang Lin dengan mencibir bibir.
"Kau tidak mau percaya, apa dayaku," kata Sat Thian-ji
pula. "Jika aku adalah orok buangan yang kau temukan dan kau
bawa pulang, maka kau sama dengan orang tuaku dan aku
pun sama dengan putrimu," tiba-tiba Pang Lin berkata. "Kau
sendiri pun tiada punya anak, maukah kalau aku menjadi
putrimu?" Sat Thian-ji menjadi terharu oleh kata-kata ini. "Tetapi kau
adalah Kui-jin, mana berani aku mengharapkan kau sebagai
anak?" sahutnya kemudian.
"Sat-pepek," kata Pang Lin lagi, "usiamu sudah lanjut,
untuk apalagi kau membudak di dalam istana" Tidakkah lebih
baik kau tolong aku melarikan diri saja, aku nanti melayani
kau sampai akhir hidupmu."
Karena oujukan ini, hati Sat Thian-ji rada tergerak.
Memang tujuan Sat Thian-ji semula mengabdi pada In
Ceng adalah mengharapkan diangkat menjadi Kok-su atau
imam negara, tidak terduga orang pandai di daratan terlalu
banyak, selama di bawah In Ceng, mereka berdua saudara
selalu terdesak oleh Liau-in dan Haptoh serta kawan-kawan
lain hingga tiada kemajuan, selama belasan tahun mereka
masih tetap anggota bayangkara saja, bahkan sekarang masih
harus menurut perintah Lian Keng-hiau.
Karena itu, demi mendengar bujukan Pang Lin tadi, ia
berpikir, "Memang daripada gagal mencapai cita-cita, lebih
baik ada seorang anak perempuan yang melayani hari tua
saja." Tetapi bila ia ingat kekejian Hongsiang dan Lian Keng-hiau,
meski ia sendiri dijuluki orang sebagai iblis, tidak urung ia pun
jeri. Sementara itu sinar mata Pang Lin terlihat seperti
mengunjuk perasaan memohon, Sat Thian-ji menjadi bergidik,
lekas ia hindarkan pandangan orang.
"Sudahlah, jangan kau pikir yang tidak-tidak, aku pergi
saja," katanya kemudian sambil bertindak pergi.
Pang Lin menjadi kecewa karena bujukannya tak berhasil.
Setelah bersantap, ia duduk sila di atas pembaringan, ia
berbuat seperti Hwesio bersemedi, muka berhadapan dinding
dan termenung. Kemudian waktu ia mendengar kentongan ditabuh sekira
jam sebelas malam, tiba-tiba ia ingat, "He, bukankah di kamar
ini terdapat tembok berlapis dan ada pintu rahasianya,
mengapa aku tidak keluar melihatnya?"
Tetapi segera ia berpikir pula, "Keluar pun tiada gunanya,
di luar dijaga orang, cara bagaimana aku bisa meloloskan diri.
Apalagi Li Ti-koko pun masih berada dalam genggaman mereka."
Ia jadi mengurungkan maksudnya itu, kembali ia berduduk
sila sekira satu jam lagi, ia dengar di luar kentongan sudah
ditabuh menandakan tengah malam, di luar pintu terdengar
ada tindakan orang, agaknya Siang-mo sedang dinas giliran
jaga. Lantas timbul pula pikirannya, "Berduduk saja di sinipun tak
berdaya, lebih baik aku keluar melihatnya. Siang-mo tidak
jelek terhadap diriku, jika mereka bergilir menjaga, mungkin
mereka tidak akan merintangi aku, biar aku bertemu Li Tikoko
sekali lagi, setelah itu mati pun aku rela."
Begitulah maka ia lantas jalan ke belakang pembaringan, ia
tekan dinding tembok, ia buka pintu rahasia terus masuk ke
dalam dinding berlapis Itu.
Di dalam dinding berlapis itu ternyata gelap gulita, selagi
Pang Lin meraba dan merembet ke depan, tiba-tiba ia lihat
ada sesosok bayangan hitam sedang menggeser ke
jurusannya. Bukan main terkejutnya Pang Lin, cepat ia menyiapkan
belatinya yang berbisa. "Lin-moay, diam, akulah!" terdengar orang itu menyapa
dengan suara perlahan. Waktu itu sudah sejenak Pang Lin masuk ke dalam tembok
itu, pandangannya di tempat gelap sudah agak biasa, maka
dalam keadaan remang-remang ia dapat membedakan
bayangan orang itu ternyata bukan lain daripada Lian Kenghiau,
segera Pang Lin menyimpan kembali belatinya, dengan
perlahan ia mendekati, dua pasang tangan berpegangan
kencang, dalam keadaan sunyi senyap Lian Keng-hiau
mendengar jantung Pang Lin memukul keras.
"Kau telah datang?" lama dan lama sekali baru Pang Lin
dapat mengucapkan perkataan ini.
"Ya, aku tahu kau sedang merindukan aku, sekalipun
menghadapi bahaya aku pasti juga datang," sahut Keng-hiau.
Mendengar jawaban ini, dalam kegelapan wajah Pang Lin
terlukis senyuman puas "Hm, aku tahu kau pasti akan
datang!" katanya lagi.
Memang semenjak bertemu Lian Keng-hiau di Hangciu
dahulu, Pang Lin lantas merasa orang ini seperti pernah
dikenalnya, belakangan ia tinggal pula di rumah keluarga Lian,
maka diam-diam benih asmaranya mulai tumbuh.
Kini kedua tangannya tergenggam tangan Lian Keng-hiau,
ia rada jengah dan hati berdebar, pikirnya pula, "Lian Kenghiau
belum tentu sejelek sebagaimana dikatakan mereka,
maka meninggalkan perguruan!"
"Apa kau ingin melarikan diri?" terdengar Lian Keng-hiau
bertanya dengan napas rada memburu.
"Cara bagaimana kau masuk kemari?" balas tanya Pang Lin.
Tetapi Keng-hiau tidak menjawab, ia hanya tertawa.
"Aku menasihati kau jangan melarikan diri," katanya
kemudian. "Hari ini lain dari biasanya, Hongsiang berada di
sini Kiranya sejak Pang Lin berhasil kabur melalui jalan rahasia
ini dahulu, Keng-hiau lantas menyelidiki dengan teliti dan
menemukan pintu rahasia itu, diam-diam ia pun memuji
kecerdasan gurunya yang telah membikin dinding berlapis ini,
semula ia berniat membikin buntu pintu rahasianya, tEtapi
kemudian ia berpikir pula mungkin kelak masih bisa
dipergunakan, maka ia lantas menambahi pula pesawat
rahasianya dan menggali sebuah jalan dLbawah tanah yang
menembus kc dalam kamar. Begitulah demi mendengar kata-kata Keng-hiau tadi,
seketika Pang Lin menjadi kuatir.
"Kau adalah panglima yang memimpin pasukan begitu
besar, masakah kau takut padanya?" tanyanya.
"Aku masuk ke sini secara diam-diam, maka tidak bisa
tinggal terlalu lama, marilah kita bicarakan dulu apa yang
perlu saja," ujar Keng-hiau.
Pang Lin sudah berkesan mendalam atas diri orang, maka
arah pikirannya selalu ditujukan ke jurusan yang baik, ia
mengira Keng-hiau berani menghadapi bahaya untuk
menjumpainya, tentunya telah berdaya-upaya untuk
menolongnya. "Pembicaraan penting apakah?" dengan tertawa ia lantas
bertanya. Tetapi Keng-hiau malah ragu-ragu, rupanya ia belum siap
apa yang hendak dibicarakan.
"Aku pun ada urusan penting yang hendak kutanyakan
padamu," kata Pang Lin perlahan sambil lebih mepet ke dekat
Keng-hiau. "Aku seperti sudah pernah bertemu kau. Cuma
entah dimana, apakah dalam mimpi?"
"Aku pun seperti pernah bertemu kau, kalau begitu
agaknya kita memang ada jodoh," sahut Keng-hiau.
"Aku tidak tahu apakah itu jodoh atau bukan, aku hanya
merasa kau adalah orang yang sangat rapat dengan aku,
serapat hubungan antara saudara sekandung saja," ujar Pang
Lin pula. Diam-diam Lian Keng-hiau tertawa geli dalam hati, pikirnya,
"Memang sejak kecil kita bermain bersama, tatkala itu Suhu
malah mendustai aku bahwa kau adalah adik perempuan
sepupuku dan aku pun mempercayainya."
"Kini aku betul-betul adalah adikmu, aku senang sekali,"
demikian Pang Lin berkata pula. "Sungguh aku tidak ingin
masuk istana, eh, apa kau bisa berbuat seperti di Hangciu
dulu, secara diam-diam melepaskan kami lari" Atau kalau kau
tidak bisa menolong aku, hendaklah kau suka bantu menolong
dia, aku maksudkan Li-koko itu, ia adalah seorang yang
sangat baik. Lian-koko, aku pasti akan berterima kasih
padamu selama hidupku. Mungkin kita memang pernah
berjumpa dalam mimpi, maka begitu bertemu kau, aku lantas
mempercayaimu." Keng-hiau rada terguncang hatinya oleh bujuk rayu itu, ia
jadi ragu-ragu. Tetapi mendadak teringat, "Kini bulu sayapku
masih belum tumbuh penuh, secara tidak gampang aku baru
saja mendapatkan kekuasaan militer, tak boleh aku gagal
akibat seorang wanita."
Karena itu, ketika Pang Lin masih menerocos terus, segera
Keng-hiau menyela, "Kita masih banyak kesempatan di
kemudian hari, hendaklah kau dengarkan dulu apa yang akan
kukatakan." Pang Lin mendongak, ia menunggu apa yang hendak
dikatakan orang. "Kau tak akan bilang pada Hongsiang bahwa aku pernah
menyembunyikan dirimu bukan?" tanya Keng-hiau lebih dulu.
"Pasti tidak!" sahut Pang Lin tegas.
Keng-hiau merasa lega, lalu ia menyambung lagi, "Apa
yang diucapkan oleh Hongsiang, tiada seorang pun yang
membantahnya. Kelak kalau kau sudah masak, tentu ia akan
sangat sayang padamu, tatkala itu kau pasti akan jauh lebih
berkuasa daripada Hong-hou (permaisuri), kita dapat bekerjasama
dan bantu-membantu, yang satu dari luar dan yang lain
dari dalam. Ah, kau adalah orang pintar, tidak perlu aku
katakan lebih lanjut, bukan?"
Kiranya kedatangan Lian Keng-hiau dengan menghadapi
bahaya ini, tujuannya masalah ini.
Keruan seketika Pang Lin merasa kaku seluruh tubuhnya, ia
merasa seperti disambar petir, kepalanya seperti kosong
blong, sama sekali tiada yang bisa diucapkan, sekali-kali ia
tidak menduga bahwa maksud tujuan Lian Keng-hiau ternyata
begitu kotor dan rendah. Dalam pada itu suara kentongan terdengar ditabuh pula
berulang kali, suatu tanda sudah jauh malam.
"Baik kau kembali ke kamar saja, jangan sampai kentara
pintu rahasia di dinding berlapis ini," Keng-hiau berkata lagi.
"Asal kita 'Sim-sim-siang-in' dan saling bantu-membantu, tentu
akan sama-sama baik. Adikku, kau adalah orang pintar, tidak
perlu aku berkata lebih banyak lagi."
Meski ia bilang tidak perlu banyak berkata lagi, padahal ia
justru masih kuatir, maka ia ulangi sekali lagi perkataannya
tadi. Sebaliknya ketika Pang Lin mendengar orang bilang "Simsim-
siang-in" atau dua hati saling tempel menjadi satu,
mendadak ia merasa muak. "Sudahlah, kini aku harus pergi!" kata Keng-hiau akhirnya
sambil melepaskan genggaman tangan Pang Lin.
Tetapi sebelum ia melepaskan diri dan melangkah pergi, di
antara malam sunyi senyap itu tiba-tiba terdengar suara
tindakan orang, menyusul terdengar Haptoh mengetok pintu
dan sedang memanggil. "Lin-kuijin, lekas buka pintu menerima Sri Baginda,
Hongsiang datang menyambangi kau!" demikian Haptoh
berseru. Kiranya Yong Ceng sedang bersiap untuk kembali ke
kotaraja besok pagi, tetapi hatinya merasa tidak tenang oleh
paras Pang Lin yang cantik, maka sebelum tidur ia masih
memerlukan menyambangi si nona sekali lagi.
Keruan tidak kepalang terkejutnya Lian Keng-hiau, segera
ia hendak menekan pesawat rahasia di dinding untuk
membuka pintu jalan ke bawah tanah itu, namun mendadak
Pang Lin memegang tangannya.
"Jangan kau pergi!" kata Pang Lin dengan suara tertahan.
Sementara itu di luar terdengar Yong Ceng sedang
berteriak sendiri, "Lin-ji, apa kau sudah tidur?"
Keng-hiau semakin gugup, tetapi ia tidak berani meronta
buat melepaskan pegangan Pang Lin, ia kuatir membentur
tembok dan menerbitkan suara.
"Adikku yang baik, jangan kau bergurau, lekas lepaskan!"
terpaksa ia memohon dengan suara lirih.
Dalam pada itu Yong Ceng sudah menunggu agak lama
dan masih belum dibukakan pintu, ia menjadi tak sabar,
kembali ia berseru lagi, "Apa yang sedang kau lakukan di
dalam?" Habis itu ia berkata pula pada diri sendiri, "Eh, tiada suara
sahutan ... Hai, kalau kau tidak lekas membuka pintu,
sebentar aku mendobrak pintumu!"
Sementara itu dengan kencang Pang Lin masih terus
memegang tangan Lian Keng-hiau.
"Bawalah aku keluar dan tolong Li Ti-koko, habis itu baru
aku lepaskan kau," demikian ia membisiki telinga orang
dengan setengah mengancam.
Keng-hiau semakin kuatir bercampur gusar.
"Jika kau tidak mau melakukan, segera aku berteriak!"
ancam Pang Lin lagi. Sementara terdengar pintu sedang dipukul hingga
menerbitkan suara keras, kiranya Yong Ceng mulai mendobrak
pintu kamar.

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cepat Keng-hiau membentur alat rahasia dengan
punggung, ia buka pintu rahasia dinding itu terus menyeret
Pang Lin masuk ke dalam jalan di bawah tanah itu.
"Apa kau sengaja hendak membikin celaka aku?" tegurnya
marah pada Pang Lin. "Aku tiada perkataan lain, aku hanya hendak mengulangi,
jika kau tidak mau menolong engkoh Li Ti, segera aku
berteriak," sahut Pang Lin.
"Tetapi aku sendiri tidak tahu ia dikurung dimana," ujar
Keng-hiau. "Baik, kalau begitu biar aku berteriak saja!" ancam si nona.
Dalam pada itu terdengar pintu telah dipukul lagi dengan
keras. "Lebih baik aku bunuh dia saja!" tiba-tiba timbul pikiran
jahat dalam benak Keng-hiau setelah berlari dua tindak.
Akan tetapi sebelum ia melakukan pikiran jahatnya itu,
mendadak Pang Lin berteriak satu sekali.
"Ah, aku mengira kau tidak ada di dalam, lekas kau buka
pintu!" demikian seru Yong Ceng demi mendengar suara
teriakan Pang Lin. Sudah tentu hal ini membikin Lian Keng-hiau tambah
kuatir. "Baiklah, aku turuti permintaanmu, tapi kau jangan
berteriak," katanya kemudian.
Dalam hati ia pun sedang berpikir, "Ilmu silat anak dara ini
tidak lemah, jika tidak berhasil aku bunuh dia, tentu soalnya
akan lebih runyam lagi. Seandainya bisa membunuh dia di
dalam lorong ini, susah pula untuk menghindarkan tanggung
jawabku, bila sampai ketahuan, orang yang dicurigai bisa
masuk jalan bawah tanah ini kecuali aku terang tiada orang
lain lagi, kala itu bukan saja pangkat panglima tidak jadi
kujabat, mungkin pula seluruh keluarga akan mengalami mala
petaka." Yong Ceng sudah lama menunggu di luar dan masih belum
dibukai pintu, sedang Haptoh yang mengiringinya kadangkadang
melirik padanya, mau tak mau Yong Ceng menjadi
rikuh. Pikirnya, "Kurangajar sekali budak ini, sama sekali ia
tidak pedulikan aku, lalu mukaku sebagai kaisar harus ditaruh
dimana?" Segera ia memanggil dua kali lagi, tetapi dari dalam masih
tiada jawaban, Yong Ceng menjadi gusar, diam-diam ia
kumpulkan tenaga dalamnya terus menggabruk daun pintu
dengan kedua telapak tangannya, seketika itu pintu kamar
ambrol terpukul roboh! Ketika mendengar suara gemuruh di luar, Keng-hiau tahu
pintu kamar telah dibobol Yong Ceng, tidak kepalang
terkejutnya, dengan menyeret Pang Lin segera ia berlari
cepat. "Lepaskan Li Ti-koko dulu, kemudian aku akan kabur pergi,
kalau tidak bisa lolos, aku pun tidak akan mengaku tentang
dosamu," kata Pang Lin sambil ikut berlari.
Sesudah keluar dari lorong bawah tanah, Keng-hiau
bersama Pang Lin menyembunyikan diri di belakang sebuah
bukit-bukitan. "Li Ti disekap di sana," kata Keng-hiau pada Pang Lin
sambil menunjuk sebuah rumah kecil di pojok barat.
"Baiklah, harap kau singkirkan penjaganya!" sahut Pang
Lin. Akan tetapi Keng-hiau menjadi ragu-ragu.
"Kau mau melakukan tidak, kalau tidak, segera aku kembali
untuk menemui Hongsiang," dengan tertawa dingin anak dara
itu mengancam pula. Kembali pada Yong Ceng, ketika masuk ke dalam kamar,
nampak tiada satu bayangan"orang yang ia dapatkan, ia
menjadi terkejut dan heran.
"Apa mungkin suara teriakan tadi bukan suaranya?"
katanya. Dalam pada itu Haptoh lebih hebat lagi terkejutnya hingga
mukanya pucat, ia merasa bertanggung-jawab karena ikut
menjaganya tadi. "Tadi waktu hamba gilir berjaga masih nampak
bayangannya dari balik tirai jendela, terang ia tidak kabur,"
demikian ia melapor secara samar-samar.
Karena laporan ini, Yong Ceng yang memang pintar, segera
yakin orang tidak kabur dan tentu ada sesuatu yang tidak
beres. "Kalau begitu, tentu ia masih di dalam rumah ini," katanya.
Mengenai pesawat rahasia sebangsa pintu rahasia dan
tembok berlapis adalah urusan biasa di dalam istana, Yong
Ceng paham dalam hal ini, segera ia memindahkan
pembaringan, ia ambil senjata Liu-sing-tui dari tangan Haptoh
terus diayun ke dinding sekitar kamar, ketika bandulan
mengenai alat penjeplak, pintu rahasia segera terpentang.
"Ha, tidak nyana si Lian cilik masih bisa main semacam ini!"
ujar Yong Ceng. "Tapi dalam taman penuh tersebar orang kepercayaan
Hongsiang, sekalipun Lian-ciangkun bersama dia tidak bakal
lolos. Mereka tentu masih berada di lorong bawah tanah," kata
Haptoh. "Baiklah, coba kau masuk periksa dalamnya, jika
menemukan mereka, segera kau silakan mereka keluar dan
tidak perlu banyak omong," kata Yong Ceng.
Lewat tak lama, tertampak Haptoh keluar kembali dengan
muka kuatir. "Tiada seorang pun di dalam!" lapornya.
Namun tiba-tiba Yong Ceng berkata padanya lagi, "Kejadian
hari ini yang tahu hanya kau dan aku berdua, jangan kau
ceritakan pula pada orang ketiga! Kalau bertemu Liantayciangkun
kau harus menghormat seperti biasa, sekali-kali
jangan mengunjuk sesuatu tanda apa-apa."
Kiranya Yong Ceng memang banyak tipu akalnya, pada
saat demikian ini timbul pikirannya hendak membunuh Lian
Keng-hiau, cuma wilayah barat belum berhasil diamankan,
pula Hi Kak masih belum dilenyapkan, saingan lain pun masih
banyak, maka untuk sementara ia tidak bisa bentrok dengan
Lian Keng-hiau. "Hamba mengerti!" demikian Haptoh menyahut dengan
suara gemetar, betapapun ia berkeringat dingin oleh karena
pesan junjungannya yang keji itu.
"Lekas kau cari keluar, aku menduga Lian Keng-hiau tidak
nanti berani membawa kabur budak Lin," kata Yong Ceng
sambil memberi tanda. "Ca!" sahut Haptoh atas perintah itu, segera ia keluar
kamar. Tidak lama kemudian terdengarlah tanda bahaya
dibunyikan dengan riuh ramai. (Ca, adalah kata mengiakan
bangsa Manchu dari kaum hamba terhadap atasannya).
Dalam pada itu Lian Keng-hiau merasa tidak berdaya
menghadapi desakan Pang Lin, ketika ia mendengar tanda
bahaya berbunyi, tiba-tiba ia mendapatkan akal, cepat ia
berlari keluar dari tempat persembunyiannya..
Waktu itu yang menjaga Li Ti adalah Ki Pi-sia, yaitu jago
yang baru ditaklukkan oleh Lian Keng-hiau.
"Dari san.: datangnya tanda/bahaya, lekas kau pergi
membantunya!" demikian Keng-hiau memerintahkan
jagoannya itu sambil menunjuk ke jurusan timur.
Ki Pi-sia terima perintah itu. Begitu ia pergi, segera pula
Pang Lin melompat keluar.
"Kau boleh pergi menolong temanmu itu," ujar Keng-hiau.
"Baik, hendaklah kau duduk saja di tepi kolam sana dan
jangan coba memakai akal jahat, sebentar lagi setelah aku
keluar baru kau boleh pergi," sahut Pang Lin. Habis itu dengan
pedang terhunus ia lantas melompat masuk ke dalam rumah.
Setelah Yong Ceng menguji keperawanan Pang Lin, ia tahu
gadis ini tiada hubungan rahasia dengan Li Ti, maka tidak
dilakukan sesuatu siksaan terhadap Li Ti, pula ia bermaksud
menaklukkan pemuda itu, bahkan belenggu pun tidak
dipasang padanya. "Li Ti-koko, kesempatan baik ini jangan disia-siakan, lekas
kabur ikut padaku!" seru Pang Lin begitu masuk ke dalam
kamar. Selama dua hari itu Li Ti merasa dirinya dalam mimpi buruk
saja, tidak terhitung banyaknya rasa heran dan pertanyaan
yang timbul dalam hatinya, ia hanya mengikut Pang Lin saja
terus meloncat keluar dari jendela.
Sementara itu dalam taman sudah penuh dengan bayangan
orang yang sedang membanjiri ke jurusan Pang Lin.
"Baiklah, kini kau boleh pergi!" kata Pang Lin pada Kenghiau
sesudah melompat ke belakang bukit-bukitan tadi.
Meski rasa cintanya pada Lian Keng-hiau sudah tersapu
bersih oleh pembicaraan tadi, namun apapun juga di antara
mereka masih terjalin rasa persahabatan, oleh karena itu Pang
Lin tidak ingin terlalu mempersulit orang, ia hanya ingin
meloloskan diri menuruti nasibnya sendiri.
"Harap saja kau bisa lolos dari mulut macan, jika kita ada
jodoh, biarlah kita bertemu kembali di lain jelmaan!" kata
Keng-hiau sembari mengulur tangan menjabat tangan si nona.
Pang Lin jadi terharu oleh kata-kata ini, ia ulurkan tangan
menyambut. Di luar dugaan, mendadak Keng-hiau membaliki tangannya
terus memegang urat nadinya, menyusul pula dengan cepat
menghantam batok kepala Pang Lin dengan sebelah tangan
yang lain. Ternyata Lian Keng-hiau memang sangat keji, ia pikir,
"Mereka berdua pasti tak akan bisa lolos, dara ini sudah putus
segala budi-rasa terhadapku, dibiarkan tinggal hidup hanya
akan menjadi bibit bahaya saja."
Karena itu, pada waktu melihat anak dara itu hendak kabur
bersama Li Ti, ia menjadi gelisah pula, pikirnya daripada dia
ingkari aku, lebih baik aku saja yang ingkari dia. Sementara itu
ia sudah di luar lorong bawah tanah itu, jika sekali kepruk aku
binasakan dia, siapa berani mencurigai aku yang
membunuhnya" Tetapi karena ia tahu ilmu silat Pang Lin tidak lemah, maka
sengaja ia memancing orang dengan kata-kata yang
mengharukan untuk menggoncangkan perasaannya, dan pada
waktu Pang Lin rada meleng, segera ia keluarkan pukulan
yang mematikan. Waktu itu Li Ti berjalan di depan, ia lihat Pang Lin bicara
dengan asyik sekali pada Keng-hiau, ia menjadi heran dan
ragu-ragu, tanpa sengaja ia menoleh dan kebetulan nampak
Keng-hiau mengangkat sebelah tangannya, keruan ia menjadi
kaget. "Apa yang kau lakukan?" bentaknya. Berbareng ia
membaliki tangannya untuk menangkis pukulan Keng-hiau,
sedang pedang yang terhunus di tangan yang lain segera
berputar pula, terus menusuk ke dada Lian Keng-hiau.
Lekas Keng-hiau mengegos dan dengan sendirinya
tangannya yang mencekal Pang Lin pun dilepaskan, habis itu
ia putar haluan terus angkat langkah seribu.
Peristiwa itu telah membikin terkejut penjaga dalam taman,
segera ada orang memburu ke tempat mereka. Sementara itu
dengan gusar Li Ti masih hendak mengudak musuh, namun
dengan cepat Pang Lin keburu menarik dia dan bersembunyi
di dalam semak. "Sungguh jarang ditemukan manusia durjana sekeji ini!"
damprat Li Ti atas perbuatan Lian Keng-hiau tadi.
Pang Lin menghindarkan pandangan Li Ti yang tajam, ia
merasa malu sekali dan menyesal mempunyai seorang
sahabat macam Lian Keng-hiau.
"Sudahlah, tak usah pedulikan dia, lekas kita melarikan
diri!" katanya kemudian dengan kepala menunduk.
Taman bunga keluarga Lian ini sangat luas, banyak bukit
buatan dan pepohonan, cara mengaturnya pun aneh sekali,
orang yang tidak paham jalanan di dalamnya, meski setengah
hari belum tentu bisa keluar dari situ.
Namun dengan membawa Li Ti, Pang Lin menyusur ke sana
dan membelok ke sini, ia berusaha bersembunyi dengan alingaling
pepohonan di dalam taman.
"He, lekas kalian kemari, jaga gardu di sebelah sana, dan
bukit-bukitan di kiri sana, kemudian geledah ke jurusan
tengah!" tiba-tiba terdengar Thian-yap Sanjin berseru
memberi komando kepada bawahannya.
Waktu Pang Lin mengintip, ia lihat Lian Keng-hiau bersama
Thian-yap Sanjin berdiri di atas suatu batu besar dan sedang
menuding ke tempat dimana mereka bersembunyi.
Diam-diam Pang Lin mengeluh, pikirnya, "Sudah tentu dia
lebih paham jalanan di dalam taman ini daripada aku, lantas
bagaimana baiknya kini?"
Karena sudah tak berdaya, segera Li Ti hendak menerjang
keluar saja, namun Pang Lin keburu mencegahnya.
Sementara itu tertampak ada belasan orang membagi dari
tiga jurusan mengurung tiba. agaknya segera mereka akan
kepergok. "Ia tidak berbudi dan tak kenal kebaikan lagi, rasanya
orang-orang inipun tidak berani mencelakai jiwaku, kalau aku
tertawan, biar aku menghadap Hong-te (kaisar) dan
membongkar semua rahasianya, habis itu aku lantas bunuh
diri," demikian Pang Lin bertekad hancur bersama Lian Kenghiau.
Setelah mengambil keputusan ini, ia jadi agak lega dan
tidak terlalu kuatir, sementara itu tertampak para bayangkara
yang mengurung datang dari tiga jurusan itu makin lama
semakin dekat. Dengan kencang Pang Lin menggenggam tangan Li Ti, ia
merasakan tangan pemuda itupun berkeringat.
"Kasihan Li-koko," kata Pang Lin dalam hati, "tempo hari
meski ia terjebak dalam kepungan musuh sama sekali ia tidak
gentar, tetapi kini kaki tangannya gemetar, terang dia bukan
kuatir atas keselamatan sendiri, tetapi ia kuatirkan akan
diriku!" Karena pikiran ini, ia lantas ambil keputusan hendak
menerjang keluar sendirian untuk memancing musuh menuju
ke jurusan lain. Tetapi sebelum ia melakukan, sekonyongkonyong
ketiga jurusan bayangkara yang mengurung datang
itu tahu-tahu berbelok ke tempat lain, ternyata tidak ada
seorang pun yang mendekati bukit-bukitan, keruan Pang Lin
sangat heran. Kiranya bukan saja Pang Lin dan Li Ti merasa kuatir,
sebaliknya Lian Keng-hiau sendiri lebih kuatir dan ketakutan.
Keng-hiau menaksir apabila Pang Lin sampai tertangkap,
gadis ini pasti akan membongkar semua perbuatannya.
Dalam keadaan kepepet demikian, satu-satunya jalan


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baginya adalah secara diam-diam membantu Pang Lin
meloloskan diri, meski terpaksa, namun ia harus melakukan
juga. Taman bunga keluarga Lian memang bagus dan aneh cara
" mengaturnya, pepohonan dan bukit-bukitan dibikin
sedemikian rupa sehingga jalan di dalam taman menjadi
berliku-liku, sebuah bukit meski jelas tertampak berada di
dekat mata, namun untuk sampai di situ ternyata harus
berputar-putar dulu beberapa kali, ditambah pula keadaan
sudah malam, rembulan guram dan bintang-bintang jarang,
karenanya sulit untuk bisa melihat dengan jelas.
Begitulah maka Lian Keng-hiau berhasil menunjukkan jalan
lain bagi kawanan bayangkara itu menuju ke tengah taman,
maka Pang Lin berdua lantas terhindar dari bahaya.
Pang Lin menghela napas lega, ia tarik Li Ti diajak
menerobos keluar dari mulut gua bukit-bukitan, dengan cara
merangkak dan merembet, sembunyi ke utara dan
mengumpet ke barat, akhirnya mereka sampai pinggir taman,
pintu taman sudah tertampak oleh mereka.
"Di depan sana ada sebuah kolam teratai, untuk menuju ke
sana harus memakai perahu, selain ini tiada jalan lagi," kata
Pang Lin pada Li Ti. "Pada kedua tepi kolam tertambat
beberapa buah perahu kecil, di tengah kolam ada sebuah batu
cadas besar yang menonjol keluar, kolam teratai ini lebarnya
kira-kira sepuluh tombak, sedang batu karang yang menonjol
keluar itu jaraknya dengan perahu terdekat yang tertambat di
tepi kolam itu kira-kira lebih tiga tombak, kau boleh mengincar
baik-baik tempatnya, begitu nampak aku memberi tanda,
segera kau melompat keluar, kau loncat ke atas perahu
dahulu, lalu melompat ke batu karang di tengah kolam itu
sebagai batu loncatan untuk kemudian melayang ke tepi
seberang. Sudahkah kau incar dengan baik?"
Li Ti mengangguk, suatu tanda ia sudah siap.
Setelah Pang Lin memeriksa suasana amat sepi tiada
orang, segera ia memberi isyarat, betul juga Li Ti lantas
melompat menuju ke seberang.
Di luar dugaan, di seberang sana ternyata sudah ditunggu
oleh Siang-mo, baru saja Li Ti melompat ke atas, belum
sampai ia menancapkan kakinya kembali, mendadak Sat
Thian-ji menyergap keluar dari tempat persembunyiannya
yang gelap, sepuluh kuku jarinya terpentang, mendadak ia
mencelat ke atas terus mencakar ke dengkul Li Ti, secara
paksa ia hendak menarik Li Ti ke bawah.
Syukur Li Ti bukan orang sembarangan, meski dalam
keadaan bahaya ia tidak menjadi gugup, sewaktu masih
terapung di udara, segera ia mendahului menusuk ke bawah
dengan pedangnya, karena ini Sat Thian-ji menjadi urung
mencakar, ia tarik kembali tangannya dan Li Ti pun sempat
turun ke bawah. Tak terduga, Sat Thian-ji yang pandai cara menghantam
dan menubruk seperti elang kucing, meski tubuh terapung di
atas tanah, namun ia masih bisa menggeraki badannya
dengan leluasa, mendadak ia mengulur sepuluh kukunya lagi
terus merangsek ke atas pundak Li Ti yang sementara itu
sedang menurun ke bawah. Ketika mendadak merasakan pundaknya kesakitan, Li Ti
segera menyikut, ia melepaskan diri dari cekalan musuh,
menyusul secapat kilat ia balas menyerang dengan beberapa
kali tusukan pedangnya. "Ha, penjahat cilik, kau masih hendak kabur?" seru Sat
Thian-ji. Habis itu segera ia menubruk maju pula.
Dalam pada itu Sat Thian-toh pun tidak tinggal diam,
dengan menggerung ia merangsek dari samping, susulmenyusul
ia pukulkan kedua tangannya, karena itu Li Ti
terguncang sempoyongan. Sementara itu Sat Thian-ji kembali hendak mencakar lagi
dari atas. Akan tetapi sebelum serangan ini mengenai sasaran, tibatiba
pandangannya jadi terbeliak, kiranya Pang Lin juga sudah
melompat sampai di seberang, tertampak ujung baju si nona
melambai tertiup angin, secepat panah gadis inipun sudah
menyusul tiba. Karena perhatiannya terganggu, cakaran Sat Thian-ji jadi
mengenai tempat kosong, telinganya mendengar Pang Lin
sedang berseru, "Sat-pjpek, Haptoh dan lain-lain berada di
seberang sana, untuk apa bersusah-payah kau mencegat
kami?" Ketika Sat Thian-ji merasa ragu dan merandek, cepat Pang
Lin menarik Li Ti terus menerobos lewat di bawah cakarannya.
Namun Sat Thian-toh tidak membiarkan mereka lolos
begitu saja, dari samping ia memukul pula.
"Biarkan dia pergi!" kata Sat Thian-ji kepada adiknya
dengan suara perlahan. Gerak tubuh Pang Lin dan Li Ti sangat cepat, sekejap mata
mereka sudah lenyap ke dalam semak-semak.
Akan tetapi kawanan bayangkara dalam taman itu sudah
mendengar suara gerangan Sat Thian-toh tadi, beramai
mereka lantas memburu datang.
Pembantu Haptoh yang bernama Pang Hun-in sedang dinas
menjaga pintu taman, ketika mendengar suara tadi, dia yang
pertama tiba. Karena itu, biarpun Sat Thian-ji ingin melindungi Pang Lin
secara diam-diam, dalam keadaan terpaksa ia tak berani
berdusta. "Apa budak itu lari sampai di sini?" Pang Hun-in bertanya.
"Ya, betul, dia dan penjahat cilik itu telah kabur bersama,"
sahut Sat Thian-ji berterus terang.
"Menuju kemana?" tanya Pang Hun-in pula.
"Mereka ternyata sangat licin, ketika mereka bergebrak
denganku, penjahat cilik itu terkena sekali cakaranku, tetapi
masih bisa lolos pergi," sahut Thian-ji. "Karena keadaan gelap
dan tidak jelas mungkin mereka menuju ke sana." Habis itu ia
sengaja menuding ke jurusan lain.
"Baiklah, boleh periksa dengan hati-hati, bersayap pun
kiranya mereka tidak bisa lolos!" ujar Pang Hun-in.
Kemudian ia melepaskan dua anak panah bersuara, maka
sebentar saja Haptoh dan Thian-yap Sanjin juga menyusul
tiba. Nampak datangnya kedua jagoan ini, Pang Lin rada jeri, ia
mengerti ilmu silat kedua orang ini tinggi sekali, apalagi
tempat dimana mereka bersembunyi tidak seluas di seberang
kolam sana, pepohonan dan bukit-bukitan pun tidak sebanyak
di seberang, jika lingkungan pengepungan makin lama
semakin sempit, akhirnya mereka pasti akan tertangkap.
"Mari kita gempur mereka saja!" ajak Li Ti.
Akan tetapi Pang Lin tak setuju, ia menggeleng kepala.
Dalam keadaan ribut itu, tiba-tiba terdengar Haptoh
berteriak, "Lin-kuijin, Hongsiang minta kau kembali!"
Pang Lin menjadi terkejut, ia heran karena namanya
disebut, pikirnya, "Tempat dimana dirinya berada sedikitnya
berjarak beberapa tombak dengan Haptoh, apakah mungkin
orang sudah tahu tempat persembunyiannya?"
Selagi ia hendak unjuk diri, tiba-tiba ia dengar seruan
kawanan bayangkara yang riuh ramai, "Ini dia di sini, di sini!"
Habis itu terdengar tindakan orang yang berlari menuju ke
jurusan pojok barat-daya, bahkan suara Haptoh dan Thian-yap
Sanjin pun menuju ke sana.
Sudah tentu kejadian ini membikin Pang Lin terheranheran.
"Kejadian malam ini betul-betul membikin aku bingung"
Apa mereka telah melihat setan?" demikian kata Pang Lin
kepada Li Ti. Untuk sementara mereka tetap mendekam di antara
semak-semak itu dan tak berani sembarangan bergerak.
Selang tak lama, terdengar di sana ramai suara beradunya
senjata bercampur dengan suara seruan orang bertempur,
sedang di sekitar tempat sembunyi mereka sudah tiada satu
manusia pun. "Inilah kesempatan yang paling baik, mari kau ikut padaku,
lekas kita lari keluar taman ini!" ajak Pang Lin pada kawannya.
Di antara suara pertempuran yang ramai itu terdengar
suara kaum wanita, suaranya mirip sekali dengan suara Pang
Lin, tetapi karena keadaan ramai ribut, meski suara wanita itu
cukup nyaring, namun tidak jelas kedengaran apa yang
dikatakan. Li Ti dibesarkan di Thian-san, di sana sering ia memandang
jauh dari tempat tinggi, maka matanya sangat jeli, ketika ia
memandang dari jauh, tiba-tiba ia berseru tertahan, "He, aneh
sekali, di sana ada seorang nona yang mirip sekali dengan
kau!" Pang Lin menjadi terguncang perasaannya oleh kata-kata Li
Ti, waktu ia memandang juga ke sana nampak wanita itu
sudah terkepung dan teraling-aling orang banyak, maka tidak
tertampak pula. Selama ini Pang Lin selalu berpikir siang dan malam dengan
harapan bisa memecahkan teka-teki mengenai asal-usul diri
sendiri, kini ia telah mendapat setitik sinar terang, ternyata di
dunia ini betul-betul ada seorang yang rupanya mirip sekali
dengan dirinya! Sesaat Pang Lin menjadi bingung, perasaannya diliputi oleh
rasa suka dan duka, pikirannya timbul tenggelam tidak
tenteram, tetapi dirinya kini berada dalam gua macan, meski
dengan sekali mengukir tangan saja misalnya ia bisa
menyingkap tabir rahasia diri sendiri, tetapi terpaksa Pang Lin
harus melepas kesempatan ini!
Begitulah mereka berdua diam-diam kabur keluar taman di
antara suara riuh ramai pertempuran para bayangkara.yang
sedang mengeroyok wanita tadi itu. Tak perlu dijelaskan lagi,
sudah tentu nona yang mirip dengan Pang Lin itu bukan lain
daripada kakak kembarnya, Pang Ing.
Kedatangan Pang Ing inipun bertujuan mencari tahu tekateki
asal-usul dirinya, ia datang ke rumah keluarga Lian lagi, ia
pun sedang mencari seorang lain daripada "dirinya sendiri' di
dunia ini. Tidak ia duga, begitu memasuki taman, segera pula
terjeblos dalam kepungan musuh, ada orang memanggil
padanya sebagai "Lin-kuijin", ada pula yang memaki dia
sebagai "budak liar", ada yang membujuk dia kembali, ada
pula yang memaksa dia supaya menyerah saja, ramai dan
ribut sekali, hampir saja Pang Ing menyangka dirinya sedang
memasuki rumah gila. Sejenak ia merasa bingung, ia pikir mungkin ada seorang
yang namanya pakai 'Lin' yang rupanya mirip seperti dirinya,
akan tetapi dimanakah orang ini" Apakah dia berada juga
dalam taman ini" Sebenarnya ia hendak membentak dan bertanya, akan
tetapi ia berada dalam kepungan orang banyak, suara
pertanyaannya seperti tenggelam di lautan suara lain, bahkan
segera ada orang mengulur tangan hendak
mencengkeramnya. Karena terpaksa, Pang Ing lantas keluarkan Thian-sankiam-
hoat yang lihai, dengan beberapa kali serangan ia desak
kawanan bayangkara mundur ke belakang.
Dalam pada itu Thian-yap Sanjin telah maju ke depan,
dengan gerak tipu 'Hong-kwi-cian-hun' atau angin
menggulung sisa awan, segera ia hendak mencekal
pergelangan tangan Pang Ing.
Keruan Pang Ing terkejut, gerak tangan orang ternyata
sangat cepat lagi keji, kepandaiannya jauh berada di atas
kawanan bayangkara itu. Lekas anak dara ini mengegos, dari
samping segera ia balas menusuk.
Serangan balasan ini sangat cepat lagi tepat, tempat yang
dia arah persis tempat yang mematikan, hingga dari pihak
terserang tadi, kini ia berbalik menyerang.
Thian-yap Sanjin bersuara heran, terpaksa ia ubah tipu
serangannya dan mundur ke belakang. Ia heran oleh ilmu
pedang Pang Ing yang hebat dan lihai.
"Budak liar ini keluar dari istana tidak lebih setahun saja,
darimanakah ia dapat belajar ilmu pedang ini?" demikian ia
bertanya dalam hati. Meski jagoan pengawal itu cukup banyak, tetapi karena
mereka menganggap Pang Ing sebagai Pang Lin, sedangkan
Pang Lin adalah bakal selir kesayangan kaisar, siapa yang
berani coba-coba melukai dia" Oleh karena itulah, mereka
tidak bisa bertindak dengan leluasa, malahan berbalik ada
beberapa orang yang dilukai Pang Ing.
"Kalian mundur dulu, biar aku tangkap dia!" seru Thian-yap
Sanjin. Tetapi meski kepandaian Thian-yap Sanjin lebih tinggi dari
Pang Ing, namun ia tak berani mengeluarkan seluruh tenaga
pukulannya, dalam keadaan demikian, karena desakan Kiamhoat
Pang Ing yang bagus, ia berbalik berulang-ulang harus
menghadapi serangan berbahaya.
Nampak kawannya tidak berhasil menangkap orang,
Haptoh tidak tinggal diam, ia keluarkan senjata bandulannya
terus maju membantu, dengan dua jagoan kelas satu dari
istana ini, setelah mereka mengeluarkan segenap kekuatan
dan berlaku hati-hati, akhirnya baru bisa mengurung si nona.
Namun mereka juga serba susah, sebab mereka harus
menghindar dan jangan sampai terluka olehnya, sebaliknya
juga tidak boleh melukai si nona. Dan bila mereka bermaksud
merampas pedang pusaka Pang Ing inipun bukan pekerjaan
yang mudah. Kembali pada Yong Ceng, waktu ia mendengar suara ribut,
ia lantas menuju ke sana buat melihatnya, di samping bukitbukitan
ia bertemu dengan Liang Keng-hiau. Walaupun dalam
hati Keng-hiau sangat kuatir, tetapi lahirnya ia tidak
mengunjuk perasaan apa-apa, bahkan ia lantas melapor,
"Kabarnya Lin-kuijin telah kabur, harap Hongsiang jangan
kuatir, Haptoh dan Thian-yap Sanjin sedang mengejar ke
sana." "Kau tentu telah capai!" ujar Yong Ceng
Keng-hiau tergetar oleh kata-kata ini, waktu ia melirik, ia
lihat Yong Ceng ternyata biasa saja seperti tiada menaruh
curiga, malah ia lantas menarik tangan Keng-hiau dan berkata
dengan tertawa, "Kau mempunyai bakat sebagai panglima,
tetapi malam ini hanya menjadi pemimpin di dalam taman
sekecil ini untuk mengejar seorang budak kecil, lucu juga
kalau diceritakan, haha."


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat sang kaisar begitu sayang dan percaya padanya,
hati Keng-hiau menjadi lega.
"Orang perempuan tidak lebih hanya seperti barang mainan
belaka, kalau kehilangan juga tidak perlu dibuat sayang," ujar
Yong Ceng. "Kebesaran jiwa Hongsiang memang tiada bandingannya,"
sahut Keng-hiau dengan hati kebat-kebit. "Usia Lin-kuijin
masih ter^ lalu muda, mungkin karena suka bermain, maka
dia telah keluyurafl di luaran, Hongsiang boleh menyuruh dia
pulang dan serahkan di bawah pengawasan ibuku saja."
"Ya, jika nanti bisa menemukannya kembali, terpaksa
membikin repot Lian-thayhujin (nyonya besar Lian) agar suka
mengiringinya pulang ke kotaraja," kata Yong Ceng.
"Hongsiang tak perlu kuatir, tidak nanti ia bisa keluar dari
taman ini," sahut Keng-hiau.
Meski ia berkata demikian, tetapi dalam hati sebenarnya ia
sedang berdoa semoga Pang Lin dengan selamat bisa keluar
dari taman ini. Setelah mereka melangkah beberapa tindak, tiba-tiba
terdengar suara pertempuran di seberang kolam sana.
"Lin-kuijin sudah ditemukan, Hap-congkoan dan Thian-yap
Sanjin sedang menasihatinya agar suka kembali saja," segera
ada pengawal memberi laporan.
"Haik sekali, biar aku sendiri pergi memanggil dia," ujar
Yong Ceng. Habis itu ia berkata pula pada Lian Keng-hiau,
"Marilah kita pergi ke sana melihatnya."
Baru saja Keng-hiau menenangkan pikiran, kini ia menjadi
kuatir lagi, sungguhpun ia adalah seorang lihai, tidak urung
agak gemetar juga, tetapi sekuat tenaga ia mencoba bersikap
tenang. Sekilas Yong Ceng pun merasa jari tangan orang rada
gemetar, cuma ia pura-pura tidak tahu, ia masih tetap
menggandeng tangan Lian Keng-hiau dan naik perahu terus
menyeberang ke tepi kolam sebelah sana.
_ Dalam pada itu Pang Ing sedang kerepotan melawan dua
musuh tangguh, yakni Haptoh dan Thian-yap Sanjin, beberapa
kali hampir saja pedangnya dirampas orang. Sungguh
berbahaya dan tegang, tiba-tiba terdengar seruan orang,
"Kalian mundur semua, biar Tim (aku) bertanya padanya!"
Sama sekali tidak Pang Ing duga bahwa orang yang
berseru itu adalah kaisar, dalam keadaan genting lebih-lebih ia
tidak ada waktu untuk menyelami maksud perkataan "Tim"
(sebutan kaisar pada diri sendiri), ia hanya mendengar ada
orang membentak supaya mundur, habis itu sekitarnya lantas
sunyi senyap, dua lawannya pun seketika melompat mundur
dari kalangan. Keruan Pang Ing sangat heran, pikirnya, siapakah gerangan
yang mempunyai wibawa begini besar"
Waktu ia memandang, dilihatnya seorang lelaki berusia
lebih tiga puluh tahun dengan sikap yang agung, dari matanya
terpancar sinar yang membikin orang jeri, ia sedang
tersenyum padanya. "A Lin, kau membikin ribut terus semalaman, apa kau tidak
kuatir akan ditertawai orang" Lekas ikut pulang!" demikian
orang itu berkata padanya.
Pang Ing menjadi bingung, ia pikir, dua orang yang
bergebrak dengan aku kepandaian silatnya susah dicari
bandingannya, akan tetapi terhadap orang ini ternyata berlaku
sangat hormat sekali, kalau dia bukan tokoh besar dari
sesuatu cabang persilatan, tentu adalah pembesar tinggi
kerajaan, aku toh tidak bakal bisa lolos di bawah keroyokan
mereka, baiklah aku bicara dengan dia, coba mereka mau
bicara sesuai aturan atau tidak!
Karena itu, segera ia menjawab, "Bagus, memang aku tidak
ingin berkelahi dengan mereka, kedatanganmu kebetulan
sekali, aku justru hendak bertanya padamu."
Yong Ceng tidak tahu apa yang hendak ditanyakan si nona,
ia hanya kuatir gadis ini omong sembarangan tanpa tedeng
aling-aling, maka lekas ia berkata lagi, "Baiklah, kita kembali
dahulu dan bicara di rumah!"
Tanpa banyak omong lagi Pang Ing lantas ikut mereka naik
ke atas perahu, di bawah sinar rembulan mengkilap yang
terpantul dari air kolam, tiba-tiba ia berkata pada Keng-hiau.
"Eh, bukankah kau adalah Lian Keng-hiau, aku kenal kau!"
Keruan Keng-hiau terperanjat hingga mandi keringat
dingin, hampir saja ia tak bisa menguasai kemudi perahunya.
"Budak tolol, apa kau sudah gendeng" Masakah Lian-tayciangkun
tidak kau kenal" Malahan hari ini kau baru saja
mendapat ayah dan ibu angkat!" demikian Yong Ceng
mengomel dengan tertawa. Pang Ing tercengang oleh semprotan Yong Ceng ini. Tetapi
segera ia paham, tentunya orang menganggap perbuatan si
gadis yang disebut "Lin-kuijin" itu dilakukan olehnya.
Setelah kembali di seberang taman sana, kemudian
berkatalah Yong Ceng pada Lian Keng-hiau, "Lian-ciangkun, malam ini
telah banyak membikin lelah kau, baiklah, kau pergi tidur
saja!" Maka terpaksa Keng-hiau mengundurkan diri meski dalam
hati masih merasa tidak tenteram.
Yong Ceng lalu membawa Pang Ing menuju ke ruangan
dalam, di sini sudah tiada orang lain lagi.
"Bukankah di tempatmu sini ada seorang yang disebut 'Linkuijin',
apa dia seorang nona cilik" Ada di sinikah dia
sekarang?" demikian Pang Ing membuka suara.
Tidak kepalang terperanjatnya Yong Ceng demi mendengar
pertanyaan aneh ini. "Apa kau kesurupan setan?" tegurnya.
"Kaulah yang kesurupan setan," balas Pang Ing. "Ya, tentu
kalian menganggap aku sebagai nona itu. Coba, kau
perintahkan orangmu mencarinya, jika dia ditemukan, tentu
segalanya akan jadi terang!"
"Haha, kata-katamu ini sungguh menarik, leluconmu ini kau
ucapkan dengan sungguh-sungguh, wanita secantik kau,
jangan kata di dunia ini, sekalipun di surga pun sukar dicari
bandingnya lagi, mengapa kau bilang ada seorang lain yang
mirip kau?" demikian Yong Ceng berkata dengan bergelak
tertawa. Begitulah meski Pang Ing berusaha menerangkan lebih
lanjut, tapi Yong Ceng tetap tidak mau percaya. Keruan Pang
Ing menjadi keki dan mendongkol. "Jika kau tetap tidak
percaya, terpaksa aku pergi saja!" katanya kemudian.
"Haha, gampang sekali caramu ini," sahut Yong Ceng
dengan tertawa. "Sekali kau minggat keluar istana, inipun
sudah banyak menurunkan derajat dirimu, kini kau hendak
kabur lagi, lantas muka Tim hendak kau taruh kemana?"
Baru sekarang Pang Ing mendengar jelas kata "Tim" yang
diucapkan Yong Ceng, ia menjadi kaget.
"Siapa kau" Kau bilang derajat diri dan muka apa" Urusan
apakah sebenarnya?" demikian ia bertanya dengan tidak
mengerti. "Biar kau pura-pura bodoh dan berlagak dungu juga tidak
bisa diteruskan lagi," sahut Yong Ceng tertawa. "Bukankah
kau sudah berjanji hendak ikut kembali ke kotaraja, apa kini
kau menyesal" Coba kau pikir, derajat diri seorang Kui-hui mana boleh
sembarang-an unjuk muka dan keluyuran di luaran, malahan
membikin onar segala?"
"Kau ini Hongte (kaisar)?" tanya Pang Ing dengan suara
rada gemetar. Karena pertanyaan ini, seketika wajah tertawa Yong Ceng
lenyap, segera ia menarik napas. "Ya, aku adalah Kaisar dan
kau adalah Kui-hui," jawabnya. "Usiamu tahun ini sudah enam
belas, sepatutnya kau belajar sedikit tatacara keluarga
kerajaan!" Tiba-tiba Pang Ing mundur setapak, sepasang matabolanya
yang bundar membelalak menatap ke muka orang,
kini ia tidak jeri lagi pada sinar mata Yong Ceng yang
berwibawa itu. "Ha, kiranya kau adalah raja yang lalim dan cabul itu!"
damprat Pang Ing. Karena makian ini, dari gusar Yong Ceng malah tertawa.
"Haha, bagaimana kecabulanku dan kelalimanku! Coba
katakan!" "Dari ucapanmu tadi, nona yang kau sebut Lin-kuijin
tentunya takut pada napsu cabulmu, maka dia telah kabur
ketakutan," sahut Pang Ing tak gentar. "Jika kau memang
Kaisar yang bertakhta sekarang, kau tidak berdaya mencapai
keamanan negeri, sebaliknya kau menganiaya seorang wanita,
apa ini bukan cabul dan lalim?"
Keruan Yong Ceng naik darah. "Bagus, kau bilang aku cabul
dan lalim, baik malam ini juga aku hendak memiliki kau!"
katanya dengan tertawa dingin.
Habis itu segera ia hendak menarik si nona.
Pang Ing menjadi gusar, ia baliki tangannya menangkis,
berbareng menempeleng ke muka Yong Ceng.
Akan tetapi Yong Ceng tidak gampang kecundang, ilmu
silat maharaja ini berasal dari Siau-lim-si, yakni ajaran asli dari
Pun-khong Taysu, ketua Siau-lim-si yang dulu. Oleh karenanya
sekalipun gerak tangan Pang Ing sangat cepat, namun dengan
sedikit berkelit Yong Ceng sudah menghindarkan diri dari
tamparan orang, sungguhpun demikian, angin pukulan yang
menyambar ke mukanya itu terasa panas psdas.
"Kurangajar, kau berani padaku" Baik, akan kubunuh
dahulu kau punya Li Ti-koko!" teriak Yong Ceng dengan gusar.
Pang Ing terkejut oleh kata-kata "Li Ti-koko" itu. "Apa kau
bilang" Siapa, Li Ti-koko?" tanyanya.
"Ha, kau kuatir bukan" Hm, kau sudah mencintai anak
busuk itu bukan" Tetapi justru aku ingin bikin kau putus
harapan," sahut Yong Ceng mengancam. "Kini aku akan
menghitung tiga kali, jika kau tidak menurut, segera juga
kuperintahkan membunuhnya."
Pang Ing dan Li Ti adalah teman bermain sejak kecil,
karena itu Pang Ing lantas berpikir, "Jangan-jangan Li Ti-koko
telah jatuh ke dalam cengkeraman mereka?"
Sementara itu ia dengar Yong Ceng sedang menghitung
dengan suara keras. "Satu" telah diucapkan, Yong Ceng lihat
Pang Ing termangu berpikir, dalam hati ia merasa girang
bercampur pedih, ia menyangka ancamannya telah membawa
hasil, maka dengan suara keras ia menghitung lagi, "Dua".
Tetapi sebelum "tiga" diucapkan, sekonyong-konyong Pang
Ing melolos pedang terus menikamnya.
"Jika kau tidak lantas bebaskan Li Ti-koko, hari ini kau pasti
akan mampus di sini!" teriak Pang Ing.
Terkejut sekali Yong Ceng oleh serangan yang mendadak
ini, dalam pada itu secepat kilat susul-menyusul Pang Ing
telah mengirim dua kali tusukan lagi, hampir saja Yong Ceng
terluka. Waktu Pang Ing mengirim tusukan ketiga, secepat angin
Yong Ceng berkelit pergi, berbareng ia menyambar sebuah
kursi terus di-tangkiskan dengan kuat.
Kursi itu terbikin dari kayu cendana yang keras, dengan
serangan pedang Pang Ing ternyata kursi itu tak bisa terbelah
menjadi dua, sebaliknya ia merasa tangan rada kesakitan oleh
tenaga lawan yang besar. "Hanya dengan sedikit kepandaianmu ini kau berani
melawan aku?" demikian Yong Ceng mengejek.
Keruan Pang Ing menjadi murka, segera ia keluarkan
permainan Tui-hong-kiam-hoat, ilmu pedang pemburu angin,
dengan kecepatan luar biasa ia menggempur lawan.
Semula Yong Ceng mengira ilmu silat 'Pang Lin" pasti
bukan tandingannya, siapa tahu setelah menangkis beberapa
kali, ia merasa ilmu .pedang orang sangat cepat dan lihai.
Terpaksa Yong Ceng keluarkan seluruh kemahirannya, ia
putar kursinya sedemikian rupa hingga membawa sambaran
angin menderu, akan tetapi tetap tidak berhasil membentur
pedang pusaka orang. Di pihak lain Pang Ing pun terkejut, tadinya ia mengira
seorang kaisar yang biasa hidup dalam istana dengan segala
kemewahan, tentu tidak paham ilmu silat, ia menyangka
cukup tiga jurus saja ia sudah bisa melukai orang dan
menawannya sebagai sandera.
Di luar dugaan, Yong Ceng dapat menggunakan kursi
sebagai senjata, apa yang dia gunakan ternyata adalah tipu
serangan ilmu permainan kursi dari Siau-lim-pay yang lihai,
kepandaiannya tergolong jago kelas satu.
Begitulah, maka dalam sekejap saja dua-tiga puluh jurus
Pang Ing telah menempur Yong Ceng.
Sementara itu karena tidak bisa tidur enak, Lian Keng-hiau
mengobrol dengan Haptoh di luar, mentaati pesan Yong Ceng,
maka Haptoh masih berlaku sangat hormat seperti sedia kala
terhadap Lian Keng-hiau. Tengah mereka mengobrol ke timur dan ke barat,
sekonyong-konyong terdengar suara gedubrakan di dalam,
mereka berdua menjadi heran dan saling pandang, mereka
mengerti apa yang terjadi, tetapi tanpa dipanggil tidak
mungkin mereka masuk. "Budak ini betul-betul kurangajar, mendengar suara itu
agaknya ia sedang bergebrak dengan Hongsiang!" ujar
Haptoh. Sebaliknya diam-diam Lian Keng-hiau merasa girang. Ia
pikir, "Jika dia sudah bentrik dengan Hongsiang, tentunya dia
tidak akan bercerita tentang kebusukanku, sekalipun bercerita
mungkin Hongsiang tak mau percaya padanya."
"Celaka!" dalam pada itu tiba-tiba terdengar Haptoh
berseru. "Kenapa?" tanya Keng-hiau.
'Kiam-hoat budak ini bagus sekali, mungkin Hongsiang
bukan tandingannya," sahut Haptoh. "Kini Hongsiang tidak
memanggil kita, kalau masuk kuatir disemprot, lalu bagaimana
baiknya?" Dalam keaadaan demikian Lian Keng-hiau berbalik
mengharap "Pang Lin" dengan sekali tabas bisa membunuh si
kaisar. Oleh karena itu ia lantas berkata mengikuti lagu suara
Haptoh, "Ya, memang serba susah, dia bukan sembarang
orang, dia adalah bakal Kui-hui yang agung, kini Hongsiang
dan Kui-hui sedang saling gebrak, betapapun kita tidak enak
menerobos masuk begitu saja."
Saat itu pertempuran semakin seru, suara gedubrakan
meja kursi yang jungkir balik bercampur-aduk.
"Biarlah, sekalipun aku didamprat Hongsiang, aku harus
masuk buat menolong Sri Baginda!" kata Haptoh tiba-tiba.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Haptoh adalah Congkoan atau pemimpin besar pasukan
bayangkara istana, terhitung orang paling dipercaya oleh
Hongsiang, maka pada saat demikian tidak bisa tidak ia harus
bertindak. Begitulah mendadak Haptoh menerjang masuk ke dalam,
pikiran Lian Keng-hiau pun tergerak, segera ia ikut menerobos
masuk. Waktu itu Yong Ceng sedang serba salah, semula ia
mengira dengan segera bisa menaklukkan "Pang Lin", ia
merasa kalau mendatangkan kaum bayangkara, keadaan bisa
lebih runyam, oleh karenanya ia lantas menempur Pang Ing
terus. Di luar dugaan meski 50-60 jurus sudah lewat, karena
senjatanya yang berupa kursi kurang leluasa digunakan, ia
menjadi terdesak oleh Pang Ing, bahkan hampir ia terluka,
keruan ia menjadi gugup. Selagi ia hendak berseru memanggil
pengawalnya, pada saat itulah Haptoh dan Lian Keng-hiau
menerjang masuk. "Kebetulan sekali kedatangan kalian, lekas tangkap budak
hina ini. Tawan hidup-hidup, sekalipun terluka juga aku tak
akan menyesal!" demikian kata Yong Ceng.
Mendapat titah demikian, seketika Haptoh merangsek maju
dengan gagah berani, Lian Keng-hiau pun tidak mau
ketinggalan, ia pun maju membantu.
Meski Kiam-hoat Pang Ing memang bagus, tetapi waktu
melabrak Yong Ceng sebagian besar tenaganya sudah
terbuang, sudah tentu ia tak tahan lagi oleh keroyokan dua
orang ini, maka sesudah beberapa puluh jurus lengannya
disampuk Haptoh hingga pedangnya terpental dari cekalan.
Kesempatan itu segera digunakan Lian Keng-hiau dengan
baik, segera ia melangkah maju dan mengulur jari menutuk
'Cing-koh-hiat' di pinggang kiri Pang Ing, keruan seketika si
nona menjadi lemas dan lumpuh.
Nampak Pang Ing roboh, Yong Ceng menjadi lega, tetapi
merasa kikuk juga karena dirinya tidak mampu mengalahkan
anak dara ini. "Kui-hui bermaksud jahat, kalau dibiarkan di sini mungkin
tak akan menguntungkan Hongsiang." segera Lian Keng-hiau
melapor sambil memberi hormat.
"Dengan setia kau bela diriku dan suka berkata terus
terang, betul perwiraku yang baik," Yong Ceng memuji.
"Baiklah, kau undurkan diri dulu, biar aku sendiri yang
"mengurusnya." Terpaksa Keng-hiau mengundurkan diri dengan perasaan
girang bercampur kuatir. "Kau lepaskan jalan darahnya," perintah Yong Ceng pada
Haptoh segera sesudah Keng-hiau pergi. "Boleh kau
pindahkan kamar lain buat mengurung dia, kau sendiri pula
Pusaka Tongkat Sakti 5 Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Sepasang Naga Lembah Iblis 3
^