Pencarian

Tiga Dara Pendekar 21

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 21


yang menjaganya." "Ca!" sahut Haptoh dengan kedua tangan lurus ke bawah.
Kemudian Yong Ceng memerintahkan pula seorang Thaykam
menggendong Pang Ing dan ikut pergi bersama Haptoh.
Tapi sebelum Haptoh melangkah keluar kamar, tiba-tiba
Yong Ceng teringat sesuatu dan memanggil dia lagi.
"Dan bagaimana dengan pemuda Li Ti itu, apa terjadi
sesuatu atas dirinya?" tanya Yong Ceng.
Tentang kaburnya Li Ti, Haptoh sendiri baru saja mendapat
tahu. Oleh karenanya ia lantas melapor, "Hamba berdosa, tak
cakap menjaga dan melakukan kewajiban dengan baik, karena
Ki Pi-sia "meninggalkan tempat penjagaannya, maka pemuda
itu telah lolos. Hamba sendiri pun baru saja mendapat tahu,
tetapi kuatir Hongsiang merasa kesal, maka belum melapor."
Di luar dugaan Haptoh, kabar ini ternyata tak membikin
Yong Ceng menjadi marah. "Baiklah, kau boleh pergi,"
demikian katanya. Setelah Haptoh berlalu, seorang diri ia duduk dalam kamar,
Yong Ceng berpikir pula pergi datang. "Tentunya karena tahu
buah hatinya sudah lolos, maka budak hina itu berani
bergebrak dengan aku. Hm, tidak nyana ia begitu mendalam
mencintai bocah itu," berpikir sampai di sini, ia menjadi iri
hati, rasanya tidak enak sekali. Namun tiba-tiba ia berpikir
lagi. "Tetapi tadi waktu ia mendengar aku bilang hendak
membunuh bocah itu, seketika ia menjadi tegang dan kuatir,
sikapnya itu sekali-kali bukan bikinan, jika dia tahu buah
hatinya sudah lolos, seharusnya dia tidak perlu begitu kuatir."
Lalu ia batinnya lagi, "Dia ternyata tak mau menyerah,
maka apa yang dikatakan Lian Keng-hiau memang tidak salah
juga, kalau dibiarkan dia berada di sampingku, akhirnya tak
akan menguntungkan." Karena pikiran ini, seketika timbul
keinginannya membunuh gadis itu. Namun segera ia berpikir
lagi, "Ah, wanita cantik yang tiada taranya ini, kalau dibunuh
apa tidak sayang?" Begitulah ia berpikir terus dan tidak bisa mengambil
keputus-an antara dibunuh atau tidak!
Kembali bercerita mengenai Teng Hiau-lan. Pada hari itu,
sesudah dia menempur Ki Pi-sia di lembah Swat-hun-kok,
karena hendak merebut kembali pedang pusakanya, Yu-liongpokiam,
ia telah keseleo mata kakinya, oleh sebab itu ia tidak
bisa naik ke Bin-san bersama rekan-rekannya yang lain.
Cap-ji-cay Sin-thau Tan Tek-thay, si copet sakti berjari dua
belas itu juga tergetar oleh tenaga pukulan Tang Ki-joan,
maka ia pun tidak bisa berjalan.
Mereka berdua lantas merawat luka di lembah itu, setelah
mengaso hampir sebulan baru mereka pulih.
Sementara itu Nyo Tiong-eng telah menyuruh orang
membawa surat kepada Teng Hiau-lan meminta agar pemuda
ini lekas pulang ke kediamannya di Soatang. Bukannya
senang, sebaliknya Hiau-lan menjadi masgul oleh panggilan
ini, ia pikir, Suhu minta aku lekas pulang, tentu ia mendesak
lagi aku lekas menikah. Walaupun dalam hati seribu kali tak senang, tetapi perintah
guru tidak bisa dibantah, terpaksa bersama Tan Tek-thay
lantas ia berangkat, mereka meninggalkan lembah Swat-hunkok
dan menuju Soatang. Tidak terduga baru dua hari mereka berangkat, pada
sebuah penginapan di suatu kota kecil, mereka bertemu Honghoat
Taysu, Kam-si atau pengawas biara Siau-lim-si. Dari
Hong-hoat Taysu mereka mendengar bahwa ada seorang
nona yang begini rupanya, telah terkena Pek-bi-ciam dan baru
saja meninggalkan tempat ini.
Walaupun Hong-hoat Taysu tidak kenal nama Pang Lin, tapi
buat Teng Hiau-lan setelah mendengar ceritanya, ia yakin
nona yang dimaksud pastilah seorang di antara kedua dara
kembar itu. . Teng Hiau-lan pernah bersumpah akan menemukan
kembali kakak beradik kembar ini, maka demi mendengar
berita ini, segera ia menyusul bersama Tan Tek-thay untuk
mencarinya. Sepanjang jalan mereka terus mencari tahu jejak
anak gadis ini, hingga akhirnya sampai di sekitar rumah
keluarga Lian di Tanliu. Teringat oleh Teng Hiau-lan bahwa Pang Lin pernah
dibesarkan dalam keluarga Lian, maka ia lantas ingin
mencarinya ke rumah orang she Lian itu. Akan tetapi Tan Tekthay
telah menyelidiki dan mendapat tahu bahwa Lian Kenghiau
justru sedang berada di rumahnya dengan tidak sedikit
jago-jago gagah, ia kuatir nanti akan 'pukul rumput
mengejutkan ular' dan keadaan akan menjadi lebih runyam.
Oleh sebab itulah ia menasihati Hiau-lan agar jangan
sembarangan bertindak, mereka lantas bersembunyi di bukit
sekitar rumah keluarga Lian itu dengan maksud menantikan
saat yang baik, yakni sesudah Lian Keng-hiau meninggalkan
rumahnya, baru mereka akan mencarinya ke sana.
Malam itu Teng Hiau-lan dan Tan Tek-thay mendekam di
atas bukit dekat rumah Lian Keng-hiau, mereka lihat di taman
keluarga Lian ini terang-benderang dengan lentera dan
berkumandang pula suara pertempuran yang ramai.
Diam-diam Tan Tek-thay menggeremet ke sana, ia tutuk
roboh seorang penjaga di luar taman dan ditawannya, dari
pengakuan penjaga ini mereka baru tahu bahwa kaisar Yong
Ceng juga berada di rumah orang she Lian itu, bahkan suara
pertempuran itu justru disebabkan Pang Lin adanya.
Keruan Hiau-lan terperanjat, ia pikir, "Jika sampai Pang Lin
ditawan dan dibawa kembali ke istana, kelak kalau hendak
menolongnya pasti jauh lebih sukar."
Karena itu tergerak hatinya, mendadak ia mendapatkan
suatu akal. "Tan-toako," demikian segera ia berkata pada Tekthay,
"mari, malam ini kita harus berkunjung ke rumah
keluarga Lian itu." Tek-thay menjadi kaget oleh ajakannya. "Apa" Berkunjung
ke sana" Apa kau hendak mengantar kematian?" sahutnya.
"Hanya bawahan Lian Keng-hiau saja sudah tak mampu kita
tandingi, apalagi sekarang Hongte sendiri ada di sana, tentu
tidak terhitung banyaknya jago silat yang berkumpul di sana,
mana bisa kau terobosan pergi datang sesukamu?"
Hiau-lan tertawa. "Justru karena Hongte ada di sini, maka
inilah suatu kesempatan yang paling baik," sahutnya.
Habis itu dengan suara bisik-bisik ia lantas menguraikan
akalnya pada Tan Tek-thay. Kemudian copet sakti dua belas
jari ini tampak mengangguk-angguk sambil memuji akal
orang, maka berangkatlah mereka menjalankan tugas masingmasing
menurut rencana. Teng Hiau-lan sendiri pergi mengetok pintu minta bertemu
dengan kaisar, waktu itu sudah lewat saatnya Pang Ing
tertawan, para bayangkara sudah capek oleh karena keributan
yang terjadi tadi, mereka sudah pergi mengaso semua. Yang
dinas menjaga tengah malam berikutnya adalah Thian-yap
Sanjin. Ketika dilapori ada orang minta bertemu, Thian-yap Sanjin
menjadi heran, siapakah gerangan tetamu yang berkunjung
tengah malam begini" Tetapi segera ia menjadi lebih heran
dan kaget ketika diketahui bahwa yang datang adalah Teng
Hiau-lan. "Aku ada urusan penting harus menemui Hongsiang sendiri,
harap kau melapor padanya," kata Hiau-lan segera kepada
Thian-yap Sanjin. Thian-yap Sanjin masih ingat bahwa orang yang berada di
hadapannya ini pernah menjadi pengawal kaisar Khong-hi,
kaisar yang dahulu, pernah juga orang ini ditugaskan kaisar
tua itu ke istana Pangeran In Ceng, dengan kaisar yang
sekarang terhitung kenalan lama juga, jangan-jangan memang
betul ada urusan penting yang perlu disampaikan"
Karena itulah, tanpa ayal lagi segera ia melapor kepada
Yong Ceng. Kala itu Yong Ceng masih mondar-mandir di kamarnya,
sedang memeras otak memikirkan apakah harus membunuh
'Pang Lin' atau tidak, sudah sekian lama ia terombang-ambing
oleh pikiran antara 'bunuh atau tidak membunuh' dan tetap
tak bisa mengambil keputusan.
Sebab pikirannya lagi kusut, waktu tiba-tiba dilapori bahwa
Teng Hiau-lan minta bertemu, ia jadi mendongkol.
"Kembali keparat ini lagi!" teriaknya dengan gemas. "Kau
boleh seret dia pergi dan rangket dia lima puluh kali, biar
besok saja aku periksa dia!"
Tapi sebelum Thian-yap Sanjin mengundurkan diri, dari
samping Haptoh ikut berkata. "Orang ini pernah membawa
surat tinggalan Siante (kaisar yang dulu), pernah juga dia ikut
Capsi-hongcu (pangeran ke-14) menyambangi Siante di taman
Chong-jun-wan ketika sakit, kedatangannya ini mungkin juga
urusan penting?" Yong Ceng jadi tergerak oleh kata-kata bayangkaranya ini.
"Baiklah, kalau begitu lima puluh rangketan sementara ini
ditunda dulu, kau boleh suruh dia masuk," katanya kemudian
kepada Thian-yap Sanjin. Sesudah berhadapan dengan Yong Ceng, Teng Hiau-lan
hanya memberi hormat dengan membungkuk dan tidak
berlutut. "Hm, besar sekali nyalimu, berani kau datang menemui aku
lagi?" damprat Yong Ceng segera.
Tapi sama sekali Teng Hiau-lan tidak gentar, tangannya
membolak-balik memainkan batu giok yang diperolehnya dari
Khong-hi dahulu. "Selamat dan bahagialah Hongsiang telah naik takhta, tentu
Hongsiang masih kenal batu giok ini bukan?" demikian dengan
tersenyum kemudian ia menjawab.
Yong Ceng berubah air mukanya. "Ada urusan penting apa
yang hendak kau katakan?" ia bertanya lagi.
"Hendaklah Hongsiang singkirkan orang-orang ini dulu,"
sahut Hiau-lan. Semula Yong Ceng rada ragu-ragu. Tetapi kemudian ia pikir
meski ilmu silat Teng Hiau-lan tidak lemah, namun hendak
mencelakai dirinya belum tentu mampu.
"Hap-congkoan dan Thian-yap Sanjin, sementara kalian
boleh pergi dulu," begitulah ia lantas singkirkan
bayangkaranya. Maka kini di ruang tamu yang luas itu tinggal Yong Ceng
berhadapan dengan Teng Hiau-lan. Tangan Hiau-lan masih
terus memainkan batu giok yang indah itu.
"Siante ada meninggalkan pesan agar aku melayani kau
baik-baik, maka kau boleh duduklah," kata Yong Ceng.
Hiau-lan pun tidak sungkan lagi, segera ia duduk.
"Tempo hari waktu Siante wafat, kau telah ikut Capsihongcu
menyerbu ke dalam Cheng-jun-wan, apa maksudmu
yang sebenarnya?" segera Yong Ceng bertanya.
"Ha, sungguh Hongsiang lihai sekali," sahut Hiau-lan
tersenyum. Karena jawaban ini, Yong Ceng mengira Teng Hiau-lan
maksudkan tertawannya ketika itu.
"Hm, memang aku murid keluarga Siau-lim-si, apa kau
tidak tahu hal ini?" sahutnya kemudian dengan tertawa dingin.
Lalu ia menyambung lagi, "Apa kau sekomplotan dengan si
budak hina Lu Si-nio dan hendak menggulingkan aku"
Mengaku saja terus-terang, aku pun tidak akan mengusut
kejadian lama lagi."
Sebagaimana diketahui, di malam waktu Yong Ceng naik ke
singgasana takhtanya, sebelum ia sempat memeriksa Teng
Hiau-lan, pemuda ini sudah ditolong kabur oleh Lu Si-nio.
Banyak sekali rasa curiga dan tanda tanya dalam hatinya yang
belum sempat dikeluarkan, oleh karenanya sekarang ia ingin
bertanya sejelas-jelasnya.
Namun Hiau-lan tidak mau bicara, ia hanya tertawa saja.
Yong Ceng menarik muka, ia mulai aseran dan lantas
hendak umbar amarahnya. Syukur waktu itu Hiau-lan lantas
buka suara. "Apa Hongsiang masih ingat kejadian tanggal 16 bulan tiga
tahun 59 Kaisar Khong-hi?" tanyanya.
Kiranya malam yang dimaksud adalah untuk pertama
kalinya Teng Hiau-lan masuk istana dahulu, di sana ia telah
memergoki Pang Lin mencuri masuk ke istana Kong-beng-tian.
Pemuda ini tidak tahu bahwa perbuatan Pang Lin itu adalah
untuk mencuri lihat surat wasiat tinggalan Kaisar Khong-hi
yang ditaruh di atas belandar istana itu, malahan atas perintah
In Ceng. Sesudah In Ceng naik takhta menjadi Kaisar Yong
Ceng, teringat oleh kejadian yang dipergoki ini, barulah Hiaulan
mulai curiga. Oleh karenanya ia coba menggertaknya
sekarang. Air muka Yong Ceng berubah mendadak demi mendengar
hari yang disebut itu. "Hm, setia betul kau pada Capsi-hongcu?" kemudian ia
mengejek. Kiranya ia masih menyangka Teng Hiau-lan adalah jago
pengawal mendiang ayah bagindanya dan orang kepercayaan
In Te. Hiau-lan bukan orang bodoh, melihat lagu suara dan
perubahan air muka orang, dalam hati ia lantas membatin,
"Tampaknya tidak salah taksiranku!"
Mendadak ia teringat pada kematian Khong-hi yang
mengerikan yang dilihatnya dahulu, sekonyong-konyong ia
berkata dengan setengah meratap, "Hm, bagus sekali
perbuatanmu, In Ceng!"
Yong Ceng terkejut, mendadak ia berdiri, begitu ia
mengangkat tangan, segera ia mencengkeram tenggorokan
Hiau-lan. Ilmu silat Yong Ceng diperoleh dari ajaran Pun-khong
Taysu, ketua Siau-lim-si yang dahulu, maka serangannya
sangat lihai. Namun Teng Hiau-lan juga bukan lawan empuk,
hanya sedikit mendak saja, tanpa menggeser langkah ia sudah
dapat menghindarkan cengkeraman itu.
"Hm, biar kau bunuh aku pun tiada gunanya!" dengan
suara lantang Hiau-lan berkata pula.
Muka Yong Ceng yang tadinya berubah merah padam ini
menjadi pucat kehijauan, tiba-tiba ia malah bergelak tertawa.
"Haha, meski kau telah melihat kejadian itu, tidak nanti aku
takut, apa kau mampu menggoyahkan takhtaku dan merebut
negeriku?" katanya. "Hm, hendaklah kau bisa melihat gelagat,
lekas kau mengaku terus-terang, siapakah yang mendalangi
kau" Apa dia Pat-pwelek atau Kau-pwelek (pangeran
kedelapan dan kesembilan)" Jika kau hendak merebut takhta


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk mereka, hm, cita-citamu itu pasti akan sia-sia belaka!
Lekas kau bicara terus-terang saja, tentu akan lebih
menguntungkan dirimu, nah, kau boleh pikirkan dahulu."
Kiranya sesudah Capsi-hongcu (pangeran ke-14) In Te
dilucuti kekuasaan militernya dan ditahan rumah, di antara
pangeran lain, Yong Ceng paling jeri terhadap Pat-pwelek In
Gi. Pangeran ke-8 ini pandai ilmu silat, pula banyak mendapat
dukungan dari rakyat. Sedang Kau-pwelek atau pangeran ke-9
In Tong, tidak lebih hanya sekomplotan dengan In Gi saja.
Sesudah Yong Ceng dapat merebut mahkotanya, ia takut
kalau putra pangeran lain juga menggunakan cara yang sama,
yakni merebut kembali takhtanya seperti dia merebutnya
dengan mencekik ayah bagindanya, maka ia selalu menjaga
dengan rapat akan keselamatannya, rasa curiganya pun
menjadi-jadi. Hari itu sesudah Yong Ceng membunuh Khong-hi di taman
Chong-jun-wan, sesaat kemudian Hiau-lan baru menerobos
masuk, meski pemuda ini melihat Khong-hi mati secara kurang
wajar dan sangat mencurigakan, namun ia tak berani
mendakwa In Ceng yang melakukan kekejian itu, tapi kini
sesudah mendengar lagu perkataan Yong Ceng, teranglah
baginya sekarang tentu Yong Ceng yang membunuh ayah
bagindanya sendiri. Sesaat itu hampir saja Teng Hiau-lan tak bisa menguasai
diri, seketika ia berniat melolos senjata terus melabrak Yong
Ceng, tapi demi nampak mata Yong Ceng bersinar bengis
sambil tersenyum dingin, tanpa terasa Hiau-lan bergidik.
Segera teringat olehnya bahwa sekarang bukan saatnya untuk
memamerkan kegagahan. "Hayo, kau mau mengaku tidak" Siapa yang mendalangi
kau, Pat-pwelek atau Kau-pwelek?" demikian Yong Ceng
mendesak lagi. "Ha, masakah mereka itu bisa memperalat diriku" Hm,
macam manusia apakah diriku ini, tentunya takkan kau duga
bukan?" tiba-tiba Hiau-lan tertawa mendongak sambil
menahan amarahnya. "Memangnya kau pandang takhtamu ini
sedemikian berat, apa orang lain pasti juga seperti kau?"
Yong Ceng jadi tertegun oleh kata-kata terakhir ini.
"Apa, kau maksudkan Pat-pwelek tidak menghendaki
takhta?" tanyanya. Kembali Hiau-lan bergelak tertawa. "Hahaha, aku bilang
diriku sendiri, apa sangkut-pautnya dengan dia?" sahutnya.
"Aku hanya bersyukur diriku ini tidak hidup dalam keluarga
kerajaan, hahaha, hahaha!"
"Apa kau sudah gila?" damprat Yong Ceng.
Sudah tentu dia tidak tahu bahwa Teng Hiau-lan juga
berdarah keturunan raja, bahkan sedarah dengan dia. Teng
Hiau-lan sendiri telah menyaksikan kegelapan di belakang
tabir istana yang saling bunuh-membunuh di antara saudara
sendiri, maka seketika emosinya meiuap dan diumbar dengan
nada kedukaan dan kemarahan.
Setelah Hiau-lan bergelak-tawa sejenak, kemudian Yong
Ceng bertanya lagi, "Jika kau tidak membantu Pat-pwelek
merebut takhta, buat apa malam-malam kau ke sini, apa
maksud tujuanmu" Kau bilang ada urusan penting" Apakah
itu?" "Haha, kau mengirim orang mencuri masuk ke istana Kongbeng-
tian, kemudian menewaskan ayah baginda di taman
Chong-jun-wan, apa ini tidak terhitung urusan penting dan
rahasia?" sahut Hiau-lan mengejek. "Ya, untuk kau, mungkin
hal ini tidak penting dan bukan rahasia, tetapi kalau sampai
diketahui pangeran lain, tentu akan menjadi rahasia yang
maha besar, apa mereka akan rela membiarkan kau naik ke
singgasanamu secara begini mudah."
"Hm," Yong Ceng menjengek, matanya bersinar bengis,
"apa dengan ini kau hendak memeras aku" Hayo, tang
" Sebenarnya ia hendak berteriak "tangkap dia", akan
tetapi belum sampai dia berseru, tiba-tiba terdengar Hiau-lan
tertawa dingin, suara tertawanya tajam menusuk, sekalipun
Yong Ceng adalah kaisar yang paling keji, tidak urung ia
mengkirik oleh suara tertawa itu.
"Begitu kau bunuh aku, dalam sepuluh hari saja rahasia
segera akan tersiar ke seluruh kotaraja!" demikian terdengar
Teng Hiau-lan mengancam. "Hm, kau seorang diri datang ke sini, aku hancur-leburkan
kau menjadi abu, siapa yang tahu?" sahut Yong Ceng sambil
mencurigai. "Baiknya kau menurut padaku saja, kau pasti
tidak akan kekurangan pangkat dan keagungan. Apa Siante
masih ada surat wasiat lain yang ditinggalkan padamu?"
Begitulah secara halus dan keras pula Yong Ceng
bermaksud memaksa agar Hiau-lan suka mengaku. Namun
tiba-tiba pemuda ini tertawa panjang sambil mendongak, lalu
ia tepuk kedua tangannya, menyusul di atas atap rumah
mendadak ada suara seruan orang, "Jangan kuatir saudara
Teng, apa yang kalian percakapkan sudah kudengar
semuanya!" Lalu terdengar orang di atas rumah itu bergelak tertawa,
sedang Haptoh dan Thian-yap Sanjin yang berada di luar itu
segera menguber, suara tertawa itu lambat-laun terdengar
menjauh ke dalam semak-semak dan dalam sekejap saja
sudah lenyap. Orang itu bukan lain daripada Tan Tek-thay. Ia berjuluk
'Sin-thau' atau tukang copet sakti, dengan sendirinya memiliki
kepandaian yang luar biasa dalam hal Ginkang, ia bisa
menongol dan menghilang secara cepat sekali.
Teng Hiau-lan sudah berunding dengan dia dan
memperhitungkan dengan tepat, mereka yakin sesudah ributribut
dalam taman tadi, para bayangkara tentu sudah letih dan
mengaso, penjagaan tentu menjadi kendur. Apalagi datangnya
Teng Hiau-lan hanya seorang diri, tentu perhatian Haptoh dan
Thian-yap Sanjin dicurahkan pada Hiau-lan saja. Mereka
menjaga di luar pintu, tentu yang diperhatikan adalah suara
dan gerak-gerik di dalam rumah. Oleh sebab itulah Tan Tekthay
bisa menyelundup masuk dengan leluasa dan secara
berani pula bersuara. Tipu muslihat mengalihkan perhatian musuh ini sebenarnya
sangat berbahaya, akan tetapi kini ternyata berhasil dengan
baik. Begitulah maka dengan badan lemas Yong Ceng duduk
kembali di kursinya, ia menjadi bungkam tak bisa berkutik lagi.
Tak lama kemudian, Haptoh dan Thian-yap Sanjin telah
kembali dan minta ampun, katanya penjahat sudah kabur
tanpa bekas. "Hongsiang, bocah she Teng ini harap serahkan hamba
saja, biar dia rasakan alat-alat penyiksa, masakah dia tidak
mengaku dari-mana datangnya penjahat tadi," begitulah
Haptoh mengusulkan. Akan tetapi Yong Ceng malah menjadi gusar, sekonyongkonyong
ia menampar muka Haptoh, namun tiba-tiba pula
teringat olehnya jasa Haptoh, jagoan ini selalu setia memenuhi
tugasnya, tidak patut kalau terlalu melukai hatinya. Karenanya
baru saja ia menggeraki tangan, belum sampai kena muka
orang, mendadak ia ganti arah dan menggabruk sandaran
sebuah kursi hingga patah dan terbalik.
"Kalian boleh keluar saja, aku sendiri punya pikiran lain,
tidak perlu kalian banyak omong!" katanya kemudian.
Sementara itu dengan sikap adem-ayem Teng Hiau-lan
diam saja, sesudah Haptoh dan Thian-yap Sanjin pergi, baru
ia berkata dengan dingin, "Hongsiang, rasanya lebih baik kau
jangan marah!" Mendenga. sindiran ini, tidak kepalang dongkol Yong Ceng,
saking gusarnya tiba-tiba ia mendapat pikiran lain, mukanya
mendadak berubah tenang. "Haha, kau betul-betul cerdik, aku terima tawaranmu ini,"
ia berkata sambil tertawa. "Coba katakan, kau datang
menemui aku tanpa takut mati, pula tidak didalangi orang lain,
tentu kau ada sesuatu urusan yang hendak kau minta dariku.
Coba katakan terus-terang, apa sebenarnya yang kau
kehendaki." "Hongsiang memang pintar dan bijaksana, betul-betul lebih
pandai daripada Capsi-hongcu, pantas kaulah yang
mendapatkan takhtanya," sahut Hiau-lan menyimpang dari
pertanyaan orang, lagu suaranya seperti memuji tetapi
menusuk. Lalu ia berkata pula de,-ngan wajah sungguhsungguh.
"Aku minta agar Hongsiang menyerahkan nona Lin
padaku!" Yong Ceng menjadi kaget dan tercengang, sama sekali ia
tidak menduga bahwa kedatangan Teng Hiau-lan dengan
menghadapi bahaya ini tujuannya ternyata hanya untuk dara
itu. Bila teringat olehnya wajah Pang Lin yang cantik molek,
rasanya sayang sekali dan sukar meluluskan permintaan Teng
Hiau-lan ini. "Sesudah aku membawa pergi dia, aku bersumpah akan
melepaskan diri dari lingkungan ini dan tidak mengurus lagi
soal keluarga kerajaanmu," terdengar Hiau-lan berkata lagi.
Yong Ceng jadi tergerak pikirannya, batinnya, "Kalau
mendengarkan lagu perkataannya, orang ini agaknya besar
hubungannya dengan seluk-beluk keluarga kerajaan,
mengapakah Hu-ong (ayah baginda) bisa begitu sayang
padanya" Bagaimana asal-usulnya yang sebenarnya?"
Melihat Yong Ceng hanya termenung tanpa buka suara,
dengan suara lantang Hiau-lan lantas menyambung lagi,
"Sebagai lelaki sejati, sekali berkata tidak nanti ingkar janji.
Seterusnya kita air sumur tidak mencampuri air kali (artinya
tidak ada sangkut pautnya), perkataanku hanya sampai di sini
saja, apalagi yang kau kualirkan?"
Apa yang dikatakan ini sudah terang dan tegas sekali,
maksudnya apabila Yong Ceng membebaskan Pang Lin, maka
ia pasti tidak akan membongkar rahasia pribadi Yong Ceng.
Tiba-tiba Yong Ceng tertawa terbahak-bahak untuk
menutupi rasa rikuhnya. "Kalau kau menginginkan dia, baiklah aku hadiahkan
padamu saja," sahutnya kemudian. "Memang wanita cantik
siapa yang tidak suka, tidak dinyana sebagai manusia yang
paling agung di kolong langit ini ternyata tiada rezeki buat
mengenyamnya, selanjutnya hendaklah kau menjaganya baikbaik.
Hai, mana penjaga?" Hiau-lan menjadi merah jengah oleh kata-kata Yong Ceng
itu, sama sekali tidak terduga olehnya bahwa jiwa Yong Ceng
ternyata begini kotor. "Cis, pantas Pun-bu Taysu mencaci-maki kau sebagai Jayhwa-
cat (maling pemetik bunga, artinya lelaki cabul)! Kau bisa
menjadi raja, aku betul-betul ikut penasaran bagi cikalbakalmu!"
damprat Hiau-lan. Semula Yong Ceng menarik muka karena makian ini, tetapi
ia lantas tertawa lagi. "Ha, ingatanmu ternyata tidak jelek, masih kau ingat kisah
romantis yang aku lakukan di Hangciu dulu," ujarnya
kemudian. "Ya, ya, malahan kita adalah sobat lama bukan!"
Tengah mereka bicara, ketika mendengar panggilan tadi,
Haptoh dan Thian-yap Sanjin berdua lantas masuk.
"Hap-congkoan, coba kau bawa nona Lin ke sini," Yong
Ceng segera memberi perintah. Habis itu ia berkata juga pada
Thian-yap Sanjin, "Ambilkan arakku 'Kim-poh-giok-ek-ciongciu',
aku ingin minum bersama Teng-heng!"
Kedua jago bayangkara itu lantas mengundurkan diri.
Tiba-tiba Teng Hiau-lan teringat pada kekejaman Lian
Keng-hiau yang telah membunuh Pun-bu Taysu sesudah padri
itu disuguh arak, maka dengan tertawa dingin ia berkata pula,
"Ha, siapa ingin minum arakmu, begitu urusanku beres,
segera aku angkat kaki dari sini!"
Sementara itu Thian-yap Sanjin sudah datang dengan
membawa poci arak, ia tuang dulu dua cawan, lalu dengan
kedua tangan diluruskan ia mengundurkan diri.
"Halia, kenalan lama kini bertemu lagi, dahulu kita minum
bersama di pantai Jing-to, sekejap saja sudah hampir sepuluh
tahun. Ai, sungguh sangat cepat tempo berlalu seperti terbang
saja, sungguh mengharukan kalau dipikir!" demikian Yong
Ceng lantas mengangkat cawan dan mengajak minum.
Akan tetapi Hiau-lan hanya duduk diam saja, ia tidak sudi
minum. "Apa kau kuatir aku meracuni kau?" tiba-tiba Yong Ceng
bertanya dengan tertawa. "Kalau aku hendak membunuh kau,
kenapa harus memakai racun dalam arak?"
Habis berkata ia lantas mendahului meneguk araknya, ia
lemparkan cawannya dan berkata lagi dengan tertawa, "Ha,
kau sendiri sangsi, bagaimana kau suruh aku bisa
mempercayai kau?" Karena itu Hiau-lan berpikir, "Kalau aku tidak minum
araknya mungkin akan terjadi hal lain. Rahasianya berada
dalam tanganku, tidak nanti dia berani membunuh aku"
Kenapa aku takut minum araknya" Biarlah aku minum saja,
coba ia bisa bertingkah apalagi?"
Begitulah maka ia pun angkat cawannya terus dihirup
habis, cawan kosongnya dibanting ke lantai pelataran. Sedang
Yong Ceng lantas tertawa terbahak-bahak.
Begitu arak masuk mulutnya, Hiau-lan merasakan bau
harum yang luar biasa, tiada tanda-tanda lain yang
mencurigakan. Dalam suara tertawa Yong Ceng yang terbahak-bahak,
sementara itu Haptoh sudah membawa datang 'Pang Lin'.
"Hayo, hendak bunuh atau hendak sembelih boleh
sesukamu," demikian terdengar Pang Ing berteriak. "Tetapi
kalau ingin aku menuruti segala kehendakmu, itulah jangan
harap. Orang lalim dan jahat seperti kau, kukira kedudukanmu
pun tak akan tahan lama!"
Mendengar Pang Ing mencaci-maki Yong Ceng, dalam hati
Hiau-lan sangat girang, ia bersyukur anak dara ini sudah pulih
pada jiwa aslinya. Dalam pada itu, ketika tiba-tiba Pang Ing nampak Hiau-lan
juga berada dalam ruangan itu, ia menjadi girang bercampur
kaget, seketika ia berhenti mencaci-maki dan lantas menyapa
Teng Hiau-lan, "Eh, Teng-sioksiok juga berada di sini!"
"Ha, kiranya kalian berdua ini masih paman dan
keponakan," ujar Yong Ceng. "Bagus, bagus, nona Lin, jika
kau tidak mau kembali ke kotaraja, baiklah kau ikut pergi
bersama pamanmu saja!"
Tetapi dengan mata terbuka lebar Pang Ing memandang
Hiau-lan, di antara sinar matanya itu mengandung rasa kuatir
dan sangsi yang tak terhingga.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika Hiau-lan mendengar panggilan "Sioksiok" tadi.
segera ia tahu bahwa anak dara ini ialah Pang Ing dan bukan
Pang Lin. "Apa Suhu baik-baik saja" Sudahkah kau datang ke Binsan?"
ia lantas bertanya. "Apa Suhu yang menyuruh kau mencari aku?" berbalik
Pang Ing bertanya. Kini ia tahu dirinya bukan di alam mimpi
lagi, maka semangatnya segera terbangkit dan merasa sangat
girang. "Marilah, kita berangkat!" segera Hiau-lan mengajak.
Dalam pada itu tiba-tiba Yong Ceng menuang pula secawan
arak harum lagi dan disodorkan pada Pang Ing.
"Nona Lin, ini adalah minuman yang paling kau sukai,
marilah keringkan secawan dulu!"
"Siapa adalah kau punya nona Lin" Siapa ingin arakmu?"
tiba-tiba Pang Ing mendamprat. Berbareng ini tangannya
menyampuk, ia sapu cawan arak ke lantai hingga pecah
berentakan, arak yang tampah ke lantai itu mendadak
menerbitkan sinar api. Hati Hiau-lan menjadi mendelong oleh kejadian ini, ia pikir,
"Arak ini waktu kuminum tanpa terasa sesuatu, tetapi kenapa
begini lihai sekarang?"
Di samping sana tertampak Pang Ing lantas turun ke
bawah undak-undakan batu.
"Teng Hiau-lan, nanti dulu, tunggu sebentar!" tiba-tiba
Yong Ceng memanggil. Pang Ing menjadi gusar dan mendamprat pula, "Hm,
memang aku sudah tahu kau tidak bermaksud baik, apa kau
hendak menahan pamanku di sini" Teng-sioksiok, Hongte ini
terlalu busuk, omongannya sekali-kali tidak bisa dipercaya,
mana bisa dia membiarkan kita pergi begini saja, tentu dia
masih ada tipu muslihat lain, jangan kau mau dikibuli."
Habis berkata, segera ia mencabut pedang pendeknya,
dengan senjata terhunus, gadis ini siap melabrak orang lagi.
Namun Yong Ceng lantas memberi tanda, segera Haptoh
maju merintangi Pang Ing.
"Teng-heng," kata Yong Ceng kemudian, "bukannya aku
tidak mempercayai kau, soalnya terlalu besar dan penting
terpaksa aku harus meninggalkan sedikit tanda pengenal di
atas badanmu." "Haha, bagus! Orang agung sebagai Kaisar, apa perlu juga
pakai peraturan lapisan gelap dari Kangouw juga?" dengan
tertawa terbahak-bahak Hiau-lan menjawab. "Baiklah, boleh
kau lakukan, aku berani datang kemari, meski ditusuk tiga kali
atau dilubangi empat tempat, sedikitpun aku tidak akan
mengerut kening." Apa yang dikatakan "tanda pengenal" oleh Yong Ceng tadi
bukan lain adalah kata-kata kiasan di kalangan Kangouw,
misalnya diiris sebelah daun kupingnya atau dicukil sebiji
matanya, semuanya berarti memberi tanda pengenal di atas
badan orang. Biasanya cara begini dilakukan oleh golongan
yang tingkatannya lebih agung dan ilmu silatnya lebih tinggi
terhadap pihak lain, jadi cara untuk menghukum pihak lawan
secara keji. Tapi cara demikian ini biasanya hanya dilakukan oleh
golongan hitam atau golongan bandit yang disegani, pada
umumnya tokoh dunia persilatan yang baik tidak biasa
melakukannya. ' "Haha, sudah sejak tadi aku memberi tanda di atas
badanmu, apa kau masih belum sadar?" sahut Yong Ceng
dengan tertawa senang. Hiau-lan tercengang, ragu-ragu pula, pikirnya, "Ilmu
silatnya belum tentu lebir. inggi dariku, cara bagaimana ia
mengibuli aku?" "Teng-heng," Yong Ceng membuka suara lagi, "janganlah
kau sesali aku, arak yang kau minum tadi bukan lain adalah
arak beracun!" Kembali Hiau-lan terkejut oleh keterangan ini. "Bagus, kau
sudah berkata tetapi tak bisa dipercaya, jangan kau menyesal
juga kalau aku tidak menepati janji!" balas Hiau-lan
mengancam. "Ya, meski araknya beracun, namun sama sekali tidak
berbahaya bagimu," tutur Yong Ceng lebih jauh dengan masih
tertawa. "Arak berbisa ini setahun kemudian baru akan mulai
bekerja, sebelum racun bekerja, kau akan sehat seperti orang
biasa. Cuma kalau racun mulai bekerja, dalam tiga hari saja
matamu akan buta, tujuh hari kau akan lumpuh dan kalau
sudah sepuluh hari kau akan binasa muntah darah! Oleh
sebab itulah, paling lambat tahun depan pada hari yang sama
kau harus datang ke istana menemui aku untuk minta obat
penawarnya." Mendengar kekejian orang, saking gusarnya tubuh Hiau-lan
sampai gemetar, sejenak ia tak sanggup berkata-kata.
"Jika dalam setahun ini kau berlaku baik, tahun depan pada
hari yang sama, bila kau datang minta tolong padaku, tentu
aku akan memberikan obatnya padamu," demikian Yong Ceng
menambahkan. "Tetapi kalau kau sengaja menimbulkan
keonaran dan mengacau, mengadu-domba pangeran lain agar
bermusuhan dengan aku, jika begini, hm! jangan harap bisa
hidup lebih lama lagi!"
Sekali ini Yong Ceng telah berlaku sangat keji, ia sudah
memperhitungkan dengan baik bahwa dalam setahun pasti
bisa membabat bersih semua begundal pangeran lain, kala itu
biarpun Teng Hiau-lan dan Pang Lin membeberkan rahasianya
di muka umum, ia pun tak perlu takut lagi. Sebaliknya pada
waktu itu jika Teng Hiau-lan terpaksa datang memohon
pertolongannya, maka berarti mati-hidup pemuda ini telah
tergenggam di tangannya. "Rendah dan kotor sekali muslihatmu ini!" damprat Hiau-lan
saking gemasnya. "Ya, jika tidak demikian, mana aku bisa merasa tenteram!"
sahut Yong Ceng tertawa lebar. Habis itu kembali ia menarik
muka dan melambaikan tangan, "Nah, sekarang pergilah
kalian, selamat bertemu lagi setahun yang akan datang,
tatkala itu kau masih harus mengantar kembali Lin-kuijin,
dengar tidak" Nah, Hap-congkoan, jangan rintangi mereka
pergi!" Di sebelah sana Pang Ing memang sedang dihalangi
Haptoh dan tak bisa menerjang ke atas undak-undakan, ia
kuatir sekali ketika mendadak tertampak Haptoh mundur ke
samping, sedang Teng Hiau-lan pun sudah turun ke bawah,
maka ia menjadi girang bercampur heran.
"Teiig-sioksiok, mengapa kaisar anjing ini mau
membebaskan kau lagi?" tanyanya.
Tetapi Hiau-lan tidak menjawab, ia menarik anak dara itu
terus diajak keluar dari taman keluarga Lian, sesudah di luar
baru Hiau-lan menarik napas lega.
"Bagaimana urusan ini sebenarnya?" kembali Pang Ing
bertanya lagi. Namun Teng Hiau-lan tak berani bercerita terus-terang, ia
kuatir akan membikin Pang Ing menjadi sedih dan tak
berfaedah bagi urusannya.
"Tiada apa-apa," sahutnya kemudian. "Karena dia punya
ciri kelemahan dalam genggamanku, maka terpaksa harus
membebaskan kita." Kemudian Hiau-lan bertanya juga keadaan Pang Ing
sesudah nona itu turun gunung. Pang Ing lantas bercerita juga
secara singkat. "Teng-sioksiok, mungkinkah di dunia ini terdapat dua orang
yang roman mukanya mirip sekali satu sama lain?" tiba-tiba
Pang Ing bertanya. "Mungkin sekali," jawab Hiau-lan, "jika mereka adalah
saudara kembar, bukan mustahil muka mereka satu sama lain
mirip seperti pinang dibelah dua."
"Dan kalau begitu, tentunya aku mempunyai seorang
saudara kembar," tanyanya lagi sambil mendongak sesudah
berpikir lama sekali. "Selamanya Suhu tidak mau
menerangkan asal-usul diriku, Teng-sioksiok, apa kau
mengetahui?" Waktu Teng Hiau-lan turun gunung, pernah ia dipesan Ie
Lan-cu agar sementara merahasiakan dulu asal-usul anak dara
ini sampai kelak kalau kakak seperguruannya, Khong Lian-he
dan Pang Lin sudah ditemukan, barulah boleh menceritakan
teka-teki itu pada Pang Ing. Sebab tabiat Pang Ing sejak kecil
sudah tampak keras dan be-rangasan, ia kuatir bila rahasia itu
diketahui sebelum tiba waktunya, bukannya akan menjadi
penghalang bagi kemajuan ilmu silatnya, bahkan kuatir anak
dara ini akan menerbitkan onar.
Begitulah maka setelah mendengar cerita Pang Ing tadi,
Hiau-lan membatin, "Menurut pengalaman anak dara ini
malam tadi, agaknya Pang Lin sudah lebih dulu lolos keluar
taman ini. Dia tidak sudi menjadi selir kaisar, ini suatu tanda
jiwa aslinya yang baik belum lenyap dan masih punya pambek
besar. Dulu Suhu tidak memperbolehkan aku menerangkan
asal-usulnya pada A Ing, kecuali kuatir anak dara ini akan
mengamuk dan menyerbu istana tanpa memikirkan bahaya,
mungkin juga akan menimbulkan pertumpahan darah di
antara saudara sendiri. Tetapi kini ia sudah tinggi
kepandaiannya, pula Pang Lin sudah keluar dari istana,
rupanya tiada halangan kalau kuceritakan padanya?"
Dalam pada itu demi nampak Hiau-lan termenung diam,
kembali Pang Ing mendesak lagi, "Teng-sioksiok, tahukah kau
bahwa sejak aku mengetahui bahwa di dunia ini terdapat pula
seorang lain yang mirip sekali dengan aku, hatiku menjadi
tidak tenteram. Tidak peduli dia berada dimana, aku pasti
akan mencari tahu dimana jejaknya. Teng-sioksiok, harap kau
tuturkan apa yang kau ketahui saja, maukah kau?"
Teng Hiau-lan sendiri lagi ragu-ragu dan tidak dapat
mengambil keputusan, demi nampak sikap Pang Ing yang tak
sabar dan ingin tahu, diam-diam Hiau-lan berpikir lagi,
"Baiknya sementara ini jangan kuceritakan saja. Biar dia
bertambah tua lagi satu-dua tahun, sesudah pengalamannya
di kalangan Kangouw lebih banyak dan lebih luas, tatkala itu
baru kujelaskan padanya kiranya masih belum terlambat."
Oleh sebab itulah, niatnya hendak bercerita segera menjadi
urung, ia hanya tersenyum saja.
Keruan Pang Ing semakin tak sabar oleh kelakuan
pamannya ini. "Teng-sioksiok, bagaimanakah kejadian yang sebenarnya?"
kembali ia mendesak pula.
"Watakmu yang tidak sabaran ternyata masih belum
diperbaiki," sahut Hiau-lan kemudian dengan tertawa. "Aku
pun tidak tahu apakah yang disebut nona Lin itu saudaramu
perempuan atau bukan. Tetapi kalau memang sangat mirip,
bukan mustahil dia memang betul saudaramu. Karena belum
lama ia baru saja melarikan diri, mari kita mencarinya di
sekitar sini." Pang Ing menjadi kecewa oleh jawaban ini. "Kalau
demikian, kau pun tidak mengetahui asal-usulku?" tanyanya.
Hiau-lan menjadi serba sulit, ia tak berani menjawab secara
tegas, melainkan dengan samar-samar ia menyahut dan
berkata lagi, "Sudahlah, segala apa pada suatu saat pasti akan
menjadi terang seluruhnya, jangan kau kuatir!"
Kemudian mereka menuju ke tempat persembunyian
semula. Di sana mereka sudah ditunggu oleh Tan Tek-thay. Si
tukang copet sakti ini sangat girang demi nampak Teng Hiaulan
telah kembali dengan membawa seorang anak perempuan.
"Nona cilik ini adalah keponakanku, juga menjadi aku
punya Sumoay," segera Hiau-lan memperkenalkan padanya.
"Katanya masih ada seorang nona lagi yang rupanya mirip
dengan dia dan baru saja melarikan diri keluar rumah orang
she Lian, marilah kita coba mencarinya di sekitar sini."
Usaha pencarian ini berlangsung tiga hari, mereka sudah
menjelajah sekitar tempat dan jalan-jalan besar yang menuju
keluar kota, tapi sedikit kabar saja tidak mereka dapatkan.
"Menurut pendapatku lebih baik kalau kau pulang ke rumah
mertuamu saja," ujar Tan Tek-thay akhirnya. "Dia banyak
kenalan, kalau dia yang mencari, tentu akan jauh lebih
berhasil daripada cara kita mencari dengan membabi-buta
ini.!' Mendengar Teng Hiau-lan sudah punya ayah mertua, Pang
Ing lantas tertawa cekikikan, ia mencolek pipi dan menggoda.
"Eh, Teng-sioksiok, kapan kau mendapat jodoh, kenapa aku
tak diberitahu" She apakah encim (bibi) pengantin baru itu"
Tentu dia seorang Li-enghiong (pahlawan wanita) dan pandai
ilmu silat!" Teng Hiau-lan menjadi jengah oleh godaan dan pertanyaan
orang, padahal ia sendiri sangat tidak menyukai
perjodohannya ini, maka kalau mendengar orang lain
menyebutnya, ia lantas merasa kikuk.
"Haha, coba lihat pamanmu ini, seperti anak kecil saja,
begitu mendengar orang menyebut pengantin baru, mukanya
lantas merah," demikian Tan Tek-thay pun menggoda dengan
tertawa. "Kalau dia tak mau memberitahu kau, biar aku yang
menerangkan. Pernah kau dengar tidak nama Thi-cio-sin-tan
Nyo Tiong-eng?" "Ya, di tengah jalan pernah kudengar bahwa di selatan
terdapat Kam Hong-ti dan di utara ada Nyo Tiong-eng.
Katanya kedua orang ini adalah tokoh terkemuka dunia
persilatan," sahut Pang Ing.
"Nah, betul, bakal bibimu itu bukan lain anak Nyo Tiangeng,"
kata Tek-thay lagi. "Coba, perjodohan sebaik ini belum
pernah tidak dikatakannya, betul-betul harus didenda. Nona
Ing, jika kau pergi ke rumah orang she Nyo bersama
pamanmu, kau harus berusaha mendekati bakal bibimu itu!"
"Haha, dia adalah bibiku, sudah seharusnya aku
menghormati dia, tapi tidak perlu aku mendekatinya!" sahut
Pang Ing tertawa. "Betul, jangan kau dengar obrolan Tan-pepek," kata Hiaulan.
"Hihi, pamanmu ini sangat takut bakal istrinya, mana boleh
kau tidak mendekati dia?" ujar Tan Tek-thay lagi dengan
tertawa Jenaka. "Biar aku beritahukan satu rahasia lagi, tabiat
bibimu itu tidak begitu baik, asal kau bisa mendekati dia, pasti
dia akan sayang padamu."
Tan Tek-thay memang paling suka berkelakar, tetapi
wataknya suka berterus terang pula. Tabiat Nyo Liu-jing yang
buruk sudah terkenal di kalangan Kangouw, karena ia sangat
suka pada Pang Ing dan kuatir kelak gadis ini tidak cocok
tinggal bersama Nyo Liu-jing, maka sebelumnya ia sengaja,


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerangkan tabiat Nyo Liu-jing agar bisa siap sedia
melayaninya. Tan Tek-thay terhitung angkatan lebih tua dari Teng Hiaulan,
maka ia tidak perlu kuatir pemuda ini akan marah
padanya. Sebaliknya sesudah mendengar cerita itu, Pang Ing lantas
tertawa terbahak-bahak. "Aku tidak percaya, Tan-pepek!"
katanya. "Tidak percaya?" sahut Tek-thay. "Boleh kau tanya
pamanmu ini kalau kau tidak percaya!"
Betul juga Pang Ing lantas berpaling dan bertanya pada
Teng Hiau-lan. "Ya, Teng-sioksiok, apa betul kau s takut pada
encim?" Keruan tidak kepalang rasa malu. Teng Hiau-lan hingga
mukanya merah seluruhnya.
"Ngacau, omong kosong, Tan-pepek sudah tua masih suka
bergurau, jangan kau percaya padanya," demikian berulangulang
Hiau-lan membantah. Akan tetapi Pang Ing melihat sikap Tan Tek-thay sungguhsungguh,
ia menjadi setengah percaya dan setengah sangsi.
"Teng-sioksiok berwatak sangat jujur, jika betul ia
mendapat jodoh seorang macan betina, wah, bisa bikin orang
penasaran," demikian pikirnya dalam hati. "Ha, tampaknya hal
ini tidak mungkin terjadi. Jika tabiat encim tidak baik,
mengapa Teng-sioksiok suka padanya."
Namun begitu, Pang Ing masih bertabiat anak-anak,
sekalipun tidak percaya, toh sepanjang jalan ia terus
menggoda Hiau-lan, keruan Hiau-lan menjadi serba kikuk.
Setengah bulan kemudian, dari Tanliu mereka memasuki
daerah Soatang dan sampai di Tengto. Sampai di sini Tan Tekthay
lantas pamit menuju ke arahnya sendiri. \
"Betapapun jauh mengantar kalian, akhirnya harus berpisah
juga," demikian ia berkata, "dari sini menuju kediaman
mertuamu hanya beberapa hari saja, kenalanmu sepanjang
jalan cukup banyak, tentunya tidak bakal terjadi sesuatu di
luar dugaan, seumpama terjadi, tentu ada orang yang
membantu, maka aku tidak mengantar lebih jauh lagi."
Begitulah ia lantas menuju ke selatan, pergi mencari
Kanglam-chit-hiap Kam Hong-ti dan lain-lain.
Dalam perjalanan Teng Hiau-lan bersama Pang Ing,
sebelum sampai di rumah Nyo Tiong-eng, lebih dulu sudah
ada orang yang mengirim kabar pada orang tua ini. Maka Nyo
Tiong-eng sendiri lantas memapak di depan pintu.
"Dimanakah adik Jing?" segera Hiau-lan bertanya begitu
berhadapan dengan Nyo Tiong-eng.
Ia bertanya bukan karena rindu pada Nyo Liu-jing,
melainkan karena tidak nampak gadis ini ikut menyambut
kedatangannya, maka ia menjadi heran.
"Eh, bukankah kita sudah pernah berjumpa di Bin-san
dahulu?" seru Nyo Tiong-eng tiba-tiba kepada Pang Ing.
"Wah, Kiam-hoatmu sungguh bagus sekali, nona!"
"Ah, kiranya Nyo-locianpwe, pantas bidikan pelurumu
begitu bagus, hari itu kalau bukan engkau orang tua bermurah
hati, pedangku pasti sudah terbang oleh sambitan pelurumu,"
sahut Pang Ing merendah. "Apa" Kalian sudah pernah berjumpa di Bin-san?" kata
Hiau-lan dengan heran. "Ya," sahut Nyo Tiong-eng dan sambungnya lagi, "Mari sini,
Hiansay (menantuku), ada sesuatu yang hendak kutanyakan
padamu." Hiau-lan menjadi rada rikuh oleh sikap orang tua ini,
pikirnya, "Biasanya bapak mertua suka menerima tetamu,
mengapa hari ini sifatnya berubah, bertemu keponakanku
mengapa berbalik kurang senang, baru saja bercakap sudah
hendak meninggalkan dia. Syukur dia bukan Pang Lin, kalau
tidak, keadaan pasti akan runyam."
Di pihak lain agaknya Pang Ing juga merasakan keganjilan
itu. Pikirnya dalam hati, "Mungkinkah seorang tokoh dunia
persilatan yang maha sohor di lima propinsi utara ternyata
begini sempit pikirannya" Hanya karena saling labrak dengan
aku tempo hari tanpa sengaja, lantas dia dendam?"
Karena pikiran ini, maka ia lantas maju memberi hormat
dan mohon diri. "Teng-sioksiok dan Nyo-locianpwe, sebaiknya
aku tak usah membikin repot kalian," demikian ia berpamitan.
Rupanya Nyo Tiong-eng merasa orang telah berprasangka
atas dirinya, ia tertawa terbahak-bahak
"Nona cilik, janganlah kau berpikir yang tidak-tidak,
kedatanganmu ini justru dapat mengawani bibimu," katanya
kemudian. Habis itu, ia perintahkan seorang dayang mengajak Pang
Ing ke belakang, sedang dirinya sambil menggandeng tangan
Hiau-lan, pasang omong di balik pohon Liu di depan rumah.
Melihat kelakuan bakal mertuanya yang aneh ini, dalam
hati Hiau-lan menjadi heran.
"Cara bagaimana nona cilik ini bisa keponakanmu?"
terdengar Nyo Tiong-eng mulai bertanya.
"Ya, bukankah sudah kuceritakan bahwa guruku menerima
seorang anak dara piatu sebagai murid, anak dara itu adalah
dia ini," Hiau-lan menerangkan. "Karena sudah biasa saling
memanggil paman dan keponakan di Thian-san, maka sampai
sekarang sebutan itu masih diteruskan."
"Kalau begitu dia adalah murid penutup yang dibesarkan
oleh le-locianpwe, seharusnya ia seorang gadis yang
bijaksana, tapi mengapa bermusuhan dengan Kanglam-chithiap.'"
tanya Nyo Tiong-eng lagi.
Hiau-lan menjadi heran. "Mana bisa dia bermusuhan
dengan Kanglam-chit-hiap?" sahutnya tak percaya.
Kemudian Nyo Tiong-eng lantas menceritakan
pengalamannya tempo hari di atas Bin-san, dimana Li Gwan
dan Loh Bin-ciam, dua dari Kanglam-chit-hiap telah dikalahkan
anak dara itu dengan cara sangat menyedihkan. Lalu ia
menambahi pula, "Malahan Li Gwan hampir saja menjadi cacat
terkena pisau terbangnya yang beracun. Kenapa usia semuda
ini, perbuatannya sudah begini kejam?"
Semula Teng Hiau-lan terkejut juga oleh cerita itu, tetapi
segera ia pun mengerti duduknya perkara. "Ha, tentu telah
terjadi salah paham!" katanya kemudian dengan tertawa geli.
"Mana bisa salah paham?" bantah Nyo Tiong-eng.
"Ya, sebab masih ada seorang nona lain yang rupanya
sangat mirip dengan dia," sahut Hiau-lan. "Yang dijumpai Li
Gwan agaknya adalah nona yang lain itu."
Nyo Tiong-eng menjadi setengah percaya dan setengah
tidak. "Dan kalau begitu, yang menghina anak Jing apa juga
orang itu pula?" tiba-tiba ia bertanya.
Kiranya tempo hari sesudah Nyo Liu-jing digoda dan
dipermainkan Pang Lin, sampai tusuk kondenya disambar anak
dara itu; sesudah pulang di rumah, tidak kepalang rasa
dongkolnya, beberapa kali ia mohon ayahnya membalaskan
sakit hati itu, tetapi sesudah Nyo Tiong-eng mendapat tahu
bahwa pihak lawan hanya seorang nona cilik, ia lantas
mendamprat gadisnya sendiri.
Namun belakangan sesudah mendengar raut muka Pang
Lin, dan ternyata sama dengan nona cilik yang dijumpainya di
Bin-san, ia sendiri jadi penasaran. Kalau bukan usianya sudah
lanjut, mungkin dia akan tampil ke muka mencari tahu asalusul
anak dara itu. Begitulah maka setelah Teng Hiau-lan mendengar jawaban
calon mertuanya tadi, ia pikir urusan anak dara kembar itu
harus diterangkan sekarang.
Maka ia lantas menceriterakan tentang diri Pang Ing dan
Pang Lin yang sebenarnya, mereka adalah saudara kembar,
ayah mereka terbunuh oleh kawanan Hiat-ti-cu dan ibunya
tertawan di istana, tetapi belakangan berhasil melarikan diri,
malahan sampai kini belum ada kabar beritanya, semuanya itu
diceritakannya dengan jelas.
Saking terharunya oleh cerita drama rumah tangga yang
tragis itu, Nyo Tiong-eng sampai mengucurkan air mata. "Ya,
hampir saja aku salah menuduh anak dara piatu yang justru
harus dikasihani itu!" ujarnya kemudian.
"Mereka berdua itu menanggung sakit hati yang sangat
mendalam, pula mereka adalah orang yang hendak ditangkap
Keng-hiau dan kawanan bayangkara istana, Suhu, hendaklah
jangan kau ceritakan pada Jing-moay," pesan Teng Hiau-lan.
"Ya, aku cukup kenal watak Jing-ji yang tak bisa menutup
rapat mulutnya, bahkan asal-usul dirimu aku pun tak berani
memberitahu dia," sahut Nyo Tiong-eng. "Baiklah, kau jangan
kuatir." Nyo Tiong-eng mengusap air mata yang masih membasahi
pipinya. Habis itu tiba-tiba ia berkata pula sambil tertawa.
"Tahukah kau bahwa Jing-ji menyesali kau karena pulang
bersama dia," tuturnya.
"Apa lebih dulu sudah ada orang yang mengabari dia?"
tanya Hiau-lan. "Ya," sahut Tiong-eng. "Kawan-kawan kalangan persilatan
di beberapa daerah kabupaten ini semuanya adalah sobatku,
kemarin ada sobat yang suka campur urusan telah datang
kemari memberitahu bahwa kau dalam perjalanan dengan
seorang" nona cilik," tutur Nyo Tiong-eng lagi. "Sesudah Jingji
bertanya tentang rupa si nona cilik, keruan tidak kepalang
rasa gusarnya." Barulah sekarang Teng Hiau-lan menjadi terang duduknya
perkara. "Pantas, karena marah dia tidak mau keluar menemui aku,"
katanya kemudian dengan tertawa.
"Ya, watak buruk budak ini entah sampai kapan bam bisa
berubah," kata Nyo Tiong-eng dengan tertawa juga. "Hiansay,
kelak masih mengharap kau suka mengalah padanya."
Keruan Hiau-lan menjadi kikuk oleh kata-kata terakhir ini.
"Suhu," tiba-tiba ia buka suara lagi, "kalau begitu, tadi kau
suruh A Ing masuk ke belakang, mungkin Jing-moay akan
melabrak dia. Mari kita pulang ke sana memisah mereka."
"Itu mungkin tidak sampai terjadi," ujar Nyo Tiong-eng.
"Aku sudah pesan wanti-wanti padanya bahwa tidak peduli
bagaimanapun juga, sekali-kali tidak boleh menggeraki
tangan. Sekalipun orang adalah nona yang dia jumpai di
tengah jalan tempo hari, harus menunggu aku bertanya
dengan jelas baru diselesaikan urusannya."
Mendengar penuturan ini, Hiau-lan merasa agak lega.
"Lu Si-nio dan Kam Hong-ti sangat terkenang pada dirimu,"
terdengar Nyo Tiong-eng berkata pula. "Waktu Lu Si-nio
mengalami peristiwa yang menyedihkan, segera ia kembali ke
Ciatkang, sebenarnya aku hendak membikin perjalanan
bersama dia, tetapi dia tidak suka urusan seorang saja lantas
membikin capai orang banyak, ia bilang kalau terlalu banyak
orang yang pergi ke sana rasanya juga tak ada gunanya. Oleh
sebab itu sesudah berziarah ke makam Tok-pi Sin-ni di Binsan,
kami lantas berpisah."
Mendengar orang tua ini menyebut Lu Si-nio, tanpa terasa
Teng Hiau-lan menjadi sedih dan merasa hampa.
Nampak pemuda ini kesal dan tak bersemangat, Nyo Tiongeng
mengira dia terlalu letih karena perjalanan jauh, maka ia
menyuruh Hiau-lan beristirahat dulu. Mereka berdua lantas
keluar dari hutan Liu dan kembali ke rumah.
Bercerita tentang Pang Ing, nona ini ikut masuk ke ruangan
belakang bersama dayang yang mengantarnya dengan
perasaan kurang senang. Ia menjadi lebih tidak tenteram
ketika tiada orang menyambut kedatangannya.
"Apa bibi tidak ada di rumah?" ia coba tanya si pelayan
sesudah dipersilakan duduk.
"Ada di rumah!" sahut pelayan itu dengan tertawa.
"Apa dia sedang kurang sehat badannya?" tanya Pang Ing
lagi. "Itulah kurang terang," sahut si pelayan pula. "Hanya
sepanjang hari beliau bersembunyi di dalam kamar."
"Dia adalah encimku, aku bertamu ke rumahnya,
seharusnya aku menjenguknya," kata Pang Ing, lalu
sambungnya, "Harap kau bawa aku ke kamarnya."
Dalam hati pelayan itu sebenarnya tak berani membawa
tamunya ini kepada Siocianya, akan tetapi lebih dulu Pang Ing
sudah berdiri dan menanti si pelayan menunjukkan jalan.
Terpaksa pelayan itu membawa si nona masuk ke bagian
belakang. "Itu, kamar di sebelah timur sana adalah kamar Siocia
kami," kata pelayan itu menunjuk pada suatu kamar, "aku
masih ada kerjaan, maafkan aku tidak menemani nona lebih
lama." Melihat kelakuan pelayan ini, Pang Ing menjadi kurang
senang. Batinnya, "Kenapa pelayan ini juga tidak kenal
kesopanan, apalagi Siocianya. Mengapa orang-orang di rumah
Nyo Tiong-eng semuanya berkelakuan seperti ini!"
Tetapi apapun juga memang Pang Ing masih anak-anak,
masih banyak urusan rumah tangga yang tidak diketahuinya,
ia lantas menuju ke kamar yang ditunjuk tadi, ia singkap kerai
terus masuk ke dalam kamar Nyo Liu-jing.
Dalam kamar itu ia lihat ada seorang wanita muda sedang
duduk di atas pembaringan, dan dengan mata mendelik lagi
menatap padanya. Keruan Pang Ing menjadi kaget. Segera pula ia memberi
hormat dan menyapa, "Encim!"
"Siapa adalah encimmu?" sahut Nyo Liu-jing dengan ketus
dan mengunjuk rasa gusar.
Pang Ing tertegun oleh sahutan orang yang luar biasa ini.
Tetapi segera ia berpikir, "Ya, ya, memang dia masih belum
menikah dengan Teng-sioksiok, maka dia tak senang kalau
aku memanggil dia encim." Karenanya, segera ia ganti
memanggil Koh-koh (bibi yang belum menikah).
"Mana aku berani menjadi bibimu, kepandaianmu terlalu
tinggi, mana aku ada rezeki besar mempunyai seorang
keponakan seperti kau!" kembali Nyo Liu-jing menjawab
dengan kaku. Sudah tentu Pang Ing tambah bingung, ia tidak tahu apa
yang harus dilakukannya. Katanya dalam hati, "Apa-apaan
kelakuannya ini" Buruk sekali tabiatnya, baru saja bertemu
orang lantas menyalahkan orang lain. Ah, kini sedang
pergantian musim panas dan rontok, mungkin karena iklim
yang berubah, jangan-jangan dia kesurupan setan?"
Oleh karena itulah, dengan mata terbelalak ia terus
mengamat-amati Nyo Liu-jing.
Kelakuan Pang Ing ini justru membikin Nyo Liu-jing


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertambah murka. "Hai, siapa yang suruh kau masuk ke sini?"
segera ia menegur. "Aku datang bersama Teng-sioksiok," sahut Pang Ing.
Mendengar Hiau-lan disinggung, Nyo Liu-jing semakin
gemas, pikirnya, "Kurangajar Teng Hiau-lan ini, masakah
membawa budak liar ini kemari. Dia sendiri tidak lebih dulu
menemui aku, sebaliknya menyuruh budak ini membikin gusar
padaku dulu." Sementara itu terdengar Pang Ing sedang berkata lagi
padanya, "Apakah bibi kurang enak badan" Di dalam kamar
terlalu gerah, tidakkah lebih baik keluar saja buat mencari
hawa segar?" Mendengar kata-kata ini, Nyo Liu-jing tidak menjawab,
sebaliknya ia lantas meloncat terus mengambil gendewa dan
peluru yang tergantung di dinding.
"Bagus, hayo kita boleh keluar sana," katanya tiba-tiba.
Meski Pang Ing agak heran oleh kelakuan yang aneh ini,
tetapi masih salah sangka, dengan tertawa ia berkata. "Ya,
berlatih silat buat mengendurkan otot-otot pun boleh juga.
Nyo-kongkong (engkong Nyo) terkenal dan disegani dengan
nama Thi-cio-sin-tan, kepandaian bibi membidik peluru
tentunya juga sangat tinggi."
Nyo Liu-jing tidak menjawab, ia menjengek. Dari gusarnya,
mukanya menjadi merah padam, ia menyingkap tirai terus
keluar, sekejap kemudian mereka sudah sampai di lapangan
berlatih silat di belakang rumah. "
"Cara bagaimanakah biasanya bibi membidik peluru"
Bolehkah dipertunjukkan untuk menambah pengalamanku!"
kata Pang Ing sesudah berhadapan di tempat latihan.
Keruan Nyo Liu-jing semakin menjadi panas. "Budak hina,
jangan kau main gila, tempo hari secara kebetulan kau bisa
menghindarkan diri, lantas kini kau berani memandang rendah
peluru sakti keluarga Nyo kami?" sekonyong-konyong ia
mencaci maki. Semula Pang Ing masih bingung, tetapi segera ia naik
darah juga. "Apa katamu?" jawabnya kemudian.
"Ya, hendaklah matamu melek lebih lebar!" damprat Nyo
Liu-jing pula. Berbareng ia lantas menarik tali gendewa,
secepat bintang meluncur, susul-menyusul ia bidikkan tiga
peluru dari tiga jurusan, atas, tengah dan bawah, semuanya
mengarah Hiat-to di tubuh Pang Ing!
Tempo hari Nyo Liu-jing digoda dan dipermainkan Pang Lin,
sekembalinya di rumah ia lantas berlatih dengan giat dalam
hal kepandaian membidik peluru, ia yakin kepandaiannya ini
sudah cukup sempurna, maka begitu tangannya bergerak,
seketika ia bidik pelurunya secara beruntun, sedikitpun tidak
memberi ampun pada orang.
Di luar dugaan, peluru itu ternyata tak mampu menyenggol
Pang Ing meski seujung rambut pun, anak dara ini dapat
menghindar secara gesit dan dengan gerakan yang manis,
peluru yang Nyo Lin-jing bidikkan itu mengenai tempat kosong
semua. "Hai, berhenti dulu, dengarlah omonganku!" teriak Pang
Ing dengan rada aseran. Sesaat Pang Ing jadi teringat pada nona yang mirip dirinya
itu, ia pikir mungkin Nyo Liu-jing telah salah sangka, tentunya
akibat perbuatan nona yang disebut "Lin" itulah kini
ditumplekkan atas dirinya.
Akan tetapi Nyo Liu-jing tidak menggubris teriakannya, ia
semakin mengamuk, gendewanya dipentang pula, pelurunya
menyambar semakin cepat, bahkan sekarang tiap tiga butir
sekaligus datangnya dalam bentuk segi tiga dan mengarah ke
muka Pang Ing. Melihat orang begini kasar dan tak kenal adat, akhirnya
Pang Ing gusar juga, tanpa pikir lagi segera ia keluarkan
kepandaian menangkap senjata rahasia dengan bertangan
kosong, begitu ia meraup dengan tangannya, ia tangkap tiga
peluru yang menyambar paling dulu, habis itu segera ia
timpukkan kembali, dengan menerbitkan suara "tar-tor" yang
keras, peluru yang dibidikkan Nyo Liu-jing untuk kedua kalinya
itu terbentur jatuh semua, dan begitulah seterusnya, begitu
menangkap peluru yang datang, segera Pang Ing
menyambitnya kembali, karena itu dalam sekejap saja
setengah kantong peluru Nyo Liu-jing sudah habis pecah
terbentur di udara. Misalkan orang sudah menunggang macan dan serba susah
untuk turun kembali, Nyo Liu-jing tidak bisa menarik kembali
amarahnya yang sudah diumbar itu, bahkan bidikan peluru
yang terakhir ia gunakan gerakan 'Boan-te-hoa-uh' atau hujan
gerimis membasahi tanah, secara berhamburan ia sebarkan
pelurunya. "Hm, tidak diberi sedikit rasa tentu kau belum tahu adat,"
demikian diam-diam Pang Ing menggerutu. Habis itu ia enjot
tubuh dan melayang ke atas.
Secepat meluncurnya peluru, tiba-tiba Nyo Liu-jing nampak
sesosok bayangan putih menubruk dari depan, ia tak keburu
menghindarkan diri, tahu-tahu gendewanya sudah dirampas
Pang Ing, bahkan gendewanya terus dipatahkan anak dara itu
dan dilemparkan ke tanah.
Sesudah kaget, segera Nyo Liu-jing menjadi gusar, ia
angkat telapak tangan terus menghantam, ia memukul ke
dada orang, berbareng kakinya pun melayang, ia tendang
lutut lawan. Saat itu juga, tiba-tiba Pang Ing mendengar ada suara
tindakan orang, pikirannya tergerak, ia mengegos dengan
gerakan 'Yan-cu-sia-hui' atau burung seriti terbang miring, ia
hindarkan tendangan Nyo Liu-jing, tetapi ia biarkan dirinya
dipukul, terdengarlah suara "plok", dada Pang Ing digebuk
cukup keras. Dalam girangnya karena hantamannya berhasil, Nyo Liujing
tertawa puas, tetapi tiba-tiba ia lihat sang ayah dan bakal
suami sedang berlari mendatangi secepat terbang. Bahkan
tertampak muka ayahnya merah padam, suatu tanda tidak
kepalang gusarnya. "Kau, kau ... kau kenapa tidak menurut perkataanku!"
dengan napas memburu Nyo Tiong-eng mendamprat.
Sebaliknya Teng Hiau-lan lantas berlari mendekati Pang
Ing, ia tarik tangan si nona dan bertanya, "Bagaimana
keadaanmu, dimana tempat yang terluka, biar aku mengurut
dan melancarkan darahnya."
Di lain pihak Nyo Liu-jing ternyata masih marah-marah.
"Tia (ayah), orang mengeluruk ke rumah dan menghina
putrimu, kau tidak mengurus malah menyalahkan anak
sendiri," demikian ia mengadu. "Hiau-lan, kemari sini! Hm,
berapa tahun kau tinggal di rumahku, tetapi sekarang kau
malah membela orang luar, bersama budak liar ini kau datang
menghina aku!" "Tutup bacotmu," segera Nyo Tiong-eng membentak.
"Kalau kau memaki lagi, segera aku tampar kau!"
Berlainan sekali dengan Pang Ing, ia hanya tertawa saja,
pukulan yang mengenainya seperti tidak dirasakan sama
sekali. "Bibi, baru bertemu kenapa kau lantas mencaci maki aku"
Aku ini bukan budak liar segala, melainkan murid Ie-lihiap dari
Thian-san, kapan aku pernah bentrok dengan kau?"
Nampak keadaan Pang Ing biasa saja, sedikitpun tiada
tanda-tanda terluka, barulah Nyo Tiong-eng dan Teng Hiaulan
merasa lega. Malahan Nyo Tiong-eng menjadi sangat
heran. Ia pikir, "Meski kepandaian Jing-ji hanya biasa saja, tetapi
dia mendapat ajaran Thi-cio dari aku, pukulannya tadi
sedikitnya ada tiga sampai lima ratus kati beratnya, namun
nona cilik ini seperti tidak kena alangan sesuatu, betapa hebat
kepandaiannya, mungkin aku sendiri tak bisa menandinginya."
Di sebelah lain, demi menyaksikan Pang Ing terkena
pukulannya, tetapi tiada kelihatan sesuatu luka, diam-diam
Nyo Liu-jing menjadi gugup juga.
"Adik Jing, kau telah salah sangka orang," demikian Hiaulan
lantas buka suara. "Apa" Salah" Ha, aku toh bukan anak kecil!" demikian
sahut Nyo Liu-jing dengan mata melotot.
"Tetapi kau memang betul-betul melebihi anak kecil," tukas
Nyo Tiong-eng. "Sudah sekian tahun kau belajar silat,
pengalaman di Kangouw pun tidak sedikit. Sekalipun kau tidak
kenal darimana cabang ilmu silat nona ini, sedikitnya kau
mengetahui juga bahwa gerak tangannya berbeda jauh
dengan nona yang kau jumpai dulu itu."
Karena omelan ini, waktu Nyo Liu-jing berpikir, betul juga,
kemahiran ilmu silat Pang Ing memang jauh di atas nona cilik
yang dijumpainya tempo hari.
"Ya, di jagat ini tidak sedikit orang yang berwajah sama,
tidak bisa disalahkan kalau adik Jing keliru sangka," ujar Teng
Hiau-lan tertawa. Dengan kata-katanya ini, sebenarnya Teng Hiau-lan
bertujuan menghilangkan rasa malu Liu-jing. Tidak terduga
karena berulang-ulang Nyo Liu-jing harus mengalami
kekalahan, rasa mendongkolnya sukar ditelan mentah-mentah,
apalagi kini ia diomeli ayahnya, ia terus uring-uringan dan
mengadu-biru pula. "Seandainya aku salah mengenali orang, tidak pantas juga
ia patahkan gendewaku," demikian ia berkata. "Keluarga Nyo
kita terkenal di kolong langit dengan Thi-cio-sin-tan, kini dia
patahkan gendewaku, ini berarti merusak simbol keagungan
kita. Ayah, kau bisa tahan, aku tidak. Mari, mari sini, coba kita
bergebrak lagi!" Melihat kebandelan putrinya ini, saking gusarnya, muka
Nyo Tiong-eng dari merah padam bembah menjadi pucat,
segera ia tarik ke samping anak gadisnya itu.
"Sudahlah, bibi! Ilmu pukulanmu terlalu hebat, aku sudah
kalah dan terpukul, untuk apa bertanding pula," sahut Pang
Ing dengan sabar. "Oleh karena aku harus membela diri,
terpaksa aku patahkan gendewamu, untuk ini biarlah aku
minta maaf saja." Lalu Pang Ing memberi hormat.
Begitulah dengan rendah hati Pang Ing meminta maaf dan
mengaku kalah, padahal tadi dialah yang membiarkan dirinya
dipukul, dan dimaki Nyo Liu-jing habis-habisan. Sedang dia
sendiri karena mengenakan kutang 'Kim-si-nui-ka', kutang
yang terbuat dari benang emas, yakni hadiah Ciong Ban-tong
waktu Pang Ing berulang tahun pertama dulu, tentu saja
bukan soal meski kena sekali atau dua kali gebukan.
"Coba, usia nona ini jauh lebih muda dari kau, tapi lebih
kenal sopan-santun," kembali Nyo Tiong-eng mendamprat
putrinya lagi. "Nah, kau tidak malu, aku yang menjadi malu,
lekas kau minta maaf pada nona kecil ini, jika tidak kau
lakukan, aku tidak mengaku kau sebagai anak lagi!"
Dasar memang kepala batu, bukannya Nyo Liu-jing tunduk,
sebaliknya karena dampratan sang ayah ia semakin bandel.
Tetapi syukur Teng Hiau-lan lantas memisah mereka,
dengan tangan kiri ia tarik Pang Ing, tangan lain menarik Nyo
Liu-jing, ia bikin akur mereka.
"Sudahlah, memang kalau tidak berkelahi tidak saling
kenal," katanya dengan tertawa. "A Ing, coba kau lihat,
bukankah tabiat bibimu seperti anak-anak" Kalian berdua
nanti tinggal bersama supaya tidak kesepian."
Kemudian Pang Ing menyapa pula dan memanggil "bibi",
terpaksa Liu-jing menyahutnya sekali. Dengan demikian bam
Nyo Tiong-eng dingin kembali marahnya.
Di lain saat waktu Pang Ing hendak mengajak bicara, tibatiba
Nyo Liu-jing berpaling ke jurusan lain, ia sengaja
menghindarkan sinar mata Pang Ing. Sudah tentu perbuatan
ini membikin Hiau-lan merasa tidak enak.
"Hiau-lan, kemarilah kau!" tiba-tiba Nyo Liu-jing memanggil
padanya, tanpa menghiraukan masih berada di depan Pang
Ing, segera ia tarik Teng Hiau-lan kembali ke kamarnya, ia
tutup pintu kamar terus melontarkan pertanyaan.
Pang Ing betul-betul ketanggor kelakuan Nyo Liu-jing tadi,
apalagi dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan Nyo Liujing
bagaikan macan betina menyeret Hiau-lan kembali ke
kamarnya, ia jadi teringat pada apa yang dikatakan Tan Tekthay
tempo hari, tanpa terasa ia tertawa cekikikan.
Nyo Tiong-eng sendiri geleng-geleng kepala melihat
kelakuan putrinya itu. "Sungguh tak berdaya, harap kau
jangan menertawainya, nona!" katanya pada Pang Ing.
"Tidak apa," sahut Pang Ing. "Tidak hanya sekali ini saja
aku menimbulkan salah paham orang, malahan sejak aku
turun gunung." "Ya, nona Ing, kalau menurut tingkatan umur, kau boleh
dika-ta adalah cucu perempuanku, tetapi kalau diurut menurut
tingkatan orang Bu-lim, maka kita adalah setingkatan," kata
Nyo Tiong-eng kemudian dengan merendah. "Marilah kita tak
usah mempersoalkan hal-hal ini, kau sudah berada di
rumahku, anggap saja kita seperti orang sendiri. Tabiat
anakku terlalu buruk, hendaklah jangan kau ingat dalam hati.
Aku sudah menyuruh orang menyiapkan kamar, baiknya kau
pergi mengaso dulu."
"Nyo-kongkong, engkau adalah mertua pamanku, kenapa
kau berlaku sungkan padaku," sahut Pang Ing. "Mana aku
berani menyesali bibi."
Begitulah Pang Ing lantas ikut Nyo Tiong-eng menuju ke
kamar yang disediakan, lapat-Iapat masih terdengar suara
teguran yang sedang dilontarkan Nyo Liu-jing kepada Teng
Hiau-lan di dalam kamar, tanpa terasa Pang Ing menjadi tak
enak. Malamnya, meski sudah bergulang-guling di pembaringan,
ia masih belum bisa pulas, teringat olehnya kejadian siang
harinya. Ia pikir, "Encim begini galak sampai tak kenal adat,
kenapa aku harus tinggal di sini untuk dibikin dongkol
melulu?" Karena itu, diam-diam ia lantas bangun buat bebenah pauhok
(buntalan). Namun segera ia berpikir lagi, "Pergi tanpa
pamit pun kurang baik, tapi kalau berpamitan, tentu Nyokongkong
akan menahan diriku, sebaliknya tidak enak kalau
aku mengatakan menyesali putrinya. Biarlah lebih baik aku
beritahukan Teng-sioksiok saja dan minta dia teruskan pada
Nyo-kongkong dan mintakan maaf padanya."
Pada siang harinya Pang Ing sudah tahu letak kamar Teng
Hiau-lan, maka ia lantas menuju ke sana, tetapi kuatir


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengejutkan orang serumah, ia meloncat ke atas rumah terus
menuju kamar Teng Hiau-lan.
Di dalam kamar pemuda itu masih ada sinar lampu,
terdengar pula ada suara orang sedang berbicara di dalam,
waktu Peng Ing mendengarkan, ia kenali itu adalah suara
Teng Hiau-lan dan Nyo Tiong-eng.
Ketika Pan-Ing menempelkan kupingnya mendengarkan
lebih cermat, terdengar olehnya Teng Hiau-lan sedang
berkata, "Suhu, bukannya aku mengingkari perjodohan ini,
tapi sesungguhnya aku hanya kuatir menghalangi masa muda
adik Jing." . "Kenapa" Ada rahasia apa yang sukar kau ucapkan?"
demikian terdengar Nyo Tiong-eng bertanya. "Apa kau
mencela tabiatnya yang buruk atau ada sebab lainnya; coba
katakan terus terang saja!"
"Umurku mungkin hanya bertahan setahun lagi, jika hams
menikah, apa tidak akan membikin susah adik Jing, menjadi
janda muda, oleh sebab itulah, tidakkah lebih baik
pertunangan ini dibatalkan dan silakan Suhu memilih anak
menantu lain yang lebih tepat," demikian kata Hiau-lan.
"Kenapa, apa kau terluka dalam?" Nyo Tiong-eng bertanya.
"Bukan," jawab Hiau-lan.
"Habis, apa sebabnya?" Nyo Tiong-eng menegas pula.
"Aku telah minum arak beracun yang diberikan kaisar,
racun itu setahun lagi baru akan bekerja," terdengar Hiau-lan
bercerita. "Pada waktunya jika aku tidak masuk istana dan
memohon obat pemunah pada kaisar, dalam sepuluh hari, bila
racun itu naik ke hulu hati segera aku akan binasa. Suhu, kau
cukup kenal watakku, sebagai orang dari kalangan kita,
sekalipun kepala dipenggal, tetapi jiwa tidak boleh ternoda,
lebih baik aku terbinasa juga tidak sudi mohon belas kasihan
pada kaisar!" "Kenapa kau tidak waspada hingga mau minum araknya
yang berbisa?" dengan suara gemetar Nyo Tiong-eng bertanya
pula. "Ya, jika tidak minum, dia pun tak mau menyerahkan A Ing
padaku," sahut Hiau-lan.
Mendengar sampai di sini, hati Pang Ing terpukul dan
perasaan tercekik, hampir saja ia terperosot ke bawah. Lekas
ia tenangkan diri, ia pasang telinga lagi buat mendengarkan
lebih lanjut. "Kecuali dia yang punya obat, apa tiada obat pemunah
lain?" terdengar Nyo Tiong-eng bertanya.
"Sebagaimana diketahui, Pik-ling-tan dari Thian-san adalah
obat mujarab pemunah racun, beberapa gelintir obat pil
pemberian Suhu pun sudah aku makan semua, namun sama
sekali tak bermanfaat," tutur Hiau-lan lagi. "Entah cara
bagaimana mengolah arak beracun ini hingga begini lihai.
Biasanya tidak terasa sesuatu, tetapi di kala bernapas, segera
'Nau-bun-hiat' di ubun-ubun kepala terasa kesakitan.
Tentunya apa yang dikatakan kaisar itu bukanlah omong
kosong dan gertakan belaka!"
Habis itu ia berhenti sejenak, lalu menyambung lagi, "Sejak
aku minum arak berbisa itu, sampai kini sudah hampir
sebulan, tahun depan di waktu yang sama, mungkin aku
sudah berada di liang kubur."
Saat itu juga mendadak terdengar suara "brak" yang keras,
kiranya Nyo Tiong-eng telah memukul meja.
"Keji sekali kaisar durjana itu!" orang tua itu memaki
dengan gusar. Ia merandek sebentar, lalu berkata pula, "Tetapi aku tidak
percaya tiada obat pemunah lainnya. Hiansay hendaklah
merawat diri baik-baik, biar aku kirim orang mencari obat
pada tabib-tabib yang paling ternama di seluruh kolong langit
ini, dalam setahun kukira masih dapat menyembuhkan kau."
Meski di mulut ia berkata demikian, tetapi dalam hati
sebenarnya sama sekali tidak yakin.
"Sudahlah engkau orang tua tak perlu buang tenaga
percuma," ujar Hiau-lan. "Aku mohon jangan engkau ceritakan
hal ini pada adik Jing dan A Ing, agar mereka tidak ikut kuatir
atas diriku." Saat itu hati Pang Ing seperti disayat-sayat. Ia sedang
berpikir, "Kiranya Teng-sioksiok telah berkorban dengan
minum arak beracun untuk menolong diriku, mana bisa
sekarang aku tinggalkan dia pergi." Lalu pikirnya pula, "Aku
dengar dari Suhu, katanya Teng-sioksiok tinggal tiga tahun di
Thian-san, meski mendapatkan ajaran asli ilmu pedangnya,
tetapi mengenai kunci rahasia Lwekang dari aliran sendiri
masih belum cukup menyelaminya. Oleh sebab itulah Tengsioksiok
hanya terhitung 'murid akuan saja, sedang aku meski
tingkatannya lebih rendah, sebaliknya adalah ahli waris Suhu.
Kini kenapa aku tidak mengajarkan ilmu Lwekang padanya,
biar aku ajarkan kunci rahasia dan intisarinya, jika kepandaian
Lwekangn/a bertambah, mungkin ia bisa menahan serangan
racun di dalam tubuhnya!"
Begitulah Pang Ing berpikir bolak-balik, akhirnya ia ambil
ke-putusan tidak jadi pergi, ia pun tidak ingin mendengarkan
lagi, maka diam-diam kembali ke kamarnya.
Besok paginya, sewaktu Pang Ing bertemu muka dengan
Nyo Liu-jing, rasa marah Nyo Liu-jing ternyata masih belum
hilang seluruhnya, ia hanya sedikit mengangguk pada Pang
Ing secara dingin, seperti tidak mau menggubris.
Akan tetapi Pang Ing cukup sabar, terutama untuk
kebaikan paman angkatnya, Teng Hiau-lan, ia berusaha
mengatasi perasaan. Terhadap sang 'bibi' ini ia menyapanya
dengan macam-macam usaha.
"Hm, kau budak cilik ini kiranya juga bisa membikin senang
aku," demikian Nyo Liu-jing membatin dalam hati.
Dan karena itulah rasa marahnya perlahan-lahan menjadi
hilang, malahan kemudian ia merasa tidak enak sendiri
bermusuhan dengan 'anak kecil', maka akhirnya ia membuka
suara juga dan saling berkelakar.
Akan tetapi, selewatmya makan pagi, kembali Nyo Liu-jing
marah-marah lagi. Kiranya sehabis bersantap, Pang Ing masuk ke kamar Hiaulan
dan menutup pintu kamar rapat-rapat, sudah hampir
setengah hari masih juga gadis ini belum keluar.
Berulang kali Nyo Liu-jing coba memanggil Teng Hiau-lan
agar keluar mengawani dia bermain, tetapi selalu Hiau-lan
menjawab dari dalam, "Ya, baik, segera datang!" Akan tetapi
tetap tidak keluar. Keruan Liu-jing menjadi gemas, saking gusarnya ia banting
sepasang pot bunga besar hingga hancur.
"Hm, gadis usia enam-tujuh belas tahun, bukan kecil lagi,
pula bukan paman betulan. Hm, tidak tahu malu, sembunyi di
dalam kamar lelaki dan tidak mau keluar!" demikian ia
mencaci maki Sengaja ia membikin keras suara makiannya itu agar
didengar Pang Ing. Betul juga Pang Ing menjadi naik darah oleh caci makinya,
segera ia hendak keluar melabrak orang, syukur Hiau-lan
keburu mencegahnya. "A Ing, mulutnya yang tidak bersih, hendaklah kau jangan
marah karena dia," kata Hiau-lan cepat.
Pang Ing menjadi lemah hati, teringat pula olehnya bahwa
rahasia Lwekang yang dia ajarkan masih belum dipahami oleh
Hiau-lan, tetapi saking tertusuk perasaannya, sampai ia
meneteskan air mata. "Baiklah, Teng-sioksiok, malam nanti saja aku tengok kau
lagi," akhirnya ia berkata.
Lalu ia buka pintu kamar terus berlari keluar dengan muka
bersungut. Demi nampak gadis ini bermuka gusar, mulut
menjengkit dan mata mendelik, sebaliknya Nyo Liu-jing
menjadi jeri, ia mundur teratur, ia takut kalau anak dara ini
mengamuk, karena itu ia lantas bungkam.
Hiau-lan menanti sesudah Liu-jing masuk ke kamarnya,
segera ia menarik muka. "Seorang keponakanku saja kau tidak
bisa menerimanya, buat apalagi kau menemui aku di sini?"
demikian ia mendamprat. Keruan Nyo Liu-jing tercengang, sekali-kali tidak diduganya
bahwa Teng Hiau-lan berani gusar padanya. Karena itu ia
ngambek. "Ya, ya, kau cuma memikirkan keponakan perempuan,
lantas istri sendiri tidak kau inginkan lagi!" demikian Liu-jing
menuduh sambil menangis. Tentu saja Hiau-lan menjadi gusar.
"Ngaco-belo, kau anggap kami ini manusia macam apa?"
semprotnya lagi. "Dia adalah anak piatu, tetapi kau malah
hendak menyiksa batinnya" Baiklah, biar aku beritahukan
Tiatia (ayah, maksudnya Nyo Tiong-eng). Kau tidak bisa
menerima kami berdua, hari ini juga segera kami berangkat!"
Karena ancaman ini, seketika suara tangis Nyo Liu-jing
berhenti. Ya, meski Nyo Liu-jing terlalu dimanjakan ayahnya dan
sudah biasa mengumbar tabiatnya yang buruk, tapi
sebenarnya jiwanya tidak terlalu jelek, karenanya, di bawah
ancaman Teng Hiau-lan, dengan setengah gertak dan
setengah bujuk, keras dan halus dipakai berbareng, akhirnya
nona ini bisa diatasi. Sejak itulah, betul juga Nyo Liu-jing tak berani lagi marahmarah
di hadapan Pang Ing. Pada siang hari Pang Ing pun tak berani masuk kamar Teng
Hiau-lan. Tetapi bila sudah tiba malam hari, dengan Ginkang
yang tinggi, secara diam-diam ia menemui Hiau-lan, ia ajarkan
semua rahasia cara berlatih Lwekang, dengan sabar ia
tuturkan ilmunya pada pemuda ini dengan alasan atas pesan
gurunya. Hiau-lan sendiri berharap Lwekang bisa digunakan menolak
penyakit, maka ia melatih diri secara giat. Cuma, dia tidak
tahu bahwa Pang Ing sudah mendengar semua
percakapannya dengan Nyo Tiong-eng pada malam itu. Yang
mengajar dan yang belajar sama -mempunyai pikiran sendirisendiri,
maka tidak saling menerangkan.
Dengan cara begitu, dalam sekejap saja sebulan sudah
berlalu, Pang Ing dan Nyo Liu-jing bisa "tinggal bersama
secara damai, Lwekang yang dilatih Teng Hiau-lan pun banyak
mendapat kemajuan, sudah tentu ia sangat girang.
Pada suatu hari, Hiau-lan ingin bertukar pikiran tentang
Thian-san-kiam-hoat, maka pagi sekali bersama Pang Ing
mereka menuju ke bukit di belakang rumah.
Nyo Liu-jing ditinggal sendirian, ia menjadi kelabakan
mencari mereka; tengah ia uring-uringan di rumah, tiba-tiba ia
mendengar suara pintu digedor.
Pergaulan Nyo Tiong-eng terlalu luas, sering kali orangorang
aneh dari kalangan Kangouw suka menyambangi
padanya, maka Nyo Liu-jing tidak menjadi heran mendengar
pintu diketok, ia hanya berpikir entah kedatangan tetamu
siapa lagi" Maka diam-diam ia mengintai dari balik pintu angin.
Di ruang tamu itu ia lihat ayahnya sudah menanti, sedang
tiga tetamu, yang satu lelaki dan yang dua wanita, dengan
langkah lebar menaiki undak-undakan rumah. Yang lelaki itu
adalah seorang kakek, meski rambutnya sudah ubanan,
namun cahaya mukanya masih bersemu merah. Sedang kedua
wanita, yang satu tua dan yang lain muda, mereka ikut di
belakang si kakek. Wanita itu tertampak bermuka muram
durja, agaknya seperti datang hendak menuntut balas.
Dalam pada itu terdengar Nyo Tiong-eng sedang berseru
girang sambil berbangkit.
"Ha, Tong-jisiansing, angin apakah yang meniup kau ke
sini?" demikian ia menyapa.
"Ya, aku membawa anak perempuanku ini buat menjura
padamu, untuk minta kemurahan hatimu," si kakek tadi
menyahut. "Hayo, Say-hoa, kenapa tidak lekas kau menjura
pada Nyo-pepek?" Tiba-tiba wanita muda itu menangis, tetapi lantas berlutut
dan menjura seperti perintah si kakek.
Nyo Liu-jing menjadi heran oleh kelakuan para tamu itu,
pikirnya dalam hati, "Ada urusan apakah ini?"
Di sebelah sana Nyo Tiong-eng lebih heran, ia tidak
mengerti apa maksud kedatangan orang, atas penghormatan
wanita muda tadi ia tidak bisa menariknya bangun, maka
dengan membungkuk badan ia membalas setengah
perhormatan orang. "Ada urusan apa katakan saja, katakan saja! Apa mungkin
ada orang lain yang berani menghina kalian?" segera ia
bertanya lagi. Terdengar orang tua tadi berdehem sekali, habis itu baru ia
buka suara pula, "Sudahlah, nak, tiada gunanya menangis
saja, di sini ada Nyo-pepek yang bakal membela keadilanmu,
apa kau kuatir sakit hatimu tidak akan terbalas?"
Nyo Tiong-eng mengerut kening oleh kata-kata orang,
"Tong-jisiansing, beribu li jauhnya kalian datang dari Sucwan,
apa tujuannya adalah minta aku membalaskan sakit hatimu?"
tanyanya kemudian. "Terus terang saja, usiaku kini sudah
lanjut, terhadap urusan balas-membalas dan saling labrak di
kalangan Kangouw, aku sudah tidak ingin ikut campur tangan
lagi. Dan lagi, dengan kepandaian kalian, sakit hati apakah
yang tidak bisa dibalasnya?"
Sebelum si kakek buka suara lagi, tiba-tiba wanita tua yang
datang bersama mereka itu menyela, "Ya, soalnya musuh
mereka bersembunyi di rumah seorang yang sangat
berpengaruh, tanpa melalui kau orang tua, mereka tak berani
mencarinya ke sana!"
"Aneh, ada orang berani bermusuhan dengan kalian"
Sungguh aneh!" ujar Nyo Tiong-eng heran. "Dan dendam
apakah sebenarnya" Siapa pula musuhmu" Dia dilindungi
siapa pula" Coba katakanlah Tong-jisiansing, meski aku tidak
ingin ikut campur, tetapi tokoh Bu-lim di daerah sini adalah
sobat baik semua, ada urusan apa yang sulit dilakukan, boleh
juga dirunding secara baik-baik."
Mendengar sambutan halus ini, muka si kakek tadi menjadi
terang. "Ha, jika begitu kami harus berterima kasih pada Nyoloeng-
hiong," katanya dengan suara lantang. "Sakit hati yang
hendak dibalas anakku ini adalah sakit hati pembunuhan
suami, dan orangnya justru berada dalam kediamanmu!"
Nyo Tiong-eng terkejut sekali mendengar bahwa musuh
yang dicari orang berada dalam rumahnya. Pikirnya dalam
hati, "Sungguh aneh, mungkinkah Jing-ji yang telah
menimbulkan keonaran ini?"


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berpikir sampai di sini, tanpa tertahan ia jadi mengkirik, ia
membayangkan apa yang bakal terjadi. Maka dengan suara
rada gemetar ia berkata, "Tetapi dalam rumahku hanya kami
ayah dan anak berdua, aku sendiri sudah lama tidak bergerak
lagi di Kangouw, sedang anakku berkepandaian tak berarti,
dapat diduga tidak nanti ia mampu mencelakai anak
menantumu. Tong-jisiansing, apa tidak mungkin kau salah
alamat dan keliru mencari ke sini?"
Atas jawaban ini, kakek itu berdehem sekali, lalu dengan
perlahan ia berkata lagi, "Dan anak menantumu sendiri apa
sudah pulang?" "Sudah, tapi apa yang diperbuat oleh Hiau-lan semuanya
aku pun mengetahui," jawab Nyo Tiong-eng, "bahkan sebulan
ini dia harus merawat lukanya di Swat-hun-kok
Tetapi sebelum ia selesai menutur, si kakek sudah lantas
memotong, "Bulan yang lalu menantumu pulang dari Holam
bersama seorang nona cilik, betulkah hal ini?"
"Ya, betul!" sahut Tiong-eng.
"Nah, jelasnya, nona cilik itulah pembunuh menantuku,
maka silakan Nyo-loenghiong sudi menyerahkan dia!" akhirnya
si kakek menerangkan. Kiranya Ong Go yang dibunuh oleh Pang Lin di sekitar
Tanliu dahulu itu bukan lain adalah menantu Tong-jisiansing.
Di antara keluarga Tong yang bertingkatan tua itu terdapat
tiga bersaudara dan masing-masing tersohor karena senjata
rahasia mereka yang beracun keji. Pek-bi-ciam yang mengenai
Pang Lin itu bukan lain adalah satu di antara senjata rahasia
keluarga Tong yang terkenal itu.
Nama lengkap Tong-jisiansing ialah Tong Kim-hong. Di
antara tiga saudara mereka, wataknya paling sombong dan
tinggi hati, ia hanya punya satu anak perempuan, namanya
Tong Say-hoa, terhadap putri satu-satunya ini Tong Kim-hong
sangat sayang dan memanjakannya.
Waktu Tong Say-hoa mendapat kabar bahwa suaminya
mati terbunuh, tentu saja tidak kepalang rasa sedihnya, ia
berteriak dan menangis, ia hendak bunuh diri menyusul
suaminya ke alam baka jika ayahnya tidak mau membalaskan
sakit hatinya. Tong Kim-hong anggap kalau menantu kesayangannya
terbunuh, sedikit banyak merusak juga nama baik keluarga
Tong mereka, maka ia lantas membawa putrinya berangkat
dari Sucwan, menuju ke Holam mencari pembunuh Ong Go.
Kabar yang hendak mereka cari tidak terlalu sulit, sebab
istri Han Tiong-san, yakni Yap Hing-poh justru adalah orang
yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri kejadian itu.
Akan tetapi waktu itu dari istana kerajaan telah disiarkan
perintah rahasia bahwa dalam setahun tidak boleh menguber
dan menawan Teng Hiau-lan serta Pang Lin. Sedang sebabnya
apa, kecuali Haptoh sendiri, tiada orang lain lagi yang tahu.
Yap Hing-poh terlalu gemas pada Pang Lin yang berani
melawan dia, ketika ayah dan anak she Tong itu mencari anak
dara itu, tentu saja hal ini kebetulan baginya. Ia pikir, "Aku
tidak bisa berbuat apa-apa terhadap budak liar itu karena
perintah atasan, tetapi kebetulan bisa meminjam tangan ayah
dan anak she Tong ini buat membunuh dia."
Begitulah, maka dengan petunjuk Yap Hing-poh, Tong
Kimhong dan putrinya lantas diajak mencari ke Soatang,
begitu mereka mencari tahu, segera diketahui bahwa Teng
Hiau-lan pernah mengajak seorang nona kecil dan tinggal di
rumah Nyo Tiong-eng. Sudah tentu Yap Hing-poh dan ayah beranak she Tong itu
tak tahu bahwa nona cilik yang disebut orang itu adalah Pang
Ing, si kakak kembar, dan bukan Pang Lin, si adik kembar
yang hendak mereka cari. Maka tanpa pikir segera mereka
mengeluruk ke rumah Nyo Tiong-eng dan minta diserahkan
pembunuh anak menantunya.
Nyo Tiong-eng sendiri pun tidak jelas apakah Pang Ing
yang menjadi pembunuhnya atau bukan, keruan ia terkejut
oleh penuturan orang tadi.
"Dimanakah menantumu terbunuh" Dan cara bagaimana
bisa bermusuhan dengan nona kecil itu?" kemudian ia
bertanya lebih terang. "Apa tidak mungkin Tong-jisiansing
salah dengar cerita orang lain?"
"Dia membunuhnya di Tanliu, Holam" Mana aku bisa keliru,
Han-thaythay (nyonya Han) inilah saksinya," sahut Tong Kimhong
dengan gusar. Mendengar ada saksinya, Nyo Tiong-eng coba mengamat
Yap Hing-poh, ia lihat perempuan ini meski usianya telah
setengah abad, tetapi lagak-lagunya masih genit, terang
bukan wanita baik-baik. "Apa saat terjadinya itu Han-thaythay ini berada di tempat"
Boleh coba ceritakan pengalamannya pada hari itu?" kata Nyo
Tiong-eng kemudian "Ai, memang aku sudah tua dan pikun,
sampai sekarang masih belum mohon tanya nama suami
nyonya yang terhormat."
Mendengar orang ingin tahu namanya, Yap Hing-poh
tertawa dingin. , "Nama suami-istri kami, kalau disebut mungkin Loenghiong
pernah mendengar juga," sahutnya.
"Ya, suami-istri Han Tiong-san, tokoh terkemuka dari Lingsan-
pay, namanya dikenal di Kangouw, dengan kedudukan
dan harga dirinya, apa mungkin dia sengaja memfitnah nona
cilik di rumahmu ini?" kata Tong Kim-hong pula.
Mengetahui siapa wanita tua ini, Tiong-eng bergelak
tertawa. "Haha, rupanya mataku yang sudah lamur hingga tidak
kenal orang baik," ujarnya kemudian. "Kabarnya, Han Tiongsan
adalah salah seorang kepercayaan kaisar sekarang, kalau
begitu tentunya menantumu bekerja pada pemerintah?"
"Kalau bekerja untuk pemerintah memangnya kenapa?"
tanya Tong Say-hoa. "Sebab biasanya kaum opas mengejar buronan, soal
bunuh-membunuh cara demikian adalah jamak," sahut Nyo
Tiong-eng. "Pula hal ini sukar dikatakan siapa benar dan siapa
salah. Tong-jisiansing adalah tokoh terkemuka Bu-lim,
tentunya tahu juga bila opas membunuh maling atau maling
dibunuh opas, peristiwa demikian tidak bisa dipersamakan
dengan permusuhan pribadi umumnya. Orang dari kalangan
Bu-lim juga jarang yang mau ikut campur. Tong-jisiansing,
tidak perlu kita persoalkan dia yang membunuh menantumu
atau bukan, menurut pandanganku, permusuhan ini sebaiknya
dianggap selesai saja." ?,
Uraian Nyo Tiong-eng ini sederhana tetapi tepat, namun
Tong Say-hoa segera berteriak pula sambil menangis.
"Tidak, apa suamiku lantas dibiarkan terbunuh begitu saja"
Tua bangka, hari ini tidak kau serahkan pembunuhnya,
betapapun aku tidak bisa terima!"
Kembali Nyo Tiong-eng bergelak tertawa.
"Say-hoa, jangan kau bikin ribut, aku sendiri yang akan
membereskan urusan ini," segera Tong Kim-hong menyela.
"Ya, Tong-jisiangsing, apa yang hendak kukatakan hanya
tadi itu saja, jika kau masih suka mengingat hubungan kita
yang lama, marilah kita sama-sama keringkan secawan, dan
urusan balas dendam harap jangan kau sebut lagi!" kata Nyo
Tiong-eng akhirnya. "Tapi, Nyo-loenghiong, kau telah melupakan sesuatu,"
sahut Tong Kim-hong dengan tertawa dingin.
"Mengenai apa?" tanya Nyo Tiong-eng.
"Kau tentu tahu bahwa yang dibunuh itu adalah anak
menantuku atau suami putriku," kata Tong Kim-hong pula.
"Hubungan di antara kami dengan yang dibunuh itu, sekali-kali
bukan hubungan antara kawan biasa di kalangan Bu-lim, maka
kami harus membalas sakit hatinya, siapa pun tak bisa
merintangi kami! Nyo-loenghiong, jika kau tidak mau ikut
campur urusan ini, maka kami pun tidak berani memaksa, tapi
terpaksa pula kami harus minta maaf dahulu, tiada jalan lain
dan kami harus turun tangan menggeledah sendiri!"
Kata-kata yang bersifat tantangan ini, seketika membikin
Nyo Tiong-eng berjingkrak.
"Tong-jisiansing, agaknya kau pun lupa sesuatu!" dengan
suara keras ia balas kata-kata orang.
"Lupa soal apa?" tanya Tong Kim-hong.
"Ya, kau lupa bahwa di sini adalah rumah Nyo Tiong-eng!
Dan mungkinkah rumahku dibiarkan diobrak-abrik orang
sesukanya?" sahut Nyo Tiong-eng.
"Kalau begitu, jadi terang kau pasti akan merintangi kami?"
tanya Tong Kim-hong. "Apa boleh buat, aku telah terima orang tinggal di rumahku
berarti keluargaku juga, ada terjadi apa-apa, aku yang
bertanggung jawab seluruhnya, meski Hongsiang yang minta
orangnya padaku, aku pun tidak akan kasih!" sahut Nyo
Tiong-eng tegas. "Haha, kalau begitu perjalanan kami ini terang percuma
saja," tiba-tiba Tong Kim-hong berkata dengan tertawa aneh.
"Say-hoa, masihkah kau ingat apa yang aku ucapkan waktu
kita berangkat dari rumah?"
"Masih ingat, ayah, engkau bilang kalau tidak bisa
membalas sakit hati anak menantu, kita tidak akan pulang ke
Suewan," sahut Tong Say-hoa.
"Ha, ingatanmu ternyata tidak jelek," ujar Tong Kim-hong.
"Nah, Nyo-loenghiong, apa kau tega melihat tulangku yang
tua ini terkubur di tanah asing?"
"Jika demikian, silakan saja turun tangan, biar aku saja
yang terkubur di rumah sendiri," sambut Nyo Tiong-eng
secara tajam. "Haha, mana aku berani," kata Tong Kim-hong lagi dengan
bergelak tawa. "Tetapi kalau Nyo-loenghiong sudah begini
kukuh dan sengaja melindungi pembunuhnya, terpaksa aku
harus mohon maaf atas kesembronoanku, biar kuminta
petunjuk engkau punya Thi-cio-sin-tan!"
"Bagus, bagus! Aku pun ingin berkenalan dengan senjata
rahasia keluarga Tong kalian," sahut Nyo Tiong-eng.
Segera ia menyandang gendewa dan turun ke bawah
undak-undakan rumah disusul oleh Tong Kim-hong.
"Silakan mulai!" seru Nyo Tiong-eng segera sesudah
mereka mengambil tempat masing-masing.
Tanpa ayal lagi Tong Kim-hong kebutkan lengan bajunya,
dengan gerak tipu 'Jiu-te-gwan-tui' atau melihat palu di bawah
siku, mendadak ia memukul dari bawah lengan baju dengan
tangan lain. Nyo Tiong-eng angkat kedua tangannya, ia bergeser pergi
secepat angin, berbareng itu susul-menyusul kedua telapak
tangannya menyampuk dari samping.
Namun Tong Kim-hong lantas menarik pundak dan mendak
ke bawah, sekonyong-konyong ia berputar, kedua kepalannya
bergantian menjotos ke muka orang dengan membawa
sambaran angin yang keras.
"Bagus!" seru Nyo Tiong-eng sambil mengegos pergi,
dengan satu lompatan ia bergeser ke samping kanan Tong
Kim-hong, menyusul dengan tipu serangan 'King-to-bik-gan'
atau ombak men-dampar memukul pantai, angin telapak
tangannya dengan cepat menyambar ke muka lawan.
Tong Kim-hong ternyata bukan lawan yang lemah, dengan
cepat ia melompat mundur dua tindak, begitu ia memutar
tangan, dengan gerakan 'Wan-kiong-sia-tiau' atau menarik
busur memanah elang, ia menjaga diri sembari menyerang
pula, dengan demikian tipu serangan Nyo Tiong-eng tadi
dipatahkan. Begitulah pertarungan mereka berdua makin lama semakin
sengit, meski di tengah pelataran itu hanya mereka berdua,
tetapi suara angin pukulan yang menderu laksana ada belasan
orang yang sedang bertempur.
Nyo Liu-jing mengintai dari belakang pintu angin, ia pun
merasa kuatir atas diri ayahnya, diam-diam ia berlari kembali
ke kamar untuk mengambil gendewa dan peluru.
Waktu ia kembali lagi ke depan, pertarungan kedua jago
tua itu semakin seru, lambat laun suara pukulan sudah tidak
terdengar lagi, yang kelihatan kini hanya bayangan orang
yang melayang kian kemari dan berputar dengan cepat,
tampaknya tidak sehebat tadi, tetapi sebenarnya mereka
sedang bertempur dengan mengadu jiwa, keduanya sama
menggunakan tenaga dalam yang paling hebat, tipu serangan
mereka silih berganti dengan perubahan yang beraneka
ragamnya. Selang agak lama, yang terdengar kini hanya suara
menyambarnya angin lengan baju, ilmu pukulan Nyo Tiongeng
berubah dengan cepat dan sukar diraba musuh, meski
tiap gerakan tampaknya lemas tanpa bertenaga, tetapi
sebenarnya mengandung tenaga dalam yang besar sekali.
Sudah tentu Tong Kim-hong kenal kelihaian pukulan lawan,
ia tak berani terima mentah-mentah tipu pukulan Nyo Tiongeng
itu. Perubahan kedudukan pertempuran ini membikin Nyo Liujing
menjadi senang, gendewa yang tadinya disiapkan,
lambat-laun diturunkan ke bawah.
Dalam pada itu pertarungan kedua orang di tengah
kalangan sudah sampai saat yang menentukan, Tong Kimhong
sudah mulai kehabisan tenaga dan tak tahan lagi.
"Tia, baiknya ganti bertanding Am-gi saja!" Tong Say-hoa
berseru pada ayahnya ketika melihat gelagat tidak
menguntungkan. Akan tetapi Nyo Tiong-eng tidak membiarkan orang
berbuat sesukanya, mendadak ia bersiul panjang, kedua
telapak tangannya maju berbareng, yang satu menarik dan
yang lain menampar, secepat kilat ia memukul dengan tipu
'Tiat-ki-tok-jut' atau pasukan berkuda menyerbu mendadak
dan 'Kim-koh-ce-bin' atau tambur emas berbunyi serentak.
Tatkala pukulan Tong Kim-hong luput, mendadak angin
pukulan pihak lawan sudah menyambar sampai depan dada.
Namun Tong Kim-hong memang cekatan, walaupun dalam
bahaya ia tidak menjadi gugup, begitu kaki kanannya
berputar, dengan sedikit membungkuk pula, tubuh mendak
terus berkelit pergi, kedua telapak tangan Nyo Tiong-eng
hanya menyerempet lewat saja, tetapi karena sambaran angin
yang keras, tidak urung Tong Kim-hong merasakan jidatnya
panas pedas, matanya tergetar sampai tak bisa dibuka.
Terpaksa ia berjumpalitan mundur ke belakang.
"Thi-cio keluarga Nyo memang bagus! Awas senjata
rahasiaku!" seru Tong Kim-hong memuji sambil balas
menyerang. Ketika mengayun tangan, terdengarlah suara


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gemerincing dua kali, dua buah Gin-piau (Piau perak) segera
melayang dengan cepat! Namun Nyo Tiong-eng masih keburu mengegos, hingga
kedua senjata rahasia itu menerobos lewat di samping
bahunya. Tetapi baru saja orang tua itu berseru, "Bagus!",
mendadak pula dari muka menyambar bintik-bintik putih
berkilauan. Nyo Tiong-eng mengerti tentu ini adalah 'Chiu-sui-pek-biciam'
dari keluarga Tong yang tersohor, lekas ia kumpulkan
tenaga dalam sepenuhnya, ia pukulkan kedua telapak
tangannya ke depan berbareng, pukulan keras menerbitkan
angin menderu, sebelum jarum berbisa itu mendekat
tubuhnya sudah terjatuh semua berhamburan ke lantai.
"Bagus, ini terima lagi!" seru Tong Kim-hong pula.
Menyusul tangannya bergerak, kembali terdengar suara
aneh mengaung, lima buah benda hitam mengurung ke atas
kepala Nyo Tiong-eng dengan cepat.
Secepat kilat pula Nyo Tiong-eng menarik gendewanya,
beruntun ia membidikkan pelurunya, karena itu, senjata
rahasia kedua pihak bertemu di udara, lima buah benda
bundar serupa bola hitam yang ditimpukkan Tong Kim-hong
mendadak pecah terus meledak, sekonyong-konyong pula
memancarkan sinar api. Agar dirinya tidak sampai terbakar, cepat Nyo Tiong-eng
gulingkan dirinya ke tanah, waktu ia bangun kembali,
sekaligus ia tarik jubahnya terus diputar dan dikebut dengan
cepat, lelatu api di-sirapkan dan tidak sampai melukai, hanya
badannya saja yang kotor berlepotan tanah.
Nyo Tiong-eng cukup kenal kelihaian senjata rahasia orang
yang beraneka ragam, ia pikir harus mendahului dan
mengatasi lawan lebih dulu baru dirinya bisa selamat.
Sementara itu sudah tiga macam senjata rahasianya tak
bisa mengenai sasarannya.' Tong Kim-hong rada tercengang
dan meran-dek. Kesempatan ini segera digunakan Nyo Tiongeng
dengan baik. "Inilah balas penghormatanku!" seru Nyo Tiong-eng,
berbareng gendewanya lantas menjepret, peluru baja
menyambar ke depan laksana hujan.
"Bagus, baru hari ini aku ketemu tandingan setimpal!" seru
Tong Kim-hong juga. Segera ia ganti senjata rahasianya berupa kim-ci-piau
(senjata rahasia berbentuk mata uang), ia memakai gerakan
'Boan-thian-hua-uh' atau hujan gerimis berhamburan, segera
ia sebar mata uangnya, karena itu, peluru baja Nyo Tiong-eng
pun terbentur di tengah jalan hingga berhamburan jatah ke
tanah. Meski peluru Nyo Tiong-eng tidak mengenai sasaran, tapi
sedikitnya Tong Kim-hong sudah dipaksa kerepotan melayani
senjata rahasianya ini, dengan demikian Nyo Tiong-eng bisa
berganti napas. Sesudah pertarungan berlangsung lagi, kedua pihak masih
tiada yang kecundang, lalu keadaan tiba-tiba menjadi sunyi,
yang satu di timur dan yang lain di sebelah barat, laksana
ayam jago saja yang sedang bertarung, mereka saling melotot
dengan penuh perhatian, yang satu siap sedia menarik tali
gendewanya dengan sedikit membungkuk dan yang lain
tangan menggenggam senjata rahasia dengan mata mendelik.
Demikianlah bila yang satu maju selangkah, maka yang lain
lantas mundur setindak, mereka mengitari kalangan sampai
tiga kali, tetapi masih tiada seorang pun yang menyerang
lebih dulu. Nyo Liu-jing menjadi bingung, ia tidak mengerti bahwa
kedua orang yang sedang bertempur itu sudah sampai pada
saat yang menentukan! Rupanya kedua pihak sama tahu tidak gampang
dipecundangi pihak lain, maka mereka mencari kesempatan
kalau ada lubang lantas akah memberikan serangan yang
mematikan. Sesudah mengitari kalangan beberapa kali, pada
suatu ketika mendadak mereka berseru keras, kedua orang
sama meloncat ke atas, Nyo Tiong-eng
membidikkan'pelurunya dan Tong Kim-hong menghamburkan
senjata rahasianya berupa panah beracun, yang diarah adalah
tenggorokan lawan yang sangat berbahaya, gerak tangan
mereka sangat cepat, keras dan jitu, sungguh sangat hebat
dan mengagumkan. Tetapi setelah saling tukar serangan sekali, kembali mereka
memisahkan diri dan berhenti lagi, keduanya sama berjongkok
menantikan saat yang baik, dengan mata tak berkedip mereka
saling pandang. Menyaksikan pertarungan yang hebat ini, akhirnya Nyo Liujing
ikut gelisah, ia lihat sikap ayahnya sangat tegang,
mukanya sudah penuh keringat yang mengucur deras, tetapi
sebelah tangannya masih terus menarik tali gendewa dan siap
menjepretkan, bagaikan patung ayahnya sama sekali tidak
bergerak. Begitu pula tertampak di pihak Tong Kim-hong, ia
pun sama tegangnya dan sama tidak bergerak.
"Tua bangka itu tidak memandang ke jurusan lain dan
sedang memperhatikan bagian depan, jika aku membokong
dia dengan peluru kilat secara berantai untuk menghantam
Hiat-tonya, bukankah ini cara yang paling baik," demikian Liujing
berpikir. Setelah ambil keputusan ini, mendadak ia tarik gendewanya
terus membidikkan pelurunya susul-menyusul tiga butir, yang
satu mengarah muka Tong Kim-hong mengincar 'Bi-ciam-hiat',
yaitu bagian ujung alis, yang lain mengarah 'Ling-hu-hiat' di
dada dan yang satu lagi mengarah bagian bawah di 'Yao-imhiat',
bagian se-langkangan. Jika sekaligus ia bidikkan pelurunya, pada saat yang sama
mendadak ia mendengar ayahnya berseru, "Celaka!"
Keruan Nyo Liu-jing terkejut, tiba-tiba terasa olehnya
sambaran angin yang keras dari depan hingga pintu angin
yang dibuat sembunyi hancur pecah.
Kiranya pada saat itu juga Tong Kim-hong telah membalas
dengan sebuah 'Thi-ta' atau bola besi, berbareng pula tiga
peluru yang Nyo Liu-jing bidikkan dipukul terpental kembali,
syukur Nyo Liu-jing bisa bertindak cepat, begitu pintu angin
aling-alingnya roboh, ia pun menjatuhkan diri ke lantai, karena
itu pelurunya sendiri yang menyambar kembali itu lewat di
atas kepalanya terus amblas ke dinding tembok.
Ketika Nyo Liu-jing berdiri kembali, keadaan di kalangan
pertempuran kini sudah berubah lain, di pelataran sekarang
senjata rahasia sudah terbang berseliweran dengan ramai.
Ternyata Tong Say-hoa telah ikut membantu ayahnya dengan
menyebarkan senjata rahasia Pek-bi-ciam dan Tok-ci-le, jarum
halus dan semacam biji duri berbisa.
Menurut kebiasaan keluarga Tong mereka, selamanya tidak
pernah dua orang melawan satu atau secara keroyokan, tetapi
kalau pihak lawan yang mendahului, maka kebiasaan mereka
itupun tak berlaku lagi. Karena itulah, begitu Nyo Liu-jing
membidikkan pelurunya, segera pula Tong Say-hoa ikut turun
tangan. Kepandaian Tong Say-hoa ternyata jauh lebih tinggi dari
Nyo Liu-jing, dengan ayah dan anak berdua mengembut Nyo
Tiong-eng, keruan seketika keadaan banyak bembah, laksana
macan tumbuh sayap mereka menyerang secara garang.
"Nyo-lauji, apa kau belum mau menyerah?" demikian Tong
Kim-hong membentak. Tetapi Nyo Tiong-eng diam saja, ia tidak menggubris
peringatan orang. Maka tidak ayal lagi Tong Kim-hong mengayun kedua
tangannya, sekaligus ia hamburkan senjata rahasia Oh-tiappiau,
piau yang berbentuk kupu-kupu dan Tok-cit-le. Pada Ohtiap-
piau itu di dalamnya dipasang alat yang bisa dikendalikan,
mendadak senjata ini terbang miring dan pada saat lain
sekonyong-konyong meluncur lurus ke depan, maka sukar
dihindari. Karena serangan senjata rahasia yang hebat ini, Nyo Tiongeng
tidak sempat melepaskan pelumnya lagi, ia pukulkan
tangannya dengan angin yang keras, Oh-tiap-piau itu berhasil
dia pukul jatuh, tapi tiba-tiba ia merasa belakang dengkulnya
kesemutan, segera pula menjadi lemas hingga ia jatuh
mendeprok ke tanah. "Berhenti Say-hoa, ia sudah terkena Tok-cit-le!" sem Tong
Kim-hong pada putrinya sesudah lawannya kecundang.
Pada saat itu juga dari tempat persembunyiannya
mendadak Nyo Liu-jing menubmk keluar.
"Apa ini orangnya?" tanya Tong Kim-hong cepat demi
nampak Nyo Liu-jing. 'Sementara itu Nyo Liu-jing telah dipapaki oleh Tong Sayhoa,
hanya dengan sekali bacokan saja, gendewa gadis itu
suda'h ditabas putus oleh golok Tong Say-hoa.
"Jing-ji, jangan kau maju!" terdengar Nyo Tiong-eng
meneriaki gadisnya. Berbareng itu ia bangkit duduk, mukanya
pucat lesi. "Nyo-toako, sekali ini aku betul-betul telah membikin susah
kau, harap kau menyerahkan pembunuhnya saja!" Tong Kimhong
membuka suara lagi dengan tertawa cekikik aneh.
Sudah tentu Nyo Tiong-eng tidak mau menyerah mentahmentah.
"Tong-lauji, ingin aku tunduk padamu, itulah jangan kau
harap!" sahutnya dengan ketus.
"Kau tentu kenal lihainya senjata rahasia keluarga Tong
kami, kau telah terkena Tok-cit-le, jika tiada obatku, sekalipun
tidak binasa, sedikitnya akan menjadi cacat selamanya!" Tong
Kim-hong coba menggertak.
"Haha, jika aku orang she Nyo ini takut mampus, tidak
mungkin aku keluyuran selama beberapa puluh tahun di
kalangan Kangouw!" sahut Nyo Tiong-eng pula dengan
tertawa. Nampak kebandelan orang, akhirnya Tong Kim-hong
mengubah gertakannya dengan bujukan.
"Bagus, kau harus dipuji!" katanya dengan mengacungkan
jempol. "Tetapi perlu kau pertimbangkan juga, jika pembunuh
itu ada hubungan rapat dengan kau, sungguhpun berkorban
untuk kawan juga masih berharga! Tetapi kami justru sudah
mencari tahu bahwa nona cilik itu sama sekali tiada sesuatu
ikatan dengan kau, bukan sanak juga bukan kadang, lalu
untuk apakah kau membela dia?"
"Hm, Tong-lauji, jangan kau pura-pura bodoh." jengek Nyo
Tiong-eng. "Sebagai orang Kangouw kita paling
mengutamakan setia kawan, dia adalah gadis piatu, kini dia
berada di rumahku pula, betapapun tidak'boleh orang luar
menghinanya!" Mendengar jawaban yang tegas ini, kembali Tong Kim-hong
tertawa terbahak. "Haha, Nyo-lauji, urusan sudah telanjur begini, meski kau
melarang orang lain menghina dia juga sudah tidak mungkin
lagi, jiwamu sendiri sekarang terancam, dengan dasar modal
apa kau melindungi dia" Haha, Nyo-lauji, maaf saja, terpaksa
kami sekarang harus menggeledah rumah kediaman Thi-ciosin-
tan!" Mendengar ucapan orang yang setengah menyindir ini,
saking gusarnya Nyo Tiong-eng hampir j atuh pingsan.
"Sudahlah, tidak perlu geledah lagi!" tiba-tiba terdengar
Yap Hing-poh berseru. Karena seruan itu, semua orang merandek, ketika mereka
berpaling, maka tertampaklah dua orang yang bukan lain
daripada Teng Hiau-lan dan Pang Ing.
"Hiau-lan, lekas kau bawa dia lari!" segera Nyo Tiong-eng
berseru pada mereka. "Apa budak cilik ini?" terdengar Tong Kim-hong bertanya.
"Betul dia!" sahut Yap Hing-poh. Berbareng ia terus
melompat maju untuk menjaga di ambang pintu agar orang
tidak kabur. Akan tetapi Pang Ing tidak gentar, bersama Hiau-lan
mereka terus masuk ke dalam. "Kongkong! Suhu! Kenapakah
kau?" tanya mereka berbareng.
Sebaliknya Nyo Liu-jing mendeliki Pang Ing sekejap.
"Semuanya gara-gara kau, sebab membela dirimu, ayahku
terluka oleh Tok-cit-le mereka!" kata Liu-jing kemudian.
Karena keterangan ini, seketika alis Pang Ing berkerut
tegak. "Bagus, hutang jiwa bayar jiwa, hutang harta bayar harta,
ada urusan biar aku sendiri yang bertanggung-jawab!"
serunya. "Teng-sioksiok, silakan bawa Kongkong ke dalam!"
Apa yang diucapkan Pang Ing ini adalah kata-kata yang
biasa digunakan oleh orang Kangouw, tetapi bagi Tong Kimhong
dan putrinya, mereka malah menyangka Pang Ing
adalah Pang Lin, si pembunuh menantunya, maka mereka
bertambah gusar karena kata-kata si gadis tadi, sudah
membunuh orang masih berani omong besar. Keruan mereka
menjadi murka. "Budak liar, umurmu masih semuda ini, tetapi gerak
tanganmu sudah begitu kejam, sudah membunuh orang masih
tak mau mengaku dosa!" damprat mereka segera.
Dalam pada itu Tong Say-hoa sudah tidak sabar lagi, begitu
ia mengayun tangan, tiga bilah pisau segera menyambar!
Di lain pihak, Teng Hiau-lan dan Nyo Liu-jing lantas memayang
Nyo Tiong-eng masuk ke ruargan dalam dan direbahkan
di pembaringan. "Hiau-lan," kata Nyo Tiong-eng dengan napas memburu,
"biar Jing-ji yang merawat aku di sini, kau boleh lekas keluar
sana, gunakan pedangmu buat membuka jalan, kau harus
menolong nona Ing dari bahaya! Orang yang berada di rumah
orang she Nyo sekali-kali tidak boleh dibekuk begitu saja!"
Sementara itu pertempuran di luar berjalan dengan ramai.
Atas serangan Tong Say-hoa tadi, segera Pang Ing dapat
menangkap sebilah pisau dan yang dua bilah dapat dihindari
dengan berkelit. Kembali Tong Say-hoa mengirim senjata rahasia lagi, sekali
ini tiga biji Tok-cit-le menyambar. Segera Pang Ing timpukkan
kembali pisau yang dia tangkap tadi dan ketika ia hendak
menyambut pula Tok-cit-le yang lain, tiba-tiba ia dengar Teng
Hiau-lan berseru padanya, "Awas, senjata rahasia mereka
beracun, jangan sembarang menangkapnya!"
Karena peringatan ini, segera Pang Ing menarik pundak
dan mendak ke bawah, dengan demikian tiga butir Tok-cit-le
musuh mengenai tempat kosong.
Tong Kim-hong menjadi heran melihat gerak tubuh Pang
Ing yang sebat dan aneh. Pikirnya, "Pantas Ong Go terbinasa
di tangannya!"

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Say-hoa, biar aku layani dia!" segera ia berseru. Habis itu,
ia sentil kedua jarinya berulang-ulang, ia gunakan Kim-ci-piau
untuk mengarah jalan darah Pang Ing.
Namun Pang Ing cukup tangkas, begitu mendengar
sambaran angin senjata orang, segera ia tahu tenaga
serangan musuh cukup besar, dengan cepat ia mencabut
pedangnya, ia menangkis ke atas, maka terdengar suara
gemerincing dibarengi meletiknya lelatu api.
"Tenaga tangan orang ini ternyata tidak di bawah Nyokong-
kong!" demikian Pang Ing membatin.
Di lain pihak Tong Kim-hong menjadi gusar karena senjata
rahasia mata uangnya dihancurkan oleh pedang pusaka si
Pedang Berkarat Pena Beraksara 2 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Pendekar Jembel 3
^