Pencarian

Tiga Dara Pendekar 22

Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen Bagian 22


nona, menyusul ia hamburkan senjata rahasia yang lain,
tangan kiri menyebarkan Kim-ci-piau dan tangan kanan
menyambitkan 'Coa-yam-ci', semacam anak panah berapi
yang mengandung belerang dan mudah terbakar.
Namun Pang Ing telah memutar pedangnya, ia sampuk
semua Kim-ci-piau, lalu meloncat ke atas untuk
menghindarkan panah berapi itu.
Anak panah berapi itu ternyata sangat lihai, begitu
menyentuh tanah, segera meledak dan api berkobar.
Waktu itu Pang Ing pun mengerti, tentu orang telah salah
sangka dirinya sebagaimana dari caci maki orang tadi. Akan
tetapi, pertama karena senjata rahasia musuh menyambar
datang bagaikan hujan, untuk memberi penjelasan sudah
tidak mungkin lagi. Kedua, karena dia gemas juga pada Tong
Kim-hong yang telah melukai Nyo Tiong-eng, maka timbul
tekadnya melawan musuh, sudah tentu dia tidak sudi meminta
agar musuhnya berhenti dan bicara dulu.
Pang Ing bergerak dengan cepat dan gesit sekali,
pedangnya pun dimainkan dengan kencang, sudah sekian
lama berlangsung sama sekali Tong Kim-hong tak mampu
mencelakainya, ia menjadi murka, tipu serangan yang
mematikan telah dia keluarkan, ia sebarkan senjata rahasianya
hingga saling bentur, ada yang terbang miring ke samping,
ada yang menyelonong ke depan, seluruh tubuh Pang Ing
seketika terkurung di bawah hujan senjata rahasia.
"Celaka!" seru Teng Hiau-lan demi nampak keadaan ini.
Segera ia lolos pedang hendak maju membantu, namun
tiba-tiba ia lihat Pang Ing mengayun pedangnya, sinar perak
segera bergulung-gulung, Pang Ing hanya melindungi muka
dan kepalanya dengan permainan pedang yang rapat, maka
terdengarlah suara nyaring riuh, senjata rahasia musuh telah
mengenai tubuhnya. Sudah tentu Pang Ing tidak menggubris senjata rahasia
yang mengenai tubuhnya itu, sebab ia mengenakan kutang
wasiat pemberian Ciong Ban-tong, kutang ini kebal tidak
tertembus golok atau tombak, apalagi hanya senjata rahasia!
Begitulah Pang Ing membiarkan dirinya dihujani senjata
rahasia musuh, tetapi sehabis hujan Am-gi ini, secepat kilat
Pang Ing lantas menerjang ke depan dengan badan sedikitpun
tidak terluka! Keruan tidak kepalang kaget Tong Kim-hong, pikirnya, "Apa
tubuhnya tergembleng dari baja" Kalau begini agaknya sakit
hati ini terang tidak bisa dibalas lagi!"
Sementara itu, meski senjata rahasia Tong Kim-hong cukup
banyak, setelah mengalami dua babak pertarungan ini, sisa
senjatanya pun tinggal tak seberapa lagi.
Begitulah pada waktu Tong Kim-hong sedang terkesima,
Pang Ing menggunakan kesesmpatan ini dengan baik,
tubuhnya melesat secepat terbang, sinar pedang berkelebat,
segera ia menusuk iga kiri Tong Kim-hong di tempat 'Hunbun-
hiat'. Lekas Tong Kim-hong angkat kaki menendang, telapak
tangan kiri pun memotong cepat, silih berganti mereka berdua
saling serang sejurus. "Ini, kau pun rasakan senjata rahasiaku!" Pang Ing balas
membentak. Berbareng ia ayun tangan kirinya, segenggam senjata
rahasia 'Hui-bong' lantas menyambar secepat kilat.
Hui-bong adalah semacam duri tumbuhan yang khusus
terdapat di Thian-san, yang digunakan sebagai senjata rahasia
sejak Hui-bing Siansu dan turun-temurun pada Nyo Hun-cong,
Leng Bwe-hong, Ie Lan-cu dan sampai pada Teng Hiau-lan
serta Pang Ing. (Baca Chau Guan Eng Hiong dan Thian-sanchit-
kiani) Tetapi Tong Kim-hong adalah tokoh silat yang terkenal
karena senjata rahasianya, dengan sendirinya kepandaiannya
menyambut senjata rahasia lawan pun tinggi luar biasa, maka
tampak ia menge-butkan lengan bajunya yang lebar,
segenggam 'Hui-bong'' yang dihamburkan Pang Ing itupun
hilang tak berbekas. Akan tetapi Kiam-hoat Pang Ing juga tidak bisa dipandang
enteng, ia menggunakan 'Hui-bong' untuk memancing
perhatian musuh saja, tipu serangan pedangnya segera
menyusul tiba. Karena itu, baru saja Tong Kim-hong sempal menyambut
senjata rahasia orang, tahu-tahu ia merasakan sambaran
angin tajam, pedang musuh sudah sampai di depan mukanya.
Dalam ancaman elmaut demikian ini, sekalipun dia adalah
tokoh silat terkemuka Bu-lim atau dunia persilatan, tidak
urung ia menjadi gugup juga. Waktu ia mundur dengan cepat,
angin tajam menyambar lewat di atas kepalanya, secomot
rambutnya sudah terkupas.
Di sebelah sana, demi nampak ayahnya berada dalam
ancaman bahaya, segera Tong Say-hoa melompat maju,
senjata rahasia 'Hui-to' atau pisau terbang lantas menyambar
lebih dahulu. "Kau pun cicipi senjata rahasiaku!" bentak Pang Ing
mendadak. Dengan mata kepala sendiri Tong Say-hoa menyaksikan
pisau terbangnya dengan tepat mengenai dada sasaran, tetapi
ia menjadi kaget karena pisau itu terpental kembali, dalam
keadaan ternganga ia menjadi lupa bahwa Am-gi pihak lawan
telah menyambar tiba, ketika ia sadar dan berusaha berkelit,
namuh sudah terlambat, pundak kanannya terasa sakit sekali,
ternyata miang pundaknya telah tertembus oleh Hui-bong
Pang Ing! Melihat gelagat jelek, seketika Tong Kim-hong menarik
putrinya dan diajak angkat langkah seribu, tapi secepat
terbang Pang Ing lantas mengudak.
Di pihak sana Yap Hing-poh pun sama sekali tidak menduga
ayah dan anak she Tong itu bisa mengalami kekalahan begini
menyedihkan, ia pun kaget tidak kepalang, waktu Pang Ing
mengudak dan menubruk maju, Yap Hing-poh masih coba
mengangkat pedang hendak menghadang sambil mundur
selangkah. Pang Ing menjadi gemas, beruntun ia kirim tiga kali
tusukan, semuanya adalah tipu serangan yang lihai dari TuiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hong-kiam-hoat yang cepat luar biasa. Meski Yap Hing-poh
cukup tinggi ilmu silatnya, tapi sesudah kawannya kabur lebih
dulu, ia sendiri pun tiada napsu buat bertempur lagi. Segera
pula ia mundur teratur dan angkat langkah seribu.
Pada waktu itu, ruangan rumah telah terbakar oleh api
anak panah belerang tadi. Sedang Teng Hiau-lan cukup tahu
ilmu silat Yap Hing-poh tidak di bawah Pang Ing, lebih-lebih
tua bangka she Tong itu susah dilawan karena senjata
rahasianya, sekarang Pang Ing kebetulan bisa menang, tapi
kalau dia mengudak lagi mungkin akan diselomoti mereka.
Karena itu segera ia menyusul keluar.
"A Ing, jangan kejar, menolong orang dan padamkan api
lebih penting!" demikian ia meneriaki Pang Ing.
Pang Ing tergerak pikirannya. Tetapi ia masih belum puas,
segera ia berseru mendamprat.
"Hai, kalian serombongan bangsat Iaki-perempuan itu, jika
berani membikin rusuh lagi kediaman Nyo-kongkong, jangan
kau harap pedangku akan mengampuni kalian untuk kedua
kalinya!" Ketika ia kembali, semua centing keluarga Nyo sedang
sibuk memadamkan api. Lekas Pang Ing berlari ke ruangan
belakang, segera tertampak olehnya kedua kaki Nyo Tiongeng
dalam keadaan bengkak besar. Sedang Nyo Liu-jing
sedang menangis tersedu-sedu. Sudah tentu Pang Ing merasa
tak tenteram. "Nyo-kongkong, semuanya karena gara-garaku hingga
membikin susah kau," katanya dengan sedih.
Sebaliknya ketika Nyo Tiong-eng melihat Pang Ing kembali
dengan tak kurang suatu apapun, ia menjadi terheran-heran.
"Dan kemanakah mereka, kawanan penyatron itu!" tanyanya.
"Mereka sudah aku usir dan lari terbirit-birit!" sahut Pang
Ing. "Apa betul?" tanya Nyo Tiong-eng dengan ragu-ragu
"Kenapa tidak betul!" sahut Pang Ing.
Keruan Nyo Tiong-eng sangat girang akan kejadian di luar
dugaannya ini. "Anak baik, sekali ini betul-betul berkat kau yang telah
mempertahankan nama baik keluarga Nyo!" ujarnya
kemudian. Nyo Liu-jing pun ikut terheran-heran mendengar
percakapan mereka, ia mengusap air matanya dan dengan
terkesima memandang Pang Ing. Dalam hati ia berkata,
"Untung tempo hari dia tidak berkelahi sungguh-sungguh
dengan aku, tak nyana dia begini lihai!"
Tengah mereka bercakap, Teng Hiau-lan tampak masuk.
"Ha, betapapun keluarga Nyo tidak sampai mengalami
kekalahan, mati pun aku bisa tenang," kata Nyo Tiong-eng
pada calon menantunya itu dengan tertawa.
Hiau-lan menjadi kuatir waktu nampak kedua kaki orang
tua ini bengkak dan matang biru.
"A Ing, lekas keluarkan Pik-ling-tan!" serunya cepat.
"Memang senjata rahasia keluarga Tong sangat keji, kecuali
dengan obat pemunah racun bikinan mereka sendiri, siapa
pun tiada yang bisa menolong," ujar Nyo Tiong-eng dengan
tenang. "Kau punya Pik-ling-tan itu masih dapat digunakan
mengobati luka dalam dan kecelakaan lain, jangan
dihamburkan percuma untuk diriku."
Tetapi mana Pang Ing mau menurut, ia tetap menghendaki
orang tua ini menelan obat pilnya itu.
Sehabis minum Pik-ling-tan, keadaan Nyo Tiong-eng betul
juga rada baikan, hawa racun tertekan dan tidak meluas lagi,
cuma kedua kakinya masih tetap kaku tanpa daya-rasa, racun
yang sudah menyusup masih belum bisa dilenyapkan sama
sekali. Keruan Nyo Liu-jing, Teng Hiau-lan dan Pang Ing
menjadi kuatir, tetapi tak berdaya.
"Sudahlah mati-hidup manusia sudah ditakdirkan, aku
sendiri tidak gugup, kenapa kalian malah menguatirkan
diriku?" kata Nyo Tiong-eng sambil menarik napas. "Apalagi
racun ini belum tentu bisa melenyapkan jiwaku. Meski Pik-lintan
bukan obat yang jitu untuk racun ini, tapi asal bekerjanya
racun tidak meluas, tentu aku tak sampai mampus."
"Kalau obat pemunahnya hanya terdapat pada mereka, biar
aku dan Teng-sioksiok mengejar mereka untuk memperoleh
obatnya," ajak Pang Ing.
"Itulah jangan," ujar Nyo Tiong-eng. "Kalau mereka sudah
datang bersama bini Han Tiong-san, agaknya mereka masih
membawa kawan jagoan istana lagi, sedang kalian hanya
berdua, mana boleh mengejar begitu saja?"
Atas ucapan ini mau tidak mau Pang Ing berpikir,
"Memang, aku dan Teng-sioksiok tidak kuatir buat mengejar
mereka, tapi di sini keadaan lalu menjadi kosong, jika mereka
menyerbu lagi kemari, apa ini tidak berbalik membikin celaka
Kongkong dan encim."
Karena pikiran ini, meski tidak kepalang rasa kuatirnya,
tetapi ia tak berani meninggalkan rumah keluarga Nyo ini.
Sungguhpun begitu mereka berpikir, padahal dugaan
Tiong-eng dan Pang Ing salah semua. Seperti diketahui, In
Ceng atau Kaisar Yong Ceng sekarang mempunyai ciri
kelemahan yang tergenggam di tangan Teng Hiau-lan,
sebagaimana ia sudah berjanji dalam setahun tidak nanti ia
mengirim jagoannya buat menguber dan menangkap pemuda
ini. Kedatangan Yap Hing-poh kali ini bersama ayah dan anak
she Tong itu tidak lebih hanya tindakan perorangan saja.
Sedang kedatangan Tong Kim-hong pun melulu hendak
menuntut balas sakit hati menantunya saja dan bukan bekerja
untuk kerajaan Jing. Mengenai Tong Kim-hong, nama baiknya yang dipupuk
selama beberapa puluh tahun ternyata kini telah dikalahkan
oleh seorang anak dara secara sangat mengenaskan, ia
menjadi malu bercampur gusar, setelah melarikan diri dari
kediaman Nyo Tiong-eng, sepanjang jalan ia terus bungkam
tak bersuara, Yap Hing-poh dan Tong Say-hoa tak berani
mengajaknya bicara. "Apa betul-betul anak gadis itu tadi" Kau tidak salah lihat?"
mendadak Tong Kim-hong bertanya sesudah belasan li
berjalan. Sebab ia teringat pada apa yang dikatakan Yap Hing-poh
bahwa Ong Go pernah bertempur dengan sengit selama
hampir setengah hari, pula matinya karena terbunuh oleh Huito
anak dara itu. Karenanya ia menjadi sangsi, pikirnya,
"Kepandaian Ong Go masih di bawah Say-hoa, jika betul ia
pernah bertempur melawan anak dara yang bergebrak sengit
dengan aku tadi, mungkin tidak sampai tiga jurus ia sudah
terbinasa, kenapa perlu sampai setengah hari" Apalagi senjata
rahasia yang digunakan anak dara tadi pun bukan Hui-to."
Begitulah kalau Tong Kim-hong merasa sangsi, di samping
sana Yap Hing-poh pun mulai ragu-ragu, sebab pada waktu
Pang Lin masih berada di istana pangeran, Yap Hing-poh
sendiri pun pernah mengajarkan ilmu silat padanya, maka
terhadap kepandaian anak dara itu ia pun cukup paham. Pula
belakangan waktu kepergok di dekat Tanliu, meski kepandaian
Pang Lin sudah banyak maju, namun masih tetap bukan
tandingannya. Tetapi hari ini kalau ia saksikan ilmu silat Pang Ing (yang
disangka Pang Lin), jelas sekali tidak di bawah dirinya, mau
tak mau ia menjadi ragu-ragu dan berpikir, "Hanya berpisah
tiga bulan saja, sekalipun ada dewa sakti yang mengajarkan
kepandaian padanya, tidak mungkin juga ia bisa maju begitu
pesat?" Tengah ia ragu-ragu. Karena teguran Tong Kim-hong tadi,
seketika ia menjadi gelagapan tak bisa menjawab.
"Rupanya mirip sekali, tapi ilmu silatnya tidak sama, aku
pun tidak mengerti mengapa bisa begini?" akhirnya tercetus
juga dari mulutnya secara samar-samar sesudah ia'merenung
agak lama. "Celaka," mendadak seru Tong Kim-hong sambil menepuk
tangan, "jika dia bukan orang yang kita cari, apakah kejadian
tadi tidak akan membikin susah nyawa Nyo Tiong-eng belaka"
Tentang musuh manakah yang membunuh Ong Go, kita boleh
mencari tahu kelak, tetapi jiwa Nyo Tiong-eng tidak boleh
dibiarkan tewas di tanganku secara penasaran."


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tong Say-hoa jadi tercengang oleh kata-kata ayahnya ini.
"Tia, lantas apa yang hendak kau perbuat?" tanyanya
cepat. "Kirim obat padanya!" sahut Tong Kim-hong.
Akan tetapi Tong Say-hoa tidak setuju, ia terkena Hui-bong
Pang Ing, meski lukanya tidak berat, tapi ia masih dendam.
"Sekalipun bukan budak itu yang kita cari, tetapi kita sudah
menderita kekalahan dari dia, percekcokan ini terang sudah
berlangsung," katanya kemudian. "Dan kenapa mengirim obat
padanya." "Bukan mengirim untuk dia, tapi untuk Nyo Tiong-eng,"
ujar Tong Kim-hong. "Dia dan Nyo Tiong-eng bukankah sama saja?" sahut Tong
Say-hoa. "Kita mengirim obat padanya berarti kita tunduk
pada mereka, apa ini tidak menurunkan pamor keluarga Tong
kita?" Tong Kim-hong hanya punya seorang putri, biasanya ia
sangat menurut omongannya, ia pikir memang bukan tidak
beralasan kata putrinya itu. Karenanya ia tidak banyak bicara
lagi dan terus melanjutkan perjalanan. Akan tetapi
perasaannya makin lama semakin tidak enak.
"Nanti dulu, aku punya pikiran lain!" mendadak ia berhenti
dan berkata pada putrinya.
"Pikiran lain apakah, Tia?" tanya Say-hoa.
"Begini, kita tidak perlu mengirim obat sendiri pada
mereka, tetapi melalui orang lain," kata Tong Kim-hong. "Nyolauji
terhitung tokoh juga di kalangan Bu-lim, meski kita tidak
gentar padanya, tapi kawan kalangan Kangouw kalau tahu dia
mati di tangan kita, tentu kita akan banyak menghadapi
kesulitan!" Tong Say-hoa pikir memang kekuatiran ayahnya ini
bukannya tidak beralasan, maka ia pun tak berani merintangi
lagi. Maka kemudian Tong Kim-hong memberhentikan
seseorang di jalanan, ia keluarkan setahil perak sebagai upah
dan menyuruh orang itu suka mengirim obat pada Nyo Tiongeng.
Akan tetapi uang jasa itu ditolak, kata orang itu, "Nyoloyacu
kukenal dengan baik, di sekitar daerah sini siapa yang
tidak kagum padanya, uangmu ambil kembali saja, barangnya
tanggung aku sampaikan padanya."
Lalu obat yang diserahkan itu diterimanya terus berlari-lari
menuju rumah Nyo Tiong-eng. Namun kebetulan orang yang
diminta mengirim obat ini adalah seorang gemuk gendut, baru
ia berlari setengah li napasnya sudah senen-kemis dan
tersengal-sengal. Terpaksa ia harus berhenti mengaso, ia pun
tidak tahu betapa pentingnya obat ini, ia hanya ingin
menyerahkannya sendiri pada orang yang dia hormati, maka
tidak ingin menyuruh pemuda lain untuk mengirimnya.
Begitulah, maka sesudah dia berlari, lalu berhenti dan lari
lagi, akhirnya sampai juga di rumah Nyo Tiong-eng, tetapi hari
sudah petang. Waktu itu kedua kaki Nyo Tiong-eng sudah kaku semua,
meski ditusuk dengan pisau buat mengeluarkan darah berbisa
juga tidak merasa sakit lagi.
"Nyo-loyacu, ada orang mengirim barang padamu!"
demikian si gendut itu mengetuk pintu sambil napasnya
memburu. Waktu orang itu masuk, Nyo Tiong-eng mengenalnya
sebagai orang sekota, maka dengan tertawa ia lantas
menyapanya, "He, Gendut, bikin susah kau saja. Siapakah
yang minta kau mengirim barang ke sini?"
Orang itu terperanjat juga demi nampak keadaan Nyo
Tiong-eng. "Seorang tamu she Tong yang minta aku mengirim
kemari!" sahutnya. Mendengar penuturan ini, bukan main girang Hiau-lan.
"Tua bangka itu agaknya masih baik hati juga," ujar Nyo
Liu-jing dengan ragu-ragu. Ia sangsikan obat pemunah yang
dikirim ini obat palsu belaka.
Akan tetapi Nyo Tiong-eng berlainan jalan pikirannya,
segera ia perintahkan centingnya menyediakan kuda buat
mengantar si gendut pulang, sedang ia sendiri lantas
membuka kiriman obat ini, ia baca jelas cara memakainya,
segera ia minum dan bubuhi tempat luka pula, habis itu
dengan sungguh-sungguh baru ia berkata pada Nyo Liu-jing,
"Meski tindak-tanduk Tong-lauji sering kali aneh, tapi dengan
harga dirinya itu mana mungkin ia mengirim obat palsu buat
membikin celaka orang lagi!"
Dan betul juga, sesudah Nyo Tiong-eng minum obat itu,
bengkak kaki dan bekerjanya racun lantas hilang perlahan.
Cuma saja karena waktunya sudah terlalu lama, meski
bengkaknya mulai kempis, namun kedua kakinya masih tetap
kaku dan tak punya daya-rasa.
Selang tiga hari, racun dalam tubuhnya sudah lenyap
bersih, tetapi urat darah kaki Nyo Tiong-eng sudah terlanjur
kaku, untuk berjalan sudah tak bertenaga lagi, ia menjadi
pincang, bahkan harus berpegangan dinding baru bisa
menggeser langkah, tampaknya ia pasti akan cacat
selamanya. Walaupun begitu, jiwa Nyo Tiong-eng bisa
diselamatkan kembali boleh dikata beruntung di antara
bencana. Sedang Nyo Liu-jing diam-diam menyesali Pang Ing,
ia anggap sebab musabab cacat ayahnya akibat anak dara ini.
Malamnya seperti biasa diam-diam Pang Ing datang ke
kamar Hiau-lan. Mereka sudah tiga hari tanpa kenal lelah
merawat luka Nyo Tiong-eng, maka sudah tiga hari pula
mereka tidak berlatih, terutama Lwekang yang Pang Ing
ajarkan pada Hiau-lan. Tetapi terjadinya peristiwa ini agaknya sukar terhindar.
Malam ini Nyo Liu-jing terjaga dari tidurnya, ia ingin
menjenguk ke kamar ayahnya, tetapi baru saja ia sampai di
emper rumah, tiba-tiba ia lihat di kamar Teng Hiau-lan masih
ada sinar pelita, karena itu ia menjadi tertarik, secara berjinjit
ia mendekati kamar pemuda itu dan coba menempelkan
kupingnya buat mendengarkan. Tetapi ia menjadi'ka-get,
ternyata di dalam kamar terdengar suara Hiau-lan dan Pang
Ing sedang bicara dengan suara perlahan.
Keruan rasa gusar Liu-jing tidak kepalang, seketika ia naik
darah, ia tidak menghiraukan lagi ilmu kepandaian Pang Ing
yang lebih tinggi, sekali gepuk, segera ia hantam remuk daun
jendela. "Sundel cilik, tidak punya malu!" segera ia mencaci-maki
sambil menuding Pang Ing.
Dalam keadaan kaget karena suara gedubrakan tadi,
seketika Pang Ing berdiri dengan bingung. "Nanti dulu bibi,
dengarlah penjelasanku!" ia coba menerangkan.
Akan tetapi kini Nyo Liu-jing sudah kehilangan akal
sehatnya, ia sudah khilap, begitu ia mengulur tangan segera
hendak menjambak rambut Pang Ing.
"Hm, apa yang hendak kau katakan" Tengah malam buta,
untuk apa kau berada di sini" Hm, tidak punya malu!" ia
mengumpat lagi dengan suara keras.
Dalam pada itu Pang Ing dapat menghindarkan serangan
Nyo Liu-jing tadi. Di lain pihak Nyo Liu-jing masih belum mau
berhenti, ia menangis sambil mencaci-maki, segera tangannya
hendak menjambak lagi. Sudah tentu lama-kelamaan Pang Ing juga naik darah dan
gusar. "Hm, kau anggap aku orang macam apa?" ia balas
mendamprat. "Aku anggap kau sundel kecil yang mencuri lelaki orang
lain!" sahut Nyo Liu-jing sengit.
Tapi baru saja ia ucapkan, mendadak telapak tangan Pang
Ing sudah mampir ke pipinya, dengan keras ia ditempeleng
sekali oleh anak dara itu.
Karena tamparan keras itu, Nyo Liu-jing roboh terguling
dan menjerit kesakitan, sedang Pang Ing pun lantas
menerobos keluar kamar. Dengan watak Pang Ing yang keras, sebenarnya ia bukan
nona yang sudi dihina orang, tetapi karena kepentingan sang
paman, ia telah bersabar sampai sekian lamanya. Meski
sekarang ia telah menampar encimnya, ia pun tidak perlu
menyesal. Setiba di kamar sendiri, ia berpikir pula, "Tengsioksiok
sudah paham semua rahasia berlatih Lwekang dari
aliran sendiri, selanjutnya asal dia berlatih secara giat kiranya
sudah cukuplah. Ilmu Lwekang itu dapat membantu
melenyapkan bekerjanya racun di badannya atau tidak, hal ini
masih belum bisa diramalkan Tidakkah lebih baik sekarang
juga aku mengunjungi kotaraja, meski harus menghadapi
bahaya aku akan berusaha mendapatkan obatnya untuk
membalas budi pertolongannya pada diriku. Sedang mengenai
encim ini, selanjutnya aku tidak akan gubris padanya."
Begitulah, setelah mengambil ketetapan ini segera ia
bergegas untuk berangkat. Ia menulis sepucuk surat untuk
Teng Hiau-lan agar pamannya ini dalam setahun jangan
meninggalkan rumah keluarga Nyo dan suka menunggu
kembalinya dari kotaraja yang akan membawakan obat
pemunah racun, pula ia minta diteruskan permohonan
maafnya kepada Nyo Tiong-eng.
Habis menulis segera Pang Ing menuju kamar Teng Hiaulan,
di sana pemuda ini dan Nyo Liu-jing sudah tidak ada di
tempat lagi, segera Pang Ing menaruh suratnya di atas meja,
kemudian berangkatlah dia tanpa pamit.
Dalam pada itu ketika Nyo Tiong-eng mendengar ribut di
kamar Hiau-lan, segera ia perintahkan pelayan memanggil
menghadap Hiau-lan dan Liu-jing serta merta memakinya
habis-habisan. "Tia, kau selalu membela orang luar, engkau sama sekali
tidak tahu betapa mesra hubungan mereka!" dengan
menangis Nyo Liu-jing masih berusaha membela diri.
Akan tetapi Nyo Tiong-eng semakin gusar. "Masih berani
kau bilang! Dia hanya seorang nona cilik, mungkinkah dia
berebut lelaki dengan kau" Kau sendiri tidak tahu malu, berani
kau sembarang mencaci-maki orang?" dampratnya dengan
menggebrak ranjang. Selamanya Nyo Liu-jing belum pernah didamprat ayahnya
sedemikian rupa, keruan ia lantas main aleman.
"Nona cilik apalagi" Nona berumur enam-tujuh belas tahun
apa masih terhitung kecil?" sahutnya dengan menangis
meraung. "Ya, ya, semua karena salahku, akulah yang terlalu
memanjakan kau hingga kau makin berani, enyahlah dari
sini!" teriak Nyo Tiong-eng sambil memukul dada sendiri saking gusurnya.
Dalam keadaan runyam begini, tentu Teng Hiau-lan yang
paling sulit. "Sudahlah, Tia, jangan kau marah!" ia coba
menghibur. Di lain pihak dengan muka pucat dan masih menggerunggerung
Nyo Liu-jing berlari keluar. Semakin dipikir gadis ini
semakin gemas, ia memasuki kamar Teng Hiau-lan dan
mengobrak-abrik semua isi kamarnya, tiba-tiba tertampak
olehnya surat tinggalan Pang Ing. "Hm, masih berani diamdiam
mengirim surat kemari!" jengeknya dalam hati.
Segera ia membuka surat itu, tetapi demi membaca
mengenai obat pemunah segala yang disebut dalam surat, ia
menjadi bingung, tanpa pikir lagi ia merobek-robek surat itu.
Dalam pada itu, sesudah Nyo Tiong-eng dihibur Teng Hiaulan,
akhirnya amarahnya mulai reda.
"Ibunya mati terlalu cepat, kalau tidak, pasti dia tak akan
begini jadinya," ujar Nyo Tiong-eng kemudian sambil
menghela napas dan mengucurkan air mata.
Sudah tentu Teng Hiau-lan ikut terharu.
"Hiau-lan," tiba-tiba Nyo Tiong-eng membuka suara pula,
"selama hidupku aku paling mengutamakan janji, sebenarnya
aku sudah berjanji padamu untuk mencari adik perempuan
nona Ing, tetapi kini aku telah cacat dan tak bisa jalan lagi.
Biarlah kau saja yang membikin perjalanan, di samping itu aku
akan minta bantuan orang mencarikan tabib bagimu,
berbareng kau sendiri bisa mencari obat penyembuhnya di
luar. Sekali jalan dua tujuan, bukankah sangat baik. Lagi pula
setelah peristiwa hari ini, saat kau tinggalkan aku, akan
kudidik Jing-ji lebih baik, kelak setelah kau kembali, urusannya
sudah berlalu, tentu segalanya akan tenang kembali."
"Tetapi engkau orang tua
"Kau tidak perlu kuatir," sahut Nyo Tiong-eng memotong,
"kawan-kawan Bu-lim kalau tahu aku menderita luka, tentu
berbondong mereka akan datang menyambangi aku, apa kau
kuatir tiada orang lagi yang menjaga diriku?"
"Ya, kalau begitu bolehlah tunggu dulu sampai kawankawan
Bu-lim datang," ujar Hiau-lan.
Besok paginya ketika Hiau-lan mengetahui Pang Ing sudah
pergi tanpa pamit, hatinya semakin sedih. Dalam keadaan
dongkol, waktu bertemu muka dengan Nyo Liu-jing ia pun
tidak menyapa lagi, sebenarnya Liu-jing ingin bertanya obat
pemunah apa yang dia baca dalam surat Pang Ing, tetapi
demi nampak sikap Hiau-lan yang dingin, ia menjadi urung
bertanya. Pada siang harinya, betul juga para jago silat daerah
Soatang berdatangan demi mendengar nasib Nyo Tiong-eng.
Dengan datangnya jago silat ini, Hiau-lan menjadi lega, ia
tunggu setelah Nyo Liu-jing masuk kamar ayahnya melayani
tamu, diam-diam ia pun berangkat tanpa memberitahu lagi.
Setengah bulan kemudian, Hiau-lan sampai di kota Celam.
Di kota Celam sedang ramai tersiar cerita, katanya ada
seorang nona cilik yang cantik laksana bidadari telah melukai
putra Tb.io Sunbu (gubernur) dan Khautau atau pelatih silat
gubernuran waktu mereka sedang minum di kedai arak,
karena itu, opas-opas sedang mencari dan hendak tangkap
nona itu. Mendengar berita ini Hiau-lan menjadi kaget, katanya
dalam hati, "Ini kalau bukan perbuatan Pang Ing tentulah
Pang Lin." Hiau-lan lantas coba mencari selama beberapa hari dalam
kota Celam, tetapi sedikit kabar pun tidak diperoleh.
Pada suatu hari, tiba-tiba pintu gerbang kota terbuka lebar,
beberapa buah kereta kuda yang terpajang indah dan mewah
sekali, di atasnya ditutup beludru kuning, di depan ada
pengantar dengan memegang bendera warna-warni dan di
belakang diikuti para pengiring, dengan ramai dan membentak
rombongan menuju ke gubernuran.
Nampak kereta bagus ini, Hiau-lan sangat heran, pikirnya,
"Mungkinkah penumpang kereta adalah keluarga kerajaan?"


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena tertarik, segera Hiau-lan ikut berjejal di antara
penonton, tiba-tiba tertampak olehnya pada kereta kuda yang
tengah ada orang menyingkap kerai kereta dan melongok
keluar, orang ini memakai jubah sulaman dan pakai kopiah
bertabur mutiara yang menjuntai ke bawah, jelas dandanan
seorang raja, dengan berseri orang itu melambai-lambaikan
tangan kepada para penonton.
Kembali Hiau-lan terkejut demi nampak orang ini, dia
bukan lain daripada Hi Kak adanya, yang mengangkat diri
sendiri sebagai raja di lautan sekitar pantai Soatang.
Selagi terpesona Hiau-lan menyaksikan, kereta kuda itu
memasuki gubernuran dan para penonton pun lambat-laun
bubar, tiba-tiba pundaknya ditepuk orang sekali, waktu Hiaulan
menoleh seketika ia kegirangan, ternyata orang yang
menepuk pundaknya ini, ialah Kam Hong-ti.
"Di sini bukan tempat untuk bicara, mari ikut aku,"
demikian Kam Hong-ti berkata padanya.
Hiau-lan menurut, ia ikut ke rumah pondokan Kam I long-ti.
"Tadi kau telah menyaksikan bukan?" kata Kam I long-ti
kemudian dengan tertawa sesudah menutup pintu kamarnya,
"H i Kak ternyata masih bermimpi buat menerima penyerahan
Soatang sebagai daerah perintahnya, menurut apa yang
kutahu, saat ini In Ceng sudah mengirim pasukan angkatan
lautnya langsung mengaduk ke sarang Hi Kak di Thian-hingto."
"Dan dimanakah Lu Si-nio?" tanya Hiau-lan.
"Pat-moay masih di Ciat-kang," sahut Kam Hong-ti. "Pekgoko
dan tunangannya beberapa hari yang lalu juga ada di
sini, kini mereka sudah menumpang kapal menuju ke Thianhing-
to." "Sebab apakah?" tanya Hiau-lan tak mengerti.
"Kau tahu, Hi Kak mempunyai kekuatan beberapa puluh
ribu pasukan laut, rangsumnya cukup dan harta timbunannya
banyak, tentu bisa juga kita menggunakannya," kata Hong-ti.
"Oleh sebab itulah aku minta mereka diam-diam kembali ke
sana, Hi Kak tidak berada di tempat, anak perempuannya
boleh menggunakan pengaruhnya memberi perintah
perlawanan kepada pasukan musuh."
"Kalau begitu, beradanya Hi Kak di sini, bukankah sangat
berbahaya?" tanya Hiau-lan.
"Tentu saja, makanya aku minta kau suka membantu," ujar
Hong-ti. "Kau tentu tahu aku kenal dan banyak berhubungan
dengan perkumpulan rahasia di daerah utara dan selatan
sungai, di dalam gubernuran pun banyak terdapat saudara
kita. Justru aku hendak menyelundup ke gubernuran, tetapi
kekurangan pembantu yang berkepandaian tinggi, maka
kedatanganmu ini justru sangat kebetulan, bersediakah kau
ikut aku menghadapi bahaya?"
Selain Lu Si-nio, biasanya Hiau-lan paling kagum pada Kam
Hong-ti, sudah tentu ajakan ini tanpa ragu-ragu diterimanya.
Bercerita tentang Hi Kak, raja laut (atau lebih tepat raja
bajak laut) ini dengan tanpa curiga memenuhi undangan
Soatang Sunbu atau gubernur Soatang, Thio Ting-giok, untuk
urusan timbang terima propinsi Soatang yang dijanjikan In
Ceng yang kini telah menjadi Kaisar Yong Ceng. Ia datang
dengan membawa pembantu utamanya, Ling-hun Tocu Wei
Yang-wi dan Thay-ouw Cecu Bing Bu-kong.
Akan tetapi Soatang Sunbu-Thio Ting-giok ternyata tidak
segera melakukan urusan penting itu, melainkan Hi Kak dan
kawan-kawan dipersilakan mengaso dulu selama tiga hari dan
untuk sementara tidak menyinggung hal timbang terima.
Malam itu juga, di gedung gubernuran terang benderang
dengan api lilin, perjamuan besar-besaran diadakan untuk
menghormati kunjungan Hi Kak, serombongan seniwati
dengan penuh gaya menggiurkan sambil menari dan menyanyi
menghibur tetamunya sambil berulang-ulang menyilakan tamu
agung mengeringkan isi cawannya.
H i Kak ternyata senang sekali oleh sambutan hangat ini.
"Suara nyanyian ini membikin orang kurang enak rasanya,
gantilah lagu lainnya," dengan tertawa ia meminta.
"Silakan Tay-ong menunjuk lagunya," ujar Thio Ting-giok.
"Baiklah, nyanyikan lagu 'Liok-ciu-ko' gubahan Thio le-ouw
saja!" tunjuk Hi Kak.
Maka segera ada penyanyi mulai tarik suara sesuai lagu
yang dipilih itu. Lagu yang disebut ini adalah gubahan Thio le-ouw dari
dinasti Song yang menyesalkan musnahnya tanah air yang
dijajah bangsa Mongol, yakni yang kemudian menjadi dinasti
Goan, dengan cita-cita luhurnya yang belum tercapai dia
melukiskannya dalam sajak lagu ini.
Begitulah maka belum sampai nyanyian itu habis, Hi Kak
sudah tertawa terbahak-bahak. "Wah, benar-benar merdu!"
pujinya. Padahal Hi Kak sama sekali tidak kenal arti sajak lagu itu, ia
hanya pernah mendengar Pek Thay-koan menyanyikan lagu
ini, sekarang ia pun memilih lagu ini juga.
Sebaliknya sebagai bangsa Han yang mengabdi pada
pemerintah Boan-jing, mendengar lagu itu air muka Thio Tinggiok
berubah kurang senang. Sehabis bergelak tertawa puas, Hi Kak Tay-ong lantas
angkat cawan lagi hendak minum, tetapi sebelum cawan
menempel bibir, mendadak sebuah belati melayang tiba dan
dengan tepat mengenai cawan yang dipegangnya hingga
menerbitkan suara gerombyangan yang nyaring, kontan
cawan Hi Kak hancur berantakan.
Keruan tidak kepalang terkejut Hi Kak, dalam pada itu,
sebelum ia bisa bertindak apa-apa, tiba-tiba ia mendengar ada
seruan orang, "Awas dengan pembokongan!"
Menyusul dari samping Thio Ting-giok melompat keluar
Han Tiong-san dan Thian-yap Sanjin, secepat kilat bagai dua
ekor elang menyambar ayam, segera mereka menubruk ke
dalam barisan pasukan pengawal terus menjambret dengan
cepat. "Lekas tutup pintu dan tangkap penjahat!" Thio Ting-giok
membentak memberi perintah.
Menyusul terdengar suara teriakan pasukan pengawal yang
ramai, "Haya, Kanglam-tayhiap Kam Hong-ti yang datang!"
Dalam pada itu, sekejap saja terdengar suara
menyambarnya senjata rahasia, sinar lilin pun seketika padam
semua, hanya ketinggalan lilin besar yang berada di meja
perjamuan yang masih kelap-kelip memancarkan cahaya
karena sempat dipertahankan oleh tenaga pukulan Hi Kak
yang membikin senjata rahasia terguncang pergi.
Di ruangan perjamuan sinar lilin berkelap-kelip, di bawah
undak-undakan bayangan orang kacau-balau, waktu Hi Kak
menegasi, betul juga dalam keadaan remang-remang ia lihat
Kam Hong-ti sedang melabrak Han Tiong-san, di sampingnya
terdapat pula seorang pemuda yang lagi terdesak oleh
rangsekan Thian-yap Sanjin, jika melihat perawakannya,
agaknya Teng Hiau-lan yang dia kenal pernah mengunjungi
Thian-hing-to dahulu. "Kabarnya Kam Hong-ti dan menantumu (Pek Thay-koan)
tidak ingin kau menjadi raja," terdengar Thio Ting-giok
berkata dengan tertawa. Tetapi Hi Kak tidak menyahut, ia malah mengerut kening.
"Marilah kita bantu Han Tiong-san dan Sutenya," ujar Thayouw
Cecu Bing Bu-kong. Namun Hi Kak menggeleng kepala, ia taruh cawan emas
yang telah diganti baru oleh Thio Ting-giok, dengan melirik ia
mengikuti pertarungan gaduh di bawah undak-undakan.
Sementara itu pertarungan berlangsung di tempat gelapgulita,
para pengawal lainnya tidak berani ikut turun tangan.
Hanya Han Tiong-san bersama Thian-yap Sanjin, dengan
menggunakan kepandaian 'Thing-hong-pian-gi' atau
mendengarkan angin membedakan datangnya senjata,
mereka mencecar Kam Hong-ti dan Teng Hiau-lan berdua.
Dengan sepenuh tenaga Kam Hong-ti menyambut
beberapa kali pukulan Han Tiong-san, mendadak ia memberi
isyarat, menyusul bersama Teng Hiau-lan sekonyong-konyong
menyelusup ke dalam gerombolan orang yang berjubel, Thianyap
Sanjin masih coba mengulur tangan hendak menjambret,
tapi mendadak entah dari-mana datangnya, sebuah bangku
panjang telah dilempar ke jurusannya, hampir saja betis
kakinya terseruduk. Di samping sana segera Han Tiong-san pentang tangan
memisahkan gerombolan orang ke pinggir, tetapi tiba-tiba
Teng Hiau-lan menghamburkan segenggam Hui-bong, Han
Tiong-san adalah ahli Am-gi, sudah tentu serangan Hui-bong
ini hanya soal kecil baginya, begitu ia kebut dengan lengan
bajunya, seketika Hui-bong mencelat berhamburan, beberapa
pengawal terjungkal roboh.
Dalam keadaan ribut-ribut itulah Kam Hong-ti bersama
Teng Hiau-lan sempat kabur keluar pintu pojok, ternyata
mereka sudah dinantikan kawan perkumpulan rahasia
Kangouw, lalu disembunyikan dengan baik. Waktu Han Tiongsan
dan Thian-yap Sanjin memburu datang, mereka tidak
mendapatkan bayangan Kam Hong-ti dan Teng Hiau-lan.
Keruan Han Tiong-san menjadi gusar, ia mengerti di dalam
gubernuran ini pasti ada mata-mata musuh, tetapi ia tak bisa
berbuat apa-apa juga. Tak lama kemudian, di ruangan pendopo sinar lilin kembali
terang benderang lagi. "Kurangajar Kam Hong-ti ini, hanya membikin kacau saja,
mari kita minum lagi," demikian Thio Ting-giok lantas
mengajak tamunya minum. Namun Hi Kak sudah tiada napsu lagi, ia pegang cawannya
tetapi diam saja. "Sudahlah, aku rada masuk angin di tengah perjamuan,
arak ini tidak bisa kuminum lagi!" sahutnya kemudian.
"Jika begitu, aku tak memaksa Tay-ong lagi," ujar Thio
Ting-giok. Habis itu ia tuangi cawan sendiri terus diminum kering tiga
kali berturut-tarut, lalu dengan tertawa ia menyambung pula,
"Keparat Kam Hong-ti itu telah menggunakan tipu muslihat
menghasut, syukur Tay-ong tidak menggubris padanya. TayTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ong datang dari jauh, tentu letih juga, baiklah silakan
mengaso." Waktu itu dalam hati Hi Kak sedang ragu-ragu. Ia sudah
ke-Ielap oleh bujukan manis In Ceng hingga lupa daratan,
sampai seruan peringatan Kam Hong-ti tadi belum bisa
meyakinkan dia, ia sangsi apakah orang bermaksud baik atau
jahat. Akan tetapi dia tergolong orang yang sudah
berpengalaman luas di kalangan Kangouw, dengan peristiwa
tadi, dengan sendirinya ia menjadi lebih waspada. Tetapi
ketika menyaksikan Thio Ting-giok minum arak sendirian, ia
menjadi rada kendur pula rasa kuatirnya, ia malah
menganggap diri sendiri yang terlalu berprasangka pada
orang. Kemudian Thio Ting-giok sendiri mengiringi Hi Kak menuju
ke kamar yang sudah disediakan untuk mengaso.
"Semua orang yang datang bersama aku seperti saudara
sendiri, maka tak perlu kau sediakan tempat tersendiri, biar
mereka setempat saja dengan aku," tiba-tiba Hi Kak berkata
pada Thio Ting-giok. Perlu diketahui bahwa Hi Kak juga bukan orang yang
gampang dikibuli, maka bukannya ia tidak memikirkan
keselamatan dirinya yang mungkin bisa di luar dugaan, maka
belasan pengiringnya yang dia bawa seperti Thay-ouw Cecu
Bing Bu-kong dan Ling-hun Tocu Wei Yang-wi dan lain-lain,
semuanya berilmu silat tinggi dan kuat. Kini ia minta mereka
tinggal bersama di satu tempat, maksudnya dengan sendirinya
buat berjaga kalau dipedayai orang.
Hal itu sudah tentu diketahui pula oleh Thio Ting-giok, tiada
alasan lain kecuali menyatakan baik.
Hi Kak dengan belasan orang pengiringnya ditempatkan di
suatu rumah bersusun yang baru dibangun Thio Ting-giok,
disebut 'Hui-chui-lau'. Hui-chui-lau ini berada di belakang
gedung guber-nuran, di tengah taman bunga yang luas,
sekitarnya banyak terdapat bukit buatan, di depannya
terdapat pula kolam yang di tengahnya mengambang sebuah
lampu berbentuk teratai yang terbuat dari gelas, di atas
pohon-pohon di sekitarnya banyak tergantung lampion dari
sutera merah hingga menambah keindahan taman ini di waktu
malam. Loteng bagus itu bersusun tiga, tiap tingkat terdapat tiga
kamar yang bagus dan sebuah ruang tamu yang besar, satu
ruangan untuk tempat tinggal belasan orang boleh dikata
masih terlalu luang. Maka Hi Kak bersama Bing Bu-kong, Wei
Yang-wi serta kawan-kawan memilih tingkat ketiga, yaitu yang
teratas, mereka membuka daun jendela loteng dan
memandang jauh keluar, angin meniup silir di malam sejuk ini,
mereka tengah merundingkan urusan penting.
"Tay-ong, bagaimanakah pendapatmu tentang maksud
kedatangan Kam Hong-ti tadi?" demikian Wei Yang-wi mulai
bertanya. "Pek Thay-koan tidak menginginkan aku menjadi raja
muda, mungkin Kam Hong-ti lantas menggunakan tipu
menghasut untuk memecah-belah," sahut Hi Kak.
Apa yang dikatakan ini hanya ucapan Thio Ting-giok saja.
Karena itu, Bing Bu-kong buka suara sesudah berpikir sejenak,
"Kam Hong-ti tersohor dengan sebutan Kanglam-tay-hiap,
dengan harga dirinya, belum tentu ia sudi memakai tipu busuk
untuk memecah belah orang."
Hi Kak tidak menjawab, ia menengadah ke udara sampai
lama tidak buka suara. "Menurut apa yang aku tahu, kepergian Liau-in memang
didesak oleh Lian Keng-hiau, hingga akhirnya ia terbinasa di
Ihn-san," demikian Wei Yang-wi berkata. "Kalau Lian Kenghiau
berani mendesak Liau-in, tentu secara diam-diam
memperoleh i/in In Ceng. Coba pikir, demikian In Ceng dan
Lian Keng-hiau memperlakukan Liau-in, sekarang mereka
mana rela membagi wilayah dan menyerahkan Soatang begitu
saja kepada Tay-ong?"
"Itu soal lain, kita tidak bisa disamakan dengan Liau-in,"
ujar Hi Kak. '"Mes'.vi Liau-in mempunyai kepandaian tiada
tandingan, tapi apapun ia hanya seorang diri, bertepuk
sebelah tangan mana bisa berbunyi. Sebaliknya kita ada
pengaruh, tidak sedikit pengikut kita berada di lautan dan di
Thay-ouw dan Tong-thing-ouw, kalau In Ceng tidak menepati
janji, apa dia tidak kuatir kita akan mengacau keamanan


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekitar pantai lautnya."
"Ya, meski begitu, kita tidak boleh tidak berjaga," kata Wei
Yang-wi. "Hal ini sudah tentu," sahut Hi Kak dengan tertawa. "Meski
kita hanya belasan orang saja, tetapi tiap orang gagah
perkasa yang sanggup satu melawan seratus. Sekalipun Thio
Ting-giok hendak menggunakan tipu busuk, kita pun tidak
takut padanya." Tengah mereka berunding, tiba-tiba tertampak bayangan
orang bergerak di tengah taman. Selang tak lama, ada orang
melaporkan bahwa Han Tiong-san minta bertemu.
"Aneh, sudah jauh malam, untuk apa ia kemari?" ujar Hi
Kak dengan heran. Tetapi segera pula ia mempersilakan orang
masuk. Dengan tindakan keras Han Tiong-san naik ke atas tangga
loteng, sesudah berhadapan dengan Hi Kak, ia hanya memberi
hormat dengan merangkap kepalan, sikapnya sangat congkak
dan angkuh. Hi Kak rada tercengang oleh perubahan sikap orang yang
lain dari tadi ini. "Lian-tayciangkun tiada tempo buat menemui kalian,"
demikian terdengar Han Tiong-san berkata dengan ketus.
"Menurut Thio-sunbu, bukankah Hongsiang mengirim dia
unL tuk berunding dengan aku tentang urusan timbang terima
Soatang?" tanya Hi Kak.
"Sekarang dia sedang memimpin pasukan di Cing-to, mana
ada tempo bertemu dengan kau?" sahut Han Tiong-san.
Hi Kak kaget oleh jawaban ini. "Apa katamu" Pasukan apa
yang dia pimpin?" tanyanya cepat.
"Angkatan laut di Laut Kuning kinipun berada di bawah
pimpinannya," sahut Han Tiong-san dengan dingin. "Maka
sekarang juga ia minta aku memberi perintah padamu!"
Karena kata-kata terakhir ini, seketika air muka Hi Kak
berubah hebat. Dalam pada itu dengan tertawa dingin Han
Tiong-san meneruskan pula dengan suara keras.
"Oleh karena Lian-tayciangkun tidak tega membunuh
orang-orang yang tak berdosa, maka kau diperintahkan lekas
menulis surat penaklukan dan memerintahkan bawahanmu
menyerahkan diri, mereka akan diberi tempat sebaik-baiknya.
Ini adalah syarat pertama."
Tidak kepalang gusar Hi Kak atas perintah Lian Keng-hiau
itu. "Lalu apalagi?" teriaknya dengan gusar.
"Kabarnya selama hidupmu kau telah banyak merampok
dan mengeduk milik orang, tidak sedikit harta benda mestika
simpanan-mu," Han Tiong-san meneruskan pula. "Maka
semua harta yang tidak halal ini sepatutnya dikembalikan ke
kas negara. Hendaklah kau lukiskan tempat penyimpanan
harta dengan jelas dalam satu peta dan mengirimkannya pada
Lian-tayciangkun, supaya dia tidak perlu membuang tenaga
mencari dan menggeledahnya! Inilah soal kedua. Apabila
kedua perintah ini sudah kau laksanakan, tentu Hongsiang
akan meladeni kau dengan baik, kau akan diterima ke Pakkhia
dan tetap diangkat menjadi raja muda."
"Haha, haha!" saking gusarnya Hi Kak tertawa keras.
"Haha, tidak nyana maharaja Tay-jing (Jing raya) ternyata
manusia rendah yang tak bisa dipercaya! Apakah ini bukan
perhuatan yang biasa dilakukan maling kecil yang rendah dan
kotor yang suka membunuh orang untuk mendapatkan harta?"
"Tutup bacotmu, kau berani menista Hongsiang?" bentak
Han Tiong-san. "Apa kau tidak takut dicincang dan dibeset
kulitmu" Kau mau tunduk pada perintah Lian-tayciangkun atau
tidak?" "Hm," jengek Hi Kak sambil berteriak pula. "Macam apakah
Lian Keng-hiau" Berani dia memberi perintah padaku" Baik,
kita terjang keluar dan bakar dulu gedung gubernur ini!"
Habis itu segera ia melambaikan tangan, serentak Wei
Yang-wi dan Bing Bu-kong menubruk maju. Tetapi oleh Han
Tiong-san serangan mereka segera ditangkis.
"Ha, kalian masih hendak menerjang keluar" Kukira kalian
jangan coba bermimpi," seru Han Tiong-san dengan tertawa
dingin. "Di bawah Hui-chui-lau ini sudah dipendam berpuluh
ribu peti bahan peledak (sebangsa dinamit sekarang), di
antara kalian asal seorang saja berani melangkah keluar
kamar ini, kalian segera akan ikut meledak dan hancur lebur!"
Hi Kak menjadi kaget bercampur gusar, ancaman ini
membikin dia mati kutu. "Baiklah, aku membiarkan kalian berunding dahulu, jika
mau menurut, lekas pasang bendera putih dan keluar," ancam
pula Han Tiong-san. "Jika sebaliknya, maka jiwa kalian aku
tidak tanggung! Hm, jasa apakah yang kau lakukan untuk
Hongsiang" Kau bisa merajai lautan adalah berkat Hongsiang
yang beribu kali bermurah hati padamu, tapi kau masih
merasa belum cukup, masih serakah menginginkan Soatang
segala!" Begitulah ia menyindir orang habis-habisan, lalu dengan
sekali pukul ia bikin terpentang daun jendela terus melayang
keluar. Dalam keadaan muka pucat saking gusarnya, selang agak
lama baru terdengar Hi Kak buka suara dengan menarik napas
panjang. "Walaupun Han Tiong-san sangat kurangajar dan harus
dibunuh, tetapi apa yang dia katakan tadi ada benarnya juga,"
katanya kemudian. "Coba, kita sudah merajai lautan, betapa
bebas dan merdeka, kenapa mau terima bujukan In Ceng, ini
sama halnya 'minta kulit pada harimau', sudah tentu kita
dicaplok dan kejeblos sendiri."
"Ya, urusan sudah terjadi, biarlah, tapi urusan sekarang
lantas bagaimana baiknya?" sahut Wei Yang-wi.
"Selama hidupku, aku kenyang menjelajah Kangouw, belum
pernah aku tunduk pada orang, walaupun aku harus digorok,
tidak nanti aku menulis surat tada takluk pada mereka!" kata
Hi Kak dengan tegas. Sementara itu Wei Yang-wi dan Bing Bu-kong memandang
jauh keluar jendela, tampak sebarisan pemanah yang sudah
siap mementang busur dengan anak panah berapi dan
diarahkan ke Hui-chui-lau, asal ada perintah, segera pula anak
panah berapi itu akan menyambar dan Hui-chui-lau akan
meledak hingga hancur lebur. Dalam keadaan kuatir, gugup
dan gusar pula Wei Yang-wi dan Bing Bu-kong tidak berdaya
sedikitpun, tetapi dari wajah mereka tampak jelas akan
perasaan tersebut. Hal ini dapat pula dilihat oleh Hi Kak, ia menjadi terharu
juga. "Usiaku sudah lanjut, kalau aku mati tak perlu dibuat
sayang," katanya dengan menghela napas. "Tetapi kalian,
kalian harus ikut berkorban, inilah yang membikin aku tidak
tega!" Pada saat lain, tiba-tiba Bing Bu-kong mendapat suatu
pikiran, ia lantas mengusulkan. "Menurut lagu suara Han
Tiong-san tadi, mereka agaknya ingin memperoleh
kemenangan tanpa perang, di samping menginginkan harta
simpanan Tay-ong, tampaknya mereka belum berani bertindak
dengan tangan besi, maka kita harus menggunakan akal
mengulur waktu saja."
"Mengulur waktu" Lalu akan mengulur sampai kapan?" ujar
Hi Kak. "Kapan saja boleh," sahut Bu-kong. "Bisa mengulur sampai
besok, kita nantikan sampai besok, bisa mengulur sebulan,
kita tarik sampai sebulan."
Akhirnya Hi Kak mengangguk-angguk tanda setuju.
Pikirnya, "Untuk menerjang keluar terang tidak mungkin,
mengerek bendera putih pun tidak sudi. Maka selain mengulur
waktu rasanya memang tiada jalan lain lagi."
Kembali mengenai Kam Hong-ti dan Teng Hiau-lan, setelah
mendapat bantuan kawan perkumpulan rahasia yang menjadi
punggawa gubemuran, akhirnya mereka terhindar dari
pencarian Han Tiong-san. Malam itu juga mereka mendapat
tahu bahwa Hi Kak terkurung di atas Hui-chui-lau.
"Sungguh tidak nyana orang macam Hi Kak bisa lupa
daratan oleh bujukan manis hingga akhirnya masuk perangkap
musuh," kata Kam Hong-ti. Lalu ia tanya Thau-bak (pemimpin
kecil) gubernuran itu, "Adakah di antara pemanah itu terdapat
kawan kita?" "Hanya ada satu-dua orang saja, tidak berguna," lapor
Thau-bak itu. "Hwe-ci-jiu (barisan pemanah berapi) itu
dipimpin Han Tiong-san dan Thian-yap Sanjin secara
bergiliran, satu anak panah berapi saja yang menyentuh obat
peledak, segera Hui-chui-lau akan hancur."
Meski Kam Hong-ti gagah perkasa dan banyak tipu akalnya,
dalam keadaan demikian ia pun tak berdaya.
Begitulah dengan akal mengulur waktu, berturut-turut Hi
Kak berhasil mengulur sampai tujuh hari lamanya, ia anggap
sepi saja segala gertak dan ancaman Han Tiong-san.
Mendapat kabar ini, diam-diam Kam Hong-ti rada kagum
terhadap sikap kepala batu Hi Kak.
Akan tetapi akal mengulur waktu inipun bukan tindakan
yang baik, asal Lian Keng-hiau dengan angkatan lautnya
berhasil membobol dan menghancurkan sarang Hi Kak di
Thian-hing-to, pasti segera Han Tiong-san akan melaksanakan
tindakan kejam dengan meledakkan gedung bersusun itu.
Harapan satu-satunya bagi Kam Hong-ti kini hanya
tercurahkan pada Hi Yang dan Pek Thay-koan, bila dua sejoli
ini bisa selamat sampai di pulau itu, tentu mereka sanggup
melawan pasukan pemerintah dengan gigih.
Pada hari itu, di gedung gubernuran kelihatan suasana
riang gembira, setiap tempat disapu bersih dan dilabur putih,
bahkan di tengah taman didirikan pula panggung sandiwara.
Waktu Kam Hong-ti mencari tahu pada Thaubak itu, tahulah
kemudian bahwa beberapa hari lagi adalah hari pesta Thio
Ting-giok yang akan menikahkan putranya.
"Siapakah anak menantunya?" tanya Kam Hong-ti.
"Kabarnya adalah putri Ciatkang Sunbu, Li Wi," Thaubak itu
menerangkan. Kam Hong-ti menjadi kaget oleh keterangan itu, batinnya,
"Li Wi hanya mempunyai seorang anak perempuan, kalau
begitu bakal menantu Thio Ting-giok ini tentu adalah Li Bingcu
adanya. Tetapi Li Bing-cu sudah mencintai Loh Bin-ciam,
Loh-sahko, kenapa mau dinikahkan ke Soatang sini?"
Dalam pada itu demi nampak perubahan air muka Kam
Hong-ti yang aneh, Thaubak itu bertanya, "Apakah ada
sesuatu yang Kam-tayhiap pikirkan?"
"Tidak," sahut Hong-ti. "Apa beritamu itu tidak salah?"
"Kenapa bisa salah?" ujar Thaubak itu. "Kabarnya yang
menjadi comblang malahan Hongsiang sendiri! Li Wi telah
menyuruh orang mengantar putrinya ke sini, paling lambat
besok lusa mungkin akan sampai."
Karena penuturan ini, Kam Hong-ti menunduk berpikir.
"Kabarnya putra Thio Ting-giok pernah dihajar oleh
seorang nona cilik, apa betul pernah terjadi?" demikian Teng
Hiau-lan ikut bertanya. "Ya, betul, itu sudah terjadi belasan hari yang lalu," sahut si
Thaubak. "Bahkan Kauthau gubernuran yang mengiringi dia
juga ikut dihajar." "Sebab apa mereka kena hajar?" tanya Hiau-lan
"Itulah karena gara-gara perbuatan sendiri," tutur si
Thaubak dengan tertawa. "Siauya kami paling suka paras elok,
biasanya bila ada wanita yang sedikit ayu kepergok dia, maka
pasti akan diusahakan masuk ke dalam cengkeramannya.
Konon pada hari itu di kedai arak ia telah bertemu dengan
seorang nona cilik yang cantik sekali, ia coba menggoda
orang, tetapi belum sampai mengucapkan tiga patah kata,
lebih dulu ia sudah dilempar keluar loteng kedai arak itu.
Waktu Kauthau (pelatih silat) gubernuran ikut maju pula, ia
pun dihajar hingga patah tulang kakinya. Secara diam-diam
Siauya pulang merawat lukanya, untung lukanya tidak parah,
kalau tidak, mungkin dia akan dihajar lagi."
"Sebab apa?" tanya Hiau-lan heran oleh kata-kata terakhir
itu. "Ya, biasanya Thio Ting-giok suka anggap dirinya sebagai
kaum cendekia, lagak-lagunya sehari-hari pun sangat alim,
maka terhadap putra sendiri ia mengawasinya dengan keras
sekali," sahut Thaubak itu.
Mendengar penuturan ini, diam-diam Hiau-lan menjadi geli,
ia teringat pada peristiwa di Hang-ciu dahulu, di sana Thio
Ting-giok dibantu In Ceng menculik wanita cantik dan kini
hendak mempedayai Hi Kak pula, dalam hati ia membatin,
"Cendekia macam dia ini, jika Khong-cu dan Beng-cu
mengetahui atau hidup kembali, tentu juga akan menjewer
kupingnya. Hm, ia mengajar putranya sendiri dengan keras,
hal ini tidak lebih hanya sebagai kedok belaka."
Malam itu juga Teng Hiau-lan lantas berunding dengan
Kam Hong-ti, ia ingin pergi mencari tahu dimana adanya nona
cilik yang diceritakan itu.
"Aku perlu keluar dahulu, urusanmu hendaknya ditunda
sementara," demikian Kam Hong-ti mencegah.
Meski Teng Hiau-lan sendiri sangat kuatir atas kedua
saudara kembar Pang Ing dan Pang Lin, tapi terpaksa ia
terima baik juga. Kiranya nona cilik yang melabrak anak Thio Ting-giok itu
bukan lain memang Pang Ing adanya. Semula ia mengira
pemuda hidung belang dari keluarga biasa, maka cara
memukulnya tidak berat. Tetapi sesudah dihajar, kemudian
baru tahu bahwa pemuda itu adalah putra Soatang Sunbu,
gubernur Soatang. Pikirnya, "Jika tahu sejak tadi, seharusnya
aku patahkan kedua kaki anjingnya."
Malam itu juga anak dara ini meninggalkan kota Celam.
Beberapa hari kemudian, di tengah jalan ia mendengar
cerita orang bahwa Hi Kak hendak menemui Thio Ting-giok ke
kota Celam untuk urusan timbang terima daerah Soatang.
Pang Ing tergerak hatinya, ia berpikir, "Kabarnya Hi Kak
tidak sedikit menyimpan harta mestika, mungkin ia memiliki
obat yang bisa menyembuhkan penyakit Teng-sioksiok."
Gadis ini belum lama berkelana di Kangouw, cara
berpikirnya masih kekanak-kanakan, tetapi pemberani pula.
Karena pikiran tadi, segera ia putar balik ke Celam lagi.
Hari ini waktu berada dijalan raya, tiba-tiba ia lihat dari
depan debu mengepul tinggi, sepasukan tentara mengiring
beberapa buah kereta sedang mendatangi.
Jalan raya itu menghadap sungai dan membelakangi bukit,


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka Pang Ing lantas menyingkir ke atas bukit, ia melompat
ke atas sebatang pohon yang lebat dan mengawasi dari jauh.
Tiba-tiba tertampak olehnya pada sebuah kereta besar
yang di tengah tergantung sepasang tenglong, di atas kereta
dipajang dengan bagus, di depan kereta diarak pula sepasang
papan berkepala macan, cuma kurang jelas tulisan apa yang
tertulis di atas papan itu.
Kereta besar itu terbagi menjadi dua bagian, yang di depan
terbuka dan berduduk seorang wanita berbaju hijau dengan
tangan menghunus pedang. Pang Ing kenal wanita ini bukan
lain adalah wanita yang pernah bergebrak dengan dirinya di
rumah Nyo Tiong-eng tempo hari, belakangan ia dengar Nyo
Tiong-eng bilang wanita ini adalah istri tokoh Ling-san-pay
Han Tiong-san, namanya Yap Hing-poh.
Karena itu, Pang Ing menjadi heran, pikirnya, "Eh, kenapa
ia bekerja sebagai pengawal" Lagaknya sungguh hebat
sekali." Pang Ing tak tahu bahwa Yap Hing-poh adalah guru Li
Bing-cu, sekali ini justru dia yang mengantar muridnya
menikah ke kota Celam. Begitulah, maka selang tidak lama, iringan kereta itu sudah
melintasi lereng bukit di depan dan lenyap dari pandangan,
Pang Ing lantas turun dari atas pohon.
Selagi ia hendak memburu ke bawah bukit, tiba-tiba
terdengar olehnya suara tindakan orang, kembali Pang Ing
melompat ke atas pohon buat mengintai, ia lihat seorang Susing
atau orang terpelajar setengah umur sedang menghela
napas panjang-pendek di dalam hutan sana, saban kali
sastrawan ini melongok keluar rimba, habis itu ia menghela
napas pula dengan muka muram-durja.
Begitu nampak sastrawan ini, kembali Pang Ing heran,
pikirnya, "Hari ini kenapa aku selalu berjumpa dengan kenalan
lama, kembali seorang yang pernah bergebrak dengan aku.
Coba kuingat siapakah nama dia ini ... O, ya, dia bernama Loh
Bin-ciam. Menurut Teng-sioksiok, katanya dia adalah seorang
di antara Kanglam-chit-hiap. Eh, ada apakah dia menarik
napas panjang-pendek di sini seorang diri?"
Sebagaimana diketahui, ketika Pang Ing naik ke Bin-san
hendak mencari Lu Si-nio, di sana ia kepergok Loh Bin-ciam
dan Li Gwan yang menyangka dia sebagai Pang Lin, karena itu
mereka saling gebrak dan berakhir dengan Loh Bin-ciam dan
Li Gwan mengalami kekalahan secara menyedihkan.
Belakangan setelah mendengar cerita dari Teng Hiau-lan,
mengertilah Pang Ing bahwa kejadian itu akibat salah sangka.
Maka dalam hati ia merasa tidak enak.
Kini demi nampak Loh Bin-ciam menghela napas panjangpendek,
suatu tanda orang lagi sedih, diam-diam Pang Ing
berpikir, "Kesulitan apakah yang sedang dia alami?"
Dalam pada itu ia dengar Loh Bin-ciam sedang
menggumam seorang diri, "Ai, Bing-cu, Bing-cu! Percuma saja
aku termasuk seorang dari Kanglam-chit-hiap, nyatanya
sedikitpun aku tak berdaya menolong kau."
Mendengar gumaman orang, seketika Pang Ing berniat
melompat turun dan berkata padanya, "Aku akan bantu kau
menolong dia." Akan tetapi mendadak ia merasa ragu-ragu
lagi. "Ai, Loh Bin-ciam! Loh Bin-ciam! Nyalimu sesungguhnya
terlalu kecil, kenapa kau tidak serbu saja pasukan tentara itu
mati-matian?" demikian terdengar Loh Bin-ciam menggumam
pula. "Namun jelas wanita siluman baju hijau itu menjaga di
atas kereta, kalau aku bertindak apa tidak berarti mengantar
jiwa belaka. Ai, antar jiwa pun lebih baik daripada seperti
sekarang ini, ingin berjumpa mukanya sekali saja tidak bisa."
Pang Ing menjadi tercengang oleh gumaman orang itu,
katanya dalam hati, "O, kiranya ia sedang merindukan
kekasihnya, jelas aku tidak bisa membantunya. Tapi, biar aku
berusaha, wanita baju hijau yang dia katakan jangan-jangan si
Yap Hing-poh itu" Apa kekasihnya kini dalam pengawasan Yap
Hing-Poh" Jika demikian, kepandaian Yap Hing-poh sudah
kukenal, aku tidak takut padanya!"
Kiranya Loh Bin-ciam telah mendapat kabar tentang diri Li
Bing-cu yang hendak dinikahkan pada putra Thio Ting-giok,
maka dari barat Ciatkang ia menguntit sampai sini, namun Li
Bing-cu dijaga sepasukan tentara cukup keras, meski sudah
beribu li menguntit ia masih tidak berani turun tangan. Kini
jarak dengan kota Celam sudah dekat, namun ia masih tak
berdaya melainkan kela-bakan saja sendiri, ia hanya menghela
napas panjang dan menyesalkan nasib sendiri.
Sementara itu Pang Ing yang bersembunyi di atas pohon,
dari atas ia bisa memandang ke tempat jauh. Tiba-tiba
dilihatnya ada seorang Hwesio dengan memakai topi
berbentuk tanduk kambing, memakai jubah berwarna hitam
dan tangan menjinjing pedang, secara diam-diam menyergap
ke dalam rimba. Sinar mata Hwesio itu bengis sekali,
tampaknya segera ia akan sampai di belakang Loh Bin-ciam,
tapi yang tersusul ini sedikitpun tidak tahu.
Pang Ing tidak mau berpeluk tangan, ia jemput tangkai
pohon, dengan kedua jarinya ia menyentil, tangkai kayu
laksana anak panah menyambar lewat di atas kepala Loh Binciam.
Agaknya karena ini Loh Bin-ciam menjadi kaget, segera ia
berpaling dan demi nampak ada seorang Hwesio berdiri di
belakangnya, tanpa pikir lagi segera ia mendamprat.
"Keledai gundul yang tak tahu malu, berani melakukan
pem-bokongan!" Semula Hwesio itu tertegun oleh dampratan yang tiba-tiba
ini. Tetapi dengan tersenyum segera ia balas memaki.
"Hm, Loh Bin-ciam, jika Hud-ya (tuan Buddha) mau ambil
jiwamu, gampangnya laksana aku membalik tanganku sendiri,
perlu apa aku membokong segala?"
Akan tetapi Loh Bin-ciam semakin murka, dengan cepat ia
mencabut golok. "Hayo, kenalkan dulu namamu!" serunya.
Hwesio itu tertawa pula. "Haha, katanya Kanglam-chit-hiap
banyak pengalaman dan luas pengetahuannya, masakah nama
Hay-hun Taysu saja kau tidak pernah dengar" Sepanjang jalan
kau menguntit kereta Siocia, tapi tampaknya penakut, seperti
tikus saja kau tak berani menongolkan kepala, apa kau kira
kami tidak mengetahuinya" Karena sedang ada kerja baik,
maka aku tak ingin melanggar pantangan membunuh,
sebaliknya kau tidak kenal gelagat, kau berani menguntit terus
sampai sini, ini adalah salahmu sendiri, meski Hud-ya suka
berlaku belas kasihan, terpaksa harus mencabut nyawamu
juga sekarang." Kiranya Hay-hun Hwesio beberapa kali mengalami
kekalahan, maka ia tidak mendapat penghargaan Yong Ceng
lagi, ia telah dipindahkan ke Ciatkang untuk membantu Li Wi.
Kali ini Li Wi menikahkan putrinya, Hay-hun termasuk salah
seorang pengantarnya. Begitulah maka demi mendengar katakata
orang yang menghina tadi, Loh Bin-ciam menjadi gusar,
begitu goloknya bergerak, dengan tipu 'Ciau-hu-mai-loh' atau
tukang kayu mencari jalan, segera ia menikam ke dada si
Hwesio. Tetapi Hay-hun bisa mengegos dan berputar pergi,
menyusul ia balas membentak, "Awas senjata!" Berbareng itu
secepat kilat pedangnya membabat dari samping.
Nampak serangan musuh yang kuat ini, Loh Bin-ciam tak
berani menangkis senjata orang, cepat ia berkelit dan menarik
kembali goloknya, segera ia menyerang pula pinggang musuh.
Meski ilmu silat Loh Bin-ciam belum bisa memadai Kam
Hong-ti dan kawan-kawan, tapi ilmu permainan 'Pat-kwa-cikim-
to' yang ia pelajari cukup hebat. Maka dengan golok yang
menyambar naik turun, ia menggempur dan membacok,
menahas dan menangkis pula serangan lawan, dengan
demikian ia masih mampu melayani lawannya sampai
beberapa puluh jurus. Tetapi ilmu pedang Hay-hun pernah menjagoi dunia
persilatan selatan, setelah beberapa puluh jurus lewat,
tertampaklah Hay-hun Hwesio menyerang lebih hebat,
tusukan satu disusul dengan tusukan yang lain, ia merangsek
dengan kencang, akhirnya Loh Bin-ciam terdesak dan hanya
mampu menangkis saja dan tidak sanggup balas menyerang.
Akhirnya sampai pada suatu saat yang menentukan,
mendadak terdengar bentakan Hay-hun Hwesio, "Kena!",
dengan gerak tipu 'Kim-tiau-tian-sit' atau garuda emas
pentang sayap, secepat kilat senjatanya menyambar.
Loh Bin-ciam berusaha menangkis sekuat tenaga, tapi
goloknya tergetar terbang, menyusul tampaknya sebelah
lengannya pasti akan terpapas kurung.
Dalam keadaan jiwa terancam elmaut itulah mendadak Loh
Bin-ciam pandangannya terbeliak, sesosok bayangan orang
berkelebat melayang tiba terus disusul dengan suara "traang"
yang keras, bahaya yang mengancam dirinya ternyata sudah
terhindarkan, ia hanya melihat seorang gadis berbaju putih
dengan memakai pedang pendek telah membikin senjata Hayhun
Hwesio tergetar pergi. Waktu Loh Bin-ciam mengamati lagi, seketika ia terkesima
demi mengenali siapa adanya anak dara ini.
"Loh-tayhiap, jangan takut, biar kuhajar keledai gundul ini,
nanti aku minta maaf padamu," terdengar Pang Ing menyapa.
Ketika mendadak Pang Ing melayang turun dari atas
pohon, Hay-hun sendiri pun kaget.
Dahulu waktu di Ko-san, Hay-hun pernah kecundang di
bawah tangan Li Ti, bahkan hampir saja jiwanya melayang,
bila teringat ia sendiri masih merasa ngeri, nyalinya sudah
pecah terhadap pemuda itu. Kini ia menyangka Pang Ing
adalah Pang Lin yang tempo hari bersama Li Ti, keruan ia
merasa keder, dalam gugupnya ia telah diberondong beberapa
kali serangan oleh Pang Ing hingga kalang-kabut.
Sesudah mengetahui Pang Ing hanya datang seorang diri,
baru Hay-hun rada tenang dari kagetnya, namun Kiam-hoat
Pang Ing, Tui-hong-kiam-hoat, terlalu cepat, begitu berada di
atas angin, segera menyerang susul-menyusul tiada putusputusnya.
Kembali Hay-hun terperanjat oleh ilmu pedang orang, ia
pikir mengapa budak cilik ini demikian pesat kemajuan ilmu
pedangnya" Di samping sana setelah Loh Bin-ciam menjemput kembali
goloknya, ia hanya menonton pertandingan pedang kedua
orang, dalam hati ia tidak habis mengerti mengapa mendadak
Pang Ing bisa datang membantunya.
Bagaimanapun Hay-hun terhitung ahli pedang yang sudah
tersohor, setiap tipu serangannya selalu membawa tenaga
dalam yang mengejutkan. Namun kebagusan Thian-san-kiamhoat
Pang Ing pun luar biasa, ia selalu menghindarkan pedang
Hay-hun yang bermaksud melekatnya, ia hanya menukilkan
ujung pedangnya dengan cepat, ia arah Hiat-to musuh,
sesudah beberapa puluh jurus, perlahan-lahan keadaan
berubah, lambat-laun Hay-hun hanya mampu menangkis saja.
Meskipun demikian, Loh Bin-ciam yang menonton di
samping belum lagi mengetahui hal ini.
Ia menyangka meski Kiam-hoat Pang Ing bagus, tapi pasti
tidak seulet musuh, kalau lama tentu akan kalah.
"Budak cilik ini entah orang macam apa" Tetapi dia adalah
penolongku, mana bisa kubiarkan dia rebah di tangan Hwesio
kejam ini?" demikianlah ia berpikir. Maka tanpa ayal pula
segera ia menubruk maju dengan goloknya, ia menabas dari
samping dengan cepat. Sementara itu Hay-hun Hwesio sebenarnya sudah
kepayahan, waktu melihat Loh Bin-ciam menerjang maju, ia
mendapatkan akal, ia tutulkan pedangnya sambil membentak,
"Lihat kepalan!"
Berbareng itu dengan gerak pukulan 'Ku-kong-ih-san' atau
Ku-kong memindahkan gunung, sekonyong-konyong
menghantam pundak Pang Ing.
Tipu serangan ini sebenarnya hanya untuk mengalihkan
daya serangan pedang Pang Ing dan bukan pukulan
sesungguhnya, sedang pedangnya yang berada di tangan lain
dia tutulkan dan ditekan ke bawah, sesaat itu ia paksa Loh
Bin-ciam menghindari pedangnya dan harus menyingkir ke
samping Pang Ing, ia bikin mereka berdua rapat berdekatan,
dengan demikian Pang Ing tak leluasa memainkan ilmu
pedangnya. Pang Ing boleh dikata masih hijau, masih cetek
pengalaman, sudah tentu ia tidak tahu kelicikan Hay-hun, ia
diselomoti Hwesio ini, selagi ia hendak membaliki senjatanya
buat menusuk, secepat kilat Hay-hun telah melompat ke
belakangnya sambil menggertak lagi, "Kena!"
Berbareng pedangnya menusuk sampai di tubuh Pang Ing.
Saking kagetnya Loh Bin-ciam menjerit, tetapi pada saat itu
juga, mendadak ia lihat Pang Ing memutar balik senjatanya
secepat angin, menyusul Hay-hun sendiri yang menjerit ngeri,
pundak Hwesio itu memancurkan darah segar sambil terus
berlari kabur. Pang Ing sendiri sehabis berhasil dengan serangannya
lantas meletakkan senjatanya dan duduk ke tanah, ia
pejamkan mata dan tidak buka suara lagi.
Seperti diketahui Pang Ing memakai baju kaos Kim-si-nuika
yang kebal segala macam senjata, ujung pedang Hay-hun
Hwesio yang mengenai tabuhnya berbalik mental kembali,
karena ita, dalam terkejut dan gugupnya, ia sendiri malah
dilukai oleh Pang Ing. Akan tetapi gerak serangan Hay-hun tadi dikeluarkan
sepenuh tenaga, meski Pang Ing tidak mempan dilukai, tidak
urung ia merasa badannya tergetar juga. Anak dara ini kuatir
terluka dalam, maka segera ia duduk, ia kumpulkan tenaga
dan mengatur pernapasan. Sesudah Loh Bin-ciam berseru kaget tadi, ia menjadi kuatir
pula demi nampak keadaan gadis ini, tapi selang tak lama,
dengan sekali lompat Pang Ing telah berdiri kembali.
"Bagaimana?" tanya Loh Bin-ciam cepat
"Hanya keledai gundul itu, mana mampu melukai aku?"
sahut Pang Ing dengan tertawa.
Keruan tidak kepalang terkejutnya Loh Bin-ciam oleh
jawaban ini, terang ia saksikan gadis ini ditusuk musuh, tapi
sekarang sehat walafiat tanpa kurang sesuatu, ia menyangka
ilmu silat gadis ini sudah terlatih sampai tingkatan yang susah
diukur, dalam herannya ia pun kagum sekali.
"Loh-tayhiap, maaf tempo hari di Bin-san aku telah
membikin Susah kau," kemudian Pang Ing berkata.
"Kau ini bukan segolongan dengan Liau-in?" tanya Loh Binciam
dengan ragu-ragu. "Liau-in siapa" Aku tidak paham!" sahut Pang Ing.


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aneh, kalau begitu yang melukai Li Gwan Suko dengan
pisau itu apa bukan kau?" tanya Loh Bin-ciam pula dengan
heran. Akhirnya Pang Ing mengerti juga tentu orang yang telah
salah sangka lagi, maka ia tertawa terbahak-bahak saking
gelinya. "Haha, kau telah salah lihat, selamanya aku tidak pernah
memakai pisau," ujarnya kemudian. "Yang kau jumpai itu
adalah seorang lain yang rupanya mirip sekali dengan aku. Hal
ini Hiau-lan Sioksiok sudah menceritakan padaku."
Seketika Loh Bin-ciam terpaku, menjadi bingung, ia tak
percaya, mana mungkin di dunia ini terdapat seorang lagi
yang rupanya begini mirip"
Dalam pada itu tiba-tiba dari luar rimba sana terdengar
suara tertawa panjang, menyusul tertampak Kam Hong-ti
mendatangi. "Chit-te, kau datang juga?" Loh Bin-ciam melonjak
kegirangan menyambut kedatangan sang Sute.
"Ya, malahan aku sudah setengah hari menguntit kau, apa
kau tidak merasa?" sahut Kam Hong-ti.
Diam-diam Loh Bin-ciam malu sendiri bahwa orang
menguntit di belakangnya tanpa diketahui.
"Kalau begitu tadi waktu kami bergebrak dengan keledai
gundul itu, kau pun menyaksikannya?" tanyanya kemudian.
"Ya, bahkan apa yang kalian percakapkan pun sudah aku
dengar," sahut Kam Hong-ti. "Nona Ing, kau punya Kiam-hoat
sungguh hebat sekali!"
Dari Teng Hiau-lan tempo hari Kam Hong-ti mendapat tahu
asal-usul Pang Ing, kini setelah mendengar kata-katanya,
segera ia tahu siapa adanya gadis itu, seketika pula ia
memperoleh suatu akal. Di pihak lain, waktu orang tiba-tiba menyebut namanya,
Pang Ing menjadi bingung. "Tuan ini
"Apa kau punya Teng-sioksiok tidak pernah bercerita
padamu?" potong Kam Hong-ti. "Aku adalah Kam
"Ya. ya, aku mengerti," sela Pang Ing dengan girang.
"Engkau adalah Kanglam-tay-hiap Kam Hong-ti!"
"Ah, itu hanya kawan Kangouw saja yang suka
sembarangan menyebut aku dengan demikian," sahut Kam
Hong-ti tertawa. Dalam pada itu tiba-tiba Pang Ing teringat pada sesuatu,
tiba-tiba ia bertanya pula, "Kenapa kau tadi tidak ikut
menghantam keledai gundul itu?"
"Ya, sebab sengaja kubiarkan dia hidup buat mengerjakan
sesuatu tugasku," kata Hong-ti.
"Apa yang dia bisa perbuat untukmu?" tanya Pang Ing tidak
mengerti. "Aku suruh dia mengirimkan kabar," sahut Hong-ti. "Tadi
aku menunggu di luar rimba, setelah dia lari oleh
hantamanmu, di sana aku tambahi dia dengan sekali
tempelengan." "Kau pukul dia dan dia masih akan mengirim kabar
bagimu?" tanya Pang Ing dengan tertawa, ia kurang percaya.
Akan tetapi Kam Hong-ti tidak menjawab, sebaliknya ia
lantas bertanya, "Eh, maukah kau pun melakukan sesuatu
tugas untukku?" "Asal aku bisa lakukan, silakan saja kemukakan," sahut
Pang Ing tanpa pikir. "Bisa, tentu kau bisa melakukan," ujar Hong-ti pasti.
"Tugas. "inipun sangat menarik dan lucu. Mari sini, tempelkan
telingamu!" Pang Ing menjadi tertarik, betul saja ia tempelkan
kupingnya untuk mendengarkan apa yang hendak dibisikkan
Kam Hong-ti, sambil mendengarkan nona itu tertawa
cekikikan. Sementara itu Yap Hing-poh yang mengawal Li Bing-cu ke
Soatang, berada satu kereta dengan gadis itu, waktu Hay-hun
Hwesio pergi mencari Loh Bin-ciam, sama sekali Yap Hing-poh
tak di-beritahu, ia baru tahu sesudah peristiwa itu terjadi,
sudah tentu ia agak kurang senang karena orang berani pergi
tanpa permisi. Petang itu, ketika iring-iringan kereta mereka berhenti pada
suatu kota kecil yang berjarak sekira 50 li dari Celam, di
situlah dengan napas tersengal Hay-hun berlari kembali
sesudah mengalami kekalahan besar, dengan kaki pincang
dan muka muram ia menemui Yap Hing-poh. Perempuan ini
menjadi marah-marah. "Hm, tugas pengawalan ini di bawah pimpinanku, kenapa
kau tidak menurut perintah dan pergi semaunya." ia menegur
dengan gusar. "Hm, sekarang sesudah kau kecundang baru
menemui aku?" Hay-hun terhitung segolongan dengan Yap Hing-poh, maka
atas dampratan itu sedapat mungkin ia bersabar.
"Loh Bin-ciam yang tak kenal mati-hidup itu menguntit di
belakang kereta, apa kau tidak mengetahui?" demkian ia coba
membela diri. "Hm, apa kau kira hanya kau saja yang tahu?" Yap Hingpoh
menjengek. "Kepandaian Loh Bin-ciam biasa saja, apa
yang dia berani perbuat, kenapa harus diurus" Jauh-jauh kita
mengantar orang buat menikah, untung dengan aman hampir
sampai tempatnya, sekarang kau malah merecoki seorang
anak .tolol yang tak berarti, jika karena itu timbul kerusuhan
dan terjadi apa-apa, lalu cara bagaimana kau akan
bertanggung-jawab pada Hongsiang" Kau telah disingkirkan
ke Ciatkang, tapi kau masih tidak mau bekerja dengan baik,
hari depanmu tidak jadi soal, namun apa kau tidak kuatir
ditertawakan orang Kangouw" Ha, melihat macammu ini;
tentunya kau habis dilukai Loh Bin-ciam, maka kau ingin aku
membalaskan dendammu?"
Karena kata-kata orang yang terakhir ini, seketika Hay-hun
menjadi gusar juga. "Hm, orang yang melukai aku juga
hendak mencari padamu, kukira kau sendiri pun belum tentu
bisa menandinginya!" sahutnya menyindir.
"Siapa dia" Katakan!" teriak Yap Hing-poh sengit.
"Kam Hong-ti," sahut Hay-hun Hwesio. "Malam nanti juga
ia akan mengunjungi kau, ia tanya padamu berani tidak satu
lawan satu dengan dia?"
Sudah tentu ocehan Hay-hun ini hanya bikinan belaka,
padahal lebih dulu ia dilukai sekali oleh Pang Ing dan
kemudian baru dihantam oleh Kam Hong-ti. Tetapi ia malu
mengatakan seorang nona cilik yang melukainya, maka ia
timpakan pada diri Kam Hong-ti seluruhnya.
"Hm, Kam Hong-ti bisa apa" Apa kau kira nyonya besarmu
takut padanya?" demikian sahut Yap Hing-poh dengan tertawa
dingin. "Cuma saja tugas kita terlalu penting, Kam Hong-ti
terlalu licin pula, jangan sampai kita dikibuli. Coba lekas kau
perintahkan para pengawal supaya berjaga lebih hati-hati. Biar
kelak kalau aku sudah mengantar Siocia sampai Soatang, dan
kalau Kam Hong-ti belum mampus, aku akan bertarung
seorang lawan seorang dengan dia dan kau boleh menonton
supaya tahu kelihaianku!"
Hay-hun mendongkol oleh kecongkakannya, maka tanpa
berkata lagi segera ia mengundurkan diri.
Malamnya Yap Hing-poh memberi perintah pasukan
pengawalnya supaya waspada, tapi lewat tengah malam
keadaan tetap tenang saja tiada sesuatu kejadian.
"Hm, Kam Hong-ti juga bukan manusia 'Sam-thou-liok-pi'
(tiga kepala enam tangan), seorang diri mana ia berani
mengancam ke sini, agaknya ia cuma menggertak dan
membikin orang tidak tenteram saja," demikian diam-diam
Yap Hing-poh menertawai Hay-hun yang ketakutan itu.
Untuk mengantar putrinya ke Soatang, Ciatkang Sunbu
atau gubernur Ciatkang, Li Wi, telah mengerahkan seribu
prajurit yang paling terlatih, iring-iringan kereta ada tiga puluh
buah banyaknya, pada waktu berkemah, kereta itu melingkari
perkemahan mereka, dengan demikian meski ada kawanan
penjahat yang berjumlah besar, susah juga menyerbu ke
tengah. Sebab itulah Yap Hing-poh merasa pasti aman.
Tidak terduga, selewat tengah malam, tiba-tiba ia
mendapat laporan bahwa kereta rangsum terjilat api dan
terbakar. Keruan Yap Hing-poh kaget dan ragu-ragu pula, ia
sangsi apa bukan perbuatan kawanan pengacau"
Maka lekas ia perintahkan Hay-hun Hwesio memimpin satu
regu prajurit untuk memadamkan api yang berkobar, sedang
pasukan lain tidak boleh bergerak. Tapi kebetulan juga malam
itu angin meniup santar, rangsum kering mudah terbakar,
makin lama api semakin berkobar dengan hebat.
Tentu saja Yap Hing-poh kerupukan dan gusar pula, selagi
ia sendiri hendak memeriksa tempat kebakaran itu, tiba-tiba ia
lihat ada seorang perwira sedang mendatangi dengan berlari
secepat terbang. "Kau tidak di tempat tugasmu, untuk apa kau kian-kemari?"
segera Yap Hing-poh membentak.
Akan tetapi belum selesai ia ucapkan, mendadak perwira itu
tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, perempuan keparat, kau
kira aku siapa?" bentak orang itu berbareng telapak tangannya
lantas menghantam dari depan.
Demi mendengar suara orang, maka tahulah Yap Hing-poh
siapa yang berada di hadapannya ini. "Kam Hong-ti, besar
sekali nyalimu!" bentaknya.
Berbareng itu ia pun berkelit, namun sambaran angin
pukulan orang terasa panas pedas pada mukanya.
Pada waktu berkelit, segera pula ia melolos pedang,
dengan tipu 'Sin-liong-tiau-bwe' atau ular naga membalik ekor,
segera ia balas menusuk dengan cepat.
"Perempuan keparat ini betul-betul tangkas, pantas saja Li
Wi mempercayakan anak perempuannya di bawah
pengawalannya," demikian diam-diam Kam Hong-ti membatin.
Tetapi ia tidak menghentikan serangannya, ia menunduk
untuk maju, segera ia hendak menutuk bahu musuh.
' Lekas Yap Hing-poh berkelit ke samping, berbareng pula
ia balas menusuk, namun luput. Kam Hong-ti sempat mendak
ke bawah, telapak tangan kiri menyusul menyerang lagi, ia
gunakan gerak tipu Kim-na-jiu-hoat hendak merebut pedang
Yap Hing-poh, sedang tangan kanan disurung ke depan,
karena sambaran angin pukulan ini baju dada Yap Hing-poh
terasa seperti ditolak. Yap Hing-poh menjadi gusar, ia mengegos sambil mundur.
"Kam Hong-ti, kurangajar, berani kau permainkan nyonya
besarmu!" bentaknya sengit. Habis itu ia balas menyerang dua
kali. Tetapi mendadak Kam Hong-ti melompat ke atas sebuah
kereta sambil bergelak tertawa, begitu ia sodok dengan
sikutnya, seorang prajurit yang lagi berjaga di atas kereta
dibikin terjungkal ke bawah.
"Haha, perempuan keparat, beranikah kau bertanding
dengan aku di sini?" dengan tertawa Kam Hong-ti menantang.
Karena pertarungan mereka menerbitkan ribut-ribut, semua
prajurit sama terkejut dan beramai keluar.
"Serang dia dengan panah!" bentak Yap Hing-poh memberi
perintah. Pasukan tentara ini memang terbagi menjadi tiga puluh
regu menurut melingkarnya barisan kereta di perkemahan
mereka, barisannya cukup rapat dan kuat, karena itulah
segera anak panah berhamburan terbang kian kemari. Cepat
Kam Hong-ti mencopot baju perwira yang dia rebut, begitu ia
kebutkan bajunya seketika anak panah disapu pergi dan tiada
satu pun yang melukai dia.
Keruan Yap Hing-poh semakin gemas, pikirnya, "Jika dia
sampai kabur, lalu mukaku ini akan ditaruh kemana?"
Karena itu segera ia jinjing pedangnya terus mengudak.
Namun belum dia mendekat, kembali Kam Hong-ti melompat
ke kereta lainnya, pendekar ini seperti sengaja main kucingkucingan
dengan dia. Tentu saja tidak kepalang
mendongkolnya Yap Hing-poh, sambil sebelah tangannya
menghalau anak panah terus mengudak.
Mengenai diri Li Bing-cu, sebenarnya nona ini tidak suka
dinikahkan dengan putra Thio Ting-giok, tapi ia didustai ayahbunda-
nya dengan alasan ayahnya dipindahkan ke Soatang,
karena itu ia dapat dibujuk naik kereta dan disuruh berangkat
lebih dulu. Tetapi sesudah berada dalam kereta, gadis ini lantas tahu
telah tertipu, namun ia dijaga keras oleh Yap Hing-poh,
jangan kata hendak melarikan diri, sekalipun hendak bunuh
diri pun sulit. Namun Li Bing-cu tergolong gadis cerdik, ia pikir biarlah
nanti kalau sudah sampai di gubernuran Soatang baru mencari
jalan buat melarikan diri. Tetapi meski ia berpikir demikian,
tidak urung ia kuatir dan tidak tenteram perasaannya.
Malam itu Li Bing-cu lagi termenung, tiba-tiba ia dengar di
luar ada suara pertarungan, pikirannya tergerak, "Bukankah
kesempatan baik sekali jika aku melarikan diri di waktu
keadaan kacau balau?"
Maka ia lantas singkap kemahnya, ia lihat pasukan prajurit
yang menjaga siap di tempat masing-masing dan tetap
mengitari kereta tanpa kacau. Di sebelah sana terdengar Yap
Hing-poh sedang membentak sambil berlari, agaknya lagi
bergebrak dengan musuh. "Penjagaan keras dan barisan tidak kacau, cara
bagaimanakah aku melarikan diri?" demikian Li Bing-cu
membatin lagi. Ia menghela napas kehilangan akal, waktu ia bercermin, ia
lihat nona dalam cermin gemerlapan dengan hiasan batu
permata dengan wajah cantik molek. Nampak bayangannya
sendiri, tanpa tertahan Li Bing-cu tertawa geli, dengan
dandanannya yang menyolok ini, begitu ia menerobos keluar,
segera pasti akan mendapat perhatian orang dan para prajurit
tentu akan berteriak terkejut.
Waktu itu Yap Hing-poh sedang digoda Kam Hong-ti hingga
kalang-kabut, matanya berapi saking gusar dan gemasnya, ia
memerintahkan prajuritnya menghujani panah lagi.
Mendengar suara ribut di luar, agaknya pasukan penjaga
sudah mulai bergerak bertukar tempat, dalam hati ingin sekali
Li Bing-cu melarikan diri, akan tetapi sesudah berpikir
beberapa kali dia tetap tidak mempunyai keberanian itu.
Pada saat itu juga, dibarengi bertiupnya angin, tiba-tiba
kerai kemahnya tersingkap, dari luar mendadak menerobos
masuk seorang prajurit muda.
Keruan Li Bing-cu kaget, selagi ia hendak bertanya, tibatiba


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

prajurit muda ini menanggalkan seragamnya dan
mencopot topinya. "He, bukankah kau nona Lin adanya?" seru L i Bing-cu
setengah girang. Sebagaimana diketahui, dahulu Pang Lin pernali tinggal di
gubernuran Ciatkang, sering pula ia pesiar ke Se-ouw bersama
Li Bing-cu, maka kini Li Bing-cu menyangka Pang Ing sebagai
Pang Lin. Pang Ing hanya tersenyum saja, kejadian salah sangka
semacam ini sudah dia anggap biasa dan tidak perlu
diherankan. "Cara bagaimana kau datang kemari" Apa Suhuku yang
menyuruh kau ke sini?" demikian Li Bing-cu bertanya lagi.
"Tak perlu kau banyak tanya, lekas kau tukar pakaianku ini,
mumpung di luar sana sedang kacau-balau, lekas kau
melarikan diri," ujar Pang Ing. Berbareng ia terus lemparkan
pakaian seragamnya kepada Li Bing-cu.
Li Bing-cu menjadi heran, katanya dalam hati, "Eh,
darimana dia mendapat tahu niat hatiku?"
Akan tetapi tempo sudah mendesak, ia tak sempat
bertanya lagi, cepat ia tukar pakaian, ia buang semua batu
permata yang menghias dirinya hingga penuh terserak di
lantai. Namun oleh Pang Ing telah diambil dan dipakai, kalau
Li Bing-cu menyamar, ia pun ganti corak dan menyamar juga.
"Apa tujuanmu ini?" tanya Bing-cu demi nampak kelakuan
orang. "Tanya lagi, bukankah aku hendak mewakili kau menikah"
Apa kau tidak rela membuang batu permata dan pakaian
mewah ini?" sahut Pang Ing tertawa.
Kiranya yang diperbuat Pang Ing bukan lain adalah tipu
akal Kam Hong-ti. Tadi ia telah pinjam mulut Hay-hun Hwesio
untuk menyampaikan kabar bahwa malam ini ia akan
mengunjungi perke-mahan tentara itu, dengan demikian
supaya Yap Hing-poh menaruh perhatian penuh menjaga
kedatangannya, dengan demikian pengawasannya pada Li
Bingcu menjadi kendur. Sebaliknya di antara prajurit dan
perwira yang mengawal terdapat anggota perkumpulan
rahasia 'Hay-yang-pang' yang bersekongkol dengan Kam
Hong-ti, maka diam-diam nnereka diselundupkan ke dalam
pasukan, bersama Pang Ing mereka berganti pakaian dan menyamar sebagai
perwira tentara semua. Begitulah, maka sembari menyaksikan Li Bing-cu tukar
pakaian, Pang Ing berkelakar dengan dia dan berbareng
mendesak gadis itu supaya lekas berangkat.
"Aku ada seorang pelayan kepercayaan, namanya Hinghoa,
besok kau boleh suruh dia melayani kau, dan banyak
terima kasih padamu," kata Li Bing-cu sambil memberi
hormat. Habis itu ia membuka kemah terus melangkah pergi.
"Melangkahlah sedikit lebar, nah, begitulah baru mirip
seperti lelaki," demikian dengan tertawa Pang Ing berusaha
membetulkan lenggak-lenggok orang. Ia sudah pernah
menyamar sebagai lelaki, maka seluk-beluk tentang hal ini
jauh lebih paham daripada Li Bing-cu.
Dalam pada itu, Yap Hing-poh masih terus kejar-mengejar
dengan Kam Hong-ti, sambil melompat kian-kemari dari kereta
satu ke kereta lain, dengan mengebutkan bajunya Kam Hongti
sampuk semua anak panah yang menyambar padanya, jika
sempat ia malah balas menyerang orang pula dengan senjata
rahasianya. Selang tak lama, dalam pasukan tentara itu tiba-tiba
terdengar suara suitan entah dibunyikan oleh siapa, menyusul
segera terdengar Kam Hong-ti bergelak tertawa.
"Haha, kalian main kerubut, malas aku melayani terus
kalian," katanya, berbareng ia lantas melompat turun
mendadak, dengan cepat ia berhasil mencengkeram dua
bintara, dengan senjata rampasan dia putar dengan cepat
terus menerjang keluar kepungan.
Yap Hing-poh betul-betul penasaran, ia gemas dan
mengudak dengan kencang, ia tidak rela musuh kabur begitu
saja, sebaliknya para prajurit sudah jeri, tiada lagi yang berani
merintangi Kam Hong-ti, keruan sekejap saja pendekar ini
sudah menerobos keluar dari perkemahan tentara itu. Dalam
keadaan tak berdaya itu, Yap Hing-poh coba menimpukkan
tiga buah senjata 'Tau-kut-ting' (paku penembus miang), ia
arah kaki Kam Hong-ti, akan tetapi semuanya meleset.
"Perempuan busuk, kau telah terjebak oleh tipuku 'Tiauhouli-
san-keh' (memancing harimau meninggalkan gunung),
yang datang ke sini malam ini apa kau kira hanya aku
sendirian?" demikian ia dengar Kam Hong-ti menggertak.
Yap Hing-poh terperanjat oleh peringatan ini, pikirnya
dalam hati, "Ya, memang betul, jangan aku sampai disclomoti
oleh akalnya ini." Dalam keadaan ragu-ragu, Kam Hong-ti menggunakan
kesempatan itu dengan baik, mendadak ia membentak keras,
berbareng kedua orang yang dia tawan tadi sekonyongkonyong
dilemparkan ke arah Yap Hing-poh.
Supaya dirinya tidak tertubruk oleh tubuh orang, lekas Yap
Hing-poh mengegos ke samping, tetapi pada saat itu juga,
mendadak ia rasakan dengkulnya kesakitan.
Dengan menahan sakit, Yap Hing-poh segera mencabut
belati kecil sepanjang lima dim yang menancap di kakinya,
syukur tempat yang terluka bukan tempat yang berbahaya,
suami Yap Hing-poh adalah ahli Am-gi, sudah tentu ia selalu
membawa obat luka senjata rahasia, sehingga tidak usah
kuatir lukanya ini. "Kurangajar, nyonya besar setiap hari menembak burung,
tetapi kini berbalik ditotal burung," demikian dengan gemas ia
bergumam sendiri demi nampak Kam Hong-ti sudah
menghilang. Sementara itu kedua bintara tadi baru saja merangkak
bangun dengan muka babak-belur dan darah mengalir oleh
bantingan Kam Hong-ti tadi, tetapi segera mereka masingmasing
dipersen pula sekali tamparan oleh Yap Hing-poh.
"Tak berguna, tak becus, kalau bukan karena kalian,
nyonya besarmu tidak nanti terkena Am-gi," saking gusarnya
dan penasaran Yap Hing-poh menempeleng dan masih
mendamprat lagi. Kemudian ia bubuhi obat pada lukanya, dengan jalan
terpincang ia kembali ke perkemahannya, kala ita api yang
berkobar di kereta rangsum sudah dapat dipadamkan, pula
tidak nampak ada tanda-tanda musuh lain, maka dengan kaki
pincang Yap Hing-poh kembali ke kemah Li Bing-cu, waktu ia
melongok ke dalam, ia lihat 'Li Bing-cu' rebah miring
menghadap ke sebelah dalam, rupanya gadis ini sedang tidur
nyenyak. "Bocah ini betul-betul cuma tahu senang saja, di luar ributribut,
ia sendiri tidur pulas," pikir Yap Hing-poh.
Lukanya yang terkena pisau Kam Hong-ti meski tidak
berbisa, tetapi karena pisau itu hampir menembus sampai otot
tulang tekuk-an dengkulnya, keruan tidak kepalang rasa
sakitnya. "Jangan-jangan miang dengkul ini remuk, kalau sampai
cacat tentu akan berabe," demikian Yap Hing-poh berpikir.
Maka lekas ia perintahkan orang mencari dua ayam jago, ia
gunakan darah mentah ayam jago itu untuk menyambung dan
merapatkan miang kakinya yang retak oleh timpukan senjata
rahasia tadi. Dia masuk perkemah-annya buat mengobati
lukanya, ia pun tidak membangunkan 'Li Bing-cu' lagi.
Kembali bercerita tentang Teng Hiau-lan. Pemuda ini lagi
me-nyembunyikan diri dalam gubernuran Soatang, sudah dua
hari ia menunggu, tetapi masih tidak kelihatan Kam Hong-ti
kembali, sedang Hi Kak masih tetap terkurung di atas Huichui-
lau dan masih main siasat mengulur waktu. Sudah tentu
Teng Hiau-lan sangat kuatir.
Pada hari ketiga, tiba-tiba ada laporan bahwa Ciatkang
Sunbu datang mengantar putrinya, keruan gubernuran segera
berubah dalam suasana yang riang-gembira, dimana-mana
dipajang dan dipasang lampu-lampu kertas yang beranekawarna.
Pada waktu Thio Ting-giok menyelenggarakan pernikahan
putranya, sama sekali tidak ia duga bakal ada urusan dengan
Hi Kak, kini keluarga Li telah mengantar putrinya, sudah tentu
ia girang tetapi dalam kegirangan juga bercampur rasa kuatir,
maka penjagaan pun dia perkuat.
Pada waktu lohor, kereta pengantin telah tiba di depan
pintu gerbang, segera Thio Ting-giok memerintahkan pintu
gerbang dibuka dan menyuruh putranya menyambut sendiri.
Di ruangan upacara, luar maupun dalam sudah penuh
berjubel penonton, utusan kehormatan yang dikirim Yong
Ceng untuk menghadiri upacara pernikahan inipun sudah
datang, keruan suasana semakin ramai.
Ketika Han Tiong-san mendengar bahwa istrinya telah
datang, ia lantas menyerahkan tugas sebagai pemimpin
barisan pemanah berapi kepada Thian-yap Sanjin, ia sendiri
pun lantas keluar menyambut.
"Semalam aku telah diselomoti Kam Hong-ti, kau harus
balas-kan sakit hatiku ini dengan senjata rahasiamu,"
demikian Yap Hing-poh mengadu begitu berhadapan dengan
suaminya. Keruan Han Tiong-san menjadi heran. "Kam Hong-ti baru
saja mengacau di sini, aku memang lagi mencari dia, tak
tahunya dia pergi mengacau pad'imu juga," kaa Han Tiongsan.
"Dan bagaimana dengan Lu Si-nio, dia muncul tidak?"
"Tidak, hanya Kam Hong-ti sendiri," sahut Yap Hing-poh.
"Jika hanya dia sendiri masih gampang dilayani," ujar Han
Tiong-san. Tengah mereka berbicara, terdengar suara dentuman
meriam yang berbunyi tiga kali sebagai tanda penghormatan,
habis itu putra Thio Ting-giok membuka pintu kereta dan
menyambut keluar pengantin perempuan.
Perawakan Pang Ing memang sama dengan Li Bing-cu, kini
ia mengenakan kudung sutera, maka tiada seorang pun yang
mengenal dia. Tatkala itu dengan bersolek dan berganti rupa lain, Teng
Hiau-lan pun mencampurkan diri di antara orang banyak dan
ikut menonton, tiba-tiba ia jadi tertarik oleh potongan badan
pengantin perempuan ini dari belakang, setelah mengamatamati
sejenak, katanya dalam hati, "Ehm, tentu dia, kenapa
dia begini nakal." Di antara penjaga yang telah diperkuat oleh Thio Ting-giok
itu, kecuali Thian-yap Sanjin, jagoan yang dikirim dari kotaraja
dan Kauthau dari gubernuran Soatang, semuanya telah
dikerahkan, dengan mata tanpa berkedip mereka menyaksikan
sepasang mempelai naik ke ruang upacara dengan perlahanlahan.
Sesudah bercakap dengan sang suami, kemudian Yap Hingpoh
pun masuk ke dalam, ia ingin menerima penghormatan
dari pengantin baru dalam kedudukan sebagai Suhu mempelai
perempuan. Sementara itu sepasang mempelai itu dengan perlahanlahan
sampai di tengah ruang upacara. Yap Hing-poh
mendadak terkejut demi melihat lenggak-lenggok cara
berjalan 'Li Bing-cu' yang jauh berlainan dengan biasanya.
Akan tetapi dalam ruangan yang penuh dengan orang banyak,
ia tak berani bersuara. Dalam pada itu, kembali di luar suara dentuman meriam
berbunyi tiga kali. Menyusul pembawa upacara berseru
mengucapkan tata-cara yang sudah disiapkan lebih dulu.
Di luar dugaan sebelum habis ucapannya, mendadak
pengantin perempuan menarik kudung kepalanya, secepat
kilat pula melolos sebatang pedang pendek.
"Hm, kalian kira aku ini siapa?" dengan tertawa dingin
mempelai perempuan membentak. Penyamar pengantin
perempuan ini terang Pang Ing adanya.
Putra Thio Ting-giok tadinya bergandengan tangan dengan
Pang Ing, tetapi kini berbalik tangannya yang digenggam dan
diremas, saking sakitnya ia berteriak seperti babi hendak
disembelih. Keadaan yang mendadak berubah di luar dugaan ini,
seketika membikin pesta perkawinan ini menjadi kalang-kabut,
tetamu yang hadir menjerit riuh ramai, jago-jago gubernuran
yang berjaga segera ada beberapa orang yang menubruk
maju. "Thio Ting-giok," terdengar Pang Ing berseru, "Jika kau
ingin jiwa anakmu lekas melayang, boleh kau suruh orangmu
maju semua." Berbareng ujung pedang ia tempelkan ke
punggung Thio-kongcu. "Lekas bawa aku ke Hui-chui-lau," perintahnya pula kepada
tawanannya ini. Thio Ting-giok melulu punya putra tunggal ini, ia pandang
anaknya melebihi mestika, maka lekas ia mencegah jagojagonya
yang hendak mengerubut maju, supaya keadaan
tidak menjadi runyam. Melihat Pang Ing menggusur Thio-kongcu meninggalkan
ruang upacara itu dan menuju ke taman di belakang, Teng
Hiau-lan menjadi girang bercampur kuatir. Dalam pada itu
tiba-tiba ia disenggol sekali oleh orang, waktu ia menoleh, ia
lihat bukan lain ialah Kam Hong-ti.
"Lekas kita tunggu dia di luar," demikian ajak Kam Hong-ti.
Sementara itu dengan bersitegang Pang Ing sudah berjalan
melalui gerombolan orang banyak, sebentar saja ia sudah
sampai di taman, dalam gusarnya Han Tiong-san menyiapkan
Am-gi, tapi demi teringat sesuatu, mendadak ia tak berani
turun tangan. Di pihak sana ketika nampak munculnya Pang Ing,
seketika. Thian-yap Sanjin pun terkejut. "Biarkan mereka
masuk ke dalam," segera Thio Ting-giok berkata.
Karena itu Thian-yap Sanjin lantas perintahkan barisan
pemanahnya menj ingkir memberi jalan. "Kenapa senjata
rahasiamu tidak kau gunakan?" diam-diam Yap Hing-poh
menegur suaminya. "Apa kau lupa?" sahut Han Tiong-san. "Bukankah dia
adalah orang kesayangan Hongsiang, pernah Hongsiang
perintahkan kita agar paling sedikit dalam setahun tidak boleh
mengganggu seujung rambutnya."
Dalam pada itu Thian-yap Sanjin pun datang buat
berunding dengan suami-istri ini. "Jika sampai Hi Kak lolos,
urusan ini bisa runyam, bagaimana dengan pendapat kalian?"
ia bertanya. "Ya, jika hanya putra Thio Ting-giok, biar saja dikorbankan
dalam Hui-chui-lau yang akan kita ledakkan, kiranya hal ini


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukanlah sesuatu yang luar biasa. Tetapi, lihat itu, apa kau
tidak nampak budak cilik itu?" sahut Han Tiong-san sambil
menunjuk Pang Ing. Karena itu, Thian-yap menjadi bungkam.
"Budak itu belum tentu budak Lin, biar aku menjajalnya,"
tiba-tiba Yap Hing-poh berkata.
"Apa kau bilang" Dia bukan budak Lin?" Han Tiong-san
menegas dengan mata terbuka lebar.
"Ya, ada seorang gadis lagi yang rupanya mirip dengan dia,
mungkin gadis ini adalah orang yang lain itu." ujar Yap Hingpoh.
"Tetapi lebih baik jangan berspekulasi, jika keliru, bukankah
kita bisa celaka," kata Han Tiong-san.
Setelah dirundingkan lagi, Thian-yap pun tidak setuju
berspekulasi. Sementara itu Pang Ing sudah naik ke atas Hui-chui-lau
dan bertemu dengan Hi Kak. Keruan saja tidak kepalang
terkejut dan heran Hi Kak.
"Kam-tayhiap yang menyuruh aku ke sini untuk
mengundang kau agar lekas pulang ke Huangho (Laut
kuning)," segera Pang Ing menutur apa yang terjadi.
Tentu saja kembali Hi Kak kaget. "Apa betul katamu?"
tanyanya. "Kenapa tidak betul" Tidakkah kau lihat aku menggiring
putra Thio Ting-giok ke sini," sahut Pang Ing.
"Ya, sudahlah, kenalan orang she Hi tersebar di seluruh
jagat, dari atas mulai kaisar dan ke bawah sampai kaum
jembel, semuanya terdapat kenalanku, tetapi baru sekarang
ini aku betul-betul mendapatkan teman yang sejati," demikian
Hi Kak menggumam dengan menghela napas. Kiranya
terhadap kebijaksanaan Kam Hong-ti yang tidak
mempersoalkan lagi persengketaan lama, sebaliknya malah
berusaha menolong dirinya sepenuh tenaga, ia menjadi sangat
berterima kasih. "Hi-tayong, katanya kau menyimpan barang mestika yang
tidak sedikit, betul tidak?" tiba-tiba Pang Ing bertanya lagi.
Tapi pertanyaan ini menimbulkan kecurigaan Hi Kak.
"Kenapa" Untuk apa kau tanya hal ini?" sahutnya
kemudian. Dalam hati ia sangsi jangan-jangan Kam Hong-ti
mengincar harta bendanya yang bertumpuk-tumpuk itu.
Pang Ing sendiri menjadi kikuk juga oleh sahutan orang.
"Begini, aku mempunyai paman yang dipedayai orang, ia
telah minum arak berbisa j aliat, apakah kau mempunyai obat
pemunah racunnya?" demikian nona ini menerangkan dengan
tersenyum rikuh. "Arak beracun apakah itu?" tanya Hi Kak tak mengerti.
"Arak beracun yang racunnya setahun kemudian baru mulai
bekerja," sahut Pang Ing. "Terus terang saja kukatakan, yang
mem-pedayai pamanku itu bukan lain ialah kaisar sendiri."
"Tetapi selamanya aku belum pernah mendengar ada arak
berbisa semacam itu," kata Hi Kak.
"Tapi ketahuilah bahwa orang yang mempedayai itu adalah
kaisar, tentu saja banyak sekali permainannya yang aneh dan
keji," ujar Pang Ing.
Hi Kak coba berpikir barang apa yang sekiranya bisa
berguna. "Aku mempunyai Ling-ci-chau (semacam tumbuhan
mujizat) yang tua sekali, cuma dapat menyembuhkan atau
tidak, aku sendiri tidak tahu," katanya kemudian.
"Ya, bisa atau tidak harus dicoba dulu," ujar Pang Ing.
Kalau dalam keadaan biasa tentu Hi Kak akan menertawai
pikiran anak dara yang kekanak-kanakan ini, Ling-ci-chau
berumur ribuan tahun itu mana bisa sembarangan buat cobacoba
saja. "Nona cilik, kau telah menolong aku, barang tak berarti itu
tidak menjadi ;oal, cuma sekarang Ling-ci-chau itu tidak aku
bawa, kita harus kembali dulu untuk bicara lagi," katanya
kemudian. Pang Ing sendiri karena terlalu kuatir pada racun yang
mengeram dalam tubuh Teng Hiau-lan, maka begitu bertemu
Hi Kak segera ia ajukan pertanyaan tadi, kini demi dipikir lagi
bahwa Hi Kak sendiri dalam keadaan bahaya, tapi ia malah
membikin ribut orang dengan urusannya tadi, bukankah ini
sangat tidak sopan, karena itu ia menjadi geli sendiri.
Lalu bersama Hi Kak dan kawan-kawan segera mereka
keluar dari Hui-chui-lau. Pang Ing sendiri berjalan di belakang,
ujung pedang masih tetap ditempelkan ke punggung putra
Thio Ting-giok. Waktu sampai di tengah taman, ketika lewat di tempat
berbahaya dimana bahan peledak terpendam dan waktu
melalui di depan Yap Hing-poh, sekonyong-konyong Yap Hingpoh
mengayun tangan, beberapa buah senjata rahasia 'Taukut-
ting', sekaligus telah dia hamburkan ke arah Pang Ing,
dengan serangan ini, asal Pang Ing menggeraki pedangnya
buat menangkis, maka segera akan ketahuan siapakah
sebenarnya dia. Tak terduga pada saat itu juga, mendadak dari gerombolan
penonton melompat keluar seorang, begitu orang ini
menggeraki tangannya, semua paku tadi ditangkap olehnya.
Orang ini ternyata Kam Hong-ti adanya.
"Jangan, jangan!" terdengar seruan Thio Ting-giok dan Han
Tiong-san berbareng, mereka mencegah kawannya agar
jangan turun tangan, segera pula Yap Hing-poh ditarik pergi
oleh suaminya. "Hm, kalian masih berani pakai tipu muslihat!" bentak Kam
Hong-ti angkuh. Di lain pihak Teng Hiau-lan sudah melompat keluar dan
menggabungkan diri dengan rombongan Hi Kak, mereka
mengelilingi Hi Kak di tengah.
"Hayo, jika kalian masih kurang terima, mari maju
bertanding lagi di taman ini," Kam Hong-ti menantang pula.
Jika sampai terjadi pertarungan lagi, tentu yang bakal
celaka adalah putranya, keruan Thio Ting-giok menjadi gugup.
"Sudahlah kalian boleh pergi, asal putraku dibebaskan,"
lekas ia berkata. "Hm, kenapa harus kuatir, setiba di pantai laut segera kami
lepaskan dia," sahut Kam Hong-ti dengan tertawa dingin.
Di sebelah sana Yap Hing-poh sedang menaksir, ia pikir jika
sekarang terjadi pertarungan, pihaknya belum tentu bisa
menang, apalagi masih belum diketahui anak dara ini Pang Lin
atau bukan. Karenanya ia menjadi kuncup dan diam-diam
menggeluyur pergi. Sepuluh hari kemudian, rombongan Hi Kak sudah sampai di
pantai laut, seperti sudah dijanjikan, putra Thio Ting-giok yang
mereka tawan buat jaminan segera dibebaskan sesudah
dihajar lebih dulu, Pang Ing menempelengnya dua kali dan
Kam Hong-ti mendampratnya habis-habisan.
Hi Kak melihat bawahannya sudah menunggu, dengan
menumpang sebuah kapal layar besar mereka lantas berlayar
ke lautan Teduh. Kam Hong-ti dan kawan-kawan pun ikut serta bersama
mereka, waktu itu baru diketahui bahwa angkatan laut Lian
Keng-hiau sudah lebih sebulan mengepung dan menggempur
pangkalan Hi Kak di Thian-hing-to. Dalam keadaan terkepung,
untuk kembali melalui jalan depan terang tidak mungkin, tapi
Hi Kak sangat paham lautan sekitar pulaunya, ia arahkan
kapalnya melalui laut di luar Li-sun terus membelok ke
Honghay, dengan demikian sembari menghubungi para bajak
laut di berbagai pulau lain untuk menghimpun kekuatan buat
menghancurkan kepungan Lian Keng-hiau.
Dalam pelayaran itu rasanya yang paling senang adalah
Pang Ing, nona ini sejak kecil tinggal di Thian-san, sudah
tentu ia tidak pernah berkenalan dengan samudera raya, ia
menjadi lebih senang demi mengetahui tidak terhitung
banyaknya makhluk yang hidup di lautan dengan beraneka
ragam. Untuk itu Hi Kak sementara menjadi gurunya, ia
menerangkan semua jenis ikan yang dilihatnya, tentu saja
Pang Ing semakin tertarik dan gembira.
Setelah berlayar dua hari, mereka sampai di muara
bertemunya Puthay (Pohay / dan Honghay (Laut Kuning), pagi
hari itu cuaca cerah, di kejauhan permukaan air laut berkelapkelip
menyorotkan sinar hijau kebiruan yang naik turun
mengikut damparan ombak, sang surya yang tadinya baru
menyingsing dengan sinarnya yang merah tipis, perlahanlahan
memancarkan sinarnya yang berkilauan merah
membara, awan ikut gemilapan dan ombak terang-benderang.
"Aku kira melihat matahari terbit di atas Thian-san adalah
pemandangan alam yang tiada bandingannya di dunia ini,
siapa tahu matahari terbit di lautan ternyata lebih indah lagi,"
ujar Pang Ing dengan tertawa pada Teng Hiau-lan setelah ia
terpesona oleh pemandangan tadi.
"Jika sudah sering melihat, tentu kau tidak akan merasa
heran lagi," ujar Hi Kak tertawa. "Sebaliknya aku malah ingin
menyaksikan matahari terbit di atas Thian-san."
"Tampaknya hari ini tenang-tenang saja tiada ombak,"
Teng Hiau-lan ikut bicara. "Aku sering mendengar cerita
bahwa di atas lautan gelombang ombak sangat berbahaya, tak
tahunya tidak lebih hanya begini saja."
Mendengar kata-kata ini Hi Kak diam saja, ia hanya
mengerut dahi. Kiranya kala itu sebenarnya adalah musim angin badai
berjangkit yang biasa terjadi di Puthay, jika tidak terpaksa,
sesungguhnya Hi Kak tidak berani sembarangan berlayar.
Dalam beberapa hari ini cuaca cerah, justru keadaan ini
dirasakan Hi Kak sebagai tanda akan berjangkit angin badai di
lautan bebas sana. Betul saja dugaannya, pada waktu lohor, terdengar suara
guntur berbunyi beberapa kali di udara, cuaca sekonyongkonyong
berubah, angin seketika menderu, dalam sekejap
saja terdengar suara gelombang laut yang gemuruh dengan
hebat sekali. "Celaka, ada angin badai!" seru Wei Yang-wi terkejut.
Selang tidak lama, angin badai membawa ombak laut
laksana puncak bukit tingginya telah mendampar tiba, hebat
sekali gelombang laut itu, suara gemuruhnya sangat
menakutkan. "Ai, akulah yang telah membikin susah kalian," kata Hi Kak
sambil menghela napas gegetun.
"Ini namanya bahu-membahu dalam satu kapal, tepatlah
sekarang kita berbuat demikian," sahut Kam Hong-ti dengan
tertawa. Habis itu ia membantu Hi Kak memegang kencang kemudi
kapal, sekuat tenaga mereka mempertahankan lajunya kapal.
Karena damparan ombak yang hebat, kapal itu sampai
melenceng ke sini dan miring ke sana, air laut muncrat
membasahi dek kapal, semua orang dalam kapal itu bekerja
serentak, mereka membuang air yang menimbun, layar segera
diturunkan pula, kacau juga suasana waktu itu.
"Ah, celaka, siluman laut raksasa datang!" tiba-tiba Pang
Ing berseru kaget. Waktu Hi Kak berpaling, kiranya yang disangka siluman laut
itu adalah seekor ikan paus yang laksana sebuah bukit kecil
sedang terapung di laut, pada kepalanya menyembur pula
tiang air yang tinggi dan sedang berenang menuju ke jurusan
kapal mereka. "Lekas putar haluan," teriak Hi Kak cepat sambil memutar
kemudi, dalam seribu kerepotannya ini ia masih menghibur
Pang Ing pula, "Ini bukan siluman laut, melainkan ikan paus.
Watak ikan paus cukup halus, tidak biasa memakan manusia."
Padahal meski ikan paus tidak makan orang, tapi kalau
kapalnya sampai ditumbuk, sembilan dari sepuluh bagian pasti
akan hancur tenggelam, jika terjadi demikian, tentu akan lebih
menakutkan daripada menghadapi ikan hiu yang suka makan
manusia. Dalam pada itu mendadak terdengar suara gemuruh yang
keras, gelombang besar mendampar dari atas, kapal mereka
terlempar ke atas terus menumbuk ekor ikan paus tadi, karena
disengkelit oleh ekor paus itu, walaupun semua orang dalam
kapal berilmu silat tinggi, tidak urung terguncang hingga jatuh
roboh semua. Syukur benturan tadi bukan kena pada kepala dan perut
ikan paus, kalau tidak pasti kapal akan tenggelam.
Sungguhpun demikian, badan kapal pun tertumbuk hingga
berlubang, tiang layar pun patah.
"Lekas sumbat lubang yang pecah itu," seru Hi Kak cepat.
Tanpa ayal lagi Kam Hong-ti dan kawan-kawan dengan
menggunakan selimut dan kasur menutup lubang itu dan
ditahan dengan badan mereka, rasanya tak enak sekali air laut
masuk ke hidung, sedang lubang itu meski disumbat, tapi air
laut masih terus merembes masuk.
"Selama hidup merajai lautan, apa mungkin akhirnya aku
harus mati di lautan juga?" ujar Hi Kak menarik napas
panjang. Sementara itu badai datang lagi, meski kapal mereka sudah
menurunkan layar, tetapi masih terus melaju ke depan
secepat anak panah terbawa angin, dalam keadaan demikian
betapapun kekuatan manusia susah juga untuk menahan
kemudinya. "Kapal ini tak bisa ditolong lagi, Kam-tayhiap, sebelum mati
terimalah sekali penghormatanku," kata Hi Kak terus hendak
men-jura pada orang. "Jangan," tiba-tiba Kam Hong-ti berseru. "Selama masih
bisa bernapas, sekali-kali kita jangan putus asa, kita harus
menyelamatkan diri dari elmaut."
Habis itu sembari memimpin kawan lain menyumbat
tempat yang bocor tadi, ia sendiri menggunakan tenaga dalam
untuk menahan imbangan kapal, dengan demikian meski
badan kapal terus oleng, tetapi sudah agak baikan daripada
tadi. Diam-diam Hi Kak jadi malu diri oleh ketangkasan orang, ia
pikir, "Kam Hong-ti walaupun tidak pandai berenang, tapi di
waktu bergulat menentukan mati-hidup ini ternyata jauh lebih
tenang daripada diriku."
Dengan penuh tenaga, setiap orang mengerahkan semua
kemampuan mereka untuk bertahan, dalam kegelapan entah
sudah lewat berapa lama, sampai pada suatu saat mendadak
terdengar suara keras, rupanya badan kapal tiba-tiba
membentur karang. Keruan Kam Hong-ti terkejut, pikirnya, "Celaka sekali ini,
walau sudah berusaha sedapat mungkin dan akhirnya tetap


Tiga Dara Pendekar Seri Thiansan Jiang Hu San Nu Xia Kang Ouw Sam Lie Hiap Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak bisa terhindar dari bencana, lalu apa daya pula?"
Berlainan dengan pikiran Kam Hong-ti, sebaliknya Hi Kak
Beruang Salju 3 Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Bukit Pemakan Manusia 18
^