Bunga Penyebar Maut 1
Jodoh Rajawali 08 Bunga Penyebar Maut Bagian 1
BUNGA PENYEBAR MAUT Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali dalam episode:
Bunga Penyebar Maut 128 hal.
1 MENJELANG tengah hari, Tua Usil yang diken-
al sebagai Manusia Kabut itu, berlari-lari menuju pon-
doknya. Ia membawa dua ekor kelinci hutan sebagai
hasil buruannya. Tetapi kedatangan Tua Usil bukan
untuk serahkan dua ekor kelinci buruannya itu kepa-
da Pendekar Rajawali Putih, melainkan karena sesuatu
hal yang membuatnya menjadi tegang.
Di pembaringan dalam pondoknya, Tua Usil
temui Lembayung Senja yang masih belum sembuh be-
tul dari lukanya akibat serangan lawan. Di sana Lem-
bayung Senja berbaring sesuai dengan perintah Lili, si Pendekar Rajawali Putih
itu. Tua Usil segera menyapa
Lembayung Senja dengan nada tegang,
"Nona mana..."! Nona Li mana"!" belum terja-
wab, ia sudah lari ke dapur dan ke sumur. Ia kembali
lagi temui Lembayung Senja setelah di sana ia tidak
temukan Lili yang dicarinya.
"Nona Li manaaa..."!" sentaknya tampak panik.
"Mungkin masih di lembah. Ada apa, Tua
Usil"!" "Dari tadi pagi masih di lembah?"
"Setahuku dari tadi pagi Nona Li belum pulang.
Pasti masih duduk termenung di sana! Cobalah cari
dia ke sana!" kata Lembayung Senja sambil berusaha bangkit dari rebahannya. Tua
Usil bergegas keluar
sambil masih menenteng kelinci buruannya. Ia lupa
menaruh hasil buruannya yang telah mati itu.
Lembayung Senja keraskan suara, "Hai, ada
apa sebenarnya" Mengapa kau mencari Nona Li, Tua
Usil"! Kalau hanya untuk memasak kelinci itu, aku
pun bisa! Tak perlu dia!"
Dengan sikap tergopoh-gopoh, Tua Usil kembali
temui Lembayung Senja, padahal dia sudah sampai di
luar rumah. Ia masuk ke dalam dan berkata,
"Ada tiga orang menuju kemari!"
"Bermaksud jahat atau tidak?"
"Entahlah. Tapi yang satu orang kukenal. Dia
adalah Gandaloka, utusan dari Pulau Keramat yang
waktu itu anak buahnya bertarung melawan Yoga!"
"Gandaloka"!" Lembayung Senja mulai mene-
gang. "Apakah dua orang lainnya juga bertubuh tinggi besar seperti raksasa?"
"Benar! Dilihat dari langkahnya yang cepat,
agaknya mereka akan menuntut balas atas kematian
kelima anak buahnya tempo hari Mereka pasti menuju
kemari dan mencari Tuan Yoga!"
"Gawat! Cepat susul Nona Li di lembah dan be-
ritahukan hal ini. Kalau mereka tiba di sini sebelum
kalian datang, aku akan menahan mereka dl depan
rumah!" Tua Usil manggut-manggut. Kemudian ia segera
keluar sambil masih menenteng kelinci buruannya. Ia
tak sadar dengan apa yang ditentengnya. Sementara
itu, Lembayung Senja kuatkan diri dan segera am-
bil pedang barunya yang diperoleh dari sesosok mayat
tak dikenal. Tubuhnya memang masih lemas, tapi
Lembayung Senja merasa cukup mampu untuk me-
langkah keluar rumah dan menghadang tamu bertu-
buh tinggi besar menyerupai raksasa.
Lembayung Senja tak merasa heran jika Gan-
daloka datang lagi bersama orang-orangnya, karena
layak ia menuntut balas atas kematian kelima orang-
nya di tangan Pendekar Rajawali Merah, atau si tam-
pan bernama Yoga itu, (Baca episode: "Utusan Pulau Keramat"). Tetapi Lembayung
Senja tidak tahu, apakah kali ini Lili tetap akan membela dan membantu Yoga"
Sebab Lembayung Senja tahu, Lili sedang kecewa dan
marah kepada Yoga akibat Yoga akrab dengan gadis
cantik bernama Kencana Ratih, (Baca episode: "Ge-
rombolan Bidadari Sadis").
Lili memang kecewa dan hatinya terluka meli-
hat Yoga yang dicintai itu berhubungan akrab dengan
Kencana Ratih. Susah payah Lili waktu itu mencari
Yoga, bertarung dengan para bidadari sadis demi
membela Yoga, ternyata Yoga justru menyelamatkan
Kencana Ratih dan menyerang Lili yang ingin membu-
nuh Kencana Ratih. Rasa cemburu di hati Lili mem-
buat ia murung sepanjang hari.
Lili ingin memutuskan untuk pergi jauh me-
ninggalkan Yoga, tetapi Pendekar Rajawali Merah itu
selalu membayang di pelupuk matanya sehingga sulit
bagi Lili untuk meninggalkannya. Padahal Yoga sendiri
selama ini seakan tidak mau tahu perasaan dan rindu
yang ada pada hati Lili. Kini dara cantik yang kecanti-kannya melebihi bidadari
itu berada di ambang kebim-
bangan; untuk tetap menunggu Yoga kembali atau
pergi tinggalkan pendekar tampan pemikat hati wanita
itu" "Nona Li...! Nona Liiiii...!" panggil Tua Usil dari ketinggian sana ia berlari-
lari mendekati Lili ketika
Pendekar Rajawali Putih itu berpaling memandanginya.
Buru-buru air mata yang masih membasah di pelu-
puknya itu dikeringkan, karena Lili tak ingin Tua Usil mengetahui bahwa dirinya
sedang menangis.
Sehela napas panjang ditarik dalam-dalam oleh
Lili sebagai penahan duka di hatinya. Pandangannya
mulai bernada heran melihat Tua Usil berlari-lari den-
gan tergopoh-gopoh. Lili tahu, pasti bukan karena Tua
Usil ingin tunjukkan hasil buruannya, melainkan ada
sesuatu hal yang cukup menegangkan hati lelaki tua
itu. Napas Tua Usil terengah-engah ketika ia sam-
pai di depan Pendekar Rajawali Putih. Mulutnya cen-
gap-cengap, ingin melontarkan kata namun didesak
oleh napas yang memburu. Lili segera menegur dengan
suara datar berkesan dingin, "Ada apa?"
Setelah mengendalikan nafasnya sejenak, Tua
Usil pun menjawab,
"Tiga orang Pulau Keramat sedang menuju ke-
mari, Nona Li!"
"Mau apa mereka?"
"Entahlah, yang jelas mereka tidak bermaksud
belajar berdiri di atas ilalang seperti keinginan saya yang belum pernah
terkabulkan itu. Yang saya tahu,
mereka melangkah cepat, seperti terburu-buru. Satu di
antara ketiganya adalah Gandaloka, yang waktu itu
datang dengan membawa lima anak buahnya dan ber-
tarung dengan Tuan Yo!"
"Katakan kepada mereka, aku sudah tidak ada
urusan dengan Tuan Yo! Jangan usik aku jika mereka
ingin panjang umur!"
"Ba... baik. Saya akan sampaikan," kata Tua
Usil dengan gemetar, karena ia tahu Nona Li sedang
marah, dan ia takut jika Nona Li dalam keadaan tak
mau senyum sedikit pun begitu.
Dalam sikap berdiri yang menerawang, hati Lili
berkata, "Mau apa mereka datang lagi kemari" Tetap ingin memaksa Yoga dibawa ke
Pulau Keramat" Apakah Kembang Mayat yang akan dinobatkan sebagai ra-
tu di pulau itu, tetap memilih Yoga sebagai calon sua-
minya" Haruskah kubiarkan hal itu terjadi" Atau ha-
ruskah ku halangi niat mereka" Ah, sepertinya sia-sia
saja aku menghalangi maksud mereka, toh Yoga sendi-
ri sedang terbuai indah oleh gadis yang bernama Ken-
cana Ratih itu! Biar sajalah apa yang ingin dilakukan
mereka kepada Yoga, aku tak akan ikut campur lagi!"
Sementara Tua Usil dalam perjalanan pulang ke
pondoknya, Gandaloka yang berwajah tampan namun
berbadan tinggi besar itu telah datang bersama dua
anak buahnya. Kali ini dua anak buahnya juga berwa-
jah tampan, namun berkesan dingin. Sorot matanya
bagai membekukan darah orang yang dipandangnya.
"Kalau tak salah ingat, kau yang bernama Lem-
bayung Senja?" sapa Gandaloka tetap dengan sikapnya yang sopan dan menghargai
lawan bicaranya. Lembayung Senja pun menjawab dengan sopan walau tan-
pa senyum, "Benar. Aku Lembayung Senja. Ada perlu apa
kau datang kemari, Gandaloka?"
"Aku ingin bertemu dengan Pendekar Rajawali
Merah." "Dia tidak ada di sini!" jawab Lembayung Senja kalem. Waktu itu, Tua
Usil muncul dan terperanjat kaget memandang Gandaloka dengan dua anak buahnya
itu. Wajah Tua Usil menjadi cemas ketika Gandaloka
menatap ke arahnya, juga kedua anak buahnya itu
menatap ke arah Tua Usil. Kemudian Gandaloka ber-
kata kepada Tua Usil,
"Benarkah Pendekar Rajawali Merah tidak ada
di pondokmu ini, Pak Tua?" sambil Gandaloka sedikit bungkukkan badan sebagai
tanda menghormat kepada
yang diajak bicara.
"Bbe... benar... benar, Tuan! Pendekar Rajawali
Merah tidak ada di sini. Beliau sedang pergi."
"Bagaimana dengan Pendekar Rajawali Putih"
Apakah ada di sini?"
Karena mata Gandaloka tertuju kepada Tua
Usil, maka Tua Usil pun menjawab dengan gugup,
"Tid... tid... tidak ada! Nona Lili tidak ada di
rumah. Dia... dia ada di lembah sana!"
"Boleh kami menemuinya?"
Lembayung Senja yang menjawab, "Dia sedang
berduka hati. Sebaiknya jangan sekarang jika ingin bi-
cara dengannya."
"Kami tidak bermaksud mengganggunya, Lem-
bayung Senja. Kami hanya ingin membicarakan sesua-
tu padanya."
Tutur kata yang lemah lembut dan penuh ke-
sopanan itu membuat hati Lembayung Senja tidak
menaruh kebencian atau kecemasan sedikit pun ter-
hadap Gandaloka. Tapi ada sesuatu yang sedang di-
pertimbangkan dalam benak gadis berambut poni den-
gan kecantikan yang cukup menawan itu. Maka, se-
saat kemudian Lembayung Senja berkata pelan kepada
Gandaloka dan tidak didengar oleh Tua Usil.
"Aku ingin bicara berdua denganmu, Gandalo-
ka!" "O, baik. Di mana kita akan bicara?"
"Hmmm...." Lembayung Senja memandang se-
keliling, kemudian matanya tertuju ke pohon yang ada
dl pojok rumah. "Di sana saja!"
Gandaloka setuju, dan ia menyuruh anak
buahnya tinggal di tempat, sementara dia sendiri men-
gikuti langkah Lembayung Senja ke bawah pohon yang
ada di pojok halaman rumah. Tindakan itu timbulkan
rasa aneh pada diri Tua Usil, karenanya ia memandan-
gi Lembayung Senja dengan dahi berkerut. Tetapi ke-
dua teman Gandaloka itu hanya diam saja, tetap
membisu dan berwajah dingin. Keduanya sama-sama
melipat tangan di depan dada, satu memandang ke
arah Gandaloka, satunya lagi memandang ke arah Tua
Usil, bagai sedang mengawasi.
"Gandaloka, pernahkah aku mengatakan ten-
tang hubungan ku dengan ratu mu yang kau sebut
Gusti Kembang Mayat itu?"
Gandaloka diam sejenak karena mengingat-
ingat, lalu ia menjawab, "Aku lupa! Apakah kau punya hubungan dengan Gusti
Kembang Mayat?"
"Aku adalah bekas muridnya."
"Ooo...," Gandaloka manggut-manggut.
"Bagaimana keadaan beliau?"
"Tujuh hari lagi jika beliau belum menikah ju-
ga, maka kami akan membunuhnya karena kami ang-
gap beliau adalah orang yang datang atau dibawa ke
Pulau Kana dalam kesialan. Kami tidak ingin ikut sial
seperti nasib Gusti Kembang Mayat."
"Bagaimana jika aku ingin bergabung kesana"
Apakah kira-kira beliau bisa menerimaku sebagai mu-
ridnya lagi?"
"Aku perlu bicarakan dulu hal itu! Aku tak be-
rani membawa orang lain kecuali Pendekar Rajawali
Merah. Hanya itu yang diinginkan Gusti Kembang
Mayat. Dan kami dibekali amanat tinggi dari beliau."
"Amanat apa maksudmu?"
"Bawa Pendekar Rajawali Merah, jika menen-
tang, bunuh dia!"
Lembayung Senja menyimpan kecemasan. Di-
am-diam masih merasa kasihan jika Yoga sampai di-
bunuh oleh para utusan Pulau Keramat atau Pulau
Kana itu. Sebab dalam hati Lembayung Senja punya
raga kagum terhadap ketampanan Yoga. Selama ini ia
sengaja mengikuti Lili karena dua alasan; pertama su-
paya bisa mencuri jurus-jurus mautnya Lili, kedua su-
paya bisa tetap berdekatan dengan pendekar pemikat
hati wanita itu. Siapa tahu kelak di lain waktu, dialah yang mendapatkan cinta
kasih dari Pendekar Rajawali
Merah. "Apakah benar Pendekar Rajawali Merah tidak ada?" Gandaloka mengulang
pertanyaannya untuk
mencari kemungkinan berubahnya pikiran Lembayung
Senja. Dan gadis cantik berhidung mancung itu berka-
ta, "Memang tidak ada di sini! Aku berani bersum-
pah dengan jaminan nyawaku sendiri. Sebaiknya, co-
Jodoh Rajawali 08 Bunga Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
balah bicara dengan Lili, tapi hati-hati, dia sedang dalam keadaan menahan
murka!" "Baiklah. Kami akan temui dia."
"Gandaloka...!" panggil Lembayung Senja ketika Gandaloka mau meninggalkan
tempat. "Ingat pesanku, kalau kau sampai pulang kembali ke Pulau Keramat
itu, katakan kepada Gusti mu Kembang Mayat bahwa
aku; Lembayung Senja, masih hidup dan ingin berga-
bung kembali dengan beliau."
"Baik. Nanti akan kami sampaikan pesanmu
itu. Tapi terlebih dulu, maukah kau membantu tugas
kami?" "Aku tidak bisa banyak berbuat, karena aku masih dalam keadaan terluka!
Aku perlu waktu untuk
sembuhkan diri dengan tidak banyak lakukan apa-
apa." "O, begitu" Baik, aku bisa memahami. Sekarang aku akan temui Pendekar
Rajawali Putih."
"Silakan. Ingat, hati-hati... jangan sampai me-
mancing amarahnya!"
Lembayung Senja segera temui Tua Usil dan
berkata, "Antarkan mereka untuk menemui Nona Li!"
"Aku tidak berani! Nona Li melarang orang-
orang itu datang kepadanya!" bisik Tua Usil dengan cemas. masih saja menenteng
dua ekor kelinci buruannya.
"Tunjukkan saja arahnya, kau tak perlu ikut ke
sana!" Tua Usil akhirnya mau menerima perintah itu.
Ia menjadi penunjuk jalan bagi Gandaloka dan dua
orang berwajah dingin itu. Ia tetap menenteng dua
ekor kelinci buruannya karena tak terpikir dalam
otaknya untuk meletakkan hasil buruannya tersebut.
Yang ada dalam otaknya hanya rasa takut menghadapi
tiga orang bertubuh tinggi dan berbadan besar itu. Hal yang membuat Tua Usil
menjadi ketakutan adalah sikap mereka yang seakan siap tempur. Ketiganya me-
nyandang pedang besar di punggung masing-masing,
menandakan mereka siap lakukan pertarungan den-
gan siapa pun. Lembayung Senja sempat termenung beberapa
saat setelah Gandaloka pergi. Hatinya bimbang antara
kembali kepada Kembang Mayat yang dulu sebagai ke-
tua perguruannya, atau tetap memihak Lili dan Yoga
Pada satu sisi, hati Lembayung Senja ingin memiliki
Racun Bunga Asmara. Dan hanya Kembang Mayat
yang mempunyai jurus 'Racun Bunga Asmara'. Tapi
sasaran yang akan dituju adalah Yoga. Lembayung
Senja menjadi bimbang juga; mungkinkah Kembang
Mayat mau berikan jurus 'Racun Bunga Asmara' jika ia
sendiri menganggap jurus itu sebagai jurus andalan
untuk menaklukkan hati Pendekar Rajawali Merah"
"Aku harus mencurinya dengan suatu kelici-
kan! Tapi kelicikan yang bagaimana, aku belum tahu!
Untuk sementara ini, biarlah aku ikut saja ke mana
arah angin membawaku pergi, yang penting tak jauh
dari pendekar tampan itu!" pikir Lembayung Senja
sambil langkahkan kaki pelan-pelan menuju ke arah
lembah, karena ia ingin tahu apa yang dilakukan Gan-
daloka bersama kedua orang andalannya itu terhadap
Pendekar Rajawali Putih.
Tua Usil tak berani tampakkan diri. Ia segera
menghilang setelah Gandaloka melihat di mana Lili be-
rada. Gandaloka dan kedua orangnya itu segera ham-
piri Pendekar Rajawali Putih yang tengah memunggun-
ginya, memandang jauh dalam terawang hatinya yang
gundah. Begitu mendengar suara langkah kaki mende-
kati, Lili segera palingkan wajah ke belakang. Ia tidak terlalu terkejut melihat
tiga orang bertubuh besar itu datang mendekatinya. Ia hanya menggerutu dalam
hati dan ditujukan kepada Tua Usil. Ia tahu, pasti si Tua
Usil itulah yang menjadi pemandu ketiga orang besar
tersebut. Gandaloka memberi hormat sederhana sebagai
sikap sopannya terhadap orang yang akan diajaknya
bicara. Tetapi dua orangnya yang ada di belakang itu
ha nya pandang wajah Lili dengan sorot pandangan
mata yang cukup dingin dan bersikap kurang bersa-
habat. Lili pun pasang sikap tak kalah dingin dengan
kedua orang tersebut. Ia lebih dulu perdengarkan sua-
ra ketusnya kepada Gandaloka,
"Mau apa kau datang kemari?"
"Kami diutus kembali oleh Gusti Ratu Kembang
Mayat untuk menemui Pendekar Rajawali Merah," ja-
wab Gandaloka dengan kalem.
"Aku sudah tidak ada urusan lagi dengan orang
berlengan buntung itu!" jawab Lili dengan kasar dan ketus, sebagai cermin
hatinya yang sedang marah kepada Pendekar Rajawali Merah.
"Setidaknya kau bisa kasih tahu kami, di mana
Pendekar Rajawali Merah berada, Nona Lili?"
"Aku tidak tahu."
"Terlalu aneh jika kau tidak tahu, karena kau
adalah juga Pendekar Rajawali, hanya berbeda warna
dengan Tuan Yoga!"
"Aku memang tidak tahu di mana dia sekarang!
Mungkin sudah kabur bersama gadis bernama Kenca-
na Ratih!"
"Kencana Ratih..."! Orang perguruan manakah
dia?" "Jangan tanya padaku!" sentak Lili. "Aku sendi-
ri tak tahu gadis liar mana dia itu" Yang ku tahu, Yoga sedang kasmaran dengan
Kencana Ratih. Mungkin dia
akan menikah dengan gadis itu!"
Gandaloka terperanjat kaget. "O, itu tidak boleh
terjadi! Kalau begitu kami harus segera mencari gadis
bernama Kencana Ratih itu!"
"Cari saja sana!" ketus Lili sambil melengos.
"Terakhir kali aku jumpa mereka di Gua Bidadari, di lereng Gunung Tambak Petir!
Setelah itu, ke mana mereka berdua, aku tidak tahu!"
"Gunung Tambak Petir..."!" Gandaloka meng-
gumam bagai bicara pada diri sendiri, tetapi matanya
menatap kepada kedua orang bawaannya itu. Yang di-
tatap hanya diam saja, tapi kelihatan manggut-
manggut kecil, nyaris tak kentara.
"Apakah Kembang Mayat masih inginkan Yo-
ga?" tanya Lili ingin tahu.
"Benar! Kami bahkan mendapat amanat tinggi;
membawa pulang Pendekar Rajawali Merah, atau
membunuhnya jika beliau menolak!"
Terkesiap mata Lili mendengar kata-kata terak-
hir itu. Ia ingin berontak dalam hatinya, tapi ia tak
mau tunjukkan sikapnya itu. Ia justru bersikap te-
nang-tenang saja dengan wajah tetap murung. Bahkan
ia lebih kelihatan acuh tak acuh dengan ucapan Gan-
daloka tadi. "Baiklah, kami akan berangkat mencari mereka
berdua di Gunung Tambak Petir," kata Gandaloka kemudian.
"Percuma," kata Lili sengaja memancing panas hati Gandaloka dan kedua temannya
itu. "Kalian tidak akan berhasil membawa Yoga ke Pulau Keramat itu,
karena Kencana Ratih pasti akan mempertahankan
Yoga. Dia berilmu tinggi dan sangat sakti!"
"Kami akan bunuh dia demi tugas dari Gusti
Ratu kami! Saya sudah dibekali dua pendekar Pulau
Kana ini; Ayodya dan Loga."
"Hrnm...!" Lili hanya mendengus sambil buang muka lagi, lalu berkata makin
memancing nafsu Gandaloka, "Aku ingin lihat seberapa kehebatan pendekar dari
Pulau Keramat itu. Mampukah mereka berdua
membunuh Kencana Ratih?"
"Kita buktikan saja nanti!" jawab Gandaloka
dengan tegas. * * * 2 KEPERGIAN Gandaloka membuat Lili menjadi
kian merenung. Kini yang ada dalam benaknya adalah
tugas yang diemban oleh Gandaloka. Membawa Yoga
atau membunuh pendekar tampan itu" Dan haruskah
Lili diam saja jika ada orang yang ingin membunuh
Pendekar Rajawali Merah itu"
Hati Lili semakin perih dan sakit manakala ia
bayangkan Yoga mati terbunuh oleh Gandaloka. Jelas
jika hal itu terjadi maka ia tidak akan bisa bertemu
dengan Yoga untuk selamanya. Perpisahan dengan Yo-
ga seumur hidup agaknya adalah sesuatu hal yang be-
lum mampu diterima oleh hati Lili. Karena itu, nalu-
rinya segera berontak dan ingin menggagalkan maksud
dan tujuan dari tiga utusan Pulau Keramat itu. Pende-
kar Rajawali Putih segera melesat pergi menyusul
langkah Gandaloka.
Sebenarnya dalam waktu singkat Gandaloka
bisa tersusul olehnya tapi tanpa disangka tiba-tiba sa-
ja dua orang berperawakan angker menghadang lang-
kah Lili dan bikin ulah yang menyebalkan. Dua lelaki
brewok yang mempunyai wajah ganas turun dari atas
pohon dan berdiri tepat di depan Lili dalam jarak tiga langkah.
Jleeg..! "Ha, ha, ha, ha..,!" keduanya sama-sama terta-wa dengan lagak yang benar-benar
membuat Pendekar
Rajawali Putih hampir saja lepaskan pukulan maut-
nya. Untung ia masih sempat bertahan diri dan bersi-
kap tenang menghadapi dua orang tak dikenalnya itu.
"Mau ke mana kau, Nona Manis" Mengapa ja-
lan sendirian, hmm...?" si brewok kurus mulai membuka rayuan yang memuakkan.
Matanya tampak nak-
al. sementara temannya yang agak gemuk itu meman-
dangi Lili sambil mengelilinginya. Orang itu berkata
kepada si kurus,
"Carok Alas, rasa-rasanya kita ketiban rezeki
nomplok hari ini! Yang kita cari selembar daun kering, tapi yang kita dapatkan
ternyata emas permata! Ha,
ha, ha, ha...! Rasa-rasanya nona ini tidak keberatan ji-ka kita ajak ke semak-
semak rindang di seberang sa-
na, Carok Alas!"
Yang kurus berkata, "Mengapa harus ke semak-
semak sana" Di sini pun jadilah. Toh tidak ada orang
yang berkeliaran di tempat sesepi ini, Balung Kuwuk!"
"Tapi hati-hatilah, agaknya si cantik menggiur-
kan ini tidak hanya sekadar keindahan tanpa isi! Kuli-
hat gagang pedangnya melambangkan bobot ilmu yang
dimiliki, Carok Alas!"
"Oho, ho, ho, ho...! Aku sudah punya penang-
kalnya, Balung Kuwuk. Jurus 'Setan Gentayangan' ti-
dak akan ada yang bisa menandingi. Dan si cantik ini
pasti akan tunduk dengan perintahku! Tak akan se-
gan-segan membelai kita secara bergantian! He, he, he,
he...!" Sambil tertawa memuakkan, orang yang bernama Carok Alas itu maju
mendekati Lili, tangannya
segera mencolek dagu Lili. Tetapi dengan cepat jari
tangan Lili mematuk pergelangan tangan itu. Deeb...!
"Auh...!" Carok Alas segera tarik tangannya
dengan cepat sambil memekik. Matanya terbelalak ka-
get memandang Lili dan Balung Kuwuk secara bergan-
tian. Ia ditertawakan oleh Balung Kuwuk, sudah tentu
hatinya menjadi panas.
"Tutup bacotmu, Balung Kuwuk!" sentaknya
dengan kasar sambil masih pegangi tangannya. "Patukan tangannya seperti patukan
seekor burung rajawali
yang ganas! Sekujur tubuhku seperti disengat ribuan
lebah liar!"
"Sudah kubilang, hati-hati! Dia tidak ubahnya
seperti macan betina, Carok Alas! Kalau kau tak hati-
hati, bisa habis kau dimakannya!"
"Persetan! Mungkin itu hanya kebetulan saja!"
"Minggirlah. Biar aku yang menjinakkan macan
betina ini!" kata Balung Kuwuk yang bersenjatakan tulang besar seukuran lengan
orang dewasa. "Nona manis, kalau kau ingin tubuhmu tetap
mulus, wajahmu tetap cantik menggiurkan, nyawamu
tetap utuh di tempatnya, jangan sekali-sekali bersikap kasar kepada kami! Brewok
Kembar Iblis bukan orang
yang mudah dibuat main-main. Brewok Kembar Iblis
jarang kasih kebijaksanaan kepada lawannya. Terlebih
seorang wanita, jika tak mau tunduk, kami tak segan-
segan merajang habis tubuhnya dan melumat lembut
kepalanya. Karena itu...."
Wuuut...! Taang...!
Tiba-tiba sekali mata Balung Kuwuk menjadi
mendelik. Lehernya bagai dihantam memakai kayu
yang amat besar. Padahal saat itu Lili hanya mengele-
batkan tangannya dan dua jarinya mematuk leher Ba-
lung Kuwuk bagian samping. Tetapi patukan Jari itu
membuat wajah Balung Kuwuk berubah menjadi me-
rah bagai habis terbakar.
"Bangsat...! Dia menyerangku!" katanya dengan suara sangat serak, seakan tak
mampu lagi tenggoro-kannya dipakai untuk bicara. Ia menelan ludah bebe-
rapa kali dengan mata mendelik.
Carok Alas yang tangannya kini membengkak
biru itu serukan suara geram sambil bergerak ke
samping, "Anak setan! Rupanya kau tak bisa dikasih ha-
ti!" Wulzzt...! Carok Alas bagaikan melemparkan
sesuatu dengan tangan kirinya yang dikebatkan. Ben-
da yang dilemparkan itu tidak terlihat, namun tiba-tiba bagian bawah leher Lili
terasa seperti dihantam dengan ujung bambu kecil. Hantaman itu cukup keras,
sempat membuat Lili tersentak mundur satu tindak. Namun
setelah itu, Lili tidak bisa gerakkan tangannya sedikit pun. Bahkan kedua
kakinya bagaikan tidak bertulang
lagi. Ia jatuh terkulai lemas seperti tidak mempunyai urat lagi. Beruntung ia
ada di dekat gugusan tanah
berbatu, se hingga ia bisa jatuh dengan punggung ber-
sandar Mulutnya pun tidak bisa digunakan untuk bi-
cara. Mungkin itulah yang dimaksud jurus 'Setan Gen-
tayangan' dari Carok Alas. Dan keadaan Lili yang ter-
kulai tak berdaya itu membuat hati kedua orang bre-
Jodoh Rajawali 08 Bunga Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wok sangar itu menjadi kegirangan.
Tetapi ketika kedua orang itu berusaha mener-
kam Lili secara berebutan, tiba-tiba seberkas sinar
jingga menerpa tubuh mereka dengan sangat cepat
dan kuat. Blaaar...!
Carok Alas dan Balung Kuwuk terpental secara
bersamaan. Tubuh mereka melayang tiga tombak
jauhnya dari tempat Lili terkulai. Mereka sama-sama
meraung karena tubuh mereka dalam keadaan terba-
kar api yang cukup besar. Tubuh yang terbungkus api
itu berusaha memadamkan diri dengan berguling-
guling. Namun semakin mereka bergerak banyak, se-
makin berkobar nyala api yang membakar diri mereka.
Lili melihat jelas kejadian itu. Lili sadar apa
yang terjadi di depan matanya. Tapi ia tidak bisa me-
nengok ke kiri atau ke kanan, bahkan untuk ucapkan
sepatah kata pun ia tak mampu. Akhirnya ia hanya bi-
sa menjadi penonton yang baik dan diliputi penuh pe-
rasaan kagum melihat jurus pembakar tubuh yang be-
gitu hebat itu. Sampai akhirnya kedua orang bertam-
pang angker itu diam tak berkutik dalam keadaan
hangus, nyala api itu masih saja membakar mayat me-
reka. Tak sedikit pun susut dari kobarannya.
Kejap berikutnya Pendekar Rajawali Putih yang
mengenakan pakaian merah jambu itu melihat kilatan
sinar putih terang berkilauan yang menghantam tubuh
hangus tersebut. Zraab...! Sinar putih berkilauan itu
bagaikan menyergap kedua mayat hangus, dan nyala
apinya tiba-tiba padam seketika. Bluub ...! Kini kedua mayat hangus itu tinggal
mengepulkan asap yang kian
lama kian menipis habis.
"Siapa orang sakti yang mempunyai ilmu se-
dahsyat itu?" pikir Lili dalam keadaan tetap terkulai lemas tak bertenaga itu.
"Jurusnya tadi begitu hebat dan sukar ditangkis oleh lawan. Jurus ganas itu
pasti dimiliki oleh tokoh tua yang sakti dan jarang menam-
pakkan diri di rimba persilatan. Hmm..., mengapa
orang itu tidak segera tampakkan diri di depanku?"
Baru saja batin Lili bertanya begitu, tiba-tiba
muncul sesosok tubuh berpakaian kuning dari arah
belakangnya. Orang berpakaian kuning itu berjalan
tenang mendekati dua mayat hangus tersebut. Ia me-
meriksa mayat itu sebentar, kemudian balikkan badan
dan menatap Lili dari kejauhan.
Hati Lili sangat terkejut namun wajahnya tak
bisa pancarkan rasa kagetnya itu, karena ia bagaikan
tidak berurat sama sekali. Hal yang membuat Lili ter-
kejut ternyata orang berbaju kuning itu adalah seorang pemuda berusia sebaya
dengan Lili. Rambutnya ikal
bergelombang diikat kain merah, berwarna hitam
mengkilap halus. Wajahnya tampan tanpa kumis, tapi
memancarkan ketegasan, keberanian, dan kejanta-
nannya. Matanya bening dan teduh. Bibirnya merah
segar dan seakan selalu menyunggingkan senyum.
Dan hati Lili berdebar-debar kala pemuda itu sengaja
lebarkan senyumannya sambil mendekati Lili.
"Sebenarnya akulah yang mereka cari!" kata
pemuda itu kepada Lili sambil jongkok di depannya.
"Me reka mengejarku sejak beberapa hari ini! Aku tidak mau melawan mereka,
karena mereka adalah pa-
man-paman ku. Tetapi kali ini mereka sudah kelewat
batas, jadi aku terpaksa membunuh mereka daripada
harus saksikan mereka memperkosa mu, Nona. Bre-
wok Kembar Iblis adalah anggota keluarga kami yang
sudah lama dikucilkan, dan karena tindakan sesatnya
itu, keluarga kami menjadi cemar! Mereka membunuh
kakekku, yaitu ayah tiri mereka sendiri. Ibuku dan
mereka berdua satu ibu kandung tapi lain ayah. Ibuku
pernah wanti-wanti agar aku jangan bikin persoalan
dengan kedua paman ku itu. Tetapi mereka sendiri
yang bikin persoalan denganku, dan aku berulang kali
menghindar dari mereka namun akhirnya tak bisa ju-
ga. Mereka menghendaki pedang pusaka warisan gu-
ruku yang ada di punggungku ini dan ingin merebut-
nya karena mereka tahu kesaktian pedang perunggu
ini. Dan tugasku adalah menyelamatkan serta mem-
pertahankan pedang perunggu ini dari jamahan tan-
gan-tangan sesat."
Pemuda itu bicara sendiri panjang lebar tanpa
peduli yang diajak bicara bisa menyahut atau tidak,
tanpa peduli yang diajak bicara mau mendengarkan
atau tidak. Setelah bicara begitu, pemuda tampan itu
berkata lagi, "Kau terkena jurus 'Setan Gentayangan', Nona.
Jurus itu adalah jurus andalan Paman Carok Alas. Tak
ada perempuan yang bisa menghindari jurus 'Setan
Gentayangan', sehingga Paman Carok Alas itu dikenal
sebagai Pawang Perawan. Artinya, tukang memperkosa
perempuan dengan amat lihainya membuat perem-
puan itu tidak berkutik."
Dalam hati Lili menggerutu, "Setan orang ini!
Kerjanya bicara saja tapi tidak ambil tindakan untuk
menyelamatkan aku dari pengaruh jurus 'Setan Gen-
tayangan' ini"! Apakah memang dia tidak mampu me-
mulihkan keadaanku menjadi seperti sediakala" Cela-
ka! Jangan-jangan dialah yang akan memanfaatkan
keadaanku seperti ini"! Jangan-jangan dia yang mau
memperkosaku"!"
Pemuda sopan itu seolah mendengar ucapan
batin Lili, karena tepat saat Lili selesai berkata batin, pemuda itu sunggingkan
senyumnya lagi. Hati Lili
menjadi semakin tak enak, karena menduga pemuda
itu tahu apa yang dikatakan dalam hatinya tadi. Pa-
dahal apa yang dilakukan pemuda itu hanya bersifat
kebetulan saja. Kebetulan juga pemuda itu segera me-
raih sebatang ranting kering, lalu ia memegang tangan
kiri Lili dengan sebelumnya berkata,
"Maaf, aku bukan bermaksud tidak sopan pa-
damu. tapi karena aku harus sembuhkan dirimu dari
pengaruh jurus 'Setan Gentayangan' ini!"
Tangan Lili dipegangnya, telapak tangan itu di-
buka pelan-pelan, seakan dilakukan dengan penuh ha-
ti-hati. Bahkan telapak tangan itu sempat dirabanya
sebentar dengan gerakan lembut. Mata pemuda itu
memperhatikan garis-garis tangan Lili beberapa saat.
Ia berkata seperti ditujukan kepada dirinya sendiri,
"Hebat sekali kau sebenarnya, Nona. Ilmumu
cukup tinggi dan di telapak tanganmu ini tergenggam
kesaktian yang sungguh dahsyat dan mengagumkan.
Tak kusangka ternyata kau orang berilmu juga. Tapi
agaknya ilmumu ini punya pasangan sendiri, jika ber-
temu dengan ilmu pasangan mu, akan membentuk sa-
tu ilmu yang lebih dahsyat dan lebih sakti lagi...." Pemuda itu masih memandangi
garis tangan Lili. Tapi
kemudian ia segera alihkan pandangan matanya kepa-
da Lili dan kembali tersenyum.
"Jangan takut, kau akan pulih seperti sediaka-
la. Aku tahu kunci membebaskan jurus 'Setan Gen-
tayangan'...."
Kemudian pemuda tampan bersenjatakan pe-
dang perunggu di punggungnya itu segera memegang
jari tengah tangan Lili. Ranting yang tadi diambilnya
dari tanah itu sekarang digunakan untuk menusuk ja-
ri tengah tersebut. Tees...! Begitu ujung jari tengah ditusuk ranting tak sampai
berdarah, tubuh Lili tersen-
tak keras seketika, sampai tak sengaja tangan yang di-
pegangi pemuda itu berkelebat kuat dan menampar
wajah pemuda itu. Plook...!
Terjengkang hebat pemuda tersebut terkena
tamparan tak sengaja dari Lili. Kini ia ganti yang terkapar di rerumputan sambil
mengerang kesakitan. Tu-
lang pipinya memar seketika akibat hantaman telapak
tangan Lili, sebab telapak tangan itu mempunyai tena-
ga dalam besar yang tersimpan di sana dan sewaktu-
waktu bisa keluar dalam satu sentakan kuat.
Pemuda itu tidak bisa bicara untuk beberapa
saat. Wajahnya yang berkulit kuning langsat dan ber-
sih itu menjadi merah. Lili yang telah terlepas dari
pengaruh ilmu 'Setan Gentayangan' itu menjadi salah
tingkah. Semua anggota tubuhnya sudah bisa digerak-
kan, ia kembali seperti sediakala, tapi ia harus berhadapan dengan pemuda tampan
yang menderita sakit di
wajahnya Mata Lili menjadi serba salah dalam meman-
dang. Gerakannya pun menjadi serba kikuk. Tapi ia
paksakan mendekati pemuda yang terkapar itu seraya
berkata gugup, "Ma., maa... maafkan aku. Aak... akku... aku
tidak sengaja menamparmu! Ak... aku... oh, ya... aku
akan sembuhkan kamu!"
Dengan hati berdebar-debar, tangan Lili pun
segera meraba lembut wajah itu. Ia pejamkan mata ka-
rena ia curahkan hawa mumi ke dalam tangannya.
Hawa murni itu meresap masuk melalui tulang pipi
pemuda itu. Rasanya sejuk dan lembut. Dalam bebe-
rapa kejap berikutnya, wajah pemuda itu sudah tidak
merah lagi, rasa sakit di tulang pipinya menjadi berkurang, lalu hilang. Warna
memarnya pun sedikit demi
sedikit menjadi sirna dan kembali ke warna aslinya.
Tapi Lili masih tempelkan tangannya ke wajah itu ka-
rena ia melakukannya dengan mata terpejam, jadi ia
tidak tahu kalau pemuda itu sudah berubah seperti
sediakala. Bahkan ia tak sengaja telah menyentuh bi-
bir pemuda itu yang terasa hangat di permukaan kulit
tangannya. Pemuda itu sedikit nakal, ia membuka mu-
lutnya dan menggigit kecil ibu jari tangan Lili. Tersentak kaget Lili seketika.
Ditarik mundur tangannya.
Pemuda itu tersenyum dan segera bangkit un-
tuk duduk. Lili berdiri dengan perasaan malu pada diri sendiri. Ia palingkan
wajah, sembunyikan senyum tersipu agar tak diketahui pemuda itu. Maka, pemuda
itu pun segera bangkit berdiri sambil berkata,
"Maaf, aku hanya ingin bercanda sedikit den-
ganmu. Jika gigitan ku itu kau anggap tindakan tak
sopan dan memalukan, hukumlah aku, Nona!"
Lili palingkan wajah, kembali memandang pe-
muda tampan yang menggetarkan hati itu. Lili geleng-
kan kepala sambil berkata pelan,
"Tak ada yang perlu dimaafkan, tak ada yang
perlu dihukum."
"Terima kasih." ucap pemuda itu dengan lem-
but dan kalem. "Yang kuperlukan adalah namamu."
"Namaku.... Wisnu Patra," jawab pemuda ber-
badan tegap itu. "Tapi orang-orang banyak yang men-julukiku: Dewa Tampan." Lalu,
pemuda itu tertawa geli sendiri, membuat Lili pun jadi ikut tertawa geli.
"Kau sudah mengetahui namaku, bolehkah aku
mengetahui namamu?" tanyanya kemudian.
"Namaku.... Lili!"
"Hanya itu?"
"Ya."
"Bohong. Kau pasti punya nama julukan, kare-
na kau bukan orang sembarangan! Garis tanganmu
menunjukkan kau orang berilmu tinggi. Biasanya
orang berilmu tinggi mempunyai julukan sendiri. Se-
butkan julukanmu, jangan malu. Karena aku pun tak
malu menyebutkan julukanku sendiri, yaitu Dewa
Tampan!" "Julukanku... rasa-rasanya tak penting. Yang
penting aku ingin tahu dari mana asalmu, Wisnu Pa-
tra?" "Sebutkan dulu nama julukanmu, Lili."
Lili menarik napas dan berkata, "Baiklah kalau
kau memaksa. Aku tidak punya nama julukan, tapi
aku mempunyai gelar dari guruku."
"Sebutkan!"
"Pendekar Rajawali Putih."
"Hahh..."!" Wisnu Patra tersentak kaget, ma-
tanya sampai terbelalak lebar, mulutnya ternganga se-
ketika. Wajah pemuda itu menjadi pucat pasi dengan
gerak langkah mundur dua tindak. Mata itu segera
menatap ke gagang pedang di punggung Lili yang
mempunyai hiasan kepala burung rajawali yang saling
bertolak belakang dari bahan logam perak putih yang
mengkilat dan anti karat.
Melihat perubahan sikap Wisnu Patra, dahi Lili
menjadi berkerut tajam-tajam. Pandangan matanya
pun memancarkan keheranan, sehingga terlontarlah
tanya, "Kenapa" Apa yang membuatmu terkejut begi-tu, Dewa Tampan"!"
Wisnu Patra bagai kelu lidahnya. Ia ingin
ucapkan sesuatu, namun terasa sulit, sehingga ia
hanya bisa gerak-gerakkan bibirnya dengan napas mu-
lai tak teratur.
* * * 3 WISNU Patra berkelebat lari dari hadapan Pen-
dekar Rajawali Putih. Karena hati Lili menjadi semakin penasaran, maka ia pun
mengejar Wisnu Patra dengan
jurus 'Langkah Bayu'. Weesst...! Dan dalam waktu
singkat, Lili sudah berada di depan langkah Dewa
Tampan, ia berdiri bagai menghadang, dan Dewa Tam-
pan terhenti dengan rasa dongkol tertahan. "Mengapa kau tiba-tiba lari dariku,
Wisnu Patra?" "Aku tidak
mau bertemu denganmu lagi," jawab Wisnu Patra.,
"Kau membenci ku?"
Wisnu Patra bingung menjawab. Matanya me-
natap Lili sebentar, lalu terlempar jauh memandang ke
arah tak tentu. Sikapnya yang serba salah tingkah itu
membuat Lili kian bertambah penasaran. Kemudian,
Lili pun mendesak dalam tanya,
Jodoh Rajawali 08 Bunga Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Katakan apa adanya, Wisnu Patra! Jangan kau
buat aku menjadi penasaran seperti ini! Sikapmu terla-
lu aneh buatku!"
Wisnu Patra melangkah pelan-pelan sambil
tundukkan wajah. Ia sedang pertimbangkan jawaban
yang harus diberikan kepada gadis cantik itu. Tetapi,
di luar dugaan Lili, tiba-tiba Wisnu Patra sentakkan
kaki ke tanah dan tubuhnya melayang cepat ke atas
pohon. Kemudian
dengan gerakan lincahnya ia melarikan diri me-
lalui dahan-dahan pohon yang ada di atas sana.
Pendekar Rajawali Putih tidak mau kehilangan
Wisnu Patra sebelum pemuda tampan itu menjawab
keanehan sikapnya. Maka ia pun juga sentakkan kaki
ke tanah dan tubuhnya melenting di udara mencapai
dahan pohon. Ia segera mengejar Dewa Tampan itu
melalui pohon ke pohon, mengikuti jejak langkah si
Wisnu Patra yang tampan itu.
Rupanya kali ini Pendekar Rajawali Putih ter-
paksa kehilangan jejak Wisnu Patra. Mungkin ia salah
arah dalam mengejar pemuda yang mampu mempu-
nyai gerakan lari begitu cepat, hampir menyamai jurus
"Langkah Bayu'.
"Ke mana dia larinya" Atau aku salah arah da-
lam mengejarnya?" ucap Lili sendirian ketika ia berada di lereng perbukitan.
Tetapi tiba-tiba Lili merasakan hembusan angin
panas datang mendekatinya dari belakang. Gerakan
gelombang angin panas itu sangat cepat, sehingga Lili
tak sempat berpaling memandang ke belakang. Ia lekas
sentakkan kakinya melesat ke atas dan bersalto dua
kali, sehingga hembusan angin panas yang berbahaya
itu lewat di bawah kakinya, tak sampai menyentuh tu-
buhnya sedikit pun.
Duaar...! Gelombang angin panas itu menghan-
tam pohon, dan pohon tersebut roboh seketika. Pada
saat itu Pendekar Rajawali Putih memandang ke arah
datangnya pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi
itu. Ternyata di sana tampak seorang perempuan mu-
da bersenjatakan seruling besar.
"Siapa kau!" seru Pendekar Rajawali Putih.
"Aku Seruni! Kau masih ingat peristiwa di Gua
Bidadari itu"!"
"Seruni...?" ucap Lili pelan. "Mungkin dia salah satu orang Gua Bidadari yang
sempat lolos dan melarikan diri bersama beberapa orang lainnya itu?" (Baca
episode: "Gerombolan Bidadari Sadis").
"Aku masih ingat tampang liar mu!" kata Seruni dengan sengitnya. "Kau memihak
pemuda tampan yang sering di panggil dengan nama Yoga itu! Kau ber-
jaya jika bersamanya. Tapi sekarang kau sendirian dan
aku sendirian! Aku ingin menebus kekalahan ku tem-
po hari. Ingin kubuktikan sejauh mana kehebatanmu
jika dalam keadaan sendirian seperti ini!"
"Seruni, urusan itu adalah urusan Yoga dengan
perempuan busuk yang bernama Kencana Ratih! Aku
tidak ikut campur lagi dalam urusan itu!"
"Tapi waktu itu kau ikut campur, dan kau sem-
pat lukai aku dengan tenaga dalam dari tangan kirimu!
Aku merasa terdesak dan harus segera lari untuk cari
kesempatan lain membalas kalian. Dan sekarang ke-
sempatan itu datang, aku akan pergunakan sebaik
mungkin. Karena itu, bersiaplah menebus kekalahan
ku waktu itu!"
"Tidak. Aku tidak mau terlibat lagi urusan Yo-
ga!" "Kalau kau tak bersedia melawanku, lakukan
bunuh diri di depanku sekarang juga. Lekas!"
Lili membatin dalam hatinya, "Wah, orang ini
benar-benar cari penyakit! Mau tak mau aku terpaksa
turun tangan juga jika caranya begitu! Padahal aku
sudah tidak mau tahu lagi dengan urusan Yoga! Tapi
jika dia mengancam nyawaku, aku berhak membela di-
riku sendiri!"
"Lekas lakukan, Keparat!" bentak Seruni.
"Aku akan layani tantanganmu, Seruni!"
"Bagus! Bersiaplah, Perempuan Busuk!
Heaaah...!"
Seruni segera sodokkan serulingnya ke depan
dengan satu sentakan cukup kuat. Dan dari ujung lu-
bang bambu seruling itu melesatlah sinar biru berben-
tuk garis lurus sebesar lubang seruling itu.
Wuuuts...! Lili cepat sentakkan tangan kirinya yang tadi
diramal oleh Wisnu Patra itu. Dari tangan tersebut
muncul sinar putih keperakan yang menyebar lebar.
Sinar itu dihantam oleh sinar birunya Seruni dan
menggelegarlah bunyi benturan dua sinar bertenaga
dalam tinggi itu.
Blaaar...! Bumi berguncang sekejap. Pohon-pohon pun
mulai rontokkan daun-daun kuningnya yang melayu.
Tubuh Seruni terpental mundur sampai terguling-
guling akibat gelombang ledakan tersebut, sedangkan
tubuh Lili hanya mundur satu tindak dengan tangan
masih siap serang lagi.
"Keparat! Rupanya kau cukup tangguh juga,
Gadis Bangkai!" geram Seruni. Ia segera bangkit, lalu
serulingnya ditiup dengan suara keras dan nadanya
tak beraturan. Suara seruling itu mempunyai getaran
yang mampu membuat kulit pohon mengelupas sendi-
ri-sendiri. Tentunya tiupan seruling kali ini disertai tenaga dalam penghancur
yang sungguh hebat. Hal itu
membuat telinga Lili merasa bagai sedang ditusuk oleh
ribuan jarum yang amat menyakitkan. Lili menutup
kedua telinganya kuat-kuat, sampai wajahnya menye-
ringai menahan sakit dan ia jatuh berlutut karenanya.
Tiba-tiba suara seruling itu berhenti seketika
setelah sekelebat sinar jingga menerpa tubuh Seruni.
Sinar jingga itu membias dan menghantam tubuh Se-
runi, lalu api pun membungkus tubuh itu. Bbaab!
"Aaaaa...!" Seruni memekik keras-keras dengan berusaha memadamkan api yang
membungkus tubuhnya. Ia berguling-guling agar api padam karena re-
rumputan yang basah itu. Tetapi api justru menjadi
berkobar besar dan makin memekikkan suara memi-
lukan dari mulut Seruni.
Lili segera lepaskan kedua tangan yang menu-
tup telinganya. ia memandangi tubuh lawannya yang
tak bisa lepas dari kurungan api membara itu. Lekas-
lekas ia bangkit dan memandang sekeliling. Karena ia
yakin cahaya jingga yang berkelebat menghantam tu-
buh Seruni tadi pasti datang dari tangan Dewa Tam-
pan. Keadaan Seruni sama persis dengan nasib yang
dialami oleh dua orang brewok yang menamakan diri
mereka Brewok Kembar Iblis tadi.
Menyadari keanehan seperti itu, Lili pun segera
berseru, "Wisnu! Keluarlah kau! Kita perlu bicara, Wisnu...! Jangan pergi
dariku!" Tak ada suara lain kecuali suara api yang ber-
kobar-kobar menghabiskan tubuh Seruni. Tubuh itu
akhirnya diam, kaku, dan hitam tanpa nyawa lagi. Lili
tak tega memandangnya. Ia lebih cenderung meman-
dang sekeliling mencari sosok Wisnu Patra atau si De-
wa Tampan itu. "Wisnuuu...!" panggilnya lagi dengan nada
jengkel. "Jangan memancing kemarahanku, Wisnu! Keluarlah dari persembunyianmu!
Aku tahu kau ada di
sekitar sini, Wisnu...!"
Tetap tak ada suara, tak ada gerak, bahkan de-
tak jantung pun tak terdengar oleh panca Indera Lili
yang terpeka sekalipun. Api masih menyala tiada kun-
jung padam. Padahal Lili menunggu datangnya sinar
putih yang akan memadamkan api seperti saat api itu
datang dan padam membungkus tubuh Brewok Kem-
bar Iblis. Tapi ternyata sinar putih yang berfungsi sebagai pemadam itu tidak
kunjung tiba juga.
Pendekar, Rajawali Putih segera sentakkan ka-
ki, tubuhnya melesat naik ke dahan sebuah pohon
tinggi. Dari sana ia memandang ke bawah, mencari
tempat persembunyian Wisnu Patra. Tetapi cukup la-
ma ia tidak menemukan apa yang dicarinya. Hanya sa-
ja, beberapa waktu setelah Lili melompati dahan ke
dahan, ia melihat gerakan orang berlari cepat dengan
pakaian kuning. Orang itu ada di seberang sana, cu-
kup jauh dari tempat Lili berada. Tak salah lagi, orang itu adalah Wisnu Patra.
Maka, Lili pun segera mengejar ke arah bayangan kuning tersebut.
Wisnu Patra seorang pemuda yang licin bagai-
kan belut, menurut Lili. Kali ini ia kembali kehilangan jejak Wisnu Patra.
Padahal alam mulai remang dan sebentar lagi gelap akan datang. Sekalipun
demikian, Lili yang masih penasaran terhadap keanehan sikap Wisnu Patra itu
tetap mencari pemuda tersebut, sampai
akhirnya ia tiba di sebuah desa di mana ada sebuah
kedai besar yang punya pengunjung cukup banyak. Li-
li sempatkan diri singgah ke kedai itu. Lalu ia bertanya kepada pemilik kedai
tersebut, "Apakah di sini ada penginapan, Pak Tua?"
Pak Tua itu menjawab. "Di sini tidak ada pengi-
napan, Nona. Tapi kalau Nona mau bermalam, Nona
bisa gunakan kamar kosong di belakang kedai saya ini!
Sesekali kamar itu memang saya sewakan untuk para
pendatang yang kemalaman di desa kami."
"Berapa sewanya satu malam?"
"Tidak terlalu mahal untuk kamar yang seder-
hana, Nona."
"Baiklah. Saya akan sewa kamar itu, Pak Tua.
Hanya untuk satu malam saja!"
"Baik. Saya akan suruh pelayan saya untuk
membersihkan kamar itu!"
Kehadiran Lili di kedai itu menjadi pusat perha-
tian beberapa pasang mata lelaki. Kecantikan Lili
sungguh memukau mereka. Namun tamu yang me-
nempati meja sudut itu nampak tidak tertarik sama
sekali dengan kecantikan Lili. Dua tamu berperawakan
tegap dan berusia antara empat puluh tahun itu, sibuk
membicarakan masalahnya sendiri.
Dengan memusatkan perhatian dan memasang
pendengarannya baik-baik, Lili sempat mendengar
percakapan kedua orang tersebut. Yang berbaju biru
mengatakan kepada si baju merah,
"Kurasa tidak semudah dugaanmu untuk men-
dapatkan bunga Teratai Hitam itu! Pasti beberapa
orang upahan saling berlomba untuk mendapatkan-
nya. Dan itu berarti kita akan berhadapan dengan me-
reka!" "Itu sudah pasti," kata yang mengenakan baju merah. "Tapi tentunya kita
pun sudah siap siaga dengan lawan yang bakal kita hadapi. Kalau kau takut,
sebaiknya kau tak usah ikut saja. Biarlah aku sendiri
yang pergi ke Gua Mulut Iblis untuk mendapatkan
bunga Teratai Hitam itu!"
Rupanya, tiga tamu di belakang Lili itu pun se-
dang mempercakapkan tentang bunga Teratai Hitam.
Salah seorang terdengar berkata,
"Seberapa pun besar bahayanya, aku tak akan
mundur dalam usaha mendapatkan bunga Teratai Hi-
tam. Rugi besar kalau aku harus mundur, karena ini
kesempatan baik untuk menjadi menantu seorang adi-
pati. Apalagi putri adipati yang bernama Galuh Ajeng
itu seorang gadis yang cantik jelita dan berilmu tinggi, rasa-rasanya mati pun
sanggup kujalani demi mendapatkan perempuan secantik dia."
"Kalau dari kita bertiga ini ada yang menda-
patkan bunga teratai tersebut, apakah kita bertiga juga akan saling bunuh
sendiri?" "Seharusnya kita bikin kesepakatan dulu sebe-
lum hal itu terjadi. Jika bunga teratai itu ada di tangan kita, siapa yang
berhak maju sebagai suami Galuh
Ajeng. Kalau sudah kita sepakati, maka kita tidak akan merasa iri satu dengan
yang lainnya."
"Aku hanya mengejar kedudukan saja," kata
seseorang yang persis duduknya beradu punggung
dengan Lili. "Kabarnya, yang berhasil mendapatkan bunga Teratai Hitam sebagai
obat penyembuh sakit
sang Adipati itu, juga akan mendapatkan kedudukan,
yaitu menjadi penguasa di salah satu tanah kekuasaan
sang Adipati. Nah, aku memilih menjadi penguasa sa-
ja." "Kalau begitu, aku lebih baik memilih harta
yang juga dijanjikan akan diberikan kepada orang yang
berhasil membawa bunga teratai itu kepada pihak ka-
dipaten. Lebih baik aku memperkaya diri, soal istri bi-sa cari yang sesuai
dengan seleraku. Lagi pula, aku
kurang selera punya istri yang masih semuda Galuh
Ajeng. Pengalaman bercintanya masih belum matang,
sehingga masih harus mendidiknya dulu!"
Mereka tertawa bersama, sementara Lili hanya
diam saja memperhatikan suara-suara dl sana-sini.
Ternyata mereka banyak yang membicarakan tentang
bunga Teratai Hitam. Kesimpulan yang diperoleh Lili
adalah, bahwa seorang adipati sedang sakit parah.
Sang Adipati itu bisa selamat jiwanya dan sembuh Jika
mendapatkan obat dari bunga Teratai Hitam. Lalu, pi-
hak keluarga adipati sepakat keluarkan sayembara,
bahwa barang siapa berhasil serahkan bunga Teratai
Hitam, maka mereka akan mendapat berbagai hadiah
dari pihak kadipaten; antara lain menjadi penguasa dl
tanah wilayah kadipaten, mendapat kekayaan yang
jumlahnya tidak sedikit, dan jika lelaki akan dinikah-
kan dengan putri sang Adipati yang bernama Galuh
Ajeng. Konon, Galuh Ajeng sendiri sudah bersedia
menjadi istri siapa pun asalkan ayahandanya bisa
sembuh dari sakit parahnya itu.
"Teratai Hitam...?" gumam Pendekar Rajawali
Putih dalam hatinya. "Kalau tak salah, Yoga pernah singgung
singgung soal bunga Teratai Hitam untuk sem-
Jodoh Rajawali 08 Bunga Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buhkan Mahligai, keponakan Tabib Perawan itu. Atau
mungkin Yoga sudah dengar tentang adanya sayemba-
ra yang dapat hadiah putri adipati yang cantik jelita
itu" Ah, kurasa sayembara itu baru-baru ini saja di-
umumkannya. Dan... dan apakah sekarang Yoga se-
dang mencari bunga Teratai Hitam itu" Kudengar tadi
orang di sudut sana menyebutkan nama Gua Mulut Ib-
lis. Apakah Yoga sedang berada dalam perjalanan ke
Gua Mulut Iblis untuk mendapatkan Teratai Hitam"
Jika benar dia ke sana, berarti dia akan berhadapan
dengan banyak orang yang bernafsu untuk menjadi
menantu sang Adipati. Tentunya mereka bukan orang-
orang berilmu rendah! Jadi, kesimpulannya Yoga pasti
dalam bahaya! Ah, biar saja! Toh dia sudah dalam lin-
dungan si Ganjen Kencana Ratih!" Lili bersungut-
sungut sendiri menahan kecemburuannya.
Padahal Yoga sendiri tidak tahu kalau bunga
Teratai Hitam itu disayembarakan oleh pihak kadipa-
ten. Tujuan Yoga mendapatkan bunga itu hanya untuk
sembuhkan Mahligai. Tetapi usahanya ke Gua Mulut
Iblis itu sedikit terganggu oleh keadaan Kencana Ratih yang terluka akibat
penggempuran Gua Bidadari tempo hari. Kalau saja Pendekar Rajawali Merah itu
tidak membawa Kencana Ratih, pasti ia sudah sampai di
Gua Mulut Iblis sebelum orang-orang mencapai tempat
itu. Tetapi hati Yoga tidak tega meninggalkan Kencana
Ratih yang terluka, atau membiarkan Kencana Ratih
pulang dengan membawa luka. Baik luka di tubuhnya
maupun luka di hati akibat kematian kakaknya, sung-
guh merupakan beban kejiwaan tersendiri bagi Kenca-
na Ratih. Itulah sebabnya Yoga merasa perlu merawat
gadis cantik yang kalau tersenyum punya lesung pipit
di kedua belah pipinya itu.
Sebuah pondok, tempat seorang tokoh sakti
mengasingkan diri dalam usia tuanya, menjadi per-
singgahan bagi Yoga dan Kencana Ratih. Pondok itu
terletak di sebuah tebing bertangga batu. Mulanya Yo-
ga tidak tahu bahwa pondok itu milik Resi Gumarang.
Kencana Ratih sendiri tidak mengenal nama Resi Gu-
marang. Tetapi lelaki berusia sekitar delapan puluh
tahun lebih itu ternyata sengaja menyambut kedatan-
gan Yoga dan Kencana Ratih di ujung tangga Jalan ke
pondoknya. Mulanya Yoga terkejut ketika Resi Guma-
rang menyapanya dalam sikap menghadang langkah.
"Aku mendengar jeritan batin seorang anak
muda. Ternyata gadis itulah yang menjerit dalam ha-
tinya. Pasti ia terluka cukup parah. Jika kau tak keberatan, Anak Muda...
singgahlah ke pondokku sebentar
untuk merawat gadis itu."
"Terima kasih, Eyang. Bolehkah saya tahu sia-
pa Eyang sebenarnya?"
"Namaku Resi Gumarang. Gurumu pasti tahu,
karena mendiang gurumu yang berjuluk Dewa Geledek
itu adalah sahabat karib ku, juga kakekmu yang ber-
nama Gentar Swara itu temanku semasa kecil."
Saat itu, Yoga terkejut mendengar Resi Guma-
rang bisa sebutkan nama guru dan nama kakeknya.
Lalu Yoga pun bertanya,
"Dari mana Eyang tahu bahwa aku murid Dewa
Geledek dan cucu dari Ki Gentar Swara?"
"Nadi ku bergetar jika berdekatan dengan pe-
dang pusaka mu yang bernama Pedang Lidah Guntur
itu. Jika nadi ku bergetar, berarti aku berada tak jauh dari Pedang Lidah
Guntur. Jika seseorang membawa
Pedang Lidah Guntur, berarti dia murid dari Ki Dirgan-
tara yang bergelar Dewa Geledek. Dan aku tahu persis,
Dewa Geledek hanya punya satu murid yang diambil-
nya sejak masih bayi. Bahkan dulu aku ingin men-
gambil bayi itu untuk kujadikan muridku, tapi Dewa
Geledek menolak, terpaksa aku mengalah demi persa-
habatan kami! Dan bayi itu rupanya sekarang sudah
tumbuh menjadi dewasa dan tampan."
Resi Gumarang bukan saja bisa menandai akan
bertemu dengan si pembawa pusaka Pedang Lidah
Guntur, namun kesaktiannya mampu mengetahui apa
maksud dan tujuan yang terkandung dalam hati sa-
nubari orang yang dihadapinya. Seperti kala itu, Resi
Gumarang selesai mengobati luka-luka di tubuh Ken-
cana Ratih, bahkan luka bagian dalam pun telah tero-
bati, ia sengaja mengajak Yoga untuk menikmati pe-
mandangan di samping pondoknya. Hanya berdua me-
reka ada di sana, sementara Kencana Ratih diperin-
tahkan untuk tetap berbaring demi memulihkan tena-
ganya yang tersita habis pada waktu melakukan per-
tempuran dengan orang-orang Partai Gadis Pujaan
yang tinggal di Gua Bidadari itu.
Pada saat Resi Gumarang hanya berdua dengan
Pendekar Rajawali Merah itulah, apa yang terkandung
di dalam hati sanubari Yoga diungkapkan keluar oleh
Resi Gumarang. Orang berkepala gundul dengan jeng-
got putih itu berkata,
"Tujuanmu mencari bunga Teratai Hitam itu
memang mulia...."
Yoga sempat kaget, karena dia belum pernah
kemukakan maksud dan tujuannya ke Gunung Tam-
bak Petir itu. Tetapi ia segera maklum karena Resi
Gumarang adalah tokoh tua yang sakti, semakin tua
semakin tinggi ilmunya. Karena itu, Yoga hanya diam
dan menjadi pendengar yang baik. Resi Gumarang pun
lanjutkan ucapannya,
"Menolong orang adalah perbuatan yang mulia.
Tapi ingatlah agar pertolonganmu tidak menjadikan
malapetaka bagi orang lain juga."
"Saya kurang paham dengan maksud Eyang,"
kata Yoga. "Jika kau dapatkan bunga Teratai Hitam itu,
maka seseorang yang dalam keadaan sakit dapat men-
jadi sembuh. Sebab memang bunga itu yang dicari se-
bagai penawar racun dalam tubuhnya. Tetapi apabila
orang itu sudah sembuh, dapatkah kau mengendali-
kan jiwanya?"
Pendekar Rajawali Merah membungkam mulut,
merenungkan apa maksud kata-kata orang tua berba-
dan kurus itu. Karena lama sekali Yoga tidak berikan
jawaban atas kata-kata tadi, maka Resi Gumarang
berkata, "Sejujurnya kukatakan padamu, Pendekar Ra-
jawali Merah, bahwa usahamu menyembuhkan seo-
rang gadis itu bisa saja tercapai. Tapi gadis itu mencintaimu dan akan
mengejarmu ke mana saja. Dia akan
memusuhi setiap wanita yang ingin dekat denganmu.
Cintanya menjadikan suatu permusuhan dan dapat
menghadirkan bencana bagi orang lain."
"Jika begitu, haruskah saya batalkan niat saya
untuk mencari bunga Teratai Hitam itu, Eyang?"
"Jangan! Itu namanya kau menyerah sebelum
bertarung," kata Resi Gumarang dengan senyum tua-
nya yang bijaksana. "Yang perlu kau kendalikan adalah jiwa gadis itu. Redam
cintanya agar jangan menjadi sifat angkara murka."
"Bagaimana harus meredamnya, Eyang?"
"Aku tidak tahu. Tapi aku yakin kau pasti
punya cara sendiri untuk meredam cinta gadis itu.
Apalagi bibinya juga jatuh cinta padamu."
Yoga kembali terperanjat dan menjadi malu,
karena Resi Gumarang seakan menelanjangi rahasia
pribadinya, sampai dibeberkan tentang perasaan cinta
Sendang Suci, si Tabib Perawan yang juga adalah bibi
dari Mahligai. "Bisa-bisa gadis itu membunuh bibinya sendiri
jika ia tahu bibinya jatuh cinta padamu! Dan... me-
mang perjalanan hidupmu ditakdirkan tak jauh dari
masalah cinta dan dendam. Hati-hatilah mengarungi
perjalanan hidupmu, Yoga!"
Yoga terbungkam lagi mendengar ramalan na-
sib hidupnya mendatang.
* * * 4 GUA Mulut Iblis berudara dingin. Ketinggiannya
di lereng Gunung Tambak Petir itu sering hadirkan sal-
ju yang menggumpal putih di dedaunan. Tapi untuk
kali ini, salju tak ada di sekeliling Gua Mulut Iblis itu.
Hanya sesekali kabut melintasi gua tersebut dan pada
saat itu hawa dingin naik mencekam tulang manusia.
Tetapi seseorang yang sudah lama tinggal di da-
lam gua tersebut hampir tidak pernah mengenal ra-
sanya hawa dingin. Kulit dan tulangnya sudah terbiasa
dan menjadi kebal terhadap hawa dingin pegunungan.
Orang tersebut adalah tokoh tua yang dikenal cukup
sakti, bernama Nyai Kubang Darah. Ia bertapa di da-
lam gua tersebut untuk mencapai suatu ilmu maha
dahsyat yang akan mengalahkan kesaktian Malaikat
Gelang Emas. Sebab, Nyai Kubang Darah punya den-
dam terhadap tokoh sesat yang tak kenal belas kasi-
han itu. Ia yakin suatu saat nanti ia akan dapat kalahkan Malaikat Gelang Emas
jika ilmu yang ditekuninya
di dalam Gua Mulut Iblis itu sudah berhasil diperoleh-
nya. Gua tersebut dikatakan Gua Mulut Iblis karena
pintu masuk gua itu seperti mulut iblis yang sedang
menganga lebar. Tonjolan-tonjolan bebatuan di bagian
tebing luar atas gua itu, mirip seperti mata dan hidung iblis yang mengerikan.
Kasih Diantara Remaja 3 Sepasang Golok Mustika Karya Chin Yung Gajahmada 5
BUNGA PENYEBAR MAUT Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali dalam episode:
Bunga Penyebar Maut 128 hal.
1 MENJELANG tengah hari, Tua Usil yang diken-
al sebagai Manusia Kabut itu, berlari-lari menuju pon-
doknya. Ia membawa dua ekor kelinci hutan sebagai
hasil buruannya. Tetapi kedatangan Tua Usil bukan
untuk serahkan dua ekor kelinci buruannya itu kepa-
da Pendekar Rajawali Putih, melainkan karena sesuatu
hal yang membuatnya menjadi tegang.
Di pembaringan dalam pondoknya, Tua Usil
temui Lembayung Senja yang masih belum sembuh be-
tul dari lukanya akibat serangan lawan. Di sana Lem-
bayung Senja berbaring sesuai dengan perintah Lili, si Pendekar Rajawali Putih
itu. Tua Usil segera menyapa
Lembayung Senja dengan nada tegang,
"Nona mana..."! Nona Li mana"!" belum terja-
wab, ia sudah lari ke dapur dan ke sumur. Ia kembali
lagi temui Lembayung Senja setelah di sana ia tidak
temukan Lili yang dicarinya.
"Nona Li manaaa..."!" sentaknya tampak panik.
"Mungkin masih di lembah. Ada apa, Tua
Usil"!" "Dari tadi pagi masih di lembah?"
"Setahuku dari tadi pagi Nona Li belum pulang.
Pasti masih duduk termenung di sana! Cobalah cari
dia ke sana!" kata Lembayung Senja sambil berusaha bangkit dari rebahannya. Tua
Usil bergegas keluar
sambil masih menenteng kelinci buruannya. Ia lupa
menaruh hasil buruannya yang telah mati itu.
Lembayung Senja keraskan suara, "Hai, ada
apa sebenarnya" Mengapa kau mencari Nona Li, Tua
Usil"! Kalau hanya untuk memasak kelinci itu, aku
pun bisa! Tak perlu dia!"
Dengan sikap tergopoh-gopoh, Tua Usil kembali
temui Lembayung Senja, padahal dia sudah sampai di
luar rumah. Ia masuk ke dalam dan berkata,
"Ada tiga orang menuju kemari!"
"Bermaksud jahat atau tidak?"
"Entahlah. Tapi yang satu orang kukenal. Dia
adalah Gandaloka, utusan dari Pulau Keramat yang
waktu itu anak buahnya bertarung melawan Yoga!"
"Gandaloka"!" Lembayung Senja mulai mene-
gang. "Apakah dua orang lainnya juga bertubuh tinggi besar seperti raksasa?"
"Benar! Dilihat dari langkahnya yang cepat,
agaknya mereka akan menuntut balas atas kematian
kelima anak buahnya tempo hari Mereka pasti menuju
kemari dan mencari Tuan Yoga!"
"Gawat! Cepat susul Nona Li di lembah dan be-
ritahukan hal ini. Kalau mereka tiba di sini sebelum
kalian datang, aku akan menahan mereka dl depan
rumah!" Tua Usil manggut-manggut. Kemudian ia segera
keluar sambil masih menenteng kelinci buruannya. Ia
tak sadar dengan apa yang ditentengnya. Sementara
itu, Lembayung Senja kuatkan diri dan segera am-
bil pedang barunya yang diperoleh dari sesosok mayat
tak dikenal. Tubuhnya memang masih lemas, tapi
Lembayung Senja merasa cukup mampu untuk me-
langkah keluar rumah dan menghadang tamu bertu-
buh tinggi besar menyerupai raksasa.
Lembayung Senja tak merasa heran jika Gan-
daloka datang lagi bersama orang-orangnya, karena
layak ia menuntut balas atas kematian kelima orang-
nya di tangan Pendekar Rajawali Merah, atau si tam-
pan bernama Yoga itu, (Baca episode: "Utusan Pulau Keramat"). Tetapi Lembayung
Senja tidak tahu, apakah kali ini Lili tetap akan membela dan membantu Yoga"
Sebab Lembayung Senja tahu, Lili sedang kecewa dan
marah kepada Yoga akibat Yoga akrab dengan gadis
cantik bernama Kencana Ratih, (Baca episode: "Ge-
rombolan Bidadari Sadis").
Lili memang kecewa dan hatinya terluka meli-
hat Yoga yang dicintai itu berhubungan akrab dengan
Kencana Ratih. Susah payah Lili waktu itu mencari
Yoga, bertarung dengan para bidadari sadis demi
membela Yoga, ternyata Yoga justru menyelamatkan
Kencana Ratih dan menyerang Lili yang ingin membu-
nuh Kencana Ratih. Rasa cemburu di hati Lili mem-
buat ia murung sepanjang hari.
Lili ingin memutuskan untuk pergi jauh me-
ninggalkan Yoga, tetapi Pendekar Rajawali Merah itu
selalu membayang di pelupuk matanya sehingga sulit
bagi Lili untuk meninggalkannya. Padahal Yoga sendiri
selama ini seakan tidak mau tahu perasaan dan rindu
yang ada pada hati Lili. Kini dara cantik yang kecanti-kannya melebihi bidadari
itu berada di ambang kebim-
bangan; untuk tetap menunggu Yoga kembali atau
pergi tinggalkan pendekar tampan pemikat hati wanita
itu" "Nona Li...! Nona Liiiii...!" panggil Tua Usil dari ketinggian sana ia berlari-
lari mendekati Lili ketika
Pendekar Rajawali Putih itu berpaling memandanginya.
Buru-buru air mata yang masih membasah di pelu-
puknya itu dikeringkan, karena Lili tak ingin Tua Usil mengetahui bahwa dirinya
sedang menangis.
Sehela napas panjang ditarik dalam-dalam oleh
Lili sebagai penahan duka di hatinya. Pandangannya
mulai bernada heran melihat Tua Usil berlari-lari den-
gan tergopoh-gopoh. Lili tahu, pasti bukan karena Tua
Usil ingin tunjukkan hasil buruannya, melainkan ada
sesuatu hal yang cukup menegangkan hati lelaki tua
itu. Napas Tua Usil terengah-engah ketika ia sam-
pai di depan Pendekar Rajawali Putih. Mulutnya cen-
gap-cengap, ingin melontarkan kata namun didesak
oleh napas yang memburu. Lili segera menegur dengan
suara datar berkesan dingin, "Ada apa?"
Setelah mengendalikan nafasnya sejenak, Tua
Usil pun menjawab,
"Tiga orang Pulau Keramat sedang menuju ke-
mari, Nona Li!"
"Mau apa mereka?"
"Entahlah, yang jelas mereka tidak bermaksud
belajar berdiri di atas ilalang seperti keinginan saya yang belum pernah
terkabulkan itu. Yang saya tahu,
mereka melangkah cepat, seperti terburu-buru. Satu di
antara ketiganya adalah Gandaloka, yang waktu itu
datang dengan membawa lima anak buahnya dan ber-
tarung dengan Tuan Yo!"
"Katakan kepada mereka, aku sudah tidak ada
urusan dengan Tuan Yo! Jangan usik aku jika mereka
ingin panjang umur!"
"Ba... baik. Saya akan sampaikan," kata Tua
Usil dengan gemetar, karena ia tahu Nona Li sedang
marah, dan ia takut jika Nona Li dalam keadaan tak
mau senyum sedikit pun begitu.
Dalam sikap berdiri yang menerawang, hati Lili
berkata, "Mau apa mereka datang lagi kemari" Tetap ingin memaksa Yoga dibawa ke
Pulau Keramat" Apakah Kembang Mayat yang akan dinobatkan sebagai ra-
tu di pulau itu, tetap memilih Yoga sebagai calon sua-
minya" Haruskah kubiarkan hal itu terjadi" Atau ha-
ruskah ku halangi niat mereka" Ah, sepertinya sia-sia
saja aku menghalangi maksud mereka, toh Yoga sendi-
ri sedang terbuai indah oleh gadis yang bernama Ken-
cana Ratih itu! Biar sajalah apa yang ingin dilakukan
mereka kepada Yoga, aku tak akan ikut campur lagi!"
Sementara Tua Usil dalam perjalanan pulang ke
pondoknya, Gandaloka yang berwajah tampan namun
berbadan tinggi besar itu telah datang bersama dua
anak buahnya. Kali ini dua anak buahnya juga berwa-
jah tampan, namun berkesan dingin. Sorot matanya
bagai membekukan darah orang yang dipandangnya.
"Kalau tak salah ingat, kau yang bernama Lem-
bayung Senja?" sapa Gandaloka tetap dengan sikapnya yang sopan dan menghargai
lawan bicaranya. Lembayung Senja pun menjawab dengan sopan walau tan-
pa senyum, "Benar. Aku Lembayung Senja. Ada perlu apa
kau datang kemari, Gandaloka?"
"Aku ingin bertemu dengan Pendekar Rajawali
Merah." "Dia tidak ada di sini!" jawab Lembayung Senja kalem. Waktu itu, Tua
Usil muncul dan terperanjat kaget memandang Gandaloka dengan dua anak buahnya
itu. Wajah Tua Usil menjadi cemas ketika Gandaloka
menatap ke arahnya, juga kedua anak buahnya itu
menatap ke arah Tua Usil. Kemudian Gandaloka ber-
kata kepada Tua Usil,
"Benarkah Pendekar Rajawali Merah tidak ada
di pondokmu ini, Pak Tua?" sambil Gandaloka sedikit bungkukkan badan sebagai
tanda menghormat kepada
yang diajak bicara.
"Bbe... benar... benar, Tuan! Pendekar Rajawali
Merah tidak ada di sini. Beliau sedang pergi."
"Bagaimana dengan Pendekar Rajawali Putih"
Apakah ada di sini?"
Karena mata Gandaloka tertuju kepada Tua
Usil, maka Tua Usil pun menjawab dengan gugup,
"Tid... tid... tidak ada! Nona Lili tidak ada di
rumah. Dia... dia ada di lembah sana!"
"Boleh kami menemuinya?"
Lembayung Senja yang menjawab, "Dia sedang
berduka hati. Sebaiknya jangan sekarang jika ingin bi-
cara dengannya."
"Kami tidak bermaksud mengganggunya, Lem-
bayung Senja. Kami hanya ingin membicarakan sesua-
tu padanya."
Tutur kata yang lemah lembut dan penuh ke-
sopanan itu membuat hati Lembayung Senja tidak
menaruh kebencian atau kecemasan sedikit pun ter-
hadap Gandaloka. Tapi ada sesuatu yang sedang di-
pertimbangkan dalam benak gadis berambut poni den-
gan kecantikan yang cukup menawan itu. Maka, se-
saat kemudian Lembayung Senja berkata pelan kepada
Gandaloka dan tidak didengar oleh Tua Usil.
"Aku ingin bicara berdua denganmu, Gandalo-
ka!" "O, baik. Di mana kita akan bicara?"
"Hmmm...." Lembayung Senja memandang se-
keliling, kemudian matanya tertuju ke pohon yang ada
dl pojok rumah. "Di sana saja!"
Gandaloka setuju, dan ia menyuruh anak
buahnya tinggal di tempat, sementara dia sendiri men-
gikuti langkah Lembayung Senja ke bawah pohon yang
ada di pojok halaman rumah. Tindakan itu timbulkan
rasa aneh pada diri Tua Usil, karenanya ia memandan-
gi Lembayung Senja dengan dahi berkerut. Tetapi ke-
dua teman Gandaloka itu hanya diam saja, tetap
membisu dan berwajah dingin. Keduanya sama-sama
melipat tangan di depan dada, satu memandang ke
arah Gandaloka, satunya lagi memandang ke arah Tua
Usil, bagai sedang mengawasi.
"Gandaloka, pernahkah aku mengatakan ten-
tang hubungan ku dengan ratu mu yang kau sebut
Gusti Kembang Mayat itu?"
Gandaloka diam sejenak karena mengingat-
ingat, lalu ia menjawab, "Aku lupa! Apakah kau punya hubungan dengan Gusti
Kembang Mayat?"
"Aku adalah bekas muridnya."
"Ooo...," Gandaloka manggut-manggut.
"Bagaimana keadaan beliau?"
"Tujuh hari lagi jika beliau belum menikah ju-
ga, maka kami akan membunuhnya karena kami ang-
gap beliau adalah orang yang datang atau dibawa ke
Pulau Kana dalam kesialan. Kami tidak ingin ikut sial
seperti nasib Gusti Kembang Mayat."
"Bagaimana jika aku ingin bergabung kesana"
Apakah kira-kira beliau bisa menerimaku sebagai mu-
ridnya lagi?"
"Aku perlu bicarakan dulu hal itu! Aku tak be-
rani membawa orang lain kecuali Pendekar Rajawali
Merah. Hanya itu yang diinginkan Gusti Kembang
Mayat. Dan kami dibekali amanat tinggi dari beliau."
"Amanat apa maksudmu?"
"Bawa Pendekar Rajawali Merah, jika menen-
tang, bunuh dia!"
Lembayung Senja menyimpan kecemasan. Di-
am-diam masih merasa kasihan jika Yoga sampai di-
bunuh oleh para utusan Pulau Keramat atau Pulau
Kana itu. Sebab dalam hati Lembayung Senja punya
raga kagum terhadap ketampanan Yoga. Selama ini ia
sengaja mengikuti Lili karena dua alasan; pertama su-
paya bisa mencuri jurus-jurus mautnya Lili, kedua su-
paya bisa tetap berdekatan dengan pendekar pemikat
hati wanita itu. Siapa tahu kelak di lain waktu, dialah yang mendapatkan cinta
kasih dari Pendekar Rajawali
Merah. "Apakah benar Pendekar Rajawali Merah tidak ada?" Gandaloka mengulang
pertanyaannya untuk
mencari kemungkinan berubahnya pikiran Lembayung
Senja. Dan gadis cantik berhidung mancung itu berka-
ta, "Memang tidak ada di sini! Aku berani bersum-
pah dengan jaminan nyawaku sendiri. Sebaiknya, co-
Jodoh Rajawali 08 Bunga Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
balah bicara dengan Lili, tapi hati-hati, dia sedang dalam keadaan menahan
murka!" "Baiklah. Kami akan temui dia."
"Gandaloka...!" panggil Lembayung Senja ketika Gandaloka mau meninggalkan
tempat. "Ingat pesanku, kalau kau sampai pulang kembali ke Pulau Keramat
itu, katakan kepada Gusti mu Kembang Mayat bahwa
aku; Lembayung Senja, masih hidup dan ingin berga-
bung kembali dengan beliau."
"Baik. Nanti akan kami sampaikan pesanmu
itu. Tapi terlebih dulu, maukah kau membantu tugas
kami?" "Aku tidak bisa banyak berbuat, karena aku masih dalam keadaan terluka!
Aku perlu waktu untuk
sembuhkan diri dengan tidak banyak lakukan apa-
apa." "O, begitu" Baik, aku bisa memahami. Sekarang aku akan temui Pendekar
Rajawali Putih."
"Silakan. Ingat, hati-hati... jangan sampai me-
mancing amarahnya!"
Lembayung Senja segera temui Tua Usil dan
berkata, "Antarkan mereka untuk menemui Nona Li!"
"Aku tidak berani! Nona Li melarang orang-
orang itu datang kepadanya!" bisik Tua Usil dengan cemas. masih saja menenteng
dua ekor kelinci buruannya.
"Tunjukkan saja arahnya, kau tak perlu ikut ke
sana!" Tua Usil akhirnya mau menerima perintah itu.
Ia menjadi penunjuk jalan bagi Gandaloka dan dua
orang berwajah dingin itu. Ia tetap menenteng dua
ekor kelinci buruannya karena tak terpikir dalam
otaknya untuk meletakkan hasil buruannya tersebut.
Yang ada dalam otaknya hanya rasa takut menghadapi
tiga orang bertubuh tinggi dan berbadan besar itu. Hal yang membuat Tua Usil
menjadi ketakutan adalah sikap mereka yang seakan siap tempur. Ketiganya me-
nyandang pedang besar di punggung masing-masing,
menandakan mereka siap lakukan pertarungan den-
gan siapa pun. Lembayung Senja sempat termenung beberapa
saat setelah Gandaloka pergi. Hatinya bimbang antara
kembali kepada Kembang Mayat yang dulu sebagai ke-
tua perguruannya, atau tetap memihak Lili dan Yoga
Pada satu sisi, hati Lembayung Senja ingin memiliki
Racun Bunga Asmara. Dan hanya Kembang Mayat
yang mempunyai jurus 'Racun Bunga Asmara'. Tapi
sasaran yang akan dituju adalah Yoga. Lembayung
Senja menjadi bimbang juga; mungkinkah Kembang
Mayat mau berikan jurus 'Racun Bunga Asmara' jika ia
sendiri menganggap jurus itu sebagai jurus andalan
untuk menaklukkan hati Pendekar Rajawali Merah"
"Aku harus mencurinya dengan suatu kelici-
kan! Tapi kelicikan yang bagaimana, aku belum tahu!
Untuk sementara ini, biarlah aku ikut saja ke mana
arah angin membawaku pergi, yang penting tak jauh
dari pendekar tampan itu!" pikir Lembayung Senja
sambil langkahkan kaki pelan-pelan menuju ke arah
lembah, karena ia ingin tahu apa yang dilakukan Gan-
daloka bersama kedua orang andalannya itu terhadap
Pendekar Rajawali Putih.
Tua Usil tak berani tampakkan diri. Ia segera
menghilang setelah Gandaloka melihat di mana Lili be-
rada. Gandaloka dan kedua orangnya itu segera ham-
piri Pendekar Rajawali Putih yang tengah memunggun-
ginya, memandang jauh dalam terawang hatinya yang
gundah. Begitu mendengar suara langkah kaki mende-
kati, Lili segera palingkan wajah ke belakang. Ia tidak terlalu terkejut melihat
tiga orang bertubuh besar itu datang mendekatinya. Ia hanya menggerutu dalam
hati dan ditujukan kepada Tua Usil. Ia tahu, pasti si Tua
Usil itulah yang menjadi pemandu ketiga orang besar
tersebut. Gandaloka memberi hormat sederhana sebagai
sikap sopannya terhadap orang yang akan diajaknya
bicara. Tetapi dua orangnya yang ada di belakang itu
ha nya pandang wajah Lili dengan sorot pandangan
mata yang cukup dingin dan bersikap kurang bersa-
habat. Lili pun pasang sikap tak kalah dingin dengan
kedua orang tersebut. Ia lebih dulu perdengarkan sua-
ra ketusnya kepada Gandaloka,
"Mau apa kau datang kemari?"
"Kami diutus kembali oleh Gusti Ratu Kembang
Mayat untuk menemui Pendekar Rajawali Merah," ja-
wab Gandaloka dengan kalem.
"Aku sudah tidak ada urusan lagi dengan orang
berlengan buntung itu!" jawab Lili dengan kasar dan ketus, sebagai cermin
hatinya yang sedang marah kepada Pendekar Rajawali Merah.
"Setidaknya kau bisa kasih tahu kami, di mana
Pendekar Rajawali Merah berada, Nona Lili?"
"Aku tidak tahu."
"Terlalu aneh jika kau tidak tahu, karena kau
adalah juga Pendekar Rajawali, hanya berbeda warna
dengan Tuan Yoga!"
"Aku memang tidak tahu di mana dia sekarang!
Mungkin sudah kabur bersama gadis bernama Kenca-
na Ratih!"
"Kencana Ratih..."! Orang perguruan manakah
dia?" "Jangan tanya padaku!" sentak Lili. "Aku sendi-
ri tak tahu gadis liar mana dia itu" Yang ku tahu, Yoga sedang kasmaran dengan
Kencana Ratih. Mungkin dia
akan menikah dengan gadis itu!"
Gandaloka terperanjat kaget. "O, itu tidak boleh
terjadi! Kalau begitu kami harus segera mencari gadis
bernama Kencana Ratih itu!"
"Cari saja sana!" ketus Lili sambil melengos.
"Terakhir kali aku jumpa mereka di Gua Bidadari, di lereng Gunung Tambak Petir!
Setelah itu, ke mana mereka berdua, aku tidak tahu!"
"Gunung Tambak Petir..."!" Gandaloka meng-
gumam bagai bicara pada diri sendiri, tetapi matanya
menatap kepada kedua orang bawaannya itu. Yang di-
tatap hanya diam saja, tapi kelihatan manggut-
manggut kecil, nyaris tak kentara.
"Apakah Kembang Mayat masih inginkan Yo-
ga?" tanya Lili ingin tahu.
"Benar! Kami bahkan mendapat amanat tinggi;
membawa pulang Pendekar Rajawali Merah, atau
membunuhnya jika beliau menolak!"
Terkesiap mata Lili mendengar kata-kata terak-
hir itu. Ia ingin berontak dalam hatinya, tapi ia tak
mau tunjukkan sikapnya itu. Ia justru bersikap te-
nang-tenang saja dengan wajah tetap murung. Bahkan
ia lebih kelihatan acuh tak acuh dengan ucapan Gan-
daloka tadi. "Baiklah, kami akan berangkat mencari mereka
berdua di Gunung Tambak Petir," kata Gandaloka kemudian.
"Percuma," kata Lili sengaja memancing panas hati Gandaloka dan kedua temannya
itu. "Kalian tidak akan berhasil membawa Yoga ke Pulau Keramat itu,
karena Kencana Ratih pasti akan mempertahankan
Yoga. Dia berilmu tinggi dan sangat sakti!"
"Kami akan bunuh dia demi tugas dari Gusti
Ratu kami! Saya sudah dibekali dua pendekar Pulau
Kana ini; Ayodya dan Loga."
"Hrnm...!" Lili hanya mendengus sambil buang muka lagi, lalu berkata makin
memancing nafsu Gandaloka, "Aku ingin lihat seberapa kehebatan pendekar dari
Pulau Keramat itu. Mampukah mereka berdua
membunuh Kencana Ratih?"
"Kita buktikan saja nanti!" jawab Gandaloka
dengan tegas. * * * 2 KEPERGIAN Gandaloka membuat Lili menjadi
kian merenung. Kini yang ada dalam benaknya adalah
tugas yang diemban oleh Gandaloka. Membawa Yoga
atau membunuh pendekar tampan itu" Dan haruskah
Lili diam saja jika ada orang yang ingin membunuh
Pendekar Rajawali Merah itu"
Hati Lili semakin perih dan sakit manakala ia
bayangkan Yoga mati terbunuh oleh Gandaloka. Jelas
jika hal itu terjadi maka ia tidak akan bisa bertemu
dengan Yoga untuk selamanya. Perpisahan dengan Yo-
ga seumur hidup agaknya adalah sesuatu hal yang be-
lum mampu diterima oleh hati Lili. Karena itu, nalu-
rinya segera berontak dan ingin menggagalkan maksud
dan tujuan dari tiga utusan Pulau Keramat itu. Pende-
kar Rajawali Putih segera melesat pergi menyusul
langkah Gandaloka.
Sebenarnya dalam waktu singkat Gandaloka
bisa tersusul olehnya tapi tanpa disangka tiba-tiba sa-
ja dua orang berperawakan angker menghadang lang-
kah Lili dan bikin ulah yang menyebalkan. Dua lelaki
brewok yang mempunyai wajah ganas turun dari atas
pohon dan berdiri tepat di depan Lili dalam jarak tiga langkah.
Jleeg..! "Ha, ha, ha, ha..,!" keduanya sama-sama terta-wa dengan lagak yang benar-benar
membuat Pendekar
Rajawali Putih hampir saja lepaskan pukulan maut-
nya. Untung ia masih sempat bertahan diri dan bersi-
kap tenang menghadapi dua orang tak dikenalnya itu.
"Mau ke mana kau, Nona Manis" Mengapa ja-
lan sendirian, hmm...?" si brewok kurus mulai membuka rayuan yang memuakkan.
Matanya tampak nak-
al. sementara temannya yang agak gemuk itu meman-
dangi Lili sambil mengelilinginya. Orang itu berkata
kepada si kurus,
"Carok Alas, rasa-rasanya kita ketiban rezeki
nomplok hari ini! Yang kita cari selembar daun kering, tapi yang kita dapatkan
ternyata emas permata! Ha,
ha, ha, ha...! Rasa-rasanya nona ini tidak keberatan ji-ka kita ajak ke semak-
semak rindang di seberang sa-
na, Carok Alas!"
Yang kurus berkata, "Mengapa harus ke semak-
semak sana" Di sini pun jadilah. Toh tidak ada orang
yang berkeliaran di tempat sesepi ini, Balung Kuwuk!"
"Tapi hati-hatilah, agaknya si cantik menggiur-
kan ini tidak hanya sekadar keindahan tanpa isi! Kuli-
hat gagang pedangnya melambangkan bobot ilmu yang
dimiliki, Carok Alas!"
"Oho, ho, ho, ho...! Aku sudah punya penang-
kalnya, Balung Kuwuk. Jurus 'Setan Gentayangan' ti-
dak akan ada yang bisa menandingi. Dan si cantik ini
pasti akan tunduk dengan perintahku! Tak akan se-
gan-segan membelai kita secara bergantian! He, he, he,
he...!" Sambil tertawa memuakkan, orang yang bernama Carok Alas itu maju
mendekati Lili, tangannya
segera mencolek dagu Lili. Tetapi dengan cepat jari
tangan Lili mematuk pergelangan tangan itu. Deeb...!
"Auh...!" Carok Alas segera tarik tangannya
dengan cepat sambil memekik. Matanya terbelalak ka-
get memandang Lili dan Balung Kuwuk secara bergan-
tian. Ia ditertawakan oleh Balung Kuwuk, sudah tentu
hatinya menjadi panas.
"Tutup bacotmu, Balung Kuwuk!" sentaknya
dengan kasar sambil masih pegangi tangannya. "Patukan tangannya seperti patukan
seekor burung rajawali
yang ganas! Sekujur tubuhku seperti disengat ribuan
lebah liar!"
"Sudah kubilang, hati-hati! Dia tidak ubahnya
seperti macan betina, Carok Alas! Kalau kau tak hati-
hati, bisa habis kau dimakannya!"
"Persetan! Mungkin itu hanya kebetulan saja!"
"Minggirlah. Biar aku yang menjinakkan macan
betina ini!" kata Balung Kuwuk yang bersenjatakan tulang besar seukuran lengan
orang dewasa. "Nona manis, kalau kau ingin tubuhmu tetap
mulus, wajahmu tetap cantik menggiurkan, nyawamu
tetap utuh di tempatnya, jangan sekali-sekali bersikap kasar kepada kami! Brewok
Kembar Iblis bukan orang
yang mudah dibuat main-main. Brewok Kembar Iblis
jarang kasih kebijaksanaan kepada lawannya. Terlebih
seorang wanita, jika tak mau tunduk, kami tak segan-
segan merajang habis tubuhnya dan melumat lembut
kepalanya. Karena itu...."
Wuuut...! Taang...!
Tiba-tiba sekali mata Balung Kuwuk menjadi
mendelik. Lehernya bagai dihantam memakai kayu
yang amat besar. Padahal saat itu Lili hanya mengele-
batkan tangannya dan dua jarinya mematuk leher Ba-
lung Kuwuk bagian samping. Tetapi patukan Jari itu
membuat wajah Balung Kuwuk berubah menjadi me-
rah bagai habis terbakar.
"Bangsat...! Dia menyerangku!" katanya dengan suara sangat serak, seakan tak
mampu lagi tenggoro-kannya dipakai untuk bicara. Ia menelan ludah bebe-
rapa kali dengan mata mendelik.
Carok Alas yang tangannya kini membengkak
biru itu serukan suara geram sambil bergerak ke
samping, "Anak setan! Rupanya kau tak bisa dikasih ha-
ti!" Wulzzt...! Carok Alas bagaikan melemparkan
sesuatu dengan tangan kirinya yang dikebatkan. Ben-
da yang dilemparkan itu tidak terlihat, namun tiba-tiba bagian bawah leher Lili
terasa seperti dihantam dengan ujung bambu kecil. Hantaman itu cukup keras,
sempat membuat Lili tersentak mundur satu tindak. Namun
setelah itu, Lili tidak bisa gerakkan tangannya sedikit pun. Bahkan kedua
kakinya bagaikan tidak bertulang
lagi. Ia jatuh terkulai lemas seperti tidak mempunyai urat lagi. Beruntung ia
ada di dekat gugusan tanah
berbatu, se hingga ia bisa jatuh dengan punggung ber-
sandar Mulutnya pun tidak bisa digunakan untuk bi-
cara. Mungkin itulah yang dimaksud jurus 'Setan Gen-
tayangan' dari Carok Alas. Dan keadaan Lili yang ter-
kulai tak berdaya itu membuat hati kedua orang bre-
Jodoh Rajawali 08 Bunga Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wok sangar itu menjadi kegirangan.
Tetapi ketika kedua orang itu berusaha mener-
kam Lili secara berebutan, tiba-tiba seberkas sinar
jingga menerpa tubuh mereka dengan sangat cepat
dan kuat. Blaaar...!
Carok Alas dan Balung Kuwuk terpental secara
bersamaan. Tubuh mereka melayang tiga tombak
jauhnya dari tempat Lili terkulai. Mereka sama-sama
meraung karena tubuh mereka dalam keadaan terba-
kar api yang cukup besar. Tubuh yang terbungkus api
itu berusaha memadamkan diri dengan berguling-
guling. Namun semakin mereka bergerak banyak, se-
makin berkobar nyala api yang membakar diri mereka.
Lili melihat jelas kejadian itu. Lili sadar apa
yang terjadi di depan matanya. Tapi ia tidak bisa me-
nengok ke kiri atau ke kanan, bahkan untuk ucapkan
sepatah kata pun ia tak mampu. Akhirnya ia hanya bi-
sa menjadi penonton yang baik dan diliputi penuh pe-
rasaan kagum melihat jurus pembakar tubuh yang be-
gitu hebat itu. Sampai akhirnya kedua orang bertam-
pang angker itu diam tak berkutik dalam keadaan
hangus, nyala api itu masih saja membakar mayat me-
reka. Tak sedikit pun susut dari kobarannya.
Kejap berikutnya Pendekar Rajawali Putih yang
mengenakan pakaian merah jambu itu melihat kilatan
sinar putih terang berkilauan yang menghantam tubuh
hangus tersebut. Zraab...! Sinar putih berkilauan itu
bagaikan menyergap kedua mayat hangus, dan nyala
apinya tiba-tiba padam seketika. Bluub ...! Kini kedua mayat hangus itu tinggal
mengepulkan asap yang kian
lama kian menipis habis.
"Siapa orang sakti yang mempunyai ilmu se-
dahsyat itu?" pikir Lili dalam keadaan tetap terkulai lemas tak bertenaga itu.
"Jurusnya tadi begitu hebat dan sukar ditangkis oleh lawan. Jurus ganas itu
pasti dimiliki oleh tokoh tua yang sakti dan jarang menam-
pakkan diri di rimba persilatan. Hmm..., mengapa
orang itu tidak segera tampakkan diri di depanku?"
Baru saja batin Lili bertanya begitu, tiba-tiba
muncul sesosok tubuh berpakaian kuning dari arah
belakangnya. Orang berpakaian kuning itu berjalan
tenang mendekati dua mayat hangus tersebut. Ia me-
meriksa mayat itu sebentar, kemudian balikkan badan
dan menatap Lili dari kejauhan.
Hati Lili sangat terkejut namun wajahnya tak
bisa pancarkan rasa kagetnya itu, karena ia bagaikan
tidak berurat sama sekali. Hal yang membuat Lili ter-
kejut ternyata orang berbaju kuning itu adalah seorang pemuda berusia sebaya
dengan Lili. Rambutnya ikal
bergelombang diikat kain merah, berwarna hitam
mengkilap halus. Wajahnya tampan tanpa kumis, tapi
memancarkan ketegasan, keberanian, dan kejanta-
nannya. Matanya bening dan teduh. Bibirnya merah
segar dan seakan selalu menyunggingkan senyum.
Dan hati Lili berdebar-debar kala pemuda itu sengaja
lebarkan senyumannya sambil mendekati Lili.
"Sebenarnya akulah yang mereka cari!" kata
pemuda itu kepada Lili sambil jongkok di depannya.
"Me reka mengejarku sejak beberapa hari ini! Aku tidak mau melawan mereka,
karena mereka adalah pa-
man-paman ku. Tetapi kali ini mereka sudah kelewat
batas, jadi aku terpaksa membunuh mereka daripada
harus saksikan mereka memperkosa mu, Nona. Bre-
wok Kembar Iblis adalah anggota keluarga kami yang
sudah lama dikucilkan, dan karena tindakan sesatnya
itu, keluarga kami menjadi cemar! Mereka membunuh
kakekku, yaitu ayah tiri mereka sendiri. Ibuku dan
mereka berdua satu ibu kandung tapi lain ayah. Ibuku
pernah wanti-wanti agar aku jangan bikin persoalan
dengan kedua paman ku itu. Tetapi mereka sendiri
yang bikin persoalan denganku, dan aku berulang kali
menghindar dari mereka namun akhirnya tak bisa ju-
ga. Mereka menghendaki pedang pusaka warisan gu-
ruku yang ada di punggungku ini dan ingin merebut-
nya karena mereka tahu kesaktian pedang perunggu
ini. Dan tugasku adalah menyelamatkan serta mem-
pertahankan pedang perunggu ini dari jamahan tan-
gan-tangan sesat."
Pemuda itu bicara sendiri panjang lebar tanpa
peduli yang diajak bicara bisa menyahut atau tidak,
tanpa peduli yang diajak bicara mau mendengarkan
atau tidak. Setelah bicara begitu, pemuda tampan itu
berkata lagi, "Kau terkena jurus 'Setan Gentayangan', Nona.
Jurus itu adalah jurus andalan Paman Carok Alas. Tak
ada perempuan yang bisa menghindari jurus 'Setan
Gentayangan', sehingga Paman Carok Alas itu dikenal
sebagai Pawang Perawan. Artinya, tukang memperkosa
perempuan dengan amat lihainya membuat perem-
puan itu tidak berkutik."
Dalam hati Lili menggerutu, "Setan orang ini!
Kerjanya bicara saja tapi tidak ambil tindakan untuk
menyelamatkan aku dari pengaruh jurus 'Setan Gen-
tayangan' ini"! Apakah memang dia tidak mampu me-
mulihkan keadaanku menjadi seperti sediakala" Cela-
ka! Jangan-jangan dialah yang akan memanfaatkan
keadaanku seperti ini"! Jangan-jangan dia yang mau
memperkosaku"!"
Pemuda sopan itu seolah mendengar ucapan
batin Lili, karena tepat saat Lili selesai berkata batin, pemuda itu sunggingkan
senyumnya lagi. Hati Lili
menjadi semakin tak enak, karena menduga pemuda
itu tahu apa yang dikatakan dalam hatinya tadi. Pa-
dahal apa yang dilakukan pemuda itu hanya bersifat
kebetulan saja. Kebetulan juga pemuda itu segera me-
raih sebatang ranting kering, lalu ia memegang tangan
kiri Lili dengan sebelumnya berkata,
"Maaf, aku bukan bermaksud tidak sopan pa-
damu. tapi karena aku harus sembuhkan dirimu dari
pengaruh jurus 'Setan Gentayangan' ini!"
Tangan Lili dipegangnya, telapak tangan itu di-
buka pelan-pelan, seakan dilakukan dengan penuh ha-
ti-hati. Bahkan telapak tangan itu sempat dirabanya
sebentar dengan gerakan lembut. Mata pemuda itu
memperhatikan garis-garis tangan Lili beberapa saat.
Ia berkata seperti ditujukan kepada dirinya sendiri,
"Hebat sekali kau sebenarnya, Nona. Ilmumu
cukup tinggi dan di telapak tanganmu ini tergenggam
kesaktian yang sungguh dahsyat dan mengagumkan.
Tak kusangka ternyata kau orang berilmu juga. Tapi
agaknya ilmumu ini punya pasangan sendiri, jika ber-
temu dengan ilmu pasangan mu, akan membentuk sa-
tu ilmu yang lebih dahsyat dan lebih sakti lagi...." Pemuda itu masih memandangi
garis tangan Lili. Tapi
kemudian ia segera alihkan pandangan matanya kepa-
da Lili dan kembali tersenyum.
"Jangan takut, kau akan pulih seperti sediaka-
la. Aku tahu kunci membebaskan jurus 'Setan Gen-
tayangan'...."
Kemudian pemuda tampan bersenjatakan pe-
dang perunggu di punggungnya itu segera memegang
jari tengah tangan Lili. Ranting yang tadi diambilnya
dari tanah itu sekarang digunakan untuk menusuk ja-
ri tengah tersebut. Tees...! Begitu ujung jari tengah ditusuk ranting tak sampai
berdarah, tubuh Lili tersen-
tak keras seketika, sampai tak sengaja tangan yang di-
pegangi pemuda itu berkelebat kuat dan menampar
wajah pemuda itu. Plook...!
Terjengkang hebat pemuda tersebut terkena
tamparan tak sengaja dari Lili. Kini ia ganti yang terkapar di rerumputan sambil
mengerang kesakitan. Tu-
lang pipinya memar seketika akibat hantaman telapak
tangan Lili, sebab telapak tangan itu mempunyai tena-
ga dalam besar yang tersimpan di sana dan sewaktu-
waktu bisa keluar dalam satu sentakan kuat.
Pemuda itu tidak bisa bicara untuk beberapa
saat. Wajahnya yang berkulit kuning langsat dan ber-
sih itu menjadi merah. Lili yang telah terlepas dari
pengaruh ilmu 'Setan Gentayangan' itu menjadi salah
tingkah. Semua anggota tubuhnya sudah bisa digerak-
kan, ia kembali seperti sediakala, tapi ia harus berhadapan dengan pemuda tampan
yang menderita sakit di
wajahnya Mata Lili menjadi serba salah dalam meman-
dang. Gerakannya pun menjadi serba kikuk. Tapi ia
paksakan mendekati pemuda yang terkapar itu seraya
berkata gugup, "Ma., maa... maafkan aku. Aak... akku... aku
tidak sengaja menamparmu! Ak... aku... oh, ya... aku
akan sembuhkan kamu!"
Dengan hati berdebar-debar, tangan Lili pun
segera meraba lembut wajah itu. Ia pejamkan mata ka-
rena ia curahkan hawa mumi ke dalam tangannya.
Hawa murni itu meresap masuk melalui tulang pipi
pemuda itu. Rasanya sejuk dan lembut. Dalam bebe-
rapa kejap berikutnya, wajah pemuda itu sudah tidak
merah lagi, rasa sakit di tulang pipinya menjadi berkurang, lalu hilang. Warna
memarnya pun sedikit demi
sedikit menjadi sirna dan kembali ke warna aslinya.
Tapi Lili masih tempelkan tangannya ke wajah itu ka-
rena ia melakukannya dengan mata terpejam, jadi ia
tidak tahu kalau pemuda itu sudah berubah seperti
sediakala. Bahkan ia tak sengaja telah menyentuh bi-
bir pemuda itu yang terasa hangat di permukaan kulit
tangannya. Pemuda itu sedikit nakal, ia membuka mu-
lutnya dan menggigit kecil ibu jari tangan Lili. Tersentak kaget Lili seketika.
Ditarik mundur tangannya.
Pemuda itu tersenyum dan segera bangkit un-
tuk duduk. Lili berdiri dengan perasaan malu pada diri sendiri. Ia palingkan
wajah, sembunyikan senyum tersipu agar tak diketahui pemuda itu. Maka, pemuda
itu pun segera bangkit berdiri sambil berkata,
"Maaf, aku hanya ingin bercanda sedikit den-
ganmu. Jika gigitan ku itu kau anggap tindakan tak
sopan dan memalukan, hukumlah aku, Nona!"
Lili palingkan wajah, kembali memandang pe-
muda tampan yang menggetarkan hati itu. Lili geleng-
kan kepala sambil berkata pelan,
"Tak ada yang perlu dimaafkan, tak ada yang
perlu dihukum."
"Terima kasih." ucap pemuda itu dengan lem-
but dan kalem. "Yang kuperlukan adalah namamu."
"Namaku.... Wisnu Patra," jawab pemuda ber-
badan tegap itu. "Tapi orang-orang banyak yang men-julukiku: Dewa Tampan." Lalu,
pemuda itu tertawa geli sendiri, membuat Lili pun jadi ikut tertawa geli.
"Kau sudah mengetahui namaku, bolehkah aku
mengetahui namamu?" tanyanya kemudian.
"Namaku.... Lili!"
"Hanya itu?"
"Ya."
"Bohong. Kau pasti punya nama julukan, kare-
na kau bukan orang sembarangan! Garis tanganmu
menunjukkan kau orang berilmu tinggi. Biasanya
orang berilmu tinggi mempunyai julukan sendiri. Se-
butkan julukanmu, jangan malu. Karena aku pun tak
malu menyebutkan julukanku sendiri, yaitu Dewa
Tampan!" "Julukanku... rasa-rasanya tak penting. Yang
penting aku ingin tahu dari mana asalmu, Wisnu Pa-
tra?" "Sebutkan dulu nama julukanmu, Lili."
Lili menarik napas dan berkata, "Baiklah kalau
kau memaksa. Aku tidak punya nama julukan, tapi
aku mempunyai gelar dari guruku."
"Sebutkan!"
"Pendekar Rajawali Putih."
"Hahh..."!" Wisnu Patra tersentak kaget, ma-
tanya sampai terbelalak lebar, mulutnya ternganga se-
ketika. Wajah pemuda itu menjadi pucat pasi dengan
gerak langkah mundur dua tindak. Mata itu segera
menatap ke gagang pedang di punggung Lili yang
mempunyai hiasan kepala burung rajawali yang saling
bertolak belakang dari bahan logam perak putih yang
mengkilat dan anti karat.
Melihat perubahan sikap Wisnu Patra, dahi Lili
menjadi berkerut tajam-tajam. Pandangan matanya
pun memancarkan keheranan, sehingga terlontarlah
tanya, "Kenapa" Apa yang membuatmu terkejut begi-tu, Dewa Tampan"!"
Wisnu Patra bagai kelu lidahnya. Ia ingin
ucapkan sesuatu, namun terasa sulit, sehingga ia
hanya bisa gerak-gerakkan bibirnya dengan napas mu-
lai tak teratur.
* * * 3 WISNU Patra berkelebat lari dari hadapan Pen-
dekar Rajawali Putih. Karena hati Lili menjadi semakin penasaran, maka ia pun
mengejar Wisnu Patra dengan
jurus 'Langkah Bayu'. Weesst...! Dan dalam waktu
singkat, Lili sudah berada di depan langkah Dewa
Tampan, ia berdiri bagai menghadang, dan Dewa Tam-
pan terhenti dengan rasa dongkol tertahan. "Mengapa kau tiba-tiba lari dariku,
Wisnu Patra?" "Aku tidak
mau bertemu denganmu lagi," jawab Wisnu Patra.,
"Kau membenci ku?"
Wisnu Patra bingung menjawab. Matanya me-
natap Lili sebentar, lalu terlempar jauh memandang ke
arah tak tentu. Sikapnya yang serba salah tingkah itu
membuat Lili kian bertambah penasaran. Kemudian,
Lili pun mendesak dalam tanya,
Jodoh Rajawali 08 Bunga Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Katakan apa adanya, Wisnu Patra! Jangan kau
buat aku menjadi penasaran seperti ini! Sikapmu terla-
lu aneh buatku!"
Wisnu Patra melangkah pelan-pelan sambil
tundukkan wajah. Ia sedang pertimbangkan jawaban
yang harus diberikan kepada gadis cantik itu. Tetapi,
di luar dugaan Lili, tiba-tiba Wisnu Patra sentakkan
kaki ke tanah dan tubuhnya melayang cepat ke atas
pohon. Kemudian
dengan gerakan lincahnya ia melarikan diri me-
lalui dahan-dahan pohon yang ada di atas sana.
Pendekar Rajawali Putih tidak mau kehilangan
Wisnu Patra sebelum pemuda tampan itu menjawab
keanehan sikapnya. Maka ia pun juga sentakkan kaki
ke tanah dan tubuhnya melenting di udara mencapai
dahan pohon. Ia segera mengejar Dewa Tampan itu
melalui pohon ke pohon, mengikuti jejak langkah si
Wisnu Patra yang tampan itu.
Rupanya kali ini Pendekar Rajawali Putih ter-
paksa kehilangan jejak Wisnu Patra. Mungkin ia salah
arah dalam mengejar pemuda yang mampu mempu-
nyai gerakan lari begitu cepat, hampir menyamai jurus
"Langkah Bayu'.
"Ke mana dia larinya" Atau aku salah arah da-
lam mengejarnya?" ucap Lili sendirian ketika ia berada di lereng perbukitan.
Tetapi tiba-tiba Lili merasakan hembusan angin
panas datang mendekatinya dari belakang. Gerakan
gelombang angin panas itu sangat cepat, sehingga Lili
tak sempat berpaling memandang ke belakang. Ia lekas
sentakkan kakinya melesat ke atas dan bersalto dua
kali, sehingga hembusan angin panas yang berbahaya
itu lewat di bawah kakinya, tak sampai menyentuh tu-
buhnya sedikit pun.
Duaar...! Gelombang angin panas itu menghan-
tam pohon, dan pohon tersebut roboh seketika. Pada
saat itu Pendekar Rajawali Putih memandang ke arah
datangnya pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi
itu. Ternyata di sana tampak seorang perempuan mu-
da bersenjatakan seruling besar.
"Siapa kau!" seru Pendekar Rajawali Putih.
"Aku Seruni! Kau masih ingat peristiwa di Gua
Bidadari itu"!"
"Seruni...?" ucap Lili pelan. "Mungkin dia salah satu orang Gua Bidadari yang
sempat lolos dan melarikan diri bersama beberapa orang lainnya itu?" (Baca
episode: "Gerombolan Bidadari Sadis").
"Aku masih ingat tampang liar mu!" kata Seruni dengan sengitnya. "Kau memihak
pemuda tampan yang sering di panggil dengan nama Yoga itu! Kau ber-
jaya jika bersamanya. Tapi sekarang kau sendirian dan
aku sendirian! Aku ingin menebus kekalahan ku tem-
po hari. Ingin kubuktikan sejauh mana kehebatanmu
jika dalam keadaan sendirian seperti ini!"
"Seruni, urusan itu adalah urusan Yoga dengan
perempuan busuk yang bernama Kencana Ratih! Aku
tidak ikut campur lagi dalam urusan itu!"
"Tapi waktu itu kau ikut campur, dan kau sem-
pat lukai aku dengan tenaga dalam dari tangan kirimu!
Aku merasa terdesak dan harus segera lari untuk cari
kesempatan lain membalas kalian. Dan sekarang ke-
sempatan itu datang, aku akan pergunakan sebaik
mungkin. Karena itu, bersiaplah menebus kekalahan
ku waktu itu!"
"Tidak. Aku tidak mau terlibat lagi urusan Yo-
ga!" "Kalau kau tak bersedia melawanku, lakukan
bunuh diri di depanku sekarang juga. Lekas!"
Lili membatin dalam hatinya, "Wah, orang ini
benar-benar cari penyakit! Mau tak mau aku terpaksa
turun tangan juga jika caranya begitu! Padahal aku
sudah tidak mau tahu lagi dengan urusan Yoga! Tapi
jika dia mengancam nyawaku, aku berhak membela di-
riku sendiri!"
"Lekas lakukan, Keparat!" bentak Seruni.
"Aku akan layani tantanganmu, Seruni!"
"Bagus! Bersiaplah, Perempuan Busuk!
Heaaah...!"
Seruni segera sodokkan serulingnya ke depan
dengan satu sentakan cukup kuat. Dan dari ujung lu-
bang bambu seruling itu melesatlah sinar biru berben-
tuk garis lurus sebesar lubang seruling itu.
Wuuuts...! Lili cepat sentakkan tangan kirinya yang tadi
diramal oleh Wisnu Patra itu. Dari tangan tersebut
muncul sinar putih keperakan yang menyebar lebar.
Sinar itu dihantam oleh sinar birunya Seruni dan
menggelegarlah bunyi benturan dua sinar bertenaga
dalam tinggi itu.
Blaaar...! Bumi berguncang sekejap. Pohon-pohon pun
mulai rontokkan daun-daun kuningnya yang melayu.
Tubuh Seruni terpental mundur sampai terguling-
guling akibat gelombang ledakan tersebut, sedangkan
tubuh Lili hanya mundur satu tindak dengan tangan
masih siap serang lagi.
"Keparat! Rupanya kau cukup tangguh juga,
Gadis Bangkai!" geram Seruni. Ia segera bangkit, lalu
serulingnya ditiup dengan suara keras dan nadanya
tak beraturan. Suara seruling itu mempunyai getaran
yang mampu membuat kulit pohon mengelupas sendi-
ri-sendiri. Tentunya tiupan seruling kali ini disertai tenaga dalam penghancur
yang sungguh hebat. Hal itu
membuat telinga Lili merasa bagai sedang ditusuk oleh
ribuan jarum yang amat menyakitkan. Lili menutup
kedua telinganya kuat-kuat, sampai wajahnya menye-
ringai menahan sakit dan ia jatuh berlutut karenanya.
Tiba-tiba suara seruling itu berhenti seketika
setelah sekelebat sinar jingga menerpa tubuh Seruni.
Sinar jingga itu membias dan menghantam tubuh Se-
runi, lalu api pun membungkus tubuh itu. Bbaab!
"Aaaaa...!" Seruni memekik keras-keras dengan berusaha memadamkan api yang
membungkus tubuhnya. Ia berguling-guling agar api padam karena re-
rumputan yang basah itu. Tetapi api justru menjadi
berkobar besar dan makin memekikkan suara memi-
lukan dari mulut Seruni.
Lili segera lepaskan kedua tangan yang menu-
tup telinganya. ia memandangi tubuh lawannya yang
tak bisa lepas dari kurungan api membara itu. Lekas-
lekas ia bangkit dan memandang sekeliling. Karena ia
yakin cahaya jingga yang berkelebat menghantam tu-
buh Seruni tadi pasti datang dari tangan Dewa Tam-
pan. Keadaan Seruni sama persis dengan nasib yang
dialami oleh dua orang brewok yang menamakan diri
mereka Brewok Kembar Iblis tadi.
Menyadari keanehan seperti itu, Lili pun segera
berseru, "Wisnu! Keluarlah kau! Kita perlu bicara, Wisnu...! Jangan pergi
dariku!" Tak ada suara lain kecuali suara api yang ber-
kobar-kobar menghabiskan tubuh Seruni. Tubuh itu
akhirnya diam, kaku, dan hitam tanpa nyawa lagi. Lili
tak tega memandangnya. Ia lebih cenderung meman-
dang sekeliling mencari sosok Wisnu Patra atau si De-
wa Tampan itu. "Wisnuuu...!" panggilnya lagi dengan nada
jengkel. "Jangan memancing kemarahanku, Wisnu! Keluarlah dari persembunyianmu!
Aku tahu kau ada di
sekitar sini, Wisnu...!"
Tetap tak ada suara, tak ada gerak, bahkan de-
tak jantung pun tak terdengar oleh panca Indera Lili
yang terpeka sekalipun. Api masih menyala tiada kun-
jung padam. Padahal Lili menunggu datangnya sinar
putih yang akan memadamkan api seperti saat api itu
datang dan padam membungkus tubuh Brewok Kem-
bar Iblis. Tapi ternyata sinar putih yang berfungsi sebagai pemadam itu tidak
kunjung tiba juga.
Pendekar, Rajawali Putih segera sentakkan ka-
ki, tubuhnya melesat naik ke dahan sebuah pohon
tinggi. Dari sana ia memandang ke bawah, mencari
tempat persembunyian Wisnu Patra. Tetapi cukup la-
ma ia tidak menemukan apa yang dicarinya. Hanya sa-
ja, beberapa waktu setelah Lili melompati dahan ke
dahan, ia melihat gerakan orang berlari cepat dengan
pakaian kuning. Orang itu ada di seberang sana, cu-
kup jauh dari tempat Lili berada. Tak salah lagi, orang itu adalah Wisnu Patra.
Maka, Lili pun segera mengejar ke arah bayangan kuning tersebut.
Wisnu Patra seorang pemuda yang licin bagai-
kan belut, menurut Lili. Kali ini ia kembali kehilangan jejak Wisnu Patra.
Padahal alam mulai remang dan sebentar lagi gelap akan datang. Sekalipun
demikian, Lili yang masih penasaran terhadap keanehan sikap Wisnu Patra itu
tetap mencari pemuda tersebut, sampai
akhirnya ia tiba di sebuah desa di mana ada sebuah
kedai besar yang punya pengunjung cukup banyak. Li-
li sempatkan diri singgah ke kedai itu. Lalu ia bertanya kepada pemilik kedai
tersebut, "Apakah di sini ada penginapan, Pak Tua?"
Pak Tua itu menjawab. "Di sini tidak ada pengi-
napan, Nona. Tapi kalau Nona mau bermalam, Nona
bisa gunakan kamar kosong di belakang kedai saya ini!
Sesekali kamar itu memang saya sewakan untuk para
pendatang yang kemalaman di desa kami."
"Berapa sewanya satu malam?"
"Tidak terlalu mahal untuk kamar yang seder-
hana, Nona."
"Baiklah. Saya akan sewa kamar itu, Pak Tua.
Hanya untuk satu malam saja!"
"Baik. Saya akan suruh pelayan saya untuk
membersihkan kamar itu!"
Kehadiran Lili di kedai itu menjadi pusat perha-
tian beberapa pasang mata lelaki. Kecantikan Lili
sungguh memukau mereka. Namun tamu yang me-
nempati meja sudut itu nampak tidak tertarik sama
sekali dengan kecantikan Lili. Dua tamu berperawakan
tegap dan berusia antara empat puluh tahun itu, sibuk
membicarakan masalahnya sendiri.
Dengan memusatkan perhatian dan memasang
pendengarannya baik-baik, Lili sempat mendengar
percakapan kedua orang tersebut. Yang berbaju biru
mengatakan kepada si baju merah,
"Kurasa tidak semudah dugaanmu untuk men-
dapatkan bunga Teratai Hitam itu! Pasti beberapa
orang upahan saling berlomba untuk mendapatkan-
nya. Dan itu berarti kita akan berhadapan dengan me-
reka!" "Itu sudah pasti," kata yang mengenakan baju merah. "Tapi tentunya kita
pun sudah siap siaga dengan lawan yang bakal kita hadapi. Kalau kau takut,
sebaiknya kau tak usah ikut saja. Biarlah aku sendiri
yang pergi ke Gua Mulut Iblis untuk mendapatkan
bunga Teratai Hitam itu!"
Rupanya, tiga tamu di belakang Lili itu pun se-
dang mempercakapkan tentang bunga Teratai Hitam.
Salah seorang terdengar berkata,
"Seberapa pun besar bahayanya, aku tak akan
mundur dalam usaha mendapatkan bunga Teratai Hi-
tam. Rugi besar kalau aku harus mundur, karena ini
kesempatan baik untuk menjadi menantu seorang adi-
pati. Apalagi putri adipati yang bernama Galuh Ajeng
itu seorang gadis yang cantik jelita dan berilmu tinggi, rasa-rasanya mati pun
sanggup kujalani demi mendapatkan perempuan secantik dia."
"Kalau dari kita bertiga ini ada yang menda-
patkan bunga teratai tersebut, apakah kita bertiga juga akan saling bunuh
sendiri?" "Seharusnya kita bikin kesepakatan dulu sebe-
lum hal itu terjadi. Jika bunga teratai itu ada di tangan kita, siapa yang
berhak maju sebagai suami Galuh
Ajeng. Kalau sudah kita sepakati, maka kita tidak akan merasa iri satu dengan
yang lainnya."
"Aku hanya mengejar kedudukan saja," kata
seseorang yang persis duduknya beradu punggung
dengan Lili. "Kabarnya, yang berhasil mendapatkan bunga Teratai Hitam sebagai
obat penyembuh sakit
sang Adipati itu, juga akan mendapatkan kedudukan,
yaitu menjadi penguasa di salah satu tanah kekuasaan
sang Adipati. Nah, aku memilih menjadi penguasa sa-
ja." "Kalau begitu, aku lebih baik memilih harta
yang juga dijanjikan akan diberikan kepada orang yang
berhasil membawa bunga teratai itu kepada pihak ka-
dipaten. Lebih baik aku memperkaya diri, soal istri bi-sa cari yang sesuai
dengan seleraku. Lagi pula, aku
kurang selera punya istri yang masih semuda Galuh
Ajeng. Pengalaman bercintanya masih belum matang,
sehingga masih harus mendidiknya dulu!"
Mereka tertawa bersama, sementara Lili hanya
diam saja memperhatikan suara-suara dl sana-sini.
Ternyata mereka banyak yang membicarakan tentang
bunga Teratai Hitam. Kesimpulan yang diperoleh Lili
adalah, bahwa seorang adipati sedang sakit parah.
Sang Adipati itu bisa selamat jiwanya dan sembuh Jika
mendapatkan obat dari bunga Teratai Hitam. Lalu, pi-
hak keluarga adipati sepakat keluarkan sayembara,
bahwa barang siapa berhasil serahkan bunga Teratai
Hitam, maka mereka akan mendapat berbagai hadiah
dari pihak kadipaten; antara lain menjadi penguasa dl
tanah wilayah kadipaten, mendapat kekayaan yang
jumlahnya tidak sedikit, dan jika lelaki akan dinikah-
kan dengan putri sang Adipati yang bernama Galuh
Ajeng. Konon, Galuh Ajeng sendiri sudah bersedia
menjadi istri siapa pun asalkan ayahandanya bisa
sembuh dari sakit parahnya itu.
"Teratai Hitam...?" gumam Pendekar Rajawali
Putih dalam hatinya. "Kalau tak salah, Yoga pernah singgung
singgung soal bunga Teratai Hitam untuk sem-
Jodoh Rajawali 08 Bunga Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buhkan Mahligai, keponakan Tabib Perawan itu. Atau
mungkin Yoga sudah dengar tentang adanya sayemba-
ra yang dapat hadiah putri adipati yang cantik jelita
itu" Ah, kurasa sayembara itu baru-baru ini saja di-
umumkannya. Dan... dan apakah sekarang Yoga se-
dang mencari bunga Teratai Hitam itu" Kudengar tadi
orang di sudut sana menyebutkan nama Gua Mulut Ib-
lis. Apakah Yoga sedang berada dalam perjalanan ke
Gua Mulut Iblis untuk mendapatkan Teratai Hitam"
Jika benar dia ke sana, berarti dia akan berhadapan
dengan banyak orang yang bernafsu untuk menjadi
menantu sang Adipati. Tentunya mereka bukan orang-
orang berilmu rendah! Jadi, kesimpulannya Yoga pasti
dalam bahaya! Ah, biar saja! Toh dia sudah dalam lin-
dungan si Ganjen Kencana Ratih!" Lili bersungut-
sungut sendiri menahan kecemburuannya.
Padahal Yoga sendiri tidak tahu kalau bunga
Teratai Hitam itu disayembarakan oleh pihak kadipa-
ten. Tujuan Yoga mendapatkan bunga itu hanya untuk
sembuhkan Mahligai. Tetapi usahanya ke Gua Mulut
Iblis itu sedikit terganggu oleh keadaan Kencana Ratih yang terluka akibat
penggempuran Gua Bidadari tempo hari. Kalau saja Pendekar Rajawali Merah itu
tidak membawa Kencana Ratih, pasti ia sudah sampai di
Gua Mulut Iblis sebelum orang-orang mencapai tempat
itu. Tetapi hati Yoga tidak tega meninggalkan Kencana
Ratih yang terluka, atau membiarkan Kencana Ratih
pulang dengan membawa luka. Baik luka di tubuhnya
maupun luka di hati akibat kematian kakaknya, sung-
guh merupakan beban kejiwaan tersendiri bagi Kenca-
na Ratih. Itulah sebabnya Yoga merasa perlu merawat
gadis cantik yang kalau tersenyum punya lesung pipit
di kedua belah pipinya itu.
Sebuah pondok, tempat seorang tokoh sakti
mengasingkan diri dalam usia tuanya, menjadi per-
singgahan bagi Yoga dan Kencana Ratih. Pondok itu
terletak di sebuah tebing bertangga batu. Mulanya Yo-
ga tidak tahu bahwa pondok itu milik Resi Gumarang.
Kencana Ratih sendiri tidak mengenal nama Resi Gu-
marang. Tetapi lelaki berusia sekitar delapan puluh
tahun lebih itu ternyata sengaja menyambut kedatan-
gan Yoga dan Kencana Ratih di ujung tangga Jalan ke
pondoknya. Mulanya Yoga terkejut ketika Resi Guma-
rang menyapanya dalam sikap menghadang langkah.
"Aku mendengar jeritan batin seorang anak
muda. Ternyata gadis itulah yang menjerit dalam ha-
tinya. Pasti ia terluka cukup parah. Jika kau tak keberatan, Anak Muda...
singgahlah ke pondokku sebentar
untuk merawat gadis itu."
"Terima kasih, Eyang. Bolehkah saya tahu sia-
pa Eyang sebenarnya?"
"Namaku Resi Gumarang. Gurumu pasti tahu,
karena mendiang gurumu yang berjuluk Dewa Geledek
itu adalah sahabat karib ku, juga kakekmu yang ber-
nama Gentar Swara itu temanku semasa kecil."
Saat itu, Yoga terkejut mendengar Resi Guma-
rang bisa sebutkan nama guru dan nama kakeknya.
Lalu Yoga pun bertanya,
"Dari mana Eyang tahu bahwa aku murid Dewa
Geledek dan cucu dari Ki Gentar Swara?"
"Nadi ku bergetar jika berdekatan dengan pe-
dang pusaka mu yang bernama Pedang Lidah Guntur
itu. Jika nadi ku bergetar, berarti aku berada tak jauh dari Pedang Lidah
Guntur. Jika seseorang membawa
Pedang Lidah Guntur, berarti dia murid dari Ki Dirgan-
tara yang bergelar Dewa Geledek. Dan aku tahu persis,
Dewa Geledek hanya punya satu murid yang diambil-
nya sejak masih bayi. Bahkan dulu aku ingin men-
gambil bayi itu untuk kujadikan muridku, tapi Dewa
Geledek menolak, terpaksa aku mengalah demi persa-
habatan kami! Dan bayi itu rupanya sekarang sudah
tumbuh menjadi dewasa dan tampan."
Resi Gumarang bukan saja bisa menandai akan
bertemu dengan si pembawa pusaka Pedang Lidah
Guntur, namun kesaktiannya mampu mengetahui apa
maksud dan tujuan yang terkandung dalam hati sa-
nubari orang yang dihadapinya. Seperti kala itu, Resi
Gumarang selesai mengobati luka-luka di tubuh Ken-
cana Ratih, bahkan luka bagian dalam pun telah tero-
bati, ia sengaja mengajak Yoga untuk menikmati pe-
mandangan di samping pondoknya. Hanya berdua me-
reka ada di sana, sementara Kencana Ratih diperin-
tahkan untuk tetap berbaring demi memulihkan tena-
ganya yang tersita habis pada waktu melakukan per-
tempuran dengan orang-orang Partai Gadis Pujaan
yang tinggal di Gua Bidadari itu.
Pada saat Resi Gumarang hanya berdua dengan
Pendekar Rajawali Merah itulah, apa yang terkandung
di dalam hati sanubari Yoga diungkapkan keluar oleh
Resi Gumarang. Orang berkepala gundul dengan jeng-
got putih itu berkata,
"Tujuanmu mencari bunga Teratai Hitam itu
memang mulia...."
Yoga sempat kaget, karena dia belum pernah
kemukakan maksud dan tujuannya ke Gunung Tam-
bak Petir itu. Tetapi ia segera maklum karena Resi
Gumarang adalah tokoh tua yang sakti, semakin tua
semakin tinggi ilmunya. Karena itu, Yoga hanya diam
dan menjadi pendengar yang baik. Resi Gumarang pun
lanjutkan ucapannya,
"Menolong orang adalah perbuatan yang mulia.
Tapi ingatlah agar pertolonganmu tidak menjadikan
malapetaka bagi orang lain juga."
"Saya kurang paham dengan maksud Eyang,"
kata Yoga. "Jika kau dapatkan bunga Teratai Hitam itu,
maka seseorang yang dalam keadaan sakit dapat men-
jadi sembuh. Sebab memang bunga itu yang dicari se-
bagai penawar racun dalam tubuhnya. Tetapi apabila
orang itu sudah sembuh, dapatkah kau mengendali-
kan jiwanya?"
Pendekar Rajawali Merah membungkam mulut,
merenungkan apa maksud kata-kata orang tua berba-
dan kurus itu. Karena lama sekali Yoga tidak berikan
jawaban atas kata-kata tadi, maka Resi Gumarang
berkata, "Sejujurnya kukatakan padamu, Pendekar Ra-
jawali Merah, bahwa usahamu menyembuhkan seo-
rang gadis itu bisa saja tercapai. Tapi gadis itu mencintaimu dan akan
mengejarmu ke mana saja. Dia akan
memusuhi setiap wanita yang ingin dekat denganmu.
Cintanya menjadikan suatu permusuhan dan dapat
menghadirkan bencana bagi orang lain."
"Jika begitu, haruskah saya batalkan niat saya
untuk mencari bunga Teratai Hitam itu, Eyang?"
"Jangan! Itu namanya kau menyerah sebelum
bertarung," kata Resi Gumarang dengan senyum tua-
nya yang bijaksana. "Yang perlu kau kendalikan adalah jiwa gadis itu. Redam
cintanya agar jangan menjadi sifat angkara murka."
"Bagaimana harus meredamnya, Eyang?"
"Aku tidak tahu. Tapi aku yakin kau pasti
punya cara sendiri untuk meredam cinta gadis itu.
Apalagi bibinya juga jatuh cinta padamu."
Yoga kembali terperanjat dan menjadi malu,
karena Resi Gumarang seakan menelanjangi rahasia
pribadinya, sampai dibeberkan tentang perasaan cinta
Sendang Suci, si Tabib Perawan yang juga adalah bibi
dari Mahligai. "Bisa-bisa gadis itu membunuh bibinya sendiri
jika ia tahu bibinya jatuh cinta padamu! Dan... me-
mang perjalanan hidupmu ditakdirkan tak jauh dari
masalah cinta dan dendam. Hati-hatilah mengarungi
perjalanan hidupmu, Yoga!"
Yoga terbungkam lagi mendengar ramalan na-
sib hidupnya mendatang.
* * * 4 GUA Mulut Iblis berudara dingin. Ketinggiannya
di lereng Gunung Tambak Petir itu sering hadirkan sal-
ju yang menggumpal putih di dedaunan. Tapi untuk
kali ini, salju tak ada di sekeliling Gua Mulut Iblis itu.
Hanya sesekali kabut melintasi gua tersebut dan pada
saat itu hawa dingin naik mencekam tulang manusia.
Tetapi seseorang yang sudah lama tinggal di da-
lam gua tersebut hampir tidak pernah mengenal ra-
sanya hawa dingin. Kulit dan tulangnya sudah terbiasa
dan menjadi kebal terhadap hawa dingin pegunungan.
Orang tersebut adalah tokoh tua yang dikenal cukup
sakti, bernama Nyai Kubang Darah. Ia bertapa di da-
lam gua tersebut untuk mencapai suatu ilmu maha
dahsyat yang akan mengalahkan kesaktian Malaikat
Gelang Emas. Sebab, Nyai Kubang Darah punya den-
dam terhadap tokoh sesat yang tak kenal belas kasi-
han itu. Ia yakin suatu saat nanti ia akan dapat kalahkan Malaikat Gelang Emas
jika ilmu yang ditekuninya
di dalam Gua Mulut Iblis itu sudah berhasil diperoleh-
nya. Gua tersebut dikatakan Gua Mulut Iblis karena
pintu masuk gua itu seperti mulut iblis yang sedang
menganga lebar. Tonjolan-tonjolan bebatuan di bagian
tebing luar atas gua itu, mirip seperti mata dan hidung iblis yang mengerikan.
Kasih Diantara Remaja 3 Sepasang Golok Mustika Karya Chin Yung Gajahmada 5