Pencarian

Bunga Penyebar Maut 2

Jodoh Rajawali 08 Bunga Penyebar Maut Bagian 2


Di dalam sana, terdapat sebuah
telaga berair keruh. Di telaga itulah terdapat bunga Teratai Hitam, yang hanya
satu-satunya bunga tumbuh
di telaga beraroma busuk, sehingga dinamakan Telaga
Bangkai. Konon bunga itu sendiri memberikan kekuatan
gaib bagi udara yang ada di dalam gua tersebut, se-
hingga para pertapa yang dulu sering menyepi di situ
tidak pernah mau merusak tumbuhnya bunga terse-
but. Bahkan Nyai Kubang Darah merasa hilang selu-
ruh penyakit yang dideritanya selama bertahun-tahun,
dan tubuhnya menjadi segar, kekuatan tenaga dalam-
nya terasa makin bertambah.
Itulah sebabnya ketika seorang sahabatnya da-
tang menemuinya di Gua Mulut Iblis itu, Nyai Kubang
Darah seperti berada dalam kebimbangan jiwa. Orang
yang sengaja datang menemuinya itu adalah Leak Pa-
rang, seorang tokoh sakti yang usianya sebaya dengan
Nyai Kubang Darah. Semasa mudanya mereka adalah
sepasang kekasih. Namun karena perbedaan aliran da-
lam ilmu mereka, Leak Parang dan Nyai Kubang Darah
terpaksa harus berpisah. Nyai Kubang Darah cende-
rung untuk menganut aliran hitam, sedangkan Leak
Parang, sekali pun berwatak keras, namun ia penganut
aliran putih. "Hanya kau orangnya yang berani mengganggu
masa bertapa ku, Leak Parang!" kata perempuan lanjut usia yang berambut putih rata itu.
"Jika kau anggap suatu gangguan, aku minta
maaf. Tapi aku perlu bertemu denganmu untuk satu
masalah yang amat penting," kata Leak Parang dengan tegas. Lelaki berusia antara
tujuh puluh tahun itu dipandangi oleh Nyai Kubang Darah yang bermata ce-
kung dan bertubuh kurus, namun belum berkulit ke-
riput. Pipinya pun belum terlalu kempot. Mungkin juga
akibat cukup lamanya ia berada di dalam gua itu dan
menghirup udara gaib yang ditimbulkan dari bunga
Teratai Hitam tersebut.
"Kalau bukan kau, sudah kubunuh orang yang
berani mengusik masa bertapa ku ini!" kata Nyai Kubang Darah yang saat itu ada
di luar gua. "Kau tahu sendiri, Kubang Darah, kalau bukan
karena urusan penting aku jarang keluar dari pondok-
ku!" "Ya, aku tahu. Kau memang tokoh tua yang jarang muncul di rimba persilatan
jika bukan karena
ada urusan penting. Hmmm...! Lalu apa maksudmu
datang kemari menemuiku" Ada urusan penting apa
yang kau hadapi, Leak Parang?"
"Aku mau minta bantuanmu, Kubang Darah!"
"Bantuan...?" gumam Nyai Kubang Darah seperti bicara sendiri, sambil ia
melangkah memunggungi Leak
Parang, tangannya bertopang pada tongkat panjang
yang terbuat dari kayu hitam.
"Ceritakan apa kesulitanmu, baru kupertim-
bangkan apakah aku perlu membantumu atau tidak!"
"Kau harus membantuku, Kubang Darah. Ini
demi menjaga agar hubungan kita tidak berubah men-
jadi permusuhan besar."
"Ceritakan dulu semuanya!" bentak Nyai Ku-
bang Darah sambil melirik Leak Parang. Yang dibentak
kelihatan tenang-tenang saja. Leak Parang tidak ter-
singgung, sebab ia tahu betul watak Nyai Kubang Da-
rah yang suka membentak-bentak begitu.
"Seorang sahabatku yang menjadi adipati da-
lam keadaan sakit parah. Ia terkena racun yang amat
berbahaya. Ia tidak akan bisa sembuh jika tidak mela-
lui pengobatan khusus, yaitu pengobatan dari bunga
Teratai Hitam!"
Wuuut...! Kepala Nyai Kubang Darah berpaling
dengan cepat. Wajahnya menjadi tambah angker den-
gan mata tajam menatap Leak Parang. Tapi yang dita-
tap tetap tenang dan hanya melipat tangan di dada.
Berdirinya tetap tegap walau sudah berusia lanjut,
namun masih kelihatan gagah dan sigap.
"Aku tahu maksudmu sekarang," kata Nyai Ku-
bang Darah dengan nada pelan, namun menahan ge-
ram. "Kau ingin mengambil bunga teratai yang ada di dalam gua ini, bukan?"
"Ya. Untuk menolong seseorang yang sangat
menderita!"
"Aku tak peduli apa alasanmu! Sekarang gua
ini dalam kekuasaanku, Leak Parang. Dan aku tidak
izinkan siapa pun mengambil bunga itu!"
"Dengar dulu, Kubang Darah!" potong Leak Pa-
rang. "Adipati itu sudah membuka sayembara untuk
dapatkan bunga Teratai Hitam. Mereka yang menda-
patkan bunga tersebut akan dikawinkan dengan putri
sang Adipati yang amat cantik jelita dan...."
"Dan kau ingin kawin dengan putri cantik itu,
hah"! Ngacalah dulu, Leak Parang! Berapa usiamu se-
karang?" "Aku tidak bermaksud begitu, Kubang Darah!
Aku hanya ingin menyelamatkan jiwa sahabatku itu!
Tanpa ada pamrih apa-apa dari usaha penyelamatan
ku nantinya!"
"Manusia mana yang bekerja tanpa pamrih?"
Nyai Kubang Darah menyipitkan matanya. "Pertolon-
gan tanpa pamrih itu pertolongan yang benar-benar
bodoh! Dan aku tahu kau bukan orang bodoh, Leak
Parang!" "Kau terlalu merendahkan diriku, Kubang Da-
rah!" "Terserah apa katamu, yang jelas aku menghalangi niatmu yang ingin
mengambil bunga teratai itu!"
kata Nyai Kubang Darah dengan tegas dan bersikap
menantang. "Haruskah aku memaksamu dengan kasar, Ku-
bang Darah"!"
"Kalau kau mampu, lakukanlah!"
Mereka saling pandang dengan mata sama ta-
jamnya. Lalu dengan gerakan cepat, kaki Leak Parang
sentakkan ke tanah. Duuhg...! Tumit yang menghentak
ke tanah itu ternyata memercikkan sinar merah yang
melesat ke arah dada Nyai Kubang Darah. Tetapi Nyai
Kubang Darah hanya memiringkan tongkatnya menyi-
lang ke dada, dan sinar itu menghantam tongkat ter-
sebut dengan menimbulkan ledakan keras.
Duaaar...! Angin berhembus dalam satu hempasan kuat.
Tapi kedua tokoh tua itu tetap berdiri. Hanya pakaian
mereka yang tersapu angin, sebagian ada yang menjadi
robek. Jubah hitam Leak Parang pun menjadi robek
bagian tepinya karena kencangnya angin ledakan tadi.
Sedangkan rambut Nyai Kubang Darah ada yang ron-
tok sebagian dan terbang tersapu angin besar.
"Ketahuilah, Kubang Darah... sebentar lagi
tempat ini akan disatroni banyak orang yang memburu
hadiah dari sang Adipati! Kau akan berhadapan den-
gan banyak orang dan itu akan merepotkan dirimu
yang sudah setua ini! Tapi jika bunga itu kubawa per-
gi, maka mereka akan mengejarku dan biarlah aku
yang menghadapi mereka nantinya!"
"Kau mulai mau memperdayai diriku, Leak Pa-
rang!" "Aku hanya tidak ingin kau mati lebih dulu sebelum aku!"
Terdengar Nyai Kubang Darah bicara lirih, sea-
kan merupakan ucapan hati kecilnya,
"Sejak muda kau selalu berkata begitu. Tapi
nyatanya kau tega memisahkan diri dariku, Leak Pa-
rang." "Kita berbeda aliran, Kubang Darah. Tapi ba-rangkali kita masih punya
hati saling bertaut!"
"Omong kosong!" geram Nyai Kubang Darah.
"Pulanglah sekarang juga sebelum murka ku tiba, Leak Parang!"
"Lepaskan murka mu padaku jika memang ke-
matianku adalah baik bagi hidupmu selanjutnya, Ku-
bang Darah!"
"Jangan menyesali ucapanmu sendiri, Leak Pa
rang! Heaaah...!"
Nyai Kubang Darah melompat dengan kaki me-
nendang ke depan. Tendangan itu tepat mengenai dada
Leak Parang, membuat tangan Leak Parang terlepas
dari sikap bersidekapnya, tubuhnya sedikit meleng-
kung ke belakang, namun telapak kakinya tidak ber-
geser sedikit pun dari tempatnya berpijak. Tendangan
itu justru membuat Nyai Kubang Darah tersentak ba-
lik, hampir saja jatuh jika tidak cepat bertumpu pada
tongkat panjangnya. Dan Leak Parang masih diam saja
tanpa memberikan balasan apa pun.
"O, kau mau pamer kekuatanmu" Boleh, bo-
leh...!" Nyai Kubang Darah manggut-manggut sambil tersenyum sinis. "Tapi belum
tentu kau bisa menahan Jurus 'Naga Kubur' ini! Heaaah...!"
Nyai Kubang Darah meliuk-liukkan tongkat
dengan gerakan tubuh yang indah dan lincah, lalu da-
lam kejap berikutnya tongkat itu menyodok ke dada
Leak Parang dengan sangat kuatnya. Duuhg...!
Tubuh Leak Parang tersentak ke belakang, tapi
tak sampai membuat telapak kakinya bergeser sedikit
pun. Hanya badannya yang melengkung ke belakang,
kain pakaiannya yang putih menjadi hitam di bagian
dada yang terkena sodokan tongkat itu. Sedangkan tu-
buhnya kembali tegak dan diam bagai patung. Tapi da-
ri mulutnya yang bungkam mengalirlah cairan kental
warna merah segar. itulah darah yang tersorok dan
terlonjak keluar dari bagian dadanya.
Leak Parang hanya buru-buru meludahkan da-
rah itu, lalu kembali bersikap tegak dan memandangi
wajah Nyai Kubang Darah. Lelaki itu menjadi pucat
dan sorot matanya sedikit sayu. Dalam hati sebenar-
nya Nyai Kubang Darah mencemaskan keadaan Leak
Parang, tapi ia tetap tunjukkan sikap tegasnya dan
berkata, "Serang aku! Serang aku kembali, Bodoh!"
"Tidak, Kubang Darah. Mati di tanganmu lebih damai bagiku daripada mati di
tangan orang lain! Lakukanlah
niatmu membunuhku kalau toh hal itu menyenangkan
hatimu, Kubang Darah!"
"Aaagggr...!" Nyai Kubang Darah menggeram
jengkel. "Aku benci kata-kata mesra seperti itu! Jangan ucapkan lagi. Kisah
cinta kita sudah terkubur di dasar kerak bumi, Leak Parang!"
"Lupakan tentang cinta, dan bunuhlah aku!
Tapi kau akan mengubur cinta mu juga ke dasar liang
lahat!" "Setan! Jangan lemahkan murka ku dengan omongan mu, Tikus Busuk!"
"Kau masih tetap cantik seperti dulu di mataku,
Kubang Darah!"
"Jahanaaam...," suaranya makin lemah. Itulah kelemahan Nyai Kubang Darah.
Kelemahan tersebut
diketahui persis oleh Leak Parang, dan hanya Leak Pa-
rang yang sanggup melemahkan murka Nyai Kubang
Darah, karena perempuan tua itu sesungguhnya ma-
sih terbelenggu oleh cinta lamanya yang cenderung
angkuh dan congkak. Jika Leak Parang mulai bicara
soal cinta, keangkuhan murka sang Nyai pun men jadi
lunak dan lemas.
Tak heran jika hati perempuan tua itu terasa
mengharu biru dan akhirnya lelehkan air matanya
dengan sembunyi-sembunyi. Seperti kali ini, Nyai Ku-
bang Darah terpaku dan tergores oleh kenangan in-
dahnya bersama Leak Parang sewaktu muda, sehingga
ia tak mampu membendung air mata itu lagi. Ia berge-
gas masuk ke dalam gua, dan menangis di sana tanpa
timbulkan suara. Leak Parang tarik napas keharuan-
nya, kemudian susul Nyai Kubang Darah masuk ke
gua tersebut. "Kubang Darah," sapa Leak Parang dengan pe-
lan dan hati-hati. "Rasa-rasanya aku memang tak
layak datang kemari. Kau amat terganggu dengan ke-
datanganku ini. Ada baiknya kalau aku mohon pamit
sekarang saja, supaya tangismu berhenti, Kubang Da-
rah." Nyai Kubang Darah dongakkan kepalanya ka-
rena saat itu ia duduk di atas sebongkah batu gua. Ia
pandangi wajah lelaki yang pernah dicintainya dan
sampai sekarang cinta itu membekas hangus dalam
hatinya. Dengan mata berkaca-kaca, Nyai Kubang Da-
rah ucapkan kata,
"Kau telah membuka luka lamaku, Leak Pa-
rang." "Maafkan aku. Sungguh aku menyesal tanpa memperhitungkan perasaanmu dalam
mencari bunga tersebut. Mulanya yang ku pikirkan hanya keselama-
tanmu, Kubang Darah. Aku tak ingin orang-orang itu
datang menyerbu mu, apalagi sampai melukaimu. Se-
kalipun kau berilmu tinggi, tapi kelalaian manusia te-
tap saja ada, dan aku takut mereka temukan kelalaian
dan kelengahan mu, jadi ku putuskan untuk memba-
wa lari bunga itu, sehingga mereka berhadapan den-
ganku!" "Kau pun akan mati diserang mereka nantinya!"
"Aku punya cara sendiri menghindari mereka."
Tangan Leak Parang digenggam oleh Nyai Ku-
bang Darah. Tangan itu ditempelkan ke pipi yang ba-
sah. Mata Nyai Kubang Darah masih menatap Leak Pa-
rang. Kejap berikutnya terdengar Nyai Kubang Darah
berkata pelan, "Jika kau berhasil membawa bunga itu, apakah
kau benar-benar tak akan menikah dengan putri sang
Adipati itu?"
"Jernihkan pikiranmu, supaya bersih anggapan
mu, Kubang Darah. Dalam usia setua ini kita tinggal
menunggu saat kapan masuk ke liang kubur. Mengapa
aku masih punya niat untuk kawin dengan putri sang
Adipati yang berusia sejajar dengan usia cucu kita"
Jangan punya prasangka seperti itu, Kubang Darah.
Sama sekali tak ada niat apa pun di hatiku, kecuali
niat menyelamatkan sahabatku itu!"
"Lalu bagaimana dengan hubungan kita" Tetap
akan berpisah dan saling bertahan untuk tidak meni-
kah?" "Kalau kau bersedia untuk ikut dalam aliran ku, aku tak keberatan


Jodoh Rajawali 08 Bunga Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengawinimu, Kubang Darah!"
"Buatku sekarang, sudah tak ada aliran putih
atau hitam. Yang kuinginkan adalah hidup damai dan
tenang. Dan di gua ini, sebagian kedamaian serta ke-
tenangan telah ku peroleh, namun... namun akan
menjadi lebih lengkap jika kau ada di sampingku,
Sangga Buana!" kata Nyai Kubang Darah dengan me-
nyebut nama Leak Parang semasa mudanya. Hati Leak
Parang trenyuh mendengar Nyai Kubang Darah me-
nyebutnya Sangga Buana. Masa mudanya kembali
mengalir deras dalam ingatan, sehingga Leak Parang
tank napas panjang-panjang untuk mengatasi gejolak
keharuan hatinya.
Maka diraihnya kepala Nyai Kubang Darah, di-
peluknya dalam satu jangkauan tangan. Disandarkan
kepala itu di perut dan diusap-usapnya penuh kelem-
butan. Hening pun tercipta melingkupi mereka, seakan
menerbangkan jiwa dan pikiran mereka ke masa pulu-
han tahun yang lalu. Sampai akhirnya, Leak Parang
pun berkata dengan suara pelan namun tetap bernada
tegas, "Ada baiknya kau tinggal di pondokku. Barang-
kali pondok itulah yang menanti masa-masa penya-
tuan jiwa dan cinta kita, Kubang Darah."
"Bawalah...," ucap Nyai Kubang Darah tiba-tiba.
"Bawalah bunga itu dan bawalah pula diriku, Leak Parang!" "Setulus hatikah kau
menyuruhku?"
"Lebih tulus dari hati masa lalu kita, Sangga
Buana!" Mereka saling bertatap pandang lagi, lalu Leak Parang mulai sunggingkan
senyum dan Nyai Kubang
Darah pun membalas dengan senyum tuanya, yang
menu-rut anggapan Leak Parang masih secantik se-
nyuman masa mudanya.
"Kau sungguh masih secantik dulu, Punding
Ayu!" bisik Leak Parang membuat hati Nyai Kubang Darah merasa lebih indah lagi
karena mendengar na-ma mudanya disebutkan Sangga Buana.
Bunga Teratai Hitam berada di permukaan air
telaga yang berbau busuk. Tetapi pada saat bunga Te-
ratai Hitam itu diangkat dari permukaan air, baunya
menyebar wangi memenuhi seluruh ruangan gua ter-
sebut. Dan ketika bunga tersebut diangkat dari per-
mukaan air telaga itu, tiba-tiba air tersebut menjadi susut. Makin lama semakin
rendah permukaannya
dan dalam waktu singkat telah menjadi kering keron-
tang tanpa setetes air pun. Bahkan bekas-bekas lem-
bah air pun tak ada. Telaga itu menjadi sebuah ku-
bangan kering bertanah dan berbatu kering juga.
Leak Parang membawanya dengan sangat hati-
hati. Sementara itu, Nyai Kubang Darah berjalan lebih
dulu sebagai pengawal terdepan yang siap hadapi se-
rangan lawan yang ingin merebut bunga tersebut.
Baru saja mereka keluar dari gua, ternyata su-
dah dihadang dua orang lelaki berusia belum terlalu
tua, sekitar tiga puluh lima tahun. Mereka berbadan
gemuk, namun bukan berarti gendut. Melihat gerakan
matanya yang lincah berkesan liar, dua lelaki yang
sama-sama berkepala botak itu sangat bernafsu untuk
mendapatkan bunga Teratai Hitam yang ada di tangan
Leak Parang. "Kebo Tamak dan Banteng Kapur, apa maksud
kalian datang kemari"!" hardik Nyai Kubang Darah.
"Aku tidak mengganggumu, Nyai Kubang Da-
rah. Aku hanya ingin mengambil bunga Teratai Hitam
di tangan lelaki tua yang tak kukenal itu!" jawab Kebo Tamak. Lalu, Banteng
Kapur pun berkata,
"Kalau kalian tidak menyerahkannya pada ka-
mi, kami akan merebutnya. Tapi jangan salahkan kami
jika nyawa kalian menjadi lepas dari raga gara-gara
pertahankan bunga itu!"
Nyai Kubang Darah menatap Leak Parang, sea-
kan minta pendapat apa yang harus dilakukan terha-
dap dua orang itu. Maka, Leak Parang pun berkata ke-
pada Nyai Kubang Darah,
"Pegang bunga ini, biar ku tangani kedua orang
itu!" "Mengapa harus kau yang tangani mereka, aku pun bisa!"
Wuuut...! Crap, craap...!
Nyai Kubang Darah kibaskan tongkatnya. Da-
lam satu sentakan kibas yang sangat cepat itu, tongkat tersebut bagaikan berubah
tajam pada bagian ujungnya dan merobek leher kedua orang botak tersebut.
Kebo Tamak dan Banteng Kapur tak sempat
berpikir apa yang terjadi pada diri mereka saat itu.
Namun tiba-tiba mereka tumbang secara bersamaan
dengan leher robek dan kejap berikutnya sama-sama
telah kehilangan nyawa.
Ketika Nyai Kubang Darah memandang Leak
Parang, lelaki tua itu geleng-gelengkan kepala dan
mengucap kata pelan,
"Seharusnya tak semudah itu kau melakukan-
nya! Bagaimanapun juga mereka adalah manusia yang
masih bisa diajak bicara!"
"Mereka bisa lukai dirimu kalau tidak segera
kukirim ke neraka!"
"Aliran hitammu masih terbawa juga, Punding
Ayu!" "Jadi aku harus berbuat apa untukmu" Diam saja"!" sentak Nyai Kubang Darah
dengan wajah cemberut kesal. "Sudah, pergilah sana sendiri. Aku tak perlu ikut!"
* * * 5 PASANG N tua yang masih saling memendam
cinta itu baru saja tinggalkan gua tersebut. Kedua
mayat lawannya tadi dibiarkan terkapar di sana seba-
gai tanda, bahwa siapa pun orangnya agar membatal-
kan niatnya untuk memiliki bunga Teratai Hitam. Na-
mun agaknya banyak tokoh yang tidak mau tahu ten-
tang bahayanya memburu bunga Teratai Hitam itu.
Buktinya, belum jauh Leak Parang melangkah
tinggalkan gua tersebut dengan didampingi Nyai Ku-
bang Darah, tiba-tiba langkah mereka telah dihadang
oleh seorang pemuda berkumis tipis. Pemuda itu sen-
dirian dan mempunyai wajah berkesan bengis. Ia
menggenggam sebuah cambuk hitam berukuran pan-
jang di tangan kanannya. Sikapnya terang-terangan
menantang permusuhan dengan kedua tokoh tua ter-
sebut. Nyai Kubang Darah sudah menggeram ketika
pemuda itu berkata,
"Tak pantas orang setua kamu mengikuti
sayembara Teratai Hitam, Pak Tua! Sebaiknya serah-
kan saja bunga itu padaku. Sayangilah nyawa kalian
yang sebentar lagi masuk liang kubur itu!"
"Bicaralah yang sopan pada kami, Anak Muda!"
kata Leak Parang yang segera melangkah maju sebe-
lum Nyai Kubang Darah menangani anak muda itu.
Dengan mendengus kesal, Nyai Kubang Darah pun se-
gera jauhkan diri dari Leak Parang, Ia serahkan uru-
san itu kepada lelaki yang membawa bunga Teratai Hi-
tam itu. Pemuda berkumis tipis itu berkata dengan si-
nis, "Kurasa bicaraku sudah cukup sopan, Pak Tua.
Jika kau ingin aku lebih sopan lagi padamu, berikan
bunga itu kepadaku secepatnya!"
"Bunga ini untuk kesehatan sang Adipati! Akan
kuserahkan sendiri, karena aku tidak masuk dalam
kelompok orang yang ikut sayembara itu, Anak Muda.
Sebaiknya menyingkirlah dari jalanku supaya umurmu
panjang!" "Jangan coba-coba menggertak ku, Pak Tua!
Cambuk Dewa bukan orang yang mudah digertak!"
sambil ia menepuk dada sendiri, mengaku bernama
Cambuk Dewa. "Baiklah kalau kau tak pernah bisa menyayangi
selembar nyawamu sendiri! Terpaksa aku harus ber-
tindak menyingkirkan dirimu agar tidak menjadi peng-
halang langkahku!"
"Singkirkanlah kalau memang kau bisa, Pak
Tua!" Tiba-tiba Nyai Kubang Darah sentakkan tan-
gannya untuk melepaskan pukulan tenaga dalam ber-
sinar kuning. Selarik sinar itu melesat dengan cepat.
Wuuust...! Dan pemuda berkumis tipis itu segera le-
cutkan cambuknya ke arah sinar tersebut dalam satu
sentakan menghentak.
Taaar...! Ujung cambuknya melepaskan nyala cahaya hi-
jau. Cahaya itu berbentuk seperti bola satu gengga-
man. Dan cahaya itulah yang terhantam oleh sinar
kuningnya Nyai Kubang Darah. Blaaar...!
Ledakan dahsyat terjadi dan membuat Nyai
Kubang Darah terpelanting mundur dan Leak Parang
oleng ke kiri. Sedangkan Cambuk Dewa tetap berdiri
tegak dengan gagahnya, senyum sinisnya tersungging
berkesan meremehkan kedua tokoh tua tersebut.
"Ku ingatkan pada kalian," kata Cambuk Dewa.
"Jangan anggap remeh ilmu si Cambuk Dewa ini!" Ia menepuk dada kembali. "Baru
satu jurus yang kupa-kai, kalian sudah terpelanting begitu, apalagi jika
kugunakan sampai delapan jurus. mungkin raga kalian
lebur menjadi satu dengan debu yang kalian pijak itu!"
"Terlalu berani kau bicara di depanku begitu,
Cambuk Dewa!" geram Leak Parang, kemudian ia ki-
baskan tangan kanannya ke samping. Wuuut...! Maka
terpeciklah bunga api warna biru kemerah-merahan
yang menyebar terbang bagai ribuan kunang-kunang.
Percikan sinar kecil-kecil itu menggerombol dan mem-
bentuk serangan serentak ke tubuh Cambuk Dewa. Te-
tapi anak muda itu segera sentakkan kakinya ke tanah
dan tubuhnya melenting ke atas hindari percikan sinar
tersebut Sebatang pohon menjadi sasaran berikut. Po-
hon itu bagai disergap oleh ribuan kunang-kunang ga-
nas. Kurang dari setengah helaan napas, pohon itu
menjadi keropos dan mati tanpa roboh. Daunnya ber-
hamburan, kulit batangnya mengelupas kering. Bah-
kan beberapa dahannya ada yang jatuh ke tanah tanpa
bunyi akibat terlalu ringannya.
Melihat kejadian tersebut, Cambuk Dewa hanya
tersenyum. Lalu ia lecutkan cambuknya setelah me-
mutar di atas kepala. Taaar...! Suara lecutannya kali
ini terasa menyengat gendang telinga dan membuat
Nyai Kubang Darah dan Leak Parang tersentak kesaki-
tan. Nyala sinar ungu terlihat sekejap saat cambuk ta-
di melecut di atas kepala.
"Sangga Buana! Dia punya ilmu cambuk cukup
tinggi!" kata Nyai Kubang Darah" dengan suara membisik. "Biarlah kuhadapi anak
itu!" "Jangan! Biar aku saja yang hadapi dia."
Tetapi sebelum Leak Parang bergerak, Cambuk
Dewa kembali lecutkan senjatanya di atas kepala dan
sinar ungu pun berkelebat dari ujung cambuk terse-
but. Taaar...! Zlaaap...!
"Auh...!" Nyai Kubang Darah tersentak mundur dengan tubuh mengejang dalam satu
kejutan. Ia memegangi telinganya dan telinga itu sekarang telah ke-
luarkan darah dari dalamnya. Walau tak berapa ba-
nyak, tapi darah itu sudah menjadikan tanda bahwa
Nyai Kubang Darah telah terluka bagian dalam tubuh-
nya. Hal yang sama dialami pula oleh Leak Parang.
Bahkan Leak Parang sempat oleng dan menyeringai
menahan rasa sakit yang tak bisa dikendalikan dengan
ilmunya ketika Cambuk Dewa mengulang lecutan se-
perti itu untuk yang ketiga kalinya
Taaar...! "Heaaah.:.!" Nyai Kubang Darah berteriak sambil lompat ke depan dan menyerang
Cambuk Dewa dengan tongkat hitamnya. Tongkat itu siap di hujam-
kan ke dada Cambuk Dewa. Tetapi, anak muda itu le-
kas melompat ke samping dalam gerakan bersalto, dan
ketika mendaratkan kakinya langsung menyabetkan
cambuknya ke arah tongkat itu.
Taaar...! Duaaar...!
Terjadi satu ledakan kuat manakala cambuk
itu menghantam tongkat dan tongkat itu seketika men-
jadi patah. Nyai Kubang Darah terpental, sedangkan
Cambuk Dewa tetap berdiri tegak, cambuknya tidak
putus ataupun rantas sedikit pun.
"Biadab kau!" bentak Leak Parang tak bisa ber-sabar lagi. Maka serta-merta ia
lemparkan senjata dari pinggangnya, yaitu sebuah bumerang yang berkelebat
dengan cepat menyambar kepala Cambuk Dewa. Tetapi
ternyata cambuk itu pun mampu berkelebat lebih ce-
pat lagi dalam satu tarikan tangan yang menyentak.
Taaar...! Blaaar...!
Sebuah ledakan keras kembali terdengar ma-
nakala cambuk yang memercikkan sinar ungu kecil di
ujungnya itu menghantam senjata bumerang milik
Leak Parang. Bumerang itu terpental beda arah tu-
juannya namun masih tampak utuh. Tidak hancur.
Sedangkan ujung cambuk itu tetap utuh. Pemiliknya
hanya tersentak mundur dua tindak. Tetapi Leak Pa-
rang terpental empat langkah ke belakang akibat ge-
lombang ledakan yang ditimbulkan dari benturan
cambuk dengan bumerang tadi.
Dari tempatnya berdiri tegak, Cambuk Dewa
berseru, "Kuberi kesempatan satu kali lagi; serahkan bunga itu atau kalian
berdua kubunuh bersamaan"!"
"Persetan dengan ancamanmu, Bocah Edan!"
geram Nyai Kubang Darah.
Kemudian perempuan tua itu sentakkan kedua
tangannya ke samping dan tubuhnya tiba-tiba me-
mancarkan cahaya kuning pada tiap bagian tepi lekuk-
lekuk tubuh tersebut. Dengan cepat Nyai Kubang Da-
rah sentakkan kaki dan tubuhnya bagai terlempar ke
depan dengan sikap kedua tangan lurus ke depan, te-
lapak tangannya mengarah pada lawan.
Cambuk Dewa segera lecutkan senjatanya ke
tubuh Nyai Kubang Darah dengan cepat. Taaar...! Tu-
buh yang bercahaya kuning itu terhantam cambuk
dengan kuatnya, memercikkan sinar merah. Tetapi tu-


Jodoh Rajawali 08 Bunga Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buh itu tidak menderita luka sedikit pun. Bahkan me-
lesat terus dan menghantam dada Cambuk Dewa den-
gan telaknya. Blaaar...!
Jebol sudah dada Cambuk Dewa. Tubuh itu
pun terhempas jauh ke belakang setelah terkena han-
taman dua telapak tangan Nyai Kubang Darah. Sinar
kuning itu pun lenyap dari tubuh perempuan tua ter-
sebut, dan ia segera dekati kekasih lamanya, yaitu
Leak Parang. Zraaak...! Tubuh Cambuk Dewa terperosok ja-
tuh ke semak-semak ilalang. Kedua tokoh tua itu me-
mandang ke arah sana dengan tak berucap kata untuk
sesaat. Mereka menunggu akibat yang akan terjadi.
Kejap berikutnya, Leak Parang berkata kepada
Nyai Kubang Darah,
"Agaknya jurus maut mu itu terkena telak di
tubuh anak muda itu!"
"Ya. Pasti dadanya bolong membentuk dua te-
lapak tanganku tadi!"
"Kau sendiri bagaimana" Tubuhmu tak terluka
oleh cambukannya?" Leak Parang memeriksa tubuh
kekasihnya, dan ia menjadi lega setelah tak ditemukan
luka sedikit pun pada tubuh Nyai Kubang Darah. Pa-
kaian hijaunya juga tak terlihat robek sedikit pun.
"Baru kulihat sekarang jurus maut mu itu,
Nyai!" Perempuan tua itu tersenyum. "Belum lama ku-temukan jurus itu dan baru
tujuh kali kugunakan
membunuh lawan!"
Tiba-tiba dari kerimbunan semak ilalang itu
melesatlah sesosok tubuh dengan cepatnya. Braasss...!
Tubuh itu melayang ke arah kedua tokoh tua itu dan
sekelebat benda panjang hitam menyambar mereka.
Taaar...! Keduanya sama-sama kaget melihat Cambuk
Dewa masih hidup dan tidak mengalami luka sedikit
pun. Kalau saja mereka tadi tidak merunduk secara
serentak, pasti salah satu akan pecah kepalanya kare-
na terhantam ujung cambuk yang menyalakan sinar
ungu tersebut. Kini keduanya hanya menyeringai dan
telinga mereka kembali berdarah akibat suara lecutan
cambuk yang dialiri tenaga dalam cukup tinggi.
"Setan kurap! Anak itu benar-benar berilmu
tinggi rupanya!" geram Nyai Kubang Darah seperti bicara sendiri.
"Anak itu tak cukup hanya diberi pelajaran!
Sudah saatnya kita gunakan ilmu kita yang handal
untuk lenyapkan bocah sombong itu!" kata Leak Pa-
rang sambil tangan kirinya masih pegangi bunga tera-
tai berwarna hitam.
Tetapi sebelum kedua tokoh tua itu bergerak,
Cambuk Dewa telah lengkingkan suaranya dan ki-
baskan cambuknya di udara beberapa kali.
"Hiaaaahhh...!"
Taaar, taaar, taaar, taaar, taaar...!
Ia bagaikan membabi buta. Kilatan cahaya un-
gu menyambar ke mana-mana. Suara lecutannya
membuat telinga kedua tokoh sakti itu bagai terasa in-
gin meledak. Darah bercucuran dari telinga mereka.
Tubuh pun menjadi lemas dan gemetar. Ilmu cambuk
itu benar-benar hebat dan tak bisa dikuasai gemanya.
"Heaaah...!" Cambuk Dewa masih mengamuk.
Kemana saja ia kibaskan cambuknya hingga keluarkan
suara yang menyakitkan gendang telinga dan pancar-
kan sinar ungunya beberapa kali.
Jurus cambuk yang sukar dilawan itu sudah
hampir memecahkan gendang telinga kedua tokoh tua
tersebut. Bahkan kepala Leak Parang terasa hampir
meledak karena menahan suara lecutan yang berun-
tun itu. Tetapi, tiba-tiba suara lecutan itu hilang. Suara pekik tertahan itu
terdengar samar-samar oleh me-
reka. Walau sebenarnya suara pekik itu cukup keras,
tapi karena telinga mereka sedang mengalami luka dan
mendengung-dengung, maka suara pekikan itu ter-
dengar samar-samar.
Sesosok tubuh melesat dari samping dan me-
nendang kepala Cambuk Dewa dengan gerakan yang
teramat cepat, melebihi melesatnya anak panah. Gera-
kan cepat itu adalah gerakan jurus 'Petir Selaksa'. Dan jurus itu yang mempunyai
hanya Pendekar Rajawali
Merah serta Pendekar Rajawali Putih.
Jleeg...! Ternyata seorang pemuda tampan ber-
tangan satu mengenakan baju selempang dari kulit be-
ruang coklat yang membungkus baju putih lengan
panjang di dalamnya telah berdiri di antara mereka. Di samping pemuda bertangan
satu adalah gadis cantik
berpakaian merah longgar dengan kain pelapis dada
yang panjang sebatas lutut warna kuning. Mereka tak
lain adalah Yoga; si Pendekar Rajawali Merah bersama
Kencana Ratih. "Paman...!" seru Kencana Ratih kepada Leak
Parang. Orang tua itu terkejut dan segera berseru pu-
la, "Ratih..."! Kaukah Kencana Ratih"!"
"Betul, Paman! Aku Kencana Ratih!" sambil
Kencana Ratih berlari menghampirinya. Ia segera me-
nolong Leak Parang yang jatuh terduduk akibat mena-
han rasa sakit di telinganya itu.
Mereka tak sempat banyak bicara, karena
Cambuk Dewa sudah berdiri dan lekas-lekas lecutkan
cambuknya lagi. Namun sebelum cambuk itu mele-
paskan bunyi yang menyakitkan, Yoga sudah lebih du-
lu bergerak menyambar cambuk itu dengan tangan
kanannya. Wuuut...! Srreet...!
Kini cambuk itu tergenggam ujungnya oleh tan-
gan kanan Yoga. Dan Cambuk Dewa berusaha menarik
senjatanya namun dipertahankan oleh Pendekar Raja-
wali Merah. Akibatnya, kedua pemuda itu saling bera-
du tenaga untuk mempertahankan dan menarik cam-
buk tersebut. Tapi cambuk terentang keras bagaikan
sebatang besi baja. Keduanya sama-sama memusatkan
kekuatannya pada tangan. Keduanya sama-sama ren-
dahkan kaki dan gemetar.
Melihat keadaan demikian, Nyai Kubang Darah
yang telah kehilangan tongkatnya itu segera melompat
dengan terlebih dulu menyambar senjata bumerang
milik Leak Parang yang tadi menancap di sebuah po-
hon. "Hiaaahhh...!"
Wuuut...! Daaar...! Dari mata Cambuk Dewa keluar dua larik sinar
merah yang bertemu menjadi satu dan menghantam
Nyai Kubang Darah. Tetapi perempuan tua itu mena-
han sinar merah tersebut menggunakan permukaan
bumerang. Akibatnya, timbul ledakan dan tubuh pe-
rempuan tua itu terlempar jauh.
"Punding Ayu...!" pekik Leak Parang dengan
cemas. Kemudian ia berlari hampiri Nyai Kubang Da-
rah dan segera menolongnya.
Senjata bumerang tidak pecah, namun senta-
kan sinar merah itu teramat kuat dan besar, sehingga
membuat Nyai Kubang Darah memuntahkan darah se-
gar dari mulutnya. Hal itulah yang membuat Leak Pa-
rang menjadi sangat cemas. Tetapi ketika ia tiba di
samping Nyai Kubang Darah, perempuan tua itu ber-
kata, "Tak apa! Aku tak apa-apa, Leak Parang...!"
"Jangan menyerang lagi! Pemuda itu punya ke-
kuatan yang sukar dilawan! Biarkan dia bertarung me-
lawan teman dari keponakanku itu!"
Yoga masih beradu kekuatan dengan Cambuk
Dewa. Tanah yang dipijak Cambuk Dewa sampai ke-
pulkan asap dan menjadi hitam. Sementara itu, den-
gan menggunakan satu tangan Yoga bertahan untuk
merebut cambuk tersebut. Wajahnya menjadi merah
karena banyak kerahkan tenaga. Keringatnya mulai
bergulir membasahi wajah. Urat-urat di tangannya
tampak keluar bertonjolan.
Tiba-tiba tali cambuk itu membara merah ba-
gaikan besi terpanggang api. Ada kepulan asap tipis
yang menandakan tali cambuk itu sangat panas. Teta-
pi Yoga tetap menggenggamnya dan berusaha mena-
riknya. Genggaman tangannya itu pun mengepulkan
asap putih tipis, namun ia sendiri tidak mengalami lu-
ka bakar pada bagian tangannya.
Begitu kuatnya Cambuk Dewa berusaha mena-
rik senjatanya, hingga dalam keadaan tenaga terkuras
penuh. Yoga tiba-tiba lepaskan cambuk itu.
Wuuurrt...! Tubuh Cambuk Dewa tersentak mundur
dan terguling guling bagai dihantam dengan tenaganya
sendiri. Bruuus...! Cambuk Dewa kembali terperosok di
semak berduri. Tapi dalam waktu sekejap ia sudah me-
lenting tinggi dan bersalto dua kali, ia pun menda-
ratkan kakinya dengan sigap dalam jarak tujuh lang-
kah dari depan Pendekar Rajawali Merah itu.
Sambil terengah-engah, Cambuk Dewa mem-
bentak, "Kaukah murid kedua orang jompo itu"!"
"Bukan! Tapi aku ada di pihaknya! Kalau kau
ingin membunuh mereka, bunuhlah aku lebih dulu!"
tantang Yoga, lalu dengan cepat ia mencabut pedang
dari punggung. Sreet...! Blaaar...! Petir menggelegar di
langit siang. Cambuk Dewa terkesiap memandang pedang
yang memancarkan cahaya merah itu. Mata Leak Pa-
rang dan Nyai Kubang Darah pun terkesiap setelah
mengetahui pedang pemuda tampan bertangan satu
itu memancarkan sinar merah. Bagian tepi pedang ber-
lompatan cahaya merah tua bagai cacing-cacing yang
kepanasan. Cambuk Dewa berseru, "Kau pikir aku gentar
dengan permainan milik anak kecil itu, hah"! Terima-
lah jurus 'Cambuk Seribu Naga' ini! Heaah...!"
Senjata panjang berwarna hitam itu segera dile-
cutkan ke angkasa. Tetapi sebelum terdengar suara le-
cutannya, pedang Yoga berkelebat cepat menebas dari
arah kanan ke kiri. Wuuut...! Dan seberkas sinar me-
rah melesat dari ujung pedangnya. Zlaaap...! Sinar me-
rah itu menghantam tali cambuk tersebut. Bluaaar...!
Bunyi ledakannya tak beraturan. Tetapi cahaya merah
segera berpencar ketika menghantam cambuk terse-
but. Kejap berikutnya, cambuk itu telah terpotong
menjadi tiga bagian dan berjatuhan sendiri-sendiri ke tanah sebagai benda biasa
tanpa kekuatan apa pun.
Pluk, pluk, pluk...! Hal itu membuat mata Cambuk
Dewa terbelalak tegang, demikian pula mata Leak Pa-
rang dan Nyai Kubang Darah. Saat itu, Leak Parang
sempat menggumam bagai bicara pada dirinya sendiri,
"Luar biasa! Siapa anak muda yang tampan
itu?" "Dia adalah Pendekar Rajawali Merah, Paman!"
tutur Kencana Ratih menjelaskan dengan hati bangga.
"Rajawali Merah..." Muridnya Dewa Geledek?"
"Benar, Paman!"
"Pantas...!" Hanya itu ucapan terakhir Leak Parang sebelum ia saling beradu
pandang dengan Nyai
Kubang Darah. Terdengar suara, Cambuk Dewa berseru keras
dalam kegusaran hati,
"Keparat kau! Kau telah memutuskan cambuk
pusakaku! Terimalah ajalmu sekarang juga! Heaaah...!"
Tetapi dengan gerakan cepat Pendekar Rajawali
Merah sentakkan pedangnya ke depan. Sebelum pe-
dang itu menyentuh lawan, sinar merahnya telah me-
lesat lebih dulu dan menembus tubuh Cambuk Dewa.
Jrab! "Ahhg...!" mata Cambuk Dewa terbelalak dengan mulut ternganga. Gerakannya
terhenti seketika.
Semua mata melihat jelas dada Cambuk Dewa menjadi
bolong akibat ditembus sinar merah dari ujung pedang
Yoga. Kemudian, kejap berikutnya Cambuk Dewa pun
roboh dan tak bernyawa lagi. Ia mati tanpa darah tapi
punya luka bundar sebesar uang logam di bagian da-
danya. Tepat di ulu hati.
Pendekar Rajawali Merah segera masukkan
kembali pedang itu ke sarungnya. Matanya meman-
dang damai kepada Leak Parang dan Nyai Kubang Da-
rah. Kencana Ratih memperkenalkan Yoga dengan
menceritakan pertempurannya di Gua Bidadari. Leak
Parang sendiri menjelaskan kepada keponakannya sia-
pa Nyai Kubang Darah sebenarnya.
Tetapi mata Yoga sejak tadi memperhatikan
bunga teratai berwarna hitam yang ada di tangan kiri
Leak Parang. Hati Yoga berdebar-debar, karena ternya-
ta bunga yang selama ini dicari ada di tangan paman-
nya Kencana Ratih. Apakah itu pertanda bahwa ia ha-
rus bertarung dengan Leak Parang untuk merebut
bunga Teratai Hitam"
* * * 6 ANGIN badai tiba-tiba berhembus menyapu me-
reka berempat. Leak Parang, Nyai Kubang Darah, Ken-
cana Ratih, dan Yoga, terpental saling terpisah dihem-
pas angin badai. Bunga teratai berwarna hitam itu pun
terlepas dari genggaman Leak Parang, terbang terbawa
deru angin gila-gilaan itu. Beruntung sekali jatuhnya
di dada Nyai Kubang Darah, sehingga bunga itu berha-
sil diselamatkan dari amukan badai yang nyaris mem-
bawanya pergi. Nyai Kubang Darah segera merapatkan
jubah hijaunya untuk menutup bunga tersebut.
Ketika angin badai itu berhenti, mereka saling
berkumpul kembali. Leak Parang berkata seperti bicara
pada diri sendiri,
"Angin badai itu bukan sembarang badai! Pasti


Jodoh Rajawali 08 Bunga Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada seseorang yang sengaja mendatangkan badai!"
"Setahuku tokoh sakti yang mampu keluarkan
badai sedahsyat tadi hanyalah si Parit Beliung," kata Nyai Kubang Darah.
"Parit Beliung sudah mati!" "Berarti muridnya yang mewarisi ilmu 'Hempas Badai'
ini." Leak Parang memandangi Nyai Kubang Darah
dengan berkerut dahi. Yoga dan Kencana Ratih pun
menatap perempuan tua itu. Lalu, terdengar suara
Leak Parang berucap kata,
"Murid Parit Beliung adalah Jala Tunggal!"
"Benar," jawab Nyai Kubang Darah.
"Tapi Jala Tunggal sudah punya anak dan
punya istri. Untuk apa dia memburu bunga teratai hi-
tam" Apakah dia ingin kawin lagi dengan putri sang
Adipati?" "Mungkin saja! Laki-laki biasanya memang be-
gitu!" jawab Nyai Kubang Darah sambil bersungut-
sungut. "Barangkali Jala Tunggal tidak bermaksud
mengambil bunga itu!" sela Kencana Ratih.
"Tidak mungkin! Untuk apa dia bermaksud
menyerang kita dengan ilmu 'Hempas Badai' kalau bu-
kan dengan maksud ingin merebut bunga ini!" kata
Nyai Kubang Darah. Kemudian ia pandangi bunga ter-
sebut, dan di sisi lain hati Yoga menjadi kian berdebar-debar karena melihat
bunga itu enak untuk disambar
dan dibawa lari. Kejap berikutnya, Nyai Kubang Darah
serahkan bunga itu kepada Leak Parang tanpa berkata
apa pun, karena tiba-tiba dikejutkan dengan muncul-
nya seseorang dari balik pohon besar.
Jala Tunggal memang muncul. Tujuannya se-
perti apa yang dikatakan Nyai Kubang Darah, yaitu
merebut bunga Teratai Hitam yang sejak tadi di incar-
nya itu. Ia berharap angin badai yang didatangkan da-
pat menerbangkan bunga tersebut, lalu ia bisa menge-
jar untuk mengambilnya. Tapi usahanya itu gagal.
Melihat gerakan Jala Tunggal cukup hebat da-
lam bertarung melawan Nyai Kubang Darah, akhirnya
Pendekar Rajawali Merah segera turun tangan. Karena
ia tak ingin Jala Tunggal berhasil merebut bunga tera-
tai berwarna hitam itu. Hanya dengan tiga jurus Yoga
menyerang Jala Tunggal, dan akhirnya Jala Tunggal
terluka, lalu ia melarikan diri dan mengakui keunggu-
lan Pendekar Rajawali Merah.
Kepergian Jala Tunggal bukan berarti keama-
nan yang terjamin bagi mereka berempat. Namun
muncul lagi dua tokoh yang sudah tidak asing di rimba
persilatan. Mereka adalah Watu Geni dan Banyu Api.
Tetapi lagi-lagi karena niat mereka ingin merebut bun-
ga teratai warna hitam itu, maka Pendekar Rajawali
Merah segera membabat habis kedua tokoh berilmu
tinggi itu. Keduanya lari tunggang langgang setelah Yo-
ga keluarkan jurus pedang mautnya yang mampu
mengejar lawan dengan kilatan cahaya merahnya itu.
Pada akhirnya, Yoga-lah yang menjadi sang pe-
lindung bunga tersebut. Ia telah berhasil mengusir le-
bih dari sepuluh orang yang ingin merebut bunga Te-
ratai Hitam itu. Mereka yang tidak segera melarikan di-ri dan bersikeras
dapatkan bunga itu akhirnya mati di
tangan Pendekar Rajawali Merah.
"Bunga ini akhirnya menjadi bunga penyebar
maut," kata Leak Parang. "Tak baik jika kita melayani mereka terus-menerus. Kita
harus lekas-lekas sampaikan bunga ini kepada keluarga sang Adipati."
"Maaf, Paman...," sela Yoga dengan bersikap
sopan. "Mengapa harus diserahkan kepada sang Adi-
pati?" "Karena aku mengambil bunga ini untuk menyembuhkan penyakitnya. Dia
sahabatku dan seka-
rang nyawanya terancam. Dulu aku pernah disela-
matkan olehnya. Pada waktu itu aku hampir saja mati,
lalu dia datang dan bertarung mengalahkan lawanku
dengan tipu muslihatnya. Aku merasa berhutang budi,
juga berhutang nyawa padanya. Sekarang pada saat
dia membutuhkan obat yang tak ada di tempat lain ke-
cuali di Gua Mulut Iblis, yaitu bunga ini, maka aku berusaha membalas hutang
nyawaku kepadanya. Aku
harus selamatkan dia dari ancaman maut yang seben-
tar lagi merenggut nyawanya."
"Jadi, bunga itu tak bisa dicari penggantinya,
Paman?" tanya Yoga.
"Tidak ada, Yo. Hanya bunga inilah pemunah
racun yang bersarang dalam dirinya. Tak ada obat
lainnya lagi."
Pendekar Rajawali Merah terangguk-angguk
kepalanya. Seraut wajah tampan itu berubah murung.
Ia melangkah sedikit menjauh dari mereka. Kencana
Ratih memandanginya dengan gelisah, sebab ia tahu
apa yang dipikirkan Yoga pada saat itu. Kencana Ratih
tahu, bahwa Yoga jauh-jauh datang ke Gunung Tam-
bak Petir hanya untuk mencari bunga itu. Tapi seka-
rang bunga itu ada di tangan pamannya Kencana Ra-
tih. Tentu saja Kencana Ratih dapat bayangkan betapa
gundahnya hati Yoga menghadapi kenyataan itu. Pasti
pendekar tampan itu bingung mengambil sikap dan
tak tahu harus berbuat bagaimana baiknya.
Kencana Ratih tahu, bahwa kalau saja bunga
itu bukan di tangan pamannya. pasti Yoga sudah me-
rebutnya dengan pertarungan sengit. Tapi agaknya kali
ini Yoga tidak mau bertindak demikian. Sedangkan da-
lam penilaian Kencana Ratih, kalau saja Yoga merebut
bunga itu dari tangan pamannya, pasti pamannya
akan kalah dan tak mampu melawan jurus-jurus maut
dari Pendekar Rajawali Merah. Jika sampai sekarang
Yoga tidak mau melakukannya, itu lantaran Yoga ingin
menjaga hubungan baik dengan Kencana Ratih Sean-
dainya Yoga menyerang pamannya, Kencana Ratih pun
akan bingung dalam mengambil sikap; harus memihak
ke mana ia pada saat seperti itu.
"Kencana Ratih...," sapa Leak Parang. "Sepertinya ada yang tak beres di antara
kalian berdua?"
Dengan agak sulit, akhirnya Kencana Ratih
berkata, "Hmm... iya! Begini, Paman... Sebenarnya, Yo-ga datang ke Gua Mulut
Iblis memang untuk mengam-
bil bunga Teratai Hitam itu."
"Hah..."!" Leak Parang terkejut, demikian pula Nyai Kubang Darah. Kedua orang
tua itu memandang
Yoga dengan mata sedikit lebar dan tidak berkedip.
Saat itu Yoga berdiri di bawah pohon dengan pung-
gung bersandar dan tangan merapat di dada. Wajah-
nya tertunduk karena merenungkan langkah yang ha-
rus diambilnya.
Leak Parang segera dekati Yoga, Nyai Kubang
Darah mendampinginya. Lalu dengan tegas Leak Pa-
rang menatap dan bertanya,
"Kau inginkan bunga ini juga"!"
Yoga mengangkat wajah sambil menarik nafas-
nya, dipandanginya Leak Parang beberapa saat, lalu
dengan jelas ia menjawab,
"Ya. Saya memang sedang mencari bunga itu
untuk menyembuhkan seorang sahabat juga, Paman.
Agaknya kita punya kesamaan dalam hal ini. Sama-
sama ingin membalas budi kepada seseorang lewat
bunga itu!"
Nyai Kubang Darah cepat menyahut kata, "Ti-
dak bisa! Kami lebih dulu mendapatkan bunga ini.
Dan urusan kami lebih penting daripada urusanmu.
Sahabatmu apakah seorang adipati?"
"Memang bukan, Nyai. Tapi sahabatku juga
punya nyawa yang harus diselamatkan! Apalah artinya
kedudukan tinggi jika orang itu tanpa nyawa, Nyai! Ja-
di, ku mohon jangan pandang kedudukan seseorang,
tapi pandanglah hak dari tiap manusia, bahwa setiap
manusia punya hak yang sama, yaitu hak untuk per-
tahankan nyawanya!"
"Kau tak perlu menggurui ku, Yoga!" geram
Nyai Kubang Darah. "Apa pun dalihmu, kami tetap tak akan serahkan bunga ini
kepadamu! Bukankah begitu,
Leak Parang"!"
"Ya. Tapi kau terlalu kasar bersikap di depan-
nya!" bisik Leak Parang kepada Nyai Kubang Darah.
Kemudian ia berkata kepada Yoga,
"Yoga, menurutmu, apakah kita harus berta-
rung demi memperebutkan bunga ini?"
Pendekar Rajawali Merah tak bisa menjawab
untuk sesaat, matanya memandang ke arah jauh den-
gan wajah penuh kegelisahan. Kejap berikutnya ter-
dengar lagi suara Leak Parang,
"Jika menurutmu itu hal yang baik, aku akan
layani pertarungan denganmu, walau aku tahu kau
akan mudah membunuhku!"
Kini mata Kencana Ratih yang menjadi pusat
pandangan Yoga. Seolah-olah pendekar tampan pemi-
kat hati wanita itu meminta pertimbangan kepada
Kencana Ratih selaku keponakan dari Leak Parang. Te-
tapi pada saat itu, Nyai Kubang Darah menyela kata
dengan suara tegasnya,
"Jika kau ingin bunuh Leak Parang, maka kau
harus bunuh aku dulu!"
Leak Parang menyahut, "Ini urusanku, Punding
Ayu! Kau jangan ikut campur! Ini urusan lelaki!"
Tiba-tiba Kencana Ratih berlutut dan memeluk
kaki pamannya dengan hati sedih. Kencana Ratih ber-
kata, "Tidak! Tidak, Paman! Kuharap jangan lakukan pertarungan dengan Yoga! Ku
mohon Paman mau
mengalah untuk hal satu ini! Berikanlah bunga itu ke-
pada Yoga, karena dia membutuhkannya sudah sejak
lama!" "Aku yang mendapatkannya, dia harus merebut dan membunuhku kalau memang
membutuhkan bunga ini!" kata Leak Parang.
Mendengar kata-kata itu, Yoga pun tak punya
pilihan lain kecuali cepat pergi dan tinggalkan mereka bertiga. Kencana Ratih
terkejut melihat kepergian Yoga yang berlari cepat itu. Ia sempat memekik
memanggil pendekar tampan itu,
"Yo...! Yo, jangan tinggalkan aku di sini, Yo...!"
Tetapi Yoga tak mau berpaling sedikit pun. La-
rinya justru semakin cepat dan hal itu membuat Ken-
cana Ratih sempat panik. Hatinya bertambah sedih
dan memendam kemarahan kepada pamannya.
"Paman tega memisahkan aku dengan dia!" ke-
tus Kencana Ratih.
"Aku... aku tidak memisahkan kalian!" "Dia pergi! Dia kecewa sekali mendengar
kata-kata Paman
dan kekerasan hati Paman! Dia sangat kecewa karena
tidak bisa dapatkan bunga yang sudah lama di cari-
carinya itu! Dia tak bisa ambil keputusan! Kalau saja
dia mau berbuat keji, dia bisa bunuh Paman dalam sa-
tu gebrakan! Tapi dia tidak mau, Paman. Dia pandang
saya sebagai keponakan Paman Leak Parang yang su-
dah lama ingin jumpa dengan Paman!"
Leak Parang sendiri menjadi gusar karena di-
ombang-ambingkan oleh kebimbangan. Berulang kali
ia menatap Nyai Kubang Darah, tapi perempuan itu
hanya cemberut dan tak mau bicara sedikit pun.
"Paman, tolonglah... berikan bunga itu kepa-
danya! Aku tak tega kalau melihatnya kecewa, Paman!
Dia telah menyelamatkan nyawaku beberapa kali! Dia
pula yang menyelamatkan Bujang Lola, pelayan Paman
itu dari ancaman maut Dewi Sukesi! Kalau tak ada dia,
Bujang Lola mungkin sudah mati di ujung pedangku,
karena kusangka dia orang Gua Bidadari yang mema-
ta-matai kami!"
"Apa hubungannya kau membawa-bawa Bujang
Lola!" sentak Leak Parang. "Urusan ini tidak ada hubungannya dengan pelayanku
itu!" "Aku hanya memberi tahu Paman, bahwa Yoga
punya jasa padaku dan aku berhutang nyawa pa-
danya! Sekarang dari pihakku membuat dia kecewa!
Oooh... aku malu kepadanya, Paman. Malu sekali!"
"Kalau malu ya sudah... tinggalkan saja dia dan
jangan bertemu dia lagi!" ujar Nyai Kubang Darah dengan bersungut-sungut.
Kencana Ratih menjadi panas
hatinya dan segera menyahut,
"Nyai jangan ikut campur urusan pribadiku!"
"Aku yang memberi izin pamanmu mengambil bunga
itu!" sentak Nyai Kubang Darah.
"Sejak kapan Nyai menjadi pemilik bunga itu"!"
sambil Kencana Ratih menuding bunga di tangan kiri
Leak Parang. "Nyai bukan pemilik bunga ini! Bunga ini sudah ada sebelum Nyai
lahir! Bunga ini sudah tumbuh di Telaga Bangkai pada saat Nyai masih ingusan!
Mengapa sekarang Nyai seolah-olah menjadi pemilik
bunga itu dan merasa berhak memberikan izin kepada
siapa pun untuk memetik bunga itu"!"
"Bicaramu memerahkan telingaku, Kencana Ra-
tih! Bisa kurobek mulutmu jika sekali lagi berkata be-
gitu!" "Robeklah!" bentak Kencana Ratih menantang.
"Cukup!" kali ini Leak Parang membentak lebih keras lagi. Ia benar-benar menjadi
gusar dan hanya bi-sa menarik napas dengan berat saat kedua perempuan
itu saling membisu.
Hening tercipta sejenak, kemudian Leak Parang
berkata kepada Kencana Ratih,
"Kencana, maafkan Paman. Kali ini agaknya
Paman terpaksa sekali harus mengecewakan dirimu!
Bunga ini tetap akan Paman serahkan kepada pihak
kadipaten!"
"Paman bukan hanya mengecewakanku, tapi
memutuskan hubungan batin ku dengan Pendekar Ra-
jawali Merah! Paman kejam!"
"Kencana... dengarlah dulu...!"
"Aku lebih suka mati bunuh diri daripada ha-
rus mengecewakan dia!" "Kencana...!"
Gadis itu melangkah mundur pelan-pelan den-
gan napas terengah-engah. Ia berkata penuh perasaan


Jodoh Rajawali 08 Bunga Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benci dan desakan amarahnya,
"Aku akan ceritakan masalah ini di depan Ibu,
dan aku akan bunuh diri saat itu juga di depan Ibu...!"
"Tunggu...!"
Wuuut...! Kencana Ratih cepat melarikan diri
sambil membawa tangis di perjalanan.
"Kencana Ratih...! Tunggu dulu! Jangan sepicik
itu, Kencana! Kasihan ibumu!" seru Leak Parang sambil berusaha mengejarnya, tapi
Kencana Ratih berlari
dengan cepatnya, sehingga Leak Parang merasa sia-sia
mengejarnya. Ia tahu persis watak keponakannya yang
cantik itu, sungguh sukar dirubah jika sudah punya
kemauan. "Lupakan tentang bocah-bocah itu! Kencana
Ratih hanya menggertak mu, Leak Parang."
"Dari sekian banyak keponakanku, hanya dia
yang punya ketegasan dalam bersikap. Kalau dia bi-
lang bunuh diri, maka apa pun yang terjadi dia tetap
akan bunuh diri! Dan kalau dia bunuh diri di depan
ibunya mampuslah aku!"
"Mengapa mampus?"
"Adikku, ibu Kencana Ratih itu, adalah satu-
satunya saudara yang sangat sayang kepadaku. Sejak
kecil, kami tak pernah bertengkar, tak pernah bermu-
suhan. Tetapi kepada kakak kami, permusuhan dan
pertengkaran sering kami lakukan. Aku sangat sayang
kepada adik bungsu ku, Ibunya Kencana Ratih itu. Ji-
ka Kencana Ratih benar-benar lakukan bunuh diri di
depan ibunya setelah dia mengadukan perkara ini,
maka hancurlah persaudaraan ku dengannya. Hilang
sudah rasa saling menyayangi antara aku dan dia. Tak
ada lagi saudara yang menyayangi ku, yang tahu per-
sis gaya hidupku dan bisa kujadikan tempat bertukar
pendapat! Celaka betul aku kalau begini! Kencana Ra-
tih tidak pernah ingkari ancamannya sendiri!"
"Kurasa itu hanya luapan kekecewaan yang tak
terkendali saja!" Nyai Kubang Darah menenangkan ha-ti kekasihnya, tapi sang
kekasih masih saja gundah
dan resah. Kecemasan membayang jelas di wajah.
Ternyata dari tempat mereka tadi, ada sungai
tak begitu jauh jaraknya. Sungai itu berair dangkal,
dan berbatu-batu. Kencana Ratih ingin melintasi sun-
gai itu, tapi langkahnya terhenti karena melihat seseorang duduk di tepi sungai,
di atas sebuah batu.
"Yooo...!" panggilnya dengan berseru. Kencana Ratih cepat hampiri pendekar
tampan yang sedang
termenung di sana. Air matanya cepat-cepat dikering-
kan, karena ia tak mau Yoga melihat dirinya menangis.
"Yo... mengapa kau pergi meninggalkan aku di
sana?" Mata Pendekar Rajawali Merah menatap gadis yang segera duduk di depannya
dengan kaki masih
menapak di tanah. Jaraknya sangat dekat, sehingga
tangan Yoga bisa meraih pipi Kencana Ratih. Pipi itu
basah, dan Yoga tahu Kencana Ratih menangis. Tetapi
ia tidak terlalu pikirkan hal itu. Wajah Yoga menjadi
dingin, walau akhirnya ia pun berkata dengan nada
pelan, "Aku tak tahan berhadapan dengan pamanmu!
Semakin dia menantangku. semakin besar keinginan-
ku untuk membunuhnya!"
"Mengapa tidak kau lakukan?"
Yoga geleng-gelengkan kepala dengan berusaha
tetap tenang dan mata memandang lurus ke bola mata
Kencana Ratih. "Aku tidak mau melayani tantangannya! Aku
tidak mau membunuhnya, sebab aku tahu dia sayang
kepadamu, Kencana!"
"Tapi kau kecewa terhadapnya, bukan?", "Ya.
Sangat kecewa! Yang membuatku kecewa karena aku
tidak bisa berbuat apa-apa terhadapnya, sementara
aku tahu bunga itu ada di tangannya Lebih baik bunga
itu ada di tangan orang lain, jadi aku tidak akan kece-
wa andai orang itu bisa kalahkan aku!"
Kencana Ratih diam termenung. Tangannya
menggenggam jemari Yoga. Tiba-tiba ia menatap dan
berkata, Tetaplah di sini, aku akan kembali lagi mem-
bawa bunga itu!"
Kencana Ratih cepat berdiri dan Yoga kerutkan
dahi. "Mau ke mana kau?"
"Merebut bunga itu dari tangan Paman!"
Yoga pun berdiri. Tangan Kencana Ratih dita-
hannya. "Jangan senekat itu, Kencana. Kau bisa dibunuh oleh pamanmu sendiri!"
"Itu lebih baik daripada aku melihatmu kece-
wa!" "Tidak, Kencana! Kau tidak boleh lakukan hal itu! Jangan menjadi bermusuhan
dengan pamanmu gara-gara kau membela diriku!"
"Karena Paman sendiri tega melihat aku ting-
galkan dirimu. Paman sudah tidak sayang lagi padaku,
Yo! Aku tak perlu menyayanginya lagi. Aku akan me-
lawannya dan bila perlu membunuhnya.'"
"Kencana, kau durhaka jika membunuh sauda-
ra dari ibumu sendiri!"
"Persetan dengan hubungan saudara!" sentak
Kencana Ratih sambil melompat pergi meninggalkan
Yoga. "Kencana...! Jangan lakukan itu!"
Sekarang ganti Kencana Ratih yang tak mau
dengar seruan Yoga. Maka, Yoga pun segera mengejar
Kencana Ratih. Ia takut pertarungan itu benar-benar
terjadi. ia tak yakin Kencana Ratih dapat kalahkan il-
mu pamannya. Apalagi pamannya dibantu oleh Nyai
Kubang Darah, sudah pasti Kencana Ratih hanya akan
mati konyol jadinya.
Dalam pemikiran Yoga hanya ada dua kemung-
kinan; mencegah pertarungan itu, atau membantu
Kencana Ratih melawan pamannya"
* * * 7 PADA saat itu, di tempat lain dua orang juga
sedang membicarakan tentang bunga Teratai Hitam
itu. Orang tersebut adalah Gerah Wojo, dari Perguruan
Macan Terbang dan Ubayana, anak seorang lurah. Me-
reka bekerja sama untuk mendapatkan bunga Teratai
Hitam. Pada dasarnya, Ubayana mengupah Gerah Wo-
jo untuk dampingi dirinya dalam mengikuti sayembara
dari pihak kadipaten itu.
Mereka mendengar kabar dari beberapa orang
yang telah gagal mendapatkan bunga tersebut, bahwa
bunga teratai berwarna hitam itu sekarang sudah be-
rada di tangan tokoh tua yang bernama Leak Parang.
Dari kedai tempat Lili bermalam, mereka sudah bica-
rakan hal itu dengan matang. Lili pun menyimak pem-
bicaraan mereka secara diam-diam.
"Aku kenal dengan Leak Parang," kata Gerah
Wojo. "Dia memang berilmu tinggi, tetapi dia mudah dikelabui karena ketuaannya.
Kurasa memang ada
baiknya bunga itu ada di tangan Leak Parang daripada
di tangan tokoh lain, karena dengan adanya bunga di
tangan Leak Parang, kita punya harapan bisa mere-
butnya. Aku nanti akan mengatur siasat untuk menge-
labuinya! Jangan khawatir, bunga itu pasti akan kita
dapatkan, Ubayana!" "Kalau begitu, sebaiknya kita berangkat sekarang."
"Itu gagasan terbaik menurutku!"
Ubayana dan Gerah Wojo segera tinggalkan ke-
dai. Sesaat kemudian, Lili pun tinggalkan kedai dan
mengikuti langkah mereka dengan sembunyi-
sembunyi. Dalam hatinya Lili berkata,
"Aku ingin tahu, seperti apa kehebatan Leak
Parang itu" Benarkah dia bisa mempertahankan bunga
tersebut" Dan jika ia bertemu dengan Yoga, apakah ia
bisa dikalahkan Yoga" Apakah Yoga berhasil merebut
bunga itu" Dan... dan apakah Kencana Ratih bisa
membantu Yoga dalam pertarungannya nanti"
Hmmm...! Bisa apa perempuan itu sebenarnya! Aku
jadi ingin tahu kehebatan ilmunya dalam membantu
Yoga!" Gerakan Lili yang mengikuti langkah mereka ternyata dapat dirasakan oleh
Ubayana. Ketika mereka
melewati tanah datar berpohon rapat, Ubayana mena-
han lengan Gerah Wojo. Ia berbisik pelan,
"Sepertinya ada orang yang mengikuti langkah
kita!" "Ya. Aku sudah tahu sejak kita memasuki hutan ini. Tetapi aku diamkan
saja, karena kulihat dia tidak berbahaya!"
"Jangan kau bilang tidak berbahaya! Siapa ta-
hu dia ingin merebut bunga itu juga! Dia numpang
arah dengan kita."
"Jadi, bagaimana maksudmu" Harus kusing-
kirkan orang itu?"
"Singkirkan saja!"
"Baik! Kau jalanlah lebih dulu, dan kalau aku
tiba-tiba menghilang di balik pohon besar, kau pura-
pura tidak mengetahui kepergianku. Dia akan ku cegat
di pohon besar itu!"
"Akan kulakukan seperti perintahmu."
"Kita jalan biasa saja!" sambil Gerah Wojo yang
berbadan besar tapi bukan gemuk itu mendahului me-
langkah. Ubayana yang masih berusia antara dua puluh
lima tahun itu bertubuh tegap dan kekar. Tapi agak-
nya ia punya ilmu tak seberapa tinggi. Buktinya untuk
memburu bunga Teratai Hitam saja ia harus menyewa
orang Perguruan Macan Terbang sebagai pengawal dan
pembantunya. Hanya sebatas perawakan saja Ubayana
kelihatan gagah dan meyakinkan. Rambutnya pendek
diikat dengan ikat kepala dari logam kuningan berlapis kain sejenis beludru
Pendekar Laknat 13 Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra Darah Dan Cinta Di Kota Medang 15
^