Dewa Sinting 1
Gento Guyon 19 Dewa Sinting Bagian 1
1 Hujan deras laksana tercurah dari langit
saat Iblis Edan dan gadis cantik berpakaian putih berambut panjang itu melintasi
kawasan lembah belantara di sebelah timur gunung Slamet. Suara
angin menderu, kabut memutih laksana kapas
menghalangi pemandangan. Di langit mendung
makin menghitam, kilat menyambar petir meng-
gelegar. Di beberapa tempat masih disekitar ka-
wasan lembah beberapa pepohonan berderak ber-
tumbangan dipulas deru angin kencang.
Dinginnya udara saat itu membuat tubuh
pemuda bertelanjang dada dan gadis yang bersa-
manya menggigil, gigi bergemeletukan, sedangkan
wajah menjadi dingin dan pucat laksana mayat.
"Iblis Edan cari tempat perlindungan dis-
ekitar sini. Kita tidak mungkin melanjutkan perjalanan dalam cuaca buruk
begini." kata si gadis yang rambut dan pakaiannya basah di guyur hujan. Pemuda
gondrong bertelanjang dada kitar-
kan pandangan matanya ke sekeliling tempat itu.
Tidak ada yang terlihat dalam keadaan hujan de-
ras begitu. "Bagaimana bisa menemukan tempat ber-
lindung, mataku sama sekali tak bisa menembus
ke depan lebih dari dua tombak." Pemuda yang mempunyai julukan Iblis Edan
menyahuti. Gadis berpakaian putih yang adalah Mutia-
ra Pelangi melirik ke sebelah kiri. Kilat menyam-
bar membuat suasana disekitar kawasan dimana
mereka berada menjadi terang seketika. Suasana
terang yang hanya sekejap itu sudah cukup bagi
sang dara untuk melihat sesuatu.
Mutiara Pelangi kemudian berseru pada Ib-
lis Edan yang berdiri tegak tak jauh didepannya.
"Sobat Iblis Edan ikut aku!"
Sang dara tanpa bicara lagi segera melang-
kah mendekati satu pohon besar berdaun rindang
dimana pada setiap cabangnya dipenuhi akar-
akar gantung yang berjuntaian ke bawah.
Iblis Edan segera mengikuti. Biarpun sua-
sana di bawah pohon lebih gelap dari keadaan
disekelilingnya, namun tempat itu sangat teduh.
Tak ada air hujan yang menetes tembus hingga ke
bawah. Hingga mereka tidak ubahnya seperti ber-
teduh di bawah atap rumah saja.
Iblis Edan tersenyum, dia mengusap wa-
jahnya yang basah terkena siraman air hujan.
"Coba kalau kita berada disini sejak tadi, tentu pakaian dan badan kita tidak
basah seperti ini."
Di bawah kegelapan pohon si pemuda mengomel.
"Rasanya seumur hidup baru kali ini aku
melihat hujan sederas ini. Pohon-pohon bertum-
bangan. Mungkin semua ini merupakan pertanda
buruk." ujar Mutiara Pelangi sedangkan tetap matanya memandang lurus ke depan.
"Aku juga baru melihat hembusan angin
segila ini. Tidak bisa kubayangkan bagaimana se-
andainya seluruh pohon yang terdapat disekelil-
ing kita bertumbangan menghantam kita."
Mutiara Pelangi menyeringai. Dia bergidik
ngeri dan tak dapat membayangkan bagaimana
andai apa yang dikatakan Iblis Edan benar-benar
terjadi. Beberapa saat berlalu, secara tidak terduga hujan mereda, hembusan
angin terhenti. Sedangkan langit yang tadinya disaput mendung
tebal kini nampak terang benderang.
Si gadis dan si pemuda saling berpandan-
gan. Lalu Iblis Edan mendadak tertawa tergelak-
gelak. Merasa tidak ada yang patut ditertawakan
Mutiara Pelangi mendengus sinis, dia cepat pa-
lingkan perhatiannya ke arah lain. Di saat seperti itulah dia melihat satu benda
berbentuk bulat seperti bola menggelinding di pucuk deretan pepo-
honan sebelah kiri, melayang berpindah dari pu-
cuk pohon yang satu ke pucuk pohon yang lain-
nya. Benda itu terus bergerak mendekati pucuk
pohon dimana saat itu si gadis dan Iblis Edan
berteduh di bawahnya.
Sraak.! Benda besar berbentuk bulat berwarna pu-
tih lenyap dari pandangan mata sang dara begitu
sampai dipucuk pohon dimana dirinya berada.
Rupanya suara berisik jatuhnya benda po-
hon terdengar oleh Iblis Edan. Pemuda yang me-
miliki tingkah laku seperti orang sinting ini langsung dongakkan kepala
memandang ke atas po-
hon. "Aku mendengar sesuatu jatuh di pucuk
pohon sana." Gumam Iblis Edan. "Sayang daun dan cabang pohon ini rapat dan
gelap, aku jadi
tak bisa melihat mahluk apa yang baru jatuhkan
diri diatas sana."
"Aku bukan hanya mendengar, tapi juga
melihat sosok serba putih seperti bola meng-
gelinding diatas pucuk-pucuk pohon. Datangnya
dari arah sana, lalu berhenti tepat diatas kita."
jawab Mutiara Pelangi sambil menunjuk ke arah
mana sosok benda tadi berasal.
Iblis Edan unjukkan wajah terkejut. "Sosok
seperti bola katamu" Tidak ada bola dijaman ini.
Yang ada cuma kelapa, mana mungkin ada kelapa
berwarna putih, lalu seakan punya nyawa ber-
lompatan dari pucuk pohon ke pohon lainnya.
Ah... kau pasti sedang mabuk. Walau tempat ini
gelap, tapi aku bisa melihat wajahmu pucat, tu-
buh menggigil." ejek Iblis Edan disertai tawa perlahan. Belum lagi Mutiara
Pelangi sempat me-
nanggapi ucapan Iblis Edan dari atas ketinggian
pohon mendadak sontak terdengar suara tawa
bergelak. Suara tawa disertai satu guncangan ke-
ras pada pohon diatas mereka. Sang dara terce-
kat, sebaliknya kening Iblis Edan berkerut.
"Hebat. Mungkin inilah pohon aneh yang
dinamakan pohon setan. Bisa bergoyang dan ter-
tawa pula. Ha ha ha." kata pemuda itu sambil tertawa seenaknya sendiri.
Mutiara Pelangi si cantik yang memiliki ge-
lar Puteri Kupu Kupu Putih memberi isyarat agar
Iblis Edan hentikan tawa dengan telunjuk ditem-
pelkan diatas bibirnya.
Karena pemuda itu masih saja tertawa si
gadis tidak lagi dapat menahan kesabarannya.
"Iblis Edan. Jika kau tidak mau diam, aku sumpal mulutmu dengan dedaunan!"
bentak si gadis sambil delikkan matanya.
"Kau mau menyumpal mulutku dengan
daun" Apa kau kira diriku ini binatang ternak
yang kelaparan" Jika ayam panggang yang kau
sumpalkan ke mulut ini aku pasti tidak menolak.
Udara begini dingin perutku jadi lapar." Iblis Edan usap perutnya yang rata,
matanya berkedap-kedip mendadak dia tepuk keningnya. "Ah...
aku hampir lupa, sebenarnya sejak tadi aku ingin
mengatakan sesuatu padamu. Tapi karena disini
agaknya kita tidak sendiri, aku takut segala yang ingin kusampaikan padamu itu
didengar oleh pihak ketiga. Pelangi bagaimana kalau aku menye-
lidik di pucuk pohon ini dulu?"
"Apa yang ingin kau katakan, Iblis Edan.
Kau hendak mengatakan siapa dirimu yang sebe-
narnya atau kau ingin menawarkan sesuatu yang
lain?" tanya Mutiara Pelangi.
Iblis edan tidak menjawab, dia hanya ter-
senyum sambil kedipkan matanya sebelah kiri.
Sekejap dia mendongak ke atas pohon dimana
suara tawa tadi sempat terdengar. Terhalang oleh
kelebatan daun-daun yang lebat dia tidak dapat
melihat apa-apa.
Masih dengan mata memandang ke atas Ib-
lis Edan tiba-tiba membentak. "Orang diatas pohon siapapun dirimu, jika datang
tak mau unjuk- kan diri aku menganggap kau adalah manusia ja-
hat." Suara teriakan Iblis Edan bergema merobek kesunyian lembah. Gema suara
lenyap. Suasana
tetap sunyi. Iblis Edan jadi penasaran. Mutiara Pelangi
baru saja hendak mengatakan sesuatu, namun
pada saat itu bagaikan seekor elang Iblis Edan telah berkelebat ke atas pohon.
Gerakan pemuda ini sungguh cepat luar biasa hingga dalam waktu
sekejap tubuhnya telah berpindah dari salah satu
cabang ke cabang yang berada di atasnya. Tak
lama sosoknya lenyap dari pandangan mata si
gadis. Sementara itu suasana yang semula redup
kini telah berubah menjadi terang kembali. Di
langit matahari bersinar cerah.
Beberapa saat menunggu dalam kegelisa-
han, Mutiara Pelangi mendadak dikejutkan den-
gan terdengarnya suara bentakan seseorang di-
atas pucuk pohon sana. "Bocah edan, beraninya cari penyakit mengganggu orang
yang sedang tidur disini. Kalau tak kuberi pelajaran kau hari
ini, kelak pasti sikapmu makin bertambah kurang
ajar saja!" Kemudian Mutiara Pelangi mendengar satu seruan kaget. Jelas suara
Iblis Edan. "Hei...
siapa kau" Tidur melingkari pucuk pohon" Ma-
nusia apa trenggiling!"
Kemudian terdengar suara tawa mengakak
disusul dengan suara robeknya pakaian dan sua-
ra bak bik buk dari atas sana. Mutiara Pelangi
yang menunggu dibawah jadi kaget, jantung ber-
detak keras, tenggorokan tercekat dan wajah pu-
cat. Mulutnya sempat keluarkan satu seruan.
"Celaka...!"
Dari pucuk pohon kembali terdengar suara
jerit diselingi caci maki, kemudian disusul pula
dengan terdengarnya suara berkerosakan, seperti
ada benda berat terjatuh namun tersendat-sendat
karena terhalang beberapa cabang pohon yang
terdapat di bawahnya.
Wuuus! Blukk! Satu sosok tubuh jatuh menggelundung
hanya sejarak satu tombak di depan Mutiara Pe-
langi. Dalam kejutnya sang dara melompat mun-
dur dua langkah, mata terbelalak, tangan kiri di-
pergunakan menutup mulutnya yang nyaris men-
jerit. "Iblis Edan apa yang terjadi?" Dalam kagetnya Mutiara Pelangi berseru.
Matanya yang mendelik tetap memandang ke depan dimana so-
sok Iblis Edan tergeletak disitu. Celana hitamnya yang komprang tidak berupa
celana lagi, hancur
tercerai berai seperti dicabik atau seperti terkena suatu benda tajam mirip
gergaji. Celana itu buntung sampai setinggi paha.
Yang lebih mengejutkan lagi di bagian kening, pe-
lipis kanan dan pelipis sebelah kiri si pemuda
nampak benjut besar dan benjol membiru sebesar
kepalan tangan. Dalam kagetnya Mutiara Pelangi
juga tak mampu menahan tawa melihat keadaan
tampang sahabatnya yang acak-acakan tak ka-
ruan rupa. "Sobat Iblis Edan, apa yang kau kerjakan
diatas pucuk pohon sana sampai tubuhmu babak
belur begitu" Memangnya kau habis cakar-
cakaran dengan monyet. Hi hi hi."
Iblis Edan mengerang, nafasnya megap-
megap dengan matanya yang sipit bengkak lebam
ke atas. Dengan langkah sempoyongan pula se-
perti orang mabuk pemuda itu bangkit berdiri.
"Kau tak salah. Diatas sana memang ada monyet besar tidur bergelung. Semula aku
mengira dia tidur sungguhan, tidak tahunya dia menipuku. Ku-
rang ajar.... jika tidak kuberi pelajaran hatiku
mana bisa tenteram!" dengus si pemuda. Dia menoleh ke arah sang dara. "Pelangi
kau menying-kirlah!" Walaupun si gadis tak mengerti apa yang hendak dilakukan
oleh pemuda itu namun dia tetap menjauh dari bawah pohon. Iblis Edan sung-
gingkan seringai, tangan kanan diangkat, tenaga
dalam dialirkan ke bagian tangan itu. Tak lama
tangan kanan Iblis Edan telah berubah berwarna
biru berkilauan. Semula Mutiara Pelangi me-
nyangka Iblis Edan hendak memukul bagian atas
pohon, tapi ternyata tidak. Tangan yang telah
mengandung tenaga sakti dihantamkannya lang-
sung ke batang pohon. Justru pada waktu yang
bersamaan terdengar suara tawa keras yang dis-
ertai terdengarnya suara gemuruh aneh. Mutiara
Pelangi yang cepat memandang ke atas begitu su-
ara tawa terdengar jadi tercekat. Diapun tanpa
sadar berseru. "Iblis Edan, awas...!"
"Keparat!" maki Iblis Edan. Laksana kilat dia menarik tangannya kembali kemudian
dengan gerakan cepat laksana kilat dia berjumpalitan ke
belakang menjauh dari pohon selamatkan diri.
Brak! Braak! Terdengar suara puluhan cabang pohon ja-
tuh terhempas di tanah. Pasir dan kebatuan be-
terbangan. Iblis Edan jatuh terduduk dengan wa-
jah pucat, tapi mata menyorotkan rasa amarah
luar biasa. Apa yang terjadi"
Ketika Mutiara Pelangi memandang ke atas
pohon begitu suara tawa terdengar. Tiba-tiba dia
melihat satu sosok serba putih bergerak, kemu-
dian cecabang pohon berjatuhan seperti ditabas
senjata yang sangat tajam. Dari mulai pucuknya
dan terus bergerak ke bawah. Hingga dalam wak-
tu sekejap pohon menjadi gundul.
Satu sosok serba putih jatuh menggelind-
ing menyusuri batang pohon yang gundul. Sosok
Gento Guyon 19 Dewa Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu kemudian menggeliat, kakinya yang tak lepas
mengapit kepalanya terbuka sosok serba putih
duduk, mulut menguap, tangan yang disembu-
nyikan dibalik ketiak terbuka. Ternyata di kedua
tangan sosok kakek berpakaian serba putih be-
rambut putih yang kepalanya botak di bagian be-
lakang ini tergenggam dua bilah senjata aneh
dengan besar seperti golok, memiliki panjang se-
perti pedang, namun di bagian punggung senjata
berkelak-kelok seperti mata gergaji.
Sejenak suasana di tempat itu dicekam ke-
bisuan. Mutiara Pelangi yang memiliki banyak
pengalaman di dunia persilatan begitu melihat
dua golok berwarna putih mengkilat di tangan si
kakek keluarkan seruan kaget. "Sepasang Golok Kembar Gigi Dewa."
Iblis Edan yang sempat mendengar seruan
sang dara berpaling pada si gadis dan me-
mandangnya penuh rasa tak mengerti.
"Pelangi, kau kenal dengan kakek yang ke-
palanya botak dibagian belakang itu?" bertanya Iblis Edan dengan suara pelan
namun mengandung kejengkelan.
"Bertemu dengannya baru kali ini. Tapi
nama besarnya sering kudengar. Dia manusia gila
seperti dirimu, otaknya agak miring seperti otak-
mu kalau tak salah dialah orangnya yang memili-
ki gelar Dewa Sinting. Setahuku dia berdiam di
daerah pesisir Tegal Kramat, lalu mengapa seka-
rang dia sampai berkeliaran disini"!"
Walaupun wajah Iblis Edan benjol di sana
sini namun dia masih dapat tersenyum dengan
mulut terpencong.
"Sialan. Dia sama sekali tidak dapat dis-
amakan dengan diriku. Melihat botaknya kurasa
dia memang orang gila sungguhan. Tapi sudah te-
lanjur kepalang basah, pakaianku dibuatnya se-
perti ini, kepala juga jadi tambah jelek begini. Kalau semuanya belum dibuat
impas, mana mung-
kin aku bisa memaafkan!"
"Sobat Iblis Edan. Dia bukan manusia
sembarangan. Kau bisa dibuatnya babak belur?"
Belum lagi Iblis Edan sempat menanggapi.
Di depan sana di bawah pohon besar yang gun-
dul, diatas tumpukan cabang pohon kakek be-
rambut putih berbadan kurus yang dikeningnya
terdapat sebuah titik merah besar sudah bangkit
berdiri. Sejenak dia memandang ke arah Iblis
Edan dan Mutiara Pelangi silih berganti. Dua bi-
lah golok aneh digerakkan di udara kemudian se-
cara perlahan dua golok dimasukkan ke dalam
mulut. Dua golok tajam luar biasa amblas lenyap
ke dalam mulut si kakek lalu masuk ke dalam pe-
rut. Sang dara kembali dibuat tercekat. Apa yang
dilihatnya ini adalah satu pemandangan yang
sangat luar biasa dan sulit untuk dipercaya. Se-
baliknya Iblis Edan yang masih diselimuti pera-
saan marah akibat apa yang terjadi pada dirinya
hanya mendengus sinis sambil berkata mencibir.
"Segala permainan sihir seperti itu cuma pantas diperlihatkan pada anak kecil.
Ingat kau punya
hutang celana dan benjolan di jidatku. Sebelum
aku meminta kau membayarnya. Aku juga akan
perlihatkan padamu sesuatu yang tak pernah kau
lihat seumur hidup!"
Kakek tua yang menelan dua bilah golok-
nya sendiri berdiri sambil berkacak pinggang. Ke-
pala mendongak mulut mengumbar tawa. "Pemu-
da edan" Apa yang hendak kau perlihatkan pada-
ku?" tanya si kakek sinis.
Iblis Edan sama sekali tidak menjawab.
Sepasang matanya berkedap-kedip. Dia berfikir
inilah kesempatan baginya untuk membalas dan
mengerjai kakek yang tidak dikenalnya itu.
2 Tidak lama dua tangan Iblis Edan disilang-
kan diatas kepala. Ketika dua tangan itu saling
bersilangan begitu rupa, Iblis Edan keluarkan su-
ara racauan aneh. Tak lama tubuhnyapun berge-
tar. Suara racau semakin lama semakin bertam-
bah keras, bersamaan dengan itu pula dari tan-
gan yang bersilangan diatas ubun-ubun mengepul
asap tipis. Asap tipis ternyata tidak saja keluar dari bagian kepala, namun juga
dari seluruh tubuh si pemuda.
"Apa yang hendak dilakukan oleh Iblis
Edan ini?" pikir Mutiara Pelangi yang merasa heran melihat apa yang terjadi pada
Iblis Edan. Se-
baliknya kakek aneh yang datang dengan cara
bergelung menggelinding seperti trenggiling sung-
gingkan seringai mengejek. Tapi seringai kakek ini mendadak lenyap begitu
melihat sosok Iblis Edan
yang sekujur tubuhnya diselimuti asap putih
mendadak raib dari pandangan. Dalam kagetnya
si kakek memandang kesekitar tempat itu.
"Bocah gila calon muridku. Kau hendak
mengelabuhi Dewa Sinting" Ha ha ha. Bagaimana
bisa kejadian orang gila bisa mengelabuhi orang
waras!" kata orang tua itu sinis disertai tawa tergelak-gelak.
Tidak ada suara apapun begitu gema suara
si kakek lenyap. Mutiara Pelangi sendiri tidak ta-hu apa yang dilakukan Iblis
Edan. Yang jelas tak
begitu lama kemudian dia melihat si kakek yang
mengaku dirinya sebagai Dewa Sinting itu nam-
pak berjingkrak-jingkrak sambil mendekap perut-
nya kalang kabut.
"Bocah keparat ! Beraninya kau menggelitik
tubuhku!" teriak si kakek. Si kakek berteriak mengatakan dirinya digelitiki.
Tapi sesungguhnya
sang dara tidak melihat ada orang berada di seki-
tar orang tua itu. Agaknya Iblis Edan yang ternya-ta memiliki ilmu melenyapkan
diri itu kini mulai
mengerjai si orang tua.
Beberapa saat kemudian orang tua ini me-
lompat mundur. Sumpah serapah menghambur
dari mulut si orang tua. Dengan wajah pucat si
kakek memandang ke depan. Kemudian dia
membentak. "Bocah kadal, punya hubungan apa
kau dengan Ageng Tirtomoyo?"
Pertanyaan si kakek disambut dengan tawa
panjang bergema. Jelas yang tertawa adalah Iblis
Edan. Namun pemuda itu sendiri tak terlihat, le-
nyap. Seolah dirinya adalah setan gentayangan.
"Tua bangka gila mengaku bergelar Dewa
Sinting. Rupanya kau kenal dengan kakek Ageng
Tirtomoyo alias Paduka Diraja Iblis. Kalau kau
mau tahu dia adalah guruku." sahut iblis Edan yang hanya suaranya saja bergema
di tempat itu. "Ha ha ha. Rupanya kau murid Iblis kesa-
sar dari Wadaslintang itu. Sejak pertama kali aku mengikutimu aku memang sudah
menduganya. Pantas aku melihat ketidak beresan pada otak-
mu." kata Dewa Sinting disertai tawa bergelak.
Setelah diam sejenak orang tua itu melanjutkan
ucapannya. "Aku tahu Ageng Tirtomoyo memiliki ilmu pengecut melenyapkan diri.
Sekarang sebaiknya kau tunjukkan dirimu, karena begitu ba-
nyak yang ingin kubicarakan denganmu!"
Iblis Edan mendengus, apa yang terjadi
pada diri dan wajahnya membuat pemuda yang
tengah berada dalam penerapan ilmu menghilang
ini tak menghiraukan perintah Dewa Sinting sa-
ma sekali. "Kau manusia sinting kakek tua. Engkau
mengira diriku siapa" Anak bukan, saudara bu-
kan, keponakan juga bukan" Enak saja kau men-
gatur diriku" Lihat ke samping kananmu!" teriak Iblis Edan.
Terpancing oleh ucapan Iblis Edan, maka
laksana kilat Dewa Sinting cepat palingkan wa-
jahnya sekaligus memandang ke arah sebelah ka-
nannya. Justru pada waktu bersamaan dari arah
sebelah kiri terdengar suara desiran halus disertai dengan terdengarnya suara
benda keras membentur kepala Dewa Sinting.
Plak! Si kakek terhuyung, tubuhnya nyaris ter-
pelanting. Sempoyongan dia bangkit, mulutnya
mendamprat sambil menjerit marah. Belum lagi
suara jeritan lenyap terdengar suara robeknya
pakaian. Bret! Breet! "Keparat kurang ajar!" maki si kakek begitu melihat bahu pakaiannya robek besar.
Dewa Sinting menjadi kalap, tapi mulutnya keluarkan tawa
panjang bergema. Setelah itu sambil tertawa den-
gan tidak terduga dia hantamkan dua tangannya
ke delapan penjuru arah. Sedikitnya sepuluh larik sinar putih menyilaukan
berhawa panas luar biasa menderu di udara.
Mutiara Pelangi yang berdiri tegak tak jauh
dari kakek itu jatuhkan diri bergulingan menjauh
sambil memaki. "Orang tua kau seperti orang kurang waras saja. Datang dengan
tujuan tidak je-
las, kini mengamuk seperti setan gentayangan."
Baru saja sang dara berlindung dibalik ba-
tu besar. Disekitar tempat itu terdengar suara ledakan berdentum delapan kali
berturut-turut. Se-
saat lamanya suasana dikawasan lembah laksana
diguncang gempa hebat. Si kakek tertawa berge-
lak. Tapi suara tawanya mendadak lenyap begitu
terdengar suara tawa lain yang disertai dengan
ucapan. "Tua bangka gila bergelar Dewa Sinting.
Gelaranmu memang sesuai dengan tingkat kewa-
rasan otakmu. Dari sini, dari atas ketinggian ini aku melihat delapan lubang
besar menganga hitam akibat pukulan hebat yang kau lepaskan.
Aku bangga dengan apa yang terjadi. Hebat. Ha
ha ha!" kata Iblis Edan yang kini sosoknya kembali terlihat dan saat itu si
pemuda duduk me-
nangkring di atas pohon di sebelah kanan si ka-
kek. Dengan tenang si pemuda melanjutkan.
"Pamer ilmu pamer kehebatan boleh saja. Tapi ji-ka harus pamer aurat bulukan
didepan gadis se-
cantik sahabatku Mutiara Pelangi apakah tidak
merasa malu" Ha ha ha!"
Mutiara Pelangi yang sempat melihat cela-
na putih si kakek melorot sampai sebatas lutut
dengan muka merah langsung palingkan wajah
memandang ke jurusan lain. Sebaliknya si kakek
yang sekujur tubuhnya memutih laksana kapas
jadi terkejut besar. Cepat dia memandang ke ba-
wah, kalang kabut Dewa Sinting tarik celananya
ke atas, sambil memaki. "Setan! Berani kau mem-permalukan aku" Kubunuh kau
nanti!" Di atas pohon Iblis Edan menyambut ma-
kian si kakek dengan tawa bergelak. Tangannya
dilambaikan, ternyata dalam genggaman Iblis
Edan menjuntai kain putih ikat pinggang celana
si kakek yang berhasil direnggut lepas begitu dia habis menghantam kepala Dewa
Sinting tadi. Walaupun Iblis Edan mengumbar tawa, namun da-
lam hati kaget juga melihat hantamannya tadi ti-
dak membawa akibat apapun bagi orang tua itu.
"Tua bangka gila itu punya ilmu apa. Ku-
hantam dia dengan pengerahan seluruh tenaga
dalam yang kumiliki. Jangankan pecah, benjol
seperti benjolan di jidatku pun tidak."
Sementara itu Dewa Sinting setelah sibuk
membenahi celananya jadi terkejut. Dia merasa
ada sesuatu yang hilang. Jelalatan dia mencari-
cari. Di atas pohon sambil berucang-uncang kaki
Iblis Edan menyeletuk. "Sejak tadi kau sibuk memegangi celanamu, kalau kufikir
kau memang mirip bocah lima tahun. Orang tua sinting, ber-
pakaian saja tidak beres, apakah kau mencari tali pengikat celanamu"!"
Wajah si kakek mendadak berubah jadi
pucat. Dia memandang ke atas. Mulutnya tern-
ganga begitu melihat Iblis Edan melambai-
lambaikan selembar kain putih selebar dua jari
tangan dengan panjang tak lebih dari setengah
depa. "Bocah kurang ajar, serahkan tali...!" Dewa Sinting yang sempat melirik ke
arah Mutiara Pelangi tak jadi teruskan ucapannya.
Iblis Gila menanggapi. "Tali kolormu" Ha
ha ha. Benda ini tidak akan kukembalikan kepa-
damu sebelum kau memberikan obat yang dapat
melenyapkan beberapa benjolan di wajahku."
"Bocah Edan?" rutuk si kakek.
"Aku memang Iblis yang penuh keedanan.
Bukankah tadi aku sudah mengatakannya pada-
mu" Ha ha ha."
"Serahkan barangku!" hardik si kakek.
"Yang ada ditanganku bukan barangmu.
Aku hanya mengambil tali pengaman pelindung-
nya. Ha ha ha."
"Kurang ajar." maki si kakek. Mendadak dia angkat tangan kanannya siap
melepaskan pukulan ke atas, dimana Iblis Edan duduk tenang di
salah satu cabang pohon. Sedangkan tangan kiri
dipergunakan untuk memegangi bagian depan ce-
lana putih. Sadar dengan apa yang hendak dilakukan
oleh si kakek. Iblis Edan berteriak mengancam.
"Berani kau melepaskan pukulan ke arahku, ku-hancurkan kain sabuk pengaman
celanamu ini. Aku tidak akan malu berjalan dengan muka bo-
nyok benjut begini. Tapi kau pasti akan menjadi
tontonan para bocah berjalan dengan pakaian ke-
dodoran begitu rupa. Cepat serahkan obat yang
kuminta, atau kau segera melihat pengaman ce-
lanamu ini hangus menjadi bubuk tak berguna!"
Gento Guyon 19 Dewa Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambil mengancam, Iblis Edan salurkan tenaga
dalam berhawa panas kebagian tangannya yang
memegang kain putih itu. Melihat apa yang dila-
kukan oleh si pemuda si kakek berseru. "Hei, jangan kau hanguskan sabuk itu.
Bbb... baiklah,
aku mengalah. Aku akan berikan obat yang kau
minta." Berkata begitu si kakek keluarkan sebuah benda berbentuk bulat berwarna
hitam. Melihat pil ditangan si kakek Iblis Edan kedipkan ma-
tanya. "Ini obat yang kau minta, sekarang kau lemparkan sabuk ditanganmu ke
bawah. Supaya adil aku akan lemparkan pil ini ke atas!" kata si kakek. "Baik. Tapi awas jika
kau berani menipuku.!" kata si pemuda.
Dewa Sinting menanggapi ucapan si pemu-
da dengan tertawa.
Tanpa bicara Dewa Sinting lemparkan obat
penghilang memar yang diminta oleh si pemuda.
Sementara Iblis Edan melemparkan sabuk pen-
gaman pinggang celana si kakek ke bawah.
Wuuut! Tep! Tep! Dalam satu gerakan yang sangat cepat.
Baik si kakek maupun Iblis Edan berhasil me-
nangkap benda yang diinginkan masing-masing.
Jika Dewa Sinting cepat lilitkan kain putih ke
pinggangnya, sebaliknya Iblis Edan cepat masuk-
kan obat yang dilemparkan si kakek ke dalam
mulutnya. Beberapa saat setelah menelan obat, Iblis
Edan merasakan wajahnya menjadi panas laksa-
na dipanggang. Tapi bersamaan dengan itu pula
satu keanehan terjadi. Empat benjolan besar di
wajah pemuda itu langsung lenyap. Iblis Edan
mengusap wajahnya pulang balik. Dia berseru
kegirangan. "Ha ha ha. Segalanya kembali mulus.
Aku tidak jadi menanggung derita malu." kata pemuda itu. Sambil tertawa senang
Iblis Edan lakukan satu gerakan satu loncatan. Tubuhnya
berputar di udara dan kemudian jatuh dengan
kedua kaki menjejak tanah tidak jauh di samping
Mutiara Pelangi. Si gadis pandangi pemuda itu se-
jenak, dia menjadi kagum melihat daya kerja obat
pemberian si kakek yang demikian cepat. Tapi ra-
sa takjub melihat wajah si pemuda kemudian be-
rubah menjadi kaget saat matanya melihat
adanya sesuatu yang berubah pada kulit wajah
Iblis Edan. "Sobat Iblis Edan, wajahmu"!" seru sang dara. "Hah, wajahku kenapa Pelangi?"
tanya Iblis Edan terkesiap. Dia mengusap wajahnya. Wajah
itu sama sekali tidak berubah, halus rata, tapi
mendadak pemuda itu merasakan bagian wajah-
nya dijangkiti gatal-gatal yang demikian hebat,
hingga dia ini menggaruknya tiada henti.
"Wajahmu merah seperti tomat matang."
Mutiara Pelangi memberi tahu. Iblis Edan meng-
gerung, rasa gatal bukan saja hanya terjadi diba-
gian wajah, tapi beberapa saat kemudian menja-
lar ke sekujur tubuh. Sehingga sang iblis nampak
begitu menderita karena tangannya terpaksa be-
kerja keras menggaruk sekujur tubuhnya.
Dewa Sinting tertawa tergelak-gelak. Mutia-
ra Pelangi tercengang dan tak tahu harus berbuat
apa. "Iblis Edan...! Kau tak pantas menyandang
gelar iblis. Kau hanya seorang bocah tolol yang
gampang diperdaya. Kuakui kau memang berhasil
membuat aku hampir menderita malu besar. Tapi
kecerobohanmu yang mudah diperdaya oleh
orang lain membuatmu harus mau menjadi mu-
ridku selama dua puluh purnama. Ha ha ha."
Iblis Edan yang merasa telah ditipu si ka-
kek menjadi marah sekali. Dia melompat maju
sambil berteriak. "Buat apa aku berguru pada manusia gila sepertimu" Sejak kecil
aku telah berlatih diri mempelajari segala ilmu yang ditu-
runkan oleh guruku. Dewa Sinting lebih baik
simpan mimpimu, kau tidak pernah bisa men-
gambilku sebagai seorang murid, sebaliknya lebih
bagus kau serahkan obat penawar racun gatal-
gatal ini. Sekarang...!"
Dewa Sinting kembali umbar tawanya. Se-
jurus dia memandang ke arah Iblis Edan yang
nampak terus sibuk menggaruk. Disertai senyum
mengejek dia kemudian berkata. "Bocah, racun yang mendekam ditubuhmu sangat
ganas. Kau tidak mungkin dapat bertahan hidup dalam wak-
tu lebih dari satu purnama di depan. Sebelum ajal itu nantinya menghampiri
dirimu, rasa gatal semakin menghebat. Kemudian tubuhmu membu-
suk, lalu kulitmu hancur daging leleh seperti ti-
mah yang dicairkan. Gurumu sekalipun tak akan
sanggup memberikan obat yang dapat menyem-
buhkan dirimu. Racun Gelugut Pring Biru tidak
bisa dianggap mainan. Jadi kau hanya punya sa-
tu pilihan, datang ke Tegal Kramat untuk menjadi
muridku atau mati sia-sia secara tersiksa!"
"Kurang ajar. Aku tidak pernah bermimpi
menjadi murid kakek sinting sepertimu. Mengaku
sebagai seorang Dewa tapi memiliki hati keji sejahat setan. Lagipula aku banyak
urusan!" dengus si pemuda.
"Aku tahu urusanmu, Rumpati. Bukankah
kau putera Karma Sudira. Manusia jujur yang
menjadi korban fitnah keji Adipati Surya Lagala-
pang yang kini menjabat sebagai adipati Purbo-
linggo. Ha ha ha."
Iblis Edan tentu saja dibuat kaget menden-
gar Dewa Sinting menyebut nama kecilnya. Ba-
gaimana kakek setengah gila ini bisa mengenali
siapa dirinya bahkan tahu pula siapa orang tua-
nya. Mutiara Pelangi juga tidak kalah kaget. Dia yang selama ini memang mencari
jejak ke-beradaan anak-anak pamannya Karma Sudira
nampak tercengang.
"Dewa Sinting bagaimana bisa mengenal
namaku?" tanya Iblis Edan dengan suara tercekat. "Ha ha ha. Perlu apa kau
bertanya. Bukankah kau juga punya seorang adik yang pada saat
terjadi bencana mengenaskan itu belum diberi
nama"!"
"Hah... kau tahu juga?" desis si pemuda.
"Aku bahkan tahu silsilah keluargamu.
Aku mengenal dirimu tidak ubahnya seperti men-
genali telapak tanganku sendiri."
"Lalu apakah kau tahu dimana ayahku dan
adikku sekarang?" tanya Iblis Edan.
Si kakek dongakkan wajahnya, lalu terta-
wa. Beberapa saat kemudian begitu tawanya
lenyap dia berucap. "Ayahmu aku tidak tahu berada dimana" Ketika aku datang ke
Ladang Wa- das Cimangu, penjara itu telah kosong. Aku
hanya menemukan bangkai tengkorak penjaga
yang telah membusuk. Sedangkan mengenai
adikmu, silahkan cari sendiri. Tapi jika kau mau
menjadi muridku, aku berjanji akan memberikan
penawar racun gatal-gatal ditubuhmu. Selain itu
aku juga akan membantu mencarikan adikmu.
Hanya itu saja!"
Mendengar ucapan Dewa Sinting, si pemu-
da terdiam. Sedangkan Mutiara Pelangi yang se-
dari tadi lebih banyak diam dan setelah mengeta-
hui siapa Iblis Edan yang sebenarnya tanpa ragu
lagi dan secara tak terduga langsung melompat
kedepan. Dua langkah di depan si kakek, sang
dara hentikan langkah, kemudian dia berkata.
"Orang tua, nama besarmu sudah sering aku
mendengarnya. Konon menurut yang kudengar
kau adalah manusia berhati baik. Tak kuduga
apa yang kudengar selama ini ternyata hanya be-
rita kosong belaka. Orang tua, berikan obat pe-
munah racun gatal itu pada saudaraku Iblis
Edan. Jika tidak aku telah bertekad mengadu jiwa
denganmu!" kata si gadis.
Kini Iblis Edan jadi yang dibuat kaget. Ba-
gaimana mungkin Mutiara Pelangi mengakuinya
sebagai saudara. Padahal kenalpun dengan gadis
ini dia baru beberapa hari saja.
"Pelangi apa maksudmu ...?" tanya Iblis Edan. "Tidak ada waktu untuk
menjelaskannya, Rumbapati. Sebaiknya kita gabungkan kekuatan
untuk menempur tua bangka sinting ini sebelum
racun glugut Pring Biru membuat tubuhmu leleh
menjadi bubur sebagaimana yang dikatakannya!"
tegas sang dara.
"Pengakuanmu membuat aku bingung. Ba-
nyak yang ingin kuketahui, banyak pula yang in-
gin kutanyakan begitu kau mengakui diriku yang
buruk ini sebagai saudaramu. Tapi aku juga tidak
mau wajahku hancur menjadi bubur. Tunggu apa
lagi, mari kita serang dia!" teriak Iblis Edan.
Dua sosok tubuh berkelebat laksana kilat
disertai teriakan menggeledek. Di depan sana De-
wa Sinting ganda tertawa dan tetap tegak ditem-
patnya. Padahal pada waktu itu dia melihat em-
pat tangan berkelebat menghantam empat bagian
tubuhnya yang paling mematikan. Dan dia tahu
pula masing-masing serangan yang dilancarkan
oleh sang dara dan si pemuda sama-sama berba-
haya dan mengandung tenaga dalam tinggi.
Sesaat lagi, empat pukulan lawan menda-
rat di tubuhnya sambil tertawa Dewa Sinting la-
kukan gerakan dengan mendorong dua tangan.
Tangan kiri di dorong ke arah Mutiara Pelangi,
sedangkan tangan kanan digerakkan ke arah Iblis
Edan. Dua gerakan mendorong tangan itu terke-
san hanya seperti gerakan biasa saja. Tapi aki-
batnya membuat si gadis terjungkal, bergulingan
di tanah lalu bangkit dengan dada sesak, muka
pucat dan lutut bergetar.
Tak jauh disampingnya Iblis Edan walau
tidak sampai roboh tapi tubuhnya sempat oleng,
kaki tertekuk, kepala yang menjadi sasaran do-
rongan tangan Dewa Sinting laksana mau mele-
dak. Bila Iblis Edan memandang kedepan sam-
bil menggaruk sekujur tubuhnya dia melihat De-
wa Sinting sunggingkan senyum sinis.
"Bocah, Segala ilmu kepandaian yang kau
miliki masih belum ada seujung kuku ini." kata Dewa Sinting sambil jentikkan
kuku jari keling-kingnya. "Karena itu kau masih punya waktu untuk datang ke
Tegal Kramat. Obat racun Pring Bi-
ru ada di sana, Selamat tinggal!" berkata begitu secara tak terduga Dewa Sinting
lesatkan tubuhnya ke udara.
"Kau hendak kabur kemana dewa gila?" se-ru Iblis Edan. Tidak memberi kesempatan
pada si kakek untuk tinggalkan tempat itu, Iblis Edan
berlari mengejar sambil lepaskan pukulan jarak
jauhnya. Wuuus! Dua larik sinar biru laksana mata pedang
menderu menghantam ke arah lenyapnya Dewa
Sinting. Glar! Glaar!"
Dua letupan keras menggema diudara.
Asap tebal mengepul api berkobar. Ketika asap
tebal lenyap Dewa Sinting juga lenyap. Di kejau-
han sana lapat-lapat terdengar suara tawa dan
suara seperti orang mengomel.
"llmumu masih hijau, kalau kau mau ma-
sih ada waktu bagimu untuk bisa menjadi iblis
beneran. Gelo betul."
"Setan, ke neraka sekalipun aku akan
mengejarmu. Terkecuali kau mau memberikan
obat penawar racun itu." kata si pemuda.
Seakan lupa pada Mutiara Pelangi yang
saat itu baru saja bangkit berdiri, Iblis Edan segera mengejar dan tinggalkan
tempat itu. "Iblis Edan, tunggu aku!" teriak si gadis memanggil pemuda yang ternyata adalah
putra pamannya sendiri. Gaung suara si gadis lenyap.
Suasana kembali sunyi. "Iblis Edan... kakek sinting itu jelas bukan
tandingannya. Aku harus me-
nyusul, aku tidak ingin terjadi sesuatu pada sau-
daraku itu." fikir Mutiara Pelangi.
Kemudian si gadis segera berkelebat pergi
tinggalkan lembah itu.
3 Kabut tipis berwarna putih dalam bentuk
seperti sosok manusia itu bergerak mengambang
dua jengkal diatas permukaan tanah. Sejak tadi
kabut ini melesat laksana hembusan angin. Di sa-
tu tempat di tengah-tengah hamparan padang
rumput yang luas gerakan kabut yang ujudnya
seperti bayangan manusia itu terhenti. Tak jauh
dibelakangnya sejarak empat tombak seorang
pemuda berambut gondrong yang mengikuti den-
gan perasaan heran ikut pula berhenti.
"Aneh, ada kabut bentuknya seperti ini.
Bergerak seperti bayangan manusia. Mungkin in-
ilah yang dikatakan setan sungguhan. Baiknya
biar kupukul saja dia!" Si Gondrong membatin dalam hati. Dia salurkan tenaga
dalam ke tangan
kanan, tapi urung begitu melihat ranting pohon
kering tergeletak disitu. Ranting dipungutnya, la-lu dipukulnya ke depan.
Wuuut! "Hah...!"
Si gondrong bertelanjang dada melengak
Gento Guyon 19 Dewa Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaget begitu melihat kabut putih melejit ke atas.
Si gondrong dalam kagetnya jadi penasaran. Lalu
gerakkan ranting ke atas.
Wuus! Kembali si gondrong keluarkan seruan ka-
get, mata dipentang, wajah diusap beberapa kali.
Seakan mengerti kabut dalam bentuk bayangan
manusia bergerak lebih tinggi ke udara, hingga
sabetan ranting tidak mengenai sasaran. Malah
kabut itu kini bagai ditiup angin terus membu-
bung tinggi di udara. Akhirnya berhenti diam, du-
duk disana di atas pucuk pohon anak cemara.
"Gila. Kalau manusia mana ada yang sang-
gup duduk diatas pucuk pohon tanpa membuat
pohon bergoyang. Mungkin saja dia setan bena-
ran. Setan yang baik, bukan yang usil. "gumam si gondrong.
Beberapa saat dia terdiam, kepala dige-
lengkan seakan tak percaya dengan apa yang dis-
aksikannya saat itu.
Si gondrong tersenyum. "Setan baik, apa
yang kulihat hari ini membuat aku ingin berlama-
lama disini. Sayang sekali waktuku sangat sem-
pit. Ada satu tugas penting yang harus kuselesai-
kan. Jadi sekarang aku harus pergi." Si gondrong bertelanjang dada bercelana
biru ini lalu balikkan badan siap melangkah pergi. Tapi belum lagi
sempat dia langkahkan kaki di belakangnya ada
desiran halus bergerak cepat ke arahnya. Kemu-
dian si gondrong yang adalah Pendekar Sakti 71
Gento Guyon merasakan ada satu tangan me-
nyambar dada, membetot kalung yang ter-
gantung disitu. Satu sentakan yang sangat keras
tidak membuat kalung terbetot lepas, malah tu-
buh si pemuda ikut terbetot dan terseret.
Si pemuda berseru kaget, mulutnya mema-
ki, tubuh terbanting begitu tangan yang menarik
kalungnya seperti dilepas.
"Kurang ajar, siapa yang menarik kalung-
ku"!" damprat murid si kakek gendut Gentong Ketawa marah. Laksana kilat pemuda
itu bangkit berdiri, dia lalu memandang ke arah mana orang
yang merampas kalungnya di perkirakan berkele-
bat. Tapi dia tidak melihat apa-apa. Ingat akan
kabut yang menyerupai bayangan manusia tadi,
Gento pun memutar, badan dan memandang ke
arah pucuk anak pohon cemara. Gento melegak
kaget, kabut putih tadi ternyata lenyap entah ke-
mana. "Kalungku Batu Raja Langit seperti ada yang membetot. Kabut yang kulihat
seperti orang duduk diatas pohon tadi juga tidak kelihatan. Ku-
rang ajar betul. Dasar setan, baru saja kukatakan
baik, langsung tunjukkan wataknya yang asli."
Gento usap mata kalung yang tergantung
dilehernya. Dia tersenyum sendiri. Masih dengan
tersenyum mulutnya berucap. "Dasar maling setan tolol. Aku sendiri saja dulu tak
pernah sang- gup melepaskan kalung ini, apalagi hanya seo-
rang maling. Ha ha ha!"
Walau hatinya masih diliputi rasa penasa-
ran pemuda ini melangkah pergi. Baru beberapa
langkah Gento menindak, mendadak langkahnya
surut. Dia memandang ke depan, mata diusap, la-
lu kembali memandang sejauh dua tombak di de-
pannya. "Sulit kupercaya. Tadi aku tidak melihat
ada orang berdiri disitu. Kini bagaimana tahu-
tahu orang tua itu bisa muncul disitu. Apa
mungkin dia orangnya yang telah berusaha me-
rampas kalungku?" batin Gento dalam hati.
Sementara itu sosok berpakaian hitam be-
rujud kakek tua berambut putih masih tetap te-
gak ditempatnya sedangkan sepasang mata me-
mandang ke arah kalung yang tergantung dileher
Gento. "Orang tua ini siapa dia adanya" Dia me-mandangku dengan tatap matanya
yang aneh. Tapi aku merasa yakin dialah orangnya yang te-
lah berlaku jahil membetot mata kalungku."
"Anak muda. Apa yang baru kau ucapkan
tadi. Hatimu mengatakan aku hendak merampas
barang rongsokan itu?" tanya si kakek tiba-tiba.
Mulutnya berkata begitu, tapi matanya meman-
carkan kilatan rasa kagum terhadap kalung yang
dipakai Gento. "Eeh, bagaimana orang tua itu bisa tahu
apa yang ada dalam hatiku"!" fikir Gento.
"Aku tidak mengatakan apapun. Apa kau
mendengar aku ada mengatakan sesuatu?" Si kakek gelengkan kepala, tapi bibirnya
tersenyum. "Anak muda siapa namamu?" Ditanya tentang namanya Gento tidak langsung menjawab,
sebaliknya malah ajukan pertanyaan, "Orang tua apakah kau tidak melihat ada
orang di sekitar tempat ini tadi?"
"Ada yaitu dirimu sendiri."
"Aku bertanya sungguhan, orang tua!" kata pemuda itu kesal.
"Aku juga menjawab dengan sungguhan
pula. Hanya kulihat sekejap tadi kau bersikap se-
perti orang linglung, bicara sendiri tersenyum
sendiri. Aku juga melihat kau bicara dengan po-
hon. Semula aku menduga dirimu pasti manusia
kurang waras. Ternyata...!" Si kakek sengaja tidak melanjutkan ucapannya hingga
membuat Gento penasaran. "Ternyata apa orang tua"!" desak si pemuda ingin tahu.
"Ternyata otakmu memang rada-rada mir-
ing! Ha ha ha."
Dikatai otaknya rada miring Gento menjadi
sewot. "Orang tua siapa bilang aku bicara dengan pohon. Siapa kata aku tertawa
sendiri?" "Kau tak berani mengakui kenyataan yang
aku lihat. Jadi kau tadi bicara dan tertawa den-
gan siapa" Setan?"
"Orang tua, tadi aku melihat satu keane-
han. Aku melihat berbentuk seperti bayangan ma-
nusia. Aku mengikutinya, kabut berhenti disini
lalu duduk di pucuk anak pohon cemara itu. Aku
bicara sendiri karena merasa heran, aku tertawa
karena ada yang kuanggap lucu. Lalu apa aneh-
nya"!" Si kakek tersenyum lagi. "Kau mentertawai kabut yang bergerak sesuai
dengan kehendak angin bertiup, apakah itu tidak gila namanya.!"
Merasa kesal dirinya dikatakan orang gila,
maka dengan ketus dan sinis Gento menjawab.
"Terserah kau beranggapan diriku ini apa. Aku banyak urusan. Sekarang aku harus
pergi.!" begitu selesai bicara Gento gerakkan kakinya siap
berkelebat tinggalkan si orang tua. Tapi menda-
dak si kakek goyangkan bahu kirinya. Begitu ba-
hu orang tua itu bergoyang, Gento merasakan ada
satu tenaga yang tidak terlihat seperti menarik
tubuhnya ke arah kiri hingga membuat pemuda
itu terhuyung dan nyaris tersungkur.
Di depan sana si kakek tertawa bergelak.
Berlagak seperti orang pilon dia gelengkan kepala.
"Panas begini terik, kau tidak sedang berlayar di tengah laut mengapa bertingkah
seperti orang mabuk" Anak muda lagipula kau belum memper-
kenalkan diri. Atau memang sejak kecil kau tak
pernah diajarkan bersikap santun berhadapan
dengan orang yang lebih tua darimu?"
Mendengar ucapan si kakek Gento semakin
jengkel. Dia tahu pasti kakek itu telah menger-
jainya. Berpura-pura goyangkan bahu, padahal
dia kerahkan tenaga dalam lalu tarik tangan ki-
rinya dari jarak jauh.
"Kurang ajar. Aku tahu ilmunya tinggi, Il-
mu tinggi buat apa jika dipakai menjahili orang?"
rutuk pemuda itu.
"Buat apa memperkenalkan nama segala.
Kau sendiri orang asing bagiku, siapa tahu kau-
lah orangnya yang hendak merampas kalungku
tadi. Mungkin boleh jadi kau pula yang tadi me-
rubah ujudmu menjadi kabut sialan. Perduli
apa?" dengus Pendekar Sakti 71 Gento Guyon me-luapkan kekesalannya.
"Ha ha ha. Jika semua yang kau katakan
itu memang benar adanya, kau hendak berbuat
apa anak muda?"
Jawaban si kakek membuat Gento jadi ter-
cengang. Jelas dia berhadapan dengan orang tua
berilmu tinggi. Tapi mengapa tadi dia berusaha
merampas ke arah si kakek dengan hati curiga.
"Kalung di dadamu itu, walau hanya beru-
pa batu butut bulukan pasti bukan batu biasa
kan. Hemm... aku tahu sekarang kalung itu pasti
Batu Raja Langit. Anak muda, katakan apa hu-
bunganmu dengan Manusia Seribu Tahun, ba-
gaimana kau bisa bertemu dengannya?" tanya si kakek unjukkan wajah kaget begitu
mengenali kalung yang dipakai si pemuda. Dalam hati dia
membatin. "Pantas tadi aku tak berhasil membetot lepas kalung itu. Pemuda ini
ternyata sungguh luar biasa. Konon kudengar kalung batu Raja
Langit bila sudah dipakai oleh seseorang tidak
mudah diambil atau dirampas, jangankan orang
lain pemiliknya sendiri tak sanggup melepaskan-
nya." Sementara itu dalam kagetnya Gento jadi ajukan pertanyaan pula. "Orang
tua, siapa dirimu yang sebenarnya. Bagaimana kau mengenal kakek Seribu Tahun?"
"Aku Ageng Tirtomoyo, orang biasa me-
manggilku dengan Paduka Diraja Iblis. Walau ju-
lukanku begitu buruk, iblis yang sebenarnya ada
di neraka, sedangkan aku manusia sebagaimana
dirimu. Mengenai bagaimana aku bisa mengenal
Manusia Seribu Tahun, nanti bila kau bertemu
dengan orang tua itu silahkan kau tanya sendiri
padanya. Terus terang kalung batu seperti itu di
dunia ini pemilik satu-satunya adalah orang tua
yang kusebutkan tadi. Sekarang katakan apa hu-
bunganmu dengan orang tua itu?" tanya si kakek, suaranya kini berubah lunak
bersahabat. "Orang tua itu boleh dikatakan guruku
sendiri. Aku bertemu dengannya sekitar lima
purnama yang lalu." sahut Gento.
Si kakek terdiam, matanya membulat be-
sar. Dia berfikir, tidak mudah orang bisa bertemu dengan Manusia Seribu Tahun.
Disamping tempat
kediamannya saja tidak ada yang tahu secara
pasti. Tidak disembarang tempat kakek itu mun-
culkan diri. Lagipula dia hanya mau menjumpai
orang-orang tertentu yang diinginkannya saja. Ka-
laupun seseorang berhajat ingin bertemu dengan-
nya sampai setahunpun mencari orang tua itu ti-
dak bakal ketemu.
"Anak muda kalau aku boleh tanya bagai-
mana kau bisa bertemu dengannya." tanya si ka-
kek. Gento tersenyum. Dia jadi ingat kejadian be-
berapa purnama silam. Waktu itu dia dan gu-
runya berada di sebuah gedung tua di tepi sungai
Ronggo Topo Wates. Dalam gelapnya malam tiba-
tiba ada angin bagaikan puting beliung menye-
rang mereka dan melenyapkan sang guru si Gen-
dut Gentong Ketawa. Tak lama setelah gurunya
lenyap muncul sosok kakek serba putih yang tu-
buhnya meliuk-liuk seperti kabut. Kakek itu
membawa si pemuda ke suatu tempat. Di tempat
yang serba aneh itulah Gento mendapat gemblen-
gan dari si kakek setengah manusia setengah ar-
wah. Untuk lebih jelasnya (baca episode Ki Anjeng Laknat).
"Bukan aku yang menemuinya, tapi dia
yang menjumpai aku dan membawaku ke suatu
tempat yang tak dapat kuceritakan." jawab Gento beberapa saat kemudian.
"Kau pemuda yang beruntung. Ketahuilah
tidak sembarang orang bisa bertemu dengan
orang tua itu. Terkadang dicari susah sekali. Ti-
dak dicari malah munculkan diri. Manusia Seribu
Tahun adalah orang yang tingkat kesaktiannya
hampir sempurna. Golongan putih menganggap
dia seorang sesepuh yang sangat dihormati. Oh
ya... siapa namamu anak muda?" tanya Ageng
Tirtomoyo. "Namaku Gento Guyon. Dunia persilatan
memberiku gelar jelek Pendekar Sakti 71."
Mendengar Gento menyebut nama dan ge-
larannya si kakek tercengang, lalu tanpa sadar
dia tepuk keningnya sendiri. "Ah.... bagaimana
aku bisa sampai berubah pikun begini. Pendekar
Sakti 71 Gento Guyon"! Bukankah kau murid ka-
kek gendut Gentong Ketawa yang berdiam di gu-
nung Merbabu?"
Gento tertawa. Tidak berselang lama begitu
tawanya terhenti enteng saja dia menjawab. "Guruku tinggal dimana saja.
Terkadang di gunung
Merbabu, kadang di gunung Semeru. Malah ter-
kadang di gubuk reyot, di kolong jembatan dan
bisa dimana saja dia suka."
"Luar biasa. Aku merasa senang bertemu
denganmu. Kau murid seorang tokoh besar dunia
persilatan. Mungkin aku bisa minta bantuan pa-
damu." ujar si kakek.
"Bantuan... bantuan apa?" tanya si pemu-da heran. "Lagipula apa yang kau katakan
tadi adalah sesuatu yang berlebihan. Guruku bukan
tokoh besar, badannya kuakui memang sangat
besar. Bagaimana kau bisa mengatakan guruku
yang otaknya sama seperti diriku manusia besar.
Ha ha ha."
"Tidak baik merendahkan guru sendiri,
Gento. Aku tidak ingin bertutur banyak tentang
jiwa satrianya. Nanti kau boleh tanya sendiri pada kakek itu. Yang jelas kau
Gento Guyon 19 Dewa Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus menolongku!"
"Orang geblek sepertiku bisa berbuat apa,
bisa memberi pertolongan apa kek?" tanya si pemuda. "Ha ha ha. Seorang pendekar
memang sela-lu berkata begitu. Bicara suka merendah. Tapi
aku percaya kau dapat melakukan sesuatu un-
tukku." berkata si kakek penuh semangat.
"Jika memang aku bisa membantumu, ten-
tu aku tidak keberatan. Katakan saja apa yang
harus kulakukan.!"
Di depannya orang tua yang bernama
Ageng Tirtomoyo diam sejenak. Sebentar kemu-
dian dia berkata. "Terus terang saat ini aku sedang menyusul muridku. Aku biasa
memanggil- nya Iblis Edan. Sedangkan namanya yang asli
adalah Rumbapati!"
"Rumbapati....!" seru si pemuda tersentak kaget. Melihat sikap Gento kening si
kakek berkerut tajam. "Gento, kulihat kau seperti terkejut.
Apakah kau mengenal muridku, atau pernah ber-
temu dengan dirinya?"
Gento gelengkan kepala.
"Bertemu aku belum pernah. Tapi nama itu
mengingatkan pada beberapa orang yang pernah
kujumpai. "sahut Gento terus terang.
"Siapa orang-orang yang kau maksudkan
itu?" tanya si kakek.
"Pertama adalah paman Karma Sudira! Se-
dangkan yang kedua adalah Setan Sableng!" Di depan sana Ageng Tirtomoyo tak
kuasa menutupi rasa kagetnya. "Karma Sudira, bekas adipati yang terpaksa mendekam di penjara
akibat ulah Suryo
Lagalapang?"
"Kau betul, kek."
"Orang yang kau sebutkan adalah orang
tua Rumbapati alias Iblis Edan. Eeh... Gento ba-
gaimana keadaan orang tua itu, dimana dia seka-
rang!" tanya si kakek dengan wajah cerah penuh
harapan. Dengan perasaan sedih dan suara perlahan
pula Gento menjawab. "Aku belum lama menge-
luarkannya dari penjara. Sayang seorang kakek
tua bernama Wisang Banto Oleng suruhan adipati
Suryo Lagalapang telah membunuhnya!"
"Ah... jahanam itu"!" seru si kakek kaget.
Mendadak tubuhnya terasa lemas mendengar
ucapan Gento. 4 Gento tentu menjadi heran mendengar
orang tua di depannya menyebut Wisang Banto
Oleng dengan kata 'jahanam'. Sehingga kehera-
nannya itu mendorong Gento untuk bertanya.
"Apakah kau mengenal orang yang kusebutkan
tadi kek?"
Dengan nafas tersengal dan wajah pucat
Ageng Tirtomoyo menyahut. "Aku bukan hanya
sekedar mengenalnya. Manusia keji itu belum la-
ma ini datang menyantroni tempat kediamanku.
Dia mencari Iblis Edan untuk dibunuhnya. Aku
tahu pasti Suryo Lagalapang yang memberinya
perintah begitu. Membunuh sekaligus menghabisi
dua anak Karma Sudira agar kelak tidak menim-
bulkan ancaman besar bagi kekuasaannya. Ma-
nusia culas, tak pernah kusangka Wisang Banto
Oleng telah membunuh Karma Sudira. Kasihan
sekali orang tua itu. Bertahun-tahun mengha-
biskan umur di tembok penjara. Begitu bebas be-
lum lagi bertemu dengan anaknya kini malah ter-
bunuh pula. Gento... bagaimana bisa kejadian
Karma Sudira terbunuh di tangan Wisang Banto
Oleng?" tanya si kakek.
"Saat itu kami, maksudku aku dan paman
Karma Sudira bermaksud mencari anaknya yang
dia yakin telah dibawa pergi oleh seorang tokoh
berkepandaian tinggi ketika bencana penyerbuan
Suryo Lagalapang yang dibantu oleh ratusan pe-
rajurit kerajaan terjadi. Tidak disangka selagi ka-mi dalam perjalanan muncul
kakek sesat itu. Aku
sempat dibuatnya kewalahan. Tapi kemudian aku
berhasil menghancurkan lengan kiri juga bagian
tulang rusuk sebelah kiri. Sayang sebelum itu dia sempat membunuh paman Karma
Sudira. Lebih celaka lagi setelah dapat kulukai dia berhasil me-loloskan diri!" kata Gento.
Untuk lebih jelasnya (baca episode Iblis Edan).
"Apa yang terjadi dengan Karma Sudira
sangat kusesalkan. Tapi Wisang Banto Oleng
akan memerlukan waktu lama untuk menyem-
buhkan cidera berat yang dialaminya."
"Aku tidak tahu, cuma aku berharap hen-
daknya orang seperti dia jangan berumur pan-
jang. Sekarang ini segalanya menjadi jelas. Aku
telah menemukan orang yang kucari yaitu mu-
ridmu Rumbapati."
"Tapi bocah itu sekarang entah berada di-
mana?" ujar si kakek.
"Sayang sekali. Padahal jika bertemu den-
gannya hari ini aku akan membawanya untuk
kupertemukan dengan adiknya."
"Adiknya" Memang kau telah bertemu den-
gan adik Rumbapati?" tanya si kakek. Sekilas Gento melihat bayangan kegembiraan
membias di wajah orang tua itu.
"Betul. Tapi mungkin pemuda itu tidak
memiliki nama, dia bergelar Setan Sableng!" jelas Gento. Ageng Tirtomoyo
mendadak keluarkan suara tawa bergelak.
"Orang tua adakah sesuatu yang kau ang-
gap lucu?"
"Ha ha ha. Tentu saja Gento. Waktu itu
menurut kabar yang kudengar adik Rumbapati
yang belum sempat diberi nama diselamatkan
oleh Ki Lurah Wanabaya. Orang yang sangat setia
pada Karma Sudira. Oleh Ki Lurah bocah itu diti-
tipkan pada salah seorang tokoh di selatan yang
dikenal dengan nama Mbah Setan. Rupanya tak
disangka kakek itu memberinya gelaran gila, Se-
tan Sableng. Sedangkan aku memberi gelar mu-
ridku Iblis Edan. Apa semua ini tidak kebetulan
namanya"!"
Gento manggut-manggut. Tidak lama ke-
mudian pemuda ini ikut pula tertawa. "Kek, jika Mbah Setan memberi gelar
muridnya Setan Sableng, lalu kau sendiri memberikan julukan pada
muridmu Iblis Edan. Aku jadi curiga jangan-
jangan kau dan Mbah Setan memang manusia gi-
la sungguhan. Ha ha ha." kata si pemuda disertai tawa tergelak-gelak.
Wajah si kakek bersemu merah. Walaupun
begitu dia masih saja tertawa. Sejurus kemudian
begitu suara tawanya lenyap si kakek berucap.
"Gila benar sih tidak cuma miring sedikit. Ha ha ha." "Ya, kurasa otakmu memang
miring." Beberapa saat lamanya kedua orang ini ti-
dak ubahnya seperti sahabat lama sama-sama
tertawa terpingkal-pingkal. Namun si kakek ke-
mudian hentikan tawanya, diam sejenak baru be-
rucap. "Gento... aku percaya dengan kemampuan serta kesaktian yang kau miliki.
Kebetulan sekali kau memang sedang mencari muridku. Jadi aku
tidak usah repot mencari muridku yang gen-
tayangan itu. Tolong kau temukan dia, jika sudah
bertemu pertemukan dia dengan saudaranya."
"Engkau sendiri hendak kemana, orang
tua?" tanya si pemuda.
"Aku... ha ha ha. Setelah Wisang Banto
Oleng menderita cidera, rasanya aku tidak lagi
terlalu merisaukan keselamatan muridku Si Iblis
Edan. Dia sudah dewasa, tentu sanggup mengu-
rus dirinya. Hanya kumohon padamu, bantu dia
membalaskan dendam kesumat, sakit hati ayah-
nya terhadap Suryo Lagalapang. Kejahatan ma-
nusia yang satu itu selangit tembus. Tak akan te-
rampuni walau dia dibunuh seratus kalipun."
"Kek, apakah kau berharap salah satu dari
anak paman Karma Sudira dapat menduduki ja-
batan sebagai adipati seandainya Suryo Lagala-
pang dapat kami singkirkan?" tanya Gento.
Si kakek tertawa bergelak. "Aku tidak per-
nah mengharapkan muridku atau adik muridku
itu menjadi adipati. Bagaimana mereka bisa me-
mimpin wong mereka sendiri manusia sableng
begitu. Seumur hidup aku cuma berharap agar
mereka dapat menemukan kehidupan yang tidak
menyimpang dari apa yang telah ditentukan oleh
Gusti Allah. Berguna bagi sesamanya dan men-
jauhi apa yang telah dilarang Tuhan." ujar si kakek. Kemudian dia melanjutkan.
"Kepadamu me-
reka kutitipkan. Aku percaya sepenuhnya."
"Lebih baik kau tak usah terlalu memper-
cayaiku kek. Karena aku sendiri mungkin tidak
jauh berbeda dengan mereka."
"Aku percaya kau memang agak sinting.
Namun kau punya banyak pengalaman bila di-
bandingkan dengan Iblis Edan atau adiknya Se-
tan Sableng. Jadi kuharap kau yang sudah ber-
pengalaman menjadi orang gila bisa mengatur
mereka supaya... bisa...!"
Gento Guyon cepat memotong. "Supaya bi-
sa menjadi gila sungguhan, begitu kan kek" Ha
ha ha." "Bocah edan. Kau memang sangat keterla-luan. Awas, jika nanti setelah
mereka bertemu denganmu berubah jadi tidak waras ke ujung du-
nia pun aku akan mengejarmu!"
"Ancamanmu tidak berlaku bagiku, kek.
Kau harus percaya aku bukan seorang penunjuk
jalan yang baik" ucap Gento.
Ageng Tirtomoyo diam tak menanggapi. Dia
kemudian memutar tubuh, sambil berputar mu-
lutnya komat-kamit. Setelah itu tangannya diang-
kat ke udara. Tangan diputar, kemudian tubuh-
nya juga ikut berputar. Tiba-tiba dia melesat ke
atas. Wuuuus! Sosok Ageng Tirtomoyo mendadak raib dari
pandangan mata si pemuda, berganti dengan ka-
but putih tipis membentuk sosok bayangan ma-
nusia. Walau tadinya pemuda ini sudah melihat
kabut yang sama, namun tetap saja si pemuda
jadi heran. "Banyak ilmu melenyapkan diri yang dimiliki tokoh-tokoh sakti di
tanah Jawa ini. Tapi yang satu ini sama sekali lain. Kakek itu memang
bisa menghilang, tapi sosoknya masih tetap terli-
hat dalam bentuk lain, seperti angin saja. Bagai-
mana jika dia masuk ke dalam perutku" Tentu
tubuhnya berubah menjadi.... ha ha ha!" Gento tidak lanjutkan ucapannya tapi
malah tertawa tergelak-gelak.
Masih dengan tertawa Gento memandang
ke depan dimana asap berupa kabut tipis penjel-
maan si kakek tadi menggantung. Tapi ternyata
kabut tadi lenyap, hilang bagaikan angin.
"Kakek itu pergi tanpa permisi. Kemana
aku harus mencari Iblis Edan" Waktuku sangat
sempit sekali. Aku yakin saat ini Setan Sableng
sudah dalam perjalanan menuju ke selatan kadi-
paten. Pemuda itu sulit diduga. Jika besok aku
belum tiba di selatan kadipaten, aku khawatir Se-
tan Sableng berlaku nekad melakukan penyer-
buan sendiri ke gedung adipati." kata si pemuda seorang diri. "Sebaiknya kususul
saja Setan Sableng. Mudah-mudahan dalam perjalanan aku bisa
bertemu dengan Iblis Edan."
Tak lama setelah mengambil keputusan
seperti itu Gento Guyon segera berkelebat pergi.
Tak lama setelah kepergian si pemuda, dari
balik sebuah gundukan batu besar satu sosok tu-
buh yang mendekam disitu sejak tadi keluar dari
tempat persembunyiannya. Sosok berpakaian
serba putih yang ternyata adalah Mutiara Pelangi
menarik nafas lega.
"Sekarang segalanya menjadi semakin ber-
tambah jelas. Iblis Edan ternyata memang anak
paman adik ibuku. Pemuda gondrong yang ber-
nama Gento tadi mengaku dia telah bertemu den-
gan Setan Sableng. Ini berarti tak lama lagi Iblis Edan alias Rumbapati segera
bertemu dengan adik kandungnya. Gento... Gento. Sudah sering
kudengar nama besar Pendekar Sakti 71 Gento
Guyon, tapi aku tak pernah menyangka orangnya
segagah dan tampan seperti itu. Kurasa lebih baik aku membayangi pemuda itu. Dia
mengatakan hendak menemui Setan Sableng di selatan ger-
bang kadipaten. Aku tahu jalan memotong ke
tempat itu. Setan Sableng pasti masih mengenali
diriku karena beberapa hari yang lalu dia pernah
menolong dan berusaha membebaskan aku dari
serangan dua pentolan adipati yaitu Nafas Pene-
bar Maut dan Si Samber Nyawa!" batin sang dara.
Tapi gadis itu sejenak menjadi bimbang. Semula
dia berusaha menyusul Iblis Edan yang sedang
mengejar Dewa Sinting. Ketika dia tersesat di
tempat itu, si gadis kehilangan jejak, sebaliknya secara tidak terduga malah
melihat Pendekar
Sakti 71 Gento Guyon. Pemuda tampan yang ke-
hadirannya menimbulkan kegegeran dimana-
mana dan mulai diperhitungkan oleh berbagai ka-
langan dunia persilatan itu. Tapi sejenak kemu-
dian Mutiara Pelangi coba menepis segala kebim-
bangan di hatinya. Hingga tanpa fikir panjang lagi dia tetap memutuskan untuk
Gento Guyon 19 Dewa Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyusul Gento.
"Dewa Sinting bermaksud mengangkat Iblis
Edan menjadi muridnya. Mustahil dia tega mem-
buat pemuda itu celaka!" fikir si gadis.
5 Sejak Wisang Banto Oleng menempatkan
bocah asuhannya yang biasa dipanggil 'anak' oleh
orang tua itu di gedung Kadipaten, adipati Suryo
Lagalapang paling tidak merasa tenteram. Dia ya-
kin empat bocah yang sejak kecil dididik seperti
serigala yang berjaga-jaga di luar gedung sanggup mengatasi segala bentuk
kejadian yang tidak diinginkan. Sementara adipati sendiri merasa aman
berada di kamarnya karena di depan pintu dijaga
oleh seorang bocah seganas binatang buas. Yang
lebih menyenangkan lagi selain bocah itu di atas
atap juga ditempatkan beberapa penjaga bersen-
jata lengkap. Kini setelah terjaga dari tidurnya Suryo La-
galapang duduk diatas kursi empuk berlapiskan
kulit harimau. Orang tua berusia lima puluhan
yang selalu berbelangkon warna cokelat dengan
warna pakaian sama dan berambut kelimis licin
berkilat ini nampak termenung.
Sekilas dia memandang ke arah pintu. Dis-
ana dia mendengar suara erang tak berkeputusan
yang keluar dari mulut si bocah serigala. Suara
erang terkadang diseling dengan suara berkeroko-
tan seperti daging alot yang dicabik binatang
buas. Memang seperti yang dianjurkan oleh kakek
Wisang Banto Oleng, adipati menyuruh anak
buahnya menyediakan daging dan darah segar
untuk bocah serigala itu, termasuk juga untuk
empat yang berjaga-jaga diluar gedung. Selama
dua hari sejak ditinggalkan Wisang Banto Oleng,
kelima bocah serigala telah menghabiskan sedi-
kitnya sepuluh ekor kambing.
Sungguhpun Suryo Lagalapang merasa
aman dengan kehadiran kelima bocah serigala ini,
namun pada sisi lain dia juga merasa tidak betah
berada di dalam kamarnya sendiri lebih lama. Be-
tapa tidak" Hampir setiap saat dia mencium bau
amisnya darah dan daging bercampur bau koto-
ran bocah itu sendiri. Hingga membuat perut
sang adipati merasa mual, kepala pusing dan
maunya muntah terus.
"Sial betul. Aku ini tinggal di rumah sendi-
ri, tapi tidak ubahnya tinggal di kandang bina-
tang. Bocah berprilaku seperti serigala itu enak
makan enak tidur di luar sana, tapi aku malah
sebaliknya. Kalau begini terus menerus aku bisa
menjadi gila, atau bisa jadi mati kelaparan" Suryo Lagalapang merutuk dalam
hati. Dia tiba-tiba saja jadi ingat pada kakek Wisang Banto Oleng. Orang
tua sakti yang telah diangkat dan diupah menjadi
pelindungnya. Entah mengapa begitu ingat orang
yang satu ini perasaannya menjadi tidak enak.
"Wajalangke dan dua kakek itu sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana nasibnya.
Menak San-gaji yang kupercaya untuk membunuh Rumbapa-
ti dan adiknya juga belum kembali. Mengapa se-
gala urusanku menjadi tidak beres begini" Ha-
rusnya Wajalangke, Nafas Penebar Maut dan
Samber Nyawa sudah kembali membawa Mutiara
Pelangi. Jarak tempat tinggal si gadis dengan ka-
dipaten ini tidak begitu jauh. Mengapa lama be-
nar?" Suryo Lagalapang mengeluh. "Ada yang tidak beres. Mungkinkah Pendekar yang
telah mencidrai pelindungku menghadang mereka di
tengah jalan?"
Berbagai perasaan dan dugaan berkeca-
muk dalam hati sang adipati membuat laki-laki
itu makin tidak tenang. Satu hal yang sangat dia
khawatirkan bagaimana andainya nanti Wisang
Banto Oleng menagih janji" Adipati telah membe-
rikan kesanggupan pada orang tua itu untuk
menghadiahkan Mutiara Pelangi pada si kakek.
"Jahanam. Mengapa sekarang aku berubah
menjadi seorang pengecut" Padahal ilmu kesak-
tian yang kumiliki tidak rendah. Malah aku punya
beberapa jenis ilmu pukulan yang hebat" Mung-
kin aku harus turun tangan untuk menangkap
gadis itu. Tapi bagaimana jika musuhku datang
menyerang kemari. Para penjaga tidak dapat
kuandalkan sepenuhnya. Mereka bisa saja masuk
ke gedung megah ini dan menguasainya!" fikir adipati. Dalam keadaan fikiran
kalut dimana keselamatan terancam seseorang bisa saja merisau-
kan segala apa yang telah diraihnya, termasuk
juga harta benda juga kedudukan. Rupanya de-
mikian pula halnya yang terjadi pada diri adipati saat itu.
Selagi perasaan adipati Suryo Lagalapang
dicekam berbagai perasaan yang membuat ha-
tinya diliputi kegelisahan, pada saat itu sayup-
sayup dia mendengar suara derap langkah kuda
yang bergerak cepat menuju gedung kadipaten.
"Jahanam! Siapa lagi yang datang kemari.
Apa mungkin Wajalangke pulang bersama dua
kakek yang menjadi pembantunya?" batin Suryo Lagalapang dalam hati. Tapi setelah
mendengarkan suara kuda itu lebih seksama orang tua itu
merasa yakin suara langkah kuda yang terdengar
jelas bukan kuda yang menjadi tunggangan Waja-
langke maupun dua kakek yang menjadi pemban-
tunya. "Bukan Wajalangke, lalu siapa?" gumam Suryo Lagalapang. Laksana kilat
orang tua itu bangkit berdiri, kemudian dia berseru ditujukan
pada bocah serigala yang berjaga di depan pintu
kamarnya. "Anak, kau lihatlah keluar sana, bantu empat temanmu. Jika yang datang
hanya bermaksud membuat kekacauan di sini bunuh saja!"
perintah Suryo Lagalapang.
Dari depan pintu terdengar suara menge-
rang disertai dengan suara lolong panjang seperti serigala. Kemudian dari luar
gedung kadipaten
juga terdengar suara lolong yang sama empat kali
berturut-turut.
Bocah serigala menggerung panjang, lalu
berkelebat keluar tinggalkan adipati yang harus
dijaganya. Sementara diluar sana belasan penjaga
yang dipimpin oleh seorang laki-laki berbadan
tinggi besar bernama Halimun telah mengurung
seorang pemuda berpakaian putih yang datang
bersama dengan empat kuda kurus tunggangan-
nya. Pemuda yang semula menelentang diatas ke
empat kuda kini duduk di salah satu punggung
kuda yang menjadi tunggangannya.
Sekejap dia memperhatikan para penjaga
yang kini jumlahnya semakin bertambah banyak
saja. "Pemuda penunggang kuda, siapa dirimu.
Berani mati kau datang ke tempat ini?" hardik kepala penjaga dengan suara
lantang. Si pemuda yang bukan lain Setan Sableng
adanya pura-pura unjukkan rasa kaget.
"Eeh.... aku ingin bertemu dengan adipati.
Apakah kalian semua adipati Purbolinggo" Men-
gapa banyak amat?"
"Kami bukan adipati. Aku kepala penjaga
disini. Harap kau suka memperkenalkan nama,
katakan apa yang menjadi tujuan setelah itu ce-
pat menyingkir jika tidak mau mendapat kesuli-
tan!" "Ha ha ha. Hanya kepala penjaga tapi ga-laknya seperti seorang raja saja.
Kalau kau penja-ga, aku yang buruk ingin memperkenalkan diri.
Aku ini setan.... Setan Sableng. Ha ha ha!" ujar si pemuda lalu tertawa.
Menyangka orang memper-mainkan dirinya, kepala penjaga yang bernama
Halimun menjadi sangat marah sekali. "Pemuda
kurang ajar, kami bukan orang yang bisa kau
ajak bersenda gurau. Tidak usah banyak bicara
apa tujuanmu datang kemari?"
"Aku ini anak adipati, wajar saja kalau se-
karang ingin bertemu dengan bapak adipati. Jika
kalian cuma merasa menjadi anjing piaraan adi-
pati sebaiknya kalian panggil adipati, atau bawa
aku agar dapat bertemu dengannya.!"
"Penjaga kepala, mengapa melayani pemu-
da sableng ini. Lebih baik kita seret saja dia keluar dari halaman gedung!" kata
salah seorang penjaga yang berbadan tegak berkepala botak di
sebelah kanan Halimun. Kemudian ada suara lain
menimpali. "Segala orang gila buat apa kita beri hati" Mari kita seret dia
beramai-ramai."
Kepala penjaga tidak mengangguk juga ti-
dak mencegah. Lima orang penjaga berbadan pal-
ing tegap berlompatan mendekati Setan Sableng.
Lima pasang tangan berkelebat menyambar. Dia
diantaranya mencekal tangan Setan Sableng ka-
nan kiri, lainnya lagi menyergap bagian kaki se-
dangkan yang satunya meringkus bagian badan.
"Setan alas, orang hendak bertamu kok
malah mau dilemparkan keluar halaman, sopan
betul!" dengus Setan Sableng menyindir. Selanjutnya selesai berkata begitu apa
yang kemudian terjadi sungguh berada diluar perhitungan semua
orang. Hanya sesaat saja sepuluh tangan me-
nyentuh Setan Sableng. Pemuda ini lakukan ge-
rakan demikian rupa. Tangan kiri bertumpu pada
punggung kuda, setelah itu sambil menggerakkan
kakinya tubuh pemuda ini melesat di udara.
Wut... wuut... wuuut.... wuuuut.... wuuuut!
Kelima penjaga menjerit ketika mendapati
tubuh mereka tersentak lalu melayang di udara.
Dilain kejab kelima penjaga berbadan tegak su-
dah jatuh bergedebukan, terkapar diluar tembok
pengaman gedung.
Kelima penjaga menjerit ketika mendapati
tubuh mereka tersentak lalu melayang di udara.
Dilain kejab kelima penjaga berbadan tegak su-
dah jatuh bergedebukan, terkapar diluar tembok
pengaman gedung.
Halimun tentu saja dibuat kaget besar. Dia
tadi hanya sempat melihat si gondrong berpa-
kaian putih melentingkan tubuhnya di udara, se-
telah itu berjumpalitan beberapa kali kemudian
meluncur ke bawah. Bagaimana mungkin si pe-
muda yang kini telah duduk di tempatnya semula
mampu membuat lima penjaga berpentalan ke-
luar tembok gedung.
Selagi Halimun masih dicekam rasa kaget
demikian rupa, di depan sana Setan Sableng ter-
tawa tergelak-gelak.
"Penjaga kadipaten rupanya orang-orang
yang lucu. Katanya mau melemparkan diriku, ti-
dak tahunya malah mereka sendiri melemparkan
diri keluar!" kata Setan Sableng.
Lima penjaga yang tadi terlempar keluar
tembok kini bangkit berdiri. Hampir dalam waktu
bersamaan mereka berlompatan kembali ke ha-
laman. Begitu jejakkan kaki salah seorang dianta-
ranya berseru. "Kepala penjaga. Pemuda itu tidak bisa dianggap remeh. Ilmunya
tinggi, pasti dia da-
tang dengan membekal maksud jahat!"
"Manusia tolol, kalau sudah tahu mengapa
pada bengong begitu. Ringkus dia!" seru Halimun.
Lima pengawal yang sempat dibuat malu
oleh Setan Sableng serentak mencabut pedang
yang tergantung di pinggang masing-masing.
Tanpa ada yang mengkomando kelimanya melesat
ke arah Setan Sableng sambil babatkan senjata
ke arah pemuda itu.
"Kurang ajar! Kalau begini empat kuda ku-
rusku bisa jadi bangkai tak berguna. Empat kuda
kurus sekaranglah saatnya bertindak!" berkata begitu Setan Sableng tepuk salah
satu pinggul kuda. Satu ditepuk bagian pinggulnya, tiga te-
mannya keluarkan suara ringkikan keras. Empat
kuda serentak menghambur berpencar menerjang
belasan pengawal yang mengurung Setan Sab-
leng. Sementara pemuda itu sendiri yang kini su-
dah melompat diudara hindari tusukan dan sabe-
tan senjata lawan, selagi diudara lakukan gerakan berputar. Dan kini posisinya
berada di belakang
lima pengawal yang mengeroyoknya.
Lima pedang yang tidak mengenai sasaran
beradu keras di udara, mengeluarkan suara beri-
sik disertai pijaran bunga api.
Sadar lawan lolos dari serangan kelima
pengawal berbadan tegap kini berbalik. Tapi keli-
manya keluarkan seruan kaget.
"Kurang ajar, apa yang telah dilakukannya
pada kita?" salah seorang diantara mereka berseru panik begitu menyadari
tubuhnya tak dapat
digerakkan dalam keadaan kaku tertotok.
Di sudut lain masih di tempat yang sama
empat kuda yang sudah sangat terlatih menga-
muk membabi buta. Kaki depan kuda-kuda itu
menendang kian kemari. Beberapa penjaga ber-
pentalan dengan dada remuk atau tangan patah
terkena tendangan ataupun diinjak kuda. Semua
apa yang terjadi tentu membuat Halimun menjadi
sangat marah. Dia lalu mencabut sepasang pe-
dangnya yang tergantung dibagian punggung.
Sambil membentak keras sosok kepala penjaga ini
berkelebat ke arah Setan Sableng yang saat itu
enak-enakan rebah menelentang diatas kepala sa-
lah satu penjaga yang ditotoknya.
"Pemuda keparat! Kau mengira dengan il-
Gento Guyon 19 Dewa Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mu yang kau miliki dapat bersikap seenaknya dis-
ini!" hardik Halimun. Dan pedang kembar ditangannya pun berkelebat menghantam di
dua ba- gian tubuh Setan Sableng. Satu mata pedang
menghantam leher, satunya lagi menebas ke ba-
gian perut. Karena kepala penjaga bukan saja hanya
mengandalkan tenaga kasar, namun juga menge-
rahkan tenaga dalam dikedua senjatanya. Maka
serangan dua pedang itu berlangsung cepat ba-
gaikan kilat menyambar. Masih dengan terkekeh-
kekeh Setan Sableng berkata. "Bukannya aku tak mengenal peradatan. Bukan aku tak
kenal atu-ran. Akibat terlalu banyak mendengar petuah
Mbah Setan, diri ini jadi edan. Hei.... kepala penjaga kau berlaku nekad. Tapi
mengapa kau bu-
nuh temanmu sendiri"!" berkata begitu laksana kilat Setan Sableng gulingkan
tubuhnya ke ba-
wah. Gerakan yang dilakukannya ini berlangsung
singkat, hanya beberapa kejaban saja senjata la-
wan membabat putus dua bagian tubuhnya. Kini
begitu Setan Sableng gelindingkan diri, maka Ha-
limun tidak dapat lagi menahan laju pedangnya.
Tak terelakkan lagi pengawal yang tadi ke-
palanya dijadikan tempat ketiduran Setan Sab-
leng menjerit. Bahunya kanan kiri terbelah, darah menyembur dari luka yang
mengerikan. Dalam
keadaan tubuh nyaris terbelah menjadi tiga ba-
gian pengawal naas itu roboh. Halimun tercen-
gang, mata mendelik sedangkan tubuh menggigil
saking tak percaya dengan apa yang terjadi.
Tak jauh disampingnya empat pengawal
yang masih dalam keadaan tertotok hanya dapat
belalakkan mata, celana mereka di bagian bawah
menjadi basah. Agaknya mereka didera rasa takut
yang sangat sambil membayangkan seandainya
lawan kembali rebah di atas tubuh mereka pasti
nasib yang sama terjadi pada diri mereka. Para
pengawal penjaga ini tahu persis bagaimana wa-
tak pimpinan mereka. Bila sudah kalap biasanya
dia akan menyerang secara membabi buta tanpa
mempertimbangkan keselamatan kawan sendiri.
6 Rasa kaget Halimun hanya berlangsung
beberapa kejaban saja. Begitu dia sadar, laki-laki ini segera berpaling ke arah
si pemuda dan memandang tajam penuh kebencian. Halimun men-
geram. "Setan Sableng.... akibat ulahmu aku ke-terlepasan tangan sampai kubunuh
temanku sendiri. Aku tidak akan puas sebelum dapat
membelah tubuhmu!"
Di depannya sejauh tiga tombak Setan
Sableng tertawa sambil mendengus. "Aku muak
melihat tampangmu kepala penjaga. Yang kuin-
ginkan bertemu dengan Adipati, bukan dengan-
mu! Sekarang kau majulah, kau boleh memilih
bagian tubuhku yang sebelah mana hendak kau
jadikan sasaran!"
"Manusia sombong, lihat pedangku!" teriak kepala penjaga. Serentak dengan
teriakannya Halimun melompat ke depan, pedang ditangan ka-
nan membabat dari arah dada ke perut. Sedang-
kan pedang ditangan kiri menghantam dari ba-
gian wajah ke leher. Satu serangan cepat yang ti-
dak mungkin dapat dihindari oleh seorang pesilat
biasa. Namun Setan Sableng yang gerakannya
grubak-grubuk seperti orang mabuk secara tak
terduga jatuhkan diri, dua babatan pedang luput
sedangkan dua kakinya dengan gerakan oleng
menderu menghantam siku lawannya.
Braak! Kraak! Hantaman yang sangat keras membuat
persendian kedua siku Halimun patah hingga la-
ki-laki itu menjerit kesakitan. Dua lengan tergon-
tai gondal-gandil, dua pedang dalam genggaman
terlepas mental dan jatuh menancap di halaman.
Tak kuasa menahan derita sakit yang amat
hebat, Halimun roboh dan terkapar pingsan. Se-
tan Sableng tersenyum. "Orang aneh, habis berkelahi kok langsung tidur."
Sejenak pemuda ini duduk di atas tubuh
kepala penjaga sambil berkipas dengan tangan-
nya. Di depan sana empat kudanya terus menga-
muk membabi buta. Puluhan pengawal gedung
bergeletakan dengan tubuh berlumuran darah te-
rinjak ataupun karena kena ditendang empat ku-
da kurus milik Setan Sableng. Sisanya yang cuma
tinggal beberapa orang lagi nampaknya juga tak
dapat bertahan lama.
Di tempat duduknya Setan Sableng berte-
riak. "Empat kuda kurus, kudaku yang sangat
berguna, habisi mereka! Ha ha ha."
Empat kuda sama keluarkan suara ringki-
kan keras. Dengan kecepatan luar biasa mereka
menerjang ke arah para penjaga yang menyerang
kuda-kuda itu dengan pedang di tangannya.
Seakan mengerti kuda-kuda yang sudah
sangat terlatih itu dapat menghindari setiap se-
rangan yang datang. Malah kemudian serangan
balik yang dilakukan empat kuda kurus itu mem-
buat para penjaga berpelantingan roboh disertai
jeritan kesakitan.
Plok! Plok! Plok!
Setan Sableng bertepuk tangan sambil
memuji. "Kuda bagus. Kalian semua pantas mendapat bingkisan. Satu kendi tuak
didalam kan- tong perbekalan boleh kalian minum, tapi harap
mengambil sendiri. Ha ha ha!" ujar pemuda itu disertai tawa tergelak-gelak.
Belum lagi lenyap suara tawa Setan Sab-
leng, mendadak sontak terdengar suara bentakan
disertai perintah. "Pemuda jahanam, berani mencidrai para pengawalku berarti
sudah siap untuk
mati!" teriak satu suara. Baru saja Setan Sableng palingkan wajah memandang ke
arah datangnya suara, orang tua berbelangkon yang dilihat Setan
Sableng berdiri dianak tangga gedung berseru.
"Anak-anak, bunuh bocah edan gondrong itu!!"
"Orang tua, kaukah orangnya yang berna-
ma Suryo Lagalapang?" tanya si pemuda itu sambil bangkit berdiri.
Laki-laki tertawa. Bersamaan dengan ter-
dengarnya suara tawanya dari arah belakangnya
melompat satu sosok tubuh ke arah Setan Sab-
leng. Si pemuda jadi tercekat begitu melihat seo-
rang bocah hanya mengenakan pakaian seadanya
tahu-tahu sudah menyerang dengan mempergu-
nakan kuku-kuku jemarinya yang panjang dan
runcing. Wuut! Setan Sableng berkelit menghindar, dalam
kagetnya dia berseru. "Bocah ingusan. Berani ma-ti kau menyerangku!" hardik
Setan Sableng. Sosok bocah menyeringai memperlihatkan dua ta-
ringnya yang mencuat tajam. Kemudian terdengar
suara lolongan panjang.
"Gila. Bagaimana ada bocah bisa memiliki
tingkah laku seperti serigala begini?" batin si pe-
muda. Suara lolongan bocah yang berdiri tegak
dengan wajah beringas didepannya itu disambut
dengan suara lolong lainnya. Dari empat penjuru
sudut halaman dari balik gerumbul tanaman
bunga empat bayangan lain berkelebat menyerang
Setan Sableng dari empat arah sekaligus. Menda-
pat serangan ganas dari empat bocah, apalagi bo-
cah kelima yang tadinya berdiri di depan si pe-
muda kini ikut menyerang, Setan Sableng cepat
lakukan sesuatu. Mendadak Setan Sableng me-
lompat ke udara, begitu tubuhnya mengambang
dua tombak di atas tanah dia dorongkan dua tan-
gannya ke arah lima bocah yang berada dibawah-
nya. Wuus! Wuuus!
Susul menyusul dua gelombang angin ber-
gulung menyambar kelima bocah serigala. Mera-
sakan ada sambaran angin menyerang dari atas,
bukannya surut kelima bocah serentak gerakkan
kakinya menjejak angin. Secara aneh kelima bo-
cah ini kemudian melesat pula ke atas mengejar
lawan. Lima pasang tangan menyambar kaki
bahkan ada pula yang membabat pinggang. Di
bawah mereka terdengar suara ledakan akibat
pukulan Setan Sableng hanya mengenai tempat
kosong. Sebaliknya tak menyangka kelima bocah
itu dapat melakukan gerakan pengejaran sedemi-
kian rupa, Setan Sableng jadi tercekat. Kalang
kabut kakinya dijejakkan pada bahu salah satu
bocah serigala. Bocah yang dijadikan pijakan ja-
tuh terhenyak dengan mata mendelik liar mulut
mengerang. Empat temannya nampak sangat gusar se-
kali. Delapan tangan berkuku panjang menyam-
bar ganas. Breet! Breet! "Walah biyung, kakiku kena dikelupasnya,
celanaku robek. Sekarang aku tak dapat lagi me-
nahan kesabaranku biyung, aku jadi marah bi-
yung!" teriak Setan Sableng. Sedangkan kakinya yang kena sambaran kuku lawannya
diogel-ogelkan!
Sambil menyeringai kesakitan, setelah la-
kukan gerakan jungkir balik beberapa kali dia ja-
tuh punggung ditanah. Belum lagi Setan Sableng
sempat berdiri tegak. Bocah serigala yang tadi jatuh terduduk kini telah
menerkamnya. Gerakan
bocah itu demikian cepat. Sepuluh kuku tangan
membeset perut dan dada, sedangkan mulutnya
siap menghunjam ke bagian leher pemuda itu.
Kembali Setan Sableng dalam kagetnya
berseru. "Walah Biyung! Bocah ini hendak menci-umku. Aku tidak mau, masih bagus
lagi aku di- cium perempuan cantik biyung!"
Lalu tanpa menghiraukan luka akibat ca-
karan dibagian kakinya dengan bertumpu pada
punggung, tubuhnya berputar, kaki dan tangan
menghantam ke atas dan ke samping.
Dess! Bocah serigala itu terpental, lalu jatuh ter-
pelanting terkena tendangan Setan Sableng. Se-
perti pertama tadi begitu melihat kawannya di-
hantam oleh lawan, ke empat bocah yang tadi
menyerang di udara dan kini telah jejakkan ka-
kinya ke tanah keluarkan suara lolongan panjang.
Empat bocah serigala merobah jurus se-
rangannya. Sekarang mereka berputar mengu-
rung Setan Sableng. Si pemuda gelengkan kepa-
lanya. "Apa yang hendak dilakukan oleh bocah serigala ini"!" batin Setan
Sableng. "Mungkin mereka hendak mengajakmu bermain, bukan berke-
lahi sebagaimana yang diperintahkan orang tua
berbelangkon itu!"
Dugaan Setan Sableng meleset. Karena
hanya beberapa saat setelah itu, bocah serigala
yang kena tendangan Setan Sableng sudah ber-
gabung dengan empat temannya. Lima bocah se-
rigala sama dongakkan kepala ke atas, lalu secara bersamaan pula terdengar suara
lolongan berisik.
Lima bocah serentak berputar mengelilingi si pe-
muda. Makin lama gerakan mereka semakin ber-
tambah cepat. Setan Sableng dibuat bingung. Dia
gelengkan kepala untuk mengusir rasa sakit di
matanya. Selagi Setan Sableng kerahkan tenaga
dalam kebagian tangannya. Pada waktu bersa-
maan diawali dengan terdengarnya suara pekik
kelima bocah serigala, lima sosok si bocah telah
berkelebat melakukan serangan beruntun.
Setan Sableng melihat berkelebatnya lima
bayangan tubuh segera menghantamkan tangan-
nya sambil berputar lima kali berturut-turut.
Breet! Bret! Breet!
Buuk! Buuuuk! Terdengar suara robeknya kulit dan pa-
kaian. Dari kalangan perkelahian dua sosok tu-
buh terpental terkena jotosan Setan Sableng. Tiga lainnya terus menyerang. Setan
Sableng melompat menjauhi ke tiga bocah Serigala yang ternyata mampu
menyelamatkan diri dari pukulan si pemuda. Tiga bocah serigala itu kemudian ikut
pula mundur. Dua temannya masih terkapar dengan
mulut dan hidung menyembur darah. Di depan
sana Setan Sableng wajahnya mendadak berubah
pucat begitu melihat pakaian di bagian perut dan
dada terkuak lebar koyak kena sambaran kuku
bocah-bocah serigala. Bukan hanya itu saja, dari
bagian dada dan perut mengalir cairan hangat.
Setan Sableng belum bisa menduga yang mengalir
di perutnya itu. Kemudian pakaian apa yang ro-
bek di bagian dada dan perut disingkap-kan.
"Ah...!" Setan Sableng mengeluh tertahan.
Ternyata dada dan perutnya terkena goresan ku-
ku hingga terluka memanjang. Walau tidak terlalu
parah, tapi semua itu sudah membuka mata si
pemuda bahwa lima, bocah serigala ini tak dapat
dianggap remeh.
Dua bocah serigala dengan tertatih-tatih
mencoba bangkit berdiri. Seakan tidak menghi-
raukan luka dalam yang diderita kini keduanya
bergabung kembali dengan tiga temannya.
"Bocah ini pasti diperalat oleh seseorang.
Rasanya tidak tega aku membunuh mereka. Tapi
Gento Guyon 19 Dewa Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jika aku tidak bertindak secepatnya, tidak tertu-
tup kemungkinan aku berangkat ke akherat du-
luan!" Setan Sableng mendekap perutnya. Luka memanjang akibat cakaran bocah
Naga Sasra Dan Sabuk Inten 6 Pendekar Binal Karya Khu Lung Peristiwa Burung Kenari 2
1 Hujan deras laksana tercurah dari langit
saat Iblis Edan dan gadis cantik berpakaian putih berambut panjang itu melintasi
kawasan lembah belantara di sebelah timur gunung Slamet. Suara
angin menderu, kabut memutih laksana kapas
menghalangi pemandangan. Di langit mendung
makin menghitam, kilat menyambar petir meng-
gelegar. Di beberapa tempat masih disekitar ka-
wasan lembah beberapa pepohonan berderak ber-
tumbangan dipulas deru angin kencang.
Dinginnya udara saat itu membuat tubuh
pemuda bertelanjang dada dan gadis yang bersa-
manya menggigil, gigi bergemeletukan, sedangkan
wajah menjadi dingin dan pucat laksana mayat.
"Iblis Edan cari tempat perlindungan dis-
ekitar sini. Kita tidak mungkin melanjutkan perjalanan dalam cuaca buruk
begini." kata si gadis yang rambut dan pakaiannya basah di guyur hujan. Pemuda
gondrong bertelanjang dada kitar-
kan pandangan matanya ke sekeliling tempat itu.
Tidak ada yang terlihat dalam keadaan hujan de-
ras begitu. "Bagaimana bisa menemukan tempat ber-
lindung, mataku sama sekali tak bisa menembus
ke depan lebih dari dua tombak." Pemuda yang mempunyai julukan Iblis Edan
menyahuti. Gadis berpakaian putih yang adalah Mutia-
ra Pelangi melirik ke sebelah kiri. Kilat menyam-
bar membuat suasana disekitar kawasan dimana
mereka berada menjadi terang seketika. Suasana
terang yang hanya sekejap itu sudah cukup bagi
sang dara untuk melihat sesuatu.
Mutiara Pelangi kemudian berseru pada Ib-
lis Edan yang berdiri tegak tak jauh didepannya.
"Sobat Iblis Edan ikut aku!"
Sang dara tanpa bicara lagi segera melang-
kah mendekati satu pohon besar berdaun rindang
dimana pada setiap cabangnya dipenuhi akar-
akar gantung yang berjuntaian ke bawah.
Iblis Edan segera mengikuti. Biarpun sua-
sana di bawah pohon lebih gelap dari keadaan
disekelilingnya, namun tempat itu sangat teduh.
Tak ada air hujan yang menetes tembus hingga ke
bawah. Hingga mereka tidak ubahnya seperti ber-
teduh di bawah atap rumah saja.
Iblis Edan tersenyum, dia mengusap wa-
jahnya yang basah terkena siraman air hujan.
"Coba kalau kita berada disini sejak tadi, tentu pakaian dan badan kita tidak
basah seperti ini."
Di bawah kegelapan pohon si pemuda mengomel.
"Rasanya seumur hidup baru kali ini aku
melihat hujan sederas ini. Pohon-pohon bertum-
bangan. Mungkin semua ini merupakan pertanda
buruk." ujar Mutiara Pelangi sedangkan tetap matanya memandang lurus ke depan.
"Aku juga baru melihat hembusan angin
segila ini. Tidak bisa kubayangkan bagaimana se-
andainya seluruh pohon yang terdapat disekelil-
ing kita bertumbangan menghantam kita."
Mutiara Pelangi menyeringai. Dia bergidik
ngeri dan tak dapat membayangkan bagaimana
andai apa yang dikatakan Iblis Edan benar-benar
terjadi. Beberapa saat berlalu, secara tidak terduga hujan mereda, hembusan
angin terhenti. Sedangkan langit yang tadinya disaput mendung
tebal kini nampak terang benderang.
Si gadis dan si pemuda saling berpandan-
gan. Lalu Iblis Edan mendadak tertawa tergelak-
gelak. Merasa tidak ada yang patut ditertawakan
Mutiara Pelangi mendengus sinis, dia cepat pa-
lingkan perhatiannya ke arah lain. Di saat seperti itulah dia melihat satu benda
berbentuk bulat seperti bola menggelinding di pucuk deretan pepo-
honan sebelah kiri, melayang berpindah dari pu-
cuk pohon yang satu ke pucuk pohon yang lain-
nya. Benda itu terus bergerak mendekati pucuk
pohon dimana saat itu si gadis dan Iblis Edan
berteduh di bawahnya.
Sraak.! Benda besar berbentuk bulat berwarna pu-
tih lenyap dari pandangan mata sang dara begitu
sampai dipucuk pohon dimana dirinya berada.
Rupanya suara berisik jatuhnya benda po-
hon terdengar oleh Iblis Edan. Pemuda yang me-
miliki tingkah laku seperti orang sinting ini langsung dongakkan kepala
memandang ke atas po-
hon. "Aku mendengar sesuatu jatuh di pucuk
pohon sana." Gumam Iblis Edan. "Sayang daun dan cabang pohon ini rapat dan
gelap, aku jadi
tak bisa melihat mahluk apa yang baru jatuhkan
diri diatas sana."
"Aku bukan hanya mendengar, tapi juga
melihat sosok serba putih seperti bola meng-
gelinding diatas pucuk-pucuk pohon. Datangnya
dari arah sana, lalu berhenti tepat diatas kita."
jawab Mutiara Pelangi sambil menunjuk ke arah
mana sosok benda tadi berasal.
Iblis Edan unjukkan wajah terkejut. "Sosok
seperti bola katamu" Tidak ada bola dijaman ini.
Yang ada cuma kelapa, mana mungkin ada kelapa
berwarna putih, lalu seakan punya nyawa ber-
lompatan dari pucuk pohon ke pohon lainnya.
Ah... kau pasti sedang mabuk. Walau tempat ini
gelap, tapi aku bisa melihat wajahmu pucat, tu-
buh menggigil." ejek Iblis Edan disertai tawa perlahan. Belum lagi Mutiara
Pelangi sempat me-
nanggapi ucapan Iblis Edan dari atas ketinggian
pohon mendadak sontak terdengar suara tawa
bergelak. Suara tawa disertai satu guncangan ke-
ras pada pohon diatas mereka. Sang dara terce-
kat, sebaliknya kening Iblis Edan berkerut.
"Hebat. Mungkin inilah pohon aneh yang
dinamakan pohon setan. Bisa bergoyang dan ter-
tawa pula. Ha ha ha." kata pemuda itu sambil tertawa seenaknya sendiri.
Mutiara Pelangi si cantik yang memiliki ge-
lar Puteri Kupu Kupu Putih memberi isyarat agar
Iblis Edan hentikan tawa dengan telunjuk ditem-
pelkan diatas bibirnya.
Karena pemuda itu masih saja tertawa si
gadis tidak lagi dapat menahan kesabarannya.
"Iblis Edan. Jika kau tidak mau diam, aku sumpal mulutmu dengan dedaunan!"
bentak si gadis sambil delikkan matanya.
"Kau mau menyumpal mulutku dengan
daun" Apa kau kira diriku ini binatang ternak
yang kelaparan" Jika ayam panggang yang kau
sumpalkan ke mulut ini aku pasti tidak menolak.
Udara begini dingin perutku jadi lapar." Iblis Edan usap perutnya yang rata,
matanya berkedap-kedip mendadak dia tepuk keningnya. "Ah...
aku hampir lupa, sebenarnya sejak tadi aku ingin
mengatakan sesuatu padamu. Tapi karena disini
agaknya kita tidak sendiri, aku takut segala yang ingin kusampaikan padamu itu
didengar oleh pihak ketiga. Pelangi bagaimana kalau aku menye-
lidik di pucuk pohon ini dulu?"
"Apa yang ingin kau katakan, Iblis Edan.
Kau hendak mengatakan siapa dirimu yang sebe-
narnya atau kau ingin menawarkan sesuatu yang
lain?" tanya Mutiara Pelangi.
Iblis edan tidak menjawab, dia hanya ter-
senyum sambil kedipkan matanya sebelah kiri.
Sekejap dia mendongak ke atas pohon dimana
suara tawa tadi sempat terdengar. Terhalang oleh
kelebatan daun-daun yang lebat dia tidak dapat
melihat apa-apa.
Masih dengan mata memandang ke atas Ib-
lis Edan tiba-tiba membentak. "Orang diatas pohon siapapun dirimu, jika datang
tak mau unjuk- kan diri aku menganggap kau adalah manusia ja-
hat." Suara teriakan Iblis Edan bergema merobek kesunyian lembah. Gema suara
lenyap. Suasana
tetap sunyi. Iblis Edan jadi penasaran. Mutiara Pelangi
baru saja hendak mengatakan sesuatu, namun
pada saat itu bagaikan seekor elang Iblis Edan telah berkelebat ke atas pohon.
Gerakan pemuda ini sungguh cepat luar biasa hingga dalam waktu
sekejap tubuhnya telah berpindah dari salah satu
cabang ke cabang yang berada di atasnya. Tak
lama sosoknya lenyap dari pandangan mata si
gadis. Sementara itu suasana yang semula redup
kini telah berubah menjadi terang kembali. Di
langit matahari bersinar cerah.
Beberapa saat menunggu dalam kegelisa-
han, Mutiara Pelangi mendadak dikejutkan den-
gan terdengarnya suara bentakan seseorang di-
atas pucuk pohon sana. "Bocah edan, beraninya cari penyakit mengganggu orang
yang sedang tidur disini. Kalau tak kuberi pelajaran kau hari
ini, kelak pasti sikapmu makin bertambah kurang
ajar saja!" Kemudian Mutiara Pelangi mendengar satu seruan kaget. Jelas suara
Iblis Edan. "Hei...
siapa kau" Tidur melingkari pucuk pohon" Ma-
nusia apa trenggiling!"
Kemudian terdengar suara tawa mengakak
disusul dengan suara robeknya pakaian dan sua-
ra bak bik buk dari atas sana. Mutiara Pelangi
yang menunggu dibawah jadi kaget, jantung ber-
detak keras, tenggorokan tercekat dan wajah pu-
cat. Mulutnya sempat keluarkan satu seruan.
"Celaka...!"
Dari pucuk pohon kembali terdengar suara
jerit diselingi caci maki, kemudian disusul pula
dengan terdengarnya suara berkerosakan, seperti
ada benda berat terjatuh namun tersendat-sendat
karena terhalang beberapa cabang pohon yang
terdapat di bawahnya.
Wuuus! Blukk! Satu sosok tubuh jatuh menggelundung
hanya sejarak satu tombak di depan Mutiara Pe-
langi. Dalam kejutnya sang dara melompat mun-
dur dua langkah, mata terbelalak, tangan kiri di-
pergunakan menutup mulutnya yang nyaris men-
jerit. "Iblis Edan apa yang terjadi?" Dalam kagetnya Mutiara Pelangi berseru.
Matanya yang mendelik tetap memandang ke depan dimana so-
sok Iblis Edan tergeletak disitu. Celana hitamnya yang komprang tidak berupa
celana lagi, hancur
tercerai berai seperti dicabik atau seperti terkena suatu benda tajam mirip
gergaji. Celana itu buntung sampai setinggi paha.
Yang lebih mengejutkan lagi di bagian kening, pe-
lipis kanan dan pelipis sebelah kiri si pemuda
nampak benjut besar dan benjol membiru sebesar
kepalan tangan. Dalam kagetnya Mutiara Pelangi
juga tak mampu menahan tawa melihat keadaan
tampang sahabatnya yang acak-acakan tak ka-
ruan rupa. "Sobat Iblis Edan, apa yang kau kerjakan
diatas pucuk pohon sana sampai tubuhmu babak
belur begitu" Memangnya kau habis cakar-
cakaran dengan monyet. Hi hi hi."
Iblis Edan mengerang, nafasnya megap-
megap dengan matanya yang sipit bengkak lebam
ke atas. Dengan langkah sempoyongan pula se-
perti orang mabuk pemuda itu bangkit berdiri.
"Kau tak salah. Diatas sana memang ada monyet besar tidur bergelung. Semula aku
mengira dia tidur sungguhan, tidak tahunya dia menipuku. Ku-
rang ajar.... jika tidak kuberi pelajaran hatiku
mana bisa tenteram!" dengus si pemuda. Dia menoleh ke arah sang dara. "Pelangi
kau menying-kirlah!" Walaupun si gadis tak mengerti apa yang hendak dilakukan
oleh pemuda itu namun dia tetap menjauh dari bawah pohon. Iblis Edan sung-
gingkan seringai, tangan kanan diangkat, tenaga
dalam dialirkan ke bagian tangan itu. Tak lama
tangan kanan Iblis Edan telah berubah berwarna
biru berkilauan. Semula Mutiara Pelangi me-
nyangka Iblis Edan hendak memukul bagian atas
pohon, tapi ternyata tidak. Tangan yang telah
mengandung tenaga sakti dihantamkannya lang-
sung ke batang pohon. Justru pada waktu yang
bersamaan terdengar suara tawa keras yang dis-
ertai terdengarnya suara gemuruh aneh. Mutiara
Pelangi yang cepat memandang ke atas begitu su-
ara tawa terdengar jadi tercekat. Diapun tanpa
sadar berseru. "Iblis Edan, awas...!"
"Keparat!" maki Iblis Edan. Laksana kilat dia menarik tangannya kembali kemudian
dengan gerakan cepat laksana kilat dia berjumpalitan ke
belakang menjauh dari pohon selamatkan diri.
Brak! Braak! Terdengar suara puluhan cabang pohon ja-
tuh terhempas di tanah. Pasir dan kebatuan be-
terbangan. Iblis Edan jatuh terduduk dengan wa-
jah pucat, tapi mata menyorotkan rasa amarah
luar biasa. Apa yang terjadi"
Ketika Mutiara Pelangi memandang ke atas
pohon begitu suara tawa terdengar. Tiba-tiba dia
melihat satu sosok serba putih bergerak, kemu-
dian cecabang pohon berjatuhan seperti ditabas
senjata yang sangat tajam. Dari mulai pucuknya
dan terus bergerak ke bawah. Hingga dalam wak-
tu sekejap pohon menjadi gundul.
Satu sosok serba putih jatuh menggelind-
ing menyusuri batang pohon yang gundul. Sosok
Gento Guyon 19 Dewa Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu kemudian menggeliat, kakinya yang tak lepas
mengapit kepalanya terbuka sosok serba putih
duduk, mulut menguap, tangan yang disembu-
nyikan dibalik ketiak terbuka. Ternyata di kedua
tangan sosok kakek berpakaian serba putih be-
rambut putih yang kepalanya botak di bagian be-
lakang ini tergenggam dua bilah senjata aneh
dengan besar seperti golok, memiliki panjang se-
perti pedang, namun di bagian punggung senjata
berkelak-kelok seperti mata gergaji.
Sejenak suasana di tempat itu dicekam ke-
bisuan. Mutiara Pelangi yang memiliki banyak
pengalaman di dunia persilatan begitu melihat
dua golok berwarna putih mengkilat di tangan si
kakek keluarkan seruan kaget. "Sepasang Golok Kembar Gigi Dewa."
Iblis Edan yang sempat mendengar seruan
sang dara berpaling pada si gadis dan me-
mandangnya penuh rasa tak mengerti.
"Pelangi, kau kenal dengan kakek yang ke-
palanya botak dibagian belakang itu?" bertanya Iblis Edan dengan suara pelan
namun mengandung kejengkelan.
"Bertemu dengannya baru kali ini. Tapi
nama besarnya sering kudengar. Dia manusia gila
seperti dirimu, otaknya agak miring seperti otak-
mu kalau tak salah dialah orangnya yang memili-
ki gelar Dewa Sinting. Setahuku dia berdiam di
daerah pesisir Tegal Kramat, lalu mengapa seka-
rang dia sampai berkeliaran disini"!"
Walaupun wajah Iblis Edan benjol di sana
sini namun dia masih dapat tersenyum dengan
mulut terpencong.
"Sialan. Dia sama sekali tidak dapat dis-
amakan dengan diriku. Melihat botaknya kurasa
dia memang orang gila sungguhan. Tapi sudah te-
lanjur kepalang basah, pakaianku dibuatnya se-
perti ini, kepala juga jadi tambah jelek begini. Kalau semuanya belum dibuat
impas, mana mung-
kin aku bisa memaafkan!"
"Sobat Iblis Edan. Dia bukan manusia
sembarangan. Kau bisa dibuatnya babak belur?"
Belum lagi Iblis Edan sempat menanggapi.
Di depan sana di bawah pohon besar yang gun-
dul, diatas tumpukan cabang pohon kakek be-
rambut putih berbadan kurus yang dikeningnya
terdapat sebuah titik merah besar sudah bangkit
berdiri. Sejenak dia memandang ke arah Iblis
Edan dan Mutiara Pelangi silih berganti. Dua bi-
lah golok aneh digerakkan di udara kemudian se-
cara perlahan dua golok dimasukkan ke dalam
mulut. Dua golok tajam luar biasa amblas lenyap
ke dalam mulut si kakek lalu masuk ke dalam pe-
rut. Sang dara kembali dibuat tercekat. Apa yang
dilihatnya ini adalah satu pemandangan yang
sangat luar biasa dan sulit untuk dipercaya. Se-
baliknya Iblis Edan yang masih diselimuti pera-
saan marah akibat apa yang terjadi pada dirinya
hanya mendengus sinis sambil berkata mencibir.
"Segala permainan sihir seperti itu cuma pantas diperlihatkan pada anak kecil.
Ingat kau punya
hutang celana dan benjolan di jidatku. Sebelum
aku meminta kau membayarnya. Aku juga akan
perlihatkan padamu sesuatu yang tak pernah kau
lihat seumur hidup!"
Kakek tua yang menelan dua bilah golok-
nya sendiri berdiri sambil berkacak pinggang. Ke-
pala mendongak mulut mengumbar tawa. "Pemu-
da edan" Apa yang hendak kau perlihatkan pada-
ku?" tanya si kakek sinis.
Iblis Edan sama sekali tidak menjawab.
Sepasang matanya berkedap-kedip. Dia berfikir
inilah kesempatan baginya untuk membalas dan
mengerjai kakek yang tidak dikenalnya itu.
2 Tidak lama dua tangan Iblis Edan disilang-
kan diatas kepala. Ketika dua tangan itu saling
bersilangan begitu rupa, Iblis Edan keluarkan su-
ara racauan aneh. Tak lama tubuhnyapun berge-
tar. Suara racau semakin lama semakin bertam-
bah keras, bersamaan dengan itu pula dari tan-
gan yang bersilangan diatas ubun-ubun mengepul
asap tipis. Asap tipis ternyata tidak saja keluar dari bagian kepala, namun juga
dari seluruh tubuh si pemuda.
"Apa yang hendak dilakukan oleh Iblis
Edan ini?" pikir Mutiara Pelangi yang merasa heran melihat apa yang terjadi pada
Iblis Edan. Se-
baliknya kakek aneh yang datang dengan cara
bergelung menggelinding seperti trenggiling sung-
gingkan seringai mengejek. Tapi seringai kakek ini mendadak lenyap begitu
melihat sosok Iblis Edan
yang sekujur tubuhnya diselimuti asap putih
mendadak raib dari pandangan. Dalam kagetnya
si kakek memandang kesekitar tempat itu.
"Bocah gila calon muridku. Kau hendak
mengelabuhi Dewa Sinting" Ha ha ha. Bagaimana
bisa kejadian orang gila bisa mengelabuhi orang
waras!" kata orang tua itu sinis disertai tawa tergelak-gelak.
Tidak ada suara apapun begitu gema suara
si kakek lenyap. Mutiara Pelangi sendiri tidak ta-hu apa yang dilakukan Iblis
Edan. Yang jelas tak
begitu lama kemudian dia melihat si kakek yang
mengaku dirinya sebagai Dewa Sinting itu nam-
pak berjingkrak-jingkrak sambil mendekap perut-
nya kalang kabut.
"Bocah keparat ! Beraninya kau menggelitik
tubuhku!" teriak si kakek. Si kakek berteriak mengatakan dirinya digelitiki.
Tapi sesungguhnya
sang dara tidak melihat ada orang berada di seki-
tar orang tua itu. Agaknya Iblis Edan yang ternya-ta memiliki ilmu melenyapkan
diri itu kini mulai
mengerjai si orang tua.
Beberapa saat kemudian orang tua ini me-
lompat mundur. Sumpah serapah menghambur
dari mulut si orang tua. Dengan wajah pucat si
kakek memandang ke depan. Kemudian dia
membentak. "Bocah kadal, punya hubungan apa
kau dengan Ageng Tirtomoyo?"
Pertanyaan si kakek disambut dengan tawa
panjang bergema. Jelas yang tertawa adalah Iblis
Edan. Namun pemuda itu sendiri tak terlihat, le-
nyap. Seolah dirinya adalah setan gentayangan.
"Tua bangka gila mengaku bergelar Dewa
Sinting. Rupanya kau kenal dengan kakek Ageng
Tirtomoyo alias Paduka Diraja Iblis. Kalau kau
mau tahu dia adalah guruku." sahut iblis Edan yang hanya suaranya saja bergema
di tempat itu. "Ha ha ha. Rupanya kau murid Iblis kesa-
sar dari Wadaslintang itu. Sejak pertama kali aku mengikutimu aku memang sudah
menduganya. Pantas aku melihat ketidak beresan pada otak-
mu." kata Dewa Sinting disertai tawa bergelak.
Setelah diam sejenak orang tua itu melanjutkan
ucapannya. "Aku tahu Ageng Tirtomoyo memiliki ilmu pengecut melenyapkan diri.
Sekarang sebaiknya kau tunjukkan dirimu, karena begitu ba-
nyak yang ingin kubicarakan denganmu!"
Iblis Edan mendengus, apa yang terjadi
pada diri dan wajahnya membuat pemuda yang
tengah berada dalam penerapan ilmu menghilang
ini tak menghiraukan perintah Dewa Sinting sa-
ma sekali. "Kau manusia sinting kakek tua. Engkau
mengira diriku siapa" Anak bukan, saudara bu-
kan, keponakan juga bukan" Enak saja kau men-
gatur diriku" Lihat ke samping kananmu!" teriak Iblis Edan.
Terpancing oleh ucapan Iblis Edan, maka
laksana kilat Dewa Sinting cepat palingkan wa-
jahnya sekaligus memandang ke arah sebelah ka-
nannya. Justru pada waktu bersamaan dari arah
sebelah kiri terdengar suara desiran halus disertai dengan terdengarnya suara
benda keras membentur kepala Dewa Sinting.
Plak! Si kakek terhuyung, tubuhnya nyaris ter-
pelanting. Sempoyongan dia bangkit, mulutnya
mendamprat sambil menjerit marah. Belum lagi
suara jeritan lenyap terdengar suara robeknya
pakaian. Bret! Breet! "Keparat kurang ajar!" maki si kakek begitu melihat bahu pakaiannya robek besar.
Dewa Sinting menjadi kalap, tapi mulutnya keluarkan tawa
panjang bergema. Setelah itu sambil tertawa den-
gan tidak terduga dia hantamkan dua tangannya
ke delapan penjuru arah. Sedikitnya sepuluh larik sinar putih menyilaukan
berhawa panas luar biasa menderu di udara.
Mutiara Pelangi yang berdiri tegak tak jauh
dari kakek itu jatuhkan diri bergulingan menjauh
sambil memaki. "Orang tua kau seperti orang kurang waras saja. Datang dengan
tujuan tidak je-
las, kini mengamuk seperti setan gentayangan."
Baru saja sang dara berlindung dibalik ba-
tu besar. Disekitar tempat itu terdengar suara ledakan berdentum delapan kali
berturut-turut. Se-
saat lamanya suasana dikawasan lembah laksana
diguncang gempa hebat. Si kakek tertawa berge-
lak. Tapi suara tawanya mendadak lenyap begitu
terdengar suara tawa lain yang disertai dengan
ucapan. "Tua bangka gila bergelar Dewa Sinting.
Gelaranmu memang sesuai dengan tingkat kewa-
rasan otakmu. Dari sini, dari atas ketinggian ini aku melihat delapan lubang
besar menganga hitam akibat pukulan hebat yang kau lepaskan.
Aku bangga dengan apa yang terjadi. Hebat. Ha
ha ha!" kata Iblis Edan yang kini sosoknya kembali terlihat dan saat itu si
pemuda duduk me-
nangkring di atas pohon di sebelah kanan si ka-
kek. Dengan tenang si pemuda melanjutkan.
"Pamer ilmu pamer kehebatan boleh saja. Tapi ji-ka harus pamer aurat bulukan
didepan gadis se-
cantik sahabatku Mutiara Pelangi apakah tidak
merasa malu" Ha ha ha!"
Mutiara Pelangi yang sempat melihat cela-
na putih si kakek melorot sampai sebatas lutut
dengan muka merah langsung palingkan wajah
memandang ke jurusan lain. Sebaliknya si kakek
yang sekujur tubuhnya memutih laksana kapas
jadi terkejut besar. Cepat dia memandang ke ba-
wah, kalang kabut Dewa Sinting tarik celananya
ke atas, sambil memaki. "Setan! Berani kau mem-permalukan aku" Kubunuh kau
nanti!" Di atas pohon Iblis Edan menyambut ma-
kian si kakek dengan tawa bergelak. Tangannya
dilambaikan, ternyata dalam genggaman Iblis
Edan menjuntai kain putih ikat pinggang celana
si kakek yang berhasil direnggut lepas begitu dia habis menghantam kepala Dewa
Sinting tadi. Walaupun Iblis Edan mengumbar tawa, namun da-
lam hati kaget juga melihat hantamannya tadi ti-
dak membawa akibat apapun bagi orang tua itu.
"Tua bangka gila itu punya ilmu apa. Ku-
hantam dia dengan pengerahan seluruh tenaga
dalam yang kumiliki. Jangankan pecah, benjol
seperti benjolan di jidatku pun tidak."
Sementara itu Dewa Sinting setelah sibuk
membenahi celananya jadi terkejut. Dia merasa
ada sesuatu yang hilang. Jelalatan dia mencari-
cari. Di atas pohon sambil berucang-uncang kaki
Iblis Edan menyeletuk. "Sejak tadi kau sibuk memegangi celanamu, kalau kufikir
kau memang mirip bocah lima tahun. Orang tua sinting, ber-
pakaian saja tidak beres, apakah kau mencari tali pengikat celanamu"!"
Wajah si kakek mendadak berubah jadi
pucat. Dia memandang ke atas. Mulutnya tern-
ganga begitu melihat Iblis Edan melambai-
lambaikan selembar kain putih selebar dua jari
tangan dengan panjang tak lebih dari setengah
depa. "Bocah kurang ajar, serahkan tali...!" Dewa Sinting yang sempat melirik ke
arah Mutiara Pelangi tak jadi teruskan ucapannya.
Iblis Gila menanggapi. "Tali kolormu" Ha
ha ha. Benda ini tidak akan kukembalikan kepa-
damu sebelum kau memberikan obat yang dapat
melenyapkan beberapa benjolan di wajahku."
"Bocah Edan?" rutuk si kakek.
"Aku memang Iblis yang penuh keedanan.
Bukankah tadi aku sudah mengatakannya pada-
mu" Ha ha ha."
"Serahkan barangku!" hardik si kakek.
"Yang ada ditanganku bukan barangmu.
Aku hanya mengambil tali pengaman pelindung-
nya. Ha ha ha."
"Kurang ajar." maki si kakek. Mendadak dia angkat tangan kanannya siap
melepaskan pukulan ke atas, dimana Iblis Edan duduk tenang di
salah satu cabang pohon. Sedangkan tangan kiri
dipergunakan untuk memegangi bagian depan ce-
lana putih. Sadar dengan apa yang hendak dilakukan
oleh si kakek. Iblis Edan berteriak mengancam.
"Berani kau melepaskan pukulan ke arahku, ku-hancurkan kain sabuk pengaman
celanamu ini. Aku tidak akan malu berjalan dengan muka bo-
nyok benjut begini. Tapi kau pasti akan menjadi
tontonan para bocah berjalan dengan pakaian ke-
dodoran begitu rupa. Cepat serahkan obat yang
kuminta, atau kau segera melihat pengaman ce-
lanamu ini hangus menjadi bubuk tak berguna!"
Gento Guyon 19 Dewa Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambil mengancam, Iblis Edan salurkan tenaga
dalam berhawa panas kebagian tangannya yang
memegang kain putih itu. Melihat apa yang dila-
kukan oleh si pemuda si kakek berseru. "Hei, jangan kau hanguskan sabuk itu.
Bbb... baiklah,
aku mengalah. Aku akan berikan obat yang kau
minta." Berkata begitu si kakek keluarkan sebuah benda berbentuk bulat berwarna
hitam. Melihat pil ditangan si kakek Iblis Edan kedipkan ma-
tanya. "Ini obat yang kau minta, sekarang kau lemparkan sabuk ditanganmu ke
bawah. Supaya adil aku akan lemparkan pil ini ke atas!" kata si kakek. "Baik. Tapi awas jika
kau berani menipuku.!" kata si pemuda.
Dewa Sinting menanggapi ucapan si pemu-
da dengan tertawa.
Tanpa bicara Dewa Sinting lemparkan obat
penghilang memar yang diminta oleh si pemuda.
Sementara Iblis Edan melemparkan sabuk pen-
gaman pinggang celana si kakek ke bawah.
Wuuut! Tep! Tep! Dalam satu gerakan yang sangat cepat.
Baik si kakek maupun Iblis Edan berhasil me-
nangkap benda yang diinginkan masing-masing.
Jika Dewa Sinting cepat lilitkan kain putih ke
pinggangnya, sebaliknya Iblis Edan cepat masuk-
kan obat yang dilemparkan si kakek ke dalam
mulutnya. Beberapa saat setelah menelan obat, Iblis
Edan merasakan wajahnya menjadi panas laksa-
na dipanggang. Tapi bersamaan dengan itu pula
satu keanehan terjadi. Empat benjolan besar di
wajah pemuda itu langsung lenyap. Iblis Edan
mengusap wajahnya pulang balik. Dia berseru
kegirangan. "Ha ha ha. Segalanya kembali mulus.
Aku tidak jadi menanggung derita malu." kata pemuda itu. Sambil tertawa senang
Iblis Edan lakukan satu gerakan satu loncatan. Tubuhnya
berputar di udara dan kemudian jatuh dengan
kedua kaki menjejak tanah tidak jauh di samping
Mutiara Pelangi. Si gadis pandangi pemuda itu se-
jenak, dia menjadi kagum melihat daya kerja obat
pemberian si kakek yang demikian cepat. Tapi ra-
sa takjub melihat wajah si pemuda kemudian be-
rubah menjadi kaget saat matanya melihat
adanya sesuatu yang berubah pada kulit wajah
Iblis Edan. "Sobat Iblis Edan, wajahmu"!" seru sang dara. "Hah, wajahku kenapa Pelangi?"
tanya Iblis Edan terkesiap. Dia mengusap wajahnya. Wajah
itu sama sekali tidak berubah, halus rata, tapi
mendadak pemuda itu merasakan bagian wajah-
nya dijangkiti gatal-gatal yang demikian hebat,
hingga dia ini menggaruknya tiada henti.
"Wajahmu merah seperti tomat matang."
Mutiara Pelangi memberi tahu. Iblis Edan meng-
gerung, rasa gatal bukan saja hanya terjadi diba-
gian wajah, tapi beberapa saat kemudian menja-
lar ke sekujur tubuh. Sehingga sang iblis nampak
begitu menderita karena tangannya terpaksa be-
kerja keras menggaruk sekujur tubuhnya.
Dewa Sinting tertawa tergelak-gelak. Mutia-
ra Pelangi tercengang dan tak tahu harus berbuat
apa. "Iblis Edan...! Kau tak pantas menyandang
gelar iblis. Kau hanya seorang bocah tolol yang
gampang diperdaya. Kuakui kau memang berhasil
membuat aku hampir menderita malu besar. Tapi
kecerobohanmu yang mudah diperdaya oleh
orang lain membuatmu harus mau menjadi mu-
ridku selama dua puluh purnama. Ha ha ha."
Iblis Edan yang merasa telah ditipu si ka-
kek menjadi marah sekali. Dia melompat maju
sambil berteriak. "Buat apa aku berguru pada manusia gila sepertimu" Sejak kecil
aku telah berlatih diri mempelajari segala ilmu yang ditu-
runkan oleh guruku. Dewa Sinting lebih baik
simpan mimpimu, kau tidak pernah bisa men-
gambilku sebagai seorang murid, sebaliknya lebih
bagus kau serahkan obat penawar racun gatal-
gatal ini. Sekarang...!"
Dewa Sinting kembali umbar tawanya. Se-
jurus dia memandang ke arah Iblis Edan yang
nampak terus sibuk menggaruk. Disertai senyum
mengejek dia kemudian berkata. "Bocah, racun yang mendekam ditubuhmu sangat
ganas. Kau tidak mungkin dapat bertahan hidup dalam wak-
tu lebih dari satu purnama di depan. Sebelum ajal itu nantinya menghampiri
dirimu, rasa gatal semakin menghebat. Kemudian tubuhmu membu-
suk, lalu kulitmu hancur daging leleh seperti ti-
mah yang dicairkan. Gurumu sekalipun tak akan
sanggup memberikan obat yang dapat menyem-
buhkan dirimu. Racun Gelugut Pring Biru tidak
bisa dianggap mainan. Jadi kau hanya punya sa-
tu pilihan, datang ke Tegal Kramat untuk menjadi
muridku atau mati sia-sia secara tersiksa!"
"Kurang ajar. Aku tidak pernah bermimpi
menjadi murid kakek sinting sepertimu. Mengaku
sebagai seorang Dewa tapi memiliki hati keji sejahat setan. Lagipula aku banyak
urusan!" dengus si pemuda.
"Aku tahu urusanmu, Rumpati. Bukankah
kau putera Karma Sudira. Manusia jujur yang
menjadi korban fitnah keji Adipati Surya Lagala-
pang yang kini menjabat sebagai adipati Purbo-
linggo. Ha ha ha."
Iblis Edan tentu saja dibuat kaget menden-
gar Dewa Sinting menyebut nama kecilnya. Ba-
gaimana kakek setengah gila ini bisa mengenali
siapa dirinya bahkan tahu pula siapa orang tua-
nya. Mutiara Pelangi juga tidak kalah kaget. Dia yang selama ini memang mencari
jejak ke-beradaan anak-anak pamannya Karma Sudira
nampak tercengang.
"Dewa Sinting bagaimana bisa mengenal
namaku?" tanya Iblis Edan dengan suara tercekat. "Ha ha ha. Perlu apa kau
bertanya. Bukankah kau juga punya seorang adik yang pada saat
terjadi bencana mengenaskan itu belum diberi
nama"!"
"Hah... kau tahu juga?" desis si pemuda.
"Aku bahkan tahu silsilah keluargamu.
Aku mengenal dirimu tidak ubahnya seperti men-
genali telapak tanganku sendiri."
"Lalu apakah kau tahu dimana ayahku dan
adikku sekarang?" tanya Iblis Edan.
Si kakek dongakkan wajahnya, lalu terta-
wa. Beberapa saat kemudian begitu tawanya
lenyap dia berucap. "Ayahmu aku tidak tahu berada dimana" Ketika aku datang ke
Ladang Wa- das Cimangu, penjara itu telah kosong. Aku
hanya menemukan bangkai tengkorak penjaga
yang telah membusuk. Sedangkan mengenai
adikmu, silahkan cari sendiri. Tapi jika kau mau
menjadi muridku, aku berjanji akan memberikan
penawar racun gatal-gatal ditubuhmu. Selain itu
aku juga akan membantu mencarikan adikmu.
Hanya itu saja!"
Mendengar ucapan Dewa Sinting, si pemu-
da terdiam. Sedangkan Mutiara Pelangi yang se-
dari tadi lebih banyak diam dan setelah mengeta-
hui siapa Iblis Edan yang sebenarnya tanpa ragu
lagi dan secara tak terduga langsung melompat
kedepan. Dua langkah di depan si kakek, sang
dara hentikan langkah, kemudian dia berkata.
"Orang tua, nama besarmu sudah sering aku
mendengarnya. Konon menurut yang kudengar
kau adalah manusia berhati baik. Tak kuduga
apa yang kudengar selama ini ternyata hanya be-
rita kosong belaka. Orang tua, berikan obat pe-
munah racun gatal itu pada saudaraku Iblis
Edan. Jika tidak aku telah bertekad mengadu jiwa
denganmu!" kata si gadis.
Kini Iblis Edan jadi yang dibuat kaget. Ba-
gaimana mungkin Mutiara Pelangi mengakuinya
sebagai saudara. Padahal kenalpun dengan gadis
ini dia baru beberapa hari saja.
"Pelangi apa maksudmu ...?" tanya Iblis Edan. "Tidak ada waktu untuk
menjelaskannya, Rumbapati. Sebaiknya kita gabungkan kekuatan
untuk menempur tua bangka sinting ini sebelum
racun glugut Pring Biru membuat tubuhmu leleh
menjadi bubur sebagaimana yang dikatakannya!"
tegas sang dara.
"Pengakuanmu membuat aku bingung. Ba-
nyak yang ingin kuketahui, banyak pula yang in-
gin kutanyakan begitu kau mengakui diriku yang
buruk ini sebagai saudaramu. Tapi aku juga tidak
mau wajahku hancur menjadi bubur. Tunggu apa
lagi, mari kita serang dia!" teriak Iblis Edan.
Dua sosok tubuh berkelebat laksana kilat
disertai teriakan menggeledek. Di depan sana De-
wa Sinting ganda tertawa dan tetap tegak ditem-
patnya. Padahal pada waktu itu dia melihat em-
pat tangan berkelebat menghantam empat bagian
tubuhnya yang paling mematikan. Dan dia tahu
pula masing-masing serangan yang dilancarkan
oleh sang dara dan si pemuda sama-sama berba-
haya dan mengandung tenaga dalam tinggi.
Sesaat lagi, empat pukulan lawan menda-
rat di tubuhnya sambil tertawa Dewa Sinting la-
kukan gerakan dengan mendorong dua tangan.
Tangan kiri di dorong ke arah Mutiara Pelangi,
sedangkan tangan kanan digerakkan ke arah Iblis
Edan. Dua gerakan mendorong tangan itu terke-
san hanya seperti gerakan biasa saja. Tapi aki-
batnya membuat si gadis terjungkal, bergulingan
di tanah lalu bangkit dengan dada sesak, muka
pucat dan lutut bergetar.
Tak jauh disampingnya Iblis Edan walau
tidak sampai roboh tapi tubuhnya sempat oleng,
kaki tertekuk, kepala yang menjadi sasaran do-
rongan tangan Dewa Sinting laksana mau mele-
dak. Bila Iblis Edan memandang kedepan sam-
bil menggaruk sekujur tubuhnya dia melihat De-
wa Sinting sunggingkan senyum sinis.
"Bocah, Segala ilmu kepandaian yang kau
miliki masih belum ada seujung kuku ini." kata Dewa Sinting sambil jentikkan
kuku jari keling-kingnya. "Karena itu kau masih punya waktu untuk datang ke
Tegal Kramat. Obat racun Pring Bi-
ru ada di sana, Selamat tinggal!" berkata begitu secara tak terduga Dewa Sinting
lesatkan tubuhnya ke udara.
"Kau hendak kabur kemana dewa gila?" se-ru Iblis Edan. Tidak memberi kesempatan
pada si kakek untuk tinggalkan tempat itu, Iblis Edan
berlari mengejar sambil lepaskan pukulan jarak
jauhnya. Wuuus! Dua larik sinar biru laksana mata pedang
menderu menghantam ke arah lenyapnya Dewa
Sinting. Glar! Glaar!"
Dua letupan keras menggema diudara.
Asap tebal mengepul api berkobar. Ketika asap
tebal lenyap Dewa Sinting juga lenyap. Di kejau-
han sana lapat-lapat terdengar suara tawa dan
suara seperti orang mengomel.
"llmumu masih hijau, kalau kau mau ma-
sih ada waktu bagimu untuk bisa menjadi iblis
beneran. Gelo betul."
"Setan, ke neraka sekalipun aku akan
mengejarmu. Terkecuali kau mau memberikan
obat penawar racun itu." kata si pemuda.
Seakan lupa pada Mutiara Pelangi yang
saat itu baru saja bangkit berdiri, Iblis Edan segera mengejar dan tinggalkan
tempat itu. "Iblis Edan, tunggu aku!" teriak si gadis memanggil pemuda yang ternyata adalah
putra pamannya sendiri. Gaung suara si gadis lenyap.
Suasana kembali sunyi. "Iblis Edan... kakek sinting itu jelas bukan
tandingannya. Aku harus me-
nyusul, aku tidak ingin terjadi sesuatu pada sau-
daraku itu." fikir Mutiara Pelangi.
Kemudian si gadis segera berkelebat pergi
tinggalkan lembah itu.
3 Kabut tipis berwarna putih dalam bentuk
seperti sosok manusia itu bergerak mengambang
dua jengkal diatas permukaan tanah. Sejak tadi
kabut ini melesat laksana hembusan angin. Di sa-
tu tempat di tengah-tengah hamparan padang
rumput yang luas gerakan kabut yang ujudnya
seperti bayangan manusia itu terhenti. Tak jauh
dibelakangnya sejarak empat tombak seorang
pemuda berambut gondrong yang mengikuti den-
gan perasaan heran ikut pula berhenti.
"Aneh, ada kabut bentuknya seperti ini.
Bergerak seperti bayangan manusia. Mungkin in-
ilah yang dikatakan setan sungguhan. Baiknya
biar kupukul saja dia!" Si Gondrong membatin dalam hati. Dia salurkan tenaga
dalam ke tangan
kanan, tapi urung begitu melihat ranting pohon
kering tergeletak disitu. Ranting dipungutnya, la-lu dipukulnya ke depan.
Wuuut! "Hah...!"
Si gondrong bertelanjang dada melengak
Gento Guyon 19 Dewa Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaget begitu melihat kabut putih melejit ke atas.
Si gondrong dalam kagetnya jadi penasaran. Lalu
gerakkan ranting ke atas.
Wuus! Kembali si gondrong keluarkan seruan ka-
get, mata dipentang, wajah diusap beberapa kali.
Seakan mengerti kabut dalam bentuk bayangan
manusia bergerak lebih tinggi ke udara, hingga
sabetan ranting tidak mengenai sasaran. Malah
kabut itu kini bagai ditiup angin terus membu-
bung tinggi di udara. Akhirnya berhenti diam, du-
duk disana di atas pucuk pohon anak cemara.
"Gila. Kalau manusia mana ada yang sang-
gup duduk diatas pucuk pohon tanpa membuat
pohon bergoyang. Mungkin saja dia setan bena-
ran. Setan yang baik, bukan yang usil. "gumam si gondrong.
Beberapa saat dia terdiam, kepala dige-
lengkan seakan tak percaya dengan apa yang dis-
aksikannya saat itu.
Si gondrong tersenyum. "Setan baik, apa
yang kulihat hari ini membuat aku ingin berlama-
lama disini. Sayang sekali waktuku sangat sem-
pit. Ada satu tugas penting yang harus kuselesai-
kan. Jadi sekarang aku harus pergi." Si gondrong bertelanjang dada bercelana
biru ini lalu balikkan badan siap melangkah pergi. Tapi belum lagi
sempat dia langkahkan kaki di belakangnya ada
desiran halus bergerak cepat ke arahnya. Kemu-
dian si gondrong yang adalah Pendekar Sakti 71
Gento Guyon merasakan ada satu tangan me-
nyambar dada, membetot kalung yang ter-
gantung disitu. Satu sentakan yang sangat keras
tidak membuat kalung terbetot lepas, malah tu-
buh si pemuda ikut terbetot dan terseret.
Si pemuda berseru kaget, mulutnya mema-
ki, tubuh terbanting begitu tangan yang menarik
kalungnya seperti dilepas.
"Kurang ajar, siapa yang menarik kalung-
ku"!" damprat murid si kakek gendut Gentong Ketawa marah. Laksana kilat pemuda
itu bangkit berdiri, dia lalu memandang ke arah mana orang
yang merampas kalungnya di perkirakan berkele-
bat. Tapi dia tidak melihat apa-apa. Ingat akan
kabut yang menyerupai bayangan manusia tadi,
Gento pun memutar, badan dan memandang ke
arah pucuk anak pohon cemara. Gento melegak
kaget, kabut putih tadi ternyata lenyap entah ke-
mana. "Kalungku Batu Raja Langit seperti ada yang membetot. Kabut yang kulihat
seperti orang duduk diatas pohon tadi juga tidak kelihatan. Ku-
rang ajar betul. Dasar setan, baru saja kukatakan
baik, langsung tunjukkan wataknya yang asli."
Gento usap mata kalung yang tergantung
dilehernya. Dia tersenyum sendiri. Masih dengan
tersenyum mulutnya berucap. "Dasar maling setan tolol. Aku sendiri saja dulu tak
pernah sang- gup melepaskan kalung ini, apalagi hanya seo-
rang maling. Ha ha ha!"
Walau hatinya masih diliputi rasa penasa-
ran pemuda ini melangkah pergi. Baru beberapa
langkah Gento menindak, mendadak langkahnya
surut. Dia memandang ke depan, mata diusap, la-
lu kembali memandang sejauh dua tombak di de-
pannya. "Sulit kupercaya. Tadi aku tidak melihat
ada orang berdiri disitu. Kini bagaimana tahu-
tahu orang tua itu bisa muncul disitu. Apa
mungkin dia orangnya yang telah berusaha me-
rampas kalungku?" batin Gento dalam hati.
Sementara itu sosok berpakaian hitam be-
rujud kakek tua berambut putih masih tetap te-
gak ditempatnya sedangkan sepasang mata me-
mandang ke arah kalung yang tergantung dileher
Gento. "Orang tua ini siapa dia adanya" Dia me-mandangku dengan tatap matanya
yang aneh. Tapi aku merasa yakin dialah orangnya yang te-
lah berlaku jahil membetot mata kalungku."
"Anak muda. Apa yang baru kau ucapkan
tadi. Hatimu mengatakan aku hendak merampas
barang rongsokan itu?" tanya si kakek tiba-tiba.
Mulutnya berkata begitu, tapi matanya meman-
carkan kilatan rasa kagum terhadap kalung yang
dipakai Gento. "Eeh, bagaimana orang tua itu bisa tahu
apa yang ada dalam hatiku"!" fikir Gento.
"Aku tidak mengatakan apapun. Apa kau
mendengar aku ada mengatakan sesuatu?" Si kakek gelengkan kepala, tapi bibirnya
tersenyum. "Anak muda siapa namamu?" Ditanya tentang namanya Gento tidak langsung menjawab,
sebaliknya malah ajukan pertanyaan, "Orang tua apakah kau tidak melihat ada
orang di sekitar tempat ini tadi?"
"Ada yaitu dirimu sendiri."
"Aku bertanya sungguhan, orang tua!" kata pemuda itu kesal.
"Aku juga menjawab dengan sungguhan
pula. Hanya kulihat sekejap tadi kau bersikap se-
perti orang linglung, bicara sendiri tersenyum
sendiri. Aku juga melihat kau bicara dengan po-
hon. Semula aku menduga dirimu pasti manusia
kurang waras. Ternyata...!" Si kakek sengaja tidak melanjutkan ucapannya hingga
membuat Gento penasaran. "Ternyata apa orang tua"!" desak si pemuda ingin tahu.
"Ternyata otakmu memang rada-rada mir-
ing! Ha ha ha."
Dikatai otaknya rada miring Gento menjadi
sewot. "Orang tua siapa bilang aku bicara dengan pohon. Siapa kata aku tertawa
sendiri?" "Kau tak berani mengakui kenyataan yang
aku lihat. Jadi kau tadi bicara dan tertawa den-
gan siapa" Setan?"
"Orang tua, tadi aku melihat satu keane-
han. Aku melihat berbentuk seperti bayangan ma-
nusia. Aku mengikutinya, kabut berhenti disini
lalu duduk di pucuk anak pohon cemara itu. Aku
bicara sendiri karena merasa heran, aku tertawa
karena ada yang kuanggap lucu. Lalu apa aneh-
nya"!" Si kakek tersenyum lagi. "Kau mentertawai kabut yang bergerak sesuai
dengan kehendak angin bertiup, apakah itu tidak gila namanya.!"
Merasa kesal dirinya dikatakan orang gila,
maka dengan ketus dan sinis Gento menjawab.
"Terserah kau beranggapan diriku ini apa. Aku banyak urusan. Sekarang aku harus
pergi.!" begitu selesai bicara Gento gerakkan kakinya siap
berkelebat tinggalkan si orang tua. Tapi menda-
dak si kakek goyangkan bahu kirinya. Begitu ba-
hu orang tua itu bergoyang, Gento merasakan ada
satu tenaga yang tidak terlihat seperti menarik
tubuhnya ke arah kiri hingga membuat pemuda
itu terhuyung dan nyaris tersungkur.
Di depan sana si kakek tertawa bergelak.
Berlagak seperti orang pilon dia gelengkan kepala.
"Panas begini terik, kau tidak sedang berlayar di tengah laut mengapa bertingkah
seperti orang mabuk" Anak muda lagipula kau belum memper-
kenalkan diri. Atau memang sejak kecil kau tak
pernah diajarkan bersikap santun berhadapan
dengan orang yang lebih tua darimu?"
Mendengar ucapan si kakek Gento semakin
jengkel. Dia tahu pasti kakek itu telah menger-
jainya. Berpura-pura goyangkan bahu, padahal
dia kerahkan tenaga dalam lalu tarik tangan ki-
rinya dari jarak jauh.
"Kurang ajar. Aku tahu ilmunya tinggi, Il-
mu tinggi buat apa jika dipakai menjahili orang?"
rutuk pemuda itu.
"Buat apa memperkenalkan nama segala.
Kau sendiri orang asing bagiku, siapa tahu kau-
lah orangnya yang hendak merampas kalungku
tadi. Mungkin boleh jadi kau pula yang tadi me-
rubah ujudmu menjadi kabut sialan. Perduli
apa?" dengus Pendekar Sakti 71 Gento Guyon me-luapkan kekesalannya.
"Ha ha ha. Jika semua yang kau katakan
itu memang benar adanya, kau hendak berbuat
apa anak muda?"
Jawaban si kakek membuat Gento jadi ter-
cengang. Jelas dia berhadapan dengan orang tua
berilmu tinggi. Tapi mengapa tadi dia berusaha
merampas ke arah si kakek dengan hati curiga.
"Kalung di dadamu itu, walau hanya beru-
pa batu butut bulukan pasti bukan batu biasa
kan. Hemm... aku tahu sekarang kalung itu pasti
Batu Raja Langit. Anak muda, katakan apa hu-
bunganmu dengan Manusia Seribu Tahun, ba-
gaimana kau bisa bertemu dengannya?" tanya si kakek unjukkan wajah kaget begitu
mengenali kalung yang dipakai si pemuda. Dalam hati dia
membatin. "Pantas tadi aku tak berhasil membetot lepas kalung itu. Pemuda ini
ternyata sungguh luar biasa. Konon kudengar kalung batu Raja
Langit bila sudah dipakai oleh seseorang tidak
mudah diambil atau dirampas, jangankan orang
lain pemiliknya sendiri tak sanggup melepaskan-
nya." Sementara itu dalam kagetnya Gento jadi ajukan pertanyaan pula. "Orang
tua, siapa dirimu yang sebenarnya. Bagaimana kau mengenal kakek Seribu Tahun?"
"Aku Ageng Tirtomoyo, orang biasa me-
manggilku dengan Paduka Diraja Iblis. Walau ju-
lukanku begitu buruk, iblis yang sebenarnya ada
di neraka, sedangkan aku manusia sebagaimana
dirimu. Mengenai bagaimana aku bisa mengenal
Manusia Seribu Tahun, nanti bila kau bertemu
dengan orang tua itu silahkan kau tanya sendiri
padanya. Terus terang kalung batu seperti itu di
dunia ini pemilik satu-satunya adalah orang tua
yang kusebutkan tadi. Sekarang katakan apa hu-
bunganmu dengan orang tua itu?" tanya si kakek, suaranya kini berubah lunak
bersahabat. "Orang tua itu boleh dikatakan guruku
sendiri. Aku bertemu dengannya sekitar lima
purnama yang lalu." sahut Gento.
Si kakek terdiam, matanya membulat be-
sar. Dia berfikir, tidak mudah orang bisa bertemu dengan Manusia Seribu Tahun.
Disamping tempat
kediamannya saja tidak ada yang tahu secara
pasti. Tidak disembarang tempat kakek itu mun-
culkan diri. Lagipula dia hanya mau menjumpai
orang-orang tertentu yang diinginkannya saja. Ka-
laupun seseorang berhajat ingin bertemu dengan-
nya sampai setahunpun mencari orang tua itu ti-
dak bakal ketemu.
"Anak muda kalau aku boleh tanya bagai-
mana kau bisa bertemu dengannya." tanya si ka-
kek. Gento tersenyum. Dia jadi ingat kejadian be-
berapa purnama silam. Waktu itu dia dan gu-
runya berada di sebuah gedung tua di tepi sungai
Ronggo Topo Wates. Dalam gelapnya malam tiba-
tiba ada angin bagaikan puting beliung menye-
rang mereka dan melenyapkan sang guru si Gen-
dut Gentong Ketawa. Tak lama setelah gurunya
lenyap muncul sosok kakek serba putih yang tu-
buhnya meliuk-liuk seperti kabut. Kakek itu
membawa si pemuda ke suatu tempat. Di tempat
yang serba aneh itulah Gento mendapat gemblen-
gan dari si kakek setengah manusia setengah ar-
wah. Untuk lebih jelasnya (baca episode Ki Anjeng Laknat).
"Bukan aku yang menemuinya, tapi dia
yang menjumpai aku dan membawaku ke suatu
tempat yang tak dapat kuceritakan." jawab Gento beberapa saat kemudian.
"Kau pemuda yang beruntung. Ketahuilah
tidak sembarang orang bisa bertemu dengan
orang tua itu. Terkadang dicari susah sekali. Ti-
dak dicari malah munculkan diri. Manusia Seribu
Tahun adalah orang yang tingkat kesaktiannya
hampir sempurna. Golongan putih menganggap
dia seorang sesepuh yang sangat dihormati. Oh
ya... siapa namamu anak muda?" tanya Ageng
Tirtomoyo. "Namaku Gento Guyon. Dunia persilatan
memberiku gelar jelek Pendekar Sakti 71."
Mendengar Gento menyebut nama dan ge-
larannya si kakek tercengang, lalu tanpa sadar
dia tepuk keningnya sendiri. "Ah.... bagaimana
aku bisa sampai berubah pikun begini. Pendekar
Sakti 71 Gento Guyon"! Bukankah kau murid ka-
kek gendut Gentong Ketawa yang berdiam di gu-
nung Merbabu?"
Gento tertawa. Tidak berselang lama begitu
tawanya terhenti enteng saja dia menjawab. "Guruku tinggal dimana saja.
Terkadang di gunung
Merbabu, kadang di gunung Semeru. Malah ter-
kadang di gubuk reyot, di kolong jembatan dan
bisa dimana saja dia suka."
"Luar biasa. Aku merasa senang bertemu
denganmu. Kau murid seorang tokoh besar dunia
persilatan. Mungkin aku bisa minta bantuan pa-
damu." ujar si kakek.
"Bantuan... bantuan apa?" tanya si pemu-da heran. "Lagipula apa yang kau katakan
tadi adalah sesuatu yang berlebihan. Guruku bukan
tokoh besar, badannya kuakui memang sangat
besar. Bagaimana kau bisa mengatakan guruku
yang otaknya sama seperti diriku manusia besar.
Ha ha ha."
"Tidak baik merendahkan guru sendiri,
Gento. Aku tidak ingin bertutur banyak tentang
jiwa satrianya. Nanti kau boleh tanya sendiri pada kakek itu. Yang jelas kau
Gento Guyon 19 Dewa Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus menolongku!"
"Orang geblek sepertiku bisa berbuat apa,
bisa memberi pertolongan apa kek?" tanya si pemuda. "Ha ha ha. Seorang pendekar
memang sela-lu berkata begitu. Bicara suka merendah. Tapi
aku percaya kau dapat melakukan sesuatu un-
tukku." berkata si kakek penuh semangat.
"Jika memang aku bisa membantumu, ten-
tu aku tidak keberatan. Katakan saja apa yang
harus kulakukan.!"
Di depannya orang tua yang bernama
Ageng Tirtomoyo diam sejenak. Sebentar kemu-
dian dia berkata. "Terus terang saat ini aku sedang menyusul muridku. Aku biasa
memanggil- nya Iblis Edan. Sedangkan namanya yang asli
adalah Rumbapati!"
"Rumbapati....!" seru si pemuda tersentak kaget. Melihat sikap Gento kening si
kakek berkerut tajam. "Gento, kulihat kau seperti terkejut.
Apakah kau mengenal muridku, atau pernah ber-
temu dengan dirinya?"
Gento gelengkan kepala.
"Bertemu aku belum pernah. Tapi nama itu
mengingatkan pada beberapa orang yang pernah
kujumpai. "sahut Gento terus terang.
"Siapa orang-orang yang kau maksudkan
itu?" tanya si kakek.
"Pertama adalah paman Karma Sudira! Se-
dangkan yang kedua adalah Setan Sableng!" Di depan sana Ageng Tirtomoyo tak
kuasa menutupi rasa kagetnya. "Karma Sudira, bekas adipati yang terpaksa mendekam di penjara
akibat ulah Suryo
Lagalapang?"
"Kau betul, kek."
"Orang yang kau sebutkan adalah orang
tua Rumbapati alias Iblis Edan. Eeh... Gento ba-
gaimana keadaan orang tua itu, dimana dia seka-
rang!" tanya si kakek dengan wajah cerah penuh
harapan. Dengan perasaan sedih dan suara perlahan
pula Gento menjawab. "Aku belum lama menge-
luarkannya dari penjara. Sayang seorang kakek
tua bernama Wisang Banto Oleng suruhan adipati
Suryo Lagalapang telah membunuhnya!"
"Ah... jahanam itu"!" seru si kakek kaget.
Mendadak tubuhnya terasa lemas mendengar
ucapan Gento. 4 Gento tentu menjadi heran mendengar
orang tua di depannya menyebut Wisang Banto
Oleng dengan kata 'jahanam'. Sehingga kehera-
nannya itu mendorong Gento untuk bertanya.
"Apakah kau mengenal orang yang kusebutkan
tadi kek?"
Dengan nafas tersengal dan wajah pucat
Ageng Tirtomoyo menyahut. "Aku bukan hanya
sekedar mengenalnya. Manusia keji itu belum la-
ma ini datang menyantroni tempat kediamanku.
Dia mencari Iblis Edan untuk dibunuhnya. Aku
tahu pasti Suryo Lagalapang yang memberinya
perintah begitu. Membunuh sekaligus menghabisi
dua anak Karma Sudira agar kelak tidak menim-
bulkan ancaman besar bagi kekuasaannya. Ma-
nusia culas, tak pernah kusangka Wisang Banto
Oleng telah membunuh Karma Sudira. Kasihan
sekali orang tua itu. Bertahun-tahun mengha-
biskan umur di tembok penjara. Begitu bebas be-
lum lagi bertemu dengan anaknya kini malah ter-
bunuh pula. Gento... bagaimana bisa kejadian
Karma Sudira terbunuh di tangan Wisang Banto
Oleng?" tanya si kakek.
"Saat itu kami, maksudku aku dan paman
Karma Sudira bermaksud mencari anaknya yang
dia yakin telah dibawa pergi oleh seorang tokoh
berkepandaian tinggi ketika bencana penyerbuan
Suryo Lagalapang yang dibantu oleh ratusan pe-
rajurit kerajaan terjadi. Tidak disangka selagi ka-mi dalam perjalanan muncul
kakek sesat itu. Aku
sempat dibuatnya kewalahan. Tapi kemudian aku
berhasil menghancurkan lengan kiri juga bagian
tulang rusuk sebelah kiri. Sayang sebelum itu dia sempat membunuh paman Karma
Sudira. Lebih celaka lagi setelah dapat kulukai dia berhasil me-loloskan diri!" kata Gento.
Untuk lebih jelasnya (baca episode Iblis Edan).
"Apa yang terjadi dengan Karma Sudira
sangat kusesalkan. Tapi Wisang Banto Oleng
akan memerlukan waktu lama untuk menyem-
buhkan cidera berat yang dialaminya."
"Aku tidak tahu, cuma aku berharap hen-
daknya orang seperti dia jangan berumur pan-
jang. Sekarang ini segalanya menjadi jelas. Aku
telah menemukan orang yang kucari yaitu mu-
ridmu Rumbapati."
"Tapi bocah itu sekarang entah berada di-
mana?" ujar si kakek.
"Sayang sekali. Padahal jika bertemu den-
gannya hari ini aku akan membawanya untuk
kupertemukan dengan adiknya."
"Adiknya" Memang kau telah bertemu den-
gan adik Rumbapati?" tanya si kakek. Sekilas Gento melihat bayangan kegembiraan
membias di wajah orang tua itu.
"Betul. Tapi mungkin pemuda itu tidak
memiliki nama, dia bergelar Setan Sableng!" jelas Gento. Ageng Tirtomoyo
mendadak keluarkan suara tawa bergelak.
"Orang tua adakah sesuatu yang kau ang-
gap lucu?"
"Ha ha ha. Tentu saja Gento. Waktu itu
menurut kabar yang kudengar adik Rumbapati
yang belum sempat diberi nama diselamatkan
oleh Ki Lurah Wanabaya. Orang yang sangat setia
pada Karma Sudira. Oleh Ki Lurah bocah itu diti-
tipkan pada salah seorang tokoh di selatan yang
dikenal dengan nama Mbah Setan. Rupanya tak
disangka kakek itu memberinya gelaran gila, Se-
tan Sableng. Sedangkan aku memberi gelar mu-
ridku Iblis Edan. Apa semua ini tidak kebetulan
namanya"!"
Gento manggut-manggut. Tidak lama ke-
mudian pemuda ini ikut pula tertawa. "Kek, jika Mbah Setan memberi gelar
muridnya Setan Sableng, lalu kau sendiri memberikan julukan pada
muridmu Iblis Edan. Aku jadi curiga jangan-
jangan kau dan Mbah Setan memang manusia gi-
la sungguhan. Ha ha ha." kata si pemuda disertai tawa tergelak-gelak.
Wajah si kakek bersemu merah. Walaupun
begitu dia masih saja tertawa. Sejurus kemudian
begitu suara tawanya lenyap si kakek berucap.
"Gila benar sih tidak cuma miring sedikit. Ha ha ha." "Ya, kurasa otakmu memang
miring." Beberapa saat lamanya kedua orang ini ti-
dak ubahnya seperti sahabat lama sama-sama
tertawa terpingkal-pingkal. Namun si kakek ke-
mudian hentikan tawanya, diam sejenak baru be-
rucap. "Gento... aku percaya dengan kemampuan serta kesaktian yang kau miliki.
Kebetulan sekali kau memang sedang mencari muridku. Jadi aku
tidak usah repot mencari muridku yang gen-
tayangan itu. Tolong kau temukan dia, jika sudah
bertemu pertemukan dia dengan saudaranya."
"Engkau sendiri hendak kemana, orang
tua?" tanya si pemuda.
"Aku... ha ha ha. Setelah Wisang Banto
Oleng menderita cidera, rasanya aku tidak lagi
terlalu merisaukan keselamatan muridku Si Iblis
Edan. Dia sudah dewasa, tentu sanggup mengu-
rus dirinya. Hanya kumohon padamu, bantu dia
membalaskan dendam kesumat, sakit hati ayah-
nya terhadap Suryo Lagalapang. Kejahatan ma-
nusia yang satu itu selangit tembus. Tak akan te-
rampuni walau dia dibunuh seratus kalipun."
"Kek, apakah kau berharap salah satu dari
anak paman Karma Sudira dapat menduduki ja-
batan sebagai adipati seandainya Suryo Lagala-
pang dapat kami singkirkan?" tanya Gento.
Si kakek tertawa bergelak. "Aku tidak per-
nah mengharapkan muridku atau adik muridku
itu menjadi adipati. Bagaimana mereka bisa me-
mimpin wong mereka sendiri manusia sableng
begitu. Seumur hidup aku cuma berharap agar
mereka dapat menemukan kehidupan yang tidak
menyimpang dari apa yang telah ditentukan oleh
Gusti Allah. Berguna bagi sesamanya dan men-
jauhi apa yang telah dilarang Tuhan." ujar si kakek. Kemudian dia melanjutkan.
"Kepadamu me-
reka kutitipkan. Aku percaya sepenuhnya."
"Lebih baik kau tak usah terlalu memper-
cayaiku kek. Karena aku sendiri mungkin tidak
jauh berbeda dengan mereka."
"Aku percaya kau memang agak sinting.
Namun kau punya banyak pengalaman bila di-
bandingkan dengan Iblis Edan atau adiknya Se-
tan Sableng. Jadi kuharap kau yang sudah ber-
pengalaman menjadi orang gila bisa mengatur
mereka supaya... bisa...!"
Gento Guyon cepat memotong. "Supaya bi-
sa menjadi gila sungguhan, begitu kan kek" Ha
ha ha." "Bocah edan. Kau memang sangat keterla-luan. Awas, jika nanti setelah
mereka bertemu denganmu berubah jadi tidak waras ke ujung du-
nia pun aku akan mengejarmu!"
"Ancamanmu tidak berlaku bagiku, kek.
Kau harus percaya aku bukan seorang penunjuk
jalan yang baik" ucap Gento.
Ageng Tirtomoyo diam tak menanggapi. Dia
kemudian memutar tubuh, sambil berputar mu-
lutnya komat-kamit. Setelah itu tangannya diang-
kat ke udara. Tangan diputar, kemudian tubuh-
nya juga ikut berputar. Tiba-tiba dia melesat ke
atas. Wuuuus! Sosok Ageng Tirtomoyo mendadak raib dari
pandangan mata si pemuda, berganti dengan ka-
but putih tipis membentuk sosok bayangan ma-
nusia. Walau tadinya pemuda ini sudah melihat
kabut yang sama, namun tetap saja si pemuda
jadi heran. "Banyak ilmu melenyapkan diri yang dimiliki tokoh-tokoh sakti di
tanah Jawa ini. Tapi yang satu ini sama sekali lain. Kakek itu memang
bisa menghilang, tapi sosoknya masih tetap terli-
hat dalam bentuk lain, seperti angin saja. Bagai-
mana jika dia masuk ke dalam perutku" Tentu
tubuhnya berubah menjadi.... ha ha ha!" Gento tidak lanjutkan ucapannya tapi
malah tertawa tergelak-gelak.
Masih dengan tertawa Gento memandang
ke depan dimana asap berupa kabut tipis penjel-
maan si kakek tadi menggantung. Tapi ternyata
kabut tadi lenyap, hilang bagaikan angin.
"Kakek itu pergi tanpa permisi. Kemana
aku harus mencari Iblis Edan" Waktuku sangat
sempit sekali. Aku yakin saat ini Setan Sableng
sudah dalam perjalanan menuju ke selatan kadi-
paten. Pemuda itu sulit diduga. Jika besok aku
belum tiba di selatan kadipaten, aku khawatir Se-
tan Sableng berlaku nekad melakukan penyer-
buan sendiri ke gedung adipati." kata si pemuda seorang diri. "Sebaiknya kususul
saja Setan Sableng. Mudah-mudahan dalam perjalanan aku bisa
bertemu dengan Iblis Edan."
Tak lama setelah mengambil keputusan
seperti itu Gento Guyon segera berkelebat pergi.
Tak lama setelah kepergian si pemuda, dari
balik sebuah gundukan batu besar satu sosok tu-
buh yang mendekam disitu sejak tadi keluar dari
tempat persembunyiannya. Sosok berpakaian
serba putih yang ternyata adalah Mutiara Pelangi
menarik nafas lega.
"Sekarang segalanya menjadi semakin ber-
tambah jelas. Iblis Edan ternyata memang anak
paman adik ibuku. Pemuda gondrong yang ber-
nama Gento tadi mengaku dia telah bertemu den-
gan Setan Sableng. Ini berarti tak lama lagi Iblis Edan alias Rumbapati segera
bertemu dengan adik kandungnya. Gento... Gento. Sudah sering
kudengar nama besar Pendekar Sakti 71 Gento
Guyon, tapi aku tak pernah menyangka orangnya
segagah dan tampan seperti itu. Kurasa lebih baik aku membayangi pemuda itu. Dia
mengatakan hendak menemui Setan Sableng di selatan ger-
bang kadipaten. Aku tahu jalan memotong ke
tempat itu. Setan Sableng pasti masih mengenali
diriku karena beberapa hari yang lalu dia pernah
menolong dan berusaha membebaskan aku dari
serangan dua pentolan adipati yaitu Nafas Pene-
bar Maut dan Si Samber Nyawa!" batin sang dara.
Tapi gadis itu sejenak menjadi bimbang. Semula
dia berusaha menyusul Iblis Edan yang sedang
mengejar Dewa Sinting. Ketika dia tersesat di
tempat itu, si gadis kehilangan jejak, sebaliknya secara tidak terduga malah
melihat Pendekar
Sakti 71 Gento Guyon. Pemuda tampan yang ke-
hadirannya menimbulkan kegegeran dimana-
mana dan mulai diperhitungkan oleh berbagai ka-
langan dunia persilatan itu. Tapi sejenak kemu-
dian Mutiara Pelangi coba menepis segala kebim-
bangan di hatinya. Hingga tanpa fikir panjang lagi dia tetap memutuskan untuk
Gento Guyon 19 Dewa Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyusul Gento.
"Dewa Sinting bermaksud mengangkat Iblis
Edan menjadi muridnya. Mustahil dia tega mem-
buat pemuda itu celaka!" fikir si gadis.
5 Sejak Wisang Banto Oleng menempatkan
bocah asuhannya yang biasa dipanggil 'anak' oleh
orang tua itu di gedung Kadipaten, adipati Suryo
Lagalapang paling tidak merasa tenteram. Dia ya-
kin empat bocah yang sejak kecil dididik seperti
serigala yang berjaga-jaga di luar gedung sanggup mengatasi segala bentuk
kejadian yang tidak diinginkan. Sementara adipati sendiri merasa aman
berada di kamarnya karena di depan pintu dijaga
oleh seorang bocah seganas binatang buas. Yang
lebih menyenangkan lagi selain bocah itu di atas
atap juga ditempatkan beberapa penjaga bersen-
jata lengkap. Kini setelah terjaga dari tidurnya Suryo La-
galapang duduk diatas kursi empuk berlapiskan
kulit harimau. Orang tua berusia lima puluhan
yang selalu berbelangkon warna cokelat dengan
warna pakaian sama dan berambut kelimis licin
berkilat ini nampak termenung.
Sekilas dia memandang ke arah pintu. Dis-
ana dia mendengar suara erang tak berkeputusan
yang keluar dari mulut si bocah serigala. Suara
erang terkadang diseling dengan suara berkeroko-
tan seperti daging alot yang dicabik binatang
buas. Memang seperti yang dianjurkan oleh kakek
Wisang Banto Oleng, adipati menyuruh anak
buahnya menyediakan daging dan darah segar
untuk bocah serigala itu, termasuk juga untuk
empat yang berjaga-jaga diluar gedung. Selama
dua hari sejak ditinggalkan Wisang Banto Oleng,
kelima bocah serigala telah menghabiskan sedi-
kitnya sepuluh ekor kambing.
Sungguhpun Suryo Lagalapang merasa
aman dengan kehadiran kelima bocah serigala ini,
namun pada sisi lain dia juga merasa tidak betah
berada di dalam kamarnya sendiri lebih lama. Be-
tapa tidak" Hampir setiap saat dia mencium bau
amisnya darah dan daging bercampur bau koto-
ran bocah itu sendiri. Hingga membuat perut
sang adipati merasa mual, kepala pusing dan
maunya muntah terus.
"Sial betul. Aku ini tinggal di rumah sendi-
ri, tapi tidak ubahnya tinggal di kandang bina-
tang. Bocah berprilaku seperti serigala itu enak
makan enak tidur di luar sana, tapi aku malah
sebaliknya. Kalau begini terus menerus aku bisa
menjadi gila, atau bisa jadi mati kelaparan" Suryo Lagalapang merutuk dalam
hati. Dia tiba-tiba saja jadi ingat pada kakek Wisang Banto Oleng. Orang
tua sakti yang telah diangkat dan diupah menjadi
pelindungnya. Entah mengapa begitu ingat orang
yang satu ini perasaannya menjadi tidak enak.
"Wajalangke dan dua kakek itu sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana nasibnya.
Menak San-gaji yang kupercaya untuk membunuh Rumbapa-
ti dan adiknya juga belum kembali. Mengapa se-
gala urusanku menjadi tidak beres begini" Ha-
rusnya Wajalangke, Nafas Penebar Maut dan
Samber Nyawa sudah kembali membawa Mutiara
Pelangi. Jarak tempat tinggal si gadis dengan ka-
dipaten ini tidak begitu jauh. Mengapa lama be-
nar?" Suryo Lagalapang mengeluh. "Ada yang tidak beres. Mungkinkah Pendekar yang
telah mencidrai pelindungku menghadang mereka di
tengah jalan?"
Berbagai perasaan dan dugaan berkeca-
muk dalam hati sang adipati membuat laki-laki
itu makin tidak tenang. Satu hal yang sangat dia
khawatirkan bagaimana andainya nanti Wisang
Banto Oleng menagih janji" Adipati telah membe-
rikan kesanggupan pada orang tua itu untuk
menghadiahkan Mutiara Pelangi pada si kakek.
"Jahanam. Mengapa sekarang aku berubah
menjadi seorang pengecut" Padahal ilmu kesak-
tian yang kumiliki tidak rendah. Malah aku punya
beberapa jenis ilmu pukulan yang hebat" Mung-
kin aku harus turun tangan untuk menangkap
gadis itu. Tapi bagaimana jika musuhku datang
menyerang kemari. Para penjaga tidak dapat
kuandalkan sepenuhnya. Mereka bisa saja masuk
ke gedung megah ini dan menguasainya!" fikir adipati. Dalam keadaan fikiran
kalut dimana keselamatan terancam seseorang bisa saja merisau-
kan segala apa yang telah diraihnya, termasuk
juga harta benda juga kedudukan. Rupanya de-
mikian pula halnya yang terjadi pada diri adipati saat itu.
Selagi perasaan adipati Suryo Lagalapang
dicekam berbagai perasaan yang membuat ha-
tinya diliputi kegelisahan, pada saat itu sayup-
sayup dia mendengar suara derap langkah kuda
yang bergerak cepat menuju gedung kadipaten.
"Jahanam! Siapa lagi yang datang kemari.
Apa mungkin Wajalangke pulang bersama dua
kakek yang menjadi pembantunya?" batin Suryo Lagalapang dalam hati. Tapi setelah
mendengarkan suara kuda itu lebih seksama orang tua itu
merasa yakin suara langkah kuda yang terdengar
jelas bukan kuda yang menjadi tunggangan Waja-
langke maupun dua kakek yang menjadi pemban-
tunya. "Bukan Wajalangke, lalu siapa?" gumam Suryo Lagalapang. Laksana kilat
orang tua itu bangkit berdiri, kemudian dia berseru ditujukan
pada bocah serigala yang berjaga di depan pintu
kamarnya. "Anak, kau lihatlah keluar sana, bantu empat temanmu. Jika yang datang
hanya bermaksud membuat kekacauan di sini bunuh saja!"
perintah Suryo Lagalapang.
Dari depan pintu terdengar suara menge-
rang disertai dengan suara lolong panjang seperti serigala. Kemudian dari luar
gedung kadipaten
juga terdengar suara lolong yang sama empat kali
berturut-turut.
Bocah serigala menggerung panjang, lalu
berkelebat keluar tinggalkan adipati yang harus
dijaganya. Sementara diluar sana belasan penjaga
yang dipimpin oleh seorang laki-laki berbadan
tinggi besar bernama Halimun telah mengurung
seorang pemuda berpakaian putih yang datang
bersama dengan empat kuda kurus tunggangan-
nya. Pemuda yang semula menelentang diatas ke
empat kuda kini duduk di salah satu punggung
kuda yang menjadi tunggangannya.
Sekejap dia memperhatikan para penjaga
yang kini jumlahnya semakin bertambah banyak
saja. "Pemuda penunggang kuda, siapa dirimu.
Berani mati kau datang ke tempat ini?" hardik kepala penjaga dengan suara
lantang. Si pemuda yang bukan lain Setan Sableng
adanya pura-pura unjukkan rasa kaget.
"Eeh.... aku ingin bertemu dengan adipati.
Apakah kalian semua adipati Purbolinggo" Men-
gapa banyak amat?"
"Kami bukan adipati. Aku kepala penjaga
disini. Harap kau suka memperkenalkan nama,
katakan apa yang menjadi tujuan setelah itu ce-
pat menyingkir jika tidak mau mendapat kesuli-
tan!" "Ha ha ha. Hanya kepala penjaga tapi ga-laknya seperti seorang raja saja.
Kalau kau penja-ga, aku yang buruk ingin memperkenalkan diri.
Aku ini setan.... Setan Sableng. Ha ha ha!" ujar si pemuda lalu tertawa.
Menyangka orang memper-mainkan dirinya, kepala penjaga yang bernama
Halimun menjadi sangat marah sekali. "Pemuda
kurang ajar, kami bukan orang yang bisa kau
ajak bersenda gurau. Tidak usah banyak bicara
apa tujuanmu datang kemari?"
"Aku ini anak adipati, wajar saja kalau se-
karang ingin bertemu dengan bapak adipati. Jika
kalian cuma merasa menjadi anjing piaraan adi-
pati sebaiknya kalian panggil adipati, atau bawa
aku agar dapat bertemu dengannya.!"
"Penjaga kepala, mengapa melayani pemu-
da sableng ini. Lebih baik kita seret saja dia keluar dari halaman gedung!" kata
salah seorang penjaga yang berbadan tegak berkepala botak di
sebelah kanan Halimun. Kemudian ada suara lain
menimpali. "Segala orang gila buat apa kita beri hati" Mari kita seret dia
beramai-ramai."
Kepala penjaga tidak mengangguk juga ti-
dak mencegah. Lima orang penjaga berbadan pal-
ing tegap berlompatan mendekati Setan Sableng.
Lima pasang tangan berkelebat menyambar. Dia
diantaranya mencekal tangan Setan Sableng ka-
nan kiri, lainnya lagi menyergap bagian kaki se-
dangkan yang satunya meringkus bagian badan.
"Setan alas, orang hendak bertamu kok
malah mau dilemparkan keluar halaman, sopan
betul!" dengus Setan Sableng menyindir. Selanjutnya selesai berkata begitu apa
yang kemudian terjadi sungguh berada diluar perhitungan semua
orang. Hanya sesaat saja sepuluh tangan me-
nyentuh Setan Sableng. Pemuda ini lakukan ge-
rakan demikian rupa. Tangan kiri bertumpu pada
punggung kuda, setelah itu sambil menggerakkan
kakinya tubuh pemuda ini melesat di udara.
Wut... wuut... wuuut.... wuuuut.... wuuuut!
Kelima penjaga menjerit ketika mendapati
tubuh mereka tersentak lalu melayang di udara.
Dilain kejab kelima penjaga berbadan tegak su-
dah jatuh bergedebukan, terkapar diluar tembok
pengaman gedung.
Kelima penjaga menjerit ketika mendapati
tubuh mereka tersentak lalu melayang di udara.
Dilain kejab kelima penjaga berbadan tegak su-
dah jatuh bergedebukan, terkapar diluar tembok
pengaman gedung.
Halimun tentu saja dibuat kaget besar. Dia
tadi hanya sempat melihat si gondrong berpa-
kaian putih melentingkan tubuhnya di udara, se-
telah itu berjumpalitan beberapa kali kemudian
meluncur ke bawah. Bagaimana mungkin si pe-
muda yang kini telah duduk di tempatnya semula
mampu membuat lima penjaga berpentalan ke-
luar tembok gedung.
Selagi Halimun masih dicekam rasa kaget
demikian rupa, di depan sana Setan Sableng ter-
tawa tergelak-gelak.
"Penjaga kadipaten rupanya orang-orang
yang lucu. Katanya mau melemparkan diriku, ti-
dak tahunya malah mereka sendiri melemparkan
diri keluar!" kata Setan Sableng.
Lima penjaga yang tadi terlempar keluar
tembok kini bangkit berdiri. Hampir dalam waktu
bersamaan mereka berlompatan kembali ke ha-
laman. Begitu jejakkan kaki salah seorang dianta-
ranya berseru. "Kepala penjaga. Pemuda itu tidak bisa dianggap remeh. Ilmunya
tinggi, pasti dia da-
tang dengan membekal maksud jahat!"
"Manusia tolol, kalau sudah tahu mengapa
pada bengong begitu. Ringkus dia!" seru Halimun.
Lima pengawal yang sempat dibuat malu
oleh Setan Sableng serentak mencabut pedang
yang tergantung di pinggang masing-masing.
Tanpa ada yang mengkomando kelimanya melesat
ke arah Setan Sableng sambil babatkan senjata
ke arah pemuda itu.
"Kurang ajar! Kalau begini empat kuda ku-
rusku bisa jadi bangkai tak berguna. Empat kuda
kurus sekaranglah saatnya bertindak!" berkata begitu Setan Sableng tepuk salah
satu pinggul kuda. Satu ditepuk bagian pinggulnya, tiga te-
mannya keluarkan suara ringkikan keras. Empat
kuda serentak menghambur berpencar menerjang
belasan pengawal yang mengurung Setan Sab-
leng. Sementara pemuda itu sendiri yang kini su-
dah melompat diudara hindari tusukan dan sabe-
tan senjata lawan, selagi diudara lakukan gerakan berputar. Dan kini posisinya
berada di belakang
lima pengawal yang mengeroyoknya.
Lima pedang yang tidak mengenai sasaran
beradu keras di udara, mengeluarkan suara beri-
sik disertai pijaran bunga api.
Sadar lawan lolos dari serangan kelima
pengawal berbadan tegap kini berbalik. Tapi keli-
manya keluarkan seruan kaget.
"Kurang ajar, apa yang telah dilakukannya
pada kita?" salah seorang diantara mereka berseru panik begitu menyadari
tubuhnya tak dapat
digerakkan dalam keadaan kaku tertotok.
Di sudut lain masih di tempat yang sama
empat kuda yang sudah sangat terlatih menga-
muk membabi buta. Kaki depan kuda-kuda itu
menendang kian kemari. Beberapa penjaga ber-
pentalan dengan dada remuk atau tangan patah
terkena tendangan ataupun diinjak kuda. Semua
apa yang terjadi tentu membuat Halimun menjadi
sangat marah. Dia lalu mencabut sepasang pe-
dangnya yang tergantung dibagian punggung.
Sambil membentak keras sosok kepala penjaga ini
berkelebat ke arah Setan Sableng yang saat itu
enak-enakan rebah menelentang diatas kepala sa-
lah satu penjaga yang ditotoknya.
"Pemuda keparat! Kau mengira dengan il-
Gento Guyon 19 Dewa Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mu yang kau miliki dapat bersikap seenaknya dis-
ini!" hardik Halimun. Dan pedang kembar ditangannya pun berkelebat menghantam di
dua ba- gian tubuh Setan Sableng. Satu mata pedang
menghantam leher, satunya lagi menebas ke ba-
gian perut. Karena kepala penjaga bukan saja hanya
mengandalkan tenaga kasar, namun juga menge-
rahkan tenaga dalam dikedua senjatanya. Maka
serangan dua pedang itu berlangsung cepat ba-
gaikan kilat menyambar. Masih dengan terkekeh-
kekeh Setan Sableng berkata. "Bukannya aku tak mengenal peradatan. Bukan aku tak
kenal atu-ran. Akibat terlalu banyak mendengar petuah
Mbah Setan, diri ini jadi edan. Hei.... kepala penjaga kau berlaku nekad. Tapi
mengapa kau bu-
nuh temanmu sendiri"!" berkata begitu laksana kilat Setan Sableng gulingkan
tubuhnya ke ba-
wah. Gerakan yang dilakukannya ini berlangsung
singkat, hanya beberapa kejaban saja senjata la-
wan membabat putus dua bagian tubuhnya. Kini
begitu Setan Sableng gelindingkan diri, maka Ha-
limun tidak dapat lagi menahan laju pedangnya.
Tak terelakkan lagi pengawal yang tadi ke-
palanya dijadikan tempat ketiduran Setan Sab-
leng menjerit. Bahunya kanan kiri terbelah, darah menyembur dari luka yang
mengerikan. Dalam
keadaan tubuh nyaris terbelah menjadi tiga ba-
gian pengawal naas itu roboh. Halimun tercen-
gang, mata mendelik sedangkan tubuh menggigil
saking tak percaya dengan apa yang terjadi.
Tak jauh disampingnya empat pengawal
yang masih dalam keadaan tertotok hanya dapat
belalakkan mata, celana mereka di bagian bawah
menjadi basah. Agaknya mereka didera rasa takut
yang sangat sambil membayangkan seandainya
lawan kembali rebah di atas tubuh mereka pasti
nasib yang sama terjadi pada diri mereka. Para
pengawal penjaga ini tahu persis bagaimana wa-
tak pimpinan mereka. Bila sudah kalap biasanya
dia akan menyerang secara membabi buta tanpa
mempertimbangkan keselamatan kawan sendiri.
6 Rasa kaget Halimun hanya berlangsung
beberapa kejaban saja. Begitu dia sadar, laki-laki ini segera berpaling ke arah
si pemuda dan memandang tajam penuh kebencian. Halimun men-
geram. "Setan Sableng.... akibat ulahmu aku ke-terlepasan tangan sampai kubunuh
temanku sendiri. Aku tidak akan puas sebelum dapat
membelah tubuhmu!"
Di depannya sejauh tiga tombak Setan
Sableng tertawa sambil mendengus. "Aku muak
melihat tampangmu kepala penjaga. Yang kuin-
ginkan bertemu dengan Adipati, bukan dengan-
mu! Sekarang kau majulah, kau boleh memilih
bagian tubuhku yang sebelah mana hendak kau
jadikan sasaran!"
"Manusia sombong, lihat pedangku!" teriak kepala penjaga. Serentak dengan
teriakannya Halimun melompat ke depan, pedang ditangan ka-
nan membabat dari arah dada ke perut. Sedang-
kan pedang ditangan kiri menghantam dari ba-
gian wajah ke leher. Satu serangan cepat yang ti-
dak mungkin dapat dihindari oleh seorang pesilat
biasa. Namun Setan Sableng yang gerakannya
grubak-grubuk seperti orang mabuk secara tak
terduga jatuhkan diri, dua babatan pedang luput
sedangkan dua kakinya dengan gerakan oleng
menderu menghantam siku lawannya.
Braak! Kraak! Hantaman yang sangat keras membuat
persendian kedua siku Halimun patah hingga la-
ki-laki itu menjerit kesakitan. Dua lengan tergon-
tai gondal-gandil, dua pedang dalam genggaman
terlepas mental dan jatuh menancap di halaman.
Tak kuasa menahan derita sakit yang amat
hebat, Halimun roboh dan terkapar pingsan. Se-
tan Sableng tersenyum. "Orang aneh, habis berkelahi kok langsung tidur."
Sejenak pemuda ini duduk di atas tubuh
kepala penjaga sambil berkipas dengan tangan-
nya. Di depan sana empat kudanya terus menga-
muk membabi buta. Puluhan pengawal gedung
bergeletakan dengan tubuh berlumuran darah te-
rinjak ataupun karena kena ditendang empat ku-
da kurus milik Setan Sableng. Sisanya yang cuma
tinggal beberapa orang lagi nampaknya juga tak
dapat bertahan lama.
Di tempat duduknya Setan Sableng berte-
riak. "Empat kuda kurus, kudaku yang sangat
berguna, habisi mereka! Ha ha ha."
Empat kuda sama keluarkan suara ringki-
kan keras. Dengan kecepatan luar biasa mereka
menerjang ke arah para penjaga yang menyerang
kuda-kuda itu dengan pedang di tangannya.
Seakan mengerti kuda-kuda yang sudah
sangat terlatih itu dapat menghindari setiap se-
rangan yang datang. Malah kemudian serangan
balik yang dilakukan empat kuda kurus itu mem-
buat para penjaga berpelantingan roboh disertai
jeritan kesakitan.
Plok! Plok! Plok!
Setan Sableng bertepuk tangan sambil
memuji. "Kuda bagus. Kalian semua pantas mendapat bingkisan. Satu kendi tuak
didalam kan- tong perbekalan boleh kalian minum, tapi harap
mengambil sendiri. Ha ha ha!" ujar pemuda itu disertai tawa tergelak-gelak.
Belum lagi lenyap suara tawa Setan Sab-
leng, mendadak sontak terdengar suara bentakan
disertai perintah. "Pemuda jahanam, berani mencidrai para pengawalku berarti
sudah siap untuk
mati!" teriak satu suara. Baru saja Setan Sableng palingkan wajah memandang ke
arah datangnya suara, orang tua berbelangkon yang dilihat Setan
Sableng berdiri dianak tangga gedung berseru.
"Anak-anak, bunuh bocah edan gondrong itu!!"
"Orang tua, kaukah orangnya yang berna-
ma Suryo Lagalapang?" tanya si pemuda itu sambil bangkit berdiri.
Laki-laki tertawa. Bersamaan dengan ter-
dengarnya suara tawanya dari arah belakangnya
melompat satu sosok tubuh ke arah Setan Sab-
leng. Si pemuda jadi tercekat begitu melihat seo-
rang bocah hanya mengenakan pakaian seadanya
tahu-tahu sudah menyerang dengan mempergu-
nakan kuku-kuku jemarinya yang panjang dan
runcing. Wuut! Setan Sableng berkelit menghindar, dalam
kagetnya dia berseru. "Bocah ingusan. Berani ma-ti kau menyerangku!" hardik
Setan Sableng. Sosok bocah menyeringai memperlihatkan dua ta-
ringnya yang mencuat tajam. Kemudian terdengar
suara lolongan panjang.
"Gila. Bagaimana ada bocah bisa memiliki
tingkah laku seperti serigala begini?" batin si pe-
muda. Suara lolongan bocah yang berdiri tegak
dengan wajah beringas didepannya itu disambut
dengan suara lolong lainnya. Dari empat penjuru
sudut halaman dari balik gerumbul tanaman
bunga empat bayangan lain berkelebat menyerang
Setan Sableng dari empat arah sekaligus. Menda-
pat serangan ganas dari empat bocah, apalagi bo-
cah kelima yang tadinya berdiri di depan si pe-
muda kini ikut menyerang, Setan Sableng cepat
lakukan sesuatu. Mendadak Setan Sableng me-
lompat ke udara, begitu tubuhnya mengambang
dua tombak di atas tanah dia dorongkan dua tan-
gannya ke arah lima bocah yang berada dibawah-
nya. Wuus! Wuuus!
Susul menyusul dua gelombang angin ber-
gulung menyambar kelima bocah serigala. Mera-
sakan ada sambaran angin menyerang dari atas,
bukannya surut kelima bocah serentak gerakkan
kakinya menjejak angin. Secara aneh kelima bo-
cah ini kemudian melesat pula ke atas mengejar
lawan. Lima pasang tangan menyambar kaki
bahkan ada pula yang membabat pinggang. Di
bawah mereka terdengar suara ledakan akibat
pukulan Setan Sableng hanya mengenai tempat
kosong. Sebaliknya tak menyangka kelima bocah
itu dapat melakukan gerakan pengejaran sedemi-
kian rupa, Setan Sableng jadi tercekat. Kalang
kabut kakinya dijejakkan pada bahu salah satu
bocah serigala. Bocah yang dijadikan pijakan ja-
tuh terhenyak dengan mata mendelik liar mulut
mengerang. Empat temannya nampak sangat gusar se-
kali. Delapan tangan berkuku panjang menyam-
bar ganas. Breet! Breet! "Walah biyung, kakiku kena dikelupasnya,
celanaku robek. Sekarang aku tak dapat lagi me-
nahan kesabaranku biyung, aku jadi marah bi-
yung!" teriak Setan Sableng. Sedangkan kakinya yang kena sambaran kuku lawannya
diogel-ogelkan!
Sambil menyeringai kesakitan, setelah la-
kukan gerakan jungkir balik beberapa kali dia ja-
tuh punggung ditanah. Belum lagi Setan Sableng
sempat berdiri tegak. Bocah serigala yang tadi jatuh terduduk kini telah
menerkamnya. Gerakan
bocah itu demikian cepat. Sepuluh kuku tangan
membeset perut dan dada, sedangkan mulutnya
siap menghunjam ke bagian leher pemuda itu.
Kembali Setan Sableng dalam kagetnya
berseru. "Walah Biyung! Bocah ini hendak menci-umku. Aku tidak mau, masih bagus
lagi aku di- cium perempuan cantik biyung!"
Lalu tanpa menghiraukan luka akibat ca-
karan dibagian kakinya dengan bertumpu pada
punggung, tubuhnya berputar, kaki dan tangan
menghantam ke atas dan ke samping.
Dess! Bocah serigala itu terpental, lalu jatuh ter-
pelanting terkena tendangan Setan Sableng. Se-
perti pertama tadi begitu melihat kawannya di-
hantam oleh lawan, ke empat bocah yang tadi
menyerang di udara dan kini telah jejakkan ka-
kinya ke tanah keluarkan suara lolongan panjang.
Empat bocah serigala merobah jurus se-
rangannya. Sekarang mereka berputar mengu-
rung Setan Sableng. Si pemuda gelengkan kepa-
lanya. "Apa yang hendak dilakukan oleh bocah serigala ini"!" batin Setan
Sableng. "Mungkin mereka hendak mengajakmu bermain, bukan berke-
lahi sebagaimana yang diperintahkan orang tua
berbelangkon itu!"
Dugaan Setan Sableng meleset. Karena
hanya beberapa saat setelah itu, bocah serigala
yang kena tendangan Setan Sableng sudah ber-
gabung dengan empat temannya. Lima bocah se-
rigala sama dongakkan kepala ke atas, lalu secara bersamaan pula terdengar suara
lolongan berisik.
Lima bocah serentak berputar mengelilingi si pe-
muda. Makin lama gerakan mereka semakin ber-
tambah cepat. Setan Sableng dibuat bingung. Dia
gelengkan kepala untuk mengusir rasa sakit di
matanya. Selagi Setan Sableng kerahkan tenaga
dalam kebagian tangannya. Pada waktu bersa-
maan diawali dengan terdengarnya suara pekik
kelima bocah serigala, lima sosok si bocah telah
berkelebat melakukan serangan beruntun.
Setan Sableng melihat berkelebatnya lima
bayangan tubuh segera menghantamkan tangan-
nya sambil berputar lima kali berturut-turut.
Breet! Bret! Breet!
Buuk! Buuuuk! Terdengar suara robeknya kulit dan pa-
kaian. Dari kalangan perkelahian dua sosok tu-
buh terpental terkena jotosan Setan Sableng. Tiga lainnya terus menyerang. Setan
Sableng melompat menjauhi ke tiga bocah Serigala yang ternyata mampu
menyelamatkan diri dari pukulan si pemuda. Tiga bocah serigala itu kemudian ikut
pula mundur. Dua temannya masih terkapar dengan
mulut dan hidung menyembur darah. Di depan
sana Setan Sableng wajahnya mendadak berubah
pucat begitu melihat pakaian di bagian perut dan
dada terkuak lebar koyak kena sambaran kuku
bocah-bocah serigala. Bukan hanya itu saja, dari
bagian dada dan perut mengalir cairan hangat.
Setan Sableng belum bisa menduga yang mengalir
di perutnya itu. Kemudian pakaian apa yang ro-
bek di bagian dada dan perut disingkap-kan.
"Ah...!" Setan Sableng mengeluh tertahan.
Ternyata dada dan perutnya terkena goresan ku-
ku hingga terluka memanjang. Walau tidak terlalu
parah, tapi semua itu sudah membuka mata si
pemuda bahwa lima, bocah serigala ini tak dapat
dianggap remeh.
Dua bocah serigala dengan tertatih-tatih
mencoba bangkit berdiri. Seakan tidak menghi-
raukan luka dalam yang diderita kini keduanya
bergabung kembali dengan tiga temannya.
"Bocah ini pasti diperalat oleh seseorang.
Rasanya tidak tega aku membunuh mereka. Tapi
Gento Guyon 19 Dewa Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jika aku tidak bertindak secepatnya, tidak tertu-
tup kemungkinan aku berangkat ke akherat du-
luan!" Setan Sableng mendekap perutnya. Luka memanjang akibat cakaran bocah
Naga Sasra Dan Sabuk Inten 6 Pendekar Binal Karya Khu Lung Peristiwa Burung Kenari 2