Pencarian

Dewa Sinting 2

Gento Guyon 19 Dewa Sinting Bagian 2


serigala kini te-
rasa panas luar biasa. "Agaknya aku harus mabuk dulu!" batin Setan Sableng.
Setelah memutuskan begitu, Setan Sableng melesat ke arah sa-
lah satu kudanya. Dia mengambil sebuah kendi
tuak. Sebagian isi kendi langsung ditumpahkan
kebagian luka. Begitu cairan tuak mengguyur lu-
ka terdengar suara desis aneh seperti besi panas
dicelupkan dalam air. Dari luka asap putih kebi-
ruan mengepul. Beberapa saat kemudian rasa sa-
kit lenyap. Setan Sableng angkat kendi tuaknya
ke atas lalu terdengar suara bercelegukan.
"Anak-anak, bunuh pemuda sableng itu!"
teriak laki-laki berbelangkon yang bukan lain
adalah Suryo Lagalapang adipati Purbolinggo.
Lima bocah serentak berlompatan, tiga di-
antaranya menyerang dari arah bawah sedangkan
yang dua lagi menyerang dari atas. Walaupun se-
rangan kelima bocah serigala ini berlangsung
sangat cepat dan selalu mengincar sasaran pada
bagian yang paling berbahaya. Namun dengan ge-
rakan terhuyung Setan Sableng berhasil meng-
hindarinya. Malah kini walaupun dia nampak ter-
desak namun mulai melakukan gebrakan laku-
kan serangan balasan dengan semburan tuaknya.
Akibatnya sungguh luar biasa, benda apa saja
yang kena dihantam semburan tuak hangus ter-
bakar. Batu-batu besar penghias taman halaman
juga berlubang terkena semburan tuak.
"Bocah-bocah buas. Aku tidak punya darah
untuk kalian minum, bagaimana jika kalian mulai
membiasakan diri minum tuak. Tuakku bisa
membuat kalian mabok asyiiik. Ha ha ha!"
Dengan langkah terhuyung tak karuan Se-
tan Sableng tertawa, sambil tertawa dia teguk
tuaknya lalu menyembur setiap lawan yang me-
nyerangnya. Melihat dahsyatnya akibat yang di-
timbulkan dari semburan tuak membuat kelima
bocah serigala ini tidak lagi dapat bergerak dan menyerang secara leluasa.
7 Adipati Suryo Lagalapang terkejut melihat
kelima bocah serigala yang diandalkannya kini
nampak mulai terdesak hebat. Di bawah undakan
anak tangga gedung kediamannya orang tua itu
bicara seorang diri. "Bocah serigala tak bisa ku-harapkan. Pemuda itu dengan
tuaknya semakin
tangguh. Siapa dia" Aku hanya bisa memastikan
dia mungkin salah satu dari anak Karma Sudira.
Hh.... Wisang Banto Oleng terlalu lambat dalam
menyelesaikan segala sesuatunya. Akibatnya kini
bencana itu membayangi diriku. Agaknya aku ju-
ga harus segera turun tangan untuk membe-
reskan pemuda sableng itu!" batin Suryo Lagalapang. Baru saja adipati mengambil
keputusan, belum sempat melakukan tindakan apapun lima
bocah serigala yang tiba-tiba menjadi nekad da-
lam melakukan serangan mendadak menjerit ke-
ras. Tubuh mereka berpelantingan satu demi sa-
tu. Terkapar dengan dada dan perut berlubang,
tewas dalam keadaan mengerikan ditembusi cai-
ran tuak. Kejadian yang berlangsung sangat cepat itu
membuat Suryo Lagalapang jadi terkesima, seolah
tak percaya dengan apa yang terjadi. Selagi adipa-ti Purblinggo dalam keadaan
seperti itu, satu
bayangan berkelebat. Kemudian terdengar suara
berkesiuran yang melabrak ke arah dirinya.
Suryo Lagalapang langsung palingkan mu-
ka ke arah mana suara terdengar. Wajah sang
adipati mendadak menjadi pucat, sambil sela-
matkan diri dari semburan tuak mulutnya mema-
ki. "Setan jahanam!"
Ces! Cees! Suryo Lagalapang berhasil menghindar se-
jauh satu tombak, tapi tak urung tengkuknya te-
rasa dingin begitu melihat anak tangga dimana
dirinya berdiri tadi berlubang besar mengepulkan
asap berwarna putih. Dengan perasaan tegang
Suryo Lagalapang memandang ke arah samping
sebelah kiri dimana bayangan putih tadi jejakkan
kaki. Di depan sana Setan Sableng berdiri tegak, tangan kiri memegang kendi
tuak. Tangan kanan
berkacak pinggang, mulut mengurai senyum se-
dang matanya yang merah memandang tajam pa-
da sang adipati.
"Adipati senang sekali aku dapat bertemu
denganmu. Sebenarnya ingin sekali aku menga-
jakmu minum sampai mabuk. Tapi mengingat
kau bukan seorang sahabat dan bukan pula ke-
rabatku. Keinginan itu rasanya cuma bisa terwu-
jud dalam mimpi. Adipati, hari ini aku mau minta
pertanggungan jawab atas segala yang pernah
kau lakukan pada keluargaku. Terlebih-lebih
ayahku yang tewas terbunuh ditangan salah seo-
rang begundal suruhanmu. Kuharap kau tak me-
nyangkal semua apa yang kukatakan ini. Dan
yang lebih penting lagi kau tidak lupa atas segala yang pernah kau lakukan
belasan tahun yang la-lu." kata Setan Sableng. Begitu selesai bicara si pemuda
angkat kendi tuaknya. Tuak tercurah
dan amblas masuk ke dalam mulut Setan Sab-
leng. Suryo Lagalapang memang sempat tercekat
mendengar ucapan Setan Sableng. Tapi dia sama
sekali tidak menunjukkan rasa takut. Dengan te-
nang dia ajukan pertanyaan.
"Jadi kau putranya Karma Sudira?"
"Kau betul. Aku anaknya yang nomer dua.
Waktu itu ayahku belum sempat memberiku na-
ma. Hingga guruku memberiku gelar jelek Setan
Sableng. Ha ha ha!"
Suryo Lagalapang tersenyum mengejek.
"Anak muda, tak usah kau berkeinginan muluk
untuk membalaskan sakit hati dendam kesumat.
Kepadamu aku hanya bisa memberi saran, yang
berlalu biarlah tetap berlalu. Kalau kau mau, kau bisa menjadi pembantuku. Aku
bisa memberimu jabatan penting jika kau suka!" kata Suryo Lagalapang. Dalam hati dia berucap.
"Siapa sudi bekerja sama dengan anak seorang musuh. Jika
kau terpancing ucapanku lalu mau bekerja sama
denganku, aku pasti akan mencari cara agar da-
pat membunuhmu secepat yang dapat aku laku-
kan." "Adipati sayang aku tak tertarik dengan tawaranmu. Yang kuinginkan saat
ini adalah memenggal kepalamu dan membersihkan kadipa-
ten ini dari tangan orang-orang berjiwa pengecut
sepertimu! Adipati waktumu habis, aku minta
nyawamu sekarang!" teriak Setan Sableng lan-
tang. Selesai berkata sambil menjunjung kendi
tuak diatas kepalanya Setan Sableng siap lancar-
kan satu pukulan yang sangat mematikan ke
arah Suryo Lagalapang. Orang tua ini sudah me-
ngetahui sejauh mana kehebatan yang dimiliki
Setan Sableng ketika menghadapi lima bocah se-
rigala tadi sehingga adipati tidak mau berlaku ay-al. Belum lagi lawan sempat
melakukan gebrakan
ke arahnya, Suryo Lagalapang salurkan tenaga
dalam ke arah kedua tangannya. Dengan tangan
dialiri tenaga dalam penuh sewaktu-waktu dia bi-
sa menjaga segala kemungkinan yang tidak diin-
ginkan. Namun pada waktu itu pula sebelum ke-
duanya siap melancarkan serangannya masing-
masing satu bayangan berkelebat disertai satu te-
riakan kaget. "Anak-anakku"! Siapa manusianya yang
begitu berani mati membunuhi bocah-bocah asu-
hanku"!" satu suara berteriak marah.
Suryo Lagalapang yang merasa mengenali
suara orang melompat mundur disertai tarikan
nafas lega. Sedangkan Setan Sableng cepat pa-
lingkan kepala dan memandang ke arah mana
bayangan hitam tadi jejakkan kakinya. Kening Se-
tan Sableng berkerut tajam begitu melihat seo-
rang kakek tua berpakaian hitam dekil berbadan
sedikit bongkok nampak sibuk memeriksa kelima
bocah serigala yang dipanggilnya 'anak' tadi. Wa-
jah hitam si kakek nampak semakin mengelam,
sekujur tubuhnya menggigil bergetar dilanda ma-
rah. Melihat kelima bocah serigala itu tewas den-
gan tubuh hangus dipenuhi lubang-lubang men-
ganga, kakek angker yang kedua matanya menjo-
rok ke dalam rongga cepat balikkan badan.
Dia tertegun begitu tatap matanya mem-
bentur sosok Setan Sableng yang saat itu juga
memandang penuh rasa heran. Setelah itu si ka-
kek alihkan perhatiannya pada adipati. Kepada
orang tua itu dia ajukan pertanyaan. "Suryo....
karena dosa apa anak-anak itu dibunuh, siapa
yang membunuhnya cepat katakan padaku!"
"Orang tua. Yang membunuh para bocah
itu adalah pemuda yang di kepalanya menjunjung
kendi tuak. Pemuda itu anak Karma Sudira. Dia
sengaja datang kemari ingin menuntut balas atas
kematian ayahnya. Kakek Wisang Banto Oleng,
sekarang orang yang kau cari ada di depan mata,
dia bahkan telah membunuh anak-anak asuhan-
mu. Tunggu apa lagi, mengapa tidak segera men-
gambil tindakan?" tanya Suryo Lagalapang sengaja memanasi. Wisang Banto Oleng
pada hakekat- nya adalah manusia berangasan yang suka men-
gesampingkan akal sehat, tapi selalu perturutkan
hawa nafsu. Apalagi kini ditangannya dia mem-
bekal sebuah senjata sakti mandraguna yang dia
pinjam dari sang ayah Kanjeng Romo Bantar Gad-
ing yang berdiam di daerah laut selatan. Dengan
Pedang Tumbal Segara dia telah bertekat untuk
membalas segala rasa sakit hati dendam kesumat
pada Pendekar Sakti 71 Gento Guyon. Dengan
senjata pinjaman itu pula dia ingin menyingkir-
kan semua musuh Adipati.
Seperti telah diceritakan dalam episode Ib-
lis Edan. Wisang Banto Oleng dalam satu perke-
lahian hidup mati dengan Gento Guyon, oleh pe-
muda itu si kakek kena dicidrainya. Tangan ki-
rinya patah menjadi tiga bagian, tiga tulang rusuk kirinya juga patah. Cidera
berat yang dialaminya
itu dapat disembuhkan dalam waktu singkat ka-
rena si kakek memiliki ilmu aneh Bubut Putih.
Kehebatan ilmu burung itu dapat menyatukan tu-
lang yang patah maupun hancur hanya dalam
waktu yang singkat.
"Jadi pemuda ini yang telah membunuh
anak-anak" Hemm.... Satu kesalahan besar telah
dia lakukan. Agaknya bocah edan ini ingin me-
nyusul ayahnya!" Wisang Banto Oleng mengge-
ram. "Orang tua, jangan kau bunuh dia secepat kau membunuh ayahnya. Dia masih
punya saudara. Lebih baik kau tangkap saja dia. Jika sau-
daranya muncul ke sini. Kita bisa membunuhnya
secara perlahan namun menyakitkan di depan
saudaranya itu."
Si kakek angker dongakkan kepala, wajah-
nya tengadah ke langit. Bersamaan dengan itu
pula dia tertawa terbahak-bahak.
"Kau benar. Jika kubunuh dia secepat
yang aku mau, kematian itu terlalu enak baginya.
Aku akan menangkapnya. Kemudian menyik-
sanya secara perlahan. Suryo Lagalapang, otakmu
ternyata cerdik juga. Baiklah, karena dia musuh-
mu maka aku akan menangkapnya untukmu!"
dengus si kakek.
"Orang tua, aku berterima kasih atas ban-
tuanmu itu!" sang adipati menyahuti.
"Ucapan terima kasih tidak cukup bagiku,
Suryo. Mutiara Pelangi harus kau serahkan pa-
daku begitu semua urusanmu kuselesaikan. Kau
ingat itu!"
"Orang tua aku tetap mengingatnya!" sahut sang adipati gugup. Si kakek
mendengus. Cepat
dia balikkan badan, sehingga kini dia berhadapan
dengan Iblis Edan.
Di depan sana si pemuda nampak turun-
kan kendi tuaknya. Sambil memegang gagang
kendi dia meneguk tuaknya beberapa tegukan,
setelah itu dengan mata merah dan tubuh ber-
goyang tak mau diam Setan Sableng berkata. "Iblis berkedok kakek tua, aku Setan
Sableng ingin meminta jantungmu, apakah kau sudah siap me-
nyerahkannya"!" tanya si pemuda.
"Ha ha ha. Sejak tadi aku sudah siap. Kau
hanya tinggal memilih dari depan atau dari bela-
kang kau hendak merogoh jantungku?" tantang si kakek disertai senyum sinis.
Setan Sableng gelengkan kepalanya yang
mulai pusing. Sejenak dia tertawa. Walau mulut
tertawa, tapi mata membersitkan rasa sedih yang
mendalam. Mungkin karena dia ingat pada orang
tuanya. Sejak kecil mereka tak pernah bertemu,
kini setelah dewasa begitu Setan Sableng menca-
rinya orang yang hendak dia temui telah berpu-
lang. Dengan suara tertahan Setan Sableng men-
jawab. "Orang tua, aku bukan dari golonganmu, aku juga bukanlah manusia
pengecut. Aku ingin
merogoh jantungmu dari depan. Jika jantungmu


Gento Guyon 19 Dewa Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah kubetot, aku ingin tahu apakah kau masih
bisa bertahan hidup atau malah jadi setan pena-
saran! Orang tua aku datang menghadap, serah-
kan jantungmu sekarang!"
Selesai berkata, laksana kilat Setan Sab-
leng melompat ke depan. Tangan kanan diulurkan
seperti orang yang siap menerima pemberian
orang. Sedangkan kaki depan ditekuk, kaki kiri
ditarik ke belakang.
Si kakek merasakan adanya sambaran an-
gin dingin luar biasa. Masih tetap berlaku tenang dan umbar tawanya si kakek
hantamkan tangan
kirinya dengan gerakan dari atas ke bawah, se-
dangkan mulutnya berseru. "Kau meminta aku
memberi. Terimalah!"
Laksana kilat tangan itu menghantam tan-
gan Setan Sableng yang ditadahkan. Hawa panas
menyambar, sinar biru berkiblat. Tapi Setan Sab-
leng cepat tarik tangan, begitu tangan ditarik ke belakang, tangan itu kembali
didorongkan ke arah
perut si kakek. Bersamaan dengan itu pula, mu-
lutnya semburkan tuak yang mengarah ke wajah
dan mata lawan. Sedangkan kaki kirinya lakukan
satu tendangan hebat.
Tiga serangan ganas dilancarkan Setan
Sableng dalam waktu bersamaan. Serangan per-
tama berupa hantaman yang mengarah ke perut,
serangan kedua berupa tendangan yang menga-
rah ke bagian selangkangan. Sedangkan serangan
ketiga berupa semburan tuak ke bagian wajah
dan mata. Si kakek tak menyangka mendapat seran-
gan hebat demikian rupa sempat tercekat. Dia ta-
hu semburan tuak itu merupakan serangan yang
paling berbahaya dibandingkan dua lainnya. Di
tangan Setan Sableng semburan tuak dapat
menghanguskan bahkan menghancurkan mata si
kakek. Karena itu sambil keluarkan seruan keras
sebagai pelampiasan rasa kaget dan marah si ka-
kek cepat melompat mundur, lalu miringkan tu-
buh dan jatuhkan diri ke tanah.
Semburan tuak keras hanya mengenai
tembok dibelakang Wisang Banto Oleng. Tembok
berlubang seperti bekas ditancapi mata tombak,
hangus menghitam mengepulkan asap tipis.
Si kakek selamat dari terjangan tuak, tapi
dia tak dapat menyelamatkan diri dari tendangan
dan pukulan Setan Sableng.
Dia yang sudah bergulingan diatas tanah
nampak mencelat sejauh dua tombak terkena pu-
kulan dan tendangan.
Si kakek menggerung kesakitan. Terbung-
kuk-bungkuk dia bangkit berdiri. Dengan mata
nyalang dia pandangi Setan Sableng. "Pemuda
sableng ini serangannya cukup berbahaya, tapi
yang lebih berbahaya lagi adalah semburan tuak-
nya. Aku harus bisa memecahkan kendi tuak di-
tangannya!" batin si kakek disertai seringai dingin. "Wisang Banto Oleng,
ternyata kau tidak iklas menyerahkan jantungmu. Kau takut aku ju-ga merogoh
nyawamu. Tapi kini fikiranku beru-
bah sudah. Aku ingin merogoh jantung berikut
nyawamu! Gluk... gluk... gluk...!" Habis berkata Setan Sableng teguk tuaknya.
Lalu laksana kilat
dan dengan gerak sempoyongan Setan Sableng
berkelebat lancarkan serangan dengan kekuatan
serta kecepatan berlipat ganda.
Melihat datangnya serangan begitu cepat
dan sulit diduga ke arah mana lawan jatuhkan
serangan, Wisang Banto Oleng tak mau berlaku
ayal. Sejak tadi dia sudah gatal ingin menjajal Pedang Tumbal Segara yang
dipinjamnya dari sang
ayah. Tapi begitu dia ingat Suryo Lagalapang
menghendaki lawan dalam keadaan hidup, si ka-
kek urungkan niat. Pedang yang masih berada
dalam rangkanya itu kemudian diangsurkan ke
depan, kemudian diputar. Berputarnya pedang
yang masih terbungkus rangka yang dibalut den-
gan kain hitam ini mengeluarkan suara deru dah-
syat disertai membersitnya hawa dingin yang
membuat semua orang yang berada disitu terma-
suk empat kuda Setan Sableng menggigil kedingi-
nan. Si pemuda jadi tercekat, panas tubuhnya
yang dijalari hangatnya tuak mendadak hilang
raib. Kini Setan Sableng mulai merasakan tubuh-
nya disengat hawa dingin yang luar biasa. Sambil
salurkan tenaga dalam tenaga dalam yang ber-
sumber pada hawa panas ke sekujur tubuhnya
Setan Sableng terus mendesak lawan. Tangan kiri
yang memegang tuak didorongnya ke depan me-
luncur deras mengambil sasaran di bagian dada.
Sedangkan dari mulut, pemuda itu semburkan
tuaknya. Sesuatu yang berada diluar perhitungan
Setan Sableng terjadi. Semburan tuak tak mampu
menembus pertahanan lawan yang melindungi di-
ri dengan putaran pedang berangka di tangannya.
Malah sebagian semburan berbalik menyerang si
pemuda dan lebih celaka lagi ujung rangka pe-
dang yang terbungkus kain hitam nyaris meng-
hantam hancur kendi tuak di tangan kirinya. Se-
tan Sableng keluarkan seruan kaget, kendi tuak
ditarik kembali. Namun dengan wajah pucat
sambil melompat mundur pemuda itu masih
sempat menyarangkan tendangan telak di dada
kiri Wisang Banto Oleng.
Si kakek terhuyung beberapa tindak ke be-
lakang sambil keluarkan suara gerungan marah
bercampur kaget. Sementara itu Setan Sableng
yang selamat dari serangan tuak yang membalik
jadi tertawa sambil berkata. "Ternyata nyawa dan jantungmu cukup alot juga orang
tua. Aku jadi ingin tahu apakah kau masih sanggup memper-
tahankan nyawamu setelah kuhantam dengan
pukulan Setan Memindah Gunung"!"
"Setan Sableng bocah ingusan. Silahkan
kau gunakan seluruh pukulan sakti yang kau mi-
liki. Aku Wisang Banto Oleng tak akan lari dari
kalangan pertempuran!" sahut si kakek penuh ra-sa kesombongan.
"Aku percaya dengan ucapannya. Dia ber-
kata begitu pasti ada sesuatu yang sangat dian-
dalkannya. Pedang itu.... hem, aku yakin senjata
di tangannya bukan pedang biasa. Menurut Gento
sahabatku, kakek ini tidak bersenjata. Dari mana
dia dapatkan senjata sakti itu. Dan menurut Pen-
dekat Sakti 71 pula kakek ini dibuatnya cedera
parah. Tangan putus, rusuk remuk. Tapi yang
kulihat sekarang Wisang Banto Oleng seperti ti-
dak kekurangan sesuatu apa. Jangan-jangan sa-
habat Gento telah mengadali aku. Semua ini sa-
lahku, mengapa aku berani nekad menyantroni
sarang macan seorang diri. Coba kalau bersabar
menunggu kedatangan Gento, paling tidak aku
dapat berbagi kesusahan dengannya." batin Setan Sableng. Walaupun hatinya resah
melihat kehebatan yang dimiliki lawan. Tapi Setan Sableng
saat itu tetap mengumbar tawanya. Puas dia ter-
tawa sekejap kemudian segera berkata. "Tua bangka anjing piaraan adipati. Siapa
percaya dengan bualan mulut besarmu. Di depanku kau
mengaku tak akan lari dari kalangan ini padahal
tiga hari yang lalu kau kabur tunggang langgang
ketika sahabatku Pendekar Sakti 71 Gento Guyon
menghantammu dengan senjata saktinya. Seka-
rang kau berani bicara sombong, agar adipati
menganggapmu sebagai orang gagah penuh seri-
bu keberanian. Ha ha ha!"
Merah padam wajah Wisang Banto Oleng
mendengar ucapan Sableng. Dia tidak jauh be-
danya bagai mendengar suara petir menggelegar
di telinganya. Setan Sableng bicara seperti itu di depan adipati. Hal ini sama
saja dengan menelan-jangi dirinya.
Si kakek merasa kini darahnya memuncak
sampai ke ubun-ubun. Tiba-tiba saja si kakek
berteriak. "Pemuda sableng mulutmu sangat ber-bisa sekali!"
"Jika apa yang kukatakan ini merupakan
suatu kenyataan mengapa kau harus merasa ma-
lu untuk mengakuinya" Kau takut adipati tidak
mau memakaimu kembali lalu mencampakkan di-
rimu ke comberan. Kau takut menjadi anjing bu-
duk hina papa tak dikenal orang" ha ha ha?"
Kemarahan Wisang Banto Oleng benar-
benar sampai pada puncaknya. Sambil berteriak
keras dia melesat ke arah Setan Sableng. Kema-
rahan yang demikian meluap membuat si kakek
kerahkan seluruh tenaga dalam yang dia miliki.
Tak heran ketika orang tua ini gerakkan rangka
pedang ke arah lawan. Sinar hitam menggidikkan
yang disertai menderunya hawa dingin luar biasa
menyambar dada Setan Sableng. Pemuda itu ter-
huyung ke belakang, namun dia dengan cepat
dapat menguasai diri. Selanjutnya seperti yang
dikatakannya tadi Setan Sableng menghantam
kakek itu dengan pukulan Setan Memindah Gu-
nung. Begitu si pemuda pukulkan dua tangannya
ke depan, sesuatu yang sangat luar biasa terjadi.
Mendadak sontak terdengar suara menggemuruh
laksana lahar yang baru tertumpah dari puncak
gunung, bumi bergetar satu gelombang angin pa-
nas datang menerjang menghantam si kakek. Si
kakek terkejut ketika mendapatkan dirinya me-
lambung tinggi di udara.
Suryo Lagalapang sendiri jika tidak cepat
jatuhkan diri hingga tubuhnya sama rata dengan
tanah niscaya terhantam hembusan angin dan
terbang entah kemana.
Di udara dalam keadaan terus terdorong,
Wisang Banto Oleng mendadak keluarkan jeritan
keras, rangka pedang diputar sebat. Angin dah-
syat dan satu kekuatan aneh yang memancar dari
pedang yang masih terbungkus sarung menim-
bulkan satu ledakan menggeledar. Setan Sableng
terdorong mundur sebaliknya si kakek yang tu-
buhnya sempat mengapung diudara setinggi em-
pat tombak kini secara aneh meluncur deras ke
arah Setan Sableng. Selagi tubuhnya meluncur
begitu rupa, Setan Sableng melihat sinar hitam
menderu menghantam dada si pemuda.
Sebenarnya serangan ini hanya tipuan sa-
ja, karena begitu Setan Sableng menghindar, ma-
ka kini serangan kerangka pedang berbalik ke
arah tangan si pemuda yang memegang kendi.
Tak ayal lagi kendi besar itu kena dihan-
tam pecah. Isinya bertaburan mengguyur tubuh
Setan Sableng. "Waduh pecah kendiku... pecah kendiku!"
seru Setan Sableng. Sesaat lamanya dia tercen-
gang melihat bagaimana kendi kesayangannya di-
hantam pecah oleh lawannya.
Apa yang terjadi pada Setan Sableng yang
hanya sekejap itu tak disia-siakan oleh Wisang
Banto Oleng. Sambil melompat ke depan dia pun
lakukan satu totokan ke leher lawannya.
Si pemuda keluarkan satu seruan kaget ke-
tika melihat ada tangan berkelebat ke bagian le-
hernya. Cepat dia mengelak dengan miringkan
tubuhnya ke samping. Tapi gerakan yang dilaku-
kannya kalah cepat dengan gerakan jari tangan
lawannya. Tesss! Totokan lawannya mendarat di bagian
pangkal leher Setan Sableng membuat pemuda
itu mengeluh dan dia merasakan tubuhnya men-
jadi kaku. "Ha ha ha! Kau lihat, Suryo. Satu nyawa te-
lah berada dalam genggamanmu. Sekarang terse-
rah kau mau berbuat apa atas dirinya. Yang jelas
sebelum nyawanya kita rubah menjadi setan, aku
ingin dia merasakan satu derita siksaan yang ti-
dak pernah dia rasakan selama ini!" berkata begitu si kakek kemudian lakukan
satu totokan lagi
di punggung Setan Sableng.
"Akhhh.... iblis terkutuk, apa yang kau la-
kukan atas diriku!" jerit Setan Sableng yang mendadak merasakan sekujur tubuhnya
didera rasa sakit yang sangat luar biasa.
"Setan Sableng... Aku telah menotokmu
dengan totokan Pelebur Tulang. Dalam waktu dua
pekan, tulang belulangmu akan hancur mengeri-
kan. Nantinya kau akan menjadi seonggok daging
bernyawa yang tidak berguna. Kau akan merasa-
kan satu penderitaan yang hebat. Selamat me-
nikmati. Ha ha ha!"
"Manusia keji keparat!" teriak Setan Sableng sambil mengerang dan merintih.
"Ah, kalau begitu rasanya aku tidak perlu
menambahi dengan siksaan yang lain karena itu
hanya akan mempercepat kematiannya. Biarkan
saja dia disitu." ujar Suryo Lagalapang. Adipati kemudian berpaling pada si
kakek angker yang
saat itu sedang mengagumi senjata di tangannya.
"Orang tua sebaiknya kita rayakan keberhasilan yang kita dapat hari ini!"
"Ha ha ha. Tentu... tentu saja Suryo. Hari
ini walaupun aku sangat berduka atas kematian


Gento Guyon 19 Dewa Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

para bocah serigala itu. Tapi dukaku sedikit terobat karena aku memiliki pedang
ini!" kata si kakek.
8 Ketika Gento sampai di sebelah selatan
gerbang Kadipaten, pemuda ini menjadi heran ka-
rena tidak melihat Setan Sableng berada di tem-
pat itu. "Aneh... mestinya Setan Sableng itu sudah menungguku di sini. Ada yang
salah, seha- rusnya aku sudah sampai di sini kemarin. Seka-
rang sudah hari ketiga. Jadi sudah terlewat satu
hari. Aku tidak dapat menyalahkannya. Waktu
yang kujanjikan dengan Setan Sableng sudah le-
wat. Kurasa sekarang dia nekad pergi ke Kadipa-
ten. Benar-benar mencari mati bocah edan itu!"
fikir si pemuda.
Sejenak dia terdiam, matanya memandang
ke sekeliling tempat itu. Di satu sudut tatapan
mata si pemuda membentur sesuatu. "Di balik
semak belukar aku melihat ada sesuatu disana.
Hem.... aku merasa sejak berpisah dengan Ageng
Tirtomoyo, rasanya ada seseorang yang terus
membayangi perjalananku! Mungkinkah dia ber-
sembunyi disitu?" fikir Gento. Tak lama kemudian si pemuda berseru. "Orang yang
bersembunyi dibalik semak belukar sebaiknya keluar. Aku bukan
gadis yang patut diintai!"
Begitu si pemuda selesai berucap, dari ba-
lik semak belukar melesat satu sosok berpakaian
serba putih ringkas berambut panjang. Hanya da-
lam waktu sekedipan mata di depan Gento berdiri
tegak seorang gadis cantik berkulit putih mulus.
"Ah.... kukira....!" Si pemuda tidak lanjutkan ucapannya, sebaliknya malah
mengusap wajahnya.
"Gento...!"
Gadis cantik yang bukan lain adalah Mu-
tiara Pelangi adanya unjukkan sikap ramah,
membuat Pendekar Sakti 71 Gento Guyon tambah
kaget. "Eeh, bagaimana kau bisa mengetahui namaku. Kau ini siapa" Mengapa
membayangi diri-
ku?" Si gadis tertawa, hingga sederetan giginya yang putih rapih terlihat jelas
menambah kecantikan.
"Terus terang aku memang mengikutimu,
bahkan ikut mendengarkan semua pembicaraan
antara engkau dengan guru Iblis Edan!"
"Hah...!"
Tak percaya Gento delikkan mata. Bagai-
mana pun dia merasa kaget karena tidak me-
nyangka pembicaraan mereka didengar oleh orang
lain, sementara baik Gento maupun Ageng Tirto-
moyo tidak mengetahuinya.
"Rupanya kau orang yang biasa mencuri
dengar pembicaraan orang. Sayang sekali. Gadis
secantikmu siapa menduga ternyata mempunyai
tingkah laku yang tidak terpuji?"
Ucapan si pemuda membuat wajah si gadis
berubah merah jengah. "Jangan sembarangan
kau menuduh orang. Terus-terang secara kebetu-
lan saja aku lewat di tempat kalian berada. Aku
sedang mencari seseorang yang kalian bicara-
kan!" "Seseorang" Maksudmu Iblis Edan?" tanya Gento, lalu memandang si gadis
dengan penuh rasa heran. "Benar. Iblis Edan itu saudaraku, karena
dia anak paman Karma Sudira adik kandung al-
marhum ibuku. Kami berpisah, karena saat itu
Iblis Edan mengejar Dewa Sinting!" ujar Mutiara Pelangi. Kemudian sang dara
menuturkan segala
sesuatunya pada Gento.
Mendengar penjelasan gadis itu sepasang
mata si pemuda terbelalak lebar. "Tak pernah kusangka, aku seharusnya bisa
bertemu dengan Ib-
lis Edan. Karena orang tuanya sebelum me-
ninggal berpesan padaku agar mencari sauda-
ramu itu."
"Aku sesalkan kematian pamanku yang be-
gitu cepat" desah Mutiara Pelangi dengan perasaan sedih dan mata berkaca-kaca.
Dia lalu me- lanjutkan ucapannya. "Jika bukan karena perbuatan Suryo Lagalapang, tentu Iblis
Edan dan Se- tan Sableng tidak terpisah dengan ayahnya."
"Rupanya kau ikut mendengarkan pembi-
caraan kami semuanya. Saat ini rasanya kita tak
dapat menunggu lebih lama. Setan Sableng yang
kusuruh menunggu disini agaknya sudah pergi.
Dia pasti nekad menyerang gedung tempat ke-
diaman adipati. Aku khawatir terjadi sesuatu
yang tidak diinginkan pada diri pemuda itu. Pa-
dahal Iblis Edan saat ini entah berada dimana!"
kata Gento resah.
"Rupanya kau dan Setan Sableng telah ber-
janji untuk bertemu di tempat ini?"
Gento anggukkan kepala.
"Kami berpisah karena sama-sama ingin
mencari Iblis Edan. Tak kusadari dua hari dari
waktu yang kujanjikan telah terlewati. Aku tak
dapat memenuhi janjiku pada Setan Sableng. Se-
baiknya kita susul saja dia ke kadipaten. Tapi aku tidak mau memaksa. Jika kau
ikut, harus berangkat bersamaku sekarang!"
"Oh ya, namaku Mutiara Pelangi."
"Nama yang bagus, secantik orangnya."
Gento menanggapi apa adanya.
Tak urung membuat wajah sang dara be-
rubah, tersipu-sipu dia berucap. "Kau terlalu berlebihan. Jika kau mau ke
Kadipaten aku ikut. Ba-
gaimana pun Setan Sableng adalah saudara se-
pupuku. Kau yang orang lain saja menghawatir-
kan keselamatannya apalagi aku?"
"Kau mau ikut aku tak melarang. Kurasa
berjalan bersama seorang gadis cantik terasa le-
bih menyenangkan daripada berjalan sendiri. Bu-
kankah begitu?" ujar si pemuda lalu kedipkan mata kirinya.
Pujian polos Gento paling tidak membuat
perasaan dan hati Mutiara Pelangi menjadi se-
nang. Sejak pertama kali melihat Gento, sang da-
ra memang sudah menyukai sifat dan cara bica-
ranya yang terkesan apa adanya. Walaupun pada
sisi lain pemuda ini sering bertingkah laku seperti orang yang kurang waras.
Kini setelah mendapat tawaran Gento tentu
saja Mutiara Pelangi tidak menolak. Dia segera
mengikuti Gento begitu murid kakek gendut Gen-
tong Ketawa ini melangkah pergi.
*** Sehebat apapun Iblis Edan mengerahkan
ilmu lari cepat dan ilmu meringankan tubuh yang
dimilikinya, ternyata dia tidak sanggup mengejar
Dewa Sinting. Hingga dalam waktu singkat pe-
muda itu telah tertinggal jauh dari kakek yang di-kejarnya. Yang membuat Iblis
Edan jadi penasa-
ran setiap dia merasa kehilangan jejak, di depan-
nya sana selalu terdengar tawa Dewa Sinting, se-
hingga sekilas menimbulkan kesan bagi si pemu-
da bahwa kakek itu sengaja menantang Iblis Edan
untuk mengejarnya. Tapi semua itu tidak mudah.
Disamping Dewa Sinting memiliki ilmu lari lebih
hebat dari setan, si pemuda sendiri saat itu merasakan serangan rasa gatal di
tubuhnya makin menggila. Sehingga berulangkali dia terpaksa
berhenti untuk menggaruk sekujur tubuhnya
yang dijangkiti rasa gatal luar biasa. "Sial, wajahku dan tubuhku mengapa jadi
bengkak begini"
Dewa Sinting, kalau kau tak mau memberikan
obat penawar itu padaku. Ke neraka sekalipun
aku pasti akan mengejarmu." kata Setan Sableng lalu kepalkan tinjunya. "Kurang
ajar, mengapa semakin gatal begini?"
"Ha ha ha. Apakah bisamu cuma memaki
seperti perempuan. Obat penawar yang kau minta
ada disini, kau ambillah sendiri.!" kata Dewa Sinting sayup-sayup dikejauhan
sana. "Sialan manusia pengecut!" sahut Iblis
Edan. Tanpa bicara lagi dia kembali mengejar ke
arah mana suara Dewa Sinting terdengar.
Tidak lama kemudian pemuda ini jadi he-
ran sendiri karena tanpa dia sadari kini dirinya telah sampai di luar tembok
gedung adipati. Tercengang Iblis Edan langsung hentikan langkah.
"Mengapa tiba-tiba aku sampai disini" Kemana perginya Dewa Sinting" Jangan-
jangan dia sengaja menjebakku. Atau mungkin Dewa Sinting me-
rupakan kaki tangan Adipati" Aku ingin tahu di-
mana dia bersembunyi?" Habis berkata begitu Iblis Edan melompat ke atas tembok
benteng. Begi- tu si pemuda jejakkan kakinya diatas tembok
benteng dan julurkan kepala memandang keba-
gian halaman dalam pemuda ini jadi terkejut. Dia
melihat begitu banyak mayat-mayat bergelimpan-
gan di halaman itu.
"Apa yang telah terjadi disini" Eeh.... siapa yang berdiri tegak disana" Kulihat
dia menggeliat seperti orang bego" Em.... bukan tolol, tapi dia
seperti sedang menderita kesakitan luar biasa. Ingin kulihat siapa dia adanya."
Lalu Iblis Edan kembali lakukan satu gerakan hingga tubuhnya
melesat turun ke arah si baju putih yang berdiri
tegak seperti patung tapi mulutnya keluarkan rin-
tihan tak berkeputusan.
Begitu sampai di samping sosok berpa-
kaian putih. Iblis Edan tercengang. Dia melihat
sosok yang dalam keadaan tertotok itu ternyata
seorang pemuda yang wajahnya hampir dengan
dirinya. "Orang baju putih apa yang kau lakukan
disini" Kau mengerang seperti perempuan bunt-
ing hendak melahirkan, memangnya apamu yang
sakit?" tanya Iblis Edan.
Suara erangan terhenti seketika. Pemuda
berpakaian putih yang bukan lain Setan Sableng
adanya memandang ke arah orang yang mene-
gurnya. Begitu melihat wajah Iblis Edan, Setan
Sableng menyeringai. "Kau ini orang gila atau apa. Sudah tahu aku menderita
akibat terkena totokan begini hebat kau malah mentertawaiku."
"Siapa yang mentertawai dirimu. Aku Iblis
Edan tidak pernah mentertawai orang yang kesa-
kitan" Katakan saja jika kau mau kutolong aku
pasti menolongmu."
"Manusia edan seperti aku apa yang dapat
diharapkan. Lagipula buat apa kau cari penyakit
dengan datang ke tempat ini" Selagi ada kesem-
patan, pergilah yang jauh!"
Iblis Edan terdiam. Matanya berkedap-
kedip, tapi sepasang alis matanya terangkat naik.
"Kau bicara seperti ada sesuatu yang kau ta-
kutkan. Aku sendiri sedang mencari seorang."
"Seseorang" Apakah orang yang kau cari
itu bernama Wisang Banto Oleng. Tua bangka
yang telah membuat remuk kendi tuakku dan
menyiksaku dengan ilmu totokan Penghancur Tu-
lang?" tanya Setan Sableng.
Mendengar pertanyaan Setan Sableng, Iblis
Edan sempat tercekat. Seakan tidak percaya dia
memandang tajam ke arah pemuda si depannya.
"Kau terkena totokan Jari Penghancur Tulang"
Kudengar itu ilmu keji yang sangat berbahaya.
Biasanya orang yang terkena totokan itu dalam
waktu singkat seluruh tulangnya mulai dari tu-
lang kepala sampai ke tulang jari kaki akan han-
cur mengerikan. Heran... mengapa kau masih
bersikap tenang saja?"
"Wisang Banto Oleng juga berkata begitu.
Aku sendiri sudah mengerahkan seluruh kesak-
tian yang aku miliki untuk memunahkan totokan
di leher dan juga totokan Jari Penghancur Tulang.
Tapi aku hanya bisa memunahkan totokan di ba-
gian leher. Sedangkan totokan keji dipunggungku
tidak juga lenyap."
"Mungkin kau perlu mencobanya sekali la-
gi." usul Iblis Edan yang entah mengapa dalam pertemuan yang tidak disengaja itu
membuat mereka cepat akrab.
Setan Sableng menyahut. "Aku sudah
mencobanya. Sampai mulas perutku totokan Wi-
sang Banto Oleng tidak mau punah."
"Wisang Banto Oleng." Iblis Edan menyebut nama yang sama dengan bergumam. "Orang
itu bukan yang kucari. Aku mencari Dewa Sinting.
Kakek gila yang membuat sekujur tubuhku jadi
gatal-gatal begini."
"Pantas sejak tadi kau menggaruk badan
terus. Bagaimana ciri-ciri kakek sinting itu?"
tanya Setan Sableng.
"Pakaian putih, rambut putih. Badan tinggi
kurus. Kalau berjalan suka melipat tubuhnya,
menggelinding seperti bola."
"Sayang, aku tidak melihatnya. Yang kuli-
hat justru kakek seram Wisang Banto Oleng. Tua
bangka itulah yang menjadi pelindung adipati.
Padahal aku hampir saja berhasil membalaskan
sakit hati dendam kesumat ayahku!" geram Setan Sableng yang tubuhnya terus
bergerak tak mau
diam akibat totokan Jari Penghancur Tulang. Se-
baliknya Iblis Edan terus menggaruk sekujur tu-
buhnya sehingga dilihat sepintas lalu keadaan
mereka nampak lucu sekali.
9 Iblis Edan hentikan gerakan menggaruk
badan ketika Setan Sableng mengatakan ingin
membalas dendam kesumat ayahnya. Dengan he-


Gento Guyon 19 Dewa Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ran Iblis Edan ajukan pertanyaan. "Kau ingin
membalas dendam pada adipati atas kematian
ayahmu. Siapa nama ayahmu?"
"Ayahku bernama Karma Sudira. Dulu
ayahku sekitar belasan tahun yang silam adalah
seorang adipati di Purbolinggo ini."
"Jadi ayahmu sudah mati?" tanya Iblis
Edan. Saat itu hati dan perasaannya mulai dis-
elimuti keresahan.
"Ya, baru beberapa pekan yang lalu. Saha-
batku Gento Guyon yang mengatakan hal itu pa-
daku, karena pada saat itu ayah bersamanya!"
"Siapa yang telah membunuhnya?"
"Iblis tua bernama Wisang Banto Oleng,
orang yang telah menotokku begini rupa." jawab Setan Sableng.
Tidak disangka, Iblis Edan mendadak me-
meluk Setan Sableng sambil menangis mengge-
rung. Setan Sableng tentu saja jadi kaget juga heran. Tapi dia juga menjadi
gugup begitu Iblis
Edan memeluknya dengan erat. Dengan halus Se-
tan Sableng mencoba menjauhkan Iblis Edan dari
dirinya. Setelah itu dia ajukan pertanyaan. "Baru terkena gatal-gatal saja
tangismu seperti seorang anak yang ditinggal mati ibunya. Aku sendiri yang sudah
tau bakal mengalami kehancuran tulang
masih bisa bersikap tabah." kata pemuda itu lalu ketawa.
Iblis Edan menggaruk habis bagian wajah-
nya. Dia lalu hentikan tangis. Dengan suara ter-
sendat-sendat Iblis Edan bertanya. "Kau siapa?"
"Sejak kecil aku tak punya nama, setelah
besar aku dipanggil Setan Sableng oleh Mbah Se-
tan. Mungkin karena aku mempunyai sifat ura-
kan seperti setan."
"Setan Sableng, aku Iblis Edan. Rupanya
kita ditakdirkan menjadi manusia yang tidak
beres. Tapi kita masih saudara. Aku kakakmu se-
dangkan kau adikku!" kata Iblis Edan.
"Heh... bagaimana bisa kejadian. Kenal dan
bertemu denganmu saja baru kali ini dan dalam
keadaan sama-sama konyol lagi!"
"Karma Sudira yang kau katakan tadi juga
adalah ayah kandungku!" tegas Iblis Edan.
"Ah... biyung. Tidak ada petir tak ada hu-
jan, bagaimana aku dipertemukan Tuhan dengan
saudaraku dalam keadaan sekarat begini. Kakang
Iblis Edan... walah. Rasanya tidak pantas sekali
aku menyebut julukanmu itu!"
"Adik, apa yang telah diberikan oleh guru-
ku yang edan itu harus kusukuri. Sebaliknya kau
juga harus berterima kasih pada Mbah Setan
yang telah merawatmu sejak kecil. Pertemuan ini
sungguh tidak pernah kusangka dan rasanya ber-
langsung singkat, karena satu purnama menda-
tang aku akan...!" Iblis Edan tidak meneruskan ucapannya. Saat itu mendadak
wajah si pemuda
berubah sedih. Dia memeluk adiknya Setan Sab-
leng. Sebaliknya Setan Sableng balas memeluk-
nya seakan mereka memang ingin melampiaskan
rasa kerinduannya setelah terpisah hampir dua
puluh tahun. Di sudut atap gedung sebelah timur seo-
rang kakek tua berambut dan berpakaian putih
yang bergelung diatas batang pohon mangga me-
lihat semua kejadian yang berlangsung di hala-
man itu. "Dua bocah yang malang. Aku harus bisa
membawa kedua pemuda itu ke Tegal Kramat un-
tuk kudidik menjadi dua murid yang hebat! Aku
tahu adik Iblis Edan jika tidak kutolong dia akan mengalami kehancuran tulang
belulang di sekujur tubuhnya. Hem, sebaiknya aku bersabar me-
nunggu sampai keduanya puas melampiaskan ke-
rinduannya masing-masing!" kata si kakek. Tanpa dia sadari ada air mata yang
bergulir membasahi
pipinya. Dengan cepat si kakek yang tubuhnya
bergelung melingkari batang pohon menyeka air
matanya. "Oh, aku ikut menangis" Pertemuan
dua bersaudara itu sangat mengharukan. Aku ja-
di ikutan sedih"
Sementara itu begitu selesai melampiaskan
kerinduan dan melepaskan pelukan masing-
masing Setan Sableng ajukan pertanyaan. "Apa yang akan kau lakukan satu purnama
di depan" Apakah kau akan kawin?"
Iblis Edan agaknya tidak mau larut dalam
kesedihan berkepanjangan, karena itu dia menja-
wab. "Aku akan mati. Aku mungkin mati muda
karena racun Pring Biru yang mendekam di tu-
buhku." Iblis Edan lalu menceritakan segala sesuatu yang telah terjadi pada
dirinya. Beberapa
saat setelah sang Iblis menuturkan keadaan di-
rinya, Setan Sableng dengan iba bertanya. "Jadi itu sebabnya kau mengejar Dewa
Sinting sampai kemari?" Iblis Edan mengangguk.
Setan Sableng menarik nafas pendek.
"Sayang aku tak melihatnya. Orang tua
yang telah mencelakaimu itu kurasa bukan kaki
tangan adipati."
"Kalau bukan mengapa dia lari kemari?"
tanya Iblis Edan.
"Mungkin hanya kebetulan saja."
"Lalu sekarang bagaimana?" tanya Iblis
Edan selanjutnya.
Setan Sableng terdiam. Dia tahu persis di
dalam gedung kini hanya tinggal Suryo Lagala-
pang berdua dengan Wisang Banto Oleng. Suryo
Lagalapang boleh jadi lawan yang tidak begitu be-
rat bagi mereka. Tapi Wisang Banto Oleng. Keha-
diran kakek itu harus diperhitungkan. Dia memi-
liki ilmu yang tinggi. Di samping itu dia juga memiliki senjata andalan berupa
Pedang Tumbal Se-
gara. Setan Sableng sudah merasakan baru
menghadapi rangka pedangnya saja dia yang
menghantam lawan dengan pukulan Setan Me-
mindah Gunung tak dapat berbuat banyak. Apa-
lagi bila Wisang Banto Oleng mencabut senjata itu dari sarungnya.
"Melihat apa yang dilakukan Suryo Lagala-
pang dimasa lalu terhadap ayah juga pada diriku
dan dirimu rasanya aku ingin memenggal kepa-
lanya saat ini juga. Tapi kita tak dapat bertindak gegabah selama Wisang Banto
Oleng berada di sisinya. Lagipula saat ini aku dalam keadaan terto-
tok. Walaupun aku dapat menggerakkan sekujur
tubuhku mungkin tenaga dalam yang kumiliki
sudah jauh berkurang. Sedangkan kau juga tidak
dalam keadaan sehat!" kata Setan Sableng bimbang. "Walaupun Suryo Lagalapang
dikelilingi sepuluh tokoh sesat seperti Banto Oleng buat apa
ditakutkan" Ingat kematian ayah kita, arwahnya
pasti tidak akan tenang selama Suryo Lagalapang
masih hidup. Lagipula apa yang kita tunggu. Saat
ini kita sama menderita. Andaipun kita tak mela-
kukan segala sesuatunya saat ini. Dalam waktu
satu purnama di depan kita berdua juga akan
mati!" Setan Sableng beranggapan apa yang dikatakan Iblis Edan memang ada
benarnya. Pada ak-
hirnya mereka berdua akan menemui ajal. Jika
sekarang dia mengadakan perhitungan dengan
adipati, seandainya mereka tewas tidak akan
menjadi penyesalan. Setelah berfikir beberapa je-
nak lamanya Setan Sableng akhirnya me-
mutuskan. "Kakang Iblis, kalau kau berkehendak melakukan pembalasan sekarang
kufikir memang tidak ada salahnya. Kita tidak perlu menyerbu ke
dalam. Kita bakar saja gedung ini sampai hangus,
masa mereka tidak mau keluar!" Sambil garuk-
garuk tubuhnya yang gatal Iblis Edan menyambut
ucapan adiknya dengan tawa.
"Kau benar adikku. Mari kita panggang dua
tikus tua itu hidup-hidup. Jika mereka tidak mau
mampus pasti nanti keluar sendiri." kata Iblis Edan. Kemudian kedua bersaudara
itu gosok-gosokkan tangannya satu sama lain siap mele-
paskan pukulan yang dapat menimbulkan koba-
ran api. Melihat ini Dewa Sinting yang mengintai
dengan tubuh bergelung diatas pohon mangga di
sudut timur atap gedung hendak berteriak men-
cegah. Namun niatnya urung, mulutnya yang
membuka terkatub lagi begitu melihat satu
bayangan hitam dan bayangan cokelat berkelebat
keluar dari dalam gedung melalui pintu depan.
Pada saat itu kedua telapak tangan Iblis
Edan maupun Setan Sableng telah berubah me-
rah laksana bara disertai mengepulnya asap putih
kemerahan yang membersit keluar dari setiap
ujung jarinya. "Berani kalian membakar gedung ini, jiwa-
mu dan jiwa adikmu tidak akan kuampuni!" hardik satu suara mengancam.
Serentak dua bersaudara itu palingkan ke-
pala memandang ke arah datangnya suara. Saat
itu di sebelah kiri mereka berdiri tegak dua orang laki-laki yang sudah dikenal
oleh Setan Sableng.
Orang yang membentak mereka tadi bukan
lain adalah adipati Suryo Lagalapang, sedangkan
yang disebelahnya kakek angker berpakaian dekil
bukan lain adalah Wisang Banto Oleng.
"Kakang... dua monyet tua inilah yang
membuat orang tua kita menderita. Mereka pula
yang menyebabkan kita terpisah selama belasan
tahun!" Setan Sableng memberi bisikan pada sang kakak. Iblis Edan melirik ke
arah Suryo Lagalapang dan si kakek sekejap. Setelah itu tanpa bica-ra dia
kedipkan matanya pada sang adik.
"Orang yang kita cari sudah berada di de-
pan kita. Sekarang mari kita bakar mereka hidup-
hidup!" Selesai berkata Iblis Edan sekuat tenaga dorongkan tubuhnya ke arah
Suryo Lagalapang.
Hal yang samapun kemudian dilakukan oleh Se-
tan Sableng. Bukan saja hanya Suryo Lagalapang yang
dibuat kaget melihat serangan yang datang den-
gan tidak disangka-sangka ini. Sebaliknya Wisang
Banto Oleng juga tidak kalah kejutnya.
Sementara sang adipati dibuat terperangah
beberapa jenak, sebaliknya si kakek yang berdiri
tegak disampingnya melompat kesamping, men-
dorong sang adipati hingga jatuh terjengkang, se-
telah itu laksana kilat dia balikkan badan lalu
menghantamkan kedua tangannya menyambuti
serangan kedua pemuda tadi yang seharusnya
menghantam adipati.
Bumm! Buum! Dua ledakan berturut-turut menggelegar di
udara menimbulkan satu lubang menganga hi-
tam, mengepulkan asap tebal. Baik Setan Sableng
maupun Iblis Edan terpental sejauh lima tombak.
Dari mulut mereka menyemburkan darah. Seba-
liknya Wisang Banto Oleng keluarkan seruan ke-
ras sambil melompat mundur, sedangkan kedua
tangannya dipergunakan untuk memadamkan api
yang berkobar membakar baju dan celananya ba-
gian depan. "Kedua pemuda ini jika tidak kuhabisi se-
karang, rasanya bisa membahayakan diriku. Wa-
laupun aku tahu Setan Sableng telah kehilangan
setengah dari tenaga dalamnya akibat pengaruh
totokan Jari Penghancur Tulang yang kulakukan
kemarin!" Di depan sana Iblis Edan dan Setan Sab-
leng tanpa menghiraukan rasa sakit di dadanya
segera bangkit kembali. Sejenak keduanya saling
berpandangan. Kemudian mereka sama melirik ke
depan. "Ha ha ha. Niat kita untuk membunuh adipati jahanam itu tak mungkin
terlaksana selama
setan tua itu menjadi pelindungnya." kata Iblis Edan. "Huk.... Setan itu memang
harus kita singkirkan, tapi sebelum nyawanya merat ke neraka,
apa salahnya kita buat saja dia telanjang dulu?"
sahut Setan Sableng sambil mendekap dadanya
yang mendenyut. Dia sadar sepenuhnya akibat
pengerahan tenaga sakti yang dia miliki. Kini se-
kujur tulang belulang di tubuhnya terasa sakit
dan nyeri bukan main. Tapi Setan Sableng mera-
sa tidak punya pilihan lain.
Sebaliknya Suryo Lagalapang meskipun
menderita sakit di bagian punggung akibat dido-
rong oleh si kakek tadi, namun dia sadar jika Wi-
sang Banto Oleng tidak menolong dengan mendo-
rong dirinya tadi, niscaya tubuhnya hangus ter-
panggang pukulan lawan.
Kini dia bangkit berdiri. Setelah itu dia
membentak. "Pertemuan dua saudara itu agaknya berakhir menyedihkan di tempat
ini. Orang tua,
dua orang yang kita inginkan telah datang sendiri ke tempat kediamanku. Sekarang
sudah saatnya untuk melenyapkan mereka!" dengus Suryo Lagalapang.
"Permintaanmu akan kukabulkan, Suryo
Lagalapang. Tapi sabar dulu, kudengar mereka
hendak membuatku telanjang. Aku ingin tahu,
apakah disaat nyawa berada di tenggorokan me-
reka becus melakukan sesuatu" Ha ha ha!" Dengan sikap meremehkan si kakek
menanggapi uca-
pan adipati. 10 Mendengar ejekan Wisang Banto Oleng,
baik Setan Sableng maupun Iblis Edan bukan-


Gento Guyon 19 Dewa Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya marah, sebaliknya malah tertawa terbahak-
bahak. "Kau dengar apa yang dikatakannya?"
tanya Setan Sableng begitu tawanya mereda.
"Aku kurang pasti. Tapi kalau tak salah
monyet tua yang membawa pedang dibungkus
kain apek itu mengatakan ingin bunuh diri di de-
pan kita karena terlalu banyak dosa! Ha ha ha!"
sahut Iblis Edan sambil menggaruk tubuhnya.
"Kalau begitu berarti adipati akan kehilan-
gan pelindung?"
"Jika kakek itu mati, setan dan Iblis seperti kita tentu bisa mengirimnya ke
neraka. Nah, sekarang tunggu apa lagi. Tua bangka itu minta
mati, kita luluskan saja permintaannya!" kata Iblis Edan.
Setan Sableng tertawa terkekeh tak perduli
saat itu sekujur tulang belulang di tubuhnya te-
rasa sakit bukan main.
Dua bersaudara yang sudah menghimpun
tenaga sakti dan disalurkan ke bagian kedua be-
lah tangan ini tiba-tiba melompat ke depan, begi-
tu tubuh mereka berkelebat di udara dua tangan
masing-masing didorongkan ke depan.
Wus! Wus! Angin menderu disertai berkelebatnya sinar
merah terang sepanas matahari. Suryo Lagala-
pang yang melihat ini langsung melompat men-
jauh hindari sambaran dua pukulan yang dilan-
carkan kedua kakak beradik. Malah dia sampai
pejamkan mata tak berani membayangkan apa
yang bakal terjadi begitu kedua pukulan itu sea-
kan hendak menggulung kakek Wisang Banto
Oleng. Melihat serangan yang mampu menghan-
guskan gunung itu si kakek berlaku tenang, wa-
laupun saat itu samberan angin pukulan lawan
laksana memanggang tubuhnya.
Sekejap lagi dua gelombang pukulan yang
laksana mengobarkan api itu menelan tubuhnya
si kakek yang yakin dengan kehebatan pedang di-
tangannya. Langsung angkat rangka pedang, ke-
mudian pedang yang masih berada dalam rangka
itu diputar membentuk perisai diri sekaligus lan-
carkan serangan balik menghadang hantaman
dua sinar maut tersebut.
Glar! Buum! Dua ledakan keras bagai gunung meletus
bergema di udara. Dua sinar merah begitu mem-
bentur rangka pedang di tangan si kakek menda-
dak mencuat berbalik menyerang Setan Sableng
dan Iblis Edan. Kedua pemuda yang sudah jatuh
terpental akibat benturan hebat tadi kini terpaksa harus berjibaku selamatkan
diri hindari serangan
pukulannya sendiri yang berhasil dihantam
membalik oleh ujung rangka pedang lawannya.
Untuk sejenak lamanya halaman gedung
kediaman adipati gelap dipenuhi asap tebal
menghitam. Begitu asap dan kepulan debu le-
nyap. Di depan sebuah lubang menganga hitam
akibat ledakan Wisang Banto Oleng berdiri tegak
tanpa kekurangan sesuatu apa. Di dadanya rang-
ka pedang nampak bersilangan, tampak tatap
mata si kakek memandang bengis ke arah kedua
lawan, sedangkan bibirnya sunggingkan senyum
mengejek. Dengan nafas megap-megap Setan Sableng
yang terkapar menelentang mencoba bangkit. Ta-
pi dia jadi kaget begitu menyadari sekujur tulang di tubuhnya laksana remuk
berpatahan. Tak jauh disampingnya Iblis Edan walau
mengalami luka dalam akibat bentrokan tadi
sambil tiada henti menggaruk masih dapat berdi-
ri. Ketika pemuda ini melirik kesamping terkejut
dia. Saat itu dia lihat sekujur tubuh adiknya
nampak membiru, seolah darah pada bagian urat-
urat darahnya membeku.
"Adik apa yang terjadi dengan dirimu?"
tanya Iblis Edan, seraya melompat lalu memeluk
Setan Sableng. "Aku... aku merasa darahku berhenti men-
galir. Mungkin karena aku terlalu banyak mengu-
ras tenaga. Kini sekujur tubuhku seperti dingin
membeku. Ah...!" Si pemuda mengerang.
Melihat keadaan Setan Sableng yang men-
genaskan Iblis Edan menjadi sangat sedih sekali.
Kesedihan yang pada akhirnya berubah menjadi
kemarahan begitu dia melihat lawan berdiri ber-
kacak pinggang di depan sana. Dengan perasaan
geram si pemuda bangkit berdiri. Sepasang ma-
tanya memandang penuh rasa benci terhadap ka-
kek itu. "Tua bangka keparat! Jika sampai terjadi
apa-apa dengan adikku aku bersumpah akan
membunuhmu!" teriak Iblis Edan.
Si kakek tertawa bergelak.
"Adikmu akan mati. Semua itu karena dia
terlalu banyak menguras tenaga dalam. Tapi aku
bukan manusia yang tidak punya perasaan. Aku
bersedia mempercepat kematiannya. Ha ha ha!"
berkata begitu si kakek angkat tangan kirinya.
Melihat hal ini Iblis Edan segera bangkit berdiri bersikap melindungi adiknya.
Tidak berapa lama tangan si kakek telah
berwarna kebiru-biruan pertanda pukulan yang
hendak dilepaskannya mengandung racun ganas.
Tak begitu lama tangan si kakek dihantamkannya
ke arah kedua pemuda itu. Sinar biru melesat
menghantam Iblis Edan. Pemuda itu tentu saja
tidak mau mati konyol menjadi sasaran pukulan
lawan. Dengan cepat pula dia dorongkan kedua
tangannya ke depan.
Wuuuut! Satu benturan kembali terjadi diudara. Ib-
lis Edan menjerit keras, tubuhnya terpelanting
dan jatuh menindih saudaranya sendiri. Di lain
pihak lawan hanya terhuyung saja. Kenyataan ini
juga mengejutkan bagi kakek itu sendiri. Dia sa-
dar betul pukulan yang dilepaskan oleh lawannya
bukan pukulan biasa. Bahkan mengandung tena-
ga dalam tinggi. Tapi mengapa dia tidak merasa-
kan akibat apapun.
Perlahan dia melirik ke arah pedang Tum-
bal Segara yang berada dalam genggaman tangan
kanannya. Dia yakin pedang itulah yang telah
banyak membantunya. Dengan kekuatan sakti
yang terkandung dalam pedang beberapa kali si
kakek merasa dibantu.
"Pedang yang sangat luar biasa!" membatin Wisang Banto Oleng penuh rasa terima
kasih. "Orang tua, kedua musuh sudah tidak ber-
daya. Mengapa kau tidak menghabisi mereka se-
cepat mungkin"!" teriak Adipati.
"Aku sedang berfikir bagaimana cara yang
terbaik untuk melenyapkan mereka. Dan semua
itu sekarang baru saja kutemukan!" Selesai berkata Wisang Banto Oleng keluarkan
satu teriakan melengking. Bersamaan dengan itu pula tubuh-
nya melesat di udara. Sengaja dia tidak ingin
membunuh kedua pemuda itu karena ingin me-
remukkan beberapa bagian tubuh lawannya.
Melihat gerakan lawan yang demikian ce-
pat, Iblis Edan jadi tercekat. Dia sendiri saat itu tengah menderita luka
dibagian dalam yang tidak
ringan, jadi mustahil dapat melindungi adiknya.
Dan yang lebih celaka lagi jarak diantara mereka
cukup berjauhan sehingga tidak mungkin baginya
memberikan perlindungan. Semua apa yang ter-
jadi ini tentu saja diketahui oleh Dewa Sinting
yang berada di atas pohon. Orang tua yang berge-
lung di pohon tercekat. "Celaka kakek jelek itu hendak mencelakai calon
muridku!" si kakek keluarkan seruan tercekat.
Akan tetapi belum lagi dia sempat melaku-
kan sesuatu, dari arah lain dua bayangan berke-
lebat. Satu bayangan putih bergerak mendahului
dan menarik Setan Sableng dari jangkauan puku-
lan Wisang Banto Oleng. Sehingga pemuda itu se-
lamat dari pukulan maut lawan. Sedangkan sosok
yang bertelanjang dada menghantam Wisang Ban-
to Oleng hingga membuat orang tua itu jatuh ter-
pental. Buum! Pukulan yang dilepaskan si kakek meng-
hantam tempat kosong dimana Setan Sableng tadi
berada. Di sebelah kiri Suryo Lagalapang Wisang
Banto Oleng tersungkur. Orang tua ini dengan
hati dilanda kemarahan segera bangkit berdiri.
Dia jadi kaget sekaligus meluap kebenciannya be-
gitu melihat Pendekar Sakti 71 Gento Guyon ber-
diri tegak disitu. Tak jauh di sebelah kanan si
pemuda seorang gadis berpakaian putih nampak
pula sibuk memberikan pertolongan pada Setan
Sableng dan Iblis Edan.
Melihat siapa adanya gadis itu, Wisang
Banto Oleng jadi agak surut amarahnya. Dia ber-
paling ke arah sang adipati. ' Suryo, bukankah
gadis ini orangnya yang kuminta padamu untuk
kau berikan padaku"!" ujar si kakek.
"Kau benar orang tua. Mohon dimaafkan,
kurasa orang-orangku tak becus menangkapnya.
Kau tak perlu berkecil hati karena gadis yang
hendak kau jadikan istri sekarang datang ingin
menyerahkan diri kepadamu!" Mendengar ucapan sang adipati Mutiara Pelangi
berubah merah pa-rasnya. Dia melirik ke arah pemuda bertelanjang
dada. Yang dilirik kedipkan matanya.
"Kau sudah mendengar tua bangka itu in-
gin menjadikanmu sebagai istrinya. Sekarang kau
sudah bertemu dengan Setan Sableng, dan pe-
muda yang menggaruk tubuhnya itu apakah sau-
daramu juga?" tanya Gento. Dalam hati sesungguhnya pemuda ini jadi kaget begitu
melihat Wi- sang Banto Oleng yang beberapa hari lalu mende-
rita cidera berat di bagian tangan dan tulang ru-
suknya dapat menyembuhkan diri secepat itu.
"Dia Iblis Edan. Kedua pemuda ini memang
saudaraku. Mereka anak paman almarhum Kar-
ma Sudira adik dari ibuku!" ujar Mutiara Pelangi.
Setan Sableng yang baru lolos dari kema-
tian begitu juga Iblis Edan yang terluka di bagian dalam dan sibuk menggaruk
tubuhnya tentu jadi
terkejut mendengar pengakuan Mutiara Pelangi
ini. Seakan tak percaya mereka memandang ter-
belalak ke arah si gadis.
"Jadi... jadi kau saudara kami?" seru Iblis Edan dan Setan Sableng hampir
bersamaan. Mutiara Pelangi anggukkan kepala.
Di sudut lain adipati Suryo Lagalapang
nampak dilanda keresahan. Berulang kali dia
memandang Gento. Dalam hati dia berkata.
"Mungkin itulah orangnya Pendekar Sakti 71
Gento Guyon yang pernah membuat kakek Banto
Oleng mengalami cidera parah."
Kakek angker itu sendiri setelah puas me-
lihat dan memandang kecantikan Mutiara Pelangi
berteriak keras ditujukan pada sang adipati.
"Suryo... Kuminta kau menangkap gadis cantik calon istriku itu. Ini adalah tugas
yang paling mudah untukmu. Tapi ingat jangan sampai kau
membuat kulitnya yang mulus itu lecet apalagi
sampai terluka! Cepat lakukan apa yang aku min-
ta!" "Pemuda gondrong itu bagaimana orang
tua?" tanya sang adipati dengan suara bergetar.
"Si gondrong jahanam ini pernah mema-
tahkan tulang lengan dan tiga tulang rusukku.
Biarkah aku yang mengurusnya!" tegas si kakek.
"Walah... rupanya kau mempunyai ilmu si-
luman. Aku jadi tidak heran bila luka yang terjadi padamu dapat sembuh secepat
itu!" kata Gento disertai senyum mencibir. Gento melirik pedang
ditangan kiri si kakek. Kemudian dia kembali me-
nyeletuk. "Agaknya pedang itu bukan senjata biasa kadal tua buduk. Dari mana kau
dapatkan pedang itu. Hasil dari mencuri atau hasil dari
mengemis di tukang loak" Ha ha ha."
"Pemuda jahanam. Dengan pedang ini aku
akan menguliti tubuhmu!" geram si kakek.
"Oh, tadinya kau manusia sesat, rupanya
sekarang sudah bertobat. Tapi mengapa memilih
pekerjaan jadi tukang jagal?" ejek Gento.
Terbakar oleh dendam kesumat yang mem-
bara, Wisang Banto Oleng tidak sanggup lagi me-
redam gejolak kemarahannya. Disertai dengan
suara menggerung keras kakek itu melesat ke de-
pan. Begitu tubuhnya mengambang diudara dia
kirimkan satu jotosan dengan tangan kiri, se-
dangkan tangan kanan memutar pedang yang
terbungkus rangka itu.
Gento dengan cepat melompat ke samping,
hingga jotosan dapat dielakkannya. Tapi dia jadi
terkesiap begitu merasakan adanya sambaran an-
gin dingin luar biasa yang bersumber dari rangka
pedang ditangan lawannya. Kaget bercampur he-
ran si pemuda dorongkan kedua tangannya ke
depan. Si gondrong jadi terpekik kaget ketika me-
rasakan bagaimana kedua tangan yang dipergu-
nakan untuk mendorong tiba-tiba berubah din-


Gento Guyon 19 Dewa Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gin, setiap ujung jemarinya laksana dicucuki ja-
rum, sedangkan hantaman angin dingin tadi bu-
kan saja membuat tangkisannya seakan tidak
berguna tapi juga membuat Gento jatuh terjeng-
kang. 11 Di lain pihak, Mutiara Pelangi kini sudah
melangkah maju ke depan. Adipati juga tidak
tinggal diam. Sekali bergerak dia telah berada didepan gadis itu hingga jarak
diantara mereka
hanya tinggal dua langkah saja.
"Mutiara Pelangi. Lebih baik kau menye-
rahkan diri. Selain dua pemuda itu yang memang
sudah ditakdirkan mati di tempat ini, aku pasti
akan mengampunimu. Kau bisa hidup enak, apa-
lagi kakek Wisang Banto Oleng akan menjadi-
kanmu seorang istri!" kata adipati lantang.
Mutiara Pelangi mendengus, kemudian
semburkan ludah kedepan. Sebagian ludah mem-
basahi wajah sang adipati. Laki-laki itu menyeringai sambil usap air ludah di
wajahnya. "Siapa yang hendak minta ampun pada
manusia durjana bergelimang dosa sepertimu"
Sedangkan Tuhan pun akan mengampuni dirimu.
Siapa yang sudi menjadi tua bangka iblis itu. Ke-
tahuilah, Karma Sudira adalah pamanku. Kedua
pemuda itu saudaraku, hari ini adalah saatnya
bagi kami untuk menagih segala hutang dosa be-
rikut nyawa. Bersiap-siaplah kau untuk mati!"
dengus sang dara.
Iblis Edan yang saat itu telah berdiri me-
nimpali. "Pelangi! Aku senang karena ternyata kami memiliki saudara yang cantik.
Tapi lebih senang lagi jika kita bersama-sama dapat membalas
segala penderitaan ayah dimasa lalu!"
Setan Sableng yang terkapar diatas tanah
tak mau ketinggalan. "Aku juga merasa senang.
Tapi sayang aku tak bisa ikutan memenggal kepa-
la adipati. Totokan keparat kakek tua itu, serta
luka dalam yang aku derita membuat aku tak bi-
sa berbuat banyak! Ha ha ha. Huk huk huk!"
"Kalian tiga bersaudara manusia keras ke-
pala. Jangan salahkan aku jika terpaksa turun-
kan tangan keras!" Selesai berucap sang adipati melompat kedepan. Dengan
kecepatan luar biasa
tangan kiri dihantamkan ke arah Mutiara Pelangi,
sedangkan tangan kanan di dorongkannya ke
arah Iblis Edan yang berdiri tak jauh di sebelah
kiri si gadis. Mutiara Pelangi tak tinggal diam. Dia ber-
kelit ke samping begitu hawa panas melanda tu-
buhnya. Setelah itu sosok si gadis melenting di-
udara. Selagi gadis itu berjumpalitan di udara dia menghantam lawannya dengan
pukulan Kuku Kupu Menari Di Atas Bunga.
Selarik sinar putih menyilaukan laksana
perak menderu diudara. Suryo Lagalapang meng-
gerung begitu merasakan sambaran hawa panas
bukan kepalang. Cepat sekali dia melompat mun-
dur. Tapi dari arah samping Iblis Edan yang lolos dari pukulan yang
dilepaskannya telah melabrak
orang tua itu dengan satu tendangan menggele-
dek. Menghadapi dua serangan yang datang se-
kaligus, tentu adipati dibuat kalang kabut. Den-
gan cepat tangan kiri dikibaskan ke samping me-
nangkis tendangan lawan, sedangkan tangan ka-
nan didorongkannya ke atas kepala.
Wuut! Bukk! Bummm! Bentrokan tangannya dengan kaki lawan
membuat adipati terhuyung. Tangan yang diper-
gunakan menangkis laksana remuk. Dari bagian
atas pukulan si gadis juga tak mampu ditahan-
nya. Tak ayal lagi Suryo Lagalapang jatuh terdu-
duk. Dia merasakan mendadak tubuhnya jadi
menciut, bagian kepala terasa panas luar biasa.
Adipati mengerang kesakitan. Bersikap seakan ti-
dak menghiraukan rasa sakit yang dideritanya
terbungkuk-bungkuk adipati bangkit lagi. Begitu
bangkit dia langsung menyalurkan tenaga dalam
kebagian tangannya, siap melepaskan pukulan
'Dua Topan Melanda Bumi'. Inilah satu ilmu yang
sangat diandalkan oleh Adipati Suryo Lagalapang.
Tidak berselang lama laki-laki itu memutar
kedua tangan diatas kepala. Sesuatu yang menge-
rikan kemudian terjadi. Dari dua tangan yang di-
putar sebat, angin bergulung-gulung melabrak
sang dara yang baru saja jejakkan kakinya, juga
menghantam Iblis Edan yang menyerangnya dari
arah sebelah kiri. Iblis Edan bertahan mati-
matian dari serangan lawannya. Tak urung dia
yang sudah terluka dalam itu pada akhirnya ter-
pental. Jatuh terkapar dengan mulut menyem-
burkan darah. Disebelah kanannya Mutiara Pe-
langi yang sudah tekuk kedua kaki dan kerahkan
tenaga dalam ke bagian kaki tak urung jatuh ter-
pelanting. Adipati tertawa bergelak. Setan Sableng sambil merintih nampak
mengomel. "Habis sudah harapan. Mengapa kalian berdua jadi ikut-ikutan
seperti aku?"
Megap-megap Iblis Edan menjawab. "Adipa-
ti punya angin. Mungkin tubuhnya memang terdi-
ri dari angin seluruhnya."
Mutiara Pelangi diam tidak menanggapi.
Sebaliknya dia bangkit berdiri. Begitu bangkit dia merasakan dadanya jadi sesak
luar biasa. Setelah
menarik nafas dia kembali melompat ke arah la-
wan lalu lancarkan serangan ganas dengan puku-
lan bertubi-tubi disertai tendangan yang menga-
rah ke beberapa bagian tubuh lawan yang paling
mematikan. Mendapat serangan sedemikian rupa
Suryo Lagalapang ganda tertawa. "Hanya serangan tidak berguna!" dengus sang
adipati. Dia lalu kembali memutar kedua tangan dan melakukan
serangan balik dengan pukulan Dua Topan Me-
landa Bumi. Segulung angin dengan kecepatan laksana
badai menderu. Mutiara Pelangi mendadak ter-
sentak ke belakang, lalu menjerit dan jatuh ter-
guling-guling. "Kalian semua akan kubunuh dengan tan-
ganku sendiri!" teriak sang adipati. Kemudian laksana kilat sambil berdiri
berkacak pinggang
dia hantamkan pukulan mautnya ke tiga arah se-
kaligus. Sinar hitam berkiblat, bergerak cepat ke arah Setan Sableng, Mutiara
Pelangi dan Iblis
Edan. Wisang Banto Oleng yang tengah bertarung
dengan Gento keluarkan seruan keras. "Adipati tolol mengapa hendak kau habisi
calon istriku?"
Dan kakek ini kibaskan tangannya me-
nangkis pukulan yang mengarah ke arah sang da-
ra. Bum! Bumm! Buuum! Pukulan yang mengarah pada Mutiara Pe-
langi meledak berdentum di udara begitu bentrok
dengan pukulan si kakek angker. Tapi beberapa
kejab kemudian terdengar pula suara dua leda-
kan berturut-turut. Adipati jadi tercekat sesaat
dibuat kebingungan. Kemudian dari arah bagian
timur genteng dia melihat sesuatu berbentuk bu-
lat seperti bola melesat cepat ke arahnya disertai suara teguran. "Bukan cuma
goblok, adipati juga ternyata manusia edan. Bagaimana kau begitu te-ga hendak
membunuh dua calon muridku! Masih
bagus lagi kucincang tubuhmu!"
Belum habis rasa kaget dihati sang adipati,
sosok bulat yang ternyata seorang kakek berpa-
kaian putih yang menyatukan kaki dengan kepala
dan bergerak secara menggelinding itu sudah me-
nyambar ke arahnya. Lebih celakanya lagi begitu
berada diatas kepala adipati dua tangannya men-
cuat. Dari dua tangan itu menyambar dua bilah
golok panjang besar bergerigi di bagian pung-
gungnya. Dengan wajah pucat dan tengkuk dingin
adipati jatuhkan diri.
Wuss! Wuus! Sambaran dua bilah senjata itu tidak men-
genai sasaran. Tapi sosok kakek bergelung seperti trenggiling ini masih diatas
ketinggian tiba-tiba berbalik disertai tawa mengekeh. "Rupanya kau bisa
menghindar, tikus busrut! Coba yang ini!"
berkata begitu dua bilah golok kembali berkele-
bat, bergerak mengayun dari belakang ke depan.
"Jahanam celaka!" Adipati merutuk. Dia
kembali lepaskan pukulan Dua Topan Melanda
Bumi. Badai Topan bergulung melabrak sosok
kakek diatasnya. Tapi pukulan itu hanya mem-
buat sosok si kakek membalik ke atas sedikit lalu kembali pada ketinggian
seperti semula. Malah
dari mulutnya terdengar suara. "Amboi dinginnya!" Belum lagi suara si kakek
lenyap, dua golok
besar panjang ditangannya berkiblat menghantam
punggung dan bahu adipati. Dalam kagetnya adi-
pati tak sempat lagi menghindar. Tak terelakkan
lagi tubuhnya menjadi sasaran mata golok kem-
bar si kakek. Craas! Craas! Satu jeritan laksana merobek langit. Pung-
gung dan bahu adipati terkoyak lebar, darah me-
nyembur, adipati menggelepar. Tak lama kemu-
dian tewas dalam keadaan tubuh mengenaskan.
Wisang Banto Oleng tentu saja tak dapat
membantu atau menolong adipati karena saat itu
dia tengah menghadapi serangan balik yang dila-
kukan Gento Guyon.
Sebelumnya Gento memang sempat dibuat
tercekat begitu mendapat kenyataan tangkisan
yang dilakukannya malah membuat tangannya
seolah beku bahkan tubuhnya terdorong mundur.
Dia menjadi heran, pertama kali bertemu dengan
Wisang Banto Oleng orang tua itu tak memiliki
ilmu sedahsyat itu. Lalu dari mana si kakek men-
dapatkan ilmu itu. Akhirnya, sambil terus meng-
hindari serangan lawan Gento menemukan satu
kenyataan, tenaga sakti berhawa dingin itu ter-
nyata bersumber dari pedang ditangan si kakek.
"Aku harus merebut pedang itu!" batin si pemuda. Karenanya Gento akhirnya
menyerang lawan dari jarak dekat. Beberapa kali tangannya
terjulur untuk merampas senjata. Tapi lawan ki-
ranya sudah dapat membaca gerakan juga men-
getahui keinginannya. Sambil melompat mundur
tarik tangan yang memegang senjata dari jang-
kauan lawan Wisang Banto Oleng berseru. "Pendekar Sakti 71 Gento Guyon.
Bagaimana mungkin
pendekar sehebat dirimu tidak bermalu melaku-
kan perbuatan rendah hendak merampas senjata
orang! Mana senjata sakti Penggada Bumi yang
kau agulkan selama ini?"
"Ha ha ha. Kau tak usah takut, senjata itu
ada dibalik kantongku. Saat ini aku tak mau
menggunakannya karena takut salah merogoh ke-
liru mengambil." sahut si pemuda.
"Jahanam, kau pasti menyesal karena ter-
lalu meremehkan aku!" teriak Wisang Banto
Oleng. "Lihat senjata...!" sambil berteriak begitu si kakek cabut pedang Tumbal
Sugoro dari rangkanya. Begitu pedang dicabut, udara disekeliling-
nya berubah menjadi redup dan dingin luar biasa.
Dewa Sinting yang tadi sempat dibuat ka-
get mendengar Wisang Banto Oleng menyebut
nama dan gelar si pemuda, kini jadi tambah ter-
cekat. Orang tua yang telah berdiri tegak itu sege-ra silangkan golok besarnya
didepan dada. Mutia-
ra Pelangi jadi cemas dan khawatir dengan kese-
lamatan Gento. Sebaliknya Iblis Edan hanya
mengerang. Sedangkan Setan Sableng delikkan
mata. "Pedang Tumbal Segara?" desis Gento yang pernah mendengar salah satu senjata
andalan yang konon milik penguasa pantai selatan itu.
Walaupun Gento sempat dibuat tercekat.
Tapi Gento malah mengumbar tawanya. "Senjata jelek hitam butut begitu kau
pamerkan didepan-ku!" ejeknya.
"Mulutmu berkata begitu pendekar. Tapi
aku tahu sebenarnya kau gentar setelah melihat
senjataku ini!" dengus si kakek.
"Mungkin pendapatmu benar. Tapi senjata
itu bukan lantas membuat diriku jadi seorang
pengecut lalu melarikan diri sebagaimana yang
pernah kau lakukan! Ha ha ha."
Mendidih darah si kakek mendengar uca-
pan si pemuda. Saat itu timbul keinginannya
menghabisi si pemuda secepat yang dapat dia la-
kukan. Apalagi mengingat kini dirinya hanya
tinggal seorang diri. Maka diawali dengan satu teriakan menggeledek Wisang Banto
Oleng melesat ke depan. Pedang ditangannya menderu member-
sitkan sinar hitam dingin menggidikkan. Pedang
itu bagaikan setan gentayangan menyambar, me-
nusuk dan menebas. Celakanya kemanapun Gen-
to menghindar senjata lawan seakan mengiku-
tinya, hingga membuat Gento jadi sering mati
langkah dan mengumpat habis-habisan.
Lebih celakanya lagi setiap pedang me-


Gento Guyon 19 Dewa Sinting di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyambar, hawa dingin bertabur. Gento merasa-
kan tulang belulangnya menjadi ngilu dan tubuh-
nya laksana beku, walaupun saat itu dia telah sa-
lurkan tenaga dalam berhawa panas untuk me-
lindungi tubuhnya.
"Gento ah...!" Diam-diam Mutiara Pelangi mengeluh dan semakin menghawatirkan
keselamatan Gento.
Dalam belasan jurus kemudian Gento be-
nar-benar terdesak hebat. Dia telah mengerahkan
jurus Belalang Terbang yang kemudian digabung
dengan jurus Congcorang Mabuk, dipadu lagi
dengan jurus-jurus warisan Tabib Setan. Tapi
semua jurus itu hanya dapat dipergunakan untuk
bertahan dan tak mampu dipergunakan untuk
menyerang balik. Malah beberapa jurus dimuka
semua pertahanan yang dilakukan Gento seakan
terkoyak oleh kehebatan sekaligus kedahsyatan
senjata ditangan lawan.
Kini pedang itu membabat ke arah dada.
Kejut pemuda itu bukan main karena hanya seke-
jap senjata telah berada seujung kuku di depan
dada. Laksana kilat pemuda ini jatuhkan diri lalu lepaskan pukulan Dewa Awan
Mengejar Iblis. Sinar panas menderu disertai sambaran angin lak-
sana badai. Tapi begitu pukulan membentur pe-
dang lawan terjadi satu keanehan. Pukulan wari-
san Tabib Setan seolah amblas lenyap ditelan pe-
dang lawan. Wisang Banto Oleng tertawa ngakak.
"Ajalmu telah datang hari ini pendekar
Edan!" teriak si kakek sambil ayunkan pedangnya ke dada si pemuda. Gento
berkelit menghindar
sambil gulingkan tubuhnya ke samping.
Di luar terjadinya perkelahian hidup mati
antara Gento dengan lawannya. Tiga suara kelua-
rkan seruan berbareng.
"Gento Awas!"
Mereka yang berseru itu adalah Setan Sab-
leng, Iblis Edan dan Mutiara Pelangi. Tidak diberi peringatan sekalipun sang
Pendekar sudah tahu
bahaya yang mengancamnya. Dalam keadaan se-
perti itu dimana nyawa sang pendekar berada da-
lam ancaman bahaya besar. Dewa Sinting gelun-
dungkan diri, dua golok kembar aneh ditangan-
nya serentak bergerak menangkis.
Trang! Trang! Terjadi benturan keras berdering. Bunga
api berpijar, si kakek angker terhuyung. Tapi De-
wa Sinting yang kedua tangannya seperti lumpuh
keluar. "Mati biyung, dua golokku tinggal gangang-nya!" Semua orang sama
memandang ke arah si kakek yang terkulai. Ternyata senjata si kakek
aneh memang hanya tinggal gagangnya saja. Ba-
dan golok berpatahan hancur berkeping-keping.
Kenyataan yang terjadi ini jelas membuat semua
orang menjadi terkejut.
Di depannya Wisang Banto Oleng meman-
dang ke arah Dewa Sinting sejenak. Rupanya dia
tidak mengenali orang tua itu. Dengan perasaan
geram dia membentak. "Tua bangka usil, Agaknya kau mau cepat mampus berani
mencampuri urusan orang. Sekarang terimalah kematianmu!" teriak si kakek angker.
Dewa Sinting yang baru saja memulihkan kedua tangannya dengan penyaluran
tenaga sakti tentu tidak sempat menghindar dari
tebasan pedang maut Wisang Banto Oleng.
"Walah mati aku!" pekik si kakek. Mutiara Pelangi yang melihat semua ini jelas
tidak mungkin dapat menolong si kakek, karena jaraknya
yang berada diluar jangkauan juga sang dara da-
lam keadaan terluka. Iblis Edan apalagi.
Hanya sedetik lagi si kakek tewas dihantam
senjata lawan. Pada saat itu Gento yang duduk
setengah berlutut telah mengusap batu kalung
yang tergantung di lehernya. Dalam usapan ketiga
dari kalung batu Raja Langit membersit lima larik sinar putih berkilauan dalam
bentuk lima kepala
singa putih dengan mulut ternganga. Kelima sinar
berujud kepala singa itu dua menghantam ke
arah pedang. Sedangkan yang tiganya lagi meng-
hantam tiga bagian tubuh Wisang Banto Oleng.
Orang tua yang begitu bernafsu untuk membu-
nuh Dewa Sinting itu jadi tercekat begitu men-
dengar suara bergemuruh disertai suara raungan.
Ketika dia menoleh, si kakek jadi tercekat pedang yang seharusnya membacok kini
digerakkan ke samping menangkis sinar yang disangkanya singa
sungguhan. Buum! Lima ledakan dahsyat terjadi berturut-
turut. Si kakek angker menjerit, namun jeritan-
nya lenyap tenggelam ditindih suara ledakan. Da-
lam keadaan tercerai berai tubuh si kakek terpen-
tal. Pedangnya melenting diudara, namun men-
dadak raib begitu meluncur ke bawah seakan ada
satu tangan tak terlihat menyambarnya.
Mutiara Pelangi palingkan muka ke arah
lain begitu melihat keadaan mayat Wisang Banto
Oleng yang sudah tak dapat dikenali lagi. Gento
bangkit berdiri. Dewa Sinting juga ikut bangkit.
Sebagaimana Mutiara Pelangi, kakek ini juga den-
gan penuh rasa kagum memandangi Gento.
"Pemuda hebat, kalung luar biasa. Jika ti-
dak kau tolong aku, nyawaku bisa amblas dan
aku gagal mendidik kedua anak setan itu menjadi
muridku! "kata si kakek.
"Bagaimana keadaanmu orang tua?" tanya
Gento. Si kakek tertawa. "Seperti yang kau lihat, masih ada nafas masih ada
nyawanya." jawab
Dewa Sinting. Gento tertawa. Dia menghampiri Iblis Edan
dan Setan Sableng. Sampai di depan kedua pe-
muda itu dia berhenti sambil bertanya. "Kalian mengapa sampai babak belur
begini. Yang satu
menggaruk badan seperti orang kurapan yang sa-
tunya lagi mengerang seperti kerbau melahirkan.
Ha ha ha."
"Sobat Gento." sahut Setan Sableng. "Kakek jahanam tadi telah menotokku dengan
ilmu Jari Penghancur Tulang. Mengapa kau bunuh dia
sebelum sempat memunahkan totokan ini?"
"Sobat Setan Sableng. Kau tak usah kha-
watir. Kudengar kakek sinting ini berhasrat benar ingin mengangkat kalian
menjadi muridnya. Ikut
saja dengan dia. Dewa Sinting pasti bisa memu-
nahkan totokan itu."
"Kalau bisa sembuh ikut orang gila aku
mau saja." ucap si pemuda.
"Kalau aku tidak. Penyakit gatal ini dia
yang buat. Biarkan aku mati saja!" rutuk Iblis Edan bersungut-sungut sambil
tangan sibuk menggaruk. Mutiara Pelangi berkata. "Dua saudaraku lebih baik ikut apa yang ia
sarankan Gento.
Jika umur kita panjang kelak kita pasti bertemu
lagi." Masih dengan wajah cemberut Iblis Edan menjawab. "Kalau kau yang
memutuskan begitu
aku mana berani menolak. Kau saudaraku, cantik
pula. Akh... kau sendiri hendak kemana" Apa
mau pergi dengan pendekar edan itu. Hati-hati,
dia pemuda mata keranjang!"
"Aku tidak ke mana-mana." jawab si gadis.
Dia lalu melirik ke arah Dewa Sinting. Lalu berka-ta. "Kau bawalah adikku ini.
Didik mereka yang benar. Tapi awas, kalau kau berani membuat mereka celaka aku
akan mencarimu!"
"Ha ha ha. Tak usah takut. Aku akan men-
didik mereka menjadi orang paling tidak waras
sedunia." sahut si kakek. Kemudian dia berpaling pada Gento. "Pendekar, aku
berterima kasih padamu. Kelak aku akan mencarimu untuk memba-
las segala hutang budi dan nyawa yang telah kau
berikan hari ini. Tapi kau harus ingat juga, kau
punya hutang dua golok padaku!"
"Segala golok butut kau persoalkan! Pergi-
lah!" sahut Gento.
Sekali kakek ini berkelebat, Setan Sableng
dan Iblis Edan raib dari pandangan Gento. Dike-
jauhan sana terdengar suara tawa Dewa Sinting,
serta rutuk serapah Iblis Edan dan Setan Sab-
leng. "Tiga manusia gila sudah merat. Aku juga tak mau berlama-lama disini. Atau
kau mau ikut aku?" tanya Gento sambil kedipkan matanya.
Si gadis menggeleng. Gento menarik nafas
kecewa. "Sayang sekali. Mungkin kau ingin menjadi
adipati disini." desah pemuda itu.
"Aku... aku tidak punya niat sama sekali."
jawab sang dara. Sepi tidak ada tanggapan. Keti-
ka Mutiara Pelangi memandang ke arah Gento dia
jadi kaget karena pemuda itu lenyap dari hada-
pannya. Mendadak sang dara merasakan ada sesu-
atu yang hilang dalam dirinya. Hatinya jadi geli-
sah. Tanpa sadar dia melangkah meninggalkan
halaman gedung lalu pergi ke arah lenyapnya
Pendekar Sakti Gento Guyon.
TAMAT Siklututjang....ha..ha..ha...binatang apa
itu" Menurut Tabib Setan makhluk yang satu ini
sangat langka. Sang tabib sempat memper-
taruhkan nyawa untuk mendapapatkannya. Bina-
tang ini mengandung banyak khasiat, antara lain
untuk membangkitkan tenaga dalam dan me-
nangkal racun. Ini khusus dipersembahkan buat
si Gento Guyon GENTO GUYON harus menolong Nyi Sekar
Langit seorang nenek renta yang aslinya adalah
seorang gadis jelita. Benarkah TUJUH PEM-
BANGKIT TENAGA DALAM, yang dikenal sebagai
TUJUH INTI CAKRA dapat memulihkan Nyi Se-
kar" Bagaimana GENTO dapat merubah nenek
menjadi gadis dan gadis menjadi nenek renta"
Bagaimana dengan DIPATI DURGA yang selalu
ingin memaksakan kehendaknya.
Ikuti ceritanya.... jangan ketinggalan.....
ya.....!! Dalam episode: " MAKHLUK KUTUKAN NERAKA "
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pendekar Super Sakti 17 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Si Rase Kumala 6
^