Pencarian

Dewi Penyebar Maut I I I 1

Candika Dewi Penyebar Maut I I I Bagian 1


CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-3 oleh Djokolelono
? Penerbit PT Gramedia,
Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta 10270
Desain dan gambar sampul oleh Djokolelono
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia,
anggota IKAPI, Jakarta, Februari 1989
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
1. DI TUMENGGUNGAN
PASAR ANGKUSA. Di hari pasaran. Seperti juga pasar-
pasar di kota kecil lainnya. Di hari pasaran. Ramai. Hi-ruk-pikuk. Beraneka
macam manusia ada di sana. Para
petani membanjiri pasar itu. Menjual hasil bumi me-
reka. Menjual hasil ternak mereka. Dan membeli ba-
rang-barang yang mereka butuhkan. Atau tak mereka
butuhkan. Orang kota juga berdatangan. Mencoba membeli ba-
rang-barang dengan harga serendah mungkin. Atau...
sekadar tampil saja di pasar itu. Untuk melihat-lihat.
Dan untuk dilihat-lihat.
Tari ada di pasar itu. Sekadar untuk melihat-lihat.
Terutama untuk melenyapkan rasa gundah di hatinya.
Hati gadis itu memang tak keruan. Prahara telah meng-
hancurkan perguruannya. Padepokan Rahtawu entah
kapan akan bangkit lagi.
Apa yang sudah dialaminya sungguh dahsyat.
Mula-mula saudara seperguruannya hilang lenyap.
Kemudian gurunya sendiri telah diserang orang tak di-
kenal hingga akhirnya lengan kanannya harus dipotong.
Lebih mengerikan lagi, seseorang telah mengamuk di
Padepokan Rahtawu. Puluhan warga Rahtawu tewas.
Tara, salah seorang saudara seperguruan yang cukup
menarik perhatian Tari, telah dituduh berhati terlalu lemah menghadapi orang
yang membunuh begitu banyak warga Rahtawu. Tara diputuskan untuk dihukum
mati. Tapi malam itu juga terjadi perubahan. Resi Rha-gani memerintahkan warga
yang masih hidup untuk
"melenyapkan" diri. Perintah rahasia ini sudah disusun sejak belasan tahun
berselang. Para angkatan tua tahu dengan jelas ke mana mereka harus pergi untuk
menyembunyikan diri. Angkatan muda seperti Tari yang
tertinggal sendiri tentu saja tak tahu ke mana mereka.
Tari memang akhirnya ditemani oleh saudara seper-
guruannya, Anengah. Dan kemudian oleh seorang pe-
ngembara kecil bernama Tantri. Mereka mendapatkan
bahwa seseorang benar-benar mendendam pada warga
Rahtawu khususnya. Dan keluarga sanak keturunan
Raden Gajah pada umumnya. Seseorang yang dijuluki
Dewi Candika mulai meminta korban. Banyak-banyak.
Di kaki Gunung Rahtawu saja mereka harus bentrok
dengan kaki-tangan Dewi Pencabut Nyawa itu. Dan di
desa Mirejo mereka bentrok lagi.
Tari mencurigai kemampuan Tantri. Dan ternyata
Tantri memang mempunyai kemampuan sangat luar bi-
asa. Namun ternyata bahkan Tantri takut pada seorang
wanita separuh baya yang memakai jubah biru. Tantri
memang akhirnya terpaksa mengorbankan diri untuk
ditangkap si Jubah Biru agar Tari bisa lolos.
Tari memang lolos. Tetapi hatinya jadi sangat terte-
kan. Ia lolos. Dengan membawa berbagai perasaan berdo-
sa. Pertama, ia tak berusaha berbuat apa pun untuk
mencari keterangan tentang siapa yang sebenarnya me-
runtuhkan Rahtawu. Kedua, ia mau saja mengikuti pe-
tunjuk seseorang yang baru saja dikenalnya. Ketiga, ia meninggalkan Anengah
dalam keadaan luka di tangan
pihak yang tampaknya sangat bermusuhan.
Kini ia berada di pasar Angkusa. Untuk menonton
keramaian pasar agar hatinya sedikit tenang. Dan, toh tidak tertutup kemungkinan
bahwa di hari pasaran
yang ramai ini muncul salah seorang warga Rahtawu...
atau, mungkinkah mereka betul-betul telah mele-
nyapkan diri dengan masuk ke dalam bumi"
Di pasar itu ia menonton. Dan juga ditonton.
Ada seorang pemuda. Bertampang sangat kaya. Ber-
wajah cukup tampan. Dengan kumis tipis yang nakal.
Dan pemuda itu diiringi oleh dua orang yang memiliki
nama julukan yang berbau "kotor". Masakan seseorang
benar-benar punya nama Lingga dan Yoni" Mungkin ju-
ga julukan, karena bentuk tubuh kedua orang itu me-
mang sangat aneh. Lingga kurus kering dan tinggi. Yoni bulat bundar dan gendut.
Mereka menggoda Tari. Dan Tari berpendapat, tak
ada gunanya meladeni mereka. Maka ia bangkit dari
duduknya, mengambil buntalan bekalnya, dan bersiap
untuk pergi. Tapi Lingga, Yoni, dan pemuda itu meng-
halanginya. "E, e, e, mau ke mana, anak manis" Kita kan belum
selesai berbicara?" si pemuda dengan genit mengha-
dang, melemparkan ujung selendangnya yang terbuat
dari kain sutera Cina. "Kau tampak lapar. Ayo makan-
makan dulu di warung... atau, bagaimana kalau ikut ke rumahku?"
"Benar, jadi kau bisa makan mewah sebelum kau
dimakan oleh kemewahan Sang Raden, he he he he...,"
si Yoni tertawa terkekeh-kekeh sambil menutupi mulut-
nya dengan tangannya.
"Tapi apa bisa dia makan mewah, Yoni," kata Lingga.
"Perutnya pastilah tak terbiasa dengan makanan halus
seperti kita."
Tari tak menjawab. Ia menggigit bibir bawah dan ber-
paling. Kembali si pemuda menghadang di depannya.
"Eh, kau benar-benar mau pergi tanpa bicara de-
nganku?" kata si pemuda kini dengan nada dingin. Dan
dari sudut matanya Tari melihat bahwa beberapa orang
telah berkumpul untuk menonton. Mereka agaknya tak
akan menolongnya. Mereka bahkan bersikap menikmati
tontonan yang menyenangkan.
"Maaf, aku harus pergi," kata Tari akhirnya. Si Galih
tertinggal di desa Mirejo. Ia terpaksa memanggul bunta-lannya. Matanya waspada
memperhatikan pemuda itu.
"Ck, ck, ck... bukan begitu mestinya berhadapan
denganku, Manis. Kau pasti dari pucuk gunung ya, kok
belum kenal Wirada, putra Rakryan Tumenggung Kuri-
pan?" Lingga tertawa sekali lagi sambil melihat berkeliling. Dan memang nama itu
cukup berpengaruh pada
beberapa orang yang berdiri menonton. Si pemuda pun
bertolak pinggang dan memandang berkeliling dengan
bangga. Tentu saja nama itu tak ada artinya bagi Tari.
"Aku sangat berterima kasih bisa berjumpa sarika,"
kata Tari kepada Lingga, dengan sikap semanis mung-
kin. "Tapi aku ada keperluan lain. Maafkan."
"Mengapa kau tak bicara langsung denganku, Ma-
nis?" goda si pemuda yang ternyata bernama Wirada
itu. "Hamba hanya seorang petani tak punya," kata Tari lagi. "Dan hamba tak tahu
tatakrama. Mana hamba berani berbicara dengan Paduka. Maka, biarkan hamba
lewat, Rakryan."
Tari sendiri merasa kaku. Ia tahu kalimat yang baru
diucapkannya terasa luar biasa jeleknya. Tapi hanya itu yang terpikir olehnya.
Walaupun kini ada orang yang
menghadang, ia memang tak merasa takut. Tetapi ia
harus memikirkan apa dampaknya jika ia, misalnya,
melawan. Agaknya pemuda itu putra seorang tumeng-
gung. Dan kita harus berhati-hati menghadapi keluarga atau handai-tolan seorang
pejabat tinggi. Itulah yang selalu diajarkan oleh Bibi Madraka jika mereka
sedang dalam perjalanan keagamaan.
"Maaf, Raden, hamba ada keperluan lain. Betul-betul
tak bisa hamba memenuhi panggilan Raden. Sungguh
hamba tak terlalu beruntung," kata Tari dengan sikap
betul-betul merendah. Kalau ia bisa memaki, mau rasa-
nya ia memaki dirinya seberat-beratnya.
Orang yang dipanggil Lingga tertawa hingga perutnya
yang buncit cacingan terkiyal-kiyal. "Eh, Raden, kau-
dengar itu" Aku yakin dia memang anak desa Ara Plasa!
Wah, gadis-gadis daerah itu terkenal panas lho, Raden.
Panas dan pedas. Sungguh rugi kalau Raden tak me-
makannya... eh, maksudku, mengundangnya makan,
he he he...."
"Namamu siapa sih, anak perempuan?" tanya si
Gendut yang dipanggil Yoni.
Tari memandang pemuda itu. Dengan demikian ia
ingin memberi kesan bahwa ia sangat menghormati pu-
tra tumenggung itu. Ia bisa menebak bahwa baik Lingga maupun Yoni hanyalah
pelayan saja, kalau perlu tak
usah diperhatikannya. Mudah-mudahan dengan demi-
kian putra tumenggung itu akan sedikit lunak padanya.
Memang. Si pemuda tampak tersenyum bangga.
"Jawablah pertanyaannya," katanya angkuh.
"Tapi... hamba belum tahu nama harum rahadyan
sanghulun," kata Tari sambil mencari-cari akal.
"Ah, kau kan sudah dengar... atau tanyakan pada
siapa saja di pasar ini," Yoni tertawa.
"Kami berdua pun terkenal, lho! He he he...," si Ling-ga juga tertawa. "Tanyakan
juga pada semua orang di
pasar ini. Terutama si Yoni ini, dia tidak pernah bayar jika beli apa pun!"
"Enggak kok, itu kan karena orang-orang merasa be-
rutang budi padaku. Lha pasar ini milik... anu, milik rahadyan ini kok."
"Hamba betul-betul harus pergi, Raden," Tari pura-
pura tak menghiraukan kedua orang ini.
"He, jangan pergi! Lingga, Yoni, jangan bercanda. Ka-
takan padanya siapa aku ini, he," kata si pemuda.
"Dasar anak desa tuli kok, Raden," gerutu Lingga.
"Dengar, Anak perempuan, kau ini tidak cantik, tahu!
Kalau majikanku mau, sehari sarika sanggup memperoleh tujuh orang gadis seperti
kau, tahu! Itu pun hanya dalam sehari!"
"Ho-oh!" kata Yoni. "Ho-oh, ya, Lingga?"
"Aku tak punya waktu...," Tari berlagak hendak per-
gi, seolah tak sabar mendengarkan kedua orang hamba
itu. "Jangan. Lingga, jangan banyak ngomong," bahkan
si pemuda pun tak sabar.
"Baik, baik, Raden," Lingga bergegas berkata. "Cuma
... tampaknya gadis ini hanya akan membawa mala-
petaka saja. Lihat saja, masakan ada anak perempuan
desa secerewet ini... pasti di desanya tidak laku."
"Benar, pastilah ia dibawa ke sini oleh orang tuanya
untuk dijual. Gadis secerewet ini mana ada yang mau.
Sudahlah, Raden, berikan saja padaku!" kata Yoni.
Sungguh menyebalkan, pikir Tari. Mereka semua, ia
dan ketiga orang itu, seperti tontonan saja. Makin lama makin banyak orang yang
datang menonton. Hanya karena mungkin mereka tak punya kerjaan saja. Beberapa
prajurit yang menjaga keamanan pasar bahkan tampak
tersenyum-senyum pada Lingga dan Yoni, membuat ke-
dua orang ini semakin berani. Melihat gerak-gerik si
pemuda kaya itu, Tari yakin dengan tiga kali gerak saja si pemuda dapat
dirobohkannya. Tapi jika ini memang
daerah si anak tumenggung itu, bisa ramai kejadiannya nanti. Bisa-bisa ia
dikeroyok orang satu pasar yang pasti akan berebut jasa membantu si pemuda. Dan
walau- pun ia tak menggebrak si pemuda, pasti akan sulit un-
tuk meloloskan diri dari mereka.
"Kura-kura juga kalian berdua!" maki si pemuda.
"Kalian mau kucincang?" si pemuda betul-betul meng-
hunus pedangnya. Tapi agaknya lebih untuk memamer-
kan betapa hulu pedang itu berhiaskan butir-butir berlian gemerlap. Sempat juga
Tari berpikir apa gunanya
permata gemerlapan itu seandainya pedang tadi digu-
nakan dalam pertempuran.
"Ampun, Raden...." Si Yoni memegang kepalanya.
"Aku juga minta ampun. Raden..." Lingga mundur
cepat-cepat. "Anu... gadis cerewet, tuanku ini bernama Raden Wirada. Kauingat-
ingat itu. Sarika putra Rakryan Tumenggung Kuripan. Nah, kalau mau pingsan
cepat-cepat pingsan situ... tak tiap hari lho kau bisa bertemu dengan orang
tampan... apalagi seorang anak tumenggung. Tumenggung, lho! Mimpi apa kau
semalam!" "Kalau begitu maafkan semua kekurang-ajaran ham-
ba, rahadyan sanghulun," Tari langsung menjatuhkan
diri ke tanah dan menghaturkan sembah. Ah, sesung-
guhnya tak sudi ia berbuat seperti itu. Tetapi memang begitulah jika mau lolos
tanpa banyak berkorban. Korban perasaan sih boleh. Tetapi ternyata Raden Wirada
itu tidak puas hanya dengan korban perasaan. Ia tertawa keras sambil mengelus
kumisnya yang tipis. Dan ia
mendekat hingga tinggal berjarak satu langkah dekat
Tari yang bersimpuh di tanah itu.
"Kau anak perempuan desa yang tolol, agaknya cu-
kup punya bakat untuk diajar sopan santun, ya," Raden Wirada tersenyum-senyum.
"Dan mukamu... ya, kalau
sudah diberikan pada Emban Ulan, pastilah kau tak ka-
lah dengan putri pingitan, he he he.... O ya, siapa namamu?"
"Nama hamba... Turi, Raden," Tari sedikit gugup ber-
dusta. "Hamba memang dari... Ara Plasa. Sungguh ber-
kah Dewata hamba dapat berbicara dengan rahadyan sanghulun. Tapi hamba harus
segera pergi...."
"Oho, itu tidak boleh... itu tidak boleh," kata Raden Wirada dengan tangan kiri
di pinggang dan tangan ka-
nan mengacungkan sebatang jari. "Aku akan sangat
tersinggung bila kau tak ikut aku. Dan kalau aku ter-
singgung, wah, sangat menyeramkan, ya!" Ia mengang-
gukkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, setuju dengan
pernyataannya sendiri.
"Tapi hamba harus segera pergi... saudara hamba
menunggu hamba di Bulak Amba. Mereka... sedang
mengantarkan kerbau yang baru kami jual," kata Tari.
Mungkin dengan memberi kesan bahwa ia punya sau-
dara lelaki dan bahwa ia baru menjual kerbau akan di-
peroleh kesan bahwa ia bukannya tanpa pelindung dan
ia bukannya tak berharta. Tapi ternyata harapannya
gagal. Raden Wirada malah besar tertawanya. "Ha, ba-
gus, kalau kau punya saudara lelaki... ya baguslah. Biar ia jadi prajurit, jadi
selalu dekat denganmu... dan kau ikut ke Tumenggungan."


Candika Dewi Penyebar Maut I I I di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bingung Tari. Rasanya tak ada jalan lain untuk me-
loloskan diri dari pemuda hidung belang ini.
"Be... begini..." Tari berpikir cepat. Ia harus menghajar pemuda ini. Tetapi
tidak di sini. "Bagaimana kalau kita pergi ke Bulak Amba dulu... baru kemudian
pergi ke istana rahadyan sanghulun" Pasti ayah hamba juga sangat gembira hamba
mendapat panggilan dari rahadyan sanghulun."
"Kau pasti akan berkata bahwa ayahmu galak, ya"
He he he... jangan khawatir, aku sudah sering makan
bapaknya gadis-gadis kok.... Ayo jalan. Biar kami antar ke sana. Lingga, Yoni,
kudaku. Lalu kalian berdua naik kuda Yoni. Biar anak manis ini naik kuda
Lingga." "Walah, sudahlah, Raden, untuk apa Raden ber-
main-main dengan anak ini. Lebih baik kita main ke
rumah Bibi Layar, sudah jelas dapat makanan, gadis-
nya cantik-cantik... wangi lagi," gerutu Lingga.
"Benar, Raden."
"Pokoknya kalian tutup mulut!" gemas Raden Wirada
memukul Yoni dengan sarung pedangnya. "Cepat jalan!"
Terpaksa Lingga dan Yoni bergegas pergi. Raden Wi-
rada tersenyum pada orang-orang yang menonton di se-
keliling mereka.
Kemudian ia berpaling memperhatikan Tari. "Coba
berdiri," katanya.
"Biarlah hamba duduk, Raden," kata Tari.
"Kalau aku berkata berdiri... maka kau harus berdiri.
Kau ingat itu, ya. Ayo berdiri," Raden Wirada menjen-
tikkan jarinya. Ragu-ragu Tari berdiri.
"Ah... orang-orang itu buta," Raden Wirada mengge-
lengkan kepala. "Sedikit dirawat saja kau akan jadi se-cantik bidadari. Jangan
khawatir. Kau akan memper-
oleh baju bagus, kain bagus... pokoknya lengkap!"
Mereka berkuda santai. Angkusa memang kota kecil.
Hanya sebuah tempat perhentian besar antara Kuripan
dan kotaraja Singasari. Namun agaknya sejauh itu dari Kuripan, Raden Wirada
cukup dikenal. Mungkin karena
itulah Wirada mengendarai kudanya dengan santai saja.
Ia menikmati penghormatan yang diberikan oleh orang-
orang di pinggir jalan. Ia menikmati keadaan di mana
orang-orang menyingkir memberinya jalan.
Tetapi ternyata ada seseorang yang tak mau me-
nyingkir. Hampir di ujung jalan kota, jalanan tiba-tiba sangat
menurun. Kiri-kanan jalan sudah mulai sepi. Rumah-
rumah sudah sangat jarang.
Di tepi jalan itu ada sebatang pohon besar. Dan seo-
rang lelaki berdiri di bawah pohon tersebut. Mengeluselus kudanya.
Lelaki itu tidak terlalu luar biasa. Muda. Gagah. De-
ngan wajah keras. Kulitnya berwarna agak gelap. Kain-
nya sederhana walaupun tampak berharga sangat mah-
al. Dan memiliki disain yang menunjukkan bahwa pe-
makainya keturunan bangsawan.
Kudanya yang tampak luar biasa. Tinggi besar mele-
bihi rata-rata kuda yang ada. Berwarna hitam gelap se-luruhnya. Sama sekali
hitam. Surinya panjang berjurai di kiri-kanan leher, dikepang kecil-kecil hingga
tampak rapi dan indah. Ekornya dipotong pendek, hingga tinggal sekitar satu
jengkal dari pangkal ekor. Kakinya tampak kuat dan tangkas. Kepalanya terangkat
tinggi me- mandang ke sekeliling dengan gagah dan tak acuh.
Dan orang itu tidak minggir saat melihat Raden Wi-
rada dan pengiringnya. Ia tidak juga langsung berjongkok seperti rakyat biasa.
Lingga agaknya masih kesal
karena harus berboncengan dengan Yoni, dan mungkin
karena duduk di belakang Yoni tak bisa melihat jelas, maka ia langsung
menghardik, "He, kunyuk tak punya mata!" katanya. "Tahukah kau siapa yang
lewat?" "Orang yang akan modar jika tidak segera meng-
gelinding turun dari kuda itu," si pemuda menjawab.
Suaranya tenang dan berat.
"Yoni, Lingga, kalian yang tidak bermata. Ini Kakang
Sindura!" kata Raden Wirada. Sambil mencoba terse-
nyum tak acuh. Tapi tidak turun dari kuda. Sebaliknya Lingga dan Yoni betul-
betul gugup berebut melompat
turun hingga kuda mereka sesaat mendepak-depak tak
keruan. "Kau sih punya punggung sebesar gentong!" hardik
Lingga ketus. "E, e, e, kok nyalahin aku. Kepalamu kan ada di atas
kepalaku! Sembah bekti, Raden," Yoni tergesa-gesa me-
nyembah. Lingga harus menghindari kaki kuda dulu
sebelum punya tempat yang baik untuk menyembah.
Orang yang dipanggil Sindura itu sesungguhnya ti-
dak memperhatikan kedua orang itu. Keningnya ber-
kerut dan matanya tajam memandang Tari.
Melihat pandang mata itu, Yoni langsung menghar-
dik Tari, "Anak dusun, cepat turun kau!"
"Tak usah, kami sedang tergesa-gesa," kata Raden
Wirada dengan mata nakal dan suara sedikit gemetar.
Mungkin ia memberanikan diri untuk mengatakan itu.
"Turi, sarika ini adalah kakakku, Ra Sindura, putra Rakryan Rangga dari Kuripan
juga. Kakang Sindura ini
suka mengembara, Turi, untung juga aku menemukan
kau lebih dulu dari sarika, he he he. Dia lumayan juga bukan, Kakang Sindura"
Namanya Turi. Anak dari desa
Ara Plasa. Ia akan memperkenalkan aku dengan orang
tuanya. Yah... Kakang tahu toh desas-desus tentang di-riku" Cuma sesungguhnya
banyak desas-desus itu tak
bisa dipercaya. Pasti yang menyebar desas-desus tersebut orangnya tolol sekali.
Eh, Kakang Sindura selalu
berkata ingin menjaga keamanan negara... mungkin bi-
sa mencari sumber desas-desus itu?"
"Sudah kutemukan dan itu sama sekali tidak lucu,"
kata Ra Sindura sambil terus memperhatikan Tari. "Aku mendapat keterangan bahwa
penyebar desas-desus tentang dirimu adalah kau sendiri. Terutama lewat kedua
kaki-tanganmu itu."
"Lho, kami jangan dilibatkan, Raden," sembah Yoni
"Lagi pula, apa tidak lucu jika kami betul-betul jadi kaki-tangan. Lha kakinya
selangsing aku kok... tangannya seperti kura-kura ini... apa tidak terguling-
guling, Raden?"
"Suatu hari kau akan menyesal punya pelayan seto-
lol kedua orang itu," Ra Sindura masih terus memper-
hatikan Tari. Tari terpaksa menunduk. Pandang mata
pemuda itu begitu tajam dan berwibawa. "Kalian mau
ke mana?" "Oh, sekadar jalan-jalan.... Kakang Sindura tak usah
ikut. Hanya jalan-jalan saja kok," jawab Wirada.
"Hh," dengus Ra Sindura. Kemudian dengan sekali
lompat ia telah duduk lunak di punggung kudanya. Me-
mutar kuda tersebut hingga menghadap ke arah yang
berlawanan dengan kuda-kuda Wirada. "Aku sama se-
kali tidak akan menyesal jika kau tertimpa malapetaka, Wirada," katanya dengan
nada dingin. "Hanya kuin-gatkan... tentang desas-desus lainnya. Tentang seorang
wanita yang haus darah dan telah membunuh banyak
orang di kalangan keluarga Wilwatikta. Menurut desas-
desus orang itu muda. Cantik. Dan aku sudah menyeli-
diki bahwa desas-desus itu bukan sekadar desas-desus
murah seperti yang kaubikin. Semoga kita masih bisa
bertemu lagi."
Tanpa ancang-ancang, kuda itu langsung melesat
bagai terbang. 2. ASAP KUNJANA
MEREKA sampai ke sebuah tanah lapang. Tari tahu ta-
nah lapang itu sebab tadi pagi ia memang lewat situ dalam perjalanan masuk ke
dalam kota. Sebuah tanah la-
pang yang sangat luas. Bahkan sesungguhnya adalah
padang rumput liar yang masih penuh semak belukar di
sana-sini. Dan tempat itu sepi. Hanya sebuah jalan se-tapak membelah padang
rumput itu. Jauh ke tepi pa-
dang rumput di kaki gunung sana. Jalan besar sendiri, jalan besar menuju
Singasari, membatasi tepi kiri padang rumput yang juga berbatasan dengan hutan.
"Mana ayahmu, mana kakakmu?" tanya Yoni yang
kesal dua kali lipat karena harus berbagi punggung ku-da dengan Lingga.
"Mungkin ada di kali sana," kata Tari. "Biar kucari
mereka." Tari akan membelokkan kudanya.
"E, e. Mau ke mana kau, enak saja pergi...." Lingga
melompat turun dari kuda dan bergegas memegang tali
kendali kuda yang ditunggangi Tari. "Ini kudaku, tahu.
Jangan coba-coba jadi maling kuda di hadapanku, ya...
aku dulu sudah tujuh tahun lho berpengalaman sebagai
maling kuda...."
"Aku hanya mau ke sungai, lain tidak," kata Tari seo-
lah tersinggung. "Kalau tidak boleh pergi ya sudah. Kita tunggu saja di sini.
Siapa kesudian pada kuda butut
ini...." Tari betul-betul turun dari kudanya. Tempat ini sangat sepi. Mungkin di
sini ia bisa melampiaskan ke-dongkolan hatinya yang sudah tertumpuk dari tadi.
Ka- lau manusia-manusia kurang ajar ini mau diusir secara baik-baik, maka ia akan
melepaskan mereka. Tetapi jika tidak, yah, hitung-hitung latihan. Tampaknya sih
mereka takkan terlalu tangguh. Tapi... bagaimana kalau du-gaannya itu keliru dan
ternyata ketiga orang itu bisa menguasainya" Yah. Memang bisa kacau. Tak ada sa-
lahnya untuk mencoba.
"Raden, bagaimana kalau Raden kembali saja?" Tari
mencoba bermanis budi pada Wirada. "Mungkin ayah
atau kakakku masih agak lama. Biar kutunggu di sini.
Raden pulang saja... kasihan kalau terkena panas di si-ni." "E, dasar anak
kurang ajar, Raden. Coba... ternyata ia hanya ingin diantarkan saja ke sini,
dasar kurang ajar! Bagaimana kalau hamba hajar saja, Raden?" Yoni
sungguh gemas. Ia melompat turun dari kuda hingga
terasa bumi seakan terguncang.
"Tunggu, Yoni," kata Raden Wirada yang masih bera-
da di punggung kuda. "Turi... betulkah kau berdusta
kepada kami?"
"Tidak, Raden, aku memang menunggu kakakku di
sini," kata Tari.
"Kenapa di tempat yang sesepi ini" Apakah kau tak
takut pada orang jahat?"
"Raden, selama hamba tidak bermaksud jahat pada
orang lain, maka hamba yakin hamba tidak dijahati
orang lain," sahut Tari.
Lingga dan Yoni tertawa terbahak-bahak. "Bagaima-
na kalau justru kami yang akan menjahatimu?" tanya
Lingga. "Rasanya tak mungkin," kata Tari tersenyum lembut.
"Terutama karena di sini ada Raden Wirada. Sarika pasti takkan membiarkan kau
berbuat jahat."
Lingga akan berbicara, tapi dicegah oleh isyarat Wi-
rada. "Aku memang tak mau kau diganggu orang jahat,
Turi, aku begitu sayang padamu," kata Raden Wirada
dengan senyum yang justru menyebalkan hati Tari itu.
"Karenanya, jika sesungguhnya kau menipu kami, dan
di sini tak akan ada ayah atau kakakmu, tak apalah.
Hanya, terlalu kasihan bila kau sendirian di tempat sepi ini. Jadi, ya, ayo ikut
aku saja. Di istanaku kau pasti senang... semua kehendakmu pasti terlaksana!"
Sebagai seorang gadis yang tahu sopan santun maka
Tari sama sekali tak berani mengangkat muka melihat
wajah Wirada. Tapi ia bisa membayangkan pemuda itu
tertawa mengejek.
"Terima kasih, Raden... hamba kira tak usah. Hamba
datang dari pucuk gunung, tak tahu sopan santun,
nanti malah memalukan jika ikut ke istana...."
"Tentang itu kau tak usah khawatir... siapa yang be-
rani mengganggumu biar kulumat kepalanya," kata Ra-
den Wirada tersenyum.
"Terima kasih, Raden... tapi lebih baik hamba tidak
menghadap ke istana. Kalau ayah atau kakakku datang
bagaimana?"
"Aku yakin mereka tak akan datang, Turi, sebab me-
reka hanya ada dalam khayalanmu..." Dan meledak ta-
wa Wirada. "Jangan mungkir, Turi, sesungguhnya su-
dah dari tadi aku tahu kau menipu aku."
"Iyak apa benar, itu, Raden?" tanya Lingga.
"Kalau benar sih keterlaluan berat," kata Yoni. "Ma-
sakan kami terpaksa berkuda bersama... sungguh ke-
terlaluan! Raden mungkin belum pernah tahu rasanya
mendekap Lingga. Suatu pengalaman yang sama sekali
tidak menyenangkan, Raden. Berkeringat, bau, tulang
melulu... dan ternyata sesungguhnya itu tak perlu! Kalau tahu dari tadi kan
lebih baik hamba tinggal saja di pasar. Tidak usah capek, bisa cepat kenyang...
pokoknya yah..."
"Pokoknya kau mau dihukum kisas, bukan?" tanya Wirada kesal.
"O, lha ya jangan begitu, Raden.... Ini... Raden kok
jadi pemarah sekarang, ya Lingga. Mulai hari ini lho si-kapnya kok maraaaah
terus!" kata Yoni.
"Diam kalian!" bentak Raden Wirada, betul-betul
tampak gusar. Lingga dan Yoni mengkeret seketika.
Kemudian Wirada berpaling pada Tari. Wajahnya yang
tampan tersenyum. "Nah, kau, Turi. Sekarang... kau
mau ikut aku kembali ke Tumenggungan, bukan" Ku-
kira tak ada halangan untuk itu. Ayahmu tidak. Kakak-
mu pun tidak."
"Ya, kau harus ikut, tidak boleh tidak," kata Yoni takut-takut, melirik pada
Wirada. "Benar, boleh tidak boleh, kau harus ikut," kata
Lingga melihat Yoni tidak dibentak oleh majikannya.
"Kenapa?" Tari heran.
"Kok tanya kenapa. Kan sudah jelas. Sudah jelas
kan, Yoni?"
"Jelas sudah jelas. Mmmh, kau harus ikut karena...
yang memintamu adalah Raden Wirada!" Yoni gembira
sekali bisa memperoleh alasan itu.
"Benar. Dan Raden Wirada tak pernah tidak terpe-
nuhi permintaannya," kata Lingga. "Jangan coba-coba
menolaknya. Jangan!"
"Kenapa" Justru aku mau menolaknya," kata Tari.
"Kan tidak lucu... tak mau bertamu, dipaksa-paksa bertamu...."
"Aku tidak memaksamu, Turi... hanya, kau harus
ikut. Bisa menyesal kalau tidak."
"Bukan hamba ingin menentang Paduka, Raden, tapi


Candika Dewi Penyebar Maut I I I di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hamba memang ada keperluan lain," kata Tari sambil
menekan perasaan malunya.
"Jika ada aku, Turi, maka keperluanmu hanyalah sa-
tu... memuaskan hatiku. Nah, kau ingin ikut aku atau
tidak" Terus terang saja, Turi. Biar aku juga tak ragu-ragu melayanimu."
"Sudah kukatakan, Raden... hamba tidak bisa," kata
Tari. "Jika kau memang ingin mengatakan kau tidak bisa
sewaktu kau berada di pasar, mungkin kau bisa sela-
mat. Tetapi di padang rumput seluas ini... sesepi ini...
siapa yang akan menolongmu?" tanya Wirada.
Diam-diam Tari mempersiapkan diri, merapikan
kainnya dan berdiri dalam kuda-kuda. "Memang tak
ada, Raden, kecuali aku sendiri. Ayahku mengajariku
mandiri. Jika Raden berkenan, biarlah aku pergi dari
sini." "Wah ini makanan empuk, biar aku yang menangani-
nya, Raden!" kata Lingga melihat ada kesempatan un-
tuk merebut hati majikannya.
"Lebih baik aku saja, ayo beri aku hadiah, majikan,
he he," kata Yoni. "Terlambat juga tak menguntungkan.
Biar uangnya buat beli wanita lagi."
"Wala, wala, Yoni, mengapa omonganmu tak keruan
begitu. Minum tuaknya besok, mabuknya sekarang!"
Lingga tertawa. "Jangan berikan ke dia tugas ini, Raden.
Raden lihat, belum apa-apa kainnya sudah basah!!"
Memang, sesungguhnya tiba-tiba saja ada rasa keta-
kutan yang mencekam hati Yoni saat pandang matanya
bertemu dengan pandang mata Tari. Tak terasa omong-
annya jadi tak keruan dan tak punya arti. Ia segera me-nenangkan diri dan
menekan perasaannya itu dengan
tertawa. "He he he, aku hanya khawatir tak bisa mena-
han diri, Raden... perempuan desa ini apakah cukup
berharga untuk selera Paduka, Raden... apa tidak lebih baik dikasari saja?"
"Dia memang tidak seindah Ndari, Yoni, tapi aku
menginginkannya utuh," kata Wirada masih duduk
enak di punggung kudanya. Ia juga merasa sesuatu
yang aneh. Seolah-olah menghadapi lawan yang sangat
tangguh. Hatinya gelisah. Diperhatikannya setiap gerak Tari. Dan diam-diam
tangannya masuk ke sela-sela kain ikat pinggangnya. Mengambil sebutir peluru
asap andalannya - untuk menghadapi wanita yang sangat diingin-
kannya, bukan menghadapi lawan tangguh di per-
tempuran! Tari sendiri merasa bahwa waktu untuk bermain-
main telah habis. Ia mundur tiga langkah dan seolah
wajar memiringkan tubuhnya ke kiri. Pada mata awam,
tampak ia hanya ingin berbicara dengan Wirada. Se-
sungguhnya ia telah ada pada kedudukan kuda-kuda
yang kuat untuk menghajar Yoni dengan tendangan
Bantala Liwung yang dahsyat. "Terima kasih atas perhatian Raden untuk
mengantarkan hamba ke tempat ini."
Tari menunduk dengan gerakan menyembah. "Kini
hamba mohon diri."
"Jangan terlalu cepat, Genduk," ejek Yoni, dan ia ma-
ju dengan tangan terentang seolah akan menangkap
ayam. "Jika Raden Wirada menghendaki kau pulang
dengan sarika, maka kau harus pulang dengan sarika."
"Jangan mendekat lagi, Paman," ancam Tari dengan
nada dingin. Sikapnya namun masih tetap ramah.
"Alaaa, jangan jual mahal-lah," Yoni tertawa, meng-
ulurkan tangannya.
Kemudian, andaikan saat itu ada petir menyambar
pun, Yoni tak akan sekaget itu. Mendadak saja Tari
mengangkat tangan kiri. Sesaat pandangan Yoni ter-
pancing gerakan ini. Ia sama sekali tak melihat Tari
memutar tubuh dan sebuah tendangan meliuk lang-
sung menghajar dadanya yang tambun.
Yoni menjerit terkejut dan sakit. Sapuan kaki kanan
Tari menyusul. Tubuh bundar bulat Yoni seakan te-
rangkat ke udara dan jatuh berdebum keras sekali. Tari mundur satu langkah dan
bersikap seolah tak ada apa-apa.
"Kurasa Raden dan kedua Paman tak usah mengan-
tar terlalu jauh." Tari membungkuk dan berpaling.
Beberapa saat Raden Wirada dan Lingga memang
terpukau. Gerakan Tari begitu cepat hampir tak terlihat.
Tapi Wirada segera sadar dan berseru pada Lingga, "Ayo Lingga, tangkap dia!"
Tanpa disuruh pun Lingga mungkin telah melabrak
maju. Yoni mungkin selalu bersaing dengannya dalam
banyak hal, tetapi mereka berdua telah bersahabat se-
lama puluhan tahun. Ia tentu tak tega melihat teman-
nya terbanting begitu saja. Dan Lingga sudah langsung tahu bahwa Tari memang
cukup "berisi".
Gerakan Lingga cukup aneh. Dengan kaki-kakinya
melangkah panjang, ia seolah bergerak tak menentu di
kiri-kanan Tari. Tiba-tiba saja tangannya terulur cepat bergantian. Hampir
rambut Tari kena diraihnya. Tapi
kini Tari sudah bersiap, dan segenap indrianya matang menghadapi serangan. Wajar
saja ia merunduk, memutar tubuh dan melompat ke kiri. Dua buah tendangan
beruntun dilancarkannya. Tidak sepenuh tenaga. Ling-
ga terkejut. Tapi dengan kaki-kakinya yang panjang ia masih sanggup menghindar.
Bahkan serangan balasan
pun dilancarkannya.
Betapa pun "genitnya" Wirada, ia adalah seorang
ksatria dan prajurit. Hatinya gembira melihat pertarungan sengit itu. Sambil
terus menggenggam sebutir pe-
luru asap andalannya, ia melompat turun dari kuda,
menerjang Tari sambil berseru pada Lingga, "Minggir
dulu, Lingga!"
Dengan sukacita Lingga membanting diri ke kiri dan
menggelinding menjauh. Wirada sendiri tak segan-segan melancarkan serangan
sengit beruntun, mengurung Ta-ri dari segenap penjuru dengan ancaman pukulan
maut. Makin lama Wirada makin heran. Memang ia bukan-
nya jago Kuripan, tapi paling tidak di antara para angkatan muda ksatria Kuripan
dia salah satu yang sangat diandalkan. Tapi ini... melawan seorang gadis desa
saja napasnya sedemikian sesak" Tari tidak hanya menghindar dan meloloskan diri
dari kurungan ancaman se-
rangan Wirada, tetapi dengan dahsyat ia membalas.
Dan ia melakukannya dengan sepenuh hati. Segala ke-
marahannya yang tadi terpendam kini terlampiaskan
sepuas-puasnya.
Lingga yang sedang membantu Yoni berdiri sangat
terkejut melihat pertempuran itu.
"Hei, Yoni... kaulihat sesuatu yang aneh?" bisiknya
pada Yoni. "Ya, bintang-bintang mengelilingi kepalaku," kata
Yoni sambil memijit-mijit perutnya. "Dan... kau pakai
minyak apa, Lingga" Aku jadi ingin muntah...."
"Tolol, lihat sang Raden itu," Lingga mengguncang
sahabatnya. "Kenapa dia" Rupanya tetap sama, hanya sekarang
dikelilingi bintang-bintang dan aku kepingin muntah...."
"Jangan ngaco! Lihat, junjungan kita tak bisa menga-
lahkan gadis itu!"
"Salahnya sendiri, tenaganya sering dihamburkan-
nya di tempat Bibi Layarmega sih."
Dengan gemas Lingga meremas kepala Yoni dan me-
mutarnya menghadap ke arah pertempuran yang se-
dang terjadi. "Lihat itu dan dengarkan baik-baik, Tolol.
Jangan bicara dulu. Lihat. Junjungan kita terdesak oleh gadis itu. Sarika kini
hanya bisa bertahan. Dan perta-hanannya pun kedodoran. Kaulihat itu?"
"Lihat saja. Kaukira aku buta?"
"Bagus. Apa lagi yang kaulihat?"
"Sialan. Bagaimana sih cara gadis itu mengikat kain-
nya" Bahkan saat menendang tinggi pun kakinya masih
tertutup rapat!"
"Goblok. Lihat gerakan si gadis!"
"Mmmmm, sangat menggiurkan.... Heran, padahal ia
tak begitu cantik kan, Lingga?"
"Sekali lagi kau ngomong tak keruan, kusembelih
kau!" kata Lingga geram. "Kau lihat gerakan kaki dan
kepalan gadis itu. Aku seperti pernah melihatnya. Siapa ya?"
"Hei, kau benar!" tiba-tiba Yoni betul-betul sadar. Ia duduk tegak, matanya
separuh dipicingkan memperhatikan setiap gerakan Tari. Lama ia merenung, sambil
memukul-mukul kepalanya. Lingga yang ikut terpesona
tak terasa ikut pula memukul-mukul kepala Yoni. Dan
Yoni tak merasakannya.
"Aku tahu!" tiba-tiba Yoni dan Lingga berseru bersa-
ma. "APA?" tanya Yoni dan Lingga. Bersamaan.
"Kau dulu," kata Lingga.
"Pada pesta bulan Cayitra...," kata Yoni.
"Ada pertandingan kewiraan antara para ksatria Ku-
ripan - ," sahut Lingga.
"Dan hampir saja junjungan kita jadi juara," kata
Yoni. "Tapi Raden Sindura membikin kacau dengan maju
ke panggung..."
"Dan mengalahkan Raden Wirada..."
"Dengan gerakan yang mirip gerakan gadis itu!"
Kedua orang itu saling pandang. Kemudian mereka
mengamati lagi pertarungan antara Tari dan Wirada.
Kini jelas-jelas Wirada telah terdesak. Dan kini terlihat gerakan Tari semakin
mirip gerakan Ra Sindura. Ini bi-sa berarti besar. Mungkinkah gadis itu satu
perguruan dengan Sindura" Bahkan, mungkinkah Sindura memang menjebak mereka"
"Gunakan, Raden!" teriak Lingga tiba-tiba. Ia sudah
melihat dari tadi bahwa Wirada menggenggam sesuatu.
Ia memikirkan suatu peluru rahasia. Entah apa. Tapi
saat keadaan genting seperti itu mungkin sesuatu yang sangat tidak terduga bisa
menolong. Wirada memikirkan hal yang sama. Tadi ia mencoba
terus bertahan diri hanya karena terdorong oleh rasa
ingin tahu yang amat sangat, di samping ia juga bisa
menikmati suatu pertarungan yang begitu menantang-
nya untuk mengerahkan segenap kebisaannya.
Teriakan Lingga membuat ia sadar. Pertarungan ini
bukan untuk dinikmati, tetapi untuk dimenangkan. Ji-
ka ia sampai jatuh, maka akibatnya akan sangat besar!
Diam-diam ia meremas peluru rahasianya, memutar
tubuh sambil menghindari serangan Tari, dan seraya
melecutkan tangan kanan sebagai suatu serangan, ta-
ngan kirinya menjentrikkan peluru yang telah diremas-
nya itu. Sesungguhnya Tari sudah menduga bahwa lawannya
akan melontarkan serangan dengan senjata rahasia. Ia
pun sudah bersiap dan berwaspada. Jika peluru itu ber-bentuk benda padat,
mungkin bisa ditangkap atau di-
tangkisnya. Tetapi peluru itu menghambur langsung
mengepul menjadi asap biru yang langsung menyelimuti
dirinya. Tak sempat lagi Tari menutup pernapasannya.
Kakinya pun langsung terasa lemas. Kepalanya terasa
diliputi oleh rasa kantuk yang amat sangat. Jadi sebegitu berat! Tiada rasa
sakit. Malah terasa nyaman sekali.
Dan semua ototnya pun jadi kendur. Lemas. Dan ia ro-
boh. Sesaat tempat itu sepi. Wirada berdiri terengah-
engah mengembalikan pernapasannya. Lingga berdiri di
belakang Yoni yang sedang akan bangkit berdiri. Semua terpukau. Tubuh Tari
tergeletak di depan mereka. Tidur nyenyak.
"Wuala, walaaa hebat sekali peluru Raden ini.... Begi-tu cespleng! Lebih hebat
dari yang dulu. Apakah ini cip-taan Bibi Emban Layarmega yang terbaru?" tanya
Ling- ga, perlahan menghampiri Tari.
"Benar, Lingga, Bibi Emban menamakannya Butir
Asap Kunjana. Kau tahu... Bibi Emban membuatnya
karena sarika tahu kegemaranku. Peluru ini sesungguhnya untuk menidurkan gadis-
gadis yang aku sukai
tetapi tak mau diajak kerja sama dengan baik. Sama
sekali tak kuduga bahwa peluru ini akan kugunakan
dalam pertempuran. Tetapi hasilnya cukup lumayan,
bukan" Kukira untuk kelak pun aku bisa mengguna-
kannya sebagai senjata rahasia. Bagaimana pendapat-
mu, Lingga?"
"Mungkin juga benar, Raden... agaknya Dewata me-
nuntun tangan Raden... tapi, maafkan hamba, ini me-
mang suatu kebetulan. Memang Bibi Emban Layarmega
menciptakannya untuk menaklukkan gadis. Bagaimana
kalau lawan Paduka seorang pria" Apakah masih tetap
ampuh?" "Kau benar. Kita harus mencobanya," kata Wirada
berpikir-pikir.
"Setuju, Raden... dan untuk mencobanya, jangan
tanggung-tanggung... cobakan saja pada pria yang tu-
buhnya besar luar biasa, jadi kita tahu kekuatan Butir Asap Kunjana itu
bagaimana. Nah, paling tepat, cobalah pada Yoni ini, Raden!"
"E, e, e, Tunggu dulu!" susah payah Yoni berdiri.
"Tunggu dulu! Kita pikirkan hal lain yang lebih penting, Raden. Soal mencoba sih
gampang. Ini... mari kita urus gadis ini dulu. Apakah kita biarkan tergeletak
saja di si-ni" Hamba usulkan, bawa saja ke rumah hamba. Biar
hamba urus. Kebetulan istri hamba yang cerewet itu sedang pergi ke Gaundang.
Dengan anak-anaknya. Jadi
rumah hamba sepi, Raden."
"Enak saja. Itu memang penting. Tapi tidak harus di
rumah Yoni. Hamba bisa jadi iri, lho. Disimpan di istana Paduka juga tidak aman.
Jika ramanda Paduka tahu,
wah, bisa-bisa Raden gigit jari. Dan ada hal yang lebih penting... tidakkah
Raden merasakan keanehan gerakan gadis ini?"
"Ya. Benar. Tapi aku masih belum menemukan kea-
nehan apa itu sebenarnya," Raden Wirada berpikir-
pikir. "Raden, kami berdua melihat jelas semua gerakan-
nya, dan kami berdua sependapat... gerakannya mirip
gerakan Raden Sindura!" kata Lingga.
"Apa?" Raden Wirada betul-betul terkejut. Diperhati-
kannya Tari. Kemudian ia saling pandang dengan kedua
pembantunya. "Ya ampun. Benar juga!" bisiknya perlahan. "Lalu...
wah, ada hubungan apa antara gadis ini dengan Kakang
Sindura?" 3. EMBAN LAYARMEGA


Candika Dewi Penyebar Maut I I I di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

LAMA juga ketiga orang itu saling pandang. Padang
rumput itu sunyi. Memang bukan waktunya orang be-
pergian. Lingga memecahkan kesunyian itu dengan ber-
tanya, "Berapa lama ia akan tidur?" sambil menoleh ke arah Tari yang masih
tergeletak. Kini yang lain seakan baru teringat pada Tari. Tari
tergeletak. Setengah telentang. Dadanya membusung
menantang. Dan kainnya sedikit tersingkap memperli-
hatkan betis yang mulus dan halus. Namun entah ba-
gaimana Raden Wirada yang terkenal hidung belang itu
kini tak bernafsu lagi.
"Ada hubungan apa dia dengan Kakang Sindura?" ia
mengulangi pertanyaan tadi. Perlahan.
"Tadi sewaktu Raden Sindura melihatnya, ia tak me-
nunjukkan perasaan apa pun," kata Yoni.
"Tapi Raden Sindura terkenal dengan pasukan pen-
damnya," kata Lingga. "Mata-matanya tersebar di mana-
mana." "Sayang juga jika ia dibuang begitu saja," sifat buruk Raden Wirada agaknya
kembali. "Kembali ke pertanyaan tadi... berapa lama ia akan
tidur?" tanya Yoni.
"Maksudmu, mungkin Raden Wirada bisa mema-
kainya saat ia belum sadarkan diri?" tanya Lingga.
"Kalau sarika tidak mau, aku kan tidak menolak,"
kata Yoni tertawa terkikik.
"Dia akan tidur sampai sepemakanan sirih," kata Wi-
rada sambil berpikir-pikir. "Setelah itu ia tak akan ber-tenaga sampai sekitar
semalaman. Kemudian seluruh
tenaganya akan pulih. Kalau kita akan menikmatinya,
mungkin sewaktu tenaganya belum pulih semua. Yang
jadi persoalan kini, siapa dia! Kalau dia, misalnya, saudara seperguruan Kakang
Sindura, maka kita akan
mendapat kesulitan. Walaupun dia kita lenyapkan," Wi-
rada mengangguk ke arah Tari, "Toh tadi Kakang Sin-
dura melihatnya bersama kita."
"Bingung, ya, Lingga?" tanya Yoni.
"Kau mungkin tidak. Aku jelas bingung," kata Ling-
ga. "Tapi Raden kita pasti tidak bingung," kata Yoni memandang pada Wirada.
"Jelas. Dia kan majikan. Majikan tidak boleh bingung
lho. Kalau tidak orang bisa jadi bingung. Yang mana
yang majikan yang mana yang pembantu," kata Lingga.
"Kalau soal itu sih, jelas, aku tidak bingung," kata
Yoni. "Lalu yang kaubingungkan apa?" tanya Lingga.
"Kamu ini bingung apa" Tentang itu aku masih bi-
ngung!" "Sudah. Jangan omong tak keruan. Bikin bingung
orang saja," sungut Wirada. "Kita tak bisa membawanya ke Tumenggungan. Pertama,
Ramanda akan ribut. Kedua, kemungkinan Kakang Sindura akan datang dan
mungkin akan curiga melihat gadis ini."
"Jadiii..." Lingga dan Yoni berkata bersamaan.
"Kita bawa saja dia ke tempat Bibi Emban Layarme-
ga," kata Wirada dengan gembira. "Pertama, Bibi Emban selalu mencari orang baru
bagi wisma-nya. Kedua, Bibi Emban punya cukup ilmu untuk menjinakkan anak ini.
Ketiga, karena aku yang titip, maka aku akan mempero-
leh kesempatan utama dengan gadis ini. Keempat, siapa pun dia, dengan garapan
Bibi Emban maka Kakang
Sindura akan tak tertarik lagi pada gadis ini. Jadi kita bebas!"
"Dengan kemungkinan kita mendapat imbalan dapat
menginap di sana tanpa bayar!" kata Lingga dengan ma-
ta bersinar-sinar.
"Ingat waktu dulu kita boleh menginap tanpa bayar?"
Yoni menggelengkan kepala. "Bibi Emban memberi kita
si Truni... wuah! Seminggu aku muntah-muntah terus!"
"Muntahmu kan memang karena rakus makan kela-
pa busuk!" tukas Lingga.
"Susahnya, hidangan yang ada hanya itu," kata Yoni.
"Di situlah letak kerakusanmu, Kawan," kata Lingga.
"Waktu itu aku juga dihidangi kelapa busuk... hhh..."
"Kautolak?" tanya Yoni.
"Tentu tidak. Aku minta lagi," Lingga tertawa. "Lha
enak kok. Perkara muntah sih gampang... semua orang
juga pernah muntah, kan" Untuk apa dirisaukan amat
sih?" "Ingin kubuat kalian berdua muntah-muntah semua.
Sekarang!" sungut Wirada. "Yoni!"
"Saya, Raden?"
"Iya. Kau harus muntah sekarang!" kata Lingga.
"Bukan, Tolol! Kau pergi ke arah utara. Sampai ti-
kungan itu. Cari pedati. Rampas! Ngerti?" kata Wirada.
"Jangan berbelas kasihan lagi. Kalau tidak boleh dirampas... ya beli saja. Nih
uangnya!" Wirada melemparkan sekantung uang pada Yoni. "Ayo cepat!"
"Ba... baik, Raden!" gugup Yoni melompat ke atas
kudanya dan berpacu pergi.
"Kau, Lingga. Kau naik ke atas bukit itu dan lihat kalau ada yang datang. Jika
kami siap berangkat, kau cepat bergabung dengan kami, ya!"
Beberapa saat kemudian, sebuah pedati tua telah
berderak-derak ditarik seekor sapi menuju Kuripan. Yo-ni duduk di tempat
mengemudi. Di dalam pedati itu terbujur Tari yang masih tertidur pulas. Yoni
terus- menerus mengeluh. Sapi itu malas berjalan. Sulit dike-mudikan. Lingga sekali-
sekali menggoda Yoni. Tetapi
sesungguhnya matanya terus mengawasi kiri-kanan.
Mereka memasuki kota menjelang sore. Dan Wirada
langsung membawa pedati itu ke tempat Emban Layar-
mega. Lewat belakang.
Kebanyakan orang-orang lewat pintu belakang jika
datang ke tempat Emban Layarmega. Tempat Emban
Layarmega adalah rumah hiburan bagi para lelaki iseng.
Rumah hiburan ini begitu terkenal hingga sering juga
para pejabat atau saudagar Wilwatikta datang kemari.
Dan tempat ini langganan Wirada.
Beberapa orang wanita menyambut kedatangan Wi-
rada dan kawan-kawannya di halaman depan.
"Aduuuh, sudah lama tidak kemari, Raden... hamba
semua jadi sangat rindu. Aduh, nanti biar hamba yang
meladeni Raden, ya."
"Aku ingin bertemu dengan Bibi Layarmega sendiri,"
kata Wirada. "Bibi Emban sedang istirahat, Raden... aku saja ya
yang melayani" Kan Bibi Emban sudah tua, apa enak-
nya"!" Seorang wanita bertubuh kecil mungil mera-
patkan tubuhnya pada kaki Wirada yang belum turun
dari kudanya. "Ha, kau agaknya orang baru ya di sini," kata Lingga.
"Belum tahu gaya permainan Bibi Layarmega" Biar
tua... tarikannya! Kalian orang baru tak ada seujung
kukunya!" "Idiiiih, coba dulu baru ngoceh, Kang!" si wanita berkata genit.
"Kalau coba sih boleh-boleh saja... asal cuma-cuma
lho. Sekarang?" tanya Yoni dari atas pedatinya.
"Idiiiiih, enak saja. Ayahku bilang, aku tak boleh
main-main dengan tukang pedati... bau sapi, lho, bau
sapiiiii!" wanita itu makin genit melenggak-lenggokkan tubuhnya. Wanita-wanita
lainnya tertawa-tawa bermain
dengan kaki Wirada dan Lingga.
"Siapa namamu?" tanya Wirada.
"Menir Dadu." Si wanita menggoyang-goyangkan ke-
palanya seperti menari. "Hamba yang melayani Paduka,
ya?" "Dengar baik-baik. Kaupanggil Bibi Emban Layarme-
ga sekarang juga. Dengar" Sekarang! Minta temui aku
di halaman dalam."
"Idiiih, Raden. Bibi Emban sedang beristirahat... bi-
sa-bisa dipenggal kepalaku membangunkan sarika."
"Bilang yang memanggilnya adalah Raden Wirada.
Bisa tamat riwayatmu di sini jika kau tidak melakukan perintahku ini, tahu" Ayo,
sudah. Yang lain bubar!"
Suara Wirada memang cukup berwibawa. Wanita-
wanita penghibur itu segera berhamburan masuk kem-
bali. Wirada memberi isyarat untuk membawa pedatinya
masuk ke halaman dalam. "Rumah" Emban Layarmega
bertingkat dua, dan membentuk bangunan seperti em-
pat persegi panjang mengelilingi sebuah halaman da-
lam. Di halaman dalam yang luas ini terdapat semacam
taman yang penuh dengan bunga dan pepohonan. Se-
buah kolam dengan air mancur membuat taman tadi
semakin asri. Semerbak harum bunga dan gemericik
desir air mancur sungguh menyejukkan hati.
Wirada turun dari kudanya, dan membasuh muka di
air mancur tadi. Menghela napas panjang ia duduk di
salah satu batu hias. Yoni dan Lingga tahu gelagat. Jika
majikan mereka termenung-menung seperti itu lebih
baik tidak bersuara.
Bau wangi yang menusuk hidung mengawali mun-
culnya seorang wanita setengah umur yang melangkah
agung masuk ke dalam taman itu lewat tangga dari lan-
tai dua. Bau harum ini agaknya tidak cukup untuk
membangunkan Wirada dari lamunannya. Si wanita
tersenyum dan berdiri di samping Wirada, bermain-
main dengan sekuntum bunga.
"Apakah taman ini begitu jauh lebih indah dari ta-
man di Tumenggungan hingga Raden begitu keseng-
sem?" tanya si wanita.
Wirada tergagap dan langsung berdiri. Kini Emban
Layarmega mundur selangkah dan menghaturkan sem-
bah. "Bibi, aku mohon pertolonganmu," kata Wirada.
"Kapan Paduka tidak minta pertolongan pada ham-
ba, Raden?" Emban Layarmega tersenyum. Walaupun
sudah setengah umur wanita ini masih tampak cantik.
"Kali ini sangat penting," Wirada berjalan beberapa
langkah dan duduk di cabang rendah sebatang pohon
bunga. "Dan ada pula sangkut-pautnya denganmu."
"Wah. Ada apa itu gerangan?"
"Bibi tahu, Bibi telah memberiku beberapa butir
Asap Kunjana."
"Ah, memang Paduka saja yang hamba sayangi dari
semua langganan hamba, Raden. Sungguh. Hanya sa-
tu," Emban Layarmega tersenyum.
"Aku berterima kasih, Bibi. Persoalannya kini... aku
tertarik pada seorang gadis, dan ternyata gadis itu
sungguh tangguh dalam ulah kewiraan. Aku berhasil
menjatuhkannya dengan Asap Kunjana."
"Lalu?"
"Lalu... banyak persoalan. Pertama, bagaimana kalau
si gadis nanti sadar... dia pasti mengamuk. Dia begitu tangguh."
"Mudah," kata Bibi Layarmega.
"Kemudian, kalau aku sudah bosan padanya, ku-
buang ke mana...."
"Jika dia sangat cantik, berikan padaku." Emban
Layarmega mengangguk.
"Ketiga, gadis itu ada sangkut pautnya dengan Ka-
kang Sindura."
Beberapa saat keduanya terdiam.
"Tapi Raden tidak yakin Raden Sindura mengenal-
nya?" Emban Layarmega menebak.
"Memang. Tapi bisa juga ia berpura-pura. Mereka
bertemu. Dan Kakang Sindura lama memandangnya."
"Jadi maksud Raden... aku harus menyembunyikan-
nya sampai nanti Raden bosan padanya... lalu mungkin
melenyapkannya atau menawarkannya pada siapa pun
dengan syarat Raden Sindura tak bisa mengenalinya,
atau..." mata Layarmega bersinar, "... dia tidak mengenal Raden Sindura."
"Tepat sekali, Bibi. Hanya, kalau bisa jangan dile-
nyapkan, atau jangan dijajakan di tempat lain. Aku
akan lama sekali menyukainya."
"Ah, kalau begitu pastilah orang ini istimewa sekali.
Dan itu berarti usahaku tak akan merugi karena menja-
Perjodohan Busur Kumala 5 Tamu Aneh Bingkisan Unik Karya Qing Hong Pendekar Jembel 10
^