Pencarian

Dewi Penyebar Maut X I 2

Candika Dewi Penyebar Maut X I Bagian 2


itu cita-cita untuk kebaikan kami, Raden."
"Jika aku bisa mengalahkan orang-orang Trang Ga-
lih, maka kalian akan bergabung denganku?"
Agak lama Roga merenungi pertanyaan itu.
"Sebetulnya, pertanyaan itu tak boleh hamba jawab,"
katanya akhirnya. "Hamba hanya seorang prajurit. Dan prajurit hanya mengikuti
atasannya. Terkadang dengan membabi buta. Jika Tuan bukan dari Wilwatikta, dan
memusuhi Wilwatikta... Mungkin junjungan kami akan
mau bergabung dengan Tuan."
"Jawabanmu manis dan enak didengar, Roga. Maju-
lah. Aku tak akan membuatmu cedera."
Wara Hita kembali bersiap-siap.
Dan Roga tak sungkan-sungkan lagi.
"Tawuuuur!" teriaknya.
Puluhan prajurit maju serentak. Bergantian mener-
jang Wara Hita. Wara Hita tak menunggu mereka. Ia cepat melesat maju, menyelinap
di antara kelebatan senjata. Dan dengan bentakan-bentakan kecil menghantam
para prajurit itu dengan bagian belakang pedangnya.
Mereka roboh. Tetapi tidak tewas.
Namun serangan terus datang bergelombang. Tem-
pat yang roboh langsung digantikan. Dan ujung-ujung
senjata tajam terus mengancam kulit Wara Hita. Wara
Hita benar-benar harus menunjukkan keterampilannya.
Walaupun ia sakti, rasanya ia akan kehabisan napas
oleh serangan yang terus datang bergelombang itu.
Dan tiba-tiba terdengar suara gong kecil dipukul
nyaring. Serentak pasukan pengepung itu pun mundur.
Bagus, desis Wara Hita. Cara mereka mundur cukup
baik, walaupun tak bisa dibandingkan dengan pasukan-
nya di Trang Galih.
Di pintu gerbang, muncul umbul-umbul merah.
Tanda berontak. Atau apa"
Orang-orang minggir. Dan seseorang yang bersikap
keagung-agungan memajukan kudanya. Diiringi oleh
empat orang yang agaknya cukup berpangkat di desa
ini. Prajurit yang bernama Roga itu berlari ke arah orang tersebut. Mereka berbicara
sebentar. Kemudian orang
itu... turun dari kudanya!
Wara Hita mengernyitkan kening. Ia mengharapkan
seseorang yang kurang ajar, serakah, sombong, atau
apa saja yang membuat ia tak menyesal membunuh.
Walaupun sampai saat ini ia memang tak pernah me-
nyesal membunuh. Tapi agaknya orang desa ini terlalu sopan.
Bekas upacara keagamaan masih tampak di kening
orang itu. "Raden," sapa Roga yang ikut mendekat. "Ini adalah
junjungan hamba, Sang Akuwu Tunggul Reta."
"Maafkan kami orang dusun yang tak tahu tata, Ra-
den." Kembali Wara Hita heran bagaimana orang yang
menyebut diri akuwu itu begitu sopan - bahkan bersi-
kap hampir seperti bawahan. "Menurut Roga yang tak
tahu adat ini, Raden sesungguhnya tak punya ganjelan apa pun terhadap kami. Dan
Raden juga tak punya hubungan dengan Wilwatikta."
"Sang Akuwu benar," sahut Wara Hita singkat.
"Kalau begitu, mohon Raden istirahat dulu di gubuk
kami yang tak ada rupa untuk dipandang. Ada peker-
jaan kami yang tak bisa ditunda. Jika Raden ingin
menghukum kami, lakukan itu setelah pekerjaan kami
selesai. Kami sungguh mohon belas kasihan Raden."
Suara dan lagu orang itu merendah. Namun sorot
matanya melambangkan kekerasan hati.
Wara Hita senang pada orang-orang lugu ini.
"Pekerjaan apakah itu hingga Sang Akuwu sampai
menunda menyambut aku?" ia mencoba bernada meng-
ejek. "Kami tak ingin merepotkan Raden dengan persoalan
kami." Akuwu itu tampaknya tak senang.
"Justru aku ingin repot, Sang Akuwu!" Wara Hita
mendesak. Akuwu Tunggul Reta sesaat menoleh pada prajurit
yang bernama Roga itu. Dan Wara Hita melihat betapa
mereka berdua seolah sahabat saja - yang satu minta
pendapat dan yang lain memberi nasihat hanya dalam
sekilas pandangan mata saja.
"Mohon maaf, kami sungguh tak punya waktu,"
akuwu tadi kemudian berkata. "Pasukan Uteran telah
tiba di batas desa terdepan kami. Kami harus menyam-
butnya. Sudilah Raden minggir."
"Oh, itu!" Wara Hita berpikir-pikir. Mungkin akuwu
ini adalah salah satu 'pusat kecil' Trang Galih. Mungkin ia bisa memperoleh
suatu kegembiraan dengan men-campuri urusan mereka.
"Baiklah, Sang Akuwu... Silakan melanjutkan perja-
lanan. Dan akan kutunggu di wismamu." Dan Wara Hi-
ta betul-betul minggir!
Akuwu Tunggul Reta dan Roga tampak sangat terke-
jut. Ini di luar dugaan mereka, tentu. Mereka hanya
menduga sesungguhnya Wara Hita adalah ksatria Wil-
watikta yang menyamar. Tapi kenapa begitu mengalah"
Tapi tak ada waktu untuk mempersoalkan itu.
"Terima kasih, Raden, nanti kami pun akan meneri-
ma hukuman Raden dengan senang hati." Akuwu
Tunggul Reta mundur tanpa memberi hormat. Berdua
dengan Roga ia berjalan ke kudanya. Sungguh akrab.
Wara Hita memperhatikan kemudian dari berbagai
jurusan muncul prajurit-prajurit desa yang agaknya entah kapan telah menyusup
dan mengepung tempat itu.
Siasat yang terlalu mudah dibaca. Tetapi cukup ampuh untuk menghadapi sesama
desa. Apakah lawan mereka memang sesama prajurit de-
sa" Roga tadi berkata bahwa mereka menghadapi pasu-
kan Wilwatikta.
Wara Hita memperhatikan terus saat para prajurit
itu berjalan seenaknya, diiringi bunyi-bunyian yang ditabuh atas pedati. Roga
dan beberapa orang gagah yang mengiringi Tunggul Reta cukup menunjukkan bahwa
mereka sedikitnya memiliki ilmu kewiraan. Yang lain
mungkin hanya pernah mendengar tentang bagaimana
prajurit biasa bergerak.
Wara Hita bersiul memanggil Tatit Katiga. Kuda itu
dari tadi diam di tempatnya, tak terganggu oleh terjadi-nya perkelahian di
sekelilingnya dan juga tak ada yang mengganggunya.
Wara Hita naik ke punggung Tatit Katiga dan masuk
ke desa. Beberapa prajurit desa yang sudah tua-tua dan agaknya mengangkat parang
pun takkan kuat membukakan pintu gerbang. Mereka menghormat seolah-olah
Wara Hita seorang bangsawan tinggi yang sedang me-
ninjau hasil bumi. Seorang yang agaknya paling tua
bahkan sukarela menuntunkan kuda Wara Hita.
"Siapa namamu, orang tua?" tanya Wara Hita semen-
tara kudanya berjalan seenaknya.
"Nun?" tanya orang tua itu, menangkupkan telapak tangan di balik telinganya.
"Raden ingin kelapa muda"
Nanti hamba carikan, nun."
"Nama! Namamu!" Wara Hita menuding-nuding dada
orang tua itu dan memperjelas kata-katanya.
"Oh, ya... Hamba akan antar Paduka ke tempat ting-
gal Sang Akuwu. Beliau baru beberapa hari ini lho jadi akuwu..."
"Lalu bagaimana beliau bisa jadi akuwu?" Wara Hita
tak mendesak lagi tentang nama itu.
"Oh, itu..." Orang tua itu tertawa. "Maklum, sudah
tua, Raden... Mohon maaf... Nama hamba Bogem. Dulu
waktu muda sih... nama hamba Kebo Gemak. Termasuk
prajurit andalan juga. Hamba pernah menangkap mal-
ing dua orang sekaligus! Sekarang nama hamba dising-
kat saja... Bogem. Yah. Lumayan daripada tak punya
nama." Wara Hita malas meneruskan pembicaraan dengan
orang yang agaknya kurang pendengarannya itu. Ia me-
lihat berkeliling.
Desa ini cukup besar. Rapi. Dan agaknya memang
siap menghadapi serbuan. Pagar-pagar diperkuat de-
ngan ranjau-ranjau bambu runcing. Pintu-pintu diper-
tebal dengan batang-batang kayu besar. Kaum wanita
berpakaian serba ringkas. Dan bersenjata.
"Anu... dulunya Sang Akuwu itu hanya seorang pra-
jurit biasa. Iya, prajurit biasa," kata Bogem lagi penuh keyakinan. "Nun,
bagaimana, Raden?" ia berdiam diri sejenak, seolah-olah mendengarkan omongan
Wara Hi-ta. "Oh, ya, kami memang sudah siap. Hamba bahkan
sudah dua kali makan. Terima kasih, terima kasih. Kalau Paduka ingin bersantap,
bersantap saja di tempat Sang Akuwu. Istri Buyut kami sangat pandai memasak.
Hamba pernah makan makanan sisa Sang Buyut Paga-
lan. Wah. Seperti santapan para dewa! Padahal itu baru sisa, lho!"
Wara Hita merasa tak perlu bertanya lagi pada Ki
Bogem ini. Toh jawabannya akan simpang-siur. Se-
enaknya ia menjalankan kuda di jalan yang lengang itu.
Setiap rumah yang dilewatinya selalu menyembunyikan
orang-orang yang mengintipnya. Wara Hita tak acuh.
Kemudian ia sampai di rumah Akuwu.
4. NYAI BUYUT PAGALAN
RUMAH itu berhalaman luas. Dan besar. Enam orang
prajurit desa mengintip dari sela-sela pintu gerbang, sampai kemudian Ki Bogem
berseru, "Teman! Bukakan
pintu. Ini tamu Gusti Akuwu, kok!"
"Benar, itu, Bogem" Kudengar tadi dia kok ngamuk
di gerbang desa!" Seseorang bertanya sementara yang
lain membukakan pintu gerbang.
"Alaaa, kamu ini. Musim perang mikir sawah! Nanti
musim panen malah berkelahi dengan tetangga. Sudah,
bilang ke Nyai Buyut ada tamu, gitu...," kata Bogem.
Orang itu menggelengkan kepala, tapi berlari juga
masuk. Yang lima lainnya berdiri agak jauh, seolah-olah mengepung Wara Hita dan
Ki Bogem. "Wuah! Kalian tahu apa!" kata Ki Bogem. "Tadi Ra-
den ini dikeroyok seratus orang... wuah! Semuanya roboh! Bahkan Kiai Roga juga
tidak mampu menga-
lahkannya! Untung kemudian Sang Akuwu datang. Dan
atas petunjuk dan perintah beliau, Raden ini mau me-
ngalah. Lagi pula beliau belum bersantap. Makanya kemari dulu untuk mencoba
masakan Nyai Buyut. Kalian
pasti belum pernah merasakan makanan sisa Sang
Buyut dulu, ya! Wuah! Seperti santapan surga!"
"Bogem, jangan banyak bicara, silakan tamu kita
masuk," terdengar suara wanita dari pendapa. Wara Hi-ta turun dari kudanya dan
mendekat. "Biar kudanya hamba urus, Raden!" kata Bogem
gembira dan bangga. Ia menuntun Tatit Katiga pergi.
Di pinggir pendapa berdiri Nyai Buyut. Orang itu
berkabung. Tetapi di pinggangnya terselip sebilah keris.
Dan walaupun sikapnya menghormat, tangan kanannya
tak pernah jauh dari hulu keris itu.
"Maafkan sambutan yang sangat kurang ini... Mohon
nama harum Raden serta asal Paduka?" tanya Nyai
Buyut Pagalan. "Aku hanya orang yang kabur ditiup angin tak ke-
ruan asal tak tentu tujuan. Namaku Ra Hita. Dan sa-rika?"
"Hamba Nyai Buyut dari Pagalan..." Nyai Buyut tun-
duk. "Tapi bukankah ini kedudukan Akuwu" Di mana
pendamping Akuwu?"
"Sang Akuwu memang tidak memiliki pendamping...
karenanya... untuk sementara hamba dititahkan meng-
urus segala sesuatu di rumah besar ini..." Nyai Buyut tunduk kemalu-maluan.
"Hm," Wara Hita kemudian duduk, bersandar di
tiang besar. Sunyi keadaan sekeliling rumah besar tersebut. Sayup-sayup
terdengar suara burung. Sejuk dan bening.
"Nyai Buyut... berkabung?" tanyanya kemudian.
"Benar, Raden... Suami hamba... dan... putra hamba
tewas..." Nyai Buyut makin tunduk.
"Ah, maaf... Coba ceritakan, apa yang telah terjadi..."
Wara Hita bangkit kemudian mendekati seperangkat ga-
melan yang ada di pendapa itu. "Berceritalah... aku bisa mendengarkan sambil
main," katanya tersenyum.
Ia betul-betul memainkan gamelan kayu itu.
Dan setelah tertegun sesaat, Nyai Buyut pun berce-
rita. Suara gamelan yang ditabuh oleh Wara Hita begitu merdu. Mula-mula hanya
berlagu yang enak didengar.
Kemudian memikat. Menyita perhatian. Merenggut suk-
ma mereka yang mendengarnya.
Nyai Buyut tadinya hanya bercerita tentang perten-
tangan antara Akuwu Uteran dan para Buyut Selatan.
Kemudian ia bercerita tentang watak Buyut Pagalan.
Tentang bagaimana jiwanya tertekan. Bagaimana putra
tunggalnya tertekan. Bagaimana sesungguhnya putra
tunggal itu bukan putra Buyut Pagalan sendiri. Bagaimana ia mencurigai bahwa
sang putra tersebut tewas
karena kehendak Sang Buyut. Kemudian bagaimana
Sang Buyut tewas. Dan digantikan oleh Ki Rota yang
kini bergelar Tunggul Reta. Rota yang dulu pendiam.
Sabar. Menerima apa adanya. Kini jadi akuwu. Rota
yang dulu hanya hamba. Tetapi juga Rota yang dulu
temannya bermain. Dan bahkan sampai saat ia diper-
sunting oleh Buyut Pagalan, Rota merupakan orang
yang paling dekat dengannya. Lebih dekat dari sang su-ami. Bahkan membuahkan si
Rebeg. Semua yang ada dalam hatinya tercurah keluar. Sei-
rama dengan semakin sedihnya lagu yang dimainkan
Wara Hita. Namun tiba-tiba lagu yang begitu lembut mengalun
mengalir, mendadak kacau. Cepat. Lambat. Keras.
Lembut. Dan berhenti. Wara Hita membanting penabuh
gamelan. Nyai Buyut Pagalan bagaikan tercekik, menjerit pen-
dek, dan mundur. Wajah 'pemuda' yang tampan itu me-
rah padam. Matanya membara.
"Kaum lelaki memang keterlaluan mempermainkan
kita, Bibi...," desis Wara Hita geram.
"Ki... kita?" Nyai Buyut heran.
"Kau terlalu lemah jadi wanita! Seenaknya kemau-
anmu ditindas!" gemas Wara Hita berdiri, mengentak


Candika Dewi Penyebar Maut X I di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaki mengepalkan tinju.
"Hamba... hamba tak merasa ditindas...." Ketakutan
Nyai Buyut menyembah. "Mungkin tingkah laku hamba
kurang hingga Kakang Buyut tak berkenan... dan jika
hamba tidak bahagia dengannya... sudah lumrah...
hamba bahagia dengan Ki Rota... Dan... hamba terima...
putra hamba tewas... Mungkin itu hukuman Dewata!"
"Tapi aku tak terima begitu saja!" kata Wara Hita dengan lantang.
"Toh tak ada gunanya, Raden... Segalanya sudah
berlalu..."
Wara Hita menahan diri untuk membentak. Pasti
wanita desa ini tak tahu yang sedang dipikirkannya.
Ia memikirkan dirinya sendiri.
Dan kaum lelaki yang dituduhnya mempermainkan-
nya. Jelas, ada Nagabisikan yang menjanjikan apa saja
untuk mencapai takhta. Tetapi tak pernah terwujud.
Juru Meya mungkin tidak terlalu buruk. Tetapi ia yang merupakan pengasuhnya
sejak kecil kenapa begitu takut pada Nagabisikan" Mengikuti semua siasat yang
di-aturnya hingga sering melupakan kepentingan dirinya, sebagai majikannya yang
utama" Huh. Lalu... yah... Tun Kumala. Pemuda seberang itu.
Wara Hita menarik napas panjang.
Ia merasa terhina oleh tiadanya perhatian dari Tun
Kumala. "YaaaaaaaaaaaaaaaaAAAAAAAAAAAAAAAT!" menda-
dak saja ia menjerit keras dan melompat ke luar penda-pa, ke halaman.
Di sana ia berdiri kaku. Tegar. Matanya nyalang.
Pekikannya tadi membahana dan membuat belasan
orang berlarian datang. Dan semua tertegun terpaku.
Di mata mereka, si pemuda bangsawan bergerak per-
lahan. Kakinya bergeser. Tangannya perlahan terang-
kat. Matanya membelalak tajam. Mulutnya komat-kamit
membaca mantera.
Suasana terasa begitu tegang. Semua mata tertuju
pada sosok bertubuh kecil di halaman luas itu. Semua merasa seolah-olah udara
mendadak panas. Pengap.
Sesak. Menekan. Menunggu meledak.
"WAJRAPRAYAGAAAA!" tiba-tiba Wara Hita meme-
kik. Tubuhnya melompat dan turun dengan kuda-kuda
mantap. Kedua tangan diangkat tegang dan mendadak
seolah-olah seluruh tubuhnya membara!
Beberapa prajurit tua muncul. Mereka kebingungan.
Berteriak-teriak. Lari ke sana kemari. Menyiapkan senjata tapi tak tahu untuk
apa. "Goblok semua! Lari saja!" itu teriak Ki Bogem. "Dia kemasukan gandarwa!"
Kembali semua ribut. Lari saling bertubrukan.
Dan tiba-tiba Wara Hita melompat tinggi. Memekik
keras. Tangannya menghantam.
Orang-orang menjerit. Dan seolah-olah terdengar de-
ru angin dahsyat. Hawa panas. Pintu gerbang yang ja-
raknya sekitar sepuluh langkah dari Wara Hita mele-
dak. Semburat. Hancur berkeping-keping. Dan roboh
gemuruh. Kemudian semua sunyi.
Kemudian terdengar suara gumam beberapa orang
mengucapkan mantera. Dan suara tangis. Dan bebe-
rapa batu menggelinding jatuh.
Di tengah halaman berdiri Wara Hita. Kain penutup
bagian atas tubuhnya koyak-koyak dan bertebaran di-
tiup angin. Rambutnya terurai.
Kecantikannya membuat semua orang terpukau.
Sesaat tubuhnya yang indah itu bagaikan membara.
Kemudian luruh. Kulitnya yang kuning langsat tampak
nyata dengan pakaiannya yang serba biru dan rambut
yang terurai. Perlahan ia membuang sobekan kain di punggung-
nya. Perlahan ia berjalan ke pinggir pendapa.
"Nyai Buyut!" panggilnya lembut.
Nyai Buyut yang bersembunyi di sudut pendapa be-
berapa saat tak beringsut.
"Nyai Buyut!" panggil Wara Hita lagi.
"Ya... ya... Raden...," gemetar wanita itu mendekat.
"Kumpulkan semua orang di sini. Aku juga bosan
menanti." "Menanti apa..., Raden?" Nyai Buyut kebingungan.
"Aku bosan hanya menunggu." Mata ayu Wara Hita
luruh. "Aku harus merebut kendali. Mulai saat ini!"
"Si... siapakah sesungguhnya... Paduka?"
"Aku keturunan langsung Sang Rajasa. Di tubuhku
mengalir darah Bhre Wirabhumi. Akulah Wara Hita,
yang akan menggulingkan takhta Wilwatikta! Ya. Aku.
Aku sendiri. Aku tak perlu bantuan siapa pun!"
Orang-orang desa itu hanya melongo heran. Seakan
tak seorang pun percaya akan kata-kata itu. Sampai
kemudian Ki Bogem yang juga sudah muncul berkata,
"Ya, bagus kalau begitu, Raden... eh, Gusti Ayu... memang kami tidak akan bisa
memberi bantuan kok...
Yaaaa... kalau sekadar makan dan minum ya bisa saja
... Tuh, Nyai Buyut tuh jago masak, lho... Wah, masakannya... seperti makanan
dewa-dewa... Iya lho, Kang!"
Ia berpaling pada orang di sebelahnya. "Aku pernah merasakan, kok!"
"Hayah! Omong kosong! Kamu makan hidangan Nyai
Buyut" Jangan mimpi!" Orang yang di sebelahnya itu
mengejek. "Lho, lho, lho! Kok tidak percaya... Ya memang sisa, di bekas tempat santap Ki
Buyut... Tapi toh namanya
masih hidangan Nyai Buyut! Ya toh" Ya toh?" ia ber-
tanya kiri-kanan.
"Diam!" bentak Wara Hita kesal. "Semua yang bisa
bawa senjata, kumpul di sini. Kita berangkat sekarang juga! Kita rebut Uteran!"
"Lho, Gusti! Kalau mau beli senjata di sini banyak,
tak perlu jauh-jauh ke Uteran!" kata ki Bogem.
"Huh!" Wara Hita tidak sabar. Tubuhnya seakan tak
bergerak. Tetapi tiba-tiba saja Ki Bogem yang berada sekitar sepuluh langkah di
depannya menjerit. Terangkat, terlempar ke belakang, terbanting, dan tewas
dengan tubuh hangus!
Ribut semua orang. Para prajurit tua itu berlarian
saling tubruk. Kaum wanita berjeritan dan semburat.
"Berhentiiiiii!" jerit Wara Hita gemas. Semua berhen-ti. "Gelarku Dewi Candika,
Sang Pencabut Nyawa! Ka-
lian ikut aku, atau hancur! Pulang semua, dan kembali kemari. Ajak siapa saja
yang masih bisa membawa senjata! Dengar! Kalau kentongan itu berbunyi dan masih
ada yang di rumah... tak usah tanya apa dosa kalian!"
5. DEWI CANDIKA
BEBERAPA saat suasana senyap di tanah luas di batas
desa itu. Tanah itu gersang. Sedikit bersemak-semak di sana-sini. Biasanya anak-
anak gembala empat desa
yang membatasinya menggembalakan ternak mereka di
sini. Tapi kini di perbukitan sebelah utara telah berdiri
siap beberapa gerombolan manusia. Mereka membawa
panji-panji merah tanda berontak. Dan Rota duduk te-
gak di punggung kudanya di pucuk barisan.
Bagi ia dan orang-orang yang bergabung dengannya,
ia adalah seorang akuwu. Akuwu Tunggul Reta.
Bagi orang-orang Wilwatikta ia masih seorang praju-
rit desa yang berontak. Dan semua orang dapat mem-
bunuhnya. Bahkan menerima hadiah untuk itu.
Yang memimpin barisan di perbukitan sebelah sela-
tan bukan sembarang orang. Gugurnya Juru Wira Pra-
kara yang masih merupakan kerabat dekat Sang Bhre
Kuripan merupakan berita besar. Daha yang merupa-
kan tempat terdekat dengan daerah kejadian itu tak
tanggung-tanggung mengirim sebuah pasukan pilihan
di bawah seorang panglima yang sangat terkenal, Arya Barat. Panglima ini pernah
melabrak ke pulau-pulau di timur Nusantara dan sangat tenar dengan permainan
pedang panjangnya - yang benar-benar panjang seperti
daun pisang. Arya Barat tidak tanggung-tanggung. Ia tak mau me-
makai pasukan dari Uteran. Hanya pasukannya sendiri.
Pasukan yang pernah mengobrak-abrik Gurun.
"Itukah pasukan pemberontak itu?" tanya Arya Barat
pada prajurit kepercayaannya, Ki Taluktak.
"Agaknya demikianlah, Gusti." Taluktak menudung-
kan tapak tangan di atas matanya agar tidak silau.
"Pasukan lelucon!" dengus Arya Barat. "Tidak usah
omong-omong lagi. Maju dan bunuh semua mereka.
Jangan beri ampun lagi!"
"Daulat, Gusti!"
Dengan beringas Taluktak mengangkat tombak pu-
sakanya dan menjerit, "Majuuu! Bunuh semua!"
Gemuruh pasukan itu bersorak-sorai menyambut
perintah tersebut. Mereka langsung menghambur berla-
ri dengan berbagai senjata diayun-ayunkan. Teriakan
mereka memang menyeramkan. Dan ini mungkin yang
membuat Akuwu Tunggul Reta tertegun.
"Roga, mereka menyerang ngawur," desisnya pada
Roga yang setia mendampinginya.
"Benar, Gusti." Dengan tenang Roga memperhatikan
pasukan lawan yang berlari mendekat di kejauhan itu.
"Beri isyarat untuk membentuk Gelar Supit Urang, jepit pasukan utama yang
berkumpul di bawah panji-panji hijau itu dan hancurkan pasukan-pasukan sam-
pingnya. Aku dan pasukan Buyut Sumbing akan berada
di supit kiri. Maju!"
Tunggul Reta menggerakkan kudanya maju, semen-
tara Roga bersuit keras dan melambai-lambaikan dua
umbul-umbul merah.
Di seberang padang, Ki Taluktak meloncat berdiri di
atas punggung kudanya. Memang bukan kedudukan
yang mantap untuk berperang, tetapi inilah gayanya.
Berada tinggi di atas kudanya, ia memegang tombak
pusaka di pangkal pegangan dan mengayunkannya ke
kiri dan ke kanan. Bagaikan pedang panjang tombak itu langsung membabat musuh
yang datang mendekat.
Di puncak bukit Arya Barat beberapa saat memper-
hatikan pertempuran di padang di bawahnya itu. Ia tertawa tak bersuara.
"Agul-agul," panggilnya pada seorang pengawal pri-
badinya. "Lihat pasukan kampungan itu... mencoba me-
nerapkan Gelar Supit Urang!"
"Benar, Tuanku... Tuan ingin hamba menghancur-
kan pimpinan supit yang kiri?" tanya Agul-agul.
"Hm... tak usah... mana busur panahmu...," kata
Arya Barat. "Mohon jangan diejek, Tuanku... Ini hanya busur
mainan anak desa..." Agul-agul mempersembahkan bu-
surnya, sebuah busur yang terbuat dari kayu berwarna hitam dan keras bagaikan
besi. "Mmmh, ini yang kauberi nama si Penyapu Angin,
bukan?" Arya Barat beberapa saat menimang-nimang
busur itu. "Busur yang sangat baik. Mana anak panah-
nya...?" "Mungkin akan membuat Paduka sangat kecewa,
Tuanku..." Agul-agul mengajukan tabung panahnya.
"Coba lihat, apakah aku masih sehebat dulu...." Arya Barat memasang sebatang
anak panah dan merentang-kan busurnya.
Saat itu Tunggul Reta sudah berada di kancah per-
tempuran. Dengan tenang ia menebas kiri-kanan. Pra-
jurit lawan bergantian roboh di mana pun ia lewat. Umbul-umbul merahnya
mengikuti terus sampai tiba-tiba
terdengar suara berderak keras.
Sesaat akuwu pemberontak Tunggul Reta terpera-
ngah. Umbul-umbulnya patah!
Dan kemudian terdengar desingan yang dikenalnya.
Anak panah bertenaga luar biasa!
Cepat ia berputar, pedangnya menyambar. Tepat
menghantam putus anak panah Arya Barat yang kedua.
"Kakang Roga! Mahameru!" Tunggul Reta memekik, dan tiba-tiba membelokkan
pasukannya. Di ujung sana, di atas hiruk pikuk pertempuran itu
Roga mendengar pekikan bekas teman sejawatnya. Ini
adalah siasat yang biasa mereka lakukan. Tunggul Reta, atau Rota waktu itu,
bergantian memancing perhatian
musuh terkuat agar Roga bisa mendekati musuh terse-
but. Roga melompat turun dari kudanya, dan kini dengan
beringas menerobos pasukan musuh di depannya.
Mungkin Roga hanya prajurit desa. Tetapi ia betul-
betul perkasa. Bahkan pasukan utama yang pernah me-
labrak Tanah Melayu terpaksa mengakui hal itu. Pasu-
kan yang garang ini kena batunya. Tunggul Reta tidak sungkan-sungkan, melabrak
lawan tanpa pilih pangkat
dan cara. Entah kapan di kedua tangannya telah terpegang pedang panjang. Dan
setiap gerakannya pasti
menghasilkan korban. Tak peduli hanya sebelah kaki.
Atau selebar punggung. Atau tebasan mantap yang
menggelindingkan kepala.
Ki Taluktak terkejut melihat pasukan yang semes-
tinya menjaga Arya Barat seolah tersibak oleh orang
yang satu ini. Ia berteriak pada Agul-agul, "Agul-agul!
Pagari junjungan kita. Jangan terpancing!"
Ia seolah meraba siasat Tunggul Reta. Dengan sedikit gerakan kaki, kudanya
melabrak ke arah akuwu pemberontak itu. Dan bahkan prajuritnya sendiri harus
menyingkir kalau tak ingin tersambar ujung tombak
pusakanya. "Tuanku, ke kiri!" teriak Agul-agul pada Arya Barat.
Ia pun bersuit keras agar pasukan khusus yang dipim-
pinnya terus merapat menjaga sang panglima. Tapi Arya Barat hanya tertawa.
Pedangnya yang sebesar daun pisang diangkatnya tinggi-tinggi dan ia menggeprak
ku- danya, "MAJUUUUUUUUUU!" pekiknya mengatasi hi-
ruk pikuk. "Tuanku!" seru Agul-agul. Terlambat. Arya Barat te-
lah menghambur menuruni bukit.
"TAWUUUUURRRR!" Pada saat yang sama Roga me-
mekik keras, melambaikan pedangnya. Dan sekelompok
pasukan yang tak keruan rupa pakaian dan persenja-
taannya muncul dari balik batu-batu dan semak-
semak. Mereka langsung menghadang gerak Arya Barat,


Candika Dewi Penyebar Maut X I di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seolah tanpa siasat dan tanpa aturan. Wajah-wajah seram, dipoles berbagai warna
seram. Pakaian aneh. Per-senjataannya pun ngawur: pemotong rumput, alu, tom-
bak berujung dua, gada, bola-bola besi dengan rantai...
apa saja. Bahkan ada yang membawa kantong berisi ba-
tu untuk dilempar-lemparkan.
Ini adalah pasukan maling. Roga telah mengumpul-
kan para penjahat di daerahnya, dan dengan sedikit do-rongan dan tekanan, kini
melepaskan mereka di medan
perang, untuk berbuat sesuka hati mereka!
Dan bahkan para prajurit yang telah teruji oleh keke-jaman pertempuran di tanah
seberang jadi bergidik melihat tingkah mereka. Tingkah polah pasukan aneh ini
terkadang menjijikkan, terkadang begitu kejam hingga
para prajurit yang paling berpengalaman pun terpaksa berpaling..., hingga lengah
dan berakibat menggelin-dingnya lagi sebuah kepala.
Agul-agul susah payah mencoba memagari junju-
ngannya. Beberapa kali ia harus menghindari lempa-
ran-lemparan kepala atau kutungan anggota tubuh pra-
juritnya, atau semburan darah dari mulut lawan... bukan darah mereka sendiri,
tetapi darah yang mereka
isap dari prajurit yang telah tewas.
Taluktak melihat hal itu dari kejauhan, tetapi ia tak bisa mendekat. Tunggul
Reta telah mengikatnya dalam
pertarungan yang ketat. Ia agak lega melihat betapa
junjungannya, Arya Barat masih tetap bertahan.
Dan Arya Barat memang panglima perkasa. Ia tak
terpengaruh oleh pertunjukan maut di sekelilingnya.
Lebih dari itu, pedangnya yang selebar daun pisang itu membuatnya tak bisa
didekati. Ia bahkan tertawa ter-bahak-bahak jika sebuah potongan tubuh
dilemparkan padanya... dan celakalah si pelempar - Arya Barat me-
ngejarnya terus sampai si pelempar roboh oleh hantam-an pedang raksasanya. Ia
merasa tempat bergeraknya
makin lapang. Mungkin lawan ngeri oleh sepak terjangnya dan menjauh. Mungkin...
mungkin... para prajuritnya sudah begitu banyak yang roboh dan ia tinggal
sendiri... Arya Barat sesaat berhenti.
Ia tertegun. Ia memang sendiri. Di tempat lain per-
tempuran masih berkecamuk. Tapi di sekelilingnya te-
lah terbentuk sebidang tanah kosong. Dipagari oleh beberapa orang gagah. Dan...
mereka dari pihak lawan!
Tunggul Reta ada di sana, dengan kaki menginjak
Agul-agul yang tengkurap di tanah. Roga juga ada di si-tu, ia berhasil menerobos
garis perlindungan Taluktak yang kini dikepung dan diganggu oleh pasukan para
penjahat. Buyut Sumbing juga ada. Dengan gada ber-
lumuran darah, menyeringai lebar. Dan beberapa prajurit desa lain. Prajurit
desa! Mata Arya Barat mengatakan bahwa orang-orang ini sungguh punya bakat untuk
menjadi prajurit-prajurit andalan. Sayang mereka berada di pihak pemberontak.
"Bangsat kalian!" tiba-tiba ia membentak. "Hayo ce-
pat tunduk dan menyembah ke arah Wilwatikta sebe-
lum Kiai Wayuludira ini menggelindingkan kepala ka-
lian!" "Tuan Panglima, engkau sungguh gagah!" sahut
Tunggul Reta yang harus berteriak untuk mengatasi hiruk pikuk sekelilingnya.
"Bahkan di hadapan maut pun kau bisa menggertak!"
"Aku akan bunuh diri jika kurasa aku tak sanggup
menumpas kalian!" Arya Barat meludah. "Tak sudi aku
mati oleh senjata-senjata hina itu! Kalian berperang dengan sangat bagus, kuakui
itu. Tapi jalan kalian salah. Menyerahlah, dan kalian kuampuni serta akan ku-
jadikan prajuritku!"
Tunggul Reta tertawa, sementara makin banyak pra-
jurit pemberontak yang mengitari tempat itu. Agaknya mereka telah kekurangan
lawan. Di tempat lain pertempuran memang masih berlangsung, tetapi di bagian te-
ngah padang ini kiranya perlawanan para prajurit Wilwatikta sudah tak berarti
lagi. "Kaujawab sendiri ajakanmu itu, Tuan. Jika aku me-
nyerah, aku hanya jadi prajuritmu. Jika aku menang,
aku bisa jadi raja muda di daerah ini. Pilihan yang sangat mudah, bukan"
Takluklah. Kau bisa jadi praju-
ritku. Atau, kalau kau mau, boleh kukirim kau hidup-
hidup, dan aman, ke Wilwatikta!" kata Tunggul Reta.
"Keparat!" bentak Arya Barat. "Kau memang mengi-
dam jadi mayat!"
Kiai Wayuludira, pedang raksasanya, kemudian
menderu menebas Tunggul Reta. Tunggul Reta tertawa
mengejek. Melompat tinggi dan membalas dengan ceca-
ran kedua pedangnya.
Roga pun tak tinggal diam. Ia memekik melompat
maju. Demikian juga Buyut Sumbing.
Dan Arya Barat masih bertahan. Pedangnya bisa
menjadi perisai sangat ampuh terhadap gada Buyut
Sumbing serta tombak pendek dan keris Ki Roga. Teba-
san pedang raksasa itu juga sangat bertenaga. Bilahnya yang lebar seakan memberi
tenaga tambahan yang dahsyat. Beberapa prajurit yang ikut menonton terbelah
tubuhnya oleh sambaran pedang ini.
Namun Tunggul Reta, Roga, dan Buyut Sumbing te-
rus mendesak. Sekali saat Rota melompat tinggi, menginjak bilah pedang Arya
Barat dan melompat untuk
menghantam kepala panglima itu. Arya Barat cepat me-
nunduk, menghantam Buyut Sumbing yang mencoba
merangsak maju. Teriakan Buyut Sumbing diiringi te-
riakan Arya Barat sendiri. Ternyata Tunggul Reta telah menggulingkan tubuh,
menyerang dari bawah bayang-bayang pedang Arya Barat dan menghantam kakinya.
Arya Barat terlompat dan jatuh tunggang-langgang.
Ternyata kaki kirinya telah terbabat tadi oleh pedang Tunggul Reta!
Belum sempat Arya Barat bangkit, Tunggul Reta,
Buyut Sumbing, dan Roga telah melompat mendekat
dan senjata mereka telah terangkat untuk menurunkan
hantaman terakhir.
Arya Barat mengangkat pedangnya untuk menerima
hantaman itu. "Tunggu!" teriaknya.
"Apa?" tanya Tunggul Reta. "Kau menyerah?"
"Biarkan aku bunuh diri!" kata Arya Barat.
"Mana ada ksatria Wilwatikta menyerah pada nasib?"
tiba-tiba saja suara itu terdengar. Tidak keras, namun cukup nyata di atas
segala hiruk pikuk itu.
Seorang tua telah berdiri di depan Arya Barat, ter-
iring jeritan terkejut Tunggul Reta, Buyut Sumbing, dan Roga yang tiba-tiba
merasakan senjata mereka terpen-tal. "Siapa kau?" tanya Tunggul Reta, dan ia
terkejut. Orang tua itu sesaat tadi menunjukkan wajah sabar,
berwibawa, tenang. Tapi tiba-tiba saja wajah itu keruh.
Mata tua di balik alis mata yang putih tiba-tiba liar. Dan tangan-tangan tua itu
mencengkeram dadanya sendiri.
Kemudian si tua berlompatan, menjerit-jerit, menghantam kalang kabut ke kiri dan
ke kanan. Roga menjerit. Ia mencoba membabat tubuh si tua
dengan kerisnya. Akibatnya membuat ia terkejut. Keris itu bagaikan menghantam
batu. Api memercik dari tinju si kakek. Dan sebuah tenaga gaib mendorong Roga ke
belakang. "Siapa kau?" teriak Tunggul Reta.
Si kakek tak menyahut. Ia kini berdiri dengan kokoh, memasang kuda-kuda, matanya
terpejam rapat tak
menghiraukan para prajurit yang telah berlarian men-
datangi dan mengepungnya.
"Tawur!" teriak Roga yang belum bangkit dari tanah.
Serentak para prajurit maju. Tapi pada saat yang
sama si kakek juga bergerak. Begitu cepat. Begitu bertenaga. Dan begitu berisik.
Tiba-tiba saja udara panas bagaikan menyelimuti
tempat itu. Angin sepanas api menghantam berputar
bagai puting beliung. Siapa pun terhantam roboh, menjerit, dan roboh lagi
terlempar. Tunggul Reta geram, ma-ju mengandalkan kuda-kuda kakinya. Tapi kedua
pe- dangnya tertampar ke samping dan sebuah tendangan
keras membuat dadanya serasa pecah. Roga menjerit
melihat sahabat dan junjungannya roboh. Ia menerjang maju. Ia hanya mampu
membuat tujuh langkah gerakan saat sebuah tinju panas dan keras menghantam ke-
palanya. Buyut Sumbing punya kesempatan untuk menggada
kepala si kakek. Namun Arya Barat yang sejak tadi
menggeletak di tanah tiba-tiba meloncat dan menya-
betkan pedang raksasanya.
"Tuan... terima kasih...," Arya Barat tak sempat me-
nyelesaikan kalimatnya. Si kakek menjerit dan meloncat ke arahnya! Arya Barat
melangkah mundur dan roboh
terguling - ia lupa bahwa kaki kirinya kini hanya sebatas pertengahan betis. Tapi
jatuhnya itu telah menyela-matkan dirinya. Si kakek melesat di atas tubuhnya,
meninggalkan hawa panas yang seolah membakar perut
dan dada Arya Barat. Dan lenyap di kejauhan. Dengan
jerit masih bergema.
Terengah-engah Arya Barat berdiri.
"Kau! Kemari!" pekiknya pada seorang prajuritnya
yang ternyata berhasil menerobos kepungan pasukan
pemberontak dan mendekat. "Dukung aku!"
Arya Barat meloncat dengan satu kaki. Langsung
hinggap di bahu prajurit yang berbadan tinggi-besar itu.
"Hayo, maju, bergabung dengan Ki Taluktak!"
Bagaikan naik di punggung kuda, Arya Barat me-
nyerbu. Darah dari kakinya yang putus membasahi da-
da prajurit itu, tapi keduanya tak peduli. Dari bahu si prajurit Arya Barat
membabat kiri-kanan. Sementara si prajurit leluasa pula menggunakan tombaknya
dengan dilindungi oleh Arya Barat dari atas. Dengan cepat mereka berhasil menerobos dan
bergabung dengan Taluk-
tak. Taluktak pun sigap menggantikan sang prajurit
dengan seekor kuda yang kebetulan ada di dekatnya.
"Taluktak! Gelar Cakramanggilingan! Lindas mereka!"
teriak Arya Barat. Kini ia punya waktu untuk membebat kaki kirinya, sementara
beberapa prajurit pilihan me-ngelilinginya. Taluktak pun melompat ke punggung
ku- da dan menggerakkan dua bendera kecil di tangannya.
Pasukan yang tadi cerai-berai oleh terjangan kaum
pemberontak itu tiba-tiba serentak berseru keras bergema, dan berlarian
meninggalkan tempat masing-
masing berlari berputar berkeliling dengan mengambil kedudukan Arya Barat
sebagai poros putaran.
Pasukan pemberontak masih mencoba mengacaukan
gerak lawan ini. Tapi mereka agaknya tak begitu bersemangat lagi.
"BERHENTIIIIII!" tiba-tiba terdengar teriakan Arya
Barat menggelegar. "DENGAR, HAI CECUNGUK-CECU-
NGUK! PIMPINAN KALIAN TELAH TEWAS SEMUA! ME-
NYERAHLAH!"
Sesaat kemudian sunyi senyap di padang itu.
Pasukan Arya Barat telah rapi kini membentuk Gelar Cakramanggilingan, sekelompok
benteng manusia yang kokoh dan sangat berbahaya di sekeliling panglima mereka.
Pasukan pemberontak sendiri memang kocar-
kacir, dan kebingungan tanpa pimpinan.
"KALIAN DENGAR ITU" PIMPINAN KALIAN TELAH
TEWAS SEMUA! MENYERAHLAH!" teriak Arya Barat la-
gi. "TIDAAAAK!"
Suara yang menjawab itu begitu bening. Keras, na-
mun masih enak didengar. Tidak seperti kerasnya teriakan Arya Barat yang tidak
merata, maka yang ini mem-
buat tiap orang di lapangan luas itu merasakan keras yang sama. Dan jelas ini
suara wanita. Semua berpaling ke puncak bukit yang membatasi
daerah pertempuran.
Seorang wanita berpakaian serba biru duduk gagah
di punggung seekor kuda putih. Agak lama kemudian di kiri-kanannya muncul
beberapa belas orang. Tak berse-ragam. Membawa berbagai senjata yang tak keruan.
Dan penunggang kuda itu memberi isyarat agar orang-
orang ini berhenti, sementara ia kemudian memacu ku-
danya mendekat.
Sisa-sisa pasukan pemberontak memberinya jalan.
Hingga akhirnya ia berhadapan dengan ujung senjata
barisan terluar benteng manusia di sekeliling Arya Barat. "Siapa kau?" teriak
Arya Barat setelah berhasil me-nenangkan diri. Dari kejauhan tampak wanita itu
begitu cantik. Selendang birunya begitu menyilaukan. Arya
Barat memberi isyarat dan kudanya maju perlahan. Ta-
luktak dan beberapa pimpinan prajurit mengikutinya. Ia berhenti di belakang tiga
baris pasukan terluarnya.
"Dan apa maksudmu kemari?"
"Tolol! Aku ingin membabat kepalamu!" sahut wanita
itu tertawa. "Kenapa?" Arya Barat begitu tercengang.
"Sebab kau pasti tak mau menyerah padaku, bu-
kan?" Si wanita menghunus pedangnya. "Begitu juga
para prajuritmu. Jadi... terpaksa kalian kubantai semua!"
Ucapan itu diucapkan begitu manis di wajah yang
sangat cantik hingga tak urung beberapa puluh prajurit tertawa.
"Kau membantai kami?" tanya Arya Barat tak ikut
tertawa. "Biar hamba saja, Junjungan." seorang prajurit lan-
cang berkata. "Hamba saja!"
"Hamba!"
"Hamba!"
Kelancangan pertama segera disambut oleh beberapa
belas prajurit lainnya.
"Baik!" Si wanita tak memutuskan senyumnya. Tapi
mendadak ia lenyap, dan bagaikan cahaya biru ia ber-
kelebat. Cepat sekali. Beberapa gerakan dan ia telah melompat kembali ke atas
kudanya. Beberapa jeritan
ngeri terdengar. Ternyata belasan prajurit telah roboh.
Dengan leher putus. Dan mereka adalah para prajurit
yang kurang ajar tadi!
"Gila!" desis Taluktak. "Siapa kau begitu kejam?"
"Aku Dewi Candika, Dewi Pencabut Nyawa. Kenapa
kau heran" Majulah!" Wanita itu tertawa.
"Tawur!" Taluktak mendahului junjungannya mem-
beri perintah. Wara Hita alias Dewi Candika agaknya memang se-
ngaja memamerkan kesaktiannya. Dengan bentakan-
bentakan berwibawa ia menerjang. Tinju dan tendang-
annya yang dilambari ilmu kesaktian andalannya mem-
buat lawan menjerit dan roboh dengan luka bagaikan
terbakar. Taluktak mencoba menghantamnya dengan
cecaran sambaran tombaknya. Namun Candika begitu
gesit, sesaat di sini, sesaat di sana, terus mengobrak-abrik gelar pasukan yang
kokoh ini. Dan kesempatan
ini tak didiamkan oleh pasukan pemberontak. Tiba-tiba mereka melihat banyak


Candika Dewi Penyebar Maut X I di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lubang di benteng manusia di
depannya. Bersorak sorai mereka menyerbu masuk.
Bersamaan dengan datangnya pasukan campur aduk
bawaan Candika yang juga langsung menyerbu, per-
tempuran pun berkobar lagi makin tak keruan.
"Hei, jangan lari kau!" bentak Arya Barat menerjang-
kan kudanya menembus kerumunan prajuritnya.
"Jangan mimpi!" Dewi Candika melesat ke atas. De-
ngan berlompatan di atas kepala prajurit-prajurit Wilwatikta, ia pun menyambar
Arya Barat. Arya Barat ge-
mas mengayunkan pedang raksasanya. Dewi Candika
tertawa, melompat, dan bertengger di ujung pedang tersebut dan tiba-tiba
menekannya ke bawah. Arya Barat
menjerit. Tenaga injakan itu begitu dahsyat, mau tak mau ia terlempar dari
pelana kudanya.
"Bangsat kau!" bentak Arya Barat.
Dewi Candika mendengus, menghantamkan tangan-
nya ke belakang, ke kiri, sambil badannya berputar, dan menebaskan pedang dari
kanan. Sesaat kemudian kepala Arya Barat telah dicengke-
ramnya. "HEI, KALIAN! PRAJURIT WILWATIKTA! PEMIMPIN-
MU TELAH GUGUR!" teriak Dewi Candika.
"BELA PATI!" jerit Taluktak dan mengamuk makin
ganas. Seruannya disambut sorak sorai gegap gempita.
Para prajurit Wilwatikta itu berperang makin sengit!
Namun tak lama.
Dewi Candika dengan keganasan luar biasa memba-
bat tanpa ampun para pimpinan pasukan. Dan tanpa
pimpinan, para prajurit Wilwatikta kocar-kacir hingga menjadi makanan empuk bagi
para prajurit resmi atau
tidak resmi dari Pagalan.
Beberapa jeritan minta ampun dan menyerah mulai
terdengar. Makin lama makin banyak. Dan akhirnya
kembali padang itu sunyi. Para prajurit Wilwatikta menyerah.
Wara Hita memandangi semua orang di sekeliling-
nya. Yang masih hidup berdiri menjaga jarak atau du-
duk tunduk atau mengurus luka. Yang tewas terkapar
bagai permadani yang robek di sana-sini.
Kenapa harus menunggu lagi, pikir Wara Hita saat
angin membelai rambutnya. Kenapa aku mengikuti pe-
tuah Eyang Guru!
Lihat orang-orang ini. Ia seorang diri. Dan mereka ra-
tusan. Tapi mereka semua tunduk.
Kenapa harus memupuk kesaktian untuk kelak ber-
adu kedigdayaan melawan para pimpinan kerajaan" Ji-
ka orang-orang kecil ini berhasil dikuasainya, siapa yang bisa menggusurnya"
Tidak. Ia tak usah menunggu. Pasukan Trang Galih
pasti jauh lebih hebat dari pasukan campur aduk ini.
Dan ia akan merebut daerah demi daerah dari Wilwa-
tikta. Kalaupun ia gagal, ia akan gagal secara besar-besaran. Sementara jika
harus bersembunyi terus...
Siapa yang akan mendengar namanya"
Ia akan mulai. Dari sini. Sekarang. Ia akan mengam-
bil Uteran. Kemudian mengundang pasukan Trang Ga-
lih. Kemudian menyerbu ke luar.
Dengan atau tanpa Sang Guru!
"Hayo! Maju ke Uteran!" teriaknya.
Disambut sorak sorai gemuruh pasukannya.
6. GEMUT GEMUT, alias Tun Kumala alias Rara Sindu merenungi
api unggun kecil di depannya. Ia sedang memasak air.
Daerah yang begitu jauh dari permukaan tanah itu begi-tu dingin. Apalagi di
dalam gua ini. Madri meringkuk di belakang gua. Prajurit wanita itu masih belum sadarkan diri
sepenuhnya. Sementara Jalak Katenggeng telah diikat erat-erat.
Dan juga tak sadarkan diri oleh hantaman Ki Arhagani.
Paman tua itu entah kini ada di mana. Tiba-tiba saja ia berkata bahwa racun
Kunjana Papa yang diidapnya
akan kumat. Dan kemudian ia lari ke ujung jurang yang bagai tak berujung ini.
Gemut merenungi api di depannya. Dingin. Dan di
luar gelap seperti malam. Tapi ia tahu ini siang. Dari
sedikit sekali celah kerimbunan dedaunan di atas ia bi-sa melihat beberapa titik
cahaya matahari. Jadi ini adalah siang.
Ia hampir tak tahu tentang berlalunya waktu. Hari-
hari dilaluinya dengan memasak - ugh! Betapa ia benci
pada pekerjaan itu! - Merawat Madri yang tak kunjung
sadar, belajar dari si orang tua yang menyebut diri Arhagani itu, serta
'menyiksa' Jalak Katenggeng.
Gemut mengira sesungguhnya Arhagani tidak terlalu
ingin menguras keterangan dari Jalak Katenggeng. Prajurit itu agaknya dijadikan
sasaran latihan bagi jurus-jurus kewiraan yang diajarkannya pada Gemut. Gemut
merasa jurus-jurus yang diajarkan pun sangat sederha-na, terasa hanya sekadar
untuk menggerakkan badan
saja. Tetapi ilmu bersemadi dan penerapan mantra diajarkan dengan bersungguh-
sungguh. Hari-hari pertama adalah hari-hari 'pembersihan' di-
rinya. Dari segala 'ilmu' yang pernah dianutnya. Tentu saja ini sangat mudah,
karena memang baik sebagai
Rara Sindu ataupun Tun Kumala, si Gemut ini sama
sekali tak berilmu. Dan Gemut merasa bahwa orang tua ini betul-betul berniat
baik, hingga ia pun dengan sungguh hati mau mengikuti segala petunjuk. Tak
sulit. Hanya pada hari-hari tertentu, selalu hari kelima, racun Kunjana Papa
yang diidap Ki Arhagani kambuh. Hari ini adalah ketiga kalinya peristiwa seperti
itu terjadi. Ah. Benarkah ia sudah lima belas hari di sini"
Gemut berdiri. "Ssi... siapakah... kkau?"
Suara lemah itu membuatnya cepat berpaling.
"Kakangmbok Madri?" tanyanya berbisik. Dan ter-
tegun. Jikapun Madri sudah sadar betul, mungkinkah
prajurit wanita itu bisa mengenalinya - dengan kepala-
nya yang berambut lucu serta jubah yang terlalu besar
ini" Ia berjalan mendekati wanita prajurit yang kini terbungkus erat-erat
seluruh tubuhnya bagaikan kepom-
pong - hanya menyisakan muka yang rusak bagaikan
terbakar. "Kkau... kau kenal akku?" tanya Madri. Terlalu le-
mah untuk bergerak.
"Yyya... ya... setidaknya... itulah nama yang kau...
kauigaukan..." Gugup Gemut cari alasan. "Jangan ba-
nyak bergerak. Dan jangan minta minum..."
"Siapa... kkau" Ddi mana aku?"
"Aku hanya penduduk desa sini... Kita berada di da-
sar Kali Putih..."
"Tak mungkin... aku di Bengawan... ya... terakhir
aku di Bengawan... di Kuripan!"
"Pamanku menemukanmu... dan membawamu ke-
mari!" "Aku... aku belum mati... setelah pukulan dahsyat
itu?" "Kkau masih dilindungi Dewata, Kakangmbok... Aku
boleh memanggilmu Kakangmbok, bukan?"
"Tak mungkin aku masih hidup... kecuali... kecuali
pamanmu itu... sesakti Dewata!"
"Tidak, tidak... pamanku tabib biasa... hanya kebetulan saja..."
"Kkalau... kalau aku tak mati... pasti-pasti mukaku
rusak! Katakan! Apakah... apakah mukaku... rusak?"
Gemut terkejut juga mendengar pertanyaan itu. Be-
tapapun ganasnya Madri di medan pertempuran, ia
adalah seorang wanita, dan wanita selalu memperhati-
kan penampilannya!
"Ayo! Katakan!"
Gemut tak tahan. Berpaling dan berjalan ke pintu
gua kecil itu. "Mukaku rusak, bukan?" teriak Madri dengan sangat
serak. Di pintu gua Gemut tertunduk. Apa yang harus dika-
takannya" Di belakangnya terdengar Madri terisak menangis.
Madri, yang terkenal sebagai Singa Betina Kuripan. Menangis. Hanya karena muka
yang rusak! "Kemarilah!" terdengar pinta Madri beberapa lama
kemudian. Dan Gemut mendengar nada pasrah pada
kata-kata itu. Ia pun berpaling dan berjalan mendekat lagi.
"Siapa namamu?" tanya Madri.
"Ggg... Gemut," sahut Gemut
"Dan pamanmu?"
"Akku... dia... dia bukan pamanku sebenarnya... Aku
hanya menyebutnya Paman... Aku tak tahu nama sebe-
narnya..."
"Kenapa aku kalian tolong" Kenapa aku tak kalian
biarkan mati saja... Lagi pula... siapa berani selamat da-ri pukulan Sang
Rakryan Mapatih... sama saja dengan
menentang kehendak Dewata!"
"Jadi... kkau bertempur dengan... Rakryan Mapatih?"
bisik Gemut. "Kaukenal dia?" tanya Madri curiga.
"Oh, tidak, tidak..." Gemut gugup. "Hanya... anu...
heran... kau berani melawan Rakryan Mapatih! Pasti...
pasti... ada persoalan sangat besar! Apa... apa yang terjadi?"
"Hmmhh..." Madri agaknya memaksa diri untuk ti-
dak menjawab. "Apakah aku masih... di... daerah Kuripan?"
"Tidak... Kau... kau hanyut di Bengawan, dan dike-
temukan pamanku," kata Gemut.
"Siapa lagi... yang tahu tentang keadaanku... di samping kau dan... pamanmu
itu?" "Aku... aku rasa tidak ada lagi..."
"Ugh... mendekatlah kemari... Leherku serasa terce-
kik... Tolong sedikit longgarkan...," keluh Madri.
"Yang mana?"
Gemut mendekat. Dan tiba-tiba ia terkejut. Dalam
kegelapan gua, dan wajah yang tak keruan itu, mata
Madri bersinar tajam. Dengan nafsu membunuh!
Sesaat kemudian kaki Madri yang terbungkus rapat
oleh kain melecut ke atas. Deras mengarah ke kepala
Gemut! Bersambung ke jilid 12.
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-11
1. TARI 2. NAGABISIKAN 3. AKUWU TUNGGUL RETA
4. NYAI BUYUT PAGALAN
5. DEWI CANDIKA
6. GEMUT Lentera Maut 13 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Pendekar Bayangan Setan 7
^