Pencarian

Iblis Edan 1

Gento Guyon 18 Iblis Edan Bagian 1


1 Satu sosok bayangan serba ungu berkele-
bat menuruni bukit sebelah timur Wadaslintang.
Sampai di satu tempat di bawah kerindangan po-
hon-pohon sosok itu hentikan langkahnya. Ter-
nyata dia seorang kakek tua berwajah angker
dengan sepasang mata menjorok ke dalam rong-
ga, berkumis tebal rambut putih awut-awutan.
Kakek tua berkulit hitam ini berpakaian serba hitam berbadan kurus tinggi
sedangkan badan agak
bongkok. Berada di bawah kerindangan pohon,
sepasang matanya memandang tajam ke arah
pondok miring yang berada di kaki bukit. Tak la-ma si kakek menyeringai sehingga
terlihat gigi- giginya yang hitam menjijikkan. Sejurus kemu-
dian dia memandang ke belakang, lalu berkata tidak jelas ditujukan pada siapa.
"Anak-anakku....
matahari belum lagi terlihat, kabut mengambang
dimana-mana. Dalam keadaan dingin seperti ini,
kalian tentu butuh sesuatu untuk menangsal pe-
rut. Di dalam pondok itu makanan yang kalian
butuhkan tersedia. Hanya segala sesuatunya
memakai aturan. Aku yang punya kuasa punya
aturan. Kalian tunggu aba-aba dariku!" Sekali lagi si kakek perlihatkan seringai
aneh. Di belakangnya dari balik semak belukar
terdengar suara erangan disertai lolong panjang saling bersahut-sahutan.
Si kakek tersenyum, lalu berkelebat menu-
ju pondok di kaki bukit dengan gerakan tidak
menimbulkan suara. Hanya beberapa kejapan sa-
ja dia telah sampai depan pintu pondok. Begitu
sampai orang tua ini berteriak. "Ageng Tirtomoyo, aku Wisang Banto Oleng datang
menyambangi. Harap keluar ada hal penting yang ingin kubica-
rakan!" Gema suara kakek yang mengaku sebagai Wisang Banto Oleng bergema
memecahkan kesunyian. Suara teriakan lenyap, si kakek angker di-am menunggu. Tak
lama dari dalam pondok ter-
dengar ada suara menyahuti. "Matahari belum la-gi terlihat, belek dimataku belum
juga kering. Orang gila dari mana yang berani berteriak mem-
bangunkan tidurku?"
"Ageng Tirtomoyo, kau tidak tuli. Sudah
kukatakan aku Wisang Banto Oleng ingin membi-
carakan urusan penting. Jika tidak mau cepat keluar pondokmu akan ku bakar!"
kata kakek itu mengancam.
"Kurang ajar! Kau jahanam dari gunung
Selamet. Bertamu selagi orang terlelap, mengan-
cam hendak membakar pondok. Kubunuh kau!"
damprat orang dari dalam pondok.
Wisang Banto Oleng menyeringai, dari da-
lam pondok terdengar suara langkah enggan. Pin-
tu pondok kemudian terbuka. Dari balik pintu
yang terkuak muncul sosok tubuh berbadan ge-
muk pendek bertelanjang dada bercelana hitam.
Laki-laki gemuk itu berusia sekitar tujuh pulu-
han. Cuma perawakannya tidak beda dengan
orang yang berumur empat puluhan.
Begitu munculkan diri si kakek berwajah
awet muda mengusap matanya dua kali. Setelah
itu dia memandang ke depan.
Melihat siapa adanya orang di depan sana
kiranya si kakek gemuk pendek mengenali. Se-
hingga tanpa dapat ditahan lagi tawanya meledak.
"Wisang Banto Oleng, serasa kehadiranmu
ini tidak ubahnya seperti mimpi. Puluhan tahun
kita tak bertemu, aku tetap begini saja, awet mu-da tanpa perubahan. Sedangkan
engkau sekarang
bertambah dekil bertambah butut. Wajah dipenu-
hi keriput, kening berkerut. Aku yakin dalam batok kepalamu dijejali berbagai
fikiran busuk yang kau biarkan berlarut-larut. Ha ha ha!" kata si gendut Ageng
Tirtomoyo dengan nada mengandung ejekan.
Wisang Banto Oleng berubah merah padam
wajahnya. Dengan tatap mata mencorong tajam
dia berucap. "Aku bisa maklum, orang yang hendak mampus memang suka bicara
ngaco." Ageng Tirtomoyo berjingkrak kaget dan un-
jukkan muka terkejut. "Wisang Banto Oleng. Tidak kucium bau minuman. Tidak
kulihat kau membawa kendi tuak. Bagaimana kau bisa bicara
melantur seperti orang mabuk di pagi buta begini.
Melihat tampangmu yang celemongan begitu, aku
yakin kau pasti mabuk air comberan. Ah, kasi-
han. Tidak kuat beli tuak mengapa harus air
comberan yang kau buat mabuk, mengapa bukan
air tuba saja biar enak mabukmu"! Ha ha ha." ka-ta Ageng Tirtomoyo disertai tawa
tergelak-gelak.
Segala ucapan kakek gendut pendek ini
membuat darah Wisang Banto Oleng laksana
mendidih. Sesaat dia mencoba menekan pera-
saannya sendiri. Dengan suara bergetar kemu-
dian dia berkata. "Ageng Tirtomoyo, aku datang kemari ingin menanyakan tentang
seorang bocah yang kau asuh sekitar dua puluh tahun yang si-
lam. Pemuda itu aku yakin kini sudah dewasa.
Kuminta kau menyerahkannya padaku jika kau
memang sayangkan nyawamu!" tegas si kakek.
Jika pertama tadi kaget si kakek gemuk ti-
dak dibuat-buat, maka kini segala rasa kejutnya hanya suatu kepura-puraan saja.
Dengan mata terbelalak mulut ternganga dia menyahuti. "Tadi kau bicara soal kematian.
Sekarang kau malah
mengemis minta pemuda yang menjadi muridku.
Jika tidak gila kujamin otakmu sudah miring!"
"Aku tidak gila, otakku juga tidak miring.
Aku minta pemuda itu diserahkan padaku. Jika
tidak kau akan kubunuh!" teriak Wisang Banto Oleng ketus.
Ageng Tirtomoyo sunggingkan seringai
aneh. Dia tahu kakek angker yang saat ini berdiri di depannya adalah salah satu
tokoh golongan hitam yang nama besar dan kejahatannya terkenal
diseluruh penjuru tanah Jawa. Selama ini walau-
pun saling mengenal, tapi diantara mereka tidak ada permusuhan. Jika sekarang
dia datang meminta muridnya yang telah dia didik selama belasan tahun pastilah
semua itu bukan atas kehen-
daknya sendiri. Dengan tenang Ageng Tirtomoyo
berucap. "Pemuda itu bukanlah seorang gadis. Ji-ka kau memintanya apakah hendak
kau jadikan kekasih" Sejak kapan kau mempunyai kelainan
hingga menyukai kaum sejenis?" pancing si kakek pendek.
"Ageng keparat! Aku belum gila untuk
mencintai kaum sejenis. Aku ingin menyerahkan
pemuda itu pada seseorang untuk ditukar dengan
seorang gadis!" tanpa sadar Wisang Banto Oleng mengatakan rahasianya sendiri.
Ageng Tirtomoyo terdiam, otaknya berfikir.
Dia jadi ingat dengan asal-usul sang murid.
Orang tua ini jadi kaget, tapi berusaha menutupi perasaannya dengan berkata.
"Aku ingat sekarang, dajal manusia keji di Purbolinggo ini hanya adipati Suryo
Lagalapang. Mengingat segala kejadian dimasa lalu rasanya tidak salah jika
adipati ingin memusnahkan turunan Karma Sudira.
Sungguh malang orang tua itu. Sudah dipenjara
selama belasan tahun, terpisah pula dari anak-
anaknya, kini anak turun harus memikul bala
yang seharusnya tidak terjadi. Selain itu agaknya Suryo Lagalapang sudah biasa
mempergunakan tanganmu untuk mencapai apa yang dia ingin-
kan! Herannya lagi mengapa manusia sesat seper-
timu tidak cepat mampus ya...?" kata Ageng Tirtomoyo seakan heran sambil geleng
kepala. Wisang Banto Oleng tertawa terkekeh.
"Ageng Tirtomoyo, tidak ada waktu bagiku untuk melayani orang gila sepertimu.
Sekarang suruh keluar muridmu. Setelah itu kujamin aku tidak
akan mengusikmu!" tegas si kakek.
"Walah. Lagakmu keren amat, Banto Oleng.
Muridku yang kau cari itu sekarang ini sudah tidak lagi bersamaku. Dia sudah
bukan manusia lagi tapi telah berubah menjadi Iblis Edan. Jika kau ingin menangkapnya carilah
sendiri. Satu hal yang harus kau ketahui, muridku si Iblis Edan
bukan didikanku. Dia dididik oleh golongan bang-sa lelembut, wewe, juga iblis.
Nah... aku Paduka Raja Iblis telah menenangkan segala sesuatunya.
Sekarang semuanya terpulang padamu. Tinggal-
kan tempat ini! Aku hendak meneruskan tidur-
ku!" selesai berkata, Ageng Tirtomoyo balikkan tubuhnya siap masuk kembali ke
dalam pondok. Namun pada saat itu kakek angker di depan sana
berteriak. "Ageng Tirtomoyo siapa yang percaya dengan segala bualanmu!" selesai
berteriak dia berpaling ke belakangnya sambil berseru. "Anak-anak, hidangan pagi
telah kusediakan. Sekarang
tunggu apa lagi!"
Dari balik semak belukar terdengar suara
lolong menyahuti. Bersamaan dengan terdengar-
nya suara lolongan itu lima sosok tubuh yang
hanya memakai penutup aurat dari cawat melesat
ke arah si kakek gemuk dengan kecepatan luar
biasa sekali. Merasa terkejut dan belum mengetahui
makhluk apa yang menyerangnya Ageng Tirto-
moyo cepat menoleh ke arah belakangnya. Dia ja-
di kaget melihat lima bocah laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun dengan buas
dan penuh kebe-
ringasan menyerangnya. Melihat cara menyerang
yang dilakukan kelima bocah liar ini, sadarlah
Ageng Tirtomoyo bahwa kelima bocah itu tentulah murid Wisang Banto Oleng yang
sejak bayi telah
dididik seperti anak serigala.
Mendapat serangan kelima bocah serigala,
Ageng Tirtomoyo tidak tinggal diam. Sambil me-
lompat ke atas atap pondok dia kibaskan tangan-
nya ke belakang.
Wuuus! Hawa panas menyambar dan langsung me-
nebar bukan saja membuat kelima bocah buas itu
tak dapat melanjutkan gerakannya, tapi juga
memaksa mereka selamatkan diri dengan melom-
pat ke belakang. Di atas atap pondok sambil kerutkan keningnya Ageng Tirtomoyo
berkata. "Wisang Banto Oleng manusia keblinger. Kau betul-
betul edan. Kau didik manusia hingga bertingkah laku seperti binatang. Tapi
terus terang kukatakan padamu, bocah serigala itu belum layak un-
tuk menghadapi aku!"
"Kau kelewat takabur, Tirtomoyo. Sekarang
aku hendak mengobrak-abrik seisi pondokmu.
Sementara untuk mengurus dirimu kuserahkan
pada anak-anak itu!" kata Wisang Banto Oleng.
Selesai berkata kakek tua bertampang dekil ini
segera berkelebat masuk ke dalam pondok. Tapi
Ageng Tirtomoyo jejakkan kakinya ke atap pon-
dok. Atap jebol tubuh si kakek gemuk amblas ke
bawah. Saat itu lawan telah melewati pintu pon-
dok. Karenanya begitu melayang Ageng Tirtomoyo
gerakkan kaki kanannya. Kaki menderu meng-
hantam Wisang Banto Oleng. Mendapat serangan
yang tidak terduga sambil memaki dan tunduk-
kan kepala si kakek berpakaian ungu gerakkan
dua tangannya. Hingga terjadi benturan hebat.
Duuuk! Benturan yang keras membuat si kakek
kurus terdorong mundur. Sedangkan Ageng Tir-
tomoyo jatuh punggung. Bergulingan menjauh
dari lawan si kakek gemuk menghantam ke de-
pan. Tapi orang yang dihantam lenyap ke dalam
ruangan pondok yang lain. Satu ledakan keras
berdentum menghancurkan dinding depan dan
pintu pondok. Serpihan kayu dan puing-puing
papan bertaburan di udara. Udara sontak menja-
di gelap. Di ruangan lain terdengar suara tawa
Wisang Banto Oleng. "Manusia kalau sudah gila memang begitu, pondok sendiri
dihancurkannya.
Sayang orang yang kucari tak berada di sini!" Lalu dari balik dinding dimana
Wisang Banto Oleng
melenyapkan diri terdengar suara menggemuruh,
angin menderu dan pondok yang cukup besar itu
mendadak terangkat naik, membubung tinggi ke
udara. Selagi pondok melayang di udara terdengar suara ledakan, pondok hancur
menjadi kepingan
debu yang akhirnya berjatuhan diberbagai tem-
pat. Ageng Tirtomoyo mengerung marah, posi-
sinya kini berada di tempat terbuka dari bekas
pondoknya yang hancur. Tak jauh disebelah ki-
rinya lawan berdiri tegak disitu sambil tertawa.
Sedangkan didepannya sana, lima bocah serigala
berlompatan menyerang Ageng Tirtomoyo. Orang
tua berbadan gemuk melihat apa yang dilakukan
oleh lawan nampaknya tidak lagi memberi hati.
Begitu lima bocah serigala menyerangnya dengan
sambaran kuku tangan juga hunjaman taring
yang tajam segera melesat ke depan bergerak
mendahului. Dua tangan yang telah teraliri tena-ga-dalam diputar sedemikian
rupa, kemudian menghantam dengan gerakan bersilangan.
Dua bocah yang menyerang dari depan ke-
na dipukul mental, jatuh terkapar dengan dada
berwarna merah seperti darah. Dua lagi yang me-
nyerang dari samping masih dapat berkelit hinda-ri serangan si kakek. Tak
terduga begitu meng-
hindar secepat kilat kedua bocah serigala ini berbalik dan menerkam kaki Ageng
Tirtomoyo. Si ka-
kek yang saat itu menggerakkan tangan ke atas
hindari terkaman bocah serigala yang menyerang
bagian kepala nampak terkesiap. Tangkisan kea-
tas diteruskannya, hingga membentur dada bocah


Gento Guyon 18 Iblis Edan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serigala itu. Si bocah serigala jatuh terjengkang, tapi Ageng Tirtomoyo kemudian
menjerit keras begitu kakinya kena dicabik oleh dua bocah serigala tadi.
Sambil menggerung kesakitan Ageng Tir-
tomoyo hantamkan dua tangannya ke bawah. An-
gin menderu, sinar merah berkiblat menghantam
lurus ke bagian batok kepala si bocah serigala.
Sekejap lagi pukulan si gemuk ini menghantam
remuk batok kepala kedua bocah serigala, dari
arah belakang ada angin deras berhawa dingin
luar biasa menyambar ke arah tangan Ageng Tir-
tomoyo. Akibatnya bukan saja membuat serangan
jadi melenceng dan mengenai bahu kedua bocah
buas itu, tapi juga membuat kakek gemuk itu terjungkal.
Dua bocah serigala jatuh terhenyak, dua
lainnya yang tadi kena dipukul mentah kini su-
dah bangkit, setelah dua kali berjumplitan di atas tanah pada kali yang ketiga
tubuh mereka mendadak melesat di udara, dua tangan dengan kuku
runcing yang bersilangan di depan dada laksana
kilat menyambar di bagian perut, sedangkan bo-
cah yang satu lagi menyerang di bagian leher.
Ageng Tirtomoyo jelas menyadari dua serangan
yang dilancarkan kedua bocah serigala ini me-
mang sangat berbahaya bahkan mengancam ke-
selamatannya sendiri. Di lain sisi dia merasa tidak tega, untuk mencidrai mereka
apalagi mem- bunuhnya, mengingat kelima bocah ini diperalat
dan dididik untuk membunuh oleh Wisang Banto
Oleng. Karena itu begitu serangan kedua bocah
buas ini hampir mencapai sasarannya, Ageng Tir-
tomoyo tiba-tiba gerakkan tangannya ke depan
sedangkan mulut berkemak-kemik seperti mem-
baca sesuatu. Di luar dugaan lawan tiba-tiba dia berte-
riak. "Lima bocah serigala, yang kalian serang bukan aku, tapi kuda kurus yang
berdiri di sebelah sana!"
Dua bocah serigala yang siap merobek leh-
er dan perut Ageng Tirtomoyo tarik serangan dan berkomplotan mundur. Tiga
lainnya yang siap
hendak menyerang sejenak nampak bingung,
namun mereka serentak memandang ke arah Wi-
sang Banto Oleng. Entah mengapa kini kelima
bocah buas itu melihat Wisang Banto Oleng tidak lagi berupa manusia, tapi telah
berubah menjadi seekor kuda putih.
"Bunuh kuda itu!" teriak Ageng Tirtomoyo.
Lima bocah serigala hasil didikannya sen-
diri mendadak berbalik, dengan ganas pula me-
nyerang Wisang Banto Oleng.
"Anak-anakku, kalian telah tertipu. Aku
adalah ayah yang membesarkan dan mendidik
kalian!" seru si kakek.
Lima bocah serigala selagi tubuhnya men-
gambang di udara sama gelengkan kepala. Tapi teriakan yang sempat membuat kelima
bocah ini bingung tidak pernah mampu merubah peman-
dangan mereka. Wisang Banto Oleng tetap tam-
pak seperti seekor kuda.
"Ageng Tirtomoyo jahanam!" teriak si kakek kurus. Yang dimaki tertawa bergelak.
"Banto Oleng, susah payah kau mendidik mereka tidak
disangka kini mereka malah ingin memangsamu.
Mungkin mereka beranggapan daging orang yang
telah mengasuhnya lebih sedap daripada daging-
ku. Ha ha ha! Wisang Banto Oleng, beruntung ha-
ri ini aku sedang tidak punya nafsu untuk me-
layanimu. Aku muak melihat tampangmu, aku
hendak pergi. Lebih baik kau berkelahi dengan
anak-anakmu sendiri" berkata begitu, Ageng Tirtomoyo usap wajahnya tiga kali.
Setiap usapan selalu diteruskan hingga ke ujung kaki. Pada
usapan ketiga itulah sesuatu yang sulit dipercaya terjadi. Secara cepat wajah,
badan, kaki maupun tangan Ageng Tirtomoyo lenyap, hilang raib tidak meninggalkan
bekas. Wisang Banto Oleng yang
sudah merasa yakin dengan kesaktian yang dia
miliki mampu membunuh lawannya kini dibuat
tercengang. Tanpa sadar dia berucap. "Ilmu Pelenyap
Raga...?" Ageng Tirtomoyo yang tidak terlihat kasat-
mata tertawa panjang. "Kau heran Banto Oleng"
Dulu kau kelayapan di Cagak Siluman untuk
mendapatkan Kitab Ilmu Pelenyap Raga. Dasar
jodoh, suatu saat pemiliknya menyerahkannya
secara langsung kepadaku. Sekarang aku ingin
mencari muridku. Aku khawatir Iblis Edan bu-
kannya mencari orang tuanya, tapi malah nyasar
ke tempat pelesiran! Ha ha ha!"
Suara Ageng Tirtomoyo kemudian lenyap,
agaknya kakek gemuk itu benar-benar telah pergi.
Sementara Wisang Banto Oleng hanya dapat me-
nahan kegeramannya. Rasa marahnya akibat tak
mampu membunuh lawan, bahkan lawan malah
dapat meloloskan diri kini dilampiaskannya pada kelima bocah buas yang
menyerangnya. "Bocah-bocah tolol begitu mudahnya ter-
pengaruh ilmu sirapan iblis pendek tadi"!" teriak si kakek. Dua tangan dengan
jemari terkembang
mendadak diangkat ke udara. Dia lalu melompat
setinggi satu kaki begitu kelima bocah serigala siap hunjamkan taring dan kuku-
kukunya yang panjang ke sekujur tubuh si kakek. Begitu kelima bocah buas ini berada dalam
jangkauan Wisang
Banto Oleng, sepuluh jari tangan si kakek berkelebat menyambar dengan gerakan
yang tak mungkin dapat dihindari oleh kelima bocah itu.
Tak! Tak! Tak! Dess! Dess! Tiga totokan mendarat dibagian punggung.
Dua pukulan menghantam bagian dada dua bo-
cah lainnya. Kelima bocah buas itu jatuh serentak di
atas tanah. Benturan yang keras membuat penga-
ruh ilmu Ageng Tirtomoyo lenyap. Mengerang
sambil tertatih-tatih kelima bocah nampak bin-
gung. Seakan baru menyadari mereka telah me-
nyerang pengasuhnya sendiri, kelima bocah seri-
gala ini jatuhkan diri berlutut dihadapan Wisang Banto Oleng. Si kakek
mendengus, lalu palingkan wajahnya ke arah lain. "Lima bocah keparat, begitu
mudahnya kalian dikelabuhi oleh iblis gendut tadi"! Gara-gara ketololan kalian
aku jadi gagal membunuhnya! Sekarang sebaiknya kalian kembali ke gunung Slamet.
Jangan ikuti aku dan
tunggu di sana sampai aku pulang!" perintah si kakek angker dingin.
Lima bocah serigala sama anggukkan kepa-
la, begitu mereka kembali memandang ke depan
sosok Wisang Banto Oleng telah lenyap dari tem-
pat itu. Lima bocah buas ini saling pandang satu sama lain. Setelah keluarkan
lolongan panjang
mereka juga berkelebat pergi tinggalkan tempat
itu. 2 Seekor kuda berlari kencang memasuki ha-
laman gedung kadipaten Purbolinggo. Di atas
punggung kuda rebah menelungkup seorang laki-
laki berpakaian hitam. Tepat di halaman gedung
kuda berhenti, para pengawal yang berjaga-jaga di gedung yang memang mengenal
baik kuda maupun penunggangnya segera datang menghampiri.
Tapi mereka jadi kaget bahkan jadi surut mundur begitu melihat bagaimana keadaan
penunggang kuda itu. "Kakang Ronggo Medi apa yang terjadi?"
tanya satu suara.
Kemudian ada suara lain berteriak. "Cepat
panggil gusti adipati!"
Seorang penjaga yang berada di sebelah ki-
ri tak jauh dari kuda segera bergegas keluar dari kerumunan orang banyak.
Sedangkan si tinggi
besar yang berteriak tadi segera menghampiri sosok berpakaian hitam yang
kehilangan kedua
tangannya. Begitu si tinggi besar menurunkan
orang di atas punggung kuda, lalu membaring-
kannya di tanah. Semua penjaga yang berada di
tempat itu sama keluarkan seruan kaget.
"Dia tewas! Siapa yang telah membunuh
kakang Ronggo Medi"!"
"Mengerikan sekali." kata penjaga lainnya.
Apa yang telah terjadi pada orang kepercayaan
sang adipati yang bernama Ronggo Medi ini" Se-
perti telah dituturkan (dalam episode Setan Sableng), salah satu kaki tangan
adipati ini hampir saja berhasil membunuh Ki Lurah Wanabaya
yang mereka ketahui telah menyimpan peta raha-
sia perjalanan. Tapi tanpa terduga muncul seo-
rang pemuda berbaju biru yang mengaku berna-
ma Menak Sangaji. Pemuda sakti yang dari da-
danya memancarkan kesaktian aneh itu ternyata
memiliki ilmu tinggi. Delapan pengikut Ronggo
Medi dibunuhnya, bahkan laki-laki itu sendiri
terpaksa kehilangan tangannya. Oleh Menak San-
gaji dalam keadaan terluka parah Ronggo Medi dilepas dan diperintahkan agar
kembali ke kadipa-
ten. Tapi karena kehilangan tangan dan kehilan-
gan banyak darah, perjalanannya jadi lambat. Dia bahkan tewas diperjalanan
karena kehilangan darah. Kembalinya Ronggo Medi ke kadipaten me-
nimbulkan kegemparan bagi orang-orang yang
berada di kadipaten itu. Bagaimanapun mereka
Ronggo Medi bukan manusia sembarangan. Ting-
kat kesaktian yang dimilikinya hampir sama den-
gan tokoh silat kadipaten seperti Nafas Penebar Maut maupun Durga Paksa alias
Samber Nyawa. Jika Ronggo Medi sampai mengalami nasib seperti ini tentu siapapun yang telah
mencelakainya pastilah dia adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian yang tidak
dapat diduga. Selagi halaman gedung dipenuhi oleh ke-
rumunan pengawal yang ingin melihat apa yang
telah terjadi. Selagi perasaan para pengawal kadipaten dicekam rasa takut yang
luar biasa, men-
dadak saja terdengar suara seruan disertai tawa membahak. "Kematian akan
menghampiri setiap jiwa pengecut dan berlaku khianat. Apa yang kalian lihat,
mayat yang terbujur di atas tanah itu merupakan suatu bukti nyata gagalnya
sebuah penghianatan. Ha ha ha!"
Semua mata terbelalak, para penjaga yang.
memenuhi halaman jadi terkesima. Serentak
hampir bersamaan, tanpa dikomando berpuluh
pasang mata memandang ke arah terdengarnya
suara tawa. Mereka jadi melengak begitu melihat di atas tembok pagar gedung di
atas pecahan ka-ca duduk sambil uncang-uncang kaki seorang
pemuda tampan berpakaian biru. Bukan hanya
pakaian pemuda itu saja yang berwarna biru,
namun juga ikat kepalanya berwarna biru.
Memperhatikan pemuda yang berada di
atas tembok gedung, tak seorang pun dari penja-
ga yang buka bicara. Mulut mereka sama tern-
ganga, bukan saja karena mereka memang tidak
mengenal siapa adanya pemuda berpakaian biru
ini, tapi yang membuat mereka heran bagaimana
pemuda baju biru itu mampu duduk di atas pe-
cahan kaca runcing pengaman pagar. Jika dia
bukan orang yang memiliki ilmu meringankan tu-
buh cukup tinggi, tentu bokong dan pahanya te-
lah terluka ditembus pecahan kaca yang berteba-
ran di atas tembok.
Rasa kagum berlangsung sebentar saja.
Begitu mereka ingat ucapan si baju biru yang seolah telah menuduh Ronggo Medi,
orang yang me- reka segani telah melakukan satu kecurangan
dan berkhianat. Maka si tinggi besar melangkah
maju menyibakkan para penjaga yang berada di
depannya. Sambil bertolak pinggang si tinggi besar yang memiliki jabatan sebagai
kepala penjaga gedung adipati ini berteriak. "Kunyuk biru yang duduk di atas
tembok. Siapa dirimu" Berani kau
memfitnah kakang Ronggo Medi dengan mengata-
kan telah berlaku khianat" Agaknya kau manusia
yang sudah bosan hidup!" hardik si tinggi besar kepala penjaga gedung adipati.
Pemuda di atas tembok sama sekali tidak merasa tersinggung,
mulutnya mencibir, malah dia kemudian tertawa
terbahak-bahak.
"Kau anjing penjaga tahu apa. Siapa yang
telah berkhianat dan siapa yang telah berlaku ju-jur mana kau tahu. Jadi buat
apa kau bertanya
siapa aku. Sama sekali aku tidak punya kepen-
tingan denganmu. Sekarang lebih baik kau pang-
gil adipati. Aku punya satu urusan dengan be-
liau!" Kata-kata kasar yang diucapkan oleh si ba-ju biru membuat si tinggi besar
juga para penjaga lainnya jadi sangat marah sekali.
"Kunyuk biru keparat! Rupanya kau me-
mang pingin cepat mampus!" teriak kepala penjaga gedung adipati. Dia lalu
berpaling pada semua anak buahnya. Dengan lantang dia berkata.
"Anak-anak bunuh pemuda gila di atas sana!"
Disertai teriakan menggemuruh dan keron-
tangan senjata yang ditarik dari sarungnya puluhan penjaga gedung langsung
menyerbu dan ber-
lompatan ke atas tembok.
Melihat banyaknya penjaga yang menyerbu
ke arahnya dengan senjata terhunus si baju biru bukannya jadi ciut, sebaliknya
malah tertawa panjang. Sambil berdiri hindari kaki dari tebasan belasan senjata lawan dia
berkata ditujukan pada kepala penjaga. "Manusia tinggi besar, tadinya kau
mengatakan aku kunyuk biru, barusan kau
mengatakan aku pemuda gila. Mungkin matamu
sudah terbalik, otak tidak waras. Coba sekarang perhatikan baik-baik bagaimana


Gento Guyon 18 Iblis Edan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seekor kunyuk membantai anak buahmu!" berkata begitu sambil hindari sabetan senjata yang
bertaburan mengurung dirinya si baju biru kibaskan tangannya ke dada.
Gerakan tangan yang dilakukan pemuda
itu membuat lima penyerang yang berada di ba-
gian depan berpentalan jatuh dari tembok disertai jeritan menyayat. Belum hilang
kaget di hati kepala penjaga dari bagian dada baju biru melesat sinar putih.
Begitu sinar putih membersit dari
dadanya si baju biru memutar tubuh, dengan be-
gitu sinar putih yang keluar dari dada laksana
pedang menyambar dada orang-orang yang bera-
da di depannya sana. Bagaikan durian runtuh pa-
ra penjaga yang berada di atas tembok benteng jatuh begedebukan. Bila lima
penjaga pertama tadi tewas dengan muka hancur terkena hantaman,
maka belasan penjaga yang jatuh ber-
gelimpangan ini tewas dengan satu luka me-
manjang dibagian dada. Bagian yang terluka
nampak hangus mengepulkan asap tebal berbau
busuk. Apa yang terjadi memang sempat mem-
buat nyali si tinggi besar menjadi ciut, namun begitu melihat demikian banyak
anak buahnya yang
tewas kini kepala penjaga jadi tak dapat lagi men-guasai kemarahannya.
"Pemuda iblis, kau datang dengan memba-
wa fitnah busuk. Kini kau bunuh orang-orangku
secara keji. Adipati pasti tidak akan mengampuni jiwa busukmu!" teriak kepala
penjaga, serentak
dia mencabut pedang besar yang tergantung di-
bagian punggung. Begitu pedang diguncang, ma-
ka pedang itupun terbagi dua. Rupanya pedang
milik kepala penjaga merupakan pedang kembar,
sewaktu-waktu bila tidak dibutuhkan dapat diga-
bung menjadi satu.
Di atas tembok si baju biru tersenyum
mengejek. Masih dengan tersenyum dia berkata.
"Kukira adipati lebih bijaksana bila dibandingkan dirimu. Dimataku kau tidak
ubahnya seperti seekor keledai gemuk tanpa otak tanpa fikiran!"
"Kunyuk biru jahanam, kubunuh kau!" pekik kepala penjaga berang. Dengan gerakan
rin- gan dan kecepatan bagaikan kilat si tinggi besar berkelebat ke atas tembok.
Namun gerakannya
mendadak tertahan begitu mendengar satu se-
ruan. "Kepala Penjaga, tahaan...!"
Serentak kepala penjaga berpaling, walau-
pun kecewa tapi keinginannya jadi surut begitu
melihat siapa yang datang. Dia cepat balikkan
badan, menghadap ke arah orang yang datang.
Setelah itu berlutut sambil menjura ke arah sosok yang datang bersama seorang
pengawal yang memberikan laporan tadi.
Adapun yang datang bersama pengawal itu
bukan lain adalah seorang laki-laki berusia enam puluhan. Berbelangkon warna
cokelat, berpakaian mewah dengan warna yang sama. Sekali
melihat penampilan orang, pemuda di atas tem-
bok segera maklum orang yang baru datang ke
tempat itu pastilah adipati Purbolinggo bernama
Suryo Lagalapang.
Setelah berhenti di depan mayat Ronggo
Medi yang tergeletak tak jauh dari kaki kuda, la-ki-laki itu memandang ke arah
mayat beberapa penjaga yang bergeletakan di bawah tembok. Se-
telah itu perlahan wajahnya terangkat, tatapan
matanya baru berhenti setelah membentur sosok
pemuda berpakaian biru yang berdiri dengan si-
kap gagah, berpijak pada pecahan kaca yang ber-
tebaran di atas benteng gedung kediaman adipati.
"Pemuda gagah, apa yang kau cari ditem-
pat ini?" tanya laki-laki berpakaian bangsawan kraton yang bukan lain adalah
Suryo Lagalapang
dengan suara perlahan berwibawa.
"Gusti, pemuda itu hendak membuat keka-
cauan. Dia pantas di...!"
"Diam!!" hardik adipati pada kepala penjaga. Si tinggi besar langsung katubkan
mulut, wajahnya tertunduk. Dalam hati dia memaki habis-
habisan mengapa nasibnya sial betul hari ini.
Di depan si tinggi besar Suryo Lagalapang
kembali memandang ke atas tembok. "Anak muda kau turunlah!"
"Saya ingin menemui adipati!" kata pemuda itu. Lalu dengan gerakan dia melompat
turun dari atas tembok.
"Aku adipati disini. Kau siapa dan ada ke-
perluan apa?" tanya adipati begitu si baju biru jejakkan kaki di atas halaman.
Mengetahui orang yang berdiri dihadapan-
nya adalah adipati Purbolinggo, si baju biru langsung menjura hormat, tidak
berlutut seperti hal-
nya kepala penjaga.
"Kebetulan sekali. Saya datang ingin me-
nyampaikan sesuatu pada gusti. Nama saya Me-
nak Sangaji." kata si baju biru memperkenalkan diri. Adipati kernyitkan alisnya.
Dalam hati dia berkata. "Pemuda ini jelas memiliki ilmu yang cukup lumayan. Dia
membunuh orangku hanya da-
lam sekali gebrakan saja. Apapun keperluannya
jika aku bisa memanfaatkan tenaganya, tentu ke-
dudukanku semakin bertambah kuat."
Kemudian dengan suara lantang Suryo La-
galapang berkata. "Apa keperluanmu cepat katakan!" "Saya membawa sebuah peta
rahasia perjalanan. Peta yang menunjukkan dimana beradanya
keturunan musuh gusti adipati!" jelas Menak Sangaji. Ucapan itu membuat adipati
jadi melengak kaget. Tak pernah menyangka pemuda ini
mengetahui apa yang dicarinya selama ini. Dasar cerdik dia tidak mau menyinggung
soal peta sebagaimana yang dikatakan si baju biru, tapi bertanya tentang hal
lain. "Kau datang aku tak mengundang. Kau li-
hat mayat di depanku ini?" tanya Suryo Lagalapang. Yang ditanya anggukkan
kepala. "Mayat itu adalah bangkai busuk Ronggo Medi. Dia hendak
bersekutu dengan Ki Lurah Wanayasa karena Ki
Lurah memberi satu imbalan yang sangat besar
pada Ronggo Medi.!" kata Menak Sangaji. Penjelasan ini jelas mengejutkan bagi
adipati. Dia me-
mandang tajam pada si baju biru, disertai serin-
gai penuh arti laki-laki itu bertanya. "Kecerdi-kanmu sungguh luar biasa anak
muda. Bagaima- na kau tahu Ronggo Medi orangku, kemudian ba-
gaimana kau bisa mengetahui yang dicari Ronggo
Medi adalah peta rahasia?" Pertanyaan itu sempat membuat si baju biru merasa
terpojok. Tapi karena pada dasarnya si baju biru adalah pemuda cerdik yang
kecerdikannya tak kalah dibandingkan dengan Suryo Lagalapang, meskipun segala
yang diucapkannya adalah suatu kedustaan bela-
ka. Dengan sikap tenang pula Menak Sangaji
menjawab. "Gusti, terus-terang saya sama sekali tidak mengenal Ronggo Medi, tapi
setelah melihat sembilan pengikutnya dan setelah mendengar
pembicaraan Ki Lurah dengan Ronggo Medi ak-
hirnya saya jadi tahu kalau Ki Lurah sedang
membujuk orang kepercayaan gusti agar tidak
mempersoalkan peta yang dicarinya. Sebagai im-
balan Ki Lurah memberikan sekantong emas. Tapi
hamba kemudian menggagalkan penghianatan
itu. Sayang orang kepercayaan gusti tak dapat
saya bawa kemari dalam keadaan hidup bersama
anak buahnya juga Ki Lurah karena mereka ber-
maksud membunuh saya." kata si baju biru. Dalam hati dia berkata. "Mampus kau,
kena juga aku bohongi."
Mendengar penjelasan Menak Sangaji,
Suryo Lagalapang manggut. Walaupun begitu se-
bagai manusia licik dia tidak mau percaya begitu saja. Sehingga dia ajukan
pertanyaan. "Anak mu-da sebelumnya kau sama sekali tidak mengenal-
ku, lalu mengapa kau tiba-tiba berada dipihak-
ku?" Si pemuda tersenyum, sambil rangkapkan dua tangannya di depan dada dan
dengan sikap sopan mengundang simpati dia berucap. "Gusti, memang benar saya tidak pernah
bertemu dengan gusti. Tapi nama besar adipati Purbolinggo serta sikap bijaksananya selaku
pemimpin besar yang
disegani baik oleh kawan maupun lawan sudah
sejak lama saya mendengarnya. Orang dengan si-
kap serta kedudukan semulya adipati, jangankan
saya yang cuma pengembara biasa. Seorang raja
sekalipun pasti selalu membela gusti."
Suryo Lagalapang merasa senang sekali
mendengar sanjungan pemuda itu. Sambil terse-
nyum dan tetap unjukkan sikap berwibawa yang
berlebihan orang tua itu kemudian berucap. "Kau seorang pemuda yang cukup
mengagumkan. Kadipaten ini sangat membutuhkan orang seperti-
mu. Aku akan mengangkatmu menjadi salah seo-
rang kepercayaan, tapi sebelum itu hendaknya
kau mau menyerahkan peta rahasia itu!"
Dari balik pakaiannya Menak Sangaji men-
geluarkan gulungan kulit harimau. Gulungan be-
risi peta yang menunjukkan tempat keberadaan
putra Karma Sudira itu diikat dengan pita ber-
warna kuning. Dengan terbungkuk-bungkuk si
pemuda menyerahkan peta itu pada Suryo Laga-
lapang. Sang adipati segera membuka peta kemu-
dian memeriksa beberapa jenak lamanya.
"Aku yakin anak Karma Sudira tidak ting-
gal di Wadaslintang ini seluruhnya. Jika kau mau
berbuat jasa besar pada kadipaten sekarang
saatnya." kata Suryo Lagalapang.
"Apa maksud gusti?" tanya Menak Sangaji pura-pura tak mengerti.
"Kau mau kuangkat menjadi salah seorang
pejabat kadipaten?"
"Jika saya, gusti anggap pantas menempati
jabatan itu tentu saja mau." sahut si pemuda.
Suryo Lagalapang tersenyum. "Bagus. Ke-
lak segala pengabdianmu akan mendapat imbalan
besar." kata adipati. Sejenak lamanya dia pandangi Menak Sangaji. Setelah itu
dia melanjutkan ucapannya. "Untuk pertama ini kau harus pergi ke Wadaslintang
sesuai dengan petunjuk dalam
peta ini. Kau cari pemuda bernama Rumbapati,
bila kau bertemu dengannya dia harus kau bu-
nuh." "Gusti apakah saya boleh tahu siapa Rumbapati itu?" tanya Menak Sangaji.
"Rumbapati anak musuh besarku." jawab Suryo Lagalapang.
"Jika tugasmu telah kau jalankan dengan
baik, kau harus mencari orang-orangku yang be-
lum kembali hingga saat ini. Mereka itu adalah
seorang pemuda bernama Wajalangke dan dua
orang kakek bergelar Nafas Penebar Maut dan sa-
tunya lagi si Samber Nyawa. Ketiga orang yang
kusebutkan ini beberapa hari yang lalu kutu-
gaskan mencari seorang gadis bernama Mutiara
Pelangi. Tapi herannya sampai sekarang mereka
belum juga kembali. Padahal aku telah berjanji
pada seseorang untuk menyerahkan gadis itu ke-
padanya." kata adipati dengan mata menerawang.
Tidak berapa lama kemudian Suryo Lagalapang
menerangkan ciri-ciri tiga orang yang harus dicari oleh Menak Sangaji. Pemuda
itu anggukkan kepala tanda mengerti.
"Sekarang berangkatlah! Waktumu sangat
terbatas, karena aku khawatir seandainya Mutia-
ra Pelangi tidak segera ditemukan, orang tua itu menjadi marah dan terlalu
menyalahkan aku,"
"Siapakah orang tua yang gusti maksud-
kan?" tanya si pemuda ingin tahu.
Suryo Lagalapang tersenyum. "Kau tak per-
lu tahu siapa dia. Laksanakan saja tugasmu. Kau boleh menggunakan kuda di
belakang gedung
ini." Laki-laki itu kemudian hendak menyuruh kepala penjaga, tapi Menak Sangaji
mencegahnya. "Gusti, saya lebih suka melakukan perjala-
nan tanpa kuda. Sekarang juga saya mohon diri."
"Berangkatlah, anak muda. Di sini setiap
saat aku menunggumu!" kata Suryo Lagalapang.
Menak Sangaji kemudian memutar badan,
sekali berkelebat sosok pemuda itu lenyap dari
pandangan mata. Orang tua itu berdecak penuh
rasa kagum. Luar biasa, dia ternyata bukan ma-
nusia sembarangan. Batin adipati. Tak lama
Suryo Lagalapang berpaling pada kepala penjaga
yang masih berlutut di tempatnya.
"Kau mengapa terus disitu" Apa minta ku-
tendang" Kau urus mayat teman-temanmu itu!"
perintahnya. "Bbb... baik gusti." Terbungkuk-bungkuk kepala penjaga berlalu dari hadapan
adipati. Se- pertinya kepala penjaga orang tua itu masukkan
gulungan kulit harimau ke balik pakaian. Tak la-ma kemudian berlalu kembali
masuk ke dalam gedung. 3 Setelah memacu kuda sekian lama akhir-
nya pemuda berpakaian hitam yang di wajahnya
dihias dengan gambar tatto besar berbentuk bin-
tang ini perlambat lari kudanya. Disatu tempat di bawah keteduhan sederet
pepohonan kuda berbulu cokelat itu berhenti sama sekali. Sekejap lamanya pemuda
itu terdiam, mulut menyeringai,
sedangkan mata memandang sosok gadis berpa-
kaian putih yang rebah menelungkup dalam kea-
daan tertotok di pangkuannya.
Memperhatikan gadis yang berhasil dilari-
kannya ini menimbulkan berbagai pertentangan
batin di dalam hati si pemuda. Gadis dalam
pangkuannya itu memiliki kecantikan sungguh
luar biasa. Rasanya jika harus diserahkan pada
Wisang Banto Oleng, tua bangka itu tidak ubah-
nya seperti mendapat durian runtuh. Sedangkan
dia cuma mendapat kulitnya sambil gigit jari. Dia jadi teringat pada ucapan
adipati beberapa saat sebelum dirinya dan dua kakek yang ditugaskan
membantu dalam pencarian itu berangkat me-
ninggalkan kadipaten. Adipati berjanji jika dia sampai berhasil membawa gadis
berpakaian putih
ini sebagai hadiah si pemuda berhak menda-


Gento Guyon 18 Iblis Edan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

patkan tanah di daerah Ajibarang sekaligus men-
jadi tumenggung di sana.
Janji ini memang cukup menggiurkan, na-
mun jauh dilubuk hati si pemuda bertatto bintang dia tidak hanya menginginkan
sekedar jabatan
itu. Dia memiliki cita-cita dan keinginan besar.
Kalau perlu secara perlahan dia harus membu-
nuh adipati Suryo Lagalapang, dengan begitu ke-
lak dia bisa menjadi pemimpin di kadipaten.
Tapi sekarang setelah gadis ada di tangan-
nya, entah mengapa perasaan si pemuda menjadi
bimbang. Pada satu sisi dia ingin memiliki si gadis atau paling tidak
menjadikannya sebagai ke-
kasih. Sedangkan pada sisi lain keinginannya untuk menggulingkan Suryo
Lagalapang begitu
menggodanya. Sekali lagi si pemuda yang dikenal dengan nama Wajalangke ini
memandangi gadis
dalam pangkuan. Mendadak timbul keinginan,
muncul pula hasrat kotor di dalam benaknya.
Pinggul bagus si gadis dielusnya tiga kali. Ternyata si baju putih yang rambut
panjangnya men-
juntai ke bawah sampai kebagian perut kuda bu-
kannya sedang tidur atau tidak sadarkan diri karena begitu pinggul dielus si
gadis mendamprat.
"Pemuda jahanam terkutuk, aku bersumpah akan membunuhmu!"
Wajalangke berjingkrak kaget, demikian
kagetnya membuat surut kebagian belakang
punggung kuda. Dengan begitu tentu saja gadis
yang dalam keadaan tertotok itu kehilangan ke-
seimbangan. Tak ayal lagi sosok gadis itu meluncur jatuh punggung ke tanah di
bawah kaki kuda.
Melihat kejadian ini Wajalangke tertawa
terbahak-bahak. "Dasar gadis bodoh, kebanyakan perempuan suka dipeluk, kau malah
memilih menyiksa diri.!" berkata begitu Wajalangke melompat turun dari punggung kuda.
Dia lalu ham- piri si gadis. Sosok gadis yang dalam keadaan ka-ku badan namun masih bisa
bicara bebas digo-
tongnya ke arah sebuah batu, lalu gadis itu disandarkan dibagian batu yang rata.
Wajalangke sendiri lalu duduk bersimpuh disamping gadis
baju putih. Selama dirinya diangkat dan dipin-
dahkan dari kaki kuda ke batu, gadis ini meman-
dang mendelik penuh rasa marah pada pemuda
yang menggotongnya, tapi Wajalangke bersikap
seolah tak perduli.
"Pemuda setan, jangan mengira aku tun-
duk dibawah perintahmu. Aku belum mengguna-
kan semua ilmu kesaktian yang kumiliki. Sean-
dainya semua ilmu simpanan kukerahkan apakah
kau mengira bakal lolos dari kematian?" damprat si gadis dengan mata mendelik.
Wajalangke me-natapnya sekilas, seolah merasa tidak pernah melakukan suatu
kesalahan apapun dia menjawab.
"Dalam keadaan seperti ini tidak ada gunanya kau bersikap keras kepadaku. Dengan
jiwa dan ragamu sepenuhnya berada dalam kekuasaanku.
Jika menuruti perintah adipati, seharusnya saat ini aku membawamu ke gunung
Selamet untuk diserahkan pada Wisang Banto Oleng. Sebagai
imbalan Adipati memberiku hadiah berupa sebi-
dang tanah luas di Ajibarang, sementara aku sendiri diangkat menjadi tumenggung
daerah itu. Ja-
batan dan hadiah itu kuanggap tidak sebanding
jika harus ditukar dengan gadis secantikmu. Jika menuruti kata hati aku ingin
menjadi adipati, tapi itu membutuhkan waktu yang lama."
"Aku tidak perduli dengan segala cita-cita dan keinginanmu. Sekarang juga cepat
bebaskan aku.!" teriak si gadis. Secara diam-diam dia sendiri sebenarnya sejak tadi sudah
berusaha membe-
baskan diri dari pengaruh totokan yang dilakukan oleh kakek aneh bergelar Samber
Nyawa, tapi totokan kakek itu luar biasa hebat, hingga gadis ini walaupun telah
mencoba berulang kali usahanya
tidak membawa hasil.
Seperti telah diceritakan dalam episode 'Se-
tan Sableng' saat itu Wajalangke datang kedia-
man si gadis yang terletak di satu daerah penda-taran subur yang diwarnai
berbagai jenis tana-
man bunga. Wajalangke bersama dua orang ka-
kek bergelar Nafas Penebar Maut dan Samber
Nyawa membakar rumah si gadis. Ketika gadis
pemberani ini muncul terjadi perkelahian hebat.
Walaupun ilmu si gadis cukup tinggi, namun ka-
rena diserang oleh dua lawan sekaligus apalagi
salah satu diantaranya menggunakan asap bera-
cun, maka gadis ini akhirnya tertotok. Di saat seperti ini muncul empat kuda
kurus yang ditung-
gangi oleh seorang pemuda aneh mengaku berge-
lar Setan Sableng. Pemuda itu berhasil membu-
nuh Samber Nyawa, tapi ketika Setan Sableng
tengah menghadapi gempuran Nafas Penebar
Maut, kesempatan ini dipergunakan Wajalangke
untuk melarikan gadis itu.
Kini Wajalangke beringsut lebih mendekat
dengan si gadis. Kepala dijulurkan hingga wajah mereka hanya berjarak setengah
jengkal saja satu sama lain. Gadis baju putih jadi jengah, dengan penuh
kemarahan dia semburkan ludah, hingga
mengenai wajah Wajalangke. Pemuda itu agaknya
menjadi kalap. Sambil keluarkan suara mengge-
rung dia menampar wajah si gadis.
"Keparat! Manusia keji laknat, aku ber-
sumpah akan memenggal kepalamu!" teriak si gadis yang wajahnya jadi merah akibat
tamparan. Disertai seringai sinis Wajalangke usap ludah
yang membasahi mukanya. Kemudian dengan
suara dingin pula dia berkata. "Mutiara Pelangi, kau dengar. Segala apa yang
baru kau ucapkan
tak ada artinya bagiku. Jika aku mau, aku bisa
berbuat apa saja atas dirimu. Aku juga bisa berlaku kejam diluar yang kau
bayangkan. Sekarang
ada dua pilihan untukmu. Pertama kau akan ku-
serahkan pada si tua Wisang Banto Oleng, kakek
keparat yang mendidik anak manusia menjadi se-
buah serigala. Jika kau kuserahkan padanya be-
rarti kau akan dijadikannya seorang istri. Hidup dijadikan istri piaraan oleh
tua bangka semacam Wisang Banto Oleng apa enaknya, tubuh dekil,
nafas bau kubur dan kujamin perabotannya su-
dah usang. Karena itu sebaiknya kau menjadi ke-
kasihku saja, kalau kau mau kita berdua bisa
menjadi pasangan kekasih yang hebat. Aku punya
rencana, kita jalankan rencana itu untuk meng-
gulingkan kekuasaan Suryo Lagalapang. Jika ka-
dipaten jatuh ke tangan kita, berarti kau juga ikut
hidup dalam gelimang kemuliaan dan kemewa-
han. Bagaimana manisku...!" sambil berkata Wajalangke menyentuh dagu si gadis.
Diperlakukan seperti itu Mutiara Pelangi
menjadi berang. "Pemuda sinting, lakukan sendiri apa yang menjadi keinginanmu.
Jangan pernah bermimpi aku mau menjadi kekasih pemuda bu-
ruk sepertimu!"
Dihina demikian rupa, membuat kesabaran
Wajalangke jadi lenyap. Sambil cengkeramkan
tangannya kebagian bahu Mutiara Pelangi atau
lebih dikenal dengan julukan Puteri Kupu Kupu
Putih pemuda itu berucap. "Gadis sial! Tampang ganteng begini kau bilang buruk.
Rupanya kau ingin aku mentatto wajahmu, atau kau mau aku
berlaku kasar"!" dengus Wajalangke. Memandang sesaat ke bagian pakaian di
belahan dada si gadis, Wajalangke menyeringai aneh. "Tempat ini memang sangat
sunyi, agaknya kau ingin agar
aku mencumbui dirimu" Baiklah kalau itu per-
mintaanmu dengan senang hati akan kulakukan!"
selesai berkata, tangan yang dipergunakan men-
cengkeram bahu bergerak.
Breet! Terdengar suara robeknya pakaian, Mutia-
ra Pelangi memekik kaget ketika mendapati ba-
gaimana baju dibagian bahu robek besar me-
nyingkapkan bagian punggungnya yang putih
mulus. Mutiara Pelangi memaki panjang pendek.
Dia mencoba menutupi bahunya, tapi urung begi-
tu menyadari tangannya terasa lemah tak dapat
digerakkan. "Pemuda keparat, aku bersumpah untuk
membunuhmu!" damprat gadis itu dengan muka merah padam.
Wajalangke tertawa mengekeh, apa yang
dilihatnya membuat dadanya bergemuruh, darah
menggelegak dibakar nafsu.
"Lebih baik kau telan sumpahmu, kita ha-
biskan waktu disini untuk bersenang-senang. Ku-
jamin kau pasti akan senang. Ha ha ha!" kata Wajalangke disertai tawa panjang.
Kemudian tanpa memberi kesempatan lagi
pada si gadis, kembali tangannya berkelebat me-
nyambar ke arah pakaian yang menutupi bagian
dada. Tapi belum lagi jemari tangan Wajalangke
sampai pada sasaran, saat itu melesat satu benda sebesar jari kelingking
menghantam punggung
tangan si pemuda.
Taak! "Akh...!"
Wajalangke keluarkan jeritan keras. Tan-
gan yang melesat siap merobek pakaian dibagian
dada si gadis mendadak terasa kaku, tak dapat
digerakkan dan celakanya lagi tangan itu seperti ditusuki ratusan batang jarum
yang panas membara. Sambil meringis menahan sakit Wajalangke kerahkan tenaga
dalam, lalu mengalirkannya ke
bagian tangan yang tak jelas kena dihantam ben-
da apa, karena benda yang menghantam tangan-
nya terpental entah kemana. Ketika hawa hangat
mengalir kebagian tangan, Wajalangke dapat
menggerakkan tangan yang kaku, tapi tak mam-
pu melenyapkan rasa sakit yang rasanya tidak
beda dengan ditembus jarum membara.
Sambil mengibas-ngibaskan tangan Waja-
langke melompat, dilain kejab dia sudah berdiri tegak. Sepasang matanya
jelalatan menyisir setiap sudut. Dia tidak melihat ada orang bersembunyi
di sekitar situ. Jika tidak ada orang yang me-
nyambitnya, lalu siapa yang telah menimpuk tan-
gannya tadi" Dengan tatapan nyalang dan dada
menyesak dibuncah amarah Wajalangke berte-
riak. "Manusia keparat, berani usil tapi tak punya nyali tunjukkan tampang.
Sebaiknya ke-luarlah kau! Aku ingin melihat bagaimana wajah
setan yang telah berani mencampuri urusanku!"
seru pemuda itu berang.
Satu tawa kemudian merobek kesunyian di
tempat itu. Anehnya lagi suara itu datang dari
dua arah, seakan yang sedang mengumbar tawa
memang ada dua orang. Wajalangke jadi tertegun, kening berkerut. Dia lalu
memandang ke arah
mana dua suara tawa tadi berasal. Baru saja pe-
muda ini bermaksud mengejar ke arah datangnya
suara tawa, mendadak tawa lenyap. Lalu ada
orang berkata. "Wajalangke, matamu tidak buta masa kau tidak bisa melihat
manusia sebesar gajah bengkak begini" Lihat ke belakangmu!" Karena memang suara
orang yang baru bicara datang
dari belakang, dengan cepat Wajalangke balikkan badan memutar langkah. Dia
tercengang tapi juga marah karena tidak melihat siapapun disana selain Mutiara
Pelangi yang masih tetap tersender di
punggung batu. "Jahanam keparat! Jangan kau berani
mempermainkan aku!" teriak Wajalangke geram.
"Siapa yang mempermainkan dirimu pe-
muda buruk wajah bertatto bintang. Coba kau
perhatikan baik-baik, tenangkan hatimu, bersih-
kan fikiranmu dari segala macam yang berhu-
bungan dengan maksiat. Jika kau telah mengua-
sai nafsu busuk dan fikiran kotormu sekarang li-hatlah ke belakangmu!" kata
suara itu. Mutiara Pelangi mencoba memandang ke
belakang, tapi gerakan kepala yang berputar jadi tertahan. Totokan itu membuat
si gadis tak dapat menggerakkan kepala secara leluasa.
Dalam kemarahannya karena merasa di-
permainkan orang, Wajalangke kembali memba-
likkan badan. Dia jadi terperanjat ketika melihat satu sosok berbadan besar
bertelanjang dada
berperut gendut telah berdiri disana sambil tersenyum dan usap-usap kepalanya
yang botak pe- lontos dengan tiga pitak dibagian atas kening.
"Sobatku sedang marah tidak melihat
orang sebesar gajah. Tadi kau kudengar memang-
gilku setan, sebenarnya aku bukan setan, tapi iblis. Ha ha ha!" kata si pemuda
gemuk berkepala botak sambil tersenyum cengengesan. Di depannya sana Wajalangke
terdiam, siapapun pemuda
yang bertingkah laku seperti orang edan itu pasti bukan pemuda sembarangan.
Rasanya baru kali
ini Wajalangke bertemu dengan pemuda yang ba-
junya hanya disampirkan di atas bahu kiri itu.
"Pemuda gila, kau jangan bergurau. Cepat
minggat dari hadapanku dan jangan campuri
urusanku!" hardik si pemuda.
Pemuda gendut berkepala botak tidak men-
jawab, dia hanya tersenyum tapi matanya melirik ke arah Mutiara Pelangi. Sambil
mengusap-usap kepala botaknya dia berkata. "Aku mau saja pergi dari sini. Tapi siapa yang
berani menjamin kau tidak akan mencopoti pakaian gadis ini. Kalau kau copot
pakaiannya kasihan dia. Gadis ini bisa ke-dinginan dan masuk angin. Ya kalau
cuma masuk angin, bagaimana jika sampai bunting." kata si botak. Dia kemudian seperti
terperanjat. Mulut ternganga mata terbelalak. "Aih...
sudah kau apakan dia" Mengapa tidak bisa ber-


Gento Guyon 18 Iblis Edan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerak" Walah... ternyata kau pemuda yang nakal.
Kalau orang tak suka padamu jangan suka me-
maksa. Apalagi harus ditotok segala. Aku ingin
membebaskan totokan apakah boleh?" tanya si pemuda botak gendut sambil memandang
pada Mutiara Pelangi dan Wajalangke silih berganti.
"Sobat botak, tolong aku, punahkan toto-
kan. Pemuda itu jahat hendak berbuat keji pada-
ku.!" seru si gadis yang merasa ada harapan untuk meloloskan diri.
"Walah benar-benar keliwatan kau!" kata si botak ditujukan pada Wajalangke.
"Berani membebaskan totokannya kukelu-
pas kulit kepalamu!" hardik Wajalangke dengan mata mendelik.
Sesaat si gendut berkepala botak jadi bin-
gung sambil usap kepala botaknya pulang balik.
4 Wajalangke tertawa bergelak. Sekali me-
lompat kini dia telah berdiri tegak dua langkah di depan pemuda gemuk botak. Dia
garuk kepala, selesai digaruk kepala diusap. Sekali lagi si pemuda botak pitak menyengir. Sama
sekali dia tidak merasa heran melihat gerakan Wajalangke
yang sangat cepat luar biasa.
"Kalau cuma seperti itu aku Iblis Edan bisa melakukannya lebih cepat. Tapi buat
apa pamer kebolehan disini. Rasanya setelah berfikir baik buruknya, lebih bagus lagi bila
kubebaskan gadis itu. Rasanya jika harus bertelanjang dada seper-tiku tidak tega
aku melihatnya. Jadi kuharap kau bisa memaafkan jika aku terpaksa harus
membebaskan totokan ditubuhnya!" berkata begitu melangkah lurus ke arah Mutiara
Pelangi. Baru saja satu tindak Iblis Edan bergerak
ada angin menderu menyambar tubuhnya mem-
buat si gemuk botak dengan tiga pitak di atas
kening berbentuk bulan sabit terhuyung nyaris
terjengkang ke belakang.
"Walah, tidak mabuk tidak pula sedang ter-
jadi badai topan mengapa tubuhku jadi sem-
poyongan begini?" desis Iblis Edan. Enak saja si botak ayunkan kakinya ke
belakang, kemudian
dengan gerakan seperti orang menendang kaki
melesat ke depan menangkis pukulan lawannya.
Angin menderu hawa dingin menebar. Wa-
lau tercekat tapi Wajalangke teruskan serangan-
nya sehingga terjadi satu benturan keras.
Duuuuk! Wajalangke terjajar, tangan yang bentrok di
udara dengan kaki lawan terasa sakit, dingin seolah membeku. Di depannya sana
Iblis Edan berdi-
ri tegak sambil usap-usap kakinya yang meng-
gembung bengkak. Masih tersenyum Iblis Edan
membungkuk seperti orang yang hendak berjong-
kok. Tapi yang sebenarnya tidak, karena begitu
tubuh membungkuk dia berlari ke depan menye-
ruduk lawan dengan kepalanya.
Tak menyangka mendapat serangan begitu
rupa, Wajalangke dalam kagetnya melompat ting-
gi. Serudukan Iblis Edan mengenai angin. Begitu kepala lawan lewat dibawahnya,
Wajalangke hantamkan tangannya dari atas. Karena tangan diali-ri tenaga dalam
penuh, Wajalangke sudah merasa
yakin pukulannya akan membuat remuk kepala
pemuda sinting itu. Hantaman keras luar biasa
mendera batok kepala Iblis Edan. Satu pekikan
keras merobek kesunyian. Sosok tubuh terpental, lalu jatuh bergedebukan di atas
tanah. Ternyata yang jatuh bukan Iblis Edan, melainkan Wajalangke sendiri.
Dengan cepat sambil menggerung
marah. Wajalangke bangkit berdiri. Dia dekap bagian keningnya yang benjol besar
benjut membi- ru. Apa yang terjadi" Ternyata ketika pukulannya mengenai kepala lawan. Kepala
orang yang dipu-kulnya tidak ubahnya seperti karet. Tidak ayal la-gi tangan yang
dipergunakan untuk memukul jadi
membal berbalik menghantam keningnya sendiri.
Dengan mata memerah menahan amarah
Wajalangke memandang ke depan. Orang yang
diserangnya lenyap. Ketika pemuda itu meman-
dang ke arah Mutiara Pelangi, dia jadi kaget. Iblis Edan ternyata tidur rebahan
di atas batu. Kedua kakinya dipergunakan untuk menendang bahu si
gadis kanan kiri. Habis ditendang ternyata totokan dibagian bahu punah. Mutiara
Pelangi lang- sung melompat begitu terbebas dari totokan.
Sambil berteriak dia yang sudah memendam ke-
marahan sejak langsung melabrak Wajalangke
sambil melepaskan tendangan dan pukulan be-
runtun. "Gadis nekad. Diajak memadu kasih kau
malah mencari penyakit. Jangan salahkan aku!"
teriak Wajalangke kalap. Sambil melompat mun-
dur hindari serangan kini dia salurkan tenaga dalam ke bagian kedua tangan. Dua
tangan berge- tar, lalu mengepulkan asap tipis berwarna biru
sampai akhirnya kedua tangan berubah biru
sampai sebatas pangkal lengan.
Saat itu walau Mutiara Pelangi sempat me-
lihat perubahan tangan lawannya tapi tetap me-
neruskan serangannya. Tangan kanan menyam-
bar ke bagian kepala, sedangkan tangan kiri bergerak mencengkeram perut.
Diantara dua seran-
gan ini tentu yang sangat berbahaya adalah se-
rangan yang mengarah dibagian perut. Karena
sekali perut kena dicengkeram, usus dan bagian
dalam perut jadi berantakan.
Wajalangke sadar betul akan hal itu. Den-
gan cepat dia berkelit ke samping sambil rundukkan kepala. Serangan yang
mengarah kepala Lu-
put, dua tangan si pemuda didorongkan ke depan
menepis cengkeraman tangan kiri.
Sambaran hawa panas yang memancar da-
ri tangan Wajalangke membuat lawan tarik tan-
gan kirinya. Dia melompat di udara ketika tangan lawan yang tadinya mendorong
kini berbalik menjadi gerakan menghantam. Sinar biru membersit,
menyambar kaki Mutiara Pelangi. Si gadis le-
satkan tubuhnya lebih ke atas lagi sehingga kini kaki selamat dari terjangan
sinar maut yang keluar dari telapak tangan lawan. Masih dalam keadaan mengambang
kakinya bergerak menyambar
kepala lawan. Dess! Satu hantaman menderu kepala Waja-
langke, tapi tidak membuat pemuda roboh. Malah
kini tanpa menghiraukan rasa sakit yang mende-
ra kepalanya dia melompat ke atas. Satu tangan
menyambar kaki si gadis. Mendapat serangan ba-lik yang tidak disangka-sangka ini Mutiara Pelan-gi jadi kaget sekaligus gugup.
Gerakan tubuhnya jadi sulit terkendali. Selagi gadis itu berjumpalitan menjauhi
lawannya. Kaki kirinya kena disam-
bar oleh lawan.
Creep! Cengkeraman yang demikian keras mem-
buat Mutiara Pelangi tak mampu bebaskan ka-
kinya, walau saat itu dia sudah meronta. Cekalan tangan lawan tidak ubahnya
seperti jepitan besi.
Si gadis menjerit ketika merasakan kakinya jadi panas laksana terbakar.
Wajalangke tertawa terbahak-bahak. Puas tertawa tubuh si gadis dipu-
tarnya bagaikan kitiran.
"Kubuat dulu dirimu seperti orang linglung, setelah itu batok kepalamu
kubenturkan dibatu.
Kau pasti menyesal karena harus mati muda!" teriak Wajalangke sambil ikut
berputar pula mengikuti gerakan tubuh si gadis. Melihat ini Iblis Edan bangkit,
lalu duduk di atas batu. Memandang ke
arah Mutiara Pelangi yang kena dipermainkan la-
wan berucap. "Eeh... bercanda boleh saja, tapi jangan dibuat pusing anak gadis
orang!" Wuuut! Wuuut! Tanpa bergerak dari tempatnya Iblis Edan
lambaikan tangannya. Secara mengejutkan dari
kelima ujung jari pemuda itu melesat sinar putih.
Dua dari kelima sinar menghantam ruas perge-
langan tangan yang mencekal kaki Mutiara Pelan-
gi. Sedangkan satunya lagi meluncur ke bagian
kepala, sedangkan sisanya menghantam sekujur
tubuh pemuda itu.
Belum lagi kelima sinar menyentuh tubuh-
nya Wajalangke merasakan ada hawa dingin me-
nyungkup tubuhnya. Mendadak bukan hanya ke-
dua tangan saja yang terasa dingin membeku, ta-
pi perasaan yang sama juga mendera sekujur tu-
buhnya. Yang paling tersiksa akibat serangan
hawa dingin ini tentu saja Mutiara Pelangi. Se-
mentara itu Wajalangke merasa tak sanggup
mempertahankan kaki lawannya. Cekalannya pa-
da kaki lawan lepas, tubuh si gadis meluncur
dengan kepala mengarah pada sebatang pohon.
Melihat kepala si gadis sekaligus keselamatannya terancam bahaya besar Iblis
Edan enak saja du-
duk di atas batu sambil uncang-uncang kaki dan
tertawa lepas melihat Wajalangke berkutat beru-
saha membebaskan diri dari pengaruh serangan
lawan. Sesaat lagi kepala Mutiara Pelangi remuk menghantam pohon, Iblis Edan
menoleh. Matanya
mendelik mulut keluarkan seruan kaget sedang-
kan jari telunjuk digerakkan ke arah Mutiara Pelangi. Secara aneh dan sulit
dipercaya kepala
yang seharusnya menghantam pohon tiba-tiba
berbalik ke arah Iblis Edan kemudian melesat dan jatuh ke atas pangkuan pemuda
itu. Iblis Edan tertawa terbahak-bahak. Masih
dengan tertawa Iblis Edan pindahkan Mutiara Pe-
langi dari pangkuan ke atas batu. Si gadis gelengkan kepala. Dia sadar Iblis
Edan telah menyela-
matkan jiwanya. Ingin dia mengucapkan terima
kasih pada pemuda yang agaknya berotak miring
itu. Tapi Iblis Edan sudah bangkit, kini malah
memeriksa bagian kaki si gadis yang melepuh.
Bukan hanya kaki yang dicengkeram lawan tadi
saja yang melepuh, tapi bagian ujung kaki cela-
nanya juga hangus dan robek besar.
"Walah... adikku, kakimu terluka. Monyet
comberan itu telah melukaimu. Setan betul dia!"
Kau tidak bisa membalas, biar aku yang akan me-
lakukannya. Aduh kasihan, biar kuobati dulu
ya?" sambil berkata iblis Edan ludahi kedua telapak tangannya. Kemudian dua
tangan digosok sa-
tu sama lain. Setelah itu kedua tangan ditempelkan dibagian yang terluka,
setelah itu tangan bergerak mengusap dari atas ke bawah. Asap putih
tebal berbau amis menebar menutupi kaki yang
terluka. Begitu tangan diangkat dan asap lenyap, maka kaki yang terluka sembuh,
kulitnya pulih seperti sediakala. Mutiara Pelangi delikkan mata seakan tak percaya dengan apa
yang terjadi. Sementara itu Wajalangke yang terpaksa
menguras seluruh tenaga dalam untuk me-
munahkan pengaruh hawa dingin yang menye-
rang sekujur tubuhnya sempat dibuat kaget meli-
hat segala keanehan sekaligus kehebatan yang
dimiliki Iblis Edan. Tapi dia tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain.
Setelah menguras
kemampuan yang dia miliki akhirnya Wajalangke
dapat membebaskan diri dari pengaruh hawa din-
gin yang dapat menjadikan dirinya seperti patung es. Dalam keadaan seperti itu
otak cerdiknya be-kerja dan timbul keinginan dalam hati jahatnya
untuk mencelakai lawan.
Sehingga sampai saat itu dia bersikap ma-
sih berada dalam pengaruh serangan Iblis Edan.
Wajalangke merintih tubuh menggigil, wajah pu-
cat, mulut bergetar ketika dia berucap. "Tobaat biyung. Ampuni selembar nyawaku.
Maafkan do-saku Iblis Edan. Maafkan kesalahanku Mutiara
Pelangi." Nampak dengan bersusah payah Wajalangke bergantian memandang dengan
wajah memelas ke arah dua nama yang baru disebutnya
tadi. "Jika kau mampus hari ini aku merasa puas!" dengus Mutiara Pelangi. Gadis
ini bangkit berdiri, ingin rasanya dia melabrak Wajalangke, pemuda yang hendak
berbuat keji padanya. Tapi
Iblis Edan gelengkan kepala.
"Sobat Iblis Edan. Pemuda itu jelas hendak berlaku keji atas diriku. Tapi
kulihat sekarang kau nampaknya memberi hati!" teriak Mutiara Pelangi merasa
kecewa melihat sikap yang ditun-
jukkan Iblis Edan.
Si gendut botak berpaling pada si gadis,
memperhatikannya sejurus sambil kedipkan ma-
tanya. Setelah itu dia berpaling ke arah Waja-
langke, kemudian melangkah ke arah pemuda
berbaju hitam yang wajahnya di tatto gambar bintang itu. Memang kesempatan
inilah yang paling
ditunggu oleh pemuda itu. Begitu Iblis Edan
mendekat, dia siap menghantam dengan dua pu-
kulan sekaligus. Tangan kiri siap menghantam
dengan pukulan Topan Api Melabrak Gunung, se-
dangkan tangan kanan siap melepas pukulan Ba-
dai Topan Menggulung Bukit. Dua pukulan ini
merupakan kesaktian yang paling diandalkan
oleh Wajalangke.
Di depan sana sejarak dua tombak, Iblis
Edan hentikan langkah. "Seperti yang dikatakan sobatku yang cantik itu,
sebenarnya aku tak mau memberi hati padamu. Aku malah ingin memberimu tulang,
kalau perlu mencabut nyawamu. Ta-
pi Iblis Edan segala keedanannya masih dalam
batas takaran. Jika kau mau bertobat, aku akan
membebaskanmu dari pengaruh serangan Sinar
Inti Es yang mendera tubuhmu!"
"Iblis Edan jangan percaya dengan mulut-
nya. Dia pasti menipumu!" Masih dengan berdiri tegak ditempatnya Mutiara Pelangi
berteriak memberi peringatan.
"Tolong, aku sudah tak tahan lagi. Ak...
aku berjanji. Aku tobat, kalau pun kalian tak mau memaafkan aku tidak mengapa.


Gento Guyon 18 Iblis Edan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekarang bunuh-lah aku. Ohk, aku sudah tak sanggup lagi! Tou-
baat...!" Wajalangke menggeliat tubuh dan wajahnya nampak semakin membiru.
"Baik, kalau kau memang sudah bertobat
aku akan memunahkan pengaruh pukulan Sinar
Inti Es dari tubuhmu!" kata Iblis Edan. Dengan polos dan tanpa prasangka apapun
Iblis Edan bergerak mendekati Wajalangke. Begitu pemuda
gendut berkepala botak pelontos ini berada satu langkah di depan Wajalangke,
laksana kilat kedua tangan pemuda berpakaian hitam ini dihantam-kan ke depan.
Mutiara Pelangi yang sempat melihat gera-
kan tangan Wajalangke berteriak memberi perin-
gatan. "Iblis Edan, sobat penolongku! Awaas...!"
Teriakan gadis cantik itu tenggelam terte-
lan gemuruh suara pukulan lawan yang mene-
barkan hawa panas luar biasa. Iblis Edan menje-
rit, tubuhnya lenyap tenggelam dalam buntalan
sinar merah yang kemudian setelah menyatu
dengan udara berubah menjadi kobaran api. Wa-
jalangke umbar tawa menggeledek. Di depan sana
sejarak lima tombak ditengah suara gemuruh
dahsyat itu terdengar ada suara orang jatuh. Di tengah kobaran api mendadak
muncul hembusan
angin berputar laksana puting beliung. Api men-
dadak padam. Wajalangke berdiri tegak, mata di-
pentang melihat bagaimana nasib lawannya.
Mutiara Pelangi yang cemas melompat ba-
tu. Dia menerobos ke dalam kepulan sisa api dan asap menghitam. Tak berapa lama
setelah kegelapan asap yang menyelimuti udara disekitarnya
lenyap. Tawa Wajalangke mendadak sirap.
Pemuda itu mendelik seperti melihat setan.
Di depan sana di depan Mutiara Pelangi, Iblis
Edan nampak terkapar. Celana hitamnya yang
komprang hangus sampai di bagian atas lutut.
Tubuh celemongan dipenuhi jelaga terbakar. Tapi tubuh Iblis Edan tidak mengalami
cidera sedikit-pun. Hanya keadaannya kini nampak menggeli-
kan. Wajah menghitam bagian dada sebelah kiri
seperti ubi bakar.
"Sobat Iblis Edan.... Kk... kau.... apakah kau terluka?" tanya Mutiara Pelangi
dengan suara bergetar dan perasaan haru. Jika sampai terjadi hal yang tidak
diinginkan paling tidak dia merasa turut berdosa karena Iblis Edan melakukan
sesuatu semata karena untuk menolong dirinya. Kha-
watir jiwa pemuda berkepala botak itu tak dapat diselamatkan Mutiara Pelangi
pegang urat nadi
dipergelangan Iblis Edan. Urat nadi dipergelangan tangan itu ternyata tidak
berdenyut. "Iblis Edan.!" Gadis itu memekik histeris.
Di depan sana menyangka lawannya me-
nemui ajal terkena dua pukulan sakti yang dile-
paskannya, Wajalangke tersenyum sinis. Sambil
melangkah maju mendekati Iblis Edan dan sang
dara, Wajalangke berucap. "Jika pemuda gila yang memiliki ilmu tinggi itu mampus
ditangan- ku, apalagi kau. Sekarang sudah tidak ada lagi
yang merintangi diriku. Kau harus ikut dengan-
ku!" Bukannya takut, Mutiara Pelangi begitu mendapati jantung Iblis Edan seperti
tak berdetak lagi dengan penuh kegeraman segera bangkit berdiri. "Kau mengira
aku takut denganmu, Wajalangke! Daripada harus ikut dengan manusia be-
jat sepertimu lebih baik aku menyabung nyawa,
bertarung denganmu sampai seribu jurus!"
Wajalangke dongakkan kepala, lalu me-
ngumbar tawa. Dengan sinis dia berkata. "Rupanya kau ingin merasakan dua pukulan
saktiku! Lihat serangan!" berkata begitu Wajalangke mendadak berkelebat sambil julurkan
tangannya ke depan. Gerakan yang dilakukannya ini bukan be-
rupa pukulan, melainkan satu cara untuk meno-
tok lawannya. Mutiara Pelangi tidak tinggal diam. Ketika
merasakan ada angin menyambar disertai berke-
lebatnya tangan lawan yang menjangkau keba-
gian leher dia melompat ke samping, sedangkan
kaki kanan tanpa terduga lancarkan tendangan
kilat. Serangan ini membuat Wajalangke jadi tercekat. Masih terus ulurkan tangan
kanan, tangan kiri dipergunakan untuk menangkis.
Plak! Dess! Benturan keras terjadi, hebatnya kaki sang
dara terus meluncur dan menghantam perut pe-
muda itu. Dengan tubuh terbungkuk dan langkah
terhuyung Wajalangke dekap perutnya. Di saat
bersamaan secara tidak terduga Iblis Edan yang
semula dikira mati oleh Mutiara Pelangi maupun
Wajalangke sekonyong-konyong bangkit berdiri.
Sambil tertawa ha ha hi hi, Iblis Edan melompat ke arah Wajalangke. Karena
jaraknya hanya satu
langkah dari Iblis Edan tentu saja Wajalangke tidak dapat menghindar ketika dua
tangan Iblis Edan laksana kilat bergerak ke bagian kepala.
Dengan gerakan tak terlihat kedua tangan Iblis
Edan kini terlihat menempel ketat di bagian atas daun telinga Wajalangke.
Sesuatu yang mengerikan kemudian terjadi
mengiringi terdengarnya suara jeritan Waja-
langke. Hawa panas luar biasa menyerang kepala
pemuda itu. Demikian panasnya hingga kepala
itu mengepulkan asap tebal. Dalam keadaan se-
perti itu Wajalangke mencoba membebaskan diri
dengan melepaskan pukulan ke bagian dada dan
perut Iblis Edan. Tapi Wajalangke tidak ubahnya seperti memukul tumpukan karet.
Pukulan berbalik menghantam tubuhnya sendiri.
Cekalan dua tangan Iblis Edan pada kepala
lawan masih belum lepas. Hawa panas yang san-
gat luar biasa membuat rambut Wajalangke ber-
guguran seketika hingga membuat kepala itu
menjadi botak sedangkan wajah bengkak meng-
gembung merah seperti digarang di atas bara api.
Tak lama kemudian dari mulut, hidung
dan telinga Wajalangke meleleh darah kental. Dua matanya mendelik, satu jeritan
mengiringi terka-
parnya Wajalangke.
Iblis Edan melepaskan jemari tangan yang
menempel pada kedua bagian pelipis lawan. Meli-
hat kepala Wajalangke yang sekarang jadi botak
pelontos seperti dirinya Iblis Edan berjingkrak ke-girangan. Dia menari seperti
orang gila. Sambil menari mulutnya berucap. "Dia menyangka aku mati sungguhan.
Padahal aku punya ilmu Mati
Sejenak. Siapa dapat menahan ilmu Pelepas Api,
kalau pun botak ini masih bisa hidup otaknya
pasti miring. Dia akan terkapar seperti ini selama dua purnama lebih. Keadaannya
menggenaskan, hidup tidak matipun tidak. Ha ha ha! Katanya
mau tobat, tapi setelah kuberi kesempatan hidup malah hendak mencelakai diriku."
"Sobat Iblis Edan! Aku tak percaya dia se-
karat, baiknya kucincang saja tubuhnya biar aku bisa memastikan tentang
kematiannya!" kata Mutiara Pelangi yang diam-diam merasa gembira ka-
rena penolongnya tidak menemui ajal sebagaima-
na yang dia kirakan. Sang dara melangkah men-
dekati Wajalangke yang terkapar diam tidak ber-
gerak. Perlahan dia angkat tangan kanan siap melepaskan pukulan yang mampu
membuat tubuh Wajalangke menjadi arang. Gerakannya tertahan
karena Iblis Edan yang sudah berhenti menari ki-ni menghalangi.
"Sobatku cantik, jangan lakukan. Membu-
nuh lawan yang sudah tak berdaya bahkan tak
sadarkan diri bukan perbuatan ksatria. Biarkan
saja dia tetap hidup. Seandainya dia mampu ber-
tahan, pemuda jelek ini pasti kehilangan kewara-
sannya. Selain itu otaknya setiap saat akan dide-ra rasa sakit luar biasa. Hebat
bukan...?"
Mutiara Pelangi sebenarnya merasa sangat
kecewa karena tak dapat melampiaskan niatnya.
Tapi demi menghormati orang yang telah meno-
longnya sang dara terpaksa telan rasa kecewanya.
Senyum-senyum Iblis Edan pandangi si
gadis, kemudian duduk menjelepok di atas tanah.
Sambil mengusap kepalanya yang botak dia aju-
kan pertanyaan. "Eeh, sobatku cantik. Namamu siapa" Bagaimana pemuda itu bisa
membawamu kemari?" Mutiara Pelangi ikut pula duduk tak jauh
di depan Iblis Edan. Dia menarik napas pendek.
Mata menerawang ketika menjawab. "Aku Mutiara Pelangi. Pemuda itu datang ke
tempat kediaman-ku bersama dua orang kakek aneh. Mereka mem-
bakar rumah. Dia merupakan orang suruhan se-
kaligus kaki tangan adipati Purbolinggo. Dua kakek yang menyertai pemuda ini
terbunuh ditan-
gan pemuda aneh penunggang kuda kurus berge-
lar Setan Sableng...!" menerangkan sang dara.
Mendengar Mutiara Pelangi menyebut Se-
tan Sableng, Iblis Edan kedip-kedipkan matanya.
Kepalanya yang botak digaruk, kemudian diusap.
Selesai mengusap dia tertawa.
Sang dara memperhatikan tingkah Iblis
Edan dengan kening berkerut dan perasaan he-
ran. Di matanya pemuda ini hampir sama dengan
Setan Sableng. Suka tersenyum sering tertawa,
tingkahnya sama pula seperti orang kurang wa-
ras. "Setan.... Sableng.... Setan Sableng. Satu gelaran aneh. Aku, Iblis Edan.!" Si
pemuda menyebut dua nama itu berulang kali. Kemudian dia tepuk keningnya
sendiri. "Dunia ini agaknya sudah dipenuhi oleh orang gila rusak fikiran.
Gelaran jelek seperti yang kumiliki mengapa ada yang meniru" Guruku memberi aku
gelar Iblis tapi ada edannya. Lalu ada orang gila satu lagi mengaku punya
julukan Setan Sableng. Ha ha ha." Iblis Edan tiba-tiba hentikan tawanya begitu
ingat sesuatu. Dengan cepat dia menoleh memandang se-
pasang mata yang tajam bening di depannya. Po-
los saja Iblis Edan ajukan pertanyaan. "Sobatku, apakah Setan Sableng itu
manusia sungguhan
atau setan geblek gentayangan?"
"Dia manusia seperti halnya dirimu!"
"Walah gelar jelek begini saja ada yang meniru. Akh... mudah-mudahan aku bisa
bertemu dengan Setan Sableng. Nanti bila aku bisa ber-
jumpa kepalanya akan kupuntir, otaknya kubuat
miring biar jadi Setan Sableng penasaran. Ha ha ha!" "Iblis Edan sahabatku. Aku
berterima kasih atas pertolonganmu."
Iblis Edan hentikan tawa, memandang pa-
da sang dara lalu tertawa lagi. Sambil tertawa pu-la Iblis Edan menjawab. "Tidak
usah berterima kasih. Aku tidak merasa menolongmu, tadi aku
cuma bergurau dengan pemuda itu. Eh sobatku,
engkau hendak kemana" Tadi kau menyebut adi-
pati Purbolinggo. Menurut guruku dia orang jahat yang harus aku singkirkan."
Mendengar ucapan Iblis Edan sang dara
jadi tercenung. "Kau mengenalnya. Atau mungkin gurumu punya silang sengketa
dengan adipati?"
"Tidak tahu. Guruku cuma pernah menga-
takan, hendaknya aku jangan memberi hati bila
bertemu dengan orang Purbolinggo itu."
Mutiara Pelangi yang masih merupakan
keponakan bekas adipati Purbolinggo yang lama
menatap wajah Iblis Edan. Dalam hati dia berka-
ta. "Nasib paman Karma Sudira sampai saat ini aku tidak tahu. Dua anaknya yang
raib ketika penyerbuan prajurit kerajaan ke kadipaten saat paman memimpin Purbolinggo jika
hidup tentu sudah sebesar pemuda ini. Sayang aku sendiri
saat itu juga masih kecil. Mungkin sekarang ma-
sih belum terlambat jika kutelusuri jejak kedua putra paman."
"Sobatku yang cantik, kau diam. Matamu
memandangku terus, apakah berarti kau jatuh
cinta padaku?" Iblis Edan ajukan pertanyaan membuat sang dara tersipu dan
tersadar dari la-munannya.
Gadis ini gelengkan kepala.
"Aku hanya ingin tahu apakah kau punya
nama selain gelaran itu?" tanya si gadis.
"Guruku bilang ada. Tapi nama itu disim-
pan guru. Aku lupa nama sendiri, aku juga malas mengingat."
"Dasar edan, nama sendiri saja bisa lupa."
gerutu Mutiara Pelangi dalam hati.
"Tidak."
"Kalau tidak mengapa ditanyakan." kata Ib-
lis Edan dengan muka cemberut.
"Sekarang kau hendak kemana?"
Ditanya tentang tujuan, Iblis Edan yang
suka kelayapan tak berkejuntrungan ini jadi bingung. "Aku tidak tahu. Inginnya
pergi ke kadipaten. Kabarnya kadipaten adalah sebuah kota, aku suka keramaian."
"Celaka. Seandainya dia adalah putra pa-
man ku. Tidak mungkin. Paman ku orang yang
cerdas, sedangkan dia walau ilmunya tinggi tapi pemuda tolol." Fikir gadis itu.
Tapi biar begitu dia jadi tak tega membiarkan Iblis Edan pergi ke kadipaten.
"Sobatku, sebaiknya kau jangan kesana.
Kau ikut saja denganku dulu. Kita bisa pergi untuk mencari seseorang. Seandainya
orang itu bisa kita temukan dan masih hidup hingga saat ini
mungkin kita bisa menemukan titik terang." kata sang dara.
"Sobatku, walah. Ucapanmu membuat aku
bingung. Dalam hidup aku tidak mau pusing. Aku
bersedia mengikuti kemana kau pergi. Kurasa
pergi dengan seorang gadis cantik tak ada ru-
ginya. Ha ha ha!"
Mutiara Pelangi gelengkan kepala. Tak la-
ma kemudian dia dan Iblis Edan tinggalkan tem-
pat itu. 5 Laki-laki tua berpakaian cokelat itu duduk
termenung di atas sebatang pohon tumbang yang
membelintang di atas sungai kecil. Tatap matanya menerawang kosong memandang ke
depan. Tak begitu lama dalam sikap seperti itu sesosok tubuh bertelanjang dada berambut
gondrong berkelebat
mendatangi dari arah belakang.
Orang tua berpakaian serba cokelat, ber-


Gento Guyon 18 Iblis Edan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kumis dan berjanggut lebat tak terurus cepat palingkan wajahnya ke belakang. Dia
menarik napas lega begitu mengenali siapa adanya orang ini.
"Gento dari mana saja kau?" satu pertanyaan meluncur dari mulut si orang tua.
Si gondrong usap wajahnya pulang balik.
Dia lalu duduk dibatang pohon tak jauh disebelah orang tua itu.
"Paman Karma Sudira, aku baru saja me-
nyelidik di sekitar sini. Tak kulihat orang kadipaten berkeliaran di sekitar
tempat ini. Mungkin sebaiknya kita datang saja ke kadipaten. Kita bisa menangkap
Suryo Lagalapang, kalau perlu kita
seret pakai kuda. Setelah jauh dari kadipaten ba-ru kita gebuki!"
Si orang tua gelengkan kepala. "Tidak! Aku bukannya takut pada adipati atau para
begun-dalnya. Disaat usiaku seperti sekarang ini aku tidak lagi tergiur dengan
segala macam kedudukan
atau jabatan. Yang kufikirkan sekarang ini adalah mencari tahu dimana kedua
anakku berada. Rumbapati jika umurnya panjang sekarang sudah
berumur dua puluh delapan tahun. Sedangkan
adiknya sayang aku belum sempat memberinya
nama ketika penyerbuan prajurit kerajaan dan
perwira tinggi berlangsung. Mungkin bocah itu
sudah sebesar Setan Sableng." gumam Karma
Sudira. Dengan mata berkaca-kaca orang tua itu
melanjutkan ucapannya. "Setan Sableng pemuda aneh, tingkah lakunya seperti orang
gila, tapi ilmunya tinggi. Entah mengapa begitu melihatnya
hatiku bergetar, seakan hati dan perasaanku be-
gitu dekat dengannya."
"Paman orang baik, fikiran normal. Apa
mungkin paman mempunyai hubungan darah
dengan Setan Sableng. Pemuda itu jelas manusia
sinting, otaknya pasti miring. Gelarannya saja Setan Sableng. Jika paman menduga
dia anak pa- man, dugaan itu pasti salah besar. Paman manu-
sia waras, sehat lahir batin, bagaimana mungkin punya anak setan dan sableng
pula. Ha ha ha.
Ibu setan tidak pernah melahirkan anak manusia, sedang ibu manusia tidak pernah
pula melahirkan anak setan. Setan bahkan tak pernah punya
keinginan jadi manusia, cuma manusia saja yang
banyak menjadi setan. Ha ha ha!" celetuk Pendekar Sakti 71 Gento Guyon diiringi
tawa tergelak-gelak. Mendengar ucapan Gento, Karma Sudiro
tak dapat menahan senyum. Dia merasa senang
bersama dengan seorang pemuda seperti si gon-
drong. Orangnya polos, bicara seenaknya sendiri, walau tingkah lakunya tidak
beda dengan Setan
Sableng tapi dia cerdik dan berjiwa ksatria.
"Segala sifat dan watak orang tua biasanya sering menurun pada anaknya, tapi
lurus tidaknya langkah hidup seseorang tergantung diling-
kungan mana dia dibesarkan. Jika dia hidup di
tengah kehidupan binatang, maka tingkah la-
kunya juga akan seperti binatang." berkata Karma Sudira beberapa saat kemudian.
"Aku percaya, lalu sekarang apa rencana
paman" Apakah paman tetap berkeinginan men-
cari dua anak paman yang hilang?" tanya bertanya. "Benar. Aku tetap bertekad
mencarinya."
jawab si orang tua.
"Kurasa itu akan sulit karena waktu pa-
man ditinggalkan mereka keduanya masih kecil.
Malah salah seorang diantaranya masih bayi. Se-
telah mereka dewasa bagaimana paman bisa
mengenali wajah mereka" Lagipula paman tidak
tahu ditangan siapa saja mereka dibesarkan. Sa-
tu-satunya petunjuk hanya bisa kita dapatkan
dari Ki Lurah Wanayasa, sedangkan orang tua itu tewas terbunuh di tangan si baju
biru" Untuk lebih jelasnya silahkan ikuti episode Setan Sableng.
Kama Sudira terdiam sejenak, apa yang di-
katakan Gento memang benar. Anak kecil tentu
akan mengalami perubahan wajah sesuai dengan
perkembangan umurnya. Tapi salah satu anak-
nya yang bernama Rumbapati itu mempunyai sa-
tu tanda berupa tahi lalat besar dibagian ketiaknya. "Gento, aku bisa mengenali
anakku. Dia mempunyai tanda di bagian ketiak. Sedangkan
satunya lagi yang nomor dua memang akan sulit
bagiku untuk melacaknya. Tapi aku selalu yakin
dengan kebesaran Tuhan. Jika Dia memang ber-
kenan mempertemukan aku dengan kedua darah
dagingku segalanya bisa menjadi mudah!"
Gento tersenyum dengan mulut terpen-
cong. "Aku percaya dengan pendapat paman, tapi jika kita tidak berusaha, sampai
botak menunggu paman tak akan bisa bertemu dengan mereka. Ha
ha ha!" Karma Sudira unjukkan wajah cemberut.
"Dasar pemuda edan."
"Hari ini setelah satu kesialan terlewati, rupanya aku mendapat keberuntungan
besar. Orang yang kuinginkan nyawanya tak disangka
ada di sini bersama seorang pemuda edan. Ha ha
ha!" Satu suara bergema di tempat itu merobek kesunyian pagi menjelang siang.
Tawa si gondrong bertelanjang dada men-
dadak sirap. Dia dan Karma Sudira sama me-
mandang ke arah mana suara tadi berasal. Suara
tawa yang terdengar lenyap.
Kini malah Gento yang tertawa mengekeh.
"Setan kesasar dari mana yang bicara dan tertawa tadi. Aku mencium bau busuk,
jangan-jangan ada
hantu kuburan yang bicara tadi."
"Hati-hati Gento, aku mencium adanya ge-
lagat tidak baik." Dengan suara perlahan Karma Sudira memberi ingat.
"Aku memang hantu penasaran yang siap
memberangkatkan dua nyawa tak berguna ter-
bang ke langit!" suara tadi kembali menyahuti.
"Walah, kurang kerjaan amat. Malaikat sa-
ja tidak berani sembarangan membetot nyawa
orang, apalagi kau cuma hantu kesasar. Bagai-
mana berani melancangi aturan malaikat, apa ti-
dak takut kualat" Ha ha ha." dengus murid kakek gendut Gentong Ketawa sinis.
"Gondrong jahanam, agaknya kau harus
membuka matamu untuk mengenali orang" Kau
tidak melihat betapa tingginya gunung yang bera-da di hadapanmu"!" hardik suara
itu. Pendekar Sakti 71 Gento Guyon tertawa
terpingkal-pingkal. Sambil pegangi perutnya yang berguncang keras dia berkata.
"Bicara membawa gunung segala. Mengapa tidak kau sebut langit, hutan, air dan
lautnya sekalian. Jadi kau bisa
melukis satu pemandangan bagus, atau kau ini
memang tukang jual lukisan" Aneh, jual lukisan
kok di hutan. Kalau tidak gila pasti kau manusia sinting! Ha ha ha."
Dari balik semak belukar terdengar suara
menggerung marah. Lalu semak belukar tersibak,
satu kepala muncul, dua benda hitam melesat,
menderu mengeluarkan suara berdengung mem-
belah udara. Tawa Gento mendadak lenyap, dia coba
mengenali kedua benda yang meluncur ke arah
leher dan perutnya. Tapi karena begitu kecil dan derasnya benda yang meluncur ke
arahnya Gento tidak dapat menduga benda apa yang disam-
bitkan orang. Dengan gesit sambil lesatkan tu-
buhnya ke udara, pemuda ini berseru. "Walah kau baik amat. Aku yang tidak pandai
melukis malah kau kirimi alatnya. Rasanya aku tidak bu-
tuh. Terima kasih atas pemberianmu, tak lupa
memohon maaf sekarang kukembalikan saja pe-
ralatanmu ini!" Dengan kecepatan luar biasa Gento lakukan gerak jungkir balik.
Begitu kepala menghadap ke bawah tangan diputar sedemikian
rupa kemudian dipergunakan untuk memukul
dua benda hitam panjang yang agaknya merupa-
kan senjata rahasia.
Bet! Bet! Angin menderu menyertai berkelebatnya
tangan Gento. Dua benda hitam berbalik, melesat dengan kecepatan berlipat ganda
ke arah mana benda itu datang.
Dari semak belukar terdengar suara meng-
gerendeng. Sesaat lagi dua benda itu menerabas
semak belukar. Dari balik semak melesat sesosok tubuh serba hitam ke arah Gento
dan Karma Sudira. Hanya dalam waktu sekedipan mata seorang
kakek tua berbadan tinggi agak bungkuk berpa-
kaian hitam dekil berambut sutra telah berdiri tegak di depan mereka.
Jika Gento memandang kehadiran kakek
itu dengan mata berkedap-kedip, sebaliknya
Karma Sudira dalam kagetnya langsung melom-
pat berdiri kemudian turun dari atas batang po-
hon, sedangkan mulut ternganga, mata melotot
seperti melihat setan.
Gento yang melihat ini jadi heran. "Pa-
man... rupanya kau mengenal hantu kuburan de-
kil ini" Mengapa harus takut. Jika bertingkah kita korek saja biji mata dan
biji-bijian yang lain. Ha ha ha." Di depan sana wajah yang hitam itu tambah
mengelam, sepasang mata si kakek yang
menjorok ke dalam rongga mendelik menyorotkan
sinar angker dingin menggidikkan.
"Gento, kakek ini bukan manusia semba-
rangan. Konon kudengar dia merupakan orang
upahan adipati. Ilmunya tinggi, pukulannya ga-
nas. Yang paling keji adalah sepuluh kuku jari
tangannya." Karma Sudira kembali berbisik memberi ingat.
Mendengar ucapan orang tua disamping-
nya Gento Guyon melirik ke sepuluh jari tangan.
Dia melihat kuku yang panjang dan hitam itu.
Gento yakin di dalam kuku itu disamping meru-
Menuntut Balas 15 Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung Renjana Pendekar 11
^