Setan Sableng 2
Gento Guyon 17 Setan Sableng Bagian 2
menganggukkan kepala.
"Apa yang kau katakan benar orang tua."
"Hemm, jadi kau sendiri tidak tahu dimana bera-
danya kedua anak Karma Sudira?" tanya si kakek.
Yang ditanya gelengkan kepala.
"Aku Tidak tahu. Yang aku khawatirkan kedua
anak Karma Sudira masih hidup. Satu-satunya orang
yang mengetahui tentang rahasia kedua bocah itu ada-
lah Ki Lurah Wanabaya. Konon dia juga dipercaya me-
nyimpan peta penunjuk jalan menuju ke suatu tempat
dimana anak itu dititipkan. Celakanya Karma Sudira
kedua anaknya itu masing-masing dititipkan di tempat yang berlainan. Semua ini
menyulitkan pelacakan." ka-ta adipati.
"Jika peta petunjuk tentang keberadaan kedua
anak itu ada, apa susahnya" Lagipula kedua bocah itu sekarang sudah dewasa! Kau
menginginkan mereka
kubunuh?" "Benar."
"Kalau begitu katakan namanya?" ujar Wisang Banto Oleng.
"Yang paling besar dulu bernama Rumbapati, se-
dangkan yang kedua aku tidak tahu. Pada saat itu dia masih berupa bayi merah."
Menerangkan Suryo Lagalapang.
Wisang Banto Oleng terdiam, tapi mulutnya ter-
senyum. Tak berapa lama kemudian dia berkata. "Kau tak usah takut. Pertama yang
akan kulakukan adalah
mencari Ki Lurah. Jika Ki Lurah tidak kutemukan, aku punya cara lain untuk
menyelesaikan kedua bocah itu.
Tapi ingat, kau tidak boleh gagal membawa gadis itu
kehadapanku. Jika itu sampai terjadi, aku bukan saja tidak mengabulkan
permintaanmu ini. Tapi juga aku
akan meminta tangan dan kakimu sebagai penebus
kesalahanmu!"
"Baiklah orang tua. Aku akan berusaha agar ti-
dak membuatmu kecewa. Sekarang kata sepakat su-
dah kita dapat. Aku mohon pamit...!" kata Suryo Lagalapang.
Si kakek menangapinya dengan tawa panjang
melengking. sekejap kemudian suara tawanya terhenti.
Lalu dia berkata. "Pergilah, kau harus kembali dalam waktu satu pekan. Bawa
calon istriku ke sini. Jika kau gagal, kau cukup menyuruh orang-orangmu untuk
mengantar potongan tangan serta kakimu, mengerti?"
Suryo Lagalapang anggukkan kepala. "Aku men-
gerti." jawabnya. Dia lalu bangkit berdiri. Setelah menjura hormat ke arah kakek
angker itu Suryo Lagala-
pang balikkan badan dan langsung tinggalkan ruangan
pertemuan yang menebarkan bau amis darah tersebut.
*** Matahari baru saja tersembul di ufuk sebelah.
Suara kicauan burung menambah semaraknya kehi-
dupan dipagi itu. Di satu tanah pendataran dari balik batu besar satu kepala
muncul, ujudnya masih belum
terlihat jelas karena daerah gersang yang dikenal dengan nama Ladang Cadas
Cimangu itu diselimuti kabut
memutih laksana hamparan kapas.
Tak berselang lama terdengar suara siulan pen-
dek, lalu terdengar pula suara nyanyian. Perlahan dari balik batu muncul sosok
seorang pemuda berambut
gondrong, berwajah tampan. Cengar-cengir sambil ber-
siul dia melompat di atas batu, lalu duduk disana sedangkan matanya memandang ke
arah bangunan pan-
jang berdinding batu tak jauh didepannya. Si gondrong bertelanjang dada yang
dilehernya melingkar sebuah
kalung bermata batu putih buram ini tidak dapat me-
mastikan apakah bangunan panjang itu merupakan
rumah tinggal penduduk atau sejenis gudang, karena
pemandangannya sesekali terhalang kabut yang terus
bergerak di tiup angin.
"Di daerah segersang ini, mana mungkin ada
orang yang dapat bertahan hidup disini. Selain bangunan panjang, tidak kulihat
ada rumah penduduk. Lalu
siapa yang tinggal di gedung panjang itu?" kata si gondrong seorang diri.
Karena dia memang tidak melihat ada orang dis-
ekitar gedung panjang didepan sana. Maka dengan
santainya si gondrong lanjutkan siulannya. Kedua kaki kini dijulurkan, sedangkan
dua tangan diletakkan di atas batu. Siulan si gondrong yang bukan lain adalah
Pendekar Sakti 71 Gento Guyon adanya mendadak lenyap begitu dia mendengar derap
suara langkah kuda
dikejauhan sana. Semakin lama suara kuda semakin
bertambah jelas. Gento cepat memandang ke arah sua-
ra itu berasal. Tak berapa lama murid kakek gendut
Gentong Ketawa ini menunggu, terlihat seekor kuda
berbulu putih berlari cepat mendekati bangunan pan-
jang. Di atas kuda itu duduk seorang kakek tua berpakaian serba putih. Melihat
penampilan serta dandanan kakek itu Gento dapat menduga pastilah orang yang
datang dengan menunggang kuda bukan orang biasa.
Boleh jadi seorang pejabat kerajaan, atau mungkin ju-ga seorang lurah atau
demang. "Orang tua itu apakah dia pemilik gedung itu"
Melihat wajahnya aku yakin dia baru saja habis mela-
kukan perjalanan yang cukup jauh." Fikir Gento. Masih tetap duduk di tempatnya
Gento terus memperha-
tikan si penunggang kuda. Tak berselang lama kakek
di atas punggung kuda melompat turun. Dia berjalan
dengan tergesa-gesa menuju ke arah gedung panjang
beratap genteng. Tapi entah mengapa tiba-tiba si ka-
kek hentikan langkahnya, dia keluarkan seruan tidak
jelas. Gento yang berada di atas batu menjadi heran.
Dia bangkit berdiri mencoba melihat apa yang terjadi.
Karena tidak jelas secara diam-diam Gento bergerak
mendekat dengan mengendap-endap. Di satu tempat
dibawah sebatang pohon kering Gento berhenti, diam
disitu sambil mengawasi ke depan. Pemuda ini jadi
terkejut ketika melihat tiga sosok tubuh tergeletak didepan pintu dengan dada
dan perut ditembus tombak.
"Aneh. Siapa mereka" Melihat pakaiannya, mere-
ka seperti penjaga di kadipaten. Hemm, sekarang aku
mengerti. Bangunan itu pastilah sebuah penjara. Tapi mengapa letaknya terpencil
begini" Siapa rupanya
yang dikurung dalam penjara itu?" fikir Gento. Dia memutar otak mencari jawaban
sendiri. Tapi otaknya
buntu. Tak ada yang dapat dilakukannya terkecuali
kembali memandang ke depan dimana kakek tua tadi
kini nampak sibuk memeriksa mayat ketiga penjaga
tadi. "Aneh, siapa yang telah membunuh pengawal begundal adipati ini?" kata si
kakek yang bukan lain adalah Ki Lurah Wanabaya. Dengan sikap waspada orang
tua itu kemudian mendekati pintu. Pintu didorong
dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan menghu-
nus keris Kelabang Geni. Ketika pintu terbuka, dibalik pintu dia melihat dua
sosok pengawal berseragam juga dalam keadaan terkapar tanpa nyawa. Si kakek
surut satu langkah. Keadaan mayat pengawal ini sungguh
mengerikan. Bagian wajah seperti dicacah, dada robek, perut terkoyak, sedangkan
isi perut berbusaian keluar.
"Tidak mungkin! Bagaimana semua ini bisa terja-
di?" desis Ki Lurah tegang.
Selagi fikiran orang tua itu diliputi kekhawatiran
terhadap nasib orang yang hendak ditemuinya, pada
waktu bersamaan kesunyian dipecahkan oleh terden-
garnya suara tawa seseorang. Kemudian atap bangu-
nan penjara jebol. Satu sosok tubuh berkelebat dan
melesat turun ke arah Ki Lurah. Dilain waktu seorang pemuda berpakaian biru
masih dengan tertawa-tawa
telah berdiri tegak di depan Ki Lurah. Orang tua itu berjingkrak kaget, seperti
melihat setan matanya mendelik besar. Bibir Ki Lurah bergetar ketika berseru.
"Kau..."!" Sosok pemuda berpakaian biru bersikap acuh, dia terus saja tertawa.
Di balik batang pohon kering Pendekar Sakti 71
kerutkan keningnya. Dia sama sekali tidak mengenal
baik si kakek tua maupun pemuda berbaju biru itu,
tapi melihat bagaimana wajah si kakek berubah meli-
hat kemunculan pemuda baju biru, Gento merasa ya-
kin sebelumnya mereka pernah bertemu dan yang le-
bih pasti lagi kakek berpakaian putih itu jerih terhadap si baju biru.
"Apa yang terjadi diantara mereka. Kulihat si baju biru itu sepertinya bukan
pemuda baik-baik. Mungkin
dia yang telah membunuh para pengawal yang menja-
ga penjara itu. Akan kulihat apa yang hendak dilaku-
kannya pada kakek baju putih. Masih sepagi ini, nada-nadanya akan terjadi
keributan. Aku belum lagi sem-
pat mandi, anggap saja apa yang kulihat dipagi ini sebagai cuci mata.
7 Di depan pintu yang terbuka, si baju biru henti-
kan tawanya. Sesungging senyum bermain dimulut,
sedangkan tatap mata memandang tajam pada orang
tua didepannya. Masih dengan tersenyum pula dia
berkata. "Kau tentu tidak menyangka kita bertemu kembali, bukankah begitu" Dan
kau tak pernah men-
duga aku lebih awal darimu."
"Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?"
tanya Ki Lurah Wanabaya. Si baju biru dongakkan ke-
pala, lalu tertawa tergelak-gelak. "Rupanya kau lupa, jika kuselamatkan jiwamu
dari tangan Ronggo Medi
dan anak buahnya itu berarti kau harus memberikan
balasan padaku berikut bunganya. Aku ingin meminta
imbalan berikut bunganya sekarang!" kata si pemuda tegas. Ki Lurah Wanabaya
tercengang. "Aku tidak punya barang berharga yang pantas
kuberikan padamu." jawab Ki Lurah.
Si baju biru kembali tertawa bergelak. Dia melirik
ke bagian perut Ki Lurah. Si kakek gelisah, dia menyadari peta penunjuk jalan
rahasia itu tersimpan dibalik pakaian depannya.
"Ki Lurah, kudengar adipati Purbolinggo saat ini mengerahkan seluruh orang
pandai, diantaranya beberapa tokoh sesat cabang atas. Sesuatu yang kau bawa
saat ini konon sangat dibutuhkannya guna mencari
tahu dimana gerangan beradanya keturunan Karma
Sudira. Untuk menemukan mereka tidak mudah, dibu-
tuhkan penunjuk jalan rahasia yang tersimpan dalam
peta. Aku masih muda, aku inginkan kedudukan, ja-
batan tinggi juga kemewahan. Jika aku bisa melaku-
kan jasa besar pada adipati, ada kemungkinan aku bi-
sa mendapatkan yang kuinginkan, kedudukan juga ja-
batan yang aku mau. Nah, semua kunci keberhasilan
itu ada ditanganmu. Tidak perlu kujelaskan kau tentu mengerti apa yang
kuinginkan! Kau hanya tinggal menyerahkan peta penunjuk jalan rahasia yang kau
ba- wa, kepadaku. Setelah itu kujamin kebebasanmu. Ha
ha ha!" Mendengar ucapan si baju biru, wajah Ki Lurah
nampak pucat pasi. Permintaan si pemuda baginya
merupakan sesuatu yang tak mungkin dapat dilu-
luskan. "Anak muda, bukan aku golongan manusia tidak
tahu diri dan tak tahu membalas budi kebaikan orang.
Untuk semua pertolongan aku mengucapkan banyak
terima kasih. Tapi terus terang aku tak dapat meme-
nuhi permintaanmu. Apalagi setelah mendengar kau
menyatakan diri dan mengaku ingin menjilat pada adi-
pati Suryo Lagalapang, manusia keji terkutuk yang telah membuat orang paling
jujur di kadipaten Purbo-
linggo terpisah dari keluarganya bahkan harus mende-
rita seumur hidup mendekam dipenjara. Jika kau te-
tap memaksakan kehendakmu, kau sama saja laknat-
nya dengan adipati itu!" dengus Ki Lurah sinis.
Si baju biru menyeringai, dia sama sekali tidak
merasa tersinggung mendengar kata-kata pedas yang
diucapkan si kakek. Dengan tatapan dingin dan penuh
ketenangan pula si pemuda berkata. "Ki Lurah, segala keinginanku tidak mungkin
terkabul hanya dengan
ucapan terima kasih darimu. Aku inginkan suatu ke-
dudukan dan kehidupan mewah. Aku tidak perduli
siapapun adanya adipati itu.!" tegasnya. Si kakek terdiam, namun makin
meningkatkan kewaspadaannya.
Si baju biru melanjutkan ucapannya. "Ki Lurah, lebih baik kau serahkan peta itu
padaku. Kau harus percaya, kerismu tidak akan banyak berguna untuk
membela dirimu.!"
"Aku datang kemari untuk menemui seseorang!"
kata Ki Lurah. "Peta ini hanya dia yang berhak mene-rimanya!"
Si baju biru tersenyum sinis. Tanpa bicara tu-
buhnya berkelebat di arah pintu, lenyap sebentar ke-
mudian muncul kembali sambil memanggul seorang
laki-laki tua berpakaian cokelat. Orang tua yang sekujur tubuhnya dalam keadaan
terluka ini dibantingkan
di atas tanah. Ki Lurah begitu mengenali orang yang
dibawa si baju biru jadi terkejut.
"Karma Sudira...!" berseru si kakek. Orang tua ini bergegas hendak menghampiri
sosok yang terbaring
menelentang itu, tapi gerakannya dihalangi oleh si ba-ju biru.
"Orang tua ini tawananku, Ki Lurah. Dia akan
kubawa menemui adipati sekaligus membawa peta ra-
hasia yang menerangkan keberadaan keturunan bekas
adipati ini. Ha ha ha!"
Megap-megap Karma Sudira berseru. "Ki Lurah,
jangan hiraukan diriku. Kau larilah, pergi yang jauh.
Pemuda edan ini tak perlu dilayani.!"
Si baju biru mendengus geram, kakinya diayun-
kan ke bagian perut orang yang baru dikeluarkannya
dari penjara. Buuuk!
"Arkh...!" Karma Sudira yang kena ditendang terpental sambil menjerit. Melihat
penderitaan yang di-
alami orang yang sangat dihormatinya hati Ki Lurah
berontak, dia menjadi sangat marah sekali. Sambil berteriak keras dia melompat
ke depan. Lalu keris ditangan ditusukkannya ke bagian lambung lawannya.
Si baju biru menyeringai, dari sambaran keris
yang menebar hawa panas dia maklum senjata ditan-
gan Ki Lurah tentu bukan senjata sembarangan. Kare-
na itu sejengkal lagi keris Kelabang Geni amblas ke
bagian lambungnya si baju biru berkelit ke samping.
Keris ditangan Ki Lurah mengenai tempat kosong. Si
kakek cepat berbalik, keris ditangan mengambil sasa-
ran dibagian leher si pemuda. Sambaran angin berha-
Gento Guyon 17 Setan Sableng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wa panas kembali menderu, tapi si pemuda tundukkan
tubuhnya, tangan kiri menyambar ke bagian lengan
lawan sedangkan tangan kanan meluncur deras ke ba-
gian jemari si kakek, dilain saat tangan orang tua itu kena dicekal lawannya. Si
baju biru membuat gerakan
berputar sambil menggerakkan dua tangannya satu ke
atas dan satunya ke bawah. Kraak!
Terdengar suara tulang lengan yang patah, Ki Lu-
rah Wanabaya menjerit keras. Keris dalam gengga-
mannya terlepas dari tangan. Selagi senjata itu meluncur ke bawah si baju biru
menangkapnya. Lalu dengan
keris itu pula dia menikam dada si kakek. Segalanya
berlangsung dengan cepat sekali bahkan tak sampai
sekedipan mata. Begitu sosok Ki Lurah terhempas ke
tanah, maka ditangan si baju biru kini tergenggam gulungan kulit harimau yang
diikat pita kuning.
Karma Sudira yang melihat kejadian ini menjerit
kaget. Hampir bersamaan dengan suara jeritannya, sa-
tu sosok tubuh berkelebat dengan kecepatan laksana
kilat. Sosok itu langsung menyambar gulungan kulit
harimau yang ada ditangan si baju biru. Tapi pemuda
itu dengan cepat melompat ke samping sambil meng-
hantam ke depan menahan gerak orang.
Plaak! Benturan keras membuat si baju biru jatuh ter-
duduk. Didepannya sana si gondrong yang gagal me-
rampas peta jejakkan kakinya di atas tanah dengan
tubuh terhuyung. Walaupun terkejut, si baju biru ce-
pat berdiri. Dia tercengang begitu melihat seorang pemuda bertelanjang dada
berdiri tegak didepanya. Pe-
muda itu tersenyum sinis, si baju biru jadi heran karena tak menyangka orang
yang hendak merampas pe-
ta ternyata memiliki tenaga dalam berada di atasnya.
Bersikap seperti orang kurang waras, si gondrong yang bukan lain adalah Gento
Guyon memperhatikan Ki Lurah. Setelah itu perhatiannya beralih pada orang tua
yang bernama Karma Sudira. Dia sadar sepenuhnya
nyawa Ki Lurah tak mungkin bisa diselamatkan. Da-
lam kesempatan itu Karma Sudira telah merayap men-
dekati Ki Lurah. Begitu sampai kehadapan Ki Lurah
Wanabaya, orang tua ini teteskan air mata begitu me-
lihat keadaan si kakek yang sangat menyedihkan. "Ki Lurah, maafkan aku. Kau
telah banyak membantuku,
sejak dulu sampai sekarang. Pengabdianmu patut ku-
hargai, sayang disaat dirimu berada dalam bahaya aku sama sekali tak dapat
membantumu!" sesal Karma Sudira bekas adipati yang terguling disertai isak
tangis. "Karma Sudira... aku... akh...!" kakek itu tak dapat melanjutkan ucapannya.
Kepala Ki Lurah terkulai
sedangkan matanya terpejam.
"Ki Lurah...!" seru Karma Sudira sambil memelu-ki jasad sahabatnya sekaligus
bekas bawahannya.
Si baju biru tersenyum sinis melihat kematian Ki
Lurah yang tewas tertikam kerisnya sendiri. "Manusia tolol, diberi hidup malah
minta mati!" dengus si baju biru ketus.
"Hemm, hebat. Kau bunuh dia sesuka hatimu
hanya untuk mendapatkan jabatan rendah" Aku jadi
heran kau ini manusia atau binatang melata" kurasa
dibilang binatang kaupun tak pantas. Kalau binatang
tidak mungkin tega membunuh kaum sejenisnya sen-
diri. Jadi kau setan! Setan gila jabatan gila kedudukan.!" kata Gento dengan
suara dingin disertai seringai mengejek. Terkejut si baju biru langsung
palingkan kepala dan memandang ke arah Gento.
Memperhatikan pemuda yang bertingkah laku la-
gi seperti orang miring membuat hati pemuda itu jadi tidak enak. Tapi kemudian
dengan tegas dia ajukan
pertanyaan. "Gondrong sinting, buat apa kau mencampuri urusanku" Jika kau ingin
selamat cepat ting-
galkan tempat ini.!" hardik si baju biru.
Gento gelengkan kepala, bukit hidungnya berge-
rak-gerak seperti mengejek tak lama kemudian terden-
gar suara tawa panjang. Puas tertawa sambil bertolak pinggang Pendekar Sakti 71
Gento Guyon berkata.
"Pemuda edan baju biru. Sama sekali aku tidak suka
usil mencampuri urusan orang. Tapi jika urusan gila
seperti yang baru kau lakukan pada orang tua itu. Bagaimana aku bisa diam"
Lagipula buat apa kau bicara
tentang keselamatan orang. Padahal banyak orang
yang bernama Selamat, malah umurnya tidak panjang.
Baju biru, jika kau mau menuruti saranku justeru kau akan mendapatkan satu
jabatan tinggi. Kau bahkan
bisa menjadi raja disana jika kau mau?" ujar Gento.
Si baju biru terdiam, sepasang alisnya terangkat
naik. Ucapan Gento ternyata termakan olehnya. Penuh
rasa ingin tahu dia ajukan pertanyaan. "Apa maksudmu" Dimana aku bisa menjadi
seorang raja?" "
"Tentu saja di neraka. Ha ha ha!" jawab Gento disertai tawa terbahak-bahak.
Si baju biru bukan main geram mendengar jawa-
ban Gento. Tapi dia masih berusaha menahan ama-
rahnya. "Manusia sinting edan, katakan siapa namamu!" hardik pemuda itu.
"Namaku pantang kuberitahukan pada manusia
sepertimu. Terkecuali jika kau menyebutkan nama-
mu!" "Manusia edan keparat! Orang gila sepertimu memang patut mampus
ditanganku!" teriak si baju bi-ru. Laksana kilat tubuh si baju biru berkelebat
ke arah Gento. Selagi melesat dia lancarkan satu pukulan tangan kosong ke arah
murid si gendut Gentong Ketawa.
Angin keras menderu menyertai pukulan itu. Gento ta-
rik kakinya kebelakang, tubuh dimiringkan, tangan ki-ri dipergunakan untuk
menangkis sedangkan tangan
kanan melepas satu pukulan kebagian perut.
Plak! Desss! Dua tangan bentrok di udara membuat si baju bi-
ru terdorong mundur disertai pekikan kaget. Bersa-
maan dengan benturan tadi pukulan Gento menghan-
tam telak perut lawannya. Si baju biru jatuh terjengkang. Benturan tangan tadi
membuat telapak tangan-
nya terasa remuk, ditambah lagi dengan pukulan yang
bersarang di bagian perutnya membuat si baju biru
mengerang kesakitan.
Gento Guyon sendiri bukan tak merasakan aki-
bat dari pukulan itu. Lengannya yang bentrok dengan
tangan lawan terasa panas dan kesemutan. Tapi si
gondrong bersikap seperti tidak mengalami suatu hal
apapun. Dia malah keluarkan siulan.
"Cepat katakan namamu. Atau kau ingin mati
sebagai orang yang tidak dikenal" Ha ha-ha!"
Mendengar ucapan Gento, si baju biru seperti
terbakar telinganya. Seketika dia bangkit tegak meskipun langkahnya agak
terhuyung. Dengan mata mende-
lik dia berteriak. "Gondrong keparat, kau boleh bertanya siapa diriku pada Ki
Lurah. Sekarang bersiaplah kau untuk menyusul arwah tua bangka itu!" Selesai
berkata si baju biru rangkapkan kedua tangannya di
depan dada. Sejajar dengan arah jantung. Setelah itu mulutnya berkemak-kemik.
Walaupun Gento tidak ta-hu apa yang hendak dilakukan oleh lawan, namun dia
sadar si baju biru pasti hendak mengerahkan ilmu an-
dalannya. Dengan sikap mencemo'oh Gento berkata.
"Hmm, rupanya mbah dukun sedang komat-kamit
memanggil setan. Hebat...!"
8 Di depan sana si baju biru diam tidak menangga-
pi, hanya mulutnya sunggingkan seringai aneh. Tidak
berselang lama pula tanpa bicara apapun si baju biru kembangkan kedua tangan,
lalu mengangkatnya seja-
jar dengan telinga. Dua tangan kemudian serentak di-
hantamkan ke depan. Sesuatu yang tidak pernah ter-
duga oleh Gento tiba-tiba saja terjadi. Dari dua tangan yang dihantamkan lawan
menderu angin topan berhawa panas luar biasa. Angin topan itu menggulung dan
menghantam apa saja yang dilaluinya. Gento tercekat, tawanya lenyap. Tanpa
membuang waktu dia menghantam ke depan melepas pukulan Selaksa Duka den-
gan tangan kiri sedangkan tangan kanan menghantam
dengan pukulan Dewa Awan Mengejar Iblis. Dua puku-
lan menderu, sinar merah dan sinar biru membersit la-lu melesat disertai suara
bergemuruh. Benturan hebat kemudian terjadi, tapi Gento jadi tercengang begitu
melihat bagaimana pukulan yang dilepaskannya am-
blas lenyap ditelan gemuruh angin topan yang ber-
sumber dari pukulan lawannya. Dalam kagetnya se-
mentara serangan terus melabrak tubuh si pemuda,
dia coba selamatkan diri dengan bergulingan ke samp-
ing. Tapi yang terjadi kemudian sungguh berada diluar dugaan si gondrong. Angin
pukulan lawan berbelok la-lu menyambar tubuh si pemuda.
Braak! Buuum! Pemuda itu terpental disertai jeritan keras me-
nyayat. Setelah terbanting beberapa kali digulung serangan lawan, akhirnya dia
terkapar rebah menelen-
tang. Nafasnya kembang kempis, wajah pucat sedang-
kan dari hidungnya mengucurkan darah. Tanpa
menghiraukan sakit yang mendera dibagian dadanya
Gento cepat berdiri. Dengan mata nanar dia meman-
dang ke depan. Tapi dia jadi terkesiap karena lawan
ternyata sudah tidak berada lagi disitu.
"Kurang ajar. Dia melarikan diri. Pemuda itu pas-ti pergi ke Kadipaten. Ilmu
aneh apa yang dia miliki"
Tololnya diriku, jika aku tidak berlaku ceroboh dan
lengah, tentu akibatnya tidak seperti ini." gerutu si pemuda memaki dirinya
sendiri. Perlahan kini perhatian si pemuda beralih ke
arah orang tua yang bernama Karma Sudira itu bera-
da. Dia merasa lega karena ternyata orang tua itu masih berada di tempat.
Mungkin baju biru yang telah
berniat membawa serta Karma Sudira tak sempat me-
lakukannya. Pendekar Sakti 71 ini melangkah menghampiri
orang tua yang terbaring disamping mayat Ki Lurah
Wanabaya. Melihat kedatangan pemuda itu Karma Sudira,
orang tua berusia sekitar lima puluh tahun ini menco-ba tersenyum. Gento lalu
duduk disamping si orang
tua. Dia mengeluarkan se-butir pil berwarna cokelat, lalu memberikannya pada
orang tua itu sambil berkata. "Makanlah obat ini, mudah-mudahan luka yang paman
alami cepat sembuh."
Dengan tatap penuh rasa terima kasih Karma
Sudira menerima obat pemberian Gento. Tanpa ragu
pula dia menelannya. Beberapa saat setelah menelan
obat yang diberikan Gento, Karma Sudira merasakan
dada, perut dan sekujur tubuhnya menjadi sejuk, rasa sakit lenyap dan dia
merasakan tubuhnya menjadi enteng. Tanpa ragu Karma Sudira bangkit, lalu duduk
sambil meluruskan ke dua kakinya. "Terima kasih atas budi pertolonganmu. Anak
muda siapa namamu?"
"Namaku Gento... Gento Guyon." sahut si pemuda singkat. "Paman siapa sebenarnya
pemuda tadi"
Mengapa dia hendak mencelakaimu?" Gento ajukan pertanyaan.
Karma Sudira gelengkan kepala. "Aku tidak men-
genalnya. Dia datang begitu saja, membunuh pengawal
penjaga penjara. Lalu masuk ke dalam ruangan di ma-
na aku ditahan. Kemudian menyiksaku secara mem-
babi buta." jawab Karma Sudira.
Gento terdiam mendengar jawaban orang tua itu.
Beberapa saat kemudian pemuda ini ajukan perta-
nyaan. "Paman berada dalam penjara ini sudah berapa lama, siapa pula yang
memenjarakan mu"!"
Karma Sudira menarik nafas panjang. Tatap ma-
tanya memandang kosong ke depan. Dengan suara
perlahan bergetar dia menjawab. "Kurang lebih sudah delapan belas tahun aku
berada di sini. Orang yang
memenjarakan aku adalah adipati Purbolinggo yang
sekarang, namanya Suryo Lagalapang. Manusia keji
itu dulunya adalah bekas bawahanku ketika aku men-
jadi Senopati. Setelah aku mengundurkan diri dari jabatan Senopati, berkat jasa
pengabdianku aku diang-
kat menjadi adipati di Purbolinggo. Tapi kemudian sa-tu fitnah keji dilakukan
Suryo Lagalapang pada diriku.
Dia mengadu pada raja bahwa aku bermaksud mela-
kukan pemberontakan. Dengan dibantu tokoh-tokoh
penting juga ahli silat istana Suryo Lagalapang me-
nangkapku. Lalu aku dijebloskan ke tempat pengasin-
gan ini dari dulu sampai sekarang." jelas orang tua dengan perasaan marah
diliputi dendam.
Gento Guyon manggut-manggut, dia teringat pa-
da pemuda baju biru yang melarikan diri dengan
membawa peta. Gento pandangi orang tua dihadapan-
nya sambil ajukan pertanyaan. "Pemuda tadi melarikan peta yang dibawa oleh Ki
Lurah ini, apakah peta
itu sangat berarti bagimu?"
Mendengar pertanyaan Gento wajah Karma Sudi-
ra nampak berubah. Gento melihat satu kesedihan ju-
ga penderitaan dimata si orang tua.
"Peta itu bagiku tidak ubahnya seperti nyawa kedua, dia lebih berharga dari
sebuah kerajaan maupun
tumpukan emas permata. Terus terang peta itu dibuat
oleh seseorang, dititipkan oleh Ki Lurah untuk disampaikan kepadaku. Jadi bukan
aku yang membuat peta
itu. Orang yang menitipkan peta itulah yang mengasuh dan membawa pergi anakku
yang bernama Rumbapati.
Aku sendiri mempunyai keturunan dua orang, yang
pertama adalah Rumbapati. Sedangkan yang kedua
aku belum sempat memberinya nama. Saat peristiwa
penyerangan itu terjadi anakku yang kedua baru be-
rumur seminggu. Seseorang menerobos ke dalam ru-
mahku yang dikepung ratusan prajurit kerajaan. Dia kemudian membawanya pergi.
Sampai saat ini aku tak tahu dimana anakku
yang kedua itu berada. Jika dia masih hidup tentu sudah sebesar dirimu!"
"Hem, jadi peta itu adalah petunjuk satu-satunya yang menyatakan tempat dimana
anakmu berada?"
tanya Pendekar Sakti 71.
"Ya, tapi hanya salah satu diantara kedua anak-
ku. Sedangkan yang satunya lagi aku tak tahu dima-
na." "Seandainya adipati mengetahui tempat tinggal anakmu, apa sebenarnya yang
akan dia lakukan?"
Gento Guyon 17 Setan Sableng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanya Gento lagi.
"Dia pasti akan membunuh putraku."
"Aku tahu, semua itu dilakukan adipati karena
tidak ingin kedua anak orang tua ini melakukan balas dendam." batin Gento. Tapi
yang membuatnya heran mengapa adipati Suryo Lagalapang tidak membunuh
Karma Sudira. Malah dia memenjarakannya selama
belasan tahun. "Paman, jika benar Suryo Lagalapang ingin mem-
bunuh anak-anakmu, mengapa dia membiarkanmu
hidup.?" tanya si pemuda.
"Aku tidak tahu, kurasa dia sengaja membiarkan
aku dalam keadaan seperti ini agar aku dapat menik-
mati satu penderitaan panjang. Bisa jadi manusia ja-
hanam itu sedang merencanakan sesuatu, siapa yang
dapat menduga." jawab Karma Sudira.
"Sekarang apa yang hendak paman lakukan?"
Orang tua itu gelengkan kepala. "Aku sudah ti-
dak mempunyai kekuatan apa-apa. Sedangkan diseke-
liling adipati setiap saat berkumpul kaki tangannya
yang berkepandaian tinggi. Konon kudengar dia juga
mempunyai hubungan tertentu dengan momok gu-
nung Slamet. Jika kau nekat melakukan penyerangan
kesana, sama saja hanya membuang nyawa secara sia-
sia." Gento terdiam, dia percaya apa yang dikatakan oleh orang tua ini memang
benar adanya. Untuk dapat
menerobos ke gedung kadipaten memang tidak mudah,
selain penjagaan sangat ketat, disana banyak berkum-
pul jago-jago silat yang dibayar adipati. Satu-satunya cara adalah memancing
adipati keluar dari kadipaten.
"Paman, aku punya satu rencana. Sekarang kau
boleh ikut denganku!"
Karma Sudira memandangi pemuda gondrong di-
depannya dengan tatap tak mengerti. "Apa rencana-mu?" "Kita pergi ke kadipaten.
Paman pasti tahu seluk beluk tempat itu, kita menyusup lalu menyeret keluar
adipati Suryo Lagalapang. Bagaimana pendapatmu?"
tanya Gento. Karma Sudira tersenyum. Masih dengan terse-
nyum dia berucap. "Gento... kuhargai sikap dan keinginanmu. Tanpa mengecilkan
segala kesaktian yang
kau miliki, aku punya pendapat jika kita nekad me-
nyerbu ke kadipaten. Aku jamin tak seorangpun dian-
tara kita yang dapat keluar dari tempat itu dalam keadaan hidup." kata si orang
tua. Dia lalu melanjutkan.
"Menurutku ada baiknya jika kita mencari anak-
ku Rumbapati. Jika anak itu kita temukan kurasa se-
karang dia memiliki ilmu kesaktian yang tinggi. Karena setahuku dan menurut
pengakuan Ki Lurah anakku
diambil murid oleh seorang berkepandaian tinggi yang berdiam tak jauh dari
Wadaslintang."
"Paman apakah mengenal daerah itu?"
"Aku tahu. Tapi tempatnya secara pasti aku tidak tahu." jawab Karma Sudira.
"Wadas lintang suatu daerah yang luas. Kurasa
tanpa peta yang telah dibawa oleh si baju biru tadi kita tidak mungkin bisa
menemukan anakmu. Buat apa
orang yang membawa anakmu itu membuatkan peta
untukmu jika dia tidak berada di tempat yang sulit di-cari?" Mendengar ucapan
Gento Karma Sudira seperti merasa putus asa. Gento tersenyum, kemudian dia
menepuk bahu orang tua itu sambil berkata. "Kau tidak usah pusing memikirkan
semua ini, sebaiknya
paman ikut saja denganku. Sekarang kita pergi." Gento kemudian bangkit berdiri.
"Kemana?"
"Aku ingin membantu menyelesaikan persoalan-
mu ini. Karena itu kau ikut saja kemana aku melang-
kah!" tegas si gondrong. Walaupun baru pertama kali bertemu dengan Gento Guyon
namun dia yakin Gento
adalah seorang pemuda yang dapat dipercaya. Karena
itu ketika Gento tinggalkan tempat itu, Karma Sudira pun mengikutinya.
9 Suryo Lagalapang begitu kembali dari gunung Se-
lamet langsung memerintahkan orang terbaiknya yang
bernama Wajalangke untuk menangkap gadis yang di-
inginkan oleh Wisang Banto Oleng. Pemuda cerdik
berpakaian serba hitam yang diwajahnya digambar
dengan tatto sebuah bintang besar ini baru saja beberapa purnama menghambakan
diri pada Suryo Lagala-
pang. Dia memiliki ilmu kesaktian tinggi, bahkan keti-ka diadakan adu kepandaian
tak seorangpun jago silat kaki tangan adipati yang sanggup menjatuhkannya.
Pagi itu merupakan hari kedua bagi Wajalangke
dalam upayanya mencari Mutiara Pelangi alias Putri
Kupu Kupu Putih. Setelah memacu kuda tanpa men-
genal henti. Sampai disatu tempat, disatu pendataran dipenuhi tanaman bunga yang
menebarkan bau harum semerbak, Wajalangke, hentikan kudanya. Dua
penunggang kuda yang menyertainya dalam perjalanan
itu juga ikut pula menghentikan kudanya. Ternyata
dua penunggang kuda berbulu hitam dan cokelat itu
masing-masing telah berusia lanjut. Satu yang berada disebelah kiri si pemuda
dan menunggang kuda cokelat seorang kakek berpakaian merah, berhidung beng-
kok berpipi tembem. Dimulut kakek ini terselip sebuah pipa cangklong yang selalu
mengepulkan asap sesuai
dengan hembusan-hembusan nafasnya. Cangklong
berwarna hitam itu bukan pipa biasa, karena sewaktu-
waktu bisa dipergunakan sebagai senjata maut yang
dapat mengeluarkan asap beracun. Kakek berpipa
cangklong kini di dunia persilatan dikenal dengan julukan Nafas Penebar Maut.
Orang kedua yang berada
disebelah kanan Wajalangke dan menunggang kuda hi-
tam bernama Durga Paksa. Dia juga dikenal dengan
julukan Sambar Nyawa. Umurnya sekitar delapan pu-
luh tahun, berpakaian serba hitam, rambut hitam ge-
lap, mata lebar dengan kening menonjol. Orang tua
yang satu ini sangat pendiam. Tapi dia lebih keji dan lebih berbahaya
dibandingkan dengan Nafas Penebar
Racun. Betapapun mereka memiliki kepandaian tinggi,
ternyata masih dapat ditundukkan oleh Wajalangke
yang berotak cerdik. Sehingga kini mereka terpaksa
menjadi anak buah pemuda itu.
"Aku melihat sebuah rumah, sekeliling rumah di-
penuhi taman bunga. Bukankah menurut adipati, Mu-
tiara Pelangi tinggal disitu?" tanya Wajalangke dengan tatapan menerawang
memandang ke depan. Kakek
disebelah kanan pemuda itu anggukkan kepala, bibir
yang tertutup kumis putih tebal berucap. "Rumah itu memang tempat tinggal gadis
yang kita cari. Tapi nam-paknya sepi. Walaupun sunyi tidak tertutup kemung-
kinan dia berada di dalamnya. Hendaknya kita harus
berhati-hati, Mutiara Pelangi alias Puteri Kupu Kupu putih bukan gadis biasa."
"Kita bertiga, dia sendiri masa" kalah! Sebaiknya kita kepung rumah itu!" tak
Sabar Nafas Penebar Maut menimpali.
Wajalangke berucap dengan mempergunakan ke-
cerdikan otaknya. "Aku percaya setinggi apapun ilmu kepandaian yang dimiliki
gadis itu, cukup kalian berdua yang turun tangan segala sesuatunya pasti beres!"
Sedikit banyak Nafas Penebar Maut merasa se-
nang mendengar pujian itu. Lain halnya dengan Durga
Paksa alias Samber Nyawa. Dia tidak suka mendengar
segala pujian, malah dalam hati dia berpendapat lain atas sanjungan itu. "Pemuda
ini tak kuketahui asal usulnya, tapi dia cerdik sekali. Aku harus berhati-hati
padanya. Boleh jadi dia hanya mau memanfaatkan te-nagaku demi mencapai apa yang
diinginkannya!"
Samber Nyawa berkata dalam hati.
"Tunggu apa lagi secepatnya kita dobrak rumah
itu!" kata Wajalangke ditujukan pada kakek yang bersamanya.
Pemuda itu kemudian menggebrak kuda menda-
hului kedua kakek yang ikut serta bersamanya. Kedua
kakek kemudian menyusul, lalu berpencar membentuk
lingkaran. Wajalangke yang berada dihalaman dekat
pintu depan lalu berteriak. "Puteri Kupu Kupu Putih, kami datang atas perintah
adipati Purbolinggo. Karena kau masih ada hubungan darah dengan Karma Sudira
bekas pimpinan pemberontak yang dulu pernah hen-
dak menggulingkan kerajaan sekarang kau diminta
untuk menyerahkan diri!" kata pemuda itu. Gema suara teriakan si pemuda lenyap,
sejenak lamanya mereka menunggu. Tidak ada jawaban. Wajalangke jadi tidak
sabar. Sekali lagi dia berteriak memanggil nama asli si gadis. "Mutiara Pelangi,
waktumu habis! Kami terpaksa membakar rumahmu!" selesai bicara Wajalangke
gerakkan kepala memberi tanda pada kedua kakek yang
datang bersamanya. Tidak perlu dijelaskan kedua
orang tua itu tahu apa yang harus dilakukannya. Tan-
pa banyak bicara Sumber Nyawa langsung membuka
kantong perbekalan. Dia mengeluarkan beberapa buah
obor besar, lalu mengambil dua batu penyala api. Begi-tu batu saling digosok
satu sama lain bunga api me-
nyambar ke obor. Lima buah obor menyala serentak,
kemudian satu demi satu dilemparkannya kebagian
dinding juga atap yang terbuat dari rumput ilalang.
Hanya dalam waktu sekejap kobaran api telah
membakar rumah itu. Nafas Penebar Maut tertawa ter-
gelak-gelak girang bukan main melihat rumah yang
terbakar. Sedangkan Jalangke terus memperhatikan
setiap sudut berjaga-jaga dari kemungkinan lolosnya
orang yang mereka cari. Disaat kobaran ia makin me-
luas dan mulai menjalar kemana-mana itulah satu so-
sok serba putih berkelebat dari arah sebelah selatan disertai suara pekikan
marah. "Iblis jahanam mana yang berani membakar tem-
pat tinggalku!" kata satu suara. Tak lama kemudian
ada bayangan putih yang berkelebat menyambar lak-
sana walet di atas bubungan rumah. Sosok itu seolah
tidak takutkan api terus berputar-putar di atas kobaran api dan kepulan asap,
sedangkan mulut meniup,
sedangkan dua tangan menghantam ke tengah api
yang berkobar. Bleep! Bleep! Secara aneh dan sulit dipercaya, kobaran api
yang menyala mendadak padam begitu terkena tiupan
sosok yang masih belum jelas siapa adanya. Kini yang terlihat hanya kepulan asap
biru yang bergulung-gulung membubung ke langit. Selesai memadamkan
api sosok serba putih itu kemudian jejakkan kakinya
di atas kayu palang bubungan rumah yang hangus.
Ternyata orang yang berteriak tadi adalah seorang gadis cantik luar biasa,
demikian cantiknya hingga sulit ditandingi. Gadis itu berkulit putih, mata
bundar, rambut panjang dikepang. Melihat sosok berpakaian
ringkas yang tegak di atas bubungan yang hanya ting-
gal kerangkanya saja Wajalangke tercengang. Dia
nampak terpesona, sedangkan mata melotot seakan
tak percaya melihat kecantikan gadis itu. "Gadis seperti dia yang hendak
dihadiahkan pada Wisang Banto
Oleng" Sungguh adipati benar-benar keledai tua yang
tolol. Gadis seperti ini tidak pantas menjadi istri tua bangka rongsokan.
Hemm.... jika adipati dapat kusing-kirkan, rasanya aku yang lebih pantas
mendapatkan gadis ini! Aku harus menggunakan cara agar segala
sesuatunya dapat berjalan wajar!" Wajalangke bicara dalam hati.
Dalam kesempatan itu kedua kakek yang berada
disebelah kanan dan juga disisi kiri rumah nampak
siap melakukan perintah. Karena setelah menunggu
ternyata Wajalangke tetap diam saja, malah matanya
terus memandang ke arah sang dara tanpa pernah
berkedip, Nafas Penebar Maut berteriak ditujukan pa-
da pemuda itu. "Wajalangke... gadis ini orangnya yang harus kita ringkus.!"
Wajalangke kaget, tapi pura-pura acuh. Dengan
ketus dia berkata. "Kalau sudah tahu mengapa cuma diam saja, tidak segera
melakukan sesuatu!"
Belum sempat kakek berpakaian merah menang-
gapi, gadis yang berdiri di atas bubungan rumahnya
yang terbakar berteriak. "Dua kakek keparat, rasanya tampang kalian tidak asing
bagiku. Wajah-wajah seperti anjing penjilat, aku sering melihatnya keluar masuk
di kadipaten. Tidak salah, kalian berdua pasti anjing piaraan adipati." dengus
gadis berbaju putih ketus.
Dia lalu melirik ke arah Wajalangke. Gadis itu merasa tidak kenal, bahkan baru
kali ini melihat pemuda aneh yang wajahnya di tatto dengan gambar bintang terang
itu. "Kau... anjing baru yang bergabung dengan anjing tua. Sungguh memuakkan.
Selama ini aku tidak pernah membuat urusan apa pun dengan kadipaten ter-
kutuk itu, mengapa kalian datang membakar rumah-
ku"!" hardik si gadis marah.
"Gadis, kau tentu yang bernama Mutiara Pelangi.
Benar seperti katamu kedua kakek itu memang kaki
tangan adipati. Sedangkan aku adalah atasan mereka.
Kami terpaksa membakar rumahmu karena adipati te-
lah menyediakan sebuah rumah yang baru untukmu.
Terus terang gadis secantikmu tidak layak tinggal di-rumah rongsokan itu.
Sekarang kau ikutlah dengan
kami, karena seseorang yang berniat menjadikanmu
sebagai istrinya telah menunggu kedatanganmu!" kata Wajalangke.
Kemarahan dihati si gadis cantik yang memang
Mutiara Pelangi adanya belum lagi lenyap, apalagi kini ditambah dengan ucapan
Wajalangke barusan tadi
membuat dada gadis itu terasa panas laksana dibakar.
"Manusia gila! Katakan pada adipatimu sebaik-
nya dia membunuh diri. Aku telah mengetahui segala
kelicikannya, hingga pamanku dijebloskan ke dalam
penjara. Bukan hanya itu saja, pamanku terpaksa
berpisah dengan anaknya semata-mata karena ulah-
nya. Sekarang cepat tinggalkan tempat ini sebelum
aku berubah fikiran!" perintah Mutiara Pelangi.
Tiga pasang mata sama memandang ke arah si
gadis, ketiganya sama pula mengumbar tawa. Dalam
beberapa kejapan tawa mereka lenyap. Kakek berpa-
kaian hitam bergelar Samber Nyawa berucap. "Gadis cantik! Bukan kami yang harus
menuruti perintahmu,
sebaliknya kaulah yang harus menuruti perintah ka-
mi!" Wajalangke menambahkan. "Apa yang dikata-kannya memang benar. Kami,
terlebih-lebih aku tidak
mau berlaku kasar apalagi terhadap gadis secantikmu.
Karena itu ikuti saja perintah kami. Kujamin tak satu pun dari kedua kakek itu
yang berani mengusikmu!"
Merah padam wajah Mutiara Pelangi mendengar
ucapan si pemuda. Mereka telah membakar rumah, te-
lah melakukan kesalahan besar tapi masih juga bisa
bersikap seperti orang yang tidak berdosa.
10
Gento Guyon 17 Setan Sableng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalian manusia penjilat sama bejatnya dengan
Suryo Lagalapang. Jika tidak ku singkirkan hari ini kelak pasti menjadi biang
penyakit!" teriak Mutiara Pelangi sengit.
"Puteri Kupu Kupu Putih, mulutmu kelewat ta-
kabur. Sayang adipati telah memerintah kami untuk
menangkapmu tanpa cacat. Andai kau tidak diminta
oleh Wisang Banto Oleng untuk dijadikan istrinya, kurasa aku sendiri sanggup
menaklukkan dirimu. Kemu-
dian kita dapat hidup disatu tempat menikmati manis
madunya cinta sampai tua!" kata Nafas Penebar Maut.
"Orang tua, kulihat kau yang paling bersemangat diantara kami. Kuberi kesempatan
padamu selama tiga
jurus. Jika kau sanggup menangkapnya, maka kau
kuperkenankan menciumnya tiga kali sebagai imbalan!
Ha ha ha!" ujar Wajalangke.
Mendengar ucapan pemuda yang jadi pimpinan
tentu kakek berpakaian merah ini jadi bersemangat.
Tanpa menunggu si kakek langsung melesat ke atas
bubungan rumah. Di udara dia lakukan gerakan ber-
jumpalitan sebanyak tiga kali, selanjutnya selagi tubuhnya meluncur deras ke
arah si gadis lancarkan to-
tokan ke bagian leher Mutiara Pelangi. Gadis itu mendengus, selagi tangan lawan
terjulur di udara gadis itu melompat ke atas, salah satu kakinya memijak bahu
lawan, sedangkan kaki yang satunya lagi menginjak
kepala Nafas Penyebar Maut.
Duuk! Satu hentakan yang sangat keras menghantam
kepala orang tua itu. Tubuh si kakek amblas dan jatuh ke bawah. Selagi tubuhnya
meluncur kebagian ruangan dalam rumah yang terbakar sambil berteriak ma-
rah dia memukul ke atas.
Pukulan kakek itu mengenai angin, orang yang
dipukulnya kini telah melesat ke bawah dan jejakkan
kaki dihalaman samping. Dari bagian dalam rumah
terbakar terdengar suara bergedebukan disertai ma-
kian kotor si kakek. Dinding rumah jebol, si kakek
muncul. Wajahnya celemongan dipenuhi arang.
Melihat keadaan si kakek, Wajalangke tak dapat
menahan senyumnya. Sebaliknya Nafas Penebar Maut
sudah tak dapat lagi menahan kemarahannya. Kini dia
menyerbu ke arah si gadis. Walaupun saat itu dia me-
nyerang dengan tangan kosong, namun Mutiara Pelan-
gi tak berani bersikap gegabah karena pada saat ber-
samaan selain lawan mencecarnya dengan pukulan
dan tendangan tapi juga mulai menyemburkan asap
beracun yang keluar dari pipa cangklong yang selalu
terselip dibibirnya.
Mutiara Pelangi dalam beberapa jurus dimuka
hanya mampu berkelit atau menghindar dari serangan
lawan. Malah dia terpaksa menutup jalan pernafasan-
nya agar asap biru yang keluar dari pipa lawan tidak sampai tersedot olehnya.
Disatu kesempatan gadis ini melompat tinggi begitu tangan lawan menyambar ke
arah dada. Melihat lawan menghindar ke atas, Nafas
Penebar Maut langsung semburkan asap beracun dari
pipa cangklongnya.
Wuuues! Asap biru bergulung-gulung memenuhi udara
membuat pemandangan jadi terhalang dan mata pedih
bukan main. Si gadis merasakan akibat dari semua
itu, bahkan kepalanya menjadi pening. Tapi dia tak
kehabisan akal, selagi tubuhnya meluncur ke bawah,
dengan sekuat tenaga dia menghembuskan nafasnya.
"Phuuh...!"
Seketika asap biru pekat itu berbalik menyerang
pemiliknya. Tak menyangka lawan dapat berbuat se-
perti itu, maka Nafas Penebar Maut jadi kelabakan.
Sebagian asap beracun yang ditutupkannya tersedot
masuk ke dalam tenggorokannya. Orang tua keluarkan
suara seperti tercekik, matanya mendelik sebelah tangan memegangi leher. Dalam
waktu singkat sekujur
tubuhnya nampak membiru. Beruntung dia masih
sempat mengambil obat penawar racun dan langsung
menelannya. Jika tidak jiwa si kakek pasti tidak tertolong.
"Celaka, hampir saja!" desis Samber Nyawa tercekat dan sempat khawatir melihat
nasib buruk yang
menimpa sahabatnya.
"Samber Nyawa, ternyata temanmu hampir tak
berdaya. Sekarang kau bantu dia. Jangan membuat
aku malu!" teriak Wajalangke.
"Pemuda jahanam, sungguh lagakmu membuat
aku semakin muak. Awas, aku akan melaporkan se-
mua ini pada Suryo Lagalapang!" geram Samber Nyawa dalam hati. Si kakek
berpakaian serba merah itu lalu keluarkan suara mengerang. Laksana kilat
tubuhnya berkelebat, sementara Nafas Penebar Maut kini menye-
rang kembali dengan mempergunakan tangan kosong,
maka kakek berpakaian merah yang memiliki gelar
angker Samber Nyawa itu menyerang dari bagian atas
Mutiara Pelangi. Mendapat gempuran hebat dari dua
tokoh silat yang sudah sangat berpengalaman ini Mu-
tiara Pelangi tidak menjadi gentar.
Sambil berteriak tubuhnya berkelebat hindari se-
rangan dan jotosan lawan. Bagaikan seekor kupu-
kupu dia selalu dapat menghindari serangan lawan.
Ketika perkelahian mencapai dua puluh jurus, Mutiara Pelangi bahkan menghantam
dada kakek berpakaian
hitam. Membuat orang tua itu terdorong satu tindak
kebelakang, tubuh terbungkuk, nafas seperti ayam
disembelih sedangkan mulut meneteskan darah.
Tapi pada waktu bersamaan secara tak terduga
dari atas Samber Nyawa melakukan gebrakan, dia tan-
gannya bergerak cepat melakukan totokan di bahu si
gadis kanan kiri. Mutiara Pelangi yang sempat merasakan sambaran tangan dingin
menerpa bahunya segera
berkelit, sayang satu totokan masih sempat mengenai
bahu kirinya. Tak ayal lagi gadis itu kini merasakan kedua ka-
ki, tangan dan sekujur tubuhnya menjadi kaku.
"Ha ha ha!" Akhirnya kau jatuh juga ditangan Samber Nyawa, gadis cantik. Kalau
sudah begitu kau
bisa berbuat apa?" tanya Wajalangke disertai tawa terbahak-bahak.
"Dalam hal ini aku yang paling banyak dirugikan.
Karena itu seperti katamu tadi aku harus menciumnya
tiga kali!" kata satu suara.
Wajalangke memandang ke arah datangnya sua-
ra. Ternyata yang baru bicara tadi bukan lain adalah Nafas Penebar Maut.
"Orang tua, kulihat kau yang paling menderita.
Kurasa kau memang pantas untuk mendapat hiburan
segar. Kalau mau menciumnya" Kebetulan sekali, aku
jadi ingin tahu bagaimana cara orang tua sepertimu
mencium seorang gadis cantik. Silahkan.... hayo tung-gu apa lagi"!" kata
Wajalangke. Dalam hati dia berkata.
"Gadis ini akan kubawa ke suatu tempat. Dia akan menjadi milikku. Nyawamu dan
nyawa temanmu si
Samber Nyawa harus kuselesaikan sebentar lagi!"
Nafas Penyebar Maut bergerak mendekati si ga-
dis. Mutiara Pelangi delikkan matanya. Sementara
Samber Nyawa mendengus melihat apa yang hendak
dilakukan oleh temannya.
Selagi Nafas Penebar Maut baru sampai didepan
Mutiara Pelangi, bersamaan dengan itu pula terdengar satu suara berkata. "Untuk
urusan cium mencium, rasanya orang tua baju merah itu lebih pantas mencium
salah satu pantat kudaku. Sedangkan urusan men-
cium gadis itu serahkan saja padaku, aku pasti tidak menolak. Ha ha ha!"
Semua orang yang ada disitu sama melengak ka-
get. Mereka memandang ke arah datangnya suara. Le-
bih terkejut lagi karena orang yang baru saja bicara tadi sama sekali tidak
terlihat. Selagi Wajalangke dibuat heran begitu rupa, serta merta terdengar
suara gemuruh langkah kuda. Suara gemuruh kuda yang
agaknya lebih dari satu itu semakin bertambah jelas.
Tak berselang lama muncul empat ekor kuda kurus
berbulu hitam yang berlari cepat ke arah mereka. Em-
pat kuda itu berlari saling menghimpit satu sama lain.
Melihat empat kuda kurus yang berlari menuju
ke arahnya, Nafas Penebar Maut jadi tercengang. Sam-
bil melompat selamatkan diri dari tendangan kuda
orang tua itu memaki. "Kuda kurus jahanam!"
Buuk! Satu kaki kuda yang berlari di sebelah kanan
menghantam si kakek membuat orang tua ini jatuh
terkapar. Habis menendang Nafas Penebar Maut Em-
pat kuda berhenti serentak di depan Mutiara Pelangi.
Hampir tidak kelihatan satu tangan menyambar tubuh
si gadis. Sekejap kemudian sosok Mutiara Pelangi telah duduk di atas salah satu
punggung kuda kurus.
Si gadis tentu saja dibuat tercengang, dia meno-
leh mencoba mengenali orang yang telah menolongnya.
Sepanjang matanya terbelalak ketika melihat seorang
pemuda berambut gondrong bertelanjang dada berce-
lana hijau komprang rebah di atas punggung ke empat
kuda kurus dengan mata terpejam, dua tangan meme-
luk terompet. Di bagian belakang salah satu punggung kuda terdapat satu kantong
perbekalan berisi satu
kendi tuak menebar bau harum.
Mutiara Pelangi sama sekali tidak mengenali sia-
pa pemuda ini. Namun melihat sikap si pemuda yang
seperti tidur sungguhan membuatnya ragu apa me-
mang benar pemuda itu yang telah menolong dirinya.
Tak jauh disebelah kanan ke empat kuda, Samb-
er Nyawa saking kagetnya tak tahu harus berkata apa.
Sedangkan kakek berbaju merah yang sudah bangkit
berdiri sambil mendekap dadanya yang habis diten-
dang kuda nampak tidak dapat berdiam diri. Dia me-
lompat maju, dengan mata mendelik dia mengawasi
sosok pemuda gondrong yang rebah menelentang di
atas empat kuda.
Sebaliknya Wajalangke bersikap lebih teliti. Tadi
walau segala sesuatunya berlangsung cepat, dia tahu
pemuda gondrong yang menelentang di atas kuda itu-
lah yang menarik Mutiara Pelangi. Siapapun si gon-
drong penunggang empat kuda kurus itu tentu bukan
manusia sembarangan. Kecepatannya ketika menaik-
kan Mutiara Pelangi ke atas kudanya sudah merupa-
kan suatu bukti kalau si gondrong memiliki tingkat
kepandaian yang sangat tinggi.
11 Dengan suara lembut dan sikap tenang bersaha-
bat Wajalangke berkata. "Sahabat yang datang menunggang kuda sambil ketiduran,
siapa dirimu" Men-
gapa mengganggu urusan kami. Ketahuilah gadis itu
adalah calon istriku. Hendaknya kau sudi menurun-
kan dari kuda dan menyerahkannya pada kami!"
Si gondrong yang rebah di atas kuda kurus se-
perti terusik mendengar suara orang. Setelah itu dia menggeliat, lalu duduk
sambil mengucek matanya. Terompet diangkat, mulut terompet di tiup.
Buut! Hung! Hung!
Suara terompet menggelegar di udara, menge-
jutkan Wajalangke dan dua pembantunya dan mem-
buat telinga si gadis yang duduk disebelahnya merasa telinganya seperti mau
pecah. Setelah itu seperti mengindahkan orang-orang
yang berada disekitarnya dia rebah kembali. Melihat
sikap si pemuda yang seperti memandang rendah, Na-
fas Penyebar Maut jadi geram. "Wajalangke, aku tidak suka dengan caramu. Kau
terlalu lunak pada pemuda
edan itu. Serahkan pemuda itu padaku sekarang juga!"
teriak si kakek.
"Ha ha ha! Tidak perlu tergesa-gesa. Pemuda ga-
gah itu tengah menikmati tidurnya yang terakhir. Tapi jika kau tak sabar
menunggu, boleh saja kau mengambil tindakan kepadanya!" sahut Wajalangke.
Di atas kuda mulut si gondrong terikat kepala
warna hijau ini kembali membuka mata. "Siapa yang inginkan diriku datang sendiri
ke sini. Siapa yang
mengaku gadis cantik itu sebagai kekasihnya silahkan datang ambil sendiri."
celetuk si gondrong yang bukan lain Setan Sableng adanya. Dia lalu duduk lagi,
matanya kembali terbuka. Memandang pada Nafas Pene-
bar Petaka pemuda itu tiba-tiba tertawa ngakak. "Kakek baju merah. Mengapa kau
diam disitu" Tadi ka-
tanya kau hendak mencium, sekarang ciumlah pantat
kudaku. Kau boleh memilih kuda yang mana yang kau
suka. Kurasa semuanya sama saja, karena sudah lama
aku tidak memandikannya! Ha ha ha!"
"Pemuda jahanam siapa dirimu?" hardik Samber Nyawa ikut menjadi jengkel melihat
lagak si pemuda
yang dianggap sangat menyebalkan itu. Si gondrong
menatap kakek baju hitam sejenak, sesungging se-
nyum bermain dimulutnya. "Kakek muka hitam, kulihat kau yang paling seram. Kau
bertanya siapa aku,
ketahuilah, patik yang hina ini biasa dipanggil Setan Sableng. Jika dirimu
merasa sebagai setan, itu pertan-da kita masih bersaudara. Nah... apakah kau
minta bagian, ingin ikutan mencium seperti kakek kurus ce-
robong asap itu. Kalau kau mau bokongku boleh juga
kau cium! Ha ha ha!"
Mendidihlah darah Samber Nyawa mendengar
kata-kata yang diucapkan oleh Setan Sableng. Sekilas
dia melirik ke arah Wajalangke, pemuda yang dilirik
anggukkan kepala.
"Sobatku Nafas Penebar Maut, mari kita pesiangi pemuda setan ini biar menjadi
setan sungguhan!" teriak Samber Nyawa keras. Pada dasarnya kakek ber-
pakaian merah ini sejak pertama memang menaruh
dendam pada Setan Sableng. Kini mendapat aba-aba
dari sahabatnya dengan penuh semangat dia berkele-
bat, dengan kecepatan luar biasa kakek melesat ke
atas kuda. Kakinya bergerak menghantam kepala Se-
tan Sableng. Sekali tendang pastilah kepala Setan Sableng dibuat remuk karena
lawan mengerahkan seluruh
tenaga dalam yang dia miliki. Tapi belum lagi kaki lawan berhasil menyentuh
kepalanya, dengan kecepatan
tak terlihat tangan Setan Sableng bergerak. Tahu-tahu Nafas Penyebar Maut
Gento Guyon 17 Setan Sableng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terbanting, mulutnya keluarkan
jeritan melengking sedangkan dua tangan diperguna-
kan mendekap bagian bawah perut. Seperti ayam dis-
embelih si kakek bergulingan. Sementara itu Samber
Nyawa yang menyerang dari arah samping sudah ge-
rakkan sepuluh jari tangan. Begitu tangan terjulur, sepuluh jarinya
mencengkeram. Dari sepuluh jari si ka-
kek membersit sepuluh sinar hitam yang terus mende-
ru siap menghunjam disepuluh bagian tubuh lawan-
nya. Setan Sableng masih berlaku tenang. Sebaliknya
Mutiara Pelangi yang berada disampingnya menjerit
ketakutan. Dengan tenang Setan Sableng kemudian me-
nyambut serangan si kakek dengan memutar terompet
ditangan. Sinar kuning berkilau menyilaukan mata
berkiblat. Treeng! Sepuluh sinar hitam yang memancar dari jari si
kakek menghantam terompet Setan Sableng. Asap
mengepul, terompet ditangan pemuda itu mendadak
berubah panas laksana bara. Disertai jeritan kaget Setan Sableng campakkan
terompetnya. Dengan dua
tangan dia menghantam.
Desss! Hantaman yang tidak terduga mendera perut
Samber Nyawa. Si kakek menjerit, lalu jatuh terbant-
ing. Setan Sableng dengan muka cemberut seolah ti-
dak menghiraukan lawannya melompat turun dari ku-
da, dia memungut terompet sambil meniup-niup alat
mainan yang ternyata masih panas. Bagian badan te-
rompet yang melingkar berkelok-kelok tidak utuh lagi, tapi telah berubah cacat
di sepuluh bagian akibat terkena hantaman sepuluh sinar maut yang memancar
dari jari si kakek. Melihat terompetnya yang menghi-
tam cacat sedemikian rupa, Setan Sableng menjerit keras. "Terompetku, mainanku.
Orang tua kurang ajar, tidak tahu mainan kesayangan orang. Kau harus
mengganti terompet ini!" teriak Setan Sableng ditujukan pada kakek berpakaian
hitam. Sambil meringis
kesakitan dan tidak pernah menyangka dengan ting-
ginya ilmu pemuda bergelar Setan Sableng itu, Sambar Nyawa menjawab. "Aku Telah
mengganti terompet bu-tutmu, tapi kau harus mengambilnya di akherat!"
"Sial, mengapa jauh amat" Lebih baik kalian berdua yang kukirim kesana. Sekarang
bersiaplah untuk
berangkat!" hardik Setan Sableng. Sambil tertawa-tawa Setan Sableng Lakukan satu
gerakan aneh, lalu tubuh
pemuda itu berputar. Dengan mata terpejam seperti
orang tidur dan langkah terhuyung Setan Sableng je-
jakkan kakinya.
Bet! Bet! Mendadak sosok pemuda lenyap, Samber Nyawa
merasakan ada sambaran angin disertai berkelebatnya
sosok tubuh di depannya. Dia gerakkan tangan meng-
hantam. Yang dihantam lenyap, kini malah berada dis-
amping, tahu-tahu kakek berbadan tinggi itu menjerit keras. Tubuh orang tua itu
terbanting roboh, dengan
mata mendelik dan tulang tengkuk patah dihantam Se-
tan Sableng. Selagi Wajalangke di buat tercekat melihat keja-
dian yang berlangsung sangat cepat itu, Setan Sableng kini mendekati Nafas
Penebar Maut. Si kakek melompat mundur. Segala kejadian yang berlangsung cepat
tadi dan tewasnya Samber Nyawa membuat nyali si
kakek jadi ciut. Dia sadar pemuda yang memiliki tingkah laku seperti orang
kurang waras itu pasti bukan
tandingannya. Daripada mencari penyakit, rasanya le-
bih baik kabur mencari selamat. Begitulah Nafas Pe-
nyebar Maut berfikir.
Di depannya saja Setan Sableng dengan mata
merah mencorong memandang dingin pada si kakek.
"Kau orang tua kurang ajar. Tadinya mau mencium setelah kusuruh kau malah
menolak. Aku Setan Sab-
leng, saat ini sedang marah besar, tadi sahabatmu sudah berangkat ke akherat
untuk mengambil terompet
pengganti barang mainanku yang dirusaknya. Jika kau
punya barang yang dapat kupermainkan, nyawamu
kuampuni. Tapi jika ternyata tidak punya kau juga harus menyusul temanmu itu!"
"Pemuda sableng kurang ajar, tadinya aku berfi-
kir untuk melarikan diri. Tapi sekarang aku berubah
fikiran. Kurasa daripada pergi secara pengecut lebih baik aku membunuhmu!"
teriak si kakek. Sambil keluarkan suara menggerung orang tua itu dengan segenap
kemampuan yang dia miliki mencecar Setan Sableng
dengan serangan gencar yang tidak ada putus-
putusnya. Mendapat serangan sahabat itu si pemuda
malah pejamkan matanya, dua tangan dilipat ke depan
dada. Tapi anehnya sehebat apapun serangan yang di-
lakukan Nafas Penebar Bencana, tak satupun dari se-
rangan itu yang mengenai sasaran.
Wajalangke untuk pertama kali seumur hidup di-
buat tercengang. Bagaimanapun serangan si kakek
sangat berbahaya sekali. Pukulan maupun tendangan
yang dilakukannya tidak dapat diduga. Herannya da-
lam keadaan mata terpejam lawan selalu saja berhasil menghindar.
"Jika kulayani pemuda sableng itu, bisa jadi segala kehendakku tidak bisa
menjadi kenyataan. Seka-
rang lebih baik kularikan saja gadis cantik itu mum-
pung Setan Sableng sedang repot." berfikir begitu Wajalangke melesat ke arah si
gadis yang duduk dalam
keadaan tertotok di atas punggung kuda. Setelah ber-
hasil menyambar si gadis, Wajalangke berlari menda-
patkan kudanya. Dengan beban Mutiara Pelangi diba-
hunya, Wajalangke membedal kuda tinggalkan tempat
itu. "Setan Sableng, tolong....!" teriak Mutiara Pelangi.
Teriakan itu membuat Setan Sableng kaget sekaligus
membuka matanya. Dia berteriak ketika melihat gadis
yang baru ditolongnya dilarikan orang.
"Kurang ajar, gadis itu hendak kau bawa kema-
na?" kata Setan Sableng. Pemuda ini kemudian bergerak ke arah lenyapnya
Wajalangke, tapi gerakannya
seketika tertahan karena didepannya sana kakek ber-
pakaian merah telah menyerangnya dengan semburan
asap beracun yang keluar dari pipa cangklongnya.
"Wueh, kurang ajar. Orang dalam keadaan terge-
sa-gesa kau malah menutupi jalan dengan semburan
asap keparat! Hasyih...hasyiih...!" Setan Sableng bersin beberapa kali begitu
asap terhirup hidungnya. Dia tetap berdiri tegak sambil menggerendeng. Nafas
Penebar Petaka terkejut luar biasa melihat lawannya tetap tegar seperti tidak
mempan dengan serangan asap beracun-
nya. "Setan alas, pemuda setan ini punya ilmu apa"
Dia tidak dapat kujatuhkan dengan asap beracun ku."
batin si kakek merasa pusing sendiri.
Di depan sana Setan Sableng jadi uring-uringan,
Wajalangke yang hendak dikejarnya kini lenyap ber-
sama Mutiara Pelangi yang dalam keadaan tertotok.
Tapi ketika melihat si kakek didepan sana menjadi
bingung, mendadak tawa Setan Sableng bergema di
udara. "Bingung orang tua" Ha ha ha. Melihat kau bin-
gung, aku yang sudah sangat marah jadi ikut bingung
juga. Kau pasti heran mengapa asap yang kau sem-
burkan di udara tidak membuatku mabok. Ketahuilah,
aku baru bisa mabok jika minum tuak keras. Jika
yang kuhirup cuma asap rokok bagaimana bisa ma-
bok.!" Ucapan si pemuda tentu saja membuat Nafas Penebar Maut jadi terkejut. Dia
memeriksa pipa cangklong yang tergantung dibibirnya. Pucatlah wajah si kakek. Pipa itu sama
sekali bukan miliknya. Pipa
kepunyaannya sendiri berwarna hitam, sedangkan
yang sekarang berwarna putih.
"Kau...!" desis si kakek dengan mata men-delik.
Setan Sableng tertawa-tawa. "Orang tua pikun,
kulihat kau begitu senang merokok, karena itu aku
memberimu pipa yang bagus biar merokoknya makin
bertambah asyik...! Sayang tembakau dalam pipa itu
kucampur dengan racun yang mematikan. Kujamin
saking asyiknya kau sampai lupa bernafas!" kata Setan Sableng.
Nafas Penebar Maut kembali dilanda kaget. Dia
langsung jauhkan pipa cangklong putih dari mulut lalu membuangnya. Pada saat itu
pula si kakek merasakan
tenggorokannya menjadi panas. Dada sesak bukan
main. Si kakek megap-megap, sekujur tubuh dan wa-
jahnya membiru. Nafas Penebar Bencana kemudian ja-
tuh tergelimpang dan tewas seketika. Apa sebenarnya
yang telah terjadi" Ketika Nafas Penebar Bencana me-
nyerang Setan Sableng dengan tendangan, pemuda itu
menghantam bagian bawah perut si kakek. Orang tua
itu kemudian menjerit, cangklong miliknya terjatuh.
Dan sebelum si kakek terpelanting akibat pukulan
yang mendera bagian bawah perutnya Setan Sableng
menggantikan pipa itu dengan pipa miliknya yang di-
ambil dari balik kantong celananya. Dan tentu saja pi-pa cangklong Setan Sableng
mengandung racun lebih
hebat dari yang dimiliki lawannya.
Kini Setan Sableng berdiri tegak di depan Nafas
Penebar Petaka yang terkapar tanpa nyawa. Tapi dia
jadi tersentak begitu teringat pada gadis cantik yang dilarikan oleh Wajalangke.
"Setan...apa benar gadis yang hendak kutolong
tadi memang kekasih pemuda yang wajahnya di tatto
bintang besar. Jika memang betul kekasihnya menga-
pa tidak terus terang saja kepadaku?" Setan Sableng gelengkan kepala. "Jelas
pemuda tadi telah menipuku, dia kira aku kena dibodohi. Dasar kecoak, awas aku
pasti akan mencarinya!" kata Setan Sableng. Pemuda itu lalu balikkan badan
melangkah dekati empat kuda
tunggangannya. Ternyata dia tidak langsung naik dan
merebahkan diri di atas punggung kuda, melainkan
mengambil kendi besar yang tersimpan di dalam kan-
tong perbekalan. Ketika penutup kendi dibuka, ter-
cium aroma tuak keras yang sangat harum. Kendi di-
angkat tinggi, mulut Setan Sableng terbuka.
Gluuk! Gluuk! Gluuk!
"Hemm...!" Setan Sableng menggumam. Dia me-nyeka mulutnya yang basah berselemot
tuak dengan punggung tangan. "Sekarang setelah minum tuak baru
bisa kurasakan sesungguhnya dunia ini sangat luas.
Tadinya sempit dan sumpek." kata si pemuda. Setelah menutup mulut kendi seperti
semula, kendi langsung
dimasukkannya kembali ke kantong perbekalan. Setan
Sableng baru saja hendak melompat ke atas punggung
kuda ketika dia mendengar ada orang berkata. "Minum tuak ditengah panas terik
begini memang asyik. Tapi
apa enaknya jika diminum sendiri?" Setan Sableng tercekat, lalu cepat memandang
ke jurusan mana suara
berasal. Pemuda ini batalkan niat naik ke atas pung-
gung kuda ketika melihat seorang pemuda gondrong
muncul di tempat itu bersama seorang laki-laki tua
berpakaian cokelat. Baik si orang tua maupun pemuda
gondrong itu Setan Sableng sama sekali tidak menge-
nalnya. Si gondrong bertelanjang dada terus bergerak
mendekati Setan Sableng. Sejarak tiga tombak pemuda
itu hentikan langkahnya. Dia memandang ke arah Se-
tan Sableng, lalu tertawa tergelak-gelak. "Kulihat ada dua orang terkapar
disini, apakah mereka mabok tuak
atau mati karena mencium harumnya tuak?"
"Ha ha ha! Kau betul. Mereka malah mati sebe-
lum sempat menikmati lezatnya tuakku. Kau ini siapa
sobat gila" Mengapa ikut-ikutan bertelanjang dada seperti diriku?"
"Dari sananya aku memang sudah begini, nama-
ku Gento Guyon. Sedang orang tua itu adalah saha-
batku satu perjalanan!" menerangkan Gento. Setan Sableng memandang ke arah Karma
Sudira sekilas,
tapi entah mengapa dia seperti bosan. Setelah itu
kembali berpaling ke arah Gento. "Sobat Gento, kau dari mana dan hendak kemana?"
"Segala urusanku tidak sembarang orang boleh
tahu." kata murid Gento Ketawa, sedangkan matanya menerawang memandangi rumah
yang hangus. "Sobatku pemilik empat kuda kurus kering. Siapa yang membakar rumah ini?"
"Aku Setan Sableng sudah melihat orang yang
membakar rumah itu. Orangnya sekarang tergeletak di
depanmu. Ha ha ha!" kata Setan Sableng. Dia kemudian melanjutkan ucapannya.
"Sobatku, namaku Setan Sableng. Apakah kau
ingin minum tuak bersamaku sampai mabuk?"
"Ha ha ha, dengan seorang sahabat tentu saja
aku mau. Tapi dengan setan tentu saja aku tak sudi.
Terkecuali jika kau mau membagi tuakmu dengan sa-
habatku itu!" kata Gento sambil menunjuk ke arah Karma Sudira. Orang tua didepan
sana gelengkan kepala. "Ternyata dia tidak mau. Syukur ....aku senang.
Tuakku ini tuak harum. Mana mungkin kubagikan pa-
da semua orang. Padamu juga tidak. Tapi mungkin
disuatu saat. Aku Setan Sableng pasti bermurah hati
memberikan sebanyak tuak yang kau mau!"
"Jadi kau sekarang hendak kemana?" tanya Gento heran. Setan Sableng tersenyum.
"Sesungguhnya aku ingin banyak berbincang
denganmu. Sangat disayangkan waktunya begitu sem-
pit, aku harus mengejar pemuda yang menculik ga-
disku. Bukan... dia bukan kekasihku. Maksudku aku
harus mengejar pemuda yang melarikan gadis yang
baru saja kutolong. Aku takut terjadi sesuatu dengannya. Atau kau ingin ikutan
mengejarnya?"
"Siapa nama gadis yang kau tolong, siapa pemu-
da yang menculiknya?" tanya Gento ingin tahu. Setan Sableng mencoba mengingat-
ingat. "Namanya... nama gadis dan pemuda itu... akh... aku lupa, aku belum
sempat bertanya." sahut Setan Sableng.
"Dasar pemuda miring. Menolong orang tapi na-
manya saja tidak tahu!" gerutu Karma Sudira sambil
cibirkan mulutnya.
"Maaf sobat sableng. Aku tak bisa ikut serta denganmu. Lagipula kudamu kurus
begitu, mana kuat
membawa aku." kata Gento.
"Kalaupun mau ikut, kalian bisa berlari-lari dibe-lakangku. Sayang sekali....
kau tidak bisa ikut, se-
dangkan aku harus pergi sekarang. Sobat Gento, kelak aku pasti mencarimu. Mohon
pamit, sobatmu Setan
Gento Guyon 17 Setan Sableng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sableng harus segera berangkat!" berkata begitu Setan Sableng melompat di atas
punggung kuda, lalu rebah
menelentang di atas ke empat kuda tunggangannya.
Sambil memejamkan mata dan melambaikan tangan
segala Setan Sableng berteriak ditujukan ke empat kudanya.
"Kudaku, kuda berguna. Kita berangkat
Hayo,....!" begitu mendapat aba-aba dari Setan Sableng, empat kuda menghambur ke
depan, Lari tung-
gang langgang seperti dikejar serigala. Di atas punggung kuda Setan Sableng
tertawa tergelak-gelak.
Gento Guyon tepuk keningnya sendiri. Sedang-
kan Karma Sudira gelengkan kepala sambil mengham-
piri Gento. "Mestinya kita tanya siapa nama pemuda itu yang sebenarnya! Siapa tahu dia
anakku?" sesal Karma Sudira. "Paman sendiri yang salah. Mana mungkin aku
bertanya pada pemuda gila sepertinya" Namanya Setan Sableng. Mungkin dia memang
tidak punya nama
lain. Boleh jadi dia anak setan sungguhan. Siapa bera-ni menjamin. Ha ha ha!"
jawab Gento disertai tawa mengekeh.
"Mungkin ucapanmu memang benar. Dia Setan
Sableng. Aku tidak mempunyai anak turun setan. Apa-
lagi ditambah dengan embel-embel sableng!"
"Sudahlah paman. Sebaiknya kita teruskan saja
perjalanan ke Wadaslintang. Jika baju biru yang melarikan peta itu berhasil
menjumpai adipati. Aku khawatir keselamatan anakmu sekarang berada dalam an-
caman bahaya besar. Mari kita pergi!" kata Gento kemudian. Karma Sudira
anggukkan kepala. Kedua
orang ini lalu melangkah pergi tinggalkan mayat Nafas Penyebar Maut dan Mayat
Samber Nyawa yang dingin
membeku. -TAMAT- NANTIKAN !!! IBLIS EDAN Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pedang Kayu Harum 22 Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Tujuh Pedang Tiga Ruyung 8
menganggukkan kepala.
"Apa yang kau katakan benar orang tua."
"Hemm, jadi kau sendiri tidak tahu dimana bera-
danya kedua anak Karma Sudira?" tanya si kakek.
Yang ditanya gelengkan kepala.
"Aku Tidak tahu. Yang aku khawatirkan kedua
anak Karma Sudira masih hidup. Satu-satunya orang
yang mengetahui tentang rahasia kedua bocah itu ada-
lah Ki Lurah Wanabaya. Konon dia juga dipercaya me-
nyimpan peta penunjuk jalan menuju ke suatu tempat
dimana anak itu dititipkan. Celakanya Karma Sudira
kedua anaknya itu masing-masing dititipkan di tempat yang berlainan. Semua ini
menyulitkan pelacakan." ka-ta adipati.
"Jika peta petunjuk tentang keberadaan kedua
anak itu ada, apa susahnya" Lagipula kedua bocah itu sekarang sudah dewasa! Kau
menginginkan mereka
kubunuh?" "Benar."
"Kalau begitu katakan namanya?" ujar Wisang Banto Oleng.
"Yang paling besar dulu bernama Rumbapati, se-
dangkan yang kedua aku tidak tahu. Pada saat itu dia masih berupa bayi merah."
Menerangkan Suryo Lagalapang.
Wisang Banto Oleng terdiam, tapi mulutnya ter-
senyum. Tak berapa lama kemudian dia berkata. "Kau tak usah takut. Pertama yang
akan kulakukan adalah
mencari Ki Lurah. Jika Ki Lurah tidak kutemukan, aku punya cara lain untuk
menyelesaikan kedua bocah itu.
Tapi ingat, kau tidak boleh gagal membawa gadis itu
kehadapanku. Jika itu sampai terjadi, aku bukan saja tidak mengabulkan
permintaanmu ini. Tapi juga aku
akan meminta tangan dan kakimu sebagai penebus
kesalahanmu!"
"Baiklah orang tua. Aku akan berusaha agar ti-
dak membuatmu kecewa. Sekarang kata sepakat su-
dah kita dapat. Aku mohon pamit...!" kata Suryo Lagalapang.
Si kakek menangapinya dengan tawa panjang
melengking. sekejap kemudian suara tawanya terhenti.
Lalu dia berkata. "Pergilah, kau harus kembali dalam waktu satu pekan. Bawa
calon istriku ke sini. Jika kau gagal, kau cukup menyuruh orang-orangmu untuk
mengantar potongan tangan serta kakimu, mengerti?"
Suryo Lagalapang anggukkan kepala. "Aku men-
gerti." jawabnya. Dia lalu bangkit berdiri. Setelah menjura hormat ke arah kakek
angker itu Suryo Lagala-
pang balikkan badan dan langsung tinggalkan ruangan
pertemuan yang menebarkan bau amis darah tersebut.
*** Matahari baru saja tersembul di ufuk sebelah.
Suara kicauan burung menambah semaraknya kehi-
dupan dipagi itu. Di satu tanah pendataran dari balik batu besar satu kepala
muncul, ujudnya masih belum
terlihat jelas karena daerah gersang yang dikenal dengan nama Ladang Cadas
Cimangu itu diselimuti kabut
memutih laksana hamparan kapas.
Tak berselang lama terdengar suara siulan pen-
dek, lalu terdengar pula suara nyanyian. Perlahan dari balik batu muncul sosok
seorang pemuda berambut
gondrong, berwajah tampan. Cengar-cengir sambil ber-
siul dia melompat di atas batu, lalu duduk disana sedangkan matanya memandang ke
arah bangunan pan-
jang berdinding batu tak jauh didepannya. Si gondrong bertelanjang dada yang
dilehernya melingkar sebuah
kalung bermata batu putih buram ini tidak dapat me-
mastikan apakah bangunan panjang itu merupakan
rumah tinggal penduduk atau sejenis gudang, karena
pemandangannya sesekali terhalang kabut yang terus
bergerak di tiup angin.
"Di daerah segersang ini, mana mungkin ada
orang yang dapat bertahan hidup disini. Selain bangunan panjang, tidak kulihat
ada rumah penduduk. Lalu
siapa yang tinggal di gedung panjang itu?" kata si gondrong seorang diri.
Karena dia memang tidak melihat ada orang dis-
ekitar gedung panjang didepan sana. Maka dengan
santainya si gondrong lanjutkan siulannya. Kedua kaki kini dijulurkan, sedangkan
dua tangan diletakkan di atas batu. Siulan si gondrong yang bukan lain adalah
Pendekar Sakti 71 Gento Guyon adanya mendadak lenyap begitu dia mendengar derap
suara langkah kuda
dikejauhan sana. Semakin lama suara kuda semakin
bertambah jelas. Gento cepat memandang ke arah sua-
ra itu berasal. Tak berapa lama murid kakek gendut
Gentong Ketawa ini menunggu, terlihat seekor kuda
berbulu putih berlari cepat mendekati bangunan pan-
jang. Di atas kuda itu duduk seorang kakek tua berpakaian serba putih. Melihat
penampilan serta dandanan kakek itu Gento dapat menduga pastilah orang yang
datang dengan menunggang kuda bukan orang biasa.
Boleh jadi seorang pejabat kerajaan, atau mungkin ju-ga seorang lurah atau
demang. "Orang tua itu apakah dia pemilik gedung itu"
Melihat wajahnya aku yakin dia baru saja habis mela-
kukan perjalanan yang cukup jauh." Fikir Gento. Masih tetap duduk di tempatnya
Gento terus memperha-
tikan si penunggang kuda. Tak berselang lama kakek
di atas punggung kuda melompat turun. Dia berjalan
dengan tergesa-gesa menuju ke arah gedung panjang
beratap genteng. Tapi entah mengapa tiba-tiba si ka-
kek hentikan langkahnya, dia keluarkan seruan tidak
jelas. Gento yang berada di atas batu menjadi heran.
Dia bangkit berdiri mencoba melihat apa yang terjadi.
Karena tidak jelas secara diam-diam Gento bergerak
mendekat dengan mengendap-endap. Di satu tempat
dibawah sebatang pohon kering Gento berhenti, diam
disitu sambil mengawasi ke depan. Pemuda ini jadi
terkejut ketika melihat tiga sosok tubuh tergeletak didepan pintu dengan dada
dan perut ditembus tombak.
"Aneh. Siapa mereka" Melihat pakaiannya, mere-
ka seperti penjaga di kadipaten. Hemm, sekarang aku
mengerti. Bangunan itu pastilah sebuah penjara. Tapi mengapa letaknya terpencil
begini" Siapa rupanya
yang dikurung dalam penjara itu?" fikir Gento. Dia memutar otak mencari jawaban
sendiri. Tapi otaknya
buntu. Tak ada yang dapat dilakukannya terkecuali
kembali memandang ke depan dimana kakek tua tadi
kini nampak sibuk memeriksa mayat ketiga penjaga
tadi. "Aneh, siapa yang telah membunuh pengawal begundal adipati ini?" kata si
kakek yang bukan lain adalah Ki Lurah Wanabaya. Dengan sikap waspada orang
tua itu kemudian mendekati pintu. Pintu didorong
dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan menghu-
nus keris Kelabang Geni. Ketika pintu terbuka, dibalik pintu dia melihat dua
sosok pengawal berseragam juga dalam keadaan terkapar tanpa nyawa. Si kakek
surut satu langkah. Keadaan mayat pengawal ini sungguh
mengerikan. Bagian wajah seperti dicacah, dada robek, perut terkoyak, sedangkan
isi perut berbusaian keluar.
"Tidak mungkin! Bagaimana semua ini bisa terja-
di?" desis Ki Lurah tegang.
Selagi fikiran orang tua itu diliputi kekhawatiran
terhadap nasib orang yang hendak ditemuinya, pada
waktu bersamaan kesunyian dipecahkan oleh terden-
garnya suara tawa seseorang. Kemudian atap bangu-
nan penjara jebol. Satu sosok tubuh berkelebat dan
melesat turun ke arah Ki Lurah. Dilain waktu seorang pemuda berpakaian biru
masih dengan tertawa-tawa
telah berdiri tegak di depan Ki Lurah. Orang tua itu berjingkrak kaget, seperti
melihat setan matanya mendelik besar. Bibir Ki Lurah bergetar ketika berseru.
"Kau..."!" Sosok pemuda berpakaian biru bersikap acuh, dia terus saja tertawa.
Di balik batang pohon kering Pendekar Sakti 71
kerutkan keningnya. Dia sama sekali tidak mengenal
baik si kakek tua maupun pemuda berbaju biru itu,
tapi melihat bagaimana wajah si kakek berubah meli-
hat kemunculan pemuda baju biru, Gento merasa ya-
kin sebelumnya mereka pernah bertemu dan yang le-
bih pasti lagi kakek berpakaian putih itu jerih terhadap si baju biru.
"Apa yang terjadi diantara mereka. Kulihat si baju biru itu sepertinya bukan
pemuda baik-baik. Mungkin
dia yang telah membunuh para pengawal yang menja-
ga penjara itu. Akan kulihat apa yang hendak dilaku-
kannya pada kakek baju putih. Masih sepagi ini, nada-nadanya akan terjadi
keributan. Aku belum lagi sem-
pat mandi, anggap saja apa yang kulihat dipagi ini sebagai cuci mata.
7 Di depan pintu yang terbuka, si baju biru henti-
kan tawanya. Sesungging senyum bermain dimulut,
sedangkan tatap mata memandang tajam pada orang
tua didepannya. Masih dengan tersenyum pula dia
berkata. "Kau tentu tidak menyangka kita bertemu kembali, bukankah begitu" Dan
kau tak pernah men-
duga aku lebih awal darimu."
"Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?"
tanya Ki Lurah Wanabaya. Si baju biru dongakkan ke-
pala, lalu tertawa tergelak-gelak. "Rupanya kau lupa, jika kuselamatkan jiwamu
dari tangan Ronggo Medi
dan anak buahnya itu berarti kau harus memberikan
balasan padaku berikut bunganya. Aku ingin meminta
imbalan berikut bunganya sekarang!" kata si pemuda tegas. Ki Lurah Wanabaya
tercengang. "Aku tidak punya barang berharga yang pantas
kuberikan padamu." jawab Ki Lurah.
Si baju biru kembali tertawa bergelak. Dia melirik
ke bagian perut Ki Lurah. Si kakek gelisah, dia menyadari peta penunjuk jalan
rahasia itu tersimpan dibalik pakaian depannya.
"Ki Lurah, kudengar adipati Purbolinggo saat ini mengerahkan seluruh orang
pandai, diantaranya beberapa tokoh sesat cabang atas. Sesuatu yang kau bawa
saat ini konon sangat dibutuhkannya guna mencari
tahu dimana gerangan beradanya keturunan Karma
Sudira. Untuk menemukan mereka tidak mudah, dibu-
tuhkan penunjuk jalan rahasia yang tersimpan dalam
peta. Aku masih muda, aku inginkan kedudukan, ja-
batan tinggi juga kemewahan. Jika aku bisa melaku-
kan jasa besar pada adipati, ada kemungkinan aku bi-
sa mendapatkan yang kuinginkan, kedudukan juga ja-
batan yang aku mau. Nah, semua kunci keberhasilan
itu ada ditanganmu. Tidak perlu kujelaskan kau tentu mengerti apa yang
kuinginkan! Kau hanya tinggal menyerahkan peta penunjuk jalan rahasia yang kau
ba- wa, kepadaku. Setelah itu kujamin kebebasanmu. Ha
ha ha!" Mendengar ucapan si baju biru, wajah Ki Lurah
nampak pucat pasi. Permintaan si pemuda baginya
merupakan sesuatu yang tak mungkin dapat dilu-
luskan. "Anak muda, bukan aku golongan manusia tidak
tahu diri dan tak tahu membalas budi kebaikan orang.
Untuk semua pertolongan aku mengucapkan banyak
terima kasih. Tapi terus terang aku tak dapat meme-
nuhi permintaanmu. Apalagi setelah mendengar kau
menyatakan diri dan mengaku ingin menjilat pada adi-
pati Suryo Lagalapang, manusia keji terkutuk yang telah membuat orang paling
jujur di kadipaten Purbo-
linggo terpisah dari keluarganya bahkan harus mende-
rita seumur hidup mendekam dipenjara. Jika kau te-
tap memaksakan kehendakmu, kau sama saja laknat-
nya dengan adipati itu!" dengus Ki Lurah sinis.
Si baju biru menyeringai, dia sama sekali tidak
merasa tersinggung mendengar kata-kata pedas yang
diucapkan si kakek. Dengan tatapan dingin dan penuh
ketenangan pula si pemuda berkata. "Ki Lurah, segala keinginanku tidak mungkin
terkabul hanya dengan
ucapan terima kasih darimu. Aku inginkan suatu ke-
dudukan dan kehidupan mewah. Aku tidak perduli
siapapun adanya adipati itu.!" tegasnya. Si kakek terdiam, namun makin
meningkatkan kewaspadaannya.
Si baju biru melanjutkan ucapannya. "Ki Lurah, lebih baik kau serahkan peta itu
padaku. Kau harus percaya, kerismu tidak akan banyak berguna untuk
membela dirimu.!"
"Aku datang kemari untuk menemui seseorang!"
kata Ki Lurah. "Peta ini hanya dia yang berhak mene-rimanya!"
Si baju biru tersenyum sinis. Tanpa bicara tu-
buhnya berkelebat di arah pintu, lenyap sebentar ke-
mudian muncul kembali sambil memanggul seorang
laki-laki tua berpakaian cokelat. Orang tua yang sekujur tubuhnya dalam keadaan
terluka ini dibantingkan
di atas tanah. Ki Lurah begitu mengenali orang yang
dibawa si baju biru jadi terkejut.
"Karma Sudira...!" berseru si kakek. Orang tua ini bergegas hendak menghampiri
sosok yang terbaring
menelentang itu, tapi gerakannya dihalangi oleh si ba-ju biru.
"Orang tua ini tawananku, Ki Lurah. Dia akan
kubawa menemui adipati sekaligus membawa peta ra-
hasia yang menerangkan keberadaan keturunan bekas
adipati ini. Ha ha ha!"
Megap-megap Karma Sudira berseru. "Ki Lurah,
jangan hiraukan diriku. Kau larilah, pergi yang jauh.
Pemuda edan ini tak perlu dilayani.!"
Si baju biru mendengus geram, kakinya diayun-
kan ke bagian perut orang yang baru dikeluarkannya
dari penjara. Buuuk!
"Arkh...!" Karma Sudira yang kena ditendang terpental sambil menjerit. Melihat
penderitaan yang di-
alami orang yang sangat dihormatinya hati Ki Lurah
berontak, dia menjadi sangat marah sekali. Sambil berteriak keras dia melompat
ke depan. Lalu keris ditangan ditusukkannya ke bagian lambung lawannya.
Si baju biru menyeringai, dari sambaran keris
yang menebar hawa panas dia maklum senjata ditan-
gan Ki Lurah tentu bukan senjata sembarangan. Kare-
na itu sejengkal lagi keris Kelabang Geni amblas ke
bagian lambungnya si baju biru berkelit ke samping.
Keris ditangan Ki Lurah mengenai tempat kosong. Si
kakek cepat berbalik, keris ditangan mengambil sasa-
ran dibagian leher si pemuda. Sambaran angin berha-
Gento Guyon 17 Setan Sableng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wa panas kembali menderu, tapi si pemuda tundukkan
tubuhnya, tangan kiri menyambar ke bagian lengan
lawan sedangkan tangan kanan meluncur deras ke ba-
gian jemari si kakek, dilain saat tangan orang tua itu kena dicekal lawannya. Si
baju biru membuat gerakan
berputar sambil menggerakkan dua tangannya satu ke
atas dan satunya ke bawah. Kraak!
Terdengar suara tulang lengan yang patah, Ki Lu-
rah Wanabaya menjerit keras. Keris dalam gengga-
mannya terlepas dari tangan. Selagi senjata itu meluncur ke bawah si baju biru
menangkapnya. Lalu dengan
keris itu pula dia menikam dada si kakek. Segalanya
berlangsung dengan cepat sekali bahkan tak sampai
sekedipan mata. Begitu sosok Ki Lurah terhempas ke
tanah, maka ditangan si baju biru kini tergenggam gulungan kulit harimau yang
diikat pita kuning.
Karma Sudira yang melihat kejadian ini menjerit
kaget. Hampir bersamaan dengan suara jeritannya, sa-
tu sosok tubuh berkelebat dengan kecepatan laksana
kilat. Sosok itu langsung menyambar gulungan kulit
harimau yang ada ditangan si baju biru. Tapi pemuda
itu dengan cepat melompat ke samping sambil meng-
hantam ke depan menahan gerak orang.
Plaak! Benturan keras membuat si baju biru jatuh ter-
duduk. Didepannya sana si gondrong yang gagal me-
rampas peta jejakkan kakinya di atas tanah dengan
tubuh terhuyung. Walaupun terkejut, si baju biru ce-
pat berdiri. Dia tercengang begitu melihat seorang pemuda bertelanjang dada
berdiri tegak didepanya. Pe-
muda itu tersenyum sinis, si baju biru jadi heran karena tak menyangka orang
yang hendak merampas pe-
ta ternyata memiliki tenaga dalam berada di atasnya.
Bersikap seperti orang kurang waras, si gondrong yang bukan lain adalah Gento
Guyon memperhatikan Ki Lurah. Setelah itu perhatiannya beralih pada orang tua
yang bernama Karma Sudira. Dia sadar sepenuhnya
nyawa Ki Lurah tak mungkin bisa diselamatkan. Da-
lam kesempatan itu Karma Sudira telah merayap men-
dekati Ki Lurah. Begitu sampai kehadapan Ki Lurah
Wanabaya, orang tua ini teteskan air mata begitu me-
lihat keadaan si kakek yang sangat menyedihkan. "Ki Lurah, maafkan aku. Kau
telah banyak membantuku,
sejak dulu sampai sekarang. Pengabdianmu patut ku-
hargai, sayang disaat dirimu berada dalam bahaya aku sama sekali tak dapat
membantumu!" sesal Karma Sudira bekas adipati yang terguling disertai isak
tangis. "Karma Sudira... aku... akh...!" kakek itu tak dapat melanjutkan ucapannya.
Kepala Ki Lurah terkulai
sedangkan matanya terpejam.
"Ki Lurah...!" seru Karma Sudira sambil memelu-ki jasad sahabatnya sekaligus
bekas bawahannya.
Si baju biru tersenyum sinis melihat kematian Ki
Lurah yang tewas tertikam kerisnya sendiri. "Manusia tolol, diberi hidup malah
minta mati!" dengus si baju biru ketus.
"Hemm, hebat. Kau bunuh dia sesuka hatimu
hanya untuk mendapatkan jabatan rendah" Aku jadi
heran kau ini manusia atau binatang melata" kurasa
dibilang binatang kaupun tak pantas. Kalau binatang
tidak mungkin tega membunuh kaum sejenisnya sen-
diri. Jadi kau setan! Setan gila jabatan gila kedudukan.!" kata Gento dengan
suara dingin disertai seringai mengejek. Terkejut si baju biru langsung
palingkan kepala dan memandang ke arah Gento.
Memperhatikan pemuda yang bertingkah laku la-
gi seperti orang miring membuat hati pemuda itu jadi tidak enak. Tapi kemudian
dengan tegas dia ajukan
pertanyaan. "Gondrong sinting, buat apa kau mencampuri urusanku" Jika kau ingin
selamat cepat ting-
galkan tempat ini.!" hardik si baju biru.
Gento gelengkan kepala, bukit hidungnya berge-
rak-gerak seperti mengejek tak lama kemudian terden-
gar suara tawa panjang. Puas tertawa sambil bertolak pinggang Pendekar Sakti 71
Gento Guyon berkata.
"Pemuda edan baju biru. Sama sekali aku tidak suka
usil mencampuri urusan orang. Tapi jika urusan gila
seperti yang baru kau lakukan pada orang tua itu. Bagaimana aku bisa diam"
Lagipula buat apa kau bicara
tentang keselamatan orang. Padahal banyak orang
yang bernama Selamat, malah umurnya tidak panjang.
Baju biru, jika kau mau menuruti saranku justeru kau akan mendapatkan satu
jabatan tinggi. Kau bahkan
bisa menjadi raja disana jika kau mau?" ujar Gento.
Si baju biru terdiam, sepasang alisnya terangkat
naik. Ucapan Gento ternyata termakan olehnya. Penuh
rasa ingin tahu dia ajukan pertanyaan. "Apa maksudmu" Dimana aku bisa menjadi
seorang raja?" "
"Tentu saja di neraka. Ha ha ha!" jawab Gento disertai tawa terbahak-bahak.
Si baju biru bukan main geram mendengar jawa-
ban Gento. Tapi dia masih berusaha menahan ama-
rahnya. "Manusia sinting edan, katakan siapa namamu!" hardik pemuda itu.
"Namaku pantang kuberitahukan pada manusia
sepertimu. Terkecuali jika kau menyebutkan nama-
mu!" "Manusia edan keparat! Orang gila sepertimu memang patut mampus
ditanganku!" teriak si baju bi-ru. Laksana kilat tubuh si baju biru berkelebat
ke arah Gento. Selagi melesat dia lancarkan satu pukulan tangan kosong ke arah
murid si gendut Gentong Ketawa.
Angin keras menderu menyertai pukulan itu. Gento ta-
rik kakinya kebelakang, tubuh dimiringkan, tangan ki-ri dipergunakan untuk
menangkis sedangkan tangan
kanan melepas satu pukulan kebagian perut.
Plak! Desss! Dua tangan bentrok di udara membuat si baju bi-
ru terdorong mundur disertai pekikan kaget. Bersa-
maan dengan benturan tadi pukulan Gento menghan-
tam telak perut lawannya. Si baju biru jatuh terjengkang. Benturan tangan tadi
membuat telapak tangan-
nya terasa remuk, ditambah lagi dengan pukulan yang
bersarang di bagian perutnya membuat si baju biru
mengerang kesakitan.
Gento Guyon sendiri bukan tak merasakan aki-
bat dari pukulan itu. Lengannya yang bentrok dengan
tangan lawan terasa panas dan kesemutan. Tapi si
gondrong bersikap seperti tidak mengalami suatu hal
apapun. Dia malah keluarkan siulan.
"Cepat katakan namamu. Atau kau ingin mati
sebagai orang yang tidak dikenal" Ha ha-ha!"
Mendengar ucapan Gento, si baju biru seperti
terbakar telinganya. Seketika dia bangkit tegak meskipun langkahnya agak
terhuyung. Dengan mata mende-
lik dia berteriak. "Gondrong keparat, kau boleh bertanya siapa diriku pada Ki
Lurah. Sekarang bersiaplah kau untuk menyusul arwah tua bangka itu!" Selesai
berkata si baju biru rangkapkan kedua tangannya di
depan dada. Sejajar dengan arah jantung. Setelah itu mulutnya berkemak-kemik.
Walaupun Gento tidak ta-hu apa yang hendak dilakukan oleh lawan, namun dia
sadar si baju biru pasti hendak mengerahkan ilmu an-
dalannya. Dengan sikap mencemo'oh Gento berkata.
"Hmm, rupanya mbah dukun sedang komat-kamit
memanggil setan. Hebat...!"
8 Di depan sana si baju biru diam tidak menangga-
pi, hanya mulutnya sunggingkan seringai aneh. Tidak
berselang lama pula tanpa bicara apapun si baju biru kembangkan kedua tangan,
lalu mengangkatnya seja-
jar dengan telinga. Dua tangan kemudian serentak di-
hantamkan ke depan. Sesuatu yang tidak pernah ter-
duga oleh Gento tiba-tiba saja terjadi. Dari dua tangan yang dihantamkan lawan
menderu angin topan berhawa panas luar biasa. Angin topan itu menggulung dan
menghantam apa saja yang dilaluinya. Gento tercekat, tawanya lenyap. Tanpa
membuang waktu dia menghantam ke depan melepas pukulan Selaksa Duka den-
gan tangan kiri sedangkan tangan kanan menghantam
dengan pukulan Dewa Awan Mengejar Iblis. Dua puku-
lan menderu, sinar merah dan sinar biru membersit la-lu melesat disertai suara
bergemuruh. Benturan hebat kemudian terjadi, tapi Gento jadi tercengang begitu
melihat bagaimana pukulan yang dilepaskannya am-
blas lenyap ditelan gemuruh angin topan yang ber-
sumber dari pukulan lawannya. Dalam kagetnya se-
mentara serangan terus melabrak tubuh si pemuda,
dia coba selamatkan diri dengan bergulingan ke samp-
ing. Tapi yang terjadi kemudian sungguh berada diluar dugaan si gondrong. Angin
pukulan lawan berbelok la-lu menyambar tubuh si pemuda.
Braak! Buuum! Pemuda itu terpental disertai jeritan keras me-
nyayat. Setelah terbanting beberapa kali digulung serangan lawan, akhirnya dia
terkapar rebah menelen-
tang. Nafasnya kembang kempis, wajah pucat sedang-
kan dari hidungnya mengucurkan darah. Tanpa
menghiraukan sakit yang mendera dibagian dadanya
Gento cepat berdiri. Dengan mata nanar dia meman-
dang ke depan. Tapi dia jadi terkesiap karena lawan
ternyata sudah tidak berada lagi disitu.
"Kurang ajar. Dia melarikan diri. Pemuda itu pas-ti pergi ke Kadipaten. Ilmu
aneh apa yang dia miliki"
Tololnya diriku, jika aku tidak berlaku ceroboh dan
lengah, tentu akibatnya tidak seperti ini." gerutu si pemuda memaki dirinya
sendiri. Perlahan kini perhatian si pemuda beralih ke
arah orang tua yang bernama Karma Sudira itu bera-
da. Dia merasa lega karena ternyata orang tua itu masih berada di tempat.
Mungkin baju biru yang telah
berniat membawa serta Karma Sudira tak sempat me-
lakukannya. Pendekar Sakti 71 ini melangkah menghampiri
orang tua yang terbaring disamping mayat Ki Lurah
Wanabaya. Melihat kedatangan pemuda itu Karma Sudira,
orang tua berusia sekitar lima puluh tahun ini menco-ba tersenyum. Gento lalu
duduk disamping si orang
tua. Dia mengeluarkan se-butir pil berwarna cokelat, lalu memberikannya pada
orang tua itu sambil berkata. "Makanlah obat ini, mudah-mudahan luka yang paman
alami cepat sembuh."
Dengan tatap penuh rasa terima kasih Karma
Sudira menerima obat pemberian Gento. Tanpa ragu
pula dia menelannya. Beberapa saat setelah menelan
obat yang diberikan Gento, Karma Sudira merasakan
dada, perut dan sekujur tubuhnya menjadi sejuk, rasa sakit lenyap dan dia
merasakan tubuhnya menjadi enteng. Tanpa ragu Karma Sudira bangkit, lalu duduk
sambil meluruskan ke dua kakinya. "Terima kasih atas budi pertolonganmu. Anak
muda siapa namamu?"
"Namaku Gento... Gento Guyon." sahut si pemuda singkat. "Paman siapa sebenarnya
pemuda tadi"
Mengapa dia hendak mencelakaimu?" Gento ajukan pertanyaan.
Karma Sudira gelengkan kepala. "Aku tidak men-
genalnya. Dia datang begitu saja, membunuh pengawal
penjaga penjara. Lalu masuk ke dalam ruangan di ma-
na aku ditahan. Kemudian menyiksaku secara mem-
babi buta." jawab Karma Sudira.
Gento terdiam mendengar jawaban orang tua itu.
Beberapa saat kemudian pemuda ini ajukan perta-
nyaan. "Paman berada dalam penjara ini sudah berapa lama, siapa pula yang
memenjarakan mu"!"
Karma Sudira menarik nafas panjang. Tatap ma-
tanya memandang kosong ke depan. Dengan suara
perlahan bergetar dia menjawab. "Kurang lebih sudah delapan belas tahun aku
berada di sini. Orang yang
memenjarakan aku adalah adipati Purbolinggo yang
sekarang, namanya Suryo Lagalapang. Manusia keji
itu dulunya adalah bekas bawahanku ketika aku men-
jadi Senopati. Setelah aku mengundurkan diri dari jabatan Senopati, berkat jasa
pengabdianku aku diang-
kat menjadi adipati di Purbolinggo. Tapi kemudian sa-tu fitnah keji dilakukan
Suryo Lagalapang pada diriku.
Dia mengadu pada raja bahwa aku bermaksud mela-
kukan pemberontakan. Dengan dibantu tokoh-tokoh
penting juga ahli silat istana Suryo Lagalapang me-
nangkapku. Lalu aku dijebloskan ke tempat pengasin-
gan ini dari dulu sampai sekarang." jelas orang tua dengan perasaan marah
diliputi dendam.
Gento Guyon manggut-manggut, dia teringat pa-
da pemuda baju biru yang melarikan diri dengan
membawa peta. Gento pandangi orang tua dihadapan-
nya sambil ajukan pertanyaan. "Pemuda tadi melarikan peta yang dibawa oleh Ki
Lurah ini, apakah peta
itu sangat berarti bagimu?"
Mendengar pertanyaan Gento wajah Karma Sudi-
ra nampak berubah. Gento melihat satu kesedihan ju-
ga penderitaan dimata si orang tua.
"Peta itu bagiku tidak ubahnya seperti nyawa kedua, dia lebih berharga dari
sebuah kerajaan maupun
tumpukan emas permata. Terus terang peta itu dibuat
oleh seseorang, dititipkan oleh Ki Lurah untuk disampaikan kepadaku. Jadi bukan
aku yang membuat peta
itu. Orang yang menitipkan peta itulah yang mengasuh dan membawa pergi anakku
yang bernama Rumbapati.
Aku sendiri mempunyai keturunan dua orang, yang
pertama adalah Rumbapati. Sedangkan yang kedua
aku belum sempat memberinya nama. Saat peristiwa
penyerangan itu terjadi anakku yang kedua baru be-
rumur seminggu. Seseorang menerobos ke dalam ru-
mahku yang dikepung ratusan prajurit kerajaan. Dia kemudian membawanya pergi.
Sampai saat ini aku tak tahu dimana anakku
yang kedua itu berada. Jika dia masih hidup tentu sudah sebesar dirimu!"
"Hem, jadi peta itu adalah petunjuk satu-satunya yang menyatakan tempat dimana
anakmu berada?"
tanya Pendekar Sakti 71.
"Ya, tapi hanya salah satu diantara kedua anak-
ku. Sedangkan yang satunya lagi aku tak tahu dima-
na." "Seandainya adipati mengetahui tempat tinggal anakmu, apa sebenarnya yang
akan dia lakukan?"
Gento Guyon 17 Setan Sableng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanya Gento lagi.
"Dia pasti akan membunuh putraku."
"Aku tahu, semua itu dilakukan adipati karena
tidak ingin kedua anak orang tua ini melakukan balas dendam." batin Gento. Tapi
yang membuatnya heran mengapa adipati Suryo Lagalapang tidak membunuh
Karma Sudira. Malah dia memenjarakannya selama
belasan tahun. "Paman, jika benar Suryo Lagalapang ingin mem-
bunuh anak-anakmu, mengapa dia membiarkanmu
hidup.?" tanya si pemuda.
"Aku tidak tahu, kurasa dia sengaja membiarkan
aku dalam keadaan seperti ini agar aku dapat menik-
mati satu penderitaan panjang. Bisa jadi manusia ja-
hanam itu sedang merencanakan sesuatu, siapa yang
dapat menduga." jawab Karma Sudira.
"Sekarang apa yang hendak paman lakukan?"
Orang tua itu gelengkan kepala. "Aku sudah ti-
dak mempunyai kekuatan apa-apa. Sedangkan diseke-
liling adipati setiap saat berkumpul kaki tangannya
yang berkepandaian tinggi. Konon kudengar dia juga
mempunyai hubungan tertentu dengan momok gu-
nung Slamet. Jika kau nekat melakukan penyerangan
kesana, sama saja hanya membuang nyawa secara sia-
sia." Gento terdiam, dia percaya apa yang dikatakan oleh orang tua ini memang
benar adanya. Untuk dapat
menerobos ke gedung kadipaten memang tidak mudah,
selain penjagaan sangat ketat, disana banyak berkum-
pul jago-jago silat yang dibayar adipati. Satu-satunya cara adalah memancing
adipati keluar dari kadipaten.
"Paman, aku punya satu rencana. Sekarang kau
boleh ikut denganku!"
Karma Sudira memandangi pemuda gondrong di-
depannya dengan tatap tak mengerti. "Apa rencana-mu?" "Kita pergi ke kadipaten.
Paman pasti tahu seluk beluk tempat itu, kita menyusup lalu menyeret keluar
adipati Suryo Lagalapang. Bagaimana pendapatmu?"
tanya Gento. Karma Sudira tersenyum. Masih dengan terse-
nyum dia berucap. "Gento... kuhargai sikap dan keinginanmu. Tanpa mengecilkan
segala kesaktian yang
kau miliki, aku punya pendapat jika kita nekad me-
nyerbu ke kadipaten. Aku jamin tak seorangpun dian-
tara kita yang dapat keluar dari tempat itu dalam keadaan hidup." kata si orang
tua. Dia lalu melanjutkan.
"Menurutku ada baiknya jika kita mencari anak-
ku Rumbapati. Jika anak itu kita temukan kurasa se-
karang dia memiliki ilmu kesaktian yang tinggi. Karena setahuku dan menurut
pengakuan Ki Lurah anakku
diambil murid oleh seorang berkepandaian tinggi yang berdiam tak jauh dari
Wadaslintang."
"Paman apakah mengenal daerah itu?"
"Aku tahu. Tapi tempatnya secara pasti aku tidak tahu." jawab Karma Sudira.
"Wadas lintang suatu daerah yang luas. Kurasa
tanpa peta yang telah dibawa oleh si baju biru tadi kita tidak mungkin bisa
menemukan anakmu. Buat apa
orang yang membawa anakmu itu membuatkan peta
untukmu jika dia tidak berada di tempat yang sulit di-cari?" Mendengar ucapan
Gento Karma Sudira seperti merasa putus asa. Gento tersenyum, kemudian dia
menepuk bahu orang tua itu sambil berkata. "Kau tidak usah pusing memikirkan
semua ini, sebaiknya
paman ikut saja denganku. Sekarang kita pergi." Gento kemudian bangkit berdiri.
"Kemana?"
"Aku ingin membantu menyelesaikan persoalan-
mu ini. Karena itu kau ikut saja kemana aku melang-
kah!" tegas si gondrong. Walaupun baru pertama kali bertemu dengan Gento Guyon
namun dia yakin Gento
adalah seorang pemuda yang dapat dipercaya. Karena
itu ketika Gento tinggalkan tempat itu, Karma Sudira pun mengikutinya.
9 Suryo Lagalapang begitu kembali dari gunung Se-
lamet langsung memerintahkan orang terbaiknya yang
bernama Wajalangke untuk menangkap gadis yang di-
inginkan oleh Wisang Banto Oleng. Pemuda cerdik
berpakaian serba hitam yang diwajahnya digambar
dengan tatto sebuah bintang besar ini baru saja beberapa purnama menghambakan
diri pada Suryo Lagala-
pang. Dia memiliki ilmu kesaktian tinggi, bahkan keti-ka diadakan adu kepandaian
tak seorangpun jago silat kaki tangan adipati yang sanggup menjatuhkannya.
Pagi itu merupakan hari kedua bagi Wajalangke
dalam upayanya mencari Mutiara Pelangi alias Putri
Kupu Kupu Putih. Setelah memacu kuda tanpa men-
genal henti. Sampai disatu tempat, disatu pendataran dipenuhi tanaman bunga yang
menebarkan bau harum semerbak, Wajalangke, hentikan kudanya. Dua
penunggang kuda yang menyertainya dalam perjalanan
itu juga ikut pula menghentikan kudanya. Ternyata
dua penunggang kuda berbulu hitam dan cokelat itu
masing-masing telah berusia lanjut. Satu yang berada disebelah kiri si pemuda
dan menunggang kuda cokelat seorang kakek berpakaian merah, berhidung beng-
kok berpipi tembem. Dimulut kakek ini terselip sebuah pipa cangklong yang selalu
mengepulkan asap sesuai
dengan hembusan-hembusan nafasnya. Cangklong
berwarna hitam itu bukan pipa biasa, karena sewaktu-
waktu bisa dipergunakan sebagai senjata maut yang
dapat mengeluarkan asap beracun. Kakek berpipa
cangklong kini di dunia persilatan dikenal dengan julukan Nafas Penebar Maut.
Orang kedua yang berada
disebelah kanan Wajalangke dan menunggang kuda hi-
tam bernama Durga Paksa. Dia juga dikenal dengan
julukan Sambar Nyawa. Umurnya sekitar delapan pu-
luh tahun, berpakaian serba hitam, rambut hitam ge-
lap, mata lebar dengan kening menonjol. Orang tua
yang satu ini sangat pendiam. Tapi dia lebih keji dan lebih berbahaya
dibandingkan dengan Nafas Penebar
Racun. Betapapun mereka memiliki kepandaian tinggi,
ternyata masih dapat ditundukkan oleh Wajalangke
yang berotak cerdik. Sehingga kini mereka terpaksa
menjadi anak buah pemuda itu.
"Aku melihat sebuah rumah, sekeliling rumah di-
penuhi taman bunga. Bukankah menurut adipati, Mu-
tiara Pelangi tinggal disitu?" tanya Wajalangke dengan tatapan menerawang
memandang ke depan. Kakek
disebelah kanan pemuda itu anggukkan kepala, bibir
yang tertutup kumis putih tebal berucap. "Rumah itu memang tempat tinggal gadis
yang kita cari. Tapi nam-paknya sepi. Walaupun sunyi tidak tertutup kemung-
kinan dia berada di dalamnya. Hendaknya kita harus
berhati-hati, Mutiara Pelangi alias Puteri Kupu Kupu putih bukan gadis biasa."
"Kita bertiga, dia sendiri masa" kalah! Sebaiknya kita kepung rumah itu!" tak
Sabar Nafas Penebar Maut menimpali.
Wajalangke berucap dengan mempergunakan ke-
cerdikan otaknya. "Aku percaya setinggi apapun ilmu kepandaian yang dimiliki
gadis itu, cukup kalian berdua yang turun tangan segala sesuatunya pasti beres!"
Sedikit banyak Nafas Penebar Maut merasa se-
nang mendengar pujian itu. Lain halnya dengan Durga
Paksa alias Samber Nyawa. Dia tidak suka mendengar
segala pujian, malah dalam hati dia berpendapat lain atas sanjungan itu. "Pemuda
ini tak kuketahui asal usulnya, tapi dia cerdik sekali. Aku harus berhati-hati
padanya. Boleh jadi dia hanya mau memanfaatkan te-nagaku demi mencapai apa yang
diinginkannya!"
Samber Nyawa berkata dalam hati.
"Tunggu apa lagi secepatnya kita dobrak rumah
itu!" kata Wajalangke ditujukan pada kakek yang bersamanya.
Pemuda itu kemudian menggebrak kuda menda-
hului kedua kakek yang ikut serta bersamanya. Kedua
kakek kemudian menyusul, lalu berpencar membentuk
lingkaran. Wajalangke yang berada dihalaman dekat
pintu depan lalu berteriak. "Puteri Kupu Kupu Putih, kami datang atas perintah
adipati Purbolinggo. Karena kau masih ada hubungan darah dengan Karma Sudira
bekas pimpinan pemberontak yang dulu pernah hen-
dak menggulingkan kerajaan sekarang kau diminta
untuk menyerahkan diri!" kata pemuda itu. Gema suara teriakan si pemuda lenyap,
sejenak lamanya mereka menunggu. Tidak ada jawaban. Wajalangke jadi tidak
sabar. Sekali lagi dia berteriak memanggil nama asli si gadis. "Mutiara Pelangi,
waktumu habis! Kami terpaksa membakar rumahmu!" selesai bicara Wajalangke
gerakkan kepala memberi tanda pada kedua kakek yang
datang bersamanya. Tidak perlu dijelaskan kedua
orang tua itu tahu apa yang harus dilakukannya. Tan-
pa banyak bicara Sumber Nyawa langsung membuka
kantong perbekalan. Dia mengeluarkan beberapa buah
obor besar, lalu mengambil dua batu penyala api. Begi-tu batu saling digosok
satu sama lain bunga api me-
nyambar ke obor. Lima buah obor menyala serentak,
kemudian satu demi satu dilemparkannya kebagian
dinding juga atap yang terbuat dari rumput ilalang.
Hanya dalam waktu sekejap kobaran api telah
membakar rumah itu. Nafas Penebar Maut tertawa ter-
gelak-gelak girang bukan main melihat rumah yang
terbakar. Sedangkan Jalangke terus memperhatikan
setiap sudut berjaga-jaga dari kemungkinan lolosnya
orang yang mereka cari. Disaat kobaran ia makin me-
luas dan mulai menjalar kemana-mana itulah satu so-
sok serba putih berkelebat dari arah sebelah selatan disertai suara pekikan
marah. "Iblis jahanam mana yang berani membakar tem-
pat tinggalku!" kata satu suara. Tak lama kemudian
ada bayangan putih yang berkelebat menyambar lak-
sana walet di atas bubungan rumah. Sosok itu seolah
tidak takutkan api terus berputar-putar di atas kobaran api dan kepulan asap,
sedangkan mulut meniup,
sedangkan dua tangan menghantam ke tengah api
yang berkobar. Bleep! Bleep! Secara aneh dan sulit dipercaya, kobaran api
yang menyala mendadak padam begitu terkena tiupan
sosok yang masih belum jelas siapa adanya. Kini yang terlihat hanya kepulan asap
biru yang bergulung-gulung membubung ke langit. Selesai memadamkan
api sosok serba putih itu kemudian jejakkan kakinya
di atas kayu palang bubungan rumah yang hangus.
Ternyata orang yang berteriak tadi adalah seorang gadis cantik luar biasa,
demikian cantiknya hingga sulit ditandingi. Gadis itu berkulit putih, mata
bundar, rambut panjang dikepang. Melihat sosok berpakaian
ringkas yang tegak di atas bubungan yang hanya ting-
gal kerangkanya saja Wajalangke tercengang. Dia
nampak terpesona, sedangkan mata melotot seakan
tak percaya melihat kecantikan gadis itu. "Gadis seperti dia yang hendak
dihadiahkan pada Wisang Banto
Oleng" Sungguh adipati benar-benar keledai tua yang
tolol. Gadis seperti ini tidak pantas menjadi istri tua bangka rongsokan.
Hemm.... jika adipati dapat kusing-kirkan, rasanya aku yang lebih pantas
mendapatkan gadis ini! Aku harus menggunakan cara agar segala
sesuatunya dapat berjalan wajar!" Wajalangke bicara dalam hati.
Dalam kesempatan itu kedua kakek yang berada
disebelah kanan dan juga disisi kiri rumah nampak
siap melakukan perintah. Karena setelah menunggu
ternyata Wajalangke tetap diam saja, malah matanya
terus memandang ke arah sang dara tanpa pernah
berkedip, Nafas Penebar Maut berteriak ditujukan pa-
da pemuda itu. "Wajalangke... gadis ini orangnya yang harus kita ringkus.!"
Wajalangke kaget, tapi pura-pura acuh. Dengan
ketus dia berkata. "Kalau sudah tahu mengapa cuma diam saja, tidak segera
melakukan sesuatu!"
Belum sempat kakek berpakaian merah menang-
gapi, gadis yang berdiri di atas bubungan rumahnya
yang terbakar berteriak. "Dua kakek keparat, rasanya tampang kalian tidak asing
bagiku. Wajah-wajah seperti anjing penjilat, aku sering melihatnya keluar masuk
di kadipaten. Tidak salah, kalian berdua pasti anjing piaraan adipati." dengus
gadis berbaju putih ketus.
Dia lalu melirik ke arah Wajalangke. Gadis itu merasa tidak kenal, bahkan baru
kali ini melihat pemuda aneh yang wajahnya di tatto dengan gambar bintang terang
itu. "Kau... anjing baru yang bergabung dengan anjing tua. Sungguh memuakkan.
Selama ini aku tidak pernah membuat urusan apa pun dengan kadipaten ter-
kutuk itu, mengapa kalian datang membakar rumah-
ku"!" hardik si gadis marah.
"Gadis, kau tentu yang bernama Mutiara Pelangi.
Benar seperti katamu kedua kakek itu memang kaki
tangan adipati. Sedangkan aku adalah atasan mereka.
Kami terpaksa membakar rumahmu karena adipati te-
lah menyediakan sebuah rumah yang baru untukmu.
Terus terang gadis secantikmu tidak layak tinggal di-rumah rongsokan itu.
Sekarang kau ikutlah dengan
kami, karena seseorang yang berniat menjadikanmu
sebagai istrinya telah menunggu kedatanganmu!" kata Wajalangke.
Kemarahan dihati si gadis cantik yang memang
Mutiara Pelangi adanya belum lagi lenyap, apalagi kini ditambah dengan ucapan
Wajalangke barusan tadi
membuat dada gadis itu terasa panas laksana dibakar.
"Manusia gila! Katakan pada adipatimu sebaik-
nya dia membunuh diri. Aku telah mengetahui segala
kelicikannya, hingga pamanku dijebloskan ke dalam
penjara. Bukan hanya itu saja, pamanku terpaksa
berpisah dengan anaknya semata-mata karena ulah-
nya. Sekarang cepat tinggalkan tempat ini sebelum
aku berubah fikiran!" perintah Mutiara Pelangi.
Tiga pasang mata sama memandang ke arah si
gadis, ketiganya sama pula mengumbar tawa. Dalam
beberapa kejapan tawa mereka lenyap. Kakek berpa-
kaian hitam bergelar Samber Nyawa berucap. "Gadis cantik! Bukan kami yang harus
menuruti perintahmu,
sebaliknya kaulah yang harus menuruti perintah ka-
mi!" Wajalangke menambahkan. "Apa yang dikata-kannya memang benar. Kami,
terlebih-lebih aku tidak
mau berlaku kasar apalagi terhadap gadis secantikmu.
Karena itu ikuti saja perintah kami. Kujamin tak satu pun dari kedua kakek itu
yang berani mengusikmu!"
Merah padam wajah Mutiara Pelangi mendengar
ucapan si pemuda. Mereka telah membakar rumah, te-
lah melakukan kesalahan besar tapi masih juga bisa
bersikap seperti orang yang tidak berdosa.
10
Gento Guyon 17 Setan Sableng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalian manusia penjilat sama bejatnya dengan
Suryo Lagalapang. Jika tidak ku singkirkan hari ini kelak pasti menjadi biang
penyakit!" teriak Mutiara Pelangi sengit.
"Puteri Kupu Kupu Putih, mulutmu kelewat ta-
kabur. Sayang adipati telah memerintah kami untuk
menangkapmu tanpa cacat. Andai kau tidak diminta
oleh Wisang Banto Oleng untuk dijadikan istrinya, kurasa aku sendiri sanggup
menaklukkan dirimu. Kemu-
dian kita dapat hidup disatu tempat menikmati manis
madunya cinta sampai tua!" kata Nafas Penebar Maut.
"Orang tua, kulihat kau yang paling bersemangat diantara kami. Kuberi kesempatan
padamu selama tiga
jurus. Jika kau sanggup menangkapnya, maka kau
kuperkenankan menciumnya tiga kali sebagai imbalan!
Ha ha ha!" ujar Wajalangke.
Mendengar ucapan pemuda yang jadi pimpinan
tentu kakek berpakaian merah ini jadi bersemangat.
Tanpa menunggu si kakek langsung melesat ke atas
bubungan rumah. Di udara dia lakukan gerakan ber-
jumpalitan sebanyak tiga kali, selanjutnya selagi tubuhnya meluncur deras ke
arah si gadis lancarkan to-
tokan ke bagian leher Mutiara Pelangi. Gadis itu mendengus, selagi tangan lawan
terjulur di udara gadis itu melompat ke atas, salah satu kakinya memijak bahu
lawan, sedangkan kaki yang satunya lagi menginjak
kepala Nafas Penyebar Maut.
Duuk! Satu hentakan yang sangat keras menghantam
kepala orang tua itu. Tubuh si kakek amblas dan jatuh ke bawah. Selagi tubuhnya
meluncur kebagian ruangan dalam rumah yang terbakar sambil berteriak ma-
rah dia memukul ke atas.
Pukulan kakek itu mengenai angin, orang yang
dipukulnya kini telah melesat ke bawah dan jejakkan
kaki dihalaman samping. Dari bagian dalam rumah
terbakar terdengar suara bergedebukan disertai ma-
kian kotor si kakek. Dinding rumah jebol, si kakek
muncul. Wajahnya celemongan dipenuhi arang.
Melihat keadaan si kakek, Wajalangke tak dapat
menahan senyumnya. Sebaliknya Nafas Penebar Maut
sudah tak dapat lagi menahan kemarahannya. Kini dia
menyerbu ke arah si gadis. Walaupun saat itu dia me-
nyerang dengan tangan kosong, namun Mutiara Pelan-
gi tak berani bersikap gegabah karena pada saat ber-
samaan selain lawan mencecarnya dengan pukulan
dan tendangan tapi juga mulai menyemburkan asap
beracun yang keluar dari pipa cangklong yang selalu
terselip dibibirnya.
Mutiara Pelangi dalam beberapa jurus dimuka
hanya mampu berkelit atau menghindar dari serangan
lawan. Malah dia terpaksa menutup jalan pernafasan-
nya agar asap biru yang keluar dari pipa lawan tidak sampai tersedot olehnya.
Disatu kesempatan gadis ini melompat tinggi begitu tangan lawan menyambar ke
arah dada. Melihat lawan menghindar ke atas, Nafas
Penebar Maut langsung semburkan asap beracun dari
pipa cangklongnya.
Wuuues! Asap biru bergulung-gulung memenuhi udara
membuat pemandangan jadi terhalang dan mata pedih
bukan main. Si gadis merasakan akibat dari semua
itu, bahkan kepalanya menjadi pening. Tapi dia tak
kehabisan akal, selagi tubuhnya meluncur ke bawah,
dengan sekuat tenaga dia menghembuskan nafasnya.
"Phuuh...!"
Seketika asap biru pekat itu berbalik menyerang
pemiliknya. Tak menyangka lawan dapat berbuat se-
perti itu, maka Nafas Penebar Maut jadi kelabakan.
Sebagian asap beracun yang ditutupkannya tersedot
masuk ke dalam tenggorokannya. Orang tua keluarkan
suara seperti tercekik, matanya mendelik sebelah tangan memegangi leher. Dalam
waktu singkat sekujur
tubuhnya nampak membiru. Beruntung dia masih
sempat mengambil obat penawar racun dan langsung
menelannya. Jika tidak jiwa si kakek pasti tidak tertolong.
"Celaka, hampir saja!" desis Samber Nyawa tercekat dan sempat khawatir melihat
nasib buruk yang
menimpa sahabatnya.
"Samber Nyawa, ternyata temanmu hampir tak
berdaya. Sekarang kau bantu dia. Jangan membuat
aku malu!" teriak Wajalangke.
"Pemuda jahanam, sungguh lagakmu membuat
aku semakin muak. Awas, aku akan melaporkan se-
mua ini pada Suryo Lagalapang!" geram Samber Nyawa dalam hati. Si kakek
berpakaian serba merah itu lalu keluarkan suara mengerang. Laksana kilat
tubuhnya berkelebat, sementara Nafas Penebar Maut kini menye-
rang kembali dengan mempergunakan tangan kosong,
maka kakek berpakaian merah yang memiliki gelar
angker Samber Nyawa itu menyerang dari bagian atas
Mutiara Pelangi. Mendapat gempuran hebat dari dua
tokoh silat yang sudah sangat berpengalaman ini Mu-
tiara Pelangi tidak menjadi gentar.
Sambil berteriak tubuhnya berkelebat hindari se-
rangan dan jotosan lawan. Bagaikan seekor kupu-
kupu dia selalu dapat menghindari serangan lawan.
Ketika perkelahian mencapai dua puluh jurus, Mutiara Pelangi bahkan menghantam
dada kakek berpakaian
hitam. Membuat orang tua itu terdorong satu tindak
kebelakang, tubuh terbungkuk, nafas seperti ayam
disembelih sedangkan mulut meneteskan darah.
Tapi pada waktu bersamaan secara tak terduga
dari atas Samber Nyawa melakukan gebrakan, dia tan-
gannya bergerak cepat melakukan totokan di bahu si
gadis kanan kiri. Mutiara Pelangi yang sempat merasakan sambaran tangan dingin
menerpa bahunya segera
berkelit, sayang satu totokan masih sempat mengenai
bahu kirinya. Tak ayal lagi gadis itu kini merasakan kedua ka-
ki, tangan dan sekujur tubuhnya menjadi kaku.
"Ha ha ha!" Akhirnya kau jatuh juga ditangan Samber Nyawa, gadis cantik. Kalau
sudah begitu kau
bisa berbuat apa?" tanya Wajalangke disertai tawa terbahak-bahak.
"Dalam hal ini aku yang paling banyak dirugikan.
Karena itu seperti katamu tadi aku harus menciumnya
tiga kali!" kata satu suara.
Wajalangke memandang ke arah datangnya sua-
ra. Ternyata yang baru bicara tadi bukan lain adalah Nafas Penebar Maut.
"Orang tua, kulihat kau yang paling menderita.
Kurasa kau memang pantas untuk mendapat hiburan
segar. Kalau mau menciumnya" Kebetulan sekali, aku
jadi ingin tahu bagaimana cara orang tua sepertimu
mencium seorang gadis cantik. Silahkan.... hayo tung-gu apa lagi"!" kata
Wajalangke. Dalam hati dia berkata.
"Gadis ini akan kubawa ke suatu tempat. Dia akan menjadi milikku. Nyawamu dan
nyawa temanmu si
Samber Nyawa harus kuselesaikan sebentar lagi!"
Nafas Penyebar Maut bergerak mendekati si ga-
dis. Mutiara Pelangi delikkan matanya. Sementara
Samber Nyawa mendengus melihat apa yang hendak
dilakukan oleh temannya.
Selagi Nafas Penebar Maut baru sampai didepan
Mutiara Pelangi, bersamaan dengan itu pula terdengar satu suara berkata. "Untuk
urusan cium mencium, rasanya orang tua baju merah itu lebih pantas mencium
salah satu pantat kudaku. Sedangkan urusan men-
cium gadis itu serahkan saja padaku, aku pasti tidak menolak. Ha ha ha!"
Semua orang yang ada disitu sama melengak ka-
get. Mereka memandang ke arah datangnya suara. Le-
bih terkejut lagi karena orang yang baru saja bicara tadi sama sekali tidak
terlihat. Selagi Wajalangke dibuat heran begitu rupa, serta merta terdengar
suara gemuruh langkah kuda. Suara gemuruh kuda yang
agaknya lebih dari satu itu semakin bertambah jelas.
Tak berselang lama muncul empat ekor kuda kurus
berbulu hitam yang berlari cepat ke arah mereka. Em-
pat kuda itu berlari saling menghimpit satu sama lain.
Melihat empat kuda kurus yang berlari menuju
ke arahnya, Nafas Penebar Maut jadi tercengang. Sam-
bil melompat selamatkan diri dari tendangan kuda
orang tua itu memaki. "Kuda kurus jahanam!"
Buuk! Satu kaki kuda yang berlari di sebelah kanan
menghantam si kakek membuat orang tua ini jatuh
terkapar. Habis menendang Nafas Penebar Maut Em-
pat kuda berhenti serentak di depan Mutiara Pelangi.
Hampir tidak kelihatan satu tangan menyambar tubuh
si gadis. Sekejap kemudian sosok Mutiara Pelangi telah duduk di atas salah satu
punggung kuda kurus.
Si gadis tentu saja dibuat tercengang, dia meno-
leh mencoba mengenali orang yang telah menolongnya.
Sepanjang matanya terbelalak ketika melihat seorang
pemuda berambut gondrong bertelanjang dada berce-
lana hijau komprang rebah di atas punggung ke empat
kuda kurus dengan mata terpejam, dua tangan meme-
luk terompet. Di bagian belakang salah satu punggung kuda terdapat satu kantong
perbekalan berisi satu
kendi tuak menebar bau harum.
Mutiara Pelangi sama sekali tidak mengenali sia-
pa pemuda ini. Namun melihat sikap si pemuda yang
seperti tidur sungguhan membuatnya ragu apa me-
mang benar pemuda itu yang telah menolong dirinya.
Tak jauh disebelah kanan ke empat kuda, Samb-
er Nyawa saking kagetnya tak tahu harus berkata apa.
Sedangkan kakek berbaju merah yang sudah bangkit
berdiri sambil mendekap dadanya yang habis diten-
dang kuda nampak tidak dapat berdiam diri. Dia me-
lompat maju, dengan mata mendelik dia mengawasi
sosok pemuda gondrong yang rebah menelentang di
atas empat kuda.
Sebaliknya Wajalangke bersikap lebih teliti. Tadi
walau segala sesuatunya berlangsung cepat, dia tahu
pemuda gondrong yang menelentang di atas kuda itu-
lah yang menarik Mutiara Pelangi. Siapapun si gon-
drong penunggang empat kuda kurus itu tentu bukan
manusia sembarangan. Kecepatannya ketika menaik-
kan Mutiara Pelangi ke atas kudanya sudah merupa-
kan suatu bukti kalau si gondrong memiliki tingkat
kepandaian yang sangat tinggi.
11 Dengan suara lembut dan sikap tenang bersaha-
bat Wajalangke berkata. "Sahabat yang datang menunggang kuda sambil ketiduran,
siapa dirimu" Men-
gapa mengganggu urusan kami. Ketahuilah gadis itu
adalah calon istriku. Hendaknya kau sudi menurun-
kan dari kuda dan menyerahkannya pada kami!"
Si gondrong yang rebah di atas kuda kurus se-
perti terusik mendengar suara orang. Setelah itu dia menggeliat, lalu duduk
sambil mengucek matanya. Terompet diangkat, mulut terompet di tiup.
Buut! Hung! Hung!
Suara terompet menggelegar di udara, menge-
jutkan Wajalangke dan dua pembantunya dan mem-
buat telinga si gadis yang duduk disebelahnya merasa telinganya seperti mau
pecah. Setelah itu seperti mengindahkan orang-orang
yang berada disekitarnya dia rebah kembali. Melihat
sikap si pemuda yang seperti memandang rendah, Na-
fas Penyebar Maut jadi geram. "Wajalangke, aku tidak suka dengan caramu. Kau
terlalu lunak pada pemuda
edan itu. Serahkan pemuda itu padaku sekarang juga!"
teriak si kakek.
"Ha ha ha! Tidak perlu tergesa-gesa. Pemuda ga-
gah itu tengah menikmati tidurnya yang terakhir. Tapi jika kau tak sabar
menunggu, boleh saja kau mengambil tindakan kepadanya!" sahut Wajalangke.
Di atas kuda mulut si gondrong terikat kepala
warna hijau ini kembali membuka mata. "Siapa yang inginkan diriku datang sendiri
ke sini. Siapa yang
mengaku gadis cantik itu sebagai kekasihnya silahkan datang ambil sendiri."
celetuk si gondrong yang bukan lain Setan Sableng adanya. Dia lalu duduk lagi,
matanya kembali terbuka. Memandang pada Nafas Pene-
bar Petaka pemuda itu tiba-tiba tertawa ngakak. "Kakek baju merah. Mengapa kau
diam disitu" Tadi ka-
tanya kau hendak mencium, sekarang ciumlah pantat
kudaku. Kau boleh memilih kuda yang mana yang kau
suka. Kurasa semuanya sama saja, karena sudah lama
aku tidak memandikannya! Ha ha ha!"
"Pemuda jahanam siapa dirimu?" hardik Samber Nyawa ikut menjadi jengkel melihat
lagak si pemuda
yang dianggap sangat menyebalkan itu. Si gondrong
menatap kakek baju hitam sejenak, sesungging se-
nyum bermain dimulutnya. "Kakek muka hitam, kulihat kau yang paling seram. Kau
bertanya siapa aku,
ketahuilah, patik yang hina ini biasa dipanggil Setan Sableng. Jika dirimu
merasa sebagai setan, itu pertan-da kita masih bersaudara. Nah... apakah kau
minta bagian, ingin ikutan mencium seperti kakek kurus ce-
robong asap itu. Kalau kau mau bokongku boleh juga
kau cium! Ha ha ha!"
Mendidihlah darah Samber Nyawa mendengar
kata-kata yang diucapkan oleh Setan Sableng. Sekilas
dia melirik ke arah Wajalangke, pemuda yang dilirik
anggukkan kepala.
"Sobatku Nafas Penebar Maut, mari kita pesiangi pemuda setan ini biar menjadi
setan sungguhan!" teriak Samber Nyawa keras. Pada dasarnya kakek ber-
pakaian merah ini sejak pertama memang menaruh
dendam pada Setan Sableng. Kini mendapat aba-aba
dari sahabatnya dengan penuh semangat dia berkele-
bat, dengan kecepatan luar biasa kakek melesat ke
atas kuda. Kakinya bergerak menghantam kepala Se-
tan Sableng. Sekali tendang pastilah kepala Setan Sableng dibuat remuk karena
lawan mengerahkan seluruh
tenaga dalam yang dia miliki. Tapi belum lagi kaki lawan berhasil menyentuh
kepalanya, dengan kecepatan
tak terlihat tangan Setan Sableng bergerak. Tahu-tahu Nafas Penyebar Maut
Gento Guyon 17 Setan Sableng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terbanting, mulutnya keluarkan
jeritan melengking sedangkan dua tangan diperguna-
kan mendekap bagian bawah perut. Seperti ayam dis-
embelih si kakek bergulingan. Sementara itu Samber
Nyawa yang menyerang dari arah samping sudah ge-
rakkan sepuluh jari tangan. Begitu tangan terjulur, sepuluh jarinya
mencengkeram. Dari sepuluh jari si ka-
kek membersit sepuluh sinar hitam yang terus mende-
ru siap menghunjam disepuluh bagian tubuh lawan-
nya. Setan Sableng masih berlaku tenang. Sebaliknya
Mutiara Pelangi yang berada disampingnya menjerit
ketakutan. Dengan tenang Setan Sableng kemudian me-
nyambut serangan si kakek dengan memutar terompet
ditangan. Sinar kuning berkilau menyilaukan mata
berkiblat. Treeng! Sepuluh sinar hitam yang memancar dari jari si
kakek menghantam terompet Setan Sableng. Asap
mengepul, terompet ditangan pemuda itu mendadak
berubah panas laksana bara. Disertai jeritan kaget Setan Sableng campakkan
terompetnya. Dengan dua
tangan dia menghantam.
Desss! Hantaman yang tidak terduga mendera perut
Samber Nyawa. Si kakek menjerit, lalu jatuh terbant-
ing. Setan Sableng dengan muka cemberut seolah ti-
dak menghiraukan lawannya melompat turun dari ku-
da, dia memungut terompet sambil meniup-niup alat
mainan yang ternyata masih panas. Bagian badan te-
rompet yang melingkar berkelok-kelok tidak utuh lagi, tapi telah berubah cacat
di sepuluh bagian akibat terkena hantaman sepuluh sinar maut yang memancar
dari jari si kakek. Melihat terompetnya yang menghi-
tam cacat sedemikian rupa, Setan Sableng menjerit keras. "Terompetku, mainanku.
Orang tua kurang ajar, tidak tahu mainan kesayangan orang. Kau harus
mengganti terompet ini!" teriak Setan Sableng ditujukan pada kakek berpakaian
hitam. Sambil meringis
kesakitan dan tidak pernah menyangka dengan ting-
ginya ilmu pemuda bergelar Setan Sableng itu, Sambar Nyawa menjawab. "Aku Telah
mengganti terompet bu-tutmu, tapi kau harus mengambilnya di akherat!"
"Sial, mengapa jauh amat" Lebih baik kalian berdua yang kukirim kesana. Sekarang
bersiaplah untuk
berangkat!" hardik Setan Sableng. Sambil tertawa-tawa Setan Sableng Lakukan satu
gerakan aneh, lalu tubuh
pemuda itu berputar. Dengan mata terpejam seperti
orang tidur dan langkah terhuyung Setan Sableng je-
jakkan kakinya.
Bet! Bet! Mendadak sosok pemuda lenyap, Samber Nyawa
merasakan ada sambaran angin disertai berkelebatnya
sosok tubuh di depannya. Dia gerakkan tangan meng-
hantam. Yang dihantam lenyap, kini malah berada dis-
amping, tahu-tahu kakek berbadan tinggi itu menjerit keras. Tubuh orang tua itu
terbanting roboh, dengan
mata mendelik dan tulang tengkuk patah dihantam Se-
tan Sableng. Selagi Wajalangke di buat tercekat melihat keja-
dian yang berlangsung sangat cepat itu, Setan Sableng kini mendekati Nafas
Penebar Maut. Si kakek melompat mundur. Segala kejadian yang berlangsung cepat
tadi dan tewasnya Samber Nyawa membuat nyali si
kakek jadi ciut. Dia sadar pemuda yang memiliki tingkah laku seperti orang
kurang waras itu pasti bukan
tandingannya. Daripada mencari penyakit, rasanya le-
bih baik kabur mencari selamat. Begitulah Nafas Pe-
nyebar Maut berfikir.
Di depannya saja Setan Sableng dengan mata
merah mencorong memandang dingin pada si kakek.
"Kau orang tua kurang ajar. Tadinya mau mencium setelah kusuruh kau malah
menolak. Aku Setan Sab-
leng, saat ini sedang marah besar, tadi sahabatmu sudah berangkat ke akherat
untuk mengambil terompet
pengganti barang mainanku yang dirusaknya. Jika kau
punya barang yang dapat kupermainkan, nyawamu
kuampuni. Tapi jika ternyata tidak punya kau juga harus menyusul temanmu itu!"
"Pemuda sableng kurang ajar, tadinya aku berfi-
kir untuk melarikan diri. Tapi sekarang aku berubah
fikiran. Kurasa daripada pergi secara pengecut lebih baik aku membunuhmu!"
teriak si kakek. Sambil keluarkan suara menggerung orang tua itu dengan segenap
kemampuan yang dia miliki mencecar Setan Sableng
dengan serangan gencar yang tidak ada putus-
putusnya. Mendapat serangan sahabat itu si pemuda
malah pejamkan matanya, dua tangan dilipat ke depan
dada. Tapi anehnya sehebat apapun serangan yang di-
lakukan Nafas Penebar Bencana, tak satupun dari se-
rangan itu yang mengenai sasaran.
Wajalangke untuk pertama kali seumur hidup di-
buat tercengang. Bagaimanapun serangan si kakek
sangat berbahaya sekali. Pukulan maupun tendangan
yang dilakukannya tidak dapat diduga. Herannya da-
lam keadaan mata terpejam lawan selalu saja berhasil menghindar.
"Jika kulayani pemuda sableng itu, bisa jadi segala kehendakku tidak bisa
menjadi kenyataan. Seka-
rang lebih baik kularikan saja gadis cantik itu mum-
pung Setan Sableng sedang repot." berfikir begitu Wajalangke melesat ke arah si
gadis yang duduk dalam
keadaan tertotok di atas punggung kuda. Setelah ber-
hasil menyambar si gadis, Wajalangke berlari menda-
patkan kudanya. Dengan beban Mutiara Pelangi diba-
hunya, Wajalangke membedal kuda tinggalkan tempat
itu. "Setan Sableng, tolong....!" teriak Mutiara Pelangi.
Teriakan itu membuat Setan Sableng kaget sekaligus
membuka matanya. Dia berteriak ketika melihat gadis
yang baru ditolongnya dilarikan orang.
"Kurang ajar, gadis itu hendak kau bawa kema-
na?" kata Setan Sableng. Pemuda ini kemudian bergerak ke arah lenyapnya
Wajalangke, tapi gerakannya
seketika tertahan karena didepannya sana kakek ber-
pakaian merah telah menyerangnya dengan semburan
asap beracun yang keluar dari pipa cangklongnya.
"Wueh, kurang ajar. Orang dalam keadaan terge-
sa-gesa kau malah menutupi jalan dengan semburan
asap keparat! Hasyih...hasyiih...!" Setan Sableng bersin beberapa kali begitu
asap terhirup hidungnya. Dia tetap berdiri tegak sambil menggerendeng. Nafas
Penebar Petaka terkejut luar biasa melihat lawannya tetap tegar seperti tidak
mempan dengan serangan asap beracun-
nya. "Setan alas, pemuda setan ini punya ilmu apa"
Dia tidak dapat kujatuhkan dengan asap beracun ku."
batin si kakek merasa pusing sendiri.
Di depan sana Setan Sableng jadi uring-uringan,
Wajalangke yang hendak dikejarnya kini lenyap ber-
sama Mutiara Pelangi yang dalam keadaan tertotok.
Tapi ketika melihat si kakek didepan sana menjadi
bingung, mendadak tawa Setan Sableng bergema di
udara. "Bingung orang tua" Ha ha ha. Melihat kau bin-
gung, aku yang sudah sangat marah jadi ikut bingung
juga. Kau pasti heran mengapa asap yang kau sem-
burkan di udara tidak membuatku mabok. Ketahuilah,
aku baru bisa mabok jika minum tuak keras. Jika
yang kuhirup cuma asap rokok bagaimana bisa ma-
bok.!" Ucapan si pemuda tentu saja membuat Nafas Penebar Maut jadi terkejut. Dia
memeriksa pipa cangklong yang tergantung dibibirnya. Pucatlah wajah si kakek. Pipa itu sama
sekali bukan miliknya. Pipa
kepunyaannya sendiri berwarna hitam, sedangkan
yang sekarang berwarna putih.
"Kau...!" desis si kakek dengan mata men-delik.
Setan Sableng tertawa-tawa. "Orang tua pikun,
kulihat kau begitu senang merokok, karena itu aku
memberimu pipa yang bagus biar merokoknya makin
bertambah asyik...! Sayang tembakau dalam pipa itu
kucampur dengan racun yang mematikan. Kujamin
saking asyiknya kau sampai lupa bernafas!" kata Setan Sableng.
Nafas Penebar Maut kembali dilanda kaget. Dia
langsung jauhkan pipa cangklong putih dari mulut lalu membuangnya. Pada saat itu
pula si kakek merasakan
tenggorokannya menjadi panas. Dada sesak bukan
main. Si kakek megap-megap, sekujur tubuh dan wa-
jahnya membiru. Nafas Penebar Bencana kemudian ja-
tuh tergelimpang dan tewas seketika. Apa sebenarnya
yang telah terjadi" Ketika Nafas Penebar Bencana me-
nyerang Setan Sableng dengan tendangan, pemuda itu
menghantam bagian bawah perut si kakek. Orang tua
itu kemudian menjerit, cangklong miliknya terjatuh.
Dan sebelum si kakek terpelanting akibat pukulan
yang mendera bagian bawah perutnya Setan Sableng
menggantikan pipa itu dengan pipa miliknya yang di-
ambil dari balik kantong celananya. Dan tentu saja pi-pa cangklong Setan Sableng
mengandung racun lebih
hebat dari yang dimiliki lawannya.
Kini Setan Sableng berdiri tegak di depan Nafas
Penebar Petaka yang terkapar tanpa nyawa. Tapi dia
jadi tersentak begitu teringat pada gadis cantik yang dilarikan oleh Wajalangke.
"Setan...apa benar gadis yang hendak kutolong
tadi memang kekasih pemuda yang wajahnya di tatto
bintang besar. Jika memang betul kekasihnya menga-
pa tidak terus terang saja kepadaku?" Setan Sableng gelengkan kepala. "Jelas
pemuda tadi telah menipuku, dia kira aku kena dibodohi. Dasar kecoak, awas aku
pasti akan mencarinya!" kata Setan Sableng. Pemuda itu lalu balikkan badan
melangkah dekati empat kuda
tunggangannya. Ternyata dia tidak langsung naik dan
merebahkan diri di atas punggung kuda, melainkan
mengambil kendi besar yang tersimpan di dalam kan-
tong perbekalan. Ketika penutup kendi dibuka, ter-
cium aroma tuak keras yang sangat harum. Kendi di-
angkat tinggi, mulut Setan Sableng terbuka.
Gluuk! Gluuk! Gluuk!
"Hemm...!" Setan Sableng menggumam. Dia me-nyeka mulutnya yang basah berselemot
tuak dengan punggung tangan. "Sekarang setelah minum tuak baru
bisa kurasakan sesungguhnya dunia ini sangat luas.
Tadinya sempit dan sumpek." kata si pemuda. Setelah menutup mulut kendi seperti
semula, kendi langsung
dimasukkannya kembali ke kantong perbekalan. Setan
Sableng baru saja hendak melompat ke atas punggung
kuda ketika dia mendengar ada orang berkata. "Minum tuak ditengah panas terik
begini memang asyik. Tapi
apa enaknya jika diminum sendiri?" Setan Sableng tercekat, lalu cepat memandang
ke jurusan mana suara
berasal. Pemuda ini batalkan niat naik ke atas pung-
gung kuda ketika melihat seorang pemuda gondrong
muncul di tempat itu bersama seorang laki-laki tua
berpakaian cokelat. Baik si orang tua maupun pemuda
gondrong itu Setan Sableng sama sekali tidak menge-
nalnya. Si gondrong bertelanjang dada terus bergerak
mendekati Setan Sableng. Sejarak tiga tombak pemuda
itu hentikan langkahnya. Dia memandang ke arah Se-
tan Sableng, lalu tertawa tergelak-gelak. "Kulihat ada dua orang terkapar
disini, apakah mereka mabok tuak
atau mati karena mencium harumnya tuak?"
"Ha ha ha! Kau betul. Mereka malah mati sebe-
lum sempat menikmati lezatnya tuakku. Kau ini siapa
sobat gila" Mengapa ikut-ikutan bertelanjang dada seperti diriku?"
"Dari sananya aku memang sudah begini, nama-
ku Gento Guyon. Sedang orang tua itu adalah saha-
batku satu perjalanan!" menerangkan Gento. Setan Sableng memandang ke arah Karma
Sudira sekilas,
tapi entah mengapa dia seperti bosan. Setelah itu
kembali berpaling ke arah Gento. "Sobat Gento, kau dari mana dan hendak kemana?"
"Segala urusanku tidak sembarang orang boleh
tahu." kata murid Gento Ketawa, sedangkan matanya menerawang memandangi rumah
yang hangus. "Sobatku pemilik empat kuda kurus kering. Siapa yang membakar rumah ini?"
"Aku Setan Sableng sudah melihat orang yang
membakar rumah itu. Orangnya sekarang tergeletak di
depanmu. Ha ha ha!" kata Setan Sableng. Dia kemudian melanjutkan ucapannya.
"Sobatku, namaku Setan Sableng. Apakah kau
ingin minum tuak bersamaku sampai mabuk?"
"Ha ha ha, dengan seorang sahabat tentu saja
aku mau. Tapi dengan setan tentu saja aku tak sudi.
Terkecuali jika kau mau membagi tuakmu dengan sa-
habatku itu!" kata Gento sambil menunjuk ke arah Karma Sudira. Orang tua didepan
sana gelengkan kepala. "Ternyata dia tidak mau. Syukur ....aku senang.
Tuakku ini tuak harum. Mana mungkin kubagikan pa-
da semua orang. Padamu juga tidak. Tapi mungkin
disuatu saat. Aku Setan Sableng pasti bermurah hati
memberikan sebanyak tuak yang kau mau!"
"Jadi kau sekarang hendak kemana?" tanya Gento heran. Setan Sableng tersenyum.
"Sesungguhnya aku ingin banyak berbincang
denganmu. Sangat disayangkan waktunya begitu sem-
pit, aku harus mengejar pemuda yang menculik ga-
disku. Bukan... dia bukan kekasihku. Maksudku aku
harus mengejar pemuda yang melarikan gadis yang
baru saja kutolong. Aku takut terjadi sesuatu dengannya. Atau kau ingin ikutan
mengejarnya?"
"Siapa nama gadis yang kau tolong, siapa pemu-
da yang menculiknya?" tanya Gento ingin tahu. Setan Sableng mencoba mengingat-
ingat. "Namanya... nama gadis dan pemuda itu... akh... aku lupa, aku belum
sempat bertanya." sahut Setan Sableng.
"Dasar pemuda miring. Menolong orang tapi na-
manya saja tidak tahu!" gerutu Karma Sudira sambil
cibirkan mulutnya.
"Maaf sobat sableng. Aku tak bisa ikut serta denganmu. Lagipula kudamu kurus
begitu, mana kuat
membawa aku." kata Gento.
"Kalaupun mau ikut, kalian bisa berlari-lari dibe-lakangku. Sayang sekali....
kau tidak bisa ikut, se-
dangkan aku harus pergi sekarang. Sobat Gento, kelak aku pasti mencarimu. Mohon
pamit, sobatmu Setan
Gento Guyon 17 Setan Sableng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sableng harus segera berangkat!" berkata begitu Setan Sableng melompat di atas
punggung kuda, lalu rebah
menelentang di atas ke empat kuda tunggangannya.
Sambil memejamkan mata dan melambaikan tangan
segala Setan Sableng berteriak ditujukan ke empat kudanya.
"Kudaku, kuda berguna. Kita berangkat
Hayo,....!" begitu mendapat aba-aba dari Setan Sableng, empat kuda menghambur ke
depan, Lari tung-
gang langgang seperti dikejar serigala. Di atas punggung kuda Setan Sableng
tertawa tergelak-gelak.
Gento Guyon tepuk keningnya sendiri. Sedang-
kan Karma Sudira gelengkan kepala sambil mengham-
piri Gento. "Mestinya kita tanya siapa nama pemuda itu yang sebenarnya! Siapa tahu dia
anakku?" sesal Karma Sudira. "Paman sendiri yang salah. Mana mungkin aku
bertanya pada pemuda gila sepertinya" Namanya Setan Sableng. Mungkin dia memang
tidak punya nama
lain. Boleh jadi dia anak setan sungguhan. Siapa bera-ni menjamin. Ha ha ha!"
jawab Gento disertai tawa mengekeh.
"Mungkin ucapanmu memang benar. Dia Setan
Sableng. Aku tidak mempunyai anak turun setan. Apa-
lagi ditambah dengan embel-embel sableng!"
"Sudahlah paman. Sebaiknya kita teruskan saja
perjalanan ke Wadaslintang. Jika baju biru yang melarikan peta itu berhasil
menjumpai adipati. Aku khawatir keselamatan anakmu sekarang berada dalam an-
caman bahaya besar. Mari kita pergi!" kata Gento kemudian. Karma Sudira
anggukkan kepala. Kedua
orang ini lalu melangkah pergi tinggalkan mayat Nafas Penyebar Maut dan Mayat
Samber Nyawa yang dingin
membeku. -TAMAT- NANTIKAN !!! IBLIS EDAN Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pedang Kayu Harum 22 Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Tujuh Pedang Tiga Ruyung 8