Pencarian

Kutuk Sang Angkara 3

Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara Bagian 3


puh malah segera longokkan kepala ke depan dengan
mata makin dipentangkan. Tapi yang paling tampak
tersentak adalah murid Pendeta Sinting.
"Rupanya setan buta itu lebih bermata daripada
aku! Orang di depan itu tidak satu, tapi dua!" gumam Dayang Sepuh ketika matanya
melihat seorang laki-laki berusia setengah baya mengenakan pakaian warna biru
gelap. Sosoknya kurus tinggi dengan wajah cekung. Rambutnya yang putih dan
panjang tampak berkibar-kibar. Di antara kibaran rambutnya terlihat satu wajah seorang kakek
lanjut usia. Rambutnya
yang putih sangat tipis hingga batok kepalanya terlihat jelas. Sepasang matanya
terpejam rapat dengan mulut komat-kamit perdengarkan gumaman tak jelas. Kakek
ini mengenakan pakaian warna putih besar dan pan-
jang. Begitu panjangnya pakaian itu, sebagian tampak menyapu tanah sepanjang
setengah tombak di belakang!
Si kakek tampak lingkarkan kedua tangannya pada
bagian bawah leher laki-laki setengah baya. Kedua kakinya yang ternyata tidak
lebih besar dari dua kali ibu jari dan berwarna hitam legam tampak digelungkan
pada pinggang laki-laki setengah baya, hingga wajahnya berada di punggung orang
dan terlihat di antara
kibaran rambut.
"Siapa manusia-manusia tua yang masih main gen-
dong-gendongan ini"!" Dayang Sepuh bertanya-tanya.
Dan seolah tidak sabaran dia segera buka mulut.
"Siapa kalian adanya"!"
Sementara di sampingnya Putri Kayangan seakan
terkesima dan hanya terdiam. Murid Pendeta Sinting
mengernyit. "Raja Tua Segala Dewa!" desisnya pelan.
"Setan! Siapa kalian"!" Untuk kedua kalinya Dayang
Sepuh perdengarkan bentakan tatkala orang di depan
sana tidak ada yang sambuti ucapan si nenek.
Laki-laki setengah baya berpakaian biru gelap yang
dipunggungnya menggendong kakek berpakaian putih
panjang gerakkan kepala berpaling pada wajah di be-
lakangnya. Si kakek yang digendong perlahan-lahan buka ma-
tanya. Tapi belum sampai setengahnya, orang tua ini kembali pejamkan matanya.
Laki-laki setengah baya
tampak gelisah. Dia melirik takut-takut pada Dayang Sepuh yang saat itu juga
pasang tampang angker.
Pendekar 131 melompat ke samping Dayang Sepuh
dan berujar kalem. "Bibi.... Aku mengenal mereka...."
Dayang Sepuh melotot. "Aku tidak tanya padamu!
Aku ingin jawaban dari mulut salah seorang di anta-
ranya!" Laki-laki setengah baya yang menggendong si kakek
makin cemas ketika mendapati orang yang digendong
tidak juga perdengarkan suara. Dia pulang balik me-
mandang pada Dayang Sepuh lalu pada orang yang di-
gendong. Mungkin karena takut melihat tampang ang-
ker Dayang Setan, akhirnya laki-laki setengah baya
buka mulut. "Aku...."
Belum sampai laki-laki setengah baya teruskan
ucapan, si kakek yang digendong lepaskan lingkaran
tangannya pada leher orang. Tangan kanannya menge-
tuk punggung laki-laki setengah baya seraya bergu-
mam. "Biar aku yang menjawab...."
Kakek yang digendong arahkan wajahnya pada
Dayang Sepuh dengan mata tetap terpejam. Saat lain
mulutnya bergerak membuka.
"Boleh kami berdua ikut kumpul di sini"!"
"Setan! Aku tanya siapa kalian adanya!"
"Aku adalah seorang sahabat.... Dan aku lihat bebe-
rapa orang sahabatku berada di sini!"
"Senang jumpa denganmu lagi, Sahabatku.... Kuha-
rap kau mengerti kecurigaan sahabatku itu...." Gen-
deng Panuntun menyahut. Sepasang matanya yang
putih mengerjap.
"Brusss! Brusss! Terimalah hormatku.... Harap ti-
dak heran dengan sambutan sahabat cantik ku itu...."
Datuk Wahing menyambuti sahutan Gendeng Panun-
tun. "Terima kasih kalian tidak lupa padaku.... Aku juga bahagia bisa bertemu dengan
kalian kembali...." Kakek di gendongan orang berujar. Kepalanya digerakkan
mengangguk pada Gendeng Panuntun dan Datuk
Wahing. Lalu masih dengan mata terpejam, si kakek
hadapkan wajahnya pada murid Pendeta Sinting se-
raya lanjutkan ucapan. "Bagaimana kabarmu, Anak
Muda"!"
"Aku baik-baik saja, Kek...."
Si kakek tersenyum. Wajahnya bergerak ke arah
Putri Kayangan. Tapi kali ini tidak perdengarkan suara hingga beralih menghadap
Dayang Sepuh. "Nenek nan cantik.... Sekarang boleh aku ikut kum-
pul-kumpul"!"
"Di sini bukan tempatnya kumpul-kumpul! Kalau
kau tidak mau katakan siapa dirimu, aku tak segan
mengusirmu dengan tanganku!"
"Bibi...."
"Jangan ikut bicara, Cucu Setan! Silakan kau dan
dua temanmu itu kenal padanya! Tapi aku tak akan
membiarkan orang yang tidak kukenal berada di sini!"
"Bibi.... Dia adalah...."
"Sekali lagi kau bicara, mulutmu akan kutampar!"
Dayang Sepuh angkat tangannya seraya menukas
ucapan murid Pendeta Sinting.
Kakek di atas gendongan orang ketukkan lagi tan-
gannya pada punggung orang yang menggendong. La-
ki-laki setengah baya anggukkan kepala lalu berkata.
"Aku adalah Gulurawa.... Kakek di punggungku ini
Kiai Geger Panulung. Tapi lebih dikenal dengan Raja Tua Segala Dewa...."
"Hem...." Dayang Sepuh menggumam panjang. Lalu
menoleh pada Pendekar 131. "Benar apa yang di-
ucapkan"!"
Murid Pendeta Sinting jawab dengan anggukkan
kepala. Namun seolah belum percaya, Dayang Sepuh
berpaling pada Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun.
"Benar begitu"!"
"Bruss! Ucapannya tidak mengherankan dan be-
nar!" jawab Datuk Wahing. Sementara Gendeng Pa-
nuntun hanya angguk-anggukkan kepala.
Dayang Sepuh hadapkan wajahnya ke depan pada
kakek yang digendong dan bukan lain memang Kiai
Geger Panulung, seorang tokoh rimba persilatan yang jarang muncul dan dikenal
dengan gelaran Raja Tua
Segala Dewa. Kalau tadi tampang Dayang Sepuh dibuat angker,
kini si nenek tampak sunggingkan senyum. Tangan ki-
rinya rapikan poni di depan keningnya. Tangan kanan sibakkan helaian rambutnya
yang ada di pundak.
"Harap maafkan sikapku tadi...," kata Dayang Se-
puh. "Selama ini aku hanya tahu namamu tanpa per-
nah bertemu. Sementara kami baru saja mengalami
kejadian tidak enak...."
Kiai Geger Panulung alias Raja Tua Segala Dewa ba-
lik tersenyum. "Seharusnya kami yang minta maaf. Datang tanpa diundang....
Memaksakan diri untuk ikut
kumpul, padahal kalian akan membicarakan sesuatu
yang mungkin orang luar tidak boleh mendengar-
nya...." "Bruss! Adalah mengherankan kalau memandang
mu sebagai orang luar, Sahabat.... Justru kehadiran-mu yang kami syukuri!"
"Benar.... Kami sedang menghadapi urusan pelik.
Kami butuh bantuanmu, Sahabat!" Gendeng Panuntun
menyahuti. Raja Tua Segala Dewa tersenyum dengan mata ma-
sih terpejam. Kepalanya perlahan menghadap pada
murid Pendeta Sinting. Bersamaan itu tangan kanan-
nya menyelinap ke balik pakaiannya. Saat tangannya
ditarik keluar terlihat sebuah sarung pedang berwarna kuning.
"Anak muda.... Mungkin ini milikmu. Sahabatku
Gulurawa menemukannya tergeletak di sana!" Raja
Tua Segala Dewa menunjukkan ke satu arah.
"Sarung Pedang Tumpul 131!" gumam Joko. "Apa
dia jumpa pula dengan orang di balik Jubah Tanpa Jasad Ku"! Sarung pedang itu
tertinggal di sana...."
Seraya berpikir begitu, murid Pendeta Sinting me-
langkah mendekat. Sarung Pedang Tumpul 131 diam-
bilnya dari tangan Raja Tua Segala Dewa.
"Kek.... Apa kau juga bertemu dengan beberapa
orang di tempat sarung pedang ini ditemukan"!"
Raja Tua Segala Dewa gelengkan kepala. Lalu mem-
beri isyarat pada laki-laki setengah baya yang meng-gendongnya dan dipanggil
dengan Gulurawa untuk
melangkah mendekati Datuk Wahing dan Gendeng Pa-
nuntun. "Sahabat-sahabat.... Dari orang tua sepertiku ini
bantuan apa yang bisa kuberikan" Kurasa tenaga-
tenaga muda seperti murid Pendeta Sinting itu lebih bisa dimintai bantuan
daripada tubuh renta sepertiku...."
Mendadak Dayang Sepuh tertawa mendengar uca-
pan Raja Tua Segala Dewa. "Orangnya memang masih
muda. Wajahnya pun lumayan. Banyak gadis-gadis
cantik terpikat. Cuma soal bantu membantu, bukan
dia tempatnya untuk dimintai! Apalagi dalam keadaan jatuh cinta seperti saat
ini...." Tampang Joko berubah merah padam. Raut Putri
Kayangan pun ikut berubah. Namun keduanya tidak
ada yang buka suara.
"Betul kau sedang jatuh cinta, Anak Muda"!" tanya
Raja Tua Segala Dewa.
"Nenek satu ini benar-benar sialan!" Murid Pendeta
Sinting menggerendeng dalam hati. Tapi dia tidak menjawab pertanyaan Raja Tua
Segala Dewa. Dayang Sepuh cekikikan lalu melompat ke dekat
Raja Tua Segala Dewa dan berbisik. "Mungkin dia ma-
lu.... Dia jatuh cinta pada gadis di sampingnya itu!"
"Hem.... Gadis cantik. Siapa dia, Nek"!" tanya Raja Tua Segala Dewa.
"Gadis setan bergelar Putri Kayangan!"
Raja Tua Segala Dewa buka kelopak matanya. Lalu
memandang beberapa lama pada Putri Kayangan. "Se-
perti dia.... Tapi bukan dia...." Mendadak Raja Tua Segala Dewa bergumam.
Dayang Sepuh dan Putri Kayangan serta murid
Pendeta Sinting sama kerutkan dahi. Namun menden-
gar gumaman si kakek, Putri Kayangan adalah orang
yang paling tidak enak.
"Apa maksudmu.... Seperti dia tapi bukan dia"!"
tanya Dayang Sepuh. "Kau mengenalinya sebelum
ini"!"
"Aku tidak mengenalinya. Tapi aku yakin pernah
melihatnya! Cuma...."
"Cuma apa"!" Tak sabar Dayang Sepuh menyahut.
"Cuma itu tadi. Seperti dia tapi bukan dia!"
"Aneh.... Kau mengatakan tidak mengenalnya tapi
pernah melihatnya. Seperti dia tapi bukan dia! Teka-teki setan apa yang kau
katakan ini"!"
"Itulah.... Aku sendiri tak mampu menjawabnya...."
"Sahabatku, Datuk Wahing.... Harap simak semua
ucapannya!" Gendeng Panuntun berbisik pada Datuk
Wahing. "Brusss! Ucapannya membuatku heran...," gumam
sang Datuk. "Raja Tua Segala Dewa!" kata Dayang Sepuh. "Terus
terang saja. Kami baru saja terlibat bentrok dengan manusia yang kini
mentasbihkan diri sebagai Penguasa Kampung Setan! Sialnya kami tidak mampu meng-
hadapinya! Di tangannya tergenggam Kembang Darah
Setan. Sementara dia sendiri mengenakan Jubah Tan-
pa Jasad, hingga manusianya tidak bisa dikenali. Selama ini kudengar kau
memiliki ilmu aneh.... Kau bisa menduga siapa sebenarnya manusia pemakai Jubah
Tanpa Jasad itu"!"
"Apa yang kau dengar selama ini mungkin hanya
berita yang tidak benar. Aku tidak memiliki apa-apa, apalagi yang dikatakan ilmu
aneh.... Maka dari itu, rasanya sulit aku menjawab pertanyaanmu.... Mungkin
sahabatku Gendeng Panuntun tahu jawabannya...."
Mulut Dayang Sepuh mencibir. Lalu kepalanya dige-
lengkan. Raja Tua Segala Dewa tersenyum. "Mungkin
sahabatku Datuk Wahing bisa membantu...."
"Pada manusia nyata saja setan itu masih heran.
Bagaimana mungkin dia bisa membantu"!"
"Hem.... Mungkin sahabat muda Pendekar 131...."
Dayang Sepuh tertawa. "Urusan perempuan dia ah-
linya. Bukan urusan aneh-aneh begini!"
"Kek! Kalau kau tidak bisa menduga siapa adanya
orang di balik Jubah Tanpa Jasad, apa kau tahu ba-
gaimana cara menghadapinya"!" Kali ini yang angkat
suara adalah murid Pendeta Sinting.
Raja Tua Segala Dewa dongakkan kepala. Tiba-tiba
dahinya berkerut. Lalu kepalanya yang tengadah ber-
gerak-gerak ke samping kanan kiri. Telinganya terangkat tanda orang ini tengah
tajamkan pendengaran.
Semua yang melihat tanpa sadar ikut-ikutan men-
gernyit. Dan ikut-ikutan pula tajamkan telinga. Namun sebegitu jauh, tidak satu
pun di antara mereka yang mendengar sesuatu!
Selagi semua orang bertanya-tanya, mendadak Raja
Tua Segala Dewa berucap pelan. "Aku mendengar sua-
ra tangisan bayi.... Ah, sayang cuma sejenak! Hai! Aku bisa melihatnya....
Astaga! Pada pusarnya terlihat mata merah.... Dan darah.... Kulihat banyak
darah.... Dan bulan di atas sana tampak terang benderang...."
Raja Tua Segala Dewa usap wajahnya. Lalu meng-
hela napas panjang. Saat lain kepalanya lurus meng-
hadap Putri Kayangan. "Bukan.... Bukan dia!"
Putri Kayangan tersentak. Dia makin tidak enak
dan penasaran dengan ucapan orang. Hingga dia bera-
nikan diri buka mulut. Tapi sebelum suaranya terdengar, Dayang Sepuh sudah
mendahului. "Aku tidak mendengar apa-apa! Juga tidak melihat
apa-apa! Bisa kau jelaskan apa yang baru kau dengar dan kau lihat"!"
Raja Tua Segala Dewa geleng kepala. "Aku hanya


Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa mengatakan apa yang kudengar dan kulihat. Tapi aku tak bisa menjelaskannya!
Karena hanya itulah
yang kudengar dan kulihat!"
Habis berkata begitu, Raja Tua Segala Dewa arah-
kan pandang matanya pada Datuk Wahing dan Gen-
deng Panuntun. Setelah menghela napas dia berucap.
"Sahabat.... Aku tidak bisa membantu banyak!
Mungkin sahabat muda murid Pendeta Sinting bisa
melakukan semuanya! Sekarang aku harus pergi...."
Gendeng Panuntun anggukkan kepala. "Terima ka-
sih atas bantuanmu, Sahabat.... Jika kelak bertemu
lagi, aku ingin kita ngobrol lebih lama...."
"Mudah-mudahan kita sama diberi umur pan-
jang...," ucap Raja Tua Segala Dewa. Lalu memandang ke arah Dayang Sepuh.
"Nek.... Harap tidak berprasangka akan jawabanku tadi.... Seandainya aku tahu,
pasti sudah kukatakan...." Tanpa menunggu sahutan
dari si nenek, Raja Tua Segala Dewa alihkan pandan-
gannya pada murid Pendeta Sinting.
"Sahabat muda.... Tugas di depanmu berat.... Tapi
kuharap kau dapat menyelesaikannya dengan baik! In-
gat.... Bukan dia, tapi seperti kekasihmu itu!"
Lagi-lagi tanpa menunggu sahutan dari orang, Raja
Tua Segala Dewa telah alihkan pandang matanya pada
Putri Kayangan. "Kau harus tabah, Sahabatku Can-
tik...." Habis berkata begitu, Raja Tua Segala Dewa ketuk-
kan tangannya pada punggung Gulurawa. Saat bersa-
maan Gulurawa melompat. Dan berkelebat lenyap di
depan sana. *** SEPULUH BERSAMAAN dengan lenyapnya sosok Raja Tua Se-
gala Dewa, Dayang Sepuh langsung buka mulut den-
gan kepala berpaling pada Gendeng Panuntun. "Kau
terlalu banyak basa-basi dan peradatan! Bantuan apa yang diberikan hingga kau
mengucapkan terima kasih, he"! Dia bukannya memberi bantuan, tapi malah
membuat otak puyeng! Bicara tak tentu juntrungan!"
"Brusss! Aku juga heran mendengar ucapannya!
Tapi aku lebih heran lagi dengan ucapanmu, Nenek
Cantik...." Datuk Wahing sambuti kata-kata Dayang
Sepuh. "Bisa mu hanya heran dan heran!" semprot Dayang
Sepuh. "Tenang, Nenek...," ujar Gendeng Panuntun kalem.
"Kelihatannya sahabat Raja Tua Segala Dewa memang
tidak banyak membantu! Tapi justru di sinilah jawa-
ban yang kita cari saat ini!"
"Jawaban apa"! Mendengar tangisan bayi dan meli-
hat pusar bermata merah itu kau katakan jawaban"!"
"Betul! Kalau kita dapat menjabarkan apa yang di-
ucapkannya, kita akan mendapatkan jawaban yang ki-
ta cari saat ini...."
Pendekar 131 melompat ke dekat Gendeng Panun-
tun. Namun belum sampai dia buka mulut, Dayang
Sepuh telah membentak. "Kau juga akan ikut berpikir gila seperti mereka"!"
"Bibi.... Apa yang dikatakan Kakek Gendeng Panun-
tun benar. Dua kali aku bertemu dengan Raja Tua Se-
gala Dewa. Aku telah membuktikan bahwa semua
ucapannya benar dan jadi kenyataan! Meski pada mu-
lanya aku juga masih merasa ragu-ragu dan tidak
mengerti!"
Si nenek terdiam. Joko menoleh pada Gendeng Pa-
nuntun. "Kek.... Suara tangisan bayi jelas maksudnya adalah seorang bayi. Namun
kau bisa menjabarkan
maksud daripada ucapan 'cuma sejenak' yang dikata-
kan Kakek Raja Tua Segala Dewa"!"
Gendeng Panuntun mengerjap dengan mata mengu-
sap cermin bulatnya. Lalu berkata.
"Biasanya, seorang bayi yang dilahirkan dan pan-
jang umur, maka dia akan menangis lama...."
"Hem.... Maksudmu bayi itu tidak berumur pan-
jang"!" tanya Joko.
Kepala Gendeng Panuntun bergerak mengangguk.
"Dan biasanya, bayi yang tidak berumur panjang ada-
lah seorang bayi yang dilahirkan belum genap bulan-
nya!" Dayang Sepuh tersenyum setengah mencibir, "itu
mungkin masih masuk akal! Lalu apakah masuk akal
jika dia melihat pada pusar bayi itu ada mata merah"!
Pusar apa yang bermata merah, hah"!"
"Brusss! Itu mungkin hanya satu tanda, Nenek Can-
tik. Untuk membedakan bayi itu dari bayi lainnya!
Memang mengherankan, tapi siapa tahu hal itu me-
mang akan ada...!"
"Bulan di atas sana terang benderang...," kata Joko tirukan ucapan Raja Tua
Segala Dewa. "Pasti itu adalah saat purnama!"
"Brusss! Untuk yang satu itu baru aku tidak merasa
heran....!"
"Jadi, bayi itu akan lahir pada malam purnama. Ke-
lahirannya belum genap bulan. Dan pada pusarnya
terdapat mata berwarna merah...." Pendekar 131 ber-
kata sambil arahkan pandang matanya pada Putri
Kayangan. Karena merasa tidak enak, Putri Kayangan kali ini
menantang pandangan murid Pendeta Sinting hingga
Joko urungkan lanjutkan ucapannya meski mulutnya
telah menganga.
"Aku harus pergi...!" Tiba-tiba Putri Kayangan buka suara. Kejap lain gadis
cantik ini membuat satu gerakan dan sosoknya melesat tinggalkan tempat itu.
"Tunggu!" tahan murid Pendeta Sinting seraya me-
lompat dan berkelebat menyusul. Tapi bersamaan den-
gan itu Dayang Sepuh telah melompat memotong gera-
kan Joko dan tegak menghadang dengan berkacak
pinggang seraya membentak.
"Ini urusanmu, Setan Geblek! Jangan hanya karena
perempuan maka urusan yang belum selesai kau ting-
gal begitu saja!"
"Brusss! Kuharap ucapannya tidak mengherankan
mu, Anak Muda!" Datuk Wahing sambung ucapan
Dayang Sepuh. "Benar.... Kelak kau pasti akan bertemu dengannya
lagi! Apalagi jika dikaitkan dengan ucapan sahabat Ra-ja Tua Segala Dewa yang
beberapa kali mengatakan
'seperti dia tapi bukan dia'...." Gendeng Panuntun ikut menyahut.
Murid Pendeta Sinting akhirnya hanya bisa pan-
dangi sosok Putri Kayangan yang terus berkelebat kemudian lenyap di tikungan
jalan. Setelah menghela
napas panjang Pendekar 131 balikkan tubuh mengha-
dap Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun. "Aku tidak
tahu apa maksud di balik ucapan Raja Tua Segala De-
wa itu.... Kalian tahu"!"
Datuk Wahing bersin satu kali lalu geleng kepala.
Sementara Gendeng Panuntun tengadahkan kepala
dengan tangan usap-usap cermin bulatnya. Namun dia
tidak juga berucap.
"Bibi.... Mungkin kau tahu maksud ucapan itu"!"
Joko ajukan tanya pada Dayang Sepuh yang tegak di
belakangnya. Tidak terdengar sahutan dari si nenek. Namun sete-
lah agak lama si nenek melangkah lewat di samping
murid Pendeta Sinting seraya berkata.
"Itu ada hubungannya dengan perempuan! Kau
sendirilah yang memecahkannya!" Dayang Sepuh te-
ruskan langkah ke arah Datuk Wahing dan Gendeng
Panuntun. Lalu berucap lagi. "Datuk Wahing.... Kita sudah lama bersama-sama cucu
setan itu! Sekarang
kita lanjutkan saja urusan kita...."
"Brusss! Brusss! Memang sudah waktunya kita per-
gi...," kata Datuk Wahing lalu berpaling pada Gendeng Panuntun. "Sahabat....
Kalau kau tak punya urusan
mengherankan, aku tawarkan untuk pergi bersama-
sama kita!"
"Ah.... Sebenarnya tawaran menarik, apalagi jalan
bersama dengan perempuan cantik. Tapi sayangnya
aku masih punya sesuatu yang harus kulakukan! Ku-
harap kalian akan tawarkan lagi hal ini kelak kalau urusanku sudah selesai...."
Dayang Sepuh tertawa panjang mendengar ucapan
Gendeng Panuntun. Puas tertawa seraya mencibir dia
berujar. "Kau layaknya orang penting saja. Selalu dan selalu dirundung urusan!"
"Aku sendiri tak tahu mengapa harus begini. Tapi
dalam urusan saat ini, kurasa aku tidak bisa memban-tu banyak. Kau simak tadi
ucapan sahabat Raja Tua
Segala Dewa. Urusan ini hanya sahabat muda Pende-
kar 131 yang bisa melakukannya!"
Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun arahkan
kepalanya pada murid Pendeta Sinting. "Sahabat mu-
da.... Kau telah menemukan jawaban meski belum se-
muanya. Urusan ini sebenarnya tanggung jawab se-
mua orang yang terlibat dalam kancah dunia persila-
tan. Namun menyimak ucapan Raja Tua Segala Dewa,
rasanya percuma kalau bukan kau yang menyelesai-
kannya! Jadi harap kau maklum kalau aku dan
mungkin beberapa sahabat yang lain tak bisa mem-
bantu banyak!"
Tanpa menunggu lama, Gendeng Panuntun beran-
jak bangkit. Lalu melangkah hendak tinggalkan tempat
itu. "Kek.... Tunggu!" teriak Joko lalu melompat ke arah Gendeng Panuntun.
Mungkin tak mau Gendeng Panuntun mendahului berkata, Joko cepat angkat bicara.
"Kau dapat menentukan kira-kira purnama kapan
bayi itu akan lahir"!"
"Ada kemungkinan aku bisa jawab seribu perta-
nyaanmu. Tapi untuk urusan waktu, aku tidak mau
mendahului kehendak Yang Maha Menentukan!"
"Ini bukan mendahului kehendak. Aku hanya ingin
tahu kira-kiranya!"
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. "Aku tidak
berani meski hanya mengatakan kira-kiranya, Sahabat Muda! Tapi firasat ku
mengatakan, kau bakal menemukan jawaban itu!"
Gendeng Panuntun usap cerminnya berulang kali.
Lalu teruskan langkah. Di sebelah depan sana, tiba-
tiba Gendeng Panuntun berhenti. Kepalanya tengadah.
Lalu terdengar suaranya.
"Jawaban itu sebentar lagi akan kau temukan, Sa-
habat Muda...."
Suaranya belum lenyap, sosok Gendeng Panuntun
sudah tidak kelihatan lagi!
"Hem.... Mungkin jawaban itu akan kudengar dari
Dayang Sepuh atau Datuk Wahing. Bukankah Kakek
Gendeng Panuntun mengatakan sebentar lagi. Semen-
tara hanya ada mereka yang tinggal di sini!"
Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting segera me-
langkah mendekati Dayang Sepuh dan Datuk Wahing.
Namun baru saja dia gerakkan kaki, Dayang Sepuh te-
lah gerakkan tangan menarik lengan Datuk Wahing
hingga si kakek bergerak bangkit. Dan seolah tahu apa yang ada dalam pikiran
Joko, begitu sosok Datuk Wahing tegak, Dayang Sepuh sudah berkata.
"Jawaban itu tidak akan kau dengar dari mulutku
dan mulut setan tua ini! Karena aku atau setan bersin ini bukan ahli ramal-
meramal kelahiran bayi! Apalagi belum ketahuan siapa manusianya yang akan
melahirkan!"
Ucapan Dayang Sepuh membuat murid Pendeta
Sinting hentikan langkahnya. Sementara Dayang Se-
puh segera menarik kembali lengan Datuk Wahing.
Saat lain kedua orang ini melangkah tinggalkan tempat Ku tanpa berkata apa-apa
lagi! Begitu sosok Dayang Sepuh dan Datuk Wahing le-
nyap, Joko menghela napas dalam. Lalu melangkah
dan duduk di antara kerapatan semak belukar.
"Rasanya sulit menemukan apa yang dikatakan Ra-
ja Tua Segala Dewa! Belum lagi apa yang harus kula-
kukan pada bayi itu jika benar-benar kutemukan!"
Murid Pendeta Sinting arahkan pandang matanya
pada rimbun semak belukar yang banyak di sekitar
tempat dia berada. Mendadak muncul bayangan paras
wajah cantik Putri Kayangan. Hal ini membuat Joko
teringat akan ucapan Raja Tua Segala Dewa.
"Seperti dia tapi bukan dia.... Hem.... Apa maksud
ucapan orang tua itu"! Apa ada hubungannya dengan
urusan bayi itu..."!" Joko tengadahkan kepala dengan mata memejam.
Tiba-tiba dia laksana tersentak dan buka kedua ma-
tanya. "Astaga! Jangan-jangan bayi itu akan lahir dari Putri Kayangan! Bukankah
hanya perempuan yang bi-sa lahirkan seorang bayi" Tapi bagaimana mungkin"!
Bukankah Putri Kayangan masih belum bersuami"!
Tapi.... Siapa tahu sebenarnya dia telah bersuami...."
Air muka murid Pendeta Sinting berubah. "Apa benar
dia telah bersuami"! Tapi ah.... Raja Tua Segala Dewa mengatakan bukan dia!
Berarti bayi itu tidak akan lahir dari Putri Kayangan. Ucapan Raja Tua Segala
Dewa mungkin hanya menyamakan soal jenis perempuannya
yang akan melahirkan bayi itu! Tapi siapa..."!"
Krakkkk! Tiba-tiba terdengar ranting patah. Pendekar 131 ce-
pat berpaling. Sepasang matanya menyipit lalu mem-
belalak saat melihat gerakan pada rumpun semak be-
lukar berjarak lima belas langkah dari tempatnya.
Joko cepat bangkit. Rumpun semak belukar makin
bergerak-gerak. Saat lain satu sosok tubuh mencuat
ke udara setinggi tiga tombak. Pendekar 131 mengikuti gerakan sosok yang
melayang di atas udara.
Tiba-tiba sosok di atas udara membuat gerakan
jungkir balik dua kali dan sekonyong-konyong melun-
cur deras ke arah murid Pendeta Sinting! Walau si sosok tidak mendorong kedua
tangannya melepas puku-
lan, namun Joko merasakan sambaran gelombang
dahsyat menghampar!
Melihat gelagat kurang baik, murid Pendeta Sinting
cepat kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Lalu melompat ke samping kanan dengan tangan di-
angkat. Sosok yang meluncur merubah arah dan meluncur


Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tepat ke arah Joko. Belum sempat murid Pendeta Sinting membuat gerakan, tahu-
tahu si sosok telah tegak empat tindak di hadapannya!
*** SEBELAS DIA adalah seorang pemuda berwajah tampan. Ku-
misnya lebat hitam. Hidungnya agak mancung. Ra-
hangnya kokoh. Namun ada sedikit keanehan. Meski
dia seorang pemuda tampan, rambutnya ternyata pu-
tih dan dibiarkan awut-awutan! Sepasang matanya
agak sayu. Dan pakaian warna biru yang dikenakan
terlihat amat tebal! Kedua telapak tangannya dibungkus dengan kaos tangan dari
kulit. Sementara sepa-
sang kakinya memakai kasut juga dari kulit!
Sesaat pemuda berwajah tampan yang baru muncul
memandang pada murid Pendeta Sinting. Tiba-tiba dia tertawa ngakak seraya angkat
tangan kanannya dan
menunjuk-nunjuk pada Joko.
Pendekar 131 kerutkan dahi. Cuma sekejap. Saat
lain tangan kirinya diluruskan menunjuk pada orang
di hadapannya. Pada saat yang sama mulutnya mem-
buka perdengarkan tawa bergelak!
Si pemuda di hadapan Joko putuskan tawanya.
Tangan kanannya ditarik pulang. Kepalanya didorong
ke depan dengan mata dibeliakkan. Murid Pendeta
Sinting luruhkan tangan kirinya. Gelakan tawanya di-putus. Saat bersamaan
kepalanya digerakkan ke de-
pan dengan mata dipentang besar-besar!
Si pemuda di depan murid Pendeta Sinting tarik
kembali kepalanya. Joko ikut-ikutan tarik pulang kepalanya. Si pemuda kembali
angkat tangan kanannya
menunjuk pada Joko lalu menunjuk pada dirinya den-
gan kepala mengangguk-angguk.
Pendekar 131 tidak tinggal diam. Tangan kirinya se-
gera ditunjukkan pada orang lalu ditarik dan ditun-
jukkan pada dirinya sendiri dengan kepala membuat
gerakan mengangguk-angguk. Si pemuda tertawa lagi.
Joko ikut pula tertawa.
Si pemuda kerutkan dahi. Tangan kanannya diang-
kat ke mulutnya. Lalu telapak tangannya dihadapkan
pada Joko dengan digerakkan mengembang menutup
berulang kali. Joko segera pula kernyitkan kening.
Tangan kirinya juga diangkat ke mulutnya lalu diha-
dapkan pada si pemuda dengan telapak dikembangkan
lalu ditutup beberapa kali.
Si pemuda makin kerutkan dahi. Seraya terus kem-
bang tutupkan telapak tangan kanannya, kepalanya
menggeleng dan mengangguk.
"Gila! Aku bisa ikut-ikutan gila kalau terus tirukan orang ini!" gumam Pendekar
131 pada akhirnya. "Dari gerakannya, pemuda ini mungkin bisu.... Repot jika
berhadapan dengan orang bisu! Biasanya orang bisu
akan diikuti dengan tuli...."
"Kau tidak bisa bicara"!" tanya Joko seraya mem-
buat isyarat dengan tangan kiri dikembang-
kembangkan. Si pemuda tertawa terbahak-bahak. Lalu tunjuk-
tunjuk telinganya dan tangannya membuat gerakan
melingkar besar.
"Tepat dugaanku! Dia tuli dan isyarat tangannya
memberi petunjuk agar aku bicara keras-keras! Hem....
Apa yang akan kubicarakan dengannya"! Rasanya ti-
dak ada perlunya.... Tapi, kehadirannya di tempat itu tanpa bisa kuketahui
memberi tanda kalau dia orang
berilmu.... Ah, lebih baik aku segera saja tinggalkan tempat ini! Teka-teki
ucapan Raja Tua Segala Dewa
akan makin memusingkan jika ditambah dengan
menghadapi orang seperti dia...."
Berpikir begitu, setelah tersenyum dan anggukkan
kepala pada si pemuda di hadapannya, murid Pendeta
Sinting putar diri. Namun mendadak gerakannya dita-
han. "Astaga! Bukankah Gendeng Panuntun tadi men-
gatakan...." Joko tidak lanjutkan kata hatinya. Dia cepat putar kembali tubuhnya
menghadap si pemuda.
"Hai!" teriak Joko ketika dilihatnya si pemuda telah balikkan tubuh dan hendak
melangkah pergi.
Namun seolah tak mendengar teriakan orang, si
pemuda teruskan gerakan kakinya. Murid Pendeta
Sinting berkelebat ke depan dan tegak di hadapan si pemuda. Memandang sejurus
lalu buka suara.
"Boleh tahu siapa kau adanya"!"
Si pemuda mengernyit. Langkahnya dihentikan.
Tangannya bergerak ke depan dan telapak tangannya
bergerak-gerak membuka menutup lalu menunjuk pa-
da Joko dan dirinya.
Pendekar 131 tersenyum lalu angguk-anggukkan
kepala. Di hadapannya si pemuda ikut tersenyum. La-
lu kembali gerakkan telapak tangannya membuka me-
nutup. Sementara tangan satunya membuat lingkaran
besar dan tunjuk-tunjuk kedua telinganya.
Murid Pendeta Sinting dapat menangkap maksud
orang. Dia segera kerahkan sedikit tenaga dalamnya
lalu berteriak.
"Boleh tahu siapa kau adanya"!"
Si pemuda tadangkan kedua tangannya pada ba-
gian belakang telinganya. Lalu kepalanya menggeleng.
Saat bersamaan tangan satunya membuat lingkaran
besar. "Busyet! Dia masih belum bisa mendengar!" Joko
menghela napas. Dia lipat gandakan tenaga dalam dan berteriak lagi.
"Siapa kau"!"
Si pemuda anggukkan kepala. Bibirnya tersenyum.
Joko menunggu. Namun tiba-tiba dia ingat. "Dia bi-
su.... Bagaimana dia bisa jawab pertanyaanku"! Ta-
pi.... Mungkin dia bisa menulis...."
Ingat hal itu, Joko segera jongkok lalu telunjuknya digores-goreskan ke tanah.
Namun si pemuda tampak
gelengkan kepala. Lalu menunjuk pada murid Pendeta
Sinting dan dirinya. Karena Joko tidak mengerti, akhirnya dia hanya memandang
dan menunggu. Si pemuda tertawa. Kedua tangannya perlahan-
lahan bergerak melepas pakaian birunya. Joko sedikit besarkan matanya. Ternyata
di balik pakaian biru terlihat lagi pakaian warna putih. Namun saat lain mata
murid Pendeta Sinting terbelalak ketika pakaian warna
biru luruh ke bawah. Ternyata pakaian itu adalah pakaian panjang milik seorang
perempuan! "Busyet! Dia mengenakan pakaian perempuan! Apa
maksudnya"!"
Selagi Joko terheran-heran, si pemuda yang kini
mengenakan pakaian putih milik perempuan balikkan
tubuh. Tangan kanannya diangkat. Terdengar seperti
kain tersobek. Tangan si pemuda campakkan selembar
kulit tipis. Lalu putar diri.
Murid Pendeta Sinting pentangkan mata. Di hada-
pannya kini tegak seorang gadis muda berparas cantik jelita.
"Kalau saja rambutnya tidak putih dan awut-
awutan...."
Si pemuda yang kini berubah menjadi seorang gadis
berparas jelita liukkan tubuh dengan pantat digoyang-goyang. Saat bersamaan dari
mulutnya terdengar sua-
ra uuukk! Ukkkk! Ukkkk! berulang kali. Lalu si gadis cantik ini bergerak-gerak
kian kemari, menari diiringi suara uukk! Ukkkk! Ukkkk! tiada henti.
Joko hanya bisa geleng-geleng kepala sambil terse-
nyum. Namun tiba-tiba gerakan kepalanya terhenti.
Senyum di bibirnya pupus laksana disentak setan ke-
tika melihat si gadis membuat gerakan berputar-putar dengan tangan terangkat.
Dan ketika dia hentikan pu-taran tubuhnya dan menghadap ke arah Joko, ternya-
ta wajahnya telah berganti menjadi seorang nenek!
Si nenek tertawa panjang. Lalu dengan cepat tan-
gannya bergerak lepas kancing-kancing pakaian pu-
tihnya. Karena menduga di baliknya tidak mengenakan pakaian lagi, dengan dada
masih terheran-heran, murid Pendeta Sinting segera palingkan kepala.
"Ukkk! Ukkkk! Ukkkk!" Si nenek perdengarkan sua-
ra. Perlahan-lahan kepala Joko bergerak dengan mata setengah disipitkan. Namun
mendadak matanya berge-
rak membuka besar-besar. Di hadapannya tegak seo-
rang laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian lu-suh berwarna putih. Kumisnya
tebal berwarna putih.
Di bawahnya terhampar pakaian warna putih milik
seorang perempuan. Di sebelah pakaian putih tergeletak kulit tipis membentuk
wajah seorang nenek!
Si kakek menunjuk pada dirinya berkali-kali. Lalu
melepas kaos di kedua tangan dan kakinya. Di balik
kaos tangan dan kaki itu terlihat kulit yang telah mengeriput.
"Dia seakan menunjukkan kalau saat ini adalah
bentuknya yang asli!" Joko rupanya dapat menangkap
isyarat orang. Lalu anggukkan kepala dan tersenyum.
"Sekarang mau tuliskan siapa kau adanya"!" Joko
segera bertanya.
Si kakek gelengkan kepala dengan kedua tangan di-
tadangkan di belakang kedua telinganya. Memberi
tanda jika dia belum mendengar suara Joko.
Meski kesal akhirnya Pendekar 131 kerahkan tena-
ga dalam lalu ulangi ucapannya. Si kakek tertawa seraya gelengkan kepala.
"Hem.... Mungkin bukan dari orang ini jawaban itu
akan ku peroleh!" gumam Joko mulai ragu-ragu meli-
hat sikap orang. Dia sudah putuskan hendak mening-
galkan tempat Ku. Lalu berkata dengan suara keras.
"Aku harus pergi.... Kelak mudah-mudahan kita
jumpa lagi dan bisa bicara lebih lama!"
"Ukkkk! Ukkkk! Ukkkk!" Si kakek buka mulut. Tan-
gan kiri kanannya bergerak-gerak ke samping kiri kanan memberi isyarat mencegah
kepergian Joko.
Joko urungkan niat. Si kakek tersenyum. Lalu me-
nunjuk pada Joko. Tangan kanannya ditarik dan dile-
takkan di atas jidatnya. Lalu diangkat diputar-putar di atas kepala. Saat lain
tangannya ditarik ke bawah. Di atas perutnya dia membuat lingkaran besar dari
atas ke bawah dengan perut disorongkan ke depan.
Murid Pendeta Sinting sesaat memperhatikan. Kejap
lain dia melompat ke depan.
"Betul! Betul! Aku tengah dibuat pusing dengan
kandungan seseorang!"
Si kakek gelengkan kepala seraya tadangkan kem-
bali kedua tangannya di belakang telinga. Rupanya karena senang gerakan orang
mengisyaratkan orang ha-
mil, Joko jadi lupa dan angkat suara dengan pelan.
"Betul, Kek! Aku sedang pusing dengan kandungan
seseorang!" kata Joko dengan suara keras. "Kau tahu kapan bayi itu akan lahir"!"
Si kakek arahkan pandang matanya ke langit. Ke-
dua tangannya diangkat dan bergerak membuat ben-
tuk bundaran. Lalu menunjuk ke langit.
"Betul! Bulan purnama! Tapi purnama kapan"!"
tanya murid pendeta Sinting dengan suara tetap dikerahkan.
Si kakek memandang pada Joko. Mulutnya mem-
buka perdengarkan suara ukkk! Ukkk! berulang kali.
Lalu tangan kanannya diangkat. Dua jarinya dikem-
bangkan. Sementara tangan kiri menunjuk jauh.
"Hem.... Maksudmu dua bulan mendatang"!"
Si kakek dekatkan telinganya ke depan seraya diha-
dapkan ke arah Pendekar 131.
"Dua bulan di depan!" teriak Joko keras-keras.
Lagi-lagi si kakek kerutkan kening. Lalu geleng-
geleng kepala dengan tangan ditusuk-tusukkan pada
telinganya. Kepalanya ditarik menjauh.
Murid Pendeta Sinting tertawa dalam hati. Karena
isyarat si kakek menunjukkan jika telinganya berdengung sakit akibat suara Joko
yang terlalu keras. Apalagi suara itu dengan pengerahan tenaga dalam.
"Hem.... Dua bulan mendatang.... Kini teka-teki itu tinggal dari perempuan mana
bayi akan lahir! Kakek
itu tahu kapan si bayi akan lahir, mungkin dia juga tahu dari perempuan mana
bayi itu akan lahir!"
Berpikir begitu murid Pendeta Sinting segera kerah-
kan kembali tenaga dalamnya. Saat lain dia buka mu-
lut. "Kek! Kau tahu dari perempuan mana bayi itu kelak akan lahir"! Setidaknya
kau bisa memberikan tanda-tandanya perempuan itu"!"
Si kakek angkat kedua tangannya sejajar dada.
Tangan kanannya diangkat sedikit lagi ke arah mu-
kanya. Lalu digerakkan berputar. Saat lain dia acungkan ibu jarinya. Sesaat
kemudian, tangan kiri diangkat, diputarkan pada wajahnya lalu ibu jarinya di-
acungkan ke depan menjajari ibu jari tangan kanan.
"Hem.... Perempuan cantik...," gumam Pendekar
131. Lalu anggukkan kepala memberi isyarat kalau dia mengerti apa maksud si
kakek. Si kakek tersenyum. Lalu menunjuk pada Joko ke-
mudian ditunjukkan pada ibu jarinya. Joko kernyitkan dahi coba menangkap
isyarat. Namun kali ini dia masih ragu-ragu. Hingga dia gelengkan kepala.
"Ukkk! Ukkkkk! Ukkk!" Si kakek buka mulut. Lalu
saling hadapkan kedua tangannya. Saat lain menun-
juk pada murid Pendeta Sinting dan dirinya.
"Ah.... Aku tahu.... Maksudnya aku pernah bertemu
dengan perempuan itu!" gumam Joko. Namun karena
belum yakin benar, Joko segera mendekat dan berte-
riak. "Maksudmu aku pernah bertemu dengan perem-
puan yang akan melahirkan itu"!"
Si kakek tertawa seraya acungkan ibu jarinya. Mu-
rid Pendeta Sinting ikut tersenyum meski dadanya mulai di buncah perasaan tak
karuan. Sekilas terbayang wajah-wajah cantik milik Dewi Seribu Bunga, Saraswa-
ti, Puspa Ratri, Putri Kayangan, Pitaloka, dan terakhir
justru Dayang Sepuh.
Puas tertawa si kakek kembali gerakkan tangan kiri
kanan ke wajahnya dan diputar. Lalu ibu jari tangan kanan kiri diacungkan ke
depan. Saat lain ibu jari tangan kiri diangkat lebih tinggi dari ibu jari tangan
kanan. Ibu jari tangan kiri digoyang-goyangkan lalu kepalanya bergerak
mengangguk. Saat lain dia goyang-
goyangkan ibu jari tangan kanan dengan kepala meng-
geleng. Pendekar 131 coba berpikir. Namun setelah agak
lama tampaknya dia belum tahu apa maksud isyarat
orang. Hingga dia segera berteriak.
"Aku belum tahu apa maksudmu!"


Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si kakek gelengkan kepala dengan mata cemberut.
Lalu kembali membuat gerakan seperti tadi dan diak-
hiri dengan goyangan pada ibu jari tangan kanan dengan kepala menggeleng.
"Hem.... Sulit menjabarkan apa maksudnya...," ujar
Joko. Lalu gelengkan kepala sambil berteriak. "Aku tak bisa menangkap isyarat
mu!" Si kakek menghela napas panjang. Lalu mencibir
sambil menepuk keningnya dan tangannya membuat
bundaran. "Jangkrik! Dia mengejek ku tidak bisa berpikir dan
bodoh!" desis murid Pendeta Sinting mengerti apa yang dilakukan si kakek. Namun
Joko tidak mau bertindak
lebih jauh karena bagaimanapun juga si kakek telah
banyak membantu.
"Apa yang harus kulakukan untuk dapat mengeta-
hui apa maksudnya"! Hem.... Mungkin dia dapat me-
nulis...." Joko memberi isyarat dengan gerakkan tangan seperti orang menulis.
Dan khawatir si kakek belum mengerti, Joko segera berucap.
"Kau bisa menulis"!"
Si kakek gelengkan kepala. Namun sesaat kemu-
dian tangannya bergerak-gerak di udara.
"Hem.... Gerakannya ruwet. Tapi sepertinya aku bi-
sa menduga...."
Pendekar 131 sorongkan kepalanya ke depan lalu
buka mulut. "Kau hendak menggambar"!"
Si kakek tertawa sembari anggukkan kepala. Joko
cepat berkelebat mematahkan sebuah ranting agak be-
sar lalu diberikan pada si kakek.
Si kakek memandang sesaat pada murid Pendeta
Sinting lalu sambuti patahan ranting yang disodorkan padanya. Kejap lain dia
bergerak jongkok. Patahan
ranting di tangannya mulai digoreskan di atas tanah.
Si kakek membuat gambar dua wajah perempuan.
Di atasnya diberi angka satu dan dua. Lalu meman-
dang pada Joko seraya membuat gerakan saling ha-
dapkan kedua tangannya kemudian menunjuk pada
dua gambar di tanah. Joko anggukkan kepala. Si ka-
kek tertawa lalu tunjuk gambar nomor satu dengan
kepala mengangguk. Saat lain menunjuk pada gambar
nomor dua dengan kepala menggeleng.
"Waduh.... Apa maksudnya..."! Aku pernah bertemu
dengannya. Tapi apa maksud anggukan dan gelengan
kepalanya"! Dan mengapa dia membuat dua gambar"!
Adakah dua orang perempuan yang hendak melahir-
kan..."!"
"Kek!" kata Joko. "Maksudmu akan ada dua perem-
puan yang mengandung"!"
Si kakek menjawab dengan tunjukkan patahan
ranting pada gambar nomor satu. Kemudian berikan
tanda silang pada gambar nomor dua.
"Berarti cuma ada satu perempuan yang mengan-
dung.... Anehnya mengapa dia membuat dua gam-
bar"!"
Belum sampai Joko utarakan apa yang masih
mengganjal dalam dadanya, si kakek telah bergerak
bangkit. Patahan ranting dicampakkan ke tanah lalu
menunjuk silih berganti pada dua gambar di tanah.
Saat lain menunjuk pada Joko dengan tangan satunya
menunjuk pada dadanya sendiri, lalu mulutnya men-
guncup. Tangan kiri diangkat didekatkan pada mulut-
nya lalu dia meniup.
"Ukkkkkk!" Si kakek bergumam panjang dengan
tangan kiri disentakkan ke depan seolah tersembur
oleh hembusan mulutnya.
"Busyet! Aku makin bingung dengan isyaratnya!"
gumam Joko tak mengerti. Lalu berteriak. "Kek! Aku
tak mengerti! Bisa terangkan dengan cara lain"!"
Si kakek lagi-lagi mencibir. Saat lain dia berkelebat.
Joko tersentak. Dia cepat mengejar. Namun si kakek
gerakkan kakinya ke belakang. Satu gelombang dah-
syat melesat. Gerakan murid Pendeta Sinting bukan
saja tertahan, namun jika dia tidak segera kerahkan tenaga dalam untuk kuasai
diri, niscaya sosoknya
akan terjajar dan terjengkang di atas tanah!
Pendekar 131 gelengkan kepala. Saat lain dia segera berkelebat hendak mengejar.
Namun belum sempat sosoknya bergerak, satu bayangan meluncur deras. Ta-
hu-tahu si kakek telah tegak lima langkah di hada-
pannya. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Joko memperhatikan dengan
seksama. Ternyata di tangan si kakek tergenggam setangkai bunga mawar merah.
"Ukkk! Ukkkk! Ukkkk!" Si kakek buka mulut. Lalu
tangan kanannya yang menggenggam mawar merah
didekatkan pada dua gambar di tanah silih berganti.
Saat lain diberikan pada Joko.
Murid Pendeta Sinting sambuti bunga mawar me-
rah. Si kakek tersenyum sambil anggukkan kepala.
Saat lain dia gerakkan tangan melambai-lambai. Ber-
samaan dengan itu sosoknya berkelebat tinggalkan
tempat itu. "Kek! Tunggu!" teriak Joko keras-keras seraya ber-
kelebat. Namun sekuat tenaga dia kerahkan ilmu pe-
ringan tubuh serta tenaga dalam dan luarnya, dia gag-al mengejar malah tak lama
kemudian kehilangan je-
jak! Dengan mulut megap-megap, Joko angkat tangan-
nya yang menggenggam mawar pemberian si kakek.
Dia teringat akan tindakan si kakek yang dekatkan
mawar pada dua gambar di tanah lalu diberikan pa-
danya. "Hem.... Mawar merah adalah lambang cinta....
Jangan-jangan.... Ah! Apa maksudnya perempuan itu
mencintai ku.... Tapi bagaimana mungkin"! Kalau ha-
mil berarti dia sudah punya suami! Apa mungkin dia
masih jatuh cinta lagi, apalagi padaku"! Ah.... Itu urusan nanti. Yang penting,
siapa perempuan itu"! Dan
mengapa dua"!"
Karena tidak bisa menemukan jawabannya, murid
Pendeta Sinting melompat ke bawah sebatang pohon
besar. "Memikirkan terus menerus bisa membuatku gila!
Aku akan istirahat dahulu! Siapa tahu aku bisa men-
dapatkan jawabannya di alam mimpi!"
Dengan cengar-cengir Pendekar 131 rebahkan diri
di bawah pohon. Saat lain terdengar dengkurannya!
*** DUA BELAS JUBAH hitam tanpa kelihatan sosok pemakainya itu
berkelebat dengan perdengarkan suara deruan angker.
Saat sepuluh tombak di depan sana tampak sebuah
aliran sungai, jubah hitam yang bukan lain Jubah
Tanpa Jasad yang dikenakan Kiai Laras berhenti.
"Aku ingin tahu bagaimana tampangku saat men-
genakan Jubah Tanpa Jasad ini hingga semua orang
tidak mengenaliku lagi!" gumam Kiai Laras seraya perhatikan dirinya. Bibirnya
sunggingkan senyum. "Tidak kuduga sama sekali akan begini akhirnya! Sekarang
aku bukan saja dapat membalaskan semua rasa sa-
kitku pada orang-orang yang membuatku kecewa pada
puluhan tahun silam, namun aku sekarang pantas pu-
la menyandang sebagai tokoh tanpa tanding di kolong jagat! Ha.... Ha.... Ha...!"
Kiai Laras tertawa ngakak.
Lalu teruskan kelebatannya.
Kiai Laras hentikan larinya di pinggir aliran sungai.
"Mungkinkah tampangku memang berubah"!" Kiai La-
ras kembali menggumam. Dia arahkan pandang ma-
tanya ke seantero tempat itu.
Seperti diketahui, Kiai Laras sempat terkejut men-
dapati Datuk Wahing, Dayang Sepuh bahkan kakak
kandungnya sendiri Kiai Lidah Wetan tidak mengenali siapa dirinya. Selain hal
itu mendatangkan rasa gembi-ra pada Kiai Laras karena dia tidak diketahui,
sebenarnya dia merasa penasaran. Maka dia sengaja pergi ke aliran sungai ingin
melihat di permukaan air mengapa orang-orang yang diyakininya pasti mengenalnya
sampai tidak bisa mengenali.
Perlahan-lahan Kiai Laras gerakkan kepalanya ke
depan untuk berkaca di permukaan air. Sesaat mata
Kiai Laras menyipit dengan dahi mengernyit. Karena
dia tidak bisa melihat pantulan tubuhnya di permu-
kaan air. "Aneh.... Atau karena airnya kotor"!" Kiai Laras tarik kembali kepalanya. Lalu
perhatikan aliran air. "Air ini bersih.... Tapi mengapa bayangan ku tidak
kelihatan?"
Untuk yakinkan diri, kembali Kiai Laras gerakkan
kepalanya ke depan, berkaca di permukaan air. "Ah....
Aku memang tidak melihat pantulan kepalaku!" Kiai
Laras angkat kedua tangannya dan diluruskan ke de-
pan dengan kepala melongok ke bawah.
'Telapak kedua tanganku tidak kelihatan. Yang ter-
lihat hanya lengan jubah ini! Jadi...." Kiai Laras ber-jingkrak. "Jubah
hebat.... Inilah jawabannya mengapa manusia-manusia itu tidak bisa mengenaliku!
Ternyata tubuhku tidak kelihatan!"
Kiai Laras mundur beberapa tindak. Kepalanya ber-
gerak memutar. Saat lain dia melepas Jubah Tanpa
Jasad. Jubah Tanpa Jasad diletakkan di atas tanah.
Setelah perhatikan berkeliling sekali lagi, dia maju ke pinggiran sungai. Kepala
dan kedua tangannya digerakkan ke depan.
Kali ini di atas permukaan air, sang Kiai bisa melihat pantulan kepala serta
kedua tangannya. Kiai Laras manggut-manggut seraya tersenyum. Lalu melompat
ke belakang dan cepat-cepat mengenakan kembali Ju-
bah Tanpa Jasad.
Kiai Laras tengadahkan kepala memandang langit.
Mulutnya membuka.
"Aku akan menguasai bumi! Semua manusia di ko-
long jagat harus tunduk pada kakiku! Dan aku akan
mendirikan sebuah kerajaan! Ha.... Ha.... Ha...!"
Sembari terus tertawa bergelak, Kiai Laras berkele-
bat tinggalkan pinggiran sungai. Dia berkelebat ke
arah selatan. Jubah Tanpa Jasad kembali perdengar-
kan deruan angker.
Ketika matahari sudah condong dan hampir jatuh
di kaki langit, Kiai Laras baru hentikan larinya. Saat itu dia telah tegak di
bibir jurang. Kiai Laras putar pandangan. Lalu melongok ke ju-
rang di bawahnya. "Hem.... Suasana gelap membuat
jurang ini terlalu hitam untuk dilihat! Apa aku harus terjun"!" Kiai Laras
bimbang. Namun paras wajahnya
tampak tegang. Bukan takut melihat kedalaman ju-
rang, melainkan membayangkan hawa kemarahan!
"Aku telah sampai di sini! Tidak ada gunanya mem-
buang waktu! Jahanam itu harus mampus sekarang
juga!" Baru saja Kiai Laras mendesis begitu, mendadak sa-
tu bayangan mencuat ke udara di sebelah belakang.
Kiai Laras sedikit tersentak. Dia cepat putar diri. Tahu-tahu di hadapannya
telah tegak seorang kakek berusia amat lanjut. Tangan kanannya memegang tongkat.
Rambutnya yang tipis disanggul ke atas. Tubuhnya
hanya tinggal tulang-belulang. Dari kedua matanya
yang sayu tampak air yang terus menerus merembes.
Tanda orang ini sudah demikian tuanya.
"Kala Marica! Beruntung kau belum mampus di
tangan orang lain!" Kiai Laras buka mulut membentak.
Kakek di hadapan Kiai Laras yang disebut Kala Ma-
rica terkesiap. Untuk beberapa lama dia pandangi jubah tanpa sosok yang
mengapung di udara.
"Jubah Tanpa Jasad!" seru Kala Marica dengan bi-
bir bergetar. "Bagus! Nama besarmu rupanya tidak cuma nama.
Terbukti kau telah mengenali jubah di depan matamu!
Ha.... Ha.... Ha...! Tapi nama besarmu hari ini akan terkubur selamanya!"
"Siapa kau, Sahabat"!" Kala Marica bertanya den-
gan suara kalem.
"Selama ini kau dikenal sebagai manusia yang bisa
melihat apa yang tidak bisa dilihat orang lain! Apakah kemampuanmu telah lenyap,
Jahanam Kala Marica"!"
Kala Marica tidak menjawab. Diam-diam dalam hati
kakek ini berkata. "Apakah mungkin dia Penguasa
Kampung Setan"! Tapi bukankah dia telah meninggal
puluhan tahun silam dan hanya tinggal kerangkanya
saja"! Atau barangkali anak turunannya"! Kalau be-
nar, mengapa dia punya niat hendak membunuhku"!
Selama ini aku tidak pernah membuat urusan dengan
orang lain.... Kalau orang ini mengenakan Jubah Tan-pa Jasad, berarti dia
membekal pula Kembang Darah
Setan.... Hem.... Sulit bagiku menduga siapa adanya orang ini!"
"Kala Marica! Takdir kematianmu sudah tidak bisa
ditunda lagi! Namun aku masih memberi pilihan atas
takdir kematianmu! Tanganku sendiri yang akan me-
lakukannya atau tongkat di tanganmu yang akan bica-
ra pada tuannya sendiri!"
"Sahabat.... Rasanya selama ini aku tidak pernah
punya silang sengketa dengan seseorang! Adalah aneh kalau kau kali ini datang
hendak membunuhku! Bisa
jelaskan apa masalahnya"!"
Kiai Laras tertawa dahulu sebelum akhirnya berka-
ta. "Puluhan tahun silam kau pernah menolak seorang kere yang hendak berguru
padamu! Kau mentang-mentang seorang tokoh yang bernama besar dan dis-
egani hingga seenak perutmu kau menolak!"
Kala Marica usap rembesan air matanya. Dahinya
yang amat mengeriput bergerak mengernyit. Dia coba
mengingat. Namun tampaknya dia gagal. Hingga pada
akhirnya ia berucap. "Sahabat.... Saat puluhan tahun silam memang banyak pemuda
yang hendak berguru
padaku. Bukan kau saja sebenarnya yang ku cegah.
Tapi semua yang datang dengan niat sama seperti-
mu.... Kau tahu, Sahabat.... Penolakan ku bukan karena aku bernama besar atau
disegani. Sama sekali
bukan karena itu. Justru aku sadar kalau aku tidak
pantas disebut guru dan maklum aku tidak memiliki
ilmu seperti yang didengar orang. Lain daripada itu, karena aku tidak mau
menciptakan dunia ini makin
parah seandainya aku mengangkat murid dan ternyata
murid itu tidak pergunakan apa yang dimiliki untuk
kebaikan! Itulah pertimbangan ku mengapa aku men-


Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cegah beberapa orang yang berniat mengangkat ku se-
bagai guru...."
"Sudah cukup bicara omong kosong mu, Kala Mari-
ca"!" tanya Kiai Laras dengan suara dingin.
"Sahabat.... Kau memang berhak menilai ucapanku!
Tapi aku bicara apa adanya!"
Kiai Laras tertawa pendek. "Silakan kau bicara
bermacam alasan! Yang jelas kau telah kecewakan hati seseorang! Dan hari ini dia
minta imbalan atas rasa kecewanya! Tidak banyak yang kuminta! Cuma selembar
nyawamu! Dan kau telah dengar pilihannya! Den-
gan tanganku atau dengan tongkat di tanganmu sendi-
ri!" "Sahabat.... Kematian adalah satu hal yang pasti.
Tapi aku tak ingin memilih jalan kematianku...."
"Bagus! Jika begitu aku yang akan memilihkan ja-
lan kematian itu!"
Habis berkata begitu, Kiai Laras masukkan tangan
kanan ke balik pakaiannya. Saat ditarik keluar, Kala Marica melihat setangkai
kembang berdaun tiga warna yang pancarkan sinar mengapung di udara.
"Kembang Darah Setan!" Kala Marica menggumam
pelan dengan dada berdebar keras dan tangan berge-
tar. "Melihat apa yang diucapkan tadi dan hubungan-
nya dengan Jubah Tanpa Jasad serta Kembang Darah
Setan, kurasa orang ini bukan dari keluarga Kampung Setan.... Lalu siapa"!"
"Kala Marica! Aku dulu seorang pecundang! Tapi
takdir kini telah berkata lain! Saat ini bumi berada di genggaman tanganku! Dan
karena kau tempo dulu
membuatku sebagai pecundang, saat ini aku ingin
buktikan jika bumi di genggaman tanganku!"
Wuuuutt! Kembang Darah Setan berkelebat. Sinar tiga warna.
Merah, hitam, dan putih berkiblat angker.
"Sahabat.... Kau membuatku terpaksa melakukan
sesuatu.... Maaf, bukan aku mencari urusan, na-
mun...." Kala Marica tidak bisa lanjutkan ucapannya karena saat itu kiblatan
Kembang Darah Setan telah makin dekat.
Kala Marica berkelebat ke belakang. Tongkat di tan-
gan kanannya disentakkan ke depan. Sementara tan-
gan kirinya bergerak mendorong.
Satu nyala laksana bara mencuat dari kelebatan
tongkat Kala Marica menembus kiblatan sinar tiga
warna. Sinar tiga warna pecah bertabur di udara. Sementara bara yang melesat
dari tongkat langsung
buyar berentakan perdengarkan ledakan keras!
Kala Marica langsung mental satu tombak. Tongkat
di tangannya mencelat ke udara. Kala Marica coba kuasai diri di atas udara
dengan cepat kerahkan tenaga dalamnya. Namun baru saja si kakek kerahkan tenaga
dalam, dari arah depan kembali telah berkiblat sinar tiga warna, malah kini
disertai gelombang dahsyat.
Kala Marica terkesiap. Dia teruskan pengerahan te-
naga dalamnya. Bukan untuk kuasai diri lagi, namun
disalurkan pada kedua tangannya. Hingga kakek ini
tidak bisa kuasai diri lagi. Sosoknya terbanting di udara lalu meluncur deras ke
bawah. Dalam keadaan se-
perti itu, hebatnya Kala Marica masih sempat hantamkan kedua tangannya!
Wuuttt! Wuuuutt!
Bukkk! Terdengar deruan luar biasa. Disusul suara berge-
debukan menghantam sosok Kala Marica di atas ta-
nah. Sinar tiga warna terus berkiblat. Saat lain terdengar gelegar hebat tatkala
kiblatan Kembang Darah Setan
itu menghantam dua gelombang dahsyat dari kedua
tangan Kala Marica.
Tanah bertabur mengangkasa menutupi pemandan-
gan hingga suasana yang agak gelap berubah menjadi
pekat! Bibir jurang di sebelah kanan kiri tampak am-brol. Sosok Kala Marica
tersapu mencelat dua tombak lalu kembali jatuh tunggang langgang di atas tanah
dengan mulut kucurkan darah kehitaman.
Di depan sana, Jubah Tanpa Jasad hanya terjajar
beberapa langkah. Saat lain ia telah menerobos kepe-katan tanah dan tahu-tahu
telah tegak terapung di depan sosok Kala Marica!
"Kala Marica! Aku telah katakan. Bumi ini sekarang
berada di genggaman tanganku. Puluhan tahun silam
kau boleh bangga dengan ilmumu! Tapi saat ini di hadapanku kau tidak memiliki
apa-apa!" Kala Marica berusaha bangkit duduk. "Sahabat....
Sejak dahulu aku tidak pernah merasa punya ilmu...,"
ucap Kala Marica dengan suara tersendat dan berge-
tar. "Hem.... Kau berani berkata begitu karena kau telah melihat apa yang
kulakukan padamu! Ha.... Ha....
Ha...! Tapi jangan mimpi ucapanmu akan membuatku
menarik niat!"
Kala Marica geleng kepala. "Sahabat.... Kau salah!
Tidak ada niat di hatiku agar kau menarik niatmu! Aku tahu.... Aku memang tak
mampu menghadapimu dengan Kembang Darah Setan di tanganmu! Tapi perlu
kau tahu, Sahabat. Benda curian itu hanya buatan
manusia.... Sementara manusia itu diciptakan Yang
Maha Pencipta.... Jadi jangan kau terlalu mengandalkan ciptaan manusia selagi
manusia itu sendiri ada
yang menciptakan...!"
"Khotbah mu sungguh menarik! Kau juga pandai
menduga tentang benda yang ada di tanganku! Tapi
sayang takdirmu sudah tiba hingga kau tidak bisa
membuktikan kebalikan dari khotbah mu!"
Habis berkata begitu, tangan kiri Kiai Laras berke-
lebat lepaskan pukulan tangan kosong jarak jauh ber-tenaga dalam tinggi.
Mendadak Kiai Laras terkejut. Dia semula menduga
jika Kala Marica sudah tidak mungkin mampu meng-
hadang pukulannya. Tapi dugaannya meleset. Karena
bersamaan dengan bergeraknya tangan kiri Kiai Laras, Kala Marica jatuhkan diri
bergulingan di atas tanah.
Pada gulingan ketiga sekonyong-konyong kedua tangan Kala Marica menyentak. Bukan
hanya itu, kedua kakinya pun ikut bergerak membuat gerakan menen-
dang! Empat gelombang ganas sekaligus melesat mengha-
dang pukulan Kiai Laras. Terdengar lagi letusan. Namun karena empat gelombang
itu lebih kuat, begitu
terdengar letusan, gelombang itu terus menerabas ke arah Kiai Laras.
Kiai Laras tercekat. Terlambat baginya untuk kele-
batkan Kembang Darah Setan di tangan kanannya.
Hingga tanpa ampun lagi gelombang ganas menghan-
tam ke tubuhnya!
Namun setengah jengkal lagi gelombang ganas itu
menggebrak, tiba-tiba Jubah Tanpa Jasad laksana di-
lapis tembok besar, hingga bukan saja gelombang ga-
nas itu seketika seperti membentur tembok raksasa,
namun mental balik ke arah Kala Marica!
Kali ini Kala Marica yang tercengang tegang. Belum
sempat lenyap rasa kesimanya gelombang yang mental
telah melabrak!
Kala Marica perdengarkan seruan tertahan. Sosok-
nya terseret di atas tanah sejauh tiga tombak. Dari hidung dan mulutnya alirkan
darah. Saat lain sosok
orang tua ini diam tak bergerak-gerak.
Kiai Laras tersenyum. Karena tadi terkejut, dia lupa
jika Jubah Tanpa Jasad mampu menghadang setiap
serangan! Dan begitu mendapati Kala Marica diam tak bergerak-gerak, Kiai Laras
cepat berkelebat dan tegak di samping sosok Kala Marica.
"Sahabat.... Kau puas"!" Tiba-tiba Kala Marica per-
dengarkan suara.
Kiai Laras tersentak. "Jahanam ini belum mampus!"
gumam sang Kiai. Lalu mendongak. "Aku ingin tahu
apakah tanah benar-benar tak mau menerima tubuh-
mu! Lebih dari itu aku ingin kau mampus tanpa ku-
bur!" Habis berkata begitu, enak saja tangan kiri Kiai Laras mencekal pundak Kala
Marica lalu menyeretnya ke arah jurang. Karena sudah tidak berdaya, Kala Marica
tidak berusaha memberontak. Malah sunggingkan senyum!
Kiai Laras letakkan sosok Kala Marica di bibir ju-
rang. Saat itu suasana sudah gelap karena matahari
sudah jatuh. Sang Kiai pandangi sesaat sosok si ka-
kek. Lalu berkata.
"Selamat jalan, Kala Marica!"
Bersamaan dengan terdengarnya ucapan, kaki ka-
nan Kiai Laras bergerak lakukan tendangan. Sosok Ka-la Marica terdorong amblas
masuk ke dalam jurang!
Kiai Laras melangkah dua tindak. Meski suasana
gelap dan tidak bisa melihat bagian bawah jurang,
namun Kiai Laras longokkan juga kepalanya ke jurang di bawahnya.
Saat itulah mendadak terdengar suara dari bagian
bawah jurang. Kiai Laras tahu benar, jika suara itu adalah suara Kala Marica.
"Siapa pun adanya kau.... Kelak kau akan men-
gambil buah dari perbuatanmu! Kau boleh punya sen-
jata Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad!
Tapi Sang Pencipta akan menciptakan pamungkasnya!
Dan pamungkas itu akan hadir dari darahmu sendiri!"
Untuk beberapa lama Kiai Laras tercekat. Namun
saat lain dia tertawa panjang. "Jahanam yang hendak mampus kadangkala ucapannya
seperti orang gila!
Bumi telah ada di tanganku! Tidak ada manusia yang
bisa menandingi ku!"
Sambil terus tertawa ngakak, Kiai Laras melangkah
perlahan tinggalkan bibir jurang yang seketika disentak keheningan!
SELESAI Segera terbit: TITISAN PAMUNGKAS
Scan by Clickers
Juru Edit: Lovely Peace
PDF: Abu Keisel
Document Outline
Hak cipta dan copy right pada penerbit di
bawah lindungan undang-undang ***
DUA *** TIGA *** EMPAT *** LIMA *** ENAM *** TUJUH *** DELAPAN *** SEMBILAN *** SEPULUH *** SEBELAS *** DUA BELAS SELESAI Pengelana Rimba Persilatan 2 Serba Hijau Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping Perkampungan Misterius 2
^