Pencarian

Titisan Pamungkas 1

Joko Sableng 26 Titisan Pamungkas Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang Joko Sableng telah
Terdaftar pada Dept. Kehakiman R. I.
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan
Merek di bawah nomor 012875
SATU JUBAH hitam tanpa kelihatan sosok si pemakainya
itu perdengarkan deruan angker saat berkelebat melewati sebuah kawasan yang
menuju bukit. Jubah hitam
yang tidak lain adalah Jubah Tanpa Jasad yang dike-
nakan oleh Kiai Laras baru berhenti di bagian lamping bukit sebelah timur, di
mana terdapat sebuah mulut
goa yang di kanan kirinya diranggasi semak belukar
dan rindangnya dedaunan hingga kalau orang tidak
perhatikan dengan seksama, maka dia tak akan bisa
melihat jika di antara kerapatan semak dan rindang-
nya dedaunan terdapat sebuah mulut goa.
Mulut goa itu sebagian tampak ambrol longsor. Se-
mentara agak jauh dari mulut goa, terlihat beberapa tumbangan batangan pohon.
Jelas menunjukkan kalau di tempat itu pernah terjadi bentrok antara orang-orang
yang berilmu tinggi.
"Hem.... Tempat ini akan kubuat sebagai tempat
yang disegani layaknya Kampung Setan pada beberapa
puluh tahun yang silam! Bahkan akan kujadikan tem-
pat yang namanya saja sudah membikin orang ketaku-
tan!" Kiai Laras arahkan pandang matanya pada seki-
tar mulut goa. Lalu mulai langkahkan kaki.
Kepala Kiai Laras berpaling sesaat ketika sosoknya
yang tidak bisa dipandang dengan mata biasa tegak di mulut goa. Bibirnya
sunggingkan seringai. Lalu teruskan langkah masuk ke dalam goa. Dia menuju po-
jok ruangan goa di mana terlihat bekas perapian yang telah padam.
Kaki kanan Kiai Laras bergerak masuk ke dalam pe-
rapian. Saat lain terdengar suara berderit. Bagian pojok goa tiba-tiba bergerak.
Dan tampaklah sebuah lobang menyerupai pintu. Di belakang lobang terlihat
tangga naik dari batu cadas.
Kiai Laras membuat gerakan satu kali. Serta-merta
jubah hitam yang dikenakan melesat dan tahu-tahu telah tegak di bagian atas
tangga batu di mana berjarak lima langkah di hadapannya terdapat sebuah lobang
menganga besar membentuk lingkaran. Bersamaan
melesat masuknya Jubah Tanpa Jasad, lobang di ba-
gian pojok ruangan goa berderit menutup.
Kiai Laras melangkah ke pinggiran lobang mengan-
ga di hadapannya. Memandang ke bawah terlihat dua
sosok tubuh duduk bersila bersandar pada lamping lobang.
Di sebelah kanan tampak seorang perempuan lanjut
usia mengenakan kain panjang berwarna coklat. Ram-
butnya putih dengan kulit di sekujur tubuh mengeri-
put. Di pangkuan nenek ini terlihat sebuah tusuk
konde besar berwarna hitam.
Berjarak tujuh langkah dari tempat si nenek, duduk
bersandar seorang perempuan setengah baya yang pa-
ras wajahnya masih kelihatan cantik.
Kedua orang perempuan di bawah lobang menganga
yang bukan lain adalah si nenek Ni Luh Padmi dan
Lasmini sama rangkapkan kedua tangan masing-
masing di depan dada. Mata mereka sama terpejam
rapat. Mereka hanya sesekali menghela napas.
Seperti diceritakan, Ni Luh Padmi yang tengah men-
cari jejak Pendeta Sinting berjumpa dengan Kiai Laras yang saat itu masih
mengenakan samaran sebagai
Pendekar 131 Joko Sableng. Kiai Laras mengelabui Ni Luh Padmi hingga si nenek
akhirnya muncul di Bukit
Kalingga, tempat yang dikatakan Kiai Laras sebagai tempat persembunyiannya
Pendeta Sinting. Kiai Laras yang masih menyamar sebagai murid Pendeta Sinting
menyambut kedatangan Ni Luh Padmi. Akhirnya terja-
di bentrok. Dengan Kembang Darah Setan di tangan-
nya, Kiai Laras dapat membekuk Ni Luh Padmi dan
dimasukkan ke dalam lobang di balik ruangan goa.
Selang beberapa saat kemudian muncul pula Las-
mini yang bukan lain adalah ibu dari Saraswati, istri pertama Panjer Wengi yang
lebih dikenal dengan Teng-korak Berdarah. Seperti halnya Ni Luh Padmi, Lasmini
juga dapat ditipu hingga akhirnya muncul di Bukit Kalingga. Kiai Laras pada
akhirnya dapat menaklukkan
Lasmini dan diseretnya masuk ke dalam lobang di ba-
lik ruangan goa.
Baik Ni Luh Padmi dan Lasmini tidak tahu sudah
berapa lama mereka berdua berada di dalam lobang
itu. Selain tidak bisa melihat peredaran matahari, yang terpikir oleh mereka
berdua adalah bagaimana caranya bisa keluar selamatkan diri. Lobang di mana
mereka berdua berada memang tidak terlalu dalam. Sean-
dainya mereka kerahkan tenaga dalam dan berkelebat
meloncat, tentu mereka tidak merasa kesulitan. Na-
mun mereka tidak berani melakukannya. Karena ter-
nyata lobang di mana mereka berada telah ditaburi racun. Sekali mereka kerahkan
tenaga dalam, racun itu akan masuk ke dalam jalan darah. Hingga meski mereka
nantinya bisa selamat keluar, namun nyawanya
tidak bisa ditolong lagi!
"Bagus! Rupanya kalian bukan manusia-manusia
tolol yang mau selamatkan diri dengan taruhan nyawa!
Ha.... Ha.... Ha...!" Kiai Laras perdengarkan suara dari atas lobang.
Ni Luh Padmi dan Lasmini sama buka kelopak mata
masing-masing lalu tengadah. Serentak kedua perem-
puan ini sama pentangkan mata dengan tubuh geme-
tar. Saat lain keduanya saling berpandangan. Lalu
mendongak lagi dengan mulut masih sama terkancing.
"Siapa manusia yang baru saja perdengarkan suara
tadi"!" Diam-diam Ni Luh Padmi membatin dengan
memperhatikan lebih seksama pada jubah hitam yang
mengapung di atas sana. Di sebelahnya, diam-diam
Lasmini juga bertanya-tanya dalam hati.
"Siapa kau"!" Ni Luh Padmi yang bisa kuasai diri
terlebih dahulu angkat bicara.
"Aku adalah penguasa kolong jagat!" Kiai Laras
menjawab masih dengan perdengarkan gelakan tawa
membahana. "Hem.... Suaranya jelas dari jubah hitam itu! Na-
mun orangnya tidak bisa kulihat! Atau hanya mataku
saja yang tidak bisa melihatnya"!" Lasmini bergumam sendiri lalu berpaling pada
Ni Luh Padmi dan berbisik.
"Nek.... Aku melihat keanehan! Apa kau juga mera-
sakannya"!"
Tanpa berpaling pada Lasmini, Ni Luh Padmi ang-
gukkan kepala sembari menjawab.
"Aku tak bisa melihat orang yang bersuara! Tapi
aku masih bisa yakin kalau suara orang itu pernah
kudengar"!"
"Maksudmu yang bersuara itu adalah pemuda ja-
hanam Pendeta Sinting"!"
Rahang Ni Luh Padmi mendadak mengembang.
"Jangan sebut-sebut nama itu di depanku!" desis si
nenek dengan suara dingin. "Apa keanehan yang kau
rasakan seperti apa yang baru kukatakan"!"
"Benar! Aku tidak melihat orang yang bersuara!"
ujar Lasmini. "Kita harus melakukan sesuatu. Persetan siapa dia
adanya! Yang jelas kita harus bisa keluar dari tempat celaka ini! Jika tidak,
kita akan mampus perlahan-lahan!" bisik Ni Luh Padmi masih dengan kepala ten-
gadah. "Tapi apa yang harus kita lakukan"!"
Ni Luh Padmi menoleh pada Lasmini. "Dia kita ajak
bicara! Kalau dia tawarkan sesuatu, untuk sementara
kita penuhi asal kita bisa keluar! Sesudah itu terserah padamu!"
Walau masih belum sepenuhnya bisa menerima
usul Ni Luh Padmi, namun karena tidak ada jalan lain, akhirnya Lasmini anggukkan
kepala. Lalu tengadah
begitu melihat si nenek telah kembali mendongak dan buka mulut.
"Kau mengaku sebagai penguasa kolong jagat. Tapi
apakah kau mampu mengeluarkan kami dari tempat
ini"!"
Mendengar ucapan Ni Luh Padmi, Kiai Laras henti-
kan gelakan tawanya sesaat. Lalu kembali tertawa
ngakak dan berkata.
"Aku yang telah memasukkan kalian berdua! Ada-
lah aneh pertanyaanmu tadi!"
"Jahanam keparat! Jadi orang yang bersuara itu
adalah pemuda bajingan murid Pendeta Sinting! Cela-
ka...! Tak mungkin dia mau mengeluarkan meski den-
gan tawaran apa pun!" Lasmini berkata dalam hati
dengan air muka tegang. Sementara Ni Luh Padmi
sunggingkan senyum walau parasnya membayangkan
keterkejutan. "Murid jahanam itu sungguh di luar dugaanku! Dia
juga memiliki ilmu aneh! Sosoknya bisa tidak kelihatan! Hem.... Bagaimana
sekarang"!" Ni Luh Padmi yang masih mengira jika sosok tidak kelihatan di balik
Jubah Tanpa Jasad adalah Pendekar 131 berpikir keras.
"Sepertinya kita tak mungkin bisa keluar dari sini!"
ujar Lasmini pelan tanpa berpaling. "Bagaimana kalau kita keluar dengan cara
kita sendiri"! Kalaupun harus menemui ajal, kurasa tak ada bedanya! Di sini
terus-terusan pun kita akan mampus!"
Ni Luh Padmi tertawa pendek. "Kau menginginkan
cepat mampus"!"
Kalau di sini akhirnya juga mampus, bukankah le-
bih baik kita berusaha meski taruhannya harus lebih cepat tewas"! Atau kau ingin
mati perlahan-lahan dan percuma"!" Lasmini sambuti ucapan Ni Luh Padmi.
"Kita tak akan mampus percuma! Kau lihat, ke-
munculannya pasti membawa maksud! Kalau tidak,
untuk apa dia datang"!" ujar Ni Luh Padmi. Lalu tanpa menunggu sahutan dari
Lasmini, si nenek berucap
lantang. "Hai! Apa maumu sekarang"!"
"Kalian berdua manusia tidak berguna bagiku! Ti-
dak ada yang ku mau dari kalian! Kalaupun sampai
saat ini nyawa kalian belum Kukirim ke neraka, sema-ta-mata karena aku menunggu
saat yang tepat!"
Walau dalam hati memaki habis-habisan, Ni Luh
Padmi masih juga coba angkat suara. "Boleh aku tahu.
Saat apa yang kau tunggu"!"
"Begitu Pendeta Sinting kudapatkan, itulah saatnya
nyawa kalian berakhir! Tapi jika sebelum itu kalian telah mampus dahulu, itu
adalah takdir buruk bagi ka-
lian!" Lasmini dan Ni Luh Padmi sama kerutkan dahi.
Mampir bersamaan mereka berpaling den saling pan-
dang. "Jahanam betul! Jadi siapa sebenarnya makhluk
itu"!" gumam Lasmini tak habis pikir. "Apakah mung-
kin dia akan menghabisi gurunya sendiri"!" Lasmini
seperti halnya Ni Luh Padmi, masih menduga jika so-
sok di balik jubah hitam yang tidak kelihatan adalah murid Pendeta Sinting.
"Jangan percaya pada ucapannya! Mungkin ini
hanya sandiwaranya saja! Dia punya maksud tertentu
di balik ucapannya!"
"Lalu apa maksudnya"!" tanya Lasmini.
"Aku sendiri belum bisa menduga!"
"Ah.... Mengapa sih bodoh" Dia murid jahanam
Pendeta Sinting itu, mana mungkin dia akan berbuat
yang tidak-tidak pada gurunya" Itu memberi isyarat
kalau hal itu tidak akan terjadi selamanya! Dan itu berarti kita akan menunggu
saat yang tidak mungkin terjadi! Kita akan terus berada di sini dan mampus
secara pelan-pelan!"
"Lasmini hentikan ucapannya sesaat lalu mendon-
gak dan teruskan ucapannya. "Kita jangan buang-
buang waktu!"
Habis berucap begitu, Lasmini buka rangkapan ke-
dua tangannya. Lalu perlahan-lahan beranjak bangkit.
"Kau jangan bertindak bodoh!" kata Ni Luh Padmi
begitu tahu Lasmini hendak kerahkan tenaga dalam.
"Lebih bodoh lagi kalau kita hanya diam menunggu
kematian!"
Si nenek terdiam. Paras mukanya membayangkan
kebimbangan. Di satu sisi dia sedikit banyak membe-narkan ucapan Lasmini, namun
di pihak lain dia be-
lum berani kerahkan tenaga dalam karena khawatir
racun di tempat mana dia berada akan memasuki ali-
ran darahnya. Sementara itu melihat gerakan Lasmini, Kiai Laras
tampak sunggingkan senyum. Lalu berkata. "Rupanya
kau sudah tidak sabar menunggu saat yang kukata-
kan! Terserah padamu. Bagiku, mampus sekarang
atau nanti kau tidak ada gunanya!"
Habis berkata begitu, Kiai Laras perdengarkan tawa
panjang. Kejap lain dia putar diri dan berkelebat me-nuruni anak tangga. Tangan
kanannya menekan tonjo-
lan batu di Samping dinding. Terdengar suara berderit.
Lalu di hadapan Kiai Laras tampak gerakan pada din-
gin yang bergeser membuka Kiai Laras melompat dan
tegak di depan kayu perapian. Kembali kaki kanannya dimasukkan ke dalam perapian
yang telah padam itu.
Saat bersamaan, dinding di belakangnya yang terbuka
bergerak menutup.
Di dalam lobang di balik ruangan goa, Ni Luh Padmi
cepat melompat pada Lasmini dengan tangan mendo-
rong. Lasmini tersentak. Sosoknya terjajar dan mem-
bentur dinding lobang.
"Jangan tolol!" bentak Ni Luh Padmi mendahului
Lasmini yang sudah buka mulut. "Percuma kau laku-
kan itu! Kita cari cara lain!"
Lasmini yang sesaat tadi hendak kerahkan tenaga
dalam, memandang tajam pada si nenek. Entah karena
apa dia urungkan niat untuk angkat bicara, malah dia batalkan juga kerahkan
tenaga dalam. Perempuan ibu
Saraswati ini melangkah mendekati Ni Luh Padmi. La-
lu berujar. "Apa cara yang akan kau lakukan"!"
Ni Luh Padmi arahkan pandang matanya mengitari
dinding lobang berkeliling. Lalu berkata. "Dinding ini tidak terlalu tinggi!


Joko Sableng 26 Titisan Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kita bisa membuat lobang untuk panjatan ke atas!"
"Membuat lobang pada batu atos begini, mana
mungkin bisa kita lakukan tanpa kerahkan tenaga da-
lam"!"
Ni Luh Padmi angkat tangan kanannya yang meng-
genggam tusuk konde besar. "Hanya dengan kerahkan
tenaga luar, kurasa tusuk konde ini bisa berbuat banyak!"
"Hem.... Mengapa hal itu tidak terpikir sejak semu-
la"!" Lasmini menggumam dengan air muka berubah
cerah. Dia yakin, tusuk konde besar berwarna hitam di tangan si nenek bukan
tusuk konde sembarangan.
Dan pasti dengan mudah bisa menjebol batu besar se-
kalipun! "Aku sudah berpikir sejak lama! Hanya aku perlu
menunggu sampai luka dalamku benar-benar sembuh!
Walau membuat lobang pemanjatan tidak terlalu sulit,
namun karena harus dilakukan tanpa pengerahan te-
naga dalam, itu membutuhkan kesiapan tubuh! Lagi
pula...." "Lagi pula apa"!" tanya Lasmini saat si nenek tidak lanjutkan ucapannya.
"Aku ragu...." Ni Luh Padmi menjawab seraya mem-
buat gerakan melompat dan tegak dua langkah di de-
pan dinding lobang.
"Apakah dia ragu senjata tusuk konde itu tidak
mampu membuat lobang untuk panjatan"!" kata Las-
mini dalam hati lalu berkelebat dan tegak di samping Ni Luh Padmi.
Ni Luh Padmi angkat tangan kanannya yang meng-
genggam tusuk konde besar. Saat lain tangan kanan-
nya berkelebat.
*** DUA TAKKK! Tusuk konde besar berwarna hitam membentur
dinding lobang. Ni Luh Padmi berseru tertahan dengan mata membeliak. Sosoknya
tersurut satu langkah.
Tangan kanannya mental balik ke belakang. Dan ham-
pir saja tusuk konde lepas dari genggamannya.
Untuk beberapa saat mata si nenek silih berganti
pandangi dinding lobang dan tusuk kondenya. Di sebelahnya Lasmini tampak
terkesiap lalu menghela napas dalam.
"Keraguanku jadi kenyataan!" ujar Ni Luh Padmi
perlahan dengan mulut bergetar. "Dinding batu ini bukan batu sembarangan! Tusuk
kondeku tak mampu
membongkarnya! Seandainya saja aku bisa kerahkan
tenaga dalam.... Tentu tidak sulit!"
"Coba di sebelahnya, Nek! Siapa tahu...," saran
Lasmini. Ni Luh Padmi gelengkan kepala. "Dinding lobang ini
tingginya tidak seberapa. Siapa saja yang bisa kerahkan tenaga dalam pasti tidak
menemui kesukaran un-
tuk meloncat ke atas. Tapi karena mengerahkan tena-
ga dalam berarti mampus, maka jalan satu-satunya
adalah dengan membuat lobang panjatan! Namun ten-
tu si pembuat tempat ini tidak bodoh. Dia sudah
memperhitungkan segala kemungkinan. Kalau di sebe-
lah sini tidak bisa ditembus, di tempat lainnya akan sama!"
"Tapi bukankah lebih baik dicoba"!" kata Lasmini.
Walau masih meragukan ucapan Lasmini, namun
Ni Luh Padmi gerakkan kaki empat tindak ke samping.
Saat bersamaan tangan kanannya yang menggeng-
gam tusuk konde dihantamkan pada dingin lobang di
hadapannya. Takkk! Terdengar suara benturan. Tusuk konde laksana
membentur tembok raksasa. Bukan saja tidak mampu
membuat lobang, tapi tangan kanan si nenek mencelat balik ke belakang. Malah
karena si nenek menghantam dengan seluruh tenaga luarnya, sosoknya jadi terputar
dan terhuyung-huyung!
"Tak ada jalan lain...," ujar Lasmini pada akhirnya setelah mengetahui tusuk
konde milik Ni Luh Padmi
tidak mampu membuat lobang untuk panjatan. "Kita
harus segera kerahkan tenaga dalam! Daripada mam-
pus sia-sia di tempat celaka ini!"
"Kalau kau ingin lakukan itu terserah! Tapi aku ti-
dak akan bertindak bodoh.... Kita masih punya waktu untuk berpikir! Dan siapa
tahu ada orang yang menolong!"
"Jangan harapkan sesuatu yang mustahil terjadi,
Nek!" "Justru karena aku masih punya harapan, aku ti-
dak akan berlaku tolol untuk cari mampus lebih ce-
pat!" "Lalu apakah kita hanya harus menunggu dan me-
nunggu orang"! Sampai kapan"!"
"Seandainya aku tahu kapan datangnya orang yang
menolong, aku tidak akan mati-matian mencari jalan
keluar dari tempat jahanam ini!"
Lasmini tegak dengan kaki terkembang dan wajah
tegang. Sesekali dia arahkan pandang matanya ke
atas. Lalu menelusuri dinding lobang dari atas ke bawah seolah mengukur jarak.
Saat lain sepasang ma-
tanya dipejamkan. Sikapnya jelas kalau perempuan ini hendak kerahkan tenaga
dalam. Mendapati sikap Lasmini, Ni Luh Padmi tersenyum
dingin. Tanpa berkata apa-apa lagi si nenek melangkah ke samping kanan. Kejap
lain dia telah duduk bersila dengan punggung disandarkan pada dingin lobang.
"Keparat jahanam!" Tiba-tiba terdengar makian dari
mulut Lasmini. Sosoknya bergetar hebat. Sepasang
matanya dipentangkan. Kaki kanannya diangkat lalu
dibantingkan. Ni Luh Padmi perhatikan Lasmini dengan terse-
nyum. "Jika saja aku tidak punya dendam, aku sudah
lakukan apa yang hendak kau lakukan sebelum kau
masuk ke tempat ini! Dendamku yang membuat aku
bertahan! Dan aku percaya, pasti akan muncul orang
yang akan mengeluarkan aku!"
"Saraswati anakku.... Bagaimana kau"! Mudah-
mudahan kau tidak mengalami nasib seperti ibumu!
Terpuruk dan terpuruk tanpa pernah mengalami ke-
bahagiaan.... Seandainya aku tidak memilikimu dan
ingin hidupku berakhir di sampingmu, aku tak akan
pikirkan lagi nyawa ini...." Tanpa sadar Lasmini ber-
gumam. Di pentangan matanya tergambar sosok Sa-
raswati. Hal inilah yang membuat Lasmini urungkan
niat untuk kerahkan tenaga dalam.
Lasmini melangkah ke arah dinding lobang. Seperti
halnya Ni Luh Padmi, perempuan yang parasnya masih
cantik walau sudah berusia agak lanjut ini sandarkan punggung pada dinding
lobang seraya duduk bersila.
Tak lama kemudian dia tengadah dengan mata terpe-
jam. Namun di antara lipatan kelopak matanya tampak merembes air mata!
"Tidak ada yang perlu ditangisi.... Nasib kita belum berakhir!" ujar Ni Luh
Padmi pelan. Lasmini berpaling pada si nenek. Namun dia hanya
memandang tanpa buka suara. Dan saat lain dia telah pejamkan matanya kembali. Ni
Luh Padmi tersenyum
sinis lalu tengadah dengan dahi berkerut seolah berpikir keras.
*** Di luar goa, saat sosoknya yang tidak kelihatan in-
jakkan kaki di depan mulut goa, Kiai Laras urungkan niat teruskan kelebatannya.
Pendengarannya yang
meningkat tajam karena mengenakan Jubah Tanpa
Jasad dan membekal Kembang Darah Setan, menang-
kap akan kehadiran orang di sekitar tempat itu. Sepasang mata Kiai Laras yang
kini juga tambah peka langsung memandang pada satu tempat.
Sementara di balik semak di antara jajaran pohon,
satu sosok tubuh tampak mengendap dan langsung ra-
takan tubuhnya di atas tanah begitu matanya me-
nangkap jubah hitam tanpa sosok melesat keluar dari mulut goa.
"Hampir saja.... Ternyata dia memang berada di si-
ni!" membatin sosok yang berada di balik semak di antara kerapatan pohon. "Aku
harus menunggu sampai
dia pergi! Saat ini bukan waktunya aku datang!"
Orang di balik semak makin rapatkan tubuh. Tidak
berani membuat suara atau gerakan. Paras wajahnya
tegang dan perlahan-lahan dia kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Di depan sana Kiai Laras sunggingkan senyum se-
ringai. Perlahan dia melangkah. Matanya tak berkesip memandang pada semak di
mana dia bisa menangkap
kehadiran orang.
"Celaka! Apa dia tahu kedatanganku"!" Sosok di ba-
lik semak makin tegang. Dadanya berdegup kencang.
Matanya memandang tajam pada Jubah Tanpa Jasad
yang terus bergerak ke arahnya. Orang ini serba salah dan bingung. Karena dia
hanya bisa melihat gerakan
jubah tanpa bisa melihat ke mana pandangan mata
orang! Namun setidaknya ia mulai bisa meraba ke ma-
na gerakan Jubah Tanpa Jasad.
Selagi orang di balik semak berusaha tenangkan di-
ri, tiba-tiba Kiai Laras hentikan langkah. Kepalanya tengadah lalu terdengar
suaranya. "Hari ini kurasa aku tidak mengundang seorang
tamu! Harap suka tunjukkan diri!"
Orang di balik semak rasakan darahnya langsung
sirap. Sosoknya bergetar. Ucapan orang jelas menun-
jukkan kalau kehadirannya telah diketahui. Tapi orang ini belum juga membuat
gerakan atau perdengarkan
suara. Malah arahkan pandang matanya berkeliling
seakan coba tenangkan diri dan berharap ucapan
orang tadi ditujukan pada orang lain yang juga berada di sekitar tempat itu.
Karena dia tidak bisa melihat gerakan pada sosok di balik Jubah Tanpa Jasad.
"Kau tak mau tunjuk tampang! Apa kau perlu dis-
eret keluar, hah"!" Kiai Laras membentak begitu ucapannya tidak diacuhkan orang.
Bersamaan dengan selesainya ucapan, tangan ka-
nan Kiai Laras sudah berkelebat lepaskan pukulan jarak jauh.
Wuuttt! Satu gelombang angin menderu kencang ke arah
semak belukar di antara jajaran pohon.
Terdengar gumaman tak jelas. Saat yang sama dari
semak belukar melesat pula dua gelombang deras
menghadang pukulan Kiai Laras. Terdengar letupan.
Semak belukar yang ada di sekitar bentroknya puku-
lan langsung semburat membubung ke angkasa.
Dari semak belukar di mana baru saja melesat dua
gelombang angin yang menghadang pukulan Kiai La-
ras, satu sosok tubuh mencuat ke udara. Lalu me-
layang turun berjarak dua belas langkah di hadapan
Jubah Tanpa Jasad.
Kepala Kiai Laras ikuti gerakan sosok yang mencuat
ke udara hingga sosok itu tegak di atas tanah. Untuk beberapa saat sang Kiai
pandangi sosok di depan sana dengan sedikit terbelalak. Saat lain mulutnya
terbuka perdengarkan tawa bergelak!
Orang yang dipandang surutkan kaki satu tindak
dengan kuduk dingin dan paras muka tegang kaku.
Diam-diam orang ini membatin. "Apa boleh buat.... Dia telah tahu kehadiranku di
sini! Percuma sembunyikan diri atau lari!" Orang ini usapkan telapak tangannya
pada wajah. Lalu alihkan pandang matanya ke jurusan lain.
Dia adalah seorang gadis muda berparas cantik jeli-
ta mengenakan pakaian warna merah. Sepasang ma-
tanya bulat tajam dengan hidung mancung. Rambut-
nya hitam lebat.
"Kau datang sebelum saat yang kukatakan! Pasti
kedatanganmu membawa kabar baik!" Kiai Laras ber-
kata lalu pandangi sosok di hadapannya mulai dari
rambut sampai kaki.
"Aku.... Aku belum membawa kabar apa-apa...,"
ujar si gadis dengan suara tersendat dan parau. Suaranya jelas membayangkan
ketakutan. "Hem.... Begitu"! Lalu untuk apa kau datang, Anak
Cantik"!"
"Aku.... Aku hanya ingin buktikan apa kau benar-
benar ada di Bukit Kalingga ini...."
"Hem.... Kau sekarang sudah bisa buktikan! Seka-
rang apa maumu"!"
Yang ditanya tergagu diam. Tapi beberapa saat ke-
mudian telah berkata lagi.
"Aku akan lakukan tugas yang kau perintahkan...."
Kiai Laras anggukkan kepala. Saat lain dia mem-
buat satu gerakan. Jubah Tanpa Jasad berkelebat dan tahu-tahu telah tegak
mengapung lima langkah di hadapan gadis berbaju merah.
Si gadis tercekat. Buru-buru dia surutkan langkah
dan kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Walau gadis ini tidak bisa melihat gerakan sosok Kiai Laras namun sang gadis
rupanya dapat menangkap
gelagat tidak baik.
"Sebelum kau lakukan tugas yang kuperintahkan,
jawab dulu pertanyaanku!" kata Kiai Laras, membuat
ketegangan pada air muka si gadis baju merah sedikit reda.
"Apa hubunganmu dengan gadis berbaju merah
yang wajahnya mirip sekali denganmu yang kita jumpa beberapa hari yang lalu"!
Dan siapa di antara kalian berdua yang menyandang gelar Putri Kayangan"!"
"Dia adalah saudara kembarku. Dia bernama Beda
Kumala.... Dialah sebenarnya yang menyandang gelar
Putri Kayangan!"
Jawaban si gadis menunjukkan kalau dia bukan
lain adalah Pitaloka, saudara kembar Beda Kumala
alias Putri Kayangan.
Seperti diketahui, pada beberapa hari yang lalu terjadi pertemuan antara
Pitaloka dan Putri Kayangan
saudara kembarnya. Saat itu ada juga Kiai Laras, Gendeng Panuntun, Dayang Sepuh,
Datuk Wahing, Setan
Liang Makam, Kiai Lidah Wetan, dan murid Pendeta
Sinting. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode : "Kutuk
Sang Angkara").
"Hem.... Sekarang tugasmu hanya satu! Bawa sau-
dara kembarmu ke sini dalam keadaan hidup atau ma-
ti! Waktumu hanya setengah purnama! Dan itu adalah
batas akhir dari ketergantungan nyawamu! Jangan co-
ba-coba berani melarikan diri dari tugasmu, karena hal itu tidak akan banyak
menolong! Kau dengar"!"
Pitaloka menjawab dengan isyarat anggukkan kepa-


Joko Sableng 26 Titisan Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lanya. Kejap lain dia putar diri dan berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Kau telah lakukan tindakan di luar perintah! Kau
telah datang ke tempat ini belum pada saatnya. Jadi apa dengan enak begitu saja
kau tinggalkan tempat
ini"!" Kiai Laras berucap seraya berkelebat dan tegak menghadang di depan
Pitaloka, membuat si gadis ter-cengang dan urungkan berkelebat.
"Harap kau mengerti.... Hal ini kulakukan karena
aku ingin buktikan ucapanmu. Tidak ada niatan
lain...." "Aku tak peduli! Yang jelas kau telah bertindak di
luar yang kukatakan! Kau boleh pergi, tapi...." Kiai Laras tidak lanjutkan
ucapannya dengan perdengarkan
suara melainkan perdengarkan tawa panjang.
Pitaloka tersentak. Ucapan dan suara tawa orang
membuat dadanya berdebar dan kuduknya meremang.
Dia sedikit banyak dapat menangkap ke mana arah
ucapan Kiai Laras, namun gadis ini seolah ingin ya-
kinkan dugaan. Hingga dia berkata.
"Tapi apa..." Apa kau akan memberi tugas lain"!"
"Kau pandai menebak!" jawab Kiai Laras di sela su-
ara tawanya. "Katakan saja tugas apa itu!"
Kali ini Kiai Laras tidak menjawab. Sebaliknya me-
lompat dan tahu-tahu Pitaloka merasakan kedua ba-
hunya dicekal dua tangan kukuh.
Pitaloka melengak kaget dan buru-buru gerakkan
kedua tangannya menepis dua tangan tidak kelihatan
yang mencekal bahunya. Namun Pitaloka hanya me-
nepis udara kosong! Malah kedua tangan tidak kelihatan kini beralih memegang
pinggangnya. Saat lain satu tangan terangkat dari pinggang dan Pitaloka
merasakan dadanya disentuh!
Pitaloka berseru tegang. Parasnya berubah merah
padam. Kedua tangannya segera berkelebat kian ke-
mari karena dia tidak bisa melihat gerakan tangan
orang. Namun lagi-lagi gerakan kedua tangan Pitaloka hanya menerpa tempat kosong
meski bersamaan dengan itu tangan yang tadi berada di pinggang dan da-
danya terangkat!
Kiai Laras makin keraskan tawanya. Lalu kedua
tangannya digerakkan.
Bukkk! Bukkk! Kedua tangan Pitaloka membentur dua tangan yang
tidak kelihatan. Pitaloka berteriak tertahan. Sosoknya tersurut dua langkah.
Kedua tangannya mental ke belakang dan parasnya berubah pucat.
"Anak cantik!" kata Kiai Laras. "Kalau kau mau la-
kukan perintahku yang satu ini, kau tak usah mela-
kukan apa yang kuperintahkan tadi! Kau cukup diam
di sini bersamaku!"
Tindakan Kiai Laras dan ucapannya telah cukup
membuat Pitaloka maklum apa kemauan orang. Hing-
ga dadanya tambah berdebar dan wajahnya makin te-
gang. "Lebih baik kau memerintahku untuk membunuh
siapa saja termasuk saudara kembarku sendiri, dari-
pada...." "Jangan lupa ucapanku tempo hari!" ujar Kiai Laras
menukas ucapan Pitaloka. "Kau dan teman-temanmu
harus lakukan perintahku tanpa bertanya dan berda-
lih!" "Tapi...."
"Jangan berdalih!" bentak Kiai Laras lagi-lagi memotong ucapan Pitaloka. "Aku
tanya. Kau ingin kuperlakukan dengan halus atau kasar"! Dan ingat satu hal.
Apa pun yang akan kau lakukan, itu tidak akan mem-
buatmu bisa lolos dari tanganku! Maka jangan bertindak bodoh!
"Apa yang harus kulakukan sekarang" Menuruti pe-
rintahnya"!" Pitaloka membatin dengan menggigit bi-
birnya. Pakaian yang dikenakan telah basah oleh ke-
ringat hingga dengan jelas Kiai Laras dapat melihat le-kuk tubuhnya, membuat
sepasang mata sang Kiai ter-
pentang besar dan jakunnya turun naik.
Seolah tak sabar menunggu jawaban Pitaloka, Kiai
Laras melompat ke depan. Pitaloka tak tinggal diam.
Kedua tangannya yang telah dialiri tenaga dalam sege-ra dikelebatkan ke depan
menggebuk ke arah sosok tidak kelihatan di bagian tengah jubah.
Kiai Laras tidak coba menghadang pukulan Pitaloka
dengan gerakkan kedua tangannya. Sebaliknya dia bu-
sungkan dada sembari tertawa dan kedua tangannya
diletakkan di atas pinggang kiri kanan!
Bukkk! Bukkk! Kedua tangan Pitaloka menggebuk. Namun gadis ini
merasakan kedua tangannya membentur tembok be-
sar. Hingga kedua tangannya bukan saja mental balik, tapi dari mulutnya
terdengar jeritan!
Kaki Pitaloka terseret dan terhuyung. Kiai Laras ti-
dak menunggu. Dia segera berkelebat ke depan. Tan-
gan kanannya didorong.
Pitaloka bisa menangkap gerakan orang dari berge-
raknya Jubah Tanpa Jasad. Maka gadis ini cepat pula kelebatkan kedua tangannya
kembali berusaha menghadang gerakan tangan orang meski tidak tahu ke ma-
na gerakan itu akan mengarah.
Namun bersamaan dengan bergeraknya kedua tan-
gan Pitaloka, gadis ini rasakan pundaknya dihantam.
Namun Pitaloka teruskan juga kelebatan kedua tan-
gannya. Bukkk! Bukkk! Lagi-lagi Pitaloka laksana menghantam tembok be-
sar. Karena saat itu pundaknya telah terhantam dan
sosoknya terhuyung karena kedua tangannya laksana
menghantam tembok, maka tak ampun lagi sosok Pita-
loka terputar sebelum akhirnya jatuh terduduk!
Belum sampai Pitaloka membuat gerakan, Jubah
Tanpa Jasad telah terapung satu langkah di samping-
nya. Pitaloka tidak mau menyerah begitu saja. Laksana orang kalap sambil
perdengarkan bentakan, kedua
tangannya dihantam ke sana kemari.
Kiai Laras sambuti bentakan-bentakan Pitaloka
dengan tertawa bergelak. Kedua tangannya bergerak.
Karena dia tahu arah hantaman-hantaman Pitaloka
sementara Pitaloka sendiri tidak tahu gerakan tangan orang, maka dengan mudah
Kiai Laras dapat melihat
mana ruang yang kosong!
Brettt! Brettt!
Terdengar kain robek dua kali. Pitaloka terus han-
tamkan kedua tangannya tidak pedulikan pakaian ba-
gian pundak dan dadanya yang telah robek menganga
hingga sebagian payudaranya yang putih kencang ter-
lihat jelas. Kiai Laras makin jerengkan mata melihat bagian
dada si gadis yang telah terbuka. Hal ini membuat da-da sang Kiai makin dilanda
gemuruh. Aliran darahnya laksana dipanggang.
Di lain pihak, Pitaloka makin kalap. Kini bukan saja kedua tangannya yang
bergerak. Kedua kakinya ikut
pula membuat gerakan menendang kian kemari!
Kiai Laras mundur satu langkah. Saat lain kedua
tangannya berkelebat. Pitaloka menjerit. Karena satu kakinya tertangkap tangan.
Belum sempat Pitaloka
tendangkan kaki satunya, tangan sebelah Kiai Laras
telah bergerak.
Brettt! Kain bawah Pitaloka robek. Dada Kiai Laras berdesir kala matanya dapat menangkap
paha mulus dan pa-dat. Hal ini membikin Kiai Laras lupa diri. Kain bagian bawah
yang telah robek disambar lalu ditarik kencang!
Brettttt! Pitaloka berontak sekuat tenaga. Namun terlambat.
Kain bagian bawahnya telah tanggal sebagian, hingga sebagian tubuhnya bagian
bawah tidak tertutup sama
sekali! "Jahanam! Lebih baik kau bunuh aku!" teriak Pita-
loka seraya terus hantamkan kedua tangannya dan
tendangkan sebelah kakinya.
"Membunuhmu tidak sulit! Tapi sudah lama aku ti-
dak merasakan hangatnya tubuh. Apalagi hangatnya
gadis cantik sepertimu! Ha.... Ha.... Ha...!"
Pitaloka makin nekat, meski berkali-kali hantaman
kedua tangannya laksana membentur tembok dia te-
ruskan saja hantamannya. Malah kini dia lipat gandakan tenaga dalam.
Namun Kiai Laras tidak mau menunggu lama. Begi-
tu kedua tangan Pitaloka menghantam, dia lepaskan
kaki si gadis. Saat lain kedua tangannya dihantamkan menghadang kedua tangan
Pitaloka. Bukkk! Bukkk! Pitaloka tersentak. Sosoknya terbanting di atas ta-
nah. Karena saat itu dia dalam posisi duduk, tak ampun kedua kakinya terangkat
ke udara. Mata Kiai La-
ras makin membeliak. Dia cepat maju. Kedua tangan-
nya dikelebatkan sarangkan satu totokan pada kedua
kaki Pitaloka yang masih terangkat di udara.
Pitaloka menjerit tinggi. Kakinya langsung kaku dan terhempas di atas tanah
dengan kejang tak bisa digerakkan! Pitaloka cepat tarik kedua tangannya dan dis-
entakkan ke arah Jubah Tanpa Jasad.
Namun Kiai Laras sudah tidak sabar. Dia cepat ber-
kelebat dengan rundukkan kepala. Saat lain kedua
tangannya kembali lancarkan totokan mendahului
sentakan kedua tangan Pitaloka.
Kembali dari mulut Pitaloka terdengar seruan terta-
han. Kedua tangannya langsung terhempas kaku di
atas tanah! Kiai Laras tertawa ngakak diseling hembusan na-
pasnya yang bergemuruh. Masih dengan bergelak, Kiai Laras mengangkat tubuh
Pitaloka ke atas pundaknya
lalu melangkah ke arah mulut goa.
Karena tidak bisa lagi gerakkan anggota tubuh, Pi-
taloka hanya bisa berteriak memaki-maki. Sebentar
Kiai Laras teruskan langkah dan tangannya sesekali
mengusap bagian tubuh Pitaloka yang berada di pun-
daknya. Saat kaki kanan Kiai Laras melewati mulut goa dan
sosoknya tepat tegak di sana, mendadak terdengar suara laksana terdengar dari
tempat yang sangat dalam.
"Siapa pun kau adanya, kelak kau akan mengambil
buah dari perbuatanmu! Kau boleh punya Kembang
Darah Setan dan Jubah Tanpa Jasad! Tapi Sang Pen-
cipta akan menciptakan pamungkasnya! Dan pamung-
kas itu akan hadir dari darah dagingmu sendiri!"
Sekonyong-konyong Kiai Laras hentikan gerakan
kakinya. Dia cepat putar tubuh. Matanya liar meman-
dang ke seantero tempat di hadapan mulut goa. Sesaat dia tercekat.
"Suara Kala Marica.... Jahanam betul! Apa dia be-
lum mampus juga"! Tapi mustahil dia bisa hidup!
Mungkin suara tadi hanya godaan pendengaranku sa-
ja.... Lagi pula siapa takut"!" Kiai Laras sunggingkan senyum dingin. Lalu
berkata lantang.
"Kala Marica! Kalau kau masih hidup, kutunggu
kau di dalam goa! Kau nanti juga boleh menikmati tubuh sedap ini! Ha.... Ha....
Ha...!" Kiai Laras balikkan tubuh lagi lalu teruskan langkah memasuki goa.
Di lain pihak, Pitaloka sempat hentikan teriakannya kala telinganya juga
mendengar suara orang yang datangnya laksana dari tempat yang jauh dan dalam
meski suara itu masih jelas terdengar. Namun karena dia tengah memikirkan diri
sendiri, gadis itu tak hi-raukan suara tadi. Dia kembali berteriak memaki-maki
saat Kiai Laras teruskan langkah memasuki goa.
*** TIGA SAAT itu matahari mulai naik dari celah gunung di
bagian timur. Pada satu jalan yang menuju Dusun
Lambang Kuning, di atas sebuah batu agak besar, seorang pemuda duduk uncang-
uncang kaki dengan mata
memandang jauh ke arah keramaian di depan sana.
Beberapa penduduk dusun tampak menuju ke sebuah
tempat terbuka. Hari ini adalah tepat hari di mana pa-ra pedagang luar kota akan
menggelar dagangannya
yang diadakan setiap setengah purnama sekali.
Sepasang mata si pemuda tampak memperhatikan
dengan seksama dan seolah-olah sedang mencari-cari.
Tapi matanya tidak tertarik pada beberapa sosok laki-laki. Melainkan selalu liar
mengawasi setiap perem-
puan. Anehnya, bukan paras wajah si perempuan yang
selalu diperhatikan, melainkan perutnya!
"Hem.... Tidak satu pun perempuan yang hamil!"
desis si pemuda lalu angkat tangan kirinya. Jari kelingking dimasukkan ke lobang
telinganya dan digerak-gerakkan ke atas ke bawah. Saat bersamaan dia ber-
jingkat-jingkat dengan wajah cengengesan!
"Tapi.... Apa gunanya aku memperhatikan perem-
puan hamil di sini"! Bukankah di tempat ini tidak ada perempuan yang kukenal"
Padahal menurut petunjuk
kakek bisu dan tuli itu, aku kenal dengan perempuan itu! Hm.... Siapa gerangan
yang ditakdirkan hamil dari beberapa perempuan yang kukenal itu"!" Si pemuda
terus mendesis seraya berjingkat-jingkat keenakan. La-lu kepalanya tengadah
dengan kening mengernyit.
"Ada beberapa perempuan yang kukenal.... Ratu
Malam.... Ah, yang ini tertutup kemungkinannya un-
tuk masuk dalam hitungan perempuan yang masih bi-
sa hamil! Usianya sudah terlalu tua untuk berbuat yang begitu-begitu! Lagi pula
selama ini kudengar dia tidak punya suami.... Bagaimana kalau nenek dari
seberang yang bernama Ni Luh Padmi"! Ah.... Yang ini
juga tak mungkin! Nenek ini lebih mementingkan balas dendam pada Eyang Guru
daripada mencari gara-gara
hamil!" Si pemuda bergumam lalu tertawa sendiri.
"Hem.... Yang masuk hitungan tentu yang masih
muda-muda! Seperti Dewi Seribu Bunga, Saraswati,
Puspa Ratri, Putri Kayangan, dan saudara kembarnya.
Tapi yang mana di antara mereka itu"! Walau aku be-
lum tahu persis, namun aku yakin mereka belum ada
yang punya suami! Jadi bagaimana mungkin salah sa-
tu dari mereka bisa hamil"! Atau jangan-jangan aku
salah menafsirkan petunjuk kakek bisu dan tuli itu!
Sayang, kakek itu tidak bisa bicara.... Seandainya tidak bisu, tentu aku akan
lebih jelas menangkap mak-
sudnya...." Si pemuda parasnya berubah agak murung.
Namun cuma sekejap. Saat lain dia kembali cengenge-
san. Jari kelingking di lobang telinganya makin digerakkan agak keras hingga
jingkatan sosoknya makin


Joko Sableng 26 Titisan Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keras. "Waktunya tinggal dua purnama.... Tentu saat ini
perut perempuan itu sudah kelihatan nongolnya! Su-
sahnya.... Siapa perempuan itu"!"
Selagi si pemuda tengah bergumul dengan pikiran-
nya sendiri, mendadak satu sosok tubuh melintas di jalan tidak seberapa jauh
dari tempat si pemuda. Si pemuda berpaling. Mendadak sepasang matanya
membesar tatkala melihat sosok yang tengah melintas adalah seorang perempuan dan
perutnya membusung
besar tanda jika si perempuan sedang mengandung.
Tanpa melihat wajah orang, si pemuda langsung tu-
run dari batu lalu berlari seraya berteriak. "Hai....
Tunggul" Perempuan yang diteriaki seolah acuh dan teruskan
langkah. Kembali si pemuda berteriak seraya terus
berlari mendekat.
"Tunggu! Ada sesuatu yang harus kusampaikan pa-
damu!" Karena orang yang diteriaki terus melangkah malah
makin percepat langkahnya, si pemuda berkelebat dan tahu-tahu telah tegak
menghadang di depan si perempuan dengan mata bukannya melihat wajah orang me-
lainkan pada busungan perutnya!
Si perempuan hamil hentikan langkah. Matanya
menatap tajam pada pemuda di hadapannya dari
ujung rambut sampai kaki. Namun begitu melihat arah pandangan si pemuda, si
perempuan segera takupkan
kedua tangannya pada perutnya yang membusung. Pa-
ras wajahnya berubah ketakutan. Perlahan-lahan ke-
dua kakinya bergerak mundur. Saat lain dia balikkan tubuh.
"Hai.... Tunggu!" Kembali si pemuda berteriak kala
melihat si perempuan hamil gerakkan kaki untuk me-
langkah hendak tinggalkan tempat itu. Dan bersamaan itu si pemuda berkelebat dan
kembali tegak menghadang di hadapan si perempuan!
"Orang gila tak dikenal! Apa maksudmu sebenar-
nya"!" Si perempuan perdengarkan bentakan keras.
Si pemuda tersentak. "Busyet! Bentakannya jelas
bukan bentakan orang sembarangan! Apakah bayi
orang ini yang kucari"!" Si pemuda membatin. Untuk pertama kalinya dia angkat
kepala melihat wajah
orang. Untuk kedua kalinya si pemuda terlengak. Matanya
langsung mendelik dan mulutnya berdecak. "Bagaima-
na mungkin"! Apa mataku tidak tertipu..."!" Si pemuda angkat kedua tangannya
lalu digosok-gosokkan pada
kedua matanya. Kemudian kepalanya digerakkan ke
depan seakan ingin yakinkan penglihatannya.
Perempuan yang perutnya membusung besar ter-
nyata adalah seorang perempuan berambut panjang
digeraikan menutupi sebagian pundaknya. Dan ternya-
ta rambut si perempuan telah berwarna putih! Satu
petunjuk jika si perempuan telah berusia lanjut. Dan petunjuk itu ternyata
benar. Karena paras wajah si perempuan telah mengeriput. Sepasang matanya agak
melotot besar. Hidungnya besar. Pada telinga sebelah kanan menggantung anting-
anting besar. Dia mengenakan pakaian gombrong hampir menyapu tanah.
Melihat gerakan kepala si pemuda, si perempuan
berperut besar tarik sedikit tubuhnya ke belakang
dengan kedua tangan ditakupkan di depan perutnya.
Parasnya berubah cepat. Saat lain tangan kanannya
menunjuk pada si pemuda seraya berkata.
"Kau pasti orang gila seperti mereka! Yang selalu
dan selalu mengikuti ke mana aku pergi! Mereka selalu mengolok-olokku! Padahal
aku tahu.... Mereka sebenarnya menginginkan bayi di perutku ini! Oh.... Betapa
malang nasibku.... Berpuluh-puluh tahun aku menginginkan seorang anak. Tapi
begitu hampir kesam-
paian sungguh tak kusangka kalau cobaannya begini
berati Mereka mempermalukan aku! Mengatakan aku
sudah tua tapi masih suka main begitu.... Padahal mereka inginkan anakku ini.
Huk.... Huk.... Huk...!" Si perempuan berperut besar sesenggukan dengan terus
mendekap perutnya.
"Boleh aku tahu siapa kau"!" tanya si pemuda den-
gan tersenyum. Sekonyong-konyong si perempuan hentikan seseng-
gukannya. Matanya mendelik angker. "Kau juga sama
dengan mereka! Pura-pura bertanya padahal sudah
tahu!" "Hem.... Siapa yang kau maksud mereka"!" Si pe-
muda kembali ajukan tanya.
"Dasar orang gila! Kau orang gila! Pergi! Pergi!" bentak si perempuan setengah
menjerit. Si pemuda surutkan langkah dua tindak seraya sa-
lurkan tenaga dalam untuk menutup pendengarannya.
Karena suara jeritan si perempuan menyentak-nyentak gendang telinganya.
"Aku bukan dari mereka! Aku datang dari jauh....
Aku hanya kebetulan lewat si sini. Harap tidak berburuk sangka padaku...!" kata
si pemuda coba tenangkan si perempuan.
"Kau bohong! Bagaimana aku tidak menaruh curiga
kalau dari saat bertemu tadi kau selalu memperhati-
kan perutku! Apa ada yang aneh, hah"! Apa karena
usiaku telah lanjut, kemudian aku hamil, ini kau anggap aneh"!"
Si pemuda gelengkan kepala sembari terus terse-
nyum. "Bagiku itu tidak aneh.... Yang aneh justru kalau yang mengandung itu
seorang anak kecil dan be-
lum bersuami!"
"Tapi mengapa dari tadi kau memperhatikan pe-
rutku"! Kau kira ini mainan atau kau duga aku main
bohong-bohongan dengan perut besar ini"! Kau ingin
bukti kalau ini hamil sungguhan"!"
Tanpa menunggu sahutan si pemuda, si perempuan
angkat bagian bawah pakaiannya yang gombrong.
"Tahan! Tahan!" seru si pemuda tatkala si perem-
puan tarik pakaiannya ke atas hingga pahanya mulai
kelihatan. "Aku tidak mengira itu mainan, apalagi
main bohong-bohongan!"
"Kalau begitu mengapa kau selalu memperhatikan
perutku"!"
Si pemuda terdiam sesaat. Lalu berucap. "Aku ten-
gah mencari saudaraku.... Dia pergi entah ke mana...."
"Itu tak ada hubungannya dengan perutku"!" Si pe-
rempuan membentak keras.
"Jangan meradang. Ucapanku belum selesai. Sau-
daraku itu tengah hamil sepertimu!"
"Benar"! Saudaramu laki-laki atau perempuan"!"
tanya si perempuan membuat dahi si pemuda menger-
nyit. Lalu tawanya meledak. Bukan karena pertanyaan si perempuan melainkan
karena sejak tadi si pemuda
telah menahan tawanya. Hanya karena takut menying-
gung, tawanya ditahan-tahan. Hingga begitu ada ke-
sempatan untuk tertawa, maka si pemuda langsung
tertawa bergelak.
"Mengapa kau tertawa"! Kau menertawai perutku"!"
"Kau ini aneh.... Mana ada laki-laki mengandung"!"
ujar si pemuda.
Mendengar ucapan si pemuda tiba-tiba si perem-
puan ganti perdengarkan ledakan tawa ngakak hingga
perut dan bahunya berguncang-guncang.
"Mengapa kau tertawa"! Kau menertawai ucapan-
ku"!" Kali ini ganti si pemuda yang ajukan tanya dengan dada dibuncah keheranan.
"Kau rupanya belum juga bisa mengambil pelajaran.
Saat seperti sekarang ini siapa pun bisa berperut besar sepertiku! Tidak peduli
laki-laki atau perempuan!
Kalau laki-laki pasti ada maksud di baliknya hingga berperut besar! Jadi jangan
terkecoh dengan pandangan mata!"
"Busyet! Apa ucapannya memberi isyarat kalau
orang ini adalah seorang laki-laki yang tengah menyamar sebagai nenek yang
tengah hamil dengan maksud
tertentu"!" Si pemuda membatin. Lalu perhatikan wa-
jah orang di hadapannya dengan seksama.
"Sialan! Mengapa kau memandangku begitu rupa"!
Kau kira aku ini manusia laki-laki"! Akan kutunjuk-
kan padamu kalau aku seorang perempuan tulen!"
Habis berkata begitu, kembali kedua tangan si pe-
rempuan angkat bagian bawah pakaiannya.
"Tunggu! Tunggu!" Buru-buru si pemuda menahan
seraya pejamkan sepasang matanya. "Aku percaya kau
adalah seorang perempuan.... Tanpa harus kau tun-
jukkan padaku!"
Si perempuan berperut besar luruhkan pakaiannya
yang tertarik ke atas seraya tertawa cekikikan. Lalu berkata. "Kau belum jawab
pertanyaanku, Anak Muda!
Saudaramu itu laki-laki atau perempuan"!"
"Perempuan...," jawab si pemuda sambil perlahan-
lahan buka kelopak matanya khawatir kalau si nenek
belum turunkan pakaiannya.
"Kau yakin saudaramu yang kau cari itu bukan pe-
rempuan hamil yang saat ini tengah berdiri di hada-
panmu"!"
Walau dalam hati merasa benar-benar yakin, na-
mun tak urung si pemuda perhatikan sekali lagi paras muka perempuan di
hadapannya sebelum akhirnya
menjawab. "Aku yakin bukan kau orangnya...."
"Benar"!"
"Jangkrik! Apa maksud ucapan perempuan ini"!"
tanya si pemuda dalam hati lalu berkata. "Aku sumpah bukan kau orangnya!"
"Bagus! Kalau begitu silakan teruskan perjalanan
mencari saudaramu itu! Jangan seperti mereka! Selalu berpura-pura tapi secara
sembunyi-sembunyi terus
mengikuti ke mana aku pergi!"
"Dari tadi kau selalu menyebut mereka! Siapa yang
kau maksud"!"
"Aku tak bisa memberi penjelasan! Karena penjela-
san apa pun tak akan membuatmu mengerti!"
Habis berkata begitu, si perempuan tua berperut
besar putar diri dan melangkah perlahan-lahan tinggalkan tempat itu.
"Orang ini aneh.... Apa bayi dalam perutnya yang
dimaksud Raja Tua Segala Dewa"! Kalau bayinya kelak dapat untuk menghadapi Jubah
Tanpa Jasad dan
Kembang Darah Setan, biasanya bayi itu akan lahir
dari orang aneh.... Mungkin saja...." Si pemuda segera melangkah mengikuti si
perempuan. "Hem.... Mengapa kau ikuti langkahku"!" Tiba-tiba
si perempuan tua berperut besar perdengarkan tanya
tanpa berpaling.
"Kita sudah saling bicara. Rasanya ada yang kurang
kalau kita tidak saling kenal.... Aku...."
Belum sampai si pemuda lanjutkan ucapan, si pe-
rempuan telah menukas. "Terlambat kau hendak per-
kenalkan diri! Seharusnya hal itu kau lakukan saat ki-
ta pertama kali bicara. Bukan sekarang!"
"Ah.... Seharusnya memang demikian! Tapi apa be-
danya"!"
"Bedanya kau tak akan memperoleh jawaban! Lain
seandainya kau minta berkenalan saat pertama kali
bicara tadi!"
"Ah.... Begitu mahalkah sebuah nama buatmu"!"
tanya si pemuda acuh tak acuh seraya melangkah
menjajari si perempuan tanpa memandang.
"Nama adalah harga sebuah kehidupan! Sekali na-
ma tercoreng, perlu berpuluh tahun untuk memutih-
kannya! Kau saat ini tentu sudah dengar meski sean-
dainya kau bukan dari kalangan orang persilatan...."
Si pemuda berpaling dari cepat menyahut. "Dengar
apa, Nek...?"
"Kau tentunya pernah dengan seorang pendekar
muda yang namanya mulai dikena! dan harum dalam
kancah persilatan bergelar Pendekar Pedang Tumpul
131 Joko Sableng. Ternyata sekarang tersiar kabar jika pendekar muda itu
melakukan tindakan tidak terpuji
pada beberapa orang gadis! Malah dikabarkan salah
seorang di antara gadis itu telah hamil!"
Si pemuda serentak hentikan gerakan kakinya. Ma-
tanya mendelik memperhatikan nenek berperut besar
di sampingnya. Wajahnya berubah merah padam. Na-
mun sebelum si pemuda buka mulut, si nenek berpe-
rut besar yang seolah tidak merasa dirinya dipandangi telah lanjutkan ucapannya.
"Bagi pemuda itu sulit rasanya mengembalikan na-
ma baik, kalau dia tidak bisa buktikan bahwa bukan
dia yang melakukannya! Bahkan bukan nama pemuda
itu saja yang jadi hitam, melainkan juga nama gurunya si tokoh yang dikenal
dengan gelar Pendeta Sinting da-ri Jurang Tlatah Perak.... Kau pernah dengar
semua ini"!"
Karena tak ada sahutan, si perempuan berperut be-
sar gerakkan kepala berpaling. Ternyata si pemuda berada delapan langkah di
belakangnya! "Ada apa"! Wajahmu berubah.... Kau kecewa kare-
na tak bisa berkenalan denganku?" tanya si perem-
puan. Karena yang ditanya masih kancingkan mulut, si
perempuan berperut besar kembali perdengarkan sua-
ra. "Hem.... Jangan-jangan saudara perempuanmu
yang tengah kau cari itu salah satu gadis yang sempat diperlakukan tidak senonoh
oleh pendekar muda itu!
Betul"!"
"Orang ini tahu banyak.... Aku curiga padanya!
Hem.... Siapa dia sebenarnya"!" Si pemuda bertanya-
tanya dalam hati lalu melangkah mendekati si perem-
puan yang tegak seolah menunggu di depan sana.
"Nek! Kau ini siapa sebenarnya"!" tanya si pemuda
begitu berada di samping si perempuan berperut besar.
"Sialan! Kau masih juga berpura-pura seperti mere-
ka! Bersikap seolah tidak kenal!" Si perempuan membentak. Lalu berpaling dan
serta-merta membuat satu gerakan.
Si pemuda mendelik tak percaya. Si perempuan
berperut besar melesat cepat ke depan malah sempat
membuat gerakan jungkir balik di udara! Lalu melangkah perlahan-lahan. Namun
dalam beberapa saat so-
soknya sudah berada jauh!
"Busyet! Dia yang berpura-pura! Bukan aku!" gu-
mam si pemuda. Lalu berteriak. "Nek! Tunggu!" seraya berteriak si pemuda


Joko Sableng 26 Titisan Pamungkas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkelebat menyusul.
*** EMPAT NENEK berperut besar tidak acuhkan teriakan
orang. Malah dia kembali melesat ke depan dengan beberapa kali membuat gerakan
jungkir balik dan berputar-putar di atas udara. Pakaian gombrang yang dikenakan
tampak berkibar-kibar. Hebatnya kibaran pa-
kaian si nenek mampu mencuatkan gelombang dan
perdengarkan deruan-deruan dahsyat! Hingga pemuda
yang menyusul di belakangnya harus kerahkan tenaga
dalam untuk membendung gelombang yang menderu-
deru dari arah depan. Hal ini bukan saja membuat si pemuda tertinggal agak jauh,
namun harus mencari
ruang untuk menghindar selamatkan diri.
Pada satu tempat si pemuda hentikan larinya. Me-
mandang ke depan dan ke samping, dia tidak melihat
siapa-siapa. Dia tajamkan pendengaran. Namun telin-
ganya tidak mendengar apa-apa. Seolah habis kesaba-
ran, si pemuda berteriak.
"Nenek! Di mana kau"!"
Tak ada suara sahutan. Tidak terlihat adanya gera-
kan. Namun begitu si pemuda hendak berteriak lagi, sa-
tu sosok tubuh melayang seraya jungkir balik bebera-pa kali sebelum akhirnya
tegak berjarak tujuh langkah di hadapannya.
"Mau apa kau sebenarnya"!" Satu bentakan telah
terdengar begitu si sosok injakkan kaki di atas tanah.
"Kek! Kau...!" Si pemuda buka mulut dengan mata
membelalak. Yang tegak di hadapan si pemuda bu-
kannya si nenek berperut besar, melainkan seorang
kakek berambut putih panjang berwajah tirus. Kakek ini tidak memiliki leher
hingga kepalanya seperti nongol di antara kedua pundaknya. Laki-laki berusia
kira- kira tujuh puluh tahunan ini mendongak dengan mu-
lut terbuka lebar seolah ingin menunjukkan rongga
mulutnya. Padahal mulut itu tidak bergigi!
"Dasar murid manusia sinting! Berwajah tampan
dan masih muda tapi yang dikejar-kejar seorang ne-
nek! Apa tak ada lagi gadis cantik yang menarik hati-mu, he"!" Si kakek angkat
suara. Namun begitu uca-
pannya selesai, si kakek tetap buka mulutnya lebar-
lebar dengan sedikit mendongak! Karena dia tidak
memiliki leher, dadanya jadi ikut tertarik sedikit ke belakang saat kepalanya
bergerak tengadah.
"Kakek Iblis Ompong! Senang bisa jumpa denganmu
lagi...," kata si pemuda mengenali siapa adanya orang tua di hadapannya.
"Kau senang, tapi aku yang tak suka! Karena pasti
kau hendak ajukan beberapa pertanyaan padaku!" sa-
hut si kakek tak bergigi yang tidak lain adalah Iblis Ompong.
"Ah.... Cuma beberapa pertanyaan tak ada salah-
nya, bukan"! Lagi pula kita sudah bersahabat! Dan
bahkan kau telah kuanggap sebagai guruku!"
Iblis Ompong mendengus. "Aku tak suka bersaha-
bat dengan manusia yang tindakannya mengotori rim-
ba persilatan!"
"Kek! Kau telah terbawa berita yang tidak benar! Itu semua fitnah!" kata si
pemuda setengah berteriak.
Mendengar ucapan si pemuda, Iblis Ompong terta-
wa panjang. "Jangan kau kira aku bodoh! Bukan saja
gadis-gadis yang kau buat korban. Tapi nenek-nenek
pun hendak kau mangsa! Aku tanya padamu.... Bu-
kankah kau baru saja mengejar-ngejar seorang ne-
nek"! Nenek yang sudah hamil lagi!"
"Aku mengejar seorang nenek hamil memang benar!
Tapi kau salah jika menduga aku hendak memang-
sanya! Aku perlu penjelasan dari nenek itu!"
"Dari nenek hamil macam dia, penjelasan apa yang
kau perlukan"!"
Si pemuda terdiam sesaat. Lalu menjawab. "Akhir-
akhir ini ada seseorang yang menyamar sebagai diriku.
Aku tak tahu pasti siapa dia sebenarnya dan apa maksudnya. Orang itulah yang
sebenarnya melakukan tin-
dakan tidak senonoh pada beberapa kenalanku...."
apa hubungannya dengan nenek hamil itu"!" tanya
Iblis Ompong. "Penjelasanku belum selesai, Kek...," kata si pemu-
da yang bukan lain adalah murid Pendeta Sinting,
Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng.
"Hem.... Coba teruskan keteranganmu!"
"Orang yang menyamar sebagai diriku saat ini telah
mendapatkan sebuah senjata dahsyat bernama Kem-
bang Darah Setan. Bahkan kini telah memiliki Jubah
Tanpa Jasad. Dua buah benda sakti yang berasal dari istana di Kampung Setan! Aku
dan beberapa sahabat
telah merasakan bagaimana dahsyatnya dua benda
sakti tersebut. Menurut Kakek Raja Tua Segala Dewa, hanya seorang bayi yang bisa
menghadang kedahsyatan benda dari Kampung Setan itu. Lalu aku sempat
bertemu dengan seorang kakek yang bisu dan tuli. Da-ri kakek ini aku mendapat
gambaran kapan bayi Ku
akan lahir!"
"Hem.... Lalu kau kira bayi di perut nenek tadi itu yang kelak dapat menghadang
kedahsyatan Kembang
Darah Setan serta Jubah Tanpa Jasad. Begitu"!"
"Nenek itu aneh.... Sudah tua masih juga mengan-
dung. Lalu menurut perkiraanku, masa kelahirannya
sesuai dengan apa yang dikatakan kakek bisu dan tu-
li.... Kalau orang yang mengandung sudah aneh, bi-
asanya bayinya akan lahir aneh juga! Dan tidak tertutup kemungkinan bayi itulah
yang kucari!"
"Hem.... Kapan kira-kira bayi itu akan lahir"!" tanya
Iblis Ompong. "Dalam dua purnama ini!"
Tiba-tiba Iblis Ompong perdengarkan tawa bergelak.
"Mau kau percaya pada ucapanku"!"
Pendekar 131 tidak menjawab. Iblis Ompong henti-
kan gelakan tawanya lalu berkata. "Jangan kau te-
ruskan mengejar nenek itu! Bukan bayi dalam kan-dungannya yang kau cari!"
"Bagaimana kau bisa memastikan begitu"!"
"Karena ia tidak akan pernah melahirkan seorang
bayi!" "Jadi.... Dia hanya berpura-pura mengandung?"
Iblis Ompong tidak menyahut. Sebaliknya gerakkan
kepala berpaling ke samping kanan. Bersamaan den-
gan gerakan kepala Iblis Ompong, dari balik sebatang pohon muncul satu sosok
tubuh. Melangkah berleng-gak-lenggok ke arah Iblis Ompong dengan bibir men-
gumbar senyum lebar.
Dia adalah seorang nenek berambut putih panjang
mengenakan pakaian gombrong. Di atas kepalanya
tampak kerudung berwarna hitam panjang hingga
menjulai pada depan perutnya. Murid Pendeta Sinting yakin kalau si nenek adalah
orang tua yang tadi berperut besar dari dikejarnya. Namun kali ini perut si
nenek tidak lagi membusung besar!
"Siapa dia sebenarnya, Kek"!" Bertanya Pendekar
131 seraya perhatikan pada si nenek.
"Seorang sahabat.... Kau tertarik padanya"!"
"Bukan pada orangnya.... Tapi pada keterangan-
nya!" "Kau tak akan mendapat keterangan yang kau in-
ginkan!" "Tapi sikapnya menunjukkan kalau dia tahu ba-
nyak tentang urusan yang saat ini tengah kuhadapi!"
"Nek! Aku adalah sahabat Kakek Iblis Ompong...,"
kata murid Pendeta Sinting begitu si nenek berkeru-
dung hitam tegak tidak jauh dari Iblis Ompong. "Si-
kapmu yang berpura-pura mengandung menunjukkan
kau tahu persoalan yang kuhadapi! Harap kau sudi
memberi keterangan padaku. Dari perempuan mana
kelak bayi yang kucari itu akan lahir"!"
"Kudengar kau tadi mengatakan pernah bertemu
dengan si tua bangka Dewa Uuk! Apa benar"!"
Joko Sableng kernyitkan kening. Iblis Ompong tam-
paknya bisa meraba. Hingga sebelum Joko sempat bu-
ka mulut, si kakek telah mendahului.
"Kakek bisu dan tuli yang pernah bertemu dengan-
mu adalah Dewa Uuk! Adik kandung Dewi Ayu Lam-
bada di sebelahku ini!"
Pendekar 131 sudah hendak tertawa mendengar ke-
terangan Iblis Ompong. Namun ditahan melihat peloto-tan mata si kakek.
"Benar kau pernah bertemu dengan tua bangka
itu"!" Untuk kedua kalinya si nenek yang diperkenalkan Iblis Ompong dengan Dewi
Ayu Lambada ajukan
tanya. "Benar, Dewi Ayu.... Dan kalau benar ucapan Ka-
kek Iblis Ompong, tentu Dewi Ayu bisa sedikit banyak membantu beberapa isyarat
Dewa Uuk yang belum bi-sa kutangkap maksudnya!"
Dewi Ayu Lambada melirik pada Iblis Ompong. Yang
dilirik angkat bahu lalu berkata. "Kau tadi telah men-cobanya. Sekarang terserah
padamu!" "Perlihatkan isyarat yang diberikan tua bangka itu!"
kata Dewi Ayu Lambada pada akhirnya.
Pendekar 131 jongkok. Telunjuk jarinya ditempel-
kan di atas tanah. Lalu dia mulai menggambar dua kepala yang di atasnya diberi
angka satu dan dua.
"Dua-duanya adalah seorang perempuan. Aku per-
nah bertemu dengan keduanya. Malah menurut Dewa
Uuk mereka berdua tertarik padaku. Yang masih be-
lum bisa kumengerti, Dewa Uuk anggukkan kepala
pada gambar angka satu lalu gelengkan kepala pada
angka dua. Yang aku tak habis pikir pula, mengapa
Dewa Uuk menggambar dua perempuan"!"
"Kau sudah mengingat satu persatu siapa saja ke-
nalanmu selama ini"!" tanya Dewi Ayu Lambada.
Joko anggukkan kepala. "Tapi rasanya tidak ada
yang berhubungan dengan isyarat Dewa Uuk! Bebera-
pa gadis yang kukenal selama ini kuyakin belum ada
yang punya suami. Padahal kelahiran bayi itu tinggal dua purnama lagi! Jadi
tentu saat ini kandungannya
sudah besar!"
"Lupakan soal waktu kelahiran itu! Sekarang kau
perhatikan sekali lagi gambar di tanah!" ujar Dewi Ayu, Lambada.
Murid Pendeta Sinting turuti ucapan si nenek. Se-
mentara Iblis Ompong mendongak seraya buka mulut
lebar-lebar. "Dua kepala...," gumam Dewi Ayu Lambada. "Berarti
ada dua perempuan. Angka di atasnya memberi petun-
juk kalau di antara keduanya ada hubungan darah!"
"Kau punya kenalan gadis yang punya hubungan
darah"! Setidaknya kakak beradik?" tanya Dewi Ayu
Lambada. Pendekar 131 berpikir sejenak. "Aku punya kenalan
dua gadis. Tapi bukan kakek beradik. Melainkan sau-
dara kembar! Namun tak mungkin salah satu dari me-
reka! Beberapa waktu yang lalu, aku bertemu dengan
keduanya. Mereka tidak ada yang mengandung...."
"Kau dapat menangkap kalau keduanya tertarik pa-
damu"!" Dewi Ayu Lambada kembali ajukan tanya
tanpa sambuti ucapan murid Pendeta Sinting.
"Aku tak tahu, Dewi...."
"Kalau kau masih tidak jujur dalam hal ini, jangan
harap kau akan mendapatkan sesuatu! Jawab dengan
terus terang! Kau dapat merasakan mereka tertarik
padamu"!"
"Busyet! Bagaimana aku harus menjawab"!" mem-
batin Joko. Entah karena tidak mau membuat si nenek marah, meski tidak yakin
benar akhirnya murid Pendeta Sinting anggukkan kepala.
"Ah.... Kau pura-pura malu padaku!" Iblis Ompong
nyeletuk. "Siapa kedua gadis itu"!"
"Pitaloka dan Putri Kayangan.... Tapi kurasa isyarat itu tidak ada hubungannya
dengan kedua gadis itu!
Keduanya...."
"Ah.... Pasti kau merasa takut kalau salah satu di
antaranya mengandung!" kembali Iblis Ompong me-
nyahut sebelum Joko lanjutkan ucapannya.
"Bukan begitu, Kek! Apakah mungkin mereka men-
gandung" Sementara belum lama kami bertemu dan
keadaan mereka masih biasa-biasa saja! Padahal isyarat Dewa Uuk mengatakan bayi
itu akan lahir dalam
dua purnama mendatang! Kalau benar perempuan itu
salah satu dari Pitaloka atau Putri Kayangan, pasti saat berjumpa itu perutnya
sudah kelihatan besar!"
Pendekar Elang Salju 10 Amanat Marga Karya Khu Lung Si Racun Dari Barat 10
^