Pencarian

Lembah Patah Hati 2

Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati Bagian 2


lesat laksana kilat tinggalkan tempat itu!
Anehnya, begitu melayang turun berjarak enam
tombak di sebelah depan sana, si orang tua berambut
putih jabrik melangkah perlahan-lahan malah sesekali
berpaling pada Dayang Sepuh dan Pendekar 131 Joko
Sableng! "Setan itu sepertinya sengaja ingin diikuti! Aku jadi penasaran!" desis Dayang
Sepuh. "Ah.... Mungkin Bibi tertarik saja padanya dan in-
gin mengikutinya!" gumam murid Pendeta Sinting.
Namun Joko cepat berkelebat mengejar si orang tua
mendahului Dayang Sepuh.
Dayang Sepuh mencibir lalu seraya mengomel dia
melompat dan ikut mengejar.
*** LIMA TAHU kalau dirinya dikejar orang, si orang tua be-
rambut putih jabrik tiba-tiba hentikan langkah. So-
soknya berputar seolah menyongsong kedatangan
orang. Dan belum sampai Pendekar 131 dan Dayang
Sepuh mendekat, dia telah perdengarkan suara.
"Jangan memaksakan diri untuk membuka urusan
sebelum waktunya! Itu akan membuat rencana kalian
gagal di tengah jalan!"
Murid Pendeta Sinting yang mendekat terlebih da-
hulu belum angkat suara, dari tempat agak jauh
Dayang Sepuh sudah menyambut dengan bentakan
keras. "Kau sudah membuka urusan denganku, Setan Ja-
brik!" Si orang tua berambut putih jabrik gelengkan kepa-
la dengan senyum dingin. Lalu tanpa memandang pa-
da murid Pendeta Sinting atau Dayang Sepuh yang ki-
ni telah tegak tidak jauh dari Joko, dia berucap.
"Bukan aku yang melakukannya, Dayang Sepuh!
Karena aku tahu saatnya belum sampai!"
"Di sini tidak ada setan lain yang gentayangan! Jan-
gan takut mengakui perbuatan!"
"Kalau aku mau, tak mungkin aku bermain-main
dengan gumpalan daun tak berguna itu! Lagi pula
seandainya aku takut, mudah bagiku membuat kalian
berdua kehilangan jejakku!"
"Orang tua! Agar tidak terjadi kesalah-pahaman,
kuharap kau mau menjelaskan apa maksudmu sebe-
narnya"!" kata Joko berusaha menengahi.
"Tidak semua urusan harus dikatakan pada orang
lain, Pendekar 131! Tapi jangan kira aku tidak tahu
apa maksud dan tujuan kalian berada di hutan ini!"
"Apa urusanmu ada kaitannya dengan urusan ka-
mi"!" Joko mengejar.
"Kita lihat saja nanti! Tak ada gunanya sekarang di-
bicarakan kalau urusan itu belum jelas benar!"
"Setan! Kau seolah tahu banyak urusan orang!"
Mendengar ucapan Dayang Sepuh, si orang tua be-
rambut putih jabrik tertawa pendek. "Kau lupa,
Dayang Sepuh! Kalau aku tidak tahu banyak urusan
orang, mana mungkin aku tahu siapa kalian meski ki-
ta belum pernah bertemu sebelumnya!"
"Aku tak percaya sebelum kau bisa katakan apa
urusanku berada di hutan ini!" sahut Dayang Sepuh.
"Kau tengah mencari seorang gadis yang perutnya
besar, bukan"!"
Dayang Sepuh menoleh pada murid Pendeta Sint-
ing. "Kau mengatakan padanya"!"
"Bibi.... Dia sudah tahu sebelum kita bertemu den-
gannya!" "Hem.... Ini rahasia yang hanya diketahui orang ter-
tentu. Kalau orang lain sampai tahu, pasti ada yang
membocorkan rahasia ini! Mungkin setan Wahing atau
setan buta itu yang memberi tahu!" gumam Dayang
Sepuh. Yang dimaksud setan Wahing dan setan buta
oleh si nenek bukan lain adalah Datuk Wahing dan
Gendeng Panuntun. Karena dua orang itu salah satu
dari beberapa orang yang mengerti rahasia itu.
Si orang tua berambut putih jabrik rupanya dapat
mendengar gumaman Dayang Sepuh. Hingga dia sege-
ra buka mulut. "Dayang Sepuh! Aku tahu.... Datuk Wahing dan
Gendeng Panuntun ada di dalam hutan ini! Namun
aku belum bertemu dengan mereka berdua!"
"Hem.... Kalau begitu mungkin setan-setan lain-
nya!" Si orang tua berambut putih jabrik gelengkan kepa-
la. "Aku Juga tahu jika Dewa Uuk, Iblis Ompong, dan
Nenek Dewi Ayu Lambada juga berada di hutan ini!
Tapi jangankan mereka memberi tahu, bertemu pun
aku belum pernah!"
Murid Pendeta Sinting dan Dayang Sepuh tampak
terkesiap mendengar ucapan orang. Namun Dayang
Sepuh segera berkata dengan suara agak keras.
"Jadi kau tahu semuanya dari Nyai Tandak Setan
itu! Apa hubunganmu dengan setan perempuan itu"!
Semula aku sudah menduga kalau setan perempuan
itu terlalu buat masalah! Setan betul!"
Pendekar 131 sudah mau buka mulut, namun si
nenek sudah membentak. "Jangan kau berani membe-
la perempuan setan itu meski aku tahu kau tertarik
dengan cucunya!"
Murid Pendeta Sinting akhirnya kancingkan mulut
dan tertawa panjang. Sementara orang tua berambut
putih jabrik segera angkat suara.
"Kau terlalu mudah mengumbar tuduhan, Dayang
Sepuh! Perempuan dari lereng Gunung Semeru dan
cucunya bergelar Putri Kayangan memang tengah
mencari salah seorang cucunya yang raib entah ke
mana! Namun jangankan punya hubungan, mimpi ber-
temu dengan mereka pun aku belum pernah!"
Dayang Sepuh mencibir lalu berujar keras. "Siapa
percaya ocehan mulut setan sepertimu!"
"Itulah sebabnya tadi kukatakan, sekarang belum
waktunya membuka urusan!"
"Lalu kapan urusan akan dibuka, hah"!" tanya si
nenek. "Purnama tidak akan lama lagi, bukan"!" ujar orang
berambut putih jabrik. Dia tidak lagi menunggu orang
angkat bicara. Saat itu juga dia balikkan tubuh lalu
enak saja melangkah tinggalkan murid Pendeta Sinting
dan Dayang Sepuh.
"Rupanya dia tahu banyak urusan yang tengah kita
hadapi, Bibi! Sebaiknya memang kita tunggu sampai
waktunya datang! Namun secara diam-diam kita ikuti
terus ke mana dia pergi! Aku menduga dia tahu di ma-
na Pitaloka berada!" bisik Joko seraya terus memper-
hatikan gerakan langkah-langkah orang tua berambut
putih jabrik. "Siapa sebenarnya setan jabrik itu"! Dia tahu ba-
nyak urusan orang bahkan mengenali orang yang da-
lam mimpi pun belum sempat muncul!" gumam
Dayang Sepuh. "Percuma kita urus hal itu, Bibi! Kau dengar uca-
pannya tadi. Kelak kita akan tahu siapa dia sebenar-
nya!" kata Joko lalu mulai melangkah mengikuti jejak
si orang tua berambut putih jabrik.
Dayang Sepuh anggukkan kepala lalu ikut melang-
kah. Baik murid Pendeta Sinting maupun Dayang Se-
puh tidak tahu kini tengah menuju ke mana dan arah
mana yang diambil. Namun begitu Joko melihat sinar
matahari, dia tahu bahwa mereka kini tengah menuju
ke arah barat. Begitu matahari mulai pancarkan sinar kekuningan
pertanda tak lama lagi akan segera turun di bentangan kaki langit sebelah barat,
orang tua berambut putih
jabrik hentikan langkah. Di belakang sana Pendekar
131 dan Dayang Sepuh ikut pula berhenti. Mereka
mengikuti tidak secara diam-diam atau sembunyi-
sembunyi. Tapi herannya, si orang tua yang diikuti
seolah tidak peduli. Dia terus saja melangkah bahkan
tidak pernah berpaling ke belakang! Padahal Joko ya-
kin si orang tua tahu kalau dirinya diikuti orang.
Begitu hentikan langkah, si orang tua berambut pu-
tih jabrik untuk pertama kalinya gerakkan kepala ber-
paling ke belakang pada murid Pendeta Sinting dan
Dayang Sepuh. Namun cuma sekejap dan tanpa buka
mulut. Saat lain dia telah putar kembali kepalanya
menghadap ke depan.
Berjarak lima tombak di seberang depan, terlihat
hamparan lembah agak luas ditumbuhi aneka macam
bunga. Matahari senja membuat lembah makin terlihat
indah. Untuk beberapa lama si orang tua berambut putih
jabrik arahkan pandang matanya pada hamparan lem-
bah. Namun orang ini tidak menikmati indahnya pe-
mandangan. Karena sepasang matanya hanya tertuju
pada satu tempat.
Mendadak kepala si orang tua berambut putih ja-
brik bergerak mengangguk. Bibirnya sunggingkan se-
nyum. Lalu terdengar gumamannya pelan.
"Gugusan batu itu telah lenyap hancur.... Berarti
buruan telah masuk perangkap! Ternyata waktunya
lebih cepat dari perhitungan! Sayang sekali.... Ter-
paksa aku harus menunggu beberapa saat lagi di sini!
Tapi kedua orang itu tidak boleh tahu ada apa di da-
lam lembah ini! Aku akan memancingnya keluar dari
kawasan lembah!"
Si orang tua berambut putih jabrik sipitkan sepa-
sang matanya. "Berubahnya perhitungan membuat
aku harus merubah rencana pula! Tapi lebih cepat ku-
rasa akan makin baik!"
Setelah bergumam begitu, si orang tua berambut
putih jabrik balikkan tubuh menghadap Pendekar 131
dan Dayang Sepuh yang terus perhatikan orang dari
belakang. Begitu orang yang diawasi putar diri, murid Pendeta Sinting dan si
nenek sama arahkan pandang
mata masing-masing ke orang tua berambut putih ja-
brik. Namun sebaliknya begitu balikkan tubuh, si ka-
kek berambut putih jabrik bukannya memandang ke
arah Joko dan Dayang Sepuh, melainkan edarkan
pandangannya berkeliling. Lalu bergumam lagi.
"Kuharap anak itu datang tepat pada waktunya!
Bukan karena aku tak mampu menghadapi kedua
orang di depan itu, namun dengan kedatangannya
mungkin semuanya akan berjalan makin cepat! Tapi
seharusnya dia sudah ada di tempat ini! Karena bebe-
rapa saat yang lalu dia telah berada membayangi ke-
dua orang itu! Tapi mengapa dia belum tunjukkan di-
ri"! Aku pun tak menangkap kehadirannya di sekitar
tempat ini! Ke mana dia"!"
Selagi si kakek berambut putih jabrik bergumam
begitu, tiba-tiba Dayang Sepuh yang terlihat tidak sabaran segera buka suara.
"Setan berambut jabrik! Kurasa waktunya sudah ti-
ba! Kalaupun belum, aku sudah tak mau menunggu
lagi!" "Sebenarnya waktu tibanya masih kurang dua belas
hari lagi, Dayang Sepuh! Karena malam purnama ma-
sih kurang dua belas hari! Namun tampaknya keadaan
berubah.... Dan waktu itu kurasa hampir tiba!" ujar
kakek berambut putih masih tanpa memandang pada
Dayang Sepuh atau murid Pendeta Sinting melainkan
terus edarkan pandang matanya berkeliling.
"Bibi.... Matanya memberi tanda kalau dia tengah
mencari seseorang! Setidaknya ada seseorang yang di-
tunggu!" Mendengar bisikan Joko, tanpa pikir panjang lagi si
nenek segera perdengarkan tawa panjang lalu berucap
keras. "Setan jabrik! Kau menunggu seseorang"!"
Untuk pertama kalinya si kakek tampak sedikit ter-
kejut. Namun dia segera tersenyum. Tapi sejauh ini dia masih kancingkan mulut
tidak menyahut.
"Hem.... Aku masih belum bisa menebak apa ke-
mauan kakek ini! Mengapa dia menempatkan harinya
dengan bulan purnama, saat mana diduga bayi itu
akan lahir"!" Diam-diam murid Pendeta Sinting mem-
batin. Sementara di sebelahnya, mendapati kakek be-
rambut putih jabrik tidak menyambuti ucapannya,
Dayang Sepuh kembali angkat suara.
"Dengar, Setan Jabrik! Aku sekarang tak peduli kau
bilang saat itu hampir tiba atau sudah tiba karena perubahan keadaan! Yang jelas
kau sudah berani kurang
ajar padaku! Lebih-lebih kau bertindak pengecut
membokongku dari belakang!"
Si kakek berambut putih jabrik belum juga menya-
hut. Namun kali ini matanya menatap tajam pada
Dayang Sepuh. Saat lain mendadak tangan kanannya
bergerak berkelebat.
Wuuttt! Terdengar satu deruan keras. Saat yang sama satu
gelombang dahsyat melabrak ganas ke arah Dayang
Sepuh. Dayang Sepuh hentakkan kaki. Sambil membentak
dia berkelebat ke depan menyongsong datangnya pu-
kulan. Berjarak dua tombak lagi sosoknya melabrak
gelombang ganas, si nenek angkat tangan kanan. Lalu
disentakkan. Wuuutt! Byuurr! Gelombang ganas dari tangan kanan kakek beram-
but putih jabrik ambyar berkeping-keping. Di lain pi-
hak sosok Dayang Sepuh terus berkelebat ke depan.


Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tahu-tahu sosoknya sudah tegak di tempat mana tadi
si kakek berambut putih berdiri.
Namun Dayang Sepuh segera mendengus. "Setan!
Dia lenyap!"
Dayang Sepuh pentangkan mata. Sosok kakek be-
rambut putih jabrik memang sudah tidak kelihatan la-
gi di sekitar tempat tegaknya si nenek. Joko sendiri
tampak celingukan. Dia tadi memang tidak perhatikan
gerakan si kakek. Matanya hanya tertuju pada sosok si nenek yang menyongsong
pukulan orang. Hingga dia
sendiri tak tahu ke mana berkelebatnya si kakek be-
rambut putih jabrik!
Selagi kedua orang ini tengah mencari-cari, tiba-tiba terdengar suara batuk-
batuk tiga kali. Dayang Sepuh
cepat berpaling ke kanan, sementara murid Pendeta
Sinting menoleh ke samping kiri.
Di depan sana, si kakek berambut putih terlihat te-
gak membelakangi dengan kepala tengadah. Kejap lain
terdengar suara tawanya.
Tanpa pikir panjang lagi Dayang Sepuh berkelebat.
Bukan hanya itu saja. Dari jarak empat tombak kedua
tangannya segera dikelebatkan melepas satu pukulan!
Wuutt! Wuutt! Angin menggidikkan berkiblat. Semak belukar yang
terlewati terlihat bergerak-gerak. Saat lain tanahnya rengkah. Ranggasan semak
muncrat ke udara! Hebatnya ranggasan semak belukar langsung melesat pula
mengikuti kiblatan angin ke arah kakek berambut pu-
tih jabrik! Di depan sana, kakek berambut putih jabrik pu-
tuskan tawanya. Saat bersamaan dia membuat satu
kali gerakan. Sosoknya membal ke udara. Membuat
gerakan jungkir balik satu kali. Begitu sosoknya me-
layang turun dan membalik menghadap Dayang Se-
puh, saat itu juga kedua tangannya bergerak.
Dari kedua tangan si kakek melesat gelombang ka-
but tipis berwarna putih.
Blammm! Terdengar gelegar keras tatkala angin menggidikkan
dihadang kabut tipis. Saat yang sama, ranggasan se-
mak yang ikut melesat porak-poranda ambyar! Sosok
Dayang Sepuh yang masih berkelebat di atas udara
laksana ditahan kekuatan luar biasa. Hingga kalau sa-
ja si nenek tidak segera melayang turun, niscaya so-
soknya akan terpental dan jatuh dengan punggung di
atas rengkahan semak belukar!
Sementara sosok si kakek berambut putih jabrik
terjajar satu setengah tindak ke sebelah samping. Wa-
lau sosoknya sedikit berguncang, tapi kakek ini sung-
gingkan senyum. Malah saat lain sosoknya sudah me-
lompat ke depan. Tangan kanannya bergerak.
Wuuttt! Satu lingkaran berwarna coklat tampak berputar-
putar melesat ke arah Dayang Sepuh dengan perden-
garkan desingan tajam.
Dayang Sepuh mendelik perhatikan lingkaran cok-
lat yang ternyata adalah tasbih pendek milik si kakek.
Saat lain si nenek sentakkan kepalanya ke samping.
Betttt! Kelabangan rambut Dayang Sepuh berkelebat ang-
ker. Pita warna merah di ujung rambutnya terlepas.
Bukannya luruh ke bawah, melainkan mencuat me-
nyongsong putaran tasbih pendek!
Trakkk! Putaran tasbih pendek terhenti saat disongsong pita
merah. Tasbih pendek dan pita warna merah sama me-
layang deras menghujam tanah. Namun dua jengkal
lagi tasbih pendek menghantam tanah, kakek beram-
but putih jabrik dorong tangan kanannya.
Tasbih pendek warna coklat tertahan dua jengkal di
atas rengkahan tanah semak belukar. Saat lain kem-
bali menderu ke arah Dayang Sepuh!
Mendapati hal demikian, si nenek tidak tinggal di-
am. Kedua tangannya segera diangkat lalu membuat
putaran dua kali di depan dada. Tiba-tiba kedua tan-
gannya disentakkan ke atas.
Wuuttt! Pita merah yang sudah terhampar di atas rengka-
han tanah semak sekonyong-konyong laksana disentak
setan dan membubung kembali ke udara. Hebatnya
saat itu juga ikatan pita merah lepas. Lalu melesat ke belakang mengejar tasbih
pendek. Dayang Sepuh tertawa. Tangan kirinya segera men-
dorong. Tasbih pendek tertahan di udara. Saat itulah
tiba-tiba pita merah yang melesat laksana ekor ular
membelit tasbih pendek!
Si kakek berambut putih pendek ganti tertawa. Saat
bersamaan kedua tangannya berputar-putar. Tasbih
pendek di depan sana ikut berputar-putar keras seolah ingin lepaskan diri dari
libatan pita merah.
Dayang Sepuh membentak. Sosoknya melesat ke
arah tasbih pendek dengan tangan kiri kanan terang-
kat siap melepas pukulan.
Si kakek terlengak sesaat. Namun segera pula je-
jakkan kaki. Sosoknya ikut pula berkelebat ke depan.
Tangan kiri kanannya diangkat.
Setengah depa lagi mendekati tasbih pendek, tan-
gan kanan Dayang Sepuh berkelebat dari atas meng-
hantam tasbih pendek. Sementara tangan kiri melesat
dari arah bawah hendak menarik pita merahnya yang
masih melibat tasbih pendek coklat.
Si kakek tidak berdiam diri. Dia juga cepat kele-
batkan tangan kanan untuk menghadang pukulan
tangan kanan si nenek. Sementara tangan kiri meng-
hantam ke arah pita merah yang hendak ditarik si ne-
nek. Prakkk! Brettt! Hantaman tangan kanan Dayang Sepuh tepat men-
genai tasbih pendek. Namun bersamaan itu tangan si
kakek tepat menghantam pita merah si nenek. Tasbih
pendek warna coklat milik si kakek berambut putih ja-
brik langsung pecah semburat. Di lain pihak, pita me-
rah milik Dayang Sepuh luruh ke bawah. Sesaat me-
mang tampak utuh, tapi belum sampai pita merah ter-
hampar di atas rengkahan tanah semak, pita merah te-
lah hancur dan semburat terkena bias hantaman tan-
gan kanan Dayang Sepuh dan pukulan tangan kiri ka-
kek berambut putih jabrik!
"Setan! Kau hancurkan pita merahku!" teriak
Dayang Sepuh. Masih berada di atas udara, kaki ka-
nannya membuat gerakan menendang ke arah si ka-
kek yang juga masih di atas udara.
Si kakek berambut jabrik putih tidak mau me-
nunggu. Saat itu juga kaki kanannya bergerak!
Bukkk! Sosok Dayang Sepuh terputar di atas udara. Namun
si nenek begitu sosoknya menghadap kembali ke de-
pan, kaki kirinya melesat melepas tendangan!
Si kakek yang juga terputar, cepat pula angkat kaki
kirinya. Lalu menghadang tendangan dengan sentak-
kan kaki kiri! Bukkk! Untuk kedua kalinya terjadi saling tendang di atas
udara. Sosok Dayang Sepuh kail ini mental lalu jatuh
terduduk di atas rengkahan tanah. Di lain pihak, sosok si kakek mencelat lalu
jatuh dengan kaki tertekuk! Paras kedua kakek-nenek ini sama berubah pias.
Murid Pendeta Sinting yang sejak tadi hanya diam
melihat, segera melompat hendak mendekat ke arah
Dayang Sepuh. Namun gerakannya tertahan tatkala
mendadak terdengar orang perdengarkan suara laksa-
na bersyair. *** ENAM AKU datang bersama angin.
Aku datang dengan naungan matahari dan rembu-
lan. Aku datang dari lembah kegelapan.
Hamparan bumi akan jadi saksi mati.
Saksi dari tumpahnya darah anak manusia!
Ucapan bersyair belum selesai, satu sosok tubuh te-
lah berkelebat dan di hadapan murid Pendeta Sinting
telah tegak seorang pemuda berparas tampan beram-
but panjang lebat dengan dagu kokoh dan mata tajam.
Pemuda ini mengenakan mantel besar berwarna hitam.
"Anak manusia bergelar Pendekar Pedang Tumpul
131 Joko Sableng!" kata si pemuda yang bukan lain
adalah pemuda yang beberapa waktu lalu sebutkan di-
ri sebagai Malaikat Berkabung. (Kemunculan pertama
kali pemuda ini silakan baca serial Joko Sableng dalam episode : "Nyai Tandak
Kembang").
"Kepastian yang ditentukan padaku mengharuskan
kita berjumpa lagi! Ini berarti takdir telah sampai!"
Sembari berkata, Malaikat Berkabung bukannya
memandang ke arah murid Pendeta Sinting, melainkan
berpaling pada Dayang Sepuh yang masih terduduk di
atas rengkahan tanah semak belukar. Namun cuma
sekejap. Saat lain si pemuda arahkan pandang mata-
nya pada kakek berambut putih jabrik yang Juga ma-
sih di atas tanah. Untuk beberapa saat si pemuda
memperhatikan. Lalu tersenyum.
"Anak setan ini sudah berada di sini pula!" desis
Dayang Sepuh melihat kehadiran Malaikat Berkabung.
"Dari senyumnya pada setan Jabrik tadi, tampaknya
mereka berdua sudah saling kenal!"
Dayang Sepuh arahkan pandangan pada murid
Pendeta Sinting. "Mengapa Setan geblek satu itu hanya diam seperti setan
tolol"!" Entah karena tak sabaran
melihat murid Pendeta Sinting yang hanya diam den-
gan mulut terkancing, si nenek cepat bangkit lalu
menghardik. "Setan geblek! Kenapa kau diam saja, hah"!"
Pendekar 131 baru tersenyum. Lalu angkat bicara
tanpa memandang pada Malaikat Berkabung yang kini
telah hadapkan wajah ke arahnya.
"Apa yang harus dikatakan pada setan Malaikat se-
perti dia, Bibi"!"
Rahang Malaikat Berkabung mengembung besar.
"Memang tak ada gunanya kau mengatakan sesuatu!
Tapi bukan berarti kau harus kancingkan mulut tidak
jawab pertanyaanku!"
"Hem.... Jadi kau mau bertanya padaku"! Tentang
apa..."! Takdirmu"!" tanya murid Pendeta Sinting lalu buka telapak tangan
kirinya dan didekatkan pada wajah. Saat lain Pendekar 131 sudah berucap lagi.
"Wah.... Takdirmu jelek, Malaikat! Pertama. Kau
akan menemui kegagalan untuk kedua kalinya dalam
mendapatkan gadis yang kau cari! Kedua...." Murid
Pendeta Sinting gerak-gerakkan tangan kanannya di
atas telapak tangan kiri dengan kening berkerut. Lalu memandang pada Malaikat
Berkabung dan lanjutkan
ucapan. "Kedua. Kelak kau akan beristri seorang ne-
nek-nenek. Ketiga. Ini yang paling tidak enak. Kelak
kau akan mati sengsara karena nenek-nenek istrimu
punya kekasih baru! Dan satu lagi. Kau...."
"Setan! Mengapa kau sebut-sebut diriku dalam ra-
malan setanmu itu!" Dayang Sepuh menukas dengan
bentakan. "Ah.... Yang kumaksud nenek-nenek bukan kau,
Bibi! Tapi nenek-nenek bangsa setan seperti dia!" kepala murid Pendeta Sinting
bergerak ke arah Malaikat
Berkabung. "Oh.... Begitu"!" ujar si nenek seraya melongo. Lalu
rapikan geraian poni rambutnya dan lanjutkan uca-
pan. "Kasihan juga nasibnya kelak.... Mati menge-
naskan karena ditinggal bercinta oleh istrinya yang
nenek-nenek! Hik.... Hik.... Hik...!" Kepala Dayang Sepuh menghadap pada
Malaikat Berkabung. Lalu bera-
lih pada Joko dan bertanya. "Kau tahu mengapa dia di-
tinggal bercinta istri nenek-neneknya"! Coba lihat di tanganmu apa pangkal
sebabnya!"
Murid Pendeta Sinting nyengir pada Malaikat Ber-
kabung lalu berpaling pada tangan kirinya. Sementara
tangan kanan bergerak menggurat di atas telapak tan-
gan kiri dengan kening mengkerut. Saat lain dia ang-
kat kepalanya menghadap Malaikat Berkabung dan
berkata. "Wah.... Tak baik bila dikatakan di sini, Bibi! Karena jika ada orang lain
mendengar dan sampai tersebar,
takdirnya akan makin buruk saja!"
"Hem.... Di sini tak ada orang lain! Katakan saja te-
rus terang! Kalaupun ada yang mendengar, mungkin
hanya setan beneran yang tidak kelihatan mata!"
Pendekar 131 mendongak. "Dia.... Dia tidak bisa di-
ajak bermesraan...."
"Hem.... Maksudmu dia main sambar saja, begitu"!"
tanya Dayang Sepuh lalu tertawa cekikikan.
"Bukan, bukan itu maksudku! Maksudku....
Buyung.... Buyung kecilnya tak mau diajak bersenang-
senang!" "Setan! Kau pikir dia sudah punya anak" Lalu apa
hubungan anak dan senang-senang dengan istri ne-
nek-neneknya yang kelak akan meninggalkannya"!"
"Ah.... Maksudku bukan anak, Bibi! Buyung kecil
adalah tongkat ajaib yang suka bersenang-senang jika
melihat perempuan mulus!"
"Setan betul! Seandainya kau katakan senjata begi-
tu saja aku tak akan kebingungan!" ujar Dayang Se-
puh sambil cekikikan. "Kalau buyung kecilnya tak mau
diajak senang-senang berarti buyung kecilnya...."
"Harap tidak teruskan, Bibi! Jika didengar orang,
nenek-nenek pun kelak tidak ada yang akan mau di-


Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persunting!"
"Benar juga.... Nenek-nenek pun mana ada yang
mau diambil istri kalau buyungnya sekarat"! Hik....
Hik.... Hik...!"
Mendengar ucapan-ucapan murid Pendeta Sinting
dan Dayang Sepuh, sejak tadi pelipis kanan kiri Malaikat Berkabung tampak
bergerak-gerak. Namun pemu-
da ini masih coba menahan diri untuk tidak buka mu-
lut atau membuat gerakan. Tapi begitu didengarnya
ucapan-ucapan kedua orang itu ngelantur, Malaikat
Berkabung tak dapat lagi menahan ledakan dadanya.
Hingga begitu si nenek selesai berucap, Malaikat Ber-
kabung angkat tangan kanannya dengan telapak di-
kembangkan. Lalu jari tengah kedua tangannya dite-
mukan. Saat lain, seraya perdengarkan bentakan dah-
syat, kedua tangannya didorong ke arah Pendekar 131!
Kabut hitam tipis melesat perdengarkan deruan
angker. Ranggasan semak yang tersapu tampak mem-
bubung ke udara. Hebatnya ranggasan semak itu tiba-
tiba berputar-putar, saat lain melesat mengikuti kabut tipis dan sudah membentuk
bundaran! "Hem.... Jadi yang membuat ulah di sebelah sana
tadi adalah dia!" gumam Joko melihat bundaran dari
ranggasan semak yang ikut berkelebat mengikuti ka-
but hitam tipis.
"Setan sialan! Jadi kau yang tadi berlaku kurang
ajar membokongku!" Dayang Sepuh sudah berteriak
mendapati apa yang terjadi.
Di seberang depan sana, murid Pendeta Sinting ce-
pat angkat kedua tangannya. Melihat ganasnya puku-
lan orang, Joko tak mau bertindak ayal. Dia cepat ke-
rahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Saat itu
juga mendadak kedua tangannya berubah warna men-
jadi semburat kekuningan. Pertanda jika dia hendak
melepas pukulan 'Lembur Kuning'.
Wuutt! Wuuuut! Kedua tangan murid Pendeta Sinting bergerak ke
depan. Satu sinar kuning berkiblat, lalu satu gelom-
bang luar biasa dahsyat menggebrak dibarengi meng-
hamparnya hawa panas menyengat.
Blammm! Kesunyian hutan disentak dengan gelegar hebat.
Tanah hutan di sekitar bentroknya pukulan bergetar
keras. Udara yang mulai temaram seketika laksana di-
telan malam karena hamburan tanah dan dedaunan.
Disusul terdengarnya derakan dan tumbangnya bebe-
rapa pohon. Kabut hitam tipis berserakan di udara. Bundaran
ranggasan semak langsung pecah. Sementara gelom-
bang dan sinar kuning ambyar berantakan.
Sosok murid Pendeta Sinting dan Malaikat Berka-
bung sama-sama terpental lima langkah ke belakang.
Paras keduanya sama berubah pucat pasi. Namun be-
lum sampai semburatan tanah luruh sirna, kedua tan-
gan Malaikat Berkabung bergerak sibakkan mantel hi-
tamnya. Saat itu juga sosoknya melesat menerobos lu-
ruhan tanah. Pendekar 131 tak tinggal diam. Dia segera jejakkan
kedua kakinya. Sosoknya tiba-tiba melayang ke depan
menyongsong sosok Malaikat Berkabung.
Karena suasana masih pekat, tidak terlihat apa
yang terjadi di udara. Hanya saja, begitu sosok murid Pendeta Sinting melesat
menghadang, terdengar benturan keras tiga kali berturut-turut. Kejap kemudian
dari luruhan tanah yang menghambur turun, terlihat
sosok Malaikat Berkabung dan Pendekar 131 mencelat
lalu sama jatuh terduduk!
Murid Pendeta Sinting tampak pejamkan sepasang
matanya dengan mulut megap-megap dan dada berge-
rak keras turun naik. Kedua tangannya bergetar. Wa-
jahnya laksana tidak berdarah. Di seberang depannya,
Malaikat Berkabung kancingkan mulut rapat-rapat
namun kedua tangannya memegangi perutnya dengan
tubuh sedikit ditekuk ke depan. Jelas pemuda ini ber-
tahan agar dia tidak muntah.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Malaikat Berka-
bung perdengarkan dengusan keras. Lalu bergerak
bangkit dengan mata nyalang ke arah murid Pendeta
Sinting yang juga tengah beranjak tegak.
"Setan geblek! Kau tidak apa-apa"!" tanya Dayang
Sepuh merasa khawatir dengan keadaan Pendekar
131. Joko tersenyum meski dadanya masih terasa nyeri.
Lalu berujar. "Bibi.... Aku tahu dan merasa jika takdirku bukan
sekarang waktunya! Kalaupun aku terluka parah, ke-
mungkinan hidup masih ada! Namun tidak demikian
halnya dengan sahabat kita satu itu. Aku khawatir
tanpa terluka pun dia tidak punya kemungkinan un-
tuk hidup! Jadi sebenarnya percuma saja dia melaku-
kan ini! Lagi pula sebelumnya tidak ada pangkal seng-
keta!" "Setan! Kau bilang tidak ada pangkal sengketa"! Dia
telah berlaku kurang ajar membokongku dengan mai-
nan bolanya.. Dia telah membuka pangkal sengketa
denganku!"
Malaikat Berkabung putar diri menghadap Dayang
Sepuh. Matanya berkilat-kilat. Saat lain dia telah
membentak garang.
"Aku menyesal tidak membunuhmu saat itu juga,
Nenek Muka Badak! Namun aku tak mau menyesal
dua kali! Lagi pula kepastianmu sudah tiba!"
Dayang Sepuh tertawa cekikikan panjang. "Aku ta-
hu apa sebabnya kau sejak tadi selalu marah-marah
dan ingin membunuh orang! Kau kecewa dengan
buyung kecilmu bukan" Hik.... Hik.... Hik...! Seharusnya kau bersabar, Setan!
Itulah kepastian nyata yang
harus kau terima! Dan jangan cemas.... Walau aku ta-
hu buyungmu tidak bisa bersenang-senang, tapi aku
akan merahasiakan ini! Hik.... Hik.... Hik...! Kau juga tak perlu khawatir.
Karena sebenarnya aku tahu bagaimana cara menyembuhkan buyung kecilmu! Kau
mau tanya bagaimana caranya"!"
Malaikat Berkabung tidak menyahut. Sebaliknya
cepat angkat kedua tangannya dengan telapak dikem-
bangkan. Namun sebelum bergerak lebih jauh, orang
tua berambut putih jabrik yang sedari tadi hanya me-
mandang dan mendengarkan, segera angkat suara.
"Dia bagianku! Selesaikan saja anak manusia satu-
nya!" Dayang Sepuh putar diri setengah lingkaran meng-
hadap kakek berambut putih jabrik. Matanya jelalatan
pandangi orang dari rambut sampai kaki seolah belum
pernah bertemu sebelumnya.
"Kau sejak semula juga menginginkan nyawa orang.
Jangan-jangan buyung kecilmu juga sudah sekarat!
Atau barangkali kau sejak lahir tak punya buyung ke-
cil untuk mainan hingga kau hendak membuat mainan
nyawa orang, he"!"
"Bukan begitu, Bibi!" sahut murid Pendeta Sinting
seraya pandangi tangan kirinya. "Menurut yang terli-
hat di sini, sebenarnya dia punya buyung kecil, namun terlalu kecil sekali
bahkan hampir tidak kelihatan...."
Murid Pendeta Sinting tertawa sebentar sebelum ak-
hirnya melanjutkan ucapan. "Sementara telurnya
sungguh amat besar! Hingga bentuknya lucu! Heran-
nya dia tidak mensyukuri kelucuan langka itu.... Hing-ga dia tidak mengambil
istri. Padahal kalau dia mau
beristri, istrinya pasti akan gemas dan tiap hari akan selalu tertawa menangis!"
Tampang si kakek berambut putih jabrik langsung
berubah garang. Tanpa berkata apa-apa lagi dia me-
lompat ke arah Dayang Sepuh. Bersamaan itu, Malai-
kat Berkabung juga membuat gerakan dan tahu-tahu
telah tegak hanya sejarak empat langkah di hadapan
murid Pendeta Sinting.
"Sebenarnya apa maumu, Malaikat"!" Murid Pende-
ta Sinting berucap seraya diam-diam kerahkan tenaga
dalam pada kedua tangannya.
"Kau terlambat untuk bertanya! Jadi jawabannya
akan kau dapatkan begitu nyawamu putus!"
"Kau percaya nyawaku akan putus hari Ini"!"
Malaikat Berkabung tidak menjawab. Dia terse-
nyum dingin. Lalu mendadak dia tekuk sedikit kedua
lututnya. Saat lain sosoknya menyergap ke arah Joko
dengan kedua tangan menghantam. Tangan kanan
berkelebat ke arah lambung, tangan kiri melesat ganas ke arah pelipis. Bukan
sampai di situ, bersamaan dengan bergeraknya kedua tangan, kaki kiri kanannya
membuat gerakan menendang!
Mendapat serangan empat pukulan sekaligus, mu-
rid Pendeta Sinting cepat sentakkan tubuhnya ke bela-
kang hingga punggungnya sama rata dengan tanah.
Dalam posisi telentang begitu rupa, kedua kaki Joko
cepat bergerak ke atas. Sementara kedua tangannya
yang bebas segera lepaskan pukulan tangan kosong ja-
rak jauh! Malaikat Berkabung sempat terkesiap. Dia mungkin
masih bisa menghadapi gerakan kedua kaki Joko. Na-
mun mungkin dia akan kesulitan untuk menghadang
pukulan jarak jauh. Maka dengan cepat dia tarik pu-
lang kedua tangannya. Kejap lain dia sentakkan lagi
menghadang pukulan tangan kosong jarak jauh Joko.
Bukkk! Bukkk! Tendangan kedua kaki Malaikat Berkabung meng-
hantam kedua kaki Joko. Saat bersamaan terdengar
derakan keras ketika pukulan jarak jauh murid Pende-
ta Sinting bentrok dengan pukulan jarak jauh Malaikat Berkabung.
Karena bentroknya pukulan terlalu dekat, sosok
Malaikat Berkabung yang berada di atas udara lang-
sung terbang setinggi lima tombak. Di lain pihak, so-
sok Joko mental bergulingan sampai dua tombak. Da-
rah segar tampak mengucur dari mulut Pendekar 131.
Di atas udara, sosok Malaikat Berkabung melayang
berputar ke bawah. Sebelum tubuhnya jatuh ke atas
tanah, mulutnya mengembung lalu muncratkan darah!
Namun begitu sosoknya terjerembab, laksana tidak
mengalami luka dalam, sembari usap lelehan darah di
mulutnya, Malaikat Berkabung bergerak bangkit. Seje-
nak memang terhuyung-huyung. Tapi begitu kedua
tangannya sibakkan mantel hitamnya, sosoknya telah
tegak laksana dipacak! Matanya makin garang berkilat.
Kedua tangannya yang bergetar mengepal.
Murid Pendeta Sinting sesaat terkesiap melihat-
Malaikat Berkabung sudah bangkit. Padahal dia masih
merasakan dadanya sesak dan aliran darahnya laksa-
na tersumbat. Namun mendapati orang sudah bangkit
bahkan sudah siap lepaskan pukulan, murid Pendeta
Sinting tidak pedulikan lagi luka dalamnya. Dia cepat pula berdiri.
Baru saja Joko bangkit berdiri, di seberang samping
terdengar benturan keras. Malaikat Berkabung yang
sudah hendak lepaskan pukulan urungkan niat dan
berpaling. Pendekar 131 ikut-ikutan menoleh.
Bukkk! Bukkk! Bukkk! Bukkk! Terdengar kembali benturan keras bertubi-tubi.
Ternyata Dayang Sepuh dan kakek berambut putih ja-
brik tengah saling tendang dan adu tangan di atas
udara. Hebatnya, begitu sosok masing-masing orang
mental ke belakang, keduanya segera sentakkan bahu
masing-masing. Hingga saat itu juga sosok keduanya
kembali melesat ke depan. Lalu kembali saling ten-
dang. Begitu seterusnya hingga untuk beberapa saat
tempat itu dibuncah dengan suara benturan berkali-
kali. Suara benturan baru lenyap ketika sosok kedua-
nya mencelat jauh. Lalu sama melayang limbung dari
jatuh di atas ranggasan semak.
Dayang Sepuh coba bergerak-gerak bangkit dengan
berusaha katupkan mulut agar erangannya tidak ter-
dengar. Namun tak urung, karena sakitnya bukan
alang kepalang, si nenek akhirnya tak kuasa katupkan
mulut. Tapi karena tak mau terdengar mengerang,
meski terasa sakit luar biasa pada sekujur tubuh apa-
lagi kedua kaki dan tangannya, si nenek menyumpah-
nyumpah. "Setan! Setan! Setan!"
Di seberang lain, kakek berambut putih jabrik mu-
lai tegak terbungkuk-bungkuk dengan kedua tangan
menakup mulutnya. Dari sela jarinya terlihat rembe-
san darah! Tanpa disadari oleh murid Pendeta Sinting, ekor
mata Malaikat Berkabung melirik ke arahnya. Saat
bersamaan tiba-tiba kedua tangan Malaikat Berkabung
telah menyentak ke depan. Hingga saat itu juga kabut
hitam tipis kembali menyeruak dan melesat menggi-
dikkan ke arah Pendekar 131!
Murid Pendeta Sinting sesaat terlengak kaget. Ter-
lambat baginya untuk menghadang pukulan orang.
Kalaupun dia masih sempat bergerak dan mengha-
dang, maka dia tak akan dapat menghindar dari bias
bentroknya pukulan yang lebih dekat ke arahnya.
Murid Pendeta Sinting tak mau ambil risiko lebih
besar dengan tanpa membuat hadangan, meski dia sa-
dar tak mungkin lagi dapat menghindar dari bias ben-
troknya pukulan. Maka dengan cepat dia sentakkan
kedua tangannya melepas kembali pukulan 'Lembur
Kuning'. Namun belum sampai sinar kuning dan gelombang
dahsyat yang disertai hawa panas melesat keluar dari
kedua tangan Joko, mendadak terdengar orang bersin
tiga kali berturut-turut. Lalu tiga gelombang angin deras mencuat dari semak
belukar. Bummm! Bummm! Bummm!
Kabut hitam tipis dari Malaikat Berkabung porak-
poranda. Sosok Malaikat Berkabung terjajar enam


Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langkah dan terhuyung hampir roboh.
"Bruss! Brusss! Heran.... Heran.... Ada apa ini"!
Semua mulut sama belepotan darah! Sementara yang
di sana sama main petak umpet di semak-semak!" Ter-
dengar orang bersin lalu disusul dengan terdengarnya
ucapan. Ucapan orang belum selesai, dua sosok tubuh tam-
pak melangkah terbungkuk-bungkuk dari balik semak.
Tangan kiri masing-masing orang ini memegang bum-
bung bambu. Sedangkan tangan kanan memegang ila-
lang! *** TUJUH Kita kembali sejenak pada lembah sebelum keda-
tangan orang tua berambut putih jabrik, serta Dayang
Sepuh, dan Pendekar 131 yang mengikuti si kakek.
Seperti diketahui, begitu menemukan lobang di bawah
gugusan batu di tengah lembah, Kigali meminta Pita-
loka untuk menunggu di sekitar lobang sementara di-
rinya masuk ke dalam lobang.
Begitu jejakkan kaki di bawah lobang, Kigali cepat
pentangkan mata lalu melirik dengan kepala diputar
perlahan-lahan. Dia memang sudah tidak mendengar
suara makian atau jeritan menyayat. Namun dia masih
bisa menangkap desahan napas berat.
Tempat di mana sekarang Kigali berada adalah se-
buah ruangan agak luas yang di sana-sini terlihat ba-
nyak tonjolan batu. Di sebelah pojok kanan terlihat
pancuran air kecil. Di sekitarnya tampak dua batang
pohon tidak begitu tinggi berdaun agak lebat. Di ba-
gian kiri air pancuran, terdapat tempat agak terbuka
yang ditumpuki jerami kering.
Untuk beberapa saat Kigali perhatikan tumpukan
jerami. "Bagian tengah jerami itu tampak melesak ke
bawah. Pertanda jerami itu ditempati orang! Hem....
Beberapa puluh tahun silam berkeliaran di sekitar
tempat ini, tidak kuduga kalau d! tempat ini ada peng-huninya! Siapa dia..."!"
Kigali terus perhatikan tempat di sekitar pancuran
air. Dan diam-diam sepasang mata besar tampak men-
delik dari balik lebatnya dedaunan di sekitar pancuran air mengawasi gerak-gerik
Kigali. Pemilik mata ini menahan diri untuk tidak perdengarkan suara atau
membuat gerakan. Bahkan dia sengaja menahan na-
pas. "Kek.... Bagaimana"! Aku bisa turun"!" Tiba-tiba Pi-
taloka berteriak dari atas. Kigali melangkah agar bisa melihat Pitaloka. Lalu
tengadah. Dia sebenarnya sedikit bimbang. Karena dia belum tahu siapa penghuni
tempat di bawah lobang. Namun karena khawatir ada
orang lain di lembah, akhirnya Kigali memutuskan un-
tuk menyuruh Pitaloka turun ke bawah. Tapi baru saja
Kigali hendak buka mulut, satu suara terdengar.
"Siapa kau, Orang Asing"!"
Kigali cepat berpaling. Walau dia tadi sudah men-
duga adanya orang di tempat itu, namun tak urung Ki-
gali merasa terkejut. Matanya segera perhatikan ke
arah lebatnya dedaunan di sekitar pancuran air dari
mana suara tadi terdengar. Meski Kigali belum bisa je-
las melihat sosok orang yang perdengarkan suara, dia
segera berucap dengan nada rendah.
"Maafkan jika kedatangan kami mengganggumu!
Aku adalah Kigali...."
"Kau manusia suruhan bangsat keparat itu bukan"!
Jangan pikir aku menyerah begitu saja! Kalaupun aku
harus tewas, namun aku tak mau mampus sendiri!
Kau akan kubawa serta!" Suara itu terdengar bergetar
dan makin keras.
Kigali berpikir sesaat. Dari ucapan orang dia sedikit banyak telah tahu apa yang
dialami orang. Seraya terus arahkan pada lebatnya dedaunan, dia angkat sua-
ra. "Maaf. Aku bukan suruhan siapa-siapa. Kalaupun
aku sampai datang ke tempat ini, itu adalah satu kebetulan belaka! Karena begitu
aku memasuki...."
Belum selesai Kigali teruskan ucapan, terdengar
suara memotong. "Kau jangan berkata dusta! Mengapa
bangsat keparat itu tidak datang sendiri mengantar
nyawanya"! Dia takut"!" Lalu terdengar suara tawa
panjang. Pitaloka yang masih berada di sekitar lobang atas
tampak tajamkan telinga untuk simak percakapan
orang. Dia sesekali rundukkan tubuh untuk melihat
siapa orang yang bicara dengan Kigali. Namun tidak
melihat sosok lain di bawah walau dia sudah beberapa
kali melangkah mengitari lobang dengan kepala me-
runduk. Hingga akhirnya gadis saudara kembar Putri
Kayangan ini duduk di bibir lobang sambil mendengar-
kan. "Dengarlah, Sahabat!" kata Kigali. "Aku tidak tahu
menahu urusanmu. Sekali lagi kami datang hanya ka-
rena kebetulan. Dan kalau kau keberatan atas keda-
tanganku, aku akan tinggalkan tempat ini!"
Sesaat tak ada sahutan suara. Kigali tengadahkan
kepala ke arah lobang. Lalu diluruskan lagi ke arah le-
batnya dedaunan di sekitar pancuran air. Saat lain dia berkata lagi.
"Aku datang bersama anak perempuanku.... Sebe-
narnya kami tengah mencari tempat untuk berlindung.
Sebelum ini kami bertempat di hutan sebelah timur
lembah ini."
"Katakan siapa kau sebenarnya"!" Terdengar lagi
suara dari lebatnya dedaunan.
"Aku hanyalah orang tua biasa.... Terlalu tolol jika
orang seusiaku masih harus menjadi suruhan orang
apalagi dalam urusan yang berkaitan dengan nyawa
manusia. Dan kalaupun aku menjadi suruhan orang,
tak mungkin hal itu akan kulakukan!"
"Lalu mengapa kau cari tempat untuk berlindung"!
Sebagai orang biasa tak mungkin kau punya urusan
dengan orang hingga sampai mencari tempat berlin-
dung! Lalu caramu menghancurkan batu penutup di
atas sana membuatku belum percaya dengan keteran-
ganmu!" "Setiap manusia tak bisa lepas dari urusan. Baik itu
orang biasa atau orang yang berkecimpung dalam rim-
ba persilatan. Bahkan tak jarang orang harus terlibat urusan padahal orang itu
tidak membuat urusan! Tentang bagaimana caraku menghancurkan batu di atas
sana, aku hanya melakukan apa yang seharusnya ku-
lakukan!" "Apa sebenarnya urusanmu"!"
Kigali terdiam beberapa lama. Kembali dia tengadah
seolah minta persetujuan dari Pitaloka. Rupanya Pita-
loka yang bisa melihat gerak-gerik Kigali dan menden-
garkan pembicaraan dapat menangkap maksud orang.
Hingga dia segera berkata.
"Kek! Katakan saja apa urusan kita!"
Kigali menghela napas sebelum akhirnya berkata.
"Anak perempuanku itu sekarang tengah mengan-
dung.... Dia perlu istirahat. Sementara akhir-akhir ini
di dalam hutan sana, yang biasanya tidak pernah di-
rambah orang entah apa sebabnya tiba-tiba banyak
orang bermunculan. Karena kami tak mau terlibat
urusan, apalagi kulihat orang yang muncul adalah dari kalangan orang persilatan,
terpaksa kami harus mencari tempat baru yang lebih tenang, sekaligus agar tidak
ikut terlibat urusan orang! Karena biasanya, ke-
munculan beberapa orang rimba persilatan pasti
membawa urusan!"
"Rupanya saatnya telah tiba!" Tiba-tiba terdengar
gumaman pelan dari lebatnya dedaunan membuat Ki-
gali merasa heran namun juga terkejut. Dia belum bisa menjabarkan apa maksud
ucapan orang. Hingga dia
segera berucap.
"Apa maksud ucapanmu?"
Tidak terdengar sahutan, sebaliknya lebatnya de-
daunan bergerak-gerak. Saat lain muncullah satu so-
sok tubuh. Kigali perhatikan dengan seksama. Sosok yang
muncul dari balik lebatnya dedaunan adalah seorang
perempuan berusia lanjut. Rambutnya putih panjang
dan awut-awutan. Sepasang matanya besar dan tam-
pak berwarna agak merah. Dia mengenakan jubah
yang sudah sangat kumal. Parasnya cekung dan putih
pucat laksana mayat. Kuku jari kedua tangan dan ka-
kinya panjang dan hitam-hitam.
Kigali memperhatikan dengan mata membeliak tak
berkesip. Dadanya berdebar keras. Bukan karena tam-
pang dan sosok si perempuan yang pancarkan keang-
keran, namun pada gerak-gerik orang.
Begitu muncul dari lebatnya dedaunan, si nenek
bukannya tegak berdiri dan melangkah, namun dia
muncul dengan menyeret tubuhnya dengan pantat di-
jadikan sebagai tumpuan. Nenek ini baru hentikan se-
ret tubuhnya di dekat pancuran air karena tempat itu
menurun dan ditonjoli batu-batu tak beraturan.
Si nenek memandang pada Kigali dengan seksama.
Lalu menoleh pada jerami di seberang. Untuk menca-
pai jerami, si nenek harus melompat berjarak tiga
tombak karena dipisahkan oleh pancuran air.
Entah karena mengerti apa arti pandangan orang,
Kigali hendak melangkah mendekat bermaksud meno-
long si nenek untuk sampai pada tempat yang ditum-
puki jerami kering. Namun belum sampai Kigali te-
ruskan tindakan, si nenek sudah perdengarkan suara.
"Jangan bergerak dari tempatmu! Suruh saja anak
perempuanmu turun!"
Bersamaan dengan itu si perempuan berjubah
kumal gerakkan bahunya ke bawah. Tiba-tiba sosok-
nya melesat dan saat lain telah duduk di atas tumpu-
kan jerami Kering.
Kigali menatap sejenak. "Bukan orang sembaran-
gan...," katanya dalam hati lalu tengadah. Baru saja
kepala Kigali mendongak, Pitaloka yang dapat men-
dengar suara orang segera melompat turun dengan ke-
dua tangan menakup menahan perutnya yang telah
membesar. Kigali terkesiap kaget. Dia buru-buru melompat un-
tuk menahan layangan tubuh Pitaloka. Dan menyergap
seraya bergumam.
"Seharusnya kau berhati-hati, Anakku!"
Pitaloka hanya tersenyum lalu anggukkan kepala.
Saat lain gadis cucu Nyai Tandak Kembang yang juga
saudara kembar Putri Kayangan ini arahkan pandang
matanya ke depan. Dia sempat terkesiap dan hendak
surutkan langkah melihat keangkeran wajah orang
yang duduk di atas jerami kering.
Sementara si nenek langsung sengatkan sepasang
matanya pada perut Pitaloka. Baru kemudian mem-
perhatikan paras wajah si gadis. Dia perdengarkan
gumaman tak jelas. Lalu perdengarkan tanya.
"Sudah berapa bulan kandunganmu, Anak Gadis"!"
Mungkin masih terkesima melihat paras orang, Pita-
loka tidak segera menjawab pertanyaan orang. Kigali
putar tubuh lalu buka mulut.
"Sebenarnya masih dua bulan kurang.... Namun
aku sendiri tak tahu mengapa sudah begitu besar...."
"Aku tahu...," ujar si nenek pelan dengan manggut-
manggut. "Mendekatlah kalian kemari! Ada yang haruskita bicarakan!"
Pitaloka dan Kigali saling pandang. Namun begitu
Kigali anggukkan kepala dan mulai melangkah mende-
kati si nenek, Pitaloka ikut melangkah di belakang Kigali dengan dada dipenuhi
pertanyaan tak terjawab.
"Untung kalian datang ke tempat yang benar...."
Berkata si nenek sambil terus memandang ke arah Pi-
taloka. Pitaloka makin tak enak dipandangi begitu ru-
pa, namun dia teruskan juga melangkah.
"Kau duduklah di atas batu itu," kata si nenek pada
Kigali. "Dan kau duduklah di atas jerami!" sambung si nenek dengan arahkan
pandang matanya kembali pa-da Pitaloka.
Tanpa berkata menyahut, Kigali turuti permintaan
orang. Dia mengambil tempat di atas batu di sebelah
tumpukan jerami. Sementara Pitaloka sempat hentikan
langkah dan memandang silih berganti pada Kigali dan
nenek di atas jerami.
"Tak usah curiga.... Tampangku memang sudah ha-
rus begini meski aku juga sebenarnya tak mengingin-
kan! Keadaanlah yang membuat semuanya beru-
bah...." Berkata si nenek dengan suara bergetar. Ada
nada kecewa di dalam suaranya, membuat Pitaloka tak
ragu lagi untuk teruskan langkah lalu perlahan-lahan
duduk di atas Jerami tidak jauh dari si nenek.
"Boleh aku tahu siapa kau sebenarnya"!" tanya Ki-
gali membuka pembicaraan.
"Nanti akan kujelaskan semuanya! Sekarang harap
kau Jawab pertanyaanku tanpa sembunyikan sesua-
tu!" kata si nenek dengan suara pelan. Nadanya sangat beda dengan ketika menegur
Kigali untuk pertama kalinya saat Kigali turun melalui lobang. "Kurasa kita
bernasib sama walau urusannya berbeda...."
Si nenek sesaat hentikan ucapan sebelum akhirnya
berkata lagi. "Betul dia adalah anakmu?" tanya si ne-
nek sambil berpaling pada Kigali.
"Hem.... Rasanya tidak ada gunanya menutup-
nutupi urusan ini! Siapa pun dia adanya yang pasti dia orang yang tengah
menghadapi nasib kurang baik! Tak
mungkin dalam keadaan begitu orang akan mencela-
kakan orang lain...."
Berpikir begitu, akhirnya Kigali buka mulut menja-
wab. "Dia sebenarnya bukan anakku.... Kira-kira dua
purnama yang lalu aku bertemu dengannya di hutan
sebelah timur lembah ini."
"Apakah dia sudah bersuami"!"
Paras wajah Pitaloka tampak berubah merah pa-
dam. Sementara Kigali sedikit merasa kaget mendengar
pertanyaan orang. Dia terdiam untuk beberapa lama.
Dia melirik pada Pitaloka. Namun yang dilirik tengah
perhatikan kuku-kuku panjang dan hitam kedua tan-


Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gan dan kaki si nenek. Pitaloka sebenarnya tidak be-
nar-benar memperhatikan kuku-kuku itu, namun coba
mengalihkan wajahnya dari pandangan orang untuk
sembunyikan perasaan.
Tiadanya sahutan membuat si nenek maklum. Lalu
berkata. "Maaf. Bukannya aku mau menyinggung. Tapi
aku perlu kejelasan. Jika tidak, kau nanti juga tidak akan mendapatkan
keterangan berarti!"
"Dia memang belum punya suami!" Akhirnya Kigali
menjawab. Si nenek alihkan pandangan matanya pada Pita-
loka. "Siapa namamu, Nak?"
Perlahan-lahan Pitaloka angkat kepalanya. Agak
lama dia baru menjawab. "Pitaloka...."
"Kau punya saudara kembar"!"
Baik Kigali maupun Pitaloka tersentak kaget. Pita-
loka anggukkan kepala. Untuk pertama kalinya bibir si nenek tampak tersenyum.
Lalu berujar pelan namun
membuat Kigali dan Pitaloka makin heran.
"Aku dapat menduga apa yang telah terjadi.... Na-
mun masih ada yang harus kuketahui sebelum aku
memberi keterangan pada kalian tentang diriku!" Si
nenek arahkan pandangan pada Kigali. "Kau mengata-
kan telah beberapa orang kalangan rimba persilatan
yang tiba-tiba muncul di hutan sebelah timur. Kau
sempat bertatap muka dengan mereka"!"
Dada Kigali berdebar. Diam-diam dia membatin.
"Bagaimana harus kujawab" Pitaloka akan mengetahui
kebohonganku jika sampai si nenek ini bertanya siapa
saja orang yang sempat kutemui...!"
Seperti diketahui, selama ini Kigali memang berdus-
ta pada Pitaloka tentang siapa saja yang sempat di-
jumpainya. Dia hanya sempat mengatakan bertemu
dengan Datuk Wahing. Dan menyembunyikan perte-
muannya dengan Nyai Tandak Kembang, Gendeng Pa-
nuntun, Dayang Sepuh, dan juga tidak mengatakan
pernah melihat seorang gadis berbaju merah dengan
seorang pemuda yang bukan lain adalah Putri Kayan-
gan dan Pendekar 131 Joko Sableng walau Kigali sen-
diri tak sempat bertatap muka dengan keduanya.
Setelah dipikir agak lama, akhirnya Kigali berkas
juga. "Aku memang bertemu dengan beberapa orang
dari kalangan rimba persilatan. Namun rasanya aku
tidak mengenali siapa mereka! Mungkin hanya seorang
yang kukenali. Itu saja Pitaloka yang memberi keterangan siapa dia adanya!"
"Tapi kau sempat melihat mereka bukan"!"
Dada Kigali makin berdebar. Dia khawatir kalau si
nenek minta penjelasan ciri-ciri orang yang dijumpai-
nya. Namun setelah memutuskan akan menyimpan
orang yang ada hubungannya dengan Pitaloka, Kigali
angkat bicara. "Aku memang sempat melihat mereka...." Mata Ki-
gali melirik pada Pitaloka dengan dada makin tak
enak. Dia menunggu ucapan si nenek dengan gelisah.
"Apa di antara mereka kau melihat seorang laki-
laki berusia lanjut mengenakan pakaian selempang
putih dengan dada kanan terbuka"! Orang ini mema-
kai kalung panjang dari butiran kayu warna coklat.
Tangan kanannya memegang tasbih pendek juga ber-
warna coklat. Rambutnya putih pendek dan tegak-
tegak! Biasanya dia bersama seorang pemuda berman-
tel hitam!"
Mendengar pertanyaan si nenek, Kigali menarik na-
pas lega. Lalu dengan cepat dia menjawab. "Aku tidak
bertemu dengan orang yang kau sebut!"
Si nenek anggukkan kepala namun raut mukanya
berubah. Matanya sedikit mendelik. Kigali dapat me-
nangkap bayangan kemarahan di wajah orang. Hingga
buru-buru ia berujar. "Aku mengatakan apa adanya!
Aku memang tak pernah bertemu dengan orang yang
ciri-cirinya kau katakan tadi!"
"Aku percaya.... Tapi bangsat keparat itu pasti akan
datang!" "Siapa mereka..."! Mengapa kau bisa memastikan
mereka pasti datang"! Apa ini ada kaitannya dengan
kedatanganku di sini"!" tanya Kigali. Kembali dadanya dibuncah dengan perasaan
tidak enak. Apalagi tatkala
teringat ucapan si nenek jika mereka beruntung da-
tang ke tempat yang benar dan waktunya sudah tiba.
"Kedatangan mereka tentu ada kaitannya dengan
kedatangan kalian! Bahkan mereka sudah lama me-
nunggu kedatangan kalian!"
Kigali dan Pitaloka kembali dibuat terkesiap kaget.
"Apa maksud mereka menunggu kami"!" Kali ini yang
angkat pertanyaan adalah Pitaloka. "Sepertinya kami
berdua tidak pernah punya urusan dengan mereka! Di
luar hutan pun aku tidak pernah bertemu dengan
orang yang kau ceritakan!"
"Kalian memang tidak pernah punya urusan. Aku
pun merasa yakin kalian belum pernah bertemu den-
gan mereka. Tapi mereka telah tahu siapa kalian dan
tahu ke mana kalian akan datangi. Lebih dari itu me-
reka mengerti apa yang harus dilakukan dengan bayi
dalam kandunganmu!"
Kali ini Pitaloka tak bisa lagi menahan perasaan.
"Katakan siapa mereka! Dan apa yang akan dilakukan
dengan kandunganku ini"!"
"Mereka berdua adalah bangsat keparat yang mem-
buat diriku jadi begini! Merekalah manusia-manusia
yang membuat derita panjang hidupku! Lihat diriku....
Kedua tangan dan kakiku hilang kekuatannya! Otakku
hampir mereka buat gila! Tapi semua ini juga karena
kebodohanku.... Aku menjunjung perasaan cinta di
atas segalanya! Aku berpikir, untuk cinta segalanya
harus dikorbankan!" Si nenek tiba-tiba sesenggukan.
Kigali menghela napas lalu alihkan perhatiannya ke jurusan lain. Pitaloka tak
berani buka mulut.
"Nek...," kata Kigali setelah agak lama berlalu dan
dilihatnya si nenek sudah dapat kuasai diri. "Apa hu-
bungannya peristiwa yang menimpamu dengan keda-
tangan kami" Sekaligus dengan bayi dalam kandungan
Pitaloka"!"
"Ceritanya panjang.... Aku akan menerangkan ba-
gian yang penting saja pada kalian...," ujar si nenek dengan mata dibeliakkan
nyalang ke arah dinding batu
di depan sana. Namun sebenarnya pandangannya te-
rus menembus dinding batu dan bahkan memandang
jauh tanpa batas pandang!
*** DELAPAN AKU adalah seorang anak yatim piatu. Karena tidak
ada yang merawat, aku hidup terlunta-lunta. Namun
pantang bagiku yang saat masih berusia sembilan ta-
hun untuk meminta belas kasihan orang. Aku bekerja
apa saja untuk bisa makan. Malah tak jarang aku per-
gi ke hutan untuk mencari makanan. Beberapa orang
sempat memperingatkan agar aku tidak memasuki hu-
tan. Karena selain angker dan banyak binatang buas,
hutan itu jarang sekali bahkan tidak pernah dirambah
orang. Namun aku tidak peduli dengan peringatan
orang. Karena mereka hanya memperingatkan tanpa
memikirkan apa yang menjadi bebanku! Lebih lagi ka-
rena selama ini aku tidak pernah mengalami hal-hal
yang dibicarakan orang di dalam hutan. Hingga bukan
saja aku menjadi takut, sebaliknya makin betah di da-
lam hutan, karena makanan tinggal mencari tanpa ha-
rus meminta. Pada suatu hari, aku bertemu dengan seorang pe-
rempuan berusia enam puluh tahunan. Pada mulanya
memang ada rasa takut dalam hatiku, apalagi berada
di hutan sepi. Namun setelah berbicara, ternyata ne-
nek itu orangnya baik. Lalu kami saling tukar cerita.
Pada akhirnya si nenek mengajakku ikut bersamanya.
Namun aku menolak. Aku tak mau menjadi beban
orang lain, apalagi kulihat si nenek juga mencari hidup di hutan. Pada awalnya
si nenek mau menerima keberatan ku. Sejak Itulah aku dan si nenek sering berte-
mu di dalam hutan dan mencari makanan bersama-
sama. Aku sempat dibuat kagum. Karena nenek itu be-
rilmu sangat tinggi. Hingga dengan mudah dia bisa
mendapatkan makanan. Tidak seperti aku yang harus
memanjat dan tidak jarang jatuh terpeleset dari atas
pohon. Rupanya si nenek sengaja memperlihatkan il-
munya padaku agar aku tertarik dan ikut dengannya.
Hal ini kuketahui begitu kami berbincang-bincang. Dia menerangkan padaku
bagaimana enaknya memiliki il-mu silat. Namun sejauh ini aku belum tertarik.
Hingga pada satu waktu, aku dihadang kawanan binatang
buas. Tak mungkin bagiku untuk lolos menyelamatkan
diri. Ketika nyawaku berada di ujung tanduk, muncul-
lah si nenek menyelamatkan jiwaku!
Peristiwa itu membuatku luluh, hingga pada akhir-
nya aku mau diajak si nenek. Ternyata dia tinggal di
lembah sebelah barat hutan. Lembah itu sangat indah
dengan ditumbuhi bermacam-macam aneka bunga.
Pada akhirnya selain diambil sebagai anak, aku juga
diangkat sebagai murid. Sejak itu pula aku hidup da-
lam bimbingan si nenek.
Aku pernah bertanya pada nenek yang juga adalah
guruku tentang apa sebabnya dia hidup menyendiri di
lembah sunyi berdekatan hutan yang selain sepi juga
jarang dirambah manusia. Ternyata dia dahulu adalah
seorang pendekar muda. Saat berkelana mencari pen-
galaman, dia-bertemu dengan seorang pemuda. Mere-
ka berdua saling menyayangi dan akhirnya memu-
tuskan hidup di lembah dengan tujuan agar tidak ter-
libat urusan rimba persilatan yang dapat memisahkan
mereka. Pada satu hari, tiba-tiba muncul rombongan
orang yang ternyata punya maksud meneruskan uru-
san dengan kekasih Guru. Sebagai pemuda yang juga
orang persilatan, tampaknya dia pernah punya masa-
lah. Namun kekasih Guru sebenarnya sudah melupa-
kan semua masalah dan tak ingin lagi terlibat. Namun
rombongan yang datang tak ambil peduli. Untuk mem-
pertahankan diri, akhirnya terjadilah perkelahian. Rupanya saat itu adalah hari
naas. Kekasih Guru akhir-
nya harus tewas. Namun rombongan yang datang juga
tidak bersisa. Sejak itulah Guru hidup menyendiri. Pengalaman
yang terjadi membuatnya makin enggan untuk meli-
batkan diri dalam kancah rimba persilatan. Lebih-lebih dia tak mau meninggalkan
kekasihnya, meski sang kekasih telah tiada. Dia begitu tulus menyayangi keka-
sihnya dan bersumpah tak akan meninggalkan lembah
di mana kekasihnya dikubur. Karena lembah itulah
yang memutuskan kasih sayangnya, akhirnya Guru
menamakan lembah itu Lembah Patah Hati.
Tanpa terasa aku sudah menginjak dewasa. Saat itu
kira-kira aku seusia Pitaloka. Guru sudah menurun-
kan semua ilmunya padaku. Dalam waktu senggang
Guru selalu menceritakan kekasihnya, seolah sang ke-
kasih masih hidup. Dan kadang-kadang Guru menyin-
dirku tentang kekasih. Aku memang tak jarang diberi
kesempatan untuk keluar dari lembah. Meski Guru te-
lah mengalami peristiwa kurang baik, namun dia tak
mau mencegah dan membunuh masa dewasaku. Dia
mengerti, aku kelak harus punya seorang pendamping.
Malah Guru menyarankan agar aku segera memiliki
kekasih. Dengan begitu kehidupan di lembah tidak
akan sepi lagi, malah dia sudah sering sebut-sebut ingin punya seorang cucu.
Sebenarnya aku masih takut berdekatan dengan
pemuda walau ketika aku keluar dari lembah banyak
pemuda yang coba mendekatiku. Namun cinta me-
mang tidak bisa diduga kapan datangnya. Dan cinta
Itu akhirnya singgah juga di hatiku saat aku bertemu
dengan seorang pemuda gagah dan tampan. Dari si-
kapnya aku merasa yakin pemuda itu orang baik-baik
dan punya dasar ilmu silat.
Namun sejauh ini aku belum berani bercerita pada
Guru. Aku menyimpannya rapat-rapat. Tapi herannya,
Guru seolah mengerti dan dapat menebak dengan pas-
ti. Aku tidak bisa mungkir ketika akhirnya Guru me-
nyarankan agar mengajak si pemuda berkunjung ke
Lembah Patah Hati.
Permintaan Guru akhirnya kupenuhi. Aku menga-
jak pemuda itu ke Lembah Patah Hati. Kami bertiga bi-
cara panjang lebar. Sejak saat itu si pemuda sering
berkunjung. Dan entah karena apa, Guru memu-
tuskan untuk mengambil si pemuda sebagai muridnya
juga. Aku sangat gembira mendengar keputusan Guru.
Dengan begitu kami akan sering bertemu. Jadi sejak
itulah si pemuda juga menetap di Lembah Patah Hati.
Tapi Guru selalu menasihati aku agar berhati-hati
meski kami berdua tinggal di satu tempat dan saling
mencintai. Dalam waktu tidak berapa lama, kekasihku yang
memang sudah punya dasar ilmu silat sudah mengua-
sai ilmu yang diberikan Guru. Guru tampaknya sangat
bahagia demikian juga aku.
Tapi perasaan bahagia itu mendadak sirna tatkala
suatu malam Guru mendatangiku dan mengajakku
berjalan-jalan di Lembah Patah Hati. Mula-mula Guru
menanyakan bagaimana hubunganku dengan kekasih-
ku. Aku menjawab apa adanya. Guru tampak berubah
murung dan sikapnya lain. Aku bertanya apa ada yang
salah denganku" Dia menghela napas berulang kali
tanpa menjawab. Aku mendesaknya. Dan jawaban
yang kuperoleh seakan membuatku disambar petir di
siang bolong. Guru meragukan itikad baik kekasihku!
Malah dia menyarankan agar aku berusaha melupa-
kannya! Aku penasaran dan mendesak apa alasan
Guru meragukan kekasihku. Tapi Guru tidak mau
menjelaskan. Dia hanya memberi bayangan bahwa ke-


Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lak aku akan menderita jika meneruskan hubungan!
Sejak saat itu aku sering merenung dan mencari
kebenaran ucapan Guru. Namun sejauh ini aku tidak
mengatakan pada kekasihku apa sebenarnya yang te-
lah terjadi. Malah aku berusaha menyelidik pada keka-
sihku. Tapi aku tidak menemukan apa yang menjadi
dugaan Guru. Aku sudah mengatakannya pada Guru.
Namun Guru tetap pada dugaannya. Anehnya Guru ti-
dak mau menerangkan alasannya! Itulah yang mem-
buatku bingung. Hingga terbetik dugaan jelek pada di-
riku terhadap Guru. Selain itu sikap Guru pada keka-
sihku juga lain. Guru jarang sekali mau menemui ke-
kasihku. Dia lebih suka mengurung diri di ruangan-
nya. Malah perlahan-lahan dia juga berubah sikap pa-
daku walau perubahan itu hanya yang ada kaitannya
dengan kekasihku.
Karena tidak juga memperoleh jawaban pasti dari
guruku, akhirnya aku bertanya pada kekasihku apa-
kah dia pernah berlaku yang tidak semestinya pada
Guru. Aku melihat dia terkejut. Dan balik bertanya apa saja yang dikatakan Guru
padaku. Sebenarnya aku tidak mau menjelaskan. Namun terdorong oleh perasaan
cinta dan sesungguhnya aku sudah tak mau dipisah-
kan lagi, akhirnya aku menceritakan juga apa yang di-
katakan Guru. Dia malah terkejut dan heran menden-
gar keteranganku. Dia juga mengatakan tidak pernah
bertindak yang bukan-bukan. Aku coba mengingatkan
padanya mungkin dia bertindak di luar kesadaran. Ta-
pi dia bersikeras menyangkal. Hal ini membuatku
tambah bingung. Apalagi tatkala kekasihku mengata-
kan hendak pergi kalau memang Guru sudah tidak
menyukai keberadaannya di Lembah Patah Hati.
Aku dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit. Di
satu pihak, Guru adalah orang yang menyelamatkan
jiwaku dan mendidikku, di pihak lain hatiku sudah tak mungkin diajak kompromi
untuk bisa berpisah dengan
kekasihku! Hingga akhirnya aku memutuskan untuk
mempertemukan Guru dengan kekasihku. Namun
usulku ditolak olehnya. Malah dia mengajakku untuk
sementara waktu keluar dari Lembah Patah Hati sam-
bil mencari jalan keluar yang baik.
Aku minta izin pada Guru. Ternyata dia tidak men-
cegah. Hanya dia berpesan agar aku waspada dan hati-
hati. Saat itu juga aku keluar dari Lembah Patah Hati.
Seandainya tidak ada persoalan, tentu saat itu aku
sangat bahagia. Namun persoalan yang tiba-tiba
menghadang membuatku tak bisa tenang meski bera-
da di samping kekasihku. Kami berdua mencari tempat
di dalam hutan. Karena hutan itu adalah tempatku
bermain sejak kecil, aku paham benar kawasan hutan
itu. Tiga hari aku dan kekasihku berada di luar Lembah Patah Hati. Namun sejauh
ini kami berdua belum juga
mendapatkan jalan keluar yang baik. Hingga pada sua-
tu malam, aku merasakan sekujur tubuhku terasa pa-
nas bukan alang kepalang. Mula-mula aku menduga
hanya panas biasa atau karena aku banyak berpikir.
Namun lambat laun panas tubuhku makin tinggi. Aku
berusaha menahan dengan kerahkan tenaga dalam.
Tapi tak membawa hasil. Aku coba berteriak memang-
gil kekasihku yang katanya ingin mencari udara di
luar. Tapi hingga suaraku serak dan tak terdengar, tidak ada orang yang datang.
Aku memutuskan untuk
mencari. Namun betapa terkejutnya aku, begitu aku
melangkah, kekuatan kedua kakiku laksana lenyap.
Aku terjatuh dan tak kuasa bangun lagi. Aku berusaha
menggapai. Lagi-lagi aku tersentak. Kedua tanganku
juga hilang kekuatannya. AKU berusaha kerahkan te-
naga dalam Namun tidak bisa membantu banyak. Se-
kuat tenaga aku kembali berteriak. Tapi suaraku lak-
sana lenyap dan hanya sampai tenggorokan.
Keadaan begitu belum juga membuatku berpra-
sangka buruk pada kekasihku. Hanya aku menyesal
mengapa teriakanku tidak juga didengar. Setelah ham-
pir dini hari dan kekasihku tidak juga kunjung mun-
cul, aku mulai gelisah. Perasaanku mengatakan ada
yang tak beres dengan dirinya. Aku mulai percaya pa-
da ucapan Guru. Ingat hal itu dengan susah payah
aku menyeret tubuh menuju Lembah Patah Hati. Ka-
rena keadaanku tidak memungkinkan, aku baru sam-
pai Lembah Patah Hati kala matahari sudah terbit.
Dengan sisa-sisa tenagaku aku kembali berteriak
memanggil Guru. Namun tidak terdengar sahutan. En-
tah karena suaraku sudah serak atau memang Guru
tidak ada, yang jelas aku tidak mendapat jawaban.
Aku berusaha merangkak dengan pantatku ke ruan-
Suling Emas Dan Naga Siluman 28 Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Pedang Golok Yang Menggetarkan 14
^