Pencarian

Lembah Patah Hati 3

Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati Bagian 3


gan Guru. Aku terkesima dan hampir tak percaya.
Guru tergeletak tak bergerak-gerak di atas lantai batu dengan ceceran darah di
sebelahnya. Laksana hendak
terbang aku melompat ke arah Guru. Aku sepertinya
lupa akan keadaanku. Namun aku tak bisa melaku-
kannya. Hingga dengan menyeret tubuh aku bergerak
mendekat. Aku melolong begitu melihat keadaan Guru. Dari
mulutnya terus keluar darah kehitaman. Matanya ter-
pejam dan dadanya tidak berdetak. Sekuat tenaga aku
berusaha menyadarkan Guru. Ternyata usahaku ber-
hasil. Guru membuka matanya lalu memandangku
dan bertanya dengan suara tersendat-sendat bagaima-
na keadaanku. Aku tidak kuasa menceritakannya. Yang penting
adalah keselamatan Guru. Aku kembali berusaha sa-
lurkan tenaga dalam. Namun keadaanku tampaknya
tidak memungkinkan. Lagi pula pada saat itu, Guru
gelengkan kepalanya perlahan dan berucap pelan
bahwa tidak ada gunanya apa yang kulakukan! Tanpa
kutanya, guru segera menceritakan apa yang telah ter-
jadi. Aku hampir tak percaya mendengarnya. Ternyata
semua itu adalah tindakan kekasihku!
Menurut Guru, pada mulanya dia memang meman-
dang baik pada kekasihku. Namun pada suatu malam
ternyata Guru sempat memergoki kekasihku berada di
ruangannya. Pada malam-malam tertentu, Guru me-
mang keluar dari Lembah Patah Hati. Entah ke mana
dia pergi dia tak pernah mau mengatakannya. Guru
menegur dan memperingati. Namun hal itu terulang
lagi hingga sampai tiga kali. Sejak saat itulah Guru berubah sikap dan
mengatakan padaku agar melupakan
pemuda itu. Pada akhir penuturannya, Guru mengatakan kalau
selama ini sebenarnya dia tengah membuat sebuah ki-
tab. Entah bagaimana awalnya, yang jelas di dalam ki-
tab itu katanya termuat juga apa yang akan terjadi di Lembah Patah Hati. Dia
juga menyebut-nyebut nama
Datuk Wahing, Gendeng Panuntun, Nyai Tandak Kem-
bang, Iblis Ompong, Dewa Uuk, Dewi Ayu Lambada,
juga seorang pendekar bergelar Pendekar Pedang
Tumpul 131. Sebelum menutup mata, Guru sedikit bercerita,
bahwa kelak akan terjadi peristiwa besar berkaitan
dengan Kampung Setan. Di dalam Kampung Setan ter-
dapat dua senjata mustika Kembang Darah Setan dan
Jubah Tanpa Jasad. Senjata mustika itu tak bisa di-
hadapi selain dengan mutiara merah yang ada pada
pusar seorang bayi yang kelak akan lahir di Lembah
Patah Hati. Dan bayi itu akan lahir dari salah seorang gadis kembar. Cuma saja
bayi itu lahir tanpa didam-pingi ayahnya. Karena....
SI nenek tidak lanjutkan ucapan. Sebaliknya ber-
paling pada Kigali dan Pitaloka yang sedari tadi me-nyimak cerita orang dengan
seksama. "Kami sudah tahu, Nek.... Sekarang ceritakan bagai-
mana dengan kekasihmu itu!" ujar Kigali dengan meli-
rik pada Pitaloka yang sosoknya tiba-tiba tampak ber-
getar. "Aku sempat bertanya di mana kitab Guru disim-
pan! Tapi dia gelengkan kepala dan mengatakan tak
ada gunanya dicari. Karena ternyata kitab itu telah diambil oleh pemuda jahanam
itu! Jadi selama ini dia
diam-diam menyelidik apa yang dilakukan Guru. Aku
tak menyangka sama sekali. Tapi semuanya sudah ter-
lambat.... Saat Guru menutup mata, muncullah jaha-
nam itu! Dia kemudian membeberkan siapa dia sebe-
narnya! Dan tanpa belas kasihan lagi, dia menyeretku
lalu memasukkan aku ke dalam ruangan ini! Berta-
hun-tahun aku berusaha memulihkan keadaan. Na-
mun racun yang sudah merasuk dalam diriku tidak bi-
sa diobati lagi! Sejak itulah penderitaan panjang itu mulai.... Aku sudah tak
ingat berapa tahun berada di
sini. Dan bagaimana keadaan di Lembah Patah Hati di
atas sana. Yang jelas begitu aku dimasukkan ke dalam
ruangan ini, aku mendengar suara ledakan gelegar be-
berapa kali. Tanah di sini pun porak-poranda. Aku
hanya berpikir, mungkin pemuda jahanam itu telah
menghancurkan kediaman Guru...."
Si nenek hentikan ucapannya sambil menyeka air
mata. Tak lama kemudian dia berucap lagi. "Tidak ber-
selang lama, kira-kira setengah purnama yang lalu, jahanam itu datang lagi ke
sini! Dia bersama seorang
pemuda memakai mantel hitam. Kukira pemuda itu
adalah muridnya! Walau telah berpuluh tahun tidak
berjumpa, namun aku masih dapat mengenalinya. Ru-
panya dia sudah memperhitungkan bahwa waktu yang
dinantikan akan segera tiba! Rupanya dia tergiur den-
gan dua senjata mustika yang tersimpan di Kampung
Setan. Dengan mutiara di pusar bayi yang akan lahir
di Lembah Patah Hati ini dia pikir dengan mudah akan
mendapatkan Kembang Darah Setan dan Jubah Tanpa
Jasad!" "Tapi, Nek...."
"Panggil saja aku Umbu Kakani. Usia kita mungkin
tidak jauh berbeda!" sahut si nenek memotong ucapan
Kigali. Kigali anggukkan kepala lalu berucap lagi. "Seka-
rang Kembang Darah Setan serta Jubah Tanpa Jasad
telah keluar dari Kampung Setan. Kini kedua senjata
mustika itu di tangan orang yang belum bisa dikenali
siapa sebenarnya!"
Umbu Kakani gelengkan kepala. "Kurasa itu tak jadi
masalah! Dan mungkin akan lebih mudah merebutnya!
Tapi.... Kuharap kalian nanti mau membantuku. Se-
tidaknya untuk tidak memberikan mutiara merah itu
kelak pada jahanam bangsat yang telah menipu sekali-
gus menghancurkan hidupku!"
"Aku akan membantumu, Nek!" sahut Pitaloka.
"Dan mutiara merah itu akan ku pertahankan. Karena
justru manusia keparat yang membuatku begini ini
adalah orang di balik Jubah Tanpa Jasad yang di tan-
gannya juga menggenggam Kembang Darah Setan!"
"Nasibmu memang tidak baik, Pitaloka! Tapi ku-
harap kau bersabar menerima kenyataan ini! Percaya-
lah, di balik suatu peristiwa terdapat pelajaran yang sangat berharga dan tak
mungkin kita lupakan!"
"Umbu Kakani.... Demi keselamatan mutiara merah
itu, bagaimana kalau kita untuk sementara waktu
mencari tempat yang aman"!"
Umbu Kakani kembali gelengkan kepala. "Bayi itu
harus lahir di Lembah Patah Hati ini! Apa pun nanti
yang akan terjadi, kita harus siap menghadapinya!"
Baru saja Umbu Kakani berucap begitu, mendadak
terdengar suara gelegar keras. Dan tak lama kemudian
kembali terdengar dentuman. Saat lain kembali ter-
dengar gelegar.
Umbu Kakani, Kigali, dan Pitaloka saling pandang
satu sama lain. "Tampaknya telah terjadi bentrokan di luar sana. Namun mendengar
suaranya, tempat itu
masih berada di luar Lembah Patah Hati. "Hemmm....
Ini satu bukti bahwa bukan hanya keparat bangsat itu
yang tahu persoalan. Ada orang lain yang mengeta-
huinya!" kata Umbu Kakani.
"Benar...," sahut Kigali. "Sekarang aku berterus te-
rang. Pada mulanya aku merahasiakan pada Pitaloka
tentang beberapa orang yang kujumpai di dalam hu-
tan. Hal itu kulakukan karena aku tak mau melihat Pi-
taloka selalu berpikir. Kuharap kau mengerti, Anak-
ku...," kata Kigali seraya memandang pada Pitaloka. Pitaloka anggukkan kepala.
"Beberapa orang yang sempat kutemui di dalam hu-
tan itu sebenarnya tengah mencari Pitaloka! Bahkan
Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun terus terang
menyebut-nyebut kandungan dan bayi! Bahkan kalau
tak salah dia juga sebut-sebut malam purnama!"
"Kapan malam purnama itu"!" tanya Umbu Kakani.
"Kira-kira sebelas hari di muka!"
"Kurasa belum sampai purnama depan bayi itu
akan lahir! Yang menjadi pikiranku sekarang, bagai-
mana cara menghadapi beberapa orang itu! Dengan
terdengarnya gelegar barusan, berarti mereka sudah
tidak jauh dari tempat ini! Hem.... Seandainya kea-
daanku normal, mungkin saja aku bisa berbuat ba-
nyak! Tapi apa pun yang nanti akan terjadi, kita harus berusaha menyelamatkan
mutiara merah itu! Sekaligus aku ingin membayarkan nyawa Guru!"
"Oohh.... Ohh...!" Tiba-tiba Pitaloka perdengarkan
keluhan. Wajahnya pucat pasi. Kedua tangannya me-
nakup pada perutnya. Tubuhnya bagian atas nampak
menekuk ke bawah.
Umbu Kakani segera melompat menjauh. "Kigali....
Harap letakkan Pitaloka telentang di atas jerami! Setelah itu kuharap kau agak
menjauh!" Tanpa banyak bicara lagi, Kigali segera melakukan
ucapan Umbu Kakani. Lalu cepat balikkan tubuh dan
melangkah agak menjauh. Namun diam-diam dia
membatin. "Dia masuk ke tempat ini dalam usia yang
masih muda. Apakah dia nanti mengerti bagaimana
merawat orang akan melahirkan"! Ah.... Sebagai pe-
rempuan, walau belum pernah melahirkan, tapi
mungkin dengan firasatnya dia tahu bagaimana ca-
ranya!" Walau telah berpikir begitu, namun perasaan kha-
watir masih juga melanda dada Kigali. Hingga perla-
han-lahan dia berpaling. Namun saat itu tepat Umbu
Kakani juga tengah menoleh. Dengan muka merah pa-
dam, Kigali cepat palingkan kepalanya lagi seraya be-
rujar. "Maaf.... Aku hanya khawatir. Karena kurasa kau
belum pernah...."
"Aku memang belum pernah melahirkan. Tapi Guru
pernah bercerita padaku! Mungkin dia sudah punya fi-
rasat bahwa kelak aku akan menolong gadis yang akan
melahirkan! Jadi kau tidak usah gelisah...."
Kigali angguk-anggukkan kepala seraya melangkah
ke arah lobang dari mana dia tadi masuk. Namun da-
danya mulai berdebar. "Tidak kusangka kalau aku ma-
sih saja berurusan dengan masalah Kampung Setan!
Padahal aku tidak pernah membayangkan!"
*** SEMBILAN KITA kembali ke tempat tidak jauh dari Lembah Pa-
tah Hati. Seperti diketahui, saat Malaikat Berkabung
lepaskan pukulan pada murid Pendeta Sinting, dan
murid Pendeta Sinting dalam keadaan tidak mengun-
tungkan, mendadak terdengar bersinan. Lalu satu ge-
lombang menghadang pukulan Malaikat Berkabung.
Saat lain terlihat dua sosok keluar dari semak belukar.
Keduanya melangkah terbungkuk-bungkuk.
Di sebelah kanan adalah seorang kakek berambut
tipis. Tangan kirinya memegang bumbung bambu.
Tangan kanan memegang ilalang. Kakek ini kepalanya
selalu bergerak-gerak pulang balik ke depan ke bela-
kang dengan mimik seperti orang hendak bersin.
Di sebelah kiri adalah seorang kakek bertubuh tam-
bun besar mengenakan pakaian gombrong warna hi-
jau. Rambutnya disanggul ke atas. Pada pinggangnya
yang besar melilit ikat pinggang yang tepat di depan
perutnya menggantung sebuah cermin bulat. Kakek ini
terbungkuk-bungkuk dengan sedikit angkat kepalanya
seolah tengah melihat langit. Padahal sepasang mata-
nya berwarna putih, satu tanda jika orang ini buta.
"Setan-setan tua! Dari mana saja kalian"!" Dayang
Sepuh sudah membentak melihat kemunculan orang
yang bukan lain adalah Datuk Wahing dan Gendeng
Panuntun. "Bruss! Bruss! Jangan membuatku heran, Nek! Ju-
stru seharusnya kami yang bertanya ke mana saja
kau! Kami telah mencarimu ke seluruh hutan! Ujung-
ujungnya bertemu di sini tengah main petak umpet
dengan seorang kakek gagah!" kata Datuk Wahing lalu
hentikan gerakan kepalanya dan memandang pada
Pendekar 131. "Bruss! Bruss! Aku juga heran padamu, Anak Mu-
da! Mau-maunya kau bermain-main dengan orang se-
jenis! Padahal kau biasanya lebih suka main-main
dengan gadis cantik! Apa kau kira enak main-main
dengan sesama jenis!"
"Lagi pula seharusnya kau mengerti, Anak Muda!"
Kali ini yang angkat bicara adalah Gendeng Panuntun.
"Kau tidak boleh main-main di dekat sini! Itu akan
mengganggu bibimu! Kau lihat sendiri, bagaimana sak-
ing takutnya bibimu sampai ngumpet-ngumpet di balik
semak!" "Seharusnya memang begitu, Kek! Tapi aku khawa-
tir Bibi tidak bisa menahan diri! Tapi begitu aku mengerti keadaan sebenarnya,
kini aku tidak cemas lagi!"
"Bruss! Bruss! Kau membuatku heran dengan uca-
panmu, Anak Muda! Bisa menjelaskan sedikit"!"
"Menurut yang kulihat di tangan, kakek gagah itu
buyungnya sangat kecil sekali. Sebaliknya sarang te-
lurnya sangat besar sekali. Hingga bentuknya mengge-
likan. Sementara sahabat muda itu, buyungnya me-
mang normal. Sayang.... Sudah sejak lama sekarat,
hingga tak mau diajak bersenang-senang! Makanya
aku mengajaknya bermain-main agar dapat menghi-
burnya!" "Tutup mulut setanmu, Geblek!" Dayang Sepuh
membentak dengan mata mendelik angker.
"Bruss! Bruss! Jangan terburu-buru marah, Nek!
Kami semua heran dan maklum akan tindakanmu!


Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang membuatku heran hanyalah mengapa kau memi-
lih kakek gagah yang punya mainan lucu itu"! Apa se-
belumnya kau belum tahu"!"
"Kalau mulut setan kalian tak bisa diam, jangan
menyesal!" hardik Dayang Sepuh. Si nenek sudah
hendak bergerak. Namun dia urungkan tatkala tiba-
tiba Gendeng Panuntun buka suara.
"Tahan, Nek! Sebaiknya kau jelaskan saja apa se-
benarnya yang terjadi! Selain main petak umpet tentu
kau punya acara lain...."
"Setan jabrik itu telah membuka urusan denganku!
Dia juga berpura-pura sok tahu tentang urusan kita!"
Kakek berambut putih jabrik tertawa. "Silakan kau
bicara seenakmu, Nenek Slebor! Yang pasti aku tahu
semuanya. Aku juga tahu siapa kedua temanmu itu!"
Si kakek arahkan pandang matanya pada Datuk Wah-
ing dan Gendeng Panuntun. "Bukankah dia Datuk
Wahing dan Gendeng Panuntun"! Dan tak lama lagi
mungkin rombongan Iblis Ompong akan muncul juga
di sini!" "Bruss! Bruss! Terima kasih kau telah mengenaliku,
Sahabat! Tapi akan mengherankan bila kau tak mau
perkenalkan diri!"
Kakek berambut putih jabrik gelengkan kepala.
"Rasanya belum saatnya kalian tahu siapa diriku! Lagi pula tidak ada gunanya
kalian tahu. Karena sebentar
lagi kalian akan menghadap alam lain!"
"Dan kepastian itu ada tanganku!" Yang menyahut
adalah Malaikat Berkabung.
"Hebat! Hebat.... Ternyata selain kalian sudah me-
ngerti urusan orang, juga tahu dan bisa memastikan
kematian orang!" kata Gendeng Panuntun. "Kalau bo-
leh tanya, apakah kalian juga tahu apa kepastian yang kelak akan kalian alami"!"
Sambil bertanya tangan kanan Gendeng Panuntun usap-usap cermin bulatnya.
Kakek berambut putih jabrik dan Malaikat Berka-
bung tidak ada yang buka mulut menjawab. Gendeng
Panuntun mendongak lalu berkata lagi.
"Kau, Anak Muda.... Kepastianmu mungkin masih
lebih baik! Tapi sahabatku kakek berambut putih itu
akan mengalami nasib yang kurang baik! Dia akan
mengambil buah dari tindakannya di masa lalu! Dia
memang berilmu tinggi, namun karma akan tetap
membelenggunya! Dan itu akan datang tidak lama la-
gi.... Kalau mau kusarankan...." Gendeng Panuntun
luruskan kepalanya pada Malaikat Berkabung. Lalu te-
ruskan ucapan. "Tinggalkan saja tempat ini, Anak Mu-
da! Kau tidak akan mendapatkan apa-apa selain pera-
saan kecewa dan pulang dengan dendam membara!"
Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun hadapkan
wajahnya pada kakek berambut putih jabrik. "Saha-
bat.... Sebenarnya aku tidak mau bicara lancang me-
nasihatimu karena usia kita tidak jauh berbeda. Na-
mun demi kebaikan, ini harus kukatakan.... Sebaiknya
kau minta maaf pada orang yang telah berjasa padamu
dan kau khianati! Mungkin mereka tidak akan me-
maafkan, tapi setidaknya kau telah memintanya! Hal
itu akan melepaskan karma dari dirimu! Siapa tahu
dengan tindakanmu itu, nasibmu akan berubah...."
"Manusia itu ternyata bisa membaca apa yang per-
nah kulakukan! Tapi siapa percaya dengan ramalan-
nya"! Dengan terbongkarnya gugusan batu di Lembah
Patah Hati, berarti gadis yang akan melahirkan itu
mungkin telah berada di sana! Aku tak boleh menyia-
nyiakan kesempatan ini! Ramalannya tadi mungkin
hanya untuk menakut-nakuti agar aku urungkan niat
dan menggagalkan rencanaku mengambil mutiara me-
rah! Hemm.... Dikira aku manusia bodoh yang mudah
digertak dengan ramalan busuk!" Diam-diam si kakek
berambut putih jabrik membatin. Lalu berkata lan-
tang. "Gendeng Panuntun! Aku tahu apa maksud uca-
panmu! Tapi jangan kira aku takut dan bodoh dengan
turuti ucapanmu! Justru sebaiknya kalian segera ting-
galkan tempat Ini!"
"Benar! Tapi tanpa satu pun yang menyandang
nyawa!" Malaikat Berkabung menimpali.
Baru saja Malaikat Berkabung sambuti ucapan ka-
kek berambut putih jabrik, tiba-tiba terdengar suara
lain yang datang dari arah samping agak jauh.
"Nah.... Kalian dengar apa katanya"! Kita akan
mampus jika ikut-ikutan bergabung ke sana! Bukan-
kah lebih baik kita tinggalkan saja tempat ini sebelum terlambat"!"
Datuk Wahing, Gendeng Panuntun, Pendekar 131
sama mendongak. Dayang Sepuh melirik ke arah
sumber suara. Malaikat Berkabung dan kakek beram-
but putih jabrik cepat sentakkan kepala masing-
masing ke samping dari mana suara lain tadi terden-
gar. Belum ada yang tahu siapa adanya orang yang baru
saja berucap, dan belum juga ada di antara mereka
yang menyahut, terdengar suara sahutan dari tempat
di mana suara tadi terdengar.
"Mengapa kau takut dengan suara orang"! Dia me-
mang bernama Malaikat, tapi bukan malaikat beneran
yang bertugas mencabut nyawa orang! Dan kalian
dengar tadi..." Dia punya buyung yang tengah sekarat.
Sementara temannya punya buyung sangat kecil ber-
bentuk menggelorakan, eh.... Maksudku berbentuk
menggelikan. Aku jadi penasaran untuk melihatnya!
Hik.... Hik.... Hik...! Belum melihat saja aku sudah geregetan dan gemas!
Lihat.... Bulu kudukku meregang,
eh.... Maksudku meremang!" Suara sahutan ini jelas
diperdengarkan oleh perempuan.
"Uuuukk! Uuukkk! Uuuukkk!" Saat lain terdengar
sahutan suara tanpa kata.
"Ah.... Bicara sama dia repot! Harus berteriak! Pada-
hal kita tengah mengintip orang!" terdengar lagi suara.
Sepertinya suara ini adalah suara orang yang pertama.
"Kalian tak usah sembunyi-sembunyi! Tunjukkan
saja tampang kalian!" Malaikat Berkabung memben-
tak. Dari balik semak muncul dua kepala. Kali ini Datuk
Wahing dan Pendekar 131 ikut hadapkan wajah ke
arah semak dari mana muncul dua kepala. Sementara
Malaikat Berkabung dan kakek berambut putih jabrik
makin mendelik tak berkesip. Dayang Sepuh komat-
kamit dan urungkan bentakan.
Dua kepala itu ternyata milik dua orang perem-
puan. Sebelah kanan berambut lebat dihiasi beberapa
bunga. Sementara di sebelah kiri dibiarkan bergerai.
Yang dihiasi bunga adalah perempuan berusia empat
puluhan tahun namun parasnya masih kelihatan can-
tik. Sementara yang rambutnya digeraikan adalah seo-
rang gadis muda berparas luar biasa cantik.
Tanpa ada yang buka suara, kedua orang perem-
puan ini perlahan-lahan keluar dari balik semak. Yang berusia agak lanjut
ternyata mengenakan pakaian
warna putih sebatas dada mirip pakaian para penari.
Kedua tangannya merangkap di depan dada. Pada sela
jari tengah dan jari telunjuk kedua tangannya terlihat sekuntum bunga. Sementara
gadis di sampingnya
mengenakan pakaian warna merah.
"Nyai Tandak Kembang! Putri Kayangan!" gumam
murid Pendeta Sinting mengenali siapa adanya kedua
orang yang baru muncul. "Mengapa mereka yang mun-
cul"! Padahal suara tadi jelas bukan suara mereka!
Mengapa bisa begini"! Atau mereka berdua bisa meni-
rukan suara orang"!" Diam-diam Joko membatin.
Dayang Sepuh tak kalah kagetnya melihat siapa ge-
rangan yang muncul karena di luar dugaannya. "Se-
tan betul! Mengapa setan-setan perempuan ini yang
nongol"! Seharusnya bukan mereka!"
"Bruss! Bruss!"
Datuk Wahing perdengarkan bersinan dua kali na-
mun tanpa disusuli ucapan. Dia memandang dengan
kepala disorongkan ke depan seolah belum percaya
dengan pandangannya.
Yang tak kalah kaget dan terkesima adalah Malaikat
Berkabung dan kakek serambut jabrik putih. Untuk
beberapa saat kedua orang ini memandangi kedua
orang yang baru muncul dan bukan lain adalah Nyai
Tandak Kembang dan Putri Kayangan dari atas hingga
bawah. Hanya Gendeng Panuntun yang terlihat tenang-
tenang saja dan kepala terus mendongak.
"Beda Kumala! Kau tak usah ikut bicara!" gumam
Nyai Tandak Kembang seraya melirik pada Beda Ku-
mala alias Putri Kayangan yang tegak di sampingnya.
Yang diajak bicara tampak terkejut. Bukan karena
suara Nyai Tandak Kembang namun karena saat itu si
gadis tengah memandang pada Pendekar 131 Joko
Sableng! Nyai Tandak Kembang arahkan pandang matanya
ke arah satu persatu orang yang ada di tempat itu. La-lu pandang matanya beralih
ke arah rimbunan semak
belukar agak jauh ke samping kanan. Dia berkata sen-
diri dalam hati.
"Aku tahu mereka bersembunyi di balik semak itu!
Mereka tadi sengaja memindahkan suara ke tempat
mana aku dan Beda Kumala berada. Hingga semua
orang memandang ke tempatku! Hem.... Sebenarnya
aku tidak akan keluar tunjukkan diri. Namun karena
semua orang sudah memandang ke tempatku, percu-
ma saja aku bersembunyi! Tapi mereka pun juga harus
keluar dari persembunyiannya!"
Membatin begitu, tak lama kemudian Nyai Tandak
Kembang buka mulut. "Kalian yang ada di balik se-
mak! Mengapa takut tunjukkan diri namun berani me-
nunjukkan tempat di mana kami berada"!"
"Nah.... Bagaimana sekarang"! Ini gara-gara renca-
namu! Kau mengajakku memindahkan suara!" Terden-
gar gumaman seseorang. Meski semua orang tahu
bahwa suara yang baru terdengar adalah suara orang
yang pertama kali tadi menyeruak, namun suara itu
datangnya dari tempat lain!
"Kalau sudah telanjur begini apa hendak dikata!
Tak ada gunanya main intip-intipan lagi! Terlebih-lebih aku ingin segera beradu
tampang dengan anak manusia yang katanya punya barang lucu tadi! Hik.... Hik....
Hik...! Ayo kita keluar!" sambut suara seorang perem-
puan ditingkah dengan suara cekikikan.
"Uuukkk! Uuuukk! Uuukkk!" Lalu disusul dengan
suara lain lagi tanpa kata.
"Dia tidak mau ikut keluar!" kata orang yang perta-
ma. Suara ini adalah suara laki-laki.
"Dasar anak bendel! Kita seret saja kalau masih
bandel tak mau tunjukkan muka! Lagi pula apa yang
perlu ditakutkan"! Perlu kita cuma melihat wajah-
wajah orang yang memiliki barang antik lucu!"
Setelah terdengar suara sahutan begitu, dari semak
di mana Nyai Tandak Kembang tengah memandang,
muncul tiga sosok tubuh. Dua orang melangkah di de-
pan dengan tangan masing-masing menyeret satu so-
sok tubuh yang melangkah terseok-seok di belakang-
nya! Orang di depan sebelah kanan adalah seorang ka-
kek berpakaian agak lusuh bermuka tirus. Rambutnya
putih panjang. Orang ini melangkah dengan kepala se-
dikit didongakkan meski sebenarnya dia tidak memiliki leher hingga sosoknya agak
tertarik sedikit ke belakang. Sambil tengadah mulutnya terbuka lebar. Dan
ternyata kakek ini tidak mempunyai gigi!
Sementara di sebelah kakek ompong yang bukan
lain adalah Iblis Ompong, adalah seorang nenek ber-
pakaian agak gombrong berambut putih panjang. Pa-
ras wajahnya hanya terlihat sebagian, karena selain
tertutup dengan sebagian rambutnya, nenek ini juga
mengenakan kerudung hitam panjang menjulai sampai
perut di atas kepalanya. Hingga bagian samping wajah-
nya tertutup. Nenek ini melangkah dengan sedikit ber-
lenggak-lenggok laksana orang akan melakukan se-
buah tarian. Nenek ini tidak lain adalah Dewi Ayu
Lambada. Iblis Ompong dan Dewi Ayu Lambada menyeret satu
sosok tubuh yang terseok-seok. Dia adalah seorang
kakek yang juga berpakaian agak kumal. Rambutnya
tipis. Seraya terseok-seok kakek Ini perdengarkan sua-ra Uuukk! Uuukk! Uukkk!
berulang kali. Dari suara
dan sikapnya semua orang bisa menebak jika kakek
ini adalah orang bisu. Dia bukan lain adalah Dewa
Uuk. Ketiga orang ini berhenti tidak jauh dari Dayang Se-
puh. Iblis Ompong dan Dewi Ayu Lambada lepaskan
cekalan tangan masing-masing yang menyeret kedua
tangan Dewa Uuk.
"Urusan akan jadi kesetanan dengan munculnya se-
tan-setan gila ini!" desis Dayang Sepuh. Ekor mata-nya
melirik tajam pada ketiga orang yang telah tegak tidak jauh darinya.
"Temanku, Dayang Sepuh.... Mana tampang orang
yang katanya memiliki buyung lucu Itu"! Kau tampak-
nya sangat gembira hari ini. Apakah karena baru ma-
in-main dengan barang lucu tadi"!" Yang angkat bicara adalah Dewi Ayu Lambada.
Walau agak jengkel mendengar kata-kata Dewi Ayu
Lambada, namun tak lama kemudian Dayang Sepuh
tertawa bergelak. Dewi Ayu Lambada tidak tinggal di-
am. Tawanya segera pula meledak. Dan entah karena
apa, tiba-tiba Iblis Ompong ikut pula perdengarkan
suara tawa. Saat yang sama, mendadak Dewa Uuk lo-
rotkan diri dan duduk menjeplok di atas tanah. Lalu
perdengarkan suara Uukkk! Uukk! Uuukkk! beberapa
kali dengan kedua tangan ditadangkan di belakang ke-
dua telinganya.


Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Datuk Wahing kernyitkan dahi. Namun sesaat ke-
mudian kepalanya telah bergerak pulang balik ke de-
pan ke belakang. Lalu terdengar bersinannya beberapa
kali bahkan bersinan itu laksana diperdengarkan dari delapan penjuru mata angin
dan terus pantul memantul ke seantero tempat itu! Hingga tempat itu dibuncah
suara-suara riuh rendah tak karuan bercampur aduk!
"Tutup jalan pendengaranmu, Beda Kumala!" bisik
Nyai Tandak Kembang ketika menyadari bahwa suara-
suara yang terdengar bukanlah suara sembarangan.
Melainkan telah dialiri tenaga dalam kuat.
"Hem.... Tampaknya mereka mau unjuk kebolehan!
Mereka belum tahu siapa yang dihadapi kali ini!" gu-
mam kakek berambut putih jabrik. Lalu memberi isya-
rat pada Malaikat Berkabung.
Tanpa banyak bicara, Malaikat Berkabung melesat
dan tegak dua langkah di samping kakek berambut
putih jabrik. "Rupanya perhitungan kita meleset! Seharusnya
mereka tidak boleh bertemu jadi satu begini! Bukan-
nya aku keder menghadapi mereka. Tapi kita harus le-
bih banyak keluarkan tenaga!" Si kakek berambut pu-
tih jabrik berbisik pada Malaikat Berkabung.
"Kita masih punya banyak waktu. Apa untuk se-
mentara ini kita permainkan mereka agar mereka ter-
pisah satu sama lain"!"
Si kakek gelengkan kepala. "Tak ada gunanya itu di-
lakukan! Walau kita belum mengenal betul siapa me-
reka, dari kabar yang selama ini kuketahui, mereka
bukan orang yang mudah dibodohi! Lagi pula waktu
kita tidak banyak lagi! Gugusan batu penutup itu telah lenyap porak-poranda.
Berarti ada orang yang telah
memasuki tempat itu! Aku sudah bisa menebak siapa
orangnya! Buku warisan itu telah menjelaskan semua-
nya! Apa yang kita cari telah di depan mata.... Kita tak boleh menyia-nyiakan!
Kita hadapi mereka!" kata kakek berambut putih jabrik lalu anggukkan kepala.
Malaikat Berkabung melirik pada Dewi Ayu Lamba-
da, Dayang Sepuh, Iblis Ompong, dan Dewa Uuk yang
telah hentikan suara masing-masing. Saat lain pemuda
ini melangkah dan tegak satu langkah di depan kakek
berambut putih jabrik.
Kakek berambut putih jabrik segera angkat kedua
tangannya dengan telapak terbuka lalu disentakkan
dan ditempelkan pada punggung Malaikat Berkabung.
Saat bersamaan kedua orang ini putar diri menghadap
Dayang Sepuh dan Dewi Ayu Lambada serta Iblis Om-
pong dan Dewa Uuk.
Dua nenek dan dua kakek saling pandang satu sa-
ma lain. Kejap lain Dewi Ayu Lambada rapikan keru-
dung hitamnya. Dayang Sepuh rapikan poni rambut-
nya. Lalu Dewi Ayu Lambada melompat dan tegak di
belakang Dayang Sepuh. Seperti halnya kakek beram-
but putih jabrik, Dewi Ayu Lambada segera angkat ke-
dua tangannya dengan telapak terbuka lalu ditempel-
kan pada punggung Dayang Sepuh. Iblis Ompong tak
tinggal diam, dia melompat pula ke belakang Dewi Ayu
Lambada lalu tegak di belakang si nenek. Namun bu-
kan menghadap ke arah Dewi Ayu Lambada, melain-
kan tegak membelakangi! Saat lain dia bungkukkan
tubuh menungging. Pantatnya ditempelkan pada pan-
tat Dewi Ayu Lambada.
Melihat apa yang dilakukan ketiga orang di sam-
pingnya, Dewa Uuk celingukan sebentar. Lalu sentak-
kan kedua tangannya ke tanah. Sosoknya yang men-
jeplok berkelebat dan duduk lagi menjeplok di depan
Iblis Ompong yang menungging!
"Ah.... Kau ikut-ikutan juga!" kata Iblis Ompong lalu letakkan kedua tangannya
di pundak kanan kiri Dewa
Uuk. Sementara kepalanya memperhatikan Malaikat
Berkabung dan kakek berambut putih jabrik dari sela
kedua kakinya yang direnggangkan!
"Jurus 'Jalur Bertangga'!" Tiba-tiba Gendeng Pa-
nuntun berseru.
Malaikat Berkabung dan kakek berambut putih ja-
brik tampak terkejut namun tidak gerakkan ketika
berpaling. "Manusia buta itu tahu jurus yang kita lakukan!"
bisik kakek berambut putih jabrik.
"Dan keempat tua bangka itu tampaknya juga akan
melakukan hal yang sama seperti kita!" Malaikat Ber-
kabung menyahut.
"Setan!" Mendadak Dayang Sepuh membentak.
"Jangan keras-keras menekan punggungku! Geser ke-
dua tanganmu sedikit. Kelabangan rambutku bisa ru-
sak!" Dewi Ayu Lambada cekikikan lalu menggeser sedikit
kedua tangannya yang menempel di punggung Dayang
Sepuh. Namun tiba-tiba orang ini putuskan cekikikan-
nya seraya berpaling sedikit ke belakang dan berseru
keras. "Setan! Pantatmu jangan terus menggeser-geser be-
gitu! Aku geli!"
Walau berseru begitu, tapi nenek berkerudung ini
lenggak-lenggokkan pantatnya hingga pantat Iblis Om-
pong yang menempel ke pantatnya ikut bergerak-
gerak. "Sialan! Siapa yang menggeser-geser! Kau yang dari
tadi melenggak-lenggok tak karuan!" sahut Iblis Om-
pong. Karena pantatnya bergerak-gerak kedua tangan-
nya yang memegang pundak kanan kiri Dewa Uuk Ikut
bergoyang-goyang. Hingga sosok Dewa Uuk doyong ke
samping kiri kanan!
"Uuukkk! Uuukk! Ukkkk!" Dewa Uuk buka mulut
dengan kedua tangan bergerak pulang balik ke samp-
ing memberi isyarat agar Iblis Ompong hentikan gera-
kannya. "Bukan aku yang bergerak! Tapi yang di depan!" te-
riak Iblis Ompong dengan keras.
Datuk Wahing tampak terpingkal-pingkal melihat
keempat orang di depan sana. Murid Pendeta Sinting
geleng-geleng kepala dan sesekali melirik pada Putri
Kayangan. Gendeng Panuntun tetap tengadah tanpa
buka mulut lagi. Hanya Nyai Tandak Kembang yang
memperhatikan orang dengan mata tak berkesip. Di
sebelahnya, Putri Kayangan tampak gelisah dan tak ja-
rang melirik juga pada Pendekar 131.
Di depan sana, tiba-tiba kakek berambut putih ja-
brik perdengarkan bentakan garang yang kemudian
disambut bentakan pula oleh Malaikat Berkabung.
Saat bersamaan Malaikat Berkabung angkat kedua
tangannya saling menakup di depan dada lalu dibuka
dan didorong ke depan.
Tanah di sekitar tempat itu laksana dilanda gempa.
Daun-daun berguguran. Di seberang sana, Dayang Se-
puh yang tegak paling depan mengikuti gerakan yang
dilakukan Malaikat Berkabung. Kedua tangannya lalu
didorong. Tanah di tempat itu makin bergetar. Daun-daun
makin banyak berluruhan. Namun belum sampai dari
tangan Malaikat Berkabung dan Dayang Sepuh le-
satkan gelombang yang tentu saja sangat dahsyat ka-
rena terdiri dari gabungan beberapa tenaga dalam, ti-
ba-tiba mereka disentakkan oleh terdengarnya tangi-
san bayi dari arah lembah!
*** SEPULUH MALAIKAT Berkabung cepat tarik pulang kedua
tangannya. Dayang Sepuh ikut-ikutan urungkan niat
dorongkan kedua tangannya. Dan laksana disentak se-
tan, kepala semua orang di tempat itu berpaling ke
arah lembah di depan sana.
Namun yang paling tampak tersentak adalah Nyai
Tandak Kembang dan kakek berambut putih jabrik.
Diam-diam Nyai Tandak Kembang membatin.
"Aneh.... Dengan terdengarnya suara bayi itu, aku
dapat mencium lagi aroma tubuh Pitaloka! Dia berada
di lembah itu!" Paras wajah perempuan dari lereng
Gunung Semeru ini tampak berubah. Matanya mende-
lik. Dagunya mengembang dengan pelipis kanan kiri
bergerak-gerak. "Pitaloka.... Kau benar-benar melahirkan bayi! Kau benar-benar
mengandung! Bagaimana
hal ini sampai kau lakukan" Kau benar-benar tak tahu
diri! Membuat malu!" Mungkin saking geramnya, sosok
Nyai Tandak Kembang tampak bergetar keras.
Putri Kayangan yang berada di sebelah Nyai Tandak
Kembang tampaknya dapat menangkap apa yang ada
dalam benak neneknya. Dia segera berbisik.
"Eyang.... Harap tidak berprasangka dahulu.... Sia-
pa tahu dia bukan bayinya Pitaloka!"
"Jangan bicara, Beda Kumala! Aku dapat mencium
lagi aroma tubuh Pitaloka!"
"Tapi kita belum melihat sendiri buktinya! Siapa ta-
hu itu bayi orang lain!"
Di seberang sana, kakek berambut putih jabrik di-
am-diam juga membatin. "Luar biasa sekali bayi itu....
Beberapa tahun mengenali Lembah Patah Hati, baru
kali ini ada suara dari Lembah Patah Hati yang bisa
didengar dari kawasan luar lembah!"
Habis membatin begitu, kakek berambut putih ja-
brik segera berbisik pada Malaikat Berkabung. "Kita
harus mendahului mereka mendapatkan bayi itu!"
Malaikat Berkabung anggukkan kepala seraya meli-
rik pada Dayang Sepuh dan ketiga orang di belakang-
nya. Saat lain dia dan kakek berambut putih sudah
bergerak. Namun tiba-tiba Nyai Tandak Kembang pu-
tar diri menghadap lembah dan angkat suara.
"Harap tidak ada yang bertindak! Ini adalah urusan-
ku!" Malaikat Berkabung dan kakek berambut putih
urungkan niat berkelebat. Sementara Gendeng Panun-
tun segera mendekati Murid Pendeta Sinting dan ber-
bisik. "Anak muda! Kalau kau tidak ingin rimba persilatan
ditelan bencana, kau harus segera mendahului untuk
mendapatkan apa yang pernah kau dengar!"
"Tapi.... Nyai Tandak Kembang adalah neneknya...."
"Jangan pedulikan urusan itu! Urusan dia adalah
urusan antara nenek dan cucu yang nakal! Urusanmu
adalah urusan rimba persilatan!"
"Tapi tentu dia tak akan tinggal diam!" kata Joko
pula. Melihat dua orang saling berbisik, Datuk Wahing
segera pula mendekati Pendekar 131. Tanpa perden-
garkan bersinan dahulu, kakek ini ikut berbisik.
"Kau tahu apa yang harus kau lakukan! Jangan
membuat heran dunia persilatan! Jangan hiraukan
ucapan perempuan cantik itu! Lekaslah bertindak!"
Di depan Malaikat Berkabung, Dayang Sepuh ber-
paling ke belakang, ke arah Dewi Ayu Lambada. Saat
yang sama Dewi Ayu Lambada menoleh ke belakang,
ke arah Iblis Ompong. Iblis Ompong sendiri angkat ke-
palanya lalu memandang ke arah Dewa Uuk. Sementa-
ra Dewa Uuk menggeser sedikit tubuhnya dan me-
mandang jauh ke depan, ke arah Dayang Sepuh!
"Setan berkerudung hitam!" kata Dayang Sepuh pa-
da Dewi Ayu Lambada. "Bagaimana sekarang"!"
Dewi Ayu Lambada gerakkan kepala menghadap ke
arah Dayang Sepuh. Namun cuma sekejap dan tanpa
buka mulut menjawab. Saat lain nenek berkerubung
hitam itu berpaling lagi ke belakang pada Iblis Ompong dan berkata.
"Setan Ompong! Bagaimana sekarang"!"
Iblis Ompong gerakkan kepala ke arah Dewi Ayu
Lambada. Karena kakek ini tidak punya leher, ter-
paksa dia harus lepaskan satu tangannya dari pundak
Dewa Uuk. Namun Iblis Ompong juga hanya sesaat
pandangi wajah Dewi Ayu Lambada dan tanpa buka
mulut pula untuk menjawab. Kejap lain dia berpaling
lagi ke arah Dewa Uuk yang duduk menjeplok di hada-
pannya. Sambil terus gerakkan pantatnya pada pantat
Dewi Ayu Lambada yang terus melenggak-lenggok, iblis
Ompong buka mulut dengan suara keras.
"Setan Uuk! Bagaimana sekarang"!"
Dewa Uuk tadangkan kedua tangannya di belakang
telinga. Lalu anggukkan kepala dan buka mulut.
"Uuuukk! Uuuukk! Uuukkkk!"
Iblis Ompong ikut anggukkan kepalanya. Lalu ber-
paling pada Dewi Ayu Lambada dan buka mulut.
"Uukkkk! Uuukkk! Uuuukkk!"
Dewi Ayu Lambada sesaat kerutkan kening. Lalu
berpaling pada Dayang Sepuh yang masih memandang
ke arahnya. Nenek berkerudung hitam ini buka mulut.
"Uuuukkk! Uuuukk! Uuuuukkk!"
"Setan! Kalian setan semua!" hardik Dayang Sepuh
sambil sentakkan kepalanya ke depan. Namun saat itu
juga tawanya meledak. Disusul oleh Dewi Ayu Lamba-
da kemudian disahut oleh Iblis Ompong dan ditingkahi
suara Ukkk! Ukkk! Ukkk! oleh Dewa Uuk.
Putri Kayangan yang sempat melirik keempat orang
ini menahan tawa. Sementara Pendekar 131 dan Da-
tuk Wahing serta Gendeng Panuntun tampak terus
berbisik-bisik. Hanya Malaikat Berkabung dan kakek
berambut putih jabrik yang sama kancingkan mulut
dengan mata sama mengarah pada sosok Nyai Tandak
Kembang yang membelakangi karena saat itu tengah
menghadap ke arah Lembah Patah Hati.
"Kita hantam dahulu perempuan itu!" Malaikat Ber-
kabung berbisik pada si kakek seraya gerakkan ba-
hunya ke arah Nyai Tandak Kembang.
Namun belum sampai mendapat jawaban, tiba-tiba
di depan sana Nyai Tandak Kembang telah berkata pa-
da Putri Kayangan. "Beda Kumala, kau ikut aku!"


Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat bersamaan dan tanpa menunggu sahutan Pu-
tri Kayangan, Nyai Tandak Kembang telah berkelebat
ke arah Lembah Patah Hati. Putri Kayangan segera pu-
la mengikuti dari belakang.
"Bruss! Brusss! Sekali kesempatan ini lewat, Anak
Muda.... Kau akan heran dan menyesal seumur-umur!"
ujar Datuk Wahing dan seolah tak sadar, kedua tan-
gannya segera mendorong sosok murid Pendeta Sin-
ting. Saat yang sama tiba-tiba Gendeng Panuntun juga
sentakkan kedua tangannya ke arah Pendekar 131.
Joko sempat terkesiap. Belum sampai dia buka sua-
ra, sosoknya telah melenting laksana anak panah bah-
kan mendahului kelebatan Nyai Tandak Kembang yang
bergerak lebih dahulu!
Nyai Tandak Kembang sempat tersentak merasakan
deruan angin deras di atas kepalanya. Menduga di-
rinya dipukul, perempuan berwajah cantik ini segera
angkat kedua tangannya sambil mendongak. Dia se-
saat terkejut dan mengikuti gerakan sosok di atas ke-
palanya yang bukan lain adalah sosok murid Pendeta
Sinting. "Kau telah kuperingatkan. Tapi kau keras kepala!"
teriak Nyai Tandak Kembang. Kedua tangannya segera
dihantamkan ke atas. Putri Kayangan yang berkelebat
di belakangnya sudah hendak buka mulut. Namun in-
gat dengan siapa dia kini berada, dia segera urungkan niat dengan wajah gelisah.
Bahkan kedua tangannya
sudah bergerak. Gadis ini tiba-tiba sudah memu-
tuskan untuk memotong pukulan Nyai Tandak Kem-
bang jika Joko tidak siap.
Sementara di atas udara, murid Pendeta Sinting
yang sesaat belum sadar karena sentakan tangan Da-
tuk Wahing dan Gendeng Panuntun, terkesiap kaget
tatkala mendapati gelombang yang dahsyat sudah me-
labrak ke arahnya.
Sekejap Joko jadi bimbang begitu tahu siapa
adanya orang yang lepaskan pukulan. Kalau dia
menghadang dengan pukulan, pasti akan terjadi masa-
lah dengan Nyai Tandak Kembang, namun jika tidak
maka dia akan terhantam pukulan. Akhirnya murid
Pendeta Sinting memutuskan untuk menghindar.
Hingga dengan cepat dia sentakkan bahunya. Sosok-
nya menukik deras. Gelombang pukulan Nyai Tandak
Kembang lewat dua jengkal di sampingnya. Namun tak
urung bias gelombang masih menyambar. Hingga tan-
pa ampun lagi sosoknya terbanting di udara lalu jatuh bergulingan di atas
tumbuhan bunga di Lembah Patah
Hati. Melihat pukulannya hanya biasnya saja yang me-
nyambar dan justru malah membuat sosok murid
Pendeta Sinting sudah berada di depan sana, Nyai
Tandak Kembang mulai jengkel. Sekali lagi dia sentak-
kan kedua tangannya sambil terus berkelebat.
Putri Kayangan yang tadi sempat takupkan kedua
tangan ke mulut agar tidak terdengar jeritannya me-
lihat sosok murid Pendeta Sinting terbanting di udara dan jatuh bergulingan di
atas tanah, kini tak dapat lagi menahan suara. Dia berseru tertahan. Namun Nyai
Tandak Kembang tidak peduli. Dia teruskan sentakan
kedua tangannya! Hingga saat itu juga kembali satu
gelombang deras melabrak ke arah Joko yang masih
terus bergulingan.
"Celaka! Dia menyerangku lagi!" gumam murid Pen-
deta Sinting dengan mata dipentang besar. "Kalau saja cucunya tidak cantik dan
menarik hatiku...." Joko tidak bisa lanjutkan gumaman. Karena gelombang pu-
kulan Nyai Tandak Kembang sudah satu tombak di
depannya. Joko berpaling ke kanan kiri untuk mencari tempat
berlindung menghindar dari pukulan Nyai Tandak
Kembang. Namun dia tak melihat sesuatu yang cukup
baik untuk berlindung. Saat itulah matanya menang-
kap lobang agak besar yang di kanan kirinya tampak
berserakan batu.
"Hem.... Hanya lobang itu satu-satunya tempat ber-
lindung! Mudah-mudahan tidak terlalu dalam!"
Berpikir begitu, akhirnya tanpa bangkit berdiri, Jo-
ko sentakkan kedua tangannya. Gulingannya makin
cepat dan begitu berada dua tombak dari lobang, kem-
bali Joko sentakkan kedua tangannya. Sosoknya men-
tal ke udara dan melesat ke depan mengarah pada lo-
bang. Wuusss! Gelombang pukulan Nyai Tandak Kembang menyer-
gap ganas di bawah sosok Pendekar 131. Namun kali
ini menghantam tempat kosong.
Begitu gelombang lewat, karena khawatir Nyai Tan-
dak Kembang akan menghantam lagi, Joko cepat ber-
kelebat ke arah lobang sebelum akhirnya lenyap ma-
suki Bukkk! Karena terlalu khawatir akan hantaman Nyai Tan-
dak Kembang, murid Pendeta Sinting tidak memikir-
kan keadaan dirinya yang tengah melayang masuk ke
dalam lobang. Hingga tanpa ampun lagi sosoknya
menghantam lantai batu di bawah lobang!
Jauh di seberang belakang di tempat mana kini mu-
rid Pendeta Sinting berada, dua kepala langsung ber-
paling ke arah sosok Pendekar 131 yang tergeletak di
lantai. Dua kepala ini kemudian saling berhadapan
dan mata mereka saling pandang. Pemilik kepala sebe-
lah kanan adalah seorang kakek dan satunya lagi milik seorang nenek berambut
putih awut-awutan. Mereka
berdua bukan lain adalah Kigali dan Umbu Kakani.
"Bagaimana Umbu Kakani"!" ujar Kigali seraya me-
lirik ke alas jerami di mana seorang gadis berbaju merah tengah telentang dengan
sekujur tubuh basah
kuyup oleh keringat. Wajahnya pucat pasi. Kedua tan-
gannya mencengkeram alas jerami dengan kuat-kuat.
Sepasang matanya terpejam rapat dengan bibir saling
menggigit. Napasnya berhembus panjang-panjang. Pa-
da bagian bawah tubuhnya tampak agak banyak tete-
san darah. Gadis ini tidak lain adalah Pitaloka.
Umbu Kakani gelengkan kepala. Wajahnya murung.
Lalu kepalanya menatap tajam pada satu sosok tubuh
kecil berlumur darah di samping Pitaloka. Dengan sua-
ra tersendat, Umbu Kakani berujar pelan.
"Nyawa bayi ini tidak bisa diselamatkan.... Mungkin
umurnya belum mencukupi! Tapi untungnya Pitaloka
tidak apa-apa...."
"Bagaimana dengan mutiara merah di pusarnya"!"
Kigali kembali bertanya. Kali ini pandang matanya tertuju pada sosok bayi di
samping Pitaloka yang terong-
gok diam. "Aku telah berusaha mencabutnya. Tapi sepertinya
ada satu kekuatan yang menahan. Aku tak sanggup
melakukannya! Bagaimana kalau kau yang mencoba-
nya"! Waktu kita tidak banyak. Lihat seseorang telah
berada di tempat ini! Tak lama lagi mungkin akan ada
orang lain yang muncul! Kau mengenal siapa pemuda
yang baru muncul itu"!"
"Jangan pedulikan dulu siapa adanya orang yang
muncul! Kita harus mengambil mutiara itu secepat-
nya!" Habis berkata begitu, Kigali melangkah memutar ke
arah samping kanan di mana bayi merah itu berada.
Untuk beberapa saat lamanya Kigali pandangi sosok
bayi merah dengan tubuh sedikit bergetar. Lalu mata-
nya tertuju pada pusar bayi. Di situ ternyata terlihat sinar merah menyala
sebesar ujung jari kelingking
berbentuk bulat.
Kigali julurkan tangan kanannya yang bergetar ke
arah pusar bayi. Lalu perlahan-lahan mencabut bun-
daran merah pada pusar si bayi. Meski hanya menem-
pel, namun Kigali mengalami kesulitan untuk menca-
but butiran merah di pusar bayi meski dia telah keluarkan segenap tenaga dalam
dan luarnya! "Aneh.... Kelihatannya hanya menempel biasa. Tapi
aku tak kuasa juga mengambilnya!" ujar Kigali pelan
seraya memandang pada Umbu Kakani yang saat itu
terus memperhatikannya.
"Hem.... Kita telah berusaha, Kigali. Namun nyata-
nya kita tak berhasil. Ini mungkin saja satu bukti jika kita berdua tidak punya
bagian dalam urusan ini!"
Kigali anggukkan kepala seraya menarik tangan ka-
nannya dari pusar bayi. Lalu berkata pelan. "Bayi ini adalah anak Pitaloka.
Barangkali dia bisa melakukan-
nya!" Umbu Kakani tidak menunggu lama. Begitu men-
dengar ucapan Kigali, dia segera menggoyang-goyang-
kan sosok Pitaloka. Pitaloka perlahan-lahan membuka
kelopak matanya.
"Nek.... Kek.... Bagaimana dengan...."
Belum sampai Pitaloka teruskan ucapan, Umbu Ka-
kani telah menyahut dengan coba tersenyum. "Anak-
ku.... Kau harus tabah menerima kenyataan. Kau juga
harus bersyukur karena kau masih selamat...."
"Maksud Nenek...?"
"Anakmu.... Anakmu tidak berumur panjang, Pita-
loka. Dia ada di sampingmu!"
Tanpa pedulikan rasa sakit yang masih terasa
menghujam tubuhnya, Pitaloka geser tubuhnya ke atas
lalu perlahan-lahan beranjak duduk. Matanya lang-
sung tertuju pada bayi merah di sebelah kanannya.
Saat itu juga tangisnya meledak!
"Anakku...," ujar Umbu Kakani. "Tidak ada gunanya
kau menangis. Ini sudah jadi perjalanan yang harus
kau alami. Sekarang ada sesuatu yang harus segera
kau lakukan! Kau lihat bundaran merah pada pusar
bayimu. Aku dan Kigali telah berusaha sekat tenaga
untuk mengambilnya. Tapi kami berdua gagal! Seka-
rang mungkin kaulah yang bisa mengambilnya! Kau
tahu apa arti benda itu nantinya!"
Dengan masih sesenggukan, Pitaloka mendekati
bayi di sampingnya. Tangannya yang gemetaran lang-
sung mengangkat orok merah itu. Lalu perlahan-lahan
tangan kanannya bergerak ke arah bundaran merah di
pusar bayi. Pitaloka berusaha mengambilnya. Namun
hingga agak lama, tampaknya Pitaloka gagal untuk
mengambilnya. "Letakkan kembali bayimu, Anakku...." Umbu Ka-
kani berkata. Lalu memandang pada Kigali. "Kita ting-
gal menunggu kenyataan.... Namun satu hal, jangan
sampai benda merah itu jatuh ke tangan manusia ke-
parat berambut putih yang sebentar lagi pasti akan
muncul di tempat ini!"
Pitaloka letakkan bayinya kembali di atas jerami
kering. Saat dia angkat kepalanya, matanya menang-
kap sosok yang tegak di depan sana. Sesaat matanya
membelalak. Saat lain bibirnya bergetar perdengarkan
suara tersendat.
"Pendekar 131...."
Kigali dan Umbu Kakani sama berpaling ke arah
depan. Dia melihat seorang pemuda berpakaian putih
berambut panjang sedikit acak-acakan yang dililit ikat kepala warna putih pula.
Parasnya tampan.
"Hem.... Jadi inikah anak manusianya yang bergelar
Pendekar 131"!" gumam Umbu Kakani.
Murid Pendeta Sinting yang telah tegak sungging-
kan senyum lebar. Namun sepasang matanya bukan
pandangi ketiga orang di depan sana, melainkan pada
orok merah yang diam di samping Pitaloka. Dia tadi
sempat melihat bagaimana Pitaloka berusaha men-
gambil benda bulat merah di pusar si bayi dan tidak
berhasil. Dia juga mendengar bisik-bisik Kigali dan
Umbu Kakani. "Maaf jika kedatanganku mengejutkan kalian...,"
kata Joko. "Terus terang saja. Aku datang dengan satu maksud...."
"Kau menginginkan mutiara merah itu bukan"!"
Umbu Kakani telah menyahut.
"Terima kasih kau telah mengerti, Nek! Harap kalian
tidak punya prasangka buruk. Saat ini rimba persila-
tan tengah mengalami ancaman dari seorang tokoh
yang di tangannya menggenggam Kembang Darah Se-
tan dan Jubah Tanpa Jasad. Menurut beberapa saha-
batku, tokoh tersebut hanya bisa dihadapi dengan mu-
tiara merah itu! Jadi harap beri kesempatan padaku
untuk mengambilnya! Kalian boleh bertanya siapa aku
pada Pitaloka.... Kami telah saling kenal...."
Murid Pendeta Sinting arahkan pandang matanya
pada Umbu Kakani dan Kigali sebelum akhirnya me-
mandang pada Pitaloka. Pitaloka tampak makin pucat
dan saat lain gadis ini berpaling. Saat itu juga kembali tangisnya terdengar!
Pendekar 131 geleng-geleng kepala sambil menarik
napas dalam. Sebenarnya dalam hatinya masih terber-
sit ketidakpercayaan dengan apa yang dilihatnya. Dia
juga masih bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan
laki-laki dari bayi yang telah dilahirkan Pitaloka. Dia tahu bagaimana perasaan
Pitaloka saat itu. Hingga dia segera alihkan pandang matanya pada Umbu Kakani
dan Kigali. Lalu berucap.
"Nek.... Kek.... Kita memang belum saling kenal. Ta-
pi sekali lagi kuharap kalian tidak berprasangka yang bukan-bukan. Semua ini
kulakukan karena demi da-mainya rimba persilatan! Kuharap kalian memberi ke-
sempatan padaku!"
Umbu Kakani dan Kigali saling pandang. Lalu sama
arahkan pandang matanya pada Pitaloka. Pitaloka
tampak sesenggukan bahkan kini tutupi mukanya
dengan kedua telapak tangannya.
"Kek! Nek! Waktuku tidak banyak.... Di luar sana
beberapa orang telah menunggu dengan maksud yang
sama namun sebagian bertujuan lain...!"
Umbu Kakani berpaling pada murid Pendeta Sin-


Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ting. "Anak muda! Bayi ini dilahirkan Pitaloka. Kami tidak bisa memutuskan
karena haknya berada di Pitaloka!"
"Bukan dia yang berhak memutuskan! Tapi aku!"
Tiba-tiba satu suara menyahut. Lalu satu sosok tubuh
melayang turun dari lobang dan tegak tidak jauh dari
murid Pendeta Sinting. Tidak berapa lama kemudian
satu sosok tubuh kembali melayang turun dan tegak di
sebelah sosok yang baru muncul!
*** SEBELAS SOSOK yang tadi perdengarkan suara dan melayang
turun pertama adalah seorang perempuan berwajah
cantik meski usianya tidak muda lagi. Dia bukan lain
adalah Nyai Tandak Kembang. Lalu sosok yang me-
nyusul muncul adalah seorang gadis berpakaian me-
rah juga berparas cantik dan tidak bukan adalah Putri Kayangan, saudara kembar
Pitaloka. Begitu injakkan kaki di lantai bawah lobang, Nyai
Tandak Kembang dan Putri Kayangan segera hujam-
kan mata masing-masing ke depan. Tiba-tiba sosok
Nyai Tandak Kembang bergetar keras. Bagian atas da-
danya yang terbuka tampak bergerak turun naik den-
gan hebat. Sepasang matanya mendelik angker dengan
pelipis kanan kiri bergerak-gerak. Jelas perempuan da-ri lereng Gunung Semeru
ini telah dilanda hawa ama-
rah luar biasa! Hingga untuk beberapa saat dia tidak
kuasa berkata meski mulutnya bergetar membuka!
Di sebelah Nyai Tandak Kembang. Putri Kayangan
tampak berubah paras. Dia tak kuasa lagi melihat
keadaan saudara kembarnya. Ditambah lagi tidak da-
pat menahan rasa malu pada murid Pendeta Sinting.
Hingga dia tidak berani melirik atau memandang pada
Pendekar 131 maupun pada Pitaloka. Malah tak lama
kemudian dia palingkan kepala dengan mata merebak
merah dan teteskan air mata.
"Peristiwa ini benar-benar terjadi! Pitaloka cucuku
melahirkan bayi!" Nyai Tandak Kembang bergumam.
"Pitaloka... Mengapa Ini kau lakukan" Mengapa"! Men-
gapa"! Ataukah ini sengaja kau lakukan untuk mem-
buatku malu di hadapan orang"!"
Di seberang sana, Kigali dan Umbu Kakani kembali
saling pandang. "Yang berpakaian putih sebatas dada
adalah Nyai Tandak Kembang. Menurut pengakuannya
dia adalah nenek Pitaloka!" ujar Kigali pelan. "Sementara yang gadis aku tidak
tahu siapa. Namun dari pa-
ras wajahnya, aku bisa menebak jika dia adalah sau-
dara kembar Pitaloka!"
Umbu Kakani sambuti ucapan Kigali dengan ang-
gukan kepalanya. Lalu memandang pada Pitaloka yang
masih tutupi wajah dengan kedua telapak tangannya.
Entah karena masih tenggelam dalam kesedihan dan
bingung, Pitaloka tidak mendengar suara Nyai Tandak
Kembang sebelum sosoknya melayang turun dari lo-
bang. Dia juga tidak mendengar ucapan Kigali yang be-
rucap pada Umbu Kakani memberi tahu siapa adanya
kedua orang yang muncul.
"Anakku Pitaloka.... Kau harus mengatakan terus
terang apa yang terjadi pada orang yang muncul itu!
Tampaknya dia tidak bisa menerima kenyataan yang
menimpa dirimu!"
Mungkin karena menduga yang dimaksud orang
yang baru muncul adalah murid Pendeta Sinting, tan-
pa buka kedua tangannya dari wajah, Pitaloka berkata.
"Percuma aku mengatakan padanya! Aku sekarang
sadar siapa diriku! Dia pasti memandang kotor pada-
ku! Tapi katakan padanya.... Aku rela dia mengambil
benda merah pada pusar bayi ini...."
Kigali dan Umbu Kakani sama kerutkan dahi. Me-
reka berdua tampaknya mengerti perasaan Pitaloka.
Umbu Kakani gelengkan kepala dengan perasaan tre-
nyuh. Lalu berkata lagi. "Anakku.... Lihat dulu siapa yang datang.... Maksudku,
selain Pendekar 131 telah
muncul lagi dua orang. Kukira kau mengenalinya. Dan
kau harus mengatakan pada mereka apa yang sebe-
narnya terjadi!"
Pitaloka sempat terkejut. Perlahan-lahan wajahnya
digerakkan menghadap ke depan. Lalu dengan masih
sesenggukan kedua tangannya diturunkan dari wajah-
nya. Pitaloka seketika rasakan nyawanya melayang.
Wajahnya berubah sulit dibayangkan. Matanya mem-
belalak dengan mulut terkancing rapat.
Begitu Pitaloka turunkan kedua tangan dari wajah-
nya, mendadak Nyai Tandak Kembang sudah berkele-
bat dan tahu-tahu telah tegak lima langkah di hada-
pan Pitaloka. "Eyang...." Akhirnya Pitaloka bisa juga bergumam.
Dagu Nyai Tandak Kembang terangkat. Matanya
menyengat tajam pada sosok Pitaloka. Lalu mulutnya
terbuka perdengarkan bentakan keras.
"Pitaloka! Kau tak pantas lagi memanggilku Eyang!
Kau tahu apa yang kau lakukan" Kau tahu"!"
Pitaloka bergerak bangkit meski dengan menahan
rasa sakit. Umbu Kakani serta Kigali hanya diam dan
memandang. "Eyang...," jerit Pitaloka sambil jatuhkan diri di hadapan Nyai Tandak Kembang.
Kedua tangannya meng-
gapai kedua kaki Nyai Tandak Kembang dengan per-
dengarkan tangis.
Namun sebelum kedua tangan Pitaloka sempat
menggapai. Nyai Tandak Kembang sudah gerakkan
kakinya. Bukan untuk menghindar, melainkan me-
lakukan tendangan!
Bukkk! Sosok Pitaloka terangkat lalu terjengkang ke bela-
kang. Namun Pitaloka tidak peduli. Dia cepat tarik pulang tubuhnya lalu
merangkak tertatih-tatih mendekati eyangnya. Lagi-lagi begitu tangan Pitaloka
hendak menggapai. Nyai Tandak Kembang sudah lepaskan
tendangan. Buuuukk! Untuk kedua kalinya sosok Pitaloka terjengkang ke-
belakang. Umbu Kakani tampaknya tak kuasa mena-
han iba. Dia segera melompat dengan posisi duduk.
Namun baru saja sosoknya duduk di samping Pitaloka,
Nyai Tandak Kembang telah menyemprot.
"Jangan melibatkan diri dalam urusan ini! Membu-
nuh pun aku berhak atas dirinya!"
"Nyai Tandak Kembang!" kata Umbu Kakani. "Kau
memang neneknya. Kau berhak melakukan apa saja
pada gadis ini! Tapi adalah tidak bijaksana tindakan
seorang nenek yang tanpa menanyakan dahulu men-
gapa...." Belum sampai selesai Umbu Kakani berkata, Nyai
Tandak Kembang sudah memotong.
"Bukti sudah di depan mata! Apa masih perlu ber-
tanya"!"
"Benar, Nyai.... Tapi ini semua adalah akibat! Dan
pasti ada sebabnya!"
"Mana ada bayi lahir dari seorang gadis yang belum
punya suami kalau sebabnya tidak karena ulah dan
tindakan cerobohnya"!"
Umbu Kakani gelengkan kepala. "Di sinilah kesala-
hanmu, Nyai.... Tidak semua bayi lahir dari gadis yang belum bersuami sebab ulah
dan tindakan ceroboh gadis itu! Ada sebab lain yang bisa saja terjadi dan
mungkin bisa menimpa perempuan mana pun!"
Kemarahan Nyai Tandak Kembang makin memun-
cak mendengar ucapan Umbu Kakani. Dengan suara
keras setengah menjerit dia berkata.
"Kuperingatkan kau agar tidak mencampuri uru-
sanku! Aku tidak mau dengar lagi segala macam ala-
san! Pitaloka telah terbukti melahirkan anak padahal
dia belum punya suami! Hanya gadis tak tahu diri
yang bisa melakukan hal itu! Gadis seperti dia tak
pantas lagi ada di atas permukaan bumi!"
"Aku bukannya turut campur urusanmu, Nyai....
Aku hanya akan mengatakan apa sebab sebenarnya
yang menimpa cucumu!"
Nyai Tandak Kembang tidak acuhkan ucapan Umbu
Kakani. Dia mendelik pada Pitaloka dan membentak.
"Pitaloka! Karena bayi itu lahir bukan saja karena
dirimu sendiri, maka bukan hanya kau saja yang tidak
pantas hidup! Sekarang katakan, siapa laki-laki ayah dari bayi itu!" sambil
berkata membentak entah karena apa tiba-tiba Nyai Tandak Kembang melirik pada
Kigali yang masih tegak di sebelah tumpukan jerami dekat
bayi. Diam-diam dada Nyai Tandak Kembang berdebar
dan gelisah. "Astaga.... Jangan-jangan laki-laki itu adalah dia.... Tapi apa
mungkin"! Ketika jumpa di hutan
tempo hari, aku sudah curiga padanya.... Ternyata
memang dia tahu di mana Pitaloka berada. Di hutan
sana tidak ada orang laki-laki selain dia yang bersama Pitaloka.... Apakah
mungkin dia"!"
Mendengar pertanyaan Nyai Tandak Kembang, Pita-
loka tidak segera menjawab bahkan tidak berani me-
mandang. Mendapati hal demikian, Umbu Kakani bu-
ka mulut. Namun sebelum suaranya terdengar, Nyai
Tandak Kembang sudah mendahului.
"Aku hanya minta jawaban dari mulut Pitaloka! Ka-
rena dia yang melakukan dan pasti tahu siapa laki-laki pengecut itu!"
Di sebelah belakang, Pendekar 131 hanya bisa di-
am. Tak jauh di sampingnya Putri Kayangan masih pa-
lingkan kepala dengan air mata terus menetes.
"Anakku...," ujar Umbu Kakani pada Pitaloka. "Ka-
takan terus terang padanya!"
Perlahan-lahan dengan wajah takut Pitaloka angkat
kepalanya. Mulutnya membuka.
"Eyang.... Aku tak tahu siapa laki-laki itu.... Kare-
na...." "Dasar gadis tolol!" bentak Nyai Tandak Kembang
seraya bantingkan kaki. "Kau yang melakukan. Adalah
aneh kalau kau tak tahu siapa laki-laki itu! Kau masih juga menutup-nutupi laki-
laki pengecut itu!"
"Eyang.... Aku tak berdusta. Aku tak tahu siapa la-
ki-laki itu...."
"Keparat!" maki Nyai Tandak Kembang saking ma-
rahnya. "Siapa percaya pada ucapanmu! Mana mung-
kin kau sampai mengandung dan melahirkan anak
tanpa tahu dengan siapa kau melakukannya! Kau jan-
gan berlaku bodoh untuk kedua kalinya, Pita-loka!" seraya berkata begitu, mata
Nyai Tandak Kembang kem-
bali melirik pada Kigali. Saat lain tiba-tiba tangan kanan Nyai Tandak Kembang
terangkat dan lurus me-
nunjuk pada Kigali. "Atau dia laki-laki itu"!"
Kigali hanya tersenyum tanpa buka mulut. Semen-
tara Pendekar 131 memandang tajam pada Kigali den-
gan dada terus menduga-duga. Putri Kayangan segera
pula palingkan kepala begitu mendengar ucapan Nyai
Tandak Kembang. Dia sebenarnya ingin tahu siapa la-
ki-laki yang dikatakan Nyai Tandak Kembang.
"Eyang.... Bukan dia...," jawab Pitaloka dengan sua-
ra tetap bergetar.
"Hem.... Kau bisa memastikan bukan dia. Berarti
kau bisa memastikan pula siapa laki-laki itu!" bentak Nyai Tandak Kembang.
Pitaloka gelengkan kepala. Nyai Tandak Kembang
tak bisa menahan marah. Kedua tangan diangkat.
"Rupanya kau rela mati hanya demi menutupi seorang
laki-laki pengecut! Kau lebih suka menabur malu di
mukaku hanya demi sembunyikan seorang laki-laki!"
Kedua tangan Nyai Tandak Kembang bergerak. Putri
Kayangan sudah hendak melompat untuk cegah gera-
kan Nyai Tandak Kembang. Di lain pihak, Pendekar
131 Joko Sableng tak tinggal diam. Dia segera pula
berkelebat. "Tahan!" seru Umbu Kakani. "Aku akan menje-
laskan semuanya!" seraya berkata begitu, Umbu Ka-
kani bergerak satu kali. Sosoknya tahu-tahu duduk di
depan Pitaloka halangi tindakan Nyai Tandak Kem-
bang. "Apa yang dikatakan Pitaloka benar adanya! Dia ti-
dak tahu siapa laki-laki yang melakukannya! Dia di-
perkosa...."
Nyai Tandak Kembang tahan gerakannya meski ke-
dua tangannya tetap berada di atas udara. Pendekar
131 dan Putri Kayangan juga urungkan niat berkele-
bat. "Aku tak percaya! Kalaupun benar diperkosa, seti-
daknya dia tahu siapa laki-laki itu!"
"Di sinilah masalahnya, Nyai.... Si pemerkosa ada-
lah bukan orang sembarangan! Dia memegang Kem-
bang Darah Setan dan mengenakan Jubah Tanpa Ja-
sad hingga siapa orangnya tak bisa dikenali wajahnya!"
Nyai Tandak Kembang terkesiap kaget. Putri Kayan-
gan tak kalah terkejutnya. Tapi yang paling terlihat
melengak kaget adalah Pendekar 131 Joko Sableng!
SELESAI Segera ikuti lanjutannya:
TUMBAL PUSAR MERAH
Scan: Clickers Edit: Adnan Sutekad
PDF: Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
httpsU://www.facebook.com/pages/Dunia-Abu-Keisel/511652568860978U
SATU *** DUA *** *** TIGA *** EMPAT *** LIMA *** ENAM *** TUJUH ***

Joko Sableng 28 Lembah Patah Hati di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

DELAPAN *** SEMBILAN *** SEPULUH *** SEBELAS SELESAI
Hina Kelana 2 Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long Petualang Asmara 13
^