Pencarian

Membabat Kiyai Murtad 1

Jaka Sembung 9 Membabat Kiyai Murtad Bagian 1


MEMBABAT KIYAI MURTAD Karya Djair Warni
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh,
tempat atau pun peristiwa hanyalah kebetulan bela-ka
1 Sang surya menyinari alam raya ini dengan si-
narnya yang keemasan memberikan kehidupan bagi
makhluk yang berada di muka bumi tak terkecuali
makhluk kecil maupun makhluk yang terbesar.
Awan yang bergumpal-gumpal tipis seakan-
akan berjalan mengikuti arah angin yang berhembus.
Langit pun menjadi cerah membuat mentari dapat
mengeluarkan cahaya tanpa penghalang, sehingga ha-
wa menjadi panas.
Di kejauhan terlihat sosok tubuh manusia se-
dang menelusuri dataran yang sangat luas dengan
pemandangan di kiri kanannya sawah-sawah yang se-
dang menguning dan pohon-pohon yang tumbuh den-
gan suburnya, dengan dibatasi bebatuan yang me-
nyembul dari permukaan bumi membentuk bukit-
bukit kecil sehingga sosok tubuh itu terlihat sangat
kecil sekali bila dibandingkan alam sekitarnya yang
begitu luas. Sosok tubuh itu melangkah dengan langkah
pasti dan yakin dengan sebilah tongkat besi tergeng-
gam dalam jari-jari tangannya yang kuat. Ya... dialah Parmin alias Jaka Sembung
yang meneruskan perjalanannya yang masih jauh. Ia harus melewati Desa Cili-
raus dan desa-desa lainnya di seluruh Kabupaten Ku-
ningan. Terik matahari yang bersinar cerah membuat
peluh membasahi tubuhnya dan butir-butir keringat
yang keluar di wajahnya dihapusnya dengan telapak
tangan sekali-kali agar pandangan matanya tidak ter-
ganggu. Temannya yang setia terus mengikuti perjala-
nannya dengan bertengger di pundak Parmin sambil
sekali bersiul membuat irama lagu yang membang-
kitkan semangat dalam jiwa yang mendengarkannya.
Selang beberapa saat langkahnya terhenti. Na-
luri kependekarannya mengatakan ada sesuatu yang
tak beres berada di sekitarnya. Setelah mengamati
keadaan sekitar dengan pandangan mata yang tajam,
Parmin kemudian melanjutkan perjalanannya dengan
penuh kewaspadaan.
Tiba-tiba secara serempak, entah dari mana da-
tangnya berpuluh-puluh bongkahan batu besar dan
kecil berjatuhan seperti hujan dari langit mengancam
tubuh Parmin. Akan tetapi naluri kependekarannya
dengan cepat bereaksi. Tubuh Parmin bersalto dengan
cepat menghindari dan berlompatan ke sana ke mari di
sela-sela hujan bongkahan batu-batu itu. Tongkat besi beraninya diputar-putar
dengan cepat membuat perisai untuk melindungi tubuhnya dan batu-batu yang
terkena besi beraninya hancur berhamburan serta ka-
kinya membuat tendangan keras dengan menyalurkan
tenaga dalamnya mengarah bongkahan batu-batu yang
seketika hancur menjadi kerikil-kerikil dan debu pun
beterbangan ke udara kemudian hilang terbawa hem-
busan angin. Parmin membuat gerakan-gerakan salto dengan
manisnya di sela-sela bongkahan batu tersebut, yang
seakan-akan tidak ada henti-hentinya menghujani di-
rinya. Ketika Parmin sedang jungkir balik dan menen-
dang sebuah bongkahan batu yang besar, tiba-tiba
terdengar suara ledakan yang sangat keras memecah-
kan gendang telinga bagi yang tidak mempunyai ilmu
dalam yang cukup tinggi.
"Duuaaaar...!" Suara itu menggema keras ke seluruh dataran itu dan seketika
bukit batu yang berada
tidak jauh dari Parmin mendarat, hancur berantakan
dan pecahan-pecahannya mengarah ke tubuh Parmin
begitu cepatnya dengan debu-debu yang beterbangan
membuat pandangan mata Parmin agak terganggu.
Namun bukanlah pendekar Jaka Sembung ka-
lau tidak bisa menghindari semua itu. Dengan sekali
hentakkan tubuhnya melambung ke udara menerobos
pecahan-pecahan batu itu dengan cepatnya dan men-
darat lebih jauh dari tempat semula dengan pijakan
kaki mantap, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
Belum lagi tubuhnya tegak sempurna, kembali
serangan datang ke arahnya dengan bunyi berdesir
sangat kencang yang mengitari tubuhnya.
"Hah... benda apa ini"!" sentak Parmin terpe-ranjat sambil memasang kuda-kuda
dengan menyi- langkan tangan kanannya yang menggenggam tongkat
besi berani ke dadanya yang bidang, dengan sorot ma-
ta tajam mengikuti gerak benda aneh itu dengan pe-
nuh kewaspadaan.
Benda aneh itu terus berputar mengitari tubuh
Parmin. Desiran angin yang ditimbulkannya membuat
debu-debu dan kerikil-kerikil beterbangan sehingga
kain yang melekat di tubuh Parmin yang diselempang-
kan di pundaknya, turut tergerai terkena desiran ben-
da aneh tersebut.
Pada suatu kesempatan Parmin menangkis
benda itu dengan sabetan tongkat besinya dengan
mengerahkan tenaga dalamnya.
"Triing...!"
Benturan kedua benda itu sangat nyaring se-
hingga menimbulkan bunga-bunga api dan asap hitam
yang mengepul ke udara dan segera menghilang ter-
tiup angin. Benda aneh itu kembali menyerangnya setelah
memantul dari benturan tongkat besi berani Parmin
dan dibarengi dengan suara tertawa yang memekakkan
gendang telinga dan bergema tak putus-putusnya.
Jaka Sembung berdiri dengan kewaspadaan
penuh sambil merasakan getaran di telapak tangannya
yang terasa kesemutan. Telapak tangannya lalu digo-
sok-gosok dengan telapak tangan yang lain dan ma-
tanya nyalang mencari sumber suara yang mengan-
dung tenaga dalam untuk melemahkan urat saraf bagi
yang mendengarkan suara itu.
Jaka Sembung pun segera memusatkan tenaga
dalamnya untuk mengusir pengaruh suara yang da-
tang dengan ilmu yang diberikan oleh gurunya yang
kedua, yaitu Begawan Sokalima yang dinamakan 'Ilmu
melepas sukma'. Dengan demikian terhindarlah Par-
min dari pengaruh tersebut dan segera dapat melihat
dengan jelas ke atas sebuah batu besar, di mana di
atas batu itu telah berdiri seorang laki-laki dengan tertawa terbahak-bahak.
"Ha... ha... ha... ha! Tak percuma gelar yang
kau miliki itu, pendekar Gunung Sembung!" teriaknya keras memuji kehebatan
Parmin yang dalam serangan
tadi dapat menghindari dengan baik, dan dalam me-
nangkal tenaga dalam pun sanggup melakukannya
dengan baik. "Siapakah anda?" tanya Parmin keheranan se-
telah melihat wajah orang tersebut, yang sama sekali
belum dikenalnya, sambil tetap dengan kewaspadaan
penuh kalau-kalau orang itu kembali menyerangnya.
"Oh... tentu! Tentu! Kau harus tahu siapa aku
sebelum kau menjadi bangkai busuk! Ha... ha... ha...
ha!! Pernahkah kau ingat seorang Hindustan yang mati
di tanganmu, Gembel busuk"! Ketahuilah aku kakak-
nya yang bernama Goga Khan yang akan menuntut
balas!!" bentaknya keras dengan sorot mata penuh dendam ingin membunuh sambil
menggerakkan senjatanya berputar-putar, membuat daun-daun kering ber-
jatuhan ke tanah terkena hempasan anginnya.
Goga Khan berwajah cukup menyeramkan. Ma-
tanya melotot seperti mata burung hantu, dan hidung
seperti burung betet dengan jenggot dan kumis yang
menyambung, menutupi mulutnya yang lebar, tumbuh
dengan lebatnya sampai mencapai leher. Dengan berte-
lanjang dada sehingga dadanya yang bidang yang di-
tumbuhi bulu-bulu halus yang menutupi seluruh da-
danya, ia terlihat seperti seekor gorila. Kepalanya yang botak pelontos licin
seperti jalan tol menambah pe-nampilannya semakin angker bagi yang bernyali
kecil. Otot-otot tangannya yang kekar dan tubuh yang tinggi
besar dengan senjatanya yang aneh yang berbentuk
bundar seperti durian, namun terbuat dari bahan lo-
gam keras dengan diikat pada rantai yang panjang
yang tergenggam dengan kokoh di tangan kanannya.
Tangan sebelah kiri menggenggam rantai untuk pengu-
lur di waktu menyerang lawan dari jarak jauh.
Senjata yang berbentuk durian itu kini diputar-
putarnya lebih kencang sehingga Parmin yang berada
di bawahnya dapat merasakan angin yang ditimbulkan
oleh senjata tersebut.
"Duuaar!"
Bunyi itu begitu keras ketika menyerang Par-
min dan mengenai ruang kosong manakala Parmin
dengan begitu indahnya membuat gerakan bersalto ke
belakang menghindari serangan tersebut dan membuat
tanah yang terkena senjata itu menjadi berlobang
sampai setengah meter dalamnya.
Parmin yang melihat berapa dalamnya lobang
tersebut menggeleng-gelengkan kepalanya merasa ka-
gum. "Bukan main tingginya ilmu dalam Goga Khan ini!" gumam Parmin dalam hati
sambil mengerahkan juga tenaga dalamnya dan memasang kuda-kuda menantikan
serangan yang akan datang.
Goga Khan dengan wajah bengis dan dengus
napas ingin membunuh sudah kembali memutar-
mutar senjatanya dan detik berikutnya senjata itu te-
lah melesat menuju sasarannya yaitu Parmin yang su-
dah bersiap-siap menantikan dengan penuh kewaspa-
daan. "Hiiyaaaaat...!" teriak Parmin dengan gerakan cepat menghindari senjata
yang bagaikan peluru kendali itu. Tubuhnya terus berjumpalitan menjauhi se-
rangan yang datang secara bertubi-tubi dan setiap
senjata itu mengenai tempat kosong yang telah di tinggalkan oleh Parmin. Kembali
tanah yang terkena itu
berubah menjadi sebuah lobang sehingga terlihat di
tempat mereka bertempur lobang-lobang kecil seperti
permukaan sebuah sumur di sana sini.
Parmin berusaha menghindari serangan-
serangan tersebut dengan mengerahkan semua ilmu
yang didapat dari gurunya, Ki Sapu Angin dan Bega-
wan Sokalima. Pada suatu kesempatan Parmin melesat ke se-
buah hutan yang berada tak jauh dari tempat mereka
bertempur. Hutan itu ditumbuhi dengan pohon-pohon
beraneka macam jenisnya dengan daun-daunnya yang
tumbuh lebat menutupi rantingnya.
Tetapi kembali senjata maut itu menyerang
Parmin seperti mempunyai mata saja senjata itu me-
nyerang ke mana Parmin bergerak untuk mengelak.
Pohon-pohon yang terkena sambaran senjata
maut itu menjadi tumbang dengan batang yang hancur
nyaris menimpa tubuh Parmin untuk menguburnya
hidup-hidup. Daun dan ranting menjadi beterbangan
oleh angin yang ditimbulkan oleh senjata tersebut.
Terpaksa Parmin kembali melesat ke luar dari
hutan itu. Kini ia tegak berdiri dengan kaki agak ditekuk dan menyilangkan
tangannya di depan dada.
"Ha... ha... ha... ha! Aku akan membuat sendi-
sendi mu menggigil dahulu sebelum senjataku ini me-
lumat batok kepalamu!!" ancam Goga Khan keras dengan nada mengejek dan bibir
mencibir sambil memu-
tar-mutarkan senjata mautnya yang mengeluarkan su-
ara mendesing seperti angin puyuh membuat daun-
daun kering dan ranting-ranting yang telah rapuh be-
terbangan ke udara.
Sepersekian detik senjata maut itu telah mele-
sat dengan cepat mengarah ke batok kepala Parmin.
Begitu senjata maut yang seperti durian itu sudah de-
kat ke arahnya, dengan gerakan cepat Parmin melesat
tinggi ke udara sambil bersalto. Sebaliknya Goga Khan dengan cepat pula menarik
senjatanya dengan tangannya yang sudah terlatih sempurna untuk mengubah
arah senjata mautnya, sehingga mengancam Parmin
yang masih bersalto di udara.
Jaka Sembung sudah kehilangan akal untuk
menghindari serbuan senjata maut yang dimainkan
oleh tangan yang ahli dan membuat Jaka Sembung
terdesak. Akhirnya, Parmin mengambil suatu keputu-
san hidup atau mati!
Maka secara tiba-tiba Parmin yang masih ber-
salto di udara itu membuat gerakan yang tidak diduga
oleh Goga Khan, sehingga membuat ia menjadi terke-
jut. Kiranya Parmin dengan ilmu 'Menyatukan
Sukma' telah mengerahkan ilmu meringankan tubuh
yang sempurna mendaratkan kakinya tepat di atas bo-
la senjata maut yang berduri itu dan otomatis mem-
buat tubuhnya ikut berputar-putar di udara mengeli-
lingi musuhnya seperti sebuah komidi putar dengan
Goga Khan sebagai porosnya.
Pada detik kelengahan dari Goga Khan, Parmin
membuat gerakan meloncat menerobos pagar pertaha-
nan Goga Khan dari arah belakang dengan golok pen-
deknya yang terhunus di tangan kanannya dan...
"Sreet...!"
"Eek!" teriak Goga Khan tertahan sambil menundukkan kepalanya menghindari
serangan yang tak
diduga sebelumnya, tetapi sayang Goga Khan kalah
cepat dengan serangan yang dilakukan Parmin sehing-


Jaka Sembung 9 Membabat Kiyai Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ga ia terlambat bergerak. Kepalanya yang botak plontos itu tergores golok Parmin
yang tajamnya seperti pisau cukur membuat garis sepanjang jari telunjuk dan
dalamnya sekitar dua sentimeter dan darah pun terburai
dari luka itu membasahi wajahnya. Goga Khan meng-
hapus dengan tangan kanannya, darah yang mengalir
ke matanya agar tidak menghalangi penglihatannya.
"Sampai di sini dulu! Selamat tinggal! Tunggu-
lah pembalasanku!!" bentak Goga Khan sambil melompat dan menghilang di balik
bebatuan. Melihat lawannya telah menghilang dari pan-
dangan mata, Parmin menghela nafas dalam-dalam.
"Hm... ia begitu cepat menghilang seperti kilat!
Suatu saat dia tentu akan mencariku lagi untuk mem-
balas dendam! Ia akan selalu penasaran untuk bisa
membunuhku!" gumam Parmin dalam hati sambil tan-
gannya menghapus peluh di dahi dan membersihkan
bajunya yang penuh debu. Sementara itu si Beo ter-
bang menghampiri Parmin dan hinggap di pundak
Parmin. Kemudian Parmin melanjutkan perjalanannya.
Matahari hampir condong ke Barat dan mem-
buat bayangan memanjang. Ketika Parmin akan mele-
wati dataran rumput ilalang di kejauhan sana mata
Parmin melihat sesosok tubuh sedang berjalan ke
arahnya. Sosok tubuh itu adalah seorang tua yang su-
dah keriput kulitnya. Di wajahnya terlihat jelas kerut-kerut ketuaan dengan
warna kulit hitam terkena terik-
nya matahari di dalam pengembaraannya, sehingga
kulitnya yang memang sudah hitam menjadi semakin
hitam legam. Tubuhnya gemuk gempal dan ototnya
terlihat masih kuat. Ia berjalan dengan ditopang se-
buah tongkat kayu jati bercagak.
Bentuk tubuhnya bongkok sehingga orang me-
nyebutnya si Bongkok dengan membawa buntelan
yang ditaruh di pundaknya sehingga membuat tubuh-
nya yang sudah bongkok terlihat semakin bongkok sa-
ja. Ia berjalan dengan langkah perlahan.
Dengan rambut panjang yang berwarna putih
awutan-awutan dan pakaiannya yang ditambal di sana
sini membuat ia tampak seperti seorang gembel saja
layaknya. "Kukira pengembara tua renta di hadapanku ini
pastilah bukan orang sembarangan! Lihatlah sepasang
matanya begitu tajam mengawasi ku. Aku harus hati-
hati!" kata Parmin dalam hati setelah melihat dari jarak beberapa meter dan ia
melangkah dengan senyum
ramah yang tersungging.
Si Bongkok pun terus melangkah mendekati
Parmin dengan langkah perlahan namun dengan tata-
pan matanya tajam seakan-akan ingin menembus isi
kepala Parmin. Setelah dekat dengan Parmin si Bong-
kok lalu memberi salam.
"Assalamualaikum...!" sapanya dengan suara
agak ditekan namun bibirnya tidak bergerak.
"Wa'alaikum salam...!" jawab Parmin sambil
memindahkan tongkatnya ke tangan sebelah kiri dan
menjulurkan tangan kanannya untuk berjabat tangan.
"Hem... he... he... he! Melihat sinar wajahmu
aku tentu tidak salah tebak bahwa kau pasti seorang
pendekar yang alim! He... he... kebetulan... kebetulan!"
katanya sambil jari telunjuknya menuding Parmin
yang segera menarik kembali tangannya dengan tanda
tanya. Kemudian si Bongkok melanjutkan bicara sea-
kan-akan Parmin tidak boleh bicara dulu.
"He... hem! Kau tentu bisa menjawab perta-
nyaanku, Anak muda! Aku punya sebuah pertanyaan
mengenai sesuatu!"
"Apa maksud anda, Pak"!" sergah Parmin sam-
bil mengerutkan dahinya tidak mengerti.
"Bila engkau bisa menjawabnya, aku akan
memberi sebuah hadiah! Aku pernah membaca sebuah
tulisan. Tulisan itu aku baca di sebuah dinding rumah seorang muslim yang
berbunyi: 'Sesungguhnya agama
yang diterima di sisi Allah adalah Islam, kalau benar apakah ini bukan semacam
bujukan terhadap calon
pemeluknya" Karena sesungguhnya yang benar itu tak
perlu menonjolkan dirinya benar dan yang baik itu ti-
dak perlu menonjolkan dirinya baik"!" katanya dengan sorot mata penuh tantangan
menatap mata Parmin
yang terdiam sejenak memikirkan pertanyaan si Bong-
kok itu. "Semua agama itu baik, tetapi tidak semua yang baik itu benar. Agama
Islam adalah agama yang
baik dan benar. Apapun nama agama yang ada di du-
nia ini jika ternyata ajarannya baik dan benar adalah Islam," jawab Parmin
dengan cara yang cukup diplo-matis, membuat dahi si Kakek Bongkok menjadi se-
makin berkerut.
Sejenak si Bongkok terdiam untuk mencerna
jawaban yang diberikan Parmin dan beberapa saat
kemudian tertawa terkekeh-kekeh dengan wajah berse-
ri gembira seperti anak kecil yang mendapat permen
coklat sehingga giginya yang ompong terlihat jelas.
"Ha... ha... heh... heh! Aku mengerti sekarang
anak muda! Terima kasih! Terima kasih! Dan sebagai
hadiah yang kujanjikan tadi, terimalah sebuah cincin
batu kecubung ini sebagai satu-satunya pusaka yang
kumiliki!" kata si Bongkok sambil menyodorkan batu cincin yang berikat tembaga,
serta menjelaskan kha-siat dari batu tersebut.
"Batu kecubung adalah batu pemikat perem-
puan. Bila kau pakai maka akan banyak wanita yang
tergila-gila kepadamu! Aku sudah tua tak memerlukan
ini lagi! Terimalah anak muda!" ujarnya sungguh-
sungguh. "Terima kasih! Simpanlah cincin batu itu kem-
bali. Maafkanlah aku tidak bisa memakainya. Tuhan
telah menciptakan manusia beserta daya tarik masing-
masing, oleh karena itu manusia tak usah memakai
jimat-jimat untuk memikat lawan jenisnya! Salah seka-
li bila kita mengharapkan suatu anugerah dari benda-
benda yang ada di atas dunia yang fana ini. Tempat
memohon hanyalah kepada Allah Tuhan Yang Maha
Esa! Benda yang anda percayai 'berkat' nya itu ternya-ta hanya segelincir batu
yang juga diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa!" jawab Parmin membuat wajah
kakek tua itu menjadi merah padam.
"Baiklah, sampai bertemu lagi anak muda!"
ucap si Bongkok dengan nada sinis dan berlalu dari
hadapan Parmin tanpa menoleh ke belakang.
Tinggallah Parmin sendiri menggeleng-
gelengkan kepalanya melihat tingkah laku si kakek
Bongkok. Parmin menghela nafas dalam-dalam dan
kemudian meneruskan perjalanannya kembali.
Matahari sudah lama terbenam di ufuk Barat.
Siang pun telah berganti dengan malam ditandai den-
gan munculnya sang rembulan di ufuk Timur, dengan
cahaya emasnya yang menerangi alam maya pada ini.
Setelah melewati dataran yang ditumbuhi rum-
put ilalang, Parmin melihat dari kejauhan beberapa
bangunan tua di pinggiran desa. Parmin menuju ke
arah bangunan itu dengan maksud hendak beristira-
hat. Bangunan tua itu memiliki tiang-tiang batu
yang sudah berlumut dan sudut-sudutnya telah dipe-
nuhi banyak sarang laba-laba, sehingga mirip sebuah
bangunan yang angker. Genteng-gentengnya dan su-
dah banyak yang pecah hingga berserakan di lantai
yang juga sudah berdebu tebal. Pelatarannya pun su-
dah banyak sampah-sampah dedaunan kering serta
dahan pohon yang berjatuhan. Pohon-pohon yang
tumbuh di sekitar bangunan tersebut sangat rindang
namun tidak terurus oleh jamahan tangan-tangan ma-
nusia. 2 Beberapa saat Parmin melihat keadaan di da-
lam bangunan tua itu melalui sinar rembulan yang
masuk dari celah-celah genteng lalu ia kembali ke luar dan duduk pada sebuah
anak tangga di depan bangunan tua itu.
Tanpa sepengetahuan Parmin, sesosok tubuh
berkelebat mengikuti gerak gerik Parmin melalui atap
bubungan bangunan yang lain. Dengan sorot mata ta-
jam ia mengawasi Parmin yang sedang memandang
sang rembulan. Saat itu Parmin tengah terbayang wa-
jah sang kekasih yang nun jauh di sana, di desa Kan-
dang Haur. Pada malam-malam terang bulan dengan
angin berhembus perlahan menambah keindahan ma-
lam, sangatlah sempurna bila di sampingnya ada sang
kekasih yang dicintainya.
Malam pun telah beringsut-ingsut menuju la-
rut, namun sepasang mata tajam itu terus mengawa-
sinya dan kini kian memancarkan sinar nafsu mem-
bunuh. Dengan berkacak pinggang di atas bubungan
itu, sinar rembulan menerpa tubuhnya, maka jelaslah
siapa orang tersebut.
"Ha... ha... ha... ha... ha! Agaknya di sini kita bisa berjumpa lagi!!" ujarnya
keras yang disertai tenaga dalam untuk melumpuhkan syaraf lawan.
Parmin tersentak dari lamunannya dan mera-
sakan ada getaran masuk secara tiba-tiba melalui gen-
dang telinganya. Ia lalu berdiri setelah berhasil menolak getaran itu dengan
hawa murni dari bawah pusat
perutnya, dan dengan segera ia membalikkan tubuh-
nya ke arah dari mana datangnya suara itu. Kalau saja orang biasa yang mendengar
suara itu, sudah dapat
dipastikan akan melorot meraung-raung dengan gen-
dang telinga pecah berhamburan darah.
Namun bukanlah Jaka Sembung bila tidak da-
pat mengatasi semua itu dengan cepat. Dengan tenang
ia melangkah empat langkah dan berdiri di tengah ha-
laman bangunan tua itu sambil memandang ke atas
dengan sorot matanya yang tajam, sinar bulan mem-
bantu menerangi tubuh orang yang berada di atas
bangunan itu. Dengan cepat Parmin sudah mengenai
siapa orang tersebut.
"Memang bukan sembarangan orang dapat lolos
dari serangan halimun maut di puncak Gunung Cire-
mai! Aku kagumi kau dalam hal ini, Dewa Suci Penye-
bar Bala!" sergah Parmin dengan suara lantang men-gingatkan peristiwa yang
dialaminya di puncak Gu-
nung Ciremai di mana dirinya hampir saja celaka.
Ya! Memang seperti telah dikisahkan pada awal
cerita yang lalu di dalam episode "Lagu Rindu dari Puncak Ciremai" Parmin telah
bentrok dengan seorang yang menamakan dirinya 'Dewa Suci Penyebar Bala'
yang berasal dari daratan Tiongkok. Dalam duel terse-
but Parmin hampir jatuh ke dasar jurang setelah men-
gadu tenaga dalam. Untung ada sebuah pohon yang
tumbuh pada dinding tebing di saat dirinya sedang me-
layang ke bawah, sehingga ia dapat selamat.
Setelah selamat dari jurang terjal itu, Parmin
menghadapi bahaya yang lebih ganas lagi yaitu
'halimun maut' yang bisa membekukan tubuh manu-
sia. Meskipun sudah mengeluarkan ilmu andalannya,
masih belum mampu ia menghadapi halimun maut itu,
kalau tidak ditolong oleh Begawan Sokalima.
"Ha... ha... ha... ha! Dewa Suci tak melupakan
janji! Di sini kita harus bertanding habis-habisan! Mari kita buktikan, bangsaku
atau bangsa mu yang lebih
unggul dalam ilmu silat! Kita bertempur atas nama le-
luhur kita masing-masing!!" ujarnya dengan nada sinis dan gigi gemeretak menahan
kemarahan. "Hm... Dewa Suci! Agaknya kau terlalu me-
nyombongkan kepandaian yang kau miliki!" Ujar Parmin tegas sambil mengamati
lawan yang berada di atas
bubungan rumah.
"Haiyaaa! Tutup bacotmu, Gembel!!! Ciiaaat...!!"
bentak Dewa Suci sambil melemparkan senjata rahasia
berupa pisau-pisau kecil ke arah Parmin dengan diser-
tai tenaga dalam yang dahsyat sekali
Parmin melihat cahaya-cahaya yang datang be-
gitu cepatnya maka dengan cepat pula Parmin miring-
kan tubuhnya ke kanan sehingga pisau-pisau itu lolos
menemui tempat kosong dan menancap pada tiang be-
ton sampai ke pangkalnya. Bersamaan dengan berge-
raknya tubuh Parmin, si Beo pun terbang dan berteng-
ger di sudut jendela bangunan tua tersebut.
Sebelum Parmin berbuat banyak, kembali kila-
tan-kilatan pisau menghunjam deras ke mana saja tu-
buh Parmin berkelebat. Agaknya kali ini Dewa Suci tak akan memberi kesempatan
kepada Parmin dan ia pun
terus melancarkan serangan-serangan yang memati-
kan. "Ciiaaat...!!" teriak Parmin sambil bersalto beberapa kali ke udara,
menghindari pisau-pisau itu. Tongkatnya diputar-putar dengan cepat untuk
melindungi tubuhnya dari serangan maut tersebut.
Lima jurus, sepuluh jurus, sampai tiga puluh
jurus Parmin mengeluarkan ilmu silatnya menghindari
serangan senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil
yang dilemparkan oleh si Dewa Suci. Pertahanan Par-
min niscaya akan bobol jika secara kebetulan ia tidak memiliki tongkat besi
berani pemberian gurunya yang
kedua, yaitu Begawan Sokalima.
Berpuluh-puluh batang pisau telah melekat
pada tongkatnya dan dengan gerakan cepat ia men-
gembalikan kepada sang pemilik dengan disertai tena-
ga dalam yang lebih dahsyat lagi, sehingga sang pemi-
lik harus jungkir balik menghindar.
Dalam melakukan jungkir balik itu, tangan si
Dewa Suci membuat gerakan yang sangat cepat dan
dengan jari-jari yang lentur ia menangkap dan menje-
pit beberapa buah pisau yang dilemparkan Parmin dan
dengan cepat pula mengembalikan serangan ke biji
mata Parmin. Tubuh Dewa Suci yang bertubuh gemuk den-
gan lincah terus berjungkir balik sambil mengirimkan
serangan yang mematikan ke arah Parmin dengan pi-


Jaka Sembung 9 Membabat Kiyai Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sau-pisau yang tersedia, sehingga Parmin dibuat kere-
potan. Tubuhnya yang gemuk gempal itu bagaikan ka-
pas saja waktu ia melakukan lompatan atau pun ber-
salto ke udara. Ya... memang si Dewa Suci ini telah
memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat sem-
purna sehingga gerakannya tidak terpengaruh walau-
pun tubuhnya gembrot seperti itu. Dengan gesitnya ia
melakukan jungkir balik dan melompat ke sana dan ke
sini. Parmin yang memang sudah mengetahui kehe-
batan si Dewa Suci itu terus melayani serangan demi
serangan yang dilancarkan oleh lawannya. Bukanlah
Jaka Sembung kalau tidak mempunyai ketenangan
dan keuletan dalam menghadapi segala kesulitan.
Memang betul. Dengan bermodal ketenangan
apapun akan bisa teratasi. Apalagi Parmin telah di-
gembleng oleh gurunya Ki Sapu Angin di Pantai Eretan
yang ombaknya besar dan anginnya kencang serta oleh
gurunya yang kedua, Begawan Sokalima di puncak
Gunung Ciremai, tepatnya di Lembah 'Banyu Panas'
yang belerangnya sangat menyesakkan pernapasan
dan airnya yang mendidih, ditambah lagi segudang
pengalaman dalam pengembaraannya.
Parmin mengelakkan serangan yang dilancar-
kan si Dewa Suci dengan tongkat besi beraninya se-
hingga sepasang pisau yang hendak mengancam biji
matanya segera menempel di tongkatnya dan pisau
lainnya lolos di celah-celah kakinya yang direntangkan sambil melompat tinggi
dan bersalto menuju bubungan
atap bangunan. Ketika si Dewa Suci melihat Parmin menghin-
dar jauh, maka dengan segera ia bersalto untuk men-
gejarnya. Parmin yang masih berada di udara segera me-
nangkap adanya bayangan yang mengejar dari arah
belakang. Si Dewa Suci dengan geram menyerang Parmin,
jari-jari tangannya siap mencengkeram tubuh Parmin.
Namun Parmin dengan gerakan manis membuat gera-
kan dengan menyontekkan ujung tongkatnya ke gen-
teng dan tubuhnya kembali melayang melewati tubuh
si Dewa Suci sambil menyabetkan tongkatnya ke pun-
dak lawannya. Dengan gesit si Dewa Suci berkelit, na-
mun terlambat sedikit sehingga bajunya sobek di ba-
hu. Untung kulitnya masih utuh tidak terkena sabetan
Parmin, sehingga serangannya mengenai tempat yang
kosong, yang menjadi sasaran cengkeraman mautnya
itu adalah genteng- genteng yang menjadi berantakan
dan yang diremasnya menjadi debu halus.
Memasuki jurus ke tujuh puluh lima, si Dewa
Suci mengeluarkan jurus andalannya, yaitu jurus
'Cengkeraman Singa Dari Gurun Gobi'. Jari-jari tan-
gannya mengeluarkan asap hitam dan kakinya yang
sebelah kanan diangkat sedikit, lalu dengan geraman
keras ia menerkam Parmin. Geraman itu memecahkan
suasana yang sunyi dan membuat daun-daun kering
berjatuhan. Parmin segera memasang kuda-kuda untuk
mengusir getaran yang datang akibat geraman yang
dikeluarkan si Dewa Suci dan bersiap-siap menanti se-
rangan tersebut.
"Haaiiit...!!!" Sambil melompat tinggi, Parmin menghindari dari cengkeraman
tangan maut si Dewa
Suci dan menangkis dengan tongkatnya.
"Triing!"
Tongkat Parmin menerpa jari Dewa Suci yang
menjadi keras seperti baja dan tangan si Dewa Suci secepat kilat menyampok kaki
Parmin yang sedang me-
layang. Kakinya nyaris menendang selangkangan Par-
min sehingga tubuh Parmin terpaksa harus bergerak
menghindar dengan melambung ke atas.
"Hm... angin pukulannya cukup untuk mero-
bohkan sebatang pohon kelapa!" kata Parmin dalam hati sambil bersalto
menghindar. Si Dewa Suci melihat musuhnya masih dapat
menyelamatkan diri dari serangan jurus mautnya.
Dengan segera ia membuat jurus kembangan dari ju-
rus maut cengkeraman 'Singa Dari Gurun Gobi' yang
terdiri dari lima belas jurus. Tangannya digerak-
gerakan dengan cepat sehingga menimbulkan suara
berdesing dan angin keras pun keluar dari gerakan
tersebut. Parmin dengan cepat memutar tongkatnya
membuat perisai untuk menghalangi tubuhnya dari
serangan tangan si Dewa Suci yang menimbulkan an-
gin sangat kencang sambil mengerahkan tenaga da-
lamnya supaya tidak terpental. Adu tenaga dalam pun
kian meningkat. Parmin mengerahkan seluruh ke-
mampuan yang diajarkan oleh gurunya yang kedua,
yaitu Begawan Sokalima, yang didapat di saat mempe-
lajari jurus terakhir dari ilmu tongkat sakti. Caranya dengan menyalurkan tenaga
dalam ke suatu titik yang
berada di tangan Parmin, sehingga tongkat besi bera-
ninya berubah menjadi merah dan mengeluarkan hawa
panas menolak serangan yang dilancarkan si Dewa
Suci. Terlihat asap mengepul ke udara akibat bera-
dunya tenaga dalam mereka.
Si Dewa Suci menambah daya serangan dengan
sekali melompat kakinya diluruskan ke depan menga-
rah pertahanan Parmin yang sedang memutar-
mutarkan tongkatnya yang semakin cepat.
"Hiiyaaat...!!!" si Dewa Suci memekik keras dengan mengerahkan tenaga dalamnya
untuk membuyar-
kan konsentrasi Parmin dan tubuhnya melesat cepat
dengan jari-jari tangan siap mencengkeram batok ke-
pala Parmin, sedangkan kakinya lurus ke depan men-
garah perut Parmin.
"Duk!!"
Bunyi beradunya tenaga dalam mereka mem-
buat genteng-genteng yang berada di sekitar mereka
jadi hancur berantakan, tubuh Parmin terpental enam
langkah sedangkan si Dewa Suci terpental empat lang-
kah. Tubuh Parmin sempoyongan ke belakang sea-
kan-akan hendak jatuh ke bawah. Di saat itu si Dewa
Suci sudah bersiap-siap kembali dengan jurus kem-
bangan yang kesepuluh dari jurus 'Cengkeraman Singa
dari Gurun Gobi'. Tangannya masih tetap hendak
mencengkeram lawan, namun kali ini kepalanya yang
botak plontos dimajukan agak ke depan sehingga seja-
jar dengan tangannya dan mulutnya terbuka lebar dan
dengan geraman yang keras sekali membuat bulu ku-
duk berdiri. Tubuh si Dewa Suci melesat dengan cepat seka-
li mengarah Parmin yang masih sempoyongan. Namun
di saat yang bersamaan tiba-tiba bayangan hitam
membelah pertempuran yang menegangkan itu.
"Hiiyaaat...!!" Suara itu demikian keras mengalahkan suara si Dewa Suci yang
seketika menghenti-
kan serangannya dan dengan segera miringkan tubuh-
nya ke kanan sehingga serangan yang dilancarkan oleh
bayangan tersebut lolos mengenai tempat yang kosong
dan sosok bayangan itu kemudian jungkir balik ke bu-
bungan yang lain. Dengan sekali lompat Parmin men-
jauh dari dua orang tersebut.
Kini terlihatlah dengan jelas setelah bayangan
itu berdiri tegak dan sinar rembulan menerangi tu-
buhnya. Tubuh bayangan hitam itu terbungkus baju
koko dengan lengan panjang sampai pergelangan tan-
gannya. Lengan bajunya lebar sehingga bila tertiup angin lengan bajunya itu akan
tergerai melambai-lambai
dan ujungnya bersetrip putih. Celana pangsinya ber-
warna hitam sampai ke pangkal kaki dan bersetrip pu-
la, serta pinggangnya diikat kain putih selebar telapak tangan dengan tutup
kepala yang menyerupai mang-kok berwarna hitam. Kumisnya yang tipis dibiarkan
tumbuh sampai ke dagu dan matanya yang sipit den-
gan alis mata berwarna putih serta giginya yang ham-
pir mencuat ke depan.
Tubuhnya yang kurus serta kulitnya yang keri-
put menandakan usianya sudah lanjut namun melihat
bentuk tulangnya yang masih amat kuat dan gerakan
tangannya sangat cepat bila ia sedang memainkan ju-
rus-jurus kuntauw dengan kuda-kuda yang kokoh, ia
bukanlah orang sembarangan.
Kini mereka sudah berhadapan muka dengan
masing-masing berdiri di atas bubungan rumah.
Si Dewa Suci Penyebar Bala dengan berkacak
pinggang memperhatikan terus bayangan hitam itu
dengan waspada.
Bayangan hitam yang bernama Boen Sio Liong
merentangkan tangannya sehingga tangannya yang
kurus seakan-akan menjadi besar oleh lengan bajunya
yang tertiup angin.
"Haiiyaaa!! Kiranya kau berada di sini Dewa
Kualat! Bertahun-tahun aku mencarimu ke segala pe-
losok daratan Tiongkok, baru detik ini kita saling berhadapan di negeri orang!"
ujar Boen Sio Liong dengan senyum sinis.
"Hm... kiranya kau kakek keriput!" jawab si Dewa Suci setelah mengetahui siapa
bayangan hitam tersebut. "Haiiyaaa! Agaknya kau masih mengenalku!
Baik! Bersiap-siaplah untuk membuat perhitungan ki-
ta di negeri leluhur dulu! Akhirnya kau tak akan bisa lari lagi dari tanganku
dan hari ini tamatlah petualan-ganmu!!" bentaknya dengan suara keras penuh
ancaman sambil tangan kanannya menuding dengan jari
membentuk jurus kuntauw. Si Dewa Suci yang ditud-
ing seketika tertawa terbahak-bahak sehingga perut-
nya yang buncit bergerak-gerak turun naik.
"Ha... ha... ha! Tidak semudah itu kau berbuat,
Kakek kurus!" sergah si Dewa Suci sambil tangan kirinya mengusap usap kepalanya
yang botak tanda ia
meremehkan lawannya.
Parmin yang berada di atas bubungan lain me-
nyaksikan dengan serius dua seteru dari negeri sebe-
rang itu yang kini bersiap-siap memasang kuda-kuda
masing-masing. Boen Sio Liong dengan kaki kanan ke depan
yang ditekuk sedikit, lalu menggeser kaki kirinya ke
belakang sehingga tubuhnya agak turun ke bawah,
namun pantatnya tidak mengenai genteng. Tangan ka-
nannya yang membentuk jurus kuntauw diluruskan ke
depan dan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka me-
nempel pada jempol tangan kanannya dan seketika da-
ri telapak tangannya keluar asap kemerah-merahan.
Si Dewa Suci Penyebar Bala melihat lawannya
telah mengeluarkan jurus tenaga dalamnya lalu mem-
buat kuda-kuda dengan kaki terbentang lebar dan
agak ditekuk sedikit dan kedua tangannya dikepal lalu disilangkan di depan
dadanya kemudian terlihatlah
asap berwarna hitam keluar dari tangan si Dewa Suci.
Kedua seteru itu kemudian melepaskan puku-
lan jarak jauhnya dengan menggunakan lwekang mas-
ing-masing. Suasana malam yang kian larut dengan
hawanya yang dingin namun menegangkan syaraf bagi
yang melihat pertandingan adu tenaga dalam tersebut.
Sinar merah dan hitam saling mendorong satu
dengan yang lainnya dan tubuh mereka bergoyang-
goyang menahan dorongan yang dilancarkan. Sinar-
sinar tersebut saling bergulung-gulung sehingga me-
nimbulkan hawa panas di sekitarnya membuat daun-
daun serta ranting-ranting pohon yang terdekat han-
gus terbakar. Parmin yang menyaksikan pertarungan itu me-
rasakan ada hawa panas yang tak wajar menerpanya
sehingga ia segera menyalurkan hawa murni dari ba-
wah perutnya dan berhasil mengusirnya.
Pertarungan itu pun berlanjut terus sehingga
tubuh mereka terlihat terangkat dua jengkal dari posisi semula dan sinar-sinar
itu semakin bergulung-gulung
kemudian menghilang ke udara. Ternyata mereka sa-
ma-sama memiliki ilmu dalam yang seimbang dan li-
hai. "Kau memang banyak kemajuan dewa laknat!
Tetapi terimalah ini! Hiiiyaaa!!!" bentaknya keras sambil mengerahkan tenaga
dalamnya dan bagai kilat si
jubah hitam itu melompat menyerang Dewa Suci den-
gan tangan kanannya menusuk biji mata dan tangan
kirinya terbuka mengarah batok kepala serta kaki ka-
nannya mengarah perut.
Si Dewa Suci dengan kewaspadaan penuh dan
perhitungan yang matang menggeser tubuhnya ke kiri
dan kepalan tangannya siap menghantam iga si Jubah
Hitam. "Tak!!" bunyi beradu dua tulang seperti hendak patah dan tubuh si Dewa
Suci sempoyongan beberapa
meter, sebaliknya tubuh si Jubah Hitam meletik ke
udara dengan bersalto seperti kapas tertiup angin. Tubuh Boen Sio Liong begitu
ringannya sehingga dalam
bentrokan tadi tubuhnya bisa melayang kembali sete-
lah terkena tenaga yang dilancarkan si Dewa Suci dan
tenaga tersebut dijadikan sebagai pantulan tubuhnya.
Pada saat tubuh si Jubah Hitam sedang me-
lambung ke udara, sebuah bayangan lain berkelebat
menyambarnya dengan tusukan yang mematikan
mengarah leher. Bayangan itu begitu cepatnya menye-
rang si Jubah Hitam, namun dengan gerakan cepat
pula si Jubah Hitam berkelit memutar tubuhnya yang
masih bersalto dan loloslah serangan yang dilakukan
oleh bayangan tersebut.
"Haiyaa... curang!!" bentak si Jubah Hitam
menghindar setelah tahu ada orang lain yang menye-
rangnya dengan sabetan-sabetan yang mematikan


Jaka Sembung 9 Membabat Kiyai Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengarah ke tubuhnya.
Bayangan yang membokong itu tak lain adalah
Ling Pei, dara manis putra si Dewa Suci yang terus
mengikuti ke mana ayahnya mengembara!
Ya! Dalam episode yang terdahulu pun Ling Pie
telah membokong Parmin yang sedang melakukan sho-
lat, namun indra kependekaran yang dimiliki Jaka
Sembung sudah sangat terlatih sehingga serangan ge-
lap berupa pisau-pisau kecil yang mengarah ke tubuh
Parmin dapat dihindarinya, sedangkan serangan senja-
ta sepasang pedang Ling Pei di tangannya pun dengan
mudah dihindari Jaka Sembung.
Kini Ling Pie dengan sepasang pedangnya kem-
bali menyerbu si Jubah Hitam yang sudah mendarat di
bubungan tak jauh dari tempat Ling Pei berdiri. Tubuh Ling Pei melesat seperti
anak panah terlepas dari bu-surnya dengan kedua pedang mengarah leher serta pe-
rut. si Jubah Hitam tetapi dengan gerakan yang tak
terduga oleh Ling Pei menyelinap di antara kedua pe-
dangnya dan tanpa ampun lagi tangan kanan si Jubah
Hitam yang telah diisi tenaga dalam tersebut mendo-
brak dada si dara manis itu.
"Plak!!" Tangan itu menggedor dada Ling Pei dan dengan suara tertahan tubuh Ling
Pei melayang tak berdaya meluncur deras dari bubungan dengan da-
rah berhamburan dari rongga mulutnya.
Parmin yang menyaksikan tubuh dara itu me-
layang ke bawah dengan cepat bertindak hendak me-
nolong agar tubuh dara tersebut tidak berdebam di ta-
nah. Dengan sekali gerakan Jaka Sembung telah bera-
da tepat di bawah tubuh molek yang sedang melayang
tanpa terkendali. Kedua belah tangannya yang kokoh
dibentangkan ke depan, menyongsong tubuh dara ter-
sebut. "Tap!!" Tubuh dara itu disambut oleh tangan Parmin, yang lalu
membopongnya dan meletakkannya
di anak tangga di depan bangunan tua itu. Sayang.
Ternyata nyawa Ling Pei telah melayang entah ke mana
dengan darah berhamburan ke luar dari mulutnya
hingga membasahi bajunya.
"Inalillahi...!" ucap Parmin setelah mengetahui bahwa dara tersebut telah
meninggal dunia. Parmin la-lu teringat akan pesan gurunya Ki Sapu Angin bila kau
melihat ada orang yang terkena musibah ucapkanlah
'Inalillahi wainnailaihi rodzi'un', segala yang berasal
dari-Nya akan berpulang kepada-Nya jua.
3 Di atas bubungan yang lain dua seteru masih
bertarung hidup dan mati. Mereka mengeluarkan selu-
ruh ilmu yang mereka miliki. Ilmu silat mereka me-
mang berimbang, keduanya sama-sama mengeluarkan
jurus-jurus ilmu silat tertinggi sehingga tubuh mereka tampak seperti gulungan-
gulungan sinar yang saling
menindih dan sekali-sekali menekan lawannya sehing-
ga orang yang berilmu rendah tidak mampu mengikuti
pertarungan yang begitu cepat.
Parmin yang menyaksikan dari bawah berdecak
kagum melihat kedua orang itu bertarung dengan ilmu
silat yang paling tinggi, yang mereka miliki. Apakah
yang mereka perebutkan" Kekuasaan" Kehormatan"
Atau harta peninggalan nenek moyang mereka" Jika-
lau mereka memperebutkan kekuasaan, apakah mere-
ka sanggup melawan penjajah Kumpeni Belanda yang
sedang berkuasa di negeri ini" Apabila mereka mempe-
rebutkan harta peninggalan nenek moyang mereka,
mengapa harus jauh-jauh bertarung di negeri ini" An-
daikan mereka mencari kehormatan, apalah artinya
kehormatan itu" Kehormatan dengan mempertaruhkan
nyawa. Sungguh suatu hal yang salah besar! Kehorma-
tan dunia tidaklah mutlak. Lihatlah orang-orang yang
mempunyai harta benda yang melimpah ruah, segala
keinginannya terpenuhi dengan segera apa-apa yang
mereka mau dengan cepat terlaksana. Apakah itu yang
dinamakan kehormatan" Mungkin anggapan mereka
itulah kehormatan. Tetapi bila harta tersebut telah ha-
bis atau telah lenyap dan nyawa mereka telah diambil
oleh Sang Maha Pencipta. Apakah kehormatan itu ma-
sih kita miliki" Tidak! sekali lagi tidak! Yang tinggal hanyalah kesedihan dan
kesengsaraan. Kehormatan
yang hakiki hanyalah di hadapan Allah Sang Maha
Pencipta. Parmin menarik napas dalam-dalam. Matanya
yang tajam terus mengikuti pertempuran di atas bu-
bungan di mana kedua seteru itu masih saling menye-
rang satu dengan lainnya dengan jurus-jurus maut
yang mematikan.
"Kau telah membunuh putri ku, Jahanam ke-
parat!!!" bentak Dewa Suci dengan geraman keras dan gigi gemeretuk menahan
amarah yang meledak melihat
putri tersayangnya telah menjadi mayat. Dengan gera-
kan cepat kakinya menendang perut si Jubah Hitam,
sedangkan tangannya mengarah ke tenggorokan. Teta-
pi dengan sekali hentakan, tubuh si Jubah Hitam telah melesat ke atas dan
membuat gerakan salto sambil
kakinya menendang tengkuk si Dewa Suci. Akan tetapi
ketika si Dewa Suci melihat tubuh musuhnya melewati
kepalanya, ia segera membuat gerakan tak terduga.
Kakinya yang telah mengarah ke perut lawan tiba-tiba
dialihkan dengan berguling-guling memburu selang-
kangan si Jubah Hitam yang masih jumpalitan di uda-
ra. Kembali si Jubah Hitam membuat gerakan lain.
Dengan tubuh yang masih jumpalitan ia membuat ke-
balikan dari arah semula, di mana ia diserang dan se-
gera berdiri tegak tanpa menimbulkan suara, serta
langsung memasang kuda-kuda. Sebaliknya si Dewa
Suci dengan cepat berdiri dengan penuh kewaspadaan.
Mereka kini telah siap kembali dengan jurus
maut yang mereka miliki. Di detik selanjutnya terden-
gar suara menggelegar memecahkan suasana.
"Hiiyaaatt...!!" Suara mereka keras hampir bersamaan dan seketika itu tubuh
mereka melesat ke
udara. Terlihatlah berkas sinar saling menyongsong.
"Duuaaarr...!!" Sinar itu bertemu di udara dengan suara ledakan yang menggema ke
sekeliling tem-
pat itu. Asap hitam pun mengepul membubung ke
udara dan hilang tertiup angin. Dalam benturan itu
tubuh mereka sama-sama terpental ke belakang dan
keduanya sama-sama bersalto menjaga keseimbangan
tubuh agar tak terjatuh dari atap bangunan.
Embun pagi telah membasahi dedaunan dan
rumput ilalang, namun mereka tetap bertempur den-
gan jurus-jurus maut yang mematikan, walaupun be-
lum terlihat seorang pun yang bakal kalah.
Berpuluh-puluh jurus telah mereka keluarkan,
peluh membasahi tubuh sehingga pakaian mereka ba-
sah kuyup. Memasuki jurus keseratus, mereka menge-
luarkan ilmu andalannya masing-masing.
Si Dewa Suci mengeluarkan jurus maut dari il-
mu silat Gurun Gobi, sedangkan Boen Sio Liong alias
si Jubah Hitam mengeluarkan jurus andalannya dari
Pegunungan Himalaya.
Kedua seteru ini telah bersiap-siap dengan ilmu
andalannya masing-masing.
Dewa Suci mengerahkan tenaga dalam dengan
sepenuhnya. Terlihat sewaktu ia menggerak-gerakan
tangannya yang dikepal lalu terbuka, dan dikepal lagi sehingga menimbulkan hawa
panas dan telapak tangannya menjadi merah seperti bara.
Si Jubah Hitam yang merasakan hawa panas
tersebut segera menolak dengan jari-jari tangan terbu-ka seperti hendak menerkam
lawan. Dari tangannya
keluar asap putih mengepul dan segera asap itu meno-
lak hawa panas yang datang. Jurus ini disebut Jurus
Beruang Sakti dari Gunung Himalaya sebuah jurus
maut yang sangat ampuh.
Sinar merah dan putih saling mendorong untuk
menjatuhkan lawan dan akibatnya genteng-genteng di
atap bangunan yang terdekat menjadi terbakar.
Pada detik selanjutnya Dewa Suci menerjang
dengan seluruh tenaga dalamnya. Tangannya lurus
mengarah ulu hati si Jubah Hitam dan dengan gera-
man keras disertai nafsu membunuh, ia merangsak
Jubah Hitam dan berhasil menggedor dada lawan. Ber-
samaan itu si Jubah Hitam menyongsong serangan la-
wan dengan kedua tangan yang siap menerkam.
"Buk! Prak!"
Bunyi bentrokan itu keras sekali, hampir ber-
samaan terdengar oleh Parmin yang berada di bawah
dan senantiasa menggeleng-geleng kepala menyaksi-
kan pertarungan langka tersebut.
Tangan kanan si Dewa Suci tepat mendarat di
dada si Jubah Hitam. Darah keluar dari mulut si Ju-
bah Hitam akibat dadanya terguncang hebat dan terli-
hat baju di depan dadanya pun terbakar, akan tetapi
bersamaan dengan itu tangan kiri si Jubah Hitam te-
pat menghantam batok kepala si Dewa Suci yang botak
plontos. Jari-jari si Jubah Hitam amblas ke dalam hing-ga tak terlihat dan
dengan sekuat tenaga menjebol ba-
tok kepala tersebut hingga berantakan. Darah merah
berhamburan membasahi muka lawan sehingga tan-
gan kiri si Jubah Hitam menjadi merah dan batok ke-
pala si Dewa Suci Penyebar Bala menjadi hancur se-
perti kerupuk. Pekik mereka berdua tertahan sejenak ketika
tangan mereka mendobrak sasaran. Kemudian tubuh
mereka melayang deras ke bawah tanpa terkendali dan
tepat jatuh di depan Parmin yang sempat menggeser
kakinya ke belakang sehingga terhindar dari kejatuhan dua sosok tubuh tersebut.
Tubuh mereka berdua menggeletak tak ber-
nyawa lagi, dalam keadaan bersimbah darah. Parmin
termangu-mangu memandangi tiga sosok tubuh yang
telah menjadi mayat.
"Inilah penyelesaian yang paling baik bagi Dewa
Suci dan agaknya ia memang ditakdirkan mati di tan-
gan orang bangsanya sendiri!" gumam Parmin dalam hati. Sang waktu terus
merangsek perlahan namun
pasti, rembulan telah memasuki peraduannya. Di ufuk
Timur mentari telah menyinarkan cahaya keperakan,
memberikan kehidupan bagi makhluk yang berada di
bumi ini. Burung-burung serta unggas yang saling
bernyanyi menyambut sang surya. Kicauan burung-
burung yang saling bersahutan memberi kenikmatan
hidup bagi yang mendengarnya. Sungguh Maha Besar
Sang Pencipta alam raya ini.
Parmin pun segera membuat liang lahat dan
beberapa saat kemudian ia telah selesai menguburkan
mayat-mayat itu. Setelah itu Parmin mencari mata air
yang terdekat. Tidak lama kemudian ia telah menemu-
kan mata air tersebut dan segera menanggalkan pa-
kaiannya, Parmin lalu merendam tubuhnya di mata air
tersebut. "Uh... sejuknya air ini membuat tubuhku terasa
lebih segar! Ayo Beo, mandi! Bukankah kau telah satu
minggu tidak mandi"!" ujar Parmin kepada sahabatnya itu. Dengan segera burung
Beo itu terbang lalu hinggap di pundak Parmin dengan perlahan sehingga kulit
Parmin tidak terluka oleh kukunya yang tajam. Kemu-
dian dua makhluk yang berlainan jenis itu segera terli-
hat canda ria di pagi yang cerah.
Setelah puas menikmati air yang jernih itu dan
tubuhnya terasa lebih segar, Parmin melanjutkan per-
jalanannya kembali.
Matahari telah menampakkan cahayanya,
membuat titik-titik embun menguap dan hilang dari
dedaunan. Dengan langkah perlahan namun pasti,
Parmin terus berjalan memenuhi tugas yang diberikan
gurunya, Ki Sapu Angin, untuk mempersatukan para
pendekar di seluruh daerah Pasundan guna melawan
Penjajah Kumpeni Belanda.
Beberapa jam kemudian Parmin telah sampai di
perbatasan desa Cilimus. Perutnya pun telah berbunyi
minta diisi. Pemandangan di perbatasan desa tersebut
cukup indah dengan batu-batu yang tersembul dari
permukaan tanah. Gundukan-gundukan besar tersu-
sun di kanan kiri dan pohon-pohon yang rindang den-
gan daun-daunnya yang berwarna hijau tumbuh den-
gan suburnya. "Aku haus dan lapar! Tetapi di sini orang pen-
datang tak boleh minum di sembarang tempat! Semua
makanan dan minuman akan dapat menjadi sebab
kematian! Aku harus berhati-hati memasuki Desa Ci-
limus ini. Guruku berpesan bahwa di sini banyak pen-
dekar yang memiliki ilmu hitam yang berbahaya!!" gumam Parmin dalam hatinya
sambil mengingat-ingat
pesan gurunya. Ia melanjutkan langkahnya dengan te-
nang. Sementara itu tanpa disadari oleh Parmin, se-
pasang mata mengawasi gerak geriknya dari sela-sela
semak-semak pohon dan kemudian sosok tubuh terse-
but menyelinap dengan gerakan yang ringan tanpa
mengeluarkan suara. Setelah beberapa saat menem-
puh perjalanan, Parmin melihat sebuah warung di tepi
sebuah jalan setapak. Ia pun segera mempercepat ja-
lannya menuju warung tersebut.
Tetapi warung itu terbuat dari daun tebu yang
disusun rapi dan tiang-tiangnya terbuat dari bambu
serta bangku yang hanya satu buah terbuat dari papan
namun terlihat kokoh.
Beberapa saat sebelum Parmin tiba di warung
itu, sosok tubuh yang mengintai gerak gerik Parmin
tadi telah terlebih dahulu tiba di warung tersebut.
Orang itu berwajah bengis. Matanya tajam liar serta
golok yang sudah terlepas dari sarungnya mengancam
pemilik warung itu dan dengan kasar memaksa pemilik
warung supaya mengikuti semua perintahnya. Pemilik
warung yang sudah tua itu mendadak semakin tua ka-


Jaka Sembung 9 Membabat Kiyai Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rena ketakutan yang amat sangat ketika orang yang
mengancamnya menempelkan golok ke lehernya.
"Hai, Pak Tua! Taburkan bubuk ini ke dalam
gelasnya bila pendatang beserta burung Beonya mam-
pir ke sini, mengerti!" Jika kau tidak mau, lehermu
aku bikin putus!!" bentaknya mengancam pemilik warung sambil memberikan
sebungkus bubuk misterius
kemudian ia bersembunyi di dalam warung tersebut.
"Baik, Gan, Saya akan laksanakan!" jawab Pak Tua gemetar. Tangannya mengambil
bungkusan itu, lalu ia letakkan bungkusan itu di antara guci-guci
tempat kopi dan gula.
"Assalamualaikum..." sapa Parmin lembut setelah sampai di warung tersebut dan
melihat ke sekelil-
ing kalau-kalau ada orang mencurigakan dan Parmin
bernapas lega karena di warung itu tidak ada seorang
pun yang duduk.
"Wa'alaikum salam...! Silahkan duduk, Den!
Mau minum kopi, teh manis atau mau makan, Den!"
"Hm... teh segelas dengan gula aren, Pak! Kalau
ada tolong juga pisangnya untuk burung kesayangan-
ku ini, Pak!"
"Baik, Den!" Tunggu, akan saya persiapkan!"
ujar Pak Tua sambil membalikkan tubuhnya. Ia segera
membuat air teh yang dipesan Parmin dengan tak lupa
mencampurkan bubuk yang diberikan orang tadi. Se-
kali-sekali matanya melirik ke arah Parmin yang se-
dang duduk menikmati pemandangan alam sekitarnya,
kalau-kalau perbuatannya diketahui oleh Parmin, sang
pendatang. "Silahkan minum, Den! Dan ini pisangnya!" ujar Pak Tua sambil menyodorkan gelas
berisi air teh panas dan sesisir pisang.
Sosok tubuh yang berada di dalam warung itu
sedang mengintipnya dari lubang bilik dengan dada
berdebar-debar.
Parmin pun segera mengambil gelas itu dan ke-
tika ia hendak menghirup air teh itu, tiba-tiba keningnya berkerut dan seketika
ia teringat pesan gurunya.
Jikalau kau sudah memasuki daerah Cilimus hendak-
nya kau jangan sembarangan makan dan minum di
kedai atau di warung yang kau jumpai, karena di dae-
rah itu banyak sekali orang-orang yang memiliki ilmu
hitam yang sering mencelakai orang pendatang. Sete-
lah mengingat pesan gurunya, Parmin segera menghe-
ningkan cipta mengerahkan konsentrasinya ke dalam
gelas itu. Beberapa saat kemudian terjadilah suatu
keajaiban, air teh tersebut perlahan-lahan berubah
dan buih itu semakin banyak. Parmin terus menyalur-
kan hawa murni ke tangannya. Karena kuatnya tenaga
yang tersalur, air teh itu menjadi mendidih dan mele-
daklah gelas yang Parmin pegang menjadi berkeping-
keping dan airnya muncrat membasahi meja.
"Prak!"
"Racun!!" sentak Parmin dengan membeliak dan segera tangannya mencengkeram
pundak sang pemilik
warung itu. "Heh, Pak! Mengapa kau bermaksud membu-
nuhku dengan racun"!" bentak Parmin geram sambil mengangkat tubuh Pak Tua itu ke
atas meja membuat
Pak Tua ketakutan.
"Aa... am... pun, Den! Tobat, Den! Aku hanya
disuruh...!"
"Siapa yang menyuruhmu" Cepat, katakan!!"
Belum sempat orang tua itu menjawab, sebuah cahaya
meluncur dengan cepat dan mengenai punggungnya.
Sebuah senjata rahasia menghunjam dari arah bela-
kang. "Jep...!"
"Ach!" Dengan suara tertahan orang tua itu
menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan mata
melotot dan mulut menganga. Kiranya sebuah pisau
belati telah menancap di punggungnya dan tembus ke
ulu hatinya menandakan orang yang melemparkan pi-
sau itu memiliki tenaga dalam yang dahsyat.
"Oh! Innalillahi...!" sentak Parmin terkejut dengan sekali gerakan tubuhnya
telah melesat ke atas
atap warung itu dan ia segera melihat sosok tubuh
yang melarikan diri dan hilang di balik bebatuan.
"Ilmu larinya boleh juga! Dia tentu bukan orang
sembarangan." gumam Parmin meloncat turun dan
berkelebat mengejarnya.
Tiba-tiba dari arah semak-semak belukar tiga
sosok bayangan berlompatan menghadang pengejar-
nya, maka dengan segera Parmin menghentikan la-
rinya. "Berhenti!" bentak mereka hampir bersamaan.
"Heh, siapakah kalian" Mengapa menghalang-
halangiku?"
"Hm... andakah Pendekar Gunung Sembung
yang perkasa dan terkenal itu" E... hm, pucuk dicinta ulam tiba! Kami 'Tiga
Melati' sedang mencari anda dan secara kebetulan kita bertemu di sini!" sergah
seseorang dari mereka dengan nada ketus dan bibir terse-
nyum genit. Mereka segera mengepung Parmin dengan
kuda-kuda kaki depan mereka agak ditekuk sedikit
dan kaki kiri dipentangkan ke belakang.
Parmin bagaikan tersengat lebah terkejut tak
percaya pada pandangan matanya, ketika ia melihat ti-
ga dara kembar yang cantik-cantik telah berada di ha-
dapannya dan tersenyum penuh arti melihatnya. Par-
min menghela napas dalam-dalam.
Tiga dara yang menamakan dirinya 'si Tiga Me-
lati' memiliki wajah yang sama bila dilihat sepintas la-lu. Mereka seakan-akan
sama satu dengan yang lain-
nya. Namun bila diteliti dengan seksama ada perbe-
daan pada wajah mereka. Mereka bertiga mengenakan
pakaian yang bercorak sama berwarna merah bergaris-
garis berbentuk baju kurung dengan bukaan lebar di
depan sehingga belahan dada mereka terlihat jelas
dengan bentuk buah dada yang padat. Pinggang mere-
ka ramping dengan lengan panjang tiga perempat, se-
hingga pergelangan tangan mereka yang kecil dengan
jari tangan yang mungil terlihat jelas. Celana pangsi mereka pun sama coraknya
dengan baju mereka. Pan-jangnya sebatas betis, membungkus ketat kaki mereka
sehingga betis mereka yang bunting padi terlihat manis dipandang mata. Wajah
mereka yang bulat telur dengan dagu agak panjang serta bibir yang merekah bak
buah delima. Hidung yang agak mancung dan pipi
yang lesung pipit, serta bola mata hitam dengan bulu
mata lentik dan alis mata kecil membentuk bulan sabit
menambah keelokan wajah mereka. Rambut mereka
terurai sampai punggung, agak berombak dengan ikat
kepala berwarna merah muda dan ikat pinggang yang
melilit berwarna merah muda pula dengan sebilah pe-
dang terselip di pinggang masing-masing. Kulit mereka halus dan putih bersih. Di
bibir mereka terdapat tahi lalat kecil yang berbeda-beda letaknya, yang tertua
dengan tahi lalat di bibir atas menghiasi wajahnya dan yang kedua dengan tahi
lalat di bibir bawah dan yang
nomor tiga dengan tahi lalat melekat di pinggir sebelah kanan bibirnya sehingga
bila mereka tersenyum menambah kecantikan mereka.
"Adik-adikku! Hari ini kita bertemu dengan de-
wa silat!" ujar yang tertua dengan senyum menantang.
"Baiklah, kami memperkenalkan did! Aku ada-
lah yang tertua di antara kami. Namaku Riska dan
yang kedua ini bernama Risma, serta yang paling
bungsu bernama Rani!" lanjutnya dengan sorot mata tak berkedip menatap wajah
Parmin yang tersipu-sipu
melihat senyum mereka yang selalu menggoda.
"Apa maksud kalian bertiga mencegatku"! Aku
sedang mengejar seseorang dan karena kalian aku ke-
hilangan jejak!" sergah Parmin dengan nada agak jeng-kel.
"Kami bermaksud mencoba anda! Sampai di
mana keahlian orang yang punya nama masyhur di
seantero Pasundan ini!!!" kata Riska sambil menyilangkan kedua tangannya di dada
diikuti oleh adik-
adik. "Ada suatu syarat! Bagaimana jika kalian kalah?" tanya Parmin dengan
membentangkan kakinya
memasang kuda-kuda sambil tersenyum simpul.
"Kami bertiga rela jadi istri anda dan kami mau
melakukan apa saja di bawah perintah anda!" jawab
Riska ketus sambil memberi isyarat kepada adik-
adiknya untuk menyerang Parmin. Secara serempak,
tiba-tiba si Tiga Melati menyerang Parmin dengan sen-
jata terhunus mengarah bagian leher, dada dan kaki
Parmin, namun dengan cepat tubuh Parmin meletik
bagaikan seekor belalang di sela-sela kilatan pedang
dara-dara manis yang menyerangnya dengan ketat.
"Tunggu dulu! Aku tak dapat menerima sya-
ratmu itu, Nona!" bentak Parmin sambil bersalto menjauhi si Tiga Melati. Namun
belum sampai kakinya
menyentuh tanah, kembali si Tiga Dara tersebut me-
nyerang Parmin dengan sabetan-sabetan pedang se-
hingga debu-debu beterbangan terkena angin yang di-
timbulkan olehnya dan kembali Parmin terpaksa ber-
jumpalitan di udara menghindari serangan tersebut.
Tubuh Parmin ringan bergerak bagaikan se-
gumpal kapas tertiup angin. Tubuhnya ke sana ke ma-
ri berjumpalitan menghindar dari babatan dan sabetan
pedang si Tiga Melati yang menyerangnya dengan ber-
tubi-tubi, namun sampai detik ini Parmin belum mem-
balas serangan si Tiga Dara cantik dan centil itu.
Memang dalam hati Parmin ingin benar menge-
tahui sampai di mana tingkat ilmu silat mereka dan
setelah memasuki jurus yang ke dua puluh Parmin
mengetahui bahwa tingkat ilmu mereka cukup lu-
mayan. Tetapi dibandingkan dengan ilmu yang dimili-
kinya tentu masih jauh di bawah tingkatannya, dan se-
lanjutnya Parmin menggunakan jurus 'angin puyuh'
yang dengan sengaja membuat gaya secara demostra-
tif. "Hiiyaaaaat...!!" bentak Parmin keras sambil meliuk-liukkan tubuhnya dengan
cepat dan tongkatnya menyambar pedang dara-dara manis itu yang
menjadi terkejut melihat bayangan tubuh Parmin yang
begitu cepatnya.
"Trak. Trak! Trak!"
Suara beradu senjata-senjata mereka dengan
tongkat Parmin. Seketika telapak tangan mereka terasa kesemutan disusul pedang
yang terlepas dari gengga-man tangan masing-masing.
"Aku di sini, Nona! Ambillah kembali pedang-
pedang kalian! Nona bertiga kalah, tetapi aku tetap tak mau menerima syarat
itu!!" ujar Parmin sambil menyodorkan tongkat besi beraninya yang ditempeli oleh
tiga buah pedang milik si Tiga Melati. Si Tiga Melati terkejut melihat kenyataan
itu dengan mata melotot dan
mulut terbuka dengan decak kagum mereka segera
mengambil pedang masing-masing dan menyarung-
kannya kembali di balik ikat pinggangnya.
"Syarat lain kami tak punya! Kami tak punya
apa-apa sebagai barang taruhan. Kami masing-masing
hanya mempunyai sekujur badan ini!" jawab Risma
sambil membusungkan dadanya sehingga buah da-
danya yang mekar itu tersembul dan membuat mata
siapa pun yang memandang menjadi terkesima meli-
hatnya. "Anda jangan ragu-ragu, Pendekar! Kami bertiga rela hidup bersama anda
ke mana anda pergi dan
ketahuilah bahwa kami bertiga masih menyandang ge-
lar perawan-perawan tulen yang baru mekar! Aku saja
baru berumur lima belas tahun sedangkan kakakku
berumur enam belas tahun dan kakakku yang tertua
berumur tujuh belas tahun! Apakah kami bukan seba-
gai buah yang sedang ranum?" tantang si Bungsu yang bernama Rani dengan ketus
sambil mengerdipkan matanya sebelah mengandung arti.
4 Parmin melihat gelagat itu segera menarik na-
pas dalam-dalam, dan dengan tenang ia kemudian
berbicara seperti seorang bapak menasehati anaknya.
"Kalian telah membuat suatu lelucon yang tidak
lucu buatku! Aku akan meneruskan perjalananku
yang masih jauh! Selamat berpisah! Hanya kuharap
kalian bertiga bisa menjadi pendekar yang mengabdi
kepada kebenaran dan keadilan! Tuhan telah menen-
tukan jodoh bagi setiap insan, begitu juga halnya dengan kalian bertiga...!
Bersabarlah! Jodoh tidak bisa di-buru atau dipertaruhkan, jika sudah waktunya
asam di gunung garam di laut pun bisa bertemu dalam be-
langa! Ingatlah itu baik-baik, Riska, Risma dan Rani!"
Parmin menasehati dara-dara manis yang ma-
sih muda belia itu. Dengan sorot mata tajam mereka
mengikuti sang pendekar dari Gunung Sembung itu
melangkahkan kakinya meninggalkan mereka. Kini
tinggallah mereka pergi dengan kesan yang melekat di
dalam hati masing-masing setelah menyaksikan kehe-
batan pendekar pujaannya yang terkenal itu.
"Dia sama sekali tidak tertarik kepada kita!"
ujar Riska dengan nada seperti orang yang berputus
asa dan bibirnya cemberut tanda kecewa.
"Kita harus belajar ilmu silat yang lebih tang-
guh dari dia! Jika dia kalah tentu dengan sendirinya ia akan menerima syarat
kita!" kata si Bungsu yang bernama Rani dengan ketus sambil matanya terus me-
mandang Parmin yang hampir menghilang di belokan
jalan. Beberapa saat kemudian mereka dengan lesu
meninggalkan tempat tersebut dengan suatu tekad
akan membantu pendekar kesayangannya mereka da-
lam suka dan duka, maka dengan langkah pasti mere-
ka segera mengikuti arah perjalanan Parmin.
Tatkala bergegas mengejar, angin sepoi-sepoi
menerpa wajah mereka bertiga sehingga rambut mere-
ka yang dibiarkan terurai bergerai tertiup angin dan
membuat wajah mereka menjadi semakin cantik mem-
pesona. Baiklah kita tinggalkan dulu dara-dara manis
yang menamakan dirinya 'si Tiga Melati' yang sedang
mengejar langkah Parmin si Jaka Sembung.
Sekarang kita ikuti perjalanan pendekar kita
Parmin, alias si Jaka Sembung itu sendiri. Parmin te-
rus melangkahkan kakinya menuju ke tengah-tengah


Jaka Sembung 9 Membabat Kiyai Murtad di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Desa Cilumus. Matahari telah hampir condong ke Barat mem-
buat bayangan-bayangan memanjang. Parmin men-
gayunkan langkahnya perlahan namun pasti. Angin
yang berhembus sepoi-sepoi basah menerpa wajahnya
dan dedaunan yang bergoyang terkena hembusan an-
gin membuat daun-daun kering yang sudah tua bergu-
guran. Awan hitam di langit sana mulai tarn pak ber-
gumpal-gumpal memayungi Desa Cilumus saat itu dan
kilatan-kilatan petir menyambar kian ke mari menan-
dakan hujan akan segera turun. Penduduk Desa Cilu-
mus yang masih berada di luar rumahnya bergegas
memasuki rumah masing-masing, sementara anak-
anak kecil bersorak-sorai menantikan hujan, namun
orang tua mereka segera menyuruh anaknya untuk
memasuki rumah.
Tidak berapa lama kemudian air hujan mulai
menetes satu per satu membasahi bumi. Parmin mem-
percepat langkahnya untuk mencari tempat berteduh,
tetapi tanpa sepengetahuan Parmin sepasang mata
yang mencorong mengikuti gerak geriknya.
Sosok tubuh itu dengan wajah bengis dan golok
yang terselip di pinggangnya berhenti di balik sebuah batang pohon besar
sehingga tubuhnya terhalang oleh
batang pohon tersebut. Parmin pun berteduh di samp-
ing rumah seorang penduduk.
"Kurang ajar! Gembel busuk itu bisa lolos dari
racun itu! Aku harus segera lapor kepada Pak Kiyai!"
gumamnya dalam hati dengan gigi gemerutuk mena-
han marah. Hujan yang rintik-rintik kemudian menjadi be-
Bangau Sakti 48 Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 13
^