Pencarian

Menumpas Gerombolan Lalawa 2

Jaka Sembung 8 Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung Bagian 2


bertaruh!" ujar si Kaki Tunggal dengan nada yakin.
"Jika aku bisa dan kau tak mau menyerahkan uang itu, ingat! Kepala mu akan lepas
dari batang leher!. Kau tidak boleh macam-macam terhadapku!!!" teriak si codet
penuh ancaman sambil bertolak pinggang dan jari telunjuknya menuding si Kaki
Tunggal yang masih tenang dengan senyum tersungging. Bersikap menantang.
"Aku tidak akan ingkar janji!"
jawabnya pasti.
Setelah terjadi kesepakatan kedua belah pihak, Si Codet kemudian memasang kuda-
kuda dan seketika tubuhnya meletik ke udara seperti kelelawar terbang.
Beberapa detik lamanya kaki si
Codet telah menempel di dahan pohon itu seperti seekor kaluang yang bertengger
dalam posisi tidurnya.
Tep. Dengan pasti kaki itu menempel
lekat sekali begitu lembutnya sehingga tak mengusik hewan-hewan malam yang
bergelantungan di dekatnya.
"Puaskah kau" ujar si Codet dengan tangan bersedekap tenang persis seperti keluang yang berada di sekitarnya.
"Bagus! Aku senang sekali melihat pertunjukan ini! Sekarang anda boleh turun,
aku rela kehilangan sekantong uang hasil jerih payahku selama tiga bulan!
Sekarang ambilah uang ini," ujar si Kaki Tunggal. Sambil menunjukkan kantong
tersebut ke arah si codet yang masih bertengger di ranting pohon dengan ketawa
kemenangan. Suasana tegang menyelinap di sekitar halaman kedai nasi, di ikuti
pandangan mata Tirta dan Umang.
Ketika tubuh si Codet melayang
turun, orang yang berkaki satu itu tegak berdiri menunggu dengan memasang kuda-
kuda. Sedetik kemudian, tiba-tiba terdengar pekik tertahan yang keluar dari
mulut si Codet.
Hekk! Si Codet terpental ke belakang
dengan tubuh hampir putus menjadi dua bagian.
Kiranya si Kaki Tunggal dengan
gerakan cepat telah menyabetkan pisau panjangnya yang terbungkus tongkat sebagai
penyangga tubuhnya itu dengan
sekuat tenaganya. Seketika itu juga tubuh si Codet ambruk ke bumi dan darah pun
keluar dengan deras lalu mati seketika.
Si codet mati dengan mata melotot.
"Tolol!" gumam Tirta kembali dalam hati sementara matanya melirik ke arah si
Codet yang telah menjadi mayat.
"Oh... Tuhan, orang itu hampir terpotong jadi dua! Hebat betul tenaga
sabetannya!" desah Umang pada dirinya sendiri penuh rasa kagum.
"Satu nyawa untuk pelunas hutang!
Hanya Lalawa Hideunglah manusia yang mampu meniru perbuatan seekor kaluang!"
ujar si Kaki Tunggal penuh kemenangan.
Kemudian dengan tenangnya si Kaki Tunggal berlalu dari tempat itu dengan tak
acuh diikuti pandangan mata orang-orang yang berada di sekitar kedai nasi
tersebut. Berita kematian anggota Lalawa
Hideung cepat sekali tersebar ke seluruh pelosok desa Kalimanggis dan
sekitarnya. "Aku berani bertaruh, dalam waktu beberapa jam lagi orang berkaki buntung itu
pasti sudah terkapar jadi mayat!
Lalawa Hideung tak akan membiarkan anggotanya mati begitu saja!" Ujar Tirta
penuh keyakinan.
"Semoga Tuhan melindungi orang yang menegakkan kebenaran!" ujar Umang berharap.
Dugaan Tirta memang betul. Tatkala si Kaki Tunggal sampai di sebuah ladang
kosong, beberapa sosok bayangan berkelebat mengikutinya, tetapi pendekar kaki
Tunggal telah mengetahui adanya orang yang mengikuti dirinya.
"Hm, pancinganku ternyata berhasil dengan baik!" gumamnya pada diri sendiri
sambil berjalan penuh kewaspadaan.
"Hei! Berhenti, kunyuk timpang! Kau kira bisa dirimu membunuh orang tanpa
perhitungan!" bentak seseorang yang kini sudah hadang si Kaki Tunggal dengan
golok terhunus diikuti oleh dua orang temannya dengan golok sudah terlepas dari
sarungnya. "Kita tebus kematian teman kita!"
sergah temannya dengan geram.
Kini Si Kaki Tunggal telah di
kepung tiga orang dengan golok terhunus siap menerkam tubuhnya, namun pendekar
Kaki Tunggal dengan tenang memandangi para pengepungnya.
Matanya bersinar tajam memandang mereka satu persatu penuh dendam.
"Hm!, Beginilah cara mencari kalong-kalong kesiangan! Mari! Perbanyak-lah jumlah
kalian! Nyawa istri dan anak-anak ku akan ku tebus semahal-mahalnya dengan darah
codot-codot seperti kalian!!!" bentak si Kaki Tunggal dengan geram. Seketika
suasana menjadi tegang
masing-masing dengan sorot-sorot mata mencorong tajam mengawasi lawan dengan
mata yang mencerminkan rasa ingin membunuh yang menggebu-gebu.
"Hiyaaa...tttt!!" tiba-tiba si Kaki Tunggal membuat gerakkan yang sangat cepat.
Dengan pisau panjang yang mencuat dari ujung tongkatnya, ia membabat seseorang
yang terdekat di hadapannya
"Auw!. Aaakh!!" teriak seseorang yang terkena babatan tongkat si Kaki Tunggal,
yang demikian cepat menyambar-nya. Tubuh orang itu mengejang seketika.
Dia mati dengan dada terburai bersimbah darah.
Melihat temannya mati, dua orang lainnya segera menyerang dengan membabi buta,
namun pendekar Kaki Tunggal dengan cekatan meladeni serangan-serangan itu sambil
melompat-lompat memberikan perlawanan yang tak kalah dahsyat dengan tusukan-
tusukan yang mematikan. Pada kesempatan seperti sekian detik di saat musuhnya
melayang sambil berjungkir balik di udara, si Kaki Tunggal segera memburu dengan
kecepatan yang sangat dahsyat menusukkan tongkatnya, mengarah
tenggorokan lawan.
Set! Tongkat si Kaki Tunggal melesat
cepat, tepat mengenai sasarannya.
Seketika tubuh orang itu melayang jatuh
berdebam ke bumi dengan darah muncrat keluar dari lukanya. Ia mati seketika.
Dengan mata yang berbinar-binar si Kaki Tunggal menyerang lawan yang tinggal
seorang diri dengan sabetan-sabetan yang mematikan. Dalam pertarungan itu si
Kaki Tunggal sengaja memancing mereka ke tengah ladang kosong itu, dengan
demikian anggota Lalawa Hideung itu tak bisa melakukan serangan-serangan dari
atas seperti dengan jalan menempel pada pohon maupun dinding batu.
Tak jauh dari arena pertarungan
itu, seorang petani sedang mencangkul dengan tenangnya. Dadanya di biarkan
terbuka dengan keringat bercucuran di seluruh tubuhnya. Ia melirik ke arah
pertarungan itu dan secara tiba-tiba ia mengayunkan cangkulnya ke arah tengkuk
si Kaki Tunggal yang sedang menyabetkan senjatanya ke arah musuh sehingga tidak
mengetahui adanya serangan dari arah belakang.
Beuut! Cangkul itu melayang dengan cepat ke arah tengkuk si Kaki Tunggal. Saat itu
posisi si Kaki Tunggal tidak menguntungkan Cangkul itu tinggal beberapa
sentimeter lagi mengenai tengkuknya.
Tiba-tiba dari arah berlawanan, sebuah batu dengan keras menyampok cangkul itu
sehingga terpental jauh dengan gagang
patah dua. "Oh!" sentak si Kaki Tunggal sambil membalikkan tubuhnya ke arah penyerangan
yang membokongnya dari belakang. Waktu luang yang satu detik itu tak di sia-
siakan oleh si Kaki Tunggal. Dengan cepat ia sabetkan senjatanya ke arah petani
itu. "Ciiaaaattt!" teriak si Kaki Tunggal keras.
Des! Aakh! Tubuh petani gadungan itu ambruk menyusul teman-temannya dengan dada tembus oleh
senjata si Kaki Tunggal.
Kiranya orang yang melempar batu itu tak lain adalah Parmin Si Jaka Sembung yang
secara kebetulan tiba di tempat itu.
Si Kaki Tunggal segera menghampiri Parmin dengan membungkuk hormat.
"Terima kasih!, anda telah
menyelamatkan nyawaku! Bolehkan aku tahu siapa anda?" tanya si Kaki Tunggal
pelan. "Aku seorang pengembara. Namaku, Parmin! Orang menyebutku Jaka Sembung!"
jawab Parmin seadanya.
"Oh! Andakah pendekar yang
termasyhur dari Gunung Sembung itu". Ah, betapa senangnya aku berjumpa dengan
anda, pendekar!"
"Ah, anda terlalu berlebihan. Aku
hanya manusia biasa" jawab Parmin dengan nada merendah.
"Aku mendukung perjuangan anda.
Semoga Lalawa Hideung segera lenyap dari muka bumi ini! Sampai bertemu lagi
kawan!" ujar Parmin. Ia lalu meninggalkan si Kaki Tunggal. Dengan sekali
loncatan tubuh Parmin menghilang dari pandangan mata si Kaki Tunggal yang
membuat ia semakin kagum terhadap pendekar dari Gunung Sembung itu.
"Hmm, sangat mengagumkan! Manusia yang hebat pada masa ini!" gumam si Kaki
Tunggal dengan mulut berdecak.
Beberapa saat kemudian Parmin sudah berada di sebuah lembah untuk menemui
seseorang, yaitu Sundata. Saat itu sang surya telah mulai membuat bayangan-
bayangan memanjang. Parmin mendekati sebuah batu untuk duduk di situ.
"Tempat inilah yang telah ia janjikan untuk pertemuan!" gumam Parmin pada
dirinya. Ia lalu duduk di atas sebuah batu. Baru saja ia duduk, tiba-tiba orang
yang ditunggu sudah tampak berlari-lari menghampirinya.
"Perintah pertama sudah aku laksanakan. Aku berhasil mengumpulkan sembilan orang
pendekar! Kami menunggu perintah anda selanjutnya, Jaka Sembung!"
ujar Sundata memberi laporan.
"Perintahkan kepada sembilan
pendekar itu supaya melamar pada orang-orang kaya di desa Kalimanggis ini untuk
menjadi tukang-tukang pukul!"
"Siap! Akan kami laksanakan!" jawab Sundata cepat, kemudian berlalu
meninggalkan Parmin untuk memberitahukan pendekar lainnya.
"Selamat berjuang! Tuhan selalu di pihak yang benar!" ujar Parmin yakin.
Jaka Sembung lalu melanjutkan
langkahnya. Ia tidak lagi berjalan seorang diri karena di temani oleh sahabat
barunya yang setia, yaitu si Beo yang sangat cerdik itu.
"Kau kelihatan gelisah saja, Beo?"
tanya Parmin melihat si Beo menggerak-gerakkan kepalanya. Parmin terus
melangkah, namun panca indera mengatakan ada sesuatu yang tidak beres di
sekitarnya. Betul saja dugaannya,
beberapa batang anak panah melesat dari busurnya mengarah ke tubuh Parmin.
"Hiiaatt..!" seru Parmin sambil bersalto di udara mengindari serangan gelap itu.
Selamatlah jiwanya untuk sementara waktu. Namun baru saja kakinya menyentuh
tanah, beberapa batang anak panah kembali meluncur ke arahnya.
Parmin kembali harus bersalto ke udara sambil memutarkan tongkatnya untuk
menangis. Beberapa batang anak panah patah dua terkena sabetan tongkat Parmin,
dan sebagian lolos di antara kedua kaki dan tangannya.
Serangan anak panah yang bertubi-tubi itu tiba-tiba berhenti. Parmin lalu
mendaratkan kakinya di antara anak panah yang menancap di tanah dengan sikap
waspada. Tak lama kemudian Parmin mendengar suara derap kaki kuda yang bergemuruh dengan
debu-debu yang berterbangan menuju ke arahnya.
Suara gemuruh itu kian dekat ke
arah Jaka Sembung yang menanti dengan penuh kewaspadaan.
Teriakan-teriakan penumpang kuda yang ramai itu menjadi hiruk pikuk. Para
penumpang kuda dengan senjata-senjata tombak dan pedang panjang, serta tali
tambang telah siap menyergap Parmin.
"Heeaaattt..." teriak Parmin sambil berguling di tanah menghindari babatan
pedang serta tombak yang menghujaninya.
Kini Parmin telah terkepung. Para penyerangnya dengan memacu kuda mereka
mengitari Jaka Sembung sehingga debu-debu memenuhi arena pertarungan dan membuat
pandangan mata Parmin menjadi terhalang.
Beberapa buah senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil mengarah ke tubuh Parmin.
"Heeeeaattt..." seru Jaka Sembung keras sambil memutar tongkatnya dan berguling-
guling. Empat buah pisau menempel di tongkatnya. Dengan cepat ia hentakkan
tongkatnya dan pisau-pisau itu melayang kembali mengarah kepada pemiliknya.
Seketika terdengarlah jeritan panjang diiringi suara berdebamnya tubuh salah
seorang dari penyerang itu dengan pisau menancap di lehernya. Namun pada detik
selanjutnya sebuah tali tambang besar telah melilit tangan Jaka Sembung.
Parmin berusaha untuk melepas
jeritan itu, tetapi dua buah tambang kembali melilit tangannya dan tubuh Parmin
lalu di seret oleh para penunggang kuda itu.
"Ha...ha...ha...ha! Tikus Gunung Sembung ini sudah tidak berdaya lagi!"
teriak salah seorang dari mereka gembira diikuti tawa yang lainnya.
"Tarik terus sampai besot-besot!
Kita bikin dendeng abon! Yaaah! Yach!"
teriak yang lainnya
sambil menarik tambangnya berputar-putar kian kemari.
Tubuh Parmin terus di seret-seret, pakaiannya telah koyak-koyak terkena batu-
batu kerikil yang ada di lembah itu dan tubuhnya pun telah lecet-lecet.
Di sebuah pohon yang rindang di
balik bukit, terlihat si Kaki Tunggal sedang makan sambil melepaskan lelah.
Tiba-tiba suapan nasinya terhenti ketika telinganya mendengar suara yang meminta
pertolongan. "Toloooong! Tooloong!" Apa iya Jaka Sembung cengeng begitu, baru kena diseret
kuda saja sudah teriak-teriak minta tolong" (Editor).
"Pendekar Gunung Sembung dalam bahaya!" suara itu keras terdengar olehnya.
"Hah! Itu burung Beo Jaka Sembung!
Aku harus segera menolongnya!" gumam si Kaki Tunggal menghentikan makannya
begitu melihat Beo menghampiri dirinya.
Tanpa pikir panjang lagi, bagaikan orang disengat lebah, si Kaki Tunggal melesat
dari tempat duduknya. Tubuhnya berkelebat mengikuti si Beo yang terbang rendah
sebagai petunjuk jalan.
"Cepat sedikit, kawan!" teriak si Beo memberi peringatan. Sementara itu Parmin
masih berkutat dengan siksaan para penunggang kuda yang menyeret tubuhnya.
Tanpa mereka ketahui tiba-tiba sebuah kilatan cahaya putih telah menerobos arena
pertarungan. Sret! Putuslah tali pengikat tangan
Parmin, si Kaki Tunggal dengan mata mencorong telah berdiri di hadapan para
penunggang kuda itu.
"Heh! Kurang ajar! Siapa kau"!"
"Kepung kawan-kawan!, jangan sampai kunyuk buntung ini lolos!" bentak salah
seorang yang menyeret Parmin, setelah melihat ada orang yang menolong Jaka
Sembung. Kini mereka berdua telah dikepung oleh para penunggang kuda itu.
"Heh! Bebel siah!" bentak si Kaki Tunggal mencaci-maki penyerangnya, karena
tudung si Kaki Tunggal telah tertembus oleh sebuah tombak yang nyaris menghantam
batok kepalanya.
Dengan cepat ia jatuhkan dirinya ke belakang sambil melemparkan senjatanya.
"Mampus siah!" teriaknya dan seketika itu terdengar jeritan tertahan.
Si penyerang itu mati dengan dada tertembus.
Si Kaki Tunggal masih berguling-
guling pada saat tiga buah cahaya dari senjata rahasia mengarah kepadanya.
Nyawa si Kaki Tunggal terancam,
untung Parmin melihatnya, dan dengan gerakan cepat Parmin menyentil pisau-pisau
itu hingga arahnya meleset ke samping tubuh si Kaki Tunggal. Maka luputlah
bahaya yang mengancam jiwanya.
"Awas pisau, kawan!" teriak Parmin sambil bergerak mendekati si Kaki Tunggal.
"Terima kasih Jaka Sembung!
Beginilah susahnya punya sebelah kaki, gerakan selalu lamban!" ujar si Kaki
Tunggal sambil tangannya melemparkan kembali pisau-pisau itu mengarah leher
lawannya. Seketika itu juga tiga orang penunggang kuda itu jatuh dari pelananya
dan mati dengan pisau menancap di leher.


Jaka Sembung 8 Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para penunggang kuda yang tinggal beberapa orang itu segera menyerang si Kaki
Tunggal dan Parmin yang masih bergulingan di tanah dengan senjata-senjata
mereka. Namun kembali si Kaki Tunggal dan Parmin membuat gerakan manis dengan
menangkap pisau-pisau itu dengan jari tangan mereka dan mengembalikannya kepada
sang pemilik dengan cepat. Tepat mengarah leher mereka, sehingga tubuh mereka
jatuh berdebam ke tanah dengan nyawa melayang. Darah membasahi bekas luka itu.
Kini tinggal Parmin dan si Kaki
Tunggal berdiri di antara para penunggang kuda yang tergeletak tak bernyawa lagi
dan kuda-kuda mereka telah berlarian entah kemana.
"Semoga anda tak terluka, pendekar Gunung
Sembung!. Rupanya kita enteng
jodoh, sehingga dalam satu hari ini kita bisa bertemu dua kali," ujar si Kaki
Tunggal sambil berdiri dan menghampiri Parmin yang masih duduk di tanah.
"Terima kasih, pendekar!" ujar Parmin sambil menepis bajunya yang penuh debu.
"Burung Beo itulah sebetulnya yang menolong anda. Nah, baiklah kita berpisah
dulu. Syukurlah jika anda baik-baik saja.
Selamat malam, Jaka Sembung!" ujar si Kaki Tunggal sambil mengambil tudungnya
yang bolong tertembus sebuah tombak dan berlalu dari hadapan Parmin.
"Kuharap kita bisa berjumpa lagi, pendekar!" ucap Parmin,
Hari telah berganti lagi. Siang itu matahari terik menyinari desa
Kalimanggis. Dari tengah sawah terdengar teriakan-teriakan seseorang yang sedang
menghalau burung-burung yang coba-coba mematuk padi yang mulai menguning.
"Huraaaaaaaaaaaaaaa...!" Hup! Hup!
Huuraaaaaiii...! Haayooooooo...!!!" Suara itu keras sekali terdengar menggema,
dibarengi hentakan-hentakan tangan pada tali-tali yang tergerak dengan bunyi-
bunyian tempurung yang di isi batu-batu kecil sehingga membuat burung-burung
tidak jadi memakan padi dan terbang menjauh.
Orang itu tak lain adalah Umang. Ia kini telah menjadi buruh pada seorang petani
kaya di desa Kalimanggis. Kerjanya tiap hari adalah menghalau burung-burung di
sawah. Keringatnya telah membasahi baju serta wajahnya. Sekali-sekali ia menyeka
keringat di wajahnya dengan tangannya yang buntung.
"Huraaaaaaaa...! Huuraaaaaaa!!"
teriak Umang dengan penuh semangat.
"Seandainya tanganku lengkap, aku lebih baik kerja lainnya. Aku jemu setiap hari
menghalau burung!" gumam Umang menyesali dirinya. Di saat itu sepasang mata lain
mengawasinya dari arah belakang. Orang itu tak lain adalah Mirah yang terus
berusaha mendekati Umang.
"Itulah Umang! Aku akan coba-coba berkawan dengannya. Tampaknya ia lebih bisa
didekati dari pada si Tirta, kawannya itu!" gumam Mirah di dalam hatinya.
"Saudara Umang!" Sapa Mirah pelan sambil menguak batang padi yang sedang
menguning di hadapannya agar tak menghalangi tubuhnya.
"Heh...siapa kau" Apa maksudmu datang kemari" Oh... andakah yang pernah
mengintip kami"!" Kata Umang terkejut sambil menoleh padanya penuh selidik.
"Betul! Tetapi aku tidak punya niat jahat. Aku ingin bersahabat dengan anda
berdua. Aku pun hendak menuntut balas terhadap Lalawa Hideung!" Jawab Mirah
membela diri. Umang tidak berkata sepatah pun
ketika mendengar keterangan Mirah yang ingin membalas dendam pada gerombolan
laknat itu. "Percayalah!. Aku bukan seorang
mata-mata gerombolan Lalawa
Hideung. Ijinkanlah aku menemani anda bercakap-cakap!" Ujar Mirah meyakinkan Umang agar
menerima dirinya sebagai kawan.
"Heh! Berdua dalam gubuk di tengah sawah yang sepi begini" Apakah anda tak
berperasangka buruk terhadapku?" tanya Umang dengan senyum penuh arti.
"Aku percaya bahwa anda seorang laki-laki yang menjunjung tinggi nilai kesucian
seorang wanita!" jawab Mirah pelan penuh harapan.
"Terima kasih!. Kemarilah, dan silakan duduk!" kata Umang sambil menggeser
tubuhnya ke kiri untuk memberi Mirah duduk di sampingnya.
Kemudian Mirah menghampiri Umang dan duduk di sebelahnya. Mata mereka bertemu
pandang sejenak dan untuk beberapa saat telah menimbulkan getaran-getaran di
dada masing-masing. Mirah memulai bercerita tentang dirinya serta keluarganya.
"Dua tahun yang lalu, desa kami dirampok oleh gerombolan Lalawa Hideung.
Kekasihku serta keluargaku mati terbunuh.
Juga rumah kami di bakar habis," ucap Mirah sedih mengenang peristiwa itu dan
tanpa terasa air matanya menetes di pipinya.
"Semua orang bernasib sama karena kekejian Lalawa Hideung! Aku sudah banyak
mendengar cerita duka seperti ini!. Aku hanya bisa turut berduka cita atas
nasibmu. Hm, Siapa nama mu, dik"!" tanya Umang lembut dan membayangkan kejadian
yang menimpa dirinya serta keluarga sendiri.
"Mirah!" jawab gadis tersebut sambil mengusap air matanya dengan jari-jari
tangannya yang halus. Mereka berdua terlibat pembicaraan mengenai diri masing-
masing dengan serius. Sementara itu, tanpa mereka sadari, sesosok tubuh dengan
kain membungkus kepalanya hingga tak terlihat sehelai rambut pun
menghampiri mereka dari belakang.
"Huh! Kurang ajar betul ayam hutan itu!" gumamnya penuh rasa geram. Sosok tubuh
yang tak lain adalah Tirta itu terus mendekati mereka dengan perlahan-lahan.
Tiba-tiba tangannya bergerak.
"Heeeaaatttt... teriak Tirta keras dengan sorot mata tajam. Melesatlah tiga buah
senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil mengarah ke punggung Mirah yang sedang
asyik berbicara dengan Umang
"Haaiiii....tt!" teriak Mirah sambil melesat ke atas menjebol atap gubuk itu dan
bersalto di udara. Pisau-pisau itu menancap di atas tempat duduk Mirah yang
telah kosong. Umang sangat terperanjat dengan serangan yang datang secara tiba-
tiba itu. Detik-detik selanjutnya Mirah yang masih berada di udara terus di hujani dengan
serangan pisau-pisau kecil, sehingga Mirah terpaksa jungkir balik
menghindarinya.
"Kau harus mampus, awewe jurig!!!"
Bentak Tirta keras sambil melempar pisau-pisaunya ke arah titik-titik kematian
pada tubuh Mirah.
"Tirta, tunggu!! Hentikan Tirta!!"
teriak Umang sambil melompat dari tempat duduknya dan mengejar Tirta yang masih
terus memburu Mirah.
"Tirta, tunggu! Gadis itu bukan musuh kita! Dia kawan kita, Tirta!"
"Aku lebih tahu tampang seorang cecunguk!!" bantah Tirta tanpa menghiraukan
perkataan Umang. Ia malah menghunus goloknya yang lalu di ayunkan ke arah Mirah
yang terus menghindar tanpa memberi perlawanan.
"Tirta, hentikan kataku! Kau terlalu mengumbar napsu!!" Sergah Umang sambil
memegang tangan Tirta.
"Jangan ikut campur! Ini adalah urusanku!!" bentak Tirta sambil meronta
melepaskan pegangan tangan Umang. Dengan gerakan gesit ia kembali menyerang
Mirah yang berusaha melompat menghindari serangan itu.
Akhirnya dengan susah payah Umang berhasil menyergap tubuh Tirta dan
mendekapnya erat-erat.
"Lepaskan aku, Umang!" teriak Tirta keras sambil berusaha meronta dan melepaskan
diri dari pelukkan Umang.
"Ah"!"
Umang tersentak kaget seraya
melepaskan dekapan tangannya, dan mundur dua langkah dengan sorot mata
mengandung sebuah pertanyaan.
Ketika Umang mendekap tubuh
kawannya itu, ia merasakan tangannya menyentuh sesuatu yang lembut di balik baju
Tirta. Seketika itu Tirta berontak dan kemudian tertunduk malu. Wajahnya
seketika bersemu merah.
"Kau selalu saja menghalang-halangiku! Seharusnya aku sudah dapat mengirim
perempuan itu ke neraka. Suatu saat kita sendiri dapat terbunuh karena
tindakkanmu!" Ujar Tirta dengan wajah cemberut karena kesal dan malu atas
kejadian yang baru saja berlangsung sambil meraba dadanya seakan-akan bekas
tangan Umang masih terasa dan membuat bulu-bulu tubuhnya berdiri meremang.
"Tetapi kepada musuh wanita, kita tidak boleh bertindak secara membabi buta!"
bentak Umang mengharap pertimbangan.
"Musuh wanita lebih berbahaya dari pada musuh laki-laki!. Karena menganggap
wanita lemah dan remeh, kita akan menjadi
lengah dan sedikit saja salah langkah, kita akan terbunuh olehnya!" Jawab Tirta
dengan nada penuh emosi dan rasa benci terhadap wanita.
"Tapi aku yakin ia bukan musuh kita!" Ujar Umang kembali dengan nada ditekan.
"Itulah kebodohanmu, Umang! Laki-laki semacam kau akan bisa dengan mudah kena
perangkap dengan umpan wanita-wanita cantik!" sambung Tirta dengan nada kesal.
"Tetapi aku tidak melihat
kebohongan pada sinar matanya!" bantah Umang membela diri sambil meyakinkan
teman seperjalannya itu yang masih ragu-ragu.
Perdebatan mereka segera terhenti.
Tirta bergegas meninggalkan Umang menuju lumbung tua. Umang mengikutinya dari
belakang, sesampai di dalam lumbung tua tempat tinggal sementara bagi mereka,
perdebatan pun di lanjutkan kembali.
Tirta dengan wajah yang masih
cemberut, duduk bersandar pada sebuah balok dengan kaki di lipat, sedangkan
Umang merebahkan diri di atas alang-alang kering dengan tangan sebagai alas
kepala. "Kita sama-sama lelaki, Umang!"
ujar Tirta dengan nada sumbang sambil tangannya berusaha menutup kancing leher
bajunya. "Justru karena kita laki-laki, maka
naluri kita bisa menangkap denyut kebohongan dalam dada setiap wanita!"
jawab Umang cepat sambil duduk dan memandang wajah Tirta dalam-dalam.
"Kusesalkan seandainya kau bisa jatuh cinta pada musuh!" Sergah Tirta dengan
nada cemburu dan berusaha membuang muka menghindari tatapan Umang.
Matahari pun bergulir kearah barat dan senja telah datang. Binatang-binatang
malam telah keluar dari sarangnya mencari makan. Malam itu udara di luar terasa
dingin membuat orang-orang tertidur dengan nyenyaknya.
Di dalam lumbung tua terlihat Tirta dan Umang sudah terbaring dengan posisi
bertolak belakang. Umang dengan posisi terlentang sedangkan Tirta dengan posisi
terlungkup. Di dalam tidurnya malam itu, Umang agak gelisah. Ada sesuatu yang
aneh di rasakan entah mimpi entah bukan. Dalam perasaannya ada seseorang yang
membelai tubuhnya dengan begitu lembut. Pakaiannya terasa di buka satu persatu
oleh tangan-tangan halus lalu bibirnya dipagut oleh bibir yang tipis yang
mengeluarkan bau harum dari mulutnya. Lidah itu lalu menjilat lehernya sampai ke
bawah pusarnya, lalu tubuhnya bergulingan bersama tubuh lain dengan napas
memburu dan pada saat puncaknya, tubuh Umang menegang untuk kemudian lemas.
Tatkala Umang terbangun tengah
malam itu tubuhnya terasa agak lemah seperti dilolosi dan ia menoleh kepada
Tirta yang tidur lena dengan bibir tersenyum bahagia. Sungguh aneh!
Sang surya telah memancarkan sinar emasnya menerangi alam raya ini, Umang
meninggalkan Tirta yang masih tertidur.
Ia kemudian membersihkan tubuhnya di air pegunungan yang tak jauh dari tempat
mereka tinggal.
Air pegunungan di pagi itu membuat tubuh Umang terasa lebih segar dari biasanya,
Umang terus merendam tubuhnya dengan pikiran yang masih di penuhi dengan teka-
teki. "Tirta, tapi, ah... Tak mungkin!"
gumam Umang membayangkan kejadian yang dialami semalam.
Ketika Umang kembali ke lumbung tua itu, Tirta sudah tidak ada di tempatnya dan
ia hanya melihat sudah ada hidangan yang tersedia disana.
"Tirta, ke mana Tirta" Biasanya ia memberi tahu aku kemana dia pergi! Hmm,
apakah yang di tinggalkan itu" Makanan untukku" Telur ayam setengah matang!
Tentu ini di sediakan untukku!" gumam Umang pada dirinya sendiri setelah sia-sia
mencari Tirta di tempat itu. Umang mengambil telur dan di makannya sebelum
menyantap makanan lainnya yang lengkap
sebagai sarapan pagi penuh dengan gizi.
Pada malam hari di suatu tempat
yang tak seorang pun tahu, telah berkumpul gerombolan Lalawa Hideung dengan
berpakaian serba hitam komplit dengan cadar menutupi mukanya dan kepala
terbungkus kain warna hitam pula.
Dalam ruangan yang hanya di terangi sebuah pelita yang tergantung pada sebuah
balok melintang, duduk orang-orang Lalawa Hideung membentuk lingkaran
mengelilingi meja perundingan dengan sang ketua duduk paling ujung menghadapi
orang-orangnya yang dengan penuh perhatian mendengarkan pemimpinnya berbicara.
"Kalian harus waspada! Kini desa Kalimanggis terpagar kuat oleh para pendekar
yang hendak menuntut balas kepada kita!" Ujar sang ketua dengan suara lantang
dan berwibawa. Semua anak buahnya mendengarkan dengan serius.
Kemudian sang ketua melanjutkan pembica-raannya.
"Penjagaan mereka tersusun rapi karena siasat pendekar Gunung Sembung!
Seperti kalian tahu, kalian telah dua kali gagal membunuh pendekar dari daerah
utara itu! Ini berarti Lalawa Hideung mendapat tantangan yang cukup berat!
Minggu depan sudah mulai panen, kita harus bersiap-siap menyusun siasat dan
kekuatan kita! Lalawa Hideung harus tetap
jaya! Telah bertahun-tahun Lalawa Hideung merajai daerah lereng selatan gunung
Ciremai ini! Lalawa Hideung adalah momok sepanjang jaman! Ha..ha.. ha..ha!!"
seru sang ketua berapi-api dan bersemangat, dengan ketawa yang keras sekali
membuat berdiri bulu kuduk bagi siapa saja yang mendengarnya.
"Hidup sang ketua! Hidup Lalawa Hideung!!" teriak mereka serempak seperti ada
yang memberi komando. Setelah
mendengar sang ketua berbicara, kemudian mereka menyusun rencana untuk malam
ini. Hari telah larut malam, tetapi mata Umang tak mau mengantuk, lalu membuat api
unggun di depan lumbung tua itu
menantikan Tirta yang tak kunjung datang.
Umang kemudian duduk di bawah pohon tak jauh dari api unggun itu sambil
termenung. "Sudah hampir tiga bulan aku menetap di desa Kalimanggis ini, belum pernah
seorang Lalawa Hideung pun yang kutemui!. Apakah pengembaraanku akan sia-sia!"
gumam Umang pada dirinya sendiri.
Pikiran menerawang seakan-akan
menembus kegelapan malam. Tiba-tiba indera keenamnya bereaksi mengatakan ada
sesuatu disekitarnya. Maka ia segera menoleh ke belakang.
"Heh, siapa itu?" Sapa Umang melihat sesosok bayangan tubuh meng-
hampiri dirinya. Setelah orang itu dekat Umang kembali memalingkan wajahnya
menghadapi api unggun, karena orang yang baru datang itu tak lain adalah Mirah.
"Maafkanlah, lagi-lagi aku meng-ganggu anda, Umang!" katanya dengan lembut dan
segera duduk di sebelah Umang.
"Oh... tidak! Aku justru sedang butuh kawan!" balas Umang sambil menambah kayu
bakar supaya api unggun tidak mati.
"Anda sedang sendirian", kemana teman anda Tirta" apakah ia sengaja memasang
perangkap untukku"!" tanya Mirah menyelidik kalau-kalau Tirta ada di sekitarnya.
"Tidak! Sejak pagi tadi ia belum pulang. Jika ia bermaksud membunuhmu, aku pasti
akan turun tangan!" jawab Umang dengan pandangan mata penuh arti.
"Hmm, anda berdua mulai bertengkar karena aku" Maafkanlah segala tindakan ku!"
ujar Mirah dengan bibir tersenyum sebagai balasan atas tatapan mata pemuda
tampan bertangan satu itu.
"Ah... tak mengapa! Memang sebagai kawan, Tirta terlalu berlebihan
terhadapku sehingga kadang-kadang aku merasa di perlukan seperti anak kecil yang
harus menuruti apa yang ia katakan!"
"Itu tandanya ia mempunyai sikap yang akrab terhadap kawan sependeritaan,"
komentar Mirah dengan nada agak
menyindir. "Suatu saat, ia kadang-kadang berlaku manja seperti anak kecil dan justru aku
merasa tersiksa oleh
kemanjaannya. Dia terlampau halus, mudah tersinggung tetapi sebaliknya ia suka
mau tahu dalam segala hal! Ia marah sekali ketika aku menghalang-halanginya
untuk membunuhmu, " Ujar Umang menceritakan perilaku Tirta.
"Tirta sangat mencurigaiku, tetapi aku sanggup membuktikan dengan apa saja
sampai anda berdua percaya kepadaku!"
Katanya dengan nada meyakinkan lawan bicaranya itu. Tiba-tiba percakapan mereka
terhenti, ketika sebuah benda panjang berdesing dengan deras ke arah mereka.
"Awas, Umang!!" teriak Mirah sambil bersalto ke belakang diikuti oleh Umang.
Kiranya sebuah tombak telah tertancap tepat di tempat duduk Mirah yang telah
kosong.

Jaka Sembung 8 Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Belum sempat Mirah dan Umang
membetulkan posisi mereka, kembali senjata-senjata gelap melayang mengancam
nyawa mereka. Mau tak mau, mereka harus bersalto menghindar.
Mirah dengan cekatan sekali membuat gerakan-gerakan indah di udara sambil
menangkis senjata-senjata rahasia tersebut dengan pedangnya.
Sejenak serangan itu terhenti.
Mirah dan Umang yang kini sudah memasang kuda-kuda dengan punggung mereka
menempel satu dengan yang lainnya, menanti dengan penuh kewaspadaan.
Beberapa saat kemudian sosok-sosok tubuh berlompatan dengan ringannya mengepung
mereka dengan senjata-senjata tajam terhunus.
"Lalawa Hideung!!" bentak Umang sambil menyilangkan goloknya didepan dada
setelah melihat orang-orang yang mengepungnya itu berpakaian serba hitam dengan
cadar yang menutupi muka serta ikat kepala berwarna hitam pula.
Teriakan-teriakan mereka memecahkan suasana yang sepi menjadi hiruk-pikuk
disertai dentingan-dentingan suara senjata tajam yang beradu menimbulkan
percikan bunga-bunga api.
Di tengah-tengah berkecamuknya
pertempuran itu, munculah
sesosok bayangan lain dengan gerakan yang cepat.
"Hiiyaaaaaaa....tt! Mampus kalian semua!" bentaknya dengan suara melengking
sambil menyabetkan goloknya ke arah gerombolan Lalawa Hideung yang mengepung
Mirah dan Umang.
"Tirta!!" seru Umang dan Mirah hampir bersamaan.
Mereka bertiga kini menghadapi
Lalawa Hideung dengan sabetan-sabetan dan
serangan-serangan yang mematikan.
Namun bagaikan kelelawar-kelelawar, tubuh-tubuh berpakaian hitam itu melompat
kesana-kemari memusingkan pandangan mata, kemudian menempel pada dahan-dahan
pohon dengan sangat mengagumkan. Telapak-telapak kaki mereka melekat erat pada
dahan-dahan itu seakan-akan memiliki daya perekat, meninggalkan musuhnya di
bawah sana yang menjadi kebingungan.
"Ha...ha...ha...ha! Kalian kira kemampuan kalian akan mampu menandingi Lalawa
Hideung?" Ujar salah seorang dari mereka dengan nada mengejek.
"Turun kalian! Kami tidak takut!!"
bentak mereka hampir bersamaan dengan rasa penasaran.
Kemudian orang-orang di atas pohon itu membuat gerakan menukik seperti seekor
kelelawar menyambar seekor serangga, dengan golok-golok terhunus mengarah kepada
mereka yang berada dibawah. Namun Mirah dan Umang serta Tirta menangkiskan golok
mereka masing-masing sehingga para penyerangnya kembali melesat ke atas dengan
manisnya dan menempel ketat di pohon.
Mereka menjadi terkejut melihat
komplotan itu kembali dengan cepatnya setelah beradu dengan senjata-senjata
mereka. Rupanya kelompok Lalawa Hideung itu membuat senjata musuhnya sebagai
pantulan. Belum hilang rasa terkejut mereka, tiba-tiba kelompok Lalawa Hideung kembali
menyerang dengan bersalto berkali-kali dengan sebuah jaring besar ditebarkan
mengarah kepada mereka.
"Awas! Umang, jaring!!" teriak Mirah memperingati Umang. Namun terlambat Umang
meronta, namun sia-sia jaring itu demikian kuatnya. Secepat kilat jaring itu
terangkat dengan tubuh Umang di dalamnya terperangkap tak berdaya.
"Kepung! Jangan sampai lolos awewe itu!" Ujar seseorang dari mereka yang segera
menyerang Mirah dengan membabi buta, membuat gadis itu kewalahan.
"Wah... celaka! Umang tertangkap,"
gumam Mirah khawatir melihat keadaan pemuda yang dalam waktu singkat ini telah
merebut hatinya.
"Jumlah mereka terlalu banyak untukku! He, kemana gerangan Tirta" aku tak
melihatnya" Apakah ia tertangkap"
Percuma melawan mereka sendirian! Aku harus segera lari. Di sini banyak sekali
pohon-pohon yang sangat menguntungkan mereka," gumam Mirah kecut setelah melihat
situasi yang tidak menguntungkan dirinya. Sambil menangkis dan bersalto menjauhi
mereka, ia segera lari dengan mempergunakan ilmu larinya seperti seekor kijang
lari menyelusup ke dalam
semak-semak belukar. Mirah berlari dan berlari tak tentu arah menjauhkan diri
dari komplotan itu.
"He... mereka berhenti mengejar?"
pikirnya setelah mengetahui dirinya tidak dikejar lagi oleh gerombolan Lalawa
Hideung. "Hh....., hh...., napasku hampir putus! Oh, Umang! Dia tertangkap! Umang,
Umang... tidaak! aku sudah sebatang kara di dunia ini, aku tak mau kehilangan
lagi!" desah Mirah sambil menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon kelapa.
"Aku berjanji akan menolongmu, akan kuselamatkan! Aku akan mencarimu, Umang!
Oh, Tuhan! Tuhan! Lindungilah dia! Aku tak mau lagi kehilangan seseorang yang
kucintai!" pekik Mirah dengan tangis terisak dan air mata membasahi kedua
pipinya, dengan deras. Kemudian ia menyabetkan pedangnya kian kemari
melampiaskan rasa kesal dalam hatinya, membuat daun-daun yang terkena pedangnya
menjadi terpotong berhamburan.
"Dengan saksi bintang-bintang di langit, angin yang bertiup, aku
bersumpah! Akan kutumpas setan-setan keji itu yang telah merampas hidupku
cintaku!!" teriaknya keras mengacungkan pedangnya ke atas.
Saat itu di tempat lain, ada sebuah gubuk reot terlihat Umang terikat pada
sebuah tiang dengan dijaga ketat oleh gerombolan Lalawa Hideung.
"Mengapa kalian tak segera
membunuhku"!" bentak Umang marah dengan mata melotot.
"Ketua kami memerintahkan untuk menawan anda hidup-hidup!".
Jawab salah seorang yang di percaya oleh sang ketua.
"Aku tahu!. Lalawa Hideung adalah iblis keji!. Kalian akan membunuhku secara
perlahan-lahan!" Sergah Umang dengan mata melotot.
"Kami tidak tahu! Kami hanya patuh kepada perintah Pimpinan! Untuk apa anda
harus ditangkap hidup-hidup!, kami tak tahu! Kami hanya menunggu perintah
selanjutnya!" jawab orang kepercayaan sang ketua itu selanjutnya.
Waktu pun berlalu dengan cepatnya, tak terasa musim panen telah datang. Huma dan
sawah telah dituai, lumbung-lumbung telah penuh terisi. Semua orang
bergembira, tetapi kegembiraan itu di barengi pula dengan rasa cemas dan waswas
karena harta benda milik mereka jelas terancam.
Tidak seorang pun di antara
penghuni rumah-rumah itu merasa tenteram setiap malam datang. Setiap laki-laki
muda ditugaskan berjaga-jaga sampai pagi.
Pada suatu malam dengan sinar bulan
yang enggan menampakkan diri, di pinggiran desa Kalimanggis tampaklah sesosok
bayangan berdiri di kegelapan malam. Sosok tubuh itu tak lain Parmin, si
Pendekar Gunung Sembung yang
menempatkan diri di batas sebelah Barat.
Di atas desa sebelah Timur sesosok tubuh dengan topi tudungnya yang tak lain
adalah si Kaki Tunggal, selalu mengintai bagaikan seekor Serigala.
Sementara itu untuk pertahanan
dalam desa, tersebar sepuluh pendekar dari segala pelosok. Mereka siap siaga
setiap detik dengan senjata-senjata di tangan.
Begitulah suasana desa Kalimanggis setiap malam, tetapi penjagaan yang ketat itu
belum bisa menghibur hati orang-orang kaya, Mereka tetap merasa tak tenteram dan
ini terjadi pada minggu pertama sesudah panen. Pada malam itu terlihat di
bangunan besar milik orang kaya yang badannya gemuk serta perutnya gendut.
"Sudahlah pak! Kenapa sih, belum tidur-tidur juga?" tanya istrinya sambil
membelai dada suaminya manja.
"Hatiku merasa dag-dig-dug! Di mana kau simpan barang-barang berharga kita, bu?"
jawab sang suami dengan nada waswas.
"Dalam peti besi buatan kumpeni, pasti aman!. Lagi pula kita telah menyewa
tukang-tukang pukul jago berkelahi itu
kan pak?" Ujar istrinya dengan maksud menenangkan suaminya.
"Aku tak percaya dengan kekuatan mereka, bu! Lalawa Hideung bisa
menyelusup seperti jurig!" Sanggah suaminya penuh khawatir.
Memang tanpa mereka sadari, dari atas genteng terlihat sesosok bayangan hitam
telah berada di atas kamar mereka dan tiba-tiba.
"Betul apa yang kalian katakan!
Lalawa Hideung bisa berada di mana-mana seperti malaikat pencabut nyawa!"
bentaknya mengancam dengan golok terhunus dan telapak kakinya menempel di
hamparan atap kamar suami istri tersebut. Rupanya ia masuk melalui lubang
langit-langit kamar setelah membongkar gentengnya.
"Hah....!!!" sentak suami-istri itu dengan wajah ketakutan yang tak
terhingga, lalu mereka berpelukan dengan tubuh menggigil dan mandi keringat
dingin. "Hayo... cepat serahkan peti harta kalian kepadaku! Cepat kataku!!"
bentaknya keras sambil meloncat turun dan segera menempelkan goloknya di leher
si gendut yang semakin ketakutan.
"Am... am.. ampun! Ja.... jang...
an bunuh aku!" ratapnya dengan nada terputus-putus menahan ketakutan sampai tak
terasa celananya telah basah akibat
kencingnya sendiri.
Tetapi di luar dugaan, kemunculan anggota Lalawa Hideung itu tertangkap oleh
sepasang mata burung Beo teman Parmin yang bertengger pada sebuah lemari yang
berukir dalam kamar tersebut.
"Kami hanya punya harta, padi kami belum terjual!" jawab si Gendut coba mengelak
sambil mendekap bantal guling untuk menutupi celananya yang basah.
"Heh, kau coba-coba membohong",
babi!! Kalian kira Lalawa Hideung tuli!!
Ini... agaknya kau lebih menghendaki aku mengupas kulit kepalamu!!" bentaknya
sambil menggoreskan goloknya di atas jidat si gendut... Darah pun segera keluar
dari luka itu membasahi mukanya.
"Am... am.... pun, tu... an!"
rintihan si gendut sambil mengusap darah di wajahnya dan menunjukkan di mana
tempat hartanya disimpan.
Melihat itu, si burung Beo segera terbang menerobos kisi-kisi jendela sambil
berteriak-teriak memberi
peringatan kepada para pendekar.
"Toolooong! Lalawa Hideung! Tooo...
looong! Lalawa Hideung datang! Siaaa...
ppp!!" teriak Beo sambil berputar-putar mengelilingi desa Kalimanggis itu dengan
cepat. Beberapa saat kemudian rumah
saudagar kaya itu telah dikepung oleh
para pemuda desa itu dengan senjata lengkap terhunus.
"Ciiiiaaaa....ttt!!" teriak mereka keras sambil mendobrak pintu. Maka seketika
keluarlah sesosok bayangan dengan cepatnya. Para pemuda desa Kalimanggis segera
mengepung orang tersebut dengan tombak serta golok dan senjata lainnya secara
serempak. Namun orang yang berpakaian serba hitam itu dengan manis, bersalto ke
udara dan menempel pada sebuah pohon dengan tangan menggondol peti harta. Ia
segera meninggalkan musuh jauh di bawah sana dengan pandangan mata kebingungan.
Detik berikutnya dengan tiada
terduga-duga terjadilah hujan pisau dari atas pohon-pohon melanda pemuda-pemuda
Kalimanggis itu.
Dengan leher tertancap pisau-pisau rahasia, mereka mati seketika. Disusul
kemudian dari atas pohon, turunlah berpuluh-puluh anggota Lalawa Hideung!
Dalam sekejap saja terjadilah pertempuran sengit. Suara-suara teriakan keras
memecah suasana malam di iringi dengan suara dentingan senjata-senjata yang
saling beradu. Api telah berkobar di mana-mana
diiringi jerit tangis kepanikan
para wanita dan anak-anak yang ketakutan.
Sudah banyak pemuda-pemuda Kalimanggis
gugur bergelimpangan dengan luka mengerikan.
Namun di lain sudut, sepuluh
pendekar mengamuk bagaikan banteng ketaton dengan sabetan-sabetan golok yang
menimbulkan cahaya putih menyambar tubuh musuhnya yang berteriak tertahan
terkena sabetan itu lalu mati seketika.
Terlihat pula Parmin melompat ke sana ke mari dengan gesitnya. Dengan tongkat
besi berani di tangan kanannya serta golok pendek di tangan kiri menyambar-
nyambar tubuh anggota Lalawa Hideung. Setiap tubuhnya berkelebat, tumbanglah
beberapa orang Lalawa Hideung dengan jeritan tertahan.
Di lain sudut terlihat pula si Kaki Tunggal membabatkan pisau tongkatnya kesana-
kemari dengan ganas. Setiap kali tongkatnya bergerak, dua tiga orang musuhnya
yang berpakaian serba hitam itu mati dengan leher hampir putus.
Pertempuran itu lebih ramai lagi dengan munculnya Mirah yang begitu gesit,
seakan-akan tubuhnya sedang menari-nari dengan pedangnya. Gulungan cahaya putih
dari pedang Mirah menyambar-nyambar kian kemari dan mendarat tepat di tubuh para
anggota Lalawa Hideung diiringi jeritan-jeritan kesakitan dan ambruk seketika
dengan nyawa melayang.
Para pendekar yang kini berjumlah
tiga belas orang itu berjuang mati-matian dan berusaha memancing Lalawa Hideung
ke tempat terbuka dan gundul dengan maksud melumpuhkan gerak Lalawa Hideung dan
menjauhi kobaran api yang semakin besar.
Di tengah-tengah kemelut itu, Mirah melihat sesosok tubuh berkelebat keluar dari
kancah pertempuran menuju ke suatu tempat dengan tergesa-gesa.
"Heh, itu seperti Tirta! Lari kemana dia" Mengapa ia meninggalkan pertempuran"
Baiklah kuikuti terus!"
Pikir Mirah sambil berlari mengikuti kemana Tirta berlari dengan hati-hati.
"Aku harus segera mendapatkan Umang!" desis Tirta pada dirinya sendiri sambil
mempercepat larinya.
"Heh, agaknya ia hendak menuju puncak bukit itu! Ada apa gerangan?"
gumam Mirah setelah melihat Tirta mendaki sebuah bukit di luar desa Kalimanggis.
"He, dia menuju sebuah rumah tua!"
desah Mirah keheranan sambil mengendap-ngendap dengan pedang selalu siap di
tangannya. Di dalam yang pekat itu Tirta
memasuki rumah tua itu tanpa menyadari ada orang lain yang mengikutinya. Di
dalam rumah tua itulah terlihat Umang terikat di sebuah tiang.
"Umang!" sapa Tirta pelan mendekati Umang.
"Heh, siapa kau" Oh,... engkau Tirta! Syukurlah kau selamat, kukira engkau tewas
malam itu!" kata Umang setelah mengetahui siapa yang datang.
"Aku baik-baik saja, Umang!" ujar Tirta lembut.
"Lalawa Hideung telah mengurung ku di sini selama dua Minggu! Mereka memberiku
makan seperti anjing! Dari mana kau tahu aku meringkuk di sini" Cepat buka
ikatanku! Kita segera lari!" Ujar Umang memelas.
"Jika kau menghendaki lari, aku akan membunuhmu di sini! Kecuali jika kau mau
menuruti apa yang ku katakan!" sergah Tirta dengan nada mengancam, membuat Umang
terkejut seperti disambar petir.
"Aku tak mengerti apa yang kau maksud" Mengapa kau hendak membunuhku".
Apakah kau sudah tak waras Tirta"!" tanya Umang sambil mengerutkan keningnya.
"Ha.... ha... ha... ha! Umang!
Umang!. Berapa tahun engkau telah berkelana untuk balas pati kepada Lalawa
Hideung" Ah,... kasihan betul! Kau tolol!
Jika kau hendak membalas dendam kepada Lalawa Hideung berarti kau adalah
musuhku! "Ha...ha...ha...hi..hi!" bentak Tirta dengan suara keras dan tertawa-tawa
mengejek. "Kau tolol! Kau Tolol! Umang!
Akulah sebenarnya pemimpin Lalawa Hideung! Kau telah berkawan dengan seekor ular
yang setiap saat bisa menelanmu!!!"
Suara Tirta semakin keras memperkenalkan siapa dirinya yang sesungguhnya.
"Ha, apa" Kau pemimpin gerombolan iblis laknat yang terkutuk itu"!. Kau, kau...
kaukah itu Tirta?" tanya Umang terkejut mendengar keterangan Tirta dengan mulut
menganga dan mata melotot.
"Hi...hi...hi...hi! Telah kau saksikan sendiri betapa lihainya Lalawa Hideung,
bukan" Tetapi kau tak usah khawatir aku tidak bermaksud membunuhmu!
Kau adalah milikku, oleh karena itu sengaja kau ku tangkap hidup-hidup dan di
sembunyikan di sini! Malam itu sebenarnya aku sedang bersandiwara dengan
berpura-pura membantu kalian melawan Lalawa
Hideung! Semua ini atas siasatku! Sayang betina itu bisa lolos dari lubang


Jaka Sembung 8 Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jarum! Sayang sekali!!!," ujarnya dengan nada sinis dan senyum tersungging penuh arti.
"Iblis keparat kau! Bajingan licik!
Terkutuk! Keji!!" bentak Umang memaki Tirta dengan wajah merah menahan dendam.
"Jangan marah Umang. Aku mencintai mu, aku sangat mencintaimu! aku sangat
mencintaimu, Umang! Marilah kita hidup bersama-sama dengan harta berlimpah-
limpah! Lihatlah! Akan kubuka tutup kepalaku! Kau lihat,
Umang. Betapa perasaanku kepadamu selama ini!" Ujarnya sambil melepas penutup kepalanya. Tirta
meneruskan dengan menanggalkan pakaiannya satu persatu. Maka kini berdirilah
sesosok tubuh gadis yang cantik molek di hadapan Umang tanpa sehelai benang pun
melekat di tubuhnya.
Tubuh itu begitu sempurna dengan buah dada yang begitu montok dan kencang,
pinggang yang ramping serta kulit yang halus bersih, dan rambut yang terurai
lepas sampai ke pinggul.
"Kau...kau seorang wanita! Siapakah kau sebenarnya?" sergah Umang heran demi
melihat tubuh Tirta yang begitu indah.
"Ya aku seorang wanita. Oleh karena itu aku merasa cemburu terhadap si Mirah!.
Kini... marilah sayang... kita berdua pergi ke tempat yang tenang dan
tersembunyi, di mana kita dapat hidup berdua! Kita akan bahagia sebagai suami
istri. Hartaku takkan habis dimakan tujuh turunan! Harta yang telah bertahun-
tahun kukumpulkan! Marilah sayang,.....
marilah!" Suara Tirta lembut dengan sorot
mata menantang dan senyuman dan rekah bibir yang meminta. Kedua tangan gadis itu
terbentang sambil berlenggak-lenggok mendekati Umang dengan gaya yang
merangsang. "Tidaak!" Jangan sentuh aku!
Enyaaah kau! Kau pembunuh! Pembunuh ibu-bapakku! Pembunuh kakak perempuanku!
Pembunuh dan perampok terkutuk di muka bumi ini! Tidaak! Tiidaaakkk!!" teriak
Umang keras sambil memejamkan matanya menahan amarah yang tak terbendung lagi.
"Jangan bersikap tolol, sayang.
Selagi ada kesempatan gunakanlah kesempatan ini sebaik-baiknya. Persetan dengan
penderitaan orang lain! Marilah sayang, jangan buang-buang waktu..." ujarnya
manja dengan bibir mengecup leher pemuda yang masih terbelenggu tak berdaya itu.
Jari-jari lentik itu segera pula menyelusup ke balik baju Umang.
Belum sampai niatnya terlaksana, tiba-tiba
tubuh molek itu mengeliat
dengan suara tertahan. Tubuhnya mengejang sejenak dengan dada tertembus pedang
tepat di antara belahan buah dadanya.
Seketika darah segar menyembur dan membasahi baju Umang di hadapannya.
"Mampus kau kunyuk!" teriak Mirah dari belakang sambil menusukkan pedangnya
lebih dalam ke tubuh wanita muda yang selama ini menyamar sebagai seorang pemuda
bernama Tirta itu.
"Mirah! Tepat pada waktunya kau datang! Mirah, terima kasih. Tak kusangka,...
Tirta,.... Oh!" tukas Umang gembira
"Umang! Umang,.... kau tak apa-apa,
sayang?" ujar Mirah dengan mesra sambil mendekap Umang yang dibalas dengan
belaian mesra dari sang pemuda tersebut.
"Semuanya telah berakhir Umang...
Mari kita pergi! Lalawa Hideung akan musnah bersama terbitnya matahari esok!"
ujar Mirah sambil melepaskan tali belenggu Umang dan menggandengnya keluar
rumah. Kepalanya disandarkan ke dada Umang. Mereka berlalu dari tempat itu
menuruni bukit dengan hati cerah, secerah warna langit di ufuk timur yang mulai
Jingga. Ayam jantan mulai berkokok bersahut-sahutan menyambut sebuah hari baru.
Hari berakhirnya riwayat gerombolan perampok keji dari daerah Pasundan ini.
Mereka yang masih hidup mengucapkan syukur, walaupun desa Kalimanggis sudah
berubah menjadi puing-puing.
Di sana-sini mayat bergelimpangan.
Bau darah yang anyir bercampur baur dengan bau asap yang menyesakkan dada.
Parmin termenung memandangi sisa-sisa api dan melihat mayat-mayat yang
bergelimpangan.
"Perampokan, pembunuhan, ganas dan kejam! Semua ini selalu terjadi sepanjang
zaman di antara manusia di muka bumi. Ya Allah, tunjukkanlah mereka jalan yang
benar, jalan yang lurus!!" Ucap Parmin dengan perasaan trenyuh. Kemudian Parmin
mengumpulkan para pendekar dan memberi
sedikit kata sambutan.
"Saudara-saudara pendekar! Terima kasih atas segala bantuannya. Jika kita
bersatu, musuh yang paling dahsyat pun bisa kita lumpuhkan! Bersatu kita teguh,
bercerai kita runtuh!.
Kepada yang gugur, marilah kita
panjatkan do'a kehadirat Illahi, semoga mereka mendapat tempat layak! Satu hal
yang patut kita sadari ialah bahwa bangsa kita dalam penderitaan di bawah
telapak kaki penjajah! Untuk ini marilah kita bersatu lebih kokoh, karena kita
menghadapi perjuangan yang jauh lebih besar! Namun kita percaya akan menang jika
kita berjuang dengan penuh
pengabdian dan berada di jalan Allah!"
Ujar Parmin dengan ringkas, tetapi tegas dan di dengarkan oleh para pendekar
dengan serius. Setelah mengurus semua jenazah
dengan layak, Parmin pun minta diri untuk melanjutkan pengembaraannya.
"Nah, saudara-saudara sekalian, kurasa tibalah masanya kita berpisah dahulu!
Tugasku masih banyak, perjalanan ku masih panjang. Kalau Tuhan masih mengijinkan
langkahku, aku bermaksud menghubungi pendekar-pendekar di seluruh daerah
Pasundan ini!"
Dengan hati berat, para pendekar dan penduduk desa Kalimanggis melepas
keberangkatan Parmin. Di antara mereka tak terkecuali sepasang muda-mudi yang
sedang kasmaran, Umang dan Mirah, Si Kaki Tunggal yang gagah dan tegar,
melambaikan tangan sebagai salam perpisahan kepada Sang Pendekar muda dari Utara
yang terkenal dengan gelar Jaka Sembung tersebut.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Pedang Asmara 2 Iblis Ular Hijau Karya Aryani W Pendekar Pedang Pelangi 14
^