Pencarian

Misteri Tengkorak Berdarah 1

Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah Bagian 1


MISTERI TENGKORAK BERDARAH Hak Cipta Dan Copy Right
Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Joko Sableng
Dalam Episode :
Misteri Tengkorak Berdarah
Di Edit Oleh: mybenomybeyes
1 Sosok berjubah hitam besar dan
panjang, serta wajahnya ditutup dengan
cadar hitam itu berlari laksana angin.
Namun demikian sesekali kepala orang ini berpaling ke belakang, jelas jika dia
dihantui suatu kebimbangan.
Sosok berjubah dan bercadar hitam
yang tidak lain adalah Dewi Siluman
berlari tanpa bisa pusatkan perhatian.
Pikirannya tertuju pada Ki Buyut Pagar
Alam. Sebenarnya perempuan ini enggan
tinggalkan tempat terjadinya bentrok.
Tapi begitu maklum bahwa orang berjubah abu-abu terusan, ilmu kepandaiannya
berada di atasnya malah tidak berada di bawah Ki Buyut Pagar Alam, anak Daeng
Upas ini cepat berfikir dua kali. Apalagi ketika didengarnya TengKorak Berdarah
mengatakan tidak akan membiarkan hidup
keturunan atau kerabat Daeng Upas.
(Seperti diceritakan pada episode sebelumnya: "Jejak Darah Masa Lalu").
Terjadilah bentrok antara Dewi
Siluman dan KI Buyut Pagar Alam dengan
Tengkorak Berdarah Namun kepandaian
kedua orang itu rupanya masih berada di bawah Tengkorak Berdarah, malah pada
akhirnya, Ki Buyut Pagar Alam
menyarankan agar Dewi Siluman segera tinggalkan tempat terjadinya bentrok
untuk selamatkan diri.
Kalau aku ikut tewas di tangan
manusia hahanam ini maksud tujuannya
akan tercapai! Hem....Bagaimanapun juga aku harus selamatkan diri meski terasa
berat meninggalkan Ki Buyut. Dengan
begitu, aku masih punya kesempatan
mendalami kepandaian dan memburu Kitab
Serat Biru yang ada d tangan Pendekar
131.... Setelah itu aku akan menuntut
balas" batin Dewi Siluman saat itu. Lalu ketika K Buyut Pagar Alam berteriak
menyuruhnya berlari sambil lepaskan
pukulan, anak Daeng Upas ini melesat
tinggalkan tempat itu.
Pada satu tempat yang rindang, Dewi
Siluman hentikan larinya. Lalu duduk
bersandar pada sebatang pohon.
"Ibu telah terbunuh. Apakah Ki Buyut akan menyusul"! Murid-muridku pun malah
telah terlebih dahulu tewas. Ada yang
hidup tapi bertindak bodoh hingga sampai lupa diri!" gumam Dewi Silumai
mengingat pada kejadian beberapa waktu lalu Pulau Biru. Seperti diketahui, waktu
terjadi kegegeran di Pulau Biru, kedua muridnya Wulandari dan Ayi Laksmi akhirnya harus
menemui ajal di tangan Dewi Seribu Bunga.
Satu-satunya murid yang masih hidup
adalah Sitoresmi. Namun gadis itu telah berbalik
arah. Seperti diketahui,
Sitoresmi yang mendapat tugas memburu
rahasia Kitab Serat Biru pada akhirnya
jatuh hati pada Pendekar Pedang Tumpul
131 Joko Sableng hingga dia lupa tugasnya malah beberapa kali membantu sang
Pendekar. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam episode
"Neraka Pulau Biru").
"Ah.... Jika Ki Buyut tak bisa
bertahan, berarti aku akan hidup
sebatang kara. Hem.... Aku sekarang
yakin, manusia jahanam berjubah abu-abu itulah yang membunuh Ibu! Ibu.... Belum
sempat kau katakan siapa ayahku,
ternyata kau telah pergi. Pada siapa
kelak aku harus bertanya" Kau tak pernah mau mengatakan siapa orang yang tahu
tentang ayahku.... Malang benar
nasibku!" Dewi Siluman sesenggukan. Lalu
tarik kedua kakinya menekuk ke atas.
Wajah bercadar yang sepasang matanya
keluarkan air mata itu segera ditekapkan rapat pada kedua tangannya. Kedua
tangannya melingkar pada kedua kakinya.
Beberapa saat berlalu. Dewi Siluman
tidak tahu berapa lama dia menangis
sesenggukan dan bicara sendiri dengan
tekapkan wajahnya yang bercadar pada
kedua pahanya seperti itu.
Anak Daeng Upas ini baru putuskan
sesenggukan nya saat menyadari bahwa di tempat itu sekarang dia tidak lagi
berada sendirian:
Menangkap ada yang tidak beres di
tempat itu, kepala Dewi Siluman yang
merapat pada pahanya pun bergerak
terangkat. Dari mulut perempuan ini
terdengar seruan kaget. Serentak dia
bangkit berdiri bersandar pada batang
pohon di belakangnya. Sepasang matanya
yang sembab berubah berkilat. Wajah di
balik cadarnya berubah antara khawatir
dan geram. "Keparat ini tau-tau muncul
disini!! Kapan datangnya" Apakah dia
mendengar ucapanku tadi"!"
Di hadapan Dewi Siluman hanya
sejarak lima langkah terlihat seorang
kakek tegak dengan kepala tengadah
seolah memandangi rindangnya dedaunan
yang mampu menghadang sengatan sinar
matahari. Namun sebenarnya orang ini
tidak sedang menatapi rindangnya hijau
dedaunan. Kedua mata orang ini hanya
tampak putihnya saja menunjukkan bahwa
orang ini tidak bisa melihat alias buta.
Sedang tangan kanannya tidak henti
mengusap-usap sebuah cermin bulat pada
pangkal ikat pinggangnya yang besar
didepan perutnya yang menggelendot
lebar. Begitu Dewi Siluman habis membatin
dan belum sempat buka mulut keluarkan
suara, kakek bermata buta yang bukan lain adalah Gendeng Panuntun luruskan
kepala menghadap sang Dewi. Sepasang matanya
yang putih mengerjap. Lalu terdengar
suaranya. "Harap maafkan diri tua ini jika
mengejutkanmu...." i
Dewi Siluman tidak menyahut. Hanya
diam-diam dia terus membatin. "Ada perlu apa orang ini" Kalau dia berniat
buruk.... Tapi tak mungkin. Seandainya
dia mau, tentu dia telah lakukan waktu
aku tidak menyadari kedatangannya! Namun bagaimanapun juga dia punya silang
sengketa denganku! Urusan Kitab Serat
Biru gagal karena ulahnya juga!"
"Anak gadis. Aku ikut bersedih
dengan apa yang terjadi
menimpa dirimu.... Tapi aku akan lebih bersedih lagi kalaul kau tidak mengikuti saranku
nanti. Untuk hal itulah aku
mendatangimu! Aku tidak tahu apakah
ibumu pernah cerita apa tidak. Tapi tak ada jeleknya kalau aku memberitahukan
padamu...." Gendeng Panuntun sengaja hentikan ucapannya memberi kesempatan
pada Dewi Siluman untuk buka suara. Tapi sejauh ini tampaknya Dewi Siluman masih
belum buka mulut hingga akhirnya Gendeng Panuntun lanjutkan kata-katanya.
"Sebenarnya di antara kita masih ada pertalian saudara meski bukan satu
kandung. Ibumu Daeng Upas adalah kakak
seperguruanku. Hanya karena tedikit
kesalahpahaman akhirnya hubungan jadi
retak. Tapi percayalah. Aku masih
menganggap ibumu saudaraku, termasuk kau juga!"
Dewi Siluman tertawa pendek. Untuk
pertama kalinya dia buka mulut
perdengarkan suara.
"Kau menganggap ibuku masih saudara itu urusanmu! Aku tidak peduli! Hanya
perlu kau ketahui, aku menghitungmu
sebagai musuh besar yang layak dilempar ke dunia lain!"
Gendeng Panuntun tertawa panjang
mendengar tahutan Dewi Siluman. Sambil
terus usap-usap cermin bulatnya kakek
bermata buta ini berkata.
"Kalau kau menghitung musuh besar, aku juga tidak ambil peduli. Aku tetap
menghitungmu sebagai saudara Karena
anggapan itulah aku datang menemuimu
memberi saran agar semua kesalahpahaman lenyap lebih-lebih kau bisa terhindar
dari kemalangan berlarut-larut!"
Dewi Siluman mendengus. Lalu
membentak "Kau tahu apa tentang
diriku"!"
Gendeng Panuntun gelengkan kepala
seraya terus tertawa. "Kau memang lebih tahu dirimu dari pada aku. Tapi pada
satu sisi, aku tahu apa yang tidak kau
ketahui! Maaf, jangan kira aku meramal!
Aku hanya punya firasat...."
Entah karena apa, tiba-tiba Dewi
Siluman sipitkan mata lalu membatin.
"Menurut yang kudengar, manusia
satu ini memang punya kehebatan
tersendiri. Aku akan tanya perihal Ki
Buyut...." Lalu anak Daeng Upas ini berkata.
"Kemalangan apa sebenarnya yang kau katakan tadi, Katakan padaku!"
Gendeng Panuntun terdiam beberapa
sebelum akhirnya berkata.
"Sebelumnya aku ikut bela sungkawa.
Tapi harap kau bertahan menerima suratan ini...." Gendeng Panuntun menghela
napas panjang dahulu. Sementara dada Dewi
Siluman berdebar. Perempuan ini rupanya bisa menebak arah ucapan si kakek, dia
tidak keluarkan suara.
"Anak cantik. Untuk sementara ini
kuharap kau pergi. Ke mana kau hendak
menuju terserah penting kau jangan
melibatkan diri dalam rimba persilatan!
Carilah orang yang bisa kau buat untuk
berlindung, karena kau sekarang sudah
tidak memiliki sapa-siapa lagi! Yang
ku...." "Kau maksud adik ibuku yang bernama Ki Buyut Pagar Alam telah terbunuh,
begitu"!" tukas Dewi Siluman memotong ucapan Gendeng Panuntun.
"Begitulah dugaanku...," jawab si kakek pelan. "Aku ikut bersedih...."
Tubuh Dewi Siluman gemetar. Tapi
akhirnya dia hanya dapat menarik napas
mengeluh. "Ibumu menurut penglihatanku juga
telah mendahului pamanmu itu. Demikian
juga ayahmu...."
Kali ini Dewi Siluman tersentak dan
berseru tertahan
mendengar ucapan
terakhir Gendeng Panuntun. Perempuan ini cepat berkata.
"Katakan siapa sebenarnya ayahku"!"
"Ayahmu sebenarnya adalah seorang tokoh yang dalam dunia persilatan lebih
dikenal dengan Datuk Besar. Sudah
beberapa tahun aku tidak mendengar kabar beritanya sampai kuketahui tiba-tiba
dia telah meninggal...."
"Datuk Besar.... Aku pernah dengar nama itu. Tapi aku benar-benar tidak
menduga kalau dia adalah ayahku! Hem....
Apakah dia juga terbunuh di tangan
Siluman berjubah abu-abu itu seperti
ucapan ancamannya"!"
Membatin begitu lalu Dewi Siluman
berujar. Kau tahu ayahku meninggal.
Kenapa dia meninggal" Sakit atau dibunuh orang" Di mana dia beradanya"l"
"Sebab pangkal kematian ayahmu
tidak kuketahui. Sebelumnya dia
bertempat tinggal pada satu tempat
sunyi. Tapi percuma kau mencarinya.
Kukira ibumu telah mengurus jenazahnya
jauh dari tempat tinggalnya semula"
Dewi Siluman menarik napas dalam.
Gendeng Panuntun mendongak. "Anak gadis cantik.... Sekarang jalan terbaik bagimu
adalah cari orang tempat berlindung. Kau tidak bisa hidup sendirian terus
menerus. Aku tahu, di balik kain cadarmu, tersembunyi satu wajah cantik. Hanya
laki-laki bodoh yang tidak merasa
tertarik."
Meski dalam keadaan dibuncah
berbagai perasaan, mendengar ucapan
Gendeng Panuntun mau tak mau wajah di
balik cadar hitam sang Dewi tampak
berubah memerah.
"Anak cantik. Terus terang saja.
Yang kumaksud tadi adalah kuharap kau
segera kawin...."
Dewi Siluman tercengang. Tidak
menduga kalau arah ucapan Gendeng
Panuntun ke arah sana. Namun
ketercengangan anak Daeng Upas ini hanya sekejap. Saat lain justru dia tertawa.
"Mengapa kau tertawa" Apakah


Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ucapanku lucu"!"
"Bukan hanya lucu. Tapi kau telah
bicara lancang" sahut Dewi Siluman. "Aku tahu bagaimana mendapat kebahagiaan
tanpa harus turuti ucapanmu"
"Ah.... Kau berkata begitu karena
kau belum merasakan bagaimana nikmatnya berkeluarga! Kalau kau tahu, mungkin kau
merasa menyesal tidak sedari dulu
kawin...! Jika kau belum percnya, coba
tanya pada orang-orang yang telah
berpasangan!"
"Orang tua! Kau telah bicara
ngelantur dan terlalu jauh urusi
persoalanku! Dan perlu kau ketahui, aku tidak akan kawin sebelum tanganku dapat
memutus batang leher orang yang berbuat keji pada Ibu serta Ki Buyut!"
"Aku tahu. Tapi kuharap kau juga mau dengar saranku yang tadi. Percayalah,
lebih baik kau berubah pikiran...."
Lalu tanpa hiraukan orang yang mulai
jengkel, Gendeng Panuntun tertawa
bergelak. Lalu balikkan tubuh dan
melangkah meninggalkan Dewi Siluman yang tegak dengan mata mendelik. Perempuan
ini sebenarnya hendak berkelebat
menyusul, karena dia teringat akan
kejadian di Pulau Biru. Tapi mendadak
anak Daeng Upas ini batalkan niat ketika dilihatnya di depan sana Gendeng
Panuntun hentikan langkah. Lalu
kepalanya mendongak seakan pandangi
rimbun dedaunan. Saat lain terdengar
orang ini berkata.
"Urusan telah selesai. Kita segera pergi...."
"Aneh.... Orang buta itu apa telah gila hingga bicara sendiri" Atau...."
Dewi Siluman tidak lanjutkan gumamannya.
Sebaliknya dia terkesiap takkala
sepasang matanya tiba-tiba menangkap
satu sosok tubuh melayang turun dari
pohon besar berdahan rindang di atas
dimana Gendeng Panuntun berada.
"Astaga! Dia bersama orang
lain...," desis sang Dewi. Perempuan bercadar dan berjubah hitam ini segera
berkelebat untuk mengetahui siapa adanya orang yang baru melayang turun.
Tapi belum sempat Dewi Siluman
melesat, Gendeng Panuntun telah
berkelebat bersama orang yang baru
melayang dari atas pohon. Anak Daeng Upas ini hanya bisa melihat jubah merah
menyala yang dikenakan orang, lalu
mendengar suara tawa cekikikan yang
jelas menunjukkan kalau orang yang baru saja turun mengenakan jubah warna merah
menyala adalah seorang perempuan!
Sepeninggal Gendeng Panuntun, Dewi
Siluman duduk bersimpuh dengan kedua
tangan dikatupkan pada wajahnya yang
tertutup cadar hitam. Bahu perempuan ini terlihat berguncang dan terdengar
isakan tangisnya.
Beberapa saat berlalu. Setelah
dapat menguasai perasaan, Dewi Siluman
turunkan kedua tangannya dari wajah.
Kepalanya lalu mendongak. Meski dia
merasa jengkel dengan ucapan-ucapan
Gendeng Panuntun namun mau tak mau
hatinya terusik juga menyimak kembali
ucapan orang tua bertubuh besar gemrot
itu. "Apa yang harus kulakukan sekarang"
Menuruti ucapan orang buta itu"!" Mulut di balik cadarnya tersenyum malah
terdengar keluarkan suara tawa perlahan.
"Kawin! Hem.... Rasanya sampai saat ini belum ada seorang laki-laki yang
menarik hatiku. Tapi mengapa kadang kala wajah pemuda itu tak bisa kulupakan"
Padahal dendamku padanya setinggi
langit! Pemuda itu memang tampan hingga Sitoresmi sampai berani berkhianat. Tapi
ah.... Mengapa aku jadi memikirkan
pemuda yang seharusnya kubunuh" Sialan
betul!" Dewi Siluman memaki sendiri sambil
kepalkan kedua tangannya. "Aku tidak akan kawin sebelum semua urusan ini
selesai tuntas!" Perempuan berjubah serta bercadar hitam ini arahkan
pandangannya ke jurusan mana tadi
Gendeng Panuntun berkelebat pergi.
"Perempuan berjubah merah bukan
lain pasti sinenek sialan bergelar Ratu Malam itu. Kalau mereka berdua pergi
bersama dan sepertinya terburu-buru
pasti ada masalah penting. Aku harus
menyelidik. Jangan-jangan ini masih ada hubungannya dengan pumuda sableng itu!"
Dewi Siluman bangkit. Setelah
edarkan pandangannya berkeliling dia
berkelebat ke arah mana si Gendeng
Panuntun dan perempuan berjubah merah
menyala yang tidak lain memang Ratu Malam adanya berkelebat pergi.
*** Kita tinggalkan dahulu Dewi Siluman
yang di buncah berbagai perasaan begitu mendengar keterangan Gendeng Panuntun.
Kita kembali sejenak pada Prabarini
serta Puspa Ratri. Seperti diketahui,
sebelum terjadi bentrok lebih jauh
antara Puspa Ratri dengan Saraswati,
mendadak muncul Prabarini yang kemudian mengajak anaknya tinggalkan tempat
perkelahian. Pada satu tempat agak sepi,
Prabarini hentikan larinya. Setelah
memandang berkeliling, perempuan ini
duduk di atas tanah. Puspa Ratri yang
berlari di belakangnya segera pula
berhenti lalu duduk di hadapan ibunya.
Untuk beberapa saat Prabarini
memandangi wajah anaknya. Dia menghela
napas panjang. Wajah dan sikapnya jelas membayangkan rasa tidak enak di hati.
Setelah agak lama Prabarini alihkan
pandangannya ke jurusan lain sambil
berkata. "Puspa.... Ibu harap kau nanti tidak salah paham. Ini kukatakan dahulu karena
apa yang hendak kita bicarakan
menyangkut pemuda yang pernah kita
tolong beberapa waktu lalu...."
Puspa Ratri hanya pandangi ibunya
tanpa buka mulut. Paras gadis cantik ini tampak murung malah sepertinya dia
enggan untuk bicara.
"Puspa.... Ibu tahu. Kau menyukai
pemuda itu. Tapi rasanya tidak pantas
jika kau sampai adu mulut sampai hendak saling bunuh! Kau seorang perempuan.
Laki-laki akan besar kepala kalau dibela mati-matian begitu rupa. Dan hal itu
justru kelak akan menjadi bumerang
bagimu". Sebenarnya Puspa Ratri enggan
menyahut ucapan ibunya. Namun mungkin karena ingin membela diri, akhirnya
gadis ini berkata.
"Aku tidak akan bertindak kasar
kalau tidak melihat gadis itu berlaku
licik hendak mencelakai! Apalagi dia
bersekongkol dengan orang lain untuk
merampas benda yang kurasa sangat
berharga sekali".
"Kau hanya dituntun perasaan
cemburu, Puspa Ratri".
"Ibu...! Kalau gadis itu terus
terang dan berlaku baik-baik, aku tidak akan ambil peduli. Mungkin memang sudah
berjodoh. Tapi dia berlaku pura-pura!
Malah kurasa Joko sebelumnya tidak
mengetahui kalau pemuda berkumis tipis
berpakaian hitam-hitam itu
adalah seorang gadis. Kalau dia tidak mau
bertemu orang dan menyamar, pasti di
balik semua itu punya tujuan tertentu.
Dan tujuannya pasti jahat!!"
Air muka Prabarini sejenak berubah-
Sambil sunggingkan senyum dia berujar.
"Kau menyindirku...?"
"Aku tidak menyindir Ibu yang selalu menyaru dengan mengenakan bedak tebal
agar tidak dikenal. Hanya biasanya orang menyamar tak mau dikenal, punya tujuan
tidak baik!"
Kembali Prabarini tersenyum
mendengar ucapan anaknya. Lalu berkata.
"Bagaimana kau bisa berpendapat
begitu?" "Kalau tujuan kita baik, mengapa
kita takut tunjukkan wajah asli"
Kebaikan tidak perlu ditutup-tutupi...."
"Ucapanmu benar. Tapi kau jangan
samakan semua orang yang menyamar punya tujuan jahat. Tindakan boleh sama, tapi
tujuan pasti berbeda!"
Mungkin karena selama ini ibunya
tidak mau jelaskan apa sebenarnya yang
menjadi tujuannya menyamar, lagi pula
karena masih tidak suka dengan tindakan ibunya, Puspa Ratri akhirnya berkata
lagi. "Orang melihat bukan pada hati yang tidak kelihatan. Tapi pada tindakan! Apa pun
alasan Ibu, orang pasti menduga
tujuan Ibu menyamar adalah tidak baik!"
"Anakku.... Untuk sementara ini aku memang harus menerima penilaian itu!
Tapi kelak semua akan tahu bahwa aku
punya tujuan baik...."
"Kelak kapan, Ibu...?" tanya Puspa Ratri.
"Aku tak dapat menentukan kapan
waktunya. Namun jelas hal itu akan
terjadi!" "Selama ini Ibu selalu berkata
begitu. Bukan hanya dalam urusan ini
saja. Tapi juga soal keterangan yang
menyangkut Ayah...."
Prabarini tampak menghefa napas.
"Anakku....
lihatlah! Kuharap kau
bersabar. Kuharap juga kau tidak terlalu jauh berprasangka pada gadis berpakaian
hitam-hitam itu...."
Puspa Ratri tatap wajah ibunya
lekat-lekat. Sedang matanya memandang
tajam pada bola mata ibunya. Lalu
terdengar ucapannya.
"Ibu rasanya selalu membela gadis itu!"
"Aku tidak membela. Aku hanya ingin mendudukkan urusan agar nantinya tidak
berlarut-larut. Kau tentu masih ingat
ucapanku tempo hari. Kau kuminta jauhi
pemuda itu. Karena aku sudah tahu karena ada gadis lain yang telah menyukainya!
Aku khawatir terjadi apa-apa. Ternyata
apa yang kukhawatirkan benar-benar
terjadi.... Aku menyesal mengapa tempo
hari tidak mengatakan terus terang
padamu apa sebabnya aku mengharap agar
kau menjauhi pemuda itu...."
"Ibu.... Ibu tidak usah merasa
menyesal. Aku tidak apa-apa kalau pemuda itu sudah punya pilihan! Yang tidak
kusukai adalah sikap gadis itu! Ibu tahu nanti bagaimana akhirnya pemuda itu
sampai mendapat celaka!"
"Itu dua hal yang berbeda, Puspa...!
Bila seseorang mencintai, maka tidak
mungkin orang itu menginginkan celaka
pada orang yang dicintai!"
"Menuruti ucapan Ibu, berarti gadis itu hanya pura-pura menyintai pemuda
itu!" kata Puspa Ratri. Suaranya agak meninggi.
"Tidak semudah itu menduga isi hati orang, Anakku...."
"Tapi setidaknya bisa dilihat dari sikapnya bukan"!"
Prabarini gelengkan kepala. "Sikap orang belum bisa dijadikan pertimbangan.
Kadang kala orang bersikap karena
terpaksa!"
"Tapi sikap gadis itu kurasa bukan karena terpaksa! Dia telah rencanakan
matang sebelumnya Kalau tidak bagaimana mungkin kemunculannya hampir bersamaan
dengan Tengkorak Berdarah" Mereka berdua tentu bersekongkol!"
Prabarini tersentak mendengar
ucapan anaknya. Diam-diam dalam hati dia membatin. "Anak ini dari tadi
menyatakan jika Saraswati bersekongkol dengan orang lain. Tak kusangka kalau
yang dimaksud adalah Tengkorak Berdarah! Hemmm....
Jangan-jangan.... Lasmini"
"Puspa.... Coba ceritakan apa
sebenarnya yang tadi terjadi!"
Setelah memandang ibunya sesaat,
Puspa Ratri lalu menceritakan tentang
pertemuannya dengan Pendekar 131 hingga akhirnya murid Pendeta Sinting terhantam
pukulan dan tendangan Tengkorak Berdarah setelah memberikan kitab
bersampul kuning dan mahkota bersusun tiga.
Untuk kedua kalinya Prabarini
terkesiap. Malah perempuan ini sempat
terlonjak saking kagetnya. "Aku yakin.
Dia adalah Lasmini! Malapetaka akan
makin merajalela kalau urusan ini tidak segera diatasi. Kitab itu.... Bagaimana
bisa begitu mudah diberi tahu pada orang"
Anak itu terlalu sembrono! Kitab itu
harus segera diselamatkan...."
"Kau yakin orang itu adalah
Tengkorak Berdarah?"
"Joko sempat berbincang dengan
orang itu! Mereka tampaknya sudah saling kenal. Tapi tak tahunya...."
Ucapan Puspa Ratri belum selesai,
Prabarini telah memotong.
"Bagaimana ciri-ciri orang yang kau katakan Tengkorak Berdarah itu"!"
"Sekujur tubuhnya tertutup jubah
terusan warna abu-abu. Pada dadanya
terlihat gambar sebuah tengkorak...."
"Kau bisa menebak orang itu


Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laki-laki atau perempuan"!" Prabarini terus ajukan tanya untuk meyakinkan
dugaannya. "Karena wajah bahkan seluruh
anggota tubuhnya tertutup, aku tidak
bisa menentukan laki perempuannya. Hanya dari suaranya, jelas kalau dia adalah
seorang laki-laki".
"Apakah dia juga mengenal gadis
berpakaian hitam yang saat itu juga ada di situ?"
"Aku berani mengatakan mereka
sekongkol karena rupanya mereka seperti sudah saling mengenal!"
"Hah..." Bagaimana ini" Apakah
mungkin Lasmini telah mengenali
Saraswati" Kalau betul rencanaku akan
gagal!" kembali Prabarini berkutat dengan kata hatinya.
"Kenapa Ibu begitu penasaran. Ibu
mengenal orang yang bergelar Tengkorak
Berdarah itu"!" tanya Puspa Ratri merasa curiga dengan pertanyaan ibunya
lebih-lebih pada perubahan wajahnya.
Untuk beberapa saat Prabarini tidak
jawab pertanyaan anaknya. Mungkin karena tak mau membuat anaknya jadi curiga,
akhirnya Prabarini menjawab.
"Kalangan rimba persilatan kini
sedang dilanda kegemparan. Hal itu
dihubung-hubungkan orang dengan
Tengkorak Berdarah dan Istana Hantu.
Karena selama ini orang hanya tahu nama Tengkorak Berdarah, tanpa satu pun orang
yang mengetahui bagaimana orangnya. Jadi kalau kau bertemu dengan orang yang
bergelar Tengkorak Berdarah, tentu aku
ingin meyakinkan. Aku pernah sedikit
dengar tentang orang itu...."
"Hem.... Apakah sama dengan orang
yang kukatakan"!"
"Sama persis tidak. Hanya
mirip...," ujar Prabarini.
Puspa Ratri kerutkan dahi. Sepasang
matanya mengarah pada jurusan lain.
"Mendengar keteranganmu, jangan
jangan ada dua Tengkorak Berdarah!"
"Anak ini pandai menduga.... Tapi
biarlah untuk sementara ini dia hanya
menduga-duga dahulu. Dan aku harus
segera lakukan sesuatu...."
Berpikir begitu, Prabarini bergerak
bangkit. Memandang lekat-Iekat pada
anaknya lalu berkata.
"Puspa.... Kuharap untuk sementara ini kau tidak ke mana-mana dahulu sebelum aku
datang. Kalau sampai dalam dua hari di depan aku tidak datang. Kuminta kau
datang ke sekitar Istana Hantu. Tapi
ingat, kau harus bertindak
hati-hati...!"
Puspa Ratri tampak terkejut. Dia
ikut bergerak bangkit. Lalu bertanya.
"Ada apa sebenarnya, Ibu..."!"
"Saat ini bukan saat yang baik untuk bercerita. Kelak kau akan tahu sendiri.
Kau ingat pesanku baik-baik. Dan jaga
dirimu baik-baik!"
Puspa Ratri hendak mengatakan
sesuatu. Namun sebelum suaranya
terdengar, Prabarini telah mendahului
bicara. "Kau juga jangan membuat urusan baru dengan gadis itu sebelum dua hari di
depan!" Selesai berkata begitu, perempuan
yang selama ini selalu sembunyikan wajah aslinya dengan bedak tebal ini putar
diri. Kejap lain sosoknya berkelebat
tinggalkan Puspa Ratri yang memandangnya dengan hati dibuncah berbagai tanya.
*** 2 Suasana di penghujung malam
menjelang dini hari itu diselimuti hawa dingin menembus tulang dan kepekatan
kabut. Kemana mata memandang yang
terlihat hanyalah lamunan warna putih
yang membungkus apa saja di lingkaran
bumi.Laksana dikejar setan, satu sosok
bayangan yang seluruh anggota tubuhnya
tertutup jubah terusan warna abu-abu
dari kaki sampai rambut itu berkelebat
cepat. Dalam beberapa saat saja dia sudah berada jauh dari tempatnya semula di
satu lereng bukit.
Pada satu tempat, orang ini hentikan
larinya. Kepalanya di balik jubah
abu-abu terusan bergerak memutar, lalu
tengadah seolah menembusi kepekatan
kabut. "Saat ini adalah hari yang
ditentukan Prabarini. .Jahanam betul!
Kalau saja dia tidak menggantung urusan dengan mengaitkan Saraswati, sudah sejak
malam itu kuakhiri hidupnya! Hem....
Apakah benar perempuan itu mengetahui
keberadaan anakku" Apa ini bukan tipu
muslihat?"
Orang berjubah terusan abu-abu yang
tidak lain adalah Tengkorak Berdarah
adanya tiba-tiba tertawa. "Walau aku belum sempat mempelajari kitab bersampul
kuning ini, tapi kedua tanganku masih
mampu mengakhiri hidup Prabarini jika
dia berani bertindak
tolol memuslihatiku!"
Tangan kanan orang ini terlihat
bergerak meraba perutnya. Dia lalu
menghela napas panjang. "Sebenarnya aku ingin segera mempelajari kitab ini, tapi
aku belum tenang jika tidak buktikan
ucapan Prabarini!"
Setelah bergumam sendiri, akhirnya
dia berkelebat teruskan larinya menuju
arah barat. Bersamaan dengan itu
perlahan-lahan sang surya
memperlihatkan diri menggantikan malam
dan menyapu lamunan kabut.
Ketika matahari merayap semakin
mendekati titik tengah, Tengkorak
Berdarah hentikan larinya. Dia putar
kepala di balik jubah terusan abu-abunya ke sekeliling tempat di mana saat ini
dia berada. Ternyata dia berada pada satu
tempat yang banyak ditumbuhi pohon
besar. Dan di sebelah depan sana terlihat satu bangunan mirip sebuah istana yang
pintu gerbangnya terbuka.
"Hem.... Perempuan itu belum
kelihatan batang hidungnya!
Jangan-jangan dia tidak muncul di tempat ini! Tapi aku akan menunggu...," desis
Tengkorak Berdarah. Lalu berkelebat dan berlindung di balik satu batang pohon.
Seperti dituturkan dalam episode :
"Jejak Darah Masa Lalu", Prabarini meminta Tengkorak Berdarah datang
menemuinya di sebuah pancuran di sebelah timur Kampung Pandan. Di situ Prabarini
membuka penyamarannya. Perempuan ibu
Puspa Ratri ini pun akhirnya dapat
menduga siapa adanya orang yang lain
mengenakan jubah abu-abu terusan dan
selalu memaklumkan diri sebagai
Tengkorak Berdarah. Dia ternyata adalah Lasmini, istri pertama suami Prabarini.
Saat itu sebenarnya Lasmini alias
Tengkorak Berdarah yang telah menimbun
benci itu hendak melampiaskan dendam
hatinya. Namun niatnya diurungkan karena Prabarini menyebut-nyebut
nama Saraswati yang ternyata adalah anak
perempuan tunggal Lasmini yang selama
ini dicarinya. Di tempat itu juga
Prabarini hendak mengantarkan Lasmini
untuk menemui anaknya tapi dia minta
syarat agar Tengkorak Berdarah membuka
penyamarannya dan berkata jujur. Namun
Lasmini menolak. Pada akhirnya Prabarini memberi waktu tiga hari di depan pada
Lasmini agar menemuinya di halaman Is-
tana Hantu. Tengkorak Berdarah alias
Lasmini sebenarnya enggan memenuhi
permintaan Prabarini, apalagi setelah
dia mendapatkan kitab bersampul kuning
serta mahkota bersusun tiga dari tangan Pendekar 131 Joko Sableng. Namun karena
pertemuan ini ada sangkut pautnya dengan anak perempuannya yang selama ini
dicari-cari, akhirnya Lasmini
memutuskan untuk memenuhi permintaan
Prabarini meski dia belum sempat
mempelajari kitab bersampul kuning yang baru didapatnya.
Baru saja sosok Tengkorak Berdarah
lenyap berlindung di balik pohon,
kesunyian di sekitar halaman Istana
Hantu mendadak dipecah oleh suara orang mendehem.
Tengkorak Berdarah tersentak kaget.
Dia memaklumi jika di tempat itu kini ada orang lain. Kepala di balik jubah
terusan abu-abunya bergerak cepat ke arah sumber suara. Namun karena di sekitar
tempat itu banyak jajaran pohon besar, orang ini
tidak menangkap adanya seseorang!
"Keparat! Apakah dia perempuan
laknat itu"! Atau orang lain"!" desis Tengkorak Berdarah. Karena ditunggu agak
lama tidak terdengar lagi suara orang dan tidak ada tanda-tanda akan munculnya
seseorang, sementara dia sadar di tempat itu ada orang, Tengkorak Berdarah
salurkan tenaga dalam pada kedua
tangannya. Lalu berteriak garang.
"Orang bersembunyi! Mengapa berlaku pengecut tidak tunjukkan tampang"!"
Tidak terdengar suara sahutan atau
muncuinya seseorang, membuat Tengkorak
Berdarah mulai geram. Orang ini untuk
kedua kalinya berteriak.
"Aku tahu kau berada di sekitar
tempat ini! Siapa pun kau adanya
tunjukkan dirimu!"
Terdengar orang berdehem. Lalu
disusul dengan suara. "Aku memenuhi permintaanmu! Kuharap kau juga segera
keluar dari balik pohon!"
Suara orang belum selesai, satu
sosok bayangan berkelebat dari balik
salah satu pohon, lalu tegak di tempat
agak terbuka. Sementara kepala Tengkorak Berdarah mengikuti tubuh yang baru saja
berkelebat dan kini telah berada di
tempat terbuka sejarak kira- kira
sepuluh tombak dari tempatnya. Orang ini ternyata perempuan berpakaian warna
putih. Rambutnya yang telah bertabur
warna putih digelung. Walau usianya
tidak muda tapi sekali lihat orang dapat menduga jika saat mudanya perempuan ini
berwajah cantik.
Prabarini!"
bisik Tengkorak
Berdarah mengenali siapa adanya orang
yang kini tegak di seberang nya. Namun
dia tidak segera keluar dari tempat
bersembunyinya. Orang ini masih merasa
khawatir jika ada orang lain lagi di
tempat itu. Hingga setelah memandang
sejurus ke arah perempuan yang bukan lain memang Prabarini, kepala Tengkorak
Berdarah bergerak ke kanan kiri.
"Aku telah menuruti permintaanmu.
Mengapa kau masih tidak mau muncul"!"
Prabarini buka mulut sambil arahkan
pandangannya ke pohon di mana Tengkorak Berdarah berlindung sembunyikan diri.
Tengkorak Berdarah mendengus.
Sekali berkelebat, sosoknya telah
berdiri empat tombak di hadapan
Prabarini. Lalu terdengar dia berujar.
"Aku datang memenuhi perjanjian!"
Prabarini pandang lekat-lekat pada
sosok Tengkorak Berdarah. "Hem.... Dia masih menyarukan suaranya mirip suara
laki-laki!"
"Waktuku sangat terbatas! Beberapa urusan lain menungguku! Bicara langsung saja.
Mana Saraswati" kata Tengkorak Berdarah jelas menunjukkan rasa tidak
sabar. "Kuharap kau bersabar sedikit,
Lasmini! Ada beberapa peristiwa yang
membuat pertemuan ini jadi berubah di
luar rencana."
"Setan! Kau jangan mimpi bisa
membohongiku dengan segala macam alasan!
Dan harap mulutmu tidak menyebut siapa
namaku! Kau dengar"!" bentak Tengkorak Berdarah.
Prabarini anggukkan kepala. "Tidak susah menuruti perkataanmu. Tapi jangan kau
bersalah duga aku membohongimu
dengan alasan! Sesuatu yang tidak
terduga benar-benar terjadi! Tapi aku
masih percaya, urusan ini akan selesai
asal kau mau sedikit bersabar!"
"Kalau saja urusan ini tidak ada
sangkut pautnya dengan Saraswati,
tanganku sudah tak sabar ingin segera
mengakhiri napasmu!" desis Tengkorak Berdarah sambil tengadah. "Lalu sampai
kapan aku harus menunggu, hah"! Dan
urusan apa yang menghambat sampai
pertemuan ini jadi berlarut-larut"!"
"Urusan itu kau yang membuat. Kau
secara tak terduga berhasil mendapatkan sebuah kitab dari seorang pemuda! Itulah
yang membuat urusan ini jadi berubah di luar rencana!"
Sepasang kaki di balik jubah abu-abu
terusan tersurut satu tindak. Meski
sekujur tubuh orang ini tertutup, namun jelas jika dia tidak dapat sembunyikan
rasa kagetnya. "Jahanam! Bagaimana perempuan ini
tahu aku memperoleh kitab itu"!" kata Tengkorak Berdarah dalam hati. Lalu
membentak. "Apa hubunganmu dengan pemuda itu"! Kekasih gelapmu"!"


Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Prabarini tertawa perlahan sambil
geleng-gelengkan kepala. "Dalam hidupku hanya ada satu laki-laki. Aku pun sudah
punya anak perempuan yang menginjak
dewasa. Kurasa tidak pantas jika aku
masih memiliki hubungan dengan
laki-laki, apalagi dia seorang pemuda!"
"Hem.... Begitu" Lalu kenapa urusan pemuda jadi menghambat urusan kita"!"
"Pemuda itu ada kaitannya dengan apa yang hendak kita selesaikan!"
Jawaban Prabarini membuat dada
Tengkorak Berdarah berdebar. Dia coba
menduga arah ucapan Prabarini.
"Beberapa kali aku berternu dengan pemuda itu sampai secara tak terduga dia
menyerahkan kitab bersampul kuning dan
mahkota bersusun tiga. Pada beberapa
kali pertemuan dia selalu bersama-sama
seorang gadis. Jangan-jangan gadis
itu.... Dan pemuda itu adalah laki-laki yang pernah dikatakan Prabarini
sebagai...." Dada Tengkorak Berdarah makin berdebar. Dia teringat akan ucapan
Prabarini ketika bertemu di sebelah
timur Kampung Pandan tiga bulan yang
lalu. "Prabarini! Katakan terus terang.
Apa kaitannya pomuda itu dalam urusan
kita!" "Tanpa munculnya orang yang kita
kehendaki, percuma mengatakan kaitannya dengan urusan kita. Jadi kuharap kau mau
mengerti dan bersabar barang sedikit!"
Rupanya Tengkorak Berdarah mulai
agak geram karena Prabarini tidak mau
menuruti permintaannya. Dia arahkan
kepalanya lurus menghadap Prabarini.
Lalu berkata. "Aku tak pernah punya urusan dengan pemuda itu! Jika ada itu adalah urusan di
luar urusan kita! Maka jangan
mengait-ngaitkan urusan orang lain ke
dalam urusan kita!"
"Ucapanmu benar! Tapi apa hendak
dikata. Ketentuan suratan mengharuskan
kita menerima kenyataan ini! Dan justru pemuda itulah yang membuatku memintamu
membuka diri!"
"Urusan jahanam! Kenapa urusan ini jadi mengait-ngaitkan orang lain"!"
desis Tengkorak Berdarah tak habis
mengerti. Dadanya makin diselimuti
beberapa duga dan tanya, membuatnya
makin tak sabar dan makin jengkel. Namun dia masih coba menahan diri. Lalu dia
sentakkan kepalanya ke jurusan lain.
Saat itulah satu bayangan berkelebat
cepat dan kejap lain lenyap laksana
ditelan bumi. "Ada orang.... Aku tidak bisa
mengenali tapi aku bisa memastikan dia
seorang perempuan!" bisik Tengkorak Berdarah dalam hati. Lalu kembali
ha-apkan kepalanya ke arah Prabarini.
"Kalau kau mengundang orang lain
selain aku, lekas suruh keluar orang itu!
Jangan sampai aku salah turunkan tangan maut padanya!"
Prabarini menghela napas. Lalu
putar sedikit tubuhnya ke kanan.
"Kau tak usah sembunyikan diri!
Kedatanganmu memang kutunggu...," kata Prabarini. Rupanya perempuan ini sudah
tahu jika baru saja ada orang berkelebat dan tiba-tiba lenyap sembunyikan diri.
Dia juga sudah dapat mengenali siapa
adanya orang itu.
Begitu Prabarini selesai berucap,
satu bayangan hijau berkelebat lalu
tahu-tahu sejarak delapan langkah di
samping kanan Prabarini telah tegak
seorang perempuan berbaju hijau.
"Gadis itu!" seru Tengkorak
Berdarah tidak menyangka jika orang yang baru muncul adalah seorang gadis
berparas cantik mengenakan baju hijau
yang beberapa kali sempat ditemuinya.
Malah terakhir ditemuinya, gadis berbaju hijau yang tidak lain adalah Puspa
Ratri ada bersama Pendekar 131 dan sedang
terlibat adu mulut dengan seorang gadis berpakaian hitam-hitam yang selama ini
selalu mengenakan kumis tipis menyamar
sebagai seorang pemuda.
(Tentang pertemuan ini siiakan baca serial Joko Sableng dalam episode : "Jejak Darah Masa
Lalu"). Untuk beberapa lama kepala
Tengkorak Berdarah memperhatikan Puspa
Ratri lalu beralih pada Prabarini.
"Kalau gadis itu kau tunggu, apakah dia ada sangkut pautnya dengan urusan kita"!
Dan siapa sebenarnya dia"l" tanya
Tengkorak Berdarah meski sedikit banyak telah menduga siapa adanya si gadis.
Karena sekali lihat jelas ada kesamaan
raut wajah Prabarini dengan gadis yang
baru muncul. "Dia adalah salah seorang yang harus jadi saksi pertemuan ini! Dia adalah
anakku. Namanya Puspa Ratri," kata Prabarini, lalu berpaling pada Puspa
Ratri dan berkata.
"Puspa Ratri. Beri hormat
padanya...."
Puspa Ratri tidak segera melakukan
apa yang dikatakan ibunya. Sebaliknya
gadis ini menatap tajam pada Tengkorak
Berdarah dengan tenggorokan turun naik
menindih gejolak dalam dadanya. Bahkan
sebenarnya gadis ini sejak muncul dan
tahu siapa adanya orang berjubah abu-abu terusan, dia hendak meloncat lepaskan
satu tendangan. Seperti diketahui, Puspa Ratri sempat mengetahui bagaimana orang
berjubah abu-abu terusan menghantam Pendekar 131 saat mengembalikan kitab
bersampul kuning dan mahkota bersusun
tiga. "Puspa.... Kau dengar ucapanku!"
ujar Prabarini begitu melihat Puspa
Ratri masih tegak dengan mata nyalang
memandang ke arah Tengkorak Berdarah.
Puspa Ratri menoleh pada ibunya.
"Ibu! Orang inilah yang berlaku pengecut merampas milik orang! Tidak pantas
orang macam dia diberi penghormatan!"
"Aku tahu. Tapi kau harus dapat
memilah urusan. Masalah peristiwa tempo hari dengan urusan sekarang adalah dua
hal yang berbeda!"
Entah karena masih merasa geram
dengan tindakan Tengkorak Berdarah
beberapa hari berselang, Puspa Ratri
belum juga melakukan apa yang dikatakan Ibunya. Dia masih tegak dengan bibir
tersenyum dingin. Meski demikian
sebenarnya diam-diam Puspa Ratri juga
membatin. "Apa maksud Ibu menyuruhku datang ke tempat ini" Ada masalah apa
sebenarnya antara Ibu dengan orang ini"
Kalau tidak salah lihat ini adalah
pertemuan kedua kalinya antara ibu
dengan orang ini! Pasti ada urusan
penting...."
Seperti diketahui, Prabarini
berpesan agar Puspa Ratri datang ke
sekitar Istana Hantu kalau dia tidak
datang menemuinya dalam dua hari di muka.
Ketika itu Puspa Ratri dibuncah dengan
beberapa pertanyaan sepeninggal ibunya.
Dan begitu ditungu selama dua hari ibunya tidak muncul, Puspa Ratri merasa tidak
enak. Dia segera mengadakan perjalanan
menuruti pesan ibunya menuju Istana
Hantu. Di lain pihak, begitu mendengar
pengakuan Prabarini tentang siapa adanya Puspa Ratri serta mengetahui sikap si
gadis, Tengkorak Berdarah perdengarkan
dengusan keras. Lalu berkata.
"Prabarini! Aku tak butuh
penghormatan dari nnakmu! Dan kau jangan menyesal jika nanti mulutnya kurobek
kalau dia berani berkata kurang ajar!"
Prabarini tertawa perlahan.
"Kau harus dapat memaklumi sikap
seorang anak muda. Dia akan selalu
mendahulukan hawa marah daripada pikiran jernih Harap kau tidak ikut terseret
mengikuti sikapnya...."
Tengkorak Berdarah terdiam beberapa
lama sebelum akhirnya berkata keras.
"Sekarang katakan apa maumu dengan pertemuan ini! Kulihat orang yang kau
janjikan tidak muncul menampakkan diri.
Mungkin kau sengaja menyangkut pautkan
dia hanya agar aku datang memenuhi
permintaan sementara kau sendiri dan
anakmu punya maksud lain! Kuperingatkan, jangan sekali-kali coba memuslihatiku.
Tapi bukan berarti itu sebagai jaminan!"
"Maksudmu"!" tanya Prabarini.
"Selesai atau tidak urusan ini, kau tetap harus lenyap dari muka bumi!"
"Hai... Jaga mulutmu!" teriak Puspa Ratri.
Tengkorak Berdarah angkat tangan
kirinya menunjuk lurus ke arah Puspa
Ratri, sedang kepalanya tetap menghadap Prabarini.
"Kau! Kliau ikut-ikutan buka mulut bicara tak karuan, tak ada beban buat
tanganku untuk mengantarmu sekalian ke
liang lahat!"
Puspa Ratri tampaknya tidak bisa
lagi menahan gejolak hatinya. Sesaat
setelah Tengkorak Berdarah bicara, gadis ini cepat angkat kedua tangannya hendak
lepaskan satu pukulan.
Puspa! Tahan!" seru Prabarini
seraya melompat dan mencekal kedua
tangan anaknya.
"Jangan kau menambah urusan yang
belum dimulai" bisiknya sambil turunkan kedua tangan Puspa Ratri.
Prabarini memandang pada Tengkorak
Berdarah. Mulutnya membuka hendak
bicara, tapi saat lain perempuan ini
katupkan lagi mulutnya. Sikapnya malah
menunjukkan kebimbangan hati.
"Bagaimana sekarang" Gadis itu
tampaknya tidak akan muncul. Dan pemuda itu aku tak tahu dimana dia sekarang
berada! Apakah aku harus menunda lagi
urusan ini" Ini gara-gara kejadian yang tidak kuperhitungkan itu. Hingga aku
gagal menemui pemuda dan gadis itu karena harus menemui Lasmini! Hem.... Kini
semuanya berjalan di luar rencana!"
Baru saja Prabarini membatin
begitu, Tengkorak Berdarah telah
membentak. "Kau bungkam tidak jawab
pertanyaanku. Berarti kalian berdua
memang telah punya niat buruk
mangundangku ke tempat ini! Tapi kalian akan menyesal karena kalian secara tak
sengaja mengundang maut!"
Belum sampai Prabarini buka mulut
ucapkan kata-kata, sekonyong-konyong di tempat itu terdengar suara.
Duutt!! Duuttt!! berulang kali.
Kejap lain terdengar suara orang
berkata. "Maut biasanya
datang tanpa undangan, kecuali bagi orang yang
sengaja membuat silang sengketa dan
keras kepala!"
Bersamaan terdengarnya suara,
sebuah benda yang ternyata adatah
bundaran karet mirip dot bayi melayang
dan mengapung di udara tak jauh dari
tempat tegaknya Tengkorak Berdarah.
Kejap lain satu sosok tubuh berkelebat
dan tahu-tahu di tempa itu tegak seorang pemuda dengan kepala di bawa kaki di
atas! * * * 3 DEWA Orok". Terdengar Tengkorak
Berdarah mendesis mendapati siapa adanya si pemuda. Untuk beberapa saat lamanya
dia perhatikan si pemuda mulai dari ujung kaki sampai kepala yang dibuat tumpuan
tubuh orang. Lalu kepala di balik jubah abu-abunya bergerak menghadap
Prabarini. "Hem.... Ternyata perempuan ini
mengundang banyak manusia ke tempat ini!
Apa dikira aku takut"!"
Prabarini sendiri tampak terkejut
dengan kemunculan si pemuda yang bukan
lain memang Dewa Orok adanya.
"Bagaimana pemuda ini tiba-tiba
muncul ditempat ini" Nada ucapannya
menunjukkan jika kemunculannya tidak
secara kebetulan! Ada perkara apa antara pemuda ini dengan Lasmini" Ah....
Kehadirannya akan menambah suasana jadi kacau! Bagaimana sekarang?"
Puspa Ratri meski terlihat tidak
begitu terkejut namun kemunculan Dewa
Orok makin membuat hatinya dipenuhi
beberapa pertanyaan.
"Untuk apa Ibu mengundang orang ini"
Aku jadi bingung sendiri tentang urusan ini!"
Selagi masing-masing orang di
tempat itu dbuncah dengan pikiran
masing-masing, tiba-tiba Dewa Orok
membuat gerakan sekali.
Wutttt! Kini si pemuda ini tegak dengan
kepala di atas kaki di bawah Tapi dia
tegak dengan bertumpu pada kedua ibu jari kakinya. Saat lain mulutnya menyedot.
Bundaran ka-ret yang mengapung di udara laksana ditarik ke be-lakang dan melesat
masuk ke mulut Dewa Orok.


Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Prabarini!" kata Tengkorak
Berdarah. "Masih ada lagi yang
ditunggu"!"
Prabarini menghela napas panjang.
Ucapan Tengkorak Berdarah jelas
mengisyaratkan seolah-olah Prabarini
sengaja mengundang kemunculan Dewa Orok.
Hal ini membuat Prabarini merasa tidak
enak. Dia lalu berkata.
"Harap kau tidak salah sangka. Aku tidak mengundang orang itu untuk datang
kemari!" Tengkorak Berdarah mendengus keras.
"Begitu"! Hem.... Kalau ucapanmu benar, kuharap kau mengusir manusia tak
diundang itu".
"Pemuda tak dikenal! Kami punya
urusan yang harus diselesaikan tanpa
adanya orang lain! Harap kau sudi
mendengarkan dan segera tinggalkan
tempat ini!" kata Prabarini. Dia berkata bukan karena menuruti perintah Lasmini
alias orang yang selama ini memaklumkan diri sebagai Tengkorak Berdarah, namun
semata-mata karena dia tak ingin
urusannya jadi berantakan dengan
hadirnya orang yang tidak ada
hubungannya. Dewa Orok memandang silih berganti
pada Prabarini dan Tengkorak Berdarah.
Lalu semburkan bundaran karet di
mulutnya. Begitu bundaran karet mencuat dan mengapung di depan wajahnya, pemuda
bertangan buntung ini buka mulut
berkata. "Seperti kematian, aku datang
memang tanpa undangan. Dan seperti angin topan, aku tidak akan tinggalkan tempat
ini dengan berhampa tangan!"
Prabarini kerutkan kening. Seraya
perhatikan Dewa Orok lebih saksama dia
berkata. "Aku tidak mangerti apa maksud ucapanmu! Harap katakan terus terang!"
"Kedatanganku bukan tanpa maksud.
Tapi urusanku hanya dengan orang
berjubah abu-abu yang sembunyikan wajah itu. Aku minta maaf kalau mongganggu
sedikit urusanmu!" ujar Dewa Orok sambil tersenyum pada Prabarini. Pemuda ini
lalu berpaling pada Tengkorak Berdarah
dan teruskan bicara.
"Kalau kau ingin urusan di sini
tidak terhambat, lekas serahkan barangku yang ada padamu!"
Tengkorak Berdarah terkesiap kaget.
Dia sama sekali tidak menduga dengan
ucapan Dewa Orok. Diam-diam dia
membatin. "Jangan-jangan jahanam Ini tahu
perihal kitab dan mahkota bersusun tiga itu! Sialan betul! Bagaimana banyak
orang tahu jika kedua benda itu ada
padaku"!"
Meski Tengkorak Berdarah tahu akan
barang yang diminta Dewa Orok, namun dia tak mau tunjukkan kalau barang itu ada
di tangannya. Setelah berpikir agak lama
dia perdengarkan suara.
"Kita memang sempat berjumpa. Tapi adalah aneh kalau kau sekarang minta
sesuatu padaku. Kurasa waktu jumpa
dahulu kau tidak memberikan apa-apa
padaku!" Dewa Orok tertawa bergelak. "Tempo
hari aku memang tidak memberikan apa-apa padamu, tapi kau menerima barang
milikku dari tangan orang lain!"
"Hem.... Dugaanku tidak meleset.
Pasti kitab dan mahkota itu yang
dimaksud!" pikir Tengkorak Berdarah.
Lalu berujar. "Coba katakan benda apa yang kau
minta! Dan katakan pula dari tangan siapa aku menerimanya. Jangan coba berani
mengarang cerita!"
Tak perlu kukatakan dari siapa kau
menerima barang itu. Yang pasti benda itu ada padamu. Benda itu berupa mahkota
bersusun tiga berwarna kuning!"
Walau sebelumnya sudah menduga,
namun begitu telinganya mendengar
sendiri, tak urung Tengkorak Berdarah
terkejut. Tapi hal itu membuat orang
berjubah abu-abu terusan ini berpikir
lain. "Selama ini kudengar Dewa Orok adalah seorang tokoh yang disegani meski
jarang tampakkan diri. Kalau dia memburu mahkota bersusun tiga ini, tentu benda
ini selain berharga mahal juga tak
tertutup kemungkinan merupakan sebuah
senjata yang memiliki kehebatan! Hem....
Apalagi benda ini ditemukan bersama
sebuah kitab!"
Berpikir sampai di situ, akhirnya
Tengkorak Berdarah berkata;
"Kau tidak mau katakan siapa orang yang memberikan benda itu padaku! Dan
buka telingamu lebar-lebar. Aku tidak
punya benda yang kau minta itu, baru kali ini aku mendengar benda yang baru kau
sebut! Kau mengerti"!"
Mendengar ucapan Tengkorak
Berdarah, sesaat Dewa Orok terlihat
bimbang. Sementara Puspa Ratri tampak
kernyitkan kening. Gadis ini sudah buka mulut hendak berkata, namun Prabarini
buru-buru pelototkan mata lalu berbisik.
"Jangan ikut campur agar urusan
tidak tertunda! biarkan mereka
menyelesaikan urusannya sendiri!"
"Tapi...."
Belum sampai Puspa Ratri lanjutkan
ucapan, Prabarini telah gelengkan kepala dan menukas. "Aku tahu. Pemuda itu
meminta pada orang yang tepat! tapi kita harus berhati-hati. Kita belum kenal
betul siapa sebenarnya pemuda bertangan buntung itu! bukan tak mungkin dia salah
seorang yang memburu benda itu lantas
mengaku benda itu miliknya!"
Kedua anak dan ibu ini lalu arahkan
pandangannya pada Dewa Orok. Karena saat itu si pemuda tertawa bergelak.
"Dewa Orok!"
teriak Tengkorak
Berdarah memutus gelakan tawa si pemuda.
"Kau tidak tuli, Apalagi yang kau tunggu di sini, hah"! Apakah kau menunggu
diusir dengan tubuh tanpa nyawa"!"
"Tadi sudah kukatakan, aku datang
seperti sebuah kematian, dan pergi
bagaikan angin topan! Mana mungkin aku
berlalu begitu saja"!"
"Berarti kau cari mampus!" hardik Tengkorak Berdarah.
"Kau salah! Aku cari benda milikku, tidak cari mampus! Dan aku pasti tidak
salah meminta padamu!"
Tengkorak Berdarah ganti tertawa.
"Kau memang tidak salah meminta padaku kalau yang kau minta adalah kematian!"
Habis berkata begitu, Tengkorak
Berdarah angkat kedua tangannya.
Sementara Dewa Orok tampak pentangkan
mata dengan mulut komat-kamit.
"Celaka!! Urusan akan makin
berantakan kalau kedua orang ini tidak
dicegah!" gumam Prabarini. Perempuan ini lalu berteriak.
"Tahan serangan!"
Tengkorak Berdarah urungkan niat
lepaskan pukulan namun kedua tangannya
tetap berada di atas. Sedangkan Dewa Orok berpaling pada Prabarini dengan mulut
terkancing tanpa ucapkan sepatah kata.
"Harap kau suka menunggu jika punya urusan dengan sahabatku itu!" ujar Prabarini
pada Dewa Orok.
Dewa Orok memandang lekat-lekat
Prabarini. Sejenak kemudian dia
anggukkan kepala dan berucap. "Baiklah!
Aku akan menunggu sampai urusanmu
selesai!" Habis berkata begitu, Dewa Orok
kempotkan mulut menyedot. Bundaran karet yang mengapung melesat masuk ke dalam
mulutnya. Dia lalu cepat balikkan tubuh dan melangkah berjingkat-jingkat kearah
sebatang pohon. Sejarak tiga langkah
dari batang pohon, pemuda bertangan
buntung ini jejakkan kedua tumitnya ke
tanah. Tubuhnya melenting dua lombak ke udara. Kejap lain sosoknya telah
bersandar pada batang pohon dengan kaki di atas kepala dibawah!
"Prabarini!" kata Tengkorak
Berdarah. "Aku tak mau ada orang lain mendengar urusan kita! Suruh pemuda itu
enyah dari sini!"
"Aku tak berhak mengusirnya! Lagi
pula kurasa dia tidak akan ikut campur
urusan kita!"
"Jika begitu kau tak ingin urusan
ini selesai!"
"Maksudmu..."'
Belum sampai Tengkorak Berdarah
perdengarkan suara jawaban, mendadak
satu bayangan tampak berlari. Dalam
sesaat saja bayangan itu telah berada
tidak jauh dari tempat Dewa Orok berada.
Orang ini sebenarnya hendak
teruskan larinya, namun langkahnya
tertahan ketika tiba-tiba Dewa Orok
gerakkan sepasang kakinya ke samping
seolah menghalangi jalan orang.
"Kau datang di belakangku. Harap
antri dan jangan membuat ulah dahulu!"
kata Dewa Orok setelah semburkan
bundaran karet di mulutnya.
Orang yang baru muncul sesaat
pandangi gerakan sepasang kaki Dewa Orok yang terayun-ayun di udara menghalangi
langkah dan pandangannya.
"Dewa Orok!" gumam orang yang larinya terha-lang.
"Harap turuti ucapanku. Jangan
bergerak dari tempatmu dan sabarkan hati jika melihat sesuatu yang mengejutkan!"
ujar Dewa Orok lalu gerakkan sepasang
kakinya kembali tegak ke atas
berselonjor pada batang pohon.
Begitu pandangan orang tidak
terhalang, mendadak orang yang baru
muncul di belakang Dewa Orok pentangkan matanya melihat ke depan. Kejap lain
orang ini berkelebat. Namun lagi-lagi
gerakannya tertahan karena Dewa Orok
kembali rentangkan sepasang kakinya.
"Sudah kubilang. Harap antri tunggu giliran!"
"Aku tak bisa menunggu!" sentak orang di belakang Dewa Orok.
Puspa Ratri, Prabarini, serta
Tengkorak Berdarah serentak gerakkan
kepala masing-masing kearah datangnya
suara orang membentak.
"Joko Sableng!" seru Puspa Ratri dengan wajah berseri. Gadis ini hendak
melangkah ke arah orang yang baru saja
muncul dan bukan lain memang Pendekar 131
Joko Sableng. Namun Prabarini cepat
rentangkan tangan kanannya halangi jalan Puspa Ratri seraya berbisik.
"Sekarang bukan saat yang baik untuk berbasa-basi!"
Sepasang mata Puspa Ratri
membelalak pandangi bagian samping kanan wajah ibunya. Tenggorokannya turun
naik. Namun sebelum mulutnya terbuka ucapkan
kata-kata, Prabarini telah lanjutkan
ucapannya. "Jangan ikuti perasaan!"
Puspa Ratri kancingkan mulut
rapat-rapat. Pandangannya beralih pada
Pendekar 131 yang memandang dengan mata berkilat pada Tengkorak Berdarah.
Sementara Prabarini sejenak menatap pada murid Pendeta Sinting lalu arahkan
pandangannya ke jurusan lain. Diam-diam ibu Puspa Ratri ini membatin.
"Syukur pemuda ini muncul! Urusan
akan jadi beres! Tapi.... Bagaimana jika Saraswati tidak menampakkan diri"!"
Tengkorak Berdarah adalah orang
yang paling terkejut dengan munculnya
murid Pendeta Sinting.
Bersamaan dengan berpalingnya
kepala, sepasang kaki di balik jubah
abu-abu terusan tersurut satu tindak.
"Jahanam! Ternyata manusia satu itu belum tewas. Bagaimana dia bisa selamat dari
pukulanku"!" ujar Tengkorak
Berdarah dalam hati.
"Urusan dengan perempuan laknat itu belum dimulai, sudah datang lagi urusan
lebih besar. Aku bisa saja meladeni
mereka satu persatu, tapi jika mereka
maju bersama"!" Diam-diam orang ini menjadi tegang sendiri karena sebelumnya dia
telah mengetahui sampai di mana
tingkat kepandaian Pendekar 131. Dan
walau dia belum sempat mengetahui
kepandaian Dewa Orok, namun setidaknya
dia dapat mengukur, sebab selama ini dia banyak mendengar tentang pemuda
bertangan buntung itu.
Tengkorak Berdarah arahkan
kepalanya menghadap Prabarini.
"Jangan-jangan perempuan sinting ini yang mengatur semua pertemuan ini!
Sialan betul! Kalau tahu begini,
menyesal aku tidak mempelajari dahulu
kitab yang kuperoleh! Namun aku...."
"Langkahmu tidak akan jauh dari
tanganku!" teriak Pendekar 131 seraya menunjuk pada Tengkorak Berdarah,
memutus kata hati orang berjubah abu-abu terusan ini.
Meski wajahnya tidak kelihatan,
namun gerakan kepala dan tangan
Tengkorak Berdarah mengisyaratkan jika
orang ini sesaat tampak tegang mendengar ucapan murid Pendeta Sinting. Hingga


Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk beberapa lama dia tidak
perdengarkan suara. Tapi begitu orang
ini dapat kuasai diri, dia segera
perdengarkan dengusan keras lalu tertawa pendek seraya berujar.
"Kau masih beruntung karena
tanganku masih mangampuni selembar
nyawamu. Tapi jika saat ini kau bicara
kurang ajar tanganku tidak akan lagi
memberi ampun!"
Ucapan Tengkorak Berdarah beium
selesai, murid Pendeta Sinting sudah
berkelebat. Sepasang kaki Dewa Orok yang hendak bergerak menghalangi cepat
didorong. Lalu tegak enam langkah di
hadapan Tengkorak Berdarah.
"Aku bicara cuma satu kali! Serahkan kembali kitab bersampul kuning itu!"
ujar murid Pendeta Sinting dengan suara keras. Tangan kanannya mengulur ke depan
membuat sikap meminta. Kelima jari-jari tangannya digerak-gerakkan. Meski
bibirnya tersenyum namun senyum seringai dan dingin.
Tengkorak Berdarah kembali
perdengarkan dengusan keras. "Aku akan mengembalikan kitab itu, namun mungkin
kitab itu sudah tidak ada artinya bagimu.
Tanganku akan terlebih dahulu
mengantarmu ke neraka sebelum tanganmu
sempat menerimanya!"
Bersamaan dengan selesainya ucapan,
kedua tangan Tengkorak Berdarah iaksana kilat bergerak ke atas. Saat lain
tiba-tiba menyentak ke depan lepaskan
pukulan jarak jauh!
*** 4 Satu gelombang angin luar biasa
dahsyat menderu ganas ke arah murid
Pendeta Sinting. Puspa Ratri terkesiap
kaget. Raut wajahnya tegang dan dadanya didera rasa gelisah dan khawatir akan
keselamatan sang Pendekar. Di
sebelahnya, Prabarini tersentak. Dia
sama sekali tidak menduga secepat itu
Tengkorak Berdarah lepaskan pukulan.
"Urusan kitab tidak sepenting
urusan yang sedang kuhadapi. Aku tidak
mau salah satu terluka sebelum urusanku menjadi jelas!" membatin Prabarini. Maka
perempuan ini segera sentakkan kedua
tangannya. Wuuttt! Wuuttt!
Terdengar satu deruan keras. Kejap
lain satu gelombang angin berkiblat
memangkas pukulan Tengkorak Berdarah.
Di seberang depan, begitu Tengkorak
Berdarah lepaskan pukulan, murid Pendeta Sinting tak tinggal diam. Seraya
salurkan tenaga dalam pada dada kerahkan jurus 'Sukma Es' untuk lindungi diri,
kedua tangannya serta-merta diangkat
lalu didorong ke depan.
Meski murid Pendeta Sinting tidak
langsung lepaskan pukulan andalan, namun karena dalam dirinya telah terpendam
tenaga dalam si kakek dalam kuil, maka
begitu kedua tangannya bergerak
mendorong, melesat satu gelombang bukan hanya membawa angin dahsyat luar biasa,
namun juga mengeluarkan suara
menggidikkan. Di tempat agak jauh, Dewa Orok yang
tegak berselonjor kaki ke atas tampak
bingung. Pemuda ini rupanya maklum kalau Tengkorak Berdarah dalam keadaan
terjepit, karena pukulannya harus
menghadang dua pukulan sekaligus. Walau dia menduga Tengkorak Berdarah mampu
menahan tapi setidak-tidaknya dia tidak akan bisa selamatkan diri dari cedera.
Padahal dirinya masih membutuhkan
mahkota dari tangan Tengkorak Berdarah.
Pemuda ini khawatir kalau Tengkorak
Berdarah menyimpan mahkota bersusun tiga di satu tempat dan dia akan kesulitan
mengorek keterangan jika sampai
Tengkorak Berdarah benar-benar
mengalami cedera apalagi sampai tewas.
Berpikir sampai ke sana, begitu
melihat Prabarini dan Pendekar 131
sama-sama lepaskan pukulan menghadang
pukulan Tengkorak Berdarah, pemuda
bertangan buntung ini segera hentakkan
sepasang kakinya ke batangan pohon di
mana dia berselonjor. Bersamaan dengan
itu, sosoknya mencelat balik ke depan.
Masih di atas udara cepat sekali tubuhnya membuat gerakan jungkir balik satu
kali. Begitu sepasang kakinya hendak menjejak tanah, pemuda ini gerakkan tubuhnya ke
belakang. Kejap lain disentakkan ke
depan. Wetttt!!! Dari dada pemuda bertangan buntung
ini melesat gemuruh gelombang angin
deras menjajari pukulan Tengkorak
Berdarah untuk menghadang dua pukulan
yang tengah melabrak.
Tengkorak Berdarah keluarkan
gerengan marah. Dia sama sekali tidak
menyangka kalau Prabarini akan
ikut-ikutan menghadang pukulannya. Na-
mun orang ini sedikit merasa lega karena melihat Dewa Orok membantu dirinya
meski dia tidak mengetahui kenapa tiba-tiba
Dewa Orok berlaku begitu. Namun dia masih tidak berani berlaku ayal. Dia maklum
gabungan pukulan Prabarini dan Pendekar 131 bukan hanya akan mampu menahan
pukulannya namun tidak mustahil akan
membuat dirinya terjengkang roboh. Dalam keadaan seperti itu maka kitab
bersampul kuning serta mahkota bersusun tiga hanya akan lewat di tangannya dan
kembali akan jadi milik orang lain. Berpikir begitu, serta-merta dia lipat
gandakan tenaga
dalamnya lalu kembali kedua tangannya
bergerak menyusuli pukulannya.
Di lain pihak, melihat Tengkorak
Berdarah lakukan pukulan susulan
sementara dari arah samping Dewa Orok
ikut membantu, Prabarini dan Pendekar
131 segera pula lipat gandakan tenaga
dalam masing-masing. Lalu hampir
berbarengan, kedua orang Ini lepaskan
lagi satu pukulan. Dewa Orok tercekat
sendiri melihat pukulan-pukulan yang
kini menderu di udara. Dia sebenarnya
hendak ikut kirimkan pukulan susulan.
Tapi gerakannya terlambat. Sebelum
tubuhnya bergerak ke depan menyentak,
terdengar ledakan dahsyat.
Bummm! Bummm! Suara ledakan belum lenyap, kejap
lain kembali tempat itu dibuncah ledakan lagi lebih dahsyat ketika pukulan
susulan masing-masing orang bentrok di
udara. Tanah di tempat itu bergetar keras dan bertaburan ke udara. Di depan sana
terlihat pijaran api laksana letusan
gunung. Tatkala terjadi ledakan, Puspa
Ratri adalah orang pertama yang terlihat mencelat. Walau gadis ini punya
kecepatan luar biasa dalam gerakannya,
namun karena pukulan-pukulan yang
bentrok dilepas oleh orang-orang yang
bertenaga dalam tinggi, maka meski dia
sempat berkelebat terlebih dahulu namun tak urung sosoknya masih tidak mampu
menahan bias bentroknya beberapa pukulan.
Hingga kelebatannya tersapu dan sosoknya mencelat lalu terguling di atas tanah.
Hampir bersamaan dengan mencelatnya
sosok Puspa Ratri, sosok Dewa Orok mental tersapu. Sebenarnya pemuda ini tidak
akan sampai langsung mental begitu
terjadi bentrok pukulan. Namun karena
saat itu dia hendak ikut lepaskan pukulan susulan, maka dia tidak mampu imbangi
diri. Hingga saat itu juga sosoknya
mental sampai dua tombak lalu jatuh
terduduk sebelum tubuhnya menghantam
satu batang pohon. Pemuda ini sejenak
geleng-gelengkan kepala mengatasi rasa
pening pada kepalanya. Raut wajahnya
yang tampan berubah pucat. Tubuhnya
gemetar. Mulutnya yang selalu
menyedot-nyedot bundaran karet tampak
bergerak makin keras. Hingga saat itu
terdengar suara duuttt! Duuttt! berulang kali.
Tiba-tiba Dewa Orok putuskan
sedotannya. Wajahnya yang pucat
mengernyit. Lalu dia semburkan bundaran karet di mulutnya. Bundaran karet itu
mencuat mengapung di depan wajahnya.
Untuk beberapa saat si pemuda perhatikan bundaran karetnya. Sepasang matanya
mendelik. Ternyata bundaran karet itu
telah dilapis warna merah. Jelas jika
pemuda ini telah terluka bagian dalam.
Di bagian lain, begitu terdengar
ledakan kedua, sosok Pendekar 131
terpental sampai tiga tombak ke
belakang. Murid Pendeta Sinting cepat
membuat gerakan bergulingan di tanah.
Lalu pada gulingan keempat dia sentakkan kedua tangannya di atas tanah. Tubuhnya
serentak bangkit berdiri. Sosoknya untuk beberapa saat tergontai-gontai malah
hampir saja terjengkang jika dia tidak
segera melompat lalu melayang turun
dengan kedua kaki tegak di atas tanah.
Walau sebelumnya telah salurkan
jurus 'Sukma Es' untuk lindungi diri
namun karena bentrok pukulan itu dilepas orang-orang bertenaga dalam tinggi, mau
tak mau beberapa saat murid Pendeta
Sinting masih merasakan sesak pada
dadanya. Wajahnya pun berubah. Kedua
tangannya laksana tegang kaku.
Tak jauh dari tempat murid Pendeta
Sinting, Prabarini tampak megap-megap.
Sosoknya bersandar pada batang pohon
dengan mata terpejam dan dada turun naik.
Kedua tangannya menelikung ke belakang
merangkul batangan pohon untuk imbangi
diri agar tubuhnya tidak melorot jatuh.
Mulutnya komat-kamit. Dan segaris warna merah tampak di sudut bibirnya.
Di seberang, meski sempat dibantu
Dewa Orok namun bentroknya pukulan
susulan yang tidak sempat dibantu Dewa
Orok membuat sosok Tengkorak Berdarah
terpelanting deras ke belakang. Lalu
jatuh terkapar tak bergerak. Namun hanya sekejap. Saat lain terdengar orang ini
membentak garang. Sosoknya kembali ke udara lalu terhuyung-huyung tegak dengan
kedua tangan dan kaki bergeletaran. Dari jubah terusan abu-abunya di bagian
wajah terlihat merembes warna merah.
Bentroknya pukulan-pukulan
bertenaga dalam tadi jelas telah membuat masing-masing orang mengalami cedera
bagian dalam. Hingga begitu suara
ledakan lenyap, tempat itu dibungkus
keheningan. Tidak seorang pun yang buka mulut keluarkan ucapan. Tidak ada yang
membuat gerakan. Masing-masing orang
pusatkan perhatian pada diri
masing-masing untuk mengatasi cedera,
termasuk Puspa Ratri meski gadis ini tidak secara
langsung terlibat dalam bentrokan
pukulan. Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba
murid Pendeta Sinting yang terlebih
dahulu dapat kuasai diri karena
sebelumnya telah lindungi diri dengan
jurus 'Sukma Es', segera berkelebat ke
arah Tengkorak Berdarah.
Tanpa berkata sepatah kata, murid
Pendeta Sinting ulurkan tangan kanan
membuat gerakan meminta. Hanya kepala
tampak mengangguk dengan bibir tersenyum dingin.
Melihat hal ini Dewa Orok tak
tinggal diam. Setelah menyedot masuk
bundaran karetnya dia berkelebat. Dan
tahu-tahu sosoknya telah tegak tiga
langkah di samping murid Pendeta Sinting menghadap Tengkorak Berdarah. Tanpa
berpaling pada Pendekar 131 pemuda
bertangan buntung ini semburkan bundaran karetnya lalu berkata.
"Mahkota itu. Serahkan kembali
padaku!" Pendekar 131 yang sejenak tadi
tampak hendak mengibaskan tangan
khawatir kalau Dewa Orok melakukan
serangan, cepat urungkan niat dan
kembali memandang tajam ke arah
Tengkorak Berdarah.
"Pemuda bertangan buntung ini sulit ditebak apa maksudnya. Tadi dia
sepertinya membantuku, sekarang
ikut-ikutan hendak memaksaku! Keparat!"
maki orang berjubah abu-abu terusan
dalam hati. Tapi sejauh ini dia belum
perdengarkan suara atau memberikan apa
yang diminta dua orang di hadapannya.
Namun sesaat kemudian Tengkorak Berdarah perdengarkan suara tawa panjang. Puas
tertawa dia berkata.
"Kalian sia-sia saja. Aku memilih di antara kita bertiga tidak ada yang
memiliki dua benda itu! Kita akan mati
bersama-sama! Ha.... Ha.... Ha...!"
Mendengar ucapan Tengkorak
Berdarah, Pendekar 131 menyeringai.
Sementara Dewa Orok senyum-senyum lalu
melirik pada murid Pendeta Sinting dan


Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berujar. "Orang muda. Bagaimana" Apa kau
setuju berjalan ke neraka bersama orang ini?"
"Apa enaknya jalan-jalan bersama
orang yang tidak jelas juntrungan
wajahnya" Apa lagi mendengar suaranya
dia adalah seorang laki-laki. Kalau
laki-laki normal tidak jadi masalah.
Yang ku khawatirkan laki-laki ini
seorang kakek yang suka pemuda-pemuda!
Bagaimana kalau kau saja yang
menemaninya jalan-jalan?" ujar Joko lalu tertawa bergelak.
"Ah. Sayang. Sebenarnya aku
tertarik dengan tawaran jalan-jalan yang langka ini apalagi ditemani dengan
kakek yang suka pemuda-pemuda. Hanya aku tidak punya waktu banyak.... Bagaimana
kalau kita nanti minta cerita saja pada orang ini tentang perjalanannya ke neraka
itu"!" sahut Dewa Orok lalu ikut tertawa.
"Jika begitu, keputusan kuubah!
Kalian berdua akan berjalan bersama ke
neraka tanpa aku!" teriak Tengkorak Berdarah dengan suara bergetar.
Baik Pendekar 131 maupun Dewa Orok
masih teruskan gelakan tawanya mendengar ucapan Tengkorak Berdarah. Namun tidak
demikian halnya dengan Prabarini.
Perempuan ini tampak gelisah.
"Aku tak bisa berdiam diri!
Orang-orang itu sepertinya
sudah sama-sama nekat hendak saling bunuh
untuk meminta dan mempertahankan kitab
serta mahkota itu!"
Sementara itu melihat dua pemuda di
hadapannya terus tertawa, Tengkorak
Berdarah menggerung keras. Saat lain
kedua tangannya terangkat.
"Jangan mimpi kalian bisa
mendapatkan apa yang kalian minta!"
teriaknya lalu melompat ke arah Dewa Orok sambil kirimkan satu tendangan.
Sementara kedua tangannya yang terangkat
berkelebat menghantam ke arah Pendekar
131 yang tegak tidak jauh dari Dewa Orok.
Dewa Orok cepat lorotkan tubuh
hingga punggungnya sejajar tanah. Pada
saat bersamaan kedua kakinya terangkat
ke atas memangkas tendangan maut
Tengkorak Berdarah.
Bukkk! Dua kaki beradu keras di udara.
Sosok Tengkorak Berdarah tampak
bergoyang-goyang. Hal ini membuat
hantaman kedua tangannya yang mengarah
pada Pendekar 131 melenceng. Padahal
saat itu murid Pendeta Sinting telah pula lepaskan satu jotosan.
Tengkorak Berdarah tampak kalang
kabut. Karena Dewa Orok teruskan gerakan kakinya mencari sasaran, hingga mau tak
mau Tengkorak Berdarah harus meladeni
kalau tidak mau terkena tendangan pemuda bertangan buntung ini. Di lain pihak
dia harus hindarkan diri dari jotosan murid Pendeta Sinting!
Karena gerakan kaki Dewa Orok begitu
gencar, akhirnya Tengkorak Berdarah
memutuskan untuk menghadang dahulu
tendangan si pemuda, sementara kedua
tangannya dipalangkan di depan kepala
untuk lindungi diri. Namun perhitungan
orang berjubah abu-abu ini meleset.
Karena ternyata gerakan kaki Dewa Orok
hanya untuk memecah perhatiannya agar
Pendekar 131 bisa leluasa lepaskan
pukulan. "Jahanam!" maki Tengkorak Berdarah begitu menyadari apa yang dilakukan Dewa
Orok. Tapi kesadaran orang ini
terlambat. Karena bersamaan dengan itu
satu tangan murid Pendeta Sinting telah menderu ke arah kepalanya!
Sejengkal lagi kepala di balik jubah
abu-abu terusan itu terhantam, satu
tangan mendorong tubuh murid Pendeta
Sinting, hingga bukan saja pukulannya
melesat jauh dari sasaran kepala orang, namun tubuhnya sempat terjajar satu
tindak ke samping.
Joko Sableng cepat berpaling.
Sepasang matanya menatap tak berkesip
pada Prabarini yang kini tegak tiga
langkah di sampingnya dan baru saja
mendorong tubuhnya hingga pukulannya
melenceng. Di lain pihak, Dewa Orok segera
bergulingan lalu bangkit dengan bertumpu pada kedua ibu jari kakinya empat
langkah di samping Pendekar 131.
Meski wajah pemuda bertangan
buntung ini tampak berubah karena
kakinya tadi sempat memangkas tendangan Tengkorak Berdarah, namun begitu melihat
Prabarini yang baru saja selamatkan
Tengkorak Berdarah, si pemuda tersenyum lalu arahkan pandangannya pada murid
Pendeta Sinting sambil berujar.
"Rupanya tempat kita akan diganti
dengan nenek cantik itu. Bagaimana..."
Apakah kau setuju, Orang Muda"!"
"Ah.... Kakek berjubah abu-abu itu bagus sekali nasibnya! Ada nenek cantik yang
suka rela hendak menemaninya
jalan-jalan ke neraka. Tentu aku setuju!
Hitung-hitung memberi kesempatan orang
tua menikmati kebahagiaan!" jawab murid Pendeta Sinting sambil senyum-senyum.
Sepasang mata Prabarini mendelik
besar mendengar ucapan Dewa Orok serta
Pendekar 131. Di sebelah belakang, Puspa Ratri memandang tajam pada murid
Pendeta Sinting sambil bergumam tidak Jelas.
Sementara Tengkorak Berdarah
diam-diam merasa heran dengan sikap
Prabarini. Pertahan-lahan rasa
curiganya kalau pertemuan ini diatur
Prabarini lenyap. Namun dendamnya yang
sudah berkarat membuatnya tidak
tergoyah. "Jangan harap perbuatanmu ini akan membuatku melupakan apa yang pernah kau
lakukan pada beberapa tahun silam!
Jangan mimpi! Aku tetap akan
membunuhmu!" ujar Tengkorak Berdarah dalam hati.
"Orang-orang muda" kata Prabarini seraya arahkan pandangannya silih
berganti pada Dewa Orok dan murid Pendeta Sinting. "Jangan bicara kurang ajar
tak tahu aturan! Kalian berdua kuharap
menyingkir dahulu! Jangan berani buka
mulut ikut campur!"
"Mana bisa begitu"!" ujar Joko Sableng.
"Betul. Mana bisa begitu"!" timpal Dewa Orok ikut-ikutan.
"Dengar! Aku tidak akan campur
tangan urusan kitab dan mahkota! Aku ada urusan lain! Jadi jangan menduga yang
bukan-bukan!"
Habis berkata begitu, Prabarini
berpaling pada Tengkorak Berdarah. Namun tiba-tiba perempuan ini kancingkan
mulut urungkan niat berucap. Sebaliknya
matanya membesar melihat jauh ke depan ke arah jajaran batang pohon. Kejap lain
dia buka mulut berkata.
"Harap tidak sembunyikan diri!"
Semua orang di tempat itu sama
mengernyit. Saat lain semua kepala
bergerak ke arah mana pandangan
Prabarini memandang!
*** 5 Dari balik satu batang pohon besar
sejarak sepuluh tombak dari tempat
Prabarini tegak, terdengar gumaman
orang. Namun untuk beberapa saat lamanya belum ada tanda-tanda adanya orang yang
keluar tampakkan diri.
Sementara dari balik lindungan
batang pohon, satu sosok yang baru saja berkelebat dan sempat ditangkap oleh
pandangan Prabarini diam-diam merasa
cemas dan khawatir. "Aku melihat Joko ada di antara beberapa orang. Orang
berjubah abu-abu itu juga ada di sana. Lalu gadis berbaju hijau itu.... Ada apa
gerangan" Sayang, sudah hampir tiga hari ini Ayah tidak bisa kuketahui di mana beradanya!
Apakah orang berjubah abu-abu itu..."!
Ah.... Semua ini membuatku jadi pusing
memikirkannya. Perempuan itu sudah tahu aku berada di sini! Kurasa tidak ada
gunanya lagi bersembunyi...." Lalu orang ini memandang berkeliling. Setelah
menarik napas panjang orang ini
melangkah keluar dari balik pohon.
Seraya melangkah sepasang mata
orang ini memandang pada satu persatu
orang yang ada di tempat itu. Prabarini tersenyum dan menghela napas lega. Puspa
Ratri mendelik angker dengan bibir
tersenyum dingin. Dewa Orok hanya
memandang sekilas lalu arahkan
pandangannya ke jurusan lain, demikian
pula Tengkorak Berdarah. Yang paling
tampak terkejut adalah murid Pendeta
Sinting. Seraya memandang tak berkesip, Joko bergumam.
"Raka Pradesa!"
Seorang pemuda berkumis tipis
mengenakan pakaian warna hitam-hitam
kini tegak sepuluh tombak di samping
Prabarini dan Tengkorak Berdarah.
"Gadis itu masih menyamar sebagai
seorang pemuda!" desis Puspa Ratri kesal. Matanya makin membelalak
memandangi pemuda berkumis tipis yang
bukan lain adalah Saraswati yang selama ini masih mengenakan kumis palsu hingga
mirip seorang pemuda. "Beberapa hari berselang
dia bisa lolos karena
kemunculan Ibu! Mumpung sekarang ada
orang berjubah abu-abu, dia tidak akan
bisa lagi mungkir! Gadis itu pasti
bersekongkol dengan orang berjubah
abu-abu ini! Kini saatnya harus
kubuktikan di hadapan Joko dan Ibu siapa dia sebenarnya!"
Berpikir begitu, Puspa Ratri segera
melompat lalu tegak tujuh langkah di
hadapan Raka Pradesa alias Saraswati.
Begitu kakinya menginjak tanah, gadis
ini segera buka mulut dengan suara
lantang. "Hari ini kau tak akan bisa mungkir lagi! Kaulah biang kerok kejadian
beberapa hari berselang!"
"Puspa Ratri! Jangan...."
Puspa Ratri berpaling pada Joko
Sableng yang baru saja buka mulut. Dan
menukas ucapan murid Pendeta Sinting
dengan mata memandang tajam.
"Joko Jangan tertipu dengan ucapan dan tingkah seorang Gadis yang menyamar
sebagai pemuda berkumis tipis itu bukan manusia baik-baik yang bisa dijadikan
sahabat! Di balik semua ucapan dan
tingkahnya dia menyimpan niat busuk! Kau pasti masih ingat kejadian tiga hari
berselang. Kitab dan mahkota lenyap
disambar orang karena uahnya! Jadi sudah layak manusia macam dia disingkirkan
Buang rasa bimbang dan keraguanmu kalau kau tak ingin tertipu lebih jauh!"
Raka Pradesa menyeringai. Sepasang
matanya memperhatikan Puspa Ratri
lekat-lekat yang kin telah berpaling dan memandang ke arah Raka Pradesa.
Untuk beberapa saat kedua orang ini
saling perang pandang. Tiba-tiba Raka
Pradesa angkat tangan kanannya. Kumis
tipis palsunya ditanggalkan lalu
dicampakkan di atas tanah. Ikatan pada
rambutnya dilepas. Lalu kepalanya
digoyang-goyang hingga saat itu juga
rambutnya lepas tergerai ke bahu dan
punggungnya. Kini berubahlah sosok Raka Pradesa
menjadi seorang gadis muda berparas
cantik bermata bulat berambut panjang.
Tangan kanannya yang baru saja
menanggalkan kumis dan ikatan rambutnya terus bergerak dan kini diluruskan
menunjuk ke arah Puspa Ratri.
"Gadis berbaju hijau! Jaga mulutmu!
Ucapanmu hanya berdasar pada rasa
cemburu gila! Kau ingin cari muka di
depan orang! Apakah dengan caramu itu kau kira cukup untuk mengalihkan perhatian
orang dan menyingkirkan aku"!" Saraswati tertawa pendek. Dia rupanya tidak
memberi kesempatan pada Puspa Ratri
untuk buka mulut menyahut. Karena sesaat kemudian dia telah lanjutkan ucapannya.
"Aku tidak terima kau tuduh! Meski kau tidak sendirian, jangan kira aku
takut!" Merasa ditantang, Puspa Ratri cepat
berpaling pada ibunya dan berujar.
"Harap tidak ikut campur! Ini urusan sendiri!" Lalu pandangannya beralih pada
Dewa Orok, murid Pendeta Sinting, serta Tengkorak Berdarah. "Kuharap kalian juga
tidak ikut-ikutan!"
Habis berkata begitu, Puspa Ratri
arahkan pandangannya pada Saraswati.
"Kau telah dengar ucapanku! Kau tak usah khawatir ada orang membantuku! Kita
selesaikan urusan tempo hari satu lawan satu!"
Mendengar ucapan Puspa Ratri, Dewa
Orok melirik pada Pendekar 131 lalu
berbisik. "Orang muda! Meski aku tidak tahu apa urusan sebenarnya, namun aku
dapat menduga kaulah yang menjadi
pangkal sebab. Kau harus lakukan
sesuatu! Kalau tidak, kau akan menyesal!
Kau tidak akan memperoleh salah satu di antara dua dara cantik itu! Kalau mereka


Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saling mengalah, untuk yang ini aku
bersedia kau beri yang mana saja...."
Joko balas meiirik dengan pandangan
tajam. "Jangan bergurau untuk urusan yang satu ini! Ini urusan sulit!"
Dewa Orok tertawa bergelak membuat
semua kepala berpaling ke arahnya. Dewa Orok tidak pedulikan semua mata yang
memandang padanya. Dia buka mulut.
"Siapa yang bergurau, Orang Muda!
Aku ber-sungguh-sungguh! Aku menawarkan diri untuk menerima siapa saja yang
nanti kau berikan padaku di antara keduanya!
Tapi dengan syarat!"
Murid Pendeta Sintiny mendelik.
"Jangan bicara sembarangan! Lagi pula siapa mau di antara keduanya padamu"
Apalagi kau pasang syarat! Apa kau
kira...." Suara Pendekar 131 diputus oleh
gelakan tawa Dewa Orok. "Jangan keburu marah-marah, Orang Muda! Aku belum
katakan apa syaratku!"
Dewa Orok hentikan ucapannya.
Memandang satu persatu silih berganti
pada Puspa Ratri dan Saraswati. Lalu
lanjutkan ucapannya. "Aku mau menerima salah satu kalau di antara mereka mau!
Kalau mereka tidak mau, apa susahnya
menarik tawaranku"! Ha.... Ha.... Ha...!
Tapi percayalah, di antara mereka atau
kedua-keduanya pasti mau denganku!"
"Dewa Orok!" teriak Puspa Ratri dengan suara keras pertanda marah.
"Jangan bicara ngelantur! Siapa mau denganmu"!"
"Orang cantik! Aku hanya tawarkan
Misteri Bayangan Setan 10 Juragan Tamak Negeri Malaya Karya Widi Widayat Pendekar Guntur 16
^