Misteri Tengkorak Berdarah 2
Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah Bagian 2
diri! Kalau kau tidak mau itu terserah.
Aku tidak merasa rugi dengan
penolakanmu. Masih banyak gadis yang mau menerimaku. Ha.... Ha... Ha...!" sambi!
terus tertawa Dewa Orok berpaling pada
Saraswati. "Kau bagaimana" Juga menolak kehadiranku di sisimu"!"
Saraswati tidak mengangguk juga
tidak menggeleng. Mulutnya pun tidak
ucapkan kata-kata. Hanya sepasang
matanya tampak memandang tak berkesip
pada Dewa Orok lalu berkata dalam hati.
"Orang aneh...."
Ketika Dewa Orok sedang berbincang
dengan Puspa Ratri dan Saraswati,
diam-diam murid Pendeta Sinting
berpikir. "Pangkal sebab utama semua ini adalah orang berjubah abu-abu itu! Aku
harus segera dapat mengetahui siapa dia sebenarnya. Lebih dari itu kitab
bersampul kuning harus kudapatkan
kembali! Setelah itu urusan gadis-gadis ini mudah diselesaikan!"
Murid Pendeta Sinting lalu berbisik
pada Dewa Orok. "Kau ajak kedua gadis itu terus bercakap-cakap
Aku akan mcnyelesaikan urusan dengan orang
berjubah abu-abu! Setelah itu nanti kita atur urusan kedua gadis itu. Kalau
nantinya mereka mau, kau bisa membawa
keduanya sekaligus! Aku yang nenek-nenek itu tidak apa-apa!"
Belum sampai Dewa Orok menyahuti
ucapan Pendekar 131, Joko telah
berkelebat ke arah Tengkorak Berdarah.
Khawatir kalau Prabarini ikut campur
lagi, seraya melompat, Joko berteriak.
"Nenek cantik! Kau tak usah cemas.
Aku hanya membutuhkan kitab darinya!
Setelah itu kau boleh memilikinya!"
Kedua tangan murid Pendeta Sinting
langsung lepaskan pukulan ke arah kepala dan perut Tengkorak Berdarah. Saat itu
sebenarnya Prabarini tidak akan tinggal diam. Namun setelah berpikir sekali
lagi, apalagi setelah mendengar ucapan
Joko walau ucapannya sedikit membuatnya marah, akhirnya dia memutuskan untuk
berdiam diri. Dia lalu melangkah
mendekati Puspa Ratri.
Sementara mendapat serangan
mendadak, Tengkorak Berdarah yang sedari tadi ikut larut dalam suasana di tempat
itu, segera mundur dua tindak. Tangan
kirinya diangkat lalu dibabatkan ke
samping memangkas tangan Joko yang
menghantam ke arah kepalanya. Pada saat yang sama, kaki kanan di balik jubah
abu-abunya tergerak terangkat melabrak
tangan Joko yang berkelebat ke arah
perutnya. Bukkk! Bukkk! Tubuh Joko terjajar balik dua
langkah. Sedangkan Tengkorak Berdarah
terhuyung-huyung karena saat terjadinya bentrok orang ini hanya bertumpu pada
kaki kirinya. Melihat hal demikian, Joko tak
sia-siakan kesempatan. Murid Pendeta
Sinting ini segera kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya siapkan pukulan
sakti 'Lembur Kuning'. Saat itu juga
kedua tangannya berubah warna. Tempat
itu pun disem-burati cahaya berwarna
kekuningan. Kejap lain Joko sentakkan
kedua tangannya ke depan.
Wuuutt! Wuuutt!
Cahaya kekuningan melesat membawa
serta suara gemuruh dahsyat dan hawa
panas. "Celaka kalau sampai pemuda itu
arahkan pukulannya pada tubuh Lasmini!"
desis Prabarini ketika berpaling dan
melihat apa yang sedang terjadi. Dewa
Orok tersenyum-senyum. Sementara Puspa
Ratri dan Saraswati hanya memandang
dengan mulut terkancing.
"Jahanam!" maki Tengkorak Berdarah seraya cepat kuasai diri lalu sentakkan kedua
tangannya ke depan.
Bummm! Satu ledakan keras mengguncang
tempat itu membuat tanah pijakan semua
orang di tempat itu bergetar dahsyat,
bahkan Saraswati dan Puspa Ratri
terlihat bergoyang-goyang keras hendak
jatuh. Melihat keadaan seperti itu,
Prabarini cepat berpaling pada anaknya
lalu pegang bahunya menahan. Sementara
Dewa Orok cepat melompat ke arah
Saraswati dan tegak menempelkan
punggungnya pada punggung gadis
berpakaian hitam-hitam ini. Anehnya
bersamaan dengan menempelnya punggung
Dewa Orok, goyangan tubuh Saraswati
terhenti seketika.
"Orang cantik! Kau tidak
apa-apa..."!"
Saraswati terkejut. Dia berpaling
ke belakang. "Aku.... Aku tidak
apa-apa!" jawab Saraswati dengan raut merah tersipu-sipu. Lalu tarik tubuhnya
dari punggung Dewa Orok. Namun gadis ini terkesiap. Dia gaga! menarik tubuhnya!
"Kuasai diri dahulu! Jangan keburu marah-marah!" bisik Dewa Orok. Saraswati
maklum akan ucapan orang. Karena saat itu sepasang kakinya memang masih terasa
bergetar meski sosok atasnya diam tak
bergerak. Setelah agak lama, baru Dewa Orok
tarik tubuhnya lalu balikkan tubuh tegak menjajari Saraswati. Sepasang matanya
menatap bundaran karetnya yang mengapung di udara dan tampak berputar-putar
karena bias bentroknya pukulan.
Pada saat itu semua telinga orang
mendengar suara bergedebukan. Semua
kepala bergerak berpaling.
"Joko!" seru Puspa Ratri dan
Saraswati hampir berbarengan melihat
sosok murid Pendeta Sinting jatuh
terduduk dengan tubuh bergetar dan wajah pucat pasi dan dada bergerak keras
turun naik. Kedua gadis ini hendak berkelebat, namun sebelum keduanya bergerak,
Joko telah bangkit berdiri dan memandang ke
arah Tengkorak Berdarah yang saat itu
terkapar dengan jubah terusannya bagian wajah telah berubah warna merah.
"Mudah-mudahan dia kuat bertahan.
Karena aku telah berjanji pada nenek itu untuk tidak mencelakainya! Sayang dia
salah perhitungan! Sebenarnya aku tadi
tidak langsung mengarahkan pukulan
'Lembur Kuning' ke arahnya. Namun dia
salah duga dan menangkis...," gumam murid Pendeta Sinting. Lalu tanpa
keluarkan ucapan lagi, sosoknya
berkelebat ke arah Tengkorak Berdarah
yang sedang terkapar.
Melihat hal ini, Dewa Orok tak
tinggal diam. Bersamaan dengan
melesatnya Pendekar 131, pemuda
bertangan buntung ini berkelebat juga ke arah Tengkorak Berdarah.
"Tahan!" seru Prabarini khawatir akan apa yang hendak dilakukan Pendekar 131 dan
Dewa Orok. Namun seruannya seakan tidak terdengar oleh kedua orang itu.
Keduanya teruskan kelebatan tubuh
masing-masing. Tengkorak Berdarah tampak terkejut.
Kepala di balik jubah abu-abunya
menyentak. Namun kejap lain orang ini
perdengarkan tawa panjang dan berkata.
"Bagus! Kita akan mati
bersama-sama!"
Selesai berucap begitu, Tengkorak
Berdarah angkat kedua tangannya lalu
disentakkan ke arah murid Pendeta
Sinting dan Dewa Orok yang terus
berkelebat ke arahnya. Satu gelombang
angin luar biasa dahsyat menyambar ke
depan. "Awas!" teriak Joko memperingatkan Dewa Orok. Lalu murid Pendeta Sinting ini
jatuhkan diri bergulingan di atas tanah.
Sambaran angin dahsyat lewat di atas
kepalanya. Di lain pihak, Dewa Orok
gerakkan bahunya. Sosoknya laksana
disentak dari bawah. Tubuhnya melenting tiga tombak ke udara. Sambaran angin
yang melesat ganas dari kedua tangan
Tengkorak Berdarah menggebrak tempat
kosong di bawah sosok Dewa Orok. Selamat dari serangan, Dewa Orok membuat
gerakan jungkir balik dua kali. Kejap lain
sosoknya telah tegak dengan kaki di atas kepala di bawah di samping kepala
Tengkorak Berdarah!
Tengkorak Berdarah menggerung
keras. Kedua tangannya serta-merta
lepaskan pukulan ke arah wajah Dewa Orok.
Tapi gerakan keiebat tangannya
terlambat. Satu totokan bersarang di
bawah ketiaknya. Seketika itu juga
sekujur tubuhnya kaku tegang tak bisa
digerakkan. "Bangsat keparat! Siapa berlaku
pengecut"I" teriak Tengkorak Berdarah dengan kedua tangan tetap mengapung di
udara. Terdengar suara tawa dari arah
samping. "Apa hendak dikata. Kau keras kepala mengajak orang jalan-jalan ke
neraka!" "Jahanam! Keparat!" rutuk Tengkorak Berdarah seraya arahkan pandangannya ke
samping, di mana saat itu tampak Pendekar 131 bangkit setelah lakukan totokan.
Murid Pendeta Sinting memandang
sejurus ke arah Tengkorak Berdarah lalu melirik pada Dewa Orok dan berujar.
"Bagaimana enaknya sekarang"!"
"Bagaimana terserah kau saja! Yang penting sekarang kuminta tolong padamu
untuk ambilkan barangku! Tak pantas
rasanya harus meraba-raba dengan kaki!"
"Jangan berani menyentuh tubuhku!"
teriak Tengkorak Berdarah.
Joko tersenyum. Lalu melangkah satu
tindak. "Kita sama laki-!akinya. Jangan khawatir. Untuk apa menyentuh-nyentuh
tubuhmu! Bukankah apa yang kau miliki
tidak jauh beda dengan punya pemuda
terjungkir itu"!" kata Joko lalu
jongkok. Kedua tangannya bergerak ke
arah tubuh Tengkorak Berdarah.
"Hai! Harap ambil yang kau butuhkan saja! Jangan berani bertindak lain!"
Mendadak Prabarini berteriak. Perempuan ini jelas khawatir kalau tangan Joko
meraba bagian atas tubuh Tengkorak
Berdarah. Joko sejenak memandang ke arah
Prabarini. Keningnya berkerut. "Aneh.
Mengapa nenek itu berkata begitu" Orang ini tadi juga seakan terkejut dan
melarangku menyentuh tubuhnya!
Jangan-jangan...." Joko tidak lanjutkan ucapannya karena saat itu Dewa Orok
berujar. "Orang muda! Tunggu apa lagi"
Urusanmu yang satu belum selesai! Jadi
jangan membuang-buang waktu!"
Joko teruskan kedua tangannya ke
pinggang orang berjubah abu-abu terusan.
Lalu melebar ke arah perutnya. Sementara Tengkorak Berdarah terus berteriak.
Saat kedua tangannya merasakan satu
sembulan benda di perut Tengkorak
Berdarah, Joko hentikan rabaannya.
"Hem.... Jubah ini terusan tanpa kancing bagian depan. Kalau langsung kulepas
semuanya, bagaimana kalau dia tidak
mengenakan pakaian dalam"!"
Murid Pendeta Sinting berpikir
sejenak. Sementara Prabarini memandang
tidak berkesip. Pandangan perempuan ini jelas membayangkan rasa gelisah dan
cemas. Maiah mulutnya tampak komat-kamit hendak ucapkan sesuatu. Saat itulah
tiba-tiba kedua tangan Joko yang masih
menempel di perut orang menyentak keras ke atas.
Breetttt! Jubah abu-abu terusan yang
dikenakan Tengkorak Berdarah robek
menganga bagian perut. Lalu tampaklah
sebuah kitab bersampu! kuning dan sebuah mahkota yang juga berwarna kuning.
Dengan hati-hati Joko mengambi! kitab
serta mahkota itu. Sedangkan Tengkorak
Berdarah terus memaki makin keras. Namun percuma saja karena dia hanya bisa
keluarkan suara tanpa bisa gerakkan
tubuh. Untuk beberapa lama murid Pendeta
Sinting memperhatikan kitab bersampul
kuning serta mahkota bersusun tiga di
tangannya. "Hem.... Kurasa masih asli...,"
gumam Joko lalu bangkit dan melangkah ke arah Dewa Orok. Dewa Orok bergerak satu
kali. Kejap lain pemuda bertangan
buntung ini telah tegak dengan kepala di atas kaki di bawah.
"Aku harus memeriksanya dahulu!
Jangan-jangan telah dipalsukan! Tolong
dekatkan padaku!" kata Dewa Orok sambil julurkan kepalanya ke depan ketika Joko
perlihatkan mahkota bersusun tiga.
"Hem.... Untung belum berubah!"
ujar Dewa Orok. "Tolong sekali lagi.
Masukkan mahkota itu ke balik pakaianku!
Tapi awas. Jangan berani meraba-raba!
Bukan apa. Aku geli"
Joko mendengus pelan. "Lagi pula
siapa mau meraba-raba tubuhmu!" kata Joko dengan suara tinggi. Namun dia
turuti permintaan Dewa Orok memasukkan
Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mahkota bersusun tiga ke balik
pakaiannya setelah menyimpan kitab
bersampul kuning ke balik bajunya.
"Urusan telah selesai! Biarkan
orang ini diurus oleh nenek itu! Kita
pergi sekarang!" ujar Joko pada Dewa Orok.
"Kalian berdua akan menyesal kalau tidak membunuhku sekarang!" teriak Tengkorak
Berdarah saking jengkelnya
karena tidak bisa berbuat apa-apa.
"Sebenarnya aku mau saja menuruti
permintaanmu. Tapi sayang aku tadi telah berjanji pada nenek cantik itu!" ujar
Joko Sableng lalu balikkan tubuh.
"Tunggu!" tahan Dewa Orok sambil melompat menjajari Joko dan berbisik.
"Urusanmu belum selesai Orang Muda, Gadis-gadis itu...."
Murid Pendeta Sinting gelengkan
kepala. "Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa jika urusan dengan orang berjubah
abu-abu selesai, kedua gadis itu boleh
kau bawa! Jadi sekarang kau yang punya
urusan dengan mereka! Aku harus pergi!"
Habis berkata begitu, Pendekar 131
berkelebat tinggalkan tempat itu.
Melihat ha! ini, Prabarini segera
berteriak lantang. Namun sebelum
suaranya keluar, satu suara berat telah terdengar mendahului.
"Pendekar Pedang Tumpu! 131! Harap jangan pergi dulu! Kita harus bicara!"
Murid Pendeta Sinting tarik pulang
tubuhnya yang sudah siap berkelebat.
"Aneh.... Telingaku rasanya
mengenali suara orang yang baru saja
bicara!" gumam Joko lalu berpaling pada datangnya suara. Bersamaan dengan itu
Dewa Orok yang masih tegak memikirkan
ucapan Joko ikut-ikutan berpaling.
Demikian pula Prabarini, Puspa Ratri,
dan Saraswati. Tengkorak Berdarah yang
masih terkapar dengan tertotok setelah
susah payah bisa gerakkan kepalanya
menghadap ke arah mana orang sama-sama
berpaling. Meski orang berjubah abu-abu ini adalah orang terakhir yang hadapkan
kepala, namun jelas dialah orang pertama yang terlihat paling terkejut. Malah
dari mulutnya terdengar seruan tertahan.
Sementara di seberang, Puspa Ratri
membelalak. Saraswati surutkan langkah
satu tindak. Dewa Orok kembung kempiskan mulut menyedot-nyedot bundaran karetnya
yang sejenak tadi ditarik masuk setelah sekian lama mengapung di udara. Di
sebelah Dewa Orok, Pendekar 131
pentangkan sepasang matanya dengan mulut bergumam. Yang terlihat tenang adalah
Prabarini. Dewa Orok sejenak gelengkan kepala.
Bundaran karetnya disemburkan keluar.
Lalu mulutnya terbuka.
"Aneh.... Jangan-jangan orang itu
bukan manusia biasa! Tapi hantu jejadian yang bisa merubah tubuhnya jadi banyak!
Kau lihat! Orang yang tegak itu baik
tinggi dan pakaian jubah yang dikenakan sama persis dengan orang yang terkapar
itu! Kembarannya atau bagaimana"!"
"Hem.... Benar
dugaan Gendeng Panuntun. Ada dua Tengkorak Berdarah!
Mungkin yang baru datang itu adalah
Tengkorak Berdarah yang sempat membuatku jatuh masuk ke dalam ruangan dalam
tanah! Tapi.... Aku belum bisa memastikan yang mana sebenarnya penghuni Istana Hantu.
Semuanya sama persis!" kata Joko dalam hati.
Selagi belum ada yang buka mulut
bicara, orang yang menahan kepergian
murid Pendeta Sinting gerakkan tubuh.
Tahu-tahu sosoknya telah tegak tiga
langkah di samping Saraswati!
*** 6 Dia adalah seseorang yang anggota
tubuhnya mulai dari rambut sampai kaki
ditutup dengan jubah besar berwarna
abu-abu. Kalau orang melihat, tidak ada bedanya antara orang yang kini tegak di
samping Saraswati dengan orang yang kini terkapar tegang tak bisa bergerak
karena ditotok oleh murid Pendeta Sinting.
Untuk beberapa saat orang berjubah
abu-abu di samping Saraswati hadapkan
kepalanya ke arah orang yang terkapar.
Lalu beralih pada Saraswati. Saraswati
sendiri tampak bimbang. Dia gerakkan
kepalanya bolak-balik memandang ke arah orang di sampingnya lalu ke arah orang
yang terkapar. "Yang mana ayahku"! Bagaimana bisa begini"!" gumam Saraswati tak habis mengerti.
Selagi Saraswati dilanda
kebimbangan, tiba-tiba orang berjubah
abu-abu di sampingnya berbisik.
"Saraswati.... Bebaskan orang yang tertotok itu!" Saraswati kernyitkan kening.
"Apakah kau...." Ucapan si gadis belum selesai, orang di sampingnya
anggukkan kepala sambil berbisik lagi.
"Anakku.... Lekas lakukan apa yang kukatakan!"
Meski hatinya masih disamaki
berbagai tanya, akhirnya Saraswati
melangkah ke arah orang berjubah abu-abu terusan yang masih terkapar tegang.
"Kau mau apa"! Jangan berani berbuat yang tidak-tidak! Kau kelak akan
menyesal!" teriak Tengkorak Berdarah dengan suara keras meski dirinya tak bisa
gerakkan anggota tubuhnya.
Saraswati hentikan langkah.
Sepasang matanya menatap tajam tak
berkesip. Dadanya bergerak turun naik
pertanda gadis ini merasa jengkel dengan ucapan orang itu.
Merasa dirinya dipandang begitu
rupa oleh Saraswati, Tengkorak Berdarah makin geram. Dia kembali perdengarkan
suara keras. "Kau dengar ucapanku! Jangan berani berlaku bodoh jika tak ingin menyesal
kelak!" "Bukan aku yang bodoh! Tapi kau yang berlaku picik! Terlalu buruk menduga
setiap orang!" teriak Saraswati tak bisa menahan kesal mendengar ucapan orang.
Habis berkata begitu, gadis ini balikkan tubuh lalu melangkah ke tempatnya
semula. Baru melangkah tiga tindak, orang
berjubah abu-abu yang baru datang telah perdengarkan suara.
"Jangan pedulikan ucapannya.
Lakukan saja apa yang kukatakan!"
"Aku tak mau! Orang macam dia tidak pantas ditolong!" jawab Saraswati lalu
teruskan langkah.
"Aku pun tak minta tolong!" sahut Tengkorak Berdarah.
"Wah.... Mungkin dia mau kalau kau yang menolong, Orang Muda! Bukankah dia lebih
menyukai pemuda daripada gadis?"
Orang yang keluarkan suara adalah Dewa
Orok. "Mana bisa begitu" Mungkin dia
menginginkan kau yang melakukannya!
Bukankah caramu pasti lain daripada yang lain"!" sahut Joko sementara
pandangannya terus tak beranjak dari
orang yang tegak di samping Saraswati.
Belum sampai ucapan murid Pendeta
Sinting selesai, mendadak Prabarini
telah berkelebat dan tahu-tahu sudah
tegak di samping sosok Tengkorak
Berdarah yang masih terkapai. Prabarini langsung jongkok dan berbisik peian.
"Lasmini! Harap kau tidak keras
kepala. Ini saat yang baik untuk membuka apa yang kukatakan padamu tempo hari!
Aku akan membebaskanmu dari totokan. Jangan berprasangka jelek. Kalau mau,
bukankah pemuda itu bisa berbuat apa saja
terhadapmu?"
"Aku tidak memintamu membebaskan
diriku dari totokan pemuda gila itu! Aku tak akan...."
Prabarini gelengkan kepala.
"Terserah kau minta atau tidak. Tapi aku punya keharusan untuk
membebaskanmu...."
Tengkorak Berdarah mendengus. "Ini kau lakukan hanya agar aku melupakan
perbuatanmu di masa lalu" Jangan
berharap! Untuk ucapkan terima kasih pun jangan mimpi kau akan mendengarnya dari
mulutku!" "Tidak ada maksud seperti yang kau katakan, Lasmini! Aku pun tak mengharap
ucapan terima kasih darimu! Semua ini
kulakukan agar urusan kita hanya
berhenti sampai pada kita berdua...,"
ujar Prabarini pelan.
"Dari kemarin kau katakan begitu!
Tapi nyatanya kau menipuku dengan
mengundang beberapa orang!"
"Aku tidak mengundang mereka!
Mungkin ini suatu berkah bagi kita karena dengan munculnya orang-orang di tempat
ini, urusan di antara kita jadi tuntas!"
"Urusan kita tidak akan tuntas
sebelum salah satu di antara kita menemui ajal!"
"Ah.... Terserah padamulah. Yang
pasti aku su-ah melupakan kisah masa
lalu...." Habis berkata begitu, Prabarini
gerakkan tangan menekan pada bagian
bawah ketiak Tengkorak Berdarah.
Merasa dirinya bisa gerakkan tubuh,
laksana terbang, Tengkorak Berdarah
serentak bangkit berdiri. Tanpa diduga
sama sekali oleh Prabarini tangan kanan Tengkorak Berdarah berkelebat lepaskan
satu pukulan. Bukkk! Prabarini terpental satu tombak dan
jatuh terjengkang.
"Ibu!" teriak Puspa Ratri
menghambur pada Prabarini. Lalu menolong perompuan itu bangkit berdiri.
Prabarini tersenyum seraya mengusap dadanya yang
baru saja terhantam tangan Tengkorak
Berdarah. "Tidak apa-apa, Anakku...."
"Jahanam tak tahu budi! Kubunuh
kau!" teriak Puspa Ratri seraya
memandang tajam pada Tengkorak Berdarah.
Gadis ini seperti kalap, lalu berkelebat hendak lepaskan tendangan ke arah
Tengkorak Berdarah.
"Puspa.... Sudahlah. Ada urusan
lebih penting yang harus segera
diselesaikan!" ujar Prabarini sambil pegangi lengan anaknya.
"Puspa...." Tiba-tiba orang
berjubah abu-abu yang tegak di samping
Saraswati perdengarkan suara mengikuti
ucapan Prabarini. Kepala di balik jubah abu-abunya menghadap lurus ke arah Puspa
Ratri yang tegak di samping ibunya.
"Prabarini.... Puspa Ratri....
Ah.... Kuharap kalian...." Orang
berjubah abu-abu ini tidak lanjutkan
gumamannya karena saat itu tiba-tiba
Prabarini telah buka mulut. Wajahnya
dihadapkan ke arah orang yang tegak di
samping Saraswati.
"Orang berjubah abu-abu! Harap kau suka buka penyamaranmu!"
Orang di samping Saraswati sejenak
arahkan kepalanya ke arah Tengkorak
Berdarah yang baru saja tegak. Lalu
menghadap pada satu persatu orang di
tempat itu. Saraswati berpaling. Setelah merasa
yakin bahwa orang berjubah abu-abu
terusan di sampingnya adalah ayahnya,
gadis ini berbisik.
"Ayah.... Siapa perempuan itu?"
Orang yang ditanya tidak menjawab.
Sebaliknya orang ini angkat kedua
tangannya ke atas kepala. Kejap lain
kedua tangannya menyibak ke kanan kiri.
Brettt! Brettt!
Jubah terusan abu-abu bagian kepala
orang di samping Saraswati robek
membelah di bagian kepala. Orang ini
teruskan sibakkan tangannya hingga
robekan itu terus menjalar ke bawah.
Semua mata orang di tempat itu sama
mementang memperhatikan. Mereka
mula-mula melihat rambut putih. Lalu
sepasang mata yang sayu ditingkah alis
mata yang juga telah memutih. Kemudian
tampaklah sebuah hidung agak mancung dan kumis lebat putih. Di bawahnya terlihat
satu bibir yang sedang tersenyum. Namun jelas senyum itu penuh misteri.
"Dugaanku tidak salah ..." gumam Prabarini begitu dapat melihat seluruh
wajah orang yang tadi tertutup jubah
abu-abu terusan.
"Ibu! Siapa laki-laki itu"
Sepertinya kau mengenali betul!" kata Puspa Ratri pelan.
"Sebentar lagi kau akan
mengetahuinyal" jawa" Prabarini tanpa menoleh.
"Panjer Wenyi!" Tiba-tiba Tengkorak Berdara alias Lasmini berteriak. Laksana
hendak terbang, orang berjubah abu-abu
yang bagian perutnya robek akibat
sentakan tangan Pendekar 131 ini
berkelebat. Namun langkahnya tertahan
karena bersamaan dengan itu Prabarini
telah melompat dan tegak menghadang.
"Jangan perturutkan hati! Buang
dulu rasa dendam! Saatnya telah tiba bagi kita untuk saling membuka diri!"
"Jahanam! Untuk apa membuka diri!
Semuanya sudah jelas!" seru Tengkorak Berdarah.
"Bagimu memang sudah jelas! Tapi
tidak bagi orang lain!"
"Apa pedulinya orang lain, hah"!
Jahanam itu harus mati di tanganku!
Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Termasuk juga kau dan anakmu"
"Orang lain memang tidak akan
peduli! Tapi di sini ada orang yang harus kau pedulikan! Lebih-lebih orang itu
butuh kejelasan yang selama ini
dicari-cari! Jangan buat dia merana
sepanjang hidupnya!"
"Apa maksud ucapanmu"!"
"Kau masih ingat ucapanku tempo
hari. Bukalah dahulu penutup wajahmu!"
"Kau telah dengar ucapanku tempo
hari. Sekali aku bilang tidak, tidak!"
"Berarti kau memperpanjang duka
rana darah dagingmu!"
Ucapan Prabarini membuat Tengkorak
Berdarah terdiam beberapa lama.
"Saraswati.... Apakah anakku berada di sini?" ujar Tengkorak Berdarah pada
akhirnya dengan suara bergetar. Suara
orang ini hampir-hampir tidak terdengar.
"Sudan bertahun-tahun dia
mencarimu! Apakah kau masih akan
sembunyikan wajah"!" ujar Prabarini dengan anggukkan kepala dan tersenyum.
Namun sepasang mata perempuan ini tampak berkaca-kaca.
Tengkorak Berdarah hadapkan
kepalanya ke arah Saraswati. Dada orang ini berdebar. "Apakah dia...?"
Entah karena apa tiba-tiba kedua
tangan Tengkorak Berdarah bergerak ke
atas. Brettt! Breett!
Seketika jubahterusan bagian wajah
dan kepala Tengkorak Berdarah robek
menganga. Sepasang mata murid Pendeta
Sinting dan Dewa Orok yang sedari tadi
hanya diam mendengarkan, membelalak
besar-besar. Namun bersamaan dengan itu, Dewa Orok berujar.
"Orang muda. Kau tidak beruntung
hari ini! Kalau kau tadi sedikit nakal
mau meraba-raba ke atas perut orang,
pasti kau akan menemukan sesuatu yang
lain!" Joko tidak menyahut. Dia hanya
pandangi orang di seberang depan dengan berkata dalam hati. "Hem.... Makanya dia
tadi marah-marah saat aku hendak meraba tubuhnya! Tak tahunya dia adalah
seorang...." Joko geleng-geleng kepala.
Namun tiba-tiba murid Pendeta Sinting
hentikan gerakan kepalanya yang
menggeleng. Kini kepalanya silih
berganti menghadap ke arah Saraswati dan Tengkorak Berdarah yang baru saja
membuka penutup wajahnya.
"Heran.... Wajah keduanya...."
"Hampir sama!" sahut Dewa Orok menyahuti ucapan murid Pendeta Sinting.
Ucapan Dewa Orok memang benar,
karena begitu Tengkorak Berdarah membuka penutup wajah-nya maka tampaklah satu
wajah seorang perempuan yang hampir
sebaya dengan Prabarini. Sama halnya
saperti Prabarini, meski sudah tidak
muda lagi tapi masih kelihatan cantik.
Lebih dari itu, raut wajah perempuan ini hampir mirip dengan Saraswati!
"Terima kasih kau mau membuka
diri...," kata Prabarini dengan suara bergetar. Perempuan ini segera putar
diri menghadap Saraswati. Namun dia
tidak segera angkat bicara meski
mulutnya telah membuka.
"Ada apa ini" Mengapa semua orang memandangku demikian rupa"!" pikir Saraswati
melihat semua mata tertuju ke arahnya.
Belum sampai Saraswati mendapat
jawaban atas pertanyaan hatinya,
Prabarini berujar.
"Panjer Wengi! Kau harus jelaskan
semua ini!"
Orang di samping Saraswati yang
dipanggii Panjer Wengi menghela napas
panjang. Semua mata kini tertuju pada
laki-laki berusia lanjut namun masih
membayangkan ketampanan ini. Mulut semua orang sama terkancing hingga suasana
jadi hening. "Prabarini...," gumam orang tua yang dipanggii Panjer Wengi. "Sebelumnya kuharap
kau mau memaafkan aku.
Seharusnya aku yang melakukan pekerjaan seperti ini. Tapi karena aku harus
melakukan sesuatu yang lebih penting,
terpaksa aku harus berdiam diri, bahkan untuk beberapa tahun lamanya aku harus
sembunyikan diri di balik bangunan. Prabarini.... Mungkin aku adalah seorang
laki-laki yang pantas menerima caci maki karena aku harus menanyakan padamu
tentang anak kita...."
Sejenak Panjer Wengi hentikan
ucapannya. Matanya kini terarah pada
Puspa Ratri. Gadis yang dipandang tampak sipitkan mata dengan dada berdebar.
"Prabarini.... Adakah anak gadis di sampingmu adalah Puspa Ratri anak kita?"
Prabarini tidak menjawab. Sepasang
mata perempuan ini telah menitikkan air mata. Kepalanya bergerak menoleh pada
Puspa Ratri yang saat itu juga sedang
berpaling ke arahnya
"Ibu...," kata Puspa Ratri seraya melompat mendekat ke arah Prabarini.
Namun begitu tegak di samping ibunya,
Puspa Ratri tidak kuasa buka mulut
lanjutkan ucapan.
"Puspa...," bisik Prabarini dengan suara bergetar. Bahunya berguncang
menahan isak. "Dia adalah orang yang selama ini kau tanyakan, Anakku....
Bagaimanapun tindakannya selama ini,
kuharap kau mau mengerti, Dia adalah
ayahmu...."
Puspa Ratri tegak dengan kaki
bergetar. Sepasang matanya membeliak
menatap ke arah Panjer Wengi. Saat itulah tiba-tiba Panjer Wengi melompat dan
tegak dua tindak di depan Puspa Ratri
dengan kedua tangan mengembang.
"Anakku.... Harap maafkan ayahmu
yang selama ini tidak...." Panjer Wengi hanya bisa berucap sampai di situ.
Setelah itu yang terdengar hanyalah
gumaman tidak jelas karena suaranya
laksana tersumbat di tenggorokan.
Sementara gadis di hadapan Panjer Wengi masih tampak tegak tak bergeming. Puspa
Ratri seolah masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar dan kini ada
di hadapannya. "Anakku.... Memang sudah tidak
pantas diriku kau sebut sebagai...,"
belum sampai Panjer Wengi teruskan
ucapannya, mendadak Puspa Ratri telah
menghambur lalu dirangkulnya tubuh orang yang tegak di hadapannya. Gadis ini
tidak kuasa lagi berkata. Hanya isakannya yang terdengar.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba
seraya masih merangkul Puspa Ratri,
kepala Panjer Wengi berpaling pada
Saraswati yang sejak tadi tampak bingung tak tahu harus berbuat apa, malah
hampir tidak percaya dengan kejadian di depan
matanya. Panjer Wengi lambaikan tangannya ke
arah Saraswati. Gadis ini sejenak masih terlihat bimbang. Namun akhirnya dia
melangkah juga mendekati Panjer Wengi.
"Anakku...," bisik Panjer Wengi.
"Puspa Ratri adalah saudaramu lain ibu.
Kuharap kau...." Lagi-lagi Panjer Wengi tidak kuasa teruskan ucapannya.
Sementara sepasang mata Saraswati tak
berkesip memandang ke arah Puspa Ratri
yang masih rebahkan wajah di dada Panjer Wengi.
"Puspa Ratri.... Saraswati....
Kalau selama ini di antara kalian ada
ganjalan. kuharap mulai saat ini semua
itu kalian lenyapkan!" kata Prabarini yang ternyata telah tegak di samping
Saraswati. Puspa Ratri angkat kepalanya. Lalu
memandang pada Saraswati. Untuk beberapa saat kedua gadis ini saling
berpandangan. Dada masing-masing gadis
ini dilanda berbagai perasaan.
Tiba-tiba Puspa Ratri lepaskan
pelukannya pada tubuh Panjer Wengi. Lalu melangkah satu tindak ke arah
Saraswati. Pada saat yang sama Saraswati juga
melangkah maju. Kejap lain kedua gadis
ini telah saling berpelukan dengan erat.
"Saraswati.... Maafkan kalau selama ini aku menuduhmu yang bukan-bukan....
Maafkan diriku yang selalu berkata kasar padamu...," ujar Puspa Ratri disela
isakannya. "Tidak.... Akulah yang harus minta maaf. Aku terlalu keras kepala tidak mau
menerima kenyataan!"
"Sudahlah.... Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kalian berdua tidak ada yang
bersalah. Yang tua-tua inilah sebenarnya pangkal dari semua ini hingga di antara
kalian berdua tidak saling mengenal...,"
kata Panjer Wengi. Lalu balikkan tubuh
hendak merangkul Prabarini. Namun
perempuan ini segera menghindar sambil
berkata pelan. "Panjer Wengi jangan kau buat
suasana hati orang tambah panas. Masih
ada yang harus kau jelaskan pada
Saraswati...."
Panjer Wengi arahkan pandangannya
pada Lasmini yang tegak dengan wajah
merah padam dan dada berdebar tak karuan.
Perempuan yang selama ini memaklumkan
diri sebagai Tengkorak Berdarah ini
sudah bisa menebak siapa adanya gadis
berpakaian hitam-hitam yang masih
berpelukan dengan Puspa Ratri. Malah
begitu Saraswati memeluk Puspa Ratri,
perempuan ini laksana hendak menghambur ke depan. Namun melihat Prabarini dan
Panjer Wengi yang bukan lain adalah
suaminya sendiri berada dekat di situ,
Lasmini menahan diri.
"Saraswati...," kata Panjer Wengi pelan. "Kau telah menemukan saudaramu.
Sekarang jangan biarkan dia berdiri
sendirian di sana...."
Saraswati lepaskan pelukannya pada
Puspa Ratri. Lalu memandang ke arah mana Panjer Wengi memandang.
"Perempuan itu.... Perempuan yang
selama ini mengenakan jubah seperti
Ayah. Apakah dia...." Saraswati
berpaling pada Panjer Wengi. Belum
sempat dia utarakan apa yang ada dalam
hatinya, Panjer Wengi telah mendahului
berucap. "Mendekatlah ke sana. Ajaklah dia
kemari...."
"Ayah.... Apakah dia...."
"Saraswati.... Dialah ibumu...,"
sahut Prabarini.
Mulut Saraswati terkancing.
Isakannya seketika terhenti. Sepasang
matanya kembali memandang ke arah
Lasmini lalu beralih pada Panjer Wengi
seolah ingin penjelasan.
"Betul, Saraswati. Dialah
ibumu...," kata Panjer Wengi dengan suara hampir tak terdengar.
Bersamaan selesainya ucapan Panjer
Wengi, laksana hendak terbang, Saraswati berlari ke arah Lasmini. Lasmini tak
dapat menahan debaran dadanya. Seketika tangisnya meledak. Kejap lain dia
melompat menyongsong Saraswati.
"Ibu...." Suara Saraswati
tersendat. Kedua tangannya langsung
memeluk tubuh Lasmini yang telah
menyongsongnya dengan pelukan erat.
Gadis ini kembali terisak. Sementara
Lasmini tak berkata apa-apa saking
larutnya. Perempuan ini hanya memeluk
anaknya erat-erat sambil menciumi wajah dan mengusap-usap rambutnya dengan air
mata berderai. Untuk beberapa saat semua mata orang
tertuju pada ibu dan anak yang saling berpelukan dan bertangisan itu.
"Ibu.... Mulai saat ini kuharap Ibu mau hidup bersama. Jangan kita berpisah
lagi...," bisik Saraswati setelah dapat kuasai din.
"Anakku.... Terlalu berat derita
yang kurasakan. Sudah terlalu lama aku
menahan duka ini.... Ini semua gara-gara ulah seorang perempuan. Kalau tidak,
tak mungin kita berpisah...."
"Ibu.... Lupakanlah semua yang
pernah terjadi...."
"Mengucapkan memang mudah, Anakku.
Tapi tahukah kau, betapa aku harus hidup merana bahkan sampai tidak mengenalimu!
Tidak, Anakku. Orang yang membuat kita
sengsara begini harus mendapat balasan
setimpal!"
"ibu.... Jangan mencabut sesuatu
yang baru kudapat! Bertahun lamanya aku mendambakan kebahagiaan. Apakah Ibu tega
memutuskan begitu saja?"
"Kau jangan salah paham, Anakku.
Justru kebahagiaan itu akan lebih terasa kalau dapat melenyapkan orang yang
selama ini membuat kita berpisah!"
"Semua kejadian berpangkal pada
diriku! Kini kau berhak lakukan apa saja padaku!" Mendadak satu suara menyahuti
ucapan Lasmini.
Saraswati dan Lasmini berpaling.
Sejarak tiga langkah di samping mereka
berdua, Panjer Wengi tegak dengan kepala tengadah.
Saraswati rasakan kedua tangan
Lasmini yang masih memeluknya bergetar
keras. Dadanya bergerak cepat turun
naik. Sepasang matanya mendelik angker
memandangi Panjer Wengi. Kejap lain
Lasmini lepaskan pelukannya pada
Saraswati, lalu sambil menyeringai dia
menghadap Panjer Wengi.
Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Panjer Wengi! Kau memang berhak
menerima imbalan setimpal. Tapi bukan
hanya kau satu-satunya yang harus
menerimanya! Perempuan liar itu juga
pantas merasakannya!" kata Lasmini dengan suara keras sambil arahkan
telunjuknya pada Prabarini. Suara
Lasmini kini terdengar asli. Tidak
seperti selama ini yang selalu sarukan
suaranya mirip seorang laki-laki.
"Lasmini.... Jangan salahkan orang lain. Akulah pangkal semuanya!"
Lasmini mendengus. "Dalam keadaan
begini kau masih juga membelanya!" lalu perempuan ini angkat kedua tangannya.
"Ibu...!" seru Saraswati sambil pegangi kedua tangan Lasmini. "Apakah tidak ada
ampun bagi satu kesalahan?"
"Kesalahannya sudah setinggi
langit! Tidak ada pengampunan selain
nyawanya terputus!"
"Saraswati. Ucapan ibumu benar.
Mungkin hanya itulah satu-satunya
penebusan yang harus kuterima. Dan aku
ikhlas menerimanya. Karena selimut
rahasia kini telah terungkap. Aku telah menemukan anakku dan kau Saraswati telah
tahu siapa ibumu.... Yang kuharap,
setelah kepergianku nanti, kalian bisa
hidup rukun dan melenyapkan segala
ganjalan...."
"Tidak semudah itu semuanya akan
jadi selesai, Panjer Wengi! Aku telah
bulat hati untuk melenyapkan semua orang yang pernah membuatku merana!" kata
Lasmini. Bara dendam pada dada perempuan ini rupanya belum dapat digoyahkan.
Saat itulah tiba-tiba Prabarini
berkelebat dan tahu-tahu telah tegak di hadapan Lasmini. Perempuan ini
sunggingkan senyum lalu berkata.
"Lasmini.... Aku telah berjanji
padamu. Jika semua urusan ini jadi jelas, aku akan pasrah padamu. Sekarang
kurasa semuanya sudah terungkap jelas. Aku
tidak akan mengingkari janjiku. Sekarang lakukanlah apa yang kau mau!"
Ucapan polos Prabarini membuat
Lasmini tergagap dan terdiam untuk
beberapa lama. Sementara itu mendengar
apa yang dikatakan ibunya, Puspa Ratri
segera melompat dan kini tegak di samping ibunya. Diam-diam dalam hati gadis ini
berkata. "Aku tidak akan membiarkan orang itu lakukan apa saja pada Ibu!"
Tiba-tiba Lasmini tertawa panjang.
Lalu berkata. "Prabarini! Sebelumnya aku memang ingin membunuh dengan tanganku
sendiri. Tapi sekarang ku ubah. Aku ingin melihatmu mampus dengan tanganmu
sendiri!" "Ibu!" ujar Saraswati. "Mengapa Ibu tega mengatakan begitu" Apakah...."
"Saraswati. Dengarlah. Perempuan
itulah yang membuat kita berpisah.
Perempuan itu tega memutus kebahagiaan
kita hingga kita harus menanggung duka
sengsara. Kurasa apa yang kuminta masih jauh di bawah penderitaan yang kita
alami akibat perbuatannya!"
"Ibu.... Semua itu sudah berlalu.
Jerih payahnya untuk mempertemukan kita kurasa jauh lebih besar dibanding dengan
apa yang pernah dilakukannya!"
"Saraswati. Kau tidak tahu apa-apa dalam hal ini. Aku yang merasakan! Aku
yang mengalami!"
"Ibu! Baikiah. Anggap memang itu
satu kesalahan yang tidak berampun. Tapi sekali ini aku mewakilinya untuk
meminta maaf padamu! Kalau kau hendak turunkan
tangan maut, jangan lakukan padanya!
Bunuhlah aku.... Atau Ibu ingin aku
lakukan sendiri?"
Habis berkata begitu, sambil
menangis berurai air mata, Saraswati
angkat kedua tangannya ke samping kanan kiri kepalanya. Tanpa diduga semua
orang, tiba-tiba orang berpakaian
hitam-hitam ini hantamkan kedua
tangannya ke arah kepalanya sendiri!
Lasmini terkesiap kaget. Perempuan
ini cepat bergerak menangkap kedua
tangan Saraswati sebelum tangan itu
sempat menghantam kepala. Lasmini lalu
memeluk Saraswati dan kembali kedua
orang ini sama bertangisan.
Setelah agak lama, Lasmini berujar
sambil renggangkan pelukannya.
"Saraswati.... Untuk sementara aku harus pergi dahulu. Jagalah dirimu
baik-baik...."
"Ibu...."
"Saraswati.... Untuk kali ini
jangan kau tanyakan ke mana aku akan
pergi. Percayalah. Tak lama kita akan
berkumpul lagi dan hidup bersama...,"
kata Lasmini sambil membelai rambut
anaknya. Lalu putar diri menghadap ke
arah Prabarini.
"Prabarini! Kau masih beruntung
hari ini. Kalau saja tidak ada anakku,
aku tak akan segan-segan membunuhmu!
Termasuk juga kau Panjer Wengi! Tapi
kalian jangan merasa lega dahulu.
Keputusanku tetap tidak akan berubah!
Kalian berdua masih harus mampus di
tanganku!"
Habis berkata begitu, Lasmini
meludah lalu berkelebat tinggalkan
tempat itu. "Ibu!" teriak Saraswati. Namun Lasmini seakan tak hiraukan panggilan
anaknya. Perempuan ini terus berkelebat dan lenyap di balik jajaran pohon. Semua
orang tidak tahu, jika seraya berkelebat pergi air mata makin banyak mengalir
dari sepasang mata perempuan yang selama ini mengaku sebagai Tengkorak Berdarah
dan sebenarnya adalah istri pertama Panjer
Wengi, laki-laki yang selama ini
menghuni Istana Hantu.
Sesaat setelah Lasmini pergi,
tiba-tiba dua bayangan berkelebat. Kejap lain tampak dua orang telah tegak di
tempat itu! *** 7 Ratu Malam! Gendeng Panuntun!"
Pendekar 131 yang sedari tadi kancingkan mulut melihat apa yang sedang terjadi
di seberang depan, adalah orang yang
pertama kali berteriak begitu mengenali siapa adanya dua orang yang baru muncul.
Murid Pendeta Sinting ini cepat
berkelebat lalu berdiri tegak di hadapan kedua orang yang bukan lain memang Ratu
Malam dan Gendeng Panuntun adanya.
Ratu Malam hadapkan wajahnya ke arah
Joko. Mulutnya yang selalu mainkan
gumpalan tembakau hitam komat-kamit.
Kejap lain nenek berambut putih sebatas tengkuk dan mengenakan jubah warna merah
menyala ini berkata.
"Kelakuanmu tidak berubah, Setan
Jelek! Di mana-mana selalu bikin urusan dengan gadis-gadis! Sampai kapan kau
akan terus begitu, hah"!"
Murid Pendeta Sinting tidak segera
menyahut ucapan Ratu Malam. Dia melirik sebentar ke arah Puspa Ratri dan
Saraswati yang wajahnya tampak berubah.
Lalu cepat membungkuk memberi
penghormatan pada Ratu Malam dan Gendeng Panuntun yang tampak tegak dengan
kepala tengadah dan tangan kanan usap-usap
cermin bulat yang ada di depan perutnya.
Kakek gendut ini berpaling sejurus pada Ratu Malam lalu buka mulut.
"Kau juga tidak berubah! Selalu
marah-marah tak ada juntrung. Sampai
kau tak sadar di mana saat ini berada dan siapa saja orang-orang yang ada di
sekitarmu!"
Mendengar ucapan Gendeng Panuntun,
cepat Ratu Malam putar kepalanya dengan mata mendelik. Ketika sepasang matanya
menumbuk pada sosok Panjer Wengi, nenek ini tampak terkesiap malah kedua pasang
kakinya tersurut satu tindak.
Namun keterkejutan nenek berjubah
merah ini hanya sesaat. Saat lain
tubuhnya dicondongkan ke depan, mulutnya komat-kamit. Sementara kedua tangannya
mengusap-usap sepasang matanya.
"Hampir tak dapat kupercaya! Tapi
rasanya benar-benar dia!" gumamnya lalu berpaling pada Gendeng Panuntun. Kakek
ini tidak hiraukan Ratu Malam yang tampak dilanda kebimbangan. Sebaliknya si
kakek bertubuh besar ini melangkah perlahan ke arah Panjer Wengi. Sejarak enam
langkah dia berhenti. Lalu menjura hormat.
"Eyang Guru.... Terimalah salam
hormatku...."
Mengetahui apa yang dilakukan
Gendeng Panuntun, Ratu Malam cepat
melompat lalu ikut-ikutan menjura pada
Panjer Wengi sambil berkata.
"Eyang Guru.... Mohon dimaafkan.
Aku sama sekali tidak menduga...."
Joko tercenung dengan mata
mendelik. Sementara Puspa Ratri dan
Saraswati saling pandang tidak mengerti.
Hanya Prabarini yang kelihatan
tenang-tenang saja. Sementara Dewa Orok yang berdiri agak jauh tampak mengernyit
lalu menyedot bundaran karet mulutnya
hingga perdengarkan suara duuutt!
Duuuttt! berulang kali.
"Tidak kusangka sama sekali kalau
orang tua yang kuyakin adalah penghuni
Istana Hantu itu adalah guru mereka.
Lebih-lebih tidak kukira jika kedua
gadis itu adalah anak-anaknya! Aku harus mengucapkan terima kasih padanya...,"
kata Joko lalu melangkah. Begitu sejajar dengan Gendeng Panuntun, murid Pendeta
Sinting cepat memberi penghormatan.
"Orang tua. Terima kasih atas semua yang telah kau lakukan padaku.... Dan
harap maafkan kalau selama ini aku punya prasangka buruk dan pernah berbuat
kurang ajar padamu...."
Panjer Wengi menghela napas
panjang. Sepasang matanya yang sudah
sayu pandangi ketiga orang di
hadapannya. "Sekar Mayang dan kau
Rawadan, aku gembira melihat kalian
berdua masih sehat-sehat saja. Lebih
dari itu, aku merasa senang karena kalian berdua selama ini mau membantu pemuda
itu serta menjalankan pesan yang pernah
kukatakan!"
Orang yang disebut dengan Sekar
Mayang dan Rawadan bukan lain adalah Ratu Malam dan Gendeng Panuntun. Sekar
Mayang dan Rawadan adalah nama asli Ratu Malam dan Gendeng Panuntun.
Ratu Malam angkat kepalanya
pandangi Panjer Wengi yang tidak lain
adalah gurunya. "Eyang Guru.... Terus terang, aku tadi masih bimbang. Karena
selama ini kami duga Guru telah
tiada...."
Panjer Wengi tersenyum. "Satu tugas telah mengharuskanku bertindak
demikian, Sekar Mayang."
Habis berkata begitu, kepala Panjer
Wengi menoleh pada Pendekar 131 lalu
berkata. "Anak muda. Kau juga tak perlu
minta maaf. Sekali lagi, tugas yang telah mewajibkan aku bertindak seperti yang
kau alami! Pesanku padamu, jagalah kitab yang sekarang ada di tanganmu
sebagaimana kau menjaga dirimu sendiri!
Dan dengan telah berhasilnya kau miliki kitab itu, maka selesailah tugasku! Kini
segala urusan rimba persilatan ada pada pundakmu!"
Beberapa saat Panjer Wengi diam.
Lalu arahkan pandangannya pada Ratu
Malam dan Gendeng Panuntun, "Sekar Mayang, Rawadan. Aku harus pergi
sekarang...."
Panjer Wengi putar diri menghadap
Puspa Ratri dan Saraswati yang ada di
samping nya. Eyang Guru.... Ada satu hal yang
ingin kutanyakan padamu!" kata Ratu Malam menahan gerakan Panjer Wengi.
"Katakanlah, Sekar Mayang...."
"Sejak peristiwa terbukanya Istana Hantu hingga kini, ketiga muridmu lenyap
tidak ada beritanya. Sementara orang
menduga kalau ketiganya...."
"Sekar Mayang...," potong Panjer Wengi. "Tentang ketiga saudaramu itu panjang
ceritanya. Aku tidak bisa
menerangkan di sini. Lebih baik kau nanti minta cerita pada mereka. Tak lama
lagi kau akan menemuinya...."
Panjer Wengi teruskan putaran
tubuhnya menghadap Puspa Ratri dan
Saraswati. "Anak-anakku.... Kita cari tempat yang baik untuk
berbincang-bincang dari hati ke hati
agar semua ganjalan yang masih ada bisa sirna."
Puspa Ratri dan Saraswati saling
pandang. Dan secara tak sadar kedua gadis ini lantas berpaling pada murid
Pendeta Sinting. Dada keduanya sama berdebar.
Mereka tak tahu harus berkata apa. Karena keduanya ternyata masih saudara satu
ayah lain ibu. Sementara hati keduanya
sudah sama-sama menyukai Pendekar131.
"Bagaimana ini" Mungkinkah aku
harus berebut dengan Puspa Ratri,
saudaraku sendiri" Tapi aku tak dapat
mendustai diri sendiri. Aku menyintai
pemuda itu" kata Saraswati dalam hati. Di lain pihak, diam-diam Puspa Ratri juga
membatin. "Hari ini aku menemukan ayahku. Tapi haruskah semuanya kutebus dengan duka
yang lain" Akankah harus kulepas pemuda itu" Padahal aku.... Ah.... Apakah yang
harus kukatakan pada Saraswati" Apa yang harus kulakukan"!"
Apa yang saat itu melanda pada hati
masing-masing gadis rupanya dapat
ditangkap oleh Prabarini. Perempuan ini mendehem, membuat Puspa Ratri dan
Saraswati paling kan wajah ke arahnya.
"Puspa, Saraswati. Kalian berdua
Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membutuhkan waktu agak panjang untuk
memutuskan apa yang harus kalian
lakukan. Kalian butuh saling terbuka.
Yang kuharap nanti, jangan kalian ambil keputusan dengan dilandasi perasaan
cemburu". Paras wajah Puspa Ratri dan
Saraswati sama bersemu merah. Prabarini melangkah mendekati Puspa Ratri. Lalu
berkata pelan. "Apa yang dikatakan ayahmu benar.
Kau ikutlah dia agar bisa berbincang
lebih tenang...."
"Ibu.... Kita harus bersama-sama!"
ujar Puspa Ratri.
Prabarini gelengkan kepala sambil
tersenyum. "Kau telah bertemu dan tahu siapa ayahmu. Kau perlu waktu untuk
bersama dengannya agar kau tahu banyak
siapa ayahmu sebenarnya. Untuk sementara ini aku tidak dapat menyertaimu. Kau
pasti sudah tahu apa sebabnya. Kuharap
kau mau mengerti...."
Habis berkata begitu, Prabarini
mencium wajah anaknya. "Jaga dirimu baik-baik. Ambillah keputusan tanpa
adanya penyesalan di kemudian hari."
Perempuan ini lantas memandang pada
Saraswati lalu mendekat. Lengan gadis
ini dipegangnya.
"Saraswati.... Kau harus dapat
menerima kenyataan ini. Lebih dari itu
kau harus bisa memahami apa yang
dilakukan ibumu! Dan tak lupa aku juga
minta maaf padamu atas kejadian semua
ini...." Tanpa menunggu sahutan dari
Saraswati. Prabarini berpaling pada
Panjer Wengi. Dia sepertinya hendak buka mulut bicara. Namun dia tampak
ragu-ragu. Hingga untuk sesaat perempuan ini hanya memandang ke dalam bola mata
sayu milik suaminya itu. Lalu tanpa
berkata apa-apa lagi dia berkelebat
tinggalkan tempat itu.
Puspa Ratri hendak mengejar, namun
Panjer Wengi cepat berucap. "Anakku....
Percayalah apa yang dikatakan ibumu. Tak lama lagi kita pasti akan bertemu lagi.
Sekarang kita harus pergi...."
Panjer Wengi melangkah lalu
berhenti di antara Puspa Ratri dan
Saraswati. Kedua tangannya memegang satu persatu lengan Puspa Ratri dan
Saraswati. Lantas menariknya perlahan untuk
mengajak keduanya pergi dari tempat itu.
Puspa Ratri dan Saraswati sejurus
sama arahkan pandangannya pada murid
Pendeta Sinting. Saat lain keduanya
saling berpandangan. Wajah keduanya sama berubah merah. Tanpa buka mulut lagi,
keduanya ialu melangkah mengikuti Panjer Wengi.
"Setan Jelek!" kata Ratu Malam begitu sosok Panjer Wengi, Puspa Ratri
dan Saraswati pergi. "Kau jangan berani macam-macam pada gadis-gadis itu!"
"Kau jangan terlalu menduga yang
tidak-tidak, Nenek" Yang menyahut adalah Gendeng Panuntun.
"Diam kau! Aku bicara dengan Setan Jelek ini! Kau harus tahu, kalau sampai
terjadi apa-apa nantinya pada
gadis-gadis itu, tak urung kita juga
hanya akan mendapat getahnya! Padahal
Setan Jelek ini yang makan nangkanya!"
"Ratu Malam...," ujar Joko seraya tersenyum. "Kau tak perlu khawatir, aku tahu
siapa diriku dan siapa gadis-gadis itu!"
"Hem.... Bagus kalau kau sadar
begitu! Tapi jika kelak kau keluar dari apa yang kau ucapkan, aku tak segan
memuntir kepalamu meski aku tahu kau kini telah mendapatkan kitab sakti!" kata
Ratu Malam lalu berpaling pada tempat di mana tadi Dewa Orok berada.
"Hem.... Ke mana minggatnya temanmu tadi"!"
Pendekar 131 memandang ke tempat
Dewa Orok berada. Ternyata pemuda
bertangan buntung itu memang tak ada lagi di tempatnya semula.
Selagi Ratu Malam dan Pendekar 131
mencari-cari tiba-tiba terdengar satu
debuman keras. Serentak Ratu Malam dan
murid Pendeta Sinting berpaling ke arah datangnya suara debuman.
"Pintu Istana Hantu...," gumam Joko seraya mendelik memandang jauh ke depan ke
arah Istana Hantu. Dari tempatnya
berdiri, baik Ratu Malam maupun Joko
melihat pintu Istana Hantu telah
menutup. Tapi kali ini bukan tertutupnya
gerbang pintu Istana Hantu yang membuat kedua orang ini terus pentangkan mata
masing-masing. Melainkan dari depan
gerbang pintu yang baru keluarkan
debuman menutup, tampak tiga sosok tubuh melangkah ke tempat mereka berada!
*** 8 Orang paling kanan adalah seorang
kakek berambut putih disanggul ke atas.
Seraya melangkah kakek ini dongakkan
sedikit kepalanya dengan mulut terbuka
menganga! Di sebelahnya terlihat seorang perempuan berambut panjang bergerai. la
mengenakan jubah putih panjang. Ada
keanehan pada perempuan ini. Wajahnya
terlihat samar-samar karena dari atas
kepalanya tampak curahan rintik-rintik
air yang tiada putus-putusnya Meski
demikian, baik jubah maupun sekujur
tubuhnya tidak basah! Sementara orang
yang paling kiri adalah seorang
laki-laki berusia agak lanjut. Rambutnya yang putih dibiarkan bergerai.
Tiba-tiba kakek yang berada di
sebelah paling kanan yang terus membuka mulut dan bukan lain adalah Iblis Ompong
angkat tangan kanannya memberi isyarat
agar kedua orang di sampingnya dan tidak lain adalah Dewi Es dan saudara
seperguruannya Dewa Sukma, hentikan
langkah. "Iblis Ompong, Dewi Es, Dewa Sukma!"
seru murid Pendeta Sinting begitu
mengenali siapa adanya ketiga orang yang baru saja melangkah keluar dari pintu
Istana Hantu. Sementara Ratu Malam memandang
dengan pelototkan sepasang matanya yang sipit. Gendeng Panuntun tengadah dengan
matanya yang putih mengerjap dan tangan kanan mengusap cermin bulatnya.
"Wah, ternyata masih ada sumur di
ladang dan kita bisa menumpang mandi.
He.... He.... He.... Ternyata kita masih sama berumur panjang dan bisa berjumpa
lagi!" Mendadak Iblis Ompong berkata
"Hem.... Kalau ingin menumpang
mandi jangan di sumur, lebih baik di
kali. Kukira kalian semua telah terkubur hingga putus harapan untuk bersua
lagi!" Gendeng Panuntun menyahut.
"Biduk melaju deras diterpa
gelombang. Angin bertiup kencang ke arah timur.
Kalau Yang Maha Penyayang
masih...."
"Sudah! Sudah!" tukas Ratu Malam memotong ucapan Iblis Ompong. "Kalian tua-tua
masih juga bicara tak ujung
pangkal!" Nenek berjubah merah menyala ini pasang tampang cemberut. Sepasang
matanya menatap tajam pada Iblis Ompong yang masih menganga lalu buka mulut
lagi. "Lantika! Sekarang ceritakan ke
mana kalian menghilang selama ini!
Kalian sepertinya tak tahu bagaimana aku kalian buat bingung!" ucap Ratu Malam
seraya sebut nama asli Iblis Ompong.
Iblis Ompong tertawa bergelak
dahulu sebelum akhirnya berkata.
"Sekar Mayang. Harap kau tidak
terbawa marah dahulu. Untuk pertanyaanmu ada yang lebih layak menjawab!" kata
Iblis Ompong lalu seraya masih buka
mulut, dia berpaling pada Dewa Sukma.
Yang dilirik angkat bahu lalu berujar.
"Dengarlah. Semenjak kita pulang
dari Pulau Biru, aku menangkap isyarat
akan adanya sesuatu yang bakal terjadi!
Untuk menjaga segala hal yang bakal
menimpa rimba persilatan, secara
diam-diam aku mengajak Iblis Ompong dan Dewi Es untuk menyelidik. Karena pangkal
semua yang bakal terjadi kuduga ada di
Istana Hantu, maka kita bertiga langsung menuju Istana Hantu. Namun apa yang
kami temukan adalah di luar dugaan! Kami
bertiga gagal memasuki Istana Hantu,
malah kami harus menderita luka-luka dan pingsan. Ketika kami sadar, ternyata
kami telah berada di sebuah ruangan. Di sanalah akhirnya kami bertemu dengan
penghuni Istana Hantu. Kukira kau telah tahu, siapa sebenarnya penghuni Istana
Hantu itu!"
"Hem.... Lalu kenapa kalian tidak minta untuk keluar?" tanya Ratu Malam.
"Itu sudah kulakukan. Tapi Eyang
Guru tidak mengizinkan! Dia bilang kami harus menunggu!"
"Tapi seharusnya kalian bisa
beralasan, agar aku tidak
terombang-ambing! Kalian bisa
enak-enakan, sementara aku ke sana
kemari bertanya-tanya!"
"Kau tahu bagaimana sifat Eyang
Guru!" ujar Dewa Sukma sambil arahkan matanya pada murid Pendeta Sinting.
"Sudahlah, Sekar Mayang. Semuanya
sudah berlalu.... Tidak ada gunanya
memperdebatkan yang telah terjadi. Kini semuanya sudah jelas," sahut Gendeng
Panuntun lalu orang bermata putih ini
arahkan wajahnya berpaling pada Pendekar 131.
"Anak muda! Kau tadi telah dengar
apa yang diucapkan Eyang Guru kami. Kini semuanya tergantung padamu. Kami semua
harus pergi..."
"Betul! Kau juga harus ingat-ingat pesanku tadi! Kalau ingin gadis, cari
saja yang lain! Jangan berani menggoda
kedua gadis putri Eyang Guru!" ucap Ratu Malam lalu tanpa berpaling pada murid
Pendeta Sinting nenek ini melangkah ke
arah Iblis Ompong.
"Wah. Nasib anak itu beruntung
sekali. Selain mendapat kitab sakti juga diperebutkan anak-anak gadis!" kata
Iblis Ompong lalu balikkan tubuh.
"Itulah manusia sekarang! Jangankan gadisnya, nenek-neneknya pun tidak lagi
merasa malu berebut seorang kakek!"
Menyahut Gendeng Panuntun lalu seraya
tertawa bergelak orang ini melangkah
mendekati Iblis Ompong.
Ratu Malam hentikan langkah.
Memandang silih berganti pada Iblis
Ompong dan Gendeng Panuntun. Air mukanya berubah. Mulutnya yang selalu mainkan
gumpalan tembakau hitam terhenti
seketika. "Huh! Enak saja kalian bicara! Kelak kalian akan buktikan bahwa bukan
perempuan yang berebut makhluk
laki-laki. Tapi sebaliknya laki-lakilah yang akan setengah mati berebut manusia
perempuan!"
Murid Pendeta Sinting yang sedari
tadi hanya diam tiba-tiba melompat ke
depan. Sambil menjura dia berkata.
"Untuk kesekian kalinya aku
mengucapkan terima kasih atas segala
bantuan kalian semua! Aku akan selalu
mengingat pesan dan ucapan-ucapan
kalian!" Mendengar ucapan murid Pendeta
Sinting, Ratu Malam balikkan tubuh.
Sepasang matanya mendelik.
"Kau tidak cukup hanya mengingat!
Tapi harus kau jalankan!"
Pendekar 131 hanya anggukkan kepala
tanpa berkata apa-apa. Ratu Malam
balikkan tubuh kembali lalu melangkah
mendahului Iblis Ompong yang masih tegak membelakangi. Sesaat kemudian Gendeng
Panuntun juga teruskan langkah. Kejap
kemudian Dewi Es dan Dewa Sukma juga sama putar diri. Lalu melangkah menyusul
Ratu Malam dan Gendeng Panuntun. Yang
terakhir bergerak adalah Iblis Ompong.
Sebenarnya Joko ingin menanyakan
keadaan Dewi Seribu Bunga dan Sitoresmi.
Seperti diketahui, sejak peristiwa di
Pulau Biru, Dewi Seribu Bunga dibawa oleh Dewi Es sementara Sitoresmi diambil
Gendeng Panuntun. Namun karena khawatir Ratu Malam akan marah-marah, akhirnya
Joko urungkan niat meski dengan demikian kerinduannya pada kedua gadis itu makin
bertambah. "Ah.... Suatu hari kelak aku akan
menanyakan perihal dua gadis itu!" gumam Joko seraya pandangi kelima orang
saudara seperguruan itu yang terus
melangkah hingga akhirnya lenyap di
depan sana. "Sekarang aku harus segera
mempelajari kitab ini, bukan tidak
mungkin akan banyak orang yang
menginginkannya."
Berpikir begitu, murid Pendeta
Sinting laksana dikejar setan
gentayangan berkelebat ke arah timur.
Namun pemuda dari Dusun Kampung Anyar dan beberapa tahun sempat digembleng di
dalam Jurang Tlatah Perak oleh dedengkot rimba persilatan Pendeta Sinting ini
berlaku cerdik. Dia tahu bahwa dirinya
kini membawa sebuah benda sakti yang jika sampai jatuh ke tangan orang tidak
bertanggung jawab maka rimba persilatan akan mengalami malapetaka. Dia
berkelebat ke arah timur namun jika ada tikungan jalan dia segera menelikung dan
seakan-akan teruskan larinya mengikuti
arah jalan yang menelikung. Tapi di
tengah jalan dia berbelok lagi dan
berlari lebih cepat menuju lurus jurusan timur.
Ketika hari mulai gelap, dan saat
memasuki sebuah pesisir pantai baru dia memperlambat larinya. Dia lalu melangkah
ke arah beberapa gugusan batu karang.
Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah melewati beberapa gugusan batu
karang, akhirnya dia hentikan langkah
pada satu gugusan batu karang paling
tinggi yang menghadap laut.
"Hem.... Tempat ini sepertinya
belum ada yang mengendus sejak
kutinggalkan beberapa waktu lalu," ujar murid Pendeta Sinting dalam hati. Tapi
sekali lagi dia tidak mau bertindak ayal.
Meski merasa yakin tidak ada orang yang berada di tempat itu, dia sekali lagi
arahkan pandangannya berputar dengan
mata dipentang lebar-lebar.
Setelah benar-benar merasa yakin
tak ada orang lain, Pendekar 131 lesatkan diri ke gugusan batu paling tinggi.
Ternyata di situ ada sebuah batu karang yang membentuk lobang di bagian
depannya. Meski kini telah tegak di depan batu
karang yang membentuk goa dan beberapa
waktu yang lalu digunakan sebagai tempat bersemadi sebagai rangkaian dari apa
yang ada dalam Kitab Serat Biru, tapi
murid Pendeta Sinting tidak segera
masuk. Dia tegak sebentar lalu longokkan kepala ke dalam batu karang yang
membentuk goa. Sejenak kegelapan
menyambut pandangan matanya. Namun
setelah ia mulai agak terbiasa, dia
sedikit banyak bisa menyiasati keadaan
dalam goa. Setelah menghela napas panjang dan
meraba perut dan pinggangnya di mana
tersimpan kitab bersampul kuning dan
Pedang Tumpul 131, dia melangkah
perlahan memasuki goa. Lalu mengitari
bagian dalam goa untuk meyakinkan bahwa dia berada sendirian di tempat itu.
Tak berselang lama, akhirnya murid
Pendeta Sinting duduk dengan bersandar
punggung menghadap pada mulut goa. Saat itulah dia baru menyadari bahwa dia
telah melupakan sesuatu.
"Bagaimana aku harus membuka kitab ini kalau keadaannya gelap begini" Apa
aku harus menunggu sampai pagi datang dan menghabiskan waktu malam ini untuk
istirahat" Tapi aku tak sabar ingin
segera membukanya! Namun dalam keadaan
gelap begini apa mungkin"!"
Setelah tidak menemukan jalan
keluar, akhirnya murid Pendeta Sinting
memutuskan menunggu sampai datangnya
pagi. Namun meski demikian
keingintahuannya pada kitab bersampul
kuning itu tidak dapat ditahan. Akhirnya meski keadaan gelap, dia keluarkan
kitab dari balik pakaiannya. Kedua tangannya
sesaat tampak bergetar. Lalu
perlahan-lahan kitab bersampul kuning
yang tulisan luarnya sudah tidak bisa
dibaca lagi itu didekatkan ke depan
matanya. Saat itulah tiba-tiba murid Pendeta
Sinting rasakan sambaran angin dari arah samping!
Menangkap gelagat tidak beres,
apalagi datangnya sambaran angin dari
arah samping sementara dia tidak
menangkap adanya orang yang memasuki
goa, yang menunjukkan bahwa ada orang
sebelum dia memasuki goa itu, cepat dia selinapkan kitab bersampul kuning ke
balik pakaiannya lalu berpaling ke
samping kanan seraya membentak.
"Siapa"!"
Tak ada suara jawaban. Murid Pendeta
Sinting pentang mata besar-besar. Dia
tidak melihat adanya seseorang, membuat mau tak mau tengkuknya dingin. Saat
itulah kembali dia rasakan desiran
sambaran angin. Kali ini datangnya dari samping kiri.
Laksana kilat, Joko cepat putar
kepala. Namun dia jadi tersentak
sendiri. Matanya yang dijerengkan
lebar-lebar masih tidak menangkap ada
orang! "Jangan berani bergurau! Tunjukkan tampangmu!" Tak sabar murid Pendeta Sinting
kembali membentak dengan kedua
tangan telah siap lepaskan pukulan.
Belum juga ada tanda-tanda adanya
orang atau terdengarnya suara jawaban.
"Aku yakin aku tidak sendirian di
tempat ini! Aku harus menyelidik!" gumam Joko lalu bangkit.
"Tetap di tempatmu, Anak Muda!"
Mendadak terdengar suara. Joko
terkesiap. Bukan saja terkejut namun
juga karena dia tidak dapat menentukan
sumber arah datangnya suara yang baru
saja terdengar.
Joko tidak kehilangan akal. Dengan
tetap duduk dia segera putar tubuhnya.
Namun hingga putaran ketiga, dia tetap
tidak dapat menangkap adanya orang!
Selagi dia kebingungan, tiba-tiba
menyeruak asap putih dari luar lobang
goa. Asap putih itu cepat bergerak lalu berputar-putar di hadapan Joko. Belum
sampai Joko membuat gerakan atau buka mulut, asap putih lenyap. Kini di
hadapannya telah tegak seorang kakek
mengenakar pakaian jubah putih panjang.
"Selamat bertemu kembali, Joko...."
Murid Pendeta Sinting angkat
kepalanya pandangi wajah orang yang
tegak di hadapannya.
"Astaga! Bukankah kakek ini orang
yang kutemui takkala aku mempelajari
Kitab Serat Biru dan bersemadi di sini?"
Mengenali siapa adanya Orang Tua di
hadapannya, murid Pendeta Sinting segera menjura dalam-dalam. (Mengenai Orang
Tua ini silakan baca serial Joko Sableng dalam episode : "Gerbang Istana
Hantu"). "Joko.... Yang Maha Kuasa telah
mempertemukan kita kembali. Aku hanya
perlu menceritakan perihal dua kitab
yang telah kau miliki dan memberitahukan beberapa
hal. Harap dengarkan
baik-baik...," kata Orang Tua seraya hentikan ucapannya sejenak sebelum
akhirnya melanjutkan.
"Sebelum kau berhasil mendapatkan
kitab bersampul kuning itu tentunya kau telah mengalami rangkaian kejadian yang
mungkin belum kau mengerti. Sebenarnya
kedua kitab itu diciptakan oleh seorang sakti pada masa Kerajaan Singasari.
Mungkin karena begitu hebatnya isi kedua kitab itu, pada akhirnya kedua kitab
itu menjadi barang pusaka kerajaan yang
tidak sembarang orang dapat menyentuh
apalagi membuka dan memilikinya.
Namun di atas semua itu, kuasa serta
takdir Yang Mana Tinggi tidak bisa
dihadang oleh siapa pun juga. Seorang
gadis berparas cantik bernama Maharani, yang diambil murid oleh salah seorang
putra mahkota yang dibuang karena
diketahui hasil hubungan gelap sang
Permaisuri dengan seorang abdi kerajaan, berhasil menerobos penjagaan bangunan
tempat penyimpanan barang pusaka
kerajaan setelah berhasil mengelabui
gurunya sendiri yang juga adalah putra
mahkota yang terbuang serta membunuh
beberapa orang bekas kepercayaan
kerajaan yang mengetahui seluk beluk
kedua kitab itu. Tapi ambisi Maharani
akhirnya kandas akibat sumpah pada
gurunya. Dia terjebak dalam ruangan rahasia
dan terjerumus ke dalam lobang bawah
tanah. Tapi sebelum dia terjerumus
masuk, Maharani masih sempat menyambar
kitab bersampul kuning. Selain itu
sebelumnya Maharani telah membekal pula sebuah mahkota bersusun tiga warisan
dari sang Permaisuri yang diberikan pada putra mahkota yang terbuang.
Sementara kitab bersampul biru yang
tidak lain adalah Kitab Serat Biru,
berhasil diselamatkan oleh seorang tokoh kerajaan bernama Gandung Sedayu. Namun
meski berhasil menyelamatkan Kitab Serat Biru, Gandung Sedayu terluka dalam
cukup parah. Untung saat itu muncul seorang
penyelamat. Dia adalah guruku sendiri.
Pada akhirnya nyawa Gandung Sedayu tak
tertolong. Sementara Kitab Serat Biru
pada akhirnya diserahkan padaku oleh
mendiang guruku. Tapi aku hanya mendapat tugas untuk menjaga kitab itu hingga
nanti sampai pada orang yang paling
berhak memilikinya.
Namun usia manusia terbatas.
Sebelum orang yang berhak memiliki kitab itu muncul, aku telah meninggal. Tapi
sebelum itu aku sudah berpesan pada
seorang yang kuangkat sebagai muridku
agar kelak memberikan kitab itu pada
orang yang memiliki ciri-ciri tertentu.
Aku juga berpesan kalau sampai menginjak lanjut usia dan orang yang ditentukan
belum juga muncul, kuharap dia
menyerahkan kitab itu pada orang yang
dipercaya. Pada akhirnya muridku menyerahkan
Kitab Serat Biru pada muridnya yang
terpercaya. Muridnya ini akhirnya
menyerahkan kitab itu pada muridnya
bernama Ki Ageng Mangir Jayalaya. Di lain pihak, melalui sebuah mimpi seorang
anak manusia bernama Panjer Wengi yang saat
itu menjadi seorang tokoh golongan putih yang disegani berhasil mengetahui seluk
beluk kedua kitab itu. Dia juga berhasil mengetahui jalan menuju Pulau Biru di
mana Ki Ageng Mangir Jayalaya berada.
Mungkin karena takut akan rahasia
besar itu tercium orang lain, akhirnya
Panjer Wengi membuat peta dan dibagikan pada kelima muridnya. Dia berpesan pada
kelima muridnya untuk memberikan
lembaran-lembaran peta itu pada anak
manusia yang punya ciri-ciri khusus.
Setelah memberikan pesan dan lembaran
peta pada kelima muridnya, Panjer Wengi sengaja menghilang dari kancah rimba
persilatan. Dia lalu bertempat tinggal
sembunyikan diri di bangunan tua bekas
bangunan tempat penyimpanan benda-benda pusaka kerajaan yang dikenal orang
dengan Istana Hantu. Dia mengetahui
bahwa di dasar bangunan itu masih
tersimpan kitab bersampul kuning serta
mahkota bersusun tiga. Dia lalu dikenal orang dengan julukan Tengkorak Berdarah.
Untuk selanjutnya mungkin kau telah tahu jalan ceritanya...," kata si Orang Tua
mengakhiri ucapannya.
Joko mendengarkan kisah yang
dituturkan orang dengan saksama.
Sementara si Orang Tua menghela napas
sejenak. Lalu buka mulut kembali.
"Joko.... Kedua kitab itu kini telah kau miliki, karena memang kaulah anak
manusia yang ditentukan berjodoh dengan kedua kitab itu. Namun ada satu hal yang
harus kau ketahui. Setiap langkah baik
pasti telah didahului oleh satu langkah jelek. Tidak beda dengan terciptanya
kedua kitab itu. Karena kedua kitab itu diciptakan setelah adanya seorang sakti
berhaluan hitam yang berhasil
menciptakan sebuah kitab maha sakti
tiada tanding. Kitab hitam ini dicip-
takan selangkah lebih awal dari kedua
kitab itu. Namun semenjak terciptanya
kedua kitab itu, kitab hitam seakan
lenyap tiada berita. Tidak seorang pun
yang mengetahui di mana beradanya. Namun yang pasti kitab hitam itu masih ada.
Aku mendapat firasat, bahwa kitab hitam itu akan segera ditemukan orang. Ini
adalah satu hal yang sangat membahayakan bagi
kelangsungan kedamaian umat manusia. Aku tidak tahu pasti, apakah kedua kitab
itu bisa mengalahkan kitab hitam itu atau
tidak." Orang itu sejurus menghela napas panjang. Lalu meneruskan.
"Joko.... Tugasmu yang terutama
adalah menjaga kelangsungan kedamaian
umat manusia. Sementara hal itu tidak
akan terwujud selagi kitab hitam itu
masih ada. Kitab hitam itu adalah ancaman berbahaya. Setelah kau selesai
mempelajari kitab bersampul kuning, kau harus segera mencari kitab hitam itu.
Bukan untuk dipelajari namun untuk
dimusnahkan!"
"Kalau itu demi umat manusia, aku
akan mencari dan memusnahkannya. Tapi
dapatkah memberiku barang sedikit
petunjuk tentang kitab hitam itu?" Joko angkat bicara untuk pertama kalinya.
"Inilah hal yang selama ini tidak
diketahui dan diduga orang. Petunjuk
beradanya kitab hitam itu berada pada
mahkota bersusun tiga warisan sang
Permaisuri yang sempat dibawa Maharani
dan ikut terjerumus ke dalam bawah
tanah!" Murid Pendeta Sinting tersentak.
"Bagaimana ini" Mahkota itu kini telah berada di tangan Dewa Orok.
Jangan-jangan orang itu mengetahui
rahasia yang tersimpan pada mahkota itu lalu mengarang cerita...." Joko
sebenarnya hendak mengungkapkan apa yang di batinnya. Namun sebelum dia buka
mulut, Orang Tua di hadapannya telah
mendahului berkata.
"Kau tentu punya cara bagaimana
mendapatkan mahkota itu dan sekaligus
menyelamatkan rimba persilatan.
Sekarang aku harus pergi...."
Orang Tua di hadapan murid Pendeta
Sinting angkat tangan kanannya lalu
disentakkan perlahan saja ke atas. Dari tangan kanannya melesat satu cahaya
Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terang. Cahaya itu bergerak lurus ke
atas. Anehnya meski si Orang Tua telah
tarik pulang tangan kanannya, cahaya itu tetap bersinar hingga ruangan goa
sedikit terang.
Bersamaan dengan tertariknya tangan
kanan si Orang Tua, perlahan-lahan sosok si Orang Tua laksana dibungkus asap
putih. Kejap lain sosoknya lenyap. Joko hanya dapat melihat meliuknya asap putih
menyeruak keluar dari ruangan goa!
Pendekar 131 baru sadar, lalu
buru-buru menjura hormat. "Terima kasih atas segala petunjukmu...
"Jangan buang-buang waktu. Lekas
kau pelajari apa yang ada pada kitab
itu!" Terdengar suara yang Joko tidak dapat menentukan dari mana sumbernya.
Namun murid Pendeta Sinting merasa hafal betul dengan suara yang baru saja
terdengar. Pendekar 131 segera keluarkan
kembali kitab bersampul kuning dari
balik pakaiannya. Karena di ruangan itu kini ada cahaya, maka Joko kini dapat
melihat dengan jelas.
Dengan dada sedikit berdebar dan
tangan gemetar, Joko cepat letakkan
kitab bersampul kuning pada pangkuannya.
Perlahan-lahan lalu dibukanya sampul
kitab itu. Pada halaman pertama hanya
tertera tulisan agak besar berbunyi.
"Kitab Sundrik Cakra."
Joko lalu membuka halaman kedua. Di
situ tertera tulisan.
Kitab ini hanya diperuntukkan bagi
anak manusia yang telah memperoleh isi pada Kitab Serat Biru.
Murid Pendeta Sinting menghela
napas dalam. Dadanya makin berdebar. Dia lalu membuka halaman ketiga yang
ternyata halaman yang terakhir. Di situ hanya ada gambar tiga jari. Jari
telunjuk, jari tengah, dan jari manis.
Tidak ada tulisan atau petunjuk lain,
membuat Joko kerutkan dahi berpikir.
"Jangan-jangan ini sama dengan apa yang ada pada Kitab Serat Biru. Aku hanya
menempelkan jari-jariku pada gambar
ini...." ujar Joko dalam hati ingat apa yang pernah didapat pada Kitab Serat
Biru. Joko perhatikan gambar tiga jari itu
lekat-lekat. "Hem.... Jari telunjuk berada pada sebelah kiri, berarti ini
tangan kanan!"
Tanpa menunggu lama, Joko segera
angkat tangan kanannya. Jari telunjuk,
jari tengah, dan jari manis segera
dipentangkan menurut gambar yang
tertera. Lalu perlahan-lahan diletakkan di atas gambar.
Bersamaan dengan menempelnya ketiga
jari tangan kanan murid Pendeta Sinting pada gambar, Joko merasakan hawa dingin
menusuk masuk lewat ketiga jari-jarinya.
Kejap lain tubuhnya berguncang keras.
Namun saat lain hawa dingin itu sirna.
Guncangan tubuhnya pun terhenti. Dan
perlahan-lahan dari kitab bersampul
kuning itu mengepul asap. Ketika asap
lenyap, tangan Joko tampak menggantung
di udara. Kitab Sundrik Cakra lenyap
tiada bekas sama sekali!
Murid Pendeta Sinting tidak terlaiu
terkejut dengan kejadian ini karena hal itu pernah terjadi saat dia mempelajari
dan membuka Kitab Serat Biru. Yang
membuatnya sedikit tersendat adalah
bersamaan dengan sirnanya Kitab Sundrik Cakra, sinar cahaya yang menerangi
ruangan goa yang berasal dari sentakan
tangan si Orang Tua ikut redup seketika hingga ruangan goa kembali digenggam
kegelapan. "Aku akan mencoba apa kehebatan isi kitab tadi...."
Murid Pendeta Sinting salurkan
tenaga dalam pada tangan kanannya.
Sejenak dia merasakan hawa dingin pada
ketiga jari tangan kanannya. Ketika
tangan itu disentakkan ke depan, melesat tiga larik cahaya kuning sebesar jari
tangan. Kejap lain terdengar ledakan
dahsyat. Saking tidak menduga, murid
Pendeta Sinting sempat terlonjak
sendiri. Batu karang di sebelah depan hancur
berantakan. Ruangan goa di mana Joko
berada bergetar laksana diguncang gempa hebat. Disusul dengan longsornya dinding
ruangan goa sebelah samping, lalu
merembet ke tengah. Langit-langit
ruangan pun berhamburan. Hingga ruangan goa itu dibuncah beberapa derakan suara
bergemuruh. "Celaka! Aku bisa terkubur di sini kalau tidak segera menyingkir!"
Secepat kilat, Joko bangkit lalu
berkelebat keluar ruangan goa. Pada saat bersamaan terdengar suara letupan
beberapa kali. Ketika Joko menoleh,
gugusan batu karang yang membentuk
ruangan goa itu ambruk!
"Sialan! Terpaksa malam ini aku
harus tidur di tempat terbuka!" gumam Joko lalu melangkah mencari gugusan batu
yang agak rata. Pada sebuah gugusan batu agak rata yang menghadap laut murid
Pendeta Sinting duduk bersila seraya
sandarkan punggung pada gugusan batu
karang di belakangnya. Dia lalu
rangkapkan kedua tangan dengan menarik
napas panjang coba pusatkan pikiran.
Anehnya yang muncul adalah bayangan
wajah cantik Dewi Seribu Bunga. Begitu
dia dapat menepis raut wajah gadis itu, muncul paras Sitoresmi! Murid Pendeta
Sinting coba lenyapkan bayangan paras
Sitoresmi. Namun kini muncul sosok Puspa Ratri.
Pada akhirnya Pendekar 131 Joko
Sableng buka kelopak matanya. Anehnya
kini terlihat jelas bayangan Saraswati
di depan matanya!
Murid Pendeta Sinting hanya bisa
geleng-geleng kepala sambil bergumam
tidak jelas. Anehnya lagi, begitu
bayangan Saraswati sirna yang muncul
kini adalah raut wajah Ratu Malam disusul dengan Iblis Ompong yang tegak dengan
pantat menungging dan mulut terbuka
menganga. "Sialan betul! Daripada melihat
yang tua-tua lebih baik kubayangkan saja gadis-gadis tadi!" ujar Joko lalu
kembali katupkan kelopak matanya. Dia
tersentak, karena bagaimanapun dia coba mengingat wajah-wajah Dewi Seribu Bunga,
Sitoresmi, Puspa Ratri, maupun Saraswati tidak satu pun dari
raut wajah gadis-gadis itu muncul! Justru yang
terbayang adalah Iblis Ompong!
SELESAI Scan/Convert/E-Book: Abu Keisel
Tukang edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Tangan Geledek 16 Naga Pembunuh Lanjutan Golok Maut Karya Batara Rahasia Kunci Wasiat 8
diri! Kalau kau tidak mau itu terserah.
Aku tidak merasa rugi dengan
penolakanmu. Masih banyak gadis yang mau menerimaku. Ha.... Ha... Ha...!" sambi!
terus tertawa Dewa Orok berpaling pada
Saraswati. "Kau bagaimana" Juga menolak kehadiranku di sisimu"!"
Saraswati tidak mengangguk juga
tidak menggeleng. Mulutnya pun tidak
ucapkan kata-kata. Hanya sepasang
matanya tampak memandang tak berkesip
pada Dewa Orok lalu berkata dalam hati.
"Orang aneh...."
Ketika Dewa Orok sedang berbincang
dengan Puspa Ratri dan Saraswati,
diam-diam murid Pendeta Sinting
berpikir. "Pangkal sebab utama semua ini adalah orang berjubah abu-abu itu! Aku
harus segera dapat mengetahui siapa dia sebenarnya. Lebih dari itu kitab
bersampul kuning harus kudapatkan
kembali! Setelah itu urusan gadis-gadis ini mudah diselesaikan!"
Murid Pendeta Sinting lalu berbisik
pada Dewa Orok. "Kau ajak kedua gadis itu terus bercakap-cakap
Aku akan mcnyelesaikan urusan dengan orang
berjubah abu-abu! Setelah itu nanti kita atur urusan kedua gadis itu. Kalau
nantinya mereka mau, kau bisa membawa
keduanya sekaligus! Aku yang nenek-nenek itu tidak apa-apa!"
Belum sampai Dewa Orok menyahuti
ucapan Pendekar 131, Joko telah
berkelebat ke arah Tengkorak Berdarah.
Khawatir kalau Prabarini ikut campur
lagi, seraya melompat, Joko berteriak.
"Nenek cantik! Kau tak usah cemas.
Aku hanya membutuhkan kitab darinya!
Setelah itu kau boleh memilikinya!"
Kedua tangan murid Pendeta Sinting
langsung lepaskan pukulan ke arah kepala dan perut Tengkorak Berdarah. Saat itu
sebenarnya Prabarini tidak akan tinggal diam. Namun setelah berpikir sekali
lagi, apalagi setelah mendengar ucapan
Joko walau ucapannya sedikit membuatnya marah, akhirnya dia memutuskan untuk
berdiam diri. Dia lalu melangkah
mendekati Puspa Ratri.
Sementara mendapat serangan
mendadak, Tengkorak Berdarah yang sedari tadi ikut larut dalam suasana di tempat
itu, segera mundur dua tindak. Tangan
kirinya diangkat lalu dibabatkan ke
samping memangkas tangan Joko yang
menghantam ke arah kepalanya. Pada saat yang sama, kaki kanan di balik jubah
abu-abunya tergerak terangkat melabrak
tangan Joko yang berkelebat ke arah
perutnya. Bukkk! Bukkk! Tubuh Joko terjajar balik dua
langkah. Sedangkan Tengkorak Berdarah
terhuyung-huyung karena saat terjadinya bentrok orang ini hanya bertumpu pada
kaki kirinya. Melihat hal demikian, Joko tak
sia-siakan kesempatan. Murid Pendeta
Sinting ini segera kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya siapkan pukulan
sakti 'Lembur Kuning'. Saat itu juga
kedua tangannya berubah warna. Tempat
itu pun disem-burati cahaya berwarna
kekuningan. Kejap lain Joko sentakkan
kedua tangannya ke depan.
Wuuutt! Wuuutt!
Cahaya kekuningan melesat membawa
serta suara gemuruh dahsyat dan hawa
panas. "Celaka kalau sampai pemuda itu
arahkan pukulannya pada tubuh Lasmini!"
desis Prabarini ketika berpaling dan
melihat apa yang sedang terjadi. Dewa
Orok tersenyum-senyum. Sementara Puspa
Ratri dan Saraswati hanya memandang
dengan mulut terkancing.
"Jahanam!" maki Tengkorak Berdarah seraya cepat kuasai diri lalu sentakkan kedua
tangannya ke depan.
Bummm! Satu ledakan keras mengguncang
tempat itu membuat tanah pijakan semua
orang di tempat itu bergetar dahsyat,
bahkan Saraswati dan Puspa Ratri
terlihat bergoyang-goyang keras hendak
jatuh. Melihat keadaan seperti itu,
Prabarini cepat berpaling pada anaknya
lalu pegang bahunya menahan. Sementara
Dewa Orok cepat melompat ke arah
Saraswati dan tegak menempelkan
punggungnya pada punggung gadis
berpakaian hitam-hitam ini. Anehnya
bersamaan dengan menempelnya punggung
Dewa Orok, goyangan tubuh Saraswati
terhenti seketika.
"Orang cantik! Kau tidak
apa-apa..."!"
Saraswati terkejut. Dia berpaling
ke belakang. "Aku.... Aku tidak
apa-apa!" jawab Saraswati dengan raut merah tersipu-sipu. Lalu tarik tubuhnya
dari punggung Dewa Orok. Namun gadis ini terkesiap. Dia gaga! menarik tubuhnya!
"Kuasai diri dahulu! Jangan keburu marah-marah!" bisik Dewa Orok. Saraswati
maklum akan ucapan orang. Karena saat itu sepasang kakinya memang masih terasa
bergetar meski sosok atasnya diam tak
bergerak. Setelah agak lama, baru Dewa Orok
tarik tubuhnya lalu balikkan tubuh tegak menjajari Saraswati. Sepasang matanya
menatap bundaran karetnya yang mengapung di udara dan tampak berputar-putar
karena bias bentroknya pukulan.
Pada saat itu semua telinga orang
mendengar suara bergedebukan. Semua
kepala bergerak berpaling.
"Joko!" seru Puspa Ratri dan
Saraswati hampir berbarengan melihat
sosok murid Pendeta Sinting jatuh
terduduk dengan tubuh bergetar dan wajah pucat pasi dan dada bergerak keras
turun naik. Kedua gadis ini hendak berkelebat, namun sebelum keduanya bergerak,
Joko telah bangkit berdiri dan memandang ke
arah Tengkorak Berdarah yang saat itu
terkapar dengan jubah terusannya bagian wajah telah berubah warna merah.
"Mudah-mudahan dia kuat bertahan.
Karena aku telah berjanji pada nenek itu untuk tidak mencelakainya! Sayang dia
salah perhitungan! Sebenarnya aku tadi
tidak langsung mengarahkan pukulan
'Lembur Kuning' ke arahnya. Namun dia
salah duga dan menangkis...," gumam murid Pendeta Sinting. Lalu tanpa
keluarkan ucapan lagi, sosoknya
berkelebat ke arah Tengkorak Berdarah
yang sedang terkapar.
Melihat hal ini, Dewa Orok tak
tinggal diam. Bersamaan dengan
melesatnya Pendekar 131, pemuda
bertangan buntung ini berkelebat juga ke arah Tengkorak Berdarah.
"Tahan!" seru Prabarini khawatir akan apa yang hendak dilakukan Pendekar 131 dan
Dewa Orok. Namun seruannya seakan tidak terdengar oleh kedua orang itu.
Keduanya teruskan kelebatan tubuh
masing-masing. Tengkorak Berdarah tampak terkejut.
Kepala di balik jubah abu-abunya
menyentak. Namun kejap lain orang ini
perdengarkan tawa panjang dan berkata.
"Bagus! Kita akan mati
bersama-sama!"
Selesai berucap begitu, Tengkorak
Berdarah angkat kedua tangannya lalu
disentakkan ke arah murid Pendeta
Sinting dan Dewa Orok yang terus
berkelebat ke arahnya. Satu gelombang
angin luar biasa dahsyat menyambar ke
depan. "Awas!" teriak Joko memperingatkan Dewa Orok. Lalu murid Pendeta Sinting ini
jatuhkan diri bergulingan di atas tanah.
Sambaran angin dahsyat lewat di atas
kepalanya. Di lain pihak, Dewa Orok
gerakkan bahunya. Sosoknya laksana
disentak dari bawah. Tubuhnya melenting tiga tombak ke udara. Sambaran angin
yang melesat ganas dari kedua tangan
Tengkorak Berdarah menggebrak tempat
kosong di bawah sosok Dewa Orok. Selamat dari serangan, Dewa Orok membuat
gerakan jungkir balik dua kali. Kejap lain
sosoknya telah tegak dengan kaki di atas kepala di bawah di samping kepala
Tengkorak Berdarah!
Tengkorak Berdarah menggerung
keras. Kedua tangannya serta-merta
lepaskan pukulan ke arah wajah Dewa Orok.
Tapi gerakan keiebat tangannya
terlambat. Satu totokan bersarang di
bawah ketiaknya. Seketika itu juga
sekujur tubuhnya kaku tegang tak bisa
digerakkan. "Bangsat keparat! Siapa berlaku
pengecut"I" teriak Tengkorak Berdarah dengan kedua tangan tetap mengapung di
udara. Terdengar suara tawa dari arah
samping. "Apa hendak dikata. Kau keras kepala mengajak orang jalan-jalan ke
neraka!" "Jahanam! Keparat!" rutuk Tengkorak Berdarah seraya arahkan pandangannya ke
samping, di mana saat itu tampak Pendekar 131 bangkit setelah lakukan totokan.
Murid Pendeta Sinting memandang
sejurus ke arah Tengkorak Berdarah lalu melirik pada Dewa Orok dan berujar.
"Bagaimana enaknya sekarang"!"
"Bagaimana terserah kau saja! Yang penting sekarang kuminta tolong padamu
untuk ambilkan barangku! Tak pantas
rasanya harus meraba-raba dengan kaki!"
"Jangan berani menyentuh tubuhku!"
teriak Tengkorak Berdarah.
Joko tersenyum. Lalu melangkah satu
tindak. "Kita sama laki-!akinya. Jangan khawatir. Untuk apa menyentuh-nyentuh
tubuhmu! Bukankah apa yang kau miliki
tidak jauh beda dengan punya pemuda
terjungkir itu"!" kata Joko lalu
jongkok. Kedua tangannya bergerak ke
arah tubuh Tengkorak Berdarah.
"Hai! Harap ambil yang kau butuhkan saja! Jangan berani bertindak lain!"
Mendadak Prabarini berteriak. Perempuan ini jelas khawatir kalau tangan Joko
meraba bagian atas tubuh Tengkorak
Berdarah. Joko sejenak memandang ke arah
Prabarini. Keningnya berkerut. "Aneh.
Mengapa nenek itu berkata begitu" Orang ini tadi juga seakan terkejut dan
melarangku menyentuh tubuhnya!
Jangan-jangan...." Joko tidak lanjutkan ucapannya karena saat itu Dewa Orok
berujar. "Orang muda! Tunggu apa lagi"
Urusanmu yang satu belum selesai! Jadi
jangan membuang-buang waktu!"
Joko teruskan kedua tangannya ke
pinggang orang berjubah abu-abu terusan.
Lalu melebar ke arah perutnya. Sementara Tengkorak Berdarah terus berteriak.
Saat kedua tangannya merasakan satu
sembulan benda di perut Tengkorak
Berdarah, Joko hentikan rabaannya.
"Hem.... Jubah ini terusan tanpa kancing bagian depan. Kalau langsung kulepas
semuanya, bagaimana kalau dia tidak
mengenakan pakaian dalam"!"
Murid Pendeta Sinting berpikir
sejenak. Sementara Prabarini memandang
tidak berkesip. Pandangan perempuan ini jelas membayangkan rasa gelisah dan
cemas. Maiah mulutnya tampak komat-kamit hendak ucapkan sesuatu. Saat itulah
tiba-tiba kedua tangan Joko yang masih
menempel di perut orang menyentak keras ke atas.
Breetttt! Jubah abu-abu terusan yang
dikenakan Tengkorak Berdarah robek
menganga bagian perut. Lalu tampaklah
sebuah kitab bersampu! kuning dan sebuah mahkota yang juga berwarna kuning.
Dengan hati-hati Joko mengambi! kitab
serta mahkota itu. Sedangkan Tengkorak
Berdarah terus memaki makin keras. Namun percuma saja karena dia hanya bisa
keluarkan suara tanpa bisa gerakkan
tubuh. Untuk beberapa lama murid Pendeta
Sinting memperhatikan kitab bersampul
kuning serta mahkota bersusun tiga di
tangannya. "Hem.... Kurasa masih asli...,"
gumam Joko lalu bangkit dan melangkah ke arah Dewa Orok. Dewa Orok bergerak satu
kali. Kejap lain pemuda bertangan
buntung ini telah tegak dengan kepala di atas kaki di bawah.
"Aku harus memeriksanya dahulu!
Jangan-jangan telah dipalsukan! Tolong
dekatkan padaku!" kata Dewa Orok sambil julurkan kepalanya ke depan ketika Joko
perlihatkan mahkota bersusun tiga.
"Hem.... Untung belum berubah!"
ujar Dewa Orok. "Tolong sekali lagi.
Masukkan mahkota itu ke balik pakaianku!
Tapi awas. Jangan berani meraba-raba!
Bukan apa. Aku geli"
Joko mendengus pelan. "Lagi pula
siapa mau meraba-raba tubuhmu!" kata Joko dengan suara tinggi. Namun dia
turuti permintaan Dewa Orok memasukkan
Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mahkota bersusun tiga ke balik
pakaiannya setelah menyimpan kitab
bersampul kuning ke balik bajunya.
"Urusan telah selesai! Biarkan
orang ini diurus oleh nenek itu! Kita
pergi sekarang!" ujar Joko pada Dewa Orok.
"Kalian berdua akan menyesal kalau tidak membunuhku sekarang!" teriak Tengkorak
Berdarah saking jengkelnya
karena tidak bisa berbuat apa-apa.
"Sebenarnya aku mau saja menuruti
permintaanmu. Tapi sayang aku tadi telah berjanji pada nenek cantik itu!" ujar
Joko Sableng lalu balikkan tubuh.
"Tunggu!" tahan Dewa Orok sambil melompat menjajari Joko dan berbisik.
"Urusanmu belum selesai Orang Muda, Gadis-gadis itu...."
Murid Pendeta Sinting gelengkan
kepala. "Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa jika urusan dengan orang berjubah
abu-abu selesai, kedua gadis itu boleh
kau bawa! Jadi sekarang kau yang punya
urusan dengan mereka! Aku harus pergi!"
Habis berkata begitu, Pendekar 131
berkelebat tinggalkan tempat itu.
Melihat ha! ini, Prabarini segera
berteriak lantang. Namun sebelum
suaranya keluar, satu suara berat telah terdengar mendahului.
"Pendekar Pedang Tumpu! 131! Harap jangan pergi dulu! Kita harus bicara!"
Murid Pendeta Sinting tarik pulang
tubuhnya yang sudah siap berkelebat.
"Aneh.... Telingaku rasanya
mengenali suara orang yang baru saja
bicara!" gumam Joko lalu berpaling pada datangnya suara. Bersamaan dengan itu
Dewa Orok yang masih tegak memikirkan
ucapan Joko ikut-ikutan berpaling.
Demikian pula Prabarini, Puspa Ratri,
dan Saraswati. Tengkorak Berdarah yang
masih terkapar dengan tertotok setelah
susah payah bisa gerakkan kepalanya
menghadap ke arah mana orang sama-sama
berpaling. Meski orang berjubah abu-abu ini adalah orang terakhir yang hadapkan
kepala, namun jelas dialah orang pertama yang terlihat paling terkejut. Malah
dari mulutnya terdengar seruan tertahan.
Sementara di seberang, Puspa Ratri
membelalak. Saraswati surutkan langkah
satu tindak. Dewa Orok kembung kempiskan mulut menyedot-nyedot bundaran karetnya
yang sejenak tadi ditarik masuk setelah sekian lama mengapung di udara. Di
sebelah Dewa Orok, Pendekar 131
pentangkan sepasang matanya dengan mulut bergumam. Yang terlihat tenang adalah
Prabarini. Dewa Orok sejenak gelengkan kepala.
Bundaran karetnya disemburkan keluar.
Lalu mulutnya terbuka.
"Aneh.... Jangan-jangan orang itu
bukan manusia biasa! Tapi hantu jejadian yang bisa merubah tubuhnya jadi banyak!
Kau lihat! Orang yang tegak itu baik
tinggi dan pakaian jubah yang dikenakan sama persis dengan orang yang terkapar
itu! Kembarannya atau bagaimana"!"
"Hem.... Benar
dugaan Gendeng Panuntun. Ada dua Tengkorak Berdarah!
Mungkin yang baru datang itu adalah
Tengkorak Berdarah yang sempat membuatku jatuh masuk ke dalam ruangan dalam
tanah! Tapi.... Aku belum bisa memastikan yang mana sebenarnya penghuni Istana Hantu.
Semuanya sama persis!" kata Joko dalam hati.
Selagi belum ada yang buka mulut
bicara, orang yang menahan kepergian
murid Pendeta Sinting gerakkan tubuh.
Tahu-tahu sosoknya telah tegak tiga
langkah di samping Saraswati!
*** 6 Dia adalah seseorang yang anggota
tubuhnya mulai dari rambut sampai kaki
ditutup dengan jubah besar berwarna
abu-abu. Kalau orang melihat, tidak ada bedanya antara orang yang kini tegak di
samping Saraswati dengan orang yang kini terkapar tegang tak bisa bergerak
karena ditotok oleh murid Pendeta Sinting.
Untuk beberapa saat orang berjubah
abu-abu di samping Saraswati hadapkan
kepalanya ke arah orang yang terkapar.
Lalu beralih pada Saraswati. Saraswati
sendiri tampak bimbang. Dia gerakkan
kepalanya bolak-balik memandang ke arah orang di sampingnya lalu ke arah orang
yang terkapar. "Yang mana ayahku"! Bagaimana bisa begini"!" gumam Saraswati tak habis mengerti.
Selagi Saraswati dilanda
kebimbangan, tiba-tiba orang berjubah
abu-abu di sampingnya berbisik.
"Saraswati.... Bebaskan orang yang tertotok itu!" Saraswati kernyitkan kening.
"Apakah kau...." Ucapan si gadis belum selesai, orang di sampingnya
anggukkan kepala sambil berbisik lagi.
"Anakku.... Lekas lakukan apa yang kukatakan!"
Meski hatinya masih disamaki
berbagai tanya, akhirnya Saraswati
melangkah ke arah orang berjubah abu-abu terusan yang masih terkapar tegang.
"Kau mau apa"! Jangan berani berbuat yang tidak-tidak! Kau kelak akan
menyesal!" teriak Tengkorak Berdarah dengan suara keras meski dirinya tak bisa
gerakkan anggota tubuhnya.
Saraswati hentikan langkah.
Sepasang matanya menatap tajam tak
berkesip. Dadanya bergerak turun naik
pertanda gadis ini merasa jengkel dengan ucapan orang itu.
Merasa dirinya dipandang begitu
rupa oleh Saraswati, Tengkorak Berdarah makin geram. Dia kembali perdengarkan
suara keras. "Kau dengar ucapanku! Jangan berani berlaku bodoh jika tak ingin menyesal
kelak!" "Bukan aku yang bodoh! Tapi kau yang berlaku picik! Terlalu buruk menduga
setiap orang!" teriak Saraswati tak bisa menahan kesal mendengar ucapan orang.
Habis berkata begitu, gadis ini balikkan tubuh lalu melangkah ke tempatnya
semula. Baru melangkah tiga tindak, orang
berjubah abu-abu yang baru datang telah perdengarkan suara.
"Jangan pedulikan ucapannya.
Lakukan saja apa yang kukatakan!"
"Aku tak mau! Orang macam dia tidak pantas ditolong!" jawab Saraswati lalu
teruskan langkah.
"Aku pun tak minta tolong!" sahut Tengkorak Berdarah.
"Wah.... Mungkin dia mau kalau kau yang menolong, Orang Muda! Bukankah dia lebih
menyukai pemuda daripada gadis?"
Orang yang keluarkan suara adalah Dewa
Orok. "Mana bisa begitu" Mungkin dia
menginginkan kau yang melakukannya!
Bukankah caramu pasti lain daripada yang lain"!" sahut Joko sementara
pandangannya terus tak beranjak dari
orang yang tegak di samping Saraswati.
Belum sampai ucapan murid Pendeta
Sinting selesai, mendadak Prabarini
telah berkelebat dan tahu-tahu sudah
tegak di samping sosok Tengkorak
Berdarah yang masih terkapai. Prabarini langsung jongkok dan berbisik peian.
"Lasmini! Harap kau tidak keras
kepala. Ini saat yang baik untuk membuka apa yang kukatakan padamu tempo hari!
Aku akan membebaskanmu dari totokan. Jangan berprasangka jelek. Kalau mau,
bukankah pemuda itu bisa berbuat apa saja
terhadapmu?"
"Aku tidak memintamu membebaskan
diriku dari totokan pemuda gila itu! Aku tak akan...."
Prabarini gelengkan kepala.
"Terserah kau minta atau tidak. Tapi aku punya keharusan untuk
membebaskanmu...."
Tengkorak Berdarah mendengus. "Ini kau lakukan hanya agar aku melupakan
perbuatanmu di masa lalu" Jangan
berharap! Untuk ucapkan terima kasih pun jangan mimpi kau akan mendengarnya dari
mulutku!" "Tidak ada maksud seperti yang kau katakan, Lasmini! Aku pun tak mengharap
ucapan terima kasih darimu! Semua ini
kulakukan agar urusan kita hanya
berhenti sampai pada kita berdua...,"
ujar Prabarini pelan.
"Dari kemarin kau katakan begitu!
Tapi nyatanya kau menipuku dengan
mengundang beberapa orang!"
"Aku tidak mengundang mereka!
Mungkin ini suatu berkah bagi kita karena dengan munculnya orang-orang di tempat
ini, urusan di antara kita jadi tuntas!"
"Urusan kita tidak akan tuntas
sebelum salah satu di antara kita menemui ajal!"
"Ah.... Terserah padamulah. Yang
pasti aku su-ah melupakan kisah masa
lalu...." Habis berkata begitu, Prabarini
gerakkan tangan menekan pada bagian
bawah ketiak Tengkorak Berdarah.
Merasa dirinya bisa gerakkan tubuh,
laksana terbang, Tengkorak Berdarah
serentak bangkit berdiri. Tanpa diduga
sama sekali oleh Prabarini tangan kanan Tengkorak Berdarah berkelebat lepaskan
satu pukulan. Bukkk! Prabarini terpental satu tombak dan
jatuh terjengkang.
"Ibu!" teriak Puspa Ratri
menghambur pada Prabarini. Lalu menolong perompuan itu bangkit berdiri.
Prabarini tersenyum seraya mengusap dadanya yang
baru saja terhantam tangan Tengkorak
Berdarah. "Tidak apa-apa, Anakku...."
"Jahanam tak tahu budi! Kubunuh
kau!" teriak Puspa Ratri seraya
memandang tajam pada Tengkorak Berdarah.
Gadis ini seperti kalap, lalu berkelebat hendak lepaskan tendangan ke arah
Tengkorak Berdarah.
"Puspa.... Sudahlah. Ada urusan
lebih penting yang harus segera
diselesaikan!" ujar Prabarini sambil pegangi lengan anaknya.
"Puspa...." Tiba-tiba orang
berjubah abu-abu yang tegak di samping
Saraswati perdengarkan suara mengikuti
ucapan Prabarini. Kepala di balik jubah abu-abunya menghadap lurus ke arah Puspa
Ratri yang tegak di samping ibunya.
"Prabarini.... Puspa Ratri....
Ah.... Kuharap kalian...." Orang
berjubah abu-abu ini tidak lanjutkan
gumamannya karena saat itu tiba-tiba
Prabarini telah buka mulut. Wajahnya
dihadapkan ke arah orang yang tegak di
samping Saraswati.
"Orang berjubah abu-abu! Harap kau suka buka penyamaranmu!"
Orang di samping Saraswati sejenak
arahkan kepalanya ke arah Tengkorak
Berdarah yang baru saja tegak. Lalu
menghadap pada satu persatu orang di
tempat itu. Saraswati berpaling. Setelah merasa
yakin bahwa orang berjubah abu-abu
terusan di sampingnya adalah ayahnya,
gadis ini berbisik.
"Ayah.... Siapa perempuan itu?"
Orang yang ditanya tidak menjawab.
Sebaliknya orang ini angkat kedua
tangannya ke atas kepala. Kejap lain
kedua tangannya menyibak ke kanan kiri.
Brettt! Brettt!
Jubah terusan abu-abu bagian kepala
orang di samping Saraswati robek
membelah di bagian kepala. Orang ini
teruskan sibakkan tangannya hingga
robekan itu terus menjalar ke bawah.
Semua mata orang di tempat itu sama
mementang memperhatikan. Mereka
mula-mula melihat rambut putih. Lalu
sepasang mata yang sayu ditingkah alis
mata yang juga telah memutih. Kemudian
tampaklah sebuah hidung agak mancung dan kumis lebat putih. Di bawahnya terlihat
satu bibir yang sedang tersenyum. Namun jelas senyum itu penuh misteri.
"Dugaanku tidak salah ..." gumam Prabarini begitu dapat melihat seluruh
wajah orang yang tadi tertutup jubah
abu-abu terusan.
"Ibu! Siapa laki-laki itu"
Sepertinya kau mengenali betul!" kata Puspa Ratri pelan.
"Sebentar lagi kau akan
mengetahuinyal" jawa" Prabarini tanpa menoleh.
"Panjer Wenyi!" Tiba-tiba Tengkorak Berdara alias Lasmini berteriak. Laksana
hendak terbang, orang berjubah abu-abu
yang bagian perutnya robek akibat
sentakan tangan Pendekar 131 ini
berkelebat. Namun langkahnya tertahan
karena bersamaan dengan itu Prabarini
telah melompat dan tegak menghadang.
"Jangan perturutkan hati! Buang
dulu rasa dendam! Saatnya telah tiba bagi kita untuk saling membuka diri!"
"Jahanam! Untuk apa membuka diri!
Semuanya sudah jelas!" seru Tengkorak Berdarah.
"Bagimu memang sudah jelas! Tapi
tidak bagi orang lain!"
"Apa pedulinya orang lain, hah"!
Jahanam itu harus mati di tanganku!
Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Termasuk juga kau dan anakmu"
"Orang lain memang tidak akan
peduli! Tapi di sini ada orang yang harus kau pedulikan! Lebih-lebih orang itu
butuh kejelasan yang selama ini
dicari-cari! Jangan buat dia merana
sepanjang hidupnya!"
"Apa maksud ucapanmu"!"
"Kau masih ingat ucapanku tempo
hari. Bukalah dahulu penutup wajahmu!"
"Kau telah dengar ucapanku tempo
hari. Sekali aku bilang tidak, tidak!"
"Berarti kau memperpanjang duka
rana darah dagingmu!"
Ucapan Prabarini membuat Tengkorak
Berdarah terdiam beberapa lama.
"Saraswati.... Apakah anakku berada di sini?" ujar Tengkorak Berdarah pada
akhirnya dengan suara bergetar. Suara
orang ini hampir-hampir tidak terdengar.
"Sudan bertahun-tahun dia
mencarimu! Apakah kau masih akan
sembunyikan wajah"!" ujar Prabarini dengan anggukkan kepala dan tersenyum.
Namun sepasang mata perempuan ini tampak berkaca-kaca.
Tengkorak Berdarah hadapkan
kepalanya ke arah Saraswati. Dada orang ini berdebar. "Apakah dia...?"
Entah karena apa tiba-tiba kedua
tangan Tengkorak Berdarah bergerak ke
atas. Brettt! Breett!
Seketika jubahterusan bagian wajah
dan kepala Tengkorak Berdarah robek
menganga. Sepasang mata murid Pendeta
Sinting dan Dewa Orok yang sedari tadi
hanya diam mendengarkan, membelalak
besar-besar. Namun bersamaan dengan itu, Dewa Orok berujar.
"Orang muda. Kau tidak beruntung
hari ini! Kalau kau tadi sedikit nakal
mau meraba-raba ke atas perut orang,
pasti kau akan menemukan sesuatu yang
lain!" Joko tidak menyahut. Dia hanya
pandangi orang di seberang depan dengan berkata dalam hati. "Hem.... Makanya dia
tadi marah-marah saat aku hendak meraba tubuhnya! Tak tahunya dia adalah
seorang...." Joko geleng-geleng kepala.
Namun tiba-tiba murid Pendeta Sinting
hentikan gerakan kepalanya yang
menggeleng. Kini kepalanya silih
berganti menghadap ke arah Saraswati dan Tengkorak Berdarah yang baru saja
membuka penutup wajahnya.
"Heran.... Wajah keduanya...."
"Hampir sama!" sahut Dewa Orok menyahuti ucapan murid Pendeta Sinting.
Ucapan Dewa Orok memang benar,
karena begitu Tengkorak Berdarah membuka penutup wajah-nya maka tampaklah satu
wajah seorang perempuan yang hampir
sebaya dengan Prabarini. Sama halnya
saperti Prabarini, meski sudah tidak
muda lagi tapi masih kelihatan cantik.
Lebih dari itu, raut wajah perempuan ini hampir mirip dengan Saraswati!
"Terima kasih kau mau membuka
diri...," kata Prabarini dengan suara bergetar. Perempuan ini segera putar
diri menghadap Saraswati. Namun dia
tidak segera angkat bicara meski
mulutnya telah membuka.
"Ada apa ini" Mengapa semua orang memandangku demikian rupa"!" pikir Saraswati
melihat semua mata tertuju ke arahnya.
Belum sampai Saraswati mendapat
jawaban atas pertanyaan hatinya,
Prabarini berujar.
"Panjer Wengi! Kau harus jelaskan
semua ini!"
Orang di samping Saraswati yang
dipanggii Panjer Wengi menghela napas
panjang. Semua mata kini tertuju pada
laki-laki berusia lanjut namun masih
membayangkan ketampanan ini. Mulut semua orang sama terkancing hingga suasana
jadi hening. "Prabarini...," gumam orang tua yang dipanggii Panjer Wengi. "Sebelumnya kuharap
kau mau memaafkan aku.
Seharusnya aku yang melakukan pekerjaan seperti ini. Tapi karena aku harus
melakukan sesuatu yang lebih penting,
terpaksa aku harus berdiam diri, bahkan untuk beberapa tahun lamanya aku harus
sembunyikan diri di balik bangunan. Prabarini.... Mungkin aku adalah seorang
laki-laki yang pantas menerima caci maki karena aku harus menanyakan padamu
tentang anak kita...."
Sejenak Panjer Wengi hentikan
ucapannya. Matanya kini terarah pada
Puspa Ratri. Gadis yang dipandang tampak sipitkan mata dengan dada berdebar.
"Prabarini.... Adakah anak gadis di sampingmu adalah Puspa Ratri anak kita?"
Prabarini tidak menjawab. Sepasang
mata perempuan ini telah menitikkan air mata. Kepalanya bergerak menoleh pada
Puspa Ratri yang saat itu juga sedang
berpaling ke arahnya
"Ibu...," kata Puspa Ratri seraya melompat mendekat ke arah Prabarini.
Namun begitu tegak di samping ibunya,
Puspa Ratri tidak kuasa buka mulut
lanjutkan ucapan.
"Puspa...," bisik Prabarini dengan suara bergetar. Bahunya berguncang
menahan isak. "Dia adalah orang yang selama ini kau tanyakan, Anakku....
Bagaimanapun tindakannya selama ini,
kuharap kau mau mengerti, Dia adalah
ayahmu...."
Puspa Ratri tegak dengan kaki
bergetar. Sepasang matanya membeliak
menatap ke arah Panjer Wengi. Saat itulah tiba-tiba Panjer Wengi melompat dan
tegak dua tindak di depan Puspa Ratri
dengan kedua tangan mengembang.
"Anakku.... Harap maafkan ayahmu
yang selama ini tidak...." Panjer Wengi hanya bisa berucap sampai di situ.
Setelah itu yang terdengar hanyalah
gumaman tidak jelas karena suaranya
laksana tersumbat di tenggorokan.
Sementara gadis di hadapan Panjer Wengi masih tampak tegak tak bergeming. Puspa
Ratri seolah masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar dan kini ada
di hadapannya. "Anakku.... Memang sudah tidak
pantas diriku kau sebut sebagai...,"
belum sampai Panjer Wengi teruskan
ucapannya, mendadak Puspa Ratri telah
menghambur lalu dirangkulnya tubuh orang yang tegak di hadapannya. Gadis ini
tidak kuasa lagi berkata. Hanya isakannya yang terdengar.
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba
seraya masih merangkul Puspa Ratri,
kepala Panjer Wengi berpaling pada
Saraswati yang sejak tadi tampak bingung tak tahu harus berbuat apa, malah
hampir tidak percaya dengan kejadian di depan
matanya. Panjer Wengi lambaikan tangannya ke
arah Saraswati. Gadis ini sejenak masih terlihat bimbang. Namun akhirnya dia
melangkah juga mendekati Panjer Wengi.
"Anakku...," bisik Panjer Wengi.
"Puspa Ratri adalah saudaramu lain ibu.
Kuharap kau...." Lagi-lagi Panjer Wengi tidak kuasa teruskan ucapannya.
Sementara sepasang mata Saraswati tak
berkesip memandang ke arah Puspa Ratri
yang masih rebahkan wajah di dada Panjer Wengi.
"Puspa Ratri.... Saraswati....
Kalau selama ini di antara kalian ada
ganjalan. kuharap mulai saat ini semua
itu kalian lenyapkan!" kata Prabarini yang ternyata telah tegak di samping
Saraswati. Puspa Ratri angkat kepalanya. Lalu
memandang pada Saraswati. Untuk beberapa saat kedua gadis ini saling
berpandangan. Dada masing-masing gadis
ini dilanda berbagai perasaan.
Tiba-tiba Puspa Ratri lepaskan
pelukannya pada tubuh Panjer Wengi. Lalu melangkah satu tindak ke arah
Saraswati. Pada saat yang sama Saraswati juga
melangkah maju. Kejap lain kedua gadis
ini telah saling berpelukan dengan erat.
"Saraswati.... Maafkan kalau selama ini aku menuduhmu yang bukan-bukan....
Maafkan diriku yang selalu berkata kasar padamu...," ujar Puspa Ratri disela
isakannya. "Tidak.... Akulah yang harus minta maaf. Aku terlalu keras kepala tidak mau
menerima kenyataan!"
"Sudahlah.... Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kalian berdua tidak ada yang
bersalah. Yang tua-tua inilah sebenarnya pangkal dari semua ini hingga di antara
kalian berdua tidak saling mengenal...,"
kata Panjer Wengi. Lalu balikkan tubuh
hendak merangkul Prabarini. Namun
perempuan ini segera menghindar sambil
berkata pelan. "Panjer Wengi jangan kau buat
suasana hati orang tambah panas. Masih
ada yang harus kau jelaskan pada
Saraswati...."
Panjer Wengi arahkan pandangannya
pada Lasmini yang tegak dengan wajah
merah padam dan dada berdebar tak karuan.
Perempuan yang selama ini memaklumkan
diri sebagai Tengkorak Berdarah ini
sudah bisa menebak siapa adanya gadis
berpakaian hitam-hitam yang masih
berpelukan dengan Puspa Ratri. Malah
begitu Saraswati memeluk Puspa Ratri,
perempuan ini laksana hendak menghambur ke depan. Namun melihat Prabarini dan
Panjer Wengi yang bukan lain adalah
suaminya sendiri berada dekat di situ,
Lasmini menahan diri.
"Saraswati...," kata Panjer Wengi pelan. "Kau telah menemukan saudaramu.
Sekarang jangan biarkan dia berdiri
sendirian di sana...."
Saraswati lepaskan pelukannya pada
Puspa Ratri. Lalu memandang ke arah mana Panjer Wengi memandang.
"Perempuan itu.... Perempuan yang
selama ini mengenakan jubah seperti
Ayah. Apakah dia...." Saraswati
berpaling pada Panjer Wengi. Belum
sempat dia utarakan apa yang ada dalam
hatinya, Panjer Wengi telah mendahului
berucap. "Mendekatlah ke sana. Ajaklah dia
kemari...."
"Ayah.... Apakah dia...."
"Saraswati.... Dialah ibumu...,"
sahut Prabarini.
Mulut Saraswati terkancing.
Isakannya seketika terhenti. Sepasang
matanya kembali memandang ke arah
Lasmini lalu beralih pada Panjer Wengi
seolah ingin penjelasan.
"Betul, Saraswati. Dialah
ibumu...," kata Panjer Wengi dengan suara hampir tak terdengar.
Bersamaan selesainya ucapan Panjer
Wengi, laksana hendak terbang, Saraswati berlari ke arah Lasmini. Lasmini tak
dapat menahan debaran dadanya. Seketika tangisnya meledak. Kejap lain dia
melompat menyongsong Saraswati.
"Ibu...." Suara Saraswati
tersendat. Kedua tangannya langsung
memeluk tubuh Lasmini yang telah
menyongsongnya dengan pelukan erat.
Gadis ini kembali terisak. Sementara
Lasmini tak berkata apa-apa saking
larutnya. Perempuan ini hanya memeluk
anaknya erat-erat sambil menciumi wajah dan mengusap-usap rambutnya dengan air
mata berderai. Untuk beberapa saat semua mata orang
tertuju pada ibu dan anak yang saling berpelukan dan bertangisan itu.
"Ibu.... Mulai saat ini kuharap Ibu mau hidup bersama. Jangan kita berpisah
lagi...," bisik Saraswati setelah dapat kuasai din.
"Anakku.... Terlalu berat derita
yang kurasakan. Sudah terlalu lama aku
menahan duka ini.... Ini semua gara-gara ulah seorang perempuan. Kalau tidak,
tak mungin kita berpisah...."
"Ibu.... Lupakanlah semua yang
pernah terjadi...."
"Mengucapkan memang mudah, Anakku.
Tapi tahukah kau, betapa aku harus hidup merana bahkan sampai tidak mengenalimu!
Tidak, Anakku. Orang yang membuat kita
sengsara begini harus mendapat balasan
setimpal!"
"ibu.... Jangan mencabut sesuatu
yang baru kudapat! Bertahun lamanya aku mendambakan kebahagiaan. Apakah Ibu tega
memutuskan begitu saja?"
"Kau jangan salah paham, Anakku.
Justru kebahagiaan itu akan lebih terasa kalau dapat melenyapkan orang yang
selama ini membuat kita berpisah!"
"Semua kejadian berpangkal pada
diriku! Kini kau berhak lakukan apa saja padaku!" Mendadak satu suara menyahuti
ucapan Lasmini.
Saraswati dan Lasmini berpaling.
Sejarak tiga langkah di samping mereka
berdua, Panjer Wengi tegak dengan kepala tengadah.
Saraswati rasakan kedua tangan
Lasmini yang masih memeluknya bergetar
keras. Dadanya bergerak cepat turun
naik. Sepasang matanya mendelik angker
memandangi Panjer Wengi. Kejap lain
Lasmini lepaskan pelukannya pada
Saraswati, lalu sambil menyeringai dia
menghadap Panjer Wengi.
Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Panjer Wengi! Kau memang berhak
menerima imbalan setimpal. Tapi bukan
hanya kau satu-satunya yang harus
menerimanya! Perempuan liar itu juga
pantas merasakannya!" kata Lasmini dengan suara keras sambil arahkan
telunjuknya pada Prabarini. Suara
Lasmini kini terdengar asli. Tidak
seperti selama ini yang selalu sarukan
suaranya mirip seorang laki-laki.
"Lasmini.... Jangan salahkan orang lain. Akulah pangkal semuanya!"
Lasmini mendengus. "Dalam keadaan
begini kau masih juga membelanya!" lalu perempuan ini angkat kedua tangannya.
"Ibu...!" seru Saraswati sambil pegangi kedua tangan Lasmini. "Apakah tidak ada
ampun bagi satu kesalahan?"
"Kesalahannya sudah setinggi
langit! Tidak ada pengampunan selain
nyawanya terputus!"
"Saraswati. Ucapan ibumu benar.
Mungkin hanya itulah satu-satunya
penebusan yang harus kuterima. Dan aku
ikhlas menerimanya. Karena selimut
rahasia kini telah terungkap. Aku telah menemukan anakku dan kau Saraswati telah
tahu siapa ibumu.... Yang kuharap,
setelah kepergianku nanti, kalian bisa
hidup rukun dan melenyapkan segala
ganjalan...."
"Tidak semudah itu semuanya akan
jadi selesai, Panjer Wengi! Aku telah
bulat hati untuk melenyapkan semua orang yang pernah membuatku merana!" kata
Lasmini. Bara dendam pada dada perempuan ini rupanya belum dapat digoyahkan.
Saat itulah tiba-tiba Prabarini
berkelebat dan tahu-tahu telah tegak di hadapan Lasmini. Perempuan ini
sunggingkan senyum lalu berkata.
"Lasmini.... Aku telah berjanji
padamu. Jika semua urusan ini jadi jelas, aku akan pasrah padamu. Sekarang
kurasa semuanya sudah terungkap jelas. Aku
tidak akan mengingkari janjiku. Sekarang lakukanlah apa yang kau mau!"
Ucapan polos Prabarini membuat
Lasmini tergagap dan terdiam untuk
beberapa lama. Sementara itu mendengar
apa yang dikatakan ibunya, Puspa Ratri
segera melompat dan kini tegak di samping ibunya. Diam-diam dalam hati gadis ini
berkata. "Aku tidak akan membiarkan orang itu lakukan apa saja pada Ibu!"
Tiba-tiba Lasmini tertawa panjang.
Lalu berkata. "Prabarini! Sebelumnya aku memang ingin membunuh dengan tanganku
sendiri. Tapi sekarang ku ubah. Aku ingin melihatmu mampus dengan tanganmu
sendiri!" "Ibu!" ujar Saraswati. "Mengapa Ibu tega mengatakan begitu" Apakah...."
"Saraswati. Dengarlah. Perempuan
itulah yang membuat kita berpisah.
Perempuan itu tega memutus kebahagiaan
kita hingga kita harus menanggung duka
sengsara. Kurasa apa yang kuminta masih jauh di bawah penderitaan yang kita
alami akibat perbuatannya!"
"Ibu.... Semua itu sudah berlalu.
Jerih payahnya untuk mempertemukan kita kurasa jauh lebih besar dibanding dengan
apa yang pernah dilakukannya!"
"Saraswati. Kau tidak tahu apa-apa dalam hal ini. Aku yang merasakan! Aku
yang mengalami!"
"Ibu! Baikiah. Anggap memang itu
satu kesalahan yang tidak berampun. Tapi sekali ini aku mewakilinya untuk
meminta maaf padamu! Kalau kau hendak turunkan
tangan maut, jangan lakukan padanya!
Bunuhlah aku.... Atau Ibu ingin aku
lakukan sendiri?"
Habis berkata begitu, sambil
menangis berurai air mata, Saraswati
angkat kedua tangannya ke samping kanan kiri kepalanya. Tanpa diduga semua
orang, tiba-tiba orang berpakaian
hitam-hitam ini hantamkan kedua
tangannya ke arah kepalanya sendiri!
Lasmini terkesiap kaget. Perempuan
ini cepat bergerak menangkap kedua
tangan Saraswati sebelum tangan itu
sempat menghantam kepala. Lasmini lalu
memeluk Saraswati dan kembali kedua
orang ini sama bertangisan.
Setelah agak lama, Lasmini berujar
sambil renggangkan pelukannya.
"Saraswati.... Untuk sementara aku harus pergi dahulu. Jagalah dirimu
baik-baik...."
"Ibu...."
"Saraswati.... Untuk kali ini
jangan kau tanyakan ke mana aku akan
pergi. Percayalah. Tak lama kita akan
berkumpul lagi dan hidup bersama...,"
kata Lasmini sambil membelai rambut
anaknya. Lalu putar diri menghadap ke
arah Prabarini.
"Prabarini! Kau masih beruntung
hari ini. Kalau saja tidak ada anakku,
aku tak akan segan-segan membunuhmu!
Termasuk juga kau Panjer Wengi! Tapi
kalian jangan merasa lega dahulu.
Keputusanku tetap tidak akan berubah!
Kalian berdua masih harus mampus di
tanganku!"
Habis berkata begitu, Lasmini
meludah lalu berkelebat tinggalkan
tempat itu. "Ibu!" teriak Saraswati. Namun Lasmini seakan tak hiraukan panggilan
anaknya. Perempuan ini terus berkelebat dan lenyap di balik jajaran pohon. Semua
orang tidak tahu, jika seraya berkelebat pergi air mata makin banyak mengalir
dari sepasang mata perempuan yang selama ini mengaku sebagai Tengkorak Berdarah
dan sebenarnya adalah istri pertama Panjer
Wengi, laki-laki yang selama ini
menghuni Istana Hantu.
Sesaat setelah Lasmini pergi,
tiba-tiba dua bayangan berkelebat. Kejap lain tampak dua orang telah tegak di
tempat itu! *** 7 Ratu Malam! Gendeng Panuntun!"
Pendekar 131 yang sedari tadi kancingkan mulut melihat apa yang sedang terjadi
di seberang depan, adalah orang yang
pertama kali berteriak begitu mengenali siapa adanya dua orang yang baru muncul.
Murid Pendeta Sinting ini cepat
berkelebat lalu berdiri tegak di hadapan kedua orang yang bukan lain memang Ratu
Malam dan Gendeng Panuntun adanya.
Ratu Malam hadapkan wajahnya ke arah
Joko. Mulutnya yang selalu mainkan
gumpalan tembakau hitam komat-kamit.
Kejap lain nenek berambut putih sebatas tengkuk dan mengenakan jubah warna merah
menyala ini berkata.
"Kelakuanmu tidak berubah, Setan
Jelek! Di mana-mana selalu bikin urusan dengan gadis-gadis! Sampai kapan kau
akan terus begitu, hah"!"
Murid Pendeta Sinting tidak segera
menyahut ucapan Ratu Malam. Dia melirik sebentar ke arah Puspa Ratri dan
Saraswati yang wajahnya tampak berubah.
Lalu cepat membungkuk memberi
penghormatan pada Ratu Malam dan Gendeng Panuntun yang tampak tegak dengan
kepala tengadah dan tangan kanan usap-usap
cermin bulat yang ada di depan perutnya.
Kakek gendut ini berpaling sejurus pada Ratu Malam lalu buka mulut.
"Kau juga tidak berubah! Selalu
marah-marah tak ada juntrung. Sampai
kau tak sadar di mana saat ini berada dan siapa saja orang-orang yang ada di
sekitarmu!"
Mendengar ucapan Gendeng Panuntun,
cepat Ratu Malam putar kepalanya dengan mata mendelik. Ketika sepasang matanya
menumbuk pada sosok Panjer Wengi, nenek ini tampak terkesiap malah kedua pasang
kakinya tersurut satu tindak.
Namun keterkejutan nenek berjubah
merah ini hanya sesaat. Saat lain
tubuhnya dicondongkan ke depan, mulutnya komat-kamit. Sementara kedua tangannya
mengusap-usap sepasang matanya.
"Hampir tak dapat kupercaya! Tapi
rasanya benar-benar dia!" gumamnya lalu berpaling pada Gendeng Panuntun. Kakek
ini tidak hiraukan Ratu Malam yang tampak dilanda kebimbangan. Sebaliknya si
kakek bertubuh besar ini melangkah perlahan ke arah Panjer Wengi. Sejarak enam
langkah dia berhenti. Lalu menjura hormat.
"Eyang Guru.... Terimalah salam
hormatku...."
Mengetahui apa yang dilakukan
Gendeng Panuntun, Ratu Malam cepat
melompat lalu ikut-ikutan menjura pada
Panjer Wengi sambil berkata.
"Eyang Guru.... Mohon dimaafkan.
Aku sama sekali tidak menduga...."
Joko tercenung dengan mata
mendelik. Sementara Puspa Ratri dan
Saraswati saling pandang tidak mengerti.
Hanya Prabarini yang kelihatan
tenang-tenang saja. Sementara Dewa Orok yang berdiri agak jauh tampak mengernyit
lalu menyedot bundaran karet mulutnya
hingga perdengarkan suara duuutt!
Duuuttt! berulang kali.
"Tidak kusangka sama sekali kalau
orang tua yang kuyakin adalah penghuni
Istana Hantu itu adalah guru mereka.
Lebih-lebih tidak kukira jika kedua
gadis itu adalah anak-anaknya! Aku harus mengucapkan terima kasih padanya...,"
kata Joko lalu melangkah. Begitu sejajar dengan Gendeng Panuntun, murid Pendeta
Sinting cepat memberi penghormatan.
"Orang tua. Terima kasih atas semua yang telah kau lakukan padaku.... Dan
harap maafkan kalau selama ini aku punya prasangka buruk dan pernah berbuat
kurang ajar padamu...."
Panjer Wengi menghela napas
panjang. Sepasang matanya yang sudah
sayu pandangi ketiga orang di
hadapannya. "Sekar Mayang dan kau
Rawadan, aku gembira melihat kalian
berdua masih sehat-sehat saja. Lebih
dari itu, aku merasa senang karena kalian berdua selama ini mau membantu pemuda
itu serta menjalankan pesan yang pernah
kukatakan!"
Orang yang disebut dengan Sekar
Mayang dan Rawadan bukan lain adalah Ratu Malam dan Gendeng Panuntun. Sekar
Mayang dan Rawadan adalah nama asli Ratu Malam dan Gendeng Panuntun.
Ratu Malam angkat kepalanya
pandangi Panjer Wengi yang tidak lain
adalah gurunya. "Eyang Guru.... Terus terang, aku tadi masih bimbang. Karena
selama ini kami duga Guru telah
tiada...."
Panjer Wengi tersenyum. "Satu tugas telah mengharuskanku bertindak
demikian, Sekar Mayang."
Habis berkata begitu, kepala Panjer
Wengi menoleh pada Pendekar 131 lalu
berkata. "Anak muda. Kau juga tak perlu
minta maaf. Sekali lagi, tugas yang telah mewajibkan aku bertindak seperti yang
kau alami! Pesanku padamu, jagalah kitab yang sekarang ada di tanganmu
sebagaimana kau menjaga dirimu sendiri!
Dan dengan telah berhasilnya kau miliki kitab itu, maka selesailah tugasku! Kini
segala urusan rimba persilatan ada pada pundakmu!"
Beberapa saat Panjer Wengi diam.
Lalu arahkan pandangannya pada Ratu
Malam dan Gendeng Panuntun, "Sekar Mayang, Rawadan. Aku harus pergi
sekarang...."
Panjer Wengi putar diri menghadap
Puspa Ratri dan Saraswati yang ada di
samping nya. Eyang Guru.... Ada satu hal yang
ingin kutanyakan padamu!" kata Ratu Malam menahan gerakan Panjer Wengi.
"Katakanlah, Sekar Mayang...."
"Sejak peristiwa terbukanya Istana Hantu hingga kini, ketiga muridmu lenyap
tidak ada beritanya. Sementara orang
menduga kalau ketiganya...."
"Sekar Mayang...," potong Panjer Wengi. "Tentang ketiga saudaramu itu panjang
ceritanya. Aku tidak bisa
menerangkan di sini. Lebih baik kau nanti minta cerita pada mereka. Tak lama
lagi kau akan menemuinya...."
Panjer Wengi teruskan putaran
tubuhnya menghadap Puspa Ratri dan
Saraswati. "Anak-anakku.... Kita cari tempat yang baik untuk
berbincang-bincang dari hati ke hati
agar semua ganjalan yang masih ada bisa sirna."
Puspa Ratri dan Saraswati saling
pandang. Dan secara tak sadar kedua gadis ini lantas berpaling pada murid
Pendeta Sinting. Dada keduanya sama berdebar.
Mereka tak tahu harus berkata apa. Karena keduanya ternyata masih saudara satu
ayah lain ibu. Sementara hati keduanya
sudah sama-sama menyukai Pendekar131.
"Bagaimana ini" Mungkinkah aku
harus berebut dengan Puspa Ratri,
saudaraku sendiri" Tapi aku tak dapat
mendustai diri sendiri. Aku menyintai
pemuda itu" kata Saraswati dalam hati. Di lain pihak, diam-diam Puspa Ratri juga
membatin. "Hari ini aku menemukan ayahku. Tapi haruskah semuanya kutebus dengan duka
yang lain" Akankah harus kulepas pemuda itu" Padahal aku.... Ah.... Apakah yang
harus kukatakan pada Saraswati" Apa yang harus kulakukan"!"
Apa yang saat itu melanda pada hati
masing-masing gadis rupanya dapat
ditangkap oleh Prabarini. Perempuan ini mendehem, membuat Puspa Ratri dan
Saraswati paling kan wajah ke arahnya.
"Puspa, Saraswati. Kalian berdua
Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membutuhkan waktu agak panjang untuk
memutuskan apa yang harus kalian
lakukan. Kalian butuh saling terbuka.
Yang kuharap nanti, jangan kalian ambil keputusan dengan dilandasi perasaan
cemburu". Paras wajah Puspa Ratri dan
Saraswati sama bersemu merah. Prabarini melangkah mendekati Puspa Ratri. Lalu
berkata pelan. "Apa yang dikatakan ayahmu benar.
Kau ikutlah dia agar bisa berbincang
lebih tenang...."
"Ibu.... Kita harus bersama-sama!"
ujar Puspa Ratri.
Prabarini gelengkan kepala sambil
tersenyum. "Kau telah bertemu dan tahu siapa ayahmu. Kau perlu waktu untuk
bersama dengannya agar kau tahu banyak
siapa ayahmu sebenarnya. Untuk sementara ini aku tidak dapat menyertaimu. Kau
pasti sudah tahu apa sebabnya. Kuharap
kau mau mengerti...."
Habis berkata begitu, Prabarini
mencium wajah anaknya. "Jaga dirimu baik-baik. Ambillah keputusan tanpa
adanya penyesalan di kemudian hari."
Perempuan ini lantas memandang pada
Saraswati lalu mendekat. Lengan gadis
ini dipegangnya.
"Saraswati.... Kau harus dapat
menerima kenyataan ini. Lebih dari itu
kau harus bisa memahami apa yang
dilakukan ibumu! Dan tak lupa aku juga
minta maaf padamu atas kejadian semua
ini...." Tanpa menunggu sahutan dari
Saraswati. Prabarini berpaling pada
Panjer Wengi. Dia sepertinya hendak buka mulut bicara. Namun dia tampak
ragu-ragu. Hingga untuk sesaat perempuan ini hanya memandang ke dalam bola mata
sayu milik suaminya itu. Lalu tanpa
berkata apa-apa lagi dia berkelebat
tinggalkan tempat itu.
Puspa Ratri hendak mengejar, namun
Panjer Wengi cepat berucap. "Anakku....
Percayalah apa yang dikatakan ibumu. Tak lama lagi kita pasti akan bertemu lagi.
Sekarang kita harus pergi...."
Panjer Wengi melangkah lalu
berhenti di antara Puspa Ratri dan
Saraswati. Kedua tangannya memegang satu persatu lengan Puspa Ratri dan
Saraswati. Lantas menariknya perlahan untuk
mengajak keduanya pergi dari tempat itu.
Puspa Ratri dan Saraswati sejurus
sama arahkan pandangannya pada murid
Pendeta Sinting. Saat lain keduanya
saling berpandangan. Wajah keduanya sama berubah merah. Tanpa buka mulut lagi,
keduanya ialu melangkah mengikuti Panjer Wengi.
"Setan Jelek!" kata Ratu Malam begitu sosok Panjer Wengi, Puspa Ratri
dan Saraswati pergi. "Kau jangan berani macam-macam pada gadis-gadis itu!"
"Kau jangan terlalu menduga yang
tidak-tidak, Nenek" Yang menyahut adalah Gendeng Panuntun.
"Diam kau! Aku bicara dengan Setan Jelek ini! Kau harus tahu, kalau sampai
terjadi apa-apa nantinya pada
gadis-gadis itu, tak urung kita juga
hanya akan mendapat getahnya! Padahal
Setan Jelek ini yang makan nangkanya!"
"Ratu Malam...," ujar Joko seraya tersenyum. "Kau tak perlu khawatir, aku tahu
siapa diriku dan siapa gadis-gadis itu!"
"Hem.... Bagus kalau kau sadar
begitu! Tapi jika kelak kau keluar dari apa yang kau ucapkan, aku tak segan
memuntir kepalamu meski aku tahu kau kini telah mendapatkan kitab sakti!" kata
Ratu Malam lalu berpaling pada tempat di mana tadi Dewa Orok berada.
"Hem.... Ke mana minggatnya temanmu tadi"!"
Pendekar 131 memandang ke tempat
Dewa Orok berada. Ternyata pemuda
bertangan buntung itu memang tak ada lagi di tempatnya semula.
Selagi Ratu Malam dan Pendekar 131
mencari-cari tiba-tiba terdengar satu
debuman keras. Serentak Ratu Malam dan
murid Pendeta Sinting berpaling ke arah datangnya suara debuman.
"Pintu Istana Hantu...," gumam Joko seraya mendelik memandang jauh ke depan ke
arah Istana Hantu. Dari tempatnya
berdiri, baik Ratu Malam maupun Joko
melihat pintu Istana Hantu telah
menutup. Tapi kali ini bukan tertutupnya
gerbang pintu Istana Hantu yang membuat kedua orang ini terus pentangkan mata
masing-masing. Melainkan dari depan
gerbang pintu yang baru keluarkan
debuman menutup, tampak tiga sosok tubuh melangkah ke tempat mereka berada!
*** 8 Orang paling kanan adalah seorang
kakek berambut putih disanggul ke atas.
Seraya melangkah kakek ini dongakkan
sedikit kepalanya dengan mulut terbuka
menganga! Di sebelahnya terlihat seorang perempuan berambut panjang bergerai. la
mengenakan jubah putih panjang. Ada
keanehan pada perempuan ini. Wajahnya
terlihat samar-samar karena dari atas
kepalanya tampak curahan rintik-rintik
air yang tiada putus-putusnya Meski
demikian, baik jubah maupun sekujur
tubuhnya tidak basah! Sementara orang
yang paling kiri adalah seorang
laki-laki berusia agak lanjut. Rambutnya yang putih dibiarkan bergerai.
Tiba-tiba kakek yang berada di
sebelah paling kanan yang terus membuka mulut dan bukan lain adalah Iblis Ompong
angkat tangan kanannya memberi isyarat
agar kedua orang di sampingnya dan tidak lain adalah Dewi Es dan saudara
seperguruannya Dewa Sukma, hentikan
langkah. "Iblis Ompong, Dewi Es, Dewa Sukma!"
seru murid Pendeta Sinting begitu
mengenali siapa adanya ketiga orang yang baru saja melangkah keluar dari pintu
Istana Hantu. Sementara Ratu Malam memandang
dengan pelototkan sepasang matanya yang sipit. Gendeng Panuntun tengadah dengan
matanya yang putih mengerjap dan tangan kanan mengusap cermin bulatnya.
"Wah, ternyata masih ada sumur di
ladang dan kita bisa menumpang mandi.
He.... He.... He.... Ternyata kita masih sama berumur panjang dan bisa berjumpa
lagi!" Mendadak Iblis Ompong berkata
"Hem.... Kalau ingin menumpang
mandi jangan di sumur, lebih baik di
kali. Kukira kalian semua telah terkubur hingga putus harapan untuk bersua
lagi!" Gendeng Panuntun menyahut.
"Biduk melaju deras diterpa
gelombang. Angin bertiup kencang ke arah timur.
Kalau Yang Maha Penyayang
masih...."
"Sudah! Sudah!" tukas Ratu Malam memotong ucapan Iblis Ompong. "Kalian tua-tua
masih juga bicara tak ujung
pangkal!" Nenek berjubah merah menyala ini pasang tampang cemberut. Sepasang
matanya menatap tajam pada Iblis Ompong yang masih menganga lalu buka mulut
lagi. "Lantika! Sekarang ceritakan ke
mana kalian menghilang selama ini!
Kalian sepertinya tak tahu bagaimana aku kalian buat bingung!" ucap Ratu Malam
seraya sebut nama asli Iblis Ompong.
Iblis Ompong tertawa bergelak
dahulu sebelum akhirnya berkata.
"Sekar Mayang. Harap kau tidak
terbawa marah dahulu. Untuk pertanyaanmu ada yang lebih layak menjawab!" kata
Iblis Ompong lalu seraya masih buka
mulut, dia berpaling pada Dewa Sukma.
Yang dilirik angkat bahu lalu berujar.
"Dengarlah. Semenjak kita pulang
dari Pulau Biru, aku menangkap isyarat
akan adanya sesuatu yang bakal terjadi!
Untuk menjaga segala hal yang bakal
menimpa rimba persilatan, secara
diam-diam aku mengajak Iblis Ompong dan Dewi Es untuk menyelidik. Karena pangkal
semua yang bakal terjadi kuduga ada di
Istana Hantu, maka kita bertiga langsung menuju Istana Hantu. Namun apa yang
kami temukan adalah di luar dugaan! Kami
bertiga gagal memasuki Istana Hantu,
malah kami harus menderita luka-luka dan pingsan. Ketika kami sadar, ternyata
kami telah berada di sebuah ruangan. Di sanalah akhirnya kami bertemu dengan
penghuni Istana Hantu. Kukira kau telah tahu, siapa sebenarnya penghuni Istana
Hantu itu!"
"Hem.... Lalu kenapa kalian tidak minta untuk keluar?" tanya Ratu Malam.
"Itu sudah kulakukan. Tapi Eyang
Guru tidak mengizinkan! Dia bilang kami harus menunggu!"
"Tapi seharusnya kalian bisa
beralasan, agar aku tidak
terombang-ambing! Kalian bisa
enak-enakan, sementara aku ke sana
kemari bertanya-tanya!"
"Kau tahu bagaimana sifat Eyang
Guru!" ujar Dewa Sukma sambil arahkan matanya pada murid Pendeta Sinting.
"Sudahlah, Sekar Mayang. Semuanya
sudah berlalu.... Tidak ada gunanya
memperdebatkan yang telah terjadi. Kini semuanya sudah jelas," sahut Gendeng
Panuntun lalu orang bermata putih ini
arahkan wajahnya berpaling pada Pendekar 131.
"Anak muda! Kau tadi telah dengar
apa yang diucapkan Eyang Guru kami. Kini semuanya tergantung padamu. Kami semua
harus pergi..."
"Betul! Kau juga harus ingat-ingat pesanku tadi! Kalau ingin gadis, cari
saja yang lain! Jangan berani menggoda
kedua gadis putri Eyang Guru!" ucap Ratu Malam lalu tanpa berpaling pada murid
Pendeta Sinting nenek ini melangkah ke
arah Iblis Ompong.
"Wah. Nasib anak itu beruntung
sekali. Selain mendapat kitab sakti juga diperebutkan anak-anak gadis!" kata
Iblis Ompong lalu balikkan tubuh.
"Itulah manusia sekarang! Jangankan gadisnya, nenek-neneknya pun tidak lagi
merasa malu berebut seorang kakek!"
Menyahut Gendeng Panuntun lalu seraya
tertawa bergelak orang ini melangkah
mendekati Iblis Ompong.
Ratu Malam hentikan langkah.
Memandang silih berganti pada Iblis
Ompong dan Gendeng Panuntun. Air mukanya berubah. Mulutnya yang selalu mainkan
gumpalan tembakau hitam terhenti
seketika. "Huh! Enak saja kalian bicara! Kelak kalian akan buktikan bahwa bukan
perempuan yang berebut makhluk
laki-laki. Tapi sebaliknya laki-lakilah yang akan setengah mati berebut manusia
perempuan!"
Murid Pendeta Sinting yang sedari
tadi hanya diam tiba-tiba melompat ke
depan. Sambil menjura dia berkata.
"Untuk kesekian kalinya aku
mengucapkan terima kasih atas segala
bantuan kalian semua! Aku akan selalu
mengingat pesan dan ucapan-ucapan
kalian!" Mendengar ucapan murid Pendeta
Sinting, Ratu Malam balikkan tubuh.
Sepasang matanya mendelik.
"Kau tidak cukup hanya mengingat!
Tapi harus kau jalankan!"
Pendekar 131 hanya anggukkan kepala
tanpa berkata apa-apa. Ratu Malam
balikkan tubuh kembali lalu melangkah
mendahului Iblis Ompong yang masih tegak membelakangi. Sesaat kemudian Gendeng
Panuntun juga teruskan langkah. Kejap
kemudian Dewi Es dan Dewa Sukma juga sama putar diri. Lalu melangkah menyusul
Ratu Malam dan Gendeng Panuntun. Yang
terakhir bergerak adalah Iblis Ompong.
Sebenarnya Joko ingin menanyakan
keadaan Dewi Seribu Bunga dan Sitoresmi.
Seperti diketahui, sejak peristiwa di
Pulau Biru, Dewi Seribu Bunga dibawa oleh Dewi Es sementara Sitoresmi diambil
Gendeng Panuntun. Namun karena khawatir Ratu Malam akan marah-marah, akhirnya
Joko urungkan niat meski dengan demikian kerinduannya pada kedua gadis itu makin
bertambah. "Ah.... Suatu hari kelak aku akan
menanyakan perihal dua gadis itu!" gumam Joko seraya pandangi kelima orang
saudara seperguruan itu yang terus
melangkah hingga akhirnya lenyap di
depan sana. "Sekarang aku harus segera
mempelajari kitab ini, bukan tidak
mungkin akan banyak orang yang
menginginkannya."
Berpikir begitu, murid Pendeta
Sinting laksana dikejar setan
gentayangan berkelebat ke arah timur.
Namun pemuda dari Dusun Kampung Anyar dan beberapa tahun sempat digembleng di
dalam Jurang Tlatah Perak oleh dedengkot rimba persilatan Pendeta Sinting ini
berlaku cerdik. Dia tahu bahwa dirinya
kini membawa sebuah benda sakti yang jika sampai jatuh ke tangan orang tidak
bertanggung jawab maka rimba persilatan akan mengalami malapetaka. Dia
berkelebat ke arah timur namun jika ada tikungan jalan dia segera menelikung dan
seakan-akan teruskan larinya mengikuti
arah jalan yang menelikung. Tapi di
tengah jalan dia berbelok lagi dan
berlari lebih cepat menuju lurus jurusan timur.
Ketika hari mulai gelap, dan saat
memasuki sebuah pesisir pantai baru dia memperlambat larinya. Dia lalu melangkah
ke arah beberapa gugusan batu karang.
Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah melewati beberapa gugusan batu
karang, akhirnya dia hentikan langkah
pada satu gugusan batu karang paling
tinggi yang menghadap laut.
"Hem.... Tempat ini sepertinya
belum ada yang mengendus sejak
kutinggalkan beberapa waktu lalu," ujar murid Pendeta Sinting dalam hati. Tapi
sekali lagi dia tidak mau bertindak ayal.
Meski merasa yakin tidak ada orang yang berada di tempat itu, dia sekali lagi
arahkan pandangannya berputar dengan
mata dipentang lebar-lebar.
Setelah benar-benar merasa yakin
tak ada orang lain, Pendekar 131 lesatkan diri ke gugusan batu paling tinggi.
Ternyata di situ ada sebuah batu karang yang membentuk lobang di bagian
depannya. Meski kini telah tegak di depan batu
karang yang membentuk goa dan beberapa
waktu yang lalu digunakan sebagai tempat bersemadi sebagai rangkaian dari apa
yang ada dalam Kitab Serat Biru, tapi
murid Pendeta Sinting tidak segera
masuk. Dia tegak sebentar lalu longokkan kepala ke dalam batu karang yang
membentuk goa. Sejenak kegelapan
menyambut pandangan matanya. Namun
setelah ia mulai agak terbiasa, dia
sedikit banyak bisa menyiasati keadaan
dalam goa. Setelah menghela napas panjang dan
meraba perut dan pinggangnya di mana
tersimpan kitab bersampul kuning dan
Pedang Tumpul 131, dia melangkah
perlahan memasuki goa. Lalu mengitari
bagian dalam goa untuk meyakinkan bahwa dia berada sendirian di tempat itu.
Tak berselang lama, akhirnya murid
Pendeta Sinting duduk dengan bersandar
punggung menghadap pada mulut goa. Saat itulah dia baru menyadari bahwa dia
telah melupakan sesuatu.
"Bagaimana aku harus membuka kitab ini kalau keadaannya gelap begini" Apa
aku harus menunggu sampai pagi datang dan menghabiskan waktu malam ini untuk
istirahat" Tapi aku tak sabar ingin
segera membukanya! Namun dalam keadaan
gelap begini apa mungkin"!"
Setelah tidak menemukan jalan
keluar, akhirnya murid Pendeta Sinting
memutuskan menunggu sampai datangnya
pagi. Namun meski demikian
keingintahuannya pada kitab bersampul
kuning itu tidak dapat ditahan. Akhirnya meski keadaan gelap, dia keluarkan
kitab dari balik pakaiannya. Kedua tangannya
sesaat tampak bergetar. Lalu
perlahan-lahan kitab bersampul kuning
yang tulisan luarnya sudah tidak bisa
dibaca lagi itu didekatkan ke depan
matanya. Saat itulah tiba-tiba murid Pendeta
Sinting rasakan sambaran angin dari arah samping!
Menangkap gelagat tidak beres,
apalagi datangnya sambaran angin dari
arah samping sementara dia tidak
menangkap adanya orang yang memasuki
goa, yang menunjukkan bahwa ada orang
sebelum dia memasuki goa itu, cepat dia selinapkan kitab bersampul kuning ke
balik pakaiannya lalu berpaling ke
samping kanan seraya membentak.
"Siapa"!"
Tak ada suara jawaban. Murid Pendeta
Sinting pentang mata besar-besar. Dia
tidak melihat adanya seseorang, membuat mau tak mau tengkuknya dingin. Saat
itulah kembali dia rasakan desiran
sambaran angin. Kali ini datangnya dari samping kiri.
Laksana kilat, Joko cepat putar
kepala. Namun dia jadi tersentak
sendiri. Matanya yang dijerengkan
lebar-lebar masih tidak menangkap ada
orang! "Jangan berani bergurau! Tunjukkan tampangmu!" Tak sabar murid Pendeta Sinting
kembali membentak dengan kedua
tangan telah siap lepaskan pukulan.
Belum juga ada tanda-tanda adanya
orang atau terdengarnya suara jawaban.
"Aku yakin aku tidak sendirian di
tempat ini! Aku harus menyelidik!" gumam Joko lalu bangkit.
"Tetap di tempatmu, Anak Muda!"
Mendadak terdengar suara. Joko
terkesiap. Bukan saja terkejut namun
juga karena dia tidak dapat menentukan
sumber arah datangnya suara yang baru
saja terdengar.
Joko tidak kehilangan akal. Dengan
tetap duduk dia segera putar tubuhnya.
Namun hingga putaran ketiga, dia tetap
tidak dapat menangkap adanya orang!
Selagi dia kebingungan, tiba-tiba
menyeruak asap putih dari luar lobang
goa. Asap putih itu cepat bergerak lalu berputar-putar di hadapan Joko. Belum
sampai Joko membuat gerakan atau buka mulut, asap putih lenyap. Kini di
hadapannya telah tegak seorang kakek
mengenakar pakaian jubah putih panjang.
"Selamat bertemu kembali, Joko...."
Murid Pendeta Sinting angkat
kepalanya pandangi wajah orang yang
tegak di hadapannya.
"Astaga! Bukankah kakek ini orang
yang kutemui takkala aku mempelajari
Kitab Serat Biru dan bersemadi di sini?"
Mengenali siapa adanya Orang Tua di
hadapannya, murid Pendeta Sinting segera menjura dalam-dalam. (Mengenai Orang
Tua ini silakan baca serial Joko Sableng dalam episode : "Gerbang Istana
Hantu"). "Joko.... Yang Maha Kuasa telah
mempertemukan kita kembali. Aku hanya
perlu menceritakan perihal dua kitab
yang telah kau miliki dan memberitahukan beberapa
hal. Harap dengarkan
baik-baik...," kata Orang Tua seraya hentikan ucapannya sejenak sebelum
akhirnya melanjutkan.
"Sebelum kau berhasil mendapatkan
kitab bersampul kuning itu tentunya kau telah mengalami rangkaian kejadian yang
mungkin belum kau mengerti. Sebenarnya
kedua kitab itu diciptakan oleh seorang sakti pada masa Kerajaan Singasari.
Mungkin karena begitu hebatnya isi kedua kitab itu, pada akhirnya kedua kitab
itu menjadi barang pusaka kerajaan yang
tidak sembarang orang dapat menyentuh
apalagi membuka dan memilikinya.
Namun di atas semua itu, kuasa serta
takdir Yang Mana Tinggi tidak bisa
dihadang oleh siapa pun juga. Seorang
gadis berparas cantik bernama Maharani, yang diambil murid oleh salah seorang
putra mahkota yang dibuang karena
diketahui hasil hubungan gelap sang
Permaisuri dengan seorang abdi kerajaan, berhasil menerobos penjagaan bangunan
tempat penyimpanan barang pusaka
kerajaan setelah berhasil mengelabui
gurunya sendiri yang juga adalah putra
mahkota yang terbuang serta membunuh
beberapa orang bekas kepercayaan
kerajaan yang mengetahui seluk beluk
kedua kitab itu. Tapi ambisi Maharani
akhirnya kandas akibat sumpah pada
gurunya. Dia terjebak dalam ruangan rahasia
dan terjerumus ke dalam lobang bawah
tanah. Tapi sebelum dia terjerumus
masuk, Maharani masih sempat menyambar
kitab bersampul kuning. Selain itu
sebelumnya Maharani telah membekal pula sebuah mahkota bersusun tiga warisan
dari sang Permaisuri yang diberikan pada putra mahkota yang terbuang.
Sementara kitab bersampul biru yang
tidak lain adalah Kitab Serat Biru,
berhasil diselamatkan oleh seorang tokoh kerajaan bernama Gandung Sedayu. Namun
meski berhasil menyelamatkan Kitab Serat Biru, Gandung Sedayu terluka dalam
cukup parah. Untung saat itu muncul seorang
penyelamat. Dia adalah guruku sendiri.
Pada akhirnya nyawa Gandung Sedayu tak
tertolong. Sementara Kitab Serat Biru
pada akhirnya diserahkan padaku oleh
mendiang guruku. Tapi aku hanya mendapat tugas untuk menjaga kitab itu hingga
nanti sampai pada orang yang paling
berhak memilikinya.
Namun usia manusia terbatas.
Sebelum orang yang berhak memiliki kitab itu muncul, aku telah meninggal. Tapi
sebelum itu aku sudah berpesan pada
seorang yang kuangkat sebagai muridku
agar kelak memberikan kitab itu pada
orang yang memiliki ciri-ciri tertentu.
Aku juga berpesan kalau sampai menginjak lanjut usia dan orang yang ditentukan
belum juga muncul, kuharap dia
menyerahkan kitab itu pada orang yang
dipercaya. Pada akhirnya muridku menyerahkan
Kitab Serat Biru pada muridnya yang
terpercaya. Muridnya ini akhirnya
menyerahkan kitab itu pada muridnya
bernama Ki Ageng Mangir Jayalaya. Di lain pihak, melalui sebuah mimpi seorang
anak manusia bernama Panjer Wengi yang saat
itu menjadi seorang tokoh golongan putih yang disegani berhasil mengetahui seluk
beluk kedua kitab itu. Dia juga berhasil mengetahui jalan menuju Pulau Biru di
mana Ki Ageng Mangir Jayalaya berada.
Mungkin karena takut akan rahasia
besar itu tercium orang lain, akhirnya
Panjer Wengi membuat peta dan dibagikan pada kelima muridnya. Dia berpesan pada
kelima muridnya untuk memberikan
lembaran-lembaran peta itu pada anak
manusia yang punya ciri-ciri khusus.
Setelah memberikan pesan dan lembaran
peta pada kelima muridnya, Panjer Wengi sengaja menghilang dari kancah rimba
persilatan. Dia lalu bertempat tinggal
sembunyikan diri di bangunan tua bekas
bangunan tempat penyimpanan benda-benda pusaka kerajaan yang dikenal orang
dengan Istana Hantu. Dia mengetahui
bahwa di dasar bangunan itu masih
tersimpan kitab bersampul kuning serta
mahkota bersusun tiga. Dia lalu dikenal orang dengan julukan Tengkorak Berdarah.
Untuk selanjutnya mungkin kau telah tahu jalan ceritanya...," kata si Orang Tua
mengakhiri ucapannya.
Joko mendengarkan kisah yang
dituturkan orang dengan saksama.
Sementara si Orang Tua menghela napas
sejenak. Lalu buka mulut kembali.
"Joko.... Kedua kitab itu kini telah kau miliki, karena memang kaulah anak
manusia yang ditentukan berjodoh dengan kedua kitab itu. Namun ada satu hal yang
harus kau ketahui. Setiap langkah baik
pasti telah didahului oleh satu langkah jelek. Tidak beda dengan terciptanya
kedua kitab itu. Karena kedua kitab itu diciptakan setelah adanya seorang sakti
berhaluan hitam yang berhasil
menciptakan sebuah kitab maha sakti
tiada tanding. Kitab hitam ini dicip-
takan selangkah lebih awal dari kedua
kitab itu. Namun semenjak terciptanya
kedua kitab itu, kitab hitam seakan
lenyap tiada berita. Tidak seorang pun
yang mengetahui di mana beradanya. Namun yang pasti kitab hitam itu masih ada.
Aku mendapat firasat, bahwa kitab hitam itu akan segera ditemukan orang. Ini
adalah satu hal yang sangat membahayakan bagi
kelangsungan kedamaian umat manusia. Aku tidak tahu pasti, apakah kedua kitab
itu bisa mengalahkan kitab hitam itu atau
tidak." Orang itu sejurus menghela napas panjang. Lalu meneruskan.
"Joko.... Tugasmu yang terutama
adalah menjaga kelangsungan kedamaian
umat manusia. Sementara hal itu tidak
akan terwujud selagi kitab hitam itu
masih ada. Kitab hitam itu adalah ancaman berbahaya. Setelah kau selesai
mempelajari kitab bersampul kuning, kau harus segera mencari kitab hitam itu.
Bukan untuk dipelajari namun untuk
dimusnahkan!"
"Kalau itu demi umat manusia, aku
akan mencari dan memusnahkannya. Tapi
dapatkah memberiku barang sedikit
petunjuk tentang kitab hitam itu?" Joko angkat bicara untuk pertama kalinya.
"Inilah hal yang selama ini tidak
diketahui dan diduga orang. Petunjuk
beradanya kitab hitam itu berada pada
mahkota bersusun tiga warisan sang
Permaisuri yang sempat dibawa Maharani
dan ikut terjerumus ke dalam bawah
tanah!" Murid Pendeta Sinting tersentak.
"Bagaimana ini" Mahkota itu kini telah berada di tangan Dewa Orok.
Jangan-jangan orang itu mengetahui
rahasia yang tersimpan pada mahkota itu lalu mengarang cerita...." Joko
sebenarnya hendak mengungkapkan apa yang di batinnya. Namun sebelum dia buka
mulut, Orang Tua di hadapannya telah
mendahului berkata.
"Kau tentu punya cara bagaimana
mendapatkan mahkota itu dan sekaligus
menyelamatkan rimba persilatan.
Sekarang aku harus pergi...."
Orang Tua di hadapan murid Pendeta
Sinting angkat tangan kanannya lalu
disentakkan perlahan saja ke atas. Dari tangan kanannya melesat satu cahaya
Joko Sableng 11 Misteri Tengkorak Berdarah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terang. Cahaya itu bergerak lurus ke
atas. Anehnya meski si Orang Tua telah
tarik pulang tangan kanannya, cahaya itu tetap bersinar hingga ruangan goa
sedikit terang.
Bersamaan dengan tertariknya tangan
kanan si Orang Tua, perlahan-lahan sosok si Orang Tua laksana dibungkus asap
putih. Kejap lain sosoknya lenyap. Joko hanya dapat melihat meliuknya asap putih
menyeruak keluar dari ruangan goa!
Pendekar 131 baru sadar, lalu
buru-buru menjura hormat. "Terima kasih atas segala petunjukmu...
"Jangan buang-buang waktu. Lekas
kau pelajari apa yang ada pada kitab
itu!" Terdengar suara yang Joko tidak dapat menentukan dari mana sumbernya.
Namun murid Pendeta Sinting merasa hafal betul dengan suara yang baru saja
terdengar. Pendekar 131 segera keluarkan
kembali kitab bersampul kuning dari
balik pakaiannya. Karena di ruangan itu kini ada cahaya, maka Joko kini dapat
melihat dengan jelas.
Dengan dada sedikit berdebar dan
tangan gemetar, Joko cepat letakkan
kitab bersampul kuning pada pangkuannya.
Perlahan-lahan lalu dibukanya sampul
kitab itu. Pada halaman pertama hanya
tertera tulisan agak besar berbunyi.
"Kitab Sundrik Cakra."
Joko lalu membuka halaman kedua. Di
situ tertera tulisan.
Kitab ini hanya diperuntukkan bagi
anak manusia yang telah memperoleh isi pada Kitab Serat Biru.
Murid Pendeta Sinting menghela
napas dalam. Dadanya makin berdebar. Dia lalu membuka halaman ketiga yang
ternyata halaman yang terakhir. Di situ hanya ada gambar tiga jari. Jari
telunjuk, jari tengah, dan jari manis.
Tidak ada tulisan atau petunjuk lain,
membuat Joko kerutkan dahi berpikir.
"Jangan-jangan ini sama dengan apa yang ada pada Kitab Serat Biru. Aku hanya
menempelkan jari-jariku pada gambar
ini...." ujar Joko dalam hati ingat apa yang pernah didapat pada Kitab Serat
Biru. Joko perhatikan gambar tiga jari itu
lekat-lekat. "Hem.... Jari telunjuk berada pada sebelah kiri, berarti ini
tangan kanan!"
Tanpa menunggu lama, Joko segera
angkat tangan kanannya. Jari telunjuk,
jari tengah, dan jari manis segera
dipentangkan menurut gambar yang
tertera. Lalu perlahan-lahan diletakkan di atas gambar.
Bersamaan dengan menempelnya ketiga
jari tangan kanan murid Pendeta Sinting pada gambar, Joko merasakan hawa dingin
menusuk masuk lewat ketiga jari-jarinya.
Kejap lain tubuhnya berguncang keras.
Namun saat lain hawa dingin itu sirna.
Guncangan tubuhnya pun terhenti. Dan
perlahan-lahan dari kitab bersampul
kuning itu mengepul asap. Ketika asap
lenyap, tangan Joko tampak menggantung
di udara. Kitab Sundrik Cakra lenyap
tiada bekas sama sekali!
Murid Pendeta Sinting tidak terlaiu
terkejut dengan kejadian ini karena hal itu pernah terjadi saat dia mempelajari
dan membuka Kitab Serat Biru. Yang
membuatnya sedikit tersendat adalah
bersamaan dengan sirnanya Kitab Sundrik Cakra, sinar cahaya yang menerangi
ruangan goa yang berasal dari sentakan
tangan si Orang Tua ikut redup seketika hingga ruangan goa kembali digenggam
kegelapan. "Aku akan mencoba apa kehebatan isi kitab tadi...."
Murid Pendeta Sinting salurkan
tenaga dalam pada tangan kanannya.
Sejenak dia merasakan hawa dingin pada
ketiga jari tangan kanannya. Ketika
tangan itu disentakkan ke depan, melesat tiga larik cahaya kuning sebesar jari
tangan. Kejap lain terdengar ledakan
dahsyat. Saking tidak menduga, murid
Pendeta Sinting sempat terlonjak
sendiri. Batu karang di sebelah depan hancur
berantakan. Ruangan goa di mana Joko
berada bergetar laksana diguncang gempa hebat. Disusul dengan longsornya dinding
ruangan goa sebelah samping, lalu
merembet ke tengah. Langit-langit
ruangan pun berhamburan. Hingga ruangan goa itu dibuncah beberapa derakan suara
bergemuruh. "Celaka! Aku bisa terkubur di sini kalau tidak segera menyingkir!"
Secepat kilat, Joko bangkit lalu
berkelebat keluar ruangan goa. Pada saat bersamaan terdengar suara letupan
beberapa kali. Ketika Joko menoleh,
gugusan batu karang yang membentuk
ruangan goa itu ambruk!
"Sialan! Terpaksa malam ini aku
harus tidur di tempat terbuka!" gumam Joko lalu melangkah mencari gugusan batu
yang agak rata. Pada sebuah gugusan batu agak rata yang menghadap laut murid
Pendeta Sinting duduk bersila seraya
sandarkan punggung pada gugusan batu
karang di belakangnya. Dia lalu
rangkapkan kedua tangan dengan menarik
napas panjang coba pusatkan pikiran.
Anehnya yang muncul adalah bayangan
wajah cantik Dewi Seribu Bunga. Begitu
dia dapat menepis raut wajah gadis itu, muncul paras Sitoresmi! Murid Pendeta
Sinting coba lenyapkan bayangan paras
Sitoresmi. Namun kini muncul sosok Puspa Ratri.
Pada akhirnya Pendekar 131 Joko
Sableng buka kelopak matanya. Anehnya
kini terlihat jelas bayangan Saraswati
di depan matanya!
Murid Pendeta Sinting hanya bisa
geleng-geleng kepala sambil bergumam
tidak jelas. Anehnya lagi, begitu
bayangan Saraswati sirna yang muncul
kini adalah raut wajah Ratu Malam disusul dengan Iblis Ompong yang tegak dengan
pantat menungging dan mulut terbuka
menganga. "Sialan betul! Daripada melihat
yang tua-tua lebih baik kubayangkan saja gadis-gadis tadi!" ujar Joko lalu
kembali katupkan kelopak matanya. Dia
tersentak, karena bagaimanapun dia coba mengingat wajah-wajah Dewi Seribu Bunga,
Sitoresmi, Puspa Ratri, maupun Saraswati tidak satu pun dari
raut wajah gadis-gadis itu muncul! Justru yang
terbayang adalah Iblis Ompong!
SELESAI Scan/Convert/E-Book: Abu Keisel
Tukang edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Tangan Geledek 16 Naga Pembunuh Lanjutan Golok Maut Karya Batara Rahasia Kunci Wasiat 8