Pencarian

Misteri Topeng Merah 2

Jodoh Rajawali 02 Misteri Topeng Merah Bagian 2


kedua jarinya, menotok bagian sekitar bawah ketiak. Seketika itu
tubuh Mahligai terkulai lemas dengan napas te-
rengah-engah. Suaranya pun menjadi pelan keti-
ka mengerang maupun merintih. Totokan itu ru-
panya telah kendor seluruh uratnya, termasuk
urat leher yang biasa digunakan untuk berteriak
itu. "Mungkin dia perlu dipasung!" gumam Sendang Suci seperti bicara pada diri
sendiri. "Kasihan kalau dia sampai dipasung," ujar Yoga. "Apakah Bibi tidak bisa
sembuhkan dia dalam waktu singkat?"
Sendang Suci gelengkan kepala. "Aku butuh
beberapa waktu untuk melenyapkan Racun Edan
itu! Ada beberapa bahan yang belum kumiliki da-
lam persediaan obatku! Satu bahan amat sulit di-
perolehnya."
"Bahan apa itu, Bibi" Kalau sekiranya saya
bisa membantu, saya akan bantu mencarinya!"
"Bunga teratai Hitam!"
Yoga berkerut dahi dan bertanya, "Apakah
ada bunga teratai warnanya hitam, Bi?"
"Ada. Bunga itu dapat menawarkan berbagai
macam jenis racun tapi juga bisa berubah menja-
di racun ganas apabila salah penempatannya! Ji-
ka tubuh seseorang terkena racun tertentu, dan
diberi minum air rebusan bunga Teratai Hitam,
bisa-bisa racun tersebut semakin ganas dan me-
matikan orang tersebut. Tetapi jenis Racun Edan, jika terkena racun Teratai
Hitam, akan menjadi
tawar dan menyembuhkan si penderita."
Yoga mengangguk-anggukkan kepala "Lalu,
di mana dapat diperoleh bunga Teratai Hitam itu, Bi"!" "Di Telaga Bangkai!"
'Telaga Bangkai"! Di mana letak Telaga
Bangkai itu, Bi?"
"Di dalam Gua Mulut Iblis! Gua itu ada di lereng Gunung Tambak Petir. Gua itu
biasanya di- gunakan untuk bertapa seseorang. Entah seka-
rang masih digunakan atau sudah tidak lagi!"
Pendekar Rajawali Merah termenung seben-
tar membayangkan tempat tersebut yang belum
pernah diketahuinya. Melihat keadaan Mahligai
yang saat itu terkulai lemas dan meraung-raung
kecil itu, hati Yoga tidak tega sama sekali. la terbayang saat pertemuannya
dengan Mahligai, teru-
tama ketika hadir di pemakaman mendiang Guru
Yoga, yaitu si Dewa Geledek. Yoga juga terbayang saat menggendong-gendong
Mahligai yang ternyata hanya suatu permainan Mahligai saja. Yoga in-
gat ketika Mahligai terdesak dan nyaris mati di
tangan si Mata Neraka itu. Semua bayangan masa
lalu yang belum lama telah membuat hati Pende-
kar Rajawali Merah menjadi terharu. (Baca serial Jodoh Rajawali episode; "Wasiat
Dewa Geledek").
"Aku yang akan berangkat ke sana, Bi!" kata Yoga tiba-tiba setelah merasa
semakin tak tega
melihat keadaan Mahligai.
"Kau ingin mencari bunga Teratai Hitam"!"
"Benar, Bi!" jawab Yoga dengan tegas.
"Tapi berilah arah jalannya yang jelas, su-
paya aku tidak tersesat di tempat lain!"
"Memang kau harus hati-hati jika ingin ke
sana, karena jika salah arah kau bisa tersesat di Gua Bidadari"
Kaget juga Yoga mendengar nama gua aneh
itu. "Gua Bidadari itu gua untuk bertapa juga, Bi?" "Bukan! Gua Bidadari adalah
tempat tinggal Ketua Partai Gadis Pujaan, yang dipimpin oleh
Bidadari Manja. Gua itu cukup lebar dan diguna-
kan untuk berkumpul, hidup bersama-sama oleh
kelompok anggota partai Gadis Pujaan. Mereka
rata-rata berilmu tinggi. Mereka para perempuan liar yang haus kemesraan lelaki
dan tak pernah ada puasnya. Jika lelaki yang tertangkap oleh mereka sudah tidak mampu lagi
memberikan kepua-
san, maka lelaki itu akan dibunuh, dibuang ke
jurang. Sebab itu, hati-hatilah jika menuju ke
arah Gunung Tambak Petir."
Yoga mengangguk-anggukkan kepala, lalu
menyimak keterangan Sendang Suci yang mem-
berikan petunjuk tentang arah yang harus ditem-
puh Yoga dalam menuju ke Gua Mulut Iblis itu.
Selesai memberikan penjelasan tersebut, Sendang
Suci yang sering mencuri pandang pada Yoga itu
segera bertanya,
"Boleh aku tahu apa alasanmu sehingga ka-
mu mau mencarikan bunga Teratai Hitam untuk
Mahligai?"
Pendekar Rajawali Merah tersenyum sepin-
tas dan segera menjawab,
"Mahligai sahabatku. Sejak aku turun dari
gunung, tempatku ditempa oleh Empu Dirgantara
atau di Dewa Geledek itu, Mahligailah orang per-
tama yang kukenal dan menjadi sahabatku, Bi!
Karenanya aku merasa kasihan kepada Mahligai
jika Mahligai gila seperti itu!"
Tabib Perawan menghembuskan napas pan-
jang-panjang. Seolah-olah ia merasakan ada kele-
gaan di hatinya begitu mendengar penjelasan dari Pendekar Rajawali Merah. Ia
segera berkata dengan mata menerawang ke arah wajah keponakan-
nya yang malang itu.
"Racun Edan memang salah satu jenis racun
yang sulit dilawan! Dari sekian banyak orang Per-
guruan Belalang Liar, hanya Merak Betina yang
mempunyai pukulan beracun seperti itu, karena
dia anak seorang tabib sakti yang sekarang sudah tiada. Tapi jelas perbuatan ini
sama saja ia men-jamah kepalaku. Padahal aku amat kenal dengan
ketua Perguruan Belalang Liar, yaitu si Kembang
Mayat. Bahkan sebelum Kembang Mayat menjadi
ketua perguruan, ketika neneknya yang bernama
Nyai Sangkal Pati Itu masih menjabat sebagai ke-
tua dan guru di antara mereka, aku punya hu-
bungan baik dengan Nyai Sangkal Pati. Dan
agaknya, perguruan itu sekarang benar-benar
menjadi liar setelah kedudukan ketua dipegang
oleh Kembang Mayat yang masih muda itu!"
Sekali lagi Tabib Perawan menarik napas,
sepertinya menahan sesuatu yang ingin meledak
di dadanya. Kemudian ia mengantar Yoga yang
ingin meninggalkan tempatnya. Tetapi ketika me-
reka sampai luar, ternyata langkah Yoga di ujung senja itu telah berpapasan
dengan langkah kaki
orang berpakaian serba hitam yang kepalanya se-
lalu mendongak ke atas, bagaikan memandang
langit. Orang itu tak lain adalah Jalak Hutan, yang
pernah terkena tendangan jurus 'Rajawali Paruh
Pendek' dari Yoga. Tendangan itulah yang mem-
buat urat leher dan tulangnya terkunci, sehingga Jalak Hutan tak bisa gerakkan
kepalanya untuk
menunduk atau miring ke kanan-kiri
Sendang Suci menarik napas lagi. Kali ini
ada kesan sebal di hatinya, sebab ia tahu Jalak
Hutan adalah laki-laki yang tak pernah ada je-
ranya ditolak cintanya ditampik lamarannya. Dari dulu Jalak Hutan selalu
berusaha menundukkan
hati Sendang Suci. Tapi hati Sendang Suci seke-
ras batu karang segigih baja.
"Manusia Busuk!" umpat Jalak Hutan kepa-da Yoga begitu ia tahu Yoga keluar dari
rumah Sendang Suci. Tentu saja umpatan itu membuat
Sendang Suci heran dan menjadi bertanya kepada
Yoga, "Apakah kau mengenalnya?"
"Dia yang ingin merebut pedangku ketika
aku menggendong Mahligai dan melarikan diri da-
ri kejaran Mata Neraka! Dia yang memfitnah tem-
po hari." "Ooo...!" gumam Sendang Suci pelan dan manggut-manggut, ia baru ingat tentang
fitnah yang dilontarkan oleh Jalak Hutan beberapa wak-
tu yang lalu. "Lihat, Manusia busuk! Gara-gara ulahmu
kepalaku jadi begini terus! Hujan kehujanan, pa-
nas kepanasan! Dasar kunyuk!" geram Jalak Hutan kepada si Pendekar Rajawali
Merah. Ia kebin-
gungan mencari posisi untuk memandang Yoga.
Hatinya diliputi oleh kemarahan yang tak terben-
dung lari rasanya.
"Itu karena ulahmu sendiri, Jalak Hutan!
Kau ingin merebut pedang pusakaku, sehingga
akibatnya menderita seperti itu! Karenanya ku ingatkan padamu, jangan jadi orang
serakah dan bernafsu untuk merebut barang yang bukan mi-
liknya!" "Tutup bacotmu! Hiaaah...!"
Wuuutt...! Jalak Hutan masih sempat le-
paskan pukulan jarak jauhnya berupa pancaran
sinar kuning yang melesat bagaikan sebutir telur burung itu. Pancaran sinar
kuning dihindari oleh Yoga dengan melompat dan bersalto satu kali di
udara. Sasaran berikutnya menjadi Sendang Suci
yang akan terkena sinar kuning itu. Tetapi den-
gan cepat Sendang Sue! lepaskan pukulan pe-
nangkis berupa sinar hijau seperti kue serabi! Sinar itu menghantam sinar kuning
dan menimbul- kan ledakan yang lumayan besarnya. Duaaar...!
Jalak Hutan terpental akibat hentakan daya
ledak itu. Sebenarnya tak perlu membuatnya ja-
tuh, namun karena keadaan kepalanya mendon-
gak, akhirnya ia jatuh juga kehilangan keseim-
bangan. "Kau jangan ikut membela pemuda kunyuk
itu, Sendang Suci"!" geram Jalak Hutan masih tetap tengadahkan kepala.
"Aku hanya menghindari pukulanmu, Jalak
Hutan! Kalau kau mau bertarung dengan Pende-
kar Rajawali Merah itu, bertarunglah di tempat
yang lega sana! Jangan membuatku sebagai tem-
pat salah sasaran! Dan kujamin kau akan mati
sekarat jika bertarung melawannya!"
"Setan!" gerutu Jalak Hutan sambil mengen-cangkan genggaman tangannya. "Aku ke
sini sebenarnya untuk meminta bantuanmu mencoba
menyembuhkan kepalaku ini! Tapi kau justru
membuatku marah, Sendang Suci Kau dan dia
sama-sama keluar dari rumah! Apa yang kalian
berdua lakukan di dalam sana, hah"! Apakah
pemuda itu sudah berhasil membuatmu tidak su-
ci lagi"!"
"Jaga mulutmu, Jalak Hutan!" bentak Sendang Suci, wajahnya menjadi merah karena
kata- kata Jalak Hutan. "Pikiran kotormu itulah yang membuat kau sekarang menderita
begitu! Dan la-gi, sudah kucoba beberapa kali aku sudah tidak
bisa menyembuhkan kepalamu itu, dan kukata-
kan aku tak mampu lagi melakukan! Tapi menga-
pa kau masih nekad datang dengan alasan yang
itu-itu saja! Aku lama-lama muak padamu, Jalak
Hutan!" "Tentu saja, sebab sekarang kau rupanya
sudah mempunyai mainan baru! Pemuda kunyuk
itulah sekarang yang membuatmu betah menge-
ram di dalam rumah dan...,"
Wuuutt...! buuhg...!
Gusraaak...! Kata-kata itu terpotong karena
Sendang Suci segera lepaskan pukulan jarak jauh
tanpa sinar. Tubuh Jalak Hutan terpental dan ja-
tuh membentur pagar. la mengerang di sana den-
gan wajah menyeringai sambil tetap tengadah.
"Pergi kau dari sini!" bentak Sendang Suci yang merasa malu dan rendah mendengar
tuduhan Jalak Hutan. "Sekali lagi kau bicara seperti itu, tak akan kubiarkan kau
hidup lebih dari se-hari!" "Sendang Suci..., tega sekali kau merusak
persahabatan kita yang sudah sekian lama kita
bina!" "Kau yang merusaknya!" bentak Sendang
Suci. Sementara itu, Yoga hanya diam saja dan
merasa pertengkaran itu menjadi pertengkaran
antara pribadi. la tak berani turut campur. Tapi ia menjaga Sendang Suci jika
sewaktu-waktu diserang oleh Jalak Hutan dalam keadaan lengah.
"Tinggalkan tempatku ini, Jalak Hutan! Jan-
gan paksa aku kehilangan kesabaran!"
"Baik! Baik! Aku akan pergi, tapi ingat... kelak kalau kepalaku sudah tidak
begini, kubalas
kekalahanku hari ini, Sendang Suci!"
"Aku siap menerimanya!" jawab Sendang Su-ci dengan ketus.
Terutama kepada dial'* Jalak Hutan menud-
ing Yoga. "Aku tak akan mati lebih dulu sebelum bisa membunuhnya!"
"Lakukanlah kalau kau mampu!" Ini pun ka-ta-kata Sendang Suci yang merasa yakin
bahwa Jalak Hutan mempunyai ilmu tidak ada sekuku
hitamnya dibanding ilmu yang dimiliki Pendekar
Rajawali Merah.
Setelah berkata demikian, Jalak Hutan me-
ninggalkan halaman rumah Tabib Perawan itu. Ia
berlari cepat dan membentur pohon dua kali ka-
rena posisi kepalanya yang tengadah masih berla-
gak mampu berlari cepat di depan Yoga dan Sen-
dang Suci. Akibatnya justru ia mendapat malu
karena menabrak pohon dua kali.
"Agaknya dia cemburu padaku, Bibi!"
"Lupakan tentang dia," kata Sendang Suci masih tampak cemberut kesal kepada
Jalak Hutan. "Dia memang sering bersikap memuakkan di depanku! Tapi baru kali
ini aku melepaskan ke-jengkelanku kepadanya. Kupikir sikapnya sudah
keterlaluan, sehingga aku pun terpaksa sekasar
tadi!" "Agaknya Bibi dan dia ada hubungan pribadi yang dalam!"
"Dia yang punya perasaan begitu! Dia yang
dari dulu ingin melamarku, tapi aku tak pernah
bisa ditundukkan olehnya. Hatiku sudah telanjur


Jodoh Rajawali 02 Misteri Topeng Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

patah dan beku untuk selamanya?"
"Untuk selamanya" Sampai sekarang ini,
Bi?" Perempuan itu menatap Yoga dengan gelisah dan berdebar-debar. Kemudian
segera menundukkan kepala sambil berkata,
"Entahlah kalau untuk saat sekarang ini!
Aku masih bimbang!"
Yoga perdengarkan tawanya yang pendek
dan pelan, seperti orang menggumam. Sendang
Suci menjadi malu. la salah tingkah sendiri dan
akhirnya cepat melangkah pergi untuk masuk ke
dalam rumah. Namun pada saat itu terdengar su-
ara lain memanggilnya,
"Bibi Sendang Suci...!"
Sendang Suci cepat berpaling memandang
orang yang baru datang itu. Ternyata seorang
pemuda yang lumayan ganteng, tapi mempunyai
sorot mata tak seteduh Yoga. Pemuda itu tak lain
adalah Tamtama, orang yang mencintai Mahligai
dan belum lama cekcok gara-gara Mahligai ber-
sama Pendekar Rajawali Merah.
Melihat ada Yoga di situ, Tamtama meman-
dang sebentar dengan sinis, kemudian ia segera
menemui Sendang Suci.
"Bibi, bolehkan saya menemui Mahligai"!"
"Mahligai...?" Sendang Suci melirik sekejap pada Yoga, setelah matanya beradu
pandang, ia kembali berkata kepada Tamtama,
"Mahligai tidak ada! Sudah dua hari dia tidak pulang ke rumah!"
"Sudah empat hari, Bi! Bukan dua hari. Ka-
rena sudah empat kali saya datang kemari, na-
mun tidak pernah jumpa dia."
"Dua hari yang lalu dia pulang sebentar lalu pergi lagi."
"Apakah kepergiannya bersama Orang Hutan
itu, Bi?" sambil Tamtama menuding Yoga, karena sikapnya masih bermusuhan
terhadap Yoga. Rasa
cemburu Tamtama cukup besar, sehingga tidak
bisa melupakan Yoga, sebagai orang yang bela-
kangan ini sering dipuji-puji Mahligai.
"Jangan bicara kasar begitu, Tamtama.'"
ucap Sendang Suci dengan sikap kalem.
"Ah, tak apa, Bi! Orang seperti dia sudah
layak mendapat perlakuan kasar! Kalau perlu di-
lenyapkan dari muka bumi!"
Yoga tersenyum sambil menyahut, "Kenapa
tidak kau lakukan" Bukankah aku sudah berada
dalam jarak dekat denganmu, Tamtama"!"
Tamtama tidak berpaling ke arah Yoga, na-
mun matanya memandang lurus dengan menyi-
pit. Giginya menggeletuk menahan amarah. Dan
tiba-tiba tangannya melepaskan senjata rahasia
berbentuk bintang dalam satu kelebatan memu-
tar. Wuuust..! Zlaaap...! Teeb...!
Tangan Yoga berkelebat ke depan seperti ge-
rakan kilat. Tangan itu berhenti tepat di depan
lehernya dengan telapak tangan membalik meng-
hadap lehernya sendiri, tapi di punggung telapak tangan terlihat senjata
berbentuk bintang itu ter-jepit di kedua jarinya. Pendekar Rajawali Merah
tersenyum ramah. Sendang Suci terbengong tertahan, sedangkan mata Tamtama
terkesiap, ke- mudian la mendengus dengan nada kesal.
"Boleh senjata ini kulempar balik kepada-
mu?" tanya Yoga. Diam-diam Tamtama cemas,
maka segera ia mengalihkan kata,
"Kalau kau merasa hebat dan jago, jangan
melawanku, tapi lawanlah orang andalanku!"
"Dari dulu aku sudah mengingatkan, jangan
melawanku! Mengapa baru sekarang kau sadar
akan hal itu, Tamtama?"
"Akan ku adu kau dengan Tanduk Iblis, sa-
habatku!" "Akan kutunggu kedatanganmu dengan tan-
duk ayam sekalipun!"
Tamtama berpaling sebentar kepada Sen-
dang Suci, "Bibi, saya pamit dulu! Permisi!" Lalu, sambil melangkah pergi
Tamtama berkata kepada
Yoga, 'Tunggu saatnya tiba!"
Yoga hanya tersenyum memperhatikan ke-
pergian Tamtama, Sendang Suci hanya geleng-
geleng kepala melihat sikap anak sahabatnya itu.
"Yo, berangkatlah besok saja. Sekarang su-
dah petang. Bermalamlah di sini!" kata Sendang Suci kepada Yoga.
* * * 5 JALAK HUTAN menjadi sangat benci kepada
Pendekar Rajawali Merah. Pertama, karena ia
gagal merebut pusaka Pedang Lidah Guntur itu
yang membuat kepalanya tak bisa menunduk la-
gi, dan kedua karena ia melihat Yoga semakin
akrab dengan Sendang Suci. Padahal selama ini
ia tak pernah mendapat perlakuan seakrab itu
dari Sendang Suci. Dia naksir berat dengan Tabib Perawan itu, tapi hasratnya
sekarang menjadi surut karena kehadiran Pendekar Rajawali Merah di
samping Tabib Perawan.
Tak ada jalan lain untuk menyembuhkan
kepalaku ini kecuali datang kepada Eyang Wejang
Keramat. Aku yakin beliau bisa sembuhkan kepa-
laku ini!" pikir Jalak Hutan di tengah langkahnya yang sesekali terantuk batu
itu. Langkah itu terhenti ketika Jalak Hutan
mendengar suara orang turun dari atas pohon di
jalan depannya. Jleeg...! Ia segera ambil posisi menyamping supaya bisa jelas
memandang. Dan ternyata orang yang turun dari atas pohon itu
adalah musuh lamanya. Berbaju hijau tak dikan-
cingkan depannya, bercelana hitam dengan sabuk
besarnya yang hitam pula, menyandang golok le-
bar di pinggangnya itu.
Orang tersebut mirip raksasa. Tubuhnya
tinggi, besar, berwajah lebar tapi lonjong. Tulang rahangnya tampak jelas,
hidungnya besar dan tulang pipinya pun bertonjolan. Orang itu mempu-
nyai alis tebal, rambut meriap tanpa diikat tapi tak sampai lewat pundak. Di
dahinya terdapat
dua benjolan sebesar jeruk peras, ada di kanan-
kiri kening. Mirip sepasang tanduk. Sedangkan
dadanya yang lebar dan kekar itu mempunyai ta-
to gambar wajah iblis. Tak salah lagi, dialah manusia yang dijuluki Tanduk Iblis
oleh para tokoh persilatan di sekelilingnya.
"Jalak Hutan, kau masih ingat aku"!" sen-taknya dengan suara besar menyeramkan.
"Oh, kau Tanduk Iblis"! Tentu saja aku ma-
sih mengingatmu! Kau dulu kubuat lari terbirit-
birit ketika masih bau kencur!"
'Tapi sekarang nyawamu yang akan kubuat
lari terbirit-birit dari hadapanku, Jalak Hutan!"
"He he he...! Apakah kau sudah cukup he-
bat, sehingga berani mengancamku demikian,
ha"!" 'Tanduk iblis yang dulu, bukan lagi Tanduk Iblis yang sekarang! Kau boleh
keluarkan ilmumu
semua untuk menghadapiku! Tapi aku ragu den-
gan kemampuanmu sekarang, sebab kepalamu
saja sudah miring ke atas!"
Zlaaap...! Tiba-tiba Tanduk Iblis sentakkan
tangannya dan melesatlah sinar merah menghan-
tam tubuh Jalak Hutan. Tak sempat Jalak Hutan
menghindar. la hanya sempat membalas dengan
pukulan bersinar kuning dan sinar tersebut
menghantam sinar merah lalu meledak di perten-
gahan jarak. Duaar...!
Suaranya memekakkan telinga. Jalak Hutan
jatuh karena dalam keadaan kepala tengadah, ia
sulit sekali menjaga keseimbangan tubuh. Dalam
jatuhnya ia sempat membatin,
"Lumayan juga pukulannya sekarang ini!
Rupanya ia habis berguru dan memperdalam il-
mu. Aku harus hati-hati melawannya, tak boleh
menganggap remeh seperti dulu!
Jalak Hutan dan Tanduk Iblis memang per-
nah bertarung dua tahun yang lalu. Pertarungan
itu adalah untuk memperebutkan kitab pusaka
yang akhirnya jatuh ke jurang yang amat dalam
dan tak tahu siapa yang berhasil memilikinya.
Yang Jelas waktu itu Tanduk Iblis dikalahkan
oleh Jalak Hutan dan melarikan diri dalam kea-
daan terluka dalamnya.
Kini Jalak Hutan merasa mendapat lawan
yang lebih tangguh dari dua tahun yang lalu. Ma-
salahnya sudah bukan karena rebutan kitab lagi,
tapi karena dendam dan kekalahan yang akan di-
tebus oleh si Tanduk iblis.
Dulu Tanduk Iblis hanya mengandalkan ke-
kuatan tubuhnya yang besar dengan permainan
jurus silat yang tergotong lumayan. Tapi sekarang ia sudah mempunyai tenaga
dalam dan mampu
menyerang dengan cepat dalam jarak lima tom-
bak. Ini jelas suatu kemajuan nyata bagi Tanduk
Iblis di depan Jalak Hutan. Karena itu, Jalak Hutan selalu menjaga jarak dan
berdirinya me- nyamping supaya lebih jelas memandang setiap
gerakan lawan. "Sudah lama aku ingin melepaskan pemba-
lasan ini Jalak Hutan! Sangat kebetulan kita bertemu di sini, sehingga bisa
kuselesaikan sekarang juga hutang kekalahanku kepadamu! Heaaah...!"
Kedua telapak tangan Tanduk Iblis disentak-
kan ke depan dan dua sinar melesat bersamaan,
keduanya berwarna merah berpendar-pendar. Da-
lam keadaan kepala tengadah, Jalak Hutan me-
mang kesulitan menangkis serangan lawan. Aki-
batnya ia hanya bisa bersalto ke belakang, itu
pun tergelincir jatuh. Brukk...! Tapi kedua sinar merah itu melesat lewat di
depannya, menghantam sebatang pohon besar. Duaar!
Pohon itu pecah menjadi serpihan-serpihan
kecil dan menyebar ke mana-mana. Sebagian ada
yang jatuh menimbun tubuh Jalak Hutan. Meli-
hat keadaan seperti itu, membandingkan dengan
keadaan kepalanya yang begitu, Jalak Hutan me-
rasa tak punya harapan untuk bisa mengalahkan
Tanduk Iblis. Apalagi gerakan Tanduk Iblis tam-
pak liar dan buas, Jalak Hutan kalah gesit dan
tak bisa tangkas lagi.
"Putus kepalamu, Jalak Hutan! Hiaaah...!"
Tanduk Iblis berteriak setelah mencabut golok le-barnya yang bergerigi pada
bagian belakang sisi
tajamnya. Ia melompat dengan bersalto satu kali dan dalam waktu singkat sudah
tiba di samping
Jalak Hutan dengan sentakan kaki ke tanah ter-
dengar berat karena besarnya tubuh. Bluhg...!
Lalu, golok besar itu tidak mau menunggu
lama di atas, segera berkelebat menebas dari atas kanan ke kiri. Wuuut...!
Traang...! Sebongkah batu melayang dan menghantam
golok besar itu. Golok tersebut hampir saja terlepas dari tangan akibat mental
ke samping kanan.
Untung tubuh Tanduk Iblis mengikuti sentakan
laju goloknya, sehingga senjata itu tetap bisa ter-pegang oleh tangan kanannya.
"Bangsat! Siapa yang ikut campur dengan
urusanku ini! Keluar!" teriak Tanduk Iblis dengan kerasnya. Matanya pun
memandang ke arah datangnya batu itu dengan buas. Jalak Hutan di-
jauhinya sesaat, dan Jalak Hutan sendiri yang selamat dari saat-saat kematiannya
itu segera berusaha menjauhi orang besar seperti raksasa itu.
Dari kerimbunan pohon dan semak, melesat
sesosok tubuh dengan lompatan ringannya.
Jleeg...! Seorang gadis cantik dengan rambut panjang yang diikat menjadi satu
dengan tali merah berdiri di hadapan Tanduk Iblis dalam jarak sekitar empat
tombak. Gadis itu berbaju merah den-
gan rompi rapat biru muda, ikat pinggang dari
kain putih dan berguna untuk menyelipkan sebi-
lah pedang. Wajah bulat telurnya yang cantik itu mempunyai hidung mancung dan
mata membela-lak Indah berbulu lentik.
"Mutiara Naga..."!" ucap Jalak Hutan, sudah mengenali gadis itu, karena gadis
itu adalah anak dari kakaknya Jalak Hutan. Ibunya Mutiara Naga
itulah kakak Jalak Hutan.
"Paman, menjauhlah...! Biar raksasa itu ku-
hadapi" kata Mutiara Naga dengan beraninya.
"Gggrrrmmn...!" Tanduk Iblis hanya menggeram penuh kejengkelan. la mundur satu
tindak ketika Mutiara Naga mendekatinya. Mata Tanduk
Iblis memandang penuh kebencian namun tak
terlihat permusuhannya.
"Hadapi aku sekarang!"
"Siapa kau"!" geram Tanduk Iblis yang berwajah menyeramkan itu.
"Aku Mutiara Naga! Jalak Hutan adalah pa-
man ku! Kalau kau mau membunuh paman ku,
kau harus hadapi dulu aku!" Mutiara Naga menepuk dadanya sendiri.
"Mutiara Naga, dia berbahaya! Lari saja!" bisik Jalak Hutan. Tapi agaknya
bisikan itu tidak
dihiraukan oleh gadis pemberani itu.
"Gadis goblok! Aku tidak ada urusan den-
ganmu! Kuharap pergilah dari hadapanku!"
"Kalau kau memang berilmu tinggi, hadapi
dulu aku! Usirlah dengan perlawananmu!" tantang Mutiara Naga.
"Aku tidak pernah bertarung dengan perem-
puan! Aku paling pantang melawan dan menye-
rang perempuan!"
"Omong kosong!"
'Terserah apa anggapan mu." Jika kau ber-
keras melindungi pamanmu, sebaiknya aku yang
pergi! Tapi ingatkan pada dia agar jangan jalan
sendirian tanpa dirimu! Dia bisa kubunuh tanpa
kamu!" Setelah berkata begitu Tanduk Iblis segera


Jodoh Rajawali 02 Misteri Topeng Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sentakkan kaki besarnya itu dan melesat naik ke
pohon, lalu melompat dari dahan ke dahan den-
gan cepatnya. Mutiara Naga berkerut dahi dan
heran melihat orang besar itu ketakutan. la tidak tahu, bahwa Tanduk Iblis
memang tidak berani
dan tidak mau menyerang perempuan. Dia sangat
pantang melakukan hal itu, karena Tanduk Iblis
adalah seorang anak yang sangat mencintai
ibunya, sehingga punya rasa segan dan kasihan
kepada setiap perempuan mana pun juga.
Jalak Hutan berkata kepada Mutiara Naga
sambil dongakkan kepala,
"Untung kau datang! Rupanya orang itu
memang tak mau melawan wanita, Mutiara Naga!"
"Siapa dia" Apa benar dia keturunan raksa-
sa?" '"Bukan! Dia keturunan manusia biasa! Paman dulu pernah melawannya dan
membuatnya lari terbirit-birit, dan rupanya dia sekarang ingin membalas dendam. Aku merasa
akan kalah jika
melawannya karena keadaanku seperti ini!"
Mutiara Naga ikut memandang ke atas po-
hon, karena ia menyangka pamannya sedang
mencari sesuatu di atas pohon. Tetapi pamannya
segera berkata kepadanya,
'Tak perlu ikut memandang ke atas, Paman
tidak sedang mencari sesuatu!"
"Lalu mengapa Paman mendongak ke atas?"
"Ini perbuatan orang yang biadab! Dia mem-
buat tulang dan urat di leherku terkunci dan tak mau membebaskan! Sudah berhari-
hari aku dibuatnya begini terus. Tidur pun jadi susah telentang!"
"Ya, ampuuun..."! Siapa orangnya, Paman"!
Biar kubalaskan perlakuannya yang konyol ter-
hadap Paman itu!"
'Tak usah! Dia ilmunya lebih tinggi dan si
Tanduk Iblis tadi! Kau tak akan mampu mela-
wannya, Mutiara Naga!"
"Paman merendahkan aku!"
"Ah, sudahlah! Jangan beranggapan begitu,"
Jalak Hutan menepuk-nepuk pundak kepona-
kannya sendiri itu. "Bagaimana kabar ibumu, Mutiara Naga" Masih sakitkah dia?"
"Sudah sembuh, Paman! Tapi masih harus
banyak istirahat. Paman ditunggu-tunggu keda-
tangannya. Ada yang ingin ibu katakan kepada
Paman mengenai warisan kakek."
"Bilang sama ibumu, Mutiara Naga, bahwa
aku tidak akan ikut campur mengenai warisan
itu! Terserah keputusan ibumu saja, aku ikut ke-
putusan itu. Tidak akan menentangnya!"
"Lalu, sekarang Paman mau ke mana?"
"Paman mau pergi ke Bukit Gobang. Paman
mau menemui Eyang Wejang Keramat untuk min-
ta dipulihkan keadaan kepala paman ini!"
"Paman, kalau di perjalanan nanti Paman
bertemu dengan orang tampan berpakaian putih
panjang dan berselempang coklat, celananya me-
rah dan rambutnya panjang, bawalah dia padaku,
Paman!" "Untuk apa?"
Dengan sedikit merengek, Mutiara Naga
menjawab, "Aku merindukan dia, Paman! Aku ingin jumpa dengannya!"
"He he he he...! Kamu sedang kasmaran ru-
panya, ha"!"
"Ah, Paman..,!" Kemanjaan Mutiara Naga semakin menjadi. "Atau, Paman cari
dululah orang itu! Katakan padanya, Mutiara Naga me-
nunggu kedatangannya. Dia sangat rindu pa-
danya!" "Kalau dia tak mau datang?"
"Rayulah dia, Paman!"
"Bah! Macam apa aku kau suruh rayu lelaki"
Kau pikir aku ini manusia yang suka terhadap se-
jenis"! Tak maulah aku!"
"Ah, Paman...!" kaki Mutiara Naga menghentak-hentak. "Paman pasti bisa
membujuknya!"
"lalah," jawab Jalak Hutan dengan setengah dongkol. Sebagai paman yang sayang
kepada keponakannya, layak sudah dia menuruti rengekan
sang bocah. Apalagi dari sekian banyak kepona-
kannya, hanya Mutiara Naga yang dekat dengan-
nya. Jalak Hutan sangat sayang kepada kepona-
kan yang satu itu.
"Bagaimana kau bilang tadi ciri-cirinya?"
tanya Jalak Hutan.
"Pakaiannya baju putih lengan panjang, ber-
selempang coklat. Celananya merah. Rambutnya
panjang dan berikat kepala. Dia menyandang pe-
dang di punggungnya bergagang merah dengan
hiasan dua kepala burung rajawali bertolak bela-
kang berwarna merah tembaga. Dia bernama Yo-
ga dan bergelar Pendekar Rajawali Merah!"
"Mati aku, Mutia!' kata Jalak Hutan tiba-tiba sambil menepuk kepala sendiri,
tapi karena kepalanya mendongak, yang kena pipinya. Plook.... Ia pun mulai
menjauhi Mutiara Naga yang sering dipanggil dengan nama kecilnya: Mutia.
Gadis itu heran melihat pamannya menjauh
dan tidak bersemangat lagi. Bahkan samar-samar
dilihatnya wajah pamannya tidak ceria. Mutiara
Naga segera dekati orang tua itu dan bertanya,
"Kenapa Paman kelihatannya kecewa?"
"Carilah lelaki lain!"
'Tidak bisa! Hatiku telah terpikat olehnya,
Paman!" "Yang lebih ganteng dari dia banyak, Mutia!"
"iya. Tapi aku suka sama dia, Paman! Dia
baik, ramah, berilmu tinggi dan...."
"Dan aku tak sanggup membujuk dia!"
"Kenapa..."!" Mutiara Naga merengek.
"Aku tak suka padanya!"
"Iya, tapi kenapa tak suka?"
"Kalau kau mau tahu, Mutia... dialah yang
membuat kepala paman menjadi seperti ini!"
"Dia..." Pendekar Rajawali Merah itu"!"
"Iya! Dan sampai sekarang paman masih
benci padanya!"
"Kenapa Paman sampai dibuatnya begin!"!"
"Pertarungan antara ksatria melawan pende-
kar!" jawab Jalak Hutan bermaksud menyembu-
nyikan masalah sebenarnya.
"Pertarungan sebab apa, Paman?" Mutiara Naga mendesak. Jalak Hutan mulanya tak
mau menjawab, tapi setelah dipikir-pikirnya, ia tak te-ga jika harus menipu
keponakannya yang ter-
sayang itu. "Masalahnya sepele...," jawabnya pada awal bicara. "Paman tahu dia murid tokoh
sakti yang bernama Empu Dirgantara dan berjuluk Dewa
Geledek. Paman tahu, Dewa Geledek punya pe-
dang pusaka dan ampuh bernama Pedang Lidah
Guntur. Pedang itu sekarang diwariskan kepada
Pendekar Rajawali Merah. Paman mau rebut pe-
dang pusaka itu darinya, tapi dia melawan dan
membuat kepala Paman jadi begini!"
"Itu memang salah Paman!" ketus Mutiara Naga. "Sudah tahu pusaka itu bukan hak
milik Paman, kenapa mau merebutnya"!"
"Iya, tapi setidaknya dia sama orang tua harus sopan. Tidak membuatku menderita
begini!" "Paman sendiri tak tahu aturan!"
"Eh, kenapa kau jadi kecam pamanmu ini"!"
"Habis tindakan Paman seperti itu! Tak mau
aku punya Paman bersikap begitu!"
"Eh, eh... Mutia, dengar dulu kataku!" Jalak Hutan takut keponakannya menjadi
benci kepadanya. Ia memburu Mutiara Naga yang menjau-
hinya. Pundak Mutiara Naga dibalikkannya su-
paya menatap ke arahnya.
"Dengar, Mutia... di dunia persilatan, rebut-merebut pusaka itu sudah umum.
Wajar terjadi, Mutia!" "Tapi aku tak suka punya Paman yang ker-
janya merebut barang milik orang lain! Aku malu, Paman! Malu sekali!"
"Eh, Mutia... dengarlah dulu, jangan marah
begitu!" 'Tidak! Aku tidak suka cara Paman begitu!"
Lalu keduanya sama-sama bungkam. Sepi
terjadi sesaat. Ada kabut merayap di tanah. Kabut putih bergerak dan membungkus
kaki Mutiara Naga. Gadis itu membiarkannya, karena hanya
kabut biasa. Tak lama kemudian, terdengar suara Jalak
Hutan berkata, "Baiklah kalau kau malu. Aku akan temui
dia dan meminta maaf kepadanya! Tapi bagaima-
na jika dia tetap membuat kepalaku begini!"
"Katakan, Paman adalah saudaraku. Bilang
padanya, Mutiara Naga adalah keponakan Paman
Jalak Hutan, dan sekarang Mutiara Naga ingin
bertemu dengannya karena rindu! Mintalah dia
membuka kunci urat di leher Paman. Kalau Pa-
man sebutkan namaku, dia pasti akan menolong
Paman dan membebaskan kepala Paman menjadi
pulih kembali!"
"Kalau dia tak mau?"
"Aku yang akan memaksanya supaya menja-
di mau!" "Apa kau sanggup melawannya?"
"Melawannya, sanggup! Tapi memukulnya...
aku tak tahu, apakah aku sanggup atau tidak!"
"Nah, kalau sudah begitu siapa yang akan
bela aku?"
"Sudahlah, Paman! Percayalah, dia pasti
akan sembuhkan kepala Paman itu jika Paman
bilang bahwa Mutiara Naga adalah keponakan-
mu!" Sebenarnya ada yang ingin dikatakan lagi oleh Mutiara Naga. Tetapi ia
merasakan aneh pa-da bagian kakinya. Kabut itu makin tebal mem-
bungkus kaki. Terasa hangat dan merayap geli di
bagian betis. Bahkan semakin lama semakin naik
ke paha dan rasa desir keindahan itu hadir di sa-na. Tambah lama tambah naik
lagi dan Mutiara
Naga merasakan ada sesuatu yang menyentuh-
nyentuh nikmat di salah satu relung tubuhnya.
Jantung pun jadi berdebar-debar.
Jalak Hutan tak tahu datangnya kabut itu
karena ia mendongak ke atas terus. la tahu hal
itu setelah Mutiara Naga berkata,
"Paman, aku merasakan ada yang mengge-
rayangi tubuhku!"
Jalak Hutan terkesiap matanya, lalu menco-
ba memandangi tubuh keponakannya dengan
agak menjauhkan jarak. la mulai melihat gerakan
kabut yang membungkus kaki sampai di bagian
dada Mutiara Naga. Dengan cepat ia menyambar
tangan gadis itu dan berkata,
"Cepat lari! Itu perbuatan jalang si Manusia Kabut! Lari...!"
"Manusia Kabut..."!"
"Larilah, nanti kau dijahili lagi olehnya! Dia tak bisa dilawan jika dalam
keadaan berubah
menjadi kabut seperti itu!"
'Tapi... tapi, Paman...!"
Jalak Hutan segera membawa keponakannya
berlari, walau ia sendiri tersandung-sandung batu atau akar pohon. la berkata
sambil menyeret tangan Mutiara Naga.
"Untuk melawan Manusia Kabut, tak ada ca-
ra lain kecuali harus lari menjauhinya! Dia adalah si Tua Usil yang punya nama
asli Pancasona! Karena dia mempunyai ilmu yang bisa mengubah di-
rinya menjadi kabut, maka banyak yang mena-
mainya Manusia Kabut!"
"Apakah dia sakti, Paman?"
'Tak seberapa tinggi ilmunya! Hanya ilmu
kabutnya saja yang membuatnya tampak sakti!"
'Tapi... oh, dia mengejar kita, Paman!"
"Dia tak bisa lari cepat dalam keadaan men-
jadi kabut. Kita harus bergerak lebih cepat lagi!"
Mutiara Naga terseret-seret karena ia sebe-
narnya ingin berhenti dan penasaran terhadap
kabut yang menghadirkan kemesraan tersendiri
Itu. Ia merasa sedang dijamah oleh tangan Pen-
dekar Rajawali Merah yang sedang jadi harapan
hatinya itu. * * * 6 PERJALANAN Yoga menuju Gua Mulut Iblis
untuk mencari bunga Teratai Hitam terhenti seje-
nak. la mendengar suara percakapan dua perem-
puan yang saling cekikikan. Rasa tertarik ingin
mengetahui siapa mereka, membuat Yoga mencari
tempat untuk mengintai. Akhirnya ia temukan
semak-semak ilalang tak berduri. Dengan langkah
hati-hati dan gerakan pelan, Yoga menyingkapkan
rumpun ilalang tersebut. Ketika itu, Yoga segera berkerut dahi karena merasa
mengenai perempuan yang bertahi lalat kecil di dagu kiri.
"Merak Betina..."!" gumamnya dalam hati.
Perempuan cantik bermata bulat itu sedang
bersama temannya yang juga bermata bulat. Me-
reka berusia sebaya. Wajahnya juga sama mun-
gilnya, hidungnya mancung, bibirnya kecil tapi
Indah. Perempuan muda itu mengenakan pakaian
biru cerah yang berlengan longgar dilapisi kain
semacam rompi warna merah yang memanjang
lewat perut. Rambutnya lurus sepundak, lemas,
dan berponi indah. Perempuan itu menyelipkan
gulungan cambuk warna hitam di pinggangnya.
Pendekar Rajawali Merah tahu persis, Merak
Betina itulah orang Perguruan Belalang Liar yang melukai Mahligai dengan Racun


Jodoh Rajawali 02 Misteri Topeng Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Edan. Tentunya perempuan muda berbaju biru itu juga orang Per-
guruan Belalang Liar. Hal yang membuat Yoga
bimbang adalah keadaan Merak Betina yang enak
untuk diserang atau bahkan dibunuh pada saat
itu. Tapi apakah Yoga harus melakukan pembala-
san atas nasib yang diterima Mahligai" Apakah
Yoga harus melakukan pembelaan terhadap Mah-
ligai yang menyerang Merak Betina, sementara
urusan mereka itu sebenarnya hanyalah urusan
perempuan yang tidak sepantasnya dicampuri
oleh pihak lelaki"
'Tidak. Aku tidak boleh melakukan pembala-
san! Aku hanya boleh melakukan pertolongan sa-
ja!" kata hati Yoga. "Jika aku membela Mahligai dan membalaskan dendamnya kepada
Merak Betina, maka kedudukanku pasti dianggap memihak
salah satu sisi, dan pasti mereka akan berangga-
pan bahwa Mahligai adalah kekasihku. Aku tak
mau hal itu sampai terdengar oleh Guru Lili. Be-
liau bisa semakin mengamuk kepada Mahligai,
juga kepada diriku sendiri!"
Kecamuk di dalam hati Yoga itu terhenti se-
telah Yoga menyadari apa yang sedang dilakukan
oleh kedua perempuan muda itu. Mereka sama-
sama memejamkan mata dan berdiri berdekatan.
Mereka saling berpelukan dan bahkan saling ber-
ciuman, seperti layaknya muda-mudi yang berka-
sihan. Yoga segera berucap dalam hatinya,
'Ternyata mereka mempunyai kemesraan yang
ganjil. Sesama perempuan saling memadu kasih"
Aneh. Bagaimana mereka bisa rasakan keme-
sraan itu jika sama-sama perempuan" Atau...
mungkin mereka hanya sekadar iseng saja, me-
lampiaskan hasrat terhadap sesama sejenis kare-
na tak ada lawan jenisnya?"
Krak...! Kaki Yoga menginjak ranting kering.
Suara itu mengagetkan Merak Betina dan teman-
nya. Serta-merta mereka berhenti dari apa yang
mereka lakukan sejak tadi. Buru-buru mereka
membenahi pakaian dan, Merak Betina pun ber-
seru ke arah datangnya suara itu.
"Siapa di sana"! Keluarlah! Jangan sampai
kuhantam dengan pukulan mautku dari sini!"
Pendekar Rajawali Merah masih belum mau
keluar dari kerimbunan semak. Ia merasa malu
karena sudah telanjur diketahui persembunyian-
nya. Tentunya Merak. Betina akan menganggap-
nya sebagai tukang intip terhadap tindakan yang
tidak senonoh. Tapi jika ia tidak muncul dari semak-semak itu, maka perkaranya
akan menjadi lain lagi. Jika Merak Betina sampai memergoki
sendiri dan Yoga melarikan diri, pasti akan timbul salah anggapan. Bisa-bisa
Yoga dianggap punya
maksud jahat mengintai mereka berdua di situ.
Terdengar suara Merak Betina berkata kepa-
da temannya, "Coba kau periksa di semak-semak itu, Lembayung Senja! Aku
mengawasi mu dari
sini! Kalau orang itu macam-macam tingkahnya,
habisi dia di semak-semak itu!"
Perempuan yang mengenakan baju biru mu-
da itu bergegas mendekati tempat persembunyian
Yoga. Namun belum sampai Lembayung Senja ti-
ba di sana, Pendekar Rajawali Merah segera me-
lompat keluar dari semak-semak tersebut dengan
seulas senyum menawan mekar di bibirnya.
Jleeg...! "Aku yang mengintip kalian," kata Yoga kepada Lembayung Senja yang tepat berada
di de- pannya, berjarak kira-kira empat langkah.
Lembayung Senja bukannya marah tapi ju-
stru terkesima dan terperangah memandang ke-
tampanan Pendekar Rajawali Merah. Matanya
terbuka bundar dan tak mau berkedip. Bibirnya
yang kecil merekah itu ternganga sedikit sebagai tanda terperangahnya. Lidahnya
sempat kelu dan
tak bisa berucap kata apa pun. Sementara Merak
Betina juga terperangah begitu mengetahui orang
yang mengintipnya adalah si tampan yang pernah
ingin membawanya pergi ke Gunung Menara Sal-
ju. "Yo..."!" seru Merak Betina dengan gembira dan segera berlari mendekati
Yoga, la ingin melepas kegembiraan itu dengan memeluk pemuda
tampan tersebut, namun niatnya terhenti ketika
Lembayung Senja memaksakan diri untuk men-
dehem, batuk-batuk kecil.
"Nakal juga kau ini, Yo..."!" Merak Betina hanya mendekat dan segera menggandeng
lengan Yoga, menampakkan diri di depan Lembayung
Senja bahwa ia sudah kenal akrab dengan pemu-
da tampan itu. "Aku tak sengaja melihat apa yang kalian lakukan tadi," kata Yoga mendahului
tuduhan jelek yang akan dilontarkan kedua wanita itu.
"Kami hanya main-main saja!" jawab Merak Betina sambil tersipu malu. "Habis,
sejak jumpa kita pertama itu, aku selalu merindukan pertemuan denganmu kembali,
Yo! Tapi aku tak tahu
di mana kau berada; apakah jadi ke Gunung Me-
nara Salju atau pergi bersama perempuan lain!"
Lembayung Senja segera menukas, "Merak
Betina tidakkah kau ingin memperkenalkan dia
kepadaku?"
"O, ya! Aku hampir lupa! Yo, dia temanku.
Namanya Lembayung Senja. Dan,..," kepada Lembayung Senja Merak Betina berkata,
"Ini yang ku-sebut-sebut sebagai pendekar tampan pemikat
hati wanita itu! Namanya Yoga tapi dia punya ge-
lar yang menggetarkan rimba persilatan, yaitu
Pendekar Rajawali Merah!"
Lembayung Senja mendekati Yoga dengan
mata memandang dari kepala sampai kaki. Ke-
mudian wanita muda berbibir mungil merekah itu
berkata bagai orang menggumam,
"Pendekar pemikat hati, rasa-rasanya julu-
kan itu lebih tepat untuknya!"
Yoga hanya tertawa kecil. Ia memandangi
Lembayung Senja yang ingin menyentuh tangan-
nya seperti yang dilakukan Merak Betina, tapi
niat itu diurungkan oleh Lembayung Senja. Ada
rasa kikuk dan malu untuk menyentuh tangan
Pendekar Rajawali Merah, yang menurutnya lebih
pantas diganti Pendekar Tampan Pemikat Hati.
"Apakah burung Rajawali Putih yang kau ca-
ri itu sudah kau temukan, Yo" Jika belum, seka-
rang pun aku sanggup pergi denganmu ke gu-
nung itu untuk mencari burung tersebut!"
Lembayung Senja menyahut dengan ber-
tanya kepada Merak Betina, "Apakah benar dia kehilangan burungnya" Oh, alangkah
sayangnya pemuda setampan dan segagah ini kehilangan
burungnya"!"
Merak Betina tertawa kecil, dan berkata,
"Kali ini benar-benar seekor burung yang dica-rinya, Lembayung Senja!"
"Ooo... benar-benar burung yang bisa ter-
bang itu"!"
Zingng... ziingng...!
Tiba-tiba desing dua keping logam melaju
cepat menuju punggung Merak Betina. Firasat
Yoga mengatakan, ada bahaya menyerang. Maka
seketika itu juga Yoga sentakkan tubuh Merak
Betina dengan kuat, lalu tangannya berkelebat
menangkap dua keping logam putih berkilat Itu.
Tetapi usaha penyelamatan Pendekar Raja-
wali Merah terhadap diri Merak Betina itu terlambat. Satu keping logam telah
menancap di atas
tengkuk Merak Betina. Jreeb...! Satu keping lo-
gam lagi berhasil disahutnya. Sleep...! Terjepit di antara dua jari tangan
kanannya. Benda tersebut adalah senjata rahasia ber-
bentuk segi tiga yang mempunyai keruncingan
sangat tajam dl ketiga sudutnya. Logam segi tiga itu berwarna putih mengkilap
dan berukuran kecil. tetapi warna merah samar-samar pada setiap
sudutnya itu menandakan bahwa logam tersebut
beracun dan racun itu tentunya sangat berba-
haya. Terbukti satu keping logam yang menancap
tepat di otak kecil Merak Betina membuat perem-
puan itu terkapar tak berdaya lagi, matanya men-
delik dan wajahnya berubah cepat menjadi biru.
Mulutnya keluarkan cairan busa berwarna hitam
kebiru-biruan. "Merak Betina...! Merak...!" Lembayung Senja mencoba menolong, tapi agaknya
keadaan Merak Betina sangat parah. Bahkan ketika Lembayung
Senja mencoba untuk menyalurkan hawa murni
ke dalam tubuh temannya itu, tiba-tiba sebuah
pukulan tenaga dalam jarak jauh yang mempu-
nyai kadar tinggi menghantamnya tanpa sinar.
Wuuttt...! Buuhg...! Weess..! Zrrraakkk...!
Lembayung Senja terlempar dalam keadaan
terseret di tanah sejauh sekitar tujuh tombak.
Tubuh Lembayung Senja berhenti terlempar sete-
lah membentur akar pohon yang menggunduk
seperti bongkahan batu.
"Uuuhhhg...!" Lembayung Senja mengerang di sana dengan memegangi bagian pinggang
yang terasa patah tulangnya.
Pendekar Rajawali Merah tidak banyak bica-
ra, ia segera melompat dan mencari penyerang ge-
lap di tempat yang semula dipakainya untuk ber-
sembunyi. la yakin penyerang gelap itu sembunyi
di sana, sebab arah datangnya dua keping logam
beracun itu memang dari semak-semak itu.
Sayangnya Yoga tidak menemukan siapa
pun di sana. ia mencari lebih ke dalam kerimbu-
nan semak, namun kembali ia tidak dapatkan
seorang pun di sana. Karena itu, ia pun segera
melompat keluar dari kerimbunan semak dan
kembali menemui Merak Betina yang sudah se-
makin parah itu.
Ia terkejut, karena ternyata orang yang dicari
sudah ada di sana, sedang berhadapan dengan
Lembayung Senja. Orang itu adalah si Topeng
Merah yang agaknya begitu bernafsunya untuk
membunuh Lembayung Senja. ia menyerang den-
gan pukulan bercahaya kuning yang melesat dari
telapak tangan kirinya seperti sebatang besi bercahaya.
Lembayung Senja segera menghantam sinar
kuning itu dengan sinar merah dari telapak tan-
gannya pula, sehingga terjadilah ledakan yang
menimbulkan gelombang sentakan cukup besar.
Blaarrr...! Lembayung Senja kembali terlempar
semakin jauh. Tetapi ia segera bangkit dan cepat-cepat mencabut cambuknya.
Taarr...! Satu kali cambuk itu dilecutkan
oleh Lembayung Senja, dan membuat Topeng Me-
rah berpindah tempat dengan melambungkan tu-
buhnya ke udara dan bersalto dua kali. Begitu
kakinya mendarat di atas sebongkah batu, Lem-
bayung Senja menyerang kembali dengan cam-
buknya. Taarrr...! Kali ini lecutan itu memercikan cahaya biru seperti kilatan
petir. Cahaya biru itu hampir saja mengenai dada si Topeng Merah jika
tidak segera dihantamnya dengan cahaya kuning
lagi dari telapak tangannya. Blaaarrr...!
Pendekar Rajawali Merah segera berlari ke
pertarungan itu dan berseru dari tempatnya ber-
henti, "Cukup! Hentikan pertarungan ini!" Topeng Merah sudah mau mencabut
pedangnya di punggung. Tapi gerakan tangannya itu menjadi terhen-
ti begitu mendengar seruan Yoga, ia berpaling
memandang ke arah Yoga. Pada saat itu, Lem-
bayung Senja melihat sisi kelengahan lawan, ma-
ka dengan cepat ia kembali melecutkan cambuk-
nya ke arah tubuh lawannya. Taarrr...!
Zllaaap...! Yoga bergerak dengan sangat ce-
pat, tak mampu dilihat oleh mata siapa pun. Ta-
hu-tahu ia sudah berada di depan si Topeng Me-
rah, dan tangannya menyambar ujung cambuk
yang membara merah itu. Wuuuutt Srrrtt....
Cambuk itu melilit di tangan Yoga dan oleh Yoga disentakkan dalam satu tarikan
keras. Cambuk itu pun lepas dari pegangan tangan Lembayung
Senja. Kini Yoga berdiri dl pertengahan Jarak antara Lembayung Senja dan si
Topeng Merah. "Berikan cambuk itu! Akan kucabik-cabik
dia!" bentak Lembayung Senja sambil melangkah cepat mau merebut cambuk dari
tangan Yoga. Tetapi dengan pandangan mata tajam yang diarah-
kan kepada Lembayung Senja, Yoga berhasil
membuat hati wanita muda itu bergetar takut.
Mata tetap memandang tajam, Lembayung Senja
hentikan langkah. Ia ingin menangis karena me-
nahan kemarahan yang tak berani dilepaskan ga-
ra-gara pandangan mata tajam itu.
"Dia telah membunuh Merak Betina! Aku ha-
rus membalasnya, Yo!"
"Merak Betina belum tentu mati. Persoalan
ini tidak jelas, dan aku pun penasaran dengan si Topeng Merah itu..!" sambil
Yoga menuding ke arah Topeng Merah, lalu berpaling memandangnya. Tetapi alangkah
terkejutnya Yoga setelah ta-hu, ternyata Topeng Merah sudah tidak ada di
tempatnya. Ia telah pergi dan cepat sekali kepergiannya itu hingga tidak
menimbulkan suara dan
tidak menimbulkan hembusan angin.
"Ke mana dia"!" tanya Yoga kepada Lem-
bayung Senja. Pertanyaan itu tidak dijawabnya,
karena Lembayung Senja lebih mementingkan


Jodoh Rajawali 02 Misteri Topeng Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memeriksa keadaan Merak Betina. Maka ia pun
berkelebat menemui teman seperguruannya yang
terkapar dalam keadaan biru wajahnya.
Sementara itu, Yoga bergegas mencari arah
kepergian Topeng Merah sambil membatin di ha-
tinya, "Siapa sebenarnya orang bertopeng merah itu"! Ia agaknya takut melawanku,
padahal dilihat dari caranya pergi tanpa meninggalkan suara dan
angin, sudah jelas dia berilmu tinggi! Mungkin sa-ja ilmunya lebih tinggi
dariku! Tapi, apa maksud-
nya muncul secara aneh dan lenyap begitu saja"
Apakah memang dia punya dendam terhadap Me-
rak Betina dan orang-orang Perguruan Belalang
Liar" Mungkinkah Topeng Merah adalah musuh
mereka?" Yoga pun segera mendekati Merak Betina se-
telah ia tak berhasil mencari Topeng Merah di sekitar tempat itu. Lembayung
Senja menangis ke-
tika Merak Betina ternyata tak bisa tertolong lagi jiwanya. Pendekar Rajawali
Merah terpaksa me-nenangkan tangis Lembayung Senja, sambil me-
meluk dengan rasa haru.
Sesaat kemudian, Lembayung Senja segera
menyentakkan tubuhnya dan menjauhi Yoga, la
memandang dengan penuh curiga setelah cam-
buknya dikembalikan oleh Yoga.
Waktu itu, Yoga berkata, "Bawalah mayat
Merak Betina pulang ke perguruanmu! Katakan
bahwa manusia bertopeng merah itu telah menye-
rangnya secara sembunyi-sembunyi dan aku su-
dah berusaha menyelamatkannya namun gagal.
Hanya satu senjata rahasia Topeng Merah yang
berhasil kutangkap dengan tanganku!"
Lembayung Senja menyipitkan mata dan
berkata dengan ketus.
"Kau pasti bersekongkol dengannya, menem-
patkan keadaan Merak Betina sedemikian rupa
sehingga bisa diserang dari belakang!"
"Itu tuduhan yang mengada-ada!"
"Buktinya serangan itu kulihat datang dari tempatmu bersembunyi! Pasti kau
sebenarnya bersama dia. Untuk menghilangkan kecurigaan
ketika kami mengetahui ada yang mengintip, kau
muncul lebih dulu, sementara temanmu itu me-
nunggu kesempatan di balik semak itu! Menyesal
sekali aku tidak memeriksa semak-semak itu, ka-
rena terlalu yakin dengan dugaanku, bahwa kau
hanya seorang diri!"
"Lembayung Senja, tuduhanmu itu membabi
buta! Kalau aku teman si Topeng Merah, tak perlu kau mendorong tubuh Merak
Betina untuk menyelamatkan dia dari dua keping logam beracun
itu! Kalau aku bersekongkol dengan Topeng Me-
rah, untuk apa aku menangkap senjata rahasia
itu?" "Siasat mu sangat rapi dan tidak sembarang orang bisa mengetahui. Yoga!"
kata Lembayung Senja dengan mata kian menyipit benci "Kalau bukan aku, tak akan
ada yang menyangka begitu
padamu! Terbukti kau menahan seranganku saat
Topeng Merah lengah. Itu pertanda kau tak ingin
temanmu terluka atau terbunuh oleh cambuk
ku!" "Aku hanya menghentikan pertarungan yang tak jelas maksudnya tadi! Aku
tidak bermaksud
melindunginya, juga tidak bermaksud menahan
seranganmu! Kalau aku tidak berseru menyuruh
kalian berhenti, kalian pasti saling bunuh untuk maksud yang belum jelas!"
"Kehadiranmu menahan seranganku hanya
memberi kesempatan Topeng Merah melarikan di-
ri, kemudian kau berpura-pura bingung menca-
rinya! Hmmm...! Kau tidak rapi dalam penyeran-
gan ini, Yoga! Seandainya penyerangan itu tidak
muncul dari tempatmu bersembunyi tadi, aku ti-
dak bisa menduga bahwa ini adalah persekongko-
lan!" "Persekongkolan apa"!" bentak Yoga dengan kesal juga akhirnya. "Aku dan
Merak Betina tidak ada masalah apa-apa, mengapa aku harus membunuhnya dalam satu
persekongkolan"! Kau se-
makin mengacau, Lembayung Senja!"
Perempuan muda itu mendengus, kemudian
segera ia mengangkat mayat Merak Betina ke
pundaknya. la sempat memandang tak akrab pa-
da Yoga yang berkata, 'Tunggu pembalasan dari
orang-orang Belalang Liar! Pasti akan datang dan menuntut hutang nyawa
kepadamu!" Lembayung
Senja pergi. Hei, tunggu dulu...! Jangan libatkan aku da-
lam masalah ini!" Tapi seruan itu tak didengar la-gi oleh Lembayung Senja yang
merasa yakin be-
tul, bahwa semua kejadian tersebut adalah perse-
kongkolan Yoga dengan si Topeng Merah.
* * * 7 PERGURUAN Belalang Liar berkabung mene-
rima kematian Merak Betina. Lembayung Senja
memberi penjelasan kepada ketuanya yang ber-
nama Kembang Mayat. Sang ketua yang masih
muda dan cantik itu menerima laporan secara
apa adanya. ia percaya betul dengan kata-kata
Lembayung Senja, bahwa kematian Merak Betina
adalah persekongkolan antara Topeng Merah den-
gan Pendekar Rajawali Merah.
"Sama-sama memakai julukan Merah, kalau
bukan bersahabat, mau apalagi"! Setidaknya me-
reka pasti murid satu perguruan, Ketua!" kata Lembayung Senja membubuhkan
praduganya. Kembang Mayat yang cantik berwajah lon-
jong dengan usia sekitar dua puluh lima tahun
itu, menampakkan wajah dendamnya dengan gigi
menggeletuk menekan murkanya. Sekalipun ma-
sih muda, namun Kembang Mayat mewarisi kha-
risma dan kewibawaan neneknya sehingga layak-
nya ia menjadi seorang ketua di perguruan itu. la disegani dan dihormati oleh
orang-orang Belalang Liar. "Mengapa kau tidak membunuh Topeng Merah"!" katanya
kepada Lembayung Senja dengan nada dingin.
"Pendekar Rajawali Merah menghalanginya,
Ketua!" "Mengapa tidak kau lenyapkan saja dia"!"
"Dia... dia... dia...," Lembayung Senja bingung menjawabnya.
"Bodoh!" bentak gadis cantik yang sebenarnya kelihatan jauh lebih muda dari
Lembayung Senja. Kembang Mayat punya kesan masih rema-
ja jika tidak sedang bicara dan menahan murka.
Itulah sebabnya kadang-kadang tamu yang da-
tang ke perguruan itu tidak percaya bahwa Kem-
bang Mayat adalah Ketua Perguruan Belalang
Liar. "Apakah kau takut dengan Pendekar Rajawali Merah"!"
Tidak, Ketua!"
"Apakah kau kasihan jika harus melu-
kainya?" "Juga tidak, Ketua!"
"Lantas apa alasanmu sehingga kau tidak
membunuhnya"!"
"Hmmm... eeeh... anu...!"
Plaaak...! Kembang Mayat menampar wajah
Lembayung Senja dengan gerakan tangan cepat
yang tak terlihat. Lembayung Senja terpelanting
ke kiri karena kerasnya tamparan itu. Kulitnya
yang kuning langsat menjadi merah di bagian pi-
pinya, membekas jari tangan sang Ketua muda
yang sedang murka itu.
"Ikut aku! Cari pemuda yang mengaku Pen-
dekar Rajawali Merah itu! Kalau kau tak berani
melawannya, aku yang akan melawannya, demi
kehormatan Perguruan Belalang Liar ini!"
"Baik, Ketua! Saya akan antar mencari dia!"
jawab Lembayung Senja dengan patuh.
Tak ada yang berani menentang atau mela-
wan keputusan Kembang Mayat. Semua orang
Perguruan Belalang Liar tahu persis, bahwa Kem-
bang Mayat berilmu tinggi, karena ia mewarisi seluruh ilmu milik neneknya yang
dulu menjadi ke-
tua dan guru mereka, yaitu Nyai Sangkal Pati.
Bahkan menurut mereka, Kembang Mayat bisa
bertindak lebih tegas dan keji lagi terhadap siapa pun yang ingin menjatuhkan
nama perguruan.
Dalam memberikan keputusan-keputusan, Kem-
bang Mayat pantang menerima sanggahan atau
usulan. Sekali ia bilang putih, harus putih terjadi.
Sekali bilang merah, harus merah yang mereka
lakukan. Kembang Mayat pun tak pernah pandang
bulu dalam menjatuhkan hukuman kepada para
anggotanya. Tak segan-segan ia memancung ang-
gotanya sendiri jika memang orang tersebut ter-
bukti melakukan kesalahan besar. Bahkan saha-
bat baiknya sebelumnya ia menjadi ketua, menga-
lami nasib malang, yaitu dijatuhi hukuman gan-
tung karena suatu kesalahan yang dapat memba-
Naga Dari Selatan 4 Tanah Semenanjung Karya Putu Praba Drana Nona Berbunga Hijau 3
^