Pencarian

Mustika Lidah Naga 1 2

Mustika Lidah Naga 1 Bagian 2


sendiri, hanya untuk
membela hamba. Oh... ini benar-benar tidak dapat
hamba terima. Biarlah hamba saja yang mengorban-
kan diri, asalkan Kanjeng Ibu tetap hidup dan..."
Belum habis Sudesa bicara, sang Sekarpadma me-
motongnya, "Itu tidak benar, anakku. Kalau dikaji secara mendalam, sebenarnya
setiap amal perbuatanku
adalah untuk bekalku sendiri di alam kekal kelak. Demikian pula dengan
pertolongan yang telah kuberikan padamu, mudah-mudahan diterima oleh Hyang
Widhi, sebagai salah satu perbuatan baik yang pernah kulakukan di dunia ini. Karena
itu, janganlah merasa bahwa aku telah mengorbankan diriku untukmu."
Ketika Sudesa masih termangu-mangu, sang Sekar-
padma seperti terburu-buru berkata, "Sekarang den-garlah sebuah rahasia yang
mungkin ada gunanya ba-
gi dirimu. Menurut bisikan gaib yang pernah kuterima dalam salah satu
semadiku... tujuhpuluh tahun lagi...
hanya ada satu benda yang paling ampuh di daratan
ini, yakni Mestika Lidah Naga."
"Mestika Lidah Naga"!" Sudesa terheran-heran.
Sang Sekarpadma mengangguk. Lalu katanya,
"Mestika itu berada di lidah naga yang baru menetas pada malam bulan purnama.
Dan tempat menetasnya
naga keturunan Sang Anantaboga itu, adalah di bekas Telaga Darana ini. Tapi,
untuk menyempurnakan keterangan ini, harus kau cari sendiri lewat semadi."
Sudesa mau bertanya lagi. Tapi sang Sekarpadma
cepat-cepat menyerahkan tongkat yang terbuat dari
batu wulung, sambil berkata, "Sekarang cepatlah pergi dari sini, karena tempat
ini akan menjadi kancah yang mengerikan. Cepatlah pergi, Sudesa. Dan... jangan
kembali ke sini!"
Sudesa tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya
kecuali mengikuti perintah sang Sekarpadma itu. Ma-ka setelah menyembah kaki
sang Sekarpadma, Sudesa
memaparkan mantra 'Bayusuta' yang telah diturunkan dari sang Sekarpadma.
Kemudian... tubuh Sudesa melesat dari dasar Tela-
ga Darana, laksana anak panah terlepas dari busur-
nya, lalu hinggap di puncak bukit yang tidak begitu jauh letaknya dari Telaga
Darana. Itulah Sudesa yang telah memiliki ilmu-ilmu sang
Sekarpadma. Sudesa bukan lagi seorang tukang kuda
yang bodoh dan lemah, melainkan telah menjadi seo-
rang pemuda yang sulit dicari tandingannya di zaman itu. Begitu kaki Sudesa
menginjak puncak bukit itu, ti-ba-tiba saja air Telaga Darana bergolak.
Sudesa terpana, dibuatnya.
Telaga Darana menjadi pemandangan yang sangat
menakjubkan. Namun bagi Sudesa, telaga itu tampak
demikian mengerikan dan menyedihkan, karena Sude-
sa tahu apa yang sedang terjadi di dalam telaga itu.
Air bening yang sedang bergolak itu mulai tampak
berwarna-warni. Kemudian terdengar suara bergemu-
ruh, disusul oleh menyemburnya air dari dalam telaga itu... jauh tinggi ke
angkasa, tak ubahnya lahar yang muncrat dari puncak gunung berapi!
Sesaat kemudian... Telaga Darana telah berubah
menjadi lembah yang kering. Dan orang yang belum
pernah melihat Telaga Darana, tidak akan menduga
bahwa 'lembah' kering itu dahulunya sebuah telaga
yang indah dan penuh dengan misteri.
Sudesa menyaksikan semuanya itu dengan hati pi-
lu. "Beliau benar-benar telah memusnahkan dirinya
sendiri," pikir Sudesa dengan air mata berlinang-
linang. "Mudah-mudahan saja Hyang Widhi menem-
patkan Kanjeng Ibu Sekarpadma di Suargaloka."
Sambil memejamkan matanya yang basah, Sudesa
memaparkan mantra 'Bayusuta' lagi. Dan begitu ia se-
lesai memaparkan mantra tersebut, tubuhnya menda-
dak lenyap dari puncak bukit itu.
Pada saat berikutnya, Sudesa muncul di puncak
Gunung Limagagak, di depan Rupati, istri tercintanya.
Rupati yang sudah tahu bahwa suaminya bisa le-
nyap atau muncul secara tiba-tiba di depan matanya, tidak lagi merasa heran
dengan kehadiran Sudesa saat itu. Yang membuat Rupati heran, adalah linangan air
mata di kelopak mata Sudesa itu.
Maka ujar Rupati, "Tak seperti biasanya, Kakang
datang dengan wajah murung dan mata berkaca-kaca.
Mungkin ada sesuatu yang membuat hati Kakang ber-
sedih." Sudesa mengangguk dan menyahut, "Kanjeng Ibu
Sekarpadma telah tiada."
"Oh!" Rupati memegang kedua belah pipinya yang
lembut kemerahan.
"Aku merasa sangat kehilangan," ujar Sudesa. "Ka-
lau tidak ada beliau, mungkin aku sudah tewas di
tiang gantungan."
"Tapi... bagaimana kejadian yang sebenarnya, Ka-
kang?" Sudesa menghela napas panjang. Kemudian mence-
ritakan apa yang telah terjadi di Telaga Darana.
Kematian sang Sekarpadma yang musnah tanpa be-
kas, berikut lenyapnya Telaga Darana yang lalu menjadi lembah, memang merupakan
kehilangan yang
sangat memilukan bagi Sudesa. Hanya dengan jalan
bersemadilah Sudesa dapat menekan kesedihan yang
amat mencekam itu. Dan memang di hari-hari beri-
kutnya Sudesa lebih banyak menghabiskan waktunya
dalam persemadian.
Sampai pada suatu hari, Sudesa bukan hanya ber-
hasil mengumpulkan kembali semangatnya, melainkan
juga menerima bisikan gaib yang ditunggu-tunggunya sejak mendapat keterangan
dari sang Sekarpadma...
mengenai Mestika Lidah Naga!
"Aku telah berhasil memiliki ilmu-ilmu sang Sekar-
padma. Aku juga telah berhasil mendapatkan keterangan yang lebih jelas tentang
mestika itu," ujar Kudawulung pada Rangga. "Tapi aku tidak berhasil mendapatkan
kebahagiaan bagi diriku sendiri."
"Maksud Rama Guru?" tanya Rangga.
"Ketika istriku mengidam, aku merasa senang seka-
li. Maka waktu ia menyatakan ingin makan buah deli-ma, aku sangat bernafsu untuk
mencarikannya," sa-
hut Kudawulung. "Namun... ternyata itulah awal bencana bagi kebahagiaanku."
"Awal bencana bagi kebahagiaan Rama Guru"!"
"Ya. Memang aneh, saat itu pohon-pohon delima
tiada yang berbuah. Aku sudah mencarinya ke mana-
mana, tapi tak sebuah delima pun kudapatkan. Tiga
bulan lebih aku berkelana, hanya untuk buah delima yang diidamkan oleh istriku.
Dan akhirnya aku pulang ke puncak Gunung Limagagak ini, dengan tangan
hampa." "Istri Rama Guru tentu kecewa sekali," kata Rangga.
Kudawulung menggeleng dengan senyum getir. Ke-
luhnya, "Dia tidak bisa lagi merasakan sedih ataupun kecewa. Ketika aku pulang
ke puncak Gunung Limagagak ini, dia sudah tidak ada lagi di sini. Aku mencari-
carinya dengan segenap kemampuanku. Ternyata
dia sudah binasa di kotaraja."
"Binasa di kotaraja?"
"Ya," Kudawulung mengangguk. "Rupanya istriku
mulai resah setelah tiga bulan aku tak pulang-pulang.
Kemudian dia turun dari puncak gunung ini... dan... di daerah lereng sana,
pasukan Pangeran Gandaseta
memergoki istriku. Mereka menyeret istriku ke kotaraja dan menyerahkannya kepada
pangeran mata keran-
jang itu. Dan setelah Pangeran Gandaseta tahu bahwa Rupati sedang dalam keadaan
hamil, Rupati dibunuh... sebagai pelampiasan dendam sang Pangeran
atas cintanya yang tak terbalas."
Darah muda Rangga mendidih mendengar cerita
gurunya itu. Lalu tanyanya, "Apakah Rama Guru
membiarkan saja kenyataan pahit itu?"
Kudawulung seperti berat menjawab pertanyaan itu.
Tapi lalu dijawabnya juga, "Pada saat itu aku masih muda seperti kau sekarang.
Darah mudaku jelas tak
dapat menerima kenyataan pahit itu. Dan aku lalu
menganggap bahwa kekejaman harus dibalas dengan
kekejaman. Karena kalau kekejaman dibalas dengan
kelemahan, akan membuat kekejaman itu semakin
merajalela."
Lalu Kudawulung menceritakan apa yang dilaku-
kannya setelah mengetahui bahwa Rupati binasa di
tangan Pangeran Gandaseta.
Kotaraja dibuat gempar dengan munculnya seorang
tokoh yang mengenakan topeng hitam dan membawa-
bawa tongkat batu wulung di tangannya. Tokoh misterius itu menjagal istri-istri
dan seluruh keturunan Pangeran Gandaseta! Tak cukup dengan itu saja, pasu-
kan Pangeran Gandaseta pun dibuat menderita. Nyawa keluarga mereka dihabisi! Dan
tak seorang pun yang mampu mencegah tindakan tokoh misterius itu.
Namun tokoh bertopeng hitam itu masih belum
puas juga. Dengan cara yang aneh, ia mengebiri Pangeran Gandaseta. Sehingga
pangeran mata keranjang
itu tak dapat lagi melampiaskan nafsu birahinya.
Sebelum meninggalkan kotaraja, tokoh misterius
yang tak lain dari Sudesa itu masih sempat mengu-
mandangkan suaranya yang bergemuruh dan terden-
gar ke setiap pelosok kotaraja, "Sekarang kalian merasakan sendiri bagaimana
sedihnya berpisah dengan
keluarga yang kalian cintai. Dan setiap kali kalian ber-buat kekejaman, aku akan
membalas dengan cara
yang lebih ganas lagi!"
Suara itu lenyap. Lalu terdengar suara tawa yang
mirip ringkik kuda. Suara tawa itu pun lalu lenyap.
Dan gemparlah seluruh penghuni kotaraja setelah
mereka menyadari apa yang telah dilakukan oleh to-
koh misterius bertopeng hitam itu.
Pangeran Gandaseta meratapi istri dan selir-
selirnya yang telah dibunuh oleh tokoh tak dikenal itu.
Ia juga meratapi anak-anaknya yang tak disisakan seorang pun. Semuanya dibunuh
dengan cara yang aneh
dan mengerikan. Dan yang paling menyedihkan hati
sang Pangeran, adalah kejantanannya yang juga telah dilenyapkan oleh tokoh
misterius itu. Pasukan Pangeran Gandaseta pun tak kurang se-
dihnya, karena istri dan anak-anak mereka juga telah menjadi korban pembalasan
dendam Sudesa. Banyak yang menganggap kejadian itu sebagai pe-
ristiwa yang amat mengerikan. Namun rakyat yang
pernah merasakan kekejaman Pangeran Gandaseta
dan balatentaranya, diam-diam mensyukuri kejadian
itu. Walaupun mulut mereka terkatup rapat-rapat,
namun hati mereka seolah-olah berkata, "Pembalasan telah datang. Memang
demikianlah seharusnya. Kekejaman mesti dibalas dengan kekejaman lagi!"
Apakah pembalasan dendam seperti itu menda-
tangkan kepuasan bagi Sudesa" Sama sekali tidak.
Bagaimanapun juga Rupati yang telah tewas, tak dapat dihidupkan kembali. Dan
tindakan ganas Sudesa justru hanya mendatangkan penyesalan di hari-hari be-
rikutnya. "Aku telah membunuhi perempuan-perempuan dan
anak-anak tak berdosa. Ah... betapa menumpuknya
dosa yang telah kulakukan."
Demikianlah selalu yang terpikir di benak Sudesa
pada hari-hari berikutnya.
Kudawulung mengakhiri ceritanya dengan, "Se-
karang, setelah aku tua begini, penyesalanku semakin bertumpuk. Kalau teringat
tindakanku yang pernah
kulakukan di kotaraja dahulu, rasanya aku telah menjadi orang yang paling
berdosa di muka bumi ini."
"Tapi nama Rama Guru terkenal sebagai tokoh
pembela kebenaran," kata Rangga.
Kudawulung tersenyum getir. Desahnya, "Memang...
sekarang diriku hanya dikenal sebagai tokoh pembela keadilan dan kebenaran.
Sedikit sekali yang tahu bahwa aku pernah melakukan kekejaman yang sangat
mengerikan. Kekejaman yang hanya terdorong oleh bujukan iblis."
Dan tiba-tiba Kudawulung menatap wajah Rangga
tajam-tajam. "Kau tidak boleh mengulang kesalahan
yang pernah kulakukan! Bersumpahlah dulu, bahwa
kau hanya akan membunuh orang manakala nyawamu
sendiri sedang sangat terancam! Bersumpahlah! Aku
tidak ingin ilmu yang kuturunkan padamu akan men-
jadi ilmu membunuh! Bersumpahlah, Rangga!"
Rangga mengangguk, lalu tertunduk.
"Bersumpahlah!" bentak Kudawulung.
"Ya... hamba bersumpah tidak akan membunuh,
kecuali dalam keadaan yang sangat memaksa!"
Kudawulung tertawa terkikik-kikik. Dan lagi-lagi
tampak keanehan pada dirinya. Ketika ia tertawa, air matanya bercucuran. Dan
suara tawanya itu... benar-benar mirip ringkik kuda!
Tapi, tiba-tiba saja tawa Kudawulung terhenti. Dan dengan suara sungguh-sungguh,
ia berkata, "Kau jangan lagi membahasakan dirimu dengan sebutan ham-
ba! Aku bukan berasal dari keturunan ningrat. Aku tidak patut dipertuan oleh
siapa pun! Kau kujadikan
muridku. Bukan kujadikan hambaku. Mengerti?"
"Mengerti, Rama Guru."
"Hahahahaaaa... lucu! Lucu!"
"Apanya yang lucu?" Rangga terheran-heran.
"Kau telah berkali-kali memanggilku Rama Guru.
Padahal aku belum menurunkan ilmu apa-apa pada-
mu, kecuali cerita masa laluku saja."
"Tapi aku senang sekali mendengar kisah masa lalu
Rama Guru. Sayangnya Rama Guru tidak mencerita-
kannya secara lengkap."
"Apanya yang kurang lengkap?"
"Rama Guru tidak menceritakan tentang Pangeran
Gandaseta, Adipati Nawanggana dan lain-lainnya sampai tuntas."
"Mereka memang sudah tiada," desis Kudawulung.
"Kota Kadipaten Nawanggana pun sekarang tidak dii-
ngat orang lagi. Orang-orang hanya tahu nama sebuah kota kecil, bernama
Kawahsuling."
"Kawahsuling"!" Rangga terperanjat. "Jadi Kawah-
suling itu tadinya sebuah kota kadipaten?"
Kudawulung mengangguk.
"Lalu... bekas Telaga Darana yang kata Rama Guru
telah menjadi lembah itu, di mana letaknya?"
Dengan tawa kecil Kudawulung menjawab, "Kam-
pungmu sendiri, tolol!"


Mustika Lidah Naga 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kampungku"!"
"Ya," Kudawulung mengangguk. "Telaga Darana
yang telah berubah menjadi lembah itu, bertahun-
tahun kemudian menjadi kampung, yang lalu dinamai
Tilugalur!"
Rangga tercengang.
*** ILUGALUR sunyi senyap. Rumah-rumah penduduk
Tm asih berdiri tegak. Tapi tak tampak seorang ma-
nusia pun di desa yang berbentuk lembah itu. Bahkan seekor binatang pun tidak
kelihatan di situ.
Matahari sepenggalah ketika debu mengepul di se-
belah barat Tilugalur, di jalan berbatu-batu yang
menghubungkan kotaraja dengan Kawahsuling. Debu
itu dikepulkan oleh kaki dua ekor kuda yang ditung-gangi dua orang lelaki
bertombak. Dua orang prajurit kerajaan!
Yang seorang berperawakan tinggi besar dan meme-
lihara kumis tebal, yang seorang lagi berperawakan tinggi kurus dengan kepala
gundul mengkilap.
Mereka menghentikan kuda mereka di batas utara
Tilugalur yang merupakan simpang tiga.
"Mau menengok janda yang dulu itu?" tanya si ku-
rus gundul. Prajurit yang tinggi besar mengangguk dengan se-
nyum. "Ya. Mudah-mudahan saja dia belum kawin la-
gi. Hihihihi...!"
Kedua prajurit berkuda itu membelokkan kuda me-
reka ke selatan.
"Kenapa Tilugalur jadi sepi begini, heh?"
"Mungkin orang-orangnya sedang berada di sawah."
"Ke rumah lurah saja dulu. Dia pasti terkejut men-
dapat kunjungan kita. Mudah-mudahan saja dia me-
nyuguhi makanan yang enak-enak. Perutku lapar se-
kali, nih."
"Ah, perut saja yang kau pikir. Aku malah mem-
bayangkan betapa enaknya kalau di pagi yang cerah
ini ketemu perempuan cantik seperti janda yang dulu itu."
"Huh! Kamu sendiri hanya memikirkan perempuan
saja! Apa belum kenyang dengan suguhan Lurah Gin-
ding kemarin?"
Prajurit yang tinggi besar menggelengkan kepala, la-lu ketawa kecil.
"Kamu memang rakus. Seperti kudamu saja," cetus
si kurus gundul.
"Mumpung masih muda! Hahahahaaaa... eh... rasa-
nya Tilugalur ini lain dari biasanya. Anak-anak pun tidak kelihatan...!"
"Iya," sahut si kurus gundul. "Desa ini seperti desa mati...!"
Di depan rumah lurah, mereka menghentikan kuda
mereka. Lalu mereka melompat turun dari kudanya
masing-masing. Dengan langkah tegap, prajurit berkumis itu berja-
lan duluan, menuju pintu rumah lurah yang terbuka
lebar. "Luraaah!" serunya sambil bertolak pinggang dan mendadak pasang wajah
angker. Tak terdengar sahutan. Ia menengok-nengok di pin-
tu. Dan si kurus gundul merebahkan diri di atas balai-balai dekat kentongan,
sambil bersiul-siul.
"Gundul...!"
"Heh?"
"Kenapa rumah lurah ini seperti tidak ada orang-
nya?" "Mungkin orangnya sedang pada pergi ke sawah."
"Ah, tidak! Kelihatannya seperti ada sesuatu yang
tidak beres."
"Tidak beres bagaimana?" si kurus gundul turun
dari balai-balai bambu itu, lalu mengikuti si kumis ke dalam rumah lurah.
"Kosong melompong dan... bau kembang kenanga
ini... kau menciumnya?"
Si kurus gundul mengangguk-angguk. "Yayaya...
aku menciumnya! Ah, jangan-jangan...."
"Jangan-jangan apa?" si kumis menoleh pada ka-
wannya. Belum lagi si kurus gundul menjawab, tiba-tiba terdengar ringkik kesakitan kuda-
kuda yang ditambatkan di pekarangan rumah lurah itu.
Si kumis menoleh ke luar. "Hai! Kuda kita itu...!"
Si gundul pun menoleh ke luar. Dan dilihatnya ke-
dua ekor kuda itu sedang menggelepar-gelepar di tanah, lalu terkapar, tak
bergerak lagi. Kedua prajurit kerajaan itu berlari ke luar, meng-
hampiri kuda mereka, yang ternyata sudah mati dua-
duanya! "Hai... kenapa kuda-kuda kita ini?"
"Mati! Dua-duanya mati!"
"Aneh...!"
"Mungkin ada daun tuba yang termakan..."
"Daun tuba gundulmu! Rumput pun tak ada di si-
ni!" "Hai! Aku serasa diingatkan! Dulu di pekarangan rumah lurah ini banyak
tumbuh bunga-bungaan. Tapi
sekarang... gundul begini"!"
"Ya, gundul! Gundul seperti kepalamu!"
"Jangan melawak, Baplang! Dalam keadaan seperti
ini, mulutmu kelihatan jelek sekali!"
"Kau juga jangan melucu! Kita terpaksa harus ber-
jalan kaki sampai Kawahsuling. Hai"! Apa yang mau
kau lakukan dengan kentongan itu?"
Si kurus gundul menyahut, "Aku akan mengumpul-
kan rakyat desa ini. Aku harus meminta keterangan
pada mereka, apa sebenarnya yang telah terjadi di Tilugalur ini."
"Ya, pukullah kentongan itu, Bolenang!"
Prajurit berkepala botak itu mulai memukul ken-
tongan, Trong... trong... trooong... trong... tong... tongtongtong...
troooong... tong...!
Dan Tilugalur tetap sunyi. Hanya dua prajurit kerajaan itu yang sibuk sendiri,
menengok-nengok dan
menengok-nengok terus.
Si kurus gundul yang dipanggil Bolenang itu letih
sendiri. Diserahkannya pemukul kentongan itu kepada kawannya. "Kau saja yang
memukul kentongannya,
Baplang. Aku letih sekali."
"Huh, prajurit apaan kamu ini" Mukul kentongan
saja bisa letih. Apalagi disuruh bertempur...!" si kumis yang dipanggil Baplang
menyambut pemukul kentongan. Lalu..., trong... trong... tongtongtong...
tongtongtong...!
Dan Tilugalur tetap sepi. Sehingga prajurit bernama Baplang itu membantingkan
pemukul kentongan ke tanah, sambil menggerutu, "Huh! Tampaknya penduduk
di sini sudah tuli semua!"
Lalu Baplang menoleh ke arah Bolenang yang se-
dang terduduk di tanah. Bibir Bolenang seperti tersenyum. Tapi senyum itu tampak
aneh di mata Baplang!
"Apa yang lucu" Kamu... senyum-senyum sendiri..."
Baplang menepuk bahu kawannya.
Tapi, begitu tangan Baplang menyentuh bahu Bole-
nang, memekiklah Baplang, "Bolenaaang!"
Bolenang tersungkur. Dan ketika Baplang memerik-
sanya, ternyata lelaki kurus gundul itu sudah menjadi mayat!
Sadarlah Baplang kini, bahwa Tilugalur sudah me-
nyimpan sesuatu yang mengerikan. Namun kesadaran
Baplang hanya sekejap mata. Karena pada saat beri-
kutnya, ia melihat sesosok tubuh kecil berkelebat di depan matanya. Dan sebelum
sempat Baplang memperhatikan bentuk yang berkelebat itu, tenggorokannya terasa
seperti dicabut ke luar... lalu Baplang tersungkur di samping mayat Bolenang,
dalam keadaan tak bernyawa lagi!
Tilugalur hening kembali. Tiada bunyi apa-apa. A-
ngin pun tak berhembus. Segalanya diam. Daun-daun
bambu pun diam, terpaku, seolah-olah sedang meng-
heningkan cipta. Seakan-akan ngeri menyaksikan ke-
jadian demi kejadian yang berlangsung di Tilugalur, sejak tiga tahun yang lalu.
*** Sebenarnya peristiwa kematian Bolenang dan Ba-
plang itu bukan merupakan peristiwa bagi prajurit-
prajurit kerajaan. Namun 'hilangnya' Bolenang dan Baplang, mulai menyadarkan
Pangeran Aria Pamungkas
beberapa hari berikutnya, di kotaraja.
"Sudah tiga kali kita mengirim prajurit ke Kawah-
suling untuk memungut pajak tahunan, tapi semua-
nya tidak kembali. Itulah yang ingin kubicarakan dengan Paman Senapati," ujar
Pangeran Aria Pamung-
kas. Senapati Jugala menatap wajah Pangeran Aria Pa-
mungkas sesaat. Lalu katanya, "Sebenarnya hamba
juga sedang berpikir untuk menanyakannya kepada
Gusti. Karena keenam prajurit yang diutus ke Kawahsuling itu merupakan tanggung
jawab hamba."
Aria Pamungkas berdiri. "Sebaiknya kita berbicara
di taman, supaya udaranya lebih segar," katanya.
"Baik, Gusti." Senapati Jugala bangkit dan mengi-
kuti langkah sang Putra Mahkota, menuju taman.
Aria Pamungkas duduk di batu berbentuk kubus.
Senapati Jugala pun duduk di batu lain. Lalu, "Menurut dugaan Paman, apakah
tidak terjadi sesuatu di
Kawahsuling?"
"Maksud Gusti?"
"Aku agak curiga. Jangan-jangan adipati yang baru
diangkat itu mempersiapkan suatu pemberontakan,
Paman." "Dalam laut bisa diukur, hati orang siapa tahu. Ta-pi, menurut pendapat hamba,
adipati yang baru itu
sangat setia terhadap kerajaan."
"Lalu kenapa prajurit-prajurit yang dikirim ke sana hilang semuanya" Apakah
Paman tidak pernah berpikir bahwa mereka disergap oleh prajurit kadipaten untuk
maksud-maksud tertentu" Sebagai seorang sena-
pati, seharusnya Paman sudah memperhitungkan ke-
mungkinan buruk itu," suara Aria Pamungkas terden-
gar tajam. Senapati Jugala tertunduk.
"Paman tentu masih ingat cerita-cerita lama tentang malapetaka yang pernah
melanda kerajaan ini. Seorang pemberontak yang mengatasnamakan keadilan
dan kebenaran, telah menjagal keluarga pamanku."
"Ya, hamba masih ingat, Gusti."
"Dan pemberontak itu berasal dari Kawahsuling,
yang dulu lebih dikenal dengan nama Kadipaten Na-
wanggana."
"Betul, Gusti."
"Pemberontak itu bernama Kudawulung. Dan sam-
pai saat ini, kita tidak tahu apakah dia masih hidup atau sudah mati..."
"Kalau Gusti menghendaki, hari ini juga hamba
akan berangkat ke Kawahsuling, untuk menyelidiki
persoalan yang sebenarnya."
"Jangan potong dulu kata-kataku, Paman."
"Maafkan, Gusti...!"
"Aku memang menghendaki Paman segera berang-
kat ke Kawahsuling, dengan balatentara secukupnya.
Dan kalau Adipati Kawahsuling berani bertindak ma-
cam-macam terhadap prajurit yang enam orang itu, seret adipati itu ke sini. Rama
Prabu pasti berkenan menjatuhkan hukuman mati bagi setiap pengkhianat."
"Tentu, Gusti, tentu!"
Aria Pamungkas bangkit. Memegang bau Senapati
Jugala. Dan berkata, "Hari masih pagi. Tiada salahnya Paman berangkat hari ini
juga." "Baik, Gusti. Hamba mohon diri."
Senapati Jugala bergegas meninggalkan taman.
Dan Pangeran Aria Pamungkas termenung sesaat.
Lalu melangkah ke dalam istana.
"Kalau Paman Jugala tak berhasil menyelesaikan
persoalan ini, aku harus mengusulkan kepada Rama
Prabu, untuk memecat Paman Jugala dan mengganti-
kannya dengan senapati baru," pikir Aria Pamungkas.
Beberapa saat kemudian, tampaklah sebarisan pra-
jurit kerajaan meninggalkan kotaraja, dipimpin langsung oleh Senapati Jugala.
Pangeran Aria Pamungkas memperhatikan gerakan pasukan kerajaan itu dari menara
istana. "Gusti Aria memberangkatkan balatentara di bawah
pimpinan Senapati Jugala?" tiba-tiba saja sang Mangkubumi muncul di belakang
Aria Pamungkas.
Aria Pamungkas terkejut dan menyahut dengan na-
da kurang enak, "Kurasa itu urusanku sebagai putra mahkota."
"O, memang betul, Gusti Aria," Mangkubumi sedikit
membungkukkan badannya. "Tapi kalau boleh hamba
memberikan pendapat, tampaknya...."
"Paman Mangkubumi...!" potong Aria Pamungkas.
"Undang-undang di kerajaan kita telah menentukan,
bahwa kedudukan seorang mangkubumi hanya ber-
tanggungjawab dalam soal-soal harta kerajaan. Dan
Paman sama sekali tidak berhak ikut campur dalam
urusan angkatan perang."
"Benar sekali, Gusti Aria. Hamba mohon ampun,
karena telah lancang mencampuri urusan yang bukan
hak hamba," sang Mangkubumi membungkuk lagi,
kemudian melangkah mundur, untuk meninggalkan
menara istana itu.
Tapi tiba-tiba Aria Pamungkas memanggilnya,
"Tunggu, Paman!"
Sang Mangkubumi menghentikan langkahnya.
"Gusti Aria hendak memerintahkan sesuatu kepada
hamba?" Suara Mangkubumi itu terdengar dingin. Tapi Aria
Pamungkas masih terlalu muda untuk menilai hal itu.
"Apa yang ingin Paman kemukakan tadi?" tanya
sang Putra Mahkota.
Sang Mangkubumi menghela napas panjang. Lalu
katanya, "Kalau hamba tidak salah dengar, Senapati Jugala diperintahkan untuk
berangkat ke Kawahsuling, untuk menanyakan masalah enam prajurit yang
tidak kembali ke kotaraja."
"Betul," Aria Pamungkas mengangguk, sambil berto-
lak pinggang. "Dan kalau hamba tidak salah duga, keenam praju-
rit itu ditugaskan untuk menagih pajak tahunan ke
Kawahsuling."
"Juga betul."
"Kalau tidak salah, pajak itu merupakan salah satu


Mustika Lidah Naga 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

urusan hamba."
Wajah Aria Pamungkas memucat. "Apa maksud Pa-
man?" "Hamba tidak ingin mengatakan bahwa keberangka-
tan balatentara Senapati Jugala itu merupakan salah satu urusan hamba, karena
hamba hanya seorang
bendahara. Tapi, barangkali seorang rakyat kecil pun berhak berbicara, manakala
keselamatan negaranya
mulai terancam."
"Paman Mangkubumi tidak usah menyindirku. Ka-
takan saja terus terang, apa yang ingin Paman kemukakan?"
"Ampun, Gusti Aria. Menurut pendapat hamba, kee-
nam prajurit yang hilang itu tidak pernah sampai di Kawahsuling."
"Kenapa Paman berpendapat begitu?"
"Seorang pedagang yang baru pulang dari Kawah-
suling, bercerita kepada hamba bahwa desa lembah Tilugalur telah banyak memakan
korban secara aneh.
Sedangkan yang hamba tahu, setiap orang yang ada di dalam perjalanan menuju
Kawahsuling, akan tergoda
untuk singgah dulu di Tilugalur."
"Paman tahu siapa aku, bukan"! Sejak kecil aku
sudah digembleng untuk tidak merasa gentar mengha-
dapi bahaya sehebat apa pun!"
Sang Mangkubumi tertunduk. Desahnya, "Hamba
bahkan ingin mengusulkan supaya Senapati Jugala
disusul dan membatalkan kepergian mereka."
Aria Pamungkas terbelalak. "Paman Mangkubumi
ini bicara soal apa?"
"Soal keselamatan bagi kita semua, Gusti Aria."
"Lantas, kalau Senapati Jugala disuruh pulang lagi, apa yang harus kita
lakukan?" "Mencari seseorang yang berilmu, untuk menyelidiki
keadaan di Tilugalur."
"Lagi-lagi Paman bicara soal Tilugalur. Sebenarnya ada apa di desa kecil itu?"
"Seperti yang hamba katakan tadi, Tilugalur telah
banyak memakan korban. Dan hamba yakin, keenam
prajurit yang ditugaskan oleh Gusti Aria itu, binasa di Tilugalur."
"Baiklah. Kita tunggu sampai Senapati Jugala pu-
lang atau binasa di Tilugalur."
Sang Mangkubumi terbelalak. "Ja... jadi... Gusti
Aria akan membiarkan Senapati Jugala jadi korban?"
Aria Pamungkas menyeringai. "Seorang senapati ha-
rus memperlihatkan kelebihannya, bahwa ia patut
memegang kedudukan penting itu."
*** EORANG lelaki muda berjalan dengan kepala ter-
Stu nduk, memasuki tapal batas Kawahsuling. Tiada
yang memperhatikannya ketika ia menghentikan lang-
kahnya di depan warung nasi yang terletak tidak begitu jauh dari batas sebelah
barat Kawahsuling itu.
Bahkan setelah ia duduk di warung nasi itu pun, ke-hadirannya tidak menarik
perhatian orang.
Lelaki muda itu, adalah Rangga.
Sikap Rangga yang begitu sederhana membuat
orang-orang yang sedang makan di warung nasi itu tidak memperhatikannya. Sikap
sederhana itu memang
merupakan salah satu hasil ajaran Kudawulung, yang selama tiga tahun
menggembleng Rangga.
Kehadiran Rangga di Kawahsuling pun bukan tidak
ada sebabnya. Rangga masih ingat benar apa yang dikatakan oleh gurunya, ketika
ia akan meninggalkan
puncak Gunung Limagagak.
"Sekarang kau telah mengerti apa yang menyebab-
kan kematian seluruh penduduk Tilugalur tiga tahun yang lalu. Mereka telah
menjadi tumbal penetasan te-lur naga perkasa itu.]
"Dan sekarang kau telah mengerti, apa sebabnya
aku melarangmu menyentuh mayat istrimu dahulu.
Kalau kau menyentuhnya, saat itu juga ajalmu akan
tiba.] "Memang waktu kau baru tiba di Tilugalur, kau
sempat memeluk mayat istrimu, tanpa sesuatu yang
terjadi pada dirimu, karena pada saat itu tubuh istrimu masih mengandung anakmu.
Sedangkan anakmu
dibutuhkan oleh naga yang baru menetas itu, sehingga tubuh istrimu belum
mengandung hawa maut yang
dahsyat itu. Tapi setelah bayi itu diambil oleh yang berkepentingan, mayat
istrimu tidak dilindungi lagi olehnya.]
"Satu hal yang harus kau ketahui, anakmu itu
mungkin masih hidup sampai sekarang. Ia akan men-
jadi saudara angkat naga yang baru menetas itu. Tapi kau harus berhati-hati,
karena mungkin sekali anakmu sudah tidak mirip dengan manusia biasa. Kau juga
harus merelakannya, seandainya ia tidak mengenalmu sebagai ayahnya.]
"Sekarang, untuk sementara lupakanlah mestika li-
dah naga itu. Jalan yang harus ditempuh untuk men-
dapatkannya sudah sangat sulit, karena aku terlambat bertindak dahulu.]
"Kau juga jangan mencoba-coba memasuki Tiluga-
lur, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Sebaiknya kau pergi ke Kawahsuling, lalu diamlah di kota kadipaten itu selama
tiga atau empat hari. Mungkin ada sesuatu yang cukup menarik untuk kau kerja-
kan di situ.] "Tapi ingat, Rangga, jangan sekali-kali mengaku sebagai muridku. Bersikaplah
seperti orang biasa. Dan jangan mengeluarkan ilmu-ilmu yang telah kuturunkan
padamu, kecuali dalam keadaan terpaksa saja."
Begitulah sebagian pesan dan nasihat Kudawulung,
yang disampaikan menjelang keberangkatan Rangga
menuju Kawahsuling.
Dan kini, ketika Rangga berada di dalam warung
nasi itu, setiap pesan gurunya terngiang-ngiang lagi di telinganya. Itulah
sebabnya ia bersikap masa bodoh ketika seorang lelaki setengah tua bertindak
kurang ajar kepada pemilik warung nasi itu, seorang janda muda yang oleh
penduduk Kawahsuling biasa dipanggil Nyi Tiwi.
"Aku minta tuak keras, kenapa tuak manis begini
yang kau hidangkan"!" desis lelaki bercambang tebal itu, sambil menggenggam
pergelangan tangan Nyi Tiwi.
"Me... memang hanya itu adanya, Mang. Ja... jan-
gan begini, ah," sahut Nyi Tiwi sambil menepiskan
genggaman lelaki itu.
Dan Rangga tetap tenang menyantap nasi dengan
pepes ikan terinya.
"Mang Ucen," kata seorang lelaki muda yang duduk
di samping Rangga, "Nyi Tiwi memang biasa begitu."
"Begitu bagaimana?" lelaki bercambang dan dipang-
gil Mang Ucen itu menoleh kepada si lelaki muda yang duduk di samping Rangga.
"Tuak manis itu sebagai isyarat bahwa Mang Ucen
boleh nginap di sini nanti malam, tapi jangan terlalu ganas. Hihihihi."
Lelaki bernama Ucen itu terbahak-bahak. "Hahaha-
haha! Kamu betul, Sakri! Nyi Tiwi takut kalau aku ma-bok, lantas bermain
galak...!"
Wajah Nyi Tiwi kemerahan. Tampaknya ia seperti
ingin membantah omongan lelaki bernama Sakri dan
Ucen itu. Tapi sebagai seorang pedagang, mungkin ia ingin bersikap seluwes
mungkin, sekalipun ia merasa dikurangajari.
Tapi semuanya itu tidak menarik perhatian Rangga.
Rangga lebih banyak memperhatikan, secara diam-
diam, kepada seorang lelaki kurus setengah tua, yang duduk di sudut. Lelaki itu
bertelanjang dada, sementara sudut matanya kerap mengerling ke jalan, seakanakan
ada sesuatu yang dinantikannya. Atau, mungkin juga ada sesuatu yang ditakutinya.
Yang menarik perhatian Rangga adalah bahwa lela-
ki kurus itu seperti tidak kenal dengan lelaki-lelaki yang bernama Sakri dan
Ucen itu. "Mungkin dia juga seorang pendatang seperti aku," pikir Rangga.
Belum lagi selesai Rangga makan, tiba-tiba seorang anak muda datang dengan
tergopoh-gopoh. "Mang
Ucen... Kang Sakri... ada prajurit kadipaten...!" seru anak muda itu tertahan.
"Hah"!" lelaki bernama Ucen dan Sakri itu terperanjat, lalu bergegas
meninggalkan warung nasi setelah berkata kepada Nyi Tiwi, "Nanti saja uangnya,
Nyi!" Nyi Tiwi menghela napas dan menggerutu perlahan,
"Lagi-lagi ngutang...."
"Kenapa mereka seperti ketakutan?" tanya si lelaki kurus yang sejak tadi berdiam
diri. Nyi Tiwi menyahut, "Mereka sedang dicari-cari oleh prajurit kadipaten. Entah apa
kesalahan yang pernah mereka lakukan."
Lelaki kurus itu mengernyit, lalu melirik ke arah
Rangga yang masih asyik makan. Memang tinggal
Rangga dan lelaki kurus itu yang masih berada di dalam warung makan.
"Dunia ini sudah mulai lucu. Orang baik-baik ma-
lah takut sama pencuri, perampok dan pemerkosa,"
gumam lelaki kurus itu sambil menyeka mulutnya
dengan telapak tangan.
"Maksudmu?" Rangga mulai bersuara.
Lelaki kurus itu menoleh kepada Rangga, lalu me-
nyahut, "Lelaki muda bernama Sakri itu pasti orang baik-baik, sekalipun
omongannya kedengaran melan-tur."
"Betul," sahut Nyi Tiwi ikut berbicara. "Kang Sakri memang orang baik. Tapi Mang
Ucen itu genit sekali."
"Hahahahaaa... soal genit kepada perempuan, itu
kan biasa. Laki-laki sebaik apa pun, kalau sudah berhadapan dengan perempuan
cantik seperti kamu, pasti jadi lain," kata lelaki kurus itu.
"Saya baru sekali ini melihat A... Akang," desis Nyi Tiwi. "Tapi kelihatannya
Akang sudah banyak tahu
tentang penduduk di sini."
Lelaki kurus itu mengangguk-angguk sambil terse-
nyum. "Memang benar," katanya. "Aku bukan pendu-
duk Kawahsuling. Tapi aku sudah banyak tahu ten-
tang Sakri dan Ucen. Aku masih ingat kepada mereka, ketika mereka datang ke
kampungku beberapa tahun
yang lalu. Tapi tampaknya mereka sudah lupa pada-
ku." "Kampungnya di mana. Kang?" tanya Rangga.
"Di Cisumpit."
"Cisumpit"! Wah, kalau begitu kampung kita berde-
katan, Kang."
"Kampungmu di mana, Jang?" lelaki kurus itu balik
bertanya. "Tilugalur."
Lelaki kurus itu menatap wajah Rangga tajam-
tajam. Lalu, "Tilugalur"!"
Rangga mengangguk. "Memangnya kenapa, Kang?"
"Mudah-mudahan saja kau tidak membohongiku,
Jang. Karena setahuku, Tilugalur sudah tidak dihuni manusia lagi. Mungkin semut
pun sudah tidak bisa
hidup lagi di sana."
"Aku sudah tiga tahun tidak pulang-pulang ke sana.
Tapi, apa sebenarnya yang telah terjadi di sana, Kang?"
"Hhhh... hhh... lucu! Orang Tilugalur malah ber-
tanya tentang kampungnya sendiri. Selama tiga tahun ini, kamu ada di mana,
Jang?" "Mengembara tanpa tujuan, Kang."
"Dan sekarang Ujang mau pulang ke Tilugalur, begi-
tu?" Rangga mengangguk, sekalipun ia tidak punya niat
pulang ke Tilugalur, karena dilarang oleh gurunya.
Lelaki kurus itu pindah duduknya ke samping
Rangga. Lalu ditepuknya bahu Rangga, sambil berkata setengah berbisik,
"Sebaiknya jangan coba-coba pulang ke Tilugalur, Jang."
"Memangnya kenapa, Kang?" Rangga pura-pura ti-
dak mengerti. "Tilugalur telah menjadi neraka aneh. Setiap orang yang memasuki kampung itu,
selalu tidak kembali la-gi," sahut si lelaki kurus.
"Benar," timbrung Nyi Tiwi. "Orang-orang yang ma-
sih waras, akan berpikir seribu kali sebelum mengorbankan diri ke lembah neraka
itu." Rangga mengalihkan pandangannya pada Nyi Tiwi.
Tapi sebelum sempat ia bertanya lebih jauh, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda
di jalan. Dan lelaki kurus itu berbisik ke telinga Rangga, "Itulah para pencuri,
perampok dan pemerkosa yang kubilang tadi."
Rangga menoleh ke jalan. Tiga prajurit kadipaten
turun dari kuda mereka, lalu melangkah ke warung
nasi Nyi Tiwi. Dan Nyi Tiwi tampak gemetaran.
Ketiga prajurit itu melangkah masuk ke dalam wa-
rung nasi Nyi Tiwi, dengan sikap garang dan pongah.
Salah seorang di antara mereka langsung meng-
hampiri Nyi Tiwi yang sedang gemetaran. "Tiwi!" bentaknya, "Kami dengar si Ucen
dan si Sakri makan di sini tadi, ya?"
"Be... benar," sahut Tiwi tergagap.
Prajurit yang dua orang lagi langsung duduk di de-
pan Rangga. Salah seorang di antara mereka bertanya,
"Ke mana mereka sekarang?"
"Su... sudah pergi," lagi-lagi Nyi Tiwi menjawab tergagap.
"Ke sebelah mana perginya?"
Nyi Tiwi tampak sangsi.
"Ke mana perginya"!" bentak prajurit yang masih
berdiri. "Ke... ke sana..." Nyi Tiwi menunjuk ke sebelah uta-ra. "Kamu tidak bohong?"
"Ti... tidak."
"Kamu tahu apa akibatnya kalau membohong?"
"Ta... tahu."
"Baik. Kami akan membuktikannya!" kata prajurit
yang masih berdiri itu sambil menoleh kepada kawan-kawannya. "Ayo kita kejar
mereka!" Tapi salah seorang prajurit yang duduk di depan
Rangga itu mengedipkan sebelah matanya, sambil me-
ngerling ke arah lelaki yang duduk di samping Rangga.
Prajurit yang mau melangkah ke luar itu lalu meng-
hampiri si lelaki yang duduk di samping Rangga. "Ka-mu orang mana"!" bentaknya.
"Dari Cisumpit," sahut lelaki itu tenang.
"Apa tujuanmu datang ke sini?"
"Dagang."
"Mana barang daganganmu?"
"Sudah habis."
"Barang apa yang kamu dagangkan di sini?"
Lelaki kurus itu menunduk.
Prajurit itu mengulangi pertanyaannya, dengan sua-
ra lebih keras, "Barang apa yang kamu dagangkan di sini?"
"Golok."
"Golok"!"
"Iya."
"Sekarang barang daganganmu sudah habis semu-
anya?"

Mustika Lidah Naga 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya."
"Kamu tidak bohong?"
"Tidak. "Itu apa?" tanya si prajurit sambil menunjuk ke sebuah buntalan yang diletakkan
di bawah meja. Si lelaki kurus tidak menjawab. Suasana menjadi
tegang. Rangga tetap diam di tempatnya, tanpa mengeluarkan suara sepatah pun.
"Itu apa"!" bentak si prajurit sambil menusukkan
tombaknya ke buntalan di bawah meja itu.
Lelaki kurus itu pura-pura tidak melihat apa yang
dilakukan terhadap buntalannya, lalu dengan tenang meletakkan sekeping uang
tembaga di atas meja, sambil berseru kepada Nyi Tiwi, "Ini uangnya, Nyi!"
Ia bangkit dari bangkunya, lalu melangkah ke arah
pintu keluar. Tapi dua prajurit yang sejak tadi duduk di depan Rangga, melompat
dan menghadangnya.
"Tunggu! Persoalan belum selesai! Kamu tidak boleh meninggalkan warung ini!"
bentak salah seorang prajurit yang menghadang lelaki kurus itu.
"Apa lagi yang belum selesai?" lelaki kurus itu
menghentikan langkahnya. "Buntalan itu sudah kalian sita, bukan"!"
Prajurit yang menusuk-nusukkan tombaknya ke
buntalan itu menyahut, "Setelah kami tahu isi buntalan ini, baru kamu boleh
menganggap urusanmu sele-
sai!" Prajurit itu lalu membuka buntalan tersebut. Tapi
tiba-tiba ia memekik, "Jagat Dewa Batara!"
Ternyata buntalan itu berisi kepala manusia. Kepala pemimpin pasukan pengawal
adipati! Prajurit yang duluan melihat isi buntalan itu secepatnya berseru kepada kawan-
kawannya, "Tangkap
dia!" Kedua prajurit yang menghadang si lelaki kurus
langsung menodongkan tombak mereka ke arah lelaki
kurus itu. Namun, tiba-tiba saja lelaki kurus itu menggerak-
kan kakinya, demikian cepatnya, sehingga tahu-tahu kedua tombak yang diacukan ke
dadanya berpentalan
ke langit-langit warung nasi... dan bertancapan di situ!
Rangga yang memperhatikan semuanya itu secara
diam-diam memuji di dalam hatinya, "Rupanya orang
itu berilmu tinggi. Tapi siapa dia sebenarnya" Benar-kah dia berasal dari
Cisumpit?"
Pada saat berikutnya, Rangga melihat lelaki kurus
itu melesat ke luar, dan ketiga prajurit kadipaten me-ngejarnya.
Di depan warung nasi itu, si lelaki kurus tidak berusaha melarikan diri,
sekalipun ketiga prajurit kadipaten mulai mengepungnya dengan sikap garang. Di
antara ketiga prajurit itu, hanya seorang yang masih memegang tombak. Sedangkan
yang dua orang lagi
sama-sama memegang golok, karena tombak mereka
masih menancap di langit-langit warung nasi Nyi Tiwi.
"Siapa kau sebenarnya, bedebah"!" bentak prajurit
yang masih memegang tombak.
Lelaki kurus itu menyahut tenang, "Sebenarnya aku
tidak punya urusan dengan kalian. Aku hanya punya
urusan dengan bayangkara adipati yang bernama Ja-
rot itu. Dan sekarang aku telah membunuhnya. Segala dendamku atas kematian
adikku, sudah selesai. Adalah bodoh kalau kalian mau membuka persoalan baru
denganku."
"Aku tanya siapa kau sebenarnya"!" bentak prajurit bertombak itu lagi.
Tapi lelaki kurus itu menyahut dengan kemauannya
sendiri, "Kalian tentu masih ingat peristiwa dua tahun yang lalu. Si Jarot yang
baru diangkat sebagai pemimpin pasukan pengawal adipati itu telah seenaknya
membunuh Braja. Dan Braja itu adalah adikku! Wajarlah kalau aku selalu mencari
jalan untuk membalas
dendam, bukan?"
Ketiga prajurit itu tercengang. Mereka memang ma-
sih ingat peristiwa dua tahun yang lalu itu. Peristiwa kematian Braja, yang
dibunuh oleh Jarot, tanpa alasan yang kuat. Tapi mereka tidak tahu bahwa Braja
mempunyai seorang kakak, lelaki kurus itu.
"Aku memang tidak suka mencari keributan dengan
prajurit kadipaten," kata lelaki kurus itu lagi. "Tapi bagaimana mungkin aku
bisa membiarkan tindakan se-
wenang-wenang terhadap adik kandungku yang cuma
satu-satunya itu?"
"Braja dihukum, karena terlalu sering melakukan
pencurian dan perampokan!" sahut salah seorang prajurit yang memegang golok.
Lelaki kurus itu tertawa dingin. "Hahahaaaa... ka-
lian ini tak ubahnya maling teriak maling! Yang pencu-
ri dan perampok itu sebenarnya kalian sendiri! Seharusnya rakyat Kawahsuling
yang bertindak membunu-
hi seluruh prajurit kadipaten, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa pajak
rakyat disalahgunakan
untuk kesenangan pribadi kalian! Kenapa kalian justru menimpakan kesalahan
kepada adikku?"
Prajurit yang memegang tombak, tidak mau berde-
bat lebih jauh lagi. Dengan garang ia menusukkan
tombaknya ke arah si lelaki kurus, sambil berseru,
"Kamu sengaja cari mati di Kawahsuling!"
Namun... sttt... tubuh lelaki kurus itu mencelat ke udara. Dan ketika kakinya
menginjak tanah kembali, tangannya telah menggenggam sebilah kujang yang
terbuat dari gading gajah!
"Kujang Gading"!" ketiga prajurit itu terundur se-
rempak. Lelaki kurus itu menyeringai. "Sebenarnya aku ti-
dak suka membunuh manusia tanpa sebab. Tapi ku-
jangku pantang masuk ke dalam sarungnya, sebelum
menjilat darah manusia! Ini adalah kesalahan kalian sendiri!"
Begitu habis bicara, lelaki kurus itu bergerak dengan cepat sekali. Dan sebelum
sempat mengetahui apa yang akan dilakukan oleh lelaki kurus itu, dua prajurit
yang memegang golok terkulai roboh... dengan dada
bermandikan darah!
Prajurit yang masih memegang tombak itu gemeta-
ran. Ia mau melarikan diri. Tapi tiba-tiba dari arah timur tampak debu mengepul.
Derap pasukan berkuda
makin lama makin mendekat. Pasukan terdepan, tam-
pak membawa umbul-umbul kerajaan.
Ini adalah suatu kejutan menggembirakan bagi si
prajurit bertombak. Dan lebih gembira lagi hatinya, demi dilihatnya Senapati
Jugala sendiri yang memim-
pin pasukan kerajaan itu.
Rangga yang sejak tadi menyaksikan kejadian itu
dari dalam warung nasi Nyi Tiwi, lalu bergumam,
"Wah... pasti ramai nih."
Nyi Tiwi yang berdiri setengah menyembunyikan diri di belakang Rangga, menyahut,
"Iya. Tapi... jangan ke luar, Kang. Aku takut."
Sedikit pun Nyi Tiwi tidak tahu bahwa sebenarnya
tadi telah terjadi sesuatu yang aneh, bahwa ketika prajurit-prajurit kadipaten
itu berada di dalam warung nasi Nyi Tiwi, hanya lelaki kurus itu yang
diperhatikan oleh mereka. Sedangkan Rangga sama sekali tidak diperhatikan.
Sebenarnya ketiga prajurit kadipaten itu bukannya
tidak memperhatikan Rangga, melainkan tidak meli-
hatnya! Tadi, ketika prajurit-prajurit kadipaten itu memasuki warung nasi Nyi
Tiwi, secara diam-diam
Rangga mengerahkan ilmu 'Halimunan' yang mem-
buatnya tidak dapat dilihat oleh orang-orang yang tidak diinginkannya. Itulah
sebabnya prajurit-prajurit kadipaten itu hanya menanyai si lelaki kurus, tanpa
sedikit pun menanyai Rangga,
"Apa sebenarnya yang telah terjadi?" tanya Senapati Jugala dari atas kudanya.
"Orang ini telah membunuh bayangkara Kanjeng
Adipati. Dia juga telah membunuh dua kawan hamba,
Gusti Senapati," sahut prajurit kadipaten yang masih memegang tombak itu.
Senapati Jugala turun dari kudanya, lalu meng-
hampiri lelaki kurus yang masih menggenggam kujang gading itu. Tanya sang
Senapati, "Aku pernah mendengar cerita tentang seorang pendekar bergelar Kujang
Gading, apakah kau orangnya?"
Lelaki kurus itu mengangguk, "Benar, orang-orang
menjulukiku sebagai Kujang Gading."
"Dan sekarang kujang gadingmu telah menelan kor-
ban yang ada sangkut-pautnya dengan kerajaan," de-
sis Senapati Jugala. "Apakah kau memang telah mem-
persiapkan diri untuk melawan kerajaan?"
Lelaki bergelar Kujang Gading itu memandang sen-
jatanya yang masih bersimbah darah. Lalu katanya,
"Sejak lama aku selalu membantu kerajaan dalam
memadamkan pemberontakan demi pemberontakan.
Tapi, setelah melihat tindakan sewenang-wenang para prajurit Kawahsuling, aku
menjadi muak sekali! Dari hari ke hari, mereka tidak lagi berwujud sebagai
pelindung rakyat, melainkan sebaliknya. Dan dua tahun
yang lalu, adik kandungku telah dibunuh secara ke-
jam! Aku tidak dapat membiarkan keadaan ini berla-
rut-larut. Aku harus memanfaatkan sisa-sisa hidupku, untuk melakukan sesuatu!"
Senapati Jugala mengernyitkan keningnya. Sebagai
orang kerajaan, Senapati Jugala tidak bisa membenarkan tindakan Kujang Gading
dengan membunuh pra-
jurit-prajurit Kawahsuling. Tapi Senapati Jugala sendiri baru tiba di kota
kadipaten itu, sementara sikap Adipati Natajaya (adipati yang berkuasa di
Kawahsuling) belum diketahui secara pasti. Sedangkan tujuan Senapati Jugala
datang ke Kawahsuling bersama balatentaranya, adalah untuk menyelidiki sebab-
sebab tidak kembalinya prajurit-prajurit kerajaan yang ditugaskan menagih pajak
tahunan ke Kawahsuling. Dan
salah satu sebabnya, mungkin saja karena Adipati Natajaya tidak setia lagi
terhadap kerajaan.
Maka setelah termenung sesaat Senapati Jugala
berkata, "Aku belum mendengar dengan jelas persoa-
lan yang sedang kau hadapi. Mungkin saja kau justru berada di pihak yang salah.
Tapi, mengingat jasa-jasa
yang pernah kau lakukan terhadap kerajaan, aku
membebaskanmu dengan syarat, tinggalkan Kawahsul-
ing sekarang juga!"
Prajurit yang masih memegang tombak itu terce-
ngang. Keputusan Senapati Jugala sungguh di luar
dugaannya. Namun tentu saja ia tidak berani bicara apa-apa di hadapan panglima
perang kerajaan itu.
*** Adipati Natajaya hampir panik menerima laporan
yang beruntun itu. Berita tentang terbunuhnya
Bayangkara Jarot, dengan kepala yang sudah lenyap.
Berita tentang ditemukannya seorang lelaki di warung nasi Nyi Tiwi, dengan
buntalan yang berisi kepala Jarot. Berita tentang tibanya Senapati Jugala
bersama balatentaranya, dan kini sedang menuju istana kadipaten. Dan yang sangat
mengejutkan, adalah berita tentang dibebaskannya kembali lelaki bergelar Kujang
Gading itu. "Aku tidak tahu jasa-jasa apa yang pernah diberi-
kan oleh Kujang Gading terhadap kerajaan," pikir Adipati Natajaya. "Yang jelas,
tindakan Senapati Jugala itu bukanlah tindakan yang patut. Tidak seharusnya dia
melakukan sesuatu di daerahku sebelum berund-ing dulu denganku!"
Tetapi sang Adipati menyembunyikan perasaan ke-
salnya itu manakala ia menyongsong kedatangan Se-
napati Jugala di pintu gerbang istana kadipaten. "Selamat datang di Kawahsuling,
Kanjeng Senapati. Ham-ba tidak mendengar berita sebelumnya, tentang akan
datangnya Kanjeng Senapati, sehingga hamba tidak
dapat menyediakan penyambutan yang layak bagi
Kanjeng Senapati.
Senapati Jugala dipersilakan memasuki ruangan
yang khusus disediakan untuk para tamu agung. Di situlah sang Senapati berkata,
"Sebenarnya keberangkatan kami ke sini, atas perintah sang Putra Mahkota."
Adipati Natajaya terkejut, "A... apakah ada sesuatu yang harus hamba laksanakan
untuk kerajaan?"
Senapati Jugala menyahut tegar, "Sudah tiga kali
Gusti Pangeran Aria Pamungkas mengutus prajurit kerajaan ke sini, untuk menagih
pajak tahunan. Tapi
semuanya tidak kembali ke kotaraja. Apa sebenarnya yang telah terjadi?"
Adipati Natajaya tercengang. Lalu katanya, "Se-
sungguhnya hamba pun sedang menunggu-nunggu
kedatangan utusan dari kotaraja."
"Jadi mereka tidak pernah datang ke sini?" tanya
Senapati Jugala.
"Tidak pernah, Kanjeng Senapati."
"Kalau begitu... pasti ada sesuatu yang tidak beres,"
desis Senapati Jugala sambil berdiri dan memandang ke luar jendela.
"Jangan-jangan mereka jadi korban Tilugalur," ujar Adipati Natajaya mengambang.
"Tilugalur"!" Senapati Jugala membalikkan badan-
nya dan menatap wajah Adipati Natajaya tajam-tajam.
"Ada apa di Tilugalur?"
"Sesuatu yang aneh dan belum terpecahkan," sahut
Adipati. "Setiap orang yang mencoba memasuki Tilu-
galur, tidak pernah ada yang selamat. Semuanya hi-
lang di sana. Prajurit-prajurit Kawahsuling pun sudah lima orang yang hilang di
Tilugalur. Mereka ditugaskan untuk menyelidiki apa sebenarnya yang menyebabkan
orang-orang hilang di desa lembah itu. Tapi justru mereka pun tidak kembali."
"Lalu sampai sekarang belum juga diketahui apa
yang menyebabkan orang-orang itu hilang di Tiluga-
lur?" tanya sang Senapati.
"Belum," sahut Adipati Natajaya. "Sekarang bahkan
tiada yang berani ditugaskan kesana, karena takut
mengalami nasib seperti orang-orang yang hilang itu."
"Hmm... aneh," gumam Senapati Jugala. "Jangan-
jangan di Tilugalur ada semacam perkumpulan raha-
sia, yang tujuan utamanya hendak merongrong kewi-
bawaan kerajaan. Lalu mereka menculiki orang-orang yang ada sangkut-pautnya
dengan kerajaan. Apakah
Dinda Adipati berpendapat begitu juga?"
"Hamba belum berani mengemukakan pendapat, se-
belum menyelidikinya sampai tuntas. Maka hamba pi-
kir, sekaranglah saatnya bagi kita untuk menyelidiki sendiri ke sana."
"Baik," Senapati Jugala mengangguk. "Kebetulan
sekarang kami datang dengan balatentara yang cukup, sehingga kalau kita
menemukan hal-hal yang tidak diinginkan di sana, dengan mudah kita bisa
mengatasinya."
*** ELAKI bergelar Kujang Gading itu melangkah de-
Lng an tenang ke arah timur. Beberapa penduduk
Kawahsuling, yang tadi melihat peristiwa bentrokan Kujang Gading dengan prajurit
dari kadipaten, memperhatikan gerak-gerik Kujang Gading dengan pandangan cemas
Salah seorang rakyat berbisik kepada kawannya,
"Gila juga orang itu. Tadi dia sudah diampuni oleh Gusti Senapati, dengan syarat
bahwa dia harus segera meninggalkan Kawahsuling. Tapi, sekarang dia malah
seperti mau menuju istana kadipaten!"
Orang yang dibisiki itu menyahut, "Mungkin ada se-
suatu yang belum memuaskan hatinya. Tapi... ah... jangan-jangan kebandelannya
itu akan membangkitkan


Mustika Lidah Naga 1 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemarahan Gusti Senapati."
Saat itu hari mulai sore. Dan Kujang Gading me-
langkah terus ke arah timur.
Salah seorang prajurit kerajaan yang sedang beristi-rahat di depan istana
Adipati Natajaya, memandang ke arah barat, lalu menepuk bahu kawannya, "Lihat!
Lelaki itu sedang menuju kemari!"
"Wah... dia benar-benar cari mati rupanya!" sahut
prajurit yang lain. "Ayo laporkan cepat pada Gusti Senapati."
Salah seorang prajurit kerajaan bergegas memasuki
istana Adipati Natajaya, lalu menghadap sang Senapa-ti. "Ada apa?" tanya
Senapati Jugala kepada prajuritnya itu.
"Lelaki yang dibebaskan oleh Gusti tadi, sekarang
sedang menuju kemari," sahut si prajurit.
Adipati Natajaya yang ikut mendengarkan laporan
itu, langsung mendahului berkata, "Kebetulan! Sebaiknya Kanjeng Senapati
memerintahkan prajurit-prajurit kerajaan untuk menangkap pembunuh itu!"
Senapati Jugala menoleh pada sang Adipati, lalu
katanya, "Sebenarnya Kujang Gading sudah sering
membantu kerajaan dalam menumpas pemberonta-
kan-pemberontakan di daerah timur. Tapi sekarang,
tampaknya dia sengaja ingin mencari gara-gara. Dan itu tidak akan kubiarkan."
Kemudian Senapati Jugala berkata kepada prajurit-
nya, "Tangkap dia dan seret kemari!"
"Baik, Gusti," sahut prajurit itu, yang lalu bergegas meninggalkan ruangan tamu
agung. Setibanya di depan istana, prajurit itu membisiki
kawan-kawannya. Kemudian prajurit-prajurit kerajaan itu bergerak, untuk
'menjemput' Kujang Gading yang sudah semakin mendekati istana Adipati Natajaya.
Kujang Gading menghentikan langkahnya, demi di-
sadarinya bahwa lebih dari sepuluh prajurit kerajaan telah mengepungnya.
Lalu terdengar suara salah seorang prajurit, "Ku-
jang Gading! Atas perintah Gusti Senapati, kau harus kami tangkap!"
Kujang Gading menyapukan pandangan ke sekeli-
lingnya. Lalu sahutnya, "Katakan kepada Senapati kalian, aku ingin berbicara
secara baik-baik dengannya!"
"Nanti kau bisa bicara dengan beliau. Tapi seka-
rang, serahkan tanganmu untuk kami ikat!" seru salah seorang prajurit kerajaan.
Prajurit-prajurit kerajaan yang masih tertinggal di sekitar istana Adipati
Natajaya, mulai berhamburan ke arah Kujang Gading.
"Kalian memang hanya anjing-anjing dungu yang
tidak tahu aturan! Gusti Prabu saja tidak berani bertindak sewenang-wenang
padaku," bentak Kujang
Gading sambil memasang kuda-kuda, di tengah-
tengah kepungan prajurit-prajurit kerajaan yang jum-lahnya lebih dari empatpuluh
orang! Namun prajurit-prajurit kerajaan itu tidak mau
mendengar kata-kata Kujang Gading. Mereka langsung maju dan memperkecil
lingkaran, sehingga Kujang
Gading seperti mau dijepit oleh kepungan ketat itu.
Tapi... tiba-tiba saja tubuh Kujang Gading melesat ke udara... ke arah timur...
dan 'hinggap' di depan pintu gerbang istana Adipati Natajaya!
"Kejar!" seru salah seorang prajurit sambil berlari paling dulu, memburu Kujang
Gading yang sudah ber-
hadapan dengan dua orang prajurit penjaga istana
Adipati. Kedua prajurit kadipaten itu menyergap Kujang Ga-
ding dengan tombak mereka. Tapi dengan gerakan
yang hampir tak terlihat, Kujang Gading melompat-
lompat ke sana-ke mari, dan tahu-tahu kedua prajurit kadipaten itu sudah roboh
sambil memuntahkan darah segar dari mulut mereka!
Pada saat berikutnya, Kujang Gading sudah men-
ginjak pelataran depan istana, Di situ ia harus berhadapan dengan tiga orang
prajurit lagi. Tapi sebelum ketiga prajurit itu bertindak, tiba-tiba terdengar
bunyi le-tusan... taaaar..., dan tahu-tahu Senapati Jugala sudah berdiri di
depan Kujang Gading, sambi! memegang tali kulit yang panjangnya lebih dari
sepuluh depa. "Kau telah menghabiskan kesabaranku, Kujang Ga-
ding!" bentak Senapati Jugala dengan sikap siap tempur.
"Justru prajurit-prajuritmu yang membuat kesaba-
ranku hampir hilang!" sahut Kujang Gading dengan sikap siap tempur pula. "Aku
ingin berbicara secara
baik-baik denganmu, tapi mereka malah mau coba-
coba menangkapku!"
Tiba-tiba muncullah Adipati Natajaya di belakang
Senapati Jugala. "Kanjeng Senapati, hamba mohon
jangan biarkan dia lolos lagi," bisik sang Adipati perlahan.
Tapi bisikan Adipati Natajaya itu tampaknya terde-
ngar oleh Kujang Gading, karena Kujang Gading lalu tertawa,
"Hahahahahaaaaaaaa... sang Adipati tentu ketakutan sekali, karena sudah menduga
bahwa aku akan menelanjanginya di depan sang Senapati!" Ke-
mudian Kujang Gading menatap Senapati Jugala, dan
katanya, "Rakyat Kawahsuling sudah terlalu lama di-
peras oleh Adipati biadab ini. Seharusnya dialah yang ditangkap dan diseret ke
kotaraja!"
Senapati Jugala menyahut tegar, "Kujang Gading!
Kau sedang berhadapan dengan panglima perang kera-
jaan! Apakah kau memang tidak pernah belajar tata
krama sama sekali?"
"Hahahahahahaaaaaa... maafkan aku, Senapati!
Aku memang tidak bisa bicara sambil berlutut-lutut seperti kuda kehabisan tenaga
di tengah perjalanan.
Aku pun tidak bisa membahasakan diri dengan ham-
ba-hambaan, karena aku seorang manusia yang bebas, tidak pernah menghamba kepada
siapa pun, kecuali
kebenaran! Dan sekarang, demi kebenaran pula aku
memaksakan diri menginjak istana yang menjijikkan
ini, untuk melaporkan kebiadaban dan kejalangan
Adipati Natajaya!"
Sebelum sempat Senapati Jugala menyahut, Kujang
Gading telah melanjutkan kata-katanya, "Kematian
Adipati Wiralaga dua tahun yang lalu, didalangi oleh manusia yang kini berada di
belakangmu! Dialah yang menciptakan perkumpulan Bajing Bodas! Lalu, dia pu-la
yang bertindak seolah-olah memberantas perkum-
pulan itu, setelah Adipati Wiralaga gugur! Semuanya itu dilakukannya demi tiga
hal, yakni tahta, harta dan wanita. Dan ketiga-tiganya telah dimilikinya
sekarang. Kedudukan Adipati telah dimilikinya. Harta terkutuk telah ditumpuknya di gudang
tersembunyi. Dan... isteri Adipati Wiralaga yang sudah lama digilainya itu, juga
sudah dipaksa untuk menjadi gundiknya, yang sekarang disembunyikan di Leuwisapi!
Tapi biadabnya manusia yang kini berada di belakangmu itu tidak terba-tas sampai
di situ saja. Sekarang dia sedang berusaha mencari-cari Nilamsari, putri sulung
Adipati Wiralaga..., untuk dijadikan gundik barunya!"
"Bohong!" teriak Adipati Natajaya dengan wajah pu-
cat pasi. Kujang Gading menyeringai dan berkata dingin,
"Bagi seorang manusia gila, kebenaran itu adalah kebohongan dan kebohongan itu
adalah kebenaran! Aku
punya bukti-bukti kuat untuk mem..."
"Kanjeng Senapati!" Adipati Natajaya cepat-cepat
memotong, "Demi kesetiaan hamba terhadap kerajaan, hamba mohon agar penjahat ini
jangan dibawa berbicara lagi. Tangkap atau bunuh saja dia."
Senapati Jugala tampak sangsi.
*** Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Kujang Gading
bukan fitnah. Lebih dari dua tahun yang lalu, ketika Kadipaten Kawahsuling masih
dipimpin oleh Adipati
Wiralaga, daerah yang subur dan tenang itu mendadak dicengkeram kekacauan dan
ketakutan. Setiap pengikut setia Adipati Wiralaga diteror. Keluarga mereka di-
aniaya, diperkosa, dirampok dan bahkan banyak yang dibunuh.
Pengacau itu menamakan kelompok mereka sebagai
Bajing Bodas (tupai putih). Dan mereka berhasil menciptakan suasana sedemikian
rupa, sehingga rakyat
Kawahsuling mulai menyangsikan kepemimpinan Adi-
pati Wiralaga, di samping perasaan cemas dan takut yang telah tersebar di daerah
kadipaten yang subur dan makmur itu.
Adipati Wiralaga hampir putus asa, karena tidak
berhasil menemukan sarang pengacau dan penjahat
itu. Ia telah mengerahkan segenap kekuatan yang ada di Kawahsuling, untuk
memberantas perkumpulan gelap itu. Tetapi ia selalu menubruk angin, karena
setiap kali prajurit kadipaten hampir berhasil melacak per-
kumpulan rahasia itu, para anggota Bajing Bodas sudah lenyap dari markas
mereka... tanpa meninggalkan bekas sedikit pun.
Banyak pengikut setia Adipati Wiralaga menyaran-
kan, agar segera meminta bantuan ke kotaraja, untuk memberantas para pengacau
itu. Tapi sang Adipati merasa malu melaporkan ketidak-tentraman itu kepada
Baginda. Dan sang Adipati berusaha untuk mema-
damkannya dengan kekuatan yang ada di Kawahsuling
saja. Tapi Adipati Wiralaga tidak berhasil memberantas
perkumpulan rahasia Bajing Bodas itu. Bahkan seba-
liknya, pada suatu malam, pasukan Bajing Bodas me-
nyerbu ke dalam istana Adipati Wiralaga!
Para pengawal istana Adipati Wiralaga tidak mampu
membendung serangan kilat di malam hari itu. Mereka roboh seorang demi seorang.
Dan akhirnya sang Adipati sendiri tewas dalam peristiwa menyedihkan itu.
Rakyat Kawahsuling sangat berduka-cita oleh peris-
tiwa kematian pemimpin mereka itu. Dari kotaraja pun datang utusan untuk
menyampaikan belasungkawa,
sekaligus mencari masukan siapa kiranya yang tepat untuk diangkat menjadi
adipati baru di Kawahsuling.
Pada saat itu pula muncul Natajaya, saudara sepu-
pu Adipati Wiralaga almarhum, yang bersikap seolah-olah ingin memulihkan
keamanan dan ketertiban di
Kawahsuling. Dengan lagak seorang pahlawan, Nata-
jaya berseru kepada seluruh rakyat Kawahsuling, untuk bersatu-padu dalam satu
barisan... untuk memberantas perkumpulan rahasia Bajing Bodas, padahal
sebenarnya Natajaya sendiri yang memimpin perkum-
pulan Bajing Bodas itu!
Demikian pandainya Natajaya mempengaruhi ra-
kyat Kawahsuling dan orang-orang kerajaan, sehingga
akhirnya ia diangkat menjadi adipati baru.
Memang setelah Natajaya menjadi adipati, keama-
nan dan ketertiban di Kawahsuling pulih kembali. Perkumpulan rahasia Bajing
Bodas seolah-olah lenyap
tanpa bekas. Dan rakyat Kawahsuling merasa lega, karena sejak mereka mempunyai
adipati baru, mereka tidak lagi diganggu oleh para pengacau yang selalu me-makai
topeng itu. Natajaya sendiri merasa lega, karena sebagian dari tujuannya telah tercapai,
yakni cita-cita menduduki jabatan adipati dan hasrat untuk menumpuk ke-kayaan
sebanyak-banyaknya.
Tetapi ada satu hasrat yang belum menjadi kenya-
taan, yakni hasrat Natajaya untuk memiliki Purwaningrum, bekas istri Adipati
Wiralaga almarhum. Bahkan sesungguhnya wanita cantik itulah yang membuat
Natajaya tega melaksanakan kekejian terhadap saudara sepupunya sendiri.
Memang Purwaningrum sangat cantik, sehingga wa-
laupun ia sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun, pancaran wajahnya masih
mampu membetikkan birahi
lelaki. Waktu suaminya masih hidup, ia tidak tahu
bahwa sesungguhnya ia sedang digilai oleh saudara sepupu suaminya sendiri. Ia
juga tidak tahu, bahwa sesungguhnya saudara sepupu suaminya itu sedang
merencanakan sesuatu yang keji dan biadab.
Namun Natajaya sangat pandai menyembunyikan
kebusukannya. Bahkan dengan sikap yang meyakin-
kan, ia berhasil membujuk Purwaningrum untuk men-
gungsi ke Leuwisapi, daerah sunyi di sebelah selatan Kawahsuling.
Dengan alasan menyayangi Purwaningrum sebagai
bekas istri saudaranya, Natajaya pun berhasil merayu wanita cantik itu sedikit
demi sedikit... sampai akhir-
nya berhasil mempergundiknya!
Namun Natajaya belum puas juga dengan segala
yang telah dicapainya. Nilamsari (putri Adipati Wiralaga dengan Purwaningrum),
yang telah menanjak rema-
ja, mulai membangkitkan birahinya, dan akhirnya Adipati Natajaya tak kuat lagi
menyekap nafsu binatangnya.
Adipati Natajaya berhasil mencari kesempatan baik
itu. Ia berhasil membawa Nilamsari ke sebuah tempat terpencil, di mana sang
Adipati memiliki sebuah rumah yang cukup tenang untuk melaksanakan kebina-
tangannya. Nilamsari sendiri tidak mengira kalau ayah tirinya akan melakukan perbuatan
tidak senonoh terhadap dirinya, maka ia patuh saja ketika sang Adipati menga-
jaknya masuk ke dalam rumah terpencil itu. Ia baru sadar bahwa Adipati Natajaya
berjiwa iblis, ketika dengan paksa sang Adipati hendak memperkosanya di
rumah terpencil itu.
Hampir saja Nilamsari kehilangan kesuciannya di
rumah terpencil itu. Namun tiba-tiba... ya... tiba-tiba saja pintu kamar
terkutuk itu pecah berantakan... dan tahu-tahu seorang lelaki bertopeng telah
berdiri di dalam kamar itu.
Sebelum sempat Adipati Natajaya bertindak, tahu-
tahu lelaki bertopeng itu berkelebat secepat kilat... lalu lenyap sambil
memboyong Nilamsari!
*** Begitulah riwayat singkat Adipati Natajaya, yang ki-
ni sedang berdiri di belakang Senapati Jugala.
Ketika Senapati Jugala masih tampak sangsi juga,
Adipati Natajaya mengulangi desakannya, "Orang ini sangat berbahaya. Sekali
lagi, demi kesetiaan hamba
terhadap kerajaan, tangkap atau bunuhlah dia, Kan-
jeng Senapati!"
Akhirnya Senapati Jugala menguraikan senja-
tanya... seutas tali yang terbuat dari kulit kerbau itu, sambil berseru,
"Menyerahlah, Kujang Gading! Aku
terpaksa harus menangkapmu!"
(Bersambung) Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
*** *** *** *** *** *** *** *** *** *** Sepasang Naga Lembah Iblis 1 Terbang Harum Pedang Hujan Piao Xiang Jian Yu Karya Gu Long Pedang Berkarat Pena Beraksara 15
^