Pencarian

Mustika Lidah Naga 2 1

Mustika Lidah Naga 2 Bagian 1


MESTIKA LIDAH NAGA 2 Karya: Panjidarma
Copyright naskah ini di tangan penerbit LOKAJAYA
Hak cipta pengarang dilindungi undang-undang
ENAPATI! Namamu telah terukir di hati rakyat se-
Sbag ai senapati yang jujur dan patuh terhadap kerajaan. Tapi sayang sekali...
Andika terlalu polos, terka-dang tidak dapat membedakan mana yang benar dan
mana yang salah," ujar Kujang Gading dengan sikap
waspada, karena ia tahu Senapati Jugala memiliki il-mu yang tinggi.
"Aku tidak tahu apa urusanmu dengan Adipati Na-
tajaya. Yang jelas, ia diangkat oleh Gusti Prabu. Dan kewajibanku, adalah
melaksanakan setiap keputusan
Gusti Prabu, menjaga kehormatan, kewibawaan dan
keamanan orang-orang kepercayaan Gusti Prabu!"
bentak Senapati Jugala sambil mengibaskan tali kulitnya ke udara.
Tlaaaar...! Kibasan tali kulit itu menimbulkan bunyi letusan
yang memekakkan telinga. Adipati Natajaya dan para pengawalnya terundur beberapa
langkah, karena gentar melihat senjata Senapati Jugala yang terkenal ampuh dan
ganas itu. Namun Kujang Gading tetap berdiri di tempatnya,
sambil memperhatikan gerakan senjata lawan dengan
seksama. Dan tali kulit itu mulai 'melenggang-lenggok'
di depan Kujang Gading. Tampaknya seperti main-
main, namun sebenarnya berbahaya sekali, karena tali kulit itu digerakkan oleh
kekuatan batin Senapati Jugala yang terkenal ampuh. Kekuatan batin yang mam-
pu membelah batu terkeras sekalipun!
Melihat Kujang Gading tetap diam di tempatnya,
Senapati Jugala tidak buru-buru gembira. Senapati
Jugala bahkan curiga. "Mungkin ia sedang menjebak-
ku supaya lengah. Aku memang belum pernah berta-
rung dengan orang ini, tapi menurut berita yang sampai ke telingaku, orang ini
berilmu tinggi sekali. Karena
itu aku harus berhati-hati!"
Dugaan Senapati Jugala tepat sekali. Begitu ujung
talinya akan menyentuh leher Kujang Gading, tiba-tiba saja lelaki bertelanjang
dada itu menjatuhkan diri ke belakang. Dan seperti ikan berenang mundur, tubuh
Kujang Gading melesat ke arah Senapati Jugala den-
gan kaki berada di depan.
Senapati Jugala terkejut, karena baru sekali itu ia melihat gerakan yang
demikian aneh. Namun secepatnya ia menarik tali kulitnya, untuk dihantamkan ke
bawah, ke arah kaki Kujang Gading yang hendak me-nubruk lututnya. Tapi tampaknya
Kujang Gading pun
sudah memperhitungkan kemungkinan seperti itu.
Dan ketika ujung tali kulit itu hampir menghantam lututnya, tiba-tiba saja
Kujang Gading melenggok ke
samping kanan lawannya, persis seperti orang yang
sedang berenang di udara!
Ujung tali kulit itu menghantam lantai. Dan lantai yang terbuat dari batu hitam
itu berlubang dibuatnya!
Adipati Natajaya dan para pengawalnya terkesiap
menyaksikan kehebatan senjata Senapati Jugala yang tampak sederhana tapi
berbahaya itu. Tapi Senapati Jugala lebih terkesiap lagi. Karena ia tahu, kalau Kujang Gading
bermaksud mencelakainya, dengan mudahnya ia akan roboh terluka parah atau
binasa. Apa sebenarnya yang telah terjadi"
Tadi, pada waktu Kujang Gading melenggok ke sam-
ping kanan Senapati Jugala, pinggang Senapati Jugala terasa ada yang
menggelitik. Tampaknya seperti main-main. Tapi Senapati Jugala tidak
menganggapnya main-main. Sebagai tokoh berilmu tinggi, ia segera sadar bahwa pada dasarnya
Kujang Gading tidak ber-
maksud mencelakainya. Karena... seandainya ujung
senjata Kujang Gading yang 'menggelitik' pinggang Se-
napati Jugala tadi, bukankah itu berarti maut"
Di samping itu, Senapati Jugala pun sadar, bahwa
ilmu Kujang Gading lebih tinggi daripada ilmu yang dimilikinya. Tapi sang
Senapati tidak bisa mengabai-kan kedudukannya sendiri, sebagai panglima perang
kerajaan. Maka ketika dilihatnya Kujang Gading sudah berdiri di depannya, tetap
dengan tangan kosong, Senapati Jugala berkata, "Ilmumu memang tinggi. Kau
juga tampaknya sengaja menghindari pertikaian yang sesungguhnya denganku. Tapi
kau sudah terlanjur
bentrok dengan panglima kerajaan. Dan aku harus
menegakkan kehormatan kerajaan, kalau perlu dengan nyawaku. Karena itu, hanya
ada dua pilihan bagiku...
berhasil menangkapmu, atau gugur dalam menjalan-
kan tugas!"
Ucapan Senapati Jugala itu dilanjutkan dengan pu-
taran tali kulitnya di udara, sehingga terdengar bunyi angin berkesiuran...
wuuut... wuut... wuuut...
wuuut...! Kujang Gading tahu bahwa Senapati Jugala mulai
mengerahkan segala kemampuannya untuk meroboh-
kannya. Dan ujung tali kulit itu menyambar-nyambar dengan ganasnya, sehingga
Kujang Gading berkali-kali harus melompat ke sana-ke mari, tak ubahnya seekor
rusa yang sedang berloncat-loncatan.
Kujang Gading pun sadar bahwa istana Adipati Na-
tajaya tidak memenuhi syarat untuk dijadikan arena pertarungan. Maka pada suatu
saat, ketika Kujang
Gading berada di dekat pintu... tiba-tiba saja tubuh Kujang Gading melesat ke
luar istana Adipati Natajaya, disusul oleh seruan Senapati Jugala, "Jangan lari,
Kujang Gading!"
Lalu tubuh Senapati Jugala pun berkelebat, menge-
jar lawannya. "Siapa mau lari"!" seru Kujang Gading yang sudah
berdiri di alun-alun kadipaten. "Aku hanya merasa sayang kalau istana yang
dibangun dengan hasil keringat rakyat itu porak-poranda oleh tingkah laku kita!"
Prajurit kadipaten, prajurit kerajaan dan orang-
orang yang berada di sekitar alun-alun itu, segera berlarian ke pinggir alun-
alun, untuk menyaksikan peristiwa luar biasa itu. Dalam sejarah Kadipaten
Kawahsuling, baru sekali itu terjadi seorang senapati kerajaan turun tangan
sendiri, untuk menangkap 'peru-
suh'. "Hunuslah senjatamu!" bentak Senapati Jugala.
"Tidak usah berbasa-basi lagi! Sekarang kita berada di pihak yang bertentangan
dan sama-sama berkewajiban menjaga kehormatan."
Dengan tenang Kujang Gading menyahut, "Hari ini
senjataku sudah terlalu banyak menelan korban. Marilah kita lanjutkan, tanpa
harus mempersoalkan senjataku!"
"Kurang ajar! Rupanya kau meremehkanku! Jangan
salahkan aku, kalau kau roboh di ujung senjataku
nanti!" seru Senapati Jugala sambil melecutkan tali kulitnya ke arah pinggang
Kujang Gading. Kali ini Kujang Gading tidak melompat ataupun
mengelak. Ia bahkan menangkap ujung tali kulit itu dengan tangan kirinya,
sementara tangan kanannya
menyampok ke depan.
Senapati Jugala terkejut karena tidak mengira sen-
jatanya akan ditangkap oleh lawannya, juga tidak mengira pukulan lawan akan
diiringi kekuatan batin yang demikian hebatnya.
Tangan kanan Kujang Gading memang tidak me-
nyentuh tubuh Senapati Jugala, tapi angin pukulan-
nya... membuat Senapati Jugala terpental ke belakang,
sementara senjatanya telah berpindah ke tangan la-
wan! Cepat-cepat Senapati Jugala bangkit sambil meng-
hunus kujang pusakanya. "Hari ini aku harus menga-
du jiwa denganmu, Kujang Gading!" serunya sambil
melompat ke arah lawannya.
"Hahahaha! Bagus! Kujang ketemu kujang! Ini baru
permainan," sahut Kujang Gading sambil melempar-
kan tali kulit rampasannya, melompat ke belakang, la-lu menghunus senjatanya...
kujang yang terbuat dari gading itu.
Orang-orang yang menonton di pinggir alun-alun
menyaksikan peristiwa itu dengan jantung berdebar-
debar. Hanya seorang pemuda yang tampak tenang-te-
nang saja, memperhatikan setiap adegan di tengah
alun-alun sambil menggaruk-garuk kepalanya. Terka-
dang pemuda itu tersenyum-senyum sendiri, seperti
orang dungu. Pemuda itu adalah Rangga. Sejak tadi
Rangga memperhatikan setiap gerak-gerik Kujang Ga-
ding. Dan diam-diam timbullah perasaan simpatinya
kepada lelaki kurus bertelanjang dada itu.
Pada saat itu Rangga berpikir, "Lelaki bergelar Kujang Gading itu nekad sekali.
Tapi tampaknya ia akan berhasil mengalahkan lawannya. Yang kutakutkan...
apakah di antara sekian banyaknya orang, sama sekali tidak ada yang mau ikut
campur?" Perhatian Rangga terpusat ke tengah alun-alun lagi.
Pada suatu saat, Rangga melihat senjata Senapati Jugala bertabrakan dengan
senjata Kujang Gading. Dua-duanya berbentuk kujang. Hanya bahannya yang ber-
beda. Kalau kujang Senapati Jugala terbuat dari besi berkarat, maka kujang
lelaki bertelanjang dada itu terbuat dari gading. Namun apa yang terjadi setelah
kedua senjata itu bertabrakan" Kujang Senapati Jugala
mengeluarkan lelatu api... lalu patah dua! (Editor: sudah puluhan tahun saya
tidak mendengar kata 'lelatu'.
Satu kata yang hampir hilang dari ingatan saya... ) Senapati Jugala melompat "mundur dengan tangan
kesemutan, dengan wajah pucat pasi. Ketika senja-
tanya beradu dengan senjata lawan tadi, ia merasa dadanya seperti dihimpit batu
besar, sebagai pertanda hebatnya kekuatan batin lawannya. Namun ia memak-sa
mempertahankan diri dengan mengerahkan tenaga
dalamnya. Akibatnya... senjatanya patah dua... dan secara diam-diam mulutnya
mulai menyimpan darah.
Dan ia melompat ke belakang, mempertahankan diri
supaya bisa tetap berdiri. Tapi pandangannya mulai berkunang-kunang. Makin lama
makin kabur. Dan akhirnya, Senapati Jugala roboh sambil me-
muntahkan darah segar dari mulutnya!
Gemparlah orang-orang yang menonton di sekeliling
alun-alun itu. Mereka tidak mengira bahwa Kujang Gading akan berhasil merobohkan
sang Senapati yang
terkenal tangguh dan perkasa itu.
Tapi Kujang Gading tidak tampak gembira dengan
kemenangannya. Ia bahkan membungkuk sambil ber-
kata, "Maafkan aku, Senapati! Aku tidak bermaksud
mencelakakanmu...."
Sebenarnya Kujang Gading bermaksud menyadar-
kan kembali Senapati Jugala yang tergeletak pingsan di atas rumput. Tapi, belum
lagi sempat ia menolong sang Senapati, tiba-tiba tampak sesosok tubuh melesat
dari arah selatan.
Kujang Gading membatalkan maksudnya dan ce-
pat-cepat membalikkan badannya ke arah datangnya
orang baru itu. Dan tiba-tiba saja Kujang Gading melompat-lompat ke sana-ke
mari. Ternyata berkelebatnya orang baru itu didahului de-
ngan tebaran serbuk beracun, sehingga Kujang Gading merasa perlu menghindarinya!
Pada saat berikutnya, seorang pemuda berdiri di
depan Kujang Gading. Pemuda itu berwajah tampan,
bertubuh tinggi semampai dan tampak seperti orang
baik-baik. Tapi orang yang mengerti, akan melihat si-nar jahat yang dipancarkan
lewat mata pemuda itu.
Kini pemuda itu sudah berdiri di depan Kujang Ga-
ding, sambil mengelus-elus seekor serigala yang berada dalam pelukannya.
Berbeda dengan waktu berhadapan dengan Senapa-
ti Jugala tadi, kali ini Kujang Gading bersikap garang.
"Siapa kau"!" bentak Kujang Gading dengan pandang-
an menyelidik. "Datang-datang menyebar racun. Tentu kau bukan orang baik-baik!"
Dengan suara dingin pemuda itu menyahut, "Biasa-
nya aku bertindak dulu, baru kemudian memperke-
nalkan diri. Tapi... karena sekarang cukup banyak
orang yang menyaksikan kehadiranku di sini, baiklah, aku akan memperkenalkan
diri." Dengan sikap angkuh pemuda itu menyapukan
pandangannya ke sekelilingnya, kemudian berkata
dengan suara lantang, "Namaku Prabalaya! Dan aku
biasa dipanggil dengan julukan Ajag Hawuk."
Orang-orang yang menonton kejadian itu, mengang-
gap si pemuda yang mengaku bernama Prabalaya itu
sebagai pemuda yang nekad. Pikir mereka, "Bagaimana mungkin pemuda seperti dia
mampu menghadapi Kujang Gading" Bukankah Senapati Jugala pun telah roboh
dibuatnya?"
Tapi tidak demikian halnya dengan Kujang Gading
sendiri. Begitu mendengar pemuda itu memperkenal-
kan nama dan gelarnya, Kujang Gading terundur se-
langkah, sambil memperhatikan serigala yang tengah
dipeluk oleh pemuda itu. Memang hanya orang-orang
yang setingkat dengan Kujang Gading saja yang bisa menyadari siapa pemuda
bergelar Ajag Hawuk itu.
Dan kini Kujang Gading jadi berhati-hati sekali, karena ia tahu bahwa ia sedang
berhadapan dengan seorang tokoh sesat berilmu tinggi dan mampu membina-
sakan lawan tanpa berkedip!
Lalu Kujang Gading berkata dengan sikap hormat,
"Aku yang rendah ini belum pernah menanam permu-
suhan dengan adik kandung Meong Koneng. Lalu de-
ngan alasan apa Ajag Hawuk mau mencampuri uru-
sanku?" Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu sema-
kin heran. Tadi, ketika sedang berhadapan dengan Senapati Jugala, Kujang Gading
tidak memperlihatkan
sikap takut sedikit pun. Tapi kini, berhadapan dengan pemuda yang tampak belum
berpengalaman itu, Kujang Gading tampak seperti gentar. Ini membuat
orang-orang bertanya di dalam hatinya, siapa pemuda itu" Apakah dia putra raja,
sehingga Kujang Gading tampak sangat hormat padanya"
Di antara para penonton yang sekian banyaknya
itu, hanya Rangga yang dapat 'mengukur' setinggi apa ilmu pemuda bergelar Ajag
Hawuk itu. Tadi, ketika
Ajag Hawuk melayang ke tengah alun-alun, Rangga
menyaksikan gerakan yang demikian entengnya, seba-
gai pertanda bahwa Ajag Hawuk seorang pemuda be-
rilmu tinggi. Maka pikir Rangga, "Tampaknya akan terjadi sesuatu yang lebih
seru. Jelas terlihat bahwa pemuda yang baru datang itu memiliki ilmu yang lebih
tinggi daripada Senapati Jugala. Tapi tampaknya pemuda itu berasal dari golongan
sesat, karena kedatangannya didahului oleh tebaran serbuk beracun!"
Sementara itu Senapati Jugala sudah digotong ke
dalam istana Adipati Natajaya. Dan seorang lelaki berbisik ke telinga sang
Adipati, "Dia sudah datang, Kanjeng Adipati."
Adipati Natajaya mengangguk-angguk dengan se-
nyum di bibir.

Mustika Lidah Naga 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Prabalaya menurunkan serigala itu dari pangkuan-
nya, kemudian menatap wajah Kujang Gading dengan
pandangan tajam dan senyum dingin.
"Tidak usah membawa-bawa nama kakakku di sini.
Kalau kau takut, serahkan kepalamu untuk dijadikan hiasan alun-alun ini!" bentak
Prabalaya sambil mengeluarkan sesuatu dari balik baju hitamnya - seekor ular
bersayap! Kujang Gading terkesiap melihat 'senjata' Prabalaya itu. Demikian pula Rangga
yang masih berdiri di antara penonton, cukup kaget melihat ular itu. Karena
Rangga pernah mendengar dari gurunya, tentang ba-
hayanya ular bersayap yang disebut "Oray Dadali" itu.
Menurut cerita yang pernah Rangga dengar, ular Dada-li sangat langka di dunia
ini. Ular itu memiliki keistimewaan-keistimewaan yang mengerikan. Selain bisa
terbang, ular itu bisa menyemburkan uap racun dari mulutnya. Dan kalau uap itu
terhisap sedikit saja, nis-caya orang yang menghisapnya akan binasa. Bukan itu
saja. Ular Dadali sanggup melesat laksana anak panah terlepas dari busurnya,
untuk mematuk leher korbannya sekaligus membinasakannya.
Tampaknya Kujang Gading pun menyadari bahaya
ular berwarna hitam mengkilap yang besarnya sama
dengan ibu jari dan panjangnya setengah depa itu. Begitu melihat ular yang
memiliki sayap kecil di lehernya itu, Kujang Gading langsung menutup jalan
pernapasannya, sambil bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Dan tiba-tiba... ya, tiba-tiba saja ular bersayap itu melesat ke arah dahi
Kujang Gading, sambil menyemburkan uap hitam dari mulutnya!
Kujang Gading cepat-cepat menundukkan kepala
sambil menekuk lututnya, untuk menghindari patukan ular berbahaya itu. Tapi
tampaknya ular itu sudah sangat terlatih. Begitu melihat calon korbannya
merunduk, ular bersayap itu langsung menukik ke bawah...
ke arah tengkuk Kujang Gading!
"Berbahaya!" pikir Rangga sambil memandang ke
arah ular itu. Bukan pandangan biasa, melainkan
pandangan yang disertai kekuatan gaib... kekuatan
yang tidak terlihat oleh siapa pun, yang ditujukan untuk menolong Kujang Gading.
Akibatnya... begitu mulut ular itu hampir menyen-
tuh tengkuk Kujang Gading, tiba-tiba saja ular itu terpental ke sebelah kanan
calon korbannya, kemudian
terhempas ke tanah... dengan kepala pecah beranta-
kan! Prabalaya terperanjat melihat ular kesayangannya
mampus tanpa mengetahui apa penyebabnya.
"Kujang Gading keparat! Kau berani membunuh
ular kesayanganku"!" bentak Prabalaya sambil mene-
puk tengkuk serigalanya. Dan serigala peliharaan Prabalaya itu langsung
menerjang Kujang Gading.
Sebenarnya Kujang Gading sendiri heran melihat
ular berbahaya itu terkapar dan mampus di samping
kanannya. Sebagai pendekar berpengalaman, segera
saja ia sadar, bahwa ada seseorang yang 'turun tangan'
membantunya. Tapi ia tidak tahu siapa tokoh yang
masih menyembunyikan diri itu. Ia hanya dapat men-
duga bahwa tokoh itu pastilah seorang pendekar yang berilmu sangat tinggi,
karena terbukti orang itu bisa bergerak tanpa terlihat oleh Prabalaya. Dan
Prabalaya justru mengira Kujang Gading yang membunuh ular
bersayap itu. Tapi tak lama Kujang Gading dapat mempertu-
rutkan keheranannya, karena dalam saat berikutnya ia harus mencurahkan
perhatiannya kepada serigala
yang tengah menerjangnya itu.
Tampaknya serigala itu pun sudah sangat terlatih
untuk berhadapan dengan orang-orang berilmu tinggi.
Ketika Kujang Gading mengelakkan terjangannya, serigala itu langsung mengirimkan
terjangan susulan. Dan ketika Kujang Gading menyambutnya dengan tusukan
kujangnya... serigala itu bergerak dengan cepat sekali... dan tahu-tahu kujang
yang terbuat dari gading itu telah tergigit oleh serigala itu!
Kujang Gading terkejut, karena tidak mengira bina-
tang buas itu dapat bergerak demikian cepatnya. Tapi secepatnya pula ia
memukulkan tangan kirinya ke
arah leher serigala itu, supaya senjatanya dapat ditarik kembali. Namun pada
saat itu pula ia merasa angin
dingin menyambar ke arah lehernya. Ia segera sadar bahwa ada benda-benda kecil
yang sedang melesat secepat kilat ke arah lehernya.
Memang benar. Belasan jarum beracun sedang
menghambur ke arah leher Kujang Gading. Tentu saja Prabalaya yang
menghamburkannya.
Terpaksa Kujang Gading membatalkan pukulannya
yang ditujukan ke leher serigala itu, lalu menarik senjatanya sekuat tenaga,
sambil mengegos ke samping.
Menurut dugaan Kujang Gading, dengan mudah ia
dapat merenggut senjatanya yang pada bagian tengahnya masih digigit oleh
serigala itu. Tapi ternyata duga-annya keliru. Senjatanya seperti dicengkeram
oleh jepi-tan besi, demikian kuatnya, sehingga Kujang Gading mengumpat di dalam
hatinya. "Gila! Mungkinkah bina-
tang ini pun sudah memiliki tenaga dalam yang begitu hebatnya?"
Kenyataannya memang begitu. Jarum-jarum bera-
cun itu telah melewati samping kiri leher Kujang Gading. Namun Kujang Gading
belum berhasil merenggut senjatanya yang masih digigit oleh serigala itu.
Terpaksa Kujang Gading mengerahkan tenaga da-
lamnya untuk merenggut senjatanya. Namun serigala
itu pun seperti patung, berdiri terpaku dengan keempat kaki menancap di tanah.
Hanya orang-orang yang 'tahu' saja dapat memak-
lumi, bahwa pada saat itu sedang berlangsung adu tenaga dalam antara Kujang
Gading dengan serigala peliharaan Prabalaya!
Keringat mulai berlelehan dari wajah dan leher Ku-
jang Gading. Sementara serigala itu pun terbelalak, karena sedang mengerahkan
segenap kekuatan terlatihnya.
Pada suatu saat, terdengar suara berderak...
kreek...! Kujang Gading berhasil merenggut senjatanya. Be-
rarti ia telah memenangkan 'adu tenaga dalam' itu. Ta-pi pada detik berikutnya
tampak asap hijau mengepul dari tangan Prabalaya. Dan asap hijau itu seperti
tertiup angin kencang... menyerubut ke arah Kujang Gading.
Pada saat itu pula Rangga terkejut. Pikirnya, "Aku bisa membinasakan ular Dadali
itu dengan kekuatan
gaibku, karena ular itu bernyawa. Tapi asap itu benda mati. Aku hanya dapat
menolong Kujang Gading, dengan terang-terangan muncul di tengah alun-laun.
Dan tindakan seperti itu dilarang oleh guruku!"
Memang benar. Selain dilarang sembarangan men-
geluarkan ilmunya, Rangga pun dilarang ikut campur
pada persengketaan orang lain, kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa.
Maka ketika Kujang Gading sibuk menghadapi ter-
jangan serigala itu, sementara asap hijau itu menyerubut ke arah wajahnya,
secepat itu pula Rangga berpikir, "Satu-satunya jalan untuk menolong Kujang
Gading hanya dengan merobohkan Prabalaya, kemudian
secepatnya menculik Kujang Gading... yang pasti sudah keburu mengisap hawa racun
mematikan itu!"
Perhitungan Rangga sungguh telak. Asap berwarna
hijau itu memudar. Tidak tampak apa-apa lagi. Namun sebenarnya sedang terjadi
sesuatu yang lebih berbahaya. Bahwa Kujang Gading mulai dikelilingi oleh udara
yang mengandung racun ganas, pada saat ia tidak menyadarinya!
Lalu, ketika Kujang Gading mengirimkan tendan-
gannya ke arah perut serigala yang sedang melayang ke arah perutnya, tiba-tiba
saja Kujang Gading ter-jungkal ke belakang... lalu roboh dengan wajah membiru!
Namun, pada saat yang sama, Prabalaya pun ter-
pental jauh ke samping kirinya... lalu jatuh tertelung-kup dalam keadaan tak
sadarkan diri! Robohnya Kujang Gading disebabkan oleh hawa ra-
cun yang disebarkan oleh Prabalaya. Tapi robohnya
Prabalaya adalah 'hasil perbuatan' Rangga dengan kekuatan gaibnya!
Peristiwa itu terjadi demikian cepatnya, sehingga
orang-orang yang menonton di pinggir alun-alun tidak tahu apa sebenarnya yang
telah dan sedang terjadi di tengah arena pertarungan itu. Mereka juga tidak tahu
bahwa menonton pertarungan itu, tanpa dibekali ilmu yang tinggi, sungguh penuh
dengan resiko. Dan resiko itu harus dipikul oleh beberapa orang
prajurit kerajaan yang menonton di sebelah utara. Ketika angin bertiup ke arah
utara, hawa beracun itu pun terbang ke sebelah utara. Maka tak ayal lagi,
beberapa prajurit yang berdiri di situ... berjungkalan dengan wajah membiru!
Orang-orang yang menonton di sekeliling alun-alun
kadipaten itu menjadi gempar. "Hai! Kenapa mereka
itu?" Suasana di sekeliling alun-alun itu menjadi hiruk-
pikuk. Di antara orang-orang yang gempar itu, banyak yang berhamburan ke arah
prajurit-prajurit yang sudah bergeletakan di tanah itu. Akibatnya... mereka pun
berjungkalan ke tanah, karena 'kebagian jatah' sisa-sisa udara beracun yang
belum pergi jauh dari tempat bencana itu!
Suasana semakin gaduh tak menentu, sehingga o-
rang-orang yang masih segar tidak menyadari suatu
kenyataan baru, bahwa Kujang Gading telah lenyap
dari tengah alun-alun!
*** Beberapa saat kemudian, Prabalaya bangkit kemba-
li. Menggesek-gesek matanya. Terlongong sesaat, seolah bertanya, "Apa sebenarnya
yang barusan terjadi itu" Rasanya seperti ada tenaga yang demikian kuatnya...
menghantam dari arah kananku... membuatku
terpental dan tak sadarkan diri. Dan... hai.. Kujang Gading lenyap"! Kemana dia"
Apakah dia yang mengeluarkan ilmu aneh tadi" Tapi... ah... rasanya tidak
mungkin! Pasti ada seseorang yang sengaja turun tangan membantu si Kujang
Gading. Tapi siapa orang
itu?" Prabalaya menoleh ke arah datangnya hantaman
tenaga gaib tadi. Ke sebelah barat. Tapi tidak ada
orang di situ. Prajurit-prajurit kerajaan pun sudah berkerumun di sebelah utara,
di sekeliling korban-korban keganasan racun Prabalaya.
Dan Prabalaya mulai menyadari hal yang satu itu.
"Rupanya cukup banyak korban yang ditimbulkan oleh racunku. Tapi... ah... salah
mereka sendiri. Mereka terlalu dekat menonton, sehingga mereka harus memikul
segala akibatnya!"
Lalu Prabalaya mengingat-ingat kejadian aneh itu
lagi. "Rasanya baru sekali tadi aku mengalami hantaman tersembunyi, tanpa dapat
kuketahui siapa orangnya. Dan... hai... bukankah ular kesayanganku tadi, juga
mati secara aneh" Jelas... jelaslah sekarang...
pasti ada seseorang yang secara diam-diam membantu Kujang Gading. Dan pasti
orang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tapi... kenapa orang itu tidak
berani muncul secara terang-terangan" Siapa orang berilmu tinggi itu?"
Ketika Prabalaya masih terlongong-longong di ten-
gah alun-alun, datanglah seorang prajurit kadipaten yang langsung berkata sambil
membungkuk hormat,
"Kanjeng Adipati menunggu di dalam istana."
Prabalaya mengernyit. Menoleh pada serigalanya
yang sedang duduk di belakangnya. Lalu memangku
serigala itu. Dan membawanya ke dalam istana Adipati Natajaya.
*** Pada waktu Senapati Jugala membuka kelopak ma-
tanya, perlahan, yang pertama dilihatnya adalah Adipati Natajaya. Kemudian
pandangannya tertumbuk ke
seorang pemuda yang sedang mengelus-elus seekor serigala.
Senapati Jugala bangkit perlahan-lahan, sambil me-
ngeluh, "Aaah... baru sekarang kurasakan betapa hebatnya manusia bergelar Kujang
Gading itu...!"
"Memang betul. Kujang Gading keparat itu tangguh
sekali. Kalau tidak ada pemuda hebat ini, entah apa jadinya," sahut Adipati
Natajaya sambil menepuk bahu Prabalaya.
Senapati Jugala mengalihkan pandangannya, ke a-
rah Prabalaya yang masih mengelus-elus serigalanya.
"Siapa dia?" tanya sang Senapati dengan dahi ber-
kerut. Prabalaya menyahut dengan sikap hormat yang di-
buat-buat, "Nama hamba Prabalaya. Tapi orang-orang terbiasa menyebut hamba
sebagai Ajag Hawuk."
Senapati Jugala terperanjat. Menoleh ke arah Adi-
pati Natajaya, sambil berdesis, "Adipati sudah bersekutu dengan golongan
sesat"!"
Adipati Natajaya menyahut rikuh, "Hamba rasa, da-
lam keadaan yang sangat gawat, tiada salahnya me-
minta tolong pada orang yang bersedia membantu ki-
ta..." "Jangan kau ucapkan kita!" sergah Senapati Jugala
sambil berdiri. "Sebagai senapati Kerajaan Tegalinten, aku tidak pernah
bersekongkol dengan golongan sesat mana pun!"
Wajah Adipati Natajaya mendadak pucat pasi.
Dan, tiba-tiba saja Prabalaya mengubah sikap dan
ucapannya. "Hahahahaaaaa... Senapati..., Senapati!
Rupanya kerajaan telah kehabisan tokoh yang patut
diangkat sebagai senapati. Sehingga orang yang dungu tidak tahu diri seperti
kau, dijadikan senapati!"
"Prabalaya...!" Adipati Natajaya berseru tertahan.
Senapati Jugala tergetar menahan amarah.
Tapi Prabalaya masih melanjutkan kata-katanya,
sambil menuding Senapati Jugala. "Kedunguanmu te-
lah dibuktikan dengan ketidakmampuanmu mengha-
dapi Kujang Gading! Dan kau juga seorang manusia
yang tidak tahu diri... terbukti dengan sikap pongah-mu yang memuakkan! Tahukah
kau... kalau aku tidak
menolongmu tadi, kau sudah mampus di tangan si Ku-
jang Gading!"
Senapati Jugala tercengang dan mulai memperta-
nyakan kebenaran ucapan Prabalaya barusan - Benar-
kah dia menolongku tadi"
Dan Prabalaya masih berkata lantang, "Dengan meng-
hormati kedudukanmu sebagai senapati kerajaan, aku masih berusaha bersikap
merendahkan diri. Tapi itu tidak berarti bahwa kau boleh seenaknya merendahkan
martabatku! Darah Praba adalah darah yang pan-
tang dihina. Seorang raja sekalipun, tidak akan dibiar-kan merendahkan martabat
keturunan Prabaseta!"
Tiba-tiba saja Senapati Jugala melangkah ke pintu
gerbang. Memberi isyarat kepada prajurit-prajuritnya yang masih hidup. Melompat
ke atas kudanya yang di-tambatkan di dekat pintu gerbang. Lalu berseru kepa-da
prajurit-prajuritnya, "Kita pulang ke kotaraja sekarang juga!"
*** Adipati Natajaya masih terpucat-pucat di dalam is-
tananya. Memandang barisan prajurit kerajaan yang
mulai meninggalkan pintu gerbang. Lalu menoleh ke
arah Prabalaya yang sudah duduk kembali sambil mengelus-elus serigalanya.
"Kau telah menghancurkan rencanaku," desis Adi-
pati Natajaya. "Senapati Jugala pasti memberi laporan yang bukan-bukan mengenai
diriku nanti."
Tenang saja Prabalaya menyahut, "Kanjeng Adipati
tak usah khawatir. Senapati Jugala tidak akan menca-
pai kotaraja."


Mustika Lidah Naga 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maksudmu?" Adipati Natajaya terheran-heran.
"Hamba akan mencegatnya di tengah perjalanan.
Lalu mengirimkannya ke neraka!"
"Kau... kau bermaksud membunuhnya?"
"Ya... kalau Kanjeng Adipati menghendakinya."
Adipati Natajaya tercenung sesaat. Lalu katanya
perlahan, setengah berbisik, "Lakukanlah... lakukanlah itu..! Kurasa hanya jalan
itu yang terbaik sekarang...!"
"Baik!" Prabalaya bangkit. "Atas perkenan Kanjeng
Adipati, akan hamba binasakan senapati pongah tapi tolol itu!"
"Tapi... tunggu dulu! Setiap tindakan kita, hendaknya ditujukan untuk keuntungan
kita bersama," kata Adipati Natajaya. "Kalau kau membunuh Senapati Jugala secara
terang-terangan di depan prajurit-prajurit kerajaan, pasti aku akan dicurigai,
karena prajurit-prajurit itu pernah melihat kehadiranmu di sini..."
"Kalau begitu, mereka semua akan hamba ha-
biskan, dengan meminta bantuan kakak hamba," po-
tong Prabalaya tergesa-gesa.
"Jangan!" Adipati Natajaya menggoyangkan tangan
di depan wajah Prabalaya. "Tindakan seperti itu akan membuat Baginda
mencurigaiku... karena Senapati
Jugala sedang dalam tugas menyelidik ke Kawahsuling ini."
"Lalu apa yang harus hamba lakukan?"
"Tadi kau bicara tentang kakakmu, bukan?"
"Benar, Kanjeng Adipati."
"Kalau begitu... kita atur siasat begini...," Adipati Natajaya melanjutkan kata-
katanya dengan bisikan
perlahan di telinga Prabalaya.
Prabalaya mendengarkannya dengan sungguh-
sungguh. Kemudian mengangguk dan berkata, "Baik,
Kanjeng Adipati. Rencana ini akan hamba laksanakan dengan sebaik-baiknya."
Adipati Natajaya tersenyum. Desisnya, "Kalau sega-
la rencana kita berjalan sebagaimana mestinya, hahahahaaaa... dalam waktu
singkat kita akan menguasai kerajaan!"
Prabalaya menyeringai. Lalu meletakkan kedua ta-
ngan di dada. Dan katanya, "Hamba mohon diri untuk segera melaksanakan tugas
dari Kanjeng Adipati."
Adipati Natajaya menepuk bahu Prabalaya. "Be-
rangkatlah. Usahakan supaya perjanjian kita tidak diketahui oleh siapa pun...
termasuk oleh kakakmu sendiri."
Tak lama kemudian, Prabalaya melesat meninggal-
kan istana Adipati Natajaya.
*** ANGGA tetap menempelkan telapak tangan kanan-
Rny a di dada Kujang Gading yang masih dalam kea-
daan tak sadar. Warna biru gelap yang menyelimuti
wajah Kujang Gading, perlahan-lahan memudar. Dan
wajah Rangga menjadi merah padam, sementara peluh
pun mengalir dengan derasnya.
Lalu tampak, wajah Kujang Gading menjadi pucat
pasi. Pada saat itulah Rangga membungkuk dan me-
nyedot hawa racun dari mulut Kujang Gading, sambil menutup pernapasannya sebatas
leher, supaya hawa
racun itu tidak masuk ke dalam dadanya.
Kemudian Rangga menengadah dan menghembus-
kan napasnya kuat-kuat, dengan maksud membuang
hawa racun yang tersedot olehnya. Setelah itu, ia men-
gulangi perbuatan yang sama. Membungkuk dan me-
nyedot hawa racun dari mulut Kujang Gading, kemu-
dian membuangnya lagi.
Demikianlah, berulang-ulang Rangga melakukan
pertolongan itu. Dan wajah Kujang Gading yang pucat pasi itu pun berangsur-
angsur memerah kembali. Tapi Kujang Gading masih tetap dalam keadaan tak sadar.
Rangga melakukan pertolongan itu di dekat sebuah
air terjun. Tampaknya sengaja Rangga memilih tempat itu. Karena setelah wajah
Kujang Gading pulih seperti sediakala, tapi belum sadar juga, Rangga lalu meng-
gendong lelaki bertelanjang dada itu ke bawah air terjun.
Rangga meletakkan Kujang Gading sedemikian ru-
pa, sehingga air terjun itu jatuh ke atas kepala Kujang Gading. Dan Rangga
menepuk-nepuk kepala Kujang
Gading, pada bagian ubun-ubunnya, sehingga curahan air terjun itu seolah-olah
meresap ke dalam kepala Kujang Gading.
Tak lama kemudian, Kujang Gading membuka kelo-
pak matanya. Cepat-cepat Rangga menaikkannya ke
darat kembali. "Kau... oh... apa yang telah terjadi pada diriku?"
gumam Kujang Gading sambil duduk bersila dan men-
gatur pernapasannya sebaik mungkin.
Rangga hanya menjawabnya dengan senyum.
Kujang Gading mulai menyadari apa yang telah ter-
jadi pada dirinya. Lalu katanya, "Ajag Hawuk keparat itu telah mencelakakanku.
Tapi... apakah kau yang telah menolongku tadi?"
Rangga tetap tak mau menyahut.
"Kita pernah berjumpa di warung nasi Nyi Tiwi itu, bukan?" tanya Kujang Gading
lagi, sambil memperhatikan wajah Rangga.
"Betul," Rangga mengangguk.
Dan tiba-tiba saja Kujang Gading memegang bahu
Rangga. "Kau... kau tentu seorang pemuda yang sakti!
Ya... orang biasa tak mungkin mampu membebaskan-
ku dari cengkeraman Ajag Hawuk!"
Rangga malah tampak bingung, sehingga Kujang
Gading terheran-heran dibuatnya.
Sebenarnya Rangga mendadak teringat pada pesan
gurunya. Bukankah ia dilarang mempertontonkan il-
munya secara sembarangan" Bukankah pula ia dila-
rang memperkenalkan diri sebagai murid Kudawu-
lung" Lalu, pikir Rangga, setelah lelaki ini mengetahui
bahwa aku yang menolongnya, apa yang harus kuka-
takan padanya" Apakah aku harus membohonginya"
Bukankah guruku juga pernah berkata bahwa mem-
bohong itu merupakan perbuatan mulut yang sangat
hina" Bukankah bohong itu merupakan bagian dari
kejahatan" Lalu aku harus ngomong apa"
Ketika Rangga masih kebingungan, tiba-tiba saja
Kujang Gading berlutut di depan Rangga, sambil berkata, "Sekarang aku yang
rendah ini mengerti, bahwa aku sedang berhadapan dengan seorang pemuda yang
sakti, tapi tidak ingin memperkenalkan namanya kare-na..."
"Husss!" sergah Rangga sambil mengangkat bahu
Kujang Gading. "Apa-apaan ini" Namaku Rangga. Asal-ku dari Tilugalur. Di warung
Nyi Tiwi sudah kukatakan padamu, bukan?"
"Ya... tapi... ah... aku ini benar-benar bodoh, tidak tahu dalamnya lautan dan
tingginya gunung." Kujang Gading memukul-mukul kepalanya sendiri. "Di warung Nyi
Tiwi aku mengiramu manusia biasa..., oh... sungguh buta mataku ini!"
"Aku memang manusia biasa, bukan siluman," sa-
hut Rangga dengan senyum.
"Manusia biasa tidak mungkin bisa menyela-
matkanku dari keganasan Ajag Hawuk. Sudah banyak
pendekar berilmu tinggi yang binasa di tangan pemuda jahat dan kejam itu. Tapi
kau...." "Sudahlah, Kang. Lupakan saja hal itu." Rangga
menepuk bahu Kujang Gading. "Sekarang tujuanmu
mau ke mana?"
Kujang Gading seperti diingatkan pada sesuatu.
"Hai, di mana kita berada sekarang...?"
"Di Pamoyanan," sahut Rangga.
"Pamoyanan"!" Kujang Gading melirik ke arah air
terjun. "Oh... ya, yaaa... ya! Air terjun ini Curug Ba-gong, bukan?"
"Betul," Rangga mengangguk.
"Kalau begitu, kita sudah dekat ke Cisumpit. Seka-
rang aku mau pulang saja ke rumahku. Dan kalau kau bersedia... aku ingin
mengajakmu ke rumahku. Aku
ingin bersahabat dengan pemuda hebat seperti kau...
mm... siapa namamu tadi?"
"Rangga."
"Rangga. Ya... Rangga. Nama yang sederhana, tapi
ilmumu sama sekali tidak sederhana. Oh ya... kau boleh menyebut nama asliku...
Wikrama." "Rupanya hari ini aku bisa mengetahui sebuah ra-
hasia... bahwa nama asli Kujang Gading, adalah Wi-
krama." "Memang tak banyak yang mengetahuinya, Rangga.
Maklumlah... tindakanku belakangan ini sering bertentangan dengan Adipati
Natajaya, sehingga aku merasa perlu merahasiakan diriku. Baru sekali tadi aku
muncul secara terang-terangan di Kawahsuling."
"Muncul secara terang-terangan bagaimana?"
"Biasanya kalau aku sedang melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan Adipati Natajaya, aku suka mengenakan topeng, supaya
tidak ada seorang pun
yang mengenalku di Kawahsuling. Baru sekali tadilah aku bertindak tanpa
topeng...."
"Lalu setelah kau muncul secara terang-terangan
begitu, apakah kaki tangan Adipati Natajaya tidak
akan melacakmu ke Kawahsuling?"
Wikrama alias Kujang Gading kontan berseru terta-
han, "Celaka! Aku tidak berpikir sampai di situ...! Oh...
aku harus segera pulang ke Cisumpit, sebelum keluar-gaku jadi korban!"
Dan... laksana anak panah terlepas dari busurnya,
Wikrama melesat ke arah timur laut (Pamoyanan ada-
lah lembah di sebelah tenggara Tilugalur, di sebelah barat daya Cisumpit).
"Aku ikut, Kang!" seru Rangga yang lalu melesat pu-la ke arah timur laut.
"Ayolah, kejar aku!" sahut Wikrama.
Lalu mereka seperti sepasang kijang yang sedang
kejar-kejaran, melesat dan melompat-lompat dengan
sangat cepatnya.
Sementara itu, secara diam-diam Wikrama ingin
menguji sampai di mana kehebatan Rangga yang sebe-
narnya. Wikrama mengerahkan ilmu lari dan ilmu me-
ringankan tubuhnya. Ia ingin tahu apakah Rangga dapat mengejarnya atau tidak.
Dan ternyata, setiap kali ia menoleh ke samping, Rangga selalu berada di situ...
berlari dengan gaya santai, namun cepatnya luar biasa. Padahal Wikrama sudah
menguras tenaga dan il-
munya, untuk mencoba meninggalkan Rangga. Tapi
secepat apa pun Wikrama berlari, Rangga tetap berada di sampingnya, tanpa
memperlihatkan rasa lelah sedikit pun. Maka Wikrama memuji di dalam hatinya,
"He- bat! Pemuda ini benar-benar luar biasa! Dari mana dia memperoleh ilmu setinggi
itu?" Ketika mereka tiba di Cisumpit, suasana kampung
di tepi hutan itu terasa lain dari biasanya. Begitu sunyi. Begitu lengang.
Wikrama yang sangat merasa-kan kelainan itu bergumam, "Hai... kenapa kampung-
ku jadi sunyi begini" Apa yang telah terjadi di sini?"
Bergegas ia menuju rumahnya. Membuka pintunya.
Lalu memekik di ambang pintu, "Nyaiiii!"
Sesosok tubuh wanita terbujur di dekat pintu. Da-
danya bergelimang darah. Wikrama memeluk tubuh
wanita itu, tubuh yang tak bernyawa lagi itu. Dan
Rangga tertegun di ambang pintu. Membayangkan
kembali masa silamnya, yang agak mirip dengan nasib Wikrama.
Tak lama kemudian, seorang lelaki tua berjalan me-
nuju rumah Wikrama. Menoleh pada Rangga sesaat.
Lalu menghampiri Wikrama yang masih memeluk dan
menangisi kematian istrinya.
"Aku tidak tahu apa kesalahanmu," kata lelaki tua
itu. "Tadi serombongan prajurit Kawahsuling datang ke sini. Kami tidak berdaya,
Krama. Maafkanlah kami.
Maafkan juga kami, karena kami tidak berani mengha-langi mereka membawa anakmu."
Wikrama menoleh pada lelaki tua itu. "Jadi mereka
membawa anakku?" tanyanya sendu. "Oh... aku me-
mang sudah menduga hal ini pasti terjadi. Tapi kenapa aku tidak secepatnya
pulang ke sini tadi?"
Rangga yang ikut berduka menyaksikan peristiwa
itu, hanya meremas-remas tangannya di ambang pin-
tu. Dan Wikrama menghampirinya. Memegang ba-
hunya dengan sikap memohon. "Tolonglah anak itu,
Rangga. Jangan biarkan dia jadi korban kebinatangan Adipati Natajaya. Dia... dia
sebenarnya bukan anakku.
Tapi aku berkewajiban menolongnya. Dia adalah putri Adipati Wiralaga...!"
"Putri Adipati Wiralaga"!"
"Ya. Adipati Wiralaga adalah adipati yang tewas oleh kaki tangan Natajaya.
Kemudian Natajaya diangkat
menjadi adipati di Kawahsuling. Tapi... nanti sajalah kuceritakan lebih lanjut.
Sekarang tolonglah dulu gadis itu... Nilamsari itu...."
"Nilamsari namanya?"
"Ya. Dia...."
Belum lagi selesai Wikrama bicara, tiba-tiba Rangga lenyap dari pandangannya!
Lelaki tua itu terlongong. Tak terpikirkan olehnya bagaimana pemuda itu bisa
lenyap begitu saja dari depannya. Wikrama sendiri tak kurang herannya. Lalu
semakin percayalah ia, bahwa Rangga bukan pemuda
biasa. Tapi Wikrama lalu larut dalam kesedihannya kem-
bali. Dan penduduk Cisumpit mulai berdatangan, un-
tuk menyatakan belasungkawa atas kematian istri Wikrama.
*** AWAHSULING tampak lebih sunyi dari biasanya.
KPer istiwa pertarungan Kujang Gading melawan
prajurit-prajurit kadipaten di depan warung Nyi Tiwi, disusul dengan datangnya
rombongan prajurit kerajaan yang dipimpin langsung oleh Senapati Jugala,
disusul lagi oleh peristiwa-peristiwa menggemparkan di alun-alun, membuat rakyat
Kawahsuling ketakutan.
Peristiwa yang terjadi kemarin itu, kini ramai dibicarakan oleh rakyat
Kawahsuling. Tapi mereka hanya be-
rani membicarakannya di dalam rumahnya masing-
masing. Tidak ada yang berani memperbincangkannya
secara terang-terangan di tempat terbuka, karena peristiwa yang terjadi kemarin
itu masih merupakan te-ka-teki bagi mereka. Tidak ada yang tahu pasti, apa
sebenarnya yang telah terjadi, meskipun mereka tahu bahwa kemarin cukup banyak
korban yang tewas,
yakni prajurit-prajurit kadipaten dan prajurit-prajurit kerajaan.
Warung nasi Nyi Tiwi tampak sepi ketika Rangga
masuk ke dalamnya. Tidak ada seorang pun yang ma-
kan di situ, kecuali Rangga yang mulai duduk dan
minta nasi. "Yang kemarin makan di sini, ya?" tegur Nyi Tiwi
sambil menuangkan nasi ke atas piring kayu.
"Iya," sahut Rangga. "Kelihatannya sepi sekarang,
ya?" "Sepi sekali. Sejak pagi tadi, baru dua orang yang makan di sini. Yahhh...
tampaknya orang-orang Kawahsuling sedang ketakutan keluar dari rumahnya...."
"Ketakutan" Apa yang mereka takutkan?"
"Kemarin kan ada peristiwa aneh dan mengerikan


Mustika Lidah Naga 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Ah, masa Akang tidak tahu?" Nyi Tiwi mengira
Rangga sengaja mencandainya. Maklum janda muda
yang manis seperti Nyi Tiwi ini, banyak sekali yang menggodanya dengan bermacam-
macam cara. "Peristiwa aneh dan mengerikan?" tukas Rangga.
"Maksudmu... peristiwa perkelahian lelaki yang makan di sini kemarin itu?"
Nyi Tiwi menoleh ke kanan kirinya, seperti takut
ada yang ikut mendengarkan percakapan mereka. Lalu katanya setengah berbisik,
"Peristiwa perkelahian Kujang Gading dengan prajurit kadipaten itu, kan hanya
salah satu dari sekian banyak peristiwa yang terjadi
kemarin. Tapi... sudahlah... aku sih cuma tukang nasi.
Nggak tahu soal-soal yang begituan. Ayolah makan,
Kang... mumpung nasinya masih panas tuh."
Rangga mengangguk dan mulai makan. Tapi sambil
makan ia mulai menyelidik. "Apakah hari ini tidak ada peristiwa baru?"
"Peristiwa apa lagi?" Nyi Tiwi balik bertanya.
"Yaaa... misalnya saja ada orang yang ditangkap
atau digiring dari luar Kawahsuling, atau peristiwa lainnya."
Nyi Tiwi menggeleng. "Tidak ada. Hari ini justru sepi sekali, sehingga warungku
jadi ikut-ikutan kesepian."
"Sama sekali tidak ada orang yang digiring ke kadipaten?" tanya Rangga makin
menegaskan apa yang in-
gin diketahuinya.
"Tidak ada," Nyi Tiwi menggeleng lagi. "Sudah ah...
jangan ngomong soal-soal yang begitu. Aku sih suka ketakutan sendiri, Kang."
Rangga melanjutkan makannya. Tidak begitu lahap,
karena pikirannya sedang melayang-layang. Aku tidak tahu apakah aku sudah
melanggar larangan guruku
atau tidak. Memang aku dilarang ikut campur pada
urusan orang lain. Tapi bukankah guruku pernah berkata bahwa menolong yang lemah
dan menderita itu
suatu perbuatan yang mulia" Setelah menolong Nilamsari, aku akan segera kembali
ke puncak Gunung Li-
magagak, untuk meminta ampun kepada guruku, ka-
rena aku telah melanggar larangannya. Tapi di mana Nilamsari sekarang" Dan
lucunya, aku bahkan belum
pernah melihat orang yang akan kutolong itu!
*** Setelah menghabiskan nasi dan lauknya, Rangga
menghampiri Nyi Tiwi yang sedang duduk di belakang
dagangannya. "Hari sudah sore," Rangga seperti berkata pada dirinya sendiri. "Mungkin aku
akan kemalaman. Ah...
seandainya ada tempat untuk menginap, aku akan
berterimakasih sekali kepada pemilik tempat itu."
Nyi Tiwi mengerling dengan senyum yang agak ge-
nit. Desisnya, "Bilang saja terus terang, mau menginap di sini, begitu."
Rangga memandang wajah manis itu. "Kau bisa me-
nerimaku menginap di sini?"
Nyi Tiwi tersipu, dengan pipi kemerah-merahan.
"Bisa?" ulang Rangga.
Nyi Tiwi mengangguk perlahan. Dan membayang-
kan sesuatu yang sudah lama tidak dirasakannya. Ta-pi lalu malu sendiri setelah
melihat sikap Rangga yang begitu sopan. Pikirnya, lelaki muda ini tampaknya
tidak seperti prajurit kadipaten yang gagal memperko-saku dahulu. Dia juga tidak
seperti pedagang mata keranjang yang terpaksa kubuat menjadi tak berdaya itu.
Tidak. Dia tampaknya baik. Padahal, ah, wajahnya
tampan sekali. Kalau pakaiannya tidak kumal, aku yakin, dia akan mirip putra
bangsawan. "Mau berapa hari tinggal di Kawahsuling, Kang?" tanya Nyi Tiwi setelah agak lama
terhanyut dalam tera-wangannya.
"Entahlah. Mungkin aku harus menunggu sampai
urusanku selesai."
"Ada urusan apa sih?"
Pertanyaan itu membuat Rangga terkejut. Rangga
merasa, tadi terlanjur mengucapkan perkataan 'uru-
san', yang seharusnya tidak diucapkannya.
Lalu, dengan rikuh, Rangga menyahut, "Tidak. Aku
hanya salah ngomong. Aku... aku tidak punya tujuan apa-apa di Kawahsuling ini.
Aku hanya jalan-jalan,
sambil...."
"Kenapa jadi gugup begitu, Kang?" Nyi Tiwi mem-
perhatikan wajah Rangga. Kesempatan, bisa memper-
hatikan wajah yang tampan.
Rangga mencoba mengalihkan, dengan berpura-
pura malu ditatap oleh janda muda itu. "Kau meman-
dangku terus begitu, bagaimana aku tidak gugup,
Nyi?" Nyi Tiwi tertawa kecil. "Ih, Akang seperti anak pera-wan pingitan saja."
Tampaknya Rangga berhasil mengalihkan percaka-
pan itu. "Aku memang selalu gugup kalau dipandang
oleh perempuan cantik seperti kau, Nyi."
"Ah... masa?"
"Betul. Tapi maaf ya, aku tidak bermaksud kurang
ajar." "Hihihi... Akang lucu."
"Apanya yang lucu?"
"Akang terlalu sopan."
"Memangnya harus kurang ajar?"
"Ah, nggak. Bukan itu maksudku."
"Lantas?"
"Nggak tahu ah."
Rangga lihat tatapan yang bergoyang itu. Senyum
yang manis itu. Tapi, ah, tiba-tiba saja Rangga teringat pada Tineng yang telah
meninggalkannya untuk selama-lamanya. Ingatan mana membuat Rangga jadi di-
ngin. Lalu ia kembali ke tempat duduknya.
"Tunggu sebentar ya." Nyi Tiwi bangkit. "Aku mau
membereskan dulu tempat untuk Akang tidur. Eh...
siapa nama Akang?"
"Rangga."
Nyi Tiwi mengingat-ingat nama itu, Rangga... Rang-
ga...! Dan matahari sudah tidak menampakkan diri lagi.
Udara Kawahsuling mulai gelap.
Setelah membereskan kamar untuk Rangga, Nyi Ti-
wi kembali ke warungnya. Menyalakan buah jarak
yang ditusuk berderet seperti sate. Lalu menutupkan pintu dan jendela warungnya.
"Kamarnya sudah disiapkan," kata Nyi Tiwi sambil
menunjuk ke salah satu pintu yang terbuka. "Akang
sudah mau tidur, kan?"
"Ya... aku sudah ngantuk sekali."
*** Kamar yang disediakan untuk Rangga, berdamping-
an dengan kamar Nyi Tiwi. Kedua kamar itu dibatasi oleh dinding kayu yang tidak
begitu rapat memasang-kannya. Maka suara orang bicara dari kamar yang sa-tu,
bisa terdengar jelas ke kamar lainnya.
Dan Nyi Tiwi yang sudah masuk ke dalam kamar-
nya, berdesis, "Kang Rangga...!"
Terdengar sahutan dari kamar sebelah, "Hmm?"
"Rumah Kang Rangga di Tilugalur, ya"!"
"Kenapa bisa tahu?"
"Kemarin, waktu ngomong sama lelaki dari Cisum-
pit itu, aku ikut mendengarkannya."
"Ya, aku memang berasal dari Tilugalur. Tapi sudah lebih dari tiga tahun aku
tidak pulang ke situ."
"Kata orang, Tilugalur sekarang jadi menyeramkan,
ya Kang?" "Ya, katanya."
"Kata orang lagi... di Tilugalur sekarang ada siluman, Kang."
"Ah, masa" Seperti apa sih silumannya?"
"Hiii... Kang... ngomong-ngomong siluman, aku jadi takut, nih."
Tidak terdengar sahutan.
"Kang...! Aku benar-benar takut, nih...!"
Masih tidak terdengar sahutan.
"Kang...! Kang Rangga...! Di sini saja tidurnya,
Kang..! Aku benar-benar takut, Kang...! Takut...!"
Tetap tidak terdengar sahutan.
Nyi Tiwi mengernyit sesaat. Memejamkan matanya.
Mendesah. Melotot lagi. Lalu bangkit perlahan. Pikirnya, "Mungkin dia seorang
lelaki pemalu. Mungkin harus aku yang datang padanya."
Nyi Tiwi melangkah. Berseru perlahan. "Aku pindah
ke kamar situ, ya Kang?"
Dan terbayang di matanya. Sesuatu yang selama hi-
dup menjanda dipertahankan, mungkin akan diserah-
kan. Soalnya, lelaki muda bernama Rangga itu mena-
rik sekali. Tapi, setibanya di kamar sebelah, Nyi Tiwi tidak menemukan Rangga.
"Kang!" seru janda muda itu. "Bersembunyi di ma-
na, sih?" Warung nasi yang bersatu dengan rumah Nyi Tiwi
itu tetap sunyi. Tidak terdengar lagi suara lelaki.
Hanya bunyi cengkerik yang terdengar di luar. Bersahutan.
*** IDAK seperti rumah rakyat yang pada umumnya
Tge lap gulita, istana Adipati Natajaya tampak terang-benderang malam itu.
Cahaya obor yang dinyalakan di setiap sudut istana, membuat bangunan megah itu
laksana permata cemerlang di tengah lumpur hitam.
Rangga yang bermaksud menyelidiki ada tidaknya
Nilamsari di istana Adipati Natajaya, sudah berada di luar benteng. Ia tidak
berani muncul di dekat pintu gerbang, karena di situ ada obor-obor yang menyala
dan prajurit-prajurit yang menjaga.
Pintu gerbang itu menghadap ke selatan. Dan Rang-
ga telah berada di sebelah timur benteng. Di situ Rangga berpikir sesaat. "Aku
harus menyelidik dulu ke dalam. Kalau Nilamsari tidak disekap di sini, sebaiknya
aku tidak membuat onar. Tujuanku hanya satu...
membebaskan Nilamsari dan mengembalikannya ke-
pada Wikrama."
Wuttt...! Rangga mencelat ke atas benteng. Mem-
perhatikan istana dari atas benteng dan langsung melompat ke bagian belakang
istana. Ada dua orang penjaga di situ, tapi mereka tidak melihat Rangga, karena
gerakan Rangga demikian cepatnya dan hampir tak
dapat dilihat oleh mata biasa.
Tapi, untuk masuk ke dalam istana tanpa menim-
bulkan keonaran, tampaknya bukan hal yang mudah.
Karena malam itu penjagaan demikian ketatnya, se-
hingga tidak memungkinkan orang biasa menyelundup
ke dalamnya. Di setiap pintu yang terdapat di dalam istana sang Adipati, tampak
dua atau tiga orang prajurit berjaga-jaga.
Terpaksalah Rangga bersemadi beberapa saat, ke-
mudian memaparkan ajian 'Halimunan', yang mem-
buatnya tidak bisa dilihat oleh manusia biasa.
Begitu selesai Rangga membacakan ajian 'Halimu-
nan', lenyaplah ia dari pandangan. Namun sesungguhnya ia tidak lenyap. Ajian
sakti itu hanya mampu me-ngelabui pandangan manusia sedemikian rupa, se-
hingga pemilik ajian itu bisa bergerak dengan leluasa tanpa dapat dilihat oleh
siapa pun. Tapi, bunyi langkah, bunyi napas dan sebagainya, akan tetap terden-
gar oleh orang lain. Untungnya Rangga telah memiliki ilmu meringankan tubuh yang
sangat tinggi, sehingga langkahnya tidak mungkin bisa terdengar oleh orang yang
ilmunya berada di bawah Rangga.
Setelah Rangga menghilang dari pandangan, dengan
bebas ia bisa memasuki istana yang dijaga ketat itu, tanpa harus menimbulkan
keributan. Walaupun setiap pintu dijaga oleh dua atau tiga orang prajurit,
Rangga bisa memasuki kamar demi kamar, tanpa diketahui
oleh siapa pun.
Memang sulit tugas sukarela yang sedang dilaksa-
nakan oleh Rangga itu. Terutama karena ia belum pernah melihat rupa gadis yang
harus ditolongnya. Akibatnya, tiap kali ia memasuki sebuah kamar, ia harus
berdiam diri dulu di sana, untuk memperhatikan siapa yang sedang tidur di kamar
itu. Terkadang harus agak lama ia berdiri di dalam satu kamar, karena ternyata
cukup banyak kamar yang dihuni oleh perempuan.
Dan Rangga ingin tahu secara pasti bahwa di antara perempuan-perempuan yang
sekian banyaknya itu ada
Nilamsari atau tidak. Tentu saja Rangga belum tahu bahwa perempuan-perempuan
yang tidur dalam ka-marnya masing-masing itu, adalah selir-selir Adipati
Natajaya. Rangga bahkan kebingungan. Begitu banyak pe-
rempuan di dalam istana ini. Bagaimana aku bisa me-mastikan bahwa salah seorang
di antara mereka ada-
lah gadis yang kucari" Ah... sulit sekali... karena aku belum pernah bertemu
dengan gadis itu.
Tapi, pikir Rangga lagi, di mana Adipati Natajaya"
Sejak aku masuk ke dalam istana ini, aku tidak melihat dia. Apakah dia sedang
berada di tempat lain"
Rangga hampir putus asa dan mau kembali ke ru-
mah Nyi Tiwi. Tapi, tiba-tiba saja pandangannya ter-
tumbuk ke sebuah pintu yang tertutup. Pintu yang
tampak istimewa dan belum pernah dimasuki oleh
Rangga. "Jangan-jangan Nilamsari disekap di dalam kamar
yang pintunya tertutup itu," pikir Rangga sambil melangkah ke arah pintu itu.
Pintu yang tertutup itu tampaknya mendapat pen-
jagaan istimewa. Lima orang prajurit bertombak berdiri di depannya, dengan sikap
waspada. "Apakah setiap malam istana ini dijaga ketat begi-
ni?" pikir Rangga yang sudah berada di depan pintu itu. Kelima prajurit yang
menjaga pintu itu tidak tahu bahwa seorang lelaki muda sedang berdiri di depan
mereka. Sebenarnya Rangga berharap supaya mereka
bercakap-cakap, sedikitnya untuk dijadikan bahan pe-nyelidikannya. Tapi
prajurit-prajurit yang bertugas menjaga istana itu, tak ubahnya patung-patung
bisu. Tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. De-
mikian pula kelima prajurit yang bertugas menjaga pintu istimewa itu. Mereka
hanya berdiri tegak sambil memegang tombaknya masing-masing, tanpa mengeluarkan
suara apa-apa, bahkan menggerakkan anggota badannya pun tidak.
Dengan hati-hati sekali Rangga melangkah maju,
menyelinap di antara kelima penjaga itu. Setelah berhasil mencapai pintu yang
tertutup itu, Rangga membuka pintu tersebut perlahan-lahan sekali.
Kalau saja pintu itu membuka secara normal,
mungkin kelima prajurit itu akan menduga ada orang yang hendak keluar dari dalam
kamar tersebut. Tapi karena pintu itu terbuka perlahan-lahan sekali, salah
seorang prajurit memperhatikannya dan tercenganglah prajurit itu.
"Hai... kenapa pintu ini?" desis prajurit itu sambil bergegas melompat ke arah
pintu itu. Dan tiba-tiba sa-ja ia memekik perlahan, "Oh... aku... aku menyentuh
sesuatu yang bergerak!"
Prajurit yang lain bahkan menertawakannya. "Tentu
saja... kau menyentuh pintu yang tertiup angin itu!
Hihihi..."
"Bukan... bukan pintu...! Aku merasa bersentuhan
dengan sesuatu yang hidup... sesuatu yang... yang mirip tangan manusia...!"
"Ah! Kamu mengigau barangkali! Mangkanya kalau


Mustika Lidah Naga 2 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mau jaga malam begini, siangnya tidur dulu seke-
nyang-kenyangnya, supaya malamnya tidak ngelin-
dur!" "Tunggu... kamu pikir pintu ini bisa bergerak kalau tertiup angin" Kalau pintu
rumahmu, mungkin bisa.
Tapi pintu istimewa ini"! Lagipula dari tadi kan tidak ada angin masuk ke sini."
"Lantas pikirmu apa yang menggerakkannya tadi"
Hantu" Huuu... prajurit macam apa kamu ini?"
Prajurit yang merasa menyentuh 'sesuatu' itu hanya terlongong-longong. Lalu
menggosok-gosok matanya.
Bingung. Soalnya ia yakin benar bahwa tadi ia me-
nyentuh sesuatu yang hangat. Sesuatu yang bergerak.
Sesuatu yang hidup dan bernyawa. Tapi kawan-
kawannya malah menertawakannya dan mengiranya
sedang mengigau.
Sebenarnya prajurit yang bersentuhan dengan 'se-
suatu' itu tidak mengigau. Yang disentuhnya tadi adalah Rangga. Memang
demikianlah orang yang sedang
memakai ajian 'Halimunan'. Ia hilang dari pandangan, tapi ia masih bisa
disentuh! Setelah memasuki pintu yang dijaga paling ketat
itu, Rangga berada di dalam ruangan yang panjang
dan lantainya menurun. Ruangan itu lebih tepat disebut terowongan yang berkelok-
kelok, menurun dan
gelap gulita. Tapi Rangga telah menguasai ilmu 'Pangalong', yang membuatnya
dapat melihat dalam gelap.
"Mungkin terowongan yang menurun ini menuju
tempat yang sangat dirahasiakan," pikir Rangga. "Dan mungkin pula di tempat rahasia itu
Nilamsari disekap."
Rangga melangkah terus dalam keadaan tak terlihat
oleh mata biasa, dengan ilmu 'Pangalong' yang me-
mungkinkannya melihat dalam udara gelap gulita.
Terowongan itu makin lama makin menurun. Dan
akhirnya Rangga menemukan ujungnya... sebuah pin-
tu yang tertutup lagi!
Rangga tertegun di depan pintu itu. Pikirnya, "Pintu yang satu ini tidak dijaga
oleh seorang prajurit pun.
Tapi... aku mendengar suara manusia di dalam sana...
suara manusia yang sedang bercakap-cakap!"
Rangga meneliti pintu yang tertutup itu. Mencoba
membukanya perlahan-lahan, tapi ternyata pintu itu dikunci dari dalam.
"Aku bisa saja mendobrak pintu ini," pikir Rangga.
"Tapi akibatnya... mungkin akan menimbulkan kega-
duhan. Sedangkan gadis yang kucari, belum tentu ada di dalam sana."
Rangga berpikir sesaat. Dan akhirnya ia memapar-
kan ajian 'Sewu Pangrungu', supaya dapat menangkap dengan jelas apa yang
dibicarakan orang-orang di balik pintu sana... di dalam ruang bawah tanah itu.
Lalu Rangga mendengarkan percakapan itu.
"Hamba tidak akan banyak menuntut, Kanjeng Adi-
pati. Hamba hanya ingin agar anak hamba diangkat
sebagai senapati, setelah tujuan Kanjeng Adipati berhasil."
"Percayalah, aku akan menepati janjiku. Tapi se-
mua itu tergantung pada hasil tugas Prabalaya."
"Hahahahaaa... Senapati Jugala terlalu ringan bagi anak-anak hamba, Kanjeng
Adipati. Hamba yakin, besok pagi salah seorang di antara mereka sudah tiba di
sini, dengan membawa hasil seperti yang diharapkan."
"Hasil yang kuharapkan, adalah binasanya Senapati
Jugala, tanpa menimbulkan kesan bahwa semuanya
diatur dari Kawahsuling."
"Beres, Kanjeng Adipati. Justru karena ingin meng-
hindari kecurigaan itulah, hamba menyuruh Prabayani menemani adiknya. Kalau
hanya untuk membunuh
Senapati Jugala, hahahahaaa..., cukup Prabalaya sendiri yang berangkat!"
"Baiklah. Kita tunggu saja hasilnya besok. Sekarang sudah larut malam. Kita
berpisah dulu, Prabaseta."
"Baik, Kanjeng Adipati."
Lalu Rangga mendengar suara langkah mendekat.
Dan pintu terbuka. Tampaklah Adipati Natajaya berjalan ke luar, sendirian dengan
obor di tangannya.
"Ke mana orang yang berbicara dengan Adipati Na-
tajaya tadi?" tanya Rangga dalam hati.
Terdorong oleh rasa ingin tahunya, Rangga tidak
mengikuti Adipati Natajaya yang sedang menuju pintu yang dijaga oleh lima
prajuritnya itu. Rangga malah berusaha memasuki ruangan yang tadi dipakai
berunding oleh sang Adipati itu, karena pintunya tak ter-kunci lagi.
Tiada seorang manusia pun di ruangan rahasia itu.
Maka pikir Rangga, "Apakah orang yang bercakap-ca-
kap dengan Adipati Natajaya tadi, seorang pemilik
ajian Halimunan seperti aku juga" Kalau tidak, ke ma-na dia sekarang" Tak
mungkin dia menghilang begitu saja di dalam ruangan ini! Tapi... aku sudah
mendapat nama baru... Prabaseta... ya, Prabaseta nama orang yang berbicara dengan Adipati
Natajaya tadi. Dan kalau mendengar dari percakapan tadi, Prabaseta itu
adalah ayahnya Prabalaya... ayahnya pemuda yang
hampir membinasakan Wikrama kemarin!"
"Dan gilanya," pikir Rangga lagi, "aku sama sekali tidak mendapat petunjuk
tentang gadis yang harus ku-bebaskan itu!"
*** Kelima prajurit penjaga pintu istimewa itu langsung
berlutut patuh begitu melihat Adipati Natajaya muncul dari dalam.
"Besok pagi, siapkan keretaku di depan istana," ka-ta Adipati Natajaya kepada
salah seorang penjaga pintu istimewa itu.
"Timbalan, Gusti."
"Siapkan pula pengawal sebanyak tujuh orang."
"Timbalan, Gusti."
Kemudian Adipati Natajaya melangkah ke arah per-
aduannya. Salah seorang prajurit berbisik pada kawannya,
"Besok pagi Kanjeng Adipati mau pergi jauh rupanya."
"Iya," sahut prajurit yang dibisiki tadi. "Mungkin mau... hey... pintu itu..."!"
Pandangan kelima prajurit itu serempak tertuju ke pintu yang mereka jaga. Pintu
itu terbuka perlahan-lahan... krekeeeet...!
Dan serempak mereka berlompatan ke arah pintu
istimewa itu, sambil menudingkan tombaknya masing-
masing. Tapi mereka tidak menemukan apa-apa, kecuali
pintu yang terbuka 'tanpa sebab'. Mereka tidak tahu bahwa pintu itu bukan
terbuka tanpa sebab. Pintu itu
dibuka oleh Rangga yang hendak pergi ke luar.
Mereka bahkan mengira pintu itu 'diganggu' oleh
arwah Jarot (bayangkara Adipati Natajaya yang telah dibunuh oleh Kujang Gading).
"Jangan-jangan arwah Jarot gentayangan... hiiii...!"
"Ah, kau... kau bikin bulu kudukku berdiri!"
"Habis... masa pintu ini bisa terbuka sendiri?"
"Tapi jangan bilang-bilang Jarot, ah. Terus-terang saja, aku... agak takut...!"
*** Malam sudah sangat larut ketika Rangga pulang ke
rumah Nyi Tiwi. Dan janda muda itu menyambutnya.
"Dari mana, Kang?"
Terkejut juga Rangga dibuatnya. "Da... dari bela-
kang," sahutnya tergagap. "Kau belum tidur, Nyi?"
"Belum," Nyi Tiwi menghampiri Rangga, dengan
buah jarak yang menyala di tangannya.
"Ke belakang kok lama sekali, Kang?" Nyi Tiwi du-
duk di samping Rangga.
Rangga bahkan balik bertanya, "Kau mau tidur di
sini?" Nyi Tiwi mengangguk. "Iya, aku takut, Kang."
"Takut apa?" Rangga agak rikuh, karena Nyi Tiwi
merapatkan pipinya ke pipi Rangga. Hangat memang.
Mendebarkan memang. Sudah tiga tahun Rangga hi-
dup menduda, memang. Dan Rangga lelaki normal,
memang. Masih mudah pula, memang.
"Tadi aku terlanjur ngomong soal siluman-siluman
segala. Jadi saja aku takut sendiri," sahut Nyi Tiwi sambil meniup api dari
'sate' buah jarak itu.
Gelap kembali kamar itu. Gelap yang mendesirkan
darah Rangga. Soalnya Rangga dapat melihat dalam
gelap, berkat ajian Pangalong yang dimilikinya... ya...
Rangga dapat melihat dengan jelas bagaimana bentuk dan rona wajah janda muda
itu, ketika melepaskan pakaiannya sehelai demi sehelai, sampai tiada penutup
sehelai benang pun lagi di tubuhnya.
O, wajah Nyi Tiwi itu, begitu penuh harap dan ha-
srat. Dan o, tubuh polos itu, begitu molek, begitu mulus, begitu menggiurkan!
Rangga sudah dapat menduga apa sebabnya Nyi
Tiwi melakukan itu semua. Terlebih lagi setelah Nyi Tiwi memeluk dan
membisikinya, "Sejak ditinggal mati oleh suamiku, aku belum pernah
menyerahkannya pa-da lelaki mana pun. Tapi padamu... ah... rasanya aku sangat
membutuhkanmu malam ini, Kang."
Tapi Rangga justru memejamkan matanya. Memi-
kirkan kembali kegagalannya dalam mencari Nilamsa-
ri. Memikirkan kembali hilangnya orang yang berbicara dengan Adipati Natajaya di
ruangan bawah tanah itu.
Maka, seperti tidak menyadari apa yang sedang ter-
jadi di dalam kamar gelap itu, Rangga bahkan ber-
tanya, "Sebelum Adipati Natajaya berkuasa di Kawahsuling ini, siapa yang menjadi
adipati di sini?"
Nyi Tiwi heran, mengapa Rangga justru menanya-
kan soal yang tidak ada hubungannya dengan hasrat
lelaki" Namun dijawabnya juga. "Dahulu, Kawahsuling ini dipimpin oleh Kanjeng
Adipati Wiralaga. Pada zaman itu, daerah ini tidak aman, Kang."
"Tidak aman?"
"Ya. Pada masa itu, gerombolan Bajing Bodas sering mengacau, merampok,
memperkosa, membunuh dan...
ah... suamiku sendiri jadi korban keganasan anggota Bajing Bodas, Kang."
"Suamimu dibunuh oleh gerombolan itu?"
"Iya," sahut Nyi Tiwi. "Suamiku pengikut setia Kanjeng Adipati Wiralaga. Dan
tampaknya perkumpulan
gelap itu membenci pengikut-pengikut setia Kanjeng Adipati Wiralaga. Bukan hanya
suamiku yang dibunuh oleh orang-orang Bajing Bodas. Banyak lagi yang jadi korban
keganasan gerombolan kejam itu. Ah... kalau Ingat ke sana, aku jadi sedih
sekali, Kang."
"Lalu kenapa Adipati Wiralaga diganti oleh adipati yang sekarang?"
"Kanjeng Adipati Wiralaga sendiri akhirnya jadi korban kekejaman Bajing Bodas.
Gerombolan itu menyer-
bu ke dalam istana kadipaten dan berhasil membunuh Kanjeng Adipati Wiralaga."
"Ah...! Lalu kedudukan adipati diserahkan kepada
Natajaya?" Rangga makin bersemangat untuk menge-
tahui seluk-beluk pemerintahan di Kawahsuling.
"Ya," sahut Nyi Tiwi. "Sebenarnya Kanjeng Adipati
Natajaya masih saudara sepupu mendiang Adipati Wi-
ralaga. Maka tidak aneh kalau kedudukan adipati itu diserahkan padanya. Tapi..."
Nyi Tiwi tidak melanjutkan kata-katanya.
"Tapi apa?" Rangga penasaran.
Nyi Tiwi menjawabnya dengan bisikan, perlahan se-
kali, "Menurut kabar selentingan, Kanjeng Adipati Natajaya menyembunyikan bekas
istri Kanjeng Adipati
Wiralaga di Leuwisapi... sebagai selirnya. Mungkin...
mungkin sebelum Kanjeng Adipati Wiralaga tewas pun, Kanjeng Adipati Natajaya
sudah... yah... sudah menggilai wanita cantik itu... mungkin."
Rangga mengernyit. Lalu tanyanya, "Apakah Kan-
jeng Adipati Wiralaga tidak punya anak?"
"Ada," sahut Nyi Tiwi. "Tapi putri itu hilang beberapa bulan setelah peristiwa
gugurnya Kanjeng Adipati Wiralaga."
"Apakah putrinya itu bernama Nilamsari?"
"Betul. Kok tahu?"
"Aku pernah mendengar beritanya."
"Hmm... ada lagi, kabar selentingan yang lebih gila, Kang."
"Kabar tentang apa?"
Lagi-lagi Nyi Tiwi menjawabnya dengan bisikan per-
lahan sekali. "Kata orang... Kanjeng Adipati Natajaya menggilai Nilamsari...!
Tapi benar tidaknya berita itu, aku juga belum tahu."
"Apa"!" Rangga terperanjat. "Bukankah Nilamsari
itu masih terhitung keponakan Kanjeng Adipati Natajaya sendiri?"
"Iya. Soalnya... entahlah... Kanjeng Adipati Natajaya ini kelihatannya sangat
doyan perempuan, Kang."
Rangga, yang belum mendengar cerita jelas dari Wi-
krama, kini mulai mendapat gambaran tentang latar
belakang penangkapan Nilamsari itu. Pikirnya, "Mungkin Nilamsari melarikan diri,
karena tidak mau mela-deni cinta gila Adipati Natajaya yang pamannya sendiri
itu. Kemudian ia dipungut anak oleh Wikrama alias Kujang Gading. Atau... mungkin
juga Wikrama yang
membebaskan Nilamsari dari belenggu kebejatan Adi-
pati Natajaya. Dan munculnya Wikrama secara terang-terangan di Kawahsuling,
membuat Adipati Natajaya
mengetahui bahwa putri yang digilainya itu disela-
Perjodohan Busur Kumala 3 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Kucing Suruhan 4
^