Pencarian

Mustika Lidah Naga 4 2

Mustika Lidah Naga 4 Bagian 2


dinding tegak lurus itu, adalah ilmu Ranganapel. Tapi yang membuat Rangga heran,
adalah bahwa Nyi Tiwi
bisa memiliki ilmu yang sulit dipelajari itu!
*** Setibanya di atas, Nyi Tiwi melanjutkan perjalanan
dengan lari secepat kijang lagi. Dan diam-diam Rangga memuji di dalam hatinya:
Ilmu lari Nyi Tiwi ini tidak di bawah ilmuku waktu belum lumpuh dahulu.
Setibanya di tempat yang terpencil, Nyi Tiwi menu-
runkan Rangga dari gendongannya.
"Sekarang ceritakanlah padaku, apa yang menye-
babkanmu bisa lumpuh begini," kata Nyi Tiwi sambil
merebahkan tubuh Rangga di atas rumput.
Rangga menggeleng. "Entahlah... aku sendiri tidak
tahu racun apa yang telah dilepaskan oleh Prabaseta saat itu. Karena... aku
tidak mencium bau apa-apa, juga tidak melihat sesuatu yang dilepaskan olehnya."
Nyi Tiwi menghela napas panjang. Katanya, "Si Ja-
lak Ruyuk memang memiliki seribu-satu macam ra-
cun. Mungkin aku harus membawamu ke tempat gu-
ruku. Mudah-mudahan saja beliau mau menolongmu."
"Siapa gurumu, Nyi?" tanya Rangga.
"Kidangkancana," sahut Nyi Tiwi tenang.
"Kidangkancana"!" Rangga terperanjat.
Tentu saja Rangga terkejut, karena ia masih ingat
benar kata-kata gurunya dahulu: "Di antara sekian banyak pendekar yang berdiri
di pihak kebenaran, ada satu orang yang sangat kuhormati. Dia adalah
Kidangkancana. Tapi sayang sekali, aku tidak tahu di mana dia berada sekarang."
Nyi Tiwi, janda muda yang tadinya disangka hanya
seorang perempuan lemah itu, ternyata murid Kidangkancana.
"Kau pernah mendengar nama guruku, Kang?"
tanya Nyi Tiwi ketika Rangga masih terlongong-
longong. "Ya. Guruku sering menceritakan kehebatan Ki-
dangkancana."
"Gurumu Kudawulung, bukan?"
Lagi-lagi Rangga terkejut: "Bagaimana kau bisa ta-
hu" Padahal aku tidak pernah menyebut-nyebut nama
guruku." "Mudah saja menebaknya. Di negeri ini hanya ada
tiga orang sakti yang memiliki ajian Halimunan. Mereka adalah Citralaga,
Kudawulung dan guruku sendiri.
Tentang Citralaga, jelas tidak akan menurunkan ajian
Halimunan kepada orang lain, karena ia sudah ber-
sumpah untuk tidak mengangkat murid lagi setelah
Prabaseta tidak dianggap murid lagi olehnya. Maka pi-kiranku langsung saja pada
tokoh sakti yang seorang lagi, yakni Kudawulung. Karena hanya..."
"Tunggu dulu," potong Rangga. "Dari mana kau ta-
hu bahwa aku punya ajian Halimunan?"
Nyi Tiwi membelai rambut Rangga, dengan mesra.
Lalu jawabnya, "Kau pernah menggunakan ajian Hali-
munan di istana Adipati Natajaya, bukan"!"
"Apa"! Di istana Adipati Natajaya?"
"Ya," Nyi Tiwi mengangguk dengan senyum manis.
"Waktu kau masuk ke dalam istana itu, kau mulai
menggunakannya. Begitu juga waktu kau mengintip
pembicaraan Adipati Natajaya dengan Prabaseta di
ruang rahasia bawah tanah itu, bukan"!"
Rangga terperanjat. "Ja... jadi... kau menguntitku malam itu?"
Nyi Tiwi mengangguk lagi. Dengan senyum manis
lagi. Katanya, "Malam itu kau berhasil mendengarkan rencana gila Prabaseta dan
Adipati Natajaya. Tapi kau tidak bisa memecahkan bagaimana caranya Prabaseta
bisa lenyap dari dalam ruang rahasia itu, bukan"!"
Rangga yang masih kaget, karena tidak menduga
bahwa Nyi Tiwi pernah menguntitnya waktu Rangga
menyelidiki istana Adipati Natajaya, lalu berkata, "Ya, aku memang tidak
berhasil menemukan Prabaseta malam itu. Aku bahkan pernah berpikir bahwa saat
itu Prabaseta menghilang berkat ajian Halimunan."
"Bukan," Nyi Tiwi menggeleng. "Prabaseta bukannya
menghilang begitu saja. Dia memasuki jalan rahasia menuju sarangnya, yang memang
tidak ditemukan
olehmu malam itu, Kang."
"Jalan rahasia"!"
"Ya," Nyi Tiwi mengangguk. "Salah satu dinding di
ruang bawah tanah itu, sebenarnya bisa digerakkan.
Itulah pintu rahasia menuju sarang Prabaseta alias si Jalak Ruyuk."
Rangga terpanar. Soal pintu rahasia di ruang bawah tanah itu, tidak
dipikirkannya benar. Yang dipikirkannya, yang diherankannya, adalah bagaimana
caranya sehingga Nyi Tiwi bisa menguntitnya tanpa diketahuinya" Bahkan Nyi Tiwi bisa
tahu bahwa pada malam itu Rangga menggunakan ajian Halimunan. Ini luar biasa!
Berarti ilmu Nyi Tiwi tidak berada di bawah ilmu Rangga! Bahkan mungkin ilmu Nyi
Tiwi lebih tinggi daripada ilmu Rangga! Itulah yang membuat Rangga terpa-
nar. Tapi... tiba-tiba Rangga teringat penuturan Nyi Tiwi dahulu. Bahwa suami Nyi
Tiwi tewas dibunuh gerombolan Bajing Bodas. Lalu, kalau Nyi Tiwi memang memiliki
ilmu yang tinggi, kenapa ia tidak bisa membela suaminya"
Maka lalu ujar Rangga, "Bisa dipastikan, sebagai
murid Kidangkancana, tentu ilmu yang kau miliki
tinggi sekali. Lalu kenapa kau tidak bisa mencegah gerombolan Bajing Bodas
membunuh suamimu?"
Nyi Tiwi terperangah. Mungkin karena tidak me-
nyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu.
Dan... mata yang indah itu mulai basah. Mulai
mencucurkan air mata. Betapa tidak. Pertanyaan
Rangga tadi, mau tidak mau menggugahkannya pada
kenangan lamanya.
Lalu, dengan agak tersendat-sendat, Nyi Tiwi men-
jawab pertanyaan Rangga.
"Pada masa itu, aku belum mempelajari ilmu apa
pun, kecuali menyenangkan hati suamiku dengan ma-
sakan-masakan lezat, dengan caraku bersolek, dengan
caraku tersenyum mesra dan sebangsanya. Saat itu
aku hanya seorang wanita lemah, tidak memiliki ke-
mampuan apa pun dalam ilmu kedigjayan.
"Suamiku memang seorang lelaki yang baik dan pa-
tut mendapat kasih sayang sebesar-besarnya dariku.
Selama aku berumah-tangga dengannya, tak pernah
kudengar kata-kata kasar terlontar dari mulutnya. Rasanya sulit mencari lelaki
yang lembut seperti suamiku itu. "Aku bahagia... bahagia sekali hidup bersama
lelaki yang lembut dan penuh pengertian itu. Tapi, Kang, ti-ba-tiba saja awan
hitam menyelimuti kehidupanku.
Gerombolan Bajing Bodas merajalela di daerah Kawahsuling...!
"Sasaran utama gerombolan itu, adalah para pengi-
kut Kanjeng Adipati Wiralaga. Setiap orang yang dekat dengan Kanjeng Adipati
Wiralaga, dibunuh. Hartanya dirampok. Keluarganya dianiaya atau diperkosa...
bahkan ada juga yang dihabiskan!
"Akhirnya tibalah giliran suamiku, karena suamiku
juga seorang pengikut setia Kanjeng Adipati Wiralaga.
"Ah... sampai sekarang masih terlihat-lihat di mata-ku, betapa mengerikannya
melihat suamiku sendiri di-seret, lalu ditusuki golok gerombolan biadab itu. Dan
aku hanya bisa bersembunyi di balik rumpun bambu,
sambil mengintip berkelojotannya suamiku dalam
saat-saat menjelang ajalnya...!"
Sampai di situ Nyi Tiwi bercerita, air matanya deras membanjir. Tapi lalu
dilanjutkannya kisah itu...
"Dalam keadaan pilu dan putus asa, kutinggalkan
Kawahsuling pada malam itu juga. Ketika hari mulai pagi, aku tiba di pinggir
sungai. Dan ketika aku melihat riak air sungai yang deras itu, tiba-tiba saja
muncul niat untuk bunuh diri.
"Aku sudah benar-benar putus asa. Aku lalu men-
ceburkan diri ke dalam sungai itu. Kemudian... aku tidak ingat apa-apa lagi.
"Tapi rupanya aku belum ditakdirkan mati. Ketika
aku membuka kelopak mataku, kulihat seraut wajah
lelaki tua yang lembut. Tadinya aku mengira sudah berada di akhirat. Namun
ternyata tidak. Ternyata aku berada di atas perahu kecil, perahu yang hanya di-
dayung oleh tangan lelaki tua itu.
"Lelaki tua itu, adalah Kidangkancana. Beliau bu-
kan hanya menyelamatkanku dari maut, namun juga
memberiku petuah-petuah yang sangat berharga.
Dan... begitulah... akhirnya aku dibawa ke tempat beliau. Di situlah aku
diangkat sebagai muridnya."
*** "Berapa tahun kau berguru pada Kidangkancana?"
tanya Rangga setelah Nyi Tiwi menyelesaikan penutur-annya.
"Hanya setahun. Tapi aku dibekali sebuah kitab pu-
saka yang harus kupelajari sendiri, kemudian kubakar setelah isinya
terhapalkan."
"Setelah setahun tinggal di tempat Kidangkancana,
kau pulang ke Kawahsuling lagi?" tanya Rangga.
"Ya."
Dan tanya Rangga lagi, "Lalu kau lampiaskan den-
dammu pada gerombolan Bajing Bodas, karena kau
sudah menjadi seorang wanita berilmu?"
"Tidak," Nyi Tiwi menggeleng. "Kalau mempertu-
rutkan kata hati, tentu saja aku ingin melacak sarang Bajing Bodas, lalu
menghabisi nyawa mereka semua."
"Lalu kenapa tidak kau lampiaskan dendammu?"
"Guruku melarangku. Aku diberi ilmu oleh beliau,
hanya untuk membela diri. Bukan untuk membunuh
dan memperturutkan kata hati. Beliau memberi nasi-
hat panjang lebar mengenai darma dan karma. Menge-
nai tugas hidup manusia di dunia dan mengenai segala amal perbuatan yang akan
tetap dicatat oleh Yang Ma-ha Agung, sebagai bekal dalam kehidupan yang abadi di
alam kekal kelak. Entahlah... setelah meresapi we-jangan beliau, hatiku terasa
sejuk sekali. Dan aku yakin, bahwa orang-orang yang telah membunuh suami-
ku, pada suatu saat kelak, pasti akan memperoleh im-balannya yang setimpal.
Biarlah Hyang Agung sendiri yang menghakiminya, bukan aku."
"Apakah kau tahu siapa-siapa saja yang menjadi ge-
rombolan Bajing Bodas itu?" tanya Rangga lagi.
"Tahu," Nyi Tiwi mengangguk. "Mereka adalah anak
buah Prabaseta. Aku juga tahu bahwa Natajaya sebe-
lum menjadi adipati, telah menjalin persekutuan rahasia dengan Prabaseta.
Tujuannya adalah untuk mere-
but kursi Kanjeng Adipati Wiralaga."
"Tujuan Natajaya bukan hanya merebut kursi adi-
pati Kawahsuling."
"Memang benar," Nyi Tiwi mengangguk-angguk.
"Dia juga merencanakan sesuatu yang besar... merencanakan perebutan kekuasaan
atas Kerajaan Tegalin-
ten. Tapi sebelum cita-citanya tercapai... senjata makan tuan! Dia dibunuh oleh
Prabayani. Begitu, bu-
kan?" "Kau tahu semuanya"!" Rangga terbelalak.
Nyi Tiwi mengangguk lagi.
"Dan kau diam saja"! Apakah gurumu melarangmu
ikut menegakkan keadilan di negeri ini?"
Nyi Tiwi tersenyum datar. Lalu berkata dingin, "Pa-da saat ini, Kerajaan
Tegalinten tidak punya seorang tokoh pun yang patut kita bela. Prabu
Suriadikusumah sudah terlalu tua dan tidak berhasrat memerintah
lagi. Banondara dan Banondari, tampaknya lebih asyik bersenang-senang di
keputren. Aria Pamungkas hanya seorang pangeran yang licik dan serakah. Aria Lu-
mayung lebih senang hidup menyendiri dan tidak pe-
duli dengan soal-soal pemerintahan. Lalu siapa yang harus kita bela?"
Mata Rangga semakin terbuka: Bahwa Nyi Tiwi tahu
semuanya. O, pikir Rangga, alangkah bodohnya aku ini... yang selama ini menganggap Nyi
Tiwi hanya seorang pemilik warung nasi!
Tapi Rangga masih mencoba menggurui Nyi Tiwi.
"Ada satu hal yang kau lupakan, Nyi."
"Maksudmu?"
"Dalam saat seperti sekarang, sesungguhnya ada
yang harus kita bela... rakyat Tegalinten. Mereka tidak boleh dibiarkan hidup
menderita."
Nyi Tiwi bahkan tersenyum sinis. Dan katanya, "Ta-
ruh katalah kita ingin membela rakyat banyak. Lantas kita culik atau kita bunuh
Aria Pamungkas dan pengikut-pengikutnya. Tapi setelah itu... apa yang akan kita
lakukan" Siapa yang akan kita jagokan untuk memimpin negeri ini" Seperti yang
kukatakan tadi, sampai saat ini aku belum menemukan pribadi yang sesuai
untuk memimpin Kerajaan Tegalinten. Karena itu, lebih baik aku diam saja...
sampai muncul orang yang benar-benar patut menjadi raja di negeri ini."
*** IGELUNG bukanlah sungai yang luar biasa. Lebar-
Cny a sama saja dengan sungai-sungai lain. Dan se-
perti sungai-sungai lain, Cigelung pun mampu mengai-
ri persawahan dan kolam-kolam penduduk yang ting-
gal di sekitarnya.
Yang unik pada sungai ini, adalah letaknya. Sungai itu melintang dari barat daya
ke arah timur laut. Baik hulu maupun muaranya, berada di luar wilayah
Tegalinten. Dengan kata lain, Tegalinten hanya dilewati saja oleh sungai itu.
Adapun nama Cigelung, kemungkinan besar karena
bentuk aliran di daerah hulunya, melingkar-lingkar berbentuk spiral, sehingga
orang membayangkannya
sebagai gelung (sanggul).
Dan kini, sebuah perahu kecil meluncur mudik, me-
lawan arus Cigelung ke arah barat daya. Rangga terbaring di dalam perahu kecil
itu. Nyi Tiwi mendayung perahu itu dengan tenang, seolah-olah sudah terbiasa
dengan pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh
kaum pria itu. Semakin jauh perahu itu mudik ke hulu, semakin
lebat pula hutan di sekitar sungai itu.
"Apa sebenarnya yang mendorongmu sehingga kau
mati-matian ingin menolongku?" tanya Rangga pada
suatu saat. "Entahlah," sahut Nyi Tiwi tanpa menghentikan da-
yungannya. "Sejak melihatmu untuk pertama kalinya, hatiku berdetak lain, Kang."
"Berdetak lain bagaimana?"
"Mungkin... mungkin aku sudah melupakan mendi-
ang suamiku dan mulai mencintaimu," jawab Nyi Tiwi lugu.
Rangga tidak terlalu kaget oleh pernyataan blak-
blakan janda muda yang manis itu. "Tapi," katanya,
"keadaanku sekarang begini. Apa yang kau harapkan
dari seorang lelaki yang sudah lumpuh seperti aku?"
"Guruku pasti bisa menyembuhkanmu," sahut Nyi
Tiwi dengan senyum penuh harap, dengan tatapan pe-
nuh arti. Rangga agak rikuh melihat tatapan Nyi Tiwi itu. La-lu mengalihkannya. "Rasa-
rasanya kita sudah melam-
paui daerah perbatasan."
"Betul. Sekarang kita sudah memasuki wilayah Ke-
rajaan Tanjunganom."


Mustika Lidah Naga 4 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gurumu tinggal di daerah Tanjunganom?"
"Ya," sahut Nyi Tiwi. "Sejak limabelas tahun yang la-lu, guruku meninggalkan
daerah Tegalinten, kemudian memencilkan diri di daerah hulu sungai ini."
Perahu itu melaju terus di sungai yang makin lama
makin 'menanjak'. Dan Nyi Tiwi tetap tenang men-
dayung perahunya
Dua hari kemudian... tibalah mereka di depan air
terjun yang sangat tinggi, dengan bunyi gemuruhnya yang bergema ke hutan di
sekitarnya. Pantulan air
yang jatuh ke bawah, tampak seperti kepulan uap di sekitar tempat jatuhnya air
terjun itu. Rangga mengira bahwa Nyi Tiwi akan menggendong-
nya lagi, untuk melanjutkan perjalanan lewat darat.
Tapi ternyata tidak. Nyi Tiwi menghentikan perahunya, lalu menepuk-nepuk air
secara berirama... plak...
plak... plak, plak, plak, plak... plak... plak... plak, plak, plak, plak...!
Dan tiba-tiba saja terdengar suara: "Masuklah, mu-
ridku!" Rangga terkejut, karena mendengar suara yang
tampaknya datang dari belakang air terjun itu.
"Itukah gurumu?" tanya Rangga setengah berbisik.
"Ya," Nyi Tiwi mengangguk. "Kita sudah sampai."
Dan... tiba-tiba saja Nyi Tiwi melajukan perahunya, demikian cepatnya ke arah
air terjun, seperti hendak menabrak bukit di balik air terjun itu.
Perahu itu menembus air terjun. Dan ternyata di
balik air terjun itu ada sebuah gua. Dengan kata lain, gua itu seakan-akan
dilindungi oleh curahan air terjun, sehingga udara di dalamnya tidak pernah
terang benar. Seorang lelaki tua tampak sedang duduk bersila di
dalam gua itu. Nyi Tiwi menurunkan Rangga dari pera-hu yang telah 'tersembunyi'
di belakang curahan air terjun itu, kemudian meletakkannya di depan lelaki tua
itu. Sementara Nyi Tiwi sendiri lalu berlutut di depan lelaki tua yang tak lain
dari Kidangkancana itu.
"Siapa orang muda ini?" tanya Kidangkancana lem-
but. "Dia murid Kudawulung, Rama Guru," sahut Nyi
Tiwi agak keras, untuk mengatasi gemuruhnya air terjun.
Kidangkancana tampak terkejut, tapi mulutnya te-
tap terkatup. Dan Nyi Tiwi melanjutkan, "Dia telah jadi korban
racun Prabaseta. Karena itu... tolonglah dia, Rama Gu-ru. Sembuhkanlah dia
seperti sediakala."
Kidangkancana memperhatikan wajah Rangga se-
saat, lalu mengalihkan pandangannya pada Nyi Tiwi, dan katanya, "Seharusnya aku
menghukummu, karena kelancanganmu membawa orang luar ke tempat ini.
Tapi... mengingat bahwa orang ini murid Kudawulung, kuampuni kesalahanmu, Tiwi.
Sekarang... cepat bawa lagi orang ini ke luar!"
Berbeda dengan sikap Rangga terhadap Kudawu-
lung yang banyak tatakrama, sikap Nyi Tiwi terhadap gurunya manja sekali. Dengan
sikap seperti anak kecil kepada orang tuanya, Nyi Tiwi memeluk Kidangkancana
dari belakang, sambil berbisik, "Aku mencintai murid Kudawulung ini. Tolonglah
dia, Rama Guru yang
baik." Kidangkancana terbelalak. Tapi wajahnya menda-
dak cerah. "Kau mencintainya?" tanyanya pelan.
Nyi Tiwi mengangguk tanpa ragu.
Dan Kidangkancana tergelak, "Hahahaaahaa... tak
kusangka kau bisa jatuh cinta lagi, Nyi."
Kemudian Kidangkancana bangkit. Memperhatikan
wajah Rangga lagi sesaat. Lalu tanyanya, "Siapa namamu?"
"Rangga," sahut murid Kudawulung itu.
"Hmm... kau memang tampan, Rangga. Tak salah
kalau muridku bisa jatuh cinta padamu," desis Ki-
dangkancana, membuat Rangga rikuh dan bingung.
Kata Kidangkancana lagi, "Aku akan mengobatimu.
Tapi kau harus berjanji dulu, bahwa nanti setelah ku-obati, kau harus tetap
tinggal di sini bersama muridku, sebagai suami istri!"
Rangga terkejut. Tak diduganya bahwa 'cinta' Nyi
Tiwi akan berkepanjangan. Sedangkan Rangga sendiri"
Apakah Rangga mencintai Nyi Tiwi" Inilah justru yang sedang dipersoalkan oleh
Rangga dalam hatinya.
Dan ujar Kidangkancana selanjutnya, "Anak perta-
ma yang terlahir dari perkawinan kalian, harus diserahkan padaku, untuk
kubimbing dan kudidik. Ba-
gaimana" Kau bisa menerima syarat-syarat itu?"
"Tidak," jawab Rangga di luar dugaan Nyi Tiwi dan
gurunya. "Kang Rangga...!" Nyi Tiwi menangkap bahu lelaki
yang sedang menelentang lemah itu, lalu menggun-
cangnya. "Kau... kau tidak mau menerimaku sebagai
istrimu?" Rangga menyahut dingin, "Kalau mau menolongku,
kenapa harus mengajukan syarat begini-begitu" Aku
toh tidak memaksa minta tolong kepada kalian. Mau
tolong aku, silakan. Tidak mau menolongku, juga tidak apa-apa. Seandainya aku
ditakdirkan mati dalam keadaan begini, aku tidak akan menyesal."
Kidangkancana terbelalak. Tapi lalu tertawa terge-
lak-gelak. "Hahahahahaaaa...! Kau bandel sekali, orang muda! Pantaslah
Kudawulung mengangkatmu sebagai
muridnya. Tapi... baiklah, aku akan mengobatimu,
tanpa syarat apa-apa. Nanti setelah kau sembuh, kau boleh menentukan sendiri
apakah mau menerima muridku sebagai istrimu atau tidak."
Lelaki tua itu lalu memegang pergelangan tangan
Rangga. Memeriksanya dengan teliti. Demikian pula lutut dan pinggul Rangga,
diperiksanya dengan cermat.
"Bagaimana, Rama Guru?" tanya Nyi Tiwi tak sabar.
"Dia masih bisa diobati, bukan?"
Kidangkancana menghela napas panjang, dan me-
nyahut lirih, "Sulit. Terlalu sulit. Tampaknya sudah terlalu lama racun itu
menciutkan urat-urat penting pada lengan dan kakinya."
"Oh...! Jadi... bagaimana nantinya?" Nyi Tiwi tam-
pak cemas sekali.
Kidangkancana bahkan bertanya kepada Rangga,
"Sudah berapa lama racun itu berada di tubuhmu?"
Sahut Rangga, "Peristiwanya terjadi kira-kira dua
bulan yang lalu."
"Dua bulan!" Kidangkancana terkejut, menoleh pa-
da Nyi Tiwi dan berkata, "Kau membawa pohon yang
sudah mati dan menyuruhku menghidupkannya kem-
bali! Itu sama dengan menganggapku dewa!"
Wajah Nyi Tiwi terpucat-pucat. "Ma... maksud Rama
Guru...?" Dengan nada keluhan, Kidangkancana menyahut,
"Seperti yang kubilang tadi, urat-urat penting pada anggota badannya telah
diciutkan oleh racun itu. Ka-
lau kejadiannya baru sehari dua hari, urat-urat penting itu masih mungkin
dikembangkan kembali. Tapi
setelah dua bulan begitu... aku malah khawatir... jangan-jangan sudah banyak
urat-urat yang rusak karena termakan oleh racun itu."
"Lalu... dia tidak bisa diobati lagi?" Nyi Tiwi semakin panik, sementara Rangga
tenang-tenang saja.
Kidangkancana termenung. Terpejam, sambil memi-
jat-mijat keningnya yang penuh keriput.
"Harapan masih ada, tapi tipis sekali," kata Kidangkancana lesu. "Selain
daripada itu, membawanya ke
Nusa Aheng, juga bukan hal yang mudah."
"Nusa Aheng"!"
"Ya, sesuai dengan namanya, Nusa Aheng tidak bisa
dikunjungi oleh sembarangan manusia. Bahkan bu-
rung-burung laut pun tidak berani terbang ke dekat pulau itu." ( Nusa Aheng =
Pulau Ajaib) "Apakah di pulau itu bisa ditemukan obatnya?" ta-
nya Nyi Tiwi. Jawab Kidangkancana, "Di pulau itu hidup seorang
pertapa sakti yang telah mengasingkan diri dari kehidupan ramai. Beliau bergelar
Bagawan Suwandarama."
"Bagawan Suwandarama," gumam Nyi Tiwi seperti
menghapalkan nama yang baru didengarnya itu.
Rangga pun baru sekali itu mendengar nama Baga-
wan Suwandarama.
"Lalu... apakah dia bisa diobati oleh Bagawan Su-
wandarama?" tanya Nyi Tiwi.
"Itulah yang aku tidak tahu," sahut Kidangkancana.
"Karena menurut berita yang pernah kudengar, Baga-
wan Suwandarama sudah tidak mau diganggu oleh
siapa pun. Perahu-perahu layar yang mencoba mende-
kati Nusa Aheng, selalu dihalau oleh ombak ciptaan Bagawan Suwandarama sendiri."
"Dia bisa menciptakan ombak"!" Nyi Tiwi seperti kurang mempercayai keterangan
gurunya. "Orang yang sudah menyatukan dirinya dengan ke-
sucian seperti Bagawan Suwandarama, mampu mela-
kukan apa saja. Mungkin hanya menghidupkan orang
mati saja yang tidak bisa dilakukannya."
Tiba-tiba Nyi Tiwi bangkit dengan penuh semangat.
"Kalau begitu, aku akan mencoba membawa Kang
Rangga ke Nusa Aheng!"
"Tiwi! Kau tidak mungkin berhasil mencapai pulau
suci itu. Rintangannya terlalu banyak!" cegah Kidangkancana.
Nyi Tiwi bahkan menyahut, "Bukankah Rama Guru
telah mengajarkanku tentang keberanian sebagai da-
sar utama untuk menjadi murid Kidangkancana" Men-
gapa sekarang aku bahkan ditakut-takuti?"
"Dengarlah, muridku. Sudah beratus-ratus, bahkan
mungkin ribuan pendekar yang mencoba mencapai pu-
lau itu. Tapi tidak pernah ada seorang pun yang berhasil. Semuanya gagal. Ada
yang pulang kembali da-
lam keadaan gila, banyak pula yang binasa ditelan sa-mudra!"
"Aku tidak peduli," sahut Nyi Tiwi. "Kalau Rama Gu-ru benar-benar menyayangiku,
berilah aku peta untuk mencapai pulau itu."
"Justru karena aku sangat menyayangimu, aku ti-
dak mengizinkanmu berlayar ke pulau yang aneh dan
penuh bahaya itu," bantah Kidangkancana.
"Sejak kapan Rama Guru mengajariku takut meng-
hadapi bahaya?" tanya Nyi Tiwi dingin.
Rupanya Kidangkancana biasa berbicara secara
'demokratis' dengan muridnya. Mendengar bantahan
Nyi Tiwi yang bertubi-tubi itu, Kidangkancana tidak marah, bahkan
sebaliknya...ia lalu tertawa tergelak-
gelak. "Hahahahaaa...! Lagi-lagi kau memerasku! Baik,
baiklah, akan memberimu peta tentang pulau itu. Tapi, apakah kau sudah
memikirnya matang-matang?"
Nyi Tiwi menyahut, "Rama Guru sendiri pernah
berkata, bahwa kadang-kadang terlalu banyak mem-
pertimbangkan sesuatu itu bisa membuat seorang terlambat mengambil tindakan
penting!" Lagi-lagi Kidangkancana tertawa tergelak-gelak.
"Dengarlah," kata Kidangkancana mendadak sung-
guh-sungguh lagi, "sebenarnya untuk mencapai Nusa
Aheng, tidak perlu memakai peta. Cukup dengan men-
gikuti aliran sungai Cigelung, pada suatu saat kalian akan tiba di muaranya.
Muara sungai Cigelung berada di sebuah kota kecil, Kundina namanya."
"Kundina?"
"Ya. Kundina sebuah kota pantai yang tidak menen-
tu kedudukannya. Sebenarnya Kundina termasuk ke
dalam wilayah Kerajaan Tanjunganom. Tapi setelah
daerah nelayan itu menjadi kota kecil, kerajaan tidak mampu menguasainya."
"Lalu, setelah tiba di Kundina, arah mana yang ha-
rus kami tempuh untuk mencapai Nusa Aheng itu?"
tanya Nyi Tiwi.
"Dari muara Cigelung, ambillah arah lurus ke utara.
Kalau angin bertiup baik, kalian akan tiba di pantai Nusa Aheng, setelah
berlayar selama delapan hari delapan malam. Tapi aku tidak menjamin kalian bisa
mencapai pulau itu."
"Kalau begitu, kami harus mengganti sampan de-
ngan perahu layar di Kundina, bukan?"
"Ya, tentu saja. Sampan itu tidak akan mengarungi
lautan yang begitu ganasnya. Tunggu...."
Kidangkancana masuk ke bagian dalam guanya.
Kemudian kembali lagi dengan sekantung uang emas.
Dan diserahkannya kantung itu pada Nyi Tiwi. "Ambillah uang emas ini, yang
mungkin kau butuhkan untuk membeli perahu layar di Kundina nanti. Aku tidak mau
muridku main rampas perahu layar milik orang lain."
"Terima kasih," Nyi Tiwi mencium pipi gurunya, tak ubahnya ciuman seorang anak
manja kepada ayahnya.
"Rama Guru memang baik sekali."
Kidangkancana hanya tersenyum datar. Namun dari
celah-celah kelopak matanya, merembeslah air mata-
nya... air mata seorang guru yang sangat menyayangi muridnya.
Suara Kidangkancana selanjutnya, juga menjadi pa-
rau, "Aku hanya bisa berpesan... hati-hatilah di perjalanan, Nyi. Dan... untuk
ketentramanmu sendiri, sebaiknya kau mengganti pakaianmu dengan pakaian
laki-laki."
"Jadi aku harus menyamar sebagai laki-laki?"
"Ya," Kidangkancana mengangguk. "Dengan me-
nyamar sebagai lelaki, kau akan lebih leluasa bergerak. Wajahmu terlalu menarik
lawan jenismu... sehingga bisa mengundang hal-hal yang tidak diinginkan."
*** ANTAI Kundina yang indah, seringkali disebut sur-
Pga b agi para nelayan (walaupun julukan 'surga' ti-
dak sepenuhnya benar). Hal itu bukan saja disebabkan hasil tangkapan para
nelayan Kundina selalu berlim-pah-limpah, melainkan juga karena mereka bisa me-
masarkan ikan mereka dengan mudah. Di kota pantai
itu ada pasar pelelangan ikan yang selalu ramai dikunjungi pembeli.
Itulah sebabnya, Kundina yang tadinya sunyi itu,
berubah menjadi kota kecil. Kota pantai. Kota surga bagi para nelayan.
Tentu saja sifat-sifat kota pantai tidak dapat dihin-dari oleh Kundina. Suara-
suara keras, sikap-sikap kasar, perkelahian dan sebagainya, hampir tiap hari
terjadi di situ. Terkadang cuma soal kecil saja, bisa membuat orang Kundina
saling terkam, saling hantam dan saling tusuk. Dan pemenang dari setiap
pertarungan, selalu dianggap sebagai munculnya seorang jagoan ba-ru! Di Kundina
berlaku semacam hukum tak tertulis, bahwa barangsiapa membunuh orang lain dalam
suatu pertarungan yang jujur dan adil, orang itu tidak boleh dituntut oleh siapa pun.
Perjudian dan minuman keras pun seolah-olah su-
dah mendarah-daging bagi penduduk Kundina. Dari
kedua sumber kejahatan itulah, seringkali timbul perkelahian, perampokan dan
pembunuhan. Pada zaman itu, pelacuran masih merupakan hal


Mustika Lidah Naga 4 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tabu bagi rakyat pada umumnya. Namun di Kun-
dina sudah bermunculan tempat-tempat maksiat, yang menyediakan pelacur-pelacur
muda dari bermacam-macam daerah. Rumah-rumah mesum itu merupakan
tempat persembunyian yang aman bagi para penen-
tang hukum. Pencuri, perampok, pembunuh dan bah-
kan bajak laut, sering bersembunyi dengan nyaman di Kundina, yakni di rumah-
rumah maksiat itu.
Yang agak unik di Kundina, adalah bahwa kota ke-
cil itu laksana daerah tak bertuan. Tidak ada bangsawan yang diangkat oleh
kerajaan untuk memimpin ko-
ta kecil itu. Dan para penduduk Kundina lalu mengatur dirinya masing-masing
saja. Satu-satunya orang yang dianggap paling berkuasa
di Kundina, adalah seorang bajingan kelas kakap, bernama Subali. Meskipun ia
tidak pernah diresmikan sebagai penguasa Kundina, namun kekuasaannya di ko-
ta nelayan itu tak ubahnya kekuasaan seorang adipati.
Orang-orang kepercayaan Subali, yang pada
umumnya terdiri dari bajingan-bajingan tengik, tidak pernah menemui kesulitan
dalam memungut 'pajak'
dari para nelayan dan pedagang ikan di balai pelelangan.
Para nelayan dan pedagang ikan maklum, bahwa
tanpa 'perlindungan' dari Subali, keselamatan mereka akan selalu terancam.
Itulah sebabnya mereka selalu
'rela' menyisihkan sebagian dari keuntungan mereka, untuk biaya 'keamanan'.
Yang agak unik lagi, Kundina seperti dibelah dua
oleh sungai Cigelung yang bermuara di sana. Itulah sebabnya muncul istilah
Kundina Kulon (barat) dan
Kundina Wetan (timur).
Bermuaranya sungai Cigelung di pantai Kundina,
juga membawa keuntungan tersendiri bagi penduduk
di situ. Karena orang-orang dari daerah hulu sering datang dengan perahu mereka,
untuk menukarkan
hasil bumi dengan ikan segar ataupun ikan asin. Dengan demikian, penduduk
Kundina tidak pernah keku-
rangan makanan, sekalipun mereka harus membayar
'pajak' kepada Subali.
Karena itu, sekalipun di Kundina sering terjadi pe-merasan dan kekerasan, para
nelayan tetap menjuluki Kundina sebagai 'surga nelayan'.
Sebenarnya Kundina termasuk ke dalam wilayah
Kerajaan Tanjunganom. Tapi pihak kerajaan belum begitu tertib menjalankan
pemerintahannya, sehingga
tindakan Subali dan kawan-kawannya yang seolah
membentuk negara dalam negara, masih dibiarkan sa-
ja. Sebenarnya keadaan itu sudah lama diperhatikan oleh Aria Pamungkas. Itulah
sebabnya, secara diam-diam Aria Pamungkas menyelundupkan prajurit-pra-
jurit Tegalinten ke dalam wilayah Tanjunganom. Demikian pula Kundina, tidak
luput dari sasaran Aria Pamungkas.
Aria Pamungkas memang punya alasan khusus, se-
hingga secara diam-diam ia sedang merencanakan pe-
nyerangan ke wilayah Kerajaan Tanjunganom. Alasan
khusus itu (di samping nafsu ekspansinya), adalah mengenai Sungai Cigelung.
Adalah suatu kenyataan yang boleh dipandang aneh, bahwa sungai yang sangat
dibutuhkan oleh para petani itu berhulu dan bermuara di wilayah Tanjunganom.
Sedangkan sungai itu cukup panjang melintasi daerah Tegalinten. Maka, kalau
Sungai Cigelung diibaratkan seekor ular, kepala dan
ekornya berada di wilayah Tanjunganom, sedangkan
bagian perutnya berada di wilayah Tegalinten.
*** Sebuah perahu meluncur tenang, menyeruak di
permukaan serba hitam, seorang pemuda mendayung
perahu itu. Sebenarnya 'pemuda' itu tak lain dari Nyi Tiwi yang mengenakan
pakaian lelaki, atas anjuran gurunya, supaya tidak menemui kesulitan di
perjalanan. Rambut lebatnya pun dibungkus oleh kain hitam, se-
hingga ia tampak seperti pemuda yang tampan.
Rangga pun berada dalam perahu itu. Tapi ia hanya
terbaring lemah, karena duduk pun ia tak bisa.
Tampaknya Nyi Tiwi sudah bertekad bulat untuk
menolong Rangga. Sehingga ia tidak lagi mempeduli-
kan peringatan dari gurunya, tentang berbahayanya
langkah yang akan ditempuhnya.
Di daerah muara Cigelung, banyak perahu ditam-
batkan, baik perahu yang datang dari daerah hulu
maupun perahu nelayan yang kebetulan tidak melaut.
Maka kedatangan sampan Nyi Tiwi di muara Cigelung, tidaklah menarik perhatian.
Dan memang Nyi Tiwi ingin agar kehadirannya di muara Cigelung tidak menarik
perhatian para nelayan Kundina.
Tak lama kemudian, Nyi Tiwi merapatkan sampan-
nya ke tepi sungai. Kemudian menambatkan sampan
itu dan berkata kepada Rangga, "Tunggu sebentar. Aku akan mencari perahu layar
dulu. Mudah-mudahan sa-ja ada orang yang bersedia menjualnya."
Sambil menjinjing buntalan kecil, Nyi Tiwi meng-
hampiri seorang nelayan yang sedang membetulkan jaringnya di pantai sebelah
barat muara Cigelung.
Nelayan yang sedang membetulkan jaringnya itu,
seorang lelaki setengah tua, berperawakan kurus, berkulit hitam dan tampak sudah
terbiasa membiarkan
kulitnya disengat terik matahari. Ketika Nyi Tiwi meng-hampirinya, nelayan itu
tetap asyik dengan pekerjaannya, tanpa mempedulikan keadaan di sekitarnya.
Nyi Tiwi menegur perlahan, dengan suara dibesar-
besarkan supaya mirip suara lelaki. "Mang, apakah di sini ada nelayan yang mau
menjual perahu layarnya?"
Nelayan itu menoleh, sedikit tercengang melihat
'pemuda tampan' yang sedang berdiri di sampingnya, karena pada umumnya pemuda-
pemuda di pantai itu
berkulit hitam, sedangkan 'pemuda' yang satu ini berkulit kuning langsat.
"Kamu ngelindur barangkali, Jang," sahut nelayan
itu. "Mana mungkin seorang nelayan mau menjual pe-
rahunya. Kamu tahu, perahu bagi seorang nelayan, tak ubahnya tombak bagi seorang
prajurit, tak ubahnya
kitab-kitab suci bagi seorang resi."
"Tapi aku berani membayarnya dengan harga yang
cukup tinggi," kata Nyi Tiwi lagi.
Sebelum nelayan itu menyahut, datanglah dua
orang lelaki ke dekatnya. Salah seorang dari mereka, berperawakan tinggi besar,
berselipkan golok di pinggangnya, membentak, "Hai, Penjol! Sudah dua hari
kamu tidak bayar upeti. Kenapa?"
Nelayan yang dipanggil 'Penjol' itu tampak ketaku-
tan sekali, lalu menjawab dengan lutut gemetaran,
"Seperti yang... yang kalian lihat... jaringku rusak. Sudah tiga hari dengan
sekarang aku tidak bisa ke laut.
Aku mohon ampun, mohon keringanan..."
"Peraturan di Kundina, tidak pernah mengatur soal
jaring yang rusak," tukas lelaki tinggi besar itu. "Setiap nelayan yang tinggal
di sini, melaut ataupun tidak, tetap diwajibkan membayar lima keping uang
tembaga tiap hari. Jadi, sekarang juga kau harus membayar limabelas keping uang tembaga,
dihitung dengan upeti hari ini!"
"Ba... baiklah... akan kubayar... tapi jangan sekarang. Bagaimana kalau besok
saja kubayar sekalian
dua puluh keping uang tembaga?" nelayan itu meman-
dang si lelaki tinggi besar dengan tatapan penuh harap.
Lelaki tinggi besar itu menggelengkan kepala. "Tidak Bisa! Sekarang juga kamu
harus setor limabelas keping uang tembaga. Urusan besok, kita urus besok lagi."
Tiba-tiba saja Nyi Tiwi ikut bicara. "Biarlah kewajiban dia akan kuselesaikan.
Tapi, aku minta kalian menunjukkan sebuah perahu layar yang bisa kubeli."
Kedua lelaki itu mengalihkan pandangan mereka
kepada Nyi Tiwi.
Lelaki yang satu lagi, berperawakan pendek tapi da-da dan lengannya berotot
kekar, bertanya, "Siapa kau"
Tampaknya kau bukan penduduk Kundina."
"Betul," Nyi Tiwi mengangguk. "Aku datang dari
daerah hulu. Aku membutuhkan sebuah perahu layar
untuk... untuk berlayar ke pulau seberang. Kalau kalian bisa menunjukkan sebuah
perahu yang mau di-
jual, aku bersedia membayarkan upeti yang harus dis-elesaikan oleh nelayan ini."
Kedua lelaki itu adalah anak buah Subali yang ber-
tugas menarik 'pajak' dari para nelayan. Mereka tidak menyangka sedikit pun,
bahwa 'pemuda' yang sedang
berbicara dengan mereka, sebenarnya seorang wanita yang sedang menyamar.
Dan memang penyamaran Nyi Tiwi cukup meyakin-
kan. Payudaranya yang montok telah dibebat erat-erat, supaya tidak tampak
menonjol. Rambutnya yang lebat telah dibungkus oleh kain hitam. Pakaian yang
dike-nakannya adalah pakaian laki-laki. Suaranya dibesar-besarkan. Sikapnya pun
benar-benar mirip seorang lelaki.
Kedua anak buah Subali itu memperhatikan Nyi Ti-
wi dengan pandangan curiga. Tapi lalu yang tinggi besar berkata, "Kalau kau
sanggup membayar dengan
lima keping uang emas, kami bisa menunjukkan pera-
hu yang kau butuhkan itu."
"Enam keping uang emas pun akan kubayar, asal-
kan perahunya cocok dengan keinginanku," kata Nyi
Tiwi tenang. Lelaki yang pendek menimpali, "Kamu jangan main-
main dengan kami, anak muda. Perlihatkan dulu ua-
ngmu, supaya kami yakin bahwa kamu bersungguh-
sungguh." Nyi Tiwi merogoh buntalan kecilnya. Lalu memper-
lihatkan beberapa keping uang emas di telapak tan-
gannya. Kedua lelaki itu terbelalak. Dan lalu menjadi sopan sekali, "Baik... baiklah,
Gan Anom. Kami mohon Juragan Anom sudi menunggu dulu di sini sebentar. Kami akan
mencari perahu yang dibutuhkan oleh Juragan
Anom itu. Kalau sudah ada, kami akan segera kembali ke sini."
"Baiklah," sahut Nyi Tiwi. "Aku akan menunggu ka-
lian di sini."
Kedua anak buah Subali itu bergegas pergi ke arah
barat. Dan Nyi Tiwi menunggu di dekat nelayan yang sedang membetulkan jaringnya
itu. Nelayan yang tadi dipanggil Penjol itu tampak heran juga melihat sikap Nyi Tiwi
yang begitu tenang. Lalu katanya, "Kelihatannya kau baru sekali ini datang ke
sini." "Memang betul," sahut Nyi Tiwi. "Kenapa rupanya?"
"Kau terlalu gegabah, anak muda. Terang-terangan
memperlihatkan uang emas di tempat ini, sama den-
gan melepaskan kambing di sarang harimau," ujar
Penjol dengan nada khawatir.
"Maksudmu... daerah ini tidak aman?" tanya Nyi
Tiwi. Penjol melirik ke kanan-kirinya, lalu menyahut setengah berbisik, "Ya... di sini
terlalu banyak orang jahat, Jang. Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini, sebelum
mereka datang untuk merampokmu."
Nyi Tiwi hanya tersenyum. Dan tetap menunggu di
dekat Penjol. Kekhawatiran Penjol cukup beralasan. Kedua anak
buah Subali itu setelah agak jauh dari Nyi Tiwi, mulai saling bisik.
"Pemuda tadi tampaknya kaya sekali. Ini makanan
bagi kita."
"Tapi tampangnya seperti bangsawan. Jangan-
jangan dia orang kerajaan."
"Ah, persetan dengan kerajaan. Kundina tidak per-
nah diperintah oleh kerajaan mana pun. Di sini kita hanya mengakui kekuasaan
Juragan Subali. Lain tidak."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?"
"Sebaiknya kita pergi melapor dulu kepada Juragan
Subali, supaya tindakan kita bisa dipertanggungja-
wabkan." Kedua lelaki itu lalu setengah berlari menuju se-
buah rumah besar di sebelah barat sana.
*** Rumah Subali, adalah rumah yang termegah di
Kundina. Adalah tidak berlebihan kalau rumah Subali disebut laksana rumah
seorang adipati. Karena selain rumahnya sangat megah, pekarangannya sangat luas,
orang-orang pun tidak bisa sembarangan memasuki
pintu gerbang yang selalu dijaga oleh lelaki-lelaki bersenjata golok itu.
Di dalam rumahnya, Subali diperlakukan seperti ra-
ja. Para pelayan selalu siap menunggu perintahnya.
Para jagoan selalu siap mengawalnya. Dan yang pasti...
uang selalu mengalir tiap hari ke kantongnya.
Seperti yang telah diceritakan terdahulu, Kundina
adalah kota pantai yang penuh dengan kekerasan (sekalipun banyak nelayan yang
tetap menjulukinya se-
bagai 'surga'). Di sini hanya berlaku satu hukum: Siapa yang kuat, akan menjadi
pemimpin. Maka tentu saja diangkatnya Subali sebagai 'pengu-
asa Kundina', bukan tidak ada sebabnya. Dengan mengandalkan ilmunya yang tinggi,
ia telah menaklukkan atau membinasakan jagoan-jagoan di Kundina. Namun
ia tidak puas sampai di situ saja. Ia tidak mau menjadi
jagoan 'amatir', ia ingin menjadi jagoan 'profesional', ia juga tahu bahwa nasib
para jagoan hampir selalu sa-ma: menang, menang, membunuh, membunuh... dan
akhirnya kalah atau dibunuh!
Subali cukup 'jeli' mempertimbangkan kemungki-
nan itu. Kemungkinan yang bisa saja terjadi pada dirinya. Ia tidak mau hidup
seperti para jagoan picisan, yang mengandalkan kepandaiannya hanya untuk ber-
hura-hura di depan para pengagum atau mendekam di
atas perut pelacur secara gratis, lalu menghadapi masa tuanya dalam kemelaratan.
Ia juga tidak mau menjadi jagoan yang harus menghadapi akhir hayatnya secara
tragis - mati dibunuh jagoan baru.
Tidak. Subali tidak sebodoh itu.
Subali cukup 'pandai' memperhitungkan masa de-
pannya. Ia ingin memanfaatkan kepandaiannya untuk
kekayaan, kekuasaan dan keamanan dirinya sendiri.
Karena itu, setelah ia menjadi jagoan tak terkalahkan di Kundina, ia menghimpun
tenaga-tenaga muda (yang pada umumnya bajingan), kemudian menggembleng
mereka dengan ilmu yang dimilikinya. Dalam tempo
singkat saja ia berhasil membentuk semacam pasu-
kan, yang lalu bertugas sebagai para pemungut 'pajak'
dari para nelayan.
Demikian licinnya Subali mengatur 'pasukan pemu-
ngut pajak' itu, sehingga tanpa perlawanan yang berarti, ia berhasil mengangkat
dirinya sebagai penguasa tidak resmi di Kundina.
Tentu saja setiap anggota 'pasukan' itu sudah dilatih sedemikian rupa, sehingga
mereka bukan hanya
mampu memunguti uang dari para nelayan, melainkan
juga sanggup menciptakan teror yang mengerikan. Beberapa nelayan yang membandel
dijadikan contoh...
dibunuh dan mayatnya digantungkan di tiang layar pe-
rahunya! Hasilnya sangat memuaskan bagi Subali. Para nela-
yan tidak mau membandel lagi. Secara 'sukarela' mereka membayar 'pajak


Mustika Lidah Naga 4 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penghasilan', yang dihitung menurut besarnya perahu dan banyaknya awak perahu.
Anehnya, para nelayan yang tiap hari diperas oleh
Subali dan anak buahnya, tidak pernah berusaha pindah ke pantai lain. Sebenarnya
ada satu hal yang sangat dibutuhkan oleh para nelayan, yakni pasar pelelangan
ikan. Karena meskipun mereka berhasil me-
nangkap ikan sebanyak-banyaknya, kalau ikan-ikan
itu tidak bisa dipasarkan, tentu saja mereka akan
menderita dibuatnya. Dan justru pasar yang mereka
butuhkan itu terdapat di Kundina. Dan pasar pelelangan ikan di Kundina itu
selalu ramai dengan pembeli atau pembarter dengan hasil bumi. Maka meskipun
mereka harus membayar pajak liar tiap hari, mereka tetap menganggap Kundina
sebagai tempat yang menguntungkan.
Subali tidak hanya memeras para nelayan. Para
tengkulak dan pedagang yang berdatangan dari daerah hulu Cigelung pun, dikenakan
pungutan tertentu,
yang besarnya tergantung dari 'omzet' perdagangan
mereka. Dan toh mereka pun tetap menganggap Kun-
dina sebagai tempat yang menguntungkan.
Dengan sendirinya kehidupan Subali makin lama
makin menanjak. Uang pungutan liar yang mengalir
tiap hari ke kantongnya, sebagian kecil digunakan untuk menggaji anak buahnya,
dan sebagian besar digunakan untuk kepentingan pribadinya.
Apakah hal itu membuat Subali puas" Tidak. Ma-
nusia pada umumnya memang tidak pernah puas den-
gan apa yang telah dimilikinya. Apalagi manusia macam Subali.
Setelah pemungutan 'pajak' itu berjalan dengan
lancar, Subali mencari jalan baru, untuk menciptakan sumber keuangan baru.
Berminggu-minggu Subali memikirkan bagaimana
caranya mendapatkan jalan lain untuk mendatangkan
uang. Dan akhirnya ia menemukan jalan baru itu. Ia membangun rumah-rumah kecil
di pantai. Kemudian
gundik-gundik yang telah membosankannya, dipindah-
kan ke rumah-rumah kecil itu, untuk melayani lelaki-lelaki iseng yang
membutuhkan 'hiburan'. Dengan kata lain, gundik-gundik Subali yang tidak
'terpakai' lagi, lalu dijadikan pelacur. Dan uangnya... harus masuk ke kantong
Subali! Tentu saja di setiap rumah maksiat itu diawasi oleh anak buah Subali. Dan
tampaknya 'usaha sampingan'
Subali itu mendatangkan hasil yang cukup besar. Lelaki-lelaki iseng berdatangan
ke Kundina, untuk me-nikmati hangatnya tubuh bekas gundik-gundik Subali.
Mereka tidak segan-segan menghamburkan uang me-
reka di Kundina, karena pelacuran pada zaman itu
masih merupakan hal yang langka.
Keberhasilan Subali dalam bidang 'pergermoan' itu, membuatnya semakin bernafsu
untuk menambah per-sediaan wanita yang akan dijadikan penghuni rumah-
rumah mesumnya. Lalu terjadilah semacam perburuan
wanita. Subali mengerahkan anak buahnya, untuk
memburu gadis-gadis cantik dari segala penjuru, yang kelak akan dijadikan
penghuni rumah-rumah maksiat
itu. Kalau ada yang dipandang istimewa, Subali me-
nyekapnya dulu dalam rumah haremnya, kemudian
membuangnya ke salah satu rumah maksiat itu kalau
ia sudah merasa bosan.
Dan 'bisnis perempuan' itu berkembang dengan pe-
satnya. Terkadang ada pula saudagar yang kebetulan
singgah di Kundina, lalu memboyong salah satu 'kolek-si' Subali, dengan imbalan
yang cukup tinggi.
Tapi Subali belum puas juga dengan hasil yang te-
lah dicapainya. Ia berpikir lagi. Dan menemukan jalan baru lain lagi: Membangun
rumah-rumah judi!
Maka bertambah lagi jenis kemaksiatan di Kundina,
dengan berdirinya rumah-rumah perjudian yang diba-
ngun oleh Subali. Setiap orang bebas berjudi di salah satu tempat yang telah
disediakan. Tentu saja pemungut uang 'tong' selalu siap di rumah-rumah perjudian
itu. Dan... lagi-lagi Subali mendapatkan sumber baru untuk memperkaya dirinya.
Maka tidaklah mengherankan kalau Subali lalu menjadi orang yang tak kalah kaya
oleh para adipati di zaman itu.
Dan kini dua orang anak buah Subali datang meng-
hadap. Melaporkan apa yang telah mereka lihat di muara Cigelung, bahwa ada
seorang pemuda hendak
membeli sebuah perahu layar dan memperlihatkan be-
berapa keping uang emas. Bahwa pemuda itu memba-
wa buntalan kecil, yang diduga berisi uang emas banyak sekali.
Mendengar 'uang emas', kontan saja wajah Subali
menjadi lain. Lalu tanyanya, "Apakah pemuda itu sendirian?"
"Benar," sahut anak buah Subali. "Dia hanya sendi-
rian." "Apakah dia kelihatan seperti bangsawan?" tanya
Subali lagi. "Inilah yang hamba bingungkan. Kalau melihat
tampangnya, mungkin sekali dia keturunan bangsa-
wan." Subali berpikir beberapa saat lamanya. Dan akhir-
nya ia berkata, "Bawalah dia ke mari. Katakan saja
aku punya sebuah perahu yang hendak kujual."
"Baik, orang itu akan segera dibawa ke sini." Kemudian kedua lelaki itu bergegas
meninggalkan rumah
pemimpinnya, menuju daerah muara Cigelung kemba-
li. *** ELAKI yang tinggi besar menghampiri Nyi Tiwi dan
Lber kata, "Perahu layar yang diinginkan sudah ada, kepunyaan Juragan Subali.
Mari kita ke sana sekarang."
Nelayan bernama Penjol itu terkejut mendengar na-
ma Juragan Subali disebut-sebut. Pikirnya, pastilah celaka anak muda ini, tapi
salahnya sendiri... disuruh cepat-cepat pergi tidak mau.
Tapi nelayan bernama Penjol itu tidak berani bicara apa-apa. Walaupun begitu,
Nyi Tiwi melihat memucat-nya wajah nelayan bernama Penjol itu.
"Di mana perahunya?" tanya Nyi Tiwi.
"Di... di sana," lelaki tinggi besar itu menunjuk ke sebelah barat, sekalipun
jelas di pantai sebelah barat tidak terlihat sebuah perahu layar pun.
Nyi Tiwi mulai curiga. Tapi dengan tenang bertanya lagi, "Rumah Juragan Subali
itu di mana?"
Kali ini anak buah Subali menunjuk ke arah yang
benar. "Itulah rumahnya... yang seperti istana itu tuh."
Dan hati mereka berkata: Benar-benar makanan
empuk! Masa tidak tahu rumah Juragan Subali"! Pas-
tilah baru sekali ini dia menginjak Kundina!
Dengan gaya lugu, Nyi Tiwi berkata, "Baiklah, ayo
kita temui pemilik perahu itu."
Kemudian berangkatlah Nyi Tiwi bersama kedua
anak buah Subali, sementara Penjol hanya mengantar kepergian Nyi Tiwi dengan
pandangan cemas.
*** Ketika memasuki pintu gerbang yang dijaga oleh
beberapa lelaki bersenjatakan golok itu, Nyi Tiwi bertanya-tanya di dalam
hatinya, "Tampaknya orang bernama Subali itu sangat kaya. Rumahnya pun dijaga
segala." Kedatangan Nyi Tiwi diterima langsung oleh seorang lelaki berbadan kekar,
bermata agak juling, bercam-bang tebal, berdada penuh bulu dan berkulit hitam
le-gam. Itulah Subali... sang penguasa Kundina!
"Kudengar kau membutuhkan sebuah perahu layar
untuk berlayar ke negeri seberang," kata Subali sambil mengamat-amati Nyi Tiwi
dengan pandangan penuh
selidik. "Benar," sahut Nyi Tiwi. "Mana sekarang pera-
hunya" Aku tidak punya waktu banyak. Sore nanti
aku harus sudah berlayar."
Subali tampak tersinggung dengan ketergesa-
gesaan Nyi Tiwi. Maklumlah, biasanya Subali selalu diperlakukan seperti raja.
Tapi Subali menahan diri, dan berkata, "Aku ingin menguji uangmu dulu, apakah
benar-benar emas asli atau bukan."
"Mana ada acara begitu"!" Nyi Tiwi keheranan.
"Jual-beli di mana-mana juga sama. Lihat dulu ba-
rangnya, baru bicara soal pembayaran."
Subali menyeringai. "Perahu layarku berpuluh-
puluh banyaknya. Kau tinggal memilihnya nanti, pera-hu mana yang kau inginkan."
"Nah, kalau begitu kenapa tidak segera mengajakku
ke tempat perahu-perahumu ditambatkan"!" Nyi Tiwi
bersikeras. "Anak muda, aku tidak mau membuang-buang
waktuku untuk main-main. Karena itu, aku ingin me-
lihat dulu, uang emas apa yang akan kau pakai untuk membayarnya. Kalau uangmu
terbuat dari emas palsu, tentu aku tidak usah mengajakmu ke dermagaku, bukan?"
Kali ini Nyi Tiwi yang tersinggung. Buntalan kecilnya dibuka. Isinya dituangkan
ke meja pualam di depan Subali... trrring... tring... ting...! Kepingan-kepingan
uang emas bertumpuk di depan Subali.
Subali terbelalak. Meskipun ia orang kaya, namun
jarang sekali ia melihat uang emas yang begitu banyak.
Dan, sebagai seorang bajingan kelas kakap, tentu saja ia tergiur oleh uang emas
sebanyak itu. Tentu saja timbul niat jahat Subali, ingin mengam-
bil 'jalan pintas' untuk memiliki uang emas yang bertumpuk di meja pualam itu.
Tapi Subali belum tahu
siapa sebenarnya 'pemuda' yang berpakaian serba hitam itu.
Lalu, Subali mengambil sekeping uang emas dari
tumpukannya, dengan sikap seakan-akan hendak meng-
uji keaslian uang emas itu, sekalipun maksud sesungguhnya justru hendak menguji
'pemuda' itu. Waktu memegang uang emas itu, secara diam-diam
Subali mengerahkan tenaga dalamnya, sambil berkata,
"Aku ingin tahu apakah uang emas ini murni atau tidak."
Tiba-tiba ibu jari Subali melesak ke dalam uang
emas itu... sehingga uang itu menjadi bolong tengahnya. Itulah demonstrasi
tenaga dalam penguasa Kun-
dina! "Wah... kenapa emasnya empuk begini?" desis Sub-
ali sambil memperhatikan Nyi Tiwi dengan sudut ma-
tanya. Nyi Tiwi segera tahu bahwa tuan rumah sedang me-
mamerkan tenaga dalamnya. Namun sambil tersenyum
Nyi Tiwi menyahut, "Mungkin hanya satu itu yang empuk. Yang lainnya pasti
keras." Sambil berkata begitu, Nyi Tiwi memegang kaki me-
ja pualam itu, sambil menyalurkan tenaga dalamnya
secara diam-diam. Dan Subali tak tahu bahwa ta-
munya sedang siap-siap untuk 'mengerjainya' juga.
"Coba, akan kuuji uangmu yang lain," kata Subali
sambil mengulurkan tangannya untuk memungut sa-
lah satu uang logam di atas meja batu pualam itu. Ta-pi... begitu tangannya
menyentuh salah satu uang
emas itu, tiba-tiba ia memekik, "Aaaau...!", lalu meringis dan memijat-mijat
tangan yang menyentuh uang
emas tadi. Apa sebenarnya yang telah terjadi"
Tadi, waktu Subali menyentuh salah satu uang
emas itu, tiba-tiba saja ia merasa ada 'sesuatu' yang menolak tangannya demikian
kuatnya, sehingga ia merasa kesemutan.
Dan kini, Subali lihat tangan tamunya sedang me-
megang kaki meja masih kurang percaya: Mungkinkah
pemuda ini memiliki tenaga dalam yang demikian he-
batnya" Nyi Tiwi sudah dapat membaca lewat mata Subali,
bahwa gembong Kundina itu sedang mempertimbang-
kannya. Dan Nyi Tiwi tidak mau membuang-buang
waktunya lagi. Lalu dengan pengerahan tenaga dalam yang luar biasa, Nyi Tiwi
berkata, "Kurasa engkau sudah cukup maklum bahwa uang emasku asli semua.
Sekarang tunjukkanlah perahu layar yang akan kau
jual itu. Dan uangku yang kau rusak itu, akan kuhitung sebagai panjarnya!"
Ucapan Nyi Tiwi diikuti dengan sesuatu yang men-
cengangkan Subali. Uang-uang emas itu tiba-tiba saja beterbangan secara teratur,
lalu masuk ke dalam buntalan Nyi Tiwi. Dan Subali semakin sadar bahwa tena-ga
dalam tamunya tinggi sekali!
Tapi Subali benar-benar tak tahu diri. Sekalipun ia sudah tahu bahwa tamunya
berilmu tinggi, ia mengira bahwa 'jalan pintas' untuk mendapatkan buntalan
berisi uang emas itu masih tetap ada.
Lalu... tiba-tiba saja Subali bertepuk tangan tiga kali. Dan pada saat
berikutnya, delapan orang lelaki bersenjata golok panjang berlompatan ke
sekeliling Nyi Tiwi.
"Bereskan dia!" seru Subali dengan sikap yang
mendadak garang.
Kedelapan lelaki itu langsung melaksanakan perin-
tah majikannya. Mereka mengepung Nyi Tiwi dengan
golok berputar-putar, sehingga menimbulkan angin dingin di sana-sini... wuuur...
wuuur... wuuur...
wuuur...! Nyi Tiwi yang sadar bahwa dirinya akan dijadikan
calon korban kecurangan, keserakahan dan kekejaman Subali, jadi jengkel
dibuatnya. Dan jengkelnya murid Kidangkancana, tentu lain dengan jengkelnya
orang biasa. Tapi Nyi Tiwi masih berusaha menahan kejengke-
lannya. Begitu golok-golok anak buah Subali hendak menusuk dada dan menyabet
lehernya dari delapan
penjuru, dengan gerakan yang sangat cepat ia men-
gambil delapan keping uang emas dari buntalannya.
Dan... wreeeet... kedelapan keping uang emas itu ber-hamburan ke sekelilingnya.
Dengan telak menghantam urat-urat nadi anak buah Subali yang delapan orang itu!
Lalu... trang... trang... trang... trang...! Golok-golok
pajang itu berjatuhan ke lantai. Kedelapan anak buah Subali berdiri kaku, tak
ubahnya patung yang sama
sekali tidak bisa bergerak.
Lalu, dengan tenang Nyi Tiwi mengambili kedelapan
keping uang emas yang 'bertempelan' di pergelangan tangan kedelapan anak buah
Subali itu. Kemudian di-masukkannya uang-uang emas itu ke dalam buntalan-
nya, tanpa mempedulikan Subali yang berdiri terpucat-pucat di sudut pendapa
sebelah selatan.
Namun di saat lain, ketika Nyi Tiwi melangkah de-
ngan tenang keluar dari kepungan 'patung-patung ka-ku' itu, tiba-tiba saja
Subali menghamburkan delapan bilah pisau kecil ke arah Nyi Tiwi!
Rupanya Subali masih belum tahu diri juga, dan
mengira dengan cara membokong seperti itu ia bisa
membinasakan tamunya.
Tapi apa yang terjadi"
Sebelum pisau-pisau itu menyentuh kulit Nyi Tiwi,
tiba-tiba saja janda muda yang sedang menyamar jadi lelaki itu mencelat ke atas,
sambil memutar-mutarkan kakinya di udara... sehingga menimbulkan angin yang
meniup kedelapan pisau kecil itu... dan... pisau-pisau itu bertancapan di dada
kedelapan anak buah Subali yang masih berdiri kaku!
Zeb... zeb... zeb... zeb... zeb... zeb... zeb... zeb!


Mustika Lidah Naga 4 di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Disusul dengan berjatuhannya kedelapan anak
buah Subali, dengan dada berlumuran darah!
"Pisau-pisaumu telah membunuhi anak buahmu
sendiri, bukan?" tegur Nyi Tiwi dingin, membuat Subali gemetaran.
Ya, baru kali itulah Subali sadar dengan siapa ia
berhadapan. Lalu, seperti kata-kata mutiara Shelley... ia penge-cut terhadap orang kuat, ia
tiran bagi orang lemah...
demikian pula halnya dengan Subali.
Ya, setelah sadar bahwa ia tidak mungkin bisa me-
ngalahkan 'pemuda' itu cepat-cepat ia menjatuhkan di-ri... berlutut di depan Nyi
Tiwi sambil berkata, "Ampu-nilah hamba...! Sungguh hamba tidak tahu bahwa hari
ini rumah hamba kedatangan Dewa Yang Perkasa."
Mendengar sebutan 'Dewa Yang Perkasa' itu, kontan
tergerai tawa geli Nyi Tiwi, sehingga tanpa disadari suara perempuannya
terdengar dalam tawanya itu. "Hi-
hihihihihihi...! Siapa yang dewa" Aku hanya seorang manusia biasa, yang sedang
membutuhkan sebuah perahu layar. Mengerti?"
"Me... mengerti," sahut Subali. "Hamba akan segera menunjukkan perahu layar yang
Gusti butuhkan itu."
"Kau pun tak perlu memanggilku gusti, karena aku
bukan keturunan raja!"
"La... lalu hamba harus memanggil apa?"
"Persetan dengan panggilanmu. Sekarang cepat tun-
jukkan padaku, mana perahu layar yang kubutuhkan
itu?" "Ba... baik! Sekarang ikutilah hamba..."
*** Nyi Tiwi mengikuti langkah Subali ke dermaga di
daerah Kundina Wetan. Untuk mencapai daerah di se-
belah timur itu, mereka harus memakai sebuah rakit, untuk menyeberangi Cigelung
yang membelah Kundina menjadi dua bagian itu.
Di atas rakit itulah Subali bertanya kepada Nyi Tiwi,
"Kalau boleh hamba tahu, siapa sebenarnya Andika
ini?" Nyi Tiwi (yang sebenarnya bernama Pertiwi), tentu
saja tidak mau menyebutkan nama aslinya. Karena kalau nama aslinya disebutkan,
Subali akan segera tahu
bahwa Nyi Tiwi seorang wanita. Maka dengan seenak-
nya Nyi Tiwi menjawab, "Seperti yang kau lihat, pa-kaianku serba hitam. Anggap
sajalah aku sebagai
mega hitam... mega mendung begitu."
Nyi Tiwi tidak sadar bahwa jawaban seenaknya itu
akan selalu diingat oleh Subali - Pemuda ini bergelar Megamendung!
Ketika Subali dan Nyi Tiwi tiba di dermaga, bebera-pa pasang mata
memperhatikannya dari kejauhan,
dengan pandangan seolah bertanya-tanya: Siapa pe-
muda tampan yang sedang bersama-sama Juragan
Subali itu"
*** Mengenai perahu layar yang dijanjikan, ternyata
Subali tidak berdusta. Di dermaga itu berderet puluhan perahu layar, yang memang
semuanya milik Sub-
ali. "Andika boleh memilih salah sebuah perahu milik hamba, yang mana saja.
Dan... pembayarannya, biar-lah cukup dengan uang yang hamba rusak tadi," kata
Subali. Nyi Tiwi tersenyum dingin. "Aku ingin membeli de-
ngan harga yang wajar, bukan hendak merampokmu.
Nah... aku pilih perahu yang itu. Berapa harus ku-
bayar?" "Ambil sajalah perahu itu, hitung-hitung tanda persahabatan hamba dengan
Andika." "Persahabatan"! O, tidak. Aku bukannya tidak mau
bersahabat denganmu. Tapi aku tidak mau berhutang
budi pada siapa pun. Katakanlah harga perahu itu!"
"Hamba... hamba tidak berani memberi harga. Ter-
serah Andika saja."
Nyi Tiwi merogoh buntalannya dan mengeluarkan
empat keping uang emas, lalu menyerahkannya pada
Subali. "Ditambah dengan uang yang kau rusak tadi, jadi lima keping uang emas.
Cukup?" "Cukup... cukup. Lebih dari cukup," sahut Subali
sambil membungkuk-bungkuk hormat.
"Baiklah. Perahu itu sudah menjadi milikku, bu-
kan"! Nah... sekarang aku akan menjemput kawanku
dulu," kata Nyi Tiwi. Dan... wuuuuut... tiba-tiba saja tubuh janda muda itu
berkelebat... laksana anak pa-nah dilepaskan dari busurnya... menuju tempat sam-
pannya ditambatkan.
Dan Subali hanya terlongong-longong, sambil me-
remas-remas keempat keping uang emasnya.
"Megamendung," pikir Subali. "Rasanya baru sekali
ini aku mendengar gelar itu. Tapi ilmu orang itu, benar-benar hebat! Kalau aku
bisa bekerjasama dengannya, mungkin aku mampu mendirikan kerajaan baru
di Kundina ini...!"
Sementara itu, Nyi Tiwi sudah tiba di tempat sam-
pannya ditambatkan. Sampan itu masih ada. Tapi...
Rangga sudah tidak ada di atas sampan itu!
"Kang Rangga..."!" Nyi Tiwi memegangi kedua belah
pipinya yang mendadak pucat pasi. "Oooh... ke mana dia" Ke mana dia?"
Nyi Tiwi mencari-cari ke sekitar tempat penambatan sampannya. Namun ia tidak
menemukan Rangga di
sekitar tempat itu.
Lalu pandangannya tertumbuk ke arah nelayan
yang bernama Penjol itu, yang tampak masih asyik
membetulkan jaringnya di pantai. Cepat Nyi Tiwi berlari ke arah nelayan itu.
"Mang... Mang...! Apakah tadi melihat... mm... melihat seseorang membawa temanku
dari dalam sampan-
ku?" tanya Nyi Tiwi.
Nelayan bernama Penjol itu agak kaget melihat ha-
dirnya kembali 'pemuda' yang disangkanya sudah jadi korban keganasan Subali itu.
"Teman"! Teman yang mana?" nelayan itu balik ber-
tanya. "Tadi aku meninggalkan kawanku yang lumpuh di
dalam sampan itu. Sekarang dia jadi tidak ada. Apakah kau melihatnya, Mang?"
Nelayan itu terlongong bingung. Lalu menggeleng-
kan kepalanya. Dan angin pantai berhembus dengan kencangnya.
Meniup pengikat kepala Nyi Tiwi, sampai terlepas, sehingga rambut yang lebat
indah itu tergerai dan berkibar-kibar.
Setitik air mata terjatuh dari kelopak mata Nyi Tiwi.
Namun, tiba-tiba saja mata yang indah itu menjadi
beringas. Dan tiba-tiba saja Nyi Tiwi menggumam, "Kalau hi-
langnya Kang Rangga disebabkan oleh anak buah Su-
bali... akan kuobrak-abrik rumah jahanam itu! Akan kucincang lelaki bernama
Subali itu!"
Kemudian... murid Kidangkancana berlari secepat
kilat ke arah rumah Subali!
(Bersambung) Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
*** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** *** Pendekar Latah 7 Ilmu Silat Pengejar Angin Karya Siasa Kisah Bangsa Petualang 6
^